Anda di halaman 1dari 482

Panduan Praktik Klinis

Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer


Edisi I

Pengurus Besar
Ikatan Dokter
Indonesia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA

PENGURUS BESAR
IKATAN DOKTER INDONESIA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.


Editor: Tim editor PB IDI
Hak Cipta © 2017

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia


(indonesian medica association)

Alamat : Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta


Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10350
Telepon : (021) 3150679
Email : pbidi@idionline.org
Website : idionline.org

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara
elektronik maupun cetak termasuk memfotokopi, merekam maupun menggunakan teknik
lainnya tanpa seizin tertulis dari penerbit.

Cetakan II, 2017

ISBN :
BUKU INI UNTUK ANGGOTA IKATAN D
Kata Sambutan
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Assalamualaikum Wr Wb,

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
buku yang berisi panduan untuk menjadi pedoman dokter untuk
melakukan praktik dapat diterbitkan. Buku berjudul “Panduan
Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer”
memuat berbagai jenis keterampilan klinis untuk dilaksanakan oleh
seluruh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer dalam upaya
kesembuhan pasien dengan menghadirkan pelayanan
kedokteran terbaik.

Dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dokter berkewajiban


mengikuti standar pelayanan kedokteran. Oleh karena itu
diperlukan panduan bagi dokter untuk melakukan praktik tersebut.
PB IDI memandang perlu untuk menyusun panduan yang merupakan standar playanan
dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Penyusunan Buku ini merupakan kerjasama Kementerian Kesehatan RI bersama


Pengurus Besar IDI dengan melibatkan pihak pihak yang terkait dengan substansi
ketrampilan klinis sesuai dengan keahliannya. Penyusunan buku ini mempertimbangkan
acuan yang sebelumnya sudah ada, sehingga sejalan dengan pedoman yang telah
diterbitkan oleh masing-masing perhimpunan.

Dengan penerbitan buku ini diharapkan maka setiap dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini sebagai acuan dalam memberikan
pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Mengingat pesatnya perkembangan dunia
kedokteran, kami mengharapkan seluruh pihak dapat bersama sama senantiasa
dapat memperbaharui buku panduan ini mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.

Waasalamualaikum Wr Wb,

Ketua Umum,

Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis,

Sp.OG

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT i


PENGURUS BESAR
IKATAN DOKTER INDONESIA
Jl. Dr. G.S.S.Y. Ratulangie No. 29 Jakarta 10350 Telp. 021-3150679 - 3900277 Fax. 3900473 Email :
(PB IDI) : pbidi@idionline.org, (MKKI) : majeliskolegiumkedokteran_ind@yahoo.com, (MKEK) :
mkek@idonline.org; (MPPK) : mppk@idionline.org
Website : www.idionline.org

Masa Bakti : 2012 - 2015 SURAT KEPUTUSAN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
NO. 1530/PB/A.4/12/2014
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
Ketua Umum :
Dr. Zaenal Abidin, MH
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA


Ketua Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) : Menimbang : 1. Bahwa dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dokter berkewajiban
Dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad
mengikuti standar pelayanan kedokteran.
2. Bahwa diperlukan panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan
Ketua Majelis Kolegium kesehatan primer dalam melakukan praktik klinis.
Kedokteran Indonesia (MKKI) : 3. Bahwa Ikatan Dokter Indonesia telah menyelesaikan penyusunan
Prof. Dr. Errol U. Hutagalung, Sp.B, Sp.OT (K)
panduan praktik klinis yang merupakan standar pelayanan dalam
meningkatkan mutu kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
Ketua Majelis Pengembangan primer.
Pelayanan Keprofesian (MPPK) : 4. Bahwa panduan sebagaimana tersebut pada butir 3 diatas perlu
Dr. Pranawa, Sp.PD-KGH
ditetapkan dengan Surat Keputusan.

Wakil Ketua Umum /


Mengingat : 1.Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Ketua Terpilih : 2. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Prof. Dr. I. Oetama Marsis,Sp.OG
3. Anggaran Dasar IDI Bab III Pasal 7 dan 8
4. Anggaran Rumah Tangga IDI pasal 21 dan 23
Ketua Purna :
5. Ketetapan Muktamar Dokter Indonesia XXVIII No. 16/MDI
Dr. Prijo Sidipratomo,Sp.Rad XXVIII/11/2012 tanggal 23 November 2012
6. Surat Keputusan PB IDI No. 317/PB/A.4/2013 tanggal 15 April
2013.
Sekretaris Jenderal :
Dr. Daeng M Faqih,MH
MEMUTUSKAN :
Bendahara Umum : Menetapkan
Dr. Dyah A Waluyo
Pertama : Mengesahkan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Pelayanan Primer
Kedua : Dengan disahkannya panduan ini maka setiap dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini sebagai acuan dalam
memberikan pelayanan kedokteran kepada masyarakat
ketiga : Panduan ini senantiasa dapat diperbaharui mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran
keempat : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari
terdapat kekeliruan dalam penetapannya akan diperbaiki sesuai
keperluannya.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 8 Desember 2014

Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,

Dr. Zaenal Abidin, MH Dr. Daeng M Faqih, MH


NPA. IDI : 42.557 NPA. IDI : 44.016

i PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015
TENTANG
PANDUAN KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pelayanan kedokteran di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama harus dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasional
yang disusun dalam bentuk panduan praktik klinis oleh fasilitas pelayanan
kesehatan;
b. bahwa untuk memberikan acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam
menyusun standar prosedur operasional perlu mengesahkan panduan
praktis klinis yang disusun oleh organisasi profesi;
c. bahwa pengaturan panduan praktik klinis yang telah ditetapkan
melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum dan ilmu
kedokteran;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Keputusan Menteri
Kesehatan tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang
Rekam Medik;

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT i


6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/Menkes/Per/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 464);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011
tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 671);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 122);
9. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 342);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TANTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS


BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA.

KESATU : Mengesahkan dan memberlakukan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di


Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat Pertama.
KEDUA : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama, yang selanjutnya disebut PPK Dokter merupakan pedoman bagi
dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama baik milik Pemerintah maupun masyarakat yang
berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya,
KETIGA : Pandauan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri
ini.
KEEMPAT : Dalam melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan PPK Dokter
sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA, diperlukan keterampilan
klinis sesuai dengan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KELIMA : PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA dan Pandaun
Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KEEMPAT harus dijadikan acuan dalam penyusunan standar prosedur
operasional di setiap fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

i PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


KEENAM : Kepatuhan terhadap PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KETIGA dan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana dimaksud
dalam Diktum KEEMPAT bertujuan memberikan pelayanan kesehatan dengan
upaya terbaik.
KETUJUH : Modifikasi terhadap pelaksanaan PPK Dokter dapat dilakukan oleh dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama hanya berdasarkan
keadaan tertentu untuk kepentingan pasien.
KEDELAPAN : Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH meliputi
keadaan khusus pasien, kedaruratan, keterbatasan sumber daya, dan
perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi berbasis bukti (evidance based).
KESEMBILAN : Penatalaksanaan pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus
menggunakan obat yang tercantum dalam Formularium Nasional.
KESEPULUH : Meneteri Kesehatan, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan PPK Dokter dengan melibatkan
organisasi profesi.
KESEBELAS : Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KEDUABELAS : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

ttd

NILA FARID MOELOEK

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT v


Catatan Penting

1. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter Pelayanan Primer ini memuat penatalaksanaan untuk
dilaksanakan oleh seluruh dokter pelayanan primer serta pemberian pelayanan kesehatan
dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan primer tetapi tidak menjamin keberhasilan
upaya atau kesembuhan pasien.
2. Panduan ini disusun berdasarkan data klinis untuk kasus individu berdasarkan referensi terbaru
yang ditemukan tim penyusun, dan dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah.
3. Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus. Setiap dokter
bertanggung jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan
diagnostik, dan pengobatan yang tersedia.
4. Modifikasi terhadap panduan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter atas dasar keadaan
yang memaksa untuk kepentingan pasien, antara lain keadaaan khusus pasien,
kedaruratan, dan keterbatasan sumber daya. Modifikasi tersebut harus tercantum dalam rekam
medis.
5. Dokter pelayanan primer wajib merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain yang memiliki sarana
prasarana yang dibutuhkan bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak tersedia, meskipun
penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit tingkat kemampuan 4.
6. PPK Dokter Pelayanan Primer tidak memuat seluruh teori tentang penyakit, sehingga sangat
disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut dengan menggunakan referensi
yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Walaupun tidak menjadi standar pelayanan, skrining terhadap risiko penyakit merupakan tugas
dokter pelayanan primer.

v PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


Tim Penyusun
Pengarah
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Dasar
Pengarah IDI
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Prof. Dr. I Oetama Marsis, SpOG
Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH. DR.PH
Dr. Daeng M Faqih,M.H
Tim Editor
Fika Ekayanti
Ika Hariyani
Joko Hendarto
Mahesa Paranadipa
Andi Alfian Zainuddin
Daeng M Faqih
Dhanasari Vidiawati Trisna
Dyah A Waluyo
Herqutanto
Narasumber
Amir Syarif – Kolegium Dokter Primer Indonesia
Arie Hamzah - Subdit Pengendalian DM & PM, Kemenkes RI
Armein Sjuhary Rowi - Dinkes Kota Bogor
Aryono Hendarto – Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia
Diatri Nari Lastri - PP PERDOSSI
Dinan Bagja Nugraha - Dinkes Kab. Garut
Djatmiko - Dinkes Kabupaten Grobogan
Eka Ginanjar - PB PAPDI
Eka Sulistiany - Subdit Tuberkulosis Ditjen P2PL, Kemenkes RI
Esty Handayani PKM- Teluk Tiram Banjarmasin
Fikry Hamdan Yasin - Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL Indonesia
Gerald Mario Semen - Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Kemenkes
RI Hadiyah Melanie - Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemenkes RI
Hanny Nilasari - PP PERDOSKI
Hariadi Wisnu Wardana - Subdit AIDS & PMS, Kemenkes
RI Eni Gustina - Direktorat Bina Kesehatan Anak,Kemenkes
RI Ilham Oetama Marsis-PB IDI
Kiki Lukman – Kolegium Ilmu Bedah Indonesia
Lily Banonah Rivai - Subdit Pengendalian PJPD, Dit PPTM, Kemenkes RI
M.Sidik – Perdami
Muhammad Amin – Kolegium Pulmonologi Indonesia
Nurdadi Saleh - PB POGI
Syahrial M Hutauruk - PP PERHATI-KL
Syamsulhadi – Kolegium Psikiatri Indonesia
Syamsunahar - IDI Cabang Kota Bogor
Sylviana Andinisaric - Subdit Pengendalian DM & PM, Kemenkes RI
Tjut Nurul Alam Jacoeb - PP PERDOSKI
Widia Tri Susanti - PKM Taman Bacaan Palembang
Wiwiek Wibawa – PKM Godong I Grobogan
Wiwien Heru Wiyono - Kolegium Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Worowijat - Subdit Pengendalian Malaria Ditjen P2PL, Kemenkes RI
Yetti Armagustini - Dinkes Kota Palembang
Yoan Hotnida Naomi - Subdit Pengendalian Penyakit Jantung & Pembuluh Darah, Kemenkes
Tim Kontributor
Alfii Nur Harahap
Alfuu Nur Harahap
Andi Alfian Zainuddin

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT v


Tim Penyusun

Balqis
Darwis Hartono
Dhanasari Vidiawati Trisna
Duta Liana
Dwiana Ocviyanti
Eka Laksmi
Exsenveny Lalopua
Fika Ekayanti
Hani Nilasari
Ira Susanti Haryoso
Joko Hendarto
Oktarina
Prasenohadi
Retno Asti Werdhani
Simon Salim
Susi Oktowati
Trisna
Ulul Albab
Wahyudi Istiono
Imelda Datau
Judilherry Justam
Monika Saraswati Sitepu
Novana Perdana Putri
R. Prihandjojo Andri Putranto
Siti Pariani
Slamet Budiarto
Tim Penunjang
Adi Pamungkas
Dien Kuswardani
Era Renjana
Ernawati Octavia
Esty Wahyuningsih
Heti Yuriani
Husin Maulachelah
I.G.A.M Bramantha Yogeswara
Inten Lestari
Leslie Nur Rahmani
Mina Febriani
Mohammad Sulaeman
Nia Kurniawati
Raisa Resmitasari
Rizky Rahayuningsih
Uud Cahyono
Syrojuddin Hadi Imron
Tim Revisi 2014
Andi Alfian Zainuddin
Apriani Oendari
Asturi Putri
Adi Pamungkas
Bulkis Natsir
Darwis Hartono
Ika Hariyani
Joko Hendarto
Monika Saraswati Sitepu
Novana Perdana Putri
Salinah

vi PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas Rahmat-Nya Buku Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi 1 dikeluarkan oleh IDI dapat
yang dicetak dan disebarluaskan kepada seluruh anggotanya. Buku ini telah direvisi, yang awalnya
terdiri dari 155 daftar penyakit pada PMK no 5 tahun 2014, menjadi 177 penyakit pada KMK
HK.02.02/ Menkes/514/2015.
Penyusunan buku ini diawali dari rapat yang diselenggarakan oleh Subdit Bina Pelayanan Kedokteran
Keluarga, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada bulan Mei
2014 bersama dengan pengurus PB IDI. Buku ini adalah bagian pertama dari 4 rangkaian tema yang
ingin disusun bersama, yaitu:
1. Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
2. Buku Panduan Penatalaksanaan Klinis dengan Pendekatan Simptom di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer
3. Buku Panduan Keterampilan Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
4. Buku Pedoman Pelayanan bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
Keempat tema ini merupakan acuan standar bagi pelayanan kesehatan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer ini disusun
berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, di mana dari 736 daftar
penyakit terdapat 144 penyakit dengan tingkat kemampuan 4 yaitu lulusan dokter harus mampu
mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas, 261 penyakit (164
penyakit tingkat kemampuan 3A dan 97 penyakit tingkat kemampuan 3B) dengan tingkat
kemampuan 3 yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal,
dan merujuk pada kasus gawat darurat maupun bukan gawat darurat, 261 penyakit dengan
tingkat kemampuan 2 yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis dan merujuk serta 70
penyakit dengan tingkat kemampuan 1 yaitu lulusan dokter harus mampu mengenali dan
menjelaskan selanjutnya menentukan rujukan yang tepat. Selain daftar penyakit tersebut,
terdapat 275 keterampilan klinik yang juga harus dikuasai oleh lulusan program studi dokter.
Dalam buku panduan ini, memuat 177 daftar penyakit. Daftar tersebut terdiri dari beberapa
penggabungan penjabaran penyakit, yang sebenarnya di dalam SKDI mewakili 193 daftar penyakit,
terdiri dari 135 penyakit dengan tingkat kemampuan 4A, 34 penyakit dengan tingkat kemampuan 3B,
21 penyakit dengan kemampuan 3B dan 3 penyakit dengan tingkat kemampuan 2.
Pemilihan penyakit berdasarkan prevalensi cukup tinggi, mempunyai risiko tinggi dan membutuhkan
pembiayaan tinggi serta usulan dari perhimpunan dokter spesialis. Dalam penyusunannya,
dikoordinir oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia yang melibatkan dua perhimpunan dokter
pelayanan primer (PDPP) yaitu Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Perhimpunan
Dokter Umum Indonesia (PDUI). Dalam proses review tim penyusun melibatkan perhimpunan dokter
spesialis yang terkait dengan daftar penyakit.
Buku ini dipandang perlu untuk memandu para praktisi kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer terutama dokter dalam menjalankan praktik kedokteran yang baik agar mampu melayani
masyarakat sesuai prosedur. Selain itu, diharapkan terciptanya kendali mutu dan kendali biaya
sehingga efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kesehatan dapat dicapai yang berujung pada
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Dalam penerapan buku ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan
yang terdiri dari Kementerian Kesehatan RI sebagai regulator hingga organisasi profesi dokter dan
tenaga kesehatan lainnya untuk membina dan mengawasi guna mewujudkan mutu pelayanan yang
terbaik bagi masyarakat.
Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi seluruh pihak yang berperan aktif dalam
penyusunan buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
Indonesia.

Tim Penulis

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT i


Daftar isi

BAB I : PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 3
C. Sasaran 3
D. Ruang Lingkup 4
E. Cara Memahami Panduan Praktik Klinis 4
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH & PENYAKIT7
A. KELOMPOK UMUM 7
1. Tuberkulosis (TB) Paru 7
2. TB dengan HIV 15
3. Morbili 17
4. Varisela 19
5. Malaria 21
6. Leptospirosis 23
7. Filariasis 25
8. Infeksi pada Umbilikus 29
9. Kandidiasis Mulut 30
10. Lepra 31
11. Keracunan Makanan 37
12. Alergi Makanan 39
13. Syok 40
14. Reaksi Anafilaktik 44
15. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue 47
B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN 52
1. Anemia Defisiensi Besi 52
2. HIV/AIDS tanpa Komplikasi 54
3. Lupus Eritematosus Sistemik 58
4. Limfadenitis 62
C. DIGESTIVE 64
1. Ulkus Mulut (Aftosa, Herpes 64
2. Refluks Gastroesofageal 67
3. Gastritis 69
4. Intoleransi Makanan 70
5. Malabsorbsi Makanan 71
6. Demam Tifoid 73
7. Gastroenteritis (Kolera dan Giardiasis) 78
8. Disentri Basiler dan Disentri Amuba 85
9. Perdarahan Gastrointestinal 87
10. Hemoroid Grade 1-2 90
11. Hepatitis A 92

x PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

12. Hepatitis B 94
13. Kolesistisis 96
14. Apendisitis Akut 97
15. Peritonitis 100
16. Parotitis 101
17. Askariasis (Infeksi Cacing Gelang) 103
18. Ankilostomiasis (Infeksi Cacing Tambang) 105
19. Skistosomiasis 107
20. Taeniasis 110
21. Strongiloidasis 111
D. MATA 114
1. Mata Kering/Dry Eye 114
2. Buta Senja 116
3. Hordeolum 117
4. Konjungtivitis 118
5. Blefaritis 120
6. Perdarahan Subkonjungtiva 121
7. Benda Asing di Konjungtiva 123
8. Astigmatisme 124
9. Hipermetropia 125
10. Miopia Ringan 126
11. Presbiopia 127
12. Katarak pada Pasien Dewasa 129
13. Glaukoma Akut 130
14. Glaukoma Kronis 132
15. Trikiasis 133
16. Episkleritis 135
17. Trauma Kimia Mata 137
18. Laserasi Kelopak Mata 138
19. Hifema 140
20. Retinopati Diabetik 141
E. TELINGA 143
1. Otitis Eksterna 143
2. Otitis Media Akut 145
3. Otitis Media Supuratif Kronik 147
4. Benda Asing di Telinga 149
5. Serumen Prop 150
F. KARDIOVASKULER 152
1. Angina Pektoris Stabil 152
2. Infark Miokard 155

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT x


DAFTAR

3. Takikardia 157
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik 159
5. Cardiorespiratory Arrest 161
6. Hipertensi Esensial 162
G. MUSKULOSKELETAL 166
1. Fraktur Terbuka 166
2. Fraktur Tertutup 168
3. Polimialgia Reumatik 169
4. Artritis Reumatoid 170
5. Artritis, Osteoartritis 174
6. Vulnus 175
7. Lipoma 178
H. NEUROLOGI 179
1. Tension Headache 179
2. Migren 182
3. Vertigo 185
4. Tetanus 190
5. Rabies 194
6. Malaria Serebral 197
7. Epilepsi 199
8. Transient Ischemic Attack (TIA) 204
9. Stroke 207
10. Bell’s Palsy 210
11. Status Epileptikus 215
12. Delirium 216
13. Kejang Demam 218
14. Tetanus Neonatorum 221
I. PSIKIATRI 224
1. Gangguan Somatoform 224
2. Demensia 228
3. Insomnia 230
4. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi 231
5. Gangguan Psikotik 234
J. RESPIRASI 237
1. Influenza 237
2. Faringitis Akut 239
3. Laringitis Akut 242
4. Tonsilitis Akut 245
5. Bronkitis Akut 248
6. Asma Bronkial (Asma Stabil) 251

xi PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

7. Status Asmatikus (Asma Akut Berat) 258


8. Pneumonia Aspirasi 261
9. Pneumonia, Bronkopneumonia 262
10. Pneumotoraks 268
11. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) 269
12. Epistaksis 273
13. Benda Asing di Hidung 276
14. Furunkel pada Hidung 278
15. Rinitis Akut 279
16. Rinitis Vasomotor 282
17. Rinitis Alergik 284
18. Sinusitis (Rinosinusitis) 286
K. KULIT 291
1. Miliaria 291
2. Veruka Vulgaris 293
3. Herpes Zoster 294
4. Herpes Simpleks 296
5. Moluskum Kontagiosum 299
6. Reaksi Gigitan Serangga 300
7. Skabies 302
8. Pedikulosis Kapitis 304
9. Pedikulosis Pubis 306
10. Dermatofitosis 308
11. Pitiriasis Versikolor/Tinea Versikolor 310
12. Pioderma 312
13. Erisipelas 314
14. Dermatitis Seboroik 316
15. Dermatitis Atopik 318
16. Dermatitis Numularis 321
17. Liken Simpleks Kronik (Neurodermatitis Sirkumsripta) 323
18. Dermatitis Kontak Alergik 325
19. Dermatitis Kontak Iritan 327
20. Napkin Eczema (Dermatitis Popok) 330
21. Dermatitis Perioral 332
22. Pitiriasis Rosea 334
23. Eritrasma 335
24. Skrofuloderma 337
25. Hidradenitis Supuratif 338
26. Akne Vulgaris Ringan 341
27. Urtikaria 344

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT x


DAFTAR

28. Exanthematous Drug Eruption 347


29. Fixed Drug Eruption 348
30. Cutaneus Larva Migrans 350
31. Luka Bakar Derajat I dan II 352
32. Ulkus pada Tungkai 354
33. Sindrom Stevens-Johnson 357
L METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI 360
1. Obesitas 360
2. Tirotoksikosis 362
3. Diabetes Mellitus Tipe 2 364
4. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik 358
5. Hipoglikemia 370
6. Hiperurisemia-Gout Arthritis 372
7. Dislipidemia 374
8. Malnutrisi Energi Protein (MEP) 377
M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH 380
1. Infeksi Saluran Kemih 380
2. Pielonefritis Tanpa Komplikasi 382
3. Fimosis 385
4. Parafimosis 386
N. KESEHATAN WANITA 388
1. Kehamilan Normal 388
2. Hiperemesis Gravidarum (Mual dan Muntah pada Kehamilan) 393
3. Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan 396
4. Pre-Eklampsia 398
5. Eklampsi 401
6. Abortus 403
7. Ketuban Pecah Dini (KPD) 407
8. Persalinan Lama 409
9. Perdarahan Post Partum/Perdarahan Pascasalin 412
10. Ruptur Perineum Tingkat 1-2 417
11. Mastitis 422
12. Inverted Nipple 424
13. Cracked Nipple 426
O. PENYAKIT KELAMIN 428
1. Fluor Albus/Vaginal Discharge Non Gonore 428
2. Sifilis 431
3. Gonore 436
4. Vaginitis 438
5. Vulvitis 440

xi PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Terwujudnya kondisi kesehatan masyarakat yang baik adalah tugas dan tanggung jawab
dari negara sebagai bentuk amanah Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam pelaksanaannya negara berkewajiban menjaga mutu pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh fasilitas kesehatan
serta tenaga kesehatan yang berkualitas. Untuk mewujudkan tenaga kesehatan yang
berkualitas, negara sangat membutuhkan peran organisasi profesi tenaga kesehatan yang
memiliki peran menjaga kompetensi anggotanya.

Bagi tenaga kesehatan dokter, Ikatan Dokter Indonesia yang mendapat amanah untuk
menyusun standar profesi bagi seluruh anggotanya, dimulai dari standar etik (Kode Etik
Kedokteran Indonesia – KODEKI), standar kompetensi yang merupakan standar minimal yang
harus dikuasasi oleh setiap dokter ketika selesai menempuh pendidikan kedokteran,
kemudian disusul oleh Standar Pelayanan Kedokteran yang harus dikuasai ketika berada di
lokasi pelayanannya, terdiri atas Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar
Prosedur Operasional.

Standar Pelayanan Kedokteran merupakan implementasi dalam praktek yang mengacu


pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang telah diatur dalam Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Dalam rangka penjaminan mutu pelayanan, dokter wajib mengikuti kegiatan
Pendidikan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) dalam naungan IDI.

Tingkat kemampuan dokter dalam pengelolaan penyakit di dalam SKDI dikelompokan menjadi
4 tingkatan, yakni : tingkat kemampuan 1, tingkat kemampuan 2, tingkat kemampuan 3A,
tingkat kemampuan 3B, dan tingkat kemampuan 4A serta tingkat kemampuan 4B

Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan

Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui
cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut,
selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 3 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

Tingkat Kemampuan 3A : Bukan gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 1


BAB I :

Tingkat Kemampuan 3B : Gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 4 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara m mandiri dan tuntas.

Tingkat Kemampuan 4A : Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

Tingkat Kemampuan 4B : Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/
atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, dari 736 daftar penyakit
terdapat 144 penyakit yang harus dikuasai penuh oleh para lulusan karena diharapkan dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Selain itu terdapat 275 keterampilan klinik yang
juga harus dikuasai oleh lulusan program studi dokter. Selain 144 dari 726 penyakit, terdapat
261 penyakit yang harus dikuasai lulusan untuk dapat mendiagnosisnya sebelum kemudian
merujuknya, baik merujuk dalam keadaaan gawat darurat maupun bukan gawat darurat.

Kondisi saat ini, kasus rujukan ke pelayanan kesehatan sekunder untuk kasus-kasus yang
seharusnya dapat dituntaskan di fasilitas pelayanan tingkat pertama masih cukup tinggi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya kompetensi dokter, pembiayaan, dan sarana
prasarana yang belum mendukung. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar penyakit dengan
kasus terbanyak di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010 termasuk dalam kriteria
4A.

Dengan menekankan pada tingkat kemampuan 4, maka dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama dapat melaksanakan diagnosis dan menatalaksana penyakit dengan
tuntas. Namun bila pada pasien telah terjadi komplikasi, adanya penyakit kronis lain yang
sulit dan pasien dengan daya tahan tubuh menurun, yang seluruhnya membutuhkan
penanganan lebih lanjut, maka dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
secara cepat dan tepat harus membuat pertimbangan dan memutuskan dilakukannya
rujukan.

Melihat kondisi ini, diperlukan adanya panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama yang merupakan bagian dari standar pelayanan kedokteran. Panduan ini
selanjutnya menjadi acuan bagi seluruh dokter di fasilitas pelayanan tingkat pertama dalam
menerapkan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat.

Panduan ini diharapkan dapat membantu dokter untuk dapat meningkatkan mutu
pelayanan sekaligus menurunkan angka rujukan dengan cara :

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB I :

1. Memberi pelayanan sesuai bukti sahih terkini yang cocok dengan kondisi pasien, keluarga
dan masyarakatnya
2. Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar pelayanan
3. Meningkatkan mawas diri untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
profesional sesuai dengan kebutuhan pasien dan lingkungan
4. Mempertajam kemampuan sebagai gate keeper pelayanan kedokteran dengan menapis
penyakit dalam tahap dini untuk dapat melakukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat
sebagaimana mestinya layanan tingkat pertama

Panduan Praktik Klinis (PPK) bagi Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
ini memuat penatalaksanaan penyakit untuk dilaksanakan oleh seluruh dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Penyusunan panduan ini berdasarkan data klinis
untuk kasus individu yang mengacu pada referensi terbaru yang ditemukan tim penyusun, dan
dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah. Panduan ini tidak memuat seluruh teori
tentang penyakit, maka sangat disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut
dengan menggunakan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus, tetapi
merupakan pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik. Setiap dokter bertanggung
jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan diagnostik
dan pengobatan yang tersedia. Dokter harus merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain
yang memiliki sarana prasarana yang dibutuhkan, bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak
tersedia, meskipun penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit dengan tingkat
kemampuan dokter menangani dengan tuntas dan mandiri (tingkat kemampuan 4). Penilaian
terhadap ketepatan rujukan harus dinilai kasus per kasus, dan tidak dapat didasarkan hanya
pada kode diagnosa penyakit. Walaupun tidak dicantumkan dalam panduan ini, skrining
terhadap risiko penyakit merupakan tugas dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama.

B. TUJUAN

Dengan menggunakan panduan ini diharapkan, dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dapat

1. mewujudkan pelayanan kedokteran yang sadar mutu sadar biaya yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
2. memiliki pedoman baku minimum dengan mengutamakan upaya maksimal sesuai
kompetensi dan fasilitas yang ada
3. memiliki tolok ukur dalam melaksanakan jaminan mutu pelayanan

C. SASARAN

Sasaran buku Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
ini adalah seluruh dokter yang memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Fasilitas pelayanan kesehatan tidak terbatas pada fasilitas milik pemerintah,
tetapi juga fasilitas pelayanan swasta.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 3


BAB I :

D. RUANG LINGKUP

PPK ini meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit yang dijumpai di layanan
tingkat pertama. Jenis penyakit mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penyakit dalam Pedoman ini
adalah penyakit dengan tingkat kemampuan dokter 4A, 3B dan 3A terpilih, dimana dokter
diharapkan mampu mendiagnosis, memberikan penatalaksanaan dan rujukan yang sesuai.
Beberapa penyakit yang merupakan kemampuan 2, dimasukkan dalam pedoman ini
dengan pertimbangan prevalensinya yang cukup tinggi di Indonesia. Pemilihan penyakit pada
PPK ini berdasarkan kriteria:

1. Penyakit yang prevalensinya cukup tinggi


2. Penyakit dengan risiko tinggi
3. Penyakit yang membutuhkan pembiayaan tinggi

Dalam penerapan PPK ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan
untuk membina dan mengawasi penerapan standar pelayanan yang baik guna
mewujudkan mutu pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Adapun stakeholder kesehatan
yang berperan dalam penerapan standar pelayanan ini adalah :
1. Kementerian Kesehatan, sebagai regulator di sektor kesehatan.
Mengeluarkan kebijakan nasional dan peraturan terkait guna mendukung penerapan
pelayanan sesuai standar. Selain dari itu, dengan upaya pemerataan fasilitas dan kualitas
pelayanan diharapkan standar ini dapat diterapkan di seluruh Indonesia.
2. Ikatan Dokter Indonesia, sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter.
Termasuk di dalamnya peranan IDI Cabang dan IDI Wilayah, serta perhimpunan dokter
layanan primer dan spesialis terkait. Pembinaan dan pengawasan dalam aspek profesi
termasuk di dalamnya standar etik menjadi ujung tombak penerapan standar yang terbaik.
3. Dinas Kesehatan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagai penanggungjawab
urusan kesehatan pada tingkat daerah.
4. Organisasi profesi kesehatan lainnya seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI),
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) serta organisasi
profesi kesehatan lainnya. Keberadaan tenaga kesehatan lain sangat mendukung
terwujudnya pelayanan kesehatan terpadu.
5. Sinergi seluruh pemangku kebijakan kesehatan menjadi kunci keberhasilan penerapan
standar pelayanan medik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

E. CARA MEMAHAMI PANDUAN PRAKTIK KLINIS

Panduan ini memuat pengelolaan penyakit mulai dari penjelasan hingga penatalaksanaan
penyakit tersebut. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter di Fasilitas Pelayanan Tingkat Pertama
disusun berdasarkan pedoman yang berlaku secara global yang dirumuskan oleh organisasi
profesi dan di sahkan oleh Menteri Kesehatan.

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB I :

1) Judul Penyakit
Judul penyakit berdasarkan daftar penyakit terpilih di SKDI 2012, namun beberapa penyakit
dengan karakterisitik yang hampir sama dikelompokkan menjadi satu judul penyakit.
Pada setiap judul penyakit dilengkapi :
1. Kode penyakit
a. Kode International Classification of Primary Care (ICPC), menggunakan kode ICPC-
2 untuk diagnosis.
b. Kode International Classification of Diseases (ICD), menggunakan kode ICD-10
versi 10.
Penggunaan kode penyakit untuk pencatatan dan pelaporan di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama mengacu pada ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.

2. Tingkat kemampuan dokter dalam penatalaksanaan penyakit berdasarkan Peraturan


Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Standar Kompetensi
Dokter Indonesia.
2) Masalah Kesehatan
Masalah kesehatan berisi pengertian singkat serta prevalensi penyakit di Indonesia.
Substansi dari bagian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan awal serta gambaran
kondisi yang mengarah kepada penegakan diagnosis penyakit tersebut.
3) Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Anamnesis berisi keluhan utama maupun keluhan penyerta yang sering disampaikan
oleh pasien atau keluarga pasien. Penelusuran riwayat penyakit yang diderita saat
ini, penyakit lainnya yang merupakan faktor risiko, riwayat keluarga, riwayat sosial, dan
riwayat alergi menjadi informasi lainnya pada bagian ini. Pada beberapa penyakit, bagian
ini memuat informasi spesifik yang harus diperoleh dokter dari pasien atau keluarga pasien
untuk menguatkan diagnosis penyakit.
4) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Bagian ini berisi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang spesifik,
mengarah kepada diagnosis penyakit (pathognomonis). Meskipun tidak memuat rangkaian
pemeriksaan fisik lainnya, pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh tetap
harus dilakukan oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk
memastikan diagnosis serta menyingkirkan diagnosis banding.
5) Penegakan Diagnosis (Assesment)
Bagian ini berisi diagnosis yang sebagian besar dapat ditegakkan dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Beberapa penyakit membutuhkan hasil pemeriksaan penunjang
untuk memastikan diagnosis atau karena telah menjadi standar algoritma penegakkan
diagnosis. Selain itu, bagian ini juga memuat klasifikasi penyakit, diagnosis banding, dan
komplikasi penyakit.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 5


BAB I :

6) Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Bagian ini berisi sistematika rencana penatalaksanaan berorientasi pada pasien
(patient centered) yang terbagi atas dua bagian yaitu penatalaksanaan non
farmakologi dan farmakologi. Selain itu, bagian ini juga berisi edukasi dan konseling
terhadap pasien dan keluarga (family focus), aspek komunitas lainnya (community oriented)
serta kapan dokter perlu merujuk pasien (kriteria rujukan).
Dokter akan merujuk pasien apabila memenuhi salah satu dari kriteria “TACC” (Time-Age-
Complication-Comorbidity) berikut :
1. Time: jika perjalanan penyakit dapat digolongkan kepada kondisi kronis atau melewati
Golden Time Standard.
2. Age: jika usia pasien masuk dalam kategori yang dikhawatirkan meningkatkan
risiko komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih berat.
3. Complication: jika komplikasi yang ditemui dapat memperberat kondisi pasien.
4. Comorbidity: jika terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang memperberat
kondisi pasien.
5. Selain empat kriteria di atas, kondisi fasilitas pelayanan juga dapat menjadi dasar bagi
dokter untuk melakukan rujukan demi menjamin keberlangsungan penatalaksanaan
dengan persetujuan pasien.

7) Peralatan
Bagian ini berisi komponen fasilitas pendukung spesifik dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit tersebut. Penyediaan peralatan tersebut merupakan kewajiban
fasilitas pelayanan kesehatan disamping peralatan medik wajib untuk pemeriksaan
umum tanda vital.

8) Prognosis
Kategori prognosis sebagai berikut :
1. Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan.
2. Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi
manusia dalam melakukan tugasnya.
3. Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat
beraktivitas seperti biasa.
Prognosis digolongkan sebagai berikut :
1. Sanam: sembuh
2. Bonam: baik
3. Malam: buruk/jelek
4. Dubia: tidak tentu/ragu-ragu
5. Dubia ad sanam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung sembuh/baik
6. Dubia ad malam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung memburuk/jelek
Untuk penentuan prognosis sangat ditentukan dengan kondisi pasien saat diagnosis
ditegakkan.

6 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II
DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS
BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT
1.
A. TUBERKULOSIS
KELOMPOK UMUM(TB) PARU
No ICPC-2 : A70 Tuberkulosis
No ICD-10 : A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologically and histologically confirmed
Tingkat Kemampuan 4A

a. Tuberkulosis (TB) Paru pada Dewasa suara napas melemah di apex paru, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Masalah Kesehatan Pemeriksaan Penunjang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular 1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED
langsung yang disebabkan oleh kuman TB meningkat, Hb turun.
yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, namun dapat 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri
juga mengenai organ tubuh lainnya. Indonesia Tahan Asam/BTA) ataukultur kuman dari
merupakan negara yang termasuk sebagai 5 spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-
besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. sewaktu.
Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil
ini timbul kedaruratan baru dalam dari bilas lambung, cairan serebrospinal,
penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat (Multi cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Drug Resistance/ MDR). 4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top
Hasil Anamnesis (Subjective) lordotik.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau gambaran bercak-bercak awan dengan batas
tanda TB. yang tidak jelas atau bila dengan batas
Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran
lebih dari 2 minggu, yang disertai: lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas
(bayangan berupa cincin berdinding tipis),
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura
hemoptisis) dan/atau (sudut kostrofrenikus tumpul).
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan,
penurunan berat badan, keringat malam dan Penegakan Diagnosis (Assessment)
mudah lelah). Diagnosis Pasti TB
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Sederhana (Objective) pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Fisik (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada
anak).
Kelainan pada TB Paru tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal permulaan Kriteria Diagnosis
perkembangan penyakit umumnya sulit sekali Berdasarkan International Standards for
menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar Tuberkulosis Care (ISTC 2014)
suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 7


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Standar Diagnosis hidup dan produktivitas pasien.


2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau
1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal,
efek lanjutan.
petugas kesehatan harus waspada terhadap 3. Mencegah kekambuhan TB.
individu dan grup dengan faktor risiko 4. Mengurangi penularan TB kepada orang
TB dengan melakukan evaluasi klinis dan lain.
pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada 5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan
mereka dengan gejala TB. penularannya
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang
berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak
Prinsip-prinsip terapi :
jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk
TB. 1. Obat AntiTuberkulosis (OAT) harus diberikan
3. Semua pasien yang diduga menderita TB dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis
dan mampu mengeluarkan dahak, harus obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat
diperiksa mikroskopis spesimen apusan sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari
sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 penggunaan monoterapi.
spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat
MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium
(KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan
yang kualitasnya terjamin, salah satu
lebih menguntungkan dan dianjurkan.
diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien
dengan risiko resistensi obat, risiko HIV 3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam
atau sakit parah sebaiknya melakukan keadaan perut kosong.
pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji 4. Setiap praktisi yang mengobati pasien
diagnostik awal. Uji serologi darah dan tuberkulosis mengemban tanggung jawab
interferon-gamma release assay sebaiknya kesehatan masyarakat.
tidak digunakan untuk mendiagnosis TB 5. Semua pasien (termasuk mereka yang
aktif. terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis harus diberi paduan obat lini pertama.
ekstra paru, spesimen dari organ
yang terlibat harus diperiksa secara 6. Untuk menjamin kepatuhan pasien
mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert berobat hingga selesai, diperlukan suatu
MTB/RIF direkomendasikan sebagai pendekatan yang berpihak kepada pasien
pilihan uji mikrobiologis untuk pasien (patient centered approach) dan dilakukan
terduga meningitis karena membutuhkan dengan pengawasan langsung (DOT=
penegakan diagnosis yang cepat. Directly Observed Treatment) oleh
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak seorang pengawas menelan obat.
negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan 7. Semua pasien harus dimonitor respons
Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. pengobatannya. Indikator penilaian terbaik
Jika apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu
pada pasien dengan gejala klinis yang pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir
mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan.
pengobatan antituberkulosis setelah 8. Rekaman tertulis tentang pengobatan,
pemeriksaan kultur. respons bakteriologis dan efek samping
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) harus tercatat dan tersimpan.

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan :
1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas

8 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 1.1 Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC

Fase Intensif Fase Lanjutan


Berat Badan
Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Tabel 1.2 Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB)


Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB

Obat Harian 3x/minggu


INH 5(4-6) max 300mg/hr 10(8-12) max 900 mg/dosis
Rifampicin 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600 mg/dosis
Pirzinamid 25 (20-30) max 1600 mg/hr 35 (30-40) max 2400 mg/dosis
Etambutol 15 (15-20) max 1600 mg/hr 30 (25-35) max 2400 mg/dosis

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu


rifampisin dan isoniazid
tahap awal dan lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat
1. Tahap awal menggunakan paduan obat
2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid),
rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan
namun dalam jangka waktu yg lebih
etambutol.
lama (minimal 4 bulan).
a. Pada tahap awal pasien mendapat
b. Obat dapat diminum secara
pasien yang terdiri dari 4 jenis obat
intermitten yaitu 3x/minggu (obat
(rifampisin, isoniazid, pirazinamid
program) atau tiap hari (obat non
dan etambutol), diminum setiap hari
program).
dan diawasi secara langsung untuk
menjamin kepatuhan minum obat dan c. Tahap lanjutan penting untuk
mencegah terjadinya kekebalan obat. membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan
secara adekuat, daya penularan Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh
menurun dalam kurun waktu 2 Program Nasional
minggu.
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian
adalah sebagai berikut :
besar menjadi BTA negatif (konversi)
setelah menyelesaikan pengobatan 1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
tahap awal. Setelah terjadi konversi Artinya pengobatan tahap awal selama 2
pengobatan dilanujtkan dengan tahap bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan
lanjut. selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam
2. Tahap lanjutan menggunakan panduan obat seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya
6 bulan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 9


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Prognosis pada umumnya baik apabila pasien


Diberikan pada TB paru pengobatan ulang melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
(TB kambuh, gagal pengobatan, putus pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
berobat/default). Pada kategori 2, tahap prognosis menjadi kurang baik.
awal pengobatan selama 3 bulan terdiri Kriteria hasil pengobatan :
dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan
streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan 1. Sembuh : pasien telah menyelesaikan
tahap awal diberikan setiap hari. Tahap pengobatannya secara lengkap dan
lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, pemeriksaan apusan dahak ulang (follow
3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 up), hasilnya negatif pada foto toraks AP
bulan. dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
3. OAT sisipan : HRZE 2. Pengobatan lengkap : pasien yang telah
Apabila pemeriksaan dahak masih positif menyelesaikan pengobatannya secara
(belum konversi) pada akhir pengobatan lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan
tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, apusan dahak ulang pada foto toraks AP
maka diberikan pengobatan sisipan dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
selama 1 bulan dengan HRZE. 3. Meninggal : pasien yang meninggal dalam
masa pengobatan karena sebab apapun.
Konseling dan Edukasi
4. Putus berobat (default) : pasien yang
1. Memberikan informasi kepada pasien dan tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau
keluarga tentang penyakit tuberkulosis lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan 5. Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan
kontrol secara teratur. dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan positif pada bulan ke lima atau selama
pengobatan.
6. Pindah (transfer out) : pasien yang dipindah
Kriteria Rujukan
ke unit pencatatan dan pelaporan (register)
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) lain dan hasil pengobatannya tidak
tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah diketahui.
pengobatan dalam jangka waktu tertentu
Referensi
2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/
meragukan) 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah Tuberkulosis PDPI Jakarta 2011
jangka waktu tertentu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
(TB dengan komorbid)
dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
5. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat
nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
rujukan TB-MDR.
Kementerian Kesehatan RI. 2011.
Peralatan (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum,
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai
darah rutin.
2. Radiologi ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik
3. Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia dokter swasta (DPS). Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan
Prognosis DOkter Indonesia. Jakarta. 2012.
(Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2012)

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. Tuberculosis Coalition for Technical a. BB turun selama 2-3 bulan berturut-


Assistance. International standards for turut tanpa sebab yang jelas, ATAU
tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed.
b. BB tidak naik dalam 1 bulan setelah
Tuberkulosis Coalition for Technical
diberikan upaya perbaikan gizi yang
Assistance The Hague 2014. (Tuberculosis
baik ATAU
Coalition for Technical Assistance, 2014)
5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, c. BB tidak naik dengan adekuat.
S.L. et al. Mycobacterial disease: 3. Demam lama (≥ 2 minggu) dan atau
Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
internal medicine. 17th Ed. New York: demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria,
McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - dan lain lain). Demam umumnya tidak
1020. (Braunwald, et al., 2009) tinggi (subfebris) dan dapat disertai
b. Tuberkulosis (TB) Paru pada Anak keringat malam.
4. Lesu atau malaise, anak kurang aktif
Masalah Kesehatan
bermain..
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, 5. Batuk lama atau persisten ≥ 3 minggu,
jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah batuk bersifat non- remitting (tidak pernah
583.000 orang per tahun dan menyebabkan
reda atau intensitas semakin lama semakin
kematian sekitar 140.000 orang per tahun.
parah) dan penyebab batuk lain telah
World Health Organization memperkirakan
disingkirkan
bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang
paling banyak menyebabkan kematian pada 6. Keringat malam dapat terjadi, namun
anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB keringat malam saja apabila tidak disertai
lebih banyak daripada kematian akibat malaria dengan gejala-gejala sistemik/umum lain
dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih bukan merupakan gejala spesifik TB pada
banyak daripada kematian karena kehamilan, anak
persalinan, dan nifas. Jumlah seluruh kasus
TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun Sederhana (Objective)
(1998−2002) adalah 1086 penyandang TB Pemeriksaan Fisik
dengan angka kematian yang bervariasi dari
0% hingga 14,1%. Kelompok usia terbanyak Pemeriksaan fisik pada anak tidak spesifik
adalah 12−60 bulan (42,9%), sedangkan tergantung seberapa berat manifestasi respirasi
untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%. dan sistemiknya.

Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang


Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala 1. Uji Tuberkulin
walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar
hilus pada foto toraks. Gejala sistemik/umum TB Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan
pada anak: dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23
2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di
1. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau bagian volar lengan bawah. Pembacaan
berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to dilakukan 48−72 jam setelah penyuntikan.
thrive). Pengukuran dilakukan terhadap indurasi
2. Masalah Berat Badan (BB): yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya.
Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk
menentukan tepi indurasi, ditandai dengan
pulpen, kemudian diameter transversal

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 11


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

indurasi diukur dengan alat pengukur Penegakan Diagnosis (Assessment)


transparan, dan hasilnya dinyatakan
Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua
dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi
sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai pendekatan utama, yaitu :
0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai 1. Investigasi terhadap anak yang kontak
negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai erat dengan pasien TB dewasa aktif dan
tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat menular
jika ditemukan vesikel hingga bula. Secara
umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter 2. Anak yang datang ke pelayanan kesehatan
indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa dengan gejala dan tanda klinis yang
menghiraukan penyebabnya. mengarah ke TB. (Gejala klinis TB pada
anak tidak khas).
2. Foto toraks
Sistem skoring (scoring system) diagnosis TB
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat
kelainan-kelainan radiologis pada TB dalam mengumpulkan data klinis maupun
dapat juga dijumpai pada penyakit lain. pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat diharapkan dapat mengurangi terjadinya
secara antero- posterior (AP), tetapi harus underdiagnosis maupun overdiagnosis.
disertai dengan foto lateral, mengingat
bahwa pembesaran KGB di daerah hilus Anak dinyatakan probable TB jika skoring
biasanya lebih jelas. Secara umum, mencapai nilai 6 atau lebih. Namun demikian,
gambaran radiologis yang sugestif TB jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif
adalah sebagai berikut : dan uji tuberkulinnya positif namun tidak
didapatkan gejala, maka anak cukup diberikan
a. Pembesaran kelenjar hilus atau profilaksis INH terutama anak balita
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
b. Konsolidasi segmental/lobar Catatan :
c. Milier
1. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan
d. Kalsifikasi dengan infiltrat
gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
e. Atelektasis 2. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu)
f. Kavitas
yang tidak membaik setelah diberikan
g. Efusi pleura pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
h. Tuberkuloma
3. Gambaran foto toraks mengarah ke
3. Mikrobiologis TB berupa : pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada atelektasis, konsolidasi segmental/
anak karena sulitnya mendapatkan spesimen lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan tuberkuloma.
pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 4. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2
3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil minggu) saat imunisasi BCG harus dievaluasi
pemeriksaan mikroskopik langsung pada dengan sistem skoring TB anak.
anak sebagian besar negatif, sedangkan
hasil biakan M. tuberculosis memerlukan Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan
waktu yang lama yaitu sekitar 6−8 minggu. gejala klinis yang meragukan, maka pasien
Saat ini ada pemeriksaan biakan yang tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi
hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), lebih lanjut.
yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya
mahal dan secara teknologi lebih rumit.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 1.3 Sistem Skoring TB Anak

kriteria 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga, BTA (+)
BTA (-) atau BTA
tidak jelas/tidak
Tahu
Uji Tuberkulin (Mantoux) (-) (+) (≥10mm,
atau ≥5mm
pd keadaan
immunocomp
Romised
Berat badan/ keadaan gizi BB/TB < 90% atau Klinis gizi buruk
BB/U < 80% atau BB/TB <70%
atau BB/U < 60%
Demam yang tidak >2 minggu
diketahui penyebabnya
Batuk kronik >3 minggu
Pembesaran kelenjar >1 cm, Lebih dari 1
limfe kolli, aksila, KGB, tidak nyeri
inguina
Pembengkakan tulang/ Ada pembengkakan
sendi panggul lutut,
falang
Foto toraks Gambaran Gambaran sugestif
normal, tidak TB
jelas

Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin


(Skor ≥ 6 sebagai entry point)

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin (Skor > 6 sebagai entry point)

Beri OAT
2 bulan terapi

Ada perbaikan klinis Tidak ada perbaikan klinis

Terapi TB Untuk RS fasilitas


diteruskan sambil terbatas, rujuk ke RS
Terapi mencari dengan fasilitas lebih

TB

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 13


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 1.4 OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) pada anak (sesuai rekomendasi IDAI)

Berat badan 2 bulan tiap hari 3KDT Anak 4 bulan tiap hari 2KDT Anak
(kg) RHZ (75/50/150) RH (75/50)
05-Sep 1 tablet 1 tablet
Okt-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit
2. Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit.
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.
Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak
Kriteria Rujukan
Apabila kita menemukan seorang anak
1. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan
dengan TB, maka harus dicari sumber
pengobatan.
penularan yang menyebabkan anak tersebut
2. Terjadi efek samping obat yang berat.
tertular TB. Sumber penularan adalah orang
3. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak
pengobatan selama >2 minggu.
erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan Peralatan
radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). 1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum,
darah rutin.
Evaluasi Hasil Pengobatan 2. Mantoux test (uji tuberkulin).
3. Radiologi.
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi
hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan Referensi
terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi pada anak. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I.
menghilang atau membaiknya kelainan klinis Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87.
yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,
misalnya penambahan BB yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan
nafsu makan, dan lain- lain. Apabila respons
pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT
dapat menimbulkan berbagai efek samping.
Efek samping yang cukup sering terjadi pada
pemberian isoniazid dan rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas,
ruam dan gatal, serta demam.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2.TB DENGAN HIV


TB:
No. ICPC-2 No. ICD-10
: A70 Tuberkulosis
: A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologiccaly and histologically
confirmed
HIV:
No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10: Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus (HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
menemukan kelainan.
TB meningkatkan progresivitas HIV karena
Pemeriksaan Penunjang
penderita TB dan HIV sering mempunyai kadar
jumlah virus HIV yang tinggi. Pada keadaan 1. Pemeriksaan darah lengkap dapat
koinfeksi terjadi penurunan imunitas lebih dijumpai limfositosis/monositosis, LED
cepat dan pertahanan hidup lebih singkat meningkat, Hb turun.
walaupun pengobatan TB berhasil. Penderita 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri
TB/HIV mempunyai kemungkinan hidup lebih Tahan Asam/ BTA) atau kultur kuman dari
singkat dibandingkan penderita HIV yang spesimen sputum/ dahak sewaktu-pagi-
tidak pernah kena TB. Obat antivirus HIV (ART) sewaktu.
menurunkan tingkat kematian pada pasien TB/ 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil
HIV dari bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Hasil Anamnesis (Subjective) 4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top
Batuk tidak merupakan gejala utama pada lordotik.
pasien TB dengan HIV. Pasien diindikasikan 5. Pemeriksaan kadar CD4.
untuk pemeriksaan HIV jika: 6. Uji anti-HIV

1. Berat badan turun drastis Penegakan Diagnostik (Assessment)


2. Sariawan/Stomatitis berulang
Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang
3. Sarkoma Kaposi
tinggi pada populasi dengan kemungkinan
4. Riwayat perilaku risiko tinggi seperti
koinfeksi TB-HIV maka konseling dan
a. Pengguna NAPZA suntikan
pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh
b. Homoseksual
pasien TB sebagai bagian dari penatalaksanaan
c. Waria
rutin. Pada daerah dengan prevalensi HIV
d. Pekerja seks
yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
e. Pramuria panti pijat
diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang tanda-tanda yang diduga berhubungan
Sederhana (Objective) dengan HIV dan pada pasien TB dengan
riwayat risiko terpajan HIV.
Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal permulaan
perkembangan penyakit umumnya sulit sekali

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 15


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 1.5 Gambaran TB-HIV

Infeksi dini Infeksi lanjut


(CD4 > 200/mm3) (CD4 < 200/mm3)
Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstra paru Jarang umum/banyak
Mikrobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kavitas di Tipikal primer TB milier/
puncak interstasial
Adenopati hilus/mediastinum Tidak ada Ada
Efusi pleura Tidak ada Ada

Diagnosis Banding 6. Setiap penderita TB-HIV harus diberikan


1. Kriptokokosis profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 960
2. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP) mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian
3. Aspergillosis OAT.
7. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/
Komplikasi AIDS sangat berbahaya karena akan
1. Limfadenopati menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
2. Efusi pleura 8. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan
3. Penyakit perikardial jika tersedia alat suntik sekali pakai yang
4. TB Milier steril.
5. Meningitis TB 9. Desensitisasi obat (INH/Rifampisin) tidak
boleh dilakukan karena mengakibatkan efek
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) toksik yang serius pada hati.
Penatalaksanaan 10. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak
memberi respons terhadap pengobatan,
1. Pada dasarnya pengobatannya sama selain dipikirkan terdapatnya malabsorbsi
dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan korelasi antara imunosupresi yang berat
kombinasi beberapa jenis obat dalam dengan derajat penyerapan, karenanya dosis
jumlah cukup dan dosis serta jangka standar yang diterima suboptimal
waktu yang tepat. sehingga konsentrasi obat rendah dalam
3. Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera serum.
diberikan OAT dan pemberian ARV
dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa Konseling dan Edukasi
mempertimbangkan kadar CD4. Konseling dilakukan pada pasien yang
4. Perlu diperhatikan, pemberian secara dicurigai HIV dengan merujuk pasien ke
bersamaan membuat pasien menelan pelayanan VCT (Voluntary Counceling and
obat dalam jumlah yang banyak sehingga Testing).
dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi,
efek samping, interaksi obat dan Immune Kriteria Rujukan
Reconstitution Inflammatory Syndrome.
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+)
tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah
pengobatan dalam jangka waktu tertentu

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ Prognosis


meragukan)
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah Prognosis pada umumnya baik apabila pasien
jangka waktu tertentu melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
(TB dengan komorbid) prognosis menjadi kurang baik.
5. Suspek TB–MDR harus dirujuk ke pusat Referensi
rujukan TB–MDR .
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Peralatan Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011.
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, 2. Panduan Tata laksana Tuberkuloasis ISTC
darah rutin dengan strategi DOTS unutk Praktek Dokter
2. Mantoux test Swasta (DPS), oleh Kementerian Kesehatan
3. Radiologi Republik Indonesia dan Ikatan Dokter
Indonesia Jakarta 2012.

3.MORBILI
No. ICPC-2: A71 Measles.
No. ICD-10: B05.9 Measles without complication (Measles NOS).
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
menjadi masalah kesehatan yang krusial di
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan Indonesia. Peran dokter di fasilitas pelayanan
oleh virus Measles. Nama lain dari penyakit ini kesehatan tingkat pertama sangat penting
adalah rubeola atau campak. Morbili merupakan dalam mencegah, mendiagnosis, menatalaksana,
penyakit yang sangat infeksius dan menular dan menekan mortalitas morbili.
lewat udara melalui aktivitas bernafas, batuk,
atau bersin. Pada bayi dan balita, morbili Hasil Anamnesis (Subjective)
dapat menimbulkan komplikasi yang fatal,
seperti pneumonia dan ensefalitis. Salah satu 1. Gejala prodromal berupa demam, malaise,
strategi menekan mortalitas dan morbiditas gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan
penyakit morbili adalah dengan vaksinasi. konjungtivitis.
Namun, berdasarkan data Survei Demografi 2. Pada demam hari keempat, biasanya
dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, muncul lesi makula dan papula eritem, yang
ternyata cakupan imunisasi campak pada anak- dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi
anak usia di bawah 6 tahun di Indonesia masih rambut, di belakang telinga, dan
relatif lebih rendah(72,8%) dibandingkan menyebar secara sentrifugal ke bawah
hingga muka, badan, ekstremitas, dan
negara- negara lain di Asia Tenggara yang
mencapai kaki pada hari ketiga.
sudah mencapai 84%. Pada tahun 2010,
3. Masa inkubasi 10-15 hari.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat
4. Belum mendapat imunisasi campak
insiden tertinggi ketiga di Asia Tenggara.
World Health Organization melaporkan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
sebanyak 6300 kasus terkonfirmasi Morbili di Sederhana (Objective)
Indonesia sepanjang tahun 2013.
1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati
Dengan demikian, hingga kini, morbili masih

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 17


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

general. d. Mononukleosis infeksiosa


2. Pada orofaring ditemukan koplik spot e. Infeksi Mycoplasma pneumoniae
sebelum munculnya eksantem.
3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan Komplikasi
papula eritem, dimulai pada kepala pada Komplikasi lebih umum terjadi pada anak
daerah perbatasan dahi rambut, di belakang dengan gizi buruk, anak yang belum mendapat
telinga, dan menyebar secara sentrifugal imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi
dan ke bawah hingga muka, badan, dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media,
ekstremitas, dan mencapai kaki pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada
4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan- anak HIV yang tidak diimunisasi, pneumonia
lahan menghilang dengan urutan sesuai yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi
urutan muncul, dengan warna sisa coklat kulit.
kekuningan atau deskuamasi ringan.
Eksantem hilang dalam 4-6 hari. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Gambar 1.1 Morbili Penatalaksanaan


1. Terapi suportif diberikan dengan menjaga
cairan tubuh dan mengganti cairan yang
hilang dari diare dan emesis.
2. Obat diberikan untuk gejala simptomatis,
demam dengan antipiretik. Jika terjadi
infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
3. Suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/
hari PO diberi 2 dosis.
b. b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2
dosis.
c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO
2 dosis.
d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A,
2 dosis pertama sesuai usia, dilanjutkan
dosis ketiga sesuai usia yang diberikan
Pemeriksaan Penunjang 2-4 minggu kemudian.
Pada umumnya tidak diperlukan. Pada Konseling dan Edukasi
pemeriksaan sitologi dapat ditemukan sel
Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili
datia berinti banyak pada sekret. Pada kasus
merupakan penyakit yang menular. Namun
tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan
demikian, pada sebagian besar pasien infeksi
serologi IgM anti-Rubella untuk mengkonfirmasi
dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan
diagnosis.
bersifat suportif. Edukasi pentingnya
Penegakan Diagnosis (Assessment) memperhatikan cairan yang hilang dari diare/
emesis. Untuk anggota keluarga/kontak yang
1. Diagnosis umumnya dapat ditegakkan rentan, dapat diberikan vaksin campak atau
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. human immunoglobulin untuk pencegahan.
2. Diagnosis banding: Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari
a. Erupsi obat terpapar dengan penderita. Imunoglobulin dapat
b. Eksantem virus yang lain (rubella, diberikan pada individu dengan gangguan imun,
eksantem subitum), bayi usia 6 bulan -1 tahun, bayi usia kurang
c. Scarlet fever

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas Referensi


campak, dan wanita hamil.
1. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar
Kriteria Rujukan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th Ed.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. (Djuanda,
Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan
et al., 2007)
komplikasi (superinfeksi bakteri, pneumonia, 2. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M.
dehidrasi, croup, ensefalitis) Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Peralatan Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier.
Canada.2000. (James, et al., 2000)
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
menegakkan diagnosis morbili. Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik.
Prognosis 2011. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin, 2011)
Prognosis pada umumnya baik karena
penyakit ini merupakan penyakit self-limiting
disease.

4.VARISELA
No. ICPC-2: A72 Chickenpox
No. ICD-10 : B01.9 Varicella without complication (Varicella NOS)
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Fisik
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster
Tanda Patognomonis
yang menyerang kulit dan mukosa, klinis
terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang
polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan
melalui udara (air-borne) dan kontak langsung. embun (tear drops). Vesikel akan menjadi
keruh dan kemudian menjadi krusta.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi
Keluhan vesikel- vesikel baru yang menimbulkan
gambaran polimorfik khas untuk varisela.
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian Penyebaran terjadi secara sentrifugal, serta
disusul timbulnya lesi kulit berupa papul dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan
eritem yang dalam waktu beberapa jam saluran napas atas.
berubah menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa
gatal. Gambar 1.2 Varisela
Faktor Risiko
1. Anak-anak.
2. Riwayat kontak dengan penderita varisela.
3. Keadaan imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 19


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang Konseling dan Edukasi


Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis Edukasi bahwa varisella merupakan
dengan menemukan sel penyakit yang self-limiting pada anak yang
imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat
Tzanck yaitu sel datia berinti banyak.
berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh karena
Penegakan Diagnosis (Assessment) itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan
tubuh. Penderita sebaiknya dikarantina untuk
Diagnosis Klinis mencegah penularan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Kriteria Rujukan
dan pemeriksaan fisik.
1. Terdapat gangguan imunitas
Diagnosis Banding 2. Mengalami komplikasi yang berat seperti
1. Variola pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis.
2. Herpes simpleks disseminata Peralatan
3. Coxsackievirus
4. Rickettsialpox Lup

Komplikasi Prognosis

Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama Prognosis pada pasien dengan


terjadi pada pasien dengan gangguan imun. imunokompeten adalah bonam, sedangkan
Varisela pada kehamilan berisiko untuk pada pasien dengan imunokompromais,
menyebabkan infeksi intrauterin pada janin, prognosis menjadi dubia ad bonam.
menyebabkan sindrom varisela kongenital. Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penatalaksanaan Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
1. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak Universitas Indonesia.
mengakibatkan pecahnya vesikel. Selain itu, 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
dilakukan pemberian nutrisi TKTP, 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
istirahat dan mencegah kontak dengan Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
orang lain. Saunders Elsevier.
2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
indikasi. Aspirin dihindari karena dapat Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
menyebabkan Reye’s syndrome. Jakarta.
3. Losio kalamin dapat diberikan untuk
mengurangi gatal.
4. Pengobatan antivirus oral, antara lain:
a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari,
anak- anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis
maksimal 800 mg), atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan
efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah
timbul lesi.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5.MALARIA
No. ICPC-2: A73 Malaria
No. ICD-10: B54 Unspecified malaria
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
• Nadi teraba cepat dan lemah.
Merupakan suatu penyakit infeksi akut • Pada kondisi tertentu bisa
maupun kronik yang disebabkan oleh parasit ditemukan penurunan kesadaran.
Plasmodium yang menyerang eritrosit dan 2. Kepala : Konjungtiva anemis, sklera
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual ikterik, bibir sianosis, dan pada malaria
dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, serebral dapat ditemukan kaku kuduk.
anemia, dan pembesaran limpa. 3. Toraks : Terlihat pernapasan cepat.
4. Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan
Hasil Anamnesis (Subjective) limpa, dapat juga ditemukan asites.
Keluhan 5. Ginjal : Dapat ditemukan urin berwarna
coklat kehitaman, oligouri atau anuria.
Demam hilang timbul, pada saat demam hilang 6. Ekstermitas : Akral teraba dingin merupakan
disertai dengan menggigil, berkeringat, dapat tanda-tanda menuju syok.
disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan
persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, Pemeriksaan Penunjang
mual muntah, dan diare. 1. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan
Faktor Risiko tipis ditemukan parasit Plasmodium.

1. Riwayat menderita malaria sebelumnya. 2. Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT).
2. Tinggal di daerah yang endemis malaria. Penegakan Diagnosis (Assessment)
3. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah
endemik malaria. Diagnosis Klinis
4. Riwayat mendapat transfusi darah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Trias Malaria: panas – menggigil – berkeringat),
Sederhana (Objective) pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit
plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan Fisik hapusan darah tebal/tipis.
1. Tanda Patognomonis Klasifikasi
a. Pada periode demam:
• Kulit terlihat memerah, teraba 1. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium
panas, suhu tubuh meningkat falsiparum.
dapat sampai di atas 400C dan 2. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium
kulit kering. vivax.
• Pasien dapat juga terlihat pucat. 3. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale.
• Nadi teraba cepat 4. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium
• Pernapasan cepat (takipneu) malariae.
b. Pada periode dingin dan berkeringat: 5. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium
• Kulit teraba dingin dan knowlesi.
berkeringat.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 21


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding a. Diberikan lagi regimen DHP yang sama


tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi
1. Demam Dengue
0,5 mg/kgBB/hari.
2. Demam Tifoid b. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah
3. Leptospirosis
apabila pemberian Primakiun dosis 0,25
4. Infeksi virus akut lainnya mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) hari dan penderita sakit kembali dengan
parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu
Penatalaksanaan sampai 3 bulan setelah pengobatan.
Pengobatan Malaria falsiparum Pengobatan Malaria malariae
1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3
Combination (FDC) yang terdiri dari hari dengan dosis sama dengan pengobatan
Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) malaria lainnya dan dengan dosis sama
tiap tablet mengandung 40 mg dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak
Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin. diberikan Primakuin.
Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) Pengobatan infeksi campuran antara Malaria
sampai dengan 59 kg diberikan DHP per oral 3 falsiparum dengan Malaria vivax/ Malaria
tablet satu kali per hari selama 3 hari dan ovale dengan DHP.
Primakuin 2 tablet sekali sehari satu kali
Pada penderita dengan infeksi campuran
pemberian, sedangkan untuk BB > 60 kg
diberikan DHP 1 kali per hari selama 3 hari, serta
diberikan 4 tablet DHP satu kali sehari selama 3
DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta
hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu
Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari.
kali pemberian. Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB
(dosis tunggal), Piperakuin = 16-32 mg/kgBB Pengobatan malaria pada ibu hamil
(dosis tunggal), Primakuin = 0,75 mg/kgBB 1. Trimester pertama: Kina tablet 3 x 10mg/ kg
(dosis tunggal). BB + Klindamycin 10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP
2. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum
tablet selama 3 hari.
yang tidak respon terhadap pengobatan DHP):
3. Pencegahan / profilaksis digunakan
Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis
Doksisiklin 1 kapsul 100 mg/hari diminum
kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari),
2 hari sebelum pergi hingga 4 minggu
Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari ( dewasa,
setelah keluar/pulang dari daerah
2x/hari selama7 hari), 2,2 mg/kgBB/hari ( 8-14
endemis.
tahun, 2x/hari selama 7 hari), T etrasiklin = 4-5
mg/kgBB/kali (4x/hari selama 7 hari). Pengobatan di atas diberikan berdasarkan berat
badan penderita.
Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale
Komplikasi
1. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA)
1. Malaria serebral.
+ Piperakuin (DHP), diberikan peroral satu
2. Anemia berat.
kali per hari selama 3 hari, pr im aku i n =
3. Gagal ginjal akut.
0,2 5 mg/kgBB/hari (selama 14 hari).
4. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory
2. Lini kedua (pengobatan malaria vivax
Distress Syndrome).
yang tidak respon terhadap pengobatan
5. Hipoglikemia.
DHP): Kina + Primakuin. Dosis kina = 10
6. Gagal sirkulasi atau syok.
mg/ kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari),
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat
Primakuin
pencernaan dan atau disertai kelainan
= 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
laboratorik adanya gangguan koagulasi
3. Pengobatan malaria vivax yang relaps
intravaskular.
(kambuh):

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

8. Kejang berulang >2 kali per 24 jam Artesunat per Intra Muskular atau Intra Vena
pendidngan pada hipertermia. dengan dosis awal 3,2mg /kg BB.
9. Asidemia (pH darah <7.25)atau asidosis
(biknat plasma < 15 mmol/L). Peralatan
10. Makroskopik hemoglobinuria karena Laboratorium sederhana untuk pembuatan
infeksi malaria akut. apusan darah, pemeriksaan darah rutin dan
Konseling dan Edukasi pemeriksaan mikroskopis.

1. Pada kasus malaria berat disampaikan Prognosis


kepada keluarga mengenai prognosis Prognosis bergantung pada derajat beratnya
penyakitnya. malaria. Secara umum, prognosisinya adalah
2. Pencegahan malaria dapat dilakukan dubia ad bonam. Penyakit ini dapat terjadi
dengan: kembali apabila daya tahan tubuh menurun.
a. Menghindari gigitan nyamuk dengan
Referensi
kelambu atau repellen.
b. Menghindari aktivitas di luar rumah 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser,
pada malam hari. S.L. et al.Harrisson’s: Principle of Internal
c. Mengobati pasien hingga sembuh Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill
misalnya dengan pengawasan minum obat Companies. 2009.
2. Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Kriteria Rujukan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
1. Malaria dengan komplikasi Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
2. Malaria berat, namun pasien harus terlebih Depkes RI. Jakarta. 2008. (Kementerian
dahulu diberi dosis awal Artemisinin atau Kesehatan Republik Indonesia, 2008

6.LEPTOSPIROSIS
No. ICPC-2: A78 Infection disease other/ NOS
No. ICD-10: A27.9 Leptospirosis, unspecified Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan


Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang kesadaran
menyerang manusia disebabkan oleh mikro Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
organisme Leptospira interogans dan memiliki sederhana (Objective)
manifestasi klinis yang luas. Spektrum klinis Pemeriksaan Fisik
mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai
fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, 1. Febris
leptospirosis dapat muncul seperti influenza 2. Ikterus
dengan sakit kepala dan myalgia. Tikus adalah 3. Nyeri tekan pada otot
reservoir yang utama dan kejadian leptospirosis 4. Ruam kulit
lebih banyak ditemukan pada musim hujan. 5. Limfadenopati
6. Hepatomegali dan splenomegali
Hasil Anamnesis (Subjective) 7. Edema
Keluhan: 8. Bradikardi relatif
9. Konjungtiva suffusion
Demam disertai menggigil, sakit kepala,
10. Gangguan perdarahan berupa petekie,
anoreksia, mialgia yang hebat pada betis, paha
purpura, epistaksis dan perdarahan gusi
dan pinggang disertai nyeri tekan. Mual,
11. Kaku kuduk sebagai tanda meningitis
muntah,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 23


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang 4. Gagal hati


5. Gagal jantung
Pemeriksaan Laboratorium
Konseling dan Edukasi
1. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-
26000/μL, dengan pergeseran ke kiri, 1. Pencegahan leptospirosis khususnya di
trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% daerah tropis sangat sulit, karena
pasien dan dihubungkan dengan gagal banyaknya hospes perantara dan jenis
ginjal. serotipe. Bagi mereka yang mempunyai
2. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, risiko tinggi untuk tertular leptospirosis
dan hyalin atau granular) dan proteinuria harus diberikan perlindungan berupa
ringan, jumlah sedimen eritrosit biasanya pakaian khusus yang dapat melindunginya
meningkat. dari kontak dengan bahan-bahan yang
telah terkontaminasi dengan kemih
Penegakan Diagnostik (Assessment)
binatang reservoir.
Diagnosis Klinis 2. Keluarga harus melakukan pencegahan
leptospirosis dengan menyimpan makanan
Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan dan minuman dengan baik agar terhindar
demam tiba-tiba, menggigil terdapat tanda dari tikus, mencuci tangan dengan sabun
konjungtiva suffusion, sakit kepala, mialgia, sebelum makan, mencuci tangan, kaki serta
ikterus dan nyeri tekan pada otot. Kemungkinan bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
tersebut meningkat jika ada riwayat bekerja bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/
atau terpapar dengan lingkungan yang selokan dan tempat tempat yang tercemar
terkontaminasi dengan kencing tikus. lainnya.
Diagnosis Banding Rencana Tindak Lanjut
1. Demam dengue, Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan
2. Malaria, setempat. Kriteria Rujukan
3. Hepatitis virus,
4. Penyakit rickettsia. Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder
(spesialis penyakit dalam) yang memiliki fasilitas
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) hemodialisa setelah penegakan diagnosis dan
Penatalaksanaan terapi awal.

1. Pengobatan suportif dengan observasi ketat Prognosis


untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan Prognosis jika pasien tidak mengalami
dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan komplikasi umumnya adalah dubia ad bonam.
gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis. Referensi
2. Pemberian antibiotik harus dimulai
1. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu
secepat mungkin.Pada kasus- kasus
Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta:
ringan dapat diberikan antibiotik oral
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
seperti doksisiklin, ampisilin, amoksisilin
dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5. (Sudoyo, et
atau eritromisin. Pada kasus leptospirosis
al., 2006)
berat diberikan dosis tinggi penisilin
2. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007. Available
injeksi.
at: (Cunha, 2007)
Komplikasi 3. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.
Available at: http://www.nlm.nih.gov/
1. Meningitis medlineplus/ency/article/001376.htm.
2. Distress respirasi Accessed December 2009. (Dugdale, 2004)
3. Gagal ginjal karena renal interstitial
tubular necrosis

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

7.FILARIASIS
No. ICPC-2: D96 Woms/other parasites No. ICD-10: B74 Filariasis
B74.0 Filariasis due to Wuchereria bancrofti B74.1 Filariasis due to Brugia malayi
B74.2 Filariasis due to Brugia timori
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah satu daerah endemik dengan daerah endemik
penyakit menular yang disebabkan oleh cacing lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis perbedaan intensitas paparan terhadap vektor
nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun infektif didaerah endemik tersebut.
(kronis) dan bila tidak mendapatkan
Manifestasi akut, berupa:
pengobatan dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan 1. Demam berulang ulang selama 3-5 hari.
alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Demam dapat hilang bila istirahat dan
timbul lagi setelah bekerja berat.
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global
2. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa
untuk mengeliminasi filariasis pada tahun
ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak
2020 (The Global Goal of Elimination of Lymphatic
(lymphadentitis) yang tampak kemerahan,
Filariasis as a Public Health problem by The
panas, dan sakit.
Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan
3. Radang saluran kelenjar getah bening
melalui pengobatan massal dengan DEC dan
yang terasa panas dan sakit menjalar dari
Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di
pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah
lokasi yangendemis serta perawatan kasus klinis
baik yang akut maupun kronis untuk mencegah ujung (retrograde lymphangitis).
4. Filarial abses akibat seringnya menderita
kecacatandan mengurangi penderitaannya.
pembengkakan kelenjar getah bening, dapat
Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
gajah secara bertahap yang telah dimulai 5. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada,
sejak tahun 2002 di 5 kabupaten. Perluasan kantong zakar yang terlihat agak kemerahan
wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. dan terasa panas (Early Imphodema).
Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies Manifestasi kronik, disebabkan oleh
cacing filaria, yaitu: Wucheria bancrofti, berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi
Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari
penular di Indonesia hingga saat ini telah episode akut. Gejala kronis filariasis berupa:
diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus pembesaran yang menetap (elephantiasis)
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar
Armigeres yang dapat berperan sebagai (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh
vektor penular penyakit kaki gajah. adanya cacing dewasa pada sistem limfatik
dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult
Hasil Anamnesis (Subjective) filariasis.
Keluhan Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium
ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 25


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi: elefantiasis dan chyluria yang meningkat sesuai
bertambahnya usia.
1. Masa prepaten, yaitu masa antara
masuknya larva infektif hingga terjadinya Manifestasi genital di banyak daerah endemis,
mikrofilaremia berkisar antara 37 gambaran kronis yang terjadi adalah hidrokel.
bulan. Hanya sebagian saja dari Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis,
penduduk di daerah endemik yang funikulitis, edema karena penebalan kulit
menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok skrotum, sedangkan pada perempuan bisa
mikrofilaremik ini pun tidak semua kemudian dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan
menunjukkan gejala klinis. Terlihat elefantiasis ekstremitas, episode limfedema
bahwa kelompok ini termasuk kelompok pada ekstremitas akan menyebabkan elefantiasis
yang asimptomatik amikrofilaremik dan di daerah saluran limfe yang terkena dalam
asimptomatik mikrofilaremik. waktu bertahun-tahun. Lebih sering terkena
2. Masa inkubasi, masa antara masuknya larva ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi
infektif sampai terjadinya gejala klinis didaerah paha dan ekstremitas bawah sama
berkisar antara 8 – 16 bulan. seringnya, sedangkan B.malayi hanya mengenai
3. Gejala klinik akut merupakan limfadenitis ekstremitas bawah saja.
dan limfangitis disertai panas dan malaise.
Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti,
Penderita dengan gejala klinis akut dapat pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering
amikrofilaremik maupun mikrofilaremik. terkena, disusul funikulitis, epididimitis, dan
4. Gejala menahun, terjadi 10 – 15 tahun orkitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila,
setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria sering bersama dengan limfangitis retrograd
jarang ditemukan pada stadium ini, yang umumnya sembuh sendiri dalam 3 –15
sedangkan adenolimfangitis masih dapat hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam
terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan setahun. Pada filariasis brugia, limfadenitis
terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas paling sering mengenai kelenjar inguinal,
penderita serta membebani keluarganya. sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-
kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang limfe menjadi keras dan nyeri dan sering
Sederhana (Objective) terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan
kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama
Pemeriksaan Fisik
beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 x/
Pada manifestasi akut dapat ditemukan tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar
adanya limfangitis dan limfadenitis yang limfe yang terkena dapat menjadi abses,
berlangsung 3 memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan
– 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam parut yang khas, setelah 3 minggu sampai 3
setahun. Limfangitis akan meluas kedaerah bulan.
distal dari kelenjar yang terkena tempat
Pada kasus menahun filariasis bancrofti,
cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis
hidrokel paling banyak ditemukan. Limfedema
berkembang lebih sering di ekstremitas bawah
dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai
daripada atas. Selain pada tungkai, dapat
atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau
mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi
buah dada, dan ukuran pembesaran di tungkai
W.bancrofti) dan payudara.
dapat
Manifestasi kronik, disebabkan oleh 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi
berkurangnya fungsi saluran limfe. Bentuk tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita
manifestasi ini dapat terjadi dalam beberapa menyebabkan penurunan berat badan dan
bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. kelelahan. Filariasis brugia, elefantiasis terjadi
Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema, di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dapat mengacaukan adenolimfadenitis


bawah, dan ukuran pembesaran ektremitas
tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya.
Pemeriksaan Penunjang
1. Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah.
Cacing filaria dapat ditemukan dengan
pengambilan darah tebal atau tipis pada
waktu malam hari antara jam 10 malam
sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan
pewarnaan Giemsa atau Wright. Mikrofilaria
juga dapat ditemukan pada cairan
hidrokel atau cairan tubuh lain (sangat
jarang).
2. Pemeriksaan darah tepi terdapat leukositosis
dengan eosinofilia sampai 10-30%
dengan pemeriksaan sediaan darah jari
yang diambil mulai pukul 20.00 waktu
setempat.
3. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan
Diethylcarbamazine provocative test.
Gambar 1.3 Filariasis

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
identifikasi mikrofilaria.
Didaerah endemis, bila ditemukan adanya
limfedema di daerah ekstremitas disertai
dengankelainan genital laki-laki pada
penderita dengan usia lebih dari 15 tahun,
bila tidak ada sebablain seperti trauma atau
gagal jantung kongestif kemungkinan filariasis
sangat tinggi.
Diagnosis Banding
1. Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 27


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

filariasis akut
2. Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan
penyakit sistemik granulomatous lainnya.
Komplikasi
Pembesaran organ (kaki, tangan, skrotum
atau bagian tubuh lainnya) akibat obstruksi
saluran limfe.
Penatalaksanaan Komprehensif
(Plan) Penatalaksanaan
Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah
atau memperbaiki perjalanan penyakit, antara
lain dengan:
1. Memelihara kebersihan kulit.
2. Fisioterapi kadang diperlukan pada
penderita limfedema kronis.
3. Obatantifilaria adalah Diethyl
carbamazine citrate (DEC) dan
Ivermektin (obat ini bermanfaat apabila
diberikan pada fase akut yaitu ketika
pasien mengalami limfangitis).
4. DEC dapat membunuh mikrofilaria dan
cacing dewasa. Ivermektin merupakan
antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak
memiliki efek makrofilarisida.
5. Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari
setelah makan, selama 12 hari, pada
TropicalPulmonary Eosinophylia (TPE)
pengobatan diberikan selama tiga minggu.
6. Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi
terhadap DEC atau reaksi terhadap
cacing dewasa yang mati. Reaksi tubuh
terhadap protein yang dilepaskan pada
saat cacing dewasa mati dapat terjadi
beberapa jam setelah pengobatan,
didapat 2 bentuk yang mungkin terjadi
yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal:
a. Reaksi sistemik berupa demam, sakit
kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia,
malaise, dan muntah-muntah. Reaksi
sistemik cenderung berhubungan
dengan intensitas infeksi.
b. Reaksi lokal berbentuk limfadenitis,
abses, dan transien limfedema.
Reaksi lokal terjadi lebih lambat
namun berlangsung lebih lama dari
reaksi

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

sistemik. diulang 6 bulan kemudian.


c. Efek samping DEC lebih berat pada
Kriteria rujukan
penderita onchorcerciasis, sehinggaobat
tersebut tidak diberikan dalam Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan
program pengobatan masal didaerah operatif atau bila gejala tidak membaik
endemis filariasis dengan ko- endemis dengan pengobatan konservatif.
Onchorcercia valvulus.
7. Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 Peralatan
ug/ kgBB efektif terhadap penurunan Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
derajat mikrofilaria W. bancrofti, namun mikrofilaria.
pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan
tersebut bersifat gradual. Efek samping Prognosis
ivermektin sama dengan DEC, kontraindikasi
ivermektin yaitu wanita hamil dan anak Prognosis pada umumnya tidak mengancam
kurang dari 5 tahun. Karena tidak memiliki jiwa. Quo ad fungsionam adalah dubia ad
efek terhadap cacing dewasa, ivermektin bonam, sedangkan quo ad sanationam adalah
harus diberikan setiap 6 bulan atau 12 bulan malam.
untuk menjaga agar derajat Prognosis penyakit ini tergantung dari:
mikrofilaremia tetap rendah.
8. Pemberian antibiotik dan/ atau anti jamur 1. Jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria
akan mengurangi serangan berulang, dalam tubuh pasien.
sehingga mencegah terjadinya limfedema 2. Potensi cacing untuk berkembang biak.
kronis. 3. Kesempatan untuk infeksi ulang.
9. Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan 4. Aktivitas RES.
untuk mengatasi efek samping pengobatan.
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis
Analgetik dapat diberikan bila diperlukan.
baik terutama bila pasien pindah dari daerah
10. Pengobatan operatif, kadang-kadang
endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut
hidrokel kronik memerlukan tindakan
dapat dilakukan dengan pemberian obat serta
operatif, demikian pula pada chyluria yang
pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus
tidak membaik dengan terapi konservatif.
lanjut terutama dengan edema pada tungkai,
Konseling dan Edukasi prognosis lebih buruk.

Memberikan informasi kepada pasien dan Referensi


keluarganya mengenai penyakit filariasis
1. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M.
terutama dampak akibat penyakit dan cara
Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi, Brugria
penularannya. Pasien dan keluarga juga harus
timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson
memahami pencegahan dan pengendalian
Textbook of Pediatric.18thEd.2007: 1502-
penyakit menular ini melalui:
1503. (Behrman, et al., 2007)
1. Pemberantasan nyamuk dewasa 2. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic
2. Pemberantasan jentik nyamuk Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook
3. Mencegah gigitan nyamuk of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108.
(Rudolph, et al., 2007)
Rencana Tindak Lanjut 3. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki,
Setelah pengobatan, dilakukan kontrol S.H.Hindra Irawan S. FilariasisdalamBuku
ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan
masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2010: 400-
pemeriksaan darahnya, pengobatan dapat 407. (Sumarmo, et al.,2010)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 29


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

8.INFEKSI PADA UMBILIKUS


No. ICPC-2: A94 Perinatal morbidity other
No. ICD-10: P38 Omphalitis of newborn with or without mild haemorrhage
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Penunjang: -
Tali pusat biasanya lepas pada hari ke-7 setelah
Penegakan Diagnostik (Assessment)
lahir dan luka baru sembuh pada hari ke-15.
Infeksi pada tali pusat atau jaringan kulit di Diagnosis Klinis
sekitar perlu dikenali secara dini dalam rangka
mencegah sepsis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Adanya tanda-tanda
Hasil Anamnesis (Subjective) infeksi disekitar umblikus seperti bengkak,
kemerahan dan kekakuan. Pada keadaan
Keluhan
tertentu ada lesi berbentuk impetigo bullosa.
Panas, rewel, tidak mau menyusu. Faktor Risiko
Diagnosis Banding
1. Imunitas seluler dan humoral belum
1. Tali pusat normal dengan akumulasi
sempurna
cairan berbau busuk, tidak ada tanda tanda
2. Luka umbilikus
infeksi (pengobatan cukup dibersihkan
3. Kulit tipis sehingga mudah
dengan alkohol)
lecet Faktor Predisposisi 2. Granuloma-delayed epithelialization/
Granuloma keterlambatan proses epitelisasi
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang karena kauterisasi
tidak steril
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Necrotizing fasciitis dengan tanda-tanda:
edema, kulit tampak seperti jeruk (peau
Pemeriksaan Fisik d’orange appearance) disekitar tempat
1. Ada tanda tanda infeksi di sekitar tali infeksi, progresivitas cepat dan dapat
pusat seperti kemerahan, panas, bengkak, menyebabkan kematian maka kemungkinan
nyeri, dan mengeluarkan pus yang berbau menderita.
busuk. 2. Peritonitis
2. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas: bila 3. Trombosis vena porta
kemerahan dan bengkak terbatas pada 4. Abses
daerah kurang dari 1cm di sekitar pangkal Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
tali pusat.
3. Infeksi tali pusat berat atau meluas: Penatalaksanaan
bila kemerahan atau bengkak pada tali
1. Perawatan lokal
pusat meluas melebihi area 1 cm atau
a. Pembersihan tali pusat dengan
kulit di sekitar tali pusat bayi mengeras
menggunakan larutan antiseptik
dan memerah serta bayi mengalami
(Klorheksidin atau iodium povidon
pembengkakan perut.
2,5%) dengan kain kasa yang bersih
4. Tanda sistemik: demam, takikardia,
delapan kali sehari sampai tidak ada
hipotensi, letargi, somnolen, ikterus
nanah lagi pada tali pusat.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

b. Setelah dibersihkan, tali pusat dioleskan Kriteria Rujukan


dengan salep antibiotik 3-4 kali sehari.
2. Perawatan sistemik. Bila tanpa gejala 1. Bila intake tidak mencukupi dan anak
sistemik, pasien diberikan antibiotik seperti mulai tampak tanda dehidrasi
kloksasilin oral selama lima hari. Bila 2. Terdapat tanda komplikasi sepsis
anak tampak sakit, harus dicek dahulu Prognosis
ada tidaknya tanda-tanda sepsis. Anak
dapat diberikan antibiotik kombinasi Prognosis jika pasien tidak mengalami
dengan aminoglikosida. Bila tidak ada komplikasi umumnya dubia ad bonam.
perbaikan, pertimbangkan kemungkinan
Referensi
Meticillin Resistance Staphylococcus aureus
(MRSA). 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi
Tali Pusat dalam Panduan Manajemen
Kontrol kembali bila tidak ada perbaikan
Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta.
atau ada perluasan tanda-tanda infeksi dan
Departemen Kesehatan RI. (Ikatan Dokter
komplikasi seperti bayi panas, rewel dan mulai
Anak Indonesia, 2003)
tak mau makan. 2. Peadiatrics Clerkship University. The
Rencana tindak lanjut: - University of Chicago.

9.KANDIDIASIS MULUT
No. ICPC-2: A78 Infectious desease other
No. ICD-10: B37.9 Candidiasis unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Guam atau oral thrush yang diselaputi
Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, pseudomembran pada mukosa mulut.
mukosa maupun organ dalam, sedangkan
Pemeriksaan Penunjang
pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat
dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam
pelarut KOH 10% atau pewarnaan Gram.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan:
Diagnosis Klinis
Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa
metal, dan daya kecap penderita yang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
berkurang pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Faktor Risiko: imunodefisiensi Diagnosis Banding
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Peradangan mukosa mulut yang disebabkan
Sederhana (Objective) oleh bakteri atau virus.
Pemeriksaan Fisik Komplikasi
1. Bercak merah, dengan maserasi di daerah Diare karena kandidiasis saluran cerna.
sekitar mulut, di lipatan (intertriginosa)
disertai bercak merah yang terpisah di
sekitarnya (satelit).

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 31


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan


Penatalaksanaan Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit
lainnya, seperti HIV.
1. Memperbaiki status gizi dan menjaga
kebersihan oral Peralatan
2. Kontrol penyakit predisposisinya
3. Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
atau larutan nistatin 100.000 – 200.000 Prognosis
IU/ml yang dioleskan 2 – 3 kali sehari
selama 3 hari Prognosis pada pasien dengan
imunokompeten umumnya bonam.
Rencana Tindak Lanjut
Referensi
1. Dilakukan skrining pada keluarga dan
perbaikan lingkungan keluarga untuk 1. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007.
menjaga tetap bersih dan kering. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
2. Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
hari tidak ada perbaikan dengan obat anti 2007)
jamur.

10. LEPRA
No. ICPC-2: A78 Infectious disease other/NOS No. ICD-10: A30 Leprosy (Hansen disease]
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Kontak lama dengan pasien, seperti anggota
Lepra adalah penyakit menular, menahun keluarga yang didiagnosis dengan lepra
dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae 3. Imunokompromais
yang bersifat intraselular obligat. Penularan 4. Tinggal di daerah endemik lepra
kemungkinan terjadi melalui saluranpernapasan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan Sederhana (Objective)
terus menerus. Masa inkubasi rata-rata 2,5
tahun, namun dapat juga bertahun-tahun. Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective) Tanda Patognomonis
Keluhan 1. Tanda-tanda pada kulit
Perhatikan setiap bercak, bintil (nodul),
Bercak kulit berwarna merah atau putih bercak berbentuk plakat dengan kulit
berbentuk plakat, terutama di wajah dan telinga. mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak
Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. Lepuh berkeringat dan berambut. Terdapat baal
pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan
tidak sembuh dengan pengobatan rutin, suhu, vitiligo. Pada kulit dapat pula
terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi. ditemukan nodul.
2. Tanda-tanda pada saraf
Faktor Risiko
Penebalan nervus perifer, nyeri tekan
1. Sosial ekonomi rendah dan atau spontan pada saraf, kesemutan,
tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

gerak, kelemahan anggota gerak dan atau


wajah, adanya deformitas, ulkus yang
sulit sembuh.
Kerusakan saraf tepi biasanya terjadi
pada saraf yang ditunjukkan pada gambar
1.4.
3. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi
Untuk kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik, simbol- simbol pada
gambar 1.5 digunakan dalam penulisan di
rekam medik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada
sediaan kerokan jaringan kulit. Gambar 1.5 Penulisan kelainan pemeriksaan
fisik pada rekam medik
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu
dari tanda-tanda utama atau kardinal (cardinal
signs), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan
fungsi saraf
3. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam
kerokan jaringan kulit (slit skin smear)
Sebagian besar pasien lepra didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan klinis.
Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu
Gambar 1.4 Saraf tepi yang perlu diperiksa pada Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB)
lepra/kusta

Tabel 1.6 Tanda utama lepra tipe PB dan MB

Tanda Utama PB MB
Bercak Kusta Jumlah 1-5 Jumlah >5
Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
dan/ atau kelemahan otot, di daerah yang dipersarafi saraf
yang bersangkutan)
Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 33


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 1.7 Tanda lain klasifikasi lepra

PB MB
Distribusi Unilateral atua bilateral Bilateral simetris
asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Kurang jelas
Deformias Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut
Ciri khas - Maradosis, hidung pelanam wajah singa
(facies leonina), ginekomastia pada pria

Bercak putih
1. Vitiligo
2. Pitiriasis versikolor
3. Pitiriasis alba
Nodul
1. Neurofibromatosis
2. Sarkoma Kaposi
3. Veruka vulgaris
Komplikasi
1. Arthritis.
2. Sepsis
3. Amiloid sekunder
4. Reaksi kusta adalah interupsi dengan
episode akut pada perjalanan yang
Gambar 1.6 : Alur diagnosis dan klasifikasi kusta sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi
Diagnosis Banding hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal)
atau hipersentitivitas humoral (tipe 2/
Bercak eritema eritema nodosum leprosum/ENL).
1. Psoriasis
2. Tinea circinata
3. Dermatitis seboroik

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 1.8 Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2

Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


Pasien dengan bercak multipel dan diseminata, Obat MDT, kecuali Lampren
mengenai area tubuh yang luas serta
keterlibatan saraf multiple
Bercak luas pada wajah dan lesi dekat mata, BI > 4+
berisiko terjadinya lagoftalmos karena reaksi
Saat puerpurium (karena peningkatan CMI). Kehamilan awal (karena stress mental),
Paling tinggi 6 bulan pertama setelah trisemester ke-3, dan puerpurium (karena
melahirkan/ masa menyusui stress fisik), setiap masa kehamilan (karena
infeksi penyerta)
Infeksi penyerta: Hepatitis B dan C Infeksi penyerta: streptokokus, virus, cacing,
filarial, malaria
Neuritis atau riwayat nyeri saraf Stres fisik dan mental
Lain-lain seperti trauma, operasi, imunisasi
protektif, tes Mantoux positif kuat, minum
kalium hidroksida

Tabel 1. 9 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 kusta

No Gejala Tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


1 Tipe kusta Dpat terjadi pada kusta tipe MB Hanya terjadi pada kusta tipe PB
maupun PB
2 Waktu Biasanya segera setelah Biasanya setelah pengobatan yang
timbulnya pengobatan lama, umumnya minimal 6 bulan
3 Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan Ringan sampai berat disertai
(sub-febris) atau tanpa kelemahan umum dan demam yang
demam tinggi
4 Peradagan di Bercak kulit lama menjadi lebih Timbul nodus kemerahan lunak
kulit meradang (merah), bengkak, nyeri tekan. Biasanya pada lengan
berkilat, hangat. Kadang-kadang dan tungkai. Nodus dapat pecah.
hanya pada sebagian lesi. Dapat
timbul bercak baru
5 Saraf Sering terjadi, umumnya berupa Dapat terjadi
nyeri saraf dan atau gangguan
fungsi saraf . silent neuritis (+)
6 Udem pada (+) (-)
ekstrimitas
7 Peradangan Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi, ginjal,
pada organ lain kelenjar getah bening dll

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 35


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 6. Terapi pada Pasien MB:


a. Pengobatan bulanan: hari pertama
Penatalaksanaan setiap bulannya (obat diminum di
1. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul
pasien saat ini, serta mengenai pengobatan Rifampisin @300 mg (600 mg), 3 tablet
dan pentingnya kepatuhan untuk eliminasi Lampren (klofazimin) @ 100 mg (300
penyakit. mg) dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
2. Kebersihan diri dan pola makan yang baik b. Pengobatan harian: hari ke 2-28
perlu dilakukan. setiap bulannya: 1 tablet lampren 50
3. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi mg dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
hingga selesai terapi dilaksanakan. 1 blister obat untuk 1 bulan.
4. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy c. Pasien minum obat selama 12-18
(MDT) pada: bulan (± 12 blister).
a. Pasien yang baru didiagnosis kusta d. Pada anak 10-15 tahun, dosis
dan belum pernah mendapat MDT. Rifampisin 450 mg, Lampren 150 mg
b. Pasien ulangan, yaitu pasien yang dan DDS 50 mg untuk dosis
mengalami hal-hal di bawah ini: bulanannya, sedangkan dosis harian
- Relaps untuk Lampren 50 mg diselang 1 hari.
- Masuk kembali setelah default 7. Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat
(dapat PB maupun MB) disesuaikan dengan berat badan:
- Pindahan (pindah masuk) a. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
- Ganti klasifikasi/tipe b. Dapson: 1-2 mg/kgBB
5. Terapi pada pasien PB: c. Lampren: 1 mg/kgBB
a. Pengobatan bulanan: hari pertama 8. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat
setiap bulannya (obat diminum di diberikan vitamin B1, B6, dan B12.
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul 9. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien
Rifampisin @300 mg (600 mg) dan 1 hamil dan menyusui. Bila pasien juga
tablet Dapson/DDS 100 mg. mengalami tuberkulosis, terapi rifampisin
b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap disesuaikan dengan tuberkulosis.
bulannya: 1 tablet Dapson/DDS 100 mg. 10. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat
1 blister obat untuk 1 bulan. diganti dengan lampren, untuk MB
c. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± dengan alergi, terapinya hanya 2 macam
6 blister). obat (dikurangi DDS).
d. Pada anak 10-15 tahun, dosis
Rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.

Tabel 1.10 Efek samping obat dan penanganannya

Masalah Nama Obat Penanganan

Ringan
Air seni berwarna Rifampisin Reassurance (Menenangkan penderita
dengan penjelasan yang benar) Konseling
Perubahan warna kulit Clofazimin Konseling
menjadi coklat
Masalah gastrointestinal Semua obat (3 obat dalam Obat diminum bersamaan dengan
MDT) makanan (atau setelah makan)
Anemia Dapson Berikan tablet Fe dan Asam folat

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Masalah Nama Obat Penanganan


Serius
Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan Dapson, Rujuk
Alergi urtikaria Dapson atau Rifampisin Hentikan keduanya, Rujuk
Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
ginjal

Terapi untuk reaksi kusta ringan, dilakukan


diperlukan pemeriksaan laboratorium.
dengan pemberian prednison dengan cara
4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki
pemberian:
faktor risiko: cacat tingkat 1 atau 2,
1. 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pernah mengalami reaksi, BTA pada awal
pagi hari sesudah makan pengobatan >3 (ada nodul atau infiltrat),
2. 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi maka perlu dilakukan pengamatan semiaktif.
hari sesudah makan 5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan
3. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan
hari sesudah makan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan
4. 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) laboratorium.
pagi hari sesudah makan 6. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan
5. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-
pagi hari sesudah makan 18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus
6. 2 Minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pemeriksaan laboratorium.
pagi hari sesudah makan 7. Default
7. Bila terdapat ketergantungan terhadap
Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya
Prednison, dapat diberikan Lampren lepas
lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6
Konseling dan Edukasi bulan secara kumulatif (tidak mungkin
baginya untuk menyelesaikan pengobatan
1. Individu dan keluarga diberikan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang
penjelasan tentang lepra, terutama cara bersangkutan dinyatakan default. Pasien
penularan dan pengobatannya. defaulter tidak diobati kembali bila tidak
2. Dari keluarga diminta untuk membantu
terdapat tanda- tanda klinis aktif. Namun jika
memonitor pengobatan pasien sehingga
memiliki tanda-tanda klinis aktif (eritema dari
dapat tuntas sesuai waktu pengobatan.
lesi lama di kulit/ ada lesi baru/ ada
3. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa
pembesaran saraf yang baru).
pada anggota keluarga lainnya, perlu
dibawa dan diperiksakan ke pelayanan Bila setelah terapi kembali pada defaulter
kesehatan. ternyata berhenti setelah lebih dari 3 bulan,
maka dinyatakan default kedua. Bila default
Rencana tindak lanjut:
lebih dari 2 kali, perlu dilakukan tindakan dan
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal penanganan khusus.
pengambilan obat. Kriteria Rujukan
2. Bila terlambat, paling lama dalam 1 bulan
harus dilakukan pelacakan. 1. Terdapat efek samping obat yang serius.
3. Release From Treatment (RFT) dapat 2. Reaksi kusta dengan kondisi:
dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa a. ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 37


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

tubuh tinggi, neuritis. Referensi


b. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
ulserasi atau neuritis.
c. Reaksi yang disertai komplikasi dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
penyakit lain yang berat, misalnya Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit
hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
lambung berat. (Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan BTA 2012)
Prognosis 2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai
dubia ad malam pada fungsi ekstremitas, karena
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk
Indonesia. (Djuanda, et al., 2007)
kejadian berulangnya.

11. KERACUNAN MAKANAN


No. ICPC-2: A86Toxic Effect Non Medical Substance
No. ICD-10: T.62.2 Other Ingested (parts of plant(s)) Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Konsumsi daging/unggas yang kurang
Keracunan makanan merupakan suatu kondisi matang dapat dicurigai untuk Salmonella
gangguan pencernaan yang disebabkan spp, Campylobacter spp, toksin Shiga E coli,
oleh konsumsi makanan atau air yang dan Clostridium perfringens.
terkontaminasi dengan zat patogen dan atau
3. Konsumsi makanan laut mentah dapat
bahan kimia, misalnya Norovirus, Salmonella,
dicurigai untuk Norwalk- like virus, Vibrio
Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
spp, atau hepatitis A.
Staphylococcus aureus.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
Sederhana (Objective )
Keluhan
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Diare akut.
Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk
Pada keracunan makanan biasanya
menilai keparahan dehidrasi.
berlangsung kurang dari 2 minggu.
Darah atau lendir pada tinja; 1. Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda
menunjukkan invasi mukosa usus atau tekanan darah turun, nadi cepat, mulut
kolon. kering, penurunan keringat, dan penurunan
2. Nyeri perut. output urin.
3. Nyeri kram otot perut; menunjukkan
hilangnya elektrolit yang mendasari, seperti 2. Nyeri tekan perut, bising usus meningkat
pada kolera yang berat. atau melemah.
4. Kembung. Pemeriksaan Penunjang
Faktor Risiko 1. Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari feses
1. Riwayat makan/minum di tempat yang tidak untuk telur cacing dan parasit.
higienis

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Pewarnaan Gram, Koch dan metilen biru Kriteria Rujukan


Loeffler untuk membantu membedakan
1. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3
penyakit invasifdari penyakitnon-invasif.
hari ditangani dengan adekuat.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Pasien mengalami perburukan.
Diagnosis Klinis
Dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, dengan spesialis penyakit dalam atau spesialis
pemeriksaan fisik dan penunjang. anak.
Diagnosis Banding Peralatan
1. Intoleransi 1. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
2. Infus set
2. Diare spesifik seperti disentri, kolera dan 3. Antibiotik bila diperlukan
lain-lain.
Prognosis
Komplikasi : Dehidrasi berat
Prognosis umumnya bila pasien tidak mengalami
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
komplikasi adalah bonam.
Penatalaksanaan
Referensi
1. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
akut adalah self- limiting, pengobatan
khusus tidak diperlukan. Dari beberapa 2. Panduan Puskesmas untuk keracunan
studi didapatkan bahwa hanya 10% kasus makanan. Depkes: Jakarta. 2007
membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
utamanya adalah rehidrasi yang cukup 2007)
dan suplemen elektrolit. Hal ini dapat
dicapai dengan pemberian cairan rehidrasi
oral (oralit) atau larutan intravena
(misalnya, larutan natrium klorida
isotonik, larutan Ringer Laktat). Rehidrasi
oral dicapai dengan pemberian cairan yang
mengandung natrium dan glukosa. Obat
absorben (misalnya, kaopectate,
aluminium hidroksida) membantu
memadatkan feses diberikan bila diare
tidak segera berhenti.
2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari,
etiologi spesifik harus ditentukan dengan
melakukan kultur tinja. Untuk itu harus
segera dirujuk.
3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk
menjaga kebersihan diri.
Konseling dan Edukasi
Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga
higiene keluarga dan pasien.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 39


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

12. ALERGI MAKANAN


No. ICPC-2: A92 Allergy/ allergic reaction NOS No. ICD-10: L27.2 Dermatitis due to ingested food
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
5. Hipersensitivitas susu sapi pada bayi
Makanan dapat menimbulkan beraneka ragam menyebabkan occult bleeding atau frank
gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap colitis.
alergen asal makanan. Reaksi tersebut dapat
Faktor Risiko
disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi.
Reaksi alergi makanan terjadi bila alergen 1. Terdapat riwayat alergi di keluarga
makanan menembus sawar gastro intestinal
yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dalam beberapa menit sampai beberapa jam, Sederhana (Objective)
dapat terbatas pada satu atau beberapa Pemeriksaan Fisik
organ, kulit, saluran napas dan cerna, lokal dan
sistemik. Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta
paru.
Alergen makanan yang sering menimbulkan
alergi pada anak adalah susu,telur, kacang Pemeriksaan Penunjang: -
tanah, soya, terigu, dan ikan laut. Sedangkan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
yang sering menimbulkan alergi pada orang
dewasa adalah kacang tanah, ikan laut, udang, Diagnosis Klinis
kepiting, kerang, dan telur.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan
Alergi makanan tidak berlangsung seumur hidup pemeriksaan fisik
terutama pada anak. Gejala dapat hilang,
namun dapat kambuh pada keadaan tertentu Diagnosis Banding
seperti infeksi virus, nutrisi yang tidak 1. Intoksikasi makanan
seimbang atau cedera muskulus
gastrointestinal. Komplikasi

Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Reaksi alergi berat

Keluhan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

1. Pada kulit: eksim dan urtikaria. Penatalaksanaan


2. Pada saluran pernapasan: rinitis dan asma. Medika mentosa
3. Keluhan pada saluran pencernaan: gejala Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis:
gastrointestinal non spesifik dan berkisar
dari edema, pruritus bibir, mukosa pipi, 1. Hindari makanan penyebab
mukosa faring, muntah, kram, distensi,dan 2. Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi
diare. makanan
4. Diare kronis dan malabsorbsi terjadi Rencana Tindak Lanjut
akibat reaksi hipersensitivitas lambat non
Ig-E- mediated seperti pada enteropati 1. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien
protein makanan dan penyakit seliak

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Menghindari makanan yang bersifat alergen Prognosis


secara sengaja mapun tidak sengaja
Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam
(perlu konsultasi dengan ahli gizi)
3. Perhatikan label makanan bila medikamentosa disertai dengan perubahan
4. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan gaya hidup.
menimbulkan efek protektif terhadap Referensi
alergi makanan
1. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J
Kriteria Rujukan Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 116-25.
Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, (Sichere & Sampson, 2010)
2. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai
uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi
Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan.Ed.
reaksi anafilaksis.
Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas
Peralatan Press. 2001. (Prawirohartono, 2001)
3. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan
- Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat.
2003. (Davies, 2003)

13. SYOK
No. ICPC-2: K99 Cardiovascular disease other
No. ICD-10: R57.9 Shock, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
hilangnya sirkulasi volume intravaskuler
Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan sebesar >20-25% sebagai akibat dari
yang memerlukan penanganan intensif perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan
dan agresif. Syok adalah suatu sindroma cairan pada ruang ketiga atau akibat
multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan sekunder dilatasi arteri dan vena.
lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia 2. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi
sel dan disfungsimultipel organ. Kegagalan dan suplai oksigen disebabkan oleh
perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan adanya kerusakan primer fungsi atau
oksigen sistemik yang tidak adekuat tak kapasitas pompa jantung untuk
mampu memenuhi kebutuhan metabolisme mencukupi volume jantung semenit,
sel. Karakteristik kondisi ini, yaitu: 1) berkaitan dengan terganggunya preload,
ketergantungan suplai oksigen, 2) kekurangan afterload, kontraktilitas, frekuensi ataupun
oksigen, 3) Asidosis jaringan sehingga terjadi ritme jantung. Penyebab terbanyak
metabolisme anaerob dan berakhir dengan adalah infark miokard akut, keracunan obat,
kegagalan fungsi organ vital dan kematian. infeksi/ inflamasi, gangguan mekanik.
3. Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, suplai oksigen disebabkan oleh menurunnya
penyebab dan karakteristik pola hemodinamik tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi
yang ditimbulkan, yaitu: arterial, penumpukan vena dan redistribusi
1. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi aliran darah. Penyebab dari kondisi
dan suplai oksigen disebabkan oleh tersebut terutama komponen vasoaktif
pada syok anafilaksis; bakteria dan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 41


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

toksinnya pada septik syok sebagai mediator Syok obstruktif, tampak hampir sama dengan
dari SIRS; hilangnya tonus vaskuler pada syok kardiogenik dan hipovolemik.
syok neurogenik.
4. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi Faktor Risiko: -
dan suplai oksigen berkaitan dengan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terganggunya mekanisme aliran balik Sederhana (Objective)
darah oleh karena meningkatnya tekanan
intratorakal atau terganggunya aliran keluar Pemeriksaan Fisik
arterial jantung (emboli pulmoner, emboli
Keadaan umum:
udara, diseksi aorta, hipertensi pulmoner,
tamponade perikardial, perikarditis 1. Hipotensi dan penyempitan tekanan
konstriktif) ataupun keduanya oleh karena denyutan (adalah tanda hilangnya cairan
obstruksi mekanis. yang berat dan syok).
5. Syok Endokrin, disebabkan oleh 2. Hipertermi, normotermi, atau hipotermi
hipotiroidisme, hipertiroidisme dengan dapat terjadi pada syok. Hipotermia
kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal. adalah tanda dari hipovolemia berat dan
Pengobatannya dengan tunjangan syok septik.
kardiovaskular sambil mengobati 3. Detak jantung naik, frekuensi nafas naik,
penyebabnya. Insufisiensi adrenal mungkin kesadaran turun.
kontributor terjadinya syok pada pasien 4. Produksi urin turun. Produksi urin
sakit gawat. Pasien yang tidak respon pada merupakan penunjuk awal hipovolemia dan
pengobatan harus tes untuk insufisiensi respon ginjal terhadap syok.
adrenal. 5. Gambaran klinis syok kardiogenik tampak
sama dengan gejala klinis syok hipovolemik,
Hasil Anamnesis (Subjective) ditambah dengan adanya disritmia, bising
Keluhan jantung, gallop.
6. Gejala klinis syok septik tak dapat
Pasien datang dengan lemas atau dapat tidak dilepaskan dari keadaan sepsis sendiri
sadarkan diri. berupa sindroma reaksi inflamasi sistemik
Gejala klinis juga tergantung etiologi (SIRS) dimana terdapat dua gejala atau
penyebabnya, yang sering terjadi adalah lebih:
tromboemboli paru, tamponade jantung, a. Temperatur > 380C atau < 360C.
obstruksi arterioventrikuler, tension b. Heart rate > 90x/mnt.
pneumotoraks. c. Frekuensi nafas > 20x/mn atau PaCO2
Untuk identifikasi penyebab, perlu ditanyakan < 4,3 kPa.
d. Leukosit >12.000 sel/mm atau
faktor predisposisi seperti karena infark miokard
<4000sel/ mm atau >10% bentuk imatur.
antara lain: umur, diabetes melitus, riwayat
7. Efek klinis syok anafilaktik mengenai
angina, gagal jantung kongestif, infark anterior.
sistem pernafasan dan sistem sirkulasi,
Tanda awal iskemi jantung akut yaitu nyeri
yaitu: Terjadi edema hipofaring dan laring,
dada, sesak nafas, diaforesis, gelisah dan
konstriksi bronkus dan bronkiolus, disertai
ketakutan, nausea dan vomiting dan
hipersekresi mukus, dimana semua keadaan
gangguan sirkulasi lanjut menimbulkan
ini menyebabkan spasme dan obstruksi
berbagai disfungsi endorgan. Riwayat trauma
jalan nafas akut.
untuk syok karena perdarahan atau syok
8. Syok neurogenik ditandai dengan
neurogenik pada trauma servikal atau high
hipotensi disertai bradikardi. Gangguan
thoracic spinal cord injury. Demam dan
neurologis: paralisis flasid, refleks
riwayat infeksi untuk syok septik. Gejala klinis
ekstremitas hilang dan priapismus.
yang timbul setelah kontak dengan antigen pada
9. Syok obstruktif, tampak hampir sama
syok anafilaktik.

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dengan syok kardiogenik dan hipovolemik. Diagnosis awal etiologi syok adalah
Gejala klinis juga tergantung etiologi esensial, kemudian terapi selanjutnya
penyebabnya, yang sering terjadi adalah tergantung etiologinya.
tromboemboli paru, tamponade jantung,
5. Tindakan invasif seperti intubasi endotrakeal
obstruksi arterioventrikuler, tension
dan cricothyroidotomy atau tracheostomy
pneumothorax. Gejala ini akan berlanjut
dapat dilakukan hanya untuklife saving oleh
sebagai tanda-tanda akut kor pulmonal
dokter yang kompeten.
dan payah jantung kanan: pulsasi vena
jugularis, gallop, bising pulmonal, aritmia. Syok Hipovolemik:
Karakteristik manifestasi klinis tamponade
jantung: suara jantung menjauh, pulsus 1. Infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume
altemans, JVP selama inspirasi. Sedangkan intravaskuler melalui kanula vena besar
emboli pulmonal: disritmia jantung, gagal (dapat lebih satu tempat) atau melalui vena
jantung kongesti. sentral.

Pemeriksaan Penunjang 2. Pada perdarahan maka dapat diberikan


3-4 kali dari jumlah perdarahan. Setelah
1. Pulse oxymetri pemberian 3 liter disusul dengan transfusi
2. EKG darah. Secara bersamaan sumber
Penegakan Diagnostik (Assessment) perdarahan harus dikontrol.

Diagnosis Klinis 3. Resusitasi tidak komplit sampai serum


laktat kembali normal. Pasien syok
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, hipovolemik berat dengan resusitasi
pemeriksaan fisik, dan penunjang. cairan akan terjadi penumpukan cairan di
rongga ketiga.
Diagnosis Banding:-
4. Vasokonstriksi jarang diperlukan pada
Komplikasi syok hipovolemik murni.
Kerusakan otak, koma,kematian. Syok Obstruktif:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Penyebab syok obstruktif harus
Penatalaksanaan diidentifikasi dan segera dihilangkan.

1. Pengenalan dan restorasi yang cepat dari 2. Pericardiocentesis atau pericardiotomi


perfusi adalah kunci pencegahan disfungsi untuk tamponade jantung.
organ multipel dan kematian.
3. Dekompressi jarum atau pipa
2. Pada semua bentuk syok, manajemen jalan thoracostomy atau keduanya pada tension
nafas dan pernafasan untuk memastikan pneumothorax.
oksigenasi pasien baik, kemudian restorasi
4. Dukungan ventilasi dan jantung,
cepat dengan infus cairan.
mungkin trombolisis, dan mungkin
3. Pilihan pertama adalah kristaloid (Ringer prosedur radiologi intervensional untuk
laktat/Ringer asetat) disusul darah pada emboli paru.
syok perdarahan. Keadaan hipovolemi
5. Abdominal compartment syndrome diatasi
diatasi dengan cairan koloid atau
dengan laparotomi dekompresif.
kristaloid sekaligus memperbaiki keadaan
asidosis. Syok Kardiogenik:
4. Pengobatan syok sebelumnya didahului 1. Optimalkan pra-beban dengan infus cairan.
dengan penegakan diagnosis etiologi.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 43


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Optimalkan kontraktilitas jantung dengan sehingga dapat ditambahkan dopamin dan


inotropik sesuai keperluan, seimbangkan efedrin. Agen antimuskarinikatropin dan
kebutuhan oksigen jantung. Selain itu, glikopirolat juga dapat untuk mengatasi
dapat dipakai dobutamin atau obat bradikardi.
vasoaktif lain. 3. Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla
3. Sesuaikan pasca-beban untuk spinalis yang terkena.
memaksimalkan CO. Dapat dipakai Rencana Tindak Lanjut
vasokonstriktor bila pasien hipotensi
dengan SVR rendah. Pasien syok Mencari penyebab syok dan mencatatnya di
kardiogenik mungkin membutuhkan rekam medis serta memberitahukan kepada
vasodilatasi untuk menurunkan SVR, pasien dan keluarga untuk tindakan lebih
tahanan pada aliran darah dari jantung yang lanjut yang diperlukan.
lemah. Obat yang dapat dipakai adalah
Konseling dan Edukasi
nitroprusside dan nitroglycerin.
Keluarga perlu diberitahukan mengenai
4. Diberikan diuretik bila jantung
kemungkinan terburuk yang dapat terjadi
dekompensasi.
pada pasien dan pencegahan terjadinya
5. PACdianjurkan dipasang untuk penunjuk kondisi serupa.
terapi.
Kriteria Rujukan
6. Penyakit jantung yang mendasari harus
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien
diidentifikasi dan diobati.
dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder.
Syok Distributif:
Peralatan
1. Pada SIRS dan sepsis, bila terjadi syok ini
1. Infus set
karena toksin atau mediator penyebab
2. Oksigen
vasodilatasi. Pengobatan berupa resusitasi
3. NaCl 0,9%
cairan segera dan setelah kondisi cairan
4. Senter
terkoreksi, dapat diberikan vasopresor
5. EKG
untuk mencapai MAP optimal. Sering terjadi
vasopresor dimulai sebelum pra-beban Prognosis
adekuat tercapai. Perfusi jaringan dan
oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali Prognosis suatu syok amat tergantung dari
bila ada perbaikan pra-beban. kecepatan diagnosa dan pengelolaannya
sehingga pada umumnya adalah dubia ad
2. Obat yang dapat dipakai adalah dopamin, bonam.
norepinefrin dan vasopresin.
Referensi
3. Dianjurkan pemasangan PAC.
1. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan
4. Pengobatan kausal dari sepsis. Ilmiah Terpadu-1. Surabaya: FK Universitas
Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et
Syok Neurogenik:
al.,2000)
1. Setelah mengamankan jalan nafas dan 2. Rahardjo, E. Update on Shock. Pertemuan
resusitasi cairan, guna meningkatkantonus Ilmiah Terpadu-1.Surabaya: FK Universitas
vaskuler dan mencegah bradikardi diberikan Airlangga. 6-7 Mei 2000.
epinefrin. 3. Suryohudoyo, P. Update on Shock,
2. Epinefrin berguna meningkatkan tonus Pertemuan Ilmiah Terpadu-1.Surabaya: FK
vaskuler tetapi akan memperberat Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000.
bradikardi,

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

14. REAKSI ANAFILAKTIK


No. ICPC-2: A92 Allergy/allergic reaction NOS
No. ICD-10: T78.2 Anaphylactic shock, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
hidung tersumbat atau batuk saja yang
Anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
generalisata atau sistemik yang beronset
Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang
cepat, serius, dan mengancam. Jika reaksi
paling sering ditemukan pada reaksi
tersebut cukup hebat dapat menimbulkan
anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak
syok yang disebut sebagai syok anafilaktik.
mematikan namun gejala ini amat penting
Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan
untuk diperhatikan sebab ini mungkin
cepat dan tepat. Untuk itu diperlukan
merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
pengetahuan serta keterampilan dalam
gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas
pengelolaan syok anafilaktik.
dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap
Insidens syok anafilaktik 40–60% adalah akibat gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan
gigitan serangga, 20– 40% akibat zat kontras harus diwaspadai untuk kemungkinan
radiografi, dan 10–20%akibat pemberian obat timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi
penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan dari gangguan gastrointestinal berupa perut
prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih kram,mual,muntah sampai diare yang juga
sangat kurang. Anafilaksis yang fatal hanya kira- dapat merupakan gejala prodromal untuk
kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat timbulnya gejala gangguan nafas dan
pertahun. Sebagian besar kasus yang serius sirkulasi.
anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik
Faktor Risiko: Riwayat Alergi
seperti penisilin dan bahan zat radiologis.
Penisilin merupakan penyebab kematian 100 Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis. Sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik
Keluhan Pasien tampak sesak, frekuensi napas
meningkat, sianosis karena edema laring dan
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi
bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala
anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau
takikardia, edema periorbital, mata berair,
tingkat sensitivitas seseorang, namun pada
hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada
tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala
kulit berupa urtikaria dan eritema.
yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan
gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut Penegakan Diagnostik (Assessment)
dapat timbul bersamaan atau berurutan yang
kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa Diagnosis Klinis
detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya Untuk membantu menegakkan diagnosis
makin cepat reaksi timbul makin berat maka World Allergy Organization telah
keadaan penderita. membuat beberapa kriteria di mana reaksi
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila:
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 45


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

beberapa jam) yang melibatkan kulit, stroke)


jaringan mukosa, atau keduanya (misal: 2. Sindrom flush
urtikaria generalisata, pruritus dengan a. Perimenopause
kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/ b. Sindrom karsinoid
uvula) dan sedikitnya salah satu dari c. Epilepsi otonomik
tanda berikut ini: d. Karsinoma tiroid meduler
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, 3. Sindrom pasca-prandial
wheezing akibat bronkospasme, stridor, a. Scombroidosis, yaitu keracunan
penurunan arus puncak ekspirasi/APE, histamin dari ikan, misalnya tuna, yang
hipoksemia). disimpan pada suhu tinggi.
b. Penurunan tekanan darah atau gejala b. Sindrom alergi makanan berpolen,
yang berkaitan dengan kegagalan organ umumnya buah atau sayur yang
target (misal: hipotonia, kolaps mengandung protein tanaman yang
vaskular, sinkop, inkontinensia). bereaksi silang dengan alergen di udara
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut c. Monosodium glutamat atau Chinese
yang muncul segera (beberapa restaurant syndrome
menit hingga beberapa jam) setelah d. Sulfit
terpapar alergen yang mungkin (likely e. Keracunan makanan
allergen), yaitu: 4. Syok jenis lain
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit a. Hipovolemik
b. Gangguan respirasi b. Kardiogenik
c. Penurunan tekanan darah atau gejala c. Distributif
yang berkaitan dengan kegagalan organ d. Septik
target 5. Kelainan non-organik
d. Gejala gastrointestinal yang persisten a. Disfungsi pita suara
(misal: nyeri kram abdomen, muntah) b. Hiperventilasi
3. Atau, penurunan tekanan darah segera c. Episode psikosomatis
(beberapa menit atau jam) setelah terpapar 6. Peningkatan histamin endogen
alergen yang telah diketahui (known a. Mastositosis / kelainan klonal sel mast.
allergen), sesuai kriteria berikut: b. Leukemia basofilil
a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik 7. Lainnya
rendah (menurut umur) atau terjadi a. Angioedema non-alergik, misal:
penurunan > 30% dari tekanan darah angioedema herediter tipe I, II, atau III,
sistolik semula. angioedema terkait ACE-inhibitor)
b. Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 b. Systemic capillary leak syndrome
mmHg atau terjadi penurunan>30% c. Red man syndrome akibat vancomycin
dari tekanan darah sistolik semula. d. Respon paradoksikal pada
feokromositoma
Diagnosis Banding
Komplikasi
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut 1. Koma
b. Sinkop 2. Kematian
c. Gangguan cemas / serangan panik
d. Urtikaria akut generalisata Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
e. Aspirasi benda asing Penatalaksanaan
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark
miokard, emboli paru) 1. Posisi trendelenburg atau berbaring
g. Kelainan neurologis akut (kejang, dengan kedua tungkai diangkat (diganjal

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dengan kursi) akan membantu menaikkan digunakan deksametason 5–10 mg IV


venous return sehingga tekanan darah atau hidrokortison 100–250 mg IV.
ikut meningkat. 7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP),
2. Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus seandainya terjadi henti jantung
dilakukan, pada keadaan yang sangat (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
ekstrim tindakan trakeostomi atau kardiopulmoner segera harus dilakukan
krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan. sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya.
3. Pemasangan infus, cairan plasma expander Mengingat kemungkinan terjadinya henti
(Dextran) merupakan pilihan utama guna jantung pada suatu syok anafilaktik selalu
dapat mengisi volume intravaskuler ada, maka sewajarnya di setiap ruang
secepatnya. Jika cairan tersebut tak praktek seorang dokter tersedia selain
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis obat-obat emergency, perangkat infus dan
dapat dipakai sebagai cairan pengganti. cairannya juga perangkat resusitasi
Pemberian cairan infus sebaiknya (Resuscitation kit) untuk memudahkan
dipertahankan sampai tekanan darah tindakan secepatnya.
kembali optimal dan stabil. 8. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi
4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : Anafilaksis (Lihat Penjelasan 1) Rencana
1000 diberikan secara intramuskuler yang Tindak Lanjut
dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan 9. Mencari penyebab reaksi anafilaktik
umumnya diperlukan, mengingat lama dan mencatatnya di rekam medis serta
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon memberitahukan kepada pasien dan
pemberian secara intramuskuler kurang keluarga.
efektif, dapat diberi secara intravenous
Konseling dan Edukasi
setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, Keluarga perlu diberitahukan mengenai
diberikan perlahan-lahan. Pemberian penyuntikan apapun bentuknya terutama
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok obat- obat yang telah dilaporkan bersifat
anafilaktik karena efeknya lambat bahkan antigen (serum,penisillin, anestesi lokal, dll)
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi
pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko
terjadi. tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau
5. Aminofilin, dapat diberikan dengan penyakit- penyakit alergi lainnya) harus lebih
sangat hati-hati apabila bronkospasme diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan
belum hilang dengan pemberian obat yang sama bila sebelumnya pernah ada
adrenalin. riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya
250 mg aminofilin diberikan perlahan- mengganti dengan preparat lain yang lebih
lahan selama 10 menit intravena. Dapat aman.
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus
bila dianggap perlu. Kriteria Rujukan
6. Antihistamin dan kortikosteroid Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan
merupakan pilihan kedua setelah penanganan yang dilakukan tidak terdapat
adrenalin. Kedua obat tersebut kurang perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik,
dapat diberikan setelah gejala klinik Peralatan
mulai membaik guna mencegah
1. Infus set
komplikasi selanjutnya berupa serum
2. Oksigen
sickness atau prolonged effect.
3. Adrenalin ampul, aminofilin ampul,
Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin vial, deksametason ampul
difenhidramin HCl 5–20 mg IV dan
4. NaCl 0,9%
untuk golongan kortikosteroid dapat

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 47


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Prognosis 2. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and


acute allergic reactions. In:International
Prognosis suatu syok anafilaktik amat edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli.
tergantung dari kecepatan diagnosa dan
Kellen. Stapczynski. 5thEd. New York:
pengelolaannya karena itu umumnya adalah McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6.
dubia ad bonam.
3. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi
Referensi dan penanganan dalam Update on Shock.
1. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Pertemuan Ilmiah Terpadu. Fakultas
Reactions. In:Text Book of Critical care. Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, 2000.
R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia:
WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.

15. DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE


No. ICPC-2: A77 Viral disease other/NOS No. ICD-10: A90 Dengue fever
A91 Dengue haemorrhagic fever
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan atau di bawah tulang iga)


Penyakit demam berdarah dengue (DBD) 5. Kadang disertai juga dengan gejala lokal,
masih menjadi salah satu masalah kesehatan seperti: nyeri menelan, batuk, pilek.
masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden 6. Pada kondisi syok, anak merasa lemah,
penyakit DBD Indonesia merupakan yang gelisah, atau mengalami penurunan
tertinggi diantara negara-negara Asia Tenggara. kesadaran.
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan 7. Pada bayi, demam yang tinggi dapat
mencatat terdapat 103.649 penderita menimbulkan kejang.
dengan angka kematian mencapai 754 orang. Faktor Risiko
Keterlibatan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama sangat dibutuhkan 1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik,
untuk menekan tingkat kejadian maupun misalnya: timbunan sampah, timbunan
mortalitas DBD. barang bekas, genangan air yang seringkali
disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada
Keluhan genangan air di tempat tinggal pasien
sehari-hari.
1. Demam tinggi, mendadak, terus menerus 3. Adanya penderita demam berdarah
selama 2 – 7 hari. dengue (DBD) di sekitar pasien.
2. Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-
bintik merah di kulit, mimisan, gusi Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
berdarah, muntah berdarah, atau buang air sederhana (Objective)
besar berdarah. Pemeriksaan Fisik
3. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital. Tanda patognomonik untuk demam dengue
4. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, 1. Suhu > 37,5 derajat celcius
muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati 2. Ptekie, ekimosis, purpura

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Perdarahan mukosa 5. Leukopenia < 4.000/mm3


4. Rumple Leed (+) 6. Trombositopenia < 100.000/mm3
Tanda Patognomonis untuk demam berdarah Apabila ditemukan gejala demam ditambah
dengue dengan adanya dua atau lebih tanda dan
gejala lain, diagnosis klinis demam dengue
1. Suhu > 37,5 derajat celcius
dapat ditegakkan.
2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue
4. Rumple Leed (+)
5. Hepatomegali 1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak,
6. Splenomegali tinggi, terus-menerus (kontinua)
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang
7. Untuk mengetahui terjadi kebocoran
spontan seperti petekie, purpura,
plasma, diperiksa tanda- tanda efusi pleura
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
dan asites.
hematemesis dan atau melena; maupun
8. Hematemesis atau melena
berupa uji Tourniquette yang positif
Pemeriksaan Penunjang : 3. Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital
1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan: 4. Adanya kasus demam berdarah dengue
a. Trombositopenia (≤ 100.000/µL). baik di lingkungan sekolah, rumah atau di
b. Kebocoran plasma yang ditandai sekitar rumah
dengan: a. Hepatomegali
• peningkatan hematokrit (Ht) ≥ 20% b. Adanya kebocoran plasma yang ditandai
dari nilai standar data dengan salah satu:
• populasi menurut umur • Peningkatan nilai hematokrit, >20%
• Ditemukan adanya efusi pleura, dari pemeriksaan awal atau dari
asites data populasi menurut umur
• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia • Ditemukan adanya efusi pleura,
c. Leukopenia < 4000/μL. asites
2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG anti- • Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
Dengue, yang titernya dapat terdeteksi c. Trombositopenia <100.000/mm3
setelah hari ke-5 demam.
Adanya demam seperti di atas disertai
Penegakan Diagnosis (Assessment) dengan 2 atau lebih manifestasi klinis,
Diagnosis Klinis ditambah bukti perembesan plasma dan
trombositopenia cukup untuk menegakkan
Diagnosis Klinis Demam Dengue diagnosis Demam Berdarah Dengue.
1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, Tanda bahaya (warning signs) untuk
tinggi, terus-menerus, bifasik. mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang pada penderita Demam Berdarah Dengue.
spontan seperti petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, Klinis
hematemesis dan atau melena; maupun 1. Demam turun tetapi keadaan anak
berupa uji tourniquet positif. memburuk
3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri 2. Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
retroorbital. 3. Muntah persisten Letargi, gelisah
4. Adanya kasus DBD baik di lingkungan Perdarahaan mukosa Pembesaran hati
sekolah, rumah atau di sekitar rumah. Akumulasi cairan Oliguria

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 49


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Laboratorium Gambar 1.7, Alur penanganan pasien dengan


demam dengue/demam berdarah
1. Peningkatan kadar hematokrit bersamaan
dengan penurunan cepat jumlah trombosit
2. Hematokrit awal tinggi
Kriteria Diagnosis Laboratoris
Kriteria Diagnosis Laboratoris diperlukan
untuk survailans epidemiologi, terdiri atas:
Probable Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi
antidengue.
Confirmed Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat dengan deteksi genome virus Dengue
dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen dengue
pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan
serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari
negatif menjadi positif) pada pemeriksaan
serologi berpasangan.
Isolasi virus Dengue memberi nilai yang
sangat kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis, Konseling dan Edukasi
namun karena memerlukan teknologi yang 1. Pinsip konseling pada demam berdarah
canggih dan prosedur yang rumit pemeriksaan dengue adalah memberikan pengertian
ini bukan merupakan pemeriksaan yang rutin kepada pasien dan keluarganya tentang
dilakukan. perjalanan penyakit dan tata laksananya,
sehingga pasien dapat mengerti bahwa
Diagnosis Banding
tidak ada obat/medika mentosa untuk
1. Demam karena infeksi virus (influenza, penanganan DBD, terapi hanya bersifat
chikungunya, dan lain- lain) suportif dan mencegah perburukan penyakit.
2. Idiopathic thrombocytopenic purpura Penyakit akan sembuh sesuai dengan
perjalanan alamiah penyakit.
3. Demam tifoid
2. Modifikasi gaya hidup
Komplikasi a. Melakukan kegiatan 3M: menguras,
mengubur, menutup.
Dengue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, b. Meningkatkan daya tahan tubuh
gagal ginjal, gagal hati dengan mengkonsumsi makanan
bergizi dan melakukan olahraga
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) secara rutin.
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa Kriteria Rujukan
1. Terapi simptomatik dengan analgetik 1. Terjadi perdarahan masif (hematemesis,
antipiretik (Parasetamol 3x500-1000 mg). melena).
2. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi 2. Dengan pemberian cairan kristaloid
- Alur penanganan pasien dengan demam sampai dosis 15 ml/kg/jam kondisi belum
membaik.
dengue/demam berdarah dengue, yaitu:
pemeriksaan penunjang Lanjutan 3. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis
yang tidak lazim, seperti kejang, penurunan
- Pemeriksaan Kadar Trombosit dan kesadaran, dan lainnya.
Hematokrit secara serial

5 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan pada Pasien Anak menit.


e. Jika setelah pemberian cairan inisial
Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok tidak terjadi perbaikan klinis, ulangi
1. Bila anak dapat minum pemberian infus larutan kristaloid 20
a. Berikan anak banyak minum ml/kgBB secepatnya (maksimal 30
• Dosis larutan per oral: 1-2 menit) atau pertimbangkan pemberian
liter/hari larutan koloid 10-20 ml/kgBB/jam
atau 1 sendok makan tiap 5 menit. (maksimal 30 ml/kgBB/24 jam).
• Jenis larutan per oral: air putih, teh f. Jika nilai Ht dan Hb menurun
manis, oralit, jus buah, air sirup, namun tidak terjadi perbaikan klinis,
atau susu. pertimbangkan terjadinya perdarahan
b. Berikan cairan intravena (infus) sesuai tersembunyi. Berikan transfusi darah
dengan kebutuhan untuk dehidrasi bila fasilitas tersedia dan larutan
sedang. Berikan hanya larutan koloid. Segera rujuk.
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat g. Jika terdapat perbaikan klinis, kurangi
(RL) atau Ringer Asetat (RA), dengan jumlah cairan hingga 10 ml/kgBB/
dosis sesuai berat badan sebagai jam dalam 2-4 jam. Secara bertahap
berikut: diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi
• Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam klinis dan laboratorium.
• Berat badan 15-40 kg: 5 ml/kgBB/jam h. Dalam banyak kasus, cairan intravena
• Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
2. Bila anak tidak dapat minum, berikan Hindari pemberian cairan secara
cairan infus kristaloid isotonik sesuai berlebihan.
kebutuhan untuk dehidrasi sedang sesuai 3. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
dengan dosis yang telah dijelaskan di atas. Rencana Tindak Lanjut
3. Lakukan pemantauan: tanda vital dan Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok
diuresis setiap jam, laboratorium (DPL) per
4-6 jam. 1. Pemantauan klinis (tanda vital, perfusi
a. Bila terjadi penurunan hematokrit perifer, diuresis) dilakukan setiap satu jam.
dan perbaikan klinis, turunkan jumlah 2. Pemantauan laboratorium (Ht, Hb,
cairan secara bertahap sampai trombosit) dilakukan setiap 4-6 jam,
keadaan klinis stabil. minimal 1 kali setiap hari.
b. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan 3. Pemantauan cairan yang masuk dan keluar.
penatalaksanaan DBD dengan syok. Demam berdarah dengue (DBD) dengan
4. Bila anak demam, berikan antipiretik syok
(Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali) per oral.
Hindari Ibuprofen dan Asetosal. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
5. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi. tingkat pertama merujuk pasien ke RS jika
kondisi pasien stabil.
Demam berdarah dengue (DBD) dengan syok
Persyaratan perawatan di rumah
1. Kondisi ini merupakan gawat darurat dan
1. Persyaratan untuk pasien dan keluarga
mengharuskan rujukan segera ke RS.
2. Penatalaksanaan awal: a. DBD non-syok (tanpa kegagalan
a. Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui sirkulasi).
kanul hidung atau sungkup muka. b. Bila anak dapat minum dengan adekuat.
b. Pasang akses intravena sambil c. Bila keluarga mampu melakukan
melakukan pungsi vena untuk perawatan di rumah dengan adekuat.
pemeriksaan DPL. 2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan
c. Berikan infus larutan kristaloid (RL atau a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap
RA) 20 ml/kg secepatnya. yang bertanggung jawab penuh
d. Lakukan pemantauan klinis (tanda vital, terhadap tatalaksana pasien.
perfusi perifer, dan diuresis) setiap 30

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 51


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

b. Semua kegiatan tatalaksana dapat 5) Tidak menggantung baju,


dilaksanakan dengan baik di rumah. menghindari gigitan nyamuk,
c. Dokter dan/atau perawat mem-follow membubuhkan bubuk abate, dan
up pasien setiap 6-8 jam dan setiap memelihara ikan.
hari, sesuai kondisi klinis.
d. Dokter dan/atau perawat dapat Peralatan
berkomunikasi seara lancar dengan 1. Poliklinik set (termometer, tensimeter,
keluarga pasien sepanjang masa senter)
tatalaksana. 2. Infus set
Kriteria Rujukan 3. Cairan kristaloid (RL/RA) dan koloid
4. Lembar observasi / follow up
1. DBD dengan syok (terdapat kegagalan 5. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
sirkulasi). rutin
2. Bila anak tidak dapat minum dengan
adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada Prognosis
kegagalan sirkulasi. Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia
3. Bila keluarga tidak mampu melakukan ad bonam, karena hal ini tergantung dari derajat
perawatan di rumah dengan adekuat, beratnya penyakit.
walaupun DBD tanpa syok.
Referensi
Konseling dan Edukasi
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
a. Penjelasan mengenai diagnosis, komplikasi, 2006. Pedoman Tata laksana Demam
prognosis, dan rencana tata laksana. Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian
b. penjelasan mengenai tanda-tanda bahaya Kesehatan Republik Indonesia.
(warning signs) yang perlu diwaspadai dan
kapan harus segera ke layanan kesehatan. 2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis
c. Penjelasan mengenai jumlah cairan yang dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
dibutuhkan oleh anak. Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22;
d. Penjelasan mengenai diet nutrisi yang perlu p.3-7.
diberikan.
e. Penjelasan mengenai cara minum obat. 3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever:
f. Penjelasan mengenai faktor risiko dan cara- diagnosis, treatment, prevention and
cara pencegahan yang berkaitan dengan control. 2nd Edition. Geneva. 1997
perbaikan higiene personal, perbaikan 4. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan
sanitasi lingkungan, terutama metode 4M Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman
plus seminggu sekali, yang terdiri atas: bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama
1) Menguras wadah air, seperti bak mandi, di Kabupaten/Kota. 1 ed. Jakarta: World
tempayan, ember, vas bunga, tempat Health Organization Country Office for
minum burung, dan penampung air Indonesia.
kulkas agar telur dan jentik Aedes
aegypti mati. 5. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan
2) Menutup rapat semua wadah air agar Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis
nyamuk Aedes aegypti tidak dapat dan tata laksana infeksi virus dengue
masuk dan bertelur. pada anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan
3) Mengubur atau memusnahkan semua Penerbit IDAI, 2014
barang bekas yang dapat menampung
air hujan agar tidak menjadi sarang dan
tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti.
4) Memantau semua wadah air yang
dapat menjadi tempat nyamuk Aedes
aegypti berkembang biak.

5 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN

1. ANEMIA DEFISIENSI BESI


No. ICPC-2 : B80 Iron Deficiency
Anaemia No. ICD-10 : 280 Iron
Deficiency Anemias

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Anemia secara fungsional didefinisikan Sederhana (Objective)
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit Pemeriksaan Fisik
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup 1. Gejala umum
ke jaringan perifer. Anemia merupakan masalah Pucat dapat terlihat pada: konjungtiva,
medik yang paling sering dijumpai di klinik di mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan
seluruh dunia. Diperkirakan >30% penduduk di bawah kuku.
dunia menderita anemia dan sebagian besar di 2. Gejala anemia defisiensi besi
daerah tropis. Oleh karena itu anemia a. Disfagia
seringkali tidak mendapat perhatian oleh para b. Atrofi papil lidah
c. Stomatitis angularis
dokter di klinik.
d. Koilonikia
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan 1. Pemeriksaan darah: hemoglobin (Hb),
Pasien datang ke dokter dengan keluhan: hematokrit (Ht), leukosit, trombosit, jumlah
eritrosit, morfologi darah tepi (apusan
1. Lemah darah tepi), MCV, MCH, MCHC, feses rutin,
2. Lesu dan urin rutin.
3. Letih 2. Pemeriksaan Khusus (dilakukan di layanan
4. Lelah sekunder) :Serum iron, TIBC, saturasi
5. Penglihatan berkunang-kunang transferin, dan feritin serum.
6. Pusing
7. Telinga berdenging Penegakan Diagnostik (Assessment)
8. Penurunan konsentrasi Diagnosis Klinis
9. Sesak nafas
Anemia adalah suatu sindrom yang dapat
Faktor Risiko disebabkan oleh penyakit dasar sehingga
penting menentukan penyakit dasar yang
1. Ibu hamil
menyebabkan anemia. Diagnosis ditegakkan
2. Remaja putri
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
3. Status gizi kurang
hasil pemeriksaan darah dengan kriteria Hb
4. Faktor ekonomi kurang
darah kurang dari kadar Hb normal.
5. Infeksi kronik
6. Vegetarian Nilai rujukan kadar hemoglobin normal menurut
WHO:
1. Laki-laki: >13 g/dL
2. Perempuan: >12 g/dL
3. Perempuan hamil: >11 g/dL

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 53


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding <7 g/dL).


4. Anemia karena penyebab yang tidak
1. Anemia defisiensi vitamin B12
termasuk kompetensi dokter di layanan
2. Anemia aplastik
tingkat pertama misalnya anemia
3. Anemia hemolitik
aplastik, anemia hemolitik dan anemia
4. Anemia pada penyakit kronik
megaloblastik.
Komplikasi 5. Jika didapatkan kegawatan (misal
perdarahan aktif atau distres pernafasan)
1. Penyakit jantung anemia pasien segera dirujuk.
2. Pada ibu hamil: BBLR dan IUFD
3. Pada anak: gangguan pertumbuhan dan Peralatan
perkembangan Pemeriksaan laboratorium sederhana (darah
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) rutin, urin rutin, feses rutin).

Penatalaksanaan Prognosis

Prinsip penatalaksanaan anemia harus Prognosis umumnya dubia ad bonam


berdasarkan diagnosis definitif yang telah karena sangat tergantung pada penyakit
ditegakkan. Setelah penegakan diagnosis dapat yang mendasarinya. Bila penyakit yang
diberikan sulfas ferrosus 3 x 200 mg (200 mg mendasarinya teratasi, dengan nutrisi yang baik
mengandung 66 mg besi elemental). anemia defisiensi besi dapat teratasi.

Rencana Tindak Lanjut Referensi

Untuk penegakan diagnosis definitif anemia 1. 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L.
defisiensi besi memerlukan pemeriksaan Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
laboratorium di layananan sekunder dan of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan di McGraw-Hill Companies. 2009. (Braunwald,
layanan tingkat pertama. et al., 2009)
2. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Konseling dan Edukasi Simadibrata, M. Setiati, S. Eds. Buku ajar
1. 1. Memberikan pengertian kepada pasien ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
dan keluarga tentang perjalanan penyakit Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
dan tata laksananya, sehingga
3. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
dalam berobat serta meningkatkan kualitas
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
hidup pasien.
2. Pasien diinformasikan mengenai efek Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II.
samping obat berupa mual, muntah, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
heartburn, konstipasi, diare, serta BAB Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 632-
kehitaman. 36. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Bila terdapat efek samping obat maka
segera ke pelayanan kesehatan.
Kriteria Rujukan
1. Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb <8 g/
dL.
2. Anemia dengan gejala tanpa melihat
kadar Hb segera dirujuk.
3. Anemia berat dengan indikasi transfusi
(Hb

5 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2.HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI


No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10: Z21 Asymptomatic Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
tajam yang tercemar HIV
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang 8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
mengancam Indonesia dan banyak negara di 9. Pasangan serodiskordan – salah satu
dunia serta menyebabkan krisis multidimensi. pasangan positif HIV
Berdasarkan hasil estimasi Departemen
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat
Sederhana (Objective)
169.000-216.000 orang dengan HIV dan AIDS
di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan Pemeriksaan Fisik
WHO memperkirakan sekitar 4,9 juta orang
hidup dengan HIV di Asia. 1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
Hasil Anamnesis (Subjective)
b. Demam
Keluhan 2. Kulit
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV
gejala atau keluhan tertentu. Pasien datang misalnya kulit kering dan dermatitis
dapat dengan keluhan: seboroik
1. Demam (suhu >37,5OC) terus menerus b. Tanda-tanda herpes simpleks dan
atau intermiten lebih dari satu bulan. zoster atau jaringan parut bekas
herpes zoster
2. Diare yang terus menerus atau intermiten
3. Pembesaran kelenjar getah bening
lebih dari satu bulan.
4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan leukoplakia, keilitis angularis
(BB) >10% dari berat badan dasar.
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang infeksi paru
menyertainya. 6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau
Faktor Risiko massa
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks,
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan duh vagina atau uretra
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan 8. Neurologi: tanda neuropati dan
sesama laki-laki dan transgender kelemahan neurologis
4. Hubungan seksual yang berisiko atau Pemeriksaan Penunjang
tidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit 1. Laboratorium
infeksi menular seksual (IMS)
a. Hitung jenis leukosit : Limfopenia dan
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat
jumlah total limfosit)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 55


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

b. Tes HIV menggunakan strategi III 1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT =
yatu menggunakan 3 macam tes Voluntary Counseling and Testing)
dengan titik tangkap yang berbeda, 2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas
umumnya dengan ELISA dan kesehatan (TIPK – PITC = Provider-Initiated
dikonfirmasi Western Blot Testing and Counseling)
c. Pemeriksaan DPL Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Radiologi: X-ray torak. Sebelum Diagnosis Klinis
melakukan tes HIV perlu dilakukan
konseling sebelumnya. Terdapat dua Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
macam pendekatan untuk tes HIV pemeriksaan fisik dan hasil tes HIV. Stadium
klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal
Konseling dan tes HIV dapat dilakukan dan setiap kali kunjungan.
dengan dua cara:

Tabel 2.1. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik

1. Tidak ada penurunan BB


2. Tidak ada gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten

Stadium 2 Sakit Ringan

1. Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya)
2. ISPA berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)
3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Keilitis angularis
5. Ulkus mulut yang berulang
6. Ruam kulit yang gatal (Papular pruritic eruption)
7. Dermatitis seboroik
8. Infeksi jamur pada kuku

Stadium 3 Sakit Sedang

1. Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (> 10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya)
2. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
3. Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
4. Kandidiasis pada mulut yang menetap
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberkulosis paru
7. Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang
atau sendi, bakteriemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, ginggivitis atau periodontitis
9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb <8g/dL), neutropeni (<0,5 x 10 g/L)
dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 g/L)

5 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Stadium 4 Sakit Berat (AIDS)

1. Sindrom wasting HIV


2. Pneumonia pneumocystis jiroveci
3. Pneumonia bakteri berat yang berulang
4. Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan atau
viseral di bagian manapun)
5. Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
6. Tuberkulosis ekstra paru
7. Sarkoma kaposi
8. Penyakit sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan
kelenjar getah bening)
9. Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
10. Ensefalopati HIV
11. Pneumonia kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
12. Infeksi mikobakterium non tuberkulosis yang menyebar
13. Leukoencephalopathy multifocal progresif
14. Kriptosporidiosis kronis
15. Isosporiasis kronis
16. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
17. Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
18. Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
19. Karsinoma serviks invasif
20. Leishmaniasis diseminata atipikal
21. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

Diagnosis Banding
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu
Penyakit gangguan sistem imun dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) HIV.
Penatalaksanaan 1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4. Penentuan
Tatalaksana HIV di layanan tingkat pertama mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian
dapat dimulai apabila penderita HIV sudah klinis.
dipastikan tidak memiliki komplikasi atau 2. Tersedia pemeriksaan CD4
infeksi oportunistik yang dapat memicu a. Mulai terapi ARV pada semua pasien
terjadinya sindrom pulih imun. Evaluasi ada dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tidaknya infeksi oportunistik dapat dengan tanpa memandang stadium klinisnya.
merujuk ke layanan sekunder untuk b. Terapi ARV dianjurkan pada semua
pemeriksaan lebih lanjut karena gejala klinis pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
infeksi pada penderita HIV sering tidak spesifik. koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang
jumlah CD4.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 57


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel. 2.3. Dosis antiretroviral untuk ODHA dewasa

Gologan/obat Dosis

Nucleoside RTI
Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari 40 mg setiap 12 jam
Stavudine (d4T) (30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg) 300 mg setiap 12 jam
Zidovudine (ZDV atau AZT)

Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari, (Catatan: interaksi obat dengan ddI perlu mengurangi
dosis ddI)

Non-nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari
Nevirapine(NVP) (Neviral®) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam
Protease inhibitors
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12 jam bila
dikombinasi dengan EFV atau NVP)

ART kombinasi
AZT -3TC (Duviral ®) Diberikan 2x sehari dengan interval 12 jam

Rencana Tindak Lanjut AZT maka perl dilakukanpengukuran


1. Pasien yang belum memenuhi syarat kadar Hemoglobin (Hb) sebelum
terapi ARV. Monitor perjalanan klinis memulai terapi dan pada minggu ke 4,
penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada
bulan sekali. indikasi tanda dan gejala anemia

2. Pemantauan pasien dalam terapi Bila menggunakan NVP untuk


antiretroviral perempuan dengan CD4 antara 250–
350 sel/mm3 maka perlu dilakuan
a. Pemantauan klinis pemantauan enzim transaminase pada
Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai
dan 24 minggu sejak memulai terapi terapi ARV (bila memungkinkan),
dilanjutkan dengan pemantauan
ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila
berdasarkan gejala klinis.
pasien telah mencapai keadaan stabil.
b. Pemantauan laboratorium Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan
untuk pasien yang mendapatkan TDF.
Pemantauan CD4 secara rutin setiap
Konseling dan Edukasi
6 bulan atau lebih sering bila ada
indikasi klinis. 1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB,
Pasien yang akan memulai terapi dengan infeksi menular seksual (IMS), dan kelompok

5 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, Prognosis


sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. 2. Memberikan informasi kepada pasien Prognosis sangat tergantung kondisi pasien
dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat
Pasien disarankan untuk bergabung dengan ini adalah untuk memperpanjang masa hidup,
kelompok penanggulangan HIV/AIDS untuk belum merupakan terapi definitif, sehingga
menguatkan dirinya dalam menghadapi prognosis pada umumnya dubia ad malam.
pengobatan penyakitnya. Referensi
Kriteria Rujukan 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Dukungan Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Pengobatan untuk menjalankan serangkaian Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta:
layanan yang meliputi penilaian stadium Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan
klinis, penilaian imunologis dan penilaian Republik Indonesia, 2011)
virologi. 2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia.
2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Peralatan PenyakitDalam. 4th Ed. Vol II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Layanan VCT Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30. (Sudoyo,
et al., 2006

3.LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


No. ICPC-2: L99 Systemic Lupus Erythematosus No. ICD-10: M32 Systemic Lupus Erythematosus
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
seringkali tidak terjadi saat bersamaan. Keluhan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) telah awal dapat berupa:
menjadi salah satu penyakit reumatik utama
1. Kelelahan
di dunia dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi
2. Nyeri sendi yang berpindah-pindah
LES di berbagai negara sangat bervariasi
3. Rambut rontok
antara 2,9/100.000-400/100.000 dan terutama
4. Ruam pada wajah
menyerang wanita usia reproduktif yaitu 15-
5. Sakit kepala
40 tahun. Rasio wanita dibandingkan pria
6. Demam
berkisar antara (5,5-9):1. Berdasarkan
7. Ruam kulit setelah terpapar sinar matahari
penelitian di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta
8. Gangguan kesadaran
antara tahun 1988-1990 insidensi rata-rata
9. Sesak
adalah 37,7 per
10. Edema anasarka
10.000 perawatan.
Keluhan-keluhan tersebut akhirnya akan
Hasil Anamnesis (Subjective)
berkembang sesuai manifestasi organ yang
Keluhan terlibat pada LES.
Manifestasi klinik LES sangat beragam dan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 59


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Faktor Risiko misalnya hipertensi, hematuria, edema


perifer, dan edema anasarka.
Pasien dengan gejala klinis yang mendukung 7. Manifestasi gastrointestinal umumnya
dan memiliki riwayat keluarga yang menderita merupakan keterlibatan berbagai organ
penyakit autoimun meningkatkan kecurigaan dan akibat pengobatan, misalnya mual,
adanya LES. dispepsia, nyeri perut, dan disfagi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 8. Manifestasi neuropsikiatrik misalnya kejang
Sederhana (Objective) dan psikosis.
9. Manifestasi hematologi, misalnya leukopeni,
Pemeriksaan Fisik lymphopenia, anemia atau trombositopenia.
Hampir seluruh sistem organ dapat terlibat Pemeriksaan Penunjang
dalam LES. Manifestasi yang umum didapatkan
antara lain: 1. Laboratorium
a. Pemeriksaan DPL (darah perifer
1. 1. Gejala konstitusional, misalnya: lengkap) dengan hitung diferensial
kelelahan, demam (biasanya tidak disertai dapat menunjukkan leukopeni,
menggigil), penurunan berat badan, trombositopeni, dan anemia.
rambut rontok, bengkak, dan sakit kepala. b. Pemeriksaan serum kreatinin
2. Manifestasi muskuloskeletal dijumpai menunjukkan peningkatan serum
lebih dari 90%, misalnya: mialgia, artralgia kreatinin.
atau artritis (tanpa bukti jelas inflamasi c. Urinalisis menunjukkan adanya eritrosit
sendi). dan proteinuria.
3. Manifestasi mukokutaneus, misalnya ruam 2. Radiologi
malar/ruam kupu-kupu, fotosensitifitas, X-ray Thoraks dapat menunjukkan adanya
alopecia, dan ruam diskoid. efusi pleura.
4. Manifestasi paru, misalnya pneumonitis
(sesak, batuk kering, ronkhi di basal), Penegakan Diagnosis (Assessment)
emboli paru, hipertensi pulmonum, dan Diagnosis Klinis
efusi pleura.
5. Manifestasi kardiologi, misalnya Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan
Pleuropericardial friction rubs, takipneu, gambaran klinik dan laboratorium. Berdasarkan
murmur sistolik, gambaran perikarditis, American College of Rheumatology (ACR) tahun
miokarditis dan penyakit jantung koroner. 1997, LES dapat ditegakkan bila didapatkan 4
6. Manifestasi renal dijumpai pada 40-75% dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan
penderita setelah 5 tahun menderita atau dengan tenggang waktu.
lupus,

Tabel. 2.4 Kriteria Diagnosis LES berdasarkan American College of Rheumatology

Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat
nasolabial.
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran LES keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Foto sensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.

6 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kriteria Batasan
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Atritis non-erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak
dan efusi.
Pleuritis atau a. Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar
perikarditis oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura atau
b. Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pleuritic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
Gangguan renal a. Protein urin menetap >0,5 gram per hari atau >3+ atau
b. Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular
atau gabungan.
Gangguan a. Kejang- tanpa disebabkan obat-obatan atau gangguan metabolik,
neurologi misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit atau
b. Psikosis-tanpa disebabkan obat obatan atau gangguan metabolik,
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit.
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
hematologi b. Leukopenia- <4.000/mm pada dua kali pemeriksaan atau
c. Limfopenia- <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau3
d. Trombositopenia- <100.000/mm tanpa disebabkan obat-obatan.3
Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau
imunologik b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standar, atau
3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorbsi antibodi treponemal.
Antibodi Titer positif dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
antinuklear imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
positif (ANA) waktuperjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.

Diagnosis Banding
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Mixed connective tissue disease
Penatalaksanaan
2. Sindrom vaskulitis
Penatalaksanaan berupa terapi konservatif
Komplikasi
Pemberian analgetik sederhana atau obat
1. Anemia hemolitik
antiinflamasi non steroid, misalnya parasetamol
2. Trombosis 3-4 x 500-1000 mg, atau ibuprofen 400-800 mg
3. Lupus serebral 3-4 kali perhari, natrium diklofenak 2-3 x 25-
4. Nefritis lupus 50 mg/hari pada keluhan artritis, artralgia dan
mialgia.
5. Infeksi sekunder

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 61


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Rencana Tindak Lanjut Peralatan


1. Segera dirujuk ke layanan sekunder untuk 1. Laboratorium untuk pemeriksaan DPL,
penegakan diagnosis pasti kecuali pada urinalisis, dan fungsi ginjal
lupus berat misalnya yang mengancam
2. Radiologi: X-ray Thoraks
nyawa dapat dirujuk ke layanan tersier
terdekat. Prognosis
2. Pemeriksaan laboratorium dan follow-
up secara berkelanjutan diperlukan untuk Prognosis pasien LES sangat bervariasi
memonitor respon atau efek samping terapi bergantung pada keterlibatan organnya. Sekitar
serta keterlibatan organ baru. 25% pasien dapat mengalami remisi selama
3. Keterlibatan berbagai organ pada LES beberapa tahun, tetapi hal ini jarang menetap.
memerlukan penanganan dari berbagai Prognosis buruk (50% mortalitas dalam 10
bidang misalnya spesialis reumatologi, tahun) terutama berkaitan dengan
neurologi, nefrologi, pulmonologi, keterlibatan ginjal. Penyebab utama mortalitas
kardiologi, dermatologi, serta hematologi. umumnya gagal ginjal, infeksi, serta
tromboemboli.
Konseling dan Edukasi
Referensi
Konseling dan edukasi diberikan oleh dokter
setelah menerima rujukan balik dari layanan 1. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya
sekunder IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed). Panduan
Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
1. Intervensi psikososial dan penyuluhan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat
langsung pada pasien dan keluarganya. Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta.
2. Menyarankan pasien untuk bergabung 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008)
dalam kelompok penyandang lupus
3. Pasien disarankan untuk tidak terlalu 2. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B.
banyak terpapar sinar matahari dan Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar Ilmu
selalu menggunakan krem pelindung Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan
sinar matahari, baju lengan panjang serta Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006.
menggunakan payung. (Sudoyo, et al., 2006)
4. Pemantauan dan penjelasan mengenai
3. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei
efek penggunaan steroid jangka panjang
T, Cheung CK (ed). Oxford handbook
terhadap pasien.
of clinical medicine. 7th edition. Oxford
5. Pasien diberi edukasi agar berobat teratur
University Press. Oxford. 2008. hlm 540-541.
dan bila ada keluhan baru untuk segera
(Longmore, et al., 2008)
berobat.
4. Fauci AS (ed). Harrison’s Manual of
Kriteria Rujukan
Medicine. 17th edition. McGraw Hill
1. Setiap pasien yang di diagnosis sebagai LES Medical. USA. 2009. hlm 885-886.
atau curiga LES harus dirujuk ke dokter (Braunwald, et al., 2009)
spesialis penyakit dalam atau spesialis
5. Petri M, et al. derivation and validation
anak untuk memastikan diagnosis
of the Systemic Lupus International
2. Pada pasien LES manifestasi berat atau
Collborating Clinics classification criteria
mengancam nyawa perlu segera dirujuk
for systemic lupus eritematosus. Arthritis
ke pelayanan kesehatan tersier bila
and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86.
memungkinkan.
(Petri, et al., 2012)

6 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4.LIMFADENITIS
No ICPC-2: L04.9 Acute lymphadenitis, unspecified
No ICD-10: B70 Lymphadenitis Acute
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kepada orang dengan infeksi saluran
Limfadenitis adalah peradangan pada satu nafas atas, faringitis oleh Streptococcus,
atau beberapa kelenjar getah bening. atau Tuberkulosis turut membantu
Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari mengarahkan penyebab limfadenopati.
berbagai organisme, yaitu bakteri, virus,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
protozoa, riketsia atau jamur. Secara khusus,
infeksi menyebar ke kelenjar getah bening dari Sederhana (Objective)
infeksi kulit, telinga, hidung atau mata. Pemeriksaan Fisik
Bakteri Streptokokus, Stafilokokus, dan 1. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
Tuberkulosis adalah penyebab paling umum dari leher bagian posterior (belakang) terdapat
Limfadenitis, meskipun virus, protozoa, riketsia, pada infeksi rubela dan mononukleosis.
jamur juga dapat menginfeksi kelenjar getah Sedangkan pada pembesaran KGB oleh
bening. infeksi virus, umumnya bilateral (dua sisi-
kiri/kiri dan kanan) dengan ukuran normal
Hasil Anamnesis (Subjective)
bila diameter 0,5cm, dan lipat paha bila
Keluhan: diameternya >1,5 cm dikatakan abnormal).
2. Nyeri tekan bila disebabkan oleh infeksi
a. Pembengkakan kelenjar getah bening bakteri
b. Demam 3. Kemerahan dan hangat pada perabaan
c. Kehilangan nafsu makan mengarah kepada infeksi bakteri sebagai
d. Keringat berlebihan, penyebabnya
e. Nadi cepat 4. Fluktuasi menandakan terjadinya abses
f. Kelemahan 5. Bila disebabkan keganasan tidak
g. Nyeri tenggorok dan batuk bila ditemukan tanda-tanda peradangan tetapi
disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan teraba keras dan tidak dapat digerakkan dari
bagian atas. jaringan sekitarnya.
h. Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit 6. Pada infeksi oleh mikobakterium
kolagen atau penyakit serum (serum pembesaran kelenjar berjalan mingguan-
sickness) bulanan, walaupun dapat mendadak, KGB
Faktor Risiko: menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya
menjadi tipis, dan dapat pecah.
1. Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang 7. Adanya tenggorokan yang merah, bercak-
disebabkan oleh bakteri streptokokus, bercak putih pada tonsil, bintik-bintik merah
infeksi gigi dan gusi yang disebabkan oleh pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh
bakteri anaerob. bakteri streptokokus.
2. Riwayat perjalanan dan pekerjaan ke 8. Adanya selaput pada dinding tenggorok,
daerah endemis penyakit tertentu, misalnya tonsil, langit-langit yang sulit dilepas dan
perjalanan ke daerah-daerah Afrika dapat bila dilepas berdarah, pembengkakan
menunjukkan penyebab limfadenitis pada jaringan lunak leher (bull neck)
adalah penyakit Tripanosomiasis. Sedangkan mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri
pada orang yang bekerja di hutan Difteri.
Limfadenitis dapat terkena Tularemia. 9. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran
3. Paparan terhadap infeksi/kontak
sebelumnya

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 63


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

limpa mengarahkan kepada infeksi flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali


Epstein Barr Virus. sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap
10. Adanya radang pada selaput mata dan antibiotik golongan penisilin dapat
bercak koplik mengarahkan kepada Campak. diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai
11. Adanya bintik-bintik perdarahan (bintik dengan 500 mg) tiga kali sehari atau
merah yang tidak hilang dengan eritromisin 15 mg/ kg (sampai 500 mg) tiga
penekanan), pucat, memar yang tidak jelas kali sehari.
penyebabnya, disertai pembesaran hati 6. Bila penyebabnya adalah Mycobacterium
dan limpa mengarahkan kepada leukemia. tuberculosis maka diberikan obat anti
tuberculosis.
Pemeriksaan Penunjang 7. Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar
1. Pemeriksaan skrining TB: BTA Sputum, LED, akan mengecil secara perlahan dan rasa
Mantoux Test. sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar
2. Laboratorium: Darah perifer lengkap yang membesar tetap keras dan tidak lagi
terasa lunak pada perabaan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Klinis
1. Keluarga turut menjaga kesehatan dan
Limfadenititis ditegakkan berdasarkan kebersihan sehingga mencegah terjadinya
anamnesis dan pemeriksaan fisik. berbagai infeksi dan penularan.
2. Keluarga turut mendukung dengan
Diagnosis Banding memotivasi pasien dalam pengobatan.
a. Mumps Rencana follow up:
b. Kista Duktus Tiroglosus
c. Kista Dermoid Pasien kontrol untuk mengevaluasi KGB dan
d. Hemangioma terapi yang diberikan. Kriteria rujukan
Komplikasi 1. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6
minggu dirujuk untuk mencari penyebabnya
a. Pembentukan abses (indikasi untuk dilaksanakan biopsi kelenjar
b. Selulitis (infeksi kulit) getah bening).
c. Sepsis (septikemia atau keracunan darah) 2. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda
d. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang dan gejala yang mengarahkan kepada
disebabkan oleh TBC) keganasan, KGB yang menetap atau
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) bertambah besar dengan pengobatan
yang tepat, atau diagnosis belum dapat
Penatalaksanaan ditegakkan.
1. Pencegahan dengan menjaga kesehatan Peralatan
dan kebersihan badan bisa membantu
mencegah terjadinya berbagai infeksi. 1. Alat ukur untuk mengukur beasarnya
2. Untuk membantu mengurangi rasa sakit, kelenjar getah bening
kelenjar getah bening yang terkena bisa 2. Mikroskop
dikompres hangat. 3. Reagen BTA dan Gram
3. Tatalaksana pembesaran KGB leher Prognosis
didasarkan kepada penyebabnya.
4. Penyebab oleh virus dapat sembuh sendiri Prognosis pada umumnya bonam.
dan tidak membutuhkan pengobatan apa
pun selain dari observasi. Referensi
5. Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit
(limfadenitis) adalah antibiotik oral 10 hari Buku Kedokteran EGC. 2006.
dengan pemantauan dalam 2 hari
pertama

6 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

C. DIGESTIVE

1. ULKUS MULUT (AFTOSA, HERPES)


No ICPC-2 : D83. Mouth / tongue / lip disease
No ICD-10 : K12. Stomatitis and related lesions K12.0. Recurrent oral aphtae K12.1.
Other form of stomatitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan 3. Frekuensi rekurensi bervariasi, namun
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) seringkali dalam interval yang cenderung
reguler.
Stomatitis aftosa rekurens (SAR) merupakan 4. Episode SAR yang sebelumnya biasanya
penyakit mukosa mulut tersering dan memiliki bersifat self-limiting.
prevalensi sekitar 10 – 25% pada populasi. 5. Pasien biasanya bukan perokok atau tidak
Sebagianbesar kasus bersifat ringan, self- pernah merokok.
limiting, dan seringkali diabaikan oleh pasien. 6. Biasanya terdapat riwayat penyakit yang
Namun, SAR juga dapat merupakan gejala dari sama di dalam keluarga.
penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit 7. Pasien biasanya secara umum sehat.
Crohn, penyakit Coeliac, malabsorbsi, anemia Namun, dapat pula ditemukan gejala-
defisiensi besi atau asam folat, defisiensi vitamin gejala seperti diare, konstipasi, tinja
B12, atau HIV. Oleh karenanya, peran dokter di berdarah, sakit perut berulang, lemas, atau
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama pucat, yang berkaitan dengan penyakit yang
dalam mendiagnosis dan menatalaksana SAR mendasari.
sangat penting. 8. Pada wanita, dapat timbul saat menstruasi.
Stomatitis Herpes Stomatitis Herpes
Stomatitis herpes merupakan inflamasi pada 1. Luka pada bibir, lidah, gusi, langit-langit,
mukosa mulut akibat infeksi virus Herpes atau bukal, yang terasa nyeri.
simpleks tipe 1 (HSV 1). Penyakit ini cukup 2. Kadang timbul bau mulut.
sering ditemukan pada praktik layanan tingkat 3. Dapat disertai rasa lemas (malaise), demam,
pertama sehari-hari. Beberapa diantaranya dan benjolan pada kelenjar limfe leher.
merupakan manifestasi dari kelainan 4. Sering terjadi pada usia remaja atau dewasa.
imunodefisiensi yang berat, misalnya HIV. Amat 5. Terdapat dua jenis stomatitis herpes, yaitu:
penting bagi para dokter di fasilitas pelayanan a. Stomatitis herpes primer, yang
kesehatan tingkat pertama untuk dapat merupakan episode tunggal.
mendiagnosis dan memberikan tatalaksana b. Stomatitis herpes rekurens, bila pasien
yang tepat dalam kasus stomatitis herpes. telah mengalami beberapa kali penyakit
serupa sebelumnya.
Hasil Anamnesis (Subjective) 6. Rekurensi dapat dipicu oleh beberapa faktor,
seperti: demam, paparan sinar matahari,
Keluhan trauma, dan kondisi imunosupresi seperti
HIV, penggunaan kortikosteroid sistemik,
Aftosa/Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) dan keganasan.
1. Luka yang terasa nyeri pada mukosa Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
bukal, bibir bagian dalam, atau sisi lateral Sederhana (Objective)
dan anterior lidah.
2. Onset penyakit biasanya dimulai pada usia Aftosa/Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
kanak-kanak, paling sering pada usia remaja
atau dewasa muda, dan jarang pada usia Terdapat 3 tipe SAR, yaitu: minor, mayor, dan
lanjut. herpetiform.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 65


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 3.1 Tampilan klinis ketiga tipe SAR

Aftosa minor Aftosa mayor Aftosa herpetiform


Paling sering Jarang Jarang
Mukosa nonkeratin Mukosa non-keratin dan mukosa Mukosa nonkeratin
(bukal, Sisi dalam bibir, sisi mastikatorik (gingiva dan sisi
lateral dan anterior lidah) dorsum lidah)
Satu atau beberapa Satu atau beberapa Banyak, bahkan hingga
ratusan
Dangkal Lebih dalam dari tipe minor Bulat, Bulat, namun dapat
Bulat, berbatas tegas berbatas tegas berkonfluensi satu sama lain
membentuk tampilan ireguler,
berbatas tegas
Diameter 5-7mm Diameter lebih besar dari tipe Diameter 1-2 mm
minor
Tepi erimatosa Kadang menyerupai keganasan Mukosa sekitar eritematosa
Bagian tengah berwarna Dapat bertahan beberapa minggu
putih kekuningan hingga beberapa bulan Dapat
ditemukan skar

Pemeriksaan fisik
4. Demam
1. Tanda anemia (warna kulit, mukosa 5. Pembesaran kelenjar limfe servikal
konjungtiva) 6. Tanda-tanda penyakit imunodefisiensi yang
2. Pemeriksaan abdomen (distensi, mendasari
hipertimpani, nyeri tekan)
Pemeriksaan penunjang
3. Tanda dehidrasi akibat diare berulang
Tidak mutlak dantidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan,
antara lain: Penegakan Diagnosis (Assessment)
1. Darah perifer lengkap Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens
2. MCV, MCH, dan MCHC
(SAR)
Stomatitis Herpes
Diagnosis SAR dapat ditegakkan melalui
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dokter
perlu mempertimbangkan kemungkinan
1. Lesi berupa vesikel, berbentuk seperti
adanya penyakit sistemik yang mendasari.
kubah, berbatas tegas, berukuran 2 – 3 mm,
biasanya multipel, dan beberapa lesi Diagnosis Banding
dapat bergabung satu sama lain.
2. Lokasi lesi dapat di bibir (herpes labialis) sisi 1. Herpes simpleks
luar dan dalam, lidah, gingiva, palatum, 2. Sindrom Behcet
atau bukal. 3. Hand, foot, and mouth disease
3. Mukosa sekitar lesi edematosa dan 4. Liken planus
hiperemis. 5. Manifestasi oral dari penyakit autoimun
(pemfigus, SLE, Crohn)
6. Kanker mulut

6 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Stomatitis Herpes g. Limfadenopati, Hepatomegali,


Splenomegali
Diagnosis stomatitis herpes dapat ditegakkan
2. Gejala dan tanda yang tidak khas, misalnya:
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Onset pada usia dewasa akhir atau
Diagnosis banding: lanjut
b. Perburukan dari aftosa
1. SAR tipe herpetiform c. Lesi yang amat parah
2. SAR minor multipel d. Tidak adanya perbaikan dengan
3. Herpes zoster tatalaksana kortikosteroid topikal
4. Sindrom Behcet 3. Adanya lesi lain pada rongga mulut, seperti:
5. Hand, foot, and mouth disease a. Kandidiasis
6. Manifestasi oral dari penyakit autoimun b. Glositis
(pemfigus, SLE, Crohn) c. Perdarahan, bengkak, atau nekrosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) pada gingiva
d. Leukoplakia
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) e. Sarkoma Kaposi
Pengobatan yang dapat diberikan untuk Stomatitis Herpes
mengatasi SAR adalah:
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Larutan kumur chlorhexidine 0,2% untuk
membersihkan rongga mulut. Penggunaan 1. Untuk mengurangi rasa nyeri, dapat
sebanyak 3 kali setelah makan, masing- diberikan analgetik seperti Parasetamol
masing selama 1 menit. atau Ibuprofen. Larutan kumur
2. Kortikosteroid topikal, seperti krim chlorhexidine 0,2% juga memberi efek
triamcinolone acetonide 0,1% in ora base anestetik sehingga dapat membantu.
sebanyak 2 kali sehari setelah makan dan 2. Pilihan antivirus yang dapat diberikan,
membersihkan rongga mulut. antara lain:

Konseling dan Edukasi a. Acyclovir, diberikan per oral, dengan


dosis:
Pasien perlu menghindari trauma pada dewasa: 5 kali 200 – 400 mg per hari,
mukosa mulut dan makanan atau zat dalam selama 7 hari
makanan yang berpotensi menimbulkan SAR, anak: 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
misalnya: kripik, susu sapi, gluten, asam 5 kali pemberian, selama 7 hari
benzoat, dan cuka. b. Valacyclovir, diberikan per oral, dengan
dosis:
Kriteria Rujukan
dewasa: 2 kali 1 – 2 g per hari, selama
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan 1 hari
tingkat pertama perlu merujuk ke layanan anak : 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
sekunder, bila ditemukan: 5 kali pemberian, selama 7 hari
c. Famcyclovir, diberikan per oral, dengan
1. Gejala-gejala ekstraoral yang mungkin dosis:
terkait penyakit sistemik yang mendasari, Dewasa : 3 kali 250 mg per hari, selama
seperti: 7 – 10 hari untuk episode tunggal3
a. Lesi genital, kulit, atau mata kali 500 mg per hari, selama 7 – 10 hari
b. Gangguan gastrointestinal untuk tipe rekurens
c. Penurunan berat badan Anak : Belum ada data mengenai
d. Rasa lemah keamanan dan efektifitas pemberiannya
e. Batuk kronik pada anak-anak
f. Demam

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 67


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Dokter perlu memperhatikan fungsi ginjal Stomatitis Herpes


pasien sebelum memberikan obat-obat di
1. Ad vitam : Bonam
atas. Dosis perlu disesuaikan pada pasien
2. Ad functionam : Bonam
dengan penurunan fungsi ginjal. Pada kasus
3. Ad sanationam : Dubia
stomatitis herpes akibat penyakit sistemik, harus
dilakukan tatalaksana definitif sesuai penyakit Referensi
yang mendasari.
1. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of
Pencegahan rekurensi pada stomatitis herpes the Oral Mucosa: Non- Infective Stomatitis.
rekurens In Cawson’s Essentials of Oral Pathology
Pencegahan rekurensi dimulai dengan and Oral Medicine. Spain: Elsevier Science
mengidentifikasi faktor-faktor pencetus dan Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell,
selanjutnya melakukan penghindaran. Faktor- 2002)
2. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In
faktor yang biasanya memicu stomatitis
Handbook of Oral Disease: Diagnosis
herpes rekurens, antara lain trauma dan
and Management. London: Martin Dunitz
paparan sinar matahari.
Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999)
Peralatan 3. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent
Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis
1. Kaca mulut
and Treatment. Journal of The American
2. Lampu senter
Dental Association, 127, pp.1202–1213.
Prognosis (Woo & Sonis, 1996)
4. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008.
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions.
1. Ad vitam : Bonam In M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds.
2. Ad functionam : Bonam Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC Decker,
3. Ad sanationam : Dubia p.
41. (Woo & Greenberg, 2008)

2.REFLUKSGASTROESOFAGEAL
No ICPC-2: D84 Oesphagus disease
No ICD-10: K21.9Gastro-oesophageal reflux disease without oesophagitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan diperberat dengan posisi berbaring terlentang.


Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena
mekanisme refluks melalui sfingter esofagus. makanan berupa saos tomat, peppermint, coklat,
kopi, dan alkohol. Keluhan sering muncul pada
Hasil Anamnesis (Subjective) malam hari.
Keluhan Faktor risiko
Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau Usia > 40 tahun, obesitas, kehamilan, merokok,
epigastrik dan dapat menjalar ke leher disertai konsumsi kopi, alkohol, coklat, makan berlemak,
muntah, atau timbul rasa asam di mulut. beberapa obat di antaranya nitrat, teofilin dan
verapamil, pakaian yang ketat, atau pekerja
Hal ini terjadi terutama setelah makan dengan
yang sering mengangkat beban berat.
volume besar dan berlemak. Keluhan ini

6 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang dapat diteruskan sampai 4 minggu dan
sederhana (Objective) boleh ditambah dengan prokinetik seperti
domperidon 3 x 10 mg.
Pemeriksaan Fisik
3. Pada kondisi tidak tersedianya PPI, maka
Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD.
penggunaan H2 Blocker 2x/hari: simetidin
Tindakan untuk pemeriksaan adalah dengan 400-800 mg atau ranitidin 150 mg atau
pengisian kuesioner GERD. Bila hasilnya positif,
famotidin 20 mg.
maka dilakukan tes dengan pengobatan PPI
(Proton Pump Inhibitor).
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
yang cermat. Kemudian untuk di fasilitas
pelayanan tingkat pertama, pasien diterapi
dengan PPI test, bila memberikan respon positif
terhadap terapi, maka diagnosis definitif
GERD dapat disimpulkan.
Standar baku untuk diagnosis definitif GERD
adalah dengan endoskopi saluran cerna
bagian atas yaitu ditemukannya mucosal
break di esophagus namun tindakan ini hanya
dapat dilakukan oleh dokter spesialis yang
memiliki kompetensi tersebut. Gambar 3.1 Algoritme tatalaksana GERD
(Refluks esofageal)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada fasilitas
Angina pektoris, Akhalasia, Dispepsia, Ulkus
layanan sekunder (rujukan) untuk endoskopi
peptik, Ulkus duodenum, Pankreatitis
dan bila perlu biopsi
Komplikasi
Konseling dan Edukasi
Esofagitis, Ulkus esophagus, Perdarahan
Edukasi untuk melakukan modifikasi gaya
esofagus, Striktur esophagus, Barret’s
hidup yaitu dengan mengurangi berat badan,
esophagus, Adenokarsinoma, Batuk dan asma,
berhenti merokok, tidak mengkonsumsi zat yang
Inflamasi faring dan laring, Aspirasi paru.
mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin, dan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) alkohol. Posisi tidur sebaiknya dengan kepala
yang lebih tinggi. Tidur minimal setelah 2
Penatalaksanaan sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan
1. Terapi dengan medikamentosa dengan cara porsi kecil dan kurangi makanan yang berlemak.
memberikan Proton Pump Inhibitor (PPI)
dosis tinggi selama 7-14 hari.Bila terdapat Kriteria Rujukan
perbaikan gejala yang signifikan (50-75%) 1. Pengobatan empirik tidak menunjukkan
maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai hasil
GERD. PPI dosis tinggi berupa omeprazol 2
x 20 mg/hari dan lansoprazol 2 x 30 2. Pengobatan empirik menunjukkan hasil
mg/hari. namun kambuh kembali

2. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 69


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Adanya alarm symptom: Prognosis


Berat badan menurun Prognosis umumnya bonam tetapi sangat
Hematemesis melena tergantung dari kondisi pasien saat datang
Disfagia (sulit menelan) dan pengobatannya.
Odinofagia (sakit menelan)
Anemia Referensi

Peralatan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit


Refluks Gastroesofageal (Gastroesofageal Reflux
Kuesioner GERD Disease/GERD) Indonesia. 2004.

3.GASTRITIS
No ICPC-2: D07 Dyspepsia/indigestion
No ICD-10: K29.7 Gastritis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan Sederhana (Objective)
mukosa dan submukosa lambung sebagai
mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat Pemeriksaan Fisik Patognomonis
akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses 1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus
inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau meningkat.
lokal.
2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat
Hasil Anamnesis (Subjective) ditemukan pendarahan saluran cerna
berupa hematemesis dan melena.
Keluhan
3. Biasanya pada pasien dengan gastritis
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan
panas seperti terbakar pada perut bagian kronis, konjungtiva tampak anemis.
atas. Keluhan mereda atau memburuk bila Pemeriksaan Penunjang
diikuti dengan makan, mual, muntah dan
kembung. Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis
dengan melakukan pemeriksaan:
Faktor Risiko
1. Darah rutin.
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan
terlambat, jenis makanan pedas, porsi 2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter
makan yang besar pylori: pemeriksaan Ureabreath test dan
2. Sering minum kopi dan teh feses. Rontgen dengan barium enema
3. Infeksi bakteri atau parasit 3. Endoskopi
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid
Penegakan Diagnosis (Assessment)
5. Usia lanjut
6. Alkoholisme Diagnosis Klinis
7. Stress Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis definitif
empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, dilakukan pemeriksaan penunjang.
Chron disease

7 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi


1. Kolesistitis Menginformasikan kepada pasien untuk
2. Kolelitiasis menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara
3. Chron disease lain dengan makan tepat waktu, makan sering
4. Kanker lambung dengan porsi kecil dan hindari dari makanan
5. Gastroenteritis yang meningkatkan asam lambung atau perut
6. Limfoma kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan
7. Ulkus peptikum kol.
8. Sarkoidosis Kriteria rujukan
9. GERD
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.
Komplikasi 2. Terjadi komplikasi.
3. terdapat alarm symptoms
1. Pendarahan saluran cerna bagian atas
2. Ulkus peptikum Peralatan
3. Perforasi lambung -
4. Anemia
Prognosis
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien
saat datang, komplikasi, dan pengobatannya.
Penatalaksanaan Umumnya prognosis gastritis adalah bonam,
namun dapat terjadi berulang bila pola hidup
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara tidak berubah.
lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/
kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800 Referensi
mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, 1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 Simadibrata, M.Setiati,S. eds. Buku ajar
x 500-1000 mg/hari. ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)

4.INTOLERANSI MAKANAN
No. ICPC-2: D29 Digestive syndrome/complaint other No. ICD-10: K90.4 Malabsorption due to intolerance
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis


Intoleransi makanan adalah gejala-gejala Gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah
yang terjadi akibat reaksi tubuh terhadap tenggorokan terasa gatal, nyeri perut, perut
makanan tertentu. Intoleransi bukan kembung, diare, mual, muntah, atau dapat
merupakan alergi makanan. Hal ini terjadi disertai kram perut.
akibatkekurangan enzim yang diperlukan untuk
mencerna makanan tertentu. Intoleransi Faktor predisposisi
terhadap laktosa gula susu, penyedap Makanan yang sering menyebabkan intoleransi,
Monosodium Glutamat (MSG), atau terhadap seperti:
antihistamin yang ditemukan di keju lama, 1. Terigu dan gandum lainnya yang
anggur, bir, dan daging olahan. Gejala mengandung gluten
intoleransi makanan kadang-kadang mirip 2. Protein susu sapi
dengan gejala yang ditemukan pada alergi 3. Hasil olahan jagung
makanan. 4. MSG

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 71


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Hal ini bertujuan untuk memperoleh penyebab
Sederhana (Objective) intoleransi.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri Konseling dan Edukasi
tekan abdomen, bising usus meningkat dan Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut
mungkin terdapat tanda-tanda dehidrasi. membantu dalam hal pembatasan nutrisi
Pemeriksaan Penunjang : - tertentu pada pasien dan mengamati
keadaaan pasien selama pengobatan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis Kriteria Rujukan
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan Perlu dilakukan konsultasi ke layanan
pemeriksaan fisik. sekunder bila keluhan tidak menghilang
walaupun tanpa terpapar.
Diagnosis Banding
Peralatan
Pankreatitis, Penyakit Chrons pada illeum -
terminalis, Sprue Celiac, Penyakit whipple, Laboratorium rutin
Amiloidosis, Defisiensi laktase, Sindrom
Zollinger- Ellison, Gangguan paska gasterektomi, Prognosis
reseksi usus halus atau kolon
Pada umumnya, prognosis tidak mengancam
Komplikasi: Dehidrasi jiwa, namun fungsionam dan sanasionamnya
adalah dubia ad bonam karena tergantung pada
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) paparan terhadap makanan penyebab.
Penatalaksanaan dapat berupa Referensi
1. Pembatasan nutrisi tertentu
2. Suplemen vitamin dan mineral 1. Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit
3. Suplemen enzim pencernaan Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
2006. Hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)
Rencana Tindak Lanjut: setelah gejala
menghilang, makanan yang dicurigai diberikan
kembali untuk melihat reaksi yang terjadi.

5.MALABSORBSI MAKANAN
No. ICPC-2: D29 Digestive syndrome/complaint other
No. ICD-10: K90.9 Intestinal malabsorbtion, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Berbagai hal dan keadaan dapat
Malabsorbsi adalah suatu keadaan menyebabkan malabsorbsi dan maldigesti
terdapatnya gangguan pada proses absorbsi pada seseorang. Malabsorbsi dan maldigesti
dan digesti secara normal pada satu atau lebih dapat disebabkan oleh karena defisiensi enzim
zat gizi. Pada umumnya pasien datang dengan atau adanya gangguan pada mukosa usus
diare sehingga kadang sulit membedakan tempat absorbsi dan digesti zat tersebut.
apakah diare disebabkan oleh malabsorbsi
atau sebab lain. Selain itu kadang penyebab Hasil Anamnesis (Subjective)
dari diare tersebut tumpang tindih antara satu Keluhan
sebab dengan sebab lain termasuk yang
disebabkan oleh malabsorbsi. Pasien dengan malabsorbsi biasanya datang

7 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dengan keluhan diare kronis, biasanya bentuk Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


feses cair mengingat gangguan pada usus halus
tidak ada zat nutrisi yang terabsorbsi sehingga Penatalaksanaan
feses tak berbentuk. Jika masalah pasienkarena Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis
malabsorbsi lemak maka pasien akan mengeluh penyakit dalam untuk mencari penyebab
fesesnya berminyak (steatore). malabsorbsi kemudian ditatalaksana sesuai
Anamnesis yang tepat tentang kemungkinan penyebabnya.
penyebab dan perjalanan penyakit merupakan 1. Tatalaksana tergantung dari penyebab
hal yang penting untuk menentukan apa terjadi malabsorbsi
malabsorbsi. 2. Pembatasan nutrisi tertentu
Faktor Risiko: - 3. Suplemen vitamin dan mineral
4. Suplemen enzim pencernaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 5. Tata laksana farmakologi: Antibiotik
Sederhana (Objective) diberikan jika malabsorbsi disebakan oleh
overgrowth bakteri enterotoksigenik: E. colli,
Pemeriksaan Fisik K. Pneumoniae dan Enterrobacter cloacae.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan Rencana Tindak Lanjut
tanda anemia (karena defisiensi besi, asam
folat, dan B12): konjungtiva anemis, kulit Perlu dipantau keberhasilan diet atau terapi
pucat, status gizi kurang. Dicari tanda dan yang diberikan kepada pasien.
gejala spesifik tergantung dari penyebabnya.
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang
Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut
1. Darah perifer lengkap: anemia mikrositik membantu dalam hal pembatasan nutrisi
hipokrom karena defisiensi besi atau anemia tertentu pada pasien dan mengamati
makrositik karena defisiensi asam folat keadaaan pasien selama pengobatan.
dan vitamin B12.
2. Radiologi: foto polos abdomen Kriteria Rujukan

Penegakan Diagnostik (Assessment) Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis


penyakit dalam untuk mencari penyebab
Diagnosis Klinis malabsorbsi kemudian ditatalaksana sesuai
penyebabnya.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang. Peralatan
Diagnosis Banding Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah perifer lengkap.
1. Pankreatititis
2. Penyakit Chrons pada illeum terminalis Prognosis
3. Sprue Celiac
4. Penyakit whipple Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien
5. Amiloidosis saat datang, komplikasi, dan pengobatannya.
6. Defisiensi laktase Pada umumnya, prognosis tidak mengancam
7. Sindrom Zollinger-Ellison jiwa, namun fungsionam dan sanationamnya
8. Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus adalah dubia ad bonam.
halus atau kolon Referensi
Komplikasi : Dehidrasi 1. Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
2006. hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 73


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

6.DEMAM TIFOID
No ICPC-2: D70 Gastrointestinal infection No ICD-10: A01.0 Typhoid fever
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Higiene makanan dan minuman yang
Demam tifoid banyak ditemukan di kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. dengan air yang terkontaminasi, sayuran
Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas yang dipupuk dengan tinja manusia,
higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang makanan yang tercemar debu atau sampah
kurang baik. Di Indonesia bersifat endemik atau dihinggapi lalat.
dan merupakan masalah kesehatan 3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit 4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar
besar di Indonesia, tersangka demam tifoid tempat tinggal sehari- hari.
menunjukkan kecenderungan meningkat dari 5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 6. Kondisi imunodefisiensi.
500/100.000 penduduk dan angka kematian
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
antara 0.6–5% (KMK, 2006). Selain tingkat
Sederhana (Objective)
insiden yang tinggi, demam tifoid terkait
dengan berbagai aspek permasalahan lain, Pemeriksaan Fisik
misalnya: akurasi diagnosis, resistensi
antibiotik dan masih rendahnya cakupan 1. Keadaan umum biasanya tampak sakit
vaksinasi demam tifoid. sedang atau sakit berat.
2. Kesadaran: dapat compos mentis atau
Hasil Anamnesis (Subjective) penurunan kesadaran (mulai dari yang
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga
Keluhan
yang berat misalnya delirium atau koma)
1. Demam turun naik terutama sore dan 3. Demam, suhu > 37,5oC.
malam hari dengan pola intermiten dan 4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
dapat terjadi terus menerus (demam denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
kontinu) hingga minggu kedua. 5. Ikterus
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering 6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor
dirasakan di area frontal lidah, halitosis
3. Gangguan gastrointestinal berupa 7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama
konstipasi dan meteorismus atau diare, regio epigastrik), hepatosplenomegali
mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB 8. Delirium pada kasus yang berat
berdarah
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot
dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia 1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai berupa apatis dengan kesadaran seperti
penurunan kesadaran atau kejang. berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat
menjadi somnolen dan koma atau dengan
Faktor Risiko
gejala-gejala psikosis (organic brain
1. Higiene personal yang kurang baik, syndrome).
terutama jarang mencuci tangan. 2. Pada penderita dengan toksik, gejala

7 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

delirium lebih menonjol. lanjut penyakit, untuk mendeteksi


3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut carriertyphoid
abdomen 4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai
indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar
Pemeriksaan Penunjang lipase dan amilase
1. Darah perifer lengkap beserta hitung Penegakan Diagnosis (Assessment)
jenis leukosis dapat menunjukkan:
leukopenia/ leukositosis/ jumlah leukosit Suspek demam tifoid (Suspect case)
normal, limfositosis relatif, monositosis,
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
trombositopenia (biasanya ringan), anemia.
2. Serologi didapatkan gejala demam, gangguan saluran
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi cerna dan petanda gangguan kesadaran.
Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada
(Tubex- TF)® Hanya dapat mendeteksi
antibody IgM Salmonella typhi. Dapat fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
dilakukan pada 4-5 hari pertama Demam tifoid klinis (Probable case)
demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®) Suspek demam tifoid didukung dengan
1) Dapat mendeteksi IgM dan IgG gambaran laboratorium yang menunjukkan
Salmonella typhi tifoid.
2) Dapat dilakukan pada 4-5 hari Diagnosis Banding
pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi Demam berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis,
Dilakukan setelah demam berlangsung 7 infeksi saluran kemih, Hepatitis A, sepsis,
hari. Tuberkulosis milier, endokarditis infektif, demam
Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin rematik akut, abses dalam, demam yang
O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan berhubungan dengan infeksi HIV.
titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan
Komplikasi
ulang dengan interval 5 – 7 hari.
Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering Biasanya terjadi pada minggu kedua dan
terjadi oleh karena reaksi silang dengan ketiga demam. Komplikasi antara lain
non- typhoidal Salmonella, perdarahan, perforasi usus, sepsis,
enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi ensefalopati, dan infeksi organ lain.
dengue dan malaria, riwayat imunisasi
tifoid dan preparat antigen komersial yang 1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Penderita dengan sindrom demam tifoid
Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak dengan panas tinggi yang disertai dengan
direkomendasi jika hanya dari 1 kali kekacauan mental hebat, kesadaran
pemeriksaan serum akut karena menurun, mulai dari delirium sampai koma.
terjadinya positif palsu tinggi yang dapat 2. Syok septik
mengakibatkan over-diagnosis dan over- Penderita dengan demam tifoid, panas
treatment. tinggi serta gejala-gejala toksemia yang
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard) berat. Selain itu, terdapat gejala
Dapat dilakukan pada spesimen: gangguan hemodinamik seperti tekanan
a. Darah : Pada minggu pertama sampai darah turun, nadi halus dan cepat,
akhir minggu ke-2 sakit, saat demam keringat dingin dan akral dingin.
tinggi 2. Perdarahan dan perforasi intestinal
b. Feses : Pada minggu kedua sakit (peritonitis)
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga Komplikasi perdarahan ditandai
sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 75


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

denganhematoschezia. Dapat juga diketahui yang dapat diberikan secara oral


dengan pemeriksaan feses (occult blood maupun parenteral.
test). Komplikasi ini ditandai dengan gejala c. Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak,
akut abdomen dan peritonitis. Pada foto cukup kalori dan protein, rendah serat.
polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan d. Konsumsi obat-obatan secara rutin
klinis bedah didapatkan gas bebas dalam dan tuntas
rongga perut. e. Kontrol dan monitor tanda vital
3. Hepatitis tifosa (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kemudian dicatat dengan baik di rekam
kelainan tes fungsi hati. medik pasien
4. Pankreatitis tifosa 2. Terapi simptomatik untuk menurunkan
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan demam (antipiretik) dan mengurangi
peningkatan enzim lipase dan amilase. keluhan gastrointestinal.
Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau 3. Terapi definitif dengan pemberian
CT Scan. antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk
5. Pneumonia demam tifoid adalah Kloramfenikol,
Didapatkan tanda pneumonia yang Ampisilin atau Amoksisilin (aman
diagnosisnya dibantu dengan foto polos untuk penderita yang sedang hamil),
toraks atau Trimetroprim-sulfametoxazole
(Kotrimoksazol).
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini
Penatalaksanaan pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan antibiotik lain atau dipilih
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan: antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson,
a. Istirahat tirah baring dan mengatur Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan
tahapan mobilisasi untuk anak
b. Menjaga kecukupan asupan cairan, <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).

Tabel 3.2 Antibiotik dan dosis penggunan untuk tifoid

Antibiotik Dosis Keterangan


Kloramfenikol Dewasa: 4x500 mg selama Merupakan obat yang sering digunakan
10 hari dan telah lama dikenal efektif untuk
Anak 100 mg/kgBB/hari, per tifoid Murah dan dapat diberikan peroral
oral atau intravena, dibagi 4 serta sensitivitas masih tinggi Pemberian
dosis, selama 10-14 hari PO/IV Tidak diberikan bila lekosit
<2000/mm3
Seftriakson Dewasa: 2-4gr/hari Cepat menurunkan suhu,
selama 3-5 hari lama pemberian pendek dan
Anak: 80 mg/kgBB/hari, IM dapat dosis tunggal serta
atau IV, dosis tunggal selama cukup aman untuk anak.
5 hari Pemberian PO/IV
Ampisilin dan Dewasa: (1.5-2) gr/hr Aman untuk penderita hamil
amiksisilin selama 7-10 hari Sering dikombinasi dengan
Anak: 100 mg/kgbb/hari per kloramfenikol pada pasien kritis
oral atau intravena, dibagi 3 Tidak mahal
dosis, selama 10 hari. Pemberian PO/IV

7 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kotrimoksazol Dewasa: 2x(160-800) Tidak mahal, pemberian per oral


selama 7-10 hari
Anak: Kotrimoksazol 4-6 mg/
kgBB/hari, per oral, dibagi 2
dosis, selama 10 hari.
Kuinolon Ciprofloxacin 2x500 mg Pefloxacin dan Fleroxacin lebih cepat
selama 1 minggu Ofloxacin menurunkan suhu
2x(200-400) selama 1 minggu Efektif mencegah relaps dan kanker
Pemberian peroral
Pemberian pada anak tidak dianjurkan
karena efek samping pada pertumbuhan
tulang
Sefiksim Anak: 20 mg/kgBB/hari, per Aman untuk anak, efektif
oral, dibagi menjadi 2 dosis,
selama 10 hari
Thiamfenikol Dewasa: 4x500 mg/hari Dapat dipakai untuk
Anak: 50 mg/kgbb/hari selama anak dan dewasa Dilaporkan cukup sensitif
5-7 hari bebas panas pada beberapa daerah

Rencana Tindak Lanjut


bertanggung jawab penuh terhadap
1. Bila pasien dirawat di rumah, dokter tatalaksana pasien.
atau perawat dapat melakukan kunjungan b. Dokter mengkonfirmasi bahwa
follow up setiap hari setelah dimulainya penderita tidak memiliki tanda-
tatalaksana. tanda yang berpotensi menimbulkan
2. Respon klinis terhadap antibiotik dinilai komplikasi.
setelah penggunaannya selama 1 minggu. c. Semua kegiatan tata laksana (diet,
cairan, bed rest, pengobatan) dapat
Indikasi Perawatan di Rumah
dilaksanakan secara baik di rumah.
1. Persyaratan untuk pasien d. Dokter dan/atau perawat mem-follow
a. Gejala klinis ringan, tidak ada tanda- up pasien setiap hari.
tanda komplikasi atau komorbid yang e. Dokter dan/atau perawat dapat
membahayakan. berkomunikasi secara lancar dengan
b. Kesadaran baik. keluarga pasien di sepanjang masa
c. Dapat makan serta minum dengan baik. tatalaksana.
d. Keluarga cukup mengerti cara-cara
Konseling dan Edukasi
merawat dan tanda-tanda bahaya yang
akan timbul dari tifoid. Edukasi pasien tentang tata cara:
e. Rumah tangga pasien memiliki
dan melaksanakan sistem 1. Pengobatan dan perawatan serta aspek
pembuanganeksret (feses, urin, cairan lain dari demam tifoid yang harus
muntah) yang memenuhi persyaratan diketahui pasien dan keluarganya.
kesehatan. 2. Diet, jumlah cairan yang dibutuhkan,
f. Keluarga pasien mampu menjalani pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat
rencana tatalaksana dengan baik. sebaiknya diperhatikan atau dilihat langsung
2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan oleh dokter, dan keluarga pasien telah
a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap memahami serta mampu melaksanakan.
yang 3. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 77


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

kepada pasien dan keluarga supaya bisa 2004. (Feigin, et al., 2004)
segera dibawa ke rumah sakit terdekat
4. Long SS, Pickering LK, Prober CG.
untuk perawatan.
Principles and practice of pediatric
Pendekatan Community Oriented infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia:
Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al.,
Melakukan konseling atau edukasi pada
2003)
masyarakat tentang aspek pencegahan dan
pengendalian demam tifoid, melalui: 5. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s
infectious disease of children. 11th ed.
1. Perbaikan sanitasi lingkungan
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et
2. Peningkatan higiene makanan dan minuman
al., 2004)
3. Peningkatan higiene perorangan
4. Pencegahan dengan imunisasi 6. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S.
Pediatric decision making strategies. WB
Kriteria Rujukan Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans,
1. Demam tifoid dengan keadaan umum et al., 2002)
yang berat (toxic typhoid). 7. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/
2. Tifoid dengan komplikasi.
ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.
3. Tifoid dengan komorbid yang berat.
htm (Center for Disease and Control, 2005)
4. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun
belum tampak perbaikan. 8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy
AJ. Current trends in the management of
Peralatan
typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra,
Poliklinik set dan peralatan laboratorium et al., 2003)
untuk melakukan pemeriksaan darah rutin dan 9. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM,
serologi. Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects
Prognosis not only typhoid-specific antibodies but also
soluble antigens and whole bacteria. Journal
Prognosis adalah bonam, namun adsanationam of Medical Microbiology. 2008;57:316-23.
dubia ad bonam, karena penyakit dapat terjadi (Tam, et al., 2008)
berulang.
10. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I.
Referensi Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI culture and Widal test in the early
No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentan diagnosis of typhoid fever in children in
PedomanPengendalian Demam Tifoid. a resource poor setting. Braz J Infect Dis.
(Kementerian Kesehatan Republik 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
Indonesia, t.thn.) 11. Summaries of infectious diseases.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Dalam: Red Book Online 2009. Section
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar 3. http://aapredbook.aappublications.org/
ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: cgi/content/full/2009/1/3.117 (Anon., 2009)
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD,
Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB
Saunders;

7 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

7.GASTROENTERITIS (KOLERA DAN GIARDIASIS)


No. ICPC-2: D73 Gastroenteritis presumed infection
No. ICD-10: A09 Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infection origin
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Setiap kali diare, BAB dapat menghasilkan
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa volume yang besar (asal dari usus kecil) atau
lambung dan usus halus yang ditandai dengan volume yang kecil (asal dari usus besar). Bila
diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam diare disertai demam maka diduga erat terjadi
waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut infeksi.
kronis. WHO (World Health Organization)
Bila terjadinya diare didahului oleh makan
mendefinisikan diare akut sebagai diare yang
atau minum dari sumber yang kurang
biasanya berlangsung selama 3-7 hari tetapi
higienenya, GE dapat disebabkan oleh infeksi.
dapat pula berlangsung sampai 14 hari. Diare
Riwayat bepergian ke daerah dengan wabah
persisten adalah episode diare yang diperkirakan
diare, riwayat intoleransi laktosa (terutama pada
penyebabnya adalah infeksi dan mulainya
bayi), konsumsi makanan iritatif, minum jamu,
sebagai diare akut tetapi berakhir lebih dari
diet cola, atau makan obat-obatan seperti
14 hari, serta kondisi ini menyebabkan
laksatif, magnesium hidroklorida, magnesium
malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan
sitrat, obat jantung quinidine, obat gout
kematian
(kolkisin), diuretika (furosemid, tiazid), toksin
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak- (arsenik, organofosfat), insektisida, kafein, metil
anak karena daya tahan tubuh yang belum xantine, agen endokrin (preparat pengantian
optimal. Diare merupakan salah satu penyebab tiroid), misoprostol, mesalamin,
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi antikolinesterase dan obat-obat diet perlu
pada anak di bawah umur lima tahun di seluruh diketahui.
dunia, yaitu mencapai 1 milyar kesakitan
Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS)
dan 3 juta kematian per tahun. Penyebab
dan demam tifoid perlu diidentifikasi.
gastroenteritis antara lain infeksi, malabsorbsi,
keracunan atau alergi makanan dan psikologis Pada pasien anak ditanyakan secara jelas gejala
penderita. diare:
Infeksi yang menyebabkan GE akibat 1. Perjalanan penyakit diare yaitu lamanya
Entamoeba histolytica disebut disentri, bila diare berlangsung, kapan diare muncul
disebabkan oleh Giardia lamblia disebut (saat neonatus, bayi, atau anak-anak)
giardiasis, sedangkan bila disebabkan oleh untuk mengetahui, apakah termasuk diare
Vibrio cholera disebut kolera. kongenital atau didapat, frekuensi BAB,
konsistensi dari feses, ada tidaknya darah
Hasil Anamnesis (Subjective)
dalam tinja
Keluhan 2. Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare
3. Gejala penyerta: sakit perut, kembung,
Pasien datang ke dokter karena buang air banyak gas, gagal tumbuh.
besar (BAB) lembek atau cair, dapat bercampur 4. Riwayat bepergian, tinggal di tempat
darah atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau penitipan anak merupakan risiko untukdiare
lebih dalam waktu 24 jam. Dapat disertai rasa infeksi.
tidak nyaman di perut (nyeri atau kembung),
mual dan muntah serta tenesmus.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 79


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Faktor Risiko lainnya: ubun- ubun besar cekung atau


tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau
1. Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan
yang kurang.
lidah kering atau basah.
2. Riwayat intoleransi laktosa, riwayat alergi
3. Pernapasan yang cepat indikasi adanya
obat. asidosis metabolik.
3. Infeksi HIV atau infeksi menular seksual.
4. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang terdapat hipokalemia.
sederhana (Objective) 5. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary refill dapat menentukan
Pemeriksaan Fisik derajat dehidrasi yang terjadi.
1. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: 6. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi
berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut dapat ditentukan dengan cara: obyektif
jantung dan pernapasan serta tekanan yaitu dengan membandingkan berat
darah. badan sebelum dan selama diare.
2. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: Subyektif dengan menggunakan kriteria.
kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit Pada anak menggunakan kriteria WHO
abdomen dan tanda-tanda tambahan 1995.

Tabel 3.3 Pemeriksaan derajat dehidrasi

Derajat Dehidrasi Ringan


Minimal (<3% dari berat Berat (>9% dari berat
Gejala sampai sedang (3-9%
badan) badan)
dari berat badan)
Status mental Baik, sadar penuh Normal, lemas, atau Apatis, letargi, tidak sadar
gelisah, iritabel
Rasa haus Minum normal, mungkin Sangat haus, sangat ingin Tidak dapat minum
menolak minum minum
Denyut jantung Normal Normal sampai Takikardi, pada kasus
meningkat berat bradikardi
Kualitas denyut Normal Normal sampai menurun Lemah atau tidak teraba
nadi
Pernapasan Normal Normal cepat Dalam
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Air mata Ada Menurun Tidak ada
Mulut dan lidah Basah Kering Pecah-pecah
Turgor kulit Baik <2 detik >2 detik
Isian Kapiler Normal Memanjang memanjang, minimal
Ekstrimitas Hangat Dingin Dingin
Output urin Normal sampai menurun Dingin menurun Minimal

Metode Pierce
Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg)

8 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 3.4 Skor penilaian klinis dehidrasi

Klinis
Rasa baqusl muntah Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg T ekanan darah sistolik <60 mm}-lg
Frekuensi nadi > 120 x/mcnit Kesadaran apati
Kesadaran somnolen, spoor atau koma.
Frekuensi napas > 30x/ menit Facics Cholerica
Vox Cholerica Turgor lculjt menurun Washer woman’s hand
Ekstremitas dingin Sianosis
Umur 50 - 60 tahun Umur > 60 lahun

Tabel 3.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Penilaian A B C

Lihat :

Keadaan Umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai, atau tidak
sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung dan kering

Air mata Ada Tidak ada

Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa haus Minum biasa, *Haus, ingin minum *Malas minum atau tidak
tidak haus banyak bisa minum

Periksa turgor kulit Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat lambat

Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/sedang

Bila ada 1 tanda (8) Bila ada 1 tanda (8)


ditambah 1 atau ditambah 1 atau lebih tanda
lebih tanda lain lain

Terapi Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 81


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penegakan Diagnosis (Assessment) Obat antidiare, antara lain:


Diagnosis Klinis 1. Turunan opioid: Loperamid atau Tinktur
opium.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis 2. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada
(BAB cair lebih dari 3 kali sehari) dan pasien dengan disentri yang disertai demam,
pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda dan penggunaannya harus dihentikan
hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi apabila diare semakin berat walaupun
BAB). Untuk diagnosis defenitif dilakukan diberikan terapi.
pemeriksaan penunjang. 3. Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien
Diagnosis Banding immunokompromais, seperti HIV, karena
dapat meningkatkan risiko terjadinya
Demam tifoid, Kriptosporidia (pada penderita bismuth encephalopathy.
HIV), Kolitis pseudomembran 4. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit
Komplikasi 4x2 tablet/ hari atau
5. smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB
Syok hipovolemik encer sampai diare stop.
6. Obat antisekretorik atau anti enkefalinase:
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Racecadotril 3x1
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa Antimikroba, antara lain:
Pada umumnya diare akut bersifat ringan 1. Golongan kuinolonyaitu Siprofloksasin 2 x
dan sembuh cepat dengan sendirinya melalui 500 mg/hari selama 5-7 hari, atau
rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang
diperlukan evaluasi lebih lanjut. 2. Trimetroprim/Sulfametoksazol 160 / 800
2x 1 tablet/hari.
Terapi dapat diberikan dengan
1. Memberikan cairan dan diet adekuat 3. Apabila diare diduga disebabkan oleh
a. Pasien tidak dipuasakan dan diberikan Giardia, Metronidazol dapat digunakan
cairan yang adekuat untuk rehidrasi. dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.
b. Hindari susu sapi karena terdapat 4. Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi
defisiensi laktase transien. disesuaikan dengan etiologi.
c. Hindari juga minuman yang
mengandung alkohol atau kafein, Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan
karena dapat meningkatkan motilitas derajat dehidrasinya, pasien ditangani dengan
dan sekresi usus. langkah sebagai berikut:
d. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya
1. Menentukan jenis cairan yang akan
yang tidak mengandung gas, dan
digunakan
mudah dicerna.
Pada diare akut awal yang ringan, tersedia
2. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat
cairan oralit yang hipotonik dengan
diberikan obat antidiare untuk mengurangi
komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 gr
gejala dan antimikroba untuk terapi definitif.
Natrium bikarbonat dan 1,5 KCl setiap
Pemberian terapi antimikroba empirik liter. Cairan ini diberikan secara oral atau
diindikasikan pada pasien yang diduga lewat selang nasogastrik. Cairan lain
mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s adalah cairan ringer laktat dan NaCl 0,9%
diarrhea, dan imunosupresi. Antimikroba: yang diberikan secara intravena.
pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik
atau antiparasit, atau antijamur 2. Menentukan jumlah cairan yang akan
tergantung penyebabnya. diberikan

8 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Prinsip dalam menentukan jumlah cairan 5. Tidak ada infus set serta cairan infus di
inisial yang dibutuhkan adalah: BJ plasma fasilitas pelayanan
dengan rumus:
Penatalaksanaan pada Pasien Anak
3. Menentukan jadwal pemberian cairan:
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip
inisial): jumlah total kebutuhan cairan tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS
menurut BJ plasma atau skor Daldiyono DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang
diberikan langsung dalam 2 jam ini didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia
agar tercapai rehidrasi optimal dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan
secepat mungkin. satu- satunya cara untuk mengatasi diare
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap tetapi memperbaiki kondisi usus serta
mempercepat penyembuhan/menghentikan
ke-2) pemberian diberikan berdasarkan
diare dan mencegah anak kekurangan gizi
kehilangan selama 2 jam pemberian akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati
cairan rehidrasi inisial sebelumnya. diare.
Bila tidak ada syok atauskor Daldiyono
kurang dari 3 dapat diganti cairan per Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
oral. 1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas
c. Jam berikutnya pemberian cairan rendah
diberikan berdasarkan kehilangan Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat
cairan melalui tinja dan insensible dilakukan mulai dari rumah tangga
water loss. dengan memberikan oralit osmolaritas
rendah, dan bila tidak tersedia berikan
Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih cairan rumah tangga seperti larutan air
lanjut pada diare akut apabila ditemukan: garam. Oralit saat ini yang beredar di
1. Diare memburuk atau menetap setelah 7 pasaran sudah oralit yang baru dengan
osmolaritas yang rendah, yang dapat
hari, feses harus dianalisa lebih lanjut
mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit
2. Pasien dengan tanda-tanda toksik
merupakan cairan yang terbaik bagi
(dehidrasi, disentri, demam ≥ 38,5oC, penderita diare untuk mengganti cairan yang
nyeri abdomen yang berat pada pasien usia hilang. Bila penderita tidak bisa minum
di atas 50 tahun harus segera di bawa ke sarana kesehatan
3. Pasien usia lanjut untuk mendapat pertolongan cairan melalui
4. Muntah yang persisten infus. Pemberian oralit didasarkan pada
5. Perubahan status mental seperti lethargi, derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).
apatis, irritable a. Diare tanpa dehidrasi
6. Terjadinya outbreak pada komunitas • Umur < 1 tahun: ¼-½ gelas setiap
7. Pada pasien yang immunokompromais. kali anak mencret (50–100 ml)
• Umur 1-4 tahun: ½-1 gelas setiap kali
Konseling dan Edukasi anak mencret (100–200 ml)
• Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas
Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi setiap kali anak mencret (200– 300
kepada keluarga untuk membantu asupan ml)
cairan. Edukasi juga diberikan untuk mencegah b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang
terjadinya GE dan mencegah penularannya. Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam
pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya
Kriteria Rujukan
diteruskan dengan pemberian oralit
1. Tanda dehidrasi berat seperti diare tanpa dehidrasi.
2. Terjadi penurunan kesadaran c. Diare dengan dehidrasi berat
3. Nyeri perut yang signifikan Penderita diare yang tidak dapat minum
4. Pasien tidak dapat minum oralit harus segera dirujuk ke Puskesmas
untuk diinfus.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 83


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 3.6 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur

Jumlah oralit yang diberikan tiap


Umur Jumlah oralit yang disediakan di rumah
BAB
< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari (2 bungkus)
1-4 tahun 100-200ml 600-800 ml/hari (3-4 bungkus)
> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)
Dewasa 300-400 ml 1200-2800 ml/hari

Untuk anak dibawah umur 2 tahun


terutama pada anak agar tetap kuat dan
cairan harus diberikan dengan sendok
tumbuh serta mencegah berkurangnya berat
dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai
badan. Anak yang masih minum ASI harus
2 menit. Pemberian dengan botol tidak
lebih sering diberi ASI. Anak yang minum
boleh dilakukan. Anak yang lebih besar
susu formula juga diberikan lebih sering dari
dapat minum langsung dari gelas. Bila
biasanya. Anak usia
terjadi muntah hentikan dulu selama 10
menit kemudian mulai lagi perlahan- 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang
lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 telah mendapatkan makanan padat harus
menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan diberikan makanan yang mudah dicerna
sampai dengan diare berhenti. dan diberikan sedikit lebih sedikit dan
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut lebih sering. Setelah diare berhenti,
Pemberian zinc selama diare terbukti pemberian makanan ekstra diteruskan
mampu mengurangi lama dan tingkat selama 2 minggu untuk membantu
keparahan diare, mengurangi frekuensi pemulihan beratbadan
buang air besar, mengurangi volume tinja,
serta menurunkan kekambuhan kejadian 4. Antibiotik Selektif
diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan Antibiotika tidak boleh digunakan secara
bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc rutin karena kecilnya kejadian diare pada
segera saat anak mengalami diare. balita yang disebabkan oleh bakteri.
Dosis pemberian Zinc pada balita: Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian
• Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari besar karena Shigellosis) dan suspek kolera
selama 10 hari.
• Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per Obat-obatan anti diare juga tidak boleh
hari diberikan pada anak yang menderita diare
selama 10 hari. karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti
muntah tidak dianjurkan kecuali muntah
Zinc tetap diberikan selama 10 hari berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
walaupun diare sudah berhenti. dehidrasi ataupun meningkatkan
status gizi anak, bahkan sebagian besar
Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet
menimbulkan efek samping yang berbahaya
dalam 1 sendok makan air matang atau ASI,
dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa
sesudah larut berikan pada anak diare.
digunakan bila terbukti diare disebabkan
3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan oleh parasit (amuba, giardia).
Pemberian makanan selama diare bertujuan 5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh
untuk memberikan gizi pada penderita
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat

8 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dengan balita harus diberi nasehat tentang: Referensi


a. Cara memberikan cairan dan obat di 1. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman
rumah pemberantasan penyakit diare. Jakarta:
Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan
b. Kapan harus membawa kembali balita
Republik Indonesia, 2009)
ke petugas kesehatan bila : 2. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan
• Diare lebih sering
sosialisasi tatalaksana diare pada balita.
• Muntah berulang
Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian
• Sangat haus Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
• Makan/minum sedikit 3. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo,
• Timbul demam
A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata,
• Tinja berdarah
M.D. Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit
• Tidak membaik dalam 3 hari.
dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat
Konseling dan Edukasi
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Pencegahan diare menurut Pedoman Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
Tatalaksana Diare Departemen 4. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah,
M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus
Kesehatan RI (2006) adalah sebagai berikut: Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa
1. Pemberian ASI di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
2. Pemberian makanan pendamping ASI Gastroenterologi Indonesia. 2009.
3. Menggunakan air bersih yang cukup 5. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi.
4. Mencuci tangan In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
5. Menggunakan jamban Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar
6. Membuang tinja bayi dengan benar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
7. Pemberian imunisasi campak Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2006: p. 1794-1798.
Kriteria Rujukan 6. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis.
In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al.
1. Anak diare dengan dehidrasi berat dan tidak Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol
ada fasilitas rawat inap dan pemasangan II. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 962-964.
intravena. (Braunwald, et al., 2009)
2. Jika rehidrasi tidak dapat dilakukan atau 7. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with
tercapai dalam 3 jam pertama penanganan. Free Living Amoebas. In: Kasper. Braunwald.
3. Anak dengan diare persisten Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal
4. Anak dengan syok hipovolemik Medicine.Vol I. 17thEd. McGraw-Hill. 2009:
Peralatan p. 1275-1280.

Infus set, cairan intravena, peralatan


laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin,
feses dan WIDAL
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi
pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
dan pengobatannya, sehingga umumnya
prognosis adalah dubia ad bonam. Bila kondisi
saat datang dengan dehidrasi berat, prognosis
dapat menjadi dubia ad malam.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 85


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

8.DISENTRI BASILER DAN DISENTRI AMUBA


No. ICPC-2: D70 Gastrointestinal infection No. ICD-10: A06.0 Acute amoebic dysentery

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya Diagnosis Klinis
dan seringkali menyebabkan kematian
dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri
disentri basiler yang disebabkan oleh 1. Diagnosis Banding
shigellosis dan amoeba (disentri amoeba). 2. Infeksi Eschericiae coli
3. Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive
Hasil Anamnesis (Subjective) (EIEC)
Keluhan 4. Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik
(EHEC)
1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan
buang air besar encer secara terus menerus Komplikasi
bercampur lendir dan darah 1. Haemolytic uremic syndrome (HUS)
2. Muntah-muntah 2. Hiponatremia berat
3. Sakit kepala 3. Hipoglikemia berat
4. Bentuk yang berat (fulminating cases) 4. Komplikasi intestinal seperti toksik
biasanya disebabkan oleh S. dysentriae megakolon, prolaps rektal, peritonitis dan
dengan gejalanya timbul mendadak dan perforasi
berat, dan dapat meninggal bila tidak cepat
ditolong. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Faktor Risiko Penatalaksanaan
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang 1. Mencegah terjadinya dehidrasi
kurang. 2. Tirah baring
3. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral
Sederhana (Objective) 4. Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat
Pemeriksaan Fisik diberikan cairan melalui infus
5. Diet, diberikan makanan lunak sampai
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari,
1. Febris kemudian diberikan makanan ringan biasa
2. Nyeri perut pada penekanan di bagian bila ada kemajuan.
6. Farmakologis:
sebelah kiri
3. Terdapat tanda-tanda dehidrasi a. Menurut pedoman WHO, bila telah
4. Tenesmus terdiagnosis shigelosis pasien diobati
dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari
Pemeriksaan Penunjang pengobatan menunjukkan perbaikan,
terapi diteruskan selama 5 hari. Bila
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap
tidak ada perbaikan, antibiotik diganti
kuman penyebab.
dengan jenis yang lain.
b. Pemakaian jangka pendek dengan

8 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dosis tunggal Fluorokuinolon Kriteria Rujukan


seperti Siprofloksasin atau makrolid
Pada pasien dengan kasus berat perlu dirawat
Azithromisin ternyata berhasil baik
untuk pengobatan disentri basiler. Dosis intensif dan konsultasi ke pelayanan
kesehatan sekunder (spesialis penyakit
Siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x
500 mg/hari selama 3 hari sedangkan dalam).
Azithromisin diberikan 1 gram dosis Peralatan
tunggal dan Sefiksim 400 mg/hari
selama 5 hari. Pemberian Siprofloksasin Laboratorium untuk pemeriksaan tinja
merupakan kontraindikasi terhadap Prognosis
anak-anak dan wanita hamil.
c. Di negara-negara berkembang di Prognosis sangat tergantung pada kondisi
mana terdapat kuman S.dysentriae pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
tipe 1 yang multiresisten terhadap obat- dan pengobatannya. Pada umumnya prognosis
obat, diberikan asam nalidiksik dengan dubia ad bonam.
dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari.
Referensi
Tidak ada antibiotik yang dianjurkan
dalam pengobatan stadium karier 1. Sya’roni Akmal. Buku Ajar Ilmu
disentribasiler. Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4.
d. Untuk disentri amuba diberikan Jakarta: FK UI.2006. Hal 1839-41.
antibiotik Metronidazol 500mg 3x 2. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu
sehari selama 3-5 hari Penyakit Dalam Edisi III. Jakarta:
FKUI.2006.
Rencana Tindak Lanjut
3. Kroser, AJ. Shigellosis. 2007. Diakses dari
Pasien perlu dilihat perkembangan www.emedicine.com/med/topic2112.htm.
penyakitnya karena memerlukan waktu
penyembuhan yang lama berdasarkan berat
ringannya penyakit.
Konseling dan Edukasi
1. Penularan disentri amuba dan basiler
dapat dicegah dan dikurangi dengan
kondisi lingkungan dan diri yang bersih
seperti membersihkan tangan dengan
sabun, suplai air yang tidak
terkontaminasi serta penggunaan jamban
yang bersih.
2. Keluarga ikut berperan dalam mencegah
penularan dengan kondisi lingkungan
dan diri yang bersih seperti membersihkan
tangan dengan sabun, suplai air yang tidak
terkontaminasi, penggunaan jamban yang
bersih.
3. Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan
makanan lunak sampai frekuensi BAB
kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan
makanan ringan biasa bila ada kemajuan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 87


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

9.PERDARAHAN GASTROINTESTINAL
No. ICPC-2: D14 Haematemesis/vomiting blood
D15 Melaena
D16 Rectal Bleeling
No. ICD-10 : K92.2 Gastrointestinal haemorrhage, unspecified
K62.5 Haemorrhage of anus and rectum
Tingkat Kemampuan 3B

a.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atasriwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik,


alkohol, jamu- jamuan, obat untuk penyakit
Masalah Kesehatan jantung, obat stroke, riwayat penyakit ginjal,
riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan
Manifestasi perdarahan saluran cerna
ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah
bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang
sebelum terjadinya hematemesis sangat
mengancam jiwa hingga perdarahan samar yang
mendukung kemungkinan adanya sindroma
tidak dirasakan. Hematemesis menunjukkan
Mallory Weiss.
perdarahan dari saluran cerna bagian atas,
proksimal dari ligamentum Treitz. Melena Faktor Risiko
biasanya akibat perdarahan saluran cerna
bagian atas, meskipun demikian perdarahan dari Konsumsi obat-obat NSAID
usus halus atau kolon bagian kanan, juga dapat Faktor Predisposisi
menimbulkan melena.
Riwayat sirosis hepatis
Di Indonesia perdarahan karena ruptur varises
gastroesofagus merupakan penyebab tersering Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif sekitar sederhana (Objective)
25-30%,tukak peptik sekitar 10-15% dan Pemeriksaan Fisik
karena sebab lainnya <5%. Mortalitas secara
keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, 1. Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi)
kematian pada penderita ruptur varises bisa 2. Evaluasi jumlah perdarahan.
mencapai 60% sedangkan kematian pada 3. Pemeriksaan fisik lainnyayaitu mencari
perdarahan non varises sekitar 9-12%. stigmata penyakit hati kronis (ikterus,
spider nevi, asites, splenomegali, eritema
Hasil Anamnesis (Subjective)
palmaris, edema tungkai), massa abdomen,
Keluhan nyeri abdomen, rangsangan peritoneum,
penyakit paru, penyakit jantung, penyakit
Pasien dapat datang dengan keluhan muntah rematik dll.
darah berwarna hitam seperti bubuk kopi 4. Rectal toucher
(hematemesis) atau buang air besar berwarna 5. Dalam prosedur diagnosis ini penting
hitam seperti ter atau aspal (melena). melihat aspirat dari Naso Gastric Tube
Gejala klinis lainya sesuai dengan komorbid, (NGT). Aspirat berwarna putih keruh
seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, menandakan perdarahan tidak aktif,
penyakit jantung, penyakit ginjal dsb. aspirat berwarna merah marun
menandakan perdarahan masif sangat
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah mungkin perdarahan arteri.
riwayat penyakit hati kronis, riwayat
dispepsia,

8 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang di fasilitas pelayanan Konseling dan Edukasi


kesehatan tingkat pertama
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet
1. Laboratorium darah lengkap dan pengobatan pasien.
2. X ray thoraks
Kriteria Rujukan
Penegakan diagnostik (Assessment)
1. Terhadap pasien yang diduga kuat karena
Diagnosis Klinis ruptura varises esophagus di rujuk ke
pelayanan kesehatan sekunder
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, 2. Bila perdarahan tidak berhenti dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang. penanganan awal di layanan tingkat
Diagnosis Banding pertama
3. Bila terjadi anemia berat
Hemoptisis, Hematokezia
Peralatan
Komplikasi
1. Kanula satu sungkup oksigen
Syok hipovolemia, Aspirasi pneumonia, Gagal 2. Naso Gastric Tube (NGT)
ginjal akut, Anemia karena perdarahan 3. Sarung tangan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) 4. EKG
5. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
Penatalaksanaan lengkap, fungsi hati, dan fungsi ginjal.
1. Stabilkan hemodinamik. Prognosis
a. Pemasangan IV line
b. Oksigen sungkup/kanula Prognosis untuk kondisi ini adalah dubia,
c. Mencatat intake output, harus dipasang mungkin tidak sampai mengancam jiwa,
kateter urin namun ad fungsionam dan sanationam
d. Memonitor tekanan darah, nadi, umumnya dubia ad malam.
saturasi oksigen dan keadaan lainnya Referensi
sesuai dengan komorbid yang ada.
2. Pemasangan NGT (nasogatric tube) 1. Soewondo. Pradana. Buku Ajar Ilmu
Melakukan bilas lambung agar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4.
mempermudah dalam tindakan endoskopi. Jakarta: FK UI. 2006: Hal 291-4.
3. Tirah baring 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
4. Puasa/diet hati/lambung Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
a. Injeksi antagonis reseptor H2 atau Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal 229.
penghambat pompa proton (PPI) (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
b. Sitoprotektor: sukralfat 3-4 x1 gram RSCM, 2004)
c. Antasida 3. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni,
d. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan N. Singer, M,Critical Care. Focus 9 Gut.
penyakit hati kronis London: BMJ Publishing Group. 2002.
(Galley, et al., 2002)
Rencana Tindak Lanjut 4. Elta, G.H.Approach to the patient
Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi with gross gastrointestinal bleeding in
Yamada, T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine,
pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh
karena itu perlu dilakukan asesmen yang lebih L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book
of Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia:
akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan
mortalitas. Lippincot William & Wilkins. 2003.
(Elta,2003)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 89


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. Rockey, D.C. Gastrointestinal bleeding faeces.


in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger, 5. Pasien dengan perdarahan samar saluran
M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s cerna kronik umumnya tidak ada gejala
Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd. atau kadang hanya rasa lelah akibat
Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, anemia.
2002) 6. Nilai dalam anamnesis apakah
6. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E. Acute upper bercampur dengan feses (seperti terjadi
gastrointestinal bleeding in Sivak, M.V.Ed. pada kolitis atau lesi di proksimal rektum)
Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: atau terpisah/menetes (terduga hemoroid),
WB Sauders. 2000. (Gilbert & Silverstein, pemakaian antikoagulan, atau terdapat
2000) gejala sistemik lainnya seperti demam lama

b.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah

Masalah Kesehatan (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat


badan (kanker), perubahan pola defekasi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema,
umumnya didefinisikan sebagai perdarahan yang angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi,
berasal dari usus di sebelah bawah iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura,
ligamentum Treitz. Hematokezia diartikan disentri).
darah segar yang keluar melalui anus dan
merupakan manifestasi tersering dari Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
perdarahan saluran cerna bagian bawah. sederhana (Objective)

Penyebab tersering dari saluran cerna bagian Pemeriksaan Fisik


bawah antara lain perdarahan divertikel kolon, 1. Pada colok dubur ditemukan darah segar
angiodisplasia dan kolitis iskemik. Perdarahan 2. Nilai tanda vital, terutama ada
saluran cerna bagian bawah yang kronik dan tidaknya renjatan atau hipotensi postural
berulang biasanya berasal dari hemoroid dan (Tilt test).
neoplasia kolon. 3. Pemeriksaan fisik abdomen untuk menilai
Hasil Anamnesis (Anemnesis) ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia
mesenterial), rangsang peritoneal
Keluhan (divertikulitis), massa intraabdomen (tumor
kolon, amuboma, penyakit Crohn).
1. Pasien datang dengan keluhan darah
segar yang keluar melalui anus Pemeriksaan Penunjang
(hematokezia).
2. Umumnya melena menunjukkan perdarahan Pemeriksaan darah perifer lengkap, feses rutin
di saluran cerna bagian atas atau usus dan tes darah samar.
halus, namun demikian melena dapat juga Penegakan diagnostik (Assessment)
berasal dari perdarahan kolon sebelah
kanan dengan perlambatan mobilitas. Diagnosis Klinis
3. Perdarahan dari divertikulum biasanya
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
tidak nyeri. Tinja biasanya berwarna merah
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
marun, kadang-kadang bisa juga menjadi
merah. Umumnya terhenti secara spontan Diagnosis Banding
dan tidak berulang.
4. Hemoroid dan fisura ani biasanya Haemorhoid, Penyakit usus inflamatorik,
menimbulkan perdarahan dengan warna Divertikulosis, Angiodisplasia, Tumor kolon
merah segar tetapi tidak bercampur dengan Komplikasi
1. Syok hipovolemik

9 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Gagal ginjal akut Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder untuk


3. Anemia karena perdarahan diagnosis definitif bila tidak dapat ditegakkan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
Penatalaksanaan Peralatan
1. Stabilkan hemodinamik 1. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
a. Pemasangan IV line lengkap dan faeces darah samar
b. Oksigen sungkup/kanula
c. Mencatat intake output, harus dipasang 2. Sarung tangan
kateter urin Prognosis
d. Memonitor tekanan darah, nadi,
saturasi oksigen dan keadaan lainnya Prognosis sangat tergantung pada kondisi
sesuai dengan komorbid yang ada. pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
2. Beberapa perdarahan saluran cerna dan pengobatannya.
bagian bawah dapat diobati secara Referensi
medikamentosa. Hemoroid fisura ani dan
ulkus rektum soliter dapat diobati dengan 1. Abdullah. Murdani, Sudoyo. Aru, W. dkk.
bulk-forming agent, sitz baths, dan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
menghindari mengedan. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Dep. IPD.
3. Kehilangan darah samar memerlukan FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
suplementasi besi yaitu Ferrosulfat 325
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
mg tiga kali sehari.
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Konseling dan Edukasi Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 234.
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
dan pengobatan pasien. RSCM, 2004)
Kriteria Rujukan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang
terus menerus

10. HEMOROID GRADE 1-2


No. ICPC-2: D95 Anal fissure/perianal abscess
No. ICD-10: I84 Haemorrhoids
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 2. Prolaps suatu massa pada waktu defekasi.


Hemoroid adalah pelebaran vena-vena Massa ini mula-mula dapat kembali spontan
didalam pleksus hemoroidalis. sesudah defekasi, tetapi kemudian harus
dimasukkan secara manual dan akhirnya
Hasil Anamnesis (Subjective) tidak dapat dimasukkan lagi.
Keluhan 3. Pengeluaran lendir.
1. Perdarahan pada waktu defekasi, darah 4. Iritasi didaerah kulit perianal.
berwarna merah segar. Darah dapat 5. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing,
menetes keluar dari anus beberapa saat lemah, pucat).
setelah defekasi.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 91


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Faktor Risiko Pemeriksaan Penunjang


1. Penuaan Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk
2. Lemahnya dinding pembuluh darah mengetahui adanya anemia dan infeksi.
3. Wanita hamil
4. Konstipasi Penegakan Diagnostik (Assessment)
5. Konsumsi makanan rendah serat Diagnosis Klinis
6. Peningkatan tekanan intraabdomen
7. Batuk kronik Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
8. Sering mengedan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
9. Penggunaan toilet yang berlama-lama
Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi :
(misal : duduk dalam waktu yang lama di
toilet) 1. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian
proksimal dentate line dan dilapisi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
mukosa. Hemoroid internal dibagi menjadi
Sederhana (Objective)
4 grade, yaitu :
Pemeriksaan Fisik
a. Grade 1 hemoroid mencapai lumen
1. Periksa tanda-tanda anemia anal kanal
2. Pemeriksaan status lokalis
b. Grade 2 hemoroid mencapai sfingter
a. Inspeksi:
eksternal dan tampak pada
• Hemoroid derajat 1, tidak
saat pemeriksaan tetapi
menunjukkan adanya suatu kelainan
dapat masuk kembali secara
diregio anal.
spontan.
• Hemoroid derajat 2, tidak terdapat
c. Grade 3 hemoroid telah keluar dari
benjolan mukosa yang keluar melalui
anal canal dan hanya dapat
anus, akan tetapi bagian hemoroid
masuk kembali secara manual
yang tertutup kulit dapat terlihat
oleh pasien.
sebagai pembengkakan.
• Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar d. Grade 4 hemoroid selalu keluar dan
akan segera dapat dikenali dengan tidak dapat masuk ke anal
adanya massa yang menonjol dari kanal meski dimasukkan
lubang anus yang bagian luarnya secara manual
ditutupi kulit dan bagian dalamnya 2. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian
oleh mukosa yang berwarna dentate line dan dilapisi oleh epitel
keunguan atau merah. mukosa yang telah termodifikasi serta
b. Palpasi: banyak persarafan serabut saraf nyeri
• Hemoroid interna pada stadium somatik.
awal merupaka pelebaran vena yang
lunak dan mudah kolaps sehingga Diagnosis Banding
tidak dapat dideteksi dengan Kondiloma Akuminata, Proktitis, Rektal prolaps
palpasi.
• Setelah hemoroid berlangsung lama Komplikasi
dan telah prolaps, jaringan ikat Anemia
mukosa mengalami fibrosis sehingga
hemoroid dapat diraba ketika jari Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
tangan meraba sekitar rektum bagian
Penatalaksanaan Hemoroid di layanan tingkat
bawah.
pertama hanya untuk hemoroid grade 1 dengan

9 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

terapi konservatif medis dan menghindari Kriteria Rujukan


obat- obat anti-inflamasi non-steroid, serta
Hemoroid interna grade 2, 3, dan 4 dan
makanan pedas atau berlemak.
hemoroid eksterna memerlukan
Hal lain yang dapat dilakukan adalah penatalaksanaan di pelayanan kesehatan
mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada sekunder.
pasien hemoroid.
Peralatan
Konseling dan Edukasi
Sarung tangan
Melakukan edukasi kepada pasien sebagai upaya
Prognosis
pencegahan hemoroid. Pencegahan hemoroid
dapat dilakukan dengan cara: Prognosis pada umumnya bonam
1. Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Referensi
Hal ini bertujuan untuk membuat feses
menjadi lebih lembek dan besar, sehingga 1. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids.
mengurangi proses mengedan dan tekanan Emedicine. Medscape. Update 12 September
pada vena anus. 2012. (Thornton & Giebel, 2012)
2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari. 2. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids
3. Mengubah kebiasaan buang air besar. and Fissure in Ano Gastroenterology
Segerakan ke kamar mandi saat merasa Clinics of North America. 2008.
akan buang air besar, jangan ditahan karena
akan memperkeras feses. Hindari
mengedan.

11. HEPATITIS A
No. ICPC-2: D72 Viral Hepatitis No. ICD-10: B15 Acute Hepatitis A
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
6. Mual dan muntah
Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang 7. Warna urine seperti teh
disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah 8. Tinja seperti dempul
virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal
Faktor Risiko
oral. Lebih dari 75% orang dewasa
simtomatik, sedangkan pada anak <6 tahun 1. Sering mengkonsumsi makanan atau
70% asimtomatik. Kurang dari 1% penderita minuman yang tidak terjaga sanitasinya.
hepatitis A dewasa berkembang menjadi 2. Menggunakan alat makan dan minum dari
hepatitis A fulminan. penderita hepatitis.

Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang


sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
1. Demam
2. Mata dan kulit kuning 1. Febris
3. Penurunan nafsu makan 2. Sklera ikterik
4. Nyeri otot dan sendi 3. Hepatomegali
5. Lemah, letih, dan lesu. 4. Warna urin seperti teh

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 93


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi.


3. Keluarga ikut menjaga asupan kalori
1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam dan cairan yang adekuat, dan membatasi
urin)
aktivitas fisik pasien selama fase akut.
2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar
bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan Kriteria Rujukan
SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi,
dilakukan pada fasilitas pelayanan 1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan
kesehatan tingkat pertama yang lebih penunjang laboratorium
lengkap. 2. Penderita Hepatitis A dengan keluhan
3. IgM anti HAV (di layanan tingkat lanjutan) ikterik yang menetap disertai keluhan
yang lain.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Penderita Hepatitis A dengan penurunan
kesadaran dengan kemungkinan ke arah
Diagnosis Klinis
ensefalopati hepatik.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Peralatan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Laboratorium darah rutin, urin rutin dan
Diagnosis Banding
pemeriksaan fungsi hati
Ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut, Sirosis
Prognosis
hepatis
Prognosis umumnya adalah bonam.
Komplikasi
Referensi
Hepatitis A fulminan, Ensefalopati hepatikum,
Koagulopati 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral
Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Principles of Internal Medicine,16thEd.
Penatalaksanaan New York: McGraw-Hill. 2004.
2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat delta virus. In: Disease of Liver and Biliary
2. Tirah baring System. Blackwell Publishing Company.
3. Pengobatan simptomatik 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002)
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit
b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3 Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:
x 10 mg/hari atau Domperidon 3 x 10mg/ Hal 429-33.
hari. 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan,
c. Perut perih dan kembung : H2 Bloker Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
(Simetidin 3 x 200 mg/hari atau Ranitidin 2 Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal
x 150 mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor 435-9.
(Omeprazol 1 x 20 mg/hari). 5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Rencana Tindak Lanjut Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal15-17.
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil
pengobatan.
Konseling dan Edukasi
1. Sanitasi dan higiene mampu mencegah
penularan virus.
2. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada

9 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

12. HEPATITIS B
No. ICPC-2: D72 Viral Hepatitis No. ICD-10: B16 Acute Hepatitis B
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
bila ditekan di bagian perut kanan atas.
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, Setelah gejala tersebut akan timbul fase
masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari resolusi.
seseorang yang terinfeksi. Virus ini tersebar
Faktor Risiko
luas di seluruh dunia dengan angka kejadian
yang berbeda- beda. Tingkat prevalensi hepatitis 1. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak
B di Indonesia sangat bervariasi berkisar 2,5% aman dengan orang yang sudah terinfeksi
di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, hepatitis B.
sehingga termasuk dalam kelompok negara 2. Memakai jarum suntik secara bergantian
dengan endemisitas sedang sampai tinggi. terutama kepada penyalahgunaan obat
suntik.
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang
3. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai
akut dengan gejala yang berlangsung kurang
bersama-sama dengan penderita hepatitis B.
dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit
4. Orang yang bekerja pada tempat-tempat
berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita
yang terpapar dengan darah manusia.
sebut sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B
5. Orang yang pernah mendapat transfusi
kronik dapat berkembang menjadi sirosis
darah sebelum dilakukan pemilahan
hepatis, 10% dari penderita sirosis hepatis
terhadap donor.
akan berkembang menjadihepatoma.
6. Penderita gagal ginjal yang menjalani
Hasil Anamnesis (Subjective) hemodialisis.
7. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang
Keluhan menderita hepatitis B.
1. Umumnya tidak menimbulkan gejala Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terutama pada anak-anak. Sederhana (Objective)
2. Gejala timbul apabila seseorang telah
terinfeksi selama 6 minggu, antara lain: Pemeriksaan Fisik
a. gangguan gastrointestinal, seperti:
1. Konjungtiva ikterik
malaise, anoreksia, mual dan muntah;
2. Pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada
b. gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala,
hati
mialgia.
3. Splenomegali dan limfadenopati pada 15-
3. Gejala prodromal seperti diatas akan
20% pasien
menghilang pada saat timbul kuning, tetapi
keluhan anoreksia, malaise, dan kelemahan Pemeriksaan Penunjang
dapat menetap.
4. Ikterus didahului dengan kemunculan urin 1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam
berwarna gelap. urin)
Pruritus (biasanya ringan dan sementara) 2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar
dapat timbul ketika ikterus meningkat. Pada bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan
saat badan kuning, biasanya diikuti oleh SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi,
pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit dilakukan pada fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 95


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

pertama yang lebih lengkap. 2. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga
3. HBsAg (di pelayanan kesehatan sekunder) asupan kalori dan cairan yang adekuat, dan
membatasi aktivitas fisik pasien.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Pencegahan penularan pada anggota
Diagnosis Klinis keluarga dengan modifikasi pola hidup
untuk pencegahan transmisi dan imunisasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Peralatan

Diagnosis Banding Laboratorium darah rutin, urin rutin dan


pemeriksaan fungsi hati
Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena
obat atau toksin, hepatitis autoimun, hepatitis Prognosis
alkoholik, obstruksi akut traktus biliaris Prognosis sangat tergantung pada kondisi
Komplikasi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis
Sirosis hepar, Hepatoma pada hepatitis B adalah dubia, untuk fungtionam
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) dan sanationamdubia ad malam.

Penatalaksanaan Referensi

1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral
2. Tirah baring Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s
3. Pengobatan simptomatik Principles of Internal Medicine. 16th Ed.
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. McGraw-Hill. New York. 2004.
b. Mual: antiemetik seperti 2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis
Metoklopramid 3 x 10 mg/hari atau delta virus. In: Disease of Liver and Biliary
Domperidon 3 x 10 mg/hari. System. Blackwell Publishing Company.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker 2002: p.285-96.
(Simetidin 3 x 200 mg/hari atau 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Ranitidin 2 x 150 mg/hari) atau Proton Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:
Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/ Hal 429-33.
hari). 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan,
Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Rencana Tindak Lanjut Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal
435-9.
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil 5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
pengobatan. Kriteria Rujukan
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
1. Penegakan diagnosis dengan Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
pemeriksaan penunjang laboratorium di
pelayanan kesehatan sekunder
2. Penderita hepatitis B dengan keluhan
ikterik yang menetap disertai keluhan yang
lain.
Konseling dan Edukasi
1. Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut
mendukung pasien agar teratur minum obat
karena pengobatan jangka panjang.

9 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

13. KOLESISTITIS
No. ICPC-2: D98 Cholecystitis/cholelithiasis
No. ICD-10: K81.9 Cholecystitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan 3. Sering mengkonsumsi makanan berlemak


Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau 4. Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.
kronisdinding kandung empedu. Faktor yang Hasil Pemeriksaan dan Penunjang Sederhana
mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis (Objective)
adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan
iskemia dinding kandung empedu. Penyebab Pemeriksaan Fisik
utama kolesistitis akut adalah batu kandung
1. Ikterik bila penyebab adanya batu di
empedu (90%) yang terletak di duktus
saluran empedu ekstrahepatik
sistikus yang menyebabkan stasis cairan
2. Teraba massa kandung empedu
empedu.
3. Nyeri tekan disertai tanda-tanda
Hasil Anamnesis (Subjective) peritonitis lokal, tanda Murphy positif
Keluhan Pemeriksaan Penunjang

Kolesistitis akut: Laboratorium darah menunjukkan adanya


leukositosis
1. Demam
2. Kolik perut di sebelah kanan atas atau Penegakan Diagnostik (Assessment)
epigastrium dan teralihkan ke bawah
Diagnosis Klinis
angulus scapula dexter, bahu kanan atau
yang ke sisi kiri, kadang meniru nyeri angina Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pektoris, berlangsung 30-60 menit tanpa pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
peredaan, berbeda dengan spasme yang
cuma berlangsung singkat pada kolik bilier. Diagnosis Banding
3. Serangan muncul setelah konsumsi Angina pektoris, Apendisitis akut, Ulkus
makanan besar atau makanan berlemak di peptikum perforasi, Pankreatitis akut
malam hari.
4. Flatulens dan Komplikasi

mual Kolesistitis Gangren atau empiema kandung empedu,


Perforasi kandung empedu, Peritonitis umum,
kronik Abses hepar
1. Gangguan pencernaan menahun Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
2. Serangan berulang namun tidak mencolok.
3. Mual, muntah dan tidak tahan makanan Penatalaksanaan
berlemak
1. Tirah baring
4. Nyeri perut yang tidak jelas disertai dengan
2. Puasa
sendawa.
3. Pemasangan infus
Faktor Risiko 4. Pemberian anti nyeri dan anti mual
5. Pemberian antibiotik:
1. Wanita
2. Usia >40 tahun

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 97


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

a. Golongan penisilin: Ampisilin injeksi Kriteria rujukan


500 mg/6 jam dan Amoksilin 500
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis
mg/8 jam IV, atau
dirujuk ke layanan sekunder (spesialis
b. Sefalosporin: Seftriakson 1 gram/ 12
penyakit dalam) sedangkan bila terdapat
jam, Sefotaksim 1 gram/8 jam, atau
c. Metronidazol 500 mg/ 8 jam indikasi untuk pembedahan pasien dirujuk
pula ke spesialis bedah.
Konseling dan Edukasi
Peralatan
Keluarga diminta untuk mendukung pasien
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
untuk menjalani diet rendah lemak dan
menurunkan berat badan. Prognosis
Rencana Tindak Lanjut Prognosis umumnya dubia ad bonam,
tergantung komplikasi dan beratnya penyakit.
1. Pada pasien yang pernah mengalami
serangan kolesistitis akut dan kandung Referensi
empedunya belum diangkat kemudian
mengurangi asupan lemak dan menurunkan 1. Soewondo, P. Buku Ajar Ilmu Penyakit
berat badannya harus dilihat apakah terjadi Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
kolesistitis akut berulang. 2006: Hal 1900-2.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
2. Perlu dilihat ada tidak indikasi untuk
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
dilakukan pembedahan.
Dalam FKUI/RSCM. 2004: Hal 240.

14. APENDISITIS AKUT


No. ICPC-2: S87 (Appendicitis)
No. ICD-10: K.35.9 (Acute appendicitis)
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah
Apendisitis akut adalah radang yang timbul epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney.
secara mendadak pada apendik, merupakan Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam)
salahsatu kasus akut abdomen yang paling penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena
sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera bersifat somatik.
dapat menyebabkan perforasi. Gejala Klinis
Penyebab:
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi
1. Obstruksi lumen merupakan faktor nervus vagus.
penyebab dominan apendisitis akut 2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang
2. Erosi mukosa usus karena parasit timbul beberapa jam sesudahnya,
Entamoeba hystolitica dan benda asing merupakan kelanjutan dari rasa nyeri
lainnya yang timbul saat permulaan.
3. Disuria juga timbul apabila peradangan
Hasil Anamnesis (Subjective) apendiks dekat dengan vesika urinaria.
Keluhan 4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare, timbul

9 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

biasanya pada letak apendiks pelvikal Colok dubur


yang merangsang daerah rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu Nyeri tekan pada jam 9-12
tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah
terjadi perforasi. 1. Nyeri seluruh abdomen
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan 2. Pekak hati hilang
menjelaskan keluhan nyeri somatik yang 3. Bising usus hilang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang Apendiks yang mengalami gangren atau
panjang dengan ujung yang mengalami perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-
inflamasi di kuadran kiri bawah akan gejala sebagai berikut:
menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan 1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36
nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal jam
akan menyebabkan nyeri pada supra 2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC
pubik dan apendiks retroileal bisa 3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin 4. Dehidrasi dan asidosis
karena iritasi pada arteri spermatika dan 5. Distensi
ureter. 6. Menghilangnya bising usus
7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 8. Rebound tenderness sign
Sederhana (Objective) 9. Rovsing sign
Pemeriksaan Fisik 10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Inspeksi Pemeriksaan Penunjang

1. Penderita berjalan membungkuk sambil 1. Laboratorium darah perifer lengkap


memegangi perutnya yang sakit a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil
2. Kembung bila terjadi perforasi laboratorium nilai leukosit dan
3. Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada neutrofil akan meningkat.
appendikuler abses. b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-
14.000/mm3, dengan pemeriksaan
Palpasi hitung jenis menunjukkan pergeseran
Terdapat nyeri tekan McBurney ke kiri hampir 75%.
c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/
1. Adanya rebound tenderness (nyeri lepas mm3 maka umumnya sudah terjadi
tekan) perforasi dan peritonitis.
2. Adanya defans muscular d. Pemeriksaan urinalisa dapat
3. Rovsing sign positif digunakan sebagai konfirmasi dan
4. Psoas signpositif menyingkirkan kelainan urologi yang
5. Obturator Signpositif menyebabkan nyeri abdomen.
e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai
Perkusi kehamilan ektopik pada wanita usia
Nyeri ketok (+) subur.
2. Foto polos abdomen
Auskultasi a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada foto polos abdomen tidak banyak
illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 99


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

membantu.. 1. Bed rest total posisi fowler (anti


b. Pada peradangan lebih luas dan Trandelenburg)
membentuk infiltrat maka usus pada 2. Pasien dengan dugaan apendisitis
bagian kanan bawah akan kolaps. sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
c. Dinding usus edematosa, keadaan mulut.
seperti ini akan tampak pada daerah 3. Penderita perlu cairan intravena untuk
kanan bawah abdomen kosong dari mengoreksi jika ada dehidrasi.
udara. 4. Pipa nasogastrik dipasang untuk
d. Gambaran udara seakan-akan terdorong mengosongkan lambung agar mengurangi
ke pihak lain. distensi abdomen dan mencegah muntah.
e. Proses peradangan pada fossa
iliaka kanan akan menyebabkan Komplikasi
kontraksi otot sehingga timbul 1. Perforasi apendiks
skoliosis ke kanan. 2. Peritonitis umum
f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada 3. Sepsis
foto abdomen tegak akan tampak udara
bebas di bawah diafragma. Kriteria Rujukan
g. Foto polos abdomen supine pada abses Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk
appendik kadang- kadang memberi pola ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi
bercak udara dan air fluid level pada
cito.
posisi berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi
bercak rim-like (melingkar) Peralatan
sekitar perifer mukokel yang asalnya
dari appendik. Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer
lengkap
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Prognosis
Diagnosis Klinis
Prognosis pada umumnya bonam tetapi
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih bergantung tatalaksana dan kondisi pasien.
merupakan dasar diagnosis apendisitis akut.
Referensi
Diagnosis Banding
1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor.,
1. Kolesistitis akut “Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan
2. Divertikel Mackelli Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu
3. Enteritis regional Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta,
4. Pankreatitis 2005,hlm.639-645.
5. Batu ureter
6. Cystitis 2. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari
7. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
8. Salpingitis akut Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut
harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk
dilakukan operasi cito.
Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk:

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

15. PERITONITIS
No. ICPC-2: D99 Disease digestive system, other
No. ICD-10: K65.9 Peritonitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. bebas di bawah diafragma
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan 7. Bising usus menurun atau menghilang
di dalam abdomen berupa inflamasi dan 8. Rigiditas abdomen atau sering disebut perut
penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, papan
perforasi tukak lambung, perforasi tifus 9. Pada colok dubur akan terasa nyeri di
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan semua arah, dengan tonus muskulus
oleh karena perforasi organ berongga karena sfingter ani menurun dan ampula rekti
trauma abdomen. berisi udara.

Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang

Keluhan Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di


layanan tingkat pertama untuk menghindari
1. Nyeri hebat pada abdomen yang keterlambatan dalam melakukan rujukan.
dirasakan terus-menerus selama beberapa
jam, dapat hanya di satu tempat ataupun Penegakan Diagnostik (Assessment)
tersebar di seluruh abdomen. Intensitas
Diagnosis Klinis
nyeri semakin kuat saat penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan
mengejan. pemeriksaan fisik dari tanda-tanda khas yang
2. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu ditemukan pada pasien.
badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita Diagnosis Banding: -
tampak letargik dan syok. Komplikasi
3. Mual dan muntah timbul akibat adanya
kelainan patologis organ visera atau 1. Septikemia
akibat iritasi peritoneum. 2. Syok
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
adanya cairan dalam abdomen, yang dapat
mendorong diafragma. Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pasien segera dirujuk setelah penegakan
Sederhana (Objective) diagnosis dan penatalaksanaan awal seperti
berikut:
Pemeriksaan Fisik
1. Memperbaiki keadaan umum pasien
1. Pasien tampak letargik dan kesakitan
2. Pasien puasa
2. Dapat ditemukan demam
3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa
3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan
nasogastrik atau intestinal
nyeri lepas abdomen
4. Penggantian cairan dan elektrolit yang
4. Defans muskular
hilang yang dilakukan secara intravena
5. Hipertimpani pada perkusi abdomen
5. Pemberian antibiotik spektrum luas
intravena.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 10


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

6. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri Referensi


dihindari untuk tidak menyamarkan gejala
1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar
Kriteria Rujukan Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2011.
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis
Rujuk ke layanan sekunder yang memiliki dokter dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
spesialis bedah. Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta:
Peralatan EGC.2000.
3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I.
Nasogastric Tube Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Prognosis Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,1999)
4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih
malam. bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC.
2000. (Shrock, 2000)

16. PAROTITIS
No. ICPC-2: D71. Mumps / D99. Disease digestive system, other No. ICD-10: B26. Mumps
Tingkat Kemampuan 4A

Onset akut, biasanya < 7 hari


Masalah Kesehatan
d. Gejala konstitusional: malaise,
Parotitis adalah peradangan pada kelenjar anoreksia, demam f. Biasanya bilateral,
parotis. Parotitis dapat disebabkan oleh infeksi namun dapat pula unilateral
virus, infeksi bakteri, atau kelainan autoimun, 2. Parotitis bakterial akut
dengan derajat kelainan yang bervariasi dari a. Pembengkakan pada area di depan
ringan hingga berat. Salah satu infeksi virus telinga hingga rahang bawah
pada kelenjar parotis, yaitu parotitis mumps b. Bengkak berlangsung progresif c. Onset
(gondongan) sering ditemui pada layanan akut, biasanya < 7 hari d. Demam
tingkat pertama dan berpotensi menimbulkan c. Rasa nyeri saat mengunyah
epidemi di komunitas. Dokter di fasilitas 3. Parotitis HIV
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat a. Pembengkakan pada area di depan
berperan menanggulangi parotitis mumps telinga hingga rahang bawah
dengan melakukan diagnosis dan tatalaksana b. Tidak disertai rasa nyeri
yang adekuat serta meningkatkan kesadaran c. Dapat pula bersifat asimtomatik
masyarakat terhadap imunisasi, khususnya 4. Parotitis tuberkulosis
MMR. a. Pembengkakan pada area di depan
telinga hingga rahang bawah
Hasil Anamnesis (Subjective) b. Onset kronik
Keluhan c. Tidak disertai rasa nyeri
d. Disertai gejala-gejala tuberkulosis
1. Parotitis mumps lainnya e. Parotitis autoimun (Sjogren
a. Pembengkakan pada area di depan syndrome)
telinga hingga rahang bawah e. Pembengkakan pada area di depan
b. Bengkak berlangsung tiba-tiba telinga hingga rahang bawah
c. Rasa nyeri pada area yang bengkak d.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

f. Onset kronik atau rekurens h. Tidak Pemeriksaan Penunjang


disertai rasa nyeri dapat unilateral
Pada kebanyakan kasus parotitis, pemeriksaan
atau bilateral
penunjang biasanya tidak diperlukan.
g. Gejala-gejala Sjogren syndrome, Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk
misalnya mulut kering, mata kering menentukan etiologi pada kasus parotitis
h. Penyebab parotitis lain telah bakterial atau parotitis akibat penyakit
disingkirkan sistemik tertentu, misalnya HIV, Sjogren
syndrome, tuberkulosis.
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Anak berusia 2-12 tahun merupakan
kelompok tersering menderita parotitis Diagnosis Klinis
mumps
Diagnosis parotitis ditegakkan berdasarkan
2. Belum diimunisasi MMR
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
3. Pada kasus parotitis mumps, terdapat
riwayat adanya penderita yang sama Komplikasi
sebelumnya di sekitar pasien
1. Parotitis mumps dapat menimbulkan
4. Kondisi imunodefisiensi
komplikasi berupa: Epididimitis, Orkitis, atau
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang atrofi testis (pada laki-laki), Oovaritis (pada
Sederhana (Objective) perempuan), ketulian, Miokarditis, Tiroiditis,
Pankreatitis, Ensefalitis, Neuritis
Pemeriksaan Fisik 2. Kerusakan permanen kelenjar parotis
yang menyebabkan gangguan fungsi
1. Keadaan umum dapat bervariasi dari sekresi saliva dan selanjutnya
tampak sakit ringan hingga berat meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan
2. Suhu meningkat pada kasus parotitis infeksi karies gigi.
3. Pada area preaurikuler (lokasi kelenjar 3. Parotitis autoimun berhubungan dengan
parotis), terdapat: peningkatan insiden limfoma.
a. Edema
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
b. Eritema
c. Nyeri tekan (tidak ada pada kasus Penatalaksanaan
parotitis HIV, tuberkulosis, dan autoimun)
1. Parotitis mumps
4. Pada kasus parotitis bakterial akut, bila
a. Nonmedikamentosa
dilakukan masase kelanjar parotis dari Pasien perlu cukup beristirahat
arah posterior ke anterior, nampak saliva Hidrasi yang cukup
purulen keluar dari duktur parotis. Asupan nutrisi yang bergizi
b. Medikamentosa : Pengobatan bersifat
simtomatik (antipiretik, analgetik)
2. Parotitis bakterial akut
a. Nonmedikamentosa
Pasien perlu cukup beristirahat
Hidrasi yang cukup
Asupan nutrisi yang bergizi
b. Medikamentosa
Antibiotik
Simtomatik (antipiretik, analgetik)
3. Parotitis akibat penyakit sistemik (HIV,
tuberkulosis, Sjogren syndrome)
Gambar 3.2 Edema pada area preaurikuler Tidak dijelaskan dalam bagian ini.
dan mandibula kanan pada kasus parotitis
mumps

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 10


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Konseling dan Edukasi Prognosis


1. Penjelasan mengenai diagnosis, 1. Ad vitam : Bonam
penyebab, dan rencana tatalaksana. 2. Ad functionam : Bonam
2. Penjelasan mengenai pentingnya menjaga 3. Ad sanationam : Bonam
kecukupan hidrasi dan higiene oral.
3. Masyarakat perlu mendapatkan informasi Peralatan
yang adekuat mengenai pentingnya 1. Termometer
imunisasi MMR untuk mencegah epidemi 2. Kaca mulut
parotitis mumps.
Referensi
Kriteria Rujukan
1. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland
1. Parotitis dengan komplikasi Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick
2. Parotitis akibat kelainan sistemik, seperti &
HIV, tuberkulosis, dan Sjogren syndrome. J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral
Medicine. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-
222. (Fox & Ship, 2008)

17. ASKARIASIS (INFEKSI CACING GELANG)


No. ICPC II: D96 Worms/ other parasites
No. ICD X: B77.9 Ascariaris unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
disertai dengan batuk, demam, dan
Askariasis adalah suatu penyakit yang eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat
disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris yang menghilang dalam waktu 3 minggu.
lumbricoides. Keadaan ini disebut sindroma Loeffler.
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
terutama pada anak. Frekuensinya antara 60- biasanya ringan, dan sangat tergantung dari
90%. Diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di banyaknya cacing yang menginfeksi di usus.
dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides. Kadang-kadang penderita mengalami gejala
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
Hasil Anamnesis (Subjective) makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Keluhan Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat
Nafsu makan menurun, perut membuncit, terjadi malabsorpsi sehingga memperberat
lemah, pucat, berat badan menurun, mual, keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling
muntah. menonjol adalah rasa tidak enak di perut,
kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan
Gejala Klinis selera makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada
Gejala yang timbul pada penderita dapat saat proses peradangan pada dinding usus.
disebabkan oleh cacing dewasa dan migrasi Pada anak kejadian ini bisa diikuti demam.
larva. Komplikasi yang ditakuti (berbahaya) adalah
bila cacing dewasa menjalar ketempat lain
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada (migrasi) dan menimbulkan gejala akut. Pada
saat larva berada diparu. Pada orang yang keadaan infeksi yang berat, paling ditakuti bila
rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding terjadi muntah cacing, yang akan dapat
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang menimbulkan

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh Penegakan diagnosis dilakukan dengan


cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh larva atau cacing dalam tinja.
massa cacing, ataupun apendisitis sebagai
akibat masuknya cacing ke dalam lumen Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya
apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Komplikasi: anemia defisiensi besi
Vateri ataupun saluran empedu dan
terkadang masuk ke jaringan hati. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan Penatalaksanaan


pada saat cacing menjadi dewasa di dalam usus
1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat
halus, yang mana hasil metabolisme cacing
akan pentingnya kebersihan diri dan
dapat menimbulkan fenomena sensitisasi
seperti urtikaria, asma bronkhial, lingkungan, antara lain:
konjungtivitis akut, fotofobia dan terkadang a. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
hematuria. Eosinofilia 10% atau lebih sering dan air mengalir
pada infeksi dengan Ascaris lumbricoides, tetapi b. Menutup makanan
hal ini tidak menggambarkan beratnya penyakit, c. Masing-masing keluarga memiliki jamban
tetapi lebih banyak menggambarkan proses keluarga
sensitisasi dan eosinofilia ini tidak d. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
patognomonis untuk infeksi Ascaris e. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar
lumbricoides. tetap bersih dan tidak lembab.
2. Farmakologis
Faktor Risiko a. Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari, dosis
1. Kebiasaan tidak mencuci tangan. tunggal, atau
2. Kurangnya penggunaan jamban. b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali
3. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai sehari, diberikan selama tiga hari
pupuk. berturut-turut, atau
4. Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga c. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun
dihinggapi lalat yang membawa telur cacing dapat diberikan 2 tablet (400 mg)
atau
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak
Sederhana (Objective)
boleh diberikan pada ibu hamil
Pemeriksaan Fisik Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan
1. Pemeriksaan tanda vital atau secara masal pada masyarakat. Syarat
2. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva untuk pengobatan massal antara lain:
anemis, terdapat tanda- tanda malnutrisi, 1. Obat mudah diterima dimasyarakat
nyeri abdomen jika terjadi obstruksi. 2. Aturan pemakaian sederhana
Pemeriksaan Penunjang 3. Mempunyai efek samping yang minimal
4. Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini terhadap beberapa jenis cacing
adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja 5. Harga mudah dijangkau
secara langsung. Adanya telur dalam tinja
memastikan diagnosis Askariasis. Konseling dan Edukasi

Penegakan Diagnostik (Assessment) Memberikan informasi kepada pasien dan


keluarga mengenai pentingnya menjaga
Diagnosis Klinis kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 10


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

1. Masing-masing keluarga memiliki jamban Prognosis


keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak
Pada umumnya prognosis adalah bonam, karena
menimbulkan pencemaran pada tanah
jarang menimbulkan kondisi yang berat secara
disekitar lingkungan tempat tinggal kita.
2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk. klinis.
3. Menghindari kontak dengan tanah yang Refensi
tercemar oleh tinja manusia.
4. Menggunakan sarung tangan jika ingin 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
mengelola limbah/sampah. Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
5. Mencuci tangan sebelum dan setelah Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
melakukan aktifitas dengan menggunakan Indonesia. (Gandahusada, 2000)
sabun dan air mengalir. 2. Written for World Water Day. 2001.
6. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar Reviewed by staff and experts from the
tetap bersih dan tidak lembab. cluster on Communicable Diseases (CDS)
and Water, Sanitation and Health unit
Kriteria Rujukan: - (WSH), World Health Organization (WHO).
Peralatan 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
untuk pemeriksaan spesimen tinja. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000-1.

