PENGURUS BESAR
IKATAN DOKTER INDONESIA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara
elektronik maupun cetak termasuk memfotokopi, merekam maupun menggunakan teknik lainnya
tanpa seizin tertulis dari penerbit.
ISBN :
UK ANGGOTA IKATAN DOKTER INDONESIA TIDAK DIPE
Kata Sambutan
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Assalamualaikum Wr Wb,
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
buku yang berisi panduan untuk menjadi pedoman dokter untuk
melakukan praktik dapat diterbitkan. Buku berjudul “Panduan
Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer”
memuat berbagai jenis keterampilan klinis untuk dilaksanakan
oleh seluruh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer dalam
upaya kesembuhan pasien dengan menghadirkan pelayanan
kedokteran terbaik.
Dengan penerbitan buku ini diharapkan maka setiap dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini sebagai acuan dalam memberikan
pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Mengingat pesatnya perkembangan dunia
kedokteran, kami mengharapkan seluruh pihak dapat bersama sama senantiasa dapat
memperbaharui buku panduan ini mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
Waasalamualaikum Wr Wb,
Ketua Umum,
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA i
PENGURUS BESAR
IKATAN DOKTER INDONESIA
Jl. Dr. G.S.S.Y. Ratulangie No. 29 Jakarta 10350 Telp. 021-3150679 - 3900277 Fax. 3900473
Email : (PB IDI) : pbidi@idionline.org, (MKKI) : majeliskolegiumkedokteran_ind@yahoo.com,
(MKEK) : mkek@idonline.org; (MPPK) : mppk@idionline.org
Website : www.idionline.org
Masa Bakti : 2012 - 2015 SURAT KEPUTUSAN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
NO. 1530/PB/A.4/12/2014
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
Ketua Umum :
Dr. Zaenal Abidin, MH
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 8 Desember 2014
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA iii
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/Menkes/Per/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 464);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang
Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 671);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 122);
9. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 342);
MEMUTUSKAN :
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA v
Catatan Penting
1. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter Pelayanan Primer ini memuat penatalaksanaan untuk
dilaksanakan oleh seluruh dokter pelayanan primer serta pemberian pelayanan kesehatan
dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan primer tetapi tidak menjamin
keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien.
2. Panduan ini disusun berdasarkan data klinis untuk kasus individu berdasarkan referensi terbaru
yang ditemukan tim penyusun, dan dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah.
3. Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus. Setiap
dokter bertanggung jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien,
pilihan diagnostik, dan pengobatan yang tersedia.
4. Modifikasi terhadap panduan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter atas dasar keadaan yang
memaksa untuk kepentingan pasien, antara lain keadaaan khusus pasien, kedaruratan, dan
keterbatasan sumber daya. Modifikasi tersebut harus tercantum dalam rekam medis.
5. Dokter pelayanan primer wajib merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain yang memiliki sarana
prasarana yang dibutuhkan bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak tersedia, meskipun
penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit tingkat kemampuan 4.
6. PPK Dokter Pelayanan Primer tidak memuat seluruh teori tentang penyakit, sehingga sangat
disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut dengan menggunakan referensi
yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Walaupun tidak menjadi standar pelayanan, skrining terhadap risiko penyakit merupakan tugas
dokter pelayanan primer.
Tim Penyusun
Ment
Pengarah eri
Keseh
atan
Repub
lik
Indon
esia
Direkt
ur
Jende
ral
Bina
Upaya
Keseh
atan
Direkt
ur
Jende
ral
Bina
Upaya
Keseh
atan
Dasar
Pengarah IDI
Ketua Umum
Pengurus Besar
Ikatan Dokter
Indonesia Prof.
Dr. I Oetama
Marsis, SpOG
Pr
of.
Dr
.
H
as
bu
lla
h
Th
ab
ra
ny
,
M
P
H.
D
R.
P
H
Dr
.
Da
en
g
M
Fa
qi
h,
M
.H
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA vii
Tim f
Editor i
F a
i n
k
a Z
a
E i
k n
a u
y d
a d
n i
t n
i
D
I a
k e
a n
g
H
a M
r
i F
y a
a q
n i
i h
D
J h
o a
k n
o a
s
H a
e r
n i
d
a V
r i
t d
o i
M a
a w
h a
e t
s i
a
T
P r
a i
r s
a n
n a
a
d D
i y
p a
a h
A A
n
d W
i a
l
A u
l y
viii PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
o , Kemenkes RI
Armein Sjuhary
H Rowi - Dinkes Kota
e Bogor
r Aryono Hendarto –
q Kolegium Ilmu
u Kesehatan Anak
t Indonesia Diatri Nari
a Lastri - PP
n PERDOSSI
t Di
o na
n
Narasum Ba
ber gj
Amir a
Syarif N
– ug
Kolegi ra
um ha
Dokte -
r Di
Prime nk
r es
Indon Ka
esia b.
A G
r ar
i ut
e Dj
at
H mi
a ko
m -
z Di
a nk
h es
Ka
- b
u
S pa
u te
b n
d Gr
i o
t b
og
P an
e Ek
n a
g Gi
e na
n nj
d ar
a -
l P
i B
a P
n A
P
D DI
M Eka Sulistiany - Subdit
Tuberkulosis Ditjen
& P2PL, Kemenkes RI Esty
Handayani PKM- Teluk
P Tiram Banjarmasin
M Fikry Hamdan Yasin -
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA ix
K torat Bina Kesehatan Jiwa,
o Kemenkes RI Hadiyah
l Melanie - Direktorat Bina
e Kesehatan Ibu, Kemenkes
g RI Hanny Nilasari - PP
i PERDOSKI
u Hariadi Wisnu
m Wardana - Subdit
AIDS & PMS,
I Kemenkes RI Eni
l Gustina -
m Direktorat Bina
u Kesehatan
Anak,Kemenkes
K RI Ilham Oetama
e Marsis-PB IDI
s Kiki Lukman – Kolegium Ilmu Bedah Indonesia
e Lily Banonah Rivai - Subdit
h Pengendalian PJPD, Dit PPTM,
a Kemenkes RI M.Sidik – Perdami
t Muhammad
a Amin –
n Kolegium
Pulmonologi
T Indonesia
H Nurdadi
T Saleh - PB
- POGI
K Syahri
L al M
Hutau
I ruk -
n PP
d PERH
o ATI-KL
n Syams
e ulhadi
s –
i Kolegi
a um
Psikiat
G ri
e Indon
r esia
a Syams
l unaha
d r - IDI
Caban
M g Kota
a Bogor
r Sylviana Andinisaric -
i Subdit Pengendalian DM
o & PM, Kemenkes RI Tjut
Nurul Alam Jacoeb - PP
S PERDOSKI
e Widia Tri Susanti
m - PKM Taman
e Bacaan
n Palembang
Wiwiek Wibawa
- – PKM Godong I
Grobogan
D Wiwien Heru Wiyono - Kolegium Pulmonologi
i dan Ilmu Kedokteran Respirasi Worowijat -
r Subdit Pengendalian Malaria Ditjen P2PL,
e Kemenkes RI
k Yetti Armagustini - Dinkes Kota Palembang
x PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
Yoan f
Hotni i
da a
n
Naomi
- Z
Subdit a
Penge i
ndalia n
n u
Penya d
kit d
i
Jantu n
ng &
Pemb
uluh
Darah,
Keme
nkes
Tim
Kontribut
or
A
l
f
i
i
N
u
r
H
a
r
a
h
a
p
A
l
f
u
u
N
u
r
H
a
r
a
h
a
p
A
n
d
i
A
l
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA xi
Tim Penyusun
Balqis
Darwis Hartono
Dhanasari Vidiawati Trisna
Duta Liana
Dwiana Ocviyanti
Eka Laksmi
Exsenveny Lalopua
Fika Ekayanti
Hani Nilasari
Ira Susanti Haryoso
Joko Hendarto
Oktarina
Prasenohadi
Retno Asti
Werdhani Simon
Salim
Susi Oktowati
Trisna
Ulul Albab
Wahyudi Istiono
Imelda Datau
Judilherry Justam
Monika Saraswati Sitepu
Novana Perdana Putri
R. Prihandjojo Andri Putranto
Siti Pariani
Slamet Budiarto
Tim Penunjang
Adi Pamungkas
Dien Kuswardani
Era Renjana
Ernawati Octavia
Esty Wahyuningsih
Heti Yuriani
Husin Maulachelah
I.G.A.M Bramantha Yogeswara
Inten Lestari
Leslie Nur Rahmani
Mina Febriani
Mohammad Sulaeman
Nia Kurniawati
Raisa Resmitasari
Rizky Rahayuningsih
Uud Cahyono
Syrojuddin Hadi Imron
Tim Revisi 2014
Andi Alfian Zainuddin
Apriani Oendari
Asturi Putri
Adi Pamungkas
Bulkis Natsir
Darwis Hartono
Ika Hariyani
Joko Hendarto
Monika Saraswati Sitepu
Novana Perdana Putri
Salinah
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas Rahmat-Nya Buku Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi 1 dikeluarkan oleh IDI dapat yang
dicetak dan disebarluaskan kepada seluruh anggotanya. Buku ini telah direvisi, yang awalnya terdiri
dari 155 daftar penyakit pada PMK no 5 tahun 2014, menjadi 177 penyakit pada KMK HK.02.02/
Menkes/514/2015.
Penyusunan buku ini diawali dari rapat yang diselenggarakan oleh Subdit Bina Pelayanan
Kedokteran Keluarga, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada
bulan Mei 2014 bersama dengan pengurus PB IDI. Buku ini adalah bagian pertama dari 4 rangkaian
tema yang ingin disusun bersama, yaitu:
1. Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
2. Buku Panduan Penatalaksanaan Klinis dengan Pendekatan Simptom di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer
3. Buku Panduan Keterampilan Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
4. Buku Pedoman Pelayanan bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
Keempat tema ini merupakan acuan standar bagi pelayanan kesehatan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer ini disusun
berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, di mana dari 736 daftar penyakit
terdapat 144 penyakit dengan tingkat kemampuan 4 yaitu lulusan dokter harus mampu
mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas, 261 penyakit (164 penyakit
tingkat kemampuan 3A dan 97 penyakit tingkat kemampuan 3B) dengan tingkat kemampuan 3
yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
pada kasus gawat darurat maupun bukan gawat darurat, 261 penyakit dengan tingkat kemampuan
2 yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis dan merujuk serta 70 penyakit dengan tingkat
kemampuan 1 yaitu lulusan dokter harus mampu mengenali dan menjelaskan selanjutnya
menentukan rujukan yang tepat. Selain daftar penyakit tersebut, terdapat 275 keterampilan klinik
yang juga harus dikuasai oleh lulusan program studi dokter.
Dalam buku panduan ini, memuat 177 daftar penyakit. Daftar tersebut terdiri dari beberapa
penggabungan penjabaran penyakit, yang sebenarnya di dalam SKDI mewakili 193 daftar penyakit,
terdiri dari 135 penyakit dengan tingkat kemampuan 4A, 34 penyakit dengan tingkat kemampuan
3B, 21 penyakit dengan kemampuan 3B dan 3 penyakit dengan tingkat kemampuan 2.
Pemilihan penyakit berdasarkan prevalensi cukup tinggi, mempunyai risiko tinggi dan
membutuhkan pembiayaan tinggi serta usulan dari perhimpunan dokter spesialis. Dalam
penyusunannya, dikoordinir oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia yang melibatkan dua
perhimpunan dokter pelayanan primer (PDPP) yaitu Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI)
dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Dalam proses review tim penyusun melibatkan
perhimpunan dokter spesialis yang terkait dengan daftar penyakit.
Buku ini dipandang perlu untuk memandu para praktisi kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer terutama dokter dalam menjalankan praktik kedokteran yang baik agar mampu melayani
masyarakat sesuai prosedur. Selain itu, diharapkan terciptanya kendali mutu dan kendali biaya
sehingga efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kesehatan dapat dicapai yang berujung pada
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Dalam penerapan buku ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan
yang terdiri dari Kementerian Kesehatan RI sebagai regulator hingga organisasi profesi dokter dan
tenaga kesehatan lainnya untuk membina dan mengawasi guna mewujudkan mutu pelayanan yang
terbaik bagi masyarakat.
Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi seluruh pihak yang berperan aktif dalam
penyusunan buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
Indonesia.
Tim Penulis
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA ix
Daftar isi
BAB I : PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 3
C. Sasaran 3
D. Ruang Lingkup 4
E. Cara Memahami Panduan Praktik Klinis 4
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH & PENYAKIT7
A. KELOMPOK UMUM 7
1. Tuberkulosis (TB) Paru 7
2. TB dengan HIV 15
3. Morbili 17
4. Varisela 19
5. Malaria 21
6. Leptospirosis 23
7. Filariasis 25
8. Infeksi pada Umbilikus 29
9. Kandidiasis Mulut 30
10. Lepra 31
11. Keracunan Makanan 37
12. Alergi Makanan 39
13. Syok 40
14. Reaksi Anafilaktik 44
15. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue 47
B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN 52
1. Anemia Defisiensi Besi 52
2. HIV/AIDS tanpa Komplikasi 54
3. Lupus Eritematosus Sistemik 58
4. Limfadenitis 62
C. DIGESTIVE 64
1. Ulkus Mulut (Aftosa, Herpes 64
2. Refluks Gastroesofageal 67
3. Gastritis 69
4. Intoleransi Makanan 70
5. Malabsorbsi Makanan 71
6. Demam Tifoid 73
7. Gastroenteritis (Kolera dan Giardiasis) 78
8. Disentri Basiler dan Disentri Amuba 85
9. Perdarahan Gastrointestinal 87
10. Hemoroid Grade 1-2 90
11. Hepatitis A 92
DAFTAR ISI
12. Hepatitis B 94
13. Kolesistisis 96
14. Apendisitis Akut 97
15. Peritonitis 100
16. Parotitis 101
17. Askariasis (Infeksi Cacing Gelang) 103
18. Ankilostomiasis (Infeksi Cacing Tambang) 105
19. Skistosomiasis 107
20. Taeniasis 110
21. Strongiloidasis 111
D. MATA 114
1. Mata Kering/Dry Eye 114
2. Buta Senja 116
3. Hordeolum 117
4. Konjungtivitis 118
5. Blefaritis 120
6. Perdarahan Subkonjungtiva 121
7. Benda Asing di Konjungtiva 123
8. Astigmatisme 124
9. Hipermetropia 125
10. Miopia Ringan 126
11. Presbiopia 127
12. Katarak pada Pasien Dewasa 129
13. Glaukoma Akut 130
14. Glaukoma Kronis 132
15. Trikiasis 133
16. Episkleritis 135
17. Trauma Kimia Mata 137
18. Laserasi Kelopak Mata 138
19. Hifema 140
20. Retinopati Diabetik 141
E. TELINGA 143
1. Otitis Eksterna 143
2. Otitis Media Akut 145
3. Otitis Media Supuratif Kronik 147
4. Benda Asing di Telinga 149
5. Serumen Prop 150
F. KARDIOVASKULER 152
1. Angina Pektoris Stabil 152
2. Infark Miokard 155
xiv PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
3. Takikardia 157
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik 159
5. Cardiorespiratory Arrest 161
6. Hipertensi Esensial 162
G. MUSKULOSKELETAL 166
1. Fraktur Terbuka 166
2. Fraktur Tertutup 168
3. Polimialgia Reumatik 169
4. Artritis Reumatoid 170
5. Artritis, Osteoartritis 174
6. Vulnus 175
7. Lipoma 178
H. NEUROLOGI 179
1. Tension Headache 179
2. Migren 182
3. Vertigo 185
4. Tetanus 190
5. Rabies 194
6. Malaria Serebral 197
7. Epilepsi 199
8. Transient Ischemic Attack (TIA) 204
9. Stroke 207
10. Bell’s Palsy 210
11. Status Epileptikus 215
12. Delirium 216
13. Kejang Demam 218
14. Tetanus Neonatorum 221
I. PSIKIATRI 224
1. Gangguan Somatoform 224
2. Demensia 228
3. Insomnia 230
4. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi 231
5. Gangguan Psikotik 234
J. RESPIRASI 237
1. Influenza 237
2. Faringitis Akut 239
3. Laringitis Akut 242
4. Tonsilitis Akut 245
5. Bronkitis Akut 248
6. Asma Bronkial (Asma Stabil) 251
DAFTAR ISI
xiv PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
28. Exanthematous Drug Eruption 347
29. Fixed Drug Eruption 348
30. Cutaneus Larva Migrans 350
31. Luka Bakar Derajat I dan II 352
32. Ulkus pada Tungkai 354
33. Sindrom Stevens-Johnson 357
L METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI 360
1. Obesitas 360
2. Tirotoksikosis 362
3. Diabetes Mellitus Tipe 2 364
4. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik 358
5. Hipoglikemia 370
6. Hiperurisemia-Gout Arthritis 372
7. Dislipidemia 374
8. Malnutrisi Energi Protein (MEP) 377
M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH 380
1. Infeksi Saluran Kemih 380
2. Pielonefritis Tanpa Komplikasi 382
3. Fimosis 385
4. Parafimosis 386
N. KESEHATAN WANITA 388
1. Kehamilan Normal 388
2. Hiperemesis Gravidarum (Mual dan Muntah pada Kehamilan) 393
3. Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan 396
4. Pre-Eklampsia 398
5. Eklampsi 401
6. Abortus 403
7. Ketuban Pecah Dini (KPD) 407
8. Persalinan Lama 409
9. Perdarahan Post Partum/Perdarahan Pascasalin 412
10. Ruptur Perineum Tingkat 1-2 417
11. Mastitis 422
12. Inverted Nipple 424
13. Cracked Nipple 426
O. PENYAKIT KELAMIN 428
1. Fluor Albus/Vaginal Discharge Non Gonore 428
2. Sifilis 431
3. Gonore 436
4. Vaginitis 438
5. Vulvitis 440
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Terwujudnya kondisi kesehatan masyarakat yang baik
adalah tugas dan tanggung jawab dari negara sebagai
bentuk amanah Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanaannya negara
berkewajiban menjaga mutu pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh fasilitas kesehatan serta tenaga
kesehatan yang berkualitas. Untuk mewujudkan tenaga
kesehatan yang berkualitas, negara sangat membutuhkan
peran organisasi profesi tenaga kesehatan yang memiliki
peran menjaga kompetensi anggotanya.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 1
Tingkat akukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
Kemampuan 2:
mendiagnosis Tingkat Kemampuan 3A : Bukan gawat darurat
dan merujuk Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
Lulusan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
dokter bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
membuat pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
diagnosis menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
klinik
terhadap
penyakit
tersebut
dan
menentuka
n rujukan
yang paling
tepat bagi
penanganan
pasien
selanjutnya.
Lulusan
dokter juga
mampu
menindakla
njuti
sesudah
kembali dari
rujukan.
Ting
kat
Ke
ma
mp
uan
3 :
me
ndia
gno
sis,
mel
2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB I : PENDAHULUAN
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara m mandiri dan tuntas.
Tingkat Kemampuan 4B : Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/
atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, dari 736 daftar penyakit
terdapat 144 penyakit yang harus dikuasai penuh oleh para lulusan karena diharapkan dokter
di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Selain itu terdapat 275 keterampilan klinik yang
juga harus dikuasai oleh lulusan program studi dokter. Selain 144 dari 726 penyakit, terdapat
261 penyakit yang harus dikuasai lulusan untuk dapat mendiagnosisnya sebelum kemudian
merujuknya, baik merujuk dalam keadaaan gawat darurat maupun bukan gawat darurat.
Kondisi saat ini, kasus rujukan ke pelayanan kesehatan sekunder untuk kasus-kasus yang
seharusnya dapat dituntaskan di fasilitas pelayanan tingkat pertama masih cukup tinggi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya kompetensi dokter, pembiayaan, dan sarana
prasarana yang belum mendukung. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar penyakit
dengan kasus terbanyak di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010 termasuk dalam
kriteria 4A.
Melihat kondisi ini, diperlukan adanya panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama yang merupakan bagian dari standar pelayanan kedokteran. Panduan ini
selanjutnya menjadi acuan bagi seluruh dokter di fasilitas pelayanan tingkat pertama dalam
menerapkan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat.
Panduan ini diharapkan dapat membantu dokter untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan
sekaligus menurunkan angka rujukan dengan cara :
1. Memberi pelayanan sesuai bukti sahih terkini yang cocok dengan kondisi pasien, keluarga
dan masyarakatnya
2. Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar pelayanan
3. Meningkatkan mawas diri untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
profesional sesuai dengan kebutuhan pasien dan lingkungan
4. Mempertajam kemampuan sebagai gate keeper pelayanan kedokteran dengan menapis
penyakit dalam tahap dini untuk dapat melakukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat
sebagaimana mestinya layanan tingkat pertama
Panduan Praktik Klinis (PPK) bagi Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
ini memuat penatalaksanaan penyakit untuk dilaksanakan oleh seluruh dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Penyusunan panduan ini berdasarkan data klinis
untuk kasus individu yang mengacu pada referensi terbaru yang ditemukan tim penyusun, dan
dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah. Panduan ini tidak memuat seluruh teori
tentang penyakit, maka sangat disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut
dengan menggunakan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus, tetapi
merupakan pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik. Setiap dokter bertanggung
jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan diagnostik
dan pengobatan yang tersedia. Dokter harus merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain
yang memiliki sarana prasarana yang dibutuhkan, bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak
tersedia, meskipun penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit dengan tingkat
kemampuan dokter menangani dengan tuntas dan mandiri (tingkat kemampuan 4). Penilaian
terhadap ketepatan rujukan harus dinilai kasus per kasus, dan tidak dapat didasarkan hanya
pada kode diagnosa penyakit. Walaupun tidak dicantumkan dalam panduan ini, skrining
terhadap risiko penyakit merupakan tugas dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama.
B. TUJUAN
Dengan menggunakan panduan ini diharapkan, dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dapat
1. mewujudkan pelayanan kedokteran yang sadar mutu sadar biaya yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
2. memiliki pedoman baku minimum dengan mengutamakan upaya maksimal sesuai
kompetensi dan fasilitas yang ada
3. memiliki tolok ukur dalam melaksanakan jaminan mutu pelayanan
C. SASARAN
Sasaran buku Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
ini adalah seluruh dokter yang memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Fasilitas pelayanan kesehatan tidak terbatas pada fasilitas milik pemerintah, tetapi
juga fasilitas pelayanan swasta.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 3
D. RUANG LINGKUP
PPK ini meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit yang dijumpai di layanan
tingkat pertama. Jenis penyakit mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penyakit dalam Pedoman ini
adalah penyakit dengan tingkat kemampuan dokter 4A, 3B dan 3A terpilih, dimana dokter
diharapkan mampu mendiagnosis, memberikan penatalaksanaan dan rujukan yang sesuai.
Beberapa penyakit yang merupakan kemampuan 2, dimasukkan dalam pedoman ini dengan
pertimbangan prevalensinya yang cukup tinggi di Indonesia. Pemilihan penyakit pada PPK ini
berdasarkan kriteria:
Dalam penerapan PPK ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan
untuk membina dan mengawasi penerapan standar pelayanan yang baik guna mewujudkan
mutu pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Adapun stakeholder kesehatan yang berperan
dalam penerapan standar pelayanan ini adalah :
1. Kementerian Kesehatan, sebagai regulator di sektor kesehatan.
Mengeluarkan kebijakan nasional dan peraturan terkait guna mendukung penerapan
pelayanan sesuai standar. Selain dari itu, dengan upaya pemerataan fasilitas dan kualitas
pelayanan diharapkan standar ini dapat diterapkan di seluruh Indonesia.
2. Ikatan Dokter Indonesia, sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter.
Termasuk di dalamnya peranan IDI Cabang dan IDI Wilayah, serta perhimpunan dokter
layanan primer dan spesialis terkait. Pembinaan dan pengawasan dalam aspek profesi
termasuk di dalamnya standar etik menjadi ujung tombak penerapan standar yang terbaik.
3. Dinas Kesehatan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagai penanggungjawab
urusan kesehatan pada tingkat daerah.
4. Organisasi profesi kesehatan lainnya seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI),
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) serta organisasi
profesi kesehatan lainnya. Keberadaan tenaga kesehatan lain sangat mendukung
terwujudnya pelayanan kesehatan terpadu.
5. Sinergi seluruh pemangku kebijakan kesehatan menjadi kunci keberhasilan penerapan
standar pelayanan medik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Panduan ini memuat pengelolaan penyakit mulai dari penjelasan hingga penatalaksanaan
penyakit tersebut. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter di Fasilitas Pelayanan Tingkat Pertama
disusun berdasarkan pedoman yang berlaku secara global yang dirumuskan oleh organisasi
profesi dan di sahkan oleh Menteri Kesehatan.
1) Judul Penyakit
Judul penyakit berdasarkan daftar penyakit terpilih di SKDI 2012, namun beberapa penyakit
dengan karakterisitik yang hampir sama dikelompokkan menjadi satu judul penyakit.
Pada setiap judul penyakit dilengkapi :
1. Kode penyakit
a. Kode International Classification of Primary Care (ICPC), menggunakan kode ICPC-
2 untuk diagnosis.
b. Kode International Classification of Diseases (ICD), menggunakan kode ICD-10
versi 10.
Penggunaan kode penyakit untuk pencatatan dan pelaporan di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama mengacu pada ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.
7) Peralatan
Bagian ini berisi komponen fasilitas pendukung spesifik dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit tersebut. Penyediaan peralatan tersebut merupakan kewajiban
fasilitas pelayanan kesehatan disamping peralatan medik wajib untuk pemeriksaan umum
tanda vital.
8) Prognosis
Kategori prognosis sebagai berikut :
1. Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan.
2. Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi
manusia dalam melakukan tugasnya.
3. Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat
beraktivitas seperti biasa.
Prognosis digolongkan sebagai berikut :
1. Sanam: sembuh
2. Bonam: baik
3. Malam: buruk/jelek
4. Dubia: tidak tentu/ragu-ragu
5. Dubia ad sanam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung sembuh/baik
6. Dubia ad malam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung memburuk/jelek
Untuk penentuan prognosis sangat ditentukan dengan kondisi pasien saat diagnosis
ditegakkan.
BAB II
DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN
MASALAH DAN PENYAKIT
A. KELOMPOK UMUM
a. Tuberkulosis (TB) Paru pada Dewasa suara napas melemah di apex paru, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan
Masalah Kesehatan mediastinum.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 7
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT
1. Tahap awal menggunakan paduan obat a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat
rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan 2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid),
namun dalam jangka waktu yg lebih
etambutol.
lama (minimal 4 bulan).
a. Pada tahap awal pasien mendapat
pasien yang terdiri dari 4 jenis obat b. Obat dapat diminum secara intermitten
(rifampisin, isoniazid, pirazinamid yaitu 3x/minggu (obat program) atau
dan etambutol), diminum setiap hari tiap hari (obat non program).
dan diawasi secara langsung untuk c. Tahap lanjutan penting untuk
menjamin kepatuhan minum obat dan membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekebalan obat. mencegah terjadinya kekambuhan.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh
secara adekuat, daya penularan Program Nasional
menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian
sebagai berikut :
besar menjadi BTA negatif (konversi)
setelah menyelesaikan pengobatan 1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
tahap awal. Setelah terjadi konversi Artinya pengobatan tahap awal selama 2
pengobatan dilanujtkan dengan tahap bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan
lanjut. selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam
2. Tahap lanjutan menggunakan panduan obat seminggu. Jadi lama pengobatan
seluruhnya 6 bulan.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 9
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Prognosis pada umumnya baik apabila pasien
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
(TB kambuh, gagal pengobatan, putus pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
berobat/default). Pada kategori 2, tahap prognosis menjadi kurang baik.
awal pengobatan selama 3 bulan terdiri Kriteria hasil pengobatan :
dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan
streptomisin, dan 1 bulan HRZE. 1. Sembuh : pasien telah menyelesaikan
Pengobatan tahap awal diberikan setiap pengobatannya secara lengkap dan
hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 pemeriksaan apusan dahak ulang (follow
bulan, up), hasilnya negatif pada foto toraks AP
3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
bulan. 2. Pengobatan lengkap : pasien yang telah
3. OAT sisipan : HRZE menyelesaikan pengobatannya secara
Apabila pemeriksaan dahak masih positif lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan
(belum konversi) pada akhir pengobatan apusan dahak ulang pada foto toraks AP
tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
maka diberikan pengobatan sisipan selama 3. Meninggal : pasien yang meninggal dalam
1 bulan dengan HRZE. masa pengobatan karena sebab apapun.
kriteria 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga, BTA (+)
BTA (-) atau BTA
tidak jelas/tidak
Tahu
Uji Tuberkulin (Mantoux) (-) (+) (≥10mm,
atau ≥5mm
pd keadaan
immunocomp
Romised
Berat badan/ keadaan gizi BB/TB < 90% atau Klinis gizi buruk
BB/U < 80% atau BB/TB <70%
atau BB/U < 60%
Demam yang tidak > 2 minggu
diketahui penyebabnya
Batuk kronik > 3 minggu
Pembesaran kelenjar >1 cm, Lebih dari 1
limfe kolli, aksila, KGB, tidak nyeri
inguina
Pembengkakan tulang/ Ada pembengkakan
sendi panggul lutut,
falang
Foto toraks Gambaran Gambaran sugestif
normal, tidak TB
jelas
Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin (Skor > 6 sebagai entry point)
Beri OAT
2 bulan terapi
Berat badan 2 bulan tiap hari 3KDT Anak 4 bulan tiap hari 2KDT Anak
(kg) RHZ (75/50/150) RH (75/50)
05-Sep 1 tablet 1 tablet
Okt-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit
2. Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit.
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.
Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak
Kriteria Rujukan
Apabila kita menemukan seorang anak dengan
1. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan
TB, maka harus dicari sumber penularan yang
pengobatan.
menyebabkan anak tersebut tertular TB.
2. Terjadi efek samping obat yang berat.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang
3. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani
menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak
pengobatan selama >2 minggu.
tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan
dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA Peralatan
sputum (pelacakan sentripetal).
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum,
Evaluasi Hasil Pengobatan darah rutin.
2. Mantoux test (uji tuberkulin).
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi
3. Radiologi.
hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan
terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan Referensi
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis
yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu tuberculosis pada anak. Rahajoe NN, Supriyatno
menghilang atau membaiknya kelainan klinis B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi
yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87.
misalnya penambahan BB yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan
nafsu makan, dan lain- lain. Apabila respons
pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT
dapat menimbulkan berbagai efek samping.
Efek samping yang cukup sering terjadi pada
pemberian isoniazid dan rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas,
ruam dan gatal, serta demam.
2.TB DENGAN HIV
TB:
No. ICPC-2 No. ICD-10
: A70 Tuberkulosis
: A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologiccaly and histologically
confirmed
HIV:
No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10: Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus (HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
menemukan kelainan.
TB meningkatkan progresivitas HIV karena
Pemeriksaan Penunjang
penderita TB dan HIV sering mempunyai kadar
jumlah virus HIV yang tinggi. Pada keadaan 1. Pemeriksaan darah lengkap dapat
koinfeksi terjadi penurunan imunitas lebih dijumpai limfositosis/monositosis, LED
cepat dan pertahanan hidup lebih singkat meningkat, Hb turun.
walaupun pengobatan TB berhasil. Penderita 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri
TB/HIV mempunyai kemungkinan hidup lebih Tahan Asam/ BTA) atau kultur kuman dari
singkat dibandingkan penderita HIV yang spesimen sputum/ dahak sewaktu-pagi-
tidak pernah kena TB. Obat antivirus HIV (ART) sewaktu.
menurunkan tingkat kematian pada pasien TB/ 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil
HIV dari bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top
Batuk tidak merupakan gejala utama pada lordotik.
pasien TB dengan HIV. Pasien diindikasikan 5. Pemeriksaan kadar CD4.
untuk pemeriksaan HIV jika: 6. Uji anti-HIV
3.MORBILI
No. ICPC-2: A71 Measles.
No. ICD-10: B05.9 Measles without complication (Measles NOS).
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
menjadi masalah kesehatan yang krusial di
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan Indonesia. Peran dokter di fasilitas pelayanan
oleh virus Measles. Nama lain dari penyakit ini kesehatan tingkat pertama sangat penting
adalah rubeola atau campak. Morbili dalam mencegah, mendiagnosis,
merupakan penyakit yang sangat infeksius dan menatalaksana, dan menekan mortalitas
menular lewat udara melalui aktivitas bernafas, morbili.
batuk, atau bersin. Pada bayi dan balita,
morbili dapat menimbulkan komplikasi yang Hasil Anamnesis (Subjective)
fatal, seperti pneumonia dan ensefalitis. Salah
satu strategi menekan mortalitas dan 1. Gejala prodromal berupa demam, malaise,
morbiditas penyakit morbili adalah dengan gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan
vaksinasi. Namun, berdasarkan data Survei konjungtivitis.
Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2. Pada demam hari keempat, biasanya
2007, ternyata cakupan imunisasi campak pada muncul lesi makula dan papula eritem, yang
anak-anak usia di bawah 6 tahun di Indonesia dimulai pada kepala daerah perbatasan
masih relatif lebih rendah(72,8%) dibandingkan dahi rambut, di belakang telinga, dan
negara- negara lain di Asia Tenggara yang sudah menyebar secara sentrifugal ke bawah
mencapai 84%. Pada tahun 2010, Indonesia hingga muka, badan, ekstremitas, dan
merupakan negara dengan tingkat insiden mencapai kaki pada hari ketiga.
tertinggi ketiga di Asia Tenggara. World Health 3. Masa inkubasi 10-15 hari.
Organization melaporkan sebanyak 6300 kasus 4. Belum mendapat imunisasi campak
terkonfirmasi Morbili di Indonesia sepanjang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
tahun 2013.
Sederhana (Objective)
Dengan demikian, hingga kini, morbili masih 1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati
general. d. Mononukleosis infeksiosa
2. Pada orofaring ditemukan koplik spot e. Infeksi Mycoplasma pneumoniae
sebelum munculnya eksantem.
3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan Komplikasi
papula eritem, dimulai pada kepala pada Komplikasi lebih umum terjadi pada anak
daerah perbatasan dahi rambut, di dengan gizi buruk, anak yang belum mendapat
belakang telinga, dan menyebar secara imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi
sentrifugal dan ke bawah hingga muka, dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media,
badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada
4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan- anak HIV yang tidak diimunisasi, pneumonia
lahan menghilang dengan urutan sesuai yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi
urutan muncul, dengan warna sisa coklat kulit.
kekuningan atau deskuamasi ringan.
Eksantem hilang dalam 4-6 hari. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4.VARISELA
No. ICPC-2: A72 Chickenpox
No. ICD-10 : B01.9 Varicella without complication (Varicella NOS)
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Fisik
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster
Tanda Patognomonis
yang menyerang kulit dan mukosa, klinis
terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang
polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan
melalui udara (air-borne) dan kontak langsung. embun (tear drops). Vesikel akan menjadi keruh
dan kemudian menjadi krusta. Sementara
Hasil Anamnesis (Subjective)
proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-
Keluhan vesikel baru yang menimbulkan gambaran
polimorfik khas untuk varisela. Penyebaran
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian terjadi secara sentrifugal, serta dapat
disusul timbulnya lesi kulit berupa papul eritem menyerang selaput lendir mata, mulut, dan
yang dalam waktu beberapa jam berubah saluran napas atas.
menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa gatal.
Gambar 1.2 Varisela
Faktor Risiko
1. Anak-anak.
2. Riwayat kontak dengan penderita varisela.
3. Keadaan imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Penunjang Konseling dan Edukasi
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis Edukasi bahwa varisella merupakan
dengan menemukan sel penyakit yang self-limiting pada anak yang
imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat
Tzanck yaitu sel datia berinti banyak. berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh karena
Penegakan Diagnosis (Assessment) itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan
tubuh. Penderita sebaiknya dikarantina untuk
Diagnosis Klinis mencegah penularan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Kriteria Rujukan
dan pemeriksaan fisik.
1. Terdapat gangguan imunitas
Diagnosis Banding 2. Mengalami komplikasi yang berat seperti
1. Variola pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis.
2. Herpes simpleks disseminata Peralatan
3. Coxsackievirus
4. Rickettsialpox Lup
Komplikasi Prognosis
Masalah Kesehatan
• Nadi teraba cepat dan lemah.
Merupakan suatu penyakit infeksi akut • Pada kondisi tertentu bisa
maupun kronik yang disebabkan oleh parasit ditemukan penurunan kesadaran.
Plasmodium yang menyerang eritrosit dan 2. Kepala : Konjungtiva anemis, sklera ikterik,
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual bibir sianosis, dan pada malaria serebral
dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, dapat ditemukan kaku kuduk.
anemia, dan pembesaran limpa. 3. Toraks : Terlihat pernapasan cepat.
4. Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan
Hasil Anamnesis (Subjective) limpa, dapat juga ditemukan asites.
Keluhan 5. Ginjal : Dapat ditemukan urin berwarna
coklat kehitaman, oligouri atau anuria.
Demam hilang timbul, pada saat demam hilang 6. Ekstermitas : Akral teraba dingin
disertai dengan menggigil, berkeringat, dapat merupakan tanda-tanda menuju syok.
disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan
persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, Pemeriksaan Penunjang
mual muntah, dan diare. 1. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan
Faktor Risiko tipis ditemukan parasit Plasmodium.
1. Riwayat menderita malaria sebelumnya. 2. Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT).
2. Tinggal di daerah yang endemis malaria. Penegakan Diagnosis (Assessment)
3. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah
endemik malaria. Diagnosis Klinis
4. Riwayat mendapat transfusi darah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Trias Malaria: panas – menggigil – berkeringat),
Sederhana (Objective) pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit
plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan Fisik hapusan darah tebal/tipis.
1. Tanda Patognomonis Klasifikasi
a. Pada periode demam:
• Kulit terlihat memerah, teraba 1. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium
panas, suhu tubuh meningkat falsiparum.
dapat sampai di atas 400C dan 2. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium
kulit kering. vivax.
• Pasien dapat juga terlihat pucat. 3. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale.
• Nadi teraba cepat 4. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium
• Pernapasan cepat (takipneu) malariae.
b. Pada periode dingin dan berkeringat: 5. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium
• Kulit teraba dingin dan knowlesi.
berkeringat.
Diagnosis Banding a. Diberikan lagi regimen DHP yang sama
tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi
1. Demam Dengue 0,5 mg/kgBB/hari.
2. Demam Tifoid b. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah
3. Leptospirosis apabila pemberian Primakiun dosis 0,25
4. Infeksi virus akut lainnya mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) hari dan penderita sakit kembali dengan
parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu
Penatalaksanaan sampai 3 bulan setelah pengobatan.
Pengobatan Malaria falsiparum Pengobatan Malaria malariae
1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3
Combination (FDC) yang terdiri dari hari dengan dosis sama dengan pengobatan
Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan
tiap tablet mengandung 40 mg pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin. Primakuin.
Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai Pengobatan infeksi campuran antara Malaria
dengan 59 kg diberikan DHP per oral 3 tablet falsiparum dengan Malaria vivax/ Malaria ovale
satu kali per hari selama 3 hari dan Primakuin dengan DHP.
2 tablet sekali sehari satu kali pemberian,
Pada penderita dengan infeksi campuran
sedangkan untuk BB > 60 kg diberikan 4 tablet
diberikan DHP 1 kali per hari selama 3 hari,
DHP satu kali sehari selama 3 hari dan
serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta
Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali
Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari.
pemberian. Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB (dosis
tunggal), Piperakuin = 16-32 mg/kgBB (dosis Pengobatan malaria pada ibu hamil
tunggal), Primakuin = 0,75 mg/kgBB (dosis 1. Trimester pertama: Kina tablet 3 x 10mg/ kg
tunggal). BB + Klindamycin 10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP
2. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum
tablet selama 3 hari.
yang tidak respon terhadap pengobatan DHP):
3. Pencegahan / profilaksis digunakan
Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis
Doksisiklin 1 kapsul 100 mg/hari diminum 2
kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari),
hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah
Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari ( dewasa,
keluar/pulang dari daerah endemis.
2x/hari selama7 hari), 2,2 mg/kgBB/hari ( 8-14
tahun, 2x/hari selama 7 hari), T etrasiklin = 4-5 Pengobatan di atas diberikan berdasarkan berat
mg/kgBB/kali (4x/hari selama 7 hari). badan penderita.
6.LEPTOSPIROSIS
No. ICPC-2: A78 Infection disease other/ NOS
No. ICD-10: A27.9 Leptospirosis, unspecified Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang kesadaran
menyerang manusia disebabkan oleh mikro Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
organisme Leptospira interogans dan memiliki sederhana (Objective)
manifestasi klinis yang luas. Spektrum klinis
Pemeriksaan Fisik
mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai
fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, 1. Febris
leptospirosis dapat muncul seperti influenza 2. Ikterus
dengan sakit kepala dan myalgia. Tikus adalah 3. Nyeri tekan pada otot
reservoir yang utama dan kejadian leptospirosis 4. Ruam kulit
lebih banyak ditemukan pada musim hujan. 5. Limfadenopati
6. Hepatomegali dan splenomegali
Hasil Anamnesis (Subjective) 7. Edema
Keluhan: 8. Bradikardi relatif
9. Konjungtiva suffusion
Demam disertai menggigil, sakit kepala,
10. Gangguan perdarahan berupa petekie,
anoreksia, mialgia yang hebat pada betis, paha
purpura, epistaksis dan perdarahan gusi
dan pinggang disertai nyeri tekan. Mual,
muntah, 11. Kaku kuduk sebagai tanda meningitis
Pemeriksaan Penunjang 4. Gagal hati
5. Gagal jantung
Pemeriksaan Laboratorium
Konseling dan Edukasi
1. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-
26000/μL, dengan pergeseran ke kiri, 1. Pencegahan leptospirosis khususnya di
trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% daerah tropis sangat sulit, karena
pasien dan dihubungkan dengan gagal ginjal. banyaknya hospes perantara dan jenis
2. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, serotipe. Bagi mereka yang mempunyai
dan hyalin atau granular) dan proteinuria risiko tinggi untuk tertular leptospirosis
ringan, jumlah sedimen eritrosit biasanya harus diberikan perlindungan berupa
meningkat. pakaian khusus yang dapat melindunginya
dari kontak dengan bahan-bahan yang telah
Penegakan Diagnostik (Assessment) terkontaminasi dengan kemih binatang
Diagnosis Klinis reservoir.
2. Keluarga harus melakukan pencegahan
Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan leptospirosis dengan menyimpan makanan
demam tiba-tiba, menggigil terdapat tanda dan minuman dengan baik agar terhindar
konjungtiva suffusion, sakit kepala, mialgia, dari tikus, mencuci tangan dengan sabun
ikterus dan nyeri tekan pada otot. Kemungkinan sebelum makan, mencuci tangan, kaki serta
tersebut meningkat jika ada riwayat bekerja bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
atau terpapar dengan lingkungan yang bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/
terkontaminasi dengan kencing tikus. selokan dan tempat tempat yang tercemar
Diagnosis Banding lainnya.
Masalah Kesehatan
Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit satu daerah endemik dengan daerah endemik
menular yang disebabkan oleh cacing Filaria lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. perbedaan intensitas paparan terhadap vektor
Penyakit ini bersifat menahun (kronis) infektif didaerah endemik tersebut.
dan bila tidak mendapatkan pengobatan
dapat menimbulkan cacat menetap berupa Manifestasi akut, berupa:
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik 1. Demam berulang ulang selama 3-5 hari.
perempuan maupun laki-laki. Demam dapat hilang bila istirahat dan
timbul lagi setelah bekerja berat.
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global
2. Pembengkakan kelenjar getah bening
untuk mengeliminasi filariasis pada tahun
(tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
2020 (The Global Goal of Elimination of
ketiak (lymphadentitis) yang tampak
Lymphatic Filariasis as a Public Health problem
kemerahan, panas, dan sakit.
by The Year 2020). Program eliminasi
dilaksanakan melalui pengobatan massal 3. Radang saluran kelenjar getah bening yang
dengan DEC dan Albendazol setahun sekali terasa panas dan sakit menjalar dari pangkal
kaki atau pangkal lengan ke arah ujung
selama 5 tahun di lokasi yangendemis serta
perawatan kasus klinis baik yang akut maupun (retrograde lymphangitis).
kronis untuk mencegah kecacatandan 4. Filarial abses akibat seringnya menderita
mengurangi penderitaannya. pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta
Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki darah.
gajah secara bertahap yang telah dimulai sejak 5. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada,
tahun 2002 di 5 kabupaten. Perluasan wilayah kantong zakar yang terlihat agak kemerahan
akan dilaksanakan setiap tahun. dan terasa panas (Early Imphodema).
Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies Manifestasi kronik, disebabkan oleh
cacing filaria, yaitu: Wucheria bancrofti, Brugia berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi
malayi dan Brugia timori. Vektor penular di beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari
Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada episode akut. Gejala kronis filariasis berupa:
23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, pembesaran yang menetap (elephantiasis)
Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar
berperan sebagai vektor penular penyakit kaki (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh
gajah. adanya cacing dewasa pada sistem limfatik
dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult
Hasil Anamnesis (Subjective) filariasis.
Keluhan Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium
ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari
masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi: elefantiasis dan chyluria yang meningkat sesuai
bertambahnya usia.
1. Masa prepaten, yaitu masa antara
masuknya larva infektif hingga terjadinya Manifestasi genital di banyak daerah endemis,
mikrofilaremia berkisar antara 37 gambaran kronis yang terjadi adalah hidrokel.
bulan. Hanya sebagian saja dari Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis,
penduduk di daerah endemik yang funikulitis, edema karena penebalan kulit
menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok skrotum, sedangkan pada perempuan bisa
mikrofilaremik ini pun tidak semua dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan
kemudian menunjukkan gejala klinis. elefantiasis ekstremitas, episode limfedema
Terlihat bahwa kelompok ini termasuk pada ekstremitas akan menyebabkan
kelompok yang asimptomatik elefantiasis di daerah saluran limfe yang terkena
amikrofilaremik dan asimptomatik dalam waktu bertahun-tahun. Lebih sering
mikrofilaremik. terkena ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti,
2. Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infeksi didaerah paha dan ekstremitas bawah
infektif sampai terjadinya gejala klinis sama seringnya, sedangkan B.malayi hanya
berkisar antara 8 – 16 bulan. mengenai ekstremitas bawah saja.
3. Gejala klinik akut merupakan limfadenitis
dan limfangitis disertai panas dan malaise. Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti,
Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering
Penderita dengan gejala klinis akut dapat terkena, disusul funikulitis, epididimitis, dan
amikrofilaremik maupun mikrofilaremik. orkitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila,
4. Gejala menahun, terjadi 10 – 15 tahun sering bersama dengan limfangitis retrograd
setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria yang umumnya sembuh sendiri dalam 3 –15
jarang ditemukan pada stadium ini, hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam
sedangkan adenolimfangitis masih dapat setahun. Pada filariasis brugia, limfadenitis
terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan paling sering mengenai kelenjar inguinal,
terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-
penderita serta membebani keluarganya. kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh
limfe menjadi keras dan nyeri dan sering
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan
Sederhana (Objective) kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama
beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 x/
Pemeriksaan Fisik tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar
Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya limfe yang terkena dapat menjadi abses,
limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3 memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan
– 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam parut yang khas, setelah 3 minggu sampai 3
setahun. Limfangitis akan meluas kedaerah bulan.
distal dari kelenjar yang terkena tempat
Pada kasus menahun filariasis bancrofti,
cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis
hidrokel paling banyak ditemukan. Limfedema
berkembang lebih sering di ekstremitas bawah
dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai
daripada atas. Selain pada tungkai, dapat
atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah
mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi
dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat
W.bancrofti) dan payudara.
3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi
Manifestasi kronik, disebabkan oleh tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita
berkurangnya fungsi saluran limfe. Bentuk menyebabkan penurunan berat badan dan
manifestasi ini dapat terjadi dalam beberapa kelelahan. Filariasis brugia, elefantiasis terjadi
bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan
Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema,
bawah, dan ukuran pembesaran ektremitas filariasis akut
tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya. 2. Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan
penyakit sistemik granulomatous lainnya.
Pemeriksaan Penunjang
Komplikasi
1. Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah.
Cacing filaria dapat ditemukan dengan Pembesaran organ (kaki, tangan, skrotum atau
pengambilan darah tebal atau tipis pada bagian tubuh lainnya) akibat obstruksi saluran
waktu malam hari antara jam 10 malam limfe.
sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan
pewarnaan Giemsa atau Wright. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Mikrofilaria juga dapat ditemukan pada Penatalaksanaan
cairan hidrokel atau cairan tubuh lain
(sangat jarang). Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah
2. Pemeriksaan darah tepi terdapat atau memperbaiki perjalanan penyakit, antara
leukositosis dengan eosinofilia sampai 10- lain dengan:
30% dengan pemeriksaan sediaan darah jari 1. Memelihara kebersihan kulit.
yang diambil mulai pukul 20.00 waktu 2. Fisioterapi kadang diperlukan pada
setempat. penderita limfedema kronis.
3. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan 3. Obatantifilaria adalah Diethyl carbamazine
Diethylcarbamazine provocative test. citrate (DEC) dan Ivermektin (obat ini
Gambar 1.3 Filariasis bermanfaat apabila diberikan pada fase
akut yaitu ketika pasien mengalami
limfangitis).
4. DEC dapat membunuh mikrofilaria dan
cacing dewasa. Ivermektin merupakan
antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak
memiliki efek makrofilarisida.
5. Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari
setelah makan, selama 12 hari, pada
TropicalPulmonary Eosinophylia (TPE)
pengobatan diberikan selama tiga minggu.
6. Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi
terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing
Penegakan Diagnostik (Assessment) dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap
protein yang dilepaskan pada saat cacing
Diagnosis Klinis
dewasa mati dapat terjadi beberapa jam
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan
identifikasi mikrofilaria. reaksi lokal:
a. Reaksi sistemik berupa demam, sakit
Didaerah endemis, bila ditemukan adanya kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia,
limfedema di daerah ekstremitas disertai malaise, dan muntah-muntah. Reaksi
dengankelainan genital laki-laki pada penderita sistemik cenderung berhubungan
dengan usia lebih dari 15 tahun, bila tidak ada dengan intensitas infeksi.
sebablain seperti trauma atau gagal jantung b. Reaksi lokal berbentuk limfadenitis,
kongestif kemungkinan filariasis sangat tinggi. abses, dan transien limfedema. Reaksi
Diagnosis Banding lokal terjadi lebih lambat namun
berlangsung lebih lama dari reaksi
1. Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma
dapat mengacaukan adenolimfadenitis
sistemik. diulang 6 bulan kemudian.
c. Efek samping DEC lebih berat pada
penderita onchorcerciasis, Kriteria rujukan
sehinggaobat tersebut tidak Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan
diberikan dalam program pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan
masal didaerah endemis filariasis pengobatan konservatif.
dengan ko- endemis Onchorcercia
valvulus. Peralatan
7. Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/ Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
kgBB efektif terhadap penurunan derajat mikrofilaria.
mikrofilaria W. bancrofti, namun pada
filariasis oleh Brugia spp. penurunan Prognosis
tersebut bersifat gradual. Efek samping
ivermektin sama dengan DEC, Prognosis pada umumnya tidak mengancam
kontraindikasi ivermektin yaitu wanita jiwa. Quo ad fungsionam adalah dubia ad
hamil dan anak kurang dari 5 tahun. Karena bonam, sedangkan quo ad sanationam adalah
tidak memiliki efek terhadap cacing malam.
dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 Prognosis penyakit ini tergantung dari:
bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar
derajat mikrofilaremia tetap rendah. 1. Jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria
8. Pemberian antibiotik dan/ atau anti jamur dalam tubuh pasien.
akan mengurangi serangan berulang, 2. Potensi cacing untuk berkembang biak.
sehingga mencegah terjadinya limfedema 3. Kesempatan untuk infeksi ulang.
kronis. 4. Aktivitas RES.
9. Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis
untuk mengatasi efek samping pengobatan. baik terutama bila pasien pindah dari daerah
Analgetik dapat diberikan bila diperlukan. endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut
10. Pengobatan operatif, kadang-kadang dapat dilakukan dengan pemberian obat serta
hidrokel kronik memerlukan tindakan pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus
operatif, demikian pula pada chyluria yang lanjut terutama dengan edema pada tungkai,
tidak membaik dengan terapi konservatif. prognosis lebih buruk.
Konseling dan Edukasi Referensi
Memberikan informasi kepada pasien dan 1. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M.
keluarganya mengenai penyakit filariasis Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi, Brugria
terutama dampak akibat penyakit dan cara timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson
penularannya. Pasien dan keluarga juga harus Textbook of Pediatric.18thEd.2007: 1502-
memahami pencegahan dan pengendalian 1503. (Behrman, et al., 2007)
penyakit menular ini melalui: 2. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic
1. Pemberantasan nyamuk dewasa Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook
2. Pemberantasan jentik nyamuk of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108.
3. Mencegah gigitan nyamuk (Rudolph, et al., 2007)
3. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki,
Rencana Tindak Lanjut S.H.Hindra Irawan S. FilariasisdalamBuku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan
Setelah pengobatan, dilakukan kontrol
Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2010: 400-
ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila
masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada 407. (Sumarmo, et al.,2010)
pemeriksaan darahnya, pengobatan dapat
8.INFEKSI PADA UMBILIKUS
No. ICPC-2: A94 Perinatal morbidity other
No. ICD-10: P38 Omphalitis of newborn with or without mild haemorrhage
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Penunjang: -
Tali pusat biasanya lepas pada hari ke-7 setelah
Penegakan Diagnostik (Assessment)
lahir dan luka baru sembuh pada hari ke-15.
Infeksi pada tali pusat atau jaringan kulit di Diagnosis Klinis
sekitar perlu dikenali secara dini dalam rangka
mencegah sepsis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Adanya tanda-tanda
Hasil Anamnesis (Subjective) infeksi disekitar umblikus seperti bengkak,
kemerahan dan kekakuan. Pada keadaan
Keluhan
tertentu ada lesi berbentuk impetigo bullosa.
Panas, rewel, tidak mau menyusu. Faktor Risiko
Diagnosis Banding
1. Imunitas seluler dan humoral belum
1. Tali pusat normal dengan akumulasi cairan
sempurna
berbau busuk, tidak ada tanda tanda infeksi
2. Luka umbilikus
(pengobatan cukup dibersihkan dengan
3. Kulit tipis sehingga mudah lecet
alkohol)
Faktor Predisposisi 2. Granuloma-delayed epithelialization/
Granuloma keterlambatan proses epitelisasi
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang karena kauterisasi
tidak steril
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Necrotizing fasciitis dengan tanda-tanda:
edema, kulit tampak seperti jeruk (peau
Pemeriksaan Fisik d’orange appearance) disekitar tempat
1. Ada tanda tanda infeksi di sekitar tali pusat infeksi, progresivitas cepat dan dapat
seperti kemerahan, panas, bengkak, nyeri, menyebabkan kematian maka kemungkinan
dan mengeluarkan pus yang berbau busuk. menderita.
2. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas: bila 2. Peritonitis
kemerahan dan bengkak terbatas pada 3. Trombosis vena porta
daerah kurang dari 1cm di sekitar pangkal 4. Abses
tali pusat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Infeksi tali pusat berat atau meluas:
bila kemerahan atau bengkak pada tali Penatalaksanaan
pusat meluas melebihi area 1 cm atau
kulit di sekitar tali pusat bayi mengeras 1. Perawatan lokal
dan memerah serta bayi mengalami a. Pembersihan tali pusat dengan
pembengkakan perut. menggunakan larutan antiseptik
(Klorheksidin atau iodium povidon
4. Tanda sistemik: demam, takikardia,
2,5%) dengan kain kasa yang bersih
hipotensi, letargi, somnolen, ikterus
delapan kali sehari sampai tidak ada
nanah lagi pada tali pusat.
b. Setelah dibersihkan, tali pusat Kriteria Rujukan
dioleskan dengan salep antibiotik 3-4
kali sehari. 1. Bila intake tidak mencukupi dan anak
2. Perawatan sistemik. Bila tanpa gejala mulai tampak tanda dehidrasi
sistemik, pasien diberikan antibiotik seperti 2. Terdapat tanda komplikasi sepsis
kloksasilin oral selama lima hari. Bila Prognosis
anak tampak sakit, harus dicek dahulu ada
tidaknya tanda-tanda sepsis. Anak dapat Prognosis jika pasien tidak mengalami
diberikan antibiotik kombinasi dengan komplikasi umumnya dubia ad bonam.
aminoglikosida. Bila tidak ada perbaikan,
Referensi
pertimbangkan kemungkinan Meticillin
Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi
Tali Pusat dalam Panduan Manajemen
Kontrol kembali bila tidak ada perbaikan Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta.
atau ada perluasan tanda-tanda infeksi dan Departemen Kesehatan RI. (Ikatan Dokter
komplikasi seperti bayi panas, rewel dan mulai Anak Indonesia, 2003)
tak mau makan. 2. Peadiatrics Clerkship University. The
Rencana tindak lanjut: - University of Chicago.
9.KANDIDIASIS MULUT
No. ICPC-2: A78 Infectious desease other
No. ICD-10: B37.9 Candidiasis unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
2. Guam atau oral thrush yang diselaputi
Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, pseudomembran pada mukosa mulut.
mukosa maupun organ dalam, sedangkan
Pemeriksaan Penunjang
pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat
dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam
pelarut KOH 10% atau pewarnaan Gram.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan:
Diagnosis Klinis
Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa
metal, dan daya kecap penderita yang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
berkurang pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Faktor Risiko: imunodefisiensi Diagnosis Banding
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Peradangan mukosa mulut yang disebabkan
Sederhana (Objective) oleh bakteri atau virus.
Pemeriksaan Fisik Komplikasi
1. Bercak merah, dengan maserasi di daerah Diare karena kandidiasis saluran cerna.
sekitar mulut, di lipatan (intertriginosa)
disertai bercak merah yang terpisah di
sekitarnya (satelit).
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit
lainnya, seperti HIV.
1. Memperbaiki status gizi dan menjaga
kebersihan oral Peralatan
2. Kontrol penyakit predisposisinya
3. Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
larutan nistatin 100.000 – 200.000 IU/ml Prognosis
yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3
hari Prognosis pada pasien dengan imunokompeten
umumnya bonam.
Rencana Tindak Lanjut
Referensi
1. Dilakukan skrining pada keluarga dan
perbaikan lingkungan keluarga untuk 1. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007.
menjaga tetap bersih dan kering. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
2. Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari (Kementerian Kesehatan Republik
tidak ada perbaikan dengan obat anti jamur. Indonesia, 2007)
10. LEPRA
No. ICPC-2: A78 Infectious disease other/NOS No. ICD-10: A30 Leprosy (Hansen disease]
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
2. Kontak lama dengan pasien, seperti
Lepra adalah penyakit menular, menahun anggota keluarga yang didiagnosis dengan
dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae lepra
yang bersifat intraselular obligat. Penularan 3. Imunokompromais
kemungkinan terjadi melalui saluranpernapasan 4. Tinggal di daerah endemik lepra
atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terus menerus. Masa inkubasi rata-rata 2,5
Sederhana (Objective)
tahun, namun dapat juga bertahun-tahun.
Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective)
Tanda Patognomonis
Keluhan
1. Tanda-tanda pada kulit
Bercak kulit berwarna merah atau putih Perhatikan setiap bercak, bintil (nodul),
berbentuk plakat, terutama di wajah dan bercak berbentuk plakat dengan kulit
telinga. Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak
Lepuh pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan berkeringat dan berambut. Terdapat baal
kulit tidak sembuh dengan pengobatan rutin, pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan
terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi. suhu, vitiligo. Pada kulit dapat pula
ditemukan nodul.
Faktor Risiko
2. Tanda-tanda pada saraf
1. Sosial ekonomi rendah Penebalan nervus perifer, nyeri tekan
dan atau spontan pada saraf, kesemutan,
tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota
gerak, kelemahan anggota gerak dan atau
wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit
sembuh.
Kerusakan saraf tepi biasanya terjadi pada
saraf yang ditunjukkan pada gambar 1.4.
3. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi
Untuk kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik, simbol- simbol pada
gambar 1.5 digunakan dalam penulisan di
rekam medik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada
sediaan kerokan jaringan kulit.
Gambar 1.5 Penulisan kelainan pemeriksaan
fisik pada rekam medik
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu
dari tanda-tanda utama atau kardinal (cardinal
signs), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan
fungsi saraf
3. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam
kerokan jaringan kulit (slit skin smear)
Sebagian besar pasien lepra didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan klinis.
Gambar 1.4 Saraf tepi yang perlu diperiksa pada Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu
lepra/kusta Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB)
Tanda Utama PB MB
Bercak Kusta Jumlah 1-5 Jumlah >5
Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
dan/ atau kelemahan otot, di daerah yang dipersarafi saraf
yang bersangkutan)
Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif
Tabel 1.7 Tanda lain klasifikasi lepra
PB MB
Distribusi Unilateral atua bilateral Bilateral simetris
asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Kurang jelas
Deformias Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut
Ciri khas - Maradosis, hidung pelanam wajah singa
(facies leonina), ginekomastia pada pria
Bercak putih
1. Vitiligo
2. Pitiriasis versikolor
3. Pitiriasis alba
Nodul
1. Neurofibromatosis
2. Sarkoma Kaposi
3. Veruka vulgaris
Komplikasi
1. Arthritis.
2. Sepsis
3. Amiloid sekunder
4. Reaksi kusta adalah interupsi dengan
episode akut pada perjalanan yang
Gambar 1.6 : Alur diagnosis dan klasifikasi kusta sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi
Diagnosis Banding hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal)
atau hipersentitivitas humoral (tipe 2/
Bercak eritema eritema nodosum leprosum/ENL).
1. Psoriasis
2. Tinea circinata
3. Dermatitis seboroik
Tabel 1.8 Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2
Ringan
Air seni berwarna Rifampisin Reassurance (Menenangkan penderita
dengan penjelasan yang benar) Konseling
Perubahan warna kulit Clofazimin Konseling
menjadi coklat
Masalah gastrointestinal Semua obat (3 obat dalam Obat diminum bersamaan dengan
MDT) makanan (atau setelah makan)
Anemia Dapson Berikan tablet Fe dan Asam folat
Masalah Nama Obat Penanganan
Serius
Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan Dapson, Rujuk
Alergi urtikaria Dapson atau Rifampisin Hentikan keduanya, Rujuk
Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
ginjal
Masalah Kesehatan
2. Konsumsi daging/unggas yang kurang
Keracunan makanan merupakan suatu kondisi matang dapat dicurigai untuk Salmonella
gangguan pencernaan yang disebabkan spp, Campylobacter spp, toksin Shiga E coli,
oleh konsumsi makanan atau air yang dan Clostridium perfringens.
terkontaminasi dengan zat patogen dan atau
3. Konsumsi makanan laut mentah dapat
bahan kimia, misalnya Norovirus, Salmonella,
dicurigai untuk Norwalk- like virus, Vibrio
Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
spp, atau hepatitis A.
Staphylococcus aureus.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
Sederhana (Objective )
Keluhan
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Diare akut.
Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk
Pada keracunan makanan biasanya
menilai keparahan dehidrasi.
berlangsung kurang dari 2 minggu.
Darah atau lendir pada tinja; menunjukkan 1. Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda
invasi mukosa usus atau kolon. tekanan darah turun, nadi cepat, mulut
2. Nyeri perut. kering, penurunan keringat, dan penurunan
3. Nyeri kram otot perut; menunjukkan output urin.
hilangnya elektrolit yang mendasari, seperti
pada kolera yang berat. 2. Nyeri tekan perut, bising usus meningkat
4. Kembung. atau melemah.
Masalah Kesehatan
5. Hipersensitivitas susu sapi pada bayi
Makanan dapat menimbulkan beraneka ragam menyebabkan occult bleeding atau frank
gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap colitis.
alergen asal makanan. Reaksi tersebut dapat
disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Faktor Risiko
Reaksi alergi makanan terjadi bila alergen 1. Terdapat riwayat alergi di keluarga
makanan menembus sawar gastro intestinal
yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dalam beberapa menit sampai beberapa jam, Sederhana (Objective)
dapat terbatas pada satu atau beberapa organ, Pemeriksaan Fisik
kulit, saluran napas dan cerna, lokal dan
sistemik. Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta
paru.
Alergen makanan yang sering menimbulkan
alergi pada anak adalah susu,telur, kacang Pemeriksaan Penunjang: -
tanah, soya, terigu, dan ikan laut. Sedangkan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
yang sering menimbulkan alergi pada orang
dewasa adalah kacang tanah, ikan laut, udang, Diagnosis Klinis
kepiting, kerang, dan telur.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan
Alergi makanan tidak berlangsung seumur hidup pemeriksaan fisik
terutama pada anak. Gejala dapat hilang,
namun dapat kambuh pada keadaan tertentu Diagnosis Banding
seperti infeksi virus, nutrisi yang tidak seimbang 1. Intoksikasi makanan
atau cedera muskulus gastrointestinal.
Komplikasi
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Reaksi alergi berat
Keluhan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Pada kulit: eksim dan urtikaria.
2. Pada saluran pernapasan: rinitis dan asma. Penatalaksanaan
13. SYOK
No. ICPC-2: K99 Cardiovascular disease other
No. ICD-10: R57.9 Shock, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
hilangnya sirkulasi volume intravaskuler
Syok merupakan salah satu sindroma sebesar >20-25% sebagai akibat dari
kegawatan yang memerlukan penanganan perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan
intensif dan agresif. Syok adalah suatu cairan pada ruang ketiga atau akibat
sindroma multifaktorial yang menuju sekunder dilatasi arteri dan vena.
hipoperfusi jaringan lokal atau sistemis dan 2. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi
mengakibatkan hipoksia sel dan dan suplai oksigen disebabkan oleh adanya
disfungsimultipel organ. Kegagalan perfusi kerusakan primer fungsi atau kapasitas
jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigen pompa jantung untuk mencukupi
sistemik yang tidak adekuat tak mampu volume jantung semenit, berkaitan
memenuhi kebutuhan metabolisme sel. dengan terganggunya preload, afterload,
Karakteristik kondisi ini, yaitu: 1) kontraktilitas, frekuensi ataupun ritme
ketergantungan suplai oksigen, 2) kekurangan jantung. Penyebab terbanyak adalah
oksigen, 3) Asidosis jaringan sehingga terjadi infark miokard akut, keracunan obat,
metabolisme anaerob dan berakhir dengan infeksi/ inflamasi, gangguan mekanik.
kegagalan fungsi organ vital dan kematian. 3. Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan
suplai oksigen disebabkan oleh
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, menurunnya tonus vaskuler mengakibatkan
penyebab dan karakteristik pola hemodinamik vasodilatasi arterial, penumpukan vena dan
yang ditimbulkan, yaitu: redistribusi aliran darah. Penyebab dari
1. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi kondisi tersebut terutama komponen
dan suplai oksigen disebabkan oleh vasoaktif pada syok anafilaksis; bakteria
dan
toksinnya pada septik syok sebagai Syok obstruktif, tampak hampir sama dengan
mediator dari SIRS; hilangnya tonus vaskuler syok kardiogenik dan hipovolemik.
pada syok neurogenik.
4. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi Faktor Risiko: -
dan suplai oksigen berkaitan dengan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terganggunya mekanisme aliran balik Sederhana (Objective)
darah oleh karena meningkatnya tekanan
intratorakal atau terganggunya aliran keluar Pemeriksaan Fisik
arterial jantung (emboli pulmoner, emboli
Keadaan umum:
udara, diseksi aorta, hipertensi pulmoner,
tamponade perikardial, perikarditis 1. Hipotensi dan penyempitan tekanan
konstriktif) ataupun keduanya oleh karena denyutan (adalah tanda hilangnya cairan
obstruksi mekanis. yang berat dan syok).
5. Syok Endokrin, disebabkan oleh 2. Hipertermi, normotermi, atau hipotermi
hipotiroidisme, hipertiroidisme dengan dapat terjadi pada syok. Hipotermia adalah
kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal. tanda dari hipovolemia berat dan syok
Pengobatannya dengan tunjangan septik.
kardiovaskular sambil mengobati 3. Detak jantung naik, frekuensi nafas naik,
penyebabnya. Insufisiensi adrenal mungkin kesadaran turun.
kontributor terjadinya syok pada pasien 4. Produksi urin turun. Produksi urin
sakit gawat. Pasien yang tidak respon pada merupakan penunjuk awal hipovolemia dan
pengobatan harus tes untuk insufisiensi respon ginjal terhadap syok.
adrenal. 5. Gambaran klinis syok kardiogenik tampak
sama dengan gejala klinis syok hipovolemik,
Hasil Anamnesis (Subjective) ditambah dengan adanya disritmia, bising
Keluhan jantung, gallop.
