Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

IMUNISASI

Pembimbing :
dr. Primo Parmato, Sp.A

Disusun Oleh :
Laila Nurul Lita
2015730075

KEPANITERAAN KLINIK PEDIATRI

RUMAH SAKIT ISLAM SUKAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Imunisasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi yang wajib diperoleh anak adalah
imunisasi dasar, imunisasi ini harus diperoleh sebelum usia 12 bulan. Imunisasi
dasar lengkap adalah tercapainya imunisasi untuk 1 dosis BCG, 4 dosis hepatitis
B, 3 dosis DPT, 4 dosis polio, dan 1 dosis campak secara lengkap pada anak
sebelum usia satu tahun.

Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, imunisasi


merupakan salah satu upaya prioritas Kementerian Kesehatan untuk mencegah
terjadinya penyakit menular yang dilakukan sebagai salah satu bentuk nyata
komitmen pemerintah untuk menurunkan angka kematian pada anak. Berdasarkan
hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian
bayi (AKB) 34/1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita (AKBA) 44/1000
kelahiran hidup. Hasil survei Riskesdas tahun 2013 didapatkan data cakupan
imunisasi HB-0 (79,1%), BCG (87,6%), DPT-HB-3 (75,6%), Polio-4 (77,0%),
dan imunisasi campak (82,1%). Survei ini dilakukan pada anak usia 12– 23 bulan.

Seperti kita ketahui, bahwa di masyarakat masih ada pemahaman yang


berbeda mengenai imunisasi, sehingga masih banyak bayi dan balita yang tidak
mendapatkan pelayanan imunisasi. Alasan yang disampaikan orangtua mengenai
hal tersebut, antara lain karena anaknya takut panas, sering sakit, keluarga tidak
mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/
repot. Karena itu, pelayanan imunisasi harus ditingkatkan di berbagai tingkat unit
pelayanan. Tahukah Anda bahwa imunisasi merupakan upaya kesehatan
masyarakat yang telah diselenggarakan di Indonesia sejak 1956? Program ini
terbukti pula paling efektif dan efisien dalam pemberian layanan kesehatan. Lewat
program ini pula Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun
1974. Mulai tahun 1977, selanjutnya kegiatan imunisasi diperluas menjadi
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan
terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I), yaitu
Tuberkolosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus, Hepatitis-B, serta
Pneumonia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu
saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami
sakit ringan.
Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih
hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, yang
apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara
aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.

B. TUJUAN
Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat Penyakit yang
Dapat Dicegah dengan Imunisasi.

Penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi

1. Difteri
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria.
Penularannya melalui kontak fisik dan pernafasan.Gejala yang ada biasanya
radang tenggorokan, hilang nafsu makan, demam ringan, dalam 2–3 hari
timbul selaput putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil.
2. Pertusis
Penyakit pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertussis. (batuk rejan) Penularannya melalui percikan ludah (droplet
infection) dari batuk atau bersin. Gejala yang ada biasanya pilek, mata
merah, bersin, demam, batuk ringan yang lama-kelamaan menjadi parah dan
menimbulkan batuk yang cepat dan keras.
3. Tetanus

Penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang menghasilkan


neurotoksin. Penularannya melalui kotoran yang masuk ke dalam luka yang
dalam. Gejala awal: kaku otot pada rahang, disertai kaku pada leher,
kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat dan demam.Pada bayi
terdapat gejala berhenti menetek (sucking) antara 3 sampai dengan 28 hari
setelah lahir. Gejala berikutnya kejang yang hebat dan tubuh menjadi kaku.

4. Tuberculosis (TBC)
Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa disebut juga
batuk darah. Penularannya melalui pernafasan lewat bersin atau batuk
Gejala awal: lemah badan, penurunan berat badan, demam, dan keluar
keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya: batuk terus-menerus, nyeri
dada dan (mungkin) batuk darah. Gejala lain: tergantung pada organ yang
diserang
5. Campak
Penyakit yang disebabkan oleh virus myxovirus viridae measles.
Penularannya melalui udara (percikan ludah) dari bersin atau batuk
penderita. Gejala awal: demam, bercak kemerahan, batuk, pilek,
konjunctivitis (mata merah) dan koplik spots. Selanjutnya timbul ruam pada
muka dan leher, kemudian menyebar ke tubuh dan tangan serta kaki
6. Poliomielitis
Penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus polio tipe 1,
2, atau 3. Secara klinis menyerang anak di bawah umur 15 tahun dan
menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis = AFP). Penularannya
melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Gejala yang ada
biasanya demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama.
7. Hepatitis B
Penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati
(penyakit kuning). Penularan secara horizontal: dari darah dan produknya,
suntikan yang tidak aman, transfusi darah, melalui hubungan seksual
Penularan secara vertical: dari ibu ke bayi selama proses persalinan. Gejala
yang ada biasanya merasa lemah, gangguan perut. Gejala lain seperti flu,
urin menjadi kuning, kotoran menjadi pucat dan warna kuning bisa terlihat
pada mata ataupun kulit
8. Hemofilus Influenza Tipe B
Salah satu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi dibeberapa organ,
seperti meningitis, epiglotitis, pneumonia, artritis, dan selulitis. Banyak
menyerang anak di bawah usia 5 tahun, terutama pada usia 6 bulan–1 tahun.
Penularannya droplet melalui nasofaring. Gejala yang ada biasanya pada
selaput otak akan timbul gejala menigitis (demam, kaku kuduk, kehilangan
kesadaran), pada paru menyebabkan pneumonia (demam, sesak, retraksi
otot pernafasan), terkadang menimbulkan gejala sisa berupa kerusakan alat
pendengaran
9. Human Papiloma Virus (HPV)
Virus yang menyerang kulit dan membran mukosa manusia dan hewan.
Penularan melalui hubungan kulit ke kulit, HPV menular dengan mudah.
Beberapa menyebabkan kutil, sedangkan lainnya dapat menyebabkan
infeksi yang menimbulkan munculnya lesi, ca servik juga disebabkan oleh
virus HPV melalui hubungan seks.
10. Hepatitis A
Suatu penyakit yang disebabkan oleh virus disebarkan oleh kotoran/ tinja
penderita; Penularan biasanya melalui makanan (fecaloral). Gejala yang ada
biasanya • Kelelahan, mual dan muntah, nyeri perut atau rasa tidak nyaman,
terutama di daerah hati, kehilangan nafsu makan, demam, urin berwarna
gelap, nyeri otot, menguningnya kulit dan mata