18. ANKILOSTOMIASIS (INFEKSI CACING TAMBANG)


No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B76.0 Ankylostomiasis
B76.1 Necatoriasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi


Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit meningkat sampai usia 6-7 tahun dan kemudian
yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator stabil.
americanus dan Ancylostoma duodenale. Di Hasil Anamnesis (Subjective)
Indonesia infeksi oleh N. americanus lebih sering
dijumpai dibandingkan infeksi oleh A.duodenale. Keluhan
Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini
Migrasi larva
menyebabkan nekatoriasis dan
ankilostomiasis. Diperkirakan sekitar 576 – 1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik
740 juta orang di dunia terinfeksi dengan dapat terikut masuk pada saat larva
cacing tambang. Di Indonesia insiden tertinggi menembus kulit, menimbulkan rasa gatal
ditemukan terutama didaerah pedesaan pada kulit (ground itch). Creeping eruption
khususnya perkebunan. Seringkali golongan (cutaneous larva migrans), umumnya
pekerja perkebunan yang langsung disebabkan larva cacing tambang yang
berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi berasal dari hewan seperti kucing ataupun
lebih dari 70%. Dari suatu penelitian diperoleh anjing, tetapi kadang-kadang dapat
bahwa separuh dari anak-anak yang telah disebabkan oleh larva Necator americanus
terinfeksi sebelum usia 5 tahun, 90% ataupun Ancylostoma duodenale.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Sewaktu larva melewati paru, dapat Pemeriksaan Fisik


terjadi pneumonitis, tetapi tidak sesering
1. Konjungtiva pucat
oleh larva Ascaris lumbricoides.
2. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila
Cacing dewasa banyak larva yang menembus kulit, disebut
sebagai ground itch.
Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga
bagian atas usus halus dan melekat pada Pemeriksaan Penunjang
mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi
Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar
tergantung pada berat ringannya infeksi;
ditemukan telur atau larva atau cacing dewasa.
makin berat infeksi manifestasi klinis yang
terjadi semakin mencolok seperti : Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Gangguan gastro-intestinal yaitu Diagnosis Klinis
anoreksia, mual, muntah, diare,
penurunan berat badan, nyeri pada Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
daerah sekitar duodenum, jejunum dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
ileum. Klasifikasi:
2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya
dijumpai anemia hipokromik mikrositik. 1. Nekatoriasis
3. Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif 2. Ankilostomiasis
antara infeksi sedang dan berat dengan
Diagnosis Banding: -
tingkat kecerdasan anak.
Komplikasi: anemia, jika menimbulkan
Bila penyakit berlangsung kronis, akan timbul
perdarahan.
gejala anemia, hipoalbuminemiadan edema.
Hemoglobin kurang dari 5 g/dL dihubungkan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dengan gagal jantung dan kematian yang
tiba- tiba. Patogenesis anemia pada infeksi Penatalaksanaan
cacaing tambang tergantung pada 3 faktor 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat
yaitu: akan pentingnya kebersihan diri dan
1. Kandungan besi dalam makanan lingkungan, antara lain:
2. Status cadangan besi dalam tubuh pasien a. Masing-masing keluarga memiliki
3. Intensitas dan lamanya infeksi jamban keluarga.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
Faktor Risiko c. Menggunakan alas kaki, terutama saat
1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga berkontak dengan tanah.
2. Farmakologis
2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai
a. Pemberian Pirantel pamoat dosis
pupuk
3. Tidak menggunakan alas kaki saat tunggal 10 mg/kgBB, atau
b. Mebendazole 100 mg, 2 x sehari,
bersentuhan dengan tanah
selama 3 hari berturut-turut, atau
4. Perilaku hidup bersih dan sehat yang
c. Albendazole untuk anak di atas 2 tahun
kurang.
400 mg, dosis tunggal, sedangkan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang pada anak yang lebih kecil diberikan
Sederhana (Objective) dengan dosis separuhnya. Tidak
diberikan pada wanita hamil. Creeping
Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang eruption: tiabendazol topikal selama 1
bergantung pada jenis spesies cacing, jumlah minggu. Untuk cutaneous laeva migrans
cacing, dan keadaan gizi penderita.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 10


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

pengobatan dengan Albendazol 400 mg Peralatan


selama 5 hari berturut-turut.
d. Sulfasferosus 1. Peralatan laboratorium mikroskopis
sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.
Konseling dan Edukasi 2. Peralatan laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah rutin.
Memberikan informasi kepada pasien dan
keluarga mengenai pentingnya menjaga Prognosis
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
Penyakit ini umumnya memiliki prognosis
lain:
bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang
1. Sebaiknya masing-masing keluarga berat, kecuali terjadi perdarahan dalam waktu
memiliki jamban keluarga. yang lama sehingga terjadi anemia.
2. Sehingga kotoran manusia tidak
menimbulkan pencemaran pada tanah Referensi
disekitar lingkungan tempat tinggal kita. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
3. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk. Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
4. Menghindari kontak dengan tanah yang Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
tercemar oleh tinja manusia. Indonesia. (Gandahusada, 2000)
5. Menggunakan sarung tangan jika ingin 2. Written for World Water Day. 2001.
mengelola limbah/sampah. Reviewed by staff and experts from the
6. Mencuci tangan sebelum dan setelah cluster on Communicable Diseases (CDS)
melakukkan aktifitas dengan menggunakan and Water, Sanitation and Health unit
sabun dan air mengalir. (WSH), World Health Organization (WHO).
7. Menggunakan alas kaki saat berkontak 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
dengan tanah. Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Kriteria Rujukan: - Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000-1.

19. SKISTOSOMIASIS
No. ICPC II: D96 Worm/outer parasite
No. ICD X: B65.9 Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Skistosoma adalah salah satu penyakit adalah Schistosoma japonicum khususnya di
infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu
trematoda dari genus schistosoma (blood di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia,
fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda Schistosoma memerlukan keong sebagai
utama yang menjadi penyebab skistosomiasis intermediate host. Penularan Schistosoma
yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang dari
haematobium dan Schistosoma mansoni. host dan menembus kulit pasien dalam air.
Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis
mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di terhadap telur cacing yang terperangkap
Indonesia spesies yang paling sering ditemukan dalam jaringan. Prevalensi Schistosomiasis di
lembah Napu dan danau Lindu berkisar 17%
hingga 37%.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Anamnesis (Subjective) e. Urtikaria


f. Buang air besar berdarah (bloody stool)
Keluhan 2. Pada skistosomiasiskronik bisa ditemukan:
1. Pada fase akut, pasien biasanya datang a. Hipertensi portal dengan distensi
dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri abdomen, hepatosplenomegaly
tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri abdominal. b. Gagal ginjal dengan anemia dan
Biasanya terdapat riwayat terpapar hipertensi
dengan air misalnya danau atau sungai 4-8 c. Gagal jantung dengan gagal jantung
minggu sebelumnya, yang kemudian kanan
berkembang menjadi ruam kemerahan d. Intestinal polyposis
(pruritic rash). e. Ikterus
2. Pada fase kronis, keluhan pasien Pemeriksaan Penunjang
tergantung pada letak lesi
3. misalnya: Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan
a. Buang air kecil darah (hematuria), rasa pada sedimen urin.
tak nyaman hingga nyeri saat berkemih,
Penegakan Diagnostik (Assessment)
disebabkan oleh urinary schistosomiasis
biasanya disebabkan oleh S. hematobium. Diagnosis Klinis
b. Nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya
disebabkan oleh intestinal skistosomiasis, Diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
biasanya disebabkan oleh S. mansoni, S. pemeriksaan fisik dan juga penemuan telur
Japonicum juga S. Mekongi. cacing pada pemeriksaan tinja dan juga
c. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan sedimen urin.
mata disebabkan oleh hepatosplenic Diagnosis Banding: - Komplikasi:
skistosomiasis yang biasanya disebabkan
oleh S. Japonicum. 1. Gagal ginjal
2. Gagal jantung
Faktor Risiko:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Orang-orang yang tinggal atau datang
berkunjung ke daerah endemik di sekitar Penatalaksanaan
lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan
1. Pengobatan diberikan dengan dua
mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik
tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien
di sawah maupun danau di wilayah tersebut.
atau meminimalkan morbiditas dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang mengurangi penyebaran penyakit.
Sederhana (Objective) 2. Prazikuantel adalah obat pilihan yang
diberikan karena dapat membunuh semua
Pemeriksaan Fisik spesies Schistosoma. Walaupun pemberian
1. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan: single terapi sudah bersifat kuratif, namun
a. Limfadenopati pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu
b. Hepatosplenomegaly dapat meningkatkan efektifitas pengobatan.
c. Gatal pada kulit Pemberian prazikuantel dengan dosis
d. Demam sebagai berikut:

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 10


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 3.7. Dosis Prazikuantel

Spesies Schistosoma Dosis Prazikuantel


S. Mansoni, S. haematobium, S. intercalatum 40 mg/kg berat badan per hari oral dan
dibagi dalam dua dosis perhari
S. Japunicum, S. mekongi 60 mg/kg berat badan per hari oral dan
dibagi dalam tiga dosis perhari

Rencana Tindak Lanjut


Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.
1. Setelah 4 minggu dapat dilakukan cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center
pengulangan pengobatan. for Disease and Control, 2013)
2. Pada pasien dengan telur cacing positif
3. World Health Organization. Schistosomiasis.
dapat dilakukan pemeriksaan ulang
July 25, 2013. http://www.who.int/topics/
setelah satu bulan untuk memantau
shcistosomiasis/end (World Health
keberhasilan pengobatan.
Organization, 2013)
Konseling dan Edukasi
4. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J.,
1. Hindari berenang atau menyelam di Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in
danau atau sungai di daerah endemik Medical Microbiology. Germany. Thieme.
skistosomiasis. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
2. Minum air yang sudah dimasak untuk
5. Sudomo, M., Pretty, S. 2007.
menghindari penularan lewat air yang
terkontaminasi. Pemberantasan Schistosomiasis di
Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan.
Kriteria Rujukan Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
Pasien yang didiagnosis dengan 6. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
skistosomiasis (kronis) disertai komplikasi. Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
Peralatan
Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
Peralatan laboratorium sederhana untuk p.1000-1.
pemeriksaan tinja dan sedimen urin (pada
S.haematobium).
Prognosis
Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah
dubia ad bonam, sedangkan yang kronis,
prognosis menjadi dubia ad malam.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Centers for Disease Control and
Prevention.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

20. TAENIASIS
No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B68.9 Taeniasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 8. Pusing


Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter 9. Pruritus ani
yang disebabkan oleh cacing pita yang 10. Diare
tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata, Faktor Risiko
Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada
manusia. 1. Mengkonsumsi daging yang dimasak
setengah matang/mentah, dan mengandung
Taenia saginata adalah cacing yang sering larva sistiserkosis.
ditemukan di negara yang penduduknya 2. Higiene yang rendah dalam pengolahan
banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi makanan bersumber daging.
lebih mudah terjadi bila cara memasak daging 3. Ternak yang tidak dijaga kebersihan
setengah matang. kandang dan makanannya.
Taenia solium adalah cacing pita yang Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
ditemukan di daging babi. Penyakit ini Sederhana (Objective)
ditemukan pada orang yang biasa memakan
daging babi khususnya yang diolah tidak Pemeriksaan Fisik
matang. Ternak babi yang tidak dipelihara
1. Pemeriksaan tanda vital.
kebersihannya, dapat berperan penting dalam
2. Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus
penularan cacing Taenia solium. Untuk T.
juga dapat terjadi jika cacing membuat
solium terdapat komplikasi berbahaya yakni
obstruksi usus.
sistiserkosis. Sistiserkosis adalah kista T.solium
yang bisa ditemukan di seluruh organ, namun Pemeriksaan Penunjang
yang paling berbahaya jika terjadi di otak.
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik
Hasil Anamnesis (Subjective) dengan menemukan telur dalam spesimen
tinja segar.
Keluhan
2. Secara makroskopik dengan menemukan
Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan proglotid pada tinja.
tidak khas. Sebagian kasus tidak 3. Pemeriksaan laboratorium darah tepi:
menunjukkan gejala (asimptomatis). Gejala dapat ditemukan eosinofilia, leukositosis,
klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi LED meningkat.
mukosa usus atau toksin yang dihasilkan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
cacing. Gejala tersebut antara lain:
Diagnosis Klinis
1. Rasa tidak enak pada lambung
2. Mual Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
3. Badan lemah pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
4. Berat badan menurun
5. Nafsu makan menurun Diagnosis Banding:-
6. Sakit kepala Komplikasi: Sistiserkosis
7. Konstipasi

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 11


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan


Penatalaksanaan Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah
pada sistiserkosis.
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan,
antara lain: Peralatan
a. Mengolah daging sampai matang dan
menjaga kebersihan hewan ternak. Peralatan laboratorium sederhana untuk
b. Menggunakan jamban keluarga. pemeriksaan darah dan feses.
2. Farmakologi: Prognosis
a. Pemberian albendazol menjadi terapi
pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika
1 x sehari, selama 3 hari berturut-turut, terdapat komplikasi berupa sistiserkosis yang
atau dapat mengakibatkan kematian.
b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama Referensi
2 atau 4 minggu.
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Pengobatan terhadap cacing dewasa Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
dikatakan berhasil bila ditemukan skoleks Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
pada tinja, sedangkan pengobatan Indonesia.
sistiserkosis hanya dapat dilakukan dengan
melakukan eksisi. 2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian
Konseling dan Edukasi Kecacingan.
Memberikan informasi kepada pasien dan 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
keluarga mengenai pentingnya menjaga Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
lain: Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
1. Mengolah daging sampai matang dan p.1000-1.
menjaga kebersihan hewan ternak
2. Sebaiknya setiap keluarga memiliki
jamban keluarga.

21. STRONGILOIDIASIS
No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B78.9 Strongyloidiasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
AIDS, transplantasi organ serta pada pasien
Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan
yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid
yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis,
jangka panjang.
cacing yang biasanya hidup di kawasan
tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang Hasil Anamnesis (Subjective)
diperkirakan terkena penyakit ini di seluruh
Keluhan
dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat
berat dan berbahaya pada mereka yang dengan Pada infestasi ringan Strongyloides pada
status imun menurun seperti pada pasien umumnya tidak menimbulkan gejala khas.
HIV/

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gejala klinis anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya


larva atau cacing dalam tinja.
1. Rasa gatal pada kulit
2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan Diagnosis Banding: -
gejala seperti ditusuk- tusuk di daerah Komplikasi: -
epigastrium dan tidak menjalar
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Mual, muntah
4. Diare dan konstipasi saling bergantian Penatalaksanaan

Faktor Risiko 1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan,


antara lain:
1. Kurangnya penggunaan jamban.
a. Menggunakan jamban keluarga.
2. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja
yang mengandung larva Strongyloides b. Mencuci tangan sebelum dan sesudah
stercoralis. melakukan aktifitas.

3. Penggunaan tinja sebagai pupuk. c. Menggunakan alas kaki.

4. Tidak menggunakan alas kaki saat d. Hindari penggunaan pupuk dengan


bersentuhan dengan tanah. tinja.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Farmakologi


Sederhana (Objective)
a. Pemberian Albendazol menjadi terapi
Pemeriksaan Fisik pilihan saat ini dengan dosis 400 mg,
1-2 x sehari, selama 3 hari, atau
1. Timbul kelainan pada kulit “creeping
eruption” berupa papul eritema yang b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama
menjalar dan tersusun linear atau berkelok- 2 atau 4 minggu.
kelok meyerupai benang dengan kecepatan
Konseling dan Edukasi
2 cm per hari.Predileksi penyakit ini
terutama pada daerah telapak kaki, bokong, Memberikan informasi kepada pasien dan
genital dan tangan. keluarga mengenai pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
2. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium.
lain:
Pemeriksaan Penunjang
1. Sebaiknya setiap keluarga memiliki
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik : jamban keluarga.
menemukan larva rabditiform dalam tinja
2. Menghindari kontak dengan tanah yang
segar, atau menemukan cacing dewasa
tercemar oleh tinja manusia.
Strongyloides stercoralis.
3. Menggunakan sarung tangan jika ingin
2. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat
mengelola limbah/sampah.
ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia,
walaupun pada banyak kasus jumlah sel 4. Mencuci tangan sebelum dan setelah
eosinofilia normal. melakukan aktifitas dengan menggunakan
sabun.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
5. Menggunakan alas kaki.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 11


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kriteria Rujukan: -
Pasien strongyloidiasis dengan keadaan
imunokompromais seperti penderita AIDS
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah dan feses.
Prognosis
Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah
bonam, karena jarang menimbulkan kondisi
klinis yang berat.
Referensi
1. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis:
a multifaceted diseases. Gastroenetrology
& hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh &
Cruz, 2011)
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000-1.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

D. MATA

1. MATA KERING/DRY EYE


No. ICPC-2 : F99 Eye/adnexa disease, other
No. ICD-10 : H04.1 Otherdisorders of lacrimal gland
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Mata kering adalah suatu keadaan keringnya Sederhana (Objective)
permukaan kornea dan konjungtiva yang
Pemeriksaan Fisik
diakibatkan berkurangnya produksi komponen
air mata (musin, akueous, dan lipid). Mata 1. Visus normal
kering merupakan salah satu gangguan yang 2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva
sering pada mata dengan insiden sekitar 10- forniks
30% dari populasi dan terutama dialami oleh 3. Penilaian produksi air mata dengan tes
wanita berusia lebih dari 40 tahun. Penyebab Schirmer menunjukka hasil <10 mm (nilai
lain adalah meningkatnya evaporasi air mata normal ≥20 mm).
akibat faktor lingkungan rumah, kantor atau
akibat lagoftalmus.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata terasa gatal
dan seperti berpasir. Keluhan dapat disertai
sensasi terbakar, merah, perih dan silau. Pasien
seringkali menyadari bahwa gejala terasa makin
berat di akhir hari (sore/malam). Gambar 4.1. Tes Schirmer
Faktor Risiko Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Usia > 40 tahun Diagnosis Klinis
2. Menopause
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
3. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren,
sklerosis sistemik progresif, sarkoidosis, 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
leukemia, limfoma, amiloidosis, dan 2. Tes Schirmer bila diperlukan
4. hemokromatosis Komplikasi
5. Penggunaan lensa kontak
1. Keratitis
6. Penggunaan komputer dalam waktu
2. Penipisan kornea
lama
3. Infeksi sekunder oleh bakteri
4. Neovaskularisasi kornea

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 11


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Sastrawan, D. dkk. Standar Pelayanan


Medis Mata.Palembang: Departemen Ilmu
Penatalaksanaan
Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007.
Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata (Sastrawan, 2007)
karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat. 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Pemeriksaan penunjang lanjutan umumnya Cetakan V.Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
tidak diperlukan 2008. (Ilyas, 2008)

Konseling dan Edukasi 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.


Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
Keluarga dan pasien harus mengerti bahwa (Vaughn, 2000)
mata kering adalah keadaan menahun dan
pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus 7. Sumber Gambar : http://www.
ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan thevisioncareinstitute.co.uk/library/
konjungtiva masih reversibel.
Kriteria Rujukan
Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika keluhan
tidak berkurang setelah terapi atau timbul
komplikasi.
Peralatan
1. Lup
2. Strip Schirmer (kertas saring Whatman
No. 41)
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T. D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
Simanjuntak, 2006)
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Jakarta: Erlangga. 2005. (Brus, 2005)
3. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Jakarta: EGC. 2009. (Riordan & Whitcher,
2009)

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2.BUTA SENJA
No. ICPC-2: F99 Eye/adnexa disease other No. ICD-10: H53.6 Night blindness
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Penatalaksanaan
Buta senja atau rabun senja, disebut juga
1. Pada defisiensi vitamin A, diberikan vitamin
nyctalopia atau hemarolopia, adalah
ketidakmampuan untuk melihat dengan baik A dosis tinggi.
pada malam hari atau pada keadaan gelap. 2. Lubrikasi kornea.
Kondisi ini lebih merupakan tanda dari suatu 3. Pencegahan terhadap infeksi sekunder
kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat dengan tetes mata antibiotik.
kelainan pada sel batang retina yang berperan Konseling dan Edukasi
pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja
adalah defisiensi vitamin A dan retinitis 1. Memberitahu keluarga bahwa rabun
pigmentosa. senja disebabkan oleh kelainan mendasar,
yaitu defisiensi vitamin A dan retinitis
Hasil Anamnesis (Subjective) pigmentosa.
2. Pada kasus defisiensi vitamin A, keluarga
Keluhan
perlu diedukasi untuk memberikan
Penglihatan menurun pada malam hari atau asupan makanan bergizi seimbang dan
pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada suplementasi vitamin A dosis tinggi.
cahaya yang redup. Pada defisiensi vitamin A,
buta senja merupakan keluhan paling awal. Peralatan
1. Lup
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Oftalmoskop
Sederhana (Objective)
Prognosis
Pemeriksaan Fisik
1. Ad vitam : Bonam
Dapat ditemukan tanda-tanda lain defisiensi 2. Ad functionam : Dubia Ad bonam
vitamin A: 3. Ad sanasionam : Bonam
1. Kekeringan (xerosis) konjungtiva bilateral Referensi
2. Terdapat bercak bitot pada konjungtiva
3. Xerosis kornea 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
4. Ulkus kornea dan sikatriks kornea Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
5. Kulit tampak xerosis dan bersisik New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard,
6. Nekrosis kornea difus atau keratomalasia et al., 2007)
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
Pemeriksaan Penunjang :- Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed.
Penegakan Diagnostik (Assessment) Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Diagnosis Klinis Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan &
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Asbury Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta:
dan pemeriksaan fisik. EGC. 2009.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan
V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 11


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3.HORDEOLUM
No. ICPC-2: F72 Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD-10: H00.0 Hordeolum and other deep inflammation of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
1. Selulitis preseptal
Hordeolum adalah peradangan supuratif 2. Kalazion
kelenjar kelopak mata. Biasanya merupakan 3. Granuloma piogenik
infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea
Komplikasi
kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum
internum dan eksternum. Hordeolum eksternum 1. Selulitis palpebra
merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau 2. Abses palpebra
Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi
kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hordeolum mudah timbul pada individu yang Penatalaksanaan
menderita blefaritis dan konjungtivitis menahun.
1. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari
Hasil Anamnesis (Subjective) selama 15 menit setiap kalinya untuk
Keluhan membantu drainase. Tindakan dilakukan
dengan mata tertutup.
Pasien datang dengan keluhan kelopak yang
bengkak disertai rasa sakit. Gejala utama 2. Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih
hordeolum adalah kelopak yang bengkak atau pun dengan sabun atau sampo yang
dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun
nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak nyaman bayi. Hal ini dapat mempercepat proses
dan sensasi terbakar pada kelopak mata penyembuhan. Tindakan dilakukan dengan
mata tertutup.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 3. Jangan menekan atau menusuk
hordeolum, hal ini dapat menimbulkan
Pemeriksaan Fisik Oftalmologis infeksi yang lebih serius.
Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, 4. Hindari pemakaian make-up pada mata,
dan nyeri pada perabaan. Nanah dapat keluar karena kemungkinan hal itu menjadi
dari pangkal rambut (hordeolum eksternum). penyebab infeksi.
Apabila sudah terjadi abses dapat timbul
undulasi. 5. Jangan memakai lensa kontak karena dapat
menyebarkan infeksi ke kornea.
Pemeriksaan Penunjang
6. Pemberian terapi topikal dengan
Tidak diperlukan Oxytetrasiklin salep mata atau
kloramfenikol salep mata setiap 8 jam.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Apabila menggunakan kloramfenikol tetes
Diagnosis Klinis mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan 7. Pemberian terapi oral sistemik dengan
pemeriksaan fisik. Eritromisin 500 mg pada dewasa dan anak
sesuai dengan berat badan.
Diagnosis Banding

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: - Peralatan


Konseling dan Edukasi Peralatan bedah minor
Prognosis
Penyakit hordeolum dapat berulang sehingga
perlu diberi tahu pasien dan keluarga untuk 1. Ad vitam : Bonam
menjaga higiene dan kebersihan lingkungan. 2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Rencana Tindak Lanjut
Referensi
Bila dengan pengobatan konservatif tidak 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
berespon dengan baik, maka prosedur Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
pembedahan mungkin diperlukan untuk Jakarta: CV Ondo. 2006.
membuat drainase pada hordeolum. 2. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Kriteria rujukan
Jakarta: EGC. 2009.
1. Bila tidak memberikan respon dengan 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
pengobatan konservatif Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
2. Hordeolum berulang 2008.
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

4.KONJUNGTIVITIS Konjungtivitis infeksi


No. ICPC-2: F70 Conjunctivitis infectious
No. ICD-10: H10.9 Conjunctivitis, unspecified
Konjungtivitis alergi
No. ICPC-2: F71 Conjunctivitis allergic
No ICD-10: H10.1 Acute atopic conjunctivitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang 1. Daya tahan tubuh yang menurun
dapat disebabkan oleh mikroorganisme (virus, 2. Adanya riwayat atopi
bakteri), iritasi, atau reaksi alergi. Konjungtivitis 3. Penggunaan kontak lens dengan perawatan
ditularkan melalui kontak langsung dengan yang tidak baik
sumber infeksi. Penyakit ini dapat menyerang 4. Higiene personal yang buruk
semua umur.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective) Sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Pasien datang dengan keluhan mata merah,
1. Visus normal
rasa mengganjal, gatal dan berair, kadang
2. Injeksi konjungtival
disertai sekret. Keluhan tidak disertai
3. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
penurunan tajam penglihatan.
4. Eksudasi; eksudat dapat serous,
mukopurulen, atau purulen tergantung
penyebab

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 11


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


folikel, papil atau papil raksasa, flikten,
Penatalaksanaan
membrane, atau pseudomembran.
Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan) Pemberian obat mata topikal

1. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan 1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes
perwarnaan Gram atau Giemsa sebanyak 1 tetes 6 kali sehari atau salep
2. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan biru mata 3 kali sehari selama 3 hari.
metilen pada kasus konjungtivitis gonore 2. Pada alergi: Flumetolon tetes mata dua kali
sehari selama 2 minggu.
3. Pada konjungtivitis gonore: Kloramfenikol
tetes mata 0,5-
4. 1%sebanyak 1 tetes tiap jam dan
suntikan pada bayi diberikan
5. 50.000 U/kgBB tiap hari sampai tidak
ditemukan kuman GO
6. pada sediaan apus selama 3 hari berturut-
turut.
7. Pada konjungtivitis viral: Salep Acyclovir 3%,
5 kali sehari selama 10 hari.
Gambar 4.2. Konjungtivitis
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Penegakan Diagnostik (Assessment) Umumnya tidak diperlukan, kecuali pada
Diagnosis Klinis kecurigaan konjungtivitis gonore, dilakukan
pemeriksaan sediaan apus dengan pewarnaan
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis Gram
dan pemeriksaan fisik.
Konseling dan Edukasi
Klasifikasi Konjungtivitis
1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu
1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva sebelum dan sesudah membersihkan atau
hiperemis, sekret purulen atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci
mukopurulen dapat disertai membran atau tangannya bersih-bersih.
pseudomembran di konjungtiva tarsal. 2. Jangan menggunakan handuk atau lap
Curigai konjungtivitis gonore, terutama pada bersama-sama dengan penghuni rumah
bayi baru lahir, jika ditemukan konjungtivitis lainnya.
pada dua mata dengan sekret purulen yang 3. Menjaga kebersihan lingkungan rumah
sangat banyak. dan sekitar.
2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis, Kriteria rujukan
sekret umumnya mukoserosa, dan
pembesaran kelenjar preaurikular 1. Jika terjadi komplikasi pada kornea
3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, 2. Bila tidak ada respon perbaikan terhadap
riwayat atopi atau alergi, dan keluhan gatal. pengobatan yang diberikan

Komplikasi Peralatan
1. Lup
Keratokonjuntivitis
2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
Gram

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Prognosis 3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan


& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
1. Ad vitam : Bonam
Jakarta: EGC. 2009.
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V.Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Referensi 2008.
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. 5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Cetakan I.Jakarta:Widya Medika. 2000.
Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. James, Brus. dkk. Lecture Notes 6. h t t p : / / w w w . a d v a n c e d v i s i o n c a r e .
Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005 c o . uk / w p c o n t e n t / up l o a d s / 2 0 1 3/ 0 9 /
conjunctivitis0.jpg,

5.BLEFARITIS
No. ICPC-2: F72 Blepharitis/stye/chalazion No. ICD-10: H01.0 Blepharitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak Sederhana (Objective)
mata (margo palpebra) yang dapat disertai
Pemeriksaan Fisik
terbentuknya ulkus dan dapat melibatkan folikel
rambut. 1. Skuama atau krusta pada tepi kelopak.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Bulu mata rontok.
3. Dapat ditemukan tukak yang dangkal
Keluhan pada tepi kelopak mata.
4. Dapat terjadi pembengkakan dan merah
1. Gatal pada tepi kelopak mata
pada kelopak mata.
2. Rasa panas pada tepi kelopak mata
5. Dapat terbentuk krusta yang melekat
3. Merah/hiperemia pada tepi kelopak mata
erat pada tepi kelopak mata. Jika krusta
4. Terbentuk sisik yang keras dan krusta
dilepaskan, bisa terjadi perdarahan.
terutama di sekitar dasar bulu mata
5. Kadang disertai kerontokan bulu mata Pemeriksaan Penunjan: Tidak diperlukan
(madarosis), putih pada bulu mata
(poliosis), dan trikiasis Penegakan Diagnostik (Assessment)
6. Dapat keluar sekret yang mengering selama Diagnosis Klinis
tidur, sehingga ketika bangun kelopak mata
sukar dibuka Penegakan diagnosis dilakukan berdasar-kan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Faktor Risiko
Komplikasi
1. Kelainan kulit, misalnya dermatitis seboroik
2. Higiene personal dan lingkungan yang 1. Blefarokonjungtivitis
kurang baik 2. Madarosis
3. Trikiasis

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 12


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Tajam penglihatan menurun


2. Nyeri sedang atau berat
Penatalaksanaan
3. Kemerahan yang berat atau kronis
1. Non-medikamentosa 4. Terdapat keterlibatan kornea
a. Membersihkan kelopak mata dengan 5. Episode rekuren
lidi kapas yang dibasahi air hangat 6. Tidak respon terhadap terapi
b. Membersihkan dengan sampo atau
Peralatan
sabun
c. Kompres hangat selama 5-10 menit 1. Senter
2. Medikamentosa 2. Lup
Apabila ditemukan ulkus pada kelopak mata, Prognosis
dapat diberikan salep atau tetes mata antibiotik
hingga gejala menghilang. 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
Konseling dan Edukasi 3. Ad sanationam : Bonam
1. Memberikan informasi kepada pasien dan Referensi
keluarga bahwa kulit kepala, alis mata,
dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
terutama pada pasien dengan dermatitis Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
seboroik. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Memberitahu pasien dan keluarga untuk 2. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
menjaga higiene personal dan lingkungan. & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Jakarta: EGC. 2009.
Kriteria Rujukan 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
Pasien dengan blefaritis perlu dirujuk ke layanan
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
sekunder (dokter spesialis mata) bila terdapat
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
minimal satu dari kelainan di bawah ini:

6.PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
No. ICPC-2: F75 Contusion/ haemorrhage eye
No. ICD-10: H57.8 Other specified disorders of eye and adnexa
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral


Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan (90%).
akibat ruptur pembuluh darah dibawah Hasil Anamnesis (Subjective)
lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah
konjungtivalis atau episklera. Sebagian besar Keluhan
kasus perdarahan subkonjungtiva merupakan
kasus spontan atau idiopatik, dan hanya 1. Pasien datang dengan keluhan adanya
sebagian kecil kasus yang terkait dengan darah pada sklera atau mata berwarna
trauma atau kelainan sistemik. Perdarahan merah terang (tipis) atau merah tua (tebal).
subkonjungtiva dapat terjadi di semua 2. Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis
kelompok umur. Perdarahan

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

yang berhubungan dengan perdarahan 2. Pengobatan penyakit yang mendasari bila


subkonjungtiva selain terlihat darah pada ada.
bagian sklera.
3. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 Pemeriksaan penunjang lanjutan: Tidak
jam pertama setelah itu kemudian akan diperlukan
berkurang perlahan ukurannya karena Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga
diabsorpsi. bahwa:
Faktor Risiko 1. Tidak perlu khawatir karena perdarahan
1. Hipertensi atau arterosklerosis akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama,
2. Trauma tumpul atau tajam namun setelah itu ukuran akan berkurang
3. Penggunaan obat, terutama pengencer perlahan karena diabsorpsi.
darah 2. Kondisi hipertensi memiliki hubungan
4. Manuver valsava, misalnya akibat batuk yang cukup tinggi dengan angka
atau muntah terjadinya perdarahan subkonjungtiva
5. Anemia sehingga diperlukan pengontrolan
6. Benda asing tekanan darah pada pasien dengan
7. Konjungtivitis hipertensi.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Kriteria rujukan


Sederhana (Objective) Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk
ke spesialis mata jika ditemukan penurunan
Pemeriksaan Fisik
visus.
1. Pemeriksaan status generalis
2. Pemeriksaan oftalmologi: Peralatan
a. Tampak adanya perdarahan di sklera 1. Snellen chart
dengan warna merah terang (tipis) atau 2. Oftalmoskop
merah tua (tebal).
b. Melakukan pemeriksaan tajam Prognosis
penglihatan umumnya 6/6, jika visus
1. Ad vitam : Bonam
<6/6 maka dicurigai terjadi kerusakan
2. Ad functionam : Bonam
selain di konjungtiva
3. Ad sanationam : Bonam
c. Pemeriksaan funduskopi adalah
perlu pada setiap penderita dengan Referensi
perdarahan subkonjungtiva akibat
trauma. 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Pemeriksaan Penunjang Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Tidak diperlukan
Erlangga. Jakarta. 2005.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Diagnosis Klinis Jakarta: EGC. 2009.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
dan pemeriksaan fisik.
2008.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Penatalaksanaan
1. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau
diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 12


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

7.BENDA ASING DI KONJUNGTIVA


No. ICPC-2: F76 Foreign body in eye
No. ICD-10: T15.9 Foreign body on external eye, part unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
Benda asing di konjungtiva adalah benda pemeriksaan fisik.
yang dalam keadaan normal tidak dijumpai
di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi Diagnosis banding Konjungtivitis akut
jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat Komplikasi
ringan, namun pada beberapa keadaan dapat 1. Ulkus kornea
berakibat serius terutama pada benda asing 2. Keratitis
yang bersifat asam atau basa dan bila timbul
infeksi sekunder. Terjadi bila benda asing pada konjungtiva
tarsal menggesek permukaan kornea dan
Hasil Anamnesis (Subjective)
menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi
Keluhan berat dapat terjadi jika benda asing
merupakan zat kimia.
Pasien datang dengan keluhan adanya benda
yang masuk ke dalam konjungtiva atau Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, Penatalaksanaan
mata merah dan berair, sensasi benda asing,
dan fotofobia. 1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda
asing. Berikut adalah cara yang dapat
Faktor Risiko
dilakukan:
Pekerja di bidang industri yang tidak memakai a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5%
kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, sebanyak 1-2 tetes pada mata yang
pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkena benda asing.
terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam
pengangkatan benda asing.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang c. Angkat benda asing dengan
Sederhana (Objective) menggunakan lidi kapas atau jarum
Pemeriksaan Fisik suntik ukuran 23G.
d. Arah pengambilan benda asing
1. Visus biasanya normal. dilakukan dari tengah ke tepi.
2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/ e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
atau bulbi. Povidon Iodin pada tempat bekas benda
3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva asing.
tarsal superior dan/atau inferiordan/atau 2. Medikamentosa
konjungtiva bulbi. Antibiotik topikal (salep atau tetes mata),
misalnya Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes
Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan.
setiap 2 jam selama 2 hari
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Klinis
1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

matanya agar tidak memperberat lesi. 4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5%
2. Menggunakan alat / kacamata pelindung 5. Povidon Iodin
pada saat bekerja atau berkendara.
3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila Prognosis
keluhan bertambah berat setelah 1. Ad vitam : Bonam
dilakukan tindakan, seperti mata 2. Ad functionam : Bonam
bertambah merah, bengkak, atau disertai 3. Ad sanationam : Bonam
dengan penurunan visus.
Referensi
Kriteria Rujukan
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
1. Bila terjadi penurunan visus Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, Jakarta: CV Ondo. 2006.
misal: karena keterbatasan fasilitas 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Peralatan Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2008.
1. Lup 3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
2. Lidi kapas Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
3. Jarum suntik 23G

8.ASTIGMATISME
No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.2 Astigmatisme
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan


Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar menunjukkan tajam penglihatan tidak maksimal
sejajar tidak dibiaskan pada satu titik fokus yang dan akan bertambah baik dengan pemberian
sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan pinhole.
oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak Penegakan Diagnostik (Assessment)
sama pada berbagai meridian.
Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
Keluhan anamnesis dan pemeriksaan refraksi. Tajam
Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan akan mencapai maksimal dengan
penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang pemberian lensa silindris.
kadang juga menimbulkan sakit kepala. Diagnosis Banding
Pasien memicingkan mata, atau head tilt untuk
dapat melihat lebih jelas. Kelainan refraksi lainnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan
Pemeriksaan Fisik
Penggunaan kacamata lensa silindris dengan
Keadaan umum biasanya baik. koreksi yang sesuai.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 12


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Prognosis


Tidak diperlukan. 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
Konseling dan Edukasi 3. Ad sanationam : Bonam
Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma Referensi
merupakan gangguan penglihatan yang dapat
dikoreksi. 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New
Kriteria Rujukan
York. Thieme Stuttgart. 2007.
Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila: 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki CV Ondo. 2006.
visus, atau 3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan Erlangga. Jakarta. 2005.
(misalnya astigmatisme berat). 4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
Peralatan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta:
EGC. 2009.
1. Snellen Chart 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
lenses) 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
3. Pinhole Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

9.HIPERMETROPIA
No. ICPC-2: F91 Refractive error
No. ICD-10: H52.0 Hypermetropia ringan
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
strain) terutama bila melihat pada jarak
Hipermetropia (rabun dekat) merupakan yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas
keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata pada jangka waktu yang lama, misalnya
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup kuat menonton TV dan lain- lain.
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di 3. Mata sensitif terhadap sinar.
belakang retina. Kelainan ini menyebar merata 4. Spasme akomodasi yang dapat
di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis menimbulkan pseudomiopia. Mata juling
kelamin. dapat terjadi karena akomodasi yang
berlebihan akan diikuti konvergensi yang
Hasil Anamnesis (Subjective) berlebihan pula.
Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Penglihatan kurang jelas untuk objek Sederhana (Objective)
yang dekat. Pemeriksaan Fisik
2. Sakit kepala terutama daerah frontal
dan makin kuat pada penggunaan mata 1. Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
yang lama dan membaca dekat. Penglihatan 2. Pemeriksaan refraksi dengan trial lens dan
tidak enak (asthenopia akomodatif = eye trial frame

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan jika tidak, maka mata akan berakomodasi
terus menerus dan menyebabkan komplikasi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Kriteria rujukan
Diagnosis Klinis
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan
pemeriksaan refraksi. Peralatan
Komplikasi 1. Snellen chart
2. Satu set trial frame dan trial frame
1. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat
pasien selamanya melakukan akomodasi Prognosis
2. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi 1. Ad vitam : Bonam
otot siliar pada badan siliar yang akan 2. Ad functionam : Bonam
mempersempit sudut bilik mata 3. Ad sanationam : Bonam
3. Ambliopia
Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
Penatalaksanaan Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006.
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat
yang menghasilkan tajam penglihatan terbaik. 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Konseling dan Edukasi
2008.
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
dikoreksi dengan bantuan kaca mata. Karena
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000

10. MIOPIA RINGAN


No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.1 Myopia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Miopia ringan adalah kelainan refraksi dimana Genetik dan faktor lingkungan meliputi
sinar sejajar yang masuk ke mata dalam kebiasaan melihat / membaca dekat, kurangnya
keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan aktivitas luar rumah, dan tingkat pendidikan
dibiaskan ke titik fokus di depan retina. yang lebih tinggi.
Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Penglihatan kabur bila melihat jauh, mata Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
cepat lelah, pusing dan mengantuk,
cenderung memicingkan mata bila melihat Penegakan Diagnostik (Assessment)
jauh. Tidak terdapat riwayat kelainan
sistemik, seperti diabetes mellitus, hipertensi, Diagnosis Klinis
serta buta senja. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan refraksi.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 12


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Referensi


Penatalaksanaan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Koreksi dengan kacamata lensa sferis negatif Jakarta: CV Ondo. 2006.
terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan
terbaik 2. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd
Ed. New York: Fairchild Publication. 1989.
Konseling dan Edukasi (Grosvenor, 1989)
1. Membaca dalam cahaya yang cukup dan 3. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare
tidak membaca dalam jarak terlalu dekat. Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut:
2. Kontrol setidaknya satu kali dalam Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997)
setahun untuk pemeriksaan refraksi, bila
ada keluhan. 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Kriteria rujukan 2008. (Ilyas, 2008)
1. Kelainan refraksi yang progresif 5. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit
2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999.
koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa (Soewono, 1999)
yang memberikan perbaikan visus
3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole. 6. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 3rd Ed.
Peralatan 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD
1. Snellen char Dr. Soetomo, 2006)
2. Satu set lensa coba dan trial frame 7. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M.
Prognosis Worldwide prevalence and risk factors for
myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32,
1. Ad vitam : Bonam 3–16. (Pan, et al., 2012)
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam

11. PRESBIOPIA
No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.4 Presbyopia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Presbiopia adalah suatu kondisi yang
Keluhan
berhubungan dengan usia dimana penglihatan
kabur ketika melihat objek berjarak dekat. 1. Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
Presbiopia merupakan proses degeneratif 2. Gejala lainnya, setelah membaca mata
mata yang pada umumnya dimulai sekitar usia terasa lelah, berair, dan sering terasa perih.
40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa 3. Membaca dilakukan dengan menjauhkan
mata mengalami kehilangan elastisitas dan kertas yang dibaca.
kemampuan untuk berubah bentuk. 4. Terdapat gangguan pekerjaan terutama
pada malam hari dan perlu sinar lebih
terang untuk membaca.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Faktor Risiko yang dialami hampir semua orang dan dapat


dikoreksi dengan kacamata.
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun. 2. Pasien perlu kontrol setiap tahun, untuk
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang memeriksa apakah terdapat perubahan
Sederhana (Objective) ukuran lensa koreksi.

Pemeriksaan Fisik Peralatan

1. Pemeriksaan refraksi untuk penglihatan 1. Kartu Jaeger


jarak jauh dengan menggunakan Snellen 2. Snellen Chart
Chart dilakukan terlebih dahulu. 3. Satu set lensa coba dan trial frame
2. Dilakukan refraksi penglihatan jarak dekat Prognosis
dengan menggunakan kartu Jaeger. Lensa
sferis positif (disesuaikan usia - lihat 1. Ad vitam : Bonam
Tabel 1) ditambahkan pada lensa koreksi 2. Ad functionam : Bonam
penglihatan jauh, lalu pasien diminta untuk 3. Ad sanationam : Bonam
menyebutkan kalimat hingga kalimat
terkecil yang terbaca pada kartu. Target Referensi
koreksi sebesar 20/30. 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Pemeriksaan Penunjang : Tidak diperlukan Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New
York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et
Penegakan Diagnostik (Assessment) al., 2007)
Diagnosis Klinis 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
dan pemeriksaan fisik.
Simanjuntak, 2006)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Penatalaksanaan Erlangga. Jakarta. 2005.

Koreksi kacamata lensa positif 4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan


& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Tabel 4.1 Koreksi lensa positif disesuaikan usia Jakarta: EGC. 2009.

Usia Koreksi Lensa 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.


Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
40 tahun +1,0 D 2008.
45 tahun +1,5 D
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
50 tahun +2,0 D Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
55 tahun +2,5 D
60 tahun +3,0 D
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: Tidak
diperlukan
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien dan keluarga bahwa
presbiopia merupakan kondisi degeneratif

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 12


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

12. KATARAK PADA PASIEN DEWASA


No. ICPC-2: F92 Cataract
No. ICD-10: H26.9 Cataract, unspecified
Tingkat Kemampuan 2

Masalah Kesehatan
mudah dilakukan setelah dilakukan dilatasi
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang pupil dengan tetes mata Tropikamid 0.5%
menyebabkan penurunan tajam penglihatan atau dengan cara memeriksa pasien pada
(visus). Katarak paling sering berkaitan dengan ruang gelap.
proses degenerasi lensa pada pasien usia di atas
Pemeriksaan Penunjang
40 tahun (katarak senilis). Selain katarak senilis,
katarak juga dapat terjadi akibat komplikasi Tidak diperlukan.
glaukoma, uveitis, trauma mata, serta
kelainan sistemik seperti diabetes mellitus, Penegakan Diagnostik (Assessment)
riwayat pemakaian obat steroid, dan lain- lain. Diagnosis Klinis
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
dapat juga pada satu mata (monokular). anamnesis dan pemeriksaan visus dan
Hasil Anamnesis (Subjective) pemeriksaan lensa
Keluhan Komplikasi
Pasien datang dengan keluhan penglihatan Glaukoma dan uveitis
menurun secara perlahan seperti tertutup Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
asap/kabut. Keluhan disertai ukuran kacamata
semakin bertambah, silau, dan sulit membaca. Penatalaksanaan
Faktor Risiko Pasien dengan katarak yang telah menimbulkan
1. Usia lebih dari 40 tahun gangguan penglihatan yang signifikan dirujuk ke
2. Riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes layanan sekunder yang memiliki dokter spesialis
mellitus mata untuk mendapatkan penatalaksanaan
3. Pemakaian tetes mata steroid secara rutin selanjutnya. Terapi definitif katarak adalah
4. Kebiasaan merokok dan pajanan sinar operasi katarak.
matahari
Konseling dan Edukasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Memberitahu keluarga bahwa katarak
Sederhana (Objective) adalah gangguan penglihatan yang dapat
diperbaiki.
Pemeriksaan Fisik
2. Memberitahu keluarga untuk kontrol teratur
1. Visus menurun yang tidak membaik dengan jika sudah didiagnosis katarak agar tidak
pemberian pinhole terjadi komplikasi.
2. Pemeriksaan shadow test positif
Kriteria Rujukan
3. Terdapat kekeruhan lensa yang dapat
dengan jelas dilihat dengan teknik 1. Katarak matur
pemeriksaan jauh (dari jarak 30 cm) 2. Jika pasien telah mengalami gangguan
menggunakan oftalmoskop sehingga penglihatan yang signifikan
didapatkan media yang keruh pada pupil. 3. Jika timbul komplikasi
Teknik ini akan lebih

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Peralatan 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.


1. Senter Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th
2. Snellen chart Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. Tonometri Schiotz 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
4. Oftalmoskop Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan &
Prognosis
Asbury Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta:
1. Ad vitam : Bonam
EGC. 2009.
2. Ad functionam : Dubia ad bonam 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
Referensi 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New
York: Thieme Stuttgart. 2007.

13. GLAUKOMA AKUT


No. ICPC-2: F93 Glaucoma
No. ICD-10: H40.2 Primary angle-closure glaucoma
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Glaukoma akut adalah glaukoma yang Bilik mata depan yang dangkal
diakibatkan peninggian tekanan intraokular
yang mendadak. Glaukoma akut dapat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
bersifat primer atau sekunder. Glaukoma Sederhana (Objective)
primer timbul dengan sendirinya pada orang
1. Visus turun
yang mempunyai bakat bawaan glaukoma,
2. Tekanan intra okular meningkat
sedangkan glaukoma sekundertimbul sebagai
3. Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti,
penyulit penyakit mata lain ataupun sistemik.
kemosis dengan injeksi silier, injeksi
Umumnya penderita glaukoma telah berusia
konjungtiva
lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko. Bila 4. Edema kornea
tekanan intraokular yang mendadak tinggi ini
5. Bilik mata depan dangkal
tidak diobati segera akan mengakibatkan
6. Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif
kehilangan penglihatan sampai kebutaan yang
permanen. Gambar 4.3. Injeksi silier pada glaukoma
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Mata merah
2. Tajam penglihatan turun mendadak
3. Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat
menjalar ke kepala
4. Mual dan muntah (pada tekanan bola
mata yang sangat tinggi)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 13


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang a. Snellen chart


b. Tonometri Schiotz
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan
c. Oftalmoskopi
kesehatan tingkat pertama.
Prognosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Ad vitam : Bonam
Diagnosis Klinis
2. Ad functionam : Dubia ad malam
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan 3. Ad sanationam : Dubia ad malam
anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.
Referensi
Diagnosis Banding:
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
1. Uveitis Anterior Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New
2. Keratitis York: Thieme Stuttgart. 2007.
3. Ulkus Kornea 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
Penatalaksanaan 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Jakarta: Erlangga. 2005.
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada 4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan &
layanan tingkat pertama bertujuan menurunkan Asbury Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta:
tekanan intra okuler sesegera mungkin dan EGC. 2009.
kemudian merujuk ke dokter spesialis mata di 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
rumah sakit. V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G.Oftalmologi Umum. Edisi 14.
1. Non-Medikamentosa
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Pembatasan asupan cairan untuk menjaga
7. Sumber Gambar http://www.studyblue.com
agar tekanan intra okular tidak semakin
meningkat
2. Medikamentosa
a. Asetazolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x
250 mg/hari.
b. KCl 0.5 gr 3 x/hari.
c. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.
d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid +
antibiotik 4-6 x 1 tetes sehari
e. Terapi simptomatik.

Konseling dan Edukasi


Memberitahu keluarga bahwa kondisi mata
dengan glaukoma akut tergolong kedaruratan
mata, dimana tekanan intra okuler harus segera
diturunkan
Kriteria Rujukan
Pada glaukoma akut, rujukan dilakukan setelah
penanganan awal di layanan tingkat pertama.
Peralatan

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

14. GLAUKOMA KRONIS


No. ICPC-2: F93 Glaucoma
No. ICD-10: H40.2 Primary angle-closure glaucoma
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan mellitus, dan migrain


Glaukoma adalah kelompok penyakit mata 4. Pada glaukoma sekunder, dapat ditemukan
yang umumnya ditandai kerusakan saraf optik riwayat pemakaian obat steroid secara rutin,
dan kehilangan lapang pandang yang bersifat atau riwayat trauma pada mata.
progresif serta berhubungan dengan berbagai Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
faktor risiko terutama tekanan intraokular (TIO) Sederhana (Objective)
yang tinggi. Glaukoma merupakan penyebab
kebutaan kedua terbesar di dunia setelah Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai
katarak. Kebutaan karena glaukoma tidak bisa oleh trias glaukoma, yang terdiri dari:
disembuhkan, tetapi pada kebanyakan kasus 1. Peningkatan tekanan intraokular
glaukoma dapat dikendalikan. Umumnya 2. Perubahan patologis pada diskus optikus
penderita glaukoma telah berusia lanjut, 3. Defek lapang pandang yang khas.
terutama bagi yang memiliki risiko. Hampir
separuh penderita glaukoma tidak menyadari Pemeriksaan Oftalmologis
bahwa mereka menderita penyakit tersebut. 1. Visus normal atau menurun
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Lapang pandang menyempit pada tes
Keluhan konfrontasi
3. Tekanan intra okular meningkat
Pasien datang dengan keluhan yang bervariasi 4. Pada funduskopi, rasio cup/disc
dan berbeda tergantung jenis glaukoma. meningkat (rasio cup/disc normal: 0.3)
Glaukoma kronis dapat dibagi menjadi glaukoma
kronis primer dan sekunder. Gambar 4. 4. Kelainan diskus optik akibat
komplikasi glaukoma
1. Umumnya pada fase awal, glaukoma
kronis tidak menimbulkan keluhan, dan
diketahui secara kebetulan bila melakukan
pengukuran TIO
2. Mata dapat terasa pegal, kadang-kadang
pusing
3. Rasa tidak nyaman atau mata cepat lelah
4. Mungkin ada riwayat penyakit mata,
trauma, atau pemakaian obat kortikosteroid
5. Kehilangan lapang pandang perifer secara
bertahap pada kedua mata
6. Pada glaukoma yang lanjut dapat Pemeriksaan Penunjang
terjadi penyempitan lapang pandang yang Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan
bermakna hingga menimbulkan gangguan, kesehatan tingkat pertama.
seperti menabrak-nabrak saat berjalan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko
Diagnosis Klinis
1. Usia 40 tahun atau lebih
2. Ada anggota keluarga menderita glaukoma Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
3. Penderita miopia, penyakit kardiovaskular, anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.
hipertensi, hipotensi, vasospasme, diabetes

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 13


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding: Peralatan


1. Katarak 1. Snellen chart
2. Kelainan refraksi 2. Tonometer Schiotz
3. Retinopati diabetes / hipertensi 3. Oftalmoskop
4. Retinitis pigmentosa
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad malam
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan 3. Ad sanationam : Dubia ad malam
tingkat pertama bertujuan mengendalikan
tekanan intra okuler dan merujuk ke dokter Referensi
spesialis mata di rumah sakit.
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Pengobatan umumnya medikamentosa dengan Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New
obat-obat glaukoma, contohnya Timolol 0.5%, 2 York: Thieme Stuttgart. 2007.
x 1 tetes/hari. Jenis obat lain dapat diberikan 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
bila dengan 1 macam obat TIO belum terkontrol Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th
Konseling dan Edukasi Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
1. Memberitahu keluarga bahwa kepatuhan Jakarta: Erlangga. 2005.
pengobatan sangat penting untuk 4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan &
keberhasilan pengobatan glaukoma. Asbury Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta:
2. Memberitahu pasien dan keluarga agar EGC. 2009.
pasien dengan riwayat glaukoma pada 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
keluarga untuk memeriksakan matanya V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
secara teratur. 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Kriteria Rujukan Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
7. Sumber Gambar:http://www.onmedica.com/
Pada glaukoma kronik, rujukan dilakukan segera
setelah penegakan diagnosis.

15. TRIKIASIS
No. ICPC-2: F99. Eye / adnexa disease, other
No. ICD-10: H02. Entropion and trichiasis of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan yang mengalami tanda maupun komplikasi


Trikiasis adalah kondisi di mana bulu mata dari trikiasis sangat mungkin mencari
tumbuh mengarah ke dalam, yaitu ke arah pertolongan di layanan tingkat pertama
permukaan bola mata, sehingga dapat terlebih dahulu.
menggores kornea atau konjungtiva dan Hasil Anamnesis (Subjective)
menyebabkan berbagai komplikasi, seperti nyeri,
erosi, infeksi, dan ulkus kornea. Data mengenai Keluhan
tingkat prevalensi penyakit ini di Indonesia 1. Keluhan pasien dapat bermacam-macam,
tidak ada. Dokter di fasilitas pelayanan misalnya: mata berair, rasa mengganjal,
kesehatan tingkat pertama harus memiliki silau bila terpapar cahaya, atau kelilipan.
kompetensi menangani kasus trikiasis karena Penglihatan dapat terganggu bila sudah
pasien-pasien timbul ulkus pada kornea.
2. Keluhan dapat dialami pada satu atau kedua

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

mata. indikasi, misalnya: salep atau tetes mata


3. Bila telah terjadi inflamasi, dapat timbul antibiotik untuk mengatasi infeksi.
keluhan mata merah.
4. Terdapat riwayat penyakit yang berkaitan Konseling dan Edukasi
dengan faktor predisposisi, misalnya:
1. Pasien perlu diinformasikan untuk menjaga
blefaritis, trakoma, trauma mekanik atau
kimiawi, herpes zoster oftalmik, dan kebersihan matanya dan menghindari
berbagai kelainan yang menyebabkan trauma pada mata yang dapat memperparah
timbulnya sikatriks dan entropion. gejala.
5. Keluhan dapat dialami oleh pasien dari 2. Dokter perlu menjelaskan beberapa
semua kelompok usia. alternatif pilihan terapi, mulai dari epilasi
dan pengobatan topikal yang dapat
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dilakukan oleh dokter di fasilitas
Sederhana (Objective) pelayanan kesehatan tingkat pertama
hingga operasi yang dilakukan oleh
1. Beberapa atau seluruh bulu mata berkontak spesialis mata di layanan sekunder. Terapi
dengan permukaan bola mata. yang akan dijalani sesuai dengan pilihan
2. Dapat ditemukan entropion, yaitu pasien.
terlipatnya margo palpebra ke arah dalam.
3. Bila terdapat inflamasi atau infeksi, dapat Kriteria Rujukan
ditemukan injeksi konjungtival atau silier.
1. Bila tatalaksana di atas tidak membantu
4. Kelainan pada kornea, misalnya: abrasi,
pasien, dapat dilakukan rujukan ke layanan
ulkus, nebula / makula
5. leukoma kornea. sekunder
2. Bila telah terjadi penurunan visus
6. Bila telah merusak kornea, dapat
3. Bila telah terjadi kerusakan kornea
menyebabkan penurunan visus.
7. Bila terdapat ulkus pada kornea, uji 4. Bila pasien menghendaki tatalaksana
fluoresein akan memberi hasil positif. langsung di layanan sekunder
8. Pemeriksaan harus dilakukan pada kedua Peralatan
mata, terlepas dari ada tidaknya keluhan.
1. Lampu senter
Penegakan Diagnosis (Assessment) 2. Snellen Chart
Diagnosis trikiasis ditegakkan melalui anamnesis 3. Pinset untuk epilasi
4. Lup
dan pemeriksaan fisik sebagaimana disebutkan
sebelumnya. Tes fluoresens dapat menunjukkan 5. Dapat pula disediakan kertas fluoresein dan
erosi atau ulkus kornea. larutan NaCl 0.9%
6. untuk ter fluoresein
Diagnosis banding: Penyebab inflamasi lain 7. Lampu biru (bisa berasal lampu biru pada
pada mata oftalmoskop)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis
Penatalaksanaan 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia
1. Non-medikamentosa 3. Ad sanationam : Malam
Epilasi, yaitu pencabutan bulu mata dengan
pinset. Hal ini bertujuan mengurangi gejala Referensi
dan mencegah komplikasi pada bola
mata. Namun, bulu mata akan tumbuh 1. Carter, S.R., 1998. Eyelid Disorders:
kembali dalam waktu 4-6 minggu, Diagnosis and Management. American
sehingga epilasi perlu diulang kembali. Family Physician, 57(11), pp.2695–702.
2. Medikamentosa Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
Pengobatan topikal diberikan sesuai pubmed/9636333.Ilyas,S., 2005.
2. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed., Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 13


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

16. EPISKLERITIS
No ICPC-2: F99. Eye / adnexa disease, other No ICD-10: H15.1. Episcleritis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Episkleritis merupakan reaksi radang pada Sederhana (Objective)
episklera, yaitu jaringan ikat vaskular yang
Episkleritis terbagi menjadi dua tipe, yaitu
terletak di antara konjungtiva dan permukaan
nodular dan simpel. Secara umum, tanda dari
sklera. Penyakit ini termasuk dalam kelompok
episkleritis adalah:
“mata merah dengan penglihatan normal”. Tidak
ada data yang spesifik mengenai tingkat insiden 1. Kemerahan hanya melibatkan satu bagian
episkleritis di Indonesia. Episkleritis umumnya dari area episklera. Pada penyinaran
terjadi pada usia 20-50 tahun dan membaik dengan senter, tampak warna pink seperti
dalam beberapa hari sampai beberapa daging salmon, sedangkan pada skleritis
minggu. Umumnya, episkleritis bersifat ringan, warnanya lebih gelap dan keunguan.
namun dapat pula merupakan tanda adanya 2. Kemerahan pada episkleritis disebabkan
penyakit sistemik, seperti tuberkulosis, oleh kongesti pleksus episklera superfisial
reumatoid artritis, dan systemic lupus dan konjungtival, yang letaknya di atas dan
erythematosus (SLE). terpisah dari lapisan sklera dan pleksus
episklera profunda di dalamnya. Dengan
Hasil Anamnesis (Subjective)
demikian, pada episkleritis, penetesan Fenil
Keluhan Efedrin 2,5% akan mengecilkan kongesti
dan mengurangi kemerahan; sesuatu yang
1. Mata merah merupakan gejala utama tidak terjadi pada skleritis.
atau satu-satunya 3. Pada episkleritis nodular, ditemukan
2. Tidak ada gangguan dalam ketajaman nodul kemerahan berbatas tegas di bawah
penglihatan konjungtiva. Nodul dapat digerakkan. Bila
3. Keluhan penyerta lain, misalnya: rasa nodul ditekan dengan kapas atau melalui
kering, nyeri, mengganjal, atau berair. kelopak mata yang dipejamkan di atasnya,
Keluhan- keluhan tersebut bersifat ringan akan timbul rasa sakit yang menjalar ke
dan tidak mengganggu aktifitas sehari- sekitar mata.
hari. Bila keluhan dirasakan amat parah, 4. Hasil pemeriksaan visus dalam batas normal.
maka perlu dipikirkan diagnosis lain 5. Dapat ditemukan mata yang berair, dengan
sekret yang jernih dan encer. Bila sekret
4. Keluhan biasanya mengenai satu mata tebal, kental, dan berair, perlu dipikirkan
dan dapat berulang pada mata yang sama diagnosis lain.
atau bergantian 6. Pemeriksaan status generalis harus
5. Keluhan biasanya bersifat akut, namun dilakukan untuk memastikan tanda-tanda
dapat pula berlangsung beberapa minggu penyakit sistemik yang mungkin mendasari
hingga beberapa bulan timbulnya episkleritis, seperti tuberkulosis,
6. Dapat ditemukan gejala-gejala terkait reumatoid artritis, SLE, eritema nodosum,
penyakit dasar, di antaranya: tuberkulosis, dermatitis kontak. Kelainan sistemik
reumatoid artritis, SLE, alergi (misal: eritema umumnya lebih sering menimbulkan
nodosum), atau dermatitis kontak episkleritis nodular daripada simpel.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar 4.5 Tampilan episkleritis simpel (a) dan dengan tetes mata kortikosteroid,
nodular (b) misalnya: Prednisolon 0,5%, atau
Betametason 0,1%.
d. Episkleritis nodular yang tidak membaik
dengan obat topikal, dapat diberikan
anti-inflamasi non-steroid (NSAID),
misalnya Ibuprofen.
Konseling dan Edukasi
Dokter perlu memberikan informasi kepada
pasien mengenai penyakit yang dideritanya,
Penegakan Diagnosis (Assessment) serta memberikan reassurance dan informasi
yang relevan, di antaranya tentang natur
Diagnosis dapat ditegakkan dengan penyakit yang ringan, umumnya self-limited,
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan hal-hal yang pasien dapat lakukan untuk
sebagaimana dijelaskan dalam bagian menyembuhkan penyakitnya.
sebelumnya.
Peralatan
Diagnosis banding:
1. Snellen chart
1. Konjungtivitis 2. Lampu senter
2. Skleritis 3. Kapas bersih
4. Tetes mata vasokontriktor: Fenil Efrin 2,5%
Cara membedakan episkleritis dengan skleritis
adalah dengan melakukan tes Fenil Efrin 2,5% Prognosis
(tetes mata), yang merupakan vasokonstriktor. 1. Ad vitam : Bonam
Pada episkleritis, penetesan Fenil Efrin 2,5% 2. Ad functionam : Bonam
akan mengecilkan kongesti dan mengurangi 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
kemerahan (blanching / memucat); sedangkan
pada skleritis kemerahan menetap. Referensi
1. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
the Internist: When to Treat, When to Refer.
Penatalaksanaan Cleveland Clinic Journal of Medicine,
75(2), pp.137–44. Available at:
1. Non-medikamentosa
http://www.ncbi.
a. Bila terdapat riwayat yang jelas nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor &
mengenai paparan zat eksogen, Jeng, 2008)
misalnya alergen atau iritan, maka perlu 2. Ilyas, S., 2005. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed.,
dilakukan avoidance untuk mengurangi Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
progresifitas gejala dan mencegah 3. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations,
rekurensi. Disease Associations and Management.
b. Bila terdapat gejala sensitifitas terhadap Postgraduate Medical Journal, 88(1046),
cahaya, penggunaan kacamata hitam pp.713–8. Available at: http://
dapat membantu. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22977282
2. Medikamentosa
[Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
a. Episkleritis simpel biasanya tidak 4. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968.
membutuhkan pengobatan khusus. Episcleritis and Scleritis I. British Journal
b. Gejala ringan hingga sedang dapat Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson,
diatasi dengan tetes air mata buatan. et al., 1968)
c. Gejala berat atau yang memanjang 5. Sumber Gambar : http://www.studyblue.com
dan episkleritis nodular dapat diatasi

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 13


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

17. TRAUMA KIMIA MATA


No. ICPC-2 : F79 Injury eye other
No. ICD-10 : T26Burn and corrosion confined to eye and adnexa
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Trauma kimia mata adalah salah satu kasus Sederhana (Objective)
kedaruratan mata, umumnya terjadi karena
Pemeriksaan Fisik
masuknya zat-zat kimia ke jaringan mata dan
adneksa di sekitarnya. Keadaan ini memerlukan Dengan bantuan senter dan lup, dapat ditemukan
penanganan cepat dan segera oleh karena dapat kelainan berikut ini:
mengakibatkan kerusakan berat pada jaringan
mata dan menyebabkan kebutaan. Zat kimia 1. Hiperemia konjungtiva
penyebab dapat bersifat asam atau basa. 2. Defek epitel kornea dan konjungtiva
Trauma basa terjadi dua kali lebih sering 3. Iskemia limbus kornea
dibandingkan trauma asam dan umumnya 4. Kekeruhan kornea dan lensa
menyebabkan kerusakan yang lebih berat Pemeriksaan visus menunjukkan ada penurunan
pada mata. Selain itu, beratnya kerusakan ketajaman penglihatan. Bila tersedia, dapat
akibat trauma kimia juga ditentukan oleh dilakukan tes dengan kertas lakmus untuk
besarnya area yang terkena zat kimia serta mengetahui zat kimia penyebab
lamanya pajanan.
1. Bila kertas lakmus terwarnai merah, maka
Hasil Anamnesis (Subjective) zat penyebab bersifat asam
Keluhan 2. Bila kertas lakmus terwarnai biru, maka zat
penyebab bersifat basa
1. Mata merah, bengkak dan iritasi
2. Rasa sakit pada mata Pemeriksaan Penunjang
3. Penglihatan buram Tidak diperlukan
4. Sulit membuka mata
5. Rasa mengganjal pada mata Penegakan Diagnostik (Assessment)

Faktor Risiko Diagnosis Klinis

Pajanan terhadap zat kimia yang sering Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
menjadi penyebab trauma antara lain detergen, pemeriksaan fisik. Komplikasi
desinfektan, pelarut kimia, cairan pembersih 1. Simblefaron
rumah tangga, pupuk, pestisida, dan cairan aki. 2. Hipotoni bola mata
Anamnesis perlu dilakukan untuk mengetahui 3. Ptisis bulbi
zat kimia penyebab trauma, lama kontak 4. Entropion
dengan zat kimia, tempat dan kronologis 5. Katarak
kejadian, adanya kemungkinan kejadian
6. Neovaskularisasi kornea
kecelakaan di tempat kerja atau tindak kriminal,
serta penanganan yang sudah dilakukan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
sebelumnya.
Penatalaksanaan
1. Segera lakukan irigasi mata yang terkena

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

zat kimia dengan cairan mengalir Peralatan


sebanyak mungkin dan nilai kembali 1. Lup
dengan kertas lakmus. Irigasi terus 2. Senter
dilakukan hingga tidak terjadi pewarnaan 3. Lidi kapas
pada kertas lakmus. 4. Kertas lakmus (jika memungkinkan)
2. Lakukan eversi pada kelopak mata selama 5. Cairan fisiologis untuk irigasi
irigasi dan singkirkan debris yang
mungkin terdapat pada permukaan bola Prognosis
mata atau pada forniks. 1. Ad vitam : Bonam
3. Setelah irigasi selesai dilakukan, nilai 2. Ad functionam : Dubia
tajam penglihatan, kemudian rujuk segera 3. Ad sanationam : Dubia
ke dokter spesialis mata di fasilitas sekunder
atau tersier. Referensi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Konseling & Edukasi
Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Anjuran untuk menggunakan pelindung 2008.
(kacamata/goggle, sarung tangan, atau masker) 2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
pada saat kontak dengan bahan kimia Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
Kriteria Rujukan Eye Manual-office and emergency room
Setelah penanganan awal dengan irigasi, diagnosis and treatment of eye disease. 5th
rujuk pasien ke dokter spesialis mata untuk edition. Philadelphia: Lippincott Williams
tatalaksana lanjut and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008)

18. LASERASI KELOPAK MATA


No. ICPC-2 No. ICD-10
: F79 Injury eye other
: S01.1Open wound of eyelid and periocular area
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
4. Tidak terdapat penurunan tajam penglihatan
Laserasi kelopak adalah terpotongnya jaringan bila cedera tidak melibatkan bola mata
pada kelopak mata. Penyebab laserasi kelopak
Faktor Risiko
dapat berupa sayatan benda tajam, trauma
tumpul (kecelakaan lalu lintas atau olahraga), Terdapat riwayat trauma tajam maupun tumpul
maupun gigitan hewan. Laserasi pada kelopak
perlu ditangani segera agar fungsi dan kosmetik Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
kelopak dapat dipertahankan. Sederhana (Objective)

Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik

Keluhan 1. Pemeriksaan refleks pupil dan tajam


penglihatan
1. Terdapat rasa nyeri periorbita
2. Perdarahan dan bengkak pada kelopak 2. Pemeriksaan mata dengan lup dan senter
3. Mata berair untuk mengidentifikasi:
a. Luas dan dalamnya laserasi pada

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 13


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

kelopak, termasuk identifikasi Peralatan


keterlibatan tepi kelopak, kantus
1. Lup
medial atau kantus lateral. Pemeriksa
2. Senter
dapat menggunakan lidi kapas selama
3. Lidi kapas
pemeriksaan.
b. Adanya benda asing Prognosis
c. Keterlibatan bola mata 1. Ad vitam : Bonam
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan 2. Ad functionam : dubia
3. Ad sanationam : dubia
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Referensi
Diagnosis Klinis
1. Karesh JW. The evaluation and management
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan of eyelid trauma. Dalam : Duane’s Clinical
pemeriksaan fisik. Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006.
Diagnosis banding: Tidak ada
(Karesh, 2006)
Komplikasi
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
Trauma pada sistem lakrimal Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) edition. Philadelphia: Lippincott Williams
Penatalaksanaan and Wilkins; 2008.

1. Bersihkan luka apabila diyakini bola mata


intak
2. Pertimbangkan pemberian profilaksis
tetanus
3. Berikan antibiotik sistemik
4. Segera rujuk ke dokter spesialis mata untuk
mendapatkan penanganan secepatnya
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien bahwa luka pada
kelopak perlu menjalani pembedahan
(menutup luka)
2. Menggunakan alat / kacamata pelindung
pada saat bekerja atau berkendara.
3. Anjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan
bertambah berat setelah dilakukan
tindakan, seperti mata bertambah merah,
bengkak atau disertai dengan penurunan
visus.
Kriteria Rujukan
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, pasien
segera dirujuk ke dokter spesialis mata.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

19. HIFEMA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: F75 Contusion/haemorrhage eye
: H21.0Hyphaema
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Penunjang
Hifema adalah terdapatnya akumulasi darah
Pemeriksaan tekanan intraokular dengan
pada bilik mata depan. Hifema dapat terjadi
Tonometer Schiotz
akibat trauma atau terjadi spontan. Hifema
dapat disertai dengan abrasi kornea, iritis, Penegakan Diagnostik (Assessment)
midriasis, atau gangguan struktur lain pada
mata akibat trauma penyebabnya. Hifema Diagnosis Klinis
spontan jarang ditemui. Hifema spontan dapat Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
menjadi penanda terdapatnya rubeosis iridis, pemeriksaan fisik
gangguan koagulasi, penyakit herpes, masalah
pada lensa intraokular (IOL), retinoblastoma, 1. Anamnesis untuk mengidentifikasi gejala,
serta leukemia. riwayat trauma, serta kemungkinan adanya
faktor risiko lain.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Pemeriksaan tajam penglihatan
Keluhan 3. Pemeriksaan mata dengan senter dan lup
untuk melihat adanya darah di bilik mata,
1. Nyeri pada mata menilai lebar pupil, serta mengidentifikasi
2. Penglihatan terganggu (bila darah menutupi kelainan kornea atau struktur lain akibat
aksis visual) trauma.
3. Fotofobia/silau 4. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan
tonometer Schiotz bila tidak terdapat
Faktor Risiko
defek pada kornea
1. Hifema akibat trauma sering ditemui pada
Diagnosis banding Tidak ada Komplikasi
laki-laki usia muda
2. Hifema spontan disebabkan oleh Prognosis umumnya baik pada hifema tanpa
neovaskularisasi iris (seperti pada pasien komplikasi.
diabetes dan oklusi vena retina),
koagulopati, dan pemakaian antikoagulan Komplikasi hifema antara lain:

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Perdarahan ulang (rebleeding), umumnya


Sederhana (Objective) terjadi antara 2-5 hari setelah trauma
2. Glaukoma sekunder
Pemeriksaan Fisik 3. Atrofi saraf optik
4. Corneal blood staining
1. Visus umumnya turun
2. Tampak darah di bilik mata depan. Darah Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dapat tertampung di bagian inferior bilik
mata depan atau dapat memenuhi seluruh Penatalaksanaan
bilik mata depan (hifema penuh). 1. Pembatasan aktivitas fisik
3. Perhatikan apakah ada trauma pada bagian 2. Pelindung mata (protective shield)
mata yang lain 3. Analgesik yang tidak mengandung NSAID
(Non-Steroidal Anti

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 14


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. Inflammatory Drug) 3. Senter


5. Rujuk segera ke dokter spesialis mata di 4. Tonometer Schiotz
pelayanan kesehatan tingkat sekunder atau
tersier Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
Konseling dan Edukasi
2. Ad functionam : Bonam
1. Memberitahukan ke pasien bahwa 3. Ad sanationam : Bonam
kemungkinan pasien perlu dirawat dan bed
rest Referensi
2. Posisi tidur dengan elevasi kepala 1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Kriteria Rujukan Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye
Semua pasien yang didiagnosis dengan Manual-office and emergency room
hifema perlu dirujuk ke dokter spesialis mata diagnosis and treatment of eye disease.
5th edition. Philadelphia: Lippincott
Peralatan Williams and Wilkins; 2008.
1. Snellen chart
2. Lup

20. RETINOPATI DIABETIK


No. ICPC-2 No. ICD-10
: F83 Retinopathy
: H36.0 Diabetic retinopathy
Tingkat Kemampuan 2

Masalah Kesehatan
Terdapat dua tahap retinopati diabetik yaitu
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
yang mengenai prekapiler retina, kapiler dan proliferative diabetic retinopathy (PDR).
dan venula, sehingga menyebabkan oklusi
mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler, akibat Hasil Anamnesis (Subjective)
kadar gula darah yang tinggi dan lama. Keluhan
Retinopati diabetik dapat menyebabkan
penurunan visus dan kebutaan, terutama akibat 1. Tidak ada keluhan penglihatan
komplikasi seperti edema makula, perdarahan 2. Penglihatan buram terjadi terutama bila
vitreus, ablasio retina traksional dan glaukoma terjadi edema makula
neovaskular.
3. Floaters atau penglihatan mendadak
Retinopati diabetik adalah penyebab kebutaan terhalang akibat komplikasi perdarahan
ke 5 terbesar secara global (WHO, 2007). vitreus dan / atau ablasio retina traksional
Setidaknya terdapat 171 juta penduduk dunia
yang menyandang diabetes melitus, yang akan Faktor Risiko
meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 1. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol
2030 menjadi 366 million. Setelah 15 tahun, dengan baik
sekitar 2% penyandang diabetes dapat menjadi
2. Hipertensi yang tidak terkontrol dengan
buta, dan sekitar 10% mengalami gangguan
baik
penglihatan berat. Setelah 20 tahun, retinopati
diabetik dapat ditemukan pada 75% lebih 3. Hiperlipidemia
penyandang diabetes.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Apabila didapatkan tanda-tanda retinopati,


Sederhana (Objective) pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis
mata.
Pemeriksaan Fisik
Konseling dan Edukasi
1. Riwayat diabetes mellitus (tipe I / tipe II).
2. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan 1. Kontrol gula darah dan pengendalian
visus. faktor sistemik lain (hipertensi,
3. Pada pemeriksaan funduskopi pupil lebar hiperlipidemia penting untuk
pada retina dapat ditemukan perdarahan memperlambat timbulnya atau
retina, eksudat keras, pelebaran vena, progresifitas retinopati diabetik.
dan mikroaneurisma (pada NPDR), yang 2. Setiap pasien diabetes perlu menjalani
pada kondisi lebih lanjut disertai pemeriksaan mata awal (skrining), diikuti
neovaskularisasi di diskus optik atau di pemeriksaan lanjutan minimal 1 kali
tempat lain di retina (pada PDR). dalam setahun.
4. Pada keadaan berat dapat ditemukan 3. Menjelaskan bahwa bila dirujuk,
neovaskularisasi iris (rubeosis iridis). kemungkinan memerlukan terapi
5. Refleks cahaya pada pupil normal, pada fotokoagulasi laser, yang bertujuan
kerusakan retina yang luas dapat ditemukan mencegah progresifitas retinopati diabetik.
RAPD (Relative Aferent Pupilary Defect), Pada kondisi berat (perdarahan vitreus,
serta penurunan refleks pupil pada cahaya ablasio retina) kemungkinan perlu
langsung dan tak langsung normal. tindakan bedah.
Pemeriksaan Penunjang Kriteria Rujukan
Tidak ada Setiap pasien diabetes yang ditemukan tanda-
tanda retinopati diabetik sebaiknya dirujuk ke
Penegakan Diagnostik (Assessment) dokter mata.
Diagnosis Klinis Peralatan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan 1. Snellen chart
pemeriksaan fisik, teruttama funduskopi. 2. Oftalmoskop
Diagnosis banding 3. Tropikamid 1% tetes mata untuk
melebarkan pupil
1. Oklusi vena retina
2. Retinopati hipertensi Prognosis

Komplikasi 1. Ad vitam : Dubia ad bonam


2. Ad functionam : Dubia ad malam
1. Perdarahan vitreus 3. ad sanationam : Dubia ad malam
2. Edema makula diabetik
3. Ablasio retina traksional Referensi
4. Glaukoma neovaskular 1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
2. World Health Organization. Global initiative
Penatalaksanaan for the elimination of avoidable blindness.
1. Setiap pasien yang terdiagnosis diabetes Action Plan 2006–2011 (World Health
melitus perlu segera dilakukan pemeriksaan Organization, 2012)
mata, sekalipun belum ada keluhan mata. 3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
2. Apabila tidak didapatkan tanda-tanda Eye Manual-office and emergency room
retinopati, pasien harus diperiksa ulang diagnosis and treatment of eye disease. 5th
dalam waktu 1 tahun (follow-up). edition. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2008.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 14


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

E. TELINGA

1. OTITIS EKSTERNA
No. ICPC-2 : H70.Otitis externa
No. ICD-10 : H60.9.Otitis externa, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Riwayat trauma yang mendahului keluhan,
Otitis eksternaadalah radang pada liang misalnya: membersihkan liang telinga
telinga luar. Penyakit ini banyak ditemukan di dengan alat tertentu, memasukkan cotton
layanan kesehatan tingkat pertama sehingga bud, memasukkan air ke dalam telinga.
dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
3. Riwayat penyakit sistemik, seperti: diabetes
pertama harus memiliki kemampuan
mellitus, psoriasis, dermatitis atopik, SLE,
mendiagnosis dan menatalaksana secara
HIV.
komprehensif.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Klasifikasi otitis eksterna (OE):
Sederhana (Objective)
1. OE akut
Pemeriksaan Fisik
a. OE akut difus
1. Nyeri tekan pada tragus
b. OE akut sirkumskripta, yaitu infeksi folikel
2. Nyeri tarik daun telinga
rambut yang menimbulkan furunkel di liang
3. Otoskopi:
telinga luar.
a. OE akut difus: liang telinga luar sempit,
2. OE kronik
kulit liang telinga luar hiperemis dan edem
3. OE ekzematoid, yang merupakan
dengan batas yang tidak jelas, dan dapat
manifestasi dari kelainan dermatologis,
ditemukan sekret minimal.
seperti dermatitis atopik, psoriasis, atau
b. OE akut sirkumskripta: furunkel pada liang
SLE.
telinga luar
4. OE nekrotikans
4. Tes garputala: Normal atau tuli konduktif
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
Tidak diperlukan
1. Rasa sakit pada telinga (otalgia), yang
bervariasi dari ringan hingga hebat, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
terutama saat daun telinga disentuh dan dan pemeriksaan fisik.
mengunyah Diagnosis Banding
2. Rasa penuh pada telinga
3. Pendengaran dapat berkurang Perikondritis yang berulang, Kondritis,
4. Terdengar suara mendengung (tinnitus) Otomikosis
5. Keluhan biasanya dialami pada satu
Komplikasi
telinga dan sangat jarang mengenai
kedua telinga dalam waktu bersamaan Jika pengobatan tidak adekuat, dapat timbul
6. Keluhan penyerta lain yang dapat timbul: abses, nfeksi kronik liang telinga, jaringan parut,
demam atau meriang, telinga terasa basah dan stenosisliang telinga.
Faktor Risiko
1. Riwayat sering beraktifitas di air, misalnya:
berenang, berselancar, mendayung.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan


Penatalaksanaan 1. Lampu kepala
2. Corong telinga
1. Non-medikamentosa: 3. Aplikator kapas
a. Membersihkan liang telinga secara hati- 4. Otoskop
hati dengan pengisap atau kapas
yang dibasahi dengan H2O2 3%. Prognosis
b. Bila terdapat abses, dilakukan insisi dan 1. Ad vitam : Bonam
drainase. 2. Ad functionam : Bonam
2. Medikamentosa: 3. Ad sanationam : Bonam
a. Topikal Referensi
• Larutan antiseptik povidon iodine 1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
• OE akut sirkumskripta pada stadium Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
infiltrat: Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6.
– Salep ikhtiol, atau Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007)
– Salep antibiotik: Polymixin-B,
Basitrasin. 2. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku
• OE akut difus: Tampon yang telah Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
diberi campuran Polimyxin-B, 1997. (Adam & Boies, 1997)
Neomycin, Hidrocortisone, dan 3. Sander, R. Otitis Externa: A Practical
anestesi topikal. Guide to Treatment and Prevention. Am
b. Sistemik Fam Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937.
• Antibiotik sistemik diberikan bila (Sander, 2001)
infeksi cukup berat. 4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
• Analgetik, seperti Paracetamol atau and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
Ibuprofen dapat diberikan. 2003. (Lee, 2003)
Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diberi penjelasan,
di antaranya:
1. Tidak mengorek telinga baik dengan
cotton bud atau alat lainnya
2. Selama pengobatan pasien tidak boleh
berenang
3. Penyakit dapat berulang sehingga harus
menjaga liang telinga agar dalam kondisi
kering dan tidak lembab
Kriteria Rujukan
1. Otitis eksterna dengan komplikasi
2. Otitis eksterna maligna

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 14


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. OTITIS MEDIA AKUT


No. ICPC-2 No. ICD-10
: H71. Acute otitis media/myringitis
: H65.0. Acute serous otitis media
H65.1. Other acure nonsuppurative otitis media H66.0 Acute suppurative otitis media

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sederhana (Objective)
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
Pemeriksaan Fisik
tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel
mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 1. Suhu dapat meningkat
minggu. 2. Otoskopi
Hasil Anamnesis (Subjective) Tabel 5.1 Hasil otoskopi pada OMA
Keluhan (tergantung stadium OMA yang sedang
dialami)
1. Stadium oklusi tuba: Telinga terasa penuh
atau nyeri, pendengaran dapat berkurang.
2. Stadium hiperemis: Nyeri telinga makin
intens, demam, rewel dan gelisah (pada
bayi/anak), muntah, nafsu makan hilang,
anak biasanya sering memegang telinga
yang nyeri.
3. Stadium supurasi: Sama seperti stadium
hiperemis
4. Stadium perforasi: Keluar sekret dari liang 3. Tes penala
telinga
5. Stadium resolusi: Setelah sekret keluar, Dapat ditemukan tuli konduktif, yaitu: tes Rinne
intensitas keluhan berkurang (suhu turun, (-) dan tes Schwabach memendek pada
nyeri mereda, bayi/anak lebih tenang. Bila telinga yang sakit, tes Weber terjadi
perforasi permanen, pendengaran dapat lateralisasi ke telinga yang sakit.
tetap berkurang. Pemeriksaan Penunjang
Faktor Risiko Audiometri nada murni, bila fasilitas tersedia
1. Bayi dan anak Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Infeksi saluran napas atas berulang
3. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring Diagnosis Klinis
telentang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
4. Kelainan kongenital, misalnya: sumbing
dan pemeriksaan fisik.
langit-langit, sindrom Down
5. Paparan asap rokok Diagnosis Banding
6. Alergi
7. Tingkat sosio-ekonomi yang rendah Otitis media serosa akut, Otitis eksterna

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Komplikasi Pencegahan
1. Komplikasi intra-temporal: Labirinitis, 1. Imunisasi Hib dan PCV perlu dilengkapi,
Paresis nervus fasialis, Petrositis, sesuai panduan Jadwal
Hidrosefalus otik 2. Imunisasi Anak tahun 2014 dari IDAI.
2. Komplikasi ekstra-temporal/intrakranial:
Abses subperiosteal, Abses epidura, Tabel 5.2. Daftar antibiotik untuk terapi OMA
Abses perisinus, Abses subdura, Abses
otak, Meningitis, Trombosis sinus lateral,
Sereberitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Topikal
a. Pada stadium oklusi tuba, terapi
bertujuan membuka kembali tuba
eustachius. Obat yang diberikan adalah: Kriteria Rujukan
Berikan tetes mata Tetrakain-HCl 2% 1. Jika terdapat indikasi miringotomi.
sebanyak 1-2 tetes pada mata yang 2. Bila terjadi komplikasi dari otitis media akut.
terkena benda asing.
Gunakan kaca pembesar (lup) dalam Peralatan
pengangkatan benda asing. 1. Lampu kepala
Angkat benda asing dengan 2. Corong telinga
menggunakan lidi kapas atau jarum 3. Otoskop
suntik ukuran 23G. 4. Aplikator kapas
Arah pengambilan benda asing 5. Garputala
dilakukan dari tengah ke tepi. 6. Suction
Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
Povidon Iodin pada tempat bekas benda Prognosis
asing. 1. Ad vitam : Bonam
b. Pada stadium perforasi, diberikan 2. Ad functionam : Bonam
obat cuci telinga: 3. Ad sanationam : Bonam
H2O2 3%, 3 kali sehari, 4 tetes di
telinga yang sakit, didiamkan selama 2- Referensi
5 menit. Asam asetat 2%, 3 kali sehari, 1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies. Buku Ajar
4 tetes di telinga yang sakit. Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
Ofloxacin, 2 kali sehari, 5-10 tetes di
telinga yang sakit, selama maksimal 2 2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
minggu Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
2. Oral Sistemik: antibiotik, antihistamin (bila Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
terdapat tanda-tanda alergi), dekongestan, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
analgetik / antipiretik Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.2007.
Konseling dan Edukasi
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
1. Untuk bayi/anak, orang tua dianjurkan and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
untuk memberikan ASI 2003.
2. minimal 6 bulan sampai 2 tahun.
3. Menghindarkan bayi/anak dari paparan asap 4. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis
rokok. Media and Sinusitis Complicating Upper
Respiratory Tract Infection: The Effect of
Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June
2007, pp. e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 14


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK


No. ICPC-2 No. ICD-10
: H74. Chronic otitis media
: H66.1. Chronic tubotympanic suppurative otitis media H66.2. Chronic atticoantral s

Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Survei Nasional Kesehatan Indra Penglihatan Sederhana (Objective)
dan Pendengaran (1993-1996) di 8 provinsi Pemeriksaan Fisik
Indonesia menunjukkan angka morbiditas
THT sebesar 38,6%. Otitis media supuratif Otoskopi:
kronik merupakan penyebab utama gangguan 1. OMSK tipe aman (tubotimpani)
pendengaran yang didapat pada anak-anak
a. Perforasi pada sentral atau pars tensa
terutama pada negara berkembang. Pada tahun
berbentuk ginjal atau bundar
1990, sekitar 28.000 kematiandi seluruh dunia b. Sekret biasanya mukoid dan tidak terlalu
disebabkan oleh komplikasi otitis media. berbau
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah c. Mukosa kavum timpani tampak edema,
peradangan kronik telinga tengah dengan hipertrofi, granulasi, atau timpanosklerosis
perforasi membran timpani dan riwayat 2. OMSK tipe bahaya
keluarnya sekret dari telinga lebih dari 2 a. Perforasi atik, marginal, atau sental besar
bulan, baik terus menerus maupun hilang (total)
timbul. Terdapat dua tipe OMSK, yaitu OMSK b. Sekret sangat berbau, berwarna kuning abu-
tipe aman (tanpa kolesteatoma) dan tipe abu, purulen, dan dapat terlihat kepingan
bahaya (dengan kolesteatoma). berwarna putih mengkilat
c. Kolesteatoma
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
1. Tes garputala Rinne, Weber, Schwabach
1. Keluar cairan dari liang telinga secara menunjukkan jenis ketulian yang dialami
terus menerus atau hilang timbul lebih pasien
dari 2 bulan 2. Audiometri nada murni
2. Riwayat pernah keluar cairan dari liang 3. Foto mastoid (bila tersedia)
telinga sebelumnya. Penegakan Diagnosis (Assessment)
3. Cairan dapat berwarna kuning/kuning- Diagnosis Klinis
kehijauan/bercampur darah/jernih/berbau
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
4. Gangguan pendengaran dan pemeriksaan fisik. Komplikasi
Faktor Risiko 1. Komplikasi intratemporal: Labirinitis, Paresis
Higienitas kurang dan gizi buruk, infeksi saluran nervus fasialis, Hidrosefalus otik, Petrositis
2. Komplikasi intrakranial Abses (subperiosteal,
nafas atas berulang, daya tahan tubuh yang
epidural, perisinus, subdura, otak),
rendah, dan penyelam.
Trombosis sinus lateralis, Sereberitis

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Terdapat komplikasi ekstrakranial maupun


intrakranial
1. Non-Medikamentos 4. Perforasi menetap setelah 2 bulan telinga
Membersihkan dan mengeringkan saluran kering
telinga dengan kapas lidi atau cotton bud.
Obat cuci telinga dapat berupa NaCl Peralatan
0,9%, Asam Asetat 2%, atau Hidrogen
1. Lampu kepala
Peroksida 3%.
2. Spekulum telinga
2. Medikamentosa
3. Otoskop
a. Antibiotik topikal golongan Ofloxacin,
4. Aplikator kapas
2
5. Kapas
x 4 tetes per hari di telinga yang sakit
6. Cairan irigasi telinga
b. Antibiotik oral:
7. Suction
Dewasa:
8. Wadah ginjal (nierbekken)
Lini pertama : Amoxicillin 3 x 500 mg
per hariselama 7 hari, atauAmoxicillin- 9. Irigator telinga (spuit 20-50 cc + cateter
Asam clavulanat 3 x 500 mg per hari wing needle)
10. Garputala frekuensi 512-1024 Hz
selama 7 hari, atauCiprofloxacin 2 x 500
mg selama 7 hari. Prognosis
Lini kedua : Levofloxacin 1 x 500 mg
per hari selama 7 hari,atauCefadroxil 1. Ad Vitam : Bonam
2 x 500-100 mg per hari selama 7 hari. 2. Ad functionam : Bonam
Anak: 3. Ad sanationam : Bonam
Amoxicillin – Asam clavulanat 25-50 Referensi
mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 3 dosis
per hari, atau Cefadroxil 25-50 mg/ 1. Acuin J. Chronic suppurative otitis media:
kgBB/hari, dibagi menjadi 2 dosis per Burden of Illness and Management Options.
hari. WHO Library Cataloguing in publication
data. 2004. (J, 2004)
Rencana Tindak Lanjut
2. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers
Respon atas terapi dievaluasi setelah
MM, Sanders EAM, Schilder AGM.
pengobatan selama 7 hari.
Chronic suppurative otitis media: A
Konseling dan Edukasi review. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12.
1. Menjaga kebersihan telinga dan tidak (Verhoeff, et al., 2006)
mengorek-ngorek telinga dengan benda
tajam. 3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
2. Menjaga agar telinga tidak kemasukan air. Hidung- Tenggorok KepalaLeher. FKUI.
3. Menjelaskan bahwa penyakit ini merupakan 2001
penyakit infeksi sehingga dengan
penanganan yang tepat dapat disembuhkan
tetapi bila dibiarkan dapat mengakibatkan
hilangnya pendengaran serta komplikasi
lainnya.
Kriteria Rujukan
1. OMSK tipe bahaya
2. Tidak ada perbaikan atas terapi yang
dilakukan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 14


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. BENDA ASING DI TELINGA


No. ICPC-2: H76. Foreign body in ear No. ICD-10: T16. Foreign body in ear
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnosis (Assessment)


Meatus akustikus eksternus (MAE) merupakan Diagnosis Klinis
salah satu bagian tubuh yang sering dimasuki
benda asing, yang dapat berupa: Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan
1. Benda asing reaktif, misal: batere, potongan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
besi. Benda asing reaktif berbahaya karena Komplikasi
dapat bereaksi dengan epitel MAE dan
menyebabkan edema serta obstruksi hingga Ruptur membran timpani, perdarahan liang
menimbulkan infeksi sekunder. Ekstraksi telinga, otitis eksterna, tuli konduktif
harus segera dilakukan. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
2. Benda asing non-reaktif (inert). Benda asing
ini tidak bereaksi dengan epitel dan tetap 1. Non-medikamentosa: Ekstraksi benda asing
ada di dalam MAE tanpa menimbulkan a. Pada kasus benda asing yang baru,
gejala hingga terjadi infeksi. ekstraksi dilakukan dalam anestesi
3. Benda asing serangga, yang dapat lokal.
menyebabkan iritasi dan nyeri akibat b. Pada kasus benda asing reaktif,
pergerakannya. pemberian cairan dihindari karena
dapat mengakibatkan korosi.
Hasil Anamnesis (Subjective)
c. Pada kasus benda asing berupa
Keluhan serangga:
1. Riwayat jelas benda asing masuk ke telinga Dilakukan penetesan alkohol, obat
secara sengaja maupun tidak anestesi lokal (Lidokain spray atau
2. Telinga terasa tersumbat atau penuh tetes), atau minyak mineral selama ±
3. Telinga berdengung 10 menit untuk membuat serangga
4. Nyeri pada telinga tidak bergerak dan melubrikasi dinding
5. Keluar cairan telinga yang dapat berbau MAE. Setelah serangga mati,
6. Gangguan pendengaran serangga dipegang dan dikeluarkan
dengan forceps aligator
Faktor Risiko atau irigasi
1. Anak-anak menggunakan air sesuai suhu tubuh.
2. Medikamentosa
2. Retardasi mental
a. Tetes telinga antibiotik hanya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang diberikan bila telah dipastikan tidak
Sederhana (Objective) ada ruptur membran timpani.
b. Analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
Pemeriksaan Fisik
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan MAE dengan senter/lampu kepala/
otoskop menunjukkan adanya benda asing, Orang tua disarankan untuk menjaga lingkungan
edema dan hiperemia liang telinga luar, serta anak dari benda- benda yang berpotensi
dapat disertai sekret. dimasukkan ke telinga atau hidung.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kriteria Rujukan Referensi


Bila benda asing tidak berhasil dikeluarkan. 1. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose,
Throat Emergencies. Pediatric Clinics of
Peralatan
North America 53 (2006) 195-214. (Bernius
1. Lampu kepala & Perlin, 2006)
2. Otoskop 2. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in
3. Pengait serumen The Ear, Nose and Throat. American Family
4. Aplikator kapas Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189.
5. Forceps aligator (Heim & Maughan, 2007)
6. Spuit 20 cc yang telah disambung dengan 3. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in
selang wing needle the nose and ear: a review of technique
7. Suction
for removal in the emergency department.
Prognosis Emergency Medicine Journal.2000;17:91-94.
(Davies & Benger, 2000)
1. Ad vitam : Bonam
4. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan
2. Ad functionam : Bonam
Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT
3. Ad sanationam : Bonam
KL. FKUI. Jakarta.

5. SERUMEN PROP
No. ICPC-2: H81 Excessive ear wax
No. ICD-10: H61.2 Impacted cerumen
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, 1. Dermatitis kronik liang telinga luar
kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas, 2. Liang telinga sempit
dan partikel debu yang terdapat pada bagian 3. Produksi serumen banyak dan kering
kartilaginosa liang telinga. Bila serumen ini 4. Kebiasaan mengorek telinga
berlebihan maka dapat membentuk gumpalan
yang menumpuk di liang telinga, dikenal dengan Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
serumen prop. sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik
Keluhan 1. Otoskopi: obstruksi liang telinga luar oleh
material berwarna kuning kecoklatan atau
1. Rasa penuh pada telinga kehitaman. Konsistensi dari serumen dapat
2. Pendengaran berkurang bervariasi.
3. Rasa nyeri pada telinga 2. Tes penala: normal atau tuli konduktif
4. Keluhan semakin memberat bila telinga
kemasukan air (sewaktu mandi atau Pemeriksaan Penunjang
berenang)
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang
5. Beberapa pasien juga mengeluhkan adanya
vertigo atau tinitus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 15


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penegakan diagnostik (Assessment) 2. Menganjurkan pasien untuk menghindari


memasukkan air atau apapun ke dalam
Diagnosis Klinis
telinga
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Kriteria rujukan:
dan pemeriksaan fisik.
Bila terjadi komplikasi akibat tindakan
Diagnosis Banding pengeluaran serumen.
Benda asing di liang telinga. Peralatan
Komplikasi 1. Lampu kepala
1. Otitis eksterna 2. Spekulum telinga
2. Trauma pada liang telinga dan atau 3. Otoskop
membran timpani saat mengeluarkan 4. Serumen hook (pengait serumen)
serumen 5. Aplikator kapas
6. Kapas
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) 7. Cairan irigasi telinga
Penatalaksanaan 8. Forsep aligator
9. Suction
1. Non-medikamentosa: Evakuasi serumen 10. Pinset bayonet
11. Wadah ginjal (nierbekken)
a. Bila serumen lunak, dibersihkan dengan
12. Irigator telinga (spuit 20-50 cc + cateter
kapas yang dililitkan pada pelilit kapas.
wing needle)
b. Bila serumen keras, dikeluarkan dengan 13. Alkohol 70%
pengait atau kuret. Apabila dengan cara
Prognosis
ini serumen tidak dapat dikeluarkan,
maka serumen harus dilunakkan lebih 1. Ad vitam : Bonam
dahulu dengan tetes Karbogliserin 10% 2. Ad functionam : Bonam
atau H2O2 3% selama 3 hari. 3. Ad sanationam : Bonam
c. Serumen yang sudah terlalu jauh Referensi
terdorong kedalam liang telinga
sehingga dikuatirkan menimbulkan 1. Adam, GL. Boies LR. Higler,.Boies. Buku Ajar
trauma pada membran Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
timpani sewaktu mengeluarkannya, 2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
dikeluarkan dengan mengalirkan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
(irigasi) air hangat yang suhunya Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
disesuaikan dengan suhu tubuh. Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
2. Medikamentosa Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.2007.
a. Tetes telinga Karbogliserin 10%
atau H2O2 3% selama 3 hari untuk 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
melunakkan serumen. and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
2003.
Konseling dan Edukasi
1. Menganjurkan pasien untuk tidak
membersihkan telinga secara berlebihan,
baik dengan cotton bud atau alat lainnya.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

F. KARDIOVASKULER

1. ANGINA PEKTORIS STABIL


No. ICPC-2 : K74 Ischaemic heart disease with angina
No. ICD-10 : I20.9 Angina pectoris, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan timbul pada saat melakukan aktivitas,


Angina pektoris stabil merupakan tanda misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-
klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang gesa, atau sedang berjalan mendaki atau
mengalami penyakit jantung koroner. Angina naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas
pektoris dilaporkan terjadi dengan rata- ringan seperti mandi atau menggosok gigi,
rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis makan terlalu kenyang atau emosi, sudah
kelamin, umur, dan faktor risiko. Data dari studi dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri
Framingham pada tahun 1970 menunjukkan dada tersebut segera hilang bila pasien
prevalensi sekitar 1,5% untuk wanita dan 4,3% menghentikan aktivitasnya. Serangan
untuk pria berusia 50 – 59 tahun. angina yang timbul pada waktu istirahat
atau pada waktu tidur malam sering
Hasil Anamnesis (Subjective) akibat angina pektoris tidak stabil
4. Lamanya serangan
Keluhan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada 1-5 menit, kadang- kadang perasaan tidak
yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau enak di dada masih terasa setelah nyeri
terasa seperti ditimpa beban yang sangat berat. hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih
dari 20 menit, mungkin pasien mengalami
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhannyeri sindrom koroner akut dan bukan angina
dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut: pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat
1. Letak timbul keluhan lain seperti sesak napas,
Sering pasien merasakan nyeri dada di perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada
daerah sternum atau di bawah sternum disertai keringat dingin.
(substernal: tidak dapat melokalisasi), 5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin,
atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang mual, muntah, sesak dan pucat.
menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke Faktor Risiko
punggung, rahang, leher, atau ke lengan
kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
tempat lain seperti di daerah epigastrium, 1. Usia
leher, rahang, gigi, dan bahu. Risiko meningkat pada pria di atas 45 tahun
2. Kualitas
dan wanita diatas 55 tahun (umumnya
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti
setelah menopause)
tertekan benda berat, atau seperti diperas
2. Jenis kelamin
atau terasa panas, kadang-kadang hanya
Morbiditas akibat penyakit jantung
mengeluh perasaan tidak enak di dada
koroner (PJK) pada laki-laki dua kali lebih
karena pasien tidak dapat menjelaskan
besar dibandingkan pada perempuan, hal
dengan baik.
ini berkaitan dengan estrogen endogen
3. Hubungan dengan aktivitas
yang bersifat protektif pada perempuan.
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya
Hal ini

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 15


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

terbukti insidensi PJK meningkat dengan


Gambaran EKG penderita angina tak
cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki
stabil/ ATS dapat berupa depresi segmen
pada wanita setelah masa menopause.
ST, inversi gelombang T, depresi segmen ST
3. Riwayat keluarga
disertai inversi gelombang T, elevasi
Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri
segmen ST, hambatan cabang berkas His
Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun
dan bisa tanpa perubahan segmen ST dan
dan ibu < 65 tahun.
gelombang T. Perubahan EKG pada ATS
Faktor risiko yang dapat diubah: bersifat sementara dan masing- masing
dapat terjadi sendiri- sendiri ataupun
1. Mayor bersamaan. Perubahan tersebut timbul di
a. Peningkatan lipid serum saat serangan angina dan kembali ke
b. Hipertensi gambaran normal atau awal setelah
c. Merokok keluhan angina hilang dalam waktu 24
d. Konsumsi alkohol e. Diabetes Melitus jam. Bila perubahan tersebut menetap
e. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol setelah 24 jam atau terjadi evolusi
dan kalori gelombang Q, maka disebut sebagai Infark
2. Minor
Miokard Akut (IMA).
a. Aktivitas fisik kurang 2. X ray thoraks
b. Stress psikologik X ray thoraks sering menunjukkan bentuk
c. Tipe kepribadian jantung yang normal. Pada pasien hipertensi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dapat terlihat jantung membesar dan
Sederhana (Objective) kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi
arkus aorta.
Pemeriksaan Fisik
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat
tidak menunjukkan kelainan. Walau jarang Diagnosis Klinis
pada auskultasi dapat terdengar derap atrial Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah pemeriksaan fisik, dan penunjang.
apeks. Frekuensi denyut jantung dapat
menurun, menetap atau meningkat pada Klasifikasi Angina:
waktu serangan angina.
1. Stable Angina Pectoris (angina pektoris
2. Dapat ditemukan pembesaran jantung.
stabil)
Pemeriksaan Penunjang Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan
suatu pekerjaan, sesuai dengan berat
1. EKG ringannya pencetus, dibagi atas beberapa
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan tingkatan:
pada saat serangan angina sering masih a. Selalu timbul sesudah latihan berat.
normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan
bahwa pasien pernah mendapat infark cepat 1/2 km)
miokard di masa lampau. Kadang-kadang c. Timbul waktu latihan ringan (jalan
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri 100 m)
pada pasien hipertensi dan angina, dapat d. Angina timbul jika gerak badan ringan
pula menunjukkan perubahan segmen ST (jalan biasa)
atau gelombang T yang tidak khas. Pada 2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris
saat serangan angina, EKG akan tidak stabil/ATS)
menunjukkan depresi segmen ST dan Angina dapat terjadi pada saat istirahat
gelombang T dapat menjadi negatif. maupun bekerja. Pada patologi biasanya
ditemukan daerah iskemik miokard yang

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

mempunyai ciri tersendiri. 2. Nitrat dikombinasikan dengan ß-blocker


3. Angina prinzmetal (Variant angina) atau Calcium Channel Blocker (CCB) non
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban dihidropiridin yang tidak meningkatkan
kerja jantung dan sering timbul pada denyut jantung (misalnya verapamil,
waktu beristirahat atau tidur. Pada angina diltiazem). Pemberian dosis pada
prinzmetal terjadi spasme arteri koroner serangan akut :
yang menimbulkan iskemi jantung di a. Nitrat 5 mg sublingual dapat dilanjutkan
bagian hilir. Kadang-kadang tempat spasme dengan 5 mg peroral sampai
berkaitan dengan arterosklerosis. mendapat pelayanan rawat lanjutan di
pelayanan sekunder.
Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian b. Beta bloker:
Cardiovascular Society • Propanolol 20-80 mg dalamdosis
Classification System: terbagi atau
• Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.
1. Kelas I : Pada aktivitas fisik biasa tidak c. Calcium Channel Blocker (CCB) non
mencetuskan angina. dihidropiridine dipakai bila Beta
Angina akan muncul ketika melakukan Blocker merupakan kontraindikasi,
peningkatan aktivitas fisik misalnya:
(berjalan cepat, olahraga dalam waktu yang • Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)
lama). • Diltiazem 30 mg (3-4 kali sehari)
2. Kelas II : Adanya pembatasan aktivitas 3. Antipletelet
sedikit/aktivitas sehari- hari (naik tangga Aspirin 160-320 mg sekali minum pada
dengan cepat, jalan naik, jalan setelah serangan akut.
makan, stres, dingin).
3. Kelas III : Benar-benar ada pembatasan Konseling dan Edukasi
aktivitas fisik karena sudah timbul gejala Menginformasikan individu dan keluarga untuk
angina ketika pasien baru berjalan 1 blok melakukan modifikasi gaya hidup antara lain:
atau naik tangga 1 tingkat.
4. Kelas IV : Tidak bisa melakukan aktivitas 1. Mengontrol emosi danmengurangi kerja
sehari-sehari, tidak nyaman, untuk berat dimana membutuhkan banyak oksigen
melakukan aktivitas sedikit saja bisa dalam aktivitasnya
kambuh, bahkan waktu istirahat juga bisa 2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak
terjadi angina. 3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol
4. Menjaga berat badan ideal
Diagnosis Banding
5. Mengatur pola makan
Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), 6. Melakukan olah raga ringan secara teratur
Gastritis akut, Nyeri muskuloskeletal, Pleuritis, 7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap
Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik melakukan pengobatan diabetes secara
teratur
Komplikasi 8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum
Sindrom koroner akut lipid
9. Mengontrol tekanan darah
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan
Dilakukan rujukan ke layanan sekunder (spesialis
Terapi farmakologi: jantung atau spesialis penyakit dalam) untuk
tatalaksana lebih lanjut.
1. Oksigen dimulai 2 L/menit

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 15


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Peralatan 3. Priori, S. G., Blanc, J. J., (France), Budaj.,


A., Camm, J., Dean, V., Deckers, J., Dickstein.
1. Elektrokardiografi (EKG)
K., Lekakis, J., McGregor. K., Metra. M.,
2. Radiologi (X ray thoraks)
Morais.
Prognosis J., Osterspey. A., Tamargo, J., Zamorano, J. L.,
Guidelines on the management of stable
Prognosis umumnya dubia ad bonam jika angina pectoris, 2006, European Heart
dilakukan tatalaksana dini dan tepat. Journal doi:10.1093/eurheartj/ehl002 ESC
Referensi Committee for Practice Guidelines (CPG).
(Priori, et al., 2006)
1. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip- 4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu
Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Volume 3. Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, FKUI.2007.c (Sudoyo, et al., 2006)
2000)
2. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The
Heart Manual of Cardiology.12th Ed.
McGraw-Hill. 2009. (O’Rouke, et al., 2009)

2. INFARK MIOKARD
No. ICPC-2 : K75 Acute Myocardial Infarction
No. ICD-10 : I21.9 Acute Myocardial Infarction, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan 1. Usia


Infark miokard (IM) adalah perkembangan cepat Risiko meningkat pada pria diatas 45
dari nekrosis otot jantung yang disebabkan tahun dan wanita diatas 55 tahun
oleh ketidakseimbangan kritis antara suplai (umumnya setelah menopause)
oksigen dan kebutuhan miokardium. Umumnya 2. Jenis kelamin
disebabkan ruptur plak dan trombus dalam Morbiditas akibat penyakit jantung
pembuluh darah koroner dan mengakibatkan koroner (PJK) pada laki-laki dua kali lebih
kekurangan suplai darah ke miokardium. besar dibandingkan pada perempuan, hal
ini berkaitan dengan estrogen endogen
Hasil Anamnesis (Subjective) yang bersifat protektif pada perempuan.
Keluhan Hal ini terbukti insidensi PJK meningkat
dengan cepat dan akhirnya setara dengan
1. Nyeri dada retrosternum seperti tertekan laki-laki pada wanita setelah masa
atau tertindih benda berat. menopause.
2. Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, 3. Riwayat keluarga
punggung, dan epigastrium.Penjalaran ke Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri
tangan kiri lebih sering terjadi. Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun
3. Disertai gejala tambahan berupa sesak, dan ibu < 65 tahun.
mual, muntah, nyeri epigastrium, keringat
dingin, dan cemas. Yang dapat diubah:

Faktor Risiko 1. Mayor


a. Peningkatan lipid serum
Yang tidak dapat diubah: b. Hipertensi
c. Merokok
d. Konsumsi alkohol

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

e. Diabetes Melitus Klasifikasi


f. Diet tinggi lemak jenuh,kolesterol dan
1. STEMI
kalori
2. Minor 2. NSTEMI/UAP
a. Aktivitas fisik kurang Diagnosis Banding
b. Stress psikologik
c. Tipe kepribadian Angina pektoris prinzmetal, Unstable angina
pectoris, Ansietas, Diseksi aorta, Dispepsia,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Miokarditis, Pneumothoraks, Emboli paru
Sederhana (Objective)
Komplikasi
Pemeriksaan Fisik
1. Aritmia letal
1. Pasien biasanya terbaring dengan gelisah 2. Perluasan infark dan iskemia paska infark
dan kelihatan pucat 3. Disfungsi otot jantung
2. Hipertensi/hipotensi 4. Ruptur miokard
3. Dapat terdengar suara murmur dan gallop
S3 Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Ronki basah disertai peningkatan vena Penatalaksanaan
jugularis dapat ditemukan pada AMI yang
disertai edema paru Segera rujuk setelah pemberian :
5. Dapat ditemukan aritmia
1. Oksigen 2-4 liter/menit
Pemeriksaan Penunjang 2. Nitrat, ISDN 5-10 mg sublingual maksimal 3
kali
EKG: 3. Aspirin, dosis awal 320 mg dilanjutkan dosis
1. Pada ST Elevation Myocardial infarct pemeliharaan 1 x 160 mg
(STEMI), terdapat elevasi segmen ST 4. Dirujuk dengan terpasang infus dan oksigen
diikuti dengan perubahan sampai inversi Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
gelombang T, kemudian muncul
peningkatan gelombang Q minimal di dua EKG serial
sadapan.
Konseling dan Edukasi
2. Pada NonST Elevation Myocardial infarct
(NSTEMI), EKG yang ditemukan dapat 1. Edukasi untuk kemungkinan kegawatan dan
berupa depresi segmen ST dan inversi segera dirujuk
gelombang T, atau EKG yang normal. 2. Modifikasi gaya hidup
Penegakan Diagnostik (Assessment) Kriteria Rujukan
Diagnosis Klinis Segera dirujuk ke layanan sekunder dengan
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam.
pemeriksaan fisik dan penunjang. Peralatan
Kriteria diagnosis pasti jika terdapat 2 dari 3 1. Tabung oksigen
hal di bawah ini: 2. Masker oksigen
1. Klinis: nyeri dada khas angina 3. Elektrokardiografi
2. EKG: ST elevasi atau ST depresi atau T Prognosis
inverted.
3. Laboratorium: peningkatan enzim jantung Prognosis umumnya dubia, tergantung pada
pada tatalaksana dini dan tepat.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 15


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Referensi 3. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The


Heart Manual of Cardiology. 12th
1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009 Ed.McGrawHill.2009. (Isselbacher, 2000)
(Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu
RSCM, 2004) Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
2. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip- FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
Volume 3. Jakarta: EGC.2000 (Isselbacher,
2000)

3. TAKIKARDIA
No. ICPC-2: K79 Paroxysmal Tachicardy
No. ICD-10: R00.0 Tachicardy Unspecified
I47.1 Supraventicular Tachicardy I47.2 Ventricular Tachicardy
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan 7. Pusing


Takikardi adalah suatu kondisi dimana denyut 8. Sinkop
jantung istirahat seseorang secara abnormal 9. Berkeringat
lebih dari 100 kali per menit. Sedangkan 10. Penurunan kesadaran bila terjadi
supraventikular takikardi (SVT) adalah gangguan hemodinamik
takikardi yang berasal dari sumber di atas Faktor Risiko
ventrikel (atrium atau AV junction), dengan ciri
gelombang QRS sempit (< 0,12ms) dan 1. Penyakit Jantung Koroner
frekuensi lebih dari 150 kali per menit. 2. Kelainan Jantung
3. Stress dan gangguan kecemasan
Ventrikular Takikardi (VT) adalah takikardi 4. Gangguan elektrolit
yang berasal dari ventrikel, dengan ciri 5. Hipertiroid
gelombang QRS lebar (> 0,12ms) dan frekuensi
biasanya lebih dari 150 kali per menit. VT ini Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
bisa menimbulkan gangguan hemodinamik yang Sederhana (Objective)
memerlukan tindakan resusitasi.
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Denyut jantung melebihi 100 kali per
Keluhan menit dan bisa menjadi sangat cepat
dengan frekuensi > 150 kali per menit pada
Gejala utama meliputi: keadaan SVT dan VT
1. Palpitasi 2. Takipnea
2. Sesak napas 3. Hipotensi
3. Mudah lelah 4. Sering disertai gelisah hingga penurunan
4. Nyeri atau rasa tidak nyaman di dada kesadaran pada kondisi yang tidak stabil
5. Denyut jantung istirahat lebih dari 100 Pemeriksaan Penunjang
kali per menit
6. Penurunan tekanan darah dapat terjadi EKG
pada kondisi yang tidak stabil
1. SVT: kompleks QRS sempit (< 0,12ms)

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dengan frekuensi > 150 kali per menit. Takikardia Stabil


Gelombang P bisa ada atau terkubur
Tatalaksana tergantung penyebab, bila sinus
dalam kompleks QRS.
2. VT: terdapat kompleks QRS lebar takikardia, istirahatkan pasien, dan berikan
(>0,12ms), tiga kali atau lebih secara oksigen, evaluasi penyebab (kardiak atau
berurutan. Frekuensi nadi biasanya > 150 ekstrakardiak seperti nyeri, masalah paru,
kali per menit cemas) bila tidak ada perubahan maka dapat
dirujuk.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Klinis
Edukasi kepada keluarga bahwa keadaan ini
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dapat mengancam jiwa dan perlu dilakukan
pemeriksaan fisik, dan penunjang. rujukan karena membutuhkan penanganan yang
cepat dan tepat.
Diagnosis Banding: -
Kriteria Rujukan
Komplikasi
Segera rujuk setelah pertolongan pertama
Dapat menyebabkan kematian
dengan pemasangan infus dan oksigen.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Peralatan
Penatalaksanaan
1. EKG
Tata Laksana Takikardia Tidak Stabil 2. Bag valve mask

Keadaan ini merupakan keadaan yang Prognosis


mengancam jiwa terutama bila disertai
Prognosis dalam kondisi ini umumnya dubia,
hemodinamik yang tidak stabil. Bila
tergantung dari penatalaksanaan selanjutnya.
hemodinamik tidak stabil (tekanan darah
sistolik < 90 mmHg) dengan nadi melemah, Referensi
apalagi disertai penurunan kesadaran bahkan
pasien menjadi tidak responsif harus 1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009
dilakukan kardioversi baik dengan obat
maupun elektrik. Kondisi ini harus segera
dirujuk dengan terpasang infus dan resusitasi
jantung paru bila tidak responsif. Oksigen
diberikan dengan sungkup O2 10-15 liter per
menit.
Pada kondisi stabil, SVT dapat diatasi dengan
dilakukan vagal manuver (memijat arteri karotis
atau bola mata selama 10-15 menit). Bila
tidak respon, dilanjutkan dengan pemberian
adenosin
6 mg bolus cepat. Bila tidak respon boleh
diulang dengan 12 mg sebanyak dua kali. Bila
tidak respon atau adenosin tidak tersedia,
segera rujuk ke layanan sekunder. Pada VT,
segera rujuk dengan terpasang infus dan
oksigen O2 nasal 4 liter per menit.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 15


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. GAGAL JANTUNG AKUT DAN KRONIK


No. ICPC-2: K77 Heart failure
No. ICD-10: I50.9 Heart failure, unspecified
Tingkat Kemampuan Gagal jantung akut 3B Gagal jantung kronik 3A

Masalah Kesehatan 3. Kardiomegali


Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan 4. Gangguan bunyi jantung (gallop)
masalah kesehatan yang menyebabkan 5. Ronki pada pemeriksaan paru
penurunan kualitas hidup, tingginya 6. Hepatomegali
rehospitalisasi karena kekambuhan yang 7. Asites
tinggi dan peningkatan angka kematian. 8. Edema perifer
Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas
Pemeriksaan Penunjang
meningkat seiring dengan meningkatnya usia
yaitu berkisar 0,7% (40-45 tahun), 1,3% (55- 1. X Ray thoraks untuk menilai kardiomegali
64 tahun), dan dan melihat gambaran edema paru
8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien 2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi,
kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi perubahan gelombang T, dan gambaran
lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko abnormal lain).
terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk 3. Darah perifer lengkap
lelaki dan 20,3% pada perempuan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria
1. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu Framingham yaitu minimal 1 kriteria mayor
d’effort) dan 2 kriteria minor.
2. Gangguan napas pada perubahan posisi
(ortopneu) Kriteria Mayor:
3. Sesak napas malam hari (paroxysmal 1. Sesak napas tiba-tiba pada malam hari
nocturnal dyspneu) (paroxysmal nocturnal dyspneu)
Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan 2. Distensi vena-vena leher
gangguan mental pada orangtua 3. Peningkatan tekanan vena jugularis
4. Ronki basah basal
Faktor Risiko 5. Kardiomegali
6. Edema paru akut
1. Hipertensi
7. Gallop (S3)
2. Dislipidemia
8. Refluks hepatojugular positif
3. Obesitas
4. Merokok Kriteria Minor:
5. Diabetes melitus
6. Riwayat gangguan jantung sebelumnya 1. Edema ekstremitas
7. Riwayat infark miokard 2. Batuk malam
3. Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 4. Hepatomegali
Sederhana (Objective) 5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital paru sepertiga
Pemeriksaan Fisik:
dari normal
1. Peningkatan tekanan vena jugular 7. Takikardi >120 kali per menit
2. Frekuensi pernapasan meningkat

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi


1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), 1. Edukasi tentang penyebab dan faktor
asma, pneumonia, infeksi paru berat risiko penyakit gagal jantung kronik
(ARDS), emboli paru misalnya tidak terkontrolnya tekanan
2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom darah, kadar lemak atau kadar gula darah.
nefrotik 2. Pasien dan keluarga perlu diberitahu
3. Sirosis hepatik tanda-tanda kegawatan kardiovaskular dan
4. Diabetes ketoasidosis pentingnya untuk kontrol kembali setelah
pengobatan di rumah sakit.
Komplikasi 3. Patuh dalam pengobatan yang telah
1. Syok kardiogenik direncanakan.
2. Gangguan keseimbangan elektrolit 4. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk
pasien beraktivitas dan berinteraksi.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 5. Melakukan konferensi keluarga untuk
mengidentifikasi faktor- faktor pendukung
Penatalaksanaan dan penghambat penatalaksanaan pasien,
1. Modifikasi gaya hidup serta menyepakati bersama peran
a. Pembatasan asupan cairan maksimal keluarga pada masalah kesehatan pasien.
1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter Kriteria Rujukan
(berat)
b. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol 1. Pasien dengan gagal jantung harus
2. Aktivitas fisik dirujuk ke fasilitas peayanan kesehatan
a. Pada kondisi akut berat: tirah baring sekunder yang memiliki dokter spesialis
b. Pada kondisi sedang atau jantung atau spesialis penyakit dalam
ringan:batasi beban kerja sampai untuk perawatan maupun pemeriksaan
60% hingga 80% dari denyut nadi lanjutan seperti ekokardiografi.
maksimal (220/umur) 2. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis
3. Penatalaksanaan farmakologi mengalami perburukan dalam waktu
Pada gagal jantung akut: cepat harus segera dirujuk layanan
a. Terapi oksigen 2-4 liter per menit sekunder atau layanan tertier terdekat
b. Pemasangan iv line untuk akses untuk dilakukan penanganan lebih lanjut.
dilanjutkan dengan pemberian
furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus Peralatan
dapat diulang tiap jam sampai dosis 1. EKG
maksimal 600 mg/hari. 2. Radiologi (X ray thoraks)
c. Segera rujuk. 3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
Pada gagal jantung kronik: perifer lengkap
a. Diuretik: diutamakan loop diuretic Prognosis
(furosemid) bila perlu dapat
dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24 Tergantung dari berat ringannya penyakit,
jam tidak ada respon rujuk ke layanan komorbid dan respon pengobatan.
sekunder.
b. ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine Referensi
II receptor blocker (ARB) mulai dari 1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.
dosis terkecil dan titrasi dosis sampai 2. Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family
tercapai dosis yang efektif dalam Medicine. 2009. (Usatine, et al., 2008)
beberapa minggu. Bila pengobatan 3. Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family
sudah mencapai dosis maksimal dan Medicine.2011. (RE & Rakel, 2011)
target tidak tercapai segera dirujuk.
c. Digoksin diberikan bila ditemukan
takikardi untuk menjaga denyut nadi
tidak terlalu cepat.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 16


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. CARDIORESPIRATORY ARREST
No. ICPC-2 No. ICD-10
: K80 cardiac arrhytmia NOS
: R09.2 Respiratory arrest/ Cardiorespiratory failure
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
tablet atau overdosis obat, trombosis
Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi koroner, dan thrombosis pulmoner),
kegawatdaruratan karena berhentinya tersedak, tenggelam, gagal jantung akut,
aktivitas jantung paru secara mendadak yang emboli paru, atau keracunan karbon
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. monoksida.
Hal ini disebabkan oleh malfungsi mekanik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi
Sederhana (Objective)
yang mendadak dan berat ini mengakibatkan
kerusakan organ. Pemeriksaan Fisik
Henti jantung adalah konsekuensi dari Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan:
aktivitas otot jantung yang tidak terkoordinasi.
Dengan EKG, ditunjukkan dalam bentuk 1. Pasien tidak sadar
Ventricular Fibrillation (VF). Satu menit dalam 2. Tidak ada nafas
keadaan persisten VF, aliran darah koroner 3. Tidak teraba denyut nadi di arteri-arteri
menurun hingga tidak ada sama sekali. Dalam besar (karotis dan femoralis).
4 menit, aliran darah katoris tidak ada Pemeriksaan Penunjang
sehingga menimbulkan kerusakan neurologi
secara permanen. EKG

Jenis henti jantung Gambaran EKG biasanya menunjukkan


gambaran VF (Ventricular Fibrillation). Selain
1. Pulseless Electrical Activity (PEA) itu dapat pula terjadi asistol, yang survival rate-
2. Takikardia Ventrikel nya lebih rendah daripada VF.
3. Fibrilasi Ventrikel
4. Asistole Penegakan Diagnostik (Assessment)

Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis

Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan


fisik sedangkan anamnesis berguna untuk
Pasien dibawa karena pingsan mendadak mengidentifikasi penyebabnya.
dengan henti jantung dan paru. Sebelumnya,
dapat ditandai dengan fase prodromal berupa Diagnosis Banding: -
nyeri dada, sesak, berdebar dan lemah. Hal yang
Komplikasi
perlu ditanyakan kepada keluarga pasien
adalah untuk mencari penyebab terjadinya CRA Konsekuensi dari kondisi ini adalah hipoksia
antara lain oleh: ensefalopati, kerusakan neurologi permanen dan
kematian.
1. 5 H (hipovolemia, hipoksia, hidrogen ion
atau asidosis, hiper atau hipokalemia dan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
hipotermia)
2. 5 T (tension pneumothorax, tamponade, Penatalaksanaan
1. Melakukan resusitasi jantung paru pada

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

pasien, sesegera mungkin tanpa menunggu Peralatan


anamnesis dan EKG.
2. Pasang oksigen dan IV line 1. Elektrokardiografi (EKG)
2. Tabung oksigen
Konseling dan Edukasi 3. Bag valve mask
Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien Prognosis
dan tindak lanjut dari tindakan yang telah
dilakukan, serta meminta keluarga untuk Prognosis umumnya dubia ad malam,
tergantung pada waktu dilakukannya
tetap tenang pada kondisi tersebut.
penanganan medis.
Rencana Tindak Lanjut
Referensi
Monitor selalu kondisi pasien hingga dirujuk
ke spesialis. 1. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric
Rescucitation in Critical Care Handbook of
Kriteria rujukan the Massachusetts General Hospital. 4Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Setelah sirkulasi spontan kembali (Return of
2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)
Spontaneous Circulation/ROSC) pasien dirujuk 2. 2. O’Rouke. Walsh. Fuster. Hurst’s The Heart
ke layanan sekunder untuk tatalaksana lebih Manual of Cardiology. 12th Ed.McGraw Hill.
lanjut. 2009.
3. Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007.

6. HIPERTENSI ESENSIAL
No ICPC-2 No ICD-10
: K86 Hypertension uncomplicated
: I10 Essential (primary) hypertension
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 3. Jantung berdebar-debar


Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang 4. Pusing
tidak diketahui penyababnya. Hipertensi menjadi 5. Leher kaku
masalah karena meningkatnya prevalensi, 6. Penglihatan kabur
masih banyak pasien yang belum mendapat 7. Rasa sakit di dada
pengobatan, maupun yang telah mendapat Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman
terapi tetapi target tekanan darah belum kepala, mudah lelah dan impotensi.
tercapai serta adanya penyakit penyerta dan
komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas Faktor Risiko
dan mortalitas.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Umur
Keluhan 2. Jenis kelamin
3. Riwayat hipertensi dan penyakit
Mulai dari tidak bergejala sampai dengan kardiovaskular dalam keluarga.
bergejala. Keluhan hipertensi antara lain:
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1. Sakit atau nyeri kepala
2. Gelisah 1. Riwayat pola makan (konsumsi garam
berlebihan)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 16


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Konsumsi alkohol berlebihan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


3. Aktivitas fisik kurang
4. Kebiasaan merokok Penatalaksanaan
5. Obesitas Peningkatan tekanan darah dapat dikontrol
6. Dislipidemia dengan perubahan gaya hidup dan terapi
7. Diabetus Melitus farmakologis.
8. Psikososial dan stres
Tabel 6.2 Modifikasi gaya hidup untuk
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang hipertensi
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien tampak sehat, dapat terlihat sakit
ringan-berat bila terjadi komplikasi
hipertensi ke organ lain.
2. Tekanan darah meningkat sesuai kriteria
JNC VII.
3. Pada pasien dengan hipertensi, wajib
diperiksa status neurologis dan pemeriksaan
fisik jantung (tekanan vena jugular, batas
jantung, dan ronki).
Pemeriksaan Penunjang
Gambar 6.1 Algoritme tata laksana hipertensi
1. Laboratorium : Urinalisis (proteinuria), tes
gula darah, profil lipid, ureum, kreatinin
2. X raythoraks
3. EKG
4. Funduskopi
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Tabel 6.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan
Joint National Committee VII (JNC VII)
Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik
Normal <120 mmHg < 80 mmHg
Pre-Hipertenal 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertenal stage-1 140-159 mmHg 80-99 mmHg
Hipertenal stage-2 ≥160 mmHg ≥100 mmHg

Diagnosis Banding
White collar hypertension, Nyeri akibat tekanan
intraserebral, Ensefalitis

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

1. Hipertensi tanpa compelling indication c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan


a. Hipertensi stage1: dapat diberikan ada tidaknya kontraindikasi dari
diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, atau masing-masing antihipertensi diatas.
pemberian penghambat ACE (captopril Sebaiknya pilih obat hipertensi yang
3x12,5-50 mg/hari), atau nifedipin long diminum sekali sehari atau maksimum
acting 30-60 mg/hari) atau kombinasi. 2 kali sehari.
b. Hipertensi stage2: Bila target terapi Bila target tidak tercapai maka dilakukan
tidak tercapai setelah observasi optimalisasi dosis atau ditambahkan obat
selama 2 minggu, dapat diberikan lain sampai target tekanan darah tercapai
kombinasi 2 obat, biasanya golongan
diuretik, tiazid dan penghambat ACE Tabel 6.3 Obat yang direkomendasikan untuk
atau penyekat reseptor beta atau hipertensi
penghambat kalsium.

