Anda di halaman 1dari 489

Panduan Praktik Klinis

Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer


Edisi I

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indon


PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA

PENGURUS BESAR
IKATAN DOKTER INDONESIA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.


Editor: Tim editor PB IDI
Hak Cipta © 2017

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia


(indonesian medica association)

Alamat : Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat,


Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10350
Telepon : (021) 3150679
Email : pbidi@idionline.org
Website : idionline.org

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara
elektronik maupun cetak termasuk memfotokopi, merekam maupun menggunakan teknik lainnya
tanpa seizin tertulis dari penerbit.

Cetakan II, 2017

ISBN :
UK ANGGOTA IKATAN DOKTER INDONESIA TIDAK DIPE
Kata Sambutan
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Assalamualaikum Wr Wb,

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
buku yang berisi panduan untuk menjadi pedoman dokter untuk
melakukan praktik dapat diterbitkan. Buku berjudul “Panduan
Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer”
memuat berbagai jenis keterampilan klinis untuk dilaksanakan
oleh seluruh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer dalam
upaya kesembuhan pasien dengan menghadirkan pelayanan
kedokteran terbaik.

Dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dokter


berkewajiban mengikuti standar pelayanan kedokteran. Oleh
karena itu diperlukan panduan bagi dokter untuk melakukan
praktik tersebut.
PB IDI memandang perlu untuk menyusun panduan yang merupakan standar playanan
dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Penyusunan Buku ini merupakan kerjasama Kementerian Kesehatan RI bersama


Pengurus Besar IDI dengan melibatkan pihak pihak yang terkait dengan substansi
ketrampilan klinis sesuai dengan keahliannya. Penyusunan buku ini mempertimbangkan
acuan yang sebelumnya sudah ada, sehingga sejalan dengan pedoman yang telah
diterbitkan oleh masing-masing perhimpunan.

Dengan penerbitan buku ini diharapkan maka setiap dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini sebagai acuan dalam memberikan
pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Mengingat pesatnya perkembangan dunia
kedokteran, kami mengharapkan seluruh pihak dapat bersama sama senantiasa dapat
memperbaharui buku panduan ini mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.

Waasalamualaikum Wr Wb,

Ketua Umum,

Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA i
PENGURUS BESAR
IKATAN DOKTER INDONESIA
Jl. Dr. G.S.S.Y. Ratulangie No. 29 Jakarta 10350 Telp. 021-3150679 - 3900277 Fax. 3900473
Email : (PB IDI) : pbidi@idionline.org, (MKKI) : majeliskolegiumkedokteran_ind@yahoo.com,
(MKEK) : mkek@idonline.org; (MPPK) : mppk@idionline.org
Website : www.idionline.org

Masa Bakti : 2012 - 2015 SURAT KEPUTUSAN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
NO. 1530/PB/A.4/12/2014
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
Ketua Umum :
Dr. Zaenal Abidin, MH
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA


Ketua Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) : Menimbang : 1. Bahwa dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dokter
Dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad
berkewajiban mengikuti standar pelayanan kedokteran.
2. Bahwa diperlukan panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan
Ketua Majelis Kolegium kesehatan primer dalam melakukan praktik klinis.
Kedokteran Indonesia (MKKI) : 3. Bahwa Ikatan Dokter Indonesia telah menyelesaikan
Prof. Dr. Errol U. Hutagalung, Sp.B, Sp.OT
(K) penyusunan panduan praktik klinis yang merupakan standar
pelayanan dalam meningkatkan mutu kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Ketua Majelis Pengembangan 4. Bahwa panduan sebagaimana tersebut pada butir 3 diatas
Pelayanan Keprofesian (MPPK) :
Dr. Pranawa, Sp.PD-KGH perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan.

Mengingat : 1. Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.


Wakil Ketua Umum / 2. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Ketua Terpilih :
Prof. Dr. I. Oetama Marsis,Sp.OG
Kedokteran.
3. Anggaran Dasar IDI Bab III Pasal 7 dan 8
4. Anggaran Rumah Tangga IDI pasal 21 dan 23
Ketua Purna : 5. Ketetapan Muktamar Dokter Indonesia XXVIII No. 16/MDI
Dr. Prijo Sidipratomo,Sp.Rad XXVIII/11/2012 tanggal 23 November 2012
6. Surat Keputusan PB IDI No. 317/PB/A.4/2013 tanggal 15 April
2013.
Sekretaris Jenderal :
Dr. Daeng M Faqih,MH
MEMUTUSKAN :
Bendahara Umum Menetapkan
:
Dr. Dyah A Waluyo Pertama : Mengesahkan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Pelayanan
Primer
Kedua : Dengan disahkannya panduan ini maka setiap dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini
sebagai acuan dalam memberikan pelayanan kedokteran
kepada masyarakat
ketiga : Panduan ini senantiasa dapat diperbaharui mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran
keempat : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila
dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapannya akan
diperbaiki sesuai keperluannya.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 8 Desember 2014

Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,

Dr. Zaenal Abidin, MH Dr. Daeng M Faqih, MH


NPA. IDI : 42.557 NPA. IDI : 44.016
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015
TENTANG
PANDUAN KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pelayanan kedokteran di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama harus dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasional
yang disusun dalam bentuk panduan praktik klinis oleh fasilitas
pelayanan kesehatan;
b. bahwa untuk memberikan acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan
dalam menyusun standar prosedur operasional perlu mengesahkan
panduan praktis klinis yang disusun oleh organisasi profesi;
c. bahwa pengaturan panduan praktik klinis yang telah ditetapkan melalui
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer perlu
disesuaikan dengan perkembangan hukum dan ilmu kedokteran;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan
tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang
Rekam Medik;

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA iii
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/Menkes/Per/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 464);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang
Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 671);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 122);
9. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 342);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TANTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS


BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA.

KESATU : Mengesahkan dan memberlakukan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di


Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat Pertama.
KEDUA : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama, yang selanjutnya disebut PPK Dokter merupakan pedoman bagi
dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama baik milik Pemerintah maupun masyarakat yang
berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya,
KETIGA : Pandauan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
Menteri ini.
KEEMPAT : Dalam melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan PPK Dokter
sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA, diperlukan keterampilan
klinis sesuai dengan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KELIMA : PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA dan Pandaun
Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KEEMPAT harus dijadikan acuan dalam penyusunan standar prosedur
operasional di setiap fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
KEENAM : Kepatuhan terhadap PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KETIGA dan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KEEMPAT bertujuan memberikan pelayanan
kesehatan dengan upaya terbaik.
KETUJUH : Modifikasi terhadap pelaksanaan PPK Dokter dapat dilakukan oleh dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama hanya berdasarkan keadaan
tertentu untuk kepentingan pasien.
KEDELAPAN : Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH meliputi
keadaan khusus pasien, kedaruratan, keterbatasan sumber daya, dan
perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi berbasis bukti (evidance
based).
KESEMBILAN : Penatalaksanaan pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus
menggunakan obat yang tercantum dalam Formularium Nasional.
KESEPULUH : Meneteri Kesehatan, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan PPK Dokter dengan melibatkan
organisasi profesi.
KESEBELAS : Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KEDUABELAS : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

ttd

NILA FARID MOELOEK

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA v
Catatan Penting

1. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter Pelayanan Primer ini memuat penatalaksanaan untuk
dilaksanakan oleh seluruh dokter pelayanan primer serta pemberian pelayanan kesehatan
dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan primer tetapi tidak menjamin
keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien.
2. Panduan ini disusun berdasarkan data klinis untuk kasus individu berdasarkan referensi terbaru
yang ditemukan tim penyusun, dan dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah.
3. Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus. Setiap
dokter bertanggung jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien,
pilihan diagnostik, dan pengobatan yang tersedia.
4. Modifikasi terhadap panduan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter atas dasar keadaan yang
memaksa untuk kepentingan pasien, antara lain keadaaan khusus pasien, kedaruratan, dan
keterbatasan sumber daya. Modifikasi tersebut harus tercantum dalam rekam medis.
5. Dokter pelayanan primer wajib merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain yang memiliki sarana
prasarana yang dibutuhkan bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak tersedia, meskipun
penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit tingkat kemampuan 4.
6. PPK Dokter Pelayanan Primer tidak memuat seluruh teori tentang penyakit, sehingga sangat
disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut dengan menggunakan referensi
yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Walaupun tidak menjadi standar pelayanan, skrining terhadap risiko penyakit merupakan tugas
dokter pelayanan primer.
Tim Penyusun
Ment
Pengarah eri
Keseh
atan
Repub
lik
Indon
esia
Direkt
ur
Jende
ral
Bina
Upaya
Keseh
atan
Direkt
ur
Jende
ral
Bina
Upaya
Keseh
atan
Dasar
Pengarah IDI
Ketua Umum
Pengurus Besar
Ikatan Dokter
Indonesia Prof.
Dr. I Oetama
Marsis, SpOG
Pr
of.
Dr
.
H
as
bu
lla
h
Th
ab
ra
ny
,
M
P
H.
D
R.
P
H
Dr
.
Da
en
g
M
Fa
qi
h,
M
.H

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA vii
Tim f
Editor i
F a
i n
k
a Z
a
E i
k n
a u
y d
a d
n i
t n
i
D
I a
k e
a n
g
H
a M
r
i F
y a
a q
n i
i h
D
J h
o a
k n
o a
s
H a
e r
n i
d
a V
r i
t d
o i
M a
a w
h a
e t
s i
a
T
P r
a i
r s
a n
n a
a
d D
i y
p a
a h

A A
n
d W
i a
l
A u
l y

viii PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
o , Kemenkes RI
Armein Sjuhary
H Rowi - Dinkes Kota
e Bogor
r Aryono Hendarto –
q Kolegium Ilmu
u Kesehatan Anak
t Indonesia Diatri Nari
a Lastri - PP
n PERDOSSI
t Di
o na
n
Narasum Ba
ber gj
Amir a
Syarif N
– ug
Kolegi ra
um ha
Dokte -
r Di
Prime nk
r es
Indon Ka
esia b.
A G
r ar
i ut
e Dj
at
H mi
a ko
m -
z Di
a nk
h es
Ka
- b
u
S pa
u te
b n
d Gr
i o
t b
og
P an
e Ek
n a
g Gi
e na
n nj
d ar
a -
l P
i B
a P
n A
P
D DI
M Eka Sulistiany - Subdit
Tuberkulosis Ditjen
& P2PL, Kemenkes RI Esty
Handayani PKM- Teluk
P Tiram Banjarmasin
M Fikry Hamdan Yasin -

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA ix
K torat Bina Kesehatan Jiwa,
o Kemenkes RI Hadiyah
l Melanie - Direktorat Bina
e Kesehatan Ibu, Kemenkes
g RI Hanny Nilasari - PP
i PERDOSKI
u Hariadi Wisnu
m Wardana - Subdit
AIDS & PMS,
I Kemenkes RI Eni
l Gustina -
m Direktorat Bina
u Kesehatan
Anak,Kemenkes
K RI Ilham Oetama
e Marsis-PB IDI
s Kiki Lukman – Kolegium Ilmu Bedah Indonesia
e Lily Banonah Rivai - Subdit
h Pengendalian PJPD, Dit PPTM,
a Kemenkes RI M.Sidik – Perdami
t Muhammad
a Amin –
n Kolegium
Pulmonologi
T Indonesia
H Nurdadi
T Saleh - PB
- POGI
K Syahri
L al M
Hutau
I ruk -
n PP
d PERH
o ATI-KL
n Syams
e ulhadi
s –
i Kolegi
a um
Psikiat
G ri
e Indon
r esia
a Syams
l unaha
d r - IDI
Caban
M g Kota
a Bogor
r Sylviana Andinisaric -
i Subdit Pengendalian DM
o & PM, Kemenkes RI Tjut
Nurul Alam Jacoeb - PP
S PERDOSKI
e Widia Tri Susanti
m - PKM Taman
e Bacaan
n Palembang
Wiwiek Wibawa
- – PKM Godong I
Grobogan
D Wiwien Heru Wiyono - Kolegium Pulmonologi
i dan Ilmu Kedokteran Respirasi Worowijat -
r Subdit Pengendalian Malaria Ditjen P2PL,
e Kemenkes RI
k Yetti Armagustini - Dinkes Kota Palembang

x PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
Yoan f
Hotni i
da a
n
Naomi
- Z
Subdit a
Penge i
ndalia n
n u
Penya d
kit d
i
Jantu n
ng &
Pemb
uluh
Darah,
Keme
nkes
Tim
Kontribut
or
A
l
f
i
i
N
u
r
H
a
r
a
h
a
p
A
l
f
u
u
N
u
r
H
a
r
a
h
a
p
A
n
d
i
A
l

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA xi
Tim Penyusun

Balqis
Darwis Hartono
Dhanasari Vidiawati Trisna
Duta Liana
Dwiana Ocviyanti
Eka Laksmi
Exsenveny Lalopua
Fika Ekayanti
Hani Nilasari
Ira Susanti Haryoso
Joko Hendarto
Oktarina
Prasenohadi
Retno Asti
Werdhani Simon
Salim
Susi Oktowati
Trisna
Ulul Albab
Wahyudi Istiono
Imelda Datau
Judilherry Justam
Monika Saraswati Sitepu
Novana Perdana Putri
R. Prihandjojo Andri Putranto
Siti Pariani
Slamet Budiarto
Tim Penunjang
Adi Pamungkas
Dien Kuswardani
Era Renjana
Ernawati Octavia
Esty Wahyuningsih
Heti Yuriani
Husin Maulachelah
I.G.A.M Bramantha Yogeswara
Inten Lestari
Leslie Nur Rahmani
Mina Febriani
Mohammad Sulaeman
Nia Kurniawati
Raisa Resmitasari
Rizky Rahayuningsih
Uud Cahyono
Syrojuddin Hadi Imron
Tim Revisi 2014
Andi Alfian Zainuddin
Apriani Oendari
Asturi Putri
Adi Pamungkas
Bulkis Natsir
Darwis Hartono
Ika Hariyani
Joko Hendarto
Monika Saraswati Sitepu
Novana Perdana Putri
Salinah
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas Rahmat-Nya Buku Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi 1 dikeluarkan oleh IDI dapat yang
dicetak dan disebarluaskan kepada seluruh anggotanya. Buku ini telah direvisi, yang awalnya terdiri
dari 155 daftar penyakit pada PMK no 5 tahun 2014, menjadi 177 penyakit pada KMK HK.02.02/
Menkes/514/2015.
Penyusunan buku ini diawali dari rapat yang diselenggarakan oleh Subdit Bina Pelayanan
Kedokteran Keluarga, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada
bulan Mei 2014 bersama dengan pengurus PB IDI. Buku ini adalah bagian pertama dari 4 rangkaian
tema yang ingin disusun bersama, yaitu:
1. Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
2. Buku Panduan Penatalaksanaan Klinis dengan Pendekatan Simptom di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer
3. Buku Panduan Keterampilan Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
4. Buku Pedoman Pelayanan bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
Keempat tema ini merupakan acuan standar bagi pelayanan kesehatan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer ini disusun
berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, di mana dari 736 daftar penyakit
terdapat 144 penyakit dengan tingkat kemampuan 4 yaitu lulusan dokter harus mampu
mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas, 261 penyakit (164 penyakit
tingkat kemampuan 3A dan 97 penyakit tingkat kemampuan 3B) dengan tingkat kemampuan 3
yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
pada kasus gawat darurat maupun bukan gawat darurat, 261 penyakit dengan tingkat kemampuan
2 yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis dan merujuk serta 70 penyakit dengan tingkat
kemampuan 1 yaitu lulusan dokter harus mampu mengenali dan menjelaskan selanjutnya
menentukan rujukan yang tepat. Selain daftar penyakit tersebut, terdapat 275 keterampilan klinik
yang juga harus dikuasai oleh lulusan program studi dokter.
Dalam buku panduan ini, memuat 177 daftar penyakit. Daftar tersebut terdiri dari beberapa
penggabungan penjabaran penyakit, yang sebenarnya di dalam SKDI mewakili 193 daftar penyakit,
terdiri dari 135 penyakit dengan tingkat kemampuan 4A, 34 penyakit dengan tingkat kemampuan
3B, 21 penyakit dengan kemampuan 3B dan 3 penyakit dengan tingkat kemampuan 2.
Pemilihan penyakit berdasarkan prevalensi cukup tinggi, mempunyai risiko tinggi dan
membutuhkan pembiayaan tinggi serta usulan dari perhimpunan dokter spesialis. Dalam
penyusunannya, dikoordinir oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia yang melibatkan dua
perhimpunan dokter pelayanan primer (PDPP) yaitu Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI)
dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Dalam proses review tim penyusun melibatkan
perhimpunan dokter spesialis yang terkait dengan daftar penyakit.
Buku ini dipandang perlu untuk memandu para praktisi kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer terutama dokter dalam menjalankan praktik kedokteran yang baik agar mampu melayani
masyarakat sesuai prosedur. Selain itu, diharapkan terciptanya kendali mutu dan kendali biaya
sehingga efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kesehatan dapat dicapai yang berujung pada
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Dalam penerapan buku ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan
yang terdiri dari Kementerian Kesehatan RI sebagai regulator hingga organisasi profesi dokter dan
tenaga kesehatan lainnya untuk membina dan mengawasi guna mewujudkan mutu pelayanan yang
terbaik bagi masyarakat.
Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi seluruh pihak yang berperan aktif dalam
penyusunan buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
Indonesia.

Tim Penulis

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA ix
Daftar isi

BAB I : PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 3
C. Sasaran 3
D. Ruang Lingkup 4
E. Cara Memahami Panduan Praktik Klinis 4
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH & PENYAKIT7
A. KELOMPOK UMUM 7
1. Tuberkulosis (TB) Paru 7
2. TB dengan HIV 15
3. Morbili 17
4. Varisela 19
5. Malaria 21
6. Leptospirosis 23
7. Filariasis 25
8. Infeksi pada Umbilikus 29
9. Kandidiasis Mulut 30
10. Lepra 31
11. Keracunan Makanan 37
12. Alergi Makanan 39
13. Syok 40
14. Reaksi Anafilaktik 44
15. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue 47
B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN 52
1. Anemia Defisiensi Besi 52
2. HIV/AIDS tanpa Komplikasi 54
3. Lupus Eritematosus Sistemik 58
4. Limfadenitis 62
C. DIGESTIVE 64
1. Ulkus Mulut (Aftosa, Herpes 64
2. Refluks Gastroesofageal 67
3. Gastritis 69
4. Intoleransi Makanan 70
5. Malabsorbsi Makanan 71
6. Demam Tifoid 73
7. Gastroenteritis (Kolera dan Giardiasis) 78
8. Disentri Basiler dan Disentri Amuba 85
9. Perdarahan Gastrointestinal 87
10. Hemoroid Grade 1-2 90
11. Hepatitis A 92
DAFTAR ISI

12. Hepatitis B 94
13. Kolesistisis 96
14. Apendisitis Akut 97
15. Peritonitis 100
16. Parotitis 101
17. Askariasis (Infeksi Cacing Gelang) 103
18. Ankilostomiasis (Infeksi Cacing Tambang) 105
19. Skistosomiasis 107
20. Taeniasis 110
21. Strongiloidasis 111
D. MATA 114
1. Mata Kering/Dry Eye 114
2. Buta Senja 116
3. Hordeolum 117
4. Konjungtivitis 118
5. Blefaritis 120
6. Perdarahan Subkonjungtiva 121
7. Benda Asing di Konjungtiva 123
8. Astigmatisme 124
9. Hipermetropia 125
10. Miopia Ringan 126
11. Presbiopia 127
12. Katarak pada Pasien Dewasa 129
13. Glaukoma Akut 130
14. Glaukoma Kronis 132
15. Trikiasis 133
16. Episkleritis 135
17. Trauma Kimia Mata 137
18. Laserasi Kelopak Mata 138
19. Hifema 140
20. Retinopati Diabetik 141
E. TELINGA 143
1. Otitis Eksterna 143
2. Otitis Media Akut 145
3. Otitis Media Supuratif Kronik 147
4. Benda Asing di Telinga 149
5. Serumen Prop 150
F. KARDIOVASKULER 152
1. Angina Pektoris Stabil 152
2. Infark Miokard 155

xiv PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
3. Takikardia 157
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik 159
5. Cardiorespiratory Arrest 161
6. Hipertensi Esensial 162
G. MUSKULOSKELETAL 166
1. Fraktur Terbuka 166
2. Fraktur Tertutup 168
3. Polimialgia Reumatik 169
4. Artritis Reumatoid 170
5. Artritis, Osteoartritis 174
6. Vulnus 175
7. Lipoma 178
H. NEUROLOGI 179
1. Tension Headache 179
2. Migren 182
3. Vertigo 185
4. Tetanus 190
5. Rabies 194
6. Malaria Serebral 197
7. Epilepsi 199
8. Transient Ischemic Attack (TIA) 204
9. Stroke 207
10. Bell’s Palsy 210
11. Status Epileptikus 215
12. Delirium 216
13. Kejang Demam 218
14. Tetanus Neonatorum 221
I. PSIKIATRI 224
1. Gangguan Somatoform 224
2. Demensia 228
3. Insomnia 230
4. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi 231
5. Gangguan Psikotik 234
J. RESPIRASI 237
1. Influenza 237
2. Faringitis Akut 239
3. Laringitis Akut 242
4. Tonsilitis Akut 245
5. Bronkitis Akut 248
6. Asma Bronkial (Asma Stabil) 251
DAFTAR ISI

7. Status Asmatikus (Asma Akut Berat) 258


8. Pneumonia Aspirasi 261
9. Pneumonia, Bronkopneumonia 262
10. Pneumotoraks 268
11. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) 269
12. Epistaksis 273
13. Benda Asing di Hidung 276
14. Furunkel pada Hidung 278
15. Rinitis Akut 279
16. Rinitis Vasomotor 282
17. Rinitis Alergik 284
18. Sinusitis (Rinosinusitis) 286
K. KULIT 291
1. Miliaria 291
2. Veruka Vulgaris 293
3. Herpes Zoster 294
4. Herpes Simpleks 296
5. Moluskum Kontagiosum 299
6. Reaksi Gigitan Serangga 300
7. Skabies 302
8. Pedikulosis Kapitis 304
9. Pedikulosis Pubis 306
10. Dermatofitosis 308
11. Pitiriasis Versikolor/Tinea Versikolor 310
12. Pioderma 312
13. Erisipelas 314
14. Dermatitis Seboroik 316
15. Dermatitis Atopik 318
16. Dermatitis Numularis 321
17. Liken Simpleks Kronik (Neurodermatitis Sirkumsripta) 323
18. Dermatitis Kontak Alergik 325
19. Dermatitis Kontak Iritan 327
20. Napkin Eczema (Dermatitis Popok) 330
21. Dermatitis Perioral 332
22. Pitiriasis Rosea 334
23. Eritrasma 335
24. Skrofuloderma 337
25. Hidradenitis Supuratif 338
26. Akne Vulgaris Ringan 341
27. Urtikaria 344

xiv PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
28. Exanthematous Drug Eruption 347
29. Fixed Drug Eruption 348
30. Cutaneus Larva Migrans 350
31. Luka Bakar Derajat I dan II 352
32. Ulkus pada Tungkai 354
33. Sindrom Stevens-Johnson 357
L METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI 360
1. Obesitas 360
2. Tirotoksikosis 362
3. Diabetes Mellitus Tipe 2 364
4. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik 358
5. Hipoglikemia 370
6. Hiperurisemia-Gout Arthritis 372
7. Dislipidemia 374
8. Malnutrisi Energi Protein (MEP) 377
M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH 380
1. Infeksi Saluran Kemih 380
2. Pielonefritis Tanpa Komplikasi 382
3. Fimosis 385
4. Parafimosis 386
N. KESEHATAN WANITA 388
1. Kehamilan Normal 388
2. Hiperemesis Gravidarum (Mual dan Muntah pada Kehamilan) 393
3. Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan 396
4. Pre-Eklampsia 398
5. Eklampsi 401
6. Abortus 403
7. Ketuban Pecah Dini (KPD) 407
8. Persalinan Lama 409
9. Perdarahan Post Partum/Perdarahan Pascasalin 412
10. Ruptur Perineum Tingkat 1-2 417
11. Mastitis 422
12. Inverted Nipple 424
13. Cracked Nipple 426
O. PENYAKIT KELAMIN 428
1. Fluor Albus/Vaginal Discharge Non Gonore 428
2. Sifilis 431
3. Gonore 436
4. Vaginitis 438
5. Vulvitis 440
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Terwujudnya kondisi kesehatan masyarakat yang baik
adalah tugas dan tanggung jawab dari negara sebagai
bentuk amanah Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanaannya negara
berkewajiban menjaga mutu pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh fasilitas kesehatan serta tenaga
kesehatan yang berkualitas. Untuk mewujudkan tenaga
kesehatan yang berkualitas, negara sangat membutuhkan
peran organisasi profesi tenaga kesehatan yang memiliki
peran menjaga kompetensi anggotanya.

