Anda di halaman 1dari 485

Panduan Praktik Klinis

Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer


Edisi I

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indon


PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA

PENGURUS BESAR
IKATAN DOKTER INDONESIA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.


Editor: Tim editor PB IDI
Hak Cipta © 2017

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia


(indonesian medica association)

Alamat : Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat,


Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10350
Telepon : (021) 3150679
Email : pbidi@idionline.org
Website : idionline.org

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara
elektronik maupun cetak termasuk memfotokopi, merekam maupun menggunakan teknik lainnya
tanpa seizin tertulis dari penerbit.

Cetakan II, 2017

ISBN :
K ANGGOTA IKATAN DOKTER INDONESIA TIDAK DIPE
Kata Sambutan
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Assalamualaikum Wr Wb,

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
buku yang berisi panduan untuk menjadi pedoman dokter untuk
melakukan praktik dapat diterbitkan. Buku berjudul “Panduan
Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer”
memuat berbagai jenis keterampilan klinis untuk dilaksanakan
oleh seluruh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer dalam
upaya kesembuhan pasien dengan menghadirkan pelayanan
kedokteran terbaik.

Dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dokter berkewajiban


mengikuti standar pelayanan kedokteran. Oleh karena itu
diperlukan panduan bagi dokter untuk melakukan praktik tersebut.
PB IDI memandang perlu untuk menyusun panduan yang merupakan standar playanan
dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Penyusunan Buku ini merupakan kerjasama Kementerian Kesehatan RI bersama


Pengurus Besar IDI dengan melibatkan pihak pihak yang terkait dengan substansi
ketrampilan klinis sesuai dengan keahliannya. Penyusunan buku ini mempertimbangkan
acuan yang sebelumnya sudah ada, sehingga sejalan dengan pedoman yang telah
diterbitkan oleh masing-masing perhimpunan.

Dengan penerbitan buku ini diharapkan maka setiap dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini sebagai acuan dalam memberikan
pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Mengingat pesatnya perkembangan dunia
kedokteran, kami mengharapkan seluruh pihak dapat bersama sama senantiasa dapat
memperbaharui buku panduan ini mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.

Waasalamualaikum Wr Wb,

Ketua Umum,

Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT i


PERTAMA
PENGURUS BESAR
IKATAN DOKTER INDONESIA
Jl. Dr. G.S.S.Y. Ratulangie No. 29 Jakarta 10350 Telp. 021-3150679 - 3900277 Fax. 3900473
Email : (PB IDI) : pbidi@idionline.org, (MKKI) : majeliskolegiumkedokteran_ind@yahoo.com,
(MKEK) : mkek@idonline.org; (MPPK) : mppk@idionline.org
Website : www.idionline.org

Masa Bakti : 2012 - 2015 SURAT KEPUTUSAN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
NO. 1530/PB/A.4/12/2014
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
Ketua Umum :
Dr. Zaenal Abidin, MH
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA


Ketua Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) : Menimbang : 1. Bahwa dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dokter
Dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad
berkewajiban mengikuti standar pelayanan kedokteran.
2. Bahwa diperlukan panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan
Ketua Majelis Kolegium kesehatan primer dalam melakukan praktik klinis.
Kedokteran Indonesia (MKKI) : 3. Bahwa Ikatan Dokter Indonesia telah menyelesaikan
Prof. Dr. Errol U. Hutagalung, Sp.B, Sp.OT (K)
penyusunan panduan praktik klinis yang merupakan standar
pelayanan dalam meningkatkan mutu kesehatan di fasilitas
Ketua Majelis Pengembangan pelayanan kesehatan primer.
Pelayanan Keprofesian (MPPK) : 4. Bahwa panduan sebagaimana tersebut pada butir 3 diatas
Dr. Pranawa, Sp.PD-KGH
perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan.

Wakil Ketua Umum /


Mengingat : 1. Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Ketua Terpilih : 2. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Prof. Dr. I. Oetama Marsis,Sp.OG
Kedokteran.
3. Anggaran Dasar IDI Bab III Pasal 7 dan 8
Ketua Purna :
4. Anggaran Rumah Tangga IDI pasal 21 dan 23
Dr. Prijo Sidipratomo,Sp.Rad 5. Ketetapan Muktamar Dokter Indonesia XXVIII No. 16/MDI
XXVIII/11/2012 tanggal 23 November 2012
6. Surat Keputusan PB IDI No. 317/PB/A.4/2013 tanggal 15 April
Sekretaris Jenderal : 2013.
Dr. Daeng M Faqih,MH

MEMUTUSKAN :
Bendahara Umum : Menetapkan
Dr. Dyah A Waluyo
Pertama : Mengesahkan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Pelayanan
Primer
Kedua : Dengan disahkannya panduan ini maka setiap dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini
sebagai acuan dalam memberikan pelayanan kedokteran
kepada masyarakat
ketiga : Panduan ini senantiasa dapat diperbaharui mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran
keempat : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila
dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapannya akan
diperbaiki sesuai keperluannya.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 8 Desember 2014

Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,

Dr. Zaenal Abidin, MH Dr. Daeng M Faqih, MH


NPA. IDI : 42.557 NPA. IDI : 44.016
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015
TENTANG
PANDUAN KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pelayanan kedokteran di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama harus dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasional
yang disusun dalam bentuk panduan praktik klinis oleh fasilitas
pelayanan kesehatan;
b. bahwa untuk memberikan acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam
menyusun standar prosedur operasional perlu mengesahkan panduan
praktis klinis yang disusun oleh organisasi profesi;
c. bahwa pengaturan panduan praktik klinis yang telah ditetapkan melalui
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer perlu
disesuaikan dengan perkembangan hukum dan ilmu kedokteran;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan
tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang
Rekam Medik;

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT iii
PERTAMA
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/Menkes/Per/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 464);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang
Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 671);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 122);
9. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 342);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TANTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS


BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA.

KESATU : Mengesahkan dan memberlakukan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di


Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat Pertama.
KEDUA : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama, yang selanjutnya disebut PPK Dokter merupakan pedoman bagi
dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama baik milik Pemerintah maupun masyarakat yang
berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya,
KETIGA : Pandauan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
Menteri ini.
KEEMPAT : Dalam melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan PPK Dokter
sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA, diperlukan keterampilan
klinis sesuai dengan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KELIMA : PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA dan Pandaun
Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KEEMPAT harus dijadikan acuan dalam penyusunan standar prosedur
operasional di setiap fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
KEENAM : Kepatuhan terhadap PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KETIGA dan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KEEMPAT bertujuan memberikan pelayanan kesehatan
dengan upaya terbaik.
KETUJUH : Modifikasi terhadap pelaksanaan PPK Dokter dapat dilakukan oleh dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama hanya berdasarkan keadaan
tertentu untuk kepentingan pasien.
KEDELAPAN : Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH meliputi
keadaan khusus pasien, kedaruratan, keterbatasan sumber daya, dan
perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi berbasis bukti (evidance based).
KESEMBILAN : Penatalaksanaan pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus
menggunakan obat yang tercantum dalam Formularium Nasional.
KESEPULUH : Meneteri Kesehatan, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan PPK Dokter dengan melibatkan
organisasi profesi.
KESEBELAS : Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KEDUABELAS : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

ttd

NILA FARID MOELOEK

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT v


PERTAMA
Catatan Penting

1. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter Pelayanan Primer ini memuat penatalaksanaan untuk
dilaksanakan oleh seluruh dokter pelayanan primer serta pemberian pelayanan kesehatan
dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan primer tetapi tidak menjamin keberhasilan
upaya atau kesembuhan pasien.
2. Panduan ini disusun berdasarkan data klinis untuk kasus individu berdasarkan referensi terbaru
yang ditemukan tim penyusun, dan dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah.
3. Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus. Setiap dokter
bertanggung jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan
diagnostik, dan pengobatan yang tersedia.
4. Modifikasi terhadap panduan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter atas dasar keadaan yang
memaksa untuk kepentingan pasien, antara lain keadaaan khusus pasien, kedaruratan, dan
keterbatasan sumber daya. Modifikasi tersebut harus tercantum dalam rekam medis.
5. Dokter pelayanan primer wajib merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain yang memiliki sarana
prasarana yang dibutuhkan bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak tersedia, meskipun
penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit tingkat kemampuan 4.
6. PPK Dokter Pelayanan Primer tidak memuat seluruh teori tentang penyakit, sehingga sangat
disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut dengan menggunakan referensi
yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Walaupun tidak menjadi standar pelayanan, skrining terhadap risiko penyakit merupakan tugas
dokter pelayanan primer.
Tim Penyusun
Ment
Pengarah eri
Keseh
atan
Repub
lik
Indon
esia
Direkt
ur
Jende
ral
Bina
Upaya
Keseh
atan
Direkt
ur
Jende
ral
Bina
Upaya
Keseh
atan
Dasar
Pengarah IDI
Ketua Umum
Pengurus Besar
Ikatan Dokter
Indonesia Prof.
Dr. I Oetama
Marsis, SpOG
Pr
of
.
D
r.
H
as
b
ul
la
h
T
h
a
br
a
n
y,
M
P
H.
D
R.
P
H
D
r.
D
a
e
n
g

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT vii
PERTAMA
M d
i
F p
a a
q
i A
h n
, d
M i
.
H A
l
Tim f
Editor i
F a
i n
k
a Z
a
E i
k n
a u
y d
a d
n i
t n
i
D
I a
k e
a n
g
H
a M
r
i F
y a
a q
n i
i h
D
J h
o a
k n
o a
s
H a
e r
n i
d
a V
r i
t d
o i
M a
a w
h a
e t
s i
a
T
P r
a i
r s
a n
n a
a

viii PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA
D lian DM & PM, Kemenkes
y RI Armein Sjuhary Rowi -
a Dinkes Kota Bogor
h Aryono Hendarto –
Kolegium Ilmu Kesehatan
A Anak Indonesia Diatri
Nari Lastri - PP PERDOSSI
W Di
a n
l a
u n
y B
o a
gj
H a
e N
r u
q gr
u a
t h
a a
n -
t Di
o n
k
Narasum e
ber s
Amir K
Syarif a
– b.
Kolegi G
um ar
Dokte ut
r Dj
Prime at
r m
Indon ik
esia o
A -
r Di
i n
e k
e
H s
a K
m a
z b
a u
h p
at
- e
n
S G
u ro
b b
d o
i g
t a
n
P E
e k
n a
g Gi
e n
n a
d nj
a ar

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT ix


PERTAMA
- s RI Esty Handayani
PKM- Teluk Tiram
P Banjarmasin
B Fikry Hamdan Yasin -
Kolegium Ilmu Kesehatan
P THT-KL Indonesia Gerald
A Mario Semen - Direktorat
P Bina Kesehatan Jiwa,
D Kemenkes RI Hadiyah
I Melanie - Direktorat Bina
E Kesehatan Ibu, Kemenkes
k RI Hanny Nilasari - PP
a PERDOSKI
Hariadi Wisnu
S Wardana - Subdit
u AIDS & PMS,
l Kemenkes RI Eni
i Gustina -
s Direktorat Bina
t Kesehatan
i Anak,Kemenkes
a RI Ilham Oetama
n Marsis-PB IDI
y Kiki Lukman – Kolegium Ilmu Bedah Indonesia
Lily Banonah Rivai - Subdit
- Pengendalian PJPD, Dit PPTM,
Kemenkes RI M.Sidik – Perdami
S Muhammad
u Amin –
b Kolegium
d Pulmonologi
i Indonesia
t Nurdadi
Saleh - PB
T POGI
u Syahri
b al M
e Hutau
r ruk -
k PP
u PERH
l ATI-KL
o Syams
s ulhadi
i –
s Kolegi
um
D Psikiat
i ri
t Indon
j esia
e Syams
n unaha
r - IDI
P Caban
2 g Kota
P Bogor
L Sylviana Andinisaric -
, Subdit Pengendalian DM
& PM, Kemenkes RI Tjut
K Nurul Alam Jacoeb - PP
e PERDOSKI
m Widia Tri
e Susanti - PKM
n Taman Bacaan
k Palembang
e Wiwiek Wibawa

x PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


PERTAMA
– n Ilmu Kedokteran Respirasi
Worowijat - Subdit Pengendalian
P Malaria Ditjen P2PL, Kemenkes RI
K Yetti Armagustini - Dinkes Kota Palembang
M Yoan Hotnida Naomi - Subdit Pengendalian Penyakit Jantung
& Pembuluh Darah, Kemenkes
G
o Tim Kontributor
d A
o l
n f
g i
i
I
N
G u
r r
o
b H
o a
g r
a a
n h
W a
i p
w
i A
e l
n f
u
H u
e
r N
u u
r
W
i H
y a
o r
n a
o h
a
- p

K A
o n
l d
e i
g
i A
u l
m f
i
P a
u n
l
m Z
o a
n i
o n
l u
o d
g d
i i
n
d
a

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT xi


PERTAMA
Tim Penyusun

Balqis
Darwis Hartono
Dhanasari Vidiawati Trisna
Duta Liana
Dwiana Ocviyanti
Eka Laksmi
Exsenveny Lalopua
Fika Ekayanti
Hani Nilasari
Ira Susanti Haryoso
Joko Hendarto
Oktarina
Prasenohadi
Retno Asti Werdhani
Simon Salim
Susi Oktowati
Trisna
Ulul Albab
Wahyudi Istiono
Imelda Datau
Judilherry Justam
Monika Saraswati Sitepu
Novana Perdana Putri
R. Prihandjojo Andri Putranto
Siti Pariani
Slamet Budiarto
Tim Penunjang
Adi Pamungkas
Dien Kuswardani
Era Renjana
Ernawati Octavia
Esty Wahyuningsih
Heti Yuriani
Husin Maulachelah
I.G.A.M Bramantha Yogeswara
Inten Lestari
Leslie Nur Rahmani
Mina Febriani
Mohammad Sulaeman
Nia Kurniawati
Raisa Resmitasari
Rizky Rahayuningsih
Uud Cahyono
Syrojuddin Hadi Imron
Tim Revisi 2014
Andi Alfian Zainuddin
Apriani Oendari
Asturi Putri
Adi Pamungkas
Bulkis Natsir
Darwis Hartono
Ika Hariyani
Joko Hendarto
Monika Saraswati Sitepu
Novana Perdana Putri
Salinah
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas Rahmat-Nya Buku Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi 1 dikeluarkan oleh IDI dapat yang
dicetak dan disebarluaskan kepada seluruh anggotanya. Buku ini telah direvisi, yang awalnya terdiri
dari 155 daftar penyakit pada PMK no 5 tahun 2014, menjadi 177 penyakit pada KMK HK.02.02/
Menkes/514/2015.
Penyusunan buku ini diawali dari rapat yang diselenggarakan oleh Subdit Bina Pelayanan
Kedokteran Keluarga, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada bulan
Mei 2014 bersama dengan pengurus PB IDI. Buku ini adalah bagian pertama dari 4 rangkaian tema
yang ingin disusun bersama, yaitu:
1. Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
2. Buku Panduan Penatalaksanaan Klinis dengan Pendekatan Simptom di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer
3. Buku Panduan Keterampilan Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
4. Buku Pedoman Pelayanan bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
Keempat tema ini merupakan acuan standar bagi pelayanan kesehatan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer ini disusun
berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, di mana dari 736 daftar penyakit
terdapat 144 penyakit dengan tingkat kemampuan 4 yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis,
melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas, 261 penyakit (164 penyakit tingkat
kemampuan 3A dan 97 penyakit tingkat kemampuan 3B) dengan tingkat kemampuan 3 yaitu lulusan
dokter harus mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk pada kasus gawat
darurat maupun bukan gawat darurat, 261 penyakit dengan tingkat kemampuan 2 yaitu lulusan
dokter harus mampu mendiagnosis dan merujuk serta 70 penyakit dengan tingkat kemampuan 1
yaitu lulusan dokter harus mampu mengenali dan menjelaskan selanjutnya menentukan rujukan
yang tepat. Selain daftar penyakit tersebut, terdapat 275 keterampilan klinik yang juga harus dikuasai
oleh lulusan program studi dokter.
Dalam buku panduan ini, memuat 177 daftar penyakit. Daftar tersebut terdiri dari beberapa
penggabungan penjabaran penyakit, yang sebenarnya di dalam SKDI mewakili 193 daftar penyakit,
terdiri dari 135 penyakit dengan tingkat kemampuan 4A, 34 penyakit dengan tingkat kemampuan 3B,
21 penyakit dengan kemampuan 3B dan 3 penyakit dengan tingkat kemampuan 2.
Pemilihan penyakit berdasarkan prevalensi cukup tinggi, mempunyai risiko tinggi dan membutuhkan
pembiayaan tinggi serta usulan dari perhimpunan dokter spesialis. Dalam penyusunannya, dikoordinir
oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia yang melibatkan dua perhimpunan dokter pelayanan
primer (PDPP) yaitu Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Perhimpunan Dokter
Umum Indonesia (PDUI). Dalam proses review tim penyusun melibatkan perhimpunan dokter spesialis
yang terkait dengan daftar penyakit.
Buku ini dipandang perlu untuk memandu para praktisi kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer terutama dokter dalam menjalankan praktik kedokteran yang baik agar mampu melayani
masyarakat sesuai prosedur. Selain itu, diharapkan terciptanya kendali mutu dan kendali biaya
sehingga efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kesehatan dapat dicapai yang berujung pada
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Dalam penerapan buku ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan yang
terdiri dari Kementerian Kesehatan RI sebagai regulator hingga organisasi profesi dokter dan tenaga
kesehatan lainnya untuk membina dan mengawasi guna mewujudkan mutu pelayanan yang terbaik
bagi masyarakat.
Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi seluruh pihak yang berperan aktif dalam
penyusunan buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
Indonesia.

Tim Penulis

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT ix


PERTAMA
Daftar isi

BAB I : PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 3
C. Sasaran 3
D. Ruang Lingkup 4
E. Cara Memahami Panduan Praktik Klinis 4
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH & PENYAKIT7
A. KELOMPOK UMUM 7
1. Tuberkulosis (TB) Paru 7
2. TB dengan HIV 15
3. Morbili 17
4. Varisela 19
5. Malaria 21
6. Leptospirosis 23
7. Filariasis 25
8. Infeksi pada Umbilikus 29
9. Kandidiasis Mulut 30
10. Lepra 31
11. Keracunan Makanan 37
12. Alergi Makanan 39
13. Syok 40
14. Reaksi Anafilaktik 44
15. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue 47
B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN 52
1. Anemia Defisiensi Besi 52
2. HIV/AIDS tanpa Komplikasi 54
3. Lupus Eritematosus Sistemik 58
4. Limfadenitis 62
C. DIGESTIVE 64
1. Ulkus Mulut (Aftosa, Herpes 64
2. Refluks Gastroesofageal 67
3. Gastritis 69
4. Intoleransi Makanan 70
5. Malabsorbsi Makanan 71
6. Demam Tifoid 73
7. Gastroenteritis (Kolera dan Giardiasis) 78
8. Disentri Basiler dan Disentri Amuba 85
9. Perdarahan Gastrointestinal 87
10. Hemoroid Grade 1-2 90
11. Hepatitis A 92
DAFTAR ISI

12. Hepatitis B 94
13. Kolesistisis 96
14. Apendisitis Akut 97
15. Peritonitis 100
16. Parotitis 101
17. Askariasis (Infeksi Cacing Gelang) 103
18. Ankilostomiasis (Infeksi Cacing Tambang) 105
19. Skistosomiasis 107
20. Taeniasis 110
21. Strongiloidasis 111
D. MATA 114
1. Mata Kering/Dry Eye 114
2. Buta Senja 116
3. Hordeolum 117
4. Konjungtivitis 118
5. Blefaritis 120
6. Perdarahan Subkonjungtiva 121
7. Benda Asing di Konjungtiva 123
8. Astigmatisme 124
9. Hipermetropia 125
10. Miopia Ringan 126
11. Presbiopia 127
12. Katarak pada Pasien Dewasa 129
13. Glaukoma Akut 130
14. Glaukoma Kronis 132
15. Trikiasis 133
16. Episkleritis 135
17. Trauma Kimia Mata 137
18. Laserasi Kelopak Mata 138
19. Hifema 140
20. Retinopati Diabetik 141
E. TELINGA 143
1. Otitis Eksterna 143
2. Otitis Media Akut 145
3. Otitis Media Supuratif Kronik 147
4. Benda Asing di Telinga 149
5. Serumen Prop 150
F. KARDIOVASKULER 152
1. Angina Pektoris Stabil 152
2. Infark Miokard 155

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


PERTAMA
xi
3. Takikardia 157
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik 159
5. Cardiorespiratory Arrest 161
6. Hipertensi Esensial 162
G. MUSKULOSKELETAL 166
1. Fraktur Terbuka 166
2. Fraktur Tertutup 168
3. Polimialgia Reumatik 169
4. Artritis Reumatoid 170
5. Artritis, Osteoartritis 174
6. Vulnus 175
7. Lipoma 178
H. NEUROLOGI 179
1. Tension Headache 179
2. Migren 182
3. Vertigo 185
4. Tetanus 190
5. Rabies 194
6. Malaria Serebral 197
7. Epilepsi 199
8. Transient Ischemic Attack (TIA) 204
9. Stroke 207
10. Bell’s Palsy 210
11. Status Epileptikus 215
12. Delirium 216
13. Kejang Demam 218
14. Tetanus Neonatorum 221
I. PSIKIATRI 224
1. Gangguan Somatoform 224
2. Demensia 228
3. Insomnia 230
4. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi 231
5. Gangguan Psikotik 234
J. RESPIRASI 237
1. Influenza 237
2. Faringitis Akut 239
3. Laringitis Akut 242
4. Tonsilitis Akut 245
5. Bronkitis Akut 248
6. Asma Bronkial (Asma Stabil) 251
DAFTAR ISI

7. Status Asmatikus (Asma Akut Berat) 258


8. Pneumonia Aspirasi 261
9. Pneumonia, Bronkopneumonia 262
10. Pneumotoraks 268
11. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) 269
12. Epistaksis 273
13. Benda Asing di Hidung 276
14. Furunkel pada Hidung 278
15. Rinitis Akut 279
16. Rinitis Vasomotor 282
17. Rinitis Alergik 284
18. Sinusitis (Rinosinusitis) 286
K. KULIT 291
1. Miliaria 291
2. Veruka Vulgaris 293
3. Herpes Zoster 294
4. Herpes Simpleks 296
5. Moluskum Kontagiosum 299
6. Reaksi Gigitan Serangga 300
7. Skabies 302
8. Pedikulosis Kapitis 304
9. Pedikulosis Pubis 306
10. Dermatofitosis 308
11. Pitiriasis Versikolor/Tinea Versikolor 310
12. Pioderma 312
13. Erisipelas 314
14. Dermatitis Seboroik 316
15. Dermatitis Atopik 318
16. Dermatitis Numularis 321
17. Liken Simpleks Kronik (Neurodermatitis Sirkumsripta) 323
18. Dermatitis Kontak Alergik 325
19. Dermatitis Kontak Iritan 327
20. Napkin Eczema (Dermatitis Popok) 330
21. Dermatitis Perioral 332
22. Pitiriasis Rosea 334
23. Eritrasma 335
24. Skrofuloderma 337
25. Hidradenitis Supuratif 338
26. Akne Vulgaris Ringan 341
27. Urtikaria 344

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


PERTAMA
xiii
28. Exanthematous Drug Eruption 347
29. Fixed Drug Eruption 348
30. Cutaneus Larva Migrans 350
31. Luka Bakar Derajat I dan II 352
32. Ulkus pada Tungkai 354
33. Sindrom Stevens-Johnson 357
L METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI 360
1. Obesitas 360
2. Tirotoksikosis 362
3. Diabetes Mellitus Tipe 2 364
4. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik 358
5. Hipoglikemia 370
6. Hiperurisemia-Gout Arthritis 372
7. Dislipidemia 374
8. Malnutrisi Energi Protein (MEP) 377
M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH 380
1. Infeksi Saluran Kemih 380
2. Pielonefritis Tanpa Komplikasi 382
3. Fimosis 385
4. Parafimosis 386
N. KESEHATAN WANITA 388
1. Kehamilan Normal 388
2. Hiperemesis Gravidarum (Mual dan Muntah pada Kehamilan) 393
3. Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan 396
4. Pre-Eklampsia 398
5. Eklampsi 401
6. Abortus 403
7. Ketuban Pecah Dini (KPD) 407
8. Persalinan Lama 409
9. Perdarahan Post Partum/Perdarahan Pascasalin 412
10. Ruptur Perineum Tingkat 1-2 417
11. Mastitis 422
12. Inverted Nipple 424
13. Cracked Nipple 426
O. PENYAKIT KELAMIN 428
1. Fluor Albus/Vaginal Discharge Non Gonore 428
2. Sifilis 431
3. Gonore 436
4. Vaginitis 438
5. Vulvitis 440
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Terwujudnya kondisi kesehatan masyarakat yang baik
adalah tugas dan tanggung jawab dari negara sebagai
bentuk amanah Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanaannya negara
berkewajiban menjaga mutu pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan
yang berkualitas. Untuk mewujudkan tenaga kesehatan
yang berkualitas, negara sangat membutuhkan peran
organisasi profesi tenaga kesehatan yang memiliki peran
menjaga kompetensi anggotanya.

Bagi tenaga kesehatan dokter, Ikatan Dokter Indonesia yang


mendapat amanah untuk menyusun standar profesi bagi
seluruh anggotanya, dimulai dari standar etik (Kode Etik
Kedokteran Indonesia – KODEKI), standar kompetensi
yang merupakan standar minimal yang harus dikuasasi
oleh setiap dokter ketika selesai menempuh pendidikan
kedokteran, kemudian disusul oleh Standar Pelayanan
Kedokteran yang harus dikuasai ketika berada di lokasi
pelayanannya, terdiri atas Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional.

Standar Pelayanan Kedokteran merupakan


implementasi dalam praktek yang mengacu pada
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang telah
diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi
Dokter Indonesia. Dalam rangka penjaminan mutu
pelayanan, dokter wajib mengikuti kegiatan Pendidikan
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) dalam
naungan IDI.

Tingkat kemampuan dokter dalam pengelolaan penyakit


di dalam SKDI dikelompokan menjadi 4 tingkatan, yakni :
tingkat kemampuan 1, tingkat kemampuan 2, tingkat
kemampuan 3A, tingkat kemampuan 3B, dan tingkat
kemampuan 4A serta tingkat kemampuan 4B

Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan

Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan


gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara yang
paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan
rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter
juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 1


PERTAMA
rujukan. melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

Tingkat Tingkat Kemampuan 3A : Bukan gawat darurat


Kemampuan 2:
mendiagnosis dan Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
merujuk memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
Lulusan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
dokter pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
membuat
diagnosis
klinik
terhadap
penyakit
tersebut
dan
menentuka
n rujukan
yang paling
tepat bagi
penanganan
pasien
selanjutnya.
Lulusan
dokter juga
mampu
menindakla
njuti
sesudah
kembali dari
rujukan.

Ting

kat

Ke

ma

mp

uan

3 :

me

ndia

gno

sis,

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


PERTAMA
BAB I : PENDAHULUAN

Tingkat Kemampuan 3B : Gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 4 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara m mandiri dan tuntas.

Tingkat Kemampuan 4A : Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

Tingkat Kemampuan 4B : Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/
atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, dari 736 daftar penyakit terdapat
144 penyakit yang harus dikuasai penuh oleh para lulusan karena diharapkan dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan
secara mandiri dan tuntas. Selain itu terdapat 275 keterampilan klinik yang juga harus dikuasai
oleh lulusan program studi dokter. Selain 144 dari 726 penyakit, terdapat 261 penyakit yang
harus dikuasai lulusan untuk dapat mendiagnosisnya sebelum kemudian merujuknya, baik
merujuk dalam keadaaan gawat darurat maupun bukan gawat darurat.

Kondisi saat ini, kasus rujukan ke pelayanan kesehatan sekunder untuk kasus-kasus yang
seharusnya dapat dituntaskan di fasilitas pelayanan tingkat pertama masih cukup tinggi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya kompetensi dokter, pembiayaan, dan sarana
prasarana yang belum mendukung. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar penyakit dengan
kasus terbanyak di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010 termasuk dalam kriteria
4A.

Dengan menekankan pada tingkat kemampuan 4, maka dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama dapat melaksanakan diagnosis dan menatalaksana penyakit dengan tuntas.
Namun bila pada pasien telah terjadi komplikasi, adanya penyakit kronis lain yang sulit dan
pasien dengan daya tahan tubuh menurun, yang seluruhnya membutuhkan penanganan lebih
lanjut, maka dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama secara cepat dan tepat
harus membuat pertimbangan dan memutuskan dilakukannya rujukan.

Melihat kondisi ini, diperlukan adanya panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama yang merupakan bagian dari standar pelayanan kedokteran. Panduan ini
selanjutnya menjadi acuan bagi seluruh dokter di fasilitas pelayanan tingkat pertama dalam
menerapkan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat.

Panduan ini diharapkan dapat membantu dokter untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan
sekaligus menurunkan angka rujukan dengan cara :
1. Memberi pelayanan sesuai bukti sahih terkini yang cocok dengan kondisi pasien, keluarga
dan masyarakatnya
2. Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar pelayanan
3. Meningkatkan mawas diri untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
profesional sesuai dengan kebutuhan pasien dan lingkungan
4. Mempertajam kemampuan sebagai gate keeper pelayanan kedokteran dengan menapis
penyakit dalam tahap dini untuk dapat melakukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat
sebagaimana mestinya layanan tingkat pertama

Panduan Praktik Klinis (PPK) bagi Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
ini memuat penatalaksanaan penyakit untuk dilaksanakan oleh seluruh dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Penyusunan panduan ini berdasarkan data klinis
untuk kasus individu yang mengacu pada referensi terbaru yang ditemukan tim penyusun, dan
dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah. Panduan ini tidak memuat seluruh teori
tentang penyakit, maka sangat disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut
dengan menggunakan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus, tetapi
merupakan pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik. Setiap dokter bertanggung
jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan diagnostik
dan pengobatan yang tersedia. Dokter harus merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain
yang memiliki sarana prasarana yang dibutuhkan, bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak
tersedia, meskipun penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit dengan tingkat
kemampuan dokter menangani dengan tuntas dan mandiri (tingkat kemampuan 4). Penilaian
terhadap ketepatan rujukan harus dinilai kasus per kasus, dan tidak dapat didasarkan hanya pada
kode diagnosa penyakit. Walaupun tidak dicantumkan dalam panduan ini, skrining terhadap
risiko penyakit merupakan tugas dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

B. TUJUAN

Dengan menggunakan panduan ini diharapkan, dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dapat

1. mewujudkan pelayanan kedokteran yang sadar mutu sadar biaya yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
2. memiliki pedoman baku minimum dengan mengutamakan upaya maksimal sesuai
kompetensi dan fasilitas yang ada
3. memiliki tolok ukur dalam melaksanakan jaminan mutu pelayanan

C. SASARAN

Sasaran buku Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
ini adalah seluruh dokter yang memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Fasilitas pelayanan kesehatan tidak terbatas pada fasilitas milik pemerintah, tetapi
juga fasilitas pelayanan swasta.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 3


PERTAMA
D. RUANG LINGKUP

PPK ini meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit yang dijumpai di layanan
tingkat pertama. Jenis penyakit mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penyakit dalam Pedoman ini
adalah penyakit dengan tingkat kemampuan dokter 4A, 3B dan 3A terpilih, dimana dokter
diharapkan mampu mendiagnosis, memberikan penatalaksanaan dan rujukan yang sesuai.
Beberapa penyakit yang merupakan kemampuan 2, dimasukkan dalam pedoman ini dengan
pertimbangan prevalensinya yang cukup tinggi di Indonesia. Pemilihan penyakit pada PPK ini
berdasarkan kriteria:

1. Penyakit yang prevalensinya cukup tinggi


2. Penyakit dengan risiko tinggi
3. Penyakit yang membutuhkan pembiayaan tinggi

Dalam penerapan PPK ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan
untuk membina dan mengawasi penerapan standar pelayanan yang baik guna mewujudkan
mutu pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Adapun stakeholder kesehatan yang berperan
dalam penerapan standar pelayanan ini adalah :
1. Kementerian Kesehatan, sebagai regulator di sektor kesehatan.
Mengeluarkan kebijakan nasional dan peraturan terkait guna mendukung penerapan
pelayanan sesuai standar. Selain dari itu, dengan upaya pemerataan fasilitas dan kualitas
pelayanan diharapkan standar ini dapat diterapkan di seluruh Indonesia.
2. Ikatan Dokter Indonesia, sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter.
Termasuk di dalamnya peranan IDI Cabang dan IDI Wilayah, serta perhimpunan dokter
layanan primer dan spesialis terkait. Pembinaan dan pengawasan dalam aspek profesi
termasuk di dalamnya standar etik menjadi ujung tombak penerapan standar yang terbaik.
3. Dinas Kesehatan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagai penanggungjawab
urusan kesehatan pada tingkat daerah.
4. Organisasi profesi kesehatan lainnya seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI),
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) serta organisasi
profesi kesehatan lainnya. Keberadaan tenaga kesehatan lain sangat mendukung
terwujudnya pelayanan kesehatan terpadu.
5. Sinergi seluruh pemangku kebijakan kesehatan menjadi kunci keberhasilan penerapan
standar pelayanan medik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

E. CARA MEMAHAMI PANDUAN PRAKTIK KLINIS

Panduan ini memuat pengelolaan penyakit mulai dari penjelasan hingga penatalaksanaan
penyakit tersebut. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter di Fasilitas Pelayanan Tingkat Pertama
disusun berdasarkan pedoman yang berlaku secara global yang dirumuskan oleh organisasi
profesi dan di sahkan oleh Menteri Kesehatan.
1) Judul Penyakit
Judul penyakit berdasarkan daftar penyakit terpilih di SKDI 2012, namun beberapa penyakit
dengan karakterisitik yang hampir sama dikelompokkan menjadi satu judul penyakit.
Pada setiap judul penyakit dilengkapi :
1. Kode penyakit
a. Kode International Classification of Primary Care (ICPC), menggunakan kode ICPC-
2 untuk diagnosis.
b. Kode International Classification of Diseases (ICD), menggunakan kode ICD-10
versi 10.
Penggunaan kode penyakit untuk pencatatan dan pelaporan di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama mengacu pada ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.

2. Tingkat kemampuan dokter dalam penatalaksanaan penyakit berdasarkan Peraturan


Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Standar Kompetensi
Dokter Indonesia.
2) Masalah Kesehatan
Masalah kesehatan berisi pengertian singkat serta prevalensi penyakit di Indonesia.
Substansi dari bagian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan awal serta gambaran
kondisi yang mengarah kepada penegakan diagnosis penyakit tersebut.
3) Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Anamnesis berisi keluhan utama maupun keluhan penyerta yang sering disampaikan
oleh pasien atau keluarga pasien. Penelusuran riwayat penyakit yang diderita saat
ini, penyakit lainnya yang merupakan faktor risiko, riwayat keluarga, riwayat sosial, dan
riwayat alergi menjadi informasi lainnya pada bagian ini. Pada beberapa penyakit, bagian
ini memuat informasi spesifik yang harus diperoleh dokter dari pasien atau keluarga pasien
untuk menguatkan diagnosis penyakit.
4) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Bagian ini berisi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang spesifik,
mengarah kepada diagnosis penyakit (pathognomonis). Meskipun tidak memuat rangkaian
pemeriksaan fisik lainnya, pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh tetap
harus dilakukan oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk
memastikan diagnosis serta menyingkirkan diagnosis banding.
5) Penegakan Diagnosis (Assesment)
Bagian ini berisi diagnosis yang sebagian besar dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Beberapa penyakit membutuhkan hasil pemeriksaan penunjang untuk
memastikan diagnosis atau karena telah menjadi standar algoritma penegakkan diagnosis.
Selain itu, bagian ini juga memuat klasifikasi penyakit, diagnosis banding, dan komplikasi
penyakit.
6) Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Bagian ini berisi sistematika rencana penatalaksanaan berorientasi pada pasien (patient
centered) yang terbagi atas dua bagian yaitu penatalaksanaan non farmakologi dan
farmakologi. Selain itu, bagian ini juga berisi edukasi dan konseling terhadap pasien dan
keluarga (family focus), aspek komunitas lainnya (community oriented) serta kapan dokter
perlu merujuk pasien (kriteria rujukan).
Dokter akan merujuk pasien apabila memenuhi salah satu dari kriteria “TACC” (Time-Age-
Complication-Comorbidity) berikut :
1. Time: jika perjalanan penyakit dapat digolongkan kepada kondisi kronis atau melewati
Golden Time Standard.
2. Age: jika usia pasien masuk dalam kategori yang dikhawatirkan meningkatkan risiko
komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih berat.
3. Complication: jika komplikasi yang ditemui dapat memperberat kondisi pasien.
4. Comorbidity: jika terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang memperberat kondisi
pasien.
5. Selain empat kriteria di atas, kondisi fasilitas pelayanan juga dapat menjadi dasar bagi
dokter untuk melakukan rujukan demi menjamin keberlangsungan penatalaksanaan
dengan persetujuan pasien.

7) Peralatan
Bagian ini berisi komponen fasilitas pendukung spesifik dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit tersebut. Penyediaan peralatan tersebut merupakan kewajiban
fasilitas pelayanan kesehatan disamping peralatan medik wajib untuk pemeriksaan umum
tanda vital.

8) Prognosis
Kategori prognosis sebagai berikut :
1. Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan.
2. Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi
manusia dalam melakukan tugasnya.
3. Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat
beraktivitas seperti biasa.
Prognosis digolongkan sebagai berikut :
1. Sanam: sembuh
2. Bonam: baik
3. Malam: buruk/jelek
4. Dubia: tidak tentu/ragu-ragu
5. Dubia ad sanam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung sembuh/baik
6. Dubia ad malam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung memburuk/jelek
Untuk penentuan prognosis sangat ditentukan dengan kondisi pasien saat diagnosis
ditegakkan.
BAB II
DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS
BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT
A. KELOMPOK UMUM

1. TUBERKULOSIS (TB) PARU


No ICPC-2 : A70 Tuberkulosis
No ICD-10 : A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologically and histologically confirmed
Tingkat Kemampuan 4A

a. Tuberkulosis (TB) Paru pada Dewasa suara napas melemah di apex paru, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Masalah Kesehatan Pemeriksaan Penunjang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular 1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED
langsung yang disebabkan oleh kuman TB meningkat, Hb turun.
yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, namun dapat 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri
juga mengenai organ tubuh lainnya. Indonesia Tahan Asam/BTA) ataukultur kuman dari
merupakan negara yang termasuk sebagai 5 spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-
besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. sewaktu.
Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil
timbul kedaruratan baru dalam dari bilas lambung, cairan serebrospinal,
penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
(Multi Drug Resistance/ MDR). 4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/
Hasil Anamnesis (Subjective) top lordotik.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau gambaran bercak-bercak awan dengan batas
tanda TB. yang tidak jelas atau bila dengan batas
Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran
lebih dari 2 minggu, yang disertai: lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas
(bayangan berupa cincin berdinding tipis),
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura
hemoptisis) dan/atau (sudut kostrofrenikus tumpul).
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan,
penurunan berat badan, keringat malam dan Penegakan Diagnosis (Assessment)
mudah lelah). Diagnosis Pasti TB
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Sederhana (Objective) pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Fisik (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada
anak).
Kelainan pada TB Paru tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal permulaan Kriteria Diagnosis
perkembangan penyakit umumnya sulit sekali Berdasarkan International Standards for
menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar Tuberkulosis Care (ISTC 2014)
suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 7


PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT

Standar Diagnosis hidup dan produktivitas pasien.


2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau
1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, efek lanjutan.
petugas kesehatan harus waspada terhadap
3. Mencegah kekambuhan TB.
individu dan grup dengan faktor risiko
4. Mengurangi penularan TB kepada orang
TB dengan melakukan evaluasi klinis dan
lain.
pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada
5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan
mereka dengan gejala TB.
penularannya
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang
berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak
jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk Prinsip-prinsip terapi :
TB. 1. Obat AntiTuberkulosis (OAT) harus diberikan
3. Semua pasien yang diduga menderita TB dalam bentuk kombinasi dari beberapa
dan mampu mengeluarkan dahak, harus jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
diperiksa mikroskopis spesimen apusan tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 Hindari penggunaan monoterapi.
spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat
MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium
(KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan
yang kualitasnya terjamin, salah satu
lebih menguntungkan dan dianjurkan.
diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien
dengan risiko resistensi obat, risiko HIV 3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam
atau sakit parah sebaiknya melakukan keadaan perut kosong.
pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji 4. Setiap praktisi yang mengobati pasien
diagnostik awal. Uji serologi darah dan tuberkulosis mengemban tanggung jawab
interferon-gamma release assay sebaiknya kesehatan masyarakat.
tidak digunakan untuk mendiagnosis TB
5. Semua pasien (termasuk mereka yang
aktif.
terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis harus diberi paduan obat lini pertama.
ekstra paru, spesimen dari organ
yang terlibat harus diperiksa secara 6. Untuk menjamin kepatuhan pasien
mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert berobat hingga selesai, diperlukan suatu
MTB/RIF direkomendasikan sebagai pendekatan yang berpihak kepada pasien
pilihan uji mikrobiologis untuk pasien (patient centered approach) dan dilakukan
terduga meningitis karena membutuhkan dengan pengawasan langsung (DOT=
penegakan diagnosis yang cepat. Directly Observed Treatment) oleh seorang
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak pengawas menelan obat.
negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan 7. Semua pasien harus dimonitor respons
Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika pengobatannya. Indikator penilaian terbaik
apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu
pasien dengan gejala klinis yang pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir
mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan.
pengobatan antituberkulosis setelah 8. Rekaman tertulis tentang pengobatan,
pemeriksaan kultur. respons bakteriologis dan efek samping
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) harus tercatat dan tersimpan.

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan :
1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas
Tabel 1.1 Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC

Fase Intensif Fase Lanjutan


Berat Badan
Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Tabel 1.2 Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB)


Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB

Obat Harian 3x/minggu


INH 5(4-6) max 300mg/hr 10(8-12) max 900 mg/dosis
Rifampicin 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600 mg/dosis
Pirzinamid 25 (20-30) max 1600 mg/hr 35 (30-40) max 2400 mg/dosis
Etambutol 15 (15-20) max 1600 mg/hr 30 (25-35) max 2400 mg/dosis

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu


tahap awal dan lanjutan rifampisin dan isoniazid

1. Tahap awal menggunakan paduan obat a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat
rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan 2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid),
namun dalam jangka waktu yg lebih
etambutol.
lama (minimal 4 bulan).
a. Pada tahap awal pasien mendapat
pasien yang terdiri dari 4 jenis obat b. Obat dapat diminum secara intermitten
(rifampisin, isoniazid, pirazinamid yaitu 3x/minggu (obat program) atau
dan etambutol), diminum setiap hari tiap hari (obat non program).
dan diawasi secara langsung untuk c. Tahap lanjutan penting untuk
menjamin kepatuhan minum obat dan membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekebalan obat. mencegah terjadinya kekambuhan.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh
secara adekuat, daya penularan menurun Program Nasional
dalam kurun waktu 2 minggu.
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian
sebagai berikut :
besar menjadi BTA negatif (konversi)
setelah menyelesaikan pengobatan 1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
tahap awal. Setelah terjadi konversi Artinya pengobatan tahap awal selama 2
pengobatan dilanujtkan dengan tahap bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan
lanjut. selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam
2. Tahap lanjutan menggunakan panduan seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya
obat 6 bulan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 9


PERTAMA
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Prognosis pada umumnya baik apabila pasien
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
(TB kambuh, gagal pengobatan, putus pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
berobat/default). Pada kategori 2, tahap prognosis menjadi kurang baik.
awal pengobatan selama 3 bulan terdiri Kriteria hasil pengobatan :
dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan
streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan 1. Sembuh : pasien telah menyelesaikan
tahap awal diberikan setiap hari. Tahap pengobatannya secara lengkap dan
lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, pemeriksaan apusan dahak ulang (follow
3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 up), hasilnya negatif pada foto toraks AP dan
bulan. pada satu pemeriksaan sebelumnya.
3. OAT sisipan : HRZE 2. Pengobatan lengkap : pasien yang telah
Apabila pemeriksaan dahak masih positif menyelesaikan pengobatannya secara
(belum konversi) pada akhir pengobatan lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan
tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, apusan dahak ulang pada foto toraks AP
maka diberikan pengobatan sisipan selama dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
1 bulan dengan HRZE. 3. Meninggal : pasien yang meninggal dalam
masa pengobatan karena sebab apapun.
Konseling dan Edukasi
4. Putus berobat (default) : pasien yang tidak
1. Memberikan informasi kepada pasien dan berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
keluarga tentang penyakit tuberkulosis sebelum masa pengobatannya selesai.
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan 5. Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan
kontrol secara teratur. dahaknya tetap positif atau kembali
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan menjadi positif pada bulan ke lima atau
selama pengobatan.
6. Pindah (transfer out) : pasien yang dipindah
Kriteria Rujukan
ke unit pencatatan dan pelaporan (register)
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) lain dan hasil pengobatannya tidak
tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah diketahui.
pengobatan dalam jangka waktu tertentu
Referensi
2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/
meragukan) 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) Tuberkulosis PDPI Jakarta 2011
setelah jangka waktu tertentu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB 2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dengan komorbid) dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
5. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
rujukan TB-MDR. Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat
Peralatan Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2011)
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum,
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai
darah rutin.
ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik
2. Radiologi
dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan
3. Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia
Republik Indonesia dan Ikatan DOkter
Prognosis Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
4. Tuberculosis Coalition for Technical a. BB turun selama 2-3 bulan berturut-
Assistance. International standards for turut tanpa sebab yang jelas, ATAU
tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed.
Tuberkulosis Coalition for Technical b. BB tidak naik dalam 1 bulan setelah
Assistance The Hague 2014. (Tuberculosis diberikan upaya perbaikan gizi yang
Coalition for Technical Assistance, 2014) baik ATAU

5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. c. BB tidak naik dengan adekuat.


Hauser, 3. Demam lama (≥ 2 minggu) dan atau berulang
S.L.et al.Mycobacterial disease: Tuberkulosis. tanpa sebab yang jelas (bukan demam
Harrisson’s: principle of internal medicine. tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan
17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. lain lain). Demam umumnya tidak tinggi
2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., (subfebris) dan dapat disertai keringat
2009) malam.
b. Tuberkulosis (TB) Paru pada Anak
4. Lesu atau malaise, anak kurang aktif
bermain..
Masalah Kesehatan
5. Batuk lama atau persisten ≥ 3 minggu,
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, batuk bersifat non- remitting (tidak pernah
jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah reda atau intensitas semakin lama semakin
583.000 orang per tahun dan menyebabkan parah) dan penyebab batuk lain telah
kematian sekitar 140.000 orang per tahun. disingkirkan
World Health Organization memperkirakan
bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang 6. Keringat malam dapat terjadi, namun
paling banyak menyebabkan kematian pada keringat malam saja apabila tidak disertai
anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB dengan gejala-gejala sistemik/umum lain
lebih banyak daripada kematian akibat malaria bukan merupakan gejala spesifik TB pada
dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih anak
banyak daripada kematian karena kehamilan,
persalinan, dan nifas. Jumlah seluruh kasus TB Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Sederhana (Objective)
Indonesia selama 5 tahun (1998−2002) adalah Pemeriksaan Fisik
1086 penyandang TB dengan angka kematian
yang bervariasi dari 0% hingga 14,1%. Kelompok Pemeriksaan fisik pada anak tidak spesifik
usia terbanyak adalah 12−60 bulan (42,9%), tergantung seberapa berat manifestasi respirasi
sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan dan sistemiknya.
16,5%.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Uji Tuberkulin
Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala
walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan
hilus pada foto toraks. Gejala sistemik/umum TB dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23
pada anak: 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di
bagian volar lengan bawah. Pembacaan
1. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau dilakukan 48−72 jam setelah penyuntikan.
berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to Pengukuran dilakukan terhadap indurasi
thrive). yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya.
Indurasi diperiksa dengan cara palpasi
2. Masalah Berat Badan (BB):
untuk menentukan tepi indurasi, ditandai
dengan pulpen, kemudian diameter
transversal
indurasi diukur dengan alat pengukur Penegakan Diagnosis (Assessment)
transparan, dan hasilnya dinyatakan
dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua
sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai pendekatan utama, yaitu :
0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai 1. Investigasi terhadap anak yang kontak erat
negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai dengan pasien TB dewasa aktif dan menular
tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat
jika ditemukan vesikel hingga bula. Secara 2. Anak yang datang ke pelayanan kesehatan
umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter dengan gejala dan tanda klinis yang
indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa mengarah ke TB. (Gejala klinis TB pada anak
menghiraukan penyebabnya. tidak khas).

2. Foto toraks Sistem skoring (scoring system) diagnosis TB


membantu tenaga kesehatan agar tidak
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; terlewat dalam mengumpulkan data klinis
kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat maupun pemeriksaan penunjang sederhana
juga dijumpai pada penyakit lain. Foto toraks sehingga diharapkan dapat mengurangi
tidak cukup hanya dibuat secara antero- terjadinya underdiagnosis maupun
posterior (AP), tetapi harus disertai dengan overdiagnosis.
foto lateral, mengingat bahwa pembesaran
KGB di daerah hilus biasanya lebih jelas. Anak dinyatakan probable TB jika skoring
Secara umum, gambaran radiologis yang mencapai nilai 6 atau lebih. Namun demikian,
sugestif TB adalah sebagai berikut : jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif
dan uji tuberkulinnya positif namun tidak
a. Pembesaran kelenjar hilus atau didapatkan gejala, maka anak cukup diberikan
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat profilaksis INH terutama anak balita
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Milier Catatan :
d. Kalsifikasi dengan infiltrat 1. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan
e. Atelektasis gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
f. Kavitas 2. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3
g. Efusi pleura minggu) yang tidak membaik setelah
h. Tuberkuloma diberikan pengobatan sesuai baku terapi di
3. Mikrobiologis puskesmas
3. Gambaran foto toraks mengarah ke
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada TB berupa : pembesaran kelenjar hilus
anak karena sulitnya mendapatkan spesimen atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan atelektasis, konsolidasi segmental/
pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil tuberkuloma.
pemeriksaan mikroskopik langsung pada 4. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2
anak sebagian besar negatif, sedangkan minggu) saat imunisasi BCG harus
hasil biakan M. tuberculosis memerlukan dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
waktu yang lama yaitu sekitar 6−8 minggu.
Saat ini ada pemeriksaan biakan yang Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan
hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), gejala klinis yang meragukan, maka pasien
yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi
mahal dan secara teknologi lebih rumit. lebih lanjut.
Tabel 1.3 Sistem Skoring TB Anak

kriteria 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga, BTA (+)
BTA (-) atau BTA
tidak jelas/tidak
Tahu
Uji Tuberkulin (Mantoux) (-) (+) (≥10mm,
atau ≥5mm
pd keadaan
immunocomp
Romised
Berat badan/ keadaan gizi BB/TB < 90% atau Klinis gizi buruk
BB/U < 80% atau BB/TB <70%
atau BB/U < 60%
Demam yang tidak > 2 minggu
diketahui penyebabnya
Batuk kronik > 3 minggu
Pembesaran kelenjar >1 cm, Lebih dari 1
limfe kolli, aksila, KGB, tidak nyeri
inguina
Pembengkakan tulang/ Ada pembengkakan
sendi panggul lutut,
falang
Foto toraks Gambaran Gambaran sugestif
normal, tidak TB
jelas

Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin


(Skor ≥ 6 sebagai entry point)

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin (Skor > 6 sebagai entry point)

Beri OAT
2 bulan terapi

Ada perbaikan klinis Tidak ada perbaikan klinis

Terapi TB diteruskan Untuk RS fasilitas terbatas,


sambil mencari rujuk ke RS dengan
Terapi TB penyebabnya fasilitas lebih lengkap
Tabel 1.4 OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) pada anak (sesuai rekomendasi IDAI)

Berat badan 2 bulan tiap hari 3KDT Anak 4 bulan tiap hari 2KDT Anak
(kg) RHZ (75/50/150) RH (75/50)
05-Sep 1 tablet 1 tablet
Okt-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit
2. Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit.
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.
Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak
Kriteria Rujukan
Apabila kita menemukan seorang anak dengan
1. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan
TB, maka harus dicari sumber penularan yang
pengobatan.
menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber
2. Terjadi efek samping obat yang berat.
penularan adalah orang dewasa yang menderita
3. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani
TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
pengobatan selama >2 minggu.
Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan
cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum Peralatan
(pelacakan sentripetal).
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum,
Evaluasi Hasil Pengobatan darah rutin.
2. Mantoux test (uji tuberkulin).
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi
3. Radiologi.
hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan
terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan Referensi
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis
yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu tuberculosis pada anak. Rahajoe NN, Supriyatno
menghilang atau membaiknya kelainan klinis B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi
yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87.
misalnya penambahan BB yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan
nafsu makan, dan lain- lain. Apabila respons
pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT
dapat menimbulkan berbagai efek samping.
Efek samping yang cukup sering terjadi pada
pemberian isoniazid dan rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas,
ruam dan gatal, serta demam.
2.TB DENGAN HIV
TB:
No. ICPC-2 No. ICD-10
: A70 Tuberkulosis
: A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologiccaly and histologically
confirmed
HIV:
No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10: Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus (HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
menemukan kelainan.
TB meningkatkan progresivitas HIV karena
Pemeriksaan Penunjang
penderita TB dan HIV sering mempunyai kadar
jumlah virus HIV yang tinggi. Pada keadaan 1. Pemeriksaan darah lengkap dapat
koinfeksi terjadi penurunan imunitas lebih dijumpai limfositosis/monositosis, LED
cepat dan pertahanan hidup lebih singkat meningkat, Hb turun.
walaupun pengobatan TB berhasil. Penderita 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri
TB/HIV mempunyai kemungkinan hidup lebih Tahan Asam/ BTA) atau kultur kuman dari
singkat dibandingkan penderita HIV yang spesimen sputum/ dahak sewaktu-pagi-
tidak pernah kena TB. Obat antivirus HIV (ART) sewaktu.
menurunkan tingkat kematian pada pasien TB/ 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil
HIV dari bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/
Batuk tidak merupakan gejala utama pada top lordotik.
pasien TB dengan HIV. Pasien diindikasikan 5. Pemeriksaan kadar CD4.
untuk pemeriksaan HIV jika: 6. Uji anti-HIV

1. Berat badan turun drastis Penegakan Diagnostik (Assessment)


2. Sariawan/Stomatitis berulang
Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang
3. Sarkoma Kaposi
tinggi pada populasi dengan kemungkinan
4. Riwayat perilaku risiko tinggi seperti
koinfeksi TB-HIV maka konseling dan
a. Pengguna NAPZA suntikan
pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh
b. Homoseksual
pasien TB sebagai bagian dari penatalaksanaan
c. Waria
rutin. Pada daerah dengan prevalensi HIV
d. Pekerja seks
yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
e. Pramuria panti pijat
diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan
Sederhana (Objective) HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko
terpajan HIV.
Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal permulaan
perkembangan penyakit umumnya sulit sekali
Tabel 1.5 Gambaran TB-HIV

Infeksi dini Infeksi lanjut


(CD4 > 200/mm3) (CD4 < 200/mm3)
Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstra paru Jarang umum/banyak
Mikrobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kavitas di Tipikal primer TB milier/
puncak interstasial
Adenopati hilus/mediastinum Tidak ada Ada
Efusi pleura Tidak ada Ada

Diagnosis Banding 6. Setiap penderita TB-HIV harus diberikan

1. Kriptokokosis profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 960


2. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP) mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian
3. Aspergillosis OAT.
7. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/
Komplikasi
AIDS sangat berbahaya karena akan
1. Limfadenopati menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
2. Efusi pleura 8. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan
3. Penyakit perikardial jika tersedia alat suntik sekali pakai yang
4. TB Milier steril.
5. Meningitis TB 9. Desensitisasi obat (INH/Rifampisin) tidak
boleh dilakukan karena mengakibatkan efek
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) toksik yang serius pada hati.
Penatalaksanaan 10. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak
memberi respons terhadap pengobatan,
1. Pada dasarnya pengobatannya sama selain dipikirkan terdapatnya malabsorbsi
dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan korelasi antara imunosupresi yang berat
kombinasi beberapa jenis obat dalam dengan derajat penyerapan, karenanya dosis
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu standar yang diterima suboptimal sehingga
yang tepat. konsentrasi obat rendah dalam serum.
3. Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera
diberikan OAT dan pemberian ARV Konseling dan Edukasi
dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa Konseling dilakukan pada pasien yang dicurigai
mempertimbangkan kadar CD4. HIV dengan merujuk pasien ke pelayanan VCT
4. Perlu diperhatikan, pemberian secara (Voluntary Counceling and Testing).
bersamaan membuat pasien menelan obat
dalam jumlah yang banyak sehingga dapat Kriteria Rujukan
terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+)
samping, interaksi obat dan Immune
tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah
Reconstitution Inflammatory Syndrome.
pengobatan dalam jangka waktu tertentu
2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ Prognosis
meragukan)
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) Prognosis pada umumnya baik apabila pasien
setelah jangka waktu tertentu melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
dengan komorbid) prognosis menjadi kurang baik.
5. Suspek TB–MDR harus dirujuk ke pusat Referensi
rujukan TB–MDR .
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Peralatan Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011.
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, 2. Panduan Tata laksana Tuberkuloasis ISTC
darah rutin dengan strategi DOTS unutk Praktek Dokter
2. Mantoux test Swasta (DPS), oleh Kementerian Kesehatan
3. Radiologi Republik Indonesia dan Ikatan Dokter
Indonesia Jakarta 2012.

3.MORBILI
No. ICPC-2: A71 Measles.
No. ICD-10: B05.9 Measles without complication (Measles NOS).
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
menjadi masalah kesehatan yang krusial di
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan Indonesia. Peran dokter di fasilitas pelayanan
oleh virus Measles. Nama lain dari penyakit ini kesehatan tingkat pertama sangat penting
adalah rubeola atau campak. Morbili merupakan dalam mencegah, mendiagnosis, menatalaksana,
penyakit yang sangat infeksius dan menular dan menekan mortalitas morbili.
lewat udara melalui aktivitas bernafas, batuk,
atau bersin. Pada bayi dan balita, morbili Hasil Anamnesis (Subjective)
dapat menimbulkan komplikasi yang fatal,
seperti pneumonia dan ensefalitis. Salah satu 1. Gejala prodromal berupa demam, malaise,
strategi menekan mortalitas dan morbiditas gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan
penyakit morbili adalah dengan vaksinasi. konjungtivitis.
Namun, berdasarkan data Survei Demografi 2. Pada demam hari keempat, biasanya
dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, ternyata muncul lesi makula dan papula eritem, yang
cakupan imunisasi campak pada anak-anak usia dimulai pada kepala daerah perbatasan
di bawah 6 tahun di Indonesia masih relatif dahi rambut, di belakang telinga, dan
lebih rendah(72,8%) dibandingkan negara- menyebar secara sentrifugal ke bawah
negara lain di Asia Tenggara yang sudah hingga muka, badan, ekstremitas, dan
mencapai 84%. Pada tahun 2010, Indonesia mencapai kaki pada hari ketiga.
merupakan negara dengan tingkat insiden 3. Masa inkubasi 10-15 hari.
tertinggi ketiga di Asia Tenggara. World Health 4. Belum mendapat imunisasi campak
Organization melaporkan sebanyak 6300 kasus
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terkonfirmasi Morbili di Indonesia sepanjang
Sederhana (Objective)
tahun 2013.
1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati
Dengan demikian, hingga kini, morbili masih
general. d. Mononukleosis infeksiosa
2. Pada orofaring ditemukan koplik spot e. Infeksi Mycoplasma pneumoniae
sebelum munculnya eksantem.
3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan Komplikasi
papula eritem, dimulai pada kepala pada Komplikasi lebih umum terjadi pada anak
daerah perbatasan dahi rambut, di belakang dengan gizi buruk, anak yang belum mendapat
telinga, dan menyebar secara sentrifugal imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi
dan ke bawah hingga muka, badan, dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media,
ekstremitas, dan mencapai kaki pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada
4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan- anak HIV yang tidak diimunisasi, pneumonia
lahan menghilang dengan urutan sesuai yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi
urutan muncul, dengan warna sisa coklat kulit.
kekuningan atau deskuamasi ringan.
Eksantem hilang dalam 4-6 hari. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Gambar 1.1 Morbili Penatalaksanaan


1. Terapi suportif diberikan dengan menjaga
cairan tubuh dan mengganti cairan yang
hilang dari diare dan emesis.
2. Obat diberikan untuk gejala simptomatis,
demam dengan antipiretik. Jika terjadi
infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
3. Suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/
hari PO diberi 2 dosis.
b. b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2
dosis.
c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO
2 dosis.
d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A,
2 dosis pertama sesuai usia, dilanjutkan
dosis ketiga sesuai usia yang diberikan
Pemeriksaan Penunjang 2-4 minggu kemudian.
Pada umumnya tidak diperlukan. Pada Konseling dan Edukasi
pemeriksaan sitologi dapat ditemukan sel datia
Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili
berinti banyak pada sekret. Pada kasus tertentu,
merupakan penyakit yang menular. Namun
mungkin diperlukan pemeriksaan serologi IgM
demikian, pada sebagian besar pasien infeksi
anti-Rubella untuk mengkonfirmasi diagnosis.
dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan
Penegakan Diagnosis (Assessment) bersifat suportif. Edukasi pentingnya
memperhatikan cairan yang hilang dari diare/
1. Diagnosis umumnya dapat ditegakkan emesis. Untuk anggota keluarga/kontak yang
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. rentan, dapat diberikan vaksin campak atau
2. Diagnosis banding: human immunoglobulin untuk pencegahan.
a. Erupsi obat Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari
b. Eksantem virus yang lain (rubella, terpapar dengan penderita. Imunoglobulin dapat
eksantem subitum), diberikan pada individu dengan gangguan imun,
c. Scarlet fever bayi usia 6 bulan -1 tahun, bayi usia kurang
dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas Referensi
campak, dan wanita hamil.
1. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar
Kriteria Rujukan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th Ed.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007.
Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan
(Djuanda, et al., 2007)
komplikasi (superinfeksi bakteri, pneumonia,
2. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M.
dehidrasi, croup, ensefalitis)
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Peralatan Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier.
Canada.2000. (James, et al., 2000)
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
menegakkan diagnosis morbili. Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik. 2011.
Prognosis (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin, 2011)
Prognosis pada umumnya baik karena penyakit
ini merupakan penyakit self-limiting disease.

4.VARISELA
No. ICPC-2: A72 Chickenpox
No. ICD-10 : B01.9 Varicella without complication (Varicella NOS)
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Fisik
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster
Tanda Patognomonis
yang menyerang kulit dan mukosa, klinis
terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam
polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel.
tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun
melalui udara (air-borne) dan kontak langsung. (tear drops). Vesikel akan menjadi keruh dan
kemudian menjadi krusta. Sementara proses
Hasil Anamnesis (Subjective)
ini berlangsung, timbul lagi vesikel- vesikel
Keluhan baru yang menimbulkan gambaran polimorfik
khas untuk varisela. Penyebaran terjadi secara
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian sentrifugal, serta dapat menyerang selaput lendir
disusul timbulnya lesi kulit berupa papul eritem mata, mulut, dan saluran napas atas.
yang dalam waktu beberapa jam berubah
menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa gatal. Gambar 1.2 Varisela
Faktor Risiko
1. Anak-anak.
2. Riwayat kontak dengan penderita varisela.
3. Keadaan imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Penunjang Konseling dan Edukasi
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis Edukasi bahwa varisella merupakan
dengan menemukan sel penyakit yang self-limiting pada anak yang
imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat
Tzanck yaitu sel datia berinti banyak. berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh karena
Penegakan Diagnosis (Assessment) itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan
tubuh. Penderita sebaiknya dikarantina untuk
Diagnosis Klinis mencegah penularan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Kriteria Rujukan
dan pemeriksaan fisik.
1. Terdapat gangguan imunitas
Diagnosis Banding 2. Mengalami komplikasi yang berat seperti
1. Variola pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis.
2. Herpes simpleks disseminata Peralatan
3. Coxsackievirus
4. Rickettsialpox Lup

Komplikasi Prognosis

Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama Prognosis pada pasien dengan imunokompeten


terjadi pada pasien dengan gangguan imun. adalah bonam, sedangkan pada pasien dengan
Varisela pada kehamilan berisiko untuk imunokompromais, prognosis menjadi dubia ad
menyebabkan infeksi intrauterin pada janin, bonam.
menyebabkan sindrom varisela kongenital. Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penatalaksanaan Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
1. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak Universitas Indonesia.
mengakibatkan pecahnya vesikel. Selain itu, 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
dan mencegah kontak dengan orang lain. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan Elsevier.
indikasi. Aspirin dihindari karena dapat 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
menyebabkan Reye’s syndrome. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
3. Losio kalamin dapat diberikan untuk Jakarta.
mengurangi gatal.
4. Pengobatan antivirus oral, antara lain:
a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-
anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis maksimal
800 mg), atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan
efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah
timbul lesi.
5.MALARIA
No. ICPC-2: A73 Malaria
No. ICD-10: B54 Unspecified malaria
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
• Nadi teraba cepat dan lemah.
Merupakan suatu penyakit infeksi akut • Pada kondisi tertentu bisa
maupun kronik yang disebabkan oleh parasit ditemukan penurunan kesadaran.
Plasmodium yang menyerang eritrosit dan 2. Kepala : Konjungtiva anemis, sklera ikterik,
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual bibir sianosis, dan pada malaria serebral
dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, dapat ditemukan kaku kuduk.
anemia, dan pembesaran limpa. 3. Toraks : Terlihat pernapasan cepat.
4. Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan
Hasil Anamnesis (Subjective) limpa, dapat juga ditemukan asites.
Keluhan 5. Ginjal : Dapat ditemukan urin berwarna
coklat kehitaman, oligouri atau anuria.
Demam hilang timbul, pada saat demam hilang 6. Ekstermitas : Akral teraba dingin
disertai dengan menggigil, berkeringat, dapat merupakan tanda-tanda menuju syok.
disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan
persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, Pemeriksaan Penunjang
mual muntah, dan diare. 1. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan
Faktor Risiko tipis ditemukan parasit Plasmodium.

1. Riwayat menderita malaria sebelumnya. 2. Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT).
2. Tinggal di daerah yang endemis malaria. Penegakan Diagnosis (Assessment)
3. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah
endemik malaria. Diagnosis Klinis
4. Riwayat mendapat transfusi darah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Trias Malaria: panas – menggigil – berkeringat),
Sederhana (Objective) pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit
plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan Fisik hapusan darah tebal/tipis.
1. Tanda Patognomonis Klasifikasi
a. Pada periode demam:
• Kulit terlihat memerah, teraba 1. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium
panas, suhu tubuh meningkat falsiparum.
dapat sampai di atas 400C dan 2. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium
kulit kering. vivax.
• Pasien dapat juga terlihat pucat. 3. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale.
• Nadi teraba cepat 4. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium
• Pernapasan cepat (takipneu) malariae.
b. Pada periode dingin dan berkeringat: 5. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium
• Kulit teraba dingin dan knowlesi.
berkeringat.
Diagnosis Banding a. Diberikan lagi regimen DHP yang sama
tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi
1. Demam Dengue 0,5 mg/kgBB/hari.
2. Demam Tifoid b. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah
3. Leptospirosis apabila pemberian Primakiun dosis 0,25
4. Infeksi virus akut lainnya mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) hari dan penderita sakit kembali dengan
parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu
Penatalaksanaan sampai 3 bulan setelah pengobatan.
Pengobatan Malaria falsiparum Pengobatan Malaria malariae
1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3
Combination (FDC) yang terdiri dari hari dengan dosis sama dengan pengobatan
Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan
tablet mengandung 40 mg Dihydroartemisinin pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
dan 320 mg Piperakuin. Untuk dewasa dengan Primakuin.
Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg Pengobatan infeksi campuran antara Malaria
diberikan DHP per oral 3 tablet satu kali per falsiparum dengan Malaria vivax/ Malaria ovale
hari selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet dengan DHP.
sekali sehari satu kali pemberian, sedangkan
Pada penderita dengan infeksi campuran
untuk BB > 60 kg diberikan 4 tablet DHP satu
diberikan DHP 1 kali per hari selama 3 hari, serta
kali sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet
DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta
sekali sehari satu kali pemberian. Dosis DHA =
Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari.
2-4 mg/kgBB (dosis tunggal), Piperakuin = 16-
32 mg/kgBB (dosis tunggal), Primakuin = 0,75 Pengobatan malaria pada ibu hamil
mg/kgBB (dosis tunggal). 1. Trimester pertama: Kina tablet 3 x 10mg/ kg
BB + Klindamycin 10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP
yang tidak respon terhadap pengobatan DHP):
tablet selama 3 hari.
Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis
3. Pencegahan / profilaksis digunakan
kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari),
Doksisiklin 1 kapsul 100 mg/hari diminum 2
Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari ( dewasa,
hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah
2x/hari selama7 hari), 2,2 mg/kgBB/hari ( 8-14
keluar/pulang dari daerah endemis.
tahun, 2x/hari selama 7 hari), T etrasiklin = 4-5
mg/kgBB/kali (4x/hari selama 7 hari). Pengobatan di atas diberikan berdasarkan berat
badan penderita.
Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale
Komplikasi
1. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA)
1. Malaria serebral.
+ Piperakuin (DHP), diberikan peroral satu
2. Anemia berat.
kali per hari selama 3 hari, pr im aku i n =
3. Gagal ginjal akut.
0,2 5 mg/kgBB/hari (selama 14 hari).
4. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory
2. Lini kedua (pengobatan malaria vivax yang
Distress Syndrome).
tidak respon terhadap pengobatan DHP):
5. Hipoglikemia.
Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/
6. Gagal sirkulasi atau syok.
kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), Primakuin
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat
= 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
pencernaan dan atau disertai kelainan
3. Pengobatan malaria vivax yang relaps
laboratorik adanya gangguan koagulasi
(kambuh):
intravaskular.
8. Kejang berulang >2 kali per 24 jam Artesunat per Intra Muskular atau Intra Vena
pendidngan pada hipertermia. dengan dosis awal 3,2mg /kg BB.
9. Asidemia (pH darah <7.25)atau asidosis
(biknat plasma < 15 mmol/L). Peralatan
10. Makroskopik hemoglobinuria karena infeksi Laboratorium sederhana untuk pembuatan
malaria akut. apusan darah, pemeriksaan darah rutin dan
Konseling dan Edukasi pemeriksaan mikroskopis.

1. Pada kasus malaria berat disampaikan kepada Prognosis


keluarga mengenai prognosis penyakitnya. Prognosis bergantung pada derajat beratnya
2. Pencegahan malaria dapat dilakukan malaria. Secara umum, prognosisinya adalah
dengan: dubia ad bonam. Penyakit ini dapat terjadi
a. Menghindari gigitan nyamuk dengan kembali apabila daya tahan tubuh menurun.
kelambu atau repellen.
Referensi
b. Menghindari aktivitas di luar rumah
pada malam hari. 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser,
c. Mengobati pasien hingga sembuh S.L. et al.Harrisson’s: Principle of Internal
misalnya dengan pengawasan minum obat Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies. 2009.
Kriteria Rujukan 2. Dirjen Pengendalian Penyakit dan
1. Malaria dengan komplikasi Penyehatan Lingkungan. Pedoman
2. Malaria berat, namun pasien harus terlebih Penatalaksanaan Kasus Malaria di
dahulu diberi dosis awal Artemisinin atau Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
(Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2008

6.LEPTOSPIROSIS
No. ICPC-2: A78 Infection disease other/ NOS
No. ICD-10: A27.9 Leptospirosis, unspecified Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang kesadaran
menyerang manusia disebabkan oleh mikro Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
organisme Leptospira interogans dan memiliki sederhana (Objective)
manifestasi klinis yang luas. Spektrum klinis
Pemeriksaan Fisik
mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai
fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, 1. Febris
leptospirosis dapat muncul seperti influenza 2. Ikterus
dengan sakit kepala dan myalgia. Tikus adalah 3. Nyeri tekan pada otot
reservoir yang utama dan kejadian leptospirosis 4. Ruam kulit
lebih banyak ditemukan pada musim hujan. 5. Limfadenopati
6. Hepatomegali dan splenomegali
Hasil Anamnesis (Subjective) 7. Edema
Keluhan: 8. Bradikardi relatif
9. Konjungtiva suffusion
Demam disertai menggigil, sakit kepala,
10. Gangguan perdarahan berupa petekie,
anoreksia, mialgia yang hebat pada betis, paha
purpura, epistaksis dan perdarahan gusi
dan pinggang disertai nyeri tekan. Mual, muntah,
11. Kaku kuduk sebagai tanda meningitis
Pemeriksaan Penunjang 4. Gagal hati
5. Gagal jantung
Pemeriksaan Laboratorium
Konseling dan Edukasi
1. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-
26000/μL, dengan pergeseran ke kiri, 1. Pencegahan leptospirosis khususnya di
trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% daerah tropis sangat sulit, karena banyaknya
pasien dan dihubungkan dengan gagal ginjal. hospes perantara dan jenis serotipe. Bagi
2. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, mereka yang mempunyai risiko tinggi
dan hyalin atau granular) dan proteinuria untuk tertular leptospirosis harus diberikan
ringan, jumlah sedimen eritrosit biasanya perlindungan berupa pakaian khusus yang
meningkat. dapat melindunginya dari kontak dengan
bahan-bahan yang telah terkontaminasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) dengan kemih binatang reservoir.
Diagnosis Klinis 2. Keluarga harus melakukan pencegahan
leptospirosis dengan menyimpan makanan
Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan dan minuman dengan baik agar terhindar
demam tiba-tiba, menggigil terdapat tanda dari tikus, mencuci tangan dengan sabun
konjungtiva suffusion, sakit kepala, mialgia, sebelum makan, mencuci tangan, kaki serta
ikterus dan nyeri tekan pada otot. Kemungkinan bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
tersebut meningkat jika ada riwayat bekerja bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/
atau terpapar dengan lingkungan yang selokan dan tempat tempat yang tercemar
terkontaminasi dengan kencing tikus. lainnya.
Diagnosis Banding Rencana Tindak Lanjut
1. Demam dengue, Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan
2. Malaria, setempat. Kriteria Rujukan
3. Hepatitis virus,
4. Penyakit rickettsia. Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder
(spesialis penyakit dalam) yang memiliki fasilitas
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) hemodialisa setelah penegakan diagnosis dan
Penatalaksanaan terapi awal.

1. Pengobatan suportif dengan observasi Prognosis


ketat untuk mendeteksi dan mengatasi Prognosis jika pasien tidak mengalami
keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan komplikasi umumnya adalah dubia ad bonam.
dan gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis. Referensi
2. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat
1. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu
mungkin.Pada kasus- kasus ringan dapat
Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta:
diberikan antibiotik oral seperti doksisiklin,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
ampisilin, amoksisilin atau eritromisin. Pada
Penyakit dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5.
kasus leptospirosis berat diberikan dosis
(Sudoyo, et al., 2006)
tinggi penisilin injeksi.
2. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007. Available
Komplikasi at: (Cunha, 2007)
3. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.
1. Meningitis Available at: http://www.nlm.nih.gov/
2. Distress respirasi medlineplus/ency/arti cle/001376.htm.
3. Gagal ginjal karena renal interstitial tubular Accessed December 2009. (Dugdale, 2004)
necrosis
7.FILARIASIS
No. ICPC-2: D96 Woms/other parasites No. ICD-10: B74 Filariasis
B74.0 Filariasis due to Wuchereria bancrofti B74.1 Filariasis due to Brugia malayi
B74.2 Filariasis due to Brugia timori
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit satu daerah endemik dengan daerah endemik
menular yang disebabkan oleh cacing Filaria lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. perbedaan intensitas paparan terhadap vektor
Penyakit ini bersifat menahun (kronis) infektif didaerah endemik tersebut.
dan bila tidak mendapatkan pengobatan
dapat menimbulkan cacat menetap berupa Manifestasi akut, berupa:
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik 1. Demam berulang ulang selama 3-5 hari.
perempuan maupun laki-laki. Demam dapat hilang bila istirahat dan
timbul lagi setelah bekerja berat.
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global
2. Pembengkakan kelenjar getah bening
untuk mengeliminasi filariasis pada tahun
(tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
2020 (The Global Goal of Elimination of Lymphatic
ketiak (lymphadentitis) yang tampak
Filariasis as a Public Health problem by The
kemerahan, panas, dan sakit.
Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan
melalui pengobatan massal dengan DEC dan 3. Radang saluran kelenjar getah bening yang
Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di terasa panas dan sakit menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah
lokasi yangendemis serta perawatan kasus klinis
baik yang akut maupun kronis untuk mencegah ujung (retrograde lymphangitis).
kecacatandan mengurangi penderitaannya. 4. Filarial abses akibat seringnya menderita
pembengkakan kelenjar getah bening, dapat
Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki pecah dan mengeluarkan nanah serta
gajah secara bertahap yang telah dimulai sejak darah.
tahun 2002 di 5 kabupaten. Perluasan wilayah 5. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada,
akan dilaksanakan setiap tahun. kantong zakar yang terlihat agak kemerahan
dan terasa panas (Early Imphodema).
Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies
cacing filaria, yaitu: Wucheria bancrofti, Brugia Manifestasi kronik, disebabkan oleh
malayi dan Brugia timori. Vektor penular di berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi
Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari
23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, episode akut. Gejala kronis filariasis berupa:
Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat pembesaran yang menetap (elephantiasis)
berperan sebagai vektor penular penyakit kaki pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar
gajah. (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh
adanya cacing dewasa pada sistem limfatik
Hasil Anamnesis (Subjective) dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult
Keluhan filariasis.
Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu
stadium ke stadium berikutnya tetapi bila
diurut dari
masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi: elefantiasis dan chyluria yang meningkat sesuai
bertambahnya usia.
1. Masa prepaten, yaitu masa antara
masuknya larva infektif hingga terjadinya Manifestasi genital di banyak daerah endemis,
mikrofilaremia berkisar antara 37 gambaran kronis yang terjadi adalah hidrokel.
bulan. Hanya sebagian saja dari Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis,
penduduk di daerah endemik yang funikulitis, edema karena penebalan kulit
menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok skrotum, sedangkan pada perempuan bisa
mikrofilaremik ini pun tidak semua kemudian dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan
menunjukkan gejala klinis. Terlihat elefantiasis ekstremitas, episode limfedema
bahwa kelompok ini termasuk kelompok pada ekstremitas akan menyebabkan elefantiasis
yang asimptomatik amikrofilaremik dan di daerah saluran limfe yang terkena dalam
asimptomatik mikrofilaremik. waktu bertahun-tahun. Lebih sering terkena
2. Masa inkubasi, masa antara masuknya larva ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi
infektif sampai terjadinya gejala klinis didaerah paha dan ekstremitas bawah sama
berkisar antara 8 – 16 bulan. seringnya, sedangkan B.malayi hanya mengenai
3. Gejala klinik akut merupakan limfadenitis ekstremitas bawah saja.
dan limfangitis disertai panas dan malaise.
Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti,
Penderita dengan gejala klinis akut dapat pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering
amikrofilaremik maupun mikrofilaremik. terkena, disusul funikulitis, epididimitis, dan
4. Gejala menahun, terjadi 10 – 15 tahun orkitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila,
setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria sering bersama dengan limfangitis retrograd
jarang ditemukan pada stadium ini, yang umumnya sembuh sendiri dalam 3 –15
sedangkan adenolimfangitis masih dapat hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam
terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan setahun. Pada filariasis brugia, limfadenitis
terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas paling sering mengenai kelenjar inguinal,
penderita serta membebani keluarganya. sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-
kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang limfe menjadi keras dan nyeri dan sering
Sederhana (Objective) terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan
kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama
Pemeriksaan Fisik beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 x/
Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar
limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3 limfe yang terkena dapat menjadi abses,
– 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan
setahun. Limfangitis akan meluas kedaerah parut yang khas, setelah 3 minggu sampai 3
distal dari kelenjar yang terkena tempat bulan.
cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis
Pada kasus menahun filariasis bancrofti,
berkembang lebih sering di ekstremitas bawah
hidrokel paling banyak ditemukan. Limfedema
daripada atas. Selain pada tungkai, dapat
dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai
mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi
atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah
W.bancrofti) dan payudara.
dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat
Manifestasi kronik, disebabkan oleh 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi
berkurangnya fungsi saluran limfe. Bentuk tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita
manifestasi ini dapat terjadi dalam beberapa menyebabkan penurunan berat badan dan
bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. kelelahan. Filariasis brugia, elefantiasis terjadi
Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema, di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan
bawah, dan ukuran pembesaran ektremitas filariasis akut
tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya. 2. Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan penyakit
sistemik granulomatous lainnya.
Pemeriksaan Penunjang
Komplikasi
1. Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah.
Cacing filaria dapat ditemukan dengan Pembesaran organ (kaki, tangan, skrotum atau
pengambilan darah tebal atau tipis pada bagian tubuh lainnya) akibat obstruksi saluran
waktu malam hari antara jam 10 malam limfe.
sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan
pewarnaan Giemsa atau Wright. Mikrofilaria Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
juga dapat ditemukan pada cairan hidrokel Penatalaksanaan
atau cairan tubuh lain (sangat jarang).
2. Pemeriksaan darah tepi terdapat leukositosis Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah
dengan eosinofilia sampai 10-30% dengan atau memperbaiki perjalanan penyakit, antara
pemeriksaan sediaan darah jari yang lain dengan:
diambil mulai pukul 20.00 waktu setempat. 1. Memelihara kebersihan kulit.
3. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan 2. Fisioterapi kadang diperlukan pada
Diethylcarbamazine provocative test. penderita limfedema kronis.
Gambar 1.3 Filariasis 3. Obatantifilaria adalah Diethyl carbamazine
citrate (DEC) dan Ivermektin (obat ini
bermanfaat apabila diberikan pada fase
akut yaitu ketika pasien mengalami
limfangitis).
4. DEC dapat membunuh mikrofilaria dan
cacing dewasa. Ivermektin merupakan
antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak
memiliki efek makrofilarisida.
5. Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari
setelah makan, selama 12 hari, pada
TropicalPulmonary Eosinophylia (TPE)
pengobatan diberikan selama tiga minggu.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 6. Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi
terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing
Diagnosis Klinis
dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, protein yang dilepaskan pada saat cacing
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dewasa mati dapat terjadi beberapa jam
identifikasi mikrofilaria. setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang
mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan
Didaerah endemis, bila ditemukan adanya reaksi lokal:
limfedema di daerah ekstremitas disertai a. Reaksi sistemik berupa demam, sakit
dengankelainan genital laki-laki pada penderita kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia,
dengan usia lebih dari 15 tahun, bila tidak ada malaise, dan muntah-muntah. Reaksi
sebablain seperti trauma atau gagal jantung sistemik cenderung berhubungan
kongestif kemungkinan filariasis sangat tinggi. dengan intensitas infeksi.
Diagnosis Banding b. Reaksi lokal berbentuk limfadenitis,
abses, dan transien limfedema. Reaksi
1. Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma lokal terjadi lebih lambat namun
dapat mengacaukan adenolimfadenitis berlangsung lebih lama dari reaksi
sistemik. diulang 6 bulan kemudian.
c. Efek samping DEC lebih berat pada
penderita onchorcerciasis, sehinggaobat Kriteria rujukan
tersebut tidak diberikan dalam Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan
program pengobatan masal didaerah operatif atau bila gejala tidak membaik dengan
endemis filariasis dengan ko- endemis pengobatan konservatif.
Onchorcercia valvulus.
7. Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/ Peralatan
kgBB efektif terhadap penurunan derajat Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
mikrofilaria W. bancrofti, namun pada mikrofilaria.
filariasis oleh Brugia spp. penurunan
tersebut bersifat gradual. Efek samping Prognosis
ivermektin sama dengan DEC,
kontraindikasi ivermektin yaitu wanita Prognosis pada umumnya tidak mengancam
hamil dan anak kurang dari 5 tahun. Karena jiwa. Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam,
tidak memiliki efek terhadap cacing sedangkan quo ad sanationam adalah malam.
dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 Prognosis penyakit ini tergantung dari:
bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar
derajat mikrofilaremia tetap rendah. 1. Jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria
8. Pemberian antibiotik dan/ atau anti jamur dalam tubuh pasien.
akan mengurangi serangan berulang, 2. Potensi cacing untuk berkembang biak.
sehingga mencegah terjadinya limfedema 3. Kesempatan untuk infeksi ulang.
kronis. 4. Aktivitas RES.
9. Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis
untuk mengatasi efek samping pengobatan. baik terutama bila pasien pindah dari daerah
Analgetik dapat diberikan bila diperlukan. endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut
10. Pengobatan operatif, kadang-kadang dapat dilakukan dengan pemberian obat serta
hidrokel kronik memerlukan tindakan pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus
operatif, demikian pula pada chyluria yang lanjut terutama dengan edema pada tungkai,
tidak membaik dengan terapi konservatif. prognosis lebih buruk.
Konseling dan Edukasi Referensi
Memberikan informasi kepada pasien dan 1. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M.
keluarganya mengenai penyakit filariasis Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi, Brugria
terutama dampak akibat penyakit dan cara timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson
penularannya. Pasien dan keluarga juga harus Textbook of Pediatric.18thEd.2007: 1502-
memahami pencegahan dan pengendalian 1503. (Behrman, et al., 2007)
penyakit menular ini melalui: 2. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic
1. Pemberantasan nyamuk dewasa Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook
2. Pemberantasan jentik nyamuk of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108.
3. Mencegah gigitan nyamuk (Rudolph, et al., 2007)
3. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki,
Rencana Tindak Lanjut S.H.Hindra Irawan S. FilariasisdalamBuku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan
Setelah pengobatan, dilakukan kontrol
Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2010: 400-
ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila
masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada 407. (Sumarmo, et al.,2010)
pemeriksaan darahnya, pengobatan dapat
8.INFEKSI PADA UMBILIKUS
No. ICPC-2: A94 Perinatal morbidity other
No. ICD-10: P38 Omphalitis of newborn with or without mild haemorrhage
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Penunjang: -
Tali pusat biasanya lepas pada hari ke-7 setelah
Penegakan Diagnostik (Assessment)
lahir dan luka baru sembuh pada hari ke-15.
Infeksi pada tali pusat atau jaringan kulit di Diagnosis Klinis
sekitar perlu dikenali secara dini dalam rangka
mencegah sepsis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Adanya tanda-tanda
Hasil Anamnesis (Subjective) infeksi disekitar umblikus seperti bengkak,
kemerahan dan kekakuan. Pada keadaan tertentu
Keluhan
ada lesi berbentuk impetigo bullosa.
Panas, rewel, tidak mau menyusu. Faktor Risiko
Diagnosis Banding
1. Imunitas seluler dan humoral belum
1. Tali pusat normal dengan akumulasi cairan
sempurna
berbau busuk, tidak ada tanda tanda infeksi
2. Luka umbilikus
(pengobatan cukup dibersihkan dengan
3. Kulit tipis sehingga mudah lecet
alkohol)
Faktor Predisposisi 2. Granuloma-delayed epithelialization/
Granuloma keterlambatan proses epitelisasi
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang karena kauterisasi
tidak steril
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Necrotizing fasciitis dengan tanda-tanda:
edema, kulit tampak seperti jeruk (peau
Pemeriksaan Fisik d’orange appearance) disekitar tempat
1. Ada tanda tanda infeksi di sekitar tali pusat infeksi, progresivitas cepat dan dapat
seperti kemerahan, panas, bengkak, nyeri, menyebabkan kematian maka kemungkinan
dan mengeluarkan pus yang berbau busuk. menderita.
2. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas: bila 2. Peritonitis
kemerahan dan bengkak terbatas pada 3. Trombosis vena porta
daerah kurang dari 1cm di sekitar pangkal 4. Abses
tali pusat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Infeksi tali pusat berat atau meluas:
bila kemerahan atau bengkak pada tali Penatalaksanaan
pusat meluas melebihi area 1 cm atau
kulit di sekitar tali pusat bayi mengeras 1. Perawatan lokal
dan memerah serta bayi mengalami a. Pembersihan tali pusat dengan
pembengkakan perut. menggunakan larutan antiseptik
(Klorheksidin atau iodium povidon
4. Tanda sistemik: demam, takikardia, hipotensi,
2,5%) dengan kain kasa yang bersih
letargi, somnolen, ikterus
delapan kali sehari sampai tidak ada
nanah lagi pada tali pusat.
b. Setelah dibersihkan, tali pusat dioleskan Kriteria Rujukan
dengan salep antibiotik 3-4 kali sehari.
2. Perawatan sistemik. Bila tanpa gejala 1. Bila intake tidak mencukupi dan anak
sistemik, pasien diberikan antibiotik seperti mulai tampak tanda dehidrasi
kloksasilin oral selama lima hari. Bila 2. Terdapat tanda komplikasi sepsis
anak tampak sakit, harus dicek dahulu ada Prognosis
tidaknya tanda-tanda sepsis. Anak dapat
diberikan antibiotik kombinasi dengan Prognosis jika pasien tidak mengalami
aminoglikosida. Bila tidak ada perbaikan, komplikasi umumnya dubia ad bonam.
pertimbangkan kemungkinan Meticillin
Referensi
Resistance Staphylococcus aureus (MRSA).
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi
Kontrol kembali bila tidak ada perbaikan Tali Pusat dalam Panduan Manajemen
atau ada perluasan tanda-tanda infeksi dan Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta. Departemen
komplikasi seperti bayi panas, rewel dan mulai Kesehatan RI. (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
tak mau makan. 2003)
Rencana tindak lanjut: - 2. Peadiatrics Clerkship University. The
University of Chicago.

9.KANDIDIASIS MULUT
No. ICPC-2: A78 Infectious desease other
No. ICD-10: B37.9 Candidiasis unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Guam atau oral thrush yang diselaputi
Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, pseudomembran pada mukosa mulut.
mukosa maupun organ dalam, sedangkan
Pemeriksaan Penunjang
pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat
dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam
pelarut KOH 10% atau pewarnaan Gram.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan:
Diagnosis Klinis
Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa
metal, dan daya kecap penderita yang berkurang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Faktor Risiko: imunodefisiensi
Diagnosis Banding
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Peradangan mukosa mulut yang disebabkan
oleh bakteri atau virus.
Pemeriksaan Fisik
Komplikasi
1. Bercak merah, dengan maserasi di daerah
sekitar mulut, di lipatan (intertriginosa) Diare karena kandidiasis saluran cerna.
disertai bercak merah yang terpisah di
sekitarnya (satelit).
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit
lainnya, seperti HIV.
1. Memperbaiki status gizi dan menjaga
kebersihan oral Peralatan
2. Kontrol penyakit predisposisinya
3. Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
larutan nistatin 100.000 – 200.000 IU/ml Prognosis
yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3
hari Prognosis pada pasien dengan imunokompeten
umumnya bonam.
Rencana Tindak Lanjut
Referensi
1. Dilakukan skrining pada keluarga dan
perbaikan lingkungan keluarga untuk 1. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007.
menjaga tetap bersih dan kering. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
2. Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
tidak ada perbaikan dengan obat anti 2007)
jamur.

10. LEPRA
No. ICPC-2: A78 Infectious disease other/NOS No. ICD-10: A30 Leprosy (Hansen disease]
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Kontak lama dengan pasien, seperti anggota
Lepra adalah penyakit menular, menahun keluarga yang didiagnosis dengan lepra
dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae 3. Imunokompromais
yang bersifat intraselular obligat. Penularan 4. Tinggal di daerah endemik lepra
kemungkinan terjadi melalui saluranpernapasan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan
Sederhana (Objective)
terus menerus. Masa inkubasi rata-rata 2,5
tahun, namun dapat juga bertahun-tahun. Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective) Tanda Patognomonis
Keluhan 1. Tanda-tanda pada kulit
Perhatikan setiap bercak, bintil (nodul),
Bercak kulit berwarna merah atau putih bercak berbentuk plakat dengan kulit
berbentuk plakat, terutama di wajah dan telinga. mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak
Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. Lepuh pada berkeringat dan berambut. Terdapat baal
kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan
sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila suhu, vitiligo. Pada kulit dapat pula
terdapat keterlibatan saraf tepi. ditemukan nodul.
Faktor Risiko 2. Tanda-tanda pada saraf
Penebalan nervus perifer, nyeri tekan
1. Sosial ekonomi rendah dan atau spontan pada saraf, kesemutan,
tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota
gerak, kelemahan anggota gerak dan atau
wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit
sembuh.
Kerusakan saraf tepi biasanya terjadi pada
saraf yang ditunjukkan pada gambar 1.4.
3. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi
Untuk kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik, simbol- simbol pada
gambar 1.5 digunakan dalam penulisan di
rekam medik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada
sediaan kerokan jaringan kulit.
Gambar 1.5 Penulisan kelainan pemeriksaan
fisik pada rekam medik
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu
dari tanda-tanda utama atau kardinal (cardinal
signs), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan
fungsi saraf
3. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam
kerokan jaringan kulit (slit skin smear)
Sebagian besar pasien lepra didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan klinis.
Gambar 1.4 Saraf tepi yang perlu diperiksa pada Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu
lepra/kusta Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB)

Tabel 1.6 Tanda utama lepra tipe PB dan MB

Tanda Utama PB MB
Bercak Kusta Jumlah 1-5 Jumlah >5
Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
dan/ atau kelemahan otot, di daerah yang dipersarafi saraf
yang bersangkutan)
Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif
Tabel 1.7 Tanda lain klasifikasi lepra

PB MB
Distribusi Unilateral atua bilateral Bilateral simetris
asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Kurang jelas
Deformias Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut
Ciri khas - Maradosis, hidung pelanam wajah singa
(facies leonina), ginekomastia pada pria

Bercak putih
1. Vitiligo
2. Pitiriasis versikolor
3. Pitiriasis alba
Nodul
1. Neurofibromatosis
2. Sarkoma Kaposi
3. Veruka vulgaris
Komplikasi
1. Arthritis.
2. Sepsis
3. Amiloid sekunder
4. Reaksi kusta adalah interupsi dengan
episode akut pada perjalanan yang
Gambar 1.6 : Alur diagnosis dan klasifikasi kusta sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi
Diagnosis Banding hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal)
atau hipersentitivitas humoral (tipe 2/
Bercak eritema eritema nodosum leprosum/ENL).
1. Psoriasis
2. Tinea circinata
3. Dermatitis seboroik
Tabel 1.8 Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2

Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


Pasien dengan bercak multipel dan diseminata, Obat MDT, kecuali Lampren
mengenai area tubuh yang luas serta
keterlibatan saraf multiple
Bercak luas pada wajah dan lesi dekat mata, BI > 4+
berisiko terjadinya lagoftalmos karena reaksi
Saat puerpurium (karena peningkatan Kehamilan awal (karena stress mental),
CMI). Paling tinggi 6 bulan pertama setelah trisemester ke-3, dan puerpurium (karena
melahirkan/ masa menyusui stress fisik), setiap masa kehamilan (karena
infeksi penyerta)
Infeksi penyerta: Hepatitis B dan C Infeksi penyerta: streptokokus, virus, cacing,
filarial, malaria
Neuritis atau riwayat nyeri saraf Stres fisik dan mental
Lain-lain seperti trauma, operasi, imunisasi
protektif, tes Mantoux positif kuat, minum
kalium hidroksida

Tabel 1. 9 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 kusta

No Gejala Tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


1 Tipe kusta Dpat terjadi pada kusta tipe Hanya terjadi pada kusta tipe PB
MB maupun PB
2 Waktu Biasanya segera setelah Biasanya setelah pengobatan yang
timbulnya pengobatan lama, umumnya minimal 6 bulan
3 Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan Ringan sampai berat disertai
(sub-febris) atau tanpa kelemahan umum dan demam
demam yang tinggi
4 Peradagan di Bercak kulit lama menjadi lebih Timbul nodus kemerahan lunak
kulit meradang (merah), bengkak, nyeri tekan. Biasanya pada lengan
berkilat, hangat. Kadang-kadang dan tungkai. Nodus dapat pecah.
hanya pada sebagian lesi. Dapat
timbul bercak baru
5 Saraf Sering terjadi, umumnya berupa Dapat terjadi
nyeri saraf dan atau gangguan
fungsi saraf . silent neuritis (+)
6 Udem pada (+) (-)
ekstrimitas
7 Peradangan Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi, ginjal,
pada organ lain kelenjar getah bening dll
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 6. Terapi pada Pasien MB:
a. Pengobatan bulanan: hari pertama
Penatalaksanaan setiap bulannya (obat diminum di
1. Pasien diberikan informasi mengenai depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul
kondisi pasien saat ini, serta mengenai Rifampisin @300 mg (600 mg), 3 tablet
pengobatan dan pentingnya kepatuhan Lampren (klofazimin) @ 100 mg (300
untuk eliminasi penyakit. mg) dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
2. Kebersihan diri dan pola makan yang baik b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap
perlu dilakukan. bulannya: 1 tablet lampren 50 mg dan
3. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister
hingga selesai terapi dilaksanakan. obat untuk 1 bulan.
4. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy c. Pasien minum obat selama 12-18 bulan
(MDT) pada: (± 12 blister).
a. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan d. Pada anak 10-15 tahun, dosis
belum pernah mendapat MDT. Rifampisin 450 mg, Lampren 150 mg
b. Pasien ulangan, yaitu pasien yang dan DDS 50 mg untuk dosis
mengalami hal-hal di bawah ini: bulanannya, sedangkan dosis harian
- Relaps untuk Lampren 50 mg diselang 1 hari.
- Masuk kembali setelah default 7. Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat
(dapat PB maupun MB) disesuaikan dengan berat badan:
- Pindahan (pindah masuk) a. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
- Ganti klasifikasi/tipe b. Dapson: 1-2 mg/kgBB
5. Terapi pada pasien PB: c. Lampren: 1 mg/kgBB
a. Pengobatan bulanan: hari pertama 8. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat
setiap bulannya (obat diminum di diberikan vitamin B1, B6, dan B12.
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul 9. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien
Rifampisin @300 mg (600 mg) dan 1 hamil dan menyusui. Bila pasien juga
tablet Dapson/DDS 100 mg. mengalami tuberkulosis, terapi rifampisin
b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap disesuaikan dengan tuberkulosis.
bulannya: 1 tablet Dapson/DDS 100 mg. 10. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat
1 blister obat untuk 1 bulan. diganti dengan lampren, untuk MB dengan
c. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± alergi, terapinya hanya 2 macam obat
6 blister). (dikurangi DDS).
d. Pada anak 10-15 tahun, dosis
Rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.

Tabel 1.10 Efek samping obat dan penanganannya

Masalah Nama Obat Penanganan

Ringan
Air seni berwarna Rifampisin Reassurance (Menenangkan penderita
dengan penjelasan yang benar) Konseling
Perubahan warna kulit Clofazimin Konseling
menjadi coklat
Masalah gastrointestinal Semua obat (3 obat dalam Obat diminum bersamaan
MDT) dengan makanan (atau setelah
makan)
Anemia Dapson Berikan tablet Fe dan Asam folat
Masalah Nama Obat Penanganan
Serius
Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan Dapson, Rujuk
Alergi urtikaria Dapson atau Rifampisin Hentikan keduanya, Rujuk
Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
ginjal

Terapi untuk reaksi kusta ringan, dilakukan


dengan pemberian prednison dengan cara diperlukan pemeriksaan laboratorium.
pemberian: 4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki
faktor risiko: cacat tingkat 1 atau 2,
1. 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pernah mengalami reaksi, BTA pada awal
pagi hari sesudah makan pengobatan >3 (ada nodul atau infiltrat),
2. 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi maka perlu dilakukan pengamatan semiaktif.
hari sesudah makan 5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan
3. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan
hari sesudah makan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan
4. 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) laboratorium.
pagi hari sesudah makan 6. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan
5. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-
hari sesudah makan 18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus
6. 2 Minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi pemeriksaan laboratorium.
hari sesudah makan 7. Default
7. Bila terdapat ketergantungan terhadap
Prednison, dapat diberikan Lampren lepas Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya
lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6
Konseling dan Edukasi bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya
untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu
1. Individu dan keluarga diberikan yang ditetapkan), maka yang bersangkutan
penjelasan tentang lepra, terutama cara dinyatakan default. Pasien defaulter tidak
penularan dan pengobatannya. diobati kembali bila tidak terdapat tanda- tanda
2. Dari keluarga diminta untuk membantu klinis aktif. Namun jika memiliki tanda-tanda
memonitor pengobatan pasien sehingga klinis aktif (eritema dari lesi lama di kulit/ ada
dapat tuntas sesuai waktu pengobatan. lesi baru/ ada pembesaran saraf yang baru).
3. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa
pada anggota keluarga lainnya, perlu Bila setelah terapi kembali pada defaulter
dibawa dan diperiksakan ke pelayanan ternyata berhenti setelah lebih dari 3 bulan,
kesehatan. maka dinyatakan default kedua. Bila default
lebih dari 2 kali, perlu dilakukan tindakan dan
Rencana tindak lanjut: penanganan khusus.
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal
Kriteria Rujukan
pengambilan obat.
2. Bila terlambat, paling lama dalam 1 bulan 1. Terdapat efek samping obat yang serius.
harus dilakukan pelacakan. 2. Reaksi kusta dengan kondisi:
3. Release From Treatment (RFT) dapat a. ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu
dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa
tubuh tinggi, neuritis. Referensi
b. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak
ulserasi atau neuritis. 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
c. Reaksi yang disertai komplikasi dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
penyakit lain yang berat, misalnya Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit
hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
lambung berat. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, 2012)
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
BTA 2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Prognosis Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. (Djuanda,
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun et al., 2007)
dubia ad malam pada fungsi ekstremitas, karena
dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk
kejadian berulangnya.

11. KERACUNAN MAKANAN


No. ICPC-2: A86Toxic Effect Non Medical Substance
No. ICD-10: T.62.2 Other Ingested (parts of plant(s)) Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Konsumsi daging/unggas yang kurang
Keracunan makanan merupakan suatu kondisi matang dapat dicurigai untuk Salmonella
gangguan pencernaan yang disebabkan spp, Campylobacter spp, toksin Shiga E coli,
oleh konsumsi makanan atau air yang dan Clostridium perfringens.
terkontaminasi dengan zat patogen dan atau
3. Konsumsi makanan laut mentah dapat
bahan kimia, misalnya Norovirus, Salmonella,
dicurigai untuk Norwalk- like virus, Vibrio
Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
spp, atau hepatitis A.
Staphylococcus aureus.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
Sederhana (Objective )
Keluhan
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Diare akut.
Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk
Pada keracunan makanan biasanya
menilai keparahan dehidrasi.
berlangsung kurang dari 2 minggu.
Darah atau lendir pada tinja; menunjukkan 1. Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda
invasi mukosa usus atau kolon. tekanan darah turun, nadi cepat, mulut
2. Nyeri perut. kering, penurunan keringat, dan penurunan
3. Nyeri kram otot perut; menunjukkan output urin.
hilangnya elektrolit yang mendasari, seperti
pada kolera yang berat. 2. Nyeri tekan perut, bising usus meningkat
4. Kembung. atau melemah.

Faktor Risiko Pemeriksaan Penunjang

1. Riwayat makan/minum di tempat yang 1. Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari


tidak higienis feses untuk telur cacing dan parasit.
2. Pewarnaan Gram, Koch dan metilen biru Kriteria Rujukan
Loeffler untuk membantu membedakan
penyakit invasifdari penyakitnon-invasif. 1. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3
hari ditangani dengan adekuat.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Pasien mengalami perburukan.
Diagnosis Klinis
Dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, dengan spesialis penyakit dalam atau spesialis
pemeriksaan fisik dan penunjang. anak.
Diagnosis Banding Peralatan
1. Intoleransi 1. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
2. Infus set
2. Diare spesifik seperti disentri, kolera dan
3. Antibiotik bila diperlukan
lain-lain.
Prognosis
Komplikasi : Dehidrasi berat
Prognosis umumnya bila pasien tidak
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
mengalami komplikasi adalah bonam.
Penatalaksanaan
Referensi
1. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
akut adalah self- limiting, pengobatan
khusus tidak diperlukan. Dari beberapa 2. Panduan Puskesmas untuk keracunan
studi didapatkan bahwa hanya 10% kasus makanan. Depkes: Jakarta. 2007
membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
utamanya adalah rehidrasi yang cukup dan 2007)
suplemen elektrolit. Hal ini dapat dicapai
dengan pemberian cairan rehidrasi oral
(oralit) atau larutan intravena (misalnya,
larutan natrium klorida isotonik, larutan
Ringer Laktat). Rehidrasi oral dicapai
dengan pemberian cairan yang
mengandung natrium dan glukosa.
Obat absorben (misalnya, kaopectate,
aluminium hidroksida) membantu
memadatkan feses diberikan bila diare
tidak segera berhenti.
2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari,
etiologi spesifik harus ditentukan dengan
melakukan kultur tinja. Untuk itu harus
segera dirujuk.
3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk
menjaga kebersihan diri.
Konseling dan Edukasi
Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga
higiene keluarga dan pasien.
12. ALERGI MAKANAN
No. ICPC-2: A92 Allergy/ allergic reaction NOS No. ICD-10: L27.2 Dermatitis due to ingested food
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
5. Hipersensitivitas susu sapi pada bayi
Makanan dapat menimbulkan beraneka ragam menyebabkan occult bleeding atau frank
gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap colitis.
alergen asal makanan. Reaksi tersebut dapat
disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Faktor Risiko
Reaksi alergi makanan terjadi bila alergen 1. Terdapat riwayat alergi di keluarga
makanan menembus sawar gastro intestinal
yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dalam beberapa menit sampai beberapa jam, Sederhana (Objective)
dapat terbatas pada satu atau beberapa organ, Pemeriksaan Fisik
kulit, saluran napas dan cerna, lokal dan sistemik.
Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta
Alergen makanan yang sering menimbulkan paru.
alergi pada anak adalah susu,telur, kacang tanah,
soya, terigu, dan ikan laut. Sedangkan yang Pemeriksaan Penunjang: -
sering menimbulkan alergi pada orang dewasa
Penegakan Diagnostik (Assessment)
adalah kacang tanah, ikan laut, udang, kepiting,
kerang, dan telur. Diagnosis Klinis
Alergi makanan tidak berlangsung seumur Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan
hidup terutama pada anak. Gejala dapat hilang, pemeriksaan fisik
namun dapat kambuh pada keadaan tertentu
seperti infeksi virus, nutrisi yang tidak seimbang Diagnosis Banding
atau cedera muskulus gastrointestinal. 1. Intoksikasi makanan
Hasil Anamnesis (Subjective) Komplikasi
Keluhan 1. Reaksi alergi berat
1. Pada kulit: eksim dan urtikaria. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
2. Pada saluran pernapasan: rinitis dan asma.
Penatalaksanaan
3. Keluhan pada saluran pencernaan: gejala
gastrointestinal non spesifik dan berkisar Medika mentosa
dari edema, pruritus bibir, mukosa pipi,
Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis:
mukosa faring, muntah, kram, distensi,dan
diare. 1. Hindari makanan penyebab
4. Diare kronis dan malabsorbsi terjadi akibat 2. Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi
reaksi hipersensitivitas lambat non Ig-E- makanan
mediated seperti pada enteropati protein Rencana Tindak Lanjut
makanan dan penyakit seliak
1. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien
2. Menghindari makanan yang bersifat Prognosis
alergen secara sengaja mapun tidak sengaja
(perlu konsultasi dengan ahli gizi) Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam
3. Perhatikan label makanan bila medikamentosa disertai dengan perubahan
4. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan gaya hidup.
menimbulkan efek protektif terhadap alergi Referensi
makanan
1. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J
Kriteria Rujukan Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 116-25.
Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, (Sichere & Sampson, 2010)
uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi 2. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai
reaksi anafilaksis. Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan.Ed.
Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas
Peralatan Press. 2001. (Prawirohartono, 2001)
3. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan
-
Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat.
2003. (Davies, 2003)

13. SYOK
No. ICPC-2: K99 Cardiovascular disease other
No. ICD-10: R57.9 Shock, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
hilangnya sirkulasi volume intravaskuler
Syok merupakan salah satu sindroma sebesar >20-25% sebagai akibat dari
kegawatan yang memerlukan penanganan perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan
intensif dan agresif. Syok adalah suatu sindroma cairan pada ruang ketiga atau akibat
multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan sekunder dilatasi arteri dan vena.
lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia 2. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi
sel dan disfungsimultipel organ. Kegagalan dan suplai oksigen disebabkan oleh adanya
perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan kerusakan primer fungsi atau kapasitas
oksigen sistemik yang tidak adekuat tak pompa jantung untuk mencukupi
mampu memenuhi kebutuhan metabolisme sel. volume jantung semenit, berkaitan
Karakteristik kondisi ini, yaitu: 1) dengan terganggunya preload, afterload,
ketergantungan suplai oksigen, 2) kekurangan kontraktilitas, frekuensi ataupun ritme
oksigen, 3) Asidosis jaringan sehingga terjadi jantung. Penyebab terbanyak adalah
metabolisme anaerob dan berakhir dengan infark miokard akut, keracunan obat, infeksi/
kegagalan fungsi organ vital dan kematian. inflamasi, gangguan mekanik.
3. Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, suplai oksigen disebabkan oleh menurunnya
penyebab dan karakteristik pola hemodinamik tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi
yang ditimbulkan, yaitu: arterial, penumpukan vena dan redistribusi
1. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi aliran darah. Penyebab dari kondisi
dan suplai oksigen disebabkan oleh tersebut terutama komponen vasoaktif
pada syok anafilaksis; bakteria dan
toksinnya pada septik syok sebagai mediator Syok obstruktif, tampak hampir sama dengan
dari SIRS; hilangnya tonus vaskuler pada syok kardiogenik dan hipovolemik.
syok neurogenik.
4. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi Faktor Risiko: -
dan suplai oksigen berkaitan dengan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terganggunya mekanisme aliran balik Sederhana (Objective)
darah oleh karena meningkatnya tekanan
intratorakal atau terganggunya aliran keluar Pemeriksaan Fisik
arterial jantung (emboli pulmoner, emboli
Keadaan umum:
udara, diseksi aorta, hipertensi pulmoner,
tamponade perikardial, perikarditis 1. Hipotensi dan penyempitan tekanan
konstriktif) ataupun keduanya oleh karena denyutan (adalah tanda hilangnya cairan
obstruksi mekanis. yang berat dan syok).
5. Syok Endokrin, disebabkan oleh 2. Hipertermi, normotermi, atau hipotermi
hipotiroidisme, hipertiroidisme dengan dapat terjadi pada syok. Hipotermia adalah
kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal. tanda dari hipovolemia berat dan syok
Pengobatannya dengan tunjangan septik.
kardiovaskular sambil mengobati 3. Detak jantung naik, frekuensi nafas naik,
penyebabnya. Insufisiensi adrenal mungkin kesadaran turun.
kontributor terjadinya syok pada pasien 4. Produksi urin turun. Produksi urin
sakit gawat. Pasien yang tidak respon pada merupakan penunjuk awal hipovolemia dan
pengobatan harus tes untuk insufisiensi respon ginjal terhadap syok.
adrenal. 5. Gambaran klinis syok kardiogenik tampak
sama dengan gejala klinis syok hipovolemik,
Hasil Anamnesis (Subjective) ditambah dengan adanya disritmia, bising
Keluhan jantung, gallop.
6. Gejala klinis syok septik tak dapat
Pasien datang dengan lemas atau dapat tidak dilepaskan dari keadaan sepsis sendiri
sadarkan diri. berupa sindroma reaksi inflamasi sistemik
Gejala klinis juga tergantung etiologi (SIRS) dimana terdapat dua gejala atau
penyebabnya, yang sering terjadi adalah lebih:
tromboemboli paru, tamponade jantung, a. Temperatur > 380C atau < 360C.
obstruksi arterioventrikuler, tension b. Heart rate > 90x/mnt.
pneumotoraks. c. Frekuensi nafas > 20x/mn atau PaCO2 <
Untuk identifikasi penyebab, perlu ditanyakan 4,3 kPa.
faktor predisposisi seperti karena infark d. Leukosit >12.000 sel/mm atau
miokard antara lain: umur, diabetes melitus, <4000sel/ mm atau >10% bentuk
riwayat angina, gagal jantung kongestif, infark imatur.
anterior. Tanda awal iskemi jantung akut yaitu 7. Efek klinis syok anafilaktik mengenai
nyeri dada, sesak nafas, diaforesis, gelisah dan sistem pernafasan dan sistem sirkulasi,
ketakutan, nausea dan vomiting dan gangguan yaitu: Terjadi edema hipofaring dan laring,
sirkulasi lanjut menimbulkan berbagai disfungsi konstriksi bronkus dan bronkiolus, disertai
endorgan. Riwayat trauma untuk syok karena hipersekresi mukus, dimana semua keadaan
perdarahan atau syok neurogenik pada trauma ini menyebabkan spasme dan obstruksi
servikal atau high thoracic spinal cord injury. jalan nafas akut.
Demam dan riwayat infeksi untuk syok septik. 8. Syok neurogenik ditandai dengan hipotensi
Gejala klinis yang timbul setelah kontak dengan disertai bradikardi. Gangguan neurologis:
antigen pada syok anafilaktik. paralisis flasid, refleks ekstremitas hilang
dan priapismus.
9. Syok obstruktif, tampak hampir sama
dengan syok kardiogenik dan hipovolemik. Diagnosis awal etiologi syok adalah
Gejala klinis juga tergantung etiologi esensial, kemudian terapi selanjutnya
penyebabnya, yang sering terjadi adalah tergantung etiologinya.
tromboemboli paru, tamponade jantung,
obstruksi arterioventrikuler, tension 5. Tindakan invasif seperti intubasi
pneumothorax. Gejala ini akan berlanjut endotrakeal dan cricothyroidotomy atau
sebagai tanda-tanda akut kor pulmonal tracheostomy dapat dilakukan hanya
dan payah jantung kanan: pulsasi vena untuklife saving oleh dokter yang
jugularis, gallop, bising pulmonal, aritmia. kompeten.
Karakteristik manifestasi klinis tamponade Syok Hipovolemik:
jantung: suara jantung menjauh, pulsus
altemans, JVP selama inspirasi. Sedangkan 1. Infus cepat kristaloid untuk ekspansi
emboli pulmonal: disritmia jantung, gagal volume intravaskuler melalui kanula vena
jantung kongesti. besar (dapat lebih satu tempat) atau
melalui vena sentral.
Pemeriksaan Penunjang
2. Pada perdarahan maka dapat diberikan 3-
1. Pulse oxymetri 4 kali dari jumlah perdarahan. Setelah
2. EKG pemberian 3 liter disusul dengan transfusi
Penegakan Diagnostik (Assessment) darah. Secara bersamaan sumber perdarahan
harus dikontrol.
Diagnosis Klinis
3. Resusitasi tidak komplit sampai serum
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, laktat kembali normal. Pasien syok
pemeriksaan fisik, dan penunjang. hipovolemik berat dengan resusitasi
cairan akan terjadi penumpukan cairan di
Diagnosis Banding:- rongga ketiga.
Komplikasi
4. Vasokonstriksi jarang diperlukan pada syok
Kerusakan otak, koma,kematian. hipovolemik murni.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Syok Obstruktif:

Penatalaksanaan 1. Penyebab syok obstruktif harus


diidentifikasi dan segera dihilangkan.
1. Pengenalan dan restorasi yang cepat dari
perfusi adalah kunci pencegahan disfungsi 2. Pericardiocentesis atau pericardiotomi
organ multipel dan kematian. untuk tamponade jantung.

2. Pada semua bentuk syok, manajemen jalan 3. Dekompressi jarum atau pipa thoracostomy
nafas dan pernafasan untuk memastikan atau keduanya pada tension
oksigenasi pasien baik, kemudian restorasi pneumothorax.
cepat dengan infus cairan.
4. Dukungan ventilasi dan jantung,
3. Pilihan pertama adalah kristaloid (Ringer mungkin trombolisis, dan mungkin
laktat/Ringer asetat) disusul darah pada prosedur radiologi intervensional untuk
syok perdarahan. Keadaan hipovolemi emboli paru.
diatasi dengan cairan koloid atau kristaloid
5. Abdominal compartment syndrome diatasi
sekaligus memperbaiki keadaan asidosis.
dengan laparotomi dekompresif.
4. Pengobatan syok sebelumnya didahului
Syok Kardiogenik:
dengan penegakan diagnosis etiologi.
1. Optimalkan pra-beban dengan infus cairan.
2. Optimalkan kontraktilitas jantung dengan sehingga dapat ditambahkan dopamin dan
inotropik sesuai keperluan, seimbangkan efedrin. Agen antimuskarinikatropin dan
kebutuhan oksigen jantung. Selain itu, dapat glikopirolat juga dapat untuk mengatasi
dipakai dobutamin atau obat vasoaktif lain. bradikardi.
3. Sesuaikan pasca-beban untuk 3. Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla
memaksimalkan CO. Dapat dipakai spinalis yang terkena.
vasokonstriktor bila pasien hipotensi Rencana Tindak Lanjut
dengan SVR rendah. Pasien syok kardiogenik
mungkin membutuhkan vasodilatasi untuk Mencari penyebab syok dan mencatatnya di
menurunkan SVR, tahanan pada aliran darah rekam medis serta memberitahukan kepada
dari jantung yang lemah. Obat yang pasien dan keluarga untuk tindakan lebih lanjut
dapat dipakai adalah nitroprusside dan yang diperlukan.
nitroglycerin.
Konseling dan Edukasi
4. Diberikan diuretik bila jantung
Keluarga perlu diberitahukan mengenai
dekompensasi.
kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada
5. PACdianjurkan dipasang untuk penunjuk pasien dan pencegahan terjadinya kondisi
terapi. serupa.

6. Penyakit jantung yang mendasari harus Kriteria Rujukan


diidentifikasi dan diobati.
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien
Syok Distributif: dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder.

1. Pada SIRS dan sepsis, bila terjadi syok ini Peralatan


karena toksin atau mediator penyebab
1. Infus set
vasodilatasi. Pengobatan berupa resusitasi
2. Oksigen
cairan segera dan setelah kondisi cairan
3. NaCl 0,9%
terkoreksi, dapat diberikan vasopresor
4. Senter
untuk mencapai MAP optimal. Sering terjadi
5. EKG
vasopresor dimulai sebelum pra-beban
adekuat tercapai. Perfusi jaringan dan Prognosis
oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali
bila ada perbaikan pra-beban. Prognosis suatu syok amat tergantung dari
kecepatan diagnosa dan pengelolaannya
2. Obat yang dapat dipakai adalah dopamin, sehingga pada umumnya adalah dubia ad
norepinefrin dan vasopresin. bonam.
3. Dianjurkan pemasangan PAC. Referensi
4. Pengobatan kausal dari sepsis. 1. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan
Ilmiah Terpadu-1. Surabaya: FK Universitas
Syok Neurogenik:
Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et
1. Setelah mengamankan jalan nafas dan al.,2000)
resusitasi cairan, guna meningkatkantonus 2. Rahardjo, E. Update on Shock. Pertemuan
vaskuler dan mencegah bradikardi Ilmiah Terpadu-1.Surabaya: FK Universitas
diberikan epinefrin. Airlangga. 6-7 Mei 2000.
2. Epinefrin berguna meningkatkan tonus 3. Suryohudoyo, P. Update on Shock, Pertemuan
vaskuler tetapi akan memperberat bradikardi, Ilmiah Terpadu-1.Surabaya: FK Universitas
Airlangga. 6-7 Mei 2000.
14. REAKSI ANAFILAKTIK
No. ICPC-2: A92 Allergy/allergic reaction NOS
No. ICD-10: T78.2 Anaphylactic shock, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian
Anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas segera diikuti dengan sesak napas.
generalisata atau sistemik yang beronset
cepat, serius, dan mengancam. Jika reaksi Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang
paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik.
tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok
Walaupun gejala ini tidak mematikan namun
yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok
gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab
anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat
ini mungkin merupakan gejala prodromal
dan tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan
untuk timbulnya gejala yang lebih berat
serta keterampilan dalam pengelolaan syok
berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi.
anafilaktik.
Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa
Insidens syok anafilaktik 40–60% adalah akibat gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk
gigitan serangga, 20– 40% akibat zat kontras kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat.
radiografi, dan 10–20%akibat pemberian obat Manifestasi dari gangguan gastrointestinal
penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan berupa perut kram,mual,muntah sampai diare
prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih yang juga dapat merupakan gejala prodromal
sangat kurang. Anafilaksis yang fatal hanya kira- untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan
kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat sirkulasi.
pertahun. Sebagian besar kasus yang serius
anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik Faktor Risiko: Riwayat Alergi
seperti penisilin dan bahan zat radiologis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Penisilin merupakan penyebab kematian 100 Sederhana (Objective)
dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.
Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pasien tampak sesak, frekuensi napas
Keluhan meningkat, sianosis karena edema laring dan
bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi
yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya
anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
takikardia, edema periorbital, mata berair,
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau
hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada
tingkat sensitivitas seseorang, namun pada
kulit berupa urtikaria dan eritema.
tingkat yang berat barupa syok anafilaktik
gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi Penegakan Diagnostik (Assessment)
dan gangguan respirasi. Kedua gangguan
tersebut dapat timbul bersamaan atau Diagnosis Klinis
berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi Untuk membantu menegakkan diagnosis
dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada maka World Allergy Organization telah
dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat membuat beberapa kriteria di mana reaksi
keadaan penderita. anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila:
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, 1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga
beberapa jam) yang melibatkan kulit, stroke)
jaringan mukosa, atau keduanya (misal: 2. Sindrom flush
urtikaria generalisata, pruritus dengan a. Perimenopause
kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/ b. Sindrom karsinoid
uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda c. Epilepsi otonomik
berikut ini: d. Karsinoma tiroid meduler
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, 3. Sindrom pasca-prandial
wheezing akibat bronkospasme, stridor, a. Scombroidosis, yaitu keracunan
penurunan arus puncak ekspirasi/APE, histamin dari ikan, misalnya tuna, yang
hipoksemia). disimpan pada suhu tinggi.
b. Penurunan tekanan darah atau gejala b. Sindrom alergi makanan berpolen,
yang berkaitan dengan kegagalan organ umumnya buah atau sayur yang
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, mengandung protein tanaman yang
sinkop, inkontinensia). bereaksi silang dengan alergen di udara
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut c. Monosodium glutamat atau Chinese
yang muncul segera (beberapa restaurant syndrome
menit hingga beberapa jam) setelah d. Sulfit
terpapar alergen yang mungkin (likely e. Keracunan makanan
allergen), yaitu: 4. Syok jenis lain
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit a. Hipovolemik
b. Gangguan respirasi b. Kardiogenik
c. Penurunan tekanan darah atau gejala c. Distributif
yang berkaitan dengan kegagalan organ d. Septik
target 5. Kelainan non-organik
d. Gejala gastrointestinal yang persisten a. Disfungsi pita suara
(misal: nyeri kram abdomen, muntah) b. Hiperventilasi
3. Atau, penurunan tekanan darah segera c. Episode psikosomatis
(beberapa menit atau jam) setelah terpapar 6. Peningkatan histamin endogen
alergen yang telah diketahui (known a. Mastositosis / kelainan klonal sel mast.
allergen), sesuai kriteria berikut: b. Leukemia basofilil
a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik 7. Lainnya
rendah (menurut umur) atau terjadi a. Angioedema non-alergik, misal:
penurunan > 30% dari tekanan darah angioedema herediter tipe I, II, atau III,
sistolik semula. angioedema terkait ACE-inhibitor)
b. Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 b. Systemic capillary leak syndrome
mmHg atau terjadi penurunan>30% c. Red man syndrome akibat vancomycin
dari tekanan darah sistolik semula. d. Respon paradoksikal pada
feokromositoma
Diagnosis Banding
Komplikasi
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut 1. Koma
b. Sinkop 2. Kematian
c. Gangguan cemas / serangan panik
d. Urtikaria akut generalisata Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
e. Aspirasi benda asing Penatalaksanaan
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark
miokard, emboli paru) 1. Posisi trendelenburg atau berbaring
g. Kelainan neurologis akut (kejang, dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan digunakan deksametason 5–10 mg IV atau
venous return sehingga tekanan darah ikut hidrokortison 100–250 mg IV.
meningkat. 7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP),
2. Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus seandainya terjadi henti jantung
dilakukan, pada keadaan yang sangat ekstrim (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
tindakan trakeostomi atau kardiopulmoner segera harus dilakukan
krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan. sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya.
3. Pemasangan infus, cairan plasma expander Mengingat kemungkinan terjadinya henti
(Dextran) merupakan pilihan utama guna jantung pada suatu syok anafilaktik selalu
dapat mengisi volume intravaskuler ada, maka sewajarnya di setiap ruang praktek
secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, seorang dokter tersedia selain obat-obat
Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat emergency, perangkat infus dan cairannya
dipakai sebagai cairan pengganti. juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit)
Pemberian cairan infus sebaiknya untuk memudahkan tindakan secepatnya.
dipertahankan sampai tekanan darah 8. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi
kembali optimal dan stabil. Anafilaksis (Lihat Penjelasan 1) Rencana
4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : Tindak Lanjut
1000 diberikan secara intramuskuler yang 9. Mencari penyebab reaksi anafilaktik
dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan dan mencatatnya di rekam medis serta
umumnya diperlukan, mengingat lama memberitahukan kepada pasien dan
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon keluarga.
pemberian secara intramuskuler kurang
efektif, dapat diberi secara intravenous Konseling dan Edukasi
setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan Keluarga perlu diberitahukan mengenai
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-
diberikan perlahan-lahan. Pemberian obat yang telah dilaporkan bersifat antigen
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok (serum,penisillin, anestesi lokal, dll) harus selalu
anafilaktik karena efeknya lambat bahkan waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik.
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada
pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-
terjadi. penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai
5. Aminofilin, dapat diberikan dengan lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang
sangat hati-hati apabila bronkospasme sama bila sebelumnya pernah ada riwayat
belum hilang dengan pemberian adrenalin. alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
250 mg aminofilin diberikan perlahan- dengan preparat lain yang lebih aman.
lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus Kriteria Rujukan
bila dianggap perlu. Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan
6. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan penanganan yang dilakukan tidak terdapat
pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
obat tersebut kurang manfaatnya pada
tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan Peralatan
setelah gejala klinik mulai membaik
guna mencegah komplikasi selanjutnya 1. Infus set
berupa serum sickness atau prolonged 2. Oksigen
effect. Antihistamin yang biasa digunakan 3. Adrenalin ampul, aminofilin ampul,
adalah difenhidramin HCl 5–20 mg IV difenhidramin vial, deksametason ampul
dan untuk golongan kortikosteroid dapat 4. NaCl 0,9%
Prognosis 2. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute
allergic reactions. In:International edition
Prognosis suatu syok anafilaktik amat Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen.
tergantung dari kecepatan diagnosa dan Stapczynski. 5thEd. New York: McGrraw-Hill.
pengelolaannya karena itu umumnya adalah 2000: p. 242-6.
dubia ad bonam.
3. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi
Referensi dan penanganan dalam Update on Shock.
1. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Pertemuan Ilmiah Terpadu. Fakultas
Reactions. In:Text Book of Critical care. Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, 2000.
R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia:
WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.

15. DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE


No. ICPC-2: A77 Viral disease other/NOS No. ICD-10: A90 Dengue fever
A91 Dengue haemorrhagic fever
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
atau di bawah tulang iga)
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) 5. Kadang disertai juga dengan gejala lokal,
masih menjadi salah satu masalah kesehatan seperti: nyeri menelan, batuk, pilek.
masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden 6. Pada kondisi syok, anak merasa lemah,
penyakit DBD Indonesia merupakan yang gelisah, atau mengalami penurunan
tertinggi diantara negara-negara Asia Tenggara. kesadaran.
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan 7. Pada bayi, demam yang tinggi dapat
mencatat terdapat 103.649 penderita menimbulkan kejang.
dengan angka kematian mencapai 754 orang.
Faktor Risiko
Keterlibatan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama sangat dibutuhkan 1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik,
untuk menekan tingkat kejadian maupun misalnya: timbunan sampah, timbunan
mortalitas DBD. barang bekas, genangan air yang seringkali
disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari.
Hasil Anamnesis (Subjective)
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada
Keluhan genangan air di tempat tinggal pasien
sehari-hari.
1. Demam tinggi, mendadak, terus menerus 3. Adanya penderita demam berdarah
selama 2 – 7 hari. dengue (DBD) di sekitar pasien.
2. Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-
bintik merah di kulit, mimisan, gusi Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
berdarah, muntah berdarah, atau buang air sederhana (Objective)
besar berdarah.
Pemeriksaan Fisik
3. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital. Tanda patognomonik untuk demam dengue
4. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, 1. Suhu > 37,5 derajat celcius
muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati 2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa 5. Leukopenia < 4.000/mm3
4. Rumple Leed (+) 6. Trombositopenia < 100.000/mm3
Tanda Patognomonis untuk demam berdarah Apabila ditemukan gejala demam ditambah
dengue dengan adanya dua atau lebih tanda dan gejala
lain, diagnosis klinis demam dengue dapat
1. Suhu > 37,5 derajat celcius ditegakkan.
2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue
4. Rumple Leed (+)
5. Hepatomegali 1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak,
6. Splenomegali tinggi, terus-menerus (kontinua)
7. Untuk mengetahui terjadi kebocoran 2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang
plasma, diperiksa tanda- tanda efusi pleura spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
dan asites. epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis
dan atau melena; maupun berupa uji
8. Hematemesis atau melena
Tourniquette yang positif
Pemeriksaan Penunjang : 3. Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital
1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan: 4. Adanya kasus demam berdarah dengue
a. Trombositopenia (≤ 100.000/µL). baik di lingkungan sekolah, rumah atau di
b. Kebocoran plasma yang ditandai sekitar rumah
dengan: a. Hepatomegali
• peningkatan hematokrit (Ht) ≥ 20% b. Adanya kebocoran plasma yang
dari nilai standar data ditandai dengan salah satu:
• populasi menurut umur • Peningkatan nilai hematokrit, >20%
• Ditemukan adanya efusi pleura, dari pemeriksaan awal atau dari
asites data populasi menurut umur
• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia • Ditemukan adanya efusi pleura,
c. Leukopenia < 4000/μL. asites
2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG anti- • Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
Dengue, yang titernya dapat terdeteksi c. Trombositopenia <100.000/mm3
setelah hari ke-5 demam.
Adanya demam seperti di atas disertai
Penegakan Diagnosis (Assessment) dengan 2 atau lebih manifestasi klinis,
Diagnosis Klinis ditambah bukti perembesan plasma dan
trombositopenia cukup untuk menegakkan
Diagnosis Klinis Demam Dengue diagnosis Demam Berdarah Dengue.
1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, Tanda bahaya (warning signs) untuk
tinggi, terus-menerus, bifasik. mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang pada penderita Demam Berdarah Dengue.
spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis Klinis
dan atau melena; maupun berupa uji 1. Demam turun tetapi keadaan anak
tourniquet positif. memburuk
3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri 2. Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
retroorbital. 3. Muntah persisten Letargi, gelisah
4. Adanya kasus DBD baik di lingkungan Perdarahaan mukosa Pembesaran hati
sekolah, rumah atau di sekitar rumah. Akumulasi cairan Oliguria
Laboratorium Gambar 1.7, Alur penanganan pasien dengan
demam dengue/demam berdarah
1. Peningkatan kadar hematokrit bersamaan
dengan penurunan cepat jumlah trombosit
2. Hematokrit awal tinggi
Kriteria Diagnosis Laboratoris
Kriteria Diagnosis Laboratoris diperlukan
untuk survailans epidemiologi, terdiri atas:
Probable Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi
antidengue.
Confirmed Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat dengan deteksi genome virus Dengue
dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen dengue
pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan
serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari
negatif menjadi positif) pada pemeriksaan
serologi berpasangan.
Isolasi virus Dengue memberi nilai yang sangat
kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis, namun Konseling dan Edukasi
karena memerlukan teknologi yang canggih
1. Pinsip konseling pada demam berdarah
dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan dengue adalah memberikan pengertian
merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan. kepada pasien dan keluarganya tentang
Diagnosis Banding perjalanan penyakit dan tata laksananya,
sehingga pasien dapat mengerti bahwa
1. Demam karena infeksi virus (influenza, tidak ada obat/medika mentosa untuk
chikungunya, dan lain- lain) penanganan DBD, terapi hanya bersifat
2. Idiopathic thrombocytopenic purpura suportif dan mencegah perburukan penyakit.
3. Demam tifoid Penyakit akan sembuh sesuai dengan
perjalanan alamiah penyakit.
Komplikasi 2. Modifikasi gaya hidup
a. Melakukan kegiatan 3M: menguras,
Dengue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, mengubur, menutup.
gagal ginjal, gagal hati b. Meningkatkan daya tahan tubuh
dengan mengkonsumsi makanan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) bergizi dan melakukan olahraga secara
Penatalaksanaan pada Pasien rutin.

Dewasa Kriteria Rujukan


1. Terjadi perdarahan masif (hematemesis,
1. Terapi simptomatik dengan analgetik
melena).
antipiretik (Parasetamol 3x500-1000 mg).
2. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai
2. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi dosis 15 ml/kg/jam kondisi belum membaik.
- Alur penanganan pasien dengan demam 3. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis
dengue/demam berdarah dengue, yaitu: yang tidak lazim, seperti kejang, penurunan
pemeriksaan penunjang Lanjutan kesadaran, dan lainnya.
- Pemeriksaan Kadar Trombosit dan
Hematokrit secara serial
Penatalaksanaan pada Pasien Anak menit.
e.
Jika setelah pemberian cairan inisial
Demam berdarah dengue (DBD) tanpa tidak terjadi perbaikan klinis, ulangi
syok pemberian infus larutan kristaloid 20
ml/kgBB secepatnya (maksimal 30
1. Bila anak dapat minum menit) atau pertimbangkan pemberian
a. Berikan anak banyak minum larutan koloid 10-20 ml/kgBB/jam
• Dosis larutan per oral: 1-2 liter/hari (maksimal 30 ml/kgBB/24 jam).
atau 1 sendok makan tiap 5 menit. f. Jika nilai Ht dan Hb menurun
• Jenis larutan per oral: air putih, teh namun tidak terjadi perbaikan klinis,
manis, oralit, jus buah, air sirup, atau pertimbangkan terjadinya perdarahan
susu. tersembunyi. Berikan transfusi darah
b. Berikan cairan intravena (infus) sesuai bila fasilitas tersedia dan larutan
dengan kebutuhan untuk dehidrasi koloid. Segera rujuk.
sedang. Berikan hanya larutan g. Jika terdapat perbaikan klinis, kurangi
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat jumlah cairan hingga 10 ml/kgBB/
(RL) atau Ringer Asetat (RA), dengan jam dalam 2-4 jam. Secara bertahap
dosis sesuai berat badan sebagai diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi
berikut: klinis dan laboratorium.
• Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam h. Dalam banyak kasus, cairan intravena
• Berat badan 15-40 kg: 5 ml/kgBB/jam dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
• Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam Hindari pemberian cairan secara
2. Bila anak tidak dapat minum, berikan berlebihan.
cairan infus kristaloid isotonik sesuai 3. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
kebutuhan untuk dehidrasi sedang sesuai Rencana Tindak Lanjut
dengan dosis yang telah dijelaskan di atas.
3. Lakukan pemantauan: tanda vital dan Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok
diuresis setiap jam, laboratorium (DPL) per 1. Pemantauan klinis (tanda vital, perfusi
4-6 jam. perifer, diuresis) dilakukan setiap satu jam.
a. Bila terjadi penurunan hematokrit 2. Pemantauan laboratorium (Ht, Hb, trombosit)
dan perbaikan klinis, turunkan jumlah dilakukan setiap 4-6 jam, minimal 1 kali
cairan secara bertahap sampai setiap hari.
keadaan klinis stabil. 3. Pemantauan cairan yang masuk dan keluar.
b. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan Demam berdarah dengue (DBD) dengan
penatalaksanaan DBD dengan syok. syok
4. Bila anak demam, berikan antipiretik
(Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali) per oral. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
Hindari Ibuprofen dan Asetosal. tingkat pertama merujuk pasien ke RS jika
5. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi. kondisi pasien stabil.
Demam berdarah dengue (DBD) dengan syok Persyaratan perawatan di rumah
1. Kondisi ini merupakan gawat darurat dan 1. Persyaratan untuk pasien dan keluarga
mengharuskan rujukan segera ke RS. a. DBD non-syok (tanpa kegagalan
2. Penatalaksanaan awal: sirkulasi).
a. Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui b. Bila anak dapat minum dengan adekuat.
kanul hidung atau sungkup muka. c. Bila keluarga mampu melakukan
b. Pasang akses intravena sambil perawatan di rumah dengan adekuat.
melakukan pungsi vena untuk 2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan
pemeriksaan DPL. a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap yang
c. Berikan infus larutan kristaloid (RL atau bertanggung jawab penuh terhadap
RA) 20 ml/kg secepatnya. tatalaksana pasien.
d. Lakukan pemantauan klinis (tanda vital,
perfusi perifer, dan diuresis) setiap 30
b. Semua kegiatan tatalaksana dapat 5) Tidak menggantung baju, menghindari
dilaksanakan dengan baik di rumah. gigitan nyamuk, membubuhkan bubuk
c. Dokter dan/atau perawat mem-follow abate, dan memelihara ikan.
up pasien setiap 6-8 jam dan setiap
hari, sesuai kondisi klinis. Peralatan
d. Dokter dan/atau perawat dapat 1. Poliklinik set (termometer, tensimeter,
berkomunikasi seara lancar dengan senter)
keluarga pasien sepanjang masa 2. Infus set
tatalaksana. 3. Cairan kristaloid (RL/RA) dan koloid
Kriteria Rujukan 4. Lembar observasi / follow up
5. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
1. DBD dengan syok (terdapat kegagalan rutin
sirkulasi).
2. Bila anak tidak dapat minum dengan Prognosis
adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia
kegagalan sirkulasi. ad bonam, karena hal ini tergantung dari derajat
3. Bila keluarga tidak mampu melakukan beratnya penyakit.
perawatan di rumah dengan adekuat,
walaupun DBD tanpa syok. Referensi
Konseling dan Edukasi 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2006. Pedoman Tata laksana Demam
a. Penjelasan mengenai diagnosis, komplikasi, Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian
prognosis, dan rencana tata laksana. Kesehatan Republik Indonesia.
b. penjelasan mengenai tanda-tanda bahaya
(warning signs) yang perlu diwaspadai dan 2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis
kapan harus segera ke layanan kesehatan. dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
c. Penjelasan mengenai jumlah cairan yang Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22;
dibutuhkan oleh anak. p.3-7.
d. Penjelasan mengenai diet nutrisi yang perlu
diberikan. 3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever:
e. Penjelasan mengenai cara minum obat. diagnosis, treatment, prevention and control.
f. Penjelasan mengenai faktor risiko dan cara- 2nd Edition. Geneva. 1997
cara pencegahan yang berkaitan dengan 4. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan
perbaikan higiene personal, perbaikan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman
sanitasi lingkungan, terutama metode 4M bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama
plus seminggu sekali, yang terdiri atas: di Kabupaten/Kota. 1 ed. Jakarta: World
1) Menguras wadah air, seperti bak mandi, Health Organization Country Office for
tempayan, ember, vas bunga, tempat Indonesia.
minum burung, dan penampung air
kulkas agar telur dan jentik Aedes 5. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan
aegypti mati. Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis
2) Menutup rapat semua wadah air agar dan tata laksana infeksi virus dengue pada
nyamuk Aedes aegypti tidak dapat anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit
masuk dan bertelur. IDAI, 2014
3) Mengubur atau memusnahkan semua
barang bekas yang dapat menampung
air hujan agar tidak menjadi sarang dan
tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti.
4) Memantau semua wadah air yang
dapat menjadi tempat nyamuk Aedes
aegypti berkembang biak.
B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN

1. ANEMIA DEFISIENSI BESI


No. ICPC-2 : B80 Iron Deficiency Anaemia
No. ICD-10 : 280 Iron Deficiency Anemias
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai Sederhana (Objective)
penurunan jumlah massa eritrosit sehingga
Pemeriksaan Fisik
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah cukup ke 1. Gejala umum
jaringan perifer. Anemia merupakan masalah Pucat dapat terlihat pada: konjungtiva,
medik yang paling sering dijumpai di klinik di mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan
seluruh dunia. Diperkirakan >30% penduduk di bawah kuku.
dunia menderita anemia dan sebagian besar di 2. Gejala anemia defisiensi besi
daerah tropis. Oleh karena itu anemia seringkali a. Disfagia
tidak mendapat perhatian oleh para dokter di b. Atrofi papil lidah
klinik. c. Stomatitis angularis
d. Koilonikia
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
1. Pemeriksaan darah: hemoglobin (Hb),
Pasien datang ke dokter dengan keluhan: hematokrit (Ht), leukosit, trombosit, jumlah
eritrosit, morfologi darah tepi (apusan
1. Lemah darah tepi), MCV, MCH, MCHC, feses rutin,
2. Lesu dan urin rutin.
3. Letih 2. Pemeriksaan Khusus (dilakukan di layanan
4. Lelah sekunder) :Serum iron, TIBC, saturasi
5. Penglihatan berkunang-kunang transferin, dan feritin serum.
6. Pusing
7. Telinga berdenging Penegakan Diagnostik (Assessment)
8. Penurunan konsentrasi Diagnosis Klinis
9. Sesak nafas
Anemia adalah suatu sindrom yang dapat
Faktor Risiko disebabkan oleh penyakit dasar sehingga
penting menentukan penyakit dasar yang
1. Ibu hamil
menyebabkan anemia. Diagnosis ditegakkan
2. Remaja putri
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
3. Status gizi kurang
hasil pemeriksaan darah dengan kriteria Hb
4. Faktor ekonomi kurang
darah kurang dari kadar Hb normal.
5. Infeksi kronik
6. Vegetarian Nilai rujukan kadar hemoglobin normal
menurut WHO:
1. Laki-laki: >13 g/dL
2. Perempuan: >12 g/dL
3. Perempuan hamil: >11 g/dL
Diagnosis Banding <7 g/dL).
4. Anemia karena penyebab yang tidak
1. Anemia defisiensi vitamin B12 termasuk kompetensi dokter di layanan
2. Anemia aplastik tingkat pertama misalnya anemia
3. Anemia hemolitik aplastik, anemia hemolitik dan anemia
4. Anemia pada penyakit megaloblastik.
kronik Komplikasi 5. Jika didapatkan kegawatan (misal
perdarahan aktif atau distres pernafasan)
1. Penyakit jantung anemia pasien segera dirujuk.
2. Pada ibu hamil: BBLR dan IUFD
3. Pada anak: gangguan pertumbuhan dan Peralatan
perkembangan Pemeriksaan laboratorium sederhana (darah
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) rutin, urin rutin, feses rutin).

Penatalaksanaan Prognosis

Prinsip penatalaksanaan anemia harus Prognosis umumnya dubia ad bonam


berdasarkan diagnosis definitif yang telah karena sangat tergantung pada penyakit
ditegakkan. Setelah penegakan diagnosis dapat yang mendasarinya. Bila penyakit yang
diberikan sulfas ferrosus 3 x 200 mg (200 mg mendasarinya teratasi, dengan nutrisi yang baik
mengandung 66 mg besi elemental). anemia defisiensi besi dapat teratasi.

Rencana Tindak Lanjut Referensi

Untuk penegakan diagnosis definitif anemia 1. 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L.
defisiensi besi memerlukan pemeriksaan Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
laboratorium di layananan sekunder dan of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan McGraw-Hill Companies. 2009. (Braunwald,
di layanan tingkat pertama. et al., 2009)
2. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Konseling dan Edukasi Simadibrata, M. Setiati, S. Eds. Buku ajar
1. 1. Memberikan pengertian kepada pasien ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
dan keluarga tentang perjalanan penyakit Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
dan tata laksananya, sehingga Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al.,
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan 2006)
dalam berobat serta meningkatkan kualitas 3. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien
hidup pasien. Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
2. Pasien diinformasikan mengenai efek Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
samping obat berupa mual, muntah, Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II.
heartburn, konstipasi, diare, serta BAB Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
kehitaman. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 632-
3. Bila terdapat efek samping obat maka 36. (Sudoyo, et al., 2006)
segera ke pelayanan kesehatan.
Kriteria Rujukan
1. Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb <8 g/
dL.
2. Anemia dengan gejala tanpa melihat kadar
Hb segera dirujuk.
3. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb
2.HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI
No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10: Z21 Asymptomatic Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
tajam yang tercemar HIV
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang 8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
mengancam Indonesia dan banyak negara di 9. Pasangan serodiskordan – salah satu
dunia serta menyebabkan krisis multidimensi. pasangan positif HIV
Berdasarkan hasil estimasi Departemen
Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
169.000-216.000 orang dengan HIV dan AIDS Sederhana (Objective)
di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan Pemeriksaan Fisik
WHO memperkirakan sekitar 4,9 juta orang
hidup dengan HIV di Asia. 1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
Hasil Anamnesis (Subjective)
b. Demam
Keluhan
2. Kulit
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV
gejala atau keluhan tertentu. Pasien datang misalnya kulit kering dan dermatitis
dapat dengan keluhan: seboroik
1. Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau b. Tanda-tanda herpes simpleks dan
intermiten lebih dari satu bulan. zoster atau jaringan parut bekas
herpes zoster
2. Diare yang terus menerus atau intermiten
lebih dari satu bulan. 3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan leukoplakia, keilitis angularis
(BB) >10% dari berat badan dasar.
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang infeksi paru
menyertainya. 6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau
Faktor Risiko massa
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks,
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan duh vagina atau uretra
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan 8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan
sesama laki-laki dan transgender neurologis
4. Hubungan seksual yang berisiko atau tidak Pemeriksaan Penunjang
aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit 1. Laboratorium
infeksi menular seksual (IMS)
a. Hitung jenis leukosit : Limfopenia dan
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat
jumlah total limfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yatu 1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT =
menggunakan 3 macam tes dengan Voluntary Counseling and Testing)
titik tangkap yang berbeda, umumnya 2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas
dengan ELISA dan dikonfirmasi Western kesehatan (TIPK – PITC = Provider-Initiated
Blot Testing and Counseling)
c. Pemeriksaan DPL Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Radiologi: X-ray torak. Sebelum melakukan Diagnosis Klinis
tes HIV perlu dilakukan konseling
sebelumnya. Terdapat dua macam Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pendekatan untuk tes HIV pemeriksaan fisik dan hasil tes HIV. Stadium
klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal
Konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan dan setiap kali kunjungan.
dua cara:

Tabel 2.1. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik

1. Tidak ada penurunan BB


2. Tidak ada gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten

Stadium 2 Sakit Ringan

1. Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya)
2. ISPA berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)
3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Keilitis angularis
5. Ulkus mulut yang berulang
6. Ruam kulit yang gatal (Papular pruritic eruption)
7. Dermatitis seboroik
8. Infeksi jamur pada kuku

Stadium 3 Sakit Sedang

1. Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (> 10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya)
2. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
3. Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
4. Kandidiasis pada mulut yang menetap
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberkulosis paru
7. Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang
atau sendi, bakteriemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, ginggivitis atau periodontitis
9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb <8g/dL), neutropeni (<0,5 x 10 g/L) dan/atau
trombositopenia kronis (<50 x 10 g/L)
Stadium 4 Sakit Berat (AIDS)

1. Sindrom wasting HIV


2. Pneumonia pneumocystis jiroveci
3. Pneumonia bakteri berat yang berulang
4. Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan
atau viseral di bagian manapun)
5. Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
6. Tuberkulosis ekstra paru
7. Sarkoma kaposi
8. Penyakit sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan
kelenjar getah bening)
9. Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
10. Ensefalopati HIV
11. Pneumonia kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
12. Infeksi mikobakterium non tuberkulosis yang menyebar
13. Leukoencephalopathy multifocal progresif
14. Kriptosporidiosis kronis
15. Isosporiasis kronis
16. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
17. Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
18. Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
19. Karsinoma serviks invasif
20. Leishmaniasis diseminata atipikal
21. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

Diagnosis Banding
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu
Penyakit gangguan sistem imun dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) HIV.
Penatalaksanaan 1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4. Penentuan
Tatalaksana HIV di layanan tingkat pertama mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian
dapat dimulai apabila penderita HIV sudah klinis.
dipastikan tidak memiliki komplikasi atau infeksi 2. Tersedia pemeriksaan CD4
oportunistik yang dapat memicu terjadinya a. Mulai terapi ARV pada semua pasien
sindrom pulih imun. Evaluasi ada tidaknya dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
infeksi oportunistik dapat dengan merujuk ke tanpa memandang stadium klinisnya.
layanan sekunder untuk pemeriksaan lebih b. Terapi ARV dianjurkan pada semua
lanjut karena gejala klinis infeksi pada penderita pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
HIV sering tidak spesifik. koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang
jumlah CD4.
Tabel. 2.3. Dosis antiretroviral untuk ODHA dewasa

Gologan/obat Dosis

Nucleoside RTI
Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari 40 mg setiap 12 jam
Stavudine (d4T) (30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg) 300 mg setiap 12 jam
Zidovudine (ZDV atau AZT)

Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari, (Catatan: interaksi obat dengan ddI perlu mengurangi
dosis ddI)

Non-nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari
Nevirapine(NVP) (Neviral®) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam
Protease inhibitors
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12 jam bila
dikombinasi dengan EFV atau NVP)

ART kombinasi
AZT -3TC (Duviral ®) Diberikan 2x sehari dengan interval 12 jam

Rencana Tindak Lanjut


AZT maka perl dilakukanpengukuran
1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi kadar Hemoglobin (Hb) sebelum
ARV. Monitor perjalanan klinis penyakit dan memulai terapi dan pada minggu ke 4,
jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali. 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada
indikasi tanda dan gejala anemia
2. Pemantauan pasien dalam terapi
antiretroviral Bila menggunakan NVP untuk
perempuan dengan CD4 antara 250–
a. Pemantauan klinis 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan
Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 pemantauan enzim transaminase pada
dan 24 minggu sejak memulai terapi minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai
ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila terapi ARV (bila memungkinkan),
pasien telah mencapai keadaan stabil. dilanjutkan dengan pemantauan
berdasarkan gejala klinis.
b. Pemantauan laboratorium
Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan
Pemantauan CD4 secara rutin setiap untuk pasien yang mendapatkan TDF.
6 bulan atau lebih sering bila ada
indikasi klinis. Konseling dan Edukasi

Pasien yang akan memulai terapi dengan 1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB,
infeksi menular seksual (IMS), dan kelompok
risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, Prognosis
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. 2. Memberikan informasi kepada pasien Prognosis sangat tergantung kondisi pasien
dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat
Pasien disarankan untuk bergabung dengan ini adalah untuk memperpanjang masa hidup,
kelompok penanggulangan HIV/AIDS untuk belum merupakan terapi definitif, sehingga
menguatkan dirinya dalam menghadapi prognosis pada umumnya dubia ad malam.
pengobatan penyakitnya. Referensi
Kriteria Rujukan 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta:
serangkaian layanan yang meliputi Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan
penilaian stadium klinis, penilaian Republik Indonesia, 2011)
imunologis dan penilaian virologi. 2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia.
2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Peralatan PenyakitDalam. 4th Ed. Vol II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Layanan VCT Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30. (Sudoyo,
et al., 2006

3.LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


No. ICPC-2: L99 Systemic Lupus Erythematosus No. ICD-10: M32 Systemic Lupus Erythematosus
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
seringkali tidak terjadi saat bersamaan. Keluhan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) telah awal dapat berupa:
menjadi salah satu penyakit reumatik utama
1. Kelelahan
di dunia dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi
LES di berbagai negara sangat bervariasi 2. Nyeri sendi yang berpindah-pindah
antara 2,9/100.000-400/100.000 dan terutama 3. Rambut rontok
menyerang wanita usia reproduktif yaitu 15-40 4. Ruam pada wajah
tahun. Rasio wanita dibandingkan pria berkisar 5. Sakit kepala
antara (5,5-9):1. Berdasarkan penelitian di RS 6. Demam
Cipto Mangunkusumo Jakarta antara tahun 7. Ruam kulit setelah terpapar sinar matahari
1988-1990 insidensi rata-rata adalah 37,7 per 8. Gangguan kesadaran
10.000 perawatan. 9. Sesak
10. Edema anasarka
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan-keluhan tersebut akhirnya akan
Keluhan berkembang sesuai manifestasi organ yang
terlibat pada LES.
Manifestasi klinik LES sangat beragam dan
Faktor Risiko misalnya hipertensi, hematuria, edema
perifer, dan edema anasarka.
Pasien dengan gejala klinis yang mendukung 7. Manifestasi gastrointestinal umumnya
dan memiliki riwayat keluarga yang menderita merupakan keterlibatan berbagai organ
penyakit autoimun meningkatkan kecurigaan
dan akibat pengobatan, misalnya mual,
adanya LES. dispepsia, nyeri perut, dan disfagi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 8. Manifestasi neuropsikiatrik misalnya kejang
Sederhana (Objective) dan psikosis.
9. Manifestasi hematologi, misalnya leukopeni,
Pemeriksaan Fisik lymphopenia, anemia atau trombositopenia.
Hampir seluruh sistem organ dapat terlibat Pemeriksaan Penunjang
dalam LES. Manifestasi yang umum didapatkan
antara lain: 1. Laboratorium
a. Pemeriksaan DPL (darah perifer
1. 1. Gejala konstitusional, misalnya: lengkap) dengan hitung diferensial
kelelahan, demam (biasanya tidak disertai dapat menunjukkan leukopeni,
menggigil), penurunan berat badan, rambut trombositopeni, dan anemia.
rontok, bengkak, dan sakit kepala. b. Pemeriksaan serum kreatinin
2. Manifestasi muskuloskeletal dijumpai menunjukkan peningkatan serum
lebih dari 90%, misalnya: mialgia, artralgia kreatinin.
atau artritis (tanpa bukti jelas inflamasi c. Urinalisis menunjukkan adanya eritrosit
sendi). dan proteinuria.
3. Manifestasi mukokutaneus, misalnya ruam 2. Radiologi
malar/ruam kupu-kupu, fotosensitifitas, X-ray Thoraks dapat menunjukkan adanya
alopecia, dan ruam diskoid. efusi pleura.
4. Manifestasi paru, misalnya pneumonitis
(sesak, batuk kering, ronkhi di basal), Penegakan Diagnosis (Assessment)
emboli paru, hipertensi pulmonum, dan
Diagnosis Klinis
efusi pleura.
5. Manifestasi kardiologi, misalnya Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan
Pleuropericardial friction rubs, takipneu, gambaran klinik dan laboratorium. Berdasarkan
murmur sistolik, gambaran perikarditis, American College of Rheumatology (ACR) tahun
miokarditis dan penyakit jantung koroner. 1997, LES dapat ditegakkan bila didapatkan 4
6. Manifestasi renal dijumpai pada 40-75% dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan
penderita setelah 5 tahun menderita lupus, atau dengan tenggang waktu.

Tabel. 2.4 Kriteria Diagnosis LES berdasarkan American College of Rheumatology

Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat
nasolabial.
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran LES keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Foto sensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Kriteria Batasan
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Atritis non-erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan
efusi.
Pleuritis atau a. Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar
perikarditis oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura atau
b. Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pleuritic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
Gangguan renal a. Protein urin menetap >0,5 gram per hari atau >3+ atau
b. Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau
gabungan.
Gangguan a. Kejang- tanpa disebabkan obat-obatan atau gangguan metabolik,
neurologi misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit atau
b. Psikosis-tanpa disebabkan obat obatan atau gangguan metabolik,
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit.
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
hematologi b. Leukopenia- <4.000/mm pada dua kali pemeriksaan atau
c. Limfopenia- <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau3
d. Trombositopenia- <100.000/mm tanpa disebabkan obat-obatan.3
Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau
imunologik b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standar, atau
3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorbsi antibodi treponemal.
Antibodi Titer positif dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
antinuklear imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap
positif (ANA) kurun waktuperjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.

Diagnosis Banding
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Mixed connective tissue disease
Penatalaksanaan
2. Sindrom vaskulitis
Penatalaksanaan berupa terapi konservatif
Komplikasi
Pemberian analgetik sederhana atau obat
1. Anemia hemolitik
antiinflamasi non steroid, misalnya parasetamol
2. Trombosis 3-4 x 500-1000 mg, atau ibuprofen 400-800 mg
3. Lupus serebral 3-4 kali perhari, natrium diklofenak 2-3 x 25-
4. Nefritis lupus 50 mg/hari pada keluhan artritis, artralgia dan
mialgia.
5. Infeksi sekunder
Rencana Tindak Lanjut Peralatan
1. Segera dirujuk ke layanan sekunder untuk 1. Laboratorium untuk pemeriksaan DPL,
penegakan diagnosis pasti kecuali pada urinalisis, dan fungsi ginjal
lupus berat misalnya yang mengancam
nyawa dapat dirujuk ke layanan tersier 2. Radiologi: X-ray Thoraks
terdekat. Prognosis
2. Pemeriksaan laboratorium dan follow-
up secara berkelanjutan diperlukan untuk Prognosis pasien LES sangat bervariasi
memonitor respon atau efek samping bergantung pada keterlibatan organnya. Sekitar
terapi serta keterlibatan organ baru. 25% pasien dapat mengalami remisi selama
3. Keterlibatan berbagai organ pada LES beberapa tahun, tetapi hal ini jarang menetap.
memerlukan penanganan dari berbagai Prognosis buruk (50% mortalitas dalam 10
bidang misalnya spesialis reumatologi, tahun) terutama berkaitan dengan keterlibatan
neurologi, nefrologi, pulmonologi, ginjal. Penyebab utama mortalitas umumnya
kardiologi, dermatologi, serta hematologi. gagal ginjal, infeksi, serta tromboemboli.

Konseling dan Edukasi Referensi

Konseling dan edukasi diberikan oleh dokter 1. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya
setelah menerima rujukan balik dari layanan IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed). Panduan
sekunder Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat
1. Intervensi psikososial dan penyuluhan Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta.
langsung pada pasien dan keluarganya. 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008)
2. Menyarankan pasien untuk bergabung
dalam kelompok penyandang lupus 2. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B.
3. Pasien disarankan untuk tidak terlalu Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar Ilmu
banyak terpapar sinar matahari dan Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan
selalu menggunakan krem pelindung Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006.
sinar matahari, baju lengan panjang serta (Sudoyo, et al., 2006)
menggunakan payung. 3. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei
4. Pemantauan dan penjelasan mengenai T, Cheung CK (ed). Oxford handbook
efek penggunaan steroid jangka panjang of clinical medicine. 7th edition. Oxford
terhadap pasien. University Press. Oxford. 2008. hlm 540-541.
5. Pasien diberi edukasi agar berobat teratur (Longmore, et al., 2008)
dan bila ada keluhan baru untuk segera
berobat. 4. Fauci AS (ed). Harrison’s Manual of Medicine.
17th edition. McGraw Hill Medical. USA.
Kriteria Rujukan 2009. hlm 885-886. (Braunwald, et al., 2009)
1. Setiap pasien yang di diagnosis sebagai LES 5. Petri M, et al. derivation and validation
atau curiga LES harus dirujuk ke dokter of the Systemic Lupus International
spesialis penyakit dalam atau spesialis Collborating Clinics classification criteria
anak untuk memastikan diagnosis for systemic lupus eritematosus. Arthritis
2. Pada pasien LES manifestasi berat atau and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86.
mengancam nyawa perlu segera dirujuk (Petri, et al., 2012)
ke pelayanan kesehatan tersier bila
memungkinkan.
4.LIMFADENITIS
No ICPC-2: L04.9 Acute lymphadenitis, unspecified
No ICD-10: B70 Lymphadenitis Acute
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kepada orang dengan infeksi saluran nafas
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau atas, faringitis oleh Streptococcus, atau
beberapa kelenjar getah bening. Limfadenitis Tuberkulosis turut membantu mengarahkan
bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai penyebab limfadenopati.
organisme, yaitu bakteri, virus, protozoa,
riketsia atau jamur. Secara khusus, infeksi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
menyebar ke kelenjar getah bening dari infeksi Sederhana (Objective)
kulit, telinga, hidung atau mata. Pemeriksaan Fisik
Bakteri Streptokokus, Stafilokokus, dan 1. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
Tuberkulosis adalah penyebab paling umum leher bagian posterior (belakang) terdapat
dari Limfadenitis, meskipun virus, protozoa, pada infeksi rubela dan mononukleosis.
riketsia, jamur juga dapat menginfeksi kelenjar Sedangkan pada pembesaran KGB oleh
getah bening. infeksi virus, umumnya bilateral (dua sisi-
Hasil Anamnesis (Subjective) kiri/kiri dan kanan) dengan ukuran normal
bila diameter 0,5cm, dan lipat paha bila
Keluhan: diameternya >1,5 cm dikatakan abnormal).
2. Nyeri tekan bila disebabkan oleh infeksi
a. Pembengkakan kelenjar getah bening bakteri
b. Demam 3. Kemerahan dan hangat pada perabaan
c. Kehilangan nafsu makan mengarah kepada infeksi bakteri sebagai
d. Keringat berlebihan, penyebabnya
e. Nadi cepat 4. Fluktuasi menandakan terjadinya abses
f. Kelemahan 5. Bila disebabkan keganasan tidak
g. Nyeri tenggorok dan batuk bila disebabkan ditemukan tanda-tanda peradangan tetapi
oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas. teraba keras dan tidak dapat digerakkan
h. Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit dari jaringan sekitarnya.
kolagen atau penyakit serum (serum 6. Pada infeksi oleh mikobakterium
sickness) pembesaran kelenjar berjalan mingguan-
Faktor Risiko: bulanan, walaupun dapat mendadak, KGB
menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya
1. Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang menjadi tipis, dan dapat pecah.
disebabkan oleh bakteri streptokokus, 7. Adanya tenggorokan yang merah, bercak-
infeksi gigi dan gusi yang disebabkan oleh bercak putih pada tonsil, bintik-bintik merah
bakteri anaerob. pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh
2. Riwayat perjalanan dan pekerjaan ke bakteri streptokokus.
daerah endemis penyakit tertentu, misalnya 8. Adanya selaput pada dinding tenggorok,
perjalanan ke daerah-daerah Afrika dapat tonsil, langit-langit yang sulit dilepas dan
menunjukkan penyebab limfadenitis bila dilepas berdarah, pembengkakan
adalah penyakit Tripanosomiasis. Sedangkan pada jaringan lunak leher (bull neck)
pada orang yang bekerja di hutan mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri
Limfadenitis dapat terkena Tularemia. Difteri.
3. Paparan terhadap infeksi/kontak sebelumnya 9. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran
limpa mengarahkan kepada infeksi Epstein flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari.
Barr Virus. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik
10. Adanya radang pada selaput mata dan golongan penisilin dapat diberikan
bercak koplik mengarahkan kepada cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500
Campak. mg) tiga kali sehari atau eritromisin 15 mg/
11. Adanya bintik-bintik perdarahan (bintik kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.
merah yang tidak hilang dengan penekanan), 6. Bila penyebabnya adalah Mycobacterium
pucat, memar yang tidak jelas penyebabnya, tuberculosis maka diberikan obat anti
disertai pembesaran hati dan limpa tuberculosis.
mengarahkan kepada leukemia. 7. Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar
akan mengecil secara perlahan dan rasa
Pemeriksaan Penunjang sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar
1. Pemeriksaan skrining TB: BTA Sputum, LED, yang membesar tetap keras dan tidak lagi
Mantoux Test. terasa lunak pada perabaan.
2. Laboratorium: Darah perifer lengkap Konseling dan Edukasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Keluarga turut menjaga kesehatan dan
Diagnosis Klinis kebersihan sehingga mencegah terjadinya
berbagai infeksi dan penularan.
Limfadenititis ditegakkan berdasarkan 2. Keluarga turut mendukung dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. memotivasi pasien dalam pengobatan.
Diagnosis Banding Rencana follow up:
a. Mumps Pasien kontrol untuk mengevaluasi KGB dan
b. Kista Duktus Tiroglosus terapi yang diberikan. Kriteria rujukan
c. Kista Dermoid
d. Hemangioma 1. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6
minggu dirujuk untuk mencari penyebabnya
Komplikasi (indikasi untuk dilaksanakan biopsi kelenjar
getah bening).
a. Pembentukan abses 2. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda
b. Selulitis (infeksi kulit) dan gejala yang mengarahkan kepada
c. Sepsis (septikemia atau keracunan darah) keganasan, KGB yang menetap atau
d. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang bertambah besar dengan pengobatan
disebabkan oleh TBC) yang tepat, atau diagnosis belum dapat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) ditegakkan.

Penatalaksanaan Peralatan

1. Pencegahan dengan menjaga kesehatan 1. Alat ukur untuk mengukur beasarnya


dan kebersihan badan bisa membantu kelenjar getah bening
mencegah terjadinya berbagai infeksi. 2. Mikroskop
2. Untuk membantu mengurangi rasa sakit, 3. Reagen BTA dan Gram
kelenjar getah bening yang terkena bisa Prognosis
dikompres hangat.
3. Tatalaksana pembesaran KGB leher Prognosis pada umumnya bonam.
didasarkan kepada penyebabnya.
4. Penyebab oleh virus dapat sembuh sendiri Referensi
dan tidak membutuhkan pengobatan apa Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit
pun selain dari observasi. Buku Kedokteran EGC. 2006.
5. Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri
(limfadenitis) adalah antibiotik oral 10 hari
dengan pemantauan dalam 2 hari pertama
C. DIGESTIVE

1. ULKUS MULUT (AFTOSA, HERPES)


No ICPC-2 : D83. Mouth / tongue / lip disease
No ICD-10 : K12. Stomatitis and related lesions K12.0. Recurrent oral aphtae K12.1.
Other form of stomatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 3. Frekuensi rekurensi bervariasi, namun


Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) seringkali dalam interval yang cenderung
reguler.
Stomatitis aftosa rekurens (SAR) merupakan 4. Episode SAR yang sebelumnya biasanya
penyakit mukosa mulut tersering dan memiliki bersifat self-limiting.
prevalensi sekitar 10 – 25% pada populasi. 5. Pasien biasanya bukan perokok atau tidak
Sebagianbesar kasus bersifat ringan, self- pernah merokok.
limiting, dan seringkali diabaikan oleh pasien. 6. Biasanya terdapat riwayat penyakit yang
Namun, SAR juga dapat merupakan gejala dari sama di dalam keluarga.
penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit 7. Pasien biasanya secara umum sehat.
Crohn, penyakit Coeliac, malabsorbsi, anemia Namun, dapat pula ditemukan gejala-
defisiensi besi atau asam folat, defisiensi vitamin gejala seperti diare, konstipasi, tinja
B12, atau HIV. Oleh karenanya, peran dokter di berdarah, sakit perut berulang, lemas, atau
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama pucat, yang berkaitan dengan penyakit yang
dalam mendiagnosis dan menatalaksana SAR mendasari.
sangat penting. 8. Pada wanita, dapat timbul saat menstruasi.
Stomatitis Herpes Stomatitis Herpes
Stomatitis herpes merupakan inflamasi pada 1. Luka pada bibir, lidah, gusi, langit-langit,
mukosa mulut akibat infeksi virus Herpes atau bukal, yang terasa nyeri.
simpleks tipe 1 (HSV 1). Penyakit ini cukup 2. Kadang timbul bau mulut.
sering ditemukan pada praktik layanan tingkat 3. Dapat disertai rasa lemas (malaise), demam,
pertama sehari-hari. Beberapa diantaranya dan benjolan pada kelenjar limfe leher.
merupakan manifestasi dari kelainan 4. Sering terjadi pada usia remaja atau dewasa.
imunodefisiensi yang berat, misalnya HIV. Amat 5. Terdapat dua jenis stomatitis herpes, yaitu:
penting bagi para dokter di fasilitas pelayanan a. Stomatitis herpes primer, yang
kesehatan tingkat pertama untuk dapat merupakan episode tunggal.
mendiagnosis dan memberikan tatalaksana b. Stomatitis herpes rekurens, bila pasien
yang tepat dalam kasus stomatitis herpes. telah mengalami beberapa kali penyakit
serupa sebelumnya.
Hasil Anamnesis (Subjective) 6. Rekurensi dapat dipicu oleh beberapa
faktor, seperti: demam, paparan sinar
Keluhan matahari, trauma, dan kondisi imunosupresi
seperti HIV, penggunaan kortikosteroid
Aftosa/Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) sistemik, dan keganasan.
1. Luka yang terasa nyeri pada mukosa bukal,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
bibir bagian dalam, atau sisi lateral dan
Sederhana (Objective)
anterior lidah.
2. Onset penyakit biasanya dimulai pada usia Aftosa/Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
kanak-kanak, paling sering pada usia remaja
atau dewasa muda, dan jarang pada usia Terdapat 3 tipe SAR, yaitu: minor, mayor, dan
lanjut. herpetiform.
Tabel 3.1 Tampilan klinis ketiga tipe SAR

Aftosa minor Aftosa mayor Aftosa herpetiform


Paling sering Jarang Jarang
Mukosa nonkeratin Mukosa non-keratin dan Mukosa nonkeratin
(bukal, Sisi dalam bibir, sisi mukosa mastikatorik (gingiva
lateral dan anterior lidah) dan sisi dorsum lidah)
Satu atau beberapa Satu atau beberapa Banyak, bahkan hingga
ratusan
Dangkal Lebih dalam dari tipe minor Bulat, Bulat, namun dapat
Bulat, berbatas tegas berbatas tegas berkonfluensi satu sama lain
membentuk tampilan ireguler,
berbatas tegas
Diameter 5-7mm Diameter lebih besar dari tipe Diameter 1-2 mm
minor
Tepi erimatosa Kadang menyerupai keganasan Mukosa sekitar eritematosa
Bagian tengah berwarna Dapat bertahan beberapa
putih kekuningan minggu hingga beberapa bulan
Dapat ditemukan skar

Pemeriksaan fisik
4. Demam
1. Tanda anemia (warna kulit, mukosa 5. Pembesaran kelenjar limfe servikal
konjungtiva) 6. Tanda-tanda penyakit imunodefisiensi yang
2. Pemeriksaan abdomen (distensi, mendasari
hipertimpani, nyeri tekan)
Pemeriksaan penunjang
3. Tanda dehidrasi akibat diare berulang
Tidak mutlak dantidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan,
antara lain: Penegakan Diagnosis (Assessment)
1. Darah perifer lengkap Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
2. MCV, MCH, dan MCHC
Diagnosis SAR dapat ditegakkan melalui
Stomatitis Herpes anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dokter perlu
mempertimbangkan kemungkinan adanya
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
penyakit sistemik yang mendasari.
1. Lesi berupa vesikel, berbentuk seperti
kubah, berbatas tegas, berukuran 2 – 3 mm, Diagnosis Banding
biasanya multipel, dan beberapa lesi dapat 1. Herpes simpleks
bergabung satu sama lain. 2. Sindrom Behcet
2. Lokasi lesi dapat di bibir (herpes labialis) sisi 3. Hand, foot, and mouth disease
luar dan dalam, lidah, gingiva, palatum, 4. Liken planus
atau bukal. 5. Manifestasi oral dari penyakit autoimun
3. Mukosa sekitar lesi edematosa dan (pemfigus, SLE, Crohn)
hiperemis. 6. Kanker mulut
Stomatitis Herpes g. Limfadenopati, Hepatomegali,
Splenomegali
Diagnosis stomatitis herpes dapat ditegakkan 2. Gejala dan tanda yang tidak khas, misalnya:
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. a. Onset pada usia dewasa akhir atau
Diagnosis banding: lanjut
b. Perburukan dari aftosa
1. SAR tipe herpetiform c. Lesi yang amat parah
2. SAR minor multipel d. Tidak adanya perbaikan dengan
3. Herpes zoster tatalaksana kortikosteroid topikal
4. Sindrom Behcet 3. Adanya lesi lain pada rongga mulut, seperti:
5. Hand, foot, and mouth disease a. Kandidiasis
6. Manifestasi oral dari penyakit autoimun b. Glositis
(pemfigus, SLE, Crohn) c. Perdarahan, bengkak, atau nekrosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) pada gingiva
d. Leukoplakia
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) e. Sarkoma Kaposi
Pengobatan yang dapat diberikan untuk Stomatitis Herpes
mengatasi SAR adalah:
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Larutan kumur chlorhexidine 0,2% untuk
membersihkan rongga mulut. Penggunaan 1. Untuk mengurangi rasa nyeri, dapat
sebanyak 3 kali setelah makan, masing- diberikan analgetik seperti Parasetamol
masing selama 1 menit. atau Ibuprofen. Larutan kumur chlorhexidine
2. Kortikosteroid topikal, seperti krim 0,2% juga memberi efek anestetik sehingga
triamcinolone acetonide 0,1% in ora base dapat membantu.
sebanyak 2 kali sehari setelah makan dan 2. Pilihan antivirus yang dapat diberikan,
membersihkan rongga mulut. antara lain:

Konseling dan Edukasi a. Acyclovir, diberikan per oral, dengan


dosis:
Pasien perlu menghindari trauma pada mukosa dewasa: 5 kali 200 – 400 mg per hari,
mulut dan makanan atau zat dalam makanan selama 7 hari
yang berpotensi menimbulkan SAR, misalnya: anak: 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
kripik, susu sapi, gluten, asam benzoat, dan cuka. 5 kali pemberian, selama 7 hari
b. Valacyclovir, diberikan per oral, dengan
Kriteria Rujukan
dosis:
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan dewasa: 2 kali 1 – 2 g per hari, selama
tingkat pertama perlu merujuk ke layanan 1 hari
sekunder, bila ditemukan: anak : 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
5 kali pemberian, selama 7 hari
1. Gejala-gejala ekstraoral yang mungkin c. Famcyclovir, diberikan per oral, dengan
terkait penyakit sistemik yang mendasari, dosis:
seperti: Dewasa : 3 kali 250 mg per hari, selama
a. Lesi genital, kulit, atau mata 7 – 10 hari untuk episode tunggal3 kali
b. Gangguan gastrointestinal 500 mg per hari, selama 7 – 10 hari
c. Penurunan berat badan untuk tipe rekurens
d. Rasa lemah Anak : Belum ada data mengenai
e. Batuk kronik keamanan dan efektifitas
f. Demam pemberiannya pada anak-anak
Dokter perlu memperhatikan fungsi ginjal Stomatitis Herpes
pasien sebelum memberikan obat-obat di atas.
Dosis perlu disesuaikan pada pasien dengan 1. Ad vitam : Bonam
penurunan fungsi ginjal. Pada kasus stomatitis 2. Ad functionam : Bonam
herpes akibat penyakit sistemik, harus dilakukan 3. Ad sanationam : Dubia
tatalaksana definitif sesuai penyakit yang Referensi
mendasari.
1. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of
Pencegahan rekurensi pada stomatitis herpes the Oral Mucosa: Non- Infective Stomatitis.
rekurens In Cawson’s Essentials of Oral Pathology
Pencegahan rekurensi dimulai dengan and Oral Medicine. Spain: Elsevier Science
mengidentifikasi faktor-faktor pencetus dan Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell,
selanjutnya melakukan penghindaran. Faktor- 2002)
faktor yang biasanya memicu stomatitis herpes 2. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In
rekurens, antara lain trauma dan paparan sinar Handbook of Oral Disease: Diagnosis
matahari. and Management. London: Martin Dunitz
Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999)
Peralatan 3. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent
Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis and
1. Kaca mulut
Treatment. Journal of The American
2. Lampu senter Dental Association, 127, pp.1202–1213.
Prognosis (Woo & Sonis, 1996)
4. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008.
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions.
1. Ad vitam : Bonam In M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds.
2. Ad functionam : Bonam Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC Decker, p.
3. Ad sanationam : Dubia 41. (Woo & Greenberg, 2008)

2.REFLUKSGASTROESOFAGEAL
No ICPC-2: D84 Oesphagus disease
No ICD-10: K21.9Gastro-oesophageal reflux disease without oesophagitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan diperberat dengan posisi berbaring terlentang.


Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena
mekanisme refluks melalui sfingter esofagus. makanan berupa saos tomat, peppermint, coklat,
kopi, dan alkohol. Keluhan sering muncul pada
Hasil Anamnesis (Subjective) malam hari.
Keluhan Faktor risiko
Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau Usia > 40 tahun, obesitas, kehamilan, merokok,
epigastrik dan dapat menjalar ke leher disertai konsumsi kopi, alkohol, coklat, makan berlemak,
muntah, atau timbul rasa asam di mulut. beberapa obat di antaranya nitrat, teofilin dan
verapamil, pakaian yang ketat, atau pekerja yang
Hal ini terjadi terutama setelah makan dengan
volume besar dan berlemak. Keluhan ini sering mengangkat beban berat.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang dapat diteruskan sampai 4 minggu dan
sederhana (Objective) boleh ditambah dengan prokinetik seperti
domperidon 3 x 10 mg.
Pemeriksaan Fisik
3. Pada kondisi tidak tersedianya PPI, maka
Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD.
penggunaan H2 Blocker 2x/hari: simetidin
Tindakan untuk pemeriksaan adalah dengan
400-800 mg atau ranitidin 150 mg atau
pengisian kuesioner GERD. Bila hasilnya positif,
famotidin 20 mg.
maka dilakukan tes dengan pengobatan PPI
(Proton Pump Inhibitor).
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
yang cermat. Kemudian untuk di fasilitas
pelayanan tingkat pertama, pasien diterapi
dengan PPI test, bila memberikan respon positif
terhadap terapi, maka diagnosis definitif GERD
dapat disimpulkan.
Standar baku untuk diagnosis definitif GERD
adalah dengan endoskopi saluran cerna bagian
atas yaitu ditemukannya mucosal break di
esophagus namun tindakan ini hanya dapat
dilakukan oleh dokter spesialis yang memiliki
kompetensi tersebut. Gambar 3.1 Algoritme tatalaksana GERD
(Refluks esofageal)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada fasilitas
Angina pektoris, Akhalasia, Dispepsia, Ulkus
layanan sekunder (rujukan) untuk endoskopi dan
peptik, Ulkus duodenum, Pankreatitis
bila perlu biopsi
Komplikasi
Konseling dan Edukasi
Esofagitis, Ulkus esophagus, Perdarahan
Edukasi untuk melakukan modifikasi gaya
esofagus, Striktur esophagus, Barret’s esophagus,
hidup yaitu dengan mengurangi berat badan,
Adenokarsinoma, Batuk dan asma, Inflamasi
berhenti merokok, tidak mengkonsumsi zat yang
faring dan laring, Aspirasi paru.
mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin, dan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) alkohol. Posisi tidur sebaiknya dengan kepala
yang lebih tinggi. Tidur minimal setelah 2
Penatalaksanaan sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan
1. Terapi dengan medikamentosa dengan cara porsi kecil dan kurangi makanan yang berlemak.
memberikan Proton Pump Inhibitor (PPI)
dosis tinggi selama 7-14 hari.Bila terdapat Kriteria Rujukan
perbaikan gejala yang signifikan (50-75%) 1. Pengobatan empirik tidak menunjukkan
maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai hasil
GERD. PPI dosis tinggi berupa omeprazol 2
x 20 mg/hari dan lansoprazol 2 x 30 2. Pengobatan empirik menunjukkan hasil
mg/hari. namun kambuh kembali

2. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat


3. Adanya alarm symptom: Prognosis
Berat badan menurun Prognosis umumnya bonam tetapi sangat
Hematemesis melena tergantung dari kondisi pasien saat datang dan
Disfagia (sulit menelan) pengobatannya.
Odinofagia (sakit menelan)
Anemia Referensi

Peralatan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit


Refluks Gastroesofageal (Gastroesofageal Reflux
Kuesioner GERD Disease/GERD) Indonesia. 2004.

3.GASTRITIS
No ICPC-2: D07 Dyspepsia/indigestion
No ICD-10: K29.7 Gastritis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan Sederhana (Objective)
mukosa dan submukosa lambung sebagai
mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat Pemeriksaan Fisik Patognomonis
akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses 1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus
inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau meningkat.
lokal.
2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat
Hasil Anamnesis (Subjective) ditemukan pendarahan saluran cerna
Keluhan berupa hematemesis dan melena.

Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan 3. Biasanya pada pasien dengan gastritis
panas seperti terbakar pada perut bagian atas. kronis, konjungtiva tampak anemis.
Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti Pemeriksaan Penunjang
dengan makan, mual, muntah dan kembung.
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis
Faktor Risiko dengan melakukan pemeriksaan:
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan 1. Darah rutin.
terlambat, jenis makanan pedas, porsi
makan yang besar 2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter
2. Sering minum kopi dan teh pylori: pemeriksaan Ureabreath test dan
feses. Rontgen dengan barium enema
3. Infeksi bakteri atau parasit
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid 3. Endoskopi
5. Usia lanjut
Penegakan Diagnosis (Assessment)
6. Alkoholisme
7. Stress Diagnosis Klinis
8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis definitif
Chron disease dilakukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi
1. Kolesistitis Menginformasikan kepada pasien untuk
2. Kolelitiasis menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara
3. Chron disease lain dengan makan tepat waktu, makan sering
4. Kanker lambung dengan porsi kecil dan hindari dari makanan yang
5. Gastroenteritis meningkatkan asam lambung atau perut kembung
6. Limfoma seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.
7. Ulkus peptikum Kriteria rujukan
8. Sarkoidosis
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.
9. GERD
2. Terjadi komplikasi.
Komplikasi 3. terdapat alarm symptoms
1. Pendarahan saluran cerna bagian atas Peralatan
2. Ulkus peptikum -
3. Perforasi lambung
Prognosis
4. Anemia
Prognosis sangat tergantung pada kondisi
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) pasien saat datang, komplikasi, dan
pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis
Penatalaksanaan adalah bonam, namun dapat terjadi berulang
bila pola hidup tidak berubah.
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara
lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/ Referensi
kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800 1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata,
mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, M.Setiati,S. eds. Buku ajar ilmu penyakit
Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan
x 500-1000 mg/hari. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2006. (Sudoyo, et al., 2006)

4.INTOLERANSI MAKANAN
No. ICPC-2: D29 Digestive syndrome/complaint other No. ICD-10: K90.4 Malabsorption due to intolerance
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis


Intoleransi makanan adalah gejala-gejala yang Gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah
terjadi akibat reaksi tubuh terhadap makanan tenggorokan terasa gatal, nyeri perut, perut
tertentu. Intoleransi bukan merupakan alergi kembung, diare, mual, muntah, atau dapat
makanan. Hal ini terjadi akibatkekurangan disertai kram perut.
enzim yang diperlukan untuk mencerna
makanan tertentu. Intoleransi terhadap laktosa Faktor predisposisi
gula susu, penyedap Monosodium Glutamat Makanan yang sering menyebabkan intoleransi,
(MSG), atau terhadap antihistamin yang seperti:
ditemukan di keju lama, anggur, bir, dan daging 1. Terigu dan gandum lainnya yang
olahan. Gejala intoleransi makanan kadang- mengandung gluten
kadang mirip dengan gejala yang ditemukan 2. Protein susu sapi
pada alergi makanan. 3. Hasil olahan jagung
4. MSG
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Hal ini bertujuan untuk memperoleh penyebab
Sederhana (Objective) intoleransi.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri Konseling dan Edukasi
tekan abdomen, bising usus meningkat dan Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut
mungkin terdapat tanda-tanda dehidrasi. membantu dalam hal pembatasan nutrisi
Pemeriksaan Penunjang : - tertentu pada pasien dan mengamati keadaaan
pasien selama pengobatan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis Kriteria Rujukan
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan Perlu dilakukan konsultasi ke layanan sekunder
pemeriksaan fisik. bila keluhan tidak menghilang walaupun tanpa
terpapar.
Diagnosis Banding
Peralatan
Pankreatitis, Penyakit Chrons pada illeum -
terminalis, Sprue Celiac, Penyakit whipple, Laboratorium rutin
Amiloidosis, Defisiensi laktase, Sindrom
Zollinger- Ellison, Gangguan paska Prognosis
gasterektomi, reseksi usus halus atau kolon
Pada umumnya, prognosis tidak mengancam
Komplikasi: Dehidrasi jiwa, namun fungsionam dan sanasionamnya
adalah dubia ad bonam karena tergantung pada
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) paparan terhadap makanan penyebab.
Penatalaksanaan dapat berupa Referensi
1. Pembatasan nutrisi tertentu
2. Suplemen vitamin dan mineral 1. Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit
3. Suplemen enzim pencernaan Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
2006. Hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)
Rencana Tindak Lanjut: setelah gejala
menghilang, makanan yang dicurigai diberikan
kembali untuk melihat reaksi yang terjadi.

5.MALABSORBSI MAKANAN
No. ICPC-2: D29 Digestive syndrome/complaint other
No. ICD-10: K90.9 Intestinal malabsorbtion, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Berbagai hal dan keadaan dapat menyebabkan
Malabsorbsi adalah suatu keadaan terdapatnya malabsorbsi dan maldigesti pada seseorang.
gangguan pada proses absorbsi dan digesti Malabsorbsi dan maldigesti dapat disebabkan
secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Pada oleh karena defisiensi enzim atau adanya
umumnya pasien datang dengan diare sehingga gangguan pada mukosa usus tempat absorbsi
kadang sulit membedakan apakah diare dan digesti zat tersebut.
disebabkan oleh malabsorbsi atau sebab lain.
Selain itu kadang penyebab dari diare tersebut Hasil Anamnesis (Subjective)
tumpang tindih antara satu sebab dengan sebab Keluhan
lain termasuk yang disebabkan oleh malabsorbsi.
Pasien dengan malabsorbsi biasanya datang
dengan keluhan diare kronis, biasanya bentuk Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
feses cair mengingat gangguan pada usus halus
tidak ada zat nutrisi yang terabsorbsi sehingga Penatalaksanaan
feses tak berbentuk. Jika masalah pasienkarena Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit
malabsorbsi lemak maka pasien akan mengeluh dalam untuk mencari penyebab malabsorbsi
fesesnya berminyak (steatore). kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.
Anamnesis yang tepat tentang kemungkinan 1. Tatalaksana tergantung dari penyebab
penyebab dan perjalanan penyakit merupakan malabsorbsi
hal yang penting untuk menentukan apa terjadi 2. Pembatasan nutrisi tertentu
malabsorbsi. 3. Suplemen vitamin dan mineral
Faktor Risiko: - 4. Suplemen enzim pencernaan
5. Tata laksana farmakologi: Antibiotik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang diberikan jika malabsorbsi disebakan oleh
Sederhana (Objective) overgrowth bakteri enterotoksigenik: E. colli,
K. Pneumoniae dan Enterrobacter cloacae.
Pemeriksaan Fisik
Rencana Tindak Lanjut
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda
anemia (karena defisiensi besi, asam folat, dan Perlu dipantau keberhasilan diet atau terapi
B12): konjungtiva anemis, kulit pucat, status yang diberikan kepada pasien.
gizi kurang. Dicari tanda dan gejala spesifik
tergantung dari penyebabnya. Konseling dan Edukasi

Pemeriksaan Penunjang Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut


membantu dalam hal pembatasan nutrisi
1. Darah perifer lengkap: anemia mikrositik tertentu pada pasien dan mengamati keadaaan
hipokrom karena defisiensi besi atau pasien selama pengobatan.
anemia makrositik karena defisiensi asam
folat dan vitamin B12. Kriteria Rujukan
2. Radiologi: foto polos abdomen Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit
Penegakan Diagnostik (Assessment) dalam untuk mencari penyebab malabsorbsi
kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.
Diagnosis Klinis
Peralatan
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah perifer lengkap.
Diagnosis Banding
Prognosis
1. Pankreatititis
2. Penyakit Chrons pada illeum terminalis Prognosis sangat tergantung pada kondisi
3. Sprue Celiac pasien saat datang, komplikasi, dan
4. Penyakit whipple pengobatannya. Pada umumnya, prognosis
5. Amiloidosis tidak mengancam jiwa, namun fungsionam dan
6. Defisiensi laktase sanationamnya adalah dubia ad bonam.
7. Sindrom Zollinger-Ellison Referensi
8. Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus
halus atau kolon 1. Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
Komplikasi : Dehidrasi 2006. hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)
6.DEMAM TIFOID
No ICPC-2: D70 Gastrointestinal infection No ICD-10: A01.0 Typhoid fever
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Higiene makanan dan minuman yang
Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini dengan air yang terkontaminasi, sayuran
erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi yang dipupuk dengan tinja manusia,
dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di makanan yang tercemar debu atau sampah
Indonesia bersifat endemik dan merupakan atau dihinggapi lalat.
masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus 3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
di rumah sakit besar di Indonesia, tersangka 4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar
demam tifoid menunjukkan kecenderungan tempat tinggal sehari- hari.
meningkat dari tahun ke tahun dengan rata- 5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan 6. Kondisi imunodefisiensi.
angka kematian antara 0.6–5% (KMK, 2006).
Selain tingkat insiden yang tinggi, demam Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
tifoid terkait dengan berbagai aspek Sederhana (Objective)
permasalahan lain, misalnya: akurasi diagnosis, Pemeriksaan Fisik
resistensi antibiotik dan masih rendahnya
cakupan vaksinasi demam tifoid. 1. Keadaan umum biasanya tampak sakit
sedang atau sakit berat.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Kesadaran: dapat compos mentis atau
penurunan kesadaran (mulai dari yang
Keluhan
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga
1. Demam turun naik terutama sore dan yang berat misalnya delirium atau koma)
malam hari dengan pola intermiten dan 3. Demam, suhu > 37,5oC.
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi 4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu
dapat terjadi terus menerus (demam penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
kontinu) hingga minggu kedua. denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering 5. Ikterus
dirasakan di area frontal 6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor
3. Gangguan gastrointestinal berupa lidah, halitosis
konstipasi dan meteorismus atau diare, 7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama
mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB regio epigastrik), hepatosplenomegali
berdarah 8. Delirium pada kasus yang berat
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan
pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai 1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi
penurunan kesadaran atau kejang. berupa apatis dengan kesadaran seperti
berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat
Faktor Risiko
menjadi somnolen dan koma atau dengan
1. Higiene personal yang kurang baik, terutama gejala-gejala psikosis (organic brain
jarang mencuci tangan. syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala
delirium lebih menonjol. lanjut penyakit, untuk mendeteksi
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut carriertyphoid
abdomen 4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai
indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar
Pemeriksaan Penunjang lipase dan amilase
1. Darah perifer lengkap beserta hitung Penegakan Diagnosis (Assessment)
jenis leukosis dapat menunjukkan:
leukopenia/ leukositosis/ jumlah leukosit Suspek demam tifoid (Suspect case)
normal, limfositosis relatif, monositosis,
trombositopenia (biasanya ringan), anemia. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan
2. Serologi gejala demam, gangguan saluran cerna dan
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek
(Tubex- TF)® Hanya dapat mendeteksi tifoid hanya dibuat pada fasilitas pelayanan
antibody IgM Salmonella typhi. Dapat kesehatan tingkat pertama.
dilakukan pada 4-5 hari pertama Demam tifoid klinis (Probable case)
demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®) Suspek demam tifoid didukung dengan
1) Dapat mendeteksi IgM dan IgG gambaran laboratorium yang menunjukkan
Salmonella typhi tifoid.
2) Dapat dilakukan pada 4-5 hari Diagnosis Banding
pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi Demam berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis,
Dilakukan setelah demam berlangsung 7 infeksi saluran kemih, Hepatitis A, sepsis,
hari. Tuberkulosis milier, endokarditis infektif, demam
Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin rematik akut, abses dalam, demam yang
O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan berhubungan dengan infeksi HIV.
titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan
Komplikasi
ulang dengan interval 5 – 7 hari.
Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga
terjadi oleh karena reaksi silang dengan demam. Komplikasi antara lain perdarahan,
non- typhoidal Salmonella, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi
enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi organ lain.
dengue dan malaria, riwayat imunisasi
tifoid dan preparat antigen komersial yang 1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Penderita dengan sindrom demam tifoid
Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak dengan panas tinggi yang disertai dengan
direkomendasi jika hanya dari 1 kali kekacauan mental hebat, kesadaran
pemeriksaan serum akut karena terjadinya menurun, mulai dari delirium sampai koma.
positif palsu tinggi yang dapat 2. Syok septik
mengakibatkan over-diagnosis dan over- Penderita dengan demam tifoid, panas
treatment. tinggi serta gejala-gejala toksemia yang
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard) berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan
Dapat dilakukan pada spesimen: hemodinamik seperti tekanan darah turun,
a. Darah : Pada minggu pertama sampai nadi halus dan cepat, keringat dingin dan
akhir minggu ke-2 sakit, saat demam akral dingin.
tinggi 2. Perdarahan dan perforasi intestinal
b. Feses : Pada minggu kedua sakit (peritonitis)
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga Komplikasi perdarahan ditandai
sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium
denganhematoschezia. Dapat juga diketahui yang dapat diberikan secara oral
dengan pemeriksaan feses (occult blood maupun parenteral.
test). Komplikasi ini ditandai dengan gejala c. Diet bergizi seimbang, konsistensi
akut abdomen dan peritonitis. Pada foto lunak, cukup kalori dan protein, rendah
polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan serat.
klinis bedah didapatkan gas bebas dalam d. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan
rongga perut. tuntas
3. Hepatitis tifosa e. Kontrol dan monitor tanda vital
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),
kelainan tes fungsi hati. kemudian dicatat dengan baik di rekam
4. Pankreatitis tifosa medik pasien
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan 2. Terapi simptomatik untuk menurunkan
peningkatan enzim lipase dan amilase. demam (antipiretik) dan mengurangi
Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau keluhan gastrointestinal.
CT Scan. 3. Terapi definitif dengan pemberian
5. Pneumonia antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk
Didapatkan tanda pneumonia yang demam tifoid adalah Kloramfenikol,
diagnosisnya dibantu dengan foto polos Ampisilin atau Amoksisilin (aman
toraks untuk penderita yang sedang hamil),
atau Trimetroprim-sulfametoxazole
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (Kotrimoksazol).
Penatalaksanaan 4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini
pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan: dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik
a. Istirahat tirah baring dan mengatur lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim,
tahapan mobilisasi Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak
b. Menjaga kecukupan asupan cairan, <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).

Tabel 3.2 Antibiotik dan dosis penggunan untuk tifoid

Antibiotik Dosis Keterangan


Kloramfenikol Dewasa: 4x500 mg selama Merupakan obat yang sering digunakan
10 hari dan telah lama dikenal efektif untuk tifoid
Anak 100 mg/kgBB/hari, per Murah dan dapat diberikan peroral serta
oral atau intravena, dibagi 4 sensitivitas masih tinggi Pemberian PO/IV
dosis, selama 10-14 hari Tidak diberikan bila lekosit <2000/mm3
Seftriakson Dewasa: 2-4gr/hari Cepat menurunkan suhu,
selama 3-5 hari lama pemberian pendek dan
Anak: 80 mg/kgBB/hari, IM dapat dosis tunggal serta
atau IV, dosis tunggal selama cukup aman untuk anak.
5 hari Pemberian PO/IV
Ampisilin dan Dewasa: (1.5-2) gr/hr Aman untuk penderita hamil
amiksisilin selama 7-10 hari Sering dikombinasi dengan kloramfenikol
Anak: 100 mg/kgbb/hari pada pasien kritis
per oral atau intravena, Tidak mahal
dibagi 3 dosis, selama 10 Pemberian PO/IV
hari.
Kotrimoksazol Dewasa: 2x(160-800) Tidak mahal, pemberian per oral
selama 7-10 hari
Anak: Kotrimoksazol 4-6 mg/
kgBB/hari, per oral, dibagi 2
dosis, selama 10 hari.
Kuinolon Ciprofloxacin 2x500 mg Pefloxacin dan Fleroxacin lebih cepat
selama 1 minggu Ofloxacin menurunkan suhu
2x(200-400) selama 1 minggu Efektif mencegah relaps dan kanker
Pemberian peroral
Pemberian pada anak tidak dianjurkan
karena efek samping pada
pertumbuhan tulang
Sefiksim Anak: 20 mg/kgBB/hari, per Aman untuk anak, efektif
oral, dibagi menjadi 2 dosis,
selama 10 hari
Thiamfenikol Dewasa: 4x500 mg/hari Dapat dipakai untuk
Anak: 50 mg/kgbb/hari anak dan dewasa Dilaporkan cukup sensitif
selama 5-7 hari bebas panas pada beberapa daerah

Rencana Tindak Lanjut


bertanggung jawab penuh terhadap
1. Bila pasien dirawat di rumah, dokter tatalaksana pasien.
atau perawat dapat melakukan kunjungan b. Dokter mengkonfirmasi bahwa
follow up setiap hari setelah dimulainya penderita tidak memiliki tanda-
tatalaksana. tanda yang berpotensi menimbulkan
2. Respon klinis terhadap antibiotik dinilai komplikasi.
setelah penggunaannya selama 1 minggu. c. Semua kegiatan tata laksana (diet,
cairan, bed rest, pengobatan) dapat
Indikasi Perawatan di Rumah
dilaksanakan secara baik di rumah.
1. Persyaratan untuk pasien d. Dokter dan/atau perawat mem-follow
a. Gejala klinis ringan, tidak ada tanda- up pasien setiap hari.
tanda komplikasi atau komorbid yang e. Dokter dan/atau perawat dapat
membahayakan. berkomunikasi secara lancar dengan
b. Kesadaran baik. keluarga pasien di sepanjang masa
c. Dapat makan serta minum dengan baik. tatalaksana.
d. Keluarga cukup mengerti cara-cara
merawat dan tanda-tanda bahaya yang Konseling dan Edukasi
akan timbul dari tifoid. Edukasi pasien tentang tata cara:
e. Rumah tangga pasien memiliki
dan melaksanakan sistem 1. Pengobatan dan perawatan serta aspek
pembuanganeksret (feses, urin, cairan lain dari demam tifoid yang harus diketahui
muntah) yang memenuhi persyaratan pasien dan keluarganya.
kesehatan. 2. Diet, jumlah cairan yang dibutuhkan,
f. Keluarga pasien mampu menjalani pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat
rencana tatalaksana dengan baik. sebaiknya diperhatikan atau dilihat
2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan langsung oleh dokter, dan keluarga pasien
a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap yang telah memahami serta mampu
melaksanakan.
3. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu
kepada pasien dan keluarga supaya bisa 2004. (Feigin, et al., 2004)
segera dibawa ke rumah sakit terdekat
untuk perawatan. 4. Long SS, Pickering LK, Prober CG.
Principles and practice of pediatric
Pendekatan Community Oriented infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia:
Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al.,
Melakukan konseling atau edukasi pada 2003)
masyarakat tentang aspek pencegahan dan
pengendalian demam tifoid, melalui: 5. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s
infectious disease of children. 11th ed.
1. Perbaikan sanitasi lingkungan
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et
2. Peningkatan higiene makanan dan
al., 2004)
minuman
3. Peningkatan higiene perorangan 6. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric
4. Pencegahan dengan imunisasi decision making strategies. WB Saunders:
Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)
Kriteria Rujukan
7. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/
1. Demam tifoid dengan keadaan umum yang
ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.
berat (toxic typhoid).
htm (Center for Disease and Control, 2005)
2. Tifoid dengan komplikasi.
3. Tifoid dengan komorbid yang berat. 8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy
4. Telah mendapat terapi selama 5 hari AJ. Current trends in the management of
namun belum tampak perbaikan. typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra,
et al., 2003)
Peralatan
9. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM,
Poliklinik set dan peralatan laboratorium Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects
untuk melakukan pemeriksaan darah rutin dan not only typhoid-specific antibodies but also
serologi. soluble antigens and whole bacteria. Journal
Prognosis of Medical Microbiology. 2008;57:316-23.
(Tam, et al., 2008)
Prognosis adalah bonam, namun adsanationam
dubia ad bonam, karena penyakit dapat terjadi 10. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I.
berulang. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood
culture and Widal test in the early
Referensi diagnosis of typhoid fever in children in
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI a resource poor setting. Braz J Infect Dis.
No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentan 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
PedomanPengendalian Demam Tifoid. 11. Summaries of infectious diseases.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dalam: Red Book Online 2009. Section
t.thn.) 3. http://aapredbook.aappublications.org/
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata cgi/content/full/2009/1/3.117 (Anon., 2009)
M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD,
Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders;
7.GASTROENTERITIS (KOLERA DAN GIARDIASIS)
No. ICPC-2: D73 Gastroenteritis presumed infection
No. ICD-10: A09 Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infection origin
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Setiap kali diare, BAB dapat menghasilkan
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa volume yang besar (asal dari usus kecil) atau
lambung dan usus halus yang ditandai dengan volume yang kecil (asal dari usus besar). Bila
diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam diare disertai demam maka diduga erat terjadi
waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut infeksi.
kronis. WHO (World Health Organization)
mendefinisikan diare akut sebagai diare yang Bila terjadinya diare didahului oleh makan atau
biasanya berlangsung selama 3-7 hari tetapi minum dari sumber yang kurang higienenya,
dapat pula berlangsung sampai 14 hari. Diare GE dapat disebabkan oleh infeksi. Riwayat
persisten adalah episode diare yang bepergian ke daerah dengan wabah diare,
diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan riwayat intoleransi laktosa (terutama pada
mulainya sebagai diare akut tetapi berakhir bayi), konsumsi makanan iritatif, minum jamu,
lebih dari 14 hari, serta kondisi ini diet cola, atau makan obat-obatan seperti
menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi laksatif, magnesium hidroklorida, magnesium
menyebabkan kematian sitrat, obat jantung quinidine, obat gout
(kolkisin), diuretika (furosemid, tiazid), toksin
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak- (arsenik, organofosfat), insektisida, kafein, metil
anak karena daya tahan tubuh yang belum xantine, agen endokrin (preparat pengantian
optimal. Diare merupakan salah satu penyebab tiroid), misoprostol, mesalamin,
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi antikolinesterase dan obat-obat diet perlu
pada anak di bawah umur lima tahun di seluruh diketahui.
dunia, yaitu mencapai 1 milyar kesakitan
dan 3 juta kematian per tahun. Penyebab Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS)
gastroenteritis antara lain infeksi, malabsorbsi, dan demam tifoid perlu diidentifikasi.
keracunan atau alergi makanan dan psikologis Pada pasien anak ditanyakan secara jelas gejala
penderita. diare:
Infeksi yang menyebabkan GE akibat 1. Perjalanan penyakit diare yaitu lamanya
Entamoeba histolytica disebut disentri, bila diare berlangsung, kapan diare muncul
disebabkan oleh Giardia lamblia disebut (saat neonatus, bayi, atau anak-anak)
giardiasis, sedangkan bila disebabkan oleh untuk mengetahui, apakah termasuk diare
Vibrio cholera disebut kolera. kongenital atau didapat, frekuensi BAB,
konsistensi dari feses, ada tidaknya darah
Hasil Anamnesis (Subjective)
dalam tinja
Keluhan 2. Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare
3. Gejala penyerta: sakit perut, kembung,
Pasien datang ke dokter karena buang air besar banyak gas, gagal tumbuh.
(BAB) lembek atau cair, dapat bercampur darah 4. Riwayat bepergian, tinggal di tempat
atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih penitipan anak merupakan risiko
dalam waktu 24 jam. Dapat disertai rasa tidak untukdiare infeksi.
nyaman di perut (nyeri atau kembung), mual dan
muntah serta tenesmus.
Faktor Risiko lainnya: ubun- ubun besar cekung atau tidak,
mata: cekung atau tidak, ada atau tidaknya
1. Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah
yang kurang. kering atau basah.
2. Riwayat intoleransi laktosa, riwayat alergi
3. Pernapasan yang cepat indikasi adanya
obat.
asidosis metabolik.
3. Infeksi HIV atau infeksi menular seksual. 4. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang terdapat hipokalemia.
sederhana (Objective) 5. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary refill dapat menentukan
Pemeriksaan Fisik derajat dehidrasi yang terjadi.
1. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat 6. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi
badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dapat ditentukan dengan cara: obyektif
dan pernapasan serta tekanan darah. yaitu dengan membandingkan berat badan
2. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: sebelum dan selama diare. Subyektif
kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit dengan menggunakan kriteria. Pada anak
abdomen dan tanda-tanda tambahan menggunakan kriteria WHO 1995.

Tabel 3.3 Pemeriksaan derajat dehidrasi

Derajat Dehidrasi Ringan


Minimal (<3% dari berat Berat (>9% dari berat
Gejala sampai sedang (3-9%
badan) badan)
dari berat badan)
Status mental Baik, sadar penuh Normal, lemas, atau Apatis, letargi, tidak sadar
gelisah, iritabel
Rasa haus Minum normal, mungkin Sangat haus, sangat ingin Tidak dapat minum
menolak minum minum
Denyut jantung Normal Normal sampai Takikardi, pada kasus
meningkat berat bradikardi
Kualitas denyut Normal Normal sampai menurun Lemah atau tidak teraba
nadi
Pernapasan Normal Normal cepat Dalam
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Air mata Ada Menurun Tidak ada
Mulut dan lidah Basah Kering Pecah-pecah
Turgor kulit Baik <2 detik >2 detik
Isian Kapiler Normal Memanjang memanjang, minimal
Ekstrimitas Hangat Dingin Dingin
Output urin Normal sampai menurun Dingin menurun Minimal

Metode Pierce
Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg)
Tabel 3.4 Skor penilaian klinis dehidrasi

Klinis
Rasa baqusl muntah Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg T ekanan darah sistolik <60 mm}-lg
Frekuensi nadi > 120 x/mcnit Kesadaran apati
Kesadaran somnolen, spoor atau koma.
Frekuensi napas > 30x/ menit Facics Cholerica
Vox Cholerica Turgor lculjt menurun Washer woman’s hand
Ekstremitas dingin Sianosis
Umur 50 - 60 tahun Umur > 60 lahun

Tabel 3.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Penilaian A B C

Lihat :

Keadaan Umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai, atau tidak
sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung dan kering

Air mata Ada Tidak ada

Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa haus Minum biasa, *Haus, ingin minum *Malas minum atau tidak
tidak haus banyak bisa minum

Periksa turgor kulit Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat lambat

Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/sedang

Bila ada 1 tanda (8) Bila ada 1 tanda (8)


ditambah 1 atau lebih ditambah 1 atau lebih tanda
tanda lain lain

Terapi Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C


Penegakan Diagnosis (Assessment) Obat antidiare, antara lain:
Diagnosis Klinis 1. Turunan opioid: Loperamid atau Tinktur
opium.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
2. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada
(BAB cair lebih dari 3 kali sehari) dan
pasien dengan disentri yang disertai demam,
pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda
dan penggunaannya harus dihentikan
hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi BAB).
apabila diare semakin berat walaupun
Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan
diberikan terapi.
penunjang.
3. Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien
Diagnosis Banding immunokompromais, seperti HIV, karena
dapat meningkatkan risiko terjadinya
Demam tifoid, Kriptosporidia (pada penderita bismuth encephalopathy.
HIV), Kolitis pseudomembran 4. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit
Komplikasi 4x2 tablet/ hari atau
5. smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB
Syok hipovolemik encer sampai diare stop.
6. Obat antisekretorik atau anti enkefalinase:
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Racecadotril 3x1
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa
Antimikroba, antara lain:
Pada umumnya diare akut bersifat ringan
1. Golongan kuinolonyaitu Siprofloksasin 2 x
dan sembuh cepat dengan sendirinya melalui
500 mg/hari selama 5-7 hari, atau
rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang
diperlukan evaluasi lebih lanjut. 2. Trimetroprim/Sulfametoksazol 160 / 800 2x
1 tablet/hari.
Terapi dapat diberikan dengan
1. Memberikan cairan dan diet adekuat 3. Apabila diare diduga disebabkan oleh
a. Pasien tidak dipuasakan dan diberikan Giardia, Metronidazol dapat digunakan
cairan yang adekuat untuk rehidrasi. dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.
b. Hindari susu sapi karena terdapat 4. Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi
defisiensi laktase transien. disesuaikan dengan etiologi.
c. Hindari juga minuman yang
mengandung alkohol atau kafein, Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan
karena dapat meningkatkan motilitas derajat dehidrasinya, pasien ditangani dengan
dan sekresi usus. langkah sebagai berikut:
d. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya
1. Menentukan jenis cairan yang akan
yang tidak mengandung gas, dan mudah
digunakan
dicerna.
Pada diare akut awal yang ringan, tersedia
2. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat
cairan oralit yang hipotonik dengan
diberikan obat antidiare untuk mengurangi
komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 gr
gejala dan antimikroba untuk terapi definitif.
Natrium bikarbonat dan 1,5 KCl setiap liter.
Pemberian terapi antimikroba empirik
Cairan ini diberikan secara oral atau lewat
diindikasikan pada pasien yang diduga
selang nasogastrik. Cairan lain adalah
mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s
cairan ringer laktat dan NaCl 0,9% yang
diarrhea, dan imunosupresi. Antimikroba:
diberikan secara intravena.
pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik
atau antiparasit, atau antijamur 2. Menentukan jumlah cairan yang akan
tergantung penyebabnya. diberikan
Prinsip dalam menentukan jumlah cairan 5. Tidak ada infus set serta cairan infus di
inisial yang dibutuhkan adalah: BJ plasma fasilitas pelayanan
dengan rumus:
Penatalaksanaan pada Pasien Anak
3. Menentukan jadwal pemberian cairan:
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana
inisial): jumlah total kebutuhan cairan diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima
menurut BJ plasma atau skor Daldiyono Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung
diberikan langsung dalam 2 jam ini oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan
agar tercapai rehidrasi optimal secepat rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-
mungkin. satunya cara untuk mengatasi diare tetapi
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan
ke-2) pemberian diberikan berdasarkan
mencegah anak kekurangan gizi akibat diare
kehilangan selama 2 jam pemberian juga menjadi cara untuk mengobati diare.
cairan rehidrasi inisial sebelumnya.
Bila tidak ada syok atauskor Daldiyono Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
kurang dari 3 dapat diganti cairan per
1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas
oral. rendah
c. Jam berikutnya pemberian cairan Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat
diberikan berdasarkan kehilangan dilakukan mulai dari rumah tangga dengan
cairan melalui tinja dan insensible memberikan oralit osmolaritas rendah, dan
water loss. bila tidak tersedia berikan cairan rumah
tangga seperti larutan air garam. Oralit saat
Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang
lanjut pada diare akut apabila ditemukan: baru dengan osmolaritas yang rendah, yang
dapat mengurangi rasa mual dan muntah.
1. Diare memburuk atau menetap setelah 7
Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi
hari, feses harus dianalisa lebih lanjut
penderita diare untuk mengganti cairan yang
2. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, hilang. Bila penderita tidak bisa minum
disentri, demam ≥ 38,5oC, nyeri abdomen harus segera di bawa ke sarana kesehatan
yang berat pada pasien usia di atas 50 untuk mendapat pertolongan cairan melalui
tahun infus. Pemberian oralit didasarkan pada
3. Pasien usia lanjut derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).
4. Muntah yang persisten a. Diare tanpa dehidrasi
5. Perubahan status mental seperti lethargi, • Umur < 1 tahun: ¼-½ gelas setiap
apatis, irritable kali anak mencret (50–100 ml)
6. Terjadinya outbreak pada komunitas • Umur 1-4 tahun: ½-1 gelas setiap kali
7. Pada pasien yang immunokompromais. anak mencret (100–200 ml)
• Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas
Konseling dan Edukasi setiap kali anak mencret (200– 300
ml)
Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang
kepada keluarga untuk membantu asupan Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam
cairan. Edukasi juga diberikan untuk mencegah pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya
terjadinya GE dan mencegah penularannya. diteruskan dengan pemberian oralit
seperti diare tanpa dehidrasi.
Kriteria Rujukan c. Diare dengan dehidrasi berat
1. Tanda dehidrasi berat Penderita diare yang tidak dapat
2. Terjadi penurunan kesadaran minum harus segera dirujuk ke
3. Nyeri perut yang signifikan Puskesmas untuk diinfus.
4. Pasien tidak dapat minum oralit
Tabel 3.6 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur

Jumlah oralit yang diberikan tiap


Umur Jumlah oralit yang disediakan di rumah
BAB
< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari (2 bungkus)
1-4 tahun 100-200ml 600-800 ml/hari (3-4 bungkus)
> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)
Dewasa 300-400 ml 1200-2800 ml/hari

Untuk anak dibawah umur 2 tahun


cairan harus diberikan dengan sendok terutama pada anak agar tetap kuat dan
dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai tumbuh serta mencegah berkurangnya berat
2 menit. Pemberian dengan botol tidak badan. Anak yang masih minum ASI harus
boleh dilakukan. Anak yang lebih besar lebih sering diberi ASI. Anak yang minum
dapat minum langsung dari gelas. Bila susu formula juga diberikan lebih sering
terjadi muntah hentikan dulu selama 10 dari biasanya. Anak usia
menit kemudian mulai lagi perlahan- 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang
lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 telah mendapatkan makanan padat harus
menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan diberikan makanan yang mudah dicerna
sampai dengan diare berhenti. dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut sering. Setelah diare berhenti, pemberian
Pemberian zinc selama diare terbukti makanan ekstra diteruskan selama 2
mampu mengurangi lama dan tingkat minggu untuk membantu pemulihan
keparahan diare, mengurangi frekuensi beratbadan
buang air besar, mengurangi volume tinja,
serta menurunkan kekambuhan kejadian 4. Antibiotik Selektif
diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan Antibiotika tidak boleh digunakan secara
bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc rutin karena kecilnya kejadian diare pada
segera saat anak mengalami diare. balita yang disebabkan oleh bakteri.
Dosis pemberian Zinc pada balita: Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian
• Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per besar karena Shigellosis) dan suspek kolera
hari
selama 10 hari. Obat-obatan anti diare juga tidak boleh
• Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari diberikan pada anak yang menderita diare
selama 10 hari. karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti
muntah tidak dianjurkan kecuali muntah
Zinc tetap diberikan selama 10 hari berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
walaupun diare sudah berhenti. dehidrasi ataupun meningkatkan
status gizi anak, bahkan sebagian besar
Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet
menimbulkan efek samping yang berbahaya
dalam 1 sendok makan air matang atau ASI,
dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa
sesudah larut berikan pada anak diare.
digunakan bila terbukti diare disebabkan
3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan oleh parasit (amuba, giardia).
Pemberian makanan selama diare 5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh
bertujuan untuk memberikan gizi pada
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat
penderita
dengan balita harus diberi nasehat tentang: Referensi
a. Cara memberikan cairan dan obat di 1. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman
rumah pemberantasan penyakit diare. Jakarta:
Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan
b. Kapan harus membawa kembali balita Republik Indonesia, 2009)
ke petugas kesehatan bila :
2. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan
• Diare lebih sering sosialisasi tatalaksana diare pada balita.
• Muntah berulang Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian
• Sangat haus Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
• Makan/minum sedikit 3. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo,
• Timbul demam A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.D.
• Tinja berdarah Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
• Tidak membaik dalam 3 hari. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan
Konseling dan Edukasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana 2009: p. 548-556.
Diare Departemen 4. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah,
M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus
Kesehatan RI (2006) adalah sebagai berikut: Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa
1. Pemberian ASI di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
2. Pemberian makanan pendamping ASI Gastroenterologi Indonesia. 2009.
3. Menggunakan air bersih yang cukup 5. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi.
4. Mencuci tangan In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
5. Menggunakan jamban Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar
6. Membuang tinja bayi dengan benar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
7. Pemberian imunisasi campak Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-1798.
Kriteria Rujukan 6. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In:
Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s
1. Anak diare dengan dehidrasi berat dan Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd.
tidak ada fasilitas rawat inap dan
McGraw-Hill. 2009: p. 962-964. (Braunwald,
pemasangan intravena.
et al., 2009)
2. Jika rehidrasi tidak dapat dilakukan atau
7. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with
tercapai dalam 3 jam pertama penanganan.
Free Living Amoebas. In: Kasper. Braunwald.
3. Anak dengan diare persisten Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal
4. Anak dengan syok hipovolemik Medicine.Vol I. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p.
Peralatan 1275-1280.

Infus set, cairan intravena, peralatan


laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin,
feses dan WIDAL
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi
pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan
pengobatannya, sehingga umumnya prognosis
adalah dubia ad bonam. Bila kondisi saat datang
dengan dehidrasi berat, prognosis dapat menjadi
dubia ad malam.
8.DISENTRI BASILER DAN DISENTRI AMUBA
No. ICPC-2: D70 Gastrointestinal infection No. ICD-10: A06.0 Acute amoebic dysentery

Masalah Kesehatan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya
Diagnosis Klinis
dan seringkali menyebabkan kematian
dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri
disentri basiler yang disebabkan oleh 1. Diagnosis Banding
shigellosis dan amoeba (disentri amoeba). 2. Infeksi Eschericiae coli
3. Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive
Hasil Anamnesis (Subjective)
(EIEC)
Keluhan 4. Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik
(EHEC)
1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan
buang air besar encer secara terus menerus Komplikasi
bercampur lendir dan darah
1. Haemolytic uremic syndrome (HUS)
2. Muntah-muntah
2. Hiponatremia berat
3. Sakit kepala
3. Hipoglikemia berat
4. Bentuk yang berat (fulminating cases)
4. Komplikasi intestinal seperti toksik
biasanya disebabkan oleh S. dysentriae
megakolon, prolaps rektal, peritonitis dan
dengan gejalanya timbul mendadak dan
perforasi
berat, dan dapat meninggal bila tidak cepat
ditolong. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Faktor Risiko Penatalaksanaan
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang 1. Mencegah terjadinya dehidrasi
kurang. 2. Tirah baring
3. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral
Sederhana (Objective)
4. Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat
Pemeriksaan Fisik diberikan cairan melalui infus
5. Diet, diberikan makanan lunak sampai
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari,
1. Febris kemudian diberikan makanan ringan biasa
2. Nyeri perut pada penekanan di bagian bila ada kemajuan.
sebelah kiri 6. Farmakologis:
3. Terdapat tanda-tanda dehidrasi a. Menurut pedoman WHO, bila telah
4. Tenesmus terdiagnosis shigelosis pasien diobati
dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari
Pemeriksaan Penunjang pengobatan menunjukkan perbaikan,
terapi diteruskan selama 5 hari. Bila
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap
tidak ada perbaikan, antibiotik diganti
kuman penyebab.
dengan jenis yang lain.
b. Pemakaian jangka pendek dengan
dosis tunggal Fluorokuinolon Kriteria Rujukan
seperti Siprofloksasin atau makrolid
Azithromisin ternyata berhasil baik Pada pasien dengan kasus berat perlu dirawat
untuk pengobatan disentri basiler. Dosis intensif dan konsultasi ke pelayanan kesehatan
Siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x sekunder (spesialis penyakit dalam).
500 mg/hari selama 3 hari sedangkan Peralatan
Azithromisin diberikan 1 gram dosis
tunggal dan Sefiksim 400 mg/hari Laboratorium untuk pemeriksaan tinja
selama 5 hari. Pemberian Siprofloksasin
Prognosis
merupakan kontraindikasi terhadap
anak-anak dan wanita hamil. Prognosis sangat tergantung pada kondisi
c. Di negara-negara berkembang di pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan
mana terdapat kuman S.dysentriae pengobatannya. Pada umumnya prognosis dubia
tipe 1 yang multiresisten terhadap ad bonam.
obat- obat, diberikan asam nalidiksik
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 Referensi
hari. Tidak ada antibiotik yang 1. Sya’roni Akmal. Buku Ajar Ilmu Penyakit
dianjurkan dalam pengobatan stadium Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK
karier disentribasiler. UI.2006. Hal 1839-41.
d. Untuk disentri amuba diberikan 2. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu Penyakit
antibiotik Metronidazol 500mg 3x Dalam Edisi III. Jakarta: FKUI.2006.
sehari selama 3-5 hari 3. Kroser, AJ. Shigellosis. 2007. Diakses dari
www.emedicine.com/med/topic2112.htm.
Rencana Tindak Lanjut
Pasien perlu dilihat perkembangan penyakitnya
karena memerlukan waktu penyembuhan yang
lama berdasarkan berat ringannya penyakit.
Konseling dan Edukasi
1. Penularan disentri amuba dan basiler dapat
dicegah dan dikurangi dengan kondisi
lingkungan dan diri yang bersih seperti
membersihkan tangan dengan sabun,
suplai air yang tidak terkontaminasi serta
penggunaan jamban yang bersih.
2. Keluarga ikut berperan dalam mencegah
penularan dengan kondisi lingkungan
dan diri yang bersih seperti membersihkan
tangan dengan sabun, suplai air yang tidak
terkontaminasi, penggunaan jamban yang
bersih.
3. Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan
makanan lunak sampai frekuensi BAB
kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan
makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
9.PERDARAHAN GASTROINTESTINAL
No. ICPC-2: D14 Haematemesis/vomiting blood
D15 Melaena
D16 Rectal Bleeling
No. ICD-10 : K92.2 Gastrointestinal haemorrhage, unspecified
K62.5 Haemorrhage of anus and rectum
Tingkat Kemampuan 3B

a.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik,
alkohol, jamu- jamuan, obat untuk penyakit
Masalah Kesehatan jantung, obat stroke, riwayat penyakit ginjal,
riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan
Manifestasi perdarahan saluran cerna
ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah
bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang
sebelum terjadinya hematemesis sangat
mengancam jiwa hingga perdarahan samar
mendukung kemungkinan adanya sindroma
yang tidak dirasakan. Hematemesis
Mallory Weiss.
menunjukkan perdarahan dari saluran cerna
bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz. Faktor Risiko
Melena biasanya akibat perdarahan saluran
cerna bagian atas, meskipun demikian perdarahan Konsumsi obat-obat NSAID
dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga Faktor Predisposisi
dapat menimbulkan melena.
Riwayat sirosis hepatis
Di Indonesia perdarahan karena ruptur varises
gastroesofagus merupakan penyebab tersering Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif sekitar 25- sederhana (Objective)
30%,tukak peptik sekitar 10-15% dan karena
Pemeriksaan Fisik
sebab lainnya <5%. Mortalitas secara
keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, 1. Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi)
kematian pada penderita ruptur varises bisa 2. Evaluasi jumlah perdarahan.
mencapai 60% sedangkan kematian pada 3. Pemeriksaan fisik lainnyayaitu mencari
perdarahan non varises sekitar 9-12%. stigmata penyakit hati kronis (ikterus,
spider nevi, asites, splenomegali, eritema
Hasil Anamnesis (Subjective) palmaris, edema tungkai), massa abdomen,
Keluhan nyeri abdomen, rangsangan peritoneum,
penyakit paru, penyakit jantung, penyakit
Pasien dapat datang dengan keluhan muntah rematik dll.
darah berwarna hitam seperti bubuk kopi 4. Rectal toucher
(hematemesis) atau buang air besar berwarna 5. Dalam prosedur diagnosis ini penting
hitam seperti ter atau aspal (melena). melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT).
Gejala klinis lainya sesuai dengan komorbid, Aspirat berwarna putih keruh menandakan
seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, perdarahan tidak aktif, aspirat
penyakit jantung, penyakit ginjal dsb. berwarna merah marun menandakan
perdarahan masif sangat mungkin
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah perdarahan arteri.
riwayat penyakit hati kronis, riwayat dispepsia,
Pemeriksaan Penunjang di fasilitas pelayanan Konseling dan Edukasi
kesehatan tingkat pertama
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet
1. Laboratorium darah lengkap dan pengobatan pasien.
2. X ray thoraks
Kriteria Rujukan
Penegakan diagnostik (Assessment)
1. Terhadap pasien yang diduga kuat karena
Diagnosis Klinis ruptura varises esophagus di rujuk ke
pelayanan kesehatan sekunder
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
2. Bila perdarahan tidak berhenti dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang. penanganan awal di layanan tingkat
Diagnosis Banding pertama
3. Bila terjadi anemia berat
Hemoptisis, Hematokezia
Peralatan
Komplikasi
1. Kanula satu sungkup oksigen
Syok hipovolemia, Aspirasi pneumonia, Gagal 2. Naso Gastric Tube (NGT)
ginjal akut, Anemia karena perdarahan 3. Sarung tangan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) 4. EKG
5. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
Penatalaksanaan lengkap, fungsi hati, dan fungsi ginjal.
1. Stabilkan hemodinamik. Prognosis
a. Pemasangan IV line
b. Oksigen sungkup/kanula Prognosis untuk kondisi ini adalah dubia,
c. Mencatat intake output, harus dipasang mungkin tidak sampai mengancam jiwa,
kateter urin namun ad fungsionam dan sanationam
d. Memonitor tekanan darah, nadi, umumnya dubia ad malam.
saturasi oksigen dan keadaan lainnya Referensi
sesuai dengan komorbid yang ada.
2. Pemasangan NGT (nasogatric tube) 1. Soewondo. Pradana. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Melakukan bilas lambung agar Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
mempermudah dalam tindakan endoskopi. 2006: Hal 291-4.
3. Tirah baring 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
4. Puasa/diet hati/lambung Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
a. Injeksi antagonis reseptor H2 atau Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal 229.
penghambat pompa proton (PPI) (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
b. Sitoprotektor: sukralfat 3-4 x1 gram RSCM, 2004)
c. Antasida 3. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni,
d. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan N. Singer, M,Critical Care. Focus 9 Gut.
penyakit hati kronis London: BMJ Publishing Group. 2002.
(Galley, et al., 2002)
Rencana Tindak Lanjut 4. Elta, G.H.Approach to the patient
Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi with gross gastrointestinal bleeding in
pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh Yamada, T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine,
karena itu perlu dilakukan asesmen yang lebih L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book
akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan of Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia:
mortalitas. Lippincot William & Wilkins. 2003.
(Elta,2003)
5. Rockey, D.C. Gastrointestinal bleeding faeces.
in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger, 5. Pasien dengan perdarahan samar saluran
M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s cerna kronik umumnya tidak ada gejala
Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd. atau kadang hanya rasa lelah akibat
Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, anemia.
2002) 6. Nilai dalam anamnesis apakah
6. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E. Acute upper bercampur dengan feses (seperti terjadi
gastrointestinal bleeding in Sivak, M.V.Ed. pada kolitis atau lesi di proksimal rektum)
Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: atau terpisah/menetes (terduga hemoroid),
WB Sauders. 2000. (Gilbert & Silverstein, pemakaian antikoagulan, atau terdapat
2000) gejala sistemik lainnya seperti demam lama
(tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat
b.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah badan (kanker), perubahan pola defekasi
(kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema,
Masalah Kesehatan
angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi,
Perdarahan saluran cerna bagian bawah iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura,
umumnya didefinisikan sebagai perdarahan yang disentri).
berasal dari usus di sebelah bawah ligamentum
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
Treitz. Hematokezia diartikan darah segar
sederhana (Objective)
yang keluar melalui anus dan merupakan
manifestasi tersering dari perdarahan saluran Pemeriksaan Fisik
cerna bagian bawah.
1. Pada colok dubur ditemukan darah segar
Penyebab tersering dari saluran cerna bagian 2. Nilai tanda vital, terutama ada
bawah antara lain perdarahan divertikel kolon, tidaknya renjatan atau hipotensi postural
angiodisplasia dan kolitis iskemik. Perdarahan (Tilt test).
saluran cerna bagian bawah yang kronik dan 3. Pemeriksaan fisik abdomen untuk menilai
berulang biasanya berasal dari hemoroid dan ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia
neoplasia kolon. mesenterial), rangsang peritoneal
(divertikulitis), massa intraabdomen (tumor
Hasil Anamnesis (Anemnesis)
kolon, amuboma, penyakit Crohn).
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
1. Pasien datang dengan keluhan darah segar
Pemeriksaan darah perifer lengkap, feses rutin
yang keluar melalui anus (hematokezia).
dan tes darah samar.
2. Umumnya melena menunjukkan perdarahan
di saluran cerna bagian atas atau usus Penegakan diagnostik (Assessment)
halus, namun demikian melena dapat juga
berasal dari perdarahan kolon sebelah Diagnosis Klinis
kanan dengan perlambatan mobilitas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
3. Perdarahan dari divertikulum biasanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
tidak nyeri. Tinja biasanya berwarna merah
marun, kadang-kadang bisa juga menjadi Diagnosis Banding
merah. Umumnya terhenti secara spontan
Haemorhoid, Penyakit usus inflamatorik,
dan tidak berulang.
Divertikulosis, Angiodisplasia, Tumor kolon
4. Hemoroid dan fisura ani biasanya
menimbulkan perdarahan dengan warna Komplikasi
merah segar tetapi tidak bercampur dengan
1. Syok hipovolemik
2. Gagal ginjal akut Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder untuk
3. Anemia karena perdarahan diagnosis definitif bila tidak dapat ditegakkan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama
Penatalaksanaan
1. Stabilkan hemodinamik Peralatan
a. Pemasangan IV line 1. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
b. Oksigen sungkup/kanula lengkap dan faeces darah samar
c. Mencatat intake output, harus dipasang
kateter urin 2. Sarung tangan
d. Memonitor tekanan darah, nadi, Prognosis
saturasi oksigen dan keadaan lainnya
sesuai dengan komorbid yang ada. Prognosis sangat tergantung pada kondisi
2. Beberapa perdarahan saluran cerna bagian pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
bawah dapat diobati secara medikamentosa. dan pengobatannya.
Hemoroid fisura ani dan ulkus rektum
Referensi
soliter dapat diobati dengan bulk-forming
agent, sitz baths, dan menghindari 1. Abdullah. Murdani, Sudoyo. Aru, W. dkk.
mengedan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
3. Kehilangan darah samar memerlukan Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Dep. IPD.
suplementasi besi yaitu Ferrosulfat 325 mg FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
tiga kali sehari.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Konseling dan Edukasi Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 234.
dan pengobatan pasien. (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
RSCM, 2004)
Kriteria Rujukan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang
terus menerus

10. HEMOROID GRADE 1-2


No. ICPC-2: D95 Anal fissure/perianal abscess
No. ICD-10: I84 Haemorrhoids
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 2. Prolaps suatu massa pada waktu defekasi.


Hemoroid adalah pelebaran vena-vena didalam Massa ini mula-mula dapat kembali spontan
pleksus hemoroidalis. sesudah defekasi, tetapi kemudian harus
dimasukkan secara manual dan akhirnya
Hasil Anamnesis (Subjective) tidak dapat dimasukkan lagi.
Keluhan 3. Pengeluaran lendir.
1. Perdarahan pada waktu defekasi, darah 4. Iritasi didaerah kulit perianal.
berwarna merah segar. Darah dapat menetes
5. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing,
keluar dari anus beberapa saat setelah
lemah, pucat).
defekasi.
Faktor Risiko Pemeriksaan Penunjang
1. Penuaan Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk
2. Lemahnya dinding pembuluh darah mengetahui adanya anemia dan infeksi.
3. Wanita hamil
4. Konstipasi Penegakan Diagnostik (Assessment)
5. Konsumsi makanan rendah serat Diagnosis Klinis
6. Peningkatan tekanan intraabdomen
7. Batuk kronik Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
8. Sering mengedan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
9. Penggunaan toilet yang berlama-lama
Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi :
(misal : duduk dalam waktu yang lama di
toilet) 1. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian
proksimal dentate line dan dilapisi mukosa.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade,
Sederhana (Objective)
yaitu :
Pemeriksaan Fisik
a. Grade 1 hemoroid mencapai lumen
1. Periksa tanda-tanda anemia anal kanal
2. Pemeriksaan status lokalis
b. Grade 2 hemoroid mencapai sfingter
a. Inspeksi:
eksternal dan tampak pada
• Hemoroid derajat 1, tidak
saat pemeriksaan tetapi
menunjukkan adanya suatu kelainan
dapat masuk kembali secara
diregio anal.
spontan.
• Hemoroid derajat 2, tidak terdapat
benjolan mukosa yang keluar melalui c. Grade 3 hemoroid telah keluar dari
anus, akan tetapi bagian hemoroid anal canal dan hanya dapat
yang tertutup kulit dapat terlihat masuk kembali secara manual
sebagai pembengkakan. oleh pasien.
• Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar d. Grade 4 hemoroid selalu keluar dan
akan segera dapat dikenali dengan tidak dapat masuk ke anal
adanya massa yang menonjol dari kanal meski dimasukkan
lubang anus yang bagian luarnya secara manual
ditutupi kulit dan bagian dalamnya 2. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian
oleh mukosa yang berwarna dentate line dan dilapisi oleh epitel mukosa
keunguan atau merah. yang telah termodifikasi serta banyak
b. Palpasi: persarafan serabut saraf nyeri somatik.
• Hemoroid interna pada stadium awal
merupaka pelebaran vena yang Diagnosis Banding
lunak dan mudah kolaps sehingga Kondiloma Akuminata, Proktitis, Rektal prolaps
tidak dapat dideteksi dengan palpasi.
• Setelah hemoroid berlangsung lama Komplikasi
dan telah prolaps, jaringan ikat Anemia
mukosa mengalami fibrosis sehingga
hemoroid dapat diraba ketika jari Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
tangan meraba sekitar rektum
Penatalaksanaan Hemoroid di layanan tingkat
bagian bawah.
pertama hanya untuk hemoroid grade 1 dengan
terapi konservatif medis dan menghindari obat- Kriteria Rujukan
obat anti-inflamasi non-steroid, serta makanan
pedas atau berlemak. Hemoroid interna grade 2, 3, dan 4 dan hemoroid
eksterna memerlukan penatalaksanaan di
Hal lain yang dapat dilakukan adalah pelayanan kesehatan sekunder.
mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada
pasien hemoroid. Peralatan

Konseling dan Edukasi Sarung tangan

Melakukan edukasi kepada pasien sebagai Prognosis


upaya pencegahan hemoroid. Pencegahan Prognosis pada umumnya bonam
hemoroid dapat dilakukan dengan cara:
Referensi
1. Konsumsi serat 25-30 gram perhari.
Hal ini bertujuan untuk membuat feses 1. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids.
menjadi lebih lembek dan besar, sehingga Emedicine. Medscape. Update 12 September
mengurangi proses mengedan dan tekanan 2012. (Thornton & Giebel, 2012)
pada vena anus. 2. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids
2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari. and Fissure in Ano Gastroenterology Clinics
3. Mengubah kebiasaan buang air besar. of North America. 2008.
Segerakan ke kamar mandi saat merasa
akan buang air besar, jangan ditahan karena
akan memperkeras feses. Hindari mengedan.

11. HEPATITIS A
No. ICPC-2: D72 Viral Hepatitis No. ICD-10: B15 Acute Hepatitis A
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
6. Mual dan muntah
Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang 7. Warna urine seperti teh
disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah 8. Tinja seperti dempul
virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal
oral. Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, Faktor Risiko
sedangkan pada anak <6 tahun 70% asimtomatik. 1. Sering mengkonsumsi makanan atau
Kurang dari 1% penderita hepatitis A dewasa minuman yang tidak terjaga sanitasinya.
berkembang menjadi hepatitis A fulminan. 2. Menggunakan alat makan dan minum dari
penderita hepatitis.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
sederhana (Objective)
1. Demam
2. Mata dan kulit kuning Pemeriksaan Fisik
3. Penurunan nafsu makan 1. Febris
4. Nyeri otot dan sendi 2. Sklera ikterik
5. Lemah, letih, dan lesu. 3. Hepatomegali
4. Warna urin seperti teh
Pemeriksaan Penunjang orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi.
3. Keluarga ikut menjaga asupan kalori
1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam dan cairan yang adekuat, dan membatasi
urin) aktivitas fisik pasien selama fase akut.
2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar
bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan Kriteria Rujukan
SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan
pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat 1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan
pertama yang lebih lengkap. penunjang laboratorium
3. IgM anti HAV (di layanan tingkat lanjutan) 2. Penderita Hepatitis A dengan keluhan
ikterik yang menetap disertai keluhan
Penegakan Diagnostik (Assessment) yang lain.
3. Penderita Hepatitis A dengan
Diagnosis Klinis penurunan kesadaran dengan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, kemungkinan ke arah ensefalopati
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. hepatik.

Diagnosis Banding Peralatan

Ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut, Sirosis Laboratorium darah rutin, urin rutin dan
hepatis pemeriksaan fungsi hati

Komplikasi Prognosis

Hepatitis A fulminan, Ensefalopati hepatikum, Prognosis umumnya adalah bonam.


Koagulopati
Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral
Penatalaksanaan Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s
Principles of Internal Medicine,16thEd.
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat New York: McGraw-Hill. 2004.
2. Tirah baring 2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis
3. Pengobatan simptomatik delta virus. In: Disease of Liver and Biliary
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. System. Blackwell Publishing Company.
b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002)
x 10 mg/hari atau Domperidon 3 x 10mg/ 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit
hari. Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:
c. Perut perih dan kembung : H2 Bloker Hal 429-33.
(Simetidin 3 x 200 mg/hari atau Ranitidin 2 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan,
x 150 mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
(Omeprazol 1 x 20 mg/hari). Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal
Rencana Tindak Lanjut 435-9.
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
pengobatan. Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal15-17.
Konseling dan Edukasi
1. Sanitasi dan higiene mampu mencegah
penularan virus.
2. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada
12. HEPATITIS B
No. ICPC-2: D72 Viral Hepatitis No. ICD-10: B16 Acute Hepatitis B
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
bila ditekan di bagian perut kanan atas.
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, Setelah gejala tersebut akan timbul fase
masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari resolusi.
seseorang yang terinfeksi. Virus ini tersebar
luas di seluruh dunia dengan angka kejadian Faktor Risiko
yang berbeda- beda. Tingkat prevalensi 1. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak
hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi aman dengan orang yang sudah terinfeksi
berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di hepatitis B.
Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok 2. Memakai jarum suntik secara bergantian
negara dengan endemisitas sedang sampai terutama kepada penyalahgunaan obat
tinggi. suntik.
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang 3. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai
akut dengan gejala yang berlangsung kurang bersama-sama dengan penderita hepatitis B.
dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit 4. Orang yang bekerja pada tempat-tempat
berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut yang terpapar dengan darah manusia.
sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B kronik 5. Orang yang pernah mendapat transfusi
dapat berkembang menjadi sirosis hepatis, 10% darah sebelum dilakukan pemilahan
dari penderita sirosis hepatis akan berkembang terhadap donor.
menjadihepatoma. 6. Penderita gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis.
Hasil Anamnesis (Subjective) 7. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang
menderita hepatitis B.
Keluhan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Umumnya tidak menimbulkan gejala
Sederhana (Objective)
terutama pada anak-anak.
2. Gejala timbul apabila seseorang telah Pemeriksaan Fisik
terinfeksi selama 6 minggu, antara lain:
a. gangguan gastrointestinal, seperti: 1. Konjungtiva ikterik
malaise, anoreksia, mual dan muntah; 2. Pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada
b. gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala, hati
mialgia. 3. Splenomegali dan limfadenopati pada 15-
3. Gejala prodromal seperti diatas akan 20% pasien
menghilang pada saat timbul kuning, tetapi Pemeriksaan Penunjang
keluhan anoreksia, malaise, dan kelemahan
dapat menetap. 1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam
4. Ikterus didahului dengan kemunculan urin urin)
berwarna gelap. 2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar
Pruritus (biasanya ringan dan sementara) bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan
dapat timbul ketika ikterus meningkat. Pada SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan
saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit
pertama yang lebih lengkap. 2. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga
3. HBsAg (di pelayanan kesehatan sekunder) asupan kalori dan cairan yang adekuat, dan
membatasi aktivitas fisik pasien.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Pencegahan penularan pada anggota
Diagnosis Klinis keluarga dengan modifikasi pola hidup
untuk pencegahan transmisi dan imunisasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Peralatan

Diagnosis Banding Laboratorium darah rutin, urin rutin dan


pemeriksaan fungsi hati
Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena
obat atau toksin, hepatitis autoimun, hepatitis Prognosis
alkoholik, obstruksi akut traktus biliaris Prognosis sangat tergantung pada kondisi
Komplikasi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan
pengobatannya. Pada umumnya, prognosis pada
Sirosis hepar, Hepatoma hepatitis B adalah dubia, untuk fungtionam dan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) sanationamdubia ad malam.

Penatalaksanaan Referensi

1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral
2. Tirah baring Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s
3. Pengobatan simptomatik Principles of Internal Medicine. 16th Ed.
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. McGraw-Hill. New York. 2004.
b. Mual: antiemetik seperti 2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis
Metoklopramid 3 x 10 mg/hari delta virus. In: Disease of Liver and Biliary
atau Domperidon 3 x 10 mg/hari. System. Blackwell Publishing Company.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker 2002: p.285-96.
(Simetidin 3 x 200 mg/hari atau 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Ranitidin 2 x 150 mg/hari) atau Proton Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:
Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/ Hal 429-33.
hari). 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan,
Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Rencana Tindak Lanjut Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal
435-9.
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
pengobatan. Kriteria Rujukan
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
1. Penegakan diagnosis dengan Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
pemeriksaan penunjang laboratorium di
pelayanan kesehatan sekunder
2. Penderita hepatitis B dengan keluhan
ikterik yang menetap disertai keluhan yang
lain.
Konseling dan Edukasi
1. Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut
mendukung pasien agar teratur minum
obat karena pengobatan jangka panjang.
13. KOLESISTITIS
No. ICPC-2: D98 Cholecystitis/cholelithiasis
No. ICD-10: K81.9 Cholecystitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan 3. Sering mengkonsumsi makanan berlemak


Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau 4. Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.
kronisdinding kandung empedu. Faktor yang Hasil Pemeriksaan dan Penunjang Sederhana
mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis (Objective)
adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan
iskemia dinding kandung empedu. Penyebab Pemeriksaan Fisik
utama kolesistitis akut adalah batu kandung
1. Ikterik bila penyebab adanya batu di
empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus
saluran empedu ekstrahepatik
yang menyebabkan stasis cairan empedu.
2. Teraba massa kandung empedu
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis
lokal, tanda Murphy positif
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
Kolesistitis akut:
Laboratorium darah menunjukkan adanya
1. Demam leukositosis
2. Kolik perut di sebelah kanan atas atau
epigastrium dan teralihkan ke bawah Penegakan Diagnostik (Assessment)
angulus scapula dexter, bahu kanan atau
Diagnosis Klinis
yang ke sisi kiri, kadang meniru nyeri angina
pektoris, berlangsung 30-60 menit tanpa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
peredaan, berbeda dengan spasme yang pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
cuma berlangsung singkat pada kolik bilier.
3. Serangan muncul setelah konsumsi Diagnosis Banding
makanan besar atau makanan berlemak di Angina pektoris, Apendisitis akut, Ulkus
malam hari. peptikum perforasi, Pankreatitis akut
4. Flatulens dan mual
Komplikasi
Kolesistitis kronik
Gangren atau empiema kandung empedu,
1. Gangguan pencernaan menahun Perforasi kandung empedu, Peritonitis umum,
2. Serangan berulang namun tidak mencolok. Abses hepar
3. Mual, muntah dan tidak tahan makanan
berlemak Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Nyeri perut yang tidak jelas disertai dengan
Penatalaksanaan
sendawa.
1. Tirah baring
Faktor Risiko
2. Puasa
1. Wanita 3. Pemasangan infus
2. Usia >40 tahun 4. Pemberian anti nyeri dan anti mual
5. Pemberian antibiotik:
a. Golongan penisilin: Ampisilin injeksi Kriteria rujukan
500 mg/6 jam dan Amoksilin 500
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis
mg/8 jam IV, atau
dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit
b. Sefalosporin: Seftriakson 1 gram/ 12
dalam) sedangkan bila terdapat indikasi untuk
jam, Sefotaksim 1 gram/8 jam, atau
pembedahan pasien dirujuk pula ke spesialis
c. Metronidazol 500 mg/ 8 jam
bedah.
Konseling dan Edukasi
Peralatan
Keluarga diminta untuk mendukung pasien untuk
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
menjalani diet rendah lemak dan menurunkan
berat badan. Prognosis
Rencana Tindak Lanjut Prognosis umumnya dubia ad bonam,
tergantung komplikasi dan beratnya penyakit.
1. Pada pasien yang pernah mengalami
serangan kolesistitis akut dan kandung Referensi
empedunya belum diangkat kemudian
mengurangi asupan lemak dan 1. Soewondo, P. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
menurunkan berat badannya harus dilihat Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006: Hal
apakah terjadi kolesistitis akut berulang. 1900-2.
2. Perlu dilihat ada tidak indikasi untuk 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
dilakukan pembedahan.
Dalam FKUI/RSCM. 2004: Hal 240.

14. APENDISITIS AKUT


No. ICPC-2: S87 (Appendicitis)
No. ICD-10: K.35.9 (Acute appendicitis)
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah
Apendisitis akut adalah radang yang timbul epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney.
secara mendadak pada apendik, merupakan Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam)
salahsatu kasus akut abdomen yang paling penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena
sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera bersifat somatik.
dapat menyebabkan perforasi.
Gejala Klinis
Penyebab:
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi
1. Obstruksi lumen merupakan faktor nervus vagus.
penyebab dominan apendisitis akut 2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang
2. Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba timbul beberapa jam sesudahnya,
hystolitica dan benda asing lainnya merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang
timbul saat permulaan.
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Disuria juga timbul apabila peradangan
Keluhan apendiks dekat dengan vesika urinaria.
4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare, timbul
biasanya pada letak apendiks pelvikal yang Colok dubur
merangsang daerah rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu Nyeri tekan pada jam 9-12
tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah
terjadi perforasi. 1. Nyeri seluruh abdomen
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan 2. Pekak hati hilang
menjelaskan keluhan nyeri somatik yang 3. Bising usus hilang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang
Apendiks yang mengalami gangren atau
panjang dengan ujung yang mengalami perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-
inflamasi di kuadran kiri bawah akan
gejala sebagai berikut:
menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan 1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36
nyeri flank atau punggung, apendiks jam
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada 2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC
supra pubik dan apendiks retroileal bisa 3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin 4. Dehidrasi dan asidosis
karena iritasi pada arteri spermatika dan 5. Distensi
ureter. 6. Menghilangnya bising usus
7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
8. Rebound tenderness sign
Sederhana (Objective)
9. Rovsing sign
Pemeriksaan Fisik 10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Inspeksi Pemeriksaan Penunjang

1. Penderita berjalan membungkuk sambil 1. Laboratorium darah perifer lengkap


memegangi perutnya yang sakit a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil
2. Kembung bila terjadi perforasi laboratorium nilai leukosit dan neutrofil
3. Penonjolan perut kanan bawah terlihat akan meningkat.
pada appendikuler abses. b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-
14.000/mm3, dengan pemeriksaan
Palpasi hitung jenis menunjukkan pergeseran
Terdapat nyeri tekan McBurney ke kiri hampir 75%.
c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/
1. Adanya rebound tenderness (nyeri lepas mm3 maka umumnya sudah terjadi
tekan) perforasi dan peritonitis.
2. Adanya defans muscular d. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan
3. Rovsing sign positif sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
4. Psoas signpositif kelainan urologi yang menyebabkan
5. Obturator Signpositif nyeri abdomen.
e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai
Perkusi
kehamilan ektopik pada wanita usia
Nyeri ketok (+) subur.
2. Foto polos abdomen
Auskultasi a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada foto polos abdomen tidak banyak
illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata.
membantu.. 1. Bed rest total posisi fowler (anti
b. Pada peradangan lebih luas dan Trandelenburg)
membentuk infiltrat maka usus pada 2. Pasien dengan dugaan apendisitis
bagian kanan bawah akan kolaps. sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
c. Dinding usus edematosa, keadaan mulut.
seperti ini akan tampak pada daerah 3. Penderita perlu cairan intravena untuk
kanan bawah abdomen kosong dari mengoreksi jika ada dehidrasi.
udara. 4. Pipa nasogastrik dipasang untuk
d. Gambaran udara seakan-akan terdorong mengosongkan lambung agar mengurangi
ke pihak lain. distensi abdomen dan mencegah muntah.
e. Proses peradangan pada fossa
iliaka kanan akan menyebabkan Komplikasi
kontraksi otot sehingga timbul skoliosis 1. Perforasi apendiks
ke kanan. 2. Peritonitis umum
f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada 3. Sepsis
foto abdomen tegak akan tampak
udara bebas di bawah diafragma. Kriteria Rujukan
g. Foto polos abdomen supine pada abses Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke
appendik kadang- kadang memberi pola layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.
bercak udara dan air fluid level pada
posisi berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi Peralatan
bercak rim-like (melingkar)
Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer
sekitar perifer mukokel yang asalnya
lengkap
dari appendik.
Prognosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Prognosis pada umumnya bonam tetapi
Diagnosis Klinis
bergantung tatalaksana dan kondisi pasien.
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih
Referensi
merupakan dasar diagnosis apendisitis akut.
1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus
Diagnosis Banding
Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum”,
1. Kolesistitis akut dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC,
2. Divertikel Mackelli Jakarta, 2005,hlm.639-645.
3. Enteritis regional
2. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari
4. Pankreatitis
Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
5. Batu ureter
Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).
6. Cystitis
7. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
8. Salpingitis akut
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut
harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk
dilakukan operasi cito.
Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk:
15. PERITONITIS
No. ICPC-2: D99 Disease digestive system, other
No. ICD-10: K65.9 Peritonitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. bebas di bawah diafragma
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan 7. Bising usus menurun atau menghilang
di dalam abdomen berupa inflamasi dan 8. Rigiditas abdomen atau sering disebut
penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, perut papan
perforasi tukak lambung, perforasi tifus 9. Pada colok dubur akan terasa nyeri di
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan semua arah, dengan tonus muskulus
oleh karena perforasi organ berongga karena sfingter ani menurun dan ampula rekti
trauma abdomen. berisi udara.
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang
Keluhan Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di
layanan tingkat pertama untuk menghindari
1. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan keterlambatan dalam melakukan rujukan.
terus-menerus selama beberapa jam, dapat
hanya di satu tempat ataupun tersebar di Penegakan Diagnostik (Assessment)
seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin
Diagnosis Klinis
kuat saat penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan
2. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu pemeriksaan fisik dari tanda-tanda khas yang
badan penderita akan naik dan terjadi ditemukan pada pasien.
takikardia, hipotensi dan penderita tampak
letargik dan syok. Diagnosis Banding: -
3. Mual dan muntah timbul akibat adanya Komplikasi
kelainan patologis organ visera atau akibat
iritasi peritoneum. 1. Septikemia
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh 2. Syok
adanya cairan dalam abdomen, yang dapat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
mendorong diafragma.
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Pasien segera dirujuk setelah penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan awal seperti
Pemeriksaan Fisik
berikut:
1. Pasien tampak letargik dan kesakitan
1. Memperbaiki keadaan umum pasien
2. Dapat ditemukan demam
2. Pasien puasa
3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan
3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa
nyeri lepas abdomen
nasogastrik atau intestinal
4. Defans muskular
4. Penggantian cairan dan elektrolit yang
5. Hipertimpani pada perkusi abdomen
hilang yang dilakukan secara intravena
5. Pemberian antibiotik spektrum luas
intravena.
6. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri Referensi
dihindari untuk tidak menyamarkan gejala
1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar
Kriteria Rujukan Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2011.
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis
Rujuk ke layanan sekunder yang memiliki
dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
dokter spesialis bedah.
Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta:
Peralatan EGC.2000.
3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I.
Nasogastric Tube Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Prognosis Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,1999)
4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih
malam. bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC.
2000. (Shrock, 2000)

16. PAROTITIS
No. ICPC-2: D71. Mumps / D99. Disease digestive system, other No. ICD-10: B26. Mumps
Tingkat Kemampuan 4A

Onset akut, biasanya < 7 hari


Masalah Kesehatan
d. Gejala konstitusional: malaise,
Parotitis adalah peradangan pada kelenjar anoreksia, demam f. Biasanya bilateral,
parotis. Parotitis dapat disebabkan oleh infeksi namun dapat pula unilateral
virus, infeksi bakteri, atau kelainan autoimun, 2. Parotitis bakterial akut
dengan derajat kelainan yang bervariasi dari a. Pembengkakan pada area di depan
ringan hingga berat. Salah satu infeksi virus telinga hingga rahang bawah
pada kelenjar parotis, yaitu parotitis mumps b. Bengkak berlangsung progresif c. Onset
(gondongan) sering ditemui pada layanan akut, biasanya < 7 hari d. Demam
tingkat pertama dan berpotensi menimbulkan c. Rasa nyeri saat mengunyah
epidemi di komunitas. Dokter di fasilitas 3. Parotitis HIV
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat a. Pembengkakan pada area di depan
berperan menanggulangi parotitis mumps telinga hingga rahang bawah
dengan melakukan diagnosis dan tatalaksana b. Tidak disertai rasa nyeri
yang adekuat serta meningkatkan kesadaran c. Dapat pula bersifat asimtomatik
masyarakat terhadap imunisasi, khususnya MMR. 4. Parotitis tuberkulosis
a. Pembengkakan pada area di depan
Hasil Anamnesis (Subjective) telinga hingga rahang bawah
Keluhan b. Onset kronik
c. Tidak disertai rasa nyeri
1. Parotitis mumps d. Disertai gejala-gejala tuberkulosis
a. Pembengkakan pada area di depan lainnya e. Parotitis autoimun (Sjogren
telinga hingga rahang bawah syndrome)
b. Bengkak berlangsung tiba-tiba e. Pembengkakan pada area di depan
c. Rasa nyeri pada area yang bengkak d. telinga hingga rahang bawah
f. Onset kronik atau rekurens h. Tidak Pemeriksaan Penunjang
disertai rasa nyeri dapat unilateral atau
Pada kebanyakan kasus parotitis, pemeriksaan
bilateral
penunjang biasanya tidak diperlukan.
g. Gejala-gejala Sjogren syndrome, Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk
misalnya mulut kering, mata kering menentukan etiologi pada kasus parotitis
h. Penyebab parotitis lain telah bakterial atau parotitis akibat penyakit sistemik
disingkirkan tertentu, misalnya HIV, Sjogren syndrome,
tuberkulosis.
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Anak berusia 2-12 tahun merupakan
kelompok tersering menderita parotitis Diagnosis Klinis
mumps
Diagnosis parotitis ditegakkan berdasarkan
2. Belum diimunisasi MMR
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
3. Pada kasus parotitis mumps, terdapat riwayat
adanya penderita yang sama sebelumnya di Komplikasi
sekitar pasien
1. Parotitis mumps dapat menimbulkan
4. Kondisi imunodefisiensi komplikasi berupa: Epididimitis, Orkitis, atau
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang atrofi testis (pada laki-laki), Oovaritis (pada
Sederhana (Objective) perempuan), ketulian, Miokarditis, Tiroiditis,
Pankreatitis, Ensefalitis, Neuritis
Pemeriksaan Fisik 2. Kerusakan permanen kelenjar parotis yang
menyebabkan gangguan fungsi sekresi
1. Keadaan umum dapat bervariasi dari tampak saliva dan selanjutnya meningkatkan risiko
sakit ringan hingga berat terjadinya infeksi dan karies gigi.
2. Suhu meningkat pada kasus parotitis infeksi 3. Parotitis autoimun berhubungan dengan
3. Pada area preaurikuler (lokasi kelenjar peningkatan insiden limfoma.
parotis), terdapat:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
a. Edema
b. Eritema Penatalaksanaan
c. Nyeri tekan (tidak ada pada kasus parotitis
1. Parotitis mumps
HIV, tuberkulosis, dan autoimun)
a. Nonmedikamentosa
4. Pada kasus parotitis bakterial akut, bila Pasien perlu cukup beristirahat
dilakukan masase kelanjar parotis dari arah Hidrasi yang cukup
posterior ke anterior, nampak saliva purulen Asupan nutrisi yang bergizi
keluar dari duktur parotis. b. Medikamentosa : Pengobatan bersifat
simtomatik (antipiretik, analgetik)
2. Parotitis bakterial akut
a. Nonmedikamentosa
Pasien perlu cukup beristirahat
Hidrasi yang cukup
Asupan nutrisi yang bergizi
b. Medikamentosa
Antibiotik
Simtomatik (antipiretik, analgetik)
3. Parotitis akibat penyakit sistemik (HIV,
tuberkulosis, Sjogren syndrome)
Tidak dijelaskan dalam bagian ini.
Gambar 3.2 Edema pada area preaurikuler dan
mandibula kanan pada kasus parotitis mumps
Konseling dan Edukasi Prognosis
1. Penjelasan mengenai diagnosis, 1. Ad vitam : Bonam
penyebab, dan rencana tatalaksana. 2. Ad functionam : Bonam
2. Penjelasan mengenai pentingnya menjaga 3. Ad sanationam : Bonam
kecukupan hidrasi dan higiene oral.
3. Masyarakat perlu mendapatkan informasi Peralatan
yang adekuat mengenai pentingnya 1. Termometer
imunisasi MMR untuk mencegah epidemi 2. Kaca mulut
parotitis mumps.
Referensi
Kriteria Rujukan
1. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland
1. Parotitis dengan komplikasi Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick &
2. Parotitis akibat kelainan sistemik, seperti J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral Medicine.
HIV, tuberkulosis, dan Sjogren syndrome. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222. (Fox
& Ship, 2008)

17. ASKARIASIS (INFEKSI CACING GELANG)


No. ICPC II: D96 Worms/ other parasites
No. ICD X: B77.9 Ascariaris unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia.
Askariasis adalah suatu penyakit yang Pada foto thoraks tampak infiltrat yang
disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini
lumbricoides. disebut sindroma Loeffler.
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
terutama pada anak. Frekuensinya antara 60- biasanya ringan, dan sangat tergantung dari
90%. Diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di banyaknya cacing yang menginfeksi di usus.
dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides. Kadang-kadang penderita mengalami gejala
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
Hasil Anamnesis (Subjective) makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Keluhan Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, terjadi malabsorpsi sehingga memperberat
pucat, berat badan menurun, mual, muntah. keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling
menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik
Gejala Klinis akut pada daerah epigastrium, gangguan selera
Gejala yang timbul pada penderita dapat makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat
disebabkan oleh cacing dewasa dan migrasi proses peradangan pada dinding usus. Pada
larva. anak kejadian ini bisa diikuti demam. Komplikasi
yang ditakuti (berbahaya) adalah bila cacing
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada dewasa menjalar ketempat lain (migrasi) dan
saat larva berada diparu. Pada orang yang menimbulkan gejala akut. Pada keadaan
rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding infeksi yang berat, paling ditakuti bila terjadi
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan
komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh Penegakan diagnosis dilakukan dengan
cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh larva atau cacing dalam tinja.
massa cacing, ataupun apendisitis sebagai
akibat masuknya cacing ke dalam lumen Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya
apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Komplikasi: anemia defisiensi besi
Vateri ataupun saluran empedu dan terkadang
masuk ke jaringan hati. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan Penatalaksanaan
pada saat cacing menjadi dewasa di dalam usus
halus, yang mana hasil metabolisme cacing 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat
dapat menimbulkan fenomena sensitisasi akan pentingnya kebersihan diri dan
seperti urtikaria, asma bronkhial, konjungtivitis lingkungan, antara lain:
akut, fotofobia dan terkadang hematuria. a. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dan air mengalir
dengan Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak b. Menutup makanan
menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih c. Masing-masing keluarga memiliki jamban
banyak menggambarkan proses sensitisasi dan keluarga
eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi d. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
Ascaris lumbricoides. e. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar
tetap bersih dan tidak lembab.
Faktor Risiko 2. Farmakologis
1. Kebiasaan tidak mencuci tangan. a. Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari, dosis
2. Kurangnya penggunaan jamban. tunggal, atau
3. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali
pupuk. sehari, diberikan selama tiga hari
4. Kebiasaan tidak menutup makanan berturut-turut, atau
sehingga dihinggapi lalat yang membawa c. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun
telur cacing dapat diberikan 2 tablet (400 mg) atau
20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
boleh diberikan pada ibu hamil
Sederhana (Objective)
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan
Pemeriksaan Fisik
atau secara masal pada masyarakat. Syarat untuk
1. Pemeriksaan tanda vital pengobatan massal antara lain:
2. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva
1. Obat mudah diterima dimasyarakat
anemis, terdapat tanda- tanda malnutrisi,
2. Aturan pemakaian sederhana
nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.
3. Mempunyai efek samping yang minimal
Pemeriksaan Penunjang 4. Bersifat polivalen, sehingga dapat
berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini 5. Harga mudah dijangkau
adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja
secara langsung. Adanya telur dalam tinja Konseling dan Edukasi
memastikan diagnosis Askariasis.
Memberikan informasi kepada pasien dan
Penegakan Diagnostik (Assessment) keluarga mengenai pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
Diagnosis Klinis lain:
1. Masing-masing keluarga memiliki jamban Prognosis
keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak
menimbulkan pencemaran pada tanah Pada umumnya prognosis adalah bonam, karena
disekitar lingkungan tempat tinggal kita. jarang menimbulkan kondisi yang berat secara
klinis.
2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
3. Menghindari kontak dengan tanah yang Refensi
tercemar oleh tinja manusia.
4. Menggunakan sarung tangan jika ingin 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
mengelola limbah/sampah. Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
5. Mencuci tangan sebelum dan setelah Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
melakukan aktifitas dengan menggunakan Indonesia. (Gandahusada, 2000)
sabun dan air mengalir. 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed
6. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar by staff and experts from the cluster on
tetap bersih dan tidak lembab. Communicable Diseases (CDS) and Water,
Sanitation and Health unit (WSH), World
Kriteria Rujukan: - Health Organization (WHO).
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
Peralatan
Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
untuk pemeriksaan spesimen tinja. W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.