2. Kondisi khusus lain


Komplikasi
a. Lanjut Usia
i. Diuretik (tiazid) mulai dosis 1. Hipertrofi ventrikel kiri
rendah 12,5 mg/hari. 2. Proteinurea dan gangguan fungsi ginjal
ii. Obat hipertensi lain 3. Aterosklerosis pembuluh darah
mempertimbangkan penyakit 4. Retinopati
penyerta. 5. Stroke atau TIA
b. Kehamilan 6. Gangguan jantung, misalnya infark miokard,
i Golongan metildopa, penyekat angina pektoris, serta gagal jantung
reseptor ß, antagonis kalsium,
vasodilator. Konseling dan Edukasi
ii. Penghambat ACE dan antagonis 1. Edukasi tentang cara minum obat di
reseptor AII tidak boleh rumah, perbedaan antara obat-obatan
digunakan selama kehamilan. yang harus diminum untuk jangka
panjang (misalnya untuk mengontrol
tekanan darah) dan pemakaian jangka
pendek untuk menghilangkan gejala
(misalnya untuk

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 16


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

mengatasi mengi), cara kerja tiap-tiap obat,


dosis yang digunakan untuk tiap obat dan
berapa kali minum sehari.
2. Pemberian obat anti hipertensi merupakan
pengobatan jangka panjang. Kontrol
pengobatan dilakukan setiap 2 minggu
atau 1 bulan untuk mengoptimalkan hasil
pengobatan.
3. Penjelasan penting lainnya adalah tentang
pentingnya menjaga kecukupan pasokan
obat-obatan dan minum obat teratur seperti
yang disarankan meskipun tak ada gejala.
4. Individu dan keluarga perlu
diinformasikan juga agar melakukan
pengukuran kadar gula darah, tekanan
darah dan periksa urin secara teratur.
Pemeriksaan komplikasi hipertensi
dilakukan setiap 6 bulan atau minimal 1
tahun sekali.
Kriteria Rujukan
1. Hipertensi dengan komplikasi
2. Resistensi hipertensi
3. Hipertensi emergensi (hipertensi dengan
tekanan darah sistole >180)
Peralatan
1. Laboratorium untuk melakukan pemeriksaan
urinalisis dan glukosa
2. EKG
3. Radiologi (X ray thoraks)
Prognosis
Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol.
Referensi
1. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku
Pedoman Pengendalian Hipertensi.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

G. MUSKULOSKELETAL

1. FRAKTUR TERBUKA
No. ICPC-2 : L76 fracture other
No. ICD-10 : T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
c.Terabanya jaringan tulang yang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, menonjol keluar
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik d. Adanya deformitas
yang bersifat total maupun parsial. e. Panjang anggota gerak berkurang
dibandingkan sisi yang sehat
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur yang 3. Gerak (move)
terdapathubungan dengan lingkungan luar Umumnya tidak dapat digerakkan
melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
bakteri dan dapat menimbulkan komplikasi Pemeriksaan Penunjang
infeksi.
Pemeriksaan radiologi, berupa: Foto polos
Hasil Anamnesis (Subjective) dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan
lateral
Keluhan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Adanya patah tulang terbuka setelah
terjadinya trauma Diagnosis klinis
2. Nyeri
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
3. Sulit digerakkan
pemeriksaan fisik dan penunjang.
4. Deformitas
5. Bengkak Klasifikasi
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok:
8. Kelemahan otot 1. Grade I
Faktor Risiko: - a. Fraktur terbuka dengan luka kulit
kurang dari 1 cm dan bersih
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang b. Kerusakan jaringan minimal, frakturnya
Sederhana (Objective) simple atau oblique dan sedikit
kominutif .
Pemeriksaan Fisik
2. Grade II
1. Inspeksi (look) a. Fraktur terbuka dengan luka robek lebih
Adanya luka terbuka pada kulit yang dari 1 cm, tanpa ada kerusakan jaringan
dapat berupa tusukan tulang yang tajam lunak,
keluar menembus kulit atau dari luar oleh b. Flap kontusio avulsi yang luas
karena tertembus, misalnya oleh peluru serta fraktur kominutif sedang dan
atau trauma langsung dengan fraktur kontaminasi sedang.
yang terpapar dengan dunia luar. 3. Grade III
2. Palpasi (feel)
Fraktur terbuka segmental atau kerusakan
a. Robekan kulit yang terpapar dunia luar
jaringan lunak yang luas atau amputasi
b. Nyeri tekan
traumatic, derajad kontaminasi yang berat
dan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 16


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

trauma dengan kecepatan tinggi. 4. Pemberian antibiotika: merupakan cara


efektif mencegah terjadinya infeksi pada
Fraktur grade III dibagi menjadi tiga, yaitu: fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan
a. Grade IIIa: Fraktur segmental atau sangat sebaiknya dengan dosis yang besar.
kominutif penutupan tulang dengan Untuk fraktur terbuka antibiotika yang
jaringan lunak cukup adekuat. dianjurkan adalah golongan
b. Grade IIIb: Trauma sangat berat atau cephalosporin, dan dikombinasi dengan
kehilangan jaringan lunak yang cukup golongan aminoglikosida.
luas, terkelupasnya daerah periosteum dan 5. Pencegahan tetanus: semua penderita
tulang tampak terbuka,serta adanya dengan fraktur terbuka perlu diberikan
kontaminasi yang cukup berat. pencegahan tetanus. Pada penderita yang
c. Grade IIIc: Fraktur dengan kerusakan telah mendapat imunisasi aktif cukup
pembuluh darah. dengan pemberian tetanus toksoid tapi
bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit
Diagnosis Banding: - tetanus imunoglobulin.
Komplikasi Kriteria Rujukan
Perdarahan, syok septik sampai kematian, Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih
septikemia, toksemia oleh karena infeksi stabil dengan tetap mengawasi tanda vital.
piogenik, tetanus, gangrene, perdarahan
sekunder, osteomielitis kronik, delayed union, Peralatan
nonunion dan malunion, kekakuan sendi, Bidai, set bedah minor
komplikasi lain oleh karena perawatan yang
lama Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis quo ad fungsionam adalah dubia
ad bonam, tergantung pada kecepatan dan
Prinsip penanganan fraktur terbuka ketepatan tindakan yang dilakukan.
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara Referensi
emergensi dengan metode ATLS
2. Lakukan irigasi luka 1. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture.
3. Lakukan imobilisasi fraktur E-medicine. Medscape. Update 21 May.
4. Pasang cairan dan berikan antibiotika 2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
intra vena yang sesuai dan adekuat 2. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah
kemudian segera rujuk kelayanan sekunder. Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta:
PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334.
Penatalaksanaan (Chairuddin, 2007)
1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan
cara irigasi dengan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing
yang melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan,
pada fraktur dengan tulang menonjol
keluarsedapat mungkin dihindari
memasukkan komponen tulang tersebut
kembali kedalam luka.
3. Fraktur grade II dan III sebaiknya
difiksasi dengan fiksasi eksterna.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. FRAKTUR TERTUTUP
No. ICPC-2 : L76 fracture other
No. ICD-10 : T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, Diagnosis Klinis
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
yang bersifat total maupun parsial. Fraktur
pemeriksaan fisik dan penunjang.
tertutup adalah suatu fraktur yang tidak
berhubungan dengan lingkungan luar. Diagnosis Banding : -
Hasil Anamnesis (Subjective) Komplikasi
Keluhan Compartemen syndrome
1. Adanya riwayat trauma (terjatuh, Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
kecelakaan, dll)
2. Nyeri Prinsip penatalaksanaan dilakukan dengan:
3. Sulit digerakkan 1. Semua fraktur dikelola secara emergensi
4. Deformitas dengan metode ATLS
5. Bengkak 2. Lakukan stabilisasi fraktur dengan bidai,
6. Perubahan warna waspadai adanya tanda- tanda
7. Gangguan sensibilitas compartemen syndrome seperti edema,
8. Kelemahan otot Faktor Risiko: Osteoporosis kulit yang mengkilat dan adanya nyeri
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang tekan.
Sederhana (Objective) 3. Rujuk segera kelayanan sekunder
Pemeriksaan Fisik Kriteria Rujukan
1. Inspeksi (look) Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil
Adanya deformitas dari jaringan tulang, dengan tetap mengawasi tanda vital.
namun tidak menembus kulit. Anggota
tubuh tdak dapat digerakkan. Peralatan
2. Palpasi (feel)
1. Bidai
a. Teraba deformitas tulang jika 2. Jarum kecil
dibandingkan dengan sisi yang sehat.
b. Nyeri tekan. Prognosis
c. Bengkak.
d. Perbedaan panjang anggota gerak Prognosis umumnya bonam, namun quo ad
yang sakitdibandingkan dengan sisi fungsionam adalah dubia ad bonam. Hal ini
yang sehat. bergantung kepada kecepatan dan ketepatan
3. Gerak (move) Umumnya tidak dapat tindakan yang dilakukan.
digerakkan Referensi
Pemeriksaan Penunjang
1. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah
Pemeriksaan radiologi berupa foto polos Ortopedi. Fraktur Tertutup. Edisi 3. Jakarta:
dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan PT Yarsif Watampone. 2007. Hal:327-332.
lateral.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 16


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. POLIMIALGIA REUMATIK
No. ICPC-2 No. ICD-10
: L99 Musculosceletal disease other
: M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Gejala umumsebagai berikut:


Poly Myalgia Rheumatica (PMR) adalah suatu 1. Penampilan lelah
sindrom klinis dengan etiologi yang tidak 2. Pembengkakan ekstremitas distal dengan
diketahui yang mempengaruhi individu usia pitting edema.
lanjut. Hal ini ditandai dengan myalgia proksimal
dari pinggul dan gelang bahu dengan Temuan muskuloskeletal sebagai berikut:
kekakuan pagi hari yang berlangsung selama 1. Kekuatan otot normal, tidak ada atrofi otot
lebih dari 1 jam.
2. Nyeri pada bahu dan pinggul dengan
Hasil Anamnesis (Subjective) gerakan
3. Sinovitis transien pada lutut, pergelangan
Keluhan tangan, dan sendi sterno klavikula.
Pada sekitar 50 % pasien berada dalam Pemeriksaan Penunjang
kesehatan yang baik sebelum onset penyakit
yang tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
gejala muncul pertama kali pada bahu. Sisanya, Penegakan Diagnostik (Assessment)
pinggul atau leher yang terlibat saat onset.
Gejala terjadi mungkin pada satu sisi tetapi Diagnosis Klinis
biasanya menjadi bilateral dalam beberapa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu set
minggu.
kriteria diagnostik berikut, yaitu:
Gejala-gejala termasuk nyeri dan kekakuan bahu
1. Usia onset 50 tahun atau lebih tua
dan pinggul. Kekakuan mungkin begitu parah
2. Laju endap darah ≥ 40 mm / jam
sehingga pasien mungkin mengalami kesulitan
3. Nyeri bertahan selama ≥ 1 bulan dan
bangkit dari kursi, berbalik di tempat tidur, atau
melibatkan 2 dari daerah berikut: leher,
mengangkat tangan mereka di atas bahu tinggi.
bahu, dan korset panggul
Kekakuan setelah periode istirahat (fenomena
4. Tidak adanya penyakit lain dapat
gel) serta kekakuan pada pagi hari lebih dari
1 jam biasanya terjadi. Pasien juga mungkin menyebabkan gejala muskuloskeletal
5. Kekakuan pagi berlangsung ≥ 1 jam
menggambarkan sendi distal bengkak atau
6. Respon cepat terhadap prednison (≤ 20 mg)
yang lebih jarang berupa edema tungkai. Carpal
tunnel syndrome dapat terjadi pada beberapa Diagnosis Banding
pasien.
Amiloidosis, AA (Inflammatory), Depresi,
Faktor Risiko: - Fibromialgia, Giant Cell Arteritis, Hipotiroidism,
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang Multipel mieloma, Osteoartritis, Sindroma
sederhana (Objective) paraneoplastik, Artritis reumatoid.

Pemeriksaan Fisik Patognomonis Komplikasi : -

Tanda-tanda dan gejala polymyalgia Penatalaksanaan komprehensif (Plan)


rheumatic tidak spesifik, dan temuan obyektif Penatalaksanaan
pada pemeriksaan fisik sering kurang.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

1. Prednison dengan dosis 10-15 mg peroral penderita, sehingga dukungan keluarga


setiap hari, biasanya menghasilkan sangatlah penting.
perbaikan klinis dalam beberapa hari.
2. ESR biasanya kembali ke normal selama Kriteria Rujukan
pengobatan awal, tetapi keputusan terapi Setelah ditegakkan dugaan diagnosis, pasien
berikutnya harus berdasarkan status ESR dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder.
dan klinis.
3. Terapi glukokortikoid dapat diturunkan Peralatan
secara bertahap dengan dosis pemeliharaan Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
5-10 mg peroral setiap hari tetapi harus darah
dilanjutkan selama minimal 1 tahun untuk
meminimalkan risiko kambuh. Prognosis
Konsultasi dan Edukasi Prognosis adalah dubia ad bonam, tergantung
dari ada/tidaknya komplikasi.
Edukasi keluarga bahwa penyakit ini mungkin
menimbulkan gangguan dalam aktivitas Referensi
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. 2009.

4. ARTRITIS REUMATOID
No. ICPC-2 No. ICD-10
: L99 Musculosceletal disease other
: M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Gejala sinovitis pada sendi yang terkena:
Penyakit autoimun yang ditandai dengan bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan
walaupun terutama mengenai jaringan pada pagi hari > 1 jam.
persendian, seringkali juga melibatkan organ
tubuh lainnya. Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis),
kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis),
Hasil Anamnesis (Subjective) hematologi (anemia).
Keluhan Faktor Risiko
Gejala pada awal onset 1. Wanita,
2. Faktor genetik.
Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, 3. Hormon seks.
seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung 4. Infeksi
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. 5. Merokok
Gejala spesifik pada banyak sendi (poliartrikular) Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
secara simetris, dapat mengenai seluruh sendi sederhana (Objective)
terutama sendi PIP (proximal interphalangeal),
sendi MCP (metacarpophalangeal) atau Pemeriksaan Fisik
MTP (metatarsophalangeal), pergelangan
tangan, bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP Manifestasi artikular:
(distal interphalangeal) umumnya tidak terkena. Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi,
sendi teraba hangat, deformotas (swan neck,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 17


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

boutonniere, deviasi ulnar) Gambar 6.2 Radiologi tangan pada Artritis


Manifestasi ekstraartikular: Rheumatoid
1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada
daerah yg banyak menerima penekanan,
vaskulitis.
2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel
syndrome atau frozen shoulder.
3. Mata dapat ditemukan kerato-konjungtivitis
sicca yang merupakan manifestasi
sindrom Sjorgen, episkleritis/ skleritis.
Konjungtiva tampak anemia akibat penyakit
kronik.
4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya Penegakan Diagnosis (Assessment)
radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis Diagnosis Klinis
interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru
luas. Diagnosis RA biasanya didasarkan pada
5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan gambaran klinis dan radiografis.
perikarditis konstriktif, disfungsi katup, Kriteria Diagnosis
fenomena embolisasi, gangguan konduksi,
aortritis, kardiomiopati. Berdasarkan ACR-EULAR 2010:
Pemeriksaan Penunjang Dibuat skor dari beberapa poin dibawah ini :
Pemeriksaan laju endap darah (LED) 1. Jumlah sendi yang terlibat
Pemeriksaan di pelayanan kesehatan sekunder a. 1 sendi besar 0
atau rujukan horizontal: b. 2-10 sendi besar 1
c. 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa 2
1. Faktor reumatoid (RF) serum. sendi besar)
2. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini d. 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa 3
berupa pembengkakan jaringan lunak, sendi besar)
diikuti oleh osteoporosis juxta-articular e. >10 sendi dengan minimal 1 sendi 5
dan erosi pada bare area tulang. Keadaan kecil
lanjut terlihat penyempitan celah sendi,
osteoporosis difus, erosi meluas sampai Sendi DIP, MTP I, carpometacarpal I tidak
daerah subkondral. termasuk dalam kriteria yang dimaksud
sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu
3. ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide
antibody) / anti-CCP jari, dan pergelangan tangan yang
dimaksud sendi besar adalah bahu, siku,
4. CRP lutut, pangkal paha, dan pergelangan kaki.
2. Acute phase reactants : LED dan CRP
5. Analisis cairan sendi
LED atau CRP naik : 1
6. Biopsi sinovium/ nodul rheumatoid 3. RF atau anti CCP
a. RF dan anti CRP (-) 0
b. RF atau anti CRP naik < 3 batas atas 2
normal (BAN)
c. RF atau CRP naik > 3 BAN 3
4. Durasi

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

a. Lebih dari 6 Minggu 1


b. Kurang dari 6 Minggu 0
Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA yang dikonfirmasi oleh bukti pencitraan
Tabel 6.4 Sistem penilaian klasifikasi kriteria akan adanya sinovitis. Sendi interfalang
RA (American College of Rheumatology/ distal, sendi karpometakarpal I, dan sendi
European League Against Rheumatism, 2010) metatarsofalangeal I tidak dimasukkan
dalam pemeriksaan. Kategori distribusi
sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi
dan jumlah sendi yang terlibat, ditempatkan
ke dalam kategori tertinggi berdasarkan
pola keterlibatan sendi.
5. Sendi-sendi besar merujuk pada bahu, siku,
pinggul, lutut, dan pergelangan kaki.
6. Sendi-sendi kecil merujuk pada sendi
metakarpofalangeal, sendi interfalang
proksimal, sendi metatarsophalangeal II-
V, sendi interfalang ibujari, dan pergelangan
tangan.
7. Dalam kategori ini, minimal 1 dari sendi
Catatan: yg terlibat harus sendi kecil; sendi lainnya
dapat berupa kombinasi dari sendi besar
1. Kriteria tersebutditujukan untuk klasifikasi dan sendi kecil tambahan, seperti sendi
pasien baru. lainnya yang tidak terdaftar secara spesifik
Sebagai tambahan, pasien dengan dimanapun (misal temporomandibular,
penyakit erosif tipikal RA dengan riwayat akromioklavikular, sternoklavikular dan lain-
yang sesuai dengan kriteria 2010 ini lain).
harus diklasifikasikan ke dalam RA. Pasien
dengan penyakit lama, termasuk yang tidak 8. Negatif merujuk pada nilai IU yg ≤ batas
aktif (dengan atau tanpa pengobatan), atas nilai normal (BAN) laboratorium dan
yang berdasarkan data retrospektif yang assay; positif rendah merujuk pada nilai
dimiliki memenuhi kriteria 2010 ini harus IU yang ≥ BAN tetapi ≤ 3x BAN
diklasifikasikan ke dalam RA. laboratorium dan assay; positif tinggi
merujuk pada nilai IU yg > 3x BAN
2. Diagnosis banding bervariasi diantara laboratorium dan assay. Ketika RF hanya
pasien dengan manifestasi yang berbeda, dapat dinilai sebagai positif atau negatif,
tetapi boleh memasukkan kondisi seperti hasil positif harus dinilai sebagai positif
SLE, artritis psoriatic, dan gout. Jika rendah untuk RA. ACPA = anti- citrullinated
diagnosis banding masih belum jelas, protein antibody.
hubungi ahli reumatologi.
9. Normal/tidak normal ditentukan oleh
3. Walaupun pasien dengan skor < 6 dari tidak standar laboratorium setempat. CRP (C-
diklasifikasikan ke dalam RA, status mereka reactive protein); LED (Laju Endap Darah).
dapat dinilai ulang dan kriteria ini bisa
dipenuhi secara kumulatif seiring waktu. 10. Durasi gejala merujuk pada laporan dari
pasien mengenai durasi gejala dan tanda
4. Keterlibatan sendi merujuk pada sendi sinovitis (misal nyeri, bengkak, dan nyeri
yang bengkak atau nyeri pada pemeriksaan, pada penekanan) dari sendi yang secara
klinis terlibat pada saat pemeriksaan, tanpa
memandang status pengobatan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 17


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding penatalaksanaan selanjutnya.


Penyebab arthritis lainnya, Spondiloartropati Referensi
seronegatif, Lupus eritematosus istemik,
1. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In:
Sindrom Sjogren
Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Komplikasi Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA:
McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
1. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck,
deviasi ulnar) 2. Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo,
A.W. Setiyohadi, B Alwi, I. Simadibrata, M.
2. Sindrom terowongan karpal (TCS)
Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit
3. Sindrom Felty (gabungan gejala RA, Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
splenomegali, leukopenia, dan ulkus pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
tungkai; juga sering disertai limfadenopati 2006: p. 1184-91.
dan trombositopenia) 3. Panduan Pelayanan Medis Departemen
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo. 2007
Penatalaksanaan
1. Pasien diberikan informasi untuk
memproteksi sendi, terutama pada stadium
akut dengan menggunakan decker.
2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid,
seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari,
meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-
400 mg/sehari.
3. Pemberian golongan steroid, seperti:
prednison atau metil prednisolon dosis
rendah (sebagai bridging therapy).
4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu
dapat diberikan ortosis.
Kriteria rujukan
1. Tidak membaik dengan pemberian obat anti
inflamasi dan steroid dosis rendah.
2. RA dengan komplikasi.
3. Rujukan pembedahan jika terjadi
deformitas.
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah.
Prognosis
Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat
tergantung dari perjalanan penyakit dan

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. ARTRITIS, OSTEOARTRITIS
No. ICPC-2: L91 Osteoarthrosis other No. ICD-10: M19.9 Osteoarthrosis other
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnosis (Assessment)


Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan Diagnosis Klinis
dengan kerusakan kartilago sendi. Pasien sering
datang berobat pada saat sudah ada deformitas Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran
sendi yang bersifat permanen. klinis dan radiografi.

Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding


Keluhan Artritis Gout, Rhematoid Artritis
1. Nyeri sendi Komplikasi
2. Hambatan gerakan sendi
Deformitas permanen
3. Kaku pagi
4. Krepitasi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Pembesaran sendi
6. Perubahan gaya berjalan Penatalaksanaan

Faktor Risiko 1. Pengelolaan OA berdasarkan atas


distribusinya (sendi mana yang terkena) dan
1. Usia > 60 tahun berat ringannya sendi yang terkena.
2. Wanita, usia >50 tahun atau menopouse 2. Pengobatan bertujuan untuk mencegah
3. Kegemukan/ obesitas progresifitas dan meringankan gejala yang
4. Pekerja berat dengen penggunaan satu dikeluhkan.
sendi terus menerus 3. Modifikasi gaya hidup, dengan cara:
a. Menurunkan berat badan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
b. Melatih pasien untuk tetap
sederhana (Objective)
menggunakan sendinya dan melindungi
Pemeriksaan Fisik sendi yang sakit
4. Pengobatan Non Medikamentosa
Tanda Patognomonis Rehabilitasi Medik /Fisioterapi
1. Hambatan gerak 5. Pengobatan Medikamentosa
2. Krepitasi a. Analgesik topikal
3. Pembengkakan sendi yang seringkali b. NSAID (oral):
asimetris • non selective: COX1 (Diklofenak,
4. Tanda-tanda peradangan sendi Ibuprofen, Piroksikam, Mefenamat,
5. Deformitas sendi yang permanen Metampiron)
6. Perubahan gaya berjalan Pemeriksaan • selective: COX2 (Meloksikam)
Penunjang Radiografi Kriteria Rujukan
1. Bila ada komplikasi, termasuk komplikasi
terapi COX 1
2. Bila ada komorbiditas

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 17


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Bila nyeri tidak dapat diatasi dengan obat- Prognosis


obatan Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa,
4. Bila curiga terdapat efusi sendi namun fungsi sering terganggu dan sering
Peralatan mengalami kekambuhan.
Referensi
Tidak terdapat peralatan khusus yang
digunakan mendiagnosis penyakit arthritis 1. Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA:
McGraw-Hill. 2008.

6. VULNUS
No. ICPC-2
: S.16 Bruise / Contusion
Abration / Scratch / Blister
No. ICD-10 Laceration / Cut
: T14.1 Open wound of unspecified body region
Tingkat Kemampuan:
Vulnus laceratum, punctum 4A
Vulnus perforatum, penetratum 3B

Masalah Kesehatan
kecil tapi didalam mungkin rusak berat, jika
Kulit merupakan bagian tubuh yang paling yang mengenai abdomen/thorax disebut
luar yang berguna melindungi diri dari trauma vulnus penetrosum(luka tembus).
luar serta masuknya benda asing.Apabila kulit
2. Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat)
terkena trauma, maka dapat menyebabkan luka/
vulnus.Luka tersebut dapat merusak jaringan, Penyebab dari luka jenis ini adalah
sehingga terganggunya fungsi tubuh serta dapat sayatan benda tajam atau jarum
mengganggu aktifitas sehari-hari. merupakan luka terbuka akibat dari terapi
untuk dilakukan tindakan invasif, tepi luka
Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan,
tajam dan licin.
dapat ditimbulkan oleh berbagai macam
akibat yaitu trauma, meliputi luka robek 3. Vulnus Schlopetorum (Luka Tembak)
(laserasi), luka akibat gesekan (abrasi), luka
akibat tarikan (avulsi), luka tembus Penyebabnya adalah tembakan, granat.
(penetrasi), gigitan, luka bakar, dan Pada pinggiran luka tampak kehitam-
pembedahan. hitaman, bisa tidak teratur kadang
ditemukan corpus alienum.
Etiologi
4. Vulnus Morsum (Luka Gigitan)
Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari :
Penyebab adalah gigitan binatang atau
Trauma tajam yang menimbulkan luka manusia, kemungkinan infeksi besar bentuk
terbuka, misalnya : luka tergantung dari bentuk gigi
1. Vulnus Punctum (Luka Tusuk) 5. Vulnus Perforatum (Luka Tembus)
Penyebab adalah benda runcing tajam Luka jenis ini merupakan luka tembus
atau sesuatu yang masuk ke dalam kulit, atau luka jebol. Penyebab oleh karena
merupakan luka terbuka dari luar tampak panah,

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

tombak atau proses infeksi yang meluas Patofisiologi


hingga melewati selaput serosa/epithel
Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang
organ jaringan.
mengenai tubuh yang bisa disebabkan oleh
6. Vulnus Amputatum (Luka Terpotong) trauma mekanis dan perubahan suhu (luka
bakar). Vulnus yang terjadi dapat menimbulkan
Luka potong, pancung dengan penyebab
beberapa tanda dan gejala seperti bengkak,
benda tajam ukuran besar/berat, gergaji.
krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau bisa
Luka membentuk lingkaran sesuai dengan
juga menimbulkan kondisi yang lebih serius.
organ yang dipotong. Perdarahan hebat,
Tanda dan gejala yang timbul tergantung
resiko infeksi tinggi, terdapat gejala pathom
pada penyebab dan tipe vulnus.
limb.
Macam-macam Luka
Trauma tumpul yang menyebabkan luka
tertutup (vulnus occlusum), atau luka terbuka Menurut tipenya luka dibedakan menjadi 4
(vulnus apertum), misalnya : tipe luka yaitu :
1. Vulnus Laceratum (Laserasi/Robek) 1. Luka bersih (Clean wound)
Jenis luka ini disebabkan oleh karena Luka bersih adalah luka karena tindakan
benturan dengan benda tumpul, dengan operasi dengan tehnik steril, misalnya pada
ciri luka tepi luka tidak rata dan perdarahan daerah dinding perut, dan jaringan lain yang
sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi. letaknya lebih dalam (non contaminated
deep tissue), misalnya tiroid, kelenjar,
2. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet)
pembuluh darah, otak, tulang.
Penyebab luka karena kecelakaan atau jatuh 2. Luka bersih-kontaminasi (Clean
yang menyebabkan lecet pada permukaan contaminated wound)
kulit merupakan luka terbuka tetapi yang
terkena hanya daerah kulit. Merupakan luka yang terjadi karena
benda tajam, bersih dan rapi, lingkungan
3. Vulnus Contussum (Luka Kontusio)
tidak steril atau operasi yang mengenai
Penyebab: benturan benda yang keras. daerah usus halus dan bronchial.
Luka ini merupakan luka tertutup, akibat 3. Luka kontaminasi (Contaminated wound)
dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur
pada pembuluh darah menyebabkan nyeri Luka ini tidak rapi, terkontaminasi oleh
dan berdarah (hematoma) bila kecil maka lingkungan kotor, operasi pada saluran
akan diserap oleh jaringan di sekitarnya jika terinfeksi (usus besar, rektum, infeksi
organ dalam terbentur dapat menyebabkan bronkhial, saluran kemih)
akibat yang serius.
4. Luka infeksi (Infected wound)
Trauma termal, (Vulnus Combustion-Luka
Jenis luka ini diikuti oleh adanya infeksi,
Bakar), yaitu kerusakan kulit karena suhu yang
ekstrim, misalnya air panas, api, sengatan listrik, kerusakan jaringan, serta kurangnya
vaskularisasi pada jaringan luka.
bahan kimia, radiasi atau suhu yang sangat
dingin (frostbite). Hasil Anamnesis (Subjective)
Jaringan kulit rusak dengan berbagai derajat Terjadi trauma, ada jejas, memar, bengkak,
mulai dari lepuh (bula), sampai karbonisasi nyeri, rasa panas didaerah trauma.
(hangus). Terdapat sensasi nyeri dan atau
anesthesia.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 17


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang bila diperlukan.


Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Inspeksi: adanya kerusakan jaringan didaerah
trauma, ada perdarahan, edema sekitar area 1. Pertama dilakukan anestesi setempat atau
umum, tergantung berat dan letak luka,
trauma, melepuh, kulit warna kemerahan
sampai kehitaman. serta keadaan penderita, luka dan sekitar
luka dibersihkan dengan antiseptik. Bahan
Palpasi: nyeri tekan, atau anestesi. yang dapat dipakai adalah larutan yodium
povidon 1% dan larutan klorheksidin ½%,
Pemeriksaan Penunjang : -
larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya
Penegakan Diagnostik (Assessment) digunakan untuk membersih kulit disekitar
luka.
1. Gejala Lokal
2. Kemudian daerah disekitar lapangan kerja
a. Nyeri terjadi karena kerusakan ujung- ditutup dengan kain steril dan secara steril
ujung saraf sensoris. dilakukan kembali pembersihan luka dari
Intensitas atau derajat rasa nyeri kontaminasi secara mekanis, misalnya
berbeda-beda tergantung pada berat/ pembuangan jaringan mati dengan gunting
luas kerusakan ujung-ujung saraf, atau pisau dan dibersihkan dengan
etiologi dan lokasi luka. bilasan, atau guyuran NaCl.

b. Perdarahan, hebatnya perdarahan 3. Akhirnya dilakukan penjahitan bila


tergantung pada lokasi luka, jenis memungkinkan, dan luka ditutup dengan
pembuluh darah yang rusak. bahan yang dapat mencegah lengketnya
kasa, misalnya kasa yang mengandung
c. Diastase yaitu luka yang menganga vaselin ditambah dengan kasa penyerap dan
atau tepinya saling melebar dibalut dengan pembalut elastis.
d. Gangguan fungsi, fungsi anggota badan Komplikasi Luka
akan terganggu baik oleh karena rasa
nyeri atau kerusakan tendon. 1. Penyulit dini seperti : hematoma, seroma,
infeksi
2. Gejala umum
2. Penyulit lanjut seperti : keloid dan parut
Gejala/tanda umum pada perlukaan dapat hipertrofik dan kontraktur
terjadi akibat penyulit/komplikasi yang
terjadi seperti syok akibat nyeri dan atau Peralatan
perdarahan yang hebat. Alat Bedah Minor : gunting jaringan, pinset
Pada kasus vulnus diagnosis pertama anatomis, pinset sirurgis, gunting benang,
dilakukan secara teliti untuk memastikan needle holder, klem arteri, scalpel blade &
apakah ada pendarahan yang harus handle.
dihentikan. Kemudian ditentukan jenis trauma Prognosis
apakah trauma tajam atau trauma tumpul,
banyaknya kematian jaringan, besarnya Tergantung dari luas, kedalaman dan penyebab
kontaminasi dan berat jaringan luka. dari trauma.

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

7. LIPOMA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S78 Lipoma
: D17.9 Benign lipomatous neoplasm
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Diagnosis Banding


Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak Epidermoid kista,Abses, Liposarkoma, Limfadenitis
yang berada di bawah kulit yang terdiri dari tuberkulosis
lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia
lanjut (40-60 tahun), namun juga dapat Pemeriksaan Penunjang
dijumpai pada anak-anak. Lipoma kebanyakan Pemeriksaan penunjang lain merupakan
berukuran kecil, namun dapat tumbuh hingga pemeriksaan rujukan, seperti biopsi jarum halus.
mencapai lebih dari diameter 6 cm. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hasil Anamnesis
Penatalaksanaan
Keluhan
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri. Biasanya Lipoma tidak perlu dilakukan tindakan
Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). apapun.
Hanya dikeluhkan timbulnya benjolan yang 1. Pembedahan
membesar perlahan dalam waktu yang lama. Dengan indikasi : kosmetika tanpa
Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh keluhan lain. Cara eksisi Lipoma dengan
dengan menekan saraf. Untuk tempat predileksi melakukan sayatan di atas benjolan, lalu
seperti di leher bisa menimbulkan keluhan mengeluarkan jaringan lipoma
menelan dan sesak. 2. Terapi pasca eksisi: antibiotik, anti nyeri
Faktor Risiko Simptomatik: obat anti nyeri
1. Adiposisdolorosis
2. Riwayat keluarga dengan lipoma Kriteria rujukan:
3. Sindrom Gardner 1. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan
4. Usia menengah dan usia lanjut yang cepat.
2. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Predileksi di lokasi yang berisiko
Sederhana (Objective) bersentuhan dengan pembuluh darah atau
Pemeriksaan Fisik Patologis saraf.
Keadaan Umum : tampak sehat bisa sakit ringan Prognosis
- sedang Prognosis umumnya adalah bonam, namun ini
Kulit: ditemukan benjolan, teraba empuk, tergantung dari letak dan ukuran lipoma,
bergerak jika ditekan. serta ada/tidaknya komplikasi.
Pemeriksaan Penunjang Referensi
Dapat dilakukan tusukan jarum halus untuk
mengetahui isi massa. 1. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma
in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penegakan Diagnostik EGC. 2005.
Diagnosis Klinis 2. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft
Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang Tissue Tumor in: Manual of Surgery. 8th Ed.
memiliki karakteristik lembut, terlihat pucat. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
Ukuran diameter kurang dari 6 cm, 3. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials
pertumbuhan sangat lama. of Surgery. New York: Lange Medical Book.
2005.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 17


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

H. NEUROLOGI

1. TENSION HEADACHE
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N95 Tension Headache
: G44.2 Tension–type headache
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual
Tension Headache atau Tension Type Headache ataupun muntah tetapi anoreksia mungkin
(TTH) atau nyeri kepala tipe tegang adalah saja terjadi. Gejala lain yang juga dapat
bentuk sakit kepala yang paling sering dijumpai ditemukan seperti insomnia (gangguan tidur
dan sering dihubungkan dengan jangka waktu yang sering terbangunatau bangun dini hari),
dan peningkatan stres. Sebagian besar tergolong nafas pendek, konstipasi, berat badan
dalam kelompok yang mempunyai perasaan menurun, palpitasi dan gangguan haid.
kurang percaya diri, selalu ragu akan
kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis
gentar dan tegang. Pada akhirnya, terjadi biasanya merupakan manifestasi konflik
peningkatan tekanan jiwa dan penurunan psikologis yang mendasarinya seperti kecemasan
tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan dan depresi.
ketidakpuasan yang membangkitkan reaksi Faktor Risiko: -
pada otot-otot kepala, leher, bahu, serta
vaskularisasi kepala sehingga timbul nyeri Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
kepala. Sederhana (Objective)

Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada Pemeriksaan Fisik


perempuan dibandingkan laki-laki dengan Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti
perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua untuk mendiagnosis nyeri kepalategang otot ini.
usia, namun sebagian besar pasien adalah Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus
dewasa muda yang berusiasekitar antara 20-40 normal, pemeriksaan neurologis normal.
tahun. Pemeriksaan yang dilakukan berupa
Hasil Anamnesis (Subjective) pemeriksaan kepala dan leher serta
pemeriksaan neurologis yang meliputi
Keluhan kekuatan motorik, refleks, koordinasi, dan
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang sensoris.
tersebar secara difus dan sifat nyerinya mulai Pemeriksaan mata dilakukan untuk mengetahui
dari ringan hingga sedang. Nyeri kepala tegang adanya peningkatan tekanan pada bola
otot biasanya berlangsung selama 30 menit mata yang bisa menyebabkan sakit kepala.
hingga 1 minggu penuh. Nyeri bisa dirasakan Pemeriksaan daya ingat jangka pendek dan
kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada fungsi mental pasien juga dilakukan dengan
awalnya dirasakan pasien pada leher bagian menanyakan beberapa pertanyaan. Pemeriksaan
belakang kemudian menjalar ke kepala bagian ini dilakukan untuk menyingkirkan berbagai
belakang selanjutnya menjalar ke bagian depan. penyakit yang serius yang memiliki gejala nyeri
Selain itu, nyeri ini juga dapat menjalar ke bahu. kepala seperti tumor atau aneurisma dan
Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, penyakit lainnya.
pegal, rasakencang pada daerah bitemporal
dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling Pemeriksaan Penunjang : Tidak diperlukan
kepala. Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penegakan Diagnostik (Assessment) hidup yang salah, disamping pengobatan


nyeri kepalanya.
Diagnosis Klinis
3. Saat nyeri timbul dapat diberikan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
beberapa obat untuk menghentikan atau
dan pemeriksaan fisik yang normal. Anamnesis mengurangi sakit yang dirasakan saat
yang mendukung adalah adanya faktor psikis
serangan muncul. Penghilang sakit yang
yang melatarbelakangi dan karakteristik gejala sering digunakan adalah: acetaminophen
nyeri kepala (tipe, lokasi, frekuensi dan durasi
dan NSAID seperti Aspirin, Ibuprofen,
nyeri) harus jelas. Naproxen, dan Ketoprofen. Pengobatan
Klasifikasi kombinasi antara acetaminophen atau
aspirin dengan kafein atau obat sedatif
Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala biasa digunakan bersamaan. Cara ini lebih
tegang otot ini dibagi menjadi nyeri kepala efektif untuk menghilangkan sakitnya,
episodik jika berlangsungnya kurang dari 15 hari tetapi jangan digunakan lebih dari 2 hari
dengan serangan yang terjadi kurang dari1 hari dalam seminggu dan penggunaannya
perbulan (12 hari dalam 1 tahun). Apabila nyeri harus diawasi oleh dokter.
kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih
dari 15 hari selama 6 bulan terakhir dikatakan 4. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu
nyeri kepala tegang otot kronis. Amitriptilin.

Diagnosis Banding Tabel 8.1 Analgesik nonspesifik untuk TTH

1. Migren
2. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)
Komplikasi : -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual
1. Pembinaan hubunganempati awal yang menjadi ringan atau hilang dalam 2 jam).
hangat antara dokter dan pasien merupakan
langkah pertama yang sangat penting Konseling dan Edukasi
untuk keberhasilan pengobatan. Penjelasan 1. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa
dokter yang meyakinkan pasien bahwa tidak tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga
ditemukan kelainan fisik dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan
kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya tumor otak atau
rasa takut akan adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya.
penyakit intrakranial lainnya.
2. Keluarga ikut membantu mengurangi
2. Penilaian adanya kecemasan atau depresi kecemasan atau depresi pasien, serta
harus segera dilakukan. Sebagian pasien menilai adanya kecemasan atau depresi
menerima bahwa kepalanya berkaitan pada pasien.
dengan penyakit depresinya dan bersedia
ikut program pengobatan sedangkan pasien Kriteria Rujukan
lain berusaha menyangkalnya. Oleh sebab
1. Bila nyeri kepala tidak membaik maka
itu, pengobatan harus ditujukan kepada
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
penyakit yang mendasari dengan obat
sekunder yang memiliki dokter spesialis
anti cemas atau anti depresi serta
saraf.
modifikasi pola

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 18


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Bila depresi berat dengan kemungkinan


bunuh diri maka pasien harus dirujuk ke
pelayanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis jiwa.
Peralatan
Obat analgetik
Prognosis
Prognosis umumnya bonam karena dapat
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri
Kepala Migrain dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Airlangga University Press.
Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006)
2. Blanda, M. Headache, tension. Available
from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda,
2008)
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran
Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer,
2000)
4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type
Headache. Available from: www.aafp.com.
(Millea, 2008)
5. Tension headache. Feb 2009. Available
from: www.mayoclinic.com.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. MIGREN
No. ICPC-2
No. ICD-10 : N89 Migraine
: G43.9 Migraine, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.


Migren adalah suatu istilah yang digunakan 5. Mual dengan atau tanpa muntah.
untuk nyeri kepala primer dengan kualitas 6. Fotofobia atau fonofobia.
vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang 7. Sakit kepalanya mereda secara bertahap
diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan pada siang hari dan setelah bangun tidur,
tidur dan depresi. Serangan seringkali berulang kebanyakan pasien melaporkan merasa
dan cenderung tidak akan bertambah parah lelah dan lemah setelah serangan.
setelah bertahun-tahun. Migren bila tidak 8. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala
diterapi akan berlangsung antara 4-72 jam prodormal, seringkali terjadi beberapa jam
dan yang klasik terdiri atas 4 fase yaitu fase atau beberapa hari sebelum onset dimulai.
prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura Pasien melaporkan perubahan mood dan
(kurang lebih 15% kasus), fase nyeri kepala dan tingkah laku dan bisa juga gejala psikologis,
fase postdromal. neurologis atau otonom.

Pada wanita migren lebih banyak ditemukan Faktor Predisposisi


dibanding pria dengan skala 2:1. Wanita hamil 1. Menstruasi biasa pada hari pertama
tidak luput dari serangan migren, pada menstruasi atau sebelumnya/ perubahan
umumnya serangan muncul pada kehamilan hormonal.
trimester I. 2. Puasa dan terlambat makan
Sampai saat ini belum diketahui dengan 3. Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju
pasti faktor penyebab migren, diduga sebagai dan buah-buahan.
gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas 4. Cahaya kilat atau berkelip.
sistem saraf dan avikasi sistem trigeminal- 5. Banyak tidur atau kurang tidur
vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri 6. Faktor herediter
kepala primer. 7. Faktor kepribadian

Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang


sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Suatu serangan migren dapat menyebabkan
sebagian atau seluruh tanda dan gejala, sebagai Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus
berikut: normal, pemeriksaan neurologis normal.
Temuan- temuan yang abnormal
1. Nyeri moderat sampai berat, kebanyakan menunjukkan sebab- sebab sekunder, yang
penderita migren merasakan nyeri hanya memerlukan pendekatan diagnostik dan terapi
pada satu sisi kepala, namun sebagian yang berbeda.
merasakan nyeri pada kedua sisi kepala.
2. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk- Pemeriksaan Penunjang
tusuk. 1. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan,
3. Rasa nyerinya semakin parah dengan
pemeriksaan ini dilakukan jika ditemukan
aktivitas fisik.
hal-hal, sebagai berikut:
4. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga a. Kelainan-kelainan struktural, metabolik

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 18


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dan penyebab lain yang dapat Cluster- type hedache (nyeri kepala kluster)
menyerupai gejala migren.
b. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit Komplikasi
penyerta yang dapat menyebabkan 1. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai
komplikasi. komplikasi yang jarang namun sangat
c. Menentukan dasar pengobatan dan untuk serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh
menyingkirkan kontraindikasi obat-obatan faktor risiko seperti aura, jenis kelamin
yang diberikan. wanita, merokok, penggunaan hormon
2. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit estrogen.
rujukan). 2. Pada migren komplikata dapat
3. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, menyebabkan hemiparesis.
sebagai berikut:
a. Sakit kepala yang pertama atau yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
terparah seumur hidup penderita. Penatalaksanaan
b. Perubahan pada frekuensi keparahan atau
gambaran klinis pada migren. 1. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk
c. Pemeriksaan neurologis yang abnormal. menghindari stimulasi sensoris berlebihan.
d. Sakit kepala yang progresif atau persisten. 2. Bila memungkinkan beristirahat di tempat
e. Gejala-gejala neurologis yang tidak gelap dan tenang dengan dikompres dingin.
memenuhi kriteria migren dengan aura atau a. Perubahan pola hidup dapat mengurangi
hal-hal lain yang memerlukan jumlah dan tingkat keparahan migren,
pemeriksaan lebih lanjut. baik pada pasien yang menggunakan
f. Defisit neurologis yang persisten. obat- obat preventif atau tidak.
g. Hemikrania yang selalu pada sisi yang b. Menghindari pemicu, jika makanan
sama dan berkaitan dengan gejala-gejala tertentu menyebabkan sakit kepala,
neurologis yang kontralateral. hindarilah dan makan makanan yang
h. Respon yang tidak adekuat terhadap lain. Jika ada aroma tertentu yang dapat
terapi rutin. memicu maka harus dihindari. Secara
i. Gejala klinis yang tidak biasa. umum pola tidur yang reguler dan
pola makan yang reguler dapat cukup
Penegakan Diagnostik (Assessment) membantu.
Diagnosis Klinis c. Berolahraga secara teratur, olahraga
aerobik secara teratur mengurangi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, tekanan dan dapat mencegah migren.
gejala klinis dan pemeriksaan fisik umum dan d. Mengurangi efek estrogen, pada wanita
neurologis. dengan migren dimana estrogen
Kriteria Migren : menjadi pemicunya atau menyebabkan
gejala menjadi lebih parah, atau
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam orang dengan riwayat keluarga
dengan gejala dua dari nyeri kepala unilateral, memiliki tekanan darah tinggi atau
berdenyut, bertambah berat dengan gerakan, stroke sebaiknya mengurangi obat-
intensitas sedang sampai berat ditambah satu obatan yang mengandung estrogen.
dari mual atau muntah, fonofobia atau e. Berhenti merokok, merokok dapat
fotofobia. memicu sakit kepala atau membuat
sakit kepala menjadi lebih parah
Diagnosis Banding (dimasukkan di konseling).
Arteriovenous Malformations, Atypical Facial f. Penggunaan headache diary untuk
Pain, Cerebral Aneurysms, Childhood Migraine mencatat frekuensi sakit kepala.
Variants, Chronic Paroxysmal Hemicrania,

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

g. Pendekatan terapi untuk migren antiemetik dapat diberikan saat serangan


melibatkan pengobatan akut nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu
h. (abortif) dan preventif (profilaksis). pada saat fase prodromal.
3. Pengobatan Abortif: Melihat kembali
rujukan yang ada . 4. Pengobatan preventif:
a. Analgesik spesifik adalah analgesik Pengobatan preventif harus selalu
yang hanya bekerja sebagai analgesik diminum tanpa melihat adanya serangan
nyeri kepala. Lebih bermanfaat untuk atau tidak. Pengobatan dapat diberikan
kasus yang berat atau respon buruk dalam jangka waktu episodik, jangka
dengan NSAID. Contoh: Ergotamin, pendek (subakut), atau jangka panjang
Dihydroergotamin, dan golongan (kronis). Pada serangan episodik diberikan
Triptan yang merupakan agonis selektif bila faktor pencetus dikenal dengan baik,
reseptor serotonin pada 5-HT1. sehingga dapat diberikan analgesik
b. Ergotamin dan DHE diberikan pada sebelumnya. Terapi preventif jangka
migren sedang sampai berat apabila pendek diberikan apabila pasien akan
analgesik non spesifik kurang terlihat terkena faktor risiko yang telah dikenal
hasilnya atau memberi efek samping. dalam jangka waktu tertentu, misalnya
Kombinasi ergotamin dengan kafein migren menstrual. Terapi preventif kronis
bertujuan untuk menambah absorpsi diberikan dalam beberapa bulan bahkan
ergotamin sebagai analgesik. Hindari tahun tergantung respon pasien.
pada kehamilan, hipertensi tidak
terkendali, penyakit serebrovaskuler Farmakoterapi pencegahan migren
serta gagal ginjal. Tabel 8.3. Farmakoterapi pencegah migren
c. Sumatriptan dapat meredakan nyeri,
mual, fotobia dan fonofobia. Obat ini
diberikan pada migren berat atau
yang tidak memberikan respon
terhadap analgesik non spesifik.
Dosis awal 50 mg dengan dosis
maksimal 200 mg dalam 24 jam.
d. Analgesik non spesifik yaitu analgesik
yang dapat diberikan pada nyeri lain
selain nyeri kepala, dapat menolong
pada migren intensitas nyeri ringan
sampai sedang.
Tabel 8.2. Regimen analgesik untuk migren
Komplikasi
1. Obat-obat NSAID seperti Ibuprofen dan
Aspirin dapat menyebabkan efek samping
seperti nyeri abdominal, perdarahan dan
ulkus, terutama jika digunakan dalam dosis
besar dan jangka waktu yang lama.
2. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari
Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala dua atau tiga kali seminggu dengan jumlah
residual ringan atau hilang dalam 2 jam) yang besar, dapat menyebabkan komplikasi
Domperidon atau Metoklopropamid sebagai serius yang dinamakan rebound.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 18


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Konseling dan Edukasi Prognosis


1. Pasien dan keluarga dapat berusaha Prognosis pada umumnya bonam, namun quo
mengontrol serangan. ad sanationam adalah dubia karena sering
terjadi berulang.
2. Keluarga menasehati pasien untuk
beristirahat dan menghindari pemicu, serta Referensi
berolahraga secara teratur.
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri
3. Keluarga menasehati pasien jika merokok Kepala Migrain. Dalam Kumpulan Makalah
untuk berhenti merokok karena merokok Pertemuan Ilmiah Nasional II
dapat memicu sakit kepala atau membuat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
sakit kepala menjadi lebih parah. Indonesia. Airlangga University Press.
Surabaya.2006.
Kriteria Rujukan 2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam
Pasien perlu dirujuk jika migren terus Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
berlanjut dan tidak hilang dengan pengobatan Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis
analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan Saraf Indonesia. Airlangga University Press.
sekunder (dokter spesialis saraf). Surabaya.2006. (Purnomo,2006)
3. Migraine Available at: www.mayoclinic/
Peralatan disease&condition/topic/migraine.htm
1. Alat pemeriksaan neurologis
2. Obat antimigren

3. VERTIGO
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N17 Vertigo/dizziness
: R42 Dizziness and giddiness
Tingkat Kemampuan 4A (Vertigo Vestibular/ Benign Paroxismal Positional Vertigo (B

Masalah Kesehatan
lesi di nukleus vestibularis batang otak,
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan thalamus sampai ke korteks serebri.
seseorang atau lingkungan sekitarnya. Persepsi
Vertigo merupakan suatu gejala dengan
gerakan bisa berupa:
berbagai penyebabnya, antara lain: akibat
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian
timbul pada gangguan vestibular. dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau
2. Vertigo non vestibular adalah rasa banyak aliran darah ke otak dan lain-lain.
goyang, melayang, mengambang yang
Secara spesifik, penyebab vertigo, adalah:
timbul pada gangguan sistem
proprioseptif atau sistem visual 1. Vertigo vestibular
Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo Vertigo perifer disebabkan oleh Benign
vestibular, yaitu: Paroxismal Positional Vertigo (BPPV),
Meniere’s Disease, neuritis vestibularis,
1. Vertigo vestibular perifer. Terjadi pada lesi
oklusi arteri labirin, labirhinitis, obat
di labirin dan nervus vestibularis
2. Vertigo vestibular sentral. Timbul pada ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII,
microvaskular compression, fistel perilimfe.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Vertigo sentral disebabkan oleh migren, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis.


CVD, tumor, epilepsi, demielinisasi,
Vertigo non vestibular
degenerasi.
2. Vertigo non vestibular Sensasi bukan berputar, melainkan rasa
melayang, goyang, berlangsung konstan atau
Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, kontinu, tidak disertai rasa mual dan muntah,
artrosis servikalis, trauma leher, serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan
presinkop, hipotensi ortostatik, objek sekitarnya seperti di tempat keramaian
hiperventilasi, tension headache, penyakit misalnya lalu lintas macet.
sistemik.
Pada anamnesis perlu digali penjelasan
BPPV adalah gangguan klinis yang sering mengenai:
terjadi dengan karakteristik serangan
Deskripsi jelas keluhan pasien. Pusing yang
vertigo di perifer, berulang dan singkat,
dikeluhkan dapat berupa sakit kepala, rasa
sering berkaitan dengan perubahan posisi
goyang, pusing berputar, rasa tidak stabil
kepala dari tidur, melihat ke atas, kemudian
atau melayang.
memutar kepala.
1. Bentuk serangan vertigo:
BPPV adalah penyebab vertigo dengan
a. Pusing berputar
prevalensi 2,4% dalam kehidupan
b. Rasa goyang atau melayang
seseorang. Studi yang dilakukan oleh
2. Sifat serangan vertigo:
Bharton 2011, prevalensi akan meningkat
a. Periodik
setiap tahunnya berkaitan dengan
b. b. Kontinu
meningkatnya usia sebesar 7 kali atau
c. Ringan atau berat
seseorang yang berusia di atas 60 tahun
3. Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat
dibandingkan dengan 18-
39 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada berupa:
a. Perubahan gerakan kepala atau posisi
wanita daripada laki-laki.
b. Situasi: keramaian dan emosional
Hasil Anamnesis (Subjective) c. Suara
4. Gejala otonom yang menyertai keluhan
Keluhan
vertigo:
Vertigo vestibular a. Mual, muntah, keringat dingin
b. Gejala otonom berat atau ringan
Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya 5. Ada atau tidaknya gejala gangguan
episodik, diprovokasi oleh gerakan kepala, pendegaran seperti : tinitus atau tuli
bisa disertai rasa mual atau muntah. 6. Obat-obatan yang menimbulkan gejala
Vertigo vestibular perifer timbulnya lebih vertigo seperti: streptomisin, gentamisin,
mendadak setelah perubahan posisi kepala kemoterapi
dengan rasa berputar yang berat, disertai 7. Tindakan tertentu: temporal bone surgery,
mual atau muntah dan keringat dingin. Bisa transtympanal treatment
8. Penyakit yang diderita pasien: DM,
disertai gangguan pendengaran berupa
hipertensi, kelainan jantung
tinitus, atau ketulian, dan tidak disertai gejala
9. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal
neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia,
wajah satu sisi, perioral numbness, disfagia,
perioralparestesia, paresis fasialis.
hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia
Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih serebelaris
lambat, tidak terpengaruh oleh gerakan kepala.
Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa
mual dan muntah, tidak disertai gangguan
pendengaran. Keluhan dapat disertai dengan
gejala neurologik fokal seperti hemiparesis,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 18


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambaran klinis BPPV: berdiri dengan kedua kaki rapat


dan mata terbuka pasien jatuh,
Vertigo timbul mendadak pada perubahan kemungkinan kelainan pada
posisi, misalnya miring ke satu sisi Pada waktu
serebelum. Jika saat mata terbuka
berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk. atau pasien tidak jatuh, tapi saat mata
menegakkan kembali badan, menunduk atau
tertutup pasien cenderung jatuh
menengadah. Serangan berlangsung dalam ke satu sisi,kemungkinan kelainan
waktu singkat, biasanya kurang dari 10-30
pada sistem vestibuler atau
detik. Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, proprioseptif (Tes Romberg positif).
bisa disertai rasa mual, kadang-kadang muntah.
Setelah rasa berputar menghilang, pasien bisa • Tes Romberg dipertajam (sharpen
merasa melayang dan diikuti disekulibrium Romberg/tandem Romberg): Jika
selama beberapa hari sampai minggu. BPPV pada keadaan berdiri tandem
dapat muncul kembali. dengan mata terbuka pasien
jatuh, kemungkinan kelainan pada
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang serebelum. Jika pada mata tertutup
sederhana (Objective) pasien cenderung jatuh ke satu sisi,
kemungkinan kelainan pada system
Pemeriksaan Fisik
vestibuler atau proprioseptif.
1. Pemeriksaan umum • Tes jalan tandem: pada kelainan
2. Pemeriksaan sistem kardiovaskuler yang serebelar, pasien tidak dapat
meliputi pemeriksaan tekanan darah pada melakukan jalan tandem dan
saat baring, duduk dan berdiri dengan jatuh ke satu sisi. Pada kelaianan
perbedaan lebih dari 30 mmHg. vestibuler, pasien akan mengalami
deviasi.
3. Pemeriksaan neurologis
• Tes Fukuda(Fukuda stepping test),
a. Kesadaran: kesadaran baik untuk dianggap abnormal jika saat
vertigo vestibuler perifer dan vertigo berjalan ditempat selama 1 menit
non vestibuler, namun dapat menurun dengan mata tertutup terjadi
pada vertigo vestibuler sentral. deviasi ke satu sisi lebih dari 30
b. Nervus kranialis: pada vertigo derajat atau maju mundur lebih dari
vestibularis sentral dapat mengalami satu meter.
gangguan pada nervus kranialis III, IV, • Tes past pointing, pada kelainan
VI, V sensorik, VII, VIII, IX, X, XI, XII. vestibuler ketika mata tertutup
c. Motorik: kelumpuhan satu sisi maka jari pasien akan deviasi ke
(hemiparesis). arah lesi. Pada kelainan serebelar
d. Sensorik: gangguan sensorik pada satu akan terjadi hipermetri atau
sisi (hemihipestesi). hipometri.
e. Keseimbangan (pemeriksaan khusus Pemeriksaan Penunjang
neurootologi):
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai
• Tes nistagmus: Nistagmus dengan etiologi.
disebutkan berdasarkan komponen
cepat, sedangkan komponen lambat Penegakan diagnostik (Assessment)
menunjukkan lokasi lesi: Diagnosis Klinis
unilateral, perifer, bidireksional,
sentral. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
• Tes Romberg: Jika pada keadaan pemeriksaan fisik umum dan neurologis.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 8.4. Perbedaan vertigo vestibuler dan non dengan cepat ke salah satu sisi, pertahankan
vestibuler selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali.
Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke
sisi lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu
duduk kembali. Lakukan latihan ini 3 kali
pada pagi, siang dan malam hari masing-
masing diulang 5 kali serta dilakukan
selama 2 minggu atau 3 minggu dengan
latihan pagi dan sore hari.

Tabel 8.5. Perbedaan vertigo perifer dengan 3. Karena penyebab vertigo beragam,
vertigo sentral sementara penderita sering kali merasa
sangat terganggu dengan keluhan
vertigo tersebut, seringkali menggunakan
pengobatan simptomatik. Lamanya
pengobatan bervariasi. Sebagian besar
kasus terapi dapar dihentikan setelah
beberapa minggu. Beberapa golongan yang
sering digunakan:
a. Antihistamin (Dimenhidrinat atau
Difenhidramin)
Diagnosis Banding : • Dimenhidrinat lama kerja obat ini
Seperti tabel di bawah ini, yaitu: ialah 4-6 jam. Obat dapat diber
per oral atau parenteral (suntikan
Tabel 8.6. Diagnosis banding gangguan intramuskular dan intravena),
neurologi dengan dosis 25 mg-50 mg (1
tablet), 4 kali sehari.
• Difenhidramin HCl. Lama aktivitas
obat ini ialah 4-6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul)-50
mg, 4 kali sehari per oral.
• Senyawa Betahistin (suatu analog
histamin):
Betahistin Mesylate dengan dosis 12
mg, 3 kali sehari per oral.
Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg,
3 kali sehari. maksimum 6 tablet dibagi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) dalam beberapa dosis.
Penatalaksanaan b. Kalsium Antagonis
1. Pasien dilakukan latihan vestibular Cinnarizine, mempunyai khasiat
(vestibular exercise) dengan metode menekan fungsi vestibular dan dapat
BrandDaroff. mengurangi respons terhadap akselerasi
angular dan linier. Dosis biasanya ialah
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg
tidur dengan kedua tungkai tergantung, sehari.
dengan kedua mata tertutup baringkan
tubuh

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 18


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Terapi BPPV: 5. Obat antihistamin


6. Obat antagonis kalsium
1. Komunikasi dan informasi:
2. Karena gejala yang timbul hebat, pasien Prognosis
menjadi cemas dan khawatir akan adanya Pada BPPV, prognosis umumnya baik, namun
penyakit berat seperti stroke atau tumor BPPV sering terjadi berulang.
otak. Oleh karena itu, pasien perlu diberikan
penjelasan bahwa BPPV bukan sesuatu yang Referensi
berbahaya dan prognosisnya baik serta
1. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman
hilang spontan setelah beberapa waktu,
Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan Dokter
namun kadang-kadang dapat berlangsung
Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012.
lama dan dapat kambuh kembali.
(Kelompok Studi Vertigo, 2012)
3. Obat antivertigo seringkali tidak
2. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis
diperlukan namun apabila terjadi dis-
and management in primary care. BJMP.
ekuilibrium pasca BPPV, pemberian
2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
betahistin akan berguna untuk
mempercepat kompensasi. 3. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology
of vertigo, migraine and vestibular
Terapi BPPV kanal posterior: migraine. Journal Neurology.
1. Manuver Epley 2009:25:333-338. (Lempert & Neuhauser,
2. Prosedur Semont 2009)
3. Metode Brand Daroff 4. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of
Vertigo.Journal American Family Physician.
Rencana Tindak Lanjut 2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
Vertigo pada pasien perlu pemantauan untuk 5. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis
mencari penyebabnya kemudian dilakukan Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008. (Mardjono
tatalaksana sesuai penyebab. & Sidharta, 2008)
Konseling dan Edukasi 6. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium
Neurology:Systematic Approach that Needed
1. Keluarga turut mendukung dengan for establish of Vertigo. The Practitioner.
memotivasi pasien dalam mencari 2010; 254 (1732) p. 19-23. (Turner & Lewis,
penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai 2010)
penyebab. 7. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition:
2. Mendorong pasien untuk teratur melakukan
Approach to the Patient with Dizziness and
latihan vestibular.
Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot.
Kriteria Rujukan William and Wilkins. 2009 (Chain, 2009)

1. Vertigo vestibular tipe sentral harus


segera dirujuk.
2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo
vestibular setelah diterapi farmakologik dan
non farmakologik.
Peralatan
1. Palu refleks
2. Sphygmomanometer
3. Termometer
4. Garpu tala (penala)

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. TETANUS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N72 Tetanus
: A35 Other tetanus
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia,


Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
disebabkan oleh tetanospasmin. Penyakit ini kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
ditandai dengan spasme tonik persisten, disertai berkembang menjadi tetanus umum dan
serangan yang jelas dan keras. prognosisnya biasanya jelek.
Tetanospasmin adalah neurotoksin yang 3. Tetanus umum/generalisata
dihasilkan oleh Clostridium tetani. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus,
Tetanospasmin menghambat neurotransmiter iritable, kekakuan leher, susah menelan,
GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi kekakuan dada dan perut (opistotonus),
hambatan aktivitas refleks otot. Spasme otot rasa sakit dan kecemasan yang hebat
dapat terjadi lokal (disekitar infeksi), sefalik serta kejang umum yang dapat terjadi
(mengenai otot-otot cranial), atau umum atau dengan rangsangan ringan seperti sinar,
generalisata (mengenai otot-otot kranial suara dan sentuhan dengan kesadaran yang
maupun anggota gerak dan batang tubuh). tetap baik.
Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher
4. Tetanus neonatorum
dan rahang yang mengakibatkan penutupan
rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir,
otot otot ekstremitas dan batang tubuh. disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala
yang sering timbul adalah ketidakmampuan
Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti
adalah penyalahguna obat yang oleh kekakuan dan spasme.
menggunakan suntikan.
Faktor Risiko: -
Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Keluhan sederhana (Objective)
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari Pemeriksaan Fisik
kekakuan otot setempat, trismus, sampai kejang
yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat,
atas 4 macam yaitu: trismus sampai kejang yang hebat.
1. Tetanus lokal 1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme spasme yang menetap.
yang menetap disertai rasa sakit pada 2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus,
otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
lokal dapat berkembang menjadi tetanus kranial.
umum. 3. Pada tetanus umum/generalisata adanya:
2. Tetanus sefalik trismus, kekakuan leher, kekakuan dada dan
Bentuk tetanus lokal yang mengenai perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan
wajah dengan masa inkubasi serta ekstensi tungkai, kejang umum yang
dapat terjadi dengan rangsangan ringan
1-2 hari, yang disebabkan oleh luka seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
pada daerah kepala atau otitis media

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 19


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

kesadaran yang tetap baik. 5. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk


4. Pada tetanus neonatorum ditemukan puerpurium dan tetanus neonatorum
kekakuan dan spasme dan posisi tubuh (kematian 84%).
klasik: trismus, kekakuan pada otot Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi
punggung menyebabkan opisthotonus dari klasifikasi Albleet’s:
yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi
mempertahankan ekstremitas atas fleksi 1. Grade 1 (ringan)
pada siku dengan tangan mendekap dada, Trismus ringan sampai sedang, spamisitas
pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak
ekstremitas bawa hiperekstensi dengan ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi 2. Grade 2 (sedang)
jari-jari kaki. Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme
ringan atau sedang namun singkat, penyulit
Pemeriksaan Penunjang pernafasan sedang dengan takipneu.
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik. 3. Grade 3 (berat)
4. Trismus berat, spastisitas umum, spasme
Penegakan Diagnostik (Assessment) spontan yang lama dan sering, serangan
apneu, disfagia berat, spasme memanjang
Diagnosis Klinis
spontan yang sering dan terjadi refleks,
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis penyulit pernafasan disertai dengan
dan riwayat imunisasi. takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf
otonom sedang yang terus meningkat.
Tingkat keparahan tetanus: 5. Grade 4 (sangat berat)
Kriteria Pattel Joag 6. Gejala pada grade 3 ditambah gangguan
otonom yang berat, sering kali
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, menyebabkan “autonomic storm”.
disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
2. Kriteria 2: Spasme,tanpa Diagnosis Banding
mempertimbangkan frekuensi maupun Meningoensefalitis, Poliomielitis, Rabies, Lesi
derajat keparahan orofaringeal, Tonsilitis berat, Peritonitis, Tetani
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari (timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
di mana kadar kalsium dan fosfat dalam
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal serum rendah), keracunan Strychnine, reaksi
100ºF (> 400 C), atau aksila 99ºF ( 37,6 ºC ). fenotiazine
Grading Komplikasi
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu 1. Saluran pernapasan
kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia,
kematian) atelektasis akibat obstruksi oleh sekret,
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2
pneumotoraks dan mediastinal emfisema
kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. biasanya terjadi akibat dilakukannya
Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari
trakeostomi.
dan onset lebih dari 48 jam (kematian 2. Kardiovaskuler
10%)
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria,
meningkat antara lain berupa takikardia,
biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan
atau onset kurang dari 48 jam (kematian
rangsangan miokardium.
32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat
minimal 4 Kriteria (kematian 60%)

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Tulang dan otot d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih


Pada otot karena spasme yang dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus
berkepanjangan bisa terjadi perdarahan imunoglobulin (TIg) harus diberikan.
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi Keparahan luka bukan faktor penentu
fraktura kolumna vertebralis akibat kejang pemberian TIg
3. Pengawasan, agar tidak ada hambatan
yang terus-menerus terutama pada anak
fungsi respirasi.
dan orang dewasa. Beberapa peneliti
4. Ruang Isolasi untuk menghindari
melaporkan juga dapat terjadi miositis rangsang luar seperti suara, cahaya-
ossifikans sirkumskripta. ruangan redup dan tindakan terhadap
4. Komplikasi yang lain penderita.
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus 5. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500
karena penderita berbaring dalam satu kalori per hari dengan 100-150 gr protein.
posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi Bentuk makanan tergantung kemampuan
sekunder atau toksin yang menyebar luas membuka mulut dan menelan. Bila ada
dan mengganggu pusat pengatur suhu. trismus, makanan dapat diberikan per sonde
atau parenteral.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 6. Oksigen, pernapasan buatan dan
trakeostomi bila perlu.
Penatalaksanaan 7. Antikonvulsan diberikan secara titrasi,
1. Manajemen luka sesuai kebutuhan dan respon klinis.
zepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari.
Pasien tetanus yang diduga menjadi Bila penderita datang dalam keadaan
port de entry masuknya kuman C. tetani kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5
harus mendapatkan perawatan luka. Luka mg/ kgBB/kali i.v. perlahan-lahan
dapat menjadi luka yang rentan mengalami dengan dosis optimum 10mg/kali diulang
tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus setiap kali kejang. Kemudian diikuti
dengan kriteria sebagai berikut: pemberian Diazepam per oral (sonde
lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali
Tabel 8.7 Manajemen luka tetanus sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal
diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang
(tetanus yang sangat berat), harus
dilanjutkan dengan bantuan ventilasi
mekanik, dosis diazepam dapat
ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan
bantuan ventilasi mekanik, dengan atau
tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat
pula dipertimbangkan digunakan bila ada
gangguan saraf otonom.
8. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan,
tetapi sebelumnya diperlukan skin tes untuk
hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu,
diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit
2. Rekomendasi manajemen luka traumatik
dengan infus IV lambat. Jika pembedahan
a. Semua luka harus dibersihkan dan eksisi luka memungkinkan, sebagian
jika perlu dilakukan debridemen. antitoksin dapat disuntikkan di sekitar
b. Riwayat imunisasi tetanus pasien luka.
perlu didapatkan. 9. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of
c. TT harus diberikan jika riwayat choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta
booster terakhir lebih dari 10 tahun j i unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari.
k a riwayat imunisasi tidak diketahui, Untuk pasien yang alergi penisilin dapat
TT dapat diberikan. diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV
setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian
antibiotik di atas dapat mengeradikasi

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 19


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Clostridium tetani tetapi tidak dapat 1. Sarana pemeriksaan neurologis


mempengaruhi proses neurologisnya. 2. Oksigen
10. Bila dijumpai adanya komplikasi 3. Infus set
pemberian antibiotika spektrum luas dapat 4. Obat antikonvulsan
dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan
Metronidazol dapat diberikan, terutama Prognosis
bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: Tetanus dapat menimbulkan kematian dan
30-50 mg/kgBB/ hari dalam 4 dosis. gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati
Eritromisin: 50 mg/ kgBB/hari dalam 4 dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh
dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi
dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C.
mg/KgBB tiap 6 jam. tetani.
11. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang
pertama, dilakukan bersamaan dengan Referensi
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang
berbeda dengan alat suntik yang berbeda. 1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam
Pemberian dilakukan dengan dosis inisial Infeksi pada sistem saraf. Perdossi. 2012.
0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)
jam pertama. 2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu
12. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta:
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. FK UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al.,
13. Mengatur keseimbangan cairan dan 2006)
elektrolit. 3. 3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika,
S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam:
Konseling dan Edukasi Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih,
S.E. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Peran keluarga pada pasien dengan risiko Kesehatan Anak.Ed3. Bandung: FKUP/RSHS.
terjadinya tetanus adalah memotivasi untuk 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005)
dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS. 4. 4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash,
Rencana Tindak Lanjut M. Oxbury, J.Eds. Clinical Neurology.
Edinburg: Churchill Livingstone. 1991; 865-
1. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai 871. (Rauscher, 1991)
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 5. 5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B.
Pengulangan dilakukan 8 minggu Nelson Textbook of Pediatrics. Vol 1.
kemudian dengan dosis yang sama 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004.
dengan dosis inisial. (Behrman, et al., 2004)
2. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian. 6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri
3. Subsequent booster, diberikan 5 tahun Rejeki, S.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak,
berikutnya. Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan
4. Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan Dokter Anak Indonesia. (Poowo, et al., t.thn.)
setempat. 7. WHO News and activities. The Global
Eliination of neonatal tetanus: progress to
Kriteria Rujukan date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World
1. Bila tidak terjadi perbaikan setelah Health Organization, 1994)
penanganan pertama. 8. Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and
2. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem Physical Agents on the Nervous System.
pernapasan. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s
3. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan Neurology in Clinical Practice. Vol 1:
kesehatan sekunder yang memiliki dokter Principles of Diagnosis and Management.
spesialis neurologi. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1369-
1370. (Aminoff & So, 2012)
Peralatan

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. RABIES
No. ICPC-2
No. ICD-10 : A77 Viral disease other/NOS
: A82.9 Rabies, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring


Rabies adalah infeksi virus yang menjalar dan otot pernapasan dapat ditimbulkan
ke otak melalui saraf perifer. Perjalanan virus oleh rangsangan sensoris misalnya
untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya dengan meniupkan udara ke muka
mengambil masa beberapa bulan. Masa penderita. Pada stadium ini dapat terjadi
inkubasi dari penyakit ini 1-3 bulan, tapi dapat apneu, sianosis, konvulsan, dan
bervariasi antara 1 minggu sampai beberapa takikardia. Tindak tanduk penderita tidak
tahun, tergantung juga pada seberapa jauh rasional kadang maniakal disertai dengan
jarak masuknya virus ke otak. Penyakit infeksi responsif. Gejala eksitasi terus
akut sistem saraf pusat (ensefalitis) ini berlangsung sampai penderita meninggal.
disebabkan oleh virus rabies yang termasuk 4. Stadium paralisis
genus Lyssa- virus, family Rhabdoviridae dan Sebagian besar penderita rabies
menginfeksi manusia, terutama melalui gigitan meninggal dalam stadium sebelumnya,
hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, namun kadang ditemukan pasien yang
kucing, serigala, kelelawar). Beberapa kasus tidak menunjukkan gejala eksitasi
dilaporkan infeksi melalui transplantasi organ melainkan paresis otot yang terjadi secara
dan paparan udara (aerosol). Rabies hampir progresif karena gangguan pada medulla
selalu berakibat fatal jika post-exposure spinalis.
prophylaxis tidak diberikan sebelum onset
gejala berat. Pada umumnya rabies pada manusia
mempunyai masa inkubasi 3-8 minggu. Gejala-
Hasil Anamnesis (Subjective) gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan
Keluhan biasanya timbul sesudah 12 minggu.
Mengetahui port de entry virus tersebut
1. Stadium prodromal secepatnya pada tubuh pasien merupakan
Gejala awal berupa demam, malaise, mual kunci untuk meningkatkan pengobatan pasca
dan rasa nyeri di tenggorokan selama gigitan (post exposure therapy). Pada saat
beberapa hari. pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah
sembuh bahkan mungkin telah dilupakan.
2. Stadium sensoris
Tetapi pasien sekarang mengeluh tentang
Penderita merasa nyeri, merasa panas perasaan (sensasi) yang lain ditempat bekas
disertai kesemutan pada tempat bekas gigitan tersebut. Perasaan itu dapat berupa
luka kemudian disusul dengan gejala rasa tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar (panas),
cemas, dan reaksi yang berlebihan berdenyut dan sebagainya.
terhadap rangsang sensoris.
Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit,
3. Stadium eksitasi
tercakar atau kontak dengan anjing, kucing, atau
Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi binatang lainnya yang:
meninggi dan gejala hiperhidrosis,
hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil 1. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan
dilatasi. Hal yang sangat khas pada stadium tersangka)
ini adalah munculnya macam- macam fobia 2. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit
bukan dibunuh)
3. Tak dapat diobservasi setelah menggigit

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 19


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

(dibunuh, lari, dan sebagainya) minggu.


4. Tersangka rabies (hewan berubah sifat,
Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise,
malas makan, dan lain- lain).
anoreksia, kadang ditemukan parestesia pada
Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi daerah gigitan.
antara 7 hari sampai 7 tahun. Lamanya
Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif,
masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring
besarnya luka gigitandan lokasi luka gigitan
terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris
(jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajat
spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan
patogenitas virus dan persarafan daerah luka
aerofobia.
gigitan). Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari,
dan pada ekstremitas 46-78 hari. Diagnosis Banding
Faktor Risiko : - Tetanus, Ensefalitis, lntoksikasi obat-obat,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Japanese encephalitis, Herpes simplex,
Sederhana (Objective) Ensefalitis post-vaksinasi.

Pemeriksaan Fisik Komplikasi

1. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan 1. Gangguan hipotalamus: diabetes insipidus,


disfungsi otonomik yang menyebabkan
mungkin sudah sembuh bahkan mungkin
telah dilupakan. hipertensi, hipotensi, hipo/hipertermia,
2. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal aritmia dan henti jantung.
2. Kejang dapat lokal atau generalisata, sering
dan parestesia pada luka bekas gigitan
yang sudah sembuh (50%), mioedema bersamaan dengan aritmia dan dyspneu.
(menetap selama perjalanan penyakit). Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Jika sudah terjadi disfungsi batang otak
maka terdapat: hiperventilasi, hipoksia, Penatalaksanaan
hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf 1. Isolasi pasien penting segera setelah
otonom, sindroma abnormalitas ADH, diagnosis ditegakkan untuk menghindari
paralitik/ paralisis flaksid. rangsangan-rangsangan yang bisa
4. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma menimbulkan spasme otot ataupun untuk
dan kematian. mencegah penularan.
5. Tanda patognomonis 2. Fase awal: Luka gigitan harus segera
6. Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran dicuci dengan air sabun (detergen) 5-10
fluktuatif, demam tinggi yang persisten, menit kemudian dibilas dengan air
nyeri pada faring terkadang seperti rasa bersih, dilakukan debridement dan
tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, diberikan desinfektan seperti alkohol 40-
kejang, hidrofobia dan aerofobia. 70%, tinktura yodii atau larutan ephiran.
Pemeriksaan Penunjang Jika terkena selaput lendir seperti mata,
hidung atau mulut, maka cucilah kawasan
Hasil pemeriksaan laboratorium kurang tersebut dengan air lebih lama; pencegahan
bermakna. dilakukan dengan pembersihan luka dan
vaksinasi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita
Diagnosis Klinis rabies yang sudah menunjukkan gejala
rabies. Penanganan hanya berupa tindakan
Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan suportif berupa penanganan gagal
(+) dan hewan yang menggigit mati dalam 1 jantung dan gagal nafas.

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) bila Kriteria Rujukan


serumheterolog (berasal dari serum kuda)
1. Penderita rabies yang sudah menunjukkan
Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi
pada luka sebanyak-banyaknya, sisanya gejala rabies.
2. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
disuntikkan secara IM. Skin test perlu
sekunder yang memiliki dokter spesialis
dilakukan terlebih dahulu. Bila serum
neurolog.
homolog (berasal dari serum manusia)
dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara Peralatan
yang sama.
5. Pemberian serum dapat dikombinasikan 1. Cairan desinfektan
dengan Vaksin Anti 2. Serum Anti Rabies
6. Rabies (VAR) pada hari pertama kunjungan. 3. Vaksin Anti Rabies
7. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) Prognosis
dalam waktu 10 hari infeksi yang dikenal
sebagai post-exposure prophylaxis atau Prognosis pada umumnya buruk, karena
“PEP”VAR secara IM pada otot deltoid kematian dapat mencapai 100% apabila
atau anterolateral paha dengan dosis 0,5 virus rabies mencapai SSP. Prognosis selalu
ml pada hari 0, 3, 7,14, 28 (regimen Essen fatal karena sekali gejala rabies terlihat,
atau rekomendasi WHO), atau pemberian hampir selalu kematian terjadi dalam 2-3 hari
VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen sesudahnya, sebagai akibat gagal napas atau
Zagreb/ rekomendasi Depkes RI). henti jantung. Jika dilakukan perawatan
8. Pada orang yang sudah mendapat vaksin awal setelah digigit anjing pengidap rabies,
rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila seperti pencucian luka, pemberian VAR dan SAR,
digigit binatang tersangka rabies, vaksin maka angka survival mencapai 100%.
cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3,
Referensi
namun bila gigitan berat vaksin diberikan
lengkap. 1. Harijanto, Paul N dan Gunawan, Carta A.
9. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
daerah leher ke atas, pada jari tangan ke 4. Jakarta: FKUI. 2006. Hal 1736-9.
dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB 2. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to
dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah RNA viruses: Harrisons Internal Medicine
setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka 16th edition. McGraw Hill. Medical
dan setengah dosis IM pada tempat yang Publishing Division. 2005. (Braunwald, et
berlainan dengan suntikan SAR, diberikan al., 2009)
pada hari yang sama dengan dosis pertama 3. The Merk Manual of Medical information.
SAR. Rabies, brain and spinal cord disorders,
infection of the brain and spinal
Konseling dan Edukasi
cord.2006. p: 484-486.
1. Keluarga ikut membantu dalam halpenderita 4. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies.
rabies yang sudah menunjukan gejala rabies Academic Press. 2002. p. 290. (Jackson &
untuk segera dibawa untuk penanganan Wunner, 2002)
segera ke fasilitas kesehatan. Pada pasien 5. Davis L.E. King, M.K. Schultz,
yang digigit hewan tersangka rabies, J.LFundamentals of neurologic disease.
keluarga harus menyarankan pasien untuk Demos Medical Publishing, LLc. 2005. p:
vaksinasi. 73. (Davis, et al., 2005)
2. Laporkan kasus rabies ke dinas kesehatan 6. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable
setempat. diagnosis of human rabies based on analysis
of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47
(11): 1410-1417. 2008. (Reynes and Buchy,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 19


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2008) 9. 9. Ranjan. Remnando. Rabies, tropical


7. 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for infectious disease epidemiology,
Disease Control and Prevention. 2007. investigation, diagnosis and management.
Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/ 2002. Hal 291-297. (Beckham, et al., t.thn.)
diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12. 10. Beckham JD, Solbrig MV, Tyler KL. Infection
(Centers for Disease Control and Prevention of the Nervous System. Viral Encephalitis
, 2007) and Meningitis. In Darrof RB et al (Eds).
8. Kumar.Clark. Rhabdoviruses Rabies. Clinical Bradley’s Neurology Clinical Practice. Vol 1:
Medicine. W.B Saunders Company Ltd. 2006. Principles of Diagnosis and Management.
Hal 57-58. (Kumar, 2006) 6th ed. Elsevier, Philadelphia, pp. 1252-
1253.

6. MALARIA SEREBRAL
No. ICPC-2 No.ICD-10
: A73 Malaria
: Plasmodium falciparum with cerebral complication
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Malaria Serebral merupakan salah satu Sederhana (Objective)
komplikasi infeksi dari Plasmodium falciparum Pemeriksaan Fisik
dan merupakan komplikasi berat yang paling
sering ditemukan serta penyebab kematian Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:
utama pada malaria. Diperkirakan sekitar 1-3 1. Penurunan kesadaran yang dapat
juta orang meninggal diseluruh dunia setiap didahului mengantuk, kebingungan,
tahunnya karena malaria serebral, terutama disorientasi, delirium atau agitasi namun
pada anak-anak. kaku kuduk dan rangsang meningeal lain
tidak ditemukan dan dapat berlanjut
Hasil Anamnesis (Subjective) menjadi koma.
Keluhan 2. Kaku kuduk biasanya negatif, hiperekstensi
leher terjadi pada kasus berat
Pasien dengan malaria Serebral biasanya 3. Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai
ditandai oleh nistagmus dan deviasi conjugee
4. Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan
1. Trias malaria (menggigil, demam,
retina yang pucat, perdarahan retina (6-
berkeringat)
37% kasus), edema papil dan cotton wool
2. Penurunan kesadaran berat
spots.
3. Disertai kejang
5. Gejala neurologi yang sering adalah lesi
Faktor Risiko
upper motor neuron, tonus otot dan reflex
1. Tinggal atau pernah berkunjung ke tendon meningkat (tetapi dapat juga normal
daerah endemik malaria ataupun menurun), refleks babinsky positif
2. Riwayat terinfeksi Plasmodium falciparum
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan apusan darah
Bisa ditemukan adanya Plasmodium
falciparum aseksual pada penderita yang
mengalami penurunan kesadaran
2. Pemeriksaan darah rutin dan gula darah

1 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penegakan Diagnostik (Assessment) kontak dengan nyamuk anopheles baik


dengan menggunakan kelambu maupun
Diagnosis Klinis
reppelen
Diagnosis malaria serebral ditegakkan dengan 3. Hindari aktivitas di malam hari khususnya
ditemukannya Plasmodium falciparum bentuk bagi mereka yang tinggal atau bepergian ke
aseksual pada pemeriksaan apusan darah tepi daerah endemik malaria
pasien dengan penurunan kesadaran berat Peralatan
(koma), walaupun semua gangguan kesadaran
(GCS<15) harus dianggap dan diterapi sebagai 1. Laboratorium untuk pemeriksaan apusan
malaria berat. Gangguan kesadaran pada darah tebal
malaria dapat pula disebabkan oleh demam 2. Laboratoriumuntuk pemeriksaan darah rutin
yang tinggi, hipoglikemia, syok, ensefalopati dan gula darah
uremikum, ensefalopati hepatikum, sepsis. 3. Termometer
Semua penderita dengan demam dan penurunan 4. Stetoskop
kesadaran seyogyanya didiagnosis banding 5. Tensi
sebagai malaria serebral, khususnya jika 6. Senter
penderita tinggal atau pernah berkunjung ke 7. Palu reflex
daerah endemik malaria. 8. Funduskopi
Diagnosis Banding: Prognosis
Infeksi virus, bakteri, jamur (cryptococcal), 1. Ad Vitam: Dubia ad Malam
protozoa (African Trypanosomiasis), 2. AdFunctionam: Dubia et Malam
Meningoensefalitis, Abses serebral, Trauma 3. Ad Sanationam: Dubia
kepala, Stroke, intoksikasi, gangguan metabolik
Referensi
Komplikasi:
1. Gunawan C, Malaria Serebral dan
Gagal ginjal akut, ikterus, asidosis metabolik, penanganannya dalam Malaria dari
hipoglikemia, hiperlaktemia, hipovolemia, Molekuler ke Klkinis EGC. Jakarta 2012.
edema paru, sindrom gagal nafas akut (Gunawan, 2012)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
Semua pasien yang didiagnosis dengan
malaria serebral harus dipastikan jalan nafas
lancar dan pernafasan dibantu dengan
oksigen, setelah penatalaksanaan suportif
seperti pemberian cairan agar segera dirujuk
ke fasilitas layanan kesehatan sekunder
Kriteria Rujukan
Pasien dengan Malaria Serebral agar segera
dirujuk ke RS Edukasi dan Konseling:
1. Konsultasi ke dokter untuk penggunaan
kemoprofilaksis bagi mereka yang hendak
berkunjung ke daerah endemic malaria
2. Malaria bisa dicegah dengan menghindari

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 19


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

7. EPILEPSI
No. ICPC-2
No. ICD-10 : N88 Epilepsy
: G40.9 Epilepsy, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan bangkitan


Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan Keadaan penyandang saat bangkitan:
yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang duduk/berdiri/bebaring/tidur/berkemih.
berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi
provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan awal/speech arrest)
bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis Pola/bentuk yang tampak selama
yang disebabkan oleh aktivitas listrik yang bangkitan: gerakan tonik/klonik,
abnormal dan berlebihan dari sekelompok vokalisasi, otomatisme, inkontinensia,
neuron di otak. lidah tergigit, pucat berkeringat, deviasi
mata.
Etiologi epilepsi: Keadaan setelah kejadian: bingung,
terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural
gelisah, Todd’s paresis.
di otak atau defisit neurologis dan
Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur,
diperkirakan tidak mempunyai predisposisi
hormonal.
genetik dan umumnya berhubungan dengan
Jumlah pola bangkitan satu atau lebih,
usia.
atau terdapat perubahan pola
2. Kriptogenik: dianggap simptomatik tetapi
bangkitan.
penyebabnya belum diketahui, termasuk
b. Penyakit lain yang mungkin diderita
disini sindromaWest, sindroma Lennox-
sekarang maupun riwayat penyakit
Gastaut, dan epilepsi mioklonik.
neurologik dan riwayat penyakit
3. Simptomatik: bangkitan epilepsi
psikiatrik maupun penyakit sistemik
disebabkan oleh kelainan/lesi
yang mungkin menjadi penyebab.
4. struktural pada otak, misalnya cedera
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan,
kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital,
interval terpanjang antar bangkitan.
lesi desak ruang, gangguan peredaran
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan
darah otak, toksik (alkohol, obat),
respon terhadap terapi (dosis, kadar
metabolik, kelainan neurodegeneratif.
OAE, kombinasi terapi).
Hasil Anamnesis (Subjective) e. Riwayat penyakit epilepsi dalam
keluarga.
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis f. Riwayat keluarga dengan penyakit
epilepsi, yaitu: neurologik lain, penyakit psikitrik atau
1. Langkah pertama: memastikan apakah sistemik.
kejadian yang bersifat paroksismal merupakan g. Riwayat pada saat dalam kandungan,
bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kelahiran dan perkembangan bayi/anak.
kasus, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang
berdasarkan informasi yang diperoleh dari demam.
anamnesis baik auto maupun allo-anamnesis i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
dari orang tua maupun saksi mata yang lain. 2. Langkah kedua: apabila benar terdapat
a. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan epilepsi, maka tentukan
bangkitan tersebut bangkitan yang mana
(klasifikasi ILAE 1981).

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Langkah ketiga: menentukan etiologi, Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,


sindrom epilepsi, atau penyakit epilepsi pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
apa yang diderita pasien dilakukan
dengan memperhatikan klasifikasi ILAE Diagnosis Banding
1989. Langkah ini penting untuk Sinkop, Transient Ischemic Attack, Vertigo,
menentukan prognosis dan respon Global amnesia, Tics dan gerakan involunter
terhadap OAE (Obat Anti Epilepsi).
Komplikasi : -
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana (Objective) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah Sebagai dokter di fasilitas pelayanan
mengamati adanya tanda-tanda dari kesehatan tingkat pertama, bila pasien
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi terdiagnosis sebagai epilepsi, untuk
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau penanganan awal pasien harus dirujuk ke dokter
sinus, gangguan kongenital, spesialis saraf.
kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan 1. OAE diberikan bila:
pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal. a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
Pemeriksaan neurologis b. Pastikan faktor pencetus dapat
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan dihindari (alkohol, stress, kurang tidur,
neurologik sangat tergantung dari interval dan lain-lain)
antara dilakukannya pemeriksaan dengan c. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam
bangkitan terakhir. setahun
1. Jika dilakukan pada beberapa menit atau d. Penyandang dan atau keluarganya
jam setelah bangkitan maka akan tampak sudah menerima penjelasan terhadap
tanda pasca iktal terutama tanda fokal tujuan pengobatan
seperti todds paresis (hemiparesis setelah e. Penyandang dan/atau keluarganya telah
kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic diberitahu tentang kemungkinan efek
syndrome (afasia sesaat) yang tidak jarang samping yang timbul dari OAE
dapat menjadi petunjuk lokalisasi.
2. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah 2. Terapi dimulai dengan monoterapi
bangkitan terakhir berlalu, sasaran utama menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
adalah menentukan apakah ada tanda- jenis bangkitan (tabel 1) dan jenis
tanda disfungsi system saraf permanen sindrom epilepsi:
(epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang
apakah ada tanda-tanda peningkatan 3. Tabel 8.8. Obat Anti Epilepsi (OAE) pilihan
tekanan intrakranial. sesuai dengan jenis bangkitan epilepsi
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG,
pemeriksaan pencitraan otak, pemeriksaan
laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar
OAE.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 20


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 8.9. Dosis Obat Anti Epilepsi (OAE)

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah SSP.


dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif h. Bangkitan pertama berupa status
tercapai atau timbul efek samping. Kadar epileptikus.
obat dalam darah ditentukan bila i. Namun hal ini dapat dilakukan di
bangkitan tidak terkontroldengan dosis pelayanan kesehatan sekunder
efektif. Bila diduga ada perubahan
8. Efek samping perlu diperhatikan, demikian
farmakokinetik OAE (kehamilan, penyakit pula halnya dengan interaksi farmakokinetik
hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi
antar OAE.
OAE), diduga penyandang epilepsi tidak
9. Strategi untuk mencegah efek samping:
patuh pada pengobatan. Setelah
pengobatan dosis regimen OAE, dilihat a. Mulai pengobatan dengan
interaksi antar OAE atau obat lain. mempertimbangkan keuntungan dan
Pemeriksaan interaksi obat ini dilakukan kerugian pemberian terapi
rutin setiap tahun pada penggunaan b. Pilih OAE yang paling cocok untuk
phenitoin. karakteristik penyandang
5. Bila pada penggunaan dosis maksimum c. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil
OAE tidak dapat mengontrol dan rumatan terkecil mengacu pada
bangkitan, maka dapat dirujuk kembali sindrom epilepsi dan karaktersitik
untuk mendapatkan penambahan OAE penyandang epilepsi
kedua. Bila OAE kedua telah mencapai 10. OAE dapat dihentikan pada keadaan:
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan a. Setelah minimal 2 tahun bebas
bertahap (tapering off) perlahan-lahan. bangkitan.
6. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan di b. Gambaran EEG normal.
layanan sekunder atau tersier setelah c. Harus dilakukan secara bertahap,
terbukti tidak dapat diatasi dengan pada umumnya 25% dari dosis semula
penggunaan dosis maksimal kedua OAE setiap bulan dalam jangka waktu 3-6
pertama. bulan.
7. Penyandang dengan bangkitan tunggal d. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka
direkomendasikan untuk dimulai terapi penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bila kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bukan utama.
bila:
e. Keputusan untuk menghentikan OAE
a. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas dilakukan pada tingkat pelayanan
pada EEG. sekunder/tersier.
b. Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI 11. Kekambuhan setelah penghentian OAE
Otak dijumpai lesi yang berkorelasi akan lebih besar kemungkinannya pada
dengan bangkitan: meningioma, keadaan sebagai berikut:
neoplasma otak, AVM, abses otak,
a. Semakin tua usia, kemungkinan
ensephalitis herpes.
kekambuhan semakin tinggi.
c. Pada pemeriksaan neurologik
b. Epilepsi simptomatik.
dijumpai kelainan yang mengarah
pada adanya kerusakan otak. c. Gambaran EEG abnormal.
d. Terdapatnya riwayat epilepsi pada d. Semakin lama adanya bangkitan
saudara sekandung (bukan orang tua). sebelum dapat dikendalikan.
e. Riwayat bangkitan simptomatik. e. Penggunaan lebih dari satu OAE.
f. Terdapat sindrom epilepsi yang f. Mendapatkan satu atau lebih
berisiko tinggi seperti JME (Juvenile bangkitan setelah memulai terapi.
Myoclonic Epilepsi). g. Mendapat terapi setelah 10 tahun.
g. Riwayat trauma kepala disertai
penurunan kesadaran, stroke, infeksi

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 20


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 8.10. Efek samping Obat Anti Epilepsi Kriteria Rujukan


(OAE)
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka
pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder
yang memiliki dokter spesialis saraf.
Peralatan
Tersedia Obat Anti Epilepsi
Konseling dan Edukasi
1. Penting untuk memberi informasi kepada
keluarga bahwa penyakit ini tidak menular
2. Kontrol pengobatan merupakan hal penting
bagi penderita
3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi
utamanya anak-anak perlu pendampingan
sehingga lingkungan dapat menerima
dengan baik
4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan
baik
Dilakukan untuk individu dan keluarga
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tergantung
klasifikasi epilepsi yang dideritanya, sedangkan
serangan epilepsi dapat berulang, tergantung
kontrol terapi dari pasien.
Referensi
1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012.
(Kelompok Studi Epilepsi, 2012)

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

8. TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK (TIA)


No. ICPC-2 : K89 Transient cerebral ischaemia
No.ICD-10 : G45.9 Transient cerebral ischaemic attack, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


TIA atau serangan iskemik otak sepintas Keluhan
(SOS) adalah penurunan aliran darah yang
berlangsung sepintas (tidak menetap atau tidak Secara umum, gejala neurologis yang
permanen) ke area tertentu dari otak, sehingga diakibatkan oleh TIA tergantung pada pembuluh
mengakibatkan disfungsi neurologis yang darah otak yang mengalami gangguan, yaitu
berlangsung singkat (kurang dari 24 jam). sistem karotis atau vertebrobasilaris.
Jika gejala nerologik menetap (irreversible),
1. Disfungsi neurologis fokal yang sering
dan berlangsung lebih lama (lebih dari 24
ditemukan berupa:
jam), maka dikategorikan sebagai stroke
iskemik (infark). Defisit neurologis yang a. Kelemahan atau kelumpuhan salah
berlangsung lebih lama dari 24 jam, tapi tidak satu sisi wajah, lengan, dan tungkai
menetap (reversible,) dan dalam waktu (hemiparesis, hemiplegi)
kurang dari 2 minggu sembuh total tanpa gejala b. Gangguan sensorik pada salah satu
sisa, disebut reversible ischemic neurological sisi wajah, lengan, dan tungkai
deficit (RIND). (hemihipestesi, hemi-anesthesi)
Serangan TIA terjadi secara tiba-tiba (akut), c. Gangguan bicara (disartria)
dan biasanya berlangsung singkat (beberapa d. Gangguan berbahasa (afasia)
menit), jarang sampai lebih dari 1-2 jam, diikuti
e. Gejala neurologik lainnya:
kesembuhan total tanpa gejala sisa. Pada
pasien yang mengalami serangan TIA lebih dari f. Jalan sempoyongan (ataksia)
3 jam, dengan pemeriksaan MRI, lebih dari 50% g. Rasa berputar (vertigo)
diantaranya ditemukan gambaran infark di otak. h. Kesulitan menelan (disfagia)
Pasien yang pernah mengalami TIA, mempunyai i. Melihat ganda (diplopia)
risiko lebih besar untuk terserang stroke j. Penyempitan lapang penglihatan
iskemik (infark). Sekitar 15-26% pasien stroke, (hemianopsia, kwadran- anopsia)
pernah mengalami TIA sebelumnya.
Sehingga TIA termasuk faktor risiko stroke, 2. Gangguan tersebut terjadi mendadak, dan
dan disebut sebagai warning sign (tanda biasanya berlangsung dalam waktu yang
peringatan) terjadinya stroke. Setelah TIA, singkat (beberapa menit), jarang sampai
antara 10- 15% pasien mengalami stroke lebih dari 1-2 jam, diikuti kesembuhan total
iskemik dalam waktu 3 bulan, dan sebagian tanpa gejala sisa.
besar diantaranya terjadi dalam waktu 48 jam 3. Diperlukan anamnesis yang teliti tentang
setelah terjadinya TIA. Karena itu, TIA faktor risiko TIA/stroke
maupun stroke iskemik, keduanya merupakan
kedaruratan medik yang mempunyai kesamaan
mekanisme patogenesis, dan memerlukan
prevensi sekunder, evaluasi, dan
penatalaksanaan yang hampir sama.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 20


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel: 8.11. Faktor risiko TIA/stroke dengan teknik khusus, misalnya perfusion CT,
atau diffusion weighted MRI (DWI).
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Foto toraks
2. Tes faal hati
3. Ekokardiografi (jika diduga emboli
kardiogenik)
4. TCD (transcranial Doppler)
5. EEG (elektro-ensefalografi)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis dan CT scan kepala
(bila diperlukan)
Diagnosis Banding:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Stroke iskemik (infark)
Sederhana (Objective) 2. Stroke hemoragik
Pemeriksaan Fisik 3. Gangguan fungsi otak yang menyerupai
TIA/ stroke, misalnya:
Meliputi pemeriksaan umum dan neurologis. a. Cedera otak traumatik: hematoma
Pemeriksaan Umum Terutama pemeriksaan epidural/subdural
tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, b. Tumor otak
jantung, bising karotis/subklavia, dan tanda vital c. Infeksi otak: abses, tuberkuloma
lainnya. d. Todd’s paralysis (hemiparesis pasca
Pemeriksaan neurologis serangan kejang)
e. Gangguan metabolik: hipo/
Terutama untuk menemukan adanya tanda hiperglikemia
defisit neurologis berupa status mental, motorik,
sensorik sederhana dan kortikal luhur, fungsi Komplikasi
serebelar, dan otonomik. Antara 10-15% pasien mengalami stroke
Pemeriksaan Penunjang :- iskemik dalam waktu 3 bulan, dan sebagian
besar diantaranya terjadi dalam waktu 48 jam
Pemeriksaan standar dilakukan di fasilitas setelah terjadinya TIA.
pelayanan kesehatan sekunder:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. CT scan kepala (atau MRI)
2. EKG (elektrokardiografi) Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
3. Kadar gula darah Bila mendapat serangan TIA, pasien harus
4. Elektrolit serum segera dibawa ke rumah sakit agar
5. Tes faal ginjal mendapatkan pemeriksaan untuk menemukan
6. Darah lengkap penyebab dan penanganan lebih lanjut. Bila
7. Faal hemostasis skor ABCD2 > 5, pasien harus segera mendapat
Catatan: CT scan atau MRI kepala pada pasien perawatan seperti perawatan pasien stroke
TIA biasanya tidak menunjukkan kelainan, iskemik akut. Tekanan darah tinggi, penyakit
kecuali jantung, diabetes dan

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

penyakit gangguan darah harus segera diterapi. LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and
Untuk mencegah berulangnya TIA dan serangan Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009:
stroke, perlu diberikan obat antiplatelet, 85-99. (Romano & Sacco, 2009)
misalnya asetosal, clopidogrel, dipyridamole, 3. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular
cilostazol. Pada stenosis karotis, mungkin Diseases of the Nervous System. Ischemic
diperlukan tindakan carotid endarterectomy Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et
atau carotid angioplasty. Jika ada fibrilasi al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
atrial, mungkin diperlukan antikoagulan oral, Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and
misalnya warfarin, rifaroxaban, dabigatran, Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia,
apixaban. 2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention
Tabel 8.12 Skor ABCD2 untuk TIA of Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack : A Guideline for
Healthcare Professionals From the
American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2011; 42:227-
276 (Furie, 2011)
5. National Stroke Association. Transient
Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org

Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke RS untuk
penanganan lebih lanjut.
Peralatan
Laboratorium: darah lengkap dan kimia darah
Pemeriksaan radiologi: foto toraks
Pasien membutuhkan CT scan atau MRI di
layanan sekunder
Prognosis
Prognosis bonam bila faktor risiko dapat teratasi
dan penanganan cepat dilakukan. Pemberian
obat antiplatelet dan antikoagulan dapat
mencegah berulangnya TIA dan serangan stroke
iskemik.
Referensi
1. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease:
Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed). Current
Diagnosis and Treatment in Neurology.
McGraw Hill, New York, 2007:100-25.
(Fitzsimmons, 2007)
2. Romano JG, Sacco RL. Prevention of
Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 20


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

9. STROKE
No. ICPC-2
No. ICD-10 : K90 Stroke/cerebrovascular accident
: I63.9 Cerebral infarction, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Untuk memudahkan pengenalan gejala stroke
Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau bagi masyarakat awam, digunakan istilah
global) yang terjadi mendadak, berlangsung FAST (Facial movement, Arm Movement,
lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor Speech, Time: acute onset). Maksudnya, bila
vaskuler. Secara global, saat ini stroke seseorang mengalami kelemahan otot wajah
merupakan salah satu penyebab kematian dan anggota gerak satu sisi, serta gangguan
utama, dan penyebab utama kecacatan pada bicara, yang terjadi mendadak, patut diduga
orang dewasa. Dari laporan Riskesdas (Riset mengalami serangan stroke. Keadaan seperti
Kesehatan Dasar) Departemen Kesehatan itu memerlukan penanganan darurat agar
Republik Indonesia tahun 2007, stroke tidak mengakibatkan kematian dan kecacatan.
merupakan penyebab kematian utama di Karena itu pasien harus segera dibawa ke rumah
Indonesia. sakit yang memiliki fasilitas untuk penanganan
tindakan darurat bagi penderita stroke.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Seperti halnya TIA, pada stroke diperlukan
Keluhan anamnesis yang teliti tentang faktor risiko
Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak TIA/ stroke.
(tiba-tiba), yang sering dijumpai adalah Faktor Risiko
1. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi Beberapa faktor risiko yang dapat
wajah, lengan, dan tungkai (hemiparesis, mempermudah terjadinya serangan stroke,
hemiplegi) misalnya usia tua, jenis kelamin (laki-laki),
2. Gangguan sensorik pada salah satu sisi berat badan lahir rendah, faktor herediter
wajah, lengan, dan tungkai (familial), ras (etnik), memang tidak bisa
(hemihipestesi, hemianesthesi) dihindari atau diubah (non modifiable risk
factors). Sedangkan faktor risiko lainnya
3. Gangguan bicara (disartria)
mungkin masih bisa dihindari, diobati atau
4. Gangguan berbahasa (afasia) diperbaiki (modifiable risk factors).
5. Gejala neurologik lainnya seperti jalan Tabel 8.13 Faktor risiko stroke
sempoyongan (ataksia), rasa berputar
(vertigo), kesulitan menelan (disfagia),
melihat ganda (diplopia), penyempitan
lapang penglihatan (hemianopsia, kwadran-
anopsia)
Catatan:
Kebanyakan penderita stroke mengalami lebih
dari satu macam gejala diatas. Pada beberapa
penderita dapat pula dijumpai nyeri kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, dan
kejang pada saat terjadi serangan stroke.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang f. Darah lengkap


Sederhana (Objective) g. Faal hemostasis
2. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Pemeriksaan tanda vital: pernapasan, a. Foto toraks
nadi, suhu, tekanan darah harus diukur b. Tes faal hati
kanan dan kiri c. Saturasi oksigen, analisis gas darah
2. Pemeriksaaan jantung paru d. Toksikologi
3. Pemeriksaan bruitkarotis dan subklavia e. Kadar alkohol dalam darah
4. Pemeriksaan abdomen
f. Pungsi lumbal (pada perdarahan
5. Pemeriksaan ekstremitas
subaraknoid)
6. Pemeriksaan neurologis
g. TCD (transcranial Doppler)
a. Kesadaran: tingkat kesadaran diukur h. EEG (elektro-ensefalografi.
dengan menggunakan Glassgow Coma
Scale (GCS) Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Tanda rangsang meningeal: kaku
Diagnosis klinis
kuduk, tanda Laseque, Kernig, dan
Brudzinski Diagnosis awal ditegakkan berdasarkan
c. Saraf kranialis: terutama Nn. VII, XII, anamnesis dan pemeriksaan fisik. Cara
IX/X,dan saraf kranialis lainnya skoring ROSIER (Recognition of Stroke in
d. Motorik: kekuatan, tonus, refleks Emergency Room) dapat digunakan pada stroke
fisiologis, refleks patologis akut.
e. Sensorik
f. Tanda serebelar: dismetria, Tabel 8.14 Skor ROSIER untuk stroke
disdiadokokinesia, ataksi, nistagmus
g. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama
fungsi kognitif (bahasa, memori dll)
h. Pada pasien dengan kesadaran
menurun, perlu dilakukan pemeriksaan
refleks batang otak:
• Pola pernafasan: Cheyne-Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral,
apneustik, ataksia
• Refleks cahaya (pupil)
• Refleks kornea
• Refleks muntah Klasifikasi
• Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes
phenomenon) Stroke dibedakan menjadi:

Pemeriksaan Penunjang: 1. Stroke hemoragik biasanya disertai


dengan sakit kepala hebat, muntah,
Pemeriksaan pendukung yang diperlukan penurunan kesadaran, tekanan darah
dalam penatalaksanaan stroke akut di fasilitas tinggi.
pelayanan kesehatan tingkat lanjut 2. Stroke iskemik biasanya tidak disertai
1. Pemeriksaan standar: dengan sakit kepala hebat, muntah,
a. CT scan kepala (atau MRI) penurunan kesadaran dan tekanan darah
b. EKG (elektrokardiografi) tidak tinggi.
c. Kadar gula darah Diagnosis Banding
d. Elektrolit serum
e. Tes faal ginjal Membedakan stroke iskemik dan
stroke hemoragik sangat penting untuk
penatalaksanaan pasien.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 20


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Komplikasi sebagai aktivitas fisik yang cukup berarti


hingga berkeringat atau
Komplikasi stroke yang harus diwaspadai meningkatkan denyut jantung 1-3 kali
karena dapat mengakibatkan kematian dan
perminggu.
kecacatan adalah komplikasi medis, antara
lain komplikasi pada jantung, paru 2. Mengontrol faktor risiko
(pneumonia), perdarahan saluran cerna, a. Tekanan darah
infeksi saluran kemih, dekubitus, trombosis b. Gula darah pada pasien DM
vena dalam, dan sepsis. Sedangkan c. Kolesterol
komplikasi neurologis terutama adalah edema d. Trigliserida
otak dan peningkatan tekanan intrakranial, e. Jantung
kejang, serta transformasi perdarahan pada 3. Pada pasien stroke iskemik diberikan
infark. obat- obat antiplatelet:asetosal, klopidogrel
Pada umumnya, angka kematian dan kecacatan Konseling dan Edukasi
semakin tinggi, jika pasien datang terlambat
(melewati therapeutic window) dan tidak 1. Memberikan edukasi kepada pasien dan
ditangani dengan cepat dan tepat di rumah sakit keluarganya agar tidak terjadi
yang mempunyai fasilitas pelayanan stroke akut. kekambuhan atau serangan stroke ulang
2. Jika terjadi serangan stroke ulang, harus
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) segera mendapat pertolongan segera
3. Mengawasi agar pasien teratur minum obat.
Pertolongan pertama pada pasien stroke akut. 4. Membantu pasien menghindari faktor risiko.
1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan
Tabel 8.15 Membedakan stroke iskemik dan
sirkulasi
stroke hemoragik
2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat
3. Memberikan oksigen bila diperlukan
4. Memposisikan badan dan kepala lebih tinggi
(head-and-trunk up) 20-30 derajat
5. Memantau irama jantung
6. Memasang cairan infus salin normal atau
ringer laktat (500 ml/12 jam)
7. Mengukur kadar gula darah (finger stick)
8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram
intravena (bila hipoglikemia berat)
9. Menilai perkembangan gejala stroke selama
perjalanan ke rumah sakit layanan sekunder
10. Menenangkan penderita
Rencana Tindak Lanjut
1. Memodifikasi gaya hidup sehat
a. Memberi nasehat untuk tidak merokok
atau menghindari lingkungan perokok
b. Menghentikan atau mengurangi
konsumsi alkohol
c. Mengurangi berat badan pada penderita
stroke yang obes
d. d. Melakukan aktivitas fisik sedang
pada pasien stroke iskemik atau TIA.
Intensitas sedang dapat didefinisikan

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kriteria rujukan Referensi


Semua pasien stroke setelah ditegakkan 1. Misbach J dkk. Kelompok Studi Stroke.
diagnosis secara klinis dan diberikan Guideline Stroke 2011. Perhimpunan Dokter
penanganan awal, segera mungkin harus Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI),
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan Jakarta, 2011. (Misbach, 2011)
sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf, 2. Jauch EC et al. Guidelines for the Early
terkait dengan angka kecacatan dan kematian Management of Patients with Acute
yang tinggi. Dalam hal ini, perhatian terhadap Ischemic Stroke. A Guideline for Healthcare
therapeutic window untuk penatalaksanaan Professionals From the American Heart
stroke akut sangat diutamakan. Association/American Stroke Association.
Stroke 2013; 44:870-947.(Jauch, 2013)
Peralatan 3. Morgenstern LB et al. Guidelines for the
1. Alat pemeriksaan neurologis. Management of Spontaneous Intracerebral
2. Senter Hemorrhage. Guideline for Healthcare
3. Infus set. Professionals From the American Heart
4. Oksigen. Association/American Stroke Association.
Stroke 2010;41:1-23. (Morgenstern, 2010)
Prognosis 4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention
Prognosis adalah dubia, tergantung luas dan of Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack : A Guideline for
letak lesi. Untuk stroke hemoragik sebagian
Healthcare Professionals From the
besar dubia ad malam. Penanganan yg lambat
American Heart Association/American
berakibat angka kecacatan dan kematian tinggi.
Stroke Association. Stroke 2011;42:227-276.
(Furie, 2011)

10. BELLS’ PALSY


No. ICPC-2: N91 Facial paralysis/Bells’ palsy No. ICD-10: G51.0 Bells’ palsy
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
type I dan reaktivasi herpes zoster dari
Bells’palsy adalah paralisis fasialis perifer ganglia nervus fasialis. Penyebab Bells’ palsy
idiopatik, yang merupakan penyebab tersering tidak diketahui (idiopatik), dan diduga
dari paralisis fasialis perifer unilateral. penyakit ini merupakan bentuk polineuritis
Bells’ palsy muncul mendadak (akut), unilateral, dengan kemungkinan penyebabnya virus,
berupa paralisis saraf fasialis perifer, yang inflamasi, auto imun dan faktor iskemik.
secara gradual dapat mengalami perbaikan Hasil Anamnesis (Subjective)
pada 80-90% kasus. Bells’ palsy merupakan
salah satu dari penyakit neurologis tersering Keluhan
yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab
Pasien datang dengan keluhan:
tersering (60-75%) dari kasus paralisis fasialis
unilateral akut di dunia. Bells’ palsy lebih sering 1. Paralisis otot fasialis atas dan bawah
ditemukan pada usia dewasa, orang dengan unilateral, dengan onset akut (periode 48
DM, dan wanita hamil. Peningkatan kejadian jam)
berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV 2. Nyeri auricular posterior atau otalgia,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 21


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

ipsilateral Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang


3. Peningkatan produksi air mata (epifora), sederhana (Objective)
yang diikuti penurunan produksi air mata
Pemeriksaan Fisik
yang dapat mengakibatkan mata kering (dry
eye), ipsilateral Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga,
4. Hiperakusis ipsilateral mata, hidung dan mulut harus dilakukan pada
5. Penurunan rasa pengecapan pada lidah, semua pasien dengan paralisis fasial.
ipsilateral
1. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan
Gejala awal: saraf fasial (N VII) mengakibatkan
1. Kelumpuhan otot otot fasialis unilateral, kelemahan wajah (atas dan bawah)
yang mengakibatkan hilangnya kerutan satu sisi (unilateral). Pada lesi UMN
dahi ipsilateral, tidak mampu menutup (lesi supra nuclear/di atas nukleus
mata ipsilateral, wajah merot/tertarik ke fasialis di pons), wajah bagian atas
sisi kontralateral, bocor saat berkumur, tidak tidak mengalami kelumpuhan. Hal ini
bisa bersiul. disebabkan muskuli orbikularis, frontalis
2. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%) dan korrugator, diinervasi bilateral oleh
3. Penurunan rasa pengecapan pada lidah, saraf kortikobulbaris. Inspeksi awal pasien
ipsilateral (30-50%) memperlihatkan hilangnya lipatan (kerutan)
4. Hiperakusis ipsilateral (15-30%) dahi dan lipatan nasolabial unilateral.
5. Gangguan lakrimasi ipsilateral (60%) 2. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan
6. Gangguan sensorik wajah jarang ditemukan, tampak kelumpuhan otot orbikularis oris
unilateral, dan bibir akan tertarik ke sisi
kecuali jika inflamasi menyebar ke saraf
trigeminal. wajah yang normal (kontralateral).
3. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat
Awitan (onset) alis, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar.
4. Pada fase awal, pasien juga dapat
Awitan Bells’ palsy mendadak, dan gejala melaporkan adanya peningkatan salivasi.
mencapai puncaknya kurang dari 48 jam. Gejala
yang mendadak ini membuat pasien khawatir Jika paralisis hanya melibatkan wajah
dan mencemaskan pasien. Mereka sering bagian bawah saja, maka harus dipikirkan
berpikir terkena stroke atau tumor otak dapat penyebab sentral (supranuklear). Apalagi
yang mengakibatkan distorsi wajah permanen. jika pasien mengeluh juga tentang adanya
Karena kondisi ini terjadi secara mendadak kelumpuhan anggota gerak (hemiparesis),
dan cepat, pasien sering datang langsung gangguan keseimbangan (ataksia), nistagmus,
ke IGD. Kebanyakan pasien menyatakan diplopia, atau paresis saraf kranialis lainnya,
paresis terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kemungkinan besar BUKAN Bell’s palsy. Pada
kasus paresis mulai terjadi selama pasien tidur. keadaan seperti itu harus dicurigai adanya lesi
serebral, serebelar, atau batang otak, oleh
Faktor Risiko:
karena berbagai sebab, antara lain vaskular
1. Paparan dingin (kehujanan, udara malam, (stroke), tumor, infeksi, trauma, dan
AC) sebagainya.
2. Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1)
Pada Bell’s palsy, progresifitas paresis masih
3. Penyakit autoimun
mungkin terjadi, namun biasanya tidak
4. Diabetes mellitus
memburuk setelah hari ke 7 sampai 10. Jika
5. Hipertensi
progresifitas masih berlanjut setelah hari ke 7-
6. Kehamilan
10, harus dicurigai diagnosis lain (bukan Bell’s
palsy).

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain
dievaluasi lebih lanjut, karena dapat disebabkan tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal
oleh Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, pengecapan mengindikasikan penyembuhan
meningitis (terutama tuberkulosa), penyakit komplit.
autoimun (multiple sclerosis,
Pemeriksaan Penunjang
neurosarcoidosis) dan lain-lain.
Manifestasi Okular Laboratorium darah: Darah lengkap, gula darah
sewaktu, tes faal ginjal (BUN/kreatinin serum)
Komplikasi okular unilateral pada fase awal
berupa: Penegakan Diagnostik (Assessment)

1. Lagoftalmus (ketidakmampuan untuk Diagnosis Klinis


menutup mata secara total) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
2. Penurunan sekresi air mata pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf
3. Kedua hal diatas dapat mengakibatkan kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’
paparan kornea (corneal exposure), erosi palsy adalah diagnosis eksklusi.
kornea, infeksi dan ulserasi kornea
4. Retraksi kelopak mata atas Gambaran klinis penyakit yang dapat
membantu membedakan dengan penyebab lain
Manifestasi okular lanjut dari paralisis fasialis:
1. Ringan: kontraktur pada otot fasial, 1. Onset yang mendadak dari paralisis fasial
melebarnyacelah palpebral. unilateral
2. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan
sinkinesis motorik. 2. Tidak adanya gejala dan tanda pada
3. Sinkinesis otonom (air mata buaya, susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit
berupa menetesnya air mata saat cerebellopontin angle (CPA).
mengunyah). Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial
4. Dua pertiga pasien mengeluh masalah yang lain, kelumpuhan motorik dan gangguan
air mata. Hal ini terjadi karena penurunan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus
fungsi orbicularis okuli dalam membantu dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis
ekskresi air mata.
basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).
Nyeri auricular posterior Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor
Separuh pasien dengan Bells’ palsy CPA seringkali didahului gangguan pendengaran
mengeluh nyeri auricular posterior. Nyeri (saraf VIII), diikuti gangguan saraf VII, dan V,
sering terjadi simultan dengan paresis, tapi gangguan keseimbangan (serebelar). Pasien
nyeri mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada dengan paralisis progresif saraf VII lebih lama
25% pasien. Pasien perlu ditanya apakah dari 3 minggu harus dievaluasi kemungkinan
ada riwayat trauma, yang dapat penyebab lain, misalnya neoplasma, penyakit
diperhitungkan menjadi penyebab nyeri dan autoimun, dan sebagainya.
paralisis fasial. Sepertiga pasien mengalami Klasifikasi
hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis,
sebagai akibat kelumpuhan sekunder otot Sistem grading ini dikembangkan oleh House
stapedius. and Brackmann dgn skala I sampai VI.
Gangguan pengecapan 1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya
Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan adalah sebagai berikut:
gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien
menunjukkan penurunan rasa pengecapan.
Kemungkinan pasien gagal mengenal

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 21


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

a. Kelemahan ringan saat dilakukan


inspeksi secara detil. secara anatomis dan dapat disebut dengan saraf
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi. intak secara fungsional. Grade ini seharusnya
c. Simetris normal saat istirahat. dicatat pada rekam medik pasien saat
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik. pertama kali datang memeriksakan diri.
e. Menutup mata sempurna dapat Diagnosis Banding
dilakukan dengan sedikit usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan. Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan sebagai diagnosis banding, yaitu:
karekteristik: 1. Stroke vertebrabasilaris (hemiparesis
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas,
alternans)
kelemahan minimal. 2. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau angle
spasme hemifasial dapat ditemukan. 3. Otitis media akut atau kronik
c. Simetris normal saat istirahat.
4. Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
vesicular pada telinga atau bibir)
e. Menutup mata sempurna dapat 5. Amiloidosis
dilakukan dengan usaha. 6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a.
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan
Carotis
usaha maksimal. 7. Sindroma autoimun
4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai 8. Botulismus
berat, dengan tandanya sebagai berikut: 9. Karsinomatosis
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
10. Cholesteatoma telinga tengah
b. Simetris normal saat istirahat.
11. Malformasi congenital
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
12. Schwannoma n. Fasialis
d. Mata tidak menutup sempurna.
13. Infeksi ganglion genikulatum
e. Asimetris mulut dilakukan dengan
14. Penyebab lain, misalnya trauma kepala
usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat Penatalaksanaan
dilakukan. Prognosis pasien Bells’ palsy umumnya baik.
b. Asimetris juga terdapat pada saat Karena penyebabnya idiopatik, pengobatan Bell’s
istirahat. palsy masih kontroversi. Tujuan pengobatan
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi. adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf
d. Mata menutup tidak sempurna. fasialis) dan mencegah kerusakan saraf lebih
e. Gerakan mulut hanya sedikit. lanjut.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya
yaitu: Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai
a. Asimetris luas. diberikan pada pasien dalam fase awal 1-4 hari
b. Tidak ada gerakan otot otot wajah. onset.

Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan Hal penting yang perlu diperhatikan:
hasil yang baik, grade III dan IV terdapat 1. Pengobatan inisial
disfungsi moderat, dan grade V dan VI a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1
menunjukkan hasil yang buruk. Grade VI mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari,
disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade diikutipenurunan bertahap total selama
yang lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis 10 hari.
fasialis inkomplit dinyatakan

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

berupa
b. Steroid dan asiklovir (dengan prednison)
mungkin efektif untuk pengobatan
Bells’ palsy (American Academy
Neurology/AAN, 2011).
c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan
meningkatkan perbaikan fungsi saraf
kranial, jika diberikan pada onset
awal (ANN,2012).
d. Apabila tidak ada gangguan
gungsi ginjal, antiviral
e. (Asiklovir)dapat diberikan dengan
dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama
7-10 hari. Jika virus varicella zoster
dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5
kali/hari.
2. Lindungi mata
3. Perawatan mata: lubrikasi okular topikal
dengan air mata artificial (tetes air mata
buatan) dapat mencegah corneal
exposure. (lihat bagian pembahasan dry
eye)
4. Fisioterapi atau akupunktur dapat
dilakukan setelah melewati fase akut (+/- 2
minggu). Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis
untuk memantau perbaikan setelah pengobatan.
Kriteria Rujukan
1. Bila dicurigai kelainan lain (lihat diagnosis
banding)
2. Tidak menunjukkan perbaikan
3. Terjadi kekambuhan atau komplikasi
Peralatan
1. Stetoskop (loudness balance test) untuk
mengetahui hiperakusis
2. Palu reflex
3. Tes pengecapan
4. Tes lakrimasi (tes Schirmer)
5. Kapas
6. Obat steroid
7. Obat antiviral
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu
pada 85% pasien.
Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 21


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

kelemahan fasial unilateral atau


kontralateral, sinkinesis, spasme hemifasialis,
dan terkadang terjadi rekurensi, sehingga
perlu evaluasi dan rujukan lebih lanjut.
Referensi
1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof
RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in
Clinical Practice. Vol 1: Principles of
Diagnosis and Management. 6th ed.
Elsevier, Philadelphia, 2012:1754-1757.
(Rucker, 2012)
2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral
Neuropathy. In Brust JCM (Ed).Current
Diagnosis and Treatment in Neurology.
McGraw Hill, NewYork, 2007:286-288.
(Gooch & Fatimi, 2007)
3. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy
Medication. Medscape.
4. Medscape: Empiric Therapy Regimens.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

11. STATUS EPILEPTIKUS


No. ICPC II : N88 Epilepsy
No. ICD X : G41.9 Status epilepticus, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
hiperpireksia.
Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi
Pemeriksaan Penunjang
lebih dari 30 menit atau adanya dua
bangkitan atau lebih dimana diantara Laboratorium: pemeriksaanguladarahsewaktu.
bangkitan- bangkitan tadi tidak terdapat
pemulihan kesadaran. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Status epileptikus merupakan keadaan Diagnosis Klinis


kegawatdaruratan yang memerlukan Diagnosis Status Epileptikus (SE) ditegakkan
penanganan dan terapi segera guna dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
menghentikan bangkitan (dalam waktu 30
menit). Diagnosis pasti status epileptikus bila Diagnosis Banding Pseudoseizure Komplikasi
pemberian benzodiazepin awal tidak efektif
Asidosis metabolik, aspirasi, trauma kepala
dalam menghentikan bangkitan.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penatalaksanaan
Keluhan
Pasien dengan status epilektikus, harus
Pasien datang dengan kejang, keluarga pasien
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit
sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.
epilepsi dan pernah mendapatkan obat
Pengelolaan SE sebelumsampaifasilitas
antiepilepsi serta penghentian obat secara tiba-
pelayanan kesehatan sekunder.
tiba.
1. Stadium I (0-10 menit)
Riwayat penyakit tidak menular sebelumnya a. Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
juga perlu ditanyakan, seperti Diabetes Melitus,
b. Memperbaiki jalan nafas, pemberian
stroke, dan hipertensi.
oksigen, resusitasi bila perlu
Riwayat gangguan imunitas misalnya HIV c. Pemberian benzodiazepin rektal 10 mg
yang disertai infeksi oportunistik dan data 2. Stadium II (1-60 menit)
tentang bentuk dan pola kejang juga perlu a. Pemeriksaan status neurologis
ditanyakan secara mendetil. b. Pengukuran tekanan darah, nadi dan
suhu c. Pemeriksaan EKG (bila tersedia)
Faktor Risiko: - c. Memasang infus pada pembuluh
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang darah besar dengan NaCl 0,9 %.
Sederhana (Objective) Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan Fisik Melakukan koordinasi dengan PPK II dalam
Pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya hal pemantauan obat dan bangkitan pada
kejang atau gangguan perilaku, penurunan pasien.
kesadaran, sianosis, diikuti oleh takikardi dan Konseling dan Edukasi
peningkatan tekanan darah, dan sering diikuti
Memberikan informasi penyakit kepada

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 21


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

individu dan keluarganya, tentang: 4. Spatel lidah


5. Alat pengukur gula darah sederhana
1. Penyakit dan tujuan merujuk
2. Pencegahan komplikasi terutama aspirasi Prognosis
3. Pencegahan kekambuhan dengan
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk
meminum OAE secara teratur dan tidak
menghentikannya secara tiba-tiba quo ad vitam dan fungsionam, namun dubia ad
4. Menghindari aktifitas dan tempat-tempat malam untuk quo ad sanationam.
berbahaya Referensi
Kriteria Rujukan 1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman
Semua pasien dengan status epileptikus setelah Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter
ditegakkan diagnosis dan telah mendapatkan Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok
penanganan awal segera dirujuk untuk: Studi Epilepsi, 2012)
2. Darto Saharso. Status Epileptikus. Divisi
1. Mengatasi serangan Neuropediatri Bag/SMF Ilmu Kesehatan
2. Mencegah komplikasi Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo
3. Mengetahui etiologi Surabaya.
4. Pengaturan obat 3. Appleton, P.R. Choonara, I. Marland, T.
Phillips, B. Scott, R. Whitehouse, W. The
Peralatan treatment of convulsive status epilepticus in
1. Oksigen children.; 83:415-19.Arch Dis Child. 2000.
2. Kain kasa 4. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status
3. Infus set epilepticus 48:683-94. Pediatric Clin North
America. 2001

12. DELIRIUM
No. ICPC II
: P71 Organic psychosis other
No. ICD X
: F05.9 Delirium, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
5. Gangguan siklus bangun tidur
Delirium adalah gangguan kesadaran yang 6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu
ditandai dengan berkurangnya kemampuan yang pendek dan cenderung berfluktuasi
memfokuskan, mempertahankan dan dalam sehari
mengalihkan perhatian.
Hasil yang dapat diperoleh pada autoanamnesis,
Hasil Anamnesis (Subjective) yaitu:
Keluhan 1. Pasien tidak mampu menjawab
pertanyaan dokter sesuai dengan apa
Pasien datang dengan penurunan kesadaran, yang diharapkan, ditanyakan.
ditandai dengan: 2. Adanya perilaku yang tidak terkendali.
1. Berkurangnya atensi Alloanamnesis, yaitu adanya gangguan medik
2. Gangguan psikomotor lain yang mendahului terjadinya gejala
3. Gangguan emosi delirium, misalnya gangguan medik umum, atau
4. Arus dan isi pikir yang kacau penyalahgunaan zat.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Faktor Risiko Kriteria Diagnosis untuk delirium dalam DSM-IV-


TR (Diagnosis and Statistical Manual for
Adanya gangguan medik umum, seperti: Mental Disorder – IV – Text Revised), adalah:
1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor,
pendarahan, TIA) 1. Gangguan kesadaran disertai dengan
2. Penyakit sistemik, seperti: infeksi, gangguan menurunnya kemampuan untuk
metabolik, penyakit jantung, COPD, memusatkan, mempertahankan, dan
gangguan ginjal, gangguan hepar mengubah perhatian;
3. Penyalahgunaan zat 2. Gangguan Perubahan kognitif (seperti defisit
memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang atau perkembangan gangguan persepsi
sederhana (Objective) yang tidak berkaitan dengan demensia
sebelumnya, yang sedang berjalan atau
Pemeriksaan Fisik
memberat;
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik 3. Perkembangan dari gangguan selama
generalis terutama sesuai penyakit utama. periode waktu yang singkat (umumnya jam
sampai hari) dan kecenderungan untuk
Pemeriksaan penunjang berfluktuasi dalam perjalanan hariannya;
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan 4. Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau
kesehatan tingkat pertama. Pemeriksaan yang temuan laboratorium, bahwa gangguan
dilakukan untuk delirium, adalah: tersebut disebabkan oleh: (a) kondisi medis
umum, (b) intoksikasi, efek samping,
1. Mini-mental State Examination (MMSE).
putus obat dari suatu substansi.
2. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk
mencari Diagnosis penyakit utama, yaitu: Diagnosis Banding
Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, Demensia, psikosis fungsional, kelainan
gula darah, elektrolit (terutama natrium), SGOT, neurologis.
SGPT, ureum, kreatinin, urinalisis, analisis gas
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
darah, foto toraks, elektrokardiografi, dan CT
Scan kepala, jika diperlukan. Tujuan Terapi
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Mencari dan mengobati penyebab delirium
Diagnosis Klinis 2. Memastikan keamanan pasien
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan 3. Mengobati gangguan perilaku terkait
anamnesis dan pemeriksaan fisik. delirium, misalnya agitasi psikomotor

Gambar 8.1 Confusion Assessment Method Penatalaksanaan


(Algoritma) 1. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar
dari risiko kecelakaan selama perawatan.
2. Apabila pasien telah memperoleh
pengobatan, sebaiknya tidak menambahkan
obat pada terapi yang sedang dijalanin oleh
pasien.
3. Bila belum mendapatkan pengobatan,
pasien dapat diberikan obat anti psikotik.
Obat ini diberikan apabila ditemukan
gejala psikosis dan atau agitasi, yaitu:
Haloperidol

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 21


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

injeksi 2-5 mg IntraMuskular (IM)/ Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu
IntraVena (IV). Injeksi dapat diulang Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna
setiap 30 menit, dengan dosis maksimal Publishing.2009.
20 mg/hari. 3. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et
al. Clarifying confusion: the confusion
Konseling dan Edukasi Assessment method;113:941-8: a new
Memberikan informasi terhadap keluarga/ method for detection of delirium.Ann Intern
care giver agar mereka dapat memahami Med. 1990
tentang delirium dan terapinya. 4. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion
and delirium. Dalam: Harrison’s Principles
Kriteria Rujukan of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien McGraw-Hill. 2008.
5. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick,
dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan
rujukan sekunder untuk memperbaiki penyakit B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th Ed.
utamanya. McGraw-Hill Co. 2009.
6. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional
Peralatan Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/Pskiatri.
Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis
- Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI).
Prognosis 2012.
7. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik:
Prognosis delirium dapat diprediksi berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
dari penyakit yang mendasarinya. Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
8. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan
Referensi
Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004.
1. American Psychiatric Association. 9. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar
Diagnostic and Statistical Manual for Pengelolaan Penyakit berdasarkan
Mental Disorder. Text Revision 4th Ed. kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan.
Washington DC: APA. 2000. 2012
2. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute

13. KEJANG DEMAM


No. ICPC-2: N07 Convulsion/Seizure No. ICD-10: R56.0 Febrile convulsions
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang Keluhan
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal > 38o C) akibat dari suatu proses ekstra Keluhan utama adalah kejang. Anamnesis
kranial. Kejang berhubungan dengan demam, dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai
tetapi tidak disebabkan infeksi intrakranial terjadinya kejang. Perlu deskripsi kejang seperti
atau penyebab lain seperti trauma kepala, tipe kejang, lama, frekuensi dan kesadaran
gangguan kesimbangan elektrolit, hipoksia atau pasca kejang. kemudian mencari
hipoglikemia. kemungkinan adanya faktor pencetus atau
penyebab kejang. Umumnya kejang demam
terjadi pada anak dan berlangsung pada
permulaan demam akut.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Sebagian besar berupa serangan kejang meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda
klonik umum atau tonik klonik, singkat dan rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motrik,
tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal. tonus otot, refleks fisiologis dan patologis.
Penting untuk ditanyakan riwayat kejang Pemeriksaan penunjang
sebelumnya, kondisi medis yang
berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan
untuk mencari penyebab demam. Pemeriksaan
infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera
akibat kejang. Riwayat kejang demam dalam penunjang yang dapat dilakukan :
keluarga juga perlu ditanyakan. 1. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
Faktor Risiko 2. Pemeriksaan lain atas indikasi : glukosa,
elektrolit, pungsi lumbal.
1. Demam
a. Demam yang berperan pada KD, akibat: Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Infeksi saluran pernafasan Diagnosis Klinis
• Infeksi saluran pencernaan
• Infeksi THT Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
• Infeksi saluran kencing dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi kejang demam
• Roseola infantum/infeksi virus akut terbagi menjadi 2, yaitu:
lain. 1. Kejang demam sederhana
• Paska imunisasi a. Kejang umum tonik, klonik atau tonik-
b. Derajat demam: klonik.
• 75% dari anak dengan demam ≥ 390C b. Durasi < 15 menit
• 25% dari anak dengan demam > 400C c. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Usia 2. Kejang demam kompleks
a. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan– a. Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
6tahun b. Durasi > 15 menit
b. Puncak tertinggi pada usia 17–23 bulan c. Kejang berulang dalam 24 jam.
c. Kejang demam sebelum usia 5–6 bulan
mungkin disebabkan oleh infeksi SSP Diagnosis Banding
d. Kejang demam diatas umur 6 tahun,
1. Meningitis
perlu dipertimbangkan febrile seizure
2. Epilepsi
plus (FS+).
3. Gen 3. Gangguan metabolik, seperti: gangguan
elektrolit. Komplikasi dan prognosis
a. Risiko meningkat 2–3x bila saudara
sekandung mengalami kejang demam Kejang demam suatu kondis yang
b. Risiko meningkat 5% bila orang tua jinak/benign, tidak menyebabkan kematian.
mengalami kejang demam Sebagian besar akan menghilang pada usia 5-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 6 tahun. Faktor risiko epilepsi di kemudian hari
Sederhana (Objective) tergantung dari:
(1) kejang demam kompleks, (2) riwayat epilepsi
Pemeriksaan Fisik dalam keluarga, (3) terdapat defisit neurologis.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
vital dan kesadaran. Pada kejang demam
Penatalaksanaan
tidak ditemukan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan umum ditujukan untuk mencari 1. Keluarga pasien diberikan informasi
tanda-tanda infeksi penyebab demam. selengkapnya mengenai kejang demam dan
Pemeriksaan neurologi prognosisnya.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 22


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Farmakoterapi ditujukan untuk setelah timbulnya demam.


tatalaksana kejang akut dan tatalaksana b. Profilaksis kontinyu dengan fenobarbital
profilaksis untuk mencegah kejang dosis 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
berulang. atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/
3. Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi kgBB/hari dibagi 2-3 dosis. Profilaksis hanya
kejang akut adalah dengan: diberikan pada kasus-kasus tertentu seperti
a. Diazepam per rektal (0,5mg/kgBB) atau BB kejang demam dengan status epileptikus,
< 10 kg diazepam rektal 5 mg , BB > 10 kg terdapat defisit neurologis yang nyata
diazepam rektal 10 mg, atau lorazepam (0,1 seperti cerebral palsy. Profilaksis diberikan
mg/kg) harus segera diberikan jika akses selama 1 tahun.
intravena tidak dapat diperoleh dengan
Tabel 8.16 Farmakoterapi untuk mengatasi
mudah. Jika akses intravena telah diperoleh
kejang
diazepam lebih baik diberikan intravena
dibandingkan rektal. Dosis pemberian IV
0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan maksimum
pemberian 20 mg. Jika kejang belum
berhenti diazepam rektal/IV dapat diberikan
2 kali dengan interval 5 menit. Lorazepam
intravena, setara efektivitasnya dengan
diazepam intravena dengan efek samping
yang lebih minimal (termasuk depresi
pernapasan) dalam pengobatan kejang akut.
b. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam
rektal/intravena masih terdapat kejang
dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis
inisial 20 mg/kgBB, diencerkan dalam NaCl
0,9% dengan pengenceran 10 mg fenitoin
dalam 1 ml NaCl 0,9%, dengan kecepatan
pemberian 1mg/kgBB/menit, maksimum 50
mg/menit, dosis inisial maksimum adalah Indikasi EEG
1000 mg. Jika dengan fenitoin masih
Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada
terdapat kejang, dapat diberikan
kejang demam, kecuali jika ditemukan keragu-
fenobarbital IV dengan dosis inisial 20
raguan apakah ada demam sebelum kejang.
mg/kgBB, tanpa pengenceran dengan
kecepatan pemberian 20 mg/menit. Jika Indikasi pencitraan (CT-scan/MRI kepala)
kejang berhenti dengan fenitoin maka
lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 Pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan jika
jam kemudian dengan dosis 5-7 terdapat kejang demam yang bersifat fokal atau
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Jika kejang ditemukan defisit neurologi pada pemeriksaan
berhenti dengan fenobarbital, maka fisik.
lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 Konseling dan Edukasi
jam kemudian denagn dosis 4-6 mg/kgBB/
hari dalam 2 dosis. Konseling dan edukasi dilakukan untuk
4. Pemberian farmakoterapi untuk membantu pihak keluarga mengatasi
profilaksis untuk mencegah berulangnya pengalaman menegangkan akibat kejang
kejang di kemudian hari. demam dengan memberikan informasi
a. Profilaksis intermiten dengan diazepam mengenai:
oral/rektal, dosis 0,3 mg/kgBB/kali tiap
1. Prognosis dari kejang demam.
8 jam, hanya diberikan selama episode
demam, terutama dalam waktu 24 jam

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan Referensi


sekolah atau kesulitan intelektual akibat
1. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s
kejang demam.
3. 3. Kejang demam kurang dari 30 menit Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage
tidak mengakibatkan kerusakan otak. Guidelines. 5th edition. Vancouver.
4. Risiko kekambuhan penyakit yang sama di Department of Pharmacy Children’s and
masa depan. Women’s Health Centre of British
5. Rendahnya risiko terkena epilepsi dan Columbia. (Esau, 2006)
tidak adanya manfaat menggunakan terapi 2. Guidelines and protocol febrile seizures.
obat antiepilepsi dalam mengubah risiko itu. September, 2010.
3. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and
Kriteria Rujukan Formulary 2007-2008. Toronto. The
Department of Pharmacy, The Hospital for
1. Apabila kejang tidak membaik setelah
Sick Children. (Lau, 2008)
diberikan obat antikonvulsan sampai lini
4. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug
ketiga (fenobarbital).
Information 2009. Bethesda. American
2. Jika diperlukan pemeriksaan penunjang
Society of Health-System Pharmacists, Inc.
seperti EEG dan pencitraan (lihat indikasi
(McEvoy,2009)
EEG dan pencitraan).
5. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi
Peralatan IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI, 2006)

Tabung oksigen dan kelengkapannya, infus set,


diazepam rektal/intravena, lorazepam, fenitoin
IV, fenobarbital IV, NaCl 0,9%.