Bagi tenaga kesehatan dokter, Ikatan Dokter Indonesia


yang mendapat amanah untuk menyusun standar profesi
bagi seluruh anggotanya, dimulai dari standar etik (Kode
Etik Kedokteran Indonesia – KODEKI), standar kompetensi
yang merupakan standar minimal yang harus dikuasasi
oleh setiap dokter ketika selesai menempuh pendidikan
kedokteran, kemudian disusul oleh Standar Pelayanan
Kedokteran yang harus dikuasai ketika berada di lokasi
pelayanannya, terdiri atas Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional.

Standar Pelayanan Kedokteran merupakan implementasi


dalam praktek yang mengacu pada Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI) yang telah diatur dalam
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Dalam rangka penjaminan mutu pelayanan, dokter wajib
mengikuti kegiatan Pendidikan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) dalam naungan IDI.

Tingkat kemampuan dokter dalam pengelolaan penyakit


di dalam SKDI dikelompokan menjadi 4 tingkatan, yakni :
tingkat kemampuan 1, tingkat kemampuan 2, tingkat
kemampuan 3A, tingkat kemampuan 3B, dan tingkat
kemampuan 4A serta tingkat kemampuan 4B

Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan

Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan


gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara yang
paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan
rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter
juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 1
Tingkat akukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
Kemampuan 2:
mendiagnosis Tingkat Kemampuan 3A : Bukan gawat darurat
dan merujuk Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
Lulusan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
dokter bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
membuat pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
diagnosis menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
klinik
terhadap
penyakit
tersebut
dan
menentuka
n rujukan
yang paling
tepat bagi
penanganan
pasien
selanjutnya.
Lulusan
dokter juga
mampu
menindakla
njuti
sesudah
kembali dari
rujukan.

Ting

kat

Ke

ma

mp

uan

3 :

me

ndia

gno

sis,

mel

2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB I : PENDAHULUAN

Tingkat Kemampuan 3B : Gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 4 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara m mandiri dan tuntas.

Tingkat Kemampuan 4A : Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

Tingkat Kemampuan 4B : Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/
atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, dari 736 daftar penyakit
terdapat 144 penyakit yang harus dikuasai penuh oleh para lulusan karena diharapkan dokter
di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Selain itu terdapat 275 keterampilan klinik yang
juga harus dikuasai oleh lulusan program studi dokter. Selain 144 dari 726 penyakit, terdapat
261 penyakit yang harus dikuasai lulusan untuk dapat mendiagnosisnya sebelum kemudian
merujuknya, baik merujuk dalam keadaaan gawat darurat maupun bukan gawat darurat.

Kondisi saat ini, kasus rujukan ke pelayanan kesehatan sekunder untuk kasus-kasus yang
seharusnya dapat dituntaskan di fasilitas pelayanan tingkat pertama masih cukup tinggi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya kompetensi dokter, pembiayaan, dan sarana
prasarana yang belum mendukung. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar penyakit
dengan kasus terbanyak di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010 termasuk dalam
kriteria 4A.

Dengan menekankan pada tingkat kemampuan 4, maka dokter di fasilitas pelayanan


kesehatan tingkat pertama dapat melaksanakan diagnosis dan menatalaksana penyakit
dengan tuntas. Namun bila pada pasien telah terjadi komplikasi, adanya penyakit kronis lain
yang sulit dan pasien dengan daya tahan tubuh menurun, yang seluruhnya membutuhkan
penanganan lebih lanjut, maka dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama secara
cepat dan tepat harus membuat pertimbangan dan memutuskan dilakukannya rujukan.

Melihat kondisi ini, diperlukan adanya panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama yang merupakan bagian dari standar pelayanan kedokteran. Panduan ini
selanjutnya menjadi acuan bagi seluruh dokter di fasilitas pelayanan tingkat pertama dalam
menerapkan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat.

Panduan ini diharapkan dapat membantu dokter untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan
sekaligus menurunkan angka rujukan dengan cara :
1. Memberi pelayanan sesuai bukti sahih terkini yang cocok dengan kondisi pasien, keluarga
dan masyarakatnya
2. Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar pelayanan
3. Meningkatkan mawas diri untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
profesional sesuai dengan kebutuhan pasien dan lingkungan
4. Mempertajam kemampuan sebagai gate keeper pelayanan kedokteran dengan menapis
penyakit dalam tahap dini untuk dapat melakukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat
sebagaimana mestinya layanan tingkat pertama

Panduan Praktik Klinis (PPK) bagi Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
ini memuat penatalaksanaan penyakit untuk dilaksanakan oleh seluruh dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Penyusunan panduan ini berdasarkan data klinis
untuk kasus individu yang mengacu pada referensi terbaru yang ditemukan tim penyusun, dan
dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah. Panduan ini tidak memuat seluruh teori
tentang penyakit, maka sangat disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut
dengan menggunakan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus, tetapi
merupakan pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik. Setiap dokter bertanggung
jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan diagnostik
dan pengobatan yang tersedia. Dokter harus merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain
yang memiliki sarana prasarana yang dibutuhkan, bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak
tersedia, meskipun penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit dengan tingkat
kemampuan dokter menangani dengan tuntas dan mandiri (tingkat kemampuan 4). Penilaian
terhadap ketepatan rujukan harus dinilai kasus per kasus, dan tidak dapat didasarkan hanya
pada kode diagnosa penyakit. Walaupun tidak dicantumkan dalam panduan ini, skrining
terhadap risiko penyakit merupakan tugas dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama.

B. TUJUAN

Dengan menggunakan panduan ini diharapkan, dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dapat

1. mewujudkan pelayanan kedokteran yang sadar mutu sadar biaya yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
2. memiliki pedoman baku minimum dengan mengutamakan upaya maksimal sesuai
kompetensi dan fasilitas yang ada
3. memiliki tolok ukur dalam melaksanakan jaminan mutu pelayanan

C. SASARAN

Sasaran buku Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
ini adalah seluruh dokter yang memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Fasilitas pelayanan kesehatan tidak terbatas pada fasilitas milik pemerintah, tetapi
juga fasilitas pelayanan swasta.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 3
D. RUANG LINGKUP

PPK ini meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit yang dijumpai di layanan
tingkat pertama. Jenis penyakit mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penyakit dalam Pedoman ini
adalah penyakit dengan tingkat kemampuan dokter 4A, 3B dan 3A terpilih, dimana dokter
diharapkan mampu mendiagnosis, memberikan penatalaksanaan dan rujukan yang sesuai.
Beberapa penyakit yang merupakan kemampuan 2, dimasukkan dalam pedoman ini dengan
pertimbangan prevalensinya yang cukup tinggi di Indonesia. Pemilihan penyakit pada PPK ini
berdasarkan kriteria:

1. Penyakit yang prevalensinya cukup tinggi


2. Penyakit dengan risiko tinggi
3. Penyakit yang membutuhkan pembiayaan tinggi

Dalam penerapan PPK ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan
untuk membina dan mengawasi penerapan standar pelayanan yang baik guna mewujudkan
mutu pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Adapun stakeholder kesehatan yang berperan
dalam penerapan standar pelayanan ini adalah :
1. Kementerian Kesehatan, sebagai regulator di sektor kesehatan.
Mengeluarkan kebijakan nasional dan peraturan terkait guna mendukung penerapan
pelayanan sesuai standar. Selain dari itu, dengan upaya pemerataan fasilitas dan kualitas
pelayanan diharapkan standar ini dapat diterapkan di seluruh Indonesia.
2. Ikatan Dokter Indonesia, sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter.
Termasuk di dalamnya peranan IDI Cabang dan IDI Wilayah, serta perhimpunan dokter
layanan primer dan spesialis terkait. Pembinaan dan pengawasan dalam aspek profesi
termasuk di dalamnya standar etik menjadi ujung tombak penerapan standar yang terbaik.
3. Dinas Kesehatan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagai penanggungjawab
urusan kesehatan pada tingkat daerah.
4. Organisasi profesi kesehatan lainnya seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI),
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) serta organisasi
profesi kesehatan lainnya. Keberadaan tenaga kesehatan lain sangat mendukung
terwujudnya pelayanan kesehatan terpadu.
5. Sinergi seluruh pemangku kebijakan kesehatan menjadi kunci keberhasilan penerapan
standar pelayanan medik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

E. CARA MEMAHAMI PANDUAN PRAKTIK KLINIS

Panduan ini memuat pengelolaan penyakit mulai dari penjelasan hingga penatalaksanaan
penyakit tersebut. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter di Fasilitas Pelayanan Tingkat Pertama
disusun berdasarkan pedoman yang berlaku secara global yang dirumuskan oleh organisasi
profesi dan di sahkan oleh Menteri Kesehatan.
1) Judul Penyakit
Judul penyakit berdasarkan daftar penyakit terpilih di SKDI 2012, namun beberapa penyakit
dengan karakterisitik yang hampir sama dikelompokkan menjadi satu judul penyakit.
Pada setiap judul penyakit dilengkapi :
1. Kode penyakit
a. Kode International Classification of Primary Care (ICPC), menggunakan kode ICPC-
2 untuk diagnosis.
b. Kode International Classification of Diseases (ICD), menggunakan kode ICD-10
versi 10.
Penggunaan kode penyakit untuk pencatatan dan pelaporan di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama mengacu pada ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.

2. Tingkat kemampuan dokter dalam penatalaksanaan penyakit berdasarkan Peraturan


Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Standar Kompetensi
Dokter Indonesia.
2) Masalah Kesehatan
Masalah kesehatan berisi pengertian singkat serta prevalensi penyakit di Indonesia.
Substansi dari bagian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan awal serta gambaran
kondisi yang mengarah kepada penegakan diagnosis penyakit tersebut.
3) Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Anamnesis berisi keluhan utama maupun keluhan penyerta yang sering disampaikan
oleh pasien atau keluarga pasien. Penelusuran riwayat penyakit yang diderita saat
ini, penyakit lainnya yang merupakan faktor risiko, riwayat keluarga, riwayat sosial, dan
riwayat alergi menjadi informasi lainnya pada bagian ini. Pada beberapa penyakit, bagian
ini memuat informasi spesifik yang harus diperoleh dokter dari pasien atau keluarga pasien
untuk menguatkan diagnosis penyakit.
4) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)
Bagian ini berisi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang spesifik,
mengarah kepada diagnosis penyakit (pathognomonis). Meskipun tidak memuat rangkaian
pemeriksaan fisik lainnya, pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh tetap
harus dilakukan oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk
memastikan diagnosis serta menyingkirkan diagnosis banding.
5) Penegakan Diagnosis (Assesment)
Bagian ini berisi diagnosis yang sebagian besar dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Beberapa penyakit membutuhkan hasil pemeriksaan penunjang untuk
memastikan diagnosis atau karena telah menjadi standar algoritma penegakkan diagnosis.
Selain itu, bagian ini juga memuat klasifikasi penyakit, diagnosis banding, dan komplikasi
penyakit.
6) Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Bagian ini berisi sistematika rencana penatalaksanaan berorientasi pada pasien (patient
centered) yang terbagi atas dua bagian yaitu penatalaksanaan non farmakologi dan
farmakologi. Selain itu, bagian ini juga berisi edukasi dan konseling terhadap pasien dan
keluarga (family focus), aspek komunitas lainnya (community oriented) serta kapan dokter
perlu merujuk pasien (kriteria rujukan).
Dokter akan merujuk pasien apabila memenuhi salah satu dari kriteria “TACC” (Time-Age-
Complication-Comorbidity) berikut :
1. Time: jika perjalanan penyakit dapat digolongkan kepada kondisi kronis atau melewati
Golden Time Standard.
2. Age: jika usia pasien masuk dalam kategori yang dikhawatirkan meningkatkan risiko
komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih berat.
3. Complication: jika komplikasi yang ditemui dapat memperberat kondisi pasien.
4. Comorbidity: jika terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang memperberat kondisi
pasien.
5. Selain empat kriteria di atas, kondisi fasilitas pelayanan juga dapat menjadi dasar bagi
dokter untuk melakukan rujukan demi menjamin keberlangsungan penatalaksanaan
dengan persetujuan pasien.

7) Peralatan
Bagian ini berisi komponen fasilitas pendukung spesifik dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit tersebut. Penyediaan peralatan tersebut merupakan kewajiban
fasilitas pelayanan kesehatan disamping peralatan medik wajib untuk pemeriksaan umum
tanda vital.

8) Prognosis
Kategori prognosis sebagai berikut :
1. Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan.
2. Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi
manusia dalam melakukan tugasnya.
3. Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat
beraktivitas seperti biasa.
Prognosis digolongkan sebagai berikut :
1. Sanam: sembuh
2. Bonam: baik
3. Malam: buruk/jelek
4. Dubia: tidak tentu/ragu-ragu
5. Dubia ad sanam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung sembuh/baik
6. Dubia ad malam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung memburuk/jelek
Untuk penentuan prognosis sangat ditentukan dengan kondisi pasien saat diagnosis
ditegakkan.
BAB II
DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN
MASALAH DAN PENYAKIT
A. KELOMPOK UMUM

1. TUBERKULOSIS (TB) PARU


No ICPC-2 : A70 Tuberkulosis
No ICD-10 : A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologically and histologically confirmed
Tingkat Kemampuan 4A

a. Tuberkulosis (TB) Paru pada Dewasa suara napas melemah di apex paru, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan
Masalah Kesehatan mediastinum.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular Pemeriksaan Penunjang


langsung yang disebabkan oleh kuman TB 1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED
yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian meningkat, Hb turun.
besar kuman TB menyerang paru, namun dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. Indonesia 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri
merupakan negara yang termasuk sebagai 5 Tahan Asam/BTA) ataukultur kuman dari
besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-
Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini sewaktu.
timbul kedaruratan baru dalam 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil
penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat dari bilas lambung, cairan serebrospinal,
(Multi Drug Resistance/ MDR). cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

Hasil Anamnesis (Subjective) 4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top


lordotik.
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat
tanda TB. gambaran bercak-bercak awan dengan
Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif batas yang tidak jelas atau bila dengan
lebih dari 2 minggu, yang disertai: batas jelas membentuk tuberkuloma.
Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu,
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding
hemoptisis) dan/atau tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).
penurunan berat badan, keringat malam
dan mudah lelah). Penegakan Diagnosis (Assessment)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis Pasti TB


Sederhana (Objective) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Pemeriksaan Fisik pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada
Kelainan pada TB Paru tergantung luas anak).
kelainan struktur paru. Pada awal permulaan
perkembangan penyakit umumnya sulit sekali Kriteria Diagnosis
menemukan kelainan. Pada auskultasi Berdasarkan International Standards for
terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi Tuberkulosis Care (ISTC 2014)
basah/

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 7
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT

Standar Diagnosis hidup dan produktivitas pasien.


2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau
1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, efek lanjutan.
petugas kesehatan harus waspada terhadap
3. Mencegah kekambuhan TB.
individu dan grup dengan faktor risiko
4. Mengurangi penularan TB kepada orang
TB dengan melakukan evaluasi klinis dan
lain.
pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada
5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan
mereka dengan gejala TB.
penularannya
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang
berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak
jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk Prinsip-prinsip terapi :
TB. 1. Obat AntiTuberkulosis (OAT) harus
3. Semua pasien yang diduga menderita TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari
dan mampu mengeluarkan dahak, harus beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
diperiksa mikroskopis spesimen apusan dan dosis tepat sesuai dengan kategori
sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 pengobatan. Hindari penggunaan
spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert monoterapi.
MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat
yang kualitasnya terjamin, salah satu
(KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan
diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien
lebih menguntungkan dan dianjurkan.
dengan risiko resistensi obat, risiko HIV
atau sakit parah sebaiknya melakukan 3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam
pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji keadaan perut kosong.
diagnostik awal. Uji serologi darah dan 4. Setiap praktisi yang mengobati pasien
interferon-gamma release assay sebaiknya tuberkulosis mengemban tanggung jawab
tidak digunakan untuk mendiagnosis TB kesehatan masyarakat.
aktif.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
ekstra paru, spesimen dari organ harus diberi paduan obat lini pertama.
yang terlibat harus diperiksa secara
mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert 6. Untuk menjamin kepatuhan pasien
MTB/RIF direkomendasikan sebagai berobat hingga selesai, diperlukan suatu
pilihan uji mikrobiologis untuk pasien pendekatan yang berpihak kepada pasien
terduga meningitis karena membutuhkan (patient centered approach) dan dilakukan
penegakan diagnosis yang cepat. dengan pengawasan langsung (DOT=
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak Directly Observed Treatment) oleh seorang
negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan pengawas menelan obat.
Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika 7. Semua pasien harus dimonitor respons
apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pengobatannya. Indikator penilaian terbaik
pasien dengan gejala klinis yang adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu
mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir
pengobatan antituberkulosis setelah pengobatan.
pemeriksaan kultur. 8. Rekaman tertulis tentang pengobatan,
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) respons bakteriologis dan efek samping
harus tercatat dan tersimpan.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan :
1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas
Tabel 1.1 Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC

Fase Intensif Fase Lanjutan


Berat Badan
Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Tabel 1.2 Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB)


Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB

Obat Harian 3x/minggu


INH 5(4-6) max 300mg/hr 10(8-12) max 900 mg/dosis
Rifampicin 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600 mg/dosis
Pirzinamid 25 (20-30) max 1600 mg/hr 35 (30-40) max 2400 mg/dosis
Etambutol 15 (15-20) max 1600 mg/hr 30 (25-35) max 2400 mg/dosis

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu


tahap awal dan lanjutan rifampisin dan isoniazid

1. Tahap awal menggunakan paduan obat a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat
rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan 2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid),
namun dalam jangka waktu yg lebih
etambutol.
lama (minimal 4 bulan).
a. Pada tahap awal pasien mendapat
pasien yang terdiri dari 4 jenis obat b. Obat dapat diminum secara intermitten
(rifampisin, isoniazid, pirazinamid yaitu 3x/minggu (obat program) atau
dan etambutol), diminum setiap hari tiap hari (obat non program).
dan diawasi secara langsung untuk c. Tahap lanjutan penting untuk
menjamin kepatuhan minum obat dan membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekebalan obat. mencegah terjadinya kekambuhan.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh
secara adekuat, daya penularan Program Nasional
menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian
sebagai berikut :
besar menjadi BTA negatif (konversi)
setelah menyelesaikan pengobatan 1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
tahap awal. Setelah terjadi konversi Artinya pengobatan tahap awal selama 2
pengobatan dilanujtkan dengan tahap bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan
lanjut. selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam
2. Tahap lanjutan menggunakan panduan obat seminggu. Jadi lama pengobatan
seluruhnya 6 bulan.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 9
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Prognosis pada umumnya baik apabila pasien
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
(TB kambuh, gagal pengobatan, putus pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
berobat/default). Pada kategori 2, tahap prognosis menjadi kurang baik.
awal pengobatan selama 3 bulan terdiri Kriteria hasil pengobatan :
dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan
streptomisin, dan 1 bulan HRZE. 1. Sembuh : pasien telah menyelesaikan
Pengobatan tahap awal diberikan setiap pengobatannya secara lengkap dan
hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 pemeriksaan apusan dahak ulang (follow
bulan, up), hasilnya negatif pada foto toraks AP
3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
bulan. 2. Pengobatan lengkap : pasien yang telah
3. OAT sisipan : HRZE menyelesaikan pengobatannya secara
Apabila pemeriksaan dahak masih positif lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan
(belum konversi) pada akhir pengobatan apusan dahak ulang pada foto toraks AP
tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
maka diberikan pengobatan sisipan selama 3. Meninggal : pasien yang meninggal dalam
1 bulan dengan HRZE. masa pengobatan karena sebab apapun.

Konseling dan Edukasi 4. Putus berobat (default) : pasien yang tidak


berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
1. Memberikan informasi kepada pasien dan sebelum masa pengobatannya selesai.
keluarga tentang penyakit tuberkulosis 5. Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan dahaknya tetap positif atau kembali
kontrol secara teratur. menjadi positif pada bulan ke lima atau
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan selama pengobatan.
6. Pindah (transfer out) : pasien yang dipindah
ke unit pencatatan dan pelaporan (register)
Kriteria Rujukan
lain dan hasil pengobatannya tidak
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) diketahui.
tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah
Referensi
pengobatan dalam jangka waktu tertentu
2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
meragukan) Tuberkulosis PDPI Jakarta 2011
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
jangka waktu tertentu
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
dengan komorbid) nasional pengendalian tuberkulosis.
5. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011.
rujukan TB-MDR. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Peralatan dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum,
ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik
darah rutin.
dokter swasta (DPS). Kementerian
2. Radiologi
Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan
3. Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia
DOkter Indonesia. Jakarta. 2012.
Prognosis (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2012)
4. Tuberculosis Coalition for Technical a. BB turun selama 2-3 bulan berturut-
Assistance. International standards for turut tanpa sebab yang jelas, ATAU
tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed.
Tuberkulosis Coalition for Technical b. BB tidak naik dalam 1 bulan setelah
Assistance The Hague 2014. (Tuberculosis diberikan upaya perbaikan gizi yang
Coalition for Technical Assistance, 2014) baik ATAU

5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. c. BB tidak naik dengan adekuat.


Hauser, 3. Demam lama (≥ 2 minggu) dan atau
S.L.et al.Mycobacterial disease: berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of demam tifoid, infeksi saluran kemih,
internal medicine. 17th Ed. New York: malaria, dan lain lain). Demam umumnya
McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai
1020. (Braunwald, et al., 2009) keringat malam.
b. Tuberkulosis (TB) Paru pada Anak
4. Lesu atau malaise, anak kurang aktif
bermain..
Masalah Kesehatan
5. Batuk lama atau persisten ≥ 3 minggu,
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, batuk bersifat non- remitting (tidak pernah
jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah reda atau intensitas semakin lama semakin
583.000 orang per tahun dan menyebabkan parah) dan penyebab batuk lain telah
kematian sekitar 140.000 orang per tahun. disingkirkan
World Health Organization memperkirakan
bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang 6. Keringat malam dapat terjadi, namun
paling banyak menyebabkan kematian pada keringat malam saja apabila tidak disertai
anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB dengan gejala-gejala sistemik/umum lain
lebih banyak daripada kematian akibat malaria bukan merupakan gejala spesifik TB pada
dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih anak
banyak daripada kematian karena kehamilan,
persalinan, dan nifas. Jumlah seluruh kasus TB Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Sederhana (Objective)
Indonesia selama 5 tahun (1998−2002) adalah Pemeriksaan Fisik
1086 penyandang TB dengan angka kematian
yang bervariasi dari 0% hingga 14,1%. Kelompok Pemeriksaan fisik pada anak tidak spesifik
usia terbanyak adalah 12−60 bulan (42,9%), tergantung seberapa berat manifestasi respirasi
sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan dan sistemiknya.
16,5%.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Uji Tuberkulin
Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala
walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan
hilus pada foto toraks. Gejala sistemik/umum dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23
TB pada anak: 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di
bagian volar lengan bawah. Pembacaan
1. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau dilakukan 48−72 jam setelah penyuntikan.
berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to Pengukuran dilakukan terhadap indurasi
thrive). yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya.
Indurasi diperiksa dengan cara palpasi
2. Masalah Berat Badan (BB):
untuk menentukan tepi indurasi, ditandai
dengan pulpen, kemudian diameter
transversal
indurasi diukur dengan alat pengukur Penegakan Diagnosis (Assessment)
transparan, dan hasilnya dinyatakan
dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua
sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai pendekatan utama, yaitu :
0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai 1. Investigasi terhadap anak yang kontak erat
negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai dengan pasien TB dewasa aktif dan menular
tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat
jika ditemukan vesikel hingga bula. Secara 2. Anak yang datang ke pelayanan kesehatan
umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter dengan gejala dan tanda klinis yang
indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa mengarah ke TB. (Gejala klinis TB pada anak
menghiraukan penyebabnya. tidak khas).