18. ANKILOSTOMIASIS (INFEKSI CACING TAMBANG)


No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B76.0 Ankylostomiasis
B76.1 Necatoriasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi


Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit meningkat sampai usia 6-7 tahun dan kemudian
yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator stabil.
americanus dan Ancylostoma duodenale. Di
Hasil Anamnesis (Subjective)
Indonesia infeksi oleh N. americanus lebih
sering dijumpai dibandingkan infeksi oleh Keluhan
A.duodenale. Hospes parasit ini adalah
manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis Migrasi larva
dan ankilostomiasis. Diperkirakan sekitar 576 – 1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik
740 juta orang di dunia terinfeksi dengan cacing dapat terikut masuk pada saat larva
tambang. Di Indonesia insiden tertinggi menembus kulit, menimbulkan rasa gatal
ditemukan terutama didaerah pedesaan pada kulit (ground itch). Creeping eruption
khususnya perkebunan. Seringkali golongan (cutaneous larva migrans), umumnya
pekerja perkebunan yang langsung berhubungan disebabkan larva cacing tambang yang
dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%. berasal dari hewan seperti kucing ataupun
Dari suatu penelitian diperoleh bahwa separuh anjing, tetapi kadang-kadang dapat
dari anak-anak yang telah terinfeksi sebelum disebabkan oleh larva Necator americanus
usia 5 tahun, 90% ataupun Ancylostoma duodenale.
2. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi Pemeriksaan Fisik
pneumonitis, tetapi tidak sesering oleh larva
Ascaris lumbricoides. 1. Konjungtiva pucat
2. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila
Cacing dewasa banyak larva yang menembus kulit, disebut
sebagai ground itch.
Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga
bagian atas usus halus dan melekat pada Pemeriksaan Penunjang
mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi
tergantung pada berat ringannya infeksi; makin Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar
berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi ditemukan telur atau larva atau cacing dewasa.
semakin mencolok seperti : Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, Diagnosis Klinis
mual, muntah, diare, penurunan berat
badan, nyeri pada daerah sekitar Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
duodenum, jejunum dan ileum. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya Klasifikasi:
dijumpai anemia hipokromik mikrositik.
3. Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif 1. Nekatoriasis
antara infeksi sedang dan berat dengan 2. Ankilostomiasis
tingkat kecerdasan anak.
Diagnosis Banding: -
Bila penyakit berlangsung kronis, akan timbul
gejala anemia, hipoalbuminemiadan edema. Komplikasi: anemia, jika menimbulkan
Hemoglobin kurang dari 5 g/dL dihubungkan perdarahan.
dengan gagal jantung dan kematian yang tiba- Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
tiba. Patogenesis anemia pada infeksi cacaing
tambang tergantung pada 3 faktor yaitu: Penatalaksanaan

1. Kandungan besi dalam makanan 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat


2. Status cadangan besi dalam tubuh pasien akan pentingnya kebersihan diri dan
3. Intensitas dan lamanya infeksi lingkungan, antara lain:
a. Masing-masing keluarga memiliki
Faktor Risiko jamban keluarga.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga
c. Menggunakan alas kaki, terutama saat
2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai
berkontak dengan tanah.
pupuk
2. Farmakologis
3. Tidak menggunakan alas kaki saat
bersentuhan dengan tanah a. Pemberian Pirantel pamoat dosis
tunggal 10 mg/kgBB, atau
4. Perilaku hidup bersih dan sehat yang
b. Mebendazole 100 mg, 2 x sehari,
kurang.
selama 3 hari berturut-turut, atau
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang c. Albendazole untuk anak di atas 2 tahun
Sederhana (Objective) 400 mg, dosis tunggal, sedangkan
pada anak yang lebih kecil diberikan
Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang dengan dosis separuhnya. Tidak
bergantung pada jenis spesies cacing, jumlah diberikan pada wanita hamil. Creeping
cacing, dan keadaan gizi penderita. eruption: tiabendazol topikal selama 1
minggu. Untuk cutaneous laeva migrans
pengobatan dengan Albendazol 400 mg Peralatan
selama 5 hari berturut-turut.
d. Sulfasferosus 1. Peralatan laboratorium mikroskopis
sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.
Konseling dan Edukasi 2. Peralatan laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah rutin.
Memberikan informasi kepada pasien dan
keluarga mengenai pentingnya menjaga Prognosis
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
lain: Penyakit ini umumnya memiliki prognosis
bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang
1. Sebaiknya masing-masing keluarga berat, kecuali terjadi perdarahan dalam waktu
memiliki jamban keluarga. yang lama sehingga terjadi anemia.
2. Sehingga kotoran manusia tidak
menimbulkan pencemaran pada tanah Referensi
disekitar lingkungan tempat tinggal kita. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
3. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk. Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
4. Menghindari kontak dengan tanah yang Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
tercemar oleh tinja manusia. Indonesia. (Gandahusada, 2000)
5. Menggunakan sarung tangan jika ingin 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed
mengelola limbah/sampah. by staff and experts from the cluster on
6. Mencuci tangan sebelum dan setelah Communicable Diseases (CDS) and Water,
melakukkan aktifitas dengan menggunakan Sanitation and Health unit (WSH), World
sabun dan air mengalir. Health Organization (WHO).
7. Menggunakan alas kaki saat berkontak 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
dengan tanah. Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Kriteria Rujukan: - Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.

19. SKISTOSOMIASIS
No. ICPC II: D96 Worm/outer parasite
No. ICD X: B65.9 Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Skistosoma adalah salah satu penyakit adalah Schistosoma japonicum khususnya di
infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu
trematoda dari genus schistosoma (blood di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia,
fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda Schistosoma memerlukan keong sebagai
utama yang menjadi penyebab skistosomiasis intermediate host. Penularan Schistosoma
yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang dari
haematobium dan Schistosoma mansoni. host dan menembus kulit pasien dalam air.
Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis
mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di terhadap telur cacing yang terperangkap dalam
Indonesia spesies yang paling sering ditemukan jaringan. Prevalensi Schistosomiasis di lembah
Napu dan danau Lindu berkisar 17% hingga
37%.
Hasil Anamnesis (Subjective) e. Urtikaria
f. Buang air besar berdarah (bloody stool)
Keluhan 2. Pada skistosomiasiskronik bisa ditemukan:
1. Pada fase akut, pasien biasanya datang a. Hipertensi portal dengan distensi
dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri abdomen, hepatosplenomegaly
tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri abdominal. b. Gagal ginjal dengan anemia dan
Biasanya terdapat riwayat terpapar dengan hipertensi
air misalnya danau atau sungai 4-8 minggu c. Gagal jantung dengan gagal jantung
sebelumnya, yang kemudian berkembang kanan
menjadi ruam kemerahan (pruritic rash). d. Intestinal polyposis
2. Pada fase kronis, keluhan pasien e. Ikterus
tergantung pada letak lesi
Pemeriksaan Penunjang
3. misalnya:
a. Buang air kecil darah (hematuria), rasa Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan
tak nyaman hingga nyeri saat berkemih, pada sedimen urin.
disebabkan oleh urinary schistosomiasis
biasanya disebabkan oleh S. hematobium. Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Nyeri abdomen dan diare berdarah Diagnosis Klinis
biasanya disebabkan oleh intestinal
skistosomiasis, biasanya disebabkan oleh S. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
mansoni, S. Japonicum juga S. Mekongi. pemeriksaan fisik dan juga penemuan telur
c. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan cacing pada pemeriksaan tinja dan juga
mata disebabkan oleh hepatosplenic sedimen urin.
skistosomiasis yang biasanya disebabkan Diagnosis Banding: - Komplikasi:
oleh S. Japonicum.
1. Gagal ginjal
Faktor Risiko: 2. Gagal jantung
Orang-orang yang tinggal atau datang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
berkunjung ke daerah endemik di sekitar
lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan Penatalaksanaan
mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik
di sawah maupun danau di wilayah tersebut. 1. Pengobatan diberikan dengan dua
tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang atau meminimalkan morbiditas dan
Sederhana (Objective) mengurangi penyebaran penyakit.
2. Prazikuantel adalah obat pilihan yang
Pemeriksaan Fisik diberikan karena dapat membunuh semua
1. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan: spesies Schistosoma. Walaupun pemberian
a. Limfadenopati single terapi sudah bersifat kuratif, namun
b. Hepatosplenomegaly pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu
c. Gatal pada kulit dapat meningkatkan efektifitas pengobatan.
d. Demam Pemberian prazikuantel dengan dosis
sebagai berikut:
Tabel 3.7. Dosis Prazikuantel

Spesies Schistosoma Dosis Prazikuantel


S. Mansoni, S. haematobium, S. intercalatum 40 mg/kg berat badan per hari oral dan
dibagi dalam dua dosis perhari
S. Japunicum, S. mekongi 60 mg/kg berat badan per hari oral dan
dibagi dalam tiga dosis perhari

Rencana Tindak Lanjut


Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.
1. Setelah 4 minggu dapat dilakukan cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center
pengulangan pengobatan. for Disease and Control, 2013)
2. Pada pasien dengan telur cacing positif
dapat dilakukan pemeriksaan ulang setelah 3. World Health Organization. Schistosomiasis.
July 25, 2013. http://www.who.int/topics/
satu bulan untuk memantau keberhasilan
shcistosomiasis/end (World Health
pengobatan.
Organization, 2013)
Konseling dan Edukasi
4. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J.,
1. Hindari berenang atau menyelam di Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in
danau atau sungai di daerah endemik Medical Microbiology. Germany. Thieme.
skistosomiasis. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
2. Minum air yang sudah dimasak untuk
5. Sudomo, M., Pretty, S. 2007.
menghindari penularan lewat air yang
Pemberantasan Schistosomiasis di
terkontaminasi.
Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.
Kriteria Rujukan 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis 6. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
(kronis) disertai komplikasi. Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
Peralatan W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
Peralatan laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan tinja dan sedimen urin (pada
S.haematobium).
Prognosis
Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah
dubia ad bonam, sedangkan yang kronis,
prognosis menjadi dubia ad malam.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Centers for Disease Control and Prevention.
20. TAENIASIS
No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B68.9 Taeniasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 8. Pusing


Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter 9. Pruritus ani
yang disebabkan oleh cacing pita yang 10. Diare
tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,
Faktor Risiko
Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada
manusia. 1. Mengkonsumsi daging yang dimasak
setengah matang/mentah, dan mengandung
Taenia saginata adalah cacing yang sering larva sistiserkosis.
ditemukan di negara yang penduduknya
2. Higiene yang rendah dalam pengolahan
banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi
makanan bersumber daging.
lebih mudah terjadi bila cara memasak daging
3. Ternak yang tidak dijaga kebersihan
setengah matang.
kandang dan makanannya.
Taenia solium adalah cacing pita yang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
ditemukan di daging babi. Penyakit ini
Sederhana (Objective)
ditemukan pada orang yang biasa memakan
daging babi khususnya yang diolah tidak Pemeriksaan Fisik
matang. Ternak babi yang tidak dipelihara
kebersihannya, dapat berperan penting dalam 1. Pemeriksaan tanda vital.
penularan cacing Taenia solium. Untuk T. solium 2. Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus
terdapat komplikasi berbahaya yakni juga dapat terjadi jika cacing membuat
sistiserkosis. Sistiserkosis adalah kista T.solium obstruksi usus.
yang bisa ditemukan di seluruh organ, namun Pemeriksaan Penunjang
yang paling berbahaya jika terjadi di otak.
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik
Hasil Anamnesis (Subjective) dengan menemukan telur dalam spesimen
Keluhan tinja segar.
2. Secara makroskopik dengan menemukan
Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan proglotid pada tinja.
tidak khas. Sebagian kasus tidak menunjukkan 3. Pemeriksaan laboratorium darah tepi:
gejala (asimptomatis). Gejala klinis dapat timbul dapat ditemukan eosinofilia, leukositosis,
sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin LED meningkat.
yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara
lain: Penegakan Diagnostik (Assessment)

1. Rasa tidak enak pada lambung Diagnosis Klinis


2. Mual Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
3. Badan lemah pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
4. Berat badan menurun
5. Nafsu makan menurun Diagnosis Banding:-
6. Sakit kepala Komplikasi: Sistiserkosis
7. Konstipasi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah
pada sistiserkosis.
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan,
antara lain: Peralatan
a. Mengolah daging sampai matang dan
menjaga kebersihan hewan ternak. Peralatan laboratorium sederhana untuk
b. Menggunakan jamban keluarga. pemeriksaan darah dan feses.
2. Farmakologi: Prognosis
a. Pemberian albendazol menjadi terapi
pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika
1 x sehari, selama 3 hari berturut-turut, terdapat komplikasi berupa sistiserkosis yang
atau dapat mengakibatkan kematian.
b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama Referensi
2 atau 4 minggu.
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Pengobatan terhadap cacing dewasa dikatakan Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
berhasil bila ditemukan skoleks pada tinja, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
sedangkan pengobatan sistiserkosis hanya Indonesia.
dapat dilakukan dengan melakukan eksisi.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
Konseling dan Edukasi 424 Tahun 2006 tentang Pedoman
Memberikan informasi kepada pasien dan Pengendalian Kecacingan.
keluarga mengenai pentingnya menjaga 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
lain: Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
1. Mengolah daging sampai matang dan W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
menjaga kebersihan hewan ternak
2. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban
keluarga.

21. STRONGILOIDIASIS
No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B78.9 Strongyloidiasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
AIDS, transplantasi organ serta pada pasien yang
Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan
mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka
yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis,
panjang.
cacing yang biasanya hidup di kawasan
tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang Hasil Anamnesis (Subjective)
diperkirakan terkena penyakit ini di seluruh
dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat Keluhan
berat dan berbahaya pada mereka yang dengan Pada infestasi ringan Strongyloides pada
status imun menurun seperti pada pasien HIV/ umumnya tidak menimbulkan gejala khas.
Gejala klinis anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
larva atau cacing dalam tinja.
1. Rasa gatal pada kulit
2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan Diagnosis Banding: -
gejala seperti ditusuk- tusuk di daerah Komplikasi: -
epigastrium dan tidak menjalar
3. Mual, muntah Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

4. Diare dan konstipasi saling bergantian Penatalaksanaan

Faktor Risiko 1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan,


antara lain:
1. Kurangnya penggunaan jamban.
a. Menggunakan jamban keluarga.
2. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja
yang mengandung larva Strongyloides b. Mencuci tangan sebelum dan sesudah
stercoralis. melakukan aktifitas.

3. Penggunaan tinja sebagai pupuk. c. Menggunakan alas kaki.

4. Tidak menggunakan alas kaki saat d. Hindari penggunaan pupuk dengan


bersentuhan dengan tanah. tinja.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Farmakologi


Sederhana (Objective)
a. Pemberian Albendazol menjadi terapi
Pemeriksaan Fisik pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1-
2 x sehari, selama 3 hari, atau
1. Timbul kelainan pada kulit “creeping
eruption” berupa papul eritema yang b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama
menjalar dan tersusun linear atau berkelok- 2 atau 4 minggu.
kelok meyerupai benang dengan kecepatan
Konseling dan Edukasi
2 cm per hari.Predileksi penyakit ini
terutama pada daerah telapak kaki, bokong, Memberikan informasi kepada pasien dan
genital dan tangan. keluarga mengenai pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
2. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium.
lain:
Pemeriksaan Penunjang
1. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik : keluarga.
menemukan larva rabditiform dalam tinja
2. Menghindari kontak dengan tanah yang
segar, atau menemukan cacing dewasa
tercemar oleh tinja manusia.
Strongyloides stercoralis.
3. Menggunakan sarung tangan jika ingin
2. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat
mengelola limbah/sampah.
ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia,
walaupun pada banyak kasus jumlah sel 4. Mencuci tangan sebelum dan setelah
eosinofilia normal. melakukan aktifitas dengan menggunakan
sabun.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
5. Menggunakan alas kaki.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan
Kriteria Rujukan: -
Pasien strongyloidiasis dengan keadaan
imunokompromais seperti penderita AIDS
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah dan feses.
Prognosis
Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah
bonam, karena jarang menimbulkan kondisi
klinis yang berat.
Referensi
1. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis:
a multifaceted diseases. Gastroenetrology
& hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh &
Cruz, 2011)
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
D. MATA

1. MATA KERING/DRY EYE


No. ICPC-2 : F99 Eye/adnexa disease, other
No. ICD-10 : H04.1 Otherdisorders of lacrimal gland
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Mata kering adalah suatu keadaan keringnya Sederhana (Objective)
permukaan kornea dan konjungtiva yang
diakibatkan berkurangnya produksi komponen Pemeriksaan Fisik
air mata (musin, akueous, dan lipid). Mata kering 1. Visus normal
merupakan salah satu gangguan yang sering 2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva
pada mata dengan insiden sekitar 10-30% dari forniks
populasi dan terutama dialami oleh wanita 3. Penilaian produksi air mata dengan tes
berusia lebih dari 40 tahun. Penyebab lain Schirmer menunjukka hasil <10 mm (nilai
adalah meningkatnya evaporasi air mata akibat normal ≥20 mm).
faktor lingkungan rumah, kantor atau akibat
lagoftalmus.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata terasa
gatal dan seperti berpasir. Keluhan dapat
disertai sensasi terbakar, merah, perih dan
silau. Pasien seringkali menyadari bahwa gejala
terasa makin berat di akhir hari (sore/malam).
Gambar 4.1. Tes Schirmer
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Usia > 40 tahun
Diagnosis Klinis
2. Menopause
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
3. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren,
sklerosis sistemik progresif, sarkoidosis, 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
leukemia, limfoma, amiloidosis, dan 2. Tes Schirmer bila diperlukan
4. hemokromatosis
Komplikasi
5. Penggunaan lensa kontak
1. Keratitis
6. Penggunaan komputer dalam waktu
lama 2. Penipisan kornea
3. Infeksi sekunder oleh bakteri
4. Neovaskularisasi kornea
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Sastrawan, D. dkk. Standar Pelayanan
Medis Mata.Palembang: Departemen Ilmu
Penatalaksanaan
Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007.
Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata (Sastrawan, 2007)
karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Pemeriksaan penunjang lanjutan umumnya Cetakan V.Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
tidak diperlukan (Ilyas, 2008)

Konseling dan Edukasi 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.


Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
Keluarga dan pasien harus mengerti bahwa (Vaughn, 2000)
mata kering adalah keadaan menahun dan
pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus 7. Sumber Gambar : http://www.
ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan thevisioncareinstitute.co.uk/library/
konjungtiva masih reversibel.
Kriteria Rujukan
Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika keluhan
tidak berkurang setelah terapi atau timbul
komplikasi.
Peralatan
1. Lup
2. Strip Schirmer (kertas saring Whatman No.
41)
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T. D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
Simanjuntak, 2006)
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Jakarta: Erlangga. 2005. (Brus, 2005)
3. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta:
EGC. 2009. (Riordan & Whitcher, 2009)
2.BUTA SENJA
No. ICPC-2: F99 Eye/adnexa disease other No. ICD-10: H53.6 Night blindness
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Penatalaksanaan
Buta senja atau rabun senja, disebut juga
nyctalopia atau hemarolopia, adalah 1. Pada defisiensi vitamin A, diberikan vitamin
ketidakmampuan untuk melihat dengan baik A dosis tinggi.
pada malam hari atau pada keadaan gelap. 2. Lubrikasi kornea.
Kondisi ini lebih merupakan tanda dari suatu 3. Pencegahan terhadap infeksi sekunder
kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat dengan tetes mata antibiotik.
kelainan pada sel batang retina yang berperan Konseling dan Edukasi
pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja
adalah defisiensi vitamin A dan retinitis 1. Memberitahu keluarga bahwa rabun
pigmentosa. senja disebabkan oleh kelainan mendasar,
yaitu defisiensi vitamin A dan retinitis
Hasil Anamnesis (Subjective) pigmentosa.
Keluhan 2. Pada kasus defisiensi vitamin A, keluarga
perlu diedukasi untuk memberikan
Penglihatan menurun pada malam hari atau asupan makanan bergizi seimbang dan
pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada suplementasi vitamin A dosis tinggi.
cahaya yang redup. Pada defisiensi vitamin A,
buta senja merupakan keluhan paling awal. Peralatan
1. Lup
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Oftalmoskop
Sederhana (Objective)
Prognosis
Pemeriksaan Fisik
1. Ad vitam : Bonam
Dapat ditemukan tanda-tanda lain defisiensi 2. Ad functionam : Dubia Ad bonam
vitamin A: 3. Ad sanasionam : Bonam
1. Kekeringan (xerosis) konjungtiva bilateral Referensi
2. Terdapat bercak bitot pada konjungtiva
3. Xerosis kornea 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
4. Ulkus kornea dan sikatriks kornea Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
5. Kulit tampak xerosis dan bersisik New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard,
6. Nekrosis kornea difus atau et al., 2007)
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
keratomalasia Pemeriksaan Penunjang :- Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed. Jakarta:
Penegakan Diagnostik (Assessment) CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Diagnosis Klinis Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC. 2009.
dan pemeriksaan fisik. 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
3.HORDEOLUM
No. ICPC-2: F72 Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD-10: H00.0 Hordeolum and other deep inflammation of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
1. Selulitis preseptal
Hordeolum adalah peradangan supuratif 2. Kalazion
kelenjar kelopak mata. Biasanya merupakan 3. Granuloma piogenik
infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea
kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum Komplikasi
internum dan eksternum. Hordeolum eksternum 1. Selulitis palpebra
merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau 2. Abses palpebra
Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi
kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hordeolum mudah timbul pada individu yang Penatalaksanaan
menderita blefaritis dan konjungtivitis
menahun. 1. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari
selama 15 menit setiap kalinya untuk
Hasil Anamnesis (Subjective) membantu drainase. Tindakan dilakukan
Keluhan dengan mata tertutup.

Pasien datang dengan keluhan kelopak yang 2. Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih
bengkak disertai rasa sakit. Gejala utama atau pun dengan sabun atau sampo yang
hordeolum adalah kelopak yang bengkak tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun
dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan bayi. Hal ini dapat mempercepat proses
nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak nyaman penyembuhan. Tindakan dilakukan dengan
dan sensasi terbakar pada kelopak mata mata tertutup.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Jangan menekan atau menusuk


Sederhana (Objective) hordeolum, hal ini dapat menimbulkan
infeksi yang lebih serius.
Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
4. Hindari pemakaian make-up pada mata,
Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan karena kemungkinan hal itu menjadi
nyeri pada perabaan. Nanah dapat keluar dari penyebab infeksi.
pangkal rambut (hordeolum eksternum). Apabila
sudah terjadi abses dapat timbul undulasi. 5. Jangan memakai lensa kontak karena dapat
menyebarkan infeksi ke kornea.
Pemeriksaan Penunjang
6. Pemberian terapi topikal dengan
Tidak diperlukan Oxytetrasiklin salep mata atau
kloramfenikol salep mata setiap 8 jam.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Apabila menggunakan kloramfenikol tetes
Diagnosis Klinis mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan 7. Pemberian terapi oral sistemik dengan
pemeriksaan fisik. Eritromisin 500 mg pada dewasa dan anak
sesuai dengan berat badan.
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: - Peralatan
Konseling dan Edukasi Peralatan bedah minor
Prognosis
Penyakit hordeolum dapat berulang sehingga
perlu diberi tahu pasien dan keluarga untuk 1. Ad vitam : Bonam
menjaga higiene dan kebersihan lingkungan. 2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Rencana Tindak Lanjut
Referensi
Bila dengan pengobatan konservatif tidak 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
berespon dengan baik, maka prosedur Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
pembedahan mungkin diperlukan untuk CV Ondo. 2006.
membuat drainase pada hordeolum. 2. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta:
Kriteria rujukan
EGC. 2009.
1. Bila tidak memberikan respon dengan 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
pengobatan konservatif Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008.
2. Hordeolum berulang 4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

4.KONJUNGTIVITIS Konjungtivitis infeksi


No. ICPC-2: F70 Conjunctivitis infectious
No. ICD-10: H10.9 Conjunctivitis, unspecified
Konjungtivitis alergi
No. ICPC-2: F71 Conjunctivitis allergic
No ICD-10: H10.1 Acute atopic conjunctivitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang 1. Daya tahan tubuh yang menurun
dapat disebabkan oleh mikroorganisme (virus, 2. Adanya riwayat atopi
bakteri), iritasi, atau reaksi alergi. Konjungtivitis 3. Penggunaan kontak lens dengan perawatan
ditularkan melalui kontak langsung dengan yang tidak baik
sumber infeksi. Penyakit ini dapat menyerang 4. Higiene personal yang buruk
semua umur.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective) Sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Pasien datang dengan keluhan mata merah, rasa
1. Visus normal
mengganjal, gatal dan berair, kadang disertai
2. Injeksi konjungtival
sekret. Keluhan tidak disertai penurunan tajam
3. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
penglihatan.
4. Eksudasi; eksudat dapat serous,
mukopurulen, atau purulen tergantung
penyebab
5. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
folikel, papil atau papil raksasa, flikten,
membrane, atau pseudomembran. Penatalaksanaan

Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan) Pemberian obat mata topikal

1. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan 1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes
perwarnaan Gram atau Giemsa sebanyak 1 tetes 6 kali sehari atau salep
2. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan biru mata 3 kali sehari selama 3 hari.
metilen pada kasus konjungtivitis gonore 2. Pada alergi: Flumetolon tetes mata dua kali
sehari selama 2 minggu.
3. Pada konjungtivitis gonore: Kloramfenikol
tetes mata 0,5-
4. 1%sebanyak 1 tetes tiap jam dan suntikan
pada bayi diberikan
5. 50.000 U/kgBB tiap hari sampai tidak
ditemukan kuman GO
6. pada sediaan apus selama 3 hari berturut-
turut.
7. Pada konjungtivitis viral: Salep Acyclovir 3%,
5 kali sehari selama 10 hari.
Gambar 4.2. Konjungtivitis
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Penegakan Diagnostik (Assessment) Umumnya tidak diperlukan, kecuali pada
Diagnosis Klinis kecurigaan konjungtivitis gonore, dilakukan
pemeriksaan sediaan apus dengan pewarnaan
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis Gram
dan pemeriksaan fisik.
Konseling dan Edukasi
Klasifikasi Konjungtivitis 1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu
1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva sebelum dan sesudah membersihkan atau
hiperemis, sekret purulen atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci
mukopurulen dapat disertai membran atau tangannya bersih-bersih.
pseudomembran di konjungtiva tarsal. 2. Jangan menggunakan handuk atau lap
Curigai konjungtivitis gonore, terutama bersama-sama dengan penghuni rumah
pada bayi baru lahir, jika ditemukan lainnya.
konjungtivitis pada dua mata dengan sekret 3. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan
purulen yang sangat banyak. sekitar.
2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis, Kriteria rujukan
sekret umumnya mukoserosa, dan
pembesaran kelenjar preaurikular 1. Jika terjadi komplikasi pada kornea
3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, 2. Bila tidak ada respon perbaikan terhadap
riwayat atopi atau alergi, dan keluhan gatal. pengobatan yang diberikan

Komplikasi Peralatan
1. Lup
Keratokonjuntivitis 2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
Gram
Prognosis 3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta:
1. Ad vitam : Bonam
EGC. 2009.
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V.Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008.
Referensi
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Cetakan I.Jakarta:Widya Medika. 2000.
Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006. 6 . h tt p : / / w w w . a d v a n c e d v i s i o n c a r e .
2. James, Brus. dkk. Lecture Notes co.uk/wpcontent/uploads/2013/09/
Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005 conjunctivitis0.jpg,

5.BLEFARITIS
No. ICPC-2: F72 Blepharitis/stye/chalazion No. ICD-10: H01.0 Blepharitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak Sederhana (Objective)
mata (margo palpebra) yang dapat disertai
Pemeriksaan Fisik
terbentuknya ulkus dan dapat melibatkan
folikel rambut. 1. Skuama atau krusta pada tepi kelopak.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Bulu mata rontok.
3. Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada
Keluhan tepi kelopak mata.
4. Dapat terjadi pembengkakan dan merah
1. Gatal pada tepi kelopak mata
pada kelopak mata.
2. Rasa panas pada tepi kelopak mata
5. Dapat terbentuk krusta yang melekat
3. Merah/hiperemia pada tepi kelopak mata
erat pada tepi kelopak mata. Jika krusta
4. Terbentuk sisik yang keras dan krusta
dilepaskan, bisa terjadi perdarahan.
terutama di sekitar dasar bulu mata
5. Kadang disertai kerontokan bulu mata Pemeriksaan Penunjan: Tidak diperlukan
(madarosis), putih pada bulu mata (poliosis),
dan trikiasis Penegakan Diagnostik (Assessment)
6. Dapat keluar sekret yang mengering selama Diagnosis Klinis
tidur, sehingga ketika bangun kelopak mata
sukar dibuka Penegakan diagnosis dilakukan berdasar-kan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Faktor Risiko
Komplikasi
1. Kelainan kulit, misalnya dermatitis seboroik
2. Higiene personal dan lingkungan yang 1. Blefarokonjungtivitis
kurang baik 2. Madarosis
3. Trikiasis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Tajam penglihatan menurun
2. Nyeri sedang atau berat
Penatalaksanaan
3. Kemerahan yang berat atau kronis
1. Non-medikamentosa 4. Terdapat keterlibatan kornea
a. Membersihkan kelopak mata dengan 5. Episode rekuren
lidi kapas yang dibasahi air hangat 6. Tidak respon terhadap terapi
b. Membersihkan dengan sampo atau
Peralatan
sabun
c. Kompres hangat selama 5-10 menit 1. Senter
2. Medikamentosa 2. Lup
Apabila ditemukan ulkus pada kelopak mata, Prognosis
dapat diberikan salep atau tetes mata antibiotik
hingga gejala menghilang. 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
Konseling dan Edukasi 3. Ad sanationam : Bonam
1. Memberikan informasi kepada pasien dan Referensi
keluarga bahwa kulit kepala, alis mata,
dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
terutama pada pasien dengan dermatitis Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
seboroik. CV Ondo. 2006.
2. Memberitahu pasien dan keluarga untuk 2. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
menjaga higiene personal dan lingkungan. & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta:
EGC. 2009.
Kriteria Rujukan 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
Pasien dengan blefaritis perlu dirujuk ke
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
layanan sekunder (dokter spesialis mata) bila
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
terdapat minimal satu dari kelainan di bawah
ini:

6.PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
No. ICPC-2: F75 Contusion/ haemorrhage eye
No. ICD-10: H57.8 Other specified disorders of eye and adnexa
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral


Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan (90%).
akibat ruptur pembuluh darah dibawah lapisan Hasil Anamnesis (Subjective)
konjungtiva yaitu pembuluh darah
konjungtivalis atau episklera. Sebagian besar Keluhan
kasus perdarahan subkonjungtiva merupakan
kasus spontan atau idiopatik, dan hanya 1. Pasien datang dengan keluhan adanya
sebagian kecil kasus yang terkait dengan darah pada sklera atau mata berwarna
trauma atau kelainan sistemik. Perdarahan merah terang (tipis) atau merah tua (tebal).
subkonjungtiva dapat terjadi di semua 2. Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis
kelompok umur. Perdarahan
yang berhubungan dengan perdarahan 2. Pengobatan penyakit yang mendasari bila
subkonjungtiva selain terlihat darah pada ada.
bagian sklera.
3. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 Pemeriksaan penunjang lanjutan: Tidak
jam pertama setelah itu kemudian akan diperlukan
berkurang perlahan ukurannya karena Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga
diabsorpsi. bahwa:
Faktor Risiko 1. Tidak perlu khawatir karena perdarahan
1. Hipertensi atau arterosklerosis akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama,
2. Trauma tumpul atau tajam namun setelah itu ukuran akan berkurang
3. Penggunaan obat, terutama pengencer perlahan karena diabsorpsi.
darah 2. Kondisi hipertensi memiliki hubungan
4. Manuver valsava, misalnya akibat batuk atau yang cukup tinggi dengan angka terjadinya
muntah perdarahan subkonjungtiva sehingga
5. Anemia diperlukan pengontrolan tekanan darah
6. Benda asing pada pasien dengan hipertensi.
7. Konjungtivitis Kriteria rujukan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk
Sederhana (Objective) ke spesialis mata jika ditemukan penurunan
visus.
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan status generalis Peralatan
2. Pemeriksaan oftalmologi: 1. Snellen chart
a. Tampak adanya perdarahan di sklera 2. Oftalmoskop
dengan warna merah terang (tipis) atau
merah tua (tebal). Prognosis
b. Melakukan pemeriksaan tajam
1. Ad vitam : Bonam
penglihatan umumnya 6/6, jika visus
2. Ad functionam : Bonam
<6/6 maka dicurigai terjadi kerusakan
selain di konjungtiva 3. Ad sanationam : Bonam
c. Pemeriksaan funduskopi adalah Referensi
perlu pada setiap penderita
dengan perdarahan subkonjungtiva 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
akibat trauma. Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
CV Ondo. 2006.
Pemeriksaan Penunjang 2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Erlangga. Jakarta. 2005.
Tidak diperlukan
3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
Penegakan Diagnostik (Assessment) & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta:
EGC. 2009.
Diagnosis Klinis 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2008.
dan pemeriksaan fisik.
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Penatalaksanaan
1. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang
atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa
diobati.
7.BENDA ASING DI KONJUNGTIVA
No. ICPC-2: F76 Foreign body in eye
No. ICD-10: T15.9 Foreign body on external eye, part unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
Benda asing di konjungtiva adalah benda pemeriksaan fisik.
yang dalam keadaan normal tidak dijumpai
di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi Diagnosis banding Konjungtivitis akut
jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat Komplikasi
ringan, namun pada beberapa keadaan dapat
1. Ulkus kornea
berakibat serius terutama pada benda asing
2. Keratitis
yang bersifat asam atau basa dan bila timbul
infeksi sekunder. Terjadi bila benda asing pada konjungtiva
tarsal menggesek permukaan kornea dan
Hasil Anamnesis (Subjective)
menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi
Keluhan berat dapat terjadi jika benda asing merupakan
zat kimia.
Pasien datang dengan keluhan adanya benda
yang masuk ke dalam konjungtiva atau Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri,
Penatalaksanaan
mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan
fotofobia. 1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda
asing. Berikut adalah cara yang dapat
Faktor Risiko
dilakukan:
Pekerja di bidang industri yang tidak memakai a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5%
kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, sebanyak 1-2 tetes pada mata yang
pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkena benda asing.
terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam
pengangkatan benda asing.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang c. Angkat benda asing dengan
Sederhana (Objective) menggunakan lidi kapas atau jarum
Pemeriksaan Fisik suntik ukuran 23G.
d. Arah pengambilan benda asing
1. Visus biasanya normal. dilakukan dari tengah ke tepi.
2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/ e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
atau bulbi. Povidon Iodin pada tempat bekas
3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva benda asing.
tarsal superior dan/atau inferiordan/atau 2. Medikamentosa
konjungtiva bulbi. Antibiotik topikal (salep atau tetes mata),
misalnya Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes
Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan.
setiap 2 jam selama 2 hari
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Klinis
1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok
matanya agar tidak memperberat lesi. 4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5%
2. Menggunakan alat / kacamata pelindung 5. Povidon Iodin
pada saat bekerja atau berkendara.
3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila Prognosis
keluhan bertambah berat setelah dilakukan 1. Ad vitam : Bonam
tindakan, seperti mata bertambah merah, 2. Ad functionam : Bonam
bengkak, atau disertai dengan penurunan 3. Ad sanationam : Bonam
visus.
Referensi
Kriteria Rujukan
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
1. Bila terjadi penurunan visus Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, CV Ondo. 2006.
misal: karena keterbatasan fasilitas 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Peralatan Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2008.
1. Lup 3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
2. Lidi kapas Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
3. Jarum suntik 23G

8.ASTIGMATISME
No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.2 Astigmatisme
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan


Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar menunjukkan tajam penglihatan tidak maksimal
sejajar tidak dibiaskan pada satu titik fokus yang dan akan bertambah baik dengan pemberian
sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan pinhole.
oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak Penegakan Diagnostik (Assessment)
sama pada berbagai meridian.
Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
Keluhan anamnesis dan pemeriksaan refraksi. Tajam
Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan akan mencapai maksimal dengan
penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang pemberian lensa silindris.
kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien Diagnosis Banding
memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat
melihat lebih jelas. Kelainan refraksi lainnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan
Pemeriksaan Fisik
Penggunaan kacamata lensa silindris dengan
Keadaan umum biasanya baik. koreksi yang sesuai.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Prognosis
Tidak diperlukan. 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
Konseling dan Edukasi
3. Ad sanationam : Bonam
Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma
Referensi
merupakan gangguan penglihatan yang dapat
dikoreksi. 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New
Kriteria Rujukan York. Thieme Stuttgart. 2007.
Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila: 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki CV Ondo. 2006.
visus, atau 3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan Erlangga. Jakarta. 2005.
(misalnya astigmatisme berat). 4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
Peralatan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta:
EGC. 2009.
1. Snellen Chart 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
lenses) 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
3. Pinhole Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

9.HIPERMETROPIA
No. ICPC-2: F91 Refractive error
No. ICD-10: H52.0 Hypermetropia ringan
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
strain) terutama bila melihat pada jarak
Hipermetropia (rabun dekat) merupakan keadaan yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas
gangguan kekuatan pembiasan mata dimana pada jangka waktu yang lama, misalnya
sinar sejajar jauh tidak cukup kuat dibiaskan menonton TV dan lain- lain.
sehingga titik fokusnya terletak di belakang 3. Mata sensitif terhadap sinar.
retina. Kelainan ini menyebar merata di berbagai 4. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan
geografis, etnis, usia dan jenis kelamin. pseudomiopia. Mata juling dapat terjadi
karena akomodasi yang berlebihan akan
Hasil Anamnesis (Subjective) diikuti konvergensi yang berlebihan pula.
Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang Sederhana (Objective)
dekat. Pemeriksaan Fisik
2. Sakit kepala terutama daerah frontal
dan makin kuat pada penggunaan mata 1. Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
yang lama dan membaca dekat. Penglihatan 2. Pemeriksaan refraksi dengan trial lens dan
tidak enak (asthenopia akomodatif = eye trial frame
Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan jika tidak, maka mata akan berakomodasi
terus menerus dan menyebabkan komplikasi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Kriteria rujukan
Diagnosis Klinis
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan
pemeriksaan refraksi. Peralatan
Komplikasi 1. Snellen chart
2. Satu set trial frame dan trial frame
1. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat
pasien selamanya melakukan akomodasi Prognosis
2. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi 1. Ad vitam : Bonam
otot siliar pada badan siliar yang akan 2. Ad functionam : Bonam
mempersempit sudut bilik mata 3. Ad sanationam : Bonam
3. Ambliopia
Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Penatalaksanaan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
CV Ondo. 2006.
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang
menghasilkan tajam penglihatan terbaik. 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008.
Konseling dan Edukasi
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000
dikoreksi dengan bantuan kaca mata. Karena

10. MIOPIA RINGAN


No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.1 Myopia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Miopia ringan adalah kelainan refraksi dimana Genetik dan faktor lingkungan meliputi
sinar sejajar yang masuk ke mata dalam kebiasaan melihat / membaca dekat, kurangnya
keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan aktivitas luar rumah, dan tingkat pendidikan
dibiaskan ke titik fokus di depan retina. yang lebih tinggi.
Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Penglihatan kabur bila melihat jauh, mata Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
cepat lelah, pusing dan mengantuk, cenderung
memicingkan mata bila melihat jauh. Tidak Penegakan Diagnostik (Assessment)
terdapat riwayat kelainan sistemik, seperti
diabetes mellitus, hipertensi, serta buta senja. Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan refraksi.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Referensi
Penatalaksanaan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
Koreksi dengan kacamata lensa sferis negatif CV Ondo. 2006.
terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan
terbaik 2. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd
Ed. New York: Fairchild Publication. 1989.
Konseling dan Edukasi (Grosvenor, 1989)
1. Membaca dalam cahaya yang cukup dan 3. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare
tidak membaca dalam jarak terlalu dekat. Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut:
2. Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997)
untuk pemeriksaan refraksi, bila ada keluhan.
4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Kriteria rujukan Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008.
1. Kelainan refraksi yang progresif (Ilyas, 2008)
2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan 5. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit
koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999.
yang memberikan perbaikan visus (Soewono, 1999)
3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole.
6. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan
Peralatan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 3rd Ed.
1. Snellen char 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD
2. Satu set lensa coba dan trial frame Dr. Soetomo, 2006)

Prognosis 7. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M.


Worldwide prevalence and risk factors for
1. Ad vitam : Bonam myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32,
2. Ad functionam : Bonam 3–16. (Pan, et al., 2012)
3. Ad sanationam : Bonam

11. PRESBIOPIA
No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.4 Presbyopia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Presbiopia adalah suatu kondisi yang
Keluhan
berhubungan dengan usia dimana penglihatan
kabur ketika melihat objek berjarak dekat. 1. Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
Presbiopia merupakan proses degeneratif 2. Gejala lainnya, setelah membaca mata
mata yang pada umumnya dimulai sekitar usia terasa lelah, berair, dan sering terasa perih.
40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa 3. Membaca dilakukan dengan menjauhkan
mata mengalami kehilangan elastisitas dan kertas yang dibaca.
kemampuan untuk berubah bentuk. 4. Terdapat gangguan pekerjaan terutama
pada malam hari dan perlu sinar lebih
terang untuk membaca.
Faktor Risiko yang dialami hampir semua orang dan
dapat dikoreksi dengan kacamata.
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun. 2. Pasien perlu kontrol setiap tahun, untuk
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang memeriksa apakah terdapat perubahan
Sederhana (Objective) ukuran lensa koreksi.

Pemeriksaan Fisik Peralatan

1. Pemeriksaan refraksi untuk penglihatan 1. Kartu Jaeger


jarak jauh dengan menggunakan Snellen 2. Snellen Chart
Chart dilakukan terlebih dahulu. 3. Satu set lensa coba dan trial frame
2. Dilakukan refraksi penglihatan jarak dekat
Prognosis
dengan menggunakan kartu Jaeger. Lensa
sferis positif (disesuaikan usia - lihat 1. Ad vitam : Bonam
Tabel 1) ditambahkan pada lensa koreksi 2. Ad functionam : Bonam
penglihatan jauh, lalu pasien diminta untuk 3. Ad sanationam : Bonam
menyebutkan kalimat hingga kalimat
terkecil yang terbaca pada kartu. Target Referensi
koreksi sebesar 20/30. 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Pemeriksaan Penunjang : Tidak diperlukan Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New
York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al.,
Penegakan Diagnostik (Assessment) 2007)
Diagnosis Klinis 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
dan pemeriksaan fisik. Simanjuntak, 2006)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Penatalaksanaan Erlangga. Jakarta. 2005.

Koreksi kacamata lensa positif 4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan


& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta:
Tabel 4.1 Koreksi lensa positif disesuaikan usia EGC. 2009.

Usia Koreksi Lensa 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.


Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
40 tahun +1,0 D 2008.
45 tahun +1,5 D
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
50 tahun +2,0 D Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
55 tahun +2,5 D
60 tahun +3,0 D
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: Tidak
diperlukan
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien dan keluarga bahwa
presbiopia merupakan kondisi degeneratif
12. KATARAK PADA PASIEN DEWASA
No. ICPC-2: F92 Cataract
No. ICD-10: H26.9 Cataract, unspecified
Tingkat Kemampuan 2

Masalah Kesehatan
mudah dilakukan setelah dilakukan dilatasi
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang pupil dengan tetes mata Tropikamid 0.5%
menyebabkan penurunan tajam penglihatan atau dengan cara memeriksa pasien pada
(visus). Katarak paling sering berkaitan dengan ruang gelap.
proses degenerasi lensa pada pasien usia di atas
Pemeriksaan Penunjang
40 tahun (katarak senilis). Selain katarak senilis,
katarak juga dapat terjadi akibat komplikasi Tidak diperlukan.
glaukoma, uveitis, trauma mata, serta kelainan
sistemik seperti diabetes mellitus, riwayat Penegakan Diagnostik (Assessment)
pemakaian obat steroid, dan lain- lain. Katarak Diagnosis Klinis
biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
pada satu mata (monokular). anamnesis dan pemeriksaan visus dan
Hasil Anamnesis (Subjective) pemeriksaan lensa
Keluhan Komplikasi
Pasien datang dengan keluhan penglihatan Glaukoma dan uveitis
menurun secara perlahan seperti tertutup Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
asap/kabut. Keluhan disertai ukuran kacamata
semakin bertambah, silau, dan sulit membaca. Penatalaksanaan
Faktor Risiko Pasien dengan katarak yang telah menimbulkan
1. Usia lebih dari 40 tahun gangguan penglihatan yang signifikan dirujuk ke
2. Riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes layanan sekunder yang memiliki dokter spesialis
mellitus mata untuk mendapatkan penatalaksanaan
3. Pemakaian tetes mata steroid secara rutin selanjutnya. Terapi definitif katarak adalah
4. Kebiasaan merokok dan pajanan sinar operasi katarak.
matahari
Konseling dan Edukasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Memberitahu keluarga bahwa katarak
Sederhana (Objective) adalah gangguan penglihatan yang dapat
Pemeriksaan Fisik diperbaiki.
2. Memberitahu keluarga untuk kontrol teratur
1. Visus menurun yang tidak membaik dengan jika sudah didiagnosis katarak agar tidak
pemberian pinhole terjadi komplikasi.
2. Pemeriksaan shadow test positif
3. Terdapat kekeruhan lensa yang dapat dengan Kriteria Rujukan
jelas dilihat dengan teknik pemeriksaan 1. Katarak matur
jauh (dari jarak 30 cm) menggunakan 2. Jika pasien telah mengalami gangguan
oftalmoskop sehingga didapatkan media penglihatan yang signifikan
yang keruh pada pupil. Teknik ini akan lebih 3. Jika timbul komplikasi
Peralatan 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
1. Senter Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta:
2. Snellen chart CV Ondo. 2006.
3. Tonometri Schiotz 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes
4. Oftalmoskop Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
Prognosis Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
1. Ad vitam : Bonam 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
2. Ad functionam : Dubia ad bonam V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Referensi Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.


Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New
York: Thieme Stuttgart. 2007.

13. GLAUKOMA AKUT


No. ICPC-2: F93 Glaucoma
No. ICD-10: H40.2 Primary angle-closure glaucoma
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Glaukoma akut adalah glaukoma yang Bilik mata depan yang dangkal
diakibatkan peninggian tekanan intraokular
yang mendadak. Glaukoma akut dapat bersifat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
primer atau sekunder. Glaukoma primer timbul Sederhana (Objective)
dengan sendirinya pada orang yang mempunyai
1. Visus turun
bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma
2. Tekanan intra okular meningkat
sekundertimbul sebagai penyulit penyakit mata
3. Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti,
lain ataupun sistemik. Umumnya penderita
kemosis dengan injeksi silier, injeksi
glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi
konjungtiva
yang memiliki risiko. Bila tekanan intraokular
4. Edema kornea
yang mendadak tinggi ini tidak diobati segera
5. Bilik mata depan dangkal
akan mengakibatkan kehilangan penglihatan
6. Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif
sampai kebutaan yang permanen.
Gambar 4.3. Injeksi silier pada glaukoma
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Mata merah
2. Tajam penglihatan turun mendadak
3. Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat
menjalar ke kepala
4. Mual dan muntah (pada tekanan bola mata
yang sangat tinggi)
Pemeriksaan Penunjang a. Snellen chart
b. Tonometri Schiotz
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan
c. Oftalmoskopi
kesehatan tingkat pertama.
Prognosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Ad vitam : Bonam
Diagnosis Klinis
2. Ad functionam : Dubia ad malam
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan 3. Ad sanationam : Dubia ad malam
anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.
Referensi
Diagnosis Banding:
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
1. Uveitis Anterior Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New
2. Keratitis York: Thieme Stuttgart. 2007.
3. Ulkus Kornea 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) CV Ondo. 2006.
Penatalaksanaan 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes
Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan 4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
tingkat pertama bertujuan menurunkan Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
tekanan intra okuler sesegera mungkin dan 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
kemudian merujuk ke dokter spesialis mata di V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
rumah sakit. 6. Vaughan, D.G.Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
1. Non-Medikamentosa
7. Sumber Gambar http://www.studyblue.com
Pembatasan asupan cairan untuk menjaga
agar tekanan intra okular tidak semakin
meningkat
2. Medikamentosa
a. Asetazolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x
250 mg/hari.
b. KCl 0.5 gr 3 x/hari.
c. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.
d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid
+ antibiotik 4-6 x 1 tetes sehari
e. Terapi simptomatik.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga bahwa kondisi mata
dengan glaukoma akut tergolong kedaruratan
mata, dimana tekanan intra okuler harus segera
diturunkan
Kriteria Rujukan
Pada glaukoma akut, rujukan dilakukan setelah
penanganan awal di layanan tingkat pertama.
Peralatan
14. GLAUKOMA KRONIS
No. ICPC-2: F93 Glaucoma
No. ICD-10: H40.2 Primary angle-closure glaucoma
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan mellitus, dan migrain


Glaukoma adalah kelompok penyakit mata 4. Pada glaukoma sekunder, dapat ditemukan
yang umumnya ditandai kerusakan saraf optik riwayat pemakaian obat steroid secara
dan kehilangan lapang pandang yang bersifat rutin, atau riwayat trauma pada mata.
progresif serta berhubungan dengan berbagai Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
faktor risiko terutama tekanan intraokular (TIO) Sederhana (Objective)
yang tinggi. Glaukoma merupakan penyebab
kebutaan kedua terbesar di dunia setelah Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai
katarak. Kebutaan karena glaukoma tidak bisa oleh trias glaukoma, yang terdiri dari:
disembuhkan, tetapi pada kebanyakan kasus 1. Peningkatan tekanan intraokular
glaukoma dapat dikendalikan. Umumnya 2. Perubahan patologis pada diskus optikus
penderita glaukoma telah berusia lanjut,
3. Defek lapang pandang yang khas.
terutama bagi yang memiliki risiko. Hampir
separuh penderita glaukoma tidak menyadari Pemeriksaan Oftalmologis
bahwa mereka menderita penyakit tersebut. 1. Visus normal atau menurun
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Lapang pandang menyempit pada tes
Keluhan konfrontasi
3. Tekanan intra okular meningkat
Pasien datang dengan keluhan yang bervariasi
4. Pada funduskopi, rasio cup/disc meningkat
dan berbeda tergantung jenis glaukoma.
(rasio cup/disc normal: 0.3)
Glaukoma kronis dapat dibagi menjadi
glaukoma kronis primer dan sekunder. Gambar 4. 4. Kelainan diskus optik akibat
komplikasi glaukoma
1. Umumnya pada fase awal, glaukoma
kronis tidak menimbulkan keluhan, dan
diketahui secara kebetulan bila melakukan
pengukuran TIO
2. Mata dapat terasa pegal, kadang-kadang
pusing
3. Rasa tidak nyaman atau mata cepat lelah
4. Mungkin ada riwayat penyakit mata,
trauma, atau pemakaian obat kortikosteroid
5. Kehilangan lapang pandang perifer secara
bertahap pada kedua mata
6. Pada glaukoma yang lanjut dapat Pemeriksaan Penunjang
terjadi penyempitan lapang pandang yang Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan
bermakna hingga menimbulkan gangguan, kesehatan tingkat pertama.
seperti menabrak-nabrak saat berjalan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko
1. Usia 40 tahun atau lebih Diagnosis Klinis
2. Ada anggota keluarga menderita glaukoma Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
3. Penderita miopia, penyakit kardiovaskular, anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.
hipertensi, hipotensi, vasospasme, diabetes
Diagnosis Banding: Peralatan
1. Katarak 1. Snellen chart
2. Kelainan refraksi 2. Tonometer Schiotz
3. Retinopati diabetes / hipertensi 3. Oftalmoskop
4. Retinitis pigmentosa
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad malam
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan 3. Ad sanationam : Dubia ad malam
tingkat pertama bertujuan mengendalikan
tekanan intra okuler dan merujuk ke dokter Referensi
spesialis mata di rumah sakit.
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Pengobatan umumnya medikamentosa dengan Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New
obat-obat glaukoma, contohnya Timolol 0.5%, 2 York: Thieme Stuttgart. 2007.
x 1 tetes/hari. Jenis obat lain dapat diberikan bila 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
dengan 1 macam obat TIO belum terkontrol Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta:
Konseling dan Edukasi CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes
1. Memberitahu keluarga bahwa kepatuhan Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.
pengobatan sangat penting untuk 4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
keberhasilan pengobatan glaukoma. Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
2. Memberitahu pasien dan keluarga agar 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
pasien dengan riwayat glaukoma pada V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
keluarga untuk memeriksakan matanya 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
secara teratur. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Kriteria Rujukan 7. Sumber Gambar:http://www.onmedica.com/

Pada glaukoma kronik, rujukan dilakukan segera


setelah penegakan diagnosis.

15. TRIKIASIS
No. ICPC-2: F99. Eye / adnexa disease, other
No. ICD-10: H02. Entropion and trichiasis of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan yang mengalami tanda maupun komplikasi dari


Trikiasis adalah kondisi di mana bulu mata trikiasis sangat mungkin mencari pertolongan
tumbuh mengarah ke dalam, yaitu ke arah di layanan tingkat pertama terlebih dahulu.
permukaan bola mata, sehingga dapat Hasil Anamnesis (Subjective)
menggores kornea atau konjungtiva dan
menyebabkan berbagai komplikasi, seperti nyeri, Keluhan
erosi, infeksi, dan ulkus kornea. Data mengenai 1. Keluhan pasien dapat bermacam-macam,
tingkat prevalensi penyakit ini di Indonesia misalnya: mata berair, rasa mengganjal,
tidak ada. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan silau bila terpapar cahaya, atau kelilipan.
tingkat pertama harus memiliki kompetensi Penglihatan dapat terganggu bila sudah
menangani kasus trikiasis karena pasien-pasien timbul ulkus pada kornea.
2. Keluhan dapat dialami pada satu atau kedua
mata. indikasi, misalnya: salep atau tetes mata
3. Bila telah terjadi inflamasi, dapat timbul antibiotik untuk mengatasi infeksi.
keluhan mata merah.
4. Terdapat riwayat penyakit yang berkaitan Konseling dan Edukasi
dengan faktor predisposisi, misalnya:
blefaritis, trakoma, trauma mekanik atau 1. Pasien perlu diinformasikan untuk menjaga
kimiawi, herpes zoster oftalmik, dan berbagai kebersihan matanya dan menghindari trauma
kelainan yang menyebabkan timbulnya pada mata yang dapat memperparah gejala.
sikatriks dan entropion. 2. Dokter perlu menjelaskan beberapa
5. Keluhan dapat dialami oleh pasien dari alternatif pilihan terapi, mulai dari epilasi
semua kelompok usia. dan pengobatan topikal yang dapat
dilakukan oleh dokter di fasilitas pelayanan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang kesehatan tingkat pertama hingga operasi
Sederhana (Objective) yang dilakukan oleh spesialis mata di
layanan sekunder. Terapi yang akan dijalani
1. Beberapa atau seluruh bulu mata sesuai dengan pilihan pasien.
berkontak dengan permukaan bola mata.
2. Dapat ditemukan entropion, yaitu terlipatnya Kriteria Rujukan
margo palpebra ke arah dalam.
3. Bila terdapat inflamasi atau infeksi, dapat 1. Bila tatalaksana di atas tidak membantu
pasien, dapat dilakukan rujukan ke layanan
ditemukan injeksi konjungtival atau silier.
sekunder
4. Kelainan pada kornea, misalnya: abrasi,
2. Bila telah terjadi penurunan visus
ulkus, nebula / makula
3. Bila telah terjadi kerusakan kornea
5. leukoma kornea.
4. Bila pasien menghendaki tatalaksana
6. Bila telah merusak kornea, dapat
langsung di layanan sekunder
menyebabkan penurunan visus.
7. Bila terdapat ulkus pada kornea, uji Peralatan
fluoresein akan memberi hasil positif.
8. Pemeriksaan harus dilakukan pada kedua 1. Lampu senter
mata, terlepas dari ada tidaknya keluhan. 2. Snellen Chart
3. Pinset untuk epilasi
Penegakan Diagnosis (Assessment) 4. Lup
Diagnosis trikiasis ditegakkan melalui 5. Dapat pula disediakan kertas fluoresein dan
anamnesis dan pemeriksaan fisik sebagaimana larutan NaCl 0.9%
disebutkan sebelumnya. Tes fluoresens dapat 6. untuk ter fluoresein
menunjukkan erosi atau ulkus kornea. 7. Lampu biru (bisa berasal lampu biru pada
oftalmoskop)
Diagnosis banding: Penyebab inflamasi lain
pada mata Prognosis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Ad vitam : Bonam


2. Ad functionam : Dubia
Penatalaksanaan 3. Ad sanationam : Malam
1. Non-medikamentosa Referensi
Epilasi, yaitu pencabutan bulu mata dengan
pinset. Hal ini bertujuan mengurangi gejala 1. Carter, S.R., 1998. Eyelid Disorders:
dan mencegah komplikasi pada bola mata. Diagnosis and Management. American
Namun, bulu mata akan tumbuh kembali Family Physician, 57(11), pp.2695–702.
dalam waktu 4-6 minggu, sehingga epilasi Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
perlu diulang kembali. pubmed/9636333.Ilyas,S., 2005.
2. Medikamentosa 2. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed., Jakarta: Balai
Pengobatan topikal diberikan sesuai Penerbit FKUI.
16. EPISKLERITIS
No ICPC-2: F99. Eye / adnexa disease, other No ICD-10: H15.1. Episcleritis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Episkleritis merupakan reaksi radang pada Sederhana (Objective)
episklera, yaitu jaringan ikat vaskular yang
Episkleritis terbagi menjadi dua tipe, yaitu
terletak di antara konjungtiva dan permukaan
nodular dan simpel. Secara umum, tanda dari
sklera. Penyakit ini termasuk dalam kelompok
episkleritis adalah:
“mata merah dengan penglihatan normal”. Tidak
ada data yang spesifik mengenai tingkat insiden 1. Kemerahan hanya melibatkan satu bagian
episkleritis di Indonesia. Episkleritis umumnya dari area episklera. Pada penyinaran
terjadi pada usia 20-50 tahun dan membaik dengan senter, tampak warna pink seperti
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. daging salmon, sedangkan pada skleritis
Umumnya, episkleritis bersifat ringan, namun warnanya lebih gelap dan keunguan.
dapat pula merupakan tanda adanya penyakit 2. Kemerahan pada episkleritis disebabkan
sistemik, seperti tuberkulosis, reumatoid artritis, oleh kongesti pleksus episklera superfisial
dan systemic lupus erythematosus (SLE). dan konjungtival, yang letaknya di atas dan
terpisah dari lapisan sklera dan pleksus
Hasil Anamnesis (Subjective)
episklera profunda di dalamnya. Dengan
Keluhan demikian, pada episkleritis, penetesan Fenil
Efedrin 2,5% akan mengecilkan kongesti
1. Mata merah merupakan gejala utama atau dan mengurangi kemerahan; sesuatu yang
satu-satunya tidak terjadi pada skleritis.
2. Tidak ada gangguan dalam ketajaman 3. Pada episkleritis nodular, ditemukan
penglihatan nodul kemerahan berbatas tegas di bawah
3. Keluhan penyerta lain, misalnya: rasa kering, konjungtiva. Nodul dapat digerakkan. Bila
nyeri, mengganjal, atau berair. Keluhan- nodul ditekan dengan kapas atau melalui
keluhan tersebut bersifat ringan dan tidak kelopak mata yang dipejamkan di atasnya,
mengganggu aktifitas sehari-hari. Bila akan timbul rasa sakit yang menjalar ke
keluhan dirasakan amat parah, maka perlu sekitar mata.
dipikirkan diagnosis lain 4. Hasil pemeriksaan visus dalam batas normal.
5. Dapat ditemukan mata yang berair, dengan
4. Keluhan biasanya mengenai satu mata dan
sekret yang jernih dan encer. Bila sekret
dapat berulang pada mata yang sama atau
tebal, kental, dan berair, perlu dipikirkan
bergantian
diagnosis lain.
5. Keluhan biasanya bersifat akut, namun 6. Pemeriksaan status generalis harus
dapat pula berlangsung beberapa minggu dilakukan untuk memastikan tanda-tanda
hingga beberapa bulan penyakit sistemik yang mungkin mendasari
6. Dapat ditemukan gejala-gejala terkait timbulnya episkleritis, seperti tuberkulosis,
penyakit dasar, di antaranya: tuberkulosis, reumatoid artritis, SLE, eritema nodosum,
reumatoid artritis, SLE, alergi (misal: dermatitis kontak. Kelainan sistemik
eritema nodosum), atau dermatitis kontak umumnya lebih sering menimbulkan
episkleritis nodular daripada simpel.
Gambar 4.5 Tampilan episkleritis simpel (a) dan dengan tetes mata kortikosteroid,
nodular (b) misalnya: Prednisolon 0,5%, atau
Betametason 0,1%.
d. Episkleritis nodular yang tidak membaik
dengan obat topikal, dapat diberikan
anti-inflamasi non-steroid (NSAID),
misalnya Ibuprofen.
Konseling dan Edukasi
Dokter perlu memberikan informasi kepada
pasien mengenai penyakit yang dideritanya,
Penegakan Diagnosis (Assessment) serta memberikan reassurance dan informasi
yang relevan, di antaranya tentang natur
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis penyakit yang ringan, umumnya self-limited,
dan pemeriksaan fisik sebagaimana dijelaskan dan hal-hal yang pasien dapat lakukan untuk
dalam bagian sebelumnya. menyembuhkan penyakitnya.
Diagnosis banding: Peralatan
1. Konjungtivitis 1. Snellen chart
2. Skleritis 2. Lampu senter
3. Kapas bersih
Cara membedakan episkleritis dengan skleritis
4. Tetes mata vasokontriktor: Fenil Efrin 2,5%
adalah dengan melakukan tes Fenil Efrin 2,5%
(tetes mata), yang merupakan vasokonstriktor. Prognosis
Pada episkleritis, penetesan Fenil Efrin 2,5% 1. Ad vitam : Bonam
akan mengecilkan kongesti dan mengurangi 2. Ad functionam : Bonam
kemerahan (blanching / memucat); sedangkan 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
pada skleritis kemerahan menetap.
Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for
Penatalaksanaan the Internist: When to Treat, When to Refer.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2),
1. Non-medikamentosa
pp.137–44. Available at: http://www.ncbi.
a. Bila terdapat riwayat yang jelas nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor &
mengenai paparan zat eksogen,
Jeng, 2008)
misalnya alergen atau iritan, maka perlu
2. Ilyas, S., 2005. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed.,
dilakukan avoidance untuk mengurangi
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
progresifitas gejala dan mencegah
3. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations,
rekurensi.
Disease Associations and Management.
b. Bila terdapat gejala sensitifitas
Postgraduate Medical Journal, 88(1046),
terhadap cahaya, penggunaan
pp.713–8. Available at: http://
kacamata hitam dapat membantu.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22977282
2. Medikamentosa [Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
a. Episkleritis simpel biasanya tidak
4. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968.
membutuhkan pengobatan khusus.
Episcleritis and Scleritis I. British Journal
b. Gejala ringan hingga sedang dapat Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson,
diatasi dengan tetes air mata buatan.
et al., 1968)
c. Gejala berat atau yang memanjang
5. Sumber Gambar : http://www.studyblue.com
dan episkleritis nodular dapat diatasi
17. TRAUMA KIMIA MATA
No. ICPC-2 : F79 Injury eye other
No. ICD-10 : T26Burn and corrosion confined to eye and adnexa
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Trauma kimia mata adalah salah satu kasus Sederhana (Objective)
kedaruratan mata, umumnya terjadi karena
Pemeriksaan Fisik
masuknya zat-zat kimia ke jaringan mata dan
adneksa di sekitarnya. Keadaan ini memerlukan Dengan bantuan senter dan lup, dapat ditemukan
penanganan cepat dan segera oleh karena kelainan berikut ini:
dapat mengakibatkan kerusakan berat pada
jaringan mata dan menyebabkan kebutaan. Zat 1. Hiperemia konjungtiva
kimia penyebab dapat bersifat asam atau basa. 2. Defek epitel kornea dan konjungtiva
Trauma basa terjadi dua kali lebih sering 3. Iskemia limbus kornea
dibandingkan trauma asam dan umumnya 4. Kekeruhan kornea dan lensa
menyebabkan kerusakan yang lebih berat Pemeriksaan visus menunjukkan ada penurunan
pada mata. Selain itu, beratnya kerusakan ketajaman penglihatan. Bila tersedia, dapat
akibat trauma kimia juga ditentukan oleh dilakukan tes dengan kertas lakmus untuk
besarnya area yang terkena zat kimia serta mengetahui zat kimia penyebab
lamanya pajanan.
1. Bila kertas lakmus terwarnai merah, maka
Hasil Anamnesis (Subjective) zat penyebab bersifat asam
Keluhan 2. Bila kertas lakmus terwarnai biru, maka zat
penyebab bersifat basa
1. Mata merah, bengkak dan iritasi
2. Rasa sakit pada mata Pemeriksaan Penunjang
3. Penglihatan buram Tidak diperlukan
4. Sulit membuka mata
5. Rasa mengganjal pada mata Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko Diagnosis Klinis
Pajanan terhadap zat kimia yang sering Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
menjadi penyebab trauma antara lain detergen, pemeriksaan fisik. Komplikasi
desinfektan, pelarut kimia, cairan pembersih
1. Simblefaron
rumah tangga, pupuk, pestisida, dan cairan aki.
2. Hipotoni bola mata
Anamnesis perlu dilakukan untuk mengetahui
3. Ptisis bulbi
zat kimia penyebab trauma, lama kontak
4. Entropion
dengan zat kimia, tempat dan kronologis
kejadian, adanya kemungkinan kejadian 5. Katarak
kecelakaan di tempat kerja atau tindak kriminal, 6. Neovaskularisasi kornea
serta penanganan yang sudah dilakukan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
sebelumnya.
Penatalaksanaan
1. Segera lakukan irigasi mata yang terkena
zat kimia dengan cairan mengalir sebanyak Peralatan
mungkin dan nilai kembali dengan kertas 1. Lup
lakmus. Irigasi terus dilakukan hingga tidak 2. Senter
terjadi pewarnaan pada kertas lakmus. 3. Lidi kapas
2. Lakukan eversi pada kelopak mata selama 4. Kertas lakmus (jika memungkinkan)
irigasi dan singkirkan debris yang mungkin 5. Cairan fisiologis untuk irigasi
terdapat pada permukaan bola mata atau
pada forniks. Prognosis
3. Setelah irigasi selesai dilakukan, nilai 1. Ad vitam : Bonam
tajam penglihatan, kemudian rujuk segera 2. Ad functionam : Dubia
ke dokter spesialis mata di fasilitas 3. Ad sanationam : Dubia
sekunder atau tersier.
Referensi
Konseling & Edukasi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Anjuran untuk menggunakan pelindung Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
(kacamata/goggle, sarung tangan, atau masker) 2008.
pada saat kontak dengan bahan kimia 2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Kriteria Rujukan 3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
Setelah penanganan awal dengan irigasi, Eye Manual-office and emergency room
rujuk pasien ke dokter spesialis mata untuk diagnosis and treatment of eye disease. 5th
tatalaksana lanjut edition. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008)

18. LASERASI KELOPAK MATA


No. ICPC-2 No. ICD-10 : F79 Injury eye other
: S01.1Open wound of eyelid and periocular area
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
4. Tidak terdapat penurunan tajam penglihatan
Laserasi kelopak adalah terpotongnya jaringan bila cedera tidak melibatkan bola mata
pada kelopak mata. Penyebab laserasi kelopak
Faktor Risiko
dapat berupa sayatan benda tajam, trauma
tumpul (kecelakaan lalu lintas atau olahraga), Terdapat riwayat trauma tajam maupun tumpul
maupun gigitan hewan. Laserasi pada kelopak
perlu ditangani segera agar fungsi dan kosmetik Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
kelopak dapat dipertahankan. Sederhana (Objective)

Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik

Keluhan 1. Pemeriksaan refleks pupil dan tajam


penglihatan
1. Terdapat rasa nyeri periorbita
2. Perdarahan dan bengkak pada kelopak 2. Pemeriksaan mata dengan lup dan senter
3. Mata berair untuk mengidentifikasi:
a. Luas dan dalamnya laserasi pada
kelopak, termasuk identifikasi Peralatan
keterlibatan tepi kelopak, kantus
medial atau kantus lateral. Pemeriksa 1. Lup
dapat menggunakan lidi kapas selama 2. Senter
pemeriksaan. 3. Lidi kapas
b. Adanya benda asing Prognosis
c. Keterlibatan bola mata 1. Ad vitam : Bonam
Pemeriksaan Penunjang: Tidak 2. Ad functionam : dubia
3. Ad sanationam : dubia
diperlukan Penegakan Diagnostik
Referensi
(Assessment) Diagnosis Klinis
1. Karesh JW. The evaluation and management
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan of eyelid trauma. Dalam : Duane’s Clinical
pemeriksaan fisik. Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006.
Diagnosis banding: Tidak ada
(Karesh, 2006)
Komplikasi
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
Trauma pada sistem lakrimal Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) edition. Philadelphia: Lippincott Williams
Penatalaksanaan and Wilkins; 2008.

1. Bersihkan luka apabila diyakini bola mata


intak
2. Pertimbangkan pemberian profilaksis
tetanus
3. Berikan antibiotik sistemik
4. Segera rujuk ke dokter spesialis mata untuk
mendapatkan penanganan secepatnya
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien bahwa luka pada
kelopak perlu menjalani pembedahan
(menutup luka)
2. Menggunakan alat / kacamata pelindung
pada saat bekerja atau berkendara.
3. Anjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan
bertambah berat setelah dilakukan
tindakan, seperti mata bertambah merah,
bengkak atau disertai dengan penurunan
visus.
Kriteria Rujukan
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, pasien
segera dirujuk ke dokter spesialis mata.
19. HIFEMA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: F75 Contusion/haemorrhage eye
: H21.0Hyphaema
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Penunjang
Hifema adalah terdapatnya akumulasi darah
Pemeriksaan tekanan intraokular dengan
pada bilik mata depan. Hifema dapat terjadi
Tonometer Schiotz
akibat trauma atau terjadi spontan. Hifema
dapat disertai dengan abrasi kornea, iritis, Penegakan Diagnostik (Assessment)
midriasis, atau gangguan struktur lain pada mata
akibat trauma penyebabnya. Hifema spontan Diagnosis Klinis
jarang ditemui. Hifema spontan dapat menjadi Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
penanda terdapatnya rubeosis iridis, gangguan pemeriksaan fisik
koagulasi, penyakit herpes, masalah pada lensa
intraokular (IOL), retinoblastoma, serta leukemia. 1. Anamnesis untuk mengidentifikasi gejala,
riwayat trauma, serta kemungkinan adanya
Hasil Anamnesis (Subjective) faktor risiko lain.
Keluhan 2. Pemeriksaan tajam penglihatan
3. Pemeriksaan mata dengan senter dan lup
1. Nyeri pada mata untuk melihat adanya darah di bilik mata,
2. Penglihatan terganggu (bila darah menilai lebar pupil, serta mengidentifikasi
menutupi aksis visual) kelainan kornea atau struktur lain akibat
3. Fotofobia/silau trauma.
4. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan
Faktor Risiko
tonometer Schiotz bila tidak terdapat defek
1. Hifema akibat trauma sering ditemui pada pada kornea
laki-laki usia muda
Diagnosis banding Tidak ada Komplikasi
2. Hifema spontan disebabkan oleh
neovaskularisasi iris (seperti pada pasien Prognosis umumnya baik pada hifema tanpa
diabetes dan oklusi vena retina), koagulopati, komplikasi.
dan pemakaian antikoagulan
Komplikasi hifema antara lain:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Perdarahan ulang (rebleeding), umumnya
terjadi antara 2-5 hari setelah trauma
Pemeriksaan Fisik 2. Glaukoma sekunder
3. Atrofi saraf optik
1. Visus umumnya turun
4. Corneal blood staining
2. Tampak darah di bilik mata depan. Darah
dapat tertampung di bagian inferior bilik Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
mata depan atau dapat memenuhi seluruh
bilik mata depan (hifema penuh). Penatalaksanaan
3. Perhatikan apakah ada trauma pada bagian 1. Pembatasan aktivitas fisik
mata yang lain 2. Pelindung mata (protective shield)
3. Analgesik yang tidak mengandung NSAID
(Non-Steroidal Anti
4. Inflammatory Drug) 3. Senter
5. Rujuk segera ke dokter spesialis mata di 4. Tonometer Schiotz
pelayanan kesehatan tingkat sekunder atau
tersier Prognosis

Konseling dan Edukasi 1. Ad vitam : Bonam


2. Ad functionam : Bonam
1. Memberitahukan ke pasien bahwa 3. Ad sanationam : Bonam
kemungkinan pasien perlu dirawat dan bed
rest Referensi
2. Posisi tidur dengan elevasi kepala 1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Kriteria Rujukan Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye
Semua pasien yang didiagnosis dengan hifema Manual-office and emergency room
perlu dirujuk ke dokter spesialis mata diagnosis and treatment of eye disease.
5th edition. Philadelphia: Lippincott
Peralatan Williams and Wilkins; 2008.
1. Snellen chart
2. Lup

20. RETINOPATI DIABETIK


No. ICPC-2 No. ICD-10 : F83 Retinopathy
: H36.0 Diabetic retinopathy
Tingkat Kemampuan 2

Masalah Kesehatan
Terdapat dua tahap retinopati diabetik yaitu
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
yang mengenai prekapiler retina, kapiler dan proliferative diabetic retinopathy (PDR).
dan venula, sehingga menyebabkan oklusi
mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler, akibat Hasil Anamnesis (Subjective)
kadar gula darah yang tinggi dan lama. Keluhan
Retinopati diabetik dapat menyebabkan
penurunan visus dan kebutaan, terutama akibat 1. Tidak ada keluhan penglihatan
komplikasi seperti edema makula, perdarahan 2. Penglihatan buram terjadi terutama bila
vitreus, ablasio retina traksional dan glaukoma terjadi edema makula
neovaskular.
3. Floaters atau penglihatan mendadak
Retinopati diabetik adalah penyebab kebutaan terhalang akibat komplikasi perdarahan
ke 5 terbesar secara global (WHO, 2007). vitreus dan / atau ablasio retina traksional
Setidaknya terdapat 171 juta penduduk dunia
yang menyandang diabetes melitus, yang akan Faktor Risiko
meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 1. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol
2030 menjadi 366 million. Setelah 15 tahun, dengan baik
sekitar 2% penyandang diabetes dapat menjadi
buta, dan sekitar 10% mengalami gangguan 2. Hipertensi yang tidak terkontrol dengan
penglihatan berat. Setelah 20 tahun, retinopati baik
diabetik dapat ditemukan pada 75% lebih 3. Hiperlipidemia
penyandang diabetes.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Apabila didapatkan tanda-tanda retinopati,
Sederhana (Objective) pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis
mata.
Pemeriksaan Fisik
Konseling dan Edukasi
1. Riwayat diabetes mellitus (tipe I / tipe II).
2. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan 1. Kontrol gula darah dan pengendalian faktor
visus. sistemik lain (hipertensi, hiperlipidemia
3. Pada pemeriksaan funduskopi pupil lebar penting untuk memperlambat timbulnya
pada retina dapat ditemukan perdarahan atau progresifitas retinopati diabetik.
retina, eksudat keras, pelebaran vena, dan 2. Setiap pasien diabetes perlu menjalani
mikroaneurisma (pada NPDR), yang pada pemeriksaan mata awal (skrining), diikuti
kondisi lebih lanjut disertai neovaskularisasi pemeriksaan lanjutan minimal 1 kali dalam
di diskus optik atau di tempat lain di retina setahun.
(pada PDR). 3. Menjelaskan bahwa bila dirujuk,
4. Pada keadaan berat dapat ditemukan kemungkinan memerlukan terapi
neovaskularisasi iris (rubeosis iridis). fotokoagulasi laser, yang bertujuan
5. Refleks cahaya pada pupil normal, pada mencegah progresifitas retinopati diabetik.
kerusakan retina yang luas dapat ditemukan Pada kondisi berat (perdarahan vitreus,
RAPD (Relative Aferent Pupilary Defect), ablasio retina) kemungkinan perlu tindakan
serta penurunan refleks pupil pada cahaya bedah.
langsung dan tak langsung normal.
Kriteria Rujukan
Pemeriksaan Penunjang
Setiap pasien diabetes yang ditemukan tanda-
Tidak ada tanda retinopati diabetik sebaiknya dirujuk ke
dokter mata.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Peralatan
Diagnosis Klinis
1. Snellen chart
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan 2. Oftalmoskop
pemeriksaan fisik, teruttama funduskopi. 3. Tropikamid 1% tetes mata untuk melebarkan
Diagnosis banding pupil

1. Oklusi vena retina Prognosis


2. Retinopati hipertensi 1. Ad vitam : Dubia ad bonam
Komplikasi 2. Ad functionam : Dubia ad malam
3. ad sanationam : Dubia ad malam
1. Perdarahan vitreus
2. Edema makula diabetik Referensi
3. Ablasio retina traksional 1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
4. Glaukoma neovaskular Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. World Health Organization. Global initiative
for the elimination of avoidable blindness.
Penatalaksanaan Action Plan 2006–2011 (World Health
1. Setiap pasien yang terdiagnosis diabetes Organization, 2012)
melitus perlu segera dilakukan pemeriksaan 3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
mata, sekalipun belum ada keluhan mata. Eye Manual-office and emergency room
2. Apabila tidak didapatkan tanda-tanda diagnosis and treatment of eye disease. 5th
retinopati, pasien harus diperiksa ulang edition. Philadelphia: Lippincott Williams
dalam waktu 1 tahun (follow-up). and Wilkins; 2008.
E. TELINGA

1. OTITIS EKSTERNA
No. ICPC-2 : H70.Otitis externa
No. ICD-10 : H60.9.Otitis externa, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Riwayat trauma yang mendahului keluhan,
Otitis eksternaadalah radang pada liang telinga misalnya: membersihkan liang telinga
luar. Penyakit ini banyak ditemukan di layanan dengan alat tertentu, memasukkan cotton
kesehatan tingkat pertama sehingga dokter di bud, memasukkan air ke dalam telinga.
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
3. Riwayat penyakit sistemik, seperti: diabetes
harus memiliki kemampuan mendiagnosis dan
mellitus, psoriasis, dermatitis atopik, SLE,
menatalaksana secara komprehensif.
HIV.
Klasifikasi otitis eksterna (OE):
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. OE akut Sederhana (Objective)
a. OE akut difus
Pemeriksaan Fisik
b. OE akut sirkumskripta, yaitu infeksi folikel
1. Nyeri tekan pada tragus
rambut yang menimbulkan furunkel di liang
2. Nyeri tarik daun telinga
telinga luar.
3. Otoskopi:
2. OE kronik
a. OE akut difus: liang telinga luar sempit,
3. OE ekzematoid, yang merupakan manifestasi
kulit liang telinga luar hiperemis dan edem
dari kelainan dermatologis, seperti
dengan batas yang tidak jelas, dan dapat
dermatitis atopik, psoriasis, atau SLE.
ditemukan sekret minimal.
4. OE nekrotikans
b. OE akut sirkumskripta: furunkel pada liang
Hasil Anamnesis (Subjective) telinga luar
4. Tes garputala: Normal atau tuli konduktif
Keluhan
1. Rasa sakit pada telinga (otalgia), yang Pemeriksaan Penunjang
bervariasi dari ringan hingga hebat, Tidak diperlukan
terutama saat daun telinga disentuh dan
mengunyah Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
2. Rasa penuh pada telinga dan pemeriksaan fisik.
3. Pendengaran dapat berkurang
Diagnosis Banding
4. Terdengar suara mendengung (tinnitus)
5. Keluhan biasanya dialami pada satu telinga Perikondritis yang berulang, Kondritis,
dan sangat jarang mengenai kedua telinga Otomikosis
dalam waktu bersamaan
6. Keluhan penyerta lain yang dapat timbul: Komplikasi
demam atau meriang, telinga terasa basah Jika pengobatan tidak adekuat, dapat timbul
Faktor Risiko abses, nfeksi kronik liang telinga, jaringan parut,
dan stenosisliang telinga.
1. Riwayat sering beraktifitas di air, misalnya:
berenang, berselancar, mendayung.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Penatalaksanaan 1. Lampu kepala
2. Corong telinga
1. Non-medikamentosa:
3. Aplikator kapas
a. Membersihkan liang telinga secara 4. Otoskop
hati- hati dengan pengisap atau kapas
yang dibasahi dengan H2O2 3%. Prognosis
b. Bila terdapat abses, dilakukan insisi dan 1. Ad vitam : Bonam
drainase. 2. Ad functionam : Bonam
2. Medikamentosa: 3. Ad sanationam : Bonam
a. Topikal Referensi
• Larutan antiseptik povidon iodine 1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
• OE akut sirkumskripta pada Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
stadium infiltrat: Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6.
– Salep ikhtiol, atau Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007)
– Salep antibiotik: Polymixin-B,
Basitrasin. 2. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku Ajar
• OE akut difus: Tampon yang telah Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
diberi campuran Polimyxin-B, (Adam & Boies, 1997)
Neomycin, Hidrocortisone, dan 3. Sander, R. Otitis Externa: A Practical
anestesi topikal. Guide to Treatment and Prevention. Am
b. Sistemik Fam Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937.
• Antibiotik sistemik diberikan bila (Sander, 2001)
infeksi cukup berat. 4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
• Analgetik, seperti Paracetamol atau Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
Ibuprofen dapat diberikan. (Lee, 2003)
Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diberi penjelasan, di
antaranya:
1. Tidak mengorek telinga baik dengan cotton
bud atau alat lainnya
2. Selama pengobatan pasien tidak boleh
berenang
3. Penyakit dapat berulang sehingga harus
menjaga liang telinga agar dalam kondisi
kering dan tidak lembab
Kriteria Rujukan
1. Otitis eksterna dengan komplikasi
2. Otitis eksterna maligna
2. OTITIS MEDIA AKUT
No. ICPC-2
: H71.No.
Acute
ICD-10
otitis media/myringitis
: H65.0. Acute serous otitis media
H65.1. Other acure nonsuppurative otitis media H66.0 Acute suppurative otitis media

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sederhana (Objective)
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
Pemeriksaan Fisik
tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel
mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 1. Suhu dapat meningkat
minggu. 2. Otoskopi
Hasil Anamnesis (Subjective) Tabel 5.1 Hasil otoskopi pada OMA
Keluhan (tergantung stadium OMA yang sedang
dialami)
1. Stadium oklusi tuba: Telinga terasa penuh
atau nyeri, pendengaran dapat berkurang.
2. Stadium hiperemis: Nyeri telinga makin
intens, demam, rewel dan gelisah (pada
bayi/anak), muntah, nafsu makan hilang,
anak biasanya sering memegang telinga
yang nyeri.
3. Stadium supurasi: Sama seperti stadium
hiperemis
4. Stadium perforasi: Keluar sekret dari liang 3. Tes penala
telinga
5. Stadium resolusi: Setelah sekret keluar, Dapat ditemukan tuli konduktif, yaitu: tes Rinne
intensitas keluhan berkurang (suhu turun, (-) dan tes Schwabach memendek pada telinga
nyeri mereda, bayi/anak lebih tenang. Bila yang sakit, tes Weber terjadi lateralisasi ke
perforasi permanen, pendengaran dapat telinga yang sakit.
tetap berkurang. Pemeriksaan Penunjang
Faktor Risiko Audiometri nada murni, bila fasilitas tersedia
1. Bayi dan anak Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Infeksi saluran napas atas berulang
3. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring Diagnosis Klinis
telentang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
4. Kelainan kongenital, misalnya: sumbing
dan pemeriksaan fisik.
langit-langit, sindrom Down
5. Paparan asap rokok Diagnosis Banding
6. Alergi
7. Tingkat sosio-ekonomi yang rendah Otitis media serosa akut, Otitis eksterna
Komplikasi Pencegahan
1. Komplikasi intra-temporal: Labirinitis, 1. Imunisasi Hib dan PCV perlu dilengkapi,
Paresis nervus fasialis, Petrositis, sesuai panduan Jadwal
Hidrosefalus otik 2. Imunisasi Anak tahun 2014 dari IDAI.
2. Komplikasi ekstra-temporal/intrakranial:
Abses subperiosteal, Abses epidura, Tabel 5.2. Daftar antibiotik untuk terapi OMA
Abses perisinus, Abses subdura, Abses
otak, Meningitis, Trombosis sinus lateral,
Sereberitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Topikal
a. Pada stadium oklusi tuba, terapi
bertujuan membuka kembali tuba
eustachius. Obat yang diberikan adalah: Kriteria Rujukan
Berikan tetes mata Tetrakain-HCl 2% 1. Jika terdapat indikasi miringotomi.
sebanyak 1-2 tetes pada mata yang 2. Bila terjadi komplikasi dari otitis media akut.
terkena benda asing.
Gunakan kaca pembesar (lup) dalam Peralatan
pengangkatan benda asing. 1. Lampu kepala
Angkat benda asing dengan 2. Corong telinga
menggunakan lidi kapas atau jarum 3. Otoskop
suntik ukuran 23G. 4. Aplikator kapas
Arah pengambilan benda asing 5. Garputala
dilakukan dari tengah ke tepi. 6. Suction
Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
Povidon Iodin pada tempat bekas Prognosis
benda asing. 1. Ad vitam : Bonam
b. Pada stadium perforasi, diberikan obat 2. Ad functionam : Bonam
cuci telinga: 3. Ad sanationam : Bonam
H2O2 3%, 3 kali sehari, 4 tetes di
telinga yang sakit, didiamkan selama 2-5 Referensi
menit. Asam asetat 2%, 3 kali sehari, 4
1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies. Buku Ajar
tetes di telinga yang sakit.
Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
Ofloxacin, 2 kali sehari, 5-10 tetes di
telinga yang sakit, selama maksimal 2 2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
minggu Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
2. Oral Sistemik: antibiotik, antihistamin (bila Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
terdapat tanda-tanda alergi), dekongestan, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
analgetik / antipiretik Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.2007.
Konseling dan Edukasi
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
1. Untuk bayi/anak, orang tua dianjurkan untuk Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
memberikan ASI
2. minimal 6 bulan sampai 2 tahun. 4. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis
3. Menghindarkan bayi/anak dari paparan asap Media and Sinusitis Complicating Upper
rokok. Respiratory Tract Infection: The Effect of Age.
PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007, pp.
e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007)
3. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
: H74. Chronic otitis media
No. ICPC-2 No. ICD-10
: H66.1. Chronic tubotympanic suppurative otitis media H66.2. Chronic atticoantral suppurative otitis media H66.3.

Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Survei Nasional Kesehatan Indra Penglihatan Sederhana (Objective)
dan Pendengaran (1993-1996) di 8 provinsi Pemeriksaan Fisik
Indonesia menunjukkan angka morbiditas
THT sebesar 38,6%. Otitis media supuratif Otoskopi:
kronik merupakan penyebab utama gangguan
1. OMSK tipe aman (tubotimpani)
pendengaran yang didapat pada anak-anak
a. Perforasi pada sentral atau pars tensa
terutama pada negara berkembang. Pada tahun
berbentuk ginjal atau bundar
1990, sekitar 28.000 kematiandi seluruh dunia
b. Sekret biasanya mukoid dan tidak terlalu
disebabkan oleh komplikasi otitis media.
berbau
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah c. Mukosa kavum timpani tampak edema,
peradangan kronik telinga tengah dengan hipertrofi, granulasi, atau timpanosklerosis
perforasi membran timpani dan riwayat 2. OMSK tipe bahaya
keluarnya sekret dari telinga lebih dari 2 bulan, a. Perforasi atik, marginal, atau sental besar
baik terus menerus maupun hilang timbul. (total)
Terdapat dua tipe OMSK, yaitu OMSK tipe aman b. Sekret sangat berbau, berwarna kuning abu-
(tanpa kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan abu, purulen, dan dapat terlihat kepingan
kolesteatoma). berwarna putih mengkilat
c. Kolesteatoma
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
1. Tes garputala Rinne, Weber, Schwabach
1. Keluar cairan dari liang telinga secara terus menunjukkan jenis ketulian yang dialami
menerus atau hilang timbul lebih dari 2 pasien
bulan 2. Audiometri nada murni
2. Riwayat pernah keluar cairan dari liang 3. Foto mastoid (bila tersedia)
telinga sebelumnya. Penegakan Diagnosis (Assessment)
3. Cairan dapat berwarna kuning/kuning- Diagnosis Klinis
kehijauan/bercampur darah/jernih/berbau
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
4. Gangguan pendengaran dan pemeriksaan fisik. Komplikasi
Faktor Risiko 1. Komplikasi intratemporal: Labirinitis, Paresis
Higienitas kurang dan gizi buruk, infeksi saluran nervus fasialis, Hidrosefalus otik, Petrositis
nafas atas berulang, daya tahan tubuh yang 2. Komplikasi intrakranial Abses (subperiosteal,
rendah, dan penyelam. epidural, perisinus, subdura, otak), Trombosis
sinus lateralis, Sereberitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Terdapat komplikasi ekstrakranial maupun
intrakranial
1. Non-Medikamentos 4. Perforasi menetap setelah 2 bulan telinga
Membersihkan dan mengeringkan saluran kering
telinga dengan kapas lidi atau cotton bud.
Obat cuci telinga dapat berupa NaCl 0,9%, Peralatan
Asam Asetat 2%, atau Hidrogen Peroksida
3%. 1. Lampu kepala
2. Medikamentosa 2. Spekulum telinga
a. Antibiotik topikal golongan Ofloxacin, 2 3. Otoskop
x 4 tetes per hari di telinga yang sakit 4. Aplikator kapas
b. Antibiotik oral: 5. Kapas
Dewasa: 6. Cairan irigasi telinga
Lini pertama : Amoxicillin 3 x 500 mg 7. Suction
per hariselama 7 hari, atauAmoxicillin- 8. Wadah ginjal (nierbekken)
Asam clavulanat 3 x 500 mg per hari 9. Irigator telinga (spuit 20-50 cc + cateter
selama 7 hari, atauCiprofloxacin 2 x 500 wing needle)
mg selama 7 hari. 10. Garputala frekuensi 512-1024 Hz
Lini kedua : Levofloxacin 1 x 500 mg Prognosis
per hari selama 7 hari,atauCefadroxil 2
x 500-100 mg per hari selama 7 hari. 1. Ad Vitam : Bonam
Anak: 2. Ad functionam : Bonam
Amoxicillin – Asam clavulanat 25-50 3. Ad sanationam : Bonam
mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 3 dosis Referensi
per hari, atau Cefadroxil 25-50 mg/
kgBB/hari, dibagi menjadi 2 dosis per 1. Acuin J. Chronic suppurative otitis media:
hari. Burden of Illness and Management Options.
WHO Library Cataloguing in publication
Rencana Tindak Lanjut data. 2004. (J, 2004)
Respon atas terapi dievaluasi setelah 2. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers
pengobatan selama 7 hari. MM, Sanders EAM, Schilder AGM.
Konseling dan Edukasi Chronic suppurative otitis media: A
review. International Journal of Pediatric
1. Menjaga kebersihan telinga dan tidak Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12.
mengorek-ngorek telinga dengan benda (Verhoeff, et al., 2006)
tajam.
2. Menjaga agar telinga tidak kemasukan air. 3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-
3. Menjelaskan bahwa penyakit ini Tenggorok KepalaLeher. FKUI. 2001
merupakan penyakit infeksi sehingga
dengan penanganan yang tepat dapat
disembuhkan tetapi bila dibiarkan dapat
mengakibatkan hilangnya pendengaran
serta komplikasi lainnya.
Kriteria Rujukan
1. OMSK tipe bahaya
2. Tidak ada perbaikan atas terapi yang
dilakukan
4. BENDA ASING DI TELINGA
No. ICPC-2: H76. Foreign body in ear No. ICD-10: T16. Foreign body in ear
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnosis (Assessment)


Meatus akustikus eksternus (MAE) merupakan Diagnosis Klinis
salah satu bagian tubuh yang sering dimasuki
benda asing, yang dapat berupa: Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan
1. Benda asing reaktif, misal: batere, anamnesis dan pemeriksaan fisik.
potongan besi. Benda asing reaktif Komplikasi
berbahaya karena dapat bereaksi dengan
epitel MAE dan menyebabkan edema serta Ruptur membran timpani, perdarahan liang
obstruksi hingga menimbulkan infeksi telinga, otitis eksterna, tuli konduktif
sekunder. Ekstraksi harus segera dilakukan.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
2. Benda asing non-reaktif (inert). Benda asing
ini tidak bereaksi dengan epitel dan tetap 1. Non-medikamentosa: Ekstraksi benda asing
ada di dalam MAE tanpa menimbulkan a. Pada kasus benda asing yang baru,
gejala hingga terjadi infeksi. ekstraksi dilakukan dalam anestesi
3. Benda asing serangga, yang dapat lokal.
menyebabkan iritasi dan nyeri akibat b. Pada kasus benda asing reaktif,
pergerakannya. pemberian cairan dihindari karena
dapat mengakibatkan korosi.
Hasil Anamnesis (Subjective)
c. Pada kasus benda asing berupa
Keluhan serangga:
1. Riwayat jelas benda asing masuk ke telinga Dilakukan penetesan alkohol, obat
secara sengaja maupun tidak anestesi lokal (Lidokain spray atau
2. Telinga terasa tersumbat atau penuh tetes), atau minyak mineral selama ± 10
3. Telinga berdengung menit untuk membuat serangga tidak
4. Nyeri pada telinga bergerak dan melubrikasi dinding MAE.
5. Keluar cairan telinga yang dapat berbau Setelah serangga mati, serangga
6. Gangguan pendengaran dipegang dan dikeluarkan dengan
forceps aligator atau irigasi
Faktor Risiko menggunakan air sesuai suhu tubuh.
1. Anak-anak 2. Medikamentosa
2. Retardasi mental a. Tetes telinga antibiotik hanya diberikan
bila telah dipastikan tidak ada ruptur
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang membran timpani.
Sederhana (Objective) b. Analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
Pemeriksaan Fisik Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan MAE dengan senter/lampu Orang tua disarankan untuk menjaga
kepala/ otoskop menunjukkan adanya benda lingkungan anak dari benda- benda yang
asing, edema dan hiperemia liang telinga luar, berpotensi dimasukkan ke telinga atau hidung.
serta dapat disertai sekret.
Kriteria Rujukan Referensi
Bila benda asing tidak berhasil dikeluarkan. 1. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose,
Throat Emergencies. Pediatric Clinics of
Peralatan North America 53 (2006) 195-214. (Bernius
1. Lampu kepala & Perlin, 2006)
2. Otoskop 2. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in
3. Pengait serumen The Ear, Nose and Throat. American Family
4. Aplikator kapas Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189.
5. Forceps aligator (Heim & Maughan, 2007)
6. Spuit 20 cc yang telah disambung dengan 3. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in
selang wing needle the nose and ear: a review of technique
7. Suction for removal in the emergency department.
Prognosis Emergency Medicine Journal.2000;17:91-94.
(Davies & Benger, 2000)
1. Ad vitam : Bonam
4. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan
2. Ad functionam : Bonam
Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT
3. Ad sanationam : Bonam
KL. FKUI. Jakarta.

5. SERUMEN PROP
No. ICPC-2: H81 Excessive ear wax
No. ICD-10: H61.2 Impacted cerumen
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, 1. Dermatitis kronik liang telinga luar
kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas, 2. Liang telinga sempit
dan partikel debu yang terdapat pada bagian 3. Produksi serumen banyak dan kering
kartilaginosa liang telinga. Bila serumen ini 4. Kebiasaan mengorek telinga
berlebihan maka dapat membentuk gumpalan
yang menumpuk di liang telinga, dikenal dengan Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
serumen prop. sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik
Keluhan 1. Otoskopi: obstruksi liang telinga luar oleh
material berwarna kuning kecoklatan atau
1. Rasa penuh pada telinga kehitaman. Konsistensi dari serumen dapat
2. Pendengaran berkurang bervariasi.
3. Rasa nyeri pada telinga 2. Tes penala: normal atau tuli konduktif
4. Keluhan semakin memberat bila telinga
kemasukan air (sewaktu mandi atau Pemeriksaan Penunjang
berenang)
5. Beberapa pasien juga mengeluhkan adanya Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang
vertigo atau tinitus
Penegakan diagnostik (Assessment) 2. Menganjurkan pasien untuk menghindari
memasukkan air atau apapun ke dalam
Diagnosis Klinis telinga
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Kriteria rujukan:
dan pemeriksaan fisik.
Bila terjadi komplikasi akibat tindakan
Diagnosis Banding pengeluaran serumen.
Benda asing di liang telinga. Peralatan
Komplikasi 1. Lampu kepala
1. Otitis eksterna 2. Spekulum telinga
2. Trauma pada liang telinga dan atau membran 3. Otoskop
timpani saat mengeluarkan serumen 4. Serumen hook (pengait serumen)
5. Aplikator kapas
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) 6. Kapas
Penatalaksanaan 7. Cairan irigasi telinga
8. Forsep aligator
1. Non-medikamentosa: Evakuasi serumen 9. Suction
10. Pinset bayonet
a. Bila serumen lunak, dibersihkan dengan
11. Wadah ginjal (nierbekken)
kapas yang dililitkan pada pelilit kapas.
12. Irigator telinga (spuit 20-50 cc + cateter
b. Bila serumen keras, dikeluarkan dengan wing needle)
pengait atau kuret. Apabila dengan cara 13. Alkohol 70%
ini serumen tidak dapat dikeluarkan,
Prognosis
maka serumen harus dilunakkan lebih
dahulu dengan tetes Karbogliserin 10% 1. Ad vitam : Bonam
atau H2O2 3% selama 3 hari. 2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
c. Serumen yang sudah terlalu jauh
terdorong kedalam liang telinga Referensi
sehingga dikuatirkan menimbulkan
trauma pada membran 1. Adam, GL. Boies LR. Higler,.Boies. Buku Ajar
timpani sewaktu mengeluarkannya, Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
dikeluarkan dengan mengalirkan 2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
(irigasi) air hangat yang suhunya Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
disesuaikan dengan suhu tubuh. Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
2. Medikamentosa Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
a. Tetes telinga Karbogliserin 10% Jakarta.2007.
atau H2O2 3% selama 3 hari untuk
melunakkan serumen. 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
Konseling dan Edukasi
1. Menganjurkan pasien untuk tidak
membersihkan telinga secara berlebihan,
baik dengan cotton bud atau alat lainnya.
F. KARDIOVASKULER

1. ANGINA PEKTORIS STABIL


No. ICPC-2 : K74 Ischaemic heart disease with angina
No. ICD-10 : I20.9 Angina pectoris, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan timbul pada saat melakukan aktivitas,


Angina pektoris stabil merupakan tanda misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-
klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang gesa, atau sedang berjalan mendaki atau
mengalami penyakit jantung koroner. Angina naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas
pektoris dilaporkan terjadi dengan rata- ringan seperti mandi atau menggosok gigi,
rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis makan terlalu kenyang atau emosi, sudah
kelamin, umur, dan faktor risiko. Data dari studi dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri
Framingham pada tahun 1970 menunjukkan dada tersebut segera hilang bila pasien
prevalensi sekitar 1,5% untuk wanita dan 4,3% menghentikan aktivitasnya. Serangan
untuk pria berusia 50 – 59 tahun. angina yang timbul pada waktu istirahat
atau pada waktu tidur malam sering akibat
Hasil Anamnesis (Subjective) angina pektoris tidak stabil
4. Lamanya serangan
Keluhan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang 1-5 menit, kadang- kadang perasaan tidak
khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa enak di dada masih terasa setelah nyeri
seperti ditimpa beban yang sangat berat. hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih
dari 20 menit, mungkin pasien mengalami
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhannyeri sindrom koroner akut dan bukan angina
dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut: pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat
1. Letak timbul keluhan lain seperti sesak napas,
Sering pasien merasakan nyeri dada di perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada
daerah sternum atau di bawah sternum disertai keringat dingin.
(substernal: tidak dapat melokalisasi), 5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin,
atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang mual, muntah, sesak dan pucat.
menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke Faktor Risiko
punggung, rahang, leher, atau ke lengan
kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
tempat lain seperti di daerah epigastrium,
1. Usia
leher, rahang, gigi, dan bahu.
Risiko meningkat pada pria di atas 45 tahun
2. Kualitas
dan wanita diatas 55 tahun (umumnya
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti
setelah menopause)
tertekan benda berat, atau seperti diperas
2. Jenis kelamin
atau terasa panas, kadang-kadang hanya
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner
mengeluh perasaan tidak enak di dada
(PJK) pada laki-laki dua kali lebih besar
karena pasien tidak dapat menjelaskan
dibandingkan pada perempuan, hal ini
dengan baik.
berkaitan dengan estrogen endogen yang
3. Hubungan dengan aktivitas
bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya
terbukti insidensi PJK meningkat dengan
Gambaran EKG penderita angina tak stabil/
cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki
ATS dapat berupa depresi segmen ST, inversi
pada wanita setelah masa menopause.
gelombang T, depresi segmen ST disertai
3. Riwayat keluarga
inversi gelombang T, elevasi segmen ST,
Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri
hambatan cabang berkas His dan bisa tanpa
Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun
perubahan segmen ST dan gelombang T.
dan ibu < 65 tahun.
Perubahan EKG pada ATS bersifat sementara
Faktor risiko yang dapat diubah: dan masing- masing dapat terjadi sendiri-
sendiri ataupun bersamaan. Perubahan
1. Mayor tersebut timbul di saat serangan angina
a. Peningkatan lipid serum dan kembali ke gambaran normal atau
b. Hipertensi awal setelah keluhan angina hilang dalam
c. Merokok waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut
d. Konsumsi alkohol e. Diabetes Melitus menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi
e. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan gelombang Q, maka disebut sebagai Infark
kalori Miokard Akut (IMA).
2. Minor 2. X ray thoraks
a. Aktivitas fisik kurang X ray thoraks sering menunjukkan bentuk
b. Stress psikologik jantung yang normal. Pada pasien hipertensi
c. Tipe kepribadian dapat terlihat jantung membesar dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi
Sederhana (Objective) arkus aorta.

Pemeriksaan Fisik Penegakan Diagnostik (Assessment)

1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat Diagnosis Klinis


tidak menunjukkan kelainan. Walau jarang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pada auskultasi dapat terdengar derap pemeriksaan fisik, dan penunjang.
atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di
daerah apeks. Frekuensi denyut jantung Klasifikasi Angina:
dapat menurun, menetap atau meningkat
1. Stable Angina Pectoris (angina pektoris
pada waktu serangan angina.
stabil)
2. Dapat ditemukan pembesaran jantung.
Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan
Pemeriksaan Penunjang suatu pekerjaan, sesuai dengan berat
ringannya pencetus, dibagi atas beberapa
1. EKG tingkatan:
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan a. Selalu timbul sesudah latihan berat.
pada saat serangan angina sering masih b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan
normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan cepat 1/2 km)
bahwa pasien pernah mendapat infark c. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100
miokard di masa lampau. Kadang-kadang m)
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri d. Angina timbul jika gerak badan ringan
pada pasien hipertensi dan angina, dapat (jalan biasa)
pula menunjukkan perubahan segmen ST 2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris
atau gelombang T yang tidak khas. Pada tidak stabil/ATS)
saat serangan angina, EKG akan Angina dapat terjadi pada saat istirahat
menunjukkan depresi segmen ST dan maupun bekerja. Pada patologi biasanya
gelombang T dapat menjadi negatif. ditemukan daerah iskemik miokard yang
mempunyai ciri tersendiri. 2. Nitrat dikombinasikan dengan ß-blocker
3. Angina prinzmetal (Variant angina) atau Calcium Channel Blocker (CCB) non
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban dihidropiridin yang tidak meningkatkan
kerja jantung dan sering timbul pada denyut jantung (misalnya verapamil,
waktu beristirahat atau tidur. Pada angina diltiazem). Pemberian dosis pada serangan
prinzmetal terjadi spasme arteri koroner akut :
yang menimbulkan iskemi jantung di a. Nitrat 5 mg sublingual dapat
bagian hilir. Kadang-kadang tempat spasme dilanjutkan dengan 5 mg peroral
berkaitan dengan arterosklerosis. sampai mendapat pelayanan rawat
lanjutan di pelayanan sekunder.
Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian
b. Beta bloker:
Cardiovascular Society • Propanolol 20-80 mg dalamdosis
Classification System: terbagi atau
• Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.
1. Kelas I : Pada aktivitas fisik biasa tidak c. Calcium Channel Blocker (CCB) non
mencetuskan angina. dihidropiridine dipakai bila Beta Blocker
Angina akan muncul ketika melakukan merupakan kontraindikasi, misalnya:
peningkatan aktivitas fisik • Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)
(berjalan cepat, olahraga dalam waktu yang • Diltiazem 30 mg (3-4 kali sehari)
lama). 3. Antipletelet
2. Kelas II : Adanya pembatasan aktivitas Aspirin 160-320 mg sekali minum pada
sedikit/aktivitas sehari- hari (naik tangga serangan akut.
dengan cepat, jalan naik, jalan setelah
makan, stres, dingin). Konseling dan Edukasi
3. Kelas III : Benar-benar ada pembatasan Menginformasikan individu dan keluarga untuk
aktivitas fisik karena sudah timbul gejala
melakukan modifikasi gaya hidup antara lain:
angina ketika pasien baru berjalan 1 blok
atau naik tangga 1 tingkat. 1. Mengontrol emosi danmengurangi kerja
4. Kelas IV : Tidak bisa melakukan aktivitas berat dimana membutuhkan banyak oksigen
sehari-sehari, tidak nyaman, untuk dalam aktivitasnya
melakukan aktivitas sedikit saja bisa 2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak
kambuh, bahkan waktu istirahat juga bisa 3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol
terjadi angina. 4. Menjaga berat badan ideal
5. Mengatur pola makan
Diagnosis Banding
6. Melakukan olah raga ringan secara teratur
Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), 7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap
Gastritis akut, Nyeri muskuloskeletal, Pleuritis, melakukan pengobatan diabetes secara
Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik teratur
8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum
Komplikasi lipid
Sindrom koroner akut 9. Mengontrol tekanan darah

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan

Penatalaksanaan Dilakukan rujukan ke layanan sekunder


(spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam)
Terapi farmakologi: untuk tatalaksana lebih lanjut.
1. Oksigen dimulai 2 L/menit
Peralatan 3. Priori, S. G., Blanc, J. J., (France), Budaj., A.,
Camm, J., Dean, V., Deckers, J., Dickstein. K.,
1. Elektrokardiografi (EKG) Lekakis, J., McGregor. K., Metra. M., Morais.
2. Radiologi (X ray thoraks) J., Osterspey. A., Tamargo, J., Zamorano, J. L.,
Prognosis Guidelines on the management of stable
angina pectoris, 2006, European Heart
Prognosis umumnya dubia ad bonam jika Journal doi:10.1093/eurheartj/ehl002 ESC
dilakukan tatalaksana dini dan tepat. Committee for Practice Guidelines (CPG).
Referensi (Priori, et al., 2006)
4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu
1. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3. FKUI.2007.c (Sudoyo, et al., 2006)
Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)
2. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The
Heart Manual of Cardiology.12th Ed.
McGraw-Hill. 2009. (O’Rouke, et al., 2009)

2. INFARK MIOKARD
No. ICPC-2 : K75 Acute Myocardial Infarction
No. ICD-10 : I21.9 Acute Myocardial Infarction, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
1. Usia
Infark miokard (IM) adalah perkembangan Risiko meningkat pada pria diatas 45 tahun
cepat dari nekrosis otot jantung yang dan wanita diatas 55 tahun (umumnya
disebabkan oleh ketidakseimbangan kritis setelah menopause)
antara suplai oksigen dan kebutuhan 2. Jenis kelamin
miokardium. Umumnya disebabkan ruptur plak Morbiditas akibat penyakit jantung koroner
dan trombus dalam pembuluh darah koroner (PJK) pada laki-laki dua kali lebih besar
dan mengakibatkan kekurangan suplai darah ke dibandingkan pada perempuan, hal ini
miokardium. berkaitan dengan estrogen endogen yang
bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
Hasil Anamnesis (Subjective) terbukti insidensi PJK meningkat dengan
Keluhan cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki
pada wanita setelah masa menopause.
1. Nyeri dada retrosternum seperti tertekan 3. Riwayat keluarga
atau tertindih benda berat. Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri
2. Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan
punggung, dan epigastrium.Penjalaran ke ibu < 65 tahun.
tangan kiri lebih sering terjadi.
3. Disertai gejala tambahan berupa sesak, Yang dapat diubah:
mual, muntah, nyeri epigastrium, keringat 1. Mayor
dingin, dan cemas. a. Peningkatan lipid serum
Faktor Risiko b. Hipertensi
c. Merokok
Yang tidak dapat diubah: d. Konsumsi alkohol
e. Diabetes Melitus Klasifikasi
f. Diet tinggi lemak jenuh,kolesterol dan
kalori 1. STEMI
2. Minor 2. NSTEMI/UAP
a. Aktivitas fisik kurang Diagnosis Banding
b. Stress psikologik
c. Tipe kepribadian Angina pektoris prinzmetal, Unstable angina
pectoris, Ansietas, Diseksi aorta, Dispepsia,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Miokarditis, Pneumothoraks, Emboli paru
Sederhana (Objective)
Komplikasi
Pemeriksaan Fisik
1. Aritmia letal
1. Pasien biasanya terbaring dengan gelisah 2. Perluasan infark dan iskemia paska infark
dan kelihatan pucat 3. Disfungsi otot jantung
2. Hipertensi/hipotensi 4. Ruptur miokard
3. Dapat terdengar suara murmur dan gallop
S3 Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Ronki basah disertai peningkatan vena Penatalaksanaan
jugularis dapat ditemukan pada AMI yang
disertai edema paru Segera rujuk setelah pemberian :
5. Dapat ditemukan
1. Oksigen 2-4 liter/menit
aritmia Pemeriksaan 2. Nitrat, ISDN 5-10 mg sublingual maksimal 3
kali
Penunjang EKG: 3. Aspirin, dosis awal 320 mg dilanjutkan dosis
1. Pada ST Elevation Myocardial infarct pemeliharaan 1 x 160 mg
(STEMI), terdapat elevasi segmen ST diikuti 4. Dirujuk dengan terpasang infus dan oksigen
dengan perubahan sampai inversi Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
gelombang T, kemudian muncul
peningkatan gelombang Q minimal di dua EKG serial
sadapan.
Konseling dan Edukasi
2. Pada NonST Elevation Myocardial infarct
(NSTEMI), EKG yang ditemukan dapat berupa 1. Edukasi untuk kemungkinan kegawatan dan
depresi segmen ST dan inversi gelombang segera dirujuk
T, atau EKG yang normal. 2. Modifikasi gaya hidup
Penegakan Diagnostik (Assessment) Kriteria Rujukan
Diagnosis Klinis Segera dirujuk ke layanan sekunder dengan
spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Peralatan
Kriteria diagnosis pasti jika terdapat 2 dari 3 hal 1. Tabung oksigen
di bawah ini: 2. Masker oksigen
3. Elektrokardiografi
1. Klinis: nyeri dada khas angina
2. EKG: ST elevasi atau ST depresi atau T Prognosis
inverted.
3. Laboratorium: peningkatan enzim jantung Prognosis umumnya dubia, tergantung pada
pada tatalaksana dini dan tepat.
Referensi 3. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The
Heart Manual of Cardiology. 12th
1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009 Ed.McGrawHill.2009. (Isselbacher, 2000)
(Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu
RSCM, 2004)
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
2. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3.
Jakarta: EGC.2000 (Isselbacher, 2000)

3. TAKIKARDIA
No. ICPC-2: K79 Paroxysmal Tachicardy
No. ICD-10: R00.0 Tachicardy Unspecified
I47.1 Supraventicular Tachicardy I47.2 Ventricular Tachicardy
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan 7. Pusing


Takikardi adalah suatu kondisi dimana denyut 8. Sinkop
jantung istirahat seseorang secara abnormal 9. Berkeringat
lebih dari 100 kali per menit. Sedangkan 10. Penurunan kesadaran bila terjadi gangguan
supraventikular takikardi (SVT) adalah takikardi hemodinamik
yang berasal dari sumber di atas ventrikel Faktor Risiko
(atrium atau AV junction), dengan ciri gelombang
QRS sempit (< 0,12ms) dan frekuensi lebih dari 1. Penyakit Jantung Koroner
150 kali per menit. 2. Kelainan Jantung
3. Stress dan gangguan kecemasan
Ventrikular Takikardi (VT) adalah takikardi 4. Gangguan elektrolit
yang berasal dari ventrikel, dengan ciri 5. Hipertiroid
gelombang QRS lebar (> 0,12ms) dan frekuensi
biasanya lebih dari 150 kali per menit. VT ini Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
bisa menimbulkan gangguan hemodinamik yang Sederhana (Objective)
memerlukan tindakan resusitasi.
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Denyut jantung melebihi 100 kali per
Keluhan menit dan bisa menjadi sangat cepat
dengan frekuensi > 150 kali per menit pada
Gejala utama meliputi: keadaan SVT dan VT
1. Palpitasi 2. Takipnea
2. Sesak napas 3. Hipotensi
3. Mudah lelah 4. Sering disertai gelisah hingga penurunan
4. Nyeri atau rasa tidak nyaman di dada kesadaran pada kondisi yang tidak stabil
5. Denyut jantung istirahat lebih dari 100 kali Pemeriksaan Penunjang
per menit
6. Penurunan tekanan darah dapat terjadi EKG
pada kondisi yang tidak stabil
1. SVT: kompleks QRS sempit (< 0,12ms)
dengan frekuensi > 150 kali per menit. Takikardia Stabil
Gelombang P bisa ada atau terkubur dalam
kompleks QRS. Tatalaksana tergantung penyebab, bila sinus
2. VT: terdapat kompleks QRS lebar (>0,12ms), takikardia, istirahatkan pasien, dan berikan
tiga kali atau lebih secara berurutan. oksigen, evaluasi penyebab (kardiak atau
Frekuensi nadi biasanya > 150 kali per ekstrakardiak seperti nyeri, masalah paru, cemas)
menit bila tidak ada perubahan maka dapat dirujuk.

Penegakan Diagnostik (Assessment) Konseling dan Edukasi

Diagnosis Klinis Edukasi kepada keluarga bahwa keadaan ini


dapat mengancam jiwa dan perlu dilakukan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, rujukan karena membutuhkan penanganan
pemeriksaan fisik, dan penunjang. yang cepat dan tepat.
Diagnosis Banding: - Kriteria Rujukan
Komplikasi Segera rujuk setelah pertolongan pertama
dengan pemasangan infus dan oksigen.
Dapat menyebabkan kematian
Peralatan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. EKG
Penatalaksanaan
2. Bag valve mask
Tata Laksana Takikardia Tidak Stabil
Prognosis
Keadaan ini merupakan keadaan yang
Prognosis dalam kondisi ini umumnya dubia,
mengancam jiwa terutama bila disertai
tergantung dari penatalaksanaan selanjutnya.
hemodinamik yang tidak stabil. Bila hemodinamik
tidak stabil (tekanan darah sistolik < 90 Referensi
mmHg) dengan nadi melemah, apalagi disertai
penurunan kesadaran bahkan pasien menjadi 1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009
tidak responsif harus dilakukan kardioversi
baik dengan obat maupun elektrik. Kondisi ini
harus segera dirujuk dengan terpasang infus
dan resusitasi jantung paru bila tidak responsif.
Oksigen diberikan dengan sungkup O2 10-15
liter per menit.
Pada kondisi stabil, SVT dapat diatasi dengan
dilakukan vagal manuver (memijat arteri karotis
atau bola mata selama 10-15 menit). Bila tidak
respon, dilanjutkan dengan pemberian adenosin
6 mg bolus cepat. Bila tidak respon boleh
diulang dengan 12 mg sebanyak dua kali. Bila
tidak respon atau adenosin tidak tersedia, segera
rujuk ke layanan sekunder. Pada VT, segera rujuk
dengan terpasang infus dan oksigen O2 nasal 4
liter per menit.
4. GAGAL JANTUNG AKUT DAN KRONIK
No. ICPC-2: K77 Heart failure
No. ICD-10: I50.9 Heart failure, unspecified
Tingkat Kemampuan Gagal jantung akut 3B Gagal jantung kronik 3A

Masalah Kesehatan 3. Kardiomegali


Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan 4. Gangguan bunyi jantung (gallop)
masalah kesehatan yang menyebabkan 5. Ronki pada pemeriksaan paru
penurunan kualitas hidup, tingginya 6. Hepatomegali
rehospitalisasi karena kekambuhan yang tinggi 7. Asites
dan peningkatan angka kematian. Prevalensi 8. Edema perifer
kasus gagal jantung di komunitas meningkat
seiring dengan meningkatnya usia yaitu berkisar Pemeriksaan Penunjang
0,7% (40-45 tahun), 1,3% (55-64 tahun), dan 1. X Ray thoraks untuk menilai kardiomegali
8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien dan melihat gambaran edema paru
kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih 2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi,
dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko terjadinya perubahan gelombang T, dan gambaran
gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan abnormal lain).
20,3% pada perempuan. 3. Darah perifer lengkap
Hasil Anamnesis (Subjective) Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan Diagnosis Klinis
1. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria
d’effort) Framingham yaitu minimal 1 kriteria mayor dan
2. Gangguan napas pada perubahan posisi 2 kriteria minor.
(ortopneu)
3. Sesak napas malam hari (paroxysmal Kriteria Mayor:
nocturnal dyspneu)
1. Sesak napas tiba-tiba pada malam hari
Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan (paroxysmal nocturnal dyspneu)
gangguan mental pada orangtua 2. Distensi vena-vena leher
3. Peningkatan tekanan vena jugularis
Faktor Risiko 4. Ronki basah basal
1. Hipertensi 5. Kardiomegali
2. Dislipidemia 6. Edema paru akut
3. Obesitas 7. Gallop (S3)
4. Merokok 8. Refluks hepatojugular positif
5. Diabetes melitus Kriteria Minor:
6. Riwayat gangguan jantung sebelumnya
7. Riwayat infark miokard 1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas)
Sederhana (Objective) 4. Hepatomegali
Pemeriksaan Fisik: 5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital paru sepertiga
1. Peningkatan tekanan vena jugular dari normal
2. Frekuensi pernapasan meningkat 7. Takikardi >120 kali per menit
Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi
1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), 1. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko
asma, pneumonia, infeksi paru berat (ARDS), penyakit gagal jantung kronik misalnya
emboli paru tidak terkontrolnya tekanan darah, kadar
2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom lemak atau kadar gula darah.
nefrotik 2. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tanda-
3. Sirosis hepatik tanda kegawatan kardiovaskular dan
4. Diabetes ketoasidosis pentingnya untuk kontrol kembali setelah
pengobatan di rumah sakit.
Komplikasi 3. Patuh dalam pengobatan yang telah
1. Syok kardiogenik direncanakan.
2. Gangguan keseimbangan elektrolit 4. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk
pasien beraktivitas dan berinteraksi.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 5. Melakukan konferensi keluarga untuk
mengidentifikasi faktor- faktor pendukung
Penatalaksanaan dan penghambat penatalaksanaan pasien,
1. Modifikasi gaya hidup serta menyepakati bersama peran keluarga
a. Pembatasan asupan cairan maksimal pada masalah kesehatan pasien.
1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter (berat) Kriteria Rujukan
b. Berhenti merokok dan konsumsi
alkohol 1. Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk
2. Aktivitas fisik ke fasilitas peayanan kesehatan sekunder
a. Pada kondisi akut berat: tirah baring yang memiliki dokter spesialis jantung atau
b. Pada kondisi sedang atau ringan:batasi spesialis penyakit dalam untuk perawatan
beban kerja sampai 60% hingga 80% maupun pemeriksaan lanjutan seperti
dari denyut nadi maksimal (220/umur) ekokardiografi.
3. Penatalaksanaan farmakologi 2. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis
Pada gagal jantung akut: mengalami perburukan dalam waktu cepat
a. Terapi oksigen 2-4 liter per menit harus segera dirujuk layanan sekunder atau
b. Pemasangan iv line untuk akses layanan tertier terdekat untuk dilakukan
dilanjutkan dengan pemberian penanganan lebih lanjut.
furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus
dapat diulang tiap jam sampai dosis Peralatan
maksimal 600 mg/hari. 1. EKG
c. Segera rujuk. 2. Radiologi (X ray thoraks)
Pada gagal jantung kronik: 3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
a. Diuretik: diutamakan loop diuretic perifer lengkap
(furosemid) bila perlu dapat Prognosis
dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24
jam tidak ada respon rujuk ke layanan Tergantung dari berat ringannya penyakit,
sekunder. komorbid dan respon pengobatan.
b. ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine
II receptor blocker (ARB) mulai dari Referensi
dosis terkecil dan titrasi dosis sampai 1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.
tercapai dosis yang efektif dalam 2. Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family
beberapa minggu. Bila pengobatan Medicine. 2009. (Usatine, et al., 2008)
sudah mencapai dosis maksimal dan 3. Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family
target tidak tercapai segera dirujuk. Medicine.2011. (RE & Rakel, 2011)
c. Digoksin diberikan bila ditemukan
takikardi untuk menjaga denyut nadi
tidak terlalu cepat.
5. CARDIORESPIRATORY ARREST
No. ICPC-2 No. ICD-10 : K80 cardiac arrhytmia NOS
: R09.2 Respiratory arrest/ Cardiorespiratory failure
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
tablet atau overdosis obat, trombosis
Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi koroner, dan thrombosis pulmoner), tersedak,
kegawatdaruratan karena berhentinya tenggelam, gagal jantung akut, emboli paru,
aktivitas jantung paru secara mendadak yang atau keracunan karbon monoksida.
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hal ini disebabkan oleh malfungsi mekanik
Sederhana (Objective)
jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi
yang mendadak dan berat ini mengakibatkan Pemeriksaan Fisik
kerusakan organ.
Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan:
Henti jantung adalah konsekuensi dari aktivitas
otot jantung yang tidak terkoordinasi. Dengan 1. Pasien tidak sadar
EKG, ditunjukkan dalam bentuk Ventricular 2. Tidak ada nafas
Fibrillation (VF). Satu menit dalam keadaan 3. Tidak teraba denyut nadi di arteri-arteri
persisten VF, aliran darah koroner menurun besar (karotis dan femoralis).
hingga tidak ada sama sekali. Dalam 4 menit, Pemeriksaan Penunjang
aliran darah katoris tidak ada sehingga
menimbulkan kerusakan neurologi secara EKG
permanen.
Gambaran EKG biasanya menunjukkan gambaran
Jenis henti jantung VF (Ventricular Fibrillation). Selain itu dapat
pula terjadi asistol, yang survival rate- nya lebih
1. Pulseless Electrical Activity (PEA) rendah daripada VF.
2. Takikardia Ventrikel
3. Fibrilasi Ventrikel Penegakan Diagnostik (Assessment)
4. Asistole
Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
Keluhan fisik sedangkan anamnesis berguna untuk
mengidentifikasi penyebabnya.
Pasien dibawa karena pingsan mendadak
dengan henti jantung dan paru. Sebelumnya, Diagnosis Banding: -
dapat ditandai dengan fase prodromal berupa
Komplikasi
nyeri dada, sesak, berdebar dan lemah. Hal yang
perlu ditanyakan kepada keluarga pasien Konsekuensi dari kondisi ini adalah hipoksia
adalah untuk mencari penyebab terjadinya CRA ensefalopati, kerusakan neurologi permanen dan
antara lain oleh: kematian.
1. 5 H (hipovolemia, hipoksia, hidrogen ion Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
atau asidosis, hiper atau hipokalemia dan
hipotermia) Penatalaksanaan
2. 5 T (tension pneumothorax, tamponade, 1. Melakukan resusitasi jantung paru pada
pasien, sesegera mungkin tanpa menunggu Peralatan
anamnesis dan EKG.
2. Pasang oksigen dan IV line 1. Elektrokardiografi (EKG)
2. Tabung oksigen
Konseling dan Edukasi 3. Bag valve mask
Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien Prognosis
dan tindak lanjut dari tindakan yang telah
dilakukan, serta meminta keluarga untuk tetap Prognosis umumnya dubia ad malam, tergantung
tenang pada kondisi tersebut. pada waktu dilakukannya penanganan medis.

Rencana Tindak Lanjut Referensi

Monitor selalu kondisi pasien hingga dirujuk ke 1. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric
spesialis. Rescucitation in Critical Care Handbook of
the Massachusetts General Hospital. 4Ed.
Kriteria rujukan Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)
Setelah sirkulasi spontan kembali (Return of
2. 2. O’Rouke. Walsh. Fuster. Hurst’s The Heart
Spontaneous Circulation/ROSC) pasien dirujuk
Manual of Cardiology. 12th Ed.McGraw Hill.
ke layanan sekunder untuk tatalaksana lebih
2009.
lanjut.
3. Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007.