14. TETANUS NEONATORUM


No. ICPC-2: N72 Tetanus
No. ICD -10: A33 Tetanus Neonatorum
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Secara global hampir 14% penyebab kematian Keluhan
neonatus adalah tetanus neonatorum. Tetanus
neonatorum bertanggung jawab terhadap Gejala klinis timbul setelah toksin mencapai
50% kematian neonatus yang disebabkan susunan saraf. Masa inkubasi umumnya berkisar
oleh penyakit yang dapat dicegah dengan antara 3-10 hari. Trismus akibat spasme otot
imunisasi. Tetanus neonatorum dapat dicegah masseter ditemukan pada lebih dari separuh
dengan imunisasi dan atau pelayanan penderita, diikuti kekauan otot leher, kesulitan
persalinan dan pasca persalinan yang bersih. menelan dan mulut mencucu seperti mulut ikan.
Beberapa penelitian komunitas di awal tahun Spasme otot punggung dan otot perut. Spasme
1970 dan 1980 di Negara Amerika Latin dan dapat terjadi spontan atau terhadap rangsangan
beberapa Negara berkembang menunjukkan dengan frekuensi yang bervariasi. Kesadaran
kematian neonatal antara <5 sampai 60 kasus masih intak.
per 1000 kelahiran hidup. Di beberapa negara Anamnesis, meliputi :
berkembang kematian tetanus neonatorum
merupakan 23- 72% dari total kematian 1. Penolong persalinan apakah tenaga
neonatal.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 22


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

medis/paramedis/non medis/dukun bayi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


2. Telah mendapat pelatihan atau belum
3. Alat yang dipakai memotong tali pusat Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :
4. Ramuan apa yang dibubuhkan pada 1. Eradikasi kuman
perawatan tali pusat a. Tali pusat dibersihkan dengan alcohol
5. Status imunisasi TT ibu sebelum dan selama 70% atau providon iodin.
kehamilan b. Antibiotik
6. Sejak kapan bayi tidak dapat menetek c. Penisilin prokain 50.000 IU/kg/kali IM,
(incubation period) tiap 12 jam, atau
7. Berapa lama selang waktu antara gejala- d. Ampisilin 50 mg/kg/dosis, atau
gejala tidak dapat menetek dengan gejala • Usia gestasi (UG) < 37 minggu
spasme pertama (period of onset) - n< 28 hari tiap 12 jam
Faktor Risiko : - - > 28 hari tiap 8 jam
• UG > 37 minggu
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang - < 7 hari tiap 12 jam
Sederhana (Objective) - > 7 hari tiap 8 jam
e. Metronidazole loading dose 15mg/
Pemeriksaan Fisik
kg/dosis, selanjutnya 7,5mg/kg/dosis,
1. Kesadaran intak atau
2. Trismus f. Interval
3. Kekakuan otot leher, punggung, perut • Usia < 28 hari tiap 12 jam
4. Mulut mencucu seperti mulut ikan • Usia > 28 hari tiap 8 jam
5. Kejang g. Pemberian dosis rumatan
• UG < 37 minggu 24 jam setelah loading
Pemeriksaan Penunjang dose
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang • UG > 37 minggu 12 jam setelah loading
spesifik untuk tetanus neonatorum. Diagnosis dose
utamanya ditegakkan dengan adanya gejala h. Eritromisin 15-25 mg/kg/dosis tiap 8 jam
klinis seperti trismus, disfagia, kekakuan otot Bila ada sepsis/pneumonia dapat
(muscular rigidity). ditambahkan sefotaksim 50 mg/kg/dosis
• UG < 30 minggu
Penegakan Diagnostik (Assessment) - <28 hari tiap 12 jam
- >28 hari tiap 8 jam
Diagnosis Klinis
• UG > 30
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, minggu
pemeriksaan fisik dan penunjang. 2. < 14 hari tiap 12 jam
>14 hari tiap 8 jam
Diagnosis Banding 3. Netralisasi toksin
Semua penyebab kejang neonatus seperti a. ATS 50.000 – 100.000 IU, setengah dosis
Kongenital (cerebral anomalies), perinatal IM, setengahnya IV, dilakukan uji kulit
(komplikasi persalinan, trauma perinatal & lebih dahulu.
atau perdarahan intracranial) dan postnatal b. Bila tersedia dapat diberikan HTIG
(Intervensi & gangguan metabolik) 3000- 6000 IU IM
4. Memberikan pelemas otot untuk
Komplikasi mengatasi spasme otot
Diazepam 20-40 mg/kgBB/hari, drip,
Fraktur, dislokasi mandibular, hipoksia dan
dilarutkan dalam larutan dekstrose 5%
pneumonia aspirasi, Long bone fractures
menggunakan syringe pump. Obat dibagi
menjadi empat sediaan untuk menghindari
efek pengendapan obat diazepam. Hati-hati

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

terjadi henti napas dalam pemberiannya. Kriteria Rujukan : -


Bila diazepam telah mencapai dosis
Peralatan
maksimal tetapi spasme tetap tidak teratasi
dianjurkan pemberian pelumpuh otot -
pankuronium 0,05-0,1 mg/kgBB/kali dan
penggunaan ventilator mekanik. Prognosis
5. Terapi suportif 1. Ad Vitam : dubia
a. Pemberian oksigen 2. Ad Functionam : dubia
b. Pembersihan jalan nafas 3. Ad Sanationam : dubia
c. Keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
6. Imunisasi Referensi
Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid
1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
sesuai dengan jadwal imunisasi diberikan
Kedokteran Universitas Udayana. 2004.
pada saat penderita pulang.
Tetanus dalam Standar Pelayanan Medis
Konseling dan Edukasi : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD.
Denpasar. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
1. Pencegahan tetanus neonatorum dapat Universitas Udayana, 2004)
dilakukan dengan menjaga proses 2. Wibowo, T. Tetanus Neonatorum dalam
persalinan tetap aseptic termasuk pada saat Buletin Jendela Data dan Informasi. 2012.
pemotongan tali pusat. Volume 1. Jakarta. Kementrian Kesehatan
2. Imunisasi aktif wanita hamil dengan 2 RI. (Wibowo, 2012)
dosis Tetanus Toksoid 0,5 ml dengan
jarak penyuntikan 2 bulan dapat
mencegah terjadinya penyakit tetanus
neonatroum.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 22


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

I. PSIKIATRI

1. GANGGUAN SOMATOFORM
No ICPC-2 : P75. Somatization
disorder No ICD-10 : F45
Somatoform disorders

Masalah Kesehatan
pemeriksaan medis,
Gangguan somatoform merupakan 3. Hasil pemeriksaan medis tidak
suatu kelompok kelainan psikiatrik yang menunjukkan adanya kelainan yang dapat
manifestasinya dapat berupa berbagai gejala menjelaskan keluhan tesebut,
fisik yang dirasakan signifikan oleh pasien 4. Onset dan kelanjutan dari keluhan
namun tidak ditemukan penyebabnya secara berhubungan erat dengan peristiwa
medis. Tidak ada data yang pasti mengenai kehidupan yang tidak menyenangkan atau
prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu konflik- konflik,
penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi 5. Pasien biasanya menolak upaya untuk
gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas membahas kemungkinan adanya penyebab
sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis psikologis,
gangguan yang tersering adalah neurosis, 6. Dapat terlihat perilaku mencari perhatian
yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk (histrionik), terutama pada pasien yang
psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi medis tidak puas karena tidak berhasil membujuk
yang serius, gejala- gejala yang dirasakan dokter menerima persepsinya
oleh pasien dengan gangguan somatoform bahwa keluhan yang dialami merupakan
sangat mengganggu dan berpotensi penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan
menimbulkan distres emosional. Peran dokter lebih lanjut.
di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat Selain untuk menegakkan diagnosis, anamnesis
pertama pada kasus gangguan somatoform dilakukan untuk menggali pemahaman dan
sangat penting. Keberhasilan dokter dalam persepsi pasien mengenai kondisi yang
mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis dialaminya. Seringkali tujuan ini baru dapat
gangguan somatoform dengan tepat, dan dicapai setelah beberapa kali pertemuan. Dokter
menatalaksana akan sangat membantu harus mengklarifikasi keluhan-keluhan pasien
meningkatkan kualitas hidup pasien, hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain itu,
mengurangi rujukan yang tidak perlu, dan perlu pula digali harapan dan keinginan pasien,
menghindarkan pasien dari pemeriksaan keyakinan dan ketakutan yang mungkin pasien
medis yang berlebihan atau merugikan. miliki, serta stresor psikososial yang mungkin
Hasil Anamnesis (Subjective) dialami dan menjadi penyebab gangguan.

Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik
tertentu. Dokter harus mempertimbangkan Tidak ada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
diagnosis gangguan somatoform bila terdapat penunjang spesifik yang diperlukan untuk
beberapa karakteristik berikut ini: menegakkan diagnosis gangguan somatoform.
Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan
1. Keluhan atau gejala fisik berulang, untuk mengeksklusi kelainan organik yang
2. Dapat disertai dengan permintaan dianggap relevan dengan keluhan pasien.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan penunjang yang terlalu berlebihan dahulu memastikan ada tidaknya tanda-
perlu dihindari agar tidak menambah tanda gangguan ansietas (F40-F41), obsesif
kekhawatiran pasien. kompulsif (F42), reaksi stres dan gangguan
penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif
Penegakan Diagnosis (Assessment)
atau konversi (F44). Gangguan somatoform
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda
pertama harus memikirkan diagnosis gangguan pada pasien memenuhi kriteria diagnostik
somatoform bila pada pasien terdapat gangguan di hirarki yang lebih tinggi.
keluhan dengan karakteristik sebagaimana yang 3. Mengeksklusi kondisi factitious disorder dan
telah dijelaskan pada halaman sebelumnya malingering
(lihat poin Hasil Anamnesis (Subjective)). Dalam Pada kondisi factitious disorder, pasien
praktik sehari-hari, dokter dapat menggunakan mengadopsi keluhan- keluhan fisik, tanpa
kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining ia sadari, sebagai upaya memperoleh
gangguan somatoform. Salah satu contohnya keuntungan internal, misalnya: untuk
adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ- mendapat perhatian lebih dari orang-
15). Berikut ini adalah langkah- langkah orang tertentu di sekitarnya. Berbeda
pendekatan terhadap keluhan fisik pasien halnya dengan kondisi malingering, di
hingga dokter sampai pada kesimpulan mana pasien sengaja atau berpura-pura
diagnosis gangguan somatoform: sakit untuk memperoleh keuntungan
1. Mengeksklusi kelainan organik eksternal, misalnya: agar terhindar dari
tanggung jawab atau kondisi tertentu,
Keluhan dan gejala fisik yang dialami oleh
atau untuk memperoleh kompensasi uang
pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan
tertentu). Pada gangguan somatoform,
panduan tatalaksana medis terkait, dengan
tidak ada keuntungan yang coba didapat
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
oleh pasien. Keluhan-keluhan yang
dan pemeriksaan penunjang yang relevan.
disampaikan juga bukan sesuatu yang
2. Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri disengaja, malahan adanya keluhan-
yang tergolong dalam kelompok dan blok keluhan tersebut dipicu, dipertahankan,
yang hirarkinya lebih tinggi. dan diperparah oleh kekhawatiran dan
Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik ketakutan tertentu (Oyama et al. 2007).
dilakukan secara hirarkis. Dalam Pedoman
4. Menggolongkan ke dalam jenis gangguan
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
somatoform yang spesifik
Jiwa III, gangguan somatoform memiliki
kode F45 dan merupakan blok penyakit Blok gangguan somatoform terdiri atas:
yang termasuk dalam kelompok F40-F48, a. F45.0. Gangguan somatisasi
yaitu gangguan neurotik, gangguan b. F45.1. Gangguan somatoform tak terinci
somatoform, dan gangguan yang berkaitan c. F45.2. Gangguan hipokondrik
dengan stres. Dengan demikian, pada d. F45.3. Disfungsi otonomik somatoform
kasus gangguan somatoform, dokter e. F45.4. Gangguan nyeri somatoform
perlu mengeksklusi gangguan mental menetap
organik (F00-F09), gangguan mental dan f. F45.5. Gangguan somatoform lainnya
perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif g. F45.6. Gangguan somatoform yang
(F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, tidak tergolongkan (YTT)
dan gangguan waham (F20-F29), serta
gangguan suasana perasaan atau mood
atau afektif (F30-F39). Pada blok F40-
F48 sendiri, dokter perlu terlebih

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 22


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) mengindentifikasi serta mengelola stres


secara efektif, misalnya dengan relaksasi,
Penatalaksanaan breathing control. Peningkatan aktifitas fisik
Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform dapat disarankan untuk mengurangi
adalah mengelola gejala dan bukan fatigue dan nyeri muskuloskeletal
menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak 7. Bila gangguan somatoform merupakan
ada kelainan medis yang dialami oleh pasien. bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter
Berikut ini adalah prinsip- prinsip dasar harus mengintervensi dengan tepat.
pengelolaan pasien dengan gangguan 8. Dokter perlu menjadwalkan pertemuan
somatoform: yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan
dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap
1. Dokter harus menerima bahwa pasien bulan selama 5-10 menit, terutama untuk
memang betul-betul merasakan gejala memberi dukungan dan reassurance.
pada tubuhnya dan memahami bahwa Dokter perlu membatasi dan menghindari
gejala- gejala tersebut mengganggu konsultasi via telepon atau kunjungan-
pasien. Dokter perlu melatih diri untuk kunjungan yang bersifat mendesak.
tidak terlalu prematur menganggap pasien 9. Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater
berpura-pura (malingering) tanpa didukung bila diperlukan, misalnya saat penegakan
bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana diagnosis yang sulit, menentukan adanya
gangguan somatoform adalah komorbid psikiatrik lain, atau terkait
membangun kemitraan dengan dan pengobatan.
kepercayaan dari pasien.
2. Bila terdapat kecurigaan adanya Non-medikamentosa
gangguan
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan
somatoform, dokter perlu mendiskusikan salah satu tatalaksana yang efektif untuk
kemungkinan ini sedini mungkin mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT,
dengan pasien. Bila diagnosis gangguan dokter memposisikan diri sebagai mitra
somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu yang membantu pasien. Tahap awal dari
mendiskusikannya dengan pasien. CBT adalah mengkaji masalah pasien dengan
3. Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai
tepat dan membantu pasien mengidentifikasi
gangguan yang dialaminya dengan
hal-hal yang selama ini menimbulkan atau
berempati dan menghindari konfrontasi
memperparah gejala fisik yang dialami,
Dokter harus menunjukkan kesungguhan
misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang
untuk membantu pasien sebaik-baiknya,
tidak realistis, kekhawatiran, atau perilaku
tanpa memaksa pasien untuk menerima
tertentu. Tahap selanjutnya adalah membantu
pendapat dokter.
pasien mengidentifikasi dan mencoba
4. Pemeriksaan medis dan rujukan ke
alternatif perilaku yang dapat mengurangi atau
layanan sekunder yang tidak perlu harus
mencegah timbulnya gejala-gejala fisik, yang
dihindari. Bila ada gejala baru, dokter
dikenal sebagai behavioral experiments.
perlu berhati- hati dalam menganjurkan
pemeriksaan atau rujukan. Medikamentosa
5. Dokter harus memfokuskan
penatalaksanaan pada fungsi pasien Penggunaan obat harus berdasarkan
sehari-hari, bukan gejala, serta pada indikasi yang jelas. Hanya sedikit studi yang
pengelolaan gejala, bukan penyembuhan. menunjukkan efektifitas yang signifikan dari
6. Dokter perlu menekankan modifikasi penggunaan obat-obat untuk tatalaksana
gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga gangguan somatoform. Antidepresan dapat
pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi
bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien atau ansietas yang mengganggu.
mungkin perlu dibantu untuk

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Prognosis Screeners. Available at: http://


www.phqscreeners.com/pdfs/04_PHQ-15/
1. Ad vitam : Bonam
English.pdf [Accessed May 24, 2014].
2. Ad functionam : Dubia 6. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting
3. Ad sanationam : Dubia
Somatoform Disorders in Primary Care
Sebagian pasien tidak menunjukkan respon with the PHQ-15. Annals of Family
positif atas tatalaksana yang dilakukan Medicine, 7, pp.232–238. Available at:
dan gangguan somatoform terus berlanjut http://www.
bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini annfammed.org/content/7/3/232.full.
diperkirakan terjadi pada 0,2-0,5% anggota pdf+html.
populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini dapat
memperbaiki prognosis dan mengurangi
hambatan pada fungsi sosial dan okupasi sehari-
hari.
Peralatan
Untuk keperluan skrining, dapat disediakan
lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter. Selain
itu, tidak ada peralatan khusus yang
diperlukan terkait diagnosis dan tatalaksana
gangguan somatoform.
Referensi
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1993. F45 Gangguan Somatoform. In
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pp. 209–221.
2. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform
and Dissociative Disorders: Assessment
and Treatment Advance in Psychiatric
Treatment,3(1), pp.9–16 Available
at:http://apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/
apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014].
3. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan
Metode Dua Menit ( M2M ) dalam
Menentukan Prevalensi Gangguan Jiwa di
Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran
Indonesia, 60(10), pp.448–453.
4. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007.
Somatoform Disorders. American Family
Physician, 76, pp.1333–1338. Available at:
www.aafp.org/afp.
5. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-
15). Patient Health Questionnaire (PHQ)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 22


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. DEMENSIA
No. ICPC-2
No. ICD-10 : P70 Dementia
: F03 Unspecified dementia
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Gangguan fungsi otak terutama berupa
Demensia merupakan sindrom akibat penyakit gangguan fungsi memori dan bahasa,
otak yang bersifat kronik progresif, ditandai seperti afasia, aphrasia, serta adanya
dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, kemunduran fungsi kognitif eksekutif.
termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya 3. Dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan
tangkap (komprehensi), kemampuan belajar, adanya gangguan neurologik atau penyakit
orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan sistemik
daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti
Pemeriksaan penunjang
dengan deteriorasi dalam kontrolemosi,
hubungan sosial dan motivasi. Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika
ada kecurigaan adanya kondisi medis yang
Pada umumnya terjadi pada usia lanjut,
menimbulkan dan memper berat gejala.
ditemukan pada penyakit Alzhaimer, penyakit
Dapat dilakukan Mini Mental State
serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara
Examination (MMSE).
primer dan sekunder mempengaruhi otak.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis,
Keluhan utama adalah gangguan daya ingat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
mudah lupa terhadap kejadian yang baru
dialami, dan kesulitan mempelajari informasi Kriteria Diagnosis
baru. Diawali dengan sering lupa terhadap 1. Adanya penurunan kemampuan daya
kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda kecil, ingat dan daya pikir yang sampai
pada akhirnya lupa mengingat nama sendiri mengganggu kegiatan harian seseorang
atau keluarga. 2. Tidak ada gangguan kesadaran
Faktor Risiko 3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk
paling sedikit enam bulan
Usia> 60 tahun (usialanjut). Riwayat keluarga.
Klasifikasi
Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular
(hipertensi, penyakit jantung), atau diabetes 1. Demensia pada penyakit Alzheimer
mellitus. 2. Demensia Vaskular (Demensia multiinfark)
3. Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 4. Demensia pada penyakit Creufield-Jacob
Sederhana (Objective) 5. Demensia pada penyakit Huntington
6. Demensia pada penyakit Parkinson
Pemeriksaan Fisik
7. Demensia pada penyakit HIV/AIDS
1. Kesadaran sensorium baik. 8. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya
2. Penurunan daya ingat yang bersifat kronik paling besar (50-60%), disusul demensia
dan progresif. vaskular (20-30%)

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding seperti Haloperidol 0,5-1 mg/hari.


Delirium, Depresi, Gangguan Buatan, Skizofrenia Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis
dan penatalaksanaan lanjutan.
Penatalaksanaan
2. Apabila pasien menunjukkan gejala
1. Non farmakologi agresifitas dan membahayakan dirinya atau
a. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol orang lain.
penyakit fisik, lakukan aktifitas fisik Peralatan: Tidak ada Peralatan khusus
sederhana seperti senam otak, stimulasi
kognitif dengan permintaan, kuis, Prognosis
mengisi teka-teki silang, bermain catur.
b. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia
nyaman dan aman bagi pasien. ad bonam, sedangkan fungsi adalah dubia ad
c. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari malam. Ad sanationam adalah ad malam.
(mandi, makan, dan lain-lain) untuk Referensi
mengoptimalkan aktivitas independen,
meningkatkan fungsi, membantu 1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
adaptasi dan mengembangkan Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
keterampilan, serta meminimalisasi Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama,
kebutuhan akan bantuan. 1993. (Kementerian Kesehatan Republik
d. Ajarkan kepada keluarga agar dapat Indonesia, 1993)
membantu mengenal barang milik 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
pribadinya, mengenal waktu Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
dengan menggunakan jam besar, Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
kalender harian, dapat menyebutkan (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
namanya dan anggota keluarga
Jiwa Indonesia, 2012)
terdekat, mengenal lingkungan sekitar,
beri pujian jika dapat menjawab dengan 3. World Health Organization. MH gap
benar, bicara dengan kalimat sederhana Intervention Guide for Mental, Neurological
dan jelas (satu atau dua tahap saja), and Substance Use Disorders in Non-
bila perlu gunakan isyarat atau Specialized Health Settings, 2010. (World
sentuhan lembut. Health Organization, 2010)
2. Farmakologi
a. Jangan berikan inhibitor
asetilkolinesterase (seperti: donepzil,
galantamine dan rivastigmine) atau
memantine secara rutin untuk semua
kasus demensia. Pertimbangkan
pemberiannya hanya pada kondisi
yang memungkinkan diagnosis
spesifik penyakit Alzheimer ditegakkan
dan tersedia dukungan serta supervisi
adekuat oleh spesialis serta
pemantauan efek samping oleh pelaku
rawat.
b. Bila pasien berperilaku agresif, dapat
diberikan antipsikotik dosis rendah,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 23


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. INSOMNIA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: P06 Sleep disturbance
: F51 Insomnia non organik pada psikiatri
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pada status generalis, pasien tampak lelah
Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam dan mata cekung. Bila terdapat gangguan
tidur, dapat berupa kesulitan berulang untuk organik, ditemukan kelainan pada organ.
mencapai tidur, atau mempertahankan tidur
Pemeriksaan Penunjang
yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.
Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.
salah satu gejala dari gangguan lainnya,
baik mental (psikiatrik) atau fisik. Secara umum Penegakan Diagnostik (Assessment)
lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur Diagnosis Klinis
yang spesifik bersamaan dengan diagnosis
lain yang relevan untuk menjelaskan secara Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.
kuat psikopatologi dan atau patofisiologinya. Pedoman Diagnosis

Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur


atau mempertahankan tidur atau kualitas
Keluhan tidur yang buruk
Sulit masuk tidur, sering terbangun di 2. Gangguan terjadi minimal tiga kali seminggu
malam hari atau mempertahankan tidur yang selama minimal satu bulan.
optimal, atau kualitas tidur yang buruk. 3. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan
peduli yang berlebihan terhadap akibatnya
Faktor Risiko pada malam hari dan sepanjang siang hari.
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan
1. Adanya gangguan organik (seperti
atau kualitas tidur menyebabkan
gangguan endokrin, penyakit jantung).
penderitaan yang cukup berat dan
2. Adanya gangguan psikiatrik seperti
mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
gangguan psikotik, gangguan depresi,
pekerjaan.
gangguan cemas, dan gangguan akibat zat
psikoaktif. Diagnosis Banding
Faktor Predisposisi Gangguan Psikiatri, Gangguan Medik umum,
Gangguan Neurologis, Gangguan Lingkungan,
1. Sering bekerja di malam hari .
Gangguan Ritme sirkadian.
2. Jam kerja tidak stabil.
3. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif Komplikasi
yang berlebihan.
4. Efek samping obat. Dapat terjadi penyalahgunaan zat.
5. Kerusakan otak, seperti: encephalitis, Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
stroke, penyakit Alzheimer
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-
faktor risiko yang dimilikinya dan pentingnya
Pemeriksaan Fisik untuk memulai pola hidup yang sehat dan
mengatasi masalah yang menyebabkan

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

terjadinya insomnia. Peralatan


2. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan
Tidak ada Peralatan khusus
Lorazepam 0,5-2 mg atau Diazepam 2-5 mg
pada malam hari. Pada orang yang Prognosis
berusia lanjut atau mengalami gangguan
medik umum diberikan dosis minimal Prognosis pada umumnya bonam
efektif. Referensi
Konseling dan Edukasi 1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Memberikan informasi kepada pasien dan Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
keluarga agar mereka dapat memahami tentang Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
insomnia dan dapa tmenghindari pemicu 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
terjadinya insomnia. Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
Kriteria Rujukan 3. World Health Organization. MH gap
Intervention Guide for Mental, Neurological
Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak
and Substance Use Disorders in Non-
menunjukkan perbaikan, atau apabila terjadi
Specialized Health Settings, 2010.
perburukan walaupun belum sampai 2
minggu, pasien dirujuk kefasilitas kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis
kedokteran jiwa.

4. GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI


No. ICPC-2: P74Anxiety Disorder (anxiety state)
No. ICD-10: F41.2 Mixed Anxiety and Depression Disorder
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
khawatir berlebihan.
Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-
Allo dan Auto Anamnesis tambahan:
gejala anxietas (kecemasan) dan depresi
bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak 1. Adanya gejala seperti minat dalam melakukan
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup aktivitas/semangat yang menurun, merasa
beratuntuk dapat ditegakannya suatu diagnosis sedih/ murung, nafsu makan berkurang atau
tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa meningkat berlebihan, sulit berkonsentrasi,
gejala autonomik harus ditemukan, walaupun kepercayaan diri yang menurun, pesimistis.
tidak terusmenerus, di samping rasa cemas
atauk hawatir berlebihan. 2. Keluhan biasanya sering terjadi, atau
berlangsung lama, dan terdapat stresor
Hasil Anamnesis (Subjective) kehidupan.
Keluhan 3. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan
penggunaan zat (alkohol, tembakau,
Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik
stimulan, dan lain-lain)
seperti: nafas pendek/cepat, berkeringat,
gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung Faktor Risiko
berdebar, gangguan lambung, diare, atau
bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa 1. Adanya faktorbiologis yang mempengaruhi,
cemas/ antara lain hiper aktivitas sistem

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 23


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

noradrenergik, faktorgenetik. dalam melakukan aktivitas), mudah,


lelah, gangguan tidur, konsentrasi menurun,
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan gangguan pola makan, kepercayaan diri
tidak fleksibel, seperti ciri kepribadian
yang berkurang, pesimistis, rasa tidak
dependen, skizoid, anankastik, cemas berguna/rasa bersalah
menghindar.
Diagnosis Banding
3. Adanya stres kehidupan.
Gangguan Cemas (Anxietas) Organik, Gangguan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat,
Sederhana (Objective)
Gangguan Depresi,Gangguan Cemas
Pemeriksaan Fisik Menyeluruh, Gangguan Panik, Gangguan
Somatoform
Respirasi meningkat, tekanan darah dapat
meningkat, dan tanda lain sesuai keluhan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
fisiknya. Penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang 1. Non-farmakologi
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak a. Konseling dan edukasi pada pasien
ditemukan adanya tanda yang bermakna. dan keluarga
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk • Karena gangguan campuran
menyingkirkan diagnosis banding sesuai cemas depresi dapat mengganggu
keluhan fisiknya. produktivitas pasien, keluarga
perlu memahami bahwa hal ini bukan
Penegakan Diagnostik (Assessment) karena pasien malas atau tidak mau
mengerjakan tugasnya, melainkan
Diagnosis Klinis
karena gejala- gejala penyakitnya
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan itu sendiri, antara lain mudah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria lelah serta hilang energi. Oleh sebab
diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya itu, keluarga perlu memberikan
gejala- gejala kecemasan dan depresi yang dukungan agar pasien mampu dan
timbul bersama-sama, dan masing-masing dapat mengatasi gejala penyakitnya.
gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala • Gangguan campuran anxietas dan
yang cukup beratuntuk dapat ditegakkannya depresi kadang-kadang memerlukan
suatu diagnosis tersendiri. pengobatan yang cukup lama,
diperlukan dukunga keluarga untuk
1. Gejala-gejala kecemasan antara lain: memantau agar pasien melaksanakan
a. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit pengobatan dengan benar, termasuk
berkonsentrasi minum obat setiap hari.
b. Intervensi Psikososial
b. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, • Lakukan penentraman (reassurance)
gemetaran, tegang, tidak dapat santai dalam komunikasi terapeutik, dorong
c. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, pasien untuk mengekspresikan
berkeringat berlebihan, sesak nafas, mulut pikiran perasaan tentang gejala dan
kering,pusing, keluhan lambung, diare. riwayat gejala.
• Beri penjelasan adanya pengaruh
2. Gejala-gejala depresi antara lain: suasana antara faktor fisik dan psikologis,
perasaan sedih/murung, kehilangan minat/ termasuk bagaimana faktor
kesenangan (menurunnya semangat perilaku, psikologik dan emosi
berpengaruh mengeksaserbasi gejala
somatik yang

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

mempunyai dasar fisiologik. mengalami gangguan ini, terutama apabila


• Bicarakan dan sepakati rencana gejala progresif dan makin bertambah berat
pengobatandan follow-up, bagaimana yang menunjukkan gejala depresi seperti
menghadapi gejala, dan dorong pasien menolak makan, tidak mau merawat
untuk kembali keaktivitas normal. diri, ada ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak
• Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas ada perbaikan yang signifikan dalam 2-3 bulan
dalam) terapi.
• Anjurkan untuk berolah raga teratur
Peralatan
atau melakukan aktivitas yang
disenangi serta menerapkan perilaku Tidak ada peralatan khusus.
hidup sehat.
• Ajarkan untuk selalu berpikir positif Prognosis
dan manajemen stres dengan baik. Pada umumnya prognosis gangguan ini
2. Farmakologi: adalah bonam.
a. Untuk gejala kecemasan maupun
depresinya, diberikan antidepresan Referensi
dosis rendah, dapat dinaikkan apabila
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry,
tidak ada perubahan yang signifikan
7th edition, William and Wilkins.
setelah 2-3 minggu: fluoksetin 1x10-
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman
20 mg/hari atau sertralin 1 x 25-50 mg/
penggolongan dan diagnosis Gangguan
hari atau amitriptilin 1x12,5-50 mg/
jiwa di Indonesia III, cetakan pertama,
hari atau imipramin1-2x10-25
1993.
mg/hari. Catatan: amitriptilin dan
3. World Health Organization. Diagnostic
imipramin tidak boleh diberikan pada
and management guidelines for mental
pasien dengan penyakit jantung, dan
disorders in primary care: ICD-10 chapter
pemberian berhati-hati untuk pasien
V, primary care version. Seattle: Hogrefe
lansia karena efek hipotensi
& Huber Publishers. (World Health
ortostastik (dimulai dengan dosis
Organization, t.thn.)
minimal efektif). 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
b. Pada pasien dengan gejala kecemasan
Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
yang lebih dominan dan atau
Pelayanan Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012
dengan gejala insomnia dapat
diberikan kombinasi fluoksetin
atau sertralin dengan antianxietas
benzodiazepin. Obat-obatan
antianxietas jenis benzodiazepin yaitu:
diazepam 1x2-5 mg atau lorazepam 1-2
x 0,5-1 mg atau klobazam 2x5-10 mg
atau alprazolam 2x 0,25-0,5mg. Setelah
kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin
ditappering-off perlahan, sementara
antidepresan diteruskan hingga 4-6
bulan sebelum ditappering- off. Hati-
hati potensi penyalahgunaan pada
alprazolam karena waktu paruh yang
pendek.
Kriteria Rujukan
Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 23


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. GANGGUAN PSIKOTIK
No. ICPC-2 No. ICD-10
: P98
PCPsychosis NOS/other
: F20 Chronic Psychotic Disorder
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Gangguan yang ditandai dengan Sederhana (Objective)
ketidakmampuan atau hendaya berat dalam
Pemeriksaan Fisik
menilai realita, berupa sindroma (kumpulan
gejala), antara lain dimanifestasikan dengan Pemeriksaan fisik diperlukan untuk
adanya halusinasi dan waham. menyingkirkan penyebab organik dari
psikotiknya (gangguan mental organik). Selain
Hasil Anamnesis (Subjective)
itu pasien dengan gangguan psikotik juga sering
Keluhan terdapat gangguan fisik yang menyertai karena
perawatan diri yang kurang.
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
Pemeriksaan Penunjang
1. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
2. Tidak dapat tidur, tidak mau makan 1. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit
3. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, fisik yang menyertai untuk menyingkirkan
ketakutan diagnosis banding gangguan mental
4. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti organik.
5. Mendengar suara orang yang tidak dapat 2. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke
didengar oleh orang lain fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
6. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai lanjut maka pada fasilitas pelayanan
realita kesehatan tingkat pertama yang mampu
7. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
yang berat, perilaku kacau, perilaku yang sesuai seperti: darah perifer lengkap,
kekerasan elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi
8. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak ginjal, serta radiologi dan EKG.
merawat diri dengan baik
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Diagnosis Klinis
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan
fisik (seperti demam tinggi, kejang, trauma
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria
kepala) dan penggunaan zat psikoaktif
diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:
sebagai penyebab timbulnya keluhan.
1. Halusinasi (terutama halusinasi dengar);
Faktor Risiko
merupakan gangguan persepsi (persepsi
1. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, palsu), tanpa adanya stimulus sensori
antara lain hiperaktivitas sistem eksternal. Halusinasi dapat terjadi pada
dopaminergik dan faktor genetik. setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar,
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, lihat, cium, raba, dan rasa.
seperti ciri kepribadian skizoid, paranoid, 2. Waham (delusi); merupakan gangguan
dependen. pikiran, yaitu keyakinan yang salah, tidak
3. Adanya stresor kehidupan. sesuai dengan realita dan logika, namun

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

tetap dipertahankan dan tidak dapat menyediakan dukungan yang


dikoreksi dengan cara apapun serta tidak berharga untuk pasien dan keluarga.
sesuai dengan budaya setempat. Contoh:
waham kejar, waham kebesaran, waham b. Konseling pasien dan keluarga
kendali, waham pengaruh. • Bicarakan rencana pengobatan
3. Perilaku kacau atau aneh dengan anggota keluarga dan
4. Gangguan proses pikir (terlihat dari minta dukungan mereka. Terangkan
pembicaraan yang kacau dan tidak bahwa minum obat secara teratur
dimengerti) dapat mencegah kekambuhan.
5. Agitatif Informasikan bahwa obat tidak dapat
6. Isolasi sosial (social withdrawal) dikurangi atau dihentikan tiba-tiba
7. Perawatan diri yang buruk tanpa persetujuan dokter.
Informasikan juga tentang efek
Diagnosis Banding
samping yang mungkin timbul dan
1. Gangguan Mental Organik (Delirium, cara penanggulangannya.
Dementia, Psikosis Epileptik) • Dorong pasien untuk melakukan
2. Gangguan Mental dan Perilaku akibat fungsinya dengan seoptimal
Penggunaan Zat (Napza) mungkin di pekerjaan dan aktivitas
3. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik harian lain.
4. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik) • Dorong pasien untuk menghargai
norma dan harapan masyarakat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (berpakaian, berpenampilan dan
Penatalaksanaan berperilaku pantas).
• Menjaga keselamatan pasien dan
1. Intervensi Psikososial orang yang merawatnya pada fase
akut:
a. Informasi penting bagi pasien dan o Keluarga atau teman harus
keluarga menjaga pasien.
• Agitasi dan perilaku aneh
o Pastikan kebutuhan dasar
merupakan gejala gangguan mental,
terpenuhi (misalnya makan dan
yang juga termasuk penyakit medis.
minum).
• Episode akut sering mempunyai
o Jangan sampai mencederai pasien.
prognosis yang baik, tetapi
perjalanan penyakit jangka panjang • Meminimalisasi stres dan stimulasi:
sulit diprediksi. Pengobatan perlu o Jangan mendebat pikiran psikotik
dilanjutkan meskipun setelah gejala (anda boleh tidak setuju dengan
mereda. keyakinan pasien, tetapi jangan
• Gejala-gejala dapat hilang timbul. mencoba untuk membantah bahwa
Diperlukan antisipasi dalam pikiran itu salah). Sedapat mungkin
menghadapi kekambuhan. Obat hindari konfrontasi dan kritik.
merupakan komponen utama dalam o Selama masa gejala-gejala
pengobatan. Minum obat secara menjadi lebih berat, istirahat
teratur akan mengurangi gejala- dan menghindari stres dapat
gejala dan mencegah kekambuhan. bermanfaat.
• Dukungan keluarga penting
untuk ketaatberobatan (compliance) • Agitasi yang berbahaya untuk pasien,
dan rehabilitasi. keluarga dan masyarakat memerlukan
• Organisasi masyarakat dapat rawat inap atau pengamatan ketat
di tempat yang aman.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 23


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Farmakologi mandir tidak bisa berhenti bukan akibat


gejala) turunkan dosis antipsikotik dan
a. Berikan obat antipsikotik: Haloperidol berikan beta-blocker, propranolol 2-3 x
2-3 x 2-5 mg/hari atau Risperidon 2x
10-20 mg.
1-3 mg/hari atau Klorpromazin 2-3 x
100-200 mg/hari. Untuk haloperidol dan 3. Kunjungan Rumah (home visit)
risperidon dapat digabungkan dengan
Kunjungan rumah dilakukan sesuai
benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3
indikasi untuk:
x 5 mg, lorazepam 1-3 x 1-2 mg) untuk
mengurangi agitasi dan memberikan a. Memastikan kepatuhan dan
efek sedasi. Benzodiazepin dapat kesinambungan pengobatan
ditappering-off setelah 2-4 minggu. b. Melakukan asuhan keperawatan
Catatan: klorpromazin memiliki efek c. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat
samping hipotensi ortostatik.
Kriteria Rujukan
b. Intervensi sementara untuk gaduh
gelisah dapat diberikan injeksi intra 1. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk
muskular haloperidol kerja cepat konfirmasi diagnostik ke fasyankes sekunder
(short acting) 5 mg, dapat diulangi yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa
dalam 30 menit - 1 jam jika belum setelah dilakukan penatalaksanaan awal.
ada perubahan yang signifikan, dosis 2. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan
maksimal 30 mg/hari. Atau dapat perawatan inap karena berpotensi
juga dapat diberikan injeksi membahayakan diri atau orang lain
intra muskular klorpromazin 2-3 x segera dirujuk setelah penatalaksanaan
50 mg. Untuk pemberian haloperidol awal.
dapat diberikan tambahan injeksi intra Peralatan
muskular diazepam untuk mengurangi
dosis ntipsikotiknya dan menambah 1. Alat restraint (fiksasi)
efektivitas terapi. Setelah stabil 2. Alat transportasi untuk merujuk (bila
segera rujuk ke RS/RSJ. tersedia).
c. Untuk pasien psikotik kronis yang Prognosis
tidak taat berobat, dapat
Untuk ad Vitam adalahbonam, ad fungsionam
dipertimbangkan untuk pemberian
adalah dubia, dan ad sanationam adalah dubia.
injeksi depo (jangka panjang)
antipsikotik seperti haloperidol Referensi
decanoas 50 mg atau fluphenazine
decanoas 25 mg. Berikan injeksi I.M 1. Kaplan and Sadock.Synopsis of psychiatry.
½ ampul terlebih dulu untuk 2 7thEd. William and Wilkins.
minggu, selanjutnya injeksi 1 ampul 2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
untuk 1 bulan. Obat oral jangan penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, di Indonesia III. Ed 1. 1993.
sambil dimonitor efek samping, lalu 3. World Health Organization. Diagnostic
obat oral turunkan perlahan. and management guidelines for mental
disorders in primary care: ICD-10 chapter
d. Jika timbul efek samping ekstrapiramidal V, primary care version. Seattle: Hogrefe &
seperti tremor, kekakuan, akinesia, Huber Publishers.
dapat diberikan triheksifenidil 2-4 x 2 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
mg; jika timbul distonia akut berikan Jiwa Indonesia Pedoman Nasional Pelayanan
injeksi diazepam atau difenhidramin, Kedokteran Jiwa/Psikiatri. 2012.
jika timbul akatisia (gelisah, mondar

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

J. RESPIRASI

1. INFLUENZA
No. ICPC-2 : R80 Influenza
No. ICD-10 : J11 Influenza, virus not identified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Penegakan diagnosis influenza membutuhkan
Influenza, sering dikenal dengan flu adalah ketelitian, karena keluhannya hampir sama
penyakit menular disebabkan oleh virus RNA dengan penyakit saluran pernapasan lainnya.
yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang C.
Influenza dapat didiagnosis berdasarkan 4
Virus influenza terus mengalami perubahan,
kriteria berikut:
sehingga dalam beberapa waktu akan
mengakibatkan wabah (pandemik) yang 1. Terjadi tiba-tiba/akut
parah. Virus ini menyerang saluran napas atas 2. Demam
dan paru-paru. 3. Gejala saluran pernapasan seperti batuk,
tidak ada lokasi spesifik dari keluhan yang
Hasil Anamnesis (Subjective)
timbul
Keluhan 4. Terdapat penyakit serupa di lingkungan
penderita
Keluhan yang sering muncul adalah demam,
bersin, batuk, sakit tenggorokan, hidung meler, Ketika terdapat kasus influenza di masyarakat,
nyeri sendi dan badan, sakit kepala, lemah semua pasien dengan keluhan influenza harus
badan. didiagnosis secara klinis. Pasien disarankan
kembali untuk tindak lanjut jika keluhan
Faktor Risiko yang dialami bertambah buruk atau tidak ada
1. Daya tahan tubuh menurun perbaikan dalam waktu 72 jam.
2. Kepadatan hunian dan kepadatan penduduk Diagnosis Banding
yang tinggi
3. Perubahan musim/cuaca Faringitis, Tonsilitis, Laringitis
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Komplikasi
5. Usia lanjut
Infeksi sekunder oleh bakteri, Pneumonia
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana (Objective) Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan
Tanda Patognomonis 1. Tatalaksana influenza umumnya tanpa obat
(self-limited disease).
1. Febris
2. Rinore Hal yang perlu ditingkatkan adalah daya
tahan tubuh. Tindakan untuk meringankan
3. Mukosa hidung edema
gejala flu adalah beristirahat 2-3 hari,
Pemeriksaan penunjang: tidak diperlukan mengurangi kegiatan fisik berlebihan,
meningkatkan gizi makanan dengan
Penegakan Diagnostik (Assessment) makanan berkalori dan protein tinggi, serta
Diagnosis Klinis buah-buahan yang tinggi vitamin.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 23


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Terapi simptomatik per oral tidak turun 5 hari disertai batuk purulen dan
sesak napas)
a. Antipiretik. Pada dewasa yaitu
parasetamol 3-4 x 500 mg/hari (10-15 Prognosis
mg/kgBB), atau ibuprofen 3-4 x 200-
Prognosis pada umumnya bonam.
400 mg/hari (5-10 mg/kgBB).
b. Dekongestan, seperti pseudoefedrin (60 Peralatan
mg setiap 4-6 jam)
c. Antihistamin, seperti klorfeniramin 4- -
6 mg sebanyak 3-4 kali/hari, atau Referensi
difenhidramin, 25-50 mg setiap 4-6 jam,
atau loratadin atau cetirizine 10 mg 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L.
dosis tunggal (pada anak loratadin 0,5 Hauser, S.L.et al. Harrisson’s: Principle
mg/kgBB dan setirizin 0,3 mg/kgBB). of Internal Medicine. 17thed. New York:
d. Dapat pula diberikan antitusif atau McGraw-Hill Companies. 2009. p: 1006 -
ekspektoran bila disertai batuk. 1020.
2. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan
Konseling dan Edukasi dan Pengendalian Infeksi Saluran
1. Edukasi Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi
Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
a. Edukasi terutama ditujukan Pelayanan Kesehatan. 2007.
untuk individu dan lingkungannya.
Penyebaran penyakit ini melalui
udara sehingga lingkungan rumah
harus memenuhi persyaratan rumah
sehat terutama ukuran jendela untuk
pencahayaan dan ventilasi serta
kepadatan hunian. Untuk mencegah
penyebaran terhadap orang-orang
terdekat perlu diberikan juga edukasi
untuk memutuskan mata rantai
penularan seperti etika batuk dan
pemakaian masker.
b. Selain edukasi untuk individu,
edukasi terhadap keluarga dan orang-
orang terdekat juga penting seperti
peningkatan higiene dan sanitasi
lingkungan
2. Pencegahan
a. Imunisasi influenza, terutama bagi
orang-orang risiko tinggi.
b. Harus diwaspadai pasien yang baru
kembali dari daerah terjangkit epidemi
influenza
Rujukan
Bila didapatkan tanda-tanda pneumonia (panas

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. FARINGITIS AKUT
No. ICPC-2 : R74.Upper respiratory infection acute
No. ICD-10 : J02.9 Acute pharyngitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
pada faring dan tidak berespon dengan
Faringitis merupakan peradangan dinding pengobatan bakterial non spesifik.
faring yang disebabkan oleh virus (40-60%), 7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau
bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain- faringitis luetika, ditanyakan riwayat
lain.Anak-anak dan orang dewasa umumnya hubungan seksual, terutama seks oral.
mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran
Faktor Risiko
pernafasan atas termasuk faringitis setiap
tahunnya. 1. Usia 3 – 14 tahun.
2. Menurunnya daya tahan tubuh.
Hasil Anamnesis (Subjective)
3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring
Keluhan 4. Gizi kurang
5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol,
1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan makanan, refluks asam lambung, inhalasi
2. Demam uap yang merangsang mukosa faring.
3. Sekret dari hidung 6. Paparan udara yang dingin.
4. Dapat disertai atau tanpa batuk
5. Nyeri kepala Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
6. Mual Sederhana (Objective)
7. Muntah
Pemeriksaan Fisik
8. Rasa lemah pada seluruh tubuh
9. Nafsu makan berkurang 1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak
faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu: influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus
tidak menghasilkan eksudat). Pada
1. Faringitis viral (umumnya oleh
coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular
Rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis di orofaring dan lesi kulit berupa
dan beberapa hari kemudian timbul maculopapular rash.
faringitis. Gejala lain demam disertai 2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan
rinorea dan mual. tampak tonsil membesar, faring dan
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
muntah, kadang demam dengan suhu yang permukaannya. Beberapa hari kemudian
tinggi, jarang disertai batuk, dan timbul bercak petechiaepada palatum dan
seringkali terdapat pembesaran KGB leher. faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa
3. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok leher anterior membesar, kenyal dan nyeri
dan nyeri menelan. pada penekanan.
4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula 3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan
tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk tampak plak putih di orofaring dan
yang berdahak. pangkal lidah, sedangkan mukosa faring
lainnya hiperemis.
5. Faringitis kronik atrofi: umumnya
4. Faringitis kronik hiperplastik, pada
tenggorokan kering dan tebal serta mulut pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah
berbau. mukosa faring dan hiperplasia lateral
6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat band.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 24


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding adenovirus juga menimbulkan gejala


posterior tidak rata dan bergranular konjungtivitis terutama pada anak.
(cobble stone). b. Faringitis Bakterial
5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan Infeksi grup A stereptokokus beta
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir hemolitikus merupakan penyebab
yang kental dan bila diangkat tampak faringitis akut pada orang dewasa
mukosa kering. (15%) dan pada anak (30%).
6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan Faringitis akibat infeksi bakteri
tampak granuloma perkejuan pada mukosa streptokokkus group A dapat
faring dan laring diperkirakan dengan menggunakan
7. Faringitis luetika tergantung stadium Centor criteria, yaitu :
penyakit: • Demam
a. Stadium primer • Anterior Cervical lymphadenopathy
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan • Eksudat tonsil
dinding posterior faring berbentuk • Tidak ada batuk
bercak keputihan. Bila infeksi Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri
berlanjut timbul ulkus pada daerah skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien
faring seperti ulkus pada genitalia tidak mengalami faringitis akibat
yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan infeksi streptokokkus group A, bila
pembesaran kelenjar mandibula skor 1-3 maka pasien memiliki
b. Stadium sekunder kemungkian 40% terinfeksi
Stadium ini jarang ditemukan. Pada streptokokkus group A dan bila skor
dinding faring terdapat eritema yang 4 pasien memiliki kemungkinan
menjalar ke arah laring. 50% terinfeksi streptokokkus group
c. Stadium tersier A.
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil c. Faringitis Fungal
dan palatum. Candida dapat tumbuh di mukosa
rongga mulut dan faring.
Pemeriksaan Penunjang d. Faringitis Gonorea
1. Pemeriksaan darah lengkap. Hanya terdapat pada pasien yang
2. Pemeriksaan mikroskopik dengan melakukan kontak orogenital
pewarnaan Gram. 2. Faringitis Kronik
3. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat a. Faringitis Kronik Hiperplastik
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi
swab mukosa faring dengan pewarnaan perubahan mukosa dinding posterior
KOH. faring.
b. Faringitis Kronik Atrofi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Faringitis kronik atrofi sering timbul
bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Diagnosis Klinis
Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, tidak diatur suhu serta
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kelembapannya sehingga
bila diperlukan. menimbulkan rangsangan serta infeksi
pada faring.
Klasifikasi faringitis 3. Faringitis Spesifik
1. Faringitis Akut a. Faringitis Tuberkulosis
a. Faringitis Viral Merupakan proses sekunder dari
Dapat disebabkan oleh rinovirus, tuberkulosis paru.
b. Faringitis Luetika
adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV),
virus influenza, coxsachievirus, Treponema palidum dapat menimbulkan
cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada infeksi di daerah faring, seperti juga
penyakit lues di organ lain. Gambaran
klinik tergantung stadium penyakitnya.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3


Komplikasi
Tonsilitis, Abses peritonsilar, Abses
retrofaringeal, Gangguan fungsi tuba
Eustachius, Otitis media akut, Sinusitis,
Laringitis, Epiglotitis, Meningitis,
Glomerulonefritis akut, Demam rematik akut,
Septikemia
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat dan
berkumur dengan obat kumur antiseptik
untuk menjaga kebersihan mulut. Pada
faringitis fungal diberikan Nistatin
100.000-
400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis
kronik hiperplastik terapi lokal dengan
melakukan kaustik faring dengan
memakai zat kimia larutan Nitras Argentin
25%
4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti
virus Isoprinosine dengan dosis 60-100
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada
orang dewasa dan pada anak <5 tahun
diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/
hari
5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila
diduga penyebabnyaStreptococcus group
A, diberikan antibiotik Amoksisilin 50
mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10
hari dan pada dewasa 3x500 mg selama
6-10 hari atau Eritromisin 4x500 mg/hari.
6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan
Sefalosporin generasi ke-3, seperti
Seftriakson 2 gr IV/IM single dose.
7. Pada faringitis kronik hiperplastik,
penyakit hidung dan sinus paranasal harus
diobati. Pada faringitis kronik atrofi
pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
Sedangkan, pada faringitis kronik
hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari
selama 3-5 hari.
8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspektoran.
9. Analgetik-antipiretik
10. Selain antibiotik, Kortikosteroid juga
diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis.
Steroid yang diberikan dapat berupa
Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa
selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 24


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

hari.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
2. Berhenti merokok bagi anggota keluarga
yang merokok.
3. Menghindari makan makanan yang dapat
mengiritasi tenggorok.
4. Selalu menjaga higiene mulut dan tangan
Kriteria Rujukan
1. Faringitis luetika
2. Bila terjadi
komplikasi Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam :
Bonam Peralatan
1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
3. Lidi
kapas
Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku
Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997. (Adam dan Boies, 1997)
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
and Neck Surgery. Ed. Ke-8.McGraw-Hill.
2003. (Lee, 2003)
3. Rusmarjono. Soepardi, E.A.Faringitis,
Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, KepaladanLeher. Ed.
ke-6.Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007(Hafil, et al.,
2007)

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. LARINGITIS AKUT
No. ICPC-2 No. ICD-10
: R77. Laryngitis/tracheitis acute
: J04.0 Acute laryngitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kepala, batuk dan demam dengan
Laringitis adalah peradangan pada laring yang temperatur yang tidak mengalami
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau peningkatan dari 38o C.
jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari 8. Obstruksi jalan nafas apabila ada edema
penggunaan suara yang berlebihan, pajanan laring diikuti edema subglotis yang terjadi
terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada pita dalam beberapa jam dan biasanya sering
suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, dan terjadi pada anak berupa anak menjadi
pneumonia juga dapat menyebabkan gelisah, nafas berbunyi, air hunger, sesak
laringitis. Laringitis pada anak sering diderita semakin bertambah berat.
oleh anak usia 3 bulan hingga 3 tahun, dan 9. Laringitis kronik ditandai dengan afonia
biasanya disertai inflamasi pada trakea dan yang persisten. Pada pagi hari, biasanya
bronkus dan disebut sebagai penyakit croup. tenggorokan terasa sakit namun membaik
Penyakit ini seringkali disebabkan oleh virus, pada suhu yang lebih hangat. Nyeri
yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus tenggorokan dan batuk memburuk
influenza A dan B, RSV, dan virus campak. kembali menjelang siang. Batuk ini dapat
Selain itu, M. pneumonia juga dapat juga dipicu oleh udara dingin atau
menyebabkan croup. minuman dingin.
Hasil Anamnesis (Subjective) Faktor Risiko

Keluhan 1. Penggunaan suara yang berlebihan.


2. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap
1. Pasien datang dengan keluhan suara rokok dan minum- minuman alkohol.
serak atau hilang suara (afonia). 3. Adanya refluks laringofaringeal, bronkitis,
2. Gejala lokal seperti suara parau, seperti dan pneumonia.
suara yang kasar atau suara yang susah 4. Rhinitis alergi.
keluar atau suara dengan nada lebih rendah 5. Perubahan suhu yang tiba-tiba.
dari suara yang biasa/normal bahkan 6. Malnutrisi.
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni). 7. Keadaan menurunnya sistem imun atau
Hal ini terjadi karena gangguan getaran daya tahan tubuh.
serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
3. Sesak nafas dan stridor. Sederhana (Objective)
4. Nyeri tenggorokan, terutama nyeri ketika
Pemeriksaan Fisik
menelan atau berbicara.
5. Gejala radang umum, seperti demam, Laringoskopi indirek (khusus untuk pasien
malaise. dewasa):
6. Batuk kering yang lama kelamaan disertai
dengan dahak kental. 1. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa
7. Gejala common cold, seperti bersin- laring yang hiperemis dan membengkak
bersin, nyeri tenggorok hingga sulit terutama di bagian atas dan bawah pita
menelan, sumbatan hidung (nasal suara.
congestion), nyeri 2. Biasanya terdapat tanda radang akut di

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 24


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

hidung atau sinus paranasal. 3. Laringitis Kronik Spesifik


3. Pada laringitis kronik, dapat ditemukan
a. Laringitis tuberkulosa
nodul, ulkus dan penebalan mukosa pita
suara. Penyakit ini disebabkan tuberkulosis
paru. Setelah diobati, biasanya
Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan) tuberkulosis paru sembuh namun
1. Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: laringitis tuberculosis menetap
bisa tampak pembengkakan jaringan (membutuhkan pengobatan yang lebih
subglotis (Steeple sign). Tanda ini lama), karena struktur mukosa laring
ditemukan pada 50% kasus. sangat lekat pada kartilago serta
2. Foto toraks AP. vaskularisasi tidak sebaik paru.
3. Pemeriksaan laboratorium darah Terdapat 4 stadium:
lengkap. • Stadium Infiltrasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Mukosa laring membengkak,
hiperemis (bagian posterior), dan
Diagnosis Klinis
pucat. Terbentuk tuberkel di daerah
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, submukosa, tampak sebagai bintik-
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bintik kebiruan. Tuberkel membesar,
jika diperlukan. menyatu sehingga mukosa di
atasnya meregang. Bila pecah akan
Klasifikasi: timbul ulkus.
1. Laringitis Akut • Stadium Ulserasi
Laringitis akut adalah radang akut laring, Ulkus membesar, dangkal, dasarnya
dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. ditutupi perkejuan dan terasa nyeri
Keluhan berlangsung <3 minggu dan oleh pasien
pada umumnya disebabkan oleh infeksi • Stadium Perikondritis
virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza
Ulkus makin dalam mengenai
(tipe 1,2,3), rhinovirusdan adenovirus.
kartilago laring, paling sering terkena
Penyebab lain adalah Haemofilus
kartilago aritenoid, dan epiglottis.
influenzae, Branhamellacatarrhalis,
Terbentuk nanah yang berbau sampai
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus
terbentuk sekuester. Pada stadium
aureus, dan Streptococcuspneumoniae.
ini keadaan pasien buruk dan dapat
2. Laringitis Kronik meninggal. Bila bertahan maka
Laringitis kronik dapat terjadi setelah berlanjut ke stadium akhir yaitu
laringitis akut yang berulang, dan juga stadium fibrotuberkulosis
dapat diakibatkan oleh sinusitis kronis, • Stadium Fibrotuberkulosis
deviasi septum berat, polip hidung, bronkitis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada
kronik, refluks laringofaring, merokok,
dinding posterior, pita suara, dan
pajanan terhadap iritan yang bersifat
subglotik.
konstan, dan konsumsi alkohol berlebih.
Tanda dari laringitis kronik ini yaitu nyeri b. Laringitis luetika
tenggorokan yang tidak signifikan, suara Radang menahun ini jarang ditemukan.
serak, dan terdapat edema pada laring.
Mungkin juga disebabkan penyalahgunaan Diagnosis Banding
suara (vocal abuse) seperti berteriak- Benda asing pada laring, Faringitis,
teriak atau bicara keras. Bronkiolitis, Bronkitis, Pneumonia, Tumor pada

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

laring, Kelumpuhan pita suara bersuara atau tidak bersuara berlebihan.


4. Menghindari makanan yang mengiritasi
Komplikasi atau meningkatkan asam lambung.
Obstruksi jalan napas atas, Pneumonia, Kriteria Rujukan
Bronkhitis
Indikasi rawat rumah sakit apabila:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Terdapat tanda sumbatan jalan nafas atas.
Penatalaksanaan 2. Usia penderita dibawah 3 tahun.
1. Non-medikamentosa 3. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau
a. Istirahat suara (vocal rest). exhausted.
b. Rehabilitasi suara (voice therapy), bila 4. Ada kecurigaan tumor laring.
diperlukan. Prognosis
c. Meningkatkan asupan cairan.
d. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan 1. Ad vitam : Bonam
pemasangan pipa endotrakea, atau 2. Ad functionam : Bonam
trakeostomi. 3. Ad sanationam : Bonam
2. Medikamentosa Peralatan
a. Parasetamol atau Ibuprofen sebagai
1. Lampu kepala
antipiretik dan analgetik.
b. Pemberian antibiotik dilakukan bila 2. Kaca laring
peradangan dari paru dan bila penyebab 3. Kassa steril
berupa Streptokokus grup A 4. Lampu spiritus
ditemukan melalui kultur. Pada kasus Referensi
ini, antibiotik yang dapat digunakan
yaitu golongan Penisilin. 1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar
c. Proton Pump Inhibitor pada laringitis Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
yang disebabkan oleh refluks 2. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono,
laringofaringeal. A. Kelainan Laring dalam Buku Ajar Ilmu
d. Kortikosteroid dapat diberikan jika Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
laringitis berat. Kepala dan Leher. Ed ke-6.Jakarta:Fakultas
e. Laringitis tuberkulosis: obat Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
antituberkulosis. 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
f. Laringitis luetika: penisilin dengan dosis and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
tinggi. Rencana Tindak Lanjut 2003.

Pemeriksaan laringoskopi indirek


kembali untuk memeriksa perbaikan
organ laring.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
2. Menghentikan merokok.
3. Mengistirahatkan pasien berbicara dan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 24


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. TONSILITIS AKUT
No. ICPC-2 No. ICD-10
: R76. Tonsillitis acute
: J03. Acute tonsillitis J35. Chronic tonsilitis

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorokan,
yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. badan lemah, gusi mudah berdarah dan
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan hipersalivasi.
limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut Faktor Risiko
yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal 1. Faktor usia, terutama pada anak.
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band 2. Penurunan daya tahan tubuh.
dinding faring/ Gerlach’s tonsil).Penyakit ini 3. Rangsangan menahun (misalnya rokok,
banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai makanan tertentu).
10 tahun. 4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi
Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Keluhan Sederhana (Objective)
1. Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala Pemeriksaan Fisik
awal.
2. Nyeri pada tenggorok, terutama saat 1. Tonsilitis akut:
menelan. Rasa nyeri semakin lama semakin a. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2.
bertambah sehingga anak menjadi tidak
b. Hiperemis dan terdapat detritus di
mau makan.
dalam kripti yang memenuhi permukaan
3. Nyeri dapat menyebar sebagai referred pain
tonsil baik berbentuk folikel, lakuna,
ke telinga.
atau pseudomembran. Bentuk tonsillitis
4. Demam yang dapat sangat tinggi sampai
akut dengan detritus yang jelas disebut
menimbulkan kejang pada bayi dan anak-
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak
anak.
detritus ini menjadi satu, membentuk
5. Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu
alur alur maka akan terjadi tonsilitis
makan berkurang.
6. Plummy voice / hot potato voice: suara lakunaris.
pasien terdengar seperti orang yang c. Bercak detritus ini dapat melebar
mulutnya penuh terisi makanan panas. sehingga terbentuk membran semu
7. Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah (pseudomembran) yang menutupi ruang
menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri antara kedua tonsil sehingga tampak
telan yang hebat (ptialismus). menyempit. Temuan ini mengarahkan
8. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh pada diagnosis banding tonsilitis difteri.
ada penghalang/mengganjal di tenggorok, d. Palatum mole, arkus anterior dan
tenggorok terasa kering dan pernafasan arkus posterior juga tampak udem
berbau (halitosis). dan hiperemis.
9. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis
ulseromembranosa) gejala yang timbul e. Kelenjar limfe leher dapat membesar

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dan disertai nyeri tekan. Gambar 10.1. Gradasi pembesaran tonsil


2. Tonsilitis kronik:
a. Tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan berisi detritus.
b. Pembesaran kelenjar limfe
submandibula dan tonsil yang
mengalami perlengketan.
3. Tonsilitis difteri:
a. Tampak tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas
Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Tampak pseudomembran yang melekat
erat pada dasar tonsil sehingga bila Diagnosis Klinis
diangkat akan mudah berdarah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif
orofaring, dengan mengukur jarak antara dengan pemeriksaan penunjang.
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi Diagnosis Banding
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi: Infiltrat tonsil, limfoma, tumor tonsil
1. T0: tonsil sudah diangkat. Komplikasi
2. T1: <25% volume tonsil dibandingkan 1. Komplikasi lokal
dengan volume orofaring atau batas a. Abses peritonsil (Quinsy)
medial tonsil melewati pilar anterior b. Abses parafaringeal
sampai ¼ jarak pilar anterior uvula. c. Otitis media akut
3. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan d. Rinosinusitis
dengan volume orofaringatau batas medial 2. Komplikasi sistemik
tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior- uvula a. Glomerulonephritis
sampai ½ jarak pilar anterior-uvula. b. Miokarditis
4. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan 3. Demam reumatik dan penyakit jantung
dengan volume orofaring atau batas reumatik
medial tonsil melewati ½ jarak pilar
anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
anterior-uvula.
Penatalaksanaan
5. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan
1. Istirahat cukup
dengan volume orofaring atau batas
medial tonsilmelewati ¾ jarak pilar 2. Makan makanan lunak dan menghindari
anterior-uvula sampai uvula atau lebih. makan makanan yang mengiritasi
Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan 3. Menjaga kebersihan mulut
1. Darah lengkap 4. Pemberian obat topikal dapat berupa obat
kumur antiseptik
2. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskop
dengan pewarnaan Gram

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 24


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. Pemberian obat oral sistemik selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian
a. Tonsilitis viral.
selama 3 hari. Analgetik / antipiretik,
Istirahat, minum cukup, analgetika / misalnya Paracetamol dapat diberikan.
antipiretik (misalnya, Paracetamol), dan
c. Tonsilitis difteri
antivirus diberikan bila gejala berat.
Antivirus Metisoprinol diberikan pada Anti Difteri Serum diberikan segera
infeksi virus dengan dosis 60-100 mg/ tanpa menunggu hasil kultur, dengan
kgBB dibagi dalam 4-6 kali dosis 20.000-100.000 unit tergantung
pemberian/ hari pada orang dewasa umur dan jenis kelamin. Antibiotik
dan pada anak penisilin atau eritromisin 25-50 mg/
< 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis
dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari. dan pasien harus diisolasi. Perawatan
harus istirahat di tempat tidur selama
b. Tonsilitis bakteri
2-3 minggu.
Bila diduga penyebabnya Streptococcus
d. Angina Plaut Vincent (Stomatitis
group A, diberikan antibiotik yaitu
ulseromembranosa) Antibiotik spektrum
Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM
luas diberikan selama 1 minggu, dan
dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/
pemberian vitamin C serta vitamin B
kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama
kompleks.
10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg
selama 6-10 hari atau Eritromisin 4 x Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi
500 mg/ hari. Selain antibiotik juga Menurut Health Technology Assessment
diberikan Kortikosteroid karena steroid Kemenkes tahun 2004, indikasi tonsilektomi,
telah terbukti menunjukkan perbaikan yaitu:
klinis yang dapat menekan reaksi
inflamasi. Steroid yang dapat Tabel 10.1 Indikasi Tonsilektomi
diberikan berupa Deksametason 3 x
0,5 mg pada dewasa

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kontraindikasi relatif tonsilektomi: 2. Adanya indikasi tonsilektomi.


3. Pasien dengan tonsilitis difteri.
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi atau penyakit sistemik Peralatan
yang berat
3. Anemia 1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
Konseling dan Edukasi 3. Lidi kapas
4. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
darah lengkap
1. Menghindari pencetus, termasuk makanan 5. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
dan minuman yang mengiritasi mikrobiologi dengan pewarnaan Gram
2. Melakukan pengobatan yang adekuat
Prognosis
karena risiko kekambuhan cukup tinggi.
3. Menjaga daya tahan tubuh dengan 1. Ad vitam : Bonam
mengkonsumsi makan bergizi dan 2. Ad functionam : Bonam
olahraga teratur. 3. Ad sanationam : Bonam
4. Berhenti merokok.
5. Selalu menjaga kebersihan mulut. Referensi
6. Mencuci tangan secara teratur. Rencana 1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies. Buku Ajar
Tindak Lanjut Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997
Memberikan laporan ke dinas kesehatan 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri. and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
Kriteria Rujukan 2003.

Segera rujuk jika terjadi: 3. 3. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis,


Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
1. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
septikemia, meningitis, glomerulonephritis, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed.
demam rematik akut. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007.

5. BRONKITIS AKUT
No. ICPC II : R78 Acute bronckitis /bronchiolitis
No. ICD X : J20.9 Acute bronchitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus paparan terhadap iritasi, bahan-bahan yang
(saluran udara ke paru-paru). Radang dapat mengeluarkan polusi, penyakit gastrofaringeal
berupa hipersekresi mukus dan batuk refluk dan pekerja yang terekspos dengan debu
produktif kronis berulang-ulang minimal atau asap. Bronkitis akut dapat dijumpai pada
selama 3 bulan pertahun atau paling sedikit semua umur, namun paling sering didiagnosis
dalam 2 tahun berturut-turut pada pasien pada anak-anak muda dari 5 tahun, sedangkan
yang diketahui tidak terdapat penyebab lain. bronkitis kronis lebih umum pada orang tua dari
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh 50 tahun.
beberapa hal, yaitu: infeksi virus, infeksi
bakteri, rokok dan asap rokok,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 25


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Anamnesis (Subjective) dari hilus menuju apex paru dan corakan
paru yang bertambah.
Keluhan
3. Tes fungsi paru dapat memperlihatkan
1. Batuk (berdahak maupun tidak berdahak) obstruksi jalan napas yang reversibel
selama 2-3 minggu. dengan menggunakan bronkodilator.
2. Dahak dapat berwarna jernih, putih, Penegakan Diagnostik (Assessment)
kekuning-kuningan atau kehijauan.
3. Demam (biasanya ringan) Diagnosis Klinis
4. Rasa berat dan tidak nyaman di dada. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
5. Sesak nafas. pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Diagnosis Banding
6. Sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
“ngik”, terutama setelah batuk. 1. Epiglotitis, yaitu suatu infeksi pada
7. Bila iritasi saluran terjadi, maka dapat epiglotis, yang bisa menyebabkan
terjadi batuk darah. penyumbatan saluran pernafasan.

Faktor Risiko:- 2. Bronkiolitis, yaitu suatu peradangan pada


bronkiolus (saluran udara yang merupakan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang percabangan dari saluran udara utama),
Sederhana (Objective) yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus.
Pemeriksaan Fisik 3. Influenza, yaitu penyakit menular yang
menyerang saluran napas, dan sering
Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan:
menjadi wabah yang diperoleh dari
Inspeksi : Pasien tampak kurus dengan menghirup virus influenza.
barrel shape chest (diameter
4. Sinusitis, yaitu radang sinus paranasal yaitu
anteroposterior dada meningkat).
rongga-rongga yang terletak disampig
Palpasi : fremitus taktil dada normal kanan - kiri dan diatas hidung.
Perkusi : sonor, peranjakan hati mengecil,
5. PPOK, yaitu penyakit paru kronik yang
batas paru hati lebih rendah
ditandai oleh hambatan aliran udara di
Auskultasi : suara nafas vesikuler atau saluran napas yang bersifat progresif
bronkovesikuler, dengan ekpirasi nonreversibel parsial.
panjang, terdapat ronki basah
kasar yang tidak tetap 6. Faringitis, yaitu suatu peradangan pada
(dapat hilang atau pindah tenggorokan (faring) yang disebabkan
setelah batuk), wheezing dengan oleh virus atau bakteri.
berbagai gradasi (perpanjangan
7. Asma, yaitu suatu penyakit kronik
ekspirasi hingga mengi) dan
(menahun) yang menyerang saluran
krepitasi.
pernafasan (bronchiale) pada paru
Pemeriksaan Penunjang dimana terdapat peradangan (inflamasi)
dinding rongga bronchiale sehingga
1. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan mengakibatkan penyempitan saluran
Gram akan banyak didapat leukosit PMN nafas yang akhirnya
dan mungkin pula bakteri. seseorang mengalami sesak nafas.
2. Foto thoraks pada bronkitis kronis
8. Bronkiektasis, yaitu suatu perusakan dan
memperlihatkan tubular shadow berupa
pelebaran (dilatasi) abnormal dari saluran
bayangan garis-garis yang paralel keluar
pernafasan yang besar.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Komplikasi asma, tetapi dapat juga untukbronkitis. Efek


samping obat bronkodilator perlu
1. Bronkopneumoni.
diketahui pasien, yakni: berdebar, lemas,
2. Pneumonia.
gemetar dan keringat dingin.
3. Pleuritis.
4. Penyakit-penyakit lain yang diperberat 9. Antibiotika hanya digunakan jika dijumpai
seperti:jantung. tanda-tanda infeksi oleh kuman berdasarkan
5. Penyakit jantung rematik. pemeriksaan dokter. Antibiotik yang
6. Hipertensi. dapat diberikan antara lain: ampisilin,
7. Bronkiektasis eritromisin, atau spiramisin, 3 x 500 mg/
hari.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 10. Terapi lanjutan: jika terapi antiinflamasi
Penatalaksanaan sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga
gejala menghilang paling sedikit 1 minggu.
1. Memperbaiki kemampuan penderita Bronkodilator juga dapat diberikan jika
mengatasi gejala-gejala tidak hanya pada diperlukan.
fase akut, tapi juga pada fase kronik,
serta dalam melaksanakan aktivitas Rencana Tindak Lanjut
sehari-hari sesuai dengan pola Pasien kontrol kembali setelah obat habis,
kehidupannya. dengan tujuan untuk:
2. Mengurangi laju perkembangan penyakit
apabila dapat dideteksi lebih awal. 1. Mengevaluasi modifikasi gaya hidup.
2. Mengevaluasi terapi yang diberikan, ada
3. Oksigenasi pasien harus memadai. atau tidak efek samping dari terapi.
4. Istirahat yang cukup.
Konseling dan Edukasi
5. Pemberian obat antitusif (penekan batuk):
Kodein (obat Doveri) dapat diberikan 10 Memberikan saran agar keluarga dapat:
mg, diminum 3 x/hari, bekerja dengan
1. Mendukung perbaikan kemampuan
menekan batuk pada pusat batuk di otak.
penderita dalam melaksanakan aktivitas
Antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan,
sehari-hari sesuai dengan pola
ibu menyusui dan anak usia 6 tahun ke
kehidupannya.
bawah. Pada penderita bronkitis akut
yang disertai sesak napas, pemberian 2. Memotivasi pasien untuk menghindari
antitusif perlu umpan balik dari penderita. merokok, menghindari iritan
Jika penderita merasa tambah sesak, maka lainnya yang dapat terhirup, mengontrol
antitusif dihentikan. suhu dan kelembaban lingkungan, nutrisi
6. Pemberian ekspektoran (obat batuk yang baik, dan cairan yang adekuat.
pengencer dahak) yang lazim digunakan
3. Mengidentifikasigejala efek samping obat,
diantaranya: GG (Glyceryl Guaiacolate),
seperti bronkodilator dapat menimbulkan
bromheksin, ambroksol, dan lain-lain.
berdebar, lemas, gemetar dan keringat
7. Antipiretik (pereda panas): parasetamol dingin.
(asetaminofen), dan sejenisnya, digunakan
jika penderita demam. Kriteria Rujukan
8. Bronkodilator (melonggarkan napas), Pada pasien dengan keadaan umum buruk,
diantaranya: salbutamol, terbutalin sulfat, perlu dirujuk ke rumah sakit yang memadai
teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat- untuk monitor secara intensif dan konsultasi
obat ini digunakan pada penderita yang ke spesialis terkait.
disertai sesak napas atau rasa berat
bernapas, sehingga obat ini tidak hanya
untuk obat

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 25


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Peralatan 3. Harrison: Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit


Dalam. Edisi 13.Volume ketiga.
Oksigen
Jakarta.2003.
Prognosis 4. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis
Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Prognosis umumnya dubia ad bonam. Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal:
Referensi 337.
5. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6.
1. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2006.
Jakarta: EGC. 2002. 6. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit
2. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Dalam. Jilid II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998.
Penyakit Paru. Jakarta: EGC.1998.

6. ASMA BRONKIAL (ASMA STABIL)


No. ICPC-2: R96 Asthma No. ICD-10: J45 Asthma
Tingkat Kemampuan 4A

A. ASMA PADA DEWASA Tabel 10.2 Faktor risiko asma bronkial

Masalah Kesehatan
Asma adalah penyakit heterogen, selalu
dikarakteristikkan dengan inflamasi kronis di
saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi
seperti mengi, sesak, rasa berat di dada dan
batuk yang intensitasnya berberda-beda
berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara
ekspirasi
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka
meningkatkan kemungkinan pasien memiliki
Asma, yaitu :
1. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi,
sesak, dada terasa berat) khususnya pada
dewasa muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau
pagi dini hari
3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan,
pajanan allergen, perubahan cuaca, tertawa Pemeriksaan Fisik
atau iritan seperti asap kendaraan, rokok
atau bau yang sangat tajam Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Abnormalitas yang paling sering ditemukan Penilaian Derajat Kontrol Asma


adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan
Tabel 10.4 Penilaian derajat kontrol asma
auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar
saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak
terddengan selama eksaserbasi asma yang berat
karena penurunan aliran napas yang dikenal
dengan “silent chest”.
Pemeriksaan Penunjang
1. Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan
Peak Flowmeter
2. Pemeriksaan darah (eosinofil dalam darah)
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥15 %
rasio APE sebelum dan sesudah pemberian
inhalasi salbutamol.
Klasifikasi
Tabel 10.3 Klasifikasi asma bronkial
* Semua eksaserbasi terjadi dalam
pengobatan yang adekuat
** Berdasarkan definisi, eksaserbasi di minggu
apapun membuat asma tidak terkontrol
*** Tanpa pemberian bronkodilator
Fungsi paru tidak untuk anak 5 tahun atau lebih
muda
Diagnosis Banding
Disfungsi pita suara, Hiperventilasi,
Bronkiektasis, Kistik fibrosis, Gagal jantung,
Defisiensi benda asing
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi
serta mengendalikan faktor pencetusnya.
2. Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian
pengobatan jangka panjang serta
menetapkan pengobatan pada serangan
akut sesuai tabel di bawah ini.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 25


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 10.5 Penatalaksanaan asma berdasarkan Konseling dan Edukasi


beratnya keluhan 1. Memberikan informasi kepada individu
dan keluarga mengenai seluk beluk
penyakit, sifat penyakit, perubahan penyakit
(apakah membaik atau memburuk),
jenis dan mekanisme kerja obat-obatan
dan mengetahui kapan harus meminta
pertolongan dokter.
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk
menilai dan monitor berat asma secara
berkala (asthma control test/ ACT)
3. Pola hidup sehat.
4. Menjelaskan pentingnya melakukan
pencegahan dengan:
a. Menghindari setiap pencetus.
b. Menggunakan bronkodilator/ steroid
inhalasi sebelum melakukan exercise
untuk mencegah exercise induced asthma.
Kriteria rujukan
1. Bila sering terjadi eksaserbasi.
2. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
3. Asma dengan komplikasi.
Persiapan dalam melakukan rujukan bagi pasien
asma, yaitu:
1. Terdapat oksigen.
2. Pemberian steroid sistemik injeksi atau
inhalasi disamping pemberian bronkodilator
kerja cepat inhalasi.
3. Pasien harus didampingi oleh dokter/tenaga
kesehatan terlatih selama perjalanan
menuju ke pelayanan sekunder.
Peralatan
1. Asthma control test
2. Tabung oksigen
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila 3. Kanul hidung
diperlukan) 4. Masker sederhana
1. Foto toraks 5. Nebulizer
2. Uji sensitifitas kulit 6. Masker inhalasi
3. Spirometri 7. Peak flow meter
4. Uji provokasi bronkus 8. Spirometri

Komplikasi Prognosis
1. Ad sanasionam : bonam
Pneumotoraks, Pneumomediastinum, Gagal 2. Ad fungsionam : bonam
napas, Asma resisten terhadap steroid. 3. Ad vitam : bonam

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Referensi terasa berat, atau batuk setelah terpajan


alergen atau polutan?
1. Global strategy for asthma management and 5. Apakah jika mengalami pilek, anak
prevention. GINA.2014. (Global Initiatives membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
for Asthma, 2011) 6. Apakah gejala klinis membaik setelah
2. Global strategy for asthma management and pemberian pengobatan anti- asma?
prevention. GINA.2006. (Global Initiatives Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
for Asthma, 2006) Sederhana (Objective)
3. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pemeriksaan Fisik
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta. 2004. (Perhimpunan Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak
Dokter Paru Indonesia, 2004) ditemukan kelainan saat pasien tidak mengalami
serangan. Pada sebagian kecil pasien yang
B. ASMA PADA ANAK derajat asmanya lebih berat, dapat dijumpai
mengi di luar serangan. Dengan adanya
Masalah Kesehatan kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi dan anak
kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya merupakan
Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan
persisten dengan karakteristik sebagai gejala dan pemeriksaan fisik dan respons
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada terhadap pengobatan). Pada kelompok usia ini,
malam/ dini hari (nokturnal), musiman, setelah tes fungsi paru atau pemeriksaan untuk
aktivitas fisik, serta terdapat riwayat asma atau mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran
atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek
Inflamasi ini juga berhubungan dengan sehari-hari. Kemungkinan asma perlu
hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai dipikirkan pada anak yang hanya
rangsangan. Prevalens total asma di dunia menunjukkan batuk sebagai satu- satunya
diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% gejala dan pada pemeriksaan fisik tidak
pada anak). ditemukan mengi, sesak, dan lain-lain. Pada
Hasil Anamnesis (Subjective) anak yang tampak sehat dengan batuk malam
hari yang rekuren, asma harus dipertimbangkan
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat sebagai probable diagnosis. Beberapa anak
agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat menunjukkan gejala setelah berolahraga.
mengenai gejala sulit bernapas, mengi
Pemeriksaan Penunjang
atau dada terasa berat yang bersifat episodik
dan berkaitan dengan musim serta terdapat Arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow
riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota meter. Metode yang dianggap merupakan
keluarga. Walaupun informasi akurat mengenai cara mengukur nilai diurnal APE terbaik
hal-hal tersebut tidak mudah didapat, beberapa adalah pengukuran selama paling sedikit 1
pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen
pertimbangan diagnosis asma : nilai terbaik dari selisih nilai APE pagi hari
1. Apakah anak mengalami serangan mengi terendah dengan nilai APE malam hari
tertinggi. Jika didapatkan variabilitas APE
atau serangan mengi berulang?
2. Apakah anak sering terganggu oleh batuk diurnal > 20% (petanda adanya perburukan
pada malam hari? asma) maka diagnosis asma perlu
3. Apakah anak mengalami mengi atau dipertimbangkan.
batuk setelah berolahraga? Penegakan Diagnosis (Assessment)
4. Apakah anak mengalami gejala mengi, dada
Asma Stabil

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 25


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap
terhadap pemberian faktor pencetus (paling sering infeksi virus
atau allergen atau kombinasi keduanya),
obat asma baik, pemeriksaan lebih lanjut tidak
sedangkan serangan berupa perburukan yang
perlu dilakukan. Jika respons terhadap obat
bertahap mencerminkan kegagalan
asma tidak baik, sebelum mengganti obat
pengelolaan jangka panjang penyakit.
dengan yang lebih poten, harus dinilai lebih
dulu apakah dosis sudah adekuat, cara dan
waktu pemberian sudah benar, serta ketaatan
pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah
dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis
bukan asma perlu dipikirkan.
Klasifikasi asma pada anak menurut PNAA 2004

Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode
perburukan gejala-gejala asma secara progresif.
Gejala yang dimaksud adalah sesak napas,
batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai
kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya,
eksaserbasi disertai distres pernapasan.
Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF
atau FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator
yang lebih dapat dipercaya daripada penilaian
berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala
lebih sensitif untuk menunjukkan awal terjadinya
ekaserbasi karena memberatnya gejala biasanya
mendahului perburukan PEF. Derajat
serangan asma bervariasi mulai dari yang
ringan sampai yang mengancam jiwa,
perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit,
jam, atau hari. Serangan

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

# pada matrik klinis, setiap pasien asma tatalaksana di rumah dan di rumah sakit.
harus dicantumkan diagnosis asma secara Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien
lengkap berdasarkan kekerapan serangan (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini
maupun drajat berat serangan misalnya dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya
asma episodik jarang serangan Ryan, asma telah menjalani terapi dengan teratur dan
episodik sering di luar serangan. mempunyai pendidikan yang cukup. Pada
panduan pengobatan di rumah, disebutkan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
bahwa terapi awal adalah inhalasi B2agonis
Asma Stabil kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang waktu
20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok mencari pertolongan ke dokter atau sarana
besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat kesehatan.
pengendali (controller). Obat pereda terkadang
juga disebut sebagai obat pelega atau obat Nilai derajat serangan
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk Tatalaksana awal
meredakan serangan atau gejala asma yang
sedang timbul. Jika serangan sudah teratasi • nebulisasi B2agonis 1-2x, selang 20 menit
dan gejala sudah menghilang, obat ini tidak • nebulisasi kedua + antikolinergik jika
digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat serangan sedang/berat
pengendali yang sering disebut sebagai obat • nebulisasi langsung dengan B2agonis +
pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan antikolinergik
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu Serangan ringan (nebulisasi 1x, respons baik)
inflamasi kronik saluran napas. Dengan • Observasi 1-2 jam
demikian, obat ini dipakai terus menerus dalam • Jika efek bertahan, boleh pulang
jangka waktu yang relatif lama, bergantung • Jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai
pada derajat penyakit asma dan responsnya serangan sedang
terhadap pengobatan.
Serangan sedang (nebulisasi 2x, respons parsial)
• Berikan oksigen
• Nilai kembali derajat serangan, jika sesuai
dengan serangan sedang, observasi di Ruang
Rawat Sehari
• Berikan steroid oral
• Pasang jalur parenteral
Serangan berat (bila telah nebulisasi 3x, respons
buruk)
• Sejak awal berikan O2 saat/di luar nebulisasi
• Pasang jalur parenteral, nilai ulang keadaan
klinis, jika seuai dgn serangan berat, rawat di
Ruang Rawat Inap
• Foto rontgen toraks
Boleh pulang
• Bekali dengan obat ß-agonis (hirupan/oral)
• Jika sudah ada obat pengendali, teruskan
Asma Eksaserbasi • Jika pencetusnya adalah infeksi virus, dapat
diberikan steroid oral
Global initiative for asthma (GINA) membagi • Dalam 24-48 jam control ke klinik rawat jalan.
tatalaksana serangan asma menjadi dua yaitu

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 25


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Catatan: baik dalam 4-6 minggu, tatalaksananya


Ruang rawat sehari/observasi berpindah ke asma episodik sering.
• Teruskan pemberian oksigen 2. Asma episodik sering
• Lanjutkan steroid oral Penggunaan B2-agonis hirupan lebih dari 3x
• Nebulisasi tiap 2 jam per minggu (tanpa menghitung penggunaan
• Bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/
boleh pulang. Tetapi jika klinis tetap belum berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan,
membaik/memburuk, alih rawat ke Ruang merupakan indikasi penggunaan anti-
rawat inap. inflamasi sebagai pengendali. Obat
steroid hirupan yang sering digunakan pada
Ruang rawat inap
anak adalah budesonid, sehingga digunakan
• Teruskan oksigen sebagai standar. Dosis rendah steroid
• Atasi dehidrasi dan asidosis jika ada hirupan adalah 100-200 g/hari budesonid
• Steroid IV tiap 6-8 jam (50-100 g/hari flutikason) untuk anak
• Nebulisasi tiap 1-2 jam berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400
• Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason)
• Jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada
jadi 4-6 jam penggunaan beklometason atau
• Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, budesonid dengan dosis 100-200 g/hari
boleh pulang atau setara dengan flutikason 50-100 g,
• Jika dengan steroid dan aminofilin belum pernah dilaporkan adanya efek
parenteral tidak membaik, bahkan timbul samping jangka panjang. Jika setelah
ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang pengobatan selama 8-12 minggu dengan
rawat steroid dosis rendah tidak timbul respons
• Jika menurut penilaian serangannya (masih terdapat gejala asma atau
sedang/ berat, nebulisasi pertama kali gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari),
langsung dengan ß-agonis + antikolinergik pengobatan dilanjutkan dengan tahap
• Bila terdapat tanda ancaman henti napas kedua, yaitu menaikkan dosis steroid
segera ke Ruang Rawat Intensif hirupan sampai dengan 400 g/hari yang
• Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi termasuk dalam tatalaksana asma
dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01 persisten. Jika tatalaksana suatu derajat
ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali penyakit asma sudah adekuat, tetapi
• Untuk serangan sedang dan terutama responsnya tetap tidak baik dalam 8-12
berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak minggu, derajat tatalaksananya berpindah
awal, termasuk pada saat nebulisasi ke yang lebih berat (step up). Sebaliknya,
intensif jika asma terkendali dalam 8-12 minggu,
derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step
Tatalaksana Asma Eksaserbasi down). Jika memungkinkan, steroid hirupan
Tatalaksana Asma Eksaserbasi dihentikan penggunaannya.
1. Asma episodik jarang cukup diobati dengan Sebelum melakukan step-up, harus
obat pereda berupa bronkodilator -agonis dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
hirupan kerja pendek (Short Acting B2- penghindaran pencetus, penggunaan obat,
Agonist, SABA) atau golongan xantin kerja serta faktor komorbid yang mempersulit
cepat hanya apabila perlu saja, yaitu jika pengendalian asma seperti rinitis dan
ada gejala/serangan. Pada alur tatalaksana sinusitis.
jangka panjang (Gambar 3.6.1), terlihat 3. Asma persisten
bahwa jika tatalaksana asma episodik jarang Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan
sudah adekuat, tetapi responsnya tetap dapat diberikan mulai dari dosis tinggi lalu
tidak

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

diturunkan sampai dosis rendah selama 3. Atelektasis


gejala masih terkendali, atau sebaliknya, 4. Gagal napas
mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi 5. Bronkitis
hingga gejala dapat dikendalikan. Pada 6. Fraktur iga
keadaan tertentu, khususnya pada anak
Peralatan
dengan penyakit berat, dianjurkan untuk
menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai 1. Alat tiup APE
steroid oral jangka pendek (3-5 hari). 2. Pemeriksaan darah rutin
3. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
Kriteria Rujukan
4. Oksigen
1. Asma eksaserbasi sedang-berat
2. Asma tidak terkontrol Prognosis
3. Asma mengancam jiwa
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit
4. Asma Persisten
dan ketepatan penanganan.
Pencegahan
Referensi
Pengendalian lingkungan, pemberian ASI
eksklusif minimal 6 bulan, penghindaran 1. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit
makanan berpotensi alergenik, pengurangan Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan
pajanan terhadap tungau debu rumah dan Dokter Anak Indonesia, 2001.
rontokan bulu binatang, telah terbukti 2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.
mengurangi timbulnya alergi makanan dan Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
khususnya dermatitis atopik pada bayi. Indonesia IDAI. 2010.
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy
Komplikasi for Asthma Management and Prevention.
1. Pneumotoraks National Institute of Health.
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis www.ginasthma. com/download.asp?
intId=214 . 2006

7. STATUS ASMATIKUS (ASMA AKUT BERAT)


No. ICPC-2: R03. Wheezing
No. ICD-10: J45.902 Unspecified asthma with status asthmaticus
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan keadaan fatal/ kematian yaitu:


Asma akut berat (serangan asma atau asma 1. Riwayat serangan asma yang membutuhkan
eksaserbasi) adalah episode peruburukan gejala intubasi/ ventilasi mekanis
yang progresif dari sesak, batuk, mengi, atau 2. Riwayat perawatan di rumah sakit atau
rasa berat di dada, atau kombinasi gejala-gejala kunjungan ke darurat gawat dalam satu
tersebut. tahun terakhir
3. Saat serangan, masih dalam
Hasil Anamnesis (Subjective) glukokortikosteroid oral, atau baru saja
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, menghentikan salbutamol atau ekivalennya
pengobatan yang telah digunakan, respons 4. Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau
pengobatan, waktu mula terjadinya dan masalah psikososial termasuk penggunaan
penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan sedasi
ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan 5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan
(jangka panjang) asma.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 26


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis banding


Sederhana (Objective) 1. Obstruksi saluran napas atas
Pada fasilitas layanan kesehatan sederhana 2. Benda asing di saluran napas
dengan kemampuan sumber daya manusia 3. PPOK eksaserbasi
terbatas, dapat hanya menekankan kepada : 4. Penyakit paru parenkimal
1. Posisi penderita 5. Disfungsi pita suara
2. Cara bicara 6. Gagal jantung akut
3. Frekuensi napas 7. Gagal ginjal akut
4. Penggunaan otot-otot bantu napas
5. Nadi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
6. Tekanan darah (pulsus paradoksus) Penatalaksanaan
7. Ada tidak mengi
Pemeriksaan Penunjang Gambar 10.2. Status Asmatikus (Asma Akut
Berat)
1. Pada serangan asma,APE sebaiknya
diperiksa sebelum pengobatan, tanpa
menunda pemberian pengobatan.
Pemeriksaan ini dilakukan jika alat
tersedia.
2. Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry
dapat dilakukan bila alat tersedia.
3. Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan
jika fasilitas tersedia.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
bila diperlukan.
Tabel 10.6 Serangan akut asma

Catatan : Jika algoritma di atas tidak dapat


digunakan, dokter dapat menggunakan obat-
obatan alternatif pada tabel Daftar Obat-obat
Asma.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 10.7 Pengobatan asma berdasarkan berat 5. Gejala memburuk yang berkepanjangan
serangan dan tempat pengobatan sebelum datang membutuhkan pertolongan
saat itu
6. Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
7. Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
8. Masalah/ kesulitan dalam transport atau
mobilisasi ke rumah sakit
Kriteria Pulang
Pertimbangan untuk memulangkan pada
penderita di layanan tingkat pertama:
1. Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan
berkurang, frekuensi napas kembali normal,
mengi menghilang, nadi dan tekanan darah
kembali normal, pasien dapat bernapas
tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat
berbicara lebih lancar atau berjalan, atau
kesadaran membaik.
2. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60%
nilai terbaik/ prediksi dengan pengawasan
ketat di komunitas.
3. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60%
nilai terbaik/ prediksi dan pasien dapat
menggunakan obat inhalasi atau oral
dengan patuh.
4. Penderita dirawat inap
Kriteria Rujukan
Tidak respons dengan pengobatan, ditandai
dengan:
a. Tidak terjadi perbaikan klinis
b. Bila APE sebelum pengobatan awal <
25% nilai terbaik/ prediksi; atau APE
pasca tatalaksana < 40% nilai terbaik/
Rencana tindak lanjut prediksi.
Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, c. Serangan akut yang mengancam jiwa
praktek dokter/ puskesmas) tergantung kepada d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik),
fasiliti yang tersedia : atau masalah dalam diagnosis banding,
1. Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam atau komplikasi atau penyakit penyerta
2. Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < (komorbid); seperti sinusitis, polip hidung,
30% nilai terbaik/ prediksi) aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi
3. Riwayat serangan asma berat, perawatan pita suara, refluks gastroesofagus dan PPOK.
rumah sakit/ ICU sebelumnya e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di
4. Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat luar pemeriksaan standar, seperti uji kulit
serangan) (uji alergi), pemeriksaan faal paru

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 26


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih 7. Pulse oxymeter


(kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi 8. Analisis gas darah
dan sebagainya. 9. Tensimeter
Konseling dan Edukasi Prognosis
1. Meningkatkan kebugaran fisik 1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Berhenti merokok 2. Ad functionam : Bonam
3. Menghindari pencetus di lingkungan sehari- 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
hari
Referensi
Peralatan
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma.
1. Tabung oksigen Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
2. Kanul hidung Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004
3. Sungkup sederhana 2. Global Initiative For Asthma. Global strategy
4. Sungkup inhalasi for asthma management and prevention.
5. Nebulizer GINA. 2012.
6. Peak flow meter

8. PNEUMONIA ASPIRASI
No. ICPC-2 No. ICD-10
: R99 Respiratory disease other
: J69.0 Pneumonitis due to food and vomit
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
2. Pasien dengan irupsi dari gastroesophageal
Pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia) junction.
adalah pneumonia yang disebabkan oleh 3. Terdapat abnormalitas anatomis dari traktus
terbawanya bahan yang ada diorofaring pada aerodigestifus atas.
saat respirasi ke saluran napas bawah dan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru. Sederhana (Objective)
Secara spesifik, pneumonia aspirasi didefinisikan
dengan ditemukannya bukti radiografi berupa Pemeriksaan fisik serupa pada pneumonia
penambahan infiltrat di paru pada pasien umumnya. Temuan pemeriksaan fisik dada
dengan faktor risiko aspirasi orofaring. tergantung dari luas lesi di paru.
Hasil Anamnesis (Subjective) Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit
tertinggal waktu bernapas
Kejadian aspiration pneumonia biasanya tidak
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada
dapat diketahui waktu terjadinya dan paling bagian yang sakit
sering pada orang tua. Keluhannya berupa : Perkusi : redup di bagian yang sakit
Batuk Auskultasi : terdengar suara napas
1. Takipnea bronkovesikuler sampai bronkial
2. Tanda-tanda dari pneumonia yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian
Faktor Risiko: menjadi ronki basah kasar pada
1. Pasien dengan disfagi neurologis. stadium resolusi.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang c. Penyakit periodontal berat, dahak


yang busuk atau alkoholisme :
1. Foto toraks
piperasilin-tazobaktam (3, 375 gr/6
2. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
jam) atau imipenem (500 mg/8 jam
Penegakan Diagnostik (Assessment) sampai 1 gr/6 jam) atau kombinasi dua
obat : levofloksasin (500 mg/hari)
Diagnosis Klinis atau siprofloksasin (400 mg/12 jam)
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan atau seftriakson (1-2 gr/hari)
fisik, dan penunjang. ditambah klindamisin (600 mg/8 jam)
atau metronidazol (500 mg/8jam)
Diagnosis Banding :-
Kriteria Rujukan
Aspiration pneumonitis: -
Penilaian status keparahan serupa dengan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) pneumonia biasa.
Penatalaksanaan Peralatan
1. Pemberian oksigen Tabung oksigen beserta nasal kanul atau masker
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
(bila cairan parenteral). Jumlah cairan Prognosis
sesuai berat badan, peningkatan suhu dan Prognosis pada umumnya bonam.
derajat dehidrasi.
3. Pemberian antibiotik tergantung pada Referensi
kondisi :
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
a. Pneumonia komunitas : levofloksasin
Pneumonia. PDPI. Jakarta 2013.
(500 mg/hari) atau seftriakson (1-2 gr/ (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2013)
hari)
2. Marik PE. Aspiration pneumonitis and
b. Pasien dalam perawatan di rumah
aspiration pneumonia. N Eng J Med.
sakit : levofloksasin (500 mg/hari)atau
2001;3:665-71.(Marik, 2001)
piperasilin tazobaktam (3, 375 gr/6 jam)
atau seftazidim (2 gr/8 jam)

9. PNEUMONIA, BRONKOPNEUMONIA
No. ICPC-2: R81 Pneumonia
No. ICD-10: J18.0 Bronchopneumonia, unspecified
J18.9 Pneumonia, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi


Pneumonia adalah peradangan/inflamasi dll). Pneumonia yang dimaksud di sini tidak
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis termasuk dengan pneumonia yang disebabkan
yang mencakup bronkiolus respiratorius oleh Mycobacterium tuberculosis. Pneumonia
dan alveoli, sertamenimbulkan konsolidasi merupakan penyebab utama morbiditas dan
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas mortalitas anak berusia di bawah lima tahun
setempat. Sebagian besar disebabkan oleh (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian
mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta
anak balita, meninggal setiap tahun akibat

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 26


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika tersedia


dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan 4. Kultur sputum jika fasilitas tersedia
nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 5. Kultur darah jika fasilitas tersedia
22,8% kematian balita di Indonesia
Penegakan Diagnosis (Assessment)
disebabkan oleh penyakit sistem respiratori,
terutama pneumonia. Lima provinsi yang Diagnosis Klinis
mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia
tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis defenitif
(2,6% dan 8,2%), dilakukan pemeriksaan penunjang.
Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan
Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru
(2,4% dan 4,8%) berdasarkan RISKESDAS 2013. atau infiltrat progresif ditambah dengan 2
Pneumonia pada Pasien Dewasa atau lebih gejala di bawah ini:

Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Batuk-batuk bertambah


2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan : 3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda
1. Demam, menggigil, suhu tubuh
konsolidasi, suara napas bronkial danronki
meningkat dapat melebihi 40°C
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen 5. Leukosit > 10.000 atau <
kadang-kadang disertai darah 4500 Komplikasi
3. Sesak napas
4. Nyeri dada Efusi pleura, Empiema, Abses paru,
Pneumotoraks, gagal napas, sepsis.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Pemeriksaan fisik Penatalaksanaan

Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari Dalam hal mengobati penderita pneumonia
luas lesi di paru. perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit
dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada
tertinggal waktu bernapas
tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
bagian yang sakit mikroorganisme patogen yang spesifik.
Perkusi : redup di bagian yang sakit
1. Pengobatan suportif / simptomatik
Auskultasi : terdengar suara napas
a. Istirahat di tempat tidur
bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki b. Minum secukupnya untuk mengatasi
basah halus, yang kemudian dehidrasi
menjadi ronki basah kasar pada c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau
stadium resolusi. minum obat penurun panas
Pemeriksaan Penunjang d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan
ekspektoran
1. Pewarnaan gram
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik
2. Pemeriksaan lekosit
yang harus diberikan kurang dari 8 jam.
3. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pasien Rawat Jalan Kriteria Rujukan


a. Pasien yang sebelumnya sehat dan 1. Kriteria CURB
tidak ada risiko kebal obat ;
• Makrolid: azitromisin, klaritromisin (Conciousness, kadar Ureum, Respiratory
atau eritromisin (rekomendasi kuat) rate>30 x/menit, tekanan darah: sistolik<90
mmHg dan diastolik <60 mmHg; masing
• Doksisiklin (rekomendasi lemah) masing bila ada kelainan bernilai 1).
b. Terdapat komorbid seperti penyakit
Dirujuk bila total nilai 2.
jantung kronik, paru, hati atau penyakit
ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, 2. Kriteria PORT (patient outcome research
keganasan, kondisi imunosupresif team)
atau penggunaan obat imunosupresif,
antibiotik lebih dari 3 bulan atau Penilaian Derajat Keparahan Penyakit
faktor risiko lain infeksi pneumonia : Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia
• Florokuinolon respirasi : komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan
moksifloksasisn, atau levofloksasin sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia
(750 mg) (rekomendasi kuat) Patient Outcome Research Team (PORT).
• ß-lactam + makrolid : Amoksisilin Tabel 10.8 Sistem skor pada pneumonia
dosis tinggi (1 gram, 3x1/hari) atau komuniti berdasarkan PORT
amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/
hari) (rekomendasi kuat)
Alternatif obat lainnya termasuk ceftriakson,
cefpodoxime dan cefuroxime (500 mg, 2x1/hari),
doksisiklin
Pasien perawatan, tanpa rawat ICU
1. Florokuinolon respirasi (rekomendasi kuat)
2. ß-laktam+makrolid (rekomendasi kuat)
Agen ß-laktam termasuk sefotaksim,
seftriakson, dan ampisilin; ertapenem untuk
pasien tertentu; dengan doksisiklin
sebagai alternatif untuk makrolid.
Florokuinolon respirasi sebaikanya digunakan
untuk pasien alergi penisilin.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi
Edukasi diberikan kepada individu dan
keluarga mengenai pencegahan infeksi
berulang, pola hidup sehat termasuk tidak
merokok dan sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang
Vaksinasi influenza dan pneumokokal, dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
terutama bagi golongan risiko tinggi komuniti adalah :
(orang usia lanjut atau penderita penyakit 1. Skor PORT > 70
kronis).

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 26


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Bila skor PORT < 70 maka penderita tetap Bronkopneumonia pada Pasien Anak
perlu dirawat inap bila dijumpai salah
Hasil Anamnesis (Subjective)
satudari kriteria dibawah ini :
a. Frekuensi napas > 30/menit Sebagian besar gambaran klinis pneumonia
b. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg pada anak berkisar antara ringan hingga
c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan sedang, sehingga dapat berobat jalan saja.
bilateral Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi
e. Tekanan diastolik < 60 mmHg sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit.
f. Tekanan sistolik < 90 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA Beberapa faktor yang memengaruhi gambaran
4. Menurut ATS (American Thoracic Society) klinis pneumonia pada anak adalah:
kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah 1. Imaturitas anatomik dan imunologik
satu atau lebih’ kriteria di bawah ini. 2. Mikroorganisme penyebab yang luas, gejala
a. Kriteria minor: klinis yang kadang- kadang tidak khas
• Frekuensi napas > 30/menit terutama pada bayi
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg 3. Etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering
• Foto toraks paru menunjukkan 4. Faktor patogenesis
kelainan bilateral 5. Kelompok usia pada anak merupakan faktor
• Foto toraks paru melibatkan > 2 penting yang menyebabkan karakteristik
lobus penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
• Tekanan sistolik < 90 mmHg dipertimbangkan dalam tatalaksana
• Tekanan diastolik < 60 mmHg pneumonia.
b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut : Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
• Membutuhkan ventilasi mekanik Sederhana (Objective)
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak
(septik syok) bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau secara umum adalah sebagai berikut:
peningkatan > 2 mg/dI, pada
1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit
penderita riwayat penyakit ginjal
kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
atau gagal ginjal yang membutuhkan
makan, keluhan gastrointestinal seperti
dialisis
mual, muntah atau diare; kadang-kadang
Penderita yang memerlukan perawatan di ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang
2. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk,
mempunyai:
sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
1. Satu dari dua gejala mayor tertentu cuping hidung, air hunger, merintih, dan
(membutuhkan ventalasi mekanik dan sianosis.
membutuhkan vasopressor >4 jam [syok
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
sptik]) atau
tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas
2. Dua dari tiga gejala minor tertentu (Pa02/
melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus
FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks
dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih
parumenunjukkan kelainan bilateral, dan
tekanan sistolik < 90 mmHg). beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak
Kriteria minor dan mayor yang lain bukan ditemukan kelainan.
merupakan indikasi untuk perawatan Ruang
Rawat Intensif.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang antibiotik.


b. Pneumonia
Pewarnaan gram, pemeriksaan lekosit, • Tidak ada sesak napas
pemeriksaan foto toraks, kultur sputum serta • Ada napas cepat dengan laju napas:
kultur darah (bila fasilitas tersedia) >50 x/menit untuk anak usia 2
Penegakan Diagnosis (Assessment) bulan–1 tahun
>40 x/menit untuk anak >1–5 tahun
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan • Tidak perlu dirawat,
mikrobiologis dan/atau serologis sebagai diberikan
dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, antibiotik oral. c. Bukan pneumonia
penemuan bakteri penyebab tidak selalu • Tidak ada napas cepat dan sesak
mudah karena memerlukan laboratorium napas
penunjang yang memadai. Oleh karena itu, • Tidak perlu dirawat dan tidak
pneumonia pada anak umumnya didiagnosis perlu antibiotik, hanya diberikan
berdasarkan gambaran klinis yang pengobatan simptomatis seperti
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, penurun panas
serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat
adanya pneumonia adalah demam, sianosis, 2. Bayi berusia di bawah 2 bulan
dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai a. Pneumonia
berikut: takipnea, batuk, napas cuping hidung, • Ada napas cepat (>60 x/menit) atau
retraksi, ronki, dan suara napas melemah. sesak napas
• Harus dirawat dan diberikan
WHO mengembangkan pedoman diagnosis antibiotik.
dan tatalaksana yang sederhana. Pedoman ini b. Bukan pneumonia
terutama ditujukan untuk Pelayanan • Tidak ada napas cepat atau sesak
Kesehatan tingkat pertama, dan sebagai napas
pendidikan kesehatan untuk masyarakat di • Tidak perlu dirawat, cukup
negara berkembang. Gejala klinis sederhana diberikan pengobatan simptomatis.
tersebut meliputi napas cepat, sesak napas, dan
berbagai tanda bahaya agar anak segera Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas cepat Sebagian besar pneumonia pada anak tidak
dinilai dengan menghitung frekuensi napas perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama
selama satu menit penuh ketika bayi dalam berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya
keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/
melihat adanya tarikan dinding dada bagian minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
bawah ke dalam ketika menarik napas komplikasi, dan terutama mempertimbangkan
(retraksi epigastrium). Tanda bahaya pada usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan
anak berusia 2 bulan–5 tahun adalah tidak kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat
dapat minum, kejang, kesadaran menurun, inap.
stridor, dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi
berusia di bawah 2 bulan adalah malas Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, pengobatan kausal dengan antibiotik yang
mengi, dan demam/badan terasa dingin. sesuai dan pengobatan suportif yang meliputi :
Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman 1. Pemberian cairan intravena, terapi oksigen,
WHO adalah: koreksi terhadap gangguan keseimbangan
asam-basa, elektrolit, dan gula darah
1. Bayi dan anak berusia 2 bulan–5 tahun 2. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
a. Pneumonia berat
analgetik/antipiretik
• Ada sesak napas
3. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif
• Harus dirawat dan diberikan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 26


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. Penyakit penyerta harus ditanggulangi seperti meningitis purulenta


dengan adekuat
5. Komplikasi yang mungkin terjadi harus Peralatan
dipantau dan diatasi 1. Termometer
2. Tensimeter
Pneumonia Rawat Jalan
3. Pulse oxymeter (jika fasilitas tersedia)
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat 4. Pemeriksaan pewarnaan gram
diberikan antibiotik lini pertama secara oral, 5. Pemeriksaan darah rutin
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada 6. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan 7. Oksigen
antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang
mencapai 90%. Penelitian multisenter di Prognosis
Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia Prognosis tergantung pada beratnya penyakit
rawat jalan, pemberian amoksisilin dan dan ketepatan penanganan.
kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai
efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang Referensi
diberikan adalah 1. 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis
4 mg/kgBB TMP − 20 mg/kgBB sulfametoksazol.
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Penumonia Rawat Inap 2011.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2011)
Pilihan antibiotik lini pertama dapat
menggunakan antibiotik golongan beta- 2. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG,
laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc.
yang tidak responsif terhadap beta-laktam Infectious diseases society of America/
dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik American thoracic society consensus
lain seperti gentamisin, amikasin, atau guidelines on the management of
sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi community-acquired pneumonia in adults.
yang ditemukan. Sebaiknya segera dirujuk jika Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–
tidak tersedia antibiotik yang sesuai. 72(Mandel, et al., 2007)

Kriteria Rujukan 3. Said M. Pneumonia. Rahajoe NN, Supriyatno


B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi
1. Pneumonia berat anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p.310-33.
2. Pneumonia rawat inap (Said, 2011)
Pencegahan
1. Pemberian imunisasi Pemberian vitamin A
2. Menghindari faktor paparan asap rokok dan
polusi udara
3. Membiasakan cuci tangan
4. Isolasi penderita
5. Menghindarkan bayi/anak kecil dari
tempat keramaian umum
6. Pemberian ASI
7. Menghindarkan bayi/anak kecil dari
kontak dengan penderita ISPA Komplikasi
Empiema torakis, Perikarditis purulenta,
Pneumotoraks, Infeksi ekstrapulmoner

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

10. PNEUMOTORAKS
No. ICPC-2: R99 Respiratory Disease Other No. ICD-10: J93.9 Respiratory Disease other
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gejala klinis :
Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat
1. Hiperkapnia
udara bebas dalam rongga pleura. Insiden
2. Hipotensi
pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya
3. Takikardi
banyak yang tidak diketahui. Umumnya pria
4. Perubahan status mental
lebih banyak dari wanita.
5. Pemeriksaan fisik paru :
Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu: a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit
lebih menonjol dan tertinggal pada
1. Pneumotoraks spontan primer adalah pernapasan
pneumotoraks yang terjadi tanpa riwayat b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di
penyakit paru sebelumnya ataupun trauma, sisi yang sakit
dan dapat terjadi pada individu yang c. Perkusi paru, ditemukan suara
sehat. Terutama lebih sering pada laki, hipersonor dan pergeseran mediastinum
tinggi dan kurus, dan perokok. ke arah yang sehat
2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah d. Auskultasi paru, didapatkan suara napas
pneumotoraks yang terjadi pada penderita yang melemah dan jauh
yang memiliki riwayat penyakit paru
sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan lain- Pemeriksaan Penunjang:
lain.
1. Foto toraks, didapatkan garis penguncupan
Hasil Anamnesis (Subjective) paru yang sangat halus (pleural line), dan
gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bila
Keluhan disertai darah atau cairan lainnya, akan
1. Pneumotoraks dapat menimbulkan tampak garis mendatar yang merupakan
keluhan atau tidak. Keluhan yang dapat batas udara dan cairan (air fluid level).
timbul adalah sesak napas, yang dapat 2. Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak
disertai nyeri dada pada sisi yang sakit. untuk menegakkan diagnosis, namun untuk
Nyeri dada tajam, timbul secara tiba- tiba, menilai apakah telah terjadi gagal napas.
dan semakin nyeri jika menarik napas
dalam atau terbatuk. Keluhan timbul Penegakan Diagnostik (Assessment)
mendadak ketika tidak sedang aktivitas.
Diagnosis Klinis
2. Faktor risiko, di antaranya:
a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pneumonia pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif
b. Trauma dengan pemeriksaan penunjang.
c. Merokok
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Kegagalan respirasi
2. Kegagalan sirkulasi
Pemeriksaan Fisik 3. Kematian

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 27


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Kanul hidung


5. Sungkup sederhana
1. Oksigen 6. Lidocaine 2%
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, 7. Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50 cc
dilakukan pemasangan IV line dengan 8. Three-way
cairan kristaloid 9. Botol bervolume 500 cc
3. Rujuk
Prognosis
Konseling dan Edukasi
1. Ad vitam : Dubia
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga
mengenai: Referensi
1. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks 1. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam:
2. Pertolongan kegawatdaruratan pada Pulmonologi intervensi dan gawat darurat
pneumotoraks napas. Swidarmoko B, Susanto AD, editor.
3. Perlunya rujukan segera ke RS Kriteria Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked.
Rujukan Segera rujuk pasien yang Respirasi. 2010: 54-71.(Astowo, 2010)
terdiagnosis pneumotoraks, setelah
dilakukan penanggulangan awal. 2. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management
of spontaneous pneumothorax: British
Peralatan Thoracic Society pleural diseases guideline
2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff, et
1. Infus set
al., 2010)
2. Abbocath 14
3. Tabung oksigen

11. PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS)


No. ICPC-2: R95Chronic Obstructive Pulmonary Diseases
No. ICD-10: J44.9 Chronic Obstructive Pulmonary Diseasesm unspecified
Tingkat Kemampuan PPOK eksaserbasi akut 3B

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat 1. Keluhan
dicegah dan diobati, dikarakteristikkan dengan
hambatan aliran udara yang persisten, progresif a. Sesak napas
dan berhubungan dengan peningkatan respons b. Kadang-kadang disertai mengi
inflamasi kronis di paru terhadap partikel dan c. Batuk kering atau dengan dahak yang
gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid produktif d. Rasa berat di dada
berkontribusi terhadap keseluruhan keparahan 2. Faktor risiko
tiap individu. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat
di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti a. Genetik
Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan b. Pajanan partikel
Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. • Asap rokok
PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding • Debu kerja, organik dan inorganik
perempuan dan lebih tinggi di perdesaan • Polusi udara dalam rumah dari
dibanding perkotaan. Prevalensi PPOK pemanas atau biomassa rumah
cenderung lebih tinggi pada masyarakat tangga dengan ventilasi yang buruk
dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks • Polusi udara bebas
kepemilikan terbawah.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

c. Pertumbuhan dan perkembangan paru b. Irama jantung di apeks mungkin sulit


d. Stres oksidatif ditemukan karena hiperinflasi paru
e. Jenis kelamin
f. Umur c. Hiperinflasi menyebabkan hati letak
g. Infeksi paru rendah dan mudah di palpasi
h. Status sosial-ekonomi 3. Auskultasi
i. Nutrisi.
j. Komorbiditas a. Pasien dengan PPOK sering
mengalami penurunan suara napas
3. Penilaian severitas gejala tapi tidak spesifik untuk PPOK
Penilaian dapat dilakukan dengan
kuesioner COPD Assesment Test (CAT) yang b. Mengi selama pernapasan biasa
terdiri atas 8 pertanyaan untuk mengukur menunjukkan keterbatasan aliran udara.
pengaruh PPOK terhadap status Tetapi mengi yang hanya terdengar
kesehatan pasien. setelah ekspirasi paksa tidak spesifik
untuk PPOK
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) c. Ronki basah kasar saat inspirasi dapat
ditemukan
Pemeriksaan fisik
d. Bunyi jantung terdengar lebih keras di
1. Inspeksi area xiphoideus
a. Sianosis sentral pada membran mukosa Pemeriksaan Penunjang
mungkin ditemukan
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
b. Abnormalitas dinding dada yang
adalah uji jalan 6 menit yang dimodifikasi.
menunjukkan hiper inflasi paru
Untuk di Puskesmas dengan sarana terbatas,
termasuk iga yang tampak horizontal,
evaluasi yang dapat digunakan adalah keluhan
barrel chest (diameter antero -
lelah yang timbul atau bertambah sesak.
posterior dan transversal
sebanding) dan abdomen Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dilakukan
yang menonjol keluar bila fasilitas tersedia:
c. Hemidiafragma mendatar 1. Spirometri
d. Laju respirasi istirahat meningkat 2. Peak flow meter (arus puncak respirasi)
lebih dari 20 kali/menit dan pola
napas lebih dangkal 3. Pulse oxymetry
e. Pursed - lips breathing (mulut setengah 4. Analisis gas darah
terkatup mencucu), laju ekspirasi 5. Foto toraks
lebih lambat memungkinkan 6. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit,
pengosongan paru yang lebih efisien trombosit)
f. Penggunaan otot bantu napas adalah
Penegakan Diagnostik (Assessment)
indikasi gangguan pernapasan
g. Bila telah terjadi gagal jantung kanan Diagnosis Klinis
terlihat denyut vena jugularis di leher Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
dan edema tungkai pemeriksaan fisik dan penunjang.
2. Palpasi dan Perkusi
a. Sering tidak ditemukan kelainan pada
PPOK

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 27


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 10.9 Indikator kunci untuk mendiagnosis 4. Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH)
PPOK 5. Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila
sputum mukoid.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut ringan
1. Oksigen (bila tersedia)
2. Bronkodilator
Pada kondisi eksaserbasi, dosis dan atau
frekuensi bronkodilator kerja pendek
ditingkatkan dan dikombinasikan dengan
antikolinergik. Bronkodilator yang
disarankan adalah dalam sediaan inhalasi.
Jika tidak tersedia, obat dapat diberikan
secara injeksi, subkutan, intravena atau
perdrip, misalnya: Adrenalin 0,3 mg
subkutan, digunakan dengan hati-hati
Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan
pengenceran) harus perlahan (10 menit)
utk menghindari efek samping.dilanjutkan
dengan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
3. Kortikosteroid
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Diberikan dalam dosis 30 mg/hari
Tujuan penatalaksanaan di Fasilitas Pelayanan diberikan maksimal selama 2 minggu.
Kesehatan Tingkat Pemberian selama 2 minggu tidak perlu
Pertama: tapering off.
4. Antibiotik yang tersedia di Puskesmas
1. Mengurangi laju beratnya penyakit
2. Mempertahankan PPOK yang stabil 5. Pada kondisi telah terjadi kor pulmonale,
3. Mengatasi eksaserbasi ringan dapat diberikan diuretik dan perlu berhati-
hati dalam pemberian cairan.
4. Merujuk ke spesialis paru atau rumah sakit
Konseling dan Edukasi
Penatalaksanaan PPOK stabil
1. Edukasi ditujukan untuk mencegah
1. Obat-obatan dengan tujuan mengurangi penyakit bertambah berat dengan cara
laju beratnya penyakit dan menggunakan obat-obatan yang tersedia
mempertahankan keadaan stabil. dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan
2. Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
golongan ß2 agonis (salbutamol) dengan 2. Pengurangan pajanan faktor risiko
golongan xantin (aminofilin dan teofilin). 3. Berhenti merokok
Masing-masing dalam dosis suboptimal, 4. Keseimbangan nutrisi antara protein
sesuai dengan berat badan dan beratnya lemak dan karbohidrat, dapat diberikan
penyakit. Untuk dosis pemeliharaan, dalam porsi kecil tetapi sering.
aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi 5. Rehabilitasi
dengn salbutamol 1 mg. a. Latihan bernapas dengan pursed lip
3. Kortikosteroid digunakan dalam bentuk breathing
inhalasi, bila tersedia. b. Latihan ekspektorasi
c. Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
6. Terapi oksigen jangka panjang

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kriteria Rujukan 1. Sesak bertambah


2. Produksi sputum meningkat
1. Untuk memastikan diagnosis dan 3. Perubahan warna sputum
menentukan derajat PPOK
2. PPOK eksaserbasi sedang - berat Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
3. Rujukan penatalaksanaan jangka panjang
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di
Peralatan atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2
1. Spirometer
gejala di atas
2. Peak flow meter
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1
3. Pulse oxymeter
gejala di atas ditambah infeksi saluran
4. Tabung oksigen
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa
5. Kanul hidung
sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
6. Sungkup sederhana
mengi atau peningkatan frekuensi
7. Sungkup inhalasi
pernapasan > 20% baseline , atau
8. Nebulizer
frekuensi nadi > 20% baseline
9. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
rutin Gambar 10.3 Algoritma Pengobatan PPOK
Eksaserbasi Akut
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Perhimpunan dokter paru Indonesia.
Penyakit paru obstruktif kronik.
Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta.
2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2011)
2. Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc.
2013.(GLobal Initiatives for COPD, 2013)
3. Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc.
2006.(Global Initiatives for COPD, 2006)
ALGORITMA PENGOBATAN PPOK EKSASERBASI
AKUT
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya
perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 27


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

12. EPISTAKSIS
No. ICPC-2: R06. Nose bleed/epistaxis No. ICD-10: R04.0 Epistaxis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
b. Banyaknya perdarahan
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir c. Frekuensi
keluar dari hidung yang berasal dari rongga d. Lamanya perdarahan
hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu
Faktor Risiko
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan.
Hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri. 1. Trauma
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala 2. Adanya penyakit di hidung yang
yang sangat mengganggu. Faktor etiologi mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis
dapat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan alergi.
harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati 3. Penyakit sistemik, seperti kelainan
epistaksis secara efektif. pembuluh darah, nefritis kronik, demam
berdarah dengue.
Klasifikasi
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti
1. Epistaksis Anterior NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin,
semprot hidung kortikosteroid.
Epistaksis anterior paling sering berasal 5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang
dari pleksus Kiesselbach, yang merupakan terjadi di hidung, sinus paranasal, atau
sumber perdarahan paling sering dijumpai nasofaring.
pada anak-anak. Selain itu juga dapat 6. Kelainan kongenital, misalnya:
berasal dari arteri etmoidalis anterior. hereditary hemorrhagic telangiectasia /
Perdarahan dapat berhenti sendiri Osler’s disease.
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan 7. Adanya deviasi septum.
tindakan sederhana. 8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di
2. Epistaksis Posterior daerah yang sangat tinggi, tekanan udara
rendah, atau lingkungan dengan udara yang
Pada epistaksis posterior, perdarahan sangat kering.
berasal dari arteri sfenopalatina atau
arteri etmoidalis posterior. Epistaksis 9. Kebiasaan
posterior sering terjadi pada orang Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dewasa yang menderita hipertensi, Sederhana (Objective)
arteriosklerosis, atau penyakit
kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat Pemeriksaan Fisik
dan jarang berhenti spontan.
1. Rinoskopi anterior
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan harus dilakukan secara
Keluhan berurutan dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum
1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar nasi, dinding lateral hidung dan konka
darah dari hidung. inferior harus diperiksa dengan cermat
2. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai : untuk mengetahui sumber perdarahan.
a. Lokasi keluarnya darah (depan
rongga hidung atau ke tenggorok) 2. Rinoskopi posterior

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi 2. Mencegah komplikasi


posterior penting pada pasien dengan 3. Mencegah berulangnya epistaksis
epistaksis berulang untuk menyingkirkan
neoplasma. Penatalaksanaan

3. Pengukuran tekanan darah 1. Perbaiki keadaan umum penderita,


penderita diperiksa dalam posisi duduk
Tekanan darah perlu diukur untuk kecuali bila penderita sangat lemah atau
menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena keadaaan syok, pasien bisa berbaring
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis dengan kepala dimiringkan.
posterior yang hebat dan sering berulang. 2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis
Pemeriksaan Penunjang ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan
cara duduk dengan kepala ditegakkan,
Bila diperlukan: kemudian cuping hidung ditekan ke arah
septum selama 3-5 menit (metode Trotter).
1. Darah perifer lengkap
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum
2. Skrining terhadap koagulopati (bleeding
hidung dibuka dan dengan alat pengisap
time, clotting time)
(suction) dibersihkan semua kotoran
Penegakan Diagnostik (Assessment) dalam hidung baik cairan, sekret maupun
darah yang sudah membeku.
Diagnosis Klinis
4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, kapas yang dibasahi ke dalam hidung
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc
bila diperlukan. larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc
larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan
Diagnosis Banding
untuk menghilangkan rasa sakit dan
Hemoptisis, Varises oesofagus yang berdarah, membuat vasokontriksi pembuluh darah
Perdarahan di basis cranii, Karsinoma sehingga perdarahan dapat berhenti
nasofaring, Angiofibroma hidung. sementara untuk mencari sumber
perdarahan. Sesudah
Komplikasi 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
1. Akibat pemasangan tampon anterior dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus 5. Pada epistaksis anterior, jika sumber
tersumbat) dan sumbatan duktus lakrimal. perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
2. Akibat pemasangan tampon posterior dapat dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang
timbul otitis media, haemotympanum, serta dibasahi larutan Nitras Argenti 15 – 25%
laserasi palatum mole dan sudut bibir bila atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya
benang yang dikeluarkan melalui mulut area tersebut diberi salep antibiotik.
terlalu kencang ditarik. 6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior
3. Akibat perdarahan hebat dapat terjadi masih terus berlangsung, diperlukan
syok dan anemia. pemasangan tampon anterior dengan kapas
atau kain kasa yang diberi Vaselin yang
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) dicampur betadin atau zat antibiotika.
Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
epistaksis, yaitu :
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-
1. Menghentikan perdarahan lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
rongga hidung. Tampon yang dipasang
harus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 27


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

menekan tempat asal perdarahan dan dapat e. Lekatkan benang yang terdapat di rongga
dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama mulut dan terikat pada sisi lain dari
2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya
untuk mencari faktor penyebab epistaksis. adalah untuk menarik tampon keluar
Selama pemakaian tampon, diberikan melalui mulut setelah 2-3 hari.
antibiotik sistemik dan analgetik. f. Berikan juga obat hemostatik selain dari
Gambar 10.4 Tampon anterior hidung tindakan penghentian perdarahan itu.
Gambar 10.5 Tampon posterior (Bellocq) untuk
hidung

7. Untuk perdarahan posterior dilakukan


pemasangan tampon posterior, yang disebut
tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari
kasa padat berbentuk bulat atau kubus
berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon
Rencana Tindak Lanjut
ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah
pada satu sisi dan sebuah pada sisi Setelah perdarahan dapat diatasi, langkah
lainnya. Tampon harus dapat menutupi selanjutnya adalah mencari sumber perdarahan
koana (nares posterior). Teknik atau penyebab epistaksis.
pemasangan tampon posterior, yaitu:
Konseling dan Edukasi
a. Masukkan kateter karet melalui nares
anterior dari hidung yang berdarah sampai Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui
mulut. 1. 1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis,
karena hal ini merupakan gejala suatu
b. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah penyakit, sehingga dapat mencegah
benang tampon Bellocq, kemudian tarik timbulnya kembali epistaksis.
kembali kateter itu melalui hidung.
2. Mengontrol tekanan darah pada penderita
c. Tarik kedua ujung benang yang sudah dengan hipertensi.
keluar melalui nares anterior dengan
bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke 3. Menghindari membuang lendir melalui
nasofaring. hidung terlalu keras.
Jika dianggap perlu, jika masih tampak 4. Menghindari memasukkan benda keras
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka ke dalam hidung, termasuk jari sehingga
dapat pula dimasukkan tampon anterior dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat
ke dalam kavum nasi. pada pasien anak.
d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares 5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang
anterior pada sebuah gulungan kain kasa di dapat meningkatkan perdarahan seperti
depan lubang hidung, supaya tampon yang aspirin atau ibuprofen.
terletak di nasofaring tidak bergerak.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan penunjang lanjutan 8. Lidi kapas


9. Nelaton kateter
Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila 10. Benang kasur
dicurigai sinusitis. Kriteria Rujukan 11. Larutan Adrenalin 1/1000
1. Bila perlu mencari sumber perdarahan 12. Larutan Pantokain 2% atau Lidokain 2%
dengan modalitas yang tidak tersedia di 13. Larutan Nitras Argenti 15 – 25%
layanan Tingkat Pertama, misalnya naso- 14. Salep vaselin, Salep antibiotik
endoskopi. Referensi
2. Pasien dengan epistaksis yang curiga
akibat tumor di rongga hidung atau 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku
nasofaring. Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997.
3. Epistaksis yang terus berulang atau masif
2. Iskandar, M. Teknik Penatalaksanaan
Prognosis
Epistaksis. In: Cermin Dunia Kedokteran. No.
1. Ad vitam : Bonam 132. 2001. p. 43-4(Iskandar, 2001)
2. Ad functionam : Bonam
3. Mangunkusumo, E. Wardani, R.S.
3. Ad sanationam : Bonam
Epistaksisdalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher.
Ed. ke-6. Jakarta:Fakultas Kedokteran
1. Lampu kepala Universitas Indonesia. 2007.
2. Spekulum hidung
3. Alat penghisap (suction)
4. Pinset bayonet
5. Tampon anterior, Tampon posterior
6. Kaca rinoskopi posterior
7. Kapas dan kain kassa

13. BENDA ASING DI HIDUNG


No. ICPC-2 No. ICD-10
: R87. Foreign body nose/larynx/bronch
: T17.1 Foreign body in nostril
Tingkat Kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Kasus benda asing di hidung sering ditemui
oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan Keluhan
Tingkat Pertama. Kasus ini paling sering dialami 1. Hidung tersumbat
oleh anak dan balita. Terdapat dua jenis benda 2. Onset tiba-tiba
asing, yaitu benda hidup (organik) dan benda 3. Umumnya unilateral
mati (anorganik). Contoh benda asing organik, 4. Hiposmia atau anosmia
antara lain lintah, lalat, larva, sedangkan benda 5. Setelah 2 – 3 hari, keluar sekret mukoid /
asing anorganik, misalnya manik-manik, kertas, mukopurulen dan berbau di satu sisi hidung.
tisu, logam, baterai kecil, kacang-kacangan, dan 6. Dapat timbul rasa nyeri
lain-lain. 7. Bila benda asing organik, terasa ada yang
bergerak-gerak di dalam rongga hidung.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 27


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Khusus untuk lintah, sumbatan pada hidung sehingga dapat masuk ke dalam septum
semakin memberat setiap hari. atau konka inferior dalam beberapa jam dan
8. Adanya laporan dari pasien atau orang menyebabkan perforasi septum.
tua mengenai adanya benda yang masuk 4. Pada benda asing berupa lalat (miasis
atau dimasukkan ke rongga hidung. hidung), dapat terjadi invasi ke
intrakranium dan, walaupun jarang, dapat
Faktor Risiko menyebabkan meningitis yang fatal.
Faktor-faktor yang meningkatkan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
kemungkinan masuknya benda asing ke dalam
rongga hidung: Penatalaksanaan
1. Umur: biasanya anak ≤ 5 tahun 1. Non Medikamentosa
2. Adanya kegagalan mekanisme proteksi yang a. Tindakan ekstraksi benda asing
normal, misal: secara manual dengan menggunakan
3. keadaan tidur, kesadaran menurun, pengait tumpul atau pinset. Dokter
alkoholisme, epilepsi perlu berhati-hati agar tidak sampai
4. Adanya masalah kejiwaan, emosi, dan mendorong benda asing lebih dalam
gangguan psikiatrik sehingga masuk ke saluran napas
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang bawah.
Sederhana (Objective) b. Untuk lintah, sebelum ekstraksi,
teteskan air tembakau ke dalam
Pemeriksaan Fisik rongga hidung dan biarkan 5 menit
Pada rinoskopi anterior, nampak: hingga lintah terlebih dahulu terlepas
dari mukosa hidung.
1. Benda asing
2. Medikamentosa
2. Sekret purulen (bila sudah berlangsung 2 –
3 hari) Pemberian antibiotik per oral selama 5
hari bila telah terjadi infeksi sekunder.
Pemeriksaan Penunjang:
Konseling dan Edukasi
Foto Rontgen kranium (Schedel) posisi AP dan
lateral, bila diperlukan dan fasilitas tersedia. 1. Reassurance bahwa tidak ada kondisi
berbahaya bila segera dilakukan ekstraksi.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 2. Sebelum tindakan dilakukan, dokter perlu
Diagnosis Klinis menjelaskan mengenai prosedur ekstraksi
dan meminta persetujuan pasien / orang tua
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (informed consent).
dan pemeriksaan fisik. 3. Setelah benda asing berhasil dikeluarkan,
dokter dapat memberi beberapa
Diagnosis Banding saran yang relevan untuk mencegah
Rinolit berulangnya kejadian kemasukan benda
asing ke hidung di kemudian hari, misalnya:
Komplikasi a. Pada orang tua, dapat lebih berhati-
1. Obstruksi jalan napas akut akibat hati dalam meletakkan benda-benda
masuknya benda asing ke saluran napas yang mudah atau sering dimasukkan ke
yang lebih distal (laring, trakea). dalam rongga hidung.
2. Pada benda asing organik berupa larva / b. Pada anak, dapat diingatkan untuk
ulat / lintah, dapat terjadi destruksi mukosa menghindari memasukkan benda-
dan kartilago hidung. benda ke dalam hidung.
3. Benda asing baterai cepat merusak mukosa

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

c. Pada pekerja yang sering terpapar 3. Pengait tumpul(blunt hook)


larva atau benda-benda organik lain, 4. Pinset
dapat menggunakan masker saat 5. Forsep aligator
bekerja. 6. Suction
7. Xylocaine 2% spray
Kriteria Rujukan 8. Formulir informed consent
1. Pengeluaran benda asing tidak berhasil
Referensi
karena perlekatan atau posisi benda asing
sulit dilihat. 1. Efiaty, A. Nurbaiti, I. Jenny, B. Ratna, D.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
2. Pasien tidak kooperatif.
Tenggorok Kepala & Leher. 6th Ed. Jakarta:
Prognosis Balai Penerbit FKUI. 2007.