2. Foto toraks Sistem skoring (scoring system) diagnosis TB


membantu tenaga kesehatan agar tidak
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; terlewat dalam mengumpulkan data klinis
kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat maupun pemeriksaan penunjang sederhana
juga dijumpai pada penyakit lain. Foto sehingga diharapkan dapat mengurangi
toraks tidak cukup hanya dibuat secara terjadinya underdiagnosis maupun
antero- posterior (AP), tetapi harus disertai overdiagnosis.
dengan foto lateral, mengingat bahwa
pembesaran KGB di daerah hilus biasanya Anak dinyatakan probable TB jika skoring
lebih jelas. Secara umum, gambaran mencapai nilai 6 atau lebih. Namun demikian,
radiologis yang sugestif TB adalah sebagai jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif
berikut : dan uji tuberkulinnya positif namun tidak
didapatkan gejala, maka anak cukup diberikan
a. Pembesaran kelenjar hilus atau profilaksis INH terutama anak balita
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
b. Konsolidasi segmental/lobar Catatan :
c. Milier 1. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan
d. Kalsifikasi dengan infiltrat gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
e. Atelektasis 2. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3
f. Kavitas minggu) yang tidak membaik setelah
g. Efusi pleura diberikan pengobatan sesuai baku terapi di
h. Tuberkuloma puskesmas
3. Mikrobiologis 3. Gambaran foto toraks mengarah ke
TB berupa : pembesaran kelenjar hilus
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
anak karena sulitnya mendapatkan spesimen atelektasis, konsolidasi segmental/
berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) tuberkuloma.
3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil 4. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2
pemeriksaan mikroskopik langsung pada minggu) saat imunisasi BCG harus dievaluasi
anak sebagian besar negatif, sedangkan dengan sistem skoring TB anak.
hasil biakan M. tuberculosis memerlukan
waktu yang lama yaitu sekitar 6−8 minggu. Pasien usia balita yang mendapat skor 5,
Saat ini ada pemeriksaan biakan yang dengan gejala klinis yang meragukan, maka
hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk
yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya evaluasi lebih lanjut.
mahal dan secara teknologi lebih rumit.
Tabel 1.3 Sistem Skoring TB Anak

kriteria 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga, BTA (+)
BTA (-) atau BTA
tidak jelas/tidak
Tahu
Uji Tuberkulin (Mantoux) (-) (+) (≥10mm,
atau ≥5mm
pd keadaan
immunocomp
Romised
Berat badan/ keadaan gizi BB/TB < 90% atau Klinis gizi buruk
BB/U < 80% atau BB/TB <70%
atau BB/U < 60%
Demam yang tidak > 2 minggu
diketahui penyebabnya
Batuk kronik > 3 minggu
Pembesaran kelenjar >1 cm, Lebih dari 1
limfe kolli, aksila, KGB, tidak nyeri
inguina
Pembengkakan tulang/ Ada pembengkakan
sendi panggul lutut,
falang
Foto toraks Gambaran Gambaran sugestif
normal, tidak TB
jelas

Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin


(Skor ≥ 6 sebagai entry point)

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin (Skor > 6 sebagai entry point)

Beri OAT
2 bulan terapi

Ada perbaikan klinis Tidak ada perbaikan klinis

Terapi TB diteruskan Untuk RS fasilitas


sambil mencari terbatas, rujuk ke RS
Terapi TB penyebabnya dengan fasilitas lebih
lengkap
Tabel 1.4 OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) pada anak (sesuai rekomendasi IDAI)

Berat badan 2 bulan tiap hari 3KDT Anak 4 bulan tiap hari 2KDT Anak
(kg) RHZ (75/50/150) RH (75/50)
05-Sep 1 tablet 1 tablet
Okt-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit
2. Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit.
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.
Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak
Kriteria Rujukan
Apabila kita menemukan seorang anak dengan
1. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan
TB, maka harus dicari sumber penularan yang
pengobatan.
menyebabkan anak tersebut tertular TB.
2. Terjadi efek samping obat yang berat.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang
3. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani
menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak
pengobatan selama >2 minggu.
tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan
dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA Peralatan
sputum (pelacakan sentripetal).
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum,
Evaluasi Hasil Pengobatan darah rutin.
2. Mantoux test (uji tuberkulin).
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi
3. Radiologi.
hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan
terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan Referensi
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis
yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu tuberculosis pada anak. Rahajoe NN, Supriyatno
menghilang atau membaiknya kelainan klinis B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi
yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87.
misalnya penambahan BB yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan
nafsu makan, dan lain- lain. Apabila respons
pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT
dapat menimbulkan berbagai efek samping.
Efek samping yang cukup sering terjadi pada
pemberian isoniazid dan rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas,
ruam dan gatal, serta demam.
2.TB DENGAN HIV
TB:
No. ICPC-2 No. ICD-10
: A70 Tuberkulosis
: A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologiccaly and histologically
confirmed
HIV:
No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10: Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus (HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
menemukan kelainan.
TB meningkatkan progresivitas HIV karena
Pemeriksaan Penunjang
penderita TB dan HIV sering mempunyai kadar
jumlah virus HIV yang tinggi. Pada keadaan 1. Pemeriksaan darah lengkap dapat
koinfeksi terjadi penurunan imunitas lebih dijumpai limfositosis/monositosis, LED
cepat dan pertahanan hidup lebih singkat meningkat, Hb turun.
walaupun pengobatan TB berhasil. Penderita 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri
TB/HIV mempunyai kemungkinan hidup lebih Tahan Asam/ BTA) atau kultur kuman dari
singkat dibandingkan penderita HIV yang spesimen sputum/ dahak sewaktu-pagi-
tidak pernah kena TB. Obat antivirus HIV (ART) sewaktu.
menurunkan tingkat kematian pada pasien TB/ 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil
HIV dari bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top
Batuk tidak merupakan gejala utama pada lordotik.
pasien TB dengan HIV. Pasien diindikasikan 5. Pemeriksaan kadar CD4.
untuk pemeriksaan HIV jika: 6. Uji anti-HIV

1. Berat badan turun drastis Penegakan Diagnostik (Assessment)


2. Sariawan/Stomatitis berulang
Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang
3. Sarkoma Kaposi
tinggi pada populasi dengan kemungkinan
4. Riwayat perilaku risiko tinggi seperti
koinfeksi TB-HIV maka konseling dan
a. Pengguna NAPZA suntikan
pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh
b. Homoseksual
pasien TB sebagai bagian dari penatalaksanaan
c. Waria
rutin. Pada daerah dengan prevalensi HIV
d. Pekerja seks
yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
e. Pramuria panti pijat
diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan
Sederhana (Objective) HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko
terpajan HIV.
Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal permulaan
perkembangan penyakit umumnya sulit sekali
Tabel 1.5 Gambaran TB-HIV

Infeksi dini Infeksi lanjut


(CD4 > 200/mm3) (CD4 < 200/mm3)
Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstra paru Jarang umum/banyak
Mikrobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kavitas di Tipikal primer TB milier/
puncak interstasial
Adenopati hilus/mediastinum Tidak ada Ada
Efusi pleura Tidak ada Ada

Diagnosis Banding 6. Setiap penderita TB-HIV harus diberikan

1. Kriptokokosis profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 960


2. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP) mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian
3. Aspergillosis OAT.
7. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/
Komplikasi
AIDS sangat berbahaya karena akan
1. Limfadenopati menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
2. Efusi pleura 8. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan
3. Penyakit perikardial jika tersedia alat suntik sekali pakai yang
4. TB Milier steril.
5. Meningitis TB 9. Desensitisasi obat (INH/Rifampisin) tidak
boleh dilakukan karena mengakibatkan efek
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) toksik yang serius pada hati.
Penatalaksanaan 10. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak
memberi respons terhadap pengobatan,
1. Pada dasarnya pengobatannya sama selain dipikirkan terdapatnya malabsorbsi
dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan korelasi antara imunosupresi yang berat
kombinasi beberapa jenis obat dalam dengan derajat penyerapan, karenanya
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu dosis standar yang diterima suboptimal
yang tepat. sehingga konsentrasi obat rendah dalam
3. Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera serum.
diberikan OAT dan pemberian ARV
dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa Konseling dan Edukasi
mempertimbangkan kadar CD4. Konseling dilakukan pada pasien yang dicurigai
4. Perlu diperhatikan, pemberian secara HIV dengan merujuk pasien ke pelayanan VCT
bersamaan membuat pasien menelan obat (Voluntary Counceling and Testing).
dalam jumlah yang banyak sehingga dapat
terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek Kriteria Rujukan
samping, interaksi obat dan Immune
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+)
Reconstitution Inflammatory Syndrome.
tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah
pengobatan dalam jangka waktu tertentu
2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ Prognosis
meragukan)
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah Prognosis pada umumnya baik apabila pasien
jangka waktu tertentu melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
dengan komorbid) prognosis menjadi kurang baik.
5. Suspek TB–MDR harus dirujuk ke pusat Referensi
rujukan TB–MDR .
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Peralatan Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011.
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, 2. Panduan Tata laksana Tuberkuloasis ISTC
darah rutin dengan strategi DOTS unutk Praktek Dokter
2. Mantoux test Swasta (DPS), oleh Kementerian Kesehatan
3. Radiologi Republik Indonesia dan Ikatan Dokter
Indonesia Jakarta 2012.

3.MORBILI
No. ICPC-2: A71 Measles.
No. ICD-10: B05.9 Measles without complication (Measles NOS).
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
menjadi masalah kesehatan yang krusial di
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan Indonesia. Peran dokter di fasilitas pelayanan
oleh virus Measles. Nama lain dari penyakit ini kesehatan tingkat pertama sangat penting
adalah rubeola atau campak. Morbili dalam mencegah, mendiagnosis,
merupakan penyakit yang sangat infeksius dan menatalaksana, dan menekan mortalitas
menular lewat udara melalui aktivitas bernafas, morbili.
batuk, atau bersin. Pada bayi dan balita,
morbili dapat menimbulkan komplikasi yang Hasil Anamnesis (Subjective)
fatal, seperti pneumonia dan ensefalitis. Salah
satu strategi menekan mortalitas dan 1. Gejala prodromal berupa demam, malaise,
morbiditas penyakit morbili adalah dengan gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan
vaksinasi. Namun, berdasarkan data Survei konjungtivitis.
Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2. Pada demam hari keempat, biasanya
2007, ternyata cakupan imunisasi campak pada muncul lesi makula dan papula eritem, yang
anak-anak usia di bawah 6 tahun di Indonesia dimulai pada kepala daerah perbatasan
masih relatif lebih rendah(72,8%) dibandingkan dahi rambut, di belakang telinga, dan
negara- negara lain di Asia Tenggara yang sudah menyebar secara sentrifugal ke bawah
mencapai 84%. Pada tahun 2010, Indonesia hingga muka, badan, ekstremitas, dan
merupakan negara dengan tingkat insiden mencapai kaki pada hari ketiga.
tertinggi ketiga di Asia Tenggara. World Health 3. Masa inkubasi 10-15 hari.
Organization melaporkan sebanyak 6300 kasus 4. Belum mendapat imunisasi campak
terkonfirmasi Morbili di Indonesia sepanjang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
tahun 2013.
Sederhana (Objective)
Dengan demikian, hingga kini, morbili masih 1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati
general. d. Mononukleosis infeksiosa
2. Pada orofaring ditemukan koplik spot e. Infeksi Mycoplasma pneumoniae
sebelum munculnya eksantem.
3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan Komplikasi
papula eritem, dimulai pada kepala pada Komplikasi lebih umum terjadi pada anak
daerah perbatasan dahi rambut, di dengan gizi buruk, anak yang belum mendapat
belakang telinga, dan menyebar secara imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi
sentrifugal dan ke bawah hingga muka, dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media,
badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada
4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan- anak HIV yang tidak diimunisasi, pneumonia
lahan menghilang dengan urutan sesuai yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi
urutan muncul, dengan warna sisa coklat kulit.
kekuningan atau deskuamasi ringan.
Eksantem hilang dalam 4-6 hari. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Gambar 1.1 Morbili Penatalaksanaan


1. Terapi suportif diberikan dengan menjaga
cairan tubuh dan mengganti cairan yang
hilang dari diare dan emesis.
2. Obat diberikan untuk gejala simptomatis,
demam dengan antipiretik. Jika terjadi
infeksi bakteri sekunder, diberikan
antibiotik.
3. Suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/
hari PO diberi 2 dosis.
b. b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2
dosis.
c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO
2 dosis.
d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A,
2 dosis pertama sesuai usia, dilanjutkan
Pemeriksaan Penunjang dosis ketiga sesuai usia yang diberikan
2-4 minggu kemudian.
Pada umumnya tidak diperlukan. Pada
pemeriksaan sitologi dapat ditemukan sel datia Konseling dan Edukasi
berinti banyak pada sekret. Pada kasus tertentu,
Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili
mungkin diperlukan pemeriksaan serologi IgM
merupakan penyakit yang menular. Namun
anti-Rubella untuk mengkonfirmasi diagnosis.
demikian, pada sebagian besar pasien infeksi
Penegakan Diagnosis (Assessment) dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan
bersifat suportif. Edukasi pentingnya
1. Diagnosis umumnya dapat ditegakkan memperhatikan cairan yang hilang dari diare/
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. emesis. Untuk anggota keluarga/kontak yang
2. Diagnosis banding: rentan, dapat diberikan vaksin campak atau
a. Erupsi obat human immunoglobulin untuk pencegahan.
b. Eksantem virus yang lain (rubella, Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari
eksantem subitum), terpapar dengan penderita. Imunoglobulin
c. Scarlet fever dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi usia 6 bulan -1 tahun, bayi usia
kurang
dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas Referensi
campak, dan wanita hamil.
1. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar
Kriteria Rujukan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th Ed.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. (Djuanda,
Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan
et al., 2007)
komplikasi (superinfeksi bakteri, pneumonia,
2. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M.
dehidrasi, croup, ensefalitis)
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Peralatan Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier.
Canada.2000. (James, et al., 2000)
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
menegakkan diagnosis morbili. Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik. 2011.
Prognosis (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin, 2011)
Prognosis pada umumnya baik karena penyakit
ini merupakan penyakit self-limiting disease.

4.VARISELA
No. ICPC-2: A72 Chickenpox
No. ICD-10 : B01.9 Varicella without complication (Varicella NOS)
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Fisik
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster
Tanda Patognomonis
yang menyerang kulit dan mukosa, klinis
terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang
polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan
melalui udara (air-borne) dan kontak langsung. embun (tear drops). Vesikel akan menjadi keruh
dan kemudian menjadi krusta. Sementara
Hasil Anamnesis (Subjective)
proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-
Keluhan vesikel baru yang menimbulkan gambaran
polimorfik khas untuk varisela. Penyebaran
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian terjadi secara sentrifugal, serta dapat
disusul timbulnya lesi kulit berupa papul eritem menyerang selaput lendir mata, mulut, dan
yang dalam waktu beberapa jam berubah saluran napas atas.
menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa gatal.
Gambar 1.2 Varisela
Faktor Risiko
1. Anak-anak.
2. Riwayat kontak dengan penderita varisela.
3. Keadaan imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Penunjang Konseling dan Edukasi
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis Edukasi bahwa varisella merupakan
dengan menemukan sel penyakit yang self-limiting pada anak yang
imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat
Tzanck yaitu sel datia berinti banyak. berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh karena
Penegakan Diagnosis (Assessment) itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan
tubuh. Penderita sebaiknya dikarantina untuk
Diagnosis Klinis mencegah penularan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Kriteria Rujukan
dan pemeriksaan fisik.
1. Terdapat gangguan imunitas
Diagnosis Banding 2. Mengalami komplikasi yang berat seperti
1. Variola pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis.
2. Herpes simpleks disseminata Peralatan
3. Coxsackievirus
4. Rickettsialpox Lup

Komplikasi Prognosis

Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama Prognosis pada pasien dengan imunokompeten


terjadi pada pasien dengan gangguan imun. adalah bonam, sedangkan pada pasien dengan
Varisela pada kehamilan berisiko untuk imunokompromais, prognosis menjadi dubia ad
menyebabkan infeksi intrauterin pada janin, bonam.
menyebabkan sindrom varisela kongenital. Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Penatalaksanaan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
1. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak Kedokteran Universitas Indonesia.
mengakibatkan pecahnya vesikel. Selain itu, 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
dan mencegah kontak dengan orang lain. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan Elsevier.
indikasi. Aspirin dihindari karena dapat 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
menyebabkan Reye’s syndrome. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
3. Losio kalamin dapat diberikan untuk Jakarta.
mengurangi gatal.
4. Pengobatan antivirus oral, antara lain:
a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari,
anak- anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis
maksimal 800 mg), atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan
efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah
timbul lesi.
5.MALARIA
No. ICPC-2: A73 Malaria
No. ICD-10: B54 Unspecified malaria
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
• Nadi teraba cepat dan lemah.
Merupakan suatu penyakit infeksi akut • Pada kondisi tertentu bisa
maupun kronik yang disebabkan oleh parasit ditemukan penurunan kesadaran.
Plasmodium yang menyerang eritrosit dan 2. Kepala : Konjungtiva anemis, sklera ikterik,
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual bibir sianosis, dan pada malaria serebral
dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, dapat ditemukan kaku kuduk.
anemia, dan pembesaran limpa. 3. Toraks : Terlihat pernapasan cepat.
4. Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan
Hasil Anamnesis (Subjective) limpa, dapat juga ditemukan asites.
Keluhan 5. Ginjal : Dapat ditemukan urin berwarna
coklat kehitaman, oligouri atau anuria.
Demam hilang timbul, pada saat demam hilang 6. Ekstermitas : Akral teraba dingin
disertai dengan menggigil, berkeringat, dapat merupakan tanda-tanda menuju syok.
disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan
persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, Pemeriksaan Penunjang
mual muntah, dan diare. 1. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan
Faktor Risiko tipis ditemukan parasit Plasmodium.

1. Riwayat menderita malaria sebelumnya. 2. Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT).
2. Tinggal di daerah yang endemis malaria. Penegakan Diagnosis (Assessment)
3. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah
endemik malaria. Diagnosis Klinis
4. Riwayat mendapat transfusi darah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Trias Malaria: panas – menggigil – berkeringat),
Sederhana (Objective) pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit
plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan Fisik hapusan darah tebal/tipis.
1. Tanda Patognomonis Klasifikasi
a. Pada periode demam:
• Kulit terlihat memerah, teraba 1. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium
panas, suhu tubuh meningkat falsiparum.
dapat sampai di atas 400C dan 2. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium
kulit kering. vivax.
• Pasien dapat juga terlihat pucat. 3. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale.
• Nadi teraba cepat 4. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium
• Pernapasan cepat (takipneu) malariae.
b. Pada periode dingin dan berkeringat: 5. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium
• Kulit teraba dingin dan knowlesi.
berkeringat.
Diagnosis Banding a. Diberikan lagi regimen DHP yang sama
tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi
1. Demam Dengue 0,5 mg/kgBB/hari.
2. Demam Tifoid b. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah
3. Leptospirosis apabila pemberian Primakiun dosis 0,25
4. Infeksi virus akut lainnya mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) hari dan penderita sakit kembali dengan
parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu
Penatalaksanaan sampai 3 bulan setelah pengobatan.
Pengobatan Malaria falsiparum Pengobatan Malaria malariae
1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3
Combination (FDC) yang terdiri dari hari dengan dosis sama dengan pengobatan
Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan
tiap tablet mengandung 40 mg pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin. Primakuin.
Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai Pengobatan infeksi campuran antara Malaria
dengan 59 kg diberikan DHP per oral 3 tablet falsiparum dengan Malaria vivax/ Malaria ovale
satu kali per hari selama 3 hari dan Primakuin dengan DHP.
2 tablet sekali sehari satu kali pemberian,
Pada penderita dengan infeksi campuran
sedangkan untuk BB > 60 kg diberikan 4 tablet
diberikan DHP 1 kali per hari selama 3 hari,
DHP satu kali sehari selama 3 hari dan
serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta
Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali
Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari.
pemberian. Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB (dosis
tunggal), Piperakuin = 16-32 mg/kgBB (dosis Pengobatan malaria pada ibu hamil
tunggal), Primakuin = 0,75 mg/kgBB (dosis 1. Trimester pertama: Kina tablet 3 x 10mg/ kg
tunggal). BB + Klindamycin 10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP
2. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum
tablet selama 3 hari.
yang tidak respon terhadap pengobatan DHP):
3. Pencegahan / profilaksis digunakan
Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis
Doksisiklin 1 kapsul 100 mg/hari diminum 2
kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari),
hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah
Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari ( dewasa,
keluar/pulang dari daerah endemis.
2x/hari selama7 hari), 2,2 mg/kgBB/hari ( 8-14
tahun, 2x/hari selama 7 hari), T etrasiklin = 4-5 Pengobatan di atas diberikan berdasarkan berat
mg/kgBB/kali (4x/hari selama 7 hari). badan penderita.

Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale Komplikasi


1. Malaria serebral.
1. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA)
2. Anemia berat.
+ Piperakuin (DHP), diberikan peroral satu
3. Gagal ginjal akut.
kali per hari selama 3 hari, pr im aku i n =
4. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory
0,2 5 mg/kgBB/hari (selama 14 hari).
Distress Syndrome).
2. Lini kedua (pengobatan malaria vivax yang
5. Hipoglikemia.
tidak respon terhadap pengobatan DHP):
6. Gagal sirkulasi atau syok.
Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat
kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), Primakuin
pencernaan dan atau disertai kelainan
= 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
laboratorik adanya gangguan koagulasi
3. Pengobatan malaria vivax yang relaps
intravaskular.
(kambuh):
8. Kejang berulang >2 kali per 24 jam Artesunat per Intra Muskular atau Intra Vena
pendidngan pada hipertermia. dengan dosis awal 3,2mg /kg BB.
9. Asidemia (pH darah <7.25)atau asidosis
(biknat plasma < 15 mmol/L). Peralatan
10. Makroskopik hemoglobinuria karena infeksi Laboratorium sederhana untuk pembuatan
malaria akut. apusan darah, pemeriksaan darah rutin dan
Konseling dan Edukasi pemeriksaan mikroskopis.

1. Pada kasus malaria berat disampaikan kepada Prognosis


keluarga mengenai prognosis penyakitnya. Prognosis bergantung pada derajat beratnya
2. Pencegahan malaria dapat dilakukan malaria. Secara umum, prognosisinya adalah
dengan: dubia ad bonam. Penyakit ini dapat terjadi
a. Menghindari gigitan nyamuk dengan kembali apabila daya tahan tubuh menurun.
kelambu atau repellen.
Referensi
b. Menghindari aktivitas di luar rumah
pada malam hari. 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser,
c. Mengobati pasien hingga sembuh S.L. et al.Harrisson’s: Principle of Internal
misalnya dengan pengawasan minum Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill
obat Companies. 2009.
2. Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Kriteria Rujukan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
1. Malaria dengan komplikasi Penatalaksanaan Kasus Malaria di
2. Malaria berat, namun pasien harus terlebih Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
dahulu diberi dosis awal Artemisinin atau (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2008

6.LEPTOSPIROSIS
No. ICPC-2: A78 Infection disease other/ NOS
No. ICD-10: A27.9 Leptospirosis, unspecified Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang kesadaran
menyerang manusia disebabkan oleh mikro Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
organisme Leptospira interogans dan memiliki sederhana (Objective)
manifestasi klinis yang luas. Spektrum klinis
Pemeriksaan Fisik
mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai
fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, 1. Febris
leptospirosis dapat muncul seperti influenza 2. Ikterus
dengan sakit kepala dan myalgia. Tikus adalah 3. Nyeri tekan pada otot
reservoir yang utama dan kejadian leptospirosis 4. Ruam kulit
lebih banyak ditemukan pada musim hujan. 5. Limfadenopati
6. Hepatomegali dan splenomegali
Hasil Anamnesis (Subjective) 7. Edema
Keluhan: 8. Bradikardi relatif
9. Konjungtiva suffusion
Demam disertai menggigil, sakit kepala,
10. Gangguan perdarahan berupa petekie,
anoreksia, mialgia yang hebat pada betis, paha
purpura, epistaksis dan perdarahan gusi
dan pinggang disertai nyeri tekan. Mual,
muntah, 11. Kaku kuduk sebagai tanda meningitis
Pemeriksaan Penunjang 4. Gagal hati
5. Gagal jantung
Pemeriksaan Laboratorium
Konseling dan Edukasi
1. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-
26000/μL, dengan pergeseran ke kiri, 1. Pencegahan leptospirosis khususnya di
trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% daerah tropis sangat sulit, karena
pasien dan dihubungkan dengan gagal ginjal. banyaknya hospes perantara dan jenis
2. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, serotipe. Bagi mereka yang mempunyai
dan hyalin atau granular) dan proteinuria risiko tinggi untuk tertular leptospirosis
ringan, jumlah sedimen eritrosit biasanya harus diberikan perlindungan berupa
meningkat. pakaian khusus yang dapat melindunginya
dari kontak dengan bahan-bahan yang telah
Penegakan Diagnostik (Assessment) terkontaminasi dengan kemih binatang
Diagnosis Klinis reservoir.
2. Keluarga harus melakukan pencegahan
Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan leptospirosis dengan menyimpan makanan
demam tiba-tiba, menggigil terdapat tanda dan minuman dengan baik agar terhindar
konjungtiva suffusion, sakit kepala, mialgia, dari tikus, mencuci tangan dengan sabun
ikterus dan nyeri tekan pada otot. Kemungkinan sebelum makan, mencuci tangan, kaki serta
tersebut meningkat jika ada riwayat bekerja bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
atau terpapar dengan lingkungan yang bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/
terkontaminasi dengan kencing tikus. selokan dan tempat tempat yang tercemar
Diagnosis Banding lainnya.