C. JENIS-JENIS IMUNISASI
a. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah
dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh
memproduksi antibodi sendiri. Imunisasi aktif merupakan pemberian zat
sebagai antigen yang diharapkan akan terjadi suatu proses infeksi buatan
sehingga tubuh mengalami reaksi imunologi spesifik yang akan
menghasilkan respon seluler dan humoral serta dihasilkannya sel memori,
sehingga apabila benar-benar terjadi infeksi maka tubuh secara cepat dapat
merespon. Vaksin diberikan dengan cara disuntikkan atau per oral/ melalui
mulut. Terhadap pemberian vaksin tersebut, maka tubuh membuat zat-zat
anti terhadap penyakit bersangkutan (oleh karena itu dinamakan imunisasi
aktif, kadar zat-zat dapat diukur dengan pemeriksaan darah) dan oleh
sebab itu menjadi imun terhadap penyakit tersebut. Jenis imunisasi aktif
antara lain vaksin BCG, vaksin DPT (difteri-pertusis-tetanus), vaksin
poliomielitis, vaksin campak, vaksin typs (typus abdominalis), toxoid
tetanus dan lain-lain.
Namun hanya lima imunisasi (BCG, DPT, Polio, Hepatitis B, Campak)
yang menjadi Program Imunisasi Nasional yang dikenal sebagai Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) atau extended program on immunization
(EPI) yang dilaksanakan sejak tahun 1977. PPI merupakan program
pemerintah dalam bidang imunisasi untuk mencapai komitmen
internasional yaitu Universal Child Immunization.
b. Imunisasi pasif
Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien, dimaksudkan
untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus memproduksi
sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya. Antibodi yang
ditujukan untuk upaya pencegahan atau pengobatan terhadap infeksi, baik
untuk infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme kerja antibodi terhadap
infeksi bakteri melalui netralisasi toksin, opsonisasi, atau bakteriolisis.
Kerja antibodi terhadap infeksi virus melalui netralisasi virus, pencegahan
masuknya virus ke dalam sel dan promosi sel natural-killer untuk melawan
virus. Dengan demikian pemberian antibodi akan menimbulkan efek
proteksi segera. Tetapi karena tidak melibatkan sel memori dalam sistem
imunitas tubuh, proteksinya bersifat sementara selama antibodi masih aktif
di dalam tubuh resipien, dan perlindungannya singkat karena tubuh tidak
membentuk memori terhadap patogen/ antigen spesifiknya.

D. JENIS VAKSIN
1. Vaksin hidup attenuated

Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau


bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih
memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan
menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.Vaksin hidup dibuat
dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit.Virus atau bakteri liar ini
dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan
berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi
untuk mengubah virus liar campak menjadi viru svaksin dibutuhkan 10 tahun
dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial
dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela,


polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).

Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral

2. Vaksin inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus
dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan
penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).
 Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak
dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan
saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.
 Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya
padadosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya
memacuatau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul
setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang
mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi
alami,respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral,
hanyasedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi
terhadapantigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.
 Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap
penyakitmasih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin
bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling
banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons
terhadapkomponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :
o Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio,
rabies,hepatitis A.
o Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera,
lepra.
o Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B,
influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
o Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
o Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan
haemophilus influenzae tipe b.
o Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan
pneumokokus ).

E. IMUNISASI DASAR
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
(Ditjen P2P) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, cakupan imunisasi
dasar bagi bayi usia 0-11 bulan pada tahun 2017 mencapai 92,04% (dengan target
nasional 92%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa program imunisasi telah
mencapai target, namun dengan catatan terjadi penambahan kantong dengan
cakupan dibawah 80% dan cakupan antara 80-91,5%.

1. Imunisasi TB
Tuberkulosis merupakan penyakit yang sudah muncul sejak bertahun-
tahun yang lalu. Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis. Pemberian
BCG merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit ini. Bacille
Calmette- Guerin (BCG) adalah vaksin galur Mycobacterium bovis yang
dilemahkan, sehingga didapat basil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG pertama kali digunakan pada tahun
1921 dan merupakan salah satu vaksin yang penggunaannya paling luas. Rata-
rata sekitar 80% bayi dan anak-anak di negara yang menggalakkan imunisasi
akan mendapatkan vaksin ini.
Selain sebagai upaya pencegahan infeksi primer penyakit tuberkulosis,
vaksin BCG ini sebenarnya diberikan untuk menurunkan resiko tuberkulosis
berat seperti tuberkulosis meningitis dan tuberkulosis milier.

Vaksin BCG biasa diberikan pada umur ≤ 2 bulan. Namun dapat juga
diberikan pada umur 0-12 bulan untuk mendapat cakupan imunisasi yang lebih
luas. Vaksin BCG sebaiknya diberikan pada anak dengan tes mantoux
negative. Vaksin ini diberikan pada daerah deltoid kanan sehingga apabila
terjadi limfadenitis (aksila) mudah terdeteksi. Untuk menjaga kualitasnya,
vaksin ini harus disimpan pada suhu 2- 8 derajat celcius dan tidak boleh
terkena matahari. Efek proteksi dari BCG timbul 8- 12 minggu setelah
penyuntikan dengan presentasi proteksi bervariasi. BCG ulangan tidak
dianjurkan oleh karena manfaatnya diragukan mengingat efektivitas
perlindungan hanya 40%, 70% kasus TB berat ternyata mempunyai parut
BCG, kasus dewasa dengan BTA + di Indonesia cukup tinggi walaupun sudah
mendapat pada masa anak-anak.