1. Ad vitam : Bonam 2. Buku Modul Hidung: Benda Asing 1st ed.


2. Ad functionam : Bonam Jakarta: Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga
3. Ad sanationam : Bonam Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.
2008. (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL,
Peralatan 2008)
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung

14. FURUNKEL PADA HIDUNG


No. ICPC-2 No. ICD-10
: R73. Boil/abscess nose
: J34.0 Abscess, furuncle and carbuncle of nose
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Higiene personal yang buruk
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea 3. Rinitis kronis, akibat iritasi dari sekret
atau folikel rambut hidung yang melibatkan rongga hidung.
jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh 4. Kebiasaan mengorekrinitisbagian dalam
Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki hidung.
insidensi yang rendah. Belum terdapat data Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
spesifik yang menunjukkan prevalensi Sederhana (Objective)
furunkel. Furunkel umumnya terjadi paling
banyak pada anak-anak, remaja sampai dewasa Pemeriksaan Fisik
muda.
Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling
Hasil Anamnesis (Subjective) sering terdapat pada lateral vestibulum nasi
yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan
1. Bisul di dalam hidung, disertai rasa nyeri
dan perasaan tidak nyaman. Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Kadang dapat disertai gejala rinitis.
Diagnosis Klinis
Faktor Risiko
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
1. Sosio ekonomi rendah dan pemeriksaan fisik.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 28


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding:- 3. Selalu menjaga kebersihan diri.


Komplikasi Kriteria Rujukan: -
1. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, Prognosis
vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus
1. Ad vitam : Bonam
sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus
2. Ad functionam : Bonam
kavernosus.
2. Abses. 3. Ad sanationam : Bonam
3. Vestibulitis. Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
Penatalaksanaan
3. Skalpel atau jarum suntik ukuran sedang
1. Non Medikamentosa (untuk insisi)
a. Kompres hangat 4. Kassa steril
b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses 5. Klem
2. Medikamentosa 6. Pinset Bayonet
a. Antibiotik topikal, seperti salep 7. Larutan Povidon Iodin 7,5%
Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu Referensi
Amoksisilin 3 x 500 mg/hari, Sefaleksin 1. Adam, G.L. Boies L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
4 x 250 – 500 mg/hari, atau Eritromisin Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
4 x 250 – 500 mg/hari.
2. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi
Konseling dan Edukasi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher.
bagian dalam hidung. Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran
2. Tidak memencet atau melakukan insisi Universitas Indonesia. 2007.
padafurunkel.

15. RINITIS AKUT


No. ICPC-2: R74. Upper respiratory infection acute No. ICD-10: J00. Acute nasopharyngitis (common col
Tingkat Kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Rinitis akut adalah peradangan pada mukosa Keluhan
hidung yangberlangsung akut (<12 minggu). Hal
ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, 1. Keluar ingus dari hidung (rinorea)
ataupun iritan. Radang sering ditemukan 2. Hidung tersumbat
karena manifestasi dari rinitis simpleks (common 3. Dapat disertai rasa panas atau gatal pada
cold), influenza, penyakit eksantem (seperti hidung
morbili, variola, varisela, pertusis), penyakit 4. Bersin-bersin
spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal atau 5. Dapat disertai batuk
trauma.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Faktor Risiko mirip dengan common cold. Komplikasi


berhubungan dengan infeksi bakteri
1. Penurunan daya tahan tubuh.
sering terjadi.
2. Paparan debu, asap, atau gas yang bersifat
iritatif. c. Rinitis eksantematous
3. Paparan dengan penderita infeksi saluran
napas. Morbili, varisela, variola, dan pertusis,
sering berhubungan dengan rinitis,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dimana didahului dengan eksantema
Sederhana (Objective) sekitar 2-3 hari. Infeksi sekunder dan
komplikasi lebih sering dijumpai dan
Pemeriksaan Fisik
lebih berat.
1. Suhu dapat meningkat
2. Rinitis Bakteri
2. Rinoskopi anterior:
a. Tampak kavum nasi sempit, terdapat a. Infeksi non spesifik
sekret serous atau mukopurulen,
mukosa konka udem dan hiperemis. • Rinitis bakteri primer. Infeksi ini
b. Pada rinitis difteri tampak sekret yang tampak pada anak dan biasanya
bercampur darah. akibat dari infeksi pneumococcus,
c. Membran keabu-abuan tampak streptococcus atau staphylococcus.
menutup konka inferior dan kavum nasi Membran putih keabu-abuan yang
bagian bawah, membrannya lengket lengket dapat terbentuk di rongga
dan bila diangkat mudah berdarah. hidung, dan apabila diangkat
dapat menyebabkan pendarahan /
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan epistaksis.
Penegakan Diagnostik (Assessment) • Rinitis bakteri sekunder merupakan
akibat dari infeksi bakteri pada
Diagnosis Klinis
rinitis viral akut.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
b. Rinitis Difteri
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi berdasarkan
etiologi: Disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae, dapat berbentuk akut atau
1. Rinitis Virus
kronik dan bersifat primer pada
a. Rinitis simplek (pilek, selesma, common hidung atau sekunder pada
cold, coryza) tenggorokan. Harus dipikirkan pada
penderita dengan riwayat imunisasi
Rinitis simplek disebabkan oleh yang tidak lengkap. Penyakit ini
virus. Infeksi biasanya terjadi melalui semakin jarang ditemukan karena
droplet di udara. Beberapa jenis virus cakupan program imunisasi yang
yang berperan antara lain, adenovirus, semakin meningkat.
picovirus, dan subgrupnya seperti
rhinovirus, dan coxsackievirus. Masa 3. Rinitis Iritan
inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam Disebabkan oleh paparan debu, asap atau
2-3 minggu.
gas yang bersifat iritatif seperti ammonia,
b. Rinitis influenza formalin, gas asam dan lain-lain. Dapat juga
disebabkan oleh trauma yang mengenai
Virus influenza A, Batau C berperan mukosa hidung selama masa manipulasi
dalam penyakit ini. Tanda dan intranasal, contohnya pada pengangkatan
gejalanya corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 28


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

reaksi yang terjadi segera yang disebut 1. Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat.
dengan “immediate catarrhalreaction”
2. Lebih sering mencuci tangan, terutama
bersamaan dengan bersin, rinore,
dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sebelum menyentuh wajah.
sembuh cepat dengan menghilangkan 3. Memperkecil kontak dengan orang-orang
faktor penyebab atau dapat menetap selama yang telah terinfeksi.
beberapa hari jika epitel hidung telah rusak.
Pemulihan akan bergantung pada kerusakan 4. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
epitel dan infeksi yang terjadi. 5. Mengikuti program imunisasi lengkap,
Diagnosis Banding sepertivaksinasi influenza, vaksinasi
MMR untuk mencegah terjadinya rinitis
Rinitis alergi pada serangan akut, Rinitis eksantematosa.
vasomotor pada serangan akut
6. Menghindari pajanan alergen bila terdapat
Komplikasi faktor alergi sebagai pemicu.
1. Rinosinusitis 7. Melakukan bilas hidung secara rutin.
2. Otitis media akut.
3. Otitis media efusi Peralatan
4. Infeksi traktus respiratorius bagian 1. Lampu kepala
bawah seperti laringitis, trakeobronkitis, 2. Spekulum hidung
pneumonia. 3. Suction
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis
Penatalaksanaan 1. Ad vitam : Bonam
1. Non medikamentosa 2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
a. Istirahat yang cukup
Referensi
b. Menjaga asupan yang bergizi dan sehat
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku
2. Medikamentosa Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
a. Simtomatik: analgetik dan antipiretik 1997.
(Paracetamol), dekongestann opikal, 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
dekongestan oral (Pseudoefedrin, and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
Fenilpropanolamin, Fenilefrin). 2003.
b. Antibiotik: bila terdapat komplikasi 3. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi
seperti infeksi sekunder bakteri, Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Amoksisilin, Eritromisin, Sefadroksil. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
c. Untuk rinitis difteri: Penisilin sistemik Leher. Ed. ke-6.Jakarta: Fakultas Kedokteran
dan anti-toksin difteri. Rencana Universitas Indonesia. 2007.
Tindak Lanjut Jika terdapat kasus
rinitis difteri dilakukan pelaporan ke
dinas kesehatan setempat.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

16. RINITIS VASOMOTOR


No. ICPC-2 No. ICD-10
: R97 Allergic rhinitis
: J30.0 Vasomotor rhinitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk Sederhana (Objective)
rinitis kronik yang tidak diketahui
Pemeriksaan Fisik
penyebabnya (idiopatik), tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan Rinoskopi anterior:
hormonal, dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin, 1. Tampak gambaran konka inferior
dan obat topikal hidung dekongestan). Rinitis membesar (edema atau hipertrofi),
non alergi dan mixed rhinitis lebih sering berwarna merah gelap atau merah tua atau
dijumpai pada orang dewasa dibandingkan pucat. Untuk membedakan edema dengan
anak-anak, lebih sering dijumpai pada wanita hipertrofi konka, dokter dapat
dan cenderung bersifat menetap. memberikan larutan Epinefrin 1/10.000
melalui tampon hidung. Pada edema, konka
Hasil Anamnesis (Subjective) akan mengecil, sedangkan pada hipertrofi
tidak mengecil.
Keluhan
2. Terlihat adanya sekret serosa dan
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan biasanya jumlahnya tidak banyak. Akan
kanan tergantung posisi tidur tetapi pada golongan rinore tampak sekret
pasien, memburuk pada pagi hari dan jika serosa yang jumlahnya sedikit lebih
terpajan lingkungan non-spesifik seperti banyak dengan konka licin atau berbenjol-
perubahan suhu atau kelembaban udara, benjol.
asap rokok, bau menyengat.
Pemeriksaan Penunjang
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus,
kadang-kadang jumlahnya agak banyak. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
rinitis alergika. Pemeriksaan dilakukan bila diperlukan dan
4. Lebih sering terjadi pada wanita. Faktor fasilitas tersedia di layanan Tingkat Pertama,
Predisposisi yaitu:
1. Obat-obatan yang menekan dan
menghambat kerja saraf simpatis antara 1. Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret
lain: Ergotamin, Klorpromazine, obat anti hidung
hipertensi, dan obat vasokonstriktor topikal. 2. Tes cukit kulit (skin prick test)
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap 3. Kadar IgE spesifik
rokok, udara dingin, kelembaban udara Penegakan Diagnostik (Assessment)
yang tinggi, serta bau yang menyengat
(misalnya, parfum). Diagnosis Klinis
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
hipotiroidisme.
bila diperlukan.
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang,
dan stress. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini
dibedakan dalam 3 golongan, yaitu:

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 28


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

1. Golongan bersin (sneezer): gejalabiasanya Fenilefrin) sebagai dekongestan hidung


memberikan respon baik dengan terapi oral dengan atau tanpa kombinasi
antihistamin dan glukokortikoid topikal. antihistamin.
2. Golongan rinore (runners): gejala rinore Konseling dan Edukasi
yang jumlahnya banyak.
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
3. Golongan tersumbat (blockers): gejala
kongesti hidung dan hambatan aliran 1. Mengidentifikasi dan menghindari faktor
udara pernafasan yang dominan dengan pencetus, yaitu iritasi terhadap lingkungan
rinore yang minimal. non-spesifik.

Diagnosis Banding 2. Berhenti merokok.

Rinitis alergi, Rinitis medikamentosa, Rinitis akut Kriteria Rujukan

Komplikasi Jika diperlukan tindakan operatif

Anosmia, Rinosinusitis Prognosis


1. Ad vitam : Bonam
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
2. Ad functionam : Bonam
Penatalaksanaan 3. Ad sanationam : Bonam
1. Non medikamentosa Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai
Kauterisasi konka yang hipertofi dapat 1. Lampu kepala
menggunakan larutan AgNO3 25% atau 2. Spekulum hidung
trikloroasetat pekat. 3. Tampon hidung
4. Epinefrin 1/10.000
2. Medikamentosa
Referensi
a. Tatalaksana dengan terapi
kortikosteroid topikal dapat 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
diberikan, misalnya Budesonide 1-2 Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
x/hari dengan dosis 100- 200 mcg/
hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 2. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan,
400 mcg/hari. Hasilnya akan terlihat E. Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar
setelah pemakaian paling sedikit Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
selama 2 minggu. Saat ini terdapat Tenggorok, Kepala & Leher. Ed ke-6.
kortikosteroid topikal baru dalam aqua Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
seperti Fluticasone Propionate dengan Jakarta. 2007.
pemakaian cukup 1 x/hari dengan dosis 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
200 mcg selama 1-2 bulan. and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
b. Pada kasus dengan rinorea yang berat, 2003.
dapat ditambahkan antikolinergik
topikal Ipratropium Bromide.
c. Tatalaksana dengan terapi oral dapat
menggunakan preparat
d. simpatomimetik golongan agonis alfa
(Pseudoefedrin, Fenilpropanolamin,

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

17. RINITIS ALERGI


No. ICPC-2: R97 Allergic rhinitis
No. ICD-10: J30.4 Allergic rhinitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
tinggi merupakan faktor risiko untuk
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien timbul gejala alergis.
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi 3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet
oleh alergen yang sama serta dilepaskan serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi.
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Sederhana (Objective)
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s
Impact on Asthma), 2001, rinitis alergi adalah Pemeriksaan Fisik
kelainan pada gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa 1. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu
hidung terpapar alergen yang diperantai oleh gerakan pasien menggosok hidung
Ig E. dengan tangannya karena gatal.
2. Wajah:
Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada
anak-anak lebih sering terjadi terutama anak a. Allergic shiners yaitu dark circles di
laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki- sekitar mata dan berhubungan
laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi dengan vasodilatasi atau obstruksi
terdapat pada anak-anak dan dewasa muda hidung.
dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar b. Nasal crease yaitu lipatan horizontal
80% kasus rinitis alergi berkembang mulai (horizontal crease) yang melalui
dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada setengah bagian bawah hidung akibat
anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan kebiasaan menggosok hidung keatas
usia sehingga pada usia tua rinitis alergi jarang dengan tangan.
ditemukan. c. Mulut sering terbuka dengan lengkung
Hasil Anamnesis (Subjective) langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan
Keluhan gigi-geligi (facies adenoid).
Pasien datang dengan keluhan keluarnya 3. Faring: dinding posterior faring tampak
ingus encer dari hidung (rinorea), bersin, granuler dan edema (cobblestone
hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung appearance), serta dinding lateral faring
(trias alergi). Bersin merupakan gejala khas, menebal. Lidah tampak seperti gambaran
biasanya terjadi berulang, terutama pada pagi peta (geographic tongue).
hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap 4. Rinoskopi anterior:
patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat
alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase atau kebiruan (livide), disertai adanya
cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak sekret encer, tipis dan banyak. Jika
air mata. kental dan purulen biasanya
Faktor Risiko berhubungan dengan sinusitis.
b. Pada rinitis alergi kronis atau penyakit
1. Adanya riwayat atopi.
2. Lingkungan dengan kelembaban yang

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 28


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

granulomatous, dapat terlihat adanya Diagnosis Banding


deviasi atau perforasi septum.
Rinitis vasomotor, Rinitis akut
c.
Pada rongga hidung dapat ditemukan
massa seperti polip dan tumor, atau Komplikasi
dapat juga ditemukan pembesaran
Polip hidung, Sinusitis paranasal, Otitis media
konka inferior yang dapat berupa
edema atau hipertropik. Dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dekongestan topikal, polip dan hipertrofi
konka tidak akan menyusut, sedangkan Penatalaksanaan
edema konka akan menyusut. 1. Menghindari alergen spesifik
5. Pada kulit kemungkinan terdapat tanda 2. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran
dermatitis atopi. jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis
Pemeriksaan Penunjang 3. Terapi topikal dapat dengan dekongestan
Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan hidung topikal melalui semprot hidung.
Tingkat Pertama. Obat yang biasa digunakan adalah
oxymetazolin atau xylometazolin, namun
1. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hanya bila hidung sangat tersumbat dan
hidung. dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk
2. Pemeriksaan Ig E total serum menghindari rinitis medikamentosa.
4. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
Penegakan Diagnostik (Assessment) sumbatan hidung akibat respons fase lambat
Diagnosis Klinis tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat
yang sering dipakai adalah kortikosteroid
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, topikal: beklometason, budesonid,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang flutikason, mometason furoat dan
bila diperlukan. triamsinolon.
5. Preparat antikolinergik topikal adalah
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA
ipratropium bromida yang bermanfaat untuk
(Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma),
mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi
2001, rinitis alergi dibagi berdasarkan sifat
reseptor kolinergik pada permukaan sel
berlangsungnya menjadi:
efektor.
1. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 6. Terapi oral sistemik
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. a. Antihistamin
• Anti histamin generasi 1:
2. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/
difenhidramin, klorfeniramin,
minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.
siproheptadin.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya • Anti histamin generasi 2: loratadin,
penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: cetirizine
b. Preparat simpatomimetik golongan
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan agonis alfa dapat dipakai sebagai
tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, dekongestan hidung oral dengan
berolahraga, belajar, bekerja dan hal- hal atau tanpa kombinasi antihistamin.
lain yang mengganggu. Dekongestan oral: pseudoefedrin,
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat fenilpropanolamin, fenilefrin.
satu atau lebih dari gangguan tersebut di 7. Terapi lainnya dapat berupa operasi
atas. terutama bila terdapat kelainan anatomi,
selain itu dapat juga dengan imunoterapi

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Konseling dan Edukasi Peralatan


Memberitahu individu dan keluarga untuk: 1. Lampu kepala / senter
2. Spekulum hidung
1. Menyingkirkan faktor penyebab yang
3. Spatula lidah
dicurigai (alergen).
2. Menghindari suhu ekstrim panas maupun Prognosis
ekstrim dingin.
1. Ad vitam : Bonam
3. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran
2. Ad functionam : Bonam
jasmani. Hal ini dapat menurunkan gejala
alergi. 3. Ad sanationam : Dubia ad

Pemeriksaan penunjang lanjutan bonam Referensi

Bila diperlukan, dilakukan: 1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
1. Uji kulit atau Prick Test, digunakan untuk
menentukan alergen penyebab rinitis 2. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic
alergi pada pasien. Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative).
2. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head
paranasal. and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
Kriteria Rujukan 2003.

1. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk 4. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono,


mengetahui jenis alergen. N.Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu
2. Bila perlu dilakukan tindakan operatif. Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007

18. SINUSITIS (RINOSINUSITIS)


No ICPC-2: R75. Sinusitis acute / chronic No ICD-10: J01. Acute sinusitis
J32. Chronic sinusitis
Tingkat Kemampuan 4A (Rinosinusitis akut)
3A (Rinosinusitis kronik)

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan
Keluhan
pada mukosa sinus paranasal dan rongga
hidung. Dokter di fasilitas pelayanan 1. Gejala yang dialami, sesuai dengan kriteria
kesehatan Tingkat Pertama harus memiliki pada tabel 10.10
keterampilan yang memadai untuk 2. Onset timbulnya gejala, dibagi menjadi:
mendiagnosis, menatalaksana, dan mencegah a. Akut : < 12 minggu
berulangnya rinosinusitis. Tatalaksana b. Kronis : ≥ 12 minggu
rinosinusitis yang efektif dari dokter di fasilitas 3. Khusus untuk sinusitis dentogenik:
pelayanan kesehatan Tingkat Pertama dapat a. Salah satu rongga hidung berbau busuk
meningkatkan kualitas hidup pasien secara b. Dari hidung dapat keluar ingus kental
signifikan, menurunkan biaya pengobatan, atau tidak beringus
serta mengurangi durasi dan frekuensi absen c. Terdapat gigi di rahang atas yang
kerja. berlubang / rusak

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 28


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 10.10. Kriteria diagnosis rinosinusitis kemungkinan sinus yang terlibat


menurut American Academy of Otolaryngology adalah maksila, frontal, atau etmoid
anterior. Pada sinusitis dentogenik,
dapat pula tidak beringus.
c. Kelainan anatomis yang
mempredisposisi, misalnya: deviasi
septum, polip nasal, atau hipertrofi
konka.
4. Rinoskopi posterior
Bila pemeriksaan ini dapat dilakukan, maka
dapat ditemukan sekret purulen pada
Faktor Risiko nasofaring. Bila sekret terdapat di depan
Keluhan atau riwayat terkait faktor risiko, muara tuba Eustachius, maka berasal
terutama pada kasus rinosinusitis kronik, penting dari sinus-sinus bagian anterior (maksila,
untuk digali. Beberapa di antaranya adalah: frontal, etmoid anterior), sedangkan bila
sekret mengalir di belakang muara tuba
1. Riwayat kelainan anatomis kompleks Eustachius, maka berasal dari sinus-sinus
osteomeatal, seperti deviasi septum bagian posterior (sfenoid, etmoid posterior).
2. Rinitis alergi
5. Otoskopi
3. Rinitis non-alergi, misalnya vasomotor,
medikamentosa Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi
4. Polip hidung adanya komplikasi pada telinga, misalnya
5. Riwayat kelainan gigi atau gusi yang tuba oklusi, efusi ruang telinga tengah, atau
signifikan kelainan pada membran timpani
6. Asma bronkial (inflamasi, ruptur).
7. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas 6. Foto polos sinus paranasal dengan Water’s
akut yang sering berulang view (AP / lateral), bila fasilitas tersedia.
8. Kebiasaan merokok Pada posisi ini, sinus yang dapat dinilai
9. Pajanan polutan dari lingkungan sehari-hari adalah maksila, frontal, dan etmoid.
10. Kondisi imunodefisiensi, misalnya HIV/AIDS 7. Temuan yang menunjang diagnosis
11. Riwayat penggunaan kokain rinosinusitis antara lain: penebalan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang mukosa (perselubungan), air-fluid level,
Sederhana (Objective) dan opasifikasi sinus yang terlibat. Foto
polos sinus tidak direkomendasikan untuk
1. Suhu dapat meningkat anak berusia di bawah 6 tahun. Pada pasien
2. Pemeriksaan rongga mulut dapat dewasa, pemeriksaan ini juga bukan
ditemukan karies profunda pada gigi rahang suatu keharusan, mengingat diagnosis
atas. biasanya dapat ditegakkan secara klinis.
3. Rinoskopi anterior. Rinoskopi anterior dapat Laboratorium, yaitu darah perifer lengkap,
dilakukan dengan atau tanpa dekongestan bila diperlukan dan fasilitas tersedia.
topikal. Pada rinosinusitis akut dapat
ditemukan: Penegakan Diagnosis (Assessment)
a. Edema dan / atau obstruksi mukosa di Rinosinusitis Akut (RSA)
meatus medius
Dasar penegakkan diagnosis RSA dapat dilihat
b. Sekret mukopurulen. Bila sekret pada tabel berikut ini.
tersebut nampak pada meatus medius,

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 10.11. Dasar Penegakkan Diagnosis Tabel 10.12. Dasar Penegakkan Diagnosis
Rinosinusitis Akut (RSA) Rinosinusitis Kronik (RSK)

Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding dari
Rinosinusitis akut dapat dibedakan lagi menjadi: rinosinusitis akut dan kronis:

1. Rinosinusitis akut viral (common cold): Tabel 10.13. Diagnosis banding Rinosinusitis
Bila durasi gejala < 10 hari Akut (RSA) dan Rinosinusitis Kronik (RSK)
2. Rinosinusitis akut pasca-viral:
a. Bila terjadi peningkatan intensitas
gejala setelah 5 hari, atau
b. Bila gejala persisten > 10 hari namun
masih < 12 minggu
3. Rinosinusitis akut bakterial: Bila terdapat
sekurangnya 3 tanda / gejala berikut ini:
a. Sekret berwarna atau purulen dari
rongga hidung
b. Nyeri yang berat dan terlokalisasi Komplikasi
pada wajah 1. Kelainan orbita
c. Demam, suhu > 38oC Penyebaran infeksi ke orbita paling sering
d. Peningkatan LED / CRP terjadi pada sinusitis etmoid, frontal, dan
e. Double sickening, yaitu perburukan maksila. Gejala dan tanda yang patut
setelah terjadi perbaikan sebelumnya dicurigai sebagai infeksi orbita adalah:
edema periorbita, selulitis orbita, dan
Rinosinusitis Kronis (RSK) nyeri berat pada mata. Kelainan dapat
mengenai satu mata atau menyebar ke
Dasar penegakkan diagnosis RSK dapat dilihat
kedua mata.
pada tabel 5.5 di lampiran
2. Kelainan intrakranial

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 29


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat d. Pasien dianjurkan untuk membilas atau


menimbulkan meningitis, abses ekstradural, mencuci hidung secara teratur dengan
dan trombosis sinus kavernosus. Gejala larutan garam isotonis (salin).
dan tanda yang perlu dicurigai adalah:
Rencana Tindak Lanjut
sakit kepala (tajam, progresif, terlokalisasi),
paresis nervus kranial, dan perubahan status 1. Pasien dengan RSA viral (common cold)
mental pada tahap lanjut. dievaluasi kembali setelah 10 hari
3. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis pengobatan. Bila tidak membaik, maka
kronik, dapat berupa: osteomielitis sinus diagnosis menjadi RSA pasca viral dan
maksila, abses subperiosteal, bronkitis dokter menambahkan kortikosteroid (KS)
kronik, bronkiektasis. intranasal ke dalam rejimen terapi.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Pasien dengan RSA pasca viral dievaluasi


kembali setelah 14 hari pengobatan. Bila
Rinosinusitis Akut (RSA) tidak ada perbaikan, dapat dipertimbangkan
rujukan ke spesialis THT.
Tujuan penatalaksanaan RSA adalah
mengeradikasi infeksi, mengurangi severitas 3. Pasien dengan RSA bakterial dievaluasi
dan durasi gejala, serta mencegah komplikasi. kembali 48 jam setelah pemberian antibiotik
Prinsip utama tatalaksana adalah memfasilitasi dan KS intranasal. Bila tidak ada perbaikan,
drainase sekret dari sinus ke ostium di rongga dapat dipertimbangkan rujukan ke spesialis
hidung. Tatalaksana RSA dapat dilihat dalam THT.
gambar Algoritma tatalaksana RSA. Kriteria Rujukan
Konseling dan Edukasi : Pada kasus RSA, rujukan segera ke spesialis THT
1. Pasien dan atau keluarga perlu dilakukan bila:
mendapatkan penjelasan yang adekuat 1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di
mengenai penyakit yang dideritanya, antaranya: Edema / eritema periorbital
termasuk faktor risiko yang diduga perubahan posisi bola mata, Diplopia,
mendasari. Oftalmoplegia, penurunan visus, sakit
2. Dokter bersama pasien dapat mendiskusikan kepala yang berat, pembengkakan area
hal-hal yang dapat membantu mempercepat frontal, tanda-tanda iritasi meningeal,
kesembuhan, misalnya: kelainan neurologis fokal.
a. Pada pasien perokok, sebaiknya 2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi
merokok dihentikan. Dokter dapat adekuat setelah 10 hari (RSA viral), 14 hari
membantu pasien berhenti merokok (RSA pasca viral), dan 48 jam (RSA
dengan melakukan konseling bakterial). Rinosinusitis KronisStrategi
(dengan metode 5A) atau anjuran tatalaksana RSK meliputi identifikasi dan
(metode pengurangan, penundaan, atau tatalaksana faktor risiko serta pemberian
cold turkey, sesuai preferensi pasien). KS intranasal atau oral dengan / tanpa
b. Bila terdapat pajanan polutan sehari- antibiotik. Tatalaksana RSK dapat dilihat
hari, dokter dapat membantu pada Algoritma tatalaksana RSK.
memberikan anjuran untuk
meminimalkannya, misalnya dengan Konseling dan Edukasi
pasien menggunakan masker atau ijin 1. Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor
kerja selama simtom masih ada. risiko yang mendasari atau mencetuskan
c. Pasien dianjurkan untuk cukup rinosinusitis kronik pada pasien beserta
beristirahat dan menjaga hidrasi. alternatif tatalaksana untuk mengatasinya.

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Pencegahan timbulnya rekurensi juga 7. Otoskop


perlu didiskusikan antara dokter dengan 8. Suction
pasien. 9. Lampu baca x-ray
Kriteria Rujukan 10. Formulir permintaan pemeriksaan radiologi
Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila: 11. Formulir rujukan
1. Pasien imunodefisien Referensi
2. Terdapat dugaan infeksi jamur 1. Fokkens, W et.al, 2012. European Position
3. Bila rinosinusitis terjadi ≥ 4 kali dalam 1 Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps.
tahun Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at:
4. Bila pasien tidak mengalami perbaikan http://www.rhinologyjournal.com [Accessed
setelah pemberian terapi awal yang adekuat June 24, 2014]. (Fokkens, 2012)
setelah 4 minggu.
5. Bila ditemukan kelainan anatomis 2. Departemen Ilmu Telinga Hidung
ataupun dugaan faktor yang memerlukan Tenggorokan Bedah Kepala – Leher
tatalaksana oleh spesialis THT, misalnya: FKUI / RSCM. Panduan Pelayanan Medis
deviasi septum, polip nasal, atau tumor. Rinosinusitis.

Sinusitis Dentogenik 3. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian


Clinical Practice Guidelines forAcute and
1. Eradikasi fokus infeksi, misal: ekstraksi gigi Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, &
2. Irigasi sinus maksila Clinical Immunology, 71, pp.1-38.
3. Antibiotik Available at:
http://www.aacijournal.com/content/7/1/2
Prognosis
[Accessed June 6,2014]. (Desrosier et.al,
Rinosinusitis Akut 2011)

1. Ad vitam : Bonam 4. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis


2. Ad functionam : Bonam and Rhinosinusitis in Adults: Treatment.
3. Ad sanationam : Bonam UpToDate Wolters Kluwer Health. Available
at: www.uptodate.com [Accessed June 6,
Rinosinusitis Kronis 2014]. (Hwang & Getz,2014)
1. Ad vitam : Bonam 5. Chow, AW et.al, 2012. IDSA Clinical Practice
2. Ad functionam : Dubia ad bonam Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam in Children and Adults. Clinical Infectious
Sinusitis Dentogenik Diseases, pp.e1-e41. Available at: http://cid.
oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014].
1. Ad vitam : Bonam (Chow et.al, 2012)
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam 6. Fagnan, LJ, 1998. Acute Sinusitis: A Cost-
Effective Approach to Diagnosis and
Peralatan Treatment. American Family Physician,
58(8), pp.1795-1802. Available at: http://
1. Termometer
www.aafp.org/afp/1998/1115/p1795.html
2. Spekulum hidung
[Accessed June 6, 2014]. (Fagnan, 1998)
3. Kaca rinoskop posterior
4. Kassa steril
5. Lampu kepala
6. Lampu Bunsen / spiritus dan korek api

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 29


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

K. KULIT

1. MILIARIA
No. ICPC-2
No. ICD-10 : S92 Sweat gland disease
: L74.3 Miliaria, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
1. Miliaria kristalina
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi a. Terdiri atas vesikel miliar (1-2 mm), sub
keringat yang ditandai oleh adanya vesikel korneal tanpa tanda inflamasi, mudah
milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah biang pecah dengan garukan, dan deskuamasi
keringat, keringat buntet, liken tropikus, dalam beberapa hari.
prickle heat. Berdasarkan survey yang
b. Predileksi pada badan yang tertutup
dilakukan di Jepang didapatkan 5000 bayi
pakaian.
baru lahir menderita miliaria. Survey tersebut
mengungkapkan bahwa miliaria kristalina terjadi c. Gejala subjektif ringan dan tidak
pada 4,5% nenonatus dengan usia rata-rata 1 memerlukan pengobatan.
minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% 2. Milaria rubra
neonatus dengan usia rata-rata 11-14 hari. a. Jenis tersering, terdiri atas vesikel
Dari sebuah survey yang dilakukan di Iran miliar atau papulo vesikel di atas
ditemukan insiden miliaria pada 1,3% bayi dasar eritematosa sekitar lubang
baru lahir. Miliaria umumnya terjadi di daerah keringat, tersebar diskret.
tropis dan banyak diderita pada mereka yang
baru saja pindah dari daerah yang beriklim b. Gejala subjektif gatal dan pedih pada di
sedang ke daerah yang beriklim tropis. daerah predileksi.

Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 11.1 Miliaria rubra

Keluhan yang dirasakan adalah gatal yang


disertai timbulnya vesikel atau bintil, terutama
muncul saat berkeringat, pada lokasi predileksi,
kecuali pada miliaria profunda.
Faktor Risiko
1. Tinggal di lingkungan tropis, panas,
kelembaban yang tinggi.
2. Pemakaian baju terlalu ketat.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Miliaria profunda
Sederhana (Objective)
a. Merupakan kelanjutan miliaria rubra,
Pemeriksaan Fisik berbentuk papul putih keras berukuran
1-3 mm, mirip folikulitis, dapat
Tanda patognomonis
disertai pustul.
Tergantung pada jenis atau klasifikasi miliaria. b. Predileksi pada badan dan ekstremitas.
Klasifikasi miliaria :

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar 11.2 Miliaria profunda Bedak kocok: likuor faberi atau bedak
kocok yang mengandung kalamin dan
antipruritus lain (mentol dan kamfora)
diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu.
Lanolin topikal atau bedak salisil 2%
dibubuhi mentol ¼-2% sekaligus
diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu.
Terapi berfungsi sebagai antipruritus
untuk menghilangkan dan mencegah
timbulnya miliaria profunda.
b. Sistemik (bila gatal dan bila diperlukan)
Antihistamin sedatif: klorfeniramin
4. Miliaria pustulosa Berasal dari miliaria
maleat 3 x 4 mg per hari selama 7
rubra, dimana vesikelnya berubah
hari atau setirizin 1 x 10 mg per hari
menjadi pustul.
selama 7 hari
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan. Antihistamin non sedatif: loratadin 1
Penegakan Diagnostik (Assessment) x 10 mg per hari selama 7 hari.

Diagnosis Klinis Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan


dan pemeriksaaan fisik. penunjang.

Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi

Campak / morbili, Folikulitis, Varisela, Edukasi dilakukan dengan memberitahu


Kandidiasis kutis, Erupsi obat morbiliformis keluarga agar dapat membantu pasien untuk:

Komplikasi 1. Menghindari kondisi hidrasi berlebihan


atau membantu pasien untuk memakai
Infeksi sekunder pakaian yang sesuai dengan kondisinya.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Menjaga ventilasi udara di dalam rumah.
3. Menghindari banyak berkeringat.
Penatalaksanaan
4. Memilih lingkungan yang lebih sejuk dan
Prinsipnya adalah mengurangi pruritus, menekan sirkulasi udara (ventilasi) cukup.
inflamasi, dan membuka retensi keringat.
5. Mandi air dingin dan memakai sabun.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:
Kriteria Rujukan
1. Melakukan modifikasi gaya hidup, yaitu:
a. Memakai pakaian yang tipis dan dapat Tidak ada indikasi rujukan
menyerap keringat. Peralatan
b. Menghindari panas dan kelembaban
yang berlebihan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit miliaria.
c. Menjaga kebersihan kulit
d. Mengusahakan ventilasi yang baik Prognosis

2. Memberikan farmakoterapi, seperti: Prognosis umumnya bonam, pasien dapat


a. Topikal sembuh tanpa komplikasi.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 29


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Referensi 3. Levin, N.A. 2014. Dermatologic


manifestation of miliaria. Medscape. May 21,
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu 2014. http://
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
emedicine.medscape.com/article/1070840-
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran overview#a0199
Universitas Indonesia.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
Jakarta.
Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.

2. VERUKA VULGARIS
No. ICPC-2: S03Warts
No. ICD-10: B07 Viral warts
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan sepanjang goresan (fenomena Koebner).


Veruka vulgaris merupakan hiperplasia epidermis Pemeriksaan Penunjang
yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus
(HPV) tipe tertentu. Sinonim penyakit ini adalah Tidak diperlukan
kutil atau common wart. Penularan melalui
Gambar 11.3 Veruka vulgaris
kontak langsung dengan agen penyebab. Veruka
ini sering dijumpai pada anak-anak dan remaja.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kutil pada kulit dan mukosa. Faktor
Risiko
1. Biasanya terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa sehat.
2. Pekerjaan yang berhubungan dengan
daging mentah.
3. Imunodefisiensi. Penegakan Diagnosis (Assessment)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis Klinis


Sederhana (Objective) Diagnosis klinis dapat ditambahkan sesuai
Pemeriksaan Fisik dengan bentuk klinis atau lokasi, yaitu:
1. Veruka vulgaris
Tanda Patognomonis
2. Veruka Plana
Papul berwarna kulit sampai keabuan 3. Veruka Plantaris
dengan permukaan verukosa. Papul ini dapat
dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku. Apabila Diagnosis Banding
permukaannya rata, disebut dengan veruka Kalus, Komedo, Liken planus, Kondiloma
Plana. Dengan goresan dapat timbul akuminatum, Karsinoma sel skuamosa
autoinokulasi

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan


Tatalaksana Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit veruka vulgaris.
1. Pasien harus menjaga kebersihan kulit.
2. Pengobatan topikal dilakukan dengan Prognosis
pemberian bahan kaustik, misalnya dengan
Pada 90% kasus sembuh spontan dalam 5 tahun
larutan AgNO3 25%, asam trikloroasetat
sehingga prognosis umumnya bonam.
50% atau asam salisilat 20% - 40%.
Komplikasi Referensi

Efek samping dari penggunaan bahan kaustik 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
dapat menyebabkan ulkus. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Konseling dan Edukasi Universitas Indonesia.
Edukasi pasien bahwa penyakit ini seringkali 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
residif walaupun diberi pengobatan yang 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
adekuat. Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.
Kriteria Rujukan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Rujukan sebaiknya dilakukan apabila: Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
1. Diagnosis belum dapat ditegakkan. Jakarta.
2. Tindakan memerlukan anestesi/sedasi.

3. HERPES ZOSTER
No. ICPC-2: S70 Herpes Zoster
No. ICD-10: B02.9 Zoster without complication
Tingkat Kemampuan Herpes Zoster tanpa komplikasi 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Herpes Zoster adalah infeksi kulit dan mukosa Keluhan
yang disebabkan oleh virus Varisela-zoster.
Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang Nyeri radikular dan gatal terjadi sebelum erupsi.
terjadi setelah infeksi primer. Herpes Zoster Keluhan dapat disertai dengan gejala prodromal
jarang terjadi pada anak- anak dan dewasa sistemik berupa demam, pusing, dan malaise.
muda, kecuali pada pasien muda dengan Setelah itu timbul gejala kulit kemerahan
AIDS, limfoma, keganasan, penyakit yang dalam waktu singkat menjadi vesikel
imunodefisiensi dan pada pasien yang berkelompok dengan dasar eritem dan edema.
menerima transplantasi sumsum tulang atau Faktor Risiko
ginjal. Penyakit ini terjadi kurang dari 10%
pada pasien yang berusia kurangdari 20 tahun 1. Umumnya terjadi pada orang dewasa,
dan hanya 5% terjadi pada pasien yang berusia terutama orang tua.
kurang dari 15 tahun. Insiden herpes zoster 2. Imunodefisiensi
meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Prevalensi penyakit ini pada pria dan wanita
sama.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 29


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang hanya berlangsung dalam waktu singkat
Sederhana (Objective) dan kelainan kulit hanya berupa beberapa
vesikel dan eritem.
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Banding
Sekelompok vesikel dengan dasar eritem yang
terletak unilateral sepanjang distribusi saraf 1. Herpes simpleks
spinal atau kranial. Lesi bilateral jarang ditemui, 2. Dermatitis venenata
namun seringkali, erupsi juga terjadi pada 3. Pada saat nyeri prodromal, diagnosis dapat
dermatom di dekatnya. menyerupai migrain, nyeri pleuritik, infark
miokard, atau apendisitis.
Gambar 11.4 Herpes zoster
Komplikasi
1. Neuralgia pasca-herpetik
2. Ramsay Hunt Syndrome: herpes pada
ganglion genikulatum, ditandai dengan
gangguan pendengaran, keseimbangan dan
paralisis parsial.
3. Pada penderita dengan imunodefisiensi
(HIV, keganasan, atau usia lanjut), vesikel
sering menjadi ulkus dengan jaringan
nekrotik dapat terjadi infeksi sistemik.
4. Pada herpes zoster oftalmikus dapat
Pemeriksaan Penunjang terjadi ptosis paralitik, keratitis, skleritis,
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan uveitis, korioretinitis, serta neuritis optik.
penunjang. 5. Paralisis motorik.

Penegakan Diagnosis (Assessment) Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Diagnosis Klinis Penatalaksanaan


1. Terapi suportif dilakukan dengan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk menghindari gesekan kulit yang
mengakibatkan pecahnya vesikel, pemberian
diperhatikan:
nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak
1. Herpes zoster hemoragik, yaitu jika dengan orang lain.
vesikel mengandung darah. 2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan
2. Herpes zoster generalisata, yaitu kelainan indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat
kulit unilateral dan segmental ditambah menyebabkan Reye’s syndrome.
kelainan kulit generalisata berupa vesikel 3. Pengobatan topikal:
soliter yang berumbilikasi. Keduanya a. Stadium vesikel: bedak salisil 2% atau
merupakan tanda bahwa pasien mengalami bedak kocok kalamin agar vesikel
imunokompromais. tidak pecah.
3. Herpes zoster oftalmikus, yaitu infeksi b. Apabila erosif, diberikan kompres
cabang pertama nervus trigeminus sehingga terbuka. Apabila terjadi ulserasi, dapat
menimbulkan kelainan pada mata, di dipertimbangkan pemberian salep
samping itu juga cabang kedua dan ketiga antibiotik.
menyebabkan kelainan kulit pada daerah 4. Pengobatan antivirus oral, antara lain
persarafannya. dengan :
4. Herpes zoster abortif, yaitu penyakit yang a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis maksimal Peralatan


800 mg), selama 7 hari, atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
c. Pemberian obat tersebut selama 7-10 mendiagnosis penyakit
hari dan efektif diberikan pada 24 jam Herpes Zoster.
pertama setelah timbul lesi.
Prognosis
Konseling dan Edukasi
Pasien dengan imunokompeten, prognosis
Konseling dan edukasi dilakukan kepada umumnya adalah bonam, sedangkan pasien
pasien mengenai: dengan imunokompromais, prognosis menjadi
1. Edukasi tentang perjalanan penyakit Herpes dubia ad bonam.
Zoster.
Referensi
2. Edukasi bahwa lesi biasanya membaik
dalam 2-3 minggu pada individu 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
imunokompeten. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
3. Edukasi mengenai seringnya komplikasi Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
neuralgia pasca-herpetik. Kriteria Rujukan Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Pasien dirujuk apabila:
2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
setelah terapi. Saunders Elsevier.
2. Terjadi pada pasien bayi, anak dan 3. 3. Janniger, C.K. Eastern, J.S., Hispenthal,
geriatri (imunokompromais). D.R., Moon, J.E. 2014. Herper zoster.
3. Terjadi komplikasi. Medscape June 7, 2014.
4. Terdapat penyakit penyerta yang http://emedicine.medscape.
menggunakan multifarmaka. com/article/1132465 overview#a0156
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.

4. HERPES SIMPLEKS
No. ICPC-2 : S71 Herpes Simplex
No. ICD-10 : B00.9 Herpesviral infection, unspecified
Tingkat Kemampuan Herpes Simpleks tanpa komplikasi 4A

Masalah Kesehatan
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas
Infeksi akut yang disebabkan oleh Virus Herpes seksual.
Simpleks tipe 1 atau tipe 2, yang ditandai oleh
Diperkiraan ada 536 juta orang yang berusia
adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit
15-49 tahun yang terinfeksi HSV-2 di seluruh
yang sembab dan eritematosa pada daerah
dunia pada tahun 2003 atau sekitar16% dari
mukokutan. Penularan melalui kontak langsung
populasi dunia pada rentang usia tersebut.
dengan agen penyebab. Infeksi primer oleh
Prevalensi penyakit ini lebih tinggi pada wanita
Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 biasanya
dibandingkan pada pria dan umumnya lebih
dimulai pada usia anak-anak, sedangkan HSV
tinggi di negara berkembang daripada di negara
tipe 2 biasanya terjadi pada dekade II atau
maju.
III,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 29


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 11.5 Herpes simpleks


Keluhan
Infeksi primer HSV-1 biasanya terjadi pada
anak dan subklinis pada 90% kasus, biasanya
ditemukan perioral. Pada 10% sisanya, dapat
terjadi gingivostomatitis akut.
Infeksi primer HSV-2 terjadi setelah kontak
seksual pada remaja dan dewasa, menyebabkan
vulvovaginitis akut dan atau peradangan pada
kulit batang penis. Infeksi primer biasanya
disertai dengan gejala sistemik seperti Gambar 11.6 Herpes simplek pada kelamin
demam, malaise, mialgia, nyeri kepala, dan
adenopati regional. Infeksi HSV-2 dapat juga
mengenai bibir.
Infeksi rekuren biasanya didahului gatal atau
sensasi terbakar setempat pada lokasi yang
sama dengan lokasi sebelumnya. Prodromal
ini biasanya terjadi mulai dari 24 jam sebelum
timbulnya erupsi.
Faktor Risiko
1. Individu yang aktif secara seksual.
2. Imunodefisiensi. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
Sederhana (Objective) penunjang.
Pemeriksaan Fisik Penegakan Diagnosis (Assessment)
Papul eritema yang diikuti oleh munculnya Diagnosis Klinis
vesikel berkelompok dengan dasar eritem.
Herpes simpleks tipe 1
Vesikel ini dapat cepat menjadi keruh, yang
Herpes simpleks tipe 2
kemudian pecah, membasah, dan berkrusta.
Kadang-kadang timbul erosi/ulkus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk
Tempat predileksi adalah di daerah pinggang ke
diperhatikan:
atas terutama daerah mulut dan hidung untuk
HSV-1, dan daerah pinggang ke bawah terutama 1. Infeksi primer.
daerah genital untuk HSV-2. Untuk infeksi 2. Fase laten: tidak terdapat gejala klinis,
sekunder, lesi dapat timbul pada tempat yang tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan
sama dengan lokasi sebelumnya. tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens.
Diagnosis Banding
1. Impetigo vesikobulosa.
2. Ulkus genitalis pada penyakit menular
seksual. Komplikasi

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Dapat terjadi pada individu dengan gangguan Kriteria Rujukan


imun, berupa:
Pasien dirujuk apabila:
1. Herpes simpleks ulserativa kronik.
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari
2. Herpes simpleks mukokutaneus akut
setelah terapi.
generalisata.
3. Infeksi sistemik pada hepar, paru, 2. Terjadi pada pasien bayi dan geriatrik
kelenjar adrenal, dan sistem saraf pusat. (imunokompromais).
4. Pada ibu hamil, infeksi dapat menular
pada janin, dan menyebabkan neonatal 3. Terjadi komplikasi.
herpes yang sangat berbahaya. 4. Terdapat penyakit penyerta yang
Penatalaksana Komprehensif (Plan) menggunakan multifarmaka.

Penatalaksanaan Peralatan

1. Terapi diberikan dengan antiviral, antara Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
lain: mendiagnosis penyakit herpes simpleks.
a. Asiklovir, dosis 5 x 200 mg/hari selama Prognosis
5 hari, atau
b. Valasiklovir, dosis 2 x 500 mg/hari Prognosis umumnya bonam, namun quo ad
selama 7-10 hari. sanationam adalah dubia ad malam karena
2. Pada herpes genitalis: edukasi tentang terdapat risiko berulangnya keluhan serupa.
pentingnya abstinensia pasien harus tidak
melakukan hubungan seksual ketika Referensi
masih ada lesi atau ada gejala prodromal. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
3. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
menyebabkan Reye’s syndrome. Universitas Indonesia.
Konseling dan Edukasi 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Edukasi untuk infeksi herpes simpleks 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
merupakan infeksi swasirna pada populasi Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
imunokompeten. Edukasi untuk herpes genitalis Saunders Elsevier.
ditujukan terutama terhadap pasien dan 3. 3. Looker, K. J., Garnett, G. P. & Schmid, G. P.
pasangannya, yaitu berupa: 2008. An Estimate Of The Global Prevalence
1. Informasi perjalanan alami penyakit ini, And Incidence Of Herpes Simplex Virus
termasuk informasi bahwa penyakit ini Type 2 Infection. World Health Organization.
menimbulkan rekurensi. Bulletin Of The World Health Organization,
2. Tidak melakukan hubungan seksual ketika 86, 805-12, A. June 8, 2014. http://
masih ada lesi atau gejala prodromal. search.proquest.com/docview/229661081/
3. Pasien sebaiknya memberi informasi kepada fulltextPDF?acc ountid=17242
pasangannya bahwa ia memiliki infeksi HSV. 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
4. Transmisi seksual dapat terjadi pada masa Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
asimtomatik. Jakarta.
5. Kondom yang menutupi daerah yang
terinfeksi, dapat menurunkan risiko
transmisi dan sebaiknya digunakan
dengan konsisten.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 30


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. MOLUSKUM KONTAGIOSUM
No. ICPC-2: S95 Molluscum contagiosum No. ICD-10: B08.1 Molluscum contagiosum
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gambar 11.7 Moluskum kontagiosum
Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus poks yang menginfeksi
sel epidermal. Penyakit ini terutama
menyerang anak dan kadang-kadang juga
orang dewasa. Pada orang dewasa, penyakit ini
digolongkan kedalam penyakit akibat hubungan
seksual. Penularan melalui kontak langsung
dengan agen penyebab.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
Adanya kelainan kulit berupa papul miliar. Masa
inkubasi berlangsung satu sampai beberapa Bila diperlukan, melakukan tindakan enukleasi
minggu. pada papul untuk menemukan badan moluskum.
Faktor Risiko Penegakan Diagnosis (Assessment)
1. Terutama menyerang anak dan kadang- Diagnosis Klinis
kadang juga orang dewasa.
2. Imunodefisiensi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Diagnosis Banding

Pemeriksaan Fisik Komedo, Miliaria, Karsinoma sel basal nodular

Papul miliar, kadang-kadang lentikular dan Komplikasi


berwarna putih seperti lilin, berbentuk kubah Lesi dapat mengalami infeksi sekunder. Jika
yang kemudian di tengahnya terdapat lekukan moluskum mengenai kelopak mata (jarang
(delle). Jika dipijat akan tampak keluar massa terjadi), dapat terjadi konjungtivitis kronis. Pada
yang berwarna putih seperti nasi. Lokasi individu dengan AIDS, moluskum seringkali tidak
predileksi adalah daerah muka, badan, dan mudah dikenali,banyak, dan penatalaksanaannya
ekstremitas, sedangkan pada orang dewasa di membutuhkan ketrampilan khusus.
daerah pubis dan genitalia eksterna. Kadang-
kadang dapat timbul infeksi sekunder Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
sehingga timbul supurasi.
Penatalaksanaan
1. Pasien perlu menjaga higiene kulit.
2. Pengobatan dilakukan dengan
mengeluarkan massa yang mengandung
badan moluskum dengan menggunakan

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

alat seperti ekstraktor komedo, jarum Prognosis


suntik, atau alat kuret kulit.
Prognosis pada umumnya bonam karena
Konseling dan Edukasi penyakit ini merupakan penyakit yang self-
limiting.
Penyebaran dalam keluarga sangat jarang
terjadi. Dengan demikian, anggota keluarga Referensi
tidak perlu terlalu khawatir terhadap
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
anak/individu dengan penyakit ini.
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Kriteria Rujukan Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
1. Tidak ditemukan badan moluskum.
2. Terdapat penyakit komorbiditas yang 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
terkait dengan kelainan hematologi. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
3. Pasien HIV/AIDS. Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.
Peralatan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
1. Lup
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
2. Ekstraktor komedo, jarum suntik atau alat Jakarta.
kuret kulit

6. REAKSI GIGITAN SERANGGA


No. ICPC-2: S12 Insect bite/sting
No. ICD-10: T63.4 Venom of other arthropods
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
14 hari setelah gigitan berlangsung. Keluhan
Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik
adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema,
kulit akibat gigitan (bukan terhadap sengatan/ serta dapat berkembang menjadi suatu ansietas,
stings) dan kontak dengan serangga. Gigitan disorientasi, kelemahan, GI upset (cramping,
hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, diarrhea, vomiting), dizziness, sinkop bahkan
bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi hipotensi dan sesak napas. Gejala dari delayed
peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik. reaction mirip seperti serum sickness, yang
meliputi demam, malaise, sakit kepala, urtikaria,
Hasil Anamnesis (Subjective) limfadenopati dan poliartritis.
Keluhan Faktor Risiko
Pasien datang dengan keluhan gatal, rasa tidak 1. Lingkungan tempat tinggal yang banyak
nyaman, nyeri, kemerahan, nyeri tekan, hangat serangga.
atau bengkak pada daerah tubuh yang digigit, 2. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
umumnya tidak tertutup pakaian. 3. Riwayat alergi.
Kebanyakan penderita datang sesaat setelah 4. Riwayat alergi makanan.
merasa digigit serangga, namun ada pula yang
datang dengan delayed reaction, misalnya 10-

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 30


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang jam.


Sederhana (Objective) 2. Reaksi tipe lambat: Pada anak terjadi
Pemeriksaan Fisik lebih dari 20 menit sampai beberapa jam
setelah gigitan serangga. Pada orang
Tanda Patognomonis dewasa dapat muncul 3-5 hari setelah
gigitan.
1. Urtika dan papul timbul secara simultan di
3. Reaksi tidak biasa: Sangat segera, mirip
tempat gigitan, dikelilingi zona eritematosa.
anafilaktik.
2. Di bagian tengah tampak titik (punctum)
bekas tusukan/gigitan, kadang hemoragik, Klasifikasi berdasarkan bentuk klinis:
atau menjadi krusta kehitaman.
3. Bekas garukan karena gatal. 1. Urtikaria iregular.
2. Urtikaria papular.
Dapat timbul gejala sistemik seperti takipneu, 3. Papulo-vesikular, misalnya pada prurigo.
stridor, wheezing, bronkospasme, hiperaktif 4. Punctum (titik gigitan), misalnya pada
peristaltic, dapat disertai tanda-tanda hipotensi pedikulosis kapitis atau phtirus pubis.
orthostatik
Diagnosis Banding
Pada reaksi lokal yang parah dapat timbul
eritema generalisata, urtikaria, atau edema Prurigo
pruritus, sedangkan bila terdapat reaksi Komplikasi
sistemik menyeluruh dapat diikuti dengan reaksi
anafilaksis. 1. Infeksi sekunder akibat garukan.
2. Bila disertai keluhan sistemik, dapat
Gambar 11.8 Reaksi Gigitan serangga terjadi syok anafilaktik hingga kematian.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Tatalaksana
1. Prinsip penanganan kasus ini adalah dengan
mengatasi respon peradangan baik yang
bersifat lokal maupun sistemik. Reaksi
peradangan lokal dapat dikurangi dengan
sesegera mungkin mencuci daerah gigitan
dengan air dan sabun, serta kompres es.
2. Atasi keadaan akut terutama pada
Pemeriksaan Penunjang angioedema karena dapat terjadi obstruksi
saluran napas. Penanganan pasien dapat
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan dilakukan di Unit Gawat Darurat. Bila disertai
penunjang. obstruksi saluran napas diindikasikan
pemberian epinefrin sub kutan. Dilanjutkan
Penegakan Diagnosis (Assessment)
dengan pemberian kortikosteroid prednison
Diagnosis Klinis 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis
diturunkan 5-10 mg/hari.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi berdasarkan Dalam kondisi stabil, terapi yang dapat diberikan
waktu terjadinya: yaitu:
a. Sistemik
1. Reaksi tipe cepat: Terjadi segera hingga
• Antihistamin sedatif: klorfeniramin
20 menit setelah gigitan, bertahan sampai
maleat 3 x 4 mg per hari selama 7 hari
1-3

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 7 Peralatan


hari.
• Antihistamin non sedatif: loratadin 1 x 10 1. Alat resusitasi
mg per hari selama 7 hari. 2. Tabung dan masker oksigen
b. Topikal Prognosis
Kortikosteroid topikal potensi sedang-
kuat: misalnya krim mometason furoat Prognosis umumnya bonam. Quo ad sanationam
0,1% atau krim betametason valerat 0,5% untuk reaksi tipe cepat dan reaksi tidak biasa
diberikan selama 2 kali sehari selama 7 adalah dubia ad malam, sedangkan reaksi tipe
hari. lambat adalah bonam.

Konseling dan Edukasi Referensi

Keluarga diberikan penjelasan mengenai: 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
1. Minum obat secara teratur. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
2. Menjaga kebersihan lingkungan tempat Universitas Indonesia.
tinggal, memakai baju berlengan panjang 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
dan celana panjang, pada beberapa kasus 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
boleh memakai mosquito repellent jika Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
diperlukan, dan lain-lain agar terhindar dari Saunders Elsevier.
gigitan serangga. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Kriteria rujukan
Jakarta
Jika kondisi memburuk, yaitu dengan makin
bertambahnya patch eritema, timbul bula, atau
disertai gejala sistemik atau komplikasi.

7. SKABIES
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S72 Scabies/other acariasis
: B86 Scabies
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
penderita skabies, seperti menjabat tangan,
Skabies adalah penyakit yang disebabkan hubungan seksual, atau tidur bersama.
infestasi dan sensitisasi kulit oleh tungau 2. Kontak tidak langsung (melalui benda),
Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini seperti penggunaan perlengkapan tidur
berhubungan erat dengan higiene yang buruk. bersama dan saling meminjam pakaian,
Prevalensi skabies tinggi pada populasi yang handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidak
padat. Dari hasil penelitian di Brazil, prevalensi memiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga
skabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh harus berbagi dengan temannya.
perkotaan yang padat penduduk daripada di Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap
masyarakat nelayan dimana mereka tinggal di air dan sabun dan tetap hidup bahkan setelah
tempat yang lebih luas. mandi dengan air panas setiap.
Penularan dapat terjadi karena: Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Kontak langsung kulit dengan kulit Gejala klinis:

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 30


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

1. Pruritus nokturna, yaitu gatal yang hebat Penegakan Diagnosis (Assessment)


terutama pada malam hari atau saat
Diagnosis Klinis
penderita berkeringat.
2. Lesi timbul di stratum korneum yang tipis, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
seperti di sela jari, pergelangan tangan dan pemeriksaan fisik. Terdapat 4 tanda kardinal
dan kaki, aksila, umbilikus, areola mammae untuk diagnosis skabies, yaitu:
dan di bawah payudara (pada wanita) serta
genital eksterna (pria). 1. Pruritus nokturna.
2. Penyakit menyerang manusia secara
Faktor Risiko: berkelompok.
1. Masyarakat yang hidup dalam kelompok 3. Adanya terowongan (kunikulus) pada
yang padat seperti tinggal di asrama atau tempat-tempat predileksi yang berwarna
pesantren. putih atau keabu-abuan, berbentuk garis
2. Higiene yang buruk. lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjang
3. Sosial ekonomi rendah seperti di panti 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan
asuhan, dan sebagainya. papul atau vesikel.
4. Hubungan seksual yang sifatnya 4. Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan
promiskuitas. mikroskopis.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis ditegakkan dengan menemukan 2 dari
Sederhana (Objective) 4 tanda tersebut.

Pemeriksaan Fisik Diagnosis Banding

Lesi kulit berupa terowongan (kanalikuli) Skabies adalah penyakit kulit yang disebut
berwarna putih atau abu- abu dengan panjang dengan the great imitator dari kelainan kulit
rata-rata 1 cm. Ujung terowongan terdapat dengan keluhan gatal. Diagnosis bandingnya
papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, adalah: Pioderma, Impetigo, Dermatitis,
maka akan terbentuk pustul, ekskoriasi, dan Pedikulosis korporis
sebagainya.Pada anak-anak, lesi lebih sering Komplikasi
berupa vesikel disertai infeksi sekunder akibat
garukan sehingga lesi menjadi bernanah. Infeksi kulit sekunder terutama oleh S. aureus
sering terjadi, terutama pada anak. Komplikasi
Gambar 11.9 Skabies skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan
prestasi belajar.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Melakukan perbaikan higiene diri dan
lingkungan, dengan:
a. Tidak menggunakan peralatan pribadi
secara bersama-sama dan alas tidur
diganti bila ternyata pernah
digunakan oleh penderita skabies.
b. Menghindari kontak langsung dengan
Pemeriksaan Penunjang
penderita skabies.
Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit 2. Terapi tidak dapat dilakukan secara
untuk menemukan tungau. individual melainkan harus serentak dan

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

menyeluruh pada seluruh kelompok orang Peralatan


yang ada di sekitar penderita skabies. Terapi
1. Lup
diberikan dengan salah satu obat topikal
(skabisid) di bawah ini: 2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
a. Salep 2-4 dioleskan di seluruh tubuh, sediaan langsung kerokan kulit.
selama 3 hari berturut- turut, dipakai Prognosis
setiap habis mandi.
b. Krim permetrin 5% di seluruh tubuh. Prognosis umumnya bonam, namun tatalaksana
Setelah 10 jam, krim permetrin harus dilakukan juga terhadap lingkungannya.
dibersihkan dengan sabun. Referensi
Terapi skabies ini tidak dianjurkan pada anak 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
< 2 tahun. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Konseling dan Edukasi Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya 2. Heukelbach, J. & Feldmeier, H. 2006.
eradikasi skabies bisa melibatkan semua Scabies. The Lancet, 367, 1767-74. June 8,
pihak. Bila infeksi menyebar di kalangan santri 2014. http://
di sebuah pesantren, diperlukan keterbukaan Search.Proquest.Com/Docview/199054155/
dan kerjasama dari pengelola pesantren. Bila Fulltextpdf/Afbf4c2fd1bd4016pq/6?Accoun
sebuah barak militer tersebar infeksi, mulai dari tid=17242
prajurit sampai komandan barak harus bahu 3. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
membahu membersihkan semua benda yang 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
berpotensi menjadi tempat penyebaran Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
penyakit. Saunders Elsevier.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kriteria Rujukan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Pasien skabies dirujuk apabila keluhan masih Jakarta.
dirasakan setelah 1 bulan paska terapi.

8. PEDIKULOSIS KAPITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S73 Pediculosis/skin infestation other
: B85.0 Pediculosis due to Pediculus humanus capitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
yang sangat panjang pada wanita).
Pedikulosis kapitis adalah infeksi dan
Penularan melalui kontak langsung dengan
infestasi kulit kepala dan rambut manusia
agen penyebab, melalui:
yang disebabkan oleh kutu kepala Pediculus
humanus var capitis. Penyakit ini terutama 1. Kontak fisik erat dengan kepala penderita,
menyerang anak-anak usia muda dan cepat seperti tidur bersama.
meluas dalam lingkungan hidup yang padat, 2. Kontak melalui fomite yang terinfestasi,
misalnya di asrama atau panti asuhan. Ditambah misalnya pemakaian bersama aksesori
pula dalam kondisi higiene yang tidak baik, kepala, sisir, dan bantal juga dapat
misalnya jarang membersihkan rambut atau menyebabkan kutu menular.
rambut yang relatif susah dibersihkan (rambut

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 30


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding


Keluhan Tinea kapitis, Impetigo krustosa (pioderma),
Dermatitis seboroik
Gejala yang paling sering timbul adalah gatal
di kepala akibat reaksi hipersensitivitas Komplikasi
terhadap saliva kutu saat makan maupun
Infeksi sekunder bila pedikulosis berlangsung
terhadap feses kutu. Gejala dapat pula
kronis.
asimptomatik
Faktor Risiko Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

1. Status sosioekonomi yang rendah. Penatalaksanaan


2. Higiene perorangan yang rendah
Pengobatan bertujuan untuk memusnahkan
3. Prevalensi pada wanita lebih tinggi
semua kutu dan telur serta mengobati infeksi
dibandingkan pada pria, terutama pada
sekunder.
populasi anak usia sekolah.
1. Sebaiknya rambut pasien dipotong
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
sependek mungkin, kemudian disisir
Sederhana (Objective)
dengan menggunakan sisir serit, menjaga
Pemeriksaan Fisik kebersihan kulit kepala dan menghindari
Lesi kulit terjadi karena bekas garukan, yaitu kontak erat dengan kepala penderita.
bentuk erosi dan ekskoriasi. Bila terdapat infeksi 2. Pengobatan topikal merupakan terapi
sekunder oleh bakteri, maka timbul pus dan terbaik, yaitu dengan pedikulosid dengan
krusta yang menyebabkan rambut bergumpal, pengobatan Permetrin 1% dalam bentuk
disertai dengan pembesaran kelenjar getah cream rinse, dibiarkan selama 2 jam.
bening regional. Ditemukan telur dan kutu Pedikulosid sebaiknya tidak digunakan
yang hidup pada kulit kepala dan rambut. pada anak usia kurang dari 2 tahun. Cara
Telur P. humanus var. capitis paling sering penggunaan: rambut dicuci dengan
ditemukan pada rambut di daerah oksipital shampo, kemudian dioleskan losio/krim
dan retroaurikular. dan ditutup dengan kain. Setelah menunggu
Pemeriksaan Penunjang sesuai waktu yang ditentukan, rambut dicuci
kembali lalu disisir dengan sisir serit.
Tidak diperlukan.
3. Pada infeksi sekunder yang berat sebaiknya
Penegakan Diagnosis (Assessment) rambut dicukur, diberikan pengobatan
Diagnosis Klinis dengan antibiotik sistemik dan topikal
telebih dahulu, lalu diberikan obat di atas
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dalam bentuk shampo.
dan pemeriksaan fisik dengan menemukan kutu
atau telur kutu di kulit kepala dan rambut. Konseling dan Edukasi
Gambar 11.10 Telur Pediculus humanus capitis Edukasi keluarga tentang pedikulosis
penting untuk pencegahan. Kutu kepala dapat
ditemukan di sisir atau sikat rambut, topi,
linen, boneka kain, dan upholstered furniture,
walaupun kutu lebih memilih untuk berada
dalam jarak dekat dengan kulit kepala, sehingga
harus menghindari pemakaian alat-alat tersebut
bersama-sama. Anggota keluarga dan teman

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

bermain anak yang terinfestasi harus Referensi


diperiksa, namun terapi hanya diberikan pada
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
yang terbukti mengalami infestasi. Kerjasama
semua pihak dibutuhkan agar eradikasi dapat Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
tercapai.
Universitas Indonesia.
Kriteria Rujukan 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
Apabila terjadi infestasi kronis dan tidak sensitif Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
terhadap terapi yang diberikan. Saunders Elsevier.
Peralatan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik.
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk Jakarta.
mendiagnosis penyakit pedikulosis kapitis.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.

9. PEDIKULOSIS PUBIS
No. ICPC-2 No.ICD-10
: S 73 Pediculosis/skin infestation other
: B 85.3 Pthiriasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko:
Pedikulosis pubis adalah penyakit infeksi 1. Aktif secara seksual
pada rambut di daerah pubis dan sekitarnya 2. Higiene buruk
yang disebabkan oleh Phthirus pubis. Penyakit 3. Kontak langsung dengan penderita
ini menyerang orang dewasa dan dapat
digolongkan dalam penyakit akibat hubungan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
seksual dan menular secara langsung. Infeksi Sederhana (Objective)
juga bisa terjadi pada anak-anak yang berasal Pemeriksaan Fisik
dari orang tua mereka dan terjadi di alis, atau
bulu mata. Pada inspeksi ditemukan bercak-bercak yang
berwarna abu-abu atau kebiruan yang disebut
Hasil Anamnesis (Subjective) makula serulae pada daerah pubis dan
Keluhan sekitarnya. Kutu dapat dilihat dengan mata
telanjang dan juga bisa didapatkan
Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat pembengkakan kelenjar getah bening sekitar.
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada.
Gejala patognomonik lainnya adalah adanya Pemeriksaan Penunjang
black dot yaitu bercak-bercak hitam yang Mencari telur atau bentuk dewasa P. pubis
tampak jelas pada celana dalam berwarna putih
yang dilihat penderita pada waktu bangun tidur. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Bercak hitam tersebut adalah krusta berasal Diagnosis Klinis
dari darah yang sering diinterpretasikan salah
Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
sebagai hematuria.
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 30


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar 11.11 Pedikulosis pubis 2014)


2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Guenther L. Pediculosis. Available from
http://e- medicine.medscape.com (10 Juni
2014)

Diagnosis Banding:
1. Dermatitis seboroik
2. Dermatomikosis
Komplikasi: -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pengobatan topikal :
emulsi benzil benzoat 25% yang dioleskan
dan didiamkan selama 24 jam. Pengobatan
diulangi 4 hari kemudian, jika belum sembuh
Rencana Tindak Lanjut :
Mitra seksual juga diperiksa dan diobati
Konseling dan Edukasi
1. Menjaga kebersihan badan
2. Sebaiknya rambut kelamin dicukur
3. Pakaian dalam direbus atau diseterika
Kriteria Rujukan : -
Peralatan
Tidak diperlukan perlatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit pedikulosis pubis.
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis.
Available from http://www.nejm.org/doi/
pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

10. DERMATOFITOSIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S74 Dermatophytosis
: B35 Dermatophytosis
B35.0 Tinea barbae and tinea capitis B35.1 Tinea unguium
B35.2 Tinea manuum B35.3 Tinea pedis B35.4 Tinea corporis B35.5 Tinea imbricate
B35.8 Other dermatophytoses

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di


Dermatofitosis adalah infeksi jamur Indonesia.
dermatofita yang memiliki sifat mencernakan Hasil Anamnesis (Subjective)
keratin di jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada Keluhan
epidermis, rambut, dan kuku. Penularan terjadi Pada sebagian besar infeksi dermatofita, pasien
melalui kontak langsung dengan agen datang dengan bercak merah bersisik yang
penyebab. Sumber penularan dapat berasal gatal. Adanya riwayat kontak dengan orang
dari manusia (jamur antropofilik), binatang yang mengalami dermatofitosis.
(jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur geofilik).
Faktor Risiko
Klasifikasi dermatofitosis yang praktis adalah
berdasarkan lokasi, yaitu antara lain: 1. Lingkungan yang lembab dan panas
2. Imunodefisiensi
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan 3. Obesitas
rambut kepala. 4. Diabetes Melitus
2. Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan
jenggot. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
3. Tinea kruris, pada daerah genitokrural, Sederhana (Objective)
sekitar anus, bokong, dan perut bagian
Pemeriksaan Fisik
bawah.
4. Tinea pedis et manum, pada kaki dan Gambaran umum:
tangan.
5. Tinea unguium, pada kuku jari tangan dan Lesi berbentuk infiltrat eritematosa, berbatas
kaki. tegas, dengan bagian tepi yang lebih aktif
6. Tinea korporis, pada bagian lain yang tidak daripada bagian tengah, dan konfigurasi
termasuk bentuk 5 tinea di atas. Bila terjadi polisiklik. Lesi dapat dijumpai di daerah kulit
di seluruh tubuh disebut dengan tinea berambut terminal, berambut velus (glabrosa)
imbrikata. dan kuku.

Tinea pedis banyak didapatkan pada orang yang Pemeriksaan Penunjang


dalam kehdupan sehari-hari banyak memakai Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan
sepatu tertutup disertai perawatan kaki yang mikroskopis dengan KOH, akan ditemukan
buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu hifa
atau sering basah. Tinea kruris merupakan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 31


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

panjang dan artrospora. 2. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan


topikal, yaitu dengan: antifungal topikal
Penegakan Diagnosis (Assessment)
seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau
Diagnosis Klinis terbinafin yang diberikan hingga lesi
hilang dan dilanjutkan 1-2 minggu
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis kemudian untuk mencegah rekurensi.
dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dilakukan 3. Untuk penyakit yang tersebar luas atau
pemeriksaan penunjang. resisten terhadap terapi topikal, dilakukan
Gambar 11.12 Dermatofitosis pengobatan sistemik dengan:
a. Griseofulvin dapat diberikan dengan
dosis 0,5-1 g per hari untuk orang
dewasa dan 0,25 – 0,5 g per hari untuk
anak- anak atau 10-25 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 2 dosis.
b. Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200
mg/hari; Itrakonazol: 100 mg/hari
atau Terbinafin: 250 mg/hari.
Pengobatan diberikan selama 10-14
hari pada pagi hari setelah makan.
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Banding Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan
Tinea Korporis : Dermatitis numularis, penyakit. Edukasi pasien dan keluarga juga
Pytiriasis rosea, Erythema untuk menjaga higiene tubuh, namun
annulare centrificum, penyakit ini bukan merupakan penyakit yang
Granuloma annulare berbahaya.

Tinea Kruris : Kandidiasis, Dermatitis Kriteria rujukan


intertrigo, Eritrasma Pasien dirujuk apabila:
Tinea Pedis : Hiperhidrosis, Dermatitis 1. Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari
kontak, Dyshidrotic eczema setelah terapi.
Tinea Manum : Dermatitis kontak iritan, 2. Terdapat imunodefisiensi.
Psoriasis 3. Terdapat penyakit penyerta yang
menggunakan multifarmaka.
Tinea Fasialis : Dermatitis seboroik,
Dermatitis kontak Peralatan

Komplikasi 1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Jarang ditemukan, dapat berupa infeksi bakterial KOH
sekunder.
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pasien dengan imunokompeten, prognosis
Penatalaksanaan umumnya bonam, sedangkan pasien dengan
1. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian imunokompromais, quo ad sanationamnya
handuk/pakaian secara bersamaan harus menjadi dubia ad bonam.
dihindari.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Referensi Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders


Elsevier.
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Universitas Indonesia. Jakarta.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
Clinical

11. PITIRIASIS VERSIKOLOR/ TINEA VERSIKOLOR


No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: B36.0 Pityriasis versicolor
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan bulat atau tidak beraturan dengan batas tegas


Tinea versikolor adalah penyakit infeksi pada atau tidak tegas. Skuama biasanya tipis seperti
superfisial kulit dan berlangsung kronis yang sisik dan kadangkala hanya dapat tampak
disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. dengan menggores kulit (finger nail sign).
Prevalensi penyakit ini tinggi pada daerah tropis Predileksi di bagian atas dada, lengan, leher,
yang bersuhu hangat dan lembab. perut, kaki, ketiak, lipat paha, muka dan kepala.
Hasil Anamnesis (Subjective) Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah
yang tertutup pakaian dan bersifat lembab.
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
Pasien pada umumnya datang berobat karena
tampak bercak putih pada kulitnya. Keluhan 1. Pemeriksaan lampu Wood menampakkan
gatal ringan muncul terutama saat pendaran (fluoresensi) kuning keemasan
berkeringat, namun sebagian besar pasien pada lesi yang bersisik.
asimptomatik. 2. Pemeriksaan mikroskopis sediaan kerokan
skuama lesi dengan KOH. Pemeriksaan ini
Faktor Risiko akan tampak campuran hifa pendek dan
spora-spora bulat yang dapat
1. Sering dijumpai pada dewasa muda
berkelompok (spaghetti and meatball
(kelenjar sebasea lebih aktif bekerja).
2. Cuaca yang panas dan lembab. appearance).
3. Tubuh yang berkeringat. Gambar 11.13 Tinea versikolor
4. Imunodefisiensi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Lesi berupa makula hipopigmentasi atau
berwarna-warni, berskuama halus, berbentuk

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 31


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penegakan Diagnosis (Assessment) tinggi (± 50% pasien). Infeksi jamur dapat


dibunuh dengan cepat tetapi membutuhkan
Diagnosis Klinis waktu berbulan-bulan untuk mengembalikan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pigmentasi ke normal. Untuk pencegahan,
dan pemeriksaan fisik. diusahakan agar pakaian tidak lembab dan tidak
berbagi dengan orang lain untuk penggunaan
Diagnosis Banding barang pribadi.
Vitiligo, Dermatitis seboroik, Pitiriasis alba, Kriteria Rujukan
Morbus hansen, Eritrasma
Sebagian besar kasus tidak memerlukan rujukan.
Komplikasi
Peralatan
Jarang terjadi.
1. Lup
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Penatalaksanaan KOH

1. Pasien disarankan untuk tidak Prognosis


menggunakan pakaian yang lembab dan Prognosis umumnya bonam.
tidak berbagi penggunaan barang pribadi
dengan orang lain. Referensi

2. Pengobatan terhadap keluhannya dengan: 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
a. Pengobatan topikal Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Suspensi selenium sulfida 1,8%, Universitas Indonesia.
dalam bentuk shampo yang digunakan 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2-3 kali seminggu. Obat ini digosokkan 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
pada lesi dan didiamkan selama 15-30 Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
menit sebelum mandi. Saunders Elsevier.
Derivat azol topikal, antara lain 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
mikonazol dan klotrimazol. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
b. Pengobatan sistemik diberikan apabila
penyakit ini terdapat
pada daerah yang luas atau jika
penggunaan obat topikal tidak berhasil.
Obat tersebut, yaitu: Ketokonazol per
oral dengan dosis 1x200 mg sehari
selama 10 hari, atau Itrakonazol per
oral dengan dosis 1 x 200 mg sehari
selama 5-7 hari (pada kasus
kambuhan atau tidak responsif dengan
terapi lainnya).
Konseling dan Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga bahwa pengobatan
harus dilakukan secara menyeluruh, tekun
dan konsisten, karena angka kekambuhan

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

12. PIODERMA
No. ICPC-2: S84 Impetigo
S76 Skin infection other
No. ICD-10: L01 Impetigo
L02 Cutaneous abscess, furuncle and carbuncle L08.0 Pyoderma
Tingkat Kemampuan : Folikulitis superfisialis 4A, Furunkel, Furunkulosis dan Karbunkel 4A I

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis Sederhana (Objective)
dan subkutis) yang disebabkan oleh bakteri
Folikulitis adalah peradangan folikel rambut
gram positif dari golongan Stafilokokus dan
yang ditandai dengan papul eritema perifolikuler
Streptokokus. Pioderma merupakan penyakit
dan rasa gatal atau perih.
yang sering dijumpai. Di Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan
Universitas Indonesia, insidennya menduduki jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau
peringkat ketiga, dan berhubungan erat dengan pustul perifolikuler dengan eritema di sekitarnya
keadaaan sosial ekonomi. Penularannya melalui dan disertai rasa nyeri.
kontak langsung dengan agen penyebab.
Furunkulosis adalah beberapa furunkel yang
Hasil Anamnesis (Subjective) tersebar.
Keluhan Karbunkel adalah kumpulan dari beberapa
furunkel, ditandai dengan beberapa furunkel
Pasien datang mengeluh adanya koreng atau
yang berkonfluensi membentuk nodus
luka di kulit
bersupurasi di beberapa puncak.
1. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil
Impetigo krustosa (impetigo contagiosa) adalah
yang gatal, dapat berisi cairan atau nanah
peradangan yang memberikan gambaran vesikel
dengan dasar dan pinggiran sekitarnya
yang dengan cepat berubah menjadi pustul
kemerahan. Keluhan ini dapat meluas
dan pecah sehingga menjadi krusta kering
menjadi bengkak disertai dengan rasa nyeri.
kekuningan seperti madu. Predileksi spesifik lesi
2. Bintil kemudian pecah dan menjadi terdapat di sekitar lubang hidung, mulut, telinga
keropeng/koreng yang mengering, keras atau anus.
dan sangat lengket.
Impetigo bulosa adalah peradangan yang
Faktor risiko: memberikan gambaran vesikobulosa dengan
lesi bula hipopion (bula berisi pus).
1. Higiene yang kurang baik
2. Defisiensi gizi Ektima adalah peradangan yang menimbulkan
kehilangan jaringan dermis bagian atas (ulkus
3. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah) dangkal).

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 31


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar 11.14 Furunkel tinggi, sakit kepala, mual muntah, dan nyeri
sendi. Pada pemeriksaan darah rutin dapat
dijumpai leukositosis 20.000/mm3 atau
lebih.
2. Selulitis adalah peradangan supuratif
yang menyerang subkutis, ditandai dengan
peradangan lokal, infiltrate eritema berbatas
tidak tegas, disertai dengan rasa nyeri tekan
dan gejala prodromal tersebut di atas.
3. Ulkus
4. Limfangitis
5. Limfadenitis supuratif
6. Bakteremia (sepsis)
Gambar 11.15 Ektima
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dengan menjaga higiene,
nutrisi TKTP dan stamina tubuh.
2. Farmakoterapi dilakukan dengan:
a. Topikal:
Bila banyak pus/krusta, dilakukan
kompres terbuka dengan permanganas
kalikus (PK) 1/5.000 atau yodium
Pemeriksaan Penunjang
povidon 7,5% yang dilarutkan 10 kali.
1. Pemeriksaan dari apusan cairan sekret Bila tidak tertutup pus atau krusta,
dari dasar lesi dengan pewarnaan Gram diberikan salep atau krim asam fusidat
2. Pemeriksaan darah rutin kadang-kadang 2% atau mupirosin 2%, dioleskan 2-3
ditemukan leukositosis. kali sehari selama 7-10 hari.
Penegakan diagnostik (Assessment) b. Antibiotik oral dapat diberikan dari
salah satu golongan di bawah ini:
Diagnosis Klinis
Penisilin yang resisten terhadap
1. Folikulitis penisilinase, seperti:
2. Furunkel kloksasilin. Dosis dewasa: 3 x 250-
3. Furunkulosis 500 mg/hari, selama 5-7 hari, selama
4. Karbunkel 5-7 hari. Dosis anak: 50 mg/kgBB/hari
5. Impetigo bulosa dan krustosa terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.
6. Ektima
Amoksisilin dengan asam klavulanat.
Komplikasi Dosis dewasa: 3 x 250-500 mg Dosis
anak: 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam
1. Erisipelas adalah peradangan epidermis 3 dosis, selama 5-7 hari
dan dermis yang ditandai dengan infiltrat
eritema, edema, berbatas tegas, dan Klindamisin 4 x 150 mg per hari,
disertai dengan rasa panas dan nyeri. pada infeksi berat dosisnya 4 x 300-
Onset penyakit ini sering didahului dengan 450 mg per hari.
gejala prodromal berupa menggigil, panas Eritromisin: dosis dewasa: 4 x 250-500

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

mg/hari, anak: 20-50 mg/kgBB/hari Peralatan


terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari.
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Sefalosporin, misalnya sefadroksil darah rutin dan pemeriksaan Gram
dengan dosis 2 x 500 mg atau 2 x 1000
mg per hari. Prognosis
c. Insisi untuk karbunkel yang Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi,
menjadi abses untuk membersihkan prognosis umumnya bonam, bila dengan
eksudat dan jaringan nekrotik. komplikasi, prognosis umumnya dubia ad
Konseling dan Edukasi bonam.

Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan Referensi


penyakit dengan menjaga kebersihan diri dan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
stamina tubuh. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Kriteria Rujukan Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Pasien dirujuk apabila terjadi:
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
1. Komplikasi mulai dari selulitis. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
2. Tidak sembuh dengan pengobatan selama Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
5-7 hari. Saunders Elsevier.
3. Terdapat penyakit sistemik (gangguan
metabolik endokrin dan imunodefisiensi). 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta

13. ERISIPELAS
No. ICPC-2: S 76Skin infection order No. ICD-10: A 46 Erysipelas
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Erisipelas adalah penyakit infeksi bakteri
akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus, Keluhan
melibatkan dermis atas dengan tanda khas Terdapat gejala konstitusi seperti demam dan
meluas ke limfatik kutaneus superfisial. malaise sebelum terjadinya lesi pada kulit.
Erisipelas pada wajah kebanyakan disebabkan Gejala umum pada lesi didapatkan gatal, rasa
oleh streptococcus grup A, sedangkan erisipelas terbakar, nyeri dan bengkak. Didahului trauma
pada ekstremitas bawah kebanyakan atau riwayat faringitis.
disebabkan oleh streptococcus non grup A.
Di perkirakan 85% kasus erisipelas terjadi Faktor Risiko:
pada ekstremitas bawah.
1. Penderita Diabetes Mellitus
Erisipelas kebanyakan terjadi pada wanita, 2. Higiene buruk
akan tetapi pada usia muda lebih sering
3. Gizi kurang
terjadi pada pria. Insidens tertinggi dilaporkan
pada pasien berusia 60 – 80 tahun khususnya 4. Gangguan saluran limfatik
pada pasien dengan gangguan saluran
limfatik.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 31


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Ganggren, Edema kronis, terjadi scar, sepsis,
Sederhana (Objective) demam Scarlet, Pneumonia, Abses, Emboli,
Meningitis
Pemeriksaan Fisik
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Lokasi : kaki, tangan dan wajah
Penatalaksanaan
Efloresensi : eritema yang berwarna merah
cerah, berbatas tegas, dan 1. Istirahat
pinggirnya meninggi dengan 2. Tungkai bawah dan kaki yang diserang
tanda-tanda radang akut. Dapat ditinggikan
disertai edema, vesikel dan bula.
Pengobatan sistemik :
Gambar 11.16 Erisipelas pada wajah
1. Analgetik antipiretik
2. Antibiotik :
a. Penisilin 0,6 – 1,5 mega unit 5-10 hari
b. Sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari
Rencana tindak lanjut :
1. Memantau terjadinya komplikasi
2. Mencegah faktor risiko
Konseling dan Edukasi
1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol
gula darah
Gambar 11.17 Erisipelas pada kaki
2. Menjaga kebersihan badan
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
darah rutin.
Prognosis
Dubia ad bonam
Pemeriksaan Penunjang Referensi
Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis 1. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-
Penegakan Diagnostik (Assessment) medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Diagnosis Klinis Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
Indonesia.
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
3. Pereira de Godoy JM, et al. Epidemiological
Diagnosis Banding: Selulitis, Urtikaria Data And Comorbidities Of 428 Patients
Hospitalized With Erysipelas. Angiology.
Komplikasi: Jul 2010;61(5):492-4

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

14. DERMATITIS SEBOROIK


No. ICPC-2: S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10: L21 Seborrhoeic dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Bentuk klinis lain
Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang
Lesi berat: seluruh kepala tertutup oleh
digunakan untuk segolongan kelainan kulit
krusta, kotor, dan berbau (cradle cap).
yang didasari oleh faktor konstitusi (predileksi
di tempat-tempat kelenjar sebum). Dermatitis Pemeriksaan Penunjang
seboroik berhubungan erat dengan keaktifan
glandula sebasea. Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gambar 11.18 Dermatitis seboroik pada kulit
Keluhan kepala
Pasien datang dengan keluhan munculnya
bercak merah dan kulit kasar. Kelainan awal
hanya berupa ketombe ringan pada kulit kepala
(pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa
keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa
gatal.
Faktor Risiko
Genetik, faktor kelelahan, stres emosional ,
infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih
sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan
usia 18-40 tahun, kurang tidur Penegakan Diagnostik (Assessment)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis Klinis


Sederhana (Objective)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan fisik.

Tanda patognomonis Diagnosis Banding

1. Papul sampai plak eritema Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda


2. Skuama berminyak agak kekuningan Auspitz, skuama tebal seperti mika), Kandidosis
3. Berbatas tidak tegas (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna
merah cerah berbatas tegas dengan lesi
Lokasi predileksi satelit disekitarnya), Otomikosis, Otitis eksterna.
Kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang Komplikasi
leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar,
lipat naso labial, sternal, areola mammae, Pada anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit
lipatan bawah mammae pada wanita, Leiner atau eritroderma.
interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah
angogenital.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 31


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) perlu dipertimbangkan pemberian


ketokonazol krim 2%.
Penatalaksanaan
b. Oral sistemik
1. Pasien diminta untuk memperhatikan • Antihistamin sedatif yaitu:
faktor predisposisi terjadinya keluhan, klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per
misalnya stres emosional dan kurang hari selama 2 minggu, setirizin 1 x
tidur. Diet juga disarankan untuk 10 mg per hari selama 2 minggu.
mengkonsumsi makanan rendah lemak.
• Antihistamin non sedatif yaitu:
2. Farmakoterapi dilakukan dengan: loratadin 1x10 mgselama maksimal 2
minggu.
a. Topikal
Bayi: Konseling dan Edukasi
• Pada lesi di kulit kepala bayi 1. Memberitahukan kepada orang tua untuk
diberikan asam salisilat 3% dalam menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat
minyak kelapa atau vehikulum yang kulit kepala bayi.
larut air atau kompres minyak 2. Memberitahukan kepada orang tua bahwa
kelapa hangat 1 kali sehari selama kelainan ini umumnya muncul p a d
beberapa hari. a bulan-bulan pertama kehidupan dan
• Dilanjutkan dengan krim membaik seiring dengan pertambahan usia.
hidrokortison 1% atau lotion selama
3. Memberikan informasi bahwa penyakit ini
beberapa hari.
sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol
• Selama pengobatan, rambut tetap dengan mengontrol emosi dan psikisnya.
dicuci.
Kriteria Rujukan
Dewasa:
• Pada lesi di kulit kepala, diberikan Pasien dirujuk apabila tidak ada perbaikan
shampo selenium sulfida 1,8 dengan pengobatan standar.
atau shampo ketokonazol 2%, zink Peralatan: -
pirition (shampo anti ketombe),
atau pemakaian preparat ter (liquor Prognosis
carbonis detergent) 2-5 % dalam
Prognosis pada umumnya bonam, sembuh tanpa
bentuk salep dengan frekuensi 2-3
komplikasi.
kali seminggu selama 5-15 menit
per hari. Referensi
• Pada lesi di badan diberikan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
kortikosteroid topikal: Desonid krim Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
0,05% (catatan: bila tidak tersedia Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
dapat digunakan fluosinolon asetonid Universitas Indonesia.
krim 0,025%) selama maksimal 2
minggu. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
• Pada kasus dengan manifestasi Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
dengan inflamasi yang lebih berat Saunders Elsevier.
diberikan kortikosteroid kuat
misalnya betametason valerat krim 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
0,1%. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
• Pada kasus dengan infeksi jamur,

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

15. DERMATITIS ATOPIK


No. ICPC-2 No. ICD-10
: S87 Dermatitis/atopic eczema
: L20 Atopic dermatitis
Tingkat Kemampuan Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant) 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Pemicu
Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan
1. Makanan: telur, susu, gandum, kedelai, dan
kulit berulang dan kronis dengan disertai
kacang tanah.
gatal. Pada umumnya terjadi selama masa
bayi dan anak-anak dan sering berhubungan 2. Tungau debu rumah
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum
serta riwayat atopi pada keluarga atau 3. Sering mengalami infeksi di saluran napas
penderita. Sinonim dari penyakit ini adalah atas (kolonisasi Staphylococus aureus)
eczema atopik, eczema konstitusional, eczema Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo Sederhana (Objective)
Besnier.
Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Kulit
Hasil Anamnesis (Subjective) penderita DA:
Keluhan 1. Kering pada perabaan
Pasien datang dengan keluhan gatal yang 2. Pucat/redup
bervariasi lokasinya tergantung pada jenis 3. Jari tangan teraba dingin
dermatitis atopik (lihat klasifikasi). 4. Terdapat papul, likenifikasi, eritema, erosi,
eksoriasi, eksudasi dan krusta pada lokasi
Gejala utama DA adalah pruritus, dapat hilang predileksi
timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih
hebat pada malam hari. Akibatnya penderita Lokasi predileksi:
akan menggaruk. 1. Tipe bayi (infantil)
Pasien biasanya juga mempunyai riwayat sering a. Dahi, pipi, kulit kepala, leher,
merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau pergelangan tangan dan tungkai,
merasa tertekan. serta lutut (pada anak yang mulai
merangkak).
Faktor Risiko b. Lesi berupa eritema, papul vesikel halus,
eksudatif, krusta.
1. Wanita lebih banyak menderita DA
2. Tipe anak
dibandingkan pria (rasio 1,3 :1).
a. Lipat siku, lipat lutut, pergelangan
2. Riwayat atopi pada pasien dan atau
tangan bagian dalam, kelopak mata,
keluarga (rhinitis alergi, konjungtivitis
leher, kadang-kadang di wajah.
alergi/vernalis, asma bronkial, dermatitis
b. b. Lesi berupa papul, sedikit
atopik, dan lain- lain).
eksudatif, sedikit skuama, likenifikasi,
3. Faktor lingkungan: jumlah keluarga kecil,
erosi. Kadang-kadang disertai pustul.
pendidikan ibu semakin tinggi, penghasilan
3. Tipe remaja dan dewasa
meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan
a. Lipat siku, lipat lutut, samping
meningkatnya penggunaan antibiotik.
4. Riwayat sensitif terhadap wol, bulu leher, dahi, sekitar mata, tangan dan
pergelangan tangan, kadang-kadang
kucing, anjing, ayam, burung, dan
sejenisnya. ditemukan setempat misalnya bibir
mulut, bibir kelamin, puting susu, atau

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 32


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

kulit kepala. 3. Dermatitis di fleksura pada dewasa


b. Lesi berupa plak papular eritematosa, 4. Dermatitis kronis atau berulang
skuama, likenifikasi, kadang- 5. Riwayat atopi pada penderita atau
kadang erosi dan eksudasi, terjadi keluarganya
hiperpigmentasi.
Kriteria minor:
Berdasarkan derajat keparahan terbagi menjadi:
1. Xerosis
1. DA ringan : apabila mengenai < 10% luas 2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus atau
permukaan kulit. virus herpes simpleks)
2. DA sedang : apabila mengenai 10-50% luas 3. Iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis
permukaan kulit. piliaris
3. 3. DA berat : apabila mengenai > 50% luas 4. Pitriasis alba
permukaan kulit. Tanpa penyulit (umumnya 5. Dermatitis di papilla mamae
tidak diikuti oleh infeksi sekunder). 6. White dermogrhapism dan delayed blanch
response
Dengan penyulit (disertai infeksi sekunder 7. Kelilitis
atau meluas dan menjadi rekalsitran (tidak 8. Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
membaik dengan pengobatan standar). 9. Konjungtivitis berulang
Gambar 11.19 Dermatitis atopik 10. Keratokonus
11. Katarak subskapsular anterior
12. Orbita menjadi gelap
13. Muka pucat atau eritem
14. Gatal bila berkeringat
15. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
16. Aksentuasi perifolikular
17. Hipersensitif terhadap makanan
18. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan atau emosi
19. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
20. Kadar IgE dalam serum meningkat
21. Mulai muncul pada usia dini
Pemeriksaan Penunjang
Pada bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi
Pemeriksaan IgE serum (bila diperlukan dan
menjadi:
dapat dilakukan di fasilitas pelayanan Tingkat
Pertama) 1. Tiga kriteria mayor berupa:
a. Riwayat atopi pada keluarga
Penegakan Diagnostik (Assessment) b. Dermatitis pada muka dan ekstensor
Diagnosis Klinis c. Pruritus
2. Serta tiga kriteria minor berupa:
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis a. Xerosis / iktiosis / hiperliniaris
dan pemeriksaan fisik harus terdiri dari 3 kriteria palmaris, aksentuasi perifolikular
mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria b. Fisura di belakang telinga
Williams (1994) di bawah ini. c. Skuama di scalp kronis
Kriteria mayor: Diagnosis banding
1. Pruritus Dermatitis seboroik (terutama pada bayi),
2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi Dermatitis kontak, Dermatitis numularis,
dan anak

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Skabies, Iktiosis , Psoriasis (terutama di dapat diberikan golongan


daerah palmoplantar), Sindrom Sezary, betametason valerat krim 0,1%
Dermatitis herpetiformis Pada bayi, diagnosis atau mometason furoat krim 0,1%.
banding, yaitu Sindrom imunodefisiensi • Pada kasus infeksi sekunder,
(misalnya sindrom Wiskott-Aldrich), Sindrom perlu dipertimbangkan pemberian
hiper IgE antibiotik topikal atau sistemik bila
lesi meluas.
Komplikasi b. Oral sistemik
1. Infeksi sekunder • Antihistamin sedatif: klorfeniramin
2. Perluasan penyakit (eritroderma) maleat 3 x 4 mg per hari selama
maksimal 2 minggu atau setirizin 1
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) x 10 mg per hari selama maksimal
Penatalaksanaan 2 minggu.
• Antihistamin non sedatif: loratadin
1. Penatalaksanaan dilakukan dengan 1x10 mg per hari selama maksimal
modifikasi gaya hidup, yaitu: 2 minggu.
a. Menemukan faktor risiko.
b. Menghindari bahan-bahan yang Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila
bersifat iritan termasuk pakaian diperlukan)
seperti wol atau bahan sintetik. Pemeriksaan untuk menegakkan atopi, misalnya
c. Memakai sabun dengan pH netral dan skin prick test/tes uji tusuk pada kasus dewasa.
mengandung pelembab.
d. Menjaga kebersihan bahan pakaian. Konseling dan Edukasi
e. Menghindari pemakaian bahan kimia 1. Penyakit bersifat kronis dan berulang
tambahan. sehingga perlu diberi pengertian kepada
f. Membilas badan segera setelah seluruh anggota keluarga untuk
selesai berenang untuk menghindari menghindari faktor risiko dan melakukan
kontak klorin yang terlalu lama.
perawatan kulit secara benar.
g. Menghindari stress psikis. 2. Memberikan informasi kepada keluarga
h. Menghindari bahan pakaian terlalu bahwa prinsip pengobatan adalah
tebal, ketat, kotor. menghindari gatal, menekan proses
i. Pada bayi, menjaga kebersihan di peradangan, dan menjaga hidrasi kulit.
daerah popok, iritasi oleh kencing 3. Menekankan kepada seluruh anggota
atau feses, dan hindari pemakaian keluarga bahwa modifikasi gaya hidup
bahan-bahan medicatedbaby oil. tidak hanya berlaku pada pasien, juga
j. Menghindari pembersih yang
harus menjadi kebiasaan keluarga secara
mengandung antibakteri karena
keseluruhan.
menginduksi resistensi.
2. Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi Rencana tindak lanjut
diberikan dengan:
a. Topikal (2 kali sehari) 1. Diperlukan pengobatan pemeliharaan
setelah fase akut teratasi.
• Pada lesi di kulit kepala, diberikan
kortikosteroid topikal, seperti: Pengobatan pemeliharaan dengan
Desonid krim 0,05% (catatan: bila kortikosteroid topikal jangka panjang (1 kali
tidak tersedia dapat digunakan sehari) dan penggunaan krim pelembab 2
fluosinolon asetonid krim 0,025%) kali sehari sepanjang waktu.
selama maksimal 2 minggu. 2. Pengobatan pemeliharaan dapat diberikan
• Pada kasus dengan manifestasi selama maksimal 4 minggu.
klinis likenifikasi dan
hiperpigmentasi,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 32


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Pemantauan efek samping kortikosteroid. Prognosis


Bila terdapat efek samping, kortikosteroid
Prognosis pada umumnya bonam, dapat
dihentikan.
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Kriteria Rujukan
Referensi
1. Dermatitis atopik luas dan berat
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
2. Dermatitis atopik rekalsitran atau dependent
steroid Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
3. Bila diperlukan skin prick test/tes uji tusuk Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
4. Bila gejala tidak membaik dengan Universitas Indonesia.
pengobatan standar selama 4 minggu 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
5. Bila kelainan rekalsitran atau meluas sampai 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
eritroderma Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.
Peralatan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik.
mendiagnosis penyakit ini. Jakarta.

16. DERMATITIS NUMULARIS


No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L20.8 Other atopic dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Dermatitis numularis adalah dermatitis
Pria, usia 55-65 tahun (pada wanita 15-25
berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong,
tahun), riwayat trauma fisis dan kimiawi
berbatas tegas, dengan efloresensi berupa
(fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga
dengan lesi utama), riwayat dermatitis kontak
basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada
alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus
orang dewasa lebih sering terjadi pada pria
dermatitis numularis anak, stress emosional,
daripada wanita. Usia puncak awitan pada
minuman yang mengandung alkohol,
kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun,
lingkungan dengan kelembaban rendah,
pada wanita usia puncak terjadi juga pada
riwayat infeksi kulit sebelumnya
usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis
tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun, Sederhana (Objective)
umumnya kejadian meningkat seiring dengan
Pemeriksaan Fisik
meningkatnya usia.
Hasil Anamnesis (Subjective) Tanda patognomonis

Keluhan 1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel


(0,3 – 1 cm), berbentuk uang logam,
Bercak merah yang basah pada predileksi eritematosa, sedikit edema, dan berbatas
tertentu dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul tegas.
dan sering kambuh. 2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

pecah, kemudian mengering menjadi krusta basah) sampai lesi mengering.


kekuningan. • Kemudian terapi dilanjutkan dengan
3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak kortikosteroid topikal: Desonid krim
dan tersebar, bilateral, atau simetris, 0,05% (catatan: bila tidak tersedia
dengan ukuran yang bervariasi. dapat digunakan f l u o s i n o l o n
Tempat predileksi terutama di tungkai asetonid krim 0,025%) selama
bawah, badan, lengan, termasuk punggung maksimal 2 minggu.
tangan. • Pada kasus dengan manifestasi
klinis likenifikasi dan
Gambar 11.20 Dermatitis numularis
hiperpigmentasi, dapat diberikan
golongan Betametason valerat krim
0,1% atau Mometason furoat krim
0,1%).
• Pada kasus infeksi sekunder,
perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal atau sistemik bila
lesi meluas.
b. Oral sistemik
• Antihistamin sedatif: klorfeniramin
maleat 3 x 4 mg per hari selama
Pemeriksaan Penunjang maksimal 2 minggu atau setirizin 1
x 10 mg per hari selama maksimal
Tidak diperlukan, karena manifestasi klinis jelas 2 minggu.
dan klasik.
• Antihistamin non sedatif: loratadin
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1x10 mg per hari selama maksimal
2 minggu.
Diagnosis Klinis
c. Jika ada infeksi bakteri dapat
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis diberikan antibiotik topikal atau
dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding antibiotik sistemik bila lesi luas.
Dermatitis kontak, Dermatitis atopi, Komplikasi
Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis
Infeksi sekunder
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Konseling dan Edukasi
Penatalaksanaan
1. Memberikan edukasi bahwa kelainan
1. Pasien disarankan untuk menghindari bersifat kronis dan berulang sehingga
faktor yang mungkin memprovokasi seperti penting untuk pemberian obat topikal
stres dan fokus infeksi di organ lain. rumatan.
2. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu: 2. Mencegah terjadinya infeksi sebagai
faktor risiko terjadinya relaps.
a. Topikal (2 kali sehari)
• Kompres terbuka dengan larutan Kriteria Rujukan
permanganas kalikus 1/10.000, 1. Apabila kelainan tidak membaik dengan
menggunakan 3 lapis kasa bersih, pengobatan topikal standar.
selama masing-masing 15-20 2. Apabila diduga terdapat faktor penyulit
menit/ kali kompres (untuk lesi
madidans/

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 32


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, Referensi


maka konsultasi danatau disertai rujukan
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
kepada dokter spesialis terkait (contoh:
gigi mulut, THT, obgyn, dan lain-lain) untuk Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
penatalaksanaan fokus infeksi tersebut.
Universitas Indonesia.
Peralatan 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
mendiagnosis penyakit dermatitis numularis. Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.
Prognosis 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Prognosis pada umumnya bonam apabila Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
kelainan ringan tanpa penyulit, dapat sembuh Jakarta.
tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat
dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia
ad bonam.

17. LIKEN SIMPLEKS KRONIK (NEURODERMATITIS SIRKUMKRIPTA)


No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L28.0 Lichen simplex chronicus
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Wanita lebih sering ditemukan dibandingkan
Liken simpleks kronik atau yang sering pria, dengan puncak insidens 30-50 tahun.
disebut juga dengan neurodermatitis Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
sirkumkripta adalah kelainan kulit berupa
Sederhana (Objective)
peradangan kronis, sangat gatal berbentuk
sirkumskrip dengan tanda berupa kulit tebal Pemeriksaan Fisik
dan menonjol menyerupai kulit batang kayu
Tanda Patognomonis
akibat garukan dan gosokan yang berulang-
ulang. Penyebab kelainan ini belum diketahui. 1. Lesi biasanya tunggal, namun dapat lebih
Prevalensi tertinggi penyakit ini pada orang dari satu.
yang berusia 30-50 tahun dan lebih sering 2. Dapat terletak dimana saja yang mudah
terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. dicapai tangan. Biasanya terdapat di
daerah tengkuk, sisi leher, tungkai bawah,
Hasil Anamnesis (Subjective)
pergelangan kaki, kulit kepala, paha bagian
Keluhan medial, lengan bagian ekstensor, skrotum
dan vulva.
Pasien datang dengan keluhan gatal sekali pada 3. Awalnya lesi berupa eritema dan edema
kulit, tidak terus menerus, namun dirasakan atau kelompok papul, kemudian karena
terutama malam hari atau waktu tidak sibuk. garukan berulang, bagian tengah menebal,
Bila terasa gatal, sulit ditahan bahkan hingga kering, berskuama serta pinggirnya
harus digaruk sampai luka baru gatal hilang mengalami hiperpigmentasi. Bentuk
untuk sementara. umumnya lonjong, mulai dari lentikular
Faktor Risiko sampai plakat.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar 11.21 Liken simpleks kronis Konseling dan Edukasi


1. Memberitahu keluarga mengenai
kondisi pasien dan penanganannya.
2. Menyarankan pasien untuk melakukan
konsultasi dengan psikiatri dan mencari
kemungkinan penyakit lain yang
mendasari penyakit ini.
Kriteria Rujukan
Rujukan dilakukan dengan tujuan untuk
mengatasi penyebab lain yang mendasari
penyakit dengan berkonsultasi kepada psikiatri
Pemeriksaan Penunjang atau dokter spesialis kulit.
Tidak diperlukan Peralatan
Penegakan Diagnostik (Assessment) Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
Diagnosis Klinis mendiagnosis penyakit liken simpleks kronik.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Prognosis


dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Prognosis pada umumnya bonam, namun quo
Dermatitis atopik, Dermatitis kontak, Liken ad sanationamnya adalah dubia ad bonam.
planus, Dermatitis numularis Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penatalaksanaan Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
1. Pasien disarankan agar tidak terus menerus Universitas Indonesia.
menggaruk lesi saat gatal, serta mungkin
perlu dilakukan konsultasi dengan psikiatri. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
2. Prinsip pengobatan yaitu mengupayakan
Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
agar penderita tidak terus menggaruk
Saunders Elsevier.
karena gatal, dengan pemberian:
a. Antipruritus: antihistamin dengan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
efek sedatif, seperti hidroksisin 10-50 Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
mg setiap 4 jam, difenhidramin 25-50 Jakarta.
mg setiap 4-6 jam (maksimal 300 mg/
hari), atau klorfeniramin maleat (CTM) 4
mg setiap 4-6 jam (maksimal 24 mg/hari).
b. Glukokortikoid topikal, antara lain:
betametason dipropionat salep/krim
0,05% 1-3 kali sehari, metilprednisolon
aseponat salep/krim 0,1% 1-2 kali sehari,
atau mometason furoat salep/krim 0,1%
1 kali sehari. Glukokortikoid dapat
dikombinasi dengan tar untuk efek
antiinflamasi.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 32


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

18. DERMATITIS KONTAK ALERGIK


No. ICPC-2: S88 Dermatitis contact/allergic No. ICD-10: L23 Allergic contact dermatitis
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Fisik
Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi
Tanda Patognomonis
peradangan kulit imunologik karena reaksi
hipersensitivitas. Kerusakan kulit terjadi Tanda yang dapat diobservasi sama seperti
didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen dermatitis pada umumnya tergantung pada
(fase sensitisasi) yang umumnya berlangsung kondisi akut atau kronis. Lokasi dan pola
2-3 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan kelainan kulit penting diketahui untuk
alergen yang sama atau serupa, periode hingga mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya,
terjadinya gejala klinis umumnya 24-48 jam seperti di ketiak oleh deodoran, di pergelangan
(fase elisitasi). Alergen paling sering berupa tangan oleh jam tangan, dan seterusnya.
bahan kimia dengan berat molekul kurang
dari 500-1000 Da. DKA terjadi dipengaruhi Faktor Predisposisi
oleh adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap
dan luasnya penetrasi di kulit. suatu bahan yang bersifat alergen.
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang
Keluhan Tidak diperlukan
Keluhan kelainan kulit berupa gatal. Kelainan Penegakan Diagnostik (Assessment)
kulit bergantung pada keparahan dermatitis.
Keluhan dapat disertai timbulnya bercak Diagnosis Klinis
kemerahan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hal yang penting ditanyakan adalah dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding
riwayat kontak dengan bahan- bahan yang
Dermatitis kontak iritan.
berhubungan dengan riwayat pekerjaan, hobi,
obat topikal yang pernah digunakan, obat Komplikasi
sistemik, kosmetik, bahan- bahan yang dapat
menimbulkan alergi, serta riwayat alergi di Infeksi sekunder
keluarga Gambar 11.22 Dermatitis kontak alergik
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan
oleh bahan alergen.
2. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada
waktu tertentu.
3. Riwayat dermatitis atopik atau riwayat
atopi pada diri dan keluarga
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4 minggu setelah pengobatan standar dan


sudah menghindari kontak.
Penatalaksanaan
Peralatan
1. Keluhan diberikan farmakoterapi berupa:
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
a. Topikal (2 kali sehari) mendiagnosis penyakit dermatitis kontak alergi.
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
Prognosis
• Kortikosteroid: Desonid krim 0,05%
(catatan: bila tidak tersedia dapat Prognosis pada umumnya bonam, sedangkan
digunakan Fluosinolon asetonid quo ad sanationam adalah dubia ad malam
krim 0,025%). (bila sulit menghindari kontak dan dapat
• Pada kasus dengan manifestasi menjadi kronis).
klinis likenifikasi dan Referensi
hiperpigmentasi, dapat diberikan
golongan Betametason valerat krim 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
0,1% atau Mometason furoat krim Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
0,1%). Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
• Pada kasus infeksi sekunder, Universitas Indonesia.
perlu dipertimbangkan pemberian 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
antibiotik topikal. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
b. Oral sistemik Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg Saunders Elsevier.
per hari selama maksimal 2 minggu, 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
atau Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
• Loratadin 1x10 mg per hari selama Jakarta.
maksimal 2 minggu.
2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko,
menghindari bahan- bahan yang bersifat
alergen, baik yang bersifat kimia,
mekanis, dan fisis, memakai sabun dengan
pH netral dan mengandung pelembab serta
memakai alat pelindung diri untuk
menghindari kontak alergen saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan alergen
di rumah saat mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.
2. Edukasi menggunakan alat pelindung diri
seperti sarung tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Kriteria rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch
test.
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 32


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

19. DERMATITIS KONTAK IRITAN


No. ICPC-2: S88 Dermatitis contact/allergic No. ICD-10: L24 Irritant contact dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kondisi akut atau kronis. Selengkapnya dapat
Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi dilihat pada bagian klasifikasi.
peradangan kulit non- imunologik. Kerusakan
Faktor Predisposisi
kulit terjadi secara langsung tanpa didahului
oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap
oleh semua orang tanpa memandang usia, suatu bahan yang bersifat iritan.
jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya
dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat Pemeriksaan Penunjang
iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak Tidak diperlukan
pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang
biasanya berhubungan dengan pekerjaan. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis

Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis


dan pemeriksaan fisik.
Keluhan di kulit dapat beragam, tergantung
pada sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala Gambar 11.23 Dermatitis kontak iritan
akut, sedangkan iritan lemah memberikan gejala
kronis. Gejala yang umum dikeluhkan adalah
perasaan gatal dan timbulnya bercak kemerahan
pada daerah yang terkena kontak bahan
iritan. Kadang-kadang diikuti oleh rasa pedih,
panas, dan terbakar.
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan
oleh bahan iritan
2. Riwayat kontak dengan bahan iritan pada
waktu tertentu Klasifikasi
3. Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru
masak, kuli bangunan, montir, penata Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-
rambut faktor tertentu, DKI dibagi menjadi:
4. Riwayat dermatitis atopik 1. DKI akut:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan
Sederhana (Objective) asam sulfat (H2SO4) atau asam
klorida (HCl), termasuk luka bakar
Pemeriksaan Fisik
oleh bahan kimia.
Tanda patognomonis b. Lesi berupa: eritema, edema, bula,
kadang disertai nekrosis.
Tanda yang dapat diobservasi sama seperti
dermatitis pada umumnya, tergantung pada

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

c. Tepi kelainan kulit berbatas tegas rambut dan pekerja logam dalam
dan pada umumnya asimetris. beberapa bulan pertama, kelainan kulit
2. DKI akut lambat: monomorfik (efloresensi tunggal)
dapat berupa eritema, skuama, vesikel,
a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24
pustul, dan erosi.
jam atau lebih setelah kontak.
b. Umumnya dapat sembuh sendiri, namun
b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan menimbulkan penebalan kulit, dan
DKI tipe ini diantaranya adalah kadang-kadang berlanjut menjadi DKI
podofilin, antralin, tretionin, etilen kumulatif.
oksida, benzalkonium klorida, dan asam
hidrofluorat. 5. DKI traumatik:
c. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu a. Kelainan kulit berkembang lambat
serangga yang terbang pada malam setelah trauma panas atau laserasi.
hari (dermatitis venenata), penderita b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi
baru merasa pedih keesokan harinya, akut dan basah).
pada awalnya terlihat eritema, dan c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6
pada minggu.
sore harinya sudah menjadi vesikel
d. Lokasi predileksi paling sering terjadi
atau bahkan nekrosis.
di tangan.
3. DKI kumulatif/ DKI kronis:
6. DKI non eritematosa:
a. Penyebabnya adalah kontak berulang-
ulang dengan iritan lemah (faktor Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai
fisis misalnya gesekan, trauma minor, dengan perubahan fungsi sawar stratum
kelembaban rendah, panas atau dingin, korneum, hanya ditandai oleh skuamasi
faktor kimia seperti deterjen, sabun, ringan tanpa disertai kelainan klinis lain.
pelarut, tanah dan bahkan air). 7. DKI subyektif/ DKI sensori:
b. Umumnya predileksi ditemukan di Kelainan kulit tidak terlihat, namun
tanganterutama pada pekerja. penderita merasa seperti tersengat
c. Kelainan baru muncul setelah kontak (pedih) atau terbakar (panas) setelah
dengan bahan iritan berminggu- kontak dengan bahan kimia tertentu,
minggu atau bulan, bahkan bisa misalnya asam laktat.
bertahun-tahun kemudian sehingga Diagnosis Banding
waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor penting. Dermatitis kontak alergi
d. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), Komplikasi
misalnya pada kulit tumit tukang cuci
yang mengalami kontak terus- Infeksi sekunder.
menerus dengan deterjen. Keluhan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
penderita umumnya rasa gatal atau
nyeri karena kulit retak (fisur). Ada Penatalaksanaan
kalanya kelainan hanya berupa kulit 1. Keluhan dapat diatasi dengan pemberian
kering atau skuama tanpa eritema, farmakoterapi, berupa:
sehingga diabaikan oleh penderita.
a. Topikal (2 kali sehari)
4. Reaksi iritan:
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
a. Merupakan dermatitis subklinis pada
seseorang yang terpajan dengan • Kortikosteroid: Desonid krim 0,05%
pekerjaan basah, misalnya penata (catatan: bila tidak tersedia dapat

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 33


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

digunakan fluosinolon asetonid Prognosis


krim 0,025%).
Prognosis pada umumnya bonam. Pada
• Pada kasus DKI kumulatif dengan kasus DKI akut dan bisa menghindari kontak,
manifestasi klinis likenifikasi dan prognosisnya adalah bonam (sembuh tanpa
hiperpigmentasi, dapat diberikan komplikasi). Pada kasus kumulatif dan tidak
golongan betametason valerat krim bisa menghindari kontak, prognosisnya adalah
0,1% atau mometason furoat krim dubia.
0,1%).
Referensi
• Pada kasus infeksi sekunder,
perlu dipertimbangkan pemberian 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
antibiotik topikal. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
b. Oral sistemik Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg Universitas Indonesia.
per hari selama maksimal 2 minggu, 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
atau 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
• Loratadin 1x10 mg per hari selama Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
maksimal 2 minggu. Saunders Elsevier.
2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
menghindari bahan- bahan yang bersifat Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan Jakarta.
fisis, memakai sabun dengan pH netral dan
mengandung pelembab, serta memakai alat
pelindung diri untuk menghindari kontak
iritan saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan iritan di
rumah saat mengerjakan pekerjaan rumah
tangga.
2. Edukasi untuk menggunakan alat pelindung
diri seperti sarung tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Kriteria Rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch
test
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam
4 minggu pengobatan standar dan sudah
menghindari kontak.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit dermatitis kontak iritan.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

20. NAPKIN ECZEMA (DERMATITIS POPOK)


No. ICPC-2: S89 Diaper rash
No. ICD-10: L22 Diaper (napkin) dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kadang pustul, lesi satelit (bila terinfeksi
Napkin eczema sering disebut juga dengan jamur).
dermatitis popok atau diaper rash adalah
Gambar 11.24 Napkin eczema
dermatitis di daerah genito-krural sesuai
dengan tempat kontak popok. Umumnya pada
bayi pemakai popok dan juga orang dewasa
yang sakit dan memakai popok. Dermatitis ini
merupakan salah satu dermatitis kontak iritan
akibat isi napkin (popok).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan gatal dan bercak
merah berbatas tegas mengikuti bentuk
popok yang berkontak, kadang-kadang basah Pemeriksaan Penunjang
dan membentuk luka.
Bila diduga terinfeksi jamur kandida, perlu
Faktor Risiko dilakukan pemeriksaan
1. Popok jarang diganti. KOH atau Gram dari kelainan kulit yang basah.
2. Kulit bayi yang kering sebelum dipasang
popok. Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Riwayat atopi diri dan keluarga. Diagnosis Klinis
4. Riwayat alergi terhadap bahan plastik dan
kertas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Diagnosis Banding

Pemeriksaan Fisik 1. Penyakit Letterer-Siwe


2. Akrodermatitis enteropatika
Tanda patognomonis 3. Psoriasis infersa
1. Makula eritematosa berbatas agak tegas 4. Eritrasma Komplikasi Infeksi sekunder
(bentuk mengikuti bentuk popok yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
berkontak)
2. Papul Penatalaksanaan
3. Vesikel
1. Untuk mengurangi gejala dan mencegah
4. Erosi
bertambah beratnya lesi, perlu dilakukan
5. Ekskoriasi
hal berikut:
6. Infiltran dan ulkus bila parah
7. Plak eritematosa (merah cerah), membasah, a. Ganti popok bayi lebih sering, gunakan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 33


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

pelembab sebelum memakaikan popok Prognosis


bayi.
Prognosis umumnya bonam dan dapat
b. Dianjurkan pemakaian popok sekali sembuh tanpa komplikasi.
pakai jenis highly absorbent.
2. Prinsip pemberian farmakoterapi yaitu Referensi
untuk menekan inflamasi dan mengatasi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
infeksi kandida. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
a. Bila ringan: krim/salep bersifat Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
protektif (zinc oxide/pantenol) Universitas Indonesia.
dipakai 2 kali sehari selama 1 minggu
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
atau kortikosteroid potensi lemah
2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
(hidrokortison salep 1-2,5%) dipakai 2
Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
kali sehari selama 3-7 hari.
Saunders Elsevier.
b. Bila terinfeksi kandida: berikan
antifungal nistatin sistemik 1 kali 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
sehari selama 7 hari atau derivat azol Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
topikal dikombinasi dengan zinc oxide Jakarta.
diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga mengenai
penyebab dan menjaga higiene kulit.
2. Mengajarkan cara penggunaan popok dan
mengganti secepatnya bila popok basah.
3. Mengganti popok sekali pakai bila kapasitas
telah penuh.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Biasanya tidak perlu dilakukan, hanya dilakukan
untuk mengekslusi diagnosis banding.
Rencana Tindak Lanjut
Bila gejala tidak menghilang setelah pengobatan
standar selama 1 minggu, dilakukan:
1. Pengobatan dapat diulang 7 hari lagi.
2. Pertimbangkan untuk pemeriksaan ulang
KOH atau Gram.
Kriteria Rujukan
Bila keluhan tidak membaik setelah
pengobatan standarselama 2 minggu.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
dan Gram

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

21. DERMATITIS PERIORAL


No. ICPC-2: S99 Skin disease other No. ICD-10: L71.0 Perioral dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Pemakaian kosmetik.
Dermatitis perioral adalah erupsi eritematosa 3. Pasien imunokompromais
persisten yang terdiri dari papul kecil dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
papulo-pustul yang berlokasi di sekitar mulut.
Sederhana (Objective)
Dermatitis perioral dapat terjadi pada anak
Pemeriksaan Fisik
dan dewasa. Dalam populasi dewasa, penyakit
ini lebih sering terjadi pada wanita Tanda patognomonis
daripada pria. Namun, selama masa kanak-
kanak persentase pasien pria lebih besar. Erupsi eritematosa yang terdiri dari papul,
Pada anak-anak, penyakit ini memiliki papulopustul atau papulovesikel, biasanya tidak
kecenderungan untuk meluas ke periorbita atau lebih dari 2 mm. Lesi berlokasidi sekitar mulut,
perinasal. Beberapa agen penyebab terlibat namun pada anak lesi dapat meluas ke perinasal
dalam patogenesis penyakit ini diantaranya atau periorbita.
penggunaan kosmetik dan glukokortikoid. Pemeriksaan Penunjang
Studi case control di Australia memperlihatkan
bahwa pemakaian kombinasi foundation, Umumnya tidak diperlukan.
pelembab dan krim malam meningkatkan Gambar 11.25 Dermatititis perioral
risiko terjadinya dermatitis perioral secara
signifikan. Penggunaan kortikosteroid
merupakan penyebab utama penyakit ini
pada anak-anak. Beberapa faktor lainnya yang
juga diidentifikasai diantaranya infeksi, faktor
hormonal, pemakaian pil kontrasepsi, kehamilan,
fluoride dalam pasta gigi, dan sensitasi merkuri
dari tambalan amalgam. Demodex folliculorum
dianggapmemainkan peran penting dalam
patogenesis dermatitis perioral terutama pada
anak dengan imunokompromais. Namun,
laporan terbaru menunjukkan bahwa density
dari D.folliculorum merupakan fenomena Penegakan Diagnostik (Assessment)
sekunder penyebab dermatitis perioral. Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis
Keluhan yang dirasakan pasien adalah gatal dan pemeriksaaan fisik.
dan rasa panas disertai timbulnya lesi di
Diagnosis Banding
sekitar mulut.
Dermatitis kontak, Dermatitis seboroik,
Faktor Risiko
Rosasea, Akne, Lip-licking cheilitis, Histiocytosis,
1. Pemakaian kortikosteroid topikal. Sarkoidosis

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 33


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Komplikasi folliculorum.
Infeksi sekunder Konseling dan Edukasi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Edukasi dilakukan terhadap pasien dan
pada pasien anak edukasi dilakukan kepada
Penatalaksanaan
orangtuanya. Edukasi berupa menghentikan
Untuk keberhasilan pengobatan, langkah pemakaian semua kosmetik, menghentikan
pertama yang dilakukan adalah menghentikan pemakaian kortikostroid topikal. Eritema dapat
penggunaan semua kosmetik dan kortikosteroid terjadi pada beberapa hari setelah
topikal. Jika tidak diobati, bentuk klasik penghentian steroid.
dermatitis perioral memiliki kecenderungan Kriteria rujukan
untuk bertahan, terutama jika pasien terbiasa
menggunakan pelembab atau krim malam. Pasien dirujuk apabila memerlukan pemeriksaan
mikroskopik atau pada pasien dengan gambaran
Dalam kasus resisten, dermatitis perioral
klinis yang tidak biasa dan perjalanan penyakit
membutuhkan farmakoterapi, seperti:
yang lama.
1. Topikal
Peralatan
a. Klindamisin krim 1%, satu atau dua kali
sehari Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
b. Eritromisin krim 2-3% satu atau dua kali mendiagnosis penyakit dermatitis perioral.
sehari
c. Asam azelaik krim 20% atau gel 15%, Prognosis
dua kali sehari Prognosis umumnya bonam jika pasien
d. Adapalene gel 0,1%, sekali sehari menghentikan penggunaan kosmetik atau
selama 4 minggu kortikosteroid topikal.
2. Sistemik
a. Tetrasiklin 250-500 mg, dua kali Referensi
sehari selama 3 minggu. Jangan 1. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007.
diberikan pada pasien sebelum usia Current And Future Treatment Options For
pubertas. Perioral Dermatitis. Expert Review Of
b. Doksisiklin 100 mg per hari selama 3
Dermatlogy, 2, 351-355, Available from
minggu. Jangan diberikan pada pasien http://Search. Proquest
sebelum usia pubertas.
. C om /D o cvi ew /91 22 78300/
c. Minosiklin 100 mg per hari selama 4
Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Accou
minggu. Jangan diberikan pada pasien
ntid=17242(7 Juni 2014).
sebelum usia pubertas.
d. Eritromisin 250 mg, dua kali sehari 2. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D.
selama 4-6 minggu 2007. Persistent Facial Dermatitis:
e. Azytromisin 500 mg per hari, 3 hari Pediatric Perioral Dermatitis. Pediatric
berturut-turut per minggu selama 4 Annals, 36,pp.796-8. Available from
minggu. http://search. pro quest
. co m / do cv ie w / 21 7 55 6 98 9/
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan fulltextPDF?acc ountid=17242 (7 Juni 2014).
Pada pasien yang menderita dermatitis 3. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical
perioral dalam waktu lama, pemeriksaan Appraisal Of Reports On The Treatment
mikroskopis lesi dapat disarankan untuk Of Perioral Dermatitis. Dermatology, 210,
mengetahui apakah ada infeksi bakteri, jamur 300-
atau adanya Demodex 7. Available from http://search.proquest.
com/docview/275129538/DC34942E9874
4010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni 2014).