1. Demam dengue, Rencana Tindak Lanjut


2. Malaria, Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan
3. Hepatitis virus, setempat. Kriteria Rujukan
4. Penyakit rickettsia.
Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) (spesialis penyakit dalam) yang memiliki fasilitas
Penatalaksanaan hemodialisa setelah penegakan diagnosis dan
terapi awal.
1. Pengobatan suportif dengan observasi ketat
untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan Prognosis
dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal Prognosis jika pasien tidak mengalami
ginjal sangat penting pada leptospirosis. komplikasi umumnya adalah dubia ad bonam.
2. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat
mungkin.Pada kasus- kasus ringan dapat Referensi
diberikan antibiotik oral seperti doksisiklin,
1. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu
ampisilin, amoksisilin atau eritromisin. Pada
Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta:
kasus leptospirosis berat diberikan dosis
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
tinggi penisilin injeksi.
dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5. (Sudoyo, et
Komplikasi al., 2006)
2. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007.
1. Meningitis Available at: (Cunha, 2007)
2. Distress respirasi 3. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.
3. Gagal ginjal karena renal interstitial tubular Available at: http://www.nlm.nih.gov/
necrosis medlineplus/ency/arti cle/001376.htm.
Accessed December 2009. (Dugdale, 2004)
7.FILARIASIS
No. ICPC-2: D96 Woms/other parasites No. ICD-10: B74 Filariasis
B74.0 Filariasis due to Wuchereria bancrofti B74.1 Filariasis due to Brugia malayi
B74.2 Filariasis due to Brugia timori
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit satu daerah endemik dengan daerah endemik
menular yang disebabkan oleh cacing Filaria lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. perbedaan intensitas paparan terhadap vektor
Penyakit ini bersifat menahun (kronis) infektif didaerah endemik tersebut.
dan bila tidak mendapatkan pengobatan
dapat menimbulkan cacat menetap berupa Manifestasi akut, berupa:
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik 1. Demam berulang ulang selama 3-5 hari.
perempuan maupun laki-laki. Demam dapat hilang bila istirahat dan
timbul lagi setelah bekerja berat.
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global
2. Pembengkakan kelenjar getah bening
untuk mengeliminasi filariasis pada tahun
(tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
2020 (The Global Goal of Elimination of
ketiak (lymphadentitis) yang tampak
Lymphatic Filariasis as a Public Health problem
kemerahan, panas, dan sakit.
by The Year 2020). Program eliminasi
dilaksanakan melalui pengobatan massal 3. Radang saluran kelenjar getah bening yang
dengan DEC dan Albendazol setahun sekali terasa panas dan sakit menjalar dari pangkal
kaki atau pangkal lengan ke arah ujung
selama 5 tahun di lokasi yangendemis serta
perawatan kasus klinis baik yang akut maupun (retrograde lymphangitis).
kronis untuk mencegah kecacatandan 4. Filarial abses akibat seringnya menderita
mengurangi penderitaannya. pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta
Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki darah.
gajah secara bertahap yang telah dimulai sejak 5. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada,
tahun 2002 di 5 kabupaten. Perluasan wilayah kantong zakar yang terlihat agak kemerahan
akan dilaksanakan setiap tahun. dan terasa panas (Early Imphodema).
Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies Manifestasi kronik, disebabkan oleh
cacing filaria, yaitu: Wucheria bancrofti, Brugia berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi
malayi dan Brugia timori. Vektor penular di beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari
Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada episode akut. Gejala kronis filariasis berupa:
23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, pembesaran yang menetap (elephantiasis)
Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar
berperan sebagai vektor penular penyakit kaki (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh
gajah. adanya cacing dewasa pada sistem limfatik
dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult
Hasil Anamnesis (Subjective) filariasis.
Keluhan Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium
ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari
masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi: elefantiasis dan chyluria yang meningkat sesuai
bertambahnya usia.
1. Masa prepaten, yaitu masa antara
masuknya larva infektif hingga terjadinya Manifestasi genital di banyak daerah endemis,
mikrofilaremia berkisar antara 37 gambaran kronis yang terjadi adalah hidrokel.
bulan. Hanya sebagian saja dari Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis,
penduduk di daerah endemik yang funikulitis, edema karena penebalan kulit
menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok skrotum, sedangkan pada perempuan bisa
mikrofilaremik ini pun tidak semua dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan
kemudian menunjukkan gejala klinis. elefantiasis ekstremitas, episode limfedema
Terlihat bahwa kelompok ini termasuk pada ekstremitas akan menyebabkan
kelompok yang asimptomatik elefantiasis di daerah saluran limfe yang terkena
amikrofilaremik dan asimptomatik dalam waktu bertahun-tahun. Lebih sering
mikrofilaremik. terkena ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti,
2. Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infeksi didaerah paha dan ekstremitas bawah
infektif sampai terjadinya gejala klinis sama seringnya, sedangkan B.malayi hanya
berkisar antara 8 – 16 bulan. mengenai ekstremitas bawah saja.
3. Gejala klinik akut merupakan limfadenitis
dan limfangitis disertai panas dan malaise. Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti,
Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering
Penderita dengan gejala klinis akut dapat terkena, disusul funikulitis, epididimitis, dan
amikrofilaremik maupun mikrofilaremik. orkitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila,
4. Gejala menahun, terjadi 10 – 15 tahun sering bersama dengan limfangitis retrograd
setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria yang umumnya sembuh sendiri dalam 3 –15
jarang ditemukan pada stadium ini, hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam
sedangkan adenolimfangitis masih dapat setahun. Pada filariasis brugia, limfadenitis
terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan paling sering mengenai kelenjar inguinal,
terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-
penderita serta membebani keluarganya. kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh
limfe menjadi keras dan nyeri dan sering
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan
Sederhana (Objective) kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama
beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 x/
Pemeriksaan Fisik tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar
Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya limfe yang terkena dapat menjadi abses,
limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3 memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan
– 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam parut yang khas, setelah 3 minggu sampai 3
setahun. Limfangitis akan meluas kedaerah bulan.
distal dari kelenjar yang terkena tempat
Pada kasus menahun filariasis bancrofti,
cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis
hidrokel paling banyak ditemukan. Limfedema
berkembang lebih sering di ekstremitas bawah
dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai
daripada atas. Selain pada tungkai, dapat
atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah
mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi
dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat
W.bancrofti) dan payudara.
3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi
Manifestasi kronik, disebabkan oleh tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita
berkurangnya fungsi saluran limfe. Bentuk menyebabkan penurunan berat badan dan
manifestasi ini dapat terjadi dalam beberapa kelelahan. Filariasis brugia, elefantiasis terjadi
bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan
Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema,
bawah, dan ukuran pembesaran ektremitas filariasis akut
tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya. 2. Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan
penyakit sistemik granulomatous lainnya.
Pemeriksaan Penunjang
Komplikasi
1. Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah.
Cacing filaria dapat ditemukan dengan Pembesaran organ (kaki, tangan, skrotum atau
pengambilan darah tebal atau tipis pada bagian tubuh lainnya) akibat obstruksi saluran
waktu malam hari antara jam 10 malam limfe.
sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan
pewarnaan Giemsa atau Wright. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Mikrofilaria juga dapat ditemukan pada Penatalaksanaan
cairan hidrokel atau cairan tubuh lain
(sangat jarang). Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah
2. Pemeriksaan darah tepi terdapat atau memperbaiki perjalanan penyakit, antara
leukositosis dengan eosinofilia sampai 10- lain dengan:
30% dengan pemeriksaan sediaan darah jari 1. Memelihara kebersihan kulit.
yang diambil mulai pukul 20.00 waktu 2. Fisioterapi kadang diperlukan pada
setempat. penderita limfedema kronis.
3. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan 3. Obatantifilaria adalah Diethyl carbamazine
Diethylcarbamazine provocative test. citrate (DEC) dan Ivermektin (obat ini
Gambar 1.3 Filariasis bermanfaat apabila diberikan pada fase
akut yaitu ketika pasien mengalami
limfangitis).
4. DEC dapat membunuh mikrofilaria dan
cacing dewasa. Ivermektin merupakan
antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak
memiliki efek makrofilarisida.
5. Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari
setelah makan, selama 12 hari, pada
TropicalPulmonary Eosinophylia (TPE)
pengobatan diberikan selama tiga minggu.
6. Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi
terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing
Penegakan Diagnostik (Assessment) dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap
protein yang dilepaskan pada saat cacing
Diagnosis Klinis
dewasa mati dapat terjadi beberapa jam
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan
identifikasi mikrofilaria. reaksi lokal:
a. Reaksi sistemik berupa demam, sakit
Didaerah endemis, bila ditemukan adanya kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia,
limfedema di daerah ekstremitas disertai malaise, dan muntah-muntah. Reaksi
dengankelainan genital laki-laki pada penderita sistemik cenderung berhubungan
dengan usia lebih dari 15 tahun, bila tidak ada dengan intensitas infeksi.
sebablain seperti trauma atau gagal jantung b. Reaksi lokal berbentuk limfadenitis,
kongestif kemungkinan filariasis sangat tinggi. abses, dan transien limfedema. Reaksi
Diagnosis Banding lokal terjadi lebih lambat namun
berlangsung lebih lama dari reaksi
1. Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma
dapat mengacaukan adenolimfadenitis
sistemik. diulang 6 bulan kemudian.
c. Efek samping DEC lebih berat pada
penderita onchorcerciasis, Kriteria rujukan
sehinggaobat tersebut tidak Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan
diberikan dalam program pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan
masal didaerah endemis filariasis pengobatan konservatif.
dengan ko- endemis Onchorcercia
valvulus. Peralatan
7. Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/ Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
kgBB efektif terhadap penurunan derajat mikrofilaria.
mikrofilaria W. bancrofti, namun pada
filariasis oleh Brugia spp. penurunan Prognosis
tersebut bersifat gradual. Efek samping
ivermektin sama dengan DEC, Prognosis pada umumnya tidak mengancam
kontraindikasi ivermektin yaitu wanita jiwa. Quo ad fungsionam adalah dubia ad
hamil dan anak kurang dari 5 tahun. Karena bonam, sedangkan quo ad sanationam adalah
tidak memiliki efek terhadap cacing malam.
dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 Prognosis penyakit ini tergantung dari:
bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar
derajat mikrofilaremia tetap rendah. 1. Jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria
8. Pemberian antibiotik dan/ atau anti jamur dalam tubuh pasien.
akan mengurangi serangan berulang, 2. Potensi cacing untuk berkembang biak.
sehingga mencegah terjadinya limfedema 3. Kesempatan untuk infeksi ulang.
kronis. 4. Aktivitas RES.
9. Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis
untuk mengatasi efek samping pengobatan. baik terutama bila pasien pindah dari daerah
Analgetik dapat diberikan bila diperlukan. endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut
10. Pengobatan operatif, kadang-kadang dapat dilakukan dengan pemberian obat serta
hidrokel kronik memerlukan tindakan pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus
operatif, demikian pula pada chyluria yang lanjut terutama dengan edema pada tungkai,
tidak membaik dengan terapi konservatif. prognosis lebih buruk.
Konseling dan Edukasi Referensi
Memberikan informasi kepada pasien dan 1. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M.
keluarganya mengenai penyakit filariasis Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi, Brugria
terutama dampak akibat penyakit dan cara timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson
penularannya. Pasien dan keluarga juga harus Textbook of Pediatric.18thEd.2007: 1502-
memahami pencegahan dan pengendalian 1503. (Behrman, et al., 2007)
penyakit menular ini melalui: 2. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic
1. Pemberantasan nyamuk dewasa Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook
2. Pemberantasan jentik nyamuk of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108.
3. Mencegah gigitan nyamuk (Rudolph, et al., 2007)
3. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki,
Rencana Tindak Lanjut S.H.Hindra Irawan S. FilariasisdalamBuku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan
Setelah pengobatan, dilakukan kontrol
Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2010: 400-
ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila
masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada 407. (Sumarmo, et al.,2010)
pemeriksaan darahnya, pengobatan dapat
8.INFEKSI PADA UMBILIKUS
No. ICPC-2: A94 Perinatal morbidity other
No. ICD-10: P38 Omphalitis of newborn with or without mild haemorrhage
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Penunjang: -
Tali pusat biasanya lepas pada hari ke-7 setelah
Penegakan Diagnostik (Assessment)
lahir dan luka baru sembuh pada hari ke-15.
Infeksi pada tali pusat atau jaringan kulit di Diagnosis Klinis
sekitar perlu dikenali secara dini dalam rangka
mencegah sepsis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Adanya tanda-tanda
Hasil Anamnesis (Subjective) infeksi disekitar umblikus seperti bengkak,
kemerahan dan kekakuan. Pada keadaan
Keluhan
tertentu ada lesi berbentuk impetigo bullosa.
Panas, rewel, tidak mau menyusu. Faktor Risiko
Diagnosis Banding
1. Imunitas seluler dan humoral belum
1. Tali pusat normal dengan akumulasi cairan
sempurna
berbau busuk, tidak ada tanda tanda infeksi
2. Luka umbilikus
(pengobatan cukup dibersihkan dengan
3. Kulit tipis sehingga mudah lecet
alkohol)
Faktor Predisposisi 2. Granuloma-delayed epithelialization/
Granuloma keterlambatan proses epitelisasi
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang karena kauterisasi
tidak steril
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Necrotizing fasciitis dengan tanda-tanda:
edema, kulit tampak seperti jeruk (peau
Pemeriksaan Fisik d’orange appearance) disekitar tempat
1. Ada tanda tanda infeksi di sekitar tali pusat infeksi, progresivitas cepat dan dapat
seperti kemerahan, panas, bengkak, nyeri, menyebabkan kematian maka kemungkinan
dan mengeluarkan pus yang berbau busuk. menderita.
2. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas: bila 2. Peritonitis
kemerahan dan bengkak terbatas pada 3. Trombosis vena porta
daerah kurang dari 1cm di sekitar pangkal 4. Abses
tali pusat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Infeksi tali pusat berat atau meluas:
bila kemerahan atau bengkak pada tali Penatalaksanaan
pusat meluas melebihi area 1 cm atau
kulit di sekitar tali pusat bayi mengeras 1. Perawatan lokal
dan memerah serta bayi mengalami a. Pembersihan tali pusat dengan
pembengkakan perut. menggunakan larutan antiseptik
(Klorheksidin atau iodium povidon
4. Tanda sistemik: demam, takikardia,
2,5%) dengan kain kasa yang bersih
hipotensi, letargi, somnolen, ikterus
delapan kali sehari sampai tidak ada
nanah lagi pada tali pusat.
b. Setelah dibersihkan, tali pusat Kriteria Rujukan
dioleskan dengan salep antibiotik 3-4
kali sehari. 1. Bila intake tidak mencukupi dan anak
2. Perawatan sistemik. Bila tanpa gejala mulai tampak tanda dehidrasi
sistemik, pasien diberikan antibiotik seperti 2. Terdapat tanda komplikasi sepsis
kloksasilin oral selama lima hari. Bila Prognosis
anak tampak sakit, harus dicek dahulu ada
tidaknya tanda-tanda sepsis. Anak dapat Prognosis jika pasien tidak mengalami
diberikan antibiotik kombinasi dengan komplikasi umumnya dubia ad bonam.
aminoglikosida. Bila tidak ada perbaikan,
Referensi
pertimbangkan kemungkinan Meticillin
Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi
Tali Pusat dalam Panduan Manajemen
Kontrol kembali bila tidak ada perbaikan Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta.
atau ada perluasan tanda-tanda infeksi dan Departemen Kesehatan RI. (Ikatan Dokter
komplikasi seperti bayi panas, rewel dan mulai Anak Indonesia, 2003)
tak mau makan. 2. Peadiatrics Clerkship University. The
Rencana tindak lanjut: - University of Chicago.

9.KANDIDIASIS MULUT
No. ICPC-2: A78 Infectious desease other
No. ICD-10: B37.9 Candidiasis unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Guam atau oral thrush yang diselaputi
Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, pseudomembran pada mukosa mulut.
mukosa maupun organ dalam, sedangkan
Pemeriksaan Penunjang
pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat
dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam
pelarut KOH 10% atau pewarnaan Gram.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan:
Diagnosis Klinis
Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa
metal, dan daya kecap penderita yang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
berkurang pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Faktor Risiko: imunodefisiensi Diagnosis Banding
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Peradangan mukosa mulut yang disebabkan
Sederhana (Objective) oleh bakteri atau virus.
Pemeriksaan Fisik Komplikasi
1. Bercak merah, dengan maserasi di daerah Diare karena kandidiasis saluran cerna.
sekitar mulut, di lipatan (intertriginosa)
disertai bercak merah yang terpisah di
sekitarnya (satelit).
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit
lainnya, seperti HIV.
1. Memperbaiki status gizi dan menjaga
kebersihan oral Peralatan
2. Kontrol penyakit predisposisinya
3. Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
larutan nistatin 100.000 – 200.000 IU/ml Prognosis
yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3
hari Prognosis pada pasien dengan imunokompeten
umumnya bonam.
Rencana Tindak Lanjut
Referensi
1. Dilakukan skrining pada keluarga dan
perbaikan lingkungan keluarga untuk 1. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007.
menjaga tetap bersih dan kering. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
2. Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari (Kementerian Kesehatan Republik
tidak ada perbaikan dengan obat anti jamur. Indonesia, 2007)

10. LEPRA
No. ICPC-2: A78 Infectious disease other/NOS No. ICD-10: A30 Leprosy (Hansen disease]
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Kontak lama dengan pasien, seperti
Lepra adalah penyakit menular, menahun anggota keluarga yang didiagnosis dengan
dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae lepra
yang bersifat intraselular obligat. Penularan 3. Imunokompromais
kemungkinan terjadi melalui saluranpernapasan 4. Tinggal di daerah endemik lepra
atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terus menerus. Masa inkubasi rata-rata 2,5
Sederhana (Objective)
tahun, namun dapat juga bertahun-tahun.
Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective)
Tanda Patognomonis
Keluhan
1. Tanda-tanda pada kulit
Bercak kulit berwarna merah atau putih Perhatikan setiap bercak, bintil (nodul),
berbentuk plakat, terutama di wajah dan bercak berbentuk plakat dengan kulit
telinga. Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak
Lepuh pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan berkeringat dan berambut. Terdapat baal
kulit tidak sembuh dengan pengobatan rutin, pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan
terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi. suhu, vitiligo. Pada kulit dapat pula
ditemukan nodul.
Faktor Risiko
2. Tanda-tanda pada saraf
1. Sosial ekonomi rendah Penebalan nervus perifer, nyeri tekan
dan atau spontan pada saraf, kesemutan,
tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota
gerak, kelemahan anggota gerak dan atau
wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit
sembuh.
Kerusakan saraf tepi biasanya terjadi pada
saraf yang ditunjukkan pada gambar 1.4.
3. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi
Untuk kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik, simbol- simbol pada
gambar 1.5 digunakan dalam penulisan di
rekam medik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada
sediaan kerokan jaringan kulit.
Gambar 1.5 Penulisan kelainan pemeriksaan
fisik pada rekam medik
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu
dari tanda-tanda utama atau kardinal (cardinal
signs), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan
fungsi saraf
3. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam
kerokan jaringan kulit (slit skin smear)
Sebagian besar pasien lepra didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan klinis.
Gambar 1.4 Saraf tepi yang perlu diperiksa pada Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu
lepra/kusta Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB)

Tabel 1.6 Tanda utama lepra tipe PB dan MB

Tanda Utama PB MB
Bercak Kusta Jumlah 1-5 Jumlah >5
Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
dan/ atau kelemahan otot, di daerah yang dipersarafi saraf
yang bersangkutan)
Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif
Tabel 1.7 Tanda lain klasifikasi lepra

PB MB
Distribusi Unilateral atua bilateral Bilateral simetris
asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Kurang jelas
Deformias Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut
Ciri khas - Maradosis, hidung pelanam wajah singa
(facies leonina), ginekomastia pada pria

Bercak putih
1. Vitiligo
2. Pitiriasis versikolor
3. Pitiriasis alba
Nodul
1. Neurofibromatosis
2. Sarkoma Kaposi
3. Veruka vulgaris
Komplikasi
1. Arthritis.
2. Sepsis
3. Amiloid sekunder
4. Reaksi kusta adalah interupsi dengan
episode akut pada perjalanan yang
Gambar 1.6 : Alur diagnosis dan klasifikasi kusta sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi
Diagnosis Banding hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal)
atau hipersentitivitas humoral (tipe 2/
Bercak eritema eritema nodosum leprosum/ENL).
1. Psoriasis
2. Tinea circinata
3. Dermatitis seboroik
Tabel 1.8 Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2

Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


Pasien dengan bercak multipel dan diseminata, Obat MDT, kecuali Lampren
mengenai area tubuh yang luas serta
keterlibatan saraf multiple
Bercak luas pada wajah dan lesi dekat mata, BI > 4+
berisiko terjadinya lagoftalmos karena reaksi
Saat puerpurium (karena peningkatan CMI). Kehamilan awal (karena stress mental),
Paling tinggi 6 bulan pertama setelah trisemester ke-3, dan puerpurium (karena
melahirkan/ masa menyusui stress fisik), setiap masa kehamilan (karena
infeksi penyerta)
Infeksi penyerta: Hepatitis B dan C Infeksi penyerta: streptokokus, virus, cacing,
filarial, malaria
Neuritis atau riwayat nyeri saraf Stres fisik dan mental
Lain-lain seperti trauma, operasi, imunisasi
protektif, tes Mantoux positif kuat, minum
kalium hidroksida

Tabel 1. 9 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 kusta

No Gejala Tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


1 Tipe kusta Dpat terjadi pada kusta tipe MB Hanya terjadi pada kusta tipe PB
maupun PB
2 Waktu Biasanya segera setelah Biasanya setelah pengobatan yang
timbulnya pengobatan lama, umumnya minimal 6 bulan
3 Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan Ringan sampai berat disertai
(sub-febris) atau tanpa demam kelemahan umum dan demam yang
tinggi
4 Peradagan di Bercak kulit lama menjadi lebih Timbul nodus kemerahan lunak
kulit meradang (merah), bengkak, nyeri tekan. Biasanya pada lengan
berkilat, hangat. Kadang-kadang dan tungkai. Nodus dapat pecah.
hanya pada sebagian lesi. Dapat
timbul bercak baru
5 Saraf Sering terjadi, umumnya berupa Dapat terjadi
nyeri saraf dan atau gangguan
fungsi saraf . silent neuritis (+)
6 Udem pada (+) (-)
ekstrimitas
7 Peradangan Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi, ginjal,
pada organ lain kelenjar getah bening dll
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 6. Terapi pada Pasien MB:
a. Pengobatan bulanan: hari pertama
Penatalaksanaan setiap bulannya (obat diminum di
1. Pasien diberikan informasi mengenai depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul
kondisi pasien saat ini, serta mengenai Rifampisin @300 mg (600 mg), 3 tablet
pengobatan dan pentingnya kepatuhan Lampren (klofazimin) @ 100 mg (300
untuk eliminasi penyakit. mg) dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
2. Kebersihan diri dan pola makan yang baik b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap
perlu dilakukan. bulannya: 1 tablet lampren 50 mg dan
3. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister
hingga selesai terapi dilaksanakan. obat untuk 1 bulan.
4. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy c. Pasien minum obat selama 12-18 bulan
(MDT) pada: (± 12 blister).
a. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan d. Pada anak 10-15 tahun, dosis
belum pernah mendapat MDT. Rifampisin 450 mg, Lampren 150 mg
b. Pasien ulangan, yaitu pasien yang dan DDS 50 mg untuk dosis bulanannya,
mengalami hal-hal di bawah ini: sedangkan dosis harian untuk Lampren
- Relaps 50 mg diselang 1 hari.
- Masuk kembali setelah default 7. Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat
(dapat PB maupun MB) disesuaikan dengan berat badan:
- Pindahan (pindah masuk) a. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
- Ganti klasifikasi/tipe b. Dapson: 1-2 mg/kgBB
5. Terapi pada pasien PB: c. Lampren: 1 mg/kgBB
a. Pengobatan bulanan: hari pertama 8. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat
setiap bulannya (obat diminum di diberikan vitamin B1, B6, dan B12.
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul 9. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien
Rifampisin @300 mg (600 mg) dan 1 hamil dan menyusui. Bila pasien juga
tablet Dapson/DDS 100 mg. mengalami tuberkulosis, terapi rifampisin
b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap disesuaikan dengan tuberkulosis.
bulannya: 1 tablet Dapson/DDS 100 mg. 10. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat
1 blister obat untuk 1 bulan. diganti dengan lampren, untuk MB dengan
c. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± alergi, terapinya hanya 2 macam obat
6 blister). (dikurangi DDS).
d. Pada anak 10-15 tahun, dosis
Rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.