6. Gejala klinis syok septik tak dapat
Pasien datang dengan lemas atau dapat tidak dilepaskan dari keadaan sepsis sendiri
sadarkan diri. berupa sindroma reaksi inflamasi sistemik
Gejala klinis juga tergantung etiologi (SIRS) dimana terdapat dua gejala atau
penyebabnya, yang sering terjadi adalah lebih:
tromboemboli paru, tamponade jantung, a. Temperatur > 380C atau < 360C.
obstruksi arterioventrikuler, tension b. Heart rate > 90x/mnt.
pneumotoraks. c. Frekuensi nafas > 20x/mn atau PaCO2 <
Untuk identifikasi penyebab, perlu ditanyakan 4,3 kPa.
faktor predisposisi seperti karena infark d. Leukosit >12.000 sel/mm atau
miokard antara lain: umur, diabetes melitus, <4000sel/ mm atau >10% bentuk
riwayat angina, gagal jantung kongestif, infark imatur.
anterior. Tanda awal iskemi jantung akut yaitu 7. Efek klinis syok anafilaktik mengenai
nyeri dada, sesak nafas, diaforesis, gelisah dan sistem pernafasan dan sistem sirkulasi,
ketakutan, nausea dan vomiting dan gangguan yaitu: Terjadi edema hipofaring dan laring,
sirkulasi lanjut menimbulkan berbagai disfungsi konstriksi bronkus dan bronkiolus, disertai
endorgan. Riwayat trauma untuk syok karena hipersekresi mukus, dimana semua keadaan
perdarahan atau syok neurogenik pada trauma ini menyebabkan spasme dan obstruksi
servikal atau high thoracic spinal cord injury. jalan nafas akut.
Demam dan riwayat infeksi untuk syok septik. 8. Syok neurogenik ditandai dengan hipotensi
Gejala klinis yang timbul setelah kontak dengan disertai bradikardi. Gangguan neurologis:
antigen pada syok anafilaktik. paralisis flasid, refleks ekstremitas hilang
dan priapismus.
9. Syok obstruktif, tampak hampir sama
dengan syok kardiogenik dan hipovolemik. Diagnosis awal etiologi syok adalah
Gejala klinis juga tergantung etiologi esensial, kemudian terapi selanjutnya
penyebabnya, yang sering terjadi adalah tergantung etiologinya.
tromboemboli paru, tamponade jantung,
obstruksi arterioventrikuler, tension 5. Tindakan invasif seperti intubasi
pneumothorax. Gejala ini akan berlanjut endotrakeal dan cricothyroidotomy atau
sebagai tanda-tanda akut kor pulmonal tracheostomy dapat dilakukan hanya
dan payah jantung kanan: pulsasi vena untuklife saving oleh dokter yang
jugularis, gallop, bising pulmonal, aritmia. kompeten.
Karakteristik manifestasi klinis tamponade Syok Hipovolemik:
jantung: suara jantung menjauh, pulsus
altemans, JVP selama inspirasi. Sedangkan 1. Infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume
emboli pulmonal: disritmia jantung, gagal intravaskuler melalui kanula vena besar
jantung kongesti. (dapat lebih satu tempat) atau melalui vena
sentral.
Pemeriksaan Penunjang
2. Pada perdarahan maka dapat diberikan 3-
1. Pulse oxymetri 4 kali dari jumlah perdarahan. Setelah
2. EKG pemberian 3 liter disusul dengan transfusi
Penegakan Diagnostik (Assessment) darah. Secara bersamaan sumber
perdarahan harus dikontrol.
Diagnosis Klinis
3. Resusitasi tidak komplit sampai serum
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, laktat kembali normal. Pasien syok
pemeriksaan fisik, dan penunjang. hipovolemik berat dengan resusitasi
cairan akan terjadi penumpukan cairan di
Diagnosis Banding:- rongga ketiga.
Komplikasi
4. Vasokonstriksi jarang diperlukan pada syok
Kerusakan otak, koma,kematian. hipovolemik murni.
2. Pada semua bentuk syok, manajemen jalan 3. Dekompressi jarum atau pipa thoracostomy
nafas dan pernafasan untuk memastikan atau keduanya pada tension
oksigenasi pasien baik, kemudian restorasi pneumothorax.
cepat dengan infus cairan.
4. Dukungan ventilasi dan jantung,
3. Pilihan pertama adalah kristaloid (Ringer mungkin trombolisis, dan mungkin
laktat/Ringer asetat) disusul darah pada prosedur radiologi intervensional untuk
syok perdarahan. Keadaan hipovolemi emboli paru.
diatasi dengan cairan koloid atau kristaloid
5. Abdominal compartment syndrome diatasi
sekaligus memperbaiki keadaan asidosis.
dengan laparotomi dekompresif.
4. Pengobatan syok sebelumnya didahului
Syok Kardiogenik:
dengan penegakan diagnosis etiologi.
1. Optimalkan pra-beban dengan infus cairan.
2. Optimalkan kontraktilitas jantung dengan sehingga dapat ditambahkan dopamin dan
inotropik sesuai keperluan, seimbangkan efedrin. Agen antimuskarinikatropin dan
kebutuhan oksigen jantung. Selain itu, glikopirolat juga dapat untuk mengatasi
dapat dipakai dobutamin atau obat bradikardi.
vasoaktif lain. 3. Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla
3. Sesuaikan pasca-beban untuk spinalis yang terkena.
memaksimalkan CO. Dapat dipakai Rencana Tindak Lanjut
vasokonstriktor bila pasien hipotensi
dengan SVR rendah. Pasien syok Mencari penyebab syok dan mencatatnya di
kardiogenik mungkin membutuhkan rekam medis serta memberitahukan kepada
vasodilatasi untuk menurunkan SVR, pasien dan keluarga untuk tindakan lebih lanjut
tahanan pada aliran darah dari jantung yang diperlukan.
yang lemah. Obat yang
Konseling dan Edukasi
dapat dipakai adalah nitroprusside dan
nitroglycerin. Keluarga perlu diberitahukan mengenai
kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada
4. Diberikan diuretik bila jantung
pasien dan pencegahan terjadinya kondisi
dekompensasi.
serupa.
5. PACdianjurkan dipasang untuk penunjuk
Kriteria Rujukan
terapi.
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien
6. Penyakit jantung yang mendasari harus
dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder.
diidentifikasi dan diobati.
Peralatan
Syok Distributif:
1. Infus set
1. Pada SIRS dan sepsis, bila terjadi syok ini
2. Oksigen
karena toksin atau mediator penyebab
3. NaCl 0,9%
vasodilatasi. Pengobatan berupa resusitasi
4. Senter
cairan segera dan setelah kondisi cairan
5. EKG
terkoreksi, dapat diberikan vasopresor
untuk mencapai MAP optimal. Sering terjadi Prognosis
vasopresor dimulai sebelum pra-beban
adekuat tercapai. Perfusi jaringan dan Prognosis suatu syok amat tergantung dari
oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali kecepatan diagnosa dan pengelolaannya
bila ada perbaikan pra-beban. sehingga pada umumnya adalah dubia ad
bonam.
2. Obat yang dapat dipakai adalah dopamin,
norepinefrin dan vasopresin. Referensi
Masalah Kesehatan
hidung tersumbat atau batuk saja yang
Anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
generalisata atau sistemik yang beronset
cepat, serius, dan mengancam. Jika reaksi Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang
paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik.
tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok
Walaupun gejala ini tidak mematikan namun
yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok
gejala ini amat penting untuk diperhatikan
anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat
sebab ini mungkin merupakan gejala
dan tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih
serta keterampilan dalam pengelolaan syok
berat berupa gangguan nafas dan gangguan
anafilaktik.
sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit
Insidens syok anafilaktik 40–60% adalah akibat berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai
gigitan serangga, 20– 40% akibat zat kontras untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih
radiografi, dan 10–20%akibat pemberian obat berat. Manifestasi dari gangguan
penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan gastrointestinal berupa perut
prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih kram,mual,muntah sampai diare yang juga
sangat kurang. Anafilaksis yang fatal hanya kira- dapat merupakan gejala prodromal untuk
kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
pertahun. Sebagian besar kasus yang serius
anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik Faktor Risiko: Riwayat Alergi
seperti penisilin dan bahan zat radiologis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Penisilin merupakan penyebab kematian 100 Sederhana (Objective)
dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.
Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pasien tampak sesak, frekuensi napas
Keluhan meningkat, sianosis karena edema laring dan
bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi
yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya
anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
takikardia, edema periorbital, mata berair,
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau
hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada
tingkat sensitivitas seseorang, namun pada
kulit berupa urtikaria dan eritema.
tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala
yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan Penegakan Diagnostik (Assessment)
gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut
dapat timbul bersamaan atau berurutan yang Diagnosis Klinis
kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa Untuk membantu menegakkan diagnosis
detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya maka World Allergy Organization telah
makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan membuat beberapa kriteria di mana reaksi
penderita. anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila:
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, 1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga
beberapa jam) yang melibatkan kulit, stroke)
jaringan mukosa, atau keduanya (misal: 2. Sindrom flush
urtikaria generalisata, pruritus dengan a. Perimenopause
kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/ b. Sindrom karsinoid
uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda c. Epilepsi otonomik
berikut ini: d. Karsinoma tiroid meduler
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, 3. Sindrom pasca-prandial
wheezing akibat bronkospasme, stridor, a. Scombroidosis, yaitu keracunan
penurunan arus puncak ekspirasi/APE, histamin dari ikan, misalnya tuna, yang
hipoksemia). disimpan pada suhu tinggi.
b. Penurunan tekanan darah atau gejala b. Sindrom alergi makanan berpolen,
yang berkaitan dengan kegagalan organ umumnya buah atau sayur yang
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, mengandung protein tanaman yang
sinkop, inkontinensia). bereaksi silang dengan alergen di udara
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut c. Monosodium glutamat atau Chinese
yang muncul segera (beberapa restaurant syndrome
menit hingga beberapa jam) setelah d. Sulfit
terpapar alergen yang mungkin (likely e. Keracunan makanan
allergen), yaitu: 4. Syok jenis lain
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit a. Hipovolemik
b. Gangguan respirasi b. Kardiogenik
c. Penurunan tekanan darah atau gejala c. Distributif
yang berkaitan dengan kegagalan organ d. Septik
target 5. Kelainan non-organik
d. Gejala gastrointestinal yang persisten a. Disfungsi pita suara
(misal: nyeri kram abdomen, muntah) b. Hiperventilasi
3. Atau, penurunan tekanan darah segera c. Episode psikosomatis
(beberapa menit atau jam) setelah terpapar 6. Peningkatan histamin endogen
alergen yang telah diketahui (known a. Mastositosis / kelainan klonal sel mast.
allergen), sesuai kriteria berikut: b. Leukemia basofilil
a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik 7. Lainnya
rendah (menurut umur) atau terjadi a. Angioedema non-alergik, misal:
penurunan > 30% dari tekanan darah angioedema herediter tipe I, II, atau III,
sistolik semula. angioedema terkait ACE-inhibitor)
b. Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 b. Systemic capillary leak syndrome
mmHg atau terjadi penurunan>30% c. Red man syndrome akibat vancomycin
dari tekanan darah sistolik semula. d. Respon paradoksikal pada
feokromositoma
Diagnosis Banding
Komplikasi
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut 1. Koma
b. Sinkop 2. Kematian
c. Gangguan cemas / serangan panik
d. Urtikaria akut generalisata Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
e. Aspirasi benda asing Penatalaksanaan
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark
miokard, emboli paru) 1. Posisi trendelenburg atau berbaring
g. Kelainan neurologis akut (kejang, dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan digunakan deksametason 5–10 mg IV atau
venous return sehingga tekanan darah ikut hidrokortison 100–250 mg IV.
meningkat. 7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP),
2. Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus seandainya terjadi henti jantung
dilakukan, pada keadaan yang sangat (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
ekstrim tindakan trakeostomi atau kardiopulmoner segera harus dilakukan
krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan. sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya.
3. Pemasangan infus, cairan plasma expander Mengingat kemungkinan terjadinya henti
(Dextran) merupakan pilihan utama guna jantung pada suatu syok anafilaktik selalu
dapat mengisi volume intravaskuler ada, maka sewajarnya di setiap ruang
secepatnya. Jika cairan tersebut tak praktek seorang dokter tersedia selain obat-
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis obat emergency, perangkat infus dan
dapat dipakai sebagai cairan pengganti. cairannya juga perangkat resusitasi
Pemberian cairan infus sebaiknya (Resuscitation kit) untuk memudahkan
dipertahankan sampai tekanan darah tindakan secepatnya.
kembali optimal dan stabil. 8. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi
4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : Anafilaksis (Lihat Penjelasan 1) Rencana
1000 diberikan secara intramuskuler yang Tindak Lanjut
dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan 9. Mencari penyebab reaksi anafilaktik
umumnya diperlukan, mengingat lama dan mencatatnya di rekam medis serta
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon memberitahukan kepada pasien dan
pemberian secara intramuskuler kurang keluarga.
efektif, dapat diberi secara intravenous
setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan Konseling dan Edukasi
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, Keluarga perlu diberitahukan mengenai
diberikan perlahan-lahan. Pemberian penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok obat yang telah dilaporkan bersifat antigen
anafilaktik karena efeknya lambat bahkan (serum,penisillin, anestesi lokal, dll) harus selalu
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik.
pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada
terjadi. riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-
5. Aminofilin, dapat diberikan dengan penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai
sangat hati-hati apabila bronkospasme lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang
belum hilang dengan pemberian adrenalin. sama bila sebelumnya pernah ada riwayat
250 mg aminofilin diberikan perlahan- alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
lahan selama 10 menit intravena. Dapat dengan preparat lain yang lebih aman.
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus
bila dianggap perlu. Kriteria Rujukan
6. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan
pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua penanganan yang dilakukan tidak terdapat
obat tersebut kurang manfaatnya pada perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan
setelah gejala klinik mulai membaik Peralatan
guna mencegah komplikasi selanjutnya
berupa serum sickness atau prolonged 1. Infus set
effect. Antihistamin yang biasa digunakan 2. Oksigen
adalah difenhidramin HCl 5–20 mg IV 3. Adrenalin ampul, aminofilin ampul,
dan untuk golongan kortikosteroid dapat difenhidramin vial, deksametason ampul
4. NaCl 0,9%
Prognosis 2. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute
allergic reactions. In:International edition
Prognosis suatu syok anafilaktik amat Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen.
tergantung dari kecepatan diagnosa dan Stapczynski. 5thEd. New York: McGrraw-Hill.
pengelolaannya karena itu umumnya adalah 2000: p. 242-6.
dubia ad bonam.
3. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi
Referensi dan penanganan dalam Update on Shock.
1. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Pertemuan Ilmiah Terpadu. Fakultas
Reactions. In:Text Book of Critical care. Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, 2000.
R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia:
WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.
Masalah Kesehatan
atau di bawah tulang iga)
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) 5. Kadang disertai juga dengan gejala lokal,
masih menjadi salah satu masalah kesehatan seperti: nyeri menelan, batuk, pilek.
masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden 6. Pada kondisi syok, anak merasa lemah,
penyakit DBD Indonesia merupakan yang gelisah, atau mengalami penurunan
tertinggi diantara negara-negara Asia Tenggara. kesadaran.
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan 7. Pada bayi, demam yang tinggi dapat
mencatat terdapat 103.649 penderita menimbulkan kejang.
dengan angka kematian mencapai 754 orang.
Faktor Risiko
Keterlibatan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama sangat dibutuhkan 1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik,
untuk menekan tingkat kejadian maupun misalnya: timbunan sampah, timbunan
mortalitas DBD. barang bekas, genangan air yang seringkali
disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari.
Hasil Anamnesis (Subjective)
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada
Keluhan genangan air di tempat tinggal pasien
sehari-hari.
1. Demam tinggi, mendadak, terus menerus 3. Adanya penderita demam berdarah
selama 2 – 7 hari. dengue (DBD) di sekitar pasien.
2. Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-
bintik merah di kulit, mimisan, gusi Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
berdarah, muntah berdarah, atau buang air sederhana (Objective)
besar berdarah.
Pemeriksaan Fisik
3. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital. Tanda patognomonik untuk demam dengue
4. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, 1. Suhu > 37,5 derajat celcius
muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati 2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa 5. Leukopenia < 4.000/mm3
4. Rumple Leed (+) 6. Trombositopenia < 100.000/mm3
Tanda Patognomonis untuk demam berdarah Apabila ditemukan gejala demam ditambah
dengue dengan adanya dua atau lebih tanda dan gejala
lain, diagnosis klinis demam dengue dapat
1. Suhu > 37,5 derajat celcius ditegakkan.
2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue
4. Rumple Leed (+)
5. Hepatomegali 1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak,
6. Splenomegali tinggi, terus-menerus (kontinua)
7. Untuk mengetahui terjadi kebocoran 2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang
plasma, diperiksa tanda- tanda efusi pleura spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
dan asites. epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis
dan atau melena; maupun berupa uji
8. Hematemesis atau melena
Tourniquette yang positif
Pemeriksaan Penunjang : 3. Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital
1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan: 4. Adanya kasus demam berdarah dengue
a. Trombositopenia (≤ 100.000/µL). baik di lingkungan sekolah, rumah atau di
b. Kebocoran plasma yang ditandai sekitar rumah
dengan: a. Hepatomegali
• peningkatan hematokrit (Ht) ≥ 20% b. Adanya kebocoran plasma yang
dari nilai standar data ditandai dengan salah satu:
• populasi menurut umur • Peningkatan nilai hematokrit, >20%
• Ditemukan adanya efusi pleura, dari pemeriksaan awal atau dari
asites data populasi menurut umur
• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia • Ditemukan adanya efusi pleura,
c. Leukopenia < 4000/μL. asites
2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG anti- • Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
Dengue, yang titernya dapat terdeteksi c. Trombositopenia <100.000/mm3
setelah hari ke-5 demam.
Adanya demam seperti di atas disertai
Penegakan Diagnosis (Assessment) dengan 2 atau lebih manifestasi klinis,
Diagnosis Klinis ditambah bukti perembesan plasma dan
trombositopenia cukup untuk menegakkan
Diagnosis Klinis Demam Dengue diagnosis Demam Berdarah Dengue.
1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, Tanda bahaya (warning signs) untuk
tinggi, terus-menerus, bifasik. mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang pada penderita Demam Berdarah Dengue.
spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis Klinis
dan atau melena; maupun berupa uji 1. Demam turun tetapi keadaan anak
tourniquet positif. memburuk
3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri 2. Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
retroorbital. 3. Muntah persisten Letargi, gelisah
4. Adanya kasus DBD baik di lingkungan Perdarahaan mukosa Pembesaran hati
sekolah, rumah atau di sekitar rumah. Akumulasi cairan Oliguria
Laboratorium Gambar 1.7, Alur penanganan pasien dengan
demam dengue/demam berdarah
1. Peningkatan kadar hematokrit bersamaan
dengan penurunan cepat jumlah trombosit
2. Hematokrit awal tinggi
Kriteria Diagnosis Laboratoris
Kriteria Diagnosis Laboratoris diperlukan
untuk survailans epidemiologi, terdiri atas:
Probable Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi
antidengue.
Confirmed Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat dengan deteksi genome virus Dengue
dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen dengue
pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan
serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari
negatif menjadi positif) pada pemeriksaan
serologi berpasangan.
Isolasi virus Dengue memberi nilai yang sangat
kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis, namun Konseling dan Edukasi
karena memerlukan teknologi yang canggih
1. Pinsip konseling pada demam berdarah
dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan dengue adalah memberikan pengertian
merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan. kepada pasien dan keluarganya tentang
Diagnosis Banding perjalanan penyakit dan tata laksananya,
sehingga pasien dapat mengerti bahwa
1. Demam karena infeksi virus (influenza, tidak ada obat/medika mentosa untuk
chikungunya, dan lain- lain) penanganan DBD, terapi hanya bersifat
2. Idiopathic thrombocytopenic purpura suportif dan mencegah perburukan
3. Demam tifoid penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai
dengan perjalanan alamiah penyakit.
Komplikasi 2. Modifikasi gaya hidup
a. Melakukan kegiatan 3M: menguras,
Dengue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, mengubur, menutup.
gagal ginjal, gagal hati b. Meningkatkan daya tahan tubuh
dengan mengkonsumsi makanan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) bergizi dan melakukan olahraga secara
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa rutin.
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai Sederhana (Objective)
penurunan jumlah massa eritrosit sehingga
Pemeriksaan Fisik
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah cukup ke 1. Gejala umum
jaringan perifer. Anemia merupakan masalah Pucat dapat terlihat pada: konjungtiva,
medik yang paling sering dijumpai di klinik di mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan
seluruh dunia. Diperkirakan >30% penduduk di bawah kuku.
dunia menderita anemia dan sebagian besar di 2. Gejala anemia defisiensi besi
daerah tropis. Oleh karena itu anemia seringkali a. Disfagia
tidak mendapat perhatian oleh para dokter di b. Atrofi papil lidah
klinik. c. Stomatitis angularis
d. Koilonikia
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
1. Pemeriksaan darah: hemoglobin (Hb),
Pasien datang ke dokter dengan keluhan: hematokrit (Ht), leukosit, trombosit, jumlah
eritrosit, morfologi darah tepi (apusan
1. Lemah darah tepi), MCV, MCH, MCHC, feses rutin,
2. Lesu dan urin rutin.
3. Letih 2. Pemeriksaan Khusus (dilakukan di layanan
4. Lelah sekunder) :Serum iron, TIBC, saturasi
5. Penglihatan berkunang-kunang transferin, dan feritin serum.
6. Pusing
7. Telinga berdenging Penegakan Diagnostik (Assessment)
8. Penurunan konsentrasi Diagnosis Klinis
9. Sesak nafas
Anemia adalah suatu sindrom yang dapat
Faktor Risiko disebabkan oleh penyakit dasar sehingga
penting menentukan penyakit dasar yang
1. Ibu hamil
menyebabkan anemia. Diagnosis ditegakkan
2. Remaja putri
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
3. Status gizi kurang
hasil pemeriksaan darah dengan kriteria Hb
4. Faktor ekonomi kurang
darah kurang dari kadar Hb normal.
5. Infeksi kronik
6. Vegetarian Nilai rujukan kadar hemoglobin normal menurut
WHO:
1. Laki-laki: >13 g/dL
2. Perempuan: >12 g/dL
3. Perempuan hamil: >11 g/dL
Diagnosis Banding <7 g/dL).
4. Anemia karena penyebab yang tidak
1. Anemia defisiensi vitamin B12 termasuk kompetensi dokter di layanan
2. Anemia aplastik tingkat pertama misalnya anemia
3. Anemia hemolitik aplastik, anemia hemolitik dan anemia
4. Anemia pada penyakit kronik megaloblastik.
Komplikasi 5. Jika didapatkan kegawatan (misal
perdarahan aktif atau distres pernafasan)
1. Penyakit jantung anemia pasien segera dirujuk.
2. Pada ibu hamil: BBLR dan IUFD
3. Pada anak: gangguan pertumbuhan dan Peralatan
perkembangan Pemeriksaan laboratorium sederhana (darah
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) rutin, urin rutin, feses rutin).
Penatalaksanaan Prognosis
Untuk penegakan diagnosis definitif anemia 1. 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L.
defisiensi besi memerlukan pemeriksaan Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
laboratorium di layananan sekunder dan of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan McGraw-Hill Companies. 2009. (Braunwald,
di layanan tingkat pertama. et al., 2009)
2. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Konseling dan Edukasi Simadibrata, M. Setiati, S. Eds. Buku ajar
1. 1. Memberikan pengertian kepada pasien ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
dan keluarga tentang perjalanan penyakit Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
dan tata laksananya, sehingga Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al.,
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan 2006)
dalam berobat serta meningkatkan kualitas 3. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien
hidup pasien. Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
2. Pasien diinformasikan mengenai efek Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
samping obat berupa mual, muntah, Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II.
heartburn, konstipasi, diare, serta BAB Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
kehitaman. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 632-
3. Bila terdapat efek samping obat maka 36. (Sudoyo, et al., 2006)
segera ke pelayanan kesehatan.
Kriteria Rujukan
1. Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb <8 g/
dL.
2. Anemia dengan gejala tanpa melihat kadar
Hb segera dirujuk.
3. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb
2.HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI
No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10: Z21 Asymptomatic Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
tajam yang tercemar HIV
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang 8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
mengancam Indonesia dan banyak negara di 9. Pasangan serodiskordan – salah satu
dunia serta menyebabkan krisis multidimensi. pasangan positif HIV
Berdasarkan hasil estimasi Departemen
Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
169.000-216.000 orang dengan HIV dan AIDS Sederhana (Objective)
di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan Pemeriksaan Fisik
WHO memperkirakan sekitar 4,9 juta orang
hidup dengan HIV di Asia. 1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
Hasil Anamnesis (Subjective)
b. Demam
Keluhan
2. Kulit
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV
gejala atau keluhan tertentu. Pasien datang misalnya kulit kering dan dermatitis
dapat dengan keluhan: seboroik
1. Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau b. Tanda-tanda herpes simpleks dan
intermiten lebih dari satu bulan. zoster atau jaringan parut bekas
herpes zoster
2. Diare yang terus menerus atau intermiten
lebih dari satu bulan. 3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan leukoplakia, keilitis angularis
(BB) >10% dari berat badan dasar.
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang infeksi paru
menyertainya. 6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau
Faktor Risiko massa
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks,
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan duh vagina atau uretra
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan 8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan
sesama laki-laki dan transgender neurologis
4. Hubungan seksual yang berisiko atau tidak Pemeriksaan Penunjang
aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit 1. Laboratorium
infeksi menular seksual (IMS)
a. Hitung jenis leukosit : Limfopenia dan
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat
jumlah total limfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yatu 1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT =
menggunakan 3 macam tes dengan Voluntary Counseling and Testing)
titik tangkap yang berbeda, umumnya 2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas
dengan ELISA dan dikonfirmasi Western kesehatan (TIPK – PITC = Provider-Initiated
Blot Testing and Counseling)
c. Pemeriksaan DPL Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Radiologi: X-ray torak. Sebelum melakukan Diagnosis Klinis
tes HIV perlu dilakukan konseling
sebelumnya. Terdapat dua macam Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pendekatan untuk tes HIV pemeriksaan fisik dan hasil tes HIV. Stadium
klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal
Konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan dan setiap kali kunjungan.
dua cara:
Stadium 1 Asimptomatik
1. Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya)
2. ISPA berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)
3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Keilitis angularis
5. Ulkus mulut yang berulang
6. Ruam kulit yang gatal (Papular pruritic eruption)
7. Dermatitis seboroik
8. Infeksi jamur pada kuku
1. Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (> 10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya)
2. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
3. Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
4. Kandidiasis pada mulut yang menetap
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberkulosis paru
7. Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang
atau sendi, bakteriemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, ginggivitis atau periodontitis
9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb <8g/dL), neutropeni (<0,5 x 10 g/L)
dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 g/L)
Stadium 4 Sakit Berat (AIDS)
Diagnosis Banding
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu
Penyakit gangguan sistem imun dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) HIV.
Penatalaksanaan 1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4. Penentuan
Tatalaksana HIV di layanan tingkat pertama mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian
dapat dimulai apabila penderita HIV sudah klinis.
dipastikan tidak memiliki komplikasi atau infeksi 2. Tersedia pemeriksaan CD4
oportunistik yang dapat memicu terjadinya a. Mulai terapi ARV pada semua pasien
sindrom pulih imun. Evaluasi ada tidaknya dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
infeksi oportunistik dapat dengan merujuk ke tanpa memandang stadium klinisnya.
layanan sekunder untuk pemeriksaan lebih b. Terapi ARV dianjurkan pada semua
lanjut karena gejala klinis infeksi pada penderita pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
HIV sering tidak spesifik. koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang
jumlah CD4.
Tabel. 2.3. Dosis antiretroviral untuk ODHA dewasa
Gologan/obat Dosis
Nucleoside RTI
Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari 40 mg setiap 12 jam
Stavudine (d4T) (30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg) 300 mg setiap 12 jam
Zidovudine (ZDV atau AZT)
Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari, (Catatan: interaksi obat dengan ddI perlu mengurangi
dosis ddI)
Non-nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari
Nevirapine(NVP) (Neviral®) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam
Protease inhibitors
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFV atau NVP)
ART kombinasi
AZT -3TC (Duviral ®) Diberikan 2x sehari dengan interval 12 jam
Pasien yang akan memulai terapi dengan 1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB,
infeksi menular seksual (IMS), dan
kelompok
risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, Prognosis
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. 2. Memberikan informasi kepada pasien Prognosis sangat tergantung kondisi pasien
dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat
Pasien disarankan untuk bergabung dengan ini adalah untuk memperpanjang masa hidup,
kelompok penanggulangan HIV/AIDS untuk belum merupakan terapi definitif, sehingga
menguatkan dirinya dalam menghadapi prognosis pada umumnya dubia ad malam.
pengobatan penyakitnya. Referensi
Kriteria Rujukan 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta:
serangkaian layanan yang meliputi Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan
penilaian stadium klinis, penilaian Republik Indonesia, 2011)
imunologis dan penilaian virologi. 2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia.
2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Peralatan PenyakitDalam. 4th Ed. Vol II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Layanan VCT Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30. (Sudoyo,
et al., 2006
Masalah Kesehatan
seringkali tidak terjadi saat bersamaan. Keluhan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) telah awal dapat berupa:
menjadi salah satu penyakit reumatik utama
1. Kelelahan
di dunia dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi
LES di berbagai negara sangat bervariasi 2. Nyeri sendi yang berpindah-pindah
antara 2,9/100.000-400/100.000 dan terutama 3. Rambut rontok
menyerang wanita usia reproduktif yaitu 15-40 4. Ruam pada wajah
tahun. Rasio wanita dibandingkan pria berkisar 5. Sakit kepala
antara (5,5-9):1. Berdasarkan penelitian di RS 6. Demam
Cipto Mangunkusumo Jakarta antara tahun 7. Ruam kulit setelah terpapar sinar matahari
1988-1990 insidensi rata-rata adalah 37,7 per 8. Gangguan kesadaran
10.000 perawatan. 9. Sesak
10. Edema anasarka
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan-keluhan tersebut akhirnya akan
Keluhan berkembang sesuai manifestasi organ yang
terlibat pada LES.
Manifestasi klinik LES sangat beragam dan
Faktor Risiko misalnya hipertensi, hematuria, edema
perifer, dan edema anasarka.
Pasien dengan gejala klinis yang mendukung 7. Manifestasi gastrointestinal umumnya
dan memiliki riwayat keluarga yang menderita merupakan keterlibatan berbagai organ
penyakit autoimun meningkatkan kecurigaan
dan akibat pengobatan, misalnya mual,
adanya LES. dispepsia, nyeri perut, dan disfagi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 8. Manifestasi neuropsikiatrik misalnya kejang
Sederhana (Objective) dan psikosis.
9. Manifestasi hematologi, misalnya leukopeni,
Pemeriksaan Fisik lymphopenia, anemia atau
Hampir seluruh sistem organ dapat terlibat trombositopenia.
dalam LES. Manifestasi yang umum didapatkan Pemeriksaan Penunjang
antara lain:
1. Laboratorium
1. 1. Gejala konstitusional, misalnya: a. Pemeriksaan DPL (darah perifer
kelelahan, demam (biasanya tidak disertai lengkap) dengan hitung diferensial
menggigil), penurunan berat badan, rambut dapat menunjukkan leukopeni,
rontok, bengkak, dan sakit kepala. trombositopeni, dan anemia.
2. Manifestasi muskuloskeletal dijumpai b. Pemeriksaan serum kreatinin
lebih dari 90%, misalnya: mialgia, artralgia menunjukkan peningkatan serum
atau artritis (tanpa bukti jelas inflamasi kreatinin.
sendi). c. Urinalisis menunjukkan adanya eritrosit
3. Manifestasi mukokutaneus, misalnya ruam dan proteinuria.
malar/ruam kupu-kupu, fotosensitifitas, 2. Radiologi
alopecia, dan ruam diskoid. X-ray Thoraks dapat menunjukkan adanya
4. Manifestasi paru, misalnya pneumonitis efusi pleura.
(sesak, batuk kering, ronkhi di basal),
emboli paru, hipertensi pulmonum, dan Penegakan Diagnosis (Assessment)
efusi pleura.
Diagnosis Klinis
5. Manifestasi kardiologi, misalnya
Pleuropericardial friction rubs, takipneu, Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan
murmur sistolik, gambaran perikarditis, gambaran klinik dan laboratorium. Berdasarkan
miokarditis dan penyakit jantung koroner. American College of Rheumatology (ACR) tahun
6. Manifestasi renal dijumpai pada 40-75% 1997, LES dapat ditegakkan bila didapatkan 4
penderita setelah 5 tahun menderita lupus, dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan
atau dengan tenggang waktu.
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat
nasolabial.
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran LES keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Foto sensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Kriteria Batasan
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Atritis non-erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan
efusi.
Pleuritis atau a. Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar
perikarditis oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura atau
b. Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pleuritic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
Gangguan renal a. Protein urin menetap >0,5 gram per hari atau >3+ atau
b. Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular
atau gabungan.
Gangguan a. Kejang- tanpa disebabkan obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya
neurologi uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit atau
b. Psikosis-tanpa disebabkan obat obatan atau gangguan metabolik,
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit.
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
hematologi b. Leukopenia- <4.000/mm pada dua kali pemeriksaan atau
c. Limfopenia- <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau3
d. Trombositopenia- <100.000/mm tanpa disebabkan obat-obatan.3
Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau
imunologik b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standar, atau
3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorbsi antibodi treponemal.
Antibodi Titer positif dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
antinuklear imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
positif (ANA) waktuperjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.
Diagnosis Banding
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Mixed connective tissue disease
Penatalaksanaan
2. Sindrom vaskulitis
Penatalaksanaan berupa terapi konservatif
Komplikasi
Pemberian analgetik sederhana atau obat
1. Anemia hemolitik
antiinflamasi non steroid, misalnya parasetamol
2. Trombosis 3-4 x 500-1000 mg, atau ibuprofen 400-800 mg
3. Lupus serebral 3-4 kali perhari, natrium diklofenak 2-3 x 25-
4. Nefritis lupus 50 mg/hari pada keluhan artritis, artralgia dan
mialgia.
5. Infeksi sekunder
Rencana Tindak Lanjut Peralatan
1. Segera dirujuk ke layanan sekunder untuk 1. Laboratorium untuk pemeriksaan DPL,
penegakan diagnosis pasti kecuali pada urinalisis, dan fungsi ginjal
lupus berat misalnya yang mengancam
nyawa dapat dirujuk ke layanan tersier 2. Radiologi: X-ray Thoraks
terdekat. Prognosis
2. Pemeriksaan laboratorium dan follow-
up secara berkelanjutan diperlukan untuk Prognosis pasien LES sangat bervariasi
memonitor respon atau efek samping bergantung pada keterlibatan organnya. Sekitar
terapi serta keterlibatan organ baru. 25% pasien dapat mengalami remisi selama
3. Keterlibatan berbagai organ pada LES beberapa tahun, tetapi hal ini jarang menetap.
memerlukan penanganan dari berbagai Prognosis buruk (50% mortalitas dalam 10
bidang misalnya spesialis reumatologi, tahun) terutama berkaitan dengan keterlibatan
neurologi, nefrologi, pulmonologi, ginjal. Penyebab utama mortalitas umumnya
kardiologi, dermatologi, serta hematologi. gagal ginjal, infeksi, serta tromboemboli.
Konseling dan edukasi diberikan oleh dokter 1. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya
setelah menerima rujukan balik dari layanan IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed). Panduan
sekunder Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat
1. Intervensi psikososial dan penyuluhan Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta.
langsung pada pasien dan keluarganya. 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008)
2. Menyarankan pasien untuk bergabung
dalam kelompok penyandang lupus 2. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B.
3. Pasien disarankan untuk tidak terlalu Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar Ilmu
banyak terpapar sinar matahari dan Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan
selalu menggunakan krem pelindung Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006.
sinar matahari, baju lengan panjang serta (Sudoyo, et al., 2006)
menggunakan payung. 3. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei
4. Pemantauan dan penjelasan mengenai T, Cheung CK (ed). Oxford handbook
efek penggunaan steroid jangka panjang of clinical medicine. 7th edition. Oxford
terhadap pasien. University Press. Oxford. 2008. hlm 540-
5. Pasien diberi edukasi agar berobat teratur 541. (Longmore, et al., 2008)
dan bila ada keluhan baru untuk segera
berobat. 4. Fauci AS (ed). Harrison’s Manual of
Medicine. 17th edition. McGraw Hill
Kriteria Rujukan Medical. USA. 2009. hlm 885-886.
1. Setiap pasien yang di diagnosis sebagai LES (Braunwald, et al., 2009)
atau curiga LES harus dirujuk ke dokter 5. Petri M, et al. derivation and validation
spesialis penyakit dalam atau spesialis of the Systemic Lupus International
anak untuk memastikan diagnosis Collborating Clinics classification criteria
2. Pada pasien LES manifestasi berat atau for systemic lupus eritematosus. Arthritis
mengancam nyawa perlu segera dirujuk and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86.
ke pelayanan kesehatan tersier bila (Petri, et al., 2012)
memungkinkan.
4.LIMFADENITIS
No ICPC-2: L04.9 Acute lymphadenitis, unspecified
No ICD-10: B70 Lymphadenitis Acute
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
kepada orang dengan infeksi saluran nafas
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau atas, faringitis oleh Streptococcus, atau
beberapa kelenjar getah bening. Limfadenitis Tuberkulosis turut membantu
bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai mengarahkan penyebab limfadenopati.
organisme, yaitu bakteri, virus, protozoa,
riketsia atau jamur. Secara khusus, infeksi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
menyebar ke kelenjar getah bening dari infeksi Sederhana (Objective)
kulit, telinga, hidung atau mata. Pemeriksaan Fisik
Bakteri Streptokokus, Stafilokokus, dan 1. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
Tuberkulosis adalah penyebab paling umum leher bagian posterior (belakang) terdapat
dari Limfadenitis, meskipun virus, protozoa, pada infeksi rubela dan mononukleosis.
riketsia, jamur juga dapat menginfeksi kelenjar Sedangkan pada pembesaran KGB oleh
getah bening. infeksi virus, umumnya bilateral (dua sisi-
Hasil Anamnesis (Subjective) kiri/kiri dan kanan) dengan ukuran normal
bila diameter 0,5cm, dan lipat paha bila
Keluhan: diameternya >1,5 cm dikatakan abnormal).
2. Nyeri tekan bila disebabkan oleh infeksi
a. Pembengkakan kelenjar getah bening bakteri
b. Demam 3. Kemerahan dan hangat pada perabaan
c. Kehilangan nafsu makan mengarah kepada infeksi bakteri sebagai
d. Keringat berlebihan, penyebabnya
e. Nadi cepat 4. Fluktuasi menandakan terjadinya abses
f. Kelemahan 5. Bila disebabkan keganasan tidak
g. Nyeri tenggorok dan batuk bila disebabkan ditemukan tanda-tanda peradangan tetapi
oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas. teraba keras dan tidak dapat digerakkan
h. Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit dari jaringan sekitarnya.
kolagen atau penyakit serum (serum 6. Pada infeksi oleh mikobakterium
sickness) pembesaran kelenjar berjalan mingguan-
Faktor Risiko: bulanan, walaupun dapat mendadak, KGB
menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya
1. Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang menjadi tipis, dan dapat pecah.
disebabkan oleh bakteri streptokokus, 7. Adanya tenggorokan yang merah, bercak-
infeksi gigi dan gusi yang disebabkan oleh bercak putih pada tonsil, bintik-bintik
bakteri anaerob. merah pada langit-langit mengarahkan
2. Riwayat perjalanan dan pekerjaan ke infeksi oleh bakteri streptokokus.
daerah endemis penyakit tertentu, 8. Adanya selaput pada dinding tenggorok,
misalnya perjalanan ke daerah-daerah tonsil, langit-langit yang sulit dilepas dan
Afrika dapat menunjukkan penyebab bila dilepas berdarah, pembengkakan
limfadenitis adalah penyakit pada jaringan lunak leher (bull neck)
Tripanosomiasis. Sedangkan pada orang mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri
yang bekerja di hutan Limfadenitis dapat Difteri.
terkena Tularemia. 9. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran
3. Paparan terhadap infeksi/kontak
sebelumnya
limpa mengarahkan kepada infeksi Epstein flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari.
Barr Virus. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik
10. Adanya radang pada selaput mata dan golongan penisilin dapat diberikan
bercak koplik mengarahkan kepada cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500
Campak. mg) tiga kali sehari atau eritromisin 15 mg/
11. Adanya bintik-bintik perdarahan (bintik kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.
merah yang tidak hilang dengan 6. Bila penyebabnya adalah Mycobacterium
penekanan), pucat, memar yang tidak jelas tuberculosis maka diberikan obat anti
penyebabnya, disertai pembesaran hati dan tuberculosis.
limpa mengarahkan kepada leukemia. 7. Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar
akan mengecil secara perlahan dan rasa
Pemeriksaan Penunjang sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar
1. Pemeriksaan skrining TB: BTA Sputum, LED, yang membesar tetap keras dan tidak lagi
Mantoux Test. terasa lunak pada perabaan.
2. Laboratorium: Darah perifer lengkap Konseling dan Edukasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Keluarga turut menjaga kesehatan dan
Diagnosis Klinis kebersihan sehingga mencegah terjadinya
berbagai infeksi dan penularan.
Limfadenititis ditegakkan berdasarkan 2. Keluarga turut mendukung dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. memotivasi pasien dalam pengobatan.
Diagnosis Banding Rencana follow up:
a. Mumps Pasien kontrol untuk mengevaluasi KGB dan
b. Kista Duktus Tiroglosus terapi yang diberikan. Kriteria rujukan
c. Kista Dermoid
d. Hemangioma 1. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6
minggu dirujuk untuk mencari penyebabnya
Komplikasi (indikasi untuk dilaksanakan biopsi kelenjar
getah bening).
a. Pembentukan abses 2. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda
b. Selulitis (infeksi kulit) dan gejala yang mengarahkan kepada
c. Sepsis (septikemia atau keracunan darah) keganasan, KGB yang menetap atau
d. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang bertambah besar dengan pengobatan
disebabkan oleh TBC) yang tepat, atau diagnosis belum dapat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) ditegakkan.
Penatalaksanaan Peralatan
Pemeriksaan fisik
4. Demam
1. Tanda anemia (warna kulit, mukosa 5. Pembesaran kelenjar limfe servikal
konjungtiva) 6. Tanda-tanda penyakit imunodefisiensi yang
2. Pemeriksaan abdomen (distensi, mendasari
hipertimpani, nyeri tekan)
Pemeriksaan penunjang
3. Tanda dehidrasi akibat diare berulang
Tidak mutlak dantidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan,
antara lain: Penegakan Diagnosis (Assessment)
1. Darah perifer lengkap Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
2. MCV, MCH, dan MCHC
Diagnosis SAR dapat ditegakkan melalui
Stomatitis Herpes anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dokter perlu
mempertimbangkan kemungkinan adanya
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
penyakit sistemik yang mendasari.
1. Lesi berupa vesikel, berbentuk seperti
kubah, berbatas tegas, berukuran 2 – 3 mm, Diagnosis Banding
biasanya multipel, dan beberapa lesi dapat 1. Herpes simpleks
bergabung satu sama lain. 2. Sindrom Behcet
2. Lokasi lesi dapat di bibir (herpes labialis) sisi 3. Hand, foot, and mouth disease
luar dan dalam, lidah, gingiva, palatum, 4. Liken planus
atau bukal. 5. Manifestasi oral dari penyakit autoimun
3. Mukosa sekitar lesi edematosa dan (pemfigus, SLE, Crohn)
hiperemis. 6. Kanker mulut
Stomatitis Herpes g. Limfadenopati, Hepatomegali,
Splenomegali
Diagnosis stomatitis herpes dapat ditegakkan 2. Gejala dan tanda yang tidak khas, misalnya:
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. a. Onset pada usia dewasa akhir atau
Diagnosis banding: lanjut
b. Perburukan dari aftosa
1. SAR tipe herpetiform c. Lesi yang amat parah
2. SAR minor multipel d. Tidak adanya perbaikan dengan
3. Herpes zoster tatalaksana kortikosteroid topikal
4. Sindrom Behcet 3. Adanya lesi lain pada rongga mulut, seperti:
5. Hand, foot, and mouth disease a. Kandidiasis
6. Manifestasi oral dari penyakit autoimun b. Glositis
(pemfigus, SLE, Crohn) c. Perdarahan, bengkak, atau nekrosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) pada gingiva
d. Leukoplakia
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) e. Sarkoma Kaposi
Pengobatan yang dapat diberikan untuk Stomatitis Herpes
mengatasi SAR adalah:
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Larutan kumur chlorhexidine 0,2% untuk
membersihkan rongga mulut. Penggunaan 1. Untuk mengurangi rasa nyeri, dapat
sebanyak 3 kali setelah makan, masing- diberikan analgetik seperti Parasetamol
masing selama 1 menit. atau Ibuprofen. Larutan kumur
2. Kortikosteroid topikal, seperti krim chlorhexidine 0,2% juga memberi efek
triamcinolone acetonide 0,1% in ora base anestetik sehingga dapat membantu.
sebanyak 2 kali sehari setelah makan dan 2. Pilihan antivirus yang dapat diberikan,
membersihkan rongga mulut. antara lain:
2.REFLUKSGASTROESOFAGEAL
No ICPC-2: D84 Oesphagus disease
No ICD-10: K21.9Gastro-oesophageal reflux disease without oesophagitis
Tingkat Kemampuan 4A
3.GASTRITIS
No ICPC-2: D07 Dyspepsia/indigestion
No ICD-10: K29.7 Gastritis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan Sederhana (Objective)
mukosa dan submukosa lambung sebagai
mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat Pemeriksaan Fisik Patognomonis
akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses 1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus
inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau meningkat.
lokal.
2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat
Hasil Anamnesis (Subjective) ditemukan pendarahan saluran cerna
Keluhan berupa hematemesis dan melena.
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan 3. Biasanya pada pasien dengan gastritis
panas seperti terbakar pada perut bagian atas. kronis, konjungtiva tampak anemis.
Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti Pemeriksaan Penunjang
dengan makan, mual, muntah dan kembung.
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis
Faktor Risiko dengan melakukan pemeriksaan:
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan 1. Darah rutin.
terlambat, jenis makanan pedas, porsi
makan yang besar 2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter
2. Sering minum kopi dan teh pylori: pemeriksaan Ureabreath test dan
feses. Rontgen dengan barium enema
3. Infeksi bakteri atau parasit
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid 3. Endoskopi
5. Usia lanjut
Penegakan Diagnosis (Assessment)
6. Alkoholisme
7. Stress Diagnosis Klinis
8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis definitif
Chron disease dilakukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi
1. Kolesistitis Menginformasikan kepada pasien untuk
2. Kolelitiasis menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara
3. Chron disease lain dengan makan tepat waktu, makan sering
4. Kanker lambung dengan porsi kecil dan hindari dari makanan yang
5. Gastroenteritis meningkatkan asam lambung atau perut kembung
6. Limfoma seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.
7. Ulkus peptikum Kriteria rujukan
8. Sarkoidosis
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.
9. GERD
2. Terjadi komplikasi.
Komplikasi 3. terdapat alarm symptoms
1. Pendarahan saluran cerna bagian atas Peralatan
2. Ulkus peptikum -
3. Perforasi lambung
Prognosis
4. Anemia
Prognosis sangat tergantung pada kondisi
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) pasien saat datang, komplikasi, dan
pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis
Penatalaksanaan adalah bonam, namun dapat terjadi berulang
bila pola hidup tidak berubah.
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara
lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/ Referensi
kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800 1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Simadibrata, M.Setiati,S. eds. Buku ajar ilmu
Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
x 500-1000 mg/hari. Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
4.INTOLERANSI MAKANAN
No. ICPC-2: D29 Digestive syndrome/complaint other No. ICD-10: K90.4 Malabsorption due to intolerance
Tingkat Kemampuan 4A
5.MALABSORBSI MAKANAN
No. ICPC-2: D29 Digestive syndrome/complaint other
No. ICD-10: K90.9 Intestinal malabsorbtion, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Berbagai hal dan keadaan dapat menyebabkan
Malabsorbsi adalah suatu keadaan terdapatnya malabsorbsi dan maldigesti pada seseorang.
gangguan pada proses absorbsi dan digesti Malabsorbsi dan maldigesti dapat disebabkan
secara normal pada satu atau lebih zat gizi. oleh karena defisiensi enzim atau adanya
Pada umumnya pasien datang dengan diare gangguan pada mukosa usus tempat absorbsi
sehingga kadang sulit membedakan apakah dan digesti zat tersebut.
diare disebabkan oleh malabsorbsi atau sebab
lain. Selain itu kadang penyebab dari diare Hasil Anamnesis (Subjective)
tersebut tumpang tindih antara satu sebab Keluhan
dengan sebab lain termasuk yang disebabkan
oleh malabsorbsi. Pasien dengan malabsorbsi biasanya datang
dengan keluhan diare kronis, biasanya bentuk Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
feses cair mengingat gangguan pada usus halus
tidak ada zat nutrisi yang terabsorbsi sehingga Penatalaksanaan
feses tak berbentuk. Jika masalah pasienkarena Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit
malabsorbsi lemak maka pasien akan mengeluh dalam untuk mencari penyebab malabsorbsi
fesesnya berminyak (steatore). kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.
Anamnesis yang tepat tentang kemungkinan 1. Tatalaksana tergantung dari penyebab
penyebab dan perjalanan penyakit merupakan malabsorbsi
hal yang penting untuk menentukan apa terjadi 2. Pembatasan nutrisi tertentu
malabsorbsi. 3. Suplemen vitamin dan mineral
Faktor Risiko: - 4. Suplemen enzim pencernaan
5. Tata laksana farmakologi: Antibiotik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang diberikan jika malabsorbsi disebakan oleh
Sederhana (Objective) overgrowth bakteri enterotoksigenik: E.
colli,
Pemeriksaan Fisik K. Pneumoniae dan Enterrobacter cloacae.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda Rencana Tindak Lanjut
anemia (karena defisiensi besi, asam folat, dan
B12): konjungtiva anemis, kulit pucat, status Perlu dipantau keberhasilan diet atau terapi
gizi kurang. Dicari tanda dan gejala spesifik yang diberikan kepada pasien.
tergantung dari penyebabnya.
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang
Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut
1. Darah perifer lengkap: anemia mikrositik membantu dalam hal pembatasan nutrisi
hipokrom karena defisiensi besi atau tertentu pada pasien dan mengamati keadaaan
anemia makrositik karena defisiensi asam pasien selama pengobatan.
folat dan vitamin B12.
2. Radiologi: foto polos abdomen Kriteria Rujukan
Masalah Kesehatan
2. Higiene makanan dan minuman yang
Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini dengan air yang terkontaminasi, sayuran
erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi yang dipupuk dengan tinja manusia,
dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di makanan yang tercemar debu atau sampah
Indonesia bersifat endemik dan merupakan atau dihinggapi lalat.
masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah 3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
kasus di rumah sakit besar di Indonesia, 4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar
tersangka demam tifoid menunjukkan tempat tinggal sehari- hari.
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun 5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 6. Kondisi imunodefisiensi.
penduduk dan angka kematian antara 0.6–5%
(KMK, 2006). Selain tingkat insiden yang tinggi, Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
demam tifoid terkait dengan berbagai aspek Sederhana (Objective)
permasalahan lain, misalnya: akurasi diagnosis, Pemeriksaan Fisik
resistensi antibiotik dan masih rendahnya
cakupan vaksinasi demam tifoid. 1. Keadaan umum biasanya tampak sakit
sedang atau sakit berat.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Kesadaran: dapat compos mentis atau
penurunan kesadaran (mulai dari yang
Keluhan
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga
1. Demam turun naik terutama sore dan yang berat misalnya delirium atau koma)
malam hari dengan pola intermiten dan 3. Demam, suhu > 37,5oC.
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi 4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu
dapat terjadi terus menerus (demam penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
kontinu) hingga minggu kedua. denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering 5. Ikterus
dirasakan di area frontal 6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor
3. Gangguan gastrointestinal berupa lidah, halitosis
konstipasi dan meteorismus atau diare, 7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama
mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB regio epigastrik), hepatosplenomegali
berdarah 8. Delirium pada kasus yang berat
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan
pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai 1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi
penurunan kesadaran atau kejang. berupa apatis dengan kesadaran seperti
berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat
Faktor Risiko
menjadi somnolen dan koma atau dengan
1. Higiene personal yang kurang baik, gejala-gejala psikosis (organic brain
terutama jarang mencuci tangan. syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala
delirium lebih menonjol. lanjut penyakit, untuk mendeteksi
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut carriertyphoid
abdomen 4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai
indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar
Pemeriksaan Penunjang lipase dan amilase
1. Darah perifer lengkap beserta hitung Penegakan Diagnosis (Assessment)
jenis leukosis dapat menunjukkan:
leukopenia/ leukositosis/ jumlah leukosit Suspek demam tifoid (Suspect case)
normal, limfositosis relatif, monositosis,
trombositopenia (biasanya ringan), anemia. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Serologi didapatkan gejala demam, gangguan saluran
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi cerna dan petanda gangguan kesadaran.
(Tubex- TF)® Hanya dapat mendeteksi Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada
antibody IgM Salmonella typhi. Dapat fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
dilakukan pada 4-5 hari pertama Demam tifoid klinis (Probable case)
demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®) Suspek demam tifoid didukung dengan
1) Dapat mendeteksi IgM dan IgG gambaran laboratorium yang menunjukkan
Salmonella typhi tifoid.
2) Dapat dilakukan pada 4-5 hari Diagnosis Banding
pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi Demam berdarah dengue, Malaria,
Dilakukan setelah demam berlangsung 7 Leptospirosis, infeksi saluran kemih, Hepatitis A,
hari. sepsis, Tuberkulosis milier, endokarditis infektif,
Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin demam rematik akut, abses dalam, demam
O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan yang berhubungan dengan infeksi HIV.
titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan
Komplikasi
ulang dengan interval 5 – 7 hari.
Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga
terjadi oleh karena reaksi silang dengan demam. Komplikasi antara lain perdarahan,
non- typhoidal Salmonella, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi
enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi organ lain.
dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid
dan preparat antigen komersial yang 1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Penderita dengan sindrom demam tifoid
Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak dengan panas tinggi yang disertai dengan
direkomendasi jika hanya dari 1 kali kekacauan mental hebat, kesadaran
pemeriksaan serum akut karena terjadinya menurun, mulai dari delirium sampai koma.
positif palsu tinggi yang dapat 2. Syok septik
mengakibatkan over-diagnosis dan over- Penderita dengan demam tifoid, panas
treatment. tinggi serta gejala-gejala toksemia yang
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard) berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan
Dapat dilakukan pada spesimen: hemodinamik seperti tekanan darah turun,
a. Darah : Pada minggu pertama sampai nadi halus dan cepat, keringat dingin dan
akhir minggu ke-2 sakit, saat demam akral dingin.
tinggi 2. Perdarahan dan perforasi intestinal
b. Feses : Pada minggu kedua sakit (peritonitis)
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga Komplikasi perdarahan ditandai
sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium
denganhematoschezia. Dapat juga diketahui yang dapat diberikan secara oral
dengan pemeriksaan feses (occult blood maupun parenteral.
test). Komplikasi ini ditandai dengan gejala c. Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak,
akut abdomen dan peritonitis. Pada foto cukup kalori dan protein, rendah serat.
polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan d. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan
klinis bedah didapatkan gas bebas dalam tuntas
rongga perut. e. Kontrol dan monitor tanda vital
3. Hepatitis tifosa (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kemudian dicatat dengan baik di rekam
kelainan tes fungsi hati. medik pasien
4. Pankreatitis tifosa 2. Terapi simptomatik untuk menurunkan
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan demam (antipiretik) dan mengurangi
peningkatan enzim lipase dan amilase. keluhan gastrointestinal.
Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau 3. Terapi definitif dengan pemberian
CT Scan. antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk
5. Pneumonia demam tifoid adalah Kloramfenikol,
Didapatkan tanda pneumonia yang Ampisilin atau Amoksisilin (aman
diagnosisnya dibantu dengan foto polos untuk penderita yang sedang hamil),
toraks atau Trimetroprim-sulfametoxazole
(Kotrimoksazol).
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini
Penatalaksanaan pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan: lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim,
a. Istirahat tirah baring dan mengatur Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak
tahapan mobilisasi <18 tahun karena dinilai mengganggu
b. Menjaga kecukupan asupan cairan, pertumbuhan tulang).
Masalah Kesehatan
Setiap kali diare, BAB dapat menghasilkan
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa volume yang besar (asal dari usus kecil) atau
lambung dan usus halus yang ditandai dengan volume yang kecil (asal dari usus besar). Bila
diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam diare disertai demam maka diduga erat terjadi
waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut infeksi.
kronis. WHO (World Health Organization)
mendefinisikan diare akut sebagai diare yang Bila terjadinya diare didahului oleh makan atau
biasanya berlangsung selama 3-7 hari tetapi minum dari sumber yang kurang higienenya,
dapat pula berlangsung sampai 14 hari. Diare GE dapat disebabkan oleh infeksi. Riwayat
persisten adalah episode diare yang bepergian ke daerah dengan wabah diare,
diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan riwayat intoleransi laktosa (terutama pada
mulainya sebagai diare akut tetapi berakhir bayi), konsumsi makanan iritatif, minum jamu,
lebih dari 14 hari, serta kondisi ini diet cola, atau makan obat-obatan seperti
menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi laksatif, magnesium hidroklorida, magnesium
menyebabkan kematian sitrat, obat jantung quinidine, obat gout
(kolkisin), diuretika (furosemid, tiazid), toksin
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak- (arsenik, organofosfat), insektisida, kafein, metil
anak karena daya tahan tubuh yang belum xantine, agen endokrin (preparat pengantian
optimal. Diare merupakan salah satu penyebab tiroid), misoprostol, mesalamin,
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi antikolinesterase dan obat-obat diet perlu
pada anak di bawah umur lima tahun di seluruh diketahui.
dunia, yaitu mencapai 1 milyar kesakitan
dan 3 juta kematian per tahun. Penyebab Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS)
gastroenteritis antara lain infeksi, malabsorbsi, dan demam tifoid perlu diidentifikasi.
keracunan atau alergi makanan dan psikologis Pada pasien anak ditanyakan secara jelas gejala
penderita. diare:
Infeksi yang menyebabkan GE akibat 1. Perjalanan penyakit diare yaitu lamanya
Entamoeba histolytica disebut disentri, bila diare berlangsung, kapan diare muncul
disebabkan oleh Giardia lamblia disebut (saat neonatus, bayi, atau anak-anak)
giardiasis, sedangkan bila disebabkan oleh untuk mengetahui, apakah termasuk diare
Vibrio cholera disebut kolera. kongenital atau didapat, frekuensi BAB,
konsistensi dari feses, ada tidaknya darah
Hasil Anamnesis (Subjective)
dalam tinja
Keluhan 2. Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare
3. Gejala penyerta: sakit perut, kembung,
Pasien datang ke dokter karena buang air besar banyak gas, gagal tumbuh.
(BAB) lembek atau cair, dapat bercampur darah 4. Riwayat bepergian, tinggal di tempat
atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih penitipan anak merupakan risiko
dalam waktu 24 jam. Dapat disertai rasa tidak untukdiare infeksi.
nyaman di perut (nyeri atau kembung), mual
dan muntah serta tenesmus.
Faktor Risiko lainnya: ubun- ubun besar cekung atau
tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau
1. Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan
yang kurang. lidah kering atau basah.
2. Riwayat intoleransi laktosa, riwayat alergi
3. Pernapasan yang cepat indikasi adanya
obat.
asidosis metabolik.
3. Infeksi HIV atau infeksi menular seksual. 4. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang terdapat hipokalemia.
sederhana (Objective) 5. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary refill dapat
Pemeriksaan Fisik menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.
1. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: 6. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi
berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut dapat ditentukan dengan cara: obyektif
jantung dan pernapasan serta tekanan yaitu dengan membandingkan berat badan
darah. sebelum dan selama diare. Subyektif
2. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: dengan menggunakan kriteria. Pada anak
kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit menggunakan kriteria WHO 1995.
abdomen dan tanda-tanda tambahan
Metode Pierce
Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg)
Tabel 3.4 Skor penilaian klinis dehidrasi
Klinis
Rasa baqusl muntah Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg T ekanan darah sistolik <60 mm}-lg
Frekuensi nadi > 120 x/mcnit Kesadaran apati
Kesadaran somnolen, spoor atau koma.
Frekuensi napas > 30x/ menit Facics Cholerica
Vox Cholerica Turgor lculjt menurun Washer woman’s hand
Ekstremitas dingin Sianosis
Umur 50 - 60 tahun Umur > 60 lahun
Penilaian A B C
Lihat :
Keadaan Umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai, atau tidak
sadar
Rasa haus Minum biasa, *Haus, ingin minum *Malas minum atau tidak
tidak haus banyak bisa minum
Periksa turgor kulit Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat lambat
Masalah Kesehatan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya
Diagnosis Klinis
dan seringkali menyebabkan kematian
dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri
disentri basiler yang disebabkan oleh 1. Diagnosis Banding
shigellosis dan amoeba (disentri amoeba). 2. Infeksi Eschericiae coli
3. Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive
Hasil Anamnesis (Subjective)
(EIEC)
Keluhan 4. Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik
(EHEC)
1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan
buang air besar encer secara terus menerus Komplikasi
bercampur lendir dan darah
1. Haemolytic uremic syndrome (HUS)
2. Muntah-muntah
2. Hiponatremia berat
3. Sakit kepala
3. Hipoglikemia berat
4. Bentuk yang berat (fulminating cases)
4. Komplikasi intestinal seperti toksik
biasanya disebabkan oleh S. dysentriae
megakolon, prolaps rektal, peritonitis dan
dengan gejalanya timbul mendadak dan
perforasi
berat, dan dapat meninggal bila tidak cepat
ditolong. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Faktor Risiko Penatalaksanaan
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang 1. Mencegah terjadinya dehidrasi
kurang. 2. Tirah baring
3. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral
Sederhana (Objective)
4. Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat
Pemeriksaan Fisik diberikan cairan melalui infus
5. Diet, diberikan makanan lunak sampai
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari,
1. Febris kemudian diberikan makanan ringan biasa
2. Nyeri perut pada penekanan di bagian bila ada kemajuan.
sebelah kiri 6. Farmakologis:
3. Terdapat tanda-tanda dehidrasi a. Menurut pedoman WHO, bila telah
4. Tenesmus terdiagnosis shigelosis pasien diobati
dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari
Pemeriksaan Penunjang pengobatan menunjukkan perbaikan,
terapi diteruskan selama 5 hari. Bila
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap
tidak ada perbaikan, antibiotik diganti
kuman penyebab.
dengan jenis yang lain.
b. Pemakaian jangka pendek dengan
dosis tunggal Fluorokuinolon Kriteria Rujukan
seperti Siprofloksasin atau makrolid
Azithromisin ternyata berhasil baik Pada pasien dengan kasus berat perlu dirawat
untuk pengobatan disentri basiler. intensif dan konsultasi ke pelayanan kesehatan
Dosis Siprofloksasin yang dipakai sekunder (spesialis penyakit dalam).
adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari Peralatan
sedangkan Azithromisin diberikan 1
gram dosis tunggal dan Sefiksim 400 Laboratorium untuk pemeriksaan tinja
mg/hari selama 5 hari. Pemberian
Prognosis
Siprofloksasin merupakan
kontraindikasi terhadap anak-anak dan Prognosis sangat tergantung pada kondisi
wanita hamil. pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
c. Di negara-negara berkembang di dan pengobatannya. Pada umumnya prognosis
mana terdapat kuman S.dysentriae dubia ad bonam.
tipe 1 yang multiresisten terhadap
obat- obat, diberikan asam nalidiksik Referensi
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 1. Sya’roni Akmal. Buku Ajar Ilmu
hari. Tidak ada antibiotik yang Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4.
dianjurkan dalam pengobatan stadium Jakarta: FK UI.2006. Hal 1839-41.
karier disentribasiler. 2. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu
d. Untuk disentri amuba diberikan Penyakit Dalam Edisi III. Jakarta:
antibiotik Metronidazol 500mg 3x FKUI.2006.
sehari selama 3-5 hari 3. Kroser, AJ. Shigellosis. 2007. Diakses dari
www.emedicine.com/med/topic2112.htm.
Rencana Tindak Lanjut
Pasien perlu dilihat perkembangan penyakitnya
karena memerlukan waktu penyembuhan yang
lama berdasarkan berat ringannya penyakit.
Konseling dan Edukasi
1. Penularan disentri amuba dan basiler dapat
dicegah dan dikurangi dengan kondisi
lingkungan dan diri yang bersih seperti
membersihkan tangan dengan sabun,
suplai air yang tidak terkontaminasi serta
penggunaan jamban yang bersih.
2. Keluarga ikut berperan dalam mencegah
penularan dengan kondisi lingkungan
dan diri yang bersih seperti membersihkan
tangan dengan sabun, suplai air yang tidak
terkontaminasi, penggunaan jamban yang
bersih.
3. Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan
makanan lunak sampai frekuensi BAB
kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan
makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
9.PERDARAHAN GASTROINTESTINAL
No. ICPC-2: D14 Haematemesis/vomiting blood
D15 Melaena
D16 Rectal Bleeling
No. ICD-10 : K92.2 Gastrointestinal haemorrhage, unspecified
K62.5 Haemorrhage of anus and rectum
Tingkat Kemampuan 3B
a.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik,
alkohol, jamu- jamuan, obat untuk penyakit
Masalah Kesehatan jantung, obat stroke, riwayat penyakit ginjal,
riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan
Manifestasi perdarahan saluran cerna
ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah
bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang
sebelum terjadinya hematemesis sangat
mengancam jiwa hingga perdarahan samar
mendukung kemungkinan adanya sindroma
yang tidak dirasakan. Hematemesis
Mallory Weiss.
menunjukkan perdarahan dari saluran cerna
bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz. Faktor Risiko
Melena biasanya akibat perdarahan saluran
cerna bagian atas, meskipun demikian Konsumsi obat-obat NSAID
perdarahan dari usus halus atau kolon bagian Faktor Predisposisi
kanan, juga dapat menimbulkan melena.
Riwayat sirosis hepatis
Di Indonesia perdarahan karena ruptur varises
gastroesofagus merupakan penyebab tersering Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif sekitar 25- sederhana (Objective)
30%,tukak peptik sekitar 10-15% dan karena
Pemeriksaan Fisik
sebab lainnya <5%. Mortalitas secara
keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, 1. Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi)
kematian pada penderita ruptur varises bisa 2. Evaluasi jumlah perdarahan.
mencapai 60% sedangkan kematian pada 3. Pemeriksaan fisik lainnyayaitu mencari
perdarahan non varises sekitar 9-12%. stigmata penyakit hati kronis (ikterus,
spider nevi, asites, splenomegali, eritema
Hasil Anamnesis (Subjective) palmaris, edema tungkai), massa abdomen,
Keluhan nyeri abdomen, rangsangan peritoneum,
penyakit paru, penyakit jantung, penyakit
Pasien dapat datang dengan keluhan muntah rematik dll.
darah berwarna hitam seperti bubuk kopi 4. Rectal toucher
(hematemesis) atau buang air besar berwarna 5. Dalam prosedur diagnosis ini penting
hitam seperti ter atau aspal (melena). melihat aspirat dari Naso Gastric Tube
Gejala klinis lainya sesuai dengan komorbid, (NGT). Aspirat berwarna putih keruh
seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, menandakan perdarahan tidak aktif,
penyakit jantung, penyakit ginjal dsb. aspirat berwarna merah marun
menandakan perdarahan masif sangat
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah mungkin perdarahan arteri.
riwayat penyakit hati kronis, riwayat dispepsia,
Pemeriksaan Penunjang di fasilitas pelayanan Konseling dan Edukasi
kesehatan tingkat pertama
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet
1. Laboratorium darah lengkap dan pengobatan pasien.
2. X ray thoraks
Kriteria Rujukan
Penegakan diagnostik (Assessment)
1. Terhadap pasien yang diduga kuat karena
Diagnosis Klinis ruptura varises esophagus di rujuk ke
pelayanan kesehatan sekunder
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
2. Bila perdarahan tidak berhenti dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang. penanganan awal di layanan tingkat
Diagnosis Banding pertama
3. Bila terjadi anemia berat
Hemoptisis, Hematokezia
Peralatan
Komplikasi
1. Kanula satu sungkup oksigen
Syok hipovolemia, Aspirasi pneumonia, Gagal 2. Naso Gastric Tube (NGT)
ginjal akut, Anemia karena perdarahan 3. Sarung tangan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) 4. EKG
5. Laboratorium untuk pemeriksaan
Penatalaksanaan darah lengkap, fungsi hati, dan fungsi
ginjal.
1. Stabilkan hemodinamik.
a. Pemasangan IV line Prognosis
b. Oksigen sungkup/kanula
c. Mencatat intake output, harus Prognosis untuk kondisi ini adalah dubia,
dipasang kateter urin mungkin tidak sampai mengancam jiwa,
d. Memonitor tekanan darah, nadi, namun ad fungsionam dan sanationam
saturasi oksigen dan keadaan lainnya umumnya dubia ad malam.
sesuai dengan komorbid yang ada. Referensi
2. Pemasangan NGT (nasogatric tube)
Melakukan bilas lambung agar 1. Soewondo. Pradana. Buku Ajar Ilmu
mempermudah dalam tindakan endoskopi. Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta:
3. Tirah baring FK UI. 2006: Hal 291-4.
4. Puasa/diet hati/lambung 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
a. Injeksi antagonis reseptor H2 atau Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
penghambat pompa proton (PPI) Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal 229.
b. Sitoprotektor: sukralfat 3-4 x1 gram (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
c. Antasida RSCM, 2004)
d. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan 3. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P.
penyakit hati kronis Soni, N. Singer, M,Critical Care. Focus 9 Gut.