Efek samping penyuntikan BCG secara intradermal akan menimbulkan


ulkus lokal yang superficial 3 minggu setelah penyuntikan. Ulkus yang pada
akhirnya akan meninggalkan parut dengan diameter 4-8 mm akan sembuh
dalam waktu 2-3 bulan. Ukuran ulkus yang terbentuk tergantung pada dosis
yang diberikan. Komplikasi yang sering terjadi antara lain eritema nodosum,
iritis, lupus vulgaris, dan osteomielitis.

Kontraindikasi pemberian vaksin BCG antara lain: reaksi uji tuberkulin

>5mm, sedang menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais akibat kortikostroid, dll, gizi buruk, sedang menderita demam
tinggi, menderita infeksi kulit yang luas, pernah sakit TB, kehamilan

2. Hepatitis B
Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati. Penyebabnya
bermacam- macam, salah satunya adalah virus hepatitis B yang menyebabkan
penyakit hepatitis B. Hepatitis B umumnya asimptomatik, namun seringkali
menjadi kronis. Infeksi hepatitis B juga dapat menimbulkan kanker serta sirosis
hati. Kematian akibat infeksi hepatitis B mencapai sekurang-kurangnya 1
juta/tahun. Sampai saat ini terapi untuk hepatitis B masih kurang memuaskan
sehingga upaya pencegahan, terutama melalui imunisasi, sangat diperlukan.

Vaksin hepatitis B telah dikenal sejak tahun 1982. Vaksin ini mengandung
30- 40 µg protein HBs Ag (antigen virus hepatitis B). Imunisasi hepatitis B
untuk anak balita diberikan sebanyak 3 kali, yaitu segera setelah lahir, usia 1
bulan, dan diantara usia 3-6 bulan. Imunisasi disuntikkan di paha secara
intramuskular dalam. Kejadian ikutan pasca imunisasi hepatitis B biasanya
berupa reaksi lokal yang ringan dan segera menghilang. Dapat juga timbul
demam ringan selama 1-2 hari.
Efektivitas vaksin mencapai 90-95% dalam mencegah timbulnya penyakit
hepatitis B. Pertahanan akan bertahan sampai minimal 12 tahun setelah
imunisasi

3. Imunisasi Polio
Penyakit polio atau poliomielitis merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus polio. Penyakit ini menyerang susunan saraf pusat dan dapat
menyebabkan kelumpuhan. Masa inkubasi virus biasanya 8-12 hari, tetapi
dapat juga berkisar dari 5-35 hari. Sekitar 90-95% kasus infeksi polio tidak
menimbulkan gejala ataupun kelainan.

Saat ini terdapat 2 jenis vaksin polio yaitu oral polio vaccine (OPV) dan
inactivated polio vaccine (IPV). Vaksin polio oral/ oral polio vaccine (OPV)
berisi virus polio hidup tipe 1, 2, dan 3 yang dilemahkan (attenuated). Vaksin
ini merupakan jenis vaksin polio yang digunakan secara rutin. Virus dalam
vaksin akan masuk ke saluran pencernaan kemudian ke darah. Virus akan
memicu pembentukan antibodi sirkulasi maupun antibodi lokal di epitel usus.
Inactivated polio vaccine (IPV) berisi virus polio tipe 1, 2, dan 3 yang
diinaktivasi dengan formaldehid. Dalam vaksin ini juga terdapat neomisin,
streptomisin, dan polimiksin B. Vaksin diberikan dengan cara suntikan
subkutan. Vaksin akan memberikan imunitas jangka panjang (mukosa maupun
humoral) terhadap 3 tipe virus polio, namun imunitas mukosa yang
ditimbulkan lebih rendah dari vaksin polio oral.

Di Indonesia, vaksin polio yang digunakan adalah vaksin polio oral


(OPV). Menurut rekomendasi IDAI, vaksin polio diberikan sebanyak 6 kali:
saat bayi dipulangkan dari rumah sakit atau pada kunjungan pertama (polio-0),
pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 18 bulan, 5 tahun dan 12 tahun.
Efek samping dari vaksin atau yang biasa dikenal dengan kejadian ikutan
pasca imunisasi (KIPI) polio antara lain pusing, diare ringan, dan nyeri otot.
Efek samping yang paling ditakutkan yaitu vaccine associated polio paralytic
(VAPP). VAPP terjadi pada kira-kira 1 kasus per 1 juta dosis pertama
penggunaan OPV dan setiap 2,5 juta dosis OPV lengkap yang diberikan. Pada
pemberian OPV, virus akan bereplikasi pada usus manusia. Pada saat replikasi
tersebut, dapat terjadi mutasi sehingga virus yang sudah dilemahkan kembali
menjadi neurovirulen dan dapat menyebabkan lumpuh layu akut.

Kontraindikasi pemberian vaksin polio antara lain anak dalam keadaan


penyakit akut, demam (> 38oC), muntah atau diare berat, sedang dalam
pengobatan imunosupresi oral maupun suntikan termasuk pengobatan radiasi
umum, memiliki keganasan yang berhubungan dengan retikuloendotelial dan
yang mekanisme imunologisnya terganggu, infeksi HIV, dan hipersensitif
terhadap antibiotik dalam vaksin. Anak yang kontak dengan saudar atau
anggota keluarga dengan imunosupresi juga tidak boleh diberikan vaksinasi
polio.

4. Imunisasi DTP
Vaksin DTP mengandung toksoid difteri, toksoid tetanus dan vaksin
pertusis. Dengan demikian vaksin ini memberi perlindungan terhadap 3
penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus. Penyakit difteri dan
tetanus disebabkan oleh toksin dari bakteri. Oleh karena itu, dalam upaya
pencegahannya (imunisasi) hanya diberikan toksoid yaitu toksin bakteri yang
dimodifikasi sehingga tidak bersifat toksik namun dapat menstimulasi
pembentukan anti-toksin. Sementara penyakit pertusis, walaupun juga
melibatkan toksin dalam patogenesisnya, memiliki antigen-antigen lain yang
berperan dalam timbulnya gejala penyakit, sehingga upaya pencegahannya
diberikan dalam bentuk vaksin.