6. HIPERTENSI ESENSIAL
No ICPC-2 No ICD-10 : K86 Hypertension uncomplicated
: I10 Essential (primary) hypertension
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 3. Jantung berdebar-debar


Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang 4. Pusing
tidak diketahui penyababnya. Hipertensi menjadi 5. Leher kaku
masalah karena meningkatnya prevalensi, 6. Penglihatan kabur
masih banyak pasien yang belum mendapat 7. Rasa sakit di dada
pengobatan, maupun yang telah mendapat Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman
terapi tetapi target tekanan darah belum
kepala, mudah lelah dan impotensi.
tercapai serta adanya penyakit penyerta dan
komplikasi yang dapat meningkatkan Faktor Risiko
morbiditas dan mortalitas.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Umur
Keluhan 2. Jenis kelamin
3. Riwayat hipertensi dan penyakit
Mulai dari tidak bergejala sampai dengan kardiovaskular dalam keluarga.
bergejala. Keluhan hipertensi antara lain:
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1. Sakit atau nyeri kepala
2. Gelisah 1. Riwayat pola makan (konsumsi garam
berlebihan)
2. Konsumsi alkohol berlebihan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Aktivitas fisik kurang
4. Kebiasaan merokok Penatalaksanaan
5. Obesitas Peningkatan tekanan darah dapat dikontrol
6. Dislipidemia dengan perubahan gaya hidup dan terapi
7. Diabetus Melitus farmakologis.
8. Psikososial dan stres
Tabel 6.2 Modifikasi gaya hidup untuk
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang hipertensi
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien tampak sehat, dapat terlihat sakit
ringan-berat bila terjadi komplikasi
hipertensi ke organ lain.
2. Tekanan darah meningkat sesuai kriteria
JNC VII.
3. Pada pasien dengan hipertensi, wajib
diperiksa status neurologis dan pemeriksaan
fisik jantung (tekanan vena jugular, batas
jantung, dan ronki).
Pemeriksaan Penunjang
Gambar 6.1 Algoritme tata laksana hipertensi
1. Laboratorium : Urinalisis (proteinuria), tes
gula darah, profil lipid, ureum, kreatinin
2. X raythoraks
3. EKG
4. Funduskopi
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Tabel 6.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan
Joint National Committee VII (JNC VII)
Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik
Normal <120 mmHg < 80 mmHg
Pre-Hipertenal 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertenal stage-1 140-159 mmHg 80-99 mmHg
Hipertenal stage-2 ≥160 mmHg ≥100 mmHg

Diagnosis Banding
White collar hypertension, Nyeri akibat tekanan
intraserebral, Ensefalitis
1. Hipertensi tanpa compelling indication c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan
a. Hipertensi stage1: dapat diberikan ada tidaknya kontraindikasi dari
diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, atau masing-masing antihipertensi diatas.
pemberian penghambat ACE (captopril Sebaiknya pilih obat hipertensi yang
3x12,5-50 mg/hari), atau nifedipin long diminum sekali sehari atau maksimum
acting 30-60 mg/hari) atau kombinasi. 2 kali sehari.
b. Hipertensi stage2: Bila target terapi Bila target tidak tercapai maka dilakukan
tidak tercapai setelah observasi selama optimalisasi dosis atau ditambahkan obat
2 minggu, dapat diberikan kombinasi 2 lain sampai target tekanan darah tercapai
obat, biasanya golongan diuretik, tiazid
dan penghambat ACE atau penyekat Tabel 6.3 Obat yang direkomendasikan untuk
reseptor beta atau penghambat kalsium. hipertensi

2. Kondisi khusus lain


Komplikasi
a. Lanjut Usia
i. Diuretik (tiazid) mulai dosis rendah 1. Hipertrofi ventrikel kiri
12,5 mg/hari. 2. Proteinurea dan gangguan fungsi ginjal
ii. Obat hipertensi lain 3. Aterosklerosis pembuluh darah
mempertimbangkan penyakit 4. Retinopati
penyerta. 5. Stroke atau TIA
b. Kehamilan 6. Gangguan jantung, misalnya infark miokard,
i Golongan metildopa, penyekat angina pektoris, serta gagal jantung
reseptor ß, antagonis kalsium,
vasodilator. Konseling dan Edukasi
ii. Penghambat ACE dan antagonis 1. Edukasi tentang cara minum obat di
reseptor AII tidak boleh digunakan rumah, perbedaan antara obat-obatan
selama kehamilan. yang harus diminum untuk jangka panjang
(misalnya untuk mengontrol tekanan
darah) dan pemakaian jangka pendek untuk
menghilangkan gejala (misalnya untuk
mengatasi mengi), cara kerja tiap-tiap obat,
dosis yang digunakan untuk tiap obat dan
berapa kali minum sehari.
2. Pemberian obat anti hipertensi merupakan
pengobatan jangka panjang. Kontrol
pengobatan dilakukan setiap 2 minggu
atau 1 bulan untuk mengoptimalkan hasil
pengobatan.
3. Penjelasan penting lainnya adalah tentang
pentingnya menjaga kecukupan pasokan
obat-obatan dan minum obat teratur
seperti yang disarankan meskipun tak ada
gejala.
4. Individu dan keluarga perlu diinformasikan
juga agar melakukan pengukuran kadar gula
darah, tekanan darah dan periksa urin secara
teratur. Pemeriksaan komplikasi hipertensi
dilakukan setiap 6 bulan atau minimal 1
tahun sekali.
Kriteria Rujukan
1. Hipertensi dengan komplikasi
2. Resistensi hipertensi
3. Hipertensi emergensi (hipertensi dengan
tekanan darah sistole >180)
Peralatan
1. Laboratorium untuk melakukan pemeriksaan
urinalisis dan glukosa
2. EKG
3. Radiologi (X ray thoraks)
Prognosis
Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol.
Referensi
1. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku
Pedoman Pengendalian Hipertensi.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
G. MUSKULOSKELETAL

1. FRAKTUR TERBUKA
No. ICPC-2 : L76 fracture other
No. ICD-10 : T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
c. Terabanya jaringan tulang yang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, menonjol keluar
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik d. Adanya deformitas
yang bersifat total maupun parsial. e. Panjang anggota gerak berkurang
dibandingkan sisi yang sehat
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur yang 3. Gerak (move)
terdapathubungan dengan lingkungan luar Umumnya tidak dapat digerakkan
melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
bakteri dan dapat menimbulkan komplikasi Pemeriksaan Penunjang
infeksi.
Pemeriksaan radiologi, berupa: Foto polos
Hasil Anamnesis (Subjective) dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan
lateral
Keluhan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Adanya patah tulang terbuka setelah
terjadinya trauma Diagnosis klinis
2. Nyeri
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
3. Sulit digerakkan
pemeriksaan fisik dan penunjang.
4. Deformitas
5. Bengkak Klasifikasi
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok:
8. Kelemahan otot 1. Grade I
Faktor Risiko: - a. Fraktur terbuka dengan luka kulit
kurang dari 1 cm dan bersih
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang b. Kerusakan jaringan minimal, frakturnya
Sederhana (Objective) simple atau oblique dan sedikit
kominutif .
Pemeriksaan Fisik
2. Grade II
1. Inspeksi (look) a. Fraktur terbuka dengan luka robek
Adanya luka terbuka pada kulit yang lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan
dapat berupa tusukan tulang yang tajam jaringan lunak,
keluar menembus kulit atau dari luar oleh b. Flap kontusio avulsi yang luas
karena tertembus, misalnya oleh peluru serta fraktur kominutif sedang dan
atau trauma langsung dengan fraktur yang kontaminasi sedang.
terpapar dengan dunia luar. 3. Grade III
2. Palpasi (feel)
Fraktur terbuka segmental atau kerusakan
a. Robekan kulit yang terpapar dunia luar
jaringan lunak yang luas atau amputasi
b. Nyeri tekan
traumatic, derajad kontaminasi yang berat dan
trauma dengan kecepatan tinggi. 4. Pemberian antibiotika: merupakan cara
efektif mencegah terjadinya infeksi pada
Fraktur grade III dibagi menjadi tiga, yaitu: fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan
a. Grade IIIa: Fraktur segmental atau sangat sebaiknya dengan dosis yang besar.
kominutif penutupan tulang dengan Untuk fraktur terbuka antibiotika yang
jaringan lunak cukup adekuat. dianjurkan adalah golongan cephalosporin,
b. Grade IIIb: Trauma sangat berat atau dan dikombinasi dengan golongan
kehilangan jaringan lunak yang cukup luas, aminoglikosida.
terkelupasnya daerah periosteum dan tulang 5. Pencegahan tetanus: semua penderita
tampak terbuka,serta adanya kontaminasi dengan fraktur terbuka perlu diberikan
yang cukup berat. pencegahan tetanus. Pada penderita yang
c. Grade IIIc: Fraktur dengan kerusakan telah mendapat imunisasi aktif cukup
pembuluh darah. dengan pemberian tetanus toksoid tapi
bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit
Diagnosis Banding: - tetanus imunoglobulin.
Komplikasi Kriteria Rujukan
Perdarahan, syok septik sampai kematian, Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih
septikemia, toksemia oleh karena infeksi stabil dengan tetap mengawasi tanda vital.
piogenik, tetanus, gangrene, perdarahan
sekunder, osteomielitis kronik, delayed union, Peralatan
nonunion dan malunion, kekakuan sendi,
Bidai, set bedah minor
komplikasi lain oleh karena perawatan yang
lama Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis quo ad fungsionam adalah dubia
ad bonam, tergantung pada kecepatan dan
Prinsip penanganan fraktur terbuka ketepatan tindakan yang dilakukan.
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara
Referensi
emergensi dengan metode ATLS
2. Lakukan irigasi luka 1. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture.
3. Lakukan imobilisasi fraktur E-medicine. Medscape. Update 21 May. 2011.
4. Pasang cairan dan berikan antibiotika intra (Schaller & Calhoun, 2011)
vena yang sesuai dan adekuat kemudian 2. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah
segera rujuk kelayanan sekunder. Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta:
PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334.
Penatalaksanaan (Chairuddin, 2007)
1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan
cara irigasi dengan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing
yang melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan,
pada fraktur dengan tulang menonjol
keluarsedapat mungkin dihindari
memasukkan komponen tulang tersebut
kembali kedalam luka.
3. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi
dengan fiksasi eksterna.
2. FRAKTUR TERTUTUP
No. ICPC-2 : L76 fracture other
No. ICD-10 : T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, Diagnosis Klinis
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik
yang bersifat total maupun parsial. Fraktur Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
tertutup adalah suatu fraktur yang tidak pemeriksaan fisik dan penunjang.
berhubungan dengan lingkungan luar. Diagnosis Banding : -
Hasil Anamnesis (Subjective) Komplikasi
Keluhan Compartemen syndrome
1. Adanya riwayat trauma (terjatuh, kecelakaan, Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dll)
2. Nyeri Prinsip penatalaksanaan dilakukan dengan:
3. Sulit digerakkan 1. Semua fraktur dikelola secara emergensi
4. Deformitas dengan metode ATLS
5. Bengkak 2. Lakukan stabilisasi fraktur dengan bidai,
6. Perubahan warna waspadai adanya tanda- tanda compartemen
7. Gangguan sensibilitas syndrome seperti edema, kulit yang
8. Kelemahan otot Faktor Risiko: Osteoporosis mengkilat dan adanya nyeri tekan.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Rujuk segera kelayanan sekunder
Sederhana (Objective) Kriteria Rujukan
Pemeriksaan Fisik
Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil
1. Inspeksi (look) dengan tetap mengawasi tanda vital.
Adanya deformitas dari jaringan tulang,
namun tidak menembus kulit. Anggota Peralatan
tubuh tdak dapat digerakkan.
1. Bidai
2. Palpasi (feel)
2. Jarum kecil
a. Teraba deformitas tulang jika
dibandingkan dengan sisi yang sehat. Prognosis
b. Nyeri tekan.
c. Bengkak. Prognosis umumnya bonam, namun quo ad
d. Perbedaan panjang anggota gerak fungsionam adalah dubia ad bonam. Hal ini
yang sakitdibandingkan dengan sisi bergantung kepada kecepatan dan ketepatan
yang sehat. tindakan yang dilakukan.
3. Gerak (move) Umumnya tidak dapat Referensi
digerakkan
1. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah
Pemeriksaan Penunjang
Ortopedi. Fraktur Tertutup. Edisi 3. Jakarta:
Pemeriksaan radiologi berupa foto polos PT Yarsif Watampone. 2007. Hal:327-332.
dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan
lateral.
3. POLIMIALGIA REUMATIK
No. ICPC-2 No. ICD-10 : L99 Musculosceletal disease other
: M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Gejala umumsebagai berikut:


Poly Myalgia Rheumatica (PMR) adalah suatu 1. Penampilan lelah
sindrom klinis dengan etiologi yang tidak 2. Pembengkakan ekstremitas distal dengan
diketahui yang mempengaruhi individu usia pitting edema.
lanjut. Hal ini ditandai dengan myalgia
proksimal dari pinggul dan gelang bahu dengan Temuan muskuloskeletal sebagai berikut:
kekakuan pagi hari yang berlangsung selama
1. Kekuatan otot normal, tidak ada atrofi otot
lebih dari 1 jam.
2. Nyeri pada bahu dan pinggul dengan
Hasil Anamnesis (Subjective) gerakan
3. Sinovitis transien pada lutut, pergelangan
Keluhan tangan, dan sendi sterno klavikula.
Pada sekitar 50 % pasien berada dalam Pemeriksaan Penunjang
kesehatan yang baik sebelum onset penyakit
yang tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, gejala Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
muncul pertama kali pada bahu. Sisanya,
Penegakan Diagnostik (Assessment)
pinggul atau leher yang terlibat saat onset. Gejala
terjadi mungkin pada satu sisi tetapi biasanya Diagnosis Klinis
menjadi bilateral dalam beberapa minggu.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu set
Gejala-gejala termasuk nyeri dan kekakuan kriteria diagnostik berikut, yaitu:
bahu dan pinggul. Kekakuan mungkin begitu
parah sehingga pasien mungkin mengalami 1. Usia onset 50 tahun atau lebih tua
kesulitan bangkit dari kursi, berbalik di tempat 2. Laju endap darah ≥ 40 mm / jam
tidur, atau mengangkat tangan mereka di atas 3. Nyeri bertahan selama ≥ 1 bulan dan
bahu tinggi. Kekakuan setelah periode istirahat melibatkan 2 dari daerah berikut: leher,
(fenomena gel) serta kekakuan pada pagi hari bahu, dan korset panggul
lebih dari 4. Tidak adanya penyakit lain dapat
1 jam biasanya terjadi. Pasien juga mungkin menyebabkan gejala muskuloskeletal
menggambarkan sendi distal bengkak atau 5. Kekakuan pagi berlangsung ≥ 1 jam
yang lebih jarang berupa edema tungkai. Carpal 6. Respon cepat terhadap prednison (≤ 20 mg)
tunnel syndrome dapat terjadi pada beberapa Diagnosis Banding
pasien.
Amiloidosis, AA (Inflammatory), Depresi,
Faktor Risiko: - Fibromialgia, Giant Cell Arteritis, Hipotiroidism,
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang Multipel mieloma, Osteoartritis, Sindroma
sederhana (Objective) paraneoplastik, Artritis reumatoid.

Pemeriksaan Fisik Patognomonis Komplikasi : -

Tanda-tanda dan gejala polymyalgia rheumatic Penatalaksanaan komprehensif (Plan)


tidak spesifik, dan temuan obyektif pada Penatalaksanaan
pemeriksaan fisik sering kurang.
1. Prednison dengan dosis 10-15 mg peroral penderita, sehingga dukungan keluarga
setiap hari, biasanya menghasilkan sangatlah penting.
perbaikan klinis dalam beberapa hari.
2. ESR biasanya kembali ke normal selama Kriteria Rujukan
pengobatan awal, tetapi keputusan terapi Setelah ditegakkan dugaan diagnosis, pasien
berikutnya harus berdasarkan status ESR dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder.
dan klinis.
3. Terapi glukokortikoid dapat diturunkan Peralatan
secara bertahap dengan dosis Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
pemeliharaan 5-10 mg peroral setiap hari darah
tetapi harus dilanjutkan selama minimal 1
tahun untuk meminimalkan risiko kambuh. Prognosis
Konsultasi dan Edukasi Prognosis adalah dubia ad bonam, tergantung
dari ada/tidaknya komplikasi.
Edukasi keluarga bahwa penyakit ini mungkin
menimbulkan gangguan dalam aktivitas Referensi
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. 2009.

4. ARTRITIS REUMATOID
No. ICPC-2 No. ICD-10 : L99 Musculosceletal disease other
: M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Gejala sinovitis pada sendi yang terkena:
Penyakit autoimun yang ditandai dengan bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan
walaupun terutama mengenai jaringan pada pagi hari > 1 jam.
persendian, seringkali juga melibatkan organ
tubuh lainnya. Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis),
kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis),
Hasil Anamnesis (Subjective) hematologi (anemia).
Keluhan Faktor Risiko
Gejala pada awal onset 1. Wanita,
2. Faktor genetik.
Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, 3. Hormon seks.
seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung 4. Infeksi
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. 5. Merokok
Gejala spesifik pada banyak sendi Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
(poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai sederhana (Objective)
seluruh sendi terutama sendi PIP (proximal
interphalangeal), sendi MCP Pemeriksaan Fisik
(metacarpophalangeal) atau MTP
(metatarsophalangeal), pergelangan tangan, Manifestasi artikular:
bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP (distal Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi,
interphalangeal) umumnya tidak terkena. sendi teraba hangat, deformotas (swan neck,
boutonniere, deviasi ulnar) Gambar 6.2 Radiologi tangan pada Artritis
Manifestasi ekstraartikular: Rheumatoid
1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada
daerah yg banyak menerima penekanan,
vaskulitis.
2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel
syndrome atau frozen shoulder.
3. Mata dapat ditemukan kerato-
konjungtivitis sicca yang merupakan
manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/
skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat
penyakit kronik.
4. Sistem respiratorik dapat ditemukan Penegakan Diagnosis (Assessment)
adanya radang sendi krikoaritenoid,
Diagnosis Klinis
pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau
fibrosis paru luas. Diagnosis RA biasanya didasarkan pada
5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan gambaran klinis dan radiografis.
perikarditis konstriktif, disfungsi katup, Kriteria Diagnosis
fenomena embolisasi, gangguan konduksi,
aortritis, kardiomiopati. Berdasarkan ACR-EULAR 2010:
Pemeriksaan Penunjang Dibuat skor dari beberapa poin dibawah ini :
Pemeriksaan laju endap darah (LED) 1. Jumlah sendi yang terlibat
Pemeriksaan di pelayanan kesehatan sekunder a. 1 sendi besar 0
atau rujukan horizontal: b. 2-10 sendi besar 1
c. 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa 2
1. Faktor reumatoid (RF) serum. sendi besar)
2. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini d. 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa 3
berupa pembengkakan jaringan lunak, sendi besar)
diikuti oleh osteoporosis juxta-articular e. >10 sendi dengan minimal 1 sendi 5
dan erosi pada bare area tulang. Keadaan kecil
lanjut terlihat penyempitan celah sendi,
osteoporosis difus, erosi meluas sampai Sendi DIP, MTP I, carpometacarpal I tidak
daerah subkondral. termasuk dalam kriteria yang dimaksud
sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari,
3. ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide
antibody) / anti-CCP dan pergelangan tangan yang dimaksud
sendi besar adalah bahu, siku, lutut,
4. CRP pangkal paha, dan pergelangan kaki.
2. Acute phase reactants : LED dan CRP
5. Analisis cairan sendi
LED atau CRP naik : 1
6. Biopsi sinovium/ nodul rheumatoid 3. RF atau anti CCP
a. RF dan anti CRP (-) 0
b. RF atau anti CRP naik < 3 batas atas 2
normal (BAN)
c. RF atau CRP naik > 3 BAN 3
4. Durasi
a. Lebih dari 6 Minggu 1
b. Kurang dari 6 Minggu 0
Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA yang dikonfirmasi oleh bukti pencitraan
Tabel 6.4 Sistem penilaian klasifikasi kriteria akan adanya sinovitis. Sendi interfalang
RA (American College of Rheumatology/ distal, sendi karpometakarpal I, dan sendi
European League Against Rheumatism, 2010) metatarsofalangeal I tidak dimasukkan
dalam pemeriksaan. Kategori distribusi
sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi
dan jumlah sendi yang terlibat, ditempatkan
ke dalam kategori tertinggi berdasarkan
pola keterlibatan sendi.
5. Sendi-sendi besar merujuk pada bahu, siku,
pinggul, lutut, dan pergelangan kaki.
6. Sendi-sendi kecil merujuk pada sendi
metakarpofalangeal, sendi interfalang
proksimal, sendi metatarsophalangeal II-
V, sendi interfalang ibujari, dan pergelangan
tangan.
7. Dalam kategori ini, minimal 1 dari sendi
Catatan: yg terlibat harus sendi kecil; sendi lainnya
dapat berupa kombinasi dari sendi besar
1. Kriteria tersebutditujukan untuk klasifikasi dan sendi kecil tambahan, seperti sendi
pasien baru. lainnya yang tidak terdaftar secara spesifik
Sebagai tambahan, pasien dengan dimanapun (misal temporomandibular,
penyakit erosif tipikal RA dengan riwayat akromioklavikular, sternoklavikular dan lain-
yang sesuai dengan kriteria 2010 ini lain).
harus diklasifikasikan ke dalam RA. Pasien
dengan penyakit lama, termasuk yang tidak 8. Negatif merujuk pada nilai IU yg ≤ batas
aktif (dengan atau tanpa pengobatan), atas nilai normal (BAN) laboratorium dan
yang berdasarkan data retrospektif yang assay; positif rendah merujuk pada nilai
dimiliki memenuhi kriteria 2010 ini harus IU yang ≥ BAN tetapi ≤ 3x BAN laboratorium
diklasifikasikan ke dalam RA. dan assay; positif tinggi merujuk pada nilai
IU yg > 3x BAN laboratorium dan assay.
2. Diagnosis banding bervariasi diantara Ketika RF hanya dapat dinilai sebagai positif
pasien dengan manifestasi yang berbeda, atau negatif, hasil positif harus dinilai
tetapi boleh memasukkan kondisi seperti sebagai positif rendah untuk RA. ACPA = anti-
SLE, artritis psoriatic, dan gout. Jika citrullinated protein antibody.
diagnosis banding masih belum jelas,
hubungi ahli reumatologi. 9. Normal/tidak normal ditentukan oleh
standar laboratorium setempat. CRP (C-
3. Walaupun pasien dengan skor < 6 dari tidak reactive protein); LED (Laju Endap Darah).
diklasifikasikan ke dalam RA, status mereka
dapat dinilai ulang dan kriteria ini bisa 10. Durasi gejala merujuk pada laporan dari
dipenuhi secara kumulatif seiring waktu. pasien mengenai durasi gejala dan tanda
sinovitis (misal nyeri, bengkak, dan nyeri
4. Keterlibatan sendi merujuk pada sendi pada penekanan) dari sendi yang secara
yang bengkak atau nyeri pada pemeriksaan, klinis terlibat pada saat pemeriksaan, tanpa
memandang status pengobatan.
Diagnosis Banding penatalaksanaan selanjutnya.
Penyebab arthritis lainnya, Spondiloartropati Referensi
seronegatif, Lupus eritematosus istemik,
Sindrom Sjogren 1. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In:
Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Komplikasi Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA:
McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
1. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck,
deviasi ulnar) 2. Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo,
A.W. Setiyohadi, B Alwi, I. Simadibrata, M.
2. Sindrom terowongan karpal (TCS) Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit
3. Sindrom Felty (gabungan gejala RA, Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
splenomegali, leukopenia, dan ulkus pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
tungkai; juga sering disertai limfadenopati 2006: p. 1184-91.
dan trombositopenia)
3. Panduan Pelayanan Medis Departemen
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo. 2007
Penatalaksanaan
1. Pasien diberikan informasi untuk
memproteksi sendi, terutama pada stadium
akut dengan menggunakan decker.
2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid,
seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari,
meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-
400 mg/sehari.
3. Pemberian golongan steroid, seperti:
prednison atau metil prednisolon dosis
rendah (sebagai bridging therapy).
4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu
dapat diberikan ortosis.
Kriteria rujukan
1. Tidak membaik dengan pemberian obat
anti
inflamasi dan steroid dosis rendah.
2. RA dengan komplikasi.
3. Rujukan pembedahan jika terjadi deformitas.
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah.
Prognosis
Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat
tergantung dari perjalanan penyakit dan
5. ARTRITIS, OSTEOARTRITIS
No. ICPC-2: L91 Osteoarthrosis other No. ICD-10: M19.9 Osteoarthrosis other
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnosis (Assessment)


Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan Diagnosis Klinis
dengan kerusakan kartilago sendi. Pasien sering
datang berobat pada saat sudah ada deformitas Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran
sendi yang bersifat permanen. klinis dan radiografi.
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding
Keluhan Artritis Gout, Rhematoid Artritis
1. Nyeri sendi Komplikasi
2. Hambatan gerakan sendi
Deformitas permanen
3. Kaku pagi
4. Krepitasi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Pembesaran sendi
6. Perubahan gaya berjalan Penatalaksanaan

Faktor Risiko 1. Pengelolaan OA berdasarkan atas


distribusinya (sendi mana yang terkena)
1. Usia > 60 tahun dan berat ringannya sendi yang terkena.
2. Wanita, usia >50 tahun atau menopouse 2. Pengobatan bertujuan untuk mencegah
3. Kegemukan/ obesitas progresifitas dan meringankan gejala yang
4. Pekerja berat dengen penggunaan satu dikeluhkan.
sendi terus menerus 3. Modifikasi gaya hidup, dengan cara:
a. Menurunkan berat badan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
b. Melatih pasien untuk tetap
sederhana (Objective)
menggunakan sendinya dan melindungi
Pemeriksaan Fisik sendi yang sakit
4. Pengobatan Non Medikamentosa
Tanda Patognomonis Rehabilitasi Medik /Fisioterapi
1. Hambatan gerak 5. Pengobatan Medikamentosa
2. Krepitasi a. Analgesik topikal
3. Pembengkakan sendi yang seringkali b. NSAID (oral):
asimetris • non selective: COX1 (Diklofenak,
4. Tanda-tanda peradangan sendi Ibuprofen, Piroksikam, Mefenamat,
5. Deformitas sendi yang permanen Metampiron)
6. Perubahan gaya berjalan Pemeriksaan • selective: COX2 (Meloksikam)
Penunjang Radiografi Kriteria Rujukan
1. Bila ada komplikasi, termasuk komplikasi
terapi COX 1
2. Bila ada komorbiditas
3. Bila nyeri tidak dapat diatasi dengan obat- Prognosis
obatan Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa,
4. Bila curiga terdapat efusi sendi namun fungsi sering terganggu dan sering
Peralatan mengalami kekambuhan.
Referensi
Tidak terdapat peralatan khusus yang
digunakan mendiagnosis penyakit arthritis 1. Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA:
McGraw-Hill. 2008.

6. VULNUS
No. ICPC-2
: S.16 Bruise / Contusion
Abration / Scratch / Blister
No. ICD-10 Laceration / Cut
: T14.1 Open wound of unspecified body region
Tingkat Kemampuan:
Vulnus laceratum, punctum 4A
Vulnus perforatum, penetratum 3B

Masalah Kesehatan
kecil tapi didalam mungkin rusak berat, jika
Kulit merupakan bagian tubuh yang paling yang mengenai abdomen/thorax disebut
luar yang berguna melindungi diri dari trauma vulnus penetrosum(luka tembus).
luar serta masuknya benda asing.Apabila kulit
2. Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat)
terkena trauma, maka dapat menyebabkan luka/
vulnus.Luka tersebut dapat merusak jaringan, Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan
sehingga terganggunya fungsi tubuh serta dapat benda tajam atau jarum merupakan
mengganggu aktifitas sehari-hari. luka terbuka akibat dari terapi untuk
dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam
Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan,
dan licin.
dapat ditimbulkan oleh berbagai macam akibat
yaitu trauma, meliputi luka robek (laserasi), 3. Vulnus Schlopetorum (Luka Tembak)
luka akibat gesekan (abrasi), luka akibat tarikan
(avulsi), luka tembus (penetrasi), gigitan, luka Penyebabnya adalah tembakan, granat. Pada
bakar, dan pembedahan. pinggiran luka tampak kehitam-hitaman,
bisa tidak teratur kadang ditemukan corpus
Etiologi alienum.
Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari : 4. Vulnus Morsum (Luka Gigitan)
Trauma tajam yang menimbulkan luka terbuka, Penyebab adalah gigitan binatang atau
misalnya : manusia, kemungkinan infeksi besar bentuk
luka tergantung dari bentuk gigi
1. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)
5. Vulnus Perforatum (Luka Tembus)
Penyebab adalah benda runcing tajam
atau sesuatu yang masuk ke dalam kulit, Luka jenis ini merupakan luka tembus atau
merupakan luka terbuka dari luar tampak luka jebol. Penyebab oleh karena panah,
tombak atau proses infeksi yang meluas Patofisiologi
hingga melewati selaput serosa/epithel
organ jaringan. Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang
mengenai tubuh yang bisa disebabkan oleh
6. Vulnus Amputatum (Luka Terpotong) trauma mekanis dan perubahan suhu (luka
bakar). Vulnus yang terjadi dapat menimbulkan
Luka potong, pancung dengan penyebab beberapa tanda dan gejala seperti bengkak,
benda tajam ukuran besar/berat, gergaji.
krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau bisa
Luka membentuk lingkaran sesuai dengan
juga menimbulkan kondisi yang lebih serius.
organ yang dipotong. Perdarahan hebat,
Tanda dan gejala yang timbul tergantung pada
resiko infeksi tinggi, terdapat gejala pathom
penyebab dan tipe vulnus.
limb.
Macam-macam Luka
Trauma tumpul yang menyebabkan luka tertutup
(vulnus occlusum), atau luka terbuka (vulnus Menurut tipenya luka dibedakan menjadi 4 tipe
apertum), misalnya : luka yaitu :
1. Vulnus Laceratum (Laserasi/Robek) 1. Luka bersih (Clean wound)
Jenis luka ini disebabkan oleh karena Luka bersih adalah luka karena tindakan
benturan dengan benda tumpul, dengan operasi dengan tehnik steril, misalnya pada
ciri luka tepi luka tidak rata dan perdarahan daerah dinding perut, dan jaringan lain yang
sedikit luka dan meningkatkan resiko letaknya lebih dalam (non contaminated
infeksi. deep tissue), misalnya tiroid, kelenjar,
pembuluh darah, otak, tulang.
2. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet)
2. Luka bersih-kontaminasi (Clean
Penyebab luka karena kecelakaan atau
contaminated wound)
jatuh yang menyebabkan lecet pada
permukaan kulit merupakan luka terbuka Merupakan luka yang terjadi karena benda
tetapi yang terkena hanya daerah kulit. tajam, bersih dan rapi, lingkungan tidak
steril atau operasi yang mengenai daerah
3. Vulnus Contussum (Luka Kontusio)
usus halus dan bronchial.
Penyebab: benturan benda yang keras.
3. Luka kontaminasi (Contaminated wound)
Luka ini merupakan luka tertutup, akibat
dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur Luka ini tidak rapi, terkontaminasi oleh
pada pembuluh darah menyebabkan nyeri lingkungan kotor, operasi pada saluran
dan berdarah (hematoma) bila kecil maka terinfeksi (usus besar, rektum, infeksi
akan diserap oleh jaringan di sekitarnya jika bronkhial, saluran kemih)
organ dalam terbentur dapat menyebabkan
akibat yang serius. 4. Luka infeksi (Infected wound)

Trauma termal, (Vulnus Combustion-Luka Jenis luka ini diikuti oleh adanya infeksi,
Bakar), yaitu kerusakan kulit karena suhu yang kerusakan jaringan, serta kurangnya
ekstrim, misalnya air panas, api, sengatan listrik, vaskularisasi pada jaringan luka.
bahan kimia, radiasi atau suhu yang sangat Hasil Anamnesis (Subjective)
dingin (frostbite).
Terjadi trauma, ada jejas, memar, bengkak,
Jaringan kulit rusak dengan berbagai derajat nyeri, rasa panas didaerah trauma.
mulai dari lepuh (bula), sampai karbonisasi
(hangus). Terdapat sensasi nyeri dan atau
anesthesia.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang bila diperlukan.
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Inspeksi: adanya kerusakan jaringan didaerah
trauma, ada perdarahan, edema sekitar area 1. Pertama dilakukan anestesi setempat atau
trauma, melepuh, kulit warna kemerahan sampai umum, tergantung berat dan letak luka,
kehitaman. serta keadaan penderita, luka dan sekitar
luka dibersihkan dengan antiseptik. Bahan
Palpasi: nyeri tekan, atau anestesi. yang dapat dipakai adalah larutan yodium
povidon 1% dan larutan klorheksidin ½%,
Pemeriksaan Penunjang : -
larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya
Penegakan Diagnostik (Assessment) digunakan untuk membersih kulit disekitar
luka.
1. Gejala Lokal
2. Kemudian daerah disekitar lapangan kerja
a. Nyeri terjadi karena kerusakan ujung- ditutup dengan kain steril dan secara steril
ujung saraf sensoris. dilakukan kembali pembersihan luka dari
Intensitas atau derajat rasa nyeri kontaminasi secara mekanis, misalnya
berbeda-beda tergantung pada berat/ pembuangan jaringan mati dengan gunting
luas kerusakan ujung-ujung saraf, atau pisau dan dibersihkan dengan bilasan,
etiologi dan lokasi luka. atau guyuran NaCl.

b. Perdarahan, hebatnya perdarahan 3. Akhirnya dilakukan penjahitan bila


tergantung pada lokasi luka, jenis memungkinkan, dan luka ditutup dengan
pembuluh darah yang rusak. bahan yang dapat mencegah lengketnya
kasa, misalnya kasa yang mengandung
c. Diastase yaitu luka yang menganga vaselin ditambah dengan kasa penyerap
atau tepinya saling melebar dan dibalut dengan pembalut elastis.
d. Gangguan fungsi, fungsi anggota badan Komplikasi Luka
akan terganggu baik oleh karena rasa
nyeri atau kerusakan tendon. 1. Penyulit dini seperti : hematoma, seroma,
infeksi
2. Gejala umum
2. Penyulit lanjut seperti : keloid dan parut
Gejala/tanda umum pada perlukaan dapat hipertrofik dan kontraktur
terjadi akibat penyulit/komplikasi yang
terjadi seperti syok akibat nyeri dan atau Peralatan
perdarahan yang hebat. Alat Bedah Minor : gunting jaringan, pinset
Pada kasus vulnus diagnosis pertama dilakukan anatomis, pinset sirurgis, gunting benang,
secara teliti untuk memastikan apakah ada needle holder, klem arteri, scalpel blade &
pendarahan yang harus dihentikan. Kemudian handle.
ditentukan jenis trauma apakah trauma tajam Prognosis
atau trauma tumpul, banyaknya kematian
jaringan, besarnya kontaminasi dan berat Tergantung dari luas, kedalaman dan penyebab
jaringan luka. dari trauma.

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
7. LIPOMA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S78 Lipoma
: D17.9 Benign lipomatous neoplasm
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Diagnosis Banding
Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak Epidermoid kista,Abses, Liposarkoma, Limfadenitis
yang berada di bawah kulit yang terdiri dari tuberkulosis
lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia
lanjut (40-60 tahun), namun juga dapat dijumpai Pemeriksaan Penunjang
pada anak-anak. Lipoma kebanyakan berukuran Pemeriksaan penunjang lain merupakan
kecil, namun dapat tumbuh hingga mencapai pemeriksaan rujukan, seperti biopsi jarum halus.
lebih dari diameter 6 cm.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hasil Anamnesis
Penatalaksanaan
Keluhan
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri. Biasanya Lipoma tidak perlu dilakukan tindakan
Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). apapun.
Hanya dikeluhkan timbulnya benjolan yang 1. Pembedahan
membesar perlahan dalam waktu yang lama. Dengan indikasi : kosmetika tanpa keluhan
Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh lain. Cara eksisi Lipoma dengan melakukan
dengan menekan saraf. Untuk tempat predileksi sayatan di atas benjolan, lalu mengeluarkan
seperti di leher bisa menimbulkan keluhan jaringan lipoma
menelan dan sesak. 2. Terapi pasca eksisi: antibiotik, anti nyeri
Faktor Risiko Simptomatik: obat anti nyeri
1. Adiposisdolorosis
2. Riwayat keluarga dengan lipoma Kriteria rujukan:
3. Sindrom Gardner 1. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan
4. Usia menengah dan usia lanjut yang cepat.
2. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Predileksi di lokasi yang berisiko bersentuhan
Sederhana (Objective) dengan pembuluh darah atau saraf.
Pemeriksaan Fisik Patologis Prognosis
Keadaan Umum : tampak sehat bisa sakit Prognosis umumnya adalah bonam, namun ini
ringan tergantung dari letak dan ukuran lipoma, serta
- sedang ada/tidaknya komplikasi.
Kulit: ditemukan benjolan, teraba empuk,
bergerak jika ditekan. Referensi
Pemeriksaan Penunjang 1. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma
Dapat dilakukan tusukan jarum halus untuk in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
mengetahui isi massa. EGC. 2005.
2. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft
Penegakan Diagnostik Tissue Tumor in: Manual of Surgery. 8th Ed.
Diagnosis Klinis New York:McGraw-Hill Company. 2006.
Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang 3. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials
memiliki karakteristik lembut, terlihat pucat. of Surgery. New York: Lange Medical Book.
Ukuran diameter kurang dari 6 cm, pertumbuhan 2005.
sangat lama.
H. NEUROLOGI

1. TENSION HEADACHE
No. ICPC-2 No. ICD-10 : N95 Tension Headache
: G44.2 Tension–type headache
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual
Tension Headache atau Tension Type Headache ataupun muntah tetapi anoreksia mungkin saja
(TTH) atau nyeri kepala tipe tegang adalah terjadi. Gejala lain yang juga dapat ditemukan
bentuk sakit kepala yang paling sering dijumpai seperti insomnia (gangguan tidur yang sering
dan sering dihubungkan dengan jangka waktu terbangunatau bangun dini hari), nafas pendek,
dan peningkatan stres. Sebagian besar konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan
tergolong dalam kelompok yang mempunyai gangguan haid.
perasaan kurang percaya diri, selalu ragu akan
kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis
gentar dan tegang. Pada akhirnya, terjadi biasanya merupakan manifestasi konflik
peningkatan tekanan jiwa dan penurunan psikologis yang mendasarinya seperti
tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan kecemasan dan depresi.
ketidakpuasan yang membangkitkan reaksi Faktor Risiko: -
pada otot-otot kepala, leher, bahu, serta
vaskularisasi kepala sehingga timbul nyeri Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
kepala. Sederhana (Objective)

Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada Pemeriksaan Fisik


perempuan dibandingkan laki-laki dengan
Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti untuk
perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua
mendiagnosis nyeri kepalategang otot ini. Pada
usia, namun sebagian besar pasien adalah dewasa
pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal,
muda yang berusiasekitar antara 20-40 tahun.
pemeriksaan neurologis normal. Pemeriksaan
Hasil Anamnesis (Subjective) yang dilakukan berupa pemeriksaan kepala
dan leher serta pemeriksaan neurologis yang
Keluhan meliputi kekuatan motorik, refleks, koordinasi,
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang dan sensoris.
tersebar secara difus dan sifat nyerinya mulai Pemeriksaan mata dilakukan untuk mengetahui
dari ringan hingga sedang. Nyeri kepala tegang adanya peningkatan tekanan pada bola
otot biasanya berlangsung selama 30 menit mata yang bisa menyebabkan sakit kepala.
hingga 1 minggu penuh. Nyeri bisa dirasakan Pemeriksaan daya ingat jangka pendek dan
kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada fungsi mental pasien juga dilakukan dengan
awalnya dirasakan pasien pada leher bagian menanyakan beberapa pertanyaan. Pemeriksaan
belakang kemudian menjalar ke kepala bagian ini dilakukan untuk menyingkirkan berbagai
belakang selanjutnya menjalar ke bagian depan. penyakit yang serius yang memiliki gejala nyeri
Selain itu, nyeri ini juga dapat menjalar ke bahu. kepala seperti tumor atau aneurisma dan
Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, penyakit lainnya.
pegal, rasakencang pada daerah bitemporal
dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling Pemeriksaan Penunjang : Tidak diperlukan
kepala. Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.
Penegakan Diagnostik (Assessment) hidup yang salah, disamping pengobatan
nyeri kepalanya.
Diagnosis Klinis
3. Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis obat untuk menghentikan atau mengurangi
dan pemeriksaan fisik yang normal. Anamnesis
sakit yang dirasakan saat serangan
yang mendukung adalah adanya faktor psikis
muncul. Penghilang sakit yang sering
yang melatarbelakangi dan karakteristik gejala
digunakan adalah: acetaminophen dan
nyeri kepala (tipe, lokasi, frekuensi dan durasi
NSAID seperti Aspirin, Ibuprofen, Naproxen,
nyeri) harus jelas.
dan Ketoprofen. Pengobatan kombinasi
Klasifikasi antara acetaminophen atau aspirin dengan
kafein atau obat sedatif biasa digunakan
Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk
tegang otot ini dibagi menjadi nyeri kepala menghilangkan sakitnya, tetapi jangan
episodik jika berlangsungnya kurang dari 15 hari digunakan lebih dari 2 hari dalam seminggu
dengan serangan yang terjadi kurang dari1 hari dan penggunaannya harus diawasi oleh
perbulan (12 hari dalam 1 tahun). Apabila nyeri dokter.
kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih
dari 15 hari selama 6 bulan terakhir dikatakan 4. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu
nyeri kepala tegang otot kronis. Amitriptilin.

Diagnosis Banding Tabel 8.1 Analgesik nonspesifik untuk TTH

1. Migren
2. Cluster-type hedache (nyeri kepala
kluster) Komplikasi : -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual
1. Pembinaan hubunganempati awal yang menjadi ringan atau hilang dalam 2 jam).
hangat antara dokter dan pasien
merupakan langkah pertama yang sangat Konseling dan Edukasi
penting untuk keberhasilan pengobatan. 1. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa
Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga
bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam kepala atau otaknya dapat menghilangkan
rongga kepala atau otaknya dapat rasa takut akan adanya tumor otak atau
menghilangkan rasa takut akan adanya penyakit intrakranial lainnya.
tumor otak atau penyakit intrakranial
lainnya. 2. Keluarga ikut membantu mengurangi
kecemasan atau depresi pasien, serta
2. Penilaian adanya kecemasan atau depresi menilai adanya kecemasan atau depresi
harus segera dilakukan. Sebagian pasien pada pasien.
menerima bahwa kepalanya berkaitan
dengan penyakit depresinya dan bersedia Kriteria Rujukan
ikut program pengobatan sedangkan pasien
lain berusaha menyangkalnya. Oleh sebab 1. Bila nyeri kepala tidak membaik maka
itu, pengobatan harus ditujukan kepada dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis
penyakit yang mendasari dengan obat anti
cemas atau anti depresi serta modifikasi pola saraf.
2. Bila depresi berat dengan kemungkinan
bunuh diri maka pasien harus dirujuk ke
pelayanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis jiwa.
Peralatan
Obat analgetik
Prognosis
Prognosis umumnya bonam karena dapat
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri
Kepala Migrain dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga
University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli,
2006)
2. Blanda, M. Headache, tension. Available
from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda,
2008)
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran
Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer,
2000)
4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type
Headache. Available from: www.aafp.com.
(Millea, 2008)
5. Tension headache. Feb 2009. Available from:
www.mayoclinic.com.
2. MIGREN
No. ICPC-2
: N89 Migraine
No. ICD-10
: G43.9 Migraine, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Migren adalah suatu istilah yang digunakan 5. Mual dengan atau tanpa muntah.
untuk nyeri kepala primer dengan kualitas 6. Fotofobia atau fonofobia.
vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang 7. Sakit kepalanya mereda secara bertahap
diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan pada siang hari dan setelah bangun tidur,
tidur dan depresi. Serangan seringkali berulang kebanyakan pasien melaporkan merasa
dan cenderung tidak akan bertambah parah lelah dan lemah setelah serangan.
setelah bertahun-tahun. Migren bila tidak 8. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala
diterapi akan berlangsung antara 4-72 jam prodormal, seringkali terjadi beberapa jam
dan yang klasik terdiri atas 4 fase yaitu fase atau beberapa hari sebelum onset dimulai.
prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura Pasien melaporkan perubahan mood dan
(kurang lebih 15% kasus), fase nyeri kepala dan tingkah laku dan bisa juga gejala psikologis,
fase postdromal. neurologis atau otonom.

Pada wanita migren lebih banyak ditemukan Faktor Predisposisi


dibanding pria dengan skala 2:1. Wanita hamil
1. Menstruasi biasa pada hari pertama
tidak luput dari serangan migren, pada umumnya
menstruasi atau sebelumnya/ perubahan
serangan muncul pada kehamilan trimester I.
hormonal.
Sampai saat ini belum diketahui dengan 2. Puasa dan terlambat makan
pasti faktor penyebab migren, diduga sebagai 3. Makanan misalnya akohol, coklat, susu,
gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas keju dan buah-buahan.
sistem saraf dan avikasi sistem trigeminal- 4. Cahaya kilat atau berkelip.
vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri 5. Banyak tidur atau kurang tidur
kepala primer. 6. Faktor herediter
7. Faktor kepribadian
Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Keluhan sederhana (Objective)
Suatu serangan migren dapat menyebabkan Pemeriksaan Fisik
sebagian atau seluruh tanda dan gejala, sebagai
berikut: Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal,
pemeriksaan neurologis normal. Temuan-
1. Nyeri moderat sampai berat, kebanyakan temuan yang abnormal menunjukkan sebab-
penderita migren merasakan nyeri hanya sebab sekunder, yang memerlukan pendekatan
pada satu sisi kepala, namun sebagian diagnostik dan terapi yang berbeda.
merasakan nyeri pada kedua sisi kepala.
2. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk- Pemeriksaan Penunjang
tusuk.
1. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan,
3. Rasa nyerinya semakin parah dengan
pemeriksaan ini dilakukan jika ditemukan
aktivitas fisik.
hal-hal, sebagai berikut:
4. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga
a. Kelainan-kelainan struktural, metabolik
dan penyebab lain yang dapat menyerupai Cluster- type hedache (nyeri kepala kluster)
gejala migren.
b. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit Komplikasi
penyerta yang dapat menyebabkan 1. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai
komplikasi. komplikasi yang jarang namun sangat
c. Menentukan dasar pengobatan dan untuk serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh
menyingkirkan kontraindikasi obat-obatan faktor risiko seperti aura, jenis kelamin
yang diberikan. wanita, merokok, penggunaan hormon
2. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit estrogen.
rujukan). 2. Pada migren komplikata dapat menyebabkan
3. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, hemiparesis.
sebagai berikut:
a. Sakit kepala yang pertama atau yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
terparah seumur hidup penderita. Penatalaksanaan
b. Perubahan pada frekuensi keparahan atau
gambaran klinis pada migren. 1. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk
c. Pemeriksaan neurologis yang abnormal. menghindari stimulasi sensoris berlebihan.
d. Sakit kepala yang progresif atau persisten. 2. Bila memungkinkan beristirahat di tempat
e. Gejala-gejala neurologis yang tidak gelap dan tenang dengan dikompres dingin.
memenuhi kriteria migren dengan aura a. Perubahan pola hidup dapat mengurangi
atau hal-hal lain yang memerlukan jumlah dan tingkat keparahan migren,
pemeriksaan lebih lanjut. baik pada pasien yang menggunakan
f. Defisit neurologis yang persisten. obat- obat preventif atau tidak.
g. Hemikrania yang selalu pada sisi yang b. Menghindari pemicu, jika makanan
sama dan berkaitan dengan gejala-gejala tertentu menyebabkan sakit kepala,
neurologis yang kontralateral. hindarilah dan makan makanan yang
h. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi lain. Jika ada aroma tertentu yang dapat
rutin. memicu maka harus dihindari. Secara
i. Gejala klinis yang tidak biasa. umum pola tidur yang reguler dan
pola makan yang reguler dapat cukup
Penegakan Diagnostik (Assessment) membantu.
Diagnosis Klinis c. Berolahraga secara teratur, olahraga
aerobik secara teratur mengurangi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, tekanan dan dapat mencegah migren.
gejala klinis dan pemeriksaan fisik umum dan d. Mengurangi efek estrogen, pada wanita
neurologis. dengan migren dimana estrogen
Kriteria Migren : menjadi pemicunya atau menyebabkan
gejala menjadi lebih parah, atau orang
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan riwayat keluarga memiliki
dengan gejala dua dari nyeri kepala unilateral, tekanan darah tinggi atau stroke
berdenyut, bertambah berat dengan gerakan, sebaiknya mengurangi obat- obatan
intensitas sedang sampai berat ditambah satu yang mengandung estrogen.
dari mual atau muntah, fonofobia atau fotofobia. e. Berhenti merokok, merokok dapat
memicu sakit kepala atau membuat
Diagnosis Banding sakit kepala menjadi lebih parah
Arteriovenous Malformations, Atypical Facial (dimasukkan di konseling).
Pain, Cerebral Aneurysms, Childhood Migraine f. Penggunaan headache diary untuk
Variants, Chronic Paroxysmal Hemicrania, mencatat frekuensi sakit kepala.
g. Pendekatan terapi untuk migren antiemetik dapat diberikan saat serangan
melibatkan pengobatan akut nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu
h. (abortif) dan preventif (profilaksis). pada saat fase prodromal.
3. Pengobatan Abortif: Melihat kembali
rujukan yang ada . 4. Pengobatan preventif:
a. Analgesik spesifik adalah analgesik Pengobatan preventif harus selalu diminum
yang hanya bekerja sebagai analgesik tanpa melihat adanya serangan atau tidak.
nyeri kepala. Lebih bermanfaat untuk Pengobatan dapat diberikan dalam jangka
kasus yang berat atau respon buruk waktu episodik, jangka pendek (subakut),
dengan NSAID. Contoh: Ergotamin, atau jangka panjang (kronis). Pada serangan
Dihydroergotamin, dan golongan episodik diberikan bila faktor pencetus
Triptan yang merupakan agonis selektif dikenal dengan baik, sehingga dapat
reseptor serotonin pada 5-HT1. diberikan analgesik sebelumnya. Terapi
b. Ergotamin dan DHE diberikan pada preventif jangka pendek diberikan apabila
migren sedang sampai berat apabila pasien akan terkena faktor risiko yang
analgesik non spesifik kurang terlihat telah dikenal dalam jangka waktu tertentu,
hasilnya atau memberi efek samping. misalnya migren menstrual. Terapi
Kombinasi ergotamin dengan kafein preventif kronis diberikan dalam beberapa
bertujuan untuk menambah absorpsi bulan bahkan tahun tergantung respon
ergotamin sebagai analgesik. Hindari pasien.
pada kehamilan, hipertensi tidak
terkendali, penyakit serebrovaskuler Farmakoterapi pencegahan migren
serta gagal ginjal.
Tabel 8.3. Farmakoterapi pencegah migren
c. Sumatriptan dapat meredakan nyeri,
mual, fotobia dan fonofobia. Obat ini
diberikan pada migren berat atau yang
tidak memberikan respon terhadap
analgesik non spesifik. Dosis awal
50 mg dengan dosis maksimal 200 mg
dalam 24 jam.
d. Analgesik non spesifik yaitu analgesik
yang dapat diberikan pada nyeri lain
selain nyeri kepala, dapat menolong
pada migren intensitas nyeri ringan
sampai sedang.
Tabel 8.2. Regimen analgesik untuk migren
Komplikasi
1. Obat-obat NSAID seperti Ibuprofen dan
Aspirin dapat menyebabkan efek samping
seperti nyeri abdominal, perdarahan dan
ulkus, terutama jika digunakan dalam dosis
besar dan jangka waktu yang lama.
2. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari
Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala dua atau tiga kali seminggu dengan jumlah
residual ringan atau hilang dalam 2 jam) yang besar, dapat menyebabkan komplikasi
serius yang dinamakan rebound.
Domperidon atau Metoklopropamid
sebagai
Konseling dan Edukasi Prognosis
1. Pasien dan keluarga dapat berusaha Prognosis pada umumnya bonam, namun quo ad
mengontrol serangan. sanationam adalah dubia karena sering terjadi
berulang.
2. Keluarga menasehati pasien untuk
beristirahat dan menghindari pemicu, serta Referensi
berolahraga secara teratur.
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri
3. Keluarga menasehati pasien jika merokok Kepala Migrain. Dalam Kumpulan Makalah
untuk berhenti merokok karena merokok Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan
dapat memicu sakit kepala atau membuat Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga
sakit kepala menjadi lebih parah. University Press. Surabaya.2006.
2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam
Kriteria Rujukan Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Pasien perlu dirujuk jika migren terus Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis
berlanjut dan tidak hilang dengan pengobatan Saraf Indonesia. Airlangga University Press.
analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan Surabaya.2006. (Purnomo,2006)
sekunder (dokter spesialis saraf). 3. Migraine Available at: www.mayoclinic/
disease&condition/topic/migraine.htm
Peralatan
1. Alat pemeriksaan neurologis
2. Obat antimigren

3. VERTIGO
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N17 Vertigo/dizziness
: R42 Dizziness and giddiness
Tingkat Kemampuan 4A (Vertigo Vestibular/ Benign Paroxismal Positional Vertigo (BPPV))

Masalah Kesehatan
lesi di nukleus vestibularis batang otak,
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan thalamus sampai ke korteks serebri.
seseorang atau lingkungan sekitarnya. Persepsi
gerakan bisa berupa: Vertigo merupakan suatu gejala dengan
berbagai penyebabnya, antara lain: akibat
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian
yang timbul pada gangguan vestibular. dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak
2. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, aliran darah ke otak dan lain-lain.
melayang, mengambang yang timbul pada
gangguan sistem proprioseptif atau sistem Secara spesifik, penyebab vertigo, adalah:
visual 1. Vertigo vestibular
Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo Vertigo perifer disebabkan oleh Benign
vestibular, yaitu: Paroxismal Positional Vertigo (BPPV),
Meniere’s Disease, neuritis vestibularis,
1. Vertigo vestibular perifer. Terjadi pada lesi di
oklusi arteri labirin, labirhinitis, obat
labirin dan nervus vestibularis
ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII,
2. Vertigo vestibular sentral. Timbul pada
microvaskular compression, fistel perilimfe.
Vertigo sentral disebabkan oleh migren, CVD, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis.
tumor, epilepsi, demielinisasi, degenerasi.
Vertigo non vestibular
2. Vertigo non vestibular
Sensasi bukan berputar, melainkan rasa
Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, melayang, goyang, berlangsung konstan atau
artrosis servikalis, trauma leher, presinkop, kontinu, tidak disertai rasa mual dan muntah,
hipotensi ortostatik, hiperventilasi, tension serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan
headache, penyakit sistemik. objek sekitarnya seperti di tempat keramaian
misalnya lalu lintas macet.
BPPV adalah gangguan klinis yang sering
terjadi dengan karakteristik serangan Pada anamnesis perlu digali penjelasan
vertigo di perifer, berulang dan singkat, mengenai:
sering berkaitan dengan perubahan posisi
kepala dari tidur, melihat ke atas, kemudian Deskripsi jelas keluhan pasien. Pusing yang
memutar kepala. dikeluhkan dapat berupa sakit kepala, rasa
goyang, pusing berputar, rasa tidak stabil atau
BPPV adalah penyebab vertigo dengan melayang.
prevalensi 2,4% dalam kehidupan
seseorang. Studi yang dilakukan oleh 1. Bentuk serangan vertigo:
Bharton 2011, prevalensi akan meningkat a. Pusing berputar
setiap tahunnya berkaitan dengan b. Rasa goyang atau melayang
meningkatnya usia sebesar 7 kali atau 2. Sifat serangan vertigo:
seseorang yang berusia di atas 60 tahun a. Periodik
dibandingkan dengan 18- b. b. Kontinu
39 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada c. Ringan atau berat
wanita daripada laki-laki. 3. Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat
berupa:
Hasil Anamnesis (Subjective) a. Perubahan gerakan kepala atau posisi
b. Situasi: keramaian dan emosional
Keluhan
c. Suara
Vertigo vestibular 4. Gejala otonom yang menyertai keluhan
vertigo:
Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya a. Mual, muntah, keringat dingin
episodik, diprovokasi oleh gerakan kepala, bisa b. Gejala otonom berat atau ringan
disertai rasa mual atau muntah. 5. Ada atau tidaknya gejala gangguan
Vertigo vestibular perifer timbulnya lebih pendegaran seperti : tinitus atau tuli
mendadak setelah perubahan posisi kepala 6. Obat-obatan yang menimbulkan gejala
dengan rasa berputar yang berat, disertai vertigo seperti: streptomisin, gentamisin,
mual atau muntah dan keringat dingin. Bisa kemoterapi
disertai gangguan pendengaran berupa 7. Tindakan tertentu: temporal bone surgery,
tinitus, atau ketulian, dan tidak disertai gejala transtympanal treatment
neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia, 8. Penyakit yang diderita pasien: DM,
perioralparestesia, paresis fasialis. hipertensi, kelainan jantung
9. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal
Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih wajah satu sisi, perioral numbness, disfagia,
lambat, tidak terpengaruh oleh gerakan kepala. hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia
Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa serebelaris
mual dan muntah, tidak disertai gangguan
pendengaran. Keluhan dapat disertai dengan
gejala neurologik fokal seperti hemiparesis,
Gambaran klinis BPPV: berdiri dengan kedua kaki rapat
dan mata terbuka pasien jatuh,
Vertigo timbul mendadak pada perubahan kemungkinan kelainan pada
posisi, misalnya miring ke satu sisi Pada waktu serebelum. Jika saat mata terbuka
berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk. atau pasien tidak jatuh, tapi saat mata
menegakkan kembali badan, menunduk atau tertutup pasien cenderung jatuh
menengadah. Serangan berlangsung dalam ke satu sisi,kemungkinan kelainan
waktu singkat, biasanya kurang dari 10-30 pada sistem vestibuler atau
detik. Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, proprioseptif (Tes Romberg positif).
bisa disertai rasa mual, kadang-kadang muntah.
Setelah rasa berputar menghilang, pasien bisa • Tes Romberg dipertajam (sharpen
merasa melayang dan diikuti disekulibrium Romberg/tandem Romberg): Jika
selama beberapa hari sampai minggu. BPPV pada keadaan berdiri tandem
dapat muncul kembali. dengan mata terbuka pasien
jatuh, kemungkinan kelainan pada
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang serebelum. Jika pada mata tertutup
sederhana (Objective) pasien cenderung jatuh ke satu sisi,
kemungkinan kelainan pada system
Pemeriksaan Fisik
vestibuler atau proprioseptif.
1. Pemeriksaan umum • Tes jalan tandem: pada kelainan
2. Pemeriksaan sistem kardiovaskuler yang serebelar, pasien tidak dapat
meliputi pemeriksaan tekanan darah pada melakukan jalan tandem dan
saat baring, duduk dan berdiri dengan jatuh ke satu sisi. Pada kelaianan
perbedaan lebih dari 30 mmHg. vestibuler, pasien akan mengalami
deviasi.
3. Pemeriksaan neurologis
• Tes Fukuda(Fukuda stepping test),
a. Kesadaran: kesadaran baik untuk vertigo dianggap abnormal jika saat
vestibuler perifer dan vertigo non berjalan ditempat selama 1 menit
vestibuler, namun dapat menurun pada dengan mata tertutup terjadi
vertigo vestibuler sentral. deviasi ke satu sisi lebih dari 30
b. Nervus kranialis: pada vertigo derajat atau maju mundur lebih
vestibularis sentral dapat mengalami dari satu meter.
gangguan pada nervus kranialis III, IV, • Tes past pointing, pada kelainan
VI, V sensorik, VII, VIII, IX, X, XI, XII. vestibuler ketika mata tertutup
c. Motorik: kelumpuhan satu sisi maka jari pasien akan deviasi ke
(hemiparesis). arah lesi. Pada kelainan serebelar
d. Sensorik: gangguan sensorik pada satu akan terjadi hipermetri atau
sisi (hemihipestesi). hipometri.
e. Keseimbangan (pemeriksaan khusus Pemeriksaan Penunjang
neurootologi):
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai
• Tes nistagmus: Nistagmus dengan etiologi.
disebutkan berdasarkan komponen
cepat, sedangkan komponen lambat Penegakan diagnostik (Assessment)
menunjukkan lokasi lesi: unilateral, Diagnosis Klinis
perifer, bidireksional, sentral.
• Tes Romberg: Jika pada keadaan Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
Tabel 8.4. Perbedaan vertigo vestibuler dan non dengan cepat ke salah satu sisi, pertahankan
vestibuler selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali.
Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke
sisi lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu
duduk kembali. Lakukan latihan ini 3 kali
pada pagi, siang dan malam hari masing-
masing diulang 5 kali serta dilakukan
selama 2 minggu atau 3 minggu dengan
latihan pagi dan sore hari.

Tabel 8.5. Perbedaan vertigo perifer dengan 3. Karena penyebab vertigo beragam,
vertigo sentral sementara penderita sering kali merasa
sangat terganggu dengan keluhan
vertigo tersebut, seringkali menggunakan
pengobatan simptomatik. Lamanya
pengobatan bervariasi. Sebagian besar
kasus terapi dapar dihentikan setelah
beberapa minggu. Beberapa golongan yang
sering digunakan:
a. Antihistamin (Dimenhidrinat atau
Difenhidramin)
Diagnosis Banding : • Dimenhidrinat lama kerja obat ini
Seperti tabel di bawah ini, yaitu: ialah 4-6 jam. Obat dapat diber
per oral atau parenteral (suntikan
Tabel 8.6. Diagnosis banding gangguan intramuskular dan intravena),
neurologi dengan dosis 25 mg-50 mg (1
tablet), 4 kali sehari.
• Difenhidramin HCl. Lama aktivitas
obat ini ialah 4-6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul)-50
mg, 4 kali sehari per oral.
• Senyawa Betahistin (suatu analog
histamin):
Betahistin Mesylate dengan dosis 12
mg, 3 kali sehari per oral.
Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg,
3 kali sehari. maksimum 6 tablet dibagi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) dalam beberapa dosis.
Penatalaksanaan b. Kalsium Antagonis
1. Pasien dilakukan latihan vestibular Cinnarizine, mempunyai khasiat
(vestibular exercise) dengan metode menekan fungsi vestibular dan dapat
BrandDaroff. mengurangi respons terhadap akselerasi
angular dan linier. Dosis biasanya ialah
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg
dengan kedua tungkai tergantung, dengan sehari.
kedua mata tertutup baringkan tubuh
Terapi BPPV: 5. Obat antihistamin
6. Obat antagonis kalsium
1. Komunikasi dan informasi:
2. Karena gejala yang timbul hebat, pasien Prognosis
menjadi cemas dan khawatir akan adanya Pada BPPV, prognosis umumnya baik, namun
penyakit berat seperti stroke atau tumor BPPV sering terjadi berulang.
otak. Oleh karena itu, pasien perlu diberikan
penjelasan bahwa BPPV bukan sesuatu Referensi
yang berbahaya dan prognosisnya baik
1. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman
serta hilang spontan setelah beberapa
Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan Dokter
waktu, namun kadang-kadang dapat
Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012.
berlangsung lama dan dapat kambuh
(Kelompok Studi Vertigo, 2012)
kembali.
2. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis
3. Obat antivertigo seringkali tidak diperlukan
and management in primary care. BJMP.
namun apabila terjadi dis-ekuilibrium pasca
2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
BPPV, pemberian betahistin akan berguna
untuk mempercepat kompensasi. 3. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of
vertigo, migraine and vestibular migraine.
Terapi BPPV kanal posterior: Journal Neurology. 2009:25:333-338.
1. Manuver Epley (Lempert & Neuhauser, 2009)
2. Prosedur Semont 4. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of
3. Metode Brand Daroff Vertigo.Journal American Family Physician.
2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
Rencana Tindak Lanjut
5. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis
Vertigo pada pasien perlu pemantauan untuk Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008. (Mardjono
mencari penyebabnya kemudian dilakukan & Sidharta, 2008)
tatalaksana sesuai penyebab. 6. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium
Konseling dan Edukasi Neurology:Systematic Approach that Needed
for establish of Vertigo. The Practitioner.
1. Keluarga turut mendukung dengan 2010; 254 (1732) p. 19-23. (Turner & Lewis,
memotivasi pasien dalam mencari 2010)
penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai
7. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition:
penyebab.
Approach to the Patient with Dizziness and
2. Mendorong pasien untuk teratur Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot.
melakukan latihan vestibular. William and Wilkins. 2009 (Chain, 2009)
Kriteria Rujukan
1. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera
dirujuk.
2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo
vestibular setelah diterapi farmakologik dan
non farmakologik.
Peralatan
1. Palu refleks
2. Sphygmomanometer
3. Termometer
4. Garpu tala (penala)
4. TETANUS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N72 Tetanus
: A35 Other tetanus
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia,


Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
disebabkan oleh tetanospasmin. Penyakit ini kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
ditandai dengan spasme tonik persisten, disertai berkembang menjadi tetanus umum dan
serangan yang jelas dan keras. Tetanospasmin prognosisnya biasanya jelek.
adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh 3. Tetanus umum/generalisata
Clostridium tetani. Tetanospasmin menghambat Gejala klinis dapat berupa berupa trismus,
neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga tidak iritable, kekakuan leher, susah menelan,
terjadi hambatan aktivitas refleks otot. Spasme kekakuan dada dan perut (opistotonus),
otot dapat terjadi lokal (disekitar infeksi), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta
sefalik (mengenai otot-otot cranial), atau umum kejang umum yang dapat terjadi dengan
atau generalisata (mengenai otot-otot kranial rangsangan ringan seperti sinar, suara dan
maupun anggota gerak dan batang tubuh). sentuhan dengan kesadaran yang tetap
Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher baik.
dan rahang yang mengakibatkan penutupan
rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan 4. Tetanus neonatorum
otot otot ekstremitas dan batang tubuh. Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir,
disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala
Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus yang sering timbul adalah ketidakmampuan
adalah penyalahguna obat yang menggunakan untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti
suntikan. oleh kekakuan dan spasme.
Hasil Anamnesis (Subjective) Faktor Risiko: -
Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari sederhana (Objective)
kekakuan otot setempat, trismus, sampai kejang Pemeriksaan Fisik
yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri
atas 4 macam yaitu: Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat,
trismus sampai kejang yang hebat.
1. Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme 1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan
yang menetap disertai rasa sakit pada otot spasme yang menetap.
disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal 2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus,
dapat berkembang menjadi tetanus umum. rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
2. Tetanus sefalik kranial.
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah 3. Pada tetanus umum/generalisata adanya:
dengan masa inkubasi trismus, kekakuan leher, kekakuan dada dan
perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan
1-2 hari, yang disebabkan oleh luka serta ekstensi tungkai, kejang umum yang
pada daerah kepala atau otitis media dapat terjadi dengan rangsangan ringan
seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik. 5. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk
4. Pada tetanus neonatorum ditemukan puerpurium dan tetanus neonatorum
kekakuan dan spasme dan posisi tubuh (kematian 84%).
klasik: trismus, kekakuan pada otot Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi
punggung menyebabkan opisthotonus dari klasifikasi Albleet’s:
yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi
mempertahankan ekstremitas atas fleksi 1. Grade 1 (ringan)
pada siku dengan tangan mendekap dada, Trismus ringan sampai sedang, spamisitas
pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak
ekstremitas bawa hiperekstensi dengan ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari- 2. Grade 2 (sedang)
jari kaki. Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme
ringan atau sedang namun singkat, penyulit
Pemeriksaan Penunjang pernafasan sedang dengan takipneu.
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang 3. Grade 3 (berat)
spesifik. 4. Trismus berat, spastisitas umum, spasme
spontan yang lama dan sering, serangan
Penegakan Diagnostik (Assessment) apneu, disfagia berat, spasme memanjang
spontan yang sering dan terjadi refleks,
Diagnosis Klinis
penyulit pernafasan disertai dengan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf
dan riwayat imunisasi. otonom sedang yang terus meningkat.
5. Grade 4 (sangat berat)
Tingkat keparahan tetanus: 6. Gejala pada grade 3 ditambah gangguan
Kriteria Pattel Joag otonom yang berat, sering kali menyebabkan
“autonomic storm”.
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas,
disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang Diagnosis Banding
2. Kriteria 2: Spasme,tanpa mempertimbangkan Meningoensefalitis, Poliomielitis, Rabies, Lesi
frekuensi maupun derajat keparahan orofaringeal, Tonsilitis berat, Peritonitis, Tetani
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari (timbul karena hipokalsemia dan
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal fosfat dalam serum rendah), keracunan
100ºF (> 400 C), atau aksila 99ºF ( 37,6 ºC ). Strychnine, reaksi fenotiazine
Grading Komplikasi
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu 1. Saluran pernapasan
kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia,
kematian) atelektasis akibat obstruksi oleh sekret,
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, pneumotoraks dan mediastinal emfisema
biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa biasanya terjadi akibat dilakukannya
inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih trakeostomi.
dari 48 jam (kematian 10%) 2. Kardiovaskuler
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang
biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari meningkat antara lain berupa takikardia,
atau onset kurang dari 48 jam (kematian hipertensi, vasokonstriksi perifer dan
32%) rangsangan miokardium.
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat
minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
3. Tulang dan otot d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih
Pada otot karena spasme yang dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus
berkepanjangan bisa terjadi perdarahan imunoglobulin (TIg) harus diberikan.
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi Keparahan luka bukan faktor penentu
fraktura kolumna vertebralis akibat kejang pemberian TIg
yang terus-menerus terutama pada anak 3. Pengawasan, agar tidak ada hambatan
fungsi respirasi.
dan orang dewasa. Beberapa peneliti
4. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang
melaporkan juga dapat terjadi miositis luar seperti suara, cahaya-ruangan redup
ossifikans sirkumskripta. dan tindakan terhadap penderita.
4. Komplikasi yang lain 5. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus kalori per hari dengan 100-150 gr protein.
karena penderita berbaring dalam satu Bentuk makanan tergantung kemampuan
posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi membuka mulut dan menelan. Bila ada
sekunder atau toksin yang menyebar luas trismus, makanan dapat diberikan per sonde
dan mengganggu pusat pengatur suhu. atau parenteral.
6. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) bila perlu.
7. Antikonvulsan diberikan secara titrasi,
Penatalaksanaan sesuai kebutuhan dan respon klinis.
1. Manajemen luka zepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila
penderita datang dalam keadaan kejang
Pasien tetanus yang diduga menjadi maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/
port de entry masuknya kuman C. tetani kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan
harus mendapatkan perawatan luka. Luka dosis optimum 10mg/kali diulang setiap
dapat menjadi luka yang rentan mengalami kali kejang. Kemudian diikuti pemberian
tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus Diazepam per oral (sonde lambung) dengan
dengan kriteria sebagai berikut: dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali.
Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari.
Tabel 8.7 Manajemen luka tetanus Bila masih kejang (tetanus yang sangat
berat), harus dilanjutkan dengan bantuan
ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat
ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan
bantuan ventilasi mekanik, dengan atau
tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat
pula dipertimbangkan digunakan bila ada
gangguan saraf otonom.
8. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan,
tetapi sebelumnya diperlukan skin tes untuk
hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu,
diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit
dengan infus IV lambat. Jika pembedahan
eksisi luka memungkinkan, sebagian
2. Rekomendasi manajemen luka traumatik antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka.
a. Semua luka harus dibersihkan dan 9. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of
jika perlu dilakukan debridemen. choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta
b. Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari.
didapatkan. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat
c. TT harus diberikan jika riwayat booster diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV
terakhir lebih dari 10 tahun jika setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian
riwayat imunisasi tidak diketahui, TT antibiotik di atas dapat mengeradikasi
dapat diberikan.
Clostridium tetani tetapi tidak dapat 1. Sarana pemeriksaan neurologis
mempengaruhi proses neurologisnya. 2. Oksigen
10. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian 3. Infus set
antibiotika spektrum luas dapat dilakukan. 4. Obat antikonvulsan
Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol
dapat diberikan, terutama bila penderita Prognosis
alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/ Tetanus dapat menimbulkan kematian dan
hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/ gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati
kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh
Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi
selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C.
11. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang tetani.
pertama, dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang Referensi
berbeda dengan alat suntik yang berbeda.
Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam
0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 Infeksi pada sistem saraf. Perdossi. 2012.
jam pertama. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)
12. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai 2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK
13. Mengatur keseimbangan cairan dan UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006)
elektrolit. 3. 3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika,
S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam:
Konseling dan Edukasi Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih,
S.E. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Peran keluarga pada pasien dengan risiko Kesehatan Anak.Ed3. Bandung: FKUP/RSHS.
terjadinya tetanus adalah memotivasi untuk 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005)
dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS. 4. 4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M.
Rencana Tindak Lanjut Oxbury, J.Eds. Clinical Neurology. Edinburg:
Churchill Livingstone. 1991; 865- 871.
1. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai (Rauscher, 1991)
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 5. 5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B.
Pengulangan dilakukan 8 minggu Nelson Textbook of Pediatrics. Vol 1.
kemudian dengan dosis yang sama dengan 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004.
dosis inisial. (Behrman, et al., 2004)
2. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian. 6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri Rejeki,
3. Subsequent booster, diberikan 5 tahun S.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi &
berikutnya. Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan Dokter Anak
4. Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan Indonesia. (Poowo, et al., t.thn.)
setempat. 7. WHO News and activities. The Global
Eliination of neonatal tetanus: progress to
Kriteria Rujukan date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World
1. Bila tidak terjadi perbaikan setelah Health Organization, 1994)
penanganan pertama. 8. Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and
2. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem Physical Agents on the Nervous System. In
pernapasan. Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology
3. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan in Clinical Practice. Vol 1: Principles of
kesehatan sekunder yang memiliki dokter Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
spesialis neurologi. Philadelphia, 2012:1369-1370. (Aminoff &
So, 2012)
Peralatan
5. RABIES
No. ICPC-2
: A77 Viral disease other/NOS
No. ICD-10
: A82.9 Rabies, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring


Rabies adalah infeksi virus yang menjalar dan otot pernapasan dapat ditimbulkan
ke otak melalui saraf perifer. Perjalanan virus oleh rangsangan sensoris misalnya dengan
untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya meniupkan udara ke muka penderita. Pada
mengambil masa beberapa bulan. Masa stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis,
inkubasi dari penyakit ini 1-3 bulan, tapi dapat konvulsan, dan takikardia. Tindak tanduk
bervariasi antara 1 minggu sampai beberapa penderita tidak rasional kadang maniakal
tahun, tergantung juga pada seberapa jauh jarak disertai dengan responsif. Gejala eksitasi
masuknya virus ke otak. Penyakit infeksi akut terus berlangsung sampai penderita
sistem saraf pusat (ensefalitis) ini disebabkan meninggal.
oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa- 4. Stadium paralisis
virus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi Sebagian besar penderita rabies meninggal
manusia, terutama melalui gigitan hewan yang dalam stadium sebelumnya, namun kadang
terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala, ditemukan pasien yang tidak menunjukkan
kelelawar). Beberapa kasus dilaporkan infeksi gejala eksitasi melainkan paresis otot yang
melalui transplantasi organ dan paparan udara terjadi secara progresif karena gangguan
(aerosol). Rabies hampir selalu berakibat fatal pada medulla spinalis.
jika post-exposure prophylaxis tidak diberikan
sebelum onset gejala berat. Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai
masa inkubasi 3-8 minggu. Gejala-gejala
Hasil Anamnesis (Subjective) jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya
Keluhan timbul sesudah 12 minggu. Mengetahui port
de entry virus tersebut secepatnya pada tubuh
1. Stadium prodromal pasien merupakan kunci untuk meningkatkan
Gejala awal berupa demam, malaise, mual pengobatan pasca gigitan (post exposure
dan rasa nyeri di tenggorokan selama therapy). Pada saat pemeriksaan, luka gigitan
beberapa hari. mungkin sudah sembuh bahkan mungkin telah
dilupakan. Tetapi pasien sekarang mengeluh
2. Stadium sensoris
tentang perasaan (sensasi) yang lain ditempat
Penderita merasa nyeri, merasa panas bekas gigitan tersebut. Perasaan itu dapat
disertai kesemutan pada tempat bekas luka berupa rasa tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar
kemudian disusul dengan gejala cemas, dan (panas), berdenyut dan sebagainya.
reaksi yang berlebihan terhadap rangsang
sensoris. Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit,
tercakar atau kontak dengan anjing, kucing, atau
3. Stadium eksitasi
binatang lainnya yang:
Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi
meninggi dan gejala hiperhidrosis, 1. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak
hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil hewan tersangka)
dilatasi. Hal yang sangat khas pada stadium 2. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit
ini adalah munculnya macam- macam fobia bukan dibunuh)
3. Tak dapat diobservasi setelah menggigit
(dibunuh, lari, dan sebagainya) minggu.
4. Tersangka rabies (hewan berubah sifat,
malas makan, dan lain- lain). Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise,
anoreksia, kadang ditemukan parestesia pada
Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi daerah gigitan.
antara 7 hari sampai 7 tahun. Lamanya
masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif,
besarnya luka gigitandan lokasi luka gigitan demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring
(jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajat terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris
patogenitas virus dan persarafan daerah luka spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan
gigitan). Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, aerofobia.
dan pada ekstremitas 46-78 hari. Diagnosis Banding
Faktor Risiko : - Tetanus, Ensefalitis, lntoksikasi obat-obat,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Japanese encephalitis, Herpes simplex,
Sederhana (Objective) Ensefalitis post-vaksinasi.

Pemeriksaan Fisik Komplikasi

1. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan 1. Gangguan hipotalamus: diabetes insipidus,


mungkin sudah sembuh bahkan mungkin disfungsi otonomik yang menyebabkan
telah dilupakan. hipertensi, hipotensi, hipo/hipertermia,
2. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal aritmia dan henti jantung.
dan parestesia pada luka bekas gigitan 2. Kejang dapat lokal atau generalisata, sering
yang sudah sembuh (50%), mioedema bersamaan dengan aritmia dan dyspneu.
(menetap selama perjalanan penyakit). Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Jika sudah terjadi disfungsi batang otak
maka terdapat: hiperventilasi, hipoksia, Penatalaksanaan
hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf 1. Isolasi pasien penting segera setelah
otonom, sindroma abnormalitas ADH, diagnosis ditegakkan untuk menghindari
paralitik/ paralisis flaksid. rangsangan-rangsangan yang bisa
4. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma menimbulkan spasme otot ataupun untuk
dan kematian. mencegah penularan.
5. Tanda patognomonis 2. Fase awal: Luka gigitan harus segera
6. Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran dicuci dengan air sabun (detergen) 5-10
fluktuatif, demam tinggi yang persisten, menit kemudian dibilas dengan air
nyeri pada faring terkadang seperti rasa bersih, dilakukan debridement dan
tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, diberikan desinfektan seperti alkohol 40-
kejang, hidrofobia dan aerofobia. 70%, tinktura yodii atau larutan ephiran.
Pemeriksaan Penunjang Jika terkena selaput lendir seperti mata,
hidung atau mulut, maka cucilah kawasan
Hasil pemeriksaan laboratorium kurang tersebut dengan air lebih lama; pencegahan
bermakna. dilakukan dengan pembersihan luka dan
vaksinasi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk
Diagnosis Klinis penderita rabies yang sudah menunjukkan
gejala rabies. Penanganan hanya berupa
Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan tindakan suportif berupa penanganan gagal
(+) dan hewan yang menggigit mati dalam 1 jantung dan gagal nafas.
4. Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) bila Kriteria Rujukan
serumheterolog (berasal dari serum kuda)
Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi 1. Penderita rabies yang sudah menunjukkan
pada luka sebanyak-banyaknya, sisanya gejala rabies.
disuntikkan secara IM. Skin test perlu 2. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
dilakukan terlebih dahulu. Bila serum sekunder yang memiliki dokter spesialis
homolog (berasal dari serum manusia) neurolog.
dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara yang Peralatan
sama.
5. Pemberian serum dapat dikombinasikan 1. Cairan desinfektan
dengan Vaksin Anti 2. Serum Anti Rabies
6. Rabies (VAR) pada hari pertama kunjungan. 3. Vaksin Anti Rabies
7. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) Prognosis
dalam waktu 10 hari infeksi yang dikenal
sebagai post-exposure prophylaxis atau Prognosis pada umumnya buruk, karena
“PEP”VAR secara IM pada otot deltoid atau kematian dapat mencapai 100% apabila
anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml virus rabies mencapai SSP. Prognosis selalu
pada hari 0, 3, 7,14, 28 (regimen Essen atau fatal karena sekali gejala rabies terlihat,
rekomendasi WHO), atau pemberian VAR hampir selalu kematian terjadi dalam 2-3 hari
0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/ sesudahnya, sebagai akibat gagal napas atau
rekomendasi Depkes RI). henti jantung. Jika dilakukan perawatan
8. Pada orang yang sudah mendapat vaksin awal setelah digigit anjing pengidap rabies,
rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila seperti pencucian luka, pemberian VAR dan SAR,
digigit binatang tersangka rabies, vaksin maka angka survival mencapai 100%.
cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3,
namun bila gigitan berat vaksin diberikan Referensi
lengkap. 1. Harijanto, Paul N dan Gunawan, Carta A.
9. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
daerah leher ke atas, pada jari tangan ke 4. Jakarta: FKUI. 2006. Hal 1736-9.
dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB 2. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to
dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah RNA viruses: Harrisons Internal Medicine
setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka 16th edition. McGraw Hill. Medical
dan setengah dosis IM pada tempat yang Publishing Division. 2005. (Braunwald, et
berlainan dengan suntikan SAR, diberikan al., 2009)
pada hari yang sama dengan dosis pertama 3. The Merk Manual of Medical information.
SAR. Rabies, brain and spinal cord disorders,
infection of the brain and spinal cord.2006.
Konseling dan Edukasi
p: 484-486.
1. Keluarga ikut membantu dalam halpenderita 4. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic
rabies yang sudah menunjukan gejala rabies Press. 2002. p. 290. (Jackson & Wunner,
untuk segera dibawa untuk penanganan 2002)
segera ke fasilitas kesehatan. Pada pasien 5. Davis L.E. King, M.K. Schultz,
yang digigit hewan tersangka rabies, J.LFundamentals of neurologic disease.
keluarga harus menyarankan pasien untuk Demos Medical Publishing, LLc. 2005. p: 73.
vaksinasi. (Davis, et al., 2005)
2. Laporkan kasus rabies ke dinas kesehatan 6. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable
setempat. diagnosis of human rabies based on analysis
of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47
(11): 1410-1417. 2008. (Reynes and Buchy,
2008) 9. 9. Ranjan. Remnando. Rabies, tropical
7. 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for infectious disease epidemiology,
Disease Control and Prevention. 2007. investigation, diagnosis and management.
Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/ 2002. Hal 291-297. (Beckham, et al., t.thn.)
diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12. 10. Beckham JD, Solbrig MV, Tyler KL. Infection
(Centers for Disease Control and Prevention of the Nervous System. Viral Encephalitis
, 2007) and Meningitis. In Darrof RB et al (Eds).
8. Kumar.Clark. Rhabdoviruses Rabies. Clinical Bradley’s Neurology Clinical Practice. Vol 1:
Medicine. W.B Saunders Company Ltd. 2006. Principles of Diagnosis and Management.
Hal 57-58. (Kumar, 2006) 6th ed. Elsevier, Philadelphia, pp. 1252-
1253.

6. MALARIA SEREBRAL
No. ICPC-2 No.ICD-10 : A73 Malaria
: Plasmodium falciparum with cerebral complication
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Malaria Serebral merupakan salah satu Sederhana (Objective)
komplikasi infeksi dari Plasmodium falciparum Pemeriksaan Fisik
dan merupakan komplikasi berat yang paling
sering ditemukan serta penyebab kematian Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:
utama pada malaria. Diperkirakan sekitar 1-3 1. Penurunan kesadaran yang dapat didahului
juta orang meninggal diseluruh dunia setiap mengantuk, kebingungan, disorientasi,
tahunnya karena malaria serebral, terutama delirium atau agitasi namun kaku kuduk dan
pada anak-anak. rangsang meningeal lain tidak ditemukan
dan dapat berlanjut menjadi koma.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Kaku kuduk biasanya negatif, hiperekstensi
Keluhan leher terjadi pada kasus berat
3. Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai
Pasien dengan malaria Serebral biasanya nistagmus dan deviasi conjugee
ditandai oleh 4. Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan
retina yang pucat, perdarahan retina (6-37%
1. Trias malaria (menggigil, demam,
berkeringat) kasus), edema papil dan cotton wool spots.
2. Penurunan kesadaran berat 5. Gejala neurologi yang sering adalah lesi
3. Disertai kejang upper motor neuron, tonus otot dan reflex
tendon meningkat (tetapi dapat juga normal
Faktor Risiko
ataupun menurun), refleks babinsky positif
1. Tinggal atau pernah berkunjung ke daerah
endemik malaria Pemeriksaan Penunjang
2. Riwayat terinfeksi Plasmodium falciparum 1. Pemeriksaan apusan darah
Bisa ditemukan adanya Plasmodium
falciparum aseksual pada penderita yang
mengalami penurunan kesadaran
2. Pemeriksaan darah rutin dan gula darah
Penegakan Diagnostik (Assessment) kontak dengan nyamuk anopheles baik
dengan menggunakan kelambu maupun
Diagnosis Klinis reppelen
Diagnosis malaria serebral ditegakkan dengan 3. Hindari aktivitas di malam hari khususnya
ditemukannya Plasmodium falciparum bentuk bagi mereka yang tinggal atau bepergian ke
aseksual pada pemeriksaan apusan darah tepi daerah endemik malaria
pasien dengan penurunan kesadaran berat
Peralatan
(koma), walaupun semua gangguan kesadaran
(GCS<15) harus dianggap dan diterapi sebagai 1. Laboratorium untuk pemeriksaan apusan
malaria berat. Gangguan kesadaran pada darah tebal
malaria dapat pula disebabkan oleh demam 2. Laboratoriumuntuk pemeriksaan darah rutin
yang tinggi, hipoglikemia, syok, ensefalopati dan gula darah
uremikum, ensefalopati hepatikum, sepsis. 3. Termometer
Semua penderita dengan demam dan penurunan 4. Stetoskop
kesadaran seyogyanya didiagnosis banding 5. Tensi
sebagai malaria serebral, khususnya jika 6. Senter
penderita tinggal atau pernah berkunjung ke 7. Palu reflex
daerah endemik malaria. 8. Funduskopi
Diagnosis Banding: Prognosis
Infeksi virus, bakteri, jamur (cryptococcal), 1. Ad Vitam: Dubia ad Malam
protozoa (African Trypanosomiasis), 2. AdFunctionam: Dubia et Malam
Meningoensefalitis, Abses serebral, Trauma 3. Ad Sanationam: Dubia
kepala, Stroke, intoksikasi, gangguan metabolik
Referensi
Komplikasi:
1. Gunawan C, Malaria Serebral dan
Gagal ginjal akut, ikterus, asidosis metabolik, penanganannya dalam Malaria dari
hipoglikemia, hiperlaktemia, hipovolemia, Molekuler ke Klkinis EGC. Jakarta 2012.
edema paru, sindrom gagal nafas akut (Gunawan, 2012)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
Semua pasien yang didiagnosis dengan malaria
serebral harus dipastikan jalan nafas lancar dan
pernafasan dibantu dengan oksigen, setelah
penatalaksanaan suportif seperti pemberian
cairan agar segera dirujuk ke fasilitas layanan
kesehatan sekunder
Kriteria Rujukan
Pasien dengan Malaria Serebral agar segera
dirujuk ke RS Edukasi dan Konseling:
1. Konsultasi ke dokter untuk penggunaan
kemoprofilaksis bagi mereka yang hendak
berkunjung ke daerah endemic malaria
2. Malaria bisa dicegah dengan menghindari
7. EPILEPSI
No. ICPC-2
: N88 Epilepsy
No. ICD-10
: G40.9 Epilepsy, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan bangkitan


Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan Keadaan penyandang saat bangkitan:
yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang duduk/berdiri/bebaring/tidur/berkemih.
berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi
provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan awal/speech arrest)
bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis Pola/bentuk yang tampak selama
yang disebabkan oleh aktivitas listrik yang bangkitan: gerakan tonik/klonik,
abnormal dan berlebihan dari sekelompok vokalisasi, otomatisme, inkontinensia,
neuron di otak. lidah tergigit, pucat berkeringat, deviasi
mata.
Etiologi epilepsi: Keadaan setelah kejadian: bingung,
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
di otak atau defisit neurologis dan gelisah, Todd’s paresis.
diperkirakan tidak mempunyai predisposisi Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur,
genetik dan umumnya berhubungan dengan hormonal.
usia. Jumlah pola bangkitan satu atau lebih,
2. Kriptogenik: dianggap simptomatik tetapi atau terdapat perubahan pola bangkitan.
penyebabnya belum diketahui, termasuk b. Penyakit lain yang mungkin diderita
disini sindromaWest, sindroma Lennox- sekarang maupun riwayat penyakit
Gastaut, dan epilepsi mioklonik. neurologik dan riwayat penyakit
psikiatrik maupun penyakit sistemik
3. Simptomatik: bangkitan epilepsi
disebabkan oleh kelainan/lesi yang mungkin menjadi penyebab.
4. struktural pada otak, misalnya cedera kepala, c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan,
infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak interval terpanjang antar bangkitan.
ruang, gangguan peredaran darah otak, d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan
toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan respon terhadap terapi (dosis, kadar
neurodegeneratif. OAE, kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam
Hasil Anamnesis (Subjective) keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis neurologik lain, penyakit psikitrik atau
epilepsi, yaitu: sistemik.
1. Langkah pertama: memastikan apakah g. Riwayat pada saat dalam kandungan,
kejadian yang bersifat paroksismal merupakan kelahiran dan perkembangan
bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus, bayi/anak.
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang
berdasarkan informasi yang diperoleh dari demam.
anamnesis baik auto maupun allo-anamnesis i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
dari orang tua maupun saksi mata yang lain. 2. Langkah kedua: apabila benar terdapat
a. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan epilepsi, maka tentukan
bangkitan tersebut bangkitan yang mana
(klasifikasi ILAE 1981).
3. Langkah ketiga: menentukan etiologi, Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
sindrom epilepsi, atau penyakit epilepsi pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
apa yang diderita pasien dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE 1989. Diagnosis Banding
Langkah ini penting untuk menentukan Sinkop, Transient Ischemic Attack, Vertigo,
prognosis dan respon terhadap OAE (Obat Global amnesia, Tics dan gerakan involunter
Anti Epilepsi).
Komplikasi : -
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana (Objective) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah Sebagai dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan tingkat pertama, bila pasien terdiagnosis
yang berhubungan dengan epilepsi seperti sebagai epilepsi, untuk penanganan awal pasien
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, harus dirujuk ke dokter spesialis saraf.
gangguan kongenital,
1. OAE diberikan bila:
kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal.
b. Pastikan faktor pencetus dapat
Pemeriksaan neurologis dihindari (alkohol, stress, kurang tidur,
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan dan lain-lain)
neurologik sangat tergantung dari interval c. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam
antara dilakukannya pemeriksaan dengan setahun
bangkitan terakhir.
d. Penyandang dan atau keluarganya
1. Jika dilakukan pada beberapa menit atau sudah menerima penjelasan terhadap
jam setelah bangkitan maka akan tampak tujuan pengobatan
tanda pasca iktal terutama tanda fokal
e. Penyandang dan/atau keluarganya telah
seperti todds paresis (hemiparesis setelah
diberitahu tentang kemungkinan efek
kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic
samping yang timbul dari OAE
syndrome (afasia sesaat) yang tidak jarang
dapat menjadi petunjuk lokalisasi. 2. Terapi dimulai dengan monoterapi
2. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
bangkitan terakhir berlalu, sasaran utama jenis bangkitan (tabel 1) dan jenis sindrom
adalah menentukan apakah ada tanda- epilepsi:
tanda disfungsi system saraf permanen
(epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang 3. Tabel 8.8. Obat Anti Epilepsi (OAE) pilihan
apakah ada tanda-tanda peningkatan sesuai dengan jenis bangkitan epilepsi
tekanan intrakranial.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG,
pemeriksaan pencitraan otak, pemeriksaan
laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar
OAE.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Tabel 8.9. Dosis Obat Anti Epilepsi (OAE)
4. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah SSP.
dan dinaikkan bertahap sampai dosis h. Bangkitan pertama berupa status
efektif tercapai atau timbul efek samping. epileptikus.
Kadar obat dalam darah i. Namun hal ini dapat dilakukan di
ditentukan bila bangkitan tidak pelayanan kesehatan sekunder
terkontroldengan dosis efektif.
8. Efek samping perlu diperhatikan, demikian
Bila diduga ada perubahan
pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik OAE (kehamilan, penyakit
farmakokinetik antar OAE.
hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi
OAE), diduga penyandang epilepsi tidak 9. Strategi untuk mencegah efek samping:
patuh pada pengobatan. Setelah pengobatan a. Mulai pengobatan dengan
dosis regimen OAE, dilihat interaksi antar mempertimbangkan keuntungan dan
OAE atau obat lain. Pemeriksaan interaksi kerugian pemberian terapi
obat ini dilakukan rutin setiap tahun pada b. Pilih OAE yang paling cocok untuk
penggunaan phenitoin. karakteristik penyandang
5. Bila pada penggunaan dosis maksimum c. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil
OAE tidak dapat mengontrol dan rumatan terkecil mengacu pada
bangkitan, maka dapat dirujuk kembali sindrom epilepsi dan karaktersitik
untuk mendapatkan penambahan OAE penyandang epilepsi
kedua. Bila OAE kedua telah mencapai 10. OAE dapat dihentikan pada keadaan:
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan a. Setelah minimal 2 tahun bebas
bertahap (tapering off) perlahan-lahan. bangkitan.
6. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan di b. Gambaran EEG normal.
layanan sekunder atau tersier setelah c. Harus dilakukan secara bertahap, pada
terbukti tidak dapat diatasi dengan umumnya 25% dari dosis semula setiap
penggunaan dosis maksimal kedua OAE bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
pertama.
d. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka
7. Penyandang dengan bangkitan tunggal penghentian dimulai dari 1 OAE yang
direkomendasikan untuk dimulai terapi bila bukan utama.
kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bila:
e. Keputusan untuk menghentikan OAE
a. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada dilakukan pada tingkat pelayanan
EEG. sekunder/tersier.
b. Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI 11. Kekambuhan setelah penghentian OAE
Otak dijumpai lesi yang berkorelasi akan lebih besar kemungkinannya pada
dengan bangkitan: meningioma, keadaan sebagai berikut:
neoplasma otak, AVM, abses otak,
a. Semakin tua usia, kemungkinan
ensephalitis herpes.
kekambuhan semakin tinggi.
c. Pada pemeriksaan neurologik
b. Epilepsi simptomatik.
dijumpai kelainan yang mengarah
pada adanya kerusakan otak. c. Gambaran EEG abnormal.
d. Terdapatnya riwayat epilepsi pada d. Semakin lama adanya bangkitan
saudara sekandung (bukan orang tua). sebelum dapat dikendalikan.
e. Riwayat bangkitan simptomatik. e. Penggunaan lebih dari satu OAE.
f. Terdapat sindrom epilepsi yang f. Mendapatkan satu atau lebih
berisiko tinggi seperti JME (Juvenile bangkitan setelah memulai terapi.
Myoclonic Epilepsi). g. Mendapat terapi setelah 10 tahun.
g. Riwayat trauma kepala disertai
penurunan kesadaran, stroke, infeksi
Tabel 8.10. Efek samping Obat Anti Epilepsi Kriteria Rujukan
(OAE)
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka
pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder
yang memiliki dokter spesialis saraf.
Peralatan
Tersedia Obat Anti Epilepsi
Konseling dan Edukasi
1. Penting untuk memberi informasi kepada
keluarga bahwa penyakit ini tidak menular
2. Kontrol pengobatan merupakan hal penting
bagi penderita
3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi
utamanya anak-anak perlu pendampingan
sehingga lingkungan dapat menerima
dengan baik
4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan
baik
Dilakukan untuk individu dan keluarga
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tergantung
klasifikasi epilepsi yang dideritanya, sedangkan
serangan epilepsi dapat berulang, tergantung
kontrol terapi dari pasien.
Referensi
1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012.
(Kelompok Studi Epilepsi, 2012)
8. TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK (TIA)
No. ICPC-2 : K89 Transient cerebral ischaemia
No.ICD-10 : G45.9 Transient cerebral ischaemic attack, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
TIA atau serangan iskemik otak sepintas (SOS)
Keluhan
adalah penurunan aliran darah yang
berlangsung sepintas (tidak menetap atau tidak Secara umum, gejala neurologis yang
permanen) ke area tertentu dari otak, sehingga diakibatkan oleh TIA tergantung pada pembuluh
mengakibatkan disfungsi neurologis yang darah otak yang mengalami gangguan, yaitu
berlangsung singkat (kurang dari 24 jam). Jika sistem karotis atau vertebrobasilaris.
gejala nerologik menetap (irreversible), dan
berlangsung lebih lama (lebih dari 24 jam), 1. Disfungsi neurologis fokal yang sering
maka dikategorikan sebagai stroke iskemik ditemukan berupa:
(infark). Defisit neurologis yang berlangsung a. Kelemahan atau kelumpuhan salah
lebih lama dari 24 jam, tapi tidak menetap satu sisi wajah, lengan, dan tungkai
(reversible,) dan dalam waktu kurang dari 2 (hemiparesis, hemiplegi)
minggu sembuh total tanpa gejala sisa, disebut b. Gangguan sensorik pada salah satu
reversible ischemic neurological deficit (RIND). sisi wajah, lengan, dan tungkai
Serangan TIA terjadi secara tiba-tiba (akut), (hemihipestesi, hemi-anesthesi)
dan biasanya berlangsung singkat (beberapa c. Gangguan bicara (disartria)
menit), jarang sampai lebih dari 1-2 jam, diikuti d. Gangguan berbahasa (afasia)
kesembuhan total tanpa gejala sisa. Pada
e. Gejala neurologik lainnya:
pasien yang mengalami serangan TIA lebih dari
3 jam, dengan pemeriksaan MRI, lebih dari 50% f. Jalan sempoyongan (ataksia)
diantaranya ditemukan gambaran infark di otak. g. Rasa berputar (vertigo)
Pasien yang pernah mengalami TIA, mempunyai h. Kesulitan menelan (disfagia)
risiko lebih besar untuk terserang stroke i. Melihat ganda (diplopia)
iskemik (infark). Sekitar 15-26% pasien stroke, j. Penyempitan lapang penglihatan
pernah mengalami TIA sebelumnya. Sehingga (hemianopsia, kwadran- anopsia)
TIA termasuk faktor risiko stroke, dan disebut
sebagai warning sign (tanda peringatan) 2. Gangguan tersebut terjadi mendadak, dan
terjadinya stroke. Setelah TIA, antara 10- biasanya berlangsung dalam waktu yang
15% pasien mengalami stroke iskemik dalam singkat (beberapa menit), jarang sampai
waktu 3 bulan, dan sebagian besar diantaranya lebih dari 1-2 jam, diikuti kesembuhan total
terjadi dalam waktu 48 jam setelah terjadinya tanpa gejala sisa.
TIA. Karena itu, TIA maupun stroke iskemik, 3. Diperlukan anamnesis yang teliti tentang
keduanya merupakan kedaruratan medik yang faktor risiko TIA/stroke
mempunyai kesamaan mekanisme patogenesis,
dan memerlukan prevensi sekunder, evaluasi,
dan penatalaksanaan yang hampir sama.
Tabel: 8.11. Faktor risiko TIA/stroke dengan teknik khusus, misalnya perfusion CT,
atau diffusion weighted MRI (DWI).
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Foto toraks
2. Tes faal hati
3. Ekokardiografi (jika diduga emboli
kardiogenik)
4. TCD (transcranial Doppler)
5. EEG (elektro-ensefalografi)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis dan CT scan kepala
(bila diperlukan)
Diagnosis Banding:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Stroke iskemik (infark)
Sederhana (Objective)
2. Stroke hemoragik
Pemeriksaan Fisik 3. Gangguan fungsi otak yang menyerupai
TIA/ stroke, misalnya:
Meliputi pemeriksaan umum dan neurologis. a. Cedera otak traumatik: hematoma
Pemeriksaan Umum Terutama pemeriksaan epidural/subdural
tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, b. Tumor otak
jantung, bising karotis/subklavia, dan tanda vital c. Infeksi otak: abses, tuberkuloma
lainnya. d. Todd’s paralysis (hemiparesis pasca
Pemeriksaan neurologis serangan kejang)
e. Gangguan metabolik: hipo/
Terutama untuk menemukan adanya tanda hiperglikemia
defisit neurologis berupa status mental, motorik,
sensorik sederhana dan kortikal luhur, fungsi Komplikasi
serebelar, dan otonomik. Antara 10-15% pasien mengalami stroke
Pemeriksaan Penunjang :- iskemik dalam waktu 3 bulan, dan sebagian
besar diantaranya terjadi dalam waktu 48 jam
Pemeriksaan standar dilakukan di fasilitas setelah terjadinya TIA.
pelayanan kesehatan sekunder:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. CT scan kepala (atau MRI)
2. EKG (elektrokardiografi) Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
3. Kadar gula darah Bila mendapat serangan TIA, pasien harus
4. Elektrolit serum segera dibawa ke rumah sakit agar
5. Tes faal ginjal mendapatkan pemeriksaan untuk menemukan
6. Darah lengkap penyebab dan penanganan lebih lanjut. Bila
7. Faal hemostasis skor ABCD2 > 5, pasien harus segera mendapat
Catatan: CT scan atau MRI kepala pada pasien TIA perawatan seperti perawatan pasien stroke
biasanya tidak menunjukkan kelainan, kecuali iskemik akut. Tekanan darah tinggi, penyakit
jantung, diabetes dan
penyakit gangguan darah harus segera diterapi. LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and
Untuk mencegah berulangnya TIA dan serangan Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009:
stroke, perlu diberikan obat antiplatelet, misalnya 85-99. (Romano & Sacco, 2009)
asetosal, clopidogrel, dipyridamole, cilostazol. 3. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular
Pada stenosis karotis, mungkin diperlukan Diseases of the Nervous System. Ischemic
tindakan carotid endarterectomy atau carotid Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et
angioplasty. Jika ada fibrilasi atrial, mungkin al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
diperlukan antikoagulan oral, misalnya warfarin, Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and
rifaroxaban, dabigatran, apixaban. Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia,
2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
Tabel 8.12 Skor ABCD2 untuk TIA
4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention
of Stroke in Patients With Stroke or Transient
Ischemic Attack : A Guideline for Healthcare
Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association.
Stroke 2011; 42:227- 276 (Furie, 2011)
5. National Stroke Association. Transient
Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org

Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke RS untuk penanganan
lebih lanjut.
Peralatan
Laboratorium: darah lengkap dan kimia
darah Pemeriksaan radiologi: foto toraks
Pasien membutuhkan CT scan atau MRI di
layanan sekunder
Prognosis
Prognosis bonam bila faktor risiko dapat
teratasi dan penanganan cepat dilakukan.
Pemberian obat antiplatelet dan antikoagulan
dapat mencegah berulangnya TIA dan serangan
stroke iskemik.
Referensi
1. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease:
Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed). Current
Diagnosis and Treatment in Neurology.
McGraw Hill, New York, 2007:100-25.
(Fitzsimmons, 2007)
2. Romano JG, Sacco RL. Prevention of
Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein
9. STROKE
No. ICPC-2
: K90 Stroke/cerebrovascular accident
No. ICD-10
: I63.9 Cerebral infarction, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Untuk memudahkan pengenalan gejala stroke
Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau bagi masyarakat awam, digunakan istilah
global) yang terjadi mendadak, berlangsung FAST (Facial movement, Arm Movement,
lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor Speech, Time: acute onset). Maksudnya, bila
vaskuler. Secara global, saat ini stroke seseorang mengalami kelemahan otot wajah
merupakan salah satu penyebab kematian dan anggota gerak satu sisi, serta gangguan
utama, dan penyebab utama kecacatan pada bicara, yang terjadi mendadak, patut diduga
orang dewasa. Dari laporan Riskesdas (Riset mengalami serangan stroke. Keadaan seperti
Kesehatan Dasar) Departemen Kesehatan itu memerlukan penanganan darurat agar
Republik Indonesia tahun 2007, stroke tidak mengakibatkan kematian dan kecacatan.
merupakan penyebab kematian utama di Karena itu pasien harus segera dibawa ke
Indonesia. rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk
penanganan tindakan darurat bagi penderita
Hasil Anamnesis (Subjective) stroke.
Keluhan Seperti halnya TIA, pada stroke diperlukan
Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak anamnesis yang teliti tentang faktor risiko TIA/
(tiba-tiba), yang sering dijumpai adalah stroke.

1. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi Faktor Risiko


wajah, lengan, dan tungkai (hemiparesis, Beberapa faktor risiko yang dapat mempermudah
hemiplegi) terjadinya serangan stroke, misalnya usia tua,
2. Gangguan sensorik pada salah satu sisi jenis kelamin (laki-laki), berat badan lahir
wajah, lengan, dan tungkai (hemihipestesi, rendah, faktor herediter (familial), ras (etnik),
hemianesthesi) memang tidak bisa dihindari atau diubah (non
modifiable risk factors). Sedangkan faktor risiko
3. Gangguan bicara (disartria)
lainnya mungkin masih bisa dihindari, diobati
4. Gangguan berbahasa (afasia) atau diperbaiki (modifiable risk factors).
5. Gejala neurologik lainnya seperti jalan Tabel 8.13 Faktor risiko stroke
sempoyongan (ataksia), rasa berputar
(vertigo), kesulitan menelan (disfagia),
melihat ganda (diplopia), penyempitan
lapang penglihatan (hemianopsia, kwadran-
anopsia)
Catatan:
Kebanyakan penderita stroke mengalami lebih
dari satu macam gejala diatas. Pada beberapa
penderita dapat pula dijumpai nyeri kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang
pada saat terjadi serangan stroke.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang f. Darah lengkap
Sederhana (Objective) g. Faal hemostasis
2. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Pemeriksaan tanda vital: pernapasan, nadi,
a. Foto toraks
suhu, tekanan darah harus diukur kanan dan
b. Tes faal hati
kiri
c. Saturasi oksigen, analisis gas darah
2. Pemeriksaaan jantung paru
d. Toksikologi
3. Pemeriksaan bruitkarotis dan subklavia
e. Kadar alkohol dalam darah
4. Pemeriksaan abdomen
f. Pungsi lumbal (pada perdarahan
5. Pemeriksaan ekstremitas
subaraknoid)
6. Pemeriksaan neurologis
g. TCD (transcranial Doppler)
a. Kesadaran: tingkat kesadaran diukur
h. EEG (elektro-ensefalografi.
dengan menggunakan Glassgow Coma
Scale (GCS) Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Tanda rangsang meningeal: kaku
kuduk, tanda Laseque, Kernig, dan Diagnosis klinis
Brudzinski Diagnosis awal ditegakkan berdasarkan
c. Saraf kranialis: terutama Nn. VII, XII, anamnesis dan pemeriksaan fisik. Cara skoring
IX/X,dan saraf kranialis lainnya ROSIER (Recognition of Stroke in Emergency
d. Motorik: kekuatan, tonus, refleks Room) dapat digunakan pada stroke akut.
fisiologis, refleks patologis
e. Sensorik Tabel 8.14 Skor ROSIER untuk stroke
f. Tanda serebelar: dismetria,
disdiadokokinesia, ataksi, nistagmus
g. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama
fungsi kognitif (bahasa, memori dll)
h. Pada pasien dengan kesadaran
menurun, perlu dilakukan pemeriksaan
refleks batang otak:
• Pola pernafasan: Cheyne-Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral,
apneustik, ataksia
• Refleks cahaya (pupil)
• Refleks kornea
Klasifikasi
• Refleks muntah
• Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes Stroke dibedakan menjadi:
phenomenon)
1. Stroke hemoragik biasanya disertai dengan
Pemeriksaan Penunjang: sakit kepala hebat, muntah, penurunan
kesadaran, tekanan darah tinggi.
Pemeriksaan pendukung yang diperlukan
2. Stroke iskemik biasanya tidak disertai
dalam penatalaksanaan stroke akut di fasilitas
dengan sakit kepala hebat, muntah,
pelayanan kesehatan tingkat lanjut
penurunan kesadaran dan tekanan darah
1. Pemeriksaan standar: tidak tinggi.
a. CT scan kepala (atau MRI)
Diagnosis Banding
b. EKG (elektrokardiografi)
c. Kadar gula darah Membedakan stroke iskemik dan
d. Elektrolit serum stroke hemoragik sangat penting untuk
e. Tes faal ginjal penatalaksanaan pasien.
Komplikasi sebagai aktivitas fisik yang cukup
berarti hingga berkeringat atau
Komplikasi stroke yang harus diwaspadai meningkatkan denyut jantung 1-3 kali
karena dapat mengakibatkan kematian dan perminggu.
kecacatan adalah komplikasi medis, antara lain
komplikasi pada jantung, paru (pneumonia), 2. Mengontrol faktor risiko
perdarahan saluran cerna, infeksi saluran a. Tekanan darah
kemih, dekubitus, trombosis vena dalam, dan b. Gula darah pada pasien DM
sepsis. Sedangkan komplikasi neurologis c. Kolesterol
terutama adalah edema otak dan peningkatan d. Trigliserida
tekanan intrakranial, kejang, serta transformasi e. Jantung
perdarahan pada infark. 3. Pada pasien stroke iskemik diberikan obat-
obat antiplatelet:asetosal, klopidogrel
Pada umumnya, angka kematian dan kecacatan
semakin tinggi, jika pasien datang terlambat Konseling dan Edukasi
(melewati therapeutic window) dan tidak
ditangani dengan cepat dan tepat di rumah 1. Memberikan edukasi kepada pasien dan
sakit yang mempunyai fasilitas pelayanan stroke keluarganya agar tidak terjadi kekambuhan
akut. atau serangan stroke ulang
2. Jika terjadi serangan stroke ulang, harus
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) segera mendapat pertolongan segera
3. Mengawasi agar pasien teratur minum obat.
Pertolongan pertama pada pasien stroke akut.
4. Membantu pasien menghindari faktor risiko.
1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
Tabel 8.15 Membedakan stroke iskemik dan
2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat
stroke hemoragik
3. Memberikan oksigen bila diperlukan
4. Memposisikan badan dan kepala lebih
tinggi (head-and-trunk up) 20-30 derajat
5. Memantau irama jantung
6. Memasang cairan infus salin normal atau
ringer laktat (500 ml/12 jam)
7. Mengukur kadar gula darah (finger stick)
8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram
intravena (bila hipoglikemia berat)
9. Menilai perkembangan gejala stroke selama
perjalanan ke rumah sakit layanan
sekunder
10. Menenangkan penderita
Rencana Tindak Lanjut
1. Memodifikasi gaya hidup sehat
a. Memberi nasehat untuk tidak merokok
atau menghindari lingkungan perokok
b. Menghentikan atau mengurangi
konsumsi alkohol
c. Mengurangi berat badan pada penderita
stroke yang obes
d. d. Melakukan aktivitas fisik sedang
pada pasien stroke iskemik atau TIA.
Intensitas sedang dapat didefinisikan
Kriteria rujukan Referensi
Semua pasien stroke setelah ditegakkan 1. Misbach J dkk. Kelompok Studi Stroke.
diagnosis secara klinis dan diberikan Guideline Stroke 2011. Perhimpunan Dokter
penanganan awal, segera mungkin harus Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI),
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan Jakarta, 2011. (Misbach, 2011)
sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf, 2. Jauch EC et al. Guidelines for the Early
terkait dengan angka kecacatan dan kematian Management of Patients with Acute
yang tinggi. Dalam hal ini, perhatian terhadap Ischemic Stroke. A Guideline for Healthcare
therapeutic window untuk penatalaksanaan Professionals From the American Heart
stroke akut sangat diutamakan. Association/American Stroke Association.
Stroke 2013; 44:870-947.(Jauch, 2013)
Peralatan
3. Morgenstern LB et al. Guidelines for the
1. Alat pemeriksaan neurologis. Management of Spontaneous Intracerebral
2. Senter Hemorrhage. Guideline for Healthcare
3. Infus set. Professionals From the American Heart
4. Oksigen. Association/American Stroke Association.
Stroke 2010;41:1-23. (Morgenstern, 2010)
Prognosis 4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention
Prognosis adalah dubia, tergantung luas dan of Stroke in Patients With Stroke or
letak lesi. Untuk stroke hemoragik sebagian Transient Ischemic Attack : A Guideline for
besar dubia ad malam. Penanganan yg lambat Healthcare Professionals From the
berakibat angka kecacatan dan kematian tinggi. American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2011;42:227-276.
(Furie, 2011)

10. BELLS’ PALSY


No. ICPC-2: N91 Facial paralysis/Bells’ palsy No. ICD-10: G51.0 Bells’ palsy
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
type I dan reaktivasi herpes zoster dari ganglia
Bells’palsy adalah paralisis fasialis perifer nervus fasialis. Penyebab Bells’ palsy tidak
idiopatik, yang merupakan penyebab tersering diketahui (idiopatik), dan diduga penyakit
dari paralisis fasialis perifer unilateral. ini merupakan bentuk polineuritis dengan
Bells’ palsy muncul mendadak (akut), unilateral, kemungkinan penyebabnya virus, inflamasi, auto
berupa paralisis saraf fasialis perifer, yang imun dan faktor iskemik.
secara gradual dapat mengalami perbaikan
Hasil Anamnesis (Subjective)
pada 80-90% kasus. Bells’ palsy merupakan
salah satu dari penyakit neurologis tersering Keluhan
yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab
tersering (60-75%) dari kasus paralisis fasialis Pasien datang dengan keluhan:
unilateral akut di dunia. Bells’ palsy lebih sering 1. Paralisis otot fasialis atas dan bawah
ditemukan pada usia dewasa, orang dengan unilateral, dengan onset akut (periode 48
DM, dan wanita hamil. Peningkatan kejadian jam)
berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV 2. Nyeri auricular posterior atau otalgia,
ipsilateral Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
3. Peningkatan produksi air mata (epifora), sederhana (Objective)
yang diikuti penurunan produksi air mata
yang dapat mengakibatkan mata kering (dry Pemeriksaan Fisik
eye), ipsilateral Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga,
4. Hiperakusis ipsilateral mata, hidung dan mulut harus dilakukan pada
5. Penurunan rasa pengecapan pada lidah, semua pasien dengan paralisis fasial.
ipsilateral
1. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan
Gejala awal: saraf fasial (N VII) mengakibatkan
1. Kelumpuhan otot otot fasialis unilateral, kelemahan wajah (atas dan bawah)
yang mengakibatkan hilangnya kerutan satu sisi (unilateral). Pada lesi UMN
dahi ipsilateral, tidak mampu menutup (lesi supra nuclear/di atas nukleus
mata ipsilateral, wajah merot/tertarik ke fasialis di pons), wajah bagian atas
sisi kontralateral, bocor saat berkumur, tidak tidak mengalami kelumpuhan. Hal ini
bisa bersiul. disebabkan muskuli orbikularis, frontalis
dan korrugator, diinervasi bilateral oleh
2. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
saraf kortikobulbaris. Inspeksi awal pasien
3. Penurunan rasa pengecapan pada lidah,
memperlihatkan hilangnya lipatan (kerutan)
ipsilateral (30-50%)
dahi dan lipatan nasolabial unilateral.
4. Hiperakusis ipsilateral (15-30%)
5. Gangguan lakrimasi ipsilateral (60%) 2. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan
tampak kelumpuhan otot orbikularis oris
6. Gangguan sensorik wajah jarang
ditemukan, kecuali jika inflamasi menyebar unilateral, dan bibir akan tertarik ke sisi
ke saraf trigeminal. wajah yang normal (kontralateral).
3. Pada saat pasien diminta untuk
Awitan (onset) mengangkat alis, sisi dahi yang lumpuh
terlihat datar.
Awitan Bells’ palsy mendadak, dan gejala 4. Pada fase awal, pasien juga dapat
mencapai puncaknya kurang dari 48 jam. Gejala melaporkan adanya peningkatan salivasi.
yang mendadak ini membuat pasien khawatir
dan mencemaskan pasien. Mereka sering Jika paralisis hanya melibatkan wajah
berpikir terkena stroke atau tumor otak dapat bagian bawah saja, maka harus dipikirkan
yang mengakibatkan distorsi wajah permanen. penyebab sentral (supranuklear). Apalagi
Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan jika pasien mengeluh juga tentang adanya
cepat, pasien sering datang langsung ke kelumpuhan anggota gerak (hemiparesis),
IGD. Kebanyakan pasien menyatakan paresis gangguan keseimbangan (ataksia), nistagmus,
terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis diplopia, atau paresis saraf kranialis lainnya,
mulai terjadi selama pasien tidur. kemungkinan besar BUKAN Bell’s palsy. Pada
keadaan seperti itu harus dicurigai adanya lesi
Faktor Risiko: serebral, serebelar, atau batang otak, oleh karena
1. Paparan dingin (kehujanan, udara malam, berbagai sebab, antara lain vaskular (stroke),
AC) tumor, infeksi, trauma, dan sebagainya.
2. Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1) Pada Bell’s palsy, progresifitas paresis masih
3. Penyakit autoimun mungkin terjadi, namun biasanya tidak
4. Diabetes mellitus memburuk setelah hari ke 7 sampai 10. Jika
5. Hipertensi progresifitas masih berlanjut setelah hari ke 7-
6. Kehamilan 10, harus dicurigai diagnosis lain (bukan Bell’s
palsy).
Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain
dievaluasi lebih lanjut, karena dapat disebabkan tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal
oleh Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, pengecapan mengindikasikan penyembuhan
meningitis (terutama tuberkulosa), penyakit komplit.
autoimun (multiple sclerosis, neurosarcoidosis)
dan lain-lain. Pemeriksaan Penunjang

Manifestasi Okular Laboratorium darah: Darah lengkap, gula darah


sewaktu, tes faal ginjal (BUN/kreatinin serum)
Komplikasi okular unilateral pada fase awal
berupa: Penegakan Diagnostik (Assessment)

1. Lagoftalmus (ketidakmampuan untuk Diagnosis Klinis


menutup mata secara total) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
2. Penurunan sekresi air mata pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf
3. Kedua hal diatas dapat mengakibatkan kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’
paparan kornea (corneal exposure), erosi palsy adalah diagnosis eksklusi.
kornea, infeksi dan ulserasi kornea
4. Retraksi kelopak mata Gambaran klinis penyakit yang dapat
membantu membedakan dengan penyebab lain
atas Manifestasi okular lanjut dari paralisis fasialis:
1. Ringan: kontraktur pada otot fasial, 1. Onset yang mendadak dari paralisis fasial
melebarnyacelah palpebral. unilateral
2. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan
sinkinesis motorik. 2. Tidak adanya gejala dan tanda pada
3. Sinkinesis otonom (air mata buaya, berupa susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit
menetesnya air mata saat mengunyah). cerebellopontin angle (CPA).
4. Dua pertiga pasien mengeluh masalah Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial
air mata. Hal ini terjadi karena penurunan yang lain, kelumpuhan motorik dan gangguan
fungsi orbicularis okuli dalam membantu sensorik, maka penyakit neurologis lain harus
ekskresi air mata. dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis
Nyeri auricular posterior basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).

Separuh pasien dengan Bells’ palsy Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor
mengeluh nyeri auricular posterior. Nyeri CPA seringkali didahului gangguan pendengaran
sering terjadi simultan dengan paresis, tapi (saraf VIII), diikuti gangguan saraf VII, dan V,
nyeri mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada gangguan keseimbangan (serebelar). Pasien
25% pasien. Pasien perlu ditanya apakah ada dengan paralisis progresif saraf VII lebih lama
riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan dari 3 minggu harus dievaluasi kemungkinan
menjadi penyebab nyeri dan paralisis fasial. penyebab lain, misalnya neoplasma, penyakit
Sepertiga pasien mengalami hiperakusis pada autoimun, dan sebagainya.
telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat
Klasifikasi
kelumpuhan sekunder otot stapedius.
Sistem grading ini dikembangkan oleh House
Gangguan pengecapan and Brackmann dgn skala I sampai VI.
Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan 1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien 2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya
menunjukkan penurunan rasa pengecapan. adalah sebagai berikut:
Kemungkinan pasien gagal mengenal
a. Kelemahan ringan saat dilakukan
inspeksi secara detil. secara anatomis dan dapat disebut dengan
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi. saraf intak secara fungsional. Grade ini
c. Simetris normal saat istirahat. seharusnya dicatat pada rekam medik pasien
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik. saat pertama kali datang memeriksakan diri.
e. Menutup mata sempurna dapat Diagnosis Banding
dilakukan dengan sedikit usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan
ditemukan. sebagai diagnosis banding, yaitu:
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan
1. Stroke vertebrabasilaris (hemiparesis
karekteristik:
alternans)
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas,
2. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine
kelemahan minimal.
angle
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau
3. Otitis media akut atau kronik
spasme hemifasial dapat ditemukan.
4. Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi
c. Simetris normal saat istirahat.
vesicular pada telinga atau bibir)
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
5. Amiloidosis
e. Menutup mata sempurna dapat
6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a.
dilakukan dengan usaha.
Carotis
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan
7. Sindroma autoimun
usaha maksimal.
8. Botulismus
4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai
9. Karsinomatosis
berat, dengan tandanya sebagai berikut:
10. Cholesteatoma telinga tengah
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
11. Malformasi congenital
b. Simetris normal saat istirahat.
12. Schwannoma n. Fasialis
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
13. Infeksi ganglion genikulatum
d. Mata tidak menutup sempurna.
14. Penyebab lain, misalnya trauma kepala
e. Asimetris mulut dilakukan dengan
usaha maksimal. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Grade V adalah disfungsi berat.
Karakteristiknya adalah sebagai berikut: Penatalaksanaan
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat Prognosis pasien Bells’ palsy umumnya baik.
dilakukan. Karena penyebabnya idiopatik, pengobatan Bell’s
b. Asimetris juga terdapat pada saat palsy masih kontroversi. Tujuan pengobatan
istirahat. adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi. fasialis) dan mencegah kerusakan saraf lebih
d. Mata menutup tidak sempurna. lanjut.
e. Gerakan mulut hanya sedikit.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai
yaitu: diberikan pada pasien dalam fase awal 1-4 hari
a. Asimetris luas. onset.
b. Tidak ada gerakan otot otot wajah. Hal penting yang perlu diperhatikan:
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan 1. Pengobatan inisial
hasil yang baik, grade III dan IV terdapat a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1
disfungsi moderat, dan grade V dan VI mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari,
menunjukkan hasil yang buruk. Grade VI diikutipenurunan bertahap total selama
disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade 10 hari.
yang lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis
fasialis inkomplit dinyatakan
b. Steroid dan asiklovir (dengan kelemahan fasial unilateral atau kontralateral,
prednison) mungkin efektif untuk sinkinesis, spasme hemifasialis, dan terkadang
pengobatan Bells’ palsy (American terjadi rekurensi, sehingga perlu evaluasi dan
Academy Neurology/AAN, 2011). rujukan lebih lanjut.
c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan
meningkatkan perbaikan fungsi saraf Referensi
kranial, jika diberikan pada onset 1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB
awal (ANN,2012). et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
d. Apabila tidak ada gangguan Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis
gungsi ginjal, antiviral and Management. 6th ed. Elsevier,
e. (Asiklovir)dapat diberikan dengan dosis Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker,
400 mg oral 5 kali sehari selama 7-10 2012)
hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, 2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy.
dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis and
2. Lindungi mata Treatment in Neurology. McGraw Hill,
3. Perawatan mata: lubrikasi okular topikal NewYork, 2007:286-288. (Gooch & Fatimi,
dengan air mata artificial (tetes air mata 2007)
buatan) dapat mencegah corneal exposure. 3. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy
(lihat bagian pembahasan dry eye) Medication. Medscape.
4. Fisioterapi atau akupunktur dapat 4. Medscape: Empiric Therapy Regimens.
dilakukan setelah melewati fase akut (+/- 2
minggu). Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis
untuk memantau perbaikan setelah pengobatan.
Kriteria Rujukan
1. Bila dicurigai kelainan lain (lihat diagnosis
banding)
2. Tidak menunjukkan perbaikan
3. Terjadi kekambuhan atau komplikasi
Peralatan
1. Stetoskop (loudness balance test) untuk
mengetahui hiperakusis
2. Palu reflex
3. Tes pengecapan
4. Tes lakrimasi (tes Schirmer)
5. Kapas
6. Obat steroid
7. Obat antiviral
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi terkendali
dengan pengobatan pemeliharaan. Kesembuhan
terjadi dalam waktu 3 minggu pada 85% pasien.
Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale)
berupa
11. STATUS EPILEPTIKUS
No. ICPC II : N88 Epilepsy
No. ICD X : G41.9 Status epilepticus, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
hiperpireksia.
Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi
Pemeriksaan Penunjang
lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan
atau lebih dimana diantara bangkitan- Laboratorium: pemeriksaanguladarahsewaktu.
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Status epileptikus merupakan keadaan Diagnosis Klinis


kegawatdaruratan yang memerlukan Diagnosis Status Epileptikus (SE) ditegakkan
penanganan dan terapi segera guna dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
menghentikan bangkitan (dalam waktu 30
menit). Diagnosis pasti status epileptikus bila Diagnosis Banding Pseudoseizure Komplikasi
pemberian benzodiazepin awal tidak efektif
Asidosis metabolik, aspirasi, trauma kepala
dalam menghentikan bangkitan.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penatalaksanaan
Keluhan
Pasien dengan status epilektikus, harus dirujuk
Pasien datang dengan kejang, keluarga pasien
ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang
perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit
memiliki dokter spesialis saraf. Pengelolaan SE
epilepsi dan pernah mendapatkan obat
sebelumsampaifasilitas pelayanan kesehatan
antiepilepsi serta penghentian obat secara tiba-
sekunder.
tiba.
1. Stadium I (0-10 menit)
Riwayat penyakit tidak menular sebelumnya
a. Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
juga perlu ditanyakan, seperti Diabetes Melitus,
b. Memperbaiki jalan nafas, pemberian
stroke, dan hipertensi.
oksigen, resusitasi bila perlu
Riwayat gangguan imunitas misalnya HIV yang c. Pemberian benzodiazepin rektal 10 mg
disertai infeksi oportunistik dan data tentang 2. Stadium II (1-60 menit)
bentuk dan pola kejang juga perlu ditanyakan a. Pemeriksaan status neurologis
secara mendetil. b. Pengukuran tekanan darah, nadi dan
suhu c. Pemeriksaan EKG (bila tersedia)
Faktor Risiko: - c. Memasang infus pada pembuluh
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang darah besar dengan NaCl 0,9 %.
Sederhana (Objective) Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan Fisik Melakukan koordinasi dengan PPK II dalam hal
Pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya pemantauan obat dan bangkitan pada pasien.
kejang atau gangguan perilaku, penurunan Konseling dan Edukasi
kesadaran, sianosis, diikuti oleh takikardi dan
peningkatan tekanan darah, dan sering diikuti Memberikan informasi penyakit kepada
individu dan keluarganya, tentang: 4. Spatel lidah
5. Alat pengukur gula darah sederhana
1. Penyakit dan tujuan merujuk
2. Pencegahan komplikasi terutama aspirasi Prognosis
3. Pencegahan kekambuhan dengan
meminum OAE secara teratur dan tidak Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk
menghentikannya secara tiba-tiba quo ad vitam dan fungsionam, namun dubia ad
4. Menghindari aktifitas dan tempat-tempat malam untuk quo ad sanationam.
berbahaya Referensi
Kriteria Rujukan 1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman
Semua pasien dengan status epileptikus setelah Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter
ditegakkan diagnosis dan telah mendapatkan Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok
penanganan awal segera dirujuk untuk: Studi Epilepsi, 2012)
2. Darto Saharso. Status Epileptikus. Divisi
1. Mengatasi serangan Neuropediatri Bag/SMF Ilmu Kesehatan
2. Mencegah komplikasi Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo
3. Mengetahui etiologi Surabaya.
4. Pengaturan obat 3. Appleton, P.R. Choonara, I. Marland, T.
Phillips, B. Scott, R. Whitehouse, W. The
Peralatan treatment of convulsive status epilepticus in
1. Oksigen children.; 83:415-19.Arch Dis Child. 2000.
2. Kain kasa 4. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status
3. Infus set epilepticus 48:683-94. Pediatric Clin North
America. 2001

12. DELIRIUM
No. ICPC II
: P71 Organic psychosis other
No. ICD X
: F05.9 Delirium, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
5. Gangguan siklus bangun tidur
Delirium adalah gangguan kesadaran yang 6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu
ditandai dengan berkurangnya kemampuan yang pendek dan cenderung berfluktuasi
memfokuskan, mempertahankan dan dalam sehari
mengalihkan perhatian.
Hasil yang dapat diperoleh pada autoanamnesis,
Hasil Anamnesis (Subjective) yaitu:
Keluhan 1. Pasien tidak mampu menjawab pertanyaan
dokter sesuai dengan apa yang diharapkan,
Pasien datang dengan penurunan kesadaran, ditanyakan.
ditandai dengan: 2. Adanya perilaku yang tidak terkendali.
1. Berkurangnya atensi Alloanamnesis, yaitu adanya gangguan medik
2. Gangguan psikomotor lain yang mendahului terjadinya gejala
3. Gangguan emosi delirium, misalnya gangguan medik umum, atau
4. Arus dan isi pikir yang kacau penyalahgunaan zat.
Faktor Risiko Kriteria Diagnosis untuk delirium dalam DSM-IV-
TR (Diagnosis and Statistical Manual for Mental
Adanya gangguan medik umum, seperti: Disorder – IV – Text Revised), adalah:
1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor,
pendarahan, TIA) 1. Gangguan kesadaran disertai dengan
2. Penyakit sistemik, seperti: infeksi, gangguan menurunnya kemampuan untuk
metabolik, penyakit jantung, COPD, memusatkan, mempertahankan, dan
gangguan ginjal, gangguan hepar mengubah perhatian;
3. Penyalahgunaan zat 2. Gangguan Perubahan kognitif (seperti defisit
memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang atau perkembangan gangguan persepsi
sederhana (Objective) yang tidak berkaitan dengan demensia
sebelumnya, yang sedang berjalan atau
Pemeriksaan Fisik
memberat;
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik 3. Perkembangan dari gangguan selama
generalis terutama sesuai penyakit utama. periode waktu yang singkat (umumnya jam
sampai hari) dan kecenderungan untuk
Pemeriksaan penunjang berfluktuasi dalam perjalanan hariannya;
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan 4. Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau
kesehatan tingkat pertama. Pemeriksaan yang temuan laboratorium, bahwa gangguan
dilakukan untuk delirium, adalah: tersebut disebabkan oleh: (a) kondisi medis
umum, (b) intoksikasi, efek samping, putus
1. Mini-mental State Examination (MMSE).
obat dari suatu substansi.
2. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk
mencari Diagnosis penyakit utama, yaitu: Diagnosis Banding
Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, Demensia, psikosis fungsional, kelainan
gula darah, elektrolit (terutama natrium), SGOT, neurologis.
SGPT, ureum, kreatinin, urinalisis, analisis gas
darah, foto toraks, elektrokardiografi, dan CT Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Scan kepala, jika diperlukan. Tujuan Terapi
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Mencari dan mengobati penyebab delirium
Diagnosis Klinis 2. Memastikan keamanan pasien
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan 3. Mengobati gangguan perilaku terkait
anamnesis dan pemeriksaan fisik. delirium, misalnya agitasi psikomotor

Gambar 8.1 Confusion Assessment Method Penatalaksanaan


(Algoritma) 1. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar
dari risiko kecelakaan selama perawatan.
2. Apabila pasien telah memperoleh
pengobatan, sebaiknya tidak menambahkan
obat pada terapi yang sedang dijalanin oleh
pasien.
3. Bila belum mendapatkan pengobatan,
pasien dapat diberikan obat anti psikotik.
Obat ini diberikan apabila ditemukan gejala
psikosis dan atau agitasi, yaitu: Haloperidol
injeksi 2-5 mg IntraMuskular (IM)/ Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu
IntraVena (IV). Injeksi dapat diulang setiap Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna
30 menit, dengan dosis maksimal 20 Publishing.2009.
mg/hari. 3. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et
al. Clarifying confusion: the confusion
Konseling dan Edukasi
Assessment method;113:941-8: a new
Memberikan informasi terhadap keluarga/ care method for detection of delirium.Ann
giver agar mereka dapat memahami tentang Intern Med. 1990
delirium dan terapinya. 4. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion
and delirium. Dalam: Harrison’s Principles
Kriteria Rujukan of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien McGraw-Hill. 2008.
dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan 5. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick,
rujukan sekunder untuk memperbaiki penyakit B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th Ed.
utamanya. McGraw-Hill Co. 2009.
6. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional
Peralatan Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/Pskiatri.
Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis
-
Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI).
Prognosis 2012.
7. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik:
Prognosis delirium dapat diprediksi berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
dari penyakit yang mendasarinya. Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
Referensi 8. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan
Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004.
1. American Psychiatric Association. 9. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar
Diagnostic and Statistical Manual for Pengelolaan Penyakit berdasarkan
Mental Disorder. Text Revision 4th Ed. kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan.
Washington DC: APA. 2000. 2012
2. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute

13. KEJANG DEMAM


No. ICPC-2: N07 Convulsion/Seizure No. ICD-10: R56.0 Febrile convulsions
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang Keluhan
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal > 38o C) akibat dari suatu proses ekstra Keluhan utama adalah kejang. Anamnesis
kranial. Kejang berhubungan dengan demam, dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai
tetapi tidak disebabkan infeksi intrakranial terjadinya kejang. Perlu deskripsi kejang seperti
atau penyebab lain seperti trauma kepala, tipe kejang, lama, frekuensi dan kesadaran
gangguan kesimbangan elektrolit, hipoksia atau pasca kejang. kemudian mencari kemungkinan
hipoglikemia. adanya faktor pencetus atau penyebab kejang.
Umumnya kejang demam terjadi pada anak
dan berlangsung pada permulaan demam akut.
Sebagian besar berupa serangan kejang klonik meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda
umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motrik,
tanda-tanda neurologi post iktal. tonus otot, refleks fisiologis dan patologis.
Penting untuk ditanyakan riwayat kejang Pemeriksaan penunjang
sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan,
obat-obatan, trauma, gejala infeksi, keluhan Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan
neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang. untuk mencari penyebab demam. Pemeriksaan
Riwayat kejang demam dalam keluarga juga penunjang yang dapat dilakukan :
perlu ditanyakan. 1. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
Faktor Risiko 2. Pemeriksaan lain atas indikasi : glukosa,
elektrolit, pungsi lumbal.
1. Demam
a. Demam yang berperan pada KD, akibat: Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Infeksi saluran pernafasan Diagnosis Klinis
• Infeksi saluran pencernaan
• Infeksi THT Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
• Infeksi saluran kencing dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi kejang demam
• Roseola infantum/infeksi virus akut terbagi menjadi 2, yaitu:
lain. 1. Kejang demam sederhana
• Paska imunisasi a. Kejang umum tonik, klonik atau tonik-
b. Derajat demam: klonik.
• 75% dari anak dengan demam ≥ 390C b. Durasi < 15 menit
• 25% dari anak dengan demam > 400C c. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Usia 2. Kejang demam kompleks
a. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan– a. Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
6tahun b. Durasi > 15 menit
b. Puncak tertinggi pada usia 17–23 bulan c. Kejang berulang dalam 24 jam.
c. Kejang demam sebelum usia 5–6 bulan
mungkin disebabkan oleh infeksi SSP Diagnosis Banding
d. Kejang demam diatas umur 6 tahun,
1. Meningitis
perlu dipertimbangkan febrile seizure
plus (FS+). 2. Epilepsi
3. Gangguan metabolik, seperti: gangguan
3. Gen
elektrolit. Komplikasi dan prognosis
a. Risiko meningkat 2–3x bila saudara
sekandung mengalami kejang demam Kejang demam suatu kondis yang jinak/benign,
b. Risiko meningkat 5% bila orang tua tidak menyebabkan kematian. Sebagian besar
mengalami kejang demam akan menghilang pada usia 5-6 tahun. Faktor
risiko epilepsi di kemudian hari tergantung dari:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
(1) kejang demam kompleks, (2) riwayat epilepsi
Sederhana (Objective)
dalam keluarga, (3) terdapat defisit neurologis.
Pemeriksaan Fisik
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda
Penatalaksanaan
vital dan kesadaran. Pada kejang demam tidak
ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan 1. Keluarga pasien diberikan informasi
umum ditujukan untuk mencari tanda-tanda selengkapnya mengenai kejang demam dan
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan neurologi prognosisnya.
2. Farmakoterapi ditujukan untuk tatalaksana setelah timbulnya demam.
kejang akut dan tatalaksana profilaksis b. Profilaksis kontinyu dengan fenobarbital
untuk mencegah kejang berulang. dosis 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
3. Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/
kejang akut adalah dengan: kgBB/hari dibagi 2-3 dosis. Profilaksis hanya
a. Diazepam per rektal (0,5mg/kgBB) atau BB diberikan pada kasus-kasus tertentu seperti
< 10 kg diazepam rektal 5 mg , BB > 10 kg kejang demam dengan status epileptikus,
diazepam rektal 10 mg, atau lorazepam (0,1 terdapat defisit neurologis yang nyata
mg/kg) harus segera diberikan jika akses seperti cerebral palsy. Profilaksis diberikan
intravena tidak dapat diperoleh dengan selama 1 tahun.
mudah. Jika akses intravena telah diperoleh
diazepam lebih baik diberikan intravena Tabel 8.16 Farmakoterapi untuk mengatasi
dibandingkan rektal. Dosis pemberian IV kejang
0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan maksimum
pemberian 20 mg. Jika kejang belum
berhenti diazepam rektal/IV dapat
diberikan 2 kali dengan interval 5 menit.
Lorazepam intravena, setara efektivitasnya
dengan diazepam intravena dengan efek
samping yang lebih minimal (termasuk
depresi pernapasan) dalam pengobatan
kejang akut.
b. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam
rektal/intravena masih terdapat kejang
dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis
inisial 20 mg/kgBB, diencerkan dalam NaCl
0,9% dengan pengenceran 10 mg fenitoin
dalam 1 ml NaCl 0,9%, dengan kecepatan
pemberian 1mg/kgBB/menit, maksimum 50
mg/menit, dosis inisial maksimum adalah Indikasi EEG
1000 mg. Jika dengan fenitoin masih terdapat
kejang, dapat diberikan fenobarbital IV Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada
dengan dosis inisial 20 mg/kgBB, tanpa kejang demam, kecuali jika ditemukan keragu-
pengenceran dengan kecepatan pemberian raguan apakah ada demam sebelum kejang.
20 mg/menit. Jika kejang berhenti dengan Indikasi pencitraan (CT-scan/MRI kepala)
fenitoin maka lanjutkan dengan pemberian
rumatan 12 jam kemudian dengan dosis 5- Pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan jika
7 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Jika kejang terdapat kejang demam yang bersifat fokal atau
berhenti dengan fenobarbital, maka ditemukan defisit neurologi pada pemeriksaan
lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 fisik.
jam kemudian denagn dosis 4-6 mg/kgBB/
Konseling dan Edukasi
hari dalam 2 dosis.
4. Pemberian farmakoterapi untuk Konseling dan edukasi dilakukan untuk
profilaksis untuk mencegah berulangnya membantu pihak keluarga mengatasi
kejang di kemudian hari. pengalaman menegangkan akibat kejang
a. Profilaksis intermiten dengan diazepam demam dengan memberikan informasi
oral/rektal, dosis 0,3 mg/kgBB/kali tiap mengenai:
8 jam, hanya diberikan selama episode
demam, terutama dalam waktu 24 jam 1. Prognosis dari kejang demam.
2. Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan Referensi
sekolah atau kesulitan intelektual akibat
kejang demam. 1. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s
3. 3. Kejang demam kurang dari 30 menit Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage
tidak mengakibatkan kerusakan otak. Guidelines. 5th edition. Vancouver.
4. Risiko kekambuhan penyakit yang sama di Department of Pharmacy Children’s and
masa depan. Women’s Health Centre of British Columbia.
5. Rendahnya risiko terkena epilepsi dan (Esau, 2006)
tidak adanya manfaat menggunakan terapi 2. Guidelines and protocol febrile seizures.
obat antiepilepsi dalam mengubah risiko September, 2010.
itu. 3. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and
Formulary 2007-2008. Toronto. The
Kriteria Rujukan Department of Pharmacy, The Hospital for
Sick Children. (Lau, 2008)
1. Apabila kejang tidak membaik setelah
4. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug
diberikan obat antikonvulsan sampai lini
Information 2009. Bethesda. American
ketiga (fenobarbital).
Society of Health-System Pharmacists, Inc.
2. Jika diperlukan pemeriksaan penunjang
(McEvoy,2009)
seperti EEG dan pencitraan (lihat indikasi
5. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi
EEG dan pencitraan).
IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI, 2006)
Peralatan
Tabung oksigen dan kelengkapannya, infus set,
diazepam rektal/intravena, lorazepam, fenitoin
IV, fenobarbital IV, NaCl 0,9%.