London: BMJ Publishing Group. 2002.
Rencana Tindak Lanjut (Galley, et al., 2002)
Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi 4. Elta, G.H.Approach to the patient
pasien dapat mengalami perdarahan ulang. with gross gastrointestinal bleeding in
Oleh karena itu perlu dilakukan asesmen yang Yamada, T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine,
lebih akurat untuk memprediksi perdarahan L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book
ulang dan mortalitas. of Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia:
Lippincot William & Wilkins. 2003.
(Elta,2003)
5. Rockey, D.C. Gastrointestinal bleeding faeces.
in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger, 5. Pasien dengan perdarahan samar saluran
M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s cerna kronik umumnya tidak ada gejala
Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd. atau kadang hanya rasa lelah akibat
Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, anemia.
2002) 6. Nilai dalam anamnesis apakah
6. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E. Acute upper bercampur dengan feses (seperti terjadi
gastrointestinal bleeding in Sivak, M.V.Ed. pada kolitis atau lesi di proksimal rektum)
Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: atau terpisah/menetes (terduga hemoroid),
WB Sauders. 2000. (Gilbert & Silverstein, pemakaian antikoagulan, atau terdapat
2000) gejala sistemik lainnya seperti demam lama
(tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat
b.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah badan (kanker), perubahan pola defekasi
(kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema,
Masalah Kesehatan
angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi,
Perdarahan saluran cerna bagian bawah iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura,
umumnya didefinisikan sebagai perdarahan disentri).
yang berasal dari usus di sebelah bawah
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
ligamentum Treitz. Hematokezia diartikan
sederhana (Objective)
darah segar yang keluar melalui anus dan
merupakan manifestasi tersering dari Pemeriksaan Fisik
perdarahan saluran cerna bagian bawah.
1. Pada colok dubur ditemukan darah segar
Penyebab tersering dari saluran cerna bagian 2. Nilai tanda vital, terutama ada
bawah antara lain perdarahan divertikel kolon, tidaknya renjatan atau hipotensi postural
angiodisplasia dan kolitis iskemik. Perdarahan (Tilt test).
saluran cerna bagian bawah yang kronik dan 3. Pemeriksaan fisik abdomen untuk menilai
berulang biasanya berasal dari hemoroid dan ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia
neoplasia kolon. mesenterial), rangsang peritoneal
(divertikulitis), massa intraabdomen
Hasil Anamnesis (Anemnesis)
(tumor kolon, amuboma, penyakit Crohn).
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
1. Pasien datang dengan keluhan darah segar
Pemeriksaan darah perifer lengkap, feses rutin
yang keluar melalui anus (hematokezia).
dan tes darah samar.
2. Umumnya melena menunjukkan
perdarahan di saluran cerna bagian atas Penegakan diagnostik (Assessment)
atau usus halus, namun demikian melena
dapat juga berasal dari perdarahan kolon Diagnosis Klinis
sebelah kanan dengan perlambatan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
mobilitas. pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
3. Perdarahan dari divertikulum biasanya
tidak nyeri. Tinja biasanya berwarna merah Diagnosis Banding
marun, kadang-kadang bisa juga menjadi
Haemorhoid, Penyakit usus inflamatorik,
merah. Umumnya terhenti secara spontan
Divertikulosis, Angiodisplasia, Tumor kolon
dan tidak berulang.
4. Hemoroid dan fisura ani biasanya Komplikasi
menimbulkan perdarahan dengan warna
merah segar tetapi tidak bercampur dengan 1. Syok hipovolemik
2. Gagal ginjal akut Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder untuk
3. Anemia karena perdarahan diagnosis definitif bila tidak dapat ditegakkan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
Penatalaksanaan Peralatan
1. Stabilkan hemodinamik 1. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
a. Pemasangan IV line lengkap dan faeces darah samar
b. Oksigen sungkup/kanula
c. Mencatat intake output, harus 2. Sarung tangan
dipasang kateter urin Prognosis
d. Memonitor tekanan darah, nadi,
saturasi oksigen dan keadaan lainnya Prognosis sangat tergantung pada kondisi
sesuai dengan komorbid yang ada. pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
2. Beberapa perdarahan saluran cerna bagian dan pengobatannya.
bawah dapat diobati secara Referensi
medikamentosa. Hemoroid fisura ani dan
ulkus rektum soliter dapat diobati dengan 1. Abdullah. Murdani, Sudoyo. Aru, W. dkk.
bulk-forming agent, sitz baths, dan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
menghindari mengedan. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Dep. IPD.
3. Kehilangan darah samar memerlukan FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
suplementasi besi yaitu Ferrosulfat 325 mg
tiga kali sehari. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Konseling dan Edukasi Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 234.
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
dan pengobatan pasien. RSCM, 2004)
Kriteria Rujukan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang
terus menerus
11. HEPATITIS A
No. ICPC-2: D72 Viral Hepatitis No. ICD-10: B15 Acute Hepatitis A
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
6. Mual dan muntah
Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang 7. Warna urine seperti teh
disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah 8. Tinja seperti dempul
virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal
oral. Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, Faktor Risiko
sedangkan pada anak <6 tahun 70% 1. Sering mengkonsumsi makanan atau
asimtomatik. Kurang dari 1% penderita hepatitis minuman yang tidak terjaga sanitasinya.
A dewasa berkembang menjadi hepatitis A 2. Menggunakan alat makan dan minum dari
fulminan. penderita hepatitis.
Masalah Kesehatan
bila ditekan di bagian perut kanan atas.
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, Setelah gejala tersebut akan timbul fase
masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari resolusi.
seseorang yang terinfeksi. Virus ini tersebar
luas di seluruh dunia dengan angka kejadian Faktor Risiko
yang berbeda- beda. Tingkat prevalensi 1. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak
hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi aman dengan orang yang sudah terinfeksi
berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di hepatitis B.
Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok 2. Memakai jarum suntik secara bergantian
negara dengan endemisitas sedang sampai terutama kepada penyalahgunaan obat
tinggi. suntik.
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang 3. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai
akut dengan gejala yang berlangsung kurang bersama-sama dengan penderita hepatitis
dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit B.
berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut 4. Orang yang bekerja pada tempat-tempat
sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B kronik yang terpapar dengan darah manusia.
dapat berkembang menjadi sirosis hepatis, 10% 5. Orang yang pernah mendapat transfusi
dari penderita sirosis hepatis akan berkembang darah sebelum dilakukan pemilahan
menjadihepatoma. terhadap donor.
6. Penderita gagal ginjal yang menjalani
Hasil Anamnesis (Subjective) hemodialisis.
7. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang
Keluhan
menderita hepatitis B.
1. Umumnya tidak menimbulkan gejala
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terutama pada anak-anak.
Sederhana (Objective)
2. Gejala timbul apabila seseorang telah
terinfeksi selama 6 minggu, antara lain: Pemeriksaan Fisik
a. gangguan gastrointestinal, seperti:
malaise, anoreksia, mual dan muntah; 1. Konjungtiva ikterik
b. gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala, 2. Pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada
mialgia. hati
3. Gejala prodromal seperti diatas akan 3. Splenomegali dan limfadenopati pada 15-
menghilang pada saat timbul kuning, tetapi 20% pasien
keluhan anoreksia, malaise, dan kelemahan Pemeriksaan Penunjang
dapat menetap.
4. Ikterus didahului dengan kemunculan urin 1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam
berwarna gelap. urin)
Pruritus (biasanya ringan dan sementara) 2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar
dapat timbul ketika ikterus meningkat. Pada bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan
saat badan kuning, biasanya diikuti oleh SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan
pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang lebih lengkap. 2. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga
3. HBsAg (di pelayanan kesehatan sekunder) asupan kalori dan cairan yang adekuat, dan
membatasi aktivitas fisik pasien.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Pencegahan penularan pada anggota
Diagnosis Klinis keluarga dengan modifikasi pola hidup
untuk pencegahan transmisi dan imunisasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Peralatan
Penatalaksanaan Referensi
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral
2. Tirah baring Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s
3. Pengobatan simptomatik Principles of Internal Medicine. 16th Ed.
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. McGraw-Hill. New York. 2004.
b. Mual: antiemetik seperti 2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis
Metoklopramid 3 x 10 mg/hari atau delta virus. In: Disease of Liver and Biliary
Domperidon 3 x 10 mg/hari. System. Blackwell Publishing Company.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker 2002: p.285-96.
(Simetidin 3 x 200 mg/hari atau 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Ranitidin 2 x 150 mg/hari) atau Proton Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/ 2006: Hal 429-33.
hari). 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan,
Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Rencana Tindak Lanjut Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal
435-9.
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
pengobatan. Kriteria Rujukan
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
1. Penegakan diagnosis dengan Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
pemeriksaan penunjang laboratorium di
pelayanan kesehatan sekunder
2. Penderita hepatitis B dengan keluhan
ikterik yang menetap disertai keluhan yang
lain.
Konseling dan Edukasi
1. Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut
mendukung pasien agar teratur minum
obat karena pengobatan jangka panjang.
13. KOLESISTITIS
No. ICPC-2: D98 Cholecystitis/cholelithiasis
No. ICD-10: K81.9 Cholecystitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah
Apendisitis akut adalah radang yang timbul epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney.
secara mendadak pada apendik, merupakan Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam)
salahsatu kasus akut abdomen yang paling penderita dapat menunjukkan letak nyeri
sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera karena bersifat somatik.
dapat menyebabkan perforasi.
Gejala Klinis
Penyebab:
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi
1. Obstruksi lumen merupakan faktor nervus vagus.
penyebab dominan apendisitis akut 2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang
2. Erosi mukosa usus karena parasit timbul beberapa jam sesudahnya,
Entamoeba hystolitica dan benda asing merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang
lainnya timbul saat permulaan.
3. Disuria juga timbul apabila peradangan
Hasil Anamnesis (Subjective) apendiks dekat dengan vesika urinaria.
Keluhan 4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare,
timbul
biasanya pada letak apendiks pelvikal yang Colok dubur
merangsang daerah rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu Nyeri tekan pada jam 9-12
tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah
terjadi perforasi. 1. Nyeri seluruh abdomen
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan 2. Pekak hati hilang
menjelaskan keluhan nyeri somatik yang 3. Bising usus hilang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang
Apendiks yang mengalami gangren atau
panjang dengan ujung yang mengalami perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-
inflamasi di kuadran kiri bawah akan
gejala sebagai berikut:
menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan 1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36
nyeri flank atau punggung, apendiks jam
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada 2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC
supra pubik dan apendiks retroileal bisa 3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin 4. Dehidrasi dan asidosis
karena iritasi pada arteri spermatika dan 5. Distensi
ureter. 6. Menghilangnya bising usus
7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
8. Rebound tenderness sign
Sederhana (Objective)
9. Rovsing sign
Pemeriksaan Fisik 10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
Masalah Kesehatan
6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. bebas di bawah diafragma
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan 7. Bising usus menurun atau menghilang
di dalam abdomen berupa inflamasi dan 8. Rigiditas abdomen atau sering disebut perut
penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, papan
perforasi tukak lambung, perforasi tifus 9. Pada colok dubur akan terasa nyeri di
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan semua arah, dengan tonus muskulus
oleh karena perforasi organ berongga karena sfingter ani menurun dan ampula rekti
trauma abdomen. berisi udara.
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang
Keluhan Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di
layanan tingkat pertama untuk menghindari
1. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan keterlambatan dalam melakukan rujukan.
terus-menerus selama beberapa jam, dapat
hanya di satu tempat ataupun tersebar di Penegakan Diagnostik (Assessment)
seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin
Diagnosis Klinis
kuat saat penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan
2. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu pemeriksaan fisik dari tanda-tanda khas yang
badan penderita akan naik dan terjadi ditemukan pada pasien.
takikardia, hipotensi dan penderita tampak
letargik dan syok. Diagnosis Banding: -
3. Mual dan muntah timbul akibat adanya Komplikasi
kelainan patologis organ visera atau akibat
iritasi peritoneum. 1. Septikemia
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh 2. Syok
adanya cairan dalam abdomen, yang dapat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
mendorong diafragma.
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Pasien segera dirujuk setelah penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan awal seperti
Pemeriksaan Fisik
berikut:
1. Pasien tampak letargik dan kesakitan
1. Memperbaiki keadaan umum pasien
2. Dapat ditemukan demam
2. Pasien puasa
3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan
3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa
nyeri lepas abdomen
nasogastrik atau intestinal
4. Defans muskular
4. Penggantian cairan dan elektrolit yang
5. Hipertimpani pada perkusi abdomen
hilang yang dilakukan secara intravena
5. Pemberian antibiotik spektrum luas
intravena.
6. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri Referensi
dihindari untuk tidak menyamarkan gejala
1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar
Kriteria Rujukan Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2011.
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis
Rujuk ke layanan sekunder yang memiliki dokter
dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
spesialis bedah.
Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta:
Peralatan EGC.2000.
3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I.
Nasogastric Tube Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Prognosis Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et
al.,1999)
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad 4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa
malam. abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih
bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC.
2000. (Shrock, 2000)
16. PAROTITIS
No. ICPC-2: D71. Mumps / D99. Disease digestive system, other No. ICD-10: B26. Mumps
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia.
Askariasis adalah suatu penyakit yang Pada foto thoraks tampak infiltrat yang
disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini
lumbricoides. disebut sindroma Loeffler.
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
terutama pada anak. Frekuensinya antara 60- biasanya ringan, dan sangat tergantung dari
90%. Diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di banyaknya cacing yang menginfeksi di usus.
dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides. Kadang-kadang penderita mengalami gejala
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
Hasil Anamnesis (Subjective) makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Keluhan Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, terjadi malabsorpsi sehingga memperberat
pucat, berat badan menurun, mual, muntah. keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling
menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik
Gejala Klinis akut pada daerah epigastrium, gangguan selera
Gejala yang timbul pada penderita dapat makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat
disebabkan oleh cacing dewasa dan migrasi proses peradangan pada dinding usus. Pada
larva. anak kejadian ini bisa diikuti demam. Komplikasi
yang ditakuti (berbahaya) adalah bila cacing
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada dewasa menjalar ketempat lain (migrasi) dan
saat larva berada diparu. Pada orang yang menimbulkan gejala akut. Pada keadaan
rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding infeksi yang berat, paling ditakuti bila terjadi
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan
komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh Penegakan diagnosis dilakukan dengan
cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh larva atau cacing dalam tinja.
massa cacing, ataupun apendisitis sebagai
akibat masuknya cacing ke dalam lumen Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya
apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Komplikasi: anemia defisiensi besi
Vateri ataupun saluran empedu dan terkadang
masuk ke jaringan hati. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan Penatalaksanaan
pada saat cacing menjadi dewasa di dalam usus
halus, yang mana hasil metabolisme cacing 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat
dapat menimbulkan fenomena sensitisasi akan pentingnya kebersihan diri dan
seperti urtikaria, asma bronkhial, konjungtivitis lingkungan, antara lain:
akut, fotofobia dan terkadang hematuria. a. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dan air mengalir
dengan Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak b. Menutup makanan
menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih c. Masing-masing keluarga memiliki jamban
banyak menggambarkan proses sensitisasi dan keluarga
eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi d. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
Ascaris lumbricoides. e. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar
tetap bersih dan tidak lembab.
Faktor Risiko 2. Farmakologis
1. Kebiasaan tidak mencuci tangan. a. Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari,
2. Kurangnya penggunaan jamban. dosis tunggal, atau
3. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali
pupuk. sehari, diberikan selama tiga hari
4. Kebiasaan tidak menutup makanan berturut-turut, atau
sehingga dihinggapi lalat yang membawa c. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun
telur cacing dapat diberikan 2 tablet (400 mg) atau
20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
boleh diberikan pada ibu hamil
Sederhana (Objective)
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan
Pemeriksaan Fisik
atau secara masal pada masyarakat. Syarat
1. Pemeriksaan tanda vital untuk pengobatan massal antara lain:
2. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva
1. Obat mudah diterima dimasyarakat
anemis, terdapat tanda- tanda malnutrisi,
2. Aturan pemakaian sederhana
nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.
3. Mempunyai efek samping yang minimal
Pemeriksaan Penunjang 4. Bersifat polivalen, sehingga dapat
berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini 5. Harga mudah dijangkau
adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja
secara langsung. Adanya telur dalam tinja Konseling dan Edukasi
memastikan diagnosis Askariasis.
Memberikan informasi kepada pasien dan
Penegakan Diagnostik (Assessment) keluarga mengenai pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
Diagnosis Klinis lain:
1. Masing-masing keluarga memiliki jamban Prognosis
keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak
menimbulkan pencemaran pada tanah Pada umumnya prognosis adalah bonam,
disekitar lingkungan tempat tinggal kita. karena jarang menimbulkan kondisi yang berat
secara klinis.
2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
3. Menghindari kontak dengan tanah yang Refensi
tercemar oleh tinja manusia.
4. Menggunakan sarung tangan jika ingin 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
mengelola limbah/sampah. Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
5. Mencuci tangan sebelum dan setelah Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
melakukan aktifitas dengan menggunakan Indonesia. (Gandahusada, 2000)
sabun dan air mengalir. 2. Written for World Water Day. 2001.
6. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar Reviewed by staff and experts from the
tetap bersih dan tidak lembab. cluster on Communicable Diseases (CDS)
and Water, Sanitation and Health unit
Kriteria Rujukan: - (WSH), World Health Organization (WHO).
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
Peralatan
Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
untuk pemeriksaan spesimen tinja. Philadelphia: W.B.Saunders Company;
2012. p.1000-1.
19. SKISTOSOMIASIS
No. ICPC II: D96 Worm/outer parasite
No. ICD X: B65.9 Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Skistosoma adalah salah satu penyakit adalah Schistosoma japonicum khususnya di
infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu
trematoda dari genus schistosoma (blood di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia,
fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda Schistosoma memerlukan keong sebagai
utama yang menjadi penyebab skistosomiasis intermediate host. Penularan Schistosoma
yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang dari
haematobium dan Schistosoma mansoni. host dan menembus kulit pasien dalam air.
Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis
mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di terhadap telur cacing yang terperangkap dalam
Indonesia spesies yang paling sering ditemukan jaringan. Prevalensi Schistosomiasis di lembah
Napu dan danau Lindu berkisar 17% hingga 37%.
Hasil Anamnesis (Subjective) e. Urtikaria
f. Buang air besar berdarah (bloody stool)
Keluhan 2. Pada skistosomiasiskronik bisa ditemukan:
1. Pada fase akut, pasien biasanya datang a. Hipertensi portal dengan distensi
dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri abdomen, hepatosplenomegaly
tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri b. Gagal ginjal dengan anemia dan
abdominal. Biasanya terdapat riwayat hipertensi
terpapar dengan air misalnya danau atau c. Gagal jantung dengan gagal jantung
sungai 4-8 minggu sebelumnya, yang kanan
kemudian berkembang menjadi ruam d. Intestinal polyposis
kemerahan (pruritic rash). e. Ikterus
2. Pada fase kronis, keluhan pasien
Pemeriksaan Penunjang
tergantung pada letak lesi
3. misalnya: Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan
a. Buang air kecil darah (hematuria), rasa pada sedimen urin.
tak nyaman hingga nyeri saat berkemih,
disebabkan oleh urinary schistosomiasis Penegakan Diagnostik (Assessment)
biasanya disebabkan oleh S. hematobium. Diagnosis Klinis
b. Nyeri abdomen dan diare berdarah
biasanya disebabkan oleh intestinal Diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
skistosomiasis, biasanya disebabkan oleh S. pemeriksaan fisik dan juga penemuan telur
mansoni, S. Japonicum juga S. Mekongi. cacing pada pemeriksaan tinja dan juga
c. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan sedimen urin.
mata disebabkan oleh hepatosplenic Diagnosis Banding: - Komplikasi:
skistosomiasis yang biasanya disebabkan
oleh S. Japonicum. 1. Gagal ginjal
2. Gagal jantung
Faktor Risiko:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Orang-orang yang tinggal atau datang
berkunjung ke daerah endemik di sekitar Penatalaksanaan
lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan
mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik 1. Pengobatan diberikan dengan dua
di sawah maupun danau di wilayah tersebut. tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien
atau meminimalkan morbiditas dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang mengurangi penyebaran penyakit.
Sederhana (Objective) 2. Prazikuantel adalah obat pilihan yang
diberikan karena dapat membunuh semua
Pemeriksaan Fisik spesies Schistosoma. Walaupun pemberian
1. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan: single terapi sudah bersifat kuratif, namun
a. Limfadenopati pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu
b. Hepatosplenomegaly dapat meningkatkan efektifitas pengobatan.
c. Gatal pada kulit Pemberian prazikuantel dengan dosis
d. Demam sebagai berikut:
Tabel 3.7. Dosis Prazikuantel
21. STRONGILOIDIASIS
No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B78.9 Strongyloidiasis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
AIDS, transplantasi organ serta pada pasien
Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan
yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid
yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis,
jangka panjang.
cacing yang biasanya hidup di kawasan
tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang Hasil Anamnesis (Subjective)
diperkirakan terkena penyakit ini di seluruh
dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat Keluhan
berat dan berbahaya pada mereka yang dengan Pada infestasi ringan Strongyloides pada
status imun menurun seperti pada pasien HIV/ umumnya tidak menimbulkan gejala khas.
Gejala klinis anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
larva atau cacing dalam tinja.
1. Rasa gatal pada kulit
2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan Diagnosis Banding: -
gejala seperti ditusuk- tusuk di daerah Komplikasi: -
epigastrium dan tidak menjalar
3. Mual, muntah Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Mata kering adalah suatu keadaan keringnya Sederhana (Objective)
permukaan kornea dan konjungtiva yang
diakibatkan berkurangnya produksi komponen Pemeriksaan Fisik
air mata (musin, akueous, dan lipid). Mata 1. Visus normal
kering merupakan salah satu gangguan yang 2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva
sering pada mata dengan insiden sekitar 10- forniks
30% dari populasi dan terutama dialami oleh 3. Penilaian produksi air mata dengan tes
wanita berusia lebih dari 40 tahun. Penyebab Schirmer menunjukka hasil <10 mm (nilai
lain adalah meningkatnya evaporasi air mata normal ≥20 mm).
akibat faktor lingkungan rumah, kantor atau
akibat lagoftalmus.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata terasa
gatal dan seperti berpasir. Keluhan dapat
disertai sensasi terbakar, merah, perih dan
silau. Pasien seringkali menyadari bahwa gejala
terasa makin berat di akhir hari (sore/malam).
Gambar 4.1. Tes Schirmer
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Usia > 40 tahun
Diagnosis Klinis
2. Menopause
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
3. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren,
sklerosis sistemik progresif, sarkoidosis, 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
leukemia, limfoma, amiloidosis, dan 2. Tes Schirmer bila diperlukan
4. hemokromatosis
Komplikasi
5. Penggunaan lensa kontak
1. Keratitis
6. Penggunaan komputer dalam waktu
lama 2. Penipisan kornea
3. Infeksi sekunder oleh bakteri
4. Neovaskularisasi kornea
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Sastrawan, D. dkk. Standar Pelayanan
Medis Mata.Palembang: Departemen Ilmu
Penatalaksanaan
Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007.
Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata (Sastrawan, 2007)
karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Pemeriksaan penunjang lanjutan umumnya Cetakan V.Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
tidak diperlukan 2008. (Ilyas, 2008)
Masalah Kesehatan
Penatalaksanaan
Buta senja atau rabun senja, disebut juga
nyctalopia atau hemarolopia, adalah 1. Pada defisiensi vitamin A, diberikan vitamin
ketidakmampuan untuk melihat dengan baik A dosis tinggi.
pada malam hari atau pada keadaan gelap. 2. Lubrikasi kornea.
Kondisi ini lebih merupakan tanda dari suatu 3. Pencegahan terhadap infeksi sekunder
kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat dengan tetes mata antibiotik.
kelainan pada sel batang retina yang berperan Konseling dan Edukasi
pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja
adalah defisiensi vitamin A dan retinitis 1. Memberitahu keluarga bahwa rabun
pigmentosa. senja disebabkan oleh kelainan mendasar,
yaitu defisiensi vitamin A dan retinitis
Hasil Anamnesis (Subjective) pigmentosa.
Keluhan 2. Pada kasus defisiensi vitamin A, keluarga
perlu diedukasi untuk memberikan
Penglihatan menurun pada malam hari atau asupan makanan bergizi seimbang dan
pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada suplementasi vitamin A dosis tinggi.
cahaya yang redup. Pada defisiensi vitamin A,
buta senja merupakan keluhan paling awal. Peralatan
1. Lup
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Oftalmoskop
Sederhana (Objective)
Prognosis
Pemeriksaan Fisik
1. Ad vitam : Bonam
Dapat ditemukan tanda-tanda lain defisiensi 2. Ad functionam : Dubia Ad bonam
vitamin A: 3. Ad sanasionam : Bonam
1. Kekeringan (xerosis) konjungtiva bilateral Referensi
2. Terdapat bercak bitot pada konjungtiva
3. Xerosis kornea 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
4. Ulkus kornea dan sikatriks kornea Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
5. Kulit tampak xerosis dan bersisik New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard,
6. Nekrosis kornea difus atau keratomalasia et al., 2007)
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Pemeriksaan Penunjang :- Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed. Jakarta:
Penegakan Diagnostik (Assessment) CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes
Diagnosis Klinis Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC. 2009.
dan pemeriksaan fisik. 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
3.HORDEOLUM
No. ICPC-2: F72 Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD-10: H00.0 Hordeolum and other deep inflammation of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
1. Selulitis preseptal
Hordeolum adalah peradangan supuratif 2. Kalazion
kelenjar kelopak mata. Biasanya merupakan 3. Granuloma piogenik
infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea
kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum Komplikasi
internum dan eksternum. Hordeolum 1. Selulitis palpebra
eksternum merupakan infeksi pada kelenjar 2. Abses palpebra
Zeiss atau Moll. Hordeolum internum
merupakan infeksi kelenjar Meibom yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
terletak di dalam tarsus. Hordeolum mudah Penatalaksanaan
timbul pada individu yang menderita blefaritis
dan konjungtivitis menahun. 1. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari
selama 15 menit setiap kalinya untuk
Hasil Anamnesis (Subjective) membantu drainase. Tindakan dilakukan
Keluhan dengan mata tertutup.
Pasien datang dengan keluhan kelopak yang 2. Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih
bengkak disertai rasa sakit. Gejala utama atau pun dengan sabun atau sampo yang
hordeolum adalah kelopak yang bengkak tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun
dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan bayi. Hal ini dapat mempercepat proses
nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak nyaman penyembuhan. Tindakan dilakukan dengan
dan sensasi terbakar pada kelopak mata mata tertutup.
Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang 1. Daya tahan tubuh yang menurun
dapat disebabkan oleh mikroorganisme (virus, 2. Adanya riwayat atopi
bakteri), iritasi, atau reaksi alergi. Konjungtivitis 3. Penggunaan kontak lens dengan perawatan
ditularkan melalui kontak langsung dengan yang tidak baik
sumber infeksi. Penyakit ini dapat menyerang 4. Higiene personal yang buruk
semua umur.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective) Sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Pasien datang dengan keluhan mata merah,
1. Visus normal
rasa mengganjal, gatal dan berair, kadang
2. Injeksi konjungtival
disertai sekret. Keluhan tidak disertai
3. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
penurunan tajam penglihatan.
4. Eksudasi; eksudat dapat serous,
mukopurulen, atau purulen tergantung
penyebab
5. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
folikel, papil atau papil raksasa, flikten,
membrane, atau pseudomembran. Penatalaksanaan
1. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan 1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes
perwarnaan Gram atau Giemsa sebanyak 1 tetes 6 kali sehari atau salep
2. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan mata 3 kali sehari selama 3 hari.
biru metilen pada kasus konjungtivitis 2. Pada alergi: Flumetolon tetes mata dua kali
gonore sehari selama 2 minggu.
3. Pada konjungtivitis gonore: Kloramfenikol
tetes mata 0,5-
4. 1%sebanyak 1 tetes tiap jam dan suntikan
pada bayi diberikan
5. 50.000 U/kgBB tiap hari sampai tidak
ditemukan kuman GO
6. pada sediaan apus selama 3 hari berturut-
turut.
7. Pada konjungtivitis viral: Salep Acyclovir 3%,
5 kali sehari selama 10 hari.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Gambar 4.2. Konjungtivitis
Umumnya tidak diperlukan, kecuali pada
Penegakan Diagnostik (Assessment) kecurigaan konjungtivitis gonore, dilakukan
Diagnosis Klinis pemeriksaan sediaan apus dengan pewarnaan
Gram
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Konseling dan Edukasi
1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu
Klasifikasi Konjungtivitis sebelum dan sesudah membersihkan atau
1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva mengoleskan obat, penderita harus
hiperemis, sekret purulen atau mencuci tangannya bersih-bersih.
mukopurulen dapat disertai membran atau 2. Jangan menggunakan handuk atau lap
pseudomembran di konjungtiva tarsal. bersama-sama dengan penghuni rumah
Curigai konjungtivitis gonore, terutama lainnya.
pada bayi baru lahir, jika ditemukan 3. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan
konjungtivitis pada dua mata dengan sekret sekitar.
purulen yang sangat banyak.
Kriteria rujukan
2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis,
sekret umumnya mukoserosa, dan 1. Jika terjadi komplikasi pada kornea
pembesaran kelenjar preaurikular 2. Bila tidak ada respon perbaikan terhadap
3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, pengobatan yang diberikan
riwayat atopi atau alergi, dan keluhan gatal. Peralatan
Komplikasi 1. Lup
2. Laboratorium sederhana untuk
Keratokonjuntivitis
pemeriksaan Gram
Prognosis 3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
1. Ad vitam : Bonam
Jakarta: EGC. 2009.
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V.Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Referensi 2008.
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan 5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: Cetakan I.Jakarta:Widya Medika. 2000.
CV Ondo. 2006.
2. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. 6. h tt p : / / w w w . a d v a n c e d v i s i o n c a r e .
Erlangga. Jakarta. 2005 co.uk/wpcontent/uploads/2013/09/
conjunctivitis0.jpg,
5.BLEFARITIS
No. ICPC-2: F72 Blepharitis/stye/chalazion No. ICD-10: H01.0 Blepharitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak Sederhana (Objective)
mata (margo palpebra) yang dapat disertai
Pemeriksaan Fisik
terbentuknya ulkus dan dapat melibatkan
folikel rambut. 1. Skuama atau krusta pada tepi kelopak.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Bulu mata rontok.
3. Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada
Keluhan tepi kelopak mata.
4. Dapat terjadi pembengkakan dan merah
1. Gatal pada tepi kelopak mata
pada kelopak mata.
2. Rasa panas pada tepi kelopak mata
5. Dapat terbentuk krusta yang melekat
3. Merah/hiperemia pada tepi kelopak mata
erat pada tepi kelopak mata. Jika krusta
4. Terbentuk sisik yang keras dan krusta
dilepaskan, bisa terjadi perdarahan.
terutama di sekitar dasar bulu mata
5. Kadang disertai kerontokan bulu mata Pemeriksaan Penunjan: Tidak
(madarosis), putih pada bulu mata
(poliosis), dan trikiasis diperlukan Penegakan Diagnostik
6. Dapat keluar sekret yang mengering selama (Assessment) Diagnosis Klinis
tidur, sehingga ketika bangun kelopak mata
sukar dibuka Penegakan diagnosis dilakukan berdasar-kan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Faktor Risiko
Komplikasi
1. Kelainan kulit, misalnya dermatitis seboroik
2. Higiene personal dan lingkungan yang 1. Blefarokonjungtivitis
kurang baik 2. Madarosis
3. Trikiasis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Tajam penglihatan menurun
2. Nyeri sedang atau berat
Penatalaksanaan
3. Kemerahan yang berat atau kronis
1. Non-medikamentosa 4. Terdapat keterlibatan kornea
a. Membersihkan kelopak mata dengan 5. Episode rekuren
lidi kapas yang dibasahi air hangat 6. Tidak respon terhadap terapi
b. Membersihkan dengan sampo atau
Peralatan
sabun
c. Kompres hangat selama 5-10 menit 1. Senter
2. Medikamentosa 2. Lup
Apabila ditemukan ulkus pada kelopak mata, Prognosis
dapat diberikan salep atau tetes mata antibiotik
hingga gejala menghilang. 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
Konseling dan Edukasi 3. Ad sanationam : Bonam
1. Memberikan informasi kepada pasien dan Referensi
keluarga bahwa kulit kepala, alis mata,
dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
terutama pada pasien dengan dermatitis Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
seboroik. CV Ondo. 2006.
2. Memberitahu pasien dan keluarga untuk 2. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
menjaga higiene personal dan lingkungan. & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Jakarta: EGC. 2009.
Kriteria Rujukan 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Pasien dengan blefaritis perlu dirujuk ke
2008.
layanan sekunder (dokter spesialis mata) bila
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
terdapat minimal satu dari kelainan di bawah
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
ini:
6.PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
No. ICPC-2: F75 Contusion/ haemorrhage eye
No. ICD-10: H57.8 Other specified disorders of eye and adnexa
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
Benda asing di konjungtiva adalah benda pemeriksaan fisik.
yang dalam keadaan normal tidak dijumpai
di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi Diagnosis banding Konjungtivitis akut
jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat Komplikasi
ringan, namun pada beberapa keadaan dapat
1. Ulkus kornea
berakibat serius terutama pada benda asing
2. Keratitis
yang bersifat asam atau basa dan bila timbul
infeksi sekunder. Terjadi bila benda asing pada konjungtiva
tarsal menggesek permukaan kornea dan
Hasil Anamnesis (Subjective)
menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi
Keluhan berat dapat terjadi jika benda asing merupakan
zat kimia.
Pasien datang dengan keluhan adanya benda
yang masuk ke dalam konjungtiva atau Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri,
Penatalaksanaan
mata merah dan berair, sensasi benda asing,
dan fotofobia. 1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda
asing. Berikut adalah cara yang dapat
Faktor Risiko
dilakukan:
Pekerja di bidang industri yang tidak memakai a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5%
kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, sebanyak 1-2 tetes pada mata yang
pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkena benda asing.
terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam
pengangkatan benda asing.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang c. Angkat benda asing dengan
Sederhana (Objective) menggunakan lidi kapas atau jarum
Pemeriksaan Fisik suntik ukuran 23G.
d. Arah pengambilan benda asing
1. Visus biasanya normal. dilakukan dari tengah ke tepi.
2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/ e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
atau bulbi. Povidon Iodin pada tempat bekas
3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva benda asing.
tarsal superior dan/atau inferiordan/atau 2. Medikamentosa
konjungtiva bulbi. Antibiotik topikal (salep atau tetes mata),
misalnya Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes
Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan.
setiap 2 jam selama 2 hari
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Klinis
1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok
matanya agar tidak memperberat lesi. 4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5%
2. Menggunakan alat / kacamata pelindung 5. Povidon Iodin
pada saat bekerja atau berkendara.
3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila Prognosis
keluhan bertambah berat setelah dilakukan 1. Ad vitam : Bonam
tindakan, seperti mata bertambah merah, 2. Ad functionam : Bonam
bengkak, atau disertai dengan penurunan 3. Ad sanationam : Bonam
visus.
Referensi
Kriteria Rujukan
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
1. Bila terjadi penurunan visus Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, CV Ondo. 2006.
misal: karena keterbatasan fasilitas 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Peralatan Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2008.
1. Lup 3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
2. Lidi kapas Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
3. Jarum suntik 23G
8.ASTIGMATISME
No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.2 Astigmatisme
Tingkat Kemampuan 4A
9.HIPERMETROPIA
No. ICPC-2: F91 Refractive error
No. ICD-10: H52.0 Hypermetropia ringan
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
strain) terutama bila melihat pada jarak
Hipermetropia (rabun dekat) merupakan yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas
keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata pada jangka waktu yang lama, misalnya
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup kuat menonton TV dan lain- lain.
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di 3. Mata sensitif terhadap sinar.
belakang retina. Kelainan ini menyebar merata 4. Spasme akomodasi yang dapat
di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis menimbulkan pseudomiopia. Mata juling
kelamin. dapat terjadi karena akomodasi yang
berlebihan akan diikuti konvergensi yang
Hasil Anamnesis (Subjective) berlebihan pula.
Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang Sederhana (Objective)
dekat. Pemeriksaan Fisik
2. Sakit kepala terutama daerah frontal
dan makin kuat pada penggunaan mata 1. Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
yang lama dan membaca dekat. Penglihatan 2. Pemeriksaan refraksi dengan trial lens dan
tidak enak (asthenopia akomodatif = eye trial frame
Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan jika tidak, maka mata akan berakomodasi
terus menerus dan menyebabkan komplikasi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Kriteria rujukan
Diagnosis Klinis
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan
pemeriksaan refraksi. Peralatan
Komplikasi 1. Snellen chart
2. Satu set trial frame dan trial frame
1. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat
pasien selamanya melakukan akomodasi Prognosis
2. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi 1. Ad vitam : Bonam
otot siliar pada badan siliar yang akan 2. Ad functionam : Bonam
mempersempit sudut bilik mata 3. Ad sanationam : Bonam
3. Ambliopia
Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Penatalaksanaan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
CV Ondo. 2006.
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang
menghasilkan tajam penglihatan terbaik. 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Konseling dan Edukasi
2008.
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
dikoreksi dengan bantuan kaca mata. Karena
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000
11. PRESBIOPIA
No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.4 Presbyopia
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Presbiopia adalah suatu kondisi yang
Keluhan
berhubungan dengan usia dimana penglihatan
kabur ketika melihat objek berjarak dekat. 1. Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
Presbiopia merupakan proses degeneratif 2. Gejala lainnya, setelah membaca mata
mata yang pada umumnya dimulai sekitar usia terasa lelah, berair, dan sering terasa perih.
40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa 3. Membaca dilakukan dengan menjauhkan
mata mengalami kehilangan elastisitas dan kertas yang dibaca.
kemampuan untuk berubah bentuk. 4. Terdapat gangguan pekerjaan terutama
pada malam hari dan perlu sinar lebih
terang untuk membaca.
Faktor Risiko yang dialami hampir semua orang dan
dapat dikoreksi dengan kacamata.
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun. 2. Pasien perlu kontrol setiap tahun, untuk
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang memeriksa apakah terdapat perubahan
Sederhana (Objective) ukuran lensa koreksi.
Masalah Kesehatan
mudah dilakukan setelah dilakukan dilatasi
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang pupil dengan tetes mata Tropikamid 0.5%
menyebabkan penurunan tajam penglihatan atau dengan cara memeriksa pasien pada
(visus). Katarak paling sering berkaitan dengan ruang gelap.
proses degenerasi lensa pada pasien usia di atas
Pemeriksaan Penunjang
40 tahun (katarak senilis). Selain katarak senilis,
katarak juga dapat terjadi akibat komplikasi Tidak diperlukan.
glaukoma, uveitis, trauma mata, serta kelainan
sistemik seperti diabetes mellitus, riwayat Penegakan Diagnostik (Assessment)
pemakaian obat steroid, dan lain- lain. Katarak Diagnosis Klinis
biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
pada satu mata (monokular). anamnesis dan pemeriksaan visus dan
Hasil Anamnesis (Subjective) pemeriksaan lensa
Keluhan Komplikasi
Pasien datang dengan keluhan penglihatan Glaukoma dan uveitis
menurun secara perlahan seperti tertutup Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
asap/kabut. Keluhan disertai ukuran kacamata
semakin bertambah, silau, dan sulit membaca. Penatalaksanaan
Faktor Risiko Pasien dengan katarak yang telah menimbulkan
1. Usia lebih dari 40 tahun gangguan penglihatan yang signifikan dirujuk ke
2. Riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes layanan sekunder yang memiliki dokter spesialis
mellitus mata untuk mendapatkan penatalaksanaan
3. Pemakaian tetes mata steroid secara rutin selanjutnya. Terapi definitif katarak adalah
4. Kebiasaan merokok dan pajanan sinar operasi katarak.
matahari
Konseling dan Edukasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Memberitahu keluarga bahwa katarak
Sederhana (Objective) adalah gangguan penglihatan yang dapat
Pemeriksaan Fisik diperbaiki.
2. Memberitahu keluarga untuk kontrol
1. Visus menurun yang tidak membaik dengan teratur jika sudah didiagnosis katarak agar
pemberian pinhole tidak terjadi komplikasi.
2. Pemeriksaan shadow test positif
3. Terdapat kekeruhan lensa yang dapat Kriteria Rujukan
dengan jelas dilihat dengan teknik 1. Katarak matur
pemeriksaan jauh (dari jarak 30 cm) 2. Jika pasien telah mengalami gangguan
menggunakan oftalmoskop sehingga penglihatan yang signifikan
didapatkan media yang keruh pada pupil. 3. Jika timbul komplikasi
Teknik ini akan lebih
Peralatan 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
1. Senter Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta:
2. Snellen chart CV Ondo. 2006.
3. Tonometri Schiotz 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
4. Oftalmoskop Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
Prognosis Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
1. Ad vitam : Bonam 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
2. Ad functionam : Dubia ad bonam V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Referensi Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
15. TRIKIASIS
No. ICPC-2: F99. Eye / adnexa disease, other
No. ICD-10: H02. Entropion and trichiasis of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Episkleritis merupakan reaksi radang pada Sederhana (Objective)
episklera, yaitu jaringan ikat vaskular yang
Episkleritis terbagi menjadi dua tipe, yaitu
terletak di antara konjungtiva dan permukaan
nodular dan simpel. Secara umum, tanda dari
sklera. Penyakit ini termasuk dalam kelompok
episkleritis adalah:
“mata merah dengan penglihatan normal”.
Tidak ada data yang spesifik mengenai tingkat 1. Kemerahan hanya melibatkan satu bagian
insiden episkleritis di Indonesia. Episkleritis dari area episklera. Pada penyinaran
umumnya terjadi pada usia 20-50 tahun dan dengan senter, tampak warna pink seperti
membaik dalam beberapa hari sampai daging salmon, sedangkan pada skleritis
beberapa minggu. Umumnya, episkleritis warnanya lebih gelap dan keunguan.
bersifat ringan, namun dapat pula merupakan 2. Kemerahan pada episkleritis disebabkan
tanda adanya penyakit sistemik, seperti oleh kongesti pleksus episklera superfisial
tuberkulosis, reumatoid artritis, dan systemic dan konjungtival, yang letaknya di atas dan
lupus erythematosus (SLE). terpisah dari lapisan sklera dan pleksus
episklera profunda di dalamnya. Dengan
Hasil Anamnesis (Subjective)
demikian, pada episkleritis, penetesan Fenil
Keluhan Efedrin 2,5% akan mengecilkan kongesti
dan mengurangi kemerahan; sesuatu yang
1. Mata merah merupakan gejala utama atau tidak terjadi pada skleritis.
satu-satunya 3. Pada episkleritis nodular, ditemukan
2. Tidak ada gangguan dalam ketajaman nodul kemerahan berbatas tegas di bawah
penglihatan konjungtiva. Nodul dapat digerakkan. Bila
3. Keluhan penyerta lain, misalnya: rasa nodul ditekan dengan kapas atau melalui
kering, nyeri, mengganjal, atau berair. kelopak mata yang dipejamkan di atasnya,
Keluhan- keluhan tersebut bersifat ringan akan timbul rasa sakit yang menjalar ke
dan tidak mengganggu aktifitas sehari-hari. sekitar mata.
Bila keluhan dirasakan amat parah, maka 4. Hasil pemeriksaan visus dalam batas normal.
perlu dipikirkan diagnosis lain 5. Dapat ditemukan mata yang berair, dengan
sekret yang jernih dan encer. Bila sekret
4. Keluhan biasanya mengenai satu mata dan
tebal, kental, dan berair, perlu dipikirkan
dapat berulang pada mata yang sama atau
diagnosis lain.
bergantian
6. Pemeriksaan status generalis harus
5. Keluhan biasanya bersifat akut, namun dilakukan untuk memastikan tanda-tanda
dapat pula berlangsung beberapa minggu penyakit sistemik yang mungkin mendasari
hingga beberapa bulan timbulnya episkleritis, seperti tuberkulosis,
6. Dapat ditemukan gejala-gejala terkait reumatoid artritis, SLE, eritema nodosum,
penyakit dasar, di antaranya: tuberkulosis, dermatitis kontak. Kelainan sistemik
reumatoid artritis, SLE, alergi (misal: umumnya lebih sering menimbulkan
eritema nodosum), atau dermatitis kontak episkleritis nodular daripada simpel.
Gambar 4.5 Tampilan episkleritis simpel (a) dan dengan tetes mata kortikosteroid,
nodular (b) misalnya: Prednisolon 0,5%, atau
Betametason 0,1%.
d. Episkleritis nodular yang tidak membaik
dengan obat topikal, dapat diberikan
anti-inflamasi non-steroid (NSAID),
misalnya Ibuprofen.
Konseling dan Edukasi
Dokter perlu memberikan informasi kepada
pasien mengenai penyakit yang dideritanya,
Penegakan Diagnosis (Assessment) serta memberikan reassurance dan informasi
yang relevan, di antaranya tentang natur
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis penyakit yang ringan, umumnya self-limited,
dan pemeriksaan fisik sebagaimana dijelaskan dan hal-hal yang pasien dapat lakukan untuk
dalam bagian sebelumnya. menyembuhkan penyakitnya.
Diagnosis banding: Peralatan
1. Konjungtivitis 1. Snellen chart
2. Skleritis 2. Lampu senter
3. Kapas bersih
Cara membedakan episkleritis dengan skleritis
4. Tetes mata vasokontriktor: Fenil Efrin 2,5%
adalah dengan melakukan tes Fenil Efrin 2,5%
(tetes mata), yang merupakan vasokonstriktor. Prognosis
Pada episkleritis, penetesan Fenil Efrin 2,5% 1. Ad vitam : Bonam
akan mengecilkan kongesti dan mengurangi 2. Ad functionam : Bonam
kemerahan (blanching / memucat); sedangkan 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
pada skleritis kemerahan menetap.
Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for
Penatalaksanaan the Internist: When to Treat, When to Refer.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2),
1. Non-medikamentosa
pp.137–44. Available at: http://www.ncbi.
a. Bila terdapat riwayat yang jelas nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor &
mengenai paparan zat eksogen,
Jeng, 2008)
misalnya alergen atau iritan, maka
2. Ilyas, S., 2005. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed.,
perlu dilakukan avoidance untuk
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
mengurangi progresifitas gejala dan
3. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations,
mencegah rekurensi.
Disease Associations and Management.
b. Bila terdapat gejala sensitifitas
Postgraduate Medical Journal, 88(1046),
terhadap cahaya, penggunaan
pp.713–8. Available at: http://
kacamata hitam dapat membantu.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22977282
2. Medikamentosa [Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
a. Episkleritis simpel biasanya tidak
4. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968.
membutuhkan pengobatan khusus.
Episcleritis and Scleritis I. British Journal
b. Gejala ringan hingga sedang dapat Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson,
diatasi dengan tetes air mata buatan.
et al., 1968)
c. Gejala berat atau yang memanjang
5. Sumber Gambar : http://www.studyblue.com
dan episkleritis nodular dapat diatasi
17. TRAUMA KIMIA MATA
No. ICPC-2 : F79 Injury eye other
No. ICD-10 : T26Burn and corrosion confined to eye and adnexa
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Trauma kimia mata adalah salah satu kasus Sederhana (Objective)
kedaruratan mata, umumnya terjadi karena
Pemeriksaan Fisik
masuknya zat-zat kimia ke jaringan mata dan
adneksa di sekitarnya. Keadaan ini memerlukan Dengan bantuan senter dan lup, dapat ditemukan
penanganan cepat dan segera oleh karena kelainan berikut ini:
dapat mengakibatkan kerusakan berat pada
jaringan mata dan menyebabkan kebutaan. Zat 1. Hiperemia konjungtiva
kimia penyebab dapat bersifat asam atau basa. 2. Defek epitel kornea dan konjungtiva
Trauma basa terjadi dua kali lebih sering 3. Iskemia limbus kornea
dibandingkan trauma asam dan umumnya 4. Kekeruhan kornea dan lensa
menyebabkan kerusakan yang lebih berat Pemeriksaan visus menunjukkan ada penurunan
pada mata. Selain itu, beratnya kerusakan ketajaman penglihatan. Bila tersedia, dapat
akibat trauma kimia juga ditentukan oleh dilakukan tes dengan kertas lakmus untuk
besarnya area yang terkena zat kimia serta mengetahui zat kimia penyebab
lamanya pajanan.
1. Bila kertas lakmus terwarnai merah, maka
Hasil Anamnesis (Subjective) zat penyebab bersifat asam
Keluhan 2. Bila kertas lakmus terwarnai biru, maka zat
penyebab bersifat basa
1. Mata merah, bengkak dan iritasi
2. Rasa sakit pada mata Pemeriksaan Penunjang
3. Penglihatan buram Tidak diperlukan
4. Sulit membuka mata
5. Rasa mengganjal pada mata Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko Diagnosis Klinis
Pajanan terhadap zat kimia yang sering Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
menjadi penyebab trauma antara lain detergen, pemeriksaan fisik. Komplikasi
desinfektan, pelarut kimia, cairan pembersih
1. Simblefaron
rumah tangga, pupuk, pestisida, dan cairan aki.
2. Hipotoni bola mata
Anamnesis perlu dilakukan untuk mengetahui
3. Ptisis bulbi
zat kimia penyebab trauma, lama kontak
4. Entropion
dengan zat kimia, tempat dan kronologis
kejadian, adanya kemungkinan kejadian 5. Katarak
kecelakaan di tempat kerja atau tindak kriminal, 6. Neovaskularisasi kornea
serta penanganan yang sudah dilakukan Penatalaksanaan Komprehensif
sebelumnya.
(Plan) Penatalaksanaan
1. Segera lakukan irigasi mata yang terkena
zat kimia dengan cairan mengalir sebanyak Peralatan
mungkin dan nilai kembali dengan kertas 1. Lup
lakmus. Irigasi terus dilakukan hingga tidak 2. Senter
terjadi pewarnaan pada kertas lakmus. 3. Lidi kapas
2. Lakukan eversi pada kelopak mata selama 4. Kertas lakmus (jika memungkinkan)
irigasi dan singkirkan debris yang mungkin 5. Cairan fisiologis untuk irigasi
terdapat pada permukaan bola mata atau
pada forniks. Prognosis
3. Setelah irigasi selesai dilakukan, nilai 1. Ad vitam : Bonam
tajam penglihatan, kemudian rujuk segera 2. Ad functionam : Dubia
ke dokter spesialis mata di fasilitas 3. Ad sanationam : Dubia
sekunder atau tersier.
Referensi
Konseling & Edukasi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Anjuran untuk menggunakan pelindung Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
(kacamata/goggle, sarung tangan, atau masker) 2008.
pada saat kontak dengan bahan kimia 2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Kriteria Rujukan 3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
Setelah penanganan awal dengan irigasi, Eye Manual-office and emergency room
rujuk pasien ke dokter spesialis mata untuk diagnosis and treatment of eye disease. 5th
tatalaksana lanjut edition. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008)
Masalah Kesehatan
4. Tidak terdapat penurunan tajam
Laserasi kelopak adalah terpotongnya jaringan penglihatan bila cedera tidak melibatkan
pada kelopak mata. Penyebab laserasi kelopak bola mata
dapat berupa sayatan benda tajam, trauma
Faktor Risiko
tumpul (kecelakaan lalu lintas atau olahraga),
maupun gigitan hewan. Laserasi pada kelopak Terdapat riwayat trauma tajam maupun tumpul
perlu ditangani segera agar fungsi dan kosmetik
kelopak dapat dipertahankan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Fisik
Keluhan
1. Pemeriksaan refleks pupil dan tajam
1. Terdapat rasa nyeri periorbita penglihatan
2. Perdarahan dan bengkak pada kelopak
3. Mata berair 2. Pemeriksaan mata dengan lup dan senter
untuk mengidentifikasi:
a. Luas dan dalamnya laserasi pada
kelopak, termasuk identifikasi Peralatan
keterlibatan tepi kelopak, kantus
medial atau kantus lateral. Pemeriksa 1. Lup
dapat menggunakan lidi kapas selama 2. Senter
pemeriksaan. 3. Lidi kapas
b. Adanya benda asing Prognosis
c. Keterlibatan bola mata 1. Ad vitam : Bonam
Pemeriksaan Penunjang: Tidak 2. Ad functionam : dubia
3. Ad sanationam : dubia
diperlukan Penegakan Diagnostik
Referensi
(Assessment) Diagnosis Klinis
1. Karesh JW. The evaluation and management
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan of eyelid trauma. Dalam : Duane’s Clinical
pemeriksaan fisik. Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006.
Diagnosis banding: Tidak ada
(Karesh, 2006)
Komplikasi
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
Trauma pada sistem lakrimal Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) edition. Philadelphia: Lippincott Williams
Penatalaksanaan and Wilkins; 2008.
Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Penunjang
Hifema adalah terdapatnya akumulasi darah
Pemeriksaan tekanan intraokular dengan
pada bilik mata depan. Hifema dapat terjadi
Tonometer Schiotz
akibat trauma atau terjadi spontan. Hifema
dapat disertai dengan abrasi kornea, iritis, Penegakan Diagnostik (Assessment)
midriasis, atau gangguan struktur lain pada
mata akibat trauma penyebabnya. Hifema Diagnosis Klinis
spontan jarang ditemui. Hifema spontan dapat Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
menjadi penanda terdapatnya rubeosis iridis, pemeriksaan fisik
gangguan koagulasi, penyakit herpes, masalah
pada lensa intraokular (IOL), retinoblastoma, 1. Anamnesis untuk mengidentifikasi gejala,
serta leukemia. riwayat trauma, serta kemungkinan adanya
faktor risiko lain.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Pemeriksaan tajam penglihatan
Keluhan 3. Pemeriksaan mata dengan senter dan lup
untuk melihat adanya darah di bilik mata,
1. Nyeri pada mata menilai lebar pupil, serta mengidentifikasi
2. Penglihatan terganggu (bila darah kelainan kornea atau struktur lain akibat
menutupi aksis visual) trauma.
3. Fotofobia/silau 4. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan
tonometer Schiotz bila tidak terdapat defek
Faktor Risiko
pada kornea
1. Hifema akibat trauma sering ditemui pada
Diagnosis banding Tidak ada Komplikasi
laki-laki usia muda
2. Hifema spontan disebabkan oleh Prognosis umumnya baik pada hifema tanpa
neovaskularisasi iris (seperti pada pasien komplikasi.
diabetes dan oklusi vena retina),
koagulopati, dan pemakaian antikoagulan Komplikasi hifema antara lain:
Masalah Kesehatan
Terdapat dua tahap retinopati diabetik yaitu
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
yang mengenai prekapiler retina, kapiler dan proliferative diabetic retinopathy (PDR).
dan venula, sehingga menyebabkan oklusi
mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler, akibat Hasil Anamnesis (Subjective)
kadar gula darah yang tinggi dan lama. Keluhan
Retinopati diabetik dapat menyebabkan
penurunan visus dan kebutaan, terutama akibat 1. Tidak ada keluhan penglihatan
komplikasi seperti edema makula, perdarahan 2. Penglihatan buram terjadi terutama bila
vitreus, ablasio retina traksional dan glaukoma terjadi edema makula
neovaskular.
3. Floaters atau penglihatan mendadak
Retinopati diabetik adalah penyebab kebutaan terhalang akibat komplikasi perdarahan
ke 5 terbesar secara global (WHO, 2007). vitreus dan / atau ablasio retina traksional
Setidaknya terdapat 171 juta penduduk dunia
yang menyandang diabetes melitus, yang akan Faktor Risiko
meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 1. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol
2030 menjadi 366 million. Setelah 15 tahun, dengan baik
sekitar 2% penyandang diabetes dapat menjadi
buta, dan sekitar 10% mengalami gangguan 2. Hipertensi yang tidak terkontrol dengan
penglihatan berat. Setelah 20 tahun, retinopati baik
diabetik dapat ditemukan pada 75% lebih 3. Hiperlipidemia
penyandang diabetes.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Apabila didapatkan tanda-tanda retinopati,
Sederhana (Objective) pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis
mata.
Pemeriksaan Fisik
Konseling dan Edukasi
1. Riwayat diabetes mellitus (tipe I / tipe II).
2. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan 1. Kontrol gula darah dan pengendalian faktor
visus. sistemik lain (hipertensi, hiperlipidemia
3. Pada pemeriksaan funduskopi pupil lebar penting untuk memperlambat timbulnya
pada retina dapat ditemukan perdarahan atau progresifitas retinopati diabetik.
retina, eksudat keras, pelebaran vena, dan 2. Setiap pasien diabetes perlu menjalani
mikroaneurisma (pada NPDR), yang pada pemeriksaan mata awal (skrining), diikuti
kondisi lebih lanjut disertai neovaskularisasi pemeriksaan lanjutan minimal 1 kali dalam
di diskus optik atau di tempat lain di retina setahun.
(pada PDR). 3. Menjelaskan bahwa bila dirujuk,
4. Pada keadaan berat dapat ditemukan kemungkinan memerlukan terapi
neovaskularisasi iris (rubeosis iridis). fotokoagulasi laser, yang bertujuan
5. Refleks cahaya pada pupil normal, pada mencegah progresifitas retinopati diabetik.
kerusakan retina yang luas dapat Pada kondisi berat (perdarahan vitreus,
ditemukan RAPD (Relative Aferent Pupilary ablasio retina) kemungkinan perlu tindakan
Defect), serta penurunan refleks pupil pada bedah.
cahaya langsung dan tak langsung normal.
Kriteria Rujukan
Pemeriksaan Penunjang
Setiap pasien diabetes yang ditemukan tanda-
Tidak ada tanda retinopati diabetik sebaiknya dirujuk ke
dokter mata.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Peralatan
Diagnosis Klinis
1. Snellen chart
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan 2. Oftalmoskop
pemeriksaan fisik, teruttama funduskopi. 3. Tropikamid 1% tetes mata untuk
Diagnosis banding melebarkan pupil
1. OTITIS EKSTERNA
No. ICPC-2 : H70.Otitis externa
No. ICD-10 : H60.9.Otitis externa, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
2. Riwayat trauma yang mendahului keluhan,
Otitis eksternaadalah radang pada liang telinga misalnya: membersihkan liang telinga
luar. Penyakit ini banyak ditemukan di layanan dengan alat tertentu, memasukkan cotton
kesehatan tingkat pertama sehingga dokter di bud, memasukkan air ke dalam telinga.
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
3. Riwayat penyakit sistemik, seperti: diabetes
harus memiliki kemampuan mendiagnosis dan
mellitus, psoriasis, dermatitis atopik, SLE,
menatalaksana secara komprehensif.
HIV.
Klasifikasi otitis eksterna (OE):
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. OE akut Sederhana (Objective)
a. OE akut difus
Pemeriksaan Fisik
b. OE akut sirkumskripta, yaitu infeksi folikel
1. Nyeri tekan pada tragus
rambut yang menimbulkan furunkel di liang
2. Nyeri tarik daun telinga
telinga luar.
3. Otoskopi:
2. OE kronik
a. OE akut difus: liang telinga luar sempit,
3. OE ekzematoid, yang merupakan
kulit liang telinga luar hiperemis dan edem
manifestasi dari kelainan dermatologis,
dengan batas yang tidak jelas, dan dapat
seperti dermatitis atopik, psoriasis, atau
ditemukan sekret minimal.
SLE.
b. OE akut sirkumskripta: furunkel pada liang
4. OE nekrotikans
telinga luar
Hasil Anamnesis (Subjective) 4. Tes garputala: Normal atau tuli konduktif
Keluhan Pemeriksaan Penunjang
1. Rasa sakit pada telinga (otalgia), yang Tidak diperlukan
bervariasi dari ringan hingga hebat,
terutama saat daun telinga disentuh dan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
mengunyah dan pemeriksaan fisik.
2. Rasa penuh pada telinga
Diagnosis Banding
3. Pendengaran dapat berkurang
4. Terdengar suara mendengung (tinnitus) Perikondritis yang berulang, Kondritis,
5. Keluhan biasanya dialami pada satu telinga Otomikosis
dan sangat jarang mengenai kedua telinga
dalam waktu bersamaan Komplikasi
6. Keluhan penyerta lain yang dapat timbul: Jika pengobatan tidak adekuat, dapat timbul
demam atau meriang, telinga terasa basah abses, nfeksi kronik liang telinga, jaringan parut,
Faktor Risiko dan stenosisliang telinga.
1. Riwayat sering beraktifitas di air, misalnya:
berenang, berselancar, mendayung.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Penatalaksanaan 1. Lampu kepala
2. Corong telinga
1. Non-medikamentosa:
3. Aplikator kapas
a. Membersihkan liang telinga secara hati- 4. Otoskop
hati dengan pengisap atau kapas yang
dibasahi dengan H2O2 3%. Prognosis
b. Bila terdapat abses, dilakukan insisi dan 1. Ad vitam : Bonam
drainase. 2. Ad functionam : Bonam
2. Medikamentosa: 3. Ad sanationam : Bonam
a. Topikal Referensi
• Larutan antiseptik povidon iodine 1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
• OE akut sirkumskripta pada Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
stadium infiltrat: Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6.
− Salep ikhtiol, atau Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007)
− Salep antibiotik: Polymixin-B,
Basitrasin. 2. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku
• OE akut difus: Tampon yang telah Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
diberi campuran Polimyxin-B, 1997. (Adam & Boies, 1997)
Neomycin, Hidrocortisone, dan 3. Sander, R. Otitis Externa: A Practical
anestesi topikal. Guide to Treatment and Prevention. Am
b. Sistemik Fam Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937.
• Antibiotik sistemik diberikan bila (Sander, 2001)
infeksi cukup berat. 4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
• Analgetik, seperti Paracetamol atau Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
Ibuprofen dapat diberikan. (Lee, 2003)
Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diberi penjelasan, di
antaranya:
1. Tidak mengorek telinga baik dengan cotton
bud atau alat lainnya
2. Selama pengobatan pasien tidak boleh
berenang
3. Penyakit dapat berulang sehingga harus
menjaga liang telinga agar dalam kondisi
kering dan tidak lembab
Kriteria Rujukan
1. Otitis eksterna dengan komplikasi
2. Otitis eksterna maligna
2. OTITIS MEDIA AKUT
No. ICPC-2
: H71.No.
Acute
ICD-10
otitis media/myringitis
: H65.0. Acute serous otitis media
H65.1. Other acure nonsuppurative otitis media H66.0 Acute suppurative otitis media
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sederhana (Objective)
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
Pemeriksaan Fisik
tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel
mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 1. Suhu dapat meningkat
minggu. 2. Otoskopi
Hasil Anamnesis (Subjective) Tabel 5.1 Hasil otoskopi pada OMA
Keluhan (tergantung stadium OMA yang
sedang dialami)
1. Stadium oklusi tuba: Telinga terasa penuh
atau nyeri, pendengaran dapat berkurang.
2. Stadium hiperemis: Nyeri telinga makin
intens, demam, rewel dan gelisah (pada
bayi/anak), muntah, nafsu makan hilang,
anak biasanya sering memegang telinga
yang nyeri.
3. Stadium supurasi: Sama seperti stadium
hiperemis
4. Stadium perforasi: Keluar sekret dari liang 3. Tes penala
telinga
5. Stadium resolusi: Setelah sekret keluar, Dapat ditemukan tuli konduktif, yaitu: tes Rinne
intensitas keluhan berkurang (suhu turun, (-) dan tes Schwabach memendek pada telinga
nyeri mereda, bayi/anak lebih tenang. Bila yang sakit, tes Weber terjadi lateralisasi ke
perforasi permanen, pendengaran dapat telinga yang sakit.
tetap berkurang. Pemeriksaan Penunjang
Faktor Risiko Audiometri nada murni, bila fasilitas tersedia
1. Bayi dan anak Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Infeksi saluran napas atas berulang
3. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring Diagnosis Klinis
telentang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
4. Kelainan kongenital, misalnya: sumbing
dan pemeriksaan fisik.
langit-langit, sindrom Down
5. Paparan asap rokok Diagnosis Banding
6. Alergi
7. Tingkat sosio-ekonomi yang rendah Otitis media serosa akut, Otitis eksterna
Komplikasi Pencegahan
1. Komplikasi intra-temporal: Labirinitis, 1. Imunisasi Hib dan PCV perlu dilengkapi,
Paresis nervus fasialis, Petrositis, sesuai panduan Jadwal
Hidrosefalus otik 2. Imunisasi Anak tahun 2014 dari IDAI.
2. Komplikasi ekstra-temporal/intrakranial:
Abses subperiosteal, Abses epidura, Tabel 5.2. Daftar antibiotik untuk terapi OMA
Abses perisinus, Abses subdura, Abses
otak, Meningitis, Trombosis sinus lateral,
Sereberitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Topikal
a. Pada stadium oklusi tuba, terapi
bertujuan membuka kembali tuba
eustachius. Obat yang diberikan adalah: Kriteria Rujukan
Berikan tetes mata Tetrakain-HCl 2% 1. Jika terdapat indikasi miringotomi.
sebanyak 1-2 tetes pada mata yang 2. Bila terjadi komplikasi dari otitis media akut.
terkena benda asing.
Gunakan kaca pembesar (lup) dalam Peralatan
pengangkatan benda asing. 1. Lampu kepala
Angkat benda asing dengan 2. Corong telinga
menggunakan lidi kapas atau jarum 3. Otoskop
suntik ukuran 23G. 4. Aplikator kapas
Arah pengambilan benda asing 5. Garputala
dilakukan dari tengah ke tepi. 6. Suction
Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
Povidon Iodin pada tempat bekas Prognosis
benda asing. 1. Ad vitam : Bonam
b. Pada stadium perforasi, diberikan obat 2. Ad functionam : Bonam
cuci telinga: 3. Ad sanationam : Bonam
H2O2 3%, 3 kali sehari, 4 tetes di
telinga yang sakit, didiamkan selama 2- Referensi
5 menit. Asam asetat 2%, 3 kali sehari, 4
1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies. Buku Ajar
tetes di telinga yang sakit.
Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
Ofloxacin, 2 kali sehari, 5-10 tetes di
telinga yang sakit, selama maksimal 2 2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
minggu Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
2. Oral Sistemik: antibiotik, antihistamin (bila Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
terdapat tanda-tanda alergi), dekongestan, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
analgetik / antipiretik Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.2007.
Konseling dan Edukasi
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
1. Untuk bayi/anak, orang tua dianjurkan Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
untuk memberikan ASI
2. minimal 6 bulan sampai 2 tahun. 4. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis
3. Menghindarkan bayi/anak dari paparan Media and Sinusitis Complicating Upper
asap rokok. Respiratory Tract Infection: The Effect of
Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007,
pp. e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007)
3. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
: H74. Chronic otitis media
No. ICPC-2 No. ICD-10
: H66.1. Chronic tubotympanic suppurative otitis media H66.2. Chronic atticoantral suppurative otitis media H66.3. O
Tingkat Kemampuan 3A
5. SERUMEN PROP
No. ICPC-2: H81 Excessive ear wax
No. ICD-10: H61.2 Impacted cerumen
Tingkat Kemampuan 4A
2. INFARK MIOKARD
No. ICPC-2 : K75 Acute Myocardial Infarction
No. ICD-10 : I21.9 Acute Myocardial Infarction, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
1. Usia
Infark miokard (IM) adalah perkembangan cepat Risiko meningkat pada pria diatas 45 tahun
dari nekrosis otot jantung yang disebabkan dan wanita diatas 55 tahun (umumnya
oleh ketidakseimbangan kritis antara suplai setelah menopause)
oksigen dan kebutuhan miokardium. Umumnya 2. Jenis kelamin
disebabkan ruptur plak dan trombus dalam Morbiditas akibat penyakit jantung koroner
pembuluh darah koroner dan mengakibatkan (PJK) pada laki-laki dua kali lebih besar
kekurangan suplai darah ke miokardium. dibandingkan pada perempuan, hal ini
berkaitan dengan estrogen endogen yang
Hasil Anamnesis (Subjective) bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
Keluhan terbukti insidensi PJK meningkat dengan
cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki
1. Nyeri dada retrosternum seperti tertekan pada wanita setelah masa menopause.
atau tertindih benda berat. 3. Riwayat keluarga
2. Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri
punggung, dan epigastrium.Penjalaran ke Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan
tangan kiri lebih sering terjadi. ibu < 65 tahun.