Difteri merupakan suatu penyakit akut yang disebabkan oleh toksin dari
kuman Corynebacterium diphteriae. Anak dapat terinfeksi kuman difteria pada
nasofaringnya. Gejala yang timbul antara lain: sakit tenggorokan dan demam.
Kemudian akan timbul kelemahan dan sesak napas akibat obstruksi pada
saluran napas sehingga perlu dilakukan intubasi atau trakeotomi. Dapat pula
timbul komplikasi berupa miokarditis, neuritis, trombositopenia dan
proteinuria.

Pertusis atau batuk rejan atau batuk seratus hari disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertussis. Sebelum ditemukannya vaksin pertusis, penyakit ini
merupakan penyakit tersering yang menyerang anak-anak dan merupakan
penyebab utama kematian. Kuman Bordetella pertussis akan menghasilkan
beberapa antigen, yaitu toksin pertusis, filamen hemaglutinin, aglutinogen
fimbriae, adenil siklase, endotoksin, dan sitotoksin trakea. Gejala utama pada
pertusis yaitu terjadinya batuk paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri
dengan bunyi whoop. Serangan batuk sedemikian berat sehingga dapat
menyebabkan pasien muntah, sianosis, lemas dan kejang.

Tetanus merupakan penyakit akut yang disebabkan toksin dari bakteri


Clostridium tetani. Seseorang dapat terinfeksi tetanus apabila terdapat luka
yang memungkinkan bakteri ini hidup di sekitar luka tersebut dan
memproduksi toksinnya. Toksin tersebut selanjutnya akan menempel pada
saraf di sekitar daerah luka dan mempengaruhi pelepasan neurotransmitter
inhibitor yang berakibat kontraksi serta spastisitas otot yang tidak terkontrol,
kejang-kejang dan gangguan saraf otonom. Kematian dapat terjadi akibat
gangguan pada mekanisme pernapasan.
Vaksin DTP dibedakan menjadi 2, yaitu DTwP dan DtaP berdasarkan
perbedaan pada vaksin Tetanus. DTwP (Difteri Tetanus whole cell Pertusis)
mengandung suspensi kuman B. Pertussis yang telah mati, sedangkan DTaP
(Difteri Tetanus acellular Pertusis) tidak mengandung seluruh komponen
kuman B. Pertussis melainkan hanya beberapa komponen yang berguna dalam
patogenesis dan memicu pembentukan antibodi. Vaksin DTaP mempunyai
efek samping yang lebih ringan dibandingkan vaksin DTwP.
Vaksin DTP diberikan saat anak berumur 2, 4 dan 6 bulan, setelah itu
dilanjutkan dengan pemberian vaksin kembali saat anak berumur 18 bulan, 5
tahun dan 12 tahun.

5. Imunisasi Campak
Campak merupakan penyakit menular dan bersifat akut yang disebabkan
oleh virus campak. Penyakit ini menular lewat udara melalui sistem
pernafasan dan biasanya virus tersebut akan berkembang biak pada sel-sel di
bagian belakang kerongkongan maupun pada sel di paru-paru dan
menyebabkan gejala-gejala seperti demam, malaise, kemerahan pada mata,
radang saluran nafas bagian atas serta timbul bintik kemerahan yang dimulai
dari batas rambut di belakang telinga, kemudian berangsur-angsur menyebar
di daerah wajah, leher, tangan dan seluruh badan. Cara penularan penyakit ini
dapat melalui droplet penderita campak pada stadium awal yang mengandung
paramyxovirus dan kontak langsung dengan penderita maupun benda-benda
yang terkontaminasi paramyxovirus.

Untuk mencegah tertularnya penyakit campak maka seseorang perlu


diberikan vaksin campak, yang sebenarnya adalah strain dari virus campak
yang telah dilemahkan. Vaksin campak mulai digunakan pada tahun 1963 dan
dikembangkan lagi pada tahun 1968. Kombinasi vaksin campak-gondongan-
rubella (MMR) dimulai diterapkan pada tahun 1971 dan pada tahun 2005 telah
dikembangkan lagi kombinasi vaksin campak-gondongan-rubella-varicella
(MMRV).
Pemberian vaksin campak dianjurkan 2 kali untuk mengurangi
kemungkinan terkena campak, pemberian pertama memberikan 95-98%
imunitas terhadap campak dan diberikan pada umur 12-15 bulan. Pemberian
kedua memberikan 99% imunitas terhadap campak dan dapat diberikan kapan
saja asalkan berjarak lebih dari 4 minggu dari pemberian pertama, pada anak-
anak biasanya diberikan saat anak berumur 4-6 tahun. Imunisasi campak
dilakukan dengan menggunakan alat suntik sekali pakai untuk menghindari
penularan penyakit seperti HIV/AIDS dan Hepatitis B, dengan cara
disuntikkan secara subkutan maupun intramuskular.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang dapat terjadi setelah


pemberian vaksin campak antara lain demam > 39,50C, ruam, emsefalitis, dan
ensefalopati pasca imunisasi. Reaksi KIPI ini telah menurun sejak
digunakannya vaksin campak yang dilemahkan.
Vaksin campak tidak boleh diberikan pada orang yang sedang mengalami
demam tinggi, dalam pengobatan imunosupresi, hamil, memiliki riwayat
alergi, sedang dalam pengobatan dengan imunoglobulin atau bahan-bahan
komponen darah