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

22. PITIRIASIS ROSEA


No. ICPC-2 No. ICD-10
: S90 Pityriasis rosea
: L42 Pityriasis rosea
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
sejajar dengan tulang iga, sehingga menyerupai
Penyakit ini belum diketahui sebabnya, pohon cemara terbalik. Tempat predileksi yang
dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk sering adalah pada badan, lengan atas bagian
eritema dan skuama halus (mother patch), proksimal dan paha atas.
kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil
Gambar 11.26 Pitiriasis rosea
di badan, lengan dan paha atas, yang
tersusun sesuai dengan lipatan kulit. Penyakit
ini biasanya sembuh dalam waktu 3-8
minggu. Pitiriasis rosea didapati pada semua
usia, terutama antara 15-40 tahun, dengan
rasio pria dan wanita sama besar.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan lesi kemerahan
yang awalnya satu kemudian diikuti dengan lesi
yang lebih kecil yang menyerupai pohon cemara Pemeriksaan Penunjang
terbalik. Lesi ini kadang-kadang dikeluhkan
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis KOH
terasa gatal ringan.
dilakukan untuk menyingkirkan Tinea Korporis.
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Etiologi belum diketahui, ada yang mengatakan
Diagnosis Klinis
hal ini merupakan infeksi virus karena
merupakan self limited disease. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Tinea korporis, Erupsi obat

Pemeriksaan Fisik Komplikasi

Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat, Tidak ada komplikasi yang bermakna.
sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald
patch), umumnya di badan, soliter, berbentuk Penatalaksanaan
oval, dan anular, diameternya sekitar 3 cm. Lesi Pengobatan bersifat simptomatik, misalnya
terdiri atas eritema dan skuama halus di untuk gatal diberikan antipruritus seperti bedak
atasnya. Lamanya beberapa hari sampai dengan asam salisilat 1-2% atau mentol 0,25-0,5%.
beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4-10
hari setelah lesi pertama dengan gambaran Konseling dan Edukasi
serupa dengan lesi pertama, namun lebih Edukasi pasien dan keluarga bahwa penyakit ini
kecil, susunannya swasirna.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 33


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kriteria Rujukan Referensi


Tidak perlu dirujuk 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Peralatan
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Lup Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Prognosis 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
Prognosis pada umumnya bonam karena Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
penyakit sembuh spontan dalam waktu 3-8 Saunders Elsevier.
minggu. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.

23. ERITRASMA
No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: L08.1 Erythrasmay
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik
Penderita Diabetes Mellitus, iklim sedang dan
pada stratum korneumyang disebabkan oleh
panas, maserasi pada kulit, banyak berkeringat,
Corynebacterium minutissimum. Eritrasma
kegemukan, higiene buruk, peminum alkohol
terutama terjadi pada orang dewasa, penderita
diabetes, dan banyak ditemukan di daerah Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
tropis. Eritrasma dianggap tidak begitu menular Sederhana (Objective)
karena didapatkan bahwa pasangan suami istri
Pemeriksaan Fisik
tidak mendapatkan penyakit tersebut secara
bersama- sama. Secara global, insidens Lokasi : lipat paha bagian dalam, sampai skrotum,
eritrasma dilaporkan 4% dan lebih banyak aksilla, dan intergluteal
ditemukan di daerah iklim tropis dan
subtropis. Selain itu insidensnya lebih banyak Efloresensi : eritema luas berbatas tegas, dengan
ditemukan pada ras kulit hitam. Eritrasma skuama halus dan kadang erosif. Kadang juga
terjadi baik pria maupun wanita, pada pria didapatkan likenifikasi dan hiperpigmentasi.
lebih banyak ditemukan eritrasma pada Pemeriksaan Penunjang
daerah kruris, sedangkan pada wanita di
daerah interdigital. Berdasarkan usia, insidens 1. Pemeriksaan dengan lampu Wood
eritrasma bertambah seiring dengan 2. Sediaan langsung kerokan kulit dengan
pertambahan usia dengan pasien termuda yang pewarnaan gram
pernah ditemukan yaitu usia 1 tahun.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis
Eritrasma kadang tidak menimbulkan keluhan dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
subyektif, tetapi ada juga pasien datang dengan dengan lampu Wood didapatkan fluoresensi
keluhan gatal dengan durasi dari bulan merah bata (coral pink).
sampai tahun.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.


Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Pitiriasis versikolor, Tinea kruris, Dermatitis
Indonesia.
seboroik, Kandidiasis
2. Kibbi A.G.Erythrasma. Available
Komplikasi: -
from http://e- medicine.medscape.com
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (10 Juni 2014)

Penatalaksanaan 3. Morales-Trujillo ML, Arenas R, Arroyo


S. Interdigital Erythrasma: Clinical,
1. Pengobatan topikal: salep Tetrasiklin 3% Epidemiologic, And Microbiologic
2. Pengobatan sistemik: Eritromisin 1 g Findings. Actas Dermosifiliogr. Jul-Aug
sehari (4 x 250mg) untuk 2-3 minggu. 2008;99(6):469-73
Gambar 11.27 Eritrasma 4. Sarkany I, Taplin D, Blank H. Incidence
And Bacteriology Of Erythrasma.Arch
Dermatol. May 1962;85:578-82

Rencana Tindak Lanjut: -


Konseling dan Edukasi
1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol
gula darah
2. Menjaga kebersihan badan
3. Menjaga agar kulit tetap kering
4. Menggunakan pakaian yang bersih
dengan bahan yang menyerap keringat.
5. Menghindari panas atau kelembaban yang
berlebih
Kriteria Rujukan: -
Peralatan
1. Lampu Wood
2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
KOH dan pewarnaan gram
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 33


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

24. SKROFULODERMA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: A 70 Tuberculosis
: A 18.4 Tuberculosis of skin and subcutaneous tissue
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi Diagnosis Klinis
infeksi tuberkulosis akibat penjalaran per
kontinuitatum dari organ di bawah kulit Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
seperti limfadenitis atau osteomielitis yang pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
membentuk abses dingin dan melibatkan kulit
Gambar 11.28 Skrofuloderma
di atasnya, kemudian pecah dan membentuk
sinus di permukaan kulit.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Skrofuloderma biasanya dimulai dengan
pembesaran kelenjar getah bening tanpa
tanda-tanda radang akut. Mula-mula hanya
Diagnosis Banding
beberapa kelenjar diserang, lalu makin banyak
sampai terjadi abses memecah dan menjadi Limfosarkoma, Limfoma maligna, Hidradenitis
fistel kemudian meluas menjadi ulkus. Jika supurativa, Limfogranuloma venerum
penyakitnya telah menahun, maka didapatkan
gambaran klinis yang lengkap. Komplikasi :-

Faktor Risiko Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Sama dengan TB Paru Penatalaksanaan

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sama dengan TB Paru


Sederhana (Objective) Pengobatan sistemik: Sama dengan TB Paru
Rencana tindak lanjut:
Pemeriksaan Fisik
Memantau kriteria penyembuhan skrofuloderma,
Lokasi : leher, ketiak, lipat paha antara lain:
Efloresensi : pembesaran kelenjar getah bening 1. Semua fistel dan ulkus sudah menutup
tanpa radang akut kecuali tumor dengan 2. Seluruh kelenjar limfe sudah mengecil (<
konsistensi bermacam-macam, periadenitis, 1 cm, konsistensi keras)
abses dan fistel multipel, ulkus-ulkus khas, 3. Sikatriks tidak eritematous
sikatriks-sikatriks yang memanjang dan tidak 4. Laju Endap Darah menurun
teratur serta jembatan kulit.
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang
Sama dengan TB Paru
1. Pemeriksaan dahak
2. Pemeriksaan biakan Mycobacterium Peralatan
tuberculosis 1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

laju endap darah dan pemeriksaan BTA 2. Kementerian Kesehatan RI. 2008. Diagnosis
2. Tes tuberkulin dan Tata Laksana TB Pada Anak. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI.
Prognosis 3. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman
Bonam Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

25. HIDRADENITIS SUPURATIF


No. ICPC-2: S92 Sweat gland disease
No. ICD-10: L73.2 Hidradenitis suppurativa
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Hidradenitis supuratif atau disebut juga akne Merokok, obesitas, banyak berkeringat,
inversa adalah peradangan kronis dan supuratif pemakaian deodorant, menggunting rambut
pada kelenjar apokrin. Penyakit ini terdapat ketiak
pada usia pubertas sampai usia dewasa muda.
Prevalensi keseluruhan adalah sekitar 1%. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Rasio wanita terhadap pria adalah 3:1. Dari Sederhana (Objective)
beberapa penelitian epidemiologi diketahui
Pemeriksaan Fisik
bahwa sepertiga pasien hidradenitis supuratif
memiliki kerabat dengan hidradenitis. Merokok Ruam berupa nodus dengan tanda-tanda
dan obesitas merupakan faktor risiko untuk peradangan akut, kemudian dapat melunak
penyakit ini. Penyakit ini juga sering didahului menjadi abses, dan memecah membentuk fistula
oleh trauma atau mikrotrauma, misalnya banyak dan disebut hidradenitis supuratif. Pada yang
keringat, pemakaian deodorant atau rambut menahun dapat terbentuk abses, fistel, dan
ketiak digunting. sinus yang multipel. Terdapat leukositosis.
Beberapa bakteri telah diidentifikasi dalam kultur Lokasi predileksi di aksila, lipat paha, gluteal,
yang diambil dari lesi hidradenitis supuratif, perineum dan daerah payudara. Meskipun
diantaranya adalah Streptococcusviridans, penyakit ini di aksila seringkali ringan, di
Staphylococcus aureus, bakteri anaerob perianal sering progresif dan berulang.
(Peptostreptococcus spesies, Bacteroides
melaninogenicus, dan Bacteroides corrodens), Ada dua sistem klasifikasi untuk menentukan
Coryneformbacteria, dan batang Gram-negatif. keparahan hidradenitis supuratif, yaitu dengan
sistem klasifikasi Hurley dan Sartorius.
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Hurley mengklasifikasikan pasien menjadi
Keluhan awal yang dirasakan pasien adalah tiga kelompok berdasarkan adanya dan
gatal, eritema, dan hiperhidrosis lokal. Tanpa luasnyajaringan parutdan sinus.
pengobatan penyakit ini dapat berkembang dan
a. TahapI : lesi soliter atau multipel,
pasien merasakan nyeri di lesi.
ditandai dengan pembentukan abses

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 34


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

tanpa saluran sinus atau jaringan Komplikasi


parut.
1. Jaringan parut di lokasi lesi.
b. Tahap II : lesi single atau multipel 2. Inflamasi kronis pada genitofemoral dapat
dengan abses berulang, ditandai menyebabkan striktur di anus, uretra atau
dengan pembentukan saluran sinus dan rektum.
jaringan parut. 3. Fistula uretra.
c. TahapIII : tahap yang palingparah, 4. Edema genital yang dapat menyebabkan
beberapa saluran saling berhubungan gangguan fungsional.
dan abses melibatkan seluruh 5. Karsinoma sel skuamosa dapat
daerah anatomi (misalnya ketiak berkembangpada pasien dengan riwayat
atau pangkal paha). penyakit yang lama, namun jarang terjadi.
2. Skor Sartorius. Skor didapatkan dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
menghitung jumlah lesi kulit dan tingkat
keterlibatan di setiap lokasi anatomi. Lesi Penatalaksanaan
yang lebih parah seperti fistula diberikan
1. Pengobatan oral:
skor yang lebih tinggi dari pada lesi ringan
seperti abses. Skor dari semua lokasi a. Antibiotik sistemik
anatomi ditambahkan untuk mendapatkan Antibiotik sistemik misalnya dengan
skor total. kombinasi rifampisin 600 mg sehari
(dalam dosis tunggal atau dosis terbagi)
Gambar 11.29 Hidradenitis supuratif
dan klindamisin 300 mg dua kali
sehari menunjukkan hasil pengobatan
yang menjanjikan. Dapson dengan
dosis 50-150mg/hari sebagai
monoterapi, eritromisin atau
tetrasiklin 250-500 mg 4x sehari,
doksisilin 100 mg 2x sehari selama 7-
14 hari.
b. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik misalnya
triamsinolon, prednisolon atau
Pemeriksaan Penunjang prednison
2. Jika telah terbentuk abses, dilakukan insisi.
Pemeriksaan darah lengkap
Konseling dan Edukasi
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Edukasi dilakukan terhadap pasien, yaitu berupa:
Diagnosis Klinis
1. Mengurangi berat badan untuk pasien
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis
obesitas.
dan pemeriksaaan fisik. 2. Berhenti merokok.
Diagnosis Banding 3. Tidak mencukur di kulit yang berjerawat
karena mencukur dapat mengiritasi kulit.
Furunkel, karbunkel, kista epidermoid atau 4. Menjaga kebersihan kulit.
kista dermoid, Erisipelas, Granuloma inguinal, 5. Mengenakan pakaian yang longgar untuk
Lymphogranuloma venereum, Skrofuloderma mengurangi gesekan
6. Mandi dengan menggunakan sabun dan
antiseptik atau antiperspirant.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Kriteria Rujukan http://search.proquest.com/docview/52117 6635?


accountid=17242(7 Juni 2014)..
Pasien dirujuk apabila penyakit tidak sembuh
dengan pengobatan oral atau lesi kambuh 7. Shah, N. 2005. Hidradenitus suppurative:
setelah dilakukan insisi dan drainase. A treatment challenge. American Family
Physician, 72(8), pp. 1547-1552. Available
Peralatan
from http://www.aafp.org/afp/2005/1015/
Bisturi p1547.html#afp20051015p1 547-t2(7 Juni
2014).
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tingkat keparahan
penyakit bervariasi dari satu pasien dengan
pasien lainnya.
Referensi
1. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012.
Pharmacologic Interventions For
Hidradenitis Suppurativa. American Journal
Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91.
Available from http://search.proquest.com/
docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7
905F304E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni
2014).
2. American Academy of Dermatology
Hidradenitis suppurativa. Available
from http://www.aad.org/dermatology- a-
to-z/diseases-and-treatments/e---h/
hidradenitis-suppurativa(7 Juni 2014).
3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Herrington, S. (2007).
Hidradenitis
suppurativa. In M. R. Dambro (Ed.), Griffith’s
5 minute clinical consult.14th Ed.
Philadelphia. Lippincott Williams and
Wilkins, pp. 570–572.
5. Jovanovic, M. 2014. Hidradenitis
suppurativa. Medscape. June 7, 2014.
http://emedicine.
medscape.com/article/1073117-overview.
6. Sartorius, K., Emtestam, L., Lapins, J. &
Johansson, O. 2010. Cutaneous PGP 9.5
Distribution Patterns In Hidradenitis
Suppurativa. Archives of Dermatological
Research, 302,pp. 461-8. Available from:

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 34


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

26. AKNE VULGARIS RINGAN


No. ICPC-2: S96 Acne
No. ICD-10: L70.0 Acne vulgaris
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan tertutup (white comedo, close comedo).


Akne vulgaris adalah penyakit peradangan Erupsi kulit polimorfi dengan gejala
kronis dari folikel pilosebasea yang diinduksi predominan salah satunya, komedo, papul yang
dengan peningkatan produksi sebum, perubahan tidak beradang dan pustul, nodus dan kista yang
pola keratinisasi, peradangan, dan kolonisasi dari beradang. Tempat predileksi adalah di muka,
bakteri Propionibacterium acnes. Sinonim untuk bahu, dada bagian atas, dan punggung
penyakit ini adalah jerawat. Umumnya insidens bagian atas. Lokasi kulit lain misalnya di leher,
terjadi pada wanitausia 14-17 tahun, pria16- lengan atas, dan kadang- kadang glutea.
19 tahun lesi yang utama adalah komedo dan Gradasi yang menunjukan berat ringannya
papul dan dapat dijumpai pula lesi beradang. penyakit diperlukan bagi pilihan pengobatan.
Pada anak wanita,akne vulgaris dapat terjadi Gradasi akne vulgaris adalah sebagai berikut:
pada premenarke. Setelah masa remaja kelainan
ini berangsur berkurang, namun kadang-kadang 1. Ringan, bila:
menetap sampai dekade ketiga terutama pada a. Beberapa lesi tak beradang pada satu
wanita. Ras oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih predileksi
jarang menderita akne vulgaris dibandingkan b. Sedikit lesi tak beradang pada beberapa
dengan ras kaukasia (Eropa, Amerika). tempat predileksi
c. Sedikit lesi beradang pada satu
Hasil Anamnesis (Subjective) predileksi
Keluhan berupa erupsi kulit polimorfi di lokasi 2. Sedang, bila:
predileksi, disertai rasa nyeri atau gatal namun a. Banyak lesi tak beradang pada satu
masalah estetika umumnya merupakan keluhan predileksi
utama. b. Beberapa lesi tak beradang pada lebih
dari satu predileksi
Faktor Risiko: c. Beberapa lesi beradang ada satu
predileksi
Usia remaja, stress emosional, siklus menstruasi,
d. Sedikit lesi beradang pada lebih dari
merokok, ras, riwayat akne dalam keluarga,
satu predileksi
banyak makan makanan berlemak dan tinggi
3. Berat, bila:
karbohidrat
a. Banyak lesi tak beradang pada lebih dari
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang satu predileksi
Sederhana (Objective) b. Banyak lesi beradang pada satu atau
lebih predileksi
Pemeriksaan Fisik
Keterangan:
Tanda patognomonis
Sedikit bila kurang dari 5, beberapa bila 5-10,
Komedo berupa papul miliar yang banyak bila lebih dari 10 lesi
ditengahnya mengandung sumbatan sebum,
bila berwarna hitam disebut komedo hitam Tak beradang : komedo putih, komedo hitam,
(black comedo, open comedo) dan bila berwarna papul
putih disebut komedo putih atau komedo
Beradang : pustul, nodus, kista

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pada pemeriksaan ekskohleasi sebum, yaitu Penegakan Diagnostik (Assessment)


pengeluaran sumbatan sebum dengan
Diagnosis Klinis
komedo ekstraktor (sendok Unna) ditemukan
sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai Ditegakkan erdasarkan anamnesis dan
massa padat seperti lilin atau massa lebih pemeriksaaan fisik.
lunak seperti nasi yang ujungnya kadang
berwarna hitam. Diagnosis Banding: Erupsi akneiformis, Akne
venenata, Rosasea, Dermatitis perioral
Gambar: 11.30 Lesi beradang
Penatalaksanaan (Plan)
Penatalaksanaan meliputi usaha untuk
mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan
usaha untuk menghilangkan jerawat yang
terjadi (kuratif).
Pencegahan yang dapat dilakukan :
1. Menghindari terjadinya peningkatan
jumlah lipid sebum dan perubahan isi
sebum dengan cara :
a. Diet rendah lemak dan karbohidrat.
Gambar: 11.31 Komedo Hitam Meskipun hal ini diperdebatkan
efektivitasnya, namun bila pada
anamnesis menunjang, hal ini dapat
dilakukan.
b. Melakukan perawatan kulit dengan
membersihkan permukaan kulit.
2. Menghindari terjadinya faktor pemicu
terjadinya akne, misalnya :
a. Hidup teratur dan sehat, cukup
istirahat, olahraga, sesuai kondisi
tubuh, hindari stress.
Gambar: 11.32 Akne vulgaris ringan lesi b. Penggunaan kosmetika secukupnya,
campuran baik banyaknya maupun lamanya.
c. Menjauhi terpacunya kelenjar minyak,
misalnya minuman keras, makanan
pedas, rokok, lingkungan yang tidak
sehat dan sebagainya.
d. Menghindari polusi debu, pemencetan
lesi yang tidak lege artis, yang dapat
memperberat erupsi yang telah terjadi.
Pengobatan akne vulgaris ringan dapat
dilakukan dengan memberikan farmakoterapi
seperti :
1. Topikal
Pemeriksaan Penunjang Pengobatan topikal dilakukan untuk
mencegah pembentukan komedo,
Umumnya tidak diperlukan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 34


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

menekan peradangan dan mempercepat Konseling dan Edukasi


penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri dari :
Dokter perlu memberikan informasi yang tepat
a. Retinoid pada pasien mengenai penyebab penyakit,
Retinoidtopikal merupakan obat pencegahan, dan cara maupun lama
andalan untuk pengobatan jerawat pengobatan, serta prognosis penyakitnya. Hal ini
karena dapat menghilangkan penting agar penderita tidak mengharap
komedo, mengurangi pembentukan berlebihan terhadap usaha penatalaksanaan
mikrokomedo, dan adanya efek yang dilakukan.
antiinflamasi. Kontraindikasi obat ini
Kriteria rujukan
yaitu pada wanita hamil, dan wanita
usia subur harus menggunakan Akne vulgaris sedang sampai berat.
kontrasepsi yang efektif. Kombinasi
retinoid topikal dan antibiotik topikal Peralatan
(klindamisin) atau benzoil peroksida Komedo ekstraktor (sendok Unna)
lebih ampuh mengurangi jumlah
inflamasi dan lesi non-inflamasi Prognosis
dibandingkan dengan retinoid
Prognosis umumnya bonam. akne vulgaris
monoterapi. Pasien yang memakai
umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30-
kombinasi terapi juga menunjukkan
40 an.
tanda-tanda perbaikan yang lebih
cepat. Referensi
b. Bahan iritan yang dapat mengelupas
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
kulit (peeling), misalnya sulfur (4-8),
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
resorsinol (1-5%), asam salisilat (2-
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
5%), peroksida benzoil (2,5-10%), asam
Universitas Indonesia.
vitamin A (0,025-0,1%), asam azelat
(15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA) 2. Williams, H. C., Dellavalle, R. P. & Garner, S.
misalnya asma glikolat (3-8%). Efek 2012. Acne Vulgaris.
samping obat iritan dapat dikurangi
3. The Lancet, 379, pp. 361-72. Available
dengan cara pemakaian berhati-hati
from http://search.proquest.com/
dimulai dengan konsentrasi yang paling
docview/920097495/abstract?accoun
rendah.
tid=17242#(7 Juni 2014).
c. Antibiotik topikal: oksitetrasiklin 1%
atau klindamisin fosfat 1%. 4. Simonart, T. 2012. Newer Approaches To
d. Antiperadangan topikal: hidrokortison The Treatment Of Acne Vulgaris.
1-2,5%. American Journal Of Clinical Dermatology,
13, pp. 357-
2. Sistemik 64. Available from http://search.proquest.
Pengobatan sistemik ditujukan untuk com/docview/1087529303/F21F34D005
menekan aktivitas jasad renik disamping 744CD7PQ/20?accountid=17242# (7 Juni
juga mengurangi reaksi radang, menekan 2014).
produksi sebum. Dapat diberikan antibakteri
sistemik, misalnya tetrasiklin 250 mg-1g/
hari, eritromisin 4x250 mg/hari.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

27. URTIKARIA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S98 Urticaria
: L50 Urticaria
L50.9Urticaria, unspecified
Tingkat Kemampuan : Urtikaria akut: 4A
Urtikaria kronis : 3A

Masalah Kesehatan kacang, dan sebagainya).


7. Riwayat infeksi dan infestasi parasit.
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit akibat
8. Penyakit autoimun dan kolagen.
bermacam-macam sebab. Sinonim penyakit
9. Usia rata-rata adalah 35 tahun.
ini adalah biduran, kaligata, hives, nettle rash.
10. Riwayat trauma faktor fisik (panas, dingin,
Ditandai oleh edema setempat yang timbul
sinar matahari, sinar UV, radiasi).
mendadak dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
permukaan kulit,sekitarnya dapat dikelilingi halo. Sederhana (Objective)
Dapat disertai dengan angioedema. Penyakit ini
sering dijumpai pada semua usia, orang dewasa Pemeriksaan Fisik
lebih banyak terkena dibandingkan dengan usia Lesi kulit yang didapatkan:
muda. Penderita atopi lebih mudah
mengalami urtikaria dibandingkan dengan 1. Ruam atau patch eritema.
orang normal. Penisilin tercatat sebagai obat 2. Berbatas tegas.
yang lebih sering menimbulkan urtikaria. 3. Bagian tengah tampak pucat.
4. Bentuk papul dengan ukuran bervariasi,
Hasil Anamnesis (Subjective) mulai dari papular hingga plakat.
Keluhan 5. Kadang-kadang disertai demografisme,
berupa edema linier di kulit yang terkena
Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, goresan benda tumpul, timbul dalam waktu
rasa tersengat atau tertusuk. Gatal sedang-berat lebih kurang 30 menit.
di kulit yang disertai bentol-bentol di daerah 6. Pada lokasi tekanan dapat timbul lesi urtika.
wajah, tangan, kaki, atau hampir di seluruh 7. Tanda lain dapat berupa lesi bekas garukan.
tubuh. Keluhan dapat juga disertai rasa panas
seperti terbakar atau tertusuk. Kadang-kadang Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan
terdapat keluhan sesak napas, nyeri perut, pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan
muntah- muntah, nyeri kepala, dan berdebar- gigi, THT, dan sebagainya untuk menyingkirkan
debar (gejala angioedema). adanya infeksi fokal.

Faktor Risiko Tempat predileksi

1. Riwayat atopi pada diri dan keluarga. Bisa terbatas di lokasi tertentu, namun dapat
2. Riwayat alergi. generalisata bahkan sampai terjadi angioedema
3. Riwayat trauma fisik pada aktifitas. pada wajah atau bagian ekstremitas.
4. Riwayat gigitan/sengatan serangga. Pemeriksaan Penunjang
5. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotik
– tersering penisilin, diuretik, imunisasi, 1. Pemeriksaan darah (eosinofil), urin dan
injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya). feses rutin (memastikan adanya fokus
6. Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, infeksi tersembunyi).
2. Uji gores (scratch test) untuk melihat

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 34


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dermografisme. • Keikutsertaan komplemen reaksi


3. Tes eliminasi makanan dengan cara hipersensitifitas tipe II dan III
menghentikan semua makanan yang (Coombs and Gell), dan genetik.
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu • Urtikaria kontak reaksi
mencobanya kembali satu per satu. hipersensitifitas tipe 4 (Coombs and
4. Tes fisik: tes dengan es (ice cube test), Gell).
tes
dengan air hangat b. Urtikaria non-imunologik (obat
golongan opiat, NSAID, aspirin serta
Gambar 11.33 Urtikaria trauma fisik).
c. Urtikaria idiopatik (tidak jelas penyebab
dan mekanismenya).
Diagnosis Banding
Purpura anafilaktoid (purpura Henoch-
Schonlein), Pitiriasis rosea (lesi awal berbentuk
eritema), Eritema multiforme (lesi urtika,
umumnya terdapat pada ekstremitas bawah).
Komplikasi
Angioedema dapat disertai obstruksi jalan napas.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Diagnosis Klinis
Prinsip penatalaksanaan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi Tata laksana pada layanan Tingkat Pertama
dilakukan dengan first- line therapy, yaitu
1. Berdasarkan waktu berlangsungnya memberikan edukasi pasien tentang penyakit
serangan, urtikaria dibedakan atas urtikaria urtikaria (penyebab dan prognosis) dan
akut (< 6 minggu atau selama 4 minggu terapi farmakologis sederhana.
terus menerus) dan kronis (> 6 minggu).
2. Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria Urtikaria akut
dibedakan menjadi urtikaria papular (papul), Atasi keadaan akut terutama pada
gutata (tetesan air) dan girata (besar- besar). angioedema karena dapat terjadi obstruksi
3. Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan saluran napas. Penanganan dapat dilakukan di
yang terkena, urtikaria dibedakan menjadi Unit Gawat Darurat bersama-sama
urtikaria lokal (akibat gigitan serangga atau dengan/atau dikonsultasikan ke dokter spesialis
kontak), generalisata (umumnya disebabkan THT.
oleh obat atau makanan) dan angioedema.
Bila disertai obstruksi saluran napas,
4. Berdasarkan penyebab dan mekanisme diindikasikan pemberian epinefrin subkutan yang
terjadinya, urtikaria dapat dibedakan dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid
menjadi: prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis
a. Urtikaria imunologik, yang dibagi lagi diturunkan 5-10 mg/hari.
menjadi:
Urtikaria kronik
• Keterlibatan IgE reaksi
hipersensitifitas tipe I (Coombs and 1. Pasien menghindari penyebab yang dapat
Gell) yaitu pada atopi dan adanya menimbulkan urtikaria, seperti:
antigen spesifik. a. Kondisi yang terlalu panas, stres,

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

alkohol, dan agen fisik. Peralatan


b. Penggunaan antibiotik penisilin, 1. Tabung dan masker oksigen
aspirin, NSAID, dan ACE inhibitor.
c. Agen lain yang diperkirakan dapat 2. Alat resusitasi
menyebabkan urtikaria. 3. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
2. Pemberian farmakoterapi dengan: darah, urin dan feses rutin.
a. Antihistamin oral nonsedatif, misalnya Prognosis
loratadin 1 x 10 mg per hari selama 1
minggu. Prognosis pada umumnya bonam dengan
tetap menghindari faktor pencetus.
b. Bila tidak berhasil dikombinasi
dengan Hidroksisin 3 x 25 mg atau Referensi
Difenhidramin 4 x 25-50 mg per hari
selama 1 minggu. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
c. Apabila urtikaria karena dingin, Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
diberikan Siproheptadin 3 x 4 mg per Universitas Indonesia.
hari lebih efektif selama 1 minggu terus
menerus. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
d. Antipruritus topikal: cooling 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
antipruritic lotion, seperti krim menthol Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
1% atau 2% selama 1 minggu terus Saunders Elsevier.
menerus. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
e. Apabila terjadi angioedema atau Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
urtikaria generalisata, dapat diberikan Jakarta.
Prednison oral 60-80 mg mg per hari
dalam 3 kali pemberian selama 3 hari
dan dosis diturunkan 5-10 mg per hari.
Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga diberitahu mengenai:
1. Prinsip pengobatan adalah identifikasi
dan eliminasi faktor penyebab urtikaria.
2. Penyebab urtikaria perlu menjadi
perhatian setiap anggota keluarga.
3. Pasien dapat sembuh sempurna.
Kriteria Rujukan
1. Rujukan ke dokter spesialis bila ditemukan
fokus infeksi.
2. Jika urtikaria berlangsung kronik dan
rekuren.
3. Jika pengobatan first-line therapy gagal.
4. Jika kondisi memburuk, yang ditandai
dengan makin bertambahnya patch eritema,
timbul bula, atau bahkan disertai sesak.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 34


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

28. EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION


No. ICPC-2 No. ICD-10
: S07 Rash generalized
: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicament
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Tanda patognomonis
Exanthematous Drug Eruption adalah salah
1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis.
satu bentuk reaksi alergi ringan pada kulit yang
2. Kelainan dapat simetris. Tempat predileksi
terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya
tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak.
sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang
dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, Pemeriksaan Penunjang
dan terapi. Bentuk reaksi alergi merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan
lambat) menurut Coomb and Gell. Nama lainnya penunjang.
adalah erupsi makulopapular atau morbiliformis. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis
Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Gatal ringan sampai berat yang disertai dan pemeriksaan fisik.
kemerahan dan bintil pada kulit. Kelainan Diagnosis Banding
muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan.
Biasanya disebabkan karena penggunaan Morbili
antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin)
Komplikasi
atau analgetik-antipiretik non steroid. Kelainan
umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, Eritroderma
dan lipat ketiak, kemudian meluas dalam 1-2
hari. Gejala diikuti demam subfebril, malaise, Gambar 11.34. Exanthematous Drug Eruption
dan nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu
setelah mulai mengkonsumsi obat, jamu, atau
bahan- bahan yang dipakai untuk diagnostik
(contoh: bahan kontras radiologi).
Faktor Risiko
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis,
dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan
sinar matahari, atau kontak obat pada kulit
terbuka).
2. Riwayat atopi diri dan keluarga.
3. Alergi terhadap alergen lain. Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
4. Riwayat alergi obat sebelumnya.
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan
Sederhana (Objective)
obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan
Pemeriksaan Fisik menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Farmakoterapi yang diberikan, yaitu: b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan Uji
provokasi
1. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 3. Bila tidak ada perbaikan setelah
30 mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian mendapatkan pengobatan standar dan
per hari selama 1 minggu. menghindari obat selama 7 hari
2. Antihistamin sistemik: 4. Lesi meluas
a. Setirizin 2x10 mg/hari selama 7 hari
bila diperlukan, atau Peralatan
b. Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
diperlukan
3. Topikal: Bedak salisilat 2% dan mendiagnosis penyakit Exanthematous Drug
Eruption.
antipruritus (Menthol 0.5% - 1%)
Konseling dan Edukasi Prognosis
Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab
erupsi. mengalami komplikasi atau tidak memenuhi
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk kriteria rujukan.
membuat catatan kecil di dompetnya Referensi
tentang alergi obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
pasien bisa sembuh dengan adanya Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kriteria Rujukan
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
berkembang menjadi Sindroma Steven Saunders Elsevier.
Johnson.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
obat yang diduga sebagai penyebab : Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
a. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan Jakarta.
dengan

29. FIXED DRUG ERUPTION


No. ICPC-2 No. ICD-10
: A85 Adverse effect medical agent
: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu
Hasil Anamnesis (Subjective)
jenis erupsi obat yang sering dijumpai.
Darinamanya dapat disimpulkan bahwa Keluhan
kelainan akan terjadi berkali-kali pada tempat
yang sama. Mempunyai tempat predileksi dan Pasien datang keluhan kemerahan atau luka
lesi yang khas berbeda dengan pada sekitar mulut, bibir, atau di alat kelamin,
Exanthematous Drug Eruption. FDE yang terasa panas. Keluhan timbul setelah
mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 35


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat, Pemeriksaan penunjang: Biasanya tidak


Trimetoprim, dan analgetik. diperlukan
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup Penegakan Diagnostik (Assessment)
riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu.
Kelainan timbul secara akut atau dapat juga Diagnosis Klinis
beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan
Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat pemeriksaan
disertai dengan demam yang subfebril.
Diagnosis Banding
Faktor Risiko
Pemfigoid bulosa, Selulitis, Herpes simpleks , SJS
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, (Steven Johnson Syndrome)
dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan
sinar matahari, atau kontak obat pada kulit Komplikasi
terbuka) Infeksi sekunder
2. Riwayat atopi diri dan keluarga
3. Alergi terhadap alergen lain Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
4. Riwayat alergi obat sebelumnya
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan
sederhana (Objective)
obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat
Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Lesi akan menyembuh bila obat penyebabnya
khas: dapat diketahui dan segera disingkirkan.
1. Vesikel, bercak Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang
2. Eritema dapat diberikan, yaitu:
3. Lesi target berbentuk bulat lonjong atau
1. Kortikosteroid sistemik, misalnya
numular
prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam
4. Kadang-kadang disertai erosi
3 kali pemberian per hari
5. Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan
di tepinya, terutama pada lesi berulang 2. Antihistamin sistemik untuk mengurangi
rasa gatal; misalnya Hidroksisin tablet 10
Tempat predileksi:
mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau
1. Sekitar mulut Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
2. Daerah bibir
3. Pengobatan topikal
3. Daerah penis atau vulva
a. Pemberian topikal tergantung dari
Gambar 11.35 Fixed Drug Eruption (FDE)
keadaan lesi, bila terjadi erosi atau
madidans dapat dilakukan kompres
NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas
kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa
selama 10-15 menit. Kompres dilakukan
3 kali sehari sampai lesi kering.
b. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian
topikal kortikosteroid potensi ringan-
sedang, misalnya Hidrokortison krim
2,5% atau Mometason furoat krim
0,1%.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Konseling dan Edukasi Peralatan


1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk mendiagnosis penyakit Fixed Drug Eruption.
membuat catatan kecil di dompetnya
Prognosis
tentang alergi obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak
pasien bisa sembuh dengan adanya mengalami komplikasi atau tidak memenuhi
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila kriteria rujukan.
alergi berulang terjadi kelainan yang
sama, pada lokasi yang sama. Referensi

Kriteria Rujukan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan Universitas Indonesia.
berkembang menjadi Sindroma Steven
Johnson. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
obat yang diduga sebagai penyebab: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
a. Uji tempel tertutup, bila negatif Saunders Elsevier.
lanjutkan dengan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
Kelamin.2011. Pedoman Pelayanan Medik.
c. Uji provokasi.
Jakarta.
3. Bila tidak ada perbaikan setelah
mendapatkan pengobatan standar selama
7 hari dan menghindari obat.
4. Lesi meluas.

30. CUTANEUS LARVA MIGRANS


No. ICPC-2 : D96 Worms/other parasites
No. ICD-10 : B76.9 Hookworm disease, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption)
Keluhan
merupakan kelainan kulit berupa peradangan
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul Pasien mengeluh gatal dan panas pada
dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva tempat infeksi. Pada awal infeksi, lesi
cacing tambang yang berasal dari anjing dan berbentuk papul yang kemudian diikuti
kucing. Penularan melalui kontak langsung dengan lesi berbentuk linear atau berkelok-
dengan larva. Prevalensi Cutaneus Larva Migran kelok yang terus menjalar memanjang.
di Indonesia yang dilaporkan oleh sebuah Keluhan dirasakan muncul sekitar empat hari
penelitian pada tahun 2012 di Kulon Progo setelah terpajan.
adalah sekitar 15%.
Faktor Risiko
Orang yang berjalan tanpa alas kaki, atau sering
berkontak dengan tanah atau pasir.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 35


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Terapi farmakologi dengan Albendazol


Sederhana (Objective) 400 mg sekali sehari, selama 3 hari.
Pemeriksaan Fisik Patognomonis 3. Untuk mengurangi gejala pada penderita
dapat dilakukan penyemprotan Etil Klorida
Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar
pada lokasi lesi, namun hal ini tidak
dan tersusun linear atau berkelok-kelok
membunuh larva.
meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm
per hari. 4. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat
diterapi sesuai dengan tatalaksana
Predileksi penyakit ini terutama pada daerah
pioderma.
telapak kaki, bokong, genital dan tangan.
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang
Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan
Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada.
penyakit dengan menjaga kebersihan diri.
Penegakan Diagnosis (Assessment) Kriteria Rujukan
Diagnosis Klinis Pasien dirujuk apabila dalam waktu 8 minggu
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis tidak membaik dengan terapi.
dan pemeriksaan fisik. Peralatan
Diagnosis Banding Lup
Dermatofitosis, Dermatitis, Dermatosis Prognosis
Komplikasi Prognosis umumnya bonam. Penyakit ini bersifat
Dapat terjadi infeksi sekunder. self-limited, karena sebagian besar larva mati
dan lesi membaik dalam 2-8 minggu, jarang
Gambar 11.36. Cutaneous Larva Migrans hingga 2 tahun.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Penatalaksanaan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
1. Memodifikasi gaya hidup dengan
menggunakan alas kaki dan sarung 4. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A.
tangan pada saat melakukan aktifitas 2012. Risk factors of hookworm related
yang berkontak dengan tanah, seperti cutaneous larva migrans and definitive
berkebun dan lain-lain. host

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

31. LUKA BAKAR DERAJAT I DAN II


No. ICPC-2 : S14burn/scald
No. ICD-10 : T30 burn and corrosion, body region unspecified
T31 burns classified according to extent of body surface involved
T32 corrosions classified according to extent of body surface involved
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai


Luka bakar (burn injury) adalah kerusakan kulit proses eksudasi. Terdapat bula yang berisi
yang disebabkan kontak dengan sumber cairan eksudat dan nyeri karena ujung-
panas seperti api, air panas, bahan kimia, ujung saraf sensorik yang teriritasi.
listrik dan radiasi. Dibedakan atas 2 bagian :
Hasil Anamnesis (Subjective) a. Derajat II dangkal/superficial (IIA). Kerusakan
mengenai bagian epidermis dan lapisan atas
Keluhan dari corium/dermis.
Pada luka bakar derajat I paling sering b. Derajat II dalam/deep (IIB). Kerusakan
disebabkan sinar matahari. Pasien hanya mengenai hampir seluruh bagian dermis
mengeluh kulit teras nyeri dan kemerahan. Pada dan sisa-sisa jaringan epitel masih sedikit.
luka bakar derajat II timbul nyeri dan bula. Organ-oran kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang tinggal sedikit sehingga penyembuhan
Sederhana (Objective) terjadi lebih dari satu bulan dan disertai
Pemeriksaan Fisik parut hipertrofi.
1. Luka bakar derajat I, kerusakan terbatas Gambar 11.38 Luka Bakar Superficial Partial
pada lapisan epidermis (superfisial), kulit Thickness (IIa). Memucat dengan penekanan,
hanya tampak hiperemi berupa eritema biasanya berkeringat
denganperabaan hangat, tidak dijumpai
adanya bula, terasa nyeri karena ujung-
ujung saraf sensorik teriritasi.
Gambar 11.37 Luka bakar dangkal (superfisial)

Gambar 11.39 Luka Bakar Deep Partial


Thickness (IIb) Permukaan putih, tidak memucat
dengan penekanan

Pada daerah badan dan lengan kanan, luka


bakar jenis ini biasanya memucat dengan
penekanan
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan
sebagian

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 35


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan Penunjang : - telinga, mata, kaki dan genitalia/


perinerium
Pemeriksaan darah lengkap : - e. Luka bakar dengan cedera inhalasi,
Menentukan luas luka bakar berdasarkan rumus disertai trauma lain.
“rule of nine” Penatalaksanaan (Plan)
Gambar 11.40 Luas luka bakar “Rule of nine” Penatalaksanaan
1. Luka bakar derajat 1 penyembuhan terjadi
secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Penatalaksanaan luka bakar derajat II
tergantung luas luka bakar.
Pada penanganan perbaikan sirkulasi pada luka
bakar dikenal beberapa formula, salah satunya
yaitu Formula Baxter sebagai berikut:
1. Hari Pertama:
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x
% luas bakar per 24 jam
Anak: Ringer Laktat : Dextran = 17 : 3

Penegakan Diagnostik (Assessment) 2 cc x berat badan x % luas luka


ditambah kebutuhan faali.
Diagnosis Klinis
Kebutuhan faali :
Diagnosis luka bakar derajat I atau II
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. < 1 Tahun : berat badan x 100 cc
1-3 Tahun : berat badan x 75 cc
Kriteria berat ringannya luka bakar dapat 3-5 Tahun : berat badan x 50 cc
dipakai ketentuan berdasarkan American Burn
Association, yaitu sebagai berikut: ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam
pertama.
1. Luka Bakar Ringan ½ diberikan 16 jam berikutnya.
a. Luka bakar derajat II < 15%
b. Luka bakar derajat II < 10% pada 2. Hari kedua
anak- anak
Dewasa : ½ hari I;
c. Luka bakar derajat III < 2%
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
2. Luka Bakar Sedang
a. Luka bakar derajat II 15-25% pada Formula cairan resusitasi ini hanyalah perkiraan
orang dewasa kebutuhan cairan, berdasarkan perhitungan
b. Luka bakar II 10-25% pada anak-anak pada waktu terjadinya luka bakar, bukan pada
c. Luka bakar derajat III < 10% waktu dimulainya resusitasi. Pada kenyataannya,
3. Luka Bakar Berat penghitungan cairan harus tetap disesuaikan
a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih dengan respon penderita. Untuk itu selalu perlu
pada orang dewasa dilakukan pengawasan kondisi penderita seperti
b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih keadaan umum, tanda vital, dan produksi urin
pada anak-anak dan lebih lanjut bisa dilakukan pemasangan
c. Luka bakar derajat II 10% atau lebih monitor EKG untuk memantau irama jantung
d. Luka bakar mengenai tangan, wajah, sebagai tanda awal terjadinya hipoksia,

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

gangguan elektrolit dan keseimbangan asam Prognosis


basa.
Prognosis luka bakar derajat 1 umumnya bonam,
Pemberian antibiotik spektrum luas pada luka namun derajat 2 dapat dubia ad bonam.
bakar sedang dan berat.
Referensi
Komplikasi Jaringan parut
1. Doherty, G.M. 2006. Current surgical
Konseling dan Edukasi diagnosis and & treatment. United State of
America. Lange Medical Publication.
Pasien dan keluarga menjaga higiene dari 2 Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio).
luka dan untuk mempercepat penyembuhan, http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/
jangan sering terkena air. matkul/Ilmu%20Kedokte ran%20
Kriteria Rujukan Terintegrasi%20- %20PBL/Materi%20
PBL%20IIa%202007- 2008/luka%20
Rujukan dilakukan pada luka bakar sedang bakar%20akut%20text.pdf
dan berat 3. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku
Peralatan Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Infus set, peralatan laboratorium untuk
pemeriksaan darah lengkap

32. ULKUS PADA TUNGKAI


No. ICPC-2 No. ICD-10
: S97Chronic Ulcer Skin
: I83.0 Varicose veins of lower extremities with ulcer
L97 Ulcer of lower limb, notelsewhere classified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan satu penyebab rusaknya pembuluh darah.


Ulkus pada tungkai adalah penyakit arteri, Pembagian ulkus kruris dibagi ke dalam empat
vena, kapiler dan pembuluh darah limfe yang golongan yaitu, ulkus tropikum, ulkus varikosus,
dapat menyebabkan kelainan pada kulit. ulkus arterial dan ulkus neurotrofik.
Insiden penyakit ini meningkat seiring dengan Hasil Anamnesis (Subjective)
bertambahnya usia. Di negara tropis, insidens
ulkus kruris lebih kurang 2% dari populasi dan Keluhan
didominasi oleh ulkus neurotropik dan ulkus
Pasien datang dengan luka pada tungkai bawah.
varikosum. Wanita lebih banyak terserang ulkus
Luka bisa disertai dengan nyeri atau tanpa
varikosum daripada pria, dengan perbandingan
nyeri. Terdapat penyakit penyerta lainnya yang
2:1, dengan usia rata-rata di atas 37 tahun
mendukung kerusakan pembuluh darah dan
untuk prevalensi varises.
jaringan saraf perifer.
Trauma, higiene yang buruk, gizi buruk,
Anamnesa:
gangguan pada pembuluh darah dan
1. Dapat ditanyakan kapan luka pertama kali
kerusakan saraf perifer dianggap sebagai
terjadi. Apakah pernah mengalami hal yang
penyebab yang paling sering. Kerusakan saraf
sama di daerah yang lain.
perifer biasanya terjadi pada penderita
2. Perlu diketahui apakah pernah mengalami
diabetes mellitus dan penderita kusta.
fraktur tungkai atau kaki. Pada tungkai
Hipertensi juga dikaitkan sebagai salah

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 35


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

perlu diperhatikan apakah ada vena tungkai Pemeriksaan penunjang


superfisial yang menonjol dengan tanda
1. Pemeriksaan darah lengkap
inkompetensi katup.
3. Perlu diketahui apakah penderita 2. Urinalisa
3. Pemeriksaan kadar gula dan kolesterol
mempunyai indikator adanya penyakit
yang dapat memperberat kerusakan pada 4. Biakan kuman
pembuluh darah. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko: usia penderita, berat badan, jenis Diagnosis klinis
pekerjaan, penderita gizi buruk, mempunyai
higiene yang buruk, penyakit penyerta yang bisa Dapat ditegakkan dengan anamnesis,
menimbulkan kerusakan pembuluh darah. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
Pemeriksaan biakan kuman pada ulkus sangat
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang membantu dalam diagnosa dan pemberian
Sederhana (Objective) terapi.
Pemeriksaan fisik Tabel 11.2. Diagnosa klinis ulkus pada tungkai
Gejala Klinis
Gejala klinis keempat tipe ulkus dapat di lihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 11.1 Gejala klinis ulkus pada tungkai

Diagnosis Banding
Keadaan dan bentuk luka dari keempat
jenis ulkus ini sulit di bedakan pada stadium
lanjut. Pada ulkus tropikum yang kronis dapat
menyerupai ulkus varikosum atau ulkus
arteriosum.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar : 11.41 Ulkus Varikosum a. Selalu menjaga kaki dalam keadaan


bersih.
b. Membersihkan dan mencuci kaki
setiap hari dengan air mengeringkan
dengan sempurna dan hati-hati
terutama diantara jari-jari kaki.
c. Memakai krim kaki yang baik pada
kulit yang kering atau tumit yang retak-
retak. Tidak memakai bedak, sebab ini
akan menyebabkan kering dan retak-
retak.
d. Menggunting kuku, lebih mudah
dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) lembut.
e. Menghindari penggunaan air panas
Penatalaksanaan atau bantal panas.
f. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki,
1. Non medikamentosa
a. Perbaiki keadaan gizi dengan termasuk di pasir.
makanan yang mengandung kalori Tabel 11.3. Penatalaksanaan terapi pada ulkus
dan protein tinggi, serta vitamin dan tungkai
mineral.
b. Hindari suhu yang dingin
c. Hindari rokok
d. Menjaga berat badan
e. Jangan berdiri terlalu lama dalam
melakukan pekerjaan
2. Medikamentosa
Pengobatan yang akan dilakukan
disesuaikan dengan tipe dari ulkus tersebut.
a. Pada ulkus varikosum lakukan terapi
dengan meninggikan letak tungkai saat
berbaring untuk mengurangi hambatan
aliran pada vena, sementara untuk
varises yang terletak di proksimal dari
ulkus diberi bebat elastin agar dapat
membantu kerja otot tungkai bawah
memompa darah ke jantung.
b. Pada ulkus arteriosum, pengobatan
untuk penyebabnya dilakukan konsul ke
bagian bedah.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi perawatan kaki
2. Olah raga teratur dan menjaga berat badan
ideal
3. Menghindari trauma berulang, trauma dapat Komplikasi
berupa fisik, kimia dan panas yang biasanya 1. Hematom dan infeksi pada luka
berkaitan dengan aktivitas atau jenis 2. Thromboembolisme (resiko muncul akibat
pekerjaan.
dilakukan pembedahan)
4. Menghentikan kebiasaan merokok.
5. Merawat kaki secara teratur setiap hari, 3. Terjadi kelainan trofik dan oedem secara
dengan cara :

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 35


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

spontan Referensi
4. Resiko amputasi jika keadaan luka
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
memburuk
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Kriteria Rujukan Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Respon terhadap perawatan ulkus tungkai
akan berbeda. Hal ini terkait lamanya ulkus, 2. Sudirman, U. 2002. Ulkus Kulit dalam
luas dari ulkus dan penyebab utama. Ulkus Kulit. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta.
Hipokrates.
Prognosis
3. Cunliff, T. Bourke, J. Brown Graham R. 2012.
1. Ad vitam : Dubia
Dermatologi Dasar Untuk Praktik Klinik.
2. Ad functionam : Dubia
Jakarta. EGC.
3. Ad sanationam : Dubia

33. SINDROM STEVENS-JOHNSON


No. ICPC-2: S99 Skin disease other
No. ICD-10: L51.1 Bullous erythema multiforme
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan
1. Mengkonsumsi obat-obatan yang dicurigai
sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
dapat mengakibatkan SSJ. Beberapa
di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
obat yang yang berisiko tinggi dapat
yang bervariasi dari ringan hingga berat. SSJ
menyebabkan terjadinya SSJ antara lain
merupakan bentuk minor dari toxic epidermal
allopurinol, trimethoprim- sulfamethoxazol,
necrolysis (TEN) dengan pengelupasan kulit
antibiotik golongan sulfonamid,
kurang dari 10% luas permukaan tubuh. SSJ
aminopenisillin, sefalosporin, kuinolon,
menjadi salah satu kegawatdaruratan karena
karbamazepin, fenitoin, phenobarbital,
dapat berpotensi fatal. Angka mortalitas
antipiretik / analgetik (salisil/pirazolon,
SSJ berkisar 1-5% dan lebih meningkat pada
metamizol, metampiron dan parasetamol)
pasien usia lanjut. Insiden sindrom ini
dan NSAID. Selain itu berbagai penyebab
semakin meningkat karena salah satu
dikemukakan di pustaka, misalnya: infeksi
penyebabnya adalah alergi obat dan sekarang
(bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma,
obat-obatan cenderung dapat diperoleh
paska-vaksinasi, radiasi dan makanan.
bebas.
2. Sistem imun yang lemah, misalnya pada
Hasil Anamnesis (Subjective)
HIV/AIDS.
Keluhan
3. Riwayat keluarga menderita SSJ.
Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
berat. Pada fase akut dapat disertai gejala
Sederhana (Objective)
prodromal berupa:demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, Pemeriksaan Fisik
arthralgia. Gejala prodromal selanjutnya akan
SSJ memiliki trias kelainan berupa:
berkembang ke arah manifestasi mukokutaneus.
1. Kelainan kulit

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Dapat berupa eritema, papul, purpura, 3. Pemphigus bullosa


vesikel dan bula yang memecah kemudian 4. Staphyloccocal Scalded Skin Syndrome
terjadi erosi luas. Lesi yang spesifik (SSSS)
berupa lesi target. Pada SSJ berat maka
kelainannya generalisata. Komplikasi
Ciri khas lesi di kulit adalah: Komplikasi tersering adalah bronkopneumonia,
a. ruam diawali dengan bentuk makula dapat pula terjadi gangguan elektrolit hingga
yang berubah menjadi papul, vesikel, syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan.
bula, plakurtikaria atau eritema
konfluens Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
b. tanda patognomoniknya adalah lesi
target Penatalaksanaan
c. berbeda dengan lesi eritema 1. Bila keadaan umum penderita cukup
multiform, lesi SSJ hanya memiliki baik dan lesi tidak menyeluruh dapat
2 zona warna, yaitubagian tengah dapat diberikan metilprednisolon 30-40 mg/hari.
berupa vesikel,purpura atau nekrotik 2. Mengatur keseimbangan cairan/elektrolit
yang dikelilingi oleh tepiberbentuk dan nutrisi.
makular eritema.
d. lesi yang menjadi bula akan pecah Setelah dilakukan penegakan diagnosis perlu
menimbulkan kulit yang terbuka yang segera dilakukan penentuan tingkat
akan rentanterinfeksi keparahan dan prognosis dengan
e. lesi urtikaria tidak gatal menggunakan sistem skoring SCORTEN.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium:
Pasien dengan skoring SCORTEN 3 atau lebih
tersering adalah pada mulut (90-100%),
genitalia (50%), lubang hidung (8%) dan sebaiknya segera ditangani di unit perawatan
anus (4%). Kelainan berupa vesikel dan intensif.
bula yang pecah dan mengakibatkan Tabel 11.5. SCORTEN (Skor keparahan penyakit)
erosi, ekskoriasi, dan krusta kehitaman. pada Sindrom
3. Kelainan mata, terjadi pada 80% di antara
semua kasus, tersering adalah konjugtivitis
kataralis, konjungtivitis purulen, perdarahan,
simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan
iridosiklitis.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas,
dapat dilakukan pemeriksaan darah perifer
lengkap, yang menunjukkan hasil leukositosis
yang menunjukkan adanya infeksi atau
eosinofilia kemungkinan adanya faktor alergi.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Konseling dan Edukasi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan Pasien dan keluarga diberikan penjelasan
histopatologi kulit. mengenai penyebab SSJ sehingga faktor
pencetus SSJdapat dihindari di kemudian hari.
Diagnosis Banding
1. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Kriteria Rujukan
2. Pemphigus vulgaris Berdasarkan skoring SCORTEN pasien

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 36


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dengan skor 3 atau lebih harus dirujuk ke


fasiltas pelayanan kesehatan sekunder untuk
mendapatkan perawatan intensif
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
darah lengkap.
Prognosis
1. Bila penangan tepat dan segera maka
prognosis cukup baik.
2. Prognosis malam bila terdapat purpura
luas, leukopenia, dan bronkopneumonia.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2002. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal
necrolysis and Stevens- Johnson syndrome.
Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
3. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis
and Stevens JohnsonSyndrome: Our Current
Understanding. Allergology International,55,
9-16

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

L. METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI

1. OBESITAS
No. ICPC-2
No. ICD-10 : T82 obesity, T83 overweight
: E66.9 obesity unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
penambahan berat badan dan retensi
Obesitas merupakan keadaan dimana seseorang natrium), usia (misalnya menopause),
memiliki kelebihan lemak (body fat) sehingga kejadian tertentu (misalnya berhenti
orang tersebut memiliki risiko kesehatan. merokok, berhenti dari kegiatan olahraga,
Riskesdas 2013, prevalensi penduduk laki-laki dsb).
dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
19,7% lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan
Sederhana (Objective)
tahun 2010 (7,8%). Sedangkan pada perempuan
di tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan Pemeriksaan Fisik
dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen 1. Pengukuran Antropometri (BB, TB dan LP)
dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari Indeks Masa Tubuh (IMT/Body mass
tahun 2010 (15,5%). WHO, dalam data terbaru index/ BMI) menggunakan rumus Berat
Mei 2014, obesitas merupakan faktor risiko Badan (Kg)/ Tinggi Badan kuadrat (m2).
utama untuk penyakit tidak menular seperti Pemeriksaan fisik lain sesuai keluhan
penyakit kardiovaskular (terutama penyakit untuk menentukan telah terjadi komplikasi
jantung dan stroke), diabetes, gangguan atau risiko tinggi
muskuloskeletal, beberapa jenis kanker
(endometrium, payudara, dan usus besar). Dari 2. Pengukuran lingkar pinggang (pada
data tersebut, peningkatan penduduk dengan pertengahan antara iga terbawah dengan
obesitas, secara langsung akan meningkatkan kristailiaka, pengukuran dari lateral dengan
penyakit akibat kegemukan. pita tanpa menekan jaringan lunak).Risiko
meningkat bila laki-laki >85 cm dan
Hasil Anamnesis (Subjective) perempuan >80cm.
Keluhan 3. Pengukuran tekanan darah untuk
Biasanya pasien datang bukan dengan menentukan risiko dan komplikasi, misalnya
keluhan kelebihan berat badan namun dengan hipertensi.
adanya gejala dari risiko kesehatan yang timbul. Pemeriksaan Penunjang
Penyebab Untuk menentukan risiko dan komplikasi, yaitu
pemeriksaan kadar gula darah, profil lipid, dan
1. Ketidakseimbangnya asupan energi dengan
asam urat.
tingkatan aktifitas fisik.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan
antara lain kebiasaan makan berlebih, Diagnosis Klinis
genetik, kurang aktivitas fisik, faktor Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
psikologis dan stres, obat-obatan (beberapa pemeriksaan fisik dan penunjang.
obat seperti steroid, KB hormonal, dan
anti-depresan memiliki efek samping

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 36


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 12.1 Kategori obesitas Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Non –Medikamentosa
1. Penatalaksanaan dimulai dengan kesadaran
pasien bahwa kondisi sekarang adalah
obesitas, dengan berbagai risikonya dan
berniat untuk menjalankan program
penurunan berat badan
2. Diskusikan dan sepakati target pencapaian
dan cara yang akan dipilih (target rasional
Diagnosis Banding: adalah penurunan 10% dari BB sekarang)
1. Keadaan asites atau edema 3. Usulkan cara yang sesuai dengan faktor
2. Masa otot yang tinggi, misalnya pada risiko yang dimiliki pasien, dan jadwalkan
olahragawan pengukuran berkala untuk menilai
Diagnosis klinis mengenai kondisi kesehatan keberhasilan program
yang berasosiasi dengan obesitas: 4. Penatalaksanaan ini meliputi perubahan
1. Hipertensi pola makan (makan dalam porsi kecil namun
2. DM tipe 2 sering) dengan mengurangi konsumsi lemak
3. Dislipidemia dan kalori, meningkatkan latihan fisik dan
4. Sindrom metabolik bergabung dengan kelompok yang
5. Sleep apneu obstruktif bertujuan sama dalam mendukung satu
6. Penyakit sendi degeneratif sama lain dan diskusi hal-hal yang dapat
membantu dalam pencapaian target
Komplikasi penurunan berat badan ideal.
Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit 5. Pengaturan pola makan dimulai dengan
kardiovakular, Sleep apnoe, abnormalitas mengurangi asupan kalori sebesar 300-
hormon reproduksi, Low back pain, perlemakan 500 kkal/hari dengan tujuan untuk
hati menurunkan berat badan sebesar ½-1 kg
per minggu.
Obesitas dikelompokkan menjadi obesitas risiko
tinggi bila disertai dengan 3 atau lebih 6. Latihan fisik dimulai secara perlahan dan
keadaan di bawah ini: ditingkatkan secara bertahap
intensitasnya. Pasien dapat memulai
1. Hipertensi
dengan berjalan selama 30 menit dengan
2. Perokok
jangka waktu
3. Kadar LDL tinggi
5 kali seminggu dan dapat ditingkatkan
4. Kadar HDL rendah
intensitasnya selama 45 menit dengan
5. Kadar gula darah puasa tidak stabil
jangka waktu 5 kali seminggu.
6. Riwayat keluarga serangan jantung usia
muda Konseling dan Edukasi
7. Usia (laki-laki > 45 thn, atau perempuan >
55 thn). 1. Perlu diingat bahwa penanganan obesitas
dan kemungkinan besar seumur hidup.
Adanya motivasi dari pasien dan keluarga
untuk menurunkan berat badan hingga
mencapai BB ideal sangat membantu
keberhasilan terapi.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Menjaga agar berat badan tetap normal dan berat badan, maka pasien dirujuk ke
mengevaluasi adanya penyakit penyerta. spesialis penyakit dalam untuk memperoleh
obat-obatan penurun berat badan
3. Membatasi asupan energi dari lemak total
dan gula. Prognosis
4. Meningkatkan konsumsi buah dan Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai
sayuran, serta kacang- kacangan, biji- obesitas. Risiko akan meningkat seiring dengan
bijian dan kacang-kacangan. tingginya kelebihan berat badan.
5. Terlibat dalam aktivitas fisik secara teratur Referensi
(60 menit sehari untuk anak-anak dan
1. Henthorn, T.K. Anesthetic Consideration in
150 menit per minggu untuk orang dewasa)
Morbidly Obese Patients. [cite 2010 June
Kriteria Rujukan 12] Available from: http://cucrash.com/
Handouts04/MorbObese Henthorn.pdf.
1. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit
dalam bila pasien merupakan obesitas 2. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. Dalam:
dengan risiko tinggi dan risiko absolut Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Ed. V. Jakarta. 2006. Hal. 1973-83.
2. Jika sudah dipercaya melakukan
modifikasi gaya hidup (diet yang telah 3. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.
diperbaiki, aktifitas fisik yang meningkat Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter
dan perubahan perilaku) selama 3 bulan, Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI.
dantidak memberikanrespon terhadap 200. (Trisna, 2008)
penurunan

2. TIROTOKSIKOSIS
No. ICPC-2: T85 Hipertiroidisme/tirotoksikosis
No. ICD-10: E05.9 Tirotoksikosis unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Janin yang dikandungnya dapat mengalami
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis tirotoksikosis pula, dan keadaaan hepertiroid
akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar pada janin dapat menyebabkan retardasi
disirkulasi. Data Nasional dalam Riskesdas 2013, pertumbuhanm kraniosinostosis, bahkan
hipertiroid di Indonesia, terdiagnosis dokter kematian janin.
sebesar 0,4%. Prevalensi hipertiroid tertinggi di Hasil Anamnesis (Subjective)
DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing
0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat (0,5%). Keluhan
Tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori, yaitu
Pasien dengan tirotoksikosis memiliki gejala
yang berhubungan dengan hipertiroidisme dan
antara lain:
yang tidak berhubungan.
Tirotoksikosis dapat berkembang menjadi 1. Berdebar-debar
2. Tremor
krisis tiroid yang dapat menyebabkan
3. Iritabilitas
kematian. Tirotoksikosis yang fatal biasanya
4. Intoleran terhadap panas
disebabkan oleh autoimun Grave’s disease
5. Keringat berlebihan
pada ibu hamil.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 36


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

6. Penurunan berat badan bebas di dalam plasma (serum free T4 & T3


7. Peningkatan rasa lapar (nafsu makan meningkat dan TSH sedikit hingga tidak ada).
bertambah)
8. Diare Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan
9. Gangguan reproduksi (oligomenore/ secara klinis melaui anamnesis dan pemeriksaan
amenore dan libido turun) fisik tanpa pemeriksaan laboratorium,
10. Mudah lelah namun untuk menilai kemajuan terapi tanpa
11. Pembesaran kelenjar tiroid pemeriksaan penunjang sulit dideteksi.
12. Sukar tidur Diagnosis Banding
13. Rambut rontok
1. Hipertiroidisme primer: penyakir Graves,
Faktor Risiko struma multinudosa toksik, adenoma
Memiliki penyakit Graves (autoimun toksik, metastase karsinoma tiroid
hipertiroidisme) atau struma multinodular fungsional, struma ovari,mutasi reseptor
toksik TSH, kelebihan iodium (fenomena Jod
Basedow).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Tirotoksikosis tanpa hipotiroidisme:
Sederhana (Objective) tiroiditis sub akut, tiroiditis silent,
destruksi tiroid, (karena aminoidarone,
Pemeriksaan Fisik radiasi, infark adenoma) asupan hormon
1. Benjolan di leher depan tiroid berlebihan (tirotoksikosis faktisia)
2. Takikardia 3. Hipertiroidisme sekunder: adenoma
3. Demam hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom
4. Exopthalmus resistensi hormon tiroid, tumor yang
5. Tremor mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional.
4. Anxietas
Spesifik untuk penyakit Grave :
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Oftalmopati (spasme kelopak mata atas
dengan retraksi dan gerakan kelopak Penatalaksanaan
mata yang lamban, eksoftalmus dengan 1. Pemberian obat simptomatis
proptosis, pembengkakan supraorbital dan 2. Propanolol dosis 40-80 mg dalam 2-4 dosis.
infraorbital) 3. PTU 300-600 mg dalam 3 dosis bila klinis
2. Edema pretibial Graves jelas
3. Kemosis,
4. Ulkus kornea Rencana Tindak Lanjut
5. Dermopati
1. Diagnosis pasti dan penatalaksanaan
6. Akropaki
awal pasien tirotoksikosis dilakukan pada
7. Bruit
pelayanan kesehatan sekunder
Pemeriksaan Penunjang 2. Bila kondisi stabil pengobatan dapat
dilanjutkan di fasilitas pelayanan tingkat
1. Darah rutin, SGOT, SGPT, gula darah pertama.
sewaktu
2. EKG Konseling dan Edukasi

Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Pada pasien diberikan edukasi mengenai


pengenalan tanda dan gejala tirotoksikosis
Diagnosis Klinis 2. Anjuran kontrol dan minum obat secara
Untukhipertiroidismediagnosis yang tepat teratur.
adalah dengan pemeriksaan konsentrasi tiroksin

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Melakukan gaya hidup sehat Referensi


Kriteria Rujukan 1. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal
Pasien dirujuk untuk penegakan diagnosis
1961-5.2006.
dengan pemeriksaan laboratorium ke layanan
sekunder. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Peralatan
Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004.
EKG
Prognosis
Prognosis tergantung respon terapi, kondisi
pasien serta ada tidaknya komplikasi.

3. DIABETES MELLITUS TIPE 2


No. ICPC-2 No. ICD-10
: T90 Diabetes non-insulin dependent
: E11 Non-insulin-dependent diabetes mellitus
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 1. Polifagia


Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American 2. Poliuri
Diabetes Association (ADA) adalah kumulan 3. Polidipsi
gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat 4. Penurunan berat badan yang tidak jelas
defek pada kerja insulin (resistensi insulin) sebabnya
dan sekresi insulin atau kedua-duanya. Keluhan tidak khas
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, terjadi peningkatan dari 1,1% 1. Lemah
(2007) menjadi 2. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung
2,1% (2013). Proporsi penduduk ≥15 tahun ekstremitas)
dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9%. 3. Gatal
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang 4. Mata kabur
DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada 5. Disfungsi ereksi pada pria
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada 6. Pruritus vulvae pada wanita
tahun 2030. Senada dengan WHO, 7. Luka yang sulit sembuh
International Diabetes Federation (IDF) pada
Faktor risiko
tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 1. Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/
2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. m2)
Meskipun terdapat perbedaan angka 2. Riwayat penyakit DM di keluarga
prevalensi, laporan keduanya menunjukkan 3. Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg
adanya peningkatan jumlah penyandang DM atau sedang dalam terapi hipertensi)
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. 4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL >
4000 gram atau pernah didiagnosis DM
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gestasional Perempuan dengan riwayat
Keluhan PCOS (polycistic ovary syndrome)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 36


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa 2. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
Terganggu)/TGT (Toleransi Glukosa TTGO kadar glukosa plasma 140–199 mg/dl
Terganggu) pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
6. Aktifitas jasmani yang kurang (7,8 -11,1 mmol/L)
3. HbA1C 5,7 -6,4%
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana (Objective) Komplikasi
Pemeriksaan Fisik 1. Akut: Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar
1. Penilaian berat badan non ketotik, Hipoglikemia
2. Mata : Penurunan visus, lensa mata buram 2. Kronik: Makroangiopati, Pembuluh darah
3. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan jantung, Pembuluh darah perifer, Pembuluh
mikrofilamen darah otak
3. Mikroangiopati: Pembuluh darah kapiler
Pemeriksaan Penunjang retina, pembuluh darah kapiler renal
1. Gula Darah Puasa 4. Neuropati
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial 5. Gabungan: Kardiomiopati, rentan infeksi,
3. Urinalisis kaki diabetik, disfungsi ereksi

Penegakan Diagnosis (Assessment) Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Diagnosis Klinis Penatalaksanaan


Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan
glukosa: dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
(algoritma pengelolaan DM tipe 2)
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia,
polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 Gambar 12.1 Algoritme Diagnosis Diabetes
mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma Mellitus Tipe 2
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir ATAU
2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma
puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan
pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes
toleransi glukosa oral (TTGO)> 200 mg/
dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban
glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan
dalam air.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok Toleransi
Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah
Puasa Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil
yang diperoleh
Kriteria gangguan toleransi glukosa:
1. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara
100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l)

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar 12.2 Algoritma pengelolaan Diabetes Rencana Tindak Lanjut


Melitus tipe 2 tanpa komplikasi
Tindak lanjut adalah untuk pengendalian
kasus DM berdasarkan parameter berikut:
Table 12.2 Kriteria pengendalian DM
(berdasarkan konsensusDM)

Catatan: Pemilihan jenis Obat Hipoglikemik oral


(OHO) dan insulin bersifat individual tergantung Angka-angka laboratorium di atas adalah hasil
kondisi pasien dan sebaiknya mengkombinasi pemeriksaan plasma vena.
obat dengan cara kerja yang berbeda.
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari
Dosis OHO darah kapiler darah utuh dan plasma vena
Cara Pemberian OHO, terdiri dari: Konseling dan Edukasi
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan Edukasi meliputi pemahaman tentang:
ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikansampai 1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh
dosis optimal. tetapi dapat dikontrol
2. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan. 2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada
3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah penderita misalnya olahraga, menghindari
makan. rokok, dan menjaga pola makan.
4. Penghambat glukosidase (Acarbose):
bersama makan suapanpertama. 3. Pemberian obat jangka panjang dengan
kontrol teratur setiap 2 minggu
Penunjang Penunjang
Perencanaan Makan
1. Urinalisis
2. Funduskopi Standar yang dianjurkan adalah makanan
3. Pemeriksaan fungsi ginjal dengan komposisi:
4. EKG 1. Karbohidrat 45 – 65 %
5. Xray thoraks 2. Protein 15 – 20 %

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 36


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Lemak 20 – 25 % sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan


kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun,
Jumlah kandungan kolesterol disarankan <
harus tetap dilakukan.
300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Kriteria Rujukan
Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA
Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi
(Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak
berikut:
jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr,
diutamakan serat larut. 1. DM tipe 2 dengan komplikasi
2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
Jumlah kalori basal per hari:
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat
1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman
2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman Peralatan

Rumus Broca:* 1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah,


darah rutin, urin rutin, ureum, kreatinin
Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 % 2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan
anak serta dewasa
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak 3. Monofilamen test
dikurangi 10 % lagi.
Prognosis
BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 – 110 % BB idaman Prognosis umumnya adalah dubia. Karena
BB lebih : 110 – 120 % BB idaman penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad
Gemuk : >120 % BB idaman vitam umumnya adalah dubia ad bonam,
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari): namun quo ad fungsionam dan
sanationamnya adalah dubia ad malam.
1. Status gizi:
Referensi
a. BB gemuk - 20 %
b. BB lebih - 10 % 1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
c. BB kurang + 20 % Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta:
2. Umur > 40 tahun : -5%
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
3. Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): Dalam FKUI; 2006.
+ (10 s/d 30 %)
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
4. Aktifitas: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
a. Ringan + 10 % (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
b. Sedang + 20 % 2006)
c. Berat + 30 %
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
5. Hamil: FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan
a. trimester I, II + 300 kal Diabetes Mellitus pada Layanan Primer,
b. trimester III / laktasi + 500 kal ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Indonesia FKUI,2012)
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur
(3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-60
menit minimal 150 menit/minggu intensitas

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. HIPERGLIKEMIA HIPEROSMOLAR NON KETOTIK


No. ICPC-2: A91 Abnormal result invetigation NOS
No. ICD-10: R73.9 Hyperglycaemia unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
penyakit Cushing.
Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) 4. Sering disebabkan obat-obatan antara
merupakan komplikasi akut pada DM tipe 2 lain Tiazid, Furosemid, Manitol, Digitalis,
berupa peningkatan kadar gula darah yang Reserpin, Steroid, Klorpromazin,
sangat tinggi (>600 mg/dl-1200 mg/dl) dan Hidralazin, Dilantin, Simetidin, dan
ditemukan tanda- tanda dehidrasi tanpa disertai Haloperidol (neuroleptik).
gejala asidosis. HHNK biasanya terjadi pada
5. Mempunyai faktor pencetus, misalnya
orang tua dengan DM, yang mempunyai
penyakit kardiovaskular, aritmia,
penyakit penyerta dengan asupan makanan
perdarahan, gangguan keseimbangan
yang kurang. Faktor pencetus serangan antara
cairan, pankreatitis, koma hepatik, dan
lain: infeksi, ketidakpatuhan dalam
operasi.
pengobatan, DM tidak terdiagnosis, dan
penyakit penyerta lainnya. Dari anamnesis keluarga biasanya faktor
penyebab pasien datang ke rumah sakit
Hasil Anamnesis (Subjective)
adalah poliuria, polidipsia, penurunan berat
Keluhan badan, dan penurunan kesadaran.
1. Lemah Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan
2. Gangguan penglihatan Penunjang
3. Mual dan muntah
Pemeriksaan Fisik
4. Keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,
hemiparesis, kejang atau koma. 1. Pasien apatis sampai koma
2. Tanda-tanda dehidrasi berat seperti:
Secara klinis HHNK sulit dibedakan dengan
turgor buruk, mukosa bibir kering, mata
ketoasidosis diabetik terutama bila hasil
cekung, perabaan ekstremitas yang
laboratorium seperti kadar gula darah, keton,
dingin, denyut nadi cepat dan lemah.
dan keseimbangan asam basa belum ada
3. Kelainan neurologis berupa kejang
hasilnya.
umum, lokal, maupun mioklonik, dapat
Untuk menilai kondisi tersebut maka dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat
digunakan acuan, sebagai berikut: reversible dengan koreksi defisit cairan
4. Hipotensi postural
1. Sering ditemukan pada usia lanjut, yaitu 5. Tidak ada bau aseton yang tercium dari
usia lebih dari 60 tahun, semakin muda pernapasan
semakin berkurang, dan belum pernah 6. Tdak ada pernapasan Kussmaul.
ditemukan pada anak. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaaan
2. Hampir separuh pasien tidak mempunyai kadar gula darah
riwayat DM atau diabetes tanpa pengobatan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
insulin.
3. Mempunyai penyakit dasar lain. Ditemukan Diagnosis Klinis
85% pasien HHNK mengidap penyakit ginjal
Secara klinis dapat didiagnosis melalui
atau kardiovaskular, pernah ditemukan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan
kadar gula darah sewaktu

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 37


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding Peralatan


Ketoasidosis Diabetik (KAD), Ensefalopati Laboratorium untuk pemeriksaan glukosa darah
uremikum, Ensefalopati karena infeksi
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Prognosis biasanya buruk, sebenarnya kematian
Penatalaksanaan pasien bukan disebabkan oleh sindrom
hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang
Penanganan kegawatdaruratan yang diberikan
mendasari atau menyertainya.
untuk mempertahankan pasien tidak
mengalami dehidrasi lebih lama. Proses Referensi
rujukan harus segera dilakukan untuk mencegah
1. Soewondo, Pradana. 2006. Buku Ajar Ilmu
komplikasi yang lebih lanjut.
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta:
Pertolongan pertama dilayanan tingkat pertama FK UI. Hal 1900-2.
adalah:
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
1. Memastikan jalan nafas lancar dan Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
membantu pernafasan dengan suplementasi Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
oksigen
2. Memasang akses infus intravena dan
melakukan hidrasi cairan NaCl 0.9 %
dengan target TD sistole > 90 atau
produksi urin
>0.5 ml/kgbb/jam
3. Memasang kateter urin untuk
pemantauan cairan
4. Dapat diberikan insulin rapid acting
bolus intravena atau subkutan sebesar
180 mikrounit/kgBB
Komplikasi
Oklusi vakular, Infark miokard, Low-flow
syndrome, DIC, Rabdomiolisis
Konseling dan Edukasi
Edukasi ke keluarga mengenai kegawatan
hiperglikemia dan perlu segera dirujuk
Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan tanda vital dan gula darah perjam
Kriteria Rujukan
Pasien harus dirujuk ke layanan sekunder
(spesialis penyakit dalam) setelah mendapat
terapi rehidrasi cairan.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. HIPOGLIKEMIA
No. ICPC-2: T87 hypoglycaemia
No. ICD-10: E16.2 hypoglycaemia unspecified
Tingkat Kemampuan: Hipoglikemia ringan 4A
Hipoglikemia berat 3B

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar Sederhana (Objective)
glukosa darah <60 mg/dl, atau kadar glukosa
Pemeriksaan Fisik
darah <80 mg/dl dengan gejala klinis..
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari 1. Pucat
penyandang diabetes melitus dan geriatri. 2. Diaphoresis/keringat dingin
3. Tekanan darah menurun
Hipoglikemia dapat terjadi karena:
4. Frekuensi denyut jantung meningkat
1. Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau 5. Penurunan kesadaran
obat hipoglikemia oral yaitu sulfonilurea. 6. Defisit neurologik fokal (refleks patologis
2. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif positif pada satu sisi tubuh) sesaat.
menurun; gagal ginjal kronik,dan paska
Pemeriksaan Penunjang
persalinan.
3. Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori Kadar glukosa darah sewaktu
atau waktu makan tidak tepat.
4. Kegiatan jasmani berlebihan. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis

Keluhan Diagnosis hipoglikemia ditegakkan


berdasarkan gejala-gejalanya dan hasil
Tanda dan gejala hipoglikemia dapat pemeriksaan kadar gula darah. Trias whipple
bervariasi pada setiap individu dari yang untuk hipoglikemia secara umum:
ringan sampai berat, sebagai berikut:
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
1. Rasa gemetar 2. Kadar glukosa plasma rendah
2. Perasaan lapar 3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma
3. Pusing meningkat.
4. Keringat dingin
5. Jantung berdebar Diagnosis Banding
6. Gelisah 1. Syncope vagal
7. Penurunan kesadaran bahkan sampai koma 2. Stroke/TIA Komplikasi: Kerusakan otak,
dengan atau tanpa kejang. koma, kematian
Pada pasien atau keluarga perlu ditanyakan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
adanya riwayat penggunan preparat insulin
atau obat hipoglemik oral, dosis terakhir, waktu Penatalaksanaan
pemakaian terakhir, perubahan dosis, waktu
Stadium permulaan (sadar):
makan terakhir, jumlah asupan makanan, dan
aktivitas fisik yang dilakukan. 1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok
makan) atau sirop/permen atau gula
murni

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 37


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

(bukan pemanis pengganti gula atau gula Konseling dan Edukasi


diet/ gula diabetes) dan makanan yang
Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia
mengandung karbohidrat.
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara. (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam. membawa tablet glukosa karena efeknya
3. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila cepat timbul dan memberikan sejumlah gula
sebelumnya tidak sadar). yang konsisten.
4. Cari penyebab hipoglikemia dengan Kriteria Rujukan
anamnesis baik auto maupun allo
anamnesis. 1. Pasien hipoglikemia dengan penurunan
kesadaran harus dirujuk ke layanan
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sekunder (spesialis penyakit dalam) setelah
sadar dan curiga hipoglikemia): diberikan dekstrose 40% bolus dan infus
1. Diberikan larutan dekstrose 40% dekstrose 10% dengan tetesan 6 jam per
sebanyak kolf.
2 flakon (=50 mL) 2. Bila hipoglikemi tidak teratasi setelah 2
2. bolus intra vena. jam tahap pertama protokol penanganan
3. Diberikan cairan dekstrose 10 % per infus 6
jam perkolf. Peralatan
4. Periksa GDS setiap satu jam setelah
1. Laboratorium untuk pemeriksaan kadar
pemberian dekstrosa 40%
glukosa darah.
a. Bila GDS< 50 mg/dL bolus dekstrosa 2. Cairan Dekstrosa 40 % dan Dekstrosa 10 %
40 % 50 mL IV.
b. Bila GDS<100 mg/dL bolus dekstrosa Prognosis
40 % 25 mL IV.
c. Bila GDS 100 – 200 mg /dL tanpa Prognosis pada umumnya baik bila penanganan
bolus dekstrosa 40 %. cepat dan tepat.
d. Bila GDS> 200 mg/dL pertimbangan Referensi
menurunkan kecepatan drip dekstrosa
10 %. 1. Soemadji, Djoko Wahono. Buku Ajar Ilmu
5. Bila GDS> 100 mg/dL sebanyak 3 kali Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta:
berturut–turut, pemantauan GDS setiap 2 FK UI.2006. Hal 1892-5.
jam, dengan protokol sesuai diatas, bila 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
GDs Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
>200 mg/dL – pertimbangkan mengganti
Dalam FKUI/RSCM. 2004.Hal 18-20.
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %.
6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali
berturut-turut, protokol hipoglikemi
dihentikan.
Rencana Tindak Lanjut
1. Mencari penyebab hipoglikemi kemudian
tatalaksana sesuai penyebabnya.
2. Mencegah timbulnya komplikasi menahun,
ancaman timbulnya hipoglikemia
merupakan faktor limitasi utama dalam
kendali glikemi pada pasien DM tipe 1 dan
DM tipe 2 yang mendapat terapi ini.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

6. HIPERURISEMIA-GOUT ARTHRITIS
No. ICPC-2 : T99 Endocrine/metabolic/nutritional disease other T92 Gout
No. ICD-10 : E79.0 Hyperuricemia without signs of inflammatory arthritis & tophaceous disease
M10 Gout
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Arthritis monoartikuler dapat ditemukan,


Kondisi kadar asam urat dalam darah lebih biasanya melibatkan sendi metatarsophalang
dari 7,0 mg/dl pada pria dan pada wanita 6 1 atau sendi tarsal lainnya. Sendi yang
mg/dl. Hiperurisemia dapat terjadi akibat mengalami inflamasi tampak kemerahan dan
meningkatnya produksi ataupun menurunnya bengkak.
pembuangan asam urat, atau kombinasi dari Pemeriksaan Penunjang
keduanya.
1. X ray: Tampak pembengkakan asimetris
Gout adalah radang sendi yang diakibatkan pada sendi dan kista subkortikal tanpa
deposisi kristal monosodium urat pada erosi
jaringan sekitar sendi. 2. Kadar asam urat dalam darah > 7
Hasil Anamnesis (Subjective) mg/dl. Penegakan Diagnosis (Assessment)
Keluhan Diagnosis Klinis
1. Bengkak pada sendi Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
2. Nyeri sendi yang mendadak, biasanya timbul pemeriksaan fisik dan untuk diagnosis definitif
pada malam hari. gout arthritis adalah ditemukannya kristal urat
3. Bengkak disertai rasa panas dan kemerahan. (MSU) di cairan sendi atau tofus.
4. Demam, menggigil, dan nyeri badan.
Gambaran klinis hiperurisemia dapat berupa:
Apabila serangan pertama, 90% kejadian hanya
pada 1 sendi dan keluhan dapat menghilang 1. Hiperurisemia asimptomatis
dalam 3-10 hari walau tanpa pengobatan. Keadaan hiperurisemia tanpa manifestasi
klinis berarti. Serangan arthritis biasanya
Faktor Risiko muncul setelah 20 tahun fase ini.
1. Usia dan jenis kelamin 2. Gout arthritis, terdiri dari 3 stadium, yaitu:
2. Obesitas a. Stadium akut
3. Alkohol b. Stadium interkritikal
4. Hipertensi c. Stadium kronis
5. Gangguan fungsi ginjal
6. Penyakit-penyakit metabolik 3. Penyakit Ginjal
7. Pola diet
Diagnosis Banding
8. Obat: aspirin dosis rendah, diuretik, obat-
obat TBC Sepsis arthritis, Rheumatoid arthritis, Arthritis
lainnya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Komplikasi
Pemeriksaan Fisik 1. Terbentuknya batu ginjal
2. Gagal ginjal.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 37


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan


Penatalaksanaan 1. Laboratorium untuk pemeriksaan asam urat.
2. Radiologi
1. Mengatasi serangan akut dengan segera
Prognosis
Obat: analgetik, kolkisin, kortikosteroid
Quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad fuctionam
a. Kolkisin (efektif pada 24 jam pertama
dubia
setelah serangan nyeri sendi timbul.
Dosis oral 0,5-0.6 mg per hari dengan Referensi
dosis maksimal 6 mg.
1. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s
b. Kortikosteroid sistemik jangka pendek Principals of Internal Medicine. 17thed. USA:
(bila NSAID dan kolkisin tidak berespon McGraw Hill, 2008.
baik) seperti prednisone 2-3x5
mg/hari selama 3 hari 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
c. NSAID seperti natrium diklofenak 25-50 penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta:
mg selama 3-5 hari Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Program pengobatan untuk mencegah
serangan berulang
Obat: analgetik, kolkisin dosis rendah
3. Mengelola hiperurisemia (menurunkan
kadar asam urat) dan mencegah komplikasi
lain
a. Obat-obat penurun asam urat
Agen penurun asam urat (tidak
digunakan selama serangan akut).
Pemberian Allupurinol dimulai dari
dosis terendah 100 mg, kemudian
bertahap dinaikkan bila diperlukan,
dengan dosis maksimal 800 mg/hari.
Target terapi adalah kadar asam urat
< 6 mg/dl.
b. Modifikasi gaya hidup
• Minum cukup (8-10 gelas/hari).
• Mengelola obesitas dan menjaga
berat badan ideal.
• Hindari konsumsi alkohol
• Pola diet sehat (rendah purin)
Kriteria Rujukan
1. Apabila pasien mengalami komplikasi
atau pasien memiliki penyakit komorbid
2. Bila nyeri tidak teratasi

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

7. DISLIPIDEMIA
No. ICPC-2: T93 Lipid disorder No. ICD-10: E78.5 Hiperlipidemia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid Diagnosis Klinis
yang ditandai dengan peningkatan maupun
penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan pemeriksaan fisik dan penunjang.
kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan atau Tabel 12.3 Interpretasi kadar lipid plasma
trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL. berdasarkan NECP (National Cholesterol
Dislipidemia merupakan faktor risiko Education Program)
terjadinya aterosklerosis sehingga dapat
menyebabkan stroke, Penyakit Jantung Koroner
(PJK), Peripheral Arterial Disease (PAD),
Sindroma Koroner Akut (SKA).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada umumnya dislipidemia tidak bergejala dan
biasanya ditemukan pada saat pasien melakukan
pemeriksaan rutin kesehatan (medical check-
up).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda-tanda vital
2. Pemeriksaaan antropometri (lingkar perut
dan IMT/Indeks Massa Tubuh).
Cara pengukuran IMT(kg/m2)= BB(kg)/TB2(m)
Diagnosis Banding : -
Pemeriksaan Penunjang
Komplikasi
Pemeriksaan laboratorium memegang
peranan penting dalam menegakkan Penyakit jantung koroner, stroke
diagnosa. Pemeriksaan yang dilakukan adalah Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
pemeriksaan:
Penatalaksanaan
1. Kadar kolesterol total
2. Kolesterol LDL 1. Penatalaksanaan dalam dislipidemia
3. Kolesterol HDL dimulai dengan melakukan penilaian jumlah
4. Trigliserida plasma faktor risiko penyakit jantung koroner
pada

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 37


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

pasien untuk menentukan kolesterol-LDL Gambar 12.3 Penatalaksanaan untuk masing-


yang harus dicapai. Berikut ini adalah tabel masing kategori risiko
faktor risiko (selain kolesterol LDL) yang
menentukan sasaran kolesterol LDL
yang ingin dicapai berdasarkan NCEP-
ATP III:
Tabel 12.4 Faktor risiko utama (selain
kolesterol LDL) yang menentukan sasaran
kolesterol LDL

2. Setelah menemukan banyaknya faktor risiko


pada seorang pasien, maka pasien dibagi
kedalam tiga kelompok risiko penyakit arteri
koroner yaitu risiko tinggi, risiko sedang dan
risiko tinggi. Hal ini digambarkan pada tabel
berikut ini:
Tabel 12.5 Tiga kategori risiko yang
menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin
dicapai berdasarkan NCEP (Sudoyo, 2006)

3. Selanjutnya penatalaksanaan pada pasien


ditentukan berdasarkan kategori risiko pada
tabel diatas. Berikut ini adalah bagan
penatalaksanaan untuk masing-masing
kategori risiko:

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. Terapi non farmakologis Konseling dan edukasi


a. Terapi nutrisi medis
Pasien dengan kadar kolesterol LDL 1. Perlu adanya motivasi dari pasien dan
tinggi dianjurkan untuk mengurangi keluarga untuk mengatur diet pasien dan
asupan lemak total dan lemak jenuh, aktivitas fisik yang sangat membantu
dan meningkatkan asupan lemak tak keberhasilan terapi.
jenuh rantai tunggal dan ganda. Pada 2. Pasien harus kontrol teratur untuk
pasien dengan trigliserida tinggi perlu pemeriksaan kolesterol lengkap untuk
dikurangi asupan karbohidrat, alkohol, melihat target terapi dan maintenance jika
dan lemak target sudah tercapai.
b. Aktivitas fisik
Pasien dianjurkan untuk Kriteria Rujukan
meningkatkan aktivitas fisik sesuai 1. Terdapat penyakit komorbid yang harus
kondisi dan kemampuannya. ditangani oleh spesialis.
5. Tata laksana farmakologis
Terapi farmakologis dilakukan setelah 6 2. Terdapat salah satu dari faktor risiko PJK
minggu terapi non farmakologis.
Peralatan
Tabel 12.6 Obat hipoglikemik dan efek terhadap
Pemeriksaan kimia darah
kadar lipid plasma
Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang tepat maka
dapat dicegah terjadinya komplikasi akibat
dislipidemia.
Referensi
1. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor
Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan: FK
USU.2004. (Azwar, 2004)
Tabel 12.7 Obat Hipolopidemik
2. Darey, Patrick. At a Glance Medicine.
Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005)
3. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi
dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007.
(Ganiswarna, 2007)
4. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati,
S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI.2009.
5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan
Dislipidemia di Indonesia. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2012 (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2012)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 37


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

8. MALNUTRISI ENERGI PROTEIN (MEP)


No. ICPC II: T91 Vitamin/nutritional deficiency
No. ICD X: E46 Unspecified protein-energy malnutrition
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik Patognomonis


MEP adalah penyakit akibat kekurangan 1. BB/TB < 70% atau < -3SD
energi dan protein umumnya disertai 2. Marasmus: tampak sangat kurus, tidak ada
defisiensi nutrisi lain. jaringan lemak bawah kulit, anak tampak
Klasifikasi dari MEP adalah : tua, baggy pants appearance.
3. Kwashiorkor: edema, rambut kuning
1. Kwashiorkor mudah rontok, crazy pavement dermatosa
2. Marasmus 4. Tanda dehidrasi
3. Marasmus Kwashiorkor 5. Demam
6. Frekuensi dan tipe pernapasan:
Hasil Anamnesis (Subjective)
pneumonia atau gagal jantung
Keluhan 7. Sangat pucat
8. Pembesaran hati, ikterus
1. Kwashiorkor, dengan keluhan: 9. Tanda defisiensi vitamin A pada mata:
• Edema konjungtiva kering, ulkus kornea,
keratomalasia
• Wajah sembab 10. Ulkus pada mulut
• Pandangan sayu 11. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
• Rambut tipis, kemerahan seperti warna Pemeriksaan Penunjang
rambut jagung, mudah dicabut tanpa
sakit, rontok 1. Laboratorium: gula darah, Hb, Ht,
• Anak rewel, apatis preparat apusan darah, urin rutin, feses
2. Antropometri
2. Marasmus, dengan keluhan:
3. Foto toraks
• Sangat kurus
4. Uji tuberkulin
• Cengeng
• Rewel Penegakan Diagnosis (Assessment)
• Kulit keriput
Diagnosis Klinis
3. Marasmus Kwashiorkor, dengan keluhan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan
kombinasi dari ke-2 penyakit tersebut
gejala klinis serta pengukuran antropometri.
diatas.
Anak didiagnosis dengan gizi buruk, apabila:
Faktor Risiko
1. BB/TB < -3SD atau 70% dari median
Berat badan lahir rendah, HIV, Infeksi TB, (marasmus).
pola asuh yang salah
2. Edema pada kedua punggung kaki
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/
sederhana (Objective) TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor
BB/TB
<-3SD).

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 12.8 KlasifikasiMalnutrisi Energi Protein yg sama terutama dari lemak


(MEP) (minyak/ santan/margarin).
o Pemberian jenis makanan untuk
pemulihan gizi disesuaikan masa
pemulihan (rehabilitasi):
1 minggu pertama pemberian F100.
Minggu berikutnya jumlah dan frekuensi F100
dikurangi seiring dengan penambahan
Diagnosis Banding: - makanan keluarga.

Komplikasi Kunjungan Rumah

Anoreksia, Pneumonia berat, Anemia berat, • Tenaga kesehatan atau kader melakukan
Infeksi, Dehidrasi berat, Gangguan elektrolit, kunjungan rumah pada anak gizi buruk
Hipoglikemi, Hipotermi, Hiperpireksia, rawat jalan, bila:
Penurunan kesadaran - Berat badan anak sampai pada minggu
ketiga tidaknaik atau turundibandingkan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
dengan berat badanpada saat masuk
Penatalaksanaan dan Target Terapi (kecuali anak dengan edema).
Gambar 12.4. Langkah penanganan gizi buruk - Anak yang 2 kali berturut-turut tidak
terbagi dalam fase stabilisasidan rehabilitasi datang tanpa pemberitahuan
• Kunjungan rumah bertujuan untuk menggali
permasalahan yang dihadapi keluarga
termasuk kepatuhan mengonsumsi makanan
untuk pemulihan gizi dan memberikan
nasihat sesuai dengan masalah yang
dihadapi.
• Dalam melakukan kunjungan, tenaga
kesehatan membawa kartu status, cheklist
kunjungan rumah, formulir rujukan,
makanan untuk pemulihan gizi dan bahan
penyuluhan.
• Hasil kunjungan dicatat pada checklist
kunjungan dan kartu status. Bagi anak yang
harus dirujuk, tenaga kesehatan mengisi
formulir rujukan.
Penanganan pasien dengan MEP, yaitu:
Konseling dan Edukasi
• Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak
• Menyampaikan informasi kepada ibu/
gizi buruk dengan dosis sesuai umur pada
pengasuhtentang hasil penilaian
saat pertama kali ditemukan
pertumbuhan anak.
• Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa
• Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab
makanan lokal atau pabrikan.
kurang gizi.
o Jenis pemberian ada 3 pilihan: makanan
• Memberi nasihat sesuai penyebab kurang
therapeutic atau gizi siap saji, F100 atau
gizi.
makanan lokal dengan densitas energi

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 38


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

• Memberikan anjuran pemberian makan


sesuai umur dan kondisi anak
dan cara menyiapkan makan formula,
melaksanakan anjuran makan dan memilih
atau mengganti makanan.
Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi komplikasi, seperti: sepsis,
dehidrasi berat, anemia berat, penurunan
kesadaran
2. Bila terdapat penyakit komorbid, seperti:
pneumonia berat
Peralatan
1. Alat pemeriksaan gula darah sederhana
2. Alat pengukur berat dan tinggi badan
anak serta dewasa
3. Skala antropometri
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk
ad vitam, sedangkan untuk quo ad fungsionam
dan sanationam umumnya dubia ad malam.
Referensi
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk.
Kemkes RI. Jakarta. 2011.

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH

1. INFEKSI SALURAN KEMIH


No. ICPC-2 : U71 Cystitis/urinary infection others
No. ICD-10 : N39.0 Urinary tract infection, site not specified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik


Infeksi saluran kemih merupakan salah satu 1. Demam
masalah kesehatan akut yang sering terjadi 2. Flank pain (Nyeri ketok pinggang belakang/
pada perempuan.Masalah infeksi saluran kemih costovertebral angle)
tersering adalah sistitis akut, sistitis kronik, dan 3. Nyeri tekan suprapubik
uretritis.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Darah perifer lengkap
Keluhan 2. Urinalisis
3. Ureum dan kreatinin
Pada sistitis akut keluhan berupa:
4. Kadar gula darah
1. Demam
2. Susah buang air kecil Pemeriksaan penunjang tambahan (di layanan
3. Nyeri saat di akhir BAK (disuria terminal) sekunder) :
4. Sering BAK (frequency) 1. Urine mikroskopik berupa peningkatan >103
5. Nokturia bakteri per lapang pandang
6. Anyang-anyangan (polakisuria)
7. Nyeri suprapubik 2. Kultur urin (hanya diindikasikan untuk
pasien yang memiliki riwayat kekambuhan
Pada pielonefritis akut keluhan dapat juga infeksi salurah kemih atau infeksi dengan
berupa nyeri pinggang, demam tinggi sampai komplikasi).
menggigil, mual muntah, dan nyeri pada
sudut kostovertebra. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Faktor Risiko Diagnosis Klinis

1. Riwayat diabetes melitus Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,


2. Riwayat kencing batu (urolitiasis) pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Higiene pribadi buruk Diagnosis Banding
4. Riwayat keputihan
5. Kehamilan Recurrent cystitis, Urethritis, Pielonefritis,
6. Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya Bacterial asymptomatic
7. Riwayat pemakaian kontrasepsi diafragma
Komplikasi
8. Kebiasaan menahan kencing
9. Hubungan seksual Gagal ginjal, Sepsis , ISK berulang atau kronik
10. Anomali struktur saluran kemih kekambuhan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 38


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

1. Minum air putih minimal 2 liter/hari bila higiene genital tetap buruk, ISK dapat berulang
fungsi ginjal normal. atau menjadi kronis.
2. Menjaga higienitas genitalia eksterna
3. Pada kasus nonkomplikata, pemberian Referensi
antibiotik selama 3 hari dengan pilihan 1. Weiss, Barry.20 Common Problems In
antibiotik sebagai berikut: Primary Care.
a. Trimetoprim sulfametoxazole
b. Fluorikuinolon 2. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family
c. Amoxicillin-clavulanate Medicine. 2011
d. Cefpodoxime 3. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB
Konseling dan Edukasi PABDI. 2009

Pasien dan keluarga diberikanpemahaman 4. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract


tentang infeksi saluran kemih dan hal-hal yang infection. N Engl J Med2012;366:1028-37
perlu diperhatikan, antara lain: (Hooton, 2012)

1. Edukasi tentang penyebab dan faktor


risiko penyakit infeksi saluran kemih.
Penyebab infeksi saluran kemih yang paling
sering adalah karena masuknya flora anus
ke kandung kemih melalui perilaku atau
higiene pribadi yang kurang baik.
Pada saat pengobatan infeksi saluran kemih,
diharapkan tidak berhubungan seks.
2. Waspada terhadap tanda-tanda infeksi
saluran kemih bagian atas (nyeri
pinggang) dan pentingnya untuk kontrol
kembali.
3. Patuh dalam pengobatan antibiotik yang
telah direncanakan.
4. Menjaga higiene pribadi dan lingkungan.
Kriteria Rujukan
1. Jika ditemukan komplikasi dari ISK maka
dilakukan ke layanan kesehatan sekunder
2. 2. Jika gejala menetap dan terdapat
resistensi kuman, terapi antibiotika
diperpanjang berdasarkan antibiotika
yang sensitifdengan pemeriksaan kultur
urin
Peralatan
Pemeriksaan laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kecuali bila

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. PIELONEFRITIS TANPA KOMPLIKASI


No ICPC-2: U70. Pyelonephritis / pyelitis
No ICD-10 : N10. Acute tubulo-interstitial nephritis (applicable to: acute pyelonephritis)
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Tampilan klinis tiap pasien dapat bervariasi,


Pielonefritis akut (PNA) tanpa komplikasi mulai dari yang ringan hingga menunjukkan
adalah peradangan parenkim dan pelvis ginjal tanda dan gejala menyerupai sepsis.
yang berlangsung akut. Tidak ditemukan data Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda di
yang akurat mengenai tingkat insidens PNA bawah ini:
nonkomplikata di Indonesia. Pielonefritis akut 1. Demam dengan suhu biasanya mencapai
nonkomplikata jauh lebih jarang dibandingkan >38,5oC
sistitis (diperkirakan 1 kasus pielonefritis 2. Takikardi
berbanding 28 kasus sistitis). 3. Nyeri ketok pada sudut kostovertebra,
Hasil Anamnesis (Subjective) unilateral atau bilateral
4. Ginjal seringkali tidak dapat dipalpasi
Keluhan karena adanya nyeri tekan dan spasme otot
5. Dapat ditemukan nyeri tekan pada area
1. Onset penyakit akut dan timbulnya tiba-tiba
suprapubik
dalam beberapa jam atau hari 6. Distensi abdomen dan bising usus menurun
2. Demam dan menggigil
(ileus paralitik)
3. Nyeri pinggang, unilateral atau bilateral
4. Sering disertai gejala sistitis, berupa: Pemeriksaan Penunjang Sederhana
frekuensi, nokturia, disuria, urgensi, dan
nyeri suprapubik 1. Urinalisis
5. Kadang disertai pula dengan gejala Urin porsi tengah (mid-stream urine) diambil
gastrointestinal, seperti: mual, muntah, untuk dilakukan pemeriksaan dip-stick dan
diare, atau nyeri perut mikroskopik. Temuan yang mengarahkan
Faktor Risiko kepada PNA adalah:

Faktor risiko PNA serupa dengan faktor risiko a. Piuria, yaitu jumlah leukosit lebih
penyakit infeksi saluran kemih lainnya, yaitu: dari 5 – 10 / lapang pandang besar
(LPB) pada pemeriksaan mikroskopik
1. Lebih sering terjadi pada wanita usia subur tanpa / dengan pewarnaan Gram,
2. Sangat jarang terjadi pada pria berusia atau leukosit esterase (LE) yang positif
<50 tahun, kecuali homoseksual pada pemeriksaan dengan dip-stick.
3. Koitus per rektal
4. HIV/AIDS b. Silinder leukosit, yang merupakan
5. adanya penyakit obstruktif urologi yang tanda patognomonik dari PNA, yang
mendasari misalnya tumor, striktur, batu dapat ditemukan pada pemeriksaan
saluran kemih, dan pembesaran prostat mikroskopik tanpa/dengan pewarnaan
6. Pada anak-anakdapat terjadi bila terdapat Gram.
refluks vesikoureteral c. Hematuria, yang umumnya mikroskopik,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang namun dapat pula gross. Hematuria
Sederhana (Objective) biasanya muncul pada fase akut dari
PNA. Bila hematuria terus terjadi

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 38


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

walaupun infeksi telah tertangani, perlu b. Tatalaksana kelainan obstruktif yang


dipikirkan penyakit lain, seperti batu ada
saluran kemih, tumor, atau tuberkulosis. c. Menjaga kecukupan hidrasi
d. Bakteriuria bermakna,yaitu > 104 2. Medikamentosa
koloni/ ml, yang nampak lewat
pemeriksaan mikroskopik tanpa a. Antinbiotika empiris
/dengan pewarnaan Gram. Bakteriuria Antibiotika parenteral:
juga dapat dideteksi lewat adanya
nitrit pada pemeriksaan dengan dip- Pilihan antibiotik parenteral untuk
stick. pielonefritis akut nonkomplikata
antara lain ceftriaxone, cefepime, dan
2. Kultur urin dan tes sentifitas-resistensi fluorokuinolon (ciprofloxacin dan
antibiotik levofloxacin). Jika dicurigai infeksi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk enterococci berdasarkan pewarnaan
mengetahui etiologi dan sebagai pedoman Gram yang menunjukkan basil Gram
pemberian antibiotik dan dilakukan positif,maka ampisillin yang dikombinasi
di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dengan Gentamisin, Ampicillin
lanjutan. Sulbaktam, dan Piperacillin Tazobactam
merupakan pilihan empiris spektrum
3. Darah perifer dan hitung jenis luas yang baik.Terapi antibiotika
parenteral pada pasien dengan
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya
pielonefritis akut nonkomplikata dapat
leukositosis dengan predominansi neutrofil.
diganti dengan obat oral setelah 24-
4. Kultur darah 48 jam, walaupun dapat diperpanjang
jika gejala menetap.
Bakteremia terjadi pada sekitar 33%
kasus, sehingga pada kondisi tertentu Antibiotika oral:
pemeriksaan ini juga dapat dilakukan. Antibiotik oral empirik awal untuk pasien
5. Foto polos abdomen (BNO) rawat jalan adalah fluorokuinolon untuk
basil Gram negatif. Untuk dugaan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk penyebab lainnya dapat digunakan
menyingkirkan adanya obstruksi atau batu Trimetoprim- sulfametoxazole. Jika
di saluran kemih. dicurigai enterococcus, dapat diberikan
Penegakan Diagnosis (Assessment) Amoxicilin sampai didapatkan
organisme penyebab. Sefalosporin
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, generasi kedua atau ketiga juga
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang efektif, walaupun data yang
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. mendukung masih sedikit. Terapi
pyeolnefritis akut nonkomplikata dapat
Diagnosis banding:
diberikan selama 7 hari untuk gejala
Uretritis akut, Sistitis akut, Akut abdomen, klinis yang ringan dan sedang dengan
Appendisitis, Prostatitis bakterial akut, Servisitis, respons terapi yang baik. Pada kasus
Endometritis, Pelvic inflammatory disease yang menetap atau berulang, kultur
harus dilakukan. Infeksi berulang
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) ataupun menetap diobati dengan
1. Non-medikamentosa antibiotik yang terbukti sensitif selama
7 sampai 14 hari. Penggunaan
a. Identifikasi dan meminimalkan faktor antibiotik selanjutnya
risiko

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dapat disesuaikan dengan hasil tes Peralatan


sensitifitas dan resistensi.
1. Pot urin
b. Simtomatik 2. Urine dip-stick
3. Mikroskop
Obat simtomatik dapat diberikan sesuai 4. Object glass, cover glass
dengan gejala klinik yang dialami 5. Pewarna Gram
pasien, misalnya: analgetik-antipiretik,
dan anti- emetik. Prognosis
Konseling dan Edukasi 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
1. Dokter perlu menjelaskan mengenai 3. Ad sanationam : Bonam
penyakit, faktor risiko, dan cara-cara
pencegahan berulangnya PNA. Referensi
2. Pasien seksual aktif dianjurkan untuk 1. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines
berkemih dan membersihkan organ Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan
kelamin segera setelah koitus. Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta:
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi
3. Pada pasien yang gelisah, dokter dapat
Indonesia. (Achmad, 2007)
memberikan assurance bahwa PNA non-
komplikata dapat ditangani sepenuhnya dgn 2. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical
antibiotik yang tepat. Practice Guidelines for the Treatment
of Acute Uncomplicated Cystitis and
Rencana Tindak Lanjut
Pyelonephritis in Women : A 2010
1. Apabila respons klinik buruk setelah 48 – Update by the Infectious Diseases
72 jam terapi, dilakukan re-evaluasi Society of America and the European
adanya faktor-faktor pencetus komplikasi Society for Microbiology and Infectious
dan efektifitas obat. Diseases. Clinical Infectious Disease, 52,
pp.103–120 (Colgan, 2011)
2. Urinalisis dengan dip-stick urin dilakukan
pasca pengobatan untuk menilai kondisi 3. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract
bebas infeksi. Infections, Pyelonephritis, and Prostatitis.
In A. s Fauci et al., eds. Harrison’s
Kriteria Rujukan Principles of Internal Medicine. New York:
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan McGraw-Hill, pp. 1820– 1825. (Stamm, 2008)
tingkat pertama perlu merujuk ke layanan
tingkat lanjutan pada kondisi-kondisi berikut:
1. Ditemukan tanda-tanda urosepsis pada
pasien.
2. Pasien tidak menunjukkan respons
yang positif terhadap pengobatan yang
diberikan.
3. Terdapat kecurigaan adanya penyakit
urologi yang mendasari, misalnya: batu
saluran kemih, striktur, atau tumor.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 38


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. FIMOSIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: Y81 Phimosis
: N47 Phimosis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan hingga ke korona glandis


Fimosis adalah kondisi dimana preputium 2. Pancaran urin mengecil
tidak dapat diretraksi melewati glans penis. 3. Menggelembungnya ujung preputium saat
Fimosis dapat bersifat fisiologis ataupun berkemih
patalogis. Umumnya fimosis fisiologis 4. Eritema dan udem pada preputium dan
terdapat pada bayi dan anak-anak. Pada glans penis
anak usia 3 tahun 90% preputium telah dapat 5. Pada fimosis fisiologis, preputium tidak
diretraksi tetapi pada sebagian anak memiliki skar dan tampak sehat
preputium tetap lengket pada glans penis 6. Pada fimosis patalogis pada sekeliling
sehingga ujung preputium mengalami preputium terdapat lingkaran fibrotik
penyempitan dan mengganggu proses 7. Timbunan smegma pada sakus preputium
berkemih. Fimosis patologis terjadi akibat Penegakan Diagnosis (Assessment)
peradangan atau cedera pada preputium yang
menimbulkan parut kaku sehingga menghalangi Diagnosis Klinis
retraksi.
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala
Hasil Anamnesis (Subjective) klinis dan pemeriksaan fisik
Keluhan Diagnosis Banding
Keluhan umumnya berupa gangguan aliran urin Parafimosis, Balanitis, Angioedema
seperti:
Komplikasi
1. Nyeri saat buang air kecil
Dapat terjadi infeksi berulang karena
2. Mengejan saat buang air kecil
penumpukan smegma.
3. Pancaran urin mengecil
4. Benjolan lunak di ujung penis akibat Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
penumpukan smegma.
Penatalaksanaan
Faktor Risiko
1. Pemberian salep kortikosteroid (0,05%
1. Hygiene yang buruk betametason) 2 kali perhari selama 2-8
2. Episode berulang balanitis atau minggu pada daerah preputium.
balanoposthitis menyebabkan skar pada
preputium yang menyebabkan terjadinya 2. Sirkumsisi
fimosis patalogis Rencana Tindak Lanjut
3. Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang
tidak menjalani sirkumsisi Apabila fimosis bersifat fisiologis seiring dengan
perkembangan maka kondisi akan membaik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dengan sendirinya
Sederhana (Objective)
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Fisik
Pemberian penjelasan terhadap orang tua
1. Preputium tidak dapat diretraksi keproksimal

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

atau pasien agar tidak melakukan penarikan Referensi


preputium secara berlebihan ketika
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran
membersihkan penis karena dapat menimbulkan
parut. Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Buku Ajar
Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
Kriteria Rujukan
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri
Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
tindakan sirkumsisi maka dirujuk ke layanan Circumcision. The Scientific World Journal.
sekunder. 2011. 11, 289–301.
Peralatan 3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in
Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
Set bedah minor
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke
Prognosis P, Kocvara R, Nijman R, Radmayr Chr, dan
Prognosis bonam bila penanganan sesuai Stein
R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology.
European Association of Urology. 2013. hlm
9-10

4. PARAFIMOSIS
No. ICPC-2: Y81. Paraphimosis No. ICD-10: N47.2 Paraphimosis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Parafimosis merupakan kegawatdaruratan Sederhana (Objective)
karena dapat mengakibatkan terjadinya
Pemeriksaan Fisik
ganggren yang diakibatkan preputium penis
yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak 1. Preputium tertarik ke belakang glans
dapat dikembalikan pada kondisi semula dan penis dan tidak dapat dikembalikan ke
timbul jeratan pada penis di belakang sulkus posisi semula
koronarius. 2. Terjadi eritema dan edema pada glans penis
3. Nyeri
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Jika terjadi nekrosis glans penis berubah
Keluhan warna menjadi biru hingga kehitaman
1. Pembengkakan pada penis
Penegakan Diagnosis (Assessment)
2. Nyeri pada penis
Diagnosis Klinis
Faktor Risiko
Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis
Penarikan berlebihan kulit preputium
dan peneriksaan fisik
(forceful retraction) pada laki- laki yang belum
disirkumsisi misalnya pada pemasangan kateter. Diagnosis Banding
Angioedema, Balanitis, Penile hematoma

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 38


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan segera dapat terjadi
ganggren
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Reposisi secara manual dengan memijat
glans selama 3-5 menit.
Diharapkan edema berkurang dan secara
perlahan preputium dapat dikembalikan
pada tempatnya.
2. Dilakukan dorsum insisi pada jeratan
Rencana Tindak Lanjut
Dianjurkan untuk melakukan sirkumsisi.
Konseling dan Edukasi
Setelah penanganan kedaruratan disarankan
untuk dilakukan tindakan sirkumsisi karena
kondisi parafimosis tersebut dapat berulang.
Kriteria Rujukan
Bila terjadi tanda-tanda nekrotik segera rujuk ke
layanan sekunder.
Peralatan
Set bedah minor
Prognosis
Prognosis bonam
Referensi
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran
kemih dan alat kelamin lelaki. Buku Ajar Imu
Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri
K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
Circumcision. The Scientific World Journal.
2011. 11, 289–301.
3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in
Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke
P, Kocvara R, Nijman R, RadmayrChr, dan
Stein
R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology.
European Association of Urology. 2013. hlm
9-10

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

N. KESEHATAN WANITA

1. KEHAMILAN NORMAL
No. ICPC-2 : W90 Uncomplicated labour/delivery livebirth
No. ICD-10 : O80.9 Single spontaneous delivery, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
a. Diabetes Mellitus/ kencing manis
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai b. Penyakit jantung
lahir. Lama kehamilan normal 40 minggu c. Penyakit ginjal
dihitung dari hari pertama haid terahir d. Penyalahgunaan obat
(HPHT). Untuk menghindari terjadinya e. Konsumsi rokok, alkohol dan bahan
komplikasi pada kehamilan dan persalinan, adiktif lainnya
maka setiap ibu hamil dianjurkan untuk f. Penyakit menular TB, malaria, HIV/AIDS
melakukan pemeriksaan secara rutin minimal 4 dan penyakit menular seksual,
kali kunjungan selama masa kehamilan. g. Penyakit kanker
Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
1. Haid yang terhenti
2. Mual dan muntah pada pagi hari Pemeriksaan Fisik
3. Ngidam
Periksa tanda vital ibu (tekanan darah, nadi,
4. Sering buang air kecil
suhu, frekuensi nafas), ukur berat badan, tinggi
5. Pengerasan dan pembesaran payudara
badan, serta lingkar lengan atas (LLA) pada
6. Puting susu lebih
setiap kedatangan.
hitam Faktor Risiko
Pada trimester 1
Pada kehamilan perlu diwaspadai hal-hal di
1. LLA> 33 cm, maka diduga obesitas, memiliki
bawah ini:
risiko preeklampsia dan diabetes maternal,
1. Bila pada kehamilan sebelumnya terdapat memiliki risiko melahirkan bayi dengan
riwayat obstetrik sebagai berikut: berat badan lebih
a. Lahir mati atau bayi mati umur < 28 2. LLA< 23 cm, maka diduga undernutrisi atau
hari memiliki penyakit kronis, biasanya memiliki
b. > 3 abortus spontan bayi yang lebih kecil dari ukuran normal
c. Berat badan bayi < 2500 gram
3. Keadaan muka diperhatikan adanya
d. Berat badan bayi > 4500 gram
edema palpebra atau pucat, mata dan
e. Dirawat di rumah sakit karena
konjungtiva dapat pucat,kebersihan mulut
hipertensi, preeklampsia atau eklampsia
f. Operasi pada saluran reproduksi dan gigi dapat terjadi karies dan periksa
khususnya operasi seksiosesaria kemungkinan pembesaran kelenjar tiroid.
2. Bila pada kehamilan saat ini: 4. Pemeriksaan payudara: puting susu dan
a. Usia ibu di bawah 16 tahun atau di areola menjadi lebih menghitam.
atas 35 tahun 5. Pemeriksaan dada:perhatikan suara paru
b. Ibu memiliki rhesus (-) dan bunyi jantung ibu
c. Ada keluhanperdarahan vagina
6. Pemeriksaan ekstremitas: perhatikan edema
3. Bila ibu memiliki salah satu masalah
dan varises
kesehatan di bawah ini:

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 39


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Pemeriksaan obstetrik : trimester 1 terutama untuk daerah endemik


untuk skrining faktor risiko.
1. Abdomen:
a. Observasi adanya bekas operasi. 5. USG sesuai indikasi.
b. Mengukur tinggi fundus uteri. Penegakan Diagnostik (Assessment)
c. Melakukan palpasi dengan manuever
Leopold I-IV. Diagnosis Klinis
d. Mendengarkan bunyi jantung janin
Diagnosisi ditegakkan dengan anamnesis,
(120-160x/menit).
pemeriksaan fisik/obstetrik, dan pemeriksaan
2. Vulva/vagina
penunjang.
a. Observasi varises, kondilomata,
edema, haemorhoid atau abnormalitas Tanda tak pasti kehamilan: Tes kehamilan
lainnya. menunjukkan HCG (+)
b. Pemeriksaan vaginal toucher:
memperhatikan tanda-tanda tumor. Tanda pasti kehamilan:
c. Pemeriksaan inspekulo untuk 1. Bunyi jantung janin/BJJ (bila umur
memeriksa serviks,tanda-tanda infeksi, kehamilan/UK> 8 minggu) dengan BJJ
ada/tidaknya cairan keluar dari normal 120-160 kali per menit,
osteum uteri.
2. Gerakan janin (bila UK> 12 minggu)
Tabel 14.1 Tinggi fundus sesuai usia kehamilan 3. Bila ditemukan adanya janin pada
pemeriksaan Ultrasonografi(USG) dan
pemeriksaan obstetrik.
Kehamilan normal apabila memenuhi kriteria
dibawah ini:
1. Keadaan umum baik
2. Tekanan darah <140/90 mmHg
3. Pertambahan berat badan sesuai minimal
8 kg selama kehamilan (1 kg perbulan)
atau sesuai Indeks Masa Tubuh (IMT) ibu
4. Edema hanya pada ekstremitas

Pemeriksaan Penunjang 5. BJJ =120-160 x/menit


6. Gerakan janin dapat dirasakan setelah
1. Tes kehamilan menunjukkan HCG (+) usia 18 -20 minggu hingga melahirkan
2. Pemeriksaan darah: Golongan darah ABO 7. Ukuran uterus sesuai umur kehamilan
dan Rhesus pada trimester 1, Hb dilakukan
8. Pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam
pada trimester 1 dan 3, kecuali bila tampak
batas normal
adanya tanda-tanda anemia berat.
3. Pemeriksaan lain: kadar glukosa darah 9. Tidak ada riwayat kelainan obstetrik.
dan protein urin sesuai indikasi. Diagnosis Banding
4. Pada ibu hamil dengan faktor risiko,
1. Kehamilan palsu
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan:
2. Tumor kandungan
BTA, TORCH (toxoplasma, rubella,
3. Kista ovarium
cytomegalo virus, herpes and others),
4. Hematometra
sifilis, malaria danHIV dilakukan pada
5. Kandung kemih yang penuh

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Tabel 14.2 Tatalaksana Pemeriksaan dan 2. Memberikan nasihat dan petunjuk yang
tindakan pada kehamilan pertrimester berkaitan dengan kehamilan, persalinan,
kala nifas dan laktasi.
3. Tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai:
sakit kepala lebih dari biasa, perdarahan
per vaginam, gangguan penglihatan,
pembengkakan pada wajah/tangan, nyeri
abdomen (epigastrium), mual dan muntah
berlebihan, demam, janin tidak bergerak
sebanyak biasanya.
4. Pemberian makanan bayi, air susu ibu (ASI)
eksklusif, dan inisiasi menyusu dini (IMD).
5. Penyakit yang dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan janin misalnya hipertensi,
TBC, HIV, serta infeksi menular seksual
lainnya.
6. Perlunya menghentikan kebiasaan yang
beresiko bagi kesehatan, seperti merokok
dan minum alkohol.
7. Program KB terutama penggunaan
kontrasepsi pascasalin.
8. Minum cukup cairan.
9. Peningkatan konsumsi makanan hingga 300
kalori/hari dari menu seimbang. Contoh: asi
tim dari 4 sendok makan beras, ½ pasang
hati ayam, 1 potong tahu, wortel parut,
bayam, 1 sendok teh minyak goreng, dan
400 ml air.
10. Latihan fisik normal tidak berlebihan,
istirahat jika lelah.
11. Ajarkan metoda mudah untuk menghitung
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) gerakan janin dalam 12 jam, misalnya
Penatalaksanaan dengan menggunakan karet gelang 10 buah
pada pagi hari pukul 08.00 yang dilepaskan
Non Medikamentosa satu per satu saat ada gerakan janin. Bila
pada pukul 20.00, karet gelang habis, maka
1. Memberikan jadwal pemeriksaan berkala
gerakan janin baik.
kepada calon ibu selama masa kehamilan
Medikamentosa
Tabel 14.3 Kunjungan pada pemeriksaan
antenatal 1. Memberikan zat besi dan asam folat (besi
60 mg/hari dan folat 250 mikogram 1-2 kali/
hari), bila Hb<7,0 gr/dl dosis ditingkatkan
menjadi dua kali. Apabila dalam follow
up selama 1 bulan tidak ada perbaikan,
dapatdipikirkan kemungkinan penyakit
lain (talasemia, infeksi cacing tambang,
penyakit kronis TBC)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 39


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Memberikanimunisasi TT (Tetanus Toxoid) diperlukan rujukan, dukungan biaya.


apabila pasien memiliki risiko terjadinya 2. Pentingnya peran suami dan keluarga
tetanus pada proses melahirkan dan buku selama kehamilan dan persalinan.
catatan kehamilan. 3. Jika ibu merasakan tanda – tanda bahaya
kehamilan, harus di waspadai dan segera
Pada Ibu yang riwayat imunisasi tidak mengunjungi pelayanan kesehatan terdekat.
diketahui, pemberian sesuai dengan tabel di Tanda bahaya yang wajib diwaspadai :
berikut ini. a. Sakit kepala yang tidak biasanya
Tabel 14.4 Pemberian TT untuk ibu yang belum b. Keluarnya darah dari jalan lahir
pernah imunisasi atau tidak mengetahui status c. Terjadi gangguan penglihatan
imunisasinya d. Pembengkakan pada wajah / tangan
e. Mual dan muntah yang berlebihan
f. Demam
g. Gerakan janin yang tidak biasanya
atau cenderung tidak bergerak
4. Keluarga diajak untuk mendukung ibu hamil
secara psikologis maupun finansial, bila
memungkinkan siapkan suami siaga
5. Dukung intake nutrisi yang seimbang bagi
ibu hamil.
6. Dukung ibu hamil untuk menghentikan
pemberian ASI bila masih menyusui.
Dosis booster dapat diberikan pada ibu 7. Dukung memberikan ASI eksklusif untuk
yang sudah pernah diimunisasi. Pemberian bayi yang nanti dilahirkan.
dosis booster 0,5 ml IM dan disesuaikan 8. Siapkan keluarga untuk dapat
degan jumlah vaksinani yang telah diterima menentukan kemana ibu hamil harus
sebelumnya. Sesuai dengan tabel di berikut ini. dibawa bila ada perdarahan, perut
dan/atau kepala terasa sangat nyeri, dan
Tabel 14.5 Pemberian TT untuk ibu yang sudah tanda-tanda bahaya lainnya, tulis dalam
pernah imunisasi buku pemeriksaan alamat rujukan yang
dapat dituju bila diperlukan.
9. Dengan pasangan ibu hamil didiskusikan
mengenai aktifitas seksual selama
kehamilan. Aktifitas seksual biasa dapat
dilakukan selama kehamilan, posisi dapat
bervariasi sesuai pertumbuhan janin dan
pembesaran perut. Kalau ibu hamil merasa
tidak nyaman ketika melakukan aktifitas
seksual, sebaiknya dihentikan. Aktifitas
seksual tidak dianjurkan pada keadaan:
a. riwayat melahirkan prematur
Konseling dan Edukasi
b. riwayat abortus
1. Persiapan persalinan, meliputi: siapa yang c. perdarahan vagina atau keluar duhtubuh
akan menolong persalinan, dimana akan d. plasenta previa atau plasenta letak
melahirkan, siapa yang akan membantu dan rendah
menemani dalam persalinan, e. serviks inkompeten
kemungkinan kesiapan donor darah bila
timbul permasalahan, metode
transportasi bila

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Peralatan Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan


trimester 1 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Alat ukur tinggi badan dan berat badan
2. Meteran 1. hiperemesis
3. Laenec atau Doppler 2. perdarahan per vaginam atau spotting
4. Tempat tidur periksa 3. trauma
5. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
tes kehamilan, darah rutin, urinalisa dan
golongan darah trimester 2 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
6. Buku catatan pemeriksaan 1. Gejala yang tidak diharapkan
7. Buku pegangan ibu hamil 2. Perdarahan pervaginam atau spotting
3. Hb selalu berada di bawah 7 gr/dl
Kriteria Rujukan
4. Gejala preeklampsia, hipertensi, proteinuria
Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan 5. Diduga adanya fetal growth retardation
trimester 1 atau 2 bila ditemukan keadaan di (gangguan pertumbuhan janin)
bawah ini: 6. Ibu tidak merasakan gerakan bayi
Tabel 14.6 Kriteria rujukan ibu hamil Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
trimester 3 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Sama dengan keadaan tanda bahaya pada
semester 2 ditambah
2. Tekanan darah di atas 130 mmHg
3. Diduga kembar atau lebih
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
2013 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
2. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H.
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2010(Prawi rohardjo, et al.,
2010)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 39


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. HIPEREMESIS GRAVIDARUM (MUAL DAN MUNTAH PADA KEHAMILAN)


No. ICPC-2: W05 Pregnancy vomiting/nausea No ICD-10: O21.0 Mild hyperemis gravidarum
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan diperkirakan erat kaitannya dengan faktor-


Mual dan muntah yang terjadi pada awal faktor :
kehamilan sampai umur kehamilan 16 1. Peningkatan hormon – hormon kehamilan.
minggu. Mual dan muntah yang berlebihan, 2. Adanya riwayat hiperemesis pada kehamilan
dapat mengakibatkan dehidrasi, gangguan sebelumnya.
3. Status nutrisi: pada wanita obesitas lebih
asam-basa dan elektrolit dan ketosis keadaan ini
disebut sebagai keadaan hiperemesis.Mual jarang di rawat inap karena hiperemesis.
biasanya terjadi pada pagi hari, tapi dapat 4. Psikologis: adanya stress dan emosi.
pula timbul setiap saat dan malam hari. Mual Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dan muntah ini terjadi pada 60-80% Sederhana (Objective)
primigravida dan 40-60% multigravida.Mual
dan muntah mempengaruhi hingga > 50% Pemeriksaan fisik
kehamilan. Keluhan muntah kadang-kadang 1. Pemeriksaan tanda vital: nadi meningkat
begitu hebat dimana segala apa yang dimakan 100x/mnt, tekanan darah menurun (pada
dan diminum dimuntahkan sehingga dapat keadaan berat), subfebris, dan gangguan
mempengaruhi keadaan umum dan kesadaran (keadaan berat).
mengganggu pekerjaan sehari-hari, berat 2. Pemeriksaan tanda-tanda dehidrasi: mata
badan menurun, dehidrasi dan terdapat cekung, bibir kering, turgor berkurang.
aseton dalam urin bahkan seperti gejala 3. Pemeriksaan generalis: kulit pucat, sianosis,
penyakit appendisitis, pielitis, dan sebagainya. berat badan turun> 5% dari berat badan
Hasil Anamnesis (Subjective) sebelum hamil, uterus besar sesuai usia
kehamilan, pada pemeriksaan inspekulo
Keluhan tampak serviks yang berwarna biru.
1. Mual dan muntah hebat Pemeriksaan Penunjang
2. Ibu terlihat pucat
3. Kekurangan cairan Pemeriksaan laboratorium

Gejala klinis 1. Darah : kenaikan relatif hemoglobin dan


hematokrit.
1. Muntah yang hebat 2. Urinalisa : warna pekat, berat jenis
2. Mual dan sakit kepala terutama pada pagi meningkat, pemeriksaan ketonuria, dan
hari (morning sickness) proteinuria.
3. Nafsu makan turun
4. Beratbadan turun Penegakan Diagnostik (Assessment)
5. Nyeri epigastrium Diagnosis klinis
6. Lemas
7. Rasa haus yang hebat Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
8. Gangguan kesadaran pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Faktor Risiko Hiperemesis gravidarum apabila terjadi:
Belum diketahui secara pasti namun

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

1. Mual muntah berat menyebabkan hipovolemia, Intrauterine growth


2. Berat badan turun > 5% dari berat sebelum restriction (IUGR)
hamil
3. Ketonuria Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Dehidrasi dan Ketidakseimbangan elektrolit Penatalaksanaan
Klasifikasi hiperemesis gravidarum secara 1. Non Medikamentosa
klinis dibagi menjadi 3 tingkatan, antara lain:
a. Mengusahakan kecukupan nutrisi ibu,
1. Tingkat 1 termasuk suplemantasi vitamin dan
Muntah yang terus menerus, timbul asam folat di awal kehamilan.
intoleransi terhadap makanan dan minuman, b. Makan porsi kecil, tetapi lebih sering.
berat badan menurun, nyeri epigastrium, c. Menghindari makanan yang berminyak
muntah pertama keluar makanan, lendir dan dan berbau lemak.
sedikit cairan empedu, dan yang terakhir d. Istirahat cukup dan hindari kelelahan.
keluar darah. Nadi meningkat sampai 100 e. Efekasi yang teratur.
x/mnt, dan tekanan darah sistolik menurun.
2. Medikamentosa
Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit
berkurang, dan urin sedikit tetapi masih Tatalaksana Umum
normal.
a. Dimenhidrinat 50-100 mg per oral
2. Tingkat 2 atau supositoria, 4-6 kali sehari ATAU
Gejala lebih berat, segala yang dimakan Prometazin 5-10 mg 3-4 kali sehari
dan diminum dimuntahkan, haus hebat, per oral atau supositoria.
subfebris, nadi cepat lebih dari 100-140 x/
mnt, tekanan darah sistolik menurun, apatis, b. Bila masih belum teratasi, tapi tidak
kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus, terjadi dehidrasi, berikan salah satu
aseton, bilirubin dalam urin, dan berat obat di bawah ini:
• Klorpromazin 10-25 mg per oral atau
badan cepat menurun.
50-100 mg IM tiap 4-6 jam
3. Tingkat 3 • Prometazin 12,5-25 mg per oral atau
Walaupun kondisi tingkat 3 sangat jarang, IM tiap 4-6 jam
yang mulai terjadi adalah gangguan • Metoklopramid 5-10 mg per oral atau
kesadaran (delirium-koma), muntah IM tiap 8 jam
berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi • Ondansetron 8 mg per oral tiap 12
ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jam
jantung, bilirubin, dan proteinuria dalam c. Bila masih belum teratasi dan terjadi
urin. dehidrasi, pasang kanula intravena dan
berikan cairan sesuai dengan derajat
Diagnosis Banding
hidrasi ibu dan kebutuhan cairannya,
Ulkus peptikum, Inflammatory bowel syndrome, lalu:
Acute Fatty Liver, Diare akut • Berikan suplemen multi vitamin IV
• Berikan dimenhidrinat 50 mg dalam
Komplikasi 50 ml NaCl 0,9% IV selama 20 menit,
Komplikasi neurologis, Stress related mucosal setiap 4-6 jam sekali
injury, stress ulcer pada gaster, Jaundice, • Bila perlu, tambahkan salah satu obat
Disfungsi pencernaan, Hipoglikemia, berikut ini:
Malnutrisi, Defisiensi vitamin terutama thiamin, - Klorpromazin 25-50 mg IV tiap 4-6
komplikasi potensial dari janin, kerusakan jam
ginjal yang

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 39


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

- Prometazin 12,5-25 mg IV tiap 4-6 yang baik pada tingkat yang berat, kondisi ini
jam dapat mengancam nyawa ibu dan janin.
- Metoklopramid 5-10 mg tiap 8
Ad vitam : Bonam;
jam per oral
Ad functionam : Bonam;
• Bila perlu, tambahkan Ad sanationam : Bonam
Metilprednisolon 15-20 mg IV tiap 8
jam ATAU ondansetron 8 mg Referensi
selama 15 menit IV tiap 12 jam 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
atau 1 mg/ jam terus-menerus Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
selama 24 jam. Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Konseling dan Edukasi Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2013(Kementerian Kesehatan Republik
1. Memberikan informasi kepada pasien, Indonesia, 2013)
suami, dan keluarga mengenai kehamilan
dan persalinansuatu proses fisiologik. 2. World Health Organization, Kementerian
Kesehatan, Perhimpunan Obstetri Dan
2. Memberikan keyakinan bahwa mual dan Ginekologi, Ikatan Bidan Indonesia.
kadang-kadang muntah merupakan gejala Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas
fisiologik pada kehamilan muda dan akan Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Edisi I.
hilang setelah usia kehamilan 4 bulan. Jakarta 2013. Hal 82-
3 (Kementerian Kesehatan Republik
3. Hindari kelelahan pada ibu dengan aktivitas
Indonesia, 2013)
berlebihan.
3. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
4. Memperhatikan kecukupan nutrisi ibu, dan Raschimhadhi, T. Wiknjosastro, G.H, 2010.
sedapat mungkin mendapatkan suplemen Ilmu Kebidanan. Ed 4. Cetakan ketiga.
asam folat di awal kehamilan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Kriteria Rujukan Prawirohardjo. 2010; Hal 814-818.
(Prawirohardjo, et al., 2010)
1. Ditemukan gejala klinis dan ada gangguan
kesadaran (tingkat 2 dan 3). 4. Wiknjosastro, H.Hiperemesis Gravidarum
dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta: Balai
2. Adanya komplikasi gastroesopagheal Penerbit FKUI. 2005: Hal 275-280.
reflux disease (GERD), ruptur esofagus, (Prawirohardjo, et al., 2010)
perdarahan saluran cerna atas dan
kemungkinan defisiensi vitamin terutama 5. Ronardy, D.H. Ed. Obstetri Williams. Ed
thiamine. 18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2006:9, 996. (Ronardy, 2006)
3. Pasien telah mendapatkan tindakan
awal kegawatdaruratan sebelum proses
rujukan.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah rutin
2. Laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis umumnya bonam dan sangat
memuaskan jika dilakukan penanganan dengan
baik. Namun jika tidak dilakukan penanganan

3 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA KEHAMILAN


No. ICPC-2: B80 Irondeficiency anaemia No. ICD-10: D50 Iron deficiency anaemia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Anemia dalam kehamilan adalah kelainan Diagnosis Klinis
pada ibu hamil dengan kadar hemoglobin <
Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III)
11g/dl pada trimester I dan III atau <10,5
atau< 10,5 g/dl (pada trimester II). Apabila
g/dl pada trimester II. Penyebab tersering
diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
anemia pada kehamilan adalah defisiensi besi,
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat
perdarahan akut, dan defisiensi asam folat.
morfologi sel darah merah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Banding
Keluhan Anemia akibat penyakit kronik, Trait
1. Badan lemah, lesu Thalassemia, Anemia sideroblastik
2. Mudah lelah Komplikasi : -
3. Mata berkunang-kunang
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Tampak pucat
5. Telinga mendenging Penatalaksanaan
6. Pica: keinginan untuk memakan bahan-
bahan yang tidak lazim 1. Lakukan penilaian pertumbuhan dan
kesejahteraan janin dengan memantau
Faktor Risiko : - pertambahan ukuran janin
2. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak
Faktor Predisposisi
tersedia, berikan tablet tambah darah yang
1. Perdarahan kronis berisi 60 mg besi elemental dan 250 μg
2. Riwayat keluarga asam folat.Pada ibu hamil dengan anemia,
3. Kecacingan tablet besi diberikan 3 kali sehari.
4. Gangguan intake (diet rendah zat besi,) 3. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan
5. Gangguan absorbsi besi penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang lengkap dan apus darah tepi.
Sederhana (Objective )
Bila tidak tersedia, pasien bisa di rujuk ke
Pemeriksaan Fisik Patognomonis pelayanan sekunder untuk penentuan jenis
1. Konjungtiva anemis anemia dan pengobatan awal.
2. Atrofi papil lidah Tabel 14.7 Sediaan suplemen besi yang beredar
3. Stomatitis angularis (cheilosis)
4. Koilonichia: kuku sendok (spoon nail)
Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar hemoglobin
2. Apusan darah tepi

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 39


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. Anemia mikrositik hipokrom dapat pemberian suplementasi besi selama 3


ditemukan pada keadaan: bulan
a. Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan 3. Anemia yang disertasi perdarahan kronis,
ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin agar dicari sumber perdarahan dan
< 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan ditangani.
dosis setara 180 mg besi elemental per
Peralatan
hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan
pemeriksaan SI dan TIBC. Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
b. b. Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan Prognosis
thalassemia perlu dilakukan
tatalaksana bersama dokter spesialis Prognosis umumnya adalah bonam, sembuh
penyakit dalam untuk perawatan yang lebih tanpa komplikasi
spesifik Referensi
c. Anemia normositik normokrom dapat 1. KementerianKesehatan RI dan WHO.
ditemukan pada keadaan: Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu
d. Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
tanda dan gejala aborsi, mola, kehamilan Rujukan. Jakarta :KementerianKesehatan
ektopik, atau perdarahan pasca persalinan RI. 2013(Kementerian Kesehatan Republik
infeksi kronik Indonesia, 2013)

e. Anemia makrositik hiperkrom dapat


ditemukan pada keadaan: Defisiensi asam
folat dan vitamin B12: berikan asam folat
1 x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000
μg
Konseling dan Edukasi
1. Prinsip konseling pada anemia defisiensi
besi adalah memberikan pengertian kepada
pasien dan keluarganya tentang
perjalanan penyakit dan tata laksananya,
sehingga meningkatkan kesadaran dan
kepatuhan dalam berobat serta
meningkatkan kualitas hidup pasien untuk
mencegah terjadinya anemia defisiensi
besi.
2. Diet bergizi tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani
(daging,ikan,susu, telur,sayuran hijau)
3. Pemakaian alas kaki untuk mencegah infeksi
cacing tambang
Kriteria Rujukan
1. Pemeriksaan penunjang menentukan jenis
anemia yang ibu derita
2. Anemia yang tidak membaik dengan

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. PRE-EKLAMPSIA
No. ICPC-2: W81 Toxaemia of pregnancy
No. ICD-10: O14.9 Pre-eclampsia, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik Sederhana(Objective)
pada kehamilan di atas 20 minggu yang
Pemeriksaan Fisik
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta
dan respon maternal terhadap adanya 1. Pada pre-eklampsia ringan:
inflamasi spesifik dengan aktivasi endotel dan a. Tekanan darah 140/90 mmHg pada usia
koagulasi. kehamilan > 20 minggu
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria
Tanda utama penyakit ini adanya hipertensi dan
proteinuria. Pre- eklampsia merupakan masalah +1 atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam
kedokteran yang serius dan memiliki tingkat
2. Pada pre-eklampsia berat:
komplesitas yang tinggi. Besarnya masalah ini
a. Tekanan darah > 160/110 mmHg
bukan hanya karena pre-eklampsia berdampak
pada usia kehamilan > 20 minggu
pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria
juga menimbulkan masalah pasca-persalinan.
+2 atau pemeriksaan protein kuantitatif
Hasil Anamnesis (Subjective) menunjukkan hasil > 5g/24 jam
c. Atau disertai keterlibatan organ lain:
Keluhan • Trombositopenia (<100.000
1. Pusing dan nyeri kepala sel/uL), hemolisis mikroangiopati
2. Nyeri ulu hati • Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri
3. Pandangan kurang jelas abdomen kuadran kanan atas
4. Mual hingga muntah • Sakit kepala, skotoma penglihatan
• Pertumbuhan janin terhambat,
Faktor Risiko oligohidroamnion
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi • Edema paru atau gagal jantung
menyebabkan penyakit mikrovaskular kongestif
(antaralain : diabetes melitus, hipertensi • Oligouria (<500cc/24 jam), kreatinin
kronik, gangguanpembuluhdarah) >1.2 mg/dl
2. Sindrom antibody antiphospholipid (APS) Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Nefropati
4. Faktor risiko lainnya dihubungkan dengan Diagnosis klinis
kehamilan itu sendiri, dan faktor spesifik Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
dari ibu atau janin. gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
a. Umur > 40 tahun
penunjang yang telah dilakukan.
b. Nullipara dan Kehamilan multipel
5. Obesitas sebelum hamil Diagnosis Banding
6. Riwayat keluarga pre-eklampsia dan
Hipertensi gestasional, Hipertensi Kronik,
eklampsia
7. Riwayat pre-eklampsia pada kehamilan Hipertensi Kronik dengan superimposed
sebelumnya preeklampsia

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 40


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Komplikasi Gambar 14. 1 Penatalaksanaan Pemberian


dosis awal dan rumatan MgSO4 pada pasien
Sindrome HELLP, pertumbuhan janin intra uterin pre-eklampsia
yang terhambat, edema paru, kematian janin,
koma, kematian ibu
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Non Medikamentosa
1. Pre-eklampsia ringan
a. Dapat di rawat jalan dengan
pengawasan dan kunjungan antenatal
yang lebih sering.
b. Dianjurkan untuk banyak istirhat
dengan baring atau tidur miring. Namun
tidak mutlak selalu tirah baring
c. Diet dengan cukup protein dengan
rendah karbohidrat, lemak dan garam
secukupnya.
d. Pemantuan fungsi ginjal, fungsi hati,
dan protenuria berkala
2. Pre-eklampsia berat
Segera melakukan perencanaan untuk
rujukan segera ke Rumah Sakit dan
menghindari terjadi kejang dengan 2. Rawat jalan (ambulatoir)
pemberian MgSO4. a. Ibu hamil banyak istirahat (berbaring/
tidur miring)
Medikamentosa b. Konsumsi susu dan air buah
1. Pantau keadaan klinis ibu tiap kunjungan c. Antihipertensi
antenatal: tekanan darah, berat badan, • Ibu dengan hipertensi berat selama
tinggi badan, indeks masa tubuh, ukuran kehamilan perlu mendapatkan terapi
uterus dan gerakan janin. antihipertensi.
• Pilihan antihipertensi didasarkan
Tabel 14.8 Obat Antihipertensi untuk ibu hamil terutama pada pengalaman dokter
dan ketersediaan obat.
Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan
1. Pada ibu dengan preeklampsi berat
dengan janin sudah viable namun usia
kehamilan belum mencapai 34 minggu,
manajemen ekspektan dianjurkan, asalkan
tidak terdapat kontraindikasi.
2. Pada ibu dengan preeklampsi berat, dimana
usia kehamilan 34-37 minggu, manajemen
ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak
Antihipertensi golongan ACE Inhibitor (misalnya
terdapat hipertensi yang tidak terkontrol,
kaptopril) , ARB, (misalnya Valsartan) dan disfungsi organ ibu, dan gawat janin.
klorotiazid dikontraindikasikan pada ibu hamil. 3. Pada ibu dengan preeklampsi berat yang
kehamilannya sudah aterm, persalinan
dini

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dianjurkan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.