3. Disertai gejala tambahan berupa sesak,
mual, muntah, nyeri epigastrium, keringat Yang dapat diubah:
dingin, dan cemas. 1. Mayor
Faktor Risiko a. Peningkatan lipid serum
b. Hipertensi
Yang tidak dapat diubah: c. Merokok
d. Konsumsi alkohol
e. Diabetes Melitus Klasifikasi
f. Diet tinggi lemak jenuh,kolesterol dan
kalori 1. STEMI
2. Minor 2. NSTEMI/UAP
a. Aktivitas fisik kurang Diagnosis Banding
b. Stress psikologik
c. Tipe kepribadian Angina pektoris prinzmetal, Unstable angina
pectoris, Ansietas, Diseksi aorta, Dispepsia,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Miokarditis, Pneumothoraks, Emboli paru
Sederhana (Objective)
Komplikasi
Pemeriksaan Fisik
1. Aritmia letal
1. Pasien biasanya terbaring dengan gelisah 2. Perluasan infark dan iskemia paska infark
dan kelihatan pucat 3. Disfungsi otot jantung
2. Hipertensi/hipotensi 4. Ruptur miokard
3. Dapat terdengar suara murmur dan gallop
S3 Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Ronki basah disertai peningkatan vena Penatalaksanaan
jugularis dapat ditemukan pada AMI yang
disertai edema paru Segera rujuk setelah pemberian :
5. Dapat ditemukan aritmia
1. Oksigen 2-4 liter/menit
Pemeriksaan Penunjang 2. Nitrat, ISDN 5-10 mg sublingual maksimal
3 kali
EKG: 3. Aspirin, dosis awal 320 mg dilanjutkan dosis
1. Pada ST Elevation Myocardial infarct pemeliharaan 1 x 160 mg
(STEMI), terdapat elevasi segmen ST diikuti 4. Dirujuk dengan terpasang infus dan oksigen
dengan perubahan sampai inversi Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
gelombang T, kemudian muncul
peningkatan gelombang Q minimal di dua EKG serial
sadapan.
Konseling dan Edukasi
2. Pada NonST Elevation Myocardial infarct
(NSTEMI), EKG yang ditemukan dapat 1. Edukasi untuk kemungkinan kegawatan dan
berupa depresi segmen ST dan inversi segera dirujuk
gelombang T, atau EKG yang normal. 2. Modifikasi gaya hidup
Penegakan Diagnostik (Assessment) Kriteria Rujukan
Diagnosis Klinis Segera dirujuk ke layanan sekunder dengan
spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Peralatan
Kriteria diagnosis pasti jika terdapat 2 dari 3 hal 1. Tabung oksigen
di bawah ini: 2. Masker oksigen
3. Elektrokardiografi
1. Klinis: nyeri dada khas angina
2. EKG: ST elevasi atau ST depresi atau T Prognosis
inverted.
3. Laboratorium: peningkatan enzim jantung Prognosis umumnya dubia, tergantung pada
pada tatalaksana dini dan tepat.
Referensi 3. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The
Heart Manual of Cardiology. 12th
1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009 Ed.McGrawHill.2009. (Isselbacher, 2000)
(Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu
RSCM, 2004)
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
2. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3.
Jakarta: EGC.2000 (Isselbacher, 2000)
3. TAKIKARDIA
No. ICPC-2: K79 Paroxysmal Tachicardy
No. ICD-10: R00.0 Tachicardy Unspecified
I47.1 Supraventicular Tachicardy I47.2 Ventricular Tachicardy
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
tablet atau overdosis obat, trombosis
Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi koroner, dan thrombosis pulmoner),
kegawatdaruratan karena berhentinya tersedak, tenggelam, gagal jantung akut,
aktivitas jantung paru secara mendadak yang emboli paru, atau keracunan karbon
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. monoksida.
Hal ini disebabkan oleh malfungsi mekanik
jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
yang mendadak dan berat ini mengakibatkan
kerusakan organ. Pemeriksaan Fisik
Henti jantung adalah konsekuensi dari aktivitas Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan:
otot jantung yang tidak terkoordinasi. Dengan
EKG, ditunjukkan dalam bentuk Ventricular 1. Pasien tidak sadar
Fibrillation (VF). Satu menit dalam keadaan 2. Tidak ada nafas
persisten VF, aliran darah koroner menurun 3. Tidak teraba denyut nadi di arteri-arteri
hingga tidak ada sama sekali. Dalam 4 menit, besar (karotis dan femoralis).
aliran darah katoris tidak ada sehingga Pemeriksaan Penunjang
menimbulkan kerusakan neurologi secara
permanen. EKG
Jenis henti jantung Gambaran EKG biasanya menunjukkan
gambaran VF (Ventricular Fibrillation). Selain itu
1. Pulseless Electrical Activity (PEA) dapat pula terjadi asistol, yang survival rate-
2. Takikardia Ventrikel nya lebih rendah daripada VF.
3. Fibrilasi Ventrikel
4. Asistole Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis
Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik sedangkan anamnesis berguna untuk
Pasien dibawa karena pingsan mendadak mengidentifikasi penyebabnya.
dengan henti jantung dan paru. Sebelumnya,
dapat ditandai dengan fase prodromal berupa Diagnosis Banding:
nyeri dada, sesak, berdebar dan lemah. Hal
- Komplikasi
yang perlu ditanyakan kepada keluarga pasien
adalah untuk mencari penyebab terjadinya CRA Konsekuensi dari kondisi ini adalah hipoksia
antara lain oleh: ensefalopati, kerusakan neurologi permanen
dan kematian.
1. 5 H (hipovolemia, hipoksia, hidrogen ion
atau asidosis, hiper atau hipokalemia dan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
hipotermia)
2. 5 T (tension pneumothorax, tamponade, Penatalaksanaan
1. Melakukan resusitasi jantung paru pada
pasien, sesegera mungkin tanpa menunggu Peralatan
anamnesis dan EKG.
2. Pasang oksigen dan IV line 1. Elektrokardiografi (EKG)
2. Tabung oksigen
Konseling dan Edukasi 3. Bag valve mask
Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien Prognosis
dan tindak lanjut dari tindakan yang telah
dilakukan, serta meminta keluarga untuk tetap Prognosis umumnya dubia ad malam, tergantung
tenang pada kondisi tersebut. pada waktu dilakukannya penanganan medis.
Monitor selalu kondisi pasien hingga dirujuk ke 1. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric
spesialis. Rescucitation in Critical Care Handbook of
the Massachusetts General Hospital. 4Ed.
Kriteria rujukan Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)
Setelah sirkulasi spontan kembali (Return of
2. 2. O’Rouke. Walsh. Fuster. Hurst’s The Heart
Spontaneous Circulation/ROSC) pasien dirujuk
Manual of Cardiology. 12th Ed.McGraw Hill.
ke layanan sekunder untuk tatalaksana lebih
2009.
lanjut.
3. Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007.
6. HIPERTENSI ESENSIAL
No ICPC-2 No ICD-10 : K86 Hypertension uncomplicated
: I10 Essential (primary) hypertension
Tingkat Kemampuan 4A
Diagnosis Banding
White collar hypertension, Nyeri akibat tekanan
intraserebral, Ensefalitis
1. Hipertensi tanpa compelling indication c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan
a. Hipertensi stage1: dapat diberikan ada tidaknya kontraindikasi dari
diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, atau masing-masing antihipertensi diatas.
pemberian penghambat ACE (captopril Sebaiknya pilih obat hipertensi yang
3x12,5-50 mg/hari), atau nifedipin long diminum sekali sehari atau maksimum
acting 30-60 mg/hari) atau kombinasi. 2 kali sehari.
b. Hipertensi stage2: Bila target terapi Bila target tidak tercapai maka dilakukan
tidak tercapai setelah observasi selama optimalisasi dosis atau ditambahkan obat
2 minggu, dapat diberikan kombinasi 2 lain sampai target tekanan darah tercapai
obat, biasanya golongan diuretik, tiazid
dan penghambat ACE atau penyekat Tabel 6.3 Obat yang direkomendasikan untuk
reseptor beta atau penghambat hipertensi
kalsium.
1. FRAKTUR TERBUKA
No. ICPC-2 : L76 fracture other
No. ICD-10 : T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
c. Terabanya jaringan tulang yang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, menonjol keluar
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik d. Adanya deformitas
yang bersifat total maupun parsial. e. Panjang anggota gerak berkurang
dibandingkan sisi yang sehat
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur yang 3. Gerak (move)
terdapathubungan dengan lingkungan luar Umumnya tidak dapat digerakkan
melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
bakteri dan dapat menimbulkan komplikasi Pemeriksaan Penunjang
infeksi.
Pemeriksaan radiologi, berupa: Foto polos
Hasil Anamnesis (Subjective) dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan
lateral
Keluhan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Adanya patah tulang terbuka setelah
terjadinya trauma Diagnosis klinis
2. Nyeri
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
3. Sulit digerakkan
pemeriksaan fisik dan penunjang.
4. Deformitas
5. Bengkak Klasifikasi
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok:
8. Kelemahan otot 1. Grade I
Faktor Risiko: - a. Fraktur terbuka dengan luka kulit
kurang dari 1 cm dan bersih
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang b. Kerusakan jaringan minimal, frakturnya
Sederhana (Objective) simple atau oblique dan sedikit
kominutif .
Pemeriksaan Fisik
2. Grade II
1. Inspeksi (look) a. Fraktur terbuka dengan luka robek
Adanya luka terbuka pada kulit yang lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan
dapat berupa tusukan tulang yang tajam jaringan lunak,
keluar menembus kulit atau dari luar oleh b. Flap kontusio avulsi yang luas
karena tertembus, misalnya oleh peluru serta fraktur kominutif sedang dan
atau trauma langsung dengan fraktur yang kontaminasi sedang.
terpapar dengan dunia luar. 3. Grade III
2. Palpasi (feel)
Fraktur terbuka segmental atau kerusakan
a. Robekan kulit yang terpapar dunia luar
jaringan lunak yang luas atau amputasi
b. Nyeri tekan
traumatic, derajad kontaminasi yang berat dan
trauma dengan kecepatan tinggi. 4. Pemberian antibiotika: merupakan cara
efektif mencegah terjadinya infeksi pada
Fraktur grade III dibagi menjadi tiga, yaitu: fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan
a. Grade IIIa: Fraktur segmental atau sangat sebaiknya dengan dosis yang besar.
kominutif penutupan tulang dengan Untuk fraktur terbuka antibiotika yang
jaringan lunak cukup adekuat. dianjurkan adalah golongan cephalosporin,
b. Grade IIIb: Trauma sangat berat atau dan dikombinasi dengan golongan
kehilangan jaringan lunak yang cukup luas, aminoglikosida.
terkelupasnya daerah periosteum dan 5. Pencegahan tetanus: semua penderita
tulang tampak terbuka,serta adanya dengan fraktur terbuka perlu diberikan
kontaminasi yang cukup berat. pencegahan tetanus. Pada penderita yang
c. Grade IIIc: Fraktur dengan kerusakan telah mendapat imunisasi aktif cukup
pembuluh darah. dengan pemberian tetanus toksoid tapi
bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit
Diagnosis Banding: - tetanus imunoglobulin.
Komplikasi Kriteria Rujukan
Perdarahan, syok septik sampai kematian, Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih
septikemia, toksemia oleh karena infeksi stabil dengan tetap mengawasi tanda vital.
piogenik, tetanus, gangrene, perdarahan
sekunder, osteomielitis kronik, delayed union, Peralatan
nonunion dan malunion, kekakuan sendi,
Bidai, set bedah minor
komplikasi lain oleh karena perawatan yang
lama Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis quo ad fungsionam adalah dubia
ad bonam, tergantung pada kecepatan dan
Prinsip penanganan fraktur terbuka ketepatan tindakan yang dilakukan.
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara
Referensi
emergensi dengan metode ATLS
2. Lakukan irigasi luka 1. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture.
3. Lakukan imobilisasi fraktur E-medicine. Medscape. Update 21 May.
4. Pasang cairan dan berikan antibiotika intra 2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
vena yang sesuai dan adekuat kemudian 2. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah
segera rujuk kelayanan sekunder. Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta:
PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334.
Penatalaksanaan (Chairuddin, 2007)
1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan
cara irigasi dengan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing
yang melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan,
pada fraktur dengan tulang menonjol
keluarsedapat mungkin dihindari
memasukkan komponen tulang tersebut
kembali kedalam luka.
3. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi
dengan fiksasi eksterna.
2. FRAKTUR TERTUTUP
No. ICPC-2 : L76 fracture other
No. ICD-10 : T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B
4. ARTRITIS REUMATOID
No. ICPC-2 No. ICD-10 : L99 Musculosceletal disease other
: M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Gejala sinovitis pada sendi yang terkena:
Penyakit autoimun yang ditandai dengan bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan
walaupun terutama mengenai jaringan pada pagi hari > 1 jam.
persendian, seringkali juga melibatkan organ
tubuh lainnya. Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis),
kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis),
Hasil Anamnesis (Subjective) hematologi (anemia).
Keluhan Faktor Risiko
Gejala pada awal onset 1. Wanita,
2. Faktor genetik.
Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, 3. Hormon seks.
seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung 4. Infeksi
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. 5. Merokok
Gejala spesifik pada banyak sendi Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
(poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai sederhana (Objective)
seluruh sendi terutama sendi PIP (proximal
interphalangeal), sendi MCP Pemeriksaan Fisik
(metacarpophalangeal) atau MTP
(metatarsophalangeal), pergelangan tangan, Manifestasi artikular:
bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP (distal Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi,
interphalangeal) umumnya tidak terkena. sendi teraba hangat, deformotas (swan neck,
boutonniere, deviasi ulnar) Gambar 6.2 Radiologi tangan pada Artritis
Manifestasi ekstraartikular: Rheumatoid
1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada
daerah yg banyak menerima penekanan,
vaskulitis.
2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal
tunnel syndrome atau frozen shoulder.
3. Mata dapat ditemukan kerato-
konjungtivitis sicca yang merupakan
manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/
skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat
penyakit kronik.
4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya Penegakan Diagnosis (Assessment)
radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis
Diagnosis Klinis
interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru
luas. Diagnosis RA biasanya didasarkan pada
5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan gambaran klinis dan radiografis.
perikarditis konstriktif, disfungsi katup, Kriteria Diagnosis
fenomena embolisasi, gangguan konduksi,
aortritis, kardiomiopati. Berdasarkan ACR-EULAR 2010:
Pemeriksaan Penunjang Dibuat skor dari beberapa poin dibawah ini :
Pemeriksaan laju endap darah (LED) 1. Jumlah sendi yang terlibat
Pemeriksaan di pelayanan kesehatan sekunder a. 1 sendi besar 0
atau rujukan horizontal: b. 2-10 sendi besar 1
c. 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa 2
1. Faktor reumatoid (RF) serum. sendi besar)
2. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini d. 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa 3
berupa pembengkakan jaringan lunak, sendi besar)
diikuti oleh osteoporosis juxta-articular e. >10 sendi dengan minimal 1 sendi 5
dan erosi pada bare area tulang. Keadaan kecil
lanjut terlihat penyempitan celah sendi,
osteoporosis difus, erosi meluas sampai Sendi DIP, MTP I, carpometacarpal I tidak
daerah subkondral. termasuk dalam kriteria yang dimaksud
sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari,
3. ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide
dan pergelangan tangan yang dimaksud
antibody) / anti-CCP
sendi besar adalah bahu, siku, lutut,
4. CRP pangkal paha, dan pergelangan kaki.
2. Acute phase reactants : LED dan CRP
5. Analisis cairan sendi
LED atau CRP naik : 1
6. Biopsi sinovium/ nodul rheumatoid 3. RF atau anti CCP
a. RF dan anti CRP (-) 0
b. RF atau anti CRP naik < 3 batas atas 2
normal (BAN)
c. RF atau CRP naik > 3 BAN 3
4. Durasi
a. Lebih dari 6 Minggu 1
b. Kurang dari 6 Minggu 0
Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA yang dikonfirmasi oleh bukti pencitraan
Tabel 6.4 Sistem penilaian klasifikasi kriteria akan adanya sinovitis. Sendi interfalang
RA (American College of Rheumatology/ distal, sendi karpometakarpal I, dan sendi
European League Against Rheumatism, 2010) metatarsofalangeal I tidak dimasukkan
dalam pemeriksaan. Kategori distribusi
sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi
dan jumlah sendi yang terlibat, ditempatkan
ke dalam kategori tertinggi berdasarkan
pola keterlibatan sendi.
5. Sendi-sendi besar merujuk pada bahu, siku,
pinggul, lutut, dan pergelangan kaki.
6. Sendi-sendi kecil merujuk pada sendi
metakarpofalangeal, sendi interfalang
proksimal, sendi metatarsophalangeal II-
V, sendi interfalang ibujari, dan pergelangan
tangan.
7. Dalam kategori ini, minimal 1 dari sendi
Catatan: yg terlibat harus sendi kecil; sendi lainnya
dapat berupa kombinasi dari sendi besar
1. Kriteria tersebutditujukan untuk klasifikasi dan sendi kecil tambahan, seperti sendi
pasien baru. lainnya yang tidak terdaftar secara spesifik
Sebagai tambahan, pasien dengan dimanapun (misal temporomandibular,
penyakit erosif tipikal RA dengan riwayat akromioklavikular, sternoklavikular dan lain-
yang sesuai dengan kriteria 2010 ini lain).
harus diklasifikasikan ke dalam RA. Pasien
dengan penyakit lama, termasuk yang tidak 8. Negatif merujuk pada nilai IU yg ≤ batas
aktif (dengan atau tanpa pengobatan), atas nilai normal (BAN) laboratorium dan
yang berdasarkan data retrospektif yang assay; positif rendah merujuk pada nilai
dimiliki memenuhi kriteria 2010 ini harus IU yang ≥ BAN tetapi ≤ 3x BAN laboratorium
diklasifikasikan ke dalam RA. dan assay; positif tinggi merujuk pada nilai
IU yg > 3x BAN laboratorium dan assay.
2. Diagnosis banding bervariasi diantara Ketika RF hanya dapat dinilai sebagai positif
pasien dengan manifestasi yang berbeda, atau negatif, hasil positif harus dinilai
tetapi boleh memasukkan kondisi seperti sebagai positif rendah untuk RA. ACPA =
SLE, artritis psoriatic, dan gout. Jika anti- citrullinated protein antibody.
diagnosis banding masih belum jelas,
hubungi ahli reumatologi. 9. Normal/tidak normal ditentukan oleh
standar laboratorium setempat. CRP (C-
3. Walaupun pasien dengan skor < 6 dari tidak reactive protein); LED (Laju Endap Darah).
diklasifikasikan ke dalam RA, status mereka
dapat dinilai ulang dan kriteria ini bisa 10. Durasi gejala merujuk pada laporan dari
dipenuhi secara kumulatif seiring waktu. pasien mengenai durasi gejala dan tanda
sinovitis (misal nyeri, bengkak, dan nyeri
4. Keterlibatan sendi merujuk pada sendi pada penekanan) dari sendi yang secara
yang bengkak atau nyeri pada pemeriksaan, klinis terlibat pada saat pemeriksaan, tanpa
memandang status pengobatan.
Diagnosis Banding penatalaksanaan selanjutnya.
Penyebab arthritis lainnya, Spondiloartropati Referensi
seronegatif, Lupus eritematosus istemik,
Sindrom Sjogren 1. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In:
Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Komplikasi Principals of Internal Medicine. 17thEd.
USA: McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
1. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck,
deviasi ulnar) 2. Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo,
A.W. Setiyohadi, B Alwi, I. Simadibrata, M.
2. Sindrom terowongan karpal (TCS) Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit
3. Sindrom Felty (gabungan gejala RA, Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
splenomegali, leukopenia, dan ulkus pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
tungkai; juga sering disertai limfadenopati 2006: p. 1184-91.
dan trombositopenia)
3. Panduan Pelayanan Medis Departemen
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo. 2007
Penatalaksanaan
1. Pasien diberikan informasi untuk
memproteksi sendi, terutama pada stadium
akut dengan menggunakan decker.
2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid,
seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari,
meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-
400 mg/sehari.
3. Pemberian golongan steroid, seperti:
prednison atau metil prednisolon dosis
rendah (sebagai bridging therapy).
4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu
dapat diberikan ortosis.
Kriteria rujukan
1. Tidak membaik dengan pemberian obat
anti
inflamasi dan steroid dosis rendah.
2. RA dengan komplikasi.
3. Rujukan pembedahan jika terjadi
deformitas.
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah.
Prognosis
Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat
tergantung dari perjalanan penyakit dan
5. ARTRITIS, OSTEOARTRITIS
No. ICPC-2: L91 Osteoarthrosis other No. ICD-10: M19.9 Osteoarthrosis other
Tingkat Kemampuan 3A
6. VULNUS
No. ICPC-2
: S.16 Bruise / Contusion
Abration / Scratch / Blister
No. ICD-10 Laceration / Cut
: T14.1 Open wound of unspecified body region
Tingkat Kemampuan:
Vulnus laceratum, punctum 4A
Vulnus perforatum, penetratum 3B
Masalah Kesehatan
kecil tapi didalam mungkin rusak berat, jika
Kulit merupakan bagian tubuh yang paling yang mengenai abdomen/thorax disebut
luar yang berguna melindungi diri dari trauma vulnus penetrosum(luka tembus).
luar serta masuknya benda asing.Apabila kulit
2. Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat)
terkena trauma, maka dapat menyebabkan
luka/ vulnus.Luka tersebut dapat merusak Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan
jaringan, sehingga terganggunya fungsi tubuh benda tajam atau jarum merupakan
serta dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. luka terbuka akibat dari terapi untuk
dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam
Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan,
dan licin.
dapat ditimbulkan oleh berbagai macam akibat
yaitu trauma, meliputi luka robek (laserasi), 3. Vulnus Schlopetorum (Luka Tembak)
luka akibat gesekan (abrasi), luka akibat tarikan
(avulsi), luka tembus (penetrasi), gigitan, luka Penyebabnya adalah tembakan, granat.
bakar, dan pembedahan. Pada pinggiran luka tampak kehitam-
hitaman, bisa tidak teratur kadang
Etiologi ditemukan corpus alienum.
Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari : 4. Vulnus Morsum (Luka Gigitan)
Trauma tajam yang menimbulkan luka terbuka, Penyebab adalah gigitan binatang atau
misalnya : manusia, kemungkinan infeksi besar bentuk
luka tergantung dari bentuk gigi
1. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)
5. Vulnus Perforatum (Luka Tembus)
Penyebab adalah benda runcing tajam
atau sesuatu yang masuk ke dalam kulit, Luka jenis ini merupakan luka tembus atau
merupakan luka terbuka dari luar tampak luka jebol. Penyebab oleh karena panah,
tombak atau proses infeksi yang meluas Patofisiologi
hingga melewati selaput serosa/epithel
organ jaringan. Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang
mengenai tubuh yang bisa disebabkan oleh
6. Vulnus Amputatum (Luka Terpotong) trauma mekanis dan perubahan suhu (luka
bakar). Vulnus yang terjadi dapat menimbulkan
Luka potong, pancung dengan penyebab beberapa tanda dan gejala seperti bengkak,
benda tajam ukuran besar/berat, gergaji.
krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau bisa
Luka membentuk lingkaran sesuai dengan
juga menimbulkan kondisi yang lebih serius.
organ yang dipotong. Perdarahan hebat,
Tanda dan gejala yang timbul tergantung pada
resiko infeksi tinggi, terdapat gejala pathom
penyebab dan tipe vulnus.
limb.
Macam-macam Luka
Trauma tumpul yang menyebabkan luka
tertutup (vulnus occlusum), atau luka terbuka Menurut tipenya luka dibedakan menjadi 4 tipe
(vulnus apertum), misalnya : luka yaitu :
1. Vulnus Laceratum (Laserasi/Robek) 1. Luka bersih (Clean wound)
Jenis luka ini disebabkan oleh karena Luka bersih adalah luka karena tindakan
benturan dengan benda tumpul, dengan operasi dengan tehnik steril, misalnya pada
ciri luka tepi luka tidak rata dan perdarahan daerah dinding perut, dan jaringan lain yang
sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi. letaknya lebih dalam (non contaminated
deep tissue), misalnya tiroid, kelenjar,
2. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet) pembuluh darah, otak, tulang.
Penyebab luka karena kecelakaan atau
2. Luka bersih-kontaminasi (Clean
jatuh yang menyebabkan lecet pada
contaminated wound)
permukaan kulit merupakan luka terbuka
tetapi yang terkena hanya daerah kulit. Merupakan luka yang terjadi karena benda
tajam, bersih dan rapi, lingkungan tidak
3. Vulnus Contussum (Luka Kontusio)
steril atau operasi yang mengenai daerah
Penyebab: benturan benda yang keras. usus halus dan bronchial.
Luka ini merupakan luka tertutup, akibat
3. Luka kontaminasi (Contaminated wound)
dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur
pada pembuluh darah menyebabkan nyeri Luka ini tidak rapi, terkontaminasi oleh
dan berdarah (hematoma) bila kecil maka lingkungan kotor, operasi pada saluran
akan diserap oleh jaringan di sekitarnya jika terinfeksi (usus besar, rektum, infeksi
organ dalam terbentur dapat menyebabkan bronkhial, saluran kemih)
akibat yang serius.
4. Luka infeksi (Infected wound)
Trauma termal, (Vulnus Combustion-Luka
Bakar), yaitu kerusakan kulit karena suhu yang Jenis luka ini diikuti oleh adanya infeksi,
ekstrim, misalnya air panas, api, sengatan listrik, kerusakan jaringan, serta kurangnya
bahan kimia, radiasi atau suhu yang sangat vaskularisasi pada jaringan luka.
dingin (frostbite). Hasil Anamnesis (Subjective)
Jaringan kulit rusak dengan berbagai derajat Terjadi trauma, ada jejas, memar, bengkak,
mulai dari lepuh (bula), sampai karbonisasi nyeri, rasa panas didaerah trauma.
(hangus). Terdapat sensasi nyeri dan atau
anesthesia.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang bila diperlukan.
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Inspeksi: adanya kerusakan jaringan didaerah
trauma, ada perdarahan, edema sekitar area 1. Pertama dilakukan anestesi setempat atau
trauma, melepuh, kulit warna kemerahan umum, tergantung berat dan letak luka,
sampai kehitaman. serta keadaan penderita, luka dan sekitar
luka dibersihkan dengan antiseptik. Bahan
Palpasi: nyeri tekan, atau anestesi. yang dapat dipakai adalah larutan yodium
povidon 1% dan larutan klorheksidin ½%,
Pemeriksaan Penunjang : -
larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya
Penegakan Diagnostik (Assessment) digunakan untuk membersih kulit disekitar
luka.
1. Gejala Lokal
2. Kemudian daerah disekitar lapangan kerja
a. Nyeri terjadi karena kerusakan ujung- ditutup dengan kain steril dan secara steril
ujung saraf sensoris. dilakukan kembali pembersihan luka dari
Intensitas atau derajat rasa nyeri kontaminasi secara mekanis, misalnya
berbeda-beda tergantung pada berat/ pembuangan jaringan mati dengan gunting
luas kerusakan ujung-ujung saraf, atau pisau dan dibersihkan dengan bilasan,
etiologi dan lokasi luka. atau guyuran NaCl.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
7. LIPOMA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S78 Lipoma
: D17.9 Benign lipomatous neoplasm
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Diagnosis Banding
Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak Epidermoid kista,Abses, Liposarkoma, Limfadenitis
yang berada di bawah kulit yang terdiri dari tuberkulosis
lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia
lanjut (40-60 tahun), namun juga dapat Pemeriksaan Penunjang
dijumpai pada anak-anak. Lipoma kebanyakan Pemeriksaan penunjang lain merupakan
berukuran kecil, namun dapat tumbuh hingga pemeriksaan rujukan, seperti biopsi jarum halus.
mencapai lebih dari diameter 6 cm.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hasil Anamnesis
Penatalaksanaan
Keluhan
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri. Biasanya Lipoma tidak perlu dilakukan tindakan
Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). apapun.
Hanya dikeluhkan timbulnya benjolan yang 1. Pembedahan
membesar perlahan dalam waktu yang lama. Dengan indikasi : kosmetika tanpa keluhan
Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh lain. Cara eksisi Lipoma dengan melakukan
dengan menekan saraf. Untuk tempat predileksi sayatan di atas benjolan, lalu mengeluarkan
seperti di leher bisa menimbulkan keluhan jaringan lipoma
menelan dan sesak. 2. Terapi pasca eksisi: antibiotik, anti nyeri
Faktor Risiko Simptomatik: obat anti nyeri
1. Adiposisdolorosis
2. Riwayat keluarga dengan lipoma Kriteria rujukan:
3. Sindrom Gardner 1. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan
4. Usia menengah dan usia lanjut yang cepat.
2. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Predileksi di lokasi yang berisiko
Sederhana (Objective) bersentuhan dengan pembuluh darah atau
Pemeriksaan Fisik Patologis saraf.
Keadaan Umum : tampak sehat bisa sakit Prognosis
ringan Prognosis umumnya adalah bonam, namun ini
- sedang tergantung dari letak dan ukuran lipoma, serta
Kulit: ditemukan benjolan, teraba empuk, ada/tidaknya komplikasi.
bergerak jika ditekan.
Referensi
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan tusukan jarum halus untuk 1. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma
mengetahui isi massa. in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC. 2005.
Penegakan Diagnostik 2. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds.
Diagnosis Klinis Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery. 8th
Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
memiliki karakteristik lembut, terlihat pucat. 3. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials
Ukuran diameter kurang dari 6 cm, of Surgery. New York: Lange Medical Book.
pertumbuhan sangat lama. 2005.
H. NEUROLOGI
1. TENSION HEADACHE
No. ICPC-2 No. ICD-10 : N95 Tension Headache
: G44.2 Tension–type headache
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual
Tension Headache atau Tension Type Headache ataupun muntah tetapi anoreksia mungkin saja
(TTH) atau nyeri kepala tipe tegang adalah terjadi. Gejala lain yang juga dapat ditemukan
bentuk sakit kepala yang paling sering dijumpai seperti insomnia (gangguan tidur yang sering
dan sering dihubungkan dengan jangka waktu terbangunatau bangun dini hari), nafas pendek,
dan peningkatan stres. Sebagian besar konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan
tergolong dalam kelompok yang mempunyai gangguan haid.
perasaan kurang percaya diri, selalu ragu akan
kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis
gentar dan tegang. Pada akhirnya, terjadi biasanya merupakan manifestasi konflik
peningkatan tekanan jiwa dan penurunan psikologis yang mendasarinya seperti
tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan kecemasan dan depresi.
ketidakpuasan yang membangkitkan reaksi Faktor Risiko: -
pada otot-otot kepala, leher, bahu, serta
vaskularisasi kepala sehingga timbul nyeri Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
kepala. Sederhana (Objective)
1. Migren
2. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)
Komplikasi : -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual
1. Pembinaan hubunganempati awal yang menjadi ringan atau hilang dalam 2 jam).
hangat antara dokter dan pasien
merupakan langkah pertama yang sangat Konseling dan Edukasi
penting untuk keberhasilan pengobatan. 1. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa
Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga
bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam kepala atau otaknya dapat menghilangkan
rongga kepala atau otaknya dapat rasa takut akan adanya tumor otak atau
menghilangkan rasa takut akan adanya penyakit intrakranial lainnya.
tumor otak atau penyakit intrakranial
lainnya. 2. Keluarga ikut membantu mengurangi
kecemasan atau depresi pasien, serta
2. Penilaian adanya kecemasan atau depresi menilai adanya kecemasan atau depresi
harus segera dilakukan. Sebagian pasien pada pasien.
menerima bahwa kepalanya berkaitan
dengan penyakit depresinya dan bersedia Kriteria Rujukan
ikut program pengobatan sedangkan pasien
lain berusaha menyangkalnya. Oleh sebab 1. Bila nyeri kepala tidak membaik maka
itu, pengobatan harus ditujukan kepada dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis
penyakit yang mendasari dengan obat anti
cemas atau anti depresi serta modifikasi saraf.
pola
2. Bila depresi berat dengan kemungkinan
bunuh diri maka pasien harus dirujuk ke
pelayanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis jiwa.
Peralatan
Obat analgetik
Prognosis
Prognosis umumnya bonam karena dapat
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri
Kepala Migrain dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga
University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli,
2006)
2. Blanda, M. Headache, tension. Available
from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda,
2008)
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran
Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer,
2000)
4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type
Headache. Available from: www.aafp.com.
(Millea, 2008)
5. Tension headache. Feb 2009. Available
from: www.mayoclinic.com.
2. MIGREN
No. ICPC-2
: N89 Migraine
No. ICD-10
: G43.9 Migraine, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Migren adalah suatu istilah yang digunakan 5. Mual dengan atau tanpa muntah.
untuk nyeri kepala primer dengan kualitas 6. Fotofobia atau fonofobia.
vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang 7. Sakit kepalanya mereda secara bertahap
diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, pada siang hari dan setelah bangun tidur,
gangguan tidur dan depresi. Serangan seringkali kebanyakan pasien melaporkan merasa
berulang dan cenderung tidak akan bertambah lelah dan lemah setelah serangan.
parah setelah bertahun-tahun. Migren bila tidak 8. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala
diterapi akan berlangsung antara 4-72 jam prodormal, seringkali terjadi beberapa jam
dan yang klasik terdiri atas 4 fase yaitu fase atau beberapa hari sebelum onset dimulai.
prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura Pasien melaporkan perubahan mood dan
(kurang lebih 15% kasus), fase nyeri kepala dan tingkah laku dan bisa juga gejala psikologis,
fase postdromal. neurologis atau otonom.
3. VERTIGO
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N17 Vertigo/dizziness
: R42 Dizziness and giddiness
Tingkat Kemampuan 4A (Vertigo Vestibular/ Benign Paroxismal Positional Vertigo (BPPV))
Masalah Kesehatan
lesi di nukleus vestibularis batang otak,
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan thalamus sampai ke korteks serebri.
seseorang atau lingkungan sekitarnya. Persepsi
gerakan bisa berupa: Vertigo merupakan suatu gejala dengan
berbagai penyebabnya, antara lain: akibat
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian
yang timbul pada gangguan vestibular. dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak
2. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, aliran darah ke otak dan lain-lain.
melayang, mengambang yang timbul pada
gangguan sistem proprioseptif atau sistem Secara spesifik, penyebab vertigo, adalah:
visual 1. Vertigo vestibular
Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo Vertigo perifer disebabkan oleh Benign
vestibular, yaitu: Paroxismal Positional Vertigo (BPPV),
Meniere’s Disease, neuritis vestibularis,
1. Vertigo vestibular perifer. Terjadi pada lesi
oklusi arteri labirin, labirhinitis, obat
di labirin dan nervus vestibularis
ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII,
2. Vertigo vestibular sentral. Timbul pada
microvaskular compression, fistel perilimfe.
Vertigo sentral disebabkan oleh migren, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis.
CVD, tumor, epilepsi, demielinisasi,
degenerasi. Vertigo non vestibular
Tabel 8.5. Perbedaan vertigo perifer dengan 3. Karena penyebab vertigo beragam,
vertigo sentral sementara penderita sering kali merasa
sangat terganggu dengan keluhan
vertigo tersebut, seringkali menggunakan
pengobatan simptomatik. Lamanya
pengobatan bervariasi. Sebagian besar
kasus terapi dapar dihentikan setelah
beberapa minggu. Beberapa golongan yang
sering digunakan:
a. Antihistamin (Dimenhidrinat atau
Difenhidramin)
Diagnosis Banding : • Dimenhidrinat lama kerja obat ini
Seperti tabel di bawah ini, yaitu: ialah 4-6 jam. Obat dapat diber
per oral atau parenteral (suntikan
Tabel 8.6. Diagnosis banding gangguan intramuskular dan intravena),
neurologi dengan dosis 25 mg-50 mg (1
tablet), 4 kali sehari.
• Difenhidramin HCl. Lama aktivitas
obat ini ialah 4-6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul)-50
mg, 4 kali sehari per oral.
• Senyawa Betahistin (suatu analog
histamin):
Betahistin Mesylate dengan dosis 12
mg, 3 kali sehari per oral.
Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg,
3 kali sehari. maksimum 6 tablet dibagi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) dalam beberapa dosis.
Penatalaksanaan b. Kalsium Antagonis
1. Pasien dilakukan latihan vestibular Cinnarizine, mempunyai khasiat
(vestibular exercise) dengan metode menekan fungsi vestibular dan dapat
BrandDaroff. mengurangi respons terhadap
akselerasi angular dan linier. Dosis
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari
dengan kedua tungkai tergantung, dengan atau 1x75 mg sehari.
kedua mata tertutup baringkan tubuh
Terapi BPPV: 5. Obat antihistamin
6. Obat antagonis kalsium
1. Komunikasi dan informasi:
2. Karena gejala yang timbul hebat, pasien Prognosis
menjadi cemas dan khawatir akan adanya Pada BPPV, prognosis umumnya baik, namun
penyakit berat seperti stroke atau tumor BPPV sering terjadi berulang.
otak. Oleh karena itu, pasien perlu
diberikan penjelasan bahwa BPPV bukan Referensi
sesuatu yang berbahaya dan prognosisnya
1. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman
baik serta hilang spontan setelah beberapa
Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan Dokter
waktu, namun kadang-kadang dapat
Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012.
berlangsung lama dan dapat kambuh
(Kelompok Studi Vertigo, 2012)
kembali.
2. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis
3. Obat antivertigo seringkali tidak diperlukan
and management in primary care. BJMP.
namun apabila terjadi dis-ekuilibrium pasca
2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
BPPV, pemberian betahistin akan berguna
untuk mempercepat kompensasi. 3. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of
vertigo, migraine and vestibular migraine.
Terapi BPPV kanal posterior: Journal Neurology. 2009:25:333-338.
1. Manuver Epley (Lempert & Neuhauser, 2009)
2. Prosedur Semont 4. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of
3. Metode Brand Vertigo.Journal American Family Physician.
2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
Daroff Rencana Tindak
5. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis
Lanjut Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
(Mardjono & Sidharta, 2008)
Vertigo pada pasien perlu pemantauan untuk
mencari penyebabnya kemudian dilakukan 6. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium
tatalaksana sesuai penyebab. Neurology:Systematic Approach that
Needed for establish of Vertigo. The
Konseling dan Edukasi Practitioner. 2010; 254 (1732) p. 19-23.
(Turner & Lewis, 2010)
1. Keluarga turut mendukung dengan
memotivasi pasien dalam mencari 7. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition:
penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai Approach to the Patient with Dizziness and
penyebab. Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot.
2. Mendorong pasien untuk teratur William and Wilkins. 2009 (Chain, 2009)
melakukan latihan vestibular.
Kriteria Rujukan
1. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera
dirujuk.
2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo
vestibular setelah diterapi farmakologik dan
non farmakologik.
Peralatan
1. Palu refleks
2. Sphygmomanometer
3. Termometer
4. Garpu tala (penala)
4. TETANUS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N72 Tetanus
: A35 Other tetanus
Tingkat Kemampuan 4A
6. MALARIA SEREBRAL
No. ICPC-2 No.ICD-10 : A73 Malaria
: Plasmodium falciparum with cerebral complication
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
TIA atau serangan iskemik otak sepintas (SOS)
Keluhan
adalah penurunan aliran darah yang
berlangsung sepintas (tidak menetap atau tidak Secara umum, gejala neurologis yang
permanen) ke area tertentu dari otak, sehingga diakibatkan oleh TIA tergantung pada pembuluh
mengakibatkan disfungsi neurologis yang darah otak yang mengalami gangguan, yaitu
berlangsung singkat (kurang dari 24 jam). Jika sistem karotis atau vertebrobasilaris.
gejala nerologik menetap (irreversible), dan
berlangsung lebih lama (lebih dari 24 jam), 1. Disfungsi neurologis fokal yang sering
maka dikategorikan sebagai stroke iskemik ditemukan berupa:
(infark). Defisit neurologis yang berlangsung a. Kelemahan atau kelumpuhan salah
lebih lama dari 24 jam, tapi tidak menetap satu sisi wajah, lengan, dan tungkai
(reversible,) dan dalam waktu kurang dari 2 (hemiparesis, hemiplegi)
minggu sembuh total tanpa gejala sisa, disebut b. Gangguan sensorik pada salah satu
reversible ischemic neurological deficit (RIND). sisi wajah, lengan, dan tungkai
Serangan TIA terjadi secara tiba-tiba (akut), (hemihipestesi, hemi-anesthesi)
dan biasanya berlangsung singkat (beberapa c. Gangguan bicara (disartria)
menit), jarang sampai lebih dari 1-2 jam, diikuti d. Gangguan berbahasa (afasia)
kesembuhan total tanpa gejala sisa. Pada
e. Gejala neurologik lainnya:
pasien yang mengalami serangan TIA lebih dari
3 jam, dengan pemeriksaan MRI, lebih dari 50% f. Jalan sempoyongan (ataksia)
diantaranya ditemukan gambaran infark di otak. g. Rasa berputar (vertigo)
Pasien yang pernah mengalami TIA, mempunyai h. Kesulitan menelan (disfagia)
risiko lebih besar untuk terserang stroke i. Melihat ganda (diplopia)
iskemik (infark). Sekitar 15-26% pasien stroke, j. Penyempitan lapang penglihatan
pernah mengalami TIA sebelumnya. Sehingga (hemianopsia, kwadran- anopsia)
TIA termasuk faktor risiko stroke, dan disebut
sebagai warning sign (tanda peringatan) 2. Gangguan tersebut terjadi mendadak, dan
terjadinya stroke. Setelah TIA, antara 10- biasanya berlangsung dalam waktu yang
15% pasien mengalami stroke iskemik dalam singkat (beberapa menit), jarang sampai
waktu 3 bulan, dan sebagian besar diantaranya lebih dari 1-2 jam, diikuti kesembuhan total
terjadi dalam waktu 48 jam setelah terjadinya tanpa gejala sisa.
TIA. Karena itu, TIA maupun stroke iskemik, 3. Diperlukan anamnesis yang teliti tentang
keduanya merupakan kedaruratan medik yang faktor risiko TIA/stroke
mempunyai kesamaan mekanisme patogenesis,
dan memerlukan prevensi sekunder, evaluasi,
dan penatalaksanaan yang hampir sama.
Tabel: 8.11. Faktor risiko TIA/stroke dengan teknik khusus, misalnya perfusion CT,
atau diffusion weighted MRI (DWI).
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Foto toraks
2. Tes faal hati
3. Ekokardiografi (jika diduga emboli
kardiogenik)
4. TCD (transcranial Doppler)
5. EEG (elektro-ensefalografi)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis dan CT scan kepala
(bila diperlukan)
Diagnosis Banding:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Stroke iskemik (infark)
Sederhana (Objective)
2. Stroke hemoragik
Pemeriksaan Fisik 3. Gangguan fungsi otak yang menyerupai
TIA/ stroke, misalnya:
Meliputi pemeriksaan umum dan neurologis. a. Cedera otak traumatik: hematoma
Pemeriksaan Umum Terutama pemeriksaan epidural/subdural
tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, b. Tumor otak
jantung, bising karotis/subklavia, dan tanda vital c. Infeksi otak: abses, tuberkuloma
lainnya. d. Todd’s paralysis (hemiparesis pasca
Pemeriksaan neurologis serangan kejang)
e. Gangguan metabolik: hipo/
Terutama untuk menemukan adanya tanda hiperglikemia
defisit neurologis berupa status mental,
motorik, sensorik sederhana dan kortikal luhur, Komplikasi
fungsi serebelar, dan otonomik. Antara 10-15% pasien mengalami stroke
Pemeriksaan Penunjang :- iskemik dalam waktu 3 bulan, dan sebagian
besar diantaranya terjadi dalam waktu 48 jam
Pemeriksaan standar dilakukan di fasilitas setelah terjadinya TIA.
pelayanan kesehatan sekunder:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. CT scan kepala (atau MRI)
2. EKG (elektrokardiografi) Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
3. Kadar gula darah Bila mendapat serangan TIA, pasien harus
4. Elektrolit serum segera dibawa ke rumah sakit agar
5. Tes faal ginjal mendapatkan pemeriksaan untuk menemukan
6. Darah lengkap penyebab dan penanganan lebih lanjut. Bila
7. Faal hemostasis skor ABCD2 > 5, pasien harus segera mendapat
Catatan: CT scan atau MRI kepala pada pasien perawatan seperti perawatan pasien stroke
TIA biasanya tidak menunjukkan kelainan, iskemik akut. Tekanan darah tinggi, penyakit
kecuali jantung, diabetes dan
penyakit gangguan darah harus segera diterapi. LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and
Untuk mencegah berulangnya TIA dan serangan Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009:
stroke, perlu diberikan obat antiplatelet, 85-99. (Romano & Sacco, 2009)
misalnya asetosal, clopidogrel, dipyridamole, 3. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular
cilostazol. Pada stenosis karotis, mungkin Diseases of the Nervous System. Ischemic
diperlukan tindakan carotid endarterectomy Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et
atau carotid angioplasty. Jika ada fibrilasi atrial, al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
mungkin diperlukan antikoagulan oral, misalnya Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and
warfarin, rifaroxaban, dabigatran, apixaban. Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia,
2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
Tabel 8.12 Skor ABCD2 untuk TIA
4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention
of Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack : A Guideline for
Healthcare Professionals From the
American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2011; 42:227-
276 (Furie, 2011)
5. National Stroke Association. Transient
Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org
Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke RS untuk penanganan
lebih lanjut.
Peralatan
Laboratorium: darah lengkap dan kimia darah
Pemeriksaan radiologi: foto toraks
Pasien membutuhkan CT scan atau MRI di
layanan sekunder
Prognosis
Prognosis bonam bila faktor risiko dapat teratasi
dan penanganan cepat dilakukan. Pemberian
obat antiplatelet dan antikoagulan dapat
mencegah berulangnya TIA dan serangan stroke
iskemik.
Referensi
1. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease:
Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed). Current
Diagnosis and Treatment in Neurology.
McGraw Hill, New York, 2007:100-25.
(Fitzsimmons, 2007)
2. Romano JG, Sacco RL. Prevention of
Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein
9. STROKE
No. ICPC-2
: K90 Stroke/cerebrovascular accident
No. ICD-10
: I63.9 Cerebral infarction, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Untuk memudahkan pengenalan gejala stroke
Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau bagi masyarakat awam, digunakan istilah
global) yang terjadi mendadak, berlangsung FAST (Facial movement, Arm Movement,
lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor Speech, Time: acute onset). Maksudnya, bila
vaskuler. Secara global, saat ini stroke seseorang mengalami kelemahan otot wajah
merupakan salah satu penyebab kematian dan anggota gerak satu sisi, serta gangguan
utama, dan penyebab utama kecacatan pada bicara, yang terjadi mendadak, patut diduga
orang dewasa. Dari laporan Riskesdas (Riset mengalami serangan stroke. Keadaan seperti
Kesehatan Dasar) Departemen Kesehatan itu memerlukan penanganan darurat agar
Republik Indonesia tahun 2007, stroke tidak mengakibatkan kematian dan kecacatan.
merupakan penyebab kematian utama di Karena itu pasien harus segera dibawa ke
Indonesia. rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk
penanganan tindakan darurat bagi penderita
Hasil Anamnesis (Subjective) stroke.
Keluhan Seperti halnya TIA, pada stroke diperlukan
Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak anamnesis yang teliti tentang faktor risiko TIA/
(tiba-tiba), yang sering dijumpai adalah stroke.
Masalah Kesehatan
type I dan reaktivasi herpes zoster dari ganglia
Bells’palsy adalah paralisis fasialis perifer nervus fasialis. Penyebab Bells’ palsy tidak
idiopatik, yang merupakan penyebab tersering diketahui (idiopatik), dan diduga penyakit
dari paralisis fasialis perifer unilateral. ini merupakan bentuk polineuritis dengan
Bells’ palsy muncul mendadak (akut), unilateral, kemungkinan penyebabnya virus, inflamasi,
berupa paralisis saraf fasialis perifer, yang auto imun dan faktor iskemik.
secara gradual dapat mengalami perbaikan
Hasil Anamnesis (Subjective)
pada 80-90% kasus. Bells’ palsy merupakan
salah satu dari penyakit neurologis tersering Keluhan
yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab
tersering (60-75%) dari kasus paralisis fasialis Pasien datang dengan keluhan:
unilateral akut di dunia. Bells’ palsy lebih sering 1. Paralisis otot fasialis atas dan bawah
ditemukan pada usia dewasa, orang dengan unilateral, dengan onset akut (periode 48
DM, dan wanita hamil. Peningkatan kejadian jam)
berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV 2. Nyeri auricular posterior atau otalgia,
ipsilateral Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
3. Peningkatan produksi air mata (epifora), sederhana (Objective)
yang diikuti penurunan produksi air mata
yang dapat mengakibatkan mata kering (dry Pemeriksaan Fisik
eye), ipsilateral Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga,
4. Hiperakusis ipsilateral mata, hidung dan mulut harus dilakukan pada
5. Penurunan rasa pengecapan pada lidah, semua pasien dengan paralisis fasial.
ipsilateral
1. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan
Gejala awal: saraf fasial (N VII) mengakibatkan
1. Kelumpuhan otot otot fasialis unilateral, kelemahan wajah (atas dan bawah)
yang mengakibatkan hilangnya kerutan satu sisi (unilateral). Pada lesi UMN
dahi ipsilateral, tidak mampu menutup (lesi supra nuclear/di atas nukleus
mata ipsilateral, wajah merot/tertarik ke fasialis di pons), wajah bagian atas
sisi kontralateral, bocor saat berkumur, tidak mengalami kelumpuhan. Hal ini
tidak bisa bersiul. disebabkan muskuli orbikularis, frontalis
dan korrugator, diinervasi bilateral oleh
2. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
saraf kortikobulbaris. Inspeksi awal pasien
3. Penurunan rasa pengecapan pada lidah,
memperlihatkan hilangnya lipatan (kerutan)
ipsilateral (30-50%)
dahi dan lipatan nasolabial unilateral.
4. Hiperakusis ipsilateral (15-30%)
5. Gangguan lakrimasi ipsilateral (60%) 2. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan
tampak kelumpuhan otot orbikularis oris
6. Gangguan sensorik wajah jarang ditemukan,
kecuali jika inflamasi menyebar ke saraf unilateral, dan bibir akan tertarik ke sisi
trigeminal. wajah yang normal (kontralateral).
3. Pada saat pasien diminta untuk
Awitan (onset) mengangkat alis, sisi dahi yang lumpuh
terlihat datar.
Awitan Bells’ palsy mendadak, dan gejala 4. Pada fase awal, pasien juga dapat
mencapai puncaknya kurang dari 48 jam. Gejala melaporkan adanya peningkatan salivasi.
yang mendadak ini membuat pasien khawatir
dan mencemaskan pasien. Mereka sering Jika paralisis hanya melibatkan wajah
berpikir terkena stroke atau tumor otak dapat bagian bawah saja, maka harus dipikirkan
yang mengakibatkan distorsi wajah permanen. penyebab sentral (supranuklear). Apalagi
Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan jika pasien mengeluh juga tentang adanya
cepat, pasien sering datang langsung ke kelumpuhan anggota gerak (hemiparesis),
IGD. Kebanyakan pasien menyatakan paresis gangguan keseimbangan (ataksia), nistagmus,
terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis diplopia, atau paresis saraf kranialis lainnya,
mulai terjadi selama pasien tidur. kemungkinan besar BUKAN Bell’s palsy. Pada
keadaan seperti itu harus dicurigai adanya lesi
Faktor Risiko: serebral, serebelar, atau batang otak, oleh
1. Paparan dingin (kehujanan, udara malam, karena berbagai sebab, antara lain vaskular
AC) (stroke), tumor, infeksi, trauma, dan sebagainya.
2. Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1) Pada Bell’s palsy, progresifitas paresis masih
3. Penyakit autoimun mungkin terjadi, namun biasanya tidak
4. Diabetes mellitus memburuk setelah hari ke 7 sampai 10. Jika
5. Hipertensi progresifitas masih berlanjut setelah hari ke 7-
6. Kehamilan 10, harus dicurigai diagnosis lain (bukan Bell’s
palsy).
Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain
dievaluasi lebih lanjut, karena dapat disebabkan tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal
oleh Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, pengecapan mengindikasikan penyembuhan
meningitis (terutama tuberkulosa), penyakit komplit.
autoimun (multiple sclerosis, neurosarcoidosis)
dan lain-lain. Pemeriksaan Penunjang
Separuh pasien dengan Bells’ palsy Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor
mengeluh nyeri auricular posterior. Nyeri CPA seringkali didahului gangguan pendengaran
sering terjadi simultan dengan paresis, tapi (saraf VIII), diikuti gangguan saraf VII, dan V,
nyeri mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada gangguan keseimbangan (serebelar). Pasien
25% pasien. Pasien perlu ditanya apakah ada dengan paralisis progresif saraf VII lebih lama
riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan dari 3 minggu harus dievaluasi kemungkinan
menjadi penyebab nyeri dan paralisis fasial. penyebab lain, misalnya neoplasma, penyakit
Sepertiga pasien mengalami hiperakusis pada autoimun, dan sebagainya.
telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat
Klasifikasi
kelumpuhan sekunder otot stapedius.
Sistem grading ini dikembangkan oleh House
Gangguan pengecapan and Brackmann dgn skala I sampai VI.
Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan 1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien 2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya
menunjukkan penurunan rasa pengecapan. adalah sebagai berikut:
Kemungkinan pasien gagal mengenal
a. Kelemahan ringan saat dilakukan
inspeksi secara detil. secara anatomis dan dapat disebut dengan saraf
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi. intak secara fungsional. Grade ini seharusnya
c. Simetris normal saat istirahat. dicatat pada rekam medik pasien saat pertama
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik. kali datang memeriksakan diri.
e. Menutup mata sempurna dapat Diagnosis Banding
dilakukan dengan sedikit usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan. Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan sebagai diagnosis banding, yaitu:
karekteristik:
1. Stroke vertebrabasilaris (hemiparesis
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas,
alternans)
kelemahan minimal.
2. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau
angle
spasme hemifasial dapat ditemukan.
3. Otitis media akut atau kronik
c. Simetris normal saat istirahat.
4. Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
vesicular pada telinga atau bibir)
e. Menutup mata sempurna dapat
5. Amiloidosis
dilakukan dengan usaha.
6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a.
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan
Carotis
usaha maksimal.
7. Sindroma autoimun
4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai
8. Botulismus
berat, dengan tandanya sebagai berikut:
9. Karsinomatosis
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
10. Cholesteatoma telinga tengah
b. Simetris normal saat istirahat.
11. Malformasi congenital
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
12. Schwannoma n. Fasialis
d. Mata tidak menutup sempurna.
13. Infeksi ganglion genikulatum
e. Asimetris mulut dilakukan dengan
14. Penyebab lain, misalnya trauma kepala
usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat Penatalaksanaan
dilakukan. Prognosis pasien Bells’ palsy umumnya baik.
b. Asimetris juga terdapat pada saat Karena penyebabnya idiopatik, pengobatan
istirahat. Bell’s palsy masih kontroversi. Tujuan
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi. pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII
d. Mata menutup tidak sempurna. (saraf fasialis) dan mencegah kerusakan saraf
e. Gerakan mulut hanya sedikit. lebih lanjut.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya
yaitu: Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai
a. Asimetris luas. diberikan pada pasien dalam fase awal 1-4 hari
b. Tidak ada gerakan otot otot wajah. onset.
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan Hal penting yang perlu diperhatikan:
hasil yang baik, grade III dan IV terdapat 1. Pengobatan inisial
disfungsi moderat, dan grade V dan VI a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1
menunjukkan hasil yang buruk. Grade VI disebut mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari,
dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang diikutipenurunan bertahap total selama
lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis fasialis 10 hari.
inkomplit dinyatakan
b. Steroid dan asiklovir (dengan kelemahan fasial unilateral atau kontralateral,
prednison) mungkin efektif untuk sinkinesis, spasme hemifasialis, dan terkadang
pengobatan Bells’ palsy (American terjadi rekurensi, sehingga perlu evaluasi dan
Academy Neurology/AAN, 2011). rujukan lebih lanjut.
c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan
meningkatkan perbaikan fungsi saraf Referensi
kranial, jika diberikan pada onset 1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB
awal (ANN,2012). et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
d. Apabila tidak ada gangguan Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis
gungsi ginjal, antiviral and Management. 6th ed. Elsevier,
e. (Asiklovir)dapat diberikan dengan dosis Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker,
400 mg oral 5 kali sehari selama 7-10 2012)
hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, 2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy.
dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis and
2. Lindungi mata Treatment in Neurology. McGraw Hill,
3. Perawatan mata: lubrikasi okular topikal NewYork, 2007:286-288. (Gooch & Fatimi,
dengan air mata artificial (tetes air mata 2007)
buatan) dapat mencegah corneal exposure. 3. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy
(lihat bagian pembahasan dry eye) Medication. Medscape.
4. Fisioterapi atau akupunktur dapat 4. Medscape: Empiric Therapy Regimens.
dilakukan setelah melewati fase akut (+/- 2
minggu). Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis
untuk memantau perbaikan setelah
pengobatan.
Kriteria Rujukan
1. Bila dicurigai kelainan lain (lihat diagnosis
banding)
2. Tidak menunjukkan perbaikan
3. Terjadi kekambuhan atau komplikasi
Peralatan
1. Stetoskop (loudness balance test) untuk
mengetahui hiperakusis
2. Palu reflex
3. Tes pengecapan
4. Tes lakrimasi (tes Schirmer)
5. Kapas
6. Obat steroid
7. Obat antiviral
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu
pada 85% pasien.
Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale)
berupa
11. STATUS EPILEPTIKUS
No. ICPC II : N88 Epilepsy
No. ICD X : G41.9 Status epilepticus, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
hiperpireksia.
Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi
Pemeriksaan Penunjang
lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan
atau lebih dimana diantara bangkitan- Laboratorium: pemeriksaanguladarahsewaktu.
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Penegakan Diagnostik (Assessment)
12. DELIRIUM
No. ICPC II
: P71 Organic psychosis other
No. ICD X
: F05.9 Delirium, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
5. Gangguan siklus bangun tidur
Delirium adalah gangguan kesadaran yang 6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu
ditandai dengan berkurangnya kemampuan yang pendek dan cenderung berfluktuasi
memfokuskan, mempertahankan dan dalam sehari
mengalihkan perhatian.
Hasil yang dapat diperoleh pada autoanamnesis,
Hasil Anamnesis (Subjective) yaitu:
Keluhan 1. Pasien tidak mampu menjawab pertanyaan
dokter sesuai dengan apa yang diharapkan,
Pasien datang dengan penurunan kesadaran, ditanyakan.
ditandai dengan: 2. Adanya perilaku yang tidak terkendali.
1. Berkurangnya atensi Alloanamnesis, yaitu adanya gangguan medik
2. Gangguan psikomotor lain yang mendahului terjadinya gejala
3. Gangguan emosi delirium, misalnya gangguan medik umum, atau
4. Arus dan isi pikir yang kacau penyalahgunaan zat.
Faktor Risiko Kriteria Diagnosis untuk delirium dalam DSM-
IV- TR (Diagnosis and Statistical Manual for
Adanya gangguan medik umum, seperti: Mental Disorder – IV – Text Revised), adalah:
1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor,
pendarahan, TIA) 1. Gangguan kesadaran disertai dengan
2. Penyakit sistemik, seperti: infeksi, gangguan menurunnya kemampuan untuk
metabolik, penyakit jantung, COPD, memusatkan, mempertahankan, dan
gangguan ginjal, gangguan hepar mengubah perhatian;
3. Penyalahgunaan zat 2. Gangguan Perubahan kognitif (seperti
defisit memori, disorientasi, gangguan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang berbahasa) atau perkembangan gangguan
sederhana (Objective) persepsi yang tidak berkaitan dengan
demensia sebelumnya, yang sedang
Pemeriksaan Fisik
berjalan atau memberat;
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik 3. Perkembangan dari gangguan selama
generalis terutama sesuai penyakit utama. periode waktu yang singkat (umumnya jam
sampai hari) dan kecenderungan untuk
Pemeriksaan penunjang berfluktuasi dalam perjalanan hariannya;
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan 4. Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau
kesehatan tingkat pertama. Pemeriksaan yang temuan laboratorium, bahwa gangguan
dilakukan untuk delirium, adalah: tersebut disebabkan oleh: (a) kondisi medis
umum, (b) intoksikasi, efek samping, putus
1. Mini-mental State Examination (MMSE).
obat dari suatu substansi.
2. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk
mencari Diagnosis penyakit utama, yaitu: Diagnosis Banding
Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, Demensia, psikosis fungsional, kelainan
gula darah, elektrolit (terutama natrium), SGOT, neurologis.
SGPT, ureum, kreatinin, urinalisis, analisis gas
darah, foto toraks, elektrokardiografi, dan CT Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Scan kepala, jika diperlukan. Tujuan Terapi
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Mencari dan mengobati penyebab delirium
Diagnosis Klinis 2. Memastikan keamanan pasien
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan 3. Mengobati gangguan perilaku terkait
anamnesis dan pemeriksaan fisik. delirium, misalnya agitasi psikomotor
1. GANGGUAN SOMATOFORM
No ICPC-2 : P75. Somatization disorder
No ICD-10 : F45 Somatoform disorders
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
pemeriksaan medis,
Gangguan somatoform merupakan 3. Hasil pemeriksaan medis tidak
suatu kelompok kelainan psikiatrik yang menunjukkan adanya kelainan yang dapat
manifestasinya dapat berupa berbagai gejala menjelaskan keluhan tesebut,
fisik yang dirasakan signifikan oleh pasien 4. Onset dan kelanjutan dari keluhan
namun tidak ditemukan penyebabnya secara berhubungan erat dengan peristiwa
medis. Tidak ada data yang pasti mengenai kehidupan yang tidak menyenangkan atau
prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu konflik- konflik,
penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi 5. Pasien biasanya menolak upaya untuk
gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas membahas kemungkinan adanya penyebab
sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis psikologis,
gangguan yang tersering adalah neurosis, 6. Dapat terlihat perilaku mencari perhatian
yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk (histrionik), terutama pada pasien yang
psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi tidak puas karena tidak berhasil membujuk
medis yang serius, gejala- gejala yang dirasakan dokter menerima persepsinya
oleh pasien dengan gangguan somatoform bahwa keluhan yang dialami merupakan
sangat mengganggu dan berpotensi penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan
menimbulkan distres emosional. Peran dokter lebih lanjut.
di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
pada kasus gangguan somatoform sangat Selain untuk menegakkan diagnosis, anamnesis
dilakukan untuk menggali pemahaman dan
penting. Keberhasilan dokter dalam
mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis persepsi pasien mengenai kondisi yang
dialaminya. Seringkali tujuan ini baru dapat
gangguan somatoform dengan tepat, dan
menatalaksana akan sangat membantu dicapai setelah beberapa kali pertemuan.
Dokter harus mengklarifikasi keluhan-keluhan
meningkatkan kualitas hidup pasien,
mengurangi rujukan yang tidak perlu, dan pasien hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain
itu, perlu pula digali harapan dan keinginan
menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis
yang berlebihan atau merugikan. pasien, keyakinan dan ketakutan yang mungkin
pasien miliki, serta stresor psikososial yang
Hasil Anamnesis (Subjective) mungkin dialami dan menjadi penyebab
gangguan.
Keluhan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik Sederhana (Objective)
tertentu. Dokter harus mempertimbangkan
diagnosis gangguan somatoform bila terdapat Tidak ada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
beberapa karakteristik berikut ini: penunjang spesifik yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis gangguan somatoform.
1. Keluhan atau gejala fisik berulang, Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan
2. Dapat disertai dengan permintaan untuk mengeksklusi kelainan organik yang
dianggap relevan dengan keluhan pasien.
Pemeriksaan penunjang yang terlalu dahulu memastikan ada tidaknya tanda-
berlebihan perlu dihindari agar tidak menambah tanda gangguan ansietas (F40-F41), obsesif
kekhawatiran pasien. kompulsif (F42), reaksi stres dan gangguan
penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif
Penegakan Diagnosis (Assessment)
atau konversi (F44). Gangguan somatoform
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda
pertama harus memikirkan diagnosis gangguan pada pasien memenuhi kriteria diagnostik
somatoform bila pada pasien terdapat gangguan di hirarki yang lebih tinggi.
keluhan dengan karakteristik sebagaimana yang 3. Mengeksklusi kondisi factitious disorder dan
telah dijelaskan pada halaman sebelumnya malingering
(lihat poin Hasil Anamnesis (Subjective)). Dalam
Pada kondisi factitious disorder, pasien
praktik sehari-hari, dokter dapat menggunakan
mengadopsi keluhan- keluhan fisik, tanpa
kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining
ia sadari, sebagai upaya memperoleh
gangguan somatoform. Salah satu contohnya
keuntungan internal, misalnya: untuk
adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ-
mendapat perhatian lebih dari orang-orang
15). Berikut ini adalah langkah- langkah
tertentu di sekitarnya. Berbeda halnya
pendekatan terhadap keluhan fisik pasien
dengan kondisi malingering, di mana
hingga dokter sampai pada kesimpulan
pasien sengaja atau berpura-pura sakit
diagnosis gangguan somatoform:
untuk memperoleh keuntungan eksternal,
1. Mengeksklusi kelainan organik misalnya: agar terhindar dari tanggung
jawab atau kondisi tertentu, atau untuk
Keluhan dan gejala fisik yang dialami oleh
memperoleh kompensasi uang tertentu).
pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan
Pada gangguan somatoform, tidak ada
panduan tatalaksana medis terkait, dengan
keuntungan yang coba didapat oleh pasien.
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
Keluhan-keluhan yang disampaikan juga
dan pemeriksaan penunjang yang relevan.
bukan sesuatu yang disengaja, malahan
2. Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu,
yang tergolong dalam kelompok dan blok dipertahankan, dan diperparah oleh
yang hirarkinya lebih tinggi. kekhawatiran dan ketakutan tertentu
Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik (Oyama et al. 2007).
dilakukan secara hirarkis. Dalam Pedoman
4. Menggolongkan ke dalam jenis gangguan
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
somatoform yang spesifik
Jiwa III, gangguan somatoform memiliki
kode F45 dan merupakan blok penyakit Blok gangguan somatoform terdiri atas:
yang termasuk dalam kelompok F40-F48, a. F45.0. Gangguan somatisasi
yaitu gangguan neurotik, gangguan b. F45.1. Gangguan somatoform tak terinci
somatoform, dan gangguan yang berkaitan c. F45.2. Gangguan hipokondrik
dengan stres. Dengan demikian, pada d. F45.3. Disfungsi otonomik somatoform
kasus gangguan somatoform, dokter e. F45.4. Gangguan nyeri somatoform
perlu mengeksklusi gangguan mental menetap
organik (F00-F09), gangguan mental dan f. F45.5. Gangguan somatoform lainnya
perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif g. F45.6. Gangguan somatoform yang
(F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, tidak tergolongkan (YTT)
dan gangguan waham (F20-F29), serta
gangguan suasana perasaan atau mood
atau afektif (F30-F39). Pada blok F40-
F48 sendiri, dokter perlu terlebih
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) mengindentifikasi serta mengelola stres
secara efektif, misalnya dengan relaksasi,
Penatalaksanaan breathing control. Peningkatan aktifitas fisik
Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform dapat disarankan untuk mengurangi
adalah mengelola gejala dan bukan fatigue dan nyeri muskuloskeletal
menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak 7. Bila gangguan somatoform merupakan
ada kelainan medis yang dialami oleh pasien. bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter
Berikut ini adalah prinsip- prinsip dasar harus mengintervensi dengan tepat.
pengelolaan pasien dengan gangguan 8. Dokter perlu menjadwalkan pertemuan
somatoform: yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan
dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap
1. Dokter harus menerima bahwa pasien bulan selama 5-10 menit, terutama untuk
memang betul-betul merasakan gejala memberi dukungan dan reassurance.
pada tubuhnya dan memahami bahwa Dokter perlu membatasi dan menghindari
gejala- gejala tersebut mengganggu konsultasi via telepon atau kunjungan-
pasien. Dokter perlu melatih diri untuk kunjungan yang bersifat mendesak.
tidak terlalu prematur menganggap pasien 9. Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater
berpura-pura (malingering) tanpa didukung bila diperlukan, misalnya saat penegakan
bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana diagnosis yang sulit, menentukan adanya
gangguan somatoform adalah membangun komorbid psikiatrik lain, atau terkait
kemitraan dengan dan kepercayaan dari pengobatan.
pasien.
2. Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan Non-medikamentosa
somatoform, dokter perlu mendiskusikan
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan
kemungkinan ini sedini mungkin
salah satu tatalaksana yang efektif untuk
dengan pasien. Bila diagnosis gangguan
mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT,
somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu
dokter memposisikan diri sebagai mitra
mendiskusikannya dengan pasien.
yang membantu pasien. Tahap awal dari
3. Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai CBT adalah mengkaji masalah pasien dengan
gangguan yang dialaminya dengan tepat dan membantu pasien mengidentifikasi
berempati dan menghindari konfrontasi hal-hal yang selama ini menimbulkan atau
Dokter harus menunjukkan kesungguhan memperparah gejala fisik yang dialami,
untuk membantu pasien sebaik-baiknya, misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang tidak
tanpa memaksa pasien untuk menerima realistis, kekhawatiran, atau perilaku tertentu.
pendapat dokter. Tahap selanjutnya adalah membantu pasien
4. Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan mengidentifikasi dan mencoba alternatif
sekunder yang tidak perlu harus dihindari. perilaku yang dapat mengurangi atau mencegah
Bila ada gejala baru, dokter perlu berhati- timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal
hati dalam menganjurkan pemeriksaan atau sebagai behavioral experiments.
rujukan.
5. Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan Medikamentosa
pada fungsi pasien sehari-hari, bukan gejala,
serta pada pengelolaan gejala, bukan Penggunaan obat harus berdasarkan
penyembuhan. indikasi yang jelas. Hanya sedikit studi yang
6. Dokter perlu menekankan modifikasi menunjukkan efektifitas yang signifikan dari
gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga penggunaan obat-obat untuk tatalaksana
pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana gangguan somatoform. Antidepresan dapat
bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi
mungkin perlu dibantu untuk atau ansietas yang mengganggu.
Prognosis Screeners. Available at: http://
www.phqscreeners.com/pdfs/04_PHQ-15/
1. Ad vitam : Bonam English.pdf [Accessed May 24, 2014].
2. Ad functionam : Dubia 6. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting
3. Ad sanationam : Dubia Somatoform Disorders in Primary Care with
Sebagian pasien tidak menunjukkan respon the PHQ-15. Annals of Family Medicine,
positif atas tatalaksana yang dilakukan 7, pp.232–238. Available at: http://www.
dan gangguan somatoform terus berlanjut annfammed.org/content/7/3/232.full.
bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini pdf+html.
diperkirakan terjadi pada 0,2-0,5% anggota
populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini dapat
memperbaiki prognosis dan mengurangi
hambatan pada fungsi sosial dan okupasi
sehari- hari.
Peralatan
Untuk keperluan skrining, dapat disediakan
lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter. Selain
itu, tidak ada peralatan khusus yang
diperlukan terkait diagnosis dan tatalaksana
gangguan somatoform.
Referensi
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1993. F45 Gangguan Somatoform. In
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pp. 209–221.
2. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform
and Dissociative Disorders: Assessment and
Treatment Advance in Psychiatric
Treatment,3(1), pp.9–16 Available
at:http://apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/
apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014].
3. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode
Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan
Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan
Primer. Majalah Kedokteran Indonesia,
60(10), pp.448–453.
4. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007.
Somatoform Disorders. American Family
Physician, 76, pp.1333–1338. Available at:
www.aafp.org/afp.
5. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-
15). Patient Health Questionnaire (PHQ)
2. DEMENSIA
No. ICPC-2
: P70 Dementia
No. ICD-10
: F03 Unspecified dementia
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Gangguan fungsi otak terutama berupa
Demensia merupakan sindrom akibat penyakit gangguan fungsi memori dan bahasa,
otak yang bersifat kronik progresif, ditandai seperti afasia, aphrasia, serta adanya
dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, kemunduran fungsi kognitif eksekutif.
termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya 3. Dilakukan pemeriksaan untuk
tangkap (komprehensi), kemampuan belajar, menyingkirkan adanya gangguan neurologik
orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan atau penyakit sistemik
daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti
Pemeriksaan penunjang
dengan deteriorasi dalam kontrolemosi,
hubungan sosial dan motivasi. Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika
ada kecurigaan adanya kondisi medis yang
Pada umumnya terjadi pada usia lanjut,
menimbulkan dan memper berat gejala. Dapat
ditemukan pada penyakit Alzhaimer, penyakit
dilakukan Mini Mental State Examination
serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara
(MMSE).
primer dan sekunder mempengaruhi otak.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis,
Keluhan utama adalah gangguan daya ingat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
mudah lupa terhadap kejadian yang baru
dialami, dan kesulitan mempelajari informasi Kriteria Diagnosis
baru. Diawali dengan sering lupa terhadap
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat
kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda
dan daya pikir yang sampai mengganggu
kecil, pada akhirnya lupa mengingat nama
kegiatan harian seseorang
sendiri atau keluarga.
2. Tidak ada gangguan kesadaran
Faktor Risiko 3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk
paling sedikit enam bulan
Usia> 60 tahun (usialanjut). Riwayat keluarga.
Klasifikasi
Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular
(hipertensi, penyakit jantung), atau diabetes 1. Demensia pada penyakit Alzheimer
mellitus. 2. Demensia Vaskular (Demensia multiinfark)
3. Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 4. Demensia pada penyakit Creufield-Jacob
Sederhana (Objective) 5. Demensia pada penyakit Huntington
Pemeriksaan Fisik 6. Demensia pada penyakit Parkinson
7. Demensia pada penyakit HIV/AIDS
1. Kesadaran sensorium baik. 8. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya
2. Penurunan daya ingat yang bersifat kronik paling besar (50-60%), disusul demensia
dan progresif. vaskular (20-30%)
Diagnosis Banding seperti Haloperidol 0,5-1 mg/hari.
Delirium, Depresi, Gangguan Buatan, Skizofrenia Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis
dan penatalaksanaan lanjutan.
Penatalaksanaan
2. Apabila pasien menunjukkan gejala
1. Non farmakologi agresifitas dan membahayakan dirinya atau
a. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol orang lain.
penyakit fisik, lakukan aktifitas fisik
Peralatan: Tidak ada Peralatan khusus
sederhana seperti senam otak,
stimulasi kognitif dengan permintaan, Prognosis
kuis, mengisi teka-teki silang, bermain
catur. Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia
b. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih ad bonam, sedangkan fungsi adalah dubia ad
nyaman dan aman bagi pasien. malam. Ad sanationam adalah ad malam.
c. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari Referensi
(mandi, makan, dan lain-lain) untuk
mengoptimalkan aktivitas independen, 1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
meningkatkan fungsi, membantu Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
adaptasi dan mengembangkan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama,
keterampilan, serta meminimalisasi 1993. (Kementerian Kesehatan Republik
kebutuhan akan bantuan. Indonesia, 1993)
d. Ajarkan kepada keluarga agar dapat 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
membantu mengenal barang milik Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
pribadinya, mengenal waktu Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
dengan menggunakan jam besar, (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
kalender harian, dapat menyebutkan Jiwa Indonesia, 2012)
namanya dan anggota keluarga
terdekat, mengenal lingkungan sekitar, 3. World Health Organization. MH gap
beri pujian jika dapat menjawab Intervention Guide for Mental, Neurological
dengan benar, bicara dengan kalimat and Substance Use Disorders in Non-
sederhana dan jelas (satu atau dua Specialized Health Settings, 2010. (World
tahap saja), bila perlu gunakan isyarat Health Organization, 2010)
atau sentuhan lembut.
2. Farmakologi
a. Jangan berikan inhibitor
asetilkolinesterase (seperti: donepzil,
galantamine dan rivastigmine) atau
memantine secara rutin untuk semua
kasus demensia. Pertimbangkan
pemberiannya hanya pada kondisi
yang memungkinkan diagnosis spesifik
penyakit Alzheimer ditegakkan dan
tersedia dukungan serta supervisi
adekuat oleh spesialis serta
pemantauan efek samping oleh pelaku
rawat.
b. Bila pasien berperilaku agresif, dapat
diberikan antipsikotik dosis rendah,
3. INSOMNIA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: P06 Sleep disturbance
: F51 Insomnia non organik pada psikiatri
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Pada status generalis, pasien tampak lelah dan
Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam mata cekung. Bila terdapat gangguan organik,
tidur, dapat berupa kesulitan berulang untuk ditemukan kelainan pada organ.
mencapai tidur, atau mempertahankan tidur
Pemeriksaan Penunjang
yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.
Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.
salah satu gejala dari gangguan lainnya,
baik mental (psikiatrik) atau fisik. Secara umum Penegakan Diagnostik (Assessment)
lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur Diagnosis Klinis
yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain
yang relevan untuk menjelaskan secara kuat Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.
psikopatologi dan atau patofisiologinya. Pedoman Diagnosis
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-
Sederhana (Objective) faktor risiko yang dimilikinya dan
pentingnya untuk memulai pola hidup yang
Pemeriksaan Fisik sehat dan mengatasi masalah yang
menyebabkan
terjadinya insomnia. Peralatan
2. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan
Lorazepam 0,5-2 mg atau Diazepam 2-5 mg Tidak ada Peralatan khusus
pada malam hari. Pada orang yang berusia Prognosis
lanjut atau mengalami gangguan medik
umum diberikan dosis minimal efektif. Prognosis pada umumnya bonam
Masalah Kesehatan
khawatir berlebihan.
Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-
Allo dan Auto Anamnesis tambahan:
gejala anxietas (kecemasan) dan depresi
bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak 1. Adanya gejala seperti minat dalam
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup melakukan aktivitas/semangat yang
beratuntuk dapat ditegakannya suatu diagnosis menurun, merasa sedih/ murung, nafsu
tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa makan berkurang atau meningkat
gejala autonomik harus ditemukan, walaupun berlebihan, sulit berkonsentrasi,
tidak terusmenerus, di samping rasa cemas kepercayaan diri yang menurun, pesimistis.
atauk hawatir berlebihan.
2. Keluhan biasanya sering terjadi, atau
Hasil Anamnesis (Subjective) berlangsung lama, dan terdapat stresor
kehidupan.
Keluhan
3. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan
Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik
penggunaan zat (alkohol, tembakau,
seperti: nafas pendek/cepat, berkeringat,
stimulan, dan lain-lain)
gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung
berdebar, gangguan lambung, diare, atau Faktor Risiko
bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa
cemas/ 1. Adanya faktorbiologis yang mempengaruhi,
antara lain hiper aktivitas sistem
noradrenergik, faktorgenetik. dalam melakukan aktivitas), mudah,
lelah, gangguan tidur, konsentrasi menurun,
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan gangguan pola makan, kepercayaan diri
tidak fleksibel, seperti ciri kepribadian yang berkurang, pesimistis, rasa tidak
dependen, skizoid, anankastik, cemas berguna/rasa bersalah
menghindar.
Diagnosis Banding
3. Adanya stres kehidupan.
Gangguan Cemas (Anxietas) Organik, Gangguan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat,
Sederhana (Objective) Gangguan Depresi,Gangguan Cemas
Pemeriksaan Fisik Menyeluruh, Gangguan Panik, Gangguan
Somatoform
Respirasi meningkat, tekanan darah dapat
meningkat, dan tanda lain sesuai keluhan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
fisiknya.
Penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang 1. Non-farmakologi
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak a. Konseling dan edukasi pada pasien dan
ditemukan adanya tanda yang bermakna. keluarga
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk • Karena gangguan campuran
menyingkirkan diagnosis banding sesuai cemas depresi dapat mengganggu
keluhan fisiknya. produktivitas pasien, keluarga
perlu memahami bahwa hal ini bukan
Penegakan Diagnostik (Assessment) karena pasien malas atau tidak mau
Diagnosis Klinis mengerjakan tugasnya, melainkan
karena gejala- gejala penyakitnya
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan itu sendiri, antara lain mudah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria lelah serta hilang energi. Oleh sebab
diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya itu, keluarga perlu memberikan
gejala- gejala kecemasan dan depresi yang dukungan agar pasien mampu dan
timbul bersama-sama, dan masing-masing dapat mengatasi gejala penyakitnya.
gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala • Gangguan campuran anxietas dan
yang cukup beratuntuk dapat ditegakkannya depresi kadang-kadang memerlukan
suatu diagnosis tersendiri. pengobatan yang cukup lama,
diperlukan dukunga keluarga untuk
1. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
memantau agar pasien
a. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit melaksanakan pengobatan dengan
berkonsentrasi benar, termasuk minum obat setiap
hari.
b. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, b. Intervensi Psikososial
gemetaran, tegang, tidak dapat santai • Lakukan penentraman (reassurance)
c. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, dalam komunikasi terapeutik, dorong
berkeringat berlebihan, sesak nafas, mulut pasien untuk mengekspresikan
kering,pusing, keluhan lambung, diare. pikiran perasaan tentang gejala dan
riwayat gejala.
2. Gejala-gejala depresi antara lain: suasana • Beri penjelasan adanya pengaruh
perasaan sedih/murung, kehilangan minat/ antara faktor fisik dan psikologis,
kesenangan (menurunnya semangat termasuk bagaimana faktor perilaku,
psikologik dan emosi berpengaruh
mengeksaserbasi gejala somatik yang
mempunyai dasar fisiologik. mengalami gangguan ini, terutama apabila
• Bicarakan dan sepakati rencana gejala progresif dan makin bertambah berat
pengobatandan follow-up, yang menunjukkan gejala depresi seperti
bagaimana menghadapi gejala, dan pasien menolak makan, tidak mau merawat
dorong untuk kembali keaktivitas diri, ada ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak
normal. ada perbaikan yang signifikan dalam 2-3 bulan
• Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas terapi.
dalam)
• Anjurkan untuk berolah raga teratur Peralatan
atau melakukan aktivitas yang Tidak ada peralatan khusus.
disenangi serta menerapkan perilaku
hidup sehat. Prognosis
• Ajarkan untuk selalu berpikir positif Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah
dan manajemen stres dengan baik. bonam.
2. Farmakologi:
a. Untuk gejala kecemasan maupun Referensi
depresinya, diberikan antidepresan
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry,
dosis rendah, dapat dinaikkan apabila
7th edition, William and Wilkins.
tidak ada perubahan yang signifikan
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman
setelah 2-3 minggu: fluoksetin 1x10-
penggolongan dan diagnosis Gangguan
20 mg/hari atau sertralin 1 x 25-50 mg/
jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
hari atau amitriptilin 1x12,5-50 mg/
3. World Health Organization. Diagnostic
hari atau imipramin1-2x10-25 mg/hari.
and management guidelines for mental
Catatan: amitriptilin dan imipramin
disorders in primary care: ICD-10 chapter
tidak boleh diberikan pada pasien
V, primary care version. Seattle: Hogrefe
dengan penyakit jantung, dan
& Huber Publishers. (World Health
pemberian berhati-hati untuk pasien
Organization, t.thn.)
lansia karena efek hipotensi ortostastik
(dimulai dengan dosis minimal efektif). 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
b. Pada pasien dengan gejala kecemasan
Pelayanan Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012
yang lebih dominan dan atau
dengan gejala insomnia dapat
diberikan kombinasi fluoksetin
atau sertralin dengan antianxietas
benzodiazepin. Obat-obatan
antianxietas jenis benzodiazepin yaitu:
diazepam 1x2-5 mg atau lorazepam 1-2
x 0,5-1 mg atau klobazam 2x5-10 mg
atau alprazolam 2x 0,25-0,5mg. Setelah
kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin
ditappering-off perlahan, sementara
antidepresan diteruskan hingga 4-6
bulan sebelum ditappering- off. Hati-
hati potensi penyalahgunaan pada
alprazolam karena waktu paruh yang
pendek.
Kriteria Rujukan
Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis
5. GANGGUAN PSIKOTIK
No. ICPC-2 No. ICD-10 PC : P98 Psychosis NOS/other
: F20 Chronic Psychotic Disorder
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Gangguan yang ditandai dengan Sederhana (Objective)
ketidakmampuan atau hendaya berat dalam
Pemeriksaan Fisik
menilai realita, berupa sindroma (kumpulan
gejala), antara lain dimanifestasikan dengan Pemeriksaan fisik diperlukan untuk
adanya halusinasi dan waham. menyingkirkan penyebab organik dari
psikotiknya (gangguan mental organik). Selain
Hasil Anamnesis (Subjective)
itu pasien dengan gangguan psikotik juga sering
Keluhan terdapat gangguan fisik yang menyertai karena
perawatan diri yang kurang.
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
Pemeriksaan Penunjang
1. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
2. Tidak dapat tidur, tidak mau makan 1. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit
3. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, fisik yang menyertai untuk menyingkirkan
ketakutan diagnosis banding gangguan mental
4. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti organik.
5. Mendengar suara orang yang tidak dapat 2. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke
didengar oleh orang lain fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
6. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai lanjut maka pada fasilitas pelayanan
realita kesehatan tingkat pertama yang mampu
7. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
yang berat, perilaku kacau, perilaku yang sesuai seperti: darah perifer lengkap,
kekerasan elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi
8. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak ginjal, serta radiologi dan EKG.
merawat diri dengan baik
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Diagnosis Klinis
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan
fisik (seperti demam tinggi, kejang, trauma
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria
kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai
diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:
penyebab timbulnya keluhan.
1. Halusinasi (terutama halusinasi dengar);
Faktor Risiko
merupakan gangguan persepsi (persepsi
1. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, palsu), tanpa adanya stimulus sensori
antara lain hiperaktivitas sistem eksternal. Halusinasi dapat terjadi pada
dopaminergik dan faktor genetik. setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar,
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, lihat, cium, raba, dan rasa.
seperti ciri kepribadian skizoid, paranoid, 2. Waham (delusi); merupakan gangguan
dependen. pikiran, yaitu keyakinan yang salah, tidak
3. Adanya stresor kehidupan. sesuai dengan realita dan logika, namun
tetap dipertahankan dan tidak dapat
menyediakan dukungan yang
dikoreksi dengan cara apapun serta tidak
berharga untuk pasien dan keluarga.
sesuai dengan budaya setempat. Contoh:
waham kejar, waham kebesaran, waham b. Konseling pasien dan keluarga
kendali, waham pengaruh. • Bicarakan rencana pengobatan
3. Perilaku kacau atau aneh dengan anggota keluarga dan
4. Gangguan proses pikir (terlihat dari minta dukungan mereka. Terangkan
pembicaraan yang kacau dan tidak bahwa minum obat secara teratur
dimengerti) dapat mencegah kekambuhan.
5. Agitatif Informasikan bahwa obat tidak dapat
6. Isolasi sosial (social withdrawal) dikurangi atau dihentikan tiba-tiba
7. Perawatan diri yang buruk tanpa persetujuan dokter.
Informasikan juga tentang efek
Diagnosis Banding samping yang mungkin timbul dan
1. Gangguan Mental Organik (Delirium, cara penanggulangannya.
Dementia, Psikosis Epileptik) • Dorong pasien untuk melakukan
2. Gangguan Mental dan Perilaku akibat fungsinya dengan seoptimal
Penggunaan Zat (Napza) mungkin di pekerjaan dan aktivitas
3. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik harian lain.
4. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik) • Dorong pasien untuk menghargai
norma dan harapan masyarakat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (berpakaian, berpenampilan dan
Penatalaksanaan berperilaku pantas).
• Menjaga keselamatan pasien dan
1. Intervensi Psikososial orang yang merawatnya pada fase
akut:
a. Informasi penting bagi pasien dan
o Keluarga atau teman harus
keluarga
menjaga pasien.
• Agitasi dan perilaku aneh
o Pastikan kebutuhan dasar
merupakan gejala gangguan mental,
terpenuhi (misalnya makan dan
yang juga termasuk penyakit medis.
minum).
• Episode akut sering mempunyai
o Jangan sampai mencederai pasien.
prognosis yang baik, tetapi
perjalanan penyakit jangka panjang • Meminimalisasi stres dan stimulasi:
sulit diprediksi. Pengobatan perlu o Jangan mendebat pikiran psikotik
dilanjutkan meskipun setelah gejala (anda boleh tidak setuju dengan
mereda. keyakinan pasien, tetapi jangan
• Gejala-gejala dapat hilang timbul. mencoba untuk membantah
Diperlukan antisipasi dalam bahwa pikiran itu salah). Sedapat
menghadapi kekambuhan. Obat mungkin hindari konfrontasi dan
merupakan komponen utama dalam kritik.
pengobatan. Minum obat secara o Selama masa gejala-gejala
teratur akan mengurangi gejala- menjadi lebih berat, istirahat
gejala dan mencegah kekambuhan. dan menghindari stres dapat
• Dukungan keluarga penting bermanfaat.
untuk ketaatberobatan (compliance)
dan rehabilitasi. • Agitasi yang berbahaya untuk pasien,
• Organisasi masyarakat dapat keluarga dan masyarakat
memerlukan rawat inap atau
pengamatan ketat di tempat yang
aman.
2. Farmakologi mandir tidak bisa berhenti bukan akibat
gejala) turunkan dosis antipsikotik dan
a. Berikan obat antipsikotik: Haloperidol berikan beta-blocker, propranolol 2-3 x
2-3 x 2-5 mg/hari atau Risperidon 2x 1- 10-20 mg.
3 mg/hari atau Klorpromazin 2-3 x 100-
200 mg/hari. Untuk haloperidol dan 3. Kunjungan Rumah (home visit)
risperidon dapat digabungkan dengan
benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3 Kunjungan rumah dilakukan sesuai indikasi
x 5 mg, lorazepam 1-3 x 1-2 mg) untuk untuk:
mengurangi agitasi dan memberikan a. Memastikan kepatuhan dan
efek sedasi. Benzodiazepin dapat kesinambungan pengobatan
ditappering-off setelah 2-4 minggu. b. Melakukan asuhan keperawatan
Catatan: klorpromazin memiliki efek c. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat
samping hipotensi ortostatik.
Kriteria Rujukan
b. Intervensi sementara untuk gaduh
gelisah dapat diberikan injeksi intra 1. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk
muskular haloperidol kerja cepat konfirmasi diagnostik ke fasyankes
(short acting) 5 mg, dapat diulangi sekunder yang memiliki pelayanan
dalam 30 menit - 1 jam jika belum kesehatan jiwa setelah dilakukan
ada perubahan yang signifikan, dosis penatalaksanaan awal.
maksimal 30 mg/hari. Atau dapat 2. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan
juga dapat diberikan injeksi perawatan inap karena berpotensi
intra muskular klorpromazin 2-3 x membahayakan diri atau orang lain segera
50 mg. Untuk pemberian haloperidol dirujuk setelah penatalaksanaan awal.
dapat diberikan tambahan injeksi intra Peralatan
muskular diazepam untuk mengurangi
dosis ntipsikotiknya dan menambah 1. Alat restraint (fiksasi)
efektivitas terapi. Setelah stabil segera 2. Alat transportasi untuk merujuk (bila
rujuk ke RS/RSJ. tersedia).
c. Untuk pasien psikotik kronis yang tidak Prognosis
taat berobat, dapat dipertimbangkan
untuk pemberian injeksi depo Untuk ad Vitam adalahbonam, ad fungsionam
adalah dubia, dan ad sanationam adalah dubia.
(jangka panjang) antipsikotik seperti
haloperidol decanoas 50 mg atau Referensi
fluphenazine decanoas 25 mg. Berikan
injeksi I.M ½ ampul terlebih dulu 1. Kaplan and Sadock.Synopsis of psychiatry.
untuk 2 minggu, selanjutnya injeksi 1 7thEd. William and Wilkins.
ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan 2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
sambil dimonitor efek samping, lalu di Indonesia III. Ed 1. 1993.
obat oral turunkan perlahan. 3. World Health Organization. Diagnostic
and management guidelines for mental
d. Jika timbul efek samping disorders in primary care: ICD-10 chapter
ekstrapiramidal seperti tremor, V, primary care version. Seattle: Hogrefe &
kekakuan, akinesia, dapat diberikan Huber Publishers.
triheksifenidil 2-4 x 2 mg; jika timbul 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
distonia akut berikan injeksi diazepam Jiwa Indonesia Pedoman Nasional
atau difenhidramin, jika timbul akatisia Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri. 2012.
(gelisah, mondar
J. RESPIRASI
1. INFLUENZA
No. ICPC-2 : R80 Influenza
No. ICD-10 : J11 Influenza, virus not identified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Penegakan diagnosis influenza membutuhkan
Influenza, sering dikenal dengan flu adalah ketelitian, karena keluhannya hampir sama
penyakit menular disebabkan oleh virus RNA dengan penyakit saluran pernapasan lainnya.
yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang C.
Virus influenza terus mengalami perubahan, Influenza dapat didiagnosis berdasarkan 4
sehingga dalam beberapa waktu akan kriteria berikut:
mengakibatkan wabah (pandemik) yang parah. 1. Terjadi tiba-tiba/akut
Virus ini menyerang saluran napas atas dan 2. Demam
paru-paru. 3. Gejala saluran pernapasan seperti batuk,
Hasil Anamnesis (Subjective) tidak ada lokasi spesifik dari keluhan yang
timbul
Keluhan 4. Terdapat penyakit serupa di lingkungan
penderita
Keluhan yang sering muncul adalah demam,
bersin, batuk, sakit tenggorokan, hidung meler, Ketika terdapat kasus influenza di masyarakat,
nyeri sendi dan badan, sakit kepala, lemah semua pasien dengan keluhan influenza harus
badan. didiagnosis secara klinis. Pasien disarankan
kembali untuk tindak lanjut jika keluhan
Faktor Risiko yang dialami bertambah buruk atau tidak ada
1. Daya tahan tubuh menurun perbaikan dalam waktu 72 jam.
2. Kepadatan hunian dan kepadatan Diagnosis Banding
penduduk yang tinggi
3. Perubahan musim/cuaca Faringitis, Tonsilitis, Laringitis
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Komplikasi
5. Usia lanjut
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang Infeksi sekunder oleh bakteri, Pneumonia
sederhana Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
(Objective) Penatalaksanaan
Pemeriksaan Fisik 1. Tatalaksana influenza umumnya tanpa obat
(self-limited disease).
Tanda Patognomonis
Hal yang perlu ditingkatkan adalah daya
1. Febris tahan tubuh. Tindakan untuk meringankan
2. Rinore gejala flu adalah beristirahat 2-3 hari,
3. Mukosa hidung edema mengurangi kegiatan fisik berlebihan,
meningkatkan gizi makanan dengan
Pemeriksaan penunjang: tidak diperlukan makanan berkalori dan protein tinggi, serta
Penegakan Diagnostik (Assessment) buah-buahan yang tinggi vitamin.
Diagnosis Klinis
2. Terapi simptomatik per oral tidak turun 5 hari disertai batuk purulen dan
sesak napas)
a. Antipiretik. Pada dewasa yaitu
parasetamol 3-4 x 500 mg/hari (10-15 Prognosis
mg/kgBB), atau ibuprofen 3-4 x 200-
400 mg/hari (5-10 mg/kgBB). Prognosis pada umumnya bonam.
b. Dekongestan, seperti pseudoefedrin Peralatan
(60 mg setiap 4-6 jam)
c. Antihistamin, seperti klorfeniramin 4- -
6 mg sebanyak 3-4 kali/hari, atau Referensi
difenhidramin, 25-50 mg setiap 4-6 jam,
atau loratadin atau cetirizine 10 mg 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L.
dosis tunggal (pada anak loratadin 0,5 Hauser, S.L.et al. Harrisson’s: Principle
mg/kgBB dan setirizin 0,3 mg/kgBB). of Internal Medicine. 17thed. New York:
d. Dapat pula diberikan antitusif atau McGraw-Hill Companies. 2009. p: 1006 -
ekspektoran bila disertai batuk. 1020.
2. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan
Konseling dan Edukasi dan Pengendalian Infeksi Saluran
1. Edukasi Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi
Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan
a. Edukasi terutama ditujukan Kesehatan. 2007.
untuk individu dan lingkungannya.
Penyebaran penyakit ini melalui
udara sehingga lingkungan rumah
harus memenuhi persyaratan rumah
sehat terutama ukuran jendela untuk
pencahayaan dan ventilasi serta
kepadatan hunian. Untuk mencegah
penyebaran terhadap orang-orang
terdekat perlu diberikan juga edukasi
untuk memutuskan mata rantai
penularan seperti etika batuk dan
pemakaian masker.
b. Selain edukasi untuk individu,
edukasi terhadap keluarga dan orang-
orang terdekat juga penting seperti
peningkatan higiene dan sanitasi
lingkungan
2. Pencegahan
a. Imunisasi influenza, terutama bagi
orang-orang risiko tinggi.
b. Harus diwaspadai pasien yang baru
kembali dari daerah terjangkit epidemi
influenza
Rujukan
Bila didapatkan tanda-tanda pneumonia (panas
2. FARINGITIS AKUT
No. ICPC-2 : R74.Upper respiratory infection acute
No. ICD-10 : J02.9 Acute pharyngitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
pada faring dan tidak berespon dengan
Faringitis merupakan peradangan dinding pengobatan bakterial non spesifik.
faring yang disebabkan oleh virus (40-60%), 7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau
bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain- faringitis luetika, ditanyakan riwayat
lain.Anak-anak dan orang dewasa umumnya hubungan seksual, terutama seks oral.
mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis setiap Faktor Risiko
tahunnya. 1. Usia 3 – 14 tahun.
2. Menurunnya daya tahan tubuh.
Hasil Anamnesis (Subjective)
3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring
Keluhan 4. Gizi kurang
5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol,
1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan makanan, refluks asam lambung, inhalasi
2. Demam uap yang merangsang mukosa faring.
3. Sekret dari hidung 6. Paparan udara yang dingin.
4. Dapat disertai atau tanpa batuk
5. Nyeri kepala Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
6. Mual Sederhana (Objective)
7. Muntah
Pemeriksaan Fisik
8. Rasa lemah pada seluruh tubuh
9. Nafsu makan berkurang 1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak
faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu: influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus
1. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): tidak menghasilkan eksudat). Pada
coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular
diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa
di orofaring dan lesi kulit berupa
hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain maculopapular rash.
demam disertai rinorea dan mual. 2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, tampak tonsil membesar, faring dan
muntah, kadang demam dengan suhu yang tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali permukaannya. Beberapa hari kemudian
terdapat pembesaran KGB leher. timbul bercak petechiaepada palatum dan
3. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa
dan nyeri menelan. leher anterior membesar, kenyal dan nyeri
4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula pada penekanan.
tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk 3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan
yang berdahak. tampak plak putih di orofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring
5. Faringitis kronik atrofi: umumnya
lainnya hiperemis.
tenggorokan kering dan tebal serta mulut
4. Faringitis kronik hiperplastik, pada
berbau. pemeriksaan tampak kelenjar limfa di
6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat bawah mukosa faring dan hiperplasia
lateral band.
Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding adenovirus juga menimbulkan gejala
posterior tidak rata dan bergranular konjungtivitis terutama pada anak.
(cobble stone). b. Faringitis Bakterial
5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan Infeksi grup A stereptokokus beta
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir hemolitikus merupakan penyebab
yang kental dan bila diangkat tampak faringitis akut pada orang dewasa (15%)
mukosa kering. dan pada anak (30%).
6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan Faringitis akibat infeksi bakteri
tampak granuloma perkejuan pada mukosa streptokokkus group A dapat
faring dan laring diperkirakan dengan menggunakan
7. Faringitis luetika tergantung stadium Centor criteria, yaitu :
penyakit: • Demam
a. Stadium primer • Anterior Cervical lymphadenopathy
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan • Eksudat tonsil
dinding posterior faring berbentuk • Tidak ada batuk
bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri
timbul ulkus pada daerah faring seperti skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien
ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. tidak mengalami faringitis akibat
Juga didapatkan pembesaran kelenjar infeksi streptokokkus group A, bila
mandibula skor 1-3 maka pasien memiliki
b. Stadium sekunder kemungkian 40% terinfeksi
Stadium ini jarang ditemukan. Pada streptokokkus group A dan bila skor
dinding faring terdapat eritema yang 4 pasien memiliki kemungkinan 50%
menjalar ke arah laring. terinfeksi streptokokkus group A.
c. Stadium tersier c. Faringitis Fungal
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil Candida dapat tumbuh di mukosa
dan palatum. rongga mulut dan faring.
d. Faringitis Gonorea
Pemeriksaan Penunjang Hanya terdapat pada pasien yang
1. Pemeriksaan darah lengkap. melakukan kontak orogenital
2. Pemeriksaan mikroskopik dengan 2. Faringitis Kronik
pewarnaan Gram. a. Faringitis Kronik Hiperplastik
3. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik perubahan mukosa dinding posterior
swab mukosa faring dengan pewarnaan faring.
KOH. b. Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul
Penegakan Diagnostik (Assessment) bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan
Diagnosis Klinis
tidak diatur suhu serta kelembapannya
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, sehingga menimbulkan rangsangan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta infeksi pada faring.
bila diperlukan. 3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis Tuberkulosis
Klasifikasi faringitis Merupakan proses sekunder dari
1. Faringitis Akut tuberkulosis paru.
a. Faringitis Viral b. Faringitis Luetika
Dapat disebabkan oleh rinovirus, Treponema palidum dapat menimbulkan
adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), infeksi di daerah faring, seperti juga
virus influenza, coxsachievirus, penyakit lues di organ lain. Gambaran
cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada klinik tergantung stadium penyakitnya.
Komplikasi hari.
Tonsilitis, Abses peritonsilar, Abses Konseling dan Edukasi
retrofaringeal, Gangguan fungsi tuba Eustachius,
Otitis media akut, Sinusitis, Laringitis, Epiglotitis, Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
Meningitis, Glomerulonefritis akut, Demam 1. Menjaga daya tahan tubuh dengan
rematik akut, Septikemia mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) teratur.
2. Berhenti merokok bagi anggota keluarga
Penatalaksanaan yang merokok.
3. Menghindari makan makanan yang dapat
1. Istirahat cukup mengiritasi tenggorok.
2. Minum air putih yang cukup 4. Selalu menjaga higiene mulut dan tangan
3. Berkumur dengan air yang hangat dan
berkumur dengan obat kumur antiseptik Kriteria Rujukan
untuk menjaga kebersihan mulut. Pada
faringitis fungal diberikan Nistatin 100.000- 1. Faringitis luetika
400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis 2. Bila terjadi komplikasi
kronik hiperplastik terapi lokal dengan Prognosis
melakukan kaustik faring dengan memakai
zat kimia larutan Nitras Argentin 25% 1. Ad vitam : Bonam
4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti 2. Ad functionam : Bonam
virus Isoprinosine dengan dosis 60-100 3. Ad sanationam : Bonam
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada
orang dewasa dan pada anak <5 tahun Peralatan
diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/ 1. Lampu kepala
hari 2. Spatula lidah
5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila 3. Lidi kapas
diduga penyebabnyaStreptococcus group
A, diberikan antibiotik Amoksisilin 50 Referensi
mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10
hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6- 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku
10 hari atau Eritromisin 4x500 mg/hari. Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan 1997. (Adam dan Boies, 1997)
Sefalosporin generasi ke-3, seperti 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
Seftriakson 2 gr IV/IM single dose. Neck Surgery. Ed. Ke-8.McGraw-Hill. 2003.
7. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit (Lee, 2003)
hidung dan sinus paranasal harus diobati. 3. Rusmarjono. Soepardi, E.A.Faringitis,
Pada faringitis kronik atrofi pengobatan Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
ditujukan pada rhinitis atrofi. Sedangkan, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan Tenggorok, KepaladanLeher. Ed. ke-
kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari. 6.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk Indonesia. 2007(Hafil, et al., 2007)
antitusif atau ekspektoran.
9. Analgetik-antipiretik
10. Selain antibiotik, Kortikosteroid juga
diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis.
Steroid yang diberikan dapat berupa
Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa
selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/
kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3
3. LARINGITIS AKUT
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R77. Laryngitis/tracheitis acute
: J04.0 Acute laryngitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
kepala, batuk dan demam dengan
Laringitis adalah peradangan pada laring yang temperatur yang tidak mengalami
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau peningkatan dari 38o C.
jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari 8. Obstruksi jalan nafas apabila ada edema
penggunaan suara yang berlebihan, pajanan laring diikuti edema subglotis yang terjadi
terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada dalam beberapa jam dan biasanya sering
pita suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, terjadi pada anak berupa anak menjadi
dan pneumonia juga dapat menyebabkan gelisah, nafas berbunyi, air hunger, sesak
laringitis. Laringitis pada anak sering diderita semakin bertambah berat.
oleh anak usia 3 bulan hingga 3 tahun, dan 9. Laringitis kronik ditandai dengan afonia
biasanya disertai inflamasi pada trakea dan yang persisten. Pada pagi hari, biasanya
bronkus dan disebut sebagai penyakit croup. tenggorokan terasa sakit namun membaik
Penyakit ini seringkali disebabkan oleh virus, pada suhu yang lebih hangat. Nyeri
yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus tenggorokan dan batuk memburuk kembali
influenza A dan B, RSV, dan virus campak. Selain menjelang siang. Batuk ini dapat juga dipicu
itu, M. pneumonia juga dapat menyebabkan oleh udara dingin atau minuman dingin.
croup.
Faktor Risiko
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Penggunaan suara yang berlebihan.
Keluhan 2. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap
rokok dan minum- minuman alkohol.
1. Pasien datang dengan keluhan suara 3. Adanya refluks laringofaringeal, bronkitis,
serak atau hilang suara (afonia). dan pneumonia.
2. Gejala lokal seperti suara parau, seperti 4. Rhinitis alergi.
suara yang kasar atau suara yang susah 5. Perubahan suhu yang tiba-tiba.
keluar atau suara dengan nada lebih rendah 6. Malnutrisi.
dari suara yang biasa/normal bahkan 7. Keadaan menurunnya sistem imun atau
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni). daya tahan tubuh.
Hal ini terjadi karena gangguan getaran
serta ketegangan dalam pendekatan kedua Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
pita suara kiri dan kanan. Sederhana (Objective)
3. Sesak nafas dan stridor.
Pemeriksaan Fisik
4. Nyeri tenggorokan, terutama nyeri ketika
menelan atau berbicara. Laringoskopi indirek (khusus untuk pasien
5. Gejala radang umum, seperti demam, dewasa):
malaise.
6. Batuk kering yang lama kelamaan disertai 1. Pada pemeriksaan fisik akan tampak
dengan dahak kental. mukosa laring yang hiperemis dan
7. Gejala common cold, seperti bersin-bersin, membengkak terutama di bagian atas dan
nyeri tenggorok hingga sulit menelan, bawah pita suara.
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri 2. Biasanya terdapat tanda radang akut di
hidung atau sinus paranasal. 3. Laringitis Kronik Spesifik
3. Pada laringitis kronik, dapat ditemukan
nodul, ulkus dan penebalan mukosa pita a. Laringitis tuberkulosa
suara. Penyakit ini disebabkan tuberkulosis
paru. Setelah diobati, biasanya
Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan) tuberkulosis paru sembuh namun
1. Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: laringitis tuberculosis menetap
bisa tampak pembengkakan jaringan (membutuhkan pengobatan yang lebih
subglotis (Steeple sign). Tanda ini lama), karena struktur mukosa laring
ditemukan pada 50% kasus. sangat lekat pada kartilago serta
2. Foto toraks AP. vaskularisasi tidak sebaik paru.
3. Pemeriksaan laboratorium darah Terdapat 4 stadium:
lengkap. • Stadium Infiltrasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Mukosa laring membengkak,
hiperemis (bagian posterior), dan
Diagnosis Klinis pucat. Terbentuk tuberkel di daerah
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, submukosa, tampak sebagai bintik-
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bintik kebiruan. Tuberkel membesar,
jika diperlukan. menyatu sehingga mukosa di
atasnya meregang. Bila pecah akan
Klasifikasi: timbul ulkus.
1. Laringitis Akut • Stadium Ulserasi
Laringitis akut adalah radang akut laring, Ulkus membesar, dangkal, dasarnya
dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. ditutupi perkejuan dan terasa nyeri
Keluhan berlangsung <3 minggu dan pada oleh pasien
umumnya disebabkan oleh infeksi virus • Stadium Perikondritis
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe
Ulkus makin dalam mengenai
1,2,3), rhinovirusdan adenovirus. Penyebab
kartilago laring, paling sering terkena
lain adalah Haemofilus influenzae,
kartilago aritenoid, dan epiglottis.
Branhamellacatarrhalis, Streptococcus
Terbentuk nanah yang berbau sampai
pyogenes, Staphylococcus aureus, dan
terbentuk sekuester. Pada stadium
Streptococcuspneumoniae.
ini keadaan pasien buruk dan dapat
2. Laringitis Kronik meninggal. Bila bertahan maka
Laringitis kronik dapat terjadi setelah berlanjut ke stadium akhir yaitu
laringitis akut yang berulang, dan juga stadium fibrotuberkulosis
dapat diakibatkan oleh sinusitis kronis, • Stadium Fibrotuberkulosis
deviasi septum berat, polip hidung,
Terbentuk fibrotuberkulosis pada
bronkitis kronik, refluks laringofaring,
dinding posterior, pita suara, dan
merokok, pajanan terhadap iritan yang
subglotik.
bersifat konstan, dan konsumsi alkohol
berlebih. Tanda dari laringitis kronik ini yaitu b. Laringitis luetika
nyeri tenggorokan yang tidak signifikan, Radang menahun ini jarang ditemukan.
suara serak, dan terdapat edema pada
laring. Mungkin juga disebabkan Diagnosis Banding
penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti Benda asing pada laring, Faringitis,
berteriak-teriak atau bicara keras. Bronkiolitis, Bronkitis, Pneumonia, Tumor pada
laring, Kelumpuhan pita suara bersuara atau tidak bersuara berlebihan.
4. Menghindari makanan yang mengiritasi
Komplikasi atau meningkatkan asam lambung.
Obstruksi jalan napas atas, Pneumonia,
Kriteria Rujukan
Bronkhitis
Indikasi rawat rumah sakit apabila:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Terdapat tanda sumbatan jalan nafas atas.
Penatalaksanaan
2. Usia penderita dibawah 3 tahun.
1. Non-medikamentosa 3. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau
a. Istirahat suara (vocal rest). exhausted.
b. Rehabilitasi suara (voice therapy), bila 4. Ada kecurigaan tumor laring.
diperlukan.
Prognosis
c. Meningkatkan asupan cairan.
d. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan 1. Ad vitam : Bonam
pemasangan pipa endotrakea, atau 2. Ad functionam : Bonam
trakeostomi. 3. Ad sanationam : Bonam
2. Medikamentosa Peralatan
a. Parasetamol atau Ibuprofen sebagai
antipiretik dan analgetik. 1. Lampu kepala
b. Pemberian antibiotik dilakukan bila 2. Kaca laring
peradangan dari paru dan bila 3. Kassa steril
penyebab berupa Streptokokus grup A 4. Lampu spiritus
ditemukan melalui kultur. Pada kasus Referensi
ini, antibiotik yang dapat digunakan
yaitu golongan Penisilin. 1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar
c. Proton Pump Inhibitor pada laringitis Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
yang disebabkan oleh refluks 2. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono,
laringofaringeal. A. Kelainan Laring dalam Buku Ajar Ilmu
d. Kortikosteroid dapat diberikan jika Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
laringitis berat. Kepala dan Leher. Ed ke-6.Jakarta:Fakultas
e. Laringitis tuberkulosis: obat Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
antituberkulosis. 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
f. Laringitis luetika: penisilin dengan dosis Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
tinggi. Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan laringoskopi indirek
kembali untuk memeriksa perbaikan
organ laring.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
teratur.
2. Menghentikan merokok.
3. Mengistirahatkan pasien berbicara dan
4. TONSILITIS AKUT
No. ICPC-2 No.: ICD-10
R76. Tonsillitis acute
: J03. Acute tonsillitis J35. Chronic tonsilitis
Tingkat Kemampuan 4A
2. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskop 4. Pemberian obat topikal dapat berupa obat
dengan pewarnaan Gram kumur antiseptik
5. Pemberian obat oral sistemik selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian
a. Tonsilitis viral.
selama 3 hari. Analgetik / antipiretik,
Istirahat, minum cukup, analgetika / misalnya Paracetamol dapat diberikan.
antipiretik (misalnya, Paracetamol), dan
c. Tonsilitis difteri
antivirus diberikan bila gejala berat.
Antivirus Metisoprinol diberikan pada Anti Difteri Serum diberikan segera
infeksi virus dengan dosis 60-100 mg/ tanpa menunggu hasil kultur, dengan
kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/ dosis 20.000-100.000 unit tergantung
hari pada orang dewasa dan pada anak umur dan jenis kelamin. Antibiotik
< 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi penisilin atau eritromisin 25-50 mg/
dalam 4-6 kali pemberian/hari. kgBB/hari. Antipiretik untuk
simptomatis dan pasien harus diisolasi.
b. Tonsilitis bakteri
Perawatan harus istirahat di tempat
Bila diduga penyebabnya Streptococcus tidur selama 2-3 minggu.
group A, diberikan antibiotik yaitu
d. Angina Plaut Vincent (Stomatitis
Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM
ulseromembranosa) Antibiotik
dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/
spektrum luas diberikan selama 1
kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10
minggu, dan pemberian vitamin C serta
hari dan pada dewasa 3 x 500 mg
vitamin B kompleks.
selama 6-10 hari atau Eritromisin 4 x
500 mg/ hari. Selain antibiotik juga Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi
diberikan Kortikosteroid karena steroid
Menurut Health Technology Assessment
telah terbukti menunjukkan perbaikan
Kemenkes tahun 2004, indikasi tonsilektomi,
klinis yang dapat menekan reaksi yaitu:
inflamasi. Steroid yang dapat diberikan
berupa Deksametason 3 x 0,5 mg pada Tabel 10.1 Indikasi Tonsilektomi
dewasa
Kontraindikasi relatif tonsilektomi: 2. Adanya indikasi tonsilektomi.
3. Pasien dengan tonsilitis difteri.
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi atau penyakit sistemik yang Peralatan
berat
3. Anemia 1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
Konseling dan Edukasi 3. Lidi kapas
4. Laboratorium sederhana untuk
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
pemeriksaan darah lengkap
1. Menghindari pencetus, termasuk makanan 5. Laboratorium sederhana untuk
dan minuman yang mengiritasi pemeriksaan mikrobiologi dengan
2. Melakukan pengobatan yang adekuat pewarnaan Gram
karena risiko kekambuhan cukup tinggi.
Prognosis
3. Menjaga daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga 1. Ad vitam : Bonam
teratur. 2. Ad functionam : Bonam
4. Berhenti merokok. 3. Ad sanationam : Bonam
5. Selalu menjaga kebersihan mulut.
6. Mencuci tangan secara teratur. Rencana Referensi
Tindak Lanjut 1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies. Buku Ajar
Memberikan laporan ke dinas kesehatan Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997
setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri. 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
Kriteria Rujukan Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
5. BRONKITIS AKUT
No. ICPC II : R78 Acute bronckitis /bronchiolitis
No. ICD X : J20.9 Acute bronchitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Bronkitis adalah suatu peradangan pada paparan terhadap iritasi, bahan-bahan yang
bronkus (saluran udara ke paru-paru). Radang mengeluarkan polusi, penyakit gastrofaringeal
dapat berupa hipersekresi mukus dan batuk refluk dan pekerja yang terekspos dengan debu
produktif kronis berulang-ulang minimal selama atau asap. Bronkitis akut dapat dijumpai pada
3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 semua umur, namun paling sering didiagnosis
tahun berturut-turut pada pasien yang pada anak-anak muda dari 5 tahun, sedangkan
diketahui tidak terdapat penyebab lain. bronkitis kronis lebih umum pada orang tua dari
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh beberapa 50 tahun.
hal, yaitu: infeksi virus, infeksi bakteri, rokok
dan asap rokok,
Hasil Anamnesis (Subjective) dari hilus menuju apex paru dan corakan
paru yang bertambah.
Keluhan
3. Tes fungsi paru dapat memperlihatkan
1. Batuk (berdahak maupun tidak berdahak) obstruksi jalan napas yang reversibel
selama 2-3 minggu. dengan menggunakan bronkodilator.
2. Dahak dapat berwarna jernih, putih,
Penegakan Diagnostik (Assessment)
kekuning-kuningan atau kehijauan.
3. Demam (biasanya ringan) Diagnosis Klinis
4. Rasa berat dan tidak nyaman di dada. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
5. Sesak nafas. pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Diagnosis Banding
6. Sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
“ngik”, terutama setelah batuk. 1. Epiglotitis, yaitu suatu infeksi pada
7. Bila iritasi saluran terjadi, maka dapat epiglotis, yang bisa menyebabkan
terjadi batuk darah. penyumbatan saluran pernafasan.
Masalah Kesehatan
Asma adalah penyakit heterogen, selalu
dikarakteristikkan dengan inflamasi kronis di
saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi
seperti mengi, sesak, rasa berat di dada dan
batuk yang intensitasnya berberda-beda
berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara
ekspirasi
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka
meningkatkan kemungkinan pasien memiliki
Asma, yaitu :
1. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi,
sesak, dada terasa berat) khususnya pada
dewasa muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau
pagi dini hari
3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan,
pajanan allergen, perubahan cuaca, tertawa Pemeriksaan Fisik
atau iritan seperti asap kendaraan, rokok
atau bau yang sangat tajam Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal.
Abnormalitas yang paling sering ditemukan Penilaian Derajat Kontrol Asma
adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan
auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar Tabel 10.4 Penilaian derajat kontrol asma
saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak
terddengan selama eksaserbasi asma yang berat
karena penurunan aliran napas yang dikenal
dengan “silent chest”.
Pemeriksaan Penunjang
1. Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan
Peak Flowmeter
2. Pemeriksaan darah (eosinofil dalam darah)
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE
sebelum dan sesudah pemberian inhalasi
salbutamol.
Klasifikasi
Tabel 10.3 Klasifikasi asma bronkial
* Semua eksaserbasi terjadi dalam
pengobatan yang adekuat
** Berdasarkan definisi, eksaserbasi di minggu
apapun membuat asma tidak terkontrol
*** Tanpa pemberian bronkodilator
Fungsi paru tidak untuk anak 5 tahun atau lebih
muda
Diagnosis Banding
Disfungsi pita suara, Hiperventilasi,
Bronkiektasis, Kistik fibrosis, Gagal jantung,
Defisiensi benda asing
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi
serta mengendalikan faktor pencetusnya.
2. Perlu dilakukan perencanaan dan
pemberian pengobatan jangka panjang
serta menetapkan pengobatan pada
serangan akut sesuai tabel di bawah ini.
Tabel 10.5 Penatalaksanaan asma Konseling dan Edukasi
berdasarkan beratnya keluhan 1. Memberikan informasi kepada individu
dan keluarga mengenai seluk beluk
penyakit, sifat penyakit, perubahan
penyakit (apakah membaik atau
memburuk), jenis dan mekanisme kerja
obat-obatan dan mengetahui kapan harus
meminta pertolongan dokter.
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk
menilai dan monitor berat asma secara
berkala (asthma control test/ ACT)
3. Pola hidup sehat.
4. Menjelaskan pentingnya melakukan
pencegahan dengan:
a. Menghindari setiap pencetus.
b. Menggunakan bronkodilator/ steroid
inhalasi sebelum melakukan exercise untuk
mencegah exercise induced asthma.
Kriteria rujukan
1. Bila sering terjadi eksaserbasi.
2. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
3. Asma dengan komplikasi.
Persiapan dalam melakukan rujukan bagi pasien
asma, yaitu:
1. Terdapat oksigen.
2. Pemberian steroid sistemik injeksi atau
inhalasi disamping pemberian bronkodilator
kerja cepat inhalasi.
3. Pasien harus didampingi oleh dokter/tenaga
kesehatan terlatih selama perjalanan
menuju ke pelayanan sekunder.
Peralatan
1. Asthma control test
2. Tabung oksigen
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila 3. Kanul hidung
diperlukan) 4. Masker sederhana
1. Foto toraks 5. Nebulizer
2. Uji sensitifitas kulit 6. Masker inhalasi
3. Spirometri 7. Peak flow meter
4. Uji provokasi bronkus 8. Spirometri
Komplikasi Prognosis
1. Ad sanasionam : bonam
Pneumotoraks, Pneumomediastinum, Gagal 2. Ad fungsionam : bonam
napas, Asma resisten terhadap steroid. 3. Ad vitam : bonam
Referensi terasa berat, atau batuk setelah terpajan
alergen atau polutan?
1. Global strategy for asthma management 5. Apakah jika mengalami pilek, anak
and prevention. GINA.2014. (Global membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
Initiatives for Asthma, 2011)
6. Apakah gejala klinis membaik setelah
2. Global strategy for asthma management pemberian pengobatan anti- asma?
and prevention. GINA.2006. (Global
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Initiatives for Asthma, 2006)
Sederhana (Objective)
3. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma.
Pemeriksaan Fisik
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta. 2004. (Perhimpunan Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak
Dokter Paru Indonesia, 2004) ditemukan kelainan saat pasien tidak
mengalami serangan. Pada sebagian kecil pasien
B. ASMA PADA ANAK yang derajat asmanya lebih berat, dapat
dijumpai mengi di luar serangan. Dengan
Masalah Kesehatan adanya kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi
dan anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya
Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya
persisten dengan karakteristik sebagai berikut: berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik dan
timbul secara episodik, cenderung pada malam/ respons terhadap pengobatan). Pada kelompok
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas usia ini, tes fungsi paru atau pemeriksaan untuk
fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran
pada pasien dan/atau keluarganya. Inflamasi ini napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan sehari-hari. Kemungkinan asma perlu dipikirkan
napas terhadap berbagai rangsangan. Prevalens pada anak yang hanya menunjukkan batuk
total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada sebagai satu- satunya gejala dan pada
dewasa dan 10% pada anak). pemeriksaan fisik tidak ditemukan mengi, sesak,
dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat
Hasil Anamnesis (Subjective)
dengan batuk malam hari yang rekuren, asma
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat harus dipertimbangkan sebagai probable
agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat diagnosis. Beberapa anak menunjukkan gejala
mengenai gejala sulit bernapas, mengi setelah berolahraga.
atau dada terasa berat yang bersifat episodik
dan berkaitan dengan musim serta terdapat Pemeriksaan Penunjang
riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota Arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow
keluarga. Walaupun informasi akurat mengenai meter. Metode yang dianggap merupakan cara
hal-hal tersebut tidak mudah didapat, beberapa mengukur nilai diurnal APE terbaik adalah
pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan
pertimbangan diagnosis asma : hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik
dari selisih nilai APE pagi hari terendah dengan
1. Apakah anak mengalami serangan mengi
nilai APE malam hari tertinggi. Jika didapatkan
atau serangan mengi berulang?
variabilitas APE diurnal > 20% (petanda adanya
2. Apakah anak sering terganggu oleh batuk
perburukan asma) maka diagnosis asma perlu
pada malam hari?
dipertimbangkan.
3. Apakah anak mengalami mengi atau batuk
setelah berolahraga? Penegakan Diagnosis (Assessment)
4. Apakah anak mengalami gejala mengi, dada
Asma Stabil
Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap
terhadap pemberian faktor pencetus (paling sering infeksi virus atau
allergen atau kombinasi keduanya), sedangkan
obat asma baik, pemeriksaan lebih lanjut tidak
serangan berupa perburukan yang bertahap
perlu dilakukan. Jika respons terhadap obat
mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka
asma tidak baik, sebelum mengganti obat
panjang penyakit.
dengan yang lebih poten, harus dinilai lebih
dulu apakah dosis sudah adekuat, cara dan
waktu pemberian sudah benar, serta ketaatan
pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah
dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis
bukan asma perlu dipikirkan.
Klasifikasi asma pada anak menurut PNAA 2004
Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode
perburukan gejala-gejala asma secara progresif.
Gejala yang dimaksud adalah sesak napas,
batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai
kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya,
eksaserbasi disertai distres pernapasan.
Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF
atau FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator
yang lebih dapat dipercaya daripada penilaian
berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala
lebih sensitif untuk menunjukkan awal
terjadinya ekaserbasi karena memberatnya
gejala biasanya mendahului perburukan PEF.
Derajat serangan asma bervariasi mulai dari
yang ringan sampai yang mengancam jiwa,
perburukan dapat terjadi dalam beberapa
menit, jam, atau hari. Serangan
# pada matrik klinis, setiap pasien asma tatalaksana di rumah dan di rumah sakit.
harus dicantumkan diagnosis asma secara Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien
lengkap berdasarkan kekerapan serangan (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini
maupun drajat berat serangan misalnya dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya
asma episodik jarang serangan Ryan, asma telah menjalani terapi dengan teratur dan
episodik sering di luar serangan. mempunyai pendidikan yang cukup. Pada
panduan pengobatan di rumah, disebutkan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) bahwa terapi awal adalah inhalasi B2agonis
Asma Stabil kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang waktu
20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok mencari pertolongan ke dokter atau sarana
besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat kesehatan.
pengendali (controller). Obat pereda terkadang
juga disebut sebagai obat pelega atau obat Nilai derajat serangan
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk
Tatalaksana awal
meredakan serangan atau gejala asma yang
sedang timbul. Jika serangan sudah teratasi dan • nebulisasi B2agonis 1-2x, selang 20 menit
gejala sudah menghilang, obat ini tidak • nebulisasi kedua + antikolinergik jika
digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat serangan sedang/berat
pengendali yang sering disebut sebagai obat • nebulisasi langsung dengan B2agonis +
pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan antikolinergik
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu Serangan ringan (nebulisasi 1x, respons baik)
inflamasi kronik saluran napas. Dengan • Observasi 1-2 jam
demikian, obat ini dipakai terus menerus dalam • Jika efek bertahan, boleh pulang
jangka waktu yang relatif lama, bergantung • Jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai
pada derajat penyakit asma dan responsnya serangan sedang
terhadap pengobatan.
Serangan sedang (nebulisasi 2x, respons parsial)
• Berikan oksigen
• Nilai kembali derajat serangan, jika sesuai
dengan serangan sedang, observasi di Ruang
Rawat Sehari
• Berikan steroid oral
• Pasang jalur parenteral
Serangan berat (bila telah nebulisasi 3x, respons
buruk)
• Sejak awal berikan O2 saat/di luar nebulisasi
• Pasang jalur parenteral, nilai ulang keadaan
klinis, jika seuai dgn serangan berat, rawat di
Ruang Rawat Inap
• Foto rontgen toraks
Boleh pulang
• Bekali dengan obat ß-agonis (hirupan/oral)
• Jika sudah ada obat pengendali, teruskan
Asma Eksaserbasi • Jika pencetusnya adalah infeksi virus, dapat
diberikan steroid oral
Global initiative for asthma (GINA) membagi
• Dalam 24-48 jam control ke klinik rawat jalan.
tatalaksana serangan asma menjadi dua yaitu
Catatan: baik dalam 4-6 minggu, tatalaksananya
Ruang rawat sehari/observasi berpindah ke asma episodik sering.
• Teruskan pemberian oksigen 2. Asma episodik sering
• Lanjutkan steroid oral Penggunaan B2-agonis hirupan lebih dari 3x
• Nebulisasi tiap 2 jam per minggu (tanpa menghitung penggunaan
• Bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/
boleh pulang. Tetapi jika klinis tetap belum berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan,
membaik/memburuk, alih rawat ke Ruang merupakan indikasi penggunaan anti-
rawat inap. inflamasi sebagai pengendali. Obat
steroid hirupan yang sering digunakan pada
Ruang rawat inap anak adalah budesonid, sehingga digunakan
• Teruskan oksigen sebagai standar. Dosis rendah steroid
• Atasi dehidrasi dan asidosis jika ada hirupan adalah 100-200 g/hari budesonid
• Steroid IV tiap 6-8 jam (50-100 g/hari flutikason) untuk anak
• Nebulisasi tiap 1-2 jam berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400
• Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason)
• Jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada
jadi 4-6 jam penggunaan beklometason atau budesonid
• Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, dengan dosis 100-200 g/hari atau setara
boleh pulang dengan flutikason 50-100 g, belum pernah
• Jika dengan steroid dan aminofilin parenteral dilaporkan adanya efek samping jangka
tidak membaik, bahkan timbul ancaman henti panjang. Jika setelah pengobatan selama 8-
napas, alih rawat ke Ruang rawat 12 minggu dengan steroid dosis rendah
• Jika menurut penilaian serangannya sedang/ tidak timbul respons (masih terdapat gejala
berat, nebulisasi pertama kali langsung asma atau gangguan tidur atau aktivitas
dengan ß-agonis + antikolinergik sehari-hari), pengobatan dilanjutkan
• Bila terdapat tanda ancaman henti napas dengan tahap kedua, yaitu menaikkan
segera ke Ruang Rawat Intensif dosis steroid hirupan sampai dengan 400
• Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi g/hari yang termasuk dalam tatalaksana
dapat diganti dengan adrenalin subkutan asma persisten. Jika tatalaksana suatu
0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali derajat penyakit asma sudah adekuat,
• Untuk serangan sedang dan terutama berat, tetapi responsnya tetap tidak baik dalam 8-
oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, 12 minggu, derajat tatalaksananya
termasuk pada saat nebulisasi berpindah ke yang lebih berat (step up).
Sebaliknya, jika asma terkendali dalam 8-12
intensif minggu, derajatnya beralih ke yang lebih
Tatalaksana Asma Eksaserbasi ringan (step down). Jika memungkinkan,
steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Tatalaksana Asma Eksaserbasi
1. Asma episodik jarang cukup diobati dengan Sebelum melakukan step-up, harus
obat pereda berupa bronkodilator -agonis dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
hirupan kerja pendek (Short Acting B2- penghindaran pencetus, penggunaan obat,
Agonist, SABA) atau golongan xantin kerja serta faktor komorbid yang mempersulit
cepat hanya apabila perlu saja, yaitu jika pengendalian asma seperti rinitis dan
ada gejala/serangan. Pada alur tatalaksana sinusitis.
jangka panjang (Gambar 3.6.1), terlihat 3. Asma persisten
bahwa jika tatalaksana asma episodik Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan
jarang sudah adekuat, tetapi responsnya dapat diberikan mulai dari dosis tinggi lalu
tetap tidak
diturunkan sampai dosis rendah selama 3. Atelektasis
gejala masih terkendali, atau sebaliknya, 4. Gagal napas
mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi 5. Bronkitis
hingga gejala dapat dikendalikan. Pada 6. Fraktur iga
keadaan tertentu, khususnya pada anak
dengan penyakit berat, dianjurkan untuk Peralatan
menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai 1. Alat tiup APE
steroid oral jangka pendek (3-5 hari). 2. Pemeriksaan darah rutin
Kriteria Rujukan 3. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
4. Oksigen
1. Asma eksaserbasi sedang-berat
2. Asma tidak terkontrol Prognosis
3. Asma mengancam jiwa
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit
4. Asma Persisten
dan ketepatan penanganan.
Pencegahan
Referensi
Pengendalian lingkungan, pemberian ASI
eksklusif minimal 6 bulan, penghindaran 1. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit
makanan berpotensi alergenik, pengurangan Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan
pajanan terhadap tungau debu rumah dan Dokter Anak Indonesia, 2001.
rontokan bulu binatang, telah terbukti 2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.
mengurangi timbulnya alergi makanan dan Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
khususnya dermatitis atopik pada bayi. Indonesia IDAI. 2010.
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy
Komplikasi for Asthma Management and Prevention.
1. Pneumotoraks National Institute of Health.
2. Pneumomediastinum dan emfisema www.ginasthma. com/download.asp?
subkutis intId=214 . 2006
8. PNEUMONIA ASPIRASI
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R99 Respiratory disease other
: J69.0 Pneumonitis due to food and vomit
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
2. Pasien dengan irupsi dari gastroesophageal
Pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia) junction.
adalah pneumonia yang disebabkan oleh 3. Terdapat abnormalitas anatomis dari traktus
terbawanya bahan yang ada diorofaring pada aerodigestifus atas.
saat respirasi ke saluran napas bawah dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru.
Sederhana (Objective)
Secara spesifik, pneumonia aspirasi
didefinisikan dengan ditemukannya bukti Pemeriksaan fisik serupa pada pneumonia
radiografi berupa penambahan infiltrat di paru umumnya. Temuan pemeriksaan fisik dada
pada pasien dengan faktor risiko aspirasi tergantung dari luas lesi di paru.
orofaring.
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit
Hasil Anamnesis (Subjective) tertinggal waktu bernapas
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada
Kejadian aspiration pneumonia biasanya tidak
bagian yang sakit
dapat diketahui waktu terjadinya dan paling
Perkusi : redup di bagian yang sakit
sering pada orang tua. Keluhannya berupa :
Auskultasi : terdengar suara napas
Batuk
bronkovesikuler sampai bronkial
1. Takipnea yang mungkin disertai ronki
2. Tanda-tanda dari basah halus, yang kemudian
menjadi ronki basah kasar pada
pneumonia Faktor Risiko: stadium resolusi.
1. Pasien dengan disfagi neurologis.
Pemeriksaan Penunjang c. Penyakit periodontal berat, dahak
yang busuk atau alkoholisme :
1. Foto toraks piperasilin-tazobaktam (3, 375 gr/6
2. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap jam) atau imipenem (500 mg/8 jam
Penegakan Diagnostik (Assessment) sampai 1 gr/6 jam) atau kombinasi dua
obat : levofloksasin (500 mg/hari) atau
Diagnosis Klinis siprofloksasin (400 mg/12 jam) atau
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan seftriakson (1-2 gr/hari) ditambah
fisik, dan penunjang. klindamisin (600 mg/8 jam) atau
metronidazol (500 mg/8jam)
Diagnosis Banding :-
Kriteria Rujukan
Aspiration pneumonitis: -
Penilaian status keparahan serupa dengan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) pneumonia biasa.
Penatalaksanaan Peralatan
1. Pemberian oksigen Tabung oksigen beserta nasal kanul atau masker
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
(bila cairan parenteral). Jumlah cairan Prognosis
sesuai berat badan, peningkatan suhu dan Prognosis pada umumnya bonam.
derajat dehidrasi.
3. Pemberian antibiotik tergantung pada Referensi
kondisi :
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
a. Pneumonia komunitas : levofloksasin Pneumonia. PDPI. Jakarta 2013.
(500 mg/hari) atau seftriakson (1-2 gr/
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2013)
hari)
2. Marik PE. Aspiration pneumonitis and
b. Pasien dalam perawatan di rumah aspiration pneumonia. N Eng J Med.
sakit : levofloksasin (500 mg/hari)atau 2001;3:665-71.(Marik, 2001)
piperasilin tazobaktam (3, 375 gr/6 jam)
atau seftazidim (2 gr/8 jam)
9. PNEUMONIA, BRONKOPNEUMONIA
No. ICPC-2: R81 Pneumonia
No. ICD-10: J18.0 Bronchopneumonia, unspecified
J18.9 Pneumonia, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Gejala klinis :
Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat
1. Hiperkapnia
udara bebas dalam rongga pleura. Insiden
2. Hipotensi
pneumotoraks sulit diketahui karena
episodenya banyak yang tidak diketahui. 3. Takikardi
Umumnya pria lebih banyak dari wanita. 4. Perubahan status mental
5. Pemeriksaan fisik paru :
Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu: a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit
lebih menonjol dan tertinggal pada
1. Pneumotoraks spontan primer adalah pernapasan
pneumotoraks yang terjadi tanpa riwayat b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di
penyakit paru sebelumnya ataupun trauma, sisi yang sakit
dan dapat terjadi pada individu yang sehat. c. Perkusi paru, ditemukan suara
Terutama lebih sering pada laki, tinggi dan hipersonor dan pergeseran
kurus, dan perokok. mediastinum ke arah yang sehat
2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah d. Auskultasi paru, didapatkan suara
pneumotoraks yang terjadi pada penderita napas yang melemah dan jauh
yang memiliki riwayat penyakit paru
sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan lain- Pemeriksaan Penunjang:
lain.
1. Foto toraks, didapatkan garis penguncupan
Hasil Anamnesis (Subjective) paru yang sangat halus (pleural line), dan
gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bila
Keluhan disertai darah atau cairan lainnya, akan
1. Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan tampak garis mendatar yang merupakan
atau tidak. Keluhan yang dapat timbul batas udara dan cairan (air fluid level).
adalah sesak napas, yang dapat disertai 2. Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak
nyeri dada pada sisi yang sakit. Nyeri dada untuk menegakkan diagnosis, namun untuk
tajam, timbul secara tiba- tiba, dan semakin menilai apakah telah terjadi gagal napas.
nyeri jika menarik napas dalam atau
terbatuk. Keluhan timbul mendadak ketika Penegakan Diagnostik (Assessment)
tidak sedang aktivitas.
Diagnosis Klinis
2. Faktor risiko, di antaranya:
a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pneumonia pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif
b. Trauma dengan pemeriksaan penunjang.
c. Merokok
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Kegagalan respirasi
2. Kegagalan sirkulasi
Pemeriksaan Fisik 3. Kematian
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Kanul hidung
5. Sungkup sederhana
1. Oksigen 6. Lidocaine 2%
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, 7. Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50 cc
dilakukan pemasangan IV line dengan
8. Three-way
cairan kristaloid
9. Botol bervolume 500 cc
3. Rujuk
Prognosis
Konseling dan Edukasi
1. Ad vitam : Dubia
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga
mengenai: Referensi
1. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks 1. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam:
2. Pertolongan kegawatdaruratan pada Pulmonologi intervensi dan gawat darurat
pneumotoraks napas. Swidarmoko B, Susanto AD, editor.
3. Perlunya rujukan segera ke RS Kriteria Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked.
Rujukan Segera rujuk pasien yang Respirasi. 2010: 54-71.(Astowo, 2010)
terdiagnosis pneumotoraks, setelah
dilakukan penanggulangan awal. 2. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management
of spontaneous pneumothorax: British
Peralatan Thoracic Society pleural diseases guideline
2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff, et
1. Infus set al., 2010)
2. Abbocath 14
3. Tabung oksigen
Masalah Kesehatan
b. Banyaknya perdarahan
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir c. Frekuensi
keluar dari hidung yang berasal dari rongga d. Lamanya perdarahan
hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Faktor Risiko
Hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri. 1. Trauma
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala 2. Adanya penyakit di hidung yang
yang sangat mengganggu. Faktor etiologi mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis
dapat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan alergi.
harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati 3. Penyakit sistemik, seperti kelainan
epistaksis secara efektif. pembuluh darah, nefritis kronik, demam
berdarah dengue.
Klasifikasi
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti
1. Epistaksis Anterior NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin,
semprot hidung kortikosteroid.