Tabel 1.10 Efek samping obat dan penanganannya

Masalah Nama Obat Penanganan

Ringan
Air seni berwarna Rifampisin Reassurance (Menenangkan penderita
dengan penjelasan yang benar) Konseling
Perubahan warna kulit Clofazimin Konseling
menjadi coklat
Masalah gastrointestinal Semua obat (3 obat dalam Obat diminum bersamaan dengan
MDT) makanan (atau setelah makan)
Anemia Dapson Berikan tablet Fe dan Asam folat
Masalah Nama Obat Penanganan
Serius
Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan Dapson, Rujuk
Alergi urtikaria Dapson atau Rifampisin Hentikan keduanya, Rujuk
Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
ginjal

Terapi untuk reaksi kusta ringan, dilakukan


dengan pemberian prednison dengan cara diperlukan pemeriksaan laboratorium.
pemberian: 4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki
faktor risiko: cacat tingkat 1 atau 2,
1. 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pernah mengalami reaksi, BTA pada awal
pagi hari sesudah makan pengobatan >3 (ada nodul atau infiltrat),
2. 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi maka perlu dilakukan pengamatan
hari sesudah makan semiaktif.
3. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi 5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan
hari sesudah makan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan
4. 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan
pagi hari sesudah makan laboratorium.
5. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi 6. Pasien MB yang telah mendapat
hari sesudah makan pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam
6. 2 Minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi waktu 12-
hari sesudah makan 18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus
7. Bila terdapat ketergantungan terhadap pemeriksaan laboratorium.
Prednison, dapat diberikan Lampren lepas 7. Default
Konseling dan Edukasi Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya
lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6
1. Individu dan keluarga diberikan bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya
penjelasan tentang lepra, terutama cara untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu
penularan dan pengobatannya. yang ditetapkan), maka yang bersangkutan
2. Dari keluarga diminta untuk membantu dinyatakan default. Pasien defaulter tidak
memonitor pengobatan pasien sehingga diobati kembali bila tidak terdapat tanda- tanda
dapat tuntas sesuai waktu pengobatan. klinis aktif. Namun jika memiliki tanda-tanda
3. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa klinis aktif (eritema dari lesi lama di kulit/ ada
pada anggota keluarga lainnya, perlu lesi baru/ ada pembesaran saraf yang baru).
dibawa dan diperiksakan ke pelayanan
kesehatan. Bila setelah terapi kembali pada defaulter
ternyata berhenti setelah lebih dari 3 bulan,
Rencana tindak lanjut: maka dinyatakan default kedua. Bila default
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal lebih dari 2 kali, perlu dilakukan tindakan dan
pengambilan obat. penanganan khusus.
2. Bila terlambat, paling lama dalam 1 bulan Kriteria Rujukan
harus dilakukan pelacakan.
3. Release From Treatment (RFT) dapat 1. Terdapat efek samping obat yang serius.
dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa 2. Reaksi kusta dengan kondisi:
a. ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu
tubuh tinggi, neuritis. Referensi
b. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak
ulserasi atau neuritis. 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
c. Reaksi yang disertai komplikasi dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
penyakit lain yang berat, misalnya Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit
hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
lambung berat. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, 2012)
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
BTA 2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Prognosis Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, (Djuanda, et al., 2007)
namun dubia ad malam pada fungsi
ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi,
demikian pula untuk kejadian berulangnya.

11. KERACUNAN MAKANAN


No. ICPC-2: A86Toxic Effect Non Medical Substance
No. ICD-10: T.62.2 Other Ingested (parts of plant(s)) Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Konsumsi daging/unggas yang kurang
Keracunan makanan merupakan suatu kondisi matang dapat dicurigai untuk Salmonella
gangguan pencernaan yang disebabkan spp, Campylobacter spp, toksin Shiga E coli,
oleh konsumsi makanan atau air yang dan Clostridium perfringens.
terkontaminasi dengan zat patogen dan atau
3. Konsumsi makanan laut mentah dapat
bahan kimia, misalnya Norovirus, Salmonella,
dicurigai untuk Norwalk- like virus, Vibrio
Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
spp, atau hepatitis A.
Staphylococcus aureus.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
Sederhana (Objective )
Keluhan
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Diare akut.
Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk
Pada keracunan makanan biasanya
menilai keparahan dehidrasi.
berlangsung kurang dari 2 minggu.
Darah atau lendir pada tinja; menunjukkan 1. Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda
invasi mukosa usus atau kolon. tekanan darah turun, nadi cepat, mulut
2. Nyeri perut. kering, penurunan keringat, dan penurunan
3. Nyeri kram otot perut; menunjukkan output urin.
hilangnya elektrolit yang mendasari, seperti
pada kolera yang berat. 2. Nyeri tekan perut, bising usus meningkat
4. Kembung. atau melemah.

Faktor Risiko Pemeriksaan Penunjang

1. Riwayat makan/minum di tempat yang 1. Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari feses


tidak higienis untuk telur cacing dan parasit.
2. Pewarnaan Gram, Koch dan metilen biru Kriteria Rujukan
Loeffler untuk membantu membedakan
penyakit invasifdari penyakitnon-invasif. 1. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3
hari ditangani dengan adekuat.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Pasien mengalami perburukan.
Diagnosis Klinis
Dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, dengan spesialis penyakit dalam atau spesialis
pemeriksaan fisik dan penunjang. anak.
Diagnosis Banding Peralatan
1. Intoleransi 1. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
2. Infus set
2. Diare spesifik seperti disentri, kolera dan
3. Antibiotik bila diperlukan
lain-lain.
Prognosis
Komplikasi : Dehidrasi berat
Prognosis umumnya bila pasien tidak
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
mengalami komplikasi adalah bonam.
Penatalaksanaan
Referensi
1. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
akut adalah self- limiting, pengobatan
khusus tidak diperlukan. Dari beberapa 2. Panduan Puskesmas untuk keracunan
studi didapatkan bahwa hanya 10% kasus makanan. Depkes: Jakarta. 2007
membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan (Kementerian Kesehatan Republik
utamanya adalah rehidrasi yang cukup dan Indonesia, 2007)
suplemen elektrolit. Hal ini dapat dicapai
dengan pemberian cairan rehidrasi oral
(oralit) atau larutan intravena (misalnya,
larutan natrium klorida isotonik, larutan
Ringer Laktat). Rehidrasi oral dicapai
dengan pemberian cairan yang
mengandung natrium dan glukosa.
Obat absorben (misalnya, kaopectate,
aluminium hidroksida) membantu
memadatkan feses diberikan bila diare
tidak segera berhenti.
2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari,
etiologi spesifik harus ditentukan dengan
melakukan kultur tinja. Untuk itu harus
segera dirujuk.
3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk
menjaga kebersihan diri.
Konseling dan Edukasi
Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga
higiene keluarga dan pasien.
12. ALERGI MAKANAN
No. ICPC-2: A92 Allergy/ allergic reaction NOS No. ICD-10: L27.2 Dermatitis due to ingested food
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
5. Hipersensitivitas susu sapi pada bayi
Makanan dapat menimbulkan beraneka ragam menyebabkan occult bleeding atau frank
gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap colitis.
alergen asal makanan. Reaksi tersebut dapat
disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Faktor Risiko
Reaksi alergi makanan terjadi bila alergen 1. Terdapat riwayat alergi di keluarga
makanan menembus sawar gastro intestinal
yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dalam beberapa menit sampai beberapa jam, Sederhana (Objective)
dapat terbatas pada satu atau beberapa organ, Pemeriksaan Fisik
kulit, saluran napas dan cerna, lokal dan
sistemik. Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta
paru.
Alergen makanan yang sering menimbulkan
alergi pada anak adalah susu,telur, kacang Pemeriksaan Penunjang: -
tanah, soya, terigu, dan ikan laut. Sedangkan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
yang sering menimbulkan alergi pada orang
dewasa adalah kacang tanah, ikan laut, udang, Diagnosis Klinis
kepiting, kerang, dan telur.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan
Alergi makanan tidak berlangsung seumur hidup pemeriksaan fisik
terutama pada anak. Gejala dapat hilang,
namun dapat kambuh pada keadaan tertentu Diagnosis Banding
seperti infeksi virus, nutrisi yang tidak seimbang 1. Intoksikasi makanan
atau cedera muskulus gastrointestinal.
Komplikasi
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Reaksi alergi berat
Keluhan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Pada kulit: eksim dan urtikaria.
2. Pada saluran pernapasan: rinitis dan asma. Penatalaksanaan

3. Keluhan pada saluran pencernaan: gejala Medika mentosa


gastrointestinal non spesifik dan berkisar
Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis:
dari edema, pruritus bibir, mukosa pipi,
mukosa faring, muntah, kram, distensi,dan 1. Hindari makanan penyebab
diare. 2. Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi
4. Diare kronis dan malabsorbsi terjadi akibat makanan
reaksi hipersensitivitas lambat non Ig-E- Rencana Tindak Lanjut
mediated seperti pada enteropati protein
makanan dan penyakit seliak 1. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien
2. Menghindari makanan yang bersifat Prognosis
alergen secara sengaja mapun tidak sengaja
(perlu konsultasi dengan ahli gizi) Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam
3. Perhatikan label makanan bila medikamentosa disertai dengan perubahan
4. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan gaya hidup.
menimbulkan efek protektif terhadap alergi Referensi
makanan
1. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J
Kriteria Rujukan Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 116-25.
Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, (Sichere & Sampson, 2010)
uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi 2. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai
reaksi anafilaksis. Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan.Ed.
Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada
Peralatan Universitas Press. 2001. (Prawirohartono,
2001)
-
3. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan
Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat.
2003. (Davies, 2003)

13. SYOK
No. ICPC-2: K99 Cardiovascular disease other
No. ICD-10: R57.9 Shock, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
hilangnya sirkulasi volume intravaskuler
Syok merupakan salah satu sindroma sebesar >20-25% sebagai akibat dari
kegawatan yang memerlukan penanganan perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan
intensif dan agresif. Syok adalah suatu cairan pada ruang ketiga atau akibat
sindroma multifaktorial yang menuju sekunder dilatasi arteri dan vena.
hipoperfusi jaringan lokal atau sistemis dan 2. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi
mengakibatkan hipoksia sel dan dan suplai oksigen disebabkan oleh adanya
disfungsimultipel organ. Kegagalan perfusi kerusakan primer fungsi atau kapasitas
jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigen pompa jantung untuk mencukupi
sistemik yang tidak adekuat tak mampu volume jantung semenit, berkaitan
memenuhi kebutuhan metabolisme sel. dengan terganggunya preload, afterload,
Karakteristik kondisi ini, yaitu: 1) kontraktilitas, frekuensi ataupun ritme
ketergantungan suplai oksigen, 2) kekurangan jantung. Penyebab terbanyak adalah
oksigen, 3) Asidosis jaringan sehingga terjadi infark miokard akut, keracunan obat,
metabolisme anaerob dan berakhir dengan infeksi/ inflamasi, gangguan mekanik.
kegagalan fungsi organ vital dan kematian. 3. Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan
suplai oksigen disebabkan oleh
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, menurunnya tonus vaskuler mengakibatkan
penyebab dan karakteristik pola hemodinamik vasodilatasi arterial, penumpukan vena dan
yang ditimbulkan, yaitu: redistribusi aliran darah. Penyebab dari
1. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi kondisi tersebut terutama komponen
dan suplai oksigen disebabkan oleh vasoaktif pada syok anafilaksis; bakteria
dan
toksinnya pada septik syok sebagai Syok obstruktif, tampak hampir sama dengan
mediator dari SIRS; hilangnya tonus vaskuler syok kardiogenik dan hipovolemik.
pada syok neurogenik.
4. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi Faktor Risiko: -
dan suplai oksigen berkaitan dengan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terganggunya mekanisme aliran balik Sederhana (Objective)
darah oleh karena meningkatnya tekanan
intratorakal atau terganggunya aliran keluar Pemeriksaan Fisik
arterial jantung (emboli pulmoner, emboli
Keadaan umum:
udara, diseksi aorta, hipertensi pulmoner,
tamponade perikardial, perikarditis 1. Hipotensi dan penyempitan tekanan
konstriktif) ataupun keduanya oleh karena denyutan (adalah tanda hilangnya cairan
obstruksi mekanis. yang berat dan syok).
5. Syok Endokrin, disebabkan oleh 2. Hipertermi, normotermi, atau hipotermi
hipotiroidisme, hipertiroidisme dengan dapat terjadi pada syok. Hipotermia adalah
kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal. tanda dari hipovolemia berat dan syok
Pengobatannya dengan tunjangan septik.
kardiovaskular sambil mengobati 3. Detak jantung naik, frekuensi nafas naik,
penyebabnya. Insufisiensi adrenal mungkin kesadaran turun.
kontributor terjadinya syok pada pasien 4. Produksi urin turun. Produksi urin
sakit gawat. Pasien yang tidak respon pada merupakan penunjuk awal hipovolemia dan
pengobatan harus tes untuk insufisiensi respon ginjal terhadap syok.
adrenal. 5. Gambaran klinis syok kardiogenik tampak
sama dengan gejala klinis syok hipovolemik,
Hasil Anamnesis (Subjective) ditambah dengan adanya disritmia, bising
Keluhan jantung, gallop.
6. Gejala klinis syok septik tak dapat
Pasien datang dengan lemas atau dapat tidak dilepaskan dari keadaan sepsis sendiri
sadarkan diri. berupa sindroma reaksi inflamasi sistemik
Gejala klinis juga tergantung etiologi (SIRS) dimana terdapat dua gejala atau
penyebabnya, yang sering terjadi adalah lebih:
tromboemboli paru, tamponade jantung, a. Temperatur > 380C atau < 360C.
obstruksi arterioventrikuler, tension b. Heart rate > 90x/mnt.
pneumotoraks. c. Frekuensi nafas > 20x/mn atau PaCO2 <
Untuk identifikasi penyebab, perlu ditanyakan 4,3 kPa.
faktor predisposisi seperti karena infark d. Leukosit >12.000 sel/mm atau
miokard antara lain: umur, diabetes melitus, <4000sel/ mm atau >10% bentuk
riwayat angina, gagal jantung kongestif, infark imatur.
anterior. Tanda awal iskemi jantung akut yaitu 7. Efek klinis syok anafilaktik mengenai
nyeri dada, sesak nafas, diaforesis, gelisah dan sistem pernafasan dan sistem sirkulasi,
ketakutan, nausea dan vomiting dan gangguan yaitu: Terjadi edema hipofaring dan laring,
sirkulasi lanjut menimbulkan berbagai disfungsi konstriksi bronkus dan bronkiolus, disertai
endorgan. Riwayat trauma untuk syok karena hipersekresi mukus, dimana semua keadaan
perdarahan atau syok neurogenik pada trauma ini menyebabkan spasme dan obstruksi
servikal atau high thoracic spinal cord injury. jalan nafas akut.
Demam dan riwayat infeksi untuk syok septik. 8. Syok neurogenik ditandai dengan hipotensi
Gejala klinis yang timbul setelah kontak dengan disertai bradikardi. Gangguan neurologis:
antigen pada syok anafilaktik. paralisis flasid, refleks ekstremitas hilang
dan priapismus.
9. Syok obstruktif, tampak hampir sama
dengan syok kardiogenik dan hipovolemik. Diagnosis awal etiologi syok adalah
Gejala klinis juga tergantung etiologi esensial, kemudian terapi selanjutnya
penyebabnya, yang sering terjadi adalah tergantung etiologinya.
tromboemboli paru, tamponade jantung,
obstruksi arterioventrikuler, tension 5. Tindakan invasif seperti intubasi
pneumothorax. Gejala ini akan berlanjut endotrakeal dan cricothyroidotomy atau
sebagai tanda-tanda akut kor pulmonal tracheostomy dapat dilakukan hanya
dan payah jantung kanan: pulsasi vena untuklife saving oleh dokter yang
jugularis, gallop, bising pulmonal, aritmia. kompeten.
Karakteristik manifestasi klinis tamponade Syok Hipovolemik:
jantung: suara jantung menjauh, pulsus
altemans, JVP selama inspirasi. Sedangkan 1. Infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume
emboli pulmonal: disritmia jantung, gagal intravaskuler melalui kanula vena besar
jantung kongesti. (dapat lebih satu tempat) atau melalui vena
sentral.
Pemeriksaan Penunjang
2. Pada perdarahan maka dapat diberikan 3-
1. Pulse oxymetri 4 kali dari jumlah perdarahan. Setelah
2. EKG pemberian 3 liter disusul dengan transfusi
Penegakan Diagnostik (Assessment) darah. Secara bersamaan sumber
perdarahan harus dikontrol.
Diagnosis Klinis
3. Resusitasi tidak komplit sampai serum
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, laktat kembali normal. Pasien syok
pemeriksaan fisik, dan penunjang. hipovolemik berat dengan resusitasi
cairan akan terjadi penumpukan cairan di
Diagnosis Banding:- rongga ketiga.
Komplikasi
4. Vasokonstriksi jarang diperlukan pada syok
Kerusakan otak, koma,kematian. hipovolemik murni.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Syok Obstruktif:

Penatalaksanaan 1. Penyebab syok obstruktif harus


diidentifikasi dan segera dihilangkan.
1. Pengenalan dan restorasi yang cepat dari
perfusi adalah kunci pencegahan disfungsi 2. Pericardiocentesis atau pericardiotomi
organ multipel dan kematian. untuk tamponade jantung.

2. Pada semua bentuk syok, manajemen jalan 3. Dekompressi jarum atau pipa thoracostomy
nafas dan pernafasan untuk memastikan atau keduanya pada tension
oksigenasi pasien baik, kemudian restorasi pneumothorax.
cepat dengan infus cairan.
4. Dukungan ventilasi dan jantung,
3. Pilihan pertama adalah kristaloid (Ringer mungkin trombolisis, dan mungkin
laktat/Ringer asetat) disusul darah pada prosedur radiologi intervensional untuk
syok perdarahan. Keadaan hipovolemi emboli paru.
diatasi dengan cairan koloid atau kristaloid
5. Abdominal compartment syndrome diatasi
sekaligus memperbaiki keadaan asidosis.
dengan laparotomi dekompresif.
4. Pengobatan syok sebelumnya didahului
Syok Kardiogenik:
dengan penegakan diagnosis etiologi.
1. Optimalkan pra-beban dengan infus cairan.
2. Optimalkan kontraktilitas jantung dengan sehingga dapat ditambahkan dopamin dan
inotropik sesuai keperluan, seimbangkan efedrin. Agen antimuskarinikatropin dan
kebutuhan oksigen jantung. Selain itu, glikopirolat juga dapat untuk mengatasi
dapat dipakai dobutamin atau obat bradikardi.
vasoaktif lain. 3. Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla
3. Sesuaikan pasca-beban untuk spinalis yang terkena.
memaksimalkan CO. Dapat dipakai Rencana Tindak Lanjut
vasokonstriktor bila pasien hipotensi
dengan SVR rendah. Pasien syok Mencari penyebab syok dan mencatatnya di
kardiogenik mungkin membutuhkan rekam medis serta memberitahukan kepada
vasodilatasi untuk menurunkan SVR, pasien dan keluarga untuk tindakan lebih lanjut
tahanan pada aliran darah dari jantung yang diperlukan.
yang lemah. Obat yang
Konseling dan Edukasi
dapat dipakai adalah nitroprusside dan
nitroglycerin. Keluarga perlu diberitahukan mengenai
kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada
4. Diberikan diuretik bila jantung
pasien dan pencegahan terjadinya kondisi
dekompensasi.
serupa.
5. PACdianjurkan dipasang untuk penunjuk
Kriteria Rujukan
terapi.
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien
6. Penyakit jantung yang mendasari harus
dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder.
diidentifikasi dan diobati.
Peralatan
Syok Distributif:
1. Infus set
1. Pada SIRS dan sepsis, bila terjadi syok ini
2. Oksigen
karena toksin atau mediator penyebab
3. NaCl 0,9%
vasodilatasi. Pengobatan berupa resusitasi
4. Senter
cairan segera dan setelah kondisi cairan
5. EKG
terkoreksi, dapat diberikan vasopresor
untuk mencapai MAP optimal. Sering terjadi Prognosis
vasopresor dimulai sebelum pra-beban
adekuat tercapai. Perfusi jaringan dan Prognosis suatu syok amat tergantung dari
oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali kecepatan diagnosa dan pengelolaannya
bila ada perbaikan pra-beban. sehingga pada umumnya adalah dubia ad
bonam.
2. Obat yang dapat dipakai adalah dopamin,
norepinefrin dan vasopresin. Referensi

3. Dianjurkan pemasangan PAC. 1. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan


Ilmiah Terpadu-1. Surabaya: FK Universitas
4. Pengobatan kausal dari sepsis. Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et
al.,2000)
Syok Neurogenik:
2. Rahardjo, E. Update on Shock. Pertemuan
1. Setelah mengamankan jalan nafas dan Ilmiah Terpadu-1.Surabaya: FK Universitas
resusitasi cairan, guna meningkatkantonus Airlangga. 6-7 Mei 2000.
vaskuler dan mencegah bradikardi 3. Suryohudoyo, P. Update on Shock,
diberikan epinefrin. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1.Surabaya: FK
2. Epinefrin berguna meningkatkan tonus Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000.
vaskuler tetapi akan memperberat bradikardi,
14. REAKSI ANAFILAKTIK
No. ICPC-2: A92 Allergy/allergic reaction NOS
No. ICD-10: T78.2 Anaphylactic shock, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
hidung tersumbat atau batuk saja yang
Anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
generalisata atau sistemik yang beronset
cepat, serius, dan mengancam. Jika reaksi Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang
paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik.
tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok
Walaupun gejala ini tidak mematikan namun
yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok
gejala ini amat penting untuk diperhatikan
anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat
sebab ini mungkin merupakan gejala
dan tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih
serta keterampilan dalam pengelolaan syok
berat berupa gangguan nafas dan gangguan
anafilaktik.
sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit
Insidens syok anafilaktik 40–60% adalah akibat berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai
gigitan serangga, 20– 40% akibat zat kontras untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih
radiografi, dan 10–20%akibat pemberian obat berat. Manifestasi dari gangguan
penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan gastrointestinal berupa perut
prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih kram,mual,muntah sampai diare yang juga
sangat kurang. Anafilaksis yang fatal hanya kira- dapat merupakan gejala prodromal untuk
kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
pertahun. Sebagian besar kasus yang serius
anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik Faktor Risiko: Riwayat Alergi
seperti penisilin dan bahan zat radiologis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Penisilin merupakan penyebab kematian 100 Sederhana (Objective)
dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.
Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pasien tampak sesak, frekuensi napas
Keluhan meningkat, sianosis karena edema laring dan
bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi
yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya
anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
takikardia, edema periorbital, mata berair,
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau
hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada
tingkat sensitivitas seseorang, namun pada
kulit berupa urtikaria dan eritema.
tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala
yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan Penegakan Diagnostik (Assessment)
gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut
dapat timbul bersamaan atau berurutan yang Diagnosis Klinis
kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa Untuk membantu menegakkan diagnosis
detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya maka World Allergy Organization telah
makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan membuat beberapa kriteria di mana reaksi
penderita. anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila:
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, 1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga
beberapa jam) yang melibatkan kulit, stroke)
jaringan mukosa, atau keduanya (misal: 2. Sindrom flush
urtikaria generalisata, pruritus dengan a. Perimenopause
kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/ b. Sindrom karsinoid
uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda c. Epilepsi otonomik
berikut ini: d. Karsinoma tiroid meduler
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, 3. Sindrom pasca-prandial
wheezing akibat bronkospasme, stridor, a. Scombroidosis, yaitu keracunan
penurunan arus puncak ekspirasi/APE, histamin dari ikan, misalnya tuna, yang
hipoksemia). disimpan pada suhu tinggi.
b. Penurunan tekanan darah atau gejala b. Sindrom alergi makanan berpolen,
yang berkaitan dengan kegagalan organ umumnya buah atau sayur yang
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, mengandung protein tanaman yang
sinkop, inkontinensia). bereaksi silang dengan alergen di udara
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut c. Monosodium glutamat atau Chinese
yang muncul segera (beberapa restaurant syndrome
menit hingga beberapa jam) setelah d. Sulfit
terpapar alergen yang mungkin (likely e. Keracunan makanan
allergen), yaitu: 4. Syok jenis lain
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit a. Hipovolemik
b. Gangguan respirasi b. Kardiogenik
c. Penurunan tekanan darah atau gejala c. Distributif
yang berkaitan dengan kegagalan organ d. Septik
target 5. Kelainan non-organik
d. Gejala gastrointestinal yang persisten a. Disfungsi pita suara
(misal: nyeri kram abdomen, muntah) b. Hiperventilasi
3. Atau, penurunan tekanan darah segera c. Episode psikosomatis
(beberapa menit atau jam) setelah terpapar 6. Peningkatan histamin endogen
alergen yang telah diketahui (known a. Mastositosis / kelainan klonal sel mast.
allergen), sesuai kriteria berikut: b. Leukemia basofilil
a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik 7. Lainnya
rendah (menurut umur) atau terjadi a. Angioedema non-alergik, misal:
penurunan > 30% dari tekanan darah angioedema herediter tipe I, II, atau III,
sistolik semula. angioedema terkait ACE-inhibitor)
b. Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 b. Systemic capillary leak syndrome
mmHg atau terjadi penurunan>30% c. Red man syndrome akibat vancomycin
dari tekanan darah sistolik semula. d. Respon paradoksikal pada
feokromositoma
Diagnosis Banding
Komplikasi
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut 1. Koma
b. Sinkop 2. Kematian
c. Gangguan cemas / serangan panik
d. Urtikaria akut generalisata Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
e. Aspirasi benda asing Penatalaksanaan
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark
miokard, emboli paru) 1. Posisi trendelenburg atau berbaring
g. Kelainan neurologis akut (kejang, dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan digunakan deksametason 5–10 mg IV atau
venous return sehingga tekanan darah ikut hidrokortison 100–250 mg IV.
meningkat. 7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP),
2. Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus seandainya terjadi henti jantung
dilakukan, pada keadaan yang sangat (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
ekstrim tindakan trakeostomi atau kardiopulmoner segera harus dilakukan
krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan. sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya.
3. Pemasangan infus, cairan plasma expander Mengingat kemungkinan terjadinya henti
(Dextran) merupakan pilihan utama guna jantung pada suatu syok anafilaktik selalu
dapat mengisi volume intravaskuler ada, maka sewajarnya di setiap ruang
secepatnya. Jika cairan tersebut tak praktek seorang dokter tersedia selain obat-
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis obat emergency, perangkat infus dan
dapat dipakai sebagai cairan pengganti. cairannya juga perangkat resusitasi
Pemberian cairan infus sebaiknya (Resuscitation kit) untuk memudahkan
dipertahankan sampai tekanan darah tindakan secepatnya.
kembali optimal dan stabil. 8. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi
4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : Anafilaksis (Lihat Penjelasan 1) Rencana
1000 diberikan secara intramuskuler yang Tindak Lanjut
dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan 9. Mencari penyebab reaksi anafilaktik
umumnya diperlukan, mengingat lama dan mencatatnya di rekam medis serta
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon memberitahukan kepada pasien dan
pemberian secara intramuskuler kurang keluarga.
efektif, dapat diberi secara intravenous
setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan Konseling dan Edukasi
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, Keluarga perlu diberitahukan mengenai
diberikan perlahan-lahan. Pemberian penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok obat yang telah dilaporkan bersifat antigen
anafilaktik karena efeknya lambat bahkan (serum,penisillin, anestesi lokal, dll) harus selalu
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik.
pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada
terjadi. riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-
5. Aminofilin, dapat diberikan dengan penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai
sangat hati-hati apabila bronkospasme lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang
belum hilang dengan pemberian adrenalin. sama bila sebelumnya pernah ada riwayat
250 mg aminofilin diberikan perlahan- alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
lahan selama 10 menit intravena. Dapat dengan preparat lain yang lebih aman.
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus
bila dianggap perlu. Kriteria Rujukan
6. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan
pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua penanganan yang dilakukan tidak terdapat
obat tersebut kurang manfaatnya pada perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan
setelah gejala klinik mulai membaik Peralatan
guna mencegah komplikasi selanjutnya
berupa serum sickness atau prolonged 1. Infus set
effect. Antihistamin yang biasa digunakan 2. Oksigen
adalah difenhidramin HCl 5–20 mg IV 3. Adrenalin ampul, aminofilin ampul,
dan untuk golongan kortikosteroid dapat difenhidramin vial, deksametason ampul
4. NaCl 0,9%
Prognosis 2. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute
allergic reactions. In:International edition
Prognosis suatu syok anafilaktik amat Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen.
tergantung dari kecepatan diagnosa dan Stapczynski. 5thEd. New York: McGrraw-Hill.
pengelolaannya karena itu umumnya adalah 2000: p. 242-6.
dubia ad bonam.
3. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi
Referensi dan penanganan dalam Update on Shock.
1. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Pertemuan Ilmiah Terpadu. Fakultas
Reactions. In:Text Book of Critical care. Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, 2000.
R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia:
WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.

15. DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE


No. ICPC-2: A77 Viral disease other/NOS No. ICD-10: A90 Dengue fever
A91 Dengue haemorrhagic fever
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
atau di bawah tulang iga)
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) 5. Kadang disertai juga dengan gejala lokal,
masih menjadi salah satu masalah kesehatan seperti: nyeri menelan, batuk, pilek.
masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden 6. Pada kondisi syok, anak merasa lemah,
penyakit DBD Indonesia merupakan yang gelisah, atau mengalami penurunan
tertinggi diantara negara-negara Asia Tenggara. kesadaran.
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan 7. Pada bayi, demam yang tinggi dapat
mencatat terdapat 103.649 penderita menimbulkan kejang.
dengan angka kematian mencapai 754 orang.
Faktor Risiko
Keterlibatan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama sangat dibutuhkan 1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik,
untuk menekan tingkat kejadian maupun misalnya: timbunan sampah, timbunan
mortalitas DBD. barang bekas, genangan air yang seringkali
disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari.
Hasil Anamnesis (Subjective)
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada
Keluhan genangan air di tempat tinggal pasien
sehari-hari.
1. Demam tinggi, mendadak, terus menerus 3. Adanya penderita demam berdarah
selama 2 – 7 hari. dengue (DBD) di sekitar pasien.
2. Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-
bintik merah di kulit, mimisan, gusi Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
berdarah, muntah berdarah, atau buang air sederhana (Objective)
besar berdarah.
Pemeriksaan Fisik
3. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital. Tanda patognomonik untuk demam dengue
4. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, 1. Suhu > 37,5 derajat celcius
muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati 2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa 5. Leukopenia < 4.000/mm3
4. Rumple Leed (+) 6. Trombositopenia < 100.000/mm3
Tanda Patognomonis untuk demam berdarah Apabila ditemukan gejala demam ditambah
dengue dengan adanya dua atau lebih tanda dan gejala
lain, diagnosis klinis demam dengue dapat
1. Suhu > 37,5 derajat celcius ditegakkan.
2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue
4. Rumple Leed (+)
5. Hepatomegali 1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak,
6. Splenomegali tinggi, terus-menerus (kontinua)
7. Untuk mengetahui terjadi kebocoran 2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang
plasma, diperiksa tanda- tanda efusi pleura spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
dan asites. epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis
dan atau melena; maupun berupa uji
8. Hematemesis atau melena
Tourniquette yang positif
Pemeriksaan Penunjang : 3. Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital
1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan: 4. Adanya kasus demam berdarah dengue
a. Trombositopenia (≤ 100.000/µL). baik di lingkungan sekolah, rumah atau di
b. Kebocoran plasma yang ditandai sekitar rumah
dengan: a. Hepatomegali
• peningkatan hematokrit (Ht) ≥ 20% b. Adanya kebocoran plasma yang
dari nilai standar data ditandai dengan salah satu:
• populasi menurut umur • Peningkatan nilai hematokrit, >20%
• Ditemukan adanya efusi pleura, dari pemeriksaan awal atau dari
asites data populasi menurut umur
• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia • Ditemukan adanya efusi pleura,
c. Leukopenia < 4000/μL. asites
2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG anti- • Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
Dengue, yang titernya dapat terdeteksi c. Trombositopenia <100.000/mm3
setelah hari ke-5 demam.
Adanya demam seperti di atas disertai
Penegakan Diagnosis (Assessment) dengan 2 atau lebih manifestasi klinis,
Diagnosis Klinis ditambah bukti perembesan plasma dan
trombositopenia cukup untuk menegakkan
Diagnosis Klinis Demam Dengue diagnosis Demam Berdarah Dengue.
1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, Tanda bahaya (warning signs) untuk
tinggi, terus-menerus, bifasik. mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang pada penderita Demam Berdarah Dengue.
spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis Klinis
dan atau melena; maupun berupa uji 1. Demam turun tetapi keadaan anak
tourniquet positif. memburuk
3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri 2. Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
retroorbital. 3. Muntah persisten Letargi, gelisah
4. Adanya kasus DBD baik di lingkungan Perdarahaan mukosa Pembesaran hati
sekolah, rumah atau di sekitar rumah. Akumulasi cairan Oliguria
Laboratorium Gambar 1.7, Alur penanganan pasien dengan
demam dengue/demam berdarah
1. Peningkatan kadar hematokrit bersamaan
dengan penurunan cepat jumlah trombosit
2. Hematokrit awal tinggi
Kriteria Diagnosis Laboratoris
Kriteria Diagnosis Laboratoris diperlukan
untuk survailans epidemiologi, terdiri atas:
Probable Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi
antidengue.
Confirmed Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat dengan deteksi genome virus Dengue
dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen dengue
pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan
serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari
negatif menjadi positif) pada pemeriksaan
serologi berpasangan.
Isolasi virus Dengue memberi nilai yang sangat
kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis, namun Konseling dan Edukasi
karena memerlukan teknologi yang canggih
1. Pinsip konseling pada demam berdarah
dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan dengue adalah memberikan pengertian
merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan. kepada pasien dan keluarganya tentang
Diagnosis Banding perjalanan penyakit dan tata laksananya,
sehingga pasien dapat mengerti bahwa
1. Demam karena infeksi virus (influenza, tidak ada obat/medika mentosa untuk
chikungunya, dan lain- lain) penanganan DBD, terapi hanya bersifat
2. Idiopathic thrombocytopenic purpura suportif dan mencegah perburukan
3. Demam tifoid penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai
dengan perjalanan alamiah penyakit.
Komplikasi 2. Modifikasi gaya hidup
a. Melakukan kegiatan 3M: menguras,
Dengue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, mengubur, menutup.
gagal ginjal, gagal hati b. Meningkatkan daya tahan tubuh
dengan mengkonsumsi makanan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) bergizi dan melakukan olahraga secara
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa rutin.

1. Terapi simptomatik dengan analgetik Kriteria Rujukan


antipiretik (Parasetamol 3x500-1000 mg). 1. Terjadi perdarahan masif (hematemesis,
2. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi melena).
- Alur penanganan pasien dengan demam 2. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai
dengue/demam berdarah dengue, yaitu: dosis 15 ml/kg/jam kondisi belum membaik.
pemeriksaan penunjang Lanjutan 3. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis
yang tidak lazim, seperti kejang, penurunan
- Pemeriksaan Kadar Trombosit dan kesadaran, dan lainnya.
Hematokrit secara serial
Penatalaksanaan pada Pasien Anak menit.
e.
Jika setelah pemberian cairan inisial
Demam berdarah dengue (DBD) tanpa tidak terjadi perbaikan klinis, ulangi
syok pemberian infus larutan kristaloid 20
ml/kgBB secepatnya (maksimal 30
1. Bila anak dapat minum menit) atau pertimbangkan pemberian
a. Berikan anak banyak minum larutan koloid 10-20 ml/kgBB/jam
• Dosis larutan per oral: 1-2 liter/hari (maksimal 30 ml/kgBB/24 jam).
atau 1 sendok makan tiap 5 menit. f. Jika nilai Ht dan Hb menurun
• Jenis larutan per oral: air putih, teh namun tidak terjadi perbaikan klinis,
manis, oralit, jus buah, air sirup, pertimbangkan terjadinya perdarahan
atau susu. tersembunyi. Berikan transfusi darah
b. Berikan cairan intravena (infus) sesuai bila fasilitas tersedia dan larutan
dengan kebutuhan untuk dehidrasi koloid. Segera rujuk.
sedang. Berikan hanya larutan g. Jika terdapat perbaikan klinis, kurangi
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat jumlah cairan hingga 10 ml/kgBB/
(RL) atau Ringer Asetat (RA), dengan jam dalam 2-4 jam. Secara bertahap
dosis sesuai berat badan sebagai diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi
berikut: klinis dan laboratorium.
• Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam h. Dalam banyak kasus, cairan intravena
• Berat badan 15-40 kg: 5 ml/kgBB/jam dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
• Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam Hindari pemberian cairan secara
2. Bila anak tidak dapat minum, berikan berlebihan.
cairan infus kristaloid isotonik sesuai 3. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
kebutuhan untuk dehidrasi sedang sesuai Rencana Tindak Lanjut
dengan dosis yang telah dijelaskan di atas.
3. Lakukan pemantauan: tanda vital dan Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok
diuresis setiap jam, laboratorium (DPL) per 1. Pemantauan klinis (tanda vital, perfusi
4-6 jam. perifer, diuresis) dilakukan setiap satu jam.
a. Bila terjadi penurunan hematokrit 2. Pemantauan laboratorium (Ht, Hb, trombosit)
dan perbaikan klinis, turunkan jumlah dilakukan setiap 4-6 jam, minimal 1 kali
cairan secara bertahap sampai setiap hari.
keadaan klinis stabil. 3. Pemantauan cairan yang masuk dan keluar.
b. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan Demam berdarah dengue (DBD) dengan
penatalaksanaan DBD dengan syok. syok
4. Bila anak demam, berikan antipiretik
(Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali) per oral. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
Hindari Ibuprofen dan Asetosal. tingkat pertama merujuk pasien ke RS jika
5. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi. kondisi pasien stabil.
Demam berdarah dengue (DBD) dengan syok Persyaratan perawatan di rumah
1. Kondisi ini merupakan gawat darurat dan 1. Persyaratan untuk pasien dan keluarga
mengharuskan rujukan segera ke RS. a. DBD non-syok (tanpa kegagalan
2. Penatalaksanaan awal: sirkulasi).
a. Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui b. Bila anak dapat minum dengan adekuat.
kanul hidung atau sungkup muka. c. Bila keluarga mampu melakukan
b. Pasang akses intravena sambil perawatan di rumah dengan adekuat.
melakukan pungsi vena untuk 2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan
pemeriksaan DPL. a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap
c. Berikan infus larutan kristaloid (RL atau yang bertanggung jawab penuh
RA) 20 ml/kg secepatnya. terhadap tatalaksana pasien.
d. Lakukan pemantauan klinis (tanda vital,
perfusi perifer, dan diuresis) setiap 30
b. Semua kegiatan tatalaksana dapat 5) Tidak menggantung baju, menghindari
dilaksanakan dengan baik di rumah. gigitan nyamuk, membubuhkan bubuk
c. Dokter dan/atau perawat mem-follow abate, dan memelihara ikan.
up pasien setiap 6-8 jam dan setiap
hari, sesuai kondisi klinis. Peralatan
d. Dokter dan/atau perawat dapat 1. Poliklinik set (termometer, tensimeter,
berkomunikasi seara lancar dengan senter)
keluarga pasien sepanjang masa 2. Infus set
tatalaksana. 3. Cairan kristaloid (RL/RA) dan koloid
Kriteria Rujukan 4. Lembar observasi / follow up
5. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
1. DBD dengan syok (terdapat kegagalan rutin
sirkulasi).
2. Bila anak tidak dapat minum dengan Prognosis
adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia
kegagalan sirkulasi. ad bonam, karena hal ini tergantung dari derajat
3. Bila keluarga tidak mampu melakukan beratnya penyakit.
perawatan di rumah dengan adekuat,
walaupun DBD tanpa syok. Referensi
Konseling dan Edukasi 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2006. Pedoman Tata laksana Demam
a. Penjelasan mengenai diagnosis, komplikasi, Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian
prognosis, dan rencana tata laksana. Kesehatan Republik Indonesia.
b. penjelasan mengenai tanda-tanda bahaya
(warning signs) yang perlu diwaspadai dan 2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis
kapan harus segera ke layanan kesehatan. dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
c. Penjelasan mengenai jumlah cairan yang Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22;
dibutuhkan oleh anak. p.3-7.
d. Penjelasan mengenai diet nutrisi yang perlu
diberikan. 3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever:
e. Penjelasan mengenai cara minum obat. diagnosis, treatment, prevention and
f. Penjelasan mengenai faktor risiko dan cara- control. 2nd Edition. Geneva. 1997
cara pencegahan yang berkaitan dengan 4. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan
perbaikan higiene personal, perbaikan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman
sanitasi lingkungan, terutama metode 4M bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama
plus seminggu sekali, yang terdiri atas: di Kabupaten/Kota. 1 ed. Jakarta: World
1) Menguras wadah air, seperti bak mandi, Health Organization Country Office for
tempayan, ember, vas bunga, tempat Indonesia.
minum burung, dan penampung air
kulkas agar telur dan jentik Aedes 5. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan
aegypti mati. Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis
2) Menutup rapat semua wadah air agar dan tata laksana infeksi virus dengue pada
nyamuk Aedes aegypti tidak dapat anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan
masuk dan bertelur. Penerbit IDAI, 2014
3) Mengubur atau memusnahkan semua
barang bekas yang dapat menampung
air hujan agar tidak menjadi sarang dan
tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti.
4) Memantau semua wadah air yang
dapat menjadi tempat nyamuk Aedes
aegypti berkembang biak.
B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN

1. ANEMIA DEFISIENSI BESI


No. ICPC-2 : B80 Iron Deficiency Anaemia
No. ICD-10 : 280 Iron Deficiency Anemias
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai Sederhana (Objective)
penurunan jumlah massa eritrosit sehingga
Pemeriksaan Fisik
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah cukup ke 1. Gejala umum
jaringan perifer. Anemia merupakan masalah Pucat dapat terlihat pada: konjungtiva,
medik yang paling sering dijumpai di klinik di mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan
seluruh dunia. Diperkirakan >30% penduduk di bawah kuku.
dunia menderita anemia dan sebagian besar di 2. Gejala anemia defisiensi besi
daerah tropis. Oleh karena itu anemia seringkali a. Disfagia
tidak mendapat perhatian oleh para dokter di b. Atrofi papil lidah
klinik. c. Stomatitis angularis
d. Koilonikia
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
1. Pemeriksaan darah: hemoglobin (Hb),
Pasien datang ke dokter dengan keluhan: hematokrit (Ht), leukosit, trombosit, jumlah
eritrosit, morfologi darah tepi (apusan
1. Lemah darah tepi), MCV, MCH, MCHC, feses rutin,
2. Lesu dan urin rutin.
3. Letih 2. Pemeriksaan Khusus (dilakukan di layanan
4. Lelah sekunder) :Serum iron, TIBC, saturasi
5. Penglihatan berkunang-kunang transferin, dan feritin serum.
6. Pusing
7. Telinga berdenging Penegakan Diagnostik (Assessment)
8. Penurunan konsentrasi Diagnosis Klinis
9. Sesak nafas
Anemia adalah suatu sindrom yang dapat
Faktor Risiko disebabkan oleh penyakit dasar sehingga
penting menentukan penyakit dasar yang
1. Ibu hamil
menyebabkan anemia. Diagnosis ditegakkan
2. Remaja putri
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
3. Status gizi kurang
hasil pemeriksaan darah dengan kriteria Hb
4. Faktor ekonomi kurang
darah kurang dari kadar Hb normal.
5. Infeksi kronik
6. Vegetarian Nilai rujukan kadar hemoglobin normal menurut
WHO:
1. Laki-laki: >13 g/dL
2. Perempuan: >12 g/dL
3. Perempuan hamil: >11 g/dL
Diagnosis Banding <7 g/dL).
4. Anemia karena penyebab yang tidak
1. Anemia defisiensi vitamin B12 termasuk kompetensi dokter di layanan
2. Anemia aplastik tingkat pertama misalnya anemia
3. Anemia hemolitik aplastik, anemia hemolitik dan anemia
4. Anemia pada penyakit kronik megaloblastik.
Komplikasi 5. Jika didapatkan kegawatan (misal
perdarahan aktif atau distres pernafasan)
1. Penyakit jantung anemia pasien segera dirujuk.
2. Pada ibu hamil: BBLR dan IUFD
3. Pada anak: gangguan pertumbuhan dan Peralatan
perkembangan Pemeriksaan laboratorium sederhana (darah
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) rutin, urin rutin, feses rutin).

Penatalaksanaan Prognosis

Prinsip penatalaksanaan anemia harus Prognosis umumnya dubia ad bonam


berdasarkan diagnosis definitif yang telah karena sangat tergantung pada penyakit
ditegakkan. Setelah penegakan diagnosis dapat yang mendasarinya. Bila penyakit yang
diberikan sulfas ferrosus 3 x 200 mg (200 mg mendasarinya teratasi, dengan nutrisi yang baik
mengandung 66 mg besi elemental). anemia defisiensi besi dapat teratasi.

Rencana Tindak Lanjut Referensi

Untuk penegakan diagnosis definitif anemia 1. 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L.
defisiensi besi memerlukan pemeriksaan Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
laboratorium di layananan sekunder dan of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan McGraw-Hill Companies. 2009. (Braunwald,
di layanan tingkat pertama. et al., 2009)
2. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Konseling dan Edukasi Simadibrata, M. Setiati, S. Eds. Buku ajar
1. 1. Memberikan pengertian kepada pasien ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
dan keluarga tentang perjalanan penyakit Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
dan tata laksananya, sehingga Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al.,
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan 2006)
dalam berobat serta meningkatkan kualitas 3. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien
hidup pasien. Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
2. Pasien diinformasikan mengenai efek Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
samping obat berupa mual, muntah, Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II.
heartburn, konstipasi, diare, serta BAB Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
kehitaman. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 632-
3. Bila terdapat efek samping obat maka 36. (Sudoyo, et al., 2006)
segera ke pelayanan kesehatan.
Kriteria Rujukan
1. Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb <8 g/
dL.
2. Anemia dengan gejala tanpa melihat kadar
Hb segera dirujuk.
3. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb
2.HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI
No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10: Z21 Asymptomatic Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
tajam yang tercemar HIV
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang 8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
mengancam Indonesia dan banyak negara di 9. Pasangan serodiskordan – salah satu
dunia serta menyebabkan krisis multidimensi. pasangan positif HIV
Berdasarkan hasil estimasi Departemen
Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
169.000-216.000 orang dengan HIV dan AIDS Sederhana (Objective)
di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan Pemeriksaan Fisik
WHO memperkirakan sekitar 4,9 juta orang
hidup dengan HIV di Asia. 1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
Hasil Anamnesis (Subjective)
b. Demam
Keluhan
2. Kulit
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV
gejala atau keluhan tertentu. Pasien datang misalnya kulit kering dan dermatitis
dapat dengan keluhan: seboroik
1. Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau b. Tanda-tanda herpes simpleks dan
intermiten lebih dari satu bulan. zoster atau jaringan parut bekas
herpes zoster
2. Diare yang terus menerus atau intermiten
lebih dari satu bulan. 3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan leukoplakia, keilitis angularis
(BB) >10% dari berat badan dasar.
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang infeksi paru
menyertainya. 6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau
Faktor Risiko massa
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks,
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan duh vagina atau uretra
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan 8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan
sesama laki-laki dan transgender neurologis
4. Hubungan seksual yang berisiko atau tidak Pemeriksaan Penunjang
aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit 1. Laboratorium
infeksi menular seksual (IMS)
a. Hitung jenis leukosit : Limfopenia dan
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat
jumlah total limfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yatu 1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT =
menggunakan 3 macam tes dengan Voluntary Counseling and Testing)
titik tangkap yang berbeda, umumnya 2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas
dengan ELISA dan dikonfirmasi Western kesehatan (TIPK – PITC = Provider-Initiated
Blot Testing and Counseling)
c. Pemeriksaan DPL Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Radiologi: X-ray torak. Sebelum melakukan Diagnosis Klinis
tes HIV perlu dilakukan konseling
sebelumnya. Terdapat dua macam Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pendekatan untuk tes HIV pemeriksaan fisik dan hasil tes HIV. Stadium
klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal
Konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan dan setiap kali kunjungan.
dua cara:

Tabel 2.1. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik

1. Tidak ada penurunan BB


2. Tidak ada gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten

Stadium 2 Sakit Ringan

1. Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya)
2. ISPA berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)
3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Keilitis angularis
5. Ulkus mulut yang berulang
6. Ruam kulit yang gatal (Papular pruritic eruption)
7. Dermatitis seboroik
8. Infeksi jamur pada kuku

Stadium 3 Sakit Sedang

1. Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (> 10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya)
2. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
3. Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
4. Kandidiasis pada mulut yang menetap
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberkulosis paru
7. Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang
atau sendi, bakteriemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, ginggivitis atau periodontitis
9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb <8g/dL), neutropeni (<0,5 x 10 g/L)
dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 g/L)
Stadium 4 Sakit Berat (AIDS)

1. Sindrom wasting HIV


2. Pneumonia pneumocystis jiroveci
3. Pneumonia bakteri berat yang berulang
4. Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan atau
viseral di bagian manapun)
5. Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
6. Tuberkulosis ekstra paru
7. Sarkoma kaposi
8. Penyakit sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan
kelenjar getah bening)
9. Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
10. Ensefalopati HIV
11. Pneumonia kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
12. Infeksi mikobakterium non tuberkulosis yang menyebar
13. Leukoencephalopathy multifocal progresif
14. Kriptosporidiosis kronis
15. Isosporiasis kronis
16. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
17. Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
18. Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
19. Karsinoma serviks invasif
20. Leishmaniasis diseminata atipikal
21. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