4. Pada ibu dengan preeklampsia ringan 2013 (Kementerian Kesehatan Republik
atau hipertensi gestasional ringan yang Indonesia, 2013)
sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan.
2. Report on the national high blood
Konseling dan Edukasi pressure education program working
group on high blood pressure in
1. Memberikan informasi mengenai keadaan
pregnancy. AJOG.2000: Vol.183. (National
kesehatan ibu hamil dengan tekanan
High Blood Pressure Education Program
darah yang tinggi.
Working Group on High Blood Pressure in
2. Melakukan edukasi terhadapa pasien,
Pregnancy, 2000)
suami dan keluarga jika menemukan
gejala atau keluhan dari ibu hamil segera 3. Lana, K. Wagner, M.D. Diagnosis and
memberitahu petugas kesehatan atau management of pre- eklampsia. The
langsung ke pelayanan kesehatan American Academy of Family Physicians.
3. Sebelum pemberian MgSO4, pasien terlebih 2004 Dec 15; 70 (12): 2317-2324).(Lana
dulu diberitahu akan mengalami rasa panas & Wagner, 2004)
dengan pemberian obat tersebut.
4. Suami dan keluarga pasien tetap diberi 4. Cunningham, F.G. et.al. Hypertensive
motivasi untuk melakukan pendampingan Disorder in Pregnancy.Williams Obstetrics.
terhadap ibu hamil selama proses rujukan 21st Ed. Prentice Hall International Inc.
Connecticut: Appleton and Lange.
Kriteria Rujukan 2001; p. 653 -694.(Cunningham, et al.,
2001)
1. Rujuk bila ada satu atau lebih gejala
dan tanda-tanda preeklampsia berat ke 5. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
fasilitas pelayanan kesehatan sekunder. T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
2. Penanganan kegawatdaruratan harus di Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
lakukan menjadi utama sebelum dan selama cetakan ketiga. Jakarta :PT Bina Pustaka
proses rujukan hingga ke Pelayanan Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 550-
Kesehatan sekunder. 554. (Prawirohardjo, et al., 2010)
Peralatan 6. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis
1. Doppler atau Laenec
dan Tata Laksana Pre-eklampsia. Jakarta:
2. Palu Patella
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Obat-obat Antihipertensi
(Kementerian Kesehatan Republik
4. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
Indonesia, 2013)
darah rutin dan urinalisa.
5. Larutan MgSO4 40%
6. Larutan Ca Glukonas
Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam
baik bagi ibu maupun janin.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 40


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. EKLAMPSI
No. ICPC-2
No. ICD-10 : W81 Toxaemia of pregnancy
: O15.9 Eclampsia, unspecified as to time period
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
3. Riwayat preeklampsia ringan dan berat
Eklampsia merupakan kasus akut pada dalam kehamilan sebelumnya.
penderita pre-eklampsia, yang disertai dengan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
kejang menyeluruh dan atau koma. Sama
Sederhana(Objective)
halnya dengan pre-eklampsia, eklampsia
dapat timbul pada ante, intra, dan post Pemeriksaan Fisik
partum. Eklampsia post partum umumnya
hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama 1. Pemeriksaan keadaan umum: sadar atau
setelah persalinan. 50- 60% kejadian penurunan kesadaran Glasgow Coma
eklampsia terjadi dalam keadaan hamil. 30- Scale dan Glasgow-Pittsburg Coma
35% kejadian eklampsia terjadi pada saat Scoring System.
inpartu, dan sekitar 10% terjadi setelah 2. Pada tingkat awal atau aura yang
persalinan. berlangsung 30 sampai 35 detik, tangan dan
Pada negara berkembang kejadian ini berkisar kelopak mata bergetar, mata terbuka
0,3-0,7%. Di Indonesia Pre eklampsia dan dengan pandangan kosong.
eklampsia penyebab kematian ibu berkisar 15- 3. Tahap selanjutnya timbul kejang
25%, sedangkan 45-50% menjadi penyebab
kematian bayi. 4. Pemeriksaan tanda vital
Hasil Anamnesis (Subjective) 5. Adanya peningkatan tekanan darah diastol
>110 mmHg
Keluhan
6. Sianosis
Kejang yang diawali dengan gejala-gejala
prodromal eklampsia, antara lain: 7. Skotoma penglihatan
1. Nyeri kepala hebat 8. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda
2. Gangguan penglihatan edema paru dan atau gagal jantung
3. Muntah-muntah
Pemeriksaan Penunjang
4. Nyeri uluhati atau abdomen bagian atas
5. Kenaikan progresif tekanan darah Dari pemeriksaan urinalisa didapatkan
proteinuria ≥ 2+
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi
menyebabkan penyakit mikrovaskular Diagnosis Klinis
(antara lain: diabetes melitus, hipertensi
kronik, gangguan pembuluh darah dan Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
jaringan ikat) pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Sindrom antibody antiphospholipid, dan Diagnosis Banding
nefropati. Faktor risiko lainya dihubungkan
dengan kehamilan itu sendiri, dan faktor Kejang pada eklampsia harus dipikirkan
spesifik dari ibu atau ayah janin. kemungkinan kejang akibat penyakit lain, oleh

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

karena itu sebagai diagnosis banding eklampsia b. ada refleks patella,


antara lain: Hipertensi, perdarahan otak, lesi di c. jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam d.
otak, Meningitis, Epilepsi , Kelainan metabolik frekuensi napas 12-16x/menit.
2. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis
1. Komplikasi pada ibu: sianosis, aspirasi , rumatan 6 g MgSO4 (15ml MgSO4 40%,
pendarahan otak dan kegagalan jantung, larutkan dalam 500 ml larutan Ringer
mendadak, lidah tergigit, jatuh dari tempat Laktat/ Ringer asetat) 28 tetes/ menit
tidur yang menyebabkan fraktur dan luka, selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam
gangguan fungsi ginjal, perdarahan atau setelah persalinan atau kejang berakhir.
ablasio retina, gangguan fungsi hati dan 3. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat
ikterus diberikan seluruhnya, berikan dosis awal
2. Komplikasi pada janin: Asfiksia mendadak (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke
disebabkan spasme pembuluh darah, fasilitas kesehatan sekunder .
Solusio plasenta, persalinan prematuritas 4. Diazepam juga dapat dijadikan alternatif
pilihan dengan dosis 10 mg IV selama 2
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan) menit (perlahan), namun mengingat dosis
yang dibutuhkan sangat tinggi dan memberi
Penatalaksanaan
dampak pada janin, maka pemberian
Perawatan dasar eklampsia yang utama diazepam hanya dilakukan apabila tidak
adalah terapi supportif untuk stabilisasi fungsi tersedia MgSO4.
vital, dengan pemantauan terhadap Airway, 5. Stabilisasi selama proses perjalanan rujukan
Breathing, Circulation (ABC). a. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam,
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
Non Medikamentosa frekuensi pernapasan, refleks patella.
Pengelolaan Kejang b. b. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/
menit, dan/atau tidak didapatkan
1. Pemberian obat anti kejang. refleks tendon patella, danatau terdapat
2. Masukan sudap lidah ke dalam mulut oliguria (produksi urin <0,5
penderita. ml/kg BB/jam), segera hentikan
3. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi pemberian MgSO4.
trendelenburg untuk mengurangi risiko 6. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca
aspirasi. glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
4. Katerisasi urine untuk pengukuran cairan bolus dalam 10 menit.
dan pemeriksaan proteinuria.
5. Beberapa keluarga pasien membantu untuk Kriteria Rujukan
menjaga pasien tidak terjatuh dari tempat Eklampsia merupakan indikasi rujukan yang
tidur saat kejang timbul wajib di lakukan.
6. Beri O2 4 - 6 liter permenit.
Peralatan
Medikamentosa
1. Oropharyngeal airway / Guedel
1. MgSO4diberikan intravena dengan dosis 2. Kateter urin
awal 4 g (10ml MgSO4 40%, larutkan dalam 3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
10 ml akuades) secara perlahan selama urin (menilai kadar proteinuria).
20 menit, jika pemberian secara intravena 4. Larutan MgSO4 40%
sulit, dapat diberikan secara IM dengan 5. Ca Glukonas
dosis 5mg masing bokong kanan dan kiri. 6. Diazepam injeksi
Adapun syarat pemberian MgSO4 7. Palu
a. tersedianya CaGlukonas10%

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 40


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Prognosis 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.


Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Prognosis umumnya dubia ad malam baik untuk Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
ibu maupun janin.
Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.
Referensi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B.
Rachimhadhi,
T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi
keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal
550-554. (Prawirohardjo, et al., 2010)

6. ABORTUS
No. ICPC-2 No. ICD-10 No. ICPC-2 No. ICD-10
: W82 Abortion spontaneous
: O03.9 Unspecified abortion, complete, without complication
: W82 Abortion spontaneous
: O06.4 Unspecified abortion, incomplete, without complication
Tingkat Kemampuan Abortus komplit 4A Abortus inkomplit 3B Abortus insipiens 3B

Masalah Kesehatan Keluhan yang terdapat pada pasien abortus


Abortus ialah ancaman atau pengeluaran antara lain:
hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar 1. Abortus imminens
kandungan,dan sebagai batasan digunakan a. Riwayat terlambat haid dengan hasil
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat B HCG (+) dengan usia kehamilan
anak kurang dari 500 gram. dibawah 20 minggu
Jenis dan derajat abortus : b. Perdarahan pervaginam yang tidak
terlalu banyak, berwarna kecoklatan
1. Abortus imminens adalah abortus tingkat dan bercampur lendir
permulaan, dimana terjadi perdarahan c. Tidak disertai nyeri atau kram
pervaginam ostium uteri masih tertutup dan 2. Abortus insipiens
hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. a. Perdarahan bertambah banyak,
2. Abortus insipiens adalah abortus yang berwarna merah segar disertai
sedang mengancam dimana serviks telah terbukanya serviks
mendatar dan ostium uteri telah b. Perut nyeri ringan atau spasme
membuka, akan tetapi hasil konsepsi (seperti kontraksi saat persalinan)
masih dalam kavum uteri. 3. Abortus inkomplit
3. Abortus inkomplit adalah sebagian hasil a. Perdarahan aktif
konsepsi telah keluar dari kavum uteri b. Nyeri perut hebat seperti kontraksi saat
masih ada yang tertinggal. persalinan
4. Abortus komplit adalah seluruh hasil c. Pengeluaran sebagian hasil konsepsi
konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada d. Mulut rahim terbuka dengan sebagian
kehamilan kurang dari 20 minggu. sisa konsepsi tertinggal
e. Terkadang pasien datang dalam
Hasil Anamnesis (Subjective)
keadaan syok akibat perdarahan

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. Abortus komplit c. Abortus inkomplit


a. Perdarahan sedikit • Osteum uteri terbuka, dengan
b. Nyeri perut atau kram ringan terdapat sebagian sisa konsepsi
c. Mulut rahim sudah tertutup • Perdarahan aktif
d. Pengeluaran seluruh hasil konsepsi • Ukuran uterus sesuai usia kehamilan
d. Abortus komplit
Faktor Risiko • Osteum uteri tertutup
1. Faktor Maternal • Perdarahan sedikit
a. Penyakit infeksi • Ukuran uterus lebih kecil usia
b. Kelainan hormonal, seperti kehamilan
hipotiroidisme Pemeriksaan Penunjang
c. Gangguan nutrisi yang berat
d. Penyakit menahun dan kronis 1. Pemeriksaan USG.
e. Alkohol, merokok dan penggunaan 2. Pemeriksaan tes kehamilan (BHCG):
obat-obatan biasanya masih positif sampai 7-10 hari
f. Anomali uterus dan serviks setelah abortus.
g. Gangguan imunologis 3. Pemeriksaan darah perifer lengkap
h. Trauma fisik dan psikologis Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Faktor Janin: Adanya kelainan genetik pada
janin Diagnosis Klinis
3. Faktor ayah: Terjadinya kelainan sperma
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang pemeriksaan fisik, dan pemeriksaam penunjang.
Sederhana (Objective)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Fisik
Kehamilan ektopik, Mola hidatidosa, Missed
1. Penilaian tanda vital (tekanan darah, nadi, abortion
respirasi, suhu)
2. Penilaian tanda-tanda syok Komplikasi
3. Periksa konjungtiva untuk tanda anemia Komplikasi yang dapat terjadi pada abortus
4. Mencari ada tidaknya massa abdomen ialah perdarahan, infeksi, perforasi, syok
5. Tanda-tanda akut abdomen dan defans
musculer Tabel 14.9 Macam – macam Abortus
6. Pemeriksaan ginekologi, ditemukan:
a. Abortus iminens
• Osteum uteri masih menutup
• Perdarahan berwarna kecoklatan
disertai lendir
• Ukuran uterus sesuai dengan usia
kehamilan
• Detak jantung janin masih ditemukan
b. Abortus insipiens
• Osteum uteri terbuka, dengan
terdapat penonjolan kantong dan
didalamnya berisi cairan ketuban
• Perdarahan berwarna merah segar
• Ukuran uterus sesuai dengan usia
kehamilan
• Detak jantung janin masih ditemukan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 40


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar 14.2 Jenis abortus Tablet penambah darah


f. Vitamin ibu hamil diteruskan
2. Abortus insipiens
a. Lakukan konseling untuk menjelaskan
kemungkinan risiko dan
rasa tidak nyaman selama tindakan
evakuasi, serta memberikan informasi
mengenai kontrasepsi paska keguguran.
b. Jika usia kehamilan < 16 minggu
: lakukan evakuasi isi uterus; Jika
evakuasi tidak dapat dilakuka segera:
berikan ergometrin 0.2 mg IM (dapat
diulang 15 menit kemudian bila perlu)
c. Jika usia kehamilan > 16 minggu:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Tunggu pengeluaran hasil konsepsi
Penatalaksanaan Umum secara spontan dan evakuasi hasil
konsepsi dari dalam uterus. Bila perlu
Pada keadaan abortus kondisi ibu bisa berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1
memburuk dan menyebabkan komplikasi. Hal L NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan
pertama yang harus dilakukan adalah penilaian 40 tetes per menit
cepat terhadap tanda vital (nada, tekanan d. Lakukan pemantauan paska tindakan
darah, pernasapan dan suhu). Pada kondisi di setiap 30 menit selama 2 jam, Bila
jumpai tanda sepsis atau dugaan abortus kondisi baik dapat dipindahkan ke ruang
dengan komplikasi, berikan antibiotika dengan rawat.
kombinasi: e. Lakukan pemeriksaan jaringan secara
makroskopik dan kirimkan untuk
1. Ampicilin 2 gr IV /IM kemudian 1 gr setiap 6
pemeriksaan patologi ke laboratorium
jam
f. Lakukan evaluasi tanda vital,
2. Gentamicin 5 mg/KgBB setiap 24 jam
perdarahan pervaginam, tanda akut
3. Metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam
abdomen, dan produksi urin tiap 6 jam
4. Segera melakukan rujukan ke pelayanan
selama 24 jam. Periksa kadar Hb
kesehatan Sekunder / RS
setelah 24 jam. Bila kadar Hb > 8gr/dl
Penatalaksaan Khusus sesuai dengan Jenis dan keadaan umum baik, ibu
Abortus diperbolehkan pulang
3. Abortus inkomplit
1. Abortus imminens: a. Lakukan konseling
a. Pertahankan kehamilan b. Observasi tanda vital (tensi, nadi, suhu,
b. Tidak perlu pengobatan khusus respirasi)
c. Jangan melakukan aktivitas fisik c. Evaluasi tanda-tanda syok, bila
berlebihan atau hubungan seksual terjadi syok karena perdarahan,
d. Jika perdarahan berhenti, pantau pasang IV line (bila perlu 2 jalur) segera
kondisi ibu selanjutnya pada berikan infus cairan NaCl fisiologis
pemeriksaan antenatal termasuk atau cairan ringer laktat disusul
pemantauan kadar Hb dan USG dengan darah.
panggul serial setiap 4 minggu. d. Jika perdarahan ringan atau
Lakukan penilaian ulang bila sedang dan kehamilan <16 minggu,
perdarahan terjadi lagi gunakan jari atau forcep cincin untuk
e. Jika perdarahan tidak berhenti, mengeluarkan hasil konsepsi yang
nilai kondisi janin dengan USG, nilai mencuat dari serviks
kemungkinan adanya penyebab lain. f.

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

e. Jika perdarahan berat dan usia Rencana Tindak Lanjut


kehamilan < 16 minggu, lakukan 1. Melakukan konseling untuk memberikan
evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum dukungan emosional
manual (AVM) merupakan metode yang 2. Menganjurkan penggunaan kontrasepsi
dianjurkan. Kuret tajam sebaiknya pasca keguguran karena kesuburan
hanya dilakukan apabila AVM tidak dapat kembali kira-kira 14 hari setelah
tersedia. Jika evakuasi tidak dapat keguguran. Untuk mencegah kehamilan,
dilakuka segera: berikan ergometrin Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
0.2 mg IM (dapat diulang 15 menit umumnya dapat dipasang secara aman
kemudian bila perlu) setelah aborsi spontan atau diinduksi.
f. Jika usia kehamilan > 16 minggu Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca
berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L keguguran antara lain adalah infeksi
NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan pelvik, abortus septik, atau komplikasi
40 tetes per menit. Lakukan serius lain dari abortus.
pemantauan paska tindakan setiap 30 3. Follow up dilakukan setelah 2 minggu.
menit selama 2 jam, Bila kondisi baik
dapat dipindahkan ke ruang rawat. Kriteria Rujukan
g. Lakukan pemeriksaan jaringan secara Abortus Insipiens, Abortus Inkomplit,
makroskopik dan kirimkan untuk perdarahan yang banyak, nyeri perut, ada
pemeriksaan patologi ke laboratorium pembukaan serviks, demam, darah cairan
h. Lakukan evaluasi tanda vital, berbau dan kotor
perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin tiap 6 Peralatan
jam selama 24 jam. Periksa kadar Hb 1. Inspekulo
setelah 24 jam. Bila kadar Hb > 8gr/dl 2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksan
dan keadaan umum baik, ibu tes kehamilan .
diperbolehkan pulang 3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
4. Abortus komplit darah rutin.
Tidak memerlukan pengobatan khusus, 4. USG
hanya apabila menderita anemia perlu
diberikan sulfas ferosus dan dianjurkan Prognosis
supaya makanannya mengandung banyak Prognosis umumnya bonam.
protein, vitamin dan mineral.
Referensi
Pencegahan
1. Saifuddin, A.B. Ilmu Kebidanan. Perdarahan
1. Pemeriksaan rutin antenatal pada kehamilan muda. Ed 4. Jakarta:
2. Makan makanan yang bergizi (sayuran, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
susu,ikan, daging,telur). Prawihardjo.2009: p. 460-474.
3. Menjaga kebersihan diri, terutama daerah (Prawirohardjo, et al., 2010)
kewanitaan dengan tujuan mencegah infeksi 2. KementerianKesehatan RI dan WHO.
yang bisa mengganggu proses implantasi Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
janin. Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
4. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai Jakarta: KementerianKesehatan RI.
efek vasoaktif sehingga menghambat 2013(Kementerian Kesehatan Republik
sirkulasi uteroplasenta. Indonesia, 2013)
5. Apabila terdapat anemia sedang berikan 3. Saifuddin, A.B. Buku Acuan Pelayanan
tablet Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama Kesehatan Maternal dan Neonatal.
2 minggu,bila anemia berat maka berikan Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
transfusi darah. Prawirohardjo.2001; 146-147.(Saifuddin,
2011)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 40


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

7. KETUBAN PECAH DINI (KPD)


No. ICPC-2 : W92 Complicated labour/delivery livebirth
No. ICD-10 : 042.9 Premature rupture of membrane, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya Sederhana (Objective)
selaput ketuban sebelum persalinan atau Pemeriksaan Fisik
dimulainya tanda inpartu. Bila ketuban pecah
dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu 1. Tercium bau khas ketuban
disebut ketuban pecah dini pada kehamilan 2. Apakah memang air ketuban keluar dari
prematur. kanalis servikalis pada bagian yang sudah
pecah, lihat dan perhatikan atau terdapat
Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil cairan ketuban padaforniks posterior.
aterm akan mengalami ketuban pecah dini. 3. Menentukan pecahnya selaput ketuban
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% dengan adanya cairan ketuban di vagina.
kehamilan. Pastikan bahwa cairan tersebut adalah
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur cairan amnion dengan memperhatikan
disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, bau cairan ketuban yang khas.
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. 4. Jika tidak ada cairan amnion, dapat dicoba
Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada dengan menggerakkan sedikit bagian
polihidramnion, inkompeten serviks, dan solusio terbawah janin atau meminta pasien
plasenta. batuk atau mengejan
5. Tidak ada tanda inpartu
Hasil Anamnesis (Subjective) 6. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai
adanya tanda-tanda infeksi pada ibu dengan
Keluhan
mengukur suhu tubuh (suhu ≥ 380C).
1. Terasa keluar air dari jalan lahir
Pemeriksaan Penunjang
2. Biasanya tanpa disertai dengan kontraksi
atau tanda inpartu 1. Pemeriksaan pH vagina (cairan ketuban)
dengan kertas lakmus (Nitrazin test) dari
Adanya riwayat keluarnya air ketuban berupa
merah menjadi biru , sesuai dengan sifat air
cairan jernih keluar dari vagina yang kadang-
ketuban yang alkalis
kadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan.
2. Pemeriksaan mikroskopis tampak gambaran
Pada anamnesis, hal-hal yang perlu digali adalah pakis yang mengering pada sekret serviko
menentukan usia kehamilan, adanya cairan yang vaginal.
keluar dari vagina, warna cairan yang keluar dari 3. Dilakukan dengan meneteskan air ketuban
vagina, dan adanya demam. pada gelas objek dan dibiarkan
mengering. Pemeriksaan mikroskopik
Faktor Risiko : menunjukkan gambaran daun pakis.
Multiparitas, Hidramnion, Kelainan letak ; 4. Pemeriksaan darah rutin, leukosit> 15.000/
sungsang atau melintang, Kehamilan ganda, mm3.
Cephalo Pelvic Disproportion, Infeksi,
Perdarahan antepartum

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penegakan Diagnostik (Assessment) c. < 24 minggu:


Diagnosis Klinis • Pertimbangan dilakukan
dengan
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
melihat risiko ibu dan janin.
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
• Lakukan konseling pada pasien.
Diagnosis Banding : -
Terminasi kehamilan mungkin
Komplikasi yang timbul bergantung pada usia menjadi pilihan.
kehamilan • Jika terjadi infeksi (koroiamnionitis),
1. Infeksi maternal korioamnionitis dan lakukan tatalaksana koriamnionitis.
neonatal Konseling dan Edukasi
2. Persalinan prematur
3. Hipoksia karena kompresi tali pusat 1. Memberikan informasi kepada ibu, adanya
4. Deformitas janin air ketuban yang keluar sebelum tanda
5. Meningkatnya insiden seksio sesarea, atau inpartu
gagal persalinan normal.
2. Menenangkan ibu dan memberitahu kepada
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) suami dan keluarga
Penatalaksanaan 3. agar ibu dapat diberi kesempatan untuk
tirah baring.
1. Pembatasan aktivitas pasien.
4. Memberi penjelasan mengenai persalinan
2. Apabila belum inpartuberikan Eritromisin 4
yang lebih cepat dan rujukan yang akan
x 250 mg selama 10 hari.
dilakukan ke pusat pelayanan sekunder.
3. Segera rujuk pasien ke fasilitas pelayanan
Kriteria rujukan
sekunder
Ibu hamil dengan keadaan ketuban pecah
4. Di RS rujukan :
dini merupakan kriteria rujukan ke pelayanan
a. ≥ 34 minggu : lakukan induksi kesehatan sekunder.
persalinan dengan oksitosin bila tidak Peralatan
ada kontraindikasi
1. Inspekulo
b. 24-33 minggu: 2. Kertas lakmus (Nitrazin test)
• Bila terdapat amnionitis, abruptio 3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
plasenta, dan kematian janin, lakukan darah rutin
persalinan segera. Prognosis
• Berikan Deksametason 6 mg IM tiap
Prognosis Ibu
12 jam selama 48 jam.
1. Ad vitam : Bonam
• Lakukan pemeriksaan serial untuk 2. Ad functionam : Bonam
menilai kondisi ibu dan janin. 3. Ad sanationam : Bonam
• Bayi dilahirkan di usia 34 minggu, Prognosis Janin
bila dapat dilakukan pemeriksaan
kematangan paru dan hasil 1. Ad vitam : Dubia ad bonam
menunjukan bahwa paru sudah 2. Ad functionam : Dubia ad bonam
matang. 3. Ad sanationam : Dubia ad Bonam

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 41


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Referensi 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.


Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B.
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Rachimhadhi,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013
T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan (Kementerian Kesehatan Republik
Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
Indonesia, 2013)
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 677-680.
(Prawirohardjo, et al., 2010)

8. PERSALINAN LAMA
No. ICPC-2: W92 Life birth
W93 still birth
No. ICD-10: O63.9 Long labour
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
3. Passage : panggul sempit, kelainan serviks
Persalinan lama adalah persalinan yang atau vagina, tumor
berlangsung lebih dari 18-24 jam sejak
dimulai dari tanda-tanda persalinan. 4. Gabungan : jalan lahir dari faktor-faktor di
atas
Etiologi:
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
1. Kepala janin yang besar / hidrosefalus sederhana (Objective)
2. Kembar terkunci
3. Kembar siam Pemeriksaan Fisik Patognomonis
4. Disporsi fetopelvik
1. Pada ibu:
5. Malpresentasi dan malposisi
a. Gelisah
6. Deformitas panggul karena trauma atau b. Letih
polio c. Suhu badan meningkat
7. Tumor daerah panggul d. Berkeringat
8. Infeksi virus di perut atau uterus
e. Nadi cepat
9. Jaringan arut (dari sirkumsisi wanita) f. Pernafasan cepat
Hasil Anamnesis (Subjective) g. Meteorismus
h. Bandle ring, edema vulva, oedema
Pasien datang dalam kondisi fase persalinan serviks, cairan ketuban berbau terdapat
Kala 1 atau Kala 2 dengan status: kelainan mekoneum
pembukaan serviks atau partus macet. 2. Pada janin:
Faktor Risiko: a. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak
teratur, bahkan negatif
(“Po, Pa, Pa”atau gabungan 3 P ) b. Air ketuban terdapat mekoneum
kental kehijau-hijauan, cairan berbau
1. Power : His tidak adekuat (his dengan
c. Caput succedenium yang besar
frekuensi <3x/10 menit dan
d. Moulage kepala yang hebat
2. Passenger : Durasi setiap kontraksinya e. Kematian janin dalam kandungan
<40 detik) malpresentasi, malposisi, janin f. Kematian janin intrapartal
besar

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan


Kelainan Pembukaan Serviks serviks, vagina, tumor)

1. Persalinan Lama
a. Nulipara:
• Kemajuan pembukaan (dilatasi)
serviks pada fase aktif< 1,2 cm/jam
• Kemajuan turunnya bagian
terendah
< 1 cm/jam
b. Multipara:
• Kemajuan pembukaan (dilatasi)
serviks pada fase aktif<1,5 cm/jam
• Kemajuan turunnya bagian
terendah
<2 cm/jam
2. Persalinan Macet
a. Nulipara :
• Fase deselerasi memanjang ( > 3 jam )
• Tidak ada pembukaan (dilatasi) >
2
jam
• Tidak ada penurunan bagian
terendah
>1 jam
• Kegagalan penurunan bagian
terendah (Tidak ada penurunan
pada fase deselerasi atau kala 2)
b. Multipara:
• Fase deselerasi memanjang > 1 jam
• Tidak ada pembukaan (dilatasi) >
2
jam
• Tidak ada penurunan bagian
terendah
>1 jam
• Kegagalan penurunan bagian
terendah (Tidak ada penurunan
pada fase deselerasi atau kala 2)
Faktor Penyebab
1. His tidak efisien (in adekuat)
2. Faktor janin (malpresentasi, malposisi, janin
besar)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 41


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Faktor Predisposisi
1. Paritas dan interval kelahiran
2. Ketuban pecah dini
Pemeriksaan penunjang :
1. Partograf
2. Doppler
3. Urin
4. Darah tepi lengkap
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Distosia pada kala I fase aktif:
Grafik pembukaan serviks pada partograf
berada di antara garis waspada dan garis
bertindak, atau sudah memotong garis
bertindak, atau
Fase ekspulsi (kala II) memanjang:
Tidak ada kemajuan penurunan bagian
terendah janin pada persalinan kala II. Dengan
batasan waktu: Maksimal 2 jam untuk
nullipara dan 1 jam untuk multipara, ATAU
Maksimal 3 jam untuk nulipara dan 2 jam
untuk multipara bila pasien menggunakan
analgesia epidural
Diagnosis Banding : -
Penatalaksanaan komprehensif
(Plan) Penatalaksanaan
Motivasi pasien dalam proses persalinan dan
informasikan rencana persalinan sesuai
dengan perkembangan pasien.
Penatalaksanaa umum
Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang
memiliki pelayanan seksio sesarea
Penatalaksanaan khusus
1. Tentukan sebab terjadinya persalinan lama
a. Power: his tidak adekuat (his
dengan frekuensi <3x/10 menit dan
durasi tiap kontraksinya < 40 detik).
b. Passenger: malpresentasi, malposisi,
janin besar

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

c. Passage : panggul sempit, kelainan Tabel 14.10 Kriteria diagnostik


serviks atau vagina, tumor jalan lahir penatalaksanaan distosia
2. Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab
dan situasi. Prinsip umum:
a. Lakukan augmentasi persalinan denga
oksitosin dan atau amniotomi bila
terdapat gangguan power. Pastikan
tidak ada gangguan passenger atau
passage.
b. Lakukan tindakan operatif (forsep,
vakum, atau seksio sesarea) untuk
gangguan passenger dan atau passage,
serta untuk gangguan power yang
tidak dapat diatasi dengan augmentasi
persalinan.
c. Jika ditemukan obstruksi atau CPD,
tatalaksana adalah seksio cesarea.
3. Berikan antibiotik (kombinasi ampicilin 2 g
IV tiap 6 jam dan gentamisin 5mg/kgBB tiap
24 jam) jika ditemukan: Kriteria rujukan
a. Tanda-tanda infeksi (demam, cairan Apabila tidak dapat ditangani di fasilitas
pervaginam berbau) pelayanan tingkat pertama atau apabila level
b. Atau ketuban pecah lebih dari 18 jam kompetensi SKDI dengan kriteria merujuk (<3B)
c. Usia kehamilan 37 minggu
Prognosis
4. Pantau tanda gawat janin
5. Catat hasil analisis dan seluruh tindakan Prognosis untuk ad vitam adalah dubia ad
dalam rekam medis lalu jelaskan pada ibu bonam, namun ad fungsionam dan sanationam
dan keluarga hasil analisis serta rencana adalah dubia ad malam.
tindakan. Peralatan
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan : - 1. Ruang berukuran minimal 15m2
2. Tempat tidur bersalin
Komplikasi: 3. Tiang infus
4. Lampu sorot dan lampu darurat
Infeksi intrapartum, Ruptura uteri, Pembentukan
5. Oksigen dan maskernya
fistula, Cedera otot- otot dasar panggul,
6. Perlengkapan persalinan
Kaput suksedaneum, Molase kepala janin,
7. Alat resusitasi
Kematian ibu dan anak.
8. Lemari dan troli darurat
Konseling dan Edukasi 9. Partograf
10. Dopler
Dibutuhkan dukungan dari suami pasien. 11. Ambulans
Pendekatan yang dilakukan kepada keluarga
sehubungan dengan proses penyembuhan Referensi
penyakit pasien maupun pencegahan penularan 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
atau relaps penyakit ini. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2013 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 41


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. WHO. Managing prolonged and obstructed 3. Pedoman penyelenggaraan pelayanan


labour. Education for safe motherhood. obstetri neonatal emergensi komprehensif
2ndEd. Department of making pregnancy (PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan
safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health Republik Indonesia, 2008)
Organization, 2006)

9. PERDARAHAN POST PARTUM / PENDARAHAN PASCASALIN


No. ICPC: W17 Post partum bleeding
No.ICD-10: 072.1 Other Immediate Postpartum haemorrhage
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
6. Pucat
Perdarahan post partum (PPP) adalah
Faktor Risiko
perdarahan yang masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan Perdarahan post partum merupakan
lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan komplikasi dari 5-8% kasus persalinan
salah satu penyebab kematian ibu disamping pervaginam dan 6% dari kasus SC.
perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.
Definisi perdarahan post partum adalah 1. Faktor risiko prenatal:
perdarahan pasca persalinan yang melebihi 500 a. Perdarahan sebelum persalinan
ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi b. Solusio plasenta
mengganggu hemodinamik ibu. Berdasarkan c. Plasenta previa
saat terjadinya, PPP dapat dibagi menjadi PPP d. Kehamilan ganda
primer dan PPP sekunder. PPP primer adalah e. Preeklampsia
perdarahan post partum yang terjadi dalam 24 f. Khorioamnionitis
jam pertama setelah persalinan dan biasanya g. Hidramnion
disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan h. IUFD
lahir, dan sisa sebagian plasenta. Sementara i. Anemia (Hb< 5,8)
PPP sekunder adalah perdarahan pervaginam j. Multiparitas
yang lebih banyak dari normal antara 24 jam k. Mioma dalam kehamilan
hingga 12minggu setelah persalinan, biasanya l. Gangguan faktor pembekuan dan
disebabkan oleh sisa plasenta. m. Riwayat perdarahan sebelumnya serta
obesitas
Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam 2. Faktor risiko saat persalinan pervaginam:
pertama setelah bayi lahir, 68- 73% dalam a. Kala tiga yang memanjang
satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% b. Episiotomi
dalam dua minggu setelah bayi lahir. c. Distosia
Hasil Anamnesis (Subjective) d. Laserasi jaringan lunak
e. Induksi atau augmentasi persalinan
Keluhan dan gejala utama dengan oksitosin
f. Persalinan dengan bantuan alat (forseps
1. Perdarahan setelah melahirkan atau vakum) g. Sisa plasenta, dan bayi
2. Lemah besar (>4000 gram)
3. Limbung 3. Faktor risiko perdarahan setelah SC :
4. Berkeringatdingin a. Insisi uterus klasik
5. Menggigil b. Amnionitis

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

c. Preeklampsia Pemeriksaan Penunjang


d. Persalinan abnormal
e. Anestesia umum 1. Pemeriksaan darah rutin: terutama untuk
f. Partus preterm dan postterm menilai kadar Hb < 8 gr%.
2. Pemeriksaan golongan darah.
Penyebab dibedakan atas: 3. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu
pembekuan darah (untuk menyingkirkan
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta penyebab gangguan pembekuan darah).
a. Hipotoni sampai atonia uteri
• Akibat anestesi Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Distensi berlebihan (gemeli,anak
besar,hidramnion) Diagnosis Klinis
• Partus lama,partus kasep Perdarahan post partum bukanlah suatu
• Partus presipitatus/partus terlalu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus
cepat dicari penyebabnya:
• Persalinan karena induksi oksitosin 1. PPP karena atonia uteri
• Multiparitas 2. PPP karena robekan jalan lahir
• Riwayat atonia sebelumnya 3. PPP karena sisa plasenta
b. Sisa plasenta 4. PPP akibat retensio plasenta
• Kotiledon atau selaput ketuban 5. PPP akibat ruptura uteri
tersisa 6. PPP akibat inversio uteri
• Plasenta susenturiata 7. Gangguan pembekuan darah
• Plasenta akreata, inkreata, perkreata.
2. Perdarahan karena robekan Komplikasi
a. Episiotomi yang melebar 1. Syok
b. Robekan pada perinium, vagina dan 2. Kematian
serviks
c. Ruptura uteri Tabel 14.11 Penyebab perdarahan pada post
3. Gangguan koagulasi partum
a. Trombofilia
b. Sindrom HELLP
c. Pre-eklampsi
d. Solutio plasenta
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Emboli air ketuban
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Nilai tanda-tanda syok: pucat, akral
dingin, nadi cepat, tekanan darah rendah.
2. Nilai tanda-tanda vital: nadi> 100x/menit,
pernafasan hiperpnea, tekanan darah
sistolik
<90 mmHg, suhu.
Pemeriksaan obstetrik:
1. Perhatikankontraksi, letak, dan konsistensi
uterus
2. Lakukan pemeriksaan dalam untuk
menilai adanya: perdarahan, keutuhan
plasenta, tali pusat, dan robekan
didaerahvagina.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 41


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi,


Penatalaksanaan dan pernapasan ibu.
4. Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus,
Penatalaksanaan Awal nyeri tekan, parut luka, dan tinggi fundus
• Segera memanggil bantuan tim uteri.
• Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan 5. Periksa jalan lahir dan area perineum
pasien. untuk melihat perdarahan dan laserasi (jika
• Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan ada, misal: robekan serviks atau robekan
penatalaksanaan syok. vagina).
6. Periksa kelengkapan plasenta dan selaput
Gambar 14. 3 Tatalaksana awal perdarahan
ketuban.
pascasalin dengan
7. Pasang kateter Folley untuk memantau
volume urin dibandingkan dengan jumlah
cairan yang masuk. Catatan: produksi urin
normal 0.5-1 ml/kgBB/jam atau sekitar 30
ml/jam)
8. Jika kadar Hb< 8 g/dl rujuk ke layanan
sekunder (dokter spesialis obgyn)
9. Jika fasilitas tersedia, ambil sampel
darah dan lakukan pemeriksaan: kadar
hemoglobin (pemeriksaan hematologi
rutin) dan penggolongan ABO.
10. Tentukan penyebab dari perdarahannya
(lihat tabel 14.11) dan lakukan
tatalaksana spesifik sesuai penyebab
Penatalaksanaan Lanjutan :
Pendekatan Tim
1. Berikan oksigen. 1. Atonia uteri
a. Lakukan pemijatan uterus.
2. Pasang infus intravena dengan kanul
b. Pastikan plasenta lahir lengkap.
berukuran besar (16 atau 18) dan mulai
c. Berikan 20-40 unit Oksitosin dalam
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau
1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer
Ringer Laktat atau Ringer Asetat) sesuai
Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit
dengan kondisi ibu.
dan 10 unit IM.
Tabel 14.12 Jumlah cairan infus pengganti d. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit
berdasarkan perkiraan volume kehilangan darah dalam 1000 ml larutanNaCl
0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan
40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
e. Bila tidak tersedia Oksitosin atau
bila perdarahan tidak berhenti, berikan
Ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat),
dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM
setelah 15 menit, danpemberian 0,2
mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila
diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5
dosis (1 mg).
f. Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g
asam traneksamat IV (bolus selama 1

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

menit, dapat diulang setelah 30 menit). a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam
g. Lakukan pasang kondom kateter atau 1000 ml larutanNaCl 0,9% atau
kompresi bimanual internal selama 5 Ringer Laktat dengan kecepatan 60
menit. tetes/ menit dan 10 unit IM.
h. Siapkan rujukanke fasilitas pelayanan Lanjutkan infus oksitosin 20 unit
kesehatan sekunder sebagai antisipasi dalam 1000 ml larutanNaCl 0,9% atau
bila perdarahan tidak berhenti. Ringer Laktat dengan kecepatan 40
Perlu Diingat : tetes/menit hingga perdarahan
Jangan berikan lebih dari 3 liter berhenti.
larutan intravena yang mengandung b. Lakukan tarikan tali pusat terkendali.
oksitosin. Jangan berikan ergometrin c. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak
kepada ibu dengan hipertensi berhasil, lakukan plasenta manual
berat/tidak terkontrol, penderita sakit secara hati-hati.
jantung dan penyakit pembuluh darah d. Berikan antibiotika profilaksis dosis
tepi. tunggal (Ampisilin 2 g IV DAN
Metronidazol 500 mg IV).
Gambar 14.4 Kompresi Bimanual Internal dan e. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang
Kompresi Bimanual lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi
5. Sisa Plasenta
a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat
dengan kecepatan 60 tetes/menit dan
10 unit IM. Lanjutkan infus Oksitosin 20
unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat dengan kecepatan
Eksternal pada atonia uteri 40m tetes/menit hingga pendarahan
2. Robekan Jalan Lahir berhenti.
Ruptura Perineum dan Robekan Dinding b. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks
Vagina terbuka) dan keluarkan bekuan darah
a. Lakukan eksplorasi untuk dan jaringan. Bila serviks hanya dapat
mengidentifikasi sumber perdarahan. dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi
b. Lakukan irigasi pada tempat luka dan sisa plasenta dengan aspirasi vakum
bersihkan dengan antiseptik. manual atau dilatasi dan kuretase.
c. Hentikan sumber perdarahan c. Berikan antibiotika profilaksis
dengan klem kemudian ikatdengan dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan
benang yang dapat diserap. Metronidazol 500 mg).
d. Lakukan penjahitan (lihat Materi Luka d. Jika perdarahan berlanjut, tata laksana
Perineum Tingkat 1 dan 2) seperti kasus atonia uteri.
e. Bila perdarahan masih berlanjut,
Inversio Uteri
berikan 1 g asamtraneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
setelah 30 menit). sekunder
3. Robekan Serviks
a. Paling sering terjadi pada bagian lateral Gangguan Pembekuan Darah
bawah kiri dankanan dari porsio 1. Pada banyak kasus kehilangan darah yang
b. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan akut, koagulopati dapat dicegah jika volume
kesehatan sekunder darah dipulihkan segera.
4. Retensio Plasenta

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 41


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. Tangani kemungkinan penyebab (solusio Referensi


plasenta,eklampsia).
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
3. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
kesehatan sekunder Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Konseling dan Edukasi
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 522-529.
1. Memberikan informasi akan keadaan ibu (Prawirohardjo, et al., 2010)
yang mengalami perdarahan pascasalin. 2. KementerianKesehatan RI dan WHO.
2. Memberikan informasi yang tepat kepada Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
suami dan keluarga ibu terhadap tindakan Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
yang akan di lakukan dalam menangani Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013
perdarahan pascasalin. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
3. Memastikan dan membantu keluarga
jika rujukan akan dilakukan.
Kriteria Rujukan
1. Pada kasus perdarahan pervaginam >
500 ml setelah persalinan berpotensi
mengakibatkan syok dan merupakan
indikasi rujukan.
2. 2. Penanganan kegawatdaruratan sebelum
merujuk dan mempertahankan ibu dalam
keadaan stabil selama proses rujukan
merupakan hal penting diperhatikan.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah rutindan golongan darah.
2. Inspekulo
3. USG
4. Sarung tangan steril
5. Hecting set
6. Benang catgut
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam,
tergantung dari jumlah perdarahan dan
kecepatan penatalaksanaan yang di lakukan.

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

10. RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1-2


No. ICPC-2 No. ICD-10
: W92 Complicated labour/delivery livebirth
: O70.0 First degree perineal laceration during delivery
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Ruptur perineum adalah suatu kondisi Sederhana (Objective)
robeknya perineum yang terjadi pada persalinan
Pemeriksaan fisik
pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita
yang melahirkan pervaginam mengalami Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:
ruptur perineum spontan, yang 60%- 70% di
antaranya membutuhkan penjahitan (Sleep dkk, 1. Robekan pada perineum,
1984; McCandlish dkk,1998). Angka morbiditas 2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang
meningkat seiring dengan peningkatan derajat bersifat merembes,
ruptur. 3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai
derajat robekan perineum
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang: -
Gejala Klinis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Perdarahan pervaginam
Diagnosis Klinis
Etiologi dan Faktor Risiko
Diagnosis dapat ditegakkan berdasar anamnesis
Ruptur perineum umumnya terjadi pada dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan.
persalinan, dimana:
Klasifikasi ruptur perineum dibagi menjadi 4
1. Kepala janin terlalu cepat lahir derajat:
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana
mestinya 1. Derajat I
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak
Robekan terjadi hanya pada selaput lendir
jaringan parut vagina dengan atau tanpa mengenai
4. Pada persalinan dengan distosia bahu
kulit perineum. Biasa tidak perlu dilakukan
5. Partus pervaginam dengan tindakan
penjahitan.
Pada literatur lain dikatakan faktor risiko 2. Derajat II
ruptur perineum.
Robekan mengenai selaput lender vagina
Tabel 14.13: Faktor resiko rupture perineum dan otot perinea transversalis, tetapi tidak
melibatkan kerusakan otot sfingter ani.
3. Derajat III
Robekan mengenai perineum sampai
dengan otot sfingter anidengan
pembagian sebagai berikut:
IIIa. Robekan < 50% sfingter ani eksterna
IIIb. Robekan > 50% sfingter ani ekterna
IIIc. Robekan juga meliputi sfingter ani
interna

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 42


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gambar 14. 5 Ruptur Perineum dan Sfingter Ani perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum
yang berat).
2. Manajemen Ruptur Perineum:
a. Alat-alat yang dibutuhkan untuk
melakukan perbaikan jalan lahir
• Retractor Weislander’s
• Forceps gigi (fine & strong)
• Needle holder (small and large)
• Forceps Allis (4)
• Forceps arteri (6)
• Gunting Mitzembaum
• Gunting pemotong jahitan
Sfingter ani yang intak (ditunjuk oleh • Spekulum Sims
tanda panah A) terlihat lebih jelas • Retraktor dinding samping dalam
pada pemeriksaan rectal touche (B); vagina
Robekan parsial sepanjang sfingter ani • Forceps pemegang kasa
eksterna (C); Robekan perineum derajat 3b
b. bahan-bahan yang diperlukan untuk
dengan sfingter ani yang intak (Internal
perbaikan jalan lahir.
anal sphincter/IAS). Sfingter ani eksterna
(External anal sphincter/EAS) dijepit oleh • Tampon
forseps Allis. Perhatikan perbedaan warna • Kapas besar
IAS yang lebih pucat dibandingkan EAS (D). • Povidon Iodine
• Lidocain 1% (untuk ruptur
4. Derajat IV :Robekan mengenai perineum
perineumderajat I-II)
sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa
• Benang catgut / Asam poliglikolik
rektum
(Dexon, David&Geck Ltd, UK) /
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Poliglaktin 910 (Vicryl, Ethicon Ltd,
Edinburgh, UK)
Penatalaksanaan
Ruptur perineum harus segera
Non Medikantosa diperbaiki untuk meminimalisir
1. Menghindari atau mengurangi dengan risiko perdarahan, edema, dan infeksi.
menjaga jangan sampai dasarpanggul Manajemen ruptur perineum untuk
didahului oleh kepala janin dengan cepat. masing-masing derajatnya, antara
2. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan lain sebagai berikut :
terlampau kuat dan lama, karena akan Robekan perineum derajat 1
menyebabkan asfiksia dan perdarahan
dalam tengkorak janin, dan melemahkan Robekan tingkat I mengenai
otot-otot dan fasia pada dasar panggul mukosa vagina dan jaringan ikat,
karena diregangkan terlalu lama. tidak perlu dilakukan penjahitan.
Medikamentosa Penjahitan robekan perineum derajat 2
1. Penatalaksanaan farmakologis 1. Siapkan alat dan bahan.
2. Pastikan pasien tidak memiliki alergi
Dosis tunggal sefalosporin golongan II
terhadap Lignokain atau obat-obatan
atau III dapat diberikan intravena
sejenis
sebelum

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. Suntikan 10 ml Lignokain 0.5% di bawah Penjahitan robekan perineum derajat 3


mukosa vagina, di bawah kulit perineum
1. Perbaikan robekan harus dilakukan hanya
dan pada otot-otot perineum. Masukan
jarum pads ujung laserasi oleh dokter yang sudah dilatih secara
formal (atau dalam supervisi) mengenai
dorong masuk sepanjang luka mengikuti
garis tempat jarum jahitnya akan masuk perbaikan sfingter ani primer. Perbaikan
harus dilakukan di kamar operasi dengan
atau keluar.
4. Tunggu 2 menit. Kemudian area dengan pencahayaan yang baik, peralatan yang
forsep hingga pasien tidak merasakan nyeri. memadai, dan kondisi aseptik.
5. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan a. Anestesi umum atau regional (spinal,
benang 2-0, lihat ke dalam luka untuk epidural, kaudal) menjadi analgesik dan
mengetahui letak ototnya (penting untuk pelemas otot yang bermanfaat dalam
menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga evaluasi luasnya robekan.
di dalamnya).
6. Carilah lapisan subkutis persis dibawah b. Luasnya robekan harus dievaluasi
lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan melalui pemeriksaan vagina dan rektal
subkutikuler kembali keatas vagina, akhiri yang berhati-hati.
dengan simpul mati pada bagian dalam c. Jika terdapat kebingungan dalam
vagina. menentukan derajat trauma maka
7. Potong kedua ujung benang dan hanya derajat yang lebih tinggi yang harus
sisakan masing-masing 1 cm. dipilih.
8. Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan
colok dubur dan pastikan tidak ada bagian Pada kasus yang jarang ditemui, tipe
rektum terjahit. robekan “buttonhole” terisolasi dapat
terjadi di rektum tanpa menyebabkan
CATATAN: Aspirasi penting untuk
kerusakan sfingter ani.
meyakinkan suntikan lignokain tidak masuk
dalam pembuluh darah. Jika ada darah pada 2. Diperbaiki secara transvaginal menggunakan
aspirasi, pindahkan jarum ke tempat lain. jahitan interrupted dengan benang Vicryl.
Aspirasi kembali. Kejang dan kematian
dapat terjadi jika lignokain diberikan lewat 3. Untuk mengurangi risiko fistula rektovaginal
pembuluh darah (intravena) persisten, selapis jaringan perlu disisipkan
diantara rektum dan vagina. (Dengan
Gambar 14.6 Penjahitan Luka Perineum Tingkat aproksimasi fasia rektovaginal).
2
4. Kolostomi diindikasikan hanya jika
terdapat robekan besar yang mencapai
dasar pelvis atau terdapat kontaminasi
feses pada luka.
Penjahitan robekan perineum derajat 4
1 Epitel ani yang mengalami robekan
diperbaiki dengan jahitan interrupted
menggunakan benang Vicryl 3/0 dan
disimpul di dalam lumen ani. Perbaikan
epitel ani secara subkutikular melalui
pendekatan transvaginal juga diketahui
memiliki keefektifan yang sama jika
simpul terminalnya terikat dengan baik.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 42


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2 Otot sfingter diperbaiki dengan 3/0 PDS a. Setelah itu, otot dipisahkan dari lemak
dyed sutures. iskhioanal menggunakan gunting
Mitzembaum.
a. Benang monofilamen dipercaya dapat
mengurangi risiko infeksi dibandingkan b. Ujung-ujung robekan sfingter ani
dengan benang braided. eksterna kemudian dijahit menggunakan
teknik overlap dengan benang PDS 3/0.
b. Benang monofilamen non-absorbable
seperti nilon atau Prolene c. Teknik overlap akan menyebabkan
(polypropylene) dipilih oleh beberapa area kontak otot menjadi lebih luas
dokter bedah kolorektal dalam dibandingkan dengan teknik end-to end.
perbaikan sekunder robekan sfingter.
d. Wanita dengan perbaikan sfingter
c. Benang non-absorbable dapat ani eksterna secara end-to- end
menyebabkan abses pada jahitan diketahui dapat tetap kontinen tetapi
(terutama pada simpul) dan ujung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
tajam jahitan dapat menyebabkan mengalami inkontinensia pada usia
ketidaknyamanan. yang lebih lanjut.
d. Absorpsi sempurna PDS lebih lama e. Jika operator tidak familiar dengan
dari Vicryl dan kekuatan tensilnya teknik overlap atau sfingter ani eksterna
bertahan lebih lama dari Vicryl. hanya robek sebagian (derajat 3a/3b)
maka perbaikan end-to-end harus
e. Untuk mengurangi perpindahan jahitan,
dilakukan menggunakan 2-3 jahitan
ujung jahitan harus dipotong pendek
matras, seperti pada perbaikan sfingter
dan tertupi oleh muskulus perinei
ani interna.
superfisialis.
5. Setelah perbaikan sfingter, perineal
f. Sebuah RCT menunjukkan tidak ada body perlu direkonstruksi agar dapat
perbedaan morbiditas terkait jahitan mempertahankan sfingter ani yang telah
menggunakan benang Vicryl dan PDS diperbaiki.
pada 6 minggu post partum.
a. Perineum yang pendek dapat
3. Sfingter ani interna harus diidentifikasi menyebabkan sfingter ani menjadi
dan jika mengalami robekan harus lebih rentan terhadap trauma dalam
diperbaiki secara terpisah dari sfingter kelahiran per vaginam berikutnya.
ani eksterna.
b. Kulit vagina harus dijahit dan kulit
a. Sfingter ani interna tampak pucat perineum diaproksimasi dengan jahitan
seperti daging ikan mentah subkutikular menggunakan benang
sedangkan sfingter ani eksterna Vicryl 3/0.
berwarna lebih terang, seperti daging
merah. 6 Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan
untuk memastikan perbaikan
b. Ujung-ujung otot yang robek dijepit telah sempurna dan memastikan
dengan forsep Allis dan perbaikan bahwa seluruh tampon atau kapas telah
end-to-end dilakukan dengan jahitan dikeluarkan.
interrupted atau matras menggunakan
PDS 3/0. 7. Catatan yang lengkap mengenai temuan
dan perbaikan harus dibuat.
4. Sfingter ani eksterna harus diidentifikasi dan
dijepit dengan forsep Allis karena sfingter Jika tidak terdapat tenaga yang kompeten
ini cenderung mengkerut ketika robek.

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan (Kementerian Kesehatan Republik


kesehatan sekunder yang memiliki Indonesia, 2013)
dokter spesialis obstetrik dan ginekologi.
2. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu
Konseling dan Edukasi Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina
Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
Memberikan informasi kepada pasien dan suami,
mengenai, cara menjaga kebersihan daerah 3. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L.
vagina dan sekitarnya setelah dilakukannya Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.
penjahitan di daerah perineum, yaitu antara lain: Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-
Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009)
1. Menjaga perineum selalu bersih dan kering.
4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed
2. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional
1 Jakarta: Yayasan Bina Sarwono
pada perineum. Prawirohardjo. 2007: Hal 170-6
3. Cuci perineumnya dengan sabun dan air (Prawirohardjo, et al., 2010).
bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali
perhari.
4. 4. Kembali dalam seminggu untuk
memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu
harus kembali lebih awal jika ia
mengalami demam atau mengeluarkan
cairan yang berbau busuk dari daerah
lukanya atau jika daerah tersebut menjadi
lebih nyeri.
Kriteria Rujukan
Kriteria tindakan pada Fasilitas Pelayanan
tingkat pertama hanya untuk Luka Perineum
Tingkat 1 dan 2. Untuk luka perineum tingkat 3
dan 4 dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder.
Peralatan
1. Lampu
2. Kassa steril
3. Sarung tangan steril
4. Hecting set
5. Benang jahit catgut
6. Laboratorium sederhana pemeriksaan darah
rutin dan golongan darah.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI 2013.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 42


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

11. MASTITIS
No. ICPC-2
No. ICD-10 : X21 Breast symptom/complaint female other
: N61 Inflammatory disorders of breast
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan pada puting susu.


Mastitis adalah peradangan payudara yang 7. Terdapat luka pada payudara.
terjadi biasanya pada masa nifas atau sampai 8. Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui.
3 minggu setelah persalinan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Kejadian mastitis berkisar 2-33% dari ibu Sederhana (Objective)
menyusui dan lebih kurang 10% kasus Pemeriksaan fisik
mastitis akan berkembang menjadi abses
(nanah), dengan gejala yang makin berat. 1. Pemeriksaan tanda vital : nadi meningkat
(takikardi).
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Pemeriksaan payudara
Keluhan a. payudara membengkak
b. lebih teraba hangat
1. Nyeri dan bengkak pada daerah payudara, c. kemerahan dengan batas tegas
biasa pada salah satu payudara d. adanya rasa nyeri
2. Adanya demam >380 C e. unilateral
3. Paling sering terjadi di minggu ke 3 - 4 f. dapat pula ditemukan luka pada
postpartum payudara
Gejala klinis Pemeriksaan penunjang : -
1. Demam disertai menggigil Penegakan Diagnostik(Assessment)
2. Dapat disertai demam > 380C
3. Mialgia Diagnosis klinis
4. Nyeri didaerah payudara Diagnosis klinis dapat di tegakkan dengan
5. Sering terjadi di minggu ke–3 dan ke–4 anamnesa dan pemeriksaan fisik.
postpartum, namun dapat terjadi kapan saja
selama menyusui Berdasarkan tempatnya, mastitis dapat
dibedakan menjadi 3 macam, antara lain :
Faktor Risiko
1. Mastitis yang menyebabkan abses
1. Primipara dibawah areola mammae.
2. Stress 2. Mastitis ditengah payudara yang
3. Tehnik menyusui yang tidak benar, sehingga menyebabkan abses ditempat itu.
proses pengosongan payudara tidak 3. Mastitis pada jaringan dibawah dorsal
terjadi dengan baik. (menyusui hanya kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses
pada satu posisi) antara payudara dan otot-otot dibawahnya.
4. Penghisapan bayi yang kurang kuat,
dapat menyebabkan statis dan obstruksi Diagnosis Banding:-
kelenjar payudara.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Pemakaian bra yang terlalu ketat
6. Bentuk mulut bayi yang abnormal (ex: Penatalaksanaan
cleft lip or palate), dapat menimbulkan
trauma

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Non Medikamentosa Prognosis


1. Ibu sebaiknya tirah baring dan mendapat Prognosis pada umumnya bonam.
asupan cairan yang lebih banyak.
2. Sampel ASI sebaiknya dikultur dan diuji Referensi
sensitivitas. 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
3. Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H.
yang pas Ilmu Kebidanan Sarwono
Medikamentosa Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan
ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
1. Berikan antibiotika Prawirohardjo.2010: Hal 380, 652-
a. Kloksasilin 500 mg per oral per 6 jam 653(Prawirohardjo, et al., 2010)
selama 10-14 hari
b. ATAU Eritromisin 250 mg per oral 3 x 1 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku
sehari selama10 hingga 14 hari Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
2. Analgetik parasetamol 3x500 mg per oral Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
3. Lakukan evaluasi setelah 3 hari. Kementerian Kesehatan RI. 2013.

Komplikasi:
1. Abses mammae
2. Sepsis
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan pengetahuan akan pentingnya
ASI dan mendorong ibu untuk tetap
menyusui,
2. Menyusui dapat dimulai dengan payudara
yang tidak sakit.
3. Pompa payudara dapat di lakukan pada
payudara yang sakit jika belum kosong
setelah bayi menyusui.
4. Ibu dapat melakukan kompres dingin
untuk mengurangi bengkak dan nyeri.
5. Ibu harus menjaga kebersihan diri dan
lingkungan untuk menghindari infeksi
yang tidak diinginkan.
Peralatan
1. Lampu
2. Kasa steril
3. Sarung tangan steril
4. Bisturi
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi abses mammae dan
sepsis.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 42


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

12. INVERTED NIPPLE


No. ICPC-2 :
W.95 Breast disorder in pregnancy other
X.20 Nipple symptom/complaint female
racted nipple associated with
No. ICD-10the puerperium O92.03 Retracted nipple associated with lactation

Tingkat kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan 1. Grade 1


Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada a. Puting tampak datar atau masuk ke
beberapa kasus seorang ibu merasa dalam
putingnya datar atau terlalu pendek akan b. Puting dapat dikeluarkan dengan
menemui kesulitan dalam menyusui bayi. Hal mudah dengan tekanan jari pada atau
ini bisa berdampak bayi tidak bisa menerima sekitar areola.
ASI dengan baik dan cukup. c. Terkadang dapat keluar sendiri tanpa
manipulasi
Pada beberapa kasus, putting dapat muncul d. Saluran ASI tidak bermasalah, dan
kembali bila di stimulasi, namun pada kasus- dapat menyusui dengan biasa.
kasus lainnya, retraksi ini menetap.
2. Grade 2
Hasil Anamnesis (Subjective)
a. Dapat dikeluarkan dengan menekan
Keluhan areola, namun kembali masuk saat
1. Kesulitan ibu untuk menyusui bayi tekanan dilepas
2. Puting susu tertarik b. Terdapat kesulitan menyusui.
c. Terdapat fibrosis derajat sedang.
3. Bayi sulit untuk menyusui
d. Saluran ASI dapat mengalami retraksi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang namun pembedahan tidak diperlukan.
Sederhana (Objective) e. Pada pemeriksaan histologi ditemukan
stromata yang kaya kolagen dan otot
Pemeriksaan Fisik polos.
Adanya puting susu yang datar atau 3. Grade 3
tenggelam dan bayi sulit menyusui pada ibu.
a. Puting sulit untuk dikeluarkan pada
Pemeriksaan Penunjang pemeriksaan fisik dan membutuhkan
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam pembedahan untukdikeluarkan.
penegakan diagnosis b. Saluran ASI terkonstriksi dan tidak
memungkinkan untuk menyusui
Penegakan Diagnostik (Assessment) c. Dapat terjadi infeksi, ruam, atau
Diagnosis Klinis masalah kebersihan
d. Secara histologis ditemukan atrofi unit
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lobuler duktus terminal dan fibrosis
pemeriksaan fisik dan tidak memerlukan yang parah
pemeriksaan penunjang.
Komplikasi
Diagnosis klinis ini terbagi dalam :
Risiko yang sering muncul adalah ibu
menjadi demam dan pembengkakan pada
payudara.

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan: -


Penatalaksanaan Non-Medikamentosa Prognosis
Untuk puting datar/tenggelam (inverted nipple) 1. Ad vitam : Bonam
dapat diatasi setelah bayi lahir, yaitu dengan 2. Ad functionam : Bonam
proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sebagai 3. Ad sanationam : Bonam
langkah awal dan harus terus menyusui agar
Referensi
puting selalu tertarik. Ada dua cara yang dapat
digunakan untuk mengatasi puting datar/ 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi,
terbenam, yaitu: T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
1. Penarikan puting secara manual/dengan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
tangan. Puting ditarik- tarik dengan cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka
lembut beberapa kali hingga menonjol. Sarwono Prawirohardjo. 2010. 379
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku
2. Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml,
bergantung pada besar puting. Ujung spuit Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
yang terdapat jarum dipotong dan penarik
spuit (spuit puller) dipindahkan ke sisi bekas Kementerian Kesehatan RI. 2013.
potongan. Ujung yang tumpul di letakkan 3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku
di atas puting, kemudian lakukan penarikan Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
beberapa kali hingga puting keluar. Lakukan
sehari tiga kali; pagi, siang, dan malam 4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/
masing-masing 10 kali manajemen- laktasi.html. 2014

3. Jika kedua upaya di atas tidak


memberikan hasil, ibu dapat memberikan
air susunya dengan cara memerah atau
menggunakan pompa payudara.
4. Jika putting masuk sangat dalam, suatu
usaha harus dilakukan untuk mengeluarkan
putting dengan jari pada beberapa bulan
sebelum melahirkan.
Konseling dan Edukasi
1. Menarik-narik puting sejak hamil
(nipple conditioning exercises) ataupun
penggunaan breast shield dan breast
shell. Tehnik ini akan membantu ibu saat
masa telah memasuki masa menyusui.
2. Membangkitkan rasa percaya diri ibu dan
membantu ibu melanjutkan untuk menyusui
bayi. Posisikan bayi agar mulutnya melekat
dengan baik sehingga rasa nyeri akan
segera berkurang. Tidak perlu
mengistirahatkan payudara, tetapi
tetaplah menyusu on demand

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 42


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

13. CRACKED NIPPLE


No. ICPC-2 :
W.95 Breast disorder in pregnancy other
X.20 Nipple symptom/complaint female
12 Cracked nipple associated with
No. ICD-10 the puerperium O9213 Cracked nipple associated with lactation

Tingkat kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Gambar 14.7 Crackecd Nipple


Nyeri pada puting merupakan masalah yang
sering ditemukan pada ibu menyusui dan
menjadi salah satu penyebab ibu memilih
untuk berhenti menyusui bayinya. Diperkirakan
sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple
pain dan 26% di antaranya mengalami lecet
pada puting yang biasa disebut dengan nipple
crack. Kerusakan pada puting mungkin terjadi
karena trauma pada puting akibat cara
menyusui yang salah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam
Adanya nyeri pada puting susu dan nyeri penegakan diagnosis.
bertambah jika menyusui bayi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Penyebab
Diagnosis Klinis
Dapat disebabkan oleh teknik menyusui yang
salah atau perawatan yang tidak benar pada Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan
payudara. Infeksi monilia dapat mengakibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
lecet. Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi
Sederhana (Objective) demam dan pembengkakan pada payudara.
Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik didapatkan : Penatalaksanaan
1. Nyeri pada daerah putting susu Non-Medikamentosa
2. Lecet pada daerah putting susu
1. Teknik menyusui yang benar
2. Puting harus kering
3. Mengoleskan colostrum atau ASI yang
keluar di sekitar puting susu dan
membiarkan kering.
4. Mengistiraharkan payudara apabila lecet
sangat berat selama 24 jam
5. Lakukan pengompresan dengan kain basah

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dan hangat selama 5 menit jika terjadi Referensi


bendungan payudara
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
Medikamentosa T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
1. Memberikan tablet Parasetamol tiap 4–6
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka
jam untuk menghilang- kan nyeri.
Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 379.
2. Pemberian Lanolin dan vitamin E
3. Pengobatan terhadap monilia 2. Utami, R. Yohmi, E. Buku Bedah ASI IDAI
Konseling dan Edukasi
1. Tetap memberikan semangat pada ibu
untuk tetap menyusui jika nyeri berkurang.
2. Jika masih tetap nyeri, sebagian ASI
sebaiknya diperah.
3. Tidak melakukan pembersihan puting
susu dengan sabun atau zat iritatif lainnya.
4. Menggunakan bra dengan penyangga yang
baik.
5. Posisi menyusui harus benar, bayi menyusui
sampai ke kalang payudara dan susukan
secara bergantian di antara kedua
payudara.
Tabel 14.14 Posisi menyusui yang baik

Kriteria Rujukan
Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang
mengakibatkan abses payudara
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam ;
2. Ad functionam : Bonam;
3. Ad sanationam : Bonam

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 43


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

O. PENYAKIT KELAMIN

1. FLUOR ALBUS / VAGINAL DISCHARGE NON GONORE


No. ICPC-2 : X14 vaginal discharge
X71 gonore pada wanita
X72 urogenital candidiasis pada
wanita X73 trikomoniasis urogenital
pada wanita X92 klamidia genital
pada wanita
No. ICD-10 : N98.9

Masalah Kesehatan prolaps uteri, sedangkan masalah infeksi dapat


Vaginal discharge atau keluarnya duh tubuh disebabkan oleh bakteri, jamur atau virus seperti
dari vagina secara fisiologis yang mengalami berikut ini:
perubahan sesuai dengan siklus menstruasi 1. Kandidiasis vaginitis, disebabkan oleh
berupa cairan kental dan lengket pada seluruh Candida albicans, duh tubuh tidak berbau,
siklus namun lebih cair dan bening ketika pH <4,5 , terdapat eritema vagina dan
terjadi ovulasi. Masih dalam batas normal bila eritema satelit di luar vagina
duh tubuh vagina lebih banyak terjadi pada
2. Vaginosis bakterial (pertumbuhan bakteri
saat stres, kehamilan atau aktivitas seksual.
anaerob, biasanya Gardnerella vaginalis),
Vaginal discharge bersifat patologis bila terjadi
memperlihatkan adanya duh putih atau
perubahan-perubahan pada warna, konsistensi,
abu-abu yang melekat di sepanjang dinding
volume, dan baunya.
vagina dan vulva, berbau amis dengan pH
Hasil Anamnesis (Subjective) >4,5.

Keluhan 3. Servisitis yang disebabkan oleh chlamydia,


dengan gejala inflamasi serviks yang mudah
Biasanya terjadi pada daerah genitalia wanita berdarah dan disertai duh mukopurulen
yang berusia di atas 12 tahun, ditandai dengan 4. Trichomoniasis, seringkali asimtomatik,
adanya perubahan pada duh tubuh disertai salah kalau bergejala, tampak duh kuning
satu atau lebih gejala rasa gatal, nyeri, kehijauan, duh berbuih, bau amis dan pH
disuria, nyeri panggul, perdarahan antar >4,5.
menstruasi atau perdarahan paska-koitus.
5. Pelvic inflammatory disease (PID) yang
Faktor Risiko disebabkan oleh chlamydia, ditandai dengan
nyeri abdomen bawah, dengan atau tanpa
Terdapat riwayat koitus dengan pasangan
demam. Servisitis bisa ditandai dengan
yang dicurigai menularkan penyakit menular
kekakuan adneksa dan serviks pada nyeri
seksual.
angkat palpasi bimanual.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 6. Liken planus
Sederhana(Objective)
7. Gonore
Pemeriksaan Fisik 8. Infeksi menular seksual lainnya
Penyebab discharge terbagi menjadi masalah 9. Atau adanya benda asing (misalnya tampon
infeksi dan non infeksi. Masalah non infeksi atau kondom yang terlupa diangkat)
dapat karena benda asing, peradangan akibat
Periksa klinis dengan seksama untuk
alergi atau iritasi, tumor, vaginitis atropik, atau

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

menyingkirkan adanya kelainan patologis 2. Tidak perlu pemeriksaan silang dengan


yang lebih serius. pasangan pria.
Pemeriksaan Penunjang 3. Bila sedang hamil atau menyusui gunakan
metronidazol 400 mg 2x sehari untuk 5-
Swab vagina atas (high vaginal swab) tidak
7 hari atau pervaginam. Tidak
terlalu berarti untuk diperiksa, kecuali pada
direkomendasikan untuk minum 2 gram
keadaan keraguan menegakkan diagnosis,
peroral.
gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada
saat kehamilan, postpartum, postaborsi dan 4. Tidak dibutuhkan peningkatan dosis
postinstrumentation. kontrasepsi hormonal bila menggunakan
antibiotik yang tidak menginduksi enzim
Penegakan Diagnostik (Assessment)
hati.
Diagnosis Klinis 5. Pasien yang menggunakan IUD tembaga
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan mengalami vaginosis bakterial
pemeriksaan spekulum, palpasi bimanual, uji pH dianjurkan untuk mengganti metode
duh vagina dan swab (bila diperlukan). kontrasepsinya.

Diagnosis Banding : - Vaginitis kandidiosis terbagi atas:

Komplikasi 1. Infeksi tanpa komplikasi


2. Infeksi parah
1. Radangpanggul (Pelvic Inflamatory 3. Infeksi kambuhan
Disease 4. Dengan kehamilan
= PID) dapat terjadi bila infeksi 5. Dengan diabetes atau immunocompromise
merambah ke atas, ditandai dengan nyeri
tekan, nyeri panggul kronis, dapat Penatalaksanaan vulvovaginal kandidiosis:
menyebabkan infertilitas dan kehamilan 1. Dapat diberikan azol antifungal oral atau
ektopik pervaginam
2. Infeksi vagina yang terjadi pada saat 2. Tidak perlu pemeriksaan pasangan
paska aborsi atau paska melahirkan dapat
menyebabkan kematian, namun dapat 3. Pasien dengan vulvovaginal kandidiosis yang
dicegah dengan diobati dengan baik berulang dianjurkan untuk memperoleh
pengobatan paling lama 6 bulan.
3. Infertilitas merupakan komplikasi yang
kerap terjadi akibat PID, selain itu kejadian 4. Pada saat kehamilan, hindari obat anti-fungi
abortus spontan dan janin mati akibat oral, dan gunakan imidazol topikal hingga 7
sifilis dapat menyebabkan infertilitas hari.
4. Kehamilan ektopik dapat menjadi komplikasi 5. Hati-hati pada pasien pengguna kondom
akibat infeksi vaginal yang menjadi PID. atau kontrasepsi lateks lainnya, bahwa
penggunaan antifungi lokal dapat merusak
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) lateks
Penatalaksanaan 6. Pasien pengguna kontrasepsi pil
Pasien dengan riwayat risiko rendah penyakit kombinasi yang mengalami vulvovaginal
menular seksual dapat diobati sesuai dengan kandidiosis berulang, dipertimbangkan
gejala dan arah diagnosisnya. untuk menggunakan metoda kontrasepsi
lainnya
Vaginosis bakterial:
Chlamydia:
1. Metronidazol atau Klindamisin secara oral
atau per vaginam. 1. Azithromisin 1 gram single dose, atau

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 43


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Doksisiklin 100 mg 2 x sehari untuk 7 hari Prognosis


2. Ibu hamil dapat diberikan Amoksisilin 500
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam.
mg 3 x sehari untuk 7 hari atau
Eritromisin 500 mg 4 x sehari untuk 7 hari Faktor-faktor yang menentukan prognosis,
Trikomonas vaginalis: antara lain:

1. Obat minum nitromidazol (contoh 1. Prognosis lebih buruk apabila adanya gejala
metronidazol) efektif untuk mengobati radang panggul
trikomonas vaginalis 2. Prognosis lebih baik apabila mampu
2. Pasangan seksual pasien trikomonas memelihara kebersihan diri (hindari
vaginalis harus diperiksa dan diobati penggunaan antiseptik vagina yang malah
bersama dengan pasien membuat iritasi dinding vagina)
3. Pasien HIV positif dengan trikomonas
vaginalis lebih baik dengan regimen oral Referensi
penatalaksanaan beberapa hari dibanding 1. Faculty of Sexual and Reproductive
dosis tunggal Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012:
4. Kejadian trikomonas vaginalis seringkali Management of vaginal discharge in non-
berulang, namun perlu dipertimbangkan genitourinary medicine settings. England:
pula adanya resistensi obat
Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari
Rencana Tindak Lanjut www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual
and Reproductive Healthcare, 2012)
Pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit
menular seksual sebaiknya ditawarkan untuk 2. 2. World Health Organization. 2005.Sexually
diperiksa chlamydia, gonore, sifilis dan HIV. transmitted and other reproductive tract
infection. A guide to essential practice. WHO
Konseling dan Edukasi Library Cataloguing in Publication
1. Pasien diberikan pemahaman tentang Data. (World Health Organization, 2005)
penyakit, penularan serta penatalaksanaan
di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan
hubungan seksual selama penyakit belum
tuntas diobati.
Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
1. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk
pasangan
2. Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman
gonore
3. Adanya arah kegagalan pengobatan
Peralatan
1. Ginecology bed
2. Spekulum vagina
3. Lampu
4. Kertas lakmus

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

2. SIFILIS
No. ICPC-2
: Y70 Syphilis male X70 Syphilis female
: A51 Early syphilis
No. ICD-10 A51.0 Primary genital syphilis A52 Late syphilis
A53.9 Syphilis, unspecified

Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
angina pektoris.
Sifilis adalah penyakit infeksi kronis yang
Neurosifilis dapat menunjukkan gejala-gejala
disebabkan oleh Treponema pallidum dan
kelainan sistem saraf (lihat klasifikasi).
bersifat sistemik. Istilah lain penyakit ini adalah
lues veneria atau lues. Di Indonesia disebut Faktor Risiko:
dengan raja singa karena keganasannya.
Sifilis dapat menyerupai banyak penyakit dan 1. Berganti-ganti pasangan seksual.
memiliki masa laten. 2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial
(PSK).
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Bayi dengan ibu menderita sifilis.
4. Hubungan seksual dengan penderita
Keluhan
tanpa proteksi (kondom).
Pada afek primer, keluhan hanya berupa lesi 5. Sifilis kardiovaskular terjadi tiga kali
tanpa nyeri di bagian predileksi. lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
setelah 15–30 tahun setelah infeksi.
Pada sifilis sekunder, gejalanya antara lain:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Ruam atau beruntus pada kulit, dan dapat Sederhana (Objective)
menjadi luka, merah atau coklat kemerahan,
ukuran dapat bervariasi, di manapun pada Pemeriksaan Fisik
tubuh termasuk telapak tangan dan telapak
Stadium I (sifilis primer)
kaki.
2. Demam Diawali dengan papul lentikuler yang
3. Kelelahan dan perasaan tidak nyaman. permukaannya segera erosi dan menjadi ulkus
4. Pembesaran kelenjar getah bening. berbentuk bulat dan soliter, dindingnya tak
5. Sakit tenggorokan dan kutil seperti luka di bergaung dan berdasarkan eritem dan bersih,
mulut atau daerah genital. di atasnya hanya serum.Ulkus khas indolen
dan teraba indurasi yang disebut dengan ulkus
Pada sifilis lanjut, gejala terutama adalah guma.
durum. Ulkus durum merupakan afek primer
Guma dapat soliter atau multipel dapat
sifilis yang akan sembuh sendiri dalam 3-10
disertai keluhan demam.
minggu.
Pada tulang gejala berupa nyeri pada malam
Tempat predileksi
hari.
1. Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus
Stadium III lainnya adalah sifilis kardiovaskular,
koronarius, wanita di labia minor dan mayor.
berupa aneurisma aorta dan aortitis. Kondisi ini
dapat tanpa gejala atau dengan gejala seperti 2. Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 43


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Seminggu setelah afek primer, terdapat Bentuk ini paling sering terlihat pada S II,
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) kadang bersama-sama dengan roseola.
regional yang soliter, indolen, tidak lunak, Papul berbentuk lentikular, likenoid, atau
besarnya lentikular, tidak supuratif dan tidak folikular, serta dapat berskuama (papulo-
terdapat periadenitis di ingunalis medialis. skuamosa) seperti psoriasis (psoriasiformis)
dan dapat meninggalkan bercak leukoderma
Ulkus durum dan pembesaran KGB
sifilitikum.
disebut dengan kompleks primer. Bila
sifilis tidak memiliki afek primer, disebut Pada S II dini, papul generalisata dan S II
sebagai syphilis d’embiee. lanjut menjadi setempat dan tersusun
secara tertentu (susunan arsinar atau
Stadium II (sifilis sekunder)
sirsinar yang disebut dengan korona
S II terjadi setelah 6-8 minggu sejak S I venerik, susunan polikistik dan
terjadi. Stadium ini merupakan great imitator. korimbiformis).
Kelainan dapat menyerang mukosa, KGB, mata, Tempat predileksi papul: sudut mulut,
hepar, tulang dan saraf. ketiak, di bawah mammae, dan alat genital.
Kelainan dapat berbentuk eksudatif yang sangat
menular maupun kering (kurang menular). 3. Bentuk papul lainnya adalah kondiloma
lata berupa papul lentikular, permukaan
Perbedaan dengan penyakit lainnya yaitu
datar, sebagian berkonfluensi, dapat erosif
lesi tidak gatal dan terdapat limfadenitis
dan eksudatif yang sangat menular akibat
generalisata.
gesekan kulit.
S II terdiri dari SII dini dan lanjut, perbedaannya
adalah: Tempat predileksi kondiloma lata: lipat paha,
skrotum, vulva, perianal, di bawah mammae
S II dini terlihat lesi kulit generalisata, simetrik
dan antar jari kaki.
dan lebih cepat hilang (beberapa hari –
beberapa minggu), sedangkan S II lanjut 4. Pustul
tampak setempat, tidak simetrik dan lebih lama
Bentuk ini jarang didapati, dan sering diikuti
bertahan (beberapa minggu – beberapa bulan).
demam intermiten. Kelainan ini disebut
Bentuk lesi pada S II yaitu: sifilis variseliformis.
1. Roseola sifilitika: eritema makular, 5. Konfluensi papul, pustul dan krusta mirip
berbintik-bintik, atau berbercak-bercak, dengan impetigo atau disebut juga sifilis
warna tembaga dengan bentuk bulat atau impetiginosa. Kelainan dapat membentuk
lonjong. Jika terbentuk di kepala, dapat berbagai ulkus yang ditutupi krusta yang
menimbulkan kerontokan rambut, bersifat disebut dengan ektima sifilitikum. Bila
difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. krusta tebal disebut rupia sifilitikum dan
Bila S II lanjut pada rambut, kerontokan bila ulkus meluas ke perifer membentuk
tampak setempat, membentuk bercak- kulit kerang disebut sifilis ostrasea.
bercak yang disebut alopesia areolaris.
S II pada mukosa (enantem) terutama pada
Lesi menghilang dalam beberapa hari/ mulut dan tenggorok.
minggu, bila residif akan berkelompok
dan bertahan lebih lama. Bekas lesi S II pada kuku disebut dengan onikia
akan menghilang atau meninggalkan sifilitikum yaitu terdapat perubahan
hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum). warna kuku menjadi putih dan kabur, kuku
rapuh disertai adanya alur transversal dan
2. Papul longitudinal. Bagian distal kuku menjadi
hiperkeratotik sehingga kuku terangkat. Bila
terjadi kronis, akan membentuk paronikia

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

sifilitikum. jika pemeriksaan I dan II negatif. Setelah


diambil serum dari lesi, lesi dikompres dengan
S II pada alat lain yaitu pembesaran KGB, larutan garam fisiologis.
uveitis anterior dan koroidoretinitis pada
mata, hepatitis pada hepar, periostitis Pemeriksaan lain yang dapat dirujuk, yaitu:
atau kerusakan korteks pada tulang, atau
1. Tes Serologik Sifilis (TSS), antara lain
sistem saraf (neurosifilis).
VDRL (Venereal Disease Research
Sifilis laten dini tidak ada gejala, sedangkan Laboratories), TPHA (Treponemal pallidum
stadium rekurens terjadi kelainan mirip S II. Haemoglutination Assay), dan tes
imunofluoresens (Fluorescent Treponemal
Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular,
Antibody Absorption Test – FTA-Abs)
lamanya masa laten adalah beberapa tahun
bahkan hingga seusia hidup. 2. Histopatologi dan imunologi.
Stadium III (sifilis tersier) Penegakan Diagnosis (Assessment)
Lesi pertama antara 3 – 10 tahun setelah S Diagnosis Klinis
I. Bentuk lesi khas yaitu guma.Guma adalah
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
infiltrat sirkumskrip kronis, biasanya lunak dan
dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dapat
destruktif, besarnya lentikular hingga sebesar
dilakukan pemeriksaan mikroskopis.
telur ayam. Awal lesi tidak menunjukkan tanda
radang akut dan dapat digerakkan, setelah Klasifikasi
beberapa bulan menjadi melunak mulai dari
tengah dan tanda-tanda radang mulai 1. Sifilis kongenital
tampak. Kemudian terjadi perforasi dan keluar 1. Dini (prekoks): bentuk ini menular,
cairan seropurulen, kadang-kadang berupa bula bergerombol, simetris di
sanguinolen atau disertai jaringan nekrotik. tangan dan kaki atau di badan. Bentuk
Tempat perforasi menjadi ulkus. ini terjadi sebelum 2 tahun dan
Guma umumnya solitar, namun dapat multipel. disebut juga pemfigus sifilitika. Bentuk
lain adalah papulo-skuamosa. Wajah
Bentuk lain S III adalah nodus. Nodus terdapat bayi tampak seperti orang tua, berat
pada epidermis, lebih kecil (miliar hingga badan turun dan kulit keriput. Keluhan
lentikular), cenderung berkonfluensi dan di organ lainnya dapat terjadi.
tersebar dengan wana merah kecoklatan. Nodus
memiliki skuama seperti lilin (psoriasiformis). 2. Lanjut (tarda): bentuk ini tidak
menular, terjadi sesudah 2 tahun
S III pada mukosa biasanya pada mulut dan dengan bentuk guma di berbagai organ.
tenggorok atau septum nasi dalam bentuk
guma. 3. Stigmata: bentuk ini berupa
deformitas dan jaringan parut. Pada
S III pada tulang sering menyerang tibia, lesi dini dapat:
tengkorak, bahu, femur, fibula dan humerus.
• Pada wajah: hidung membentuk
S III pada organ dalam dapat menyerang hepar, saddle nose (depresi pada jembatan
esophagus dan lambung, paru, ginjal, vesika hidung) dan bulldog jaw (maksila
urinaria, prostat serta ovarium dan testis. lebih kecil daripada mandibula).
Pemeriksaan penunjang • Pada gigi membentuk gigi
Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan Hutchinson (pada gigi insisi
permanen berupa sisi gigi konveks
T. pallidum pada sediaan serum dari lesi kulit.
dan bagian menggigit konkaf).
Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 43


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Gigi molar pertama permulaannya sembab, gangguan mental, kelumpuhan


berbintil-bintil (mulberry molar). nervus kranialis dan seterusnya.
• Jaringan parut pada sudut mulut 3. Sifilis parenkim
yang
disebut regades. a. Tabes dorsalis (8-12 tahun sejak infeksi
primer). Keluhan berupa gangguan
• Kelainan permanen lainnya di motorik (ataksia, arefleksia), gangguan
fundus okuli akibat koroidoretinitis visus, retensi dan inkoninensia urin
dan pada kuku akibat onikia. serta gangguan sensibilitas (nyeri pada
kulit dan organ dalam).
Pada lesi lanjut:
b. Demensia paralitika (8-10 tahun sejak
Kornea keruh, perforasi palatum dan infeksi primer). Keluhan diawali dengan
septum nasi, serta sikatriks kulit kemunduran intelektual, kehilangan
seperti kertas perkamen, osteoporosis dekorum, apatis, euphoria hingga
gumatosa, atrofi optikus dan trias waham megaloman atau depresif.
Hutchinson yaitu keratitis interstisial, Selain itu, keluhan dapat berupa kejang,
gigi Hutchinson, dan tuli N. VIII. lemah dan gejala pyramidal hingga
2. Sifilis akuisita akhirnya meninggal.
4. Guma
a. Klinis
Guma umumnya terdapat pada meningen
Terdiri dari 2 stadium: akibat perluasan dari tulang tengkorak.
• Stadium I (S I) dalam 2-4 minggu Keluhan berupa nyeri kepala, muntah dan
sejak infeksi. dapat terjadi konvulsi serta gangguan visus.
Pada pemeriksaan terdapat edema papil
• Stadium II (S II) dalam 6-8 minggu karena peningkatan tekanan intrakranial,
sejak S I. paralisis nervus kranialis atau hemiplegi.
• Stadium III (S III) terjadi setelah 1 Diagnosis Banding
tahun sejak infeksi.
Diagnosis banding bergantung pada stadium
b. Epidemiologis apa pasien tersebut terdiagnosis.
• Stadium dini menular (dalam 1 tahun
sejak infeksi), terdiri dari S I, S II, 1. Stadium 1: Herpes simpleks, Ulkus piogenik,
stadium rekuren dan stadium laten Skabies, Balanitis, Limfogranuloma
dini. venereum, Karsinoma sel skuamosa,
• Stadium tidak menular (setelah Penyakit Behcet, Ulkus mole
1 tahun sejak infeksi), terdiri dari 2. Stadium II: Erupsi alergi obat, Morbili,
stadium laten lanjut dan S III. Pitiriasis rosea, Psoriasis, Dermatitis
Klasifikasi untuk neurosifilis: seboroik, Kondiloma akuminata, Alopesia
aerata
1. Neurosifilis asimptomatik, tidak
menunjukkan gejala karena hanya 3. Stadium III: Tuberkulosis, Frambusia,
terbatas pada cairan serebrospinal. Mikosis profunda

2. Sifilis meningovaskular Komplikasi: Eritroderma


Bentuk ini terjadi beberapa bulan sampai
5 tahun sejak S I. Gejala tergantung letak
lesi, antara lain berupa nyeri kepala,
konvulsi fokal atau umum, papil nervus
optikus

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan


Penatalaksanaan -
1. Sifilis yang sedang dalam inkubasi dapat Prognosis
diobati dengan regimen penisilin atau dapat
Prognosis umumnya dubia ad bonam.
menggunakan Ampisilin, Amoksisilin, atau
Seftriakson mungkin juga efektif. Referensi
2. Pengobatanprofilaksis harus diberikan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
pada pasangan pasien, namun sebaiknya Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi kelima.
diberikan sejak 3 bulan sebelumnya, Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
tanpa memandang serologi. Universitas Indonesia.
3. Kontak seksual harus ditelusuri, diketahui 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
dan diobati Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
4. Pasien perlu diuji untuk penyakit lain Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
yang ditularkan secara seksual (sexually Elsevier.
transmitted diseases/STD), termasuk HIV, 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
harus dilakukan pada semua penderita. Kelamin.2011. Pedoman Pelayanan Medik.
Pada sifilis dengan kehamilan untuk Jakarta.
wanita berisiko tinggi, uji serologis rutin
harus dilakukan sebelum trimester pertama
dan awal trimester ketiga serta pada
persalinan.
Bila tanda-tanda klinis atau serologis
memberi kesan infeksi aktif atau
diagnosis sifilis aktif tidak dapat dengan
pasti disingkirkan, maka indikasiuntuk
pengobatan.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder
Konseling dan Edukasi
1. Pasien diberikan pemahaman tentang
penyakit, penularan serta penatalaksanaan
di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan
hubungan seksual selama penyakit belum
tuntas diobati
Kriteria Rujukan
Semua stadium dan klasifikasi sifilis harus
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
memiliki dokter spesialis kulit dan kelamin.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 43


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

3. GONORE
No. ICPC-2
No. ICD-10 : X71 Gonorrhoea female, Y71 Gonorrhoea male
: A54.9 Gonococcal infection, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
(endokarditis, meningitis, dan sebagainya
Gonore adalah semua penyakit yang disebabkan pada gonore diseminata – 1% dari kasus
oleh Neisseria gonorrhoeae. Penyakit ini gonore).
termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS) yang
memiliki insidensi tinggi.Cara penularan Faktor Risiko
gonore terutama melalui genitor-genital, 1. Berganti-ganti pasangan seksual.
orogenital dan ano-genital, namun dapat pula 2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial
melalui alat mandi, termometer dan sebagainya (PSK).
(gonore genital dan ekstragenital). Daerah yang 3. Wanita usia pra pubertas dan menopause
paling mudah terinfeksi adalah mukosa vagina lebih rentan terkena gonore.
wanita sebelum pubertas. 4. Bayi dengan ibu menderita gonore.
5. Hubungan seksual dengan penderita
Hasil Anamnesis (Subjective)
tanpa proteksi (kondom).
Keluhan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Keluhan utama berhubungan erat dengan infeksi Sederhana (Objective)
pada organ genital yang terkena.
Pemeriksaan Fisik
Pada pria, keluhan tersering adalah kencing
nanah. Gejala diawali oleh rasa panas dan Tampak eritem, edema dan ektropion pada
gatal di distal uretra, disusul dengan disuria, orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh
polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung mukopurulen, serta pembesaran KGB inguinal
uretra yang kadang disertai darah.Selain itu, uni atau bilateral.
terdapat perasaan nyeri saat terjadi Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus
ereksi.Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah eritem, edem dan tertutup pus mukopurulen.
kontak seksual.
Pada pria:
Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai
perasaan tidak enak di perineum dan Pemeriksaan rectal toucher dilakukan untuk
suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing memeriksa prostat: pembesaran prostat dengan
hingga hematuri, serta retensi urin, dan konsistensi kenyal, nyeri tekan dan bila terdapat
obstipasi. abses akan teraba fluktuasi.
Pada wanita, gejala subyektif jarang ditemukan Pada wanita:
dan hampir tidak pernah didapati kelainan
Pemeriksaan in speculo dilakukan apabila wanita
obyektif. Wanita umumnya datang setelah
tesebut sudah menikah. Pada pemeriksaan
terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan
tampak serviks merah, erosi dan terdapat secret
antenatal atau Keluarga Berencana (KB).
mukopurulen.
Keluhan yang sering menyebabkan wanita
Pemeriksaan Penunjang
datang ke dokter adalah keluarnya cairan hijau
kekuningan dari vagina, disertai dengan Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung
disuria, dan nyeri abdomen bawah. duh tubuh dengan pewarnaan gram untuk
menemukan kuman gonokokus gram negarif,
Keluhan selain di daerah genital yaitu : rasa
intra atau ekstraseluler. Pada pria sediaan
terbakar di daerah anus (proktitis), mata merah
diambil dari daerah fossa navikularis, dan wanita
pada neonatus dan dapat terjadi keluhan
sistemik

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

dari uretra, muara kelenjar bartolin, serviks dan Muskular (I.M) dosis tunggal.
rektum.
Tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin
Pemeriksaan lain bila diperlukan: kultur, tes merupakan kontraindikasi pada kehamilan
oksidasi dan fermentasi, tes beta-laktamase, tes dan tidak dianjurkan pada anak dan dewasa
thomson dengan sediaan urin muda.
Penegakan Diagnostik (Assessment) Rencana Tindak Lanjut :-
Diagnosis Klinis Konseling dan Edukasi :-
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, Kriteria Rujukan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Apabila tidak dapat melakukan tes
Klasifikasi laboratorium.
Berdasarkan susunan anatomi genitalia pria dan 2. Apabila pengobatan di atas tidak
wanita: menunjukkan perbaikan dalam jangka
waktu 2 minggu, penderita dirujuk ke dokter
1. Uretritis gonore spesialis karena kemungkinan terdapat
2. Servisitis gonore (pada wanita) resistensi obat.
Diagnosis Banding Peralatan
Infeksi saluran kemih, Faringitis, Uretritis 1. Senter
herpes simpleks, Arthritis inflamasi dan septik, 2. Lup
Konjungtivitis, endokarditis, meningitis dan 3. Sarung tangan
uretritis non gonokokal 4. Alat pemeriksaan in spekulo
Komplikasi 5. Kursi periksa genital
6. Peralatan laboratorium sederhana untuk
Pada pria pemeriksaan Gram
Lokal : tynositis, parauretritis, litritis, kowperitis. Prognosis
Asendens : prostatitis, vesikulitis, funikulitis, Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa,
vasdeferentitis, epididimitis, trigonitis. namun dapat menimbulkan gangguan fungsi
terutama bila terjadi komplikasi. Apabila faktor
Pada wanita risiko tidak dihindari, dapat terjadi kondisi
Lokal : parauretritis, bartolinitis. berulang.

Asendens : salfingitis, Pelvic Inflammatory Referensi


Diseases (PID). Disseminata : Arthritis, 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu
miokarditis, endokarditis, perkarditis, Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi kelima.
meningitis, dermatitis. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Penatalaksanaan Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
1. Memberitahu pasien untuk tidak melakukan
Elsevier.
kontak seksual hingga dinyatakan sembuh
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
dan menjaga kebersihan genital.
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
2. Pemberian farmakologi dengan antibiotik: Jakarta.
Tiamfenikol, 3,5 gr per oral (p.o) dosis
tunggal, atau Ofloksasin 400 mg (p.o)
dosis tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 44


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

4. VAGINITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: X84 Vaginitis
: N76.0 Acute Vaginitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik


Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya
ditandai dengan adanya pruritus, keputihan, iritasi, eritema atau edema pada vulva dan
dispareunia, dan disuria. Penyebab vaginitis: vagina. Mungkin serviks juga dapat tampak
1. Vaginosis bakterialis (bakteri Gardnerella eritematous.
Vaginalis adalah bakteri anaerob yang Pemeriksaan Penunjang
bertanggung jawab atas terjadinya infeksi
vagina yang non-spesifik, insidennya terjadi 1. Pemeriksaan mikroskopik cairan atau sekret
sekitar 23,6%). vagina.
2. Trikomonas (kasusnya berkisar antara 5,1- 2. Pemeriksaan pH cairan vagina.
20%). 3. Pemeriksaan uji whiff: Jika positif berarti
3. 3. Kandida (vaginal kandidiasis, merupakan mengeluarkan mengeluarkan bau seperti
penyebab tersering peradangan pada anyir (amis) pada waktu ditambahkan
vagina yang terjadi pada wanita hamil, larutan KOH.
insidennya berkisar antara 15-42%).
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Bau adalah keluhan yang paling sering dijumpai. pemeriksaan fisik, dan penunjang.

Gejala klinis Vaginitis harus dicari penyebabnya, dengan


menilai perbedaan tanda dan gejala dari
1. Bau masing-masing penyebab, dapat pula dengan
2. Gatal (pruritus) menilai secara mikroskopik cairan vagina.
3. Keputihan
4. Dispareunia Tabel 15.1 Kriteria diagnostik vagintis
5. Disuria
Faktor Risiko
1. Pemakai AKDR
2. Penggunaan handuk bersamaan
3. Imunosupresi
4. Diabetes melitus
5. Perubahan hormonal (misal : kehamilan)
6. Penggunaan terapi antibiotik spektrum luas
7. Obesitas.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

Diagnosis Banding Peralatan


Vaginosis bakterialis, Vaginosis trikomonas, 1. Peralatan laboratorium sederhana untuk
Vulvovaginitis kandida pemeriksaan cairan vagina
Komplikasi: - 2. Kertas lakmus
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis
Penatalaksanaan
Prognosis pada umumnya bonam.
1. Menjaga kebersihan diri terutama daerah
vagina Referensi
2. Hindari pemakaian handuk secara
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning
bersamaan
Frequency And Ethiology Of Vaginitis In
3. Hindari pemakaian sabun untuk
Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of
membersihkan daerah vagina yang dapat
Pregnancy. Universitary Clinic of
menggeser jumlah flora normal dan dapat
Obstetrics and Gynecology “Bega”
merubah kondisi pH daerah kewanitaan
Timisoara.p.157-159 (D, 2006)
tersebut.
4. Jaga berat badan ideal 2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R.
5. Farmakologis: 2011.Ilmu Kandungan. Edisi ketiga.
a. Tatalaksana vaginosis bakterialis Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
• Metronidazol 500 mg peroral 2 x Prawiroharjo. (Mochamad, et al., 2011)
sehari selama 7 hari
• Metronidazol pervagina 2 x sehari
selama 5 hari
• Krim klindamisin 2% pervagina 1 x
sehari selama 7 hari
b. Tatalaksana vaginosis trikomonas
• Metronidazol 2 g peroral (dosis
tunggal)
• Pasangan seks pasien sebaiknya juga
diobati
c. Tatalaksana vulvovaginitis kandida
• Flukonazol 150 mg peroral (dosis
tunggal)
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien, dan
(pasangan seks) suami, mengenai faktor risiko
dan penyebab dari penyakit vaginitis ini
sehingga pasien dan suami dapat menghindari
faktor risikonya. Dan jika seorang wanita
terkena penyakit ini maka diinformasikan
pula pentingnya pasangan seks (suami) untuk
dilakukan juga pemeriksaan dan terapi guna
pengobatan secara keseluruhan antara suami-
istri dan mencegah terjadinya kondisi yang
berulang.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 44


BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN

5. VULVITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: X84 Vaginitis/Vulvitis
: N76.0 Acute Vaginitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Diagnosis Klinis


Bagi setiap wanita selain masalah keputihan, Diagnosis klinis ditegakkan dengan anamnesis
adapun masalah sering dihadapi adalah vaginitis dan pemeriksaan fisik.
dan vulvitis. Vulvitis adalah suatu peradangan
pada vulva (organ kelamin luar Diagnosis Banding :
wanita),sedangkan vulvovaginitis adalah Dermatitis alergika
peradangan pada vulva dan vagina. Gejala
yang paling sering ditemukan adalah keluarnya Komplikasi
cairan abnormal dari vagina, dikatakan Infertilitas, Infeksi sekunder karena sering
abnormal jika jumlahnya sangat banyak serta digaruk, Vulva distrofi
baunya menyengat atau disertai gatal-gatal
dan nyeri. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penyebab Penatalaksanaan
1. Alergi, khususnya sabun, kertas toilet 1. Menghindari penggunaan bahan yang dapat
berwarna, semprotan vagina, deterjen, menimbulkan iritasi di sekitar daerah genital.
gelembung mandi, atau wewangian
2. Menggunakan salep kortison. Jika
2. Dermatitis jangka panjang, seborrhea atau
vulvitis disebabkan infeksi vagina, dapat
eksim
dipertimbangkan pemberian antibiotik
3. Infeksi seperti infeksi pedikulosis, atau kudis
sesuai penatalaksanaan vaginitis atau
jamur dan bakteri
vulvovaginitis.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Kriteria Rujukan
Keluhan Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan
Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta kelamin jika pemberian salep kortison tidak
keluarnya cairan kental dari kemaluan yang memberikan respon.
berbau.
Peralatan
Gejala Klinis:
Lup
1. Rasa terbakar di daerah kemaluan
2. Gatal Prognosis
3. Kemerahan dan iritasi Prognosis pada umumnya bonam.
4. Keputihan
Referensi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
(Objective) 1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning
Frequency And Ethiology Of Vaginitis In
Pemeriksaan Fisik Pregnant Women. In:The Two Last Terms
Dari inspeksi daerah genital didapati kulit Of Pregnancy. Universitary Clinic of
vulva yang menebal dan kemerahan, dapat Obstetrics and Gynecology “Bega”
ditemukan juga lesi di sekitar vulva. Adanya Timisoara.p.157-159
cairan kental dan berbau yang keluar dari 2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R.
vagina. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi ketiga.
Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
Pemeriksaan Penunjang : - Prawiroharjo.
Penegakan Diagnostik (Assessment)

4 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011.


(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011.
(Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik
dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan
DOkter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2012)
4. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for
tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance.
The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014)
5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al. Mycobacterial disease:
Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal medicine. 17th Ed. New York:
McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009)
6. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis pada anak. Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta:
IDAI;2011.p. 170-87.
7. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th
Ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. (Djuanda, et al., 2007)
8. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier. Canada.2000. (James, et al., 2000)
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik.
2011. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, 2011)
10. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009.
11. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008
12. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5.
(Sudoyo, et al., 2006)
13. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007. Available at: (Cunha, 2007)
14. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.Available at: http://www.nlm.nih.gov/
medlineplus/ency/article/001376.htm. Accessed December 2009. (Dugdale, 2004)
15. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M. Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 44


DAFTAR

Brugria timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson Textbook of Pediatric.18thEd.2007:


1502-1503. (Behrman, et al., 2007)
16. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook
of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108. (Rudolph, et al., 2007)
17. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki, S.H.Hindra Irawan S. Filariasis dalam
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta,
2010: 400-407. (Sumarmo, et al.,2010)
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi Tali Pusat dalam Panduan Manajemen
Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2003)
19. Peadiatrics Clerkship University. The University of Chicago.
20. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
21. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan
RI. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012)
22. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
23. Panduan Puskesmas untuk keracunan makanan. Depkes: Jakarta. 2007.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
24. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 116-
25. (Sichere & Sampson, 2010)
25. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan.Ed.
Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. 2001. (Prawirohartono, 2001)
26. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat.
2003. (Davies, 2003)
27. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1. Surabaya: FK
Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et al.,2000)
28. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Reactions. In:Text Book of Critical care. Eds:
Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia:
WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.
29. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In:International
edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen. Stapczynski. 5thEd. New York:
McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6.
30. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam Update on Shock.
Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.

44 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

2000.
31. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
32. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.
33. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
2nd Edition. Geneva. 1997
34. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit:
Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten / Kota. 1 ed.
Jakarta: World Health Organization Country Office for Indonesia.
35. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis
dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2014
36. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009. (Braunwald,
et al., 2009)
37. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 632-
36. (Sudoyo, et al., 2006)
38. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang
Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2011)
39. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30.
(Sudoyo, et al., 2006
40. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed). Panduan
Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat
Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008)
41. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006.
(Sudoyo, et al., 2006)
42. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK (ed). Oxford handbook of
clinical medicine. 7th edition. Oxford University Press. Oxford. 2008. hlm 540-
541. (Longmore, et al., 2008)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 44


DAFTAR

43. Petri M, et al. derivation and validation of the Systemic Lupus International
Collborating Clinics classification criteria for systemic lupus eritematosus. Arthritis
and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86. (Petri, et al., 2012)
44. Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.
45. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: Non- Infective
Stomatitis. In Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Spain:
Elsevier Science Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell, 2002)
46. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease: Diagnosis and
Management. London: Martin Dunitz Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999)
47. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis and
Treatment. Journal of The American Dental Association, 127, pp.1202–1213.
(Woo & Sonis, 1996)
48. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions. In
M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds. Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC
Decker, p. 41. (Woo & Greenberg, 2008)
49. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
(Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2004.
50. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentan
PedomanPengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, t.thn.)
51. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)
52. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)
53. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)
54. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB
Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)
55. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.
htm (Center for Disease and Control, 2005)
56. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003)
57. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test
detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole
bacteria. Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)

44 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

58. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood
culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in a
resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
59. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009. Section
3. http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3. 117 (Anon.,
2009)
60. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta:
Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009)
61. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan sosialisasi tatalaksana diare pada balita.
Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
62. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.D.
Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
63. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus
Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia. 2009.
64. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi,
I.Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-1798.
65. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p.
962-964. (Braunwald, et al., 2009)
66. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with Free Living Amoebas. In: Kasper.
Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol I. 17thEd.
McGraw-Hill. 2009: p. 1275-1280.
67. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni, N. Singer, M,Critical Care. Focus 9
Gut. London: BMJ Publishing Group. 2002. (Galley, et al., 2002)
68. Elta, G.H.Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding in
Yamada, T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine, L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds.
Text Book of Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins.
2003. (Elta,2003)
69. Rockey, D.C.Gastrointestinal bleeding in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger,
M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd.
Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, 2002)
70. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E.Acute upper gastrointestinal bleeding in Sivak,
M.V.Ed.Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: WB Sauders. 2000. (Gilbert &
Silverstein, 2000)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 44


DAFTAR

71. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. Emedicine. Medscape. Update 12


September 2012. (Thornton & Giebel, 2012)
72. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids and Fissure in Ano Gastroenterology
Clinics of North America. 2008.
73. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease of Liver and
Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002)
74. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum”,
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
75. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).
76. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,1999)
77. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih bahasa dr.
Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000. (Shrock, 2000)
78. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick &
J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222.
(Fox & Ship, 2008)
79. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000)
80. 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts from the
cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit
(WSH), World Health Organization (WHO).
81. 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000- 1
82. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://
www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and Control, 2013)
83. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.who.int/
topics/shcistosomiasis/end (World Health Organization, 2013)
84. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in Medical
Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
85. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin
Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
86. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors.
Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company;
2012. p.1000-

44 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

1.
87. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengendalian Kecacingan.
88. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted diseases.
Gastroenetrology & hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh & Cruz, 2011)
89. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors.
Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company;
2012. p.1000- 1.
90. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
91. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006.
92. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta: Erlangga. 2005.
93. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta:
EGC. 2009.
94. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008.
95. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
96. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007.
97. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd Ed. New York: Fairchild Publication.
1989. (Grosvenor, 1989)
98. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut:
Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997)
99. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999.
(Soewono, 1999)
100. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata.
3rd Ed. 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr. Soetomo, 2006)
101. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M. Worldwide prevalence and risk factors for
myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32, 3–16. (Pan, et al., 2012)
102. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
103. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for the Internist: When to Treat, When to
Refer. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2), pp.137–44. Available at:
http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor & Jeng, 2008)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 44


DAFTAR

104. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations, Disease Associations and Management.
Postgraduate Medical Journal, 88(1046), pp.713–8. Available at: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/22977282 [Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
105. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968. Episcleritis and Scleritis I. British Journal
Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson, et al., 1968)
106. Ehlers JP, Shah CP, editors.The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008)
107. Karesh JW. The evaluation and management of eyelid trauma. Dalam : Duane’s
Clinical Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
2006. (Karesh, 2006)
108. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2008.
109. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2008.
110. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007)
111. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta:
EGC. 1997. (Adam & Boies, 1997)
112. Sander, R. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and Prevention. Am Fam
Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937. (Sander, 2001)
113. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
2003. (Lee, 2003)
114. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper
Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June
2007, pp. e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007)
115. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and Management
Options. WHO Library Cataloguing in publication data. 2004. (J, 2004)
116. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder AGM.
Chronic suppurative otitis media: A review. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12. (Verhoeff, et al., 2006)
117. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose, Throat Emergencies. Pediatric Clinics of
North America 53 (2006) 195-214. (Bernius & Perlin, 2006)

44 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

118. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in The Ear, Nose and Throat. American
Family Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189. (Heim & Maughan, 2007)
119. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: a review of technique for
removal in the emergency department. Emergency Medicine Journal.2000;17:91-94.
(Davies & Benger, 2000)
120. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT KL.
FKUI. Jakarta.
121. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3.
Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)
122. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed.
McGraw-Hill. 2009. (O’Rouke, et al., 2009)
123. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical Care Handbook
of the Massachusetts General Hospital. 4Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)
124. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi. Jakarta
: Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
125. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape. Update 21 May.
2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
126. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta: PT
Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334. (Chairuddin, 2007)
127. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
128. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta: EGC. 2005.
129. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery.
8th Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
130. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York: Lange Medical Book.
2005.
131. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Airlangga University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006)
132. 2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com. 2008.
(Blanda, 2008)
133. 3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 44


DAFTAR

Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer, 2000)


134. 4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type Headache. Available from: www.aafp.com.
(Millea, 2008)
135. 2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University
Press. Surabaya.2006. (Purnomo,2006)
136. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan
Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012. (Kelompok Studi Vertigo, 2012)
137. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary care. BJMP.
2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
138. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular
migraine. Journal Neurology. 2009:25:333-338. (Lempert & Neuhauser, 2009)
139. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of Vertigo.Journal American Family Physician.
2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
140. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
(Mardjono & Sidharta, 2008)
141. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium Neurology:Systematic Approach that Needed for
establish of Vertigo. The Practitioner. 2010; 254 (1732) p. 19-23. (Turner & Lewis,
2010)
142. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness
and Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot. William and Wilkins. 2009 (Chain,
2009)
143. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to RNA viruses: Harrisons Internal Medicine
16th edition. McGraw Hill. Medical Publishing Division. 2005. (Braunwald, et al.,
2009)
144. The Merk Manual of Medical information.Rabies, brain and spinal cord disorders,
infection of the brain and spinal cord.2006. p: 484-486.
145. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic Press. 2002. p. 290. (Jackson & Wunner,
2002)
146. Davis L.E. King, M.K. Schultz, J.LFundamentals of neurologic disease. Demos Medical
Publishing, LLc. 2005. p: 73. (Davis, et al., 2005)
147. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable diagnosis of human rabies based on
analysis of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47 (11): 1410-1417. 2008.
(Reynes and Buchy, 2008)
148. 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for Disease Control and Prevention. 2007.

45 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12.


(Centers for Disease Control and Prevention , 2007)
149. Gunawan C, Malaria Serebral dan penanganannya dalam Malaria dari Molekuler ke
Klkinis EGC. Jakarta 2012. (Gunawan, 2012)
150. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok Studi Epilepsi, 2012)
151. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed).
Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York, 2007:100-
25. (Fitzsimmons, 2007)
152. Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein LB
(Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009:
85-99. (Romano & Sacco, 2009)
153. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous System. Ischemic
Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
Philadelphia, 2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
154. Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack : A Guideline for Healthcare Professionals From
the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011;
42:227- 276 (Furie, 2011)
155. National Stroke Association. Transient Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org
156. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in
Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker, 2012)
157. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis
and Treatment in Neurology. McGraw Hill, NewYork, 2007:286-288. (Gooch &
Fatimi, 2007)
158. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy Medication. Medscape.
159. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental
Disorder. Text Revision 4th Ed. Washington DC: APA. 2000.
160. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna Publishing.2009.
161. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et al. Clarifying confusion: the confusion
Assessment method;113:941-8: a new method for detection of delirium.Ann Intern
Med. 1990

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 45


DAFTAR

162. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion and delirium. Dalam: Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill. 2008.
163. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick, B. Essentials of Clinical Geriatrics.
6th Ed. McGraw-Hill Co. 2009.
164. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/
Pskiatri. Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP
PDSKJI). 2012.
165. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
166. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004.
167. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit berdasarkan
kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan. 2012
168. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage
Guidelines. 5th edition.Vancouver. Department of Pharmacy Children’s and Women’s
Health Centre of British Columbia. (Esau, 2006)
169. Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010.
170. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and Formulary 2007-2008. Toronto. The
Department of Pharmacy, The Hospital for Sick Children. (Lau, 2008)
171. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug Information 2009. Bethesda. American Society
of Health-System Pharmacists, Inc. (McEvoy,2009)
172. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI,
2006)
173. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45 Gangguan Somatoform.
In Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, pp. 209–221.
174. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative Disorders: Assessment and
Treatment Advance in Psychiatric Treatment,3(1), pp.9–16 Available at:http://
apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014].
175. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan
Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia,
60(10), pp.448–453.
176. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007. Somatoform Disorders. American
Family Physician, 76, pp.1333–1338. Available at: www.aafp.org/afp.
177. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-15). Patient Health Questionnaire

45 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

(PHQ) Screeners. Available at: http://www.phqscreeners.com/


pdfs/04_PHQ-15/English.pdf [Accessed May 24, 2014].
178. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting Somatoform Disorders in Primary Care
with the PHQ-15. Annals of Family Medicine, 7, pp.232–238. Available at:
http://www. annfammed.org/content/7/3/232.full.pdf+html.
179. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 1993)
180. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012)
181. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological and
Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010. (World Health
Organization, 2010)
182. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
183. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
184. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental
disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe
& Huber Publishers. (World Health Organization, t.thn.)
185. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 2007.
186. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
187. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2002.
188. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: EGC.1998.
189. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006.
190. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998.
191. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal: 337.
192. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2014.(Global
Initiatives for Asthma, 2011)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 45


DAFTAR

193. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2006.(Global


Initiatives for Asthma, 2006)
194. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta. 2004.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004)
195. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2001.
196. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Indonesia IDAI. 2010.
197. Marik PE.Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Eng J Med.
2001;3:665- 71.(Marik, 2001)
198. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc.
Infectious diseases society of America/American thoracic society consensus
guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults.
Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–72(Mandel, et al., 2007)
199. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam: Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas.
Swidarmoko B, Susanto AD, editor. Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked.
Respirasi. 2010: 54-71.(Astowo, 2010)
200. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax: British
Thoracic Society pleural diseases guideline 2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff,
et al., 2010)
201. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke- Jakarta:Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
202. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E. Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
203. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
204. Fokkens, W et.al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps.
Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at: http://www.rhinologyjournal.com
[Accessed June 24, 2014]. (Fokkens, 2012)
205. Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala – Leher FKUI /
RSCM. Panduan Pelayanan Medis Rinosinusitis.
206. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical Practice Guidelines forAcute and
Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical Immunology, 71, pp.1-38.
Available at: http://www.aacijournal.com/content/7/1/2 [Accessed June 6,2014].
(Desrosier et.al, 2011)

45 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

207. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in Adults: Treatment.
UpToDate Wolters Kluwer Health. Available at: www.uptodate.com [Accessed June
6, 2014]. (Hwang & Getz,2014)
208. Chow,AW et.al,2012.IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial
Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious Diseases, pp.e1-e41.
Available at: http:// cid.oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014]. (Chow et.al,
2012)
209. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
210. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
211. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis. Available from
http://www.nejm.org/doi/ pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni 2014)
212. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
213. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current And Future Treatment Options For
Perioral Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy, 2, 351-355, Available from
http://Search.
Proquest.Com/Docview/912278300/Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Account
id=17242(7 Juni 2014).
214. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007. Persistent Facial Dermatitis: Pediatric
Perioral Dermatitis. Pediatric Annals, 36,pp.796-8. Available
from http://search.proquest.com/docview/217556989/fulltextPDF?acc
ountid=17242 (7 Juni 2014).
215. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical Appraisal Of Reports On The Treatment Of
Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-7. Available from http://search.proquest.
com/docview/275129538/DC34942E98744010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni
2014).
216. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012. Pharmacologic Interventions For Hidradenitis
Suppurativa. American Journal Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91. Available
from http://search.proquest.com/docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7905F3
04E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni 2014).
217. American Academy of Dermatology. Hidradenitis suppurativa.Available from http://
www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-and-treatments/e---h/hidradenitis-
suppurativa(7 Juni 2014).
218. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012. Risk factors of hookworm related
cutaneous larva migrans and definitive host
219. Doherty, G.M. 2006. Current surgical diagnosis and & treatment. United State of
America. Lange Medical Publication.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 45


DAFTAR

220. Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio). http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/


matkul/Ilmu%20Kedokteran%20Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20PBL%20 IIa
%202007- 2008/luka%20bakar%20akut%20text.pdf
221. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
222. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens- Johnson
syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
223. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens JohnsonSyndrome: Our
Current Understanding. Allergology International,55, 9-16
224. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter
Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI. 200. (Trisna, 2008)
225. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK
UI. Hal 1961-5.2006.
226. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004.
227. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2006)
228. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Indonesia FKUI,2012)
229. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thed.
USA: McGraw Hill, 2008.
230. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan:
FK USU.2004. (Azwar, 2004)
231. Darey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005)
232. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007. (Ganiswarna,
2007)
233. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI.2009.
234. 5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012 (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2012)
235. Weiss, Barry.20 Common Problems In Primary Care.

45 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


DAFTAR

236. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family Medicine. 2011


237. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI. 2009
238. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract infection. N Engl J Med2012;366:1028-37
(Hooton, 2012)
239. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih
dan Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi
Indonesia. (Achmad, 2007)
240. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment of
Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women : A 2010 Update
by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for
Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Disease, 52, pp.103–
120 (Colgan, 2011)
241. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and Prostatitis. In A. s
Fauci et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill,
pp. 1820–1825. (Stamm, 2008)
242. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
Circumcision. The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301.
243. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
244. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
245. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010(Prawirohardjo, et al., 2010)
246. WHO. Managing prolonged and obstructed labour. Education for safe motherhood.
2ndEd. Department of making pregnancy safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health
Organization, 2006)
247. Pedoman penyelenggaraan pelayanan obstetri neonatal emergensi
komprehensif (PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
248. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina
Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
249. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.
Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009)
250. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
251. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012:

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 45


DAFTAR

Management of vaginal discharge in non- genitourinary medicine settings. England:


Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual
and Reproductive Healthcare, 2012)
252. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis
In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic
of Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159 (D, 2006)

45 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT


Pengurus Besar
Ikatan Dokter
Indonesia
(Indonesian Medical Association)
Alamat: Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Telp: (021) 3150679
email : pbidi@idionline.org
website: www.idionline.org

Anda mungkin juga menyukai