Epistaksis anterior paling sering berasal 5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi
dari pleksus Kiesselbach, yang merupakan di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring.
sumber perdarahan paling sering dijumpai 6. Kelainan kongenital, misalnya:
pada anak-anak. Selain itu juga dapat hereditary hemorrhagic telangiectasia /
berasal dari arteri etmoidalis anterior. Osler’s disease.
Perdarahan dapat berhenti sendiri 7. Adanya deviasi septum.
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan 8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di
tindakan sederhana. daerah yang sangat tinggi, tekanan udara
2. Epistaksis Posterior rendah, atau lingkungan dengan udara yang
sangat kering.
Pada epistaksis posterior, perdarahan
berasal dari arteri sfenopalatina atau arteri 9. Kebiasaan
etmoidalis posterior. Epistaksis posterior Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
sering terjadi pada orang dewasa yang
Sederhana (Objective)
menderita hipertensi, arteriosklerosis,
atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan Pemeriksaan Fisik
biasanya hebat dan jarang berhenti
spontan. 1. Rinoskopi anterior
Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Kasus benda asing di hidung sering ditemui
oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan Keluhan
Tingkat Pertama. Kasus ini paling sering dialami 1. Hidung tersumbat
oleh anak dan balita. Terdapat dua jenis benda 2. Onset tiba-tiba
asing, yaitu benda hidup (organik) dan benda 3. Umumnya unilateral
mati (anorganik). Contoh benda asing organik, 4. Hiposmia atau anosmia
antara lain lintah, lalat, larva, sedangkan benda 5. Setelah 2 – 3 hari, keluar sekret mukoid /
asing anorganik, misalnya manik-manik, kertas, mukopurulen dan berbau di satu sisi
tisu, logam, baterai kecil, kacang-kacangan, dan hidung.
lain-lain. 6. Dapat timbul rasa nyeri
7. Bila benda asing organik, terasa ada yang
bergerak-gerak di dalam rongga hidung.
Khusus untuk lintah, sumbatan pada hidung sehingga dapat masuk ke dalam septum
semakin memberat setiap hari. atau konka inferior dalam beberapa jam
8. Adanya laporan dari pasien atau orang dan menyebabkan perforasi septum.
tua mengenai adanya benda yang masuk 4. Pada benda asing berupa lalat (miasis
atau dimasukkan ke rongga hidung. hidung), dapat terjadi invasi ke
intrakranium dan, walaupun jarang, dapat
Faktor Risiko menyebabkan meningitis yang fatal.
Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
masuknya benda asing ke dalam rongga hidung:
Penatalaksanaan
1. Umur: biasanya anak ≤ 5 tahun
2. Adanya kegagalan mekanisme proteksi yang 1. Non Medikamentosa
normal, misal: a. Tindakan ekstraksi benda asing
3. keadaan tidur, kesadaran menurun, secara manual dengan menggunakan
alkoholisme, epilepsi pengait tumpul atau pinset. Dokter
4. Adanya masalah kejiwaan, emosi, dan perlu berhati-hati agar tidak sampai
gangguan psikiatrik mendorong benda asing lebih dalam
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang sehingga masuk ke saluran napas
Sederhana (Objective) bawah.
b. Untuk lintah, sebelum ekstraksi,
Pemeriksaan Fisik
teteskan air tembakau ke dalam
Pada rinoskopi anterior, nampak: rongga hidung dan biarkan 5 menit
hingga lintah terlebih dahulu terlepas
1. Benda asing dari mukosa hidung.
2. Sekret purulen (bila sudah berlangsung 2 –
2. Medikamentosa
3 hari)
Pemberian antibiotik per oral selama 5
Pemeriksaan Penunjang: hari bila telah terjadi infeksi sekunder.
Foto Rontgen kranium (Schedel) posisi AP dan Konseling dan Edukasi
lateral, bila diperlukan dan fasilitas tersedia.
1. Reassurance bahwa tidak ada kondisi
Penegakan Diagnostik (Assessment) berbahaya bila segera dilakukan ekstraksi.
Diagnosis Klinis 2. Sebelum tindakan dilakukan, dokter perlu
menjelaskan mengenai prosedur ekstraksi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan meminta persetujuan pasien / orang
dan pemeriksaan fisik. tua (informed consent).
3. Setelah benda asing berhasil dikeluarkan,
Diagnosis Banding
dokter dapat memberi beberapa
Rinolit saran yang relevan untuk mencegah
berulangnya kejadian kemasukan benda
Komplikasi asing ke hidung di kemudian hari, misalnya:
1. Obstruksi jalan napas akut akibat a. Pada orang tua, dapat lebih berhati-
masuknya benda asing ke saluran napas hati dalam meletakkan benda-benda
yang lebih distal (laring, trakea). yang mudah atau sering dimasukkan ke
2. Pada benda asing organik berupa larva / dalam rongga hidung.
ulat / lintah, dapat terjadi destruksi mukosa b. Pada anak, dapat diingatkan untuk
dan kartilago hidung. menghindari memasukkan benda-
3. Benda asing baterai cepat merusak mukosa benda ke dalam hidung.
c. Pada pekerja yang sering terpapar 3. Pengait tumpul(blunt hook)
larva atau benda-benda organik lain, 4. Pinset
dapat menggunakan masker saat 5. Forsep aligator
bekerja. 6. Suction
7. Xylocaine 2% spray
Kriteria Rujukan
8. Formulir informed consent
1. Pengeluaran benda asing tidak berhasil
Referensi
karena perlekatan atau posisi benda asing
sulit dilihat. 1. Efiaty, A. Nurbaiti, I. Jenny, B. Ratna, D.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
2. Pasien tidak kooperatif.
Tenggorok Kepala & Leher. 6th Ed. Jakarta:
Prognosis Balai Penerbit FKUI. 2007.
Masalah Kesehatan
2. Higiene personal yang buruk
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea 3. Rinitis kronis, akibat iritasi dari sekret
atau folikel rambut hidung yang melibatkan rongga hidung.
jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh 4. Kebiasaan mengorekrinitisbagian dalam
Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki hidung.
insidensi yang rendah. Belum terdapat data
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel.
Sederhana (Objective)
Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada
anak-anak, remaja sampai dewasa muda. Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective) Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling
sering terdapat pada lateral vestibulum nasi
Keluhan
yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).
1. Bisul di dalam hidung, disertai rasa nyeri
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan
dan perasaan tidak nyaman.
2. Kadang dapat disertai gejala rinitis. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko Diagnosis Klinis
1. Sosio ekonomi rendah Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis 3. Selalu menjaga kebersihan diri.
Banding:- Kriteria Rujukan: -
Komplikasi Prognosis
1. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, 1. Ad vitam : Bonam
vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus 2. Ad functionam : Bonam
sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus 3. Ad sanationam : Bonam
kavernosus.
2. Abses. Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai
3. Vestibulitis. 1. Lampu kepala
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Spekulum hidung
3. Skalpel atau jarum suntik ukuran sedang
Penatalaksanaan (untuk insisi)
4. Kassa steril
1. Non Medikamentosa
5. Klem
a. Kompres hangat
6. Pinset Bayonet
b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses
7. Larutan Povidon Iodin 7,5%
2. Medikamentosa
a. Antibiotik topikal, seperti salep Referensi
Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu 1. Adam, G.L. Boies L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
Amoksisilin 3 x 500 mg/hari, Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
Sefaleksin 4 x 250 – 500 mg/hari, atau 2. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi
Eritromisin 4 x 250 – 500 mg/hari. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Konseling dan Edukasi Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher.
Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran
1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek Universitas Indonesia. 2007.
bagian dalam hidung.
2. Tidak memencet atau melakukan insisi
padafurunkel.
b. Menjaga asupan yang bergizi dan sehat 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Medikamentosa
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
a. Simtomatik: analgetik dan antipiretik Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
(Paracetamol), dekongestann opikal,
dekongestan oral (Pseudoefedrin, 3. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi
Fenilpropanolamin, Fenilefrin). Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
b. Antibiotik: bila terdapat komplikasi Leher. Ed. ke-6.Jakarta: Fakultas Kedokteran
seperti infeksi sekunder bakteri, Universitas Indonesia. 2007.
Amoksisilin, Eritromisin, Sefadroksil.
c. Untuk rinitis difteri: Penisilin sistemik
dan anti-toksin difteri. Rencana Tindak
Lanjut Jika terdapat kasus rinitis
difteri dilakukan pelaporan ke dinas
kesehatan setempat.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
16. RINITIS VASOMOTOR
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R97 Allergic rhinitis
: J30.0 Vasomotor rhinitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk Sederhana (Objective)
rinitis kronik yang tidak diketahui penyebabnya
Pemeriksaan Fisik
(idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan Rinoskopi anterior:
obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung 1. Tampak gambaran konka inferior
dekongestan). Rinitis non alergi dan mixed membesar (edema atau hipertrofi),
rhinitis lebih sering dijumpai pada orang dewasa berwarna merah gelap atau merah tua atau
dibandingkan anak-anak, lebih sering dijumpai pucat. Untuk membedakan edema dengan
pada wanita dan cenderung bersifat menetap. hipertrofi konka, dokter dapat memberikan
larutan Epinefrin 1/10.000 melalui tampon
Hasil Anamnesis (Subjective) hidung. Pada edema, konka akan mengecil,
sedangkan pada hipertrofi tidak mengecil.
Keluhan
2. Terlihat adanya sekret serosa dan
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan biasanya jumlahnya tidak banyak. Akan
kanan tergantung posisi tidur tetapi pada golongan rinore tampak sekret
pasien, memburuk pada pagi hari dan jika serosa yang jumlahnya sedikit lebih banyak
terpajan lingkungan non-spesifik seperti dengan konka licin atau berbenjol-benjol.
perubahan suhu atau kelembaban udara,
Pemeriksaan Penunjang
asap rokok, bau menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
kadang-kadang jumlahnya agak banyak. menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan Pemeriksaan dilakukan bila diperlukan dan
rinitis alergika. fasilitas tersedia di layanan Tingkat Pertama,
4. Lebih sering terjadi pada wanita. Faktor yaitu:
Predisposisi
1. Obat-obatan yang menekan dan 1. Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret
menghambat kerja saraf simpatis antara hidung
lain: Ergotamin, Klorpromazine, obat anti 2. Tes cukit kulit (skin prick test)
hipertensi, dan obat vasokonstriktor 3. Kadar IgE spesifik
topikal. Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap
rokok, udara dingin, kelembaban udara Diagnosis Klinis
yang tinggi, serta bau yang menyengat
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
(misalnya, parfum).
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa
bila diperlukan.
pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan
hipotiroidisme. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang, dibedakan dalam 3 golongan, yaitu:
dan stress.
1. Golongan bersin (sneezer): gejalabiasanya Fenilefrin) sebagai dekongestan hidung
memberikan respon baik dengan terapi oral dengan atau tanpa kombinasi
antihistamin dan glukokortikoid topikal. antihistamin.
2. Golongan rinore (runners): gejala rinore Konseling dan Edukasi
yang jumlahnya banyak.
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
3. Golongan tersumbat (blockers): gejala
kongesti hidung dan hambatan aliran 1. Mengidentifikasi dan menghindari faktor
udara pernafasan yang dominan dengan pencetus, yaitu iritasi terhadap lingkungan
rinore yang minimal. non-spesifik.
Masalah Kesehatan
tinggi merupakan faktor risiko untuk
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi timbul gejala alergis.
yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh 3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet
alergen yang sama serta dilepaskan suatu serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi.
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Menurut Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Sederhana (Objective)
Asthma), 2001, rinitis alergi adalah kelainan Pemeriksaan Fisik
pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar 1. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu
alergen yang diperantai oleh Ig E. gerakan pasien menggosok hidung dengan
tangannya karena gatal.
Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada
2. Wajah:
anak-anak lebih sering terjadi terutama anak
laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki- a. Allergic shiners yaitu dark circles di
laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi sekitar mata dan berhubungan dengan
terdapat pada anak-anak dan dewasa muda vasodilatasi atau obstruksi hidung.
dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar b. Nasal crease yaitu lipatan horizontal
80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari (horizontal crease) yang melalui
usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak- setengah bagian bawah hidung akibat
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia kebiasaan menggosok hidung keatas
sehingga pada usia tua rinitis alergi jarang dengan tangan.
ditemukan. c. Mulut sering terbuka dengan lengkung
Hasil Anamnesis (Subjective) langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan
Keluhan gigi-geligi (facies adenoid).
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus 3. Faring: dinding posterior faring tampak
encer dari hidung (rinorea), bersin, hidung granuler dan edema (cobblestone
tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias appearance), serta dinding lateral faring
alergi). Bersin merupakan gejala khas, biasanya menebal. Lidah tampak seperti gambaran
terjadi berulang, terutama pada pagi hari. peta (geographic tongue).
Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap 4. Rinoskopi anterior:
patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis
a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat
alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase
atau kebiruan (livide), disertai adanya
cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak
sekret encer, tipis dan banyak. Jika
air mata.
kental dan purulen biasanya
Faktor Risiko berhubungan dengan sinusitis.
b. Pada rinitis alergi kronis atau penyakit
1. Adanya riwayat atopi.
2. Lingkungan dengan kelembaban yang
granulomatous, dapat terlihat adanya Diagnosis Banding
deviasi atau perforasi septum.
Rinitis vasomotor, Rinitis akut
c. Pada rongga hidung dapat ditemukan
massa seperti polip dan tumor, atau Komplikasi
dapat juga ditemukan pembesaran
Polip hidung, Sinusitis paranasal, Otitis media
konka inferior yang dapat berupa
edema atau hipertropik. Dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dekongestan topikal, polip dan
hipertrofi konka tidak akan menyusut, Penatalaksanaan
sedangkan edema konka akan 1. Menghindari alergen spesifik
menyusut. 2. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran
5. Pada kulit kemungkinan terdapat tanda jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
dermatitis atopi. menurunkan gejala alergis
3. Terapi topikal dapat dengan dekongestan
Pemeriksaan Penunjang hidung topikal melalui semprot hidung.
Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan Obat yang biasa digunakan adalah
Tingkat Pertama. oxymetazolin atau xylometazolin, namun
hanya bila hidung sangat tersumbat dan
1. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk
sekret menghindari rinitis medikamentosa.
hidung. 4. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
2. Pemeriksaan Ig E total serum sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain.
Penegakan Diagnostik (Assessment) Obat yang sering dipakai adalah
Diagnosis Klinis kortikosteroid topikal: beklometason,
budesonid, flutikason, mometason furoat
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan triamsinolon.
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang 5. Preparat antikolinergik topikal adalah
bila diperlukan. ipratropium bromida yang bermanfaat
untuk mengatasi rinorea karena aktivitas
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan
Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis
sel efektor.
alergi dibagi berdasarkan sifat berlangsungnya
6. Terapi oral sistemik
menjadi:
a. Antihistamin
1. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 • Anti histamin generasi 1:
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. difenhidramin, klorfeniramin,
2. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/ siproheptadin.
minggu dan/atau lebih dari 4 minggu. • Anti histamin generasi 2: loratadin,
cetirizine
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya b. Preparat simpatomimetik golongan
penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: agonis alfa dapat dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan
atau tanpa kombinasi antihistamin.
gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
Dekongestan oral: pseudoefedrin,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan
fenilpropanolamin, fenilefrin.
hal- hal lain yang mengganggu.
7. Terapi lainnya dapat berupa operasi
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat terutama bila terdapat kelainan anatomi,
satu atau lebih dari gangguan tersebut di selain itu dapat juga dengan imunoterapi
atas.
Konseling dan Edukasi Peralatan
Memberitahu individu dan keluarga untuk: 1. Lampu kepala / senter
2. Spekulum hidung
1. Menyingkirkan faktor penyebab yang
3. Spatula lidah
dicurigai (alergen).
2. Menghindari suhu ekstrim panas maupun Prognosis
ekstrim dingin.
3. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran 1. Ad vitam : Bonam
jasmani. Hal ini dapat menurunkan gejala 2. Ad functionam : Bonam
alergi. 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
lanjutan Bila diperlukan, 1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
dilakukan:
2. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic
1. Uji kulit atau Prick Test, digunakan untuk Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative).
menentukan alergen penyebab rinitis alergi
pada pasien. 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
2. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
paranasal. 4. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono,
Kriteria Rujukan N.Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
1. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
mengetahui jenis alergen. Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Bila perlu dilakukan tindakan operatif. 2007
Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan
pada mukosa sinus paranasal dan rongga Keluhan
hidung. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan 1. Gejala yang dialami, sesuai dengan kriteria
Tingkat Pertama harus memiliki keterampilan pada tabel 10.10
yang memadai untuk mendiagnosis, 2. Onset timbulnya gejala, dibagi menjadi:
menatalaksana, dan mencegah berulangnya a. Akut : < 12 minggu
rinosinusitis. Tatalaksana rinosinusitis yang b. Kronis : ≥ 12 minggu
efektif dari dokter di fasilitas pelayanan 3. Khusus untuk sinusitis dentogenik:
kesehatan Tingkat Pertama dapat meningkatkan a. Salah satu rongga hidung berbau busuk
kualitas hidup pasien secara signifikan, b. Dari hidung dapat keluar ingus kental
menurunkan biaya pengobatan, serta atau tidak beringus
mengurangi durasi dan frekuensi absen kerja. c. Terdapat gigi di rahang atas yang
berlubang / rusak
Tabel 10.10. Kriteria diagnosis rinosinusitis kemungkinan sinus yang terlibat
menurut American Academy of Otolaryngology adalah maksila, frontal, atau etmoid
anterior. Pada sinusitis dentogenik,
dapat pula tidak beringus.
c. Kelainan anatomis yang
mempredisposisi, misalnya: deviasi
septum, polip nasal, atau hipertrofi
konka.
4. Rinoskopi posterior
Bila pemeriksaan ini dapat dilakukan, maka
dapat ditemukan sekret purulen pada
Faktor Risiko nasofaring. Bila sekret terdapat di depan
Keluhan atau riwayat terkait faktor risiko, muara tuba Eustachius, maka berasal
terutama pada kasus rinosinusitis kronik, dari sinus-sinus bagian anterior (maksila,
penting untuk digali. Beberapa di antaranya frontal, etmoid anterior), sedangkan bila
adalah: sekret mengalir di belakang muara tuba
Eustachius, maka berasal dari sinus-sinus
1. Riwayat kelainan anatomis kompleks bagian posterior (sfenoid, etmoid
osteomeatal, seperti deviasi septum posterior).
2. Rinitis alergi
5. Otoskopi
3. Rinitis non-alergi, misalnya vasomotor,
medikamentosa Pemeriksaan ini dilakukan untuk
4. Polip hidung mendeteksi adanya komplikasi pada telinga,
5. Riwayat kelainan gigi atau gusi yang misalnya tuba oklusi, efusi ruang telinga
signifikan tengah, atau kelainan pada membran
6. Asma bronkial timpani (inflamasi, ruptur).
7. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas 6. Foto polos sinus paranasal dengan Water’s
akut yang sering berulang view (AP / lateral), bila fasilitas tersedia.
8. Kebiasaan merokok Pada posisi ini, sinus yang dapat dinilai
9. Pajanan polutan dari lingkungan sehari-hari adalah maksila, frontal, dan etmoid.
10. Kondisi imunodefisiensi, misalnya HIV/AIDS 7. Temuan yang menunjang diagnosis
11. Riwayat penggunaan kokain rinosinusitis antara lain: penebalan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang mukosa (perselubungan), air-fluid level,
Sederhana (Objective) dan opasifikasi sinus yang terlibat. Foto
polos sinus tidak direkomendasikan untuk
1. Suhu dapat meningkat anak berusia di bawah 6 tahun. Pada pasien
2. Pemeriksaan rongga mulut dapat dewasa, pemeriksaan ini juga bukan
ditemukan karies profunda pada gigi rahang suatu keharusan, mengingat diagnosis
atas. biasanya dapat ditegakkan secara klinis.
3. Rinoskopi anterior. Rinoskopi anterior Laboratorium, yaitu darah perifer lengkap,
dapat dilakukan dengan atau tanpa bila diperlukan dan fasilitas tersedia.
dekongestan topikal. Pada rinosinusitis akut
dapat ditemukan: Penegakan Diagnosis (Assessment)
a. Edema dan / atau obstruksi mukosa di Rinosinusitis Akut (RSA)
meatus medius
Dasar penegakkan diagnosis RSA dapat dilihat
b. Sekret mukopurulen. Bila sekret pada tabel berikut ini.
tersebut nampak pada meatus medius,
Tabel 10.11. Dasar Penegakkan Diagnosis Tabel 10.12. Dasar Penegakkan Diagnosis
Rinosinusitis Akut (RSA) Rinosinusitis Kronik (RSK)
Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding dari
Rinosinusitis akut dapat dibedakan lagi menjadi: rinosinusitis akut dan kronis:
1. Rinosinusitis akut viral (common cold): Bila Tabel 10.13. Diagnosis banding Rinosinusitis
durasi gejala < 10 hari Akut (RSA) dan Rinosinusitis Kronik (RSK)
2. Rinosinusitis akut pasca-viral:
a. Bila terjadi peningkatan intensitas
gejala setelah 5 hari, atau
b. Bila gejala persisten > 10 hari namun
masih < 12 minggu
3. Rinosinusitis akut bakterial: Bila terdapat
sekurangnya 3 tanda / gejala berikut ini:
a. Sekret berwarna atau purulen dari
rongga hidung
b. Nyeri yang berat dan terlokalisasi pada Komplikasi
wajah
1. Kelainan orbita
c. Demam, suhu > 38oC Penyebaran infeksi ke orbita paling sering
d. Peningkatan LED / CRP terjadi pada sinusitis etmoid, frontal, dan
e. Double sickening, yaitu perburukan maksila. Gejala dan tanda yang patut
setelah terjadi perbaikan sebelumnya dicurigai sebagai infeksi orbita adalah:
edema periorbita, selulitis orbita, dan nyeri
Rinosinusitis Kronis (RSK) berat pada mata. Kelainan dapat mengenai
Dasar penegakkan diagnosis RSK dapat dilihat satu mata atau menyebar ke kedua mata.
pada tabel 5.5 di lampiran 2. Kelainan intrakranial
Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat d. Pasien dianjurkan untuk membilas atau
menimbulkan meningitis, abses ekstradural, mencuci hidung secara teratur dengan
dan trombosis sinus kavernosus. Gejala larutan garam isotonis (salin).
dan tanda yang perlu dicurigai adalah:
sakit kepala (tajam, progresif, terlokalisasi), Rencana Tindak Lanjut
paresis nervus kranial, dan perubahan 1. Pasien dengan RSA viral (common cold)
status mental pada tahap lanjut. dievaluasi kembali setelah 10 hari
3. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis pengobatan. Bila tidak membaik, maka
kronik, dapat berupa: osteomielitis sinus diagnosis menjadi RSA pasca viral dan
maksila, abses subperiosteal, bronkitis dokter menambahkan kortikosteroid (KS)
kronik, bronkiektasis. intranasal ke dalam rejimen terapi.
1. MILIARIA
No. ICPC-2
: S92 Sweat gland disease
No. ICD-10
: L74.3 Miliaria, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
1. Miliaria kristalina
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi a. Terdiri atas vesikel miliar (1-2 mm), sub
keringat yang ditandai oleh adanya vesikel korneal tanpa tanda inflamasi, mudah
milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah biang pecah dengan garukan, dan deskuamasi
keringat, keringat buntet, liken tropikus, prickle dalam beberapa hari.
heat. Berdasarkan survey yang dilakukan di
b. Predileksi pada badan yang tertutup
Jepang didapatkan 5000 bayi baru lahir
pakaian.
menderita miliaria. Survey tersebut
mengungkapkan bahwa miliaria kristalina c. Gejala subjektif ringan dan tidak
terjadi pada 4,5% nenonatus dengan usia rata- memerlukan pengobatan.
rata 1 minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% 2. Milaria rubra
neonatus dengan usia rata-rata 11-14 hari. Dari
a. Jenis tersering, terdiri atas vesikel
sebuah survey yang dilakukan di Iran ditemukan
miliar atau papulo vesikel di atas dasar
insiden miliaria pada 1,3% bayi baru lahir.
eritematosa sekitar lubang keringat,
Miliaria umumnya terjadi di daerah tropis dan
tersebar diskret.
banyak diderita pada mereka yang baru saja
pindah dari daerah yang beriklim sedang ke b. Gejala subjektif gatal dan pedih pada di
daerah yang beriklim tropis. daerah predileksi.
2. VERUKA VULGARIS
No. ICPC-2: S03Warts
No. ICD-10: B07 Viral warts
Tingkat Kemampuan 4A
Komplikasi Referensi
Efek samping dari penggunaan bahan kaustik 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
dapat menyebabkan ulkus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Konseling dan Edukasi Kedokteran Universitas Indonesia.
Edukasi pasien bahwa penyakit ini seringkali 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
residif walaupun diberi pengobatan yang 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
adekuat. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Kriteria Rujukan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Rujukan sebaiknya dilakukan apabila: Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
1. Diagnosis belum dapat ditegakkan. Jakarta.
2. Tindakan memerlukan anestesi/sedasi.
3. HERPES ZOSTER
No. ICPC-2: S70 Herpes Zoster
No. ICD-10: B02.9 Zoster without complication
Tingkat Kemampuan Herpes Zoster tanpa komplikasi 4A
4. HERPES SIMPLEKS
No. ICPC-2 : S71 Herpes Simplex
No. ICD-10 : B00.9 Herpesviral infection, unspecified
Tingkat Kemampuan Herpes Simpleks tanpa komplikasi 4A
Masalah Kesehatan
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas
Infeksi akut yang disebabkan oleh Virus Herpes seksual.
Simpleks tipe 1 atau tipe 2, yang ditandai oleh
Diperkiraan ada 536 juta orang yang berusia 15-
adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit
49 tahun yang terinfeksi HSV-2 di seluruh dunia
yang sembab dan eritematosa pada daerah
pada tahun 2003 atau sekitar16% dari populasi
mukokutan. Penularan melalui kontak langsung
dunia pada rentang usia tersebut. Prevalensi
dengan agen penyebab. Infeksi primer oleh
penyakit ini lebih tinggi pada wanita
Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 biasanya
dibandingkan pada pria dan umumnya lebih
dimulai pada usia anak-anak, sedangkan HSV
tinggi di negara berkembang daripada di negara
tipe 2 biasanya terjadi pada dekade II atau III,
maju.
Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 11.5 Herpes simpleks
Keluhan
Infeksi primer HSV-1 biasanya terjadi pada
anak dan subklinis pada 90% kasus, biasanya
ditemukan perioral. Pada 10% sisanya, dapat
terjadi gingivostomatitis akut.
Infeksi primer HSV-2 terjadi setelah kontak
seksual pada remaja dan dewasa, menyebabkan
vulvovaginitis akut dan atau peradangan pada
kulit batang penis. Infeksi primer biasanya
disertai dengan gejala sistemik seperti demam, Gambar 11.6 Herpes simplek pada kelamin
malaise, mialgia, nyeri kepala, dan adenopati
regional. Infeksi HSV-2 dapat juga mengenai
bibir.
Infeksi rekuren biasanya didahului gatal atau
sensasi terbakar setempat pada lokasi yang
sama dengan lokasi sebelumnya. Prodromal
ini biasanya terjadi mulai dari 24 jam sebelum
timbulnya erupsi.
Faktor Risiko
1. Individu yang aktif secara seksual.
2. Imunodefisiensi. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
Sederhana (Objective) penunjang.
Pemeriksaan Fisik Penegakan Diagnosis (Assessment)
Papul eritema yang diikuti oleh munculnya Diagnosis Klinis
vesikel berkelompok dengan dasar eritem.
Herpes simpleks tipe 1
Vesikel ini dapat cepat menjadi keruh, yang
Herpes simpleks tipe 2
kemudian pecah, membasah, dan berkrusta.
Kadang-kadang timbul erosi/ulkus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk
Tempat predileksi adalah di daerah pinggang ke
diperhatikan:
atas terutama daerah mulut dan hidung untuk
HSV-1, dan daerah pinggang ke bawah 1. Infeksi primer.
terutama daerah genital untuk HSV-2. Untuk 2. Fase laten: tidak terdapat gejala klinis,
infeksi sekunder, lesi dapat timbul pada tempat tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan
yang sama dengan lokasi sebelumnya. tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens.
Diagnosis Banding
1. Impetigo vesikobulosa.
2. Ulkus genitalis pada penyakit menular
seksual. Komplikasi
Dapat terjadi pada individu dengan gangguan Kriteria Rujukan
imun, berupa:
Pasien dirujuk apabila:
1. Herpes simpleks ulserativa kronik.
2. Herpes simpleks mukokutaneus akut 1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari
generalisata. setelah terapi.
3. Infeksi sistemik pada hepar, paru, kelenjar 2. Terjadi pada pasien bayi dan geriatrik
adrenal, dan sistem saraf pusat. (imunokompromais).
4. Pada ibu hamil, infeksi dapat menular
pada janin, dan menyebabkan neonatal 3. Terjadi komplikasi.
herpes yang sangat berbahaya. 4. Terdapat penyakit penyerta yang
Penatalaksana Komprehensif (Plan) menggunakan multifarmaka.
Penatalaksanaan Peralatan
1. Terapi diberikan dengan antiviral, antara Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
lain: mendiagnosis penyakit herpes simpleks.
a. Asiklovir, dosis 5 x 200 mg/hari selama Prognosis
5 hari, atau
b. Valasiklovir, dosis 2 x 500 mg/hari Prognosis umumnya bonam, namun quo ad
selama 7-10 hari. sanationam adalah dubia ad malam karena
2. Pada herpes genitalis: edukasi tentang terdapat risiko berulangnya keluhan serupa.
pentingnya abstinensia pasien harus tidak
melakukan hubungan seksual ketika masih Referensi
ada lesi atau ada gejala prodromal. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
3. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
menyebabkan Reye’s syndrome. Kedokteran Universitas Indonesia.
Konseling dan Edukasi 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Edukasi untuk infeksi herpes simpleks
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
merupakan infeksi swasirna pada populasi
Elsevier.
imunokompeten. Edukasi untuk herpes genitalis
ditujukan terutama terhadap pasien dan 3. 3. Looker, K. J., Garnett, G. P. & Schmid, G. P.
pasangannya, yaitu berupa: 2008. An Estimate Of The Global Prevalence
And Incidence Of Herpes Simplex Virus
1. Informasi perjalanan alami penyakit ini,
Type 2 Infection. World Health Organization.
termasuk informasi bahwa penyakit ini
Bulletin Of The World Health Organization,
menimbulkan rekurensi.
86, 805-12, A. June 8, 2014. http://
2. Tidak melakukan hubungan seksual ketika
search.proquest.com/docview/229661081/
masih ada lesi atau gejala prodromal.
fulltextPDF?acc ountid=17242
3. Pasien sebaiknya memberi informasi
kepada pasangannya bahwa ia memiliki 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
infeksi HSV. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
4. Transmisi seksual dapat terjadi pada masa Jakarta.
asimtomatik.
5. Kondom yang menutupi daerah yang
terinfeksi, dapat menurunkan risiko
transmisi dan sebaiknya digunakan dengan
konsisten.
5. MOLUSKUM KONTAGIOSUM
No. ICPC-2: S95 Molluscum contagiosum No. ICD-10: B08.1 Molluscum contagiosum
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Gambar 11.7 Moluskum kontagiosum
Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus poks yang menginfeksi
sel epidermal. Penyakit ini terutama
menyerang anak dan kadang-kadang juga
orang dewasa. Pada orang dewasa, penyakit ini
digolongkan kedalam penyakit akibat hubungan
seksual. Penularan melalui kontak langsung
dengan agen penyebab.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kelainan kulit berupa papul miliar. Masa Pemeriksaan Penunjang
inkubasi berlangsung satu sampai beberapa Bila diperlukan, melakukan tindakan enukleasi
minggu. pada papul untuk menemukan badan
Faktor Risiko moluskum.
Masalah Kesehatan
14 hari setelah gigitan berlangsung. Keluhan
Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik
adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema,
kulit akibat gigitan (bukan terhadap sengatan/ serta dapat berkembang menjadi suatu
stings) dan kontak dengan serangga. Gigitan ansietas, disorientasi, kelemahan, GI upset
hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, (cramping, diarrhea, vomiting), dizziness, sinkop
bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi bahkan hipotensi dan sesak napas. Gejala dari
peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik. delayed reaction mirip seperti serum sickness,
yang meliputi demam, malaise, sakit kepala,
Hasil Anamnesis (Subjective) urtikaria, limfadenopati dan poliartritis.
Keluhan Faktor Risiko
Pasien datang dengan keluhan gatal, rasa tidak 1. Lingkungan tempat tinggal yang banyak
nyaman, nyeri, kemerahan, nyeri tekan, hangat serangga.
atau bengkak pada daerah tubuh yang digigit, 2. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
umumnya tidak tertutup pakaian. 3. Riwayat alergi.
Kebanyakan penderita datang sesaat setelah 4. Riwayat alergi makanan.
merasa digigit serangga, namun ada pula yang
datang dengan delayed reaction, misalnya 10-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang jam.
Sederhana (Objective) 2. Reaksi tipe lambat: Pada anak terjadi lebih
Pemeriksaan Fisik dari 20 menit sampai beberapa jam setelah
gigitan serangga. Pada orang dewasa dapat
Tanda Patognomonis muncul 3-5 hari setelah gigitan.
3. Reaksi tidak biasa: Sangat segera, mirip
1. Urtika dan papul timbul secara simultan di
anafilaktik.
tempat gigitan, dikelilingi zona eritematosa.
2. Di bagian tengah tampak titik (punctum) Klasifikasi berdasarkan bentuk klinis:
bekas tusukan/gigitan, kadang hemoragik,
atau menjadi krusta kehitaman. 1. Urtikaria iregular.
3. Bekas garukan karena gatal. 2. Urtikaria papular.
3. Papulo-vesikular, misalnya pada prurigo.
Dapat timbul gejala sistemik seperti takipneu, 4. Punctum (titik gigitan), misalnya pada
stridor, wheezing, bronkospasme, hiperaktif pedikulosis kapitis atau phtirus pubis.
peristaltic, dapat disertai tanda-tanda hipotensi
orthostatik Diagnosis Banding
7. SKABIES
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S72 Scabies/other acariasis
: B86 Scabies
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
penderita skabies, seperti menjabat tangan,
Skabies adalah penyakit yang disebabkan hubungan seksual, atau tidur bersama.
infestasi dan sensitisasi kulit oleh tungau 2. Kontak tidak langsung (melalui benda),
Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini seperti penggunaan perlengkapan tidur
berhubungan erat dengan higiene yang buruk. bersama dan saling meminjam pakaian,
Prevalensi skabies tinggi pada populasi yang handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidak
padat. Dari hasil penelitian di Brazil, prevalensi memiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga
skabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh harus berbagi dengan temannya.
perkotaan yang padat penduduk daripada di
Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap
masyarakat nelayan dimana mereka tinggal di
air dan sabun dan tetap hidup bahkan setelah
tempat yang lebih luas.
mandi dengan air panas setiap.
Penularan dapat terjadi karena:
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Kontak langsung kulit dengan kulit
Gejala klinis:
1. Pruritus nokturna, yaitu gatal yang hebat Penegakan Diagnosis (Assessment)
terutama pada malam hari atau saat
penderita berkeringat. Diagnosis Klinis
2. Lesi timbul di stratum korneum yang tipis, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
seperti di sela jari, pergelangan tangan dan pemeriksaan fisik. Terdapat 4 tanda
dan kaki, aksila, umbilikus, areola mammae kardinal untuk diagnosis skabies, yaitu:
dan di bawah payudara (pada wanita) serta
genital eksterna (pria). 1. Pruritus nokturna.
2. Penyakit menyerang manusia secara
Faktor Risiko: berkelompok.
1. Masyarakat yang hidup dalam kelompok 3. Adanya terowongan (kunikulus) pada
yang padat seperti tinggal di asrama atau tempat-tempat predileksi yang berwarna
pesantren. putih atau keabu-abuan, berbentuk garis
2. Higiene yang buruk. lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjang
3. Sosial ekonomi rendah seperti di panti 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan
asuhan, dan sebagainya. papul atau vesikel.
4. Hubungan seksual yang sifatnya 4. Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan
promiskuitas. mikroskopis.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis ditegakkan dengan menemukan 2 dari
Sederhana (Objective) 4 tanda tersebut.
Lesi kulit berupa terowongan (kanalikuli) Skabies adalah penyakit kulit yang disebut
berwarna putih atau abu- abu dengan panjang dengan the great imitator dari kelainan kulit
rata-rata 1 cm. Ujung terowongan terdapat dengan keluhan gatal. Diagnosis bandingnya
papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, adalah: Pioderma, Impetigo, Dermatitis,
maka akan terbentuk pustul, ekskoriasi, dan Pedikulosis korporis
sebagainya.Pada anak-anak, lesi lebih sering Komplikasi
berupa vesikel disertai infeksi sekunder akibat
garukan sehingga lesi menjadi bernanah. Infeksi kulit sekunder terutama oleh S. aureus
sering terjadi, terutama pada anak. Komplikasi
Gambar 11.9 Skabies skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan
prestasi belajar.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Melakukan perbaikan higiene diri dan
lingkungan, dengan:
a. Tidak menggunakan peralatan pribadi
secara bersama-sama dan alas tidur
diganti bila ternyata pernah digunakan
oleh penderita skabies.
b. Menghindari kontak langsung dengan
Pemeriksaan Penunjang
penderita skabies.
Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit 2. Terapi tidak dapat dilakukan secara
untuk menemukan tungau. individual melainkan harus serentak dan
menyeluruh pada seluruh kelompok orang Peralatan
yang ada di sekitar penderita skabies. Terapi
diberikan dengan salah satu obat topikal 1. Lup
(skabisid) di bawah ini: 2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
a. Salep 2-4 dioleskan di seluruh tubuh, sediaan langsung kerokan kulit.
selama 3 hari berturut- turut, dipakai Prognosis
setiap habis mandi.
b. Krim permetrin 5% di seluruh tubuh. Prognosis umumnya bonam, namun tatalaksana
Setelah 10 jam, krim permetrin harus dilakukan juga terhadap lingkungannya.
dibersihkan dengan sabun. Referensi
Terapi skabies ini tidak dianjurkan pada anak < 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
2 tahun. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Konseling dan Edukasi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya 2. Heukelbach, J. & Feldmeier, H. 2006.
eradikasi skabies bisa melibatkan semua pihak. Scabies. The Lancet, 367, 1767-74. June 8,
Bila infeksi menyebar di kalangan santri di 2014. http://
sebuah pesantren, diperlukan keterbukaan dan Search.Proquest.Com/Docview/199054155/
kerjasama dari pengelola pesantren. Bila Fulltextpdf/Afbf4c2fd1bd4016pq/6?Accoun
sebuah barak militer tersebar infeksi, mulai dari tid=17242
prajurit sampai komandan barak harus bahu 3. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
membahu membersihkan semua benda yang 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
berpotensi menjadi tempat penyebaran Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
penyakit. Elsevier.
Kriteria Rujukan 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Pasien skabies dirujuk apabila keluhan masih Jakarta.
dirasakan setelah 1 bulan paska terapi.
8. PEDIKULOSIS KAPITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S73 Pediculosis/skin infestation other
: B85.0 Pediculosis due to Pediculus humanus capitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
yang sangat panjang pada wanita).
Pedikulosis kapitis adalah infeksi dan
Penularan melalui kontak langsung dengan
infestasi kulit kepala dan rambut manusia
agen penyebab, melalui:
yang disebabkan oleh kutu kepala Pediculus
humanus var capitis. Penyakit ini terutama 1. Kontak fisik erat dengan kepala penderita,
menyerang anak-anak usia muda dan cepat seperti tidur bersama.
meluas dalam lingkungan hidup yang padat, 2. Kontak melalui fomite yang terinfestasi,
misalnya di asrama atau panti asuhan. misalnya pemakaian bersama aksesori
Ditambah pula dalam kondisi higiene yang tidak kepala, sisir, dan bantal juga dapat
baik, misalnya jarang membersihkan rambut menyebabkan kutu menular.
atau rambut yang relatif susah dibersihkan
(rambut
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding
Keluhan Tinea kapitis, Impetigo krustosa (pioderma),
Dermatitis seboroik
Gejala yang paling sering timbul adalah gatal di
kepala akibat reaksi hipersensitivitas terhadap Komplikasi
saliva kutu saat makan maupun terhadap feses
kutu. Gejala dapat pula asimptomatik Infeksi sekunder bila pedikulosis berlangsung
kronis.
Faktor Risiko
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Status sosioekonomi yang rendah.
2. Higiene perorangan yang rendah Penatalaksanaan
3. Prevalensi pada wanita lebih tinggi
Pengobatan bertujuan untuk memusnahkan
dibandingkan pada pria, terutama pada
semua kutu dan telur serta mengobati infeksi
populasi anak usia sekolah.
sekunder.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Sebaiknya rambut pasien dipotong
Sederhana (Objective)
sependek mungkin, kemudian disisir
Pemeriksaan Fisik dengan menggunakan sisir serit, menjaga
kebersihan kulit kepala dan menghindari
Lesi kulit terjadi karena bekas garukan, yaitu
kontak erat dengan kepala penderita.
bentuk erosi dan ekskoriasi. Bila terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri, maka timbul pus dan 2. Pengobatan topikal merupakan terapi
krusta yang menyebabkan rambut bergumpal, terbaik, yaitu dengan pedikulosid dengan
disertai dengan pembesaran kelenjar getah pengobatan Permetrin 1% dalam bentuk
bening regional. Ditemukan telur dan kutu cream rinse, dibiarkan selama 2 jam.
yang hidup pada kulit kepala dan rambut. Pedikulosid sebaiknya tidak digunakan
Telur P. humanus var. capitis paling sering pada anak usia kurang dari 2 tahun. Cara
ditemukan pada rambut di daerah oksipital dan penggunaan: rambut dicuci dengan
retroaurikular. shampo, kemudian dioleskan losio/krim
dan ditutup dengan kain. Setelah menunggu
Pemeriksaan Penunjang
sesuai waktu yang ditentukan, rambut
Tidak diperlukan. dicuci kembali lalu disisir dengan sisir serit.
Penegakan Diagnosis (Assessment) 3. Pada infeksi sekunder yang berat sebaiknya
Diagnosis Klinis rambut dicukur, diberikan pengobatan
dengan antibiotik sistemik dan topikal
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis telebih dahulu, lalu diberikan obat di atas
dan pemeriksaan fisik dengan menemukan dalam bentuk shampo.
kutu atau telur kutu di kulit kepala dan rambut.
Konseling dan Edukasi
Gambar 11.10 Telur Pediculus humanus capitis
Edukasi keluarga tentang pedikulosis
penting untuk pencegahan. Kutu kepala dapat
ditemukan di sisir atau sikat rambut, topi,
linen, boneka kain, dan upholstered furniture,
walaupun kutu lebih memilih untuk berada
dalam jarak dekat dengan kulit kepala, sehingga
harus menghindari pemakaian alat-alat tersebut
bersama-sama. Anggota keluarga dan teman
bermain anak yang terinfestasi harus diperiksa, Referensi
namun terapi hanya diberikan pada yang
terbukti mengalami infestasi. Kerjasama semua 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
pihak dibutuhkan agar eradikasi dapat tercapai. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kriteria Rujukan Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Apabila terjadi infestasi kronis dan tidak sensitif
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
terhadap terapi yang diberikan.
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Peralatan Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik.
mendiagnosis penyakit pedikulosis kapitis. Jakarta.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
9. PEDIKULOSIS PUBIS
No. ICPC-2 No.ICD-10 : S 73 Pediculosis/skin infestation other
: B 85.3 Pthiriasis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Faktor Risiko:
Pedikulosis pubis adalah penyakit infeksi 1. Aktif secara seksual
pada rambut di daerah pubis dan sekitarnya 2. Higiene buruk
yang disebabkan oleh Phthirus pubis. Penyakit 3. Kontak langsung dengan penderita
ini menyerang orang dewasa dan dapat
digolongkan dalam penyakit akibat hubungan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
seksual dan menular secara langsung. Infeksi Sederhana (Objective)
juga bisa terjadi pada anak-anak yang berasal
Pemeriksaan Fisik
dari orang tua mereka dan terjadi di alis, atau
bulu mata. Pada inspeksi ditemukan bercak-bercak yang
berwarna abu-abu atau kebiruan yang disebut
Hasil Anamnesis (Subjective) makula serulae pada daerah pubis dan
Keluhan sekitarnya. Kutu dapat dilihat dengan mata
telanjang dan juga bisa didapatkan
Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat pembengkakan kelenjar getah bening sekitar.
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada.
Gejala patognomonik lainnya adalah adanya Pemeriksaan Penunjang
black dot yaitu bercak-bercak hitam yang Mencari telur atau bentuk dewasa P. pubis
tampak jelas pada celana dalam berwarna putih
yang dilihat penderita pada waktu bangun tidur. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Bercak hitam tersebut adalah krusta berasal Diagnosis Klinis
dari darah yang sering diinterpretasikan salah
sebagai hematuria. Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Gambar 11.11 Pedikulosis pubis 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Guenther L. Pediculosis. Available from
http://e- medicine.medscape.com (10 Juni
2014)
Diagnosis Banding:
1. Dermatitis seboroik
2. Dermatomikosis
Komplikasi: -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pengobatan topikal :
emulsi benzil benzoat 25% yang dioleskan dan
didiamkan selama 24 jam. Pengobatan diulangi
4 hari kemudian, jika belum sembuh
Rencana Tindak Lanjut :
Mitra seksual juga diperiksa dan diobati
Konseling dan Edukasi
1. Menjaga kebersihan badan
2. Sebaiknya rambut kelamin dicukur
3. Pakaian dalam direbus atau diseterika
Kriteria Rujukan : -
Peralatan
Tidak diperlukan perlatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit pedikulosis pubis.
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis.
Available from http://www.nejm.org/doi/
pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni
10. DERMATOFITOSIS
: S74 No.
Dermatophytosis
ICPC-2 No. ICD-10
: B35 Dermatophytosis
B35.0 Tinea barbae and tinea capitis B35.1 Tinea unguium
B35.2 Tinea manuum B35.3 Tinea pedis B35.4 Tinea corporis B35.5 Tinea imbricate B35.6 Tinea cruris
B35.8 Other dermatophytoses
Tingkat Kemampuan 4A
Komplikasi 1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Jarang ditemukan, dapat berupa infeksi KOH
bakterial sekunder.
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pasien dengan imunokompeten, prognosis
Penatalaksanaan umumnya bonam, sedangkan pasien dengan
1. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian imunokompromais, quo ad sanationamnya
handuk/pakaian secara bersamaan harus menjadi dubia ad bonam.
dihindari.
Referensi Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
2. Pengobatan terhadap keluhannya dengan: 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
a. Pengobatan topikal keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Suspensi selenium sulfida 1,8%, Kedokteran Universitas Indonesia.
dalam bentuk shampo yang digunakan 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2-3 kali seminggu. Obat ini digosokkan 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
pada lesi dan didiamkan selama 15-30 Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
menit sebelum mandi. Elsevier.
Derivat azol topikal, antara lain 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
mikonazol dan klotrimazol. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
b. Pengobatan sistemik diberikan apabila
penyakit ini terdapat
pada daerah yang luas atau jika
penggunaan obat topikal tidak berhasil.
Obat tersebut, yaitu: Ketokonazol per
oral dengan dosis 1x200 mg sehari
selama 10 hari, atau Itrakonazol per
oral dengan dosis 1 x 200 mg sehari
selama 5-7 hari (pada kasus kambuhan
atau tidak responsif dengan terapi
lainnya).
Konseling dan Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga bahwa pengobatan
harus dilakukan secara menyeluruh, tekun
dan konsisten, karena angka kekambuhan
12. PIODERMA
No. ICPC-2: S84 Impetigo
S76 Skin infection other
No. ICD-10: L01 Impetigo
L02 Cutaneous abscess, furuncle and carbuncle L08.0 Pyoderma
Tingkat Kemampuan : Folikulitis superfisialis 4A, Furunkel, Furunkulosis dan Karbunkel 4A Impetigo krustosa (im
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis Sederhana (Objective)
dan subkutis) yang disebabkan oleh bakteri
gram positif dari golongan Stafilokokus dan Folikulitis adalah peradangan folikel rambut
yang ditandai dengan papul eritema perifolikuler
Streptokokus. Pioderma merupakan penyakit
yang sering dijumpai. Di Bagian Ilmu Penyakit dan rasa gatal atau perih.
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan
Universitas Indonesia, insidennya menduduki jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau
peringkat ketiga, dan berhubungan erat dengan pustul perifolikuler dengan eritema di
keadaaan sosial ekonomi. Penularannya melalui sekitarnya dan disertai rasa nyeri.
kontak langsung dengan agen penyebab.
Furunkulosis adalah beberapa furunkel yang
Hasil Anamnesis (Subjective) tersebar.
Keluhan Karbunkel adalah kumpulan dari beberapa
furunkel, ditandai dengan beberapa furunkel
Pasien datang mengeluh adanya koreng atau
yang berkonfluensi membentuk nodus
luka di kulit
bersupurasi di beberapa puncak.
1. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil
Impetigo krustosa (impetigo contagiosa) adalah
yang gatal, dapat berisi cairan atau nanah
peradangan yang memberikan gambaran vesikel
dengan dasar dan pinggiran sekitarnya
yang dengan cepat berubah menjadi pustul
kemerahan. Keluhan ini dapat meluas
dan pecah sehingga menjadi krusta kering
menjadi bengkak disertai dengan rasa nyeri.
kekuningan seperti madu. Predileksi spesifik lesi
2. Bintil kemudian pecah dan menjadi terdapat di sekitar lubang hidung, mulut, telinga
keropeng/koreng yang mengering, keras atau anus.
dan sangat lengket.
Impetigo bulosa adalah peradangan yang
Faktor risiko: memberikan gambaran vesikobulosa dengan
lesi bula hipopion (bula berisi pus).
1. Higiene yang kurang baik
2. Defisiensi gizi Ektima adalah peradangan yang menimbulkan
kehilangan jaringan dermis bagian atas (ulkus
3. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah) dangkal).
Gambar 11.14 Furunkel tinggi, sakit kepala, mual muntah, dan nyeri
sendi. Pada pemeriksaan darah rutin dapat
dijumpai leukositosis 20.000/mm3 atau
lebih.
2. Selulitis adalah peradangan supuratif
yang menyerang subkutis, ditandai dengan
peradangan lokal, infiltrate eritema
berbatas tidak tegas, disertai dengan rasa
nyeri tekan dan gejala prodromal tersebut
di atas.
3. Ulkus
4. Limfangitis
Gambar 11.15 Ektima 5. Limfadenitis supuratif
6. Bakteremia (sepsis)
Penatalaksanaan Komprehensif
(Plan) Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dengan menjaga higiene,
nutrisi TKTP dan stamina tubuh.
2. Farmakoterapi dilakukan dengan:
a. Topikal:
Bila banyak pus/krusta, dilakukan
kompres terbuka dengan permanganas
Pemeriksaan Penunjang
kalikus (PK) 1/5.000 atau yodium
1. Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari povidon 7,5% yang dilarutkan 10 kali.
dasar lesi dengan pewarnaan Gram Bila tidak tertutup pus atau krusta,
2. Pemeriksaan darah rutin kadang-kadang diberikan salep atau krim asam fusidat
ditemukan leukositosis. 2% atau mupirosin 2%, dioleskan 2-3
kali sehari selama 7-10 hari.
Penegakan diagnostik (Assessment)
b. Antibiotik oral dapat diberikan dari
Diagnosis Klinis salah satu golongan di bawah ini:
1. Folikulitis Penisilin yang resisten terhadap
2. Furunkel penisilinase, seperti:
3. Furunkulosis kloksasilin. Dosis dewasa: 3 x 250-
4. Karbunkel 500 mg/hari, selama 5-7 hari, selama 5-
5. Impetigo bulosa dan krustosa 7 hari. Dosis anak: 50 mg/kgBB/hari
6. Ektima terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.
Komplikasi Amoksisilin dengan asam klavulanat.
Dosis dewasa: 3 x 250-500 mg Dosis
1. Erisipelas adalah peradangan epidermis anak: 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3
dan dermis yang ditandai dengan infiltrat dosis, selama 5-7 hari
eritema, edema, berbatas tegas, dan
disertai dengan rasa panas dan nyeri. Klindamisin 4 x 150 mg per hari,
Onset penyakit ini sering didahului dengan pada infeksi berat dosisnya 4 x 300-
gejala prodromal berupa menggigil, panas 450 mg per hari.
Eritromisin: dosis dewasa: 4 x 250-500
mg/hari, anak: 20-50 mg/kgBB/hari Peralatan
terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari.
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Sefalosporin, misalnya sefadroksil darah rutin dan pemeriksaan Gram
dengan dosis 2 x 500 mg atau 2 x 1000
mg per hari. Prognosis
c. Insisi untuk karbunkel yang Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi,
menjadi abses untuk membersihkan prognosis umumnya bonam, bila dengan
eksudat dan jaringan nekrotik. komplikasi, prognosis umumnya dubia ad
Konseling dan Edukasi bonam.
13. ERISIPELAS
No. ICPC-2: S 76Skin infection order No. ICD-10: A 46 Erysipelas
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Erisipelas adalah penyakit infeksi bakteri
akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus, Keluhan
melibatkan dermis atas dengan tanda khas Terdapat gejala konstitusi seperti demam dan
meluas ke limfatik kutaneus superfisial. malaise sebelum terjadinya lesi pada kulit.
Erisipelas pada wajah kebanyakan disebabkan Gejala umum pada lesi didapatkan gatal, rasa
oleh streptococcus grup A, sedangkan erisipelas terbakar, nyeri dan bengkak. Didahului trauma
pada ekstremitas bawah kebanyakan atau riwayat faringitis.
disebabkan oleh streptococcus non grup A.
Di perkirakan 85% kasus erisipelas terjadi pada Faktor Risiko:
ekstremitas bawah.
1. Penderita Diabetes Mellitus
Erisipelas kebanyakan terjadi pada wanita, 2. Higiene buruk
akan tetapi pada usia muda lebih sering terjadi
3. Gizi kurang
pada pria. Insidens tertinggi dilaporkan pada
pasien berusia 60 – 80 tahun khususnya pada 4. Gangguan saluran limfatik
pasien dengan gangguan saluran limfatik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Ganggren, Edema kronis, terjadi scar, sepsis,
Sederhana (Objective) demam Scarlet, Pneumonia, Abses, Emboli,
Meningitis
Pemeriksaan Fisik
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Lokasi : kaki, tangan dan wajah
Penatalaksanaan
Efloresensi : eritema yang berwarna merah
cerah, berbatas tegas, dan 1. Istirahat
pinggirnya meninggi dengan 2. Tungkai bawah dan kaki yang diserang
tanda-tanda radang akut. Dapat ditinggikan
disertai edema, vesikel dan bula.
Pengobatan sistemik :
Gambar 11.16 Erisipelas pada wajah
1. Analgetik antipiretik
2. Antibiotik :
a. Penisilin 0,6 – 1,5 mega unit 5-10 hari
b. Sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari
Rencana tindak lanjut :
1. Memantau terjadinya komplikasi
2. Mencegah faktor risiko
Konseling dan Edukasi
1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol
gula darah
Gambar 11.17 Erisipelas pada kaki
2. Menjaga kebersihan badan
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
darah rutin.
Prognosis
Dubia ad bonam
Pemeriksaan Penunjang Referensi
Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis 1. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-
Penegakan Diagnostik (Assessment) medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Diagnosis Klinis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
Universitas Indonesia.
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
3. Pereira de Godoy JM, et al. Epidemiological
Diagnosis Banding: Selulitis, Urtikaria Data And Comorbidities Of 428 Patients
Hospitalized With Erysipelas. Angiology.
Komplikasi: Jul 2010;61(5):492-4
14. DERMATITIS SEBOROIK
No. ICPC-2: S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10: L21 Seborrhoeic dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Bentuk klinis lain
Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang
Lesi berat: seluruh kepala tertutup oleh krusta,
digunakan untuk segolongan kelainan kulit
kotor, dan berbau (cradle cap).
yang didasari oleh faktor konstitusi (predileksi
di tempat-tempat kelenjar sebum). Dermatitis Pemeriksaan Penunjang
seboroik berhubungan erat dengan keaktifan
glandula sebasea. Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gambar 11.18 Dermatitis seboroik pada kulit
Keluhan kepala
Pasien datang dengan keluhan munculnya
bercak merah dan kulit kasar. Kelainan awal
hanya berupa ketombe ringan pada kulit kepala
(pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa
keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa
gatal.
Faktor Risiko
Genetik, faktor kelelahan, stres emosional ,
infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih
sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan
usia 18-40 tahun, kurang tidur Penegakan Diagnostik (Assessment)
Masalah Kesehatan
Faktor Pemicu
Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit
1. Makanan: telur, susu, gandum, kedelai, dan
berulang dan kronis dengan disertai gatal.
kacang tanah.
Pada umumnya terjadi selama masa bayi dan
anak-anak dan sering berhubungan dengan 2. Tungau debu rumah
peningkatan kadar IgE dalam serum serta
riwayat atopi pada keluarga atau penderita. 3. Sering mengalami infeksi di saluran napas
Sinonim dari penyakit ini adalah eczema atas (kolonisasi Staphylococus aureus)
atopik, eczema konstitusional, eczema fleksural, Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier. Sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Kulit
Keluhan penderita DA:
Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Dermatitis numularis adalah dermatitis
Pria, usia 55-65 tahun (pada wanita 15-25
berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong,
tahun), riwayat trauma fisis dan kimiawi
berbatas tegas, dengan efloresensi berupa
(fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga
dengan lesi utama), riwayat dermatitis kontak
basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada
alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus
orang dewasa lebih sering terjadi pada pria
dermatitis numularis anak, stress emosional,
daripada wanita. Usia puncak awitan pada
minuman yang mengandung alkohol,
kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun,
lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat
pada wanita usia puncak terjadi juga pada
infeksi kulit sebelumnya
usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis
tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun, Sederhana (Objective)
umumnya kejadian meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Pemeriksaan Fisik
Masalah Kesehatan
Wanita lebih sering ditemukan dibandingkan
Liken simpleks kronik atau yang sering disebut pria, dengan puncak insidens 30-50 tahun.
juga dengan neurodermatitis sirkumkripta
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
adalah kelainan kulit berupa peradangan
Sederhana (Objective)
kronis, sangat gatal berbentuk sirkumskrip
dengan tanda berupa kulit tebal dan menonjol Pemeriksaan Fisik
menyerupai kulit batang kayu akibat garukan
dan gosokan yang berulang-ulang. Penyebab Tanda Patognomonis
kelainan ini belum diketahui. Prevalensi 1. Lesi biasanya tunggal, namun dapat lebih
tertinggi penyakit ini pada orang yang berusia dari satu.
30-50 tahun dan lebih sering terjadi pada 2. Dapat terletak dimana saja yang mudah
wanita dibandingkan pada pria. dicapai tangan. Biasanya terdapat di
Hasil Anamnesis (Subjective) daerah tengkuk, sisi leher, tungkai bawah,
pergelangan kaki, kulit kepala, paha bagian
Keluhan medial, lengan bagian ekstensor, skrotum
dan vulva.
Pasien datang dengan keluhan gatal sekali pada
3. Awalnya lesi berupa eritema dan edema
kulit, tidak terus menerus, namun dirasakan
atau kelompok papul, kemudian karena
terutama malam hari atau waktu tidak sibuk.
garukan berulang, bagian tengah menebal,
Bila terasa gatal, sulit ditahan bahkan hingga
kering, berskuama serta pinggirnya
harus digaruk sampai luka baru gatal hilang
mengalami hiperpigmentasi. Bentuk
untuk sementara.
umumnya lonjong, mulai dari lentikular
Faktor Risiko sampai plakat.
Gambar 11.21 Liken simpleks kronis Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga mengenai
kondisi pasien dan penanganannya.
2. Menyarankan pasien untuk melakukan
konsultasi dengan psikiatri dan mencari
kemungkinan penyakit lain yang mendasari
penyakit ini.
Kriteria Rujukan
Rujukan dilakukan dengan tujuan untuk
mengatasi penyebab lain yang mendasari
penyakit dengan berkonsultasi kepada psikiatri
Pemeriksaan Penunjang atau dokter spesialis kulit.
Tidak diperlukan Peralatan
Penegakan Diagnostik (Assessment) Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
Diagnosis Klinis mendiagnosis penyakit liken simpleks kronik.
Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Fisik
Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi
Tanda Patognomonis
peradangan kulit imunologik karena reaksi
hipersensitivitas. Kerusakan kulit terjadi Tanda yang dapat diobservasi sama seperti
didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen dermatitis pada umumnya tergantung pada
(fase sensitisasi) yang umumnya berlangsung 2- kondisi akut atau kronis. Lokasi dan pola
3 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan kelainan kulit penting diketahui untuk
alergen yang sama atau serupa, periode hingga mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya,
terjadinya gejala klinis umumnya 24-48 jam seperti di ketiak oleh deodoran, di pergelangan
(fase elisitasi). Alergen paling sering berupa tangan oleh jam tangan, dan seterusnya.
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari
500-1000 Da. DKA terjadi dipengaruhi oleh Faktor Predisposisi
adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan dan Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap
luasnya penetrasi di kulit. suatu bahan yang bersifat alergen.
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang
Keluhan Tidak diperlukan
Keluhan kelainan kulit berupa gatal. Kelainan Penegakan Diagnostik (Assessment)
kulit bergantung pada keparahan dermatitis.
Keluhan dapat disertai timbulnya bercak Diagnosis Klinis
kemerahan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hal yang penting ditanyakan adalah dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding
riwayat kontak dengan bahan- bahan yang
Dermatitis kontak iritan.
berhubungan dengan riwayat pekerjaan, hobi,
obat topikal yang pernah digunakan, obat Komplikasi
sistemik, kosmetik, bahan- bahan yang dapat
menimbulkan alergi, serta riwayat alergi di Infeksi sekunder
keluarga Gambar 11.22 Dermatitis kontak alergik
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan
oleh bahan alergen.
2. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada
waktu tertentu.
3. Riwayat dermatitis atopik atau riwayat
atopi pada diri dan keluarga
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4 minggu setelah pengobatan standar dan
sudah menghindari kontak.
Penatalaksanaan
Peralatan
1. Keluhan diberikan farmakoterapi berupa:
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
a. Topikal (2 kali sehari) mendiagnosis penyakit dermatitis kontak alergi.
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
Prognosis
• Kortikosteroid: Desonid krim 0,05%
(catatan: bila tidak tersedia dapat Prognosis pada umumnya bonam, sedangkan
digunakan Fluosinolon asetonid quo ad sanationam adalah dubia ad malam
krim 0,025%). (bila sulit menghindari kontak dan dapat
• Pada kasus dengan manifestasi klinis menjadi kronis).
likenifikasi dan hiperpigmentasi, Referensi
dapat diberikan golongan
Betametason valerat krim 0,1% atau 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Mometason furoat krim 0,1%). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
• Pada kasus infeksi sekunder, kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
perlu dipertimbangkan pemberian Kedokteran Universitas Indonesia.
antibiotik topikal. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
b. Oral sistemik 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
per hari selama maksimal 2 minggu, Elsevier.
atau 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
• Loratadin 1x10 mg per hari selama Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
maksimal 2 minggu. Jakarta.
Masalah Kesehatan
kondisi akut atau kronis. Selengkapnya dapat
Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi dilihat pada bagian klasifikasi.
peradangan kulit non- imunologik. Kerusakan
Faktor Predisposisi
kulit terjadi secara langsung tanpa didahului
oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap
oleh semua orang tanpa memandang usia, suatu bahan yang bersifat iritan.
jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya
dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat Pemeriksaan Penunjang
iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak Tidak diperlukan
pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang
biasanya berhubungan dengan pekerjaan. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis
Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Keluhan di kulit dapat beragam, tergantung
pada sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala Gambar 11.23 Dermatitis kontak iritan
akut, sedangkan iritan lemah memberikan
gejala kronis. Gejala yang umum dikeluhkan
adalah perasaan gatal dan timbulnya bercak
kemerahan pada daerah yang terkena kontak
bahan iritan. Kadang-kadang diikuti oleh rasa
pedih, panas, dan terbakar.
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan
oleh bahan iritan
2. Riwayat kontak dengan bahan iritan pada
waktu tertentu Klasifikasi
3. Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru
masak, kuli bangunan, montir, penata Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-
rambut faktor tertentu, DKI dibagi menjadi:
4. Riwayat dermatitis atopik 1. DKI akut:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan
Sederhana (Objective) asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida
(HCl), termasuk luka bakar oleh bahan
Pemeriksaan Fisik
kimia.
Tanda patognomonis b. Lesi berupa: eritema, edema, bula,
kadang disertai nekrosis.
Tanda yang dapat diobservasi sama seperti
dermatitis pada umumnya, tergantung pada
c. Tepi kelainan kulit berbatas tegas rambut dan pekerja logam dalam
dan pada umumnya asimetris. beberapa bulan pertama, kelainan kulit
2. DKI akut lambat: monomorfik (efloresensi tunggal)
dapat berupa eritema, skuama, vesikel,
a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24
pustul, dan erosi.
jam atau lebih setelah kontak.
b. Umumnya dapat sembuh sendiri,
b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan
namun menimbulkan penebalan kulit,
DKI tipe ini diantaranya adalah
dan kadang-kadang berlanjut menjadi
podofilin, antralin, tretionin, etilen
DKI kumulatif.
oksida, benzalkonium klorida, dan asam
hidrofluorat. 5. DKI traumatik:
c. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu a. Kelainan kulit berkembang lambat
serangga yang terbang pada malam hari setelah trauma panas atau laserasi.
(dermatitis venenata), penderita baru b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi
merasa pedih keesokan harinya, pada akut dan basah).
awalnya terlihat eritema, dan pada c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6
sore harinya sudah menjadi vesikel minggu.
atau bahkan nekrosis.
d. Lokasi predileksi paling sering terjadi di
3. DKI kumulatif/ DKI kronis: tangan.
a. Penyebabnya adalah kontak berulang- 6. DKI non eritematosa:
ulang dengan iritan lemah (faktor
fisis misalnya gesekan, trauma minor, Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai
kelembaban rendah, panas atau dingin, dengan perubahan fungsi sawar stratum
faktor kimia seperti deterjen, sabun, korneum, hanya ditandai oleh skuamasi
pelarut, tanah dan bahkan air). ringan tanpa disertai kelainan klinis lain.
Masalah Kesehatan
kadang pustul, lesi satelit (bila terinfeksi
Napkin eczema sering disebut juga dengan jamur).
dermatitis popok atau diaper rash adalah
Gambar 11.24 Napkin eczema
dermatitis di daerah genito-krural sesuai
dengan tempat kontak popok. Umumnya pada
bayi pemakai popok dan juga orang dewasa
yang sakit dan memakai popok. Dermatitis ini
merupakan salah satu dermatitis kontak iritan
akibat isi napkin (popok).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan gatal dan bercak
merah berbatas tegas mengikuti bentuk popok
yang berkontak, kadang-kadang basah dan Pemeriksaan Penunjang
membentuk luka.
Bila diduga terinfeksi jamur kandida, perlu
Faktor Risiko dilakukan pemeriksaan
1. Popok jarang diganti. KOH atau Gram dari kelainan kulit yang basah.
2. Kulit bayi yang kering sebelum dipasang
popok. Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Riwayat atopi diri dan keluarga. Diagnosis Klinis
4. Riwayat alergi terhadap bahan plastik dan
kertas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Diagnosis Banding
Pemeriksaan Fisik 1. Penyakit Letterer-Siwe
2. Akrodermatitis enteropatika
Tanda patognomonis 3. Psoriasis infersa
1. Makula eritematosa berbatas agak tegas 4. Eritrasma Komplikasi Infeksi sekunder
(bentuk mengikuti bentuk popok yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
berkontak)
2. Papul Penatalaksanaan
3. Vesikel
1. Untuk mengurangi gejala dan mencegah
4. Erosi
bertambah beratnya lesi, perlu dilakukan
5. Ekskoriasi
hal berikut:
6. Infiltran dan ulkus bila parah
7. Plak eritematosa (merah cerah), a. Ganti popok bayi lebih sering, gunakan
membasah,
pelembab sebelum memakaikan popok Prognosis
bayi.
Prognosis umumnya bonam dan dapat sembuh
b. Dianjurkan pemakaian popok sekali tanpa komplikasi.
pakai jenis highly absorbent.
2. Prinsip pemberian farmakoterapi yaitu untuk Referensi
menekan inflamasi dan mengatasi infeksi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
kandida. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
a. Bila ringan: krim/salep bersifat kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
protektif (zinc oxide/pantenol) Kedokteran Universitas Indonesia.
dipakai 2 kali sehari selama 1 minggu
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
atau kortikosteroid potensi lemah
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
(hidrokortison salep 1-2,5%) dipakai 2
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
kali sehari selama 3-7 hari.
Elsevier.
b. Bila terinfeksi kandida: berikan
antifungal nistatin sistemik 1 kali 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
sehari selama 7 hari atau derivat azol Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
topikal dikombinasi dengan zinc oxide Jakarta.
diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga mengenai penyebab
dan menjaga higiene kulit.
2. Mengajarkan cara penggunaan popok dan
mengganti secepatnya bila popok basah.
3. Mengganti popok sekali pakai bila kapasitas
telah penuh.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Biasanya tidak perlu dilakukan, hanya dilakukan
untuk mengekslusi diagnosis banding.