14. TETANUS NEONATORUM


No. ICPC-2: N72 Tetanus
No. ICD -10: A33 Tetanus Neonatorum
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Secara global hampir 14% penyebab kematian Keluhan
neonatus adalah tetanus neonatorum. Tetanus
neonatorum bertanggung jawab terhadap Gejala klinis timbul setelah toksin mencapai
50% kematian neonatus yang disebabkan oleh susunan saraf. Masa inkubasi umumnya berkisar
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. antara 3-10 hari. Trismus akibat spasme otot
Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan masseter ditemukan pada lebih dari separuh
imunisasi dan atau pelayanan persalinan penderita, diikuti kekauan otot leher, kesulitan
dan pasca persalinan yang bersih. Beberapa menelan dan mulut mencucu seperti mulut
penelitian komunitas di awal tahun 1970 dan ikan. Spasme otot punggung dan otot perut.
1980 di Negara Amerika Latin dan beberapa Spasme dapat terjadi spontan atau terhadap
Negara berkembang menunjukkan kematian rangsangan dengan frekuensi yang bervariasi.
neonatal antara <5 sampai 60 kasus per 1000 Kesadaran masih intak.
kelahiran hidup. Di beberapa negara berkembang
Anamnesis, meliputi :
kematian tetanus neonatorum merupakan 23-
72% dari total kematian neonatal. 1. Penolong persalinan apakah tenaga
medis/paramedis/non medis/dukun bayi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
2. Telah mendapat pelatihan atau belum
3. Alat yang dipakai memotong tali pusat Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :
4. Ramuan apa yang dibubuhkan pada 1. Eradikasi kuman
perawatan tali pusat a. Tali pusat dibersihkan dengan alcohol
5. Status imunisasi TT ibu sebelum dan selama 70% atau providon iodin.
kehamilan b. Antibiotik
6. Sejak kapan bayi tidak dapat menetek c. Penisilin prokain 50.000 IU/kg/kali IM,
(incubation period) tiap 12 jam, atau
7. Berapa lama selang waktu antara gejala- d. Ampisilin 50 mg/kg/dosis, atau
gejala tidak dapat menetek dengan gejala • Usia gestasi (UG) < 37 minggu
spasme pertama (period of onset) - n< 28 hari tiap 12 jam
Faktor Risiko : - - > 28 hari tiap 8 jam
• UG > 37 minggu
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang - < 7 hari tiap 12 jam
Sederhana (Objective) - > 7 hari tiap 8 jam
e. Metronidazole loading dose 15mg/
Pemeriksaan Fisik
kg/dosis, selanjutnya 7,5mg/kg/dosis, atau
1. Kesadaran intak f. Interval
2. Trismus • Usia < 28 hari tiap 12 jam
3. Kekakuan otot leher, punggung, perut • Usia > 28 hari tiap 8 jam
4. Mulut mencucu seperti mulut ikan g. Pemberian dosis rumatan
5. Kejang • UG < 37 minggu 24 jam setelah loading
dose
Pemeriksaan Penunjang • UG > 37 minggu 12 jam setelah loading
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dose
spesifik untuk tetanus neonatorum. Diagnosis h. Eritromisin 15-25 mg/kg/dosis tiap 8 jam
utamanya ditegakkan dengan adanya gejala Bila ada sepsis/pneumonia dapat
klinis seperti trismus, disfagia, kekakuan otot ditambahkan sefotaksim 50 mg/kg/dosis
(muscular rigidity). • UG < 30 minggu
- <28 hari tiap 12 jam
Penegakan Diagnostik (Assessment) - >28 hari tiap 8 jam
• UG > 30 minggu
Diagnosis Klinis
2. < 14 hari tiap 12 jam
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, > 14 hari tiap 8 jam
pemeriksaan fisik dan penunjang. 3. Netralisasi toksin
a. ATS 50.000 – 100.000 IU, setengah dosis
Diagnosis Banding IM, setengahnya IV, dilakukan uji kulit
Semua penyebab kejang neonatus seperti lebih dahulu.
Kongenital (cerebral anomalies), perinatal b. Bila tersedia dapat diberikan HTIG 3000-
(komplikasi persalinan, trauma perinatal & 6000 IU IM
atau perdarahan intracranial) dan postnatal 4. Memberikan pelemas otot untuk mengatasi
(Intervensi & gangguan metabolik) spasme otot
Diazepam 20-40 mg/kgBB/hari, drip,
Komplikasi dilarutkan dalam larutan dekstrose 5%
menggunakan syringe pump. Obat dibagi
Fraktur, dislokasi mandibular, hipoksia dan
menjadi empat sediaan untuk menghindari
pneumonia aspirasi, Long bone fractures
efek pengendapan obat diazepam. Hati-hati
terjadi henti napas dalam pemberiannya. Kriteria Rujukan : -
Bila diazepam telah mencapai dosis
maksimal tetapi spasme tetap tidak teratasi Peralatan
dianjurkan pemberian pelumpuh otot -
pankuronium 0,05-0,1 mg/kgBB/kali dan
penggunaan ventilator mekanik. Prognosis
5. Terapi suportif 1. Ad Vitam : dubia
a. Pemberian oksigen 2. Ad Functionam : dubia
b. Pembersihan jalan nafas 3. Ad Sanationam : dubia
c. Keseimbangan cairan, elektrolit dan
kalori Referensi
6. Imunisasi
1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid
Kedokteran Universitas Udayana. 2004.
sesuai dengan jadwal imunisasi diberikan
Tetanus dalam Standar Pelayanan Medis
pada saat penderita pulang.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD.
Konseling dan Edukasi : Denpasar. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Universitas Udayana, 2004)
1. Pencegahan tetanus neonatorum dapat 2. Wibowo, T. Tetanus Neonatorum dalam
dilakukan dengan menjaga proses Buletin Jendela Data dan Informasi. 2012.
persalinan tetap aseptic termasuk pada Volume 1. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI.
saat pemotongan tali pusat. (Wibowo, 2012)
2. Imunisasi aktif wanita hamil dengan 2
dosis Tetanus Toksoid 0,5 ml dengan jarak
penyuntikan 2 bulan dapat mencegah
terjadinya penyakit tetanus neonatroum.
I. PSIKIATRI

1. GANGGUAN SOMATOFORM
No ICPC-2 : P75. Somatization disorder
No ICD-10 : F45 Somatoform disorders
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
pemeriksaan medis,
Gangguan somatoform merupakan 3. Hasil pemeriksaan medis tidak
suatu kelompok kelainan psikiatrik yang menunjukkan adanya kelainan yang dapat
manifestasinya dapat berupa berbagai gejala menjelaskan keluhan tesebut,
fisik yang dirasakan signifikan oleh pasien 4. Onset dan kelanjutan dari keluhan
namun tidak ditemukan penyebabnya secara berhubungan erat dengan peristiwa
medis. Tidak ada data yang pasti mengenai kehidupan yang tidak menyenangkan atau
prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu konflik- konflik,
penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi 5. Pasien biasanya menolak upaya untuk
gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas membahas kemungkinan adanya penyebab
sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis psikologis,
gangguan yang tersering adalah neurosis, 6. Dapat terlihat perilaku mencari perhatian
yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk (histrionik), terutama pada pasien yang
psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi medis tidak puas karena tidak berhasil membujuk
yang serius, gejala- gejala yang dirasakan oleh dokter menerima persepsinya
pasien dengan gangguan somatoform sangat bahwa keluhan yang dialami merupakan
mengganggu dan berpotensi menimbulkan penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan
distres emosional. Peran dokter di fasilitas lebih lanjut.
pelayanan kesehatan tingkat pertama pada
kasus gangguan somatoform sangat penting. Selain untuk menegakkan diagnosis, anamnesis
dilakukan untuk menggali pemahaman dan
Keberhasilan dokter dalam mengeksklusi
kelainan medis, mendiagnosis gangguan persepsi pasien mengenai kondisi yang
dialaminya. Seringkali tujuan ini baru dapat
somatoform dengan tepat, dan menatalaksana
akan sangat membantu meningkatkan kualitas dicapai setelah beberapa kali pertemuan. Dokter
harus mengklarifikasi keluhan-keluhan pasien
hidup pasien, mengurangi rujukan yang
tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain itu,
perlu pula digali harapan dan keinginan pasien,
pemeriksaan medis yang berlebihan atau
merugikan. keyakinan dan ketakutan yang mungkin pasien
miliki, serta stresor psikososial yang mungkin
Hasil Anamnesis (Subjective) dialami dan menjadi penyebab gangguan.

Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik
tertentu. Dokter harus mempertimbangkan Tidak ada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
diagnosis gangguan somatoform bila terdapat penunjang spesifik yang diperlukan untuk
beberapa karakteristik berikut ini: menegakkan diagnosis gangguan somatoform.
Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan
1. Keluhan atau gejala fisik berulang, untuk mengeksklusi kelainan organik yang
2. Dapat disertai dengan permintaan dianggap relevan dengan keluhan pasien.
Pemeriksaan penunjang yang terlalu dahulu memastikan ada tidaknya tanda-
berlebihan perlu dihindari agar tidak tanda gangguan ansietas (F40-F41), obsesif
menambah kekhawatiran pasien. kompulsif (F42), reaksi stres dan gangguan
penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif
Penegakan Diagnosis (Assessment)
atau konversi (F44). Gangguan somatoform
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda
pertama harus memikirkan diagnosis gangguan pada pasien memenuhi kriteria diagnostik
somatoform bila pada pasien terdapat gangguan di hirarki yang lebih tinggi.
keluhan dengan karakteristik sebagaimana yang 3. Mengeksklusi kondisi factitious disorder
telah dijelaskan pada halaman sebelumnya dan malingering
(lihat poin Hasil Anamnesis (Subjective)). Dalam
Pada kondisi factitious disorder, pasien
praktik sehari-hari, dokter dapat menggunakan
mengadopsi keluhan- keluhan fisik, tanpa
kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining
ia sadari, sebagai upaya memperoleh
gangguan somatoform. Salah satu contohnya
keuntungan internal, misalnya: untuk
adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ-
mendapat perhatian lebih dari orang-orang
15). Berikut ini adalah langkah- langkah
tertentu di sekitarnya. Berbeda halnya
pendekatan terhadap keluhan fisik pasien
dengan kondisi malingering, di mana
hingga dokter sampai pada kesimpulan
pasien sengaja atau berpura-pura sakit
diagnosis gangguan somatoform:
untuk memperoleh keuntungan eksternal,
1. Mengeksklusi kelainan organik misalnya: agar terhindar dari tanggung
jawab atau kondisi tertentu, atau untuk
Keluhan dan gejala fisik yang dialami oleh
memperoleh kompensasi uang tertentu).
pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan
Pada gangguan somatoform, tidak ada
panduan tatalaksana medis terkait, dengan
keuntungan yang coba didapat oleh pasien.
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
Keluhan-keluhan yang disampaikan juga
dan pemeriksaan penunjang yang relevan.
bukan sesuatu yang disengaja, malahan
2. Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu,
yang tergolong dalam kelompok dan blok dipertahankan, dan diperparah oleh
yang hirarkinya lebih tinggi. kekhawatiran dan ketakutan tertentu
Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik (Oyama et al. 2007).
dilakukan secara hirarkis. Dalam Pedoman
4. Menggolongkan ke dalam jenis gangguan
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
somatoform yang spesifik
Jiwa III, gangguan somatoform memiliki
kode F45 dan merupakan blok penyakit Blok gangguan somatoform terdiri atas:
yang termasuk dalam kelompok F40-F48, a. F45.0. Gangguan somatisasi
yaitu gangguan neurotik, gangguan b. F45.1. Gangguan somatoform tak terinci
somatoform, dan gangguan yang berkaitan c. F45.2. Gangguan hipokondrik
dengan stres. Dengan demikian, pada d. F45.3. Disfungsi otonomik somatoform
kasus gangguan somatoform, dokter e. F45.4. Gangguan nyeri somatoform
perlu mengeksklusi gangguan mental menetap
organik (F00-F09), gangguan mental dan f. F45.5. Gangguan somatoform lainnya
perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif g. F45.6. Gangguan somatoform yang tidak
(F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, tergolongkan (YTT)
dan gangguan waham (F20-F29), serta
gangguan suasana perasaan atau mood
atau afektif (F30-F39). Pada blok F40-
F48 sendiri, dokter perlu terlebih
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) mengindentifikasi serta mengelola stres
secara efektif, misalnya dengan relaksasi,
Penatalaksanaan breathing control. Peningkatan aktifitas fisik
Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform dapat disarankan untuk mengurangi
adalah mengelola gejala dan bukan fatigue dan nyeri muskuloskeletal
menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak ada 7. Bila gangguan somatoform merupakan
kelainan medis yang dialami oleh pasien. bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter
Berikut ini adalah prinsip- prinsip dasar harus mengintervensi dengan tepat.
pengelolaan pasien dengan gangguan 8. Dokter perlu menjadwalkan pertemuan
somatoform: yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan
dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap
1. Dokter harus menerima bahwa pasien bulan selama 5-10 menit, terutama untuk
memang betul-betul merasakan gejala memberi dukungan dan reassurance.
pada tubuhnya dan memahami bahwa Dokter perlu membatasi dan menghindari
gejala- gejala tersebut mengganggu konsultasi via telepon atau kunjungan-
pasien. Dokter perlu melatih diri untuk kunjungan yang bersifat mendesak.
tidak terlalu prematur menganggap pasien 9. Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater
berpura-pura (malingering) tanpa didukung bila diperlukan, misalnya saat penegakan
bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana diagnosis yang sulit, menentukan adanya
gangguan somatoform adalah membangun komorbid psikiatrik lain, atau terkait
kemitraan dengan dan kepercayaan dari pengobatan.
pasien.
2. Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan Non-medikamentosa
somatoform, dokter perlu mendiskusikan
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan
kemungkinan ini sedini mungkin
salah satu tatalaksana yang efektif untuk
dengan pasien. Bila diagnosis gangguan
mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT,
somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu
dokter memposisikan diri sebagai mitra
mendiskusikannya dengan pasien.
yang membantu pasien. Tahap awal dari
3. Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai CBT adalah mengkaji masalah pasien dengan
gangguan yang dialaminya dengan tepat dan membantu pasien mengidentifikasi
berempati dan menghindari konfrontasi hal-hal yang selama ini menimbulkan atau
Dokter harus menunjukkan kesungguhan memperparah gejala fisik yang dialami,
untuk membantu pasien sebaik-baiknya, misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang tidak
tanpa memaksa pasien untuk menerima realistis, kekhawatiran, atau perilaku tertentu.
pendapat dokter. Tahap selanjutnya adalah membantu pasien
4. Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan mengidentifikasi dan mencoba alternatif
sekunder yang tidak perlu harus dihindari. perilaku yang dapat mengurangi atau mencegah
Bila ada gejala baru, dokter perlu berhati- timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal
hati dalam menganjurkan pemeriksaan atau sebagai behavioral experiments.
rujukan.
5. Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan Medikamentosa
pada fungsi pasien sehari-hari, bukan gejala,
serta pada pengelolaan gejala, bukan Penggunaan obat harus berdasarkan
penyembuhan. indikasi yang jelas. Hanya sedikit studi yang
6. Dokter perlu menekankan modifikasi menunjukkan efektifitas yang signifikan dari
gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga penggunaan obat-obat untuk tatalaksana
pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana gangguan somatoform. Antidepresan dapat
bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi
mungkin perlu dibantu untuk atau ansietas yang mengganggu.
Prognosis Screeners. Available at: http://
www.phqscreeners.com/pdfs/04_PHQ-15/
1. Ad vitam : Bonam English.pdf [Accessed May 24, 2014].
2. Ad functionam : Dubia 6. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting
3. Ad sanationam : Dubia Somatoform Disorders in Primary Care with
Sebagian pasien tidak menunjukkan respon the PHQ-15. Annals of Family Medicine,
positif atas tatalaksana yang dilakukan 7, pp.232–238. Available at: http://www.
dan gangguan somatoform terus berlanjut annfammed.org/content/7/3/232.full.
bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini pdf+html.
diperkirakan terjadi pada 0,2-0,5% anggota
populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini dapat
memperbaiki prognosis dan mengurangi
hambatan pada fungsi sosial dan okupasi
sehari- hari.
Peralatan
Untuk keperluan skrining, dapat disediakan
lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter. Selain
itu, tidak ada peralatan khusus yang
diperlukan terkait diagnosis dan tatalaksana
gangguan somatoform.
Referensi
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1993. F45 Gangguan Somatoform. In
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pp. 209–221.
2. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform
and Dissociative Disorders: Assessment
and Treatment Advance in Psychiatric
Treatment,3(1), pp.9–16 Available
at:http://apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/
apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014].
3. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode
Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan
Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan
Primer. Majalah Kedokteran Indonesia,
60(10), pp.448–453.
4. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007.
Somatoform Disorders. American Family
Physician, 76, pp.1333–1338. Available at:
www.aafp.org/afp.
5. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-
15). Patient Health Questionnaire (PHQ)
2. DEMENSIA
No. ICPC-2
: P70 Dementia
No. ICD-10
: F03 Unspecified dementia
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Gangguan fungsi otak terutama berupa
Demensia merupakan sindrom akibat penyakit gangguan fungsi memori dan bahasa, seperti
otak yang bersifat kronik progresif, ditandai afasia, aphrasia, serta adanya kemunduran
dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, fungsi kognitif eksekutif.
termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya 3. Dilakukan pemeriksaan untuk
tangkap (komprehensi), kemampuan belajar, menyingkirkan adanya gangguan neurologik
orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan daya atau penyakit sistemik
nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti dengan
Pemeriksaan penunjang
deteriorasi dalam kontrolemosi, hubungan sosial
dan motivasi. Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika
ada kecurigaan adanya kondisi medis yang
Pada umumnya terjadi pada usia lanjut,
menimbulkan dan memper berat gejala. Dapat
ditemukan pada penyakit Alzhaimer, penyakit
dilakukan Mini Mental State Examination
serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara
(MMSE).
primer dan sekunder mempengaruhi otak.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis,
Keluhan utama adalah gangguan daya ingat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
mudah lupa terhadap kejadian yang baru
dialami, dan kesulitan mempelajari informasi Kriteria Diagnosis
baru. Diawali dengan sering lupa terhadap
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat
kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda kecil,
dan daya pikir yang sampai mengganggu
pada akhirnya lupa mengingat nama sendiri
kegiatan harian seseorang
atau keluarga.
2. Tidak ada gangguan kesadaran
Faktor Risiko 3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk
paling sedikit enam bulan
Usia> 60 tahun (usialanjut). Riwayat keluarga.
Klasifikasi
Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular
(hipertensi, penyakit jantung), atau diabetes 1. Demensia pada penyakit Alzheimer
mellitus. 2. Demensia Vaskular (Demensia multiinfark)
3. Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 4. Demensia pada penyakit Creufield-Jacob
Sederhana (Objective) 5. Demensia pada penyakit Huntington
Pemeriksaan Fisik 6. Demensia pada penyakit Parkinson
7. Demensia pada penyakit HIV/AIDS
1. Kesadaran sensorium baik. 8. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya
2. Penurunan daya ingat yang bersifat kronik paling besar (50-60%), disusul demensia
dan progresif. vaskular (20-30%)
Diagnosis Banding seperti Haloperidol 0,5-1 mg/hari.
Delirium, Depresi, Gangguan Buatan, Skizofrenia Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis
dan penatalaksanaan lanjutan.
Penatalaksanaan
2. Apabila pasien menunjukkan gejala
1. Non farmakologi agresifitas dan membahayakan dirinya atau
a. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol orang lain.
penyakit fisik, lakukan aktifitas fisik
Peralatan: Tidak ada Peralatan khusus
sederhana seperti senam otak, stimulasi
kognitif dengan permintaan, kuis, Prognosis
mengisi teka-teki silang, bermain catur.
b. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia
nyaman dan aman bagi pasien. ad bonam, sedangkan fungsi adalah dubia ad
c. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari malam. Ad sanationam adalah ad malam.
(mandi, makan, dan lain-lain) untuk Referensi
mengoptimalkan aktivitas independen,
meningkatkan fungsi, membantu 1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
adaptasi dan mengembangkan Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
keterampilan, serta meminimalisasi Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama,
kebutuhan akan bantuan. 1993. (Kementerian Kesehatan Republik
d. Ajarkan kepada keluarga agar dapat Indonesia, 1993)
membantu mengenal barang milik 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
pribadinya, mengenal waktu Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
dengan menggunakan jam besar, Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
kalender harian, dapat menyebutkan (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
namanya dan anggota keluarga Jiwa Indonesia, 2012)
terdekat, mengenal lingkungan sekitar,
beri pujian jika dapat menjawab 3. World Health Organization. MH gap
dengan benar, bicara dengan kalimat Intervention Guide for Mental, Neurological
sederhana dan jelas (satu atau dua tahap and Substance Use Disorders in Non-
saja), bila perlu gunakan isyarat atau Specialized Health Settings, 2010. (World
sentuhan lembut. Health Organization, 2010)
2. Farmakologi
a. Jangan berikan inhibitor
asetilkolinesterase (seperti: donepzil,
galantamine dan rivastigmine) atau
memantine secara rutin untuk semua
kasus demensia. Pertimbangkan
pemberiannya hanya pada kondisi
yang memungkinkan diagnosis spesifik
penyakit Alzheimer ditegakkan dan
tersedia dukungan serta supervisi
adekuat oleh spesialis serta
pemantauan efek samping oleh pelaku
rawat.
b. Bila pasien berperilaku agresif, dapat
diberikan antipsikotik dosis rendah,
3. INSOMNIA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: P06 Sleep disturbance
: F51 Insomnia non organik pada psikiatri
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pada status generalis, pasien tampak lelah dan
Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam mata cekung. Bila terdapat gangguan organik,
tidur, dapat berupa kesulitan berulang untuk ditemukan kelainan pada organ.
mencapai tidur, atau mempertahankan tidur
Pemeriksaan Penunjang
yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.
Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.
salah satu gejala dari gangguan lainnya,
baik mental (psikiatrik) atau fisik. Secara umum Penegakan Diagnostik (Assessment)
lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur Diagnosis Klinis
yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain
yang relevan untuk menjelaskan secara kuat Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.
psikopatologi dan atau patofisiologinya. Pedoman Diagnosis

Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur


atau mempertahankan tidur atau kualitas
Keluhan tidur yang buruk
Sulit masuk tidur, sering terbangun di 2. Gangguan terjadi minimal tiga kali
malam hari atau mempertahankan tidur yang seminggu selama minimal satu bulan.
optimal, atau kualitas tidur yang buruk. 3. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan
peduli yang berlebihan terhadap akibatnya
Faktor Risiko pada malam hari dan sepanjang siang hari.
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau
1. Adanya gangguan organik (seperti
kualitas tidur menyebabkan penderitaan
gangguan endokrin, penyakit jantung).
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi
2. Adanya gangguan psikiatrik seperti
dalam sosial dan pekerjaan.
gangguan psikotik, gangguan depresi,
gangguan cemas, dan gangguan akibat zat Diagnosis Banding
psikoaktif.
Gangguan Psikiatri, Gangguan Medik umum,
Faktor Predisposisi Gangguan Neurologis, Gangguan Lingkungan,
Gangguan Ritme sirkadian.
1. Sering bekerja di malam hari .
2. Jam kerja tidak stabil. Komplikasi
3. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif
yang berlebihan. Dapat terjadi penyalahgunaan zat.
4. Efek samping obat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Kerusakan otak, seperti: encephalitis, stroke,
penyakit Alzheimer Penatalaksanaan

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-
Sederhana (Objective) faktor risiko yang dimilikinya dan
pentingnya untuk memulai pola hidup yang
Pemeriksaan Fisik sehat dan mengatasi masalah yang
menyebabkan
terjadinya insomnia. Peralatan
2. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan
Lorazepam 0,5-2 mg atau Diazepam 2-5 mg Tidak ada Peralatan khusus
pada malam hari. Pada orang yang berusia Prognosis
lanjut atau mengalami gangguan medik
umum diberikan dosis minimal efektif. Prognosis pada umumnya bonam

Konseling dan Edukasi Referensi

Memberikan informasi kepada pasien dan 1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman


keluarga agar mereka dapat memahami tentang Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
insomnia dan dapa tmenghindari pemicu Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
terjadinya insomnia. 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kriteria Rujukan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak 3. World Health Organization. MH gap
menunjukkan perbaikan, atau apabila terjadi Intervention Guide for Mental, Neurological
perburukan walaupun belum sampai 2 minggu, and Substance Use Disorders in Non-
pasien dirujuk kefasilitas kesehatan sekunder Specialized Health Settings, 2010.
yang memiliki dokter spesialis kedokteran jiwa.

4. GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI


No. ICPC-2: P74Anxiety Disorder (anxiety state)
No. ICD-10: F41.2 Mixed Anxiety and Depression Disorder
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
khawatir berlebihan.
Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-
Allo dan Auto Anamnesis tambahan:
gejala anxietas (kecemasan) dan depresi
bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak 1. Adanya gejala seperti minat dalam
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup melakukan aktivitas/semangat yang
beratuntuk dapat ditegakannya suatu diagnosis menurun, merasa sedih/ murung, nafsu
tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa makan berkurang atau meningkat
gejala autonomik harus ditemukan, walaupun berlebihan, sulit berkonsentrasi,
tidak terusmenerus, di samping rasa cemas atauk kepercayaan diri yang menurun, pesimistis.
hawatir berlebihan.
2. Keluhan biasanya sering terjadi, atau
Hasil Anamnesis (Subjective) berlangsung lama, dan terdapat stresor
kehidupan.
Keluhan
3. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan
Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik
penggunaan zat (alkohol, tembakau,
seperti: nafas pendek/cepat, berkeringat, gelisah,
stimulan, dan lain-lain)
gangguan tidur, mudah lelah, jantung berdebar,
gangguan lambung, diare, atau bahkan Faktor Risiko
sakit kepala yang disertai dengan rasa cemas/
1. Adanya faktorbiologis yang mempengaruhi,
antara lain hiper aktivitas sistem
noradrenergik, faktorgenetik. dalam melakukan aktivitas), mudah,
lelah, gangguan tidur, konsentrasi menurun,
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan gangguan pola makan, kepercayaan diri
tidak fleksibel, seperti ciri kepribadian yang berkurang, pesimistis, rasa tidak
dependen, skizoid, anankastik, cemas berguna/rasa bersalah
menghindar.
Diagnosis Banding
3. Adanya stres kehidupan.
Gangguan Cemas (Anxietas) Organik, Gangguan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat,
Sederhana (Objective) Gangguan Depresi,Gangguan Cemas Menyeluruh,
Pemeriksaan Fisik Gangguan Panik, Gangguan Somatoform

Respirasi meningkat, tekanan darah dapat Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


meningkat, dan tanda lain sesuai keluhan Penatalaksanaan
fisiknya.
1. Non-farmakologi
Pemeriksaan penunjang a. Konseling dan edukasi pada pasien dan
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak keluarga
ditemukan adanya tanda yang bermakna. • Karena gangguan campuran
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk cemas depresi dapat mengganggu
menyingkirkan diagnosis banding sesuai produktivitas pasien, keluarga
keluhan fisiknya. perlu memahami bahwa hal ini
bukan karena pasien malas atau
Penegakan Diagnostik (Assessment) tidak mau mengerjakan tugasnya,
Diagnosis Klinis melainkan karena gejala- gejala
penyakitnya itu sendiri, antara lain
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan mudah lelah serta hilang energi. Oleh
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria sebab itu, keluarga perlu
diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya memberikan dukungan agar pasien
gejala- gejala kecemasan dan depresi yang mampu dan dapat mengatasi gejala
timbul bersama-sama, dan masing-masing penyakitnya.
gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala • Gangguan campuran anxietas dan
yang cukup beratuntuk dapat ditegakkannya depresi kadang-kadang memerlukan
suatu diagnosis tersendiri. pengobatan yang cukup lama,
diperlukan dukunga keluarga untuk
1. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
memantau agar pasien
a. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit melaksanakan pengobatan dengan
berkonsentrasi benar, termasuk minum obat setiap
hari.
b. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, b. Intervensi Psikososial
gemetaran, tegang, tidak dapat santai • Lakukan penentraman (reassurance)
c. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, dalam komunikasi terapeutik, dorong
berkeringat berlebihan, sesak nafas, mulut pasien untuk mengekspresikan
kering,pusing, keluhan lambung, diare. pikiran perasaan tentang gejala dan
riwayat gejala.
2. Gejala-gejala depresi antara lain: suasana • Beri penjelasan adanya pengaruh
perasaan sedih/murung, kehilangan minat/ antara faktor fisik dan psikologis,
kesenangan (menurunnya semangat termasuk bagaimana faktor perilaku,
psikologik dan emosi berpengaruh
mengeksaserbasi gejala somatik yang
mempunyai dasar fisiologik. mengalami gangguan ini, terutama apabila
• Bicarakan dan sepakati rencana gejala progresif dan makin bertambah berat
pengobatandan follow-up, yang menunjukkan gejala depresi seperti
bagaimana menghadapi gejala, dan pasien menolak makan, tidak mau merawat
dorong untuk kembali keaktivitas diri, ada ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak
normal. ada perbaikan yang signifikan dalam 2-3 bulan
• Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas terapi.
dalam)
• Anjurkan untuk berolah raga teratur Peralatan
atau melakukan aktivitas yang Tidak ada peralatan khusus.
disenangi serta menerapkan perilaku
hidup sehat. Prognosis
• Ajarkan untuk selalu berpikir positif Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah
dan manajemen stres dengan baik. bonam.
2. Farmakologi:
a. Untuk gejala kecemasan maupun Referensi
depresinya, diberikan antidepresan
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry,
dosis rendah, dapat dinaikkan apabila
7th edition, William and Wilkins.
tidak ada perubahan yang signifikan
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman
setelah 2-3 minggu: fluoksetin 1x10-
penggolongan dan diagnosis Gangguan
20 mg/hari atau sertralin 1 x 25-50 mg/
jiwa di Indonesia III, cetakan pertama,
hari atau amitriptilin 1x12,5-50 mg/
1993.
hari atau imipramin1-2x10-25 mg/hari.
3. World Health Organization. Diagnostic
Catatan: amitriptilin dan imipramin
and management guidelines for mental
tidak boleh diberikan pada pasien
disorders in primary care: ICD-10 chapter
dengan penyakit jantung, dan
V, primary care version. Seattle: Hogrefe
pemberian berhati-hati untuk pasien
& Huber Publishers. (World Health
lansia karena efek hipotensi ortostastik
Organization, t.thn.)
(dimulai dengan dosis minimal efektif).
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
b. Pada pasien dengan gejala kecemasan
Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
yang lebih dominan dan atau
Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012
dengan gejala insomnia dapat
diberikan kombinasi fluoksetin
atau sertralin dengan antianxietas
benzodiazepin. Obat-obatan
antianxietas jenis benzodiazepin yaitu:
diazepam 1x2-5 mg atau lorazepam 1-2
x 0,5-1 mg atau klobazam 2x5-10 mg
atau alprazolam 2x 0,25-0,5mg. Setelah
kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin
ditappering-off perlahan, sementara
antidepresan diteruskan hingga 4-6
bulan sebelum ditappering- off. Hati-
hati potensi penyalahgunaan pada
alprazolam karena waktu paruh yang
pendek.
Kriteria Rujukan
Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis
5. GANGGUAN PSIKOTIK
No. ICPC-2 No. ICD-10 PC : P98 Psychosis NOS/other
: F20 Chronic Psychotic Disorder
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Gangguan yang ditandai dengan Sederhana (Objective)
ketidakmampuan atau hendaya berat dalam
Pemeriksaan Fisik
menilai realita, berupa sindroma (kumpulan
gejala), antara lain dimanifestasikan dengan Pemeriksaan fisik diperlukan untuk
adanya halusinasi dan waham. menyingkirkan penyebab organik dari
psikotiknya (gangguan mental organik). Selain
Hasil Anamnesis (Subjective)
itu pasien dengan gangguan psikotik juga sering
Keluhan terdapat gangguan fisik yang menyertai karena
perawatan diri yang kurang.
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
Pemeriksaan Penunjang
1. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
2. Tidak dapat tidur, tidak mau makan 1. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit
3. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, fisik yang menyertai untuk menyingkirkan
ketakutan diagnosis banding gangguan mental
4. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti organik.
5. Mendengar suara orang yang tidak dapat 2. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke
didengar oleh orang lain fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
6. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai lanjut maka pada fasilitas pelayanan
realita kesehatan tingkat pertama yang mampu
7. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
yang berat, perilaku kacau, perilaku yang sesuai seperti: darah perifer lengkap,
kekerasan elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi
8. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak ginjal, serta radiologi dan EKG.
merawat diri dengan baik
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Diagnosis Klinis
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan
fisik (seperti demam tinggi, kejang, trauma
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria
kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai
diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:
penyebab timbulnya keluhan.
1. Halusinasi (terutama halusinasi dengar);
Faktor Risiko
merupakan gangguan persepsi (persepsi
1. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, palsu), tanpa adanya stimulus sensori
antara lain hiperaktivitas sistem eksternal. Halusinasi dapat terjadi pada
dopaminergik dan faktor genetik. setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar,
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, seperti lihat, cium, raba, dan rasa.
ciri kepribadian skizoid, paranoid, dependen. 2. Waham (delusi); merupakan gangguan
3. Adanya stresor kehidupan. pikiran, yaitu keyakinan yang salah, tidak
sesuai dengan realita dan logika, namun
tetap dipertahankan dan tidak dapat
menyediakan dukungan yang
dikoreksi dengan cara apapun serta tidak
berharga untuk pasien dan keluarga.
sesuai dengan budaya setempat. Contoh:
waham kejar, waham kebesaran, waham b. Konseling pasien dan keluarga
kendali, waham pengaruh. • Bicarakan rencana pengobatan
3. Perilaku kacau atau aneh dengan anggota keluarga dan
4. Gangguan proses pikir (terlihat dari minta dukungan mereka. Terangkan
pembicaraan yang kacau dan tidak bahwa minum obat secara teratur
dimengerti) dapat mencegah kekambuhan.
5. Agitatif Informasikan bahwa obat tidak dapat
6. Isolasi sosial (social withdrawal) dikurangi atau dihentikan tiba-tiba
7. Perawatan diri yang buruk tanpa persetujuan dokter.
Informasikan juga tentang efek
Diagnosis Banding samping yang mungkin timbul dan
1. Gangguan Mental Organik (Delirium, cara penanggulangannya.
Dementia, Psikosis Epileptik) • Dorong pasien untuk melakukan
2. Gangguan Mental dan Perilaku akibat fungsinya dengan seoptimal
Penggunaan Zat (Napza) mungkin di pekerjaan dan aktivitas
3. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik harian lain.
4. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik) • Dorong pasien untuk menghargai
norma dan harapan masyarakat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (berpakaian, berpenampilan dan
Penatalaksanaan berperilaku pantas).
• Menjaga keselamatan pasien dan
1. Intervensi Psikososial orang yang merawatnya pada fase
akut:
a. Informasi penting bagi pasien dan
o Keluarga atau teman harus
keluarga
menjaga pasien.
• Agitasi dan perilaku aneh
o Pastikan kebutuhan dasar
merupakan gejala gangguan mental,
terpenuhi (misalnya makan dan
yang juga termasuk penyakit medis.
minum).
• Episode akut sering mempunyai
o Jangan sampai mencederai pasien.
prognosis yang baik, tetapi
perjalanan penyakit jangka panjang • Meminimalisasi stres dan stimulasi:
sulit diprediksi. Pengobatan perlu o Jangan mendebat pikiran psikotik
dilanjutkan meskipun setelah gejala (anda boleh tidak setuju dengan
mereda. keyakinan pasien, tetapi jangan
• Gejala-gejala dapat hilang timbul. mencoba untuk membantah bahwa
Diperlukan antisipasi dalam pikiran itu salah). Sedapat mungkin
menghadapi kekambuhan. Obat hindari konfrontasi dan kritik.
merupakan komponen utama dalam o Selama masa gejala-gejala
pengobatan. Minum obat secara menjadi lebih berat, istirahat
teratur akan mengurangi gejala- dan menghindari stres dapat
gejala dan mencegah kekambuhan. bermanfaat.
• Dukungan keluarga penting
untuk ketaatberobatan (compliance) • Agitasi yang berbahaya untuk pasien,
dan rehabilitasi. keluarga dan masyarakat memerlukan
• Organisasi masyarakat dapat rawat inap atau pengamatan ketat di
tempat yang aman.
2. Farmakologi mandir tidak bisa berhenti bukan akibat
gejala) turunkan dosis antipsikotik dan
a. Berikan obat antipsikotik: Haloperidol berikan beta-blocker, propranolol 2-3 x
2-3 x 2-5 mg/hari atau Risperidon 2x 1- 10-20 mg.
3 mg/hari atau Klorpromazin 2-3 x 100-
200 mg/hari. Untuk haloperidol dan 3. Kunjungan Rumah (home visit)
risperidon dapat digabungkan dengan
benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3 Kunjungan rumah dilakukan sesuai indikasi
x 5 mg, lorazepam 1-3 x 1-2 mg) untuk untuk:
mengurangi agitasi dan memberikan a. Memastikan kepatuhan dan
efek sedasi. Benzodiazepin dapat kesinambungan pengobatan
ditappering-off setelah 2-4 minggu. b. Melakukan asuhan keperawatan
Catatan: klorpromazin memiliki efek c. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat
samping hipotensi ortostatik.
Kriteria Rujukan
b. Intervensi sementara untuk gaduh
gelisah dapat diberikan injeksi intra 1. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk
muskular haloperidol kerja cepat konfirmasi diagnostik ke fasyankes sekunder
(short acting) 5 mg, dapat diulangi yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa
dalam 30 menit - 1 jam jika belum setelah dilakukan penatalaksanaan awal.
ada perubahan yang signifikan, dosis 2. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan
maksimal 30 mg/hari. Atau dapat perawatan inap karena berpotensi
juga dapat diberikan injeksi membahayakan diri atau orang lain segera
intra muskular klorpromazin 2-3 x dirujuk setelah penatalaksanaan awal.
50 mg. Untuk pemberian haloperidol Peralatan
dapat diberikan tambahan injeksi intra
muskular diazepam untuk mengurangi 1. Alat restraint (fiksasi)
dosis ntipsikotiknya dan menambah 2. Alat transportasi untuk merujuk (bila
efektivitas terapi. Setelah stabil segera tersedia).
rujuk ke RS/RSJ.
Prognosis
c. Untuk pasien psikotik kronis yang tidak
Untuk ad Vitam adalahbonam, ad fungsionam
taat berobat, dapat dipertimbangkan
adalah dubia, dan ad sanationam adalah dubia.
untuk pemberian injeksi depo
(jangka panjang) antipsikotik seperti Referensi
haloperidol decanoas 50 mg atau
fluphenazine decanoas 25 mg. Berikan 1. Kaplan and Sadock.Synopsis of psychiatry.
injeksi I.M ½ ampul terlebih dulu 7thEd. William and Wilkins.
untuk 2 minggu, selanjutnya injeksi 1 2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, di Indonesia III. Ed 1. 1993.
sambil dimonitor efek samping, lalu 3. World Health Organization. Diagnostic
obat oral turunkan perlahan. and management guidelines for mental
disorders in primary care: ICD-10 chapter
d. Jika timbul efek samping ekstrapiramidal V, primary care version. Seattle: Hogrefe &
seperti tremor, kekakuan, akinesia, Huber Publishers.
dapat diberikan triheksifenidil 2-4 x 2 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
mg; jika timbul distonia akut berikan Jiwa Indonesia Pedoman Nasional Pelayanan
injeksi diazepam atau difenhidramin, Kedokteran Jiwa/Psikiatri. 2012.
jika timbul akatisia (gelisah, mondar
J. RESPIRASI

1. INFLUENZA
No. ICPC-2 : R80 Influenza
No. ICD-10 : J11 Influenza, virus not identified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Penegakan diagnosis influenza membutuhkan
Influenza, sering dikenal dengan flu adalah ketelitian, karena keluhannya hampir sama
penyakit menular disebabkan oleh virus RNA dengan penyakit saluran pernapasan lainnya.
yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang C. Virus
influenza terus mengalami perubahan, sehingga Influenza dapat didiagnosis berdasarkan 4
dalam beberapa waktu akan mengakibatkan kriteria berikut:
wabah (pandemik) yang parah. Virus ini 1. Terjadi tiba-tiba/akut
menyerang saluran napas atas dan paru-paru. 2. Demam
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Gejala saluran pernapasan seperti batuk,
tidak ada lokasi spesifik dari keluhan yang
Keluhan timbul
4. Terdapat penyakit serupa di lingkungan
Keluhan yang sering muncul adalah demam, penderita
bersin, batuk, sakit tenggorokan, hidung meler,
nyeri sendi dan badan, sakit kepala, lemah Ketika terdapat kasus influenza di masyarakat,
badan. semua pasien dengan keluhan influenza harus
didiagnosis secara klinis. Pasien disarankan
Faktor Risiko kembali untuk tindak lanjut jika keluhan
1. Daya tahan tubuh menurun yang dialami bertambah buruk atau tidak ada
2. Kepadatan hunian dan kepadatan perbaikan dalam waktu 72 jam.
penduduk yang tinggi Diagnosis Banding
3. Perubahan musim/cuaca
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Faringitis, Tonsilitis, Laringitis
5. Usia lanjut
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Infeksi sekunder oleh bakteri, Pneumonia
sederhana (Objective)
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik
Penatalaksanaan
Tanda Patognomonis
1. Tatalaksana influenza umumnya tanpa obat
1. Febris (self-limited disease).
2. Rinore
Hal yang perlu ditingkatkan adalah daya
3. Mukosa hidung edema
tahan tubuh. Tindakan untuk meringankan
Pemeriksaan penunjang: tidak diperlukan gejala flu adalah beristirahat 2-3 hari,
mengurangi kegiatan fisik berlebihan,
Penegakan Diagnostik (Assessment) meningkatkan gizi makanan dengan
Diagnosis Klinis makanan berkalori dan protein tinggi, serta
buah-buahan yang tinggi vitamin.
2. Terapi simptomatik per oral tidak turun 5 hari disertai batuk purulen dan
sesak napas)
a. Antipiretik. Pada dewasa yaitu
parasetamol 3-4 x 500 mg/hari (10-15 Prognosis
mg/kgBB), atau ibuprofen 3-4 x 200-
400 mg/hari (5-10 mg/kgBB). Prognosis pada umumnya bonam.
b. Dekongestan, seperti pseudoefedrin (60 Peralatan
mg setiap 4-6 jam)
c. Antihistamin, seperti klorfeniramin 4- -
6 mg sebanyak 3-4 kali/hari, atau Referensi
difenhidramin, 25-50 mg setiap 4-6 jam,
atau loratadin atau cetirizine 10 mg 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L.
dosis tunggal (pada anak loratadin 0,5 Hauser, S.L.et al. Harrisson’s: Principle
mg/kgBB dan setirizin 0,3 mg/kgBB). of Internal Medicine. 17thed. New York:
d. Dapat pula diberikan antitusif atau McGraw-Hill Companies. 2009. p: 1006 -
ekspektoran bila disertai batuk. 1020.
2. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan
Konseling dan Edukasi dan Pengendalian Infeksi Saluran
1. Edukasi Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi
Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan
a. Edukasi terutama ditujukan Kesehatan. 2007.
untuk individu dan lingkungannya.
Penyebaran penyakit ini melalui
udara sehingga lingkungan rumah
harus memenuhi persyaratan rumah
sehat terutama ukuran jendela untuk
pencahayaan dan ventilasi serta
kepadatan hunian. Untuk mencegah
penyebaran terhadap orang-orang
terdekat perlu diberikan juga edukasi
untuk memutuskan mata rantai
penularan seperti etika batuk dan
pemakaian masker.
b. Selain edukasi untuk individu,
edukasi terhadap keluarga dan orang-
orang terdekat juga penting seperti
peningkatan higiene dan sanitasi
lingkungan
2. Pencegahan
a. Imunisasi influenza, terutama bagi
orang-orang risiko tinggi.
b. Harus diwaspadai pasien yang baru
kembali dari daerah terjangkit epidemi
influenza
Rujukan
Bila didapatkan tanda-tanda pneumonia (panas
2. FARINGITIS AKUT
No. ICPC-2 : R74.Upper respiratory infection acute
No. ICD-10 : J02.9 Acute pharyngitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
pada faring dan tidak berespon dengan
Faringitis merupakan peradangan dinding pengobatan bakterial non spesifik.
faring yang disebabkan oleh virus (40-60%), 7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau
bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain- faringitis luetika, ditanyakan riwayat
lain.Anak-anak dan orang dewasa umumnya hubungan seksual, terutama seks oral.
mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis setiap Faktor Risiko
tahunnya. 1. Usia 3 – 14 tahun.
2. Menurunnya daya tahan tubuh.
Hasil Anamnesis (Subjective)
3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring
Keluhan 4. Gizi kurang
5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol,
1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan makanan, refluks asam lambung, inhalasi
2. Demam uap yang merangsang mukosa faring.
3. Sekret dari hidung 6. Paparan udara yang dingin.
4. Dapat disertai atau tanpa batuk
5. Nyeri kepala Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
6. Mual Sederhana (Objective)
7. Muntah
Pemeriksaan Fisik
8. Rasa lemah pada seluruh tubuh
9. Nafsu makan berkurang 1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak
faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu: influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus
1. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): tidak menghasilkan eksudat). Pada
coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular
diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa
di orofaring dan lesi kulit berupa
hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain maculopapular rash.
demam disertai rinorea dan mual. 2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, tampak tonsil membesar, faring dan
muntah, kadang demam dengan suhu yang tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali permukaannya. Beberapa hari kemudian
terdapat pembesaran KGB leher. timbul bercak petechiaepada palatum dan
3. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa
dan nyeri menelan. leher anterior membesar, kenyal dan nyeri
4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula pada penekanan.
tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk 3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan
yang berdahak. tampak plak putih di orofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring
5. Faringitis kronik atrofi: umumnya
lainnya hiperemis.
tenggorokan kering dan tebal serta mulut
4. Faringitis kronik hiperplastik, pada
berbau. pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah
6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat mukosa faring dan hiperplasia lateral band.
Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding adenovirus juga menimbulkan gejala
posterior tidak rata dan bergranular konjungtivitis terutama pada anak.
(cobble stone). b. Faringitis Bakterial
5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan Infeksi grup A stereptokokus beta
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir hemolitikus merupakan penyebab
yang kental dan bila diangkat tampak faringitis akut pada orang dewasa (15%)
mukosa kering. dan pada anak (30%).
6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan Faringitis akibat infeksi bakteri
tampak granuloma perkejuan pada mukosa streptokokkus group A dapat
faring dan laring diperkirakan dengan menggunakan
7. Faringitis luetika tergantung stadium Centor criteria, yaitu :
penyakit: • Demam
a. Stadium primer • Anterior Cervical lymphadenopathy
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan • Eksudat tonsil
dinding posterior faring berbentuk • Tidak ada batuk
bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri
timbul ulkus pada daerah faring seperti skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien
ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. tidak mengalami faringitis akibat
Juga didapatkan pembesaran kelenjar infeksi streptokokkus group A, bila
mandibula skor 1-3 maka pasien memiliki
b. Stadium sekunder kemungkian 40% terinfeksi
Stadium ini jarang ditemukan. Pada streptokokkus group A dan bila skor
dinding faring terdapat eritema yang 4 pasien memiliki kemungkinan 50%
menjalar ke arah laring. terinfeksi streptokokkus group A.
c. Stadium tersier c. Faringitis Fungal
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil Candida dapat tumbuh di mukosa
dan palatum. rongga mulut dan faring.
d. Faringitis Gonorea
Pemeriksaan Penunjang Hanya terdapat pada pasien yang
1. Pemeriksaan darah lengkap. melakukan kontak orogenital
2. Pemeriksaan mikroskopik dengan 2. Faringitis Kronik
pewarnaan Gram. a. Faringitis Kronik Hiperplastik
3. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat Pada faringitis kronik hiperplastik
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik terjadi perubahan mukosa dinding
swab mukosa faring dengan pewarnaan posterior faring.
KOH. b. Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul
Penegakan Diagnostik (Assessment) bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan
Diagnosis Klinis
tidak diatur suhu serta kelembapannya
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, sehingga menimbulkan rangsangan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta infeksi pada faring.
bila diperlukan. 3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis Tuberkulosis
Klasifikasi faringitis Merupakan proses sekunder dari
1. Faringitis Akut tuberkulosis paru.
a. Faringitis Viral b. Faringitis Luetika
Dapat disebabkan oleh rinovirus, Treponema palidum dapat menimbulkan
adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), infeksi di daerah faring, seperti juga
virus influenza, coxsachievirus, penyakit lues di organ lain. Gambaran
cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada klinik tergantung stadium penyakitnya.
Komplikasi hari.
Tonsilitis, Abses peritonsilar, Abses Konseling dan Edukasi
retrofaringeal, Gangguan fungsi tuba
Eustachius, Otitis media akut, Sinusitis, Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
Laringitis, Epiglotitis, Meningitis, 1. Menjaga daya tahan tubuh dengan
Glomerulonefritis akut, Demam rematik akut, mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
Septikemia teratur.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Berhenti merokok bagi anggota keluarga
yang merokok.
Penatalaksanaan 3. Menghindari makan makanan yang dapat
mengiritasi tenggorok.
1. Istirahat cukup 4. Selalu menjaga higiene mulut dan tangan
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat dan Kriteria Rujukan
berkumur dengan obat kumur antiseptik
untuk menjaga kebersihan mulut. Pada 1. Faringitis luetika
faringitis fungal diberikan Nistatin 100.000- 2. Bila terjadi komplikasi
400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis Prognosis
kronik hiperplastik terapi lokal dengan
melakukan kaustik faring dengan memakai 1. Ad vitam : Bonam
zat kimia larutan Nitras Argentin 25% 2. Ad functionam : Bonam
4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti 3. Ad sanationam : Bonam
virus Isoprinosine dengan dosis 60-100
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada Peralatan
orang dewasa dan pada anak <5 tahun 1. Lampu kepala
diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/ 2. Spatula lidah
hari
3. Lidi kapas
5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila
diduga penyebabnyaStreptococcus group Referensi
A, diberikan antibiotik Amoksisilin 50
mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku Ajar
hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6- Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
10 hari atau Eritromisin 4x500 mg/hari. (Adam dan Boies, 1997)
6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
Sefalosporin generasi ke-3, seperti Neck Surgery. Ed. Ke-8.McGraw-Hill. 2003.
Seftriakson 2 gr IV/IM single dose. (Lee, 2003)
7. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit 3. Rusmarjono. Soepardi, E.A.Faringitis,
hidung dan sinus paranasal harus diobati. Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
Pada faringitis kronik atrofi pengobatan Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
ditujukan pada rhinitis atrofi. Sedangkan, Tenggorok, KepaladanLeher. Ed. ke-6.Jakarta:
pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari. 2007(Hafil, et al., 2007)
8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspektoran.
9. Analgetik-antipiretik
10. Selain antibiotik, Kortikosteroid juga
diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis.
Steroid yang diberikan dapat berupa
Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa
selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/
kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3
3. LARINGITIS AKUT
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R77. Laryngitis/tracheitis acute
: J04.0 Acute laryngitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kepala, batuk dan demam dengan temperatur
Laringitis adalah peradangan pada laring yang yang tidak mengalami peningkatan dari 38o
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau C.
jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari 8. Obstruksi jalan nafas apabila ada edema
penggunaan suara yang berlebihan, pajanan laring diikuti edema subglotis yang terjadi
terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada pita dalam beberapa jam dan biasanya sering
suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, dan terjadi pada anak berupa anak menjadi
pneumonia juga dapat menyebabkan laringitis. gelisah, nafas berbunyi, air hunger, sesak
Laringitis pada anak sering diderita oleh anak semakin bertambah berat.
usia 3 bulan hingga 3 tahun, dan biasanya 9. Laringitis kronik ditandai dengan afonia
disertai inflamasi pada trakea dan bronkus dan yang persisten. Pada pagi hari, biasanya
disebut sebagai penyakit croup. Penyakit ini tenggorokan terasa sakit namun membaik
seringkali disebabkan oleh virus, yaitu virus pada suhu yang lebih hangat. Nyeri
parainfluenza, adenovirus, virus influenza A tenggorokan dan batuk memburuk kembali
dan B, RSV, dan virus campak. Selain itu, M. menjelang siang. Batuk ini dapat juga dipicu
pneumonia juga dapat menyebabkan croup. oleh udara dingin atau minuman dingin.
Hasil Anamnesis (Subjective) Faktor Risiko
Keluhan 1. Penggunaan suara yang berlebihan.
2. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap
1. Pasien datang dengan keluhan suara rokok dan minum- minuman alkohol.
serak atau hilang suara (afonia). 3. Adanya refluks laringofaringeal, bronkitis,
2. Gejala lokal seperti suara parau, seperti dan pneumonia.
suara yang kasar atau suara yang susah 4. Rhinitis alergi.
keluar atau suara dengan nada lebih rendah 5. Perubahan suhu yang tiba-tiba.
dari suara yang biasa/normal bahkan sampai 6. Malnutrisi.
tidak bersuara sama sekali (afoni). Hal ini 7. Keadaan menurunnya sistem imun atau
terjadi karena gangguan getaran serta daya tahan tubuh.
ketegangan dalam pendekatan kedua pita
suara kiri dan kanan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
3. Sesak nafas dan stridor. Sederhana (Objective)
4. Nyeri tenggorokan, terutama nyeri ketika
menelan atau berbicara. Pemeriksaan Fisik
5. Gejala radang umum, seperti demam, Laringoskopi indirek (khusus untuk pasien
malaise. dewasa):
6. Batuk kering yang lama kelamaan disertai
dengan dahak kental. 1. Pada pemeriksaan fisik akan tampak
7. Gejala common cold, seperti bersin-bersin, mukosa laring yang hiperemis dan
nyeri tenggorok hingga sulit menelan, membengkak terutama di bagian atas dan
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri bawah pita suara.
2. Biasanya terdapat tanda radang akut di
hidung atau sinus paranasal. 3. Laringitis Kronik Spesifik
3. Pada laringitis kronik, dapat ditemukan
nodul, ulkus dan penebalan mukosa pita a. Laringitis tuberkulosa
suara. Penyakit ini disebabkan tuberkulosis
paru. Setelah diobati, biasanya
Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan) tuberkulosis paru sembuh namun
1. Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: laringitis tuberculosis menetap
bisa tampak pembengkakan jaringan (membutuhkan pengobatan yang lebih
subglotis (Steeple sign). Tanda ini lama), karena struktur mukosa laring
ditemukan pada 50% kasus. sangat lekat pada kartilago serta
2. Foto toraks AP. vaskularisasi tidak sebaik paru.
3. Pemeriksaan laboratorium darah Terdapat 4 stadium:
lengkap. • Stadium Infiltrasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Mukosa laring membengkak,
hiperemis (bagian posterior), dan
Diagnosis Klinis pucat. Terbentuk tuberkel di daerah
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, submukosa, tampak sebagai bintik-
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bintik kebiruan. Tuberkel membesar,
jika diperlukan. menyatu sehingga mukosa di
atasnya meregang. Bila pecah akan
Klasifikasi: timbul ulkus.
1. Laringitis Akut • Stadium Ulserasi
Laringitis akut adalah radang akut laring, Ulkus membesar, dangkal, dasarnya
dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. ditutupi perkejuan dan terasa nyeri
Keluhan berlangsung <3 minggu dan pada oleh pasien
umumnya disebabkan oleh infeksi virus • Stadium Perikondritis
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe
Ulkus makin dalam mengenai
1,2,3), rhinovirusdan adenovirus. Penyebab
kartilago laring, paling sering terkena
lain adalah Haemofilus influenzae,
kartilago aritenoid, dan epiglottis.
Branhamellacatarrhalis, Streptococcus
Terbentuk nanah yang berbau
pyogenes, Staphylococcus aureus, dan
sampai terbentuk sekuester. Pada
Streptococcuspneumoniae.
stadium ini keadaan pasien buruk
2. Laringitis Kronik dan dapat meninggal. Bila bertahan
Laringitis kronik dapat terjadi setelah maka berlanjut ke stadium akhir
laringitis akut yang berulang, dan juga yaitu stadium fibrotuberkulosis
dapat diakibatkan oleh sinusitis kronis, • Stadium Fibrotuberkulosis
deviasi septum berat, polip hidung, bronkitis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada
kronik, refluks laringofaring, merokok,
dinding posterior, pita suara, dan
pajanan terhadap iritan yang bersifat
subglotik.
konstan, dan konsumsi alkohol berlebih.
Tanda dari laringitis kronik ini yaitu nyeri b. Laringitis luetika
tenggorokan yang tidak signifikan, suara Radang menahun ini jarang ditemukan.
serak, dan terdapat edema pada laring.
Mungkin juga disebabkan penyalahgunaan Diagnosis Banding
suara (vocal abuse) seperti berteriak-teriak Benda asing pada laring, Faringitis,
atau bicara keras. Bronkiolitis, Bronkitis, Pneumonia, Tumor pada
laring, Kelumpuhan pita suara bersuara atau tidak bersuara berlebihan.
4. Menghindari makanan yang mengiritasi
Komplikasi atau meningkatkan asam lambung.
Obstruksi jalan napas atas, Pneumonia,
Kriteria Rujukan
Bronkhitis
Indikasi rawat rumah sakit apabila:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Terdapat tanda sumbatan jalan nafas atas.
Penatalaksanaan
2. Usia penderita dibawah 3 tahun.
1. Non-medikamentosa 3. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau
a. Istirahat suara (vocal rest). exhausted.
b. Rehabilitasi suara (voice therapy), bila 4. Ada kecurigaan tumor laring.
diperlukan.
Prognosis
c. Meningkatkan asupan cairan.
d. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan 1. Ad vitam : Bonam
pemasangan pipa endotrakea, atau 2. Ad functionam : Bonam
trakeostomi. 3. Ad sanationam : Bonam
2. Medikamentosa Peralatan
a. Parasetamol atau Ibuprofen sebagai
antipiretik dan analgetik. 1. Lampu kepala
b. Pemberian antibiotik dilakukan bila 2. Kaca laring
peradangan dari paru dan bila 3. Kassa steril
penyebab berupa Streptokokus grup A 4. Lampu spiritus
ditemukan melalui kultur. Pada kasus Referensi
ini, antibiotik yang dapat digunakan
yaitu golongan Penisilin. 1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar
c. Proton Pump Inhibitor pada laringitis Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
yang disebabkan oleh refluks 2. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono,
laringofaringeal. A. Kelainan Laring dalam Buku Ajar Ilmu
d. Kortikosteroid dapat diberikan jika Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
laringitis berat. Kepala dan Leher. Ed ke-6.Jakarta:Fakultas
e. Laringitis tuberkulosis: obat Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
antituberkulosis. 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
f. Laringitis luetika: penisilin dengan dosis Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
tinggi. Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan laringoskopi indirek
kembali untuk memeriksa perbaikan
organ laring.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
teratur.
2. Menghentikan merokok.
3. Mengistirahatkan pasien berbicara dan
4. TONSILITIS AKUT
No. ICPC-2 No.
: ICD-10
R76. Tonsillitis acute
: J03. Acute tonsillitis J35. Chronic tonsilitis

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorokan,
yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. badan lemah, gusi mudah berdarah dan
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan hipersalivasi.
limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut Faktor Risiko
yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal 1. Faktor usia, terutama pada anak.
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band 2. Penurunan daya tahan tubuh.
dinding faring/ Gerlach’s tonsil).Penyakit ini 3. Rangsangan menahun (misalnya rokok,
banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai makanan tertentu).
10 tahun. 4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi
Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Keluhan Sederhana (Objective)
1. Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala Pemeriksaan Fisik
awal.
2. Nyeri pada tenggorok, terutama saat 1. Tonsilitis akut:
menelan. Rasa nyeri semakin lama semakin a. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2.
bertambah sehingga anak menjadi tidak
b. Hiperemis dan terdapat detritus di
mau makan.
dalam kripti yang memenuhi permukaan
3. Nyeri dapat menyebar sebagai referred
tonsil baik berbentuk folikel, lakuna,
pain ke telinga.
atau pseudomembran. Bentuk tonsillitis
4. Demam yang dapat sangat tinggi sampai
akut dengan detritus yang jelas disebut
menimbulkan kejang pada bayi dan anak-
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak
anak.
detritus ini menjadi satu, membentuk
5. Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu makan
alur alur maka akan terjadi tonsilitis
berkurang.
lakunaris.
6. Plummy voice / hot potato voice: suara
pasien terdengar seperti orang yang c. Bercak detritus ini dapat melebar
mulutnya penuh terisi makanan panas. sehingga terbentuk membran semu
7. Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah (pseudomembran) yang menutupi ruang
menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri antara kedua tonsil sehingga tampak
telan yang hebat (ptialismus). menyempit. Temuan ini mengarahkan
8. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh pada diagnosis banding tonsilitis difteri.
ada penghalang/mengganjal di tenggorok, d. Palatum mole, arkus anterior dan
tenggorok terasa kering dan pernafasan arkus posterior juga tampak udem dan
berbau (halitosis). hiperemis.
9. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis
ulseromembranosa) gejala yang timbul e. Kelenjar limfe leher dapat membesar
dan disertai nyeri tekan. Gambar 10.1. Gradasi pembesaran tonsil
2. Tonsilitis kronik:
a. Tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan berisi detritus.
b. Pembesaran kelenjar limfe
submandibula dan tonsil yang
mengalami perlengketan.
3. Tonsilitis difteri:
a. Tampak tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas
Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Tampak pseudomembran yang melekat
erat pada dasar tonsil sehingga bila Diagnosis Klinis
diangkat akan mudah berdarah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif
orofaring, dengan mengukur jarak antara dengan pemeriksaan penunjang.
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi Diagnosis Banding
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi: Infiltrat tonsil, limfoma, tumor tonsil
1. T0: tonsil sudah diangkat. Komplikasi
2. T1: <25% volume tonsil dibandingkan 1. Komplikasi lokal
dengan volume orofaring atau batas medial a. Abses peritonsil (Quinsy)
tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ b. Abses parafaringeal
jarak pilar anterior uvula. c. Otitis media akut
3. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan d. Rinosinusitis
dengan volume orofaringatau batas medial 2. Komplikasi sistemik
tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior- uvula a. Glomerulonephritis
sampai ½ jarak pilar anterior-uvula.
b. Miokarditis
4. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan 3. Demam reumatik dan penyakit jantung
dengan volume orofaring atau batas medial reumatik
tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula
sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan Penatalaksanaan
dengan volume orofaring atau batas medial
tonsilmelewati ¾ jarak pilar anterior-uvula 1. Istirahat cukup
sampai uvula atau lebih. 2. Makan makanan lunak dan menghindari
Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan makan makanan yang mengiritasi

1. Darah lengkap 3. Menjaga kebersihan mulut

2. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskop 4. Pemberian obat topikal dapat berupa obat
dengan pewarnaan Gram kumur antiseptik
5. Pemberian obat oral sistemik selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian
a. Tonsilitis viral.
selama 3 hari. Analgetik / antipiretik,
Istirahat, minum cukup, analgetika / misalnya Paracetamol dapat diberikan.
antipiretik (misalnya, Paracetamol), dan
c. Tonsilitis difteri
antivirus diberikan bila gejala berat.
Antivirus Metisoprinol diberikan pada Anti Difteri Serum diberikan segera
infeksi virus dengan dosis 60-100 mg/ tanpa menunggu hasil kultur, dengan
kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/ dosis 20.000-100.000 unit tergantung
hari pada orang dewasa dan pada anak umur dan jenis kelamin. Antibiotik
< 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi penisilin atau eritromisin 25-50 mg/
dalam 4-6 kali pemberian/hari. kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis
dan pasien harus diisolasi. Perawatan
b. Tonsilitis bakteri
harus istirahat di tempat tidur selama
Bila diduga penyebabnya Streptococcus 2-3 minggu.
group A, diberikan antibiotik yaitu
d. Angina Plaut Vincent (Stomatitis
Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM
ulseromembranosa) Antibiotik spektrum
dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/
luas diberikan selama 1 minggu, dan
kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10
pemberian vitamin C serta vitamin B
hari dan pada dewasa 3 x 500 mg
kompleks.
selama 6-10 hari atau Eritromisin 4 x
500 mg/ hari. Selain antibiotik juga Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi
diberikan Kortikosteroid karena steroid
Menurut Health Technology Assessment
telah terbukti menunjukkan perbaikan
Kemenkes tahun 2004, indikasi tonsilektomi,
klinis yang dapat menekan reaksi yaitu:
inflamasi. Steroid yang dapat diberikan
berupa Deksametason 3 x 0,5 mg pada Tabel 10.1 Indikasi Tonsilektomi
dewasa
Kontraindikasi relatif tonsilektomi: 2. Adanya indikasi tonsilektomi.
3. Pasien dengan tonsilitis difteri.
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi atau penyakit sistemik yang Peralatan
berat
3. Anemia 1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
Konseling dan Edukasi 3. Lidi kapas
4. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
darah lengkap
1. Menghindari pencetus, termasuk makanan 5. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
dan minuman yang mengiritasi mikrobiologi dengan pewarnaan Gram
2. Melakukan pengobatan yang adekuat
Prognosis
karena risiko kekambuhan cukup tinggi.
3. Menjaga daya tahan tubuh dengan 1. Ad vitam : Bonam
mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga 2. Ad functionam : Bonam
teratur. 3. Ad sanationam : Bonam
4. Berhenti merokok.
5. Selalu menjaga kebersihan mulut. Referensi
6. Mencuci tangan secara teratur. Rencana 1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies. Buku Ajar
Tindak Lanjut Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997
Memberikan laporan ke dinas kesehatan 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri. Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
Kriteria Rujukan 3. 3. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis,
Segera rujuk jika terjadi: Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
1. Komplikasi tonsilitis akut: abses Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6.
peritonsiler, septikemia, meningitis, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
glomerulonephritis, demam rematik akut. Jakarta. 2007.

5. BRONKITIS AKUT
No. ICPC II : R78 Acute bronckitis /bronchiolitis
No. ICD X : J20.9 Acute bronchitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Bronkitis adalah suatu peradangan pada paparan terhadap iritasi, bahan-bahan yang
bronkus (saluran udara ke paru-paru). Radang mengeluarkan polusi, penyakit gastrofaringeal
dapat berupa hipersekresi mukus dan batuk refluk dan pekerja yang terekspos dengan debu
produktif kronis berulang-ulang minimal selama atau asap. Bronkitis akut dapat dijumpai pada
3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 semua umur, namun paling sering didiagnosis
tahun berturut-turut pada pasien yang pada anak-anak muda dari 5 tahun, sedangkan
diketahui tidak terdapat penyebab lain. bronkitis kronis lebih umum pada orang tua dari
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh beberapa 50 tahun.
hal, yaitu: infeksi virus, infeksi bakteri, rokok
dan asap rokok,
Hasil Anamnesis (Subjective) dari hilus menuju apex paru dan corakan
paru yang bertambah.
Keluhan
3. Tes fungsi paru dapat memperlihatkan
1. Batuk (berdahak maupun tidak berdahak) obstruksi jalan napas yang reversibel
selama 2-3 minggu. dengan menggunakan bronkodilator.
2. Dahak dapat berwarna jernih, putih,
Penegakan Diagnostik (Assessment)
kekuning-kuningan atau kehijauan.
3. Demam (biasanya ringan) Diagnosis Klinis
4. Rasa berat dan tidak nyaman di dada. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
5. Sesak nafas. pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Diagnosis Banding
6. Sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
“ngik”, terutama setelah batuk. 1. Epiglotitis, yaitu suatu infeksi pada
7. Bila iritasi saluran terjadi, maka dapat epiglotis, yang bisa menyebabkan
terjadi batuk darah. penyumbatan saluran pernafasan.

Faktor Risiko:- 2. Bronkiolitis, yaitu suatu peradangan pada


bronkiolus (saluran udara yang merupakan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang percabangan dari saluran udara utama),
Sederhana (Objective) yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus.
Pemeriksaan Fisik 3. Influenza, yaitu penyakit menular yang
menyerang saluran napas, dan sering
Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan:
menjadi wabah yang diperoleh dari
Inspeksi : Pasien tampak kurus dengan menghirup virus influenza.
barrel shape chest (diameter
4. Sinusitis, yaitu radang sinus paranasal yaitu
anteroposterior dada meningkat).
rongga-rongga yang terletak disampig
Palpasi : fremitus taktil dada normal kanan - kiri dan diatas hidung.
Perkusi : sonor, peranjakan hati mengecil,
5. PPOK, yaitu penyakit paru kronik yang
batas paru hati lebih rendah
ditandai oleh hambatan aliran udara di
Auskultasi : suara nafas vesikuler atau saluran napas yang bersifat progresif
bronkovesikuler, dengan ekpirasi nonreversibel parsial.
panjang, terdapat ronki basah
kasar yang tidak tetap 6. Faringitis, yaitu suatu peradangan pada
(dapat hilang atau pindah tenggorokan (faring) yang disebabkan oleh
setelah batuk), wheezing dengan virus atau bakteri.
berbagai gradasi (perpanjangan
7. Asma, yaitu suatu penyakit kronik (menahun)
ekspirasi hingga mengi) dan
yang menyerang saluran pernafasan
krepitasi. (bronchiale) pada paru dimana terdapat
Pemeriksaan Penunjang peradangan (inflamasi) dinding rongga
bronchiale sehingga mengakibatkan
1. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan penyempitan saluran nafas yang
Gram akan banyak didapat leukosit PMN akhirnya seseorang mengalami sesak nafas.
dan mungkin pula bakteri.
8. Bronkiektasis, yaitu suatu perusakan dan
2. Foto thoraks pada bronkitis kronis
pelebaran (dilatasi) abnormal dari saluran
memperlihatkan tubular shadow berupa
pernafasan yang besar.
bayangan garis-garis yang paralel keluar
Komplikasi asma, tetapi dapat juga untukbronkitis. Efek
samping obat bronkodilator perlu diketahui
1. Bronkopneumoni. pasien, yakni: berdebar, lemas, gemetar
2. Pneumonia. dan keringat dingin.
3. Pleuritis.
4. Penyakit-penyakit lain yang diperberat 9. Antibiotika hanya digunakan jika dijumpai
seperti:jantung. tanda-tanda infeksi oleh kuman berdasarkan
5. Penyakit jantung rematik. pemeriksaan dokter. Antibiotik yang
6. Hipertensi. dapat diberikan antara lain: ampisilin,
7. Bronkiektasis eritromisin, atau spiramisin, 3 x 500 mg/
hari.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 10. Terapi lanjutan: jika terapi antiinflamasi
Penatalaksanaan sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga
gejala menghilang paling sedikit 1 minggu.
1. Memperbaiki kemampuan penderita Bronkodilator juga dapat diberikan jika
mengatasi gejala-gejala tidak hanya pada diperlukan.
fase akut, tapi juga pada fase kronik, serta
dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari Rencana Tindak Lanjut
sesuai dengan pola kehidupannya. Pasien kontrol kembali setelah obat habis,
2. Mengurangi laju perkembangan penyakit dengan tujuan untuk:
apabila dapat dideteksi lebih awal.
1. Mengevaluasi modifikasi gaya hidup.
3. Oksigenasi pasien harus memadai. 2. Mengevaluasi terapi yang diberikan, ada
4. Istirahat yang cukup. atau tidak efek samping dari terapi.
5. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): Konseling dan Edukasi
Kodein (obat Doveri) dapat diberikan 10
mg, diminum 3 x/hari, bekerja dengan Memberikan saran agar keluarga dapat:
menekan batuk pada pusat batuk di otak.
Antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan, 1. Mendukung perbaikan kemampuan
ibu menyusui dan anak usia 6 tahun ke penderita dalam melaksanakan aktivitas
bawah. Pada penderita bronkitis akut sehari-hari sesuai dengan pola
yang disertai sesak napas, pemberian kehidupannya.
antitusif perlu umpan balik dari penderita. 2. Memotivasi pasien untuk menghindari
Jika penderita merasa tambah sesak, maka merokok, menghindari iritan
antitusif dihentikan. lainnya yang dapat terhirup, mengontrol
6. Pemberian ekspektoran (obat batuk suhu dan kelembaban lingkungan, nutrisi
pengencer dahak) yang lazim digunakan yang baik, dan cairan yang adekuat.
diantaranya: GG (Glyceryl Guaiacolate),
3. Mengidentifikasigejala efek samping obat,
bromheksin, ambroksol, dan lain-lain.
seperti bronkodilator dapat menimbulkan
7. Antipiretik (pereda panas): parasetamol berdebar, lemas, gemetar dan keringat
(asetaminofen), dan sejenisnya, digunakan dingin.
jika penderita demam.
Kriteria Rujukan
8. Bronkodilator (melonggarkan napas),
diantaranya: salbutamol, terbutalin sulfat, Pada pasien dengan keadaan umum buruk,
teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat perlu dirujuk ke rumah sakit yang memadai
ini digunakan pada penderita yang disertai untuk monitor secara intensif dan konsultasi ke
sesak napas atau rasa berat bernapas, spesialis terkait.
sehingga obat ini tidak hanya untuk obat
Peralatan 3. Harrison: Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 13.Volume ketiga. Jakarta.2003.
Oksigen
4. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis
Prognosis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal: 337.
Prognosis umumnya dubia ad bonam. 5. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6.
Referensi Jakarta: EGC. 2006.
6. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit
1. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Dalam. Jilid II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998.
Jakarta: EGC. 2002.
2. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu
Penyakit Paru. Jakarta: EGC.1998.

6. ASMA BRONKIAL (ASMA STABIL)


No. ICPC-2: R96 Asthma No. ICD-10: J45 Asthma
Tingkat Kemampuan 4A

A. ASMA PADA DEWASA Tabel 10.2 Faktor risiko asma bronkial

Masalah Kesehatan
Asma adalah penyakit heterogen, selalu
dikarakteristikkan dengan inflamasi kronis di
saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi
seperti mengi, sesak, rasa berat di dada dan batuk
yang intensitasnya berberda-beda berdasarkan
variasi keterbatasan aliran udara ekspirasi
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka
meningkatkan kemungkinan pasien memiliki
Asma, yaitu :
1. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi, sesak,
dada terasa berat) khususnya pada dewasa
muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau
pagi dini hari
3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan,
Sederhana (Objective)
pajanan allergen, perubahan cuaca, tertawa
atau iritan seperti asap kendaraan, rokok Pemeriksaan Fisik
atau bau yang sangat tajam
Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal.
Abnormalitas yang paling sering ditemukan Penilaian Derajat Kontrol Asma
adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan
auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar Tabel 10.4 Penilaian derajat kontrol asma
saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak
terddengan selama eksaserbasi asma yang
berat karena penurunan aliran napas yang
dikenal dengan “silent chest”.
Pemeriksaan Penunjang
1. Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan
Peak Flowmeter
2. Pemeriksaan darah (eosinofil dalam darah)
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE sebelum
dan sesudah pemberian inhalasi salbutamol.
Klasifikasi
Tabel 10.3 Klasifikasi asma bronkial

* Semua eksaserbasi terjadi dalam


pengobatan yang adekuat
** Berdasarkan definisi, eksaserbasi di minggu
apapun membuat asma tidak terkontrol
*** Tanpa pemberian bronkodilator
Fungsi paru tidak untuk anak 5 tahun atau lebih
muda
Diagnosis Banding
Disfungsi pita suara, Hiperventilasi,
Bronkiektasis, Kistik fibrosis, Gagal jantung,
Defisiensi benda asing
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi
serta mengendalikan faktor pencetusnya.
2. Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian
pengobatan jangka panjang serta
menetapkan pengobatan pada serangan
akut sesuai tabel di bawah ini.
Tabel 10.5 Penatalaksanaan asma berdasarkan Konseling dan Edukasi
beratnya keluhan 1. Memberikan informasi kepada individu
dan keluarga mengenai seluk beluk
penyakit, sifat penyakit, perubahan penyakit
(apakah membaik atau memburuk),
jenis dan mekanisme kerja obat-obatan
dan mengetahui kapan harus meminta
pertolongan dokter.
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk
menilai dan monitor berat asma secara
berkala (asthma control test/ ACT)
3. Pola hidup sehat.
4. Menjelaskan pentingnya melakukan
pencegahan dengan:
a. Menghindari setiap pencetus.
b. Menggunakan bronkodilator/ steroid
inhalasi sebelum melakukan exercise untuk
mencegah exercise induced asthma.
Kriteria rujukan
1. Bila sering terjadi eksaserbasi.
2. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
3. Asma dengan komplikasi.
Persiapan dalam melakukan rujukan bagi pasien
asma, yaitu:
1. Terdapat oksigen.
2. Pemberian steroid sistemik injeksi atau
inhalasi disamping pemberian
bronkodilator kerja cepat inhalasi.
3. Pasien harus didampingi oleh
dokter/tenaga kesehatan terlatih selama
perjalanan menuju ke pelayanan sekunder.
Peralatan
1. Asthma control test
2. Tabung oksigen
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan 3. Kanul hidung
(bila diperlukan) 4. Masker sederhana
1. Foto toraks 5. Nebulizer
2. Uji sensitifitas kulit 6. Masker inhalasi
3. Spirometri 7. Peak flow meter
4. Uji provokasi bronkus 8. Spirometri

Komplikasi Prognosis
1. Ad sanasionam : bonam
Pneumotoraks, Pneumomediastinum, Gagal 2. Ad fungsionam : bonam
napas, Asma resisten terhadap steroid. 3. Ad vitam : bonam
Referensi terasa berat, atau batuk setelah terpajan
alergen atau polutan?
1. Global strategy for asthma management and 5. Apakah jika mengalami pilek, anak
prevention. GINA.2014. (Global Initiatives for membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
Asthma, 2011)
6. Apakah gejala klinis membaik setelah
2. Global strategy for asthma management and pemberian pengobatan anti- asma?
prevention. GINA.2006. (Global Initiatives for
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Asthma, 2006)
Sederhana (Objective)
3. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma.
Pemeriksaan Fisik
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta. 2004. (Perhimpunan Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak
Dokter Paru Indonesia, 2004) ditemukan kelainan saat pasien tidak
mengalami serangan. Pada sebagian kecil
B. ASMA PADA ANAK pasien yang derajat asmanya lebih berat, dapat
dijumpai mengi di luar serangan. Dengan
Masalah Kesehatan adanya kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi
dan anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya
Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya
persisten dengan karakteristik sebagai berikut: berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik dan
timbul secara episodik, cenderung pada malam/ respons terhadap pengobatan). Pada kelompok
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas usia ini, tes fungsi paru atau pemeriksaan untuk
fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran
pada pasien dan/atau keluarganya. Inflamasi ini napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan sehari-hari. Kemungkinan asma perlu dipikirkan
napas terhadap berbagai rangsangan. Prevalens pada anak yang hanya menunjukkan batuk
total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada sebagai satu- satunya gejala dan pada
dewasa dan 10% pada anak). pemeriksaan fisik tidak ditemukan mengi, sesak,
dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat
Hasil Anamnesis (Subjective)
dengan batuk malam hari yang rekuren, asma
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat harus dipertimbangkan sebagai probable
agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat diagnosis. Beberapa anak menunjukkan gejala
mengenai gejala sulit bernapas, mengi setelah berolahraga.
atau dada terasa berat yang bersifat episodik
dan berkaitan dengan musim serta terdapat Pemeriksaan Penunjang
riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota Arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow
keluarga. Walaupun informasi akurat mengenai meter. Metode yang dianggap merupakan cara
hal-hal tersebut tidak mudah didapat, beberapa mengukur nilai diurnal APE terbaik adalah
pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan
pertimbangan diagnosis asma : hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik
dari selisih nilai APE pagi hari terendah dengan
1. Apakah anak mengalami serangan mengi
nilai APE malam hari tertinggi. Jika didapatkan
atau serangan mengi berulang?
variabilitas APE diurnal > 20% (petanda adanya
2. Apakah anak sering terganggu oleh batuk
perburukan asma) maka diagnosis asma perlu
pada malam hari?
dipertimbangkan.
3. Apakah anak mengalami mengi atau batuk
setelah berolahraga? Penegakan Diagnosis (Assessment)
4. Apakah anak mengalami gejala mengi, dada
Asma Stabil
Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap
terhadap pemberian faktor pencetus (paling sering infeksi virus atau
allergen atau kombinasi keduanya), sedangkan
obat asma baik, pemeriksaan lebih lanjut tidak
serangan berupa perburukan yang bertahap
perlu dilakukan. Jika respons terhadap obat asma
mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka
tidak baik, sebelum mengganti obat dengan
panjang penyakit.
yang lebih poten, harus dinilai lebih dulu
apakah dosis sudah adekuat, cara dan waktu
pemberian sudah benar, serta ketaatan pasien
baik. Bila semua aspek tersebut sudah
dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis
bukan asma perlu dipikirkan.
Klasifikasi asma pada anak menurut PNAA 2004

Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode
perburukan gejala-gejala asma secara progresif.
Gejala yang dimaksud adalah sesak napas,
batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai
kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya,
eksaserbasi disertai distres pernapasan.
Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF
atau FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator
yang lebih dapat dipercaya daripada penilaian
berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala
lebih sensitif untuk menunjukkan awal terjadinya
ekaserbasi karena memberatnya gejala
biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat
serangan asma bervariasi mulai dari yang ringan
sampai yang mengancam jiwa, perburukan dapat
terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari.
Serangan
# pada matrik klinis, setiap pasien asma tatalaksana di rumah dan di rumah sakit.
harus dicantumkan diagnosis asma secara Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien
lengkap berdasarkan kekerapan serangan (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini
maupun drajat berat serangan misalnya dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya
asma episodik jarang serangan Ryan, asma telah menjalani terapi dengan teratur dan
episodik sering di luar serangan. mempunyai pendidikan yang cukup. Pada
panduan pengobatan di rumah, disebutkan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) bahwa terapi awal adalah inhalasi B2agonis
Asma Stabil kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang waktu
20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, mencari pertolongan ke dokter atau sarana
yaitu obat pereda (reliever) dan obat kesehatan.
pengendali (controller). Obat pereda terkadang
juga disebut sebagai obat pelega atau obat Nilai derajat serangan
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk
Tatalaksana awal
meredakan serangan atau gejala asma yang
sedang timbul. Jika serangan sudah teratasi dan • nebulisasi B2agonis 1-2x, selang 20 menit
gejala sudah menghilang, obat ini tidak • nebulisasi kedua + antikolinergik jika
digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat serangan sedang/berat
pengendali yang sering disebut sebagai obat • nebulisasi langsung dengan B2agonis +
pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan antikolinergik
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu Serangan ringan (nebulisasi 1x, respons baik)
inflamasi kronik saluran napas. Dengan demikian, • Observasi 1-2 jam
obat ini dipakai terus menerus dalam jangka • Jika efek bertahan, boleh pulang
waktu yang relatif lama, bergantung pada • Jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai
derajat penyakit asma dan responsnya terhadap serangan sedang
pengobatan.
Serangan sedang (nebulisasi 2x, respons parsial)
• Berikan oksigen
• Nilai kembali derajat serangan, jika sesuai
dengan serangan sedang, observasi di Ruang
Rawat Sehari
• Berikan steroid oral
• Pasang jalur parenteral
Serangan berat (bila telah nebulisasi 3x, respons
buruk)
• Sejak awal berikan O2 saat/di luar nebulisasi
• Pasang jalur parenteral, nilai ulang keadaan
klinis, jika seuai dgn serangan berat, rawat di
Ruang Rawat Inap
• Foto rontgen toraks
Boleh pulang
• Bekali dengan obat ß-agonis (hirupan/oral)
• Jika sudah ada obat pengendali, teruskan
Asma Eksaserbasi • Jika pencetusnya adalah infeksi virus, dapat
diberikan steroid oral
Global initiative for asthma (GINA) membagi
• Dalam 24-48 jam control ke klinik rawat jalan.
tatalaksana serangan asma menjadi dua yaitu
Catatan: baik dalam 4-6 minggu, tatalaksananya
Ruang rawat sehari/observasi berpindah ke asma episodik sering.
• Teruskan pemberian oksigen 2. Asma episodik sering
• Lanjutkan steroid oral Penggunaan B2-agonis hirupan lebih dari 3x
• Nebulisasi tiap 2 jam per minggu (tanpa menghitung penggunaan
• Bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/
boleh pulang. Tetapi jika klinis tetap belum berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan,
membaik/memburuk, alih rawat ke Ruang merupakan indikasi penggunaan anti-
rawat inap. inflamasi sebagai pengendali. Obat
steroid hirupan yang sering digunakan pada
Ruang rawat inap anak adalah budesonid, sehingga digunakan
• Teruskan oksigen sebagai standar. Dosis rendah steroid
• Atasi dehidrasi dan asidosis jika ada hirupan adalah 100-200 g/hari budesonid
• Steroid IV tiap 6-8 jam (50-100 g/hari flutikason) untuk anak
• Nebulisasi tiap 1-2 jam berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400
• Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason)
• Jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada
jadi 4-6 jam penggunaan beklometason atau budesonid
• Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, dengan dosis 100-200 g/hari atau setara
boleh pulang dengan flutikason 50-100 g, belum pernah
• Jika dengan steroid dan aminofilin parenteral dilaporkan adanya efek samping jangka
tidak membaik, bahkan timbul ancaman henti panjang. Jika setelah pengobatan selama 8-
napas, alih rawat ke Ruang rawat 12 minggu dengan steroid dosis rendah
• Jika menurut penilaian serangannya sedang/ tidak timbul respons (masih terdapat gejala
berat, nebulisasi pertama kali langsung asma atau gangguan tidur atau aktivitas
dengan ß-agonis + antikolinergik sehari-hari), pengobatan dilanjutkan
• Bila terdapat tanda ancaman henti napas dengan tahap kedua, yaitu menaikkan
segera ke Ruang Rawat Intensif dosis steroid hirupan sampai dengan 400
• Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi g/hari yang termasuk dalam tatalaksana
dapat diganti dengan adrenalin subkutan asma persisten. Jika tatalaksana suatu
0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali derajat penyakit asma sudah adekuat, tetapi
• Untuk serangan sedang dan terutama berat, responsnya tetap tidak baik dalam 8-12
oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, minggu, derajat tatalaksananya berpindah
termasuk pada saat nebulisasi ke yang lebih berat (step up). Sebaliknya,
jika asma terkendali dalam 8-12 minggu,
intensif derajatnya beralih ke yang lebih ringan
Tatalaksana Asma Eksaserbasi (step down). Jika memungkinkan, steroid
hirupan dihentikan penggunaannya.
Tatalaksana Asma Eksaserbasi
1. Asma episodik jarang cukup diobati dengan Sebelum melakukan step-up, harus
obat pereda berupa bronkodilator -agonis dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
hirupan kerja pendek (Short Acting B2- penghindaran pencetus, penggunaan obat,
Agonist, SABA) atau golongan xantin kerja serta faktor komorbid yang mempersulit
cepat hanya apabila perlu saja, yaitu jika pengendalian asma seperti rinitis dan
ada gejala/serangan. Pada alur tatalaksana sinusitis.
jangka panjang (Gambar 3.6.1), terlihat 3. Asma persisten
bahwa jika tatalaksana asma episodik Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan
jarang sudah adekuat, tetapi responsnya dapat diberikan mulai dari dosis tinggi lalu
tetap tidak
diturunkan sampai dosis rendah selama 3. Atelektasis
gejala masih terkendali, atau sebaliknya, 4. Gagal napas
mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi 5. Bronkitis
hingga gejala dapat dikendalikan. Pada 6. Fraktur iga
keadaan tertentu, khususnya pada anak
dengan penyakit berat, dianjurkan untuk Peralatan
menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai 1. Alat tiup APE
steroid oral jangka pendek (3-5 hari). 2. Pemeriksaan darah rutin
Kriteria Rujukan 3. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
4. Oksigen
1. Asma eksaserbasi sedang-berat
2. Asma tidak terkontrol Prognosis
3. Asma mengancam jiwa
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit
4. Asma Persisten
dan ketepatan penanganan.
Pencegahan
Referensi
Pengendalian lingkungan, pemberian ASI
eksklusif minimal 6 bulan, penghindaran 1. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit
makanan berpotensi alergenik, pengurangan Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan
pajanan terhadap tungau debu rumah dan Dokter Anak Indonesia, 2001.
rontokan bulu binatang, telah terbukti 2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.
mengurangi timbulnya alergi makanan dan Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
khususnya dermatitis atopik pada bayi. Indonesia IDAI. 2010.
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy
Komplikasi for Asthma Management and Prevention.
1. Pneumotoraks National Institute of Health. www.ginasthma.
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis com/download.asp?intId=214 . 2006

7. STATUS ASMATIKUS (ASMA AKUT BERAT)


No. ICPC-2: R03. Wheezing
No. ICD-10: J45.902 Unspecified asthma with status asthmaticus
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan keadaan fatal/ kematian yaitu:


Asma akut berat (serangan asma atau asma 1. Riwayat serangan asma yang membutuhkan
eksaserbasi) adalah episode peruburukan gejala intubasi/ ventilasi mekanis
yang progresif dari sesak, batuk, mengi, atau 2. Riwayat perawatan di rumah sakit atau
rasa berat di dada, atau kombinasi gejala-gejala kunjungan ke darurat gawat dalam satu
tersebut. tahun terakhir
3. Saat serangan, masih dalam
Hasil Anamnesis (Subjective) glukokortikosteroid oral, atau baru saja
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, menghentikan salbutamol atau ekivalennya
pengobatan yang telah digunakan, respons 4. Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau
pengobatan, waktu mula terjadinya dan masalah psikososial termasuk penggunaan
penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan sedasi
ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan 5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan
(jangka panjang) asma.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis banding
Sederhana (Objective) 1. Obstruksi saluran napas atas
Pada fasilitas layanan kesehatan sederhana 2. Benda asing di saluran napas
dengan kemampuan sumber daya manusia 3. PPOK eksaserbasi
terbatas, dapat hanya menekankan kepada : 4. Penyakit paru parenkimal
1. Posisi penderita 5. Disfungsi pita suara
2. Cara bicara 6. Gagal jantung akut
3. Frekuensi napas 7. Gagal ginjal akut
4. Penggunaan otot-otot bantu napas
5. Nadi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
6. Tekanan darah (pulsus paradoksus) Penatalaksanaan
7. Ada tidak mengi
Pemeriksaan Penunjang Gambar 10.2. Status Asmatikus (Asma Akut
Berat)
1. Pada serangan asma,APE sebaiknya diperiksa
sebelum pengobatan, tanpa menunda
pemberian pengobatan. Pemeriksaan ini
dilakukan jika alat tersedia.
2. Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry
dapat dilakukan bila alat tersedia.
3. Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan
jika fasilitas tersedia.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
bila diperlukan.
Tabel 10.6 Serangan akut asma

Catatan : Jika algoritma di atas tidak dapat


digunakan, dokter dapat menggunakan obat-
obatan alternatif pada tabel Daftar Obat-obat
Asma.
Tabel 10.7 Pengobatan asma berdasarkan berat 5. Gejala memburuk yang berkepanjangan
serangan dan tempat pengobatan sebelum datang membutuhkan pertolongan
saat itu
6. Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
7. Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
8. Masalah/ kesulitan dalam transport atau
mobilisasi ke rumah sakit
Kriteria Pulang
Pertimbangan untuk memulangkan pada
penderita di layanan tingkat pertama:
1. Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan
berkurang, frekuensi napas kembali normal,
mengi menghilang, nadi dan tekanan darah
kembali normal, pasien dapat bernapas
tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat
berbicara lebih lancar atau berjalan, atau
kesadaran membaik.
2. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60%
nilai terbaik/ prediksi dengan pengawasan
ketat di komunitas.
3. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60%
nilai terbaik/ prediksi dan pasien dapat
menggunakan obat inhalasi atau oral
dengan patuh.
4. Penderita dirawat inap
Kriteria Rujukan
Tidak respons dengan pengobatan, ditandai
dengan:
a. Tidak terjadi perbaikan klinis
b. Bila APE sebelum pengobatan awal < 25%
nilai terbaik/ prediksi; atau APE pasca
tatalaksana < 40% nilai terbaik/ prediksi.
Rencana tindak lanjut
c. Serangan akut yang mengancam jiwa
Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik),
praktek dokter/ puskesmas) tergantung kepada atau masalah dalam diagnosis banding,
fasiliti yang tersedia : atau komplikasi atau penyakit penyerta
1. Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam (komorbid); seperti sinusitis, polip hidung,
2. Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi
30% nilai terbaik/ prediksi) pita suara, refluks gastroesofagus dan PPOK.
3. Riwayat serangan asma berat, perawatan e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di
rumah sakit/ ICU sebelumnya luar pemeriksaan standar, seperti uji kulit
4. Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat (uji alergi), pemeriksaan faal paru
serangan)
lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih 7. Pulse oxymeter
(kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi 8. Analisis gas darah
dan sebagainya. 9. Tensimeter
Konseling dan Edukasi Prognosis
1. Meningkatkan kebugaran fisik 1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Berhenti merokok 2. Ad functionam : Bonam
3. Menghindari pencetus di lingkungan sehari- 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
hari
Referensi
Peralatan
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma.
1. Tabung oksigen Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
2. Kanul hidung Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004
3. Sungkup sederhana 2. Global Initiative For Asthma. Global strategy
4. Sungkup inhalasi for asthma management and prevention.
5. Nebulizer GINA. 2012.
6. Peak flow meter

8. PNEUMONIA ASPIRASI
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R99 Respiratory disease other
: J69.0 Pneumonitis due to food and vomit
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
2. Pasien dengan irupsi dari gastroesophageal
Pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia) junction.
adalah pneumonia yang disebabkan oleh 3. Terdapat abnormalitas anatomis dari
terbawanya bahan yang ada diorofaring pada traktus aerodigestifus atas.
saat respirasi ke saluran napas bawah dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru.
Sederhana (Objective)
Secara spesifik, pneumonia aspirasi didefinisikan
dengan ditemukannya bukti radiografi berupa Pemeriksaan fisik serupa pada pneumonia
penambahan infiltrat di paru pada pasien umumnya. Temuan pemeriksaan fisik dada
dengan faktor risiko aspirasi orofaring. tergantung dari luas lesi di paru.
Hasil Anamnesis (Subjective) Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit
tertinggal waktu bernapas
Kejadian aspiration pneumonia biasanya tidak
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada
dapat diketahui waktu terjadinya dan paling
bagian yang sakit
sering pada orang tua. Keluhannya berupa :
Perkusi : redup di bagian yang sakit
Batuk
Auskultasi : terdengar suara napas
1. Takipnea bronkovesikuler sampai bronkial
2. Tanda-tanda dari pneumonia yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian
Faktor Risiko: menjadi ronki basah kasar pada
1. Pasien dengan disfagi neurologis. stadium resolusi.
Pemeriksaan Penunjang c. Penyakit periodontal berat, dahak
yang busuk atau alkoholisme :
1. Foto toraks piperasilin-tazobaktam (3, 375 gr/6
2. Pemeriksaan laboratorium darah jam) atau imipenem (500 mg/8 jam
lengkap Penegakan Diagnostik (Assessment) sampai 1 gr/6 jam) atau kombinasi dua
obat : levofloksasin (500 mg/hari) atau
Diagnosis Klinis siprofloksasin (400 mg/12 jam) atau
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan seftriakson (1-2 gr/hari) ditambah
fisik, dan penunjang. klindamisin (600 mg/8 jam) atau
metronidazol (500 mg/8jam)
Diagnosis Banding :-
Kriteria Rujukan
Aspiration pneumonitis: -
Penilaian status keparahan serupa dengan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) pneumonia biasa.
Penatalaksanaan Peralatan
1. Pemberian oksigen Tabung oksigen beserta nasal kanul atau masker
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
(bila cairan parenteral). Jumlah cairan sesuai Prognosis
berat badan, peningkatan suhu dan derajat Prognosis pada umumnya bonam.
dehidrasi.
3. Pemberian antibiotik tergantung pada Referensi
kondisi :
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
a. Pneumonia komunitas : levofloksasin Pneumonia. PDPI. Jakarta 2013.
(500 mg/hari) atau seftriakson (1-2 gr/
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2013)
hari)
2. Marik PE. Aspiration pneumonitis and
b. Pasien dalam perawatan di rumah aspiration pneumonia. N Eng J Med.
sakit : levofloksasin (500 mg/hari)atau 2001;3:665-71.(Marik, 2001)
piperasilin tazobaktam (3, 375 gr/6 jam)
atau seftazidim (2 gr/8 jam)

9. PNEUMONIA, BRONKOPNEUMONIA
No. ICPC-2: R81 Pneumonia
No. ICD-10: J18.0 Bronchopneumonia, unspecified
J18.9 Pneumonia, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi


Pneumonia adalah peradangan/inflamasi dll). Pneumonia yang dimaksud di sini tidak
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis termasuk dengan pneumonia yang disebabkan
yang mencakup bronkiolus respiratorius oleh Mycobacterium tuberculosis. Pneumonia
dan alveoli, sertamenimbulkan konsolidasi merupakan penyebab utama morbiditas dan
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas mortalitas anak berusia di bawah lima tahun
setempat. Sebagian besar disebabkan oleh (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian
mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta
anak balita, meninggal setiap tahun akibat
pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika tersedia
dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan 4. Kultur sputum jika fasilitas tersedia
nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 5. Kultur darah jika fasilitas tersedia
22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan
oleh penyakit sistem respiratori, terutama Penegakan Diagnosis (Assessment)
pneumonia. Lima provinsi yang mempunyai Diagnosis Klinis
insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi
untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
(4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis defenitif
Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi dilakukan pemeriksaan penunjang.
Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan
(2,4% dan 4,8%) berdasarkan RISKESDAS 2013. jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau
Pneumonia pada Pasien Dewasa infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih
gejala di bawah ini:
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Batuk-batuk bertambah
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan : 2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat 3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) / riwayat demam
dapat melebihi 40°C 4. Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen konsolidasi, suara napas bronkial danronki
kadang-kadang disertai darah 5. Leukosit > 10.000 atau < 4500
3. Sesak napas Komplikasi
4. Nyeri dada
Efusi pleura, Empiema, Abses paru,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pneumotoraks, gagal napas, sepsis.
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari
luas lesi di paru. Dalam hal mengobati penderita pneumonia
perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat
tertinggal waktu bernapas
dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang
bagian yang sakit dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
Perkusi : redup di bagian yang sakit mikroorganisme patogen yang spesifik.
Auskultasi : terdengar suara napas 1. Pengobatan suportif / simptomatik
bronkovesikuler sampai bronkial
a. Istirahat di tempat tidur
yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian b. Minum secukupnya untuk mengatasi
menjadi ronki basah kasar pada dehidrasi
stadium resolusi. c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau
minum obat penurun panas
Pemeriksaan Penunjang
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan
1. Pewarnaan gram ekspektoran
2. Pemeriksaan lekosit
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik
3. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas
yang harus diberikan kurang dari 8 jam.
Pasien Rawat Jalan Kriteria Rujukan
a. Pasien yang sebelumnya sehat dan 1. Kriteria CURB
tidak ada risiko kebal obat ;
• Makrolid: azitromisin, klaritromisin (Conciousness, kadar Ureum, Respiratory
rate>30 x/menit, tekanan darah: sistolik<90
atau eritromisin (rekomendasi kuat)
mmHg dan diastolik <60 mmHg; masing
• Doksisiklin (rekomendasi lemah) masing bila ada kelainan bernilai 1).
b. Terdapat komorbid seperti penyakit
jantung kronik, paru, hati atau penyakit Dirujuk bila total nilai 2.
ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, 2. Kriteria PORT (patient outcome research
keganasan, kondisi imunosupresif atau team)
penggunaan obat imunosupresif,
antibiotik lebih dari 3 bulan atau faktor Penilaian Derajat Keparahan Penyakit
risiko lain infeksi pneumonia : Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia
• Florokuinolon respirasi komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan
: moksifloksasisn, atau levofloksasin sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia
(750 mg) (rekomendasi kuat) Patient Outcome Research Team (PORT).
• ß-lactam + makrolid : Amoksisilin Tabel 10.8 Sistem skor pada
dosis tinggi (1 gram, 3x1/hari) atau pneumonia komuniti
amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/ berdasarkan PORT
hari) (rekomendasi kuat)
Alternatif obat lainnya termasuk ceftriakson,
cefpodoxime dan cefuroxime (500 mg, 2x1/hari),
doksisiklin
Pasien perawatan, tanpa rawat ICU
1. Florokuinolon respirasi (rekomendasi kuat)
2. ß-laktam+makrolid (rekomendasi kuat)
Agen ß-laktam termasuk sefotaksim,
seftriakson, dan ampisilin; ertapenem untuk
pasien tertentu; dengan doksisiklin sebagai
alternatif untuk makrolid.
Florokuinolon respirasi sebaikanya digunakan
untuk pasien alergi penisilin.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi
Edukasi diberikan kepada individu dan
keluarga mengenai pencegahan infeksi
berulang, pola hidup sehat termasuk tidak
merokok dan sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan
Vaksinasi influenza dan pneumokokal, Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang
terutama bagi golongan risiko tinggi (orang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
usia lanjut atau penderita penyakit kronis). komuniti adalah :
1. Skor PORT > 70
2. Bila skor PORT < 70 maka penderita tetap Bronkopneumonia pada Pasien Anak
perlu dirawat inap bila dijumpai salah
satudari kriteria dibawah ini : Hasil Anamnesis (Subjective)
a. Frekuensi napas > 30/menit Sebagian besar gambaran klinis pneumonia
b. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg pada anak berkisar antara ringan hingga
c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan sedang, sehingga dapat berobat jalan saja.
bilateral Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi
e. Tekanan diastolik < 60 mmHg sehingga memerlukan perawatan di rumah
f. Tekanan sistolik < 90 mmHg sakit.
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
4. Menurut ATS (American Thoracic Society) Beberapa faktor yang memengaruhi gambaran
kriteria pneumonia berat bila dijumpai klinis pneumonia pada anak adalah:
salah satu atau lebih’ kriteria di bawah ini. 1. Imaturitas anatomik dan imunologik
a. Kriteria minor: 2. Mikroorganisme penyebab yang luas, gejala
• Frekuensi napas > 30/menit klinis yang kadang- kadang tidak khas
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg terutama pada bayi
• Foto toraks paru menunjukkan 3. Etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering
kelainan bilateral 4. Faktor patogenesis
• Foto toraks paru melibatkan > 2 5. Kelompok usia pada anak merupakan faktor
lobus penting yang menyebabkan karakteristik
• Tekanan sistolik < 90 mmHg penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
• Tekanan diastolik < 60 mmHg dipertimbangkan dalam tatalaksana
b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut : pneumonia.
• Membutuhkan ventilasi mekanik Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
• Infiltrat bertambah > 50% Sederhana (Objective)
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam
(septik syok) Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi
peningkatan > 2 mg/dI, pada secara umum adalah sebagai berikut:
penderita riwayat penyakit ginjal
1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit
atau gagal ginjal yang membutuhkan
kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
dialisis
makan, keluhan gastrointestinal seperti
Penderita yang memerlukan perawatan di mual, muntah atau diare; kadang-kadang
Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
mempunyai:
2. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk,
1. Satu dari dua gejala mayor tertentu sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
(membutuhkan ventalasi mekanik dan cuping hidung, air hunger, merintih, dan
membutuhkan vasopressor >4 jam [syok sianosis.
sptik]) atau
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
2. Dua dari tiga gejala minor tertentu (Pa02/
tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas
FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks
melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus
parumenunjukkan kelainan bilateral, dan
dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia
tekanan sistolik < 90 mmHg).
lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat.
Kriteria minor dan mayor yang lain bukan Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya
merupakan indikasi untuk perawatan Ruang tidak ditemukan kelainan.
Rawat Intensif.
Pemeriksaan Penunjang antibiotik.
b. Pneumonia
Pewarnaan gram, pemeriksaan lekosit, • Tidak ada sesak napas
pemeriksaan foto toraks, kultur sputum serta
• Ada napas cepat dengan laju napas:
kultur darah (bila fasilitas tersedia)
>50 x/menit untuk anak usia 2
Penegakan Diagnosis (Assessment) bulan–1 tahun
>40 x/menit untuk anak >1–5 tahun
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan • Tidak perlu dirawat,
mikrobiologis dan/atau serologis sebagai dasar diberikan
terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan antibiotik oral. c. Bukan pneumonia
bakteri penyebab tidak selalu mudah karena • Tidak ada napas cepat dan sesak
memerlukan laboratorium penunjang yang napas
memadai. Oleh karena itu, pneumonia pada anak • Tidak perlu dirawat dan tidak
umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran perlu antibiotik, hanya diberikan
klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem pengobatan simptomatis seperti
respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor penurun panas
paling kuat adanya pneumonia adalah demam,
sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori 2. Bayi berusia di bawah 2 bulan
sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping a. Pneumonia
hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah. • Ada napas cepat (>60 x/menit) atau
sesak napas
WHO mengembangkan pedoman diagnosis • Harus dirawat dan diberikan
dan tatalaksana yang sederhana. Pedoman ini antibiotik.
terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan b. Bukan pneumonia
tingkat pertama, dan sebagai pendidikan • Tidak ada napas cepat atau sesak
kesehatan untuk masyarakat di negara napas
berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut • Tidak perlu dirawat, cukup
meliputi napas cepat, sesak napas, dan berbagai diberikan pengobatan simptomatis.
tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke
pelayanan kesehatan. Napas cepat dinilai dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
menghitung frekuensi napas selama satu menit
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak
penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak
perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama
napas dinilai dengan melihat adanya tarikan
berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya
dinding dada bagian bawah ke dalam ketika
toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/
menarik napas (retraksi epigastrium). Tanda
minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
bahaya pada anak berusia 2 bulan–5 tahun
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan
adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran
usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan
menurun, stridor, dan gizi buruk; tanda bahaya
kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat
untuk bayi berusia di bawah 2 bulan adalah
inap.
malas minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kausal dengan antibiotik yang
Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman
sesuai dan pengobatan suportif yang meliputi :
WHO adalah:
1. Pemberian cairan intravena, terapi oksigen,
1. Bayi dan anak berusia 2 bulan–5 tahun
koreksi terhadap gangguan keseimbangan
a. Pneumonia berat
asam-basa, elektrolit, dan gula darah
• Ada sesak napas
2. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
• Harus dirawat dan diberikan
analgetik/antipiretik
3. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif
4. Penyakit penyerta harus ditanggulangi seperti meningitis purulenta
dengan adekuat
5. Komplikasi yang mungkin terjadi harus Peralatan
dipantau dan diatasi 1. Termometer
Pneumonia Rawat Jalan 2. Tensimeter
3. Pulse oxymeter (jika fasilitas tersedia)
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat 4. Pemeriksaan pewarnaan gram
diberikan antibiotik lini pertama secara oral, 5. Pemeriksaan darah rutin
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada 6. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan 7. Oksigen
antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang
mencapai 90%.Penelitian multisenter di Prognosis
Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia Prognosis tergantung pada beratnya penyakit
rawat jalan, pemberian amoksisilin dan dan ketepatan penanganan.
kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai
efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang Referensi
diberikan adalah
1. 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis
4 mg/kgBB TMP − 20 mg/kgBB sulfametoksazol. dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Penumonia Rawat Inap 2011.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2011)
Pilihan antibiotik lini pertama dapat
menggunakan antibiotik golongan beta- 2. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG,
laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc.
yang tidak responsif terhadap beta-laktam dan Infectious diseases society of America/
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain American thoracic society consensus
seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, guidelines on the management of
sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. community-acquired pneumonia in adults.
Sebaiknya segera dirujuk jika tidak tersedia Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–
antibiotik yang sesuai. 72(Mandel, et al., 2007)

Kriteria Rujukan 3. Said M. Pneumonia. Rahajoe NN,


Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar
1. Pneumonia berat respirologi anak. Edisi I. Jakarta:
2. Pneumonia rawat inap IDAI;2011.p.310-33. (Said, 2011)
Pencegahan
1. Pemberian imunisasi Pemberian vitamin A
2. Menghindari faktor paparan asap rokok dan
polusi udara
3. Membiasakan cuci tangan
4. Isolasi penderita
5. Menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat
keramaian umum
6. Pemberian ASI
7. Menghindarkan bayi/anak kecil dari
kontak dengan penderita ISPA Komplikasi
Empiema torakis, Perikarditis purulenta,
Pneumotoraks, Infeksi ekstrapulmoner
10. PNEUMOTORAKS
No. ICPC-2: R99 Respiratory Disease Other No. ICD-10: J93.9 Respiratory Disease other
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gejala klinis :
Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat
1. Hiperkapnia
udara bebas dalam rongga pleura. Insiden
2. Hipotensi
pneumotoraks sulit diketahui karena
episodenya banyak yang tidak diketahui. 3. Takikardi
Umumnya pria lebih banyak dari wanita. 4. Perubahan status mental
5. Pemeriksaan fisik paru :
Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu: a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit
lebih menonjol dan tertinggal pada
1. Pneumotoraks spontan primer adalah pernapasan
pneumotoraks yang terjadi tanpa riwayat b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di
penyakit paru sebelumnya ataupun trauma, sisi yang sakit
dan dapat terjadi pada individu yang sehat. c. Perkusi paru, ditemukan suara
Terutama lebih sering pada laki, tinggi dan hipersonor dan pergeseran mediastinum
kurus, dan perokok. ke arah yang sehat
2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah d. Auskultasi paru, didapatkan suara napas
pneumotoraks yang terjadi pada penderita yang melemah dan jauh
yang memiliki riwayat penyakit paru
sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan lain- Pemeriksaan Penunjang:
lain.
1. Foto toraks, didapatkan garis penguncupan
Hasil Anamnesis (Subjective) paru yang sangat halus (pleural line), dan
gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bila
Keluhan disertai darah atau cairan lainnya, akan
1. Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan tampak garis mendatar yang merupakan
atau tidak. Keluhan yang dapat timbul batas udara dan cairan (air fluid level).
adalah sesak napas, yang dapat disertai 2. Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak
nyeri dada pada sisi yang sakit. Nyeri dada untuk menegakkan diagnosis, namun untuk
tajam, timbul secara tiba- tiba, dan semakin menilai apakah telah terjadi gagal napas.
nyeri jika menarik napas dalam atau
terbatuk. Keluhan timbul mendadak ketika Penegakan Diagnostik (Assessment)
tidak sedang aktivitas.
Diagnosis Klinis
2. Faktor risiko, di antaranya:
a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pneumonia pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif
b. Trauma dengan pemeriksaan penunjang.
c. Merokok
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Kegagalan respirasi
2. Kegagalan sirkulasi
Pemeriksaan Fisik 3. Kematian
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Kanul hidung
5. Sungkup sederhana
1. Oksigen 6. Lidocaine 2%
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, 7. Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50 cc
dilakukan pemasangan IV line dengan
8. Three-way
cairan kristaloid
9. Botol bervolume 500 cc
3. Rujuk
Prognosis
Konseling dan Edukasi
1. Ad vitam : Dubia
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga
mengenai: Referensi
1. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks 1. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam:
2. Pertolongan kegawatdaruratan pada Pulmonologi intervensi dan gawat darurat
pneumotoraks napas. Swidarmoko B, Susanto AD, editor.
3. Perlunya rujukan segera ke RS Kriteria Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked. Respirasi.
Rujukan Segera rujuk pasien yang 2010: 54-71.(Astowo, 2010)
terdiagnosis pneumotoraks, setelah
dilakukan penanggulangan awal. 2. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management
of spontaneous pneumothorax: British
Peralatan Thoracic Society pleural diseases guideline
2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff, et
1. Infus set al., 2010)
2. Abbocath 14
3. Tabung oksigen

11. PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS)


No. ICPC-2: R95Chronic Obstructive Pulmonary Diseases
No. ICD-10: J44.9 Chronic Obstructive Pulmonary Diseasesm unspecified
Tingkat Kemampuan PPOK eksaserbasi akut 3B

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat 1. Keluhan
dicegah dan diobati, dikarakteristikkan dengan
hambatan aliran udara yang persisten, progresif a. Sesak napas
dan berhubungan dengan peningkatan respons b. Kadang-kadang disertai mengi
inflamasi kronis di paru terhadap partikel dan c. Batuk kering atau dengan dahak yang
gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid produktif d. Rasa berat di dada
berkontribusi terhadap keseluruhan keparahan
2. Faktor risiko
tiap individu. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat
di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti a. Genetik
Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan b. Pajanan partikel
Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. • Asap rokok
PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding • Debu kerja, organik dan inorganik
perempuan dan lebih tinggi di perdesaan • Polusi udara dalam rumah dari
dibanding perkotaan. Prevalensi PPOK pemanas atau biomassa rumah
cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tangga dengan ventilasi yang buruk
pendidikan rendah dan kuintil indeks • Polusi udara bebas
kepemilikan terbawah.
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru b. Irama jantung di apeks mungkin sulit
d. Stres oksidatif ditemukan karena hiperinflasi paru
e. Jenis kelamin
f. Umur c. Hiperinflasi menyebabkan hati letak
g. Infeksi paru rendah dan mudah di palpasi
h. Status sosial-ekonomi 3. Auskultasi
i. Nutrisi.
j. Komorbiditas a. Pasien dengan PPOK sering mengalami
penurunan suara napas tapi tidak
3. Penilaian severitas gejala spesifik untuk PPOK
Penilaian dapat dilakukan dengan
kuesioner COPD Assesment Test (CAT) yang b. Mengi selama pernapasan biasa
terdiri atas 8 pertanyaan untuk mengukur menunjukkan keterbatasan aliran udara.
pengaruh PPOK terhadap status kesehatan Tetapi mengi yang hanya terdengar
pasien. setelah ekspirasi paksa tidak spesifik
untuk PPOK
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) c. Ronki basah kasar saat inspirasi dapat
ditemukan
Pemeriksaan fisik
d. Bunyi jantung terdengar lebih keras di
1. Inspeksi area xiphoideus
a. Sianosis sentral pada membran mukosa Pemeriksaan Penunjang
mungkin ditemukan
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
b. Abnormalitas dinding dada yang
adalah uji jalan 6 menit yang dimodifikasi.
menunjukkan hiper inflasi paru
Untuk di Puskesmas dengan sarana terbatas,
termasuk iga yang tampak horizontal,
evaluasi yang dapat digunakan adalah keluhan
barrel chest (diameter antero - posterior
lelah yang timbul atau bertambah sesak.
dan transversal sebanding) dan
abdomen yang menonjol keluar Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dilakukan
c. Hemidiafragma mendatar bila fasilitas tersedia:
d. Laju respirasi istirahat meningkat lebih 1. Spirometri
dari 20 kali/menit dan pola napas lebih 2. Peak flow meter (arus puncak respirasi)
dangkal
3. Pulse oxymetry
e. Pursed - lips breathing (mulut setengah
terkatup mencucu), laju ekspirasi lebih 4. Analisis gas darah
lambat memungkinkan pengosongan 5. Foto toraks
paru yang lebih efisien 6. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit,
f. Penggunaan otot bantu napas adalah trombosit)
indikasi gangguan pernapasan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
g. Bila telah terjadi gagal jantung kanan
terlihat denyut vena jugularis di leher Diagnosis Klinis
dan edema tungkai
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
2. Palpasi dan Perkusi pemeriksaan fisik dan penunjang.

a. Sering tidak ditemukan kelainan pada


PPOK
Tabel 10.9 Indikator kunci untuk 4. Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH)
mendiagnosis PPOK 5. Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila
sputum mukoid.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut ringan
1. Oksigen (bila tersedia)
2. Bronkodilator
Pada kondisi eksaserbasi, dosis dan atau
frekuensi bronkodilator kerja pendek
ditingkatkan dan dikombinasikan dengan
antikolinergik. Bronkodilator yang
disarankan adalah dalam sediaan inhalasi.
Jika tidak tersedia, obat dapat diberikan
secara injeksi, subkutan, intravena atau
perdrip, misalnya: Adrenalin 0,3 mg
subkutan, digunakan dengan hati-hati
Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan
pengenceran) harus perlahan (10 menit)
utk menghindari efek samping.dilanjutkan
dengan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
3. Kortikosteroid
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Diberikan dalam dosis 30 mg/hari diberikan
Tujuan penatalaksanaan di Fasilitas Pelayanan maksimal selama 2 minggu. Pemberian
Kesehatan Tingkat selama 2 minggu tidak perlu tapering off.
Pertama: 4. Antibiotik yang tersedia di Puskesmas
1. Mengurangi laju beratnya penyakit 5. Pada kondisi telah terjadi kor pulmonale,
2. Mempertahankan PPOK yang stabil dapat diberikan diuretik dan perlu berhati-
3. Mengatasi eksaserbasi ringan hati dalam pemberian cairan.