F. IMUNISASI LANJUTAN
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menjamin
terjaganya tingkat imunitas pada anak baduta, anak usia sekolah, dan wanita usia
subur (WUS) termasuk ibu hamil. Angka cakupan nasional imunisasi lanjutan
DPT-HB-Hib pada tahun 2017 mencapai 63,4% (target 45%) dan campak 62,7%.
Pada kurun waktu tahun 2014-2016, terdapat 1.716.659 anak yang belum
mendapat imunisasi dan imunisasinya tidak lengkap. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar 2013, beberapa alasan yang menyebabkan bayi tidak mendapat imunisasi
diantaranya; takut panas, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh,
sibuk, sering sakit, tidak tahu tempat imunisasi. Oleh sebab itu, pemberian
imunisasi universal bagi seluruh anak tanpa kecuali masih merupakan tantangan
bagi seluruh pihak yang terlibat dalam upaya promosi kesehatan; baik pemerintah,
organisasi profesi, LSM, mitra swasta, masyarakat, dan lainnya.
Vaksin DPT-HB-Hib terbukti aman dan memiliki efikasi yang tinggi,
tingkat kekebalan yang protektif akan terbentuk pada bayi yang sudah
mendapatkan tiga dosis Imunisasi DPTHB-Hib.Walau Vaksin sangat efektif
melindungi kematian dari penyakit difteri, secara keseluruhan efektivitas
melindungi gejala penyakit hanya berkisar 70-90 %. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa titer antibodi yang terbentuk setelah dosis pertama <0.01
IU/mL dan setelah dosis kedua berkisar 0.05-0.08 IU/mL dan setelah 3 dosis
menjadi 1,5 -1,7 IU/mL dan menurun pada usia 15-18 bulan menjadi 0.03 IU/mL
sehingga dibutuhkan booster. Setelah booster diberikan didapatkan titer antibodi
yang tinggi sebesar 6,7 – 10.3 IU/mL. Hasil serologi yang didapat pada anak yang
diberikan DPTHB-Hib pada usia 18-24 bulan berdasarkan penelitian di Jakarta
dan Bandung (Rusmil et al,2014) diketahui Anti D 99.7 %, Anti T 100 %, HbSAg
99.5%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Imunisasi DPT harus
diberikan 3 kali dan tambahan pada usia 15-18 bulan untuk meningkatkan titer
anti bodi pada anak-anak. Penyakit lain yang membutuhkan pemberian Imunisasi
lanjutan pada usia baduta adalah campak. Penyakit campak adalah penyakit yang
sangat mudah menular dan mengakibatkan komplikasi yang berat. Vaksin campak
memiliki efikasi kurang lebih 85%, sehingga masih terdapat anak-anak yang
belum memiliki kekebalan dan menjadi kelompok rentan terhadap penyakit
campak.

Jenis Interval minimal setelah Imunisasi


Umur Imunisasi dasar
DPT-HB-Hib 12 bulan dari DPT-HB-Hib 3
18 Bulan
Campak 6 bulan dari Campak dosis pertama

Catatan:
 Pemberian Imunisasi lanjutan pada baduta DPT-HB-Hib dan Campak
dapat diberikan dalam rentang usia 18-24 bulan
 Baduta yang telah lengkap Imunisasi dasar dan mendapatkan Imunisasi
lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai status Imunisasi T3.

Hasil serologi Campak sebelum dilakukan Imunisasi campak pada anak sekolah
dasar diketahui titer antibodi terhadap campak adalah 52,60% – 65,56%. Setelah
Imunisasi campak pada BIAS diketahui titer antibodi meningkat menjadi 96.69%
- 96.75% (SRH, 2009). Hasil serologi Difteri sebelum dilakukan Imunisasi difteri
pada anak sekolah dasar diketahui titer antibodi adalah 20.13% – 29,96% setelah
Imunisasi difteri pada BIAS diketahui titer antibodi meningkat menjadi 92.01% -
98.11%.

Vaksin lanjutan usia anak sd


Catatan • Anak usia sekolah dasar yang telah lengkap Imunisasi dasar dan
Imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib serta mendapatkan Imunisasi DT dan Td
dinyatakan mempunyai status Imunisasi T5.

Imunisasi Tambahan
a. Backlog fighting Merupakan upaya aktif di tingkat Puskesmas untuk
melengkapi Imunisasi dasar pada anak yang berumur di bawah tiga tahun.
Kegiatan ini diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa yang selama dua
tahun berturut-turut tidak mencapai UCI.
b. Crash program Kegiatan ini dilaksanakan di tingkat Puskesmas yang
ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat untuk
mencegah terjadinya KLB. Kriteria pemilihan daerah yang akan dilakukan
crash program adalah: 1) Angka kematian bayi akibat PD3I tinggi; 2)
Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang; dan 3) Desa yang selama tiga
tahun berturut-turut tidak mencapai UCI. Crash program bisa dilakukan
untuk satu atau lebih jenis Imunisasi, misalnya campak, atau campak
terpadu dengan polio.
c. Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Merupakan kegiatan Imunisasi massal
yang dilaksanakan secara serentak di suatu negara dalam waktu yang
singkat. PIN bertujuan untuk memutuskan mata rantai penyebaran suatu
penyakit dan meningkatkan herd immunity (misalnya polio, campak, atau
Imunisasi lainnya). Imunisasi yang diberikan pada PIN diberikan tanpa
memandang status Imunisasi sebelumnya.
d. Cath Up Campaign (Kampanye) Merupakan kegiatan Imunisasi Tambahan
massal yang dilaksanakan serentak pada sasaran kelompok umur dan
wilayah tertentu dalam upaya memutuskan transmisi penularan agent
(virus atau bakteri) penyebab PD3I. Kegiatan ini biasa dilaksanakan pada
awal pelaksanaan kebijakan pemberian Imunisasi, seperti pelaksanaan
jadwal pemberian Imunisasi baru
e. Sub PIN Merupakan kegiatan serupa dengan PIN tetapi dilaksanakan pada
wilayah terbatas (beberapa provinsi atau kabupaten/kota).
f. Imunisasi dalam Penanggulangan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI) Pedoman pelaksanaan Imunisasi dalam penanganan
KLB disesuaikan dengan situasi epidemiologis penyakit masingmasing