Rencana Tindak Lanjut
Bila gejala tidak menghilang setelah
pengobatan standar selama 1 minggu,
dilakukan:
1. Pengobatan dapat diulang 7 hari lagi.
2. Pertimbangkan untuk pemeriksaan ulang
KOH atau Gram.
Kriteria Rujukan
Bila keluhan tidak membaik setelah
pengobatan standarselama 2 minggu.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
dan Gram
21. DERMATITIS PERIORAL
No. ICPC-2: S99 Skin disease other No. ICD-10: L71.0 Perioral dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
2. Pemakaian kosmetik.
Dermatitis perioral adalah erupsi eritematosa 3. Pasien imunokompromais
persisten yang terdiri dari papul kecil dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
papulo-pustul yang berlokasi di sekitar mulut.
Sederhana (Objective)
Dermatitis perioral dapat terjadi pada anak
dan dewasa. Dalam populasi dewasa, penyakit Pemeriksaan Fisik
ini lebih sering terjadi pada wanita Tanda patognomonis
daripada pria. Namun, selama masa kanak-
kanak persentase pasien pria lebih besar. Erupsi eritematosa yang terdiri dari papul,
Pada anak-anak, penyakit ini memiliki papulopustul atau papulovesikel, biasanya tidak
kecenderungan untuk meluas ke periorbita atau lebih dari 2 mm. Lesi berlokasidi sekitar mulut,
perinasal. Beberapa agen penyebab terlibat namun pada anak lesi dapat meluas ke perinasal
dalam patogenesis penyakit ini diantaranya atau periorbita.
penggunaan kosmetik dan glukokortikoid. Pemeriksaan Penunjang
Studi case control di Australia memperlihatkan
bahwa pemakaian kombinasi foundation, Umumnya tidak diperlukan.
pelembab dan krim malam meningkatkan
Gambar 11.25 Dermatititis perioral
risiko terjadinya dermatitis perioral secara
signifikan. Penggunaan kortikosteroid
merupakan penyebab utama penyakit ini
pada anak-anak. Beberapa faktor lainnya yang
juga diidentifikasai diantaranya infeksi, faktor
hormonal, pemakaian pil kontrasepsi,
kehamilan, fluoride dalam pasta gigi, dan
sensitasi merkuri dari tambalan amalgam.
Demodex folliculorum dianggapmemainkan
peran penting dalam patogenesis dermatitis
perioral terutama pada anak dengan
imunokompromais. Namun, laporan terbaru
menunjukkan bahwa density dari D.folliculorum Penegakan Diagnostik (Assessment)
merupakan fenomena sekunder penyebab
dermatitis perioral. Diagnosis Klinis
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hasil Anamnesis (Subjective)
dan pemeriksaaan fisik.
Keluhan yang dirasakan pasien adalah gatal
Diagnosis Banding
dan rasa panas disertai timbulnya lesi di sekitar
mulut. Dermatitis kontak, Dermatitis seboroik,
Rosasea, Akne, Lip-licking cheilitis, Histiocytosis,
Faktor Risiko
Sarkoidosis
1. Pemakaian kortikosteroid topikal.
Komplikasi folliculorum.
Infeksi sekunder Konseling dan Edukasi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Edukasi dilakukan terhadap pasien dan
pada pasien anak edukasi dilakukan kepada
Penatalaksanaan orangtuanya. Edukasi berupa menghentikan
Untuk keberhasilan pengobatan, langkah pemakaian semua kosmetik, menghentikan
pertama yang dilakukan adalah menghentikan pemakaian kortikostroid topikal. Eritema dapat
penggunaan semua kosmetik dan kortikosteroid terjadi pada beberapa hari setelah penghentian
topikal. Jika tidak diobati, bentuk klasik steroid.
dermatitis perioral memiliki kecenderungan
Kriteria rujukan
untuk bertahan, terutama jika pasien terbiasa
menggunakan pelembab atau krim malam. Pasien dirujuk apabila memerlukan
pemeriksaan mikroskopik atau pada pasien
Dalam kasus resisten, dermatitis perioral dengan gambaran klinis yang tidak biasa dan
membutuhkan farmakoterapi, seperti: perjalanan penyakit yang lama.
1. Topikal Peralatan
a. Klindamisin krim 1%, satu atau dua kali
sehari Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
b. Eritromisin krim 2-3% satu atau dua kali mendiagnosis penyakit dermatitis perioral.
sehari
c. Asam azelaik krim 20% atau gel 15%, Prognosis
dua kali sehari Prognosis umumnya bonam jika pasien
d. Adapalene gel 0,1%, sekali sehari menghentikan penggunaan kosmetik atau
selama 4 minggu kortikosteroid topikal.
2. Sistemik
a. Tetrasiklin 250-500 mg, dua kali Referensi
sehari selama 3 minggu. Jangan 1. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current
diberikan pada pasien sebelum usia And Future Treatment Options For Perioral
pubertas. Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy,
b. Doksisiklin 100 mg per hari selama 3 2, 351-355, Available from http://Search.
minggu. Jangan diberikan pada pasien Pr oq ue s t. Co m /D o c v ie w /91 227 83 00 /
sebelum usia pubertas. Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Accou
c. Minosiklin 100 mg per hari selama 4 ntid=17242(7 Juni 2014).
minggu. Jangan diberikan pada pasien
sebelum usia pubertas. 2. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007.
d. Eritromisin 250 mg, dua kali sehari Persistent Facial Dermatitis: Pediatric
selama 4-6 minggu Perioral Dermatitis. Pediatric Annals,
e. Azytromisin 500 mg per hari, 3 hari 36,pp.796-8. Available from http://search.
berturut-turut per minggu selama 4 proques t .c o m/ d o c v ie w / 2 1 7 55 69 8 9 /
minggu. fulltextPDF?acc ountid=17242 (7 Juni 2014).
3. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Appraisal Of Reports On The Treatment Of
Pada pasien yang menderita dermatitis perioral Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-
dalam waktu lama, pemeriksaan mikroskopis 7. Available from http://search.proquest.
lesi dapat disarankan untuk mengetahui apakah com/docview/275129538/DC34942E9874
ada infeksi bakteri, jamur atau adanya Demodex 4010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni 2014).
22. PITIRIASIS ROSEA
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S90 Pityriasis rosea
: L42 Pityriasis rosea
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
sejajar dengan tulang iga, sehingga menyerupai
Penyakit ini belum diketahui sebabnya, dimulai pohon cemara terbalik. Tempat predileksi yang
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema sering adalah pada badan, lengan atas bagian
dan skuama halus (mother patch), kemudian proksimal dan paha atas.
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan,
Gambar 11.26 Pitiriasis rosea
lengan dan paha atas, yang tersusun sesuai
dengan lipatan kulit. Penyakit ini biasanya
sembuh dalam waktu 3-8 minggu. Pitiriasis
rosea didapati pada semua usia, terutama
antara 15-40 tahun, dengan rasio pria dan
wanita sama besar.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan lesi kemerahan
yang awalnya satu kemudian diikuti dengan lesi
yang lebih kecil yang menyerupai pohon Pemeriksaan Penunjang
cemara terbalik. Lesi ini kadang-kadang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis KOH
dikeluhkan terasa gatal ringan.
dilakukan untuk menyingkirkan Tinea Korporis.
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Etiologi belum diketahui, ada yang mengatakan
Diagnosis Klinis
hal ini merupakan infeksi virus karena
merupakan self limited disease. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Tinea korporis, Erupsi obat
Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat, Tidak ada komplikasi yang bermakna.
sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penatalaksanaan Komprehensif
Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald
patch), umumnya di badan, soliter, berbentuk (Plan) Penatalaksanaan
oval, dan anular, diameternya sekitar 3 cm. Lesi Pengobatan bersifat simptomatik, misalnya
terdiri atas eritema dan skuama halus di untuk gatal diberikan antipruritus seperti bedak
atasnya. Lamanya beberapa hari sampai dengan asam salisilat 1-2% atau mentol 0,25-0,5%.
beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4-10
hari setelah lesi pertama dengan gambaran Konseling dan Edukasi
serupa dengan lesi pertama, namun lebih kecil, Edukasi pasien dan keluarga bahwa penyakit ini
susunannya swasirna.
Kriteria Rujukan Referensi
Tidak perlu dirujuk 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Peralatan
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Lup Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Prognosis 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Prognosis pada umumnya bonam karena Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
penyakit sembuh spontan dalam waktu 3-8 Elsevier.
minggu. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
23. ERITRASMA
No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: L08.1 Erythrasmay
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik
Penderita Diabetes Mellitus, iklim sedang dan
pada stratum korneumyang disebabkan oleh
panas, maserasi pada kulit, banyak berkeringat,
Corynebacterium minutissimum. Eritrasma
kegemukan, higiene buruk, peminum alkohol
terutama terjadi pada orang dewasa, penderita
diabetes, dan banyak ditemukan di daerah Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
tropis. Eritrasma dianggap tidak begitu menular Sederhana (Objective)
karena didapatkan bahwa pasangan suami istri
tidak mendapatkan penyakit tersebut secara Pemeriksaan Fisik
bersama- sama. Secara global, insidens Lokasi : lipat paha bagian dalam, sampai
eritrasma dilaporkan 4% dan lebih banyak skrotum, aksilla, dan intergluteal
ditemukan di daerah iklim tropis dan subtropis.
Selain itu insidensnya lebih banyak ditemukan Efloresensi : eritema luas berbatas tegas,
pada ras kulit hitam. Eritrasma terjadi baik pria dengan skuama halus dan kadang erosif. Kadang
maupun wanita, pada pria lebih banyak juga didapatkan likenifikasi dan
ditemukan eritrasma pada daerah kruris, hiperpigmentasi.
sedangkan pada wanita di daerah interdigital.
Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan usia, insidens eritrasma bertambah
seiring dengan pertambahan usia dengan 1. Pemeriksaan dengan lampu Wood
pasien termuda yang pernah ditemukan yaitu 2. Sediaan langsung kerokan kulit dengan
usia 1 tahun. pewarnaan gram
Hasil Anamnesis (Subjective) Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan Diagnosis Klinis
Eritrasma kadang tidak menimbulkan keluhan Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis
subyektif, tetapi ada juga pasien datang dengan dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
keluhan gatal dengan durasi dari bulan sampai dengan lampu Wood didapatkan fluoresensi
tahun. merah bata (coral pink).
Diagnosis Banding Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Pitiriasis versikolor, Tinea kruris, Dermatitis Indonesia.
seboroik, Kandidiasis
2. Kibbi A.G.Erythrasma. Available
Komplikasi: - from http://e- medicine.medscape.com
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (10 Juni 2014)
Masalah Kesehatan
Tanda patognomonis
Exanthematous Drug Eruption adalah salah
satu bentuk reaksi alergi ringan pada kulit yang 1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis.
terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya 2. Kelainan dapat simetris. Tempat predileksi
sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak.
dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, Pemeriksaan Penunjang
dan terapi. Bentuk reaksi alergi merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan
lambat) menurut Coomb and Gell. Nama penunjang.
lainnya adalah erupsi makulopapular atau
Penegakan Diagnostik (Assessment)
morbiliformis.
Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Keluhan dan pemeriksaan fisik.
Gatal ringan sampai berat yang disertai Diagnosis Banding
kemerahan dan bintil pada kulit. Kelainan
muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan. Morbili
Biasanya disebabkan karena penggunaan
antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) Komplikasi
atau analgetik-antipiretik non steroid. Kelainan Eritroderma
umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan
lipat ketiak, kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gambar 11.34. Exanthematous Drug Eruption
Gejala diikuti demam subfebril, malaise, dan
nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu setelah
mulai mengkonsumsi obat, jamu, atau bahan-
bahan yang dipakai untuk diagnostik (contoh:
bahan kontras radiologi).
Faktor Risiko
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis,
dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan
sinar matahari, atau kontak obat pada kulit
terbuka).
2. Riwayat atopi diri dan keluarga. Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
3. Alergi terhadap alergen lain.
Penatalaksanaan
4. Riwayat alergi obat sebelumnya.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Prinsip tatalaksana adalah menghentikan
obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan
Sederhana (Objective)
menyembuh bila obat penyebabnya dapat
Pemeriksaan Fisik diketahui dan segera disingkirkan.
Farmakoterapi yang diberikan, yaitu: b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan Uji
provokasi
1. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 30 3. Bila tidak ada perbaikan setelah
mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian per mendapatkan pengobatan standar dan
hari selama 1 minggu.
menghindari obat selama 7 hari
2. Antihistamin sistemik:
4. Lesi meluas
a. Setirizin 2x10 mg/hari selama 7 hari
bila diperlukan, atau Peralatan
b. Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila
diperlukan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
3. Topikal: Bedak salisilat 2% dan antipruritus mendiagnosis penyakit Exanthematous Drug
(Menthol 0.5% - 1%) Eruption.
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak
erupsi. mengalami komplikasi atau tidak memenuhi
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk kriteria rujukan.
membuat catatan kecil di dompetnya Referensi
tentang alergi obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
pasien bisa sembuh dengan adanya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Kriteria Rujukan
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
berkembang menjadi Sindroma Steven Elsevier.
Johnson.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
obat yang diduga sebagai penyebab : Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
a. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan Jakarta.
dengan
Masalah Kesehatan
merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu
Hasil Anamnesis (Subjective)
jenis erupsi obat yang sering dijumpai.
Darinamanya dapat disimpulkan bahwa Keluhan
kelainan akan terjadi berkali-kali pada tempat
yang sama. Mempunyai tempat predileksi dan Pasien datang keluhan kemerahan atau luka
lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous pada sekitar mulut, bibir, atau di alat kelamin,
Drug Eruption. FDE yang terasa panas. Keluhan timbul setelah
mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi
penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat, Pemeriksaan penunjang: Biasanya tidak
Trimetoprim, dan analgetik. diperlukan
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup Penegakan Diagnostik (Assessment)
riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu.
Kelainan timbul secara akut atau dapat juga Diagnosis Klinis
beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan
Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat pemeriksaan
disertai dengan demam yang subfebril.
Diagnosis Banding
Faktor Risiko
Pemfigoid bulosa, Selulitis, Herpes simpleks , SJS
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, (Steven Johnson Syndrome)
dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan
sinar matahari, atau kontak obat pada kulit Komplikasi
terbuka)
Infeksi sekunder
2. Riwayat atopi diri dan keluarga
3. Alergi terhadap alergen lain Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
4. Riwayat alergi obat sebelumnya
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan
sederhana (Objective)
obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat
Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Lesi akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
khas: diketahui dan segera disingkirkan.
1. Vesikel, bercak Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang
2. Eritema dapat diberikan, yaitu:
3. Lesi target berbentuk bulat lonjong atau
1. Kortikosteroid sistemik, misalnya
numular
prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam
4. Kadang-kadang disertai erosi
3 kali pemberian per hari
5. Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan
di tepinya, terutama pada lesi berulang 2. Antihistamin sistemik untuk mengurangi
rasa gatal; misalnya Hidroksisin tablet 10
Tempat predileksi:
mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau
1. Sekitar mulut Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
2. Daerah bibir
3. Pengobatan topikal
3. Daerah penis atau vulva
a. Pemberian topikal tergantung dari
Gambar 11.35 Fixed Drug Eruption (FDE)
keadaan lesi, bila terjadi erosi atau
madidans dapat dilakukan kompres
NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas
kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa
selama 10-15 menit. Kompres
dilakukan 3 kali sehari sampai lesi
kering.
b. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian
topikal kortikosteroid potensi ringan-
sedang, misalnya Hidrokortison krim
2,5% atau Mometason furoat krim
0,1%.
Konseling dan Edukasi Peralatan
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk mendiagnosis penyakit Fixed Drug Eruption.
membuat catatan kecil di dompetnya
tentang alergi obat yang dideritanya. Prognosis
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak
pasien bisa sembuh dengan adanya mengalami komplikasi atau tidak memenuhi
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila kriteria rujukan.
alergi berulang terjadi kelainan yang sama,
pada lokasi yang sama. Referensi
Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption)
Keluhan
merupakan kelainan kulit berupa peradangan
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul Pasien mengeluh gatal dan panas pada tempat
dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva infeksi. Pada awal infeksi, lesi berbentuk papul
cacing tambang yang berasal dari anjing dan yang kemudian diikuti dengan lesi berbentuk
kucing. Penularan melalui kontak langsung linear atau berkelok-kelok yang terus menjalar
dengan larva. Prevalensi Cutaneus Larva Migran memanjang. Keluhan dirasakan muncul sekitar
di Indonesia yang dilaporkan oleh sebuah empat hari setelah terpajan.
penelitian pada tahun 2012 di Kulon Progo
adalah sekitar 15%. Faktor Risiko
Orang yang berjalan tanpa alas kaki, atau sering
berkontak dengan tanah atau pasir.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Terapi farmakologi dengan Albendazol
Sederhana (Objective) 400 mg sekali sehari, selama 3 hari.
Pemeriksaan Fisik Patognomonis 3. Untuk mengurangi gejala pada penderita
dapat dilakukan penyemprotan Etil Klorida
Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar pada lokasi lesi, namun hal ini tidak
dan tersusun linear atau berkelok-kelok membunuh larva.
meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per
hari. 4. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi
sesuai dengan tatalaksana pioderma.
Predileksi penyakit ini terutama pada daerah
telapak kaki, bokong, genital dan tangan. Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan
penyakit dengan menjaga kebersihan diri.
Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada.
Kriteria Rujukan
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Pasien dirujuk apabila dalam waktu 8 minggu
Diagnosis Klinis tidak membaik dengan terapi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Peralatan
dan pemeriksaan fisik.
Lup
Diagnosis Banding
Prognosis
Dermatofitosis, Dermatitis, Dermatosis
Prognosis umumnya bonam. Penyakit ini
Komplikasi bersifat self-limited, karena sebagian besar
Dapat terjadi infeksi sekunder. larva mati dan lesi membaik dalam 2-8 minggu,
jarang hingga 2 tahun.
Gambar 11.36. Cutaneous Larva Migrans
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
Penatalaksanaan
1. Memodifikasi gaya hidup dengan 4. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012.
menggunakan alas kaki dan sarung Risk factors of hookworm related cutaneous
tangan pada saat melakukan aktifitas yang larva migrans and definitive host
berkontak dengan tanah, seperti berkebun
dan lain-lain.
31. LUKA BAKAR DERAJAT I DAN II
No. ICPC-2 : S14burn/scald
No. ICD-10 : T30 burn and corrosion, body region unspecified
T31 burns classified according to extent of body surface involved
T32 corrosions classified according to extent of body surface involved
Tingkat Kemampuan 4A
Diagnosis Banding
Keadaan dan bentuk luka dari keempat
jenis ulkus ini sulit di bedakan pada stadium
lanjut. Pada ulkus tropikum yang kronis dapat
menyerupai ulkus varikosum atau ulkus
arteriosum.
Gambar : 11.41 Ulkus Varikosum a. Selalu menjaga kaki dalam keadaan
bersih.
b. Membersihkan dan mencuci kaki setiap
hari dengan air mengeringkan
dengan sempurna dan hati-hati
terutama diantara jari-jari kaki.
c. Memakai krim kaki yang baik pada
kulit yang kering atau tumit yang retak-
retak. Tidak memakai bedak, sebab ini
akan menyebabkan kering dan retak-
retak.
d. Menggunting kuku, lebih mudah
dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) lembut.
e. Menghindari penggunaan air panas
Penatalaksanaan atau bantal panas.
f. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki,
1. Non medikamentosa
termasuk di pasir.
a. Perbaiki keadaan gizi dengan makanan
yang mengandung kalori dan protein Tabel 11.3. Penatalaksanaan terapi pada ulkus
tinggi, serta vitamin dan mineral. tungkai
b. Hindari suhu yang dingin
c. Hindari rokok
d. Menjaga berat badan
e. Jangan berdiri terlalu lama dalam
melakukan pekerjaan
2. Medikamentosa
Pengobatan yang akan dilakukan
disesuaikan dengan tipe dari ulkus tersebut.
a. Pada ulkus varikosum lakukan terapi
dengan meninggikan letak tungkai saat
berbaring untuk mengurangi hambatan
aliran pada vena, sementara untuk
varises yang terletak di proksimal dari
ulkus diberi bebat elastin agar dapat
membantu kerja otot tungkai bawah
memompa darah ke jantung.
b. Pada ulkus arteriosum, pengobatan
untuk penyebabnya dilakukan konsul ke
bagian bedah.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi perawatan kaki
2. Olah raga teratur dan menjaga berat badan
ideal
3. Menghindari trauma berulang, trauma
dapat berupa fisik, kimia dan panas yang Komplikasi
biasanya berkaitan dengan aktivitas atau 1. Hematom dan infeksi pada luka
jenis pekerjaan.
2. Thromboembolisme (resiko muncul akibat
4. Menghentikan kebiasaan merokok.
dilakukan pembedahan)
5. Merawat kaki secara teratur setiap hari,
dengan cara : 3. Terjadi kelainan trofik dan oedem secara
spontan Referensi
4. Resiko amputasi jika keadaan luka
memburuk 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kriteria Rujukan kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Respon terhadap perawatan ulkus tungkai
akan berbeda. Hal ini terkait lamanya ulkus, 2. Sudirman, U. 2002. Ulkus Kulit dalam
luas dari ulkus dan penyebab utama. Ulkus Kulit. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta.
Hipokrates.
Prognosis
3. Cunliff, T. Bourke, J. Brown Graham R. 2012.
1. Ad vitam : Dubia Dermatologi Dasar Untuk Praktik Klinik.
2. Ad functionam : Dubia Jakarta. EGC.
3. Ad sanationam : Dubia
Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan
1. Mengkonsumsi obat-obatan yang dicurigai
sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
dapat mengakibatkan SSJ. Beberapa
di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
obat yang yang berisiko tinggi dapat
yang bervariasi dari ringan hingga berat. SSJ
menyebabkan terjadinya SSJ antara lain
merupakan bentuk minor dari toxic epidermal
allopurinol, trimethoprim- sulfamethoxazol,
necrolysis (TEN) dengan pengelupasan kulit
antibiotik golongan sulfonamid,
kurang dari 10% luas permukaan tubuh. SSJ
aminopenisillin, sefalosporin, kuinolon,
menjadi salah satu kegawatdaruratan karena
karbamazepin, fenitoin, phenobarbital,
dapat berpotensi fatal. Angka mortalitas
antipiretik / analgetik (salisil/pirazolon,
SSJ berkisar 1-5% dan lebih meningkat pada
metamizol, metampiron dan parasetamol)
pasien usia lanjut. Insiden sindrom ini semakin
dan NSAID. Selain itu berbagai penyebab
meningkat karena salah satu penyebabnya
dikemukakan di pustaka, misalnya: infeksi
adalah alergi obat dan sekarang obat-obatan
(bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma,
cenderung dapat diperoleh bebas.
paska-vaksinasi, radiasi dan makanan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
2. Sistem imun yang lemah, misalnya pada
Keluhan HIV/AIDS.
Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai 3. Riwayat keluarga menderita SSJ.
berat. Pada fase akut dapat disertai gejala
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
prodromal berupa:demam tinggi, malaise,
Sederhana (Objective)
nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan,
arthralgia. Gejala prodromal selanjutnya akan Pemeriksaan Fisik
berkembang ke arah manifestasi
mukokutaneus. SSJ memiliki trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Dapat berupa eritema, papul, purpura, 3. Pemphigus bullosa
vesikel dan bula yang memecah kemudian 4. Staphyloccocal Scalded Skin Syndrome
terjadi erosi luas. Lesi yang spesifik berupa (SSSS)
lesi target. Pada SSJ berat maka kelainannya
generalisata. Komplikasi
Ciri khas lesi di kulit adalah: Komplikasi tersering adalah bronkopneumonia,
a. ruam diawali dengan bentuk makula dapat pula terjadi gangguan elektrolit hingga
yang berubah menjadi papul, vesikel, syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan.
bula, plakurtikaria atau eritema
konfluens Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
b. tanda patognomoniknya adalah lesi
target Penatalaksanaan
c. berbeda dengan lesi eritema 1. Bila keadaan umum penderita cukup
multiform, lesi SSJ hanya memiliki baik dan lesi tidak menyeluruh dapat
2 zona warna, yaitubagian tengah diberikan metilprednisolon 30-40 mg/hari.
dapat berupa vesikel,purpura atau 2. Mengatur keseimbangan cairan/elektrolit
nekrotik yang dikelilingi oleh dan nutrisi.
tepiberbentuk makular eritema.
d. lesi yang menjadi bula akan pecah Setelah dilakukan penegakan diagnosis perlu
menimbulkan kulit yang terbuka yang segera dilakukan penentuan tingkat keparahan
akan rentanterinfeksi dan prognosis dengan menggunakan sistem
e. lesi urtikaria tidak gatal skoring SCORTEN.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium:
tersering adalah pada mulut (90-100%), Pasien dengan skoring SCORTEN 3 atau lebih
genitalia (50%), lubang hidung (8%) dan sebaiknya segera ditangani di unit perawatan
anus (4%). Kelainan berupa vesikel dan intensif.
bula yang pecah dan mengakibatkan erosi, Tabel 11.5. SCORTEN (Skor keparahan penyakit)
ekskoriasi, dan krusta kehitaman.
pada Sindrom
3. Kelainan mata, terjadi pada 80% di antara
semua kasus, tersering adalah konjugtivitis
kataralis, konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis, dan iridosiklitis.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas,
dapat dilakukan pemeriksaan darah perifer
lengkap, yang menunjukkan hasil leukositosis
yang menunjukkan adanya infeksi atau
eosinofilia kemungkinan adanya faktor alergi.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Konseling dan Edukasi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan bila diperlukan dapat dilakukan Pasien dan keluarga diberikan penjelasan
pemeriksaan histopatologi kulit. mengenai penyebab SSJ sehingga faktor
Diagnosis Banding pencetus SSJdapat dihindari di kemudian hari.
1. OBESITAS
No. ICPC-2
: T82 obesity, T83 overweight
No. ICD-10
: E66.9 obesity unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
penambahan berat badan dan retensi
Obesitas merupakan keadaan dimana natrium), usia (misalnya menopause),
seseorang memiliki kelebihan lemak (body fat) kejadian tertentu (misalnya berhenti
sehingga orang tersebut memiliki risiko merokok, berhenti dari kegiatan olahraga,
kesehatan. Riskesdas 2013, prevalensi penduduk dsb).
laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
sebanyak 19,7% lebih tinggi dari tahun 2007
Sederhana (Objective)
(13,9%) dan
tahun 2010 (7,8%). Sedangkan pada perempuan Pemeriksaan Fisik
di tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan 1. Pengukuran Antropometri (BB, TB dan LP)
dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 Indeks Masa Tubuh (IMT/Body mass index/
persen BMI) menggunakan rumus Berat Badan
dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari (Kg)/ Tinggi Badan kuadrat (m2).
tahun 2010 (15,5%).WHO, dalam data terbaru Pemeriksaan fisik lain sesuai keluhan untuk
Mei 2014, obesitas merupakan faktor risiko menentukan telah terjadi komplikasi atau
utama untuk penyakit tidak menular seperti risiko tinggi
penyakit kardiovaskular (terutama penyakit
jantung dan stroke), diabetes, gangguan 2. Pengukuran lingkar pinggang (pada
muskuloskeletal, beberapa jenis kanker pertengahan antara iga terbawah dengan
(endometrium, payudara, dan usus besar). Dari kristailiaka, pengukuran dari lateral dengan
data tersebut, peningkatan penduduk dengan pita tanpa menekan jaringan lunak).Risiko
obesitas, secara langsung akan meningkatkan meningkat bila laki-laki >85 cm dan
penyakit akibat kegemukan. perempuan >80cm.
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Pengukuran tekanan darah untuk
menentukan risiko dan komplikasi, misalnya
Keluhan hipertensi.
Biasanya pasien datang bukan dengan keluhan Pemeriksaan Penunjang
kelebihan berat badan namun dengan adanya
gejala dari risiko kesehatan yang timbul. Untuk menentukan risiko dan komplikasi, yaitu
pemeriksaan kadar gula darah, profil lipid, dan
Penyebab asam urat.
1. Ketidakseimbangnya asupan energi dengan Penegakan Diagnostik (Assessment)
tingkatan aktifitas fisik.
Diagnosis Klinis
2. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
antara lain kebiasaan makan berlebih, pemeriksaan fisik dan penunjang.
genetik, kurang aktivitas fisik, faktor
psikologis dan stres, obat-obatan (beberapa
obat seperti steroid, KB hormonal, dan anti-
depresan memiliki efek samping
Tabel 12.1 Kategori obesitas Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Non –Medikamentosa
1. Penatalaksanaan dimulai dengan kesadaran
pasien bahwa kondisi sekarang adalah
obesitas, dengan berbagai risikonya dan
berniat untuk menjalankan program
penurunan berat badan
2. Diskusikan dan sepakati target pencapaian
dan cara yang akan dipilih (target rasional
Diagnosis Banding: adalah penurunan 10% dari BB sekarang)
1. Keadaan asites atau edema 3. Usulkan cara yang sesuai dengan faktor
2. Masa otot yang tinggi, misalnya pada risiko yang dimiliki pasien, dan jadwalkan
olahragawan pengukuran berkala untuk menilai
Diagnosis klinis mengenai kondisi kesehatan keberhasilan program
yang berasosiasi dengan obesitas: 4. Penatalaksanaan ini meliputi perubahan
1. Hipertensi pola makan (makan dalam porsi kecil
2. DM tipe 2 namun sering) dengan mengurangi
3. Dislipidemia konsumsi lemak dan kalori, meningkatkan
4. Sindrom metabolik latihan fisik dan bergabung dengan
5. Sleep apneu obstruktif kelompok yang bertujuan sama dalam
6. Penyakit sendi degeneratif mendukung satu sama lain dan diskusi hal-
hal yang dapat membantu dalam
Komplikasi pencapaian target penurunan berat badan
ideal.
Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit
kardiovakular, Sleep apnoe, abnormalitas 5. Pengaturan pola makan dimulai dengan
hormon reproduksi, Low back pain, perlemakan mengurangi asupan kalori sebesar 300-500
hati kkal/hari dengan tujuan untuk menurunkan
berat badan sebesar ½-1 kg per minggu.
Obesitas dikelompokkan menjadi obesitas risiko
tinggi bila disertai dengan 3 atau lebih keadaan 6. Latihan fisik dimulai secara perlahan dan
di bawah ini: ditingkatkan secara bertahap intensitasnya.
Pasien dapat memulai dengan berjalan
1. Hipertensi
selama 30 menit dengan jangka waktu
2. Perokok
5 kali seminggu dan dapat ditingkatkan
3. Kadar LDL tinggi
intensitasnya selama 45 menit dengan
4. Kadar HDL rendah
jangka waktu 5 kali seminggu.
5. Kadar gula darah puasa tidak stabil
6. Riwayat keluarga serangan jantung usia Konseling dan Edukasi
muda
7. Usia (laki-laki > 45 thn, atau perempuan > 1. Perlu diingat bahwa penanganan obesitas
55 thn). dan kemungkinan besar seumur hidup.
Adanya motivasi dari pasien dan keluarga
untuk menurunkan berat badan hingga
mencapai BB ideal sangat membantu
keberhasilan terapi.
2. Menjaga agar berat badan tetap normal berat badan, maka pasien dirujuk ke
dan mengevaluasi adanya penyakit spesialis penyakit dalam untuk memperoleh
penyerta. obat-obatan penurun berat badan
3. Membatasi asupan energi dari lemak total Prognosis
dan gula.
Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai
4. Meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, obesitas. Risiko akan meningkat seiring dengan
serta kacang- kacangan, biji-bijian dan tingginya kelebihan berat badan.
kacang-kacangan.
Referensi
5. Terlibat dalam aktivitas fisik secara teratur
(60 menit sehari untuk anak-anak dan 150 1. Henthorn, T.K. Anesthetic Consideration in
menit per minggu untuk orang dewasa) Morbidly Obese Patients. [cite 2010 June
12] Available from: http://cucrash.com/
Kriteria Rujukan Handouts04/MorbObese Henthorn.pdf.
1. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit 2. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. Dalam:
dalam bila pasien merupakan obesitas Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed.
dengan risiko tinggi dan risiko absolut V. Jakarta. 2006. Hal. 1973-83.
2. Jika sudah dipercaya melakukan modifikasi 3. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.
gaya hidup (diet yang telah diperbaiki, Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter
aktifitas fisik yang meningkat dan Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI.
perubahan perilaku) selama 3 bulan, 200. (Trisna, 2008)
dantidak memberikanrespon terhadap
penurunan
2. TIROTOKSIKOSIS
No. ICPC-2: T85 Hipertiroidisme/tirotoksikosis
No. ICD-10: E05.9 Tirotoksikosis unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Janin yang dikandungnya dapat mengalami
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis tirotoksikosis pula, dan keadaaan hepertiroid
akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar pada janin dapat menyebabkan retardasi
disirkulasi. Data Nasional dalam Riskesdas 2013, pertumbuhanm kraniosinostosis, bahkan
hipertiroid di Indonesia, terdiagnosis dokter kematian janin.
sebesar 0,4%. Prevalensi hipertiroid tertinggi di
Hasil Anamnesis (Subjective)
DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing
0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat Keluhan
(0,5%). Tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori,
yaitu yang berhubungan dengan hipertiroidisme Pasien dengan tirotoksikosis memiliki gejala
dan yang tidak berhubungan. antara lain:
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan Edukasi meliputi pemahaman tentang:
ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh
kadar glukosa darah, dapat diberikansampai
tetapi dapat dikontrol
dosis optimal.
2. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan. 2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada
3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah penderita misalnya olahraga, menghindari
makan. rokok, dan menjaga pola makan.
4. Penghambat glukosidase (Acarbose):
bersama makan suapanpertama. 3. Pemberian obat jangka panjang dengan
kontrol teratur setiap 2 minggu
Penunjang Penunjang
Perencanaan Makan
1. Urinalisis
2. Funduskopi Standar yang dianjurkan adalah makanan
3. Pemeriksaan fungsi ginjal dengan komposisi:
4. EKG 1. Karbohidrat 45 – 65 %
5. Xray thoraks 2. Protein 15 – 20 %
3. Lemak 20 – 25 % sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan
kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun,
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < harus tetap dilakukan.
300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Kriteria Rujukan
Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA
(Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi
jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, berikut:
diutamakan serat larut. 1. DM tipe 2 dengan komplikasi
Jumlah kalori basal per hari: 2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat
1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman
2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman Peralatan
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar Sederhana (Objective)
glukosa darah <60 mg/dl, atau kadar glukosa
Pemeriksaan Fisik
darah <80 mg/dl dengan gejala klinis..
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari 1. Pucat
penyandang diabetes melitus dan geriatri. 2. Diaphoresis/keringat dingin
3. Tekanan darah menurun
Hipoglikemia dapat terjadi karena:
4. Frekuensi denyut jantung meningkat
1. Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau 5. Penurunan kesadaran
obat hipoglikemia oral yaitu sulfonilurea. 6. Defisit neurologik fokal (refleks patologis
2. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif positif pada satu sisi tubuh) sesaat.
menurun; gagal ginjal kronik,dan paska
Pemeriksaan Penunjang
persalinan.
3. Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori Kadar glukosa darah sewaktu
atau waktu makan tidak tepat.
4. Kegiatan jasmani berlebihan. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Anoreksia, Pneumonia berat, Anemia berat, • Tenaga kesehatan atau kader melakukan
Infeksi, Dehidrasi berat, Gangguan elektrolit, kunjungan rumah pada anak gizi buruk
Hipoglikemi, Hipotermi, Hiperpireksia, rawat jalan, bila:
Penurunan kesadaran - Berat badan anak sampai pada minggu
ketiga tidaknaik atau turundibandingkan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
dengan berat badanpada saat masuk
Penatalaksanaan dan Target Terapi (kecuali anak dengan edema).
Gambar 12.4. Langkah penanganan gizi buruk - Anak yang 2 kali berturut-turut tidak
terbagi dalam fase stabilisasidan rehabilitasi datang tanpa pemberitahuan
• Kunjungan rumah bertujuan untuk
menggali permasalahan yang dihadapi
keluarga termasuk kepatuhan mengonsumsi
makanan untuk pemulihan gizi dan
memberikan nasihat sesuai dengan
masalah yang dihadapi.
• Dalam melakukan kunjungan, tenaga
kesehatan membawa kartu status, cheklist
kunjungan rumah, formulir rujukan,
makanan untuk pemulihan gizi dan bahan
penyuluhan.
• Hasil kunjungan dicatat pada checklist
kunjungan dan kartu status. Bagi anak yang
harus dirujuk, tenaga kesehatan mengisi
formulir rujukan.
Penanganan pasien dengan MEP, yaitu:
Konseling dan Edukasi
• Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak
• Menyampaikan informasi kepada ibu/
gizi buruk dengan dosis sesuai umur pada
pengasuhtentang hasil penilaian
saat pertama kali ditemukan
pertumbuhan anak.
• Makanan untuk pemulihan gizi dapat
• Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab
berupa
kurang gizi.
makanan lokal atau pabrikan.
• Memberi nasihat sesuai penyebab kurang
o Jenis pemberian ada 3 pilihan: makanan
gizi.
therapeutic atau gizi siap saji, F100 atau
makanan lokal dengan densitas energi
• Memberikan anjuran pemberian makan
sesuai umur dan kondisi anak
dan cara menyiapkan makan formula,
melaksanakan anjuran makan dan memilih
atau mengganti makanan.
Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi komplikasi, seperti: sepsis,
dehidrasi berat, anemia berat, penurunan
kesadaran
2. Bila terdapat penyakit komorbid, seperti:
pneumonia berat
Peralatan
1. Alat pemeriksaan gula darah sederhana
2. Alat pengukur berat dan tinggi badan anak
serta dewasa
3. Skala antropometri
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk
ad vitam, sedangkan untuk quo ad fungsionam
dan sanationam umumnya dubia ad malam.
Referensi
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.
2. Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk.
Kemkes RI. Jakarta. 2011.
M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH
Faktor risiko PNA serupa dengan faktor risiko a. Piuria, yaitu jumlah leukosit lebih
penyakit infeksi saluran kemih lainnya, yaitu: dari 5 – 10 / lapang pandang besar
(LPB) pada pemeriksaan mikroskopik
1. Lebih sering terjadi pada wanita usia subur tanpa / dengan pewarnaan Gram, atau
2. Sangat jarang terjadi pada pria berusia leukosit esterase (LE) yang positif pada
<50 tahun, kecuali homoseksual pemeriksaan dengan dip-stick.
3. Koitus per rektal
4. HIV/AIDS b. Silinder leukosit, yang merupakan
5. adanya penyakit obstruktif urologi yang tanda patognomonik dari PNA, yang
mendasari misalnya tumor, striktur, batu dapat ditemukan pada pemeriksaan
saluran kemih, dan pembesaran prostat mikroskopik tanpa/dengan pewarnaan
6. Pada anak-anakdapat terjadi bila terdapat Gram.
refluks vesikoureteral c. Hematuria, yang umumnya mikroskopik,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang namun dapat pula gross. Hematuria
Sederhana (Objective) biasanya muncul pada fase akut dari
PNA. Bila hematuria terus terjadi
walaupun infeksi telah tertangani, perlu b. Tatalaksana kelainan obstruktif yang
dipikirkan penyakit lain, seperti batu ada
saluran kemih, tumor, atau c. Menjaga kecukupan hidrasi
tuberkulosis.
2. Medikamentosa
d. Bakteriuria bermakna,yaitu > 104
koloni/ ml, yang nampak lewat a. Antinbiotika empiris
pemeriksaan mikroskopik tanpa Antibiotika parenteral:
/dengan pewarnaan Gram. Bakteriuria
juga dapat dideteksi lewat adanya nitrit Pilihan antibiotik parenteral untuk
pada pemeriksaan dengan dip-stick. pielonefritis akut nonkomplikata
antara lain ceftriaxone, cefepime, dan
2. Kultur urin dan tes sentifitas-resistensi fluorokuinolon (ciprofloxacin dan
antibiotik levofloxacin). Jika dicurigai infeksi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk enterococci berdasarkan pewarnaan
mengetahui etiologi dan sebagai pedoman Gram yang menunjukkan basil Gram
pemberian antibiotik dan dilakukan positif,maka ampisillin yang
di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dikombinasi dengan Gentamisin,
lanjutan. Ampicillin Sulbaktam, dan Piperacillin
Tazobactam merupakan pilihan empiris
3. Darah perifer dan hitung jenis spektrum luas yang baik.Terapi
antibiotika parenteral pada pasien
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya dengan pielonefritis akut
leukositosis dengan predominansi neutrofil. nonkomplikata dapat diganti dengan
4. Kultur darah obat oral setelah 24-48 jam, walaupun
dapat diperpanjang jika gejala menetap.
Bakteremia terjadi pada sekitar 33% kasus,
sehingga pada kondisi tertentu Antibiotika oral:
pemeriksaan ini juga dapat dilakukan.
Antibiotik oral empirik awal untuk
5. Foto polos abdomen (BNO) pasien rawat jalan adalah
fluorokuinolon untuk basil Gram
Pemeriksaan ini dilakukan untuk negatif. Untuk dugaan penyebab
menyingkirkan adanya obstruksi atau batu lainnya dapat digunakan Trimetoprim-
di saluran kemih. sulfametoxazole. Jika dicurigai
Penegakan Diagnosis (Assessment) enterococcus, dapat diberikan
Amoxicilin sampai didapatkan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, organisme penyebab. Sefalosporin
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang generasi kedua atau ketiga juga efektif,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. walaupun data yang mendukung
masih sedikit. Terapi pyeolnefritis
Diagnosis banding: akut nonkomplikata dapat diberikan
Uretritis akut, Sistitis akut, Akut abdomen, selama 7 hari untuk gejala klinis yang
Appendisitis, Prostatitis bakterial akut, ringan dan sedang dengan respons
Servisitis, Endometritis, Pelvic inflammatory terapi yang baik. Pada kasus yang
disease menetap atau berulang, kultur harus
dilakukan. Infeksi berulang ataupun
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) menetap diobati dengan antibiotik yang
1. Non-medikamentosa terbukti sensitif selama 7 sampai 14
hari. Penggunaan antibiotik selanjutnya
a. Identifikasi dan meminimalkan faktor
risiko
dapat disesuaikan dengan hasil tes Peralatan
sensitifitas dan resistensi.
1. Pot urin
b. Simtomatik 2. Urine dip-stick
3. Mikroskop
Obat simtomatik dapat diberikan sesuai 4. Object glass, cover glass
dengan gejala klinik yang dialami
5. Pewarna Gram
pasien, misalnya: analgetik-antipiretik,
dan anti- emetik. Prognosis
Konseling dan Edukasi 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
1. Dokter perlu menjelaskan mengenai
3. Ad sanationam : Bonam
penyakit, faktor risiko, dan cara-cara
pencegahan berulangnya PNA. Referensi
2. Pasien seksual aktif dianjurkan untuk 1. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines
berkemih dan membersihkan organ Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan
kelamin segera setelah koitus. Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta:
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi
3. Pada pasien yang gelisah, dokter dapat
Indonesia. (Achmad, 2007)
memberikan assurance bahwa PNA non-
komplikata dapat ditangani sepenuhnya 2. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical
dgn antibiotik yang tepat. Practice Guidelines for the Treatment
of Acute Uncomplicated Cystitis and
Rencana Tindak Lanjut
Pyelonephritis in Women : A 2010
1. Apabila respons klinik buruk setelah 48 – 72 Update by the Infectious Diseases
jam terapi, dilakukan re-evaluasi adanya Society of America and the European
faktor-faktor pencetus komplikasi dan Society for Microbiology and Infectious
efektifitas obat. Diseases. Clinical Infectious Disease, 52,
pp.103–120 (Colgan, 2011)
2. Urinalisis dengan dip-stick urin dilakukan
pasca pengobatan untuk menilai kondisi 3. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections,
bebas infeksi. Pyelonephritis, and Prostatitis. In A. s Fauci
et al., eds. Harrison’s Principles of Internal
Kriteria Rujukan Medicine. New York: McGraw-Hill, pp.
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan 1820– 1825. (Stamm, 2008)
tingkat pertama perlu merujuk ke layanan
tingkat lanjutan pada kondisi-kondisi berikut:
1. Ditemukan tanda-tanda urosepsis pada
pasien.
2. Pasien tidak menunjukkan respons
yang positif terhadap pengobatan yang
diberikan.
3. Terdapat kecurigaan adanya penyakit
urologi yang mendasari, misalnya: batu
saluran kemih, striktur, atau tumor.
3. FIMOSIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: Y81 Phimosis
: N47 Phimosis
Tingkat Kemampuan 4A
4. PARAFIMOSIS
No. ICPC-2: Y81. Paraphimosis No. ICD-10: N47.2 Paraphimosis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Parafimosis merupakan kegawatdaruratan Sederhana (Objective)
karena dapat mengakibatkan terjadinya
ganggren yang diakibatkan preputium penis Pemeriksaan Fisik
yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak 1. Preputium tertarik ke belakang glans
dapat dikembalikan pada kondisi semula dan penis dan tidak dapat dikembalikan ke
timbul jeratan pada penis di belakang sulkus posisi semula
koronarius. 2. Terjadi eritema dan edema pada glans penis
3. Nyeri
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Jika terjadi nekrosis glans penis berubah
Keluhan warna menjadi biru hingga kehitaman
1. Pembengkakan pada penis
Penegakan Diagnosis (Assessment)
2. Nyeri pada penis
Diagnosis Klinis
Faktor Risiko
Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis
Penarikan berlebihan kulit preputium
(forceful retraction) pada laki- laki yang belum dan peneriksaan fisik
disirkumsisi misalnya pada pemasangan Diagnosis Banding
kateter.
Angioedema, Balanitis, Penile hematoma
Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan segera dapat terjadi
ganggren
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Reposisi secara manual dengan memijat
glans selama 3-5 menit.
Diharapkan edema berkurang dan secara
perlahan preputium dapat dikembalikan
pada tempatnya.
2. Dilakukan dorsum insisi pada jeratan
Rencana Tindak Lanjut
Dianjurkan untuk melakukan sirkumsisi.
Konseling dan Edukasi
Setelah penanganan kedaruratan disarankan
untuk dilakukan tindakan sirkumsisi karena
kondisi parafimosis tersebut dapat berulang.
Kriteria Rujukan
Bila terjadi tanda-tanda nekrotik segera rujuk ke
layanan sekunder.
Peralatan
Set bedah minor
Prognosis
Prognosis bonam
Referensi
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran
kemih dan alat kelamin lelaki. Buku Ajar Imu
Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri
K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
Circumcision. The Scientific World Journal.
2011. 11, 289–301.
3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in
Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke
P, Kocvara R, Nijman R, RadmayrChr, dan
Stein
R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology.
European Association of Urology. 2013. hlm
9-10
N. KESEHATAN WANITA
1. KEHAMILAN NORMAL
No. ICPC-2 : W90 Uncomplicated labour/delivery livebirth
No. ICD-10 : O80.9 Single spontaneous delivery, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
a. Diabetes Mellitus/ kencing manis
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai b. Penyakit jantung
lahir. Lama kehamilan normal 40 minggu c. Penyakit ginjal
dihitung dari hari pertama haid terahir (HPHT). d. Penyalahgunaan obat
Untuk menghindari terjadinya komplikasi pada e. Konsumsi rokok, alkohol dan bahan
kehamilan dan persalinan, maka setiap ibu adiktif lainnya
hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan f. Penyakit menular TB, malaria, HIV/AIDS
secara rutin minimal 4 kali kunjungan selama dan penyakit menular seksual,
masa kehamilan. g. Penyakit kanker
Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
1. Haid yang terhenti
2. Mual dan muntah pada pagi hari Pemeriksaan Fisik
3. Ngidam
Periksa tanda vital ibu (tekanan darah, nadi,
4. Sering buang air kecil
suhu, frekuensi nafas), ukur berat badan, tinggi
5. Pengerasan dan pembesaran payudara
badan, serta lingkar lengan atas (LLA) pada
6. Puting susu lebih hitam
setiap kedatangan.
Faktor Risiko
Pada trimester 1
Pada kehamilan perlu diwaspadai hal-hal di
bawah ini: 1. LLA> 33 cm, maka diduga obesitas, memiliki
risiko preeklampsia dan diabetes maternal,
1. Bila pada kehamilan sebelumnya terdapat memiliki risiko melahirkan bayi dengan
riwayat obstetrik sebagai berikut: berat badan lebih
a. Lahir mati atau bayi mati umur < 28 2. LLA< 23 cm, maka diduga undernutrisi atau
hari memiliki penyakit kronis, biasanya memiliki
b. > 3 abortus spontan bayi yang lebih kecil dari ukuran normal
c. Berat badan bayi < 2500 gram
3. Keadaan muka diperhatikan adanya
d. Berat badan bayi > 4500 gram
edema palpebra atau pucat, mata dan
e. Dirawat di rumah sakit karena
konjungtiva dapat pucat,kebersihan mulut
hipertensi, preeklampsia atau
dan gigi dapat terjadi karies dan periksa
eklampsia
kemungkinan pembesaran kelenjar tiroid.
f. Operasi pada saluran reproduksi
khususnya operasi seksiosesaria 4. Pemeriksaan payudara: puting susu dan
2. Bila pada kehamilan saat ini: areola menjadi lebih menghitam.
a. Usia ibu di bawah 16 tahun atau di atas 5. Pemeriksaan dada:perhatikan suara paru
35 tahun dan bunyi jantung ibu
b. Ibu memiliki rhesus (-)
6. Pemeriksaan ekstremitas: perhatikan
c. Ada keluhanperdarahan vagina
edema dan varises
3. Bila ibu memiliki salah satu masalah
kesehatan di bawah ini:
Pemeriksaan obstetrik : trimester 1 terutama untuk daerah endemik
untuk skrining faktor risiko.
1. Abdomen:
a. Observasi adanya bekas operasi. 5. USG sesuai indikasi.
b. Mengukur tinggi fundus uteri. Penegakan Diagnostik (Assessment)
c. Melakukan palpasi dengan manuever
Leopold I-IV. Diagnosis Klinis
d. Mendengarkan bunyi jantung janin
Diagnosisi ditegakkan dengan anamnesis,
(120-160x/menit).
pemeriksaan fisik/obstetrik, dan pemeriksaan
2. Vulva/vagina
penunjang.
a. Observasi varises, kondilomata,
edema, haemorhoid atau abnormalitas Tanda tak pasti kehamilan: Tes kehamilan
lainnya. menunjukkan HCG (+)
b. Pemeriksaan vaginal toucher:
memperhatikan tanda-tanda tumor. Tanda pasti kehamilan:
c. Pemeriksaan inspekulo untuk 1. Bunyi jantung janin/BJJ (bila umur
memeriksa serviks,tanda-tanda infeksi, kehamilan/UK> 8 minggu) dengan BJJ
ada/tidaknya cairan keluar dari osteum normal 120-160 kali per menit,
uteri.
2. Gerakan janin (bila UK> 12 minggu)
Tabel 14.1 Tinggi fundus sesuai usia kehamilan 3. Bila ditemukan adanya janin pada
pemeriksaan Ultrasonografi(USG) dan
pemeriksaan obstetrik.
Kehamilan normal apabila memenuhi kriteria
dibawah ini:
1. Keadaan umum baik
2. Tekanan darah <140/90 mmHg
3. Pertambahan berat badan sesuai minimal 8
kg selama kehamilan (1 kg perbulan) atau
sesuai Indeks Masa Tubuh (IMT) ibu
4. Edema hanya pada ekstremitas
5. BJJ =120-160 x/menit
Pemeriksaan Penunjang
6. Gerakan janin dapat dirasakan setelah usia
1. Tes kehamilan menunjukkan HCG (+) 18 -20 minggu hingga melahirkan
2. Pemeriksaan darah: Golongan darah ABO 7. Ukuran uterus sesuai umur kehamilan
dan Rhesus pada trimester 1, Hb dilakukan
8. Pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam
pada trimester 1 dan 3, kecuali bila tampak
adanya tanda-tanda anemia berat. batas normal
9. Tidak ada riwayat kelainan obstetrik.
3. Pemeriksaan lain: kadar glukosa darah dan
protein urin sesuai indikasi. Diagnosis Banding
4. Pada ibu hamil dengan faktor risiko,
1. Kehamilan palsu
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan:
2. Tumor kandungan
BTA, TORCH (toxoplasma, rubella,
3. Kista ovarium
cytomegalo virus, herpes and others),
4. Hematometra
sifilis, malaria danHIV dilakukan pada
5. Kandung kemih yang penuh
Tabel 14.2 Tatalaksana Pemeriksaan dan 2. Memberikan nasihat dan petunjuk yang
tindakan pada kehamilan pertrimester berkaitan dengan kehamilan, persalinan,
kala nifas dan laktasi.
3. Tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai:
sakit kepala lebih dari biasa, perdarahan
per vaginam, gangguan penglihatan,
pembengkakan pada wajah/tangan, nyeri
abdomen (epigastrium), mual dan muntah
berlebihan, demam, janin tidak bergerak
sebanyak biasanya.
4. Pemberian makanan bayi, air susu ibu (ASI)
eksklusif, dan inisiasi menyusu dini (IMD).
5. Penyakit yang dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan janin misalnya
hipertensi, TBC, HIV, serta infeksi menular
seksual lainnya.
6. Perlunya menghentikan kebiasaan yang
beresiko bagi kesehatan, seperti merokok
dan minum alkohol.
7. Program KB terutama penggunaan
kontrasepsi pascasalin.
8. Minum cukup cairan.
9. Peningkatan konsumsi makanan hingga 300
kalori/hari dari menu seimbang. Contoh: asi
tim dari 4 sendok makan beras, ½ pasang
hati ayam, 1 potong tahu, wortel parut,
bayam, 1 sendok teh minyak goreng, dan
400 ml air.
10. Latihan fisik normal tidak berlebihan,
istirahat jika lelah.
11. Ajarkan metoda mudah untuk menghitung
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) gerakan janin dalam 12 jam, misalnya
Penatalaksanaan dengan menggunakan karet gelang 10 buah
pada pagi hari pukul 08.00 yang dilepaskan
Non Medikamentosa satu per satu saat ada gerakan janin. Bila
pada pukul 20.00, karet gelang habis, maka
1. Memberikan jadwal pemeriksaan berkala
gerakan janin baik.
kepada calon ibu selama masa kehamilan
Medikamentosa
Tabel 14.3 Kunjungan pada pemeriksaan
antenatal 1. Memberikan zat besi dan asam folat (besi
60 mg/hari dan folat 250 mikogram 1-2 kali/
hari), bila Hb<7,0 gr/dl dosis ditingkatkan
menjadi dua kali. Apabila dalam follow
up selama 1 bulan tidak ada perbaikan,
dapatdipikirkan kemungkinan penyakit
lain (talasemia, infeksi cacing tambang,
penyakit kronis TBC)
2. Memberikanimunisasi TT (Tetanus Toxoid) diperlukan rujukan, dukungan biaya.
apabila pasien memiliki risiko terjadinya 2. Pentingnya peran suami dan keluarga
tetanus pada proses melahirkan dan buku selama kehamilan dan persalinan.
catatan kehamilan. 3. Jika ibu merasakan tanda – tanda bahaya
kehamilan, harus di waspadai dan segera
Pada Ibu yang riwayat imunisasi tidak
mengunjungi pelayanan kesehatan
diketahui, pemberian sesuai dengan tabel di
terdekat. Tanda bahaya yang wajib
berikut ini.
diwaspadai :
Tabel 14.4 Pemberian TT untuk ibu yang belum a. Sakit kepala yang tidak biasanya
pernah imunisasi atau tidak mengetahui status b. Keluarnya darah dari jalan lahir
imunisasinya c. Terjadi gangguan penglihatan
d. Pembengkakan pada wajah / tangan
e. Mual dan muntah yang berlebihan
f. Demam
g. Gerakan janin yang tidak biasanya
atau cenderung tidak bergerak
4. Keluarga diajak untuk mendukung ibu hamil
secara psikologis maupun finansial, bila
memungkinkan siapkan suami siaga
5. Dukung intake nutrisi yang seimbang bagi
ibu hamil.
6. Dukung ibu hamil untuk menghentikan
Dosis booster dapat diberikan pada ibu pemberian ASI bila masih menyusui.
yang sudah pernah diimunisasi. Pemberian 7. Dukung memberikan ASI eksklusif untuk
dosis booster 0,5 ml IM dan disesuaikan bayi yang nanti dilahirkan.
degan jumlah vaksinani yang telah diterima 8. Siapkan keluarga untuk dapat menentukan
sebelumnya. Sesuai dengan tabel di berikut ini. kemana ibu hamil harus dibawa bila ada
perdarahan, perut dan/atau kepala terasa
Tabel 14.5 Pemberian TT untuk ibu yang sudah
sangat nyeri, dan tanda-tanda bahaya
pernah imunisasi
lainnya, tulis dalam buku pemeriksaan
alamat rujukan yang dapat dituju bila
diperlukan.
9. Dengan pasangan ibu hamil didiskusikan
mengenai aktifitas seksual selama
kehamilan. Aktifitas seksual biasa dapat
dilakukan selama kehamilan, posisi dapat
bervariasi sesuai pertumbuhan janin dan
pembesaran perut. Kalau ibu hamil merasa
tidak nyaman ketika melakukan aktifitas
seksual, sebaiknya dihentikan. Aktifitas
Konseling dan Edukasi seksual tidak dianjurkan pada keadaan:
a. riwayat melahirkan prematur
1. Persiapan persalinan, meliputi: siapa yang b. riwayat abortus
akan menolong persalinan, dimana akan c. perdarahan vagina atau keluar duhtubuh
melahirkan, siapa yang akan membantu dan d. plasenta previa atau plasenta letak
menemani dalam persalinan, kemungkinan rendah
kesiapan donor darah bila timbul e. serviks inkompeten
permasalahan, metode transportasi bila
Peralatan Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
trimester 1 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Alat ukur tinggi badan dan berat badan
2. Meteran 1. hiperemesis
3. Laenec atau Doppler 2. perdarahan per vaginam atau spotting
4. Tempat tidur periksa 3. trauma
5. Laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan tes kehamilan, darah rutin, Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
urinalisa dan golongan darah trimester 2 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
6. Buku catatan pemeriksaan 1. Gejala yang tidak diharapkan
7. Buku pegangan ibu hamil 2. Perdarahan pervaginam atau spotting
Kriteria Rujukan 3. Hb selalu berada di bawah 7 gr/dl
4. Gejala preeklampsia, hipertensi, proteinuria
Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan 5. Diduga adanya fetal growth retardation
trimester 1 atau 2 bila ditemukan keadaan di (gangguan pertumbuhan janin)
bawah ini: 6. Ibu tidak merasakan gerakan bayi
Tabel 14.6 Kriteria rujukan ibu hamil Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
trimester 3 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Sama dengan keadaan tanda bahaya pada
semester 2 ditambah
2. Tekanan darah di atas 130 mmHg
3. Diduga kembar atau lebih
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
2013 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
2. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H.
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2010(Prawi rohardjo, et al.,
2010)
2. HIPEREMESIS GRAVIDARUM (MUAL DAN MUNTAH PADA KEHAMILAN)
No. ICPC-2: W05 Pregnancy vomiting/nausea No ICD-10: O21.0 Mild hyperemis gravidarum
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik pada Sederhana(Objective)
kehamilan di atas 20 minggu yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon Pemeriksaan Fisik
maternal terhadap adanya inflamasi spesifik 1. Pada pre-eklampsia ringan:
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. a. Tekanan darah 140/90 mmHg pada usia
Tanda utama penyakit ini adanya hipertensi dan kehamilan > 20 minggu
proteinuria. Pre- eklampsia merupakan masalah b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria
kedokteran yang serius dan memiliki tingkat +1 atau pemeriksaan protein kuantitatif
komplesitas yang tinggi. Besarnya masalah ini menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam
bukan hanya karena pre-eklampsia berdampak 2. Pada pre-eklampsia berat:
pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun a. Tekanan darah > 160/110 mmHg pada
juga menimbulkan masalah pasca-persalinan. usia kehamilan > 20 minggu
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria
Hasil Anamnesis (Subjective) +2 atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil > 5g/24 jam
Keluhan
c. Atau disertai keterlibatan organ lain:
1. Pusing dan nyeri kepala • Trombositopenia (<100.000
2. Nyeri ulu hati sel/uL), hemolisis mikroangiopati
3. Pandangan kurang jelas • Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri
4. Mual hingga muntah abdomen kuadran kanan atas
• Sakit kepala, skotoma penglihatan
Faktor Risiko • Pertumbuhan janin terhambat,
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi oligohidroamnion
menyebabkan penyakit mikrovaskular • Edema paru atau gagal jantung
(antaralain : diabetes melitus, hipertensi kongestif
kronik, gangguanpembuluhdarah) • Oligouria (<500cc/24 jam), kreatinin
2. Sindrom antibody antiphospholipid (APS) > 1.2 mg/dl
3. Nefropati Penegakan Diagnostik (Assessment)
4. Faktor risiko lainnya dihubungkan dengan
kehamilan itu sendiri, dan faktor spesifik Diagnosis klinis
dari ibu atau janin.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
a. Umur > 40 tahun
gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
b. Nullipara dan Kehamilan multipel
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
5. Obesitas sebelum hamil
6. Riwayat keluarga pre-eklampsia dan Diagnosis Banding
eklampsia
7. Riwayat pre-eklampsia pada kehamilan Hipertensi gestasional, Hipertensi Kronik,
sebelumnya Hipertensi Kronik dengan superimposed
preeklampsia
Komplikasi Gambar 14. 1 Penatalaksanaan Pemberian
dosis awal dan rumatan MgSO4 pada
Sindrome HELLP, pertumbuhan janin intra uterin pasien pre-eklampsia
yang terhambat, edema paru, kematian janin,
koma, kematian ibu
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Non Medikamentosa
1. Pre-eklampsia ringan
a. Dapat di rawat jalan dengan
pengawasan dan kunjungan antenatal
yang lebih sering.
b. Dianjurkan untuk banyak istirhat
dengan baring atau tidur miring.
Namun tidak mutlak selalu tirah baring
c. Diet dengan cukup protein dengan
rendah karbohidrat, lemak dan garam
secukupnya.
d. Pemantuan fungsi ginjal, fungsi hati,
dan protenuria berkala
2. Pre-eklampsia berat
Segera melakukan perencanaan untuk
rujukan segera ke Rumah Sakit dan
menghindari terjadi kejang dengan 2. Rawat jalan (ambulatoir)
pemberian MgSO4. a. Ibu hamil banyak istirahat (berbaring/
tidur miring)
Medikamentosa b. Konsumsi susu dan air buah
1. Pantau keadaan klinis ibu tiap kunjungan c. Antihipertensi
antenatal: tekanan darah, berat badan, • Ibu dengan hipertensi berat selama
tinggi badan, indeks masa tubuh, ukuran kehamilan perlu mendapatkan terapi
uterus dan gerakan janin. antihipertensi.
• Pilihan antihipertensi didasarkan
Tabel 14.8 Obat Antihipertensi untuk ibu hamil terutama pada pengalaman dokter
dan ketersediaan obat.
Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan
1. Pada ibu dengan preeklampsi berat dengan
janin sudah viable namun usia kehamilan
belum mencapai 34 minggu, manajemen
ekspektan dianjurkan, asalkan tidak
terdapat kontraindikasi.
2. Pada ibu dengan preeklampsi berat, dimana
usia kehamilan 34-37 minggu, manajemen
ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak
Antihipertensi golongan ACE Inhibitor (misalnya
terdapat hipertensi yang tidak terkontrol,
kaptopril) , ARB, (misalnya Valsartan) dan
disfungsi organ ibu, dan gawat janin.
klorotiazid dikontraindikasikan pada ibu hamil.
3. Pada ibu dengan preeklampsi berat yang
kehamilannya sudah aterm, persalinan dini
dianjurkan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
4. Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau 2013 (Kementerian Kesehatan Republik
hipertensi gestasional ringan yang sudah Indonesia, 2013)
aterm, induksi persalinan dianjurkan.
2. Report on the national high blood
Konseling dan Edukasi pressure education program working
group on high blood pressure in pregnancy.
1. Memberikan informasi mengenai keadaan AJOG.2000: Vol.183. (National High Blood
kesehatan ibu hamil dengan tekanan darah Pressure Education Program Working
yang tinggi. Group on High Blood Pressure in Pregnancy,
2. Melakukan edukasi terhadapa pasien, 2000)
suami dan keluarga jika menemukan gejala
atau keluhan dari ibu hamil segera 3. Lana, K. Wagner, M.D. Diagnosis and
memberitahu petugas kesehatan atau management of pre- eklampsia. The
langsung ke pelayanan kesehatan American Academy of Family Physicians.
3. Sebelum pemberian MgSO4, pasien terlebih 2004 Dec 15; 70 (12): 2317-2324).(Lana &
dulu diberitahu akan mengalami rasa panas Wagner, 2004)
dengan pemberian obat tersebut.
4. Suami dan keluarga pasien tetap diberi 4. Cunningham, F.G. et.al. Hypertensive
motivasi untuk melakukan pendampingan Disorder in Pregnancy.Williams Obstetrics.
terhadap ibu hamil selama proses rujukan 21st Ed. Prentice Hall International Inc.
Connecticut: Appleton and Lange.
Kriteria Rujukan 2001; p. 653 -694.(Cunningham, et al.,
2001)
1. Rujuk bila ada satu atau lebih gejala
dan tanda-tanda preeklampsia berat ke 5. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
fasilitas pelayanan kesehatan sekunder. T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
2. Penanganan kegawatdaruratan harus di Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
lakukan menjadi utama sebelum dan cetakan ketiga. Jakarta :PT Bina Pustaka
selama proses rujukan hingga ke Pelayanan Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 550-554.
Kesehatan sekunder. (Prawirohardjo, et al., 2010)
Peralatan 6. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis
1. Doppler atau Laenec dan Tata Laksana Pre-eklampsia. Jakarta:
2. Palu Patella Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Obat-obat Antihipertensi (Kementerian Kesehatan Republik
4. Laboratorium sederhana untuk Indonesia, 2013)
pemeriksaan darah rutin dan urinalisa.
5. Larutan MgSO4 40%
6. Larutan Ca Glukonas
Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam baik
bagi ibu maupun janin.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
5. EKLAMPSI
No. ICPC-2
: W81 Toxaemia of pregnancy
No. ICD-10
: O15.9 Eclampsia, unspecified as to time period
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
3. Riwayat preeklampsia ringan dan berat
Eklampsia merupakan kasus akut pada dalam kehamilan sebelumnya.
penderita pre-eklampsia, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan atau koma. Sama Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
halnya dengan pre-eklampsia, eklampsia dapat Sederhana(Objective)
timbul pada ante, intra, dan post partum. Pemeriksaan Fisik
Eklampsia post partum umumnya hanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama setelah 1. Pemeriksaan keadaan umum: sadar atau
persalinan. 50- 60% kejadian eklampsia terjadi penurunan kesadaran Glasgow Coma Scale
dalam keadaan hamil. 30-35% kejadian dan Glasgow-Pittsburg Coma Scoring
eklampsia terjadi pada saat inpartu, dan sekitar System.
10% terjadi setelah persalinan.
2. Pada tingkat awal atau aura yang
Pada negara berkembang kejadian ini berkisar berlangsung 30 sampai 35 detik, tangan dan
0,3-0,7%. Di Indonesia Pre eklampsia dan kelopak mata bergetar, mata terbuka
eklampsia penyebab kematian ibu berkisar 15- dengan pandangan kosong.
25%, sedangkan 45-50% menjadi penyebab
3. Tahap selanjutnya timbul kejang
kematian bayi.
4. Pemeriksaan tanda vital
Hasil Anamnesis (Subjective)
5. Adanya peningkatan tekanan darah diastol
Keluhan
>110 mmHg
Kejang yang diawali dengan gejala-gejala
6. Sianosis
prodromal eklampsia, antara lain:
7. Skotoma penglihatan
1. Nyeri kepala hebat
2. Gangguan penglihatan 8. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda
3. Muntah-muntah edema paru dan atau gagal jantung
4. Nyeri uluhati atau abdomen bagian atas
Pemeriksaan Penunjang
5. Kenaikan progresif tekanan darah
Faktor Risiko Dari pemeriksaan urinalisa didapatkan
proteinuria ≥ 2+
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi
menyebabkan penyakit mikrovaskular Penegakan Diagnostik (Assessment)
(antara lain: diabetes melitus, hipertensi Diagnosis Klinis
kronik, gangguan pembuluh darah dan
jaringan ikat) Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
2. Sindrom antibody antiphospholipid, dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
nefropati. Faktor risiko lainya dihubungkan Diagnosis Banding
dengan kehamilan itu sendiri, dan faktor
spesifik dari ibu atau ayah janin. Kejang pada eklampsia harus dipikirkan
kemungkinan kejang akibat penyakit lain, oleh
karena itu sebagai diagnosis banding eklampsia b. ada refleks patella,
antara lain: Hipertensi, perdarahan otak, lesi di c. jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam d.
otak, Meningitis, Epilepsi , Kelainan metabolik frekuensi napas 12-16x/menit.
2. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis
1. Komplikasi pada ibu: sianosis, aspirasi ,
rumatan 6 g MgSO4 (15ml MgSO4 40%,
pendarahan otak dan kegagalan jantung,
larutkan dalam 500 ml larutan Ringer
mendadak, lidah tergigit, jatuh dari tempat
Laktat/ Ringer asetat) 28 tetes/ menit
tidur yang menyebabkan fraktur dan luka,
selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam
gangguan fungsi ginjal, perdarahan atau
setelah persalinan atau kejang berakhir.
ablasio retina, gangguan fungsi hati dan
3. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat
ikterus
diberikan seluruhnya, berikan dosis awal
2. Komplikasi pada janin: Asfiksia mendadak (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke
disebabkan spasme pembuluh darah, fasilitas kesehatan sekunder .
Solusio plasenta, persalinan prematuritas 4. Diazepam juga dapat dijadikan alternatif
pilihan dengan dosis 10 mg IV selama 2
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan) menit (perlahan), namun mengingat dosis
Penatalaksanaan yang dibutuhkan sangat tinggi dan memberi
dampak pada janin, maka pemberian
Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah diazepam hanya dilakukan apabila tidak
terapi supportif untuk stabilisasi fungsi vital, tersedia MgSO4.
dengan pemantauan terhadap Airway, 5. Stabilisasi selama proses perjalanan rujukan
Breathing, Circulation (ABC). a. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam,
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
Non Medikamentosa
frekuensi pernapasan, refleks patella.
Pengelolaan Kejang b. b. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/
menit, dan/atau tidak didapatkan
1. Pemberian obat anti kejang. refleks tendon patella, danatau
2. Masukan sudap lidah ke dalam mulut terdapat oliguria (produksi urin
penderita. <0,5 ml/kg BB/jam), segera hentikan
3. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi pemberian MgSO4.
trendelenburg untuk mengurangi risiko 6. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca
aspirasi. glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
4. Katerisasi urine untuk pengukuran cairan bolus dalam 10 menit.
dan pemeriksaan proteinuria.
5. Beberapa keluarga pasien membantu untuk Kriteria Rujukan
menjaga pasien tidak terjatuh dari tempat
Eklampsia merupakan indikasi rujukan yang
tidur saat kejang timbul
wajib di lakukan.
6. Beri O2 4 - 6 liter
Peralatan
permenit. Medikamentosa
1. Oropharyngeal airway / Guedel
1. MgSO4diberikan intravena dengan dosis
2. Kateter urin
awal 4 g (10ml MgSO4 40%, larutkan dalam
3. Laboratorium sederhana untuk
10 ml akuades) secara perlahan selama 20
pemeriksaan urin (menilai kadar
menit, jika pemberian secara intravena
proteinuria).
sulit, dapat diberikan secara IM dengan
4. Larutan MgSO4 40%
dosis 5mg masing bokong kanan dan kiri.
5. Ca Glukonas
Adapun syarat pemberian MgSO4
6. Diazepam injeksi
a. tersedianya CaGlukonas10%
7. Palu
Prognosis 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Prognosis umumnya dubia ad malam baik untuk Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
ibu maupun janin. Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.
Referensi (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B.
Rachimhadhi,
T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 550-554.
(Prawirohardjo, et al., 2010)
6. ABORTUS
No. ICPC-2 No. ICD-10 No. ICPC-2 No. ICD-10
: W82 Abortion spontaneous
: O03.9 Unspecified abortion, complete, without complication
: W82 Abortion spontaneous
: O06.4 Unspecified abortion, incomplete, without complication
Tingkat Kemampuan Abortus komplit 4A Abortus inkomplit 3B Abortus insipiens 3B
8. PERSALINAN LAMA
No. ICPC-2: W92 Life birth
W93 still birth
No. ICD-10: O63.9 Long labour
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
3. Passage : panggul sempit, kelainan serviks
Persalinan lama adalah persalinan yang atau vagina, tumor
berlangsung lebih dari 18-24 jam sejak dimulai
dari tanda-tanda persalinan. 4. Gabungan : jalan lahir dari faktor-faktor di
atas
Etiologi:
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
1. Kepala janin yang besar / hidrosefalus sederhana (Objective)
2. Kembar terkunci
3. Kembar siam Pemeriksaan Fisik Patognomonis
4. Disporsi fetopelvik
1. Pada ibu:
5. Malpresentasi dan malposisi
a. Gelisah
6. Deformitas panggul karena trauma atau
b. Letih
polio
c. Suhu badan meningkat
7. Tumor daerah panggul
d. Berkeringat
8. Infeksi virus di perut atau uterus
e. Nadi cepat
9. Jaringan arut (dari sirkumsisi wanita)
f. Pernafasan cepat
Hasil Anamnesis (Subjective) g. Meteorismus
h. Bandle ring, edema vulva, oedema
Pasien datang dalam kondisi fase persalinan serviks, cairan ketuban berbau terdapat
Kala 1 atau Kala 2 dengan status: kelainan mekoneum
pembukaan serviks atau partus macet. 2. Pada janin:
Faktor Risiko: a. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak
teratur, bahkan negatif
(“Po, Pa, Pa”atau gabungan 3 P ) b. Air ketuban terdapat mekoneum kental
kehijau-hijauan, cairan berbau
1. Power : His tidak adekuat (his dengan
c. Caput succedenium yang besar
frekuensi <3x/10 menit dan
d. Moulage kepala yang hebat
2. Passenger : Durasi setiap kontraksinya <40 e. Kematian janin dalam kandungan
detik) malpresentasi, malposisi, janin besar f. Kematian janin intrapartal
Kelainan Pembukaan Serviks Faktor Predisposisi
1. Persalinan Lama 1. Paritas dan interval kelahiran
2. Ketuban pecah dini
a. Nulipara:
• Kemajuan pembukaan (dilatasi) Pemeriksaan penunjang :
serviks pada fase aktif< 1,2 cm/jam 1. Partograf
• Kemajuan turunnya bagian terendah 2. Doppler
< 1 cm/jam 3. Urin
4. Darah tepi lengkap
b. Multipara:
Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Kemajuan pembukaan (dilatasi)
serviks pada fase aktif<1,5 cm/jam Diagnosis Klinis
• Kemajuan turunnya bagian terendah Distosia pada kala I fase aktif:
<2 cm/jam
Grafik pembukaan serviks pada partograf
2. Persalinan Macet
berada di antara garis waspada dan garis
a. Nulipara : bertindak, atau sudah memotong garis
bertindak, atau
• Fase deselerasi memanjang ( > 3 jam
) Fase ekspulsi (kala II) memanjang:
• Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 Tidak ada kemajuan penurunan bagian
jam terendah janin pada persalinan kala II. Dengan
• Tidak ada penurunan bagian batasan waktu: Maksimal 2 jam untuk nullipara
terendah dan 1 jam untuk multipara, ATAU Maksimal 3
> 1 jam jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara
bila pasien menggunakan analgesia epidural
• Kegagalan penurunan bagian
terendah (Tidak ada penurunan Diagnosis Banding : -
pada fase deselerasi atau kala 2)
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
b. Multipara:
Penatalaksanaan
• Fase deselerasi memanjang > 1 jam
Motivasi pasien dalam proses persalinan dan
• Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 informasikan rencana persalinan sesuai dengan
jam perkembangan pasien.
• Tidak ada penurunan bagian
Penatalaksanaa umum
terendah
> 1 jam Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki
• Kegagalan penurunan bagian pelayanan seksio sesarea
terendah (Tidak ada penurunan Penatalaksanaan khusus
pada fase deselerasi atau kala 2)
1. Tentukan sebab terjadinya persalinan lama
Faktor Penyebab a. Power: his tidak adekuat (his dengan
1. His tidak efisien (in adekuat) frekuensi <3x/10 menit dan durasi tiap
2. Faktor janin (malpresentasi, malposisi, janin kontraksinya < 40 detik).
besar) b. Passenger: malpresentasi, malposisi,
3. Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan janin besar
serviks, vagina, tumor)
c. Passage : panggul sempit, kelainan Tabel 14.10 Kriteria diagnostik
serviks atau vagina, tumor jalan lahir penatalaksanaan distosia
2. Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab
dan situasi. Prinsip umum:
a. Lakukan augmentasi persalinan denga
oksitosin dan atau amniotomi bila
terdapat gangguan power. Pastikan
tidak ada gangguan passenger atau
passage.
b. Lakukan tindakan operatif (forsep,
vakum, atau seksio sesarea) untuk
gangguan passenger dan atau passage,
serta untuk gangguan power yang
tidak dapat diatasi dengan augmentasi
persalinan.
c. Jika ditemukan obstruksi atau CPD,
tatalaksana adalah seksio cesarea.
3. Berikan antibiotik (kombinasi ampicilin 2 g
IV tiap 6 jam dan gentamisin 5mg/kgBB tiap
24 jam) jika ditemukan: Kriteria rujukan
a. Tanda-tanda infeksi (demam, cairan Apabila tidak dapat ditangani di fasilitas
pervaginam berbau) pelayanan tingkat pertama atau apabila level
b. Atau ketuban pecah lebih dari 18 jam kompetensi SKDI dengan kriteria merujuk (<3B)
c. Usia kehamilan 37 minggu Prognosis
4. Pantau tanda gawat janin
5. Catat hasil analisis dan seluruh tindakan Prognosis untuk ad vitam adalah dubia ad
dalam rekam medis lalu jelaskan pada ibu bonam, namun ad fungsionam dan sanationam
dan keluarga hasil analisis serta rencana adalah dubia ad malam.
tindakan. Peralatan
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan : - 1. Ruang berukuran minimal 15m2
2. Tempat tidur bersalin
Komplikasi: 3. Tiang infus
4. Lampu sorot dan lampu darurat
Infeksi intrapartum, Ruptura uteri,
5. Oksigen dan maskernya
Pembentukan fistula, Cedera otot- otot dasar
6. Perlengkapan persalinan
panggul, Kaput suksedaneum, Molase kepala
7. Alat resusitasi
janin, Kematian ibu dan anak.
8. Lemari dan troli darurat
Konseling dan Edukasi 9. Partograf
10. Dopler
Dibutuhkan dukungan dari suami pasien. 11. Ambulans
Pendekatan yang dilakukan kepada keluarga
sehubungan dengan proses penyembuhan Referensi
penyakit pasien maupun pencegahan penularan 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
atau relaps penyakit ini. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2013 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
2. WHO. Managing prolonged and obstructed 3. Pedoman penyelenggaraan pelayanan
labour. Education for safe motherhood. obstetri neonatal emergensi komprehensif
2ndEd. Department of making pregnancy (PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan
safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health Republik Indonesia, 2008)
Organization, 2006)
Masalah Kesehatan
6. Pucat
Perdarahan post partum (PPP) adalah
Faktor Risiko
perdarahan yang masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan Perdarahan post partum merupakan komplikasi
lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan dari 5-8% kasus persalinan pervaginam dan 6%
salah satu penyebab kematian ibu disamping dari kasus SC.
perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.
Definisi perdarahan post partum adalah 1. Faktor risiko prenatal:
perdarahan pasca persalinan yang melebihi 500 a. Perdarahan sebelum persalinan
ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi b. Solusio plasenta
mengganggu hemodinamik ibu. Berdasarkan c. Plasenta previa
saat terjadinya, PPP dapat dibagi menjadi PPP d. Kehamilan ganda
primer dan PPP sekunder. PPP primer adalah e. Preeklampsia
perdarahan post partum yang terjadi dalam 24 f. Khorioamnionitis
jam pertama setelah persalinan dan biasanya g. Hidramnion
disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan h. IUFD
lahir, dan sisa sebagian plasenta. Sementara i. Anemia (Hb< 5,8)
PPP sekunder adalah perdarahan pervaginam j. Multiparitas
yang lebih banyak dari normal antara 24 jam k. Mioma dalam kehamilan
hingga 12minggu setelah persalinan, biasanya l. Gangguan faktor pembekuan dan
disebabkan oleh sisa plasenta. m. Riwayat perdarahan sebelumnya serta
obesitas
Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama 2. Faktor risiko saat persalinan pervaginam:
setelah bayi lahir, 68- 73% dalam satu minggu a. Kala tiga yang memanjang
setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua b. Episiotomi
minggu setelah bayi lahir. c. Distosia
Hasil Anamnesis (Subjective) d. Laserasi jaringan lunak
e. Induksi atau augmentasi persalinan
Keluhan dan gejala utama dengan oksitosin
f. Persalinan dengan bantuan alat (forseps
1. Perdarahan setelah melahirkan
atau vakum) g. Sisa plasenta, dan bayi
2. Lemah besar (>4000 gram)
3. Limbung 3. Faktor risiko perdarahan setelah SC :
4. Berkeringatdingin a. Insisi uterus klasik
5. Menggigil b. Amnionitis
c. Preeklampsia Pemeriksaan Penunjang
d. Persalinan abnormal
e. Anestesia umum 1. Pemeriksaan darah rutin: terutama untuk
f. Partus preterm dan postterm menilai kadar Hb < 8 gr%.
2. Pemeriksaan golongan darah.
Penyebab dibedakan atas: 3. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu
pembekuan darah (untuk menyingkirkan
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta penyebab gangguan pembekuan darah).
a. Hipotoni sampai atonia uteri
• Akibat anestesi Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Distensi berlebihan (gemeli,anak
besar,hidramnion) Diagnosis Klinis
• Partus lama,partus kasep Perdarahan post partum bukanlah suatu
• Partus presipitatus/partus terlalu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus
cepat dicari penyebabnya:
• Persalinan karena induksi oksitosin 1. PPP karena atonia uteri
• Multiparitas 2. PPP karena robekan jalan lahir
• Riwayat atonia sebelumnya 3. PPP karena sisa plasenta
b. Sisa plasenta 4. PPP akibat retensio plasenta
• Kotiledon atau selaput ketuban 5. PPP akibat ruptura uteri
tersisa 6. PPP akibat inversio uteri
• Plasenta susenturiata 7. Gangguan pembekuan darah
• Plasenta akreata, inkreata,
perkreata. Komplikasi
2. Perdarahan karena robekan 1. Syok
a. Episiotomi yang melebar 2. Kematian
b. Robekan pada perinium, vagina dan
serviks Tabel 14.11 Penyebab perdarahan pada post
c. Ruptura uteri partum
3. Gangguan koagulasi
a. Trombofilia
b. Sindrom HELLP
c. Pre-eklampsi
d. Solutio plasenta
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Emboli air ketuban
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Nilai tanda-tanda syok: pucat, akral dingin,
nadi cepat, tekanan darah rendah.
2. Nilai tanda-tanda vital: nadi> 100x/menit,
pernafasan hiperpnea, tekanan darah
sistolik
<90 mmHg, suhu.
Pemeriksaan obstetrik:
1. Perhatikankontraksi, letak, dan konsistensi
uterus
2. Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilai
adanya: perdarahan, keutuhan plasenta, tali
pusat, dan robekan didaerahvagina.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi,
Penatalaksanaan dan pernapasan ibu.
4. Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus,
Penatalaksanaan Awal
nyeri tekan, parut luka, dan tinggi fundus
• Segera memanggil bantuan tim uteri.
• Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan 5. Periksa jalan lahir dan area perineum untuk
pasien. melihat perdarahan dan laserasi (jika ada,
• Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan misal: robekan serviks atau robekan
penatalaksanaan syok. vagina).
6. Periksa kelengkapan plasenta dan selaput
Gambar 14. 3 Tatalaksana awal perdarahan
ketuban.
pascasalin dengan
7. Pasang kateter Folley untuk memantau
volume urin dibandingkan dengan jumlah
cairan yang masuk. Catatan: produksi urin
normal 0.5-1 ml/kgBB/jam atau sekitar 30
ml/jam)
8. Jika kadar Hb< 8 g/dl rujuk ke layanan
sekunder (dokter spesialis obgyn)
9. Jika fasilitas tersedia, ambil sampel
darah dan lakukan pemeriksaan: kadar
hemoglobin (pemeriksaan hematologi
rutin) dan penggolongan ABO.
10. Tentukan penyebab dari perdarahannya
(lihat tabel 14.11) dan lakukan tatalaksana
spesifik sesuai penyebab
Penatalaksanaan Lanjutan :
Pendekatan Tim
1. Berikan oksigen. 1. Atonia uteri
2. Pasang infus intravena dengan kanul a. Lakukan pemijatan uterus.
berukuran besar (16 atau 18) dan mulai b. Pastikan plasenta lahir lengkap.
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau c. Berikan 20-40 unit Oksitosin dalam
Ringer Laktat atau Ringer Asetat) sesuai 1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer
dengan kondisi ibu. Laktat dengan kecepatan 60
tetes/menit dan 10 unit IM.
Tabel 14.12 Jumlah cairan infus pengganti d. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam
berdasarkan perkiraan volume kehilangan 1000 ml larutanNaCl 0,9%/Ringer
darah Laktat dengan kecepatan 40
tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
e. Bila tidak tersedia Oksitosin atau
bila perdarahan tidak berhenti, berikan
Ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat),
dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM
setelah 15 menit, danpemberian 0,2
mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila
diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5
dosis (1 mg).
f. Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g
asam traneksamat IV (bolus selama 1
menit, dapat diulang setelah 30 menit). a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam
g. Lakukan pasang kondom kateter atau 1000 ml larutanNaCl 0,9% atau Ringer
kompresi bimanual internal selama 5 Laktat dengan kecepatan 60 tetes/
menit. menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus
h. Siapkan rujukanke fasilitas pelayanan oksitosin 20 unit dalam 1000 ml
kesehatan sekunder sebagai antisipasi larutanNaCl 0,9% atau Ringer Laktat
bila perdarahan tidak berhenti. dengan kecepatan 40 tetes/menit
Perlu Diingat : hingga perdarahan berhenti.
Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan b. Lakukan tarikan tali pusat terkendali.
intravena yang mengandung oksitosin. c. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak
Jangan berikan ergometrin kepada berhasil, lakukan plasenta manual
ibu dengan hipertensi berat/tidak secara hati-hati.
terkontrol, penderita sakit jantung dan d. Berikan antibiotika profilaksis dosis
penyakit pembuluh darah tepi. tunggal (Ampisilin 2 g IV DAN
Metronidazol 500 mg IV).
Gambar 14.4 Kompresi Bimanual Internal dan
e. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang
Kompresi Bimanual
lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi
5. Sisa Plasenta
a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat
dengan kecepatan 60 tetes/menit dan
10 unit IM. Lanjutkan infus Oksitosin 20
unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat dengan kecepatan
Eksternal pada atonia uteri 40m tetes/menit hingga pendarahan
2. Robekan Jalan Lahir berhenti.
Ruptura Perineum dan Robekan Dinding b. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks
Vagina terbuka) dan keluarkan bekuan darah
a. Lakukan eksplorasi untuk dan jaringan. Bila serviks hanya dapat
mengidentifikasi sumber perdarahan. dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi
b. Lakukan irigasi pada tempat luka dan sisa plasenta dengan aspirasi vakum
bersihkan dengan antiseptik. manual atau dilatasi dan kuretase.
c. Hentikan sumber perdarahan c. Berikan antibiotika profilaksis
dengan klem kemudian ikatdengan dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan
benang yang dapat diserap. Metronidazol 500 mg).
d. Lakukan penjahitan (lihat Materi Luka d. Jika perdarahan berlanjut, tata laksana
Perineum Tingkat 1 dan 2) seperti kasus atonia uteri.
e. Bila perdarahan masih berlanjut,
Inversio Uteri
berikan 1 g asamtraneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
setelah 30 menit). sekunder
3. Robekan Serviks
a. Paling sering terjadi pada bagian lateral Gangguan Pembekuan Darah
bawah kiri dankanan dari porsio 1. Pada banyak kasus kehilangan darah yang
b. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan akut, koagulopati dapat dicegah jika volume
kesehatan sekunder darah dipulihkan segera.
4. Retensio Plasenta
2. Tangani kemungkinan penyebab (solusio Referensi
plasenta,eklampsia).
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
3. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
kesehatan sekunder Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Konseling dan Edukasi
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 522-529.
1. Memberikan informasi akan keadaan ibu (Prawirohardjo, et al., 2010)
yang mengalami perdarahan pascasalin.
2. KementerianKesehatan RI dan WHO.
2. Memberikan informasi yang tepat kepada Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
suami dan keluarga ibu terhadap tindakan Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
yang akan di lakukan dalam menangani Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013
perdarahan pascasalin. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
3. Memastikan dan membantu keluarga
jika rujukan akan dilakukan.
Kriteria Rujukan
1. Pada kasus perdarahan pervaginam >
500 ml setelah persalinan berpotensi
mengakibatkan syok dan merupakan
indikasi rujukan.
2. 2. Penanganan kegawatdaruratan sebelum
merujuk dan mempertahankan ibu dalam
keadaan stabil selama proses rujukan
merupakan hal penting diperhatikan.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah rutindan golongan
darah.
2. Inspekulo
3. USG
4. Sarung tangan steril
5. Hecting set
6. Benang catgut
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam,
tergantung dari jumlah perdarahan dan
kecepatan penatalaksanaan yang di lakukan.
10. RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1-2
No. ICPC-2 No. ICD-10 : W92 Complicated labour/delivery livebirth
: O70.0 First degree perineal laceration during delivery
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Ruptur perineum adalah suatu kondisi Sederhana (Objective)
robeknya perineum yang terjadi pada
Pemeriksaan fisik
persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari
85% wanita yang melahirkan pervaginam Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:
mengalami ruptur perineum spontan, yang
60%- 70% di antaranya membutuhkan 1. Robekan pada perineum,
penjahitan (Sleep dkk, 1984; McCandlish 2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang
dkk,1998). Angka morbiditas meningkat seiring bersifat merembes,
dengan peningkatan derajat ruptur. 3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai
derajat robekan perineum
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang: -
Gejala Klinis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Perdarahan pervaginam
Diagnosis Klinis
Etiologi dan Faktor Risiko
Diagnosis dapat ditegakkan berdasar anamnesis
Ruptur perineum umumnya terjadi pada
dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan.
persalinan, dimana:
Klasifikasi ruptur perineum dibagi menjadi 4
1. Kepala janin terlalu cepat lahir
derajat:
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana
mestinya 1. Derajat I
3. Sebelumnya pada perineum terdapat
Robekan terjadi hanya pada selaput lendir
banyak jaringan parut
vagina dengan atau tanpa mengenai
4. Pada persalinan dengan distosia bahu
kulit perineum. Biasa tidak perlu dilakukan
5. Partus pervaginam dengan tindakan
penjahitan.
Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur 2. Derajat II
perineum.
Robekan mengenai selaput lender vagina
Tabel 14.13: Faktor resiko rupture perineum dan otot perinea transversalis, tetapi tidak
melibatkan kerusakan otot sfingter ani.
3. Derajat III
Robekan mengenai perineum sampai
dengan otot sfingter anidengan pembagian
sebagai berikut:
IIIa. Robekan < 50% sfingter ani eksterna
IIIb. Robekan > 50% sfingter ani ekterna
IIIc. Robekan juga meliputi sfingter ani
interna
Gambar 14. 5 Ruptur Perineum dan Sfingter perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum
Ani yang berat).
2. Manajemen Ruptur Perineum:
a. Alat-alat yang dibutuhkan untuk
melakukan perbaikan jalan lahir
• Retractor Weislander’s
• Forceps gigi (fine & strong)
• Needle holder (small and large)
• Forceps Allis (4)
• Forceps arteri (6)
• Gunting Mitzembaum
• Gunting pemotong jahitan
• Spekulum Sims
Sfingter ani yang intak (ditunjuk oleh • Retraktor dinding samping dalam
tanda panah A) terlihat lebih jelas vagina
pada pemeriksaan rectal touche (B); • Forceps pemegang kasa
Robekan parsial sepanjang sfingter ani
eksterna (C); Robekan perineum derajat 3b b. bahan-bahan yang diperlukan untuk
dengan sfingter ani yang intak (Internal perbaikan jalan lahir.
anal sphincter/IAS). Sfingter ani eksterna • Tampon
(External anal sphincter/EAS) dijepit oleh • Kapas besar
forseps Allis. Perhatikan perbedaan warna • Povidon Iodine
IAS yang lebih pucat dibandingkan EAS (D). • Lidocain 1% (untuk ruptur
perineumderajat I-II)
4. Derajat IV :Robekan mengenai perineum
sampai dengan otot sfingter ani dan • Benang catgut / Asam poliglikolik
mukosa rektum (Dexon, David&Geck Ltd, UK) /
Poliglaktin 910 (Vicryl, Ethicon Ltd,
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Edinburgh, UK)
Penatalaksanaan Ruptur perineum harus segera
diperbaiki untuk meminimalisir
Non Medikantosa risiko perdarahan, edema, dan
1. Menghindari atau mengurangi dengan infeksi. Manajemen ruptur perineum
menjaga jangan sampai dasarpanggul untuk masing-masing derajatnya,
didahului oleh kepala janin dengan cepat. antara lain sebagai berikut :
2. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan Robekan perineum derajat 1
terlampau kuat dan lama, karena akan
menyebabkan asfiksia dan perdarahan Robekan tingkat I mengenai mukosa
dalam tengkorak janin, dan melemahkan vagina dan jaringan ikat, tidak perlu
otot-otot dan fasia pada dasar panggul dilakukan penjahitan.
karena diregangkan terlalu lama.
Penjahitan robekan perineum derajat 2
Medikamentosa
1. Siapkan alat dan bahan.
1. Penatalaksanaan farmakologis 2. Pastikan pasien tidak memiliki alergi
terhadap Lignokain atau obat-obatan
Dosis tunggal sefalosporin golongan II sejenis
atau III dapat diberikan intravena sebelum
3. Suntikan 10 ml Lignokain 0.5% di bawah Penjahitan robekan perineum derajat 3
mukosa vagina, di bawah kulit perineum
dan pada otot-otot perineum. Masukan 1. Perbaikan robekan harus dilakukan hanya
jarum pads ujung laserasi oleh dokter yang sudah dilatih secara
dorong masuk sepanjang luka mengikuti formal (atau dalam supervisi) mengenai
garis tempat jarum jahitnya akan masuk perbaikan sfingter ani primer. Perbaikan
atau keluar. harus dilakukan di kamar operasi dengan
4. Tunggu 2 menit. Kemudian area dengan pencahayaan yang baik, peralatan yang
forsep hingga pasien tidak merasakan nyeri. memadai, dan kondisi aseptik.
5. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan a. Anestesi umum atau regional (spinal,
benang 2-0, lihat ke dalam luka untuk epidural, kaudal) menjadi analgesik dan
mengetahui letak ototnya (penting untuk pelemas otot yang bermanfaat dalam
menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga evaluasi luasnya robekan.
di dalamnya).
6. Carilah lapisan subkutis persis dibawah b. Luasnya robekan harus dievaluasi
lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan melalui pemeriksaan vagina dan rektal
subkutikuler kembali keatas vagina, akhiri yang berhati-hati.
dengan simpul mati pada bagian dalam c. Jika terdapat kebingungan dalam
vagina. menentukan derajat trauma maka
7. Potong kedua ujung benang dan hanya derajat yang lebih tinggi yang harus
sisakan masing-masing 1 cm. dipilih.
8. Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan
colok dubur dan pastikan tidak ada bagian Pada kasus yang jarang ditemui, tipe
rektum terjahit. robekan “buttonhole” terisolasi dapat
terjadi di rektum tanpa menyebabkan
CATATAN: Aspirasi penting untuk kerusakan sfingter ani.
meyakinkan suntikan lignokain tidak masuk
dalam pembuluh darah. Jika ada darah 2. Diperbaiki secara transvaginal
pada aspirasi, pindahkan jarum ke tempat menggunakan jahitan interrupted dengan
lain. Aspirasi kembali. Kejang dan kematian benang Vicryl.
dapat terjadi jika lignokain diberikan lewat
pembuluh darah (intravena) 3. Untuk mengurangi risiko fistula rektovaginal
persisten, selapis jaringan perlu disisipkan
Gambar 14.6 Penjahitan Luka Perineum diantara rektum dan vagina. (Dengan
Tingkat 2 aproksimasi fasia rektovaginal).
4. Kolostomi diindikasikan hanya jika terdapat
robekan besar yang mencapai dasar pelvis
atau terdapat kontaminasi feses pada luka.
Penjahitan robekan perineum derajat 4
1 Epitel ani yang mengalami robekan
diperbaiki dengan jahitan interrupted
menggunakan benang Vicryl 3/0 dan
disimpul di dalam lumen ani. Perbaikan
epitel ani secara subkutikular melalui
pendekatan transvaginal juga diketahui
memiliki keefektifan yang sama jika simpul
terminalnya terikat dengan baik.
2 Otot sfingter diperbaiki dengan 3/0 PDS a. Setelah itu, otot dipisahkan dari lemak
dyed sutures. iskhioanal menggunakan gunting
Mitzembaum.
a. Benang monofilamen dipercaya dapat
mengurangi risiko infeksi dibandingkan b. Ujung-ujung robekan sfingter ani
dengan benang braided. eksterna kemudian dijahit
menggunakan teknik overlap dengan
b. Benang monofilamen non-absorbable benang PDS 3/0.
seperti nilon atau Prolene
(polypropylene) dipilih oleh beberapa c. Teknik overlap akan menyebabkan
dokter bedah kolorektal dalam area kontak otot menjadi lebih luas
perbaikan sekunder robekan sfingter. dibandingkan dengan teknik end-to
end.
c. Benang non-absorbable dapat
menyebabkan abses pada jahitan d. Wanita dengan perbaikan sfingter
(terutama pada simpul) dan ujung ani eksterna secara end-to- end
tajam jahitan dapat menyebabkan diketahui dapat tetap kontinen tetapi
ketidaknyamanan. memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami inkontinensia pada usia
d. Absorpsi sempurna PDS lebih lama dari yang lebih lanjut.
Vicryl dan kekuatan tensilnya bertahan
lebih lama dari Vicryl. e. Jika operator tidak familiar dengan
teknik overlap atau sfingter ani eksterna
e. Untuk mengurangi perpindahan jahitan, hanya robek sebagian (derajat 3a/3b)
ujung jahitan harus dipotong pendek maka perbaikan end-to-end harus
dan tertupi oleh muskulus perinei dilakukan menggunakan 2-3 jahitan
superfisialis. matras, seperti pada perbaikan sfingter
f. Sebuah RCT menunjukkan tidak ada ani interna.
perbedaan morbiditas terkait jahitan 5. Setelah perbaikan sfingter, perineal
menggunakan benang Vicryl dan PDS body perlu direkonstruksi agar dapat
pada 6 minggu post partum. mempertahankan sfingter ani yang telah
3. Sfingter ani interna harus diidentifikasi diperbaiki.
dan jika mengalami robekan harus a. Perineum yang pendek dapat
diperbaiki secara terpisah dari sfingter menyebabkan sfingter ani menjadi
ani eksterna. lebih rentan terhadap trauma dalam
a. Sfingter ani interna tampak pucat kelahiran per vaginam berikutnya.
seperti daging ikan mentah sedangkan
b. Kulit vagina harus dijahit dan kulit
sfingter ani eksterna berwarna lebih perineum diaproksimasi dengan jahitan
terang, seperti daging merah. subkutikular menggunakan benang
b. Ujung-ujung otot yang robek dijepit Vicryl 3/0.
dengan forsep Allis dan perbaikan end-
6 Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan
to-end dilakukan dengan jahitan untuk memastikan perbaikan
interrupted atau matras menggunakan
telah sempurna dan memastikan
PDS 3/0. bahwa seluruh tampon atau kapas telah
4. Sfingter ani eksterna harus diidentifikasi dikeluarkan.
dan dijepit dengan forsep Allis karena
7. Catatan yang lengkap mengenai temuan
sfingter ini cenderung mengkerut ketika dan perbaikan harus dibuat.
robek.
Jika tidak terdapat tenaga yang kompeten
pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan (Kementerian Kesehatan Republik
kesehatan sekunder yang memiliki Indonesia, 2013)
dokter spesialis obstetrik dan ginekologi.
2. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu
Konseling dan Edukasi Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina
Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
Memberikan informasi kepada pasien dan
suami, mengenai, cara menjaga kebersihan 3. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L.
daerah vagina dan sekitarnya setelah Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.
dilakukannya penjahitan di daerah perineum, Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-
yaitu antara lain: Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009)
1. Menjaga perineum selalu bersih dan kering. 4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed
1 Jakarta: Yayasan Bina Sarwono
2. Hindari penggunaan obat-obatan
Prawirohardjo. 2007: Hal 170-6
tradisional pada perineum.
(Prawirohardjo, et al., 2010).
3. Cuci perineumnya dengan sabun dan air
bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali
perhari.
4. 4. Kembali dalam seminggu untuk
memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu
harus kembali lebih awal jika ia mengalami
demam atau mengeluarkan cairan yang
berbau busuk dari daerah lukanya atau jika
daerah tersebut menjadi lebih nyeri.
Kriteria Rujukan
Kriteria tindakan pada Fasilitas Pelayanan
tingkat pertama hanya untuk Luka Perineum
Tingkat 1 dan 2. Untuk luka perineum tingkat 3
dan 4 dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder.
Peralatan
1. Lampu
2. Kassa steril
3. Sarung tangan steril
4. Hecting set
5. Benang jahit catgut
6. Laboratorium sederhana pemeriksaan
darah rutin dan golongan darah.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI 2013.
11. MASTITIS
No. ICPC-2
: X21 Breast symptom/complaint female other
No. ICD-10
: N61 Inflammatory disorders of breast
Tingkat Kemampuan 4A
Tingkat kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
1. Grade 1
Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada a. Puting tampak datar atau masuk ke
beberapa kasus seorang ibu merasa putingnya dalam
datar atau terlalu pendek akan menemui b. Puting dapat dikeluarkan dengan
kesulitan dalam menyusui bayi. Hal ini bisa mudah dengan tekanan jari pada atau
berdampak bayi tidak bisa menerima ASI sekitar areola.
dengan baik dan cukup. c. Terkadang dapat keluar sendiri tanpa
manipulasi
Pada beberapa kasus, putting dapat muncul d. Saluran ASI tidak bermasalah, dan
kembali bila di stimulasi, namun pada kasus- dapat menyusui dengan biasa.
kasus lainnya, retraksi ini menetap.
2. Grade 2
Hasil Anamnesis (Subjective)
a. Dapat dikeluarkan dengan menekan
Keluhan areola, namun kembali masuk saat
1. Kesulitan ibu untuk menyusui bayi tekanan dilepas
2. Puting susu tertarik b. Terdapat kesulitan menyusui.
3. Bayi sulit untuk menyusui c. Terdapat fibrosis derajat sedang.
d. Saluran ASI dapat mengalami retraksi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang namun pembedahan tidak diperlukan.
Sederhana (Objective) e. Pada pemeriksaan histologi ditemukan
stromata yang kaya kolagen dan otot
Pemeriksaan Fisik
polos.
Adanya puting susu yang datar atau tenggelam
3. Grade 3
dan bayi sulit menyusui pada ibu.
a. Puting sulit untuk dikeluarkan pada
Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan fisik dan membutuhkan
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam pembedahan untukdikeluarkan.
penegakan diagnosis b. Saluran ASI terkonstriksi dan tidak
memungkinkan untuk menyusui
Penegakan Diagnostik (Assessment) c. Dapat terjadi infeksi, ruam, atau
Diagnosis Klinis masalah kebersihan
d. Secara histologis ditemukan atrofi unit
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lobuler duktus terminal dan fibrosis
pemeriksaan fisik dan tidak memerlukan yang parah
pemeriksaan penunjang.
Komplikasi
Diagnosis klinis ini terbagi dalam :
Risiko yang sering muncul adalah ibu
menjadi demam dan pembengkakan pada
payudara.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan: -
Penatalaksanaan Non-Medikamentosa Prognosis
Untuk puting datar/tenggelam (inverted nipple) 1. Ad vitam : Bonam
dapat diatasi setelah bayi lahir, yaitu dengan 2. Ad functionam : Bonam
proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sebagai 3. Ad sanationam : Bonam
langkah awal dan harus terus menyusui agar
puting selalu tertarik. Ada dua cara yang dapat Referensi
digunakan untuk mengatasi puting datar/ 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi,
terbenam, yaitu: T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
1. Penarikan puting secara manual/dengan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
tangan. Puting ditarik- tarik dengan lembut cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka
beberapa kali hingga menonjol. Sarwono Prawirohardjo. 2010. 379
2. Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml, 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku
bergantung pada besar puting. Ujung spuit Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
yang terdapat jarum dipotong dan penarik Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
spuit (spuit puller) dipindahkan ke sisi bekas Kementerian Kesehatan RI. 2013.
potongan. Ujung yang tumpul di letakkan 3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku
di atas puting, kemudian lakukan penarikan Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
beberapa kali hingga puting keluar. Lakukan
sehari tiga kali; pagi, siang, dan malam 4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/
masing-masing 10 kali manajemen- laktasi.html. 2014
Tingkat kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Gambar 14.7 Crackecd Nipple
Nyeri pada puting merupakan masalah yang
sering ditemukan pada ibu menyusui dan
menjadi salah satu penyebab ibu memilih
untuk berhenti menyusui bayinya. Diperkirakan
sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple
pain dan 26% di antaranya mengalami lecet
pada puting yang biasa disebut dengan nipple
crack. Kerusakan pada puting mungkin terjadi
karena trauma pada puting akibat cara
menyusui yang salah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam
Adanya nyeri pada puting susu dan nyeri penegakan diagnosis.
bertambah jika menyusui bayi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Penyebab
Diagnosis Klinis
Dapat disebabkan oleh teknik menyusui yang
salah atau perawatan yang tidak benar pada Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan
payudara. Infeksi monilia dapat mengakibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
lecet. Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi
Sederhana (Objective) demam dan pembengkakan pada payudara.
Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik didapatkan : Penatalaksanaan
1. Nyeri pada daerah putting susu Non-Medikamentosa
2. Lecet pada daerah putting susu
1. Teknik menyusui yang benar
2. Puting harus kering
3. Mengoleskan colostrum atau ASI yang
keluar di sekitar puting susu dan
membiarkan kering.
4. Mengistiraharkan payudara apabila lecet
sangat berat selama 24 jam
5. Lakukan pengompresan dengan kain basah
dan hangat selama 5 menit jika terjadi Referensi
bendungan payudara
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
Medikamentosa T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
1. Memberikan tablet Parasetamol tiap 4–6
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka
jam untuk menghilang- kan nyeri.
Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 379.
2. Pemberian Lanolin dan vitamin E
3. Pengobatan terhadap monilia 2. Utami, R. Yohmi, E. Buku Bedah ASI IDAI
Konseling dan Edukasi
1. Tetap memberikan semangat pada ibu
untuk tetap menyusui jika nyeri berkurang.
2. Jika masih tetap nyeri, sebagian ASI
sebaiknya diperah.
3. Tidak melakukan pembersihan puting susu
dengan sabun atau zat iritatif lainnya.
4. Menggunakan bra dengan penyangga yang
baik.
5. Posisi menyusui harus benar, bayi menyusui
sampai ke kalang payudara dan susukan
secara bergantian di antara kedua
payudara.
Tabel 14.14 Posisi menyusui yang baik
Kriteria Rujukan
Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang
mengakibatkan abses payudara
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam ;
2. Ad functionam : Bonam;
3. Ad sanationam : Bonam
O. PENYAKIT KELAMIN
1. Obat minum nitromidazol (contoh 1. Prognosis lebih buruk apabila adanya gejala
metronidazol) efektif untuk mengobati radang panggul
trikomonas vaginalis 2. Prognosis lebih baik apabila mampu
2. Pasangan seksual pasien trikomonas memelihara kebersihan diri (hindari
vaginalis harus diperiksa dan diobati penggunaan antiseptik vagina yang malah
bersama dengan pasien membuat iritasi dinding vagina)
3. Pasien HIV positif dengan trikomonas
vaginalis lebih baik dengan regimen oral Referensi
penatalaksanaan beberapa hari dibanding 1. Faculty of Sexual and Reproductive
dosis tunggal Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012:
4. Kejadian trikomonas vaginalis seringkali Management of vaginal discharge in non-
berulang, namun perlu dipertimbangkan genitourinary medicine settings. England:
pula adanya resistensi obat Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari
Rencana Tindak Lanjut www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual
and Reproductive Healthcare, 2012)
Pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit
menular seksual sebaiknya ditawarkan untuk 2. 2. World Health Organization. 2005.Sexually
diperiksa chlamydia, gonore, sifilis dan HIV. transmitted and other reproductive tract
infection. A guide to essential practice.
Konseling dan Edukasi WHO Library Cataloguing in Publication
1. Pasien diberikan pemahaman tentang Data. (World Health Organization, 2005)
penyakit, penularan serta penatalaksanaan
di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan
hubungan seksual selama penyakit belum
tuntas diobati.
Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
1. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk
pasangan
2. Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman
gonore
3. Adanya arah kegagalan pengobatan
Peralatan
1. Ginecology bed
2. Spekulum vagina
3. Lampu
4. Kertas lakmus
2. SIFILIS
No. ICPC-2
: Y70 Syphilis male X70 Syphilis female
: A51 Early syphilis
No. ICD-10 A51.0 Primary genital syphilis A52 Late syphilis
A53.9 Syphilis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
angina pektoris.
Sifilis adalah penyakit infeksi kronis yang
Neurosifilis dapat menunjukkan gejala-gejala
disebabkan oleh Treponema pallidum dan
kelainan sistem saraf (lihat klasifikasi).
bersifat sistemik. Istilah lain penyakit ini adalah
lues veneria atau lues. Di Indonesia disebut Faktor Risiko:
dengan raja singa karena keganasannya. Sifilis
dapat menyerupai banyak penyakit dan 1. Berganti-ganti pasangan seksual.
memiliki masa laten. 2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial
(PSK).
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Bayi dengan ibu menderita sifilis.
4. Hubungan seksual dengan penderita tanpa
Keluhan
proteksi (kondom).
Pada afek primer, keluhan hanya berupa lesi 5. Sifilis kardiovaskular terjadi tiga kali
tanpa nyeri di bagian predileksi. lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
setelah 15–30 tahun setelah infeksi.
Pada sifilis sekunder, gejalanya antara lain:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Ruam atau beruntus pada kulit, dan dapat Sederhana (Objective)
menjadi luka, merah atau coklat
kemerahan, ukuran dapat bervariasi, di Pemeriksaan Fisik
manapun pada tubuh termasuk telapak
tangan dan telapak kaki. Stadium I (sifilis primer)
2. Demam Diawali dengan papul lentikuler yang
3. Kelelahan dan perasaan tidak nyaman. permukaannya segera erosi dan menjadi ulkus
4. Pembesaran kelenjar getah bening. berbentuk bulat dan soliter, dindingnya tak
5. Sakit tenggorokan dan kutil seperti luka di bergaung dan berdasarkan eritem dan bersih,
mulut atau daerah genital. di atasnya hanya serum.Ulkus khas indolen
dan teraba indurasi yang disebut dengan ulkus
Pada sifilis lanjut, gejala terutama adalah guma.
durum. Ulkus durum merupakan afek primer
Guma dapat soliter atau multipel dapat disertai
sifilis yang akan sembuh sendiri dalam 3-10
keluhan demam.
minggu.
Pada tulang gejala berupa nyeri pada malam
Tempat predileksi
hari.
1. Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus
Stadium III lainnya adalah sifilis kardiovaskular,
koronarius, wanita di labia minor dan
berupa aneurisma aorta dan aortitis. Kondisi ini
mayor.
dapat tanpa gejala atau dengan gejala seperti
2. Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus.
Seminggu setelah afek primer, terdapat Bentuk ini paling sering terlihat pada S II,
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) kadang bersama-sama dengan roseola.
regional yang soliter, indolen, tidak lunak, Papul berbentuk lentikular, likenoid, atau
besarnya lentikular, tidak supuratif dan folikular, serta dapat berskuama (papulo-
tidak terdapat periadenitis di ingunalis skuamosa) seperti psoriasis (psoriasiformis)
medialis. dan dapat meninggalkan bercak
leukoderma sifilitikum.
Ulkus durum dan pembesaran KGB disebut
dengan kompleks primer. Bila sifilis tidak Pada S II dini, papul generalisata dan S II
memiliki afek primer, disebut sebagai lanjut menjadi setempat dan tersusun
syphilis d’embiee. secara tertentu (susunan arsinar atau
sirsinar yang disebut dengan korona
Stadium II (sifilis sekunder)
venerik, susunan polikistik dan
S II terjadi setelah 6-8 minggu sejak S I korimbiformis).
terjadi. Stadium ini merupakan great imitator.
Tempat predileksi papul: sudut mulut,
Kelainan dapat menyerang mukosa, KGB, mata,
ketiak, di bawah mammae, dan alat genital.
hepar, tulang dan saraf.
Kelainan dapat berbentuk eksudatif yang sangat 3. Bentuk papul lainnya adalah kondiloma
menular maupun kering (kurang menular). lata berupa papul lentikular, permukaan
datar, sebagian berkonfluensi, dapat erosif
Perbedaan dengan penyakit lainnya yaitu
dan eksudatif yang sangat menular akibat
lesi tidak gatal dan terdapat limfadenitis
gesekan kulit.
generalisata.
S II terdiri dari SII dini dan lanjut, perbedaannya Tempat predileksi kondiloma lata: lipat
adalah: paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah
mammae dan antar jari kaki.
S II dini terlihat lesi kulit generalisata, simetrik
dan lebih cepat hilang (beberapa hari – 4. Pustul
beberapa minggu), sedangkan S II lanjut tampak
setempat, tidak simetrik dan lebih lama Bentuk ini jarang didapati, dan sering diikuti
bertahan (beberapa minggu – beberapa bulan). demam intermiten. Kelainan ini disebut
sifilis variseliformis.
Bentuk lesi pada S II yaitu:
5. Konfluensi papul, pustul dan krusta mirip
1. Roseola sifilitika: eritema makular, dengan impetigo atau disebut juga sifilis
berbintik-bintik, atau berbercak-bercak, impetiginosa. Kelainan dapat membentuk
warna tembaga dengan bentuk bulat atau berbagai ulkus yang ditutupi krusta yang
lonjong. Jika terbentuk di kepala, dapat disebut dengan ektima sifilitikum. Bila
menimbulkan kerontokan rambut, bersifat krusta tebal disebut rupia sifilitikum dan
difus dan tidak khas, disebut alopesia bila ulkus meluas ke perifer membentuk
difusa. Bila S II lanjut pada rambut, kulit kerang disebut sifilis ostrasea.
kerontokan tampak setempat, membentuk
bercak- bercak yang disebut alopesia S II pada mukosa (enantem) terutama pada
areolaris. mulut dan tenggorok.
Lesi menghilang dalam beberapa hari/ S II pada kuku disebut dengan onikia
minggu, bila residif akan berkelompok sifilitikum yaitu terdapat perubahan
dan bertahan lebih lama. Bekas lesi warna kuku menjadi putih dan kabur, kuku
akan menghilang atau meninggalkan rapuh disertai adanya alur transversal dan
hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum). longitudinal. Bagian distal kuku menjadi
hiperkeratotik sehingga kuku terangkat. Bila
2. Papul terjadi kronis, akan membentuk paronikia
sifilitikum. jika pemeriksaan I dan II negatif. Setelah
diambil serum dari lesi, lesi dikompres dengan
S II pada alat lain yaitu pembesaran KGB, larutan garam fisiologis.
uveitis anterior dan koroidoretinitis pada
mata, hepatitis pada hepar, periostitis atau Pemeriksaan lain yang dapat dirujuk, yaitu:
kerusakan korteks pada tulang, atau sistem
saraf (neurosifilis). 1. Tes Serologik Sifilis (TSS), antara lain
VDRL (Venereal Disease Research
Sifilis laten dini tidak ada gejala, sedangkan Laboratories), TPHA (Treponemal pallidum
stadium rekurens terjadi kelainan mirip S II. Haemoglutination Assay), dan tes
imunofluoresens (Fluorescent Treponemal
Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular, Antibody Absorption Test – FTA-Abs)
lamanya masa laten adalah beberapa tahun
bahkan hingga seusia hidup. 2. Histopatologi dan imunologi.
Stadium III (sifilis tersier) Penegakan Diagnosis
Lesi pertama antara 3 – 10 tahun setelah S (Assessment) Diagnosis Klinis
I. Bentuk lesi khas yaitu guma.Guma adalah
infiltrat sirkumskrip kronis, biasanya lunak dan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
destruktif, besarnya lentikular hingga sebesar dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dapat
telur ayam. Awal lesi tidak menunjukkan tanda dilakukan pemeriksaan mikroskopis.
radang akut dan dapat digerakkan, setelah Klasifikasi
beberapa bulan menjadi melunak mulai dari
tengah dan tanda-tanda radang mulai tampak. 1. Sifilis kongenital
Kemudian terjadi perforasi dan keluar cairan 1. Dini (prekoks): bentuk ini menular,
seropurulen, kadang-kadang sanguinolen atau berupa bula bergerombol, simetris di
disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi tangan dan kaki atau di badan. Bentuk
menjadi ulkus. ini terjadi sebelum 2 tahun dan disebut
Guma umumnya solitar, namun dapat multipel. juga pemfigus sifilitika. Bentuk lain
adalah papulo-skuamosa. Wajah bayi
Bentuk lain S III adalah nodus. Nodus terdapat tampak seperti orang tua, berat badan
pada epidermis, lebih kecil (miliar hingga turun dan kulit keriput. Keluhan di
lentikular), cenderung berkonfluensi dan organ lainnya dapat terjadi.
tersebar dengan wana merah kecoklatan.
Nodus memiliki skuama seperti lilin 2. Lanjut (tarda): bentuk ini tidak
(psoriasiformis). menular, terjadi sesudah 2 tahun
dengan bentuk guma di berbagai organ.
S III pada mukosa biasanya pada mulut dan
tenggorok atau septum nasi dalam bentuk 3. Stigmata: bentuk ini berupa deformitas
guma. dan jaringan parut. Pada lesi dini dapat:
S III pada tulang sering menyerang tibia, • Pada wajah: hidung membentuk
tengkorak, bahu, femur, fibula dan humerus. saddle nose (depresi pada jembatan
hidung) dan bulldog jaw (maksila
S III pada organ dalam dapat menyerang hepar, lebih kecil daripada mandibula).
esophagus dan lambung, paru, ginjal, vesika
urinaria, prostat serta ovarium dan testis. • Pada gigi membentuk gigi
Hutchinson (pada gigi insisi
Pemeriksaan penunjang permanen berupa sisi gigi konveks
dan bagian menggigit konkaf).
Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan
T. pallidum pada sediaan serum dari lesi kulit.
Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut
Gigi molar pertama permulaannya sembab, gangguan mental, kelumpuhan
berbintil-bintil (mulberry molar). nervus kranialis dan seterusnya.
• Jaringan parut pada sudut mulut 3. Sifilis parenkim
yang
disebut regades. a. Tabes dorsalis (8-12 tahun sejak infeksi
primer). Keluhan berupa gangguan
• Kelainan permanen lainnya di motorik (ataksia, arefleksia), gangguan
fundus okuli akibat koroidoretinitis visus, retensi dan inkoninensia urin
dan pada kuku akibat onikia. serta gangguan sensibilitas (nyeri pada
kulit dan organ dalam).
Pada lesi lanjut:
b. Demensia paralitika (8-10 tahun sejak
Kornea keruh, perforasi palatum dan infeksi primer). Keluhan diawali dengan
septum nasi, serta sikatriks kulit kemunduran intelektual, kehilangan
seperti kertas perkamen, osteoporosis dekorum, apatis, euphoria hingga
gumatosa, atrofi optikus dan trias waham megaloman atau depresif.
Hutchinson yaitu keratitis interstisial, Selain itu, keluhan dapat berupa kejang,
gigi Hutchinson, dan tuli N. VIII. lemah dan gejala pyramidal hingga
2. Sifilis akuisita akhirnya meninggal.
4. Guma
a. Klinis
Guma umumnya terdapat pada meningen
Terdiri dari 2 stadium: akibat perluasan dari tulang tengkorak.
• Stadium I (S I) dalam 2-4 minggu Keluhan berupa nyeri kepala, muntah dan
sejak infeksi. dapat terjadi konvulsi serta gangguan visus.
Pada pemeriksaan terdapat edema papil
• Stadium II (S II) dalam 6-8 minggu karena peningkatan tekanan intrakranial,
sejak S I. paralisis nervus kranialis atau hemiplegi.
• Stadium III (S III) terjadi setelah 1 Diagnosis Banding
tahun sejak infeksi.
Diagnosis banding bergantung pada stadium
b. Epidemiologis apa pasien tersebut terdiagnosis.
• Stadium dini menular (dalam 1 tahun
sejak infeksi), terdiri dari S I, S II, 1. Stadium 1: Herpes simpleks, Ulkus piogenik,
stadium rekuren dan stadium laten Skabies, Balanitis, Limfogranuloma
dini. venereum, Karsinoma sel skuamosa,
• Stadium tidak menular (setelah Penyakit Behcet, Ulkus mole
1 tahun sejak infeksi), terdiri dari 2. Stadium II: Erupsi alergi obat, Morbili,
stadium laten lanjut dan S III. Pitiriasis rosea, Psoriasis, Dermatitis
Klasifikasi untuk neurosifilis: seboroik, Kondiloma akuminata, Alopesia
aerata
1. Neurosifilis asimptomatik, tidak
menunjukkan gejala karena hanya 3. Stadium III: Tuberkulosis, Frambusia,
terbatas pada cairan serebrospinal. Mikosis profunda
Masalah Kesehatan
(endokarditis, meningitis, dan sebagainya pada
Gonore adalah semua penyakit yang gonore diseminata – 1% dari kasus gonore).
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae.
Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual Faktor Risiko
(PMS) yang memiliki insidensi tinggi.Cara 1. Berganti-ganti pasangan seksual.
penularan gonore terutama melalui genitor- 2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial
genital, orogenital dan ano-genital, namun (PSK).
dapat pula melalui alat mandi, termometer dan 3. Wanita usia pra pubertas dan menopause
sebagainya (gonore genital dan ekstragenital). lebih rentan terkena gonore.
Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah 4. Bayi dengan ibu menderita gonore.
mukosa vagina wanita sebelum pubertas. 5. Hubungan seksual dengan penderita tanpa
Hasil Anamnesis (Subjective) proteksi (kondom).
Pada pria, keluhan tersering adalah kencing Tampak eritem, edema dan ektropion pada
nanah. Gejala diawali oleh rasa panas dan orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh
gatal di distal uretra, disusul dengan disuria, mukopurulen, serta pembesaran KGB inguinal
polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uni atau bilateral.
uretra yang kadang disertai darah.Selain itu, Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus
terdapat perasaan nyeri saat terjadi eritem, edem dan tertutup pus mukopurulen.
ereksi.Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah
kontak seksual. Pada pria:
Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai Pemeriksaan rectal toucher dilakukan untuk
perasaan tidak enak di perineum dan memeriksa prostat: pembesaran prostat dengan
suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing konsistensi kenyal, nyeri tekan dan bila terdapat
hingga hematuri, serta retensi urin, dan abses akan teraba fluktuasi.
obstipasi.
Pada wanita:
Pada wanita, gejala subyektif jarang ditemukan
dan hampir tidak pernah didapati kelainan Pemeriksaan in speculo dilakukan apabila
obyektif. Wanita umumnya datang setelah wanita tesebut sudah menikah. Pada
terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan pemeriksaan tampak serviks merah, erosi dan
antenatal atau Keluarga Berencana (KB). terdapat secret mukopurulen.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 441
DAFTAR PUSTAKA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 443
43. Petri M, et al. derivation and validation of the Systemic Lupus International
Collborating Clinics classification criteria for systemic lupus eritematosus. Arthritis
and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86. (Petri, et al., 2012)
44. Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.
45. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: Non- Infective
Stomatitis. In Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Spain:
Elsevier Science Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell, 2002)
46. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease: Diagnosis and
Management. London: Martin Dunitz Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999)
47. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis and
Treatment. Journal of The American Dental Association, 127, pp.1202–1213.
(Woo & Sonis, 1996)
48. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions. In
M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds. Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC
Decker, p. 41. (Woo & Greenberg, 2008)
49. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
(Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2004.
50. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentan
PedomanPengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, t.thn.)
51. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)
52. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)
53. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)
54. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB
Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)
55. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.
htm (Center for Disease and Control, 2005)
56. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003)
57. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects
not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria.
Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)
58. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood
culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in a
resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
59. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009. Section
3. http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3. 117 (Anon.,
2009)
60. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta:
Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009)
61. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan sosialisasi tatalaksana diare pada balita.
Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
62. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata,
M.D. Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
63. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus
Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia. 2009.
64. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi,
I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-
1798.
65. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 962-
964. (Braunwald, et al., 2009)
66. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with Free Living Amoebas. In: Kasper.
Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol I. 17thEd.
McGraw-Hill. 2009: p. 1275-1280.
67. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni, N. Singer, M,Critical Care. Focus 9 Gut.
London: BMJ Publishing Group. 2002. (Galley, et al., 2002)
68. Elta, G.H.Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding in Yamada,
T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine, L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book of
Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. 2003.
(Elta,2003)
69. Rockey, D.C.Gastrointestinal bleeding in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger,
M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd.
Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, 2002)
70. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E.Acute upper gastrointestinal bleeding in Sivak,
M.V.Ed.Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: WB Sauders. 2000. (Gilbert &
Silverstein, 2000)
71. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. Emedicine. Medscape. Update 12
September 2012. (Thornton & Giebel, 2012)
72. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids and Fissure in Ano Gastroenterology
Clinics of North America. 2008.
73. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease of Liver and
Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002)
74. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
75. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).
76. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,1999)
77. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih bahasa dr.
Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000. (Shrock, 2000)
78. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick &
J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222.
(Fox & Ship, 2008)
79. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000)
80. 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts from the
cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit
(WSH), World Health Organization (WHO).
81. 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000- 1
82. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://
www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and Control, 2013)
83. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.who.int/
topics/shcistosomiasis/end (World Health Organization, 2013)
84. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in Medical
Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
85. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin
Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
86. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000-
1.
87. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengendalian Kecacingan.
88. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted diseases.
Gastroenetrology & hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh & Cruz, 2011)
89. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000- 1.
90. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
91. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006.
92. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta: Erlangga. 2005.
93. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC.
2009.
94. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008.
95. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
96. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007.
97. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd Ed. New York: Fairchild Publication.
1989. (Grosvenor, 1989)
98. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut:
Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997)
99. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999.
(Soewono, 1999)
100. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 3rd
Ed. 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr. Soetomo, 2006)
101. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M. Worldwide prevalence and risk factors for
myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32, 3–16. (Pan, et al., 2012)
102. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
103. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for the Internist: When to Treat, When to
Refer. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2), pp.137–44. Available at:
http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor & Jeng, 2008)
104. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations, Disease Associations and Management.
Postgraduate Medical Journal, 88(1046), pp.713–8. Available at: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/22977282 [Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
105. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968. Episcleritis and Scleritis I. British Journal
Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson, et al., 1968)
106. Ehlers JP, Shah CP, editors.The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008)
107. Karesh JW. The evaluation and management of eyelid trauma. Dalam : Duane’s
Clinical Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
2006. (Karesh, 2006)
108. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2008.
109. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2008.
110. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007)
111. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997. (Adam & Boies, 1997)
112. Sander, R. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and Prevention. Am Fam
Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937. (Sander, 2001)
113. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
2003. (Lee, 2003)
114. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating
Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6
June 2007, pp. e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007)
115. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and Management
Options. WHO Library Cataloguing in publication data. 2004. (J, 2004)
116. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder AGM.
Chronic suppurative otitis media: A review. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12. (Verhoeff, et al., 2006)
117. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose, Throat Emergencies. Pediatric Clinics of
North America 53 (2006) 195-214. (Bernius & Perlin, 2006)
118. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in The Ear, Nose and Throat. American
Family Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189. (Heim & Maughan, 2007)
119. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: a review of technique for
removal in the emergency department. Emergency Medicine Journal.2000;17:91-
94. (Davies & Benger, 2000)
120. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT KL.
FKUI. Jakarta.
121. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3.
Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)
122. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed.
McGraw-Hill. 2009. (O’Rouke, et al., 2009)
123. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical Care Handbook
of the Massachusetts General Hospital. 4Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)
124. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi. Jakarta
: Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
125. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape. Update 21 May.
2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
126. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta: PT
Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334. (Chairuddin, 2007)
127. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
128. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta: EGC. 2005.
129. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery.
8th Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
130. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York: Lange Medical Book.
2005.
131. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam Kumpulan
Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006)
132. 2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda,
2008)
133. 3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer, 2000)
134. 4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type Headache. Available from: www.aafp.com.
(Millea, 2008)
135. 2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University
Press. Surabaya.2006. (Purnomo,2006)
136. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan
Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012. (Kelompok Studi Vertigo, 2012)
137. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary care. BJMP.
2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
138. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular
migraine. Journal Neurology. 2009:25:333-338. (Lempert & Neuhauser, 2009)
139. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of Vertigo.Journal American Family Physician.
2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
140. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
(Mardjono & Sidharta, 2008)
141. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium Neurology:Systematic Approach that Needed for
establish of Vertigo. The Practitioner. 2010; 254 (1732) p. 19-23. (Turner & Lewis,
2010)
142. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness
and Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot. William and Wilkins. 2009 (Chain,
2009)
143. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to RNA viruses: Harrisons Internal
Medicine 16th edition. McGraw Hill. Medical Publishing Division. 2005. (Braunwald,
et al., 2009)
144. The Merk Manual of Medical information.Rabies, brain and spinal cord disorders,
infection of the brain and spinal cord.2006. p: 484-486.
145. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic Press. 2002. p. 290. (Jackson & Wunner,
2002)
146. Davis L.E. King, M.K. Schultz, J.LFundamentals of neurologic disease. Demos
Medical Publishing, LLc. 2005. p: 73. (Davis, et al., 2005)
147. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable diagnosis of human rabies based on
analysis of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47 (11): 1410-1417. 2008. (Reynes
and Buchy, 2008)
148. 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for Disease Control and Prevention. 2007.
Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12.
(Centers for Disease Control and Prevention , 2007)
149. Gunawan C, Malaria Serebral dan penanganannya dalam Malaria dari Molekuler ke
Klkinis EGC. Jakarta 2012. (Gunawan, 2012)
150. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok Studi Epilepsi, 2012)
151. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed).
Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York, 2007:100-
25. (Fitzsimmons, 2007)
152. Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein LB
(Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009:
85-99. (Romano & Sacco, 2009)
153. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous System. Ischemic
Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
Philadelphia, 2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
154. Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack : A Guideline for Healthcare Professionals From
the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011;
42:227- 276 (Furie, 2011)
155. National Stroke Association. Transient Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org
156. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in
Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker, 2012)
157. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis
and Treatment in Neurology. McGraw Hill, NewYork, 2007:286-288. (Gooch &
Fatimi, 2007)
158. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy Medication. Medscape.
159. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental
Disorder. Text Revision 4th Ed. Washington DC: APA. 2000.
160. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna Publishing.2009.
161. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et al. Clarifying confusion: the confusion
Assessment method;113:941-8: a new method for detection of delirium.Ann Intern
Med. 1990
162. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion and delirium. Dalam: Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill. 2008.
163. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick, B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th
Ed. McGraw-Hill Co. 2009.
164. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/
Pskiatri. Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP
PDSKJI). 2012.
165. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
166. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004.
167. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit berdasarkan
kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan. 2012
168. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage
Guidelines. 5th edition.Vancouver. Department of Pharmacy Children’s and
Women’s Health Centre of British Columbia. (Esau, 2006)
169. Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010.
170. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and Formulary 2007-2008. Toronto. The
Department of Pharmacy, The Hospital for Sick Children. (Lau, 2008)
171. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug Information 2009. Bethesda. American Society
of Health-System Pharmacists, Inc. (McEvoy,2009)
172. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI,
2006)
173. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45 Gangguan Somatoform. In
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pp. 209–221.
174. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative Disorders: Assessment and
Treatment Advance in Psychiatric Treatment,3(1), pp.9–16 Available at:http://
apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014].
175. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan
Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia,
60(10), pp.448–453.
176. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007. Somatoform Disorders. American
Family Physician, 76, pp.1333–1338. Available at: www.aafp.org/afp.
177. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-15). Patient Health Questionnaire
(PHQ) Screeners. Available at: http://www.phqscreeners.com/
pdfs/04_PHQ-15/English.pdf [Accessed May 24, 2014].
178. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting Somatoform Disorders in Primary Care
with the PHQ-15. Annals of Family Medicine, 7, pp.232–238. Available at:
http://www. annfammed.org/content/7/3/232.full.pdf+html.
179. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 1993)
180. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012)
181. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological
and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010. (World
Health Organization, 2010)
182. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
183. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
184. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental
disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe
& Huber Publishers. (World Health Organization, t.thn.)
185. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 2007.
186. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
187. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2002.
188. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: EGC.1998.
189. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006.
190. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998.
191. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal: 337.
192. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2014.(Global
Initiatives for Asthma, 2011)
193. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2006.(Global
Initiatives for Asthma, 2006)
194. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2004.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2004)
195. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2001.
196. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Indonesia IDAI. 2010.
197. Marik PE.Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Eng J Med.
2001;3:665- 71.(Marik, 2001)
198. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc.
Infectious diseases society of America/American thoracic society consensus
guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults.
Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–72(Mandel, et al., 2007)
199. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam: Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas.
Swidarmoko B, Susanto AD, editor. Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked. Respirasi.
2010: 54-71.(Astowo, 2010)
200. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax: British
Thoracic Society pleural diseases guideline 2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff,
et al., 2010)
201. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
202. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E. Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
203. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
204. Fokkens, W et.al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps. Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at: http://www.rhinologyjournal.com
[Accessed June 24, 2014]. (Fokkens, 2012)
205. Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala – Leher FKUI /
RSCM. Panduan Pelayanan Medis Rinosinusitis.
206. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical Practice Guidelines forAcute and
Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical Immunology, 71, pp.1-38. Available
at: http://www.aacijournal.com/content/7/1/2 [Accessed June 6,2014].
(Desrosier et.al, 2011)
207. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in Adults: Treatment.
UpToDate Wolters Kluwer Health. Available at: www.uptodate.com [Accessed June
6, 2014]. (Hwang & Getz,2014)
208. Chow,AW et.al,2012.IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial
Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious Diseases, pp.e1-e41.
Available at: http:// cid.oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014]. (Chow et.al,
2012)
209. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
210. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
211. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis. Available from
http://www.nejm.org/doi/ pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni 2014)
212. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
213. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current And Future Treatment Options For
Perioral Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy, 2, 351-355, Available from
http://Search.
Proquest.Com/Docview/912278300/Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Account
id=17242(7 Juni 2014).
214. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007. Persistent Facial Dermatitis: Pediatric
Perioral Dermatitis. Pediatric Annals, 36,pp.796-8. Available
from http://search.proquest.com/docview/217556989/fulltextPDF?acc
ountid=17242 (7 Juni 2014).
215. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical Appraisal Of Reports On The Treatment Of
Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-7. Available from
http://search.proquest. com/docview/275129538/DC34942E98744010PQ/1?
accountid=17242#(7 Juni
2014).
216. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012. Pharmacologic Interventions For Hidradenitis
Suppurativa. American Journal Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91. Available
from http://search.proquest.com/docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7905F3
04E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni 2014).
217. American Academy of Dermatology. Hidradenitis suppurativa.Available from
http:// www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-and-treatments/e---
h/hidradenitis- suppurativa(7 Juni 2014).
218. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012. Risk factors of hookworm related
cutaneous larva migrans and definitive host
219. Doherty, G.M. 2006. Current surgical diagnosis and & treatment. United State of
America. Lange Medical Publication.
220. Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio).
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/ matkul/Ilmu%20Kedokteran
%20Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20PBL%20 IIa%202007- 2008/luka
%20bakar%20akut%20text.pdf
221. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
222. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens- Johnson syndrome.
Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
223. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens JohnsonSyndrome: Our
Current Understanding. Allergology International,55, 9-16
224. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter
Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI. 200. (Trisna, 2008)
225. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
Hal 1961-5.2006.
226. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004.
227. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2006)
228. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Indonesia FKUI,2012)
229. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thed.
USA: McGraw Hill, 2008.
230. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan:
FK USU.2004. (Azwar, 2004)
231. Darey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005)
232. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007.
(Ganiswarna, 2007)
233. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI.2009.
234. 5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012 (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2012)
235. Weiss, Barry.20 Common Problems In Primary Care.
236. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family Medicine. 2011
237. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI. 2009
238. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract infection. N Engl J Med2012;366:1028-37
(Hooton, 2012)
239. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan
Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
(Achmad, 2007)
240. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment
of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women : A 2010 Update
by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for
Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Disease, 52, pp.103–120
(Colgan, 2011)
241. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and Prostatitis. In A. s
Fauci et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill,
pp. 1820–1825. (Stamm, 2008)
242. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
Circumcision. The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301.
243. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
244. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
245. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010(Prawirohardjo, et al., 2010)
246. WHO. Managing prolonged and obstructed labour. Education for safe motherhood.
2ndEd. Department of making pregnancy safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health
Organization, 2006)
247. Pedoman penyelenggaraan pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif
(PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
248. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina
Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
249. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.
Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009)
250. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
251. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012:
Management of vaginal discharge in non- genitourinary medicine settings. England:
Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual
and Reproductive Healthcare, 2012)
252. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis
In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic of
Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159 (D, 2006)
Pengurus Besar
Ikatan Dokter
Indonesia
(Indonesian Medical Association)
Alamat: Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Telp: (021) 3150679
email : pbidi@idionline.org
website: www.idionline.org