4. Merujuk ke spesialis paru atau rumah Konseling dan Edukasi

sakit Penatalaksanaan PPOK stabil 1. Edukasi ditujukan untuk mencegah


penyakit bertambah berat dengan cara
1. Obat-obatan dengan tujuan mengurangi menggunakan obat-obatan yang tersedia
laju beratnya penyakit dan mempertahankan dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan
keadaan stabil. aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
2. Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi 2. Pengurangan pajanan faktor risiko
golongan ß2 agonis (salbutamol) dengan 3. Berhenti merokok
golongan xantin (aminofilin dan teofilin). 4. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak
Masing-masing dalam dosis suboptimal, dan karbohidrat, dapat diberikan dalam
sesuai dengan berat badan dan beratnya porsi kecil tetapi sering.
penyakit. Untuk dosis pemeliharaan, 5. Rehabilitasi
aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi a. Latihan bernapas dengan pursed lip
dengn salbutamol 1 mg. breathing
3. Kortikosteroid digunakan dalam bentuk b. Latihan ekspektorasi
inhalasi, bila tersedia. c. Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
6. Terapi oksigen jangka panjang
Kriteria Rujukan 1. Sesak bertambah
2. Produksi sputum meningkat
1. Untuk memastikan diagnosis dan
3. Perubahan warna sputum
menentukan derajat PPOK
2. PPOK eksaserbasi sedang - berat Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
3. Rujukan penatalaksanaan jangka panjang
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di
Peralatan atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2
1. Spirometer gejala di atas
2. Peak flow meter
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1
3. Pulse oxymeter gejala di atas ditambah infeksi saluran
4. Tabung oksigen napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa
5. Kanul hidung sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
6. Sungkup sederhana mengi atau peningkatan frekuensi
7. Sungkup inhalasi pernapasan > 20% baseline , atau frekuensi
8. Nebulizer nadi > 20% baseline
9. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
rutin Gambar 10.3 Algoritma Pengobatan PPOK
Eksaserbasi Akut
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Perhimpunan dokter paru Indonesia.
Penyakit paru obstruktif kronik. Diagnosis
dan penatalaksanaan. Jakarta. 2011.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc.
2013.(GLobal Initiatives for COPD, 2013)
3. Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc.
2006.(Global Initiatives for COPD, 2006)
ALGORITMA PENGOBATAN PPOK EKSASERBASI
AKUT
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya
perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara,
kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
12. EPISTAKSIS
No. ICPC-2: R06. Nose bleed/epistaxis No. ICD-10: R04.0 Epistaxis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
b. Banyaknya perdarahan
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir c. Frekuensi
keluar dari hidung yang berasal dari rongga d. Lamanya perdarahan
hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Faktor Risiko
Hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri. 1. Trauma
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala 2. Adanya penyakit di hidung yang
yang sangat mengganggu. Faktor etiologi mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis
dapat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan alergi.
harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati 3. Penyakit sistemik, seperti kelainan
epistaksis secara efektif. pembuluh darah, nefritis kronik, demam
berdarah dengue.
Klasifikasi
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti
1. Epistaksis Anterior NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin,
semprot hidung kortikosteroid.
Epistaksis anterior paling sering berasal 5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi
dari pleksus Kiesselbach, yang merupakan di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring.
sumber perdarahan paling sering dijumpai 6. Kelainan kongenital, misalnya:
pada anak-anak. Selain itu juga dapat hereditary hemorrhagic telangiectasia /
berasal dari arteri etmoidalis anterior. Osler’s disease.
Perdarahan dapat berhenti sendiri 7. Adanya deviasi septum.
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan 8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di
tindakan sederhana. daerah yang sangat tinggi, tekanan udara
2. Epistaksis Posterior rendah, atau lingkungan dengan udara yang
sangat kering.
Pada epistaksis posterior, perdarahan
berasal dari arteri sfenopalatina atau arteri 9. Kebiasaan
etmoidalis posterior. Epistaksis posterior Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
sering terjadi pada orang dewasa yang
Sederhana (Objective)
menderita hipertensi, arteriosklerosis,
atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan Pemeriksaan Fisik
biasanya hebat dan jarang berhenti
spontan. 1. Rinoskopi anterior

Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan harus dilakukan secara


berurutan dari anterior ke posterior.
Keluhan Vestibulum, mukosa hidung dan septum
nasi, dinding lateral hidung dan konka
1. Keluar darah dari hidung atau riwayat inferior harus diperiksa dengan cermat
keluar darah dari hidung. untuk mengetahui sumber perdarahan.
2. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai :
a. Lokasi keluarnya darah (depan 2. Rinoskopi posterior
rongga hidung atau ke tenggorok)
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi 2. Mencegah komplikasi
posterior penting pada pasien dengan 3. Mencegah berulangnya epistaksis
epistaksis berulang untuk menyingkirkan
neoplasma. Penatalaksanaan

3. Pengukuran tekanan darah 1. Perbaiki keadaan umum penderita,


penderita diperiksa dalam posisi duduk
Tekanan darah perlu diukur untuk kecuali bila penderita sangat lemah atau
menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena keadaaan syok, pasien bisa berbaring
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis dengan kepala dimiringkan.
posterior yang hebat dan sering berulang. 2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis
Pemeriksaan Penunjang ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan
cara duduk dengan kepala ditegakkan,
Bila diperlukan: kemudian cuping hidung ditekan ke arah
septum selama 3-5 menit (metode Trotter).
1. Darah perifer lengkap
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum
2. Skrining terhadap koagulopati (bleeding
hidung dibuka dan dengan alat pengisap
time, clotting time)
(suction) dibersihkan semua kotoran dalam
Penegakan Diagnostik (Assessment) hidung baik cairan, sekret maupun darah
yang sudah membeku.
Diagnosis Klinis
4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, kapas yang dibasahi ke dalam hidung
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc
bila diperlukan. larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc
larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan
Diagnosis Banding
untuk menghilangkan rasa sakit dan
Hemoptisis, Varises oesofagus yang berdarah, membuat vasokontriksi pembuluh darah
Perdarahan di basis cranii, Karsinoma nasofaring, sehingga perdarahan dapat berhenti
Angiofibroma hidung. sementara untuk mencari sumber
perdarahan. Sesudah
Komplikasi 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
1. Akibat pemasangan tampon anterior dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus 5. Pada epistaksis anterior, jika sumber
tersumbat) dan sumbatan duktus lakrimal. perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
2. Akibat pemasangan tampon posterior dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang
dapat timbul otitis media, dibasahi larutan Nitras Argenti 15 – 25%
haemotympanum, serta laserasi palatum atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya
mole dan sudut bibir bila benang yang area tersebut diberi salep antibiotik.
dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang 6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior
ditarik. masih terus berlangsung, diperlukan
3. Akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok pemasangan tampon anterior dengan kapas
dan anemia. atau kain kasa yang diberi Vaselin yang
dicampur betadin atau zat antibiotika.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat
dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-
epistaksis, yaitu :
lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
1. Menghentikan perdarahan rongga hidung. Tampon yang dipasang
harus
menekan tempat asal perdarahan dan e. Lekatkan benang yang terdapat di rongga
dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon
Selama Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah
2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menarik tampon keluar melalui
untuk mencari faktor penyebab epistaksis. mulut setelah 2-3 hari.
Selama pemakaian tampon, diberikan f. Berikan juga obat hemostatik selain dari
antibiotik sistemik dan analgetik. tindakan penghentian perdarahan itu.
Gambar 10.4 Tampon anterior hidung Gambar 10.5 Tampon posterior (Bellocq) untuk
hidung

7. Untuk perdarahan posterior dilakukan


pemasangan tampon posterior, yang disebut
tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari
kasa padat berbentuk bulat atau kubus
berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon Rencana Tindak Lanjut
ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah Setelah perdarahan dapat diatasi, langkah
pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. selanjutnya adalah mencari sumber perdarahan
Tampon harus dapat menutupi koana atau penyebab epistaksis.
(nares posterior). Teknik pemasangan
tampon posterior, yaitu: Konseling dan Edukasi
a. Masukkan kateter karet melalui nares Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
anterior dari hidung yang berdarah sampai
tampak di orofaring, lalu tarik keluar 1. 1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis,
melalui mulut. karena hal ini merupakan gejala suatu
penyakit, sehingga dapat mencegah
b. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang timbulnya kembali epistaksis.
tampon Bellocq, kemudian tarik kembali
kateter itu melalui hidung. 2. Mengontrol tekanan darah pada penderita
dengan hipertensi.
c. Tarik kedua ujung benang yang sudah
keluar melalui nares anterior dengan 3. Menghindari membuang lendir melalui
bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke hidung terlalu keras.
nasofaring. 4. Menghindari memasukkan benda keras
Jika dianggap perlu, jika masih tampak ke dalam hidung, termasuk jari sehingga
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat
dapat pula dimasukkan tampon anterior ke pada pasien anak.
dalam kavum nasi. 5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang
d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares dapat meningkatkan perdarahan seperti
anterior pada sebuah gulungan kain kasa di aspirin atau ibuprofen.
depan lubang hidung, supaya tampon yang
terletak di nasofaring tidak bergerak.
Pemeriksaan penunjang lanjutan 8. Lidi kapas
9. Nelaton kateter
Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila 10. Benang kasur
dicurigai sinusitis. Kriteria Rujukan
11. Larutan Adrenalin 1/1000
1. Bila perlu mencari sumber perdarahan 12. Larutan Pantokain 2% atau Lidokain 2%
dengan modalitas yang tidak tersedia di 13. Larutan Nitras Argenti 15 – 25%
layanan Tingkat Pertama, misalnya naso- 14. Salep vaselin, Salep antibiotik
endoskopi.
Referensi
2. Pasien dengan epistaksis yang curiga
akibat tumor di rongga hidung atau 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku Ajar
nasofaring. Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
3. Epistaksis yang terus berulang atau masif 2. Iskandar, M. Teknik Penatalaksanaan
Epistaksis. In: Cermin Dunia Kedokteran. No.
Prognosis
132. 2001. p. 43-4(Iskandar, 2001)
1. Ad vitam : Bonam
3. Mangunkusumo, E. Wardani, R.S.
2. Ad functionam : Bonam
Epistaksisdalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
3. Ad sanationam : Bonam Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher.
Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai Ed. ke-6. Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
3. Alat penghisap (suction)
4. Pinset bayonet
5. Tampon anterior, Tampon posterior
6. Kaca rinoskopi posterior
7. Kapas dan kain kassa

13. BENDA ASING DI HIDUNG


No. ICPC-2 No. ICD-10 : R87. Foreign body nose/larynx/bronch
: T17.1 Foreign body in nostril
Tingkat Kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Kasus benda asing di hidung sering ditemui
oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan Keluhan
Tingkat Pertama. Kasus ini paling sering dialami 1. Hidung tersumbat
oleh anak dan balita. Terdapat dua jenis benda 2. Onset tiba-tiba
asing, yaitu benda hidup (organik) dan benda 3. Umumnya unilateral
mati (anorganik). Contoh benda asing organik, 4. Hiposmia atau anosmia
antara lain lintah, lalat, larva, sedangkan benda 5. Setelah 2 – 3 hari, keluar sekret mukoid /
asing anorganik, misalnya manik-manik, kertas, mukopurulen dan berbau di satu sisi
tisu, logam, baterai kecil, kacang-kacangan, dan hidung.
lain-lain. 6. Dapat timbul rasa nyeri
7. Bila benda asing organik, terasa ada yang
bergerak-gerak di dalam rongga hidung.
Khusus untuk lintah, sumbatan pada hidung sehingga dapat masuk ke dalam septum
semakin memberat setiap hari. atau konka inferior dalam beberapa jam
8. Adanya laporan dari pasien atau orang dan menyebabkan perforasi septum.
tua mengenai adanya benda yang masuk 4. Pada benda asing berupa lalat (miasis
atau dimasukkan ke rongga hidung. hidung), dapat terjadi invasi ke
intrakranium dan, walaupun jarang, dapat
Faktor Risiko menyebabkan meningitis yang fatal.
Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
masuknya benda asing ke dalam rongga
hidung: Penatalaksanaan
1. Umur: biasanya anak ≤ 5 tahun 1. Non Medikamentosa
2. Adanya kegagalan mekanisme proteksi a. Tindakan ekstraksi benda asing
yang normal, misal: secara manual dengan menggunakan
3. keadaan tidur, kesadaran menurun, pengait tumpul atau pinset. Dokter
alkoholisme, epilepsi perlu berhati-hati agar tidak sampai
4. Adanya masalah kejiwaan, emosi, dan mendorong benda asing lebih dalam
gangguan psikiatrik sehingga masuk ke saluran napas
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang bawah.
Sederhana (Objective) b. Untuk lintah, sebelum ekstraksi,
teteskan air tembakau ke dalam
Pemeriksaan Fisik
rongga hidung dan biarkan 5 menit
Pada rinoskopi anterior, nampak: hingga lintah terlebih dahulu terlepas
dari mukosa hidung.
1. Benda asing
2. Medikamentosa
2. Sekret purulen (bila sudah berlangsung 2 –
3 hari) Pemberian antibiotik per oral selama 5
hari bila telah terjadi infeksi sekunder.
Pemeriksaan Penunjang:
Konseling dan Edukasi
Foto Rontgen kranium (Schedel) posisi AP dan
lateral, bila diperlukan dan fasilitas tersedia. 1. Reassurance bahwa tidak ada kondisi
berbahaya bila segera dilakukan ekstraksi.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 2. Sebelum tindakan dilakukan, dokter perlu
Diagnosis Klinis menjelaskan mengenai prosedur ekstraksi
dan meminta persetujuan pasien / orang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis tua (informed consent).
dan pemeriksaan fisik. 3. Setelah benda asing berhasil dikeluarkan,
dokter dapat memberi beberapa
Diagnosis Banding
saran yang relevan untuk mencegah
Rinolit berulangnya kejadian kemasukan benda
asing ke hidung di kemudian hari, misalnya:
Komplikasi a. Pada orang tua, dapat lebih berhati-
1. Obstruksi jalan napas akut akibat hati dalam meletakkan benda-benda
masuknya benda asing ke saluran napas yang mudah atau sering dimasukkan ke
yang lebih distal (laring, trakea). dalam rongga hidung.
2. Pada benda asing organik berupa larva / b. Pada anak, dapat diingatkan untuk
ulat / lintah, dapat terjadi destruksi mukosa menghindari memasukkan benda-
dan kartilago hidung. benda ke dalam hidung.
3. Benda asing baterai cepat merusak mukosa
c. Pada pekerja yang sering terpapar 3. Pengait tumpul(blunt hook)
larva atau benda-benda organik lain, 4. Pinset
dapat menggunakan masker saat 5. Forsep aligator
bekerja. 6. Suction
7. Xylocaine 2% spray
Kriteria Rujukan
8. Formulir informed consent
1. Pengeluaran benda asing tidak berhasil
Referensi
karena perlekatan atau posisi benda asing
sulit dilihat. 1. Efiaty, A. Nurbaiti, I. Jenny, B. Ratna, D.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
2. Pasien tidak kooperatif.
Tenggorok Kepala & Leher. 6th Ed. Jakarta:
Prognosis Balai Penerbit FKUI. 2007.

1. Ad vitam : Bonam 2. Buku Modul Hidung: Benda Asing 1st ed.


2. Ad functionam : Bonam Jakarta: Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga
3. Ad sanationam : Bonam Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.
2008. (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL,
Peralatan 2008)
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung

14. FURUNKEL PADA HIDUNG


No. ICPC-2 No. ICD-10 : R73. Boil/abscess nose
: J34.0 Abscess, furuncle and carbuncle of nose
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Higiene personal yang buruk
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea 3. Rinitis kronis, akibat iritasi dari sekret
atau folikel rambut hidung yang melibatkan rongga hidung.
jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh 4. Kebiasaan mengorekrinitisbagian dalam
Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki hidung.
insidensi yang rendah. Belum terdapat data
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel.
Sederhana (Objective)
Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada
anak-anak, remaja sampai dewasa muda. Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective) Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling
sering terdapat pada lateral vestibulum nasi
Keluhan
yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).
1. Bisul di dalam hidung, disertai rasa nyeri
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan
dan perasaan tidak nyaman.
2. Kadang dapat disertai gejala rinitis. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko Diagnosis Klinis
1. Sosio ekonomi rendah Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding:- 3. Selalu menjaga kebersihan diri.
Komplikasi Kriteria Rujukan: -
1. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, Prognosis
vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus
sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus 1. Ad vitam : Bonam
kavernosus. 2. Ad functionam : Bonam
2. Abses. 3. Ad sanationam : Bonam
3. Vestibulitis. Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Lampu kepala
Penatalaksanaan 2. Spekulum hidung
3. Skalpel atau jarum suntik ukuran sedang
1. Non Medikamentosa (untuk insisi)
a. Kompres hangat 4. Kassa steril
b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses 5. Klem
2. Medikamentosa 6. Pinset Bayonet
a. Antibiotik topikal, seperti salep 7. Larutan Povidon Iodin 7,5%
Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu Referensi
Amoksisilin 3 x 500 mg/hari, Sefaleksin 1. Adam, G.L. Boies L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
4 x 250 – 500 mg/hari, atau Eritromisin Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
4 x 250 – 500 mg/hari.
2. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi
Konseling dan Edukasi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher.
bagian dalam hidung. Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran
2. Tidak memencet atau melakukan insisi Universitas Indonesia. 2007.
padafurunkel.

15. RINITIS AKUT


No. ICPC-2: R74. Upper respiratory infection acute No. ICD-10: J00. Acute nasopharyngitis (common cold)
Tingkat Kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Rinitis akut adalah peradangan pada mukosa Keluhan
hidung yangberlangsung akut (<12 minggu). Hal
ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, 1. Keluar ingus dari hidung (rinorea)
ataupun iritan. Radang sering ditemukan 2. Hidung tersumbat
karena manifestasi dari rinitis simpleks 3. Dapat disertai rasa panas atau gatal pada
(common cold), influenza, penyakit eksantem hidung
(seperti morbili, variola, varisela, pertusis), 4. Bersin-bersin
penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi 5. Dapat disertai batuk
lokal atau trauma.
Faktor Risiko mirip dengan common cold. Komplikasi
berhubungan dengan infeksi bakteri
1. Penurunan daya tahan tubuh. sering terjadi.
2. Paparan debu, asap, atau gas yang bersifat
iritatif. c. Rinitis eksantematous
3. Paparan dengan penderita infeksi saluran
napas. Morbili, varisela, variola, dan pertusis,
sering berhubungan dengan rinitis,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dimana didahului dengan eksantema
Sederhana (Objective) sekitar 2-3 hari. Infeksi sekunder dan
komplikasi lebih sering dijumpai dan
Pemeriksaan Fisik lebih berat.
1. Suhu dapat meningkat 2. Rinitis Bakteri
2. Rinoskopi anterior:
a. Tampak kavum nasi sempit, terdapat a. Infeksi non spesifik
sekret serous atau mukopurulen,
mukosa konka udem dan hiperemis. • Rinitis bakteri primer. Infeksi ini
tampak pada anak dan biasanya
b. Pada rinitis difteri tampak sekret yang
bercampur darah. akibat dari infeksi pneumococcus,
streptococcus atau staphylococcus.
c. Membran keabu-abuan tampak
menutup konka inferior dan kavum nasi Membran putih keabu-abuan yang
lengket dapat terbentuk di rongga
bagian bawah, membrannya lengket
dan bila diangkat mudah berdarah. hidung, dan apabila diangkat
dapat menyebabkan pendarahan /
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan epistaksis.
Penegakan Diagnostik (Assessment) • Rinitis bakteri sekunder merupakan
akibat dari infeksi bakteri pada
Diagnosis Klinis rinitis viral akut.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis b. Rinitis Difteri
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi berdasarkan
etiologi: Disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae, dapat berbentuk akut atau
1. Rinitis Virus kronik dan bersifat primer pada hidung
a. Rinitis simplek (pilek, selesma, common atau sekunder pada tenggorokan. Harus
cold, coryza) dipikirkan pada penderita dengan
riwayat imunisasi yang tidak lengkap.
Rinitis simplek disebabkan oleh Penyakit ini semakin jarang ditemukan
virus. Infeksi biasanya terjadi melalui karena cakupan program imunisasi yang
droplet di udara. Beberapa jenis virus semakin meningkat.
yang berperan antara lain, adenovirus,
picovirus, dan subgrupnya seperti 3. Rinitis Iritan
rhinovirus, dan coxsackievirus. Masa
Disebabkan oleh paparan debu, asap atau
inkubasinya 1-4 hari dan berakhir
gas yang bersifat iritatif seperti ammonia,
dalam 2-3 minggu.
formalin, gas asam dan lain-lain. Dapat juga
b. Rinitis influenza disebabkan oleh trauma yang mengenai
mukosa hidung selama masa manipulasi
Virus influenza A, Batau C berperan intranasal, contohnya pada pengangkatan
dalam penyakit ini. Tanda dan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat
gejalanya
reaksi yang terjadi segera yang disebut 1. Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat.
dengan “immediate catarrhalreaction”
bersamaan dengan bersin, rinore, 2. Lebih sering mencuci tangan, terutama
dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sebelum menyentuh wajah.
sembuh cepat dengan menghilangkan 3. Memperkecil kontak dengan orang-orang
faktor penyebab atau dapat menetap selama yang telah terinfeksi.
beberapa hari jika epitel hidung telah rusak.
Pemulihan akan bergantung pada 4. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi.
5. Mengikuti program imunisasi lengkap,
Diagnosis Banding sepertivaksinasi influenza, vaksinasi
MMR untuk mencegah terjadinya rinitis
Rinitis alergi pada serangan akut, Rinitis eksantematosa.
vasomotor pada serangan akut
6. Menghindari pajanan alergen bila terdapat
Komplikasi faktor alergi sebagai pemicu.
1. Rinosinusitis 7. Melakukan bilas hidung secara rutin.
2. Otitis media akut.
3. Otitis media efusi Peralatan
4. Infeksi traktus respiratorius bagian 1. Lampu kepala
bawah seperti laringitis, trakeobronkitis, 2. Spekulum hidung
pneumonia. 3. Suction
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis
Penatalaksanaan 1. Ad vitam : Bonam
1. Non medikamentosa 2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
a. Istirahat yang cukup
Referensi
b. Menjaga asupan yang bergizi dan sehat
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku
2. Medikamentosa Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
a. Simtomatik: analgetik dan antipiretik 1997.
(Paracetamol), dekongestann opikal, 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
dekongestan oral (Pseudoefedrin, Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
Fenilpropanolamin, Fenilefrin).
3. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi
b. Antibiotik: bila terdapat komplikasi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
seperti infeksi sekunder bakteri, Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Amoksisilin, Eritromisin, Sefadroksil. Leher. Ed. ke-6.Jakarta: Fakultas
c. Untuk rinitis difteri: Penisilin sistemik Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
dan anti-toksin difteri. Rencana Tindak
Lanjut Jika terdapat kasus rinitis
difteri dilakukan pelaporan ke dinas
kesehatan setempat.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
16. RINITIS VASOMOTOR
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R97 Allergic rhinitis
: J30.0 Vasomotor rhinitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk Sederhana (Objective)
rinitis kronik yang tidak diketahui penyebabnya
Pemeriksaan Fisik
(idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan Rinoskopi anterior:
obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung 1. Tampak gambaran konka inferior
dekongestan). Rinitis non alergi dan mixed membesar (edema atau hipertrofi),
rhinitis lebih sering dijumpai pada orang dewasa berwarna merah gelap atau merah tua atau
dibandingkan anak-anak, lebih sering dijumpai pucat. Untuk membedakan edema dengan
pada wanita dan cenderung bersifat menetap. hipertrofi konka, dokter dapat memberikan
larutan Epinefrin 1/10.000 melalui tampon
Hasil Anamnesis (Subjective) hidung. Pada edema, konka akan mengecil,
sedangkan pada hipertrofi tidak mengecil.
Keluhan
2. Terlihat adanya sekret serosa dan
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan biasanya jumlahnya tidak banyak. Akan
kanan tergantung posisi tidur tetapi pada golongan rinore tampak sekret
pasien, memburuk pada pagi hari dan jika serosa yang jumlahnya sedikit lebih banyak
terpajan lingkungan non-spesifik seperti dengan konka licin atau berbenjol-benjol.
perubahan suhu atau kelembaban udara,
Pemeriksaan Penunjang
asap rokok, bau menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
kadang-kadang jumlahnya agak banyak. menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan Pemeriksaan dilakukan bila diperlukan dan
rinitis alergika. fasilitas tersedia di layanan Tingkat Pertama,
4. Lebih sering terjadi pada wanita. Faktor yaitu:
Predisposisi
1. Obat-obatan yang menekan dan 1. Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret
menghambat kerja saraf simpatis antara hidung
lain: Ergotamin, Klorpromazine, obat anti 2. Tes cukit kulit (skin prick test)
hipertensi, dan obat vasokonstriktor topikal. 3. Kadar IgE spesifik
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap Penegakan Diagnostik (Assessment)
rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi, serta bau yang menyengat Diagnosis Klinis
(misalnya, parfum).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan
bila diperlukan.
hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang, dan Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini
stress. dibedakan dalam 3 golongan, yaitu:
1. Golongan bersin (sneezer): gejalabiasanya Fenilefrin) sebagai dekongestan hidung
memberikan respon baik dengan terapi oral dengan atau tanpa kombinasi
antihistamin dan glukokortikoid topikal. antihistamin.
2. Golongan rinore (runners): gejala rinore Konseling dan Edukasi
yang jumlahnya banyak.
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
3. Golongan tersumbat (blockers): gejala
kongesti hidung dan hambatan aliran 1. Mengidentifikasi dan menghindari faktor
udara pernafasan yang dominan dengan pencetus, yaitu iritasi terhadap lingkungan
rinore yang minimal. non-spesifik.

Diagnosis Banding 2. Berhenti merokok.

Rinitis alergi, Rinitis medikamentosa, Rinitis Kriteria Rujukan

akut Komplikasi Jika diperlukan tindakan operatif

Anosmia, Rinosinusitis Prognosis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Ad vitam : Bonam


2. Ad functionam : Bonam
Penatalaksanaan 3. Ad sanationam : Bonam
1. Non medikamentosa Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai
Kauterisasi konka yang hipertofi dapat 1. Lampu kepala
menggunakan larutan AgNO3 25% atau 2. Spekulum hidung
trikloroasetat pekat. 3. Tampon hidung
4. Epinefrin 1/10.000
2. Medikamentosa
Referensi
a. Tatalaksana dengan terapi
kortikosteroid topikal dapat 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
diberikan, misalnya Budesonide 1-2 Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
x/hari dengan dosis 100- 200 mcg/
hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 2. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E.
400 mcg/hari. Hasilnya akan terlihat Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar Ilmu
setelah pemakaian paling sedikit Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
selama 2 minggu. Saat ini terdapat Kepala & Leher. Ed ke-6. Fakultas
kortikosteroid topikal baru dalam aqua Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
seperti Fluticasone Propionate dengan 2007.
pemakaian cukup 1 x/hari dengan dosis 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
200 mcg selama 1-2 bulan. Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
b. Pada kasus dengan rinorea yang berat,
dapat ditambahkan antikolinergik
topikal Ipratropium Bromide.
c. Tatalaksana dengan terapi oral dapat
menggunakan preparat
d. simpatomimetik golongan agonis alfa
(Pseudoefedrin, Fenilpropanolamin,
17. RINITIS ALERGI
No. ICPC-2: R97 Allergic rhinitis
No. ICD-10: J30.4 Allergic rhinitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
tinggi merupakan faktor risiko untuk
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi timbul gejala alergis.
yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh 3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet
alergen yang sama serta dilepaskan suatu serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi.
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), Sederhana (Objective)
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada gejala Pemeriksaan Fisik
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang 1. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu
diperantai oleh Ig E. gerakan pasien menggosok hidung dengan
tangannya karena gatal.
Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada
2. Wajah:
anak-anak lebih sering terjadi terutama anak
laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki- a. Allergic shiners yaitu dark circles di
laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi sekitar mata dan berhubungan dengan
terdapat pada anak-anak dan dewasa muda vasodilatasi atau obstruksi hidung.
dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% b. Nasal crease yaitu lipatan horizontal
kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia (horizontal crease) yang melalui
20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak setengah bagian bawah hidung akibat
40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga kebiasaan menggosok hidung keatas
pada usia tua rinitis alergi jarang ditemukan. dengan tangan.
Hasil Anamnesis (Subjective) c. Mulut sering terbuka dengan lengkung
langit-langit yang tinggi, sehingga akan
Keluhan menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi-geligi (facies adenoid).
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus
encer dari hidung (rinorea), bersin, hidung 3. Faring: dinding posterior faring tampak
tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias granuler dan edema (cobblestone
alergi). Bersin merupakan gejala khas, biasanya appearance), serta dinding lateral faring
terjadi berulang, terutama pada pagi hari. Bersin menebal. Lidah tampak seperti gambaran
lebih dari lima kali sudah dianggap patologik peta (geographic tongue).
dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini 4. Rinoskopi anterior:
menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain
a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat
berupa mata gatal dan banyak air mata.
atau kebiruan (livide), disertai adanya
Faktor Risiko sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental
dan purulen biasanya berhubungan
1. Adanya riwayat atopi. dengan sinusitis.
2. Lingkungan dengan kelembaban yang
b. Pada rinitis alergi kronis atau penyakit
granulomatous, dapat terlihat adanya Diagnosis Banding
deviasi atau perforasi septum.
Rinitis vasomotor, Rinitis akut
c. Pada rongga hidung dapat ditemukan
massa seperti polip dan tumor, atau Komplikasi
dapat juga ditemukan pembesaran
Polip hidung, Sinusitis paranasal, Otitis media
konka inferior yang dapat berupa
edema atau hipertropik. Dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dekongestan topikal, polip dan hipertrofi
konka tidak akan menyusut, sedangkan Penatalaksanaan
edema konka akan menyusut. 1. Menghindari alergen spesifik
5. Pada kulit kemungkinan terdapat tanda 2. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran
dermatitis atopi. jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis
Pemeriksaan Penunjang 3. Terapi topikal dapat dengan dekongestan
Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan hidung topikal melalui semprot hidung.
Tingkat Pertama. Obat yang biasa digunakan adalah
oxymetazolin atau xylometazolin, namun
1. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan hanya bila hidung sangat tersumbat dan
sekret dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk
hidung. menghindari rinitis medikamentosa.
2. Pemeriksaan Ig E total serum 4. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
sumbatan hidung akibat respons fase lambat
Penegakan Diagnostik (Assessment) tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat
Diagnosis Klinis yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal: beklometason, budesonid, flutikason,
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, mometason furoat dan triamsinolon.
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang 5. Preparat antikolinergik topikal adalah
bila diperlukan. ipratropium bromida yang bermanfaat untuk
mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic
reseptor kolinergik pada permukaan sel
Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis
efektor.
alergi dibagi berdasarkan sifat berlangsungnya
6. Terapi oral sistemik
menjadi:
a. Antihistamin
1. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 • Anti histamin generasi 1:
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. difenhidramin, klorfeniramin,
2. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/ siproheptadin.
minggu dan/atau lebih dari 4 minggu. • Anti histamin generasi 2: loratadin,
cetirizine
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya b. Preparat simpatomimetik golongan
penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: agonis alfa dapat dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan
atau tanpa kombinasi antihistamin.
gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
Dekongestan oral: pseudoefedrin,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan
fenilpropanolamin, fenilefrin.
hal- hal lain yang mengganggu.
7. Terapi lainnya dapat berupa operasi
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat terutama bila terdapat kelainan anatomi,
satu atau lebih dari gangguan tersebut di selain itu dapat juga dengan imunoterapi
atas.
Konseling dan Edukasi Peralatan
Memberitahu individu dan keluarga untuk: 1. Lampu kepala / senter
2. Spekulum hidung
1. Menyingkirkan faktor penyebab yang
3. Spatula lidah
dicurigai (alergen).
2. Menghindari suhu ekstrim panas maupun Prognosis
ekstrim dingin.
3. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran 1. Ad vitam : Bonam
jasmani. Hal ini dapat menurunkan gejala 2. Ad functionam : Bonam
alergi. 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam

Pemeriksaan penunjang lanjutan Referensi

Bila diperlukan, dilakukan: 1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
1. Uji kulit atau Prick Test, digunakan untuk
menentukan alergen penyebab rinitis alergi 2. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic
pada pasien. Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative).
2. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
paranasal. Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
Kriteria Rujukan 4. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono, N.Rhinitis
1. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk Alergi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
mengetahui jenis alergen. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
2. Bila perlu dilakukan tindakan operatif. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007

18. SINUSITIS (RINOSINUSITIS)


No ICPC-2: R75. Sinusitis acute / chronic No ICD-10: J01. Acute sinusitis
J32. Chronic sinusitis
Tingkat Kemampuan 4A (Rinosinusitis akut)
3A (Rinosinusitis kronik)

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan
pada mukosa sinus paranasal dan rongga Keluhan
hidung. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan 1. Gejala yang dialami, sesuai dengan kriteria
Tingkat Pertama harus memiliki keterampilan pada tabel 10.10
yang memadai untuk mendiagnosis, 2. Onset timbulnya gejala, dibagi menjadi:
menatalaksana, dan mencegah berulangnya a. Akut : < 12 minggu
rinosinusitis. Tatalaksana rinosinusitis yang b. Kronis : ≥ 12 minggu
efektif dari dokter di fasilitas pelayanan 3. Khusus untuk sinusitis dentogenik:
kesehatan Tingkat Pertama dapat a. Salah satu rongga hidung berbau busuk
meningkatkan kualitas hidup pasien secara b. Dari hidung dapat keluar ingus kental
signifikan, menurunkan biaya pengobatan, serta atau tidak beringus
mengurangi durasi dan frekuensi absen kerja. c. Terdapat gigi di rahang atas yang
berlubang / rusak
Tabel 10.10. Kriteria diagnosis rinosinusitis kemungkinan sinus yang terlibat
menurut American Academy of Otolaryngology adalah maksila, frontal, atau etmoid
anterior. Pada sinusitis dentogenik,
dapat pula tidak beringus.
c. Kelainan anatomis yang
mempredisposisi, misalnya: deviasi
septum, polip nasal, atau hipertrofi
konka.
4. Rinoskopi posterior
Bila pemeriksaan ini dapat dilakukan, maka
dapat ditemukan sekret purulen pada
Faktor Risiko nasofaring. Bila sekret terdapat di depan
Keluhan atau riwayat terkait faktor risiko, muara tuba Eustachius, maka berasal
terutama pada kasus rinosinusitis kronik, penting dari sinus-sinus bagian anterior (maksila,
untuk digali. Beberapa di antaranya adalah: frontal, etmoid anterior), sedangkan bila
sekret mengalir di belakang muara tuba
1. Riwayat kelainan anatomis kompleks Eustachius, maka berasal dari sinus-sinus
osteomeatal, seperti deviasi septum bagian posterior (sfenoid, etmoid posterior).
2. Rinitis alergi
5. Otoskopi
3. Rinitis non-alergi, misalnya vasomotor,
medikamentosa Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi
4. Polip hidung adanya komplikasi pada telinga, misalnya
5. Riwayat kelainan gigi atau gusi yang tuba oklusi, efusi ruang telinga tengah, atau
signifikan kelainan pada membran timpani (inflamasi,
6. Asma bronkial ruptur).
7. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas 6. Foto polos sinus paranasal dengan Water’s
akut yang sering berulang view (AP / lateral), bila fasilitas tersedia.
8. Kebiasaan merokok Pada posisi ini, sinus yang dapat dinilai
9. Pajanan polutan dari lingkungan sehari-hari adalah maksila, frontal, dan etmoid.
10. Kondisi imunodefisiensi, misalnya HIV/AIDS 7. Temuan yang menunjang diagnosis
11. Riwayat penggunaan kokain rinosinusitis antara lain: penebalan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang mukosa (perselubungan), air-fluid level,
Sederhana (Objective) dan opasifikasi sinus yang terlibat. Foto
polos sinus tidak direkomendasikan untuk
1. Suhu dapat meningkat anak berusia di bawah 6 tahun. Pada pasien
2. Pemeriksaan rongga mulut dapat dewasa, pemeriksaan ini juga bukan
ditemukan karies profunda pada gigi rahang suatu keharusan, mengingat diagnosis
atas. biasanya dapat ditegakkan secara klinis.
3. Rinoskopi anterior. Rinoskopi anterior dapat Laboratorium, yaitu darah perifer lengkap,
dilakukan dengan atau tanpa dekongestan bila diperlukan dan fasilitas tersedia.
topikal. Pada rinosinusitis akut dapat
ditemukan: Penegakan Diagnosis (Assessment)
a. Edema dan / atau obstruksi mukosa di Rinosinusitis Akut (RSA)
meatus medius
Dasar penegakkan diagnosis RSA dapat dilihat
b. Sekret mukopurulen. Bila sekret pada tabel berikut ini.
tersebut nampak pada meatus medius,
Tabel 10.11. Dasar Penegakkan Diagnosis Tabel 10.12. Dasar Penegakkan Diagnosis
Rinosinusitis Akut (RSA) Rinosinusitis Kronik (RSK)

Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding dari
Rinosinusitis akut dapat dibedakan lagi menjadi: rinosinusitis akut dan kronis:

1. Rinosinusitis akut viral (common cold): Bila Tabel 10.13. Diagnosis banding Rinosinusitis
durasi gejala < 10 hari Akut (RSA) dan Rinosinusitis Kronik (RSK)
2. Rinosinusitis akut pasca-viral:
a. Bila terjadi peningkatan intensitas
gejala setelah 5 hari, atau
b. Bila gejala persisten > 10 hari namun
masih < 12 minggu
3. Rinosinusitis akut bakterial: Bila terdapat
sekurangnya 3 tanda / gejala berikut ini:
a. Sekret berwarna atau purulen dari
rongga hidung
b. Nyeri yang berat dan terlokalisasi pada Komplikasi
wajah
1. Kelainan orbita
c. Demam, suhu > 38oC Penyebaran infeksi ke orbita paling sering
d. Peningkatan LED / CRP terjadi pada sinusitis etmoid, frontal, dan
e. Double sickening, yaitu perburukan maksila. Gejala dan tanda yang patut
setelah terjadi perbaikan sebelumnya dicurigai sebagai infeksi orbita adalah:
edema periorbita, selulitis orbita, dan nyeri
Rinosinusitis Kronis (RSK) berat pada mata. Kelainan dapat mengenai
Dasar penegakkan diagnosis RSK dapat dilihat satu mata atau menyebar ke kedua mata.
pada tabel 5.5 di lampiran 2. Kelainan intrakranial
Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat d. Pasien dianjurkan untuk membilas atau
menimbulkan meningitis, abses ekstradural, mencuci hidung secara teratur dengan
dan trombosis sinus kavernosus. Gejala larutan garam isotonis (salin).
dan tanda yang perlu dicurigai adalah:
sakit kepala (tajam, progresif, terlokalisasi), Rencana Tindak Lanjut
paresis nervus kranial, dan perubahan status 1. Pasien dengan RSA viral (common cold)
mental pada tahap lanjut. dievaluasi kembali setelah 10 hari
3. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis pengobatan. Bila tidak membaik, maka
kronik, dapat berupa: osteomielitis sinus diagnosis menjadi RSA pasca viral dan
maksila, abses subperiosteal, bronkitis dokter menambahkan kortikosteroid (KS)
kronik, bronkiektasis. intranasal ke dalam rejimen terapi.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Pasien dengan RSA pasca viral dievaluasi


kembali setelah 14 hari pengobatan. Bila
Rinosinusitis Akut (RSA) tidak ada perbaikan, dapat dipertimbangkan
rujukan ke spesialis THT.
Tujuan penatalaksanaan RSA adalah
mengeradikasi infeksi, mengurangi severitas 3. Pasien dengan RSA bakterial dievaluasi
dan durasi gejala, serta mencegah komplikasi. kembali 48 jam setelah pemberian
Prinsip utama tatalaksana adalah memfasilitasi antibiotik dan KS intranasal. Bila tidak ada
drainase sekret dari sinus ke ostium di rongga perbaikan, dapat dipertimbangkan rujukan
hidung. Tatalaksana RSA dapat dilihat dalam ke spesialis THT.
gambar Algoritma tatalaksana RSA. Kriteria Rujukan
Konseling dan Edukasi : Pada kasus RSA, rujukan segera ke spesialis THT
1. Pasien dan atau keluarga perlu mendapatkan dilakukan bila:
penjelasan yang adekuat mengenai 1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di
penyakit yang dideritanya, termasuk faktor antaranya: Edema / eritema periorbital
risiko yang diduga mendasari. perubahan posisi bola mata, Diplopia,
2. Dokter bersama pasien dapat mendiskusikan Oftalmoplegia, penurunan visus, sakit
hal-hal yang dapat membantu mempercepat kepala yang berat, pembengkakan area
kesembuhan, misalnya: frontal, tanda-tanda iritasi meningeal,
a. Pada pasien perokok, sebaiknya kelainan neurologis fokal.
merokok dihentikan. Dokter dapat 2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi
membantu pasien berhenti merokok adekuat setelah 10 hari (RSA viral), 14 hari
dengan melakukan konseling (RSA pasca viral), dan 48 jam (RSA bakterial).
(dengan metode 5A) atau anjuran Rinosinusitis KronisStrategi tatalaksana RSK
(metode pengurangan, penundaan, atau meliputi identifikasi dan tatalaksana faktor
cold turkey, sesuai preferensi pasien). risiko serta pemberian KS intranasal atau
b. Bila terdapat pajanan polutan sehari- oral dengan / tanpa antibiotik. Tatalaksana
hari, dokter dapat membantu RSK dapat dilihat pada Algoritma
memberikan anjuran untuk tatalaksana RSK.
meminimalkannya, misalnya dengan
pasien menggunakan masker atau ijin Konseling dan Edukasi
kerja selama simtom masih ada. 1. Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor
c. Pasien dianjurkan untuk cukup risiko yang mendasari atau mencetuskan
beristirahat dan menjaga hidrasi. rinosinusitis kronik pada pasien beserta
alternatif tatalaksana untuk mengatasinya.
2. Pencegahan timbulnya rekurensi juga perlu 7. Otoskop
didiskusikan antara dokter dengan pasien. 8. Suction
9. Lampu baca x-ray
Kriteria Rujukan
10. Formulir permintaan pemeriksaan radiologi
Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila:
11. Formulir rujukan
1. Pasien imunodefisien
Referensi
2. Terdapat dugaan infeksi jamur
3. Bila rinosinusitis terjadi ≥ 4 kali dalam 1 1. Fokkens, W et.al, 2012. European Position
tahun Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps.
4. Bila pasien tidak mengalami perbaikan Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at:
setelah pemberian terapi awal yang http://www.rhinologyjournal.com [Accessed
adekuat setelah 4 minggu. June 24, 2014]. (Fokkens, 2012)
5. Bila ditemukan kelainan anatomis
ataupun dugaan faktor yang memerlukan 2. Departemen Ilmu Telinga Hidung
tatalaksana oleh spesialis THT, misalnya: Tenggorokan Bedah Kepala – Leher
deviasi septum, polip nasal, atau tumor. FKUI / RSCM. Panduan Pelayanan Medis
Rinosinusitis.
Sinusitis Dentogenik
3. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical
1. Eradikasi fokus infeksi, misal: ekstraksi gigi Practice Guidelines forAcute and Chronic
2. Irigasi sinus maksila Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical
3. Antibiotik Immunology, 71, pp.1-38. Available at:
http://www.aacijournal.com/content/7/1/2
Prognosis [Accessed June 6,2014]. (Desrosier et.al,
Rinosinusitis Akut 2011)

1. Ad vitam : Bonam 4. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis


2. Ad functionam : Bonam and Rhinosinusitis in Adults: Treatment.
3. Ad sanationam : Bonam UpToDate Wolters Kluwer Health. Available
at: www.uptodate.com [Accessed June 6,
Rinosinusitis Kronis 2014]. (Hwang & Getz,2014)
1. Ad vitam : Bonam 5. Chow, AW et.al, 2012. IDSA Clinical Practice
2. Ad functionam : Dubia ad bonam Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam in Children and Adults. Clinical Infectious
Sinusitis Dentogenik Diseases, pp.e1-e41. Available at: http://cid.
oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014].
1. Ad vitam : Bonam (Chow et.al, 2012)
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam 6. Fagnan, LJ, 1998. Acute Sinusitis: A Cost-
Effective Approach to Diagnosis and
Peralatan Treatment. American Family Physician,
58(8), pp.1795-1802. Available at: http://
1. Termometer
www.aafp.org/afp/1998/1115/p1795.html
2. Spekulum hidung
[Accessed June 6, 2014]. (Fagnan, 1998)
3. Kaca rinoskop posterior
4. Kassa steril
5. Lampu kepala
6. Lampu Bunsen / spiritus dan korek api
K. KULIT

1. MILIARIA
No. ICPC-2
: S92 Sweat gland disease
No. ICD-10
: L74.3 Miliaria, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
1. Miliaria kristalina
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi a. Terdiri atas vesikel miliar (1-2 mm), sub
keringat yang ditandai oleh adanya vesikel korneal tanpa tanda inflamasi, mudah
milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah biang pecah dengan garukan, dan deskuamasi
keringat, keringat buntet, liken tropikus, prickle dalam beberapa hari.
heat. Berdasarkan survey yang dilakukan di
b. Predileksi pada badan yang tertutup
Jepang didapatkan 5000 bayi baru lahir
pakaian.
menderita miliaria. Survey tersebut
mengungkapkan bahwa miliaria kristalina terjadi c. Gejala subjektif ringan dan tidak
pada 4,5% nenonatus dengan usia rata-rata 1 memerlukan pengobatan.
minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% 2. Milaria rubra
neonatus dengan usia rata-rata 11-14 hari. Dari
a. Jenis tersering, terdiri atas vesikel
sebuah survey yang dilakukan di Iran ditemukan
miliar atau papulo vesikel di atas dasar
insiden miliaria pada 1,3% bayi baru lahir.
eritematosa sekitar lubang keringat,
Miliaria umumnya terjadi di daerah tropis dan
tersebar diskret.
banyak diderita pada mereka yang baru saja
pindah dari daerah yang beriklim sedang ke b. Gejala subjektif gatal dan pedih pada di
daerah yang beriklim tropis. daerah predileksi.

Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 11.1 Miliaria rubra

Keluhan yang dirasakan adalah gatal yang


disertai timbulnya vesikel atau bintil, terutama
muncul saat berkeringat, pada lokasi predileksi,
kecuali pada miliaria profunda.
Faktor Risiko
1. Tinggal di lingkungan tropis, panas,
kelembaban yang tinggi.
2. Pemakaian baju terlalu ketat.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Miliaria profunda
Sederhana (Objective)
a. Merupakan kelanjutan miliaria rubra,
Pemeriksaan Fisik berbentuk papul putih keras berukuran
1-3 mm, mirip folikulitis, dapat
Tanda patognomonis
disertai pustul.
Tergantung pada jenis atau klasifikasi miliaria. b. Predileksi pada badan dan ekstremitas.
Klasifikasi miliaria :
Gambar 11.2 Miliaria profunda Bedak kocok: likuor faberi atau bedak
kocok yang mengandung kalamin dan
antipruritus lain (mentol dan kamfora)
diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu.
Lanolin topikal atau bedak salisil 2%
dibubuhi mentol ¼-2% sekaligus
diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu.
Terapi berfungsi sebagai antipruritus
untuk menghilangkan dan mencegah
timbulnya miliaria profunda.
b. Sistemik (bila gatal dan bila diperlukan)
Antihistamin sedatif: klorfeniramin
4. Miliaria pustulosa Berasal dari miliaria
maleat 3 x 4 mg per hari selama 7 hari
rubra, dimana vesikelnya berubah menjadi
atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama
pustul.
7 hari
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan. Antihistamin non sedatif: loratadin 1
Penegakan Diagnostik (Assessment) x 10 mg per hari selama 7 hari.

Diagnosis Klinis Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan


dan pemeriksaaan fisik. penunjang.

Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi

Campak / morbili, Folikulitis, Varisela, Edukasi dilakukan dengan memberitahu


Kandidiasis kutis, Erupsi obat morbiliformis keluarga agar dapat membantu pasien untuk:

Komplikasi 1. Menghindari kondisi hidrasi berlebihan


atau membantu pasien untuk memakai
Infeksi sekunder pakaian yang sesuai dengan kondisinya.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Menjaga ventilasi udara di dalam rumah.
3. Menghindari banyak berkeringat.
Penatalaksanaan
4. Memilih lingkungan yang lebih sejuk dan
Prinsipnya adalah mengurangi pruritus, menekan sirkulasi udara (ventilasi) cukup.
inflamasi, dan membuka retensi keringat.
5. Mandi air dingin dan memakai sabun.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:
Kriteria Rujukan
1. Melakukan modifikasi gaya hidup, yaitu:
a. Memakai pakaian yang tipis dan dapat Tidak ada indikasi rujukan
menyerap keringat. Peralatan
b. Menghindari panas dan kelembaban
yang berlebihan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit miliaria.
c. Menjaga kebersihan kulit
d. Mengusahakan ventilasi yang baik Prognosis

2. Memberikan farmakoterapi, seperti: Prognosis umumnya bonam, pasien dapat


a. Topikal sembuh tanpa komplikasi.
Referensi 3. Levin, N.A. 2014. Dermatologic
manifestation of miliaria. Medscape. May
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu 21, 2014. http://
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. emedicine.medscape.com/article/1070840-
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran overview#a0199
Universitas Indonesia.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Jakarta.
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.

2. VERUKA VULGARIS
No. ICPC-2: S03Warts
No. ICD-10: B07 Viral warts
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan sepanjang goresan (fenomena Koebner).


Veruka vulgaris merupakan hiperplasia epidermis Pemeriksaan Penunjang
yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus
(HPV) tipe tertentu. Sinonim penyakit ini adalah Tidak diperlukan
kutil atau common wart. Penularan melalui
kontak langsung dengan agen penyebab. Veruka Gambar 11.3 Veruka vulgaris
ini sering dijumpai pada anak-anak dan remaja.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kutil pada kulit dan mukosa. Faktor
Risiko
1. Biasanya terjadi pada anak-anak dan orang
dewasa sehat.
2. Pekerjaan yang berhubungan dengan
daging mentah.
3. Imunodefisiensi. Penegakan Diagnosis (Assessment)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis Klinis


Sederhana (Objective) Diagnosis klinis dapat ditambahkan sesuai
Pemeriksaan Fisik dengan bentuk klinis atau lokasi, yaitu:

Tanda Patognomonis 1. Veruka vulgaris


2. Veruka Plana
Papul berwarna kulit sampai keabuan 3. Veruka Plantaris
dengan permukaan verukosa. Papul ini dapat
dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku. Apabila Diagnosis Banding
permukaannya rata, disebut dengan veruka Plana. Kalus, Komedo, Liken planus, Kondiloma
Dengan goresan dapat timbul autoinokulasi akuminatum, Karsinoma sel skuamosa
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Tatalaksana Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit veruka vulgaris.
1. Pasien harus menjaga kebersihan kulit.
2. Pengobatan topikal dilakukan dengan Prognosis
pemberian bahan kaustik, misalnya dengan
larutan AgNO3 25%, asam trikloroasetat Pada 90% kasus sembuh spontan dalam 5 tahun
50% atau asam salisilat 20% - 40%. sehingga prognosis umumnya bonam.

Komplikasi Referensi

Efek samping dari penggunaan bahan kaustik 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
dapat menyebabkan ulkus. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Konseling dan Edukasi Universitas Indonesia.
Edukasi pasien bahwa penyakit ini seringkali 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
residif walaupun diberi pengobatan yang Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
adekuat. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Kriteria Rujukan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Rujukan sebaiknya dilakukan apabila: Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
1. Diagnosis belum dapat ditegakkan. Jakarta.
2. Tindakan memerlukan anestesi/sedasi.

3. HERPES ZOSTER
No. ICPC-2: S70 Herpes Zoster
No. ICD-10: B02.9 Zoster without complication
Tingkat Kemampuan Herpes Zoster tanpa komplikasi 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Herpes Zoster adalah infeksi kulit dan mukosa Keluhan
yang disebabkan oleh virus Varisela-zoster.
Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang Nyeri radikular dan gatal terjadi sebelum erupsi.
terjadi setelah infeksi primer. Herpes Zoster Keluhan dapat disertai dengan gejala prodromal
jarang terjadi pada anak- anak dan dewasa sistemik berupa demam, pusing, dan malaise.
muda, kecuali pada pasien muda dengan AIDS, Setelah itu timbul gejala kulit kemerahan
limfoma, keganasan, penyakit imunodefisiensi yang dalam waktu singkat menjadi vesikel
dan pada pasien yang menerima transplantasi berkelompok dengan dasar eritem dan edema.
sumsum tulang atau ginjal. Penyakit ini terjadi
Faktor Risiko
kurang dari 10% pada pasien yang berusia
kurangdari 20 tahun dan hanya 5% terjadi 1. Umumnya terjadi pada orang dewasa,
pada pasien yang berusia kurang dari 15 tahun. terutama orang tua.
Insiden herpes zoster meningkat seiring dengan 2. Imunodefisiensi
pertambahan usia. Prevalensi penyakit ini pada
pria dan wanita sama.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang hanya berlangsung dalam waktu singkat
Sederhana (Objective) dan kelainan kulit hanya berupa beberapa
vesikel dan eritem.
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Banding
Sekelompok vesikel dengan dasar eritem yang
terletak unilateral sepanjang distribusi saraf 1. Herpes simpleks
spinal atau kranial. Lesi bilateral jarang ditemui, 2. Dermatitis venenata
namun seringkali, erupsi juga terjadi pada 3. Pada saat nyeri prodromal, diagnosis dapat
dermatom di dekatnya. menyerupai migrain, nyeri pleuritik, infark
miokard, atau apendisitis.
Gambar 11.4 Herpes zoster
Komplikasi
1. Neuralgia pasca-herpetik
2. Ramsay Hunt Syndrome: herpes pada
ganglion genikulatum, ditandai dengan
gangguan pendengaran, keseimbangan dan
paralisis parsial.
3. Pada penderita dengan imunodefisiensi (HIV,
keganasan, atau usia lanjut), vesikel sering
menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik
dapat terjadi infeksi sistemik.
4. Pada herpes zoster oftalmikus dapat
Pemeriksaan Penunjang terjadi ptosis paralitik, keratitis, skleritis,
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan uveitis, korioretinitis, serta neuritis optik.
penunjang. 5. Paralisis motorik.

Penegakan Diagnosis (Assessment) Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Diagnosis Klinis Penatalaksanaan

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis 1. Terapi suportif dilakukan dengan


dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk menghindari gesekan kulit yang
diperhatikan: mengakibatkan pecahnya vesikel, pemberian
nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak
1. Herpes zoster hemoragik, yaitu jika vesikel dengan orang lain.
mengandung darah. 2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan
2. Herpes zoster generalisata, yaitu kelainan indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat
kulit unilateral dan segmental ditambah menyebabkan Reye’s syndrome.
kelainan kulit generalisata berupa vesikel 3. Pengobatan topikal:
soliter yang berumbilikasi. Keduanya a. Stadium vesikel: bedak salisil 2% atau
merupakan tanda bahwa pasien mengalami bedak kocok kalamin agar vesikel tidak
imunokompromais. pecah.
3. Herpes zoster oftalmikus, yaitu infeksi b. Apabila erosif, diberikan kompres
cabang pertama nervus trigeminus terbuka. Apabila terjadi ulserasi, dapat
sehingga menimbulkan kelainan pada mata, dipertimbangkan pemberian salep
di samping itu juga cabang kedua dan antibiotik.
ketiga menyebabkan kelainan kulit pada 4. Pengobatan antivirus oral, antara lain
daerah persarafannya. dengan :
4. Herpes zoster abortif, yaitu penyakit yang a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-
anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis maksimal Peralatan
800 mg), selama 7 hari, atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
c. Pemberian obat tersebut selama 7-10 mendiagnosis penyakit
hari dan efektif diberikan pada 24 jam Herpes Zoster.
pertama setelah timbul lesi.
Prognosis
Konseling dan Edukasi
Pasien dengan imunokompeten, prognosis
Konseling dan edukasi dilakukan kepada pasien umumnya adalah bonam, sedangkan pasien
mengenai: dengan imunokompromais, prognosis menjadi
1. Edukasi tentang perjalanan penyakit Herpes dubia ad bonam.
Zoster.
Referensi
2. Edukasi bahwa lesi biasanya membaik
dalam 2-3 minggu pada individu 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
imunokompeten. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
3. Edukasi mengenai seringnya komplikasi Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
neuralgia pasca-herpetik. Kriteria Rujukan Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Pasien dirujuk apabila:
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
setelah terapi. Elsevier.
2. Terjadi pada pasien bayi, anak dan geriatri 3. 3. Janniger, C.K. Eastern, J.S., Hispenthal, D.R.,
(imunokompromais). Moon, J.E. 2014. Herper zoster. Medscape
3. Terjadi komplikasi. June 7, 2014. http://emedicine.medscape.
4. Terdapat penyakit penyerta yang com/article/1132465 overview#a0156
menggunakan multifarmaka. 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.

4. HERPES SIMPLEKS
No. ICPC-2 : S71 Herpes Simplex
No. ICD-10 : B00.9 Herpesviral infection, unspecified
Tingkat Kemampuan Herpes Simpleks tanpa komplikasi 4A

Masalah Kesehatan
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas
Infeksi akut yang disebabkan oleh Virus Herpes seksual.
Simpleks tipe 1 atau tipe 2, yang ditandai oleh
Diperkiraan ada 536 juta orang yang berusia 15-
adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit
49 tahun yang terinfeksi HSV-2 di seluruh dunia
yang sembab dan eritematosa pada daerah
pada tahun 2003 atau sekitar16% dari populasi
mukokutan. Penularan melalui kontak langsung
dunia pada rentang usia tersebut. Prevalensi
dengan agen penyebab. Infeksi primer oleh
penyakit ini lebih tinggi pada wanita
Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 biasanya
dibandingkan pada pria dan umumnya lebih
dimulai pada usia anak-anak, sedangkan HSV
tinggi di negara berkembang daripada di negara
tipe 2 biasanya terjadi pada dekade II atau III,
maju.
Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 11.5 Herpes simpleks
Keluhan
Infeksi primer HSV-1 biasanya terjadi pada
anak dan subklinis pada 90% kasus, biasanya
ditemukan perioral. Pada 10% sisanya, dapat
terjadi gingivostomatitis akut.
Infeksi primer HSV-2 terjadi setelah kontak
seksual pada remaja dan dewasa, menyebabkan
vulvovaginitis akut dan atau peradangan pada
kulit batang penis. Infeksi primer biasanya
disertai dengan gejala sistemik seperti demam, Gambar 11.6 Herpes simplek pada kelamin
malaise, mialgia, nyeri kepala, dan adenopati
regional. Infeksi HSV-2 dapat juga mengenai
bibir.
Infeksi rekuren biasanya didahului gatal atau
sensasi terbakar setempat pada lokasi yang
sama dengan lokasi sebelumnya. Prodromal
ini biasanya terjadi mulai dari 24 jam sebelum
timbulnya erupsi.
Faktor Risiko
1. Individu yang aktif secara seksual.
2. Imunodefisiensi. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
Sederhana (Objective) penunjang.
Pemeriksaan Fisik Penegakan Diagnosis (Assessment)
Papul eritema yang diikuti oleh munculnya Diagnosis Klinis
vesikel berkelompok dengan dasar eritem.
Herpes simpleks tipe 1
Vesikel ini dapat cepat menjadi keruh, yang
Herpes simpleks tipe 2
kemudian pecah, membasah, dan berkrusta.
Kadang-kadang timbul erosi/ulkus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk
Tempat predileksi adalah di daerah pinggang ke
diperhatikan:
atas terutama daerah mulut dan hidung untuk
HSV-1, dan daerah pinggang ke bawah terutama 1. Infeksi primer.
daerah genital untuk HSV-2. Untuk infeksi 2. Fase laten: tidak terdapat gejala klinis,
sekunder, lesi dapat timbul pada tempat yang tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan
sama dengan lokasi sebelumnya. tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens.
Diagnosis Banding
1. Impetigo vesikobulosa.
2. Ulkus genitalis pada penyakit menular
seksual. Komplikasi
Dapat terjadi pada individu dengan gangguan Kriteria Rujukan
imun, berupa:
Pasien dirujuk apabila:
1. Herpes simpleks ulserativa kronik.
2. Herpes simpleks mukokutaneus akut 1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari
generalisata. setelah terapi.
3. Infeksi sistemik pada hepar, paru, kelenjar 2. Terjadi pada pasien bayi dan geriatrik
adrenal, dan sistem saraf pusat. (imunokompromais).
4. Pada ibu hamil, infeksi dapat menular
pada janin, dan menyebabkan neonatal 3. Terjadi komplikasi.
herpes yang sangat berbahaya. 4. Terdapat penyakit penyerta yang
Penatalaksana Komprehensif (Plan) menggunakan multifarmaka.

Penatalaksanaan Peralatan

1. Terapi diberikan dengan antiviral, antara Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
lain: mendiagnosis penyakit herpes simpleks.
a. Asiklovir, dosis 5 x 200 mg/hari selama Prognosis
5 hari, atau
b. Valasiklovir, dosis 2 x 500 mg/hari Prognosis umumnya bonam, namun quo ad
selama 7-10 hari. sanationam adalah dubia ad malam karena
2. Pada herpes genitalis: edukasi tentang terdapat risiko berulangnya keluhan serupa.
pentingnya abstinensia pasien harus tidak
melakukan hubungan seksual ketika masih Referensi
ada lesi atau ada gejala prodromal. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
3. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
menyebabkan Reye’s syndrome. Universitas Indonesia.
Konseling dan Edukasi 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Edukasi untuk infeksi herpes simpleks
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
merupakan infeksi swasirna pada populasi
Elsevier.
imunokompeten. Edukasi untuk herpes genitalis
ditujukan terutama terhadap pasien dan 3. 3. Looker, K. J., Garnett, G. P. & Schmid, G. P.
pasangannya, yaitu berupa: 2008. An Estimate Of The Global Prevalence
And Incidence Of Herpes Simplex Virus
1. Informasi perjalanan alami penyakit ini,
Type 2 Infection. World Health Organization.
termasuk informasi bahwa penyakit ini
Bulletin Of The World Health Organization,
menimbulkan rekurensi.
86, 805-12, A. June 8, 2014. http://
2. Tidak melakukan hubungan seksual ketika
search.proquest.com/docview/229661081/
masih ada lesi atau gejala prodromal.
fulltextPDF?acc ountid=17242
3. Pasien sebaiknya memberi informasi
kepada pasangannya bahwa ia memiliki 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
infeksi HSV. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
4. Transmisi seksual dapat terjadi pada masa Jakarta.
asimtomatik.
5. Kondom yang menutupi daerah yang
terinfeksi, dapat menurunkan risiko
transmisi dan sebaiknya digunakan dengan
konsisten.
5. MOLUSKUM KONTAGIOSUM
No. ICPC-2: S95 Molluscum contagiosum No. ICD-10: B08.1 Molluscum contagiosum
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gambar 11.7 Moluskum kontagiosum
Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus poks yang menginfeksi
sel epidermal. Penyakit ini terutama
menyerang anak dan kadang-kadang juga
orang dewasa. Pada orang dewasa, penyakit ini
digolongkan kedalam penyakit akibat hubungan
seksual. Penularan melalui kontak langsung
dengan agen penyebab.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kelainan kulit berupa papul miliar. Masa Pemeriksaan Penunjang
inkubasi berlangsung satu sampai beberapa Bila diperlukan, melakukan tindakan enukleasi
minggu. pada papul untuk menemukan badan moluskum.
Faktor Risiko Penegakan Diagnosis (Assessment)
1. Terutama menyerang anak dan kadang- Diagnosis Klinis
kadang juga orang dewasa.
2. Imunodefisiensi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Diagnosis Banding

Pemeriksaan Fisik Komedo, Miliaria, Karsinoma sel basal nodular

Papul miliar, kadang-kadang lentikular dan Komplikasi


berwarna putih seperti lilin, berbentuk kubah Lesi dapat mengalami infeksi sekunder. Jika
yang kemudian di tengahnya terdapat lekukan moluskum mengenai kelopak mata (jarang
(delle). Jika dipijat akan tampak keluar massa terjadi), dapat terjadi konjungtivitis kronis. Pada
yang berwarna putih seperti nasi. Lokasi individu dengan AIDS, moluskum seringkali
predileksi adalah daerah muka, badan, dan tidak mudah dikenali,banyak, dan
ekstremitas, sedangkan pada orang dewasa di penatalaksanaannya membutuhkan ketrampilan
daerah pubis dan genitalia eksterna. Kadang- khusus.
kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga
timbul supurasi. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien perlu menjaga higiene kulit.
2. Pengobatan dilakukan dengan
mengeluarkan massa yang mengandung
badan moluskum dengan menggunakan
alat seperti ekstraktor komedo, jarum suntik, Prognosis
atau alat kuret kulit.
Prognosis pada umumnya bonam karena
Konseling dan Edukasi penyakit ini merupakan penyakit yang self-
limiting.
Penyebaran dalam keluarga sangat jarang terjadi.
Dengan demikian, anggota keluarga tidak perlu Referensi
terlalu khawatir terhadap anak/individu dengan
penyakit ini. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Kriteria Rujukan Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
1. Tidak ditemukan badan moluskum.
2. Terdapat penyakit komorbiditas yang 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
terkait dengan kelainan hematologi. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
3. Pasien HIV/AIDS. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Peralatan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
1. Lup
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
2. Ekstraktor komedo, jarum suntik atau alat
Jakarta.
kuret kulit

6. REAKSI GIGITAN SERANGGA


No. ICPC-2: S12 Insect bite/sting
No. ICD-10: T63.4 Venom of other arthropods
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
14 hari setelah gigitan berlangsung. Keluhan
Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik
adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema,
kulit akibat gigitan (bukan terhadap sengatan/ serta dapat berkembang menjadi suatu
stings) dan kontak dengan serangga. Gigitan ansietas, disorientasi, kelemahan, GI upset
hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, (cramping, diarrhea, vomiting), dizziness, sinkop
bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi bahkan hipotensi dan sesak napas. Gejala dari
peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik. delayed reaction mirip seperti serum sickness,
yang meliputi demam, malaise, sakit kepala,
Hasil Anamnesis (Subjective) urtikaria, limfadenopati dan poliartritis.
Keluhan Faktor Risiko
Pasien datang dengan keluhan gatal, rasa tidak 1. Lingkungan tempat tinggal yang banyak
nyaman, nyeri, kemerahan, nyeri tekan, hangat serangga.
atau bengkak pada daerah tubuh yang digigit, 2. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
umumnya tidak tertutup pakaian. 3. Riwayat alergi.
Kebanyakan penderita datang sesaat setelah 4. Riwayat alergi makanan.
merasa digigit serangga, namun ada pula yang
datang dengan delayed reaction, misalnya 10-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang jam.
Sederhana (Objective) 2. Reaksi tipe lambat: Pada anak terjadi lebih
Pemeriksaan Fisik dari 20 menit sampai beberapa jam setelah
gigitan serangga. Pada orang dewasa dapat
Tanda Patognomonis muncul 3-5 hari setelah gigitan.
3. Reaksi tidak biasa: Sangat segera, mirip
1. Urtika dan papul timbul secara simultan di
anafilaktik.
tempat gigitan, dikelilingi zona eritematosa.
2. Di bagian tengah tampak titik (punctum) Klasifikasi berdasarkan bentuk klinis:
bekas tusukan/gigitan, kadang hemoragik,
atau menjadi krusta kehitaman. 1. Urtikaria iregular.
3. Bekas garukan karena gatal. 2. Urtikaria papular.
3. Papulo-vesikular, misalnya pada prurigo.
Dapat timbul gejala sistemik seperti takipneu, 4. Punctum (titik gigitan), misalnya pada
stridor, wheezing, bronkospasme, hiperaktif pedikulosis kapitis atau phtirus pubis.
peristaltic, dapat disertai tanda-tanda hipotensi
orthostatik Diagnosis Banding

Pada reaksi lokal yang parah dapat timbul Prurigo Komplikasi


eritema generalisata, urtikaria, atau edema 1. Infeksi sekunder akibat garukan.
pruritus, sedangkan bila terdapat reaksi 2. Bila disertai keluhan sistemik, dapat
sistemik menyeluruh dapat diikuti dengan reaksi terjadi syok anafilaktik hingga kematian.
anafilaksis.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Gambar 11.8 Reaksi Gigitan serangga
Tatalaksana
1. Prinsip penanganan kasus ini adalah dengan
mengatasi respon peradangan baik yang
bersifat lokal maupun sistemik. Reaksi
peradangan lokal dapat dikurangi dengan
sesegera mungkin mencuci daerah gigitan
dengan air dan sabun, serta kompres es.
2. Atasi keadaan akut terutama pada
angioedema karena dapat terjadi obstruksi
saluran napas. Penanganan pasien dapat
dilakukan di Unit Gawat Darurat. Bila disertai
Pemeriksaan Penunjang obstruksi saluran napas diindikasikan
pemberian epinefrin sub kutan. Dilanjutkan
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
dengan pemberian kortikosteroid
penunjang.
prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari,
Penegakan Diagnosis (Assessment) dosis diturunkan 5-10 mg/hari.

Diagnosis Klinis Dalam kondisi stabil, terapi yang dapat


diberikan yaitu:
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi berdasarkan a. Sistemik
waktu terjadinya: • Antihistamin sedatif: klorfeniramin
maleat 3 x 4 mg per hari selama 7 hari
1. Reaksi tipe cepat: Terjadi segera hingga 20
menit setelah gigitan, bertahan sampai 1-3
atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 7 Peralatan
hari.
• Antihistamin non sedatif: loratadin 1 x 10 1. Alat resusitasi
mg per hari selama 7 hari. 2. Tabung dan masker oksigen
b. Topikal Prognosis
Kortikosteroid topikal potensi sedang-kuat:
misalnya krim mometason furoat 0,1% atau Prognosis umumnya bonam. Quo ad sanationam
krim betametason valerat 0,5% diberikan untuk reaksi tipe cepat dan reaksi tidak biasa
selama 2 kali sehari selama 7 hari. adalah dubia ad malam, sedangkan reaksi tipe
lambat adalah bonam.
Konseling dan Edukasi
Referensi
Keluarga diberikan penjelasan mengenai:
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
1. Minum obat secara teratur. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
2. Menjaga kebersihan lingkungan tempat Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
tinggal, memakai baju berlengan panjang Universitas Indonesia.
dan celana panjang, pada beberapa kasus 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
boleh memakai mosquito repellent jika Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
diperlukan, dan lain-lain agar terhindar dari Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
gigitan serangga. Elsevier.
Kriteria rujukan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jika kondisi memburuk, yaitu dengan makin Jakarta
bertambahnya patch eritema, timbul bula, atau
disertai gejala sistemik atau komplikasi.

7. SKABIES
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S72 Scabies/other acariasis
: B86 Scabies
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
penderita skabies, seperti menjabat tangan,
Skabies adalah penyakit yang disebabkan hubungan seksual, atau tidur bersama.
infestasi dan sensitisasi kulit oleh tungau 2. Kontak tidak langsung (melalui benda),
Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini seperti penggunaan perlengkapan tidur
berhubungan erat dengan higiene yang buruk. bersama dan saling meminjam pakaian,
Prevalensi skabies tinggi pada populasi yang handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidak
padat. Dari hasil penelitian di Brazil, prevalensi memiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga
skabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh harus berbagi dengan temannya.
perkotaan yang padat penduduk daripada di
Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap
masyarakat nelayan dimana mereka tinggal di
air dan sabun dan tetap hidup bahkan setelah
tempat yang lebih luas.
mandi dengan air panas setiap.
Penularan dapat terjadi karena:
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Kontak langsung kulit dengan kulit
Gejala klinis:
1. Pruritus nokturna, yaitu gatal yang hebat Penegakan Diagnosis (Assessment)
terutama pada malam hari atau saat
penderita berkeringat. Diagnosis Klinis
2. Lesi timbul di stratum korneum yang tipis, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
seperti di sela jari, pergelangan tangan dan pemeriksaan fisik. Terdapat 4 tanda kardinal
dan kaki, aksila, umbilikus, areola mammae untuk diagnosis skabies, yaitu:
dan di bawah payudara (pada wanita) serta
genital eksterna (pria). 1. Pruritus nokturna.
2. Penyakit menyerang manusia secara
Faktor Risiko: berkelompok.
1. Masyarakat yang hidup dalam kelompok 3. Adanya terowongan (kunikulus) pada
yang padat seperti tinggal di asrama atau tempat-tempat predileksi yang berwarna
pesantren. putih atau keabu-abuan, berbentuk garis
2. Higiene yang buruk. lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjang
3. Sosial ekonomi rendah seperti di panti 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan
asuhan, dan sebagainya. papul atau vesikel.
4. Hubungan seksual yang sifatnya 4. Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan
promiskuitas. mikroskopis.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis ditegakkan dengan menemukan 2


Sederhana (Objective) dari 4 tanda tersebut.

Pemeriksaan Fisik Diagnosis Banding

Lesi kulit berupa terowongan (kanalikuli) Skabies adalah penyakit kulit yang disebut
berwarna putih atau abu- abu dengan panjang dengan the great imitator dari kelainan kulit
rata-rata 1 cm. Ujung terowongan terdapat dengan keluhan gatal. Diagnosis bandingnya
papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, adalah: Pioderma, Impetigo, Dermatitis,
maka akan terbentuk pustul, ekskoriasi, dan Pedikulosis korporis
sebagainya.Pada anak-anak, lesi lebih sering Komplikasi
berupa vesikel disertai infeksi sekunder akibat
garukan sehingga lesi menjadi bernanah. Infeksi kulit sekunder terutama oleh S. aureus
sering terjadi, terutama pada anak. Komplikasi
Gambar 11.9 Skabies skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan
prestasi belajar.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Melakukan perbaikan higiene diri dan
lingkungan, dengan:
a. Tidak menggunakan peralatan pribadi
secara bersama-sama dan alas tidur
diganti bila ternyata pernah digunakan
oleh penderita skabies.
b. Menghindari kontak langsung dengan
Pemeriksaan Penunjang
penderita skabies.
Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit 2. Terapi tidak dapat dilakukan secara
untuk menemukan tungau. individual melainkan harus serentak dan
menyeluruh pada seluruh kelompok orang Peralatan
yang ada di sekitar penderita skabies. Terapi
diberikan dengan salah satu obat topikal 1. Lup
(skabisid) di bawah ini: 2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
a. Salep 2-4 dioleskan di seluruh tubuh, sediaan langsung kerokan kulit.
selama 3 hari berturut- turut, dipakai Prognosis
setiap habis mandi.
b. Krim permetrin 5% di seluruh tubuh. Prognosis umumnya bonam, namun tatalaksana
Setelah 10 jam, krim permetrin harus dilakukan juga terhadap lingkungannya.
dibersihkan dengan sabun. Referensi
Terapi skabies ini tidak dianjurkan pada anak < 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
2 tahun. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Konseling dan Edukasi Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya 2. Heukelbach, J. & Feldmeier, H. 2006.
eradikasi skabies bisa melibatkan semua pihak. Scabies. The Lancet, 367, 1767-74. June 8,
Bila infeksi menyebar di kalangan santri di 2014. http://
sebuah pesantren, diperlukan keterbukaan dan Search.Proquest.Com/Docview/199054155/
kerjasama dari pengelola pesantren. Bila sebuah Fulltextpdf/Afbf4c2fd1bd4016pq/6?Accoun
barak militer tersebar infeksi, mulai dari prajurit tid=17242
sampai komandan barak harus bahu membahu 3. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
membersihkan semua benda yang berpotensi Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
menjadi tempat penyebaran penyakit. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Kriteria Rujukan Elsevier.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Pasien skabies dirujuk apabila keluhan masih Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
dirasakan setelah 1 bulan paska terapi. Jakarta.

8. PEDIKULOSIS KAPITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S73 Pediculosis/skin infestation other
: B85.0 Pediculosis due to Pediculus humanus capitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
yang sangat panjang pada wanita).
Pedikulosis kapitis adalah infeksi dan
Penularan melalui kontak langsung dengan
infestasi kulit kepala dan rambut manusia
agen penyebab, melalui:
yang disebabkan oleh kutu kepala Pediculus
humanus var capitis. Penyakit ini terutama 1. Kontak fisik erat dengan kepala penderita,
menyerang anak-anak usia muda dan cepat seperti tidur bersama.
meluas dalam lingkungan hidup yang padat, 2. Kontak melalui fomite yang terinfestasi,
misalnya di asrama atau panti asuhan. Ditambah misalnya pemakaian bersama aksesori
pula dalam kondisi higiene yang tidak baik, kepala, sisir, dan bantal juga dapat
misalnya jarang membersihkan rambut atau menyebabkan kutu menular.
rambut yang relatif susah dibersihkan (rambut
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding
Keluhan Tinea kapitis, Impetigo krustosa (pioderma),
Dermatitis seboroik
Gejala yang paling sering timbul adalah gatal di
kepala akibat reaksi hipersensitivitas terhadap Komplikasi
saliva kutu saat makan maupun terhadap feses
kutu. Gejala dapat pula asimptomatik Infeksi sekunder bila pedikulosis berlangsung
kronis.
Faktor Risiko
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Status sosioekonomi yang rendah.
2. Higiene perorangan yang rendah Penatalaksanaan
3. Prevalensi pada wanita lebih tinggi
Pengobatan bertujuan untuk memusnahkan
dibandingkan pada pria, terutama pada
semua kutu dan telur serta mengobati infeksi
populasi anak usia sekolah.
sekunder.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Sebaiknya rambut pasien dipotong
Sederhana (Objective)
sependek mungkin, kemudian disisir
Pemeriksaan Fisik dengan menggunakan sisir serit, menjaga
kebersihan kulit kepala dan menghindari
Lesi kulit terjadi karena bekas garukan, yaitu
kontak erat dengan kepala penderita.
bentuk erosi dan ekskoriasi. Bila terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri, maka timbul pus dan 2. Pengobatan topikal merupakan terapi
krusta yang menyebabkan rambut bergumpal, terbaik, yaitu dengan pedikulosid dengan
disertai dengan pembesaran kelenjar getah pengobatan Permetrin 1% dalam bentuk
bening regional. Ditemukan telur dan kutu cream rinse, dibiarkan selama 2 jam.
yang hidup pada kulit kepala dan rambut. Pedikulosid sebaiknya tidak digunakan
Telur P. humanus var. capitis paling sering pada anak usia kurang dari 2 tahun. Cara
ditemukan pada rambut di daerah oksipital dan penggunaan: rambut dicuci dengan
retroaurikular. shampo, kemudian dioleskan losio/krim
dan ditutup dengan kain. Setelah menunggu
Pemeriksaan Penunjang
sesuai waktu yang ditentukan, rambut dicuci
Tidak diperlukan. kembali lalu disisir dengan sisir serit.
Penegakan Diagnosis (Assessment) 3. Pada infeksi sekunder yang berat sebaiknya
Diagnosis Klinis rambut dicukur, diberikan pengobatan
dengan antibiotik sistemik dan topikal
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis telebih dahulu, lalu diberikan obat di atas
dan pemeriksaan fisik dengan menemukan dalam bentuk shampo.
kutu atau telur kutu di kulit kepala dan rambut.
Konseling dan Edukasi
Gambar 11.10 Telur Pediculus humanus capitis
Edukasi keluarga tentang pedikulosis
penting untuk pencegahan. Kutu kepala dapat
ditemukan di sisir atau sikat rambut, topi,
linen, boneka kain, dan upholstered furniture,
walaupun kutu lebih memilih untuk berada
dalam jarak dekat dengan kulit kepala, sehingga
harus menghindari pemakaian alat-alat tersebut
bersama-sama. Anggota keluarga dan teman
bermain anak yang terinfestasi harus diperiksa, Referensi
namun terapi hanya diberikan pada yang
terbukti mengalami infestasi. Kerjasama semua 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
pihak dibutuhkan agar eradikasi dapat tercapai. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Kriteria Rujukan Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Apabila terjadi infestasi kronis dan tidak sensitif
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
terhadap terapi yang diberikan.
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Peralatan Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik.
mendiagnosis penyakit pedikulosis kapitis. Jakarta.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.

9. PEDIKULOSIS PUBIS
No. ICPC-2 No.ICD-10 : S 73 Pediculosis/skin infestation other
: B 85.3 Pthiriasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko:
Pedikulosis pubis adalah penyakit infeksi 1. Aktif secara seksual
pada rambut di daerah pubis dan sekitarnya 2. Higiene buruk
yang disebabkan oleh Phthirus pubis. Penyakit 3. Kontak langsung dengan penderita
ini menyerang orang dewasa dan dapat
digolongkan dalam penyakit akibat hubungan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
seksual dan menular secara langsung. Infeksi Sederhana (Objective)
juga bisa terjadi pada anak-anak yang berasal
Pemeriksaan Fisik
dari orang tua mereka dan terjadi di alis, atau
bulu mata. Pada inspeksi ditemukan bercak-bercak yang
berwarna abu-abu atau kebiruan yang disebut
Hasil Anamnesis (Subjective) makula serulae pada daerah pubis dan sekitarnya.
Keluhan Kutu dapat dilihat dengan mata telanjang dan
juga bisa didapatkan pembengkakan kelenjar
Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat getah bening sekitar.
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada.
Gejala patognomonik lainnya adalah adanya Pemeriksaan Penunjang
black dot yaitu bercak-bercak hitam yang Mencari telur atau bentuk dewasa P. pubis
tampak jelas pada celana dalam berwarna putih
yang dilihat penderita pada waktu bangun tidur. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Bercak hitam tersebut adalah krusta berasal Diagnosis Klinis
dari darah yang sering diinterpretasikan salah
sebagai hematuria. Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Gambar 11.11 Pedikulosis pubis 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Guenther L. Pediculosis. Available from
http://e- medicine.medscape.com (10 Juni
2014)

Diagnosis Banding:
1. Dermatitis seboroik
2. Dermatomikosis
Komplikasi: -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pengobatan topikal :
emulsi benzil benzoat 25% yang dioleskan dan
didiamkan selama 24 jam. Pengobatan diulangi
4 hari kemudian, jika belum sembuh
Rencana Tindak Lanjut :
Mitra seksual juga diperiksa dan diobati
Konseling dan Edukasi
1. Menjaga kebersihan badan
2. Sebaiknya rambut kelamin dicukur
3. Pakaian dalam direbus atau
diseterika Kriteria Rujukan : -
Peralatan
Tidak diperlukan perlatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit pedikulosis pubis.
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis.
Available from http://www.nejm.org/doi/
pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni
10. DERMATOFITOSIS
: S74 No.
Dermatophytosis
ICPC-2 No. ICD-10
: B35 Dermatophytosis
B35.0 Tinea barbae and tinea capitis B35.1 Tinea unguium
B35.2 Tinea manuum B35.3 Tinea pedis B35.4 Tinea corporis B35.5 Tinea imbricate B35.6 Tinea cruris
B35.8 Other dermatophytoses

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di


Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofita Indonesia.
yang memiliki sifat mencernakan keratin di Hasil Anamnesis (Subjective)
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan Keluhan
kuku. Penularan terjadi melalui kontak langsung
Pada sebagian besar infeksi dermatofita, pasien
dengan agen penyebab. Sumber penularan
datang dengan bercak merah bersisik yang
dapat berasal dari manusia (jamur antropofilik),
gatal. Adanya riwayat kontak dengan orang yang
binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur
mengalami dermatofitosis.
geofilik).
Faktor Risiko
Klasifikasi dermatofitosis yang praktis adalah
berdasarkan lokasi, yaitu antara lain: 1. Lingkungan yang lembab dan panas
2. Imunodefisiensi
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan
3. Obesitas
rambut kepala.
4. Diabetes Melitus
2. Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan
jenggot. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
3. Tinea kruris, pada daerah genitokrural, Sederhana (Objective)
sekitar anus, bokong, dan perut bagian
bawah. Pemeriksaan Fisik
4. Tinea pedis et manum, pada kaki dan tangan. Gambaran umum:
5. Tinea unguium, pada kuku jari tangan dan
kaki. Lesi berbentuk infiltrat eritematosa, berbatas
6. Tinea korporis, pada bagian lain yang tidak tegas, dengan bagian tepi yang lebih aktif
termasuk bentuk 5 tinea di atas. Bila terjadi daripada bagian tengah, dan konfigurasi
di seluruh tubuh disebut dengan tinea polisiklik. Lesi dapat dijumpai di daerah kulit
imbrikata. berambut terminal, berambut velus (glabrosa)
dan kuku.
Tinea pedis banyak didapatkan pada orang yang
dalam kehdupan sehari-hari banyak memakai Pemeriksaan Penunjang
sepatu tertutup disertai perawatan kaki yang
Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan
buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu
mikroskopis dengan KOH, akan ditemukan hifa
atau sering basah. Tinea kruris merupakan
panjang dan artrospora. 2. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan
topikal, yaitu dengan: antifungal topikal
Penegakan Diagnosis (Assessment) seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau
Diagnosis Klinis terbinafin yang diberikan hingga lesi hilang
dan dilanjutkan 1-2 minggu kemudian untuk
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis mencegah rekurensi.
dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dilakukan 3. Untuk penyakit yang tersebar luas atau
pemeriksaan penunjang. resisten terhadap terapi topikal, dilakukan
Gambar 11.12 Dermatofitosis pengobatan sistemik dengan:
a. Griseofulvin dapat diberikan dengan
dosis 0,5-1 g per hari untuk orang
dewasa dan 0,25 – 0,5 g per hari untuk
anak- anak atau 10-25 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 2 dosis.
b. Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200
mg/hari; Itrakonazol: 100 mg/hari atau
Terbinafin: 250 mg/hari. Pengobatan
diberikan selama 10-14 hari pada pagi
hari setelah makan.
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Banding
Edukasi mengenai penyebab dan cara
Tinea Korporis : Dermatitis numularis, penularan penyakit. Edukasi pasien dan
Pytiriasis rosea, Erythema keluarga juga untuk menjaga higiene tubuh,
annulare centrificum, namun penyakit ini bukan merupakan penyakit
Granuloma annulare yang berbahaya.

Tinea Kruris : Kandidiasis, Dermatitis Kriteria rujukan


intertrigo, Eritrasma Pasien dirujuk apabila:
Tinea Pedis : Hiperhidrosis, Dermatitis 1. Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari
kontak, Dyshidrotic eczema setelah terapi.
Tinea Manum : Dermatitis kontak iritan, 2. Terdapat imunodefisiensi.
Psoriasis 3. Terdapat penyakit penyerta yang
menggunakan multifarmaka.
Tinea Fasialis : Dermatitis seboroik,
Dermatitis kontak Peralatan

Komplikasi 1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Jarang ditemukan, dapat berupa infeksi bakterial KOH
sekunder.
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pasien dengan imunokompeten, prognosis
Penatalaksanaan umumnya bonam, sedangkan pasien dengan
1. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian imunokompromais, quo ad sanationamnya
handuk/pakaian secara bersamaan harus menjadi dubia ad bonam.
dihindari.
Referensi Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Universitas Indonesia. Jakarta.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical

11. PITIRIASIS VERSIKOLOR/ TINEA VERSIKOLOR


No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: B36.0 Pityriasis versicolor
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan bulat atau tidak beraturan dengan batas tegas


Tinea versikolor adalah penyakit infeksi pada atau tidak tegas. Skuama biasanya tipis seperti
superfisial kulit dan berlangsung kronis yang sisik dan kadangkala hanya dapat tampak
disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. dengan menggores kulit (finger nail sign).
Prevalensi penyakit ini tinggi pada daerah tropis
Predileksi di bagian atas dada, lengan, leher,
yang bersuhu hangat dan lembab.
perut, kaki, ketiak, lipat paha, muka dan kepala.
Hasil Anamnesis (Subjective) Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah
yang tertutup pakaian dan bersifat lembab.
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
Pasien pada umumnya datang berobat karena
tampak bercak putih pada kulitnya. Keluhan 1. Pemeriksaan lampu Wood menampakkan
gatal ringan muncul terutama saat pendaran (fluoresensi) kuning keemasan
berkeringat, namun sebagian besar pasien pada lesi yang bersisik.
asimptomatik. 2. Pemeriksaan mikroskopis sediaan kerokan
skuama lesi dengan KOH. Pemeriksaan ini
Faktor Risiko akan tampak campuran hifa pendek dan
1. Sering dijumpai pada dewasa muda (kelenjar spora-spora bulat yang dapat berkelompok
sebasea lebih aktif bekerja). (spaghetti and meatball appearance).
2. Cuaca yang panas dan lembab. Gambar 11.13 Tinea versikolor
3. Tubuh yang berkeringat.
4. Imunodefisiensi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Lesi berupa makula hipopigmentasi atau
berwarna-warni, berskuama halus, berbentuk
Penegakan Diagnosis (Assessment) tinggi (± 50% pasien). Infeksi jamur dapat
dibunuh dengan cepat tetapi membutuhkan
Diagnosis Klinis waktu berbulan-bulan untuk mengembalikan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pigmentasi ke normal. Untuk pencegahan,
dan pemeriksaan fisik. diusahakan agar pakaian tidak lembab dan tidak
berbagi dengan orang lain untuk penggunaan
Diagnosis Banding barang pribadi.
Vitiligo, Dermatitis seboroik, Pitiriasis alba, Kriteria Rujukan
Morbus hansen, Eritrasma
Sebagian besar kasus tidak memerlukan rujukan.
Komplikasi
Peralatan
Jarang terjadi.
1. Lup
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Penatalaksanaan KOH

1. Pasien disarankan untuk tidak Prognosis


menggunakan pakaian yang lembab dan Prognosis umumnya bonam.
tidak berbagi penggunaan barang pribadi
dengan orang lain. Referensi

2. Pengobatan terhadap keluhannya dengan: 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
a. Pengobatan topikal Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Suspensi selenium sulfida 1,8%, Universitas Indonesia.
dalam bentuk shampo yang digunakan 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
2-3 kali seminggu. Obat ini digosokkan Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
pada lesi dan didiamkan selama 15-30 Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
menit sebelum mandi. Elsevier.
Derivat azol topikal, antara lain 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
mikonazol dan klotrimazol. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
b. Pengobatan sistemik diberikan apabila
penyakit ini terdapat
pada daerah yang luas atau jika
penggunaan obat topikal tidak berhasil.
Obat tersebut, yaitu: Ketokonazol per
oral dengan dosis 1x200 mg sehari
selama 10 hari, atau Itrakonazol per oral
dengan dosis 1 x 200 mg sehari selama
5-7 hari (pada kasus kambuhan atau
tidak responsif dengan terapi lainnya).
Konseling dan Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga bahwa pengobatan
harus dilakukan secara menyeluruh, tekun
dan konsisten, karena angka kekambuhan
12. PIODERMA
No. ICPC-2: S84 Impetigo
S76 Skin infection other
No. ICD-10: L01 Impetigo
L02 Cutaneous abscess, furuncle and carbuncle L08.0 Pyoderma
Tingkat Kemampuan : Folikulitis superfisialis 4A, Furunkel, Furunkulosis dan Karbunkel 4A Impetigo krustosa (im

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis Sederhana (Objective)
dan subkutis) yang disebabkan oleh bakteri
gram positif dari golongan Stafilokokus dan Folikulitis adalah peradangan folikel rambut
yang ditandai dengan papul eritema
Streptokokus. Pioderma merupakan penyakit
yang sering dijumpai. Di Bagian Ilmu Penyakit perifolikuler dan rasa gatal atau perih.
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan
Universitas Indonesia, insidennya menduduki jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau
peringkat ketiga, dan berhubungan erat dengan pustul perifolikuler dengan eritema di
keadaaan sosial ekonomi. Penularannya melalui sekitarnya dan disertai rasa nyeri.
kontak langsung dengan agen penyebab.
Furunkulosis adalah beberapa furunkel yang
Hasil Anamnesis (Subjective) tersebar.
Keluhan Karbunkel adalah kumpulan dari beberapa
furunkel, ditandai dengan beberapa furunkel
Pasien datang mengeluh adanya koreng atau
yang berkonfluensi membentuk nodus
luka di kulit
bersupurasi di beberapa puncak.
1. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil
Impetigo krustosa (impetigo contagiosa) adalah
yang gatal, dapat berisi cairan atau nanah
peradangan yang memberikan gambaran
dengan dasar dan pinggiran sekitarnya
vesikel yang dengan cepat berubah menjadi
kemerahan. Keluhan ini dapat meluas
pustul dan pecah sehingga menjadi krusta
menjadi bengkak disertai dengan rasa
kering kekuningan seperti madu. Predileksi
nyeri.
spesifik lesi terdapat di sekitar lubang hidung,
2. Bintil kemudian pecah dan menjadi mulut, telinga atau anus.
keropeng/koreng yang mengering, keras dan
sangat lengket. Impetigo bulosa adalah peradangan yang
memberikan gambaran vesikobulosa dengan
Faktor risiko: lesi bula hipopion (bula berisi pus).
1. Higiene yang kurang baik Ektima adalah peradangan yang menimbulkan
2. Defisiensi gizi kehilangan jaringan dermis bagian atas (ulkus
dangkal).
3. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah)
Gambar 11.14 Furunkel tinggi, sakit kepala, mual muntah, dan nyeri
sendi. Pada pemeriksaan darah rutin dapat
dijumpai leukositosis 20.000/mm3 atau
lebih.
2. Selulitis adalah peradangan supuratif
yang menyerang subkutis, ditandai dengan
peradangan lokal, infiltrate eritema berbatas
tidak tegas, disertai dengan rasa nyeri tekan
dan gejala prodromal tersebut di atas.
3. Ulkus
4. Limfangitis
5. Limfadenitis supuratif
Gambar 11.15 Ektima 6. Bakteremia (sepsis)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dengan menjaga higiene,
nutrisi TKTP dan stamina tubuh.
2. Farmakoterapi dilakukan dengan:
a. Topikal:
Bila banyak pus/krusta, dilakukan
kompres terbuka dengan permanganas
kalikus (PK) 1/5.000 atau yodium
Pemeriksaan Penunjang
povidon 7,5% yang dilarutkan 10 kali.
1. Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari Bila tidak tertutup pus atau krusta,
dasar lesi dengan pewarnaan Gram diberikan salep atau krim asam fusidat
2. Pemeriksaan darah rutin kadang-kadang 2% atau mupirosin 2%, dioleskan 2-3
ditemukan leukositosis. kali sehari selama 7-10 hari.
Penegakan diagnostik (Assessment) b. Antibiotik oral dapat diberikan dari
salah satu golongan di bawah ini:
Diagnosis Klinis
Penisilin yang resisten terhadap
1. Folikulitis penisilinase, seperti:
2. Furunkel kloksasilin. Dosis dewasa: 3 x 250-
3. Furunkulosis 500 mg/hari, selama 5-7 hari, selama 5-
4. Karbunkel 7 hari. Dosis anak: 50 mg/kgBB/hari
5. Impetigo bulosa dan krustosa terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.
6. Ektima
Amoksisilin dengan asam klavulanat.
Komplikasi Dosis dewasa: 3 x 250-500 mg Dosis
anak: 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3
1. Erisipelas adalah peradangan epidermis dosis, selama 5-7 hari
dan dermis yang ditandai dengan infiltrat
eritema, edema, berbatas tegas, dan Klindamisin 4 x 150 mg per hari,
disertai dengan rasa panas dan nyeri. pada infeksi berat dosisnya 4 x 300-
Onset penyakit ini sering didahului dengan 450 mg per hari.
gejala prodromal berupa menggigil, panas Eritromisin: dosis dewasa: 4 x 250-500
mg/hari, anak: 20-50 mg/kgBB/hari Peralatan
terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari.
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Sefalosporin, misalnya sefadroksil darah rutin dan pemeriksaan Gram
dengan dosis 2 x 500 mg atau 2 x 1000
mg per hari. Prognosis
c. Insisi untuk karbunkel yang Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi,
menjadi abses untuk membersihkan prognosis umumnya bonam, bila dengan
eksudat dan jaringan nekrotik. komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam.
Konseling dan Edukasi Referensi
Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
penyakit dengan menjaga kebersihan diri dan Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
stamina tubuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Kriteria Rujukan Universitas Indonesia.

Pasien dirujuk apabila terjadi: 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
1. Komplikasi mulai dari selulitis. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
2. Tidak sembuh dengan pengobatan selama Elsevier.
5-7 hari.
3. Terdapat penyakit sistemik (gangguan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
metabolik endokrin dan imunodefisiensi). Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta

13. ERISIPELAS
No. ICPC-2: S 76Skin infection order No. ICD-10: A 46 Erysipelas
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Erisipelas adalah penyakit infeksi bakteri
akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus, Keluhan
melibatkan dermis atas dengan tanda khas Terdapat gejala konstitusi seperti demam dan
meluas ke limfatik kutaneus superfisial. malaise sebelum terjadinya lesi pada kulit.
Erisipelas pada wajah kebanyakan disebabkan Gejala umum pada lesi didapatkan gatal, rasa
oleh streptococcus grup A, sedangkan erisipelas terbakar, nyeri dan bengkak. Didahului trauma
pada ekstremitas bawah kebanyakan atau riwayat faringitis.
disebabkan oleh streptococcus non grup A.
Di perkirakan 85% kasus erisipelas terjadi pada Faktor Risiko:
ekstremitas bawah.
1. Penderita Diabetes Mellitus
Erisipelas kebanyakan terjadi pada wanita, 2. Higiene buruk
akan tetapi pada usia muda lebih sering terjadi
3. Gizi kurang
pada pria. Insidens tertinggi dilaporkan pada
pasien berusia 60 – 80 tahun khususnya pada 4. Gangguan saluran limfatik
pasien dengan gangguan saluran limfatik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Ganggren, Edema kronis, terjadi scar, sepsis,
Sederhana (Objective) demam Scarlet, Pneumonia, Abses, Emboli,
Meningitis
Pemeriksaan Fisik
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Lokasi : kaki, tangan dan wajah
Penatalaksanaan
Efloresensi : eritema yang berwarna merah
cerah, berbatas tegas, dan 1. Istirahat
pinggirnya meninggi dengan 2. Tungkai bawah dan kaki yang diserang
tanda-tanda radang akut. Dapat ditinggikan
disertai edema, vesikel dan bula.
Pengobatan sistemik :
Gambar 11.16 Erisipelas pada wajah
1. Analgetik antipiretik
2. Antibiotik :
a. Penisilin 0,6 – 1,5 mega unit 5-10 hari
b. Sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari
Rencana tindak lanjut :
1. Memantau terjadinya komplikasi
2. Mencegah faktor risiko
Konseling dan Edukasi
1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol
gula darah
Gambar 11.17 Erisipelas pada kaki
2. Menjaga kebersihan badan
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
darah rutin.
Prognosis
Dubia ad bonam
Pemeriksaan Penunjang Referensi
Pemeriksaan darah didapatkan 1. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-
leukositosis Penegakan Diagnostik medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
(Assessment) Diagnosis Klinis Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
Indonesia.
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
3. Pereira de Godoy JM, et al. Epidemiological
penunjang. Diagnosis Banding: Selulitis, Data And Comorbidities Of 428 Patients
Hospitalized With Erysipelas. Angiology.
Urtikaria Komplikasi: Jul 2010;61(5):492-4
14. DERMATITIS SEBOROIK
No. ICPC-2: S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10: L21 Seborrhoeic dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Bentuk klinis lain
Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang
Lesi berat: seluruh kepala tertutup oleh krusta,
digunakan untuk segolongan kelainan kulit
kotor, dan berbau (cradle cap).
yang didasari oleh faktor konstitusi (predileksi
di tempat-tempat kelenjar sebum). Dermatitis Pemeriksaan Penunjang
seboroik berhubungan erat dengan keaktifan
glandula sebasea. Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gambar 11.18 Dermatitis seboroik pada kulit
Keluhan kepala
Pasien datang dengan keluhan munculnya
bercak merah dan kulit kasar. Kelainan awal
hanya berupa ketombe ringan pada kulit kepala
(pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa
keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa
gatal.
Faktor Risiko
Genetik, faktor kelelahan, stres emosional ,
infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih
sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan
usia 18-40 tahun, kurang tidur Penegakan Diagnostik (Assessment)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis Klinis


Sederhana (Objective)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan fisik.

Tanda patognomonis Diagnosis Banding

1. Papul sampai plak eritema Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda


2. Skuama berminyak agak kekuningan Auspitz, skuama tebal seperti mika), Kandidosis
3. Berbatas tidak tegas (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna
merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit
Lokasi predileksi disekitarnya), Otomikosis, Otitis eksterna.
Kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang Komplikasi
leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga
luar, lipat naso labial, sternal, areola mammae, Pada anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit
lipatan bawah mammae pada wanita, Leiner atau eritroderma.
interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah
angogenital.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) perlu dipertimbangkan pemberian
ketokonazol krim 2%.
Penatalaksanaan
b. Oral sistemik
1. Pasien diminta untuk memperhatikan
• Antihistamin sedatif yaitu:
faktor predisposisi terjadinya keluhan,
klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per
misalnya stres emosional dan kurang tidur. hari selama 2 minggu, setirizin 1 x
Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi
10 mg per hari selama 2 minggu.
makanan rendah lemak.
• Antihistamin non sedatif yaitu:
2. Farmakoterapi dilakukan dengan: loratadin 1x10 mgselama maksimal 2
minggu.
a. Topikal
Bayi: Konseling dan Edukasi
• Pada lesi di kulit kepala bayi 1. Memberitahukan kepada orang tua untuk
diberikan asam salisilat 3% dalam menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat
minyak kelapa atau vehikulum yang kulit kepala bayi.
larut air atau kompres minyak
2. Memberitahukan kepada orang tua bahwa
kelapa hangat 1 kali sehari selama
kelainan ini umumnya muncul p a d
beberapa hari.
a bulan-bulan pertama kehidupan dan
• Dilanjutkan dengan krim membaik seiring dengan pertambahan usia.
hidrokortison 1% atau lotion selama
3. Memberikan informasi bahwa penyakit ini
beberapa hari.
sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol
• Selama pengobatan, rambut tetap dengan mengontrol emosi dan psikisnya.
dicuci.
Kriteria Rujukan
Dewasa:
• Pada lesi di kulit kepala, diberikan Pasien dirujuk apabila tidak ada perbaikan
shampo selenium sulfida 1,8 dengan pengobatan standar.
atau shampo ketokonazol 2%, zink Peralatan: -
pirition (shampo anti ketombe),
atau pemakaian preparat ter (liquor Prognosis
carbonis detergent) 2-5 % dalam
Prognosis pada umumnya bonam, sembuh tanpa
bentuk salep dengan frekuensi 2-3
komplikasi.
kali seminggu selama 5-15 menit per
hari. Referensi
• Pada lesi di badan diberikan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
kortikosteroid topikal: Desonid krim Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
0,05% (catatan: bila tidak tersedia Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
dapat digunakan fluosinolon asetonid Universitas Indonesia.
krim 0,025%) selama maksimal 2
minggu. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
• Pada kasus dengan manifestasi Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
dengan inflamasi yang lebih berat Elsevier.
diberikan kortikosteroid kuat
misalnya betametason valerat krim 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
0,1%. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
• Pada kasus dengan infeksi jamur,
15. DERMATITIS ATOPIK
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S87 Dermatitis/atopic eczema
: L20 Atopic dermatitis
Tingkat Kemampuan Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant) 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Pemicu
Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit
1. Makanan: telur, susu, gandum, kedelai, dan
berulang dan kronis dengan disertai gatal.
kacang tanah.
Pada umumnya terjadi selama masa bayi dan
anak-anak dan sering berhubungan dengan 2. Tungau debu rumah
peningkatan kadar IgE dalam serum serta
riwayat atopi pada keluarga atau penderita. 3. Sering mengalami infeksi di saluran napas
Sinonim dari penyakit ini adalah eczema atas (kolonisasi Staphylococus aureus)
atopik, eczema konstitusional, eczema fleksural, Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier. Sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Kulit
Keluhan penderita DA:

Pasien datang dengan keluhan gatal yang 1. Kering pada perabaan


bervariasi lokasinya tergantung pada jenis 2. Pucat/redup
dermatitis atopik (lihat klasifikasi). 3. Jari tangan teraba dingin
4. Terdapat papul, likenifikasi, eritema, erosi,
Gejala utama DA adalah pruritus, dapat hilang eksoriasi, eksudasi dan krusta pada lokasi
timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih predileksi
hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk. Lokasi predileksi:

Pasien biasanya juga mempunyai riwayat sering 1. Tipe bayi (infantil)


merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau a. Dahi, pipi, kulit kepala, leher,
merasa tertekan. pergelangan tangan dan tungkai, serta
lutut (pada anak yang mulai merangkak).
Faktor Risiko b. Lesi berupa eritema, papul vesikel halus,
eksudatif, krusta.
1. Wanita lebih banyak menderita DA
dibandingkan pria (rasio 1,3 :1). 2. Tipe anak
a. Lipat siku, lipat lutut, pergelangan
2. Riwayat atopi pada pasien dan atau
tangan bagian dalam, kelopak mata,
keluarga (rhinitis alergi, konjungtivitis
alergi/vernalis, asma bronkial, dermatitis leher, kadang-kadang di wajah.
atopik, dan lain- lain). b. b. Lesi berupa papul, sedikit
eksudatif, sedikit skuama, likenifikasi,
3. Faktor lingkungan: jumlah keluarga kecil,
erosi. Kadang-kadang disertai pustul.
pendidikan ibu semakin tinggi, penghasilan
meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan 3. Tipe remaja dan dewasa
meningkatnya penggunaan antibiotik. a. Lipat siku, lipat lutut, samping
leher, dahi, sekitar mata, tangan dan
4. Riwayat sensitif terhadap wol, bulu kucing,
anjing, ayam, burung, dan sejenisnya. pergelangan tangan, kadang-kadang
ditemukan setempat misalnya bibir
mulut, bibir kelamin, puting susu, atau
kulit kepala. 3. Dermatitis di fleksura pada dewasa
b. Lesi berupa plak papular eritematosa, 4. Dermatitis kronis atau berulang
skuama, likenifikasi, kadang- 5. Riwayat atopi pada penderita atau
kadang erosi dan eksudasi, terjadi keluarganya
hiperpigmentasi.
Kriteria minor:
Berdasarkan derajat keparahan terbagi menjadi:
1. Xerosis
1. DA ringan : apabila mengenai < 10% luas 2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus atau
permukaan kulit. virus herpes simpleks)
2. DA sedang : apabila mengenai 10-50% luas 3. Iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis
permukaan kulit. piliaris
3. 3. DA berat : apabila mengenai > 50% luas 4. Pitriasis alba
permukaan kulit. Tanpa penyulit (umumnya 5. Dermatitis di papilla mamae
tidak diikuti oleh infeksi sekunder). 6. White dermogrhapism dan delayed blanch
response
Dengan penyulit (disertai infeksi sekunder atau
7. Kelilitis
meluas dan menjadi rekalsitran (tidak membaik
8. Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
dengan pengobatan standar).
9. Konjungtivitis berulang
Gambar 11.19 Dermatitis atopik 10. Keratokonus
11. Katarak subskapsular anterior
12. Orbita menjadi gelap
13. Muka pucat atau eritem
14. Gatal bila berkeringat
15. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
16. Aksentuasi perifolikular
17. Hipersensitif terhadap makanan
18. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan atau emosi
19. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
20. Kadar IgE dalam serum meningkat
21. Mulai muncul pada usia dini
Pemeriksaan Penunjang
Pada bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi
Pemeriksaan IgE serum (bila diperlukan dan
menjadi:
dapat dilakukan di fasilitas pelayanan Tingkat
Pertama) 1. Tiga kriteria mayor berupa:
a. Riwayat atopi pada keluarga
Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Dermatitis pada muka dan ekstensor
Diagnosis Klinis c. Pruritus
2. Serta tiga kriteria minor berupa:
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis a. Xerosis / iktiosis / hiperliniaris palmaris,
dan pemeriksaan fisik harus terdiri dari 3 aksentuasi perifolikular
kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria b. Fisura di belakang telinga
Williams (1994) di bawah ini. c. Skuama di scalp kronis
Kriteria mayor: Diagnosis banding
1. Pruritus Dermatitis seboroik (terutama pada bayi),
2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada Dermatitis kontak, Dermatitis numularis,
bayi dan anak
Skabies, Iktiosis , Psoriasis (terutama di daerah dapat diberikan golongan
palmoplantar), Sindrom Sezary, Dermatitis betametason valerat krim 0,1% atau
herpetiformis Pada bayi, diagnosis banding, mometason furoat krim 0,1%.
yaitu Sindrom imunodefisiensi (misalnya • Pada kasus infeksi sekunder,
sindrom Wiskott-Aldrich), Sindrom hiper IgE perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal atau sistemik bila
Komplikasi
lesi meluas.
1. Infeksi sekunder b. Oral sistemik
2. Perluasan penyakit (eritroderma) • Antihistamin sedatif: klorfeniramin
maleat 3 x 4 mg per hari selama
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) maksimal 2 minggu atau setirizin 1
Penatalaksanaan x 10 mg per hari selama maksimal 2
minggu.
1. Penatalaksanaan dilakukan dengan • Antihistamin non sedatif: loratadin
modifikasi gaya hidup, yaitu: 1x10 mg per hari selama maksimal 2
a. Menemukan faktor risiko. minggu.
b. Menghindari bahan-bahan yang
bersifat iritan termasuk pakaian Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila
seperti wol atau bahan sintetik. diperlukan)
c. Memakai sabun dengan pH netral dan Pemeriksaan untuk menegakkan atopi, misalnya
mengandung pelembab. skin prick test/tes uji tusuk pada kasus dewasa.
d. Menjaga kebersihan bahan pakaian.
e. Menghindari pemakaian bahan kimia Konseling dan Edukasi
tambahan.
1. Penyakit bersifat kronis dan berulang
f. Membilas badan segera setelah
sehingga perlu diberi pengertian kepada
selesai berenang untuk menghindari
seluruh anggota keluarga untuk
kontak klorin yang terlalu lama.
menghindari faktor risiko dan melakukan
g. Menghindari stress psikis.
perawatan kulit secara benar.
h. Menghindari bahan pakaian terlalu
2. Memberikan informasi kepada keluarga
tebal, ketat, kotor.
bahwa prinsip pengobatan adalah
i. Pada bayi, menjaga kebersihan di
menghindari gatal, menekan proses
daerah popok, iritasi oleh kencing
peradangan, dan menjaga hidrasi kulit.
atau feses, dan hindari pemakaian
3. Menekankan kepada seluruh anggota
bahan-bahan medicatedbaby oil.
keluarga bahwa modifikasi gaya hidup
j. Menghindari pembersih yang
tidak hanya berlaku pada pasien, juga
mengandung antibakteri karena
harus menjadi kebiasaan keluarga secara
menginduksi resistensi.
keseluruhan.
2. Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi
diberikan dengan: Rencana tindak lanjut
a. Topikal (2 kali sehari)
• Pada lesi di kulit kepala, diberikan 1. Diperlukan pengobatan pemeliharaan
kortikosteroid topikal, seperti: setelah fase akut teratasi.
Desonid krim 0,05% (catatan: bila Pengobatan pemeliharaan dengan
tidak tersedia dapat digunakan kortikosteroid topikal jangka panjang (1 kali
fluosinolon asetonid krim 0,025%) sehari) dan penggunaan krim pelembab 2
selama maksimal 2 minggu. kali sehari sepanjang waktu.
• Pada kasus dengan manifestasi klinis 2. Pengobatan pemeliharaan dapat diberikan
likenifikasi dan hiperpigmentasi, selama maksimal 4 minggu.
3. Pemantauan efek samping kortikosteroid. Prognosis
Bila terdapat efek samping, kortikosteroid
dihentikan. Prognosis pada umumnya bonam, dapat
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Kriteria Rujukan
Referensi
1. Dermatitis atopik luas dan berat
2. Dermatitis atopik rekalsitran atau dependent 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
steroid Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
3. Bila diperlukan skin prick test/tes uji tusuk Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
4. Bila gejala tidak membaik dengan Universitas Indonesia.
pengobatan standar selama 4 minggu 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
5. Bila kelainan rekalsitran atau meluas Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
sampai eritroderma Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Peralatan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik.
mendiagnosis penyakit ini. Jakarta.

16. DERMATITIS NUMULARIS


No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L20.8 Other atopic dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Dermatitis numularis adalah dermatitis
Pria, usia 55-65 tahun (pada wanita 15-25 tahun),
berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong,
riwayat trauma fisis dan kimiawi (fenomena
berbatas tegas, dengan efloresensi berupa
Kobner: gambaran lesi yang mirip dengan
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga
lesi utama), riwayat dermatitis kontak alergi,
basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada
riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis
orang dewasa lebih sering terjadi pada pria
numularis anak, stress emosional, minuman
daripada wanita. Usia puncak awitan pada
yang mengandung alkohol, lingkungan dengan
kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun,
kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit
pada wanita usia puncak terjadi juga pada
sebelumnya
usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis
tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun, Sederhana (Objective)
umumnya kejadian meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Pemeriksaan Fisik

Hasil Anamnesis (Subjective) Tanda patognomonis

Keluhan 1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel


(0,3 – 1 cm), berbentuk uang logam,
Bercak merah yang basah pada predileksi eritematosa, sedikit edema, dan berbatas
tertentu dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul tegas.
dan sering kambuh. 2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah
pecah, kemudian mengering menjadi krusta basah) sampai lesi mengering.
kekuningan. • Kemudian terapi dilanjutkan dengan
3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak kortikosteroid topikal: Desonid krim
dan tersebar, bilateral, atau simetris, dengan 0,05% (catatan: bila tidak tersedia
ukuran yang bervariasi. dapat digunakan f l u o s i n o l o n
Tempat predileksi terutama di tungkai asetonid krim 0,025%) selama
bawah, badan, lengan, termasuk punggung maksimal 2 minggu.
tangan. • Pada kasus dengan manifestasi
klinis likenifikasi dan
Gambar 11.20 Dermatitis numularis
hiperpigmentasi, dapat diberikan
golongan Betametason valerat krim
0,1% atau Mometason furoat krim
0,1%).
• Pada kasus infeksi sekunder,
perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal atau sistemik bila
lesi meluas.
b. Oral sistemik
• Antihistamin sedatif: klorfeniramin
maleat 3 x 4 mg per hari selama
Pemeriksaan Penunjang maksimal 2 minggu atau setirizin 1
x 10 mg per hari selama maksimal 2
Tidak diperlukan, karena manifestasi klinis jelas minggu.
dan klasik.
• Antihistamin non sedatif: loratadin
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1x10 mg per hari selama maksimal
2 minggu.
Diagnosis Klinis
c. Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis antibiotik topikal atau antibiotik
dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding sistemik bila lesi luas.
Dermatitis kontak, Dermatitis atopi, Komplikasi
Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis
Infeksi sekunder
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Konseling dan Edukasi
Penatalaksanaan
1. Memberikan edukasi bahwa kelainan
1. Pasien disarankan untuk menghindari bersifat kronis dan berulang sehingga
faktor yang mungkin memprovokasi seperti penting untuk pemberian obat topikal
stres dan fokus infeksi di organ lain. rumatan.
2. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu: 2. Mencegah terjadinya infeksi sebagai faktor
risiko terjadinya relaps.
a. Topikal (2 kali sehari)
• Kompres terbuka dengan larutan Kriteria Rujukan
permanganas kalikus 1/10.000,
1. Apabila kelainan tidak membaik dengan
menggunakan 3 lapis kasa bersih,
pengobatan topikal standar.
selama masing-masing 15-20 menit/
2. Apabila diduga terdapat faktor penyulit
kali kompres (untuk lesi madidans/
lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, Referensi
maka konsultasi danatau disertai rujukan
kepada dokter spesialis terkait (contoh: 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
gigi mulut, THT, obgyn, dan lain-lain) untuk Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
penatalaksanaan fokus infeksi tersebut. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Peralatan 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
mendiagnosis penyakit dermatitis numularis. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Prognosis
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Prognosis pada umumnya bonam apabila Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
kelainan ringan tanpa penyulit, dapat sembuh Jakarta.
tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat
dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia
ad bonam.

17. LIKEN SIMPLEKS KRONIK (NEURODERMATITIS SIRKUMKRIPTA)


No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L28.0 Lichen simplex chronicus
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Wanita lebih sering ditemukan dibandingkan
Liken simpleks kronik atau yang sering disebut pria, dengan puncak insidens 30-50 tahun.
juga dengan neurodermatitis sirkumkripta
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
adalah kelainan kulit berupa peradangan
Sederhana (Objective)
kronis, sangat gatal berbentuk sirkumskrip
dengan tanda berupa kulit tebal dan menonjol Pemeriksaan Fisik
menyerupai kulit batang kayu akibat garukan
dan gosokan yang berulang-ulang. Penyebab Tanda Patognomonis
kelainan ini belum diketahui. Prevalensi 1. Lesi biasanya tunggal, namun dapat lebih
tertinggi penyakit ini pada orang yang berusia dari satu.
30-50 tahun dan lebih sering terjadi pada 2. Dapat terletak dimana saja yang mudah
wanita dibandingkan pada pria. dicapai tangan. Biasanya terdapat di
Hasil Anamnesis (Subjective) daerah tengkuk, sisi leher, tungkai bawah,
pergelangan kaki, kulit kepala, paha bagian
Keluhan medial, lengan bagian ekstensor, skrotum
dan vulva.
Pasien datang dengan keluhan gatal sekali pada
3. Awalnya lesi berupa eritema dan edema
kulit, tidak terus menerus, namun dirasakan
atau kelompok papul, kemudian karena
terutama malam hari atau waktu tidak sibuk. Bila
garukan berulang, bagian tengah menebal,
terasa gatal, sulit ditahan bahkan hingga harus
kering, berskuama serta pinggirnya
digaruk sampai luka baru gatal hilang untuk
mengalami hiperpigmentasi. Bentuk
sementara.
umumnya lonjong, mulai dari lentikular
Faktor Risiko sampai plakat.
Gambar 11.21 Liken simpleks kronis Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga mengenai
kondisi pasien dan penanganannya.
2. Menyarankan pasien untuk melakukan
konsultasi dengan psikiatri dan mencari
kemungkinan penyakit lain yang mendasari
penyakit ini.
Kriteria Rujukan
Rujukan dilakukan dengan tujuan untuk
mengatasi penyebab lain yang mendasari
penyakit dengan berkonsultasi kepada psikiatri
Pemeriksaan Penunjang atau dokter spesialis kulit.
Tidak diperlukan Peralatan
Penegakan Diagnostik (Assessment) Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
Diagnosis Klinis mendiagnosis penyakit liken simpleks kronik.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Prognosis


dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Prognosis pada umumnya bonam, namun quo
Dermatitis atopik, Dermatitis kontak, Liken ad sanationamnya adalah dubia ad bonam.
planus, Dermatitis numularis Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penatalaksanaan Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
1. Pasien disarankan agar tidak terus menerus Universitas Indonesia.
menggaruk lesi saat gatal, serta mungkin
perlu dilakukan konsultasi dengan psikiatri. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
2. Prinsip pengobatan yaitu mengupayakan
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
agar penderita tidak terus menggaruk
Elsevier.
karena gatal, dengan pemberian:
a. Antipruritus: antihistamin dengan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
efek sedatif, seperti hidroksisin 10-50 Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
mg setiap 4 jam, difenhidramin 25-50 mg Jakarta.
setiap 4-6 jam (maksimal 300 mg/
hari), atau klorfeniramin maleat (CTM) 4
mg setiap 4-6 jam (maksimal 24 mg/hari).
b. Glukokortikoid topikal, antara lain:
betametason dipropionat salep/krim
0,05% 1-3 kali sehari, metilprednisolon
aseponat salep/krim 0,1% 1-2 kali sehari,
atau mometason furoat salep/krim 0,1%
1 kali sehari. Glukokortikoid dapat
dikombinasi dengan tar untuk efek
antiinflamasi.
18. DERMATITIS KONTAK ALERGIK
No. ICPC-2: S88 Dermatitis contact/allergic No. ICD-10: L23 Allergic contact dermatitis
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Fisik
Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi
Tanda Patognomonis
peradangan kulit imunologik karena reaksi
hipersensitivitas. Kerusakan kulit terjadi Tanda yang dapat diobservasi sama seperti
didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen dermatitis pada umumnya tergantung pada
(fase sensitisasi) yang umumnya berlangsung 2- kondisi akut atau kronis. Lokasi dan pola
3 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan kelainan kulit penting diketahui untuk
alergen yang sama atau serupa, periode hingga mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya,
terjadinya gejala klinis umumnya 24-48 jam seperti di ketiak oleh deodoran, di pergelangan
(fase elisitasi). Alergen paling sering berupa tangan oleh jam tangan, dan seterusnya.
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari
500-1000 Da. DKA terjadi dipengaruhi oleh Faktor Predisposisi
adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan dan Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap
luasnya penetrasi di kulit. suatu bahan yang bersifat alergen.
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang
Keluhan Tidak diperlukan
Keluhan kelainan kulit berupa gatal. Kelainan Penegakan Diagnostik (Assessment)
kulit bergantung pada keparahan dermatitis.
Keluhan dapat disertai timbulnya bercak Diagnosis Klinis
kemerahan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hal yang penting ditanyakan adalah dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding
riwayat kontak dengan bahan- bahan yang
Dermatitis kontak iritan.
berhubungan dengan riwayat pekerjaan, hobi,
obat topikal yang pernah digunakan, obat Komplikasi
sistemik, kosmetik, bahan- bahan yang dapat
menimbulkan alergi, serta riwayat alergi di Infeksi sekunder
keluarga Gambar 11.22 Dermatitis kontak alergik
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan
oleh bahan alergen.
2. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada
waktu tertentu.
3. Riwayat dermatitis atopik atau riwayat
atopi pada diri dan keluarga
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4 minggu setelah pengobatan standar dan
sudah menghindari kontak.
Penatalaksanaan
Peralatan
1. Keluhan diberikan farmakoterapi berupa:
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
a. Topikal (2 kali sehari) mendiagnosis penyakit dermatitis kontak alergi.
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
Prognosis
• Kortikosteroid: Desonid krim 0,05%
(catatan: bila tidak tersedia dapat Prognosis pada umumnya bonam, sedangkan
digunakan Fluosinolon asetonid quo ad sanationam adalah dubia ad malam
krim 0,025%). (bila sulit menghindari kontak dan dapat
• Pada kasus dengan manifestasi klinis menjadi kronis).
likenifikasi dan hiperpigmentasi, Referensi
dapat diberikan golongan
Betametason valerat krim 0,1% atau 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Mometason furoat krim 0,1%). Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
• Pada kasus infeksi sekunder, Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
perlu dipertimbangkan pemberian Universitas Indonesia.
antibiotik topikal. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
b. Oral sistemik Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
per hari selama maksimal 2 minggu, Elsevier.
atau 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
• Loratadin 1x10 mg per hari selama Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
maksimal 2 minggu. Jakarta.

2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko,


menghindari bahan- bahan yang bersifat
alergen, baik yang bersifat kimia, mekanis,
dan fisis, memakai sabun dengan pH netral
dan mengandung pelembab serta memakai
alat pelindung diri untuk menghindari
kontak alergen saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan
alergen di rumah saat mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
2. Edukasi menggunakan alat pelindung diri
seperti sarung tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Kriteria rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch
test.
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam
19. DERMATITIS KONTAK IRITAN
No. ICPC-2: S88 Dermatitis contact/allergic No. ICD-10: L24 Irritant contact dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kondisi akut atau kronis. Selengkapnya dapat
Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi dilihat pada bagian klasifikasi.
peradangan kulit non- imunologik. Kerusakan
Faktor Predisposisi
kulit terjadi secara langsung tanpa didahului
oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap
oleh semua orang tanpa memandang usia, suatu bahan yang bersifat iritan.
jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya
dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat Pemeriksaan Penunjang
iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak Tidak diperlukan
pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang
biasanya berhubungan dengan pekerjaan. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis
Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Keluhan di kulit dapat beragam, tergantung
pada sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala Gambar 11.23 Dermatitis kontak iritan
akut, sedangkan iritan lemah memberikan gejala
kronis. Gejala yang umum dikeluhkan adalah
perasaan gatal dan timbulnya bercak kemerahan
pada daerah yang terkena kontak bahan iritan.
Kadang-kadang diikuti oleh rasa pedih, panas,
dan terbakar.
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan
oleh bahan iritan
2. Riwayat kontak dengan bahan iritan pada
waktu tertentu Klasifikasi
3. Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru
masak, kuli bangunan, montir, penata rambut Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-
4. Riwayat dermatitis atopik faktor tertentu, DKI dibagi menjadi:

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. DKI akut:


Sederhana (Objective) a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan
asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida
Pemeriksaan Fisik
(HCl), termasuk luka bakar oleh bahan
Tanda patognomonis kimia.

Tanda yang dapat diobservasi sama seperti b. Lesi berupa: eritema, edema, bula,
dermatitis pada umumnya, tergantung pada kadang disertai nekrosis.
c. Tepi kelainan kulit berbatas tegas rambut dan pekerja logam dalam
dan pada umumnya asimetris. beberapa bulan pertama, kelainan kulit
2. DKI akut lambat: monomorfik (efloresensi tunggal)
dapat berupa eritema, skuama, vesikel,
a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24
pustul, dan erosi.
jam atau lebih setelah kontak.
b. Umumnya dapat sembuh sendiri, namun
b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan
menimbulkan penebalan kulit, dan
DKI tipe ini diantaranya adalah
kadang-kadang berlanjut menjadi DKI
podofilin, antralin, tretionin, etilen
kumulatif.
oksida, benzalkonium klorida, dan asam
hidrofluorat. 5. DKI traumatik:
c. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu a. Kelainan kulit berkembang lambat
serangga yang terbang pada malam setelah trauma panas atau laserasi.
hari (dermatitis venenata), penderita b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi
baru merasa pedih keesokan harinya, akut dan basah).
pada awalnya terlihat eritema, dan pada c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6
sore harinya sudah menjadi vesikel minggu.
atau bahkan nekrosis.
d. Lokasi predileksi paling sering terjadi di
3. DKI kumulatif/ DKI kronis: tangan.
a. Penyebabnya adalah kontak berulang- 6. DKI non eritematosa:
ulang dengan iritan lemah (faktor
fisis misalnya gesekan, trauma minor, Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai
kelembaban rendah, panas atau dingin, dengan perubahan fungsi sawar stratum
faktor kimia seperti deterjen, sabun, korneum, hanya ditandai oleh skuamasi
pelarut, tanah dan bahkan air). ringan tanpa disertai kelainan klinis lain.

b. Umumnya predileksi ditemukan di 7. DKI subyektif/ DKI sensori:


tanganterutama pada pekerja. Kelainan kulit tidak terlihat, namun
c. Kelainan baru muncul setelah kontak penderita merasa seperti tersengat (pedih)
dengan bahan iritan berminggu- atau terbakar (panas) setelah kontak dengan
minggu atau bulan, bahkan bisa bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.
bertahun-tahun kemudian sehingga Diagnosis Banding
waktu dan rentetan kontak merupakan
faktor penting. Dermatitis kontak alergi
d. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), Komplikasi
misalnya pada kulit tumit tukang cuci
yang mengalami kontak terus-menerus Infeksi sekunder.
dengan deterjen. Keluhan penderita Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
umumnya rasa gatal atau nyeri karena
kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan Penatalaksanaan
hanya berupa kulit kering atau skuama
1. Keluhan dapat diatasi dengan pemberian
tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh
farmakoterapi, berupa:
penderita.
a. Topikal (2 kali sehari)
4. Reaksi iritan:
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
a. Merupakan dermatitis subklinis pada
seseorang yang terpajan dengan • Kortikosteroid: Desonid krim 0,05%
pekerjaan basah, misalnya penata (catatan: bila tidak tersedia dapat
digunakan fluosinolon asetonid Prognosis
krim 0,025%).
Prognosis pada umumnya bonam. Pada
• Pada kasus DKI kumulatif dengan kasus DKI akut dan bisa menghindari kontak,
manifestasi klinis likenifikasi dan prognosisnya adalah bonam (sembuh tanpa
hiperpigmentasi, dapat diberikan komplikasi). Pada kasus kumulatif dan tidak
golongan betametason valerat krim bisa menghindari kontak, prognosisnya adalah
0,1% atau mometason furoat krim dubia.
0,1%).
• Pada kasus infeksi sekunder, Referensi
perlu dipertimbangkan pemberian 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
antibiotik topikal. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
b. Oral sistemik Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg
per hari selama maksimal 2 minggu, 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
atau Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
• Loratadin 1x10 mg per hari selama Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
maksimal 2 minggu. Elsevier.
2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
menghindari bahan- bahan yang bersifat Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan Jakarta.
fisis, memakai sabun dengan pH netral dan
mengandung pelembab, serta memakai alat
pelindung diri untuk menghindari kontak
iritan saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan iritan
di rumah saat mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.
2. Edukasi untuk menggunakan alat pelindung
diri seperti sarung tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Kriteria Rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch
test
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam
4 minggu pengobatan standar dan sudah
menghindari kontak.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit dermatitis kontak iritan.
20. NAPKIN ECZEMA (DERMATITIS POPOK)
No. ICPC-2: S89 Diaper rash
No. ICD-10: L22 Diaper (napkin) dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kadang pustul, lesi satelit (bila terinfeksi
Napkin eczema sering disebut juga dengan jamur).
dermatitis popok atau diaper rash adalah
Gambar 11.24 Napkin eczema
dermatitis di daerah genito-krural sesuai
dengan tempat kontak popok. Umumnya pada
bayi pemakai popok dan juga orang dewasa
yang sakit dan memakai popok. Dermatitis ini
merupakan salah satu dermatitis kontak iritan
akibat isi napkin (popok).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan gatal dan bercak
merah berbatas tegas mengikuti bentuk popok
yang berkontak, kadang-kadang basah dan Pemeriksaan Penunjang
membentuk luka.
Bila diduga terinfeksi jamur kandida, perlu
Faktor Risiko dilakukan pemeriksaan
1. Popok jarang diganti. KOH atau Gram dari kelainan kulit yang basah.
2. Kulit bayi yang kering sebelum dipasang
popok. Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Riwayat atopi diri dan keluarga. Diagnosis Klinis
4. Riwayat alergi terhadap bahan plastik dan
kertas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Diagnosis Banding
Pemeriksaan Fisik 1. Penyakit Letterer-Siwe
2. Akrodermatitis enteropatika
Tanda patognomonis 3. Psoriasis infersa
1. Makula eritematosa berbatas agak tegas 4. Eritrasma Komplikasi Infeksi sekunder
(bentuk mengikuti bentuk popok yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
berkontak)
2. Papul Penatalaksanaan
3. Vesikel
1. Untuk mengurangi gejala dan mencegah
4. Erosi
bertambah beratnya lesi, perlu dilakukan
5. Ekskoriasi
hal berikut:
6. Infiltran dan ulkus bila parah
7. Plak eritematosa (merah cerah), a. Ganti popok bayi lebih sering, gunakan
membasah,
pelembab sebelum memakaikan popok Prognosis
bayi.
Prognosis umumnya bonam dan dapat sembuh
b. Dianjurkan pemakaian popok sekali tanpa komplikasi.
pakai jenis highly absorbent.
2. Prinsip pemberian farmakoterapi yaitu untuk Referensi
menekan inflamasi dan mengatasi infeksi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
kandida. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
a. Bila ringan: krim/salep bersifat Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
protektif (zinc oxide/pantenol) Universitas Indonesia.
dipakai 2 kali sehari selama 1 minggu
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
atau kortikosteroid potensi lemah
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
(hidrokortison salep 1-2,5%) dipakai 2
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
kali sehari selama 3-7 hari.
Elsevier.
b. Bila terinfeksi kandida: berikan
antifungal nistatin sistemik 1 kali 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
sehari selama 7 hari atau derivat azol Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
topikal dikombinasi dengan zinc oxide Jakarta.
diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga mengenai penyebab
dan menjaga higiene kulit.
2. Mengajarkan cara penggunaan popok dan
mengganti secepatnya bila popok basah.
3. Mengganti popok sekali pakai bila kapasitas
telah penuh.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Biasanya tidak perlu dilakukan, hanya dilakukan
untuk mengekslusi diagnosis banding.
Rencana Tindak Lanjut
Bila gejala tidak menghilang setelah
pengobatan standar selama 1 minggu,
dilakukan:
1. Pengobatan dapat diulang 7 hari lagi.
2. Pertimbangkan untuk pemeriksaan ulang
KOH atau Gram.
Kriteria Rujukan
Bila keluhan tidak membaik setelah
pengobatan standarselama 2 minggu.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
dan Gram
21. DERMATITIS PERIORAL
No. ICPC-2: S99 Skin disease other No. ICD-10: L71.0 Perioral dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Pemakaian kosmetik.
Dermatitis perioral adalah erupsi eritematosa 3. Pasien imunokompromais
persisten yang terdiri dari papul kecil dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
papulo-pustul yang berlokasi di sekitar mulut.
Sederhana (Objective)
Dermatitis perioral dapat terjadi pada anak
dan dewasa. Dalam populasi dewasa, penyakit Pemeriksaan Fisik
ini lebih sering terjadi pada wanita Tanda patognomonis
daripada pria. Namun, selama masa kanak-
kanak persentase pasien pria lebih besar. Erupsi eritematosa yang terdiri dari papul,
Pada anak-anak, penyakit ini memiliki papulopustul atau papulovesikel, biasanya tidak
kecenderungan untuk meluas ke periorbita atau lebih dari 2 mm. Lesi berlokasidi sekitar mulut,
perinasal. Beberapa agen penyebab terlibat namun pada anak lesi dapat meluas ke perinasal
dalam patogenesis penyakit ini diantaranya atau periorbita.
penggunaan kosmetik dan glukokortikoid. Pemeriksaan Penunjang
Studi case control di Australia memperlihatkan
bahwa pemakaian kombinasi foundation, Umumnya tidak diperlukan.
pelembab dan krim malam meningkatkan
Gambar 11.25 Dermatititis perioral
risiko terjadinya dermatitis perioral secara
signifikan. Penggunaan kortikosteroid
merupakan penyebab utama penyakit ini
pada anak-anak. Beberapa faktor lainnya yang
juga diidentifikasai diantaranya infeksi, faktor
hormonal, pemakaian pil kontrasepsi, kehamilan,
fluoride dalam pasta gigi, dan sensitasi merkuri
dari tambalan amalgam. Demodex folliculorum
dianggapmemainkan peran penting dalam
patogenesis dermatitis perioral terutama pada
anak dengan imunokompromais. Namun, laporan
terbaru menunjukkan bahwa density dari
D.folliculorum merupakan fenomena sekunder Penegakan Diagnostik (Assessment)
penyebab dermatitis perioral.
Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis
Keluhan yang dirasakan pasien adalah gatal dan pemeriksaaan fisik.
dan rasa panas disertai timbulnya lesi di sekitar
Diagnosis Banding
mulut.
Dermatitis kontak, Dermatitis seboroik,
Faktor Risiko
Rosasea, Akne, Lip-licking cheilitis, Histiocytosis,
1. Pemakaian kortikosteroid topikal. Sarkoidosis
Komplikasi folliculorum.
Infeksi sekunder Konseling dan Edukasi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Edukasi dilakukan terhadap pasien dan
pada pasien anak edukasi dilakukan kepada
Penatalaksanaan orangtuanya. Edukasi berupa menghentikan
Untuk keberhasilan pengobatan, langkah pemakaian semua kosmetik, menghentikan
pertama yang dilakukan adalah menghentikan pemakaian kortikostroid topikal. Eritema dapat
penggunaan semua kosmetik dan kortikosteroid terjadi pada beberapa hari setelah penghentian
topikal. Jika tidak diobati, bentuk klasik steroid.
dermatitis perioral memiliki kecenderungan
Kriteria rujukan
untuk bertahan, terutama jika pasien terbiasa
menggunakan pelembab atau krim malam. Pasien dirujuk apabila memerlukan pemeriksaan
mikroskopik atau pada pasien dengan
Dalam kasus resisten, dermatitis perioral gambaran klinis yang tidak biasa dan perjalanan
membutuhkan farmakoterapi, seperti: penyakit yang lama.
1. Topikal Peralatan
a. Klindamisin krim 1%, satu atau dua kali
sehari Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
b. Eritromisin krim 2-3% satu atau dua kali mendiagnosis penyakit dermatitis perioral.
sehari
c. Asam azelaik krim 20% atau gel 15%, Prognosis
dua kali sehari Prognosis umumnya bonam jika pasien
d. Adapalene gel 0,1%, sekali sehari menghentikan penggunaan kosmetik atau
selama 4 minggu kortikosteroid topikal.
2. Sistemik
a. Tetrasiklin 250-500 mg, dua kali Referensi
sehari selama 3 minggu. Jangan 1. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current
diberikan pada pasien sebelum usia And Future Treatment Options For Perioral
pubertas. Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy,
b. Doksisiklin 100 mg per hari selama 3 2, 351-355, Available from http://Search.
minggu. Jangan diberikan pada pasien Pr oq ue s t. Co m /D o c v ie w /91 227 83 00 /
sebelum usia pubertas. Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Accou
c. Minosiklin 100 mg per hari selama 4 ntid=17242(7 Juni 2014).
minggu. Jangan diberikan pada pasien
sebelum usia pubertas. 2. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007.
d. Eritromisin 250 mg, dua kali sehari Persistent Facial Dermatitis: Pediatric
selama 4-6 minggu Perioral Dermatitis. Pediatric Annals,
e. Azytromisin 500 mg per hari, 3 hari 36,pp.796-8. Available from http://search.
berturut-turut per minggu selama 4 proquest .c om / d oc vi e w / 2 1 7 5 5 6 9 8 9 /
minggu. fulltextPDF?acc ountid=17242 (7 Juni 2014).
3. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Appraisal Of Reports On The Treatment Of
Pada pasien yang menderita dermatitis perioral Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-
dalam waktu lama, pemeriksaan mikroskopis 7. Available from http://search.proquest.
lesi dapat disarankan untuk mengetahui apakah com/docview/275129538/DC34942E9874
ada infeksi bakteri, jamur atau adanya Demodex 4010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni 2014).
22. PITIRIASIS ROSEA
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S90 Pityriasis rosea
: L42 Pityriasis rosea
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
sejajar dengan tulang iga, sehingga menyerupai
Penyakit ini belum diketahui sebabnya, dimulai pohon cemara terbalik. Tempat predileksi yang
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema sering adalah pada badan, lengan atas bagian
dan skuama halus (mother patch), kemudian proksimal dan paha atas.
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan,
Gambar 11.26 Pitiriasis rosea
lengan dan paha atas, yang tersusun sesuai
dengan lipatan kulit. Penyakit ini biasanya
sembuh dalam waktu 3-8 minggu. Pitiriasis
rosea didapati pada semua usia, terutama
antara 15-40 tahun, dengan rasio pria dan
wanita sama besar.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan lesi kemerahan
yang awalnya satu kemudian diikuti dengan lesi
yang lebih kecil yang menyerupai pohon Pemeriksaan Penunjang
cemara terbalik. Lesi ini kadang-kadang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis KOH
dikeluhkan terasa gatal ringan.
dilakukan untuk menyingkirkan Tinea Korporis.
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Etiologi belum diketahui, ada yang mengatakan
Diagnosis Klinis
hal ini merupakan infeksi virus karena
merupakan self limited disease. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Tinea korporis, Erupsi obat

Pemeriksaan Fisik Komplikasi

Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat, Tidak ada komplikasi yang bermakna.
sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald
patch), umumnya di badan, soliter, berbentuk Penatalaksanaan
oval, dan anular, diameternya sekitar 3 cm. Lesi Pengobatan bersifat simptomatik, misalnya
terdiri atas eritema dan skuama halus di untuk gatal diberikan antipruritus seperti bedak
atasnya. Lamanya beberapa hari sampai dengan asam salisilat 1-2% atau mentol 0,25-0,5%.
beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4-10
hari setelah lesi pertama dengan gambaran Konseling dan Edukasi
serupa dengan lesi pertama, namun lebih kecil, Edukasi pasien dan keluarga bahwa penyakit ini
susunannya swasirna.
Kriteria Rujukan Referensi
Tidak perlu dirujuk 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Peralatan
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Lup Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Prognosis Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Prognosis pada umumnya bonam karena Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
penyakit sembuh spontan dalam waktu 3-8 Elsevier.
minggu. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.