G. IMUNISASI KHUSUS
a. Imunisasi Meningitis Meningokokus
1) Meningitis meningokokus adalah penyakit akut radang selaput otak
yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis.
2) Meningitis merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian di seluruh dunia. Case fatality rate-nya melebihi 50%, tetapi
dengan diagnosis dini, terapi modern dan suportif, case fatality rate
menjadi 5-15%.
3) Pencegahan dapat dilakukan dengan Imunisasi dan profilaksis untuk
orang-orang yang kontak dengan penderita meningitis dan carrier.
4) Imunisasi meningitis meningokokus diberikan kepada masyarakat
yang akan melakukan perjalanan ke negara endemis meningitis, yang
belum mendapatkan Imunisasi meningitis atau sudah habis masa
berlakunya (masa berlaku 2 tahun).
5) Pemberian Imunisasi meningitis meningokokus diberikan minimal 30
(tiga puluh) hari sebelum keberangkatan. Setelah divaksinasi, orang
tersebut diberi ICV yang mencantumkan tanggal pemberian Imunisasi.
6) Bila Imunisasi diberikan kurang dari 14 (empat belas) hari sejak
keberangkatan ke negara yang endemis meningitis atau ditemukan
adanya kontraindikasi terhadap Vaksin meningitis, maka harus
diberikan profilaksis dengan antimikroba yang sensitif terhadap
Neisseria Meningitidis.
7) Bagi yang datang atau melewati negara terjangkit meningitis harus
bisa menunjukkan sertifikat vaksin (ICV) yang masih berlaku sebagai
bukti bahwa mereka telah mendapat Imunisasi meningitis.
8) Imunisasi Yellow Fever (Demam Kuning)
 Demam kuning adalah penyakit infeksi virus akut dengan durasi
pendek masa inkubasi 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) hari
dengan tingkat mortalitas yang bervariasi. Disebabkan oleh virus
demam kuning dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae, vektor
perantaranya adalah nyamuk Aedes aegypti.
 Icterus sedang kadang ditemukan pada awal penyakit. Setelah
remisi singkat selama beberapa jam hingga 1 (satu) hari, beberapa
kasus berkembang menjadi stadium intoksikasi yang lebih berat
ditandai dengan gejala perdarahan seperti epistaksis (mimisan),
perdarahan ginggiva, hematemesis (muntah seperti warna air kopi
atau hitam), melena, gagal ginjal dan hati, 20%-50% kasus ikterus
berakibat fatal.
 Secara keseluruhan mortalitas kasus di kalangan penduduk asli di
daerah endemis sekitar 5% tapi dapat mencapai 20% - 40% pada
wabah tertentu.
 Pencegahan dapat dilakukan dengan Imunisasi demam kuning
yang akan memberikan kekebalan efektif bagi semua orang yang
akan melakukan perjalanan berasal dari negara atau ke
negara/daerah endemis demam kuning.
 Vaksin demam kuning efektif memberikan perlindungan 99%.
Antibodi terbentuk 7-10 hari sesudah Imunisasi dan bertahan
seumur hidup.
 Semua orang yang melakukan perjalanan, berasal dari negara atau
ke negara yang dinyatakan endemis demam kuning (data negara
endemis dikeluarkan oleh WHO yang selalu di update) kecuali
bayi di bawah 9 (sembilan) bulan dan ibu hamil trimester pertama
harus diberikan Imunisasi demam kuning, dan dibuktikan dengan
International Certificate of Vaccination (ICV).
 Bagi yang datang atau melewati negara terjangkit demam kuning
harus bisa menunjukkan sertifikat vaksin (ICV) yang masih
berlaku sebagai bukti bahwa mereka telah mendapat Imunisasi
demam kuning. Bila ternyata belum bisa menunjukkan ICV
(belum diImunisasi), maka terhadap mereka harus dilakukan
isolasi selama 6 (enam) hari, dilindungi dari gigitan nyamuk
sebelum diijinkan melanjutkan perjalanan mereka. Demikian juga
mereka yang surat vaksin demam kuningnya belum berlaku,
diisolasi sampai ICVnya berlaku.
 Pemberian Imunisasi demam kuning kepada orang yang akan
menuju negara endemis demam kuning selambatlambatnya 10
(sepuluh) hari sebelum berangkat, bagi yang belum pernah
diImunisasi. Setelah divaksinasi, diberi ICV dan tanggal
pemberian vaksin dan yang bersangkutan setelah itu harus
menandatangani di ICV. Bagi yang belum dapat melakukan tanda
tangan (anak-anak), maka yang menandatanganinya orang tua
yang mendampingi bepergian.

9) Imunisasi Rabies
 Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan
suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies yang ditularkan oleh anjing, kucing
dan kera.
 Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan
dan manusia selalu diakhiri dengan kematian, sehingga
mengakibatkan timbulnya rasa cemas dan takut bagi orang-orang
yang terkena gigitan dan kekhawatiran serta keresahan bagi
masyarakat pada umumnya. Vaksin rabies dapat mencegah
kematian pada manusia bila diberikan secara dini pasca gigitan.
 Vaksin anti rabies (VAR) manusia diberikan kepada seluruh
kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) yang berindikasi,
sehingga kemungkinan kematian akibat rabies dapat dicegah.

10) Imunisasi Polio


 Polio adalah penyakit lumpuh layu yang disebabkan oleh virus
Polio liar yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian
 Pencegahan dapat dilakukan dengan Imunisasi untuk orang-orang
yang kontak dengan penderita polio dan carrier.
 Imunisasi Polio diberikan kepada orang yang belum mendapat
Imunisasi dasar lengkap pada bayi atau tidak bisa menunjukkan
catatan Imunisasi/buku KIA, yang akan melakukan perjalanan ke
negara endemis atau terjangkit polio. Imunisasi diberikan minimal
14 (empat belas) hari sebelum keberangkatan, dan dicatatkan
dalam sertifikat vaksin (International Certificate of Vaccination).
 Bagi yang datang dari negara endemis atau terjangkit polio atau
transit lebih dari 4 minggu di negara endemis polio harus bisa
menunjukkan sertifikat vaksin (International Certificate of
Vaccination) yang masih berlaku sebagai bukti bahwa mereka
telah mendapat Imunisasi polio.