Diagnosis Banding
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu
Penyakit gangguan sistem imun dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) HIV.
Penatalaksanaan 1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4. Penentuan
Tatalaksana HIV di layanan tingkat pertama mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian
dapat dimulai apabila penderita HIV sudah klinis.
dipastikan tidak memiliki komplikasi atau infeksi 2. Tersedia pemeriksaan CD4
oportunistik yang dapat memicu terjadinya a. Mulai terapi ARV pada semua pasien
sindrom pulih imun. Evaluasi ada tidaknya dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
infeksi oportunistik dapat dengan merujuk ke tanpa memandang stadium klinisnya.
layanan sekunder untuk pemeriksaan lebih b. Terapi ARV dianjurkan pada semua
lanjut karena gejala klinis infeksi pada penderita pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
HIV sering tidak spesifik. koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang
jumlah CD4.
Tabel. 2.3. Dosis antiretroviral untuk ODHA dewasa

Gologan/obat Dosis

Nucleoside RTI
Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari 40 mg setiap 12 jam
Stavudine (d4T) (30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg) 300 mg setiap 12 jam
Zidovudine (ZDV atau AZT)

Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari, (Catatan: interaksi obat dengan ddI perlu mengurangi
dosis ddI)

Non-nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari
Nevirapine(NVP) (Neviral®) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam
Protease inhibitors
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFV atau NVP)

ART kombinasi
AZT -3TC (Duviral ®) Diberikan 2x sehari dengan interval 12 jam

Rencana Tindak Lanjut


AZT maka perl dilakukanpengukuran
1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi kadar Hemoglobin (Hb) sebelum
ARV. Monitor perjalanan klinis penyakit dan memulai terapi dan pada minggu ke 4,
jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali. 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada
indikasi tanda dan gejala anemia
2. Pemantauan pasien dalam terapi
antiretroviral Bila menggunakan NVP untuk
perempuan dengan CD4 antara 250–
a. Pemantauan klinis 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan
Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 pemantauan enzim transaminase pada
dan 24 minggu sejak memulai terapi minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai
ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila terapi ARV (bila memungkinkan),
pasien telah mencapai keadaan stabil. dilanjutkan dengan pemantauan
berdasarkan gejala klinis.
b. Pemantauan laboratorium
Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan
Pemantauan CD4 secara rutin setiap untuk pasien yang mendapatkan TDF.
6 bulan atau lebih sering bila ada
indikasi klinis. Konseling dan Edukasi

Pasien yang akan memulai terapi dengan 1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB,
infeksi menular seksual (IMS), dan
kelompok
risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, Prognosis
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. 2. Memberikan informasi kepada pasien Prognosis sangat tergantung kondisi pasien
dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat
Pasien disarankan untuk bergabung dengan ini adalah untuk memperpanjang masa hidup,
kelompok penanggulangan HIV/AIDS untuk belum merupakan terapi definitif, sehingga
menguatkan dirinya dalam menghadapi prognosis pada umumnya dubia ad malam.
pengobatan penyakitnya. Referensi
Kriteria Rujukan 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta:
serangkaian layanan yang meliputi Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan
penilaian stadium klinis, penilaian Republik Indonesia, 2011)
imunologis dan penilaian virologi. 2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia.
2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Peralatan PenyakitDalam. 4th Ed. Vol II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Layanan VCT Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30. (Sudoyo,
et al., 2006

3.LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


No. ICPC-2: L99 Systemic Lupus Erythematosus No. ICD-10: M32 Systemic Lupus Erythematosus
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
seringkali tidak terjadi saat bersamaan. Keluhan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) telah awal dapat berupa:
menjadi salah satu penyakit reumatik utama
1. Kelelahan
di dunia dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi
LES di berbagai negara sangat bervariasi 2. Nyeri sendi yang berpindah-pindah
antara 2,9/100.000-400/100.000 dan terutama 3. Rambut rontok
menyerang wanita usia reproduktif yaitu 15-40 4. Ruam pada wajah
tahun. Rasio wanita dibandingkan pria berkisar 5. Sakit kepala
antara (5,5-9):1. Berdasarkan penelitian di RS 6. Demam
Cipto Mangunkusumo Jakarta antara tahun 7. Ruam kulit setelah terpapar sinar matahari
1988-1990 insidensi rata-rata adalah 37,7 per 8. Gangguan kesadaran
10.000 perawatan. 9. Sesak
10. Edema anasarka
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan-keluhan tersebut akhirnya akan
Keluhan berkembang sesuai manifestasi organ yang
terlibat pada LES.
Manifestasi klinik LES sangat beragam dan
Faktor Risiko misalnya hipertensi, hematuria, edema
perifer, dan edema anasarka.
Pasien dengan gejala klinis yang mendukung 7. Manifestasi gastrointestinal umumnya
dan memiliki riwayat keluarga yang menderita merupakan keterlibatan berbagai organ
penyakit autoimun meningkatkan kecurigaan
dan akibat pengobatan, misalnya mual,
adanya LES. dispepsia, nyeri perut, dan disfagi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 8. Manifestasi neuropsikiatrik misalnya kejang
Sederhana (Objective) dan psikosis.
9. Manifestasi hematologi, misalnya leukopeni,
Pemeriksaan Fisik lymphopenia, anemia atau
Hampir seluruh sistem organ dapat terlibat trombositopenia.
dalam LES. Manifestasi yang umum didapatkan Pemeriksaan Penunjang
antara lain:
1. Laboratorium
1. 1. Gejala konstitusional, misalnya: a. Pemeriksaan DPL (darah perifer
kelelahan, demam (biasanya tidak disertai lengkap) dengan hitung diferensial
menggigil), penurunan berat badan, rambut dapat menunjukkan leukopeni,
rontok, bengkak, dan sakit kepala. trombositopeni, dan anemia.
2. Manifestasi muskuloskeletal dijumpai b. Pemeriksaan serum kreatinin
lebih dari 90%, misalnya: mialgia, artralgia menunjukkan peningkatan serum
atau artritis (tanpa bukti jelas inflamasi kreatinin.
sendi). c. Urinalisis menunjukkan adanya eritrosit
3. Manifestasi mukokutaneus, misalnya ruam dan proteinuria.
malar/ruam kupu-kupu, fotosensitifitas, 2. Radiologi
alopecia, dan ruam diskoid. X-ray Thoraks dapat menunjukkan adanya
4. Manifestasi paru, misalnya pneumonitis efusi pleura.
(sesak, batuk kering, ronkhi di basal),
emboli paru, hipertensi pulmonum, dan Penegakan Diagnosis (Assessment)
efusi pleura.
Diagnosis Klinis
5. Manifestasi kardiologi, misalnya
Pleuropericardial friction rubs, takipneu, Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan
murmur sistolik, gambaran perikarditis, gambaran klinik dan laboratorium. Berdasarkan
miokarditis dan penyakit jantung koroner. American College of Rheumatology (ACR) tahun
6. Manifestasi renal dijumpai pada 40-75% 1997, LES dapat ditegakkan bila didapatkan 4
penderita setelah 5 tahun menderita lupus, dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan
atau dengan tenggang waktu.

Tabel. 2.4 Kriteria Diagnosis LES berdasarkan American College of Rheumatology

Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat
nasolabial.
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran LES keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Foto sensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Kriteria Batasan
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Atritis non-erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan
efusi.
Pleuritis atau a. Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar
perikarditis oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura atau
b. Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pleuritic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
Gangguan renal a. Protein urin menetap >0,5 gram per hari atau >3+ atau
b. Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular
atau gabungan.
Gangguan a. Kejang- tanpa disebabkan obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya
neurologi uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit atau
b. Psikosis-tanpa disebabkan obat obatan atau gangguan metabolik,
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit.
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
hematologi b. Leukopenia- <4.000/mm pada dua kali pemeriksaan atau
c. Limfopenia- <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau3
d. Trombositopenia- <100.000/mm tanpa disebabkan obat-obatan.3
Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau
imunologik b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standar, atau
3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorbsi antibodi treponemal.
Antibodi Titer positif dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
antinuklear imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
positif (ANA) waktuperjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.

Diagnosis Banding
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Mixed connective tissue disease
Penatalaksanaan
2. Sindrom vaskulitis
Penatalaksanaan berupa terapi konservatif
Komplikasi
Pemberian analgetik sederhana atau obat
1. Anemia hemolitik
antiinflamasi non steroid, misalnya parasetamol
2. Trombosis 3-4 x 500-1000 mg, atau ibuprofen 400-800 mg
3. Lupus serebral 3-4 kali perhari, natrium diklofenak 2-3 x 25-
4. Nefritis lupus 50 mg/hari pada keluhan artritis, artralgia dan
mialgia.
5. Infeksi sekunder
Rencana Tindak Lanjut Peralatan
1. Segera dirujuk ke layanan sekunder untuk 1. Laboratorium untuk pemeriksaan DPL,
penegakan diagnosis pasti kecuali pada urinalisis, dan fungsi ginjal
lupus berat misalnya yang mengancam
nyawa dapat dirujuk ke layanan tersier 2. Radiologi: X-ray Thoraks
terdekat. Prognosis
2. Pemeriksaan laboratorium dan follow-
up secara berkelanjutan diperlukan untuk Prognosis pasien LES sangat bervariasi
memonitor respon atau efek samping bergantung pada keterlibatan organnya. Sekitar
terapi serta keterlibatan organ baru. 25% pasien dapat mengalami remisi selama
3. Keterlibatan berbagai organ pada LES beberapa tahun, tetapi hal ini jarang menetap.
memerlukan penanganan dari berbagai Prognosis buruk (50% mortalitas dalam 10
bidang misalnya spesialis reumatologi, tahun) terutama berkaitan dengan keterlibatan
neurologi, nefrologi, pulmonologi, ginjal. Penyebab utama mortalitas umumnya
kardiologi, dermatologi, serta hematologi. gagal ginjal, infeksi, serta tromboemboli.

Konseling dan Edukasi Referensi

Konseling dan edukasi diberikan oleh dokter 1. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya
setelah menerima rujukan balik dari layanan IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed). Panduan
sekunder Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat
1. Intervensi psikososial dan penyuluhan Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta.
langsung pada pasien dan keluarganya. 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008)
2. Menyarankan pasien untuk bergabung
dalam kelompok penyandang lupus 2. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B.
3. Pasien disarankan untuk tidak terlalu Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar Ilmu
banyak terpapar sinar matahari dan Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan
selalu menggunakan krem pelindung Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006.
sinar matahari, baju lengan panjang serta (Sudoyo, et al., 2006)
menggunakan payung. 3. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei
4. Pemantauan dan penjelasan mengenai T, Cheung CK (ed). Oxford handbook
efek penggunaan steroid jangka panjang of clinical medicine. 7th edition. Oxford
terhadap pasien. University Press. Oxford. 2008. hlm 540-
5. Pasien diberi edukasi agar berobat teratur 541. (Longmore, et al., 2008)
dan bila ada keluhan baru untuk segera
berobat. 4. Fauci AS (ed). Harrison’s Manual of
Medicine. 17th edition. McGraw Hill
Kriteria Rujukan Medical. USA. 2009. hlm 885-886.
1. Setiap pasien yang di diagnosis sebagai LES (Braunwald, et al., 2009)
atau curiga LES harus dirujuk ke dokter 5. Petri M, et al. derivation and validation
spesialis penyakit dalam atau spesialis of the Systemic Lupus International
anak untuk memastikan diagnosis Collborating Clinics classification criteria
2. Pada pasien LES manifestasi berat atau for systemic lupus eritematosus. Arthritis
mengancam nyawa perlu segera dirujuk and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86.
ke pelayanan kesehatan tersier bila (Petri, et al., 2012)
memungkinkan.
4.LIMFADENITIS
No ICPC-2: L04.9 Acute lymphadenitis, unspecified
No ICD-10: B70 Lymphadenitis Acute
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kepada orang dengan infeksi saluran nafas
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau atas, faringitis oleh Streptococcus, atau
beberapa kelenjar getah bening. Limfadenitis Tuberkulosis turut membantu
bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai mengarahkan penyebab limfadenopati.
organisme, yaitu bakteri, virus, protozoa,
riketsia atau jamur. Secara khusus, infeksi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
menyebar ke kelenjar getah bening dari infeksi Sederhana (Objective)
kulit, telinga, hidung atau mata. Pemeriksaan Fisik
Bakteri Streptokokus, Stafilokokus, dan 1. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
Tuberkulosis adalah penyebab paling umum leher bagian posterior (belakang) terdapat
dari Limfadenitis, meskipun virus, protozoa, pada infeksi rubela dan mononukleosis.
riketsia, jamur juga dapat menginfeksi kelenjar Sedangkan pada pembesaran KGB oleh
getah bening. infeksi virus, umumnya bilateral (dua sisi-
Hasil Anamnesis (Subjective) kiri/kiri dan kanan) dengan ukuran normal
bila diameter 0,5cm, dan lipat paha bila
Keluhan: diameternya >1,5 cm dikatakan abnormal).
2. Nyeri tekan bila disebabkan oleh infeksi
a. Pembengkakan kelenjar getah bening bakteri
b. Demam 3. Kemerahan dan hangat pada perabaan
c. Kehilangan nafsu makan mengarah kepada infeksi bakteri sebagai
d. Keringat berlebihan, penyebabnya
e. Nadi cepat 4. Fluktuasi menandakan terjadinya abses
f. Kelemahan 5. Bila disebabkan keganasan tidak
g. Nyeri tenggorok dan batuk bila disebabkan ditemukan tanda-tanda peradangan tetapi
oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas. teraba keras dan tidak dapat digerakkan
h. Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit dari jaringan sekitarnya.
kolagen atau penyakit serum (serum 6. Pada infeksi oleh mikobakterium
sickness) pembesaran kelenjar berjalan mingguan-
Faktor Risiko: bulanan, walaupun dapat mendadak, KGB
menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya
1. Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang menjadi tipis, dan dapat pecah.
disebabkan oleh bakteri streptokokus, 7. Adanya tenggorokan yang merah, bercak-
infeksi gigi dan gusi yang disebabkan oleh bercak putih pada tonsil, bintik-bintik
bakteri anaerob. merah pada langit-langit mengarahkan
2. Riwayat perjalanan dan pekerjaan ke infeksi oleh bakteri streptokokus.
daerah endemis penyakit tertentu, 8. Adanya selaput pada dinding tenggorok,
misalnya perjalanan ke daerah-daerah tonsil, langit-langit yang sulit dilepas dan
Afrika dapat menunjukkan penyebab bila dilepas berdarah, pembengkakan
limfadenitis adalah penyakit pada jaringan lunak leher (bull neck)
Tripanosomiasis. Sedangkan pada orang mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri
yang bekerja di hutan Limfadenitis dapat Difteri.
terkena Tularemia. 9. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran
3. Paparan terhadap infeksi/kontak
sebelumnya
limpa mengarahkan kepada infeksi Epstein flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari.
Barr Virus. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik
10. Adanya radang pada selaput mata dan golongan penisilin dapat diberikan
bercak koplik mengarahkan kepada cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500
Campak. mg) tiga kali sehari atau eritromisin 15 mg/
11. Adanya bintik-bintik perdarahan (bintik kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.
merah yang tidak hilang dengan 6. Bila penyebabnya adalah Mycobacterium
penekanan), pucat, memar yang tidak jelas tuberculosis maka diberikan obat anti
penyebabnya, disertai pembesaran hati dan tuberculosis.
limpa mengarahkan kepada leukemia. 7. Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar
akan mengecil secara perlahan dan rasa
Pemeriksaan Penunjang sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar
1. Pemeriksaan skrining TB: BTA Sputum, LED, yang membesar tetap keras dan tidak lagi
Mantoux Test. terasa lunak pada perabaan.
2. Laboratorium: Darah perifer lengkap Konseling dan Edukasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Keluarga turut menjaga kesehatan dan
Diagnosis Klinis kebersihan sehingga mencegah terjadinya
berbagai infeksi dan penularan.
Limfadenititis ditegakkan berdasarkan 2. Keluarga turut mendukung dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. memotivasi pasien dalam pengobatan.
Diagnosis Banding Rencana follow up:
a. Mumps Pasien kontrol untuk mengevaluasi KGB dan
b. Kista Duktus Tiroglosus terapi yang diberikan. Kriteria rujukan
c. Kista Dermoid
d. Hemangioma 1. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6
minggu dirujuk untuk mencari penyebabnya
Komplikasi (indikasi untuk dilaksanakan biopsi kelenjar
getah bening).
a. Pembentukan abses 2. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda
b. Selulitis (infeksi kulit) dan gejala yang mengarahkan kepada
c. Sepsis (septikemia atau keracunan darah) keganasan, KGB yang menetap atau
d. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang bertambah besar dengan pengobatan
disebabkan oleh TBC) yang tepat, atau diagnosis belum dapat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) ditegakkan.

Penatalaksanaan Peralatan

1. Pencegahan dengan menjaga kesehatan 1. Alat ukur untuk mengukur beasarnya


dan kebersihan badan bisa membantu kelenjar getah bening
mencegah terjadinya berbagai infeksi. 2. Mikroskop
2. Untuk membantu mengurangi rasa sakit, 3. Reagen BTA dan Gram
kelenjar getah bening yang terkena bisa Prognosis
dikompres hangat.
3. Tatalaksana pembesaran KGB leher Prognosis pada umumnya bonam.
didasarkan kepada penyebabnya.
4. Penyebab oleh virus dapat sembuh sendiri Referensi
dan tidak membutuhkan pengobatan apa Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit
pun selain dari observasi. Buku Kedokteran EGC. 2006.
5. Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri
(limfadenitis) adalah antibiotik oral 10 hari
dengan pemantauan dalam 2 hari pertama
C. DIGESTIVE

1. ULKUS MULUT (AFTOSA, HERPES)


No ICPC-2 : D83. Mouth / tongue / lip disease
No ICD-10 : K12. Stomatitis and related lesions K12.0. Recurrent oral aphtae K12.1.
Other form of stomatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 3. Frekuensi rekurensi bervariasi, namun


Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) seringkali dalam interval yang cenderung
reguler.
Stomatitis aftosa rekurens (SAR) merupakan 4. Episode SAR yang sebelumnya biasanya
penyakit mukosa mulut tersering dan memiliki bersifat self-limiting.
prevalensi sekitar 10 – 25% pada populasi. 5. Pasien biasanya bukan perokok atau tidak
Sebagianbesar kasus bersifat ringan, self- pernah merokok.
limiting, dan seringkali diabaikan oleh pasien. 6. Biasanya terdapat riwayat penyakit yang
Namun, SAR juga dapat merupakan gejala dari sama di dalam keluarga.
penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit 7. Pasien biasanya secara umum sehat.
Crohn, penyakit Coeliac, malabsorbsi, anemia Namun, dapat pula ditemukan gejala-
defisiensi besi atau asam folat, defisiensi gejala seperti diare, konstipasi, tinja
vitamin B12, atau HIV. Oleh karenanya, peran berdarah, sakit perut berulang, lemas, atau
dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pucat, yang berkaitan dengan penyakit yang
pertama dalam mendiagnosis dan mendasari.
menatalaksana SAR sangat penting. 8. Pada wanita, dapat timbul saat menstruasi.
Stomatitis Herpes Stomatitis Herpes
Stomatitis herpes merupakan inflamasi pada 1. Luka pada bibir, lidah, gusi, langit-langit,
mukosa mulut akibat infeksi virus Herpes atau bukal, yang terasa nyeri.
simpleks tipe 1 (HSV 1). Penyakit ini cukup 2. Kadang timbul bau mulut.
sering ditemukan pada praktik layanan tingkat 3. Dapat disertai rasa lemas (malaise), demam,
pertama sehari-hari. Beberapa diantaranya dan benjolan pada kelenjar limfe leher.
merupakan manifestasi dari kelainan 4. Sering terjadi pada usia remaja atau dewasa.
imunodefisiensi yang berat, misalnya HIV. Amat 5. Terdapat dua jenis stomatitis herpes, yaitu:
penting bagi para dokter di fasilitas pelayanan a. Stomatitis herpes primer, yang
kesehatan tingkat pertama untuk dapat merupakan episode tunggal.
mendiagnosis dan memberikan tatalaksana b. Stomatitis herpes rekurens, bila pasien
yang tepat dalam kasus stomatitis herpes. telah mengalami beberapa kali penyakit
serupa sebelumnya.
Hasil Anamnesis (Subjective) 6. Rekurensi dapat dipicu oleh beberapa
faktor, seperti: demam, paparan sinar
Keluhan matahari, trauma, dan kondisi imunosupresi
seperti HIV, penggunaan kortikosteroid
Aftosa/Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) sistemik, dan keganasan.
1. Luka yang terasa nyeri pada mukosa bukal,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
bibir bagian dalam, atau sisi lateral dan
Sederhana (Objective)
anterior lidah.
2. Onset penyakit biasanya dimulai pada usia Aftosa/Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
kanak-kanak, paling sering pada usia remaja
atau dewasa muda, dan jarang pada usia Terdapat 3 tipe SAR, yaitu: minor, mayor, dan
lanjut. herpetiform.
Tabel 3.1 Tampilan klinis ketiga tipe SAR

Aftosa minor Aftosa mayor Aftosa herpetiform


Paling sering Jarang Jarang
Mukosa nonkeratin Mukosa non-keratin dan mukosa Mukosa nonkeratin
(bukal, Sisi dalam bibir, sisi mastikatorik (gingiva dan sisi
lateral dan anterior lidah) dorsum lidah)
Satu atau beberapa Satu atau beberapa Banyak, bahkan hingga
ratusan
Dangkal Lebih dalam dari tipe minor Bulat, Bulat, namun dapat
Bulat, berbatas tegas berbatas tegas berkonfluensi satu sama lain
membentuk tampilan ireguler,
berbatas tegas
Diameter 5-7mm Diameter lebih besar dari tipe Diameter 1-2 mm
minor
Tepi erimatosa Kadang menyerupai keganasan Mukosa sekitar eritematosa
Bagian tengah berwarna Dapat bertahan beberapa minggu
putih kekuningan hingga beberapa bulan Dapat
ditemukan skar

Pemeriksaan fisik
4. Demam
1. Tanda anemia (warna kulit, mukosa 5. Pembesaran kelenjar limfe servikal
konjungtiva) 6. Tanda-tanda penyakit imunodefisiensi yang
2. Pemeriksaan abdomen (distensi, mendasari
hipertimpani, nyeri tekan)
Pemeriksaan penunjang
3. Tanda dehidrasi akibat diare berulang
Tidak mutlak dantidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan,
antara lain: Penegakan Diagnosis (Assessment)
1. Darah perifer lengkap Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
2. MCV, MCH, dan MCHC
Diagnosis SAR dapat ditegakkan melalui
Stomatitis Herpes anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dokter perlu
mempertimbangkan kemungkinan adanya
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
penyakit sistemik yang mendasari.
1. Lesi berupa vesikel, berbentuk seperti
kubah, berbatas tegas, berukuran 2 – 3 mm, Diagnosis Banding
biasanya multipel, dan beberapa lesi dapat 1. Herpes simpleks
bergabung satu sama lain. 2. Sindrom Behcet
2. Lokasi lesi dapat di bibir (herpes labialis) sisi 3. Hand, foot, and mouth disease
luar dan dalam, lidah, gingiva, palatum, 4. Liken planus
atau bukal. 5. Manifestasi oral dari penyakit autoimun
3. Mukosa sekitar lesi edematosa dan (pemfigus, SLE, Crohn)
hiperemis. 6. Kanker mulut
Stomatitis Herpes g. Limfadenopati, Hepatomegali,
Splenomegali
Diagnosis stomatitis herpes dapat ditegakkan 2. Gejala dan tanda yang tidak khas, misalnya:
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. a. Onset pada usia dewasa akhir atau
Diagnosis banding: lanjut
b. Perburukan dari aftosa
1. SAR tipe herpetiform c. Lesi yang amat parah
2. SAR minor multipel d. Tidak adanya perbaikan dengan
3. Herpes zoster tatalaksana kortikosteroid topikal
4. Sindrom Behcet 3. Adanya lesi lain pada rongga mulut, seperti:
5. Hand, foot, and mouth disease a. Kandidiasis
6. Manifestasi oral dari penyakit autoimun b. Glositis
(pemfigus, SLE, Crohn) c. Perdarahan, bengkak, atau nekrosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) pada gingiva
d. Leukoplakia
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) e. Sarkoma Kaposi
Pengobatan yang dapat diberikan untuk Stomatitis Herpes
mengatasi SAR adalah:
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Larutan kumur chlorhexidine 0,2% untuk
membersihkan rongga mulut. Penggunaan 1. Untuk mengurangi rasa nyeri, dapat
sebanyak 3 kali setelah makan, masing- diberikan analgetik seperti Parasetamol
masing selama 1 menit. atau Ibuprofen. Larutan kumur
2. Kortikosteroid topikal, seperti krim chlorhexidine 0,2% juga memberi efek
triamcinolone acetonide 0,1% in ora base anestetik sehingga dapat membantu.
sebanyak 2 kali sehari setelah makan dan 2. Pilihan antivirus yang dapat diberikan,
membersihkan rongga mulut. antara lain:

Konseling dan Edukasi a. Acyclovir, diberikan per oral,


dengan dosis:
Pasien perlu menghindari trauma pada mukosa dewasa: 5 kali 200 – 400 mg per hari,
mulut dan makanan atau zat dalam makanan selama 7 hari
yang berpotensi menimbulkan SAR, misalnya: anak: 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
kripik, susu sapi, gluten, asam benzoat, dan 5 kali pemberian, selama 7 hari
cuka. b. Valacyclovir, diberikan per oral,
dengan dosis:
Kriteria Rujukan
dewasa: 2 kali 1 – 2 g per hari,
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan selama 1 hari
tingkat pertama perlu merujuk ke layanan anak : 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
sekunder, bila ditemukan: 5 kali pemberian, selama 7 hari
c. Famcyclovir, diberikan per oral,
1. Gejala-gejala ekstraoral yang mungkin dengan dosis:
terkait penyakit sistemik yang mendasari, Dewasa : 3 kali 250 mg per hari,
seperti: selama 7 – 10 hari untuk episode
a. Lesi genital, kulit, atau mata tunggal3 kali 500 mg per hari, selama
b. Gangguan gastrointestinal 7 – 10 hari untuk tipe rekurens
c. Penurunan berat badan Anak : Belum ada data mengenai
d. Rasa lemah keamanan dan efektifitas pemberiannya
e. Batuk kronik pada anak-anak
f. Demam
Dokter perlu memperhatikan fungsi ginjal Stomatitis Herpes
pasien sebelum memberikan obat-obat di atas.
Dosis perlu disesuaikan pada pasien dengan 1. Ad vitam : Bonam
penurunan fungsi ginjal. Pada kasus stomatitis 2. Ad functionam : Bonam
herpes akibat penyakit sistemik, harus 3. Ad sanationam : Dubia
dilakukan tatalaksana definitif sesuai penyakit Referensi
yang mendasari.
1. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of
Pencegahan rekurensi pada stomatitis herpes the Oral Mucosa: Non- Infective Stomatitis.
rekurens In Cawson’s Essentials of Oral Pathology
Pencegahan rekurensi dimulai dengan and Oral Medicine. Spain: Elsevier Science
mengidentifikasi faktor-faktor pencetus dan Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell,
selanjutnya melakukan penghindaran. Faktor- 2002)
faktor yang biasanya memicu stomatitis herpes 2. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In
rekurens, antara lain trauma dan paparan sinar Handbook of Oral Disease: Diagnosis
matahari. and Management. London: Martin Dunitz
Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999)
Peralatan 3. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent
Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis and
1. Kaca mulut
Treatment. Journal of The American
2. Lampu senter Dental Association, 127, pp.1202–1213.
Prognosis (Woo & Sonis, 1996)
4. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008.
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions.
1. Ad vitam : Bonam In M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds.
2. Ad functionam : Bonam Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC Decker,
3. Ad sanationam : Dubia p.
41. (Woo & Greenberg, 2008)

2.REFLUKSGASTROESOFAGEAL
No ICPC-2: D84 Oesphagus disease
No ICD-10: K21.9Gastro-oesophageal reflux disease without oesophagitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan diperberat dengan posisi berbaring terlentang.


Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena
mekanisme refluks melalui sfingter esofagus. makanan berupa saos tomat, peppermint,
coklat, kopi, dan alkohol. Keluhan sering muncul
Hasil Anamnesis (Subjective) pada malam hari.
Keluhan Faktor risiko
Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau Usia > 40 tahun, obesitas, kehamilan, merokok,
epigastrik dan dapat menjalar ke leher disertai konsumsi kopi, alkohol, coklat, makan berlemak,
muntah, atau timbul rasa asam di mulut. beberapa obat di antaranya nitrat, teofilin dan
verapamil, pakaian yang ketat, atau pekerja
Hal ini terjadi terutama setelah makan dengan
volume besar dan berlemak. Keluhan ini yang sering mengangkat beban berat.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang dapat diteruskan sampai 4 minggu dan
sederhana (Objective) boleh ditambah dengan prokinetik seperti
domperidon 3 x 10 mg.
Pemeriksaan Fisik
3. Pada kondisi tidak tersedianya PPI, maka
Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD.
penggunaan H2 Blocker 2x/hari: simetidin
Tindakan untuk pemeriksaan adalah dengan
400-800 mg atau ranitidin 150 mg atau
pengisian kuesioner GERD. Bila hasilnya positif,
famotidin 20 mg.
maka dilakukan tes dengan pengobatan PPI
(Proton Pump Inhibitor).
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
yang cermat. Kemudian untuk di fasilitas
pelayanan tingkat pertama, pasien diterapi
dengan PPI test, bila memberikan respon positif
terhadap terapi, maka diagnosis definitif GERD
dapat disimpulkan.
Standar baku untuk diagnosis definitif GERD
adalah dengan endoskopi saluran cerna bagian
atas yaitu ditemukannya mucosal break di
esophagus namun tindakan ini hanya dapat
dilakukan oleh dokter spesialis yang memiliki
kompetensi tersebut. Gambar 3.1 Algoritme tatalaksana GERD
(Refluks esofageal)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada fasilitas
Angina pektoris, Akhalasia, Dispepsia, Ulkus
layanan sekunder (rujukan) untuk endoskopi
peptik, Ulkus duodenum, Pankreatitis
dan bila perlu biopsi
Komplikasi
Konseling dan Edukasi
Esofagitis, Ulkus esophagus, Perdarahan
Edukasi untuk melakukan modifikasi gaya
esofagus, Striktur esophagus, Barret’s
hidup yaitu dengan mengurangi berat badan,
esophagus, Adenokarsinoma, Batuk dan asma,
berhenti merokok, tidak mengkonsumsi zat
Inflamasi faring dan laring, Aspirasi paru.
yang mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin,
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) dan alkohol. Posisi tidur sebaiknya dengan
kepala yang lebih tinggi. Tidur minimal setelah 2
Penatalaksanaan sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan
1. Terapi dengan medikamentosa dengan cara porsi kecil dan kurangi makanan yang berlemak.
memberikan Proton Pump Inhibitor (PPI)
dosis tinggi selama 7-14 hari.Bila terdapat Kriteria Rujukan
perbaikan gejala yang signifikan (50-75%) 1. Pengobatan empirik tidak menunjukkan
maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai hasil
GERD. PPI dosis tinggi berupa omeprazol 2
x 20 mg/hari dan lansoprazol 2 x 30 2. Pengobatan empirik menunjukkan hasil
mg/hari. namun kambuh kembali

2. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat


3. Adanya alarm symptom: Prognosis
Berat badan menurun Prognosis umumnya bonam tetapi sangat
Hematemesis melena tergantung dari kondisi pasien saat datang dan
Disfagia (sulit menelan) pengobatannya.
Odinofagia (sakit menelan)
Anemia Referensi

Peralatan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit


Refluks Gastroesofageal (Gastroesofageal Reflux
Kuesioner GERD Disease/GERD) Indonesia. 2004.

3.GASTRITIS
No ICPC-2: D07 Dyspepsia/indigestion
No ICD-10: K29.7 Gastritis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan Sederhana (Objective)
mukosa dan submukosa lambung sebagai
mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat Pemeriksaan Fisik Patognomonis
akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses 1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus
inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau meningkat.
lokal.
2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat
Hasil Anamnesis (Subjective) ditemukan pendarahan saluran cerna
Keluhan berupa hematemesis dan melena.

Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan 3. Biasanya pada pasien dengan gastritis
panas seperti terbakar pada perut bagian atas. kronis, konjungtiva tampak anemis.
Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti Pemeriksaan Penunjang
dengan makan, mual, muntah dan kembung.
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis
Faktor Risiko dengan melakukan pemeriksaan:
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan 1. Darah rutin.
terlambat, jenis makanan pedas, porsi
makan yang besar 2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter
2. Sering minum kopi dan teh pylori: pemeriksaan Ureabreath test dan
feses. Rontgen dengan barium enema
3. Infeksi bakteri atau parasit
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid 3. Endoskopi
5. Usia lanjut
Penegakan Diagnosis (Assessment)
6. Alkoholisme
7. Stress Diagnosis Klinis
8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis definitif
Chron disease dilakukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi
1. Kolesistitis Menginformasikan kepada pasien untuk
2. Kolelitiasis menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara
3. Chron disease lain dengan makan tepat waktu, makan sering
4. Kanker lambung dengan porsi kecil dan hindari dari makanan yang
5. Gastroenteritis meningkatkan asam lambung atau perut kembung
6. Limfoma seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.
7. Ulkus peptikum Kriteria rujukan
8. Sarkoidosis
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.
9. GERD
2. Terjadi komplikasi.
Komplikasi 3. terdapat alarm symptoms
1. Pendarahan saluran cerna bagian atas Peralatan
2. Ulkus peptikum -
3. Perforasi lambung
Prognosis
4. Anemia
Prognosis sangat tergantung pada kondisi
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) pasien saat datang, komplikasi, dan
pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis
Penatalaksanaan adalah bonam, namun dapat terjadi berulang
bila pola hidup tidak berubah.
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara
lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/ Referensi
kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800 1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Simadibrata, M.Setiati,S. eds. Buku ajar ilmu
Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
x 500-1000 mg/hari. Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)

4.INTOLERANSI MAKANAN
No. ICPC-2: D29 Digestive syndrome/complaint other No. ICD-10: K90.4 Malabsorption due to intolerance
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis


Intoleransi makanan adalah gejala-gejala yang Gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah
terjadi akibat reaksi tubuh terhadap makanan tenggorokan terasa gatal, nyeri perut, perut
tertentu. Intoleransi bukan merupakan alergi kembung, diare, mual, muntah, atau dapat
makanan. Hal ini terjadi akibatkekurangan disertai kram perut.
enzim yang diperlukan untuk mencerna
makanan tertentu. Intoleransi terhadap laktosa Faktor predisposisi
gula susu, penyedap Monosodium Glutamat Makanan yang sering menyebabkan intoleransi,
(MSG), atau terhadap antihistamin yang seperti:
ditemukan di keju lama, anggur, bir, dan daging 1. Terigu dan gandum lainnya yang
olahan. Gejala intoleransi makanan kadang- mengandung gluten
kadang mirip dengan gejala yang ditemukan 2. Protein susu sapi
pada alergi makanan. 3. Hasil olahan jagung
4. MSG
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Hal ini bertujuan untuk memperoleh penyebab
Sederhana (Objective) intoleransi.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri Konseling dan Edukasi
tekan abdomen, bising usus meningkat dan Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut
mungkin terdapat tanda-tanda dehidrasi. membantu dalam hal pembatasan nutrisi
Pemeriksaan Penunjang : - tertentu pada pasien dan mengamati keadaaan
pasien selama pengobatan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis Kriteria Rujukan
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan Perlu dilakukan konsultasi ke layanan sekunder
pemeriksaan fisik. bila keluhan tidak menghilang walaupun tanpa
terpapar.
Diagnosis Banding
Peralatan
Pankreatitis, Penyakit Chrons pada illeum -
terminalis, Sprue Celiac, Penyakit whipple, Laboratorium rutin
Amiloidosis, Defisiensi laktase, Sindrom
Zollinger- Ellison, Gangguan paska gasterektomi, Prognosis
reseksi usus halus atau kolon
Pada umumnya, prognosis tidak mengancam
Komplikasi: Dehidrasi jiwa, namun fungsionam dan sanasionamnya
adalah dubia ad bonam karena tergantung pada
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) paparan terhadap makanan penyebab.
Penatalaksanaan dapat berupa Referensi
1. Pembatasan nutrisi tertentu
2. Suplemen vitamin dan mineral 1. Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit
3. Suplemen enzim pencernaan Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
2006. Hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)
Rencana Tindak Lanjut: setelah gejala
menghilang, makanan yang dicurigai diberikan
kembali untuk melihat reaksi yang terjadi.

5.MALABSORBSI MAKANAN
No. ICPC-2: D29 Digestive syndrome/complaint other
No. ICD-10: K90.9 Intestinal malabsorbtion, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Berbagai hal dan keadaan dapat menyebabkan
Malabsorbsi adalah suatu keadaan terdapatnya malabsorbsi dan maldigesti pada seseorang.
gangguan pada proses absorbsi dan digesti Malabsorbsi dan maldigesti dapat disebabkan
secara normal pada satu atau lebih zat gizi. oleh karena defisiensi enzim atau adanya
Pada umumnya pasien datang dengan diare gangguan pada mukosa usus tempat absorbsi
sehingga kadang sulit membedakan apakah dan digesti zat tersebut.
diare disebabkan oleh malabsorbsi atau sebab
lain. Selain itu kadang penyebab dari diare Hasil Anamnesis (Subjective)
tersebut tumpang tindih antara satu sebab Keluhan
dengan sebab lain termasuk yang disebabkan
oleh malabsorbsi. Pasien dengan malabsorbsi biasanya datang
dengan keluhan diare kronis, biasanya bentuk Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
feses cair mengingat gangguan pada usus halus
tidak ada zat nutrisi yang terabsorbsi sehingga Penatalaksanaan
feses tak berbentuk. Jika masalah pasienkarena Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit
malabsorbsi lemak maka pasien akan mengeluh dalam untuk mencari penyebab malabsorbsi
fesesnya berminyak (steatore). kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.
Anamnesis yang tepat tentang kemungkinan 1. Tatalaksana tergantung dari penyebab
penyebab dan perjalanan penyakit merupakan malabsorbsi
hal yang penting untuk menentukan apa terjadi 2. Pembatasan nutrisi tertentu
malabsorbsi. 3. Suplemen vitamin dan mineral
Faktor Risiko: - 4. Suplemen enzim pencernaan
5. Tata laksana farmakologi: Antibiotik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang diberikan jika malabsorbsi disebakan oleh
Sederhana (Objective) overgrowth bakteri enterotoksigenik: E.
colli,
Pemeriksaan Fisik K. Pneumoniae dan Enterrobacter cloacae.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda Rencana Tindak Lanjut
anemia (karena defisiensi besi, asam folat, dan
B12): konjungtiva anemis, kulit pucat, status Perlu dipantau keberhasilan diet atau terapi
gizi kurang. Dicari tanda dan gejala spesifik yang diberikan kepada pasien.
tergantung dari penyebabnya.
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang
Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut
1. Darah perifer lengkap: anemia mikrositik membantu dalam hal pembatasan nutrisi
hipokrom karena defisiensi besi atau tertentu pada pasien dan mengamati keadaaan
anemia makrositik karena defisiensi asam pasien selama pengobatan.
folat dan vitamin B12.
2. Radiologi: foto polos abdomen Kriteria Rujukan

Penegakan Diagnostik (Assessment) Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit


dalam untuk mencari penyebab malabsorbsi
Diagnosis Klinis kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, Peralatan
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
Diagnosis Banding darah perifer lengkap.
1. Pankreatititis Prognosis
2. Penyakit Chrons pada illeum terminalis
3. Sprue Celiac Prognosis sangat tergantung pada kondisi
4. Penyakit whipple pasien saat datang, komplikasi, dan
5. Amiloidosis pengobatannya. Pada umumnya, prognosis
6. Defisiensi laktase tidak mengancam jiwa, namun fungsionam dan
7. Sindrom Zollinger-Ellison sanationamnya adalah dubia ad bonam.
8. Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus Referensi
halus atau kolon
1. Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Komplikasi : Dehidrasi Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
2006. hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)
6.DEMAM TIFOID
No ICPC-2: D70 Gastrointestinal infection No ICD-10: A01.0 Typhoid fever
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Higiene makanan dan minuman yang
Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini dengan air yang terkontaminasi, sayuran
erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi yang dipupuk dengan tinja manusia,
dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di makanan yang tercemar debu atau sampah
Indonesia bersifat endemik dan merupakan atau dihinggapi lalat.
masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah 3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
kasus di rumah sakit besar di Indonesia, 4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar
tersangka demam tifoid menunjukkan tempat tinggal sehari- hari.
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun 5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 6. Kondisi imunodefisiensi.
penduduk dan angka kematian antara 0.6–5%
(KMK, 2006). Selain tingkat insiden yang tinggi, Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
demam tifoid terkait dengan berbagai aspek Sederhana (Objective)
permasalahan lain, misalnya: akurasi diagnosis, Pemeriksaan Fisik
resistensi antibiotik dan masih rendahnya
cakupan vaksinasi demam tifoid. 1. Keadaan umum biasanya tampak sakit
sedang atau sakit berat.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Kesadaran: dapat compos mentis atau
penurunan kesadaran (mulai dari yang
Keluhan
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga
1. Demam turun naik terutama sore dan yang berat misalnya delirium atau koma)
malam hari dengan pola intermiten dan 3. Demam, suhu > 37,5oC.
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi 4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu
dapat terjadi terus menerus (demam penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
kontinu) hingga minggu kedua. denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering 5. Ikterus
dirasakan di area frontal 6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor
3. Gangguan gastrointestinal berupa lidah, halitosis
konstipasi dan meteorismus atau diare, 7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama
mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB regio epigastrik), hepatosplenomegali
berdarah 8. Delirium pada kasus yang berat
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan
pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai 1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi
penurunan kesadaran atau kejang. berupa apatis dengan kesadaran seperti
berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat
Faktor Risiko
menjadi somnolen dan koma atau dengan
1. Higiene personal yang kurang baik, gejala-gejala psikosis (organic brain
terutama jarang mencuci tangan. syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala
delirium lebih menonjol. lanjut penyakit, untuk mendeteksi
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut carriertyphoid
abdomen 4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai
indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar
Pemeriksaan Penunjang lipase dan amilase
1. Darah perifer lengkap beserta hitung Penegakan Diagnosis (Assessment)
jenis leukosis dapat menunjukkan:
leukopenia/ leukositosis/ jumlah leukosit Suspek demam tifoid (Suspect case)
normal, limfositosis relatif, monositosis,
trombositopenia (biasanya ringan), anemia. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Serologi didapatkan gejala demam, gangguan saluran
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi cerna dan petanda gangguan kesadaran.
(Tubex- TF)® Hanya dapat mendeteksi Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada
antibody IgM Salmonella typhi. Dapat fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
dilakukan pada 4-5 hari pertama Demam tifoid klinis (Probable case)
demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®) Suspek demam tifoid didukung dengan
1) Dapat mendeteksi IgM dan IgG gambaran laboratorium yang menunjukkan
Salmonella typhi tifoid.
2) Dapat dilakukan pada 4-5 hari Diagnosis Banding
pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi Demam berdarah dengue, Malaria,
Dilakukan setelah demam berlangsung 7 Leptospirosis, infeksi saluran kemih, Hepatitis A,
hari. sepsis, Tuberkulosis milier, endokarditis infektif,
Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin demam rematik akut, abses dalam, demam
O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan yang berhubungan dengan infeksi HIV.
titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan
Komplikasi
ulang dengan interval 5 – 7 hari.
Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga
terjadi oleh karena reaksi silang dengan demam. Komplikasi antara lain perdarahan,
non- typhoidal Salmonella, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi
enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi organ lain.
dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid
dan preparat antigen komersial yang 1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Penderita dengan sindrom demam tifoid
Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak dengan panas tinggi yang disertai dengan
direkomendasi jika hanya dari 1 kali kekacauan mental hebat, kesadaran
pemeriksaan serum akut karena terjadinya menurun, mulai dari delirium sampai koma.
positif palsu tinggi yang dapat 2. Syok septik
mengakibatkan over-diagnosis dan over- Penderita dengan demam tifoid, panas
treatment. tinggi serta gejala-gejala toksemia yang
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard) berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan
Dapat dilakukan pada spesimen: hemodinamik seperti tekanan darah turun,
a. Darah : Pada minggu pertama sampai nadi halus dan cepat, keringat dingin dan
akhir minggu ke-2 sakit, saat demam akral dingin.
tinggi 2. Perdarahan dan perforasi intestinal
b. Feses : Pada minggu kedua sakit (peritonitis)
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga Komplikasi perdarahan ditandai
sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium
denganhematoschezia. Dapat juga diketahui yang dapat diberikan secara oral
dengan pemeriksaan feses (occult blood maupun parenteral.
test). Komplikasi ini ditandai dengan gejala c. Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak,
akut abdomen dan peritonitis. Pada foto cukup kalori dan protein, rendah serat.
polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan d. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan
klinis bedah didapatkan gas bebas dalam tuntas
rongga perut. e. Kontrol dan monitor tanda vital
3. Hepatitis tifosa (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kemudian dicatat dengan baik di rekam
kelainan tes fungsi hati. medik pasien
4. Pankreatitis tifosa 2. Terapi simptomatik untuk menurunkan
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan demam (antipiretik) dan mengurangi
peningkatan enzim lipase dan amilase. keluhan gastrointestinal.
Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau 3. Terapi definitif dengan pemberian
CT Scan. antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk
5. Pneumonia demam tifoid adalah Kloramfenikol,
Didapatkan tanda pneumonia yang Ampisilin atau Amoksisilin (aman
diagnosisnya dibantu dengan foto polos untuk penderita yang sedang hamil),
toraks atau Trimetroprim-sulfametoxazole
(Kotrimoksazol).
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini
Penatalaksanaan pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan: lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim,
a. Istirahat tirah baring dan mengatur Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak
tahapan mobilisasi <18 tahun karena dinilai mengganggu
b. Menjaga kecukupan asupan cairan, pertumbuhan tulang).

Tabel 3.2 Antibiotik dan dosis penggunan untuk tifoid

Antibiotik Dosis Keterangan


Kloramfenikol Dewasa: 4x500 mg selama Merupakan obat yang sering digunakan
10 hari dan telah lama dikenal efektif untuk tifoid
Anak 100 mg/kgBB/hari, Murah dan dapat diberikan peroral serta
per oral atau intravena, sensitivitas masih tinggi Pemberian PO/IV
dibagi 4 dosis, selama 10-14 Tidak diberikan bila lekosit <2000/mm3
hari
Seftriakson Dewasa: 2-4gr/hari Cepat menurunkan suhu,
selama 3-5 hari lama pemberian pendek dan
Anak: 80 mg/kgBB/hari, IM dapat dosis tunggal serta
atau IV, dosis tunggal selama cukup aman untuk anak.
5 hari Pemberian PO/IV
Ampisilin dan Dewasa: (1.5-2) gr/hr Aman untuk penderita hamil
amiksisilin selama 7-10 hari Sering dikombinasi dengan kloramfenikol
Anak: 100 mg/kgbb/hari pada pasien kritis
per oral atau intravena, Tidak mahal
dibagi 3 dosis, selama 10 Pemberian PO/IV
hari.
Kotrimoksazol Dewasa: 2x(160-800) Tidak mahal, pemberian per oral
selama 7-10 hari
Anak: Kotrimoksazol 4-6 mg/
kgBB/hari, per oral, dibagi 2
dosis, selama 10 hari.
Kuinolon Ciprofloxacin 2x500 mg Pefloxacin dan Fleroxacin lebih cepat
selama 1 minggu Ofloxacin menurunkan suhu
2x(200-400) selama 1 minggu Efektif mencegah relaps dan kanker
Pemberian peroral
Pemberian pada anak tidak dianjurkan
karena efek samping pada pertumbuhan
tulang
Sefiksim Anak: 20 mg/kgBB/hari, per Aman untuk anak, efektif
oral, dibagi menjadi 2 dosis,
selama 10 hari
Thiamfenikol Dewasa: 4x500 mg/hari Dapat dipakai untuk
Anak: 50 mg/kgbb/hari selama anak dan dewasa Dilaporkan cukup sensitif
5-7 hari bebas panas pada beberapa daerah

Rencana Tindak Lanjut


bertanggung jawab penuh terhadap
1. Bila pasien dirawat di rumah, dokter tatalaksana pasien.
atau perawat dapat melakukan kunjungan b. Dokter mengkonfirmasi bahwa
follow up setiap hari setelah dimulainya penderita tidak memiliki tanda-
tatalaksana. tanda yang berpotensi menimbulkan
2. Respon klinis terhadap antibiotik dinilai komplikasi.
setelah penggunaannya selama 1 minggu. c. Semua kegiatan tata laksana (diet,
cairan, bed rest, pengobatan) dapat
Indikasi Perawatan di Rumah
dilaksanakan secara baik di rumah.
1. Persyaratan untuk pasien d. Dokter dan/atau perawat mem-follow
a. Gejala klinis ringan, tidak ada tanda- up pasien setiap hari.
tanda komplikasi atau komorbid yang e. Dokter dan/atau perawat dapat
membahayakan. berkomunikasi secara lancar dengan
b. Kesadaran baik. keluarga pasien di sepanjang masa
c. Dapat makan serta minum dengan baik. tatalaksana.
d. Keluarga cukup mengerti cara-cara