23. ERITRASMA
No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: L08.1 Erythrasmay
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik
Penderita Diabetes Mellitus, iklim sedang dan
pada stratum korneumyang disebabkan oleh
panas, maserasi pada kulit, banyak berkeringat,
Corynebacterium minutissimum. Eritrasma
kegemukan, higiene buruk, peminum alkohol
terutama terjadi pada orang dewasa, penderita
diabetes, dan banyak ditemukan di daerah tropis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Eritrasma dianggap tidak begitu menular karena Sederhana (Objective)
didapatkan bahwa pasangan suami istri tidak
mendapatkan penyakit tersebut secara bersama- Pemeriksaan Fisik
sama. Secara global, insidens eritrasma Lokasi : lipat paha bagian dalam, sampai skrotum,
dilaporkan 4% dan lebih banyak ditemukan aksilla, dan intergluteal
di daerah iklim tropis dan subtropis. Selain itu
insidensnya lebih banyak ditemukan pada ras Efloresensi : eritema luas berbatas tegas, dengan
kulit hitam. Eritrasma terjadi baik pria maupun skuama halus dan kadang erosif. Kadang juga
wanita, pada pria lebih banyak ditemukan didapatkan likenifikasi dan hiperpigmentasi.
eritrasma pada daerah kruris, sedangkan pada
Pemeriksaan Penunjang
wanita di daerah interdigital. Berdasarkan usia,
insidens eritrasma bertambah seiring dengan 1. Pemeriksaan dengan lampu Wood
pertambahan usia dengan pasien termuda yang 2. Sediaan langsung kerokan kulit dengan
pernah ditemukan yaitu usia 1 tahun. pewarnaan gram
Hasil Anamnesis (Subjective) Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan Diagnosis Klinis
Eritrasma kadang tidak menimbulkan keluhan Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis
subyektif, tetapi ada juga pasien datang dengan dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan dengan
keluhan gatal dengan durasi dari bulan sampai lampu Wood didapatkan fluoresensi merah
tahun. bata (coral pink).
Diagnosis Banding Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Pitiriasis versikolor, Tinea kruris, Dermatitis Indonesia.
seboroik, Kandidiasis
2. Kibbi A.G.Erythrasma. Available
Komplikasi: - from http://e- medicine.medscape.com
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (10 Juni 2014)

Penatalaksanaan 3. Morales-Trujillo ML, Arenas R, Arroyo


S. Interdigital Erythrasma: Clinical,
1. Pengobatan topikal: salep Tetrasiklin 3% Epidemiologic, And Microbiologic
2. Pengobatan sistemik: Eritromisin 1 g sehari Findings. Actas Dermosifiliogr. Jul-Aug
(4 x 250mg) untuk 2-3 minggu. 2008;99(6):469-73
Gambar 11.27 Eritrasma 4. Sarkany I, Taplin D, Blank H. Incidence
And Bacteriology Of Erythrasma.Arch
Dermatol. May 1962;85:578-82

Rencana Tindak Lanjut: -


Konseling dan Edukasi
1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol
gula darah
2. Menjaga kebersihan badan
3. Menjaga agar kulit tetap kering
4. Menggunakan pakaian yang bersih dengan
bahan yang menyerap keringat.
5. Menghindari panas atau kelembaban yang
berlebih
Kriteria Rujukan: -
Peralatan
1. Lampu Wood
2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
KOH dan pewarnaan gram
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
24. SKROFULODERMA
No. ICPC-2 No. ICD-10 : A 70 Tuberculosis
: A 18.4 Tuberculosis of skin and subcutaneous tissue
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi Diagnosis Klinis
infeksi tuberkulosis akibat penjalaran per
kontinuitatum dari organ di bawah kulit seperti Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
abses dingin dan melibatkan kulit di atasnya,
Gambar 11.28 Skrofuloderma
kemudian pecah dan membentuk sinus di
permukaan kulit.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Skrofuloderma biasanya dimulai dengan
pembesaran kelenjar getah bening tanpa tanda-
tanda radang akut. Mula-mula hanya beberapa
kelenjar diserang, lalu makin banyak sampai Diagnosis Banding
terjadi abses memecah dan menjadi fistel Limfosarkoma, Limfoma maligna, Hidradenitis
kemudian meluas menjadi ulkus. Jika supurativa, Limfogranuloma venerum
penyakitnya telah menahun, maka didapatkan
gambaran klinis yang lengkap. Komplikasi :-

Faktor Risiko Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Sama dengan TB Paru Penatalaksanaan

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sama dengan TB Paru


Sederhana (Objective) Pengobatan sistemik: Sama dengan TB Paru
Rencana tindak lanjut:
Pemeriksaan Fisik
Memantau kriteria penyembuhan skrofuloderma,
Lokasi : leher, ketiak, lipat paha antara lain:
Efloresensi : pembesaran kelenjar getah bening 1. Semua fistel dan ulkus sudah menutup
tanpa radang akut kecuali tumor dengan 2. Seluruh kelenjar limfe sudah mengecil (< 1
konsistensi bermacam-macam, periadenitis, cm, konsistensi keras)
abses dan fistel multipel, ulkus-ulkus khas, 3. Sikatriks tidak eritematous
sikatriks-sikatriks yang memanjang dan tidak 4. Laju Endap Darah menurun
teratur serta jembatan kulit.
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang
Sama dengan TB Paru
1. Pemeriksaan dahak
2. Pemeriksaan biakan Mycobacterium Peralatan
tuberculosis 1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
laju endap darah dan pemeriksaan BTA 2. Kementerian Kesehatan RI. 2008. Diagnosis
2. Tes tuberkulin dan Tata Laksana TB Pada Anak. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI.
Prognosis 3. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman
Bonam Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

25. HIDRADENITIS SUPURATIF


No. ICPC-2: S92 Sweat gland disease
No. ICD-10: L73.2 Hidradenitis suppurativa
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Hidradenitis supuratif atau disebut juga akne Merokok, obesitas, banyak berkeringat,
inversa adalah peradangan kronis dan supuratif pemakaian deodorant, menggunting rambut
pada kelenjar apokrin. Penyakit ini terdapat ketiak
pada usia pubertas sampai usia dewasa muda.
Prevalensi keseluruhan adalah sekitar 1%. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Rasio wanita terhadap pria adalah 3:1. Dari Sederhana (Objective)
beberapa penelitian epidemiologi diketahui
bahwa sepertiga pasien hidradenitis supuratif Pemeriksaan Fisik
memiliki kerabat dengan hidradenitis. Merokok Ruam berupa nodus dengan tanda-tanda
dan obesitas merupakan faktor risiko untuk peradangan akut, kemudian dapat melunak
penyakit ini. Penyakit ini juga sering didahului menjadi abses, dan memecah membentuk fistula
oleh trauma atau mikrotrauma, misalnya banyak dan disebut hidradenitis supuratif. Pada yang
keringat, pemakaian deodorant atau rambut menahun dapat terbentuk abses, fistel, dan sinus
ketiak digunting. yang multipel. Terdapat leukositosis.
Beberapa bakteri telah diidentifikasi dalam kultur Lokasi predileksi di aksila, lipat paha, gluteal,
yang diambil dari lesi hidradenitis supuratif, perineum dan daerah payudara. Meskipun
diantaranya adalah Streptococcusviridans, penyakit ini di aksila seringkali ringan, di
Staphylococcus aureus, bakteri anaerob perianal sering progresif dan berulang.
(Peptostreptococcus spesies, Bacteroides
melaninogenicus, dan Bacteroides corrodens), Ada dua sistem klasifikasi untuk menentukan
Coryneformbacteria, dan batang Gram-negatif. keparahan hidradenitis supuratif, yaitu dengan
sistem klasifikasi Hurley dan Sartorius.
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Hurley mengklasifikasikan pasien menjadi
Keluhan awal yang dirasakan pasien adalah tiga kelompok berdasarkan adanya dan
gatal, eritema, dan hiperhidrosis lokal. Tanpa luasnyajaringan parutdan sinus.
pengobatan penyakit ini dapat berkembang dan
a. TahapI : lesi soliter atau multipel,
pasien merasakan nyeri di lesi.
ditandai dengan pembentukan abses
tanpa saluran sinus atau jaringan Komplikasi
parut.
1. Jaringan parut di lokasi lesi.
b. Tahap II : lesi single atau multipel 2. Inflamasi kronis pada genitofemoral dapat
dengan abses berulang, ditandai menyebabkan striktur di anus, uretra atau
dengan pembentukan saluran sinus dan rektum.
jaringan parut. 3. Fistula uretra.
c. TahapIII : tahap yang palingparah, 4. Edema genital yang dapat menyebabkan
beberapa saluran saling berhubungan gangguan fungsional.
dan abses melibatkan seluruh 5. Karsinoma sel skuamosa dapat
daerah anatomi (misalnya ketiak berkembangpada pasien dengan riwayat
atau pangkal paha). penyakit yang lama, namun jarang terjadi.
2. Skor Sartorius. Skor didapatkan dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
menghitung jumlah lesi kulit dan tingkat
keterlibatan di setiap lokasi anatomi. Lesi Penatalaksanaan
yang lebih parah seperti fistula diberikan
1. Pengobatan oral:
skor yang lebih tinggi dari pada lesi ringan
seperti abses. Skor dari semua lokasi a. Antibiotik sistemik
anatomi ditambahkan untuk mendapatkan Antibiotik sistemik misalnya dengan
skor total. kombinasi rifampisin 600 mg sehari
(dalam dosis tunggal atau dosis terbagi)
Gambar 11.29 Hidradenitis supuratif
dan klindamisin 300 mg dua kali sehari
menunjukkan hasil pengobatan yang
menjanjikan. Dapson dengan dosis 50-
150mg/hari sebagai monoterapi,
eritromisin atau tetrasiklin 250-500
mg 4x sehari, doksisilin 100 mg 2x
sehari selama 7-14 hari.
b. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik misalnya
triamsinolon, prednisolon atau
prednison
Pemeriksaan Penunjang 2. Jika telah terbentuk abses, dilakukan insisi.
Pemeriksaan darah lengkap Konseling dan Edukasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Edukasi dilakukan terhadap pasien, yaitu berupa:
Diagnosis Klinis 1. Mengurangi berat badan untuk pasien
obesitas.
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis 2. Berhenti merokok.
dan pemeriksaaan fisik. 3. Tidak mencukur di kulit yang berjerawat
Diagnosis Banding karena mencukur dapat mengiritasi kulit.
4. Menjaga kebersihan kulit.
Furunkel, karbunkel, kista epidermoid atau 5. Mengenakan pakaian yang longgar untuk
kista dermoid, Erisipelas, Granuloma inguinal, mengurangi gesekan
Lymphogranuloma venereum, Skrofuloderma 6. Mandi dengan menggunakan sabun dan
antiseptik atau antiperspirant.
Kriteria Rujukan http://search.proquest.com/docview/52117 6635?
accountid=17242(7 Juni 2014)..
Pasien dirujuk apabila penyakit tidak sembuh
dengan pengobatan oral atau lesi kambuh 7. Shah, N. 2005. Hidradenitus suppurative:
setelah dilakukan insisi dan drainase. A treatment challenge. American Family
Physician, 72(8), pp. 1547-1552. Available
Peralatan from http://www.aafp.org/afp/2005/1015/
Bisturi p1547.html#afp20051015p1 547-t2(7 Juni
2014).
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tingkat keparahan
penyakit bervariasi dari satu pasien dengan
pasien lainnya.
Referensi
1. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012.
Pharmacologic Interventions For
Hidradenitis Suppurativa. American Journal
Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91.
Available from http://search.proquest.com/
docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7
905F304E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni
2014).
2. American Academy of Dermatology
Hidradenitis suppurativa. Available
from http://www.aad.org/dermatology-
a-to-z/diseases-and-treatments/e---h/
hidradenitis-suppurativa(7 Juni 2014).
3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Herrington, S. (2007).
Hidradenitis
suppurativa. In M. R. Dambro (Ed.), Griffith’s
5 minute clinical consult.14th Ed.
Philadelphia. Lippincott Williams and
Wilkins, pp. 570–572.
5. Jovanovic, M. 2014. Hidradenitis suppurativa.
Medscape. June 7, 2014. http://emedicine.
medscape.com/article/1073117-overview.
6. Sartorius, K., Emtestam, L., Lapins, J. &
Johansson, O. 2010. Cutaneous PGP 9.5
Distribution Patterns In Hidradenitis
Suppurativa. Archives of Dermatological
Research, 302,pp. 461-8. Available from:
26. AKNE VULGARIS RINGAN
No. ICPC-2: S96 Acne
No. ICD-10: L70.0 Acne vulgaris
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan tertutup (white comedo, close comedo). Erupsi


Akne vulgaris adalah penyakit peradangan kulit polimorfi dengan gejala predominan salah
kronis dari folikel pilosebasea yang diinduksi satunya, komedo, papul yang tidak beradang dan
dengan peningkatan produksi sebum, perubahan pustul, nodus dan kista yang beradang. Tempat
pola keratinisasi, peradangan, dan kolonisasi predileksi adalah di muka, bahu, dada bagian
dari bakteri Propionibacterium acnes. Sinonim atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit
untuk penyakit ini adalah jerawat. Umumnya lain misalnya di leher, lengan atas, dan kadang-
insidens terjadi pada wanitausia 14-17 tahun, kadang glutea.
pria16- 19 tahun lesi yang utama adalah Gradasi yang menunjukan berat ringannya
komedo dan papul dan dapat dijumpai pula lesi penyakit diperlukan bagi pilihan pengobatan.
beradang. Pada anak wanita,akne vulgaris dapat Gradasi akne vulgaris adalah sebagai berikut:
terjadi pada premenarke. Setelah masa remaja
kelainan ini berangsur berkurang, namun 1. Ringan, bila:
kadang-kadang menetap sampai dekade ketiga a. Beberapa lesi tak beradang pada satu
terutama pada wanita. Ras oriental (Jepang, predileksi
Cina, Korea) lebih jarang menderita akne b. Sedikit lesi tak beradang pada beberapa
vulgaris dibandingkan dengan ras kaukasia tempat predileksi
(Eropa, Amerika). c. Sedikit lesi beradang pada satu
predileksi
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Sedang, bila:
Keluhan berupa erupsi kulit polimorfi di lokasi a. Banyak lesi tak beradang pada satu
predileksi, disertai rasa nyeri atau gatal namun predileksi
masalah estetika umumnya merupakan keluhan b. Beberapa lesi tak beradang pada lebih
utama. dari satu predileksi
c. Beberapa lesi beradang ada satu
Faktor Risiko: predileksi
Usia remaja, stress emosional, siklus menstruasi, d. Sedikit lesi beradang pada lebih dari
merokok, ras, riwayat akne dalam keluarga, satu predileksi
banyak makan makanan berlemak dan tinggi 3. Berat, bila:
karbohidrat a. Banyak lesi tak beradang pada lebih
dari satu predileksi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang b. Banyak lesi beradang pada satu atau
Sederhana (Objective) lebih predileksi
Pemeriksaan Fisik Keterangan:
Tanda patognomonis Sedikit bila kurang dari 5, beberapa bila 5-10,
banyak bila lebih dari 10 lesi
Komedo berupa papul miliar yang
ditengahnya mengandung sumbatan sebum, Tak beradang : komedo putih, komedo hitam,
bila berwarna hitam disebut komedo hitam papul
(black comedo, open comedo) dan bila berwarna
putih disebut komedo putih atau komedo Beradang : pustul, nodus, kista
Pada pemeriksaan ekskohleasi sebum, yaitu Penegakan Diagnostik (Assessment)
pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo
ekstraktor (sendok Unna) ditemukan sebum yang Diagnosis Klinis
menyumbat folikel tampak sebagai massa Ditegakkan erdasarkan anamnesis dan
padat seperti lilin atau massa lebih lunak pemeriksaaan fisik.
seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna
hitam. Diagnosis Banding: Erupsi akneiformis, Akne
venenata, Rosasea, Dermatitis perioral
Gambar: 11.30 Lesi beradang
Penatalaksanaan (Plan)
Penatalaksanaan meliputi usaha untuk
mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan
usaha untuk menghilangkan jerawat yang
terjadi (kuratif).
Pencegahan yang dapat dilakukan :
1. Menghindari terjadinya peningkatan
jumlah lipid sebum dan perubahan isi
sebum dengan cara :
a. Diet rendah lemak dan karbohidrat.
Gambar: 11.31 Komedo Hitam Meskipun hal ini diperdebatkan
efektivitasnya, namun bila pada
anamnesis menunjang, hal ini dapat
dilakukan.
b. Melakukan perawatan kulit dengan
membersihkan permukaan kulit.
2. Menghindari terjadinya faktor pemicu
terjadinya akne, misalnya :
a. Hidup teratur dan sehat, cukup
istirahat, olahraga, sesuai kondisi
tubuh, hindari stress.
Gambar: 11.32 Akne vulgaris ringan lesi b. Penggunaan kosmetika secukupnya,
campuran baik banyaknya maupun lamanya.
c. Menjauhi terpacunya kelenjar minyak,
misalnya minuman keras, makanan
pedas, rokok, lingkungan yang tidak
sehat dan sebagainya.
d. Menghindari polusi debu, pemencetan
lesi yang tidak lege artis, yang dapat
memperberat erupsi yang telah terjadi.
Pengobatan akne vulgaris ringan dapat
dilakukan dengan memberikan farmakoterapi
seperti :
1. Topikal
Pemeriksaan Penunjang Pengobatan topikal dilakukan untuk
mencegah pembentukan komedo,
Umumnya tidak diperlukan.
menekan peradangan dan mempercepat Konseling dan Edukasi
penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri dari :
Dokter perlu memberikan informasi yang tepat
a. Retinoid pada pasien mengenai penyebab penyakit,
Retinoidtopikal merupakan obat pencegahan, dan cara maupun lama pengobatan,
andalan untuk pengobatan jerawat serta prognosis penyakitnya. Hal ini penting
karena dapat menghilangkan agar penderita tidak mengharap berlebihan
komedo, mengurangi pembentukan terhadap usaha penatalaksanaan yang
mikrokomedo, dan adanya efek dilakukan.
antiinflamasi. Kontraindikasi obat ini
yaitu pada wanita hamil, dan wanita usia Kriteria rujukan
subur harus menggunakan kontrasepsi Akne vulgaris sedang sampai berat.
yang efektif. Kombinasi retinoid topikal
dan antibiotik topikal (klindamisin) Peralatan
atau benzoil peroksida lebih ampuh
Komedo ekstraktor (sendok Unna)
mengurangi jumlah inflamasi dan lesi
non-inflamasi dibandingkan dengan Prognosis
retinoid monoterapi. Pasien yang
memakai kombinasi terapi juga Prognosis umumnya bonam. akne vulgaris
menunjukkan tanda-tanda perbaikan umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30-
yang lebih cepat. 40 an.

b. Bahan iritan yang dapat mengelupas Referensi


kulit (peeling), misalnya sulfur (4-8),
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
resorsinol (1-5%), asam salisilat (2-
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
5%), peroksida benzoil (2,5-10%), asam
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
vitamin A (0,025-0,1%), asam azelat
Universitas Indonesia.
(15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA)
misalnya asma glikolat (3-8%). Efek 2. Williams, H. C., Dellavalle, R. P. & Garner, S.
samping obat iritan dapat dikurangi 2012. Acne Vulgaris.
dengan cara pemakaian berhati-hati
dimulai dengan konsentrasi yang paling 3. The Lancet, 379, pp. 361-72. Available
rendah. from http://search.proquest.com/
docview/920097495/abstract?accoun
c. Antibiotik topikal: oksitetrasiklin 1% tid=17242#(7 Juni 2014).
atau klindamisin fosfat 1%.
d. Antiperadangan topikal: hidrokortison 4. Simonart, T. 2012. Newer Approaches To
1-2,5%. The Treatment Of Acne Vulgaris. American
Journal Of Clinical Dermatology, 13, pp.
2. Sistemik 357-
Pengobatan sistemik ditujukan untuk 64. Available from http://search.proquest.
menekan aktivitas jasad renik disamping com/docview/1087529303/F21F34D005
juga mengurangi reaksi radang, menekan 744CD7PQ/20?accountid=17242# (7 Juni
produksi sebum. Dapat diberikan antibakteri 2014).
sistemik, misalnya tetrasiklin 250 mg-1g/
hari, eritromisin 4x250 mg/hari.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.
27. URTIKARIA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S98 Urticaria
: L50 Urticaria
L50.9Urticaria, unspecified
Tingkat Kemampuan : Urtikaria akut: 4A
Urtikaria kronis : 3A

Masalah Kesehatan kacang, dan sebagainya).


Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit 7. Riwayat infeksi dan infestasi parasit.
akibat bermacam-macam sebab. Sinonim 8. Penyakit autoimun dan kolagen.
penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, 9. Usia rata-rata adalah 35 tahun.
nettle rash. Ditandai oleh edema setempat yang 10. Riwayat trauma faktor fisik (panas, dingin,
timbul mendadak dan menghilang perlahan- sinar matahari, sinar UV, radiasi).
lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
di permukaan kulit,sekitarnya dapat dikelilingi Sederhana (Objective)
halo. Dapat disertai dengan angioedema.
Penyakit ini sering dijumpai pada semua usia, Pemeriksaan Fisik
orang dewasa lebih banyak terkena
Lesi kulit yang didapatkan:
dibandingkan dengan usia muda. Penderita
atopi lebih mudah mengalami urtikaria 1. Ruam atau patch eritema.
dibandingkan dengan orang normal. Penisilin 2. Berbatas tegas.
tercatat sebagai obat yang lebih sering 3. Bagian tengah tampak pucat.
menimbulkan urtikaria. 4. Bentuk papul dengan ukuran bervariasi,
mulai dari papular hingga plakat.
Hasil Anamnesis (Subjective)
5. Kadang-kadang disertai demografisme,
Keluhan berupa edema linier di kulit yang terkena
goresan benda tumpul, timbul dalam waktu
Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, lebih kurang 30 menit.
rasa tersengat atau tertusuk. Gatal sedang-berat 6. Pada lokasi tekanan dapat timbul lesi urtika.
di kulit yang disertai bentol-bentol di daerah 7. Tanda lain dapat berupa lesi bekas garukan.
wajah, tangan, kaki, atau hampir di seluruh
tubuh. Keluhan dapat juga disertai rasa panas Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan
seperti terbakar atau tertusuk. Kadang-kadang pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan
terdapat keluhan sesak napas, nyeri perut, gigi, THT, dan sebagainya untuk menyingkirkan
muntah- muntah, nyeri kepala, dan berdebar- adanya infeksi fokal.
debar (gejala angioedema).
Tempat predileksi
Faktor Risiko
Bisa terbatas di lokasi tertentu, namun dapat
1. Riwayat atopi pada diri dan keluarga. generalisata bahkan sampai terjadi angioedema
2. Riwayat alergi. pada wajah atau bagian ekstremitas.
3. Riwayat trauma fisik pada aktifitas.
Pemeriksaan Penunjang
4. Riwayat gigitan/sengatan serangga.
5. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotik 1. Pemeriksaan darah (eosinofil), urin dan feses
– tersering penisilin, diuretik, imunisasi, rutin (memastikan adanya fokus infeksi
injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya). tersembunyi).
6. Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, 2. Uji gores (scratch test) untuk melihat
dermografisme. • Keikutsertaan komplemen reaksi
3. Tes eliminasi makanan dengan cara hipersensitifitas tipe II dan III
menghentikan semua makanan yang (Coombs and Gell), dan genetik.
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu • Urtikaria kontak reaksi
mencobanya kembali satu per satu. hipersensitifitas tipe 4 (Coombs and
4. Tes fisik: tes dengan es (ice cube test), tes Gell).
dengan air hangat
b. Urtikaria non-imunologik (obat
Gambar 11.33 Urtikaria golongan opiat, NSAID, aspirin serta
trauma fisik).
c. Urtikaria idiopatik (tidak jelas penyebab
dan mekanismenya).
Diagnosis Banding
Purpura anafilaktoid (purpura Henoch-
Schonlein), Pitiriasis rosea (lesi awal berbentuk
eritema), Eritema multiforme (lesi urtika,
umumnya terdapat pada ekstremitas bawah).
Komplikasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Angioedema dapat disertai obstruksi jalan napas.
Diagnosis Klinis Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Prinsip penatalaksanaan
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi
Tata laksana pada layanan Tingkat Pertama
1. Berdasarkan waktu berlangsungnya dilakukan dengan first- line therapy, yaitu
serangan, urtikaria dibedakan atas urtikaria memberikan edukasi pasien tentang penyakit
akut (< 6 minggu atau selama 4 minggu urtikaria (penyebab dan prognosis) dan
terus menerus) dan kronis (> 6 minggu). terapi farmakologis sederhana.
2. Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria
dibedakan menjadi urtikaria papular Urtikaria akut
(papul), gutata (tetesan air) dan girata Atasi keadaan akut terutama pada angioedema
(besar- besar). karena dapat terjadi obstruksi saluran
3. Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan napas. Penanganan dapat dilakukan di Unit
yang terkena, urtikaria dibedakan menjadi Gawat Darurat bersama-sama dengan/atau
urtikaria lokal (akibat gigitan serangga atau dikonsultasikan ke dokter spesialis THT.
kontak), generalisata (umumnya disebabkan
Bila disertai obstruksi saluran napas,
oleh obat atau makanan) dan angioedema.
diindikasikan pemberian epinefrin subkutan yang
4. Berdasarkan penyebab dan mekanisme dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid
terjadinya, urtikaria dapat dibedakan prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis
menjadi: diturunkan 5-10 mg/hari.
a. Urtikaria imunologik, yang dibagi lagi
Urtikaria kronik
menjadi:
• Keterlibatan IgE reaksi 1. Pasien menghindari penyebab yang dapat
hipersensitifitas tipe I (Coombs and menimbulkan urtikaria, seperti:
Gell) yaitu pada atopi dan adanya a. Kondisi yang terlalu panas, stres,
antigen spesifik.
alkohol, dan agen fisik. Peralatan
b. Penggunaan antibiotik penisilin, 1. Tabung dan masker oksigen
aspirin, NSAID, dan ACE inhibitor.
c. Agen lain yang diperkirakan dapat 2. Alat resusitasi
menyebabkan urtikaria. 3. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
2. Pemberian farmakoterapi dengan: darah, urin dan feses rutin.
a. Antihistamin oral nonsedatif, misalnya Prognosis
loratadin 1 x 10 mg per hari selama 1
minggu. Prognosis pada umumnya bonam dengan tetap
menghindari faktor pencetus.
b. Bila tidak berhasil dikombinasi
dengan Hidroksisin 3 x 25 mg atau Referensi
Difenhidramin 4 x 25-50 mg per hari
selama 1 minggu. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
c. Apabila urtikaria karena dingin, Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
diberikan Siproheptadin 3 x 4 mg per Universitas Indonesia.
hari lebih efektif selama 1 minggu terus
menerus. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
d. Antipruritus topikal: cooling antipruritic Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
lotion, seperti krim menthol 1% atau 2% Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
selama 1 minggu terus menerus. Elsevier.
e. Apabila terjadi angioedema atau 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
urtikaria generalisata, dapat diberikan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Prednison oral 60-80 mg mg per hari Jakarta.
dalam 3 kali pemberian selama 3 hari
dan dosis diturunkan 5-10 mg per hari.
Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga diberitahu mengenai:
1. Prinsip pengobatan adalah identifikasi
dan eliminasi faktor penyebab urtikaria.
2. Penyebab urtikaria perlu menjadi
perhatian setiap anggota keluarga.
3. Pasien dapat sembuh sempurna.
Kriteria Rujukan
1. Rujukan ke dokter spesialis bila ditemukan
fokus infeksi.
2. Jika urtikaria berlangsung kronik dan
rekuren.
3. Jika pengobatan first-line therapy gagal.
4. Jika kondisi memburuk, yang ditandai
dengan makin bertambahnya patch eritema,
timbul bula, atau bahkan disertai sesak.
28. EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S07 Rash generalized
: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicament
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Tanda patognomonis
Exanthematous Drug Eruption adalah salah
satu bentuk reaksi alergi ringan pada kulit yang 1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis.
terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya 2. Kelainan dapat simetris. Tempat predileksi
sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak.
dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, Pemeriksaan Penunjang
dan terapi. Bentuk reaksi alergi merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan
lambat) menurut Coomb and Gell. Nama lainnya penunjang.
adalah erupsi makulopapular atau
Penegakan Diagnostik (Assessment)
morbiliformis.
Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Keluhan dan pemeriksaan fisik.
Gatal ringan sampai berat yang disertai Diagnosis Banding
kemerahan dan bintil pada kulit. Kelainan
muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan. Morbili
Biasanya disebabkan karena penggunaan
antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) Komplikasi
atau analgetik-antipiretik non steroid. Kelainan Eritroderma
umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan
lipat ketiak, kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gambar 11.34. Exanthematous Drug Eruption
Gejala diikuti demam subfebril, malaise, dan
nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu setelah
mulai mengkonsumsi obat, jamu, atau bahan-
bahan yang dipakai untuk diagnostik (contoh:
bahan kontras radiologi).
Faktor Risiko
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis,
dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan
sinar matahari, atau kontak obat pada kulit
terbuka).
2. Riwayat atopi diri dan keluarga. Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
3. Alergi terhadap alergen lain.
Penatalaksanaan
4. Riwayat alergi obat sebelumnya.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Prinsip tatalaksana adalah menghentikan
obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan
Sederhana (Objective)
menyembuh bila obat penyebabnya dapat
Pemeriksaan Fisik diketahui dan segera disingkirkan.
Farmakoterapi yang diberikan, yaitu: b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan Uji
provokasi
1. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 30 3. Bila tidak ada perbaikan setelah
mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian per mendapatkan pengobatan standar dan
hari selama 1 minggu.
menghindari obat selama 7 hari
2. Antihistamin sistemik:
4. Lesi meluas
a. Setirizin 2x10 mg/hari selama 7 hari
bila diperlukan, atau Peralatan
b. Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila
diperlukan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
3. Topikal: Bedak salisilat 2% dan antipruritus mendiagnosis penyakit Exanthematous Drug
(Menthol 0.5% - 1%) Eruption.

Konseling dan Edukasi Prognosis

1. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak
erupsi. mengalami komplikasi atau tidak memenuhi
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk kriteria rujukan.
membuat catatan kecil di dompetnya Referensi
tentang alergi obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
pasien bisa sembuh dengan adanya Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kriteria Rujukan
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
berkembang menjadi Sindroma Steven Elsevier.
Johnson.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
obat yang diduga sebagai penyebab : Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
a. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan Jakarta.
dengan

29. FIXED DRUG ERUPTION


No. ICPC-2 No. ICD-10 : A85 Adverse effect medical agent
: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu
Hasil Anamnesis (Subjective)
jenis erupsi obat yang sering dijumpai.
Darinamanya dapat disimpulkan bahwa Keluhan
kelainan akan terjadi berkali-kali pada tempat
yang sama. Mempunyai tempat predileksi dan Pasien datang keluhan kemerahan atau luka
lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous pada sekitar mulut, bibir, atau di alat kelamin,
Drug Eruption. FDE yang terasa panas. Keluhan timbul setelah
mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi
penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat, Pemeriksaan penunjang: Biasanya tidak
Trimetoprim, dan analgetik. diperlukan
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup Penegakan Diagnostik (Assessment)
riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu.
Kelainan timbul secara akut atau dapat juga Diagnosis Klinis
beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan
Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat pemeriksaan
disertai dengan demam yang subfebril.
Diagnosis Banding
Faktor Risiko
Pemfigoid bulosa, Selulitis, Herpes simpleks , SJS
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, (Steven Johnson Syndrome)
dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan
sinar matahari, atau kontak obat pada kulit Komplikasi
terbuka)
Infeksi sekunder
2. Riwayat atopi diri dan keluarga
3. Alergi terhadap alergen lain Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
4. Riwayat alergi obat sebelumnya
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan
sederhana (Objective)
obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat
Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Lesi akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
khas: diketahui dan segera disingkirkan.
1. Vesikel, bercak Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang
2. Eritema dapat diberikan, yaitu:
3. Lesi target berbentuk bulat lonjong atau
1. Kortikosteroid sistemik, misalnya
numular
prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam
4. Kadang-kadang disertai erosi
3 kali pemberian per hari
5. Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan
di tepinya, terutama pada lesi berulang 2. Antihistamin sistemik untuk mengurangi
rasa gatal; misalnya Hidroksisin tablet 10
Tempat predileksi:
mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau
1. Sekitar mulut Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
2. Daerah bibir
3. Pengobatan topikal
3. Daerah penis atau vulva
a. Pemberian topikal tergantung dari
Gambar 11.35 Fixed Drug Eruption (FDE)
keadaan lesi, bila terjadi erosi atau
madidans dapat dilakukan kompres
NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas
kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa
selama 10-15 menit. Kompres dilakukan
3 kali sehari sampai lesi kering.
b. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian
topikal kortikosteroid potensi ringan-
sedang, misalnya Hidrokortison krim
2,5% atau Mometason furoat krim
0,1%.
Konseling dan Edukasi Peralatan
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk mendiagnosis penyakit Fixed Drug Eruption.
membuat catatan kecil di dompetnya
tentang alergi obat yang dideritanya. Prognosis
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak
pasien bisa sembuh dengan adanya mengalami komplikasi atau tidak memenuhi
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila kriteria rujukan.
alergi berulang terjadi kelainan yang sama,
pada lokasi yang sama. Referensi

Kriteria Rujukan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan Universitas Indonesia.
berkembang menjadi Sindroma Steven
Johnson. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
obat yang diduga sebagai penyebab: Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
a. Uji tempel tertutup, bila negatif Elsevier.
lanjutkan dengan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan Kelamin.2011. Pedoman Pelayanan Medik.
c. Uji provokasi. Jakarta.
3. Bila tidak ada perbaikan setelah
mendapatkan pengobatan standar selama
7 hari dan menghindari obat.
4. Lesi meluas.

30. CUTANEUS LARVA MIGRANS


No. ICPC-2 : D96 Worms/other parasites
No. ICD-10 : B76.9 Hookworm disease, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption)
Keluhan
merupakan kelainan kulit berupa peradangan
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul Pasien mengeluh gatal dan panas pada tempat
dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva infeksi. Pada awal infeksi, lesi berbentuk papul
cacing tambang yang berasal dari anjing dan yang kemudian diikuti dengan lesi berbentuk
kucing. Penularan melalui kontak langsung linear atau berkelok-kelok yang terus menjalar
dengan larva. Prevalensi Cutaneus Larva Migran memanjang. Keluhan dirasakan muncul sekitar
di Indonesia yang dilaporkan oleh sebuah empat hari setelah terpajan.
penelitian pada tahun 2012 di Kulon Progo
adalah sekitar 15%. Faktor Risiko
Orang yang berjalan tanpa alas kaki, atau sering
berkontak dengan tanah atau pasir.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Terapi farmakologi dengan Albendazol
Sederhana (Objective) 400 mg sekali sehari, selama 3 hari.
Pemeriksaan Fisik Patognomonis 3. Untuk mengurangi gejala pada penderita
dapat dilakukan penyemprotan Etil Klorida
Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar pada lokasi lesi, namun hal ini tidak
dan tersusun linear atau berkelok-kelok membunuh larva.
meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per
hari. 4. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi
sesuai dengan tatalaksana pioderma.
Predileksi penyakit ini terutama pada daerah
telapak kaki, bokong, genital dan tangan. Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan
penyakit dengan menjaga kebersihan diri.
Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada.
Kriteria Rujukan
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Pasien dirujuk apabila dalam waktu 8 minggu
Diagnosis Klinis tidak membaik dengan terapi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Peralatan
dan pemeriksaan fisik.
Lup
Diagnosis Banding
Prognosis
Dermatofitosis, Dermatitis, Dermatosis
Prognosis umumnya bonam. Penyakit ini bersifat
Komplikasi self-limited, karena sebagian besar larva mati
Dapat terjadi infeksi sekunder. dan lesi membaik dalam 2-8 minggu, jarang
hingga 2 tahun.
Gambar 11.36. Cutaneous Larva Migrans
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
Penatalaksanaan
1. Memodifikasi gaya hidup dengan 4. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A.
menggunakan alas kaki dan sarung 2012. Risk factors of hookworm related
tangan pada saat melakukan aktifitas yang cutaneous larva migrans and definitive
berkontak dengan tanah, seperti berkebun host
dan lain-lain.
31. LUKA BAKAR DERAJAT I DAN II
No. ICPC-2 : S14burn/scald
No. ICD-10 : T30 burn and corrosion, body region unspecified
T31 burns classified according to extent of body surface involved
T32 corrosions classified according to extent of body surface involved
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai


Luka bakar (burn injury) adalah kerusakan kulit proses eksudasi. Terdapat bula yang berisi
yang disebabkan kontak dengan sumber panas cairan eksudat dan nyeri karena ujung-
seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan ujung saraf sensorik yang teriritasi.
radiasi. Dibedakan atas 2 bagian :
Hasil Anamnesis (Subjective) a. Derajat II dangkal/superficial (IIA). Kerusakan
mengenai bagian epidermis dan lapisan
Keluhan atas dari corium/dermis.
Pada luka bakar derajat I paling sering b. Derajat II dalam/deep (IIB). Kerusakan
disebabkan sinar matahari. Pasien hanya mengenai hampir seluruh bagian dermis
mengeluh kulit teras nyeri dan kemerahan. Pada dan sisa-sisa jaringan epitel masih sedikit.
luka bakar derajat II timbul nyeri dan bula. Organ-oran kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang tinggal sedikit sehingga penyembuhan
Sederhana (Objective) terjadi lebih dari satu bulan dan disertai
Pemeriksaan Fisik parut hipertrofi.
1. Luka bakar derajat I, kerusakan terbatas Gambar 11.38 Luka Bakar Superficial Partial
pada lapisan epidermis (superfisial), kulit Thickness (IIa). Memucat dengan penekanan,
hanya tampak hiperemi berupa eritema biasanya berkeringat
denganperabaan hangat, tidak dijumpai
adanya bula, terasa nyeri karena ujung-
ujung saraf sensorik teriritasi.
Gambar 11.37 Luka bakar dangkal (superfisial)

Gambar 11.39 Luka Bakar Deep Partial


Thickness (IIb) Permukaan putih, tidak memucat
dengan penekanan

Pada daerah badan dan lengan kanan, luka


bakar jenis ini biasanya memucat dengan
penekanan
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian
Pemeriksaan Penunjang : - telinga, mata, kaki dan genitalia/
perinerium
Pemeriksaan darah lengkap : -
e. Luka bakar dengan cedera inhalasi,
Menentukan luas luka bakar berdasarkan rumus disertai trauma lain.
“rule of nine”
Penatalaksanaan (Plan)
Gambar 11.40 Luas luka bakar “Rule of nine”
Penatalaksanaan
1. Luka bakar derajat 1 penyembuhan terjadi
secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Penatalaksanaan luka bakar derajat II
tergantung luas luka bakar.
Pada penanganan perbaikan sirkulasi pada luka
bakar dikenal beberapa formula, salah satunya
yaitu Formula Baxter sebagai berikut:
1. Hari Pertama:
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x
% luas bakar per 24 jam
Anak: Ringer Laktat : Dextran = 17 : 3

Penegakan Diagnostik (Assessment) 2 cc x berat badan x % luas luka


ditambah kebutuhan faali.
Diagnosis Klinis
Kebutuhan faali :
Diagnosis luka bakar derajat I atau II berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. < 1 Tahun : berat badan x 100 cc
1-3 Tahun : berat badan x 75 cc
Kriteria berat ringannya luka bakar dapat 3-5 Tahun : berat badan x 50 cc
dipakai ketentuan berdasarkan American Burn
Association, yaitu sebagai berikut: ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam
pertama.
1. Luka Bakar Ringan ½ diberikan 16 jam berikutnya.
a. Luka bakar derajat II < 15%
b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak- 2. Hari kedua
anak
Dewasa : ½ hari I;
c. Luka bakar derajat III < 2%
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
2. Luka Bakar Sedang
a. Luka bakar derajat II 15-25% pada Formula cairan resusitasi ini hanyalah perkiraan
orang dewasa kebutuhan cairan, berdasarkan perhitungan
b. Luka bakar II 10-25% pada anak-anak pada waktu terjadinya luka bakar, bukan pada
c. Luka bakar derajat III < 10% waktu dimulainya resusitasi. Pada kenyataannya,
3. Luka Bakar Berat penghitungan cairan harus tetap disesuaikan
a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih dengan respon penderita. Untuk itu selalu perlu
pada orang dewasa dilakukan pengawasan kondisi penderita seperti
b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih keadaan umum, tanda vital, dan produksi urin
pada anak-anak dan lebih lanjut bisa dilakukan pemasangan
c. Luka bakar derajat II 10% atau lebih monitor EKG untuk memantau irama jantung
d. Luka bakar mengenai tangan, wajah, sebagai tanda awal terjadinya hipoksia,
gangguan elektrolit dan keseimbangan asam Prognosis
basa.
Prognosis luka bakar derajat 1 umumnya bonam,
Pemberian antibiotik spektrum luas pada luka namun derajat 2 dapat dubia ad bonam.
bakar sedang dan berat.
Referensi
Komplikasi Jaringan parut
1. Doherty, G.M. 2006. Current surgical
Konseling dan Edukasi diagnosis and & treatment. United State of
America. Lange Medical Publication.
Pasien dan keluarga menjaga higiene dari luka
2 Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio).
dan untuk mempercepat penyembuhan, jangan
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/
sering terkena air.
matkul/Ilmu%20Kedokte ran%20
Kriteria Rujukan Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20
PBL%20IIa%202007- 2008/luka%20
Rujukan dilakukan pada luka bakar sedang dan bakar%20akut%20text.pdf
berat 3. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku
Peralatan Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Infus set, peralatan laboratorium untuk
pemeriksaan darah lengkap

32. ULKUS PADA TUNGKAI


No. ICPC-2 No. ICD-10 : S97Chronic Ulcer Skin
: I83.0 Varicose veins of lower extremities with ulcer
L97 Ulcer of lower limb, notelsewhere classified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan satu penyebab rusaknya pembuluh darah.


Ulkus pada tungkai adalah penyakit arteri, Pembagian ulkus kruris dibagi ke dalam empat
vena, kapiler dan pembuluh darah limfe yang golongan yaitu, ulkus tropikum, ulkus varikosus,
dapat menyebabkan kelainan pada kulit. ulkus arterial dan ulkus neurotrofik.
Insiden penyakit ini meningkat seiring dengan Hasil Anamnesis (Subjective)
bertambahnya usia. Di negara tropis, insidens
ulkus kruris lebih kurang 2% dari populasi dan Keluhan
didominasi oleh ulkus neurotropik dan ulkus
Pasien datang dengan luka pada tungkai bawah.
varikosum. Wanita lebih banyak terserang ulkus
Luka bisa disertai dengan nyeri atau tanpa
varikosum daripada pria, dengan perbandingan
nyeri. Terdapat penyakit penyerta lainnya yang
2:1, dengan usia rata-rata di atas 37 tahun untuk
mendukung kerusakan pembuluh darah dan
prevalensi varises.
jaringan saraf perifer.
Trauma, higiene yang buruk, gizi buruk,
Anamnesa:
gangguan pada pembuluh darah dan kerusakan
1. Dapat ditanyakan kapan luka pertama kali
saraf perifer dianggap sebagai penyebab yang
terjadi. Apakah pernah mengalami hal yang
paling sering. Kerusakan saraf perifer biasanya
sama di daerah yang lain.
terjadi pada penderita diabetes mellitus dan
2. Perlu diketahui apakah pernah mengalami
penderita kusta. Hipertensi juga dikaitkan
fraktur tungkai atau kaki. Pada tungkai
sebagai salah
perlu diperhatikan apakah ada vena tungkai Pemeriksaan penunjang
superfisial yang menonjol dengan tanda
inkompetensi katup. 1. Pemeriksaan darah lengkap
3. Perlu diketahui apakah penderita 2. Urinalisa
mempunyai indikator adanya penyakit 3. Pemeriksaan kadar gula dan kolesterol
yang dapat memperberat kerusakan pada 4. Biakan kuman
pembuluh darah. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko: usia penderita, berat badan, jenis Diagnosis klinis
pekerjaan, penderita gizi buruk, mempunyai
higiene yang buruk, penyakit penyerta yang bisa Dapat ditegakkan dengan anamnesis,
menimbulkan kerusakan pembuluh darah. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
Pemeriksaan biakan kuman pada ulkus sangat
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang membantu dalam diagnosa dan pemberian
Sederhana (Objective) terapi.
Pemeriksaan fisik Tabel 11.2. Diagnosa klinis ulkus pada tungkai
Gejala Klinis
Gejala klinis keempat tipe ulkus dapat di lihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 11.1 Gejala klinis ulkus pada tungkai

Diagnosis Banding
Keadaan dan bentuk luka dari keempat
jenis ulkus ini sulit di bedakan pada stadium
lanjut. Pada ulkus tropikum yang kronis dapat
menyerupai ulkus varikosum atau ulkus
arteriosum.
Gambar : 11.41 Ulkus Varikosum a. Selalu menjaga kaki dalam keadaan
bersih.
b. Membersihkan dan mencuci kaki setiap
hari dengan air mengeringkan
dengan sempurna dan hati-hati
terutama diantara jari-jari kaki.
c. Memakai krim kaki yang baik pada
kulit yang kering atau tumit yang retak-
retak. Tidak memakai bedak, sebab ini
akan menyebabkan kering dan retak-
retak.
d. Menggunting kuku, lebih mudah
dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) lembut.
e. Menghindari penggunaan air panas
Penatalaksanaan atau bantal panas.
f. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki,
1. Non medikamentosa
termasuk di pasir.
a. Perbaiki keadaan gizi dengan makanan
yang mengandung kalori dan protein Tabel 11.3. Penatalaksanaan terapi pada ulkus
tinggi, serta vitamin dan mineral. tungkai
b. Hindari suhu yang dingin
c. Hindari rokok
d. Menjaga berat badan
e. Jangan berdiri terlalu lama dalam
melakukan pekerjaan
2. Medikamentosa
Pengobatan yang akan dilakukan
disesuaikan dengan tipe dari ulkus tersebut.
a. Pada ulkus varikosum lakukan terapi
dengan meninggikan letak tungkai saat
berbaring untuk mengurangi hambatan
aliran pada vena, sementara untuk
varises yang terletak di proksimal dari
ulkus diberi bebat elastin agar dapat
membantu kerja otot tungkai bawah
memompa darah ke jantung.
b. Pada ulkus arteriosum, pengobatan
untuk penyebabnya dilakukan konsul
ke bagian bedah.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi perawatan kaki
2. Olah raga teratur dan menjaga berat badan
ideal
3. Menghindari trauma berulang, trauma dapat
berupa fisik, kimia dan panas yang biasanya Komplikasi
berkaitan dengan aktivitas atau jenis 1. Hematom dan infeksi pada luka
pekerjaan.
2. Thromboembolisme (resiko muncul akibat
4. Menghentikan kebiasaan merokok.
dilakukan pembedahan)
5. Merawat kaki secara teratur setiap hari,
dengan cara : 3. Terjadi kelainan trofik dan oedem secara
spontan Referensi
4. Resiko amputasi jika keadaan luka
memburuk 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Kriteria Rujukan Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Respon terhadap perawatan ulkus tungkai
akan berbeda. Hal ini terkait lamanya ulkus, 2. Sudirman, U. 2002. Ulkus Kulit dalam
luas dari ulkus dan penyebab utama. Ulkus Kulit. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta.
Hipokrates.
Prognosis
3. Cunliff, T. Bourke, J. Brown Graham R. 2012.
1. Ad vitam : Dubia Dermatologi Dasar Untuk Praktik Klinik.
2. Ad functionam : Dubia Jakarta. EGC.
3. Ad sanationam : Dubia

33. SINDROM STEVENS-JOHNSON


No. ICPC-2: S99 Skin disease other
No. ICD-10: L51.1 Bullous erythema multiforme
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan
1. Mengkonsumsi obat-obatan yang dicurigai
sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
dapat mengakibatkan SSJ. Beberapa
di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
obat yang yang berisiko tinggi dapat
yang bervariasi dari ringan hingga berat. SSJ
menyebabkan terjadinya SSJ antara lain
merupakan bentuk minor dari toxic epidermal
allopurinol, trimethoprim- sulfamethoxazol,
necrolysis (TEN) dengan pengelupasan kulit
antibiotik golongan sulfonamid,
kurang dari 10% luas permukaan tubuh. SSJ
aminopenisillin, sefalosporin, kuinolon,
menjadi salah satu kegawatdaruratan karena
karbamazepin, fenitoin, phenobarbital,
dapat berpotensi fatal. Angka mortalitas
antipiretik / analgetik (salisil/pirazolon,
SSJ berkisar 1-5% dan lebih meningkat pada
metamizol, metampiron dan parasetamol)
pasien usia lanjut. Insiden sindrom ini semakin
dan NSAID. Selain itu berbagai penyebab
meningkat karena salah satu penyebabnya
dikemukakan di pustaka, misalnya: infeksi
adalah alergi obat dan sekarang obat-obatan
(bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma,
cenderung dapat diperoleh bebas.
paska-vaksinasi, radiasi dan makanan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
2. Sistem imun yang lemah, misalnya pada
Keluhan HIV/AIDS.
Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai 3. Riwayat keluarga menderita SSJ.
berat. Pada fase akut dapat disertai gejala
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
prodromal berupa:demam tinggi, malaise,
Sederhana (Objective)
nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan,
arthralgia. Gejala prodromal selanjutnya akan Pemeriksaan Fisik
berkembang ke arah manifestasi
mukokutaneus. SSJ memiliki trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Dapat berupa eritema, papul, purpura, 3. Pemphigus bullosa
vesikel dan bula yang memecah kemudian 4. Staphyloccocal Scalded Skin Syndrome
terjadi erosi luas. Lesi yang spesifik berupa (SSSS)
lesi target. Pada SSJ berat maka kelainannya
generalisata. Komplikasi
Ciri khas lesi di kulit adalah: Komplikasi tersering adalah bronkopneumonia,
a. ruam diawali dengan bentuk makula dapat pula terjadi gangguan elektrolit hingga
yang berubah menjadi papul, vesikel, syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan.
bula, plakurtikaria atau eritema
konfluens Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
b. tanda patognomoniknya adalah lesi
target Penatalaksanaan
c. berbeda dengan lesi eritema 1. Bila keadaan umum penderita cukup
multiform, lesi SSJ hanya memiliki baik dan lesi tidak menyeluruh dapat
2 zona warna, yaitubagian tengah dapat diberikan metilprednisolon 30-40 mg/hari.
berupa vesikel,purpura atau nekrotik 2. Mengatur keseimbangan cairan/elektrolit
yang dikelilingi oleh tepiberbentuk dan nutrisi.
makular eritema.
d. lesi yang menjadi bula akan pecah Setelah dilakukan penegakan diagnosis perlu
menimbulkan kulit yang terbuka yang segera dilakukan penentuan tingkat keparahan
akan rentanterinfeksi dan prognosis dengan menggunakan sistem
e. lesi urtikaria tidak gatal skoring SCORTEN.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium:
tersering adalah pada mulut (90-100%), Pasien dengan skoring SCORTEN 3 atau lebih
genitalia (50%), lubang hidung (8%) dan sebaiknya segera ditangani di unit perawatan
anus (4%). Kelainan berupa vesikel dan intensif.
bula yang pecah dan mengakibatkan erosi, Tabel 11.5. SCORTEN (Skor keparahan penyakit)
ekskoriasi, dan krusta kehitaman.
pada Sindrom
3. Kelainan mata, terjadi pada 80% di antara
semua kasus, tersering adalah konjugtivitis
kataralis, konjungtivitis purulen, perdarahan,
simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan
iridosiklitis.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, dapat
dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap,
yang menunjukkan hasil leukositosis yang
menunjukkan adanya infeksi atau eosinofilia
kemungkinan adanya faktor alergi.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Konseling dan Edukasi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan Pasien dan keluarga diberikan penjelasan
histopatologi kulit. mengenai penyebab SSJ sehingga faktor
Diagnosis Banding pencetus SSJdapat dihindari di kemudian hari.

1. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Kriteria Rujukan


2. Pemphigus vulgaris Berdasarkan skoring SCORTEN pasien
dengan skor 3 atau lebih harus dirujuk ke
fasiltas pelayanan kesehatan sekunder untuk
mendapatkan perawatan intensif
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
darah lengkap.
Prognosis
1. Bila penangan tepat dan segera maka
prognosis cukup baik.
2. Prognosis malam bila terdapat purpura
luas, leukopenia, dan bronkopneumonia.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2002. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal
necrolysis and Stevens- Johnson syndrome.
Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
3. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis
and Stevens JohnsonSyndrome: Our Current
Understanding. Allergology International,55,
9-16
L. METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI

1. OBESITAS
No. ICPC-2
: T82 obesity, T83 overweight
No. ICD-10
: E66.9 obesity unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
penambahan berat badan dan retensi
Obesitas merupakan keadaan dimana natrium), usia (misalnya menopause),
seseorang memiliki kelebihan lemak (body fat) kejadian tertentu (misalnya berhenti
sehingga orang tersebut memiliki risiko merokok, berhenti dari kegiatan olahraga,
kesehatan. Riskesdas 2013, prevalensi dsb).
penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
2013 sebanyak 19,7% lebih tinggi dari tahun
Sederhana (Objective)
2007 (13,9%) dan
tahun 2010 (7,8%). Sedangkan pada perempuan Pemeriksaan Fisik
di tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan 1. Pengukuran Antropometri (BB, TB dan LP)
dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen Indeks Masa Tubuh (IMT/Body mass index/
dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari BMI) menggunakan rumus Berat Badan
tahun 2010 (15,5%).WHO, dalam data terbaru Mei (Kg)/ Tinggi Badan kuadrat (m2).
2014, obesitas merupakan faktor risiko utama Pemeriksaan fisik lain sesuai keluhan untuk
untuk penyakit tidak menular seperti penyakit menentukan telah terjadi komplikasi atau
kardiovaskular (terutama penyakit jantung dan risiko tinggi
stroke), diabetes, gangguan muskuloskeletal,
beberapa jenis kanker (endometrium, payudara, 2. Pengukuran lingkar pinggang (pada
dan usus besar). Dari data tersebut, pertengahan antara iga terbawah dengan
peningkatan penduduk dengan obesitas, secara kristailiaka, pengukuran dari lateral dengan
langsung akan meningkatkan penyakit akibat pita tanpa menekan jaringan lunak).Risiko
kegemukan. meningkat bila laki-laki >85 cm dan
perempuan >80cm.
Hasil Anamnesis (Subjective)
3. Pengukuran tekanan darah untuk
Keluhan menentukan risiko dan komplikasi, misalnya
Biasanya pasien datang bukan dengan keluhan hipertensi.
kelebihan berat badan namun dengan adanya Pemeriksaan Penunjang
gejala dari risiko kesehatan yang timbul.
Untuk menentukan risiko dan komplikasi, yaitu
Penyebab pemeriksaan kadar gula darah, profil lipid, dan
asam urat.
1. Ketidakseimbangnya asupan energi dengan
tingkatan aktifitas fisik. Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan Diagnosis Klinis
antara lain kebiasaan makan berlebih, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
genetik, kurang aktivitas fisik, faktor pemeriksaan fisik dan penunjang.
psikologis dan stres, obat-obatan (beberapa
obat seperti steroid, KB hormonal, dan anti-
depresan memiliki efek samping
Tabel 12.1 Kategori obesitas Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Non –Medikamentosa
1. Penatalaksanaan dimulai dengan
kesadaran pasien bahwa kondisi sekarang
adalah obesitas, dengan berbagai risikonya
dan berniat untuk menjalankan program
penurunan berat badan
2. Diskusikan dan sepakati target pencapaian
dan cara yang akan dipilih (target rasional
Diagnosis Banding: adalah penurunan 10% dari BB sekarang)
1. Keadaan asites atau edema 3. Usulkan cara yang sesuai dengan faktor
2. Masa otot yang tinggi, misalnya pada risiko yang dimiliki pasien, dan jadwalkan
olahragawan pengukuran berkala untuk menilai
Diagnosis klinis mengenai kondisi kesehatan keberhasilan program
yang berasosiasi dengan obesitas: 4. Penatalaksanaan ini meliputi perubahan
1. Hipertensi pola makan (makan dalam porsi kecil namun
2. DM tipe 2 sering) dengan mengurangi konsumsi lemak
3. Dislipidemia dan kalori, meningkatkan latihan fisik dan
4. Sindrom metabolik bergabung dengan kelompok yang bertujuan
5. Sleep apneu obstruktif sama dalam mendukung satu sama lain dan
6. Penyakit sendi degeneratif diskusi hal-hal yang dapat membantu dalam
pencapaian target penurunan berat badan
Komplikasi ideal.
Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit 5. Pengaturan pola makan dimulai dengan
kardiovakular, Sleep apnoe, abnormalitas mengurangi asupan kalori sebesar 300-500
hormon reproduksi, Low back pain, perlemakan kkal/hari dengan tujuan untuk menurunkan
hati berat badan sebesar ½-1 kg per minggu.
Obesitas dikelompokkan menjadi obesitas risiko 6. Latihan fisik dimulai secara perlahan dan
tinggi bila disertai dengan 3 atau lebih keadaan ditingkatkan secara bertahap intensitasnya.
di bawah ini: Pasien dapat memulai dengan berjalan
selama 30 menit dengan jangka waktu
1. Hipertensi
5 kali seminggu dan dapat ditingkatkan
2. Perokok
intensitasnya selama 45 menit dengan
3. Kadar LDL tinggi
jangka waktu 5 kali seminggu.
4. Kadar HDL rendah
5. Kadar gula darah puasa tidak stabil Konseling dan Edukasi
6. Riwayat keluarga serangan jantung usia
muda 1. Perlu diingat bahwa penanganan obesitas
7. Usia (laki-laki > 45 thn, atau perempuan > 55 dan kemungkinan besar seumur hidup.
thn). Adanya motivasi dari pasien dan keluarga
untuk menurunkan berat badan hingga
mencapai BB ideal sangat membantu
keberhasilan terapi.
2. Menjaga agar berat badan tetap normal berat badan, maka pasien dirujuk ke
dan mengevaluasi adanya penyakit spesialis penyakit dalam untuk memperoleh
penyerta. obat-obatan penurun berat badan
3. Membatasi asupan energi dari lemak total Prognosis
dan gula.
Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai
4. Meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, obesitas. Risiko akan meningkat seiring dengan
serta kacang- kacangan, biji-bijian dan tingginya kelebihan berat badan.
kacang-kacangan.
Referensi
5. Terlibat dalam aktivitas fisik secara teratur
(60 menit sehari untuk anak-anak dan 150 1. Henthorn, T.K. Anesthetic Consideration in
menit per minggu untuk orang dewasa) Morbidly Obese Patients. [cite 2010 June
12] Available from: http://cucrash.com/
Kriteria Rujukan Handouts04/MorbObese Henthorn.pdf.
1. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit 2. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. Dalam: Buku
dalam bila pasien merupakan obesitas Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed. V.
dengan risiko tinggi dan risiko absolut Jakarta. 2006. Hal. 1973-83.
2. Jika sudah dipercaya melakukan modifikasi 3. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.
gaya hidup (diet yang telah diperbaiki, Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter
aktifitas fisik yang meningkat dan perubahan Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI.
perilaku) selama 3 bulan, dantidak 200. (Trisna, 2008)
memberikanrespon terhadap penurunan

2. TIROTOKSIKOSIS
No. ICPC-2: T85 Hipertiroidisme/tirotoksikosis
No. ICD-10: E05.9 Tirotoksikosis unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Janin yang dikandungnya dapat mengalami
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis tirotoksikosis pula, dan keadaaan hepertiroid
akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar pada janin dapat menyebabkan retardasi
disirkulasi. Data Nasional dalam Riskesdas 2013, pertumbuhanm kraniosinostosis, bahkan
hipertiroid di Indonesia, terdiagnosis dokter kematian janin.
sebesar 0,4%. Prevalensi hipertiroid tertinggi di
Hasil Anamnesis (Subjective)
DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing
0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat (0,5%). Keluhan
Tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori, yaitu
yang berhubungan dengan hipertiroidisme dan Pasien dengan tirotoksikosis memiliki gejala
yang tidak berhubungan. antara lain:

Tirotoksikosis dapat berkembang menjadi krisis 1. Berdebar-debar


tiroid yang dapat menyebabkan kematian. 2. Tremor
Tirotoksikosis yang fatal biasanya disebabkan 3. Iritabilitas
oleh autoimun Grave’s disease pada ibu hamil. 4. Intoleran terhadap panas
5. Keringat berlebihan
6. Penurunan berat badan bebas di dalam plasma (serum free T4 & T3
7. Peningkatan rasa lapar (nafsu meningkat dan TSH sedikit hingga tidak ada).
makan bertambah)
8. Diare Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan
9. Gangguan reproduksi (oligomenore/ secara klinis melaui anamnesis dan pemeriksaan
amenore dan libido turun) fisik tanpa pemeriksaan laboratorium,
10. Mudah lelah namun untuk menilai kemajuan terapi tanpa
pemeriksaan penunjang sulit dideteksi.
11. Pembesaran kelenjar tiroid
12. Sukar tidur Diagnosis Banding
13. Rambut rontok
1. Hipertiroidisme primer: penyakir Graves,
Faktor Risiko struma multinudosa toksik, adenoma
toksik, metastase karsinoma tiroid
Memiliki penyakit Graves (autoimun
fungsional, struma ovari,mutasi reseptor
hipertiroidisme) atau struma multinodular
TSH, kelebihan iodium (fenomena Jod
toksik
Basedow).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Tirotoksikosis tanpa hipotiroidisme:
Sederhana (Objective) tiroiditis sub akut, tiroiditis silent, destruksi
tiroid, (karena aminoidarone, radiasi, infark
Pemeriksaan Fisik adenoma) asupan hormon tiroid berlebihan
1. Benjolan di leher depan (tirotoksikosis faktisia)
2. Takikardia 3. Hipertiroidisme sekunder: adenoma
3. Demam hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom
4. Exopthalmus resistensi hormon tiroid, tumor yang
5. Tremor mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional.
4. Anxietas
Spesifik untuk penyakit Grave :
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Oftalmopati (spasme kelopak mata atas
dengan retraksi dan gerakan kelopak Penatalaksanaan
mata yang lamban, eksoftalmus dengan 1. Pemberian obat simptomatis
proptosis, pembengkakan supraorbital dan 2. Propanolol dosis 40-80 mg dalam 2-4 dosis.
infraorbital) 3. PTU 300-600 mg dalam 3 dosis bila klinis
2. Edema pretibial Graves jelas
3. Kemosis,
4. Ulkus kornea Rencana Tindak Lanjut
5. Dermopati
1. Diagnosis pasti dan penatalaksanaan
6. Akropaki
awal pasien tirotoksikosis dilakukan pada
7. Bruit
pelayanan kesehatan sekunder
Pemeriksaan Penunjang 2. Bila kondisi stabil pengobatan dapat
dilanjutkan di fasilitas pelayanan tingkat
1. Darah rutin, SGOT, SGPT, gula darah sewaktu pertama.
2. EKG
Konseling dan Edukasi
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Pada pasien diberikan edukasi mengenai
Diagnosis Klinis pengenalan tanda dan gejala tirotoksikosis
Untukhipertiroidismediagnosis yang tepat 2. Anjuran kontrol dan minum obat secara
adalah dengan pemeriksaan konsentrasi teratur.
tiroksin
3. Melakukan gaya hidup sehat Referensi
Kriteria Rujukan 1. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal
Pasien dirujuk untuk penegakan diagnosis 1961-5.2006.
dengan pemeriksaan laboratorium ke layanan
sekunder. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Peralatan Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004.
EKG
Prognosis
Prognosis tergantung respon terapi, kondisi
pasien serta ada tidaknya komplikasi.

3. DIABETES MELLITUS TIPE 2


No. ICPC-2 No. ICD-10 : T90 Diabetes non-insulin dependent
: E11 Non-insulin-dependent diabetes mellitus
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 1. Polifagia


Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American 2. Poliuri
Diabetes Association (ADA) adalah kumulan 3. Polidipsi
gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat 4. Penurunan berat badan yang tidak jelas
defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan sebabnya
sekresi insulin atau kedua-duanya. Berdasarkan Keluhan tidak khas
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
terjadi peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 1. Lemah
2,1% (2013). Proporsi penduduk ≥15 tahun 2. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung
dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9%. ekstremitas)
WHO memprediksi kenaikan jumlah 3. Gatal
penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta 4. Mata kabur
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada 5. Disfungsi ereksi pada pria
tahun 2030. Senada dengan WHO, International 6. Pruritus vulvae pada wanita
Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, 7. Luka yang sulit sembuh
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM
Faktor risiko
dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta
pada tahun 2030. Meskipun terdapat 1. Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/
perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya m2)
menunjukkan adanya peningkatan jumlah 2. Riwayat penyakit DM di keluarga
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada 3. Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg
tahun 2030. atau sedang dalam terapi hipertensi)
4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL >
Hasil Anamnesis (Subjective)
4000 gram atau pernah didiagnosis DM
Keluhan Gestasional Perempuan dengan riwayat
PCOS (polycistic ovary syndrome)
5. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa 2. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
Terganggu)/TGT (Toleransi Glukosa TTGO kadar glukosa plasma 140–199 mg/dl
Terganggu) pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
6. Aktifitas jasmani yang kurang (7,8 -11,1 mmol/L)
3. HbA1C 5,7 -6,4%
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana (Objective) Komplikasi
Pemeriksaan Fisik 1. Akut: Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar
1. Penilaian berat badan non ketotik, Hipoglikemia
2. Mata : Penurunan visus, lensa mata buram 2. Kronik: Makroangiopati, Pembuluh darah
3. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan jantung, Pembuluh darah perifer, Pembuluh
mikrofilamen darah otak
3. Mikroangiopati: Pembuluh darah kapiler
Pemeriksaan Penunjang retina, pembuluh darah kapiler renal
1. Gula Darah Puasa 4. Neuropati
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial 5. Gabungan: Kardiomiopati, rentan infeksi,
3. Urinalisis kaki diabetik, disfungsi ereksi

Penegakan Diagnosis (Assessment) Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Diagnosis Klinis Penatalaksanaan


Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan
glukosa: dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
(algoritma pengelolaan DM tipe 2)
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia,
polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 Gambar 12.1 Algoritme Diagnosis Diabetes
mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma Mellitus Tipe 2
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan
waktu makan terakhir ATAU
2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma
puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan
pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes
toleransi glukosa oral (TTGO)> 200 mg/
dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa
anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan
ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) atau Gula Darah Puasa Teranggu (GDPT)
tergantung dari hasil yang diperoleh
Kriteria gangguan toleransi glukosa:
1. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara
100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l)
Gambar 12.2 Algoritma pengelolaan Diabetes Rencana Tindak Lanjut
Melitus tipe 2 tanpa komplikasi
Tindak lanjut adalah untuk pengendalian
kasus DM berdasarkan parameter berikut:
Table 12.2 Kriteria pengendalian DM
(berdasarkan konsensusDM)

Catatan: Pemilihan jenis Obat Hipoglikemik oral


(OHO) dan insulin bersifat individual tergantung Angka-angka laboratorium di atas adalah hasil
kondisi pasien dan sebaiknya mengkombinasi pemeriksaan plasma vena.
obat dengan cara kerja yang berbeda.
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari
Dosis OHO darah kapiler darah utuh dan plasma vena

Cara Pemberian OHO, terdiri dari: Konseling dan Edukasi

1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan Edukasi meliputi pemahaman tentang:
ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh
kadar glukosa darah, dapat diberikansampai
tetapi dapat dikontrol
dosis optimal.
2. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan. 2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada
3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah penderita misalnya olahraga, menghindari
makan. rokok, dan menjaga pola makan.
4. Penghambat glukosidase (Acarbose):
bersama makan suapanpertama. 3. Pemberian obat jangka panjang dengan
kontrol teratur setiap 2 minggu
Penunjang Penunjang
Perencanaan Makan
1. Urinalisis
2. Funduskopi Standar yang dianjurkan adalah makanan
3. Pemeriksaan fungsi ginjal dengan komposisi:
4. EKG 1. Karbohidrat 45 – 65 %
5. Xray thoraks 2. Protein 15 – 20 %
3. Lemak 20 – 25 % sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan
kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun,
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < harus tetap dilakukan.
300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Kriteria Rujukan
Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA
(Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi
jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, berikut:
diutamakan serat larut. 1. DM tipe 2 dengan komplikasi
Jumlah kalori basal per hari: 2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat
1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman
2. Wanita: 25 kal/kg BB Peralatan

idaman Rumus Broca:* 1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah,


darah rutin, urin rutin, ureum, kreatinin
Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 % 2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak
serta dewasa
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak
3. Monofilamen test
dikurangi 10 % lagi.
Prognosis
BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 – 110 % BB idaman Prognosis umumnya adalah dubia. Karena
BB lebih : 110 – 120 % BB idaman penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad
Gemuk : >120 % BB idaman vitam umumnya adalah dubia ad bonam,
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari): namun quo ad fungsionam dan sanationamnya
adalah dubia ad malam.
1. Status gizi:
Referensi
a. BB gemuk - 20 %
b. BB lebih - 10 % 1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
c. BB kurang + 20 % Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta:
2. Umur > 40 tahun : -5% Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
3. Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): Penyakit Dalam FKUI; 2006.
+ (10 s/d 30 %) 2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
4. Aktifitas: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
a. Ringan + 10 % (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
b. Sedang + 20 % 2006)
c. Berat + 30 %
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
5. Hamil: FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan
a. trimester I, II + 300 kal Diabetes Mellitus pada Layanan Primer,
b. trimester III / laktasi + 500 kal ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Indonesia FKUI,2012)
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur
(3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-60
menit minimal 150 menit/minggu intensitas
4. HIPERGLIKEMIA HIPEROSMOLAR NON KETOTIK
No. ICPC-2: A91 Abnormal result invetigation NOS
No. ICD-10: R73.9 Hyperglycaemia unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
penyakit Cushing.
Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) 4. Sering disebabkan obat-obatan antara
merupakan komplikasi akut pada DM tipe 2 lain Tiazid, Furosemid, Manitol, Digitalis,
berupa peningkatan kadar gula darah yang Reserpin, Steroid, Klorpromazin, Hidralazin,
sangat tinggi (>600 mg/dl-1200 mg/dl) dan Dilantin, Simetidin, dan Haloperidol
ditemukan tanda- tanda dehidrasi tanpa disertai (neuroleptik).
gejala asidosis. HHNK biasanya terjadi pada
orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit 5. Mempunyai faktor pencetus, misalnya
penyerta dengan asupan makanan yang kurang. penyakit kardiovaskular, aritmia, perdarahan,
gangguan keseimbangan cairan,
Faktor pencetus serangan antara lain: infeksi,
ketidakpatuhan dalam pengobatan, DM tidak pankreatitis, koma hepatik, dan operasi.
terdiagnosis, dan penyakit penyerta lainnya. Dari anamnesis keluarga biasanya faktor
penyebab pasien datang ke rumah sakit adalah
Hasil Anamnesis (Subjective)
poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, dan
Keluhan penurunan kesadaran.
1. Lemah Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan
2. Gangguan penglihatan Penunjang
3. Mual dan muntah
Pemeriksaan Fisik
4. Keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,
hemiparesis, kejang atau koma. 1. Pasien apatis sampai koma
2. Tanda-tanda dehidrasi berat seperti: turgor
Secara klinis HHNK sulit dibedakan dengan
buruk, mukosa bibir kering, mata cekung,
ketoasidosis diabetik terutama bila hasil
perabaan ekstremitas yang dingin, denyut
laboratorium seperti kadar gula darah, keton, dan
nadi cepat dan lemah.
keseimbangan asam basa belum ada hasilnya.
3. Kelainan neurologis berupa kejang
Untuk menilai kondisi tersebut maka dapat umum, lokal, maupun mioklonik, dapat
digunakan acuan, sebagai berikut: juga terjadi hemiparesis yang bersifat
reversible dengan koreksi defisit cairan
1. Sering ditemukan pada usia lanjut, yaitu 4. Hipotensi postural
usia lebih dari 60 tahun, semakin muda 5. Tidak ada bau aseton yang tercium dari
semakin berkurang, dan belum pernah pernapasan
ditemukan pada anak. 6. Tdak ada pernapasan Kussmaul. Pemeriksaan
2. Hampir separuh pasien tidak mempunyai Penunjang Pemeriksaaan kadar gula darah
riwayat DM atau diabetes tanpa pengobatan
insulin. Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Mempunyai penyakit dasar lain. Ditemukan Diagnosis Klinis
85% pasien HHNK mengidap penyakit ginjal
Secara klinis dapat didiagnosis melalui
atau kardiovaskular, pernah ditemukan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan
kadar gula darah sewaktu
Diagnosis Banding Peralatan
Ketoasidosis Diabetik (KAD), Ensefalopati Laboratorium untuk pemeriksaan glukosa darah
uremikum, Ensefalopati karena infeksi
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Prognosis biasanya buruk, sebenarnya kematian
Penatalaksanaan pasien bukan disebabkan oleh sindrom
hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang
Penanganan kegawatdaruratan yang diberikan mendasari atau menyertainya.
untuk mempertahankan pasien tidak
mengalami dehidrasi lebih lama. Proses Referensi
rujukan harus segera dilakukan untuk
mencegah komplikasi yang lebih lanjut. 1. Soewondo, Pradana. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta:
Pertolongan pertama dilayanan tingkat pertama FK UI. Hal 1900-2.
adalah:
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
1. Memastikan jalan nafas lancar dan Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
membantu pernafasan dengan suplementasi Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
oksigen
2. Memasang akses infus intravena dan
melakukan hidrasi cairan NaCl 0.9 %
dengan target TD sistole > 90 atau produksi
urin
>0.5 ml/kgbb/jam
3. Memasang kateter urin untuk pemantauan
cairan
4. Dapat diberikan insulin rapid acting
bolus intravena atau subkutan sebesar
180 mikrounit/kgBB
Komplikasi
Oklusi vakular, Infark miokard, Low-flow
syndrome, DIC, Rabdomiolisis
Konseling dan Edukasi
Edukasi ke keluarga mengenai kegawatan
hiperglikemia dan perlu segera dirujuk
Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan tanda vital dan gula darah perjam
Kriteria Rujukan
Pasien harus dirujuk ke layanan sekunder
(spesialis penyakit dalam) setelah mendapat
terapi rehidrasi cairan.
5. HIPOGLIKEMIA
No. ICPC-2: T87 hypoglycaemia
No. ICD-10: E16.2 hypoglycaemia unspecified
Tingkat Kemampuan: Hipoglikemia ringan 4A
Hipoglikemia berat 3B

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar Sederhana (Objective)
glukosa darah <60 mg/dl, atau kadar glukosa
Pemeriksaan Fisik
darah <80 mg/dl dengan gejala klinis..
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari 1. Pucat
penyandang diabetes melitus dan geriatri. 2. Diaphoresis/keringat dingin
3. Tekanan darah menurun
Hipoglikemia dapat terjadi karena:
4. Frekuensi denyut jantung meningkat
1. Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau 5. Penurunan kesadaran
obat hipoglikemia oral yaitu sulfonilurea. 6. Defisit neurologik fokal (refleks patologis
2. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif positif pada satu sisi tubuh) sesaat.
menurun; gagal ginjal kronik,dan paska
Pemeriksaan Penunjang
persalinan.
3. Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori Kadar glukosa darah sewaktu
atau waktu makan tidak tepat.
4. Kegiatan jasmani berlebihan. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis

Keluhan Diagnosis hipoglikemia ditegakkan berdasarkan


gejala-gejalanya dan hasil pemeriksaan kadar
Tanda dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi gula darah. Trias whipple untuk hipoglikemia
pada setiap individu dari yang ringan sampai secara umum:
berat, sebagai berikut:
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
1. Rasa gemetar 2. Kadar glukosa plasma rendah
2. Perasaan lapar 3. Gejala mereda setelah kadar glukosa
3. Pusing plasma meningkat.
4. Keringat dingin
5. Jantung berdebar Diagnosis Banding
6. Gelisah 1. Syncope vagal
7. Penurunan kesadaran bahkan sampai koma 2. Stroke/TIA Komplikasi: Kerusakan otak,
dengan atau tanpa kejang. koma, kematian
Pada pasien atau keluarga perlu ditanyakan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
adanya riwayat penggunan preparat insulin
atau obat hipoglemik oral, dosis terakhir, waktu Penatalaksanaan
pemakaian terakhir, perubahan dosis, waktu
Stadium permulaan (sadar):
makan terakhir, jumlah asupan makanan, dan
aktivitas fisik yang dilakukan. 1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok
makan) atau sirop/permen atau gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula Konseling dan Edukasi
diet/ gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara. (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam. membawa tablet glukosa karena efeknya cepat
3. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila timbul dan memberikan sejumlah gula yang
sebelumnya tidak sadar). konsisten.
4. Cari penyebab hipoglikemia dengan Kriteria Rujukan
anamnesis baik auto maupun allo anamnesis.
1. Pasien hipoglikemia dengan penurunan
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak kesadaran harus dirujuk ke layanan sekunder
sadar dan curiga hipoglikemia): (spesialis penyakit dalam) setelah diberikan
1. Diberikan larutan dekstrose 40% sebanyak dekstrose 40% bolus dan infus dekstrose
2 flakon (=50 mL) 10% dengan tetesan 6 jam per kolf.
2. bolus intra vena. 2. Bila hipoglikemi tidak teratasi setelah 2
3. Diberikan cairan dekstrose 10 % per infus 6 jam tahap pertama protokol penanganan
jam perkolf.
4. Periksa GDS setiap satu jam setelah Peralatan
pemberian dekstrosa 40% 1. Laboratorium untuk pemeriksaan kadar
a. Bila GDS< 50 mg/dL bolus dekstrosa glukosa darah.
40 % 50 mL IV. 2. Cairan Dekstrosa 40 % dan Dekstrosa 10 %
b. Bila GDS<100 mg/dL bolus dekstrosa
40 % 25 mL IV. Prognosis
c. Bila GDS 100 – 200 mg /dL tanpa
Prognosis pada umumnya baik bila penanganan
bolus dekstrosa 40 %.
cepat dan tepat.
d. Bila GDS> 200 mg/dL pertimbangan
menurunkan kecepatan drip dekstrosa Referensi
10 %.
5. Bila GDS> 100 mg/dL sebanyak 3 kali 1. Soemadji, Djoko Wahono. Buku Ajar Ilmu
berturut–turut, pemantauan GDS setiap 2 Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta:
jam, dengan protokol sesuai diatas, bila FK UI.2006. Hal 1892-5.
GDs 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
>200 mg/dL – pertimbangkan mengganti Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 Dalam FKUI/RSCM. 2004.Hal 18-20.
%.
6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali
berturut-turut, protokol hipoglikemi
dihentikan.
Rencana Tindak Lanjut
1. Mencari penyebab hipoglikemi kemudian
tatalaksana sesuai penyebabnya.
2. Mencegah timbulnya komplikasi menahun,
ancaman timbulnya hipoglikemia
merupakan faktor limitasi utama dalam
kendali glikemi pada pasien DM tipe 1 dan
DM tipe 2 yang mendapat terapi ini.
6. HIPERURISEMIA-GOUT ARTHRITIS
No. ICPC-2 : T99 Endocrine/metabolic/nutritional disease other T92 Gout
No. ICD-10 : E79.0 Hyperuricemia without signs of inflammatory arthritis & tophaceous disease
M10 Gout
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Arthritis monoartikuler dapat ditemukan,


Kondisi kadar asam urat dalam darah lebih dari biasanya melibatkan sendi metatarsophalang 1
7,0 mg/dl pada pria dan pada wanita 6 mg/dl. atau sendi tarsal lainnya. Sendi yang mengalami
Hiperurisemia dapat terjadi akibat meningkatnya inflamasi tampak kemerahan dan bengkak.
produksi ataupun menurunnya pembuangan Pemeriksaan Penunjang
asam urat, atau kombinasi dari keduanya.
1. X ray: Tampak pembengkakan asimetris
Gout adalah radang sendi yang diakibatkan pada sendi dan kista subkortikal tanpa
deposisi kristal monosodium urat pada jaringan erosi
sekitar sendi. 2. Kadar asam urat dalam darah > 7 mg/dl.
Hasil Anamnesis (Subjective) Penegakan Diagnosis (Assessment)
Keluhan Diagnosis Klinis
1. Bengkak pada sendi Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
2. Nyeri sendi yang mendadak, biasanya timbul pemeriksaan fisik dan untuk diagnosis definitif
pada malam hari. gout arthritis adalah ditemukannya kristal urat
3. Bengkak disertai rasa panas dan (MSU) di cairan sendi atau tofus.
kemerahan.
4. Demam, menggigil, dan nyeri badan. Gambaran klinis hiperurisemia dapat berupa:

Apabila serangan pertama, 90% kejadian hanya 1. Hiperurisemia asimptomatis


pada 1 sendi dan keluhan dapat menghilang Keadaan hiperurisemia tanpa manifestasi
dalam 3-10 hari walau tanpa pengobatan. klinis berarti. Serangan arthritis biasanya
muncul setelah 20 tahun fase ini.
Faktor Risiko
2. Gout arthritis, terdiri dari 3 stadium, yaitu:
1. Usia dan jenis kelamin a. Stadium akut
2. Obesitas b. Stadium interkritikal
3. Alkohol c. Stadium kronis
4. Hipertensi
5. Gangguan fungsi ginjal 3. Penyakit Ginjal
6. Penyakit-penyakit metabolik
Diagnosis Banding
7. Pola diet
8. Obat: aspirin dosis rendah, diuretik, obat- Sepsis arthritis, Rheumatoid arthritis, Arthritis
obat TBC lainnya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Komplikasi
Sederhana (Objective)
1. Terbentuknya batu ginjal
Pemeriksaan Fisik 2. Gagal ginjal.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Penatalaksanaan 1. Laboratorium untuk pemeriksaan asam urat.
2. Radiologi
1. Mengatasi serangan akut dengan
Prognosis
segera Obat: analgetik, kolkisin,
Quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad fuctionam
kortikosteroid
dubia
a. Kolkisin (efektif pada 24 jam pertama
Referensi
setelah serangan nyeri sendi timbul.
Dosis oral 0,5-0.6 mg per hari dengan 1. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s
dosis maksimal 6 mg. Principals of Internal Medicine. 17thed. USA:
McGraw Hill, 2008.
b. Kortikosteroid sistemik jangka pendek
(bila NSAID dan kolkisin tidak berespon 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
baik) seperti prednisone 2-3x5 mg/hari M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit
selama 3 hari dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
c. NSAID seperti natrium diklofenak 25-50 Dalam FKUI; 2006.
mg selama 3-5 hari
2. Program pengobatan untuk mencegah
serangan berulang
Obat: analgetik, kolkisin dosis rendah
3. Mengelola hiperurisemia (menurunkan
kadar asam urat) dan mencegah komplikasi
lain
a. Obat-obat penurun asam urat
Agen penurun asam urat (tidak
digunakan selama serangan akut).
Pemberian Allupurinol dimulai dari
dosis terendah 100 mg, kemudian
bertahap dinaikkan bila diperlukan,
dengan dosis maksimal 800 mg/hari.
Target terapi adalah kadar asam urat <
6 mg/dl.
b. Modifikasi gaya hidup
• Minum cukup (8-10 gelas/hari).
• Mengelola obesitas dan menjaga
berat badan ideal.
• Hindari konsumsi alkohol
• Pola diet sehat (rendah purin)
Kriteria Rujukan
1. Apabila pasien mengalami komplikasi
atau pasien memiliki penyakit komorbid
2. Bila nyeri tidak teratasi
7. DISLIPIDEMIA
No. ICPC-2: T93 Lipid disorder No. ICD-10: E78.5 Hiperlipidemia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid Diagnosis Klinis
yang ditandai dengan peningkatan maupun
penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan pemeriksaan fisik dan penunjang.
kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan atau
Tabel 12.3 Interpretasi kadar lipid plasma
trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL.
berdasarkan NECP (National Cholesterol
Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya
Education Program)
aterosklerosis sehingga dapat menyebabkan
stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK), Peripheral
Arterial Disease (PAD), Sindroma Koroner Akut
(SKA).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada umumnya dislipidemia tidak bergejala dan
biasanya ditemukan pada saat pasien
melakukan pemeriksaan rutin kesehatan
(medical check-up).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda-tanda vital
2. Pemeriksaaan antropometri (lingkar perut
dan IMT/Indeks Massa Tubuh).
Cara pengukuran IMT(kg/m2)= BB(kg)/TB2(m)
Diagnosis Banding : -
Pemeriksaan Penunjang
Komplikasi
Pemeriksaan laboratorium memegang
peranan penting dalam menegakkan Penyakit jantung koroner, stroke
diagnosa. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
pemeriksaan:
Penatalaksanaan
1. Kadar kolesterol total
2. Kolesterol LDL 1. Penatalaksanaan dalam dislipidemia dimulai
3. Kolesterol HDL dengan melakukan penilaian jumlah faktor
4. Trigliserida plasma risiko penyakit jantung koroner pada
pasien untuk menentukan kolesterol-LDL Gambar 12.3 Penatalaksanaan untuk masing-
yang harus dicapai. Berikut ini adalah tabel masing kategori risiko
faktor risiko (selain kolesterol LDL) yang
menentukan sasaran kolesterol LDL
yang ingin dicapai berdasarkan NCEP-
ATP III:
Tabel 12.4 Faktor risiko utama (selain
kolesterol LDL) yang menentukan sasaran
kolesterol LDL

2. Setelah menemukan banyaknya faktor


risiko pada seorang pasien, maka pasien
dibagi kedalam tiga kelompok risiko
penyakit arteri koroner yaitu risiko tinggi,
risiko sedang dan risiko tinggi. Hal ini
digambarkan pada tabel berikut ini:
Tabel 12.5 Tiga kategori risiko yang
menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin
dicapai berdasarkan NCEP (Sudoyo, 2006)

3. Selanjutnya penatalaksanaan pada pasien


ditentukan berdasarkan kategori risiko pada
tabel diatas. Berikut ini adalah bagan
penatalaksanaan untuk masing-masing
kategori risiko:
4. Terapi non farmakologis Konseling dan edukasi
a. Terapi nutrisi medis
Pasien dengan kadar kolesterol LDL 1. Perlu adanya motivasi dari pasien dan
tinggi dianjurkan untuk mengurangi keluarga untuk mengatur diet pasien dan
asupan lemak total dan lemak jenuh, aktivitas fisik yang sangat membantu
dan meningkatkan asupan lemak tak keberhasilan terapi.
jenuh rantai tunggal dan ganda. Pada 2. Pasien harus kontrol teratur untuk
pasien dengan trigliserida tinggi perlu pemeriksaan kolesterol lengkap untuk
dikurangi asupan karbohidrat, alkohol, melihat target terapi dan maintenance jika
dan lemak target sudah tercapai.
b. Aktivitas fisik
Pasien dianjurkan untuk meningkatkan Kriteria Rujukan
aktivitas fisik sesuai kondisi dan 1. Terdapat penyakit komorbid yang harus
kemampuannya. ditangani oleh spesialis.
5. Tata laksana farmakologis
Terapi farmakologis dilakukan setelah 6 2. Terdapat salah satu dari faktor risiko PJK
minggu terapi non farmakologis.
Peralatan
Tabel 12.6 Obat hipoglikemik dan efek terhadap
Pemeriksaan kimia darah
kadar lipid plasma
Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang tepat maka
dapat dicegah terjadinya komplikasi akibat
dislipidemia.
Referensi
1. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor
Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan: FK
USU.2004. (Azwar, 2004)
Tabel 12.7 Obat Hipolopidemik
2. Darey, Patrick. At a Glance Medicine.
Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005)
3. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi
dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007.
(Ganiswarna, 2007)
4. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati,
S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI.2009.
5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan
Dislipidemia di Indonesia. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2012 (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2012)
8. MALNUTRISI ENERGI PROTEIN (MEP)
No. ICPC II: T91 Vitamin/nutritional deficiency
No. ICD X: E46 Unspecified protein-energy malnutrition
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik Patognomonis


MEP adalah penyakit akibat kekurangan energi 1. BB/TB < 70% atau < -3SD
dan protein umumnya disertai defisiensi nutrisi 2. Marasmus: tampak sangat kurus, tidak ada
lain. jaringan lemak bawah kulit, anak tampak
Klasifikasi dari MEP adalah : tua, baggy pants appearance.
3. Kwashiorkor: edema, rambut kuning
1. Kwashiorkor mudah rontok, crazy pavement dermatosa
2. Marasmus 4. Tanda dehidrasi
3. Marasmus Kwashiorkor 5. Demam
6. Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia
Hasil Anamnesis (Subjective)
atau gagal jantung
Keluhan 7. Sangat pucat
8. Pembesaran hati, ikterus
1. Kwashiorkor, dengan keluhan: 9. Tanda defisiensi vitamin A pada mata:
• Edema konjungtiva kering, ulkus kornea,
keratomalasia
• Wajah sembab
10. Ulkus pada mulut
• Pandangan sayu 11. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
• Rambut tipis, kemerahan seperti warna
Pemeriksaan Penunjang
rambut jagung, mudah dicabut tanpa
sakit, rontok 1. Laboratorium: gula darah, Hb, Ht, preparat
• Anak rewel, apatis apusan darah, urin rutin, feses
2. Antropometri
2. Marasmus, dengan keluhan:
3. Foto toraks
• Sangat kurus
4. Uji tuberkulin
• Cengeng
• Rewel Penegakan Diagnosis (Assessment)
• Kulit keriput
Diagnosis Klinis
3. Marasmus Kwashiorkor, dengan keluhan
kombinasi dari ke-2 penyakit tersebut Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan
diatas. gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Anak didiagnosis dengan gizi buruk, apabila:
Faktor Risiko
1. BB/TB < -3SD atau 70% dari median
Berat badan lahir rendah, HIV, Infeksi TB, pola (marasmus).
asuh yang salah
2. Edema pada kedua punggung kaki
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/
sederhana (Objective) TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor BB/TB
<-3SD).
Tabel 12.8 KlasifikasiMalnutrisi Energi Protein yg sama terutama dari lemak (minyak/
(MEP) santan/margarin).
o Pemberian jenis makanan untuk
pemulihan gizi disesuaikan masa
pemulihan (rehabilitasi):
1 minggu pertama pemberian F100.
Minggu berikutnya jumlah dan frekuensi F100
dikurangi seiring dengan penambahan
Diagnosis Banding: - makanan keluarga.

Komplikasi Kunjungan Rumah

Anoreksia, Pneumonia berat, Anemia berat, • Tenaga kesehatan atau kader melakukan
Infeksi, Dehidrasi berat, Gangguan elektrolit, kunjungan rumah pada anak gizi buruk
Hipoglikemi, Hipotermi, Hiperpireksia, rawat jalan, bila:
Penurunan kesadaran - Berat badan anak sampai pada minggu
ketiga tidaknaik atau turundibandingkan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
dengan berat badanpada saat masuk
Penatalaksanaan dan Target Terapi (kecuali anak dengan edema).
Gambar 12.4. Langkah penanganan gizi buruk - Anak yang 2 kali berturut-turut tidak
terbagi dalam fase stabilisasidan rehabilitasi datang tanpa pemberitahuan
• Kunjungan rumah bertujuan untuk menggali
permasalahan yang dihadapi keluarga
termasuk kepatuhan mengonsumsi makanan
untuk pemulihan gizi dan memberikan
nasihat sesuai dengan masalah yang
dihadapi.
• Dalam melakukan kunjungan, tenaga
kesehatan membawa kartu status, cheklist
kunjungan rumah, formulir rujukan,
makanan untuk pemulihan gizi dan bahan
penyuluhan.
• Hasil kunjungan dicatat pada checklist
kunjungan dan kartu status. Bagi anak yang
harus dirujuk, tenaga kesehatan mengisi
formulir rujukan.
Penanganan pasien dengan MEP, yaitu:
Konseling dan Edukasi
• Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak
• Menyampaikan informasi kepada ibu/
gizi buruk dengan dosis sesuai umur pada
pengasuhtentang hasil penilaian
saat pertama kali ditemukan
pertumbuhan anak.
• Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa
• Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab
makanan lokal atau pabrikan.
kurang gizi.
o Jenis pemberian ada 3 pilihan: makanan
• Memberi nasihat sesuai penyebab kurang
therapeutic atau gizi siap saji, F100 atau
gizi.
makanan lokal dengan densitas energi
• Memberikan anjuran pemberian makan
sesuai umur dan kondisi anak
dan cara menyiapkan makan formula,
melaksanakan anjuran makan dan memilih
atau mengganti makanan.
Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi komplikasi, seperti: sepsis,
dehidrasi berat, anemia berat, penurunan
kesadaran
2. Bila terdapat penyakit komorbid, seperti:
pneumonia berat
Peralatan
1. Alat pemeriksaan gula darah sederhana
2. Alat pengukur berat dan tinggi badan anak
serta dewasa
3. Skala antropometri
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk
ad vitam, sedangkan untuk quo ad fungsionam
dan sanationam umumnya dubia ad malam.
Referensi
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.
2. Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk.
Kemkes RI. Jakarta. 2011.
M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH

1. INFEKSI SALURAN KEMIH


No. ICPC-2 : U71 Cystitis/urinary infection others
No. ICD-10 : N39.0 Urinary tract infection, site not specified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik


Infeksi saluran kemih merupakan salah satu 1. Demam
masalah kesehatan akut yang sering terjadi 2. Flank pain (Nyeri ketok pinggang belakang/
pada perempuan.Masalah infeksi saluran kemih costovertebral angle)
tersering adalah sistitis akut, sistitis kronik, dan 3. Nyeri tekan suprapubik
uretritis.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Darah perifer lengkap
Keluhan 2. Urinalisis
Pada sistitis akut keluhan berupa: 3. Ureum dan kreatinin
4. Kadar gula darah
1. Demam
2. Susah buang air kecil Pemeriksaan penunjang tambahan (di layanan
3. Nyeri saat di akhir BAK (disuria terminal) sekunder) :
4. Sering BAK (frequency) 1. Urine mikroskopik berupa peningkatan >103
5. Nokturia bakteri per lapang pandang
6. Anyang-anyangan (polakisuria)
7. Nyeri suprapubik 2. Kultur urin (hanya diindikasikan untuk
pasien yang memiliki riwayat kekambuhan
Pada pielonefritis akut keluhan dapat juga infeksi salurah kemih atau infeksi dengan
berupa nyeri pinggang, demam tinggi sampai komplikasi).
menggigil, mual muntah, dan nyeri pada sudut
kostovertebra. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Faktor Risiko Diagnosis Klinis

1. Riwayat diabetes melitus Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,


2. Riwayat kencing batu (urolitiasis) pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Higiene pribadi buruk
Diagnosis Banding
4. Riwayat keputihan
5. Kehamilan Recurrent cystitis, Urethritis, Pielonefritis,
6. Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya Bacterial asymptomatic
7. Riwayat pemakaian kontrasepsi diafragma
8. Kebiasaan menahan kencing Komplikasi
9. Hubungan seksual Gagal ginjal, Sepsis , ISK berulang atau kronik
10. Anomali struktur saluran kemih kekambuhan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan
1. Minum air putih minimal 2 liter/hari bila higiene genital tetap buruk, ISK dapat berulang
fungsi ginjal normal. atau menjadi kronis.
2. Menjaga higienitas genitalia eksterna
3. Pada kasus nonkomplikata, pemberian Referensi
antibiotik selama 3 hari dengan pilihan 1. Weiss, Barry.20 Common Problems In Primary
antibiotik sebagai berikut: Care.
a. Trimetoprim sulfametoxazole
b. Fluorikuinolon 2. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family
c. Amoxicillin-clavulanate Medicine. 2011
d. Cefpodoxime 3. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB
Konseling dan Edukasi PABDI. 2009

Pasien dan keluarga diberikanpemahaman 4. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract


tentang infeksi saluran kemih dan hal-hal yang infection. N Engl J Med2012;366:1028-37
perlu diperhatikan, antara lain: (Hooton, 2012)

1. Edukasi tentang penyebab dan faktor


risiko penyakit infeksi saluran kemih.
Penyebab infeksi saluran kemih yang paling
sering adalah karena masuknya flora anus
ke kandung kemih melalui perilaku atau
higiene pribadi yang kurang baik.
Pada saat pengobatan infeksi saluran
kemih, diharapkan tidak berhubungan seks.
2. Waspada terhadap tanda-tanda infeksi
saluran kemih bagian atas (nyeri pinggang)
dan pentingnya untuk kontrol kembali.
3. Patuh dalam pengobatan antibiotik yang
telah direncanakan.
4. Menjaga higiene pribadi dan lingkungan.
Kriteria Rujukan
1. Jika ditemukan komplikasi dari ISK maka
dilakukan ke layanan kesehatan sekunder
2. 2. Jika gejala menetap dan terdapat
resistensi kuman, terapi antibiotika
diperpanjang berdasarkan antibiotika
yang sensitifdengan pemeriksaan kultur
urin
Peralatan
Pemeriksaan laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kecuali bila
2. PIELONEFRITIS TANPA KOMPLIKASI
No ICPC-2: U70. Pyelonephritis / pyelitis
No ICD-10 : N10. Acute tubulo-interstitial nephritis (applicable to: acute pyelonephritis)
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Tampilan klinis tiap pasien dapat bervariasi,


Pielonefritis akut (PNA) tanpa komplikasi mulai dari yang ringan hingga menunjukkan
adalah peradangan parenkim dan pelvis ginjal tanda dan gejala menyerupai sepsis.
yang berlangsung akut. Tidak ditemukan data Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda di
yang akurat mengenai tingkat insidens PNA bawah ini:
nonkomplikata di Indonesia. Pielonefritis akut 1. Demam dengan suhu biasanya mencapai
nonkomplikata jauh lebih jarang dibandingkan >38,5oC
sistitis (diperkirakan 1 kasus pielonefritis 2. Takikardi
berbanding 28 kasus sistitis). 3. Nyeri ketok pada sudut kostovertebra,
Hasil Anamnesis (Subjective) unilateral atau bilateral
4. Ginjal seringkali tidak dapat dipalpasi
Keluhan karena adanya nyeri tekan dan spasme otot
5. Dapat ditemukan nyeri tekan pada area
1. Onset penyakit akut dan timbulnya tiba-tiba
suprapubik
dalam beberapa jam atau hari
6. Distensi abdomen dan bising usus menurun
2. Demam dan menggigil
(ileus paralitik)
3. Nyeri pinggang, unilateral atau bilateral
4. Sering disertai gejala sistitis, berupa: Pemeriksaan Penunjang Sederhana
frekuensi, nokturia, disuria, urgensi, dan
nyeri suprapubik 1. Urinalisis
5. Kadang disertai pula dengan gejala Urin porsi tengah (mid-stream urine) diambil
gastrointestinal, seperti: mual, muntah, untuk dilakukan pemeriksaan dip-stick dan
diare, atau nyeri perut mikroskopik. Temuan yang mengarahkan
Faktor Risiko kepada PNA adalah:

Faktor risiko PNA serupa dengan faktor risiko a. Piuria, yaitu jumlah leukosit lebih
penyakit infeksi saluran kemih lainnya, yaitu: dari 5 – 10 / lapang pandang besar
(LPB) pada pemeriksaan mikroskopik
1. Lebih sering terjadi pada wanita usia subur tanpa / dengan pewarnaan Gram, atau
2. Sangat jarang terjadi pada pria berusia leukosit esterase (LE) yang positif pada
<50 tahun, kecuali homoseksual pemeriksaan dengan dip-stick.
3. Koitus per rektal
4. HIV/AIDS b. Silinder leukosit, yang merupakan
5. adanya penyakit obstruktif urologi yang tanda patognomonik dari PNA, yang
mendasari misalnya tumor, striktur, batu dapat ditemukan pada pemeriksaan
saluran kemih, dan pembesaran prostat mikroskopik tanpa/dengan pewarnaan
6. Pada anak-anakdapat terjadi bila terdapat Gram.
refluks vesikoureteral c. Hematuria, yang umumnya mikroskopik,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang namun dapat pula gross. Hematuria
Sederhana (Objective) biasanya muncul pada fase akut dari
PNA. Bila hematuria terus terjadi
walaupun infeksi telah tertangani, perlu b. Tatalaksana kelainan obstruktif yang
dipikirkan penyakit lain, seperti batu ada
saluran kemih, tumor, atau tuberkulosis. c. Menjaga kecukupan hidrasi
d. Bakteriuria bermakna,yaitu > 104 koloni/ 2. Medikamentosa
ml, yang nampak lewat pemeriksaan
mikroskopik tanpa /dengan pewarnaan a. Antinbiotika empiris
Gram. Bakteriuria juga dapat dideteksi Antibiotika parenteral:
lewat adanya nitrit pada pemeriksaan
dengan dip-stick. Pilihan antibiotik parenteral untuk
pielonefritis akut nonkomplikata
2. Kultur urin dan tes sentifitas-resistensi antara lain ceftriaxone, cefepime, dan
antibiotik fluorokuinolon (ciprofloxacin dan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk levofloxacin). Jika dicurigai infeksi
mengetahui etiologi dan sebagai pedoman enterococci berdasarkan pewarnaan
pemberian antibiotik dan dilakukan Gram yang menunjukkan basil Gram
di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan positif,maka ampisillin yang
lanjutan. dikombinasi dengan Gentamisin,
Ampicillin Sulbaktam, dan Piperacillin
3. Darah perifer dan hitung jenis Tazobactam merupakan pilihan empiris
spektrum luas yang baik.Terapi
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya antibiotika parenteral pada pasien
leukositosis dengan predominansi neutrofil. dengan pielonefritis akut
4. Kultur darah nonkomplikata dapat diganti dengan
obat oral setelah 24-48 jam, walaupun
Bakteremia terjadi pada sekitar 33% kasus, dapat diperpanjang jika gejala
sehingga pada kondisi tertentu menetap.
pemeriksaan ini juga dapat dilakukan.
Antibiotika oral:
5. Foto polos abdomen (BNO)
Antibiotik oral empirik awal untuk pasien
Pemeriksaan ini dilakukan untuk rawat jalan adalah fluorokuinolon untuk
menyingkirkan adanya obstruksi atau batu basil Gram negatif. Untuk dugaan
di saluran kemih. penyebab lainnya dapat digunakan
Penegakan Diagnosis (Assessment) Trimetoprim- sulfametoxazole. Jika
dicurigai enterococcus, dapat diberikan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, Amoxicilin sampai didapatkan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang organisme penyebab. Sefalosporin
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. generasi kedua atau ketiga juga efektif,
walaupun data yang mendukung
Diagnosis banding:
masih sedikit. Terapi pyeolnefritis
Uretritis akut, Sistitis akut, Akut abdomen, akut nonkomplikata dapat diberikan
Appendisitis, Prostatitis bakterial akut, Servisitis, selama 7 hari untuk gejala klinis yang
Endometritis, Pelvic inflammatory disease ringan dan sedang dengan respons
terapi yang baik. Pada kasus yang
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) menetap atau berulang, kultur harus
1. Non-medikamentosa dilakukan. Infeksi berulang ataupun
menetap diobati dengan antibiotik yang
a. Identifikasi dan meminimalkan faktor terbukti sensitif selama 7 sampai 14
risiko hari. Penggunaan antibiotik selanjutnya
dapat disesuaikan dengan hasil tes Peralatan
sensitifitas dan resistensi.
1. Pot urin
b. Simtomatik 2. Urine dip-stick
3. Mikroskop
Obat simtomatik dapat diberikan sesuai 4. Object glass, cover glass
dengan gejala klinik yang dialami
5. Pewarna Gram
pasien, misalnya: analgetik-antipiretik,
dan anti- emetik. Prognosis
Konseling dan Edukasi 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
1. Dokter perlu menjelaskan mengenai
3. Ad sanationam : Bonam
penyakit, faktor risiko, dan cara-cara
pencegahan berulangnya PNA. Referensi
2. Pasien seksual aktif dianjurkan untuk 1. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines
berkemih dan membersihkan organ Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan
kelamin segera setelah koitus. Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus
Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
3. Pada pasien yang gelisah, dokter dapat
(Achmad, 2007)
memberikan assurance bahwa PNA non-
komplikata dapat ditangani sepenuhnya 2. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical
dgn antibiotik yang tepat. Practice Guidelines for the Treatment
of Acute Uncomplicated Cystitis and
Rencana Tindak Lanjut
Pyelonephritis in Women : A 2010
1. Apabila respons klinik buruk setelah 48 – 72 Update by the Infectious Diseases
jam terapi, dilakukan re-evaluasi adanya Society of America and the European
faktor-faktor pencetus komplikasi dan Society for Microbiology and Infectious
efektifitas obat. Diseases. Clinical Infectious Disease, 52,
pp.103–120 (Colgan, 2011)
2. Urinalisis dengan dip-stick urin dilakukan
pasca pengobatan untuk menilai kondisi 3. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract
bebas infeksi. Infections, Pyelonephritis, and Prostatitis. In
A. s Fauci et al., eds. Harrison’s Principles of
Kriteria Rujukan Internal Medicine. New York: McGraw-Hill,
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan pp. 1820– 1825. (Stamm, 2008)
tingkat pertama perlu merujuk ke layanan
tingkat lanjutan pada kondisi-kondisi berikut:
1. Ditemukan tanda-tanda urosepsis pada
pasien.
2. Pasien tidak menunjukkan respons
yang positif terhadap pengobatan yang
diberikan.
3. Terdapat kecurigaan adanya penyakit
urologi yang mendasari, misalnya: batu
saluran kemih, striktur, atau tumor.
3. FIMOSIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: Y81 Phimosis
: N47 Phimosis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan hingga ke korona glandis


Fimosis adalah kondisi dimana preputium tidak 2. Pancaran urin mengecil
dapat diretraksi melewati glans penis. Fimosis 3. Menggelembungnya ujung preputium saat
dapat bersifat fisiologis ataupun patalogis. berkemih
Umumnya fimosis fisiologis terdapat pada 4. Eritema dan udem pada preputium dan
bayi dan anak-anak. Pada anak usia 3 tahun glans penis
90% preputium telah dapat diretraksi tetapi 5. Pada fimosis fisiologis, preputium tidak
pada sebagian anak preputium tetap lengket memiliki skar dan tampak sehat
pada glans penis sehingga ujung preputium 6. Pada fimosis patalogis pada sekeliling
mengalami penyempitan dan mengganggu preputium terdapat lingkaran fibrotik
proses berkemih. Fimosis patologis terjadi 7. Timbunan smegma pada sakus preputium
akibat peradangan atau cedera pada preputium
Penegakan Diagnosis (Assessment)
yang menimbulkan parut kaku sehingga
menghalangi retraksi. Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan pemeriksaan fisik
Keluhan
Diagnosis Banding
Keluhan umumnya berupa gangguan aliran urin
seperti: Parafimosis, Balanitis, Angioedema
1. Nyeri saat buang air kecil Komplikasi
2. Mengejan saat buang air kecil
3. Pancaran urin mengecil Dapat terjadi infeksi berulang karena
4. Benjolan lunak di ujung penis akibat penumpukan smegma.
penumpukan smegma. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Faktor Risiko Penatalaksanaan
1. Hygiene yang buruk 1. Pemberian salep kortikosteroid (0,05%
2. Episode berulang balanitis atau betametason) 2 kali perhari selama 2-8
balanoposthitis menyebabkan skar pada minggu pada daerah preputium.
preputium yang menyebabkan terjadinya
fimosis patalogis 2. Sirkumsisi
3. Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang Rencana Tindak Lanjut
tidak menjalani sirkumsisi
Apabila fimosis bersifat fisiologis seiring dengan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang perkembangan maka kondisi akan membaik
Sederhana (Objective) dengan sendirinya
Pemeriksaan Fisik Konseling dan Edukasi
1. Preputium tidak dapat diretraksi keproksimal Pemberian penjelasan terhadap orang tua
atau pasien agar tidak melakukan penarikan Referensi
preputium secara berlebihan ketika
membersihkan penis karena dapat menimbulkan 1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran
parut. Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Buku Ajar
Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
Kriteria Rujukan
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri
Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
tindakan sirkumsisi maka dirujuk ke layanan Circumcision. The Scientific World Journal.
sekunder. 2011. 11, 289–301.
Peralatan 3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in
Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
Set bedah minor
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke
Prognosis
P, Kocvara R, Nijman R, Radmayr Chr, dan
Prognosis bonam bila penanganan sesuai Stein
R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology.
European Association of Urology. 2013. hlm
9-10

4. PARAFIMOSIS
No. ICPC-2: Y81. Paraphimosis No. ICD-10: N47.2 Paraphimosis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Parafimosis merupakan kegawatdaruratan Sederhana (Objective)
karena dapat mengakibatkan terjadinya
ganggren yang diakibatkan preputium penis Pemeriksaan Fisik
yang diretraksi sampai di sulkus koronarius 1. Preputium tertarik ke belakang glans
tidak dapat dikembalikan pada kondisi semula penis dan tidak dapat dikembalikan ke
dan timbul jeratan pada penis di belakang posisi semula
sulkus koronarius. 2. Terjadi eritema dan edema pada glans penis
3. Nyeri
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Jika terjadi nekrosis glans penis berubah
Keluhan warna menjadi biru hingga kehitaman
1. Pembengkakan pada penis
Penegakan Diagnosis (Assessment)
2. Nyeri pada penis
Diagnosis Klinis
Faktor Risiko
Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis
Penarikan berlebihan kulit preputium
(forceful retraction) pada laki- laki yang belum dan peneriksaan fisik
disirkumsisi misalnya pada pemasangan Diagnosis Banding
kateter.
Angioedema, Balanitis, Penile hematoma
Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan segera dapat terjadi
ganggren
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Reposisi secara manual dengan memijat
glans selama 3-5 menit.
Diharapkan edema berkurang dan secara
perlahan preputium dapat dikembalikan
pada tempatnya.
2. Dilakukan dorsum insisi pada jeratan
Rencana Tindak Lanjut
Dianjurkan untuk melakukan sirkumsisi.
Konseling dan Edukasi
Setelah penanganan kedaruratan disarankan
untuk dilakukan tindakan sirkumsisi karena
kondisi parafimosis tersebut dapat berulang.
Kriteria Rujukan
Bila terjadi tanda-tanda nekrotik segera rujuk ke
layanan sekunder.
Peralatan
Set bedah minor
Prognosis
Prognosis bonam
Referensi
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran
kemih dan alat kelamin lelaki. Buku Ajar Imu
Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri
K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
Circumcision. The Scientific World Journal.
2011. 11, 289–301.
3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in
Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke
P, Kocvara R, Nijman R, RadmayrChr, dan
Stein
R. Phimosis. Guideline of Paediatric
Urology. European Association of Urology.
2013. hlm 9-10
N. KESEHATAN WANITA

1. KEHAMILAN NORMAL
No. ICPC-2 : W90 Uncomplicated labour/delivery livebirth
No. ICD-10 : O80.9 Single spontaneous delivery, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
a. Diabetes Mellitus/ kencing manis
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai b. Penyakit jantung
lahir. Lama kehamilan normal 40 minggu c. Penyakit ginjal
dihitung dari hari pertama haid terahir (HPHT). d. Penyalahgunaan obat
Untuk menghindari terjadinya komplikasi pada e. Konsumsi rokok, alkohol dan bahan
kehamilan dan persalinan, maka setiap ibu adiktif lainnya
hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan f. Penyakit menular TB, malaria, HIV/AIDS
secara rutin minimal 4 kali kunjungan selama dan penyakit menular seksual,
masa kehamilan. g. Penyakit kanker
Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
1. Haid yang terhenti
2. Mual dan muntah pada pagi hari Pemeriksaan Fisik
3. Ngidam
Periksa tanda vital ibu (tekanan darah, nadi,
4. Sering buang air kecil
suhu, frekuensi nafas), ukur berat badan, tinggi
5. Pengerasan dan pembesaran payudara
badan, serta lingkar lengan atas (LLA) pada
6. Puting susu lebih hitam
setiap kedatangan.
Faktor Risiko
Pada trimester 1
Pada kehamilan perlu diwaspadai hal-hal di
bawah ini: 1. LLA> 33 cm, maka diduga obesitas, memiliki
risiko preeklampsia dan diabetes maternal,
1. Bila pada kehamilan sebelumnya terdapat memiliki risiko melahirkan bayi dengan
riwayat obstetrik sebagai berikut: berat badan lebih
a. Lahir mati atau bayi mati umur < 28 2. LLA< 23 cm, maka diduga undernutrisi atau
hari memiliki penyakit kronis, biasanya memiliki
b. > 3 abortus spontan bayi yang lebih kecil dari ukuran normal
c. Berat badan bayi < 2500 gram
3. Keadaan muka diperhatikan adanya
d. Berat badan bayi > 4500 gram
edema palpebra atau pucat, mata dan
e. Dirawat di rumah sakit karena
konjungtiva dapat pucat,kebersihan mulut
hipertensi, preeklampsia atau eklampsia
dan gigi dapat terjadi karies dan periksa
f. Operasi pada saluran reproduksi
kemungkinan pembesaran kelenjar tiroid.
khususnya operasi seksiosesaria
2. Bila pada kehamilan saat ini: 4. Pemeriksaan payudara: puting susu dan
a. Usia ibu di bawah 16 tahun atau di atas areola menjadi lebih menghitam.
35 tahun 5. Pemeriksaan dada:perhatikan suara paru
b. Ibu memiliki rhesus (-) dan bunyi jantung ibu
c. Ada keluhanperdarahan vagina
6. Pemeriksaan ekstremitas: perhatikan
3. Bila ibu memiliki salah satu masalah
edema dan varises
kesehatan di bawah ini:
Pemeriksaan obstetrik : trimester 1 terutama untuk daerah endemik
untuk skrining faktor risiko.
1. Abdomen:
a. Observasi adanya bekas operasi. 5. USG sesuai indikasi.
b. Mengukur tinggi fundus uteri. Penegakan Diagnostik (Assessment)
c. Melakukan palpasi dengan manuever
Leopold I-IV. Diagnosis Klinis
d. Mendengarkan bunyi jantung janin
Diagnosisi ditegakkan dengan anamnesis,
(120-160x/menit).
pemeriksaan fisik/obstetrik, dan pemeriksaan
2. Vulva/vagina
penunjang.
a. Observasi varises, kondilomata,
edema, haemorhoid atau abnormalitas Tanda tak pasti kehamilan: Tes kehamilan
lainnya. menunjukkan HCG (+)
b. Pemeriksaan vaginal toucher:
memperhatikan tanda-tanda tumor. Tanda pasti kehamilan:
c. Pemeriksaan inspekulo untuk 1. Bunyi jantung janin/BJJ (bila umur
memeriksa serviks,tanda-tanda infeksi, kehamilan/UK> 8 minggu) dengan BJJ
ada/tidaknya cairan keluar dari osteum normal 120-160 kali per menit,
uteri.
2. Gerakan janin (bila UK> 12 minggu)
Tabel 14.1 Tinggi fundus sesuai usia kehamilan 3. Bila ditemukan adanya janin pada
pemeriksaan Ultrasonografi(USG) dan
pemeriksaan obstetrik.
Kehamilan normal apabila memenuhi kriteria
dibawah ini:
1. Keadaan umum baik
2. Tekanan darah <140/90 mmHg
3. Pertambahan berat badan sesuai minimal 8
kg selama kehamilan (1 kg perbulan) atau
sesuai Indeks Masa Tubuh (IMT) ibu
4. Edema hanya pada ekstremitas
5. BJJ =120-160 x/menit
Pemeriksaan Penunjang
6. Gerakan janin dapat dirasakan setelah usia
1. Tes kehamilan menunjukkan HCG (+) 18 -20 minggu hingga melahirkan
2. Pemeriksaan darah: Golongan darah ABO 7. Ukuran uterus sesuai umur kehamilan
dan Rhesus pada trimester 1, Hb dilakukan
8. Pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam
pada trimester 1 dan 3, kecuali bila tampak
adanya tanda-tanda anemia berat. batas normal
9. Tidak ada riwayat kelainan obstetrik.
3. Pemeriksaan lain: kadar glukosa darah dan
protein urin sesuai indikasi. Diagnosis Banding
4. Pada ibu hamil dengan faktor risiko,
1. Kehamilan palsu
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan:
2. Tumor kandungan
BTA, TORCH (toxoplasma, rubella,
3. Kista ovarium
cytomegalo virus, herpes and others),
4. Hematometra
sifilis, malaria danHIV dilakukan pada
5. Kandung kemih yang penuh
Tabel 14.2 Tatalaksana Pemeriksaan dan 2. Memberikan nasihat dan petunjuk yang
tindakan pada kehamilan pertrimester berkaitan dengan kehamilan, persalinan,
kala nifas dan laktasi.
3. Tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai:
sakit kepala lebih dari biasa, perdarahan
per vaginam, gangguan penglihatan,
pembengkakan pada wajah/tangan, nyeri
abdomen (epigastrium), mual dan muntah
berlebihan, demam, janin tidak bergerak
sebanyak biasanya.
4. Pemberian makanan bayi, air susu ibu (ASI)
eksklusif, dan inisiasi menyusu dini (IMD).
5. Penyakit yang dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan janin misalnya
hipertensi, TBC, HIV, serta infeksi menular
seksual lainnya.
6. Perlunya menghentikan kebiasaan yang
beresiko bagi kesehatan, seperti merokok
dan minum alkohol.
7. Program KB terutama penggunaan
kontrasepsi pascasalin.
8. Minum cukup cairan.
9. Peningkatan konsumsi makanan hingga 300
kalori/hari dari menu seimbang. Contoh: asi
tim dari 4 sendok makan beras, ½ pasang
hati ayam, 1 potong tahu, wortel parut,
bayam, 1 sendok teh minyak goreng, dan
400 ml air.
10. Latihan fisik normal tidak berlebihan,
istirahat jika lelah.
11. Ajarkan metoda mudah untuk menghitung
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) gerakan janin dalam 12 jam, misalnya
Penatalaksanaan dengan menggunakan karet gelang 10 buah
pada pagi hari pukul 08.00 yang dilepaskan
Non Medikamentosa satu per satu saat ada gerakan janin. Bila
pada pukul 20.00, karet gelang habis, maka
1. Memberikan jadwal pemeriksaan berkala
gerakan janin baik.
kepada calon ibu selama masa kehamilan
Medikamentosa
Tabel 14.3 Kunjungan pada pemeriksaan
antenatal 1. Memberikan zat besi dan asam folat (besi
60 mg/hari dan folat 250 mikogram 1-2 kali/
hari), bila Hb<7,0 gr/dl dosis ditingkatkan
menjadi dua kali. Apabila dalam follow
up selama 1 bulan tidak ada perbaikan,
dapatdipikirkan kemungkinan penyakit
lain (talasemia, infeksi cacing tambang,
penyakit kronis TBC)
2. Memberikanimunisasi TT (Tetanus Toxoid) diperlukan rujukan, dukungan biaya.
apabila pasien memiliki risiko terjadinya 2. Pentingnya peran suami dan keluarga
tetanus pada proses melahirkan dan buku selama kehamilan dan persalinan.
catatan kehamilan. 3. Jika ibu merasakan tanda – tanda bahaya
kehamilan, harus di waspadai dan segera
Pada Ibu yang riwayat imunisasi tidak
mengunjungi pelayanan kesehatan terdekat.
diketahui, pemberian sesuai dengan tabel di
Tanda bahaya yang wajib diwaspadai :
berikut ini.
a. Sakit kepala yang tidak biasanya
Tabel 14.4 Pemberian TT untuk ibu yang b. Keluarnya darah dari jalan lahir
belum pernah imunisasi atau tidak mengetahui c. Terjadi gangguan penglihatan
status imunisasinya d. Pembengkakan pada wajah / tangan
e. Mual dan muntah yang berlebihan
f. Demam
g. Gerakan janin yang tidak biasanya
atau cenderung tidak bergerak
4. Keluarga diajak untuk mendukung ibu hamil
secara psikologis maupun finansial, bila
memungkinkan siapkan suami siaga
5. Dukung intake nutrisi yang seimbang bagi
ibu hamil.
6. Dukung ibu hamil untuk menghentikan
pemberian ASI bila masih menyusui.
Dosis booster dapat diberikan pada ibu 7. Dukung memberikan ASI eksklusif untuk
yang sudah pernah diimunisasi. Pemberian bayi yang nanti dilahirkan.
dosis booster 0,5 ml IM dan disesuaikan 8. Siapkan keluarga untuk dapat menentukan
degan jumlah vaksinani yang telah diterima kemana ibu hamil harus dibawa bila ada
sebelumnya. Sesuai dengan tabel di berikut ini. perdarahan, perut dan/atau kepala terasa
sangat nyeri, dan tanda-tanda bahaya
Tabel 14.5 Pemberian TT untuk ibu yang sudah
lainnya, tulis dalam buku pemeriksaan
pernah imunisasi
alamat rujukan yang dapat dituju bila
diperlukan.
9. Dengan pasangan ibu hamil didiskusikan
mengenai aktifitas seksual selama
kehamilan. Aktifitas seksual biasa dapat
dilakukan selama kehamilan, posisi dapat
bervariasi sesuai pertumbuhan janin dan
pembesaran perut. Kalau ibu hamil merasa
tidak nyaman ketika melakukan aktifitas
seksual, sebaiknya dihentikan. Aktifitas
seksual tidak dianjurkan pada keadaan:
Konseling dan Edukasi a. riwayat melahirkan prematur
b. riwayat abortus
1. Persiapan persalinan, meliputi: siapa yang c. perdarahan vagina atau keluar duhtubuh
akan menolong persalinan, dimana akan d. plasenta previa atau plasenta letak
melahirkan, siapa yang akan membantu dan rendah
menemani dalam persalinan, kemungkinan e. serviks inkompeten
kesiapan donor darah bila timbul
permasalahan, metode transportasi bila
Peralatan Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
trimester 1 bila ditemukan keadaan di bawah
1. Alat ukur tinggi badan dan berat badan ini:
2. Meteran
3. Laenec atau Doppler 1. hiperemesis
4. Tempat tidur periksa 2. perdarahan per vaginam atau spotting
5. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan 3. trauma
tes kehamilan, darah rutin, urinalisa dan
golongan darah Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
6. Buku catatan pemeriksaan trimester 2 bila ditemukan keadaan di bawah
ini:
7. Buku pegangan ibu hamil
Kriteria Rujukan 1. Gejala yang tidak diharapkan
2. Perdarahan pervaginam atau spotting
Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan 3. Hb selalu berada di bawah 7 gr/dl
trimester 1 atau 2 bila ditemukan keadaan di 4. Gejala preeklampsia, hipertensi, proteinuria
bawah ini: 5. Diduga adanya fetal growth retardation
(gangguan pertumbuhan janin)
Tabel 14.6 Kriteria rujukan ibu hamil
6. Ibu tidak merasakan gerakan bayi
Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
trimester 3 bila ditemukan keadaan di bawah
ini:
1. Sama dengan keadaan tanda bahaya pada
semester 2 ditambah
2. Tekanan darah di atas 130 mmHg
3. Diduga kembar atau lebih
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
2013 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
2. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi
keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010(Prawi
rohardjo, et al., 2010)
2. HIPEREMESIS GRAVIDARUM (MUAL DAN MUNTAH PADA KEHAMILAN)
No. ICPC-2: W05 Pregnancy vomiting/nausea No ICD-10: O21.0 Mild hyperemis gravidarum
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan diperkirakan erat kaitannya dengan faktor-