H. Imunisasi Pilihan
Imunisasi pilihan adalah Imunisasi lain yang tidak termasuk dalam Imunisasi
program, namun dapat diberikan pada bayi, anak, dan dewasa sesuai dengan
kebutuhannya dan pelaksanaannya juga dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
berkompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Beberapa vaksin yang digunakan dalam pelaksanaan Imunisasi Pilihan saat ini
adalah;

1. Vaksin Measles, Mumps, Rubela


Rekomendasi : Vaksin MMR diberikan pada usia 15-18 bulan dengan
minimal interval 6 bulan antara imunisasi campak dengan MMR.  MMR
diberikan minimal 1 bulan sebelum atau sesudah penyuntikan imunisasi
lain. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada usia 12-
18 bulan dan diulang pada usia 6 tahun, imunisasi campak (monovalen)
tambahan pada usia 6 tahun tidak perlu lagi diberikan. Bila imunisasi
ulangan (booster) belum diberikan setelah berusia 6 tahun, berikan vaksin
campak/MMR kapan saja saat bertemu. Pada prinsipnya, berikan imunisai
campak 2 kali atau MMR 2 kali.

Kontra Indikasi
• Penyakit keganasan yang tidak diobati, gangguan imunitas, mendapat
pengobatan dengan imunosupresif / terapi sinar / mendapat steroid dosis
tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgBB/hari prednisolon)
• Alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas,
hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin
• Ditunda pada anak dengan demam akut
• Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin
virus hidup) dalam waktu 4 minggu.

2. Vaksin Tifoid
Rekomendasi: Vaksin Polisakarida Parenteral diberikan untuk anak usia ≥ 2
tahun.
Kontra Indikasi:
1) Alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin.
2) Pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif
Dosis dan Jadwal:
• Dosis 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan pada daerah
deltoid atau paha
• Imunisasi ulangan tiap 3 tahun
• Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, walaupun telah mendapatkan
Imunisasi tetap dianjurkan untuk memilih makanan dan minuman yang
higienis

3. Vaksin Varisella
Rekomendasi: 1).Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik
pada usia sebelum masuk sekolah dasar. Vaksin diberikan mulai umur masuk
sekolah 5 tahun 2). Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan 2
dosis dengan interval minimal 4 minggu. 3). Vaksin varisela (cacar air)
diberikan pada usia >1 tahun, sebanyak 1 kali. Apabila terlambat, berikan
kapan pun saat pasien datang, karena imunisasi ini bisa diberikan sampai
dewasa.
Kontra Indikasi: Demam tinggi, hitung limfosit kurang dari 1200/μl atau
adanya bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan induksi
penyakit keganasan atau fase radioterapi, pasien yang mendapat pengobatan
dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari atau lebih) ,alergi neomisin
Dosis dan Jadwal: Dosis 0,5 ml suntikan secara subkutan, dosis tunggal

4. Vaksin Hepatitis A
Rekomendasi:  Populasi risiko tinggi tertular Virus Hepatitis A (VHA), Anak
usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis, Pasien Penyakit Hati Kronis,
berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA, Kelompok lain:
pengunjung ke daerah endemis; penjamah makanan; dan sebagainya.
KontraIndikasi:Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang
mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama
Dosis dan Jadwal:Vaksin diberikan 2 kali, suntikan kedua atau booster
bervariasi antara 6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, Vaksin diberikan
pada usia ≥ 2 tahun
5. Vaksin Influenza
Indikasi: vaksin direkomendasikan untuk pencegahan terhadap penyakit yang
ditimbulkan oleh virus influenza pada orang yang berisiko tinggi.
Rekomendasi: Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit
ginjal dan kelemahan sistem imun, Anak dan dewasa yang menderita penyakit
metabolik kronis, termasuk diabetes, penyakit disfungsi ginjal
hemoglobinopati dan imunodefisiensi
Kontra Indikasi : Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap
pemberian vaksin influenza sebelumnya, Pada kasus demam tinggi, kejang-
kejang, atau infeksi akut
Jadwal dan Dosis
• Untuk anak usia 6-36 bulan: 0,25 ml
• Untuk anak usia 36 atau lebih: 0,5 ml
• Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza pada usia ≤ 9
tahun, vaksin diberikan 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu,
kemudian Imunisasi diulang setiap tahun. >9 tahun, maka dosis pertama
cukup 1 dosisi saja
• IM pada otot deltoid (dewasa & anak) Paha anterolateral (bayi)

6. Vaksin Pnemokokus
Vaksin pneumokokus (atau PCV : Pneumococcal Conjugate Vaccine) adalah
vaksin berisi protein konjugasi yang bertujuan mencegah penyakit akibat
infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae. Vaksin ini ditujukan untuk mereka
yang memiliki risiko tinggi terserang bakteri pneumokokus. Penyakit ini dapat
menyerang anak usia kurang dari 5 tahun dan usia di atas 50 tahun.
Terdapat kelompok lain yang memiliki resiko tinggi terserang pneumokokus
(meskipun dari segi usia bukan risiko tinggi), yaitu anak dengan penyakit
jantung bawaan, HIV, thalassemia, dan anak dengan keganasan yang sedang
mendapatkan  kemoterapi serta kondisi medis lain yang menyebabkan
kekebalan tubuh berkurang.
7. Vaksin Rotavirus
Angka kejadian kematian diare masih tinggi di Indonesia dan untuk mencegah
diare karena rotavirus, digunakan vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus yang
beredar di Indonesia saat ini ada 2 macam.
Vaksin monovalent oral
Diberikan sebanyak 3 dosis: pemberian pertama pada usia 6-14 minggu dan
pemberian ke-2 setelah 4-8 minggu kemudian, dan dosisi ke-3 maksimal pada
usia 8 bulan.
Vaksin pentavalent oral
Diberikan 2 dosis: dosis pertama diberikan pada usia 10 minggu dan dosis
kedua pada usia 14 minggu (maksimal pada usia 6 bulan).

