3. Nomenclature Komplemen
Komplemen diberi simbol dengan huruf “C” yang merupakan singkatan dari
“Complement” (bahasa Inggris dari komplemen). Komponen komplemen dinamakan dengan
urutan nomor, yaitu dari C1- C9, kecuali C4 aktif sebelum C2 (C1 – C4 – C2 – C3 – C5 – C6
– C7 – C8 – C9). Penamaan komplemen juga dengan simbol huruf, contoh : faktor D (jalur
alternatif), atau dengan penamaan trivial, contoh : homologous restriction factor. Fragmen
peptida yang terbetuk dari aktivasi komplemen diberi simbol huruf kecil. Umumnya, fragmen
peptida kecil dihasilkan dari pembelahan komplemen yang lebih besar.
Fragmen kecil tersebut disimbolkan dengan huruf “a”, sementara fragmen yang lebih
besar diberi symbol “b”, contoh : C3a, C5a, kecuali untuk C2a; C2a adalah fragmen yang
lebih besar. Fragmen yang lebih besar akan berikatan dengan komplemen target yang
berdekatan dengan tempat aktivasi. Sedangkan fragmen yang lebih kecil akan menyebar dan
berfungsi sesuai dengan aktivitas biologiknya, contoh C3a, C4a, dan C5a menginisiasi respon
inflamasi melalui ikatannya dengan reseptor khusus. Fragmen komplemen akan berikatan
dengan satu dan komponen lainnya untuk membentuk kompleks yang memiliki fungsi
sebagai enzim. Kompleks komplemen yang berfungsi sebagai enzim ini diberi simbol bar
(garis atas), contoh : C4b2a, C3bBb (Kindt et al., 2007).
Komponen C1 pada serum berbentuk kompleks makromolekul, tersusun atas C1q, 2
molekul C1r dan 2 moleku C1s yng terikat bersama membentuk kompleks (C1q,r2s2) yang
distabilkan oleh ion Ca2+ .
6. Defisiensi Komplemen
Komponen komplemen dapat mengalami defisiensi terkait kelainan genetik. Defisiensi
homozigot pada komponen jalur klasik seperti C1q, C1r, C1s, C2 dan C4 menunjukkan gejala
yang ditandai dengan peningkatan penyakit yang berhubungan dengan kompleks imun seperti
Sistemik Lupus Eritematosus, glumerolunefritis, dan vaskulitis. Defisiensi tersebut
menegaskan pentingnya reaksi pada awal sistem komplemen yaitu pada pembentukan C3b,
dan peran penting C3b pada solubilisasi dan clearance kompleks imun. Lebih lanjut, pada
penyakit kompleks imun, individu dengan defisiensi komplemen tersebut lebih rentan
mengalami infeksi pyogenik (bakteri yang menghasilkan pus) yang berulang, seperti
Streptococci dan Staphylococci.
Daftar Pustaka :
Allen, N. J dan Meyer, J. P, 2007. The Measurement and Antecedents of Affective,
Continuance and Normative Commitment to the Organization. Journal of
Occupational Psychology, 63 : 1-18.
Baratawidjaya, K. G. 2006. Imunologi dasar. Jakarta : FK Universitas Indonesia.
Kindt. T. J., Goldsby, R. A., Osborne, B. A dan Kuby, J. 2007. Kuby immunology.
Macmillan.