Mual dan muntah yang terjadi pada awal faktor :
kehamilan sampai umur kehamilan 16 minggu. 1. Peningkatan hormon – hormon kehamilan.
Mual dan muntah yang berlebihan, dapat 2. Adanya riwayat hiperemesis pada
mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam-basa kehamilan sebelumnya.
dan elektrolit dan ketosis keadaan ini disebut 3. Status nutrisi: pada wanita obesitas lebih
sebagai keadaan hiperemesis.Mual biasanya jarang di rawat inap karena hiperemesis.
terjadi pada pagi hari, tapi dapat pula timbul 4. Psikologis: adanya stress dan emosi.
setiap saat dan malam hari. Mual dan muntah ini Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terjadi pada 60-80% primigravida dan 40-60% Sederhana (Objective)
multigravida.Mual dan muntah mempengaruhi
hingga > 50% kehamilan. Keluhan muntah Pemeriksaan fisik
kadang-kadang begitu hebat dimana segala
1. Pemeriksaan tanda vital: nadi meningkat
apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan
100x/mnt, tekanan darah menurun (pada
sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum
keadaan berat), subfebris, dan gangguan
dan mengganggu pekerjaan sehari-hari, berat
kesadaran (keadaan berat).
badan menurun, dehidrasi dan terdapat aseton
2. Pemeriksaan tanda-tanda dehidrasi: mata
dalam urin bahkan seperti gejala penyakit
cekung, bibir kering, turgor berkurang.
appendisitis, pielitis, dan sebagainya.
3. Pemeriksaan generalis: kulit pucat, sianosis,
Hasil Anamnesis (Subjective) berat badan turun> 5% dari berat badan
sebelum hamil, uterus besar sesuai usia
Keluhan kehamilan, pada pemeriksaan inspekulo
1. Mual dan muntah hebat tampak serviks yang berwarna biru.
2. Ibu terlihat pucat Pemeriksaan Penunjang
3. Kekurangan cairan
Pemeriksaan laboratorium
Gejala klinis
1. Darah : kenaikan relatif hemoglobin dan
1. Muntah yang hebat hematokrit.
2. Mual dan sakit kepala terutama pada pagi 2. Urinalisa : warna pekat, berat jenis
hari (morning sickness) meningkat, pemeriksaan ketonuria, dan
3. Nafsu makan turun proteinuria.
4. Beratbadan turun
5. Nyeri epigastrium Penegakan Diagnostik (Assessment)
6. Lemas
Diagnosis klinis
7. Rasa haus yang hebat
8. Gangguan kesadaran Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Faktor Risiko
Hiperemesis gravidarum apabila terjadi:
Belum diketahui secara pasti namun
1. Mual muntah berat menyebabkan hipovolemia, Intrauterine growth
2. Berat badan turun > 5% dari berat sebelum restriction (IUGR)
hamil
3. Ketonuria Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Dehidrasi dan Ketidakseimbangan elektrolit Penatalaksanaan
Klasifikasi hiperemesis gravidarum secara 1. Non Medikamentosa
klinis dibagi menjadi 3 tingkatan, antara lain:
a. Mengusahakan kecukupan nutrisi ibu,
1. Tingkat 1 termasuk suplemantasi vitamin dan
Muntah yang terus menerus, timbul asam folat di awal kehamilan.
intoleransi terhadap makanan dan minuman, b. Makan porsi kecil, tetapi lebih sering.
berat badan menurun, nyeri epigastrium, c. Menghindari makanan yang berminyak
muntah pertama keluar makanan, lendir dan dan berbau lemak.
sedikit cairan empedu, dan yang terakhir d. Istirahat cukup dan hindari kelelahan.
keluar darah. Nadi meningkat sampai 100 e. Efekasi yang teratur.
x/mnt, dan tekanan darah sistolik menurun.
2. Medikamentosa
Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit
berkurang, dan urin sedikit tetapi masih Tatalaksana Umum
normal.
a. Dimenhidrinat 50-100 mg per oral
2. Tingkat 2 atau supositoria, 4-6 kali sehari ATAU
Gejala lebih berat, segala yang dimakan Prometazin 5-10 mg 3-4 kali sehari per
dan diminum dimuntahkan, haus hebat, oral atau supositoria.
subfebris, nadi cepat lebih dari 100-140 x/
mnt, tekanan darah sistolik menurun, apatis, b. Bila masih belum teratasi, tapi tidak
kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus, terjadi dehidrasi, berikan salah satu
aseton, bilirubin dalam urin, dan berat obat di bawah ini:
badan cepat menurun. • Klorpromazin 10-25 mg per oral atau
50-100 mg IM tiap 4-6 jam
3. Tingkat 3 • Prometazin 12,5-25 mg per oral atau
Walaupun kondisi tingkat 3 sangat jarang, IM tiap 4-6 jam
yang mulai terjadi adalah gangguan • Metoklopramid 5-10 mg per oral atau
kesadaran (delirium-koma), muntah IM tiap 8 jam
berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi • Ondansetron 8 mg per oral tiap 12
ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jam
jantung, bilirubin, dan proteinuria dalam c. Bila masih belum teratasi dan terjadi
urin. dehidrasi, pasang kanula intravena dan
berikan cairan sesuai dengan derajat
Diagnosis Banding
hidrasi ibu dan kebutuhan cairannya,
Ulkus peptikum, Inflammatory bowel syndrome, lalu:
Acute Fatty Liver, Diare akut • Berikan suplemen multi vitamin IV
• Berikan dimenhidrinat 50 mg dalam
Komplikasi 50 ml NaCl 0,9% IV selama 20 menit,
Komplikasi neurologis, Stress related mucosal setiap 4-6 jam sekali
injury, stress ulcer pada gaster, Jaundice, • Bila perlu, tambahkan salah satu obat
Disfungsi pencernaan, Hipoglikemia, Malnutrisi, berikut ini:
Defisiensi vitamin terutama thiamin, komplikasi - Klorpromazin 25-50 mg IV tiap 4-6
potensial dari janin, kerusakan ginjal yang jam
- Prometazin 12,5-25 mg IV tiap 4-6 yang baik pada tingkat yang berat, kondisi ini
jam dapat mengancam nyawa ibu dan janin.
- Metoklopramid 5-10 mg tiap 8 jam
per oral Ad vitam : Bonam;
Ad functionam : Bonam;
• Bila perlu, tambahkan Ad sanationam : Bonam
Metilprednisolon 15-20 mg IV tiap 8
jam ATAU ondansetron 8 mg selama Referensi
15 menit IV tiap 12 jam atau 1 mg/ 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
jam terus-menerus selama 24 jam. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Konseling dan Edukasi Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
1. Memberikan informasi kepada pasien, 2013(Kementerian Kesehatan Republik
suami, dan keluarga mengenai kehamilan Indonesia, 2013)
dan persalinansuatu proses fisiologik.
2. World Health Organization, Kementerian
2. Memberikan keyakinan bahwa mual dan Kesehatan, Perhimpunan Obstetri Dan
kadang-kadang muntah merupakan gejala Ginekologi, Ikatan Bidan Indonesia.
fisiologik pada kehamilan muda dan akan Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas
hilang setelah usia kehamilan 4 bulan. Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Edisi I.
Jakarta 2013. Hal 82-
3. Hindari kelelahan pada ibu dengan aktivitas
3 (Kementerian Kesehatan Republik
berlebihan.
Indonesia, 2013)
4. Memperhatikan kecukupan nutrisi ibu, dan
3. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
sedapat mungkin mendapatkan suplemen
Raschimhadhi, T. Wiknjosastro, G.H, 2010.
asam folat di awal kehamilan.
Ilmu Kebidanan. Ed 4. Cetakan ketiga. Jakarta:
Kriteria Rujukan PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010; Hal 814-818. (Prawirohardjo, et al.,
1. Ditemukan gejala klinis dan ada gangguan 2010)
kesadaran (tingkat 2 dan 3).
4. Wiknjosastro, H.Hiperemesis Gravidarum
2. Adanya komplikasi gastroesopagheal reflux dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta: Balai
disease (GERD), ruptur esofagus, perdarahan Penerbit FKUI. 2005: Hal 275-280.
saluran cerna atas dan kemungkinan (Prawirohardjo, et al., 2010)
defisiensi vitamin terutama thiamine.
5. Ronardy, D.H. Ed. Obstetri Williams. Ed
3. Pasien telah mendapatkan tindakan 18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
awal kegawatdaruratan sebelum proses 2006:9, 996. (Ronardy, 2006)
rujukan.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah rutin
2. Laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis umumnya bonam dan sangat
memuaskan jika dilakukan penanganan dengan
baik. Namun jika tidak dilakukan penanganan
3. ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA KEHAMILAN
No. ICPC-2: B80 Irondeficiency anaemia No. ICD-10: D50 Iron deficiency anaemia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Anemia dalam kehamilan adalah kelainan pada Diagnosis Klinis
ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11g/dl
Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III)
pada trimester I dan III atau <10,5 g/dl pada
atau< 10,5 g/dl (pada trimester II). Apabila
trimester II. Penyebab tersering anemia pada
diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
kehamilan adalah defisiensi besi, perdarahan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat
akut, dan defisiensi asam folat.
morfologi sel darah merah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Banding
Keluhan Anemia akibat penyakit kronik, Trait
1. Badan lemah, lesu Thalassemia, Anemia sideroblastik
2. Mudah lelah Komplikasi : -
3. Mata berkunang-kunang
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Tampak pucat
5. Telinga mendenging Penatalaksanaan
6. Pica: keinginan untuk memakan bahan-
bahan yang tidak lazim 1. Lakukan penilaian pertumbuhan dan
kesejahteraan janin dengan memantau
Faktor Risiko : - pertambahan ukuran janin
2. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak
Faktor Predisposisi
tersedia, berikan tablet tambah darah yang
1. Perdarahan kronis berisi 60 mg besi elemental dan 250 μg
2. Riwayat keluarga asam folat.Pada ibu hamil dengan anemia,
3. Kecacingan tablet besi diberikan 3 kali sehari.
4. Gangguan intake (diet rendah zat besi,) 3. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan
5. Gangguan absorbsi besi penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang perifer lengkap dan apus darah tepi.
Sederhana (Objective )
Bila tidak tersedia, pasien bisa di rujuk ke
Pemeriksaan Fisik Patognomonis pelayanan sekunder untuk penentuan jenis
1. Konjungtiva anemis anemia dan pengobatan awal.
2. Atrofi papil lidah Tabel 14.7 Sediaan suplemen besi yang beredar
3. Stomatitis angularis (cheilosis)
4. Koilonichia: kuku sendok (spoon nail)
Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar hemoglobin
2. Apusan darah tepi
4. Anemia mikrositik hipokrom dapat pemberian suplementasi besi selama 3
ditemukan pada keadaan: bulan
a. Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan 3. Anemia yang disertasi perdarahan kronis,
ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin agar dicari sumber perdarahan dan
< 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan ditangani.
dosis setara 180 mg besi elemental per
hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan Peralatan
pemeriksaan SI dan TIBC. Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
b. b. Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan Prognosis
thalassemia perlu dilakukan
tatalaksana bersama dokter spesialis Prognosis umumnya adalah bonam, sembuh
penyakit dalam untuk perawatan yang lebih tanpa komplikasi
spesifik Referensi
c. Anemia normositik normokrom dapat 1. KementerianKesehatan RI dan WHO.
ditemukan pada keadaan: Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu
d. Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
dan gejala aborsi, mola, kehamilan ektopik, Rujukan. Jakarta :KementerianKesehatan
atau perdarahan pasca persalinan infeksi RI. 2013(Kementerian Kesehatan Republik
kronik Indonesia, 2013)

e. Anemia makrositik hiperkrom dapat


ditemukan pada keadaan: Defisiensi asam
folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1
x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg
Konseling dan Edukasi
1. Prinsip konseling pada anemia defisiensi
besi adalah memberikan pengertian kepada
pasien dan keluarganya tentang perjalanan
penyakit dan tata laksananya, sehingga
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
dalam berobat serta meningkatkan kualitas
hidup pasien untuk mencegah terjadinya
anemia defisiensi besi.
2. Diet bergizi tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani
(daging,ikan,susu, telur,sayuran hijau)
3. Pemakaian alas kaki untuk mencegah
infeksi cacing tambang
Kriteria Rujukan
1. Pemeriksaan penunjang menentukan jenis
anemia yang ibu derita
2. Anemia yang tidak membaik dengan
4. PRE-EKLAMPSIA
No. ICPC-2: W81 Toxaemia of pregnancy
No. ICD-10: O14.9 Pre-eclampsia, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik pada Sederhana(Objective)
kehamilan di atas 20 minggu yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon Pemeriksaan Fisik
maternal terhadap adanya inflamasi spesifik 1. Pada pre-eklampsia ringan:
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. a. Tekanan darah 140/90 mmHg pada usia
Tanda utama penyakit ini adanya hipertensi dan kehamilan > 20 minggu
proteinuria. Pre- eklampsia merupakan masalah b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria
kedokteran yang serius dan memiliki tingkat +1 atau pemeriksaan protein kuantitatif
komplesitas yang tinggi. Besarnya masalah ini menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam
bukan hanya karena pre-eklampsia berdampak 2. Pada pre-eklampsia berat:
pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun a. Tekanan darah > 160/110 mmHg pada
juga menimbulkan masalah pasca-persalinan. usia kehamilan > 20 minggu
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria
Hasil Anamnesis (Subjective) +2 atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil > 5g/24 jam
Keluhan
c. Atau disertai keterlibatan organ lain:
1. Pusing dan nyeri kepala • Trombositopenia (<100.000
2. Nyeri ulu hati sel/uL), hemolisis mikroangiopati
3. Pandangan kurang jelas • Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri
4. Mual hingga muntah abdomen kuadran kanan atas
• Sakit kepala, skotoma penglihatan
Faktor Risiko • Pertumbuhan janin terhambat,
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi oligohidroamnion
menyebabkan penyakit mikrovaskular • Edema paru atau gagal jantung
(antaralain : diabetes melitus, hipertensi kongestif
kronik, gangguanpembuluhdarah) • Oligouria (<500cc/24 jam), kreatinin
2. Sindrom antibody antiphospholipid (APS) > 1.2 mg/dl
3. Nefropati Penegakan Diagnostik (Assessment)
4. Faktor risiko lainnya dihubungkan dengan
kehamilan itu sendiri, dan faktor spesifik dari Diagnosis klinis
ibu atau janin.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
a. Umur > 40 tahun
gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
b. Nullipara dan Kehamilan multipel
penunjang yang telah dilakukan.
5. Obesitas sebelum hamil
6. Riwayat keluarga pre-eklampsia dan Diagnosis Banding
eklampsia
7. Riwayat pre-eklampsia pada kehamilan Hipertensi gestasional, Hipertensi Kronik,
sebelumnya Hipertensi Kronik dengan superimposed
preeklampsia
Komplikasi Gambar 14. 1 Penatalaksanaan Pemberian
dosis awal dan rumatan MgSO4 pada pasien
Sindrome HELLP, pertumbuhan janin intra uterin pre-eklampsia
yang terhambat, edema paru, kematian janin,
koma, kematian ibu
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Non Medikamentosa
1. Pre-eklampsia ringan
a. Dapat di rawat jalan dengan
pengawasan dan kunjungan antenatal
yang lebih sering.
b. Dianjurkan untuk banyak istirhat
dengan baring atau tidur miring. Namun
tidak mutlak selalu tirah baring
c. Diet dengan cukup protein dengan
rendah karbohidrat, lemak dan garam
secukupnya.
d. Pemantuan fungsi ginjal, fungsi hati,
dan protenuria berkala
2. Pre-eklampsia berat
Segera melakukan perencanaan untuk
rujukan segera ke Rumah Sakit dan
menghindari terjadi kejang dengan 2. Rawat jalan (ambulatoir)
pemberian MgSO4. a. Ibu hamil banyak istirahat (berbaring/
tidur miring)
Medikamentosa b. Konsumsi susu dan air buah
1. Pantau keadaan klinis ibu tiap kunjungan c. Antihipertensi
antenatal: tekanan darah, berat badan, • Ibu dengan hipertensi berat selama
tinggi badan, indeks masa tubuh, ukuran kehamilan perlu mendapatkan terapi
uterus dan gerakan janin. antihipertensi.
• Pilihan antihipertensi didasarkan
Tabel 14.8 Obat Antihipertensi untuk ibu hamil terutama pada pengalaman dokter
dan ketersediaan obat.
Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan
1. Pada ibu dengan preeklampsi berat dengan
janin sudah viable namun usia kehamilan
belum mencapai 34 minggu, manajemen
ekspektan dianjurkan, asalkan tidak terdapat
kontraindikasi.
2. Pada ibu dengan preeklampsi berat, dimana
usia kehamilan 34-37 minggu, manajemen
ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak
Antihipertensi golongan ACE Inhibitor (misalnya
terdapat hipertensi yang tidak terkontrol,
kaptopril) , ARB, (misalnya Valsartan) dan
disfungsi organ ibu, dan gawat janin.
klorotiazid dikontraindikasikan pada ibu hamil.
3. Pada ibu dengan preeklampsi berat yang
kehamilannya sudah aterm, persalinan dini
dianjurkan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
4. Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau 2013 (Kementerian Kesehatan Republik
hipertensi gestasional ringan yang sudah Indonesia, 2013)
aterm, induksi persalinan dianjurkan.
2. Report on the national high blood
Konseling dan Edukasi pressure education program working
group on high blood pressure in pregnancy.
1. Memberikan informasi mengenai keadaan AJOG.2000: Vol.183. (National High Blood
kesehatan ibu hamil dengan tekanan darah Pressure Education Program Working
yang tinggi. Group on High Blood Pressure in Pregnancy,
2. Melakukan edukasi terhadapa pasien, 2000)
suami dan keluarga jika menemukan gejala
atau keluhan dari ibu hamil segera 3. Lana, K. Wagner, M.D. Diagnosis and
memberitahu petugas kesehatan atau management of pre- eklampsia. The
langsung ke pelayanan kesehatan American Academy of Family Physicians.
3. Sebelum pemberian MgSO4, pasien terlebih 2004 Dec 15; 70 (12): 2317-2324).(Lana &
dulu diberitahu akan mengalami rasa panas Wagner, 2004)
dengan pemberian obat tersebut.
4. Suami dan keluarga pasien tetap diberi 4. Cunningham, F.G. et.al. Hypertensive
motivasi untuk melakukan pendampingan Disorder in Pregnancy.Williams Obstetrics.
terhadap ibu hamil selama proses rujukan 21st Ed. Prentice Hall International Inc.
Connecticut: Appleton and Lange.
Kriteria Rujukan 2001; p. 653 -694.(Cunningham, et al.,
2001)
1. Rujuk bila ada satu atau lebih gejala
dan tanda-tanda preeklampsia berat ke 5. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
fasilitas pelayanan kesehatan sekunder. T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
2. Penanganan kegawatdaruratan harus di Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
lakukan menjadi utama sebelum dan cetakan ketiga. Jakarta :PT Bina Pustaka
selama proses rujukan hingga ke Pelayanan Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 550-554.
Kesehatan sekunder. (Prawirohardjo, et al., 2010)
Peralatan 6. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis
1. Doppler atau Laenec dan Tata Laksana Pre-eklampsia. Jakarta:
2. Palu Patella Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Obat-obat Antihipertensi (Kementerian Kesehatan Republik
4. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Indonesia, 2013)
darah rutin dan urinalisa.
5. Larutan MgSO4 40%
6. Larutan Ca Glukonas
Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam baik
bagi ibu maupun janin.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
5. EKLAMPSI
No. ICPC-2
: W81 Toxaemia of pregnancy
No. ICD-10
: O15.9 Eclampsia, unspecified as to time period
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
3. Riwayat preeklampsia ringan dan berat
Eklampsia merupakan kasus akut pada dalam kehamilan sebelumnya.
penderita pre-eklampsia, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan atau koma. Sama halnya Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dengan pre-eklampsia, eklampsia dapat timbul Sederhana(Objective)
pada ante, intra, dan post partum. Eklampsia Pemeriksaan Fisik
post partum umumnya hanya terjadi dalam
waktu 24 jam pertama setelah persalinan. 50- 1. Pemeriksaan keadaan umum: sadar atau
60% kejadian eklampsia terjadi dalam keadaan penurunan kesadaran Glasgow Coma Scale
hamil. 30-35% kejadian eklampsia terjadi pada dan Glasgow-Pittsburg Coma Scoring
saat inpartu, dan sekitar 10% terjadi setelah System.
persalinan.
2. Pada tingkat awal atau aura yang
Pada negara berkembang kejadian ini berkisar berlangsung 30 sampai 35 detik, tangan dan
0,3-0,7%. Di Indonesia Pre eklampsia dan kelopak mata bergetar, mata terbuka
eklampsia penyebab kematian ibu berkisar 15- dengan pandangan kosong.
25%, sedangkan 45-50% menjadi penyebab
3. Tahap selanjutnya timbul kejang
kematian bayi.
4. Pemeriksaan tanda vital
Hasil Anamnesis (Subjective)
5. Adanya peningkatan tekanan darah diastol
Keluhan
>110 mmHg
Kejang yang diawali dengan gejala-gejala
6. Sianosis
prodromal eklampsia, antara lain:
7. Skotoma penglihatan
1. Nyeri kepala hebat
2. Gangguan penglihatan 8. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda
3. Muntah-muntah edema paru dan atau gagal jantung
4. Nyeri uluhati atau abdomen bagian atas
Pemeriksaan Penunjang
5. Kenaikan progresif tekanan
darah Faktor Risiko Dari pemeriksaan urinalisa didapatkan
proteinuria ≥ 2+
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi
menyebabkan penyakit mikrovaskular Penegakan Diagnostik (Assessment)
(antara lain: diabetes melitus, hipertensi Diagnosis Klinis
kronik, gangguan pembuluh darah dan
jaringan ikat) Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
2. Sindrom antibody antiphospholipid, dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
nefropati. Faktor risiko lainya dihubungkan Diagnosis Banding
dengan kehamilan itu sendiri, dan faktor
spesifik dari ibu atau ayah janin. Kejang pada eklampsia harus dipikirkan
kemungkinan kejang akibat penyakit lain, oleh
karena itu sebagai diagnosis banding eklampsia b. ada refleks patella,
antara lain: Hipertensi, perdarahan otak, lesi di c. jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam d.
otak, Meningitis, Epilepsi , Kelainan metabolik frekuensi napas 12-16x/menit.
2. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis
1. Komplikasi pada ibu: sianosis, aspirasi ,
rumatan 6 g MgSO4 (15ml MgSO4 40%,
pendarahan otak dan kegagalan jantung,
larutkan dalam 500 ml larutan Ringer
mendadak, lidah tergigit, jatuh dari tempat
Laktat/ Ringer asetat) 28 tetes/ menit
tidur yang menyebabkan fraktur dan luka,
selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam
gangguan fungsi ginjal, perdarahan atau
setelah persalinan atau kejang berakhir.
ablasio retina, gangguan fungsi hati dan
3. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat
ikterus
diberikan seluruhnya, berikan dosis awal
2. Komplikasi pada janin: Asfiksia mendadak (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke
disebabkan spasme pembuluh darah, fasilitas kesehatan sekunder .
Solusio plasenta, persalinan prematuritas 4. Diazepam juga dapat dijadikan alternatif
pilihan dengan dosis 10 mg IV selama 2
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan) menit (perlahan), namun mengingat dosis
Penatalaksanaan yang dibutuhkan sangat tinggi dan memberi
dampak pada janin, maka pemberian
Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah diazepam hanya dilakukan apabila tidak
terapi supportif untuk stabilisasi fungsi vital, tersedia MgSO4.
dengan pemantauan terhadap Airway, Breathing, 5. Stabilisasi selama proses perjalanan rujukan
Circulation (ABC). a. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam,
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
Non Medikamentosa
frekuensi pernapasan, refleks patella.
Pengelolaan Kejang b. b. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/
menit, dan/atau tidak didapatkan
1. Pemberian obat anti kejang. refleks tendon patella, danatau terdapat
2. Masukan sudap lidah ke dalam mulut oliguria (produksi urin <0,5
penderita. ml/kg BB/jam), segera hentikan
3. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi pemberian MgSO4.
trendelenburg untuk mengurangi risiko 6. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca
aspirasi. glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
4. Katerisasi urine untuk pengukuran cairan bolus dalam 10 menit.
dan pemeriksaan proteinuria.
5. Beberapa keluarga pasien membantu untuk Kriteria Rujukan
menjaga pasien tidak terjatuh dari tempat
Eklampsia merupakan indikasi rujukan yang
tidur saat kejang timbul
wajib di lakukan.
6. Beri O2 4 - 6 liter permenit.
Peralatan
Medikamentosa
1. Oropharyngeal airway / Guedel
1. MgSO4diberikan intravena dengan dosis
2. Kateter urin
awal 4 g (10ml MgSO4 40%, larutkan dalam
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
10 ml akuades) secara perlahan selama 20
urin (menilai kadar proteinuria).
menit, jika pemberian secara intravena
4. Larutan MgSO4 40%
sulit, dapat diberikan secara IM dengan
5. Ca Glukonas
dosis 5mg masing bokong kanan dan kiri.
6. Diazepam injeksi
Adapun syarat pemberian MgSO4
7. Palu
a. tersedianya CaGlukonas10%
Prognosis 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Prognosis umumnya dubia ad malam baik untuk Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
ibu maupun janin. Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.
Referensi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 550-554.
(Prawirohardjo, et al., 2010)

6. ABORTUS
No. ICPC-2 No. ICD-10 No. ICPC-2 No. ICD-10
: W82 Abortion spontaneous
: O03.9 Unspecified abortion, complete, without complication
: W82 Abortion spontaneous
: O06.4 Unspecified abortion, incomplete, without complication
Tingkat Kemampuan Abortus komplit 4A Abortus inkomplit 3B Abortus insipiens 3B

Masalah Kesehatan Keluhan yang terdapat pada pasien abortus


Abortus ialah ancaman atau pengeluaran antara lain:
hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar 1. Abortus imminens
kandungan,dan sebagai batasan digunakan a. Riwayat terlambat haid dengan hasil
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat B HCG (+) dengan usia kehamilan
anak kurang dari 500 gram. dibawah 20 minggu
Jenis dan derajat abortus : b. Perdarahan pervaginam yang tidak
terlalu banyak, berwarna kecoklatan
1. Abortus imminens adalah abortus tingkat dan bercampur lendir
permulaan, dimana terjadi perdarahan c. Tidak disertai nyeri atau kram
pervaginam ostium uteri masih tertutup 2. Abortus insipiens
dan hasil konsepsi masih baik dalam a. Perdarahan bertambah banyak,
kandungan. berwarna merah segar disertai
2. Abortus insipiens adalah abortus yang terbukanya serviks
sedang mengancam dimana serviks telah b. Perut nyeri ringan atau spasme
mendatar dan ostium uteri telah membuka, (seperti kontraksi saat persalinan)
akan tetapi hasil konsepsi masih dalam 3. Abortus inkomplit
kavum uteri. a. Perdarahan aktif
3. Abortus inkomplit adalah sebagian hasil b. Nyeri perut hebat seperti kontraksi saat
konsepsi telah keluar dari kavum uteri persalinan
masih ada yang tertinggal. c. Pengeluaran sebagian hasil konsepsi
4. Abortus komplit adalah seluruh hasil d. Mulut rahim terbuka dengan sebagian
konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada sisa konsepsi tertinggal
kehamilan kurang dari 20 minggu. e. Terkadang pasien datang dalam
keadaan syok akibat perdarahan
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Abortus komplit c. Abortus inkomplit
a. Perdarahan sedikit • Osteum uteri terbuka, dengan
b. Nyeri perut atau kram ringan terdapat sebagian sisa konsepsi
c. Mulut rahim sudah tertutup • Perdarahan aktif
d. Pengeluaran seluruh hasil konsepsi • Ukuran uterus sesuai usia kehamilan
d. Abortus komplit
Faktor Risiko • Osteum uteri tertutup
1. Faktor Maternal • Perdarahan sedikit
a. Penyakit infeksi • Ukuran uterus lebih kecil usia
b. Kelainan hormonal, seperti kehamilan
hipotiroidisme
Pemeriksaan Penunjang
c. Gangguan nutrisi yang berat
d. Penyakit menahun dan kronis 1. Pemeriksaan USG.
e. Alkohol, merokok dan penggunaan 2. Pemeriksaan tes kehamilan (BHCG):
obat-obatan biasanya masih positif sampai 7-10 hari
f. Anomali uterus dan serviks setelah abortus.
g. Gangguan imunologis 3. Pemeriksaan darah perifer lengkap
h. Trauma fisik dan psikologis Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Faktor Janin: Adanya kelainan genetik pada
janin Diagnosis Klinis
3. Faktor ayah: Terjadinya kelainan sperma
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang pemeriksaan fisik, dan pemeriksaam penunjang.
Sederhana (Objective)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Fisik
Kehamilan ektopik, Mola hidatidosa, Missed
1. Penilaian tanda vital (tekanan darah, nadi, abortion
respirasi, suhu)
2. Penilaian tanda-tanda syok Komplikasi
3. Periksa konjungtiva untuk tanda anemia Komplikasi yang dapat terjadi pada abortus
4. Mencari ada tidaknya massa abdomen ialah perdarahan, infeksi, perforasi, syok
5. Tanda-tanda akut abdomen dan defans
musculer Tabel 14.9 Macam – macam Abortus
6. Pemeriksaan ginekologi, ditemukan:
a. Abortus iminens
• Osteum uteri masih menutup
• Perdarahan berwarna kecoklatan
disertai lendir
• Ukuran uterus sesuai dengan usia
kehamilan
• Detak jantung janin masih ditemukan
b. Abortus insipiens
• Osteum uteri terbuka, dengan
terdapat penonjolan kantong dan
didalamnya berisi cairan ketuban
• Perdarahan berwarna merah segar
• Ukuran uterus sesuai dengan usia
kehamilan
• Detak jantung janin masih ditemukan
Gambar 14.2 Jenis abortus Tablet penambah darah
f. Vitamin ibu hamil diteruskan
2. Abortus insipiens
a. Lakukan konseling untuk menjelaskan
kemungkinan risiko dan
rasa tidak nyaman selama tindakan
evakuasi, serta memberikan informasi
mengenai kontrasepsi paska keguguran.
b. Jika usia kehamilan < 16 minggu
: lakukan evakuasi isi uterus; Jika
evakuasi tidak dapat dilakuka segera:
berikan ergometrin 0.2 mg IM (dapat
diulang 15 menit kemudian bila perlu)
c. Jika usia kehamilan > 16 minggu:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Tunggu pengeluaran hasil konsepsi
Penatalaksanaan Umum secara spontan dan evakuasi hasil
konsepsi dari dalam uterus. Bila perlu
Pada keadaan abortus kondisi ibu bisa memburuk berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L
dan menyebabkan komplikasi. Hal pertama yang NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan 40
harus dilakukan adalah penilaian cepat tetes per menit
terhadap tanda vital (nada, tekanan darah, d. Lakukan pemantauan paska tindakan
pernasapan dan suhu). Pada kondisi di jumpai setiap 30 menit selama 2 jam, Bila
tanda sepsis atau dugaan abortus dengan kondisi baik dapat dipindahkan ke ruang
komplikasi, berikan antibiotika dengan rawat.
kombinasi: e. Lakukan pemeriksaan jaringan secara
makroskopik dan kirimkan untuk
1. Ampicilin 2 gr IV /IM kemudian 1 gr setiap 6
pemeriksaan patologi ke laboratorium
jam
f. Lakukan evaluasi tanda vital,
2. Gentamicin 5 mg/KgBB setiap 24 jam
perdarahan pervaginam, tanda akut
3. Metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam
abdomen, dan produksi urin tiap 6 jam
4. Segera melakukan rujukan ke pelayanan
selama 24 jam. Periksa kadar Hb
kesehatan Sekunder / RS
setelah 24 jam. Bila kadar Hb > 8gr/dl
Penatalaksaan Khusus sesuai dengan Jenis dan keadaan umum baik, ibu
Abortus diperbolehkan pulang
3. Abortus inkomplit
1. Abortus imminens: a. Lakukan konseling
a. Pertahankan kehamilan b. Observasi tanda vital (tensi, nadi, suhu,
b. Tidak perlu pengobatan khusus respirasi)
c. Jangan melakukan aktivitas fisik c. Evaluasi tanda-tanda syok, bila
berlebihan atau hubungan seksual terjadi syok karena perdarahan,
d. Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi pasang IV line (bila perlu 2 jalur) segera
ibu selanjutnya pada pemeriksaan berikan infus cairan NaCl fisiologis atau
antenatal termasuk pemantauan kadar cairan ringer laktat disusul dengan
Hb dan USG panggul serial setiap 4 darah.
minggu. Lakukan penilaian ulang bila d. Jika perdarahan ringan atau
perdarahan terjadi lagi sedang dan kehamilan <16 minggu,
e. Jika perdarahan tidak berhenti, gunakan jari atau forcep cincin untuk
nilai kondisi janin dengan USG, nilai mengeluarkan hasil konsepsi yang
kemungkinan adanya penyebab lain. f. mencuat dari serviks
e. Jika perdarahan berat dan usia Rencana Tindak Lanjut
kehamilan < 16 minggu, lakukan 1. Melakukan konseling untuk memberikan
evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum dukungan emosional
manual (AVM) merupakan metode 2. Menganjurkan penggunaan kontrasepsi
yang dianjurkan. Kuret tajam sebaiknya pasca keguguran karena kesuburan
hanya dilakukan apabila AVM tidak dapat kembali kira-kira 14 hari setelah
tersedia. Jika evakuasi tidak dapat keguguran. Untuk mencegah kehamilan,
dilakuka segera: berikan ergometrin 0.2 Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
mg IM (dapat diulang 15 menit umumnya dapat dipasang secara aman
kemudian bila perlu) setelah aborsi spontan atau diinduksi.
f. Jika usia kehamilan > 16 minggu Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca
berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L keguguran antara lain adalah infeksi pelvik,
NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan 40 abortus septik, atau komplikasi serius lain
tetes per menit. Lakukan pemantauan dari abortus.
paska tindakan setiap 30 menit selama 3. Follow up dilakukan setelah 2 minggu.
2 jam, Bila kondisi baik dapat
dipindahkan ke ruang rawat. Kriteria Rujukan
g. Lakukan pemeriksaan jaringan secara Abortus Insipiens, Abortus Inkomplit, perdarahan
makroskopik dan kirimkan untuk yang banyak, nyeri perut, ada pembukaan
pemeriksaan patologi ke laboratorium serviks, demam, darah cairan berbau dan kotor
h. Lakukan evaluasi tanda vital,
perdarahan pervaginam, tanda akut Peralatan
abdomen, dan produksi urin tiap 6 jam 1. Inspekulo
selama 24 jam. Periksa kadar Hb 2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksan
setelah 24 jam. Bila kadar Hb > 8gr/dl tes kehamilan .
dan keadaan umum baik, ibu 3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
diperbolehkan pulang darah rutin.
4. Abortus komplit 4. USG
Tidak memerlukan pengobatan khusus,
hanya apabila menderita anemia perlu Prognosis
diberikan sulfas ferosus dan dianjurkan Prognosis umumnya bonam.
supaya makanannya mengandung banyak
protein, vitamin dan mineral. Referensi

Pencegahan 1. Saifuddin, A.B. Ilmu Kebidanan. Perdarahan


pada kehamilan muda. Ed 4. Jakarta: Yayasan
1. Pemeriksaan rutin antenatal Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.2009: p.
2. Makan makanan yang bergizi (sayuran, 460-474.(Prawirohardjo, et al., 2010)
susu,ikan, daging,telur). 2. KementerianKesehatan RI dan WHO.
3. Menjaga kebersihan diri, terutama daerah Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
kewanitaan dengan tujuan mencegah Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
infeksi yang bisa mengganggu proses Jakarta: KementerianKesehatan RI.
implantasi janin. 2013(Kementerian Kesehatan Republik
4. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai Indonesia, 2013)
efek vasoaktif sehingga menghambat 3. Saifuddin, A.B. Buku Acuan Pelayanan
sirkulasi uteroplasenta. Kesehatan Maternal dan Neonatal.
5. Apabila terdapat anemia sedang berikan Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
tablet Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 2 Prawirohardjo.2001; 146-147.(Saifuddin,
minggu,bila anemia berat maka berikan 2011)
transfusi darah.
7. KETUBAN PECAH DINI (KPD)
No. ICPC-2 : W92 Complicated labour/delivery livebirth
No. ICD-10 : 042.9 Premature rupture of membrane, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya Sederhana (Objective)
selaput ketuban sebelum persalinan atau Pemeriksaan Fisik
dimulainya tanda inpartu. Bila ketuban pecah
dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu 1. Tercium bau khas ketuban
disebut ketuban pecah dini pada kehamilan 2. Apakah memang air ketuban keluar dari
prematur. kanalis servikalis pada bagian yang sudah
pecah, lihat dan perhatikan atau terdapat
Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil cairan ketuban padaforniks posterior.
aterm akan mengalami ketuban pecah dini. 3. Menentukan pecahnya selaput ketuban
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% dengan adanya cairan ketuban di vagina.
kehamilan. Pastikan bahwa cairan tersebut adalah
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur cairan amnion dengan memperhatikan bau
disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, cairan ketuban yang khas.
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. 4. Jika tidak ada cairan amnion, dapat dicoba
Ketuban pecah dini prematur sering terjadi dengan menggerakkan sedikit bagian
pada polihidramnion, inkompeten serviks, dan terbawah janin atau meminta pasien batuk
solusio plasenta. atau mengejan
5. Tidak ada tanda inpartu
Hasil Anamnesis (Subjective) 6. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai
adanya tanda-tanda infeksi pada ibu
Keluhan
dengan mengukur suhu tubuh (suhu ≥
1. Terasa keluar air dari jalan lahir 380C).
2. Biasanya tanpa disertai dengan kontraksi
Pemeriksaan Penunjang
atau tanda inpartu
1. Pemeriksaan pH vagina (cairan ketuban)
Adanya riwayat keluarnya air ketuban berupa
dengan kertas lakmus (Nitrazin test) dari
cairan jernih keluar dari vagina yang kadang-
merah menjadi biru , sesuai dengan sifat air
kadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan.
ketuban yang alkalis
Pada anamnesis, hal-hal yang perlu digali 2. Pemeriksaan mikroskopis tampak
adalah menentukan usia kehamilan, adanya gambaran pakis yang mengering pada
cairan yang keluar dari vagina, warna cairan yang sekret serviko vaginal.
keluar dari vagina, dan adanya demam. 3. Dilakukan dengan meneteskan air ketuban
pada gelas objek dan dibiarkan mengering.
Faktor Risiko : Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
Multiparitas, Hidramnion, Kelainan letak ; gambaran daun pakis.
sungsang atau melintang, Kehamilan ganda, 4. Pemeriksaan darah rutin, leukosit> 15.000/
Cephalo Pelvic Disproportion, Infeksi, mm3.
Perdarahan antepartum
Penegakan Diagnostik (Assessment) c. < 24 minggu:
Diagnosis Klinis • Pertimbangan dilakukan
dengan
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
melihat risiko ibu dan janin.
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
• Lakukan konseling pada pasien.
Diagnosis Banding : -
Terminasi kehamilan mungkin
Komplikasi yang timbul bergantung pada usia menjadi pilihan.
kehamilan
• Jika terjadi infeksi (koroiamnionitis),
1. Infeksi maternal korioamnionitis dan lakukan tatalaksana koriamnionitis.
neonatal
Konseling dan Edukasi
2. Persalinan prematur
3. Hipoksia karena kompresi tali pusat 1. Memberikan informasi kepada ibu, adanya
4. Deformitas janin air ketuban yang keluar sebelum tanda
5. Meningkatnya insiden seksio sesarea, atau inpartu
gagal persalinan normal.
2. Menenangkan ibu dan memberitahu
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) kepada suami dan keluarga
Penatalaksanaan 3. agar ibu dapat diberi kesempatan untuk
tirah baring.
1. Pembatasan aktivitas pasien.
4. Memberi penjelasan mengenai persalinan
2. Apabila belum inpartuberikan Eritromisin 4
yang lebih cepat dan rujukan yang akan
x 250 mg selama 10 hari.
dilakukan ke pusat pelayanan sekunder.
3. Segera rujuk pasien ke fasilitas pelayanan
Kriteria rujukan
sekunder
Ibu hamil dengan keadaan ketuban pecah
4. Di RS rujukan :
dini merupakan kriteria rujukan ke pelayanan
a. ≥ 34 minggu : lakukan induksi kesehatan sekunder.
persalinan dengan oksitosin bila tidak
Peralatan
ada kontraindikasi
1. Inspekulo
b. 24-33 minggu:
2. Kertas lakmus (Nitrazin test)
• Bila terdapat amnionitis, abruptio 3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
plasenta, dan kematian janin, lakukan darah rutin
persalinan segera.
Prognosis
• Berikan Deksametason 6 mg IM tiap
Prognosis Ibu
12 jam selama 48 jam.
1. Ad vitam : Bonam
• Lakukan pemeriksaan serial untuk
2. Ad functionam : Bonam
menilai kondisi ibu dan janin.
3. Ad sanationam : Bonam
• Bayi dilahirkan di usia 34 minggu,
Prognosis Janin
bila dapat dilakukan pemeriksaan
kematangan paru dan hasil 1. Ad vitam : Dubia ad bonam
menunjukan bahwa paru sudah 2. Ad functionam : Dubia ad bonam
matang. 3. Ad sanationam : Dubia ad Bonam
Referensi 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi, Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013
Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat (Kementerian Kesehatan Republik
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Indonesia, 2013)
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 677-680.
(Prawirohardjo, et al., 2010)

8. PERSALINAN LAMA
No. ICPC-2: W92 Life birth
W93 still birth
No. ICD-10: O63.9 Long labour
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
3. Passage : panggul sempit, kelainan serviks
Persalinan lama adalah persalinan yang atau vagina, tumor
berlangsung lebih dari 18-24 jam sejak dimulai
dari tanda-tanda persalinan. 4. Gabungan : jalan lahir dari faktor-faktor di
atas
Etiologi:
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
1. Kepala janin yang besar / hidrosefalus sederhana (Objective)
2. Kembar terkunci
3. Kembar siam Pemeriksaan Fisik Patognomonis
4. Disporsi fetopelvik
1. Pada ibu:
5. Malpresentasi dan malposisi
a. Gelisah
6. Deformitas panggul karena trauma atau
b. Letih
polio
c. Suhu badan meningkat
7. Tumor daerah panggul
d. Berkeringat
8. Infeksi virus di perut atau uterus
e. Nadi cepat
9. Jaringan arut (dari sirkumsisi wanita)
f. Pernafasan cepat
Hasil Anamnesis (Subjective) g. Meteorismus
h. Bandle ring, edema vulva, oedema
Pasien datang dalam kondisi fase persalinan serviks, cairan ketuban berbau terdapat
Kala 1 atau Kala 2 dengan status: kelainan mekoneum
pembukaan serviks atau partus macet. 2. Pada janin:
Faktor Risiko: a. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak
teratur, bahkan negatif
(“Po, Pa, Pa”atau gabungan 3 P ) b. Air ketuban terdapat mekoneum kental
kehijau-hijauan, cairan berbau
1. Power : His tidak adekuat (his dengan
c. Caput succedenium yang besar
frekuensi <3x/10 menit dan
d. Moulage kepala yang hebat
2. Passenger : Durasi setiap kontraksinya <40 e. Kematian janin dalam kandungan
detik) malpresentasi, malposisi, janin besar f. Kematian janin intrapartal
Kelainan Pembukaan Serviks Faktor Predisposisi
1. Persalinan Lama 1. Paritas dan interval kelahiran
2. Ketuban pecah dini
a. Nulipara:
• Kemajuan pembukaan (dilatasi) Pemeriksaan penunjang :
serviks pada fase aktif< 1,2 cm/jam 1. Partograf
• Kemajuan turunnya bagian terendah 2. Doppler
< 1 cm/jam 3. Urin
4. Darah tepi lengkap
b. Multipara:
Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Kemajuan pembukaan (dilatasi)
serviks pada fase aktif<1,5 cm/jam Diagnosis Klinis
• Kemajuan turunnya bagian terendah Distosia pada kala I fase aktif:
<2 cm/jam
Grafik pembukaan serviks pada partograf
2. Persalinan Macet
berada di antara garis waspada dan garis
a. Nulipara : bertindak, atau sudah memotong garis bertindak,
atau
• Fase deselerasi memanjang ( > 3 jam
) Fase ekspulsi (kala II) memanjang:
• Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 Tidak ada kemajuan penurunan bagian
jam terendah janin pada persalinan kala II. Dengan
• Tidak ada penurunan bagian terendah batasan waktu: Maksimal 2 jam untuk nullipara
> 1 jam dan 1 jam untuk multipara, ATAU Maksimal 3 jam
untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara bila
• Kegagalan penurunan bagian pasien menggunakan analgesia epidural
terendah (Tidak ada penurunan
pada fase deselerasi atau kala 2) Diagnosis Banding : -
b. Multipara: Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
• Fase deselerasi memanjang > 1 jam Penatalaksanaan
• Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 Motivasi pasien dalam proses persalinan dan
jam informasikan rencana persalinan sesuai dengan
• Tidak ada penurunan bagian terendah perkembangan pasien.
> 1 jam
Penatalaksanaa umum
• Kegagalan penurunan bagian
terendah (Tidak ada penurunan Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki
pada fase deselerasi atau kala 2) pelayanan seksio sesarea

Faktor Penyebab Penatalaksanaan khusus

1. His tidak efisien (in adekuat) 1. Tentukan sebab terjadinya persalinan lama
2. Faktor janin (malpresentasi, malposisi, janin a. Power: his tidak adekuat (his dengan
besar) frekuensi <3x/10 menit dan durasi tiap
3. Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan kontraksinya < 40 detik).
serviks, vagina, tumor) b. Passenger: malpresentasi, malposisi,
janin besar
c. Passage : panggul sempit, kelainan Tabel 14.10 Kriteria diagnostik
serviks atau vagina, tumor jalan lahir penatalaksanaan distosia
2. Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab
dan situasi. Prinsip umum:
a. Lakukan augmentasi persalinan denga
oksitosin dan atau amniotomi bila
terdapat gangguan power. Pastikan
tidak ada gangguan passenger atau
passage.
b. Lakukan tindakan operatif (forsep,
vakum, atau seksio sesarea) untuk
gangguan passenger dan atau passage,
serta untuk gangguan power yang
tidak dapat diatasi dengan augmentasi
persalinan.
c. Jika ditemukan obstruksi atau CPD,
tatalaksana adalah seksio cesarea.
3. Berikan antibiotik (kombinasi ampicilin 2 g
IV tiap 6 jam dan gentamisin 5mg/kgBB tiap
24 jam) jika ditemukan: Kriteria rujukan
a. Tanda-tanda infeksi (demam, cairan Apabila tidak dapat ditangani di fasilitas
pervaginam berbau) pelayanan tingkat pertama atau apabila level
b. Atau ketuban pecah lebih dari 18 jam kompetensi SKDI dengan kriteria merujuk (<3B)
c. Usia kehamilan 37 minggu Prognosis
4. Pantau tanda gawat janin
5. Catat hasil analisis dan seluruh tindakan Prognosis untuk ad vitam adalah dubia ad
dalam rekam medis lalu jelaskan pada ibu bonam, namun ad fungsionam dan sanationam
dan keluarga hasil analisis serta rencana adalah dubia ad malam.
tindakan. Peralatan
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan : - 1. Ruang berukuran minimal 15m2
2. Tempat tidur bersalin
Komplikasi: 3. Tiang infus
4. Lampu sorot dan lampu darurat
Infeksi intrapartum, Ruptura uteri, Pembentukan
5. Oksigen dan maskernya
fistula, Cedera otot- otot dasar panggul, Kaput
6. Perlengkapan persalinan
suksedaneum, Molase kepala janin, Kematian
7. Alat resusitasi
ibu dan anak.
8. Lemari dan troli darurat
Konseling dan Edukasi 9. Partograf
10. Dopler
Dibutuhkan dukungan dari suami pasien. 11. Ambulans
Pendekatan yang dilakukan kepada keluarga
sehubungan dengan proses penyembuhan Referensi
penyakit pasien maupun pencegahan penularan 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
atau relaps penyakit ini. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2013 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
2. WHO. Managing prolonged and obstructed 3. Pedoman penyelenggaraan pelayanan
labour. Education for safe motherhood. obstetri neonatal emergensi komprehensif
2ndEd. Department of making pregnancy (PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan
safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health Republik Indonesia, 2008)
Organization, 2006)

9. PERDARAHAN POST PARTUM / PENDARAHAN PASCASALIN


No. ICPC: W17 Post partum bleeding
No.ICD-10: 072.1 Other Immediate Postpartum haemorrhage
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
6. Pucat
Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan
Faktor Risiko
yang masif yang berasal dari tempat implantasi
plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan Perdarahan post partum merupakan komplikasi
sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab dari 5-8% kasus persalinan pervaginam dan 6%
kematian ibu disamping perdarahan karena dari kasus SC.
hamil ektopik dan abortus. Definisi perdarahan
post partum adalah perdarahan pasca persalinan 1. Faktor risiko prenatal:
yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir atau a. Perdarahan sebelum persalinan
yang berpotensi mengganggu hemodinamik ibu. b. Solusio plasenta
Berdasarkan saat terjadinya, PPP dapat dibagi c. Plasenta previa
menjadi PPP primer dan PPP sekunder. PPP d. Kehamilan ganda
primer adalah perdarahan post partum yang e. Preeklampsia
terjadi dalam 24 jam pertama setelah f. Khorioamnionitis
persalinan dan biasanya disebabkan oleh atonia g. Hidramnion
uteri, robekan jalan lahir, dan sisa sebagian h. IUFD
plasenta. Sementara PPP sekunder adalah i. Anemia (Hb< 5,8)
perdarahan pervaginam yang lebih banyak dari j. Multiparitas
normal antara 24 jam hingga 12minggu setelah k. Mioma dalam kehamilan
persalinan, biasanya disebabkan oleh sisa l. Gangguan faktor pembekuan dan
plasenta. m. Riwayat perdarahan sebelumnya serta
obesitas
Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama 2. Faktor risiko saat persalinan pervaginam:
setelah bayi lahir, 68- 73% dalam satu minggu a. Kala tiga yang memanjang
setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua b. Episiotomi
minggu setelah bayi lahir. c. Distosia
Hasil Anamnesis (Subjective) d. Laserasi jaringan lunak
e. Induksi atau augmentasi persalinan
Keluhan dan gejala utama dengan oksitosin
f. Persalinan dengan bantuan alat
1. Perdarahan setelah melahirkan
(forseps atau vakum) g. Sisa plasenta,
2. Lemah dan bayi besar (>4000 gram)
3. Limbung 3. Faktor risiko perdarahan setelah SC :
4. Berkeringatdingin a. Insisi uterus klasik
5. Menggigil b. Amnionitis
c. Preeklampsia Pemeriksaan Penunjang
d. Persalinan abnormal
e. Anestesia umum 1. Pemeriksaan darah rutin: terutama untuk
f. Partus preterm dan postterm menilai kadar Hb < 8 gr%.
2. Pemeriksaan golongan darah.
Penyebab dibedakan atas: 3. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu
pembekuan darah (untuk menyingkirkan
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta penyebab gangguan pembekuan darah).
a. Hipotoni sampai atonia uteri
• Akibat anestesi Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Distensi berlebihan (gemeli,anak
besar,hidramnion) Diagnosis Klinis
• Partus lama,partus kasep Perdarahan post partum bukanlah suatu
• Partus presipitatus/partus terlalu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus
cepat dicari penyebabnya:
• Persalinan karena induksi oksitosin 1. PPP karena atonia uteri
• Multiparitas 2. PPP karena robekan jalan lahir
• Riwayat atonia sebelumnya 3. PPP karena sisa plasenta
b. Sisa plasenta 4. PPP akibat retensio plasenta
• Kotiledon atau selaput ketuban 5. PPP akibat ruptura uteri
tersisa 6. PPP akibat inversio uteri
• Plasenta susenturiata 7. Gangguan pembekuan darah
• Plasenta akreata, inkreata, perkreata.
2. Perdarahan karena robekan Komplikasi
a. Episiotomi yang melebar 1. Syok
b. Robekan pada perinium, vagina dan 2. Kematian
serviks
c. Ruptura uteri Tabel 14.11 Penyebab perdarahan pada post
3. Gangguan koagulasi partum
a. Trombofilia
b. Sindrom HELLP
c. Pre-eklampsi
d. Solutio plasenta
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Emboli air ketuban
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Nilai tanda-tanda syok: pucat, akral dingin,
nadi cepat, tekanan darah rendah.
2. Nilai tanda-tanda vital: nadi> 100x/menit,
pernafasan hiperpnea, tekanan darah sistolik
<90 mmHg, suhu.
Pemeriksaan obstetrik:
1. Perhatikankontraksi, letak, dan konsistensi
uterus
2. Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilai
adanya: perdarahan, keutuhan plasenta,
tali pusat, dan robekan didaerahvagina.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi,
Penatalaksanaan dan pernapasan ibu.
4. Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus,
Penatalaksanaan Awal
nyeri tekan, parut luka, dan tinggi fundus
• Segera memanggil bantuan tim uteri.
• Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan 5. Periksa jalan lahir dan area perineum untuk
pasien. melihat perdarahan dan laserasi (jika ada,
• Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan misal: robekan serviks atau robekan
penatalaksanaan syok. vagina).
6. Periksa kelengkapan plasenta dan selaput
Gambar 14. 3 Tatalaksana awal perdarahan
ketuban.
pascasalin dengan
7. Pasang kateter Folley untuk memantau
volume urin dibandingkan dengan jumlah
cairan yang masuk. Catatan: produksi urin
normal 0.5-1 ml/kgBB/jam atau sekitar 30
ml/jam)
8. Jika kadar Hb< 8 g/dl rujuk ke layanan
sekunder (dokter spesialis obgyn)
9. Jika fasilitas tersedia, ambil sampel
darah dan lakukan pemeriksaan: kadar
hemoglobin (pemeriksaan hematologi
rutin) dan penggolongan ABO.
10. Tentukan penyebab dari perdarahannya
(lihat tabel 14.11) dan lakukan tatalaksana
spesifik sesuai penyebab
Penatalaksanaan Lanjutan :
Pendekatan Tim
1. Berikan oksigen. 1. Atonia uteri
2. Pasang infus intravena dengan kanul a. Lakukan pemijatan uterus.
berukuran besar (16 atau 18) dan mulai b. Pastikan plasenta lahir lengkap.
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau c. Berikan 20-40 unit Oksitosin dalam
Ringer Laktat atau Ringer Asetat) sesuai 1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer
dengan kondisi ibu. Laktat dengan kecepatan 60
tetes/menit dan 10 unit IM.
Tabel 14.12 Jumlah cairan infus pengganti d. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam
berdasarkan perkiraan volume kehilangan darah 1000 ml larutanNaCl 0,9%/Ringer
Laktat dengan kecepatan 40
tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
e. Bila tidak tersedia Oksitosin atau
bila perdarahan tidak berhenti, berikan
Ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat),
dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM
setelah 15 menit, danpemberian 0,2
mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila
diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5
dosis (1 mg).
f. Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g
asam traneksamat IV (bolus selama 1
menit, dapat diulang setelah 30 menit). a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam
g. Lakukan pasang kondom kateter atau 1000 ml larutanNaCl 0,9% atau Ringer
kompresi bimanual internal selama 5 Laktat dengan kecepatan 60 tetes/
menit. menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus
h. Siapkan rujukanke fasilitas pelayanan oksitosin 20 unit dalam 1000 ml
kesehatan sekunder sebagai antisipasi larutanNaCl 0,9% atau Ringer Laktat
bila perdarahan tidak berhenti. dengan kecepatan 40 tetes/menit
Perlu Diingat : hingga perdarahan berhenti.
Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan b. Lakukan tarikan tali pusat terkendali.
intravena yang mengandung oksitosin. c. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak
Jangan berikan ergometrin kepada berhasil, lakukan plasenta manual
ibu dengan hipertensi berat/tidak secara hati-hati.
terkontrol, penderita sakit jantung dan d. Berikan antibiotika profilaksis dosis
penyakit pembuluh darah tepi. tunggal (Ampisilin 2 g IV DAN
Metronidazol 500 mg IV).
Gambar 14.4 Kompresi Bimanual Internal dan
e. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang
Kompresi Bimanual
lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi
5. Sisa Plasenta
a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam
1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat dengan kecepatan 60
tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan
infus Oksitosin 20 unit dalam 1000 ml
larutan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat
Eksternal pada atonia uteri dengan kecepatan 40m tetes/menit
2. Robekan Jalan Lahir hingga pendarahan berhenti.
Ruptura Perineum dan Robekan Dinding b. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks
Vagina terbuka) dan keluarkan bekuan darah
a. Lakukan eksplorasi untuk dan jaringan. Bila serviks hanya dapat
mengidentifikasi sumber perdarahan. dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi
b. Lakukan irigasi pada tempat luka dan sisa plasenta dengan aspirasi vakum
bersihkan dengan antiseptik. manual atau dilatasi dan kuretase.
c. Hentikan sumber perdarahan c. Berikan antibiotika profilaksis
dengan klem kemudian ikatdengan dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan
benang yang dapat diserap. Metronidazol 500 mg).
d. Lakukan penjahitan (lihat Materi Luka d. Jika perdarahan berlanjut, tata laksana
Perineum Tingkat 1 dan 2) seperti kasus atonia uteri.
e. Bila perdarahan masih berlanjut,
Inversio Uteri
berikan 1 g asamtraneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
setelah 30 menit). sekunder
3. Robekan Serviks
a. Paling sering terjadi pada bagian lateral Gangguan Pembekuan Darah
bawah kiri dankanan dari porsio 1. Pada banyak kasus kehilangan darah yang
b. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan akut, koagulopati dapat dicegah jika volume
kesehatan sekunder darah dipulihkan segera.
4. Retensio Plasenta
2. Tangani kemungkinan penyebab (solusio Referensi
plasenta,eklampsia).
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
3. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
kesehatan sekunder Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Konseling dan Edukasi
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 522-529.
1. Memberikan informasi akan keadaan ibu (Prawirohardjo, et al., 2010)
yang mengalami perdarahan pascasalin.
2. KementerianKesehatan RI dan WHO.
2. Memberikan informasi yang tepat kepada Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
suami dan keluarga ibu terhadap tindakan Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
yang akan di lakukan dalam menangani Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013
perdarahan pascasalin. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
3. Memastikan dan membantu keluarga
jika rujukan akan dilakukan.
Kriteria Rujukan
1. Pada kasus perdarahan pervaginam >
500 ml setelah persalinan berpotensi
mengakibatkan syok dan merupakan
indikasi rujukan.
2. 2. Penanganan kegawatdaruratan sebelum
merujuk dan mempertahankan ibu dalam
keadaan stabil selama proses rujukan
merupakan hal penting diperhatikan.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah rutindan golongan darah.
2. Inspekulo
3. USG
4. Sarung tangan steril
5. Hecting set
6. Benang catgut
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam,
tergantung dari jumlah perdarahan dan
kecepatan penatalaksanaan yang di lakukan.
10. RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1-2
No. ICPC-2 No. ICD-10 : W92 Complicated labour/delivery livebirth
: O70.0 First degree perineal laceration during delivery
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Ruptur perineum adalah suatu kondisi Sederhana (Objective)
robeknya perineum yang terjadi pada persalinan
Pemeriksaan fisik
pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita
yang melahirkan pervaginam mengalami Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:
ruptur perineum spontan, yang 60%- 70% di
antaranya membutuhkan penjahitan (Sleep dkk, 1. Robekan pada perineum,
1984; McCandlish dkk,1998). Angka morbiditas 2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang
meningkat seiring dengan peningkatan derajat bersifat merembes,
ruptur. 3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai
derajat robekan perineum
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang: -
Gejala Klinis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Perdarahan pervaginam
Diagnosis Klinis
Etiologi dan Faktor Risiko
Diagnosis dapat ditegakkan berdasar anamnesis
Ruptur perineum umumnya terjadi pada
dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan.
persalinan, dimana:
Klasifikasi ruptur perineum dibagi menjadi 4
1. Kepala janin terlalu cepat lahir
derajat:
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana
mestinya 1. Derajat I
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak
Robekan terjadi hanya pada selaput lendir
jaringan parut
vagina dengan atau tanpa mengenai
4. Pada persalinan dengan distosia bahu
kulit perineum. Biasa tidak perlu dilakukan
5. Partus pervaginam dengan tindakan
penjahitan.
Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur 2. Derajat II
perineum.
Robekan mengenai selaput lender vagina
Tabel 14.13: Faktor resiko rupture perineum dan otot perinea transversalis, tetapi tidak
melibatkan kerusakan otot sfingter ani.
3. Derajat III
Robekan mengenai perineum sampai
dengan otot sfingter anidengan pembagian
sebagai berikut:
IIIa. Robekan < 50% sfingter ani eksterna
IIIb. Robekan > 50% sfingter ani ekterna
IIIc. Robekan juga meliputi sfingter ani
interna
Gambar 14. 5 Ruptur Perineum dan Sfingter Ani perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum
yang berat).
2. Manajemen Ruptur Perineum:
a. Alat-alat yang dibutuhkan untuk
melakukan perbaikan jalan lahir
• Retractor Weislander’s
• Forceps gigi (fine & strong)
• Needle holder (small and large)
• Forceps Allis (4)
• Forceps arteri (6)
• Gunting Mitzembaum
• Gunting pemotong jahitan
Sfingter ani yang intak (ditunjuk oleh • Spekulum Sims
tanda panah A) terlihat lebih jelas • Retraktor dinding samping dalam
pada pemeriksaan rectal touche (B); vagina
Robekan parsial sepanjang sfingter ani • Forceps pemegang kasa
eksterna (C); Robekan perineum derajat 3b
dengan sfingter ani yang intak (Internal b. bahan-bahan yang diperlukan untuk
anal sphincter/IAS). Sfingter ani eksterna perbaikan jalan lahir.
(External anal sphincter/EAS) dijepit oleh • Tampon
forseps Allis. Perhatikan perbedaan warna • Kapas besar
IAS yang lebih pucat dibandingkan EAS (D). • Povidon Iodine
4. Derajat IV :Robekan mengenai perineum • Lidocain 1% (untuk ruptur
sampai dengan otot sfingter ani dan perineumderajat I-II)
mukosa rektum • Benang catgut / Asam poliglikolik
(Dexon, David&Geck Ltd, UK) /
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Poliglaktin 910 (Vicryl, Ethicon Ltd,
Edinburgh, UK)
Penatalaksanaan
Ruptur perineum harus segera
Non Medikantosa diperbaiki untuk meminimalisir
1. Menghindari atau mengurangi dengan risiko perdarahan, edema, dan infeksi.
menjaga jangan sampai dasarpanggul Manajemen ruptur perineum untuk
didahului oleh kepala janin dengan cepat. masing-masing derajatnya, antara
2. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan lain sebagai berikut :
terlampau kuat dan lama, karena akan
Robekan perineum derajat 1
menyebabkan asfiksia dan perdarahan
dalam tengkorak janin, dan melemahkan Robekan tingkat I mengenai mukosa
otot-otot dan fasia pada dasar panggul vagina dan jaringan ikat, tidak perlu
karena diregangkan terlalu lama. dilakukan penjahitan.
Medikamentosa Penjahitan robekan perineum derajat 2
1. Penatalaksanaan farmakologis 1. Siapkan alat dan bahan.
2. Pastikan pasien tidak memiliki alergi
Dosis tunggal sefalosporin golongan II terhadap Lignokain atau obat-obatan
atau III dapat diberikan intravena sebelum
sejenis
3. Suntikan 10 ml Lignokain 0.5% di bawah Penjahitan robekan perineum derajat 3
mukosa vagina, di bawah kulit perineum
dan pada otot-otot perineum. Masukan 1. Perbaikan robekan harus dilakukan hanya
jarum pads ujung laserasi oleh dokter yang sudah dilatih secara
dorong masuk sepanjang luka mengikuti formal (atau dalam supervisi) mengenai
garis tempat jarum jahitnya akan masuk perbaikan sfingter ani primer. Perbaikan
atau keluar. harus dilakukan di kamar operasi dengan
4. Tunggu 2 menit. Kemudian area dengan pencahayaan yang baik, peralatan yang
forsep hingga pasien tidak merasakan nyeri. memadai, dan kondisi aseptik.
5. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan a. Anestesi umum atau regional (spinal,
benang 2-0, lihat ke dalam luka untuk epidural, kaudal) menjadi analgesik dan
mengetahui letak ototnya (penting untuk pelemas otot yang bermanfaat dalam
menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga evaluasi luasnya robekan.
di dalamnya).
6. Carilah lapisan subkutis persis dibawah b. Luasnya robekan harus dievaluasi
lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan melalui pemeriksaan vagina dan rektal
subkutikuler kembali keatas vagina, akhiri yang berhati-hati.
dengan simpul mati pada bagian dalam c. Jika terdapat kebingungan dalam
vagina. menentukan derajat trauma maka
7. Potong kedua ujung benang dan hanya derajat yang lebih tinggi yang harus
sisakan masing-masing 1 cm. dipilih.
8. Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan
colok dubur dan pastikan tidak ada bagian Pada kasus yang jarang ditemui, tipe
rektum terjahit. robekan “buttonhole” terisolasi dapat
terjadi di rektum tanpa menyebabkan
CATATAN: Aspirasi penting untuk kerusakan sfingter ani.
meyakinkan suntikan lignokain tidak masuk
dalam pembuluh darah. Jika ada darah pada 2. Diperbaiki secara transvaginal
aspirasi, pindahkan jarum ke tempat lain. menggunakan jahitan interrupted dengan
Aspirasi kembali. Kejang dan kematian benang Vicryl.
dapat terjadi jika lignokain diberikan lewat
pembuluh darah (intravena) 3. Untuk mengurangi risiko fistula
rektovaginal persisten, selapis jaringan
Gambar 14.6 Penjahitan Luka Perineum Tingkat perlu disisipkan diantara rektum dan
2 vagina. (Dengan aproksimasi fasia
rektovaginal).
4. Kolostomi diindikasikan hanya jika terdapat
robekan besar yang mencapai dasar pelvis
atau terdapat kontaminasi feses pada luka.
Penjahitan robekan perineum derajat 4
1 Epitel ani yang mengalami robekan
diperbaiki dengan jahitan interrupted
menggunakan benang Vicryl 3/0 dan
disimpul di dalam lumen ani. Perbaikan
epitel ani secara subkutikular melalui
pendekatan transvaginal juga diketahui
memiliki keefektifan yang sama jika simpul
terminalnya terikat dengan baik.
2 Otot sfingter diperbaiki dengan 3/0 PDS a. Setelah itu, otot dipisahkan dari lemak
dyed sutures. iskhioanal menggunakan gunting
Mitzembaum.
a. Benang monofilamen dipercaya dapat
mengurangi risiko infeksi dibandingkan b. Ujung-ujung robekan sfingter ani
dengan benang braided. eksterna kemudian dijahit
menggunakan teknik overlap dengan
b. Benang monofilamen non-absorbable benang PDS 3/0.
seperti nilon atau Prolene
(polypropylene) dipilih oleh beberapa c. Teknik overlap akan menyebabkan
dokter bedah kolorektal dalam area kontak otot menjadi lebih luas
perbaikan sekunder robekan sfingter. dibandingkan dengan teknik end-to end.
c. Benang non-absorbable dapat d. Wanita dengan perbaikan sfingter
menyebabkan abses pada jahitan ani eksterna secara end-to- end
(terutama pada simpul) dan ujung diketahui dapat tetap kontinen tetapi
tajam jahitan dapat menyebabkan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
ketidaknyamanan. mengalami inkontinensia pada usia
yang lebih lanjut.
d. Absorpsi sempurna PDS lebih lama dari
Vicryl dan kekuatan tensilnya bertahan e. Jika operator tidak familiar dengan
lebih lama dari Vicryl. teknik overlap atau sfingter ani
eksterna hanya robek sebagian (derajat
e. Untuk mengurangi perpindahan 3a/3b) maka perbaikan end-to-end
jahitan, ujung jahitan harus dipotong harus dilakukan menggunakan 2-3
pendek dan tertupi oleh muskulus jahitan matras, seperti pada perbaikan
perinei superfisialis. sfingter ani interna.
f. Sebuah RCT menunjukkan tidak ada 5. Setelah perbaikan sfingter, perineal
perbedaan morbiditas terkait jahitan body perlu direkonstruksi agar dapat
menggunakan benang Vicryl dan PDS mempertahankan sfingter ani yang telah
pada 6 minggu post partum. diperbaiki.
3. Sfingter ani interna harus diidentifikasi a. Perineum yang pendek dapat
dan jika mengalami robekan harus menyebabkan sfingter ani menjadi
diperbaiki secara terpisah dari sfingter lebih rentan terhadap trauma dalam
ani eksterna. kelahiran per vaginam berikutnya.
a. Sfingter ani interna tampak pucat b. Kulit vagina harus dijahit dan kulit
seperti daging ikan mentah sedangkan perineum diaproksimasi dengan jahitan
sfingter ani eksterna berwarna lebih subkutikular menggunakan benang
terang, seperti daging merah. Vicryl 3/0.
b. Ujung-ujung otot yang robek dijepit 6 Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan
dengan forsep Allis dan perbaikan end- untuk memastikan perbaikan
to-end dilakukan dengan jahitan
telah sempurna dan memastikan
interrupted atau matras menggunakan
bahwa seluruh tampon atau kapas telah
PDS 3/0. dikeluarkan.
4. Sfingter ani eksterna harus diidentifikasi 7. Catatan yang lengkap mengenai temuan
dan dijepit dengan forsep Allis karena
dan perbaikan harus dibuat.
sfingter ini cenderung mengkerut ketika
robek. Jika tidak terdapat tenaga yang kompeten
pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan (Kementerian Kesehatan Republik
kesehatan sekunder yang memiliki Indonesia, 2013)
dokter spesialis obstetrik dan ginekologi.
2. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu
Konseling dan Edukasi Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina
Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
Memberikan informasi kepada pasien dan
suami, mengenai, cara menjaga kebersihan 3. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom,
daerah vagina dan sekitarnya setelah S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.
dilakukannya penjahitan di daerah perineum, Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-
yaitu antara lain: Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009)
1. Menjaga perineum selalu bersih dan kering. 4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1
Jakarta: Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo.
2. Hindari penggunaan obat-obatan
2007: Hal 170-6 (Prawirohardjo, et al., 2010).
tradisional pada perineum.
3. Cuci perineumnya dengan sabun dan air
bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali
perhari.
4. 4. Kembali dalam seminggu untuk
memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu
harus kembali lebih awal jika ia mengalami
demam atau mengeluarkan cairan yang
berbau busuk dari daerah lukanya atau jika
daerah tersebut menjadi lebih nyeri.
Kriteria Rujukan
Kriteria tindakan pada Fasilitas Pelayanan
tingkat pertama hanya untuk Luka Perineum
Tingkat 1 dan 2. Untuk luka perineum tingkat 3
dan 4 dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder.
Peralatan
1. Lampu
2. Kassa steril
3. Sarung tangan steril
4. Hecting set
5. Benang jahit catgut
6. Laboratorium sederhana pemeriksaan
darah rutin dan golongan darah.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI 2013.
11. MASTITIS
No. ICPC-2
: X21 Breast symptom/complaint female other
No. ICD-10
: N61 Inflammatory disorders of breast
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan pada puting susu.


Mastitis adalah peradangan payudara yang 7. Terdapat luka pada payudara.
terjadi biasanya pada masa nifas atau sampai 3 8. Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui.
minggu setelah persalinan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Kejadian mastitis berkisar 2-33% dari ibu Sederhana (Objective)
menyusui dan lebih kurang 10% kasus mastitis Pemeriksaan fisik
akan berkembang menjadi abses (nanah),
dengan gejala yang makin berat. 1. Pemeriksaan tanda vital : nadi meningkat
(takikardi).
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Pemeriksaan payudara
Keluhan a. payudara membengkak
b. lebih teraba hangat
1. Nyeri dan bengkak pada daerah payudara, c. kemerahan dengan batas tegas
biasa pada salah satu payudara d. adanya rasa nyeri
2. Adanya demam >380 C e. unilateral
3. Paling sering terjadi di minggu ke 3 - 4 f. dapat pula ditemukan luka pada
postpartum payudara
Gejala klinis Pemeriksaan penunjang : -
1. Demam disertai menggigil Penegakan Diagnostik(Assessment)
2. Dapat disertai demam > 380C
3. Mialgia Diagnosis klinis
4. Nyeri didaerah payudara Diagnosis klinis dapat di tegakkan dengan
5. Sering terjadi di minggu ke–3 dan ke–4 anamnesa dan pemeriksaan fisik.
postpartum, namun dapat terjadi kapan saja
selama menyusui Berdasarkan tempatnya, mastitis dapat
dibedakan menjadi 3 macam, antara lain :
Faktor Risiko
1. Mastitis yang menyebabkan abses dibawah
1. Primipara areola mammae.
2. Stress 2. Mastitis ditengah payudara yang
3. Tehnik menyusui yang tidak benar, sehingga menyebabkan abses ditempat itu.
proses pengosongan payudara tidak terjadi 3. Mastitis pada jaringan dibawah dorsal
dengan baik. (menyusui hanya pada satu kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses
posisi) antara payudara dan otot-otot dibawahnya.
4. Penghisapan bayi yang kurang kuat, dapat
menyebabkan statis dan obstruksi kelenjar Diagnosis Banding:-
payudara.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Pemakaian bra yang terlalu ketat
6. Bentuk mulut bayi yang abnormal (ex: cleft Penatalaksanaan
lip or palate), dapat menimbulkan trauma
Non Medikamentosa Prognosis
1. Ibu sebaiknya tirah baring dan mendapat Prognosis pada umumnya bonam.
asupan cairan yang lebih banyak.
2. Sampel ASI sebaiknya dikultur dan diuji Referensi
sensitivitas. 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
3. Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
yang pas Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi
Medikamentosa keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal
1. Berikan antibiotika 380, 652-653(Prawirohardjo, et al., 2010)
a. Kloksasilin 500 mg per oral per 6 jam
selama 10-14 hari 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku
b. ATAU Eritromisin 250 mg per oral 3 x 1 Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
sehari selama10 hingga 14 hari Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
2. Analgetik parasetamol 3x500 mg per oral Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Lakukan evaluasi setelah 3 hari.
Komplikasi:
1. Abses mammae
2. Sepsis
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan pengetahuan akan pentingnya
ASI dan mendorong ibu untuk tetap
menyusui,
2. Menyusui dapat dimulai dengan payudara
yang tidak sakit.
3. Pompa payudara dapat di lakukan pada
payudara yang sakit jika belum kosong
setelah bayi menyusui.
4. Ibu dapat melakukan kompres dingin untuk
mengurangi bengkak dan nyeri.
5. Ibu harus menjaga kebersihan diri dan
lingkungan untuk menghindari infeksi yang
tidak diinginkan.
Peralatan
1. Lampu
2. Kasa steril
3. Sarung tangan steril
4. Bisturi
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi abses mammae dan
sepsis.
12. INVERTED NIPPLE
No. ICPC-2 : W.95 Breast disorder in pregnancy other
X.20 Nipple symptom/complaint female
: O92.02 Retracted nipple associated with the puerperium O92.03 Retracted nipple associated with lactation
No. ICD-10

Tingkat kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan
1. Grade 1
Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada a. Puting tampak datar atau masuk ke
beberapa kasus seorang ibu merasa putingnya dalam
datar atau terlalu pendek akan menemui b. Puting dapat dikeluarkan dengan
kesulitan dalam menyusui bayi. Hal ini bisa mudah dengan tekanan jari pada atau
berdampak bayi tidak bisa menerima ASI sekitar areola.
dengan baik dan cukup. c. Terkadang dapat keluar sendiri tanpa
manipulasi
Pada beberapa kasus, putting dapat muncul d. Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat
kembali bila di stimulasi, namun pada kasus- menyusui dengan biasa.
kasus lainnya, retraksi ini menetap.
2. Grade 2
Hasil Anamnesis (Subjective)
a. Dapat dikeluarkan dengan menekan
Keluhan areola, namun kembali masuk saat
1. Kesulitan ibu untuk menyusui bayi tekanan dilepas
2. Puting susu tertarik b. Terdapat kesulitan menyusui.
3. Bayi sulit untuk menyusui c. Terdapat fibrosis derajat sedang.
d. Saluran ASI dapat mengalami retraksi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang namun pembedahan tidak diperlukan.
Sederhana (Objective) e. Pada pemeriksaan histologi ditemukan
stromata yang kaya kolagen dan otot
Pemeriksaan Fisik
polos.
Adanya puting susu yang datar atau tenggelam
3. Grade 3
dan bayi sulit menyusui pada ibu.
a. Puting sulit untuk dikeluarkan pada
Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan fisik dan membutuhkan
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam pembedahan untukdikeluarkan.
penegakan diagnosis b. Saluran ASI terkonstriksi dan tidak
memungkinkan untuk menyusui
Penegakan Diagnostik (Assessment) c. Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah
Diagnosis Klinis kebersihan
d. Secara histologis ditemukan atrofi unit
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lobuler duktus terminal dan fibrosis
pemeriksaan fisik dan tidak memerlukan yang parah
pemeriksaan penunjang.
Komplikasi
Diagnosis klinis ini terbagi dalam :
Risiko yang sering muncul adalah ibu
menjadi demam dan pembengkakan pada
payudara.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan: -
Penatalaksanaan Non-Medikamentosa Prognosis
Untuk puting datar/tenggelam (inverted nipple) 1. Ad vitam : Bonam
dapat diatasi setelah bayi lahir, yaitu dengan 2. Ad functionam : Bonam
proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sebagai 3. Ad sanationam : Bonam
langkah awal dan harus terus menyusui agar
puting selalu tertarik. Ada dua cara yang dapat Referensi
digunakan untuk mengatasi puting datar/ 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi,
terbenam, yaitu: T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
1. Penarikan puting secara manual/dengan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
tangan. Puting ditarik- tarik dengan lembut cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka
beberapa kali hingga menonjol. Sarwono Prawirohardjo. 2010. 379

2. Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml, 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku
bergantung pada besar puting. Ujung spuit Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
yang terdapat jarum dipotong dan penarik Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
spuit (spuit puller) dipindahkan ke sisi bekas Kementerian Kesehatan RI. 2013.
potongan. Ujung yang tumpul di letakkan 3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku
di atas puting, kemudian lakukan penarikan Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
beberapa kali hingga puting keluar. Lakukan
sehari tiga kali; pagi, siang, dan malam 4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/
masing-masing 10 kali manajemen- laktasi.html. 2014

3. Jika kedua upaya di atas tidak memberikan


hasil, ibu dapat memberikan air susunya
dengan cara memerah atau menggunakan
pompa payudara.
4. Jika putting masuk sangat dalam, suatu
usaha harus dilakukan untuk mengeluarkan
putting dengan jari pada beberapa bulan
sebelum melahirkan.
Konseling dan Edukasi
1. Menarik-narik puting sejak hamil
(nipple conditioning exercises) ataupun
penggunaan breast shield dan breast shell.
Tehnik ini akan membantu ibu saat masa
telah memasuki masa menyusui.
2. Membangkitkan rasa percaya diri ibu dan
membantu ibu melanjutkan untuk
menyusui bayi. Posisikan bayi agar
mulutnya melekat dengan baik sehingga
rasa nyeri akan segera berkurang. Tidak
perlu mengistirahatkan payudara, tetapi
tetaplah menyusu on demand
13. CRACKED NIPPLE
No. ICPC-2 : W.95 Breast disorder in pregnancy other
X.20 Nipple symptom/complaint female
: O9212 Cracked nipple associated with the puerperium O9213 Cracked nipple associated with lactation
No. ICD-10

Tingkat kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gambar 14.7 Crackecd Nipple
Nyeri pada puting merupakan masalah yang
sering ditemukan pada ibu menyusui dan
menjadi salah satu penyebab ibu memilih
untuk berhenti menyusui bayinya. Diperkirakan
sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple
pain dan 26% di antaranya mengalami lecet
pada puting yang biasa disebut dengan nipple
crack. Kerusakan pada puting mungkin terjadi
karena trauma pada puting akibat cara
menyusui yang salah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam
Adanya nyeri pada puting susu dan nyeri penegakan diagnosis.
bertambah jika menyusui bayi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Penyebab
Diagnosis Klinis
Dapat disebabkan oleh teknik menyusui yang
salah atau perawatan yang tidak benar pada Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan
payudara. Infeksi monilia dapat mengakibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
lecet. Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi
Sederhana (Objective) demam dan pembengkakan pada payudara.
Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik didapatkan : Penatalaksanaan
1. Nyeri pada daerah putting susu Non-Medikamentosa
2. Lecet pada daerah putting susu
1. Teknik menyusui yang benar
2. Puting harus kering
3. Mengoleskan colostrum atau ASI yang keluar
di sekitar puting susu dan membiarkan
kering.
4. Mengistiraharkan payudara apabila lecet
sangat berat selama 24 jam
5. Lakukan pengompresan dengan kain basah
dan hangat selama 5 menit jika terjadi Referensi
bendungan payudara
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
Medikamentosa T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
1. Memberikan tablet Parasetamol tiap 4–6
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka
jam untuk menghilang- kan nyeri.
Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 379.
2. Pemberian Lanolin dan vitamin E
3. Pengobatan terhadap monilia 2. Utami, R. Yohmi, E. Buku Bedah ASI IDAI
Konseling dan Edukasi
1. Tetap memberikan semangat pada ibu untuk
tetap menyusui jika nyeri berkurang.
2. Jika masih tetap nyeri, sebagian ASI
sebaiknya diperah.
3. Tidak melakukan pembersihan puting susu
dengan sabun atau zat iritatif lainnya.
4. Menggunakan bra dengan penyangga yang
baik.
5. Posisi menyusui harus benar, bayi menyusui
sampai ke kalang payudara dan susukan
secara bergantian di antara kedua payudara.
Tabel 14.14 Posisi menyusui yang baik

Kriteria Rujukan
Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang
mengakibatkan abses payudara
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam ;
2. Ad functionam : Bonam;
3. Ad sanationam : Bonam
O. PENYAKIT KELAMIN

1. FLUOR ALBUS / VAGINAL DISCHARGE NON GONORE


No. ICPC-2 : X14 vaginal discharge
X71 gonore pada wanita
X72 urogenital candidiasis pada wanita
X73 trikomoniasis urogenital pada wanita
X92 klamidia genital pada wanita
No. ICD-10 : N98.9
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan prolaps uteri, sedangkan masalah infeksi dapat


Vaginal discharge atau keluarnya duh tubuh disebabkan oleh bakteri, jamur atau virus seperti
dari vagina secara fisiologis yang mengalami berikut ini:
perubahan sesuai dengan siklus menstruasi 1. Kandidiasis vaginitis, disebabkan oleh
berupa cairan kental dan lengket pada seluruh Candida albicans, duh tubuh tidak berbau,
siklus namun lebih cair dan bening ketika pH <4,5 , terdapat eritema vagina dan
terjadi ovulasi. Masih dalam batas normal bila eritema satelit di luar vagina
duh tubuh vagina lebih banyak terjadi pada
saat stres, kehamilan atau aktivitas seksual. 2. Vaginosis bakterial (pertumbuhan bakteri
Vaginal discharge bersifat patologis bila terjadi anaerob, biasanya Gardnerella vaginalis),
perubahan-perubahan pada warna, konsistensi, memperlihatkan adanya duh putih atau
volume, dan baunya. abu-abu yang melekat di sepanjang dinding
vagina dan vulva, berbau amis dengan pH
Hasil Anamnesis (Subjective) >4,5.
Keluhan 3. Servisitis yang disebabkan oleh chlamydia,
dengan gejala inflamasi serviks yang mudah
Biasanya terjadi pada daerah genitalia wanita berdarah dan disertai duh mukopurulen
yang berusia di atas 12 tahun, ditandai dengan 4. Trichomoniasis, seringkali asimtomatik,
adanya perubahan pada duh tubuh disertai kalau bergejala, tampak duh kuning
salah satu atau lebih gejala rasa gatal, nyeri, kehijauan, duh berbuih, bau amis dan pH
disuria, nyeri panggul, perdarahan antar >4,5.
menstruasi atau perdarahan paska-koitus.
5. Pelvic inflammatory disease (PID) yang
Faktor Risiko disebabkan oleh chlamydia, ditandai dengan
nyeri abdomen bawah, dengan atau tanpa
Terdapat riwayat koitus dengan pasangan yang
demam. Servisitis bisa ditandai dengan
dicurigai menularkan penyakit menular seksual.
kekakuan adneksa dan serviks pada nyeri
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang angkat palpasi bimanual.
Sederhana(Objective) 6. Liken planus
Pemeriksaan Fisik 7. Gonore

Penyebab discharge terbagi menjadi masalah 8. Infeksi menular seksual lainnya


infeksi dan non infeksi. Masalah non infeksi 9. Atau adanya benda asing (misalnya tampon
dapat karena benda asing, peradangan akibat atau kondom yang terlupa diangkat)
alergi atau iritasi, tumor, vaginitis atropik, atau
Periksa klinis dengan seksama untuk
menyingkirkan adanya kelainan patologis 2. Tidak perlu pemeriksaan silang dengan
yang lebih serius. pasangan pria.
Pemeriksaan Penunjang 3. Bila sedang hamil atau menyusui gunakan
metronidazol 400 mg 2x sehari untuk 5-
Swab vagina atas (high vaginal swab) tidak
7 hari atau pervaginam. Tidak
terlalu berarti untuk diperiksa, kecuali pada
direkomendasikan untuk minum 2 gram
keadaan keraguan menegakkan diagnosis,
peroral.
gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada
saat kehamilan, postpartum, postaborsi dan 4. Tidak dibutuhkan peningkatan dosis
postinstrumentation. kontrasepsi hormonal bila menggunakan
antibiotik yang tidak menginduksi enzim
Penegakan Diagnostik (Assessment)
hati.
Diagnosis Klinis
5. Pasien yang menggunakan IUD tembaga
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan mengalami vaginosis bakterial
pemeriksaan spekulum, palpasi bimanual, uji pH dianjurkan untuk mengganti metode
duh vagina dan swab (bila diperlukan). kontrasepsinya.

Diagnosis Banding : - Vaginitis kandidiosis terbagi atas:

Komplikasi 1. Infeksi tanpa komplikasi


2. Infeksi parah
1. Radangpanggul (Pelvic Inflamatory Disease 3. Infeksi kambuhan
= PID) dapat terjadi bila infeksi merambah 4. Dengan kehamilan
ke atas, ditandai dengan nyeri tekan, 5. Dengan diabetes atau
nyeri panggul kronis, dapat menyebabkan
infertilitas dan kehamilan ektopik immunocompromise Penatalaksanaan

2. Infeksi vagina yang terjadi pada saat vulvovaginal kandidiosis:


paska aborsi atau paska melahirkan dapat
1. Dapat diberikan azol antifungal oral atau
menyebabkan kematian, namun dapat
pervaginam
dicegah dengan diobati dengan baik
2. Tidak perlu pemeriksaan pasangan
3. Infertilitas merupakan komplikasi yang
kerap terjadi akibat PID, selain itu kejadian 3. Pasien dengan vulvovaginal kandidiosis
abortus spontan dan janin mati akibat sifilis yang berulang dianjurkan untuk
dapat menyebabkan infertilitas memperoleh pengobatan paling lama 6
bulan.
4. Kehamilan ektopik dapat menjadi
komplikasi akibat infeksi vaginal yang 4. Pada saat kehamilan, hindari obat anti-fungi
menjadi PID. oral, dan gunakan imidazol topikal hingga 7
hari.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Hati-hati pada pasien pengguna kondom
Penatalaksanaan
atau kontrasepsi lateks lainnya, bahwa
Pasien dengan riwayat risiko rendah penyakit penggunaan antifungi lokal dapat merusak
menular seksual dapat diobati sesuai dengan lateks
gejala dan arah diagnosisnya.
6. Pasien pengguna kontrasepsi pil kombinasi
Vaginosis bakterial: yang mengalami vulvovaginal kandidiosis
berulang, dipertimbangkan untuk
1. Metronidazol atau Klindamisin secara oral menggunakan metoda kontrasepsi lainnya
atau per vaginam.
Chlamydia:
1. Azithromisin 1 gram single dose, atau
Doksisiklin 100 mg 2 x sehari untuk 7 hari Prognosis
2. Ibu hamil dapat diberikan Amoksisilin 500
mg 3 x sehari untuk 7 hari atau Eritromisin Prognosis pada umumnya dubia ad bonam.
500 mg 4 x sehari untuk 7 hari Faktor-faktor yang menentukan prognosis,
Trikomonas vaginalis: antara lain:

1. Obat minum nitromidazol (contoh 1. Prognosis lebih buruk apabila adanya gejala
metronidazol) efektif untuk mengobati radang panggul
trikomonas vaginalis 2. Prognosis lebih baik apabila mampu
2. Pasangan seksual pasien trikomonas memelihara kebersihan diri (hindari
vaginalis harus diperiksa dan diobati penggunaan antiseptik vagina yang malah
bersama dengan pasien membuat iritasi dinding vagina)
3. Pasien HIV positif dengan trikomonas
vaginalis lebih baik dengan regimen oral Referensi
penatalaksanaan beberapa hari dibanding 1. Faculty of Sexual and Reproductive
dosis tunggal Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012:
4. Kejadian trikomonas vaginalis seringkali Management of vaginal discharge in non-
berulang, namun perlu dipertimbangkan genitourinary medicine settings. England:
pula adanya resistensi obat Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari
Rencana Tindak Lanjut www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual
and Reproductive Healthcare, 2012)
Pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit
menular seksual sebaiknya ditawarkan untuk 2. 2. World Health Organization. 2005.Sexually
diperiksa chlamydia, gonore, sifilis dan HIV. transmitted and other reproductive tract
infection. A guide to essential practice. WHO
Konseling dan Edukasi Library Cataloguing in Publication
1. Pasien diberikan pemahaman tentang Data. (World Health Organization, 2005)
penyakit, penularan serta penatalaksanaan
di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan
hubungan seksual selama penyakit belum
tuntas diobati.
Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
1. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk
pasangan
2. Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman
gonore
3. Adanya arah kegagalan pengobatan
Peralatan
1. Ginecology bed
2. Spekulum vagina
3. Lampu
4. Kertas lakmus
2. SIFILIS
No. ICPC-2
: Y70 Syphilis male X70 Syphilis female
: A51 Early syphilis
No. ICD-10 A51.0 Primary genital syphilis A52 Late syphilis
A53.9 Syphilis, unspecified

Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
angina pektoris.
Sifilis adalah penyakit infeksi kronis yang
Neurosifilis dapat menunjukkan gejala-gejala
disebabkan oleh Treponema pallidum dan
kelainan sistem saraf (lihat klasifikasi).
bersifat sistemik. Istilah lain penyakit ini adalah
lues veneria atau lues. Di Indonesia disebut Faktor Risiko:
dengan raja singa karena keganasannya. Sifilis
dapat menyerupai banyak penyakit dan memiliki 1. Berganti-ganti pasangan seksual.
masa laten. 2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial
(PSK).
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Bayi dengan ibu menderita sifilis.
4. Hubungan seksual dengan penderita tanpa
Keluhan
proteksi (kondom).
Pada afek primer, keluhan hanya berupa lesi 5. Sifilis kardiovaskular terjadi tiga kali
tanpa nyeri di bagian predileksi. lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
setelah 15–30 tahun setelah infeksi.
Pada sifilis sekunder, gejalanya antara lain:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Ruam atau beruntus pada kulit, dan dapat Sederhana (Objective)
menjadi luka, merah atau coklat kemerahan,
ukuran dapat bervariasi, di manapun pada Pemeriksaan Fisik
tubuh termasuk telapak tangan dan telapak
kaki. Stadium I (sifilis primer)
2. Demam Diawali dengan papul lentikuler yang
3. Kelelahan dan perasaan tidak nyaman. permukaannya segera erosi dan menjadi ulkus
4. Pembesaran kelenjar getah bening. berbentuk bulat dan soliter, dindingnya tak
5. Sakit tenggorokan dan kutil seperti luka di bergaung dan berdasarkan eritem dan bersih,
mulut atau daerah genital. di atasnya hanya serum.Ulkus khas indolen
dan teraba indurasi yang disebut dengan ulkus
Pada sifilis lanjut, gejala terutama adalah guma.
durum. Ulkus durum merupakan afek primer
Guma dapat soliter atau multipel dapat disertai
sifilis yang akan sembuh sendiri dalam 3-10
keluhan demam.
minggu.
Pada tulang gejala berupa nyeri pada malam
Tempat predileksi
hari.
1. Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus
Stadium III lainnya adalah sifilis kardiovaskular,
koronarius, wanita di labia minor dan mayor.
berupa aneurisma aorta dan aortitis. Kondisi ini
dapat tanpa gejala atau dengan gejala seperti 2. Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus.
Seminggu setelah afek primer, terdapat Bentuk ini paling sering terlihat pada S II,
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) kadang bersama-sama dengan roseola.
regional yang soliter, indolen, tidak lunak, Papul berbentuk lentikular, likenoid, atau
besarnya lentikular, tidak supuratif dan tidak folikular, serta dapat berskuama (papulo-
terdapat periadenitis di ingunalis medialis. skuamosa) seperti psoriasis (psoriasiformis)
dan dapat meninggalkan bercak
Ulkus durum dan pembesaran KGB disebut leukoderma sifilitikum.
dengan kompleks primer. Bila sifilis tidak
memiliki afek primer, disebut sebagai Pada S II dini, papul generalisata dan S II
syphilis d’embiee. lanjut menjadi setempat dan tersusun secara
tertentu (susunan arsinar atau sirsinar yang
Stadium II (sifilis sekunder) disebut dengan korona venerik, susunan
S II terjadi setelah 6-8 minggu sejak S I polikistik dan korimbiformis).
terjadi. Stadium ini merupakan great imitator.
Tempat predileksi papul: sudut mulut, ketiak,
Kelainan dapat menyerang mukosa, KGB, mata,
di bawah mammae, dan alat genital.
hepar, tulang dan saraf.
Kelainan dapat berbentuk eksudatif yang sangat 3. Bentuk papul lainnya adalah kondiloma
menular maupun kering (kurang menular). lata berupa papul lentikular, permukaan
datar, sebagian berkonfluensi, dapat erosif
Perbedaan dengan penyakit lainnya yaitu dan eksudatif yang sangat menular akibat
lesi tidak gatal dan terdapat limfadenitis
gesekan kulit.
generalisata.
S II terdiri dari SII dini dan lanjut, perbedaannya Tempat predileksi kondiloma lata: lipat
adalah: paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah
mammae dan antar jari kaki.
S II dini terlihat lesi kulit generalisata, simetrik
dan lebih cepat hilang (beberapa hari – beberapa 4. Pustul
minggu), sedangkan S II lanjut tampak setempat,
tidak simetrik dan lebih lama bertahan (beberapa Bentuk ini jarang didapati, dan sering diikuti
minggu – beberapa bulan). demam intermiten. Kelainan ini disebut
sifilis variseliformis.
Bentuk lesi pada S II yaitu:
5. Konfluensi papul, pustul dan krusta mirip
1. Roseola sifilitika: eritema makular, dengan impetigo atau disebut juga sifilis
berbintik-bintik, atau berbercak-bercak, impetiginosa. Kelainan dapat membentuk
warna tembaga dengan bentuk bulat atau berbagai ulkus yang ditutupi krusta yang
lonjong. Jika terbentuk di kepala, dapat disebut dengan ektima sifilitikum. Bila
menimbulkan kerontokan rambut, bersifat krusta tebal disebut rupia sifilitikum dan
difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. bila ulkus meluas ke perifer membentuk
Bila S II lanjut pada rambut, kerontokan kulit kerang disebut sifilis ostrasea.
tampak setempat, membentuk bercak-
bercak yang disebut alopesia areolaris. S II pada mukosa (enantem) terutama pada
mulut dan tenggorok.
Lesi menghilang dalam beberapa hari/
minggu, bila residif akan berkelompok S II pada kuku disebut dengan onikia
dan bertahan lebih lama. Bekas lesi sifilitikum yaitu terdapat perubahan
akan menghilang atau meninggalkan warna kuku menjadi putih dan kabur, kuku
hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum). rapuh disertai adanya alur transversal dan
longitudinal. Bagian distal kuku menjadi
2. Papul hiperkeratotik sehingga kuku terangkat. Bila
terjadi kronis, akan membentuk paronikia
sifilitikum. jika pemeriksaan I dan II negatif. Setelah
diambil serum dari lesi, lesi dikompres dengan
S II pada alat lain yaitu pembesaran KGB, larutan garam fisiologis.
uveitis anterior dan koroidoretinitis pada
mata, hepatitis pada hepar, periostitis atau Pemeriksaan lain yang dapat dirujuk, yaitu:
kerusakan korteks pada tulang, atau sistem
saraf (neurosifilis). 1. Tes Serologik Sifilis (TSS), antara lain
VDRL (Venereal Disease Research
Sifilis laten dini tidak ada gejala, sedangkan Laboratories), TPHA (Treponemal pallidum
stadium rekurens terjadi kelainan mirip S II. Haemoglutination Assay), dan tes
imunofluoresens (Fluorescent Treponemal
Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular, Antibody Absorption Test – FTA-Abs)
lamanya masa laten adalah beberapa tahun
bahkan hingga seusia hidup. 2. Histopatologi dan imunologi.
Stadium III (sifilis tersier) Penegakan Diagnosis (Assessment)
Lesi pertama antara 3 – 10 tahun setelah S Diagnosis Klinis
I. Bentuk lesi khas yaitu guma.Guma adalah
infiltrat sirkumskrip kronis, biasanya lunak dan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
destruktif, besarnya lentikular hingga sebesar dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dapat
telur ayam. Awal lesi tidak menunjukkan tanda dilakukan pemeriksaan mikroskopis.
radang akut dan dapat digerakkan, setelah Klasifikasi
beberapa bulan menjadi melunak mulai dari
tengah dan tanda-tanda radang mulai tampak. 1. Sifilis kongenital
Kemudian terjadi perforasi dan keluar cairan 1. Dini (prekoks): bentuk ini menular,
seropurulen, kadang-kadang sanguinolen atau berupa bula bergerombol, simetris di
disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi tangan dan kaki atau di badan. Bentuk
menjadi ulkus. ini terjadi sebelum 2 tahun dan disebut
Guma umumnya solitar, namun dapat multipel. juga pemfigus sifilitika. Bentuk lain
adalah papulo-skuamosa. Wajah bayi
Bentuk lain S III adalah nodus. Nodus terdapat tampak seperti orang tua, berat badan
pada epidermis, lebih kecil (miliar hingga turun dan kulit keriput. Keluhan di organ
lentikular), cenderung berkonfluensi dan lainnya dapat terjadi.
tersebar dengan wana merah kecoklatan. Nodus
memiliki skuama seperti lilin (psoriasiformis). 2. Lanjut (tarda): bentuk ini tidak
menular, terjadi sesudah 2 tahun
S III pada mukosa biasanya pada mulut dan dengan bentuk guma di berbagai organ.
tenggorok atau septum nasi dalam bentuk guma.
3. Stigmata: bentuk ini berupa deformitas
S III pada tulang sering menyerang tibia, dan jaringan parut. Pada lesi dini dapat:
tengkorak, bahu, femur, fibula dan humerus.
• Pada wajah: hidung membentuk
S III pada organ dalam dapat menyerang hepar, saddle nose (depresi pada jembatan
esophagus dan lambung, paru, ginjal, vesika hidung) dan bulldog jaw (maksila
urinaria, prostat serta ovarium dan testis. lebih kecil daripada mandibula).
Pemeriksaan penunjang • Pada gigi membentuk gigi
Hutchinson (pada gigi insisi
Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan
permanen berupa sisi gigi konveks
T. pallidum pada sediaan serum dari lesi kulit.
dan bagian menggigit konkaf).
Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut
Gigi molar pertama permulaannya sembab, gangguan mental, kelumpuhan
berbintil-bintil (mulberry molar). nervus kranialis dan seterusnya.
• Jaringan parut pada sudut mulut 3. Sifilis parenkim
yang
disebut regades. a. Tabes dorsalis (8-12 tahun sejak infeksi
primer). Keluhan berupa gangguan
• Kelainan permanen lainnya di motorik (ataksia, arefleksia), gangguan
fundus okuli akibat koroidoretinitis visus, retensi dan inkoninensia urin
dan pada kuku akibat onikia. serta gangguan sensibilitas (nyeri pada
kulit dan organ dalam).
Pada lesi lanjut:
b. Demensia paralitika (8-10 tahun sejak
Kornea keruh, perforasi palatum dan infeksi primer). Keluhan diawali dengan
septum nasi, serta sikatriks kulit kemunduran intelektual, kehilangan
seperti kertas perkamen, osteoporosis dekorum, apatis, euphoria hingga
gumatosa, atrofi optikus dan trias waham megaloman atau depresif.
Hutchinson yaitu keratitis interstisial, Selain itu, keluhan dapat berupa kejang,
gigi Hutchinson, dan tuli N. VIII. lemah dan gejala pyramidal hingga
2. Sifilis akuisita akhirnya meninggal.
4. Guma
a. Klinis
Guma umumnya terdapat pada meningen
Terdiri dari 2 stadium: akibat perluasan dari tulang tengkorak.
• Stadium I (S I) dalam 2-4 minggu Keluhan berupa nyeri kepala, muntah dan
sejak infeksi. dapat terjadi konvulsi serta gangguan visus.
Pada pemeriksaan terdapat edema papil
• Stadium II (S II) dalam 6-8 minggu karena peningkatan tekanan intrakranial,
sejak S I. paralisis nervus kranialis atau hemiplegi.
• Stadium III (S III) terjadi setelah 1 Diagnosis Banding
tahun sejak infeksi.
Diagnosis banding bergantung pada stadium
b. Epidemiologis apa pasien tersebut terdiagnosis.
• Stadium dini menular (dalam 1 tahun
sejak infeksi), terdiri dari S I, S II, 1. Stadium 1: Herpes simpleks, Ulkus piogenik,
stadium rekuren dan stadium laten Skabies, Balanitis, Limfogranuloma
dini. venereum, Karsinoma sel skuamosa,
• Stadium tidak menular (setelah Penyakit Behcet, Ulkus mole
1 tahun sejak infeksi), terdiri dari 2. Stadium II: Erupsi alergi obat, Morbili,
stadium laten lanjut dan S III. Pitiriasis rosea, Psoriasis, Dermatitis
Klasifikasi untuk neurosifilis: seboroik, Kondiloma akuminata, Alopesia
aerata
1. Neurosifilis asimptomatik, tidak
menunjukkan gejala karena hanya 3. Stadium III: Tuberkulosis, Frambusia, Mikosis
terbatas pada cairan serebrospinal. profunda

2. Sifilis meningovaskular Komplikasi: Eritroderma


Bentuk ini terjadi beberapa bulan sampai 5
tahun sejak S I. Gejala tergantung letak lesi,
antara lain berupa nyeri kepala, konvulsi
fokal atau umum, papil nervus optikus
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Penatalaksanaan -
1. Sifilis yang sedang dalam inkubasi dapat Prognosis
diobati dengan regimen penisilin atau
dapat menggunakan Ampisilin, Amoksisilin, Prognosis umumnya dubia ad bonam.
atau Seftriakson mungkin juga efektif. Referensi
2. Pengobatanprofilaksis harus diberikan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
pada pasangan pasien, namun sebaiknya Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi kelima.
diberikan sejak 3 bulan sebelumnya, tanpa Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
memandang serologi. Universitas Indonesia.
3. Kontak seksual harus ditelusuri, diketahui 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
dan diobati 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
4. Pasien perlu diuji untuk penyakit lain Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
yang ditularkan secara seksual (sexually Saunders Elsevier.
transmitted diseases/STD), termasuk HIV, 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
harus dilakukan pada semua penderita. Kelamin.2011. Pedoman Pelayanan Medik.
Pada sifilis dengan kehamilan untuk Jakarta.
wanita berisiko tinggi, uji serologis rutin
harus dilakukan sebelum trimester pertama
dan awal trimester ketiga serta pada
persalinan.
Bila tanda-tanda klinis atau serologis
memberi kesan infeksi aktif atau
diagnosis sifilis aktif tidak dapat dengan
pasti disingkirkan, maka indikasiuntuk
pengobatan.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder
Konseling dan Edukasi
1. Pasien diberikan pemahaman tentang
penyakit, penularan serta penatalaksanaan
di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan
hubungan seksual selama penyakit belum
tuntas diobati
Kriteria Rujukan
Semua stadium dan klasifikasi sifilis harus
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
memiliki dokter spesialis kulit dan kelamin.
3. GONORE
No. ICPC-2
: X71 Gonorrhoea female, Y71 Gonorrhoea male
No. ICD-10
: A54.9 Gonococcal infection, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
(endokarditis, meningitis, dan sebagainya pada
Gonore adalah semua penyakit yang gonore diseminata – 1% dari kasus gonore).
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae.
Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual Faktor Risiko
(PMS) yang memiliki insidensi tinggi.Cara 1. Berganti-ganti pasangan seksual.
penularan gonore terutama melalui genitor- 2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial
genital, orogenital dan ano-genital, namun (PSK).
dapat pula melalui alat mandi, termometer dan 3. Wanita usia pra pubertas dan menopause
sebagainya (gonore genital dan ekstragenital). lebih rentan terkena gonore.
Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah 4. Bayi dengan ibu menderita gonore.
mukosa vagina wanita sebelum pubertas. 5. Hubungan seksual dengan penderita tanpa
Hasil Anamnesis (Subjective) proteksi (kondom).

Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Sederhana (Objective)
Keluhan utama berhubungan erat dengan
infeksi pada organ genital yang terkena. Pemeriksaan Fisik

Pada pria, keluhan tersering adalah kencing Tampak eritem, edema dan ektropion pada
nanah. Gejala diawali oleh rasa panas dan orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh
gatal di distal uretra, disusul dengan disuria, mukopurulen, serta pembesaran KGB inguinal
polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uni atau bilateral.
uretra yang kadang disertai darah.Selain itu, Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus
terdapat perasaan nyeri saat terjadi ereksi.Gejala eritem, edem dan tertutup pus mukopurulen.
terjadi pada 2-7 hari setelah kontak seksual.
Pada pria:
Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai
perasaan tidak enak di perineum dan suprapubis, Pemeriksaan rectal toucher dilakukan untuk
malaise, demam, nyeri kencing hingga hematuri, memeriksa prostat: pembesaran prostat dengan
serta retensi urin, dan obstipasi. konsistensi kenyal, nyeri tekan dan bila terdapat
abses akan teraba fluktuasi.
Pada wanita, gejala subyektif jarang ditemukan
dan hampir tidak pernah didapati kelainan Pada wanita:
obyektif. Wanita umumnya datang setelah
terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan Pemeriksaan in speculo dilakukan apabila
antenatal atau Keluarga Berencana (KB). wanita tesebut sudah menikah. Pada
pemeriksaan tampak serviks merah, erosi dan
Keluhan yang sering menyebabkan wanita terdapat secret mukopurulen.
datang ke dokter adalah keluarnya cairan hijau
kekuningan dari vagina, disertai dengan Pemeriksaan Penunjang
disuria, dan nyeri abdomen bawah. Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung
Keluhan selain di daerah genital yaitu : rasa duh tubuh dengan pewarnaan gram untuk
terbakar di daerah anus (proktitis), mata merah menemukan kuman gonokokus gram negarif,
pada neonatus dan dapat terjadi keluhan sistemik intra atau ekstraseluler. Pada pria sediaan
diambil dari daerah fossa navikularis, dan wanita
dari uretra, muara kelenjar bartolin, serviks dan Muskular (I.M) dosis tunggal.
rektum.
Tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin
Pemeriksaan lain bila diperlukan: kultur, tes merupakan kontraindikasi pada kehamilan
oksidasi dan fermentasi, tes beta-laktamase, tes dan tidak dianjurkan pada anak dan dewasa
thomson dengan sediaan urin muda.
Penegakan Diagnostik (Assessment) Rencana Tindak Lanjut :-
Diagnosis Klinis Konseling dan Edukasi :-
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, Kriteria Rujukan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Apabila tidak dapat melakukan tes
Klasifikasi laboratorium.
Berdasarkan susunan anatomi genitalia pria dan 2. Apabila pengobatan di atas tidak
wanita: menunjukkan perbaikan dalam jangka
waktu 2 minggu, penderita dirujuk ke dokter
1. Uretritis gonore spesialis karena kemungkinan terdapat
2. Servisitis gonore (pada wanita) resistensi obat.
Diagnosis Banding Peralatan
Infeksi saluran kemih, Faringitis, Uretritis 1. Senter
herpes simpleks, Arthritis inflamasi dan septik, 2. Lup
Konjungtivitis, endokarditis, meningitis dan 3. Sarung tangan
uretritis non gonokokal 4. Alat pemeriksaan in spekulo
Komplikasi 5. Kursi periksa genital
6. Peralatan laboratorium sederhana untuk
Pada pria pemeriksaan Gram
Lokal : tynositis, parauretritis, litritis, kowperitis. Prognosis
Asendens : prostatitis, vesikulitis, funikulitis, Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa,
vasdeferentitis, epididimitis, trigonitis. namun dapat menimbulkan gangguan fungsi
terutama bila terjadi komplikasi. Apabila faktor
Pada wanita risiko tidak dihindari, dapat terjadi kondisi
Lokal : parauretritis, bartolinitis. berulang.

Asendens : salfingitis, Pelvic Inflammatory Referensi


Diseases (PID). Disseminata : Arthritis,
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
miokarditis, endokarditis, perkarditis, Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi kelima.
meningitis, dermatitis. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Penatalaksanaan Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
1. Memberitahu pasien untuk tidak melakukan
Elsevier.
kontak seksual hingga dinyatakan sembuh
dan menjaga kebersihan genital. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
2. Pemberian farmakologi dengan antibiotik: Jakarta.
Tiamfenikol, 3,5 gr per oral (p.o) dosis
tunggal, atau Ofloksasin 400 mg (p.o)
dosis tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra
4. VAGINITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: X84 Vaginitis
: N76.0 Acute Vaginitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik


Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
ditandai dengan adanya pruritus, keputihan, adanya iritasi, eritema atau edema pada vulva
dispareunia, dan disuria. Penyebab vaginitis: dan vagina. Mungkin serviks juga dapat tampak
1. Vaginosis bakterialis (bakteri Gardnerella eritematous.
Vaginalis adalah bakteri anaerob yang Pemeriksaan Penunjang
bertanggung jawab atas terjadinya infeksi
vagina yang non-spesifik, insidennya terjadi 1. Pemeriksaan mikroskopik cairan atau sekret
sekitar 23,6%). vagina.
2. Trikomonas (kasusnya berkisar antara 5,1- 2. Pemeriksaan pH cairan vagina.
20%). 3. Pemeriksaan uji whiff: Jika positif berarti
3. 3. Kandida (vaginal kandidiasis, merupakan mengeluarkan mengeluarkan bau seperti
penyebab tersering peradangan pada anyir (amis) pada waktu ditambahkan
vagina yang terjadi pada wanita hamil, larutan KOH.
insidennya berkisar antara 15-42%).
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Bau adalah keluhan yang paling sering dijumpai. pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Gejala klinis Vaginitis harus dicari penyebabnya, dengan
menilai perbedaan tanda dan gejala dari
1. Bau masing-masing penyebab, dapat pula dengan
2. Gatal (pruritus) menilai secara mikroskopik cairan vagina.
3. Keputihan
4. Dispareunia Tabel 15.1 Kriteria diagnostik vagintis
5. Disuria
Faktor Risiko
1. Pemakai AKDR
2. Penggunaan handuk bersamaan
3. Imunosupresi
4. Diabetes melitus
5. Perubahan hormonal (misal : kehamilan)
6. Penggunaan terapi antibiotik spektrum luas
7. Obesitas.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Diagnosis Banding Peralatan
Vaginosis bakterialis, Vaginosis trikomonas, 1. Peralatan laboratorium sederhana untuk
Vulvovaginitis kandida pemeriksaan cairan vagina
Komplikasi: - 2. Kertas lakmus
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis
Penatalaksanaan
Prognosis pada umumnya bonam.
1. Menjaga kebersihan diri terutama daerah
vagina Referensi
2. Hindari pemakaian handuk secara
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning
bersamaan
Frequency And Ethiology Of Vaginitis In
3. Hindari pemakaian sabun untuk
Pregnant Women. In:The Two Last Terms
membersihkan daerah vagina yang dapat
Of Pregnancy. Universitary Clinic of
menggeser jumlah flora normal dan dapat
Obstetrics and Gynecology “Bega”
merubah kondisi pH daerah kewanitaan
Timisoara.p.157-159 (D, 2006)
tersebut.
4. Jaga berat badan ideal 2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu
5. Farmakologis: Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta. PT Bina
a. Tatalaksana vaginosis bakterialis Pustaka Sarwono Prawiroharjo. (Mochamad,
• Metronidazol 500 mg peroral 2 x et al., 2011)
sehari selama 7 hari
• Metronidazol pervagina 2 x sehari
selama 5 hari
• Krim klindamisin 2% pervagina 1 x
sehari selama 7 hari
b. Tatalaksana vaginosis trikomonas
• Metronidazol 2 g peroral (dosis
tunggal)
• Pasangan seks pasien sebaiknya juga
diobati
c. Tatalaksana vulvovaginitis kandida
• Flukonazol 150 mg peroral (dosis
tunggal)
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien, dan
(pasangan seks) suami, mengenai faktor risiko
dan penyebab dari penyakit vaginitis ini
sehingga pasien dan suami dapat menghindari
faktor risikonya. Dan jika seorang wanita
terkena penyakit ini maka diinformasikan
pula pentingnya pasangan seks (suami) untuk
dilakukan juga pemeriksaan dan terapi guna
pengobatan secara keseluruhan antara suami-
istri dan mencegah terjadinya kondisi yang
berulang.
5. VULVITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: X84 Vaginitis/Vulvitis
: N76.0 Acute Vaginitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Diagnosis Klinis


Bagi setiap wanita selain masalah keputihan, Diagnosis klinis ditegakkan dengan anamnesis
adapun masalah sering dihadapi adalah vaginitis dan pemeriksaan fisik.
dan vulvitis. Vulvitis adalah suatu peradangan
pada vulva (organ kelamin luar wanita),sedangkan Diagnosis Banding :
vulvovaginitis adalah peradangan pada vulva Dermatitis alergika
dan vagina. Gejala yang paling sering ditemukan
adalah keluarnya cairan abnormal dari vagina, Komplikasi
dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat Infertilitas, Infeksi sekunder karena sering
banyak serta baunya menyengat atau disertai digaruk, Vulva distrofi
gatal-gatal dan nyeri.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penyebab
1. Alergi, khususnya sabun, kertas toilet Penatalaksanaan
berwarna, semprotan vagina, deterjen, 1. Menghindari penggunaan bahan yang dapat
gelembung mandi, atau wewangian menimbulkan iritasi di sekitar daerah genital.
2. Dermatitis jangka panjang, seborrhea atau
eksim 2. Menggunakan salep kortison. Jika
3. Infeksi seperti infeksi pedikulosis, atau kudis vulvitis disebabkan infeksi vagina, dapat
jamur dan bakteri dipertimbangkan pemberian antibiotik
sesuai penatalaksanaan vaginitis atau
Hasil Anamnesis (Subjective) vulvovaginitis.
Keluhan Kriteria Rujukan
Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan
cairan kental dari kemaluan yang berbau. kelamin jika pemberian salep kortison tidak
Gejala Klinis: memberikan respon.

1. Rasa terbakar di daerah kemaluan Peralatan


2. Gatal Lup
3. Kemerahan dan iritasi
4. Keputihan Prognosis

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Prognosis pada umumnya bonam.


Sederhana Referensi
(Objective)
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning
Pemeriksaan Fisik Frequency And Ethiology Of Vaginitis In
Dari inspeksi daerah genital didapati kulit vulva Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of
yang menebal dan kemerahan, dapat ditemukan Pregnancy. Universitary Clinic of
juga lesi di sekitar vulva. Adanya cairan kental Obstetrics and Gynecology “Bega”
dan berbau yang keluar dari vagina. Timisoara.p.157-159
2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu
Pemeriksaan Penunjang : -
Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta. PT Bina
Penegakan Diagnostik (Assessment) Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011.


(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011.
(Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik
dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan
DOkter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2012)
4. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for
tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance.
The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014)
5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al. Mycobacterial disease:
Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal medicine. 17th Ed. New York:
McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009)
6. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis pada anak. Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87.
7. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th
Ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. (Djuanda, et al., 2007)
8. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier. Canada.2000. (James, et al., 2000)
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik.
2011. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, 2011)
10. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009.
11. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2008
12. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5. (Sudoyo,
et al., 2006)
13. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007. Available at: (Cunha, 2007)
14. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.Available at: http://www.nlm.nih.gov/
medlineplus/ency/article/001376.htm. Accessed December 2009. (Dugdale, 2004)
15. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M. Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 441
PERTAMA
DAFTAR PUSTAKA

Brugria timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson Textbook of Pediatric.18thEd.2007:


1502-1503. (Behrman, et al., 2007)
16. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook
of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108. (Rudolph, et al., 2007)
17. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki, S.H.Hindra Irawan S. Filariasis dalam
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2010:
400-407. (Sumarmo, et al.,2010)
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi Tali Pusat dalam Panduan Manajemen
Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2003)
19. Peadiatrics Clerkship University. The University of Chicago.
20. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
21. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan
RI. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012)
22. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
23. Panduan Puskesmas untuk keracunan makanan. Depkes: Jakarta. 2007. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
24. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 116-
25. (Sichere & Sampson, 2010)
25. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan.Ed.
Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. 2001. (Prawirohartono, 2001)
26. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat. 2003.
(Davies, 2003)
27. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1. Surabaya: FK
Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et al.,2000)
28. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Reactions. In:Text Book of Critical care. Eds:
Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia:
WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.
29. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In:International
edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen. Stapczynski. 5thEd. New York:
McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6.
30. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam Update on Shock.
Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
2000.
31. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
32. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.
33. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd
Edition. Geneva. 1997
34. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit:
Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten / Kota. 1 ed.
Jakarta: World Health Organization Country Office for Indonesia.
35. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis
dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2014
36. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009. (Braunwald,
et al., 2009)
37. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 632-36.
(Sudoyo, et al., 2006)
38. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang
Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
39. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30.
(Sudoyo, et al., 2006
40. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed). Panduan
Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat
Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008)
41. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006.
(Sudoyo, et al., 2006)
42. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK (ed). Oxford handbook of
clinical medicine. 7th edition. Oxford University Press. Oxford. 2008. hlm 540-541.
(Longmore, et al., 2008)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 443
PERTAMA
43. Petri M, et al. derivation and validation of the Systemic Lupus International
Collborating Clinics classification criteria for systemic lupus eritematosus. Arthritis
and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86. (Petri, et al., 2012)
44. Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.
45. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: Non- Infective Stomatitis.
In Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Spain: Elsevier Science
Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell, 2002)
46. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease: Diagnosis and
Management. London: Martin Dunitz Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999)
47. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis and
Treatment. Journal of The American Dental Association, 127, pp.1202–1213.
(Woo & Sonis, 1996)
48. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions. In M.
Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds. Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC Decker, p.
41. (Woo & Greenberg, 2008)
49. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
(Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2004.
50. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentan
PedomanPengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, t.thn.)
51. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)
52. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)
53. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)
54. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB Saunders:
Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)
55. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.
htm (Center for Disease and Control, 2005)
56. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003)
57. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test
detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole
bacteria. Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)
58. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood
culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in a
resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
59. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009. Section
3. http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3. 117 (Anon.,
2009)
60. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta:
Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009)
61. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan sosialisasi tatalaksana diare pada balita.
Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
62. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.D.
Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
63. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus
Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia. 2009.
64. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi,
I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-1798.
65. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s
Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 962-964.
(Braunwald, et al., 2009)
66. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with Free Living Amoebas. In: Kasper. Braunwald.
Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol I. 17thEd. McGraw-Hill.
2009: p. 1275-1280.
67. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni, N. Singer, M,Critical Care. Focus 9
Gut. London: BMJ Publishing Group. 2002. (Galley, et al., 2002)
68. Elta, G.H.Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding in Yamada,
T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine, L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book of
Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. 2003. (Elta,2003)
69. Rockey, D.C.Gastrointestinal bleeding in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger,
M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd.
Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, 2002)
70. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E.Acute upper gastrointestinal bleeding in Sivak,
M.V.Ed.Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: WB Sauders. 2000. (Gilbert &
Silverstein, 2000)
71. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. Emedicine. Medscape. Update 12
September 2012. (Thornton & Giebel, 2012)
72. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids and Fissure in Ano Gastroenterology
Clinics of North America. 2008.
73. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease of Liver and
Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002)
74. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum”,
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
75. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).
76. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,1999)
77. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih bahasa dr.
Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000. (Shrock, 2000)
78. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick &
J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222. (Fox
& Ship, 2008)
79. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000)
80. 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts from the cluster
on Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit (WSH), World
Health Organization (WHO).
81. 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-
1
82. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://
www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and Control, 2013)
83. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.who.int/
topics/shcistosomiasis/end (World Health Organization, 2013)
84. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in Medical
Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
85. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin
Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
86. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-
1.
87. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengendalian Kecacingan.
88. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted diseases.
Gastroenetrology & hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh & Cruz, 2011)
89. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-
1.
90. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
91. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006.
92. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta: Erlangga. 2005.
93. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC.
2009.
94. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008.
95. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
96. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007.
97. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd Ed. New York: Fairchild Publication. 1989.
(Grosvenor, 1989)
98. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut:
Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997)
99. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999.
(Soewono, 1999)
100. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 3rd
Ed. 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr. Soetomo, 2006)
101. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M. Worldwide prevalence and risk factors for
myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32, 3–16. (Pan, et al., 2012)
102. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
103. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for the Internist: When to Treat, When to Refer.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2), pp.137–44. Available at: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor & Jeng, 2008)
104. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations, Disease Associations and Management.
Postgraduate Medical Journal, 88(1046), pp.713–8. Available at: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/22977282 [Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
105. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968. Episcleritis and Scleritis I. British Journal
Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson, et al., 1968)
106. Ehlers JP, Shah CP, editors.The Wills Eye Manual-office and emergency room diagnosis
and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008)
107. Karesh JW. The evaluation and management of eyelid trauma. Dalam : Duane’s
Clinical Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
2006. (Karesh, 2006)
108. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2008.
109. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2008.
110. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007)
111. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997. (Adam & Boies, 1997)
112. Sander, R. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and Prevention. Am Fam
Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937. (Sander, 2001)
113. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
2003. (Lee, 2003)
114. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper
Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007,
pp. e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007)
115. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and Management Options.
WHO Library Cataloguing in publication data. 2004. (J, 2004)
116. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder AGM.
Chronic suppurative otitis media: A review. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12. (Verhoeff, et al., 2006)
117. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose, Throat Emergencies. Pediatric Clinics of
North America 53 (2006) 195-214. (Bernius & Perlin, 2006)
118. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in The Ear, Nose and Throat. American
Family Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189. (Heim & Maughan, 2007)
119. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: a review of technique for
removal in the emergency department. Emergency Medicine Journal.2000;17:91-94.
(Davies & Benger, 2000)
120. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT KL.
FKUI. Jakarta.
121. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3.
Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)
122. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed.
McGraw-Hill. 2009. (O’Rouke, et al., 2009)
123. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical Care Handbook
of the Massachusetts General Hospital. 4Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)
124. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi. Jakarta
: Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
125. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape. Update 21 May.
2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
126. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta: PT
Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334. (Chairuddin, 2007)
127. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
128. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC. 2005.
129. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery. 8th
Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
130. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York: Lange Medical Book.
2005.
131. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Airlangga University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006)
132. 2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda,
2008)
133. 3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer, 2000)
134. 4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type Headache. Available from: www.aafp.com.
(Millea, 2008)
135. 2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University
Press. Surabaya.2006. (Purnomo,2006)
136. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan
Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012. (Kelompok Studi Vertigo, 2012)
137. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary care. BJMP.
2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
138. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine.
Journal Neurology. 2009:25:333-338. (Lempert & Neuhauser, 2009)
139. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of Vertigo.Journal American Family Physician.
2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
140. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008. (Mardjono
& Sidharta, 2008)
141. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium Neurology:Systematic Approach that Needed for
establish of Vertigo. The Practitioner. 2010; 254 (1732) p. 19-23. (Turner & Lewis,
2010)
142. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness
and Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot. William and Wilkins. 2009 (Chain,
2009)
143. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to RNA viruses: Harrisons Internal Medicine
16th edition. McGraw Hill. Medical Publishing Division. 2005. (Braunwald, et al.,
2009)
144. The Merk Manual of Medical information.Rabies, brain and spinal cord disorders,
infection of the brain and spinal cord.2006. p: 484-486.
145. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic Press. 2002. p. 290. (Jackson & Wunner,
2002)
146. Davis L.E. King, M.K. Schultz, J.LFundamentals of neurologic disease. Demos
Medical Publishing, LLc. 2005. p: 73. (Davis, et al., 2005)
147. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable diagnosis of human rabies based on analysis
of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47 (11): 1410-1417. 2008. (Reynes and
Buchy, 2008)
148. 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for Disease Control and Prevention. 2007.
Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12.
(Centers for Disease Control and Prevention , 2007)
149. Gunawan C, Malaria Serebral dan penanganannya dalam Malaria dari Molekuler ke
Klkinis EGC. Jakarta 2012. (Gunawan, 2012)
150. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok Studi Epilepsi, 2012)
151. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed).
Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York, 2007:100-25.
(Fitzsimmons, 2007)
152. Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein LB
(Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009:
85-99. (Romano & Sacco, 2009)
153. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous System. Ischemic
Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
Philadelphia, 2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
154. Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack : A Guideline for Healthcare Professionals From
the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011;
42:227- 276 (Furie, 2011)
155. National Stroke Association. Transient Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org
156. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker, 2012)
157. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis
and Treatment in Neurology. McGraw Hill, NewYork, 2007:286-288. (Gooch & Fatimi,
2007)
158. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy Medication. Medscape.
159. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental
Disorder. Text Revision 4th Ed. Washington DC: APA. 2000.
160. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna Publishing.2009.
161. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et al. Clarifying confusion: the confusion
Assessment method;113:941-8: a new method for detection of delirium.Ann Intern
Med. 1990
162. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion and delirium. Dalam: Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill. 2008.
163. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick, B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th Ed.
McGraw-Hill Co. 2009.
164. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/
Pskiatri. Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP
PDSKJI). 2012.
165. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
166. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004.
167. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit berdasarkan
kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan. 2012
168. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage
Guidelines. 5th edition.Vancouver. Department of Pharmacy Children’s and Women’s
Health Centre of British Columbia. (Esau, 2006)
169. Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010.
170. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and Formulary 2007-2008. Toronto. The
Department of Pharmacy, The Hospital for Sick Children. (Lau, 2008)
171. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug Information 2009. Bethesda. American Society of
Health-System Pharmacists, Inc. (McEvoy,2009)
172. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI,
2006)
173. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45 Gangguan Somatoform. In
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pp. 209–221.
174. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative Disorders: Assessment and
Treatment Advance in Psychiatric Treatment,3(1), pp.9–16 Available at:http://
apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014].
175. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan
Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia,
60(10), pp.448–453.
176. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007. Somatoform Disorders. American
Family Physician, 76, pp.1333–1338. Available at: www.aafp.org/afp.
177. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-15). Patient Health Questionnaire
(PHQ) Screeners. Available at: http://www.phqscreeners.com/
pdfs/04_PHQ-15/English.pdf [Accessed May 24, 2014].
178. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting Somatoform Disorders in Primary Care with
the PHQ-15. Annals of Family Medicine, 7, pp.232–238. Available at: http://www.
annfammed.org/content/7/3/232.full.pdf+html.
179. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 1993)
180. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012)
181. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological and
Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010. (World Health
Organization, 2010)
182. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
183. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
184. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental
disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe &
Huber Publishers. (World Health Organization, t.thn.)
185. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 2007.
186. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
187. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2002.
188. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: EGC.1998.
189. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006.
190. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998.
191. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal: 337.
192. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2014.(Global
Initiatives for Asthma, 2011)
193. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2006.(Global
Initiatives for Asthma, 2006)
194. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta. 2004.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004)
195. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2001.
196. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Indonesia IDAI. 2010.
197. Marik PE.Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Eng J Med. 2001;3:665-
71.(Marik, 2001)
198. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc.
Infectious diseases society of America/American thoracic society consensus
guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults.
Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–72(Mandel, et al., 2007)
199. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam: Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas.
Swidarmoko B, Susanto AD, editor. Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked. Respirasi.
2010: 54-71.(Astowo, 2010)
200. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax: British
Thoracic Society pleural diseases guideline 2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff,
et al., 2010)
201. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
202. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E. Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
203. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
204. Fokkens, W et.al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps.
Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at: http://www.rhinologyjournal.com
[Accessed June 24, 2014]. (Fokkens, 2012)
205. Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala – Leher FKUI /
RSCM. Panduan Pelayanan Medis Rinosinusitis.
206. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical Practice Guidelines forAcute and
Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical Immunology, 71, pp.1-38. Available
at: http://www.aacijournal.com/content/7/1/2 [Accessed June 6,2014].
(Desrosier et.al, 2011)
207. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in Adults: Treatment.
UpToDate Wolters Kluwer Health. Available at: www.uptodate.com [Accessed June
6, 2014]. (Hwang & Getz,2014)
208. Chow,AW et.al,2012.IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial
Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious Diseases, pp.e1-e41.
Available at: http:// cid.oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014]. (Chow et.al,
2012)
209. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
210. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
211. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis. Available from http://www.nejm.org/doi/
pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni 2014)
212. DavisL.Erysipelas. Available from h tt p : / / e - m e d i c i n e . m e d s c a p e . c o m (10
Juni 2014)
213. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current And Future Treatment Options For Perioral
Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy, 2, 351-355, Available from http://Search.
Proquest.Com/Docview/912278300/Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Account
id=17242(7 Juni 2014).
214. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007. Persistent Facial Dermatitis: Pediatric
Perioral Dermatitis. Pediatric Annals, 36,pp.796-8. Available
from http://search.proquest.com/docview/217556989/fulltextPDF?acc
ountid=17242 (7 Juni 2014).
215. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical Appraisal Of Reports On The Treatment Of
Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-7. Available from http://search.proquest.
com/docview/275129538/DC34942E98744010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni
2014).
216. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012. Pharmacologic Interventions For Hidradenitis
Suppurativa. American Journal Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91. Available
from http://search.proquest.com/docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7905F3
04E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni 2014).
217. American Academy of Dermatology. Hidradenitis suppurativa.Available from http://
www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-and-treatments/e---h/hidradenitis-
suppurativa(7 Juni 2014).
218. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012. Risk factors of hookworm related
cutaneous larva migrans and definitive host
219. Doherty, G.M. 2006. Current surgical diagnosis and & treatment. United State of
America. Lange Medical Publication.
220. Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio). http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/
matkul/Ilmu%20Kedokteran%20Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20PBL%20 IIa
%202007- 2008/luka%20bakar%20akut%20text.pdf
221. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
222. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens- Johnson syndrome.
Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
223. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens JohnsonSyndrome: Our
Current Understanding. Allergology International,55, 9-16
224. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter
Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI. 200. (Trisna, 2008)
225. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
Hal 1961-5.2006.
226. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004.
227. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2006)
228. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Indonesia FKUI,2012)
229. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s Principals of Internal Medicine.
17thed. USA: McGraw Hill, 2008.
230. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan:
FK USU.2004. (Azwar, 2004)
231. Darey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005)
232. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007. (Ganiswarna,
2007)
233. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI.2009.
234. 5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012 (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2012)
235. Weiss, Barry.20 Common Problems In Primary Care.
236. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family Medicine. 2011
237. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI. 2009
238. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract infection. N Engl J Med2012;366:1028-37
(Hooton, 2012)
239. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan
Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
(Achmad, 2007)
240. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment of
Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women : A 2010 Update
by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for
Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Disease, 52, pp.103–120
(Colgan, 2011)
241. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and Prostatitis. In A. s
Fauci et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill,
pp. 1820–1825. (Stamm, 2008)
242. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
Circumcision. The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301.
243. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
244. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
245. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010(Prawirohardjo, et al., 2010)
246. WHO. Managing prolonged and obstructed labour. Education for safe motherhood.
2ndEd. Department of making pregnancy safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health
Organization, 2006)
247. Pedoman penyelenggaraan pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif
(PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
248. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina
Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
249. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.
Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009)
250. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
251. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012:
Management of vaginal discharge in non- genitourinary medicine settings. England:
Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual
and Reproductive Healthcare, 2012)
252. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis
In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic of
Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159 (D, 2006)
Pengurus Besar
Ikatan Dokter
Indonesia
(Indonesian Medical Association)
Alamat: Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Telp: (021) 3150679
email : pbidi@idionline.org
website: www.idionline.org

Anda mungkin juga menyukai