8. Vaksin Japanese Encephalitis


Vaksin JE yang digunakan merupakan virus hidup yang dilemahkan.
Organisasi Kesehatan Dunia  merekomendasikan pemberian dosis tunggal
vaksin JE di area endemis. Untuk anak yang berumur 1–3 tahun dosis yang
diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama.
Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
berikutnya. Vaksin JE direkomendasikan untuk wisatawan yang akan tinggal
selama lebih dari 1 bulan di daerah endemis.

9. Vaksin Human Papiloma Virus (HPV)


Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
yang berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat dua jenis vaksin HPV yaitu:
Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18)
Vaksin tetravalen (tipe 6, 11, 16 dan 18)
Vaksin HPV mempunyai efikasi 96–98% untuk mencegah kanker leher rahim
yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18.
Rekomendasi:
Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan sejak usia 10
tahun.
Dosis dan Jadwal:
1)  Dosis 0,5 ml, diberikan secara intra muskular pada daerah deltoid
2)  Vaksin HPV bivalen, diberikan tiga kali dengan jadwal pemberian 0,1 dan
6 bulan
3)  Vaksin HPV tetravalen, dengan jadwal pemberian 0, 2, dan 6 bulan.
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis
dengan interval 6-12 bulan.

10. Vaksin Dengue


Vaksin Dengue dapat diberikan pada anak usia 9-16 tahun sebanyak 3 kali
dengan jarak pemberian 6 bulan. Pemberian vaksin juga dapat dimulai kapan
saja sejak anak berusia 9 hingga 16 tahun.
Dosis: Vaksin Dengue terdiri dari powder dan pelarut, setiap dosis 0,5ML
diberikan secara subkutan pada lengan.
Kontra Indikasi : Riwayat efek samping yang berat pada penyuntikan dosis
pertama.

I. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa
reaksi vaksin, reaksi suntikan, efek farmakologis, kesalahan prosedur, koinsiden
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
KIPI serius merupakan kejadian medis setelah imunisasi yang tak diinginkan yang
menyebabkan rawat inap atau perpanjangan rawat inap, kecacatan yang menetap
atau signifikan dan kematian, serta menimbulkan keresahan di masyarakat.

Penyebab KIPI
a. Kesalahan Prosedur (Program)/Teknik Pelaksanaan(Programmatic Error)
Sebagian besar KIPI berhubungan dengan kesalahan prosedur yang
meliputi kesalahan prosedur penyimpanan, pengeloalaan dan tata laksana
pemberian vaksin.
Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur
imunisasi. Misalnya, dosis antigen (terlalu banyak), lokasi dan cara
penyuntikan, sterilisasi syringe dan jarum suntik, jarum bekas pakai,
tindakan aseptik dan antiseptik, kontaminasi vaksin dan peralatan suntik,
penyimpanan vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut
vaksin, tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian,
indikasi kontra, dan lain-lain). (Akib, 2011)

b. Reaksi Suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik, baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung,meliputi rasa sakit, bengkak, dan kemerahan pada
tempat suntikan. Adapun reaksi tidak langsung, meliputi rasa takut,
pusing, mual, sampai sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan
kandungan yang terdapat pada vaksin, yang sering terjadi pada vaksinasi
massal. Pencegahan reaksi KIPI akibat reaksi suntikan bisa dilakukan
dengan menerapkan teknik penyuntikan yang benar, membuat suasana
tempat penyuntikan yang tenang dan mengatasi rasa takut pada anak.

c. Induksi Vaksin (Reaksi Vaksin)


Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang dan secara
klinis biasanya ringan. Walaupun demikian, dapat saja terjadi gejala klinis
hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian.
Pencegahan terhadap reaksi vaksin, di antaranya perhatikan indikasi
kontra, tidak memberikan vaksin hidup kepada anak defisiensi imunitas,
ajari orangtua menangani reaksi vaksin yang ringan dan anjurkan untuk
segera kembali apabila ada reaksi yang mencemaskan (paracetamol dapat
diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala demam dan rasa nyeri),
kenali dan atasi reaksi anafilaksis, siapkan rujukan ke rumah sakit dengan
fasilitas lengkap.

d. Faktor Kebetulan (Koinsiden)


Salah satu indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya
kejadian yang sama pada saat bersamaan pada kelompok populasi
setempat dengan karakteristik serupa, tetapi tidak mendapat imunisasi.

e. Penyebab Tidak Diketahui


Apabila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat
dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara
dimasukkan ke dalam kelompok ini. Biasanya, dengan kelengkapan
informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.
Seperti jadwal imunisasi 2017, mencantumkan warna berbeda untuk imunisasi
yang diberikan.
 Kolom hijau menandakan imunisasi optimal, yaitu imunisasi diberikan
sesuai usia yang dianjurkan.
 Kolom kuning menandakan imunisasi kejar (catch-up immunization), yaitu
imunisasi yang diberikan di luar waktu yang direkomendasikan.
 Kolom biru menandakan imunisasi penguat atau booster.
 Kolom warna merah muda menandakan imunisasi yang direkomendasikan
untuk daerah endemis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Akib P.A., Purwanti A. 2011. Kejadian Ikutan pasca Imunisasi (KIPI)


Adverse Events Following Imumunization (AEFI). Dalam Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Edisi keempat. Penyunting: Ranuh Gde, Suyitno H,
Hadinegoro S.R.S, Kartasasmita C.B, Ismoedijanto dkk. Jakarta: IDAI.
2. Depkes RI. 2009. Imunisasi Dasar Bagi Pelaksana Imunisasi di UPK Swasta.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
3. Kemenkes RI. 2013. Peraturan Pemerintah Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi
4. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/seputar-pekan-imunisasi-dunia-
2018
5. Sari Pediatri Volume 18 Nomor 5 Tahun 2017. Jadwal Imunisasi Anak Usia 0
– 18 Tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 2017.

Anda mungkin juga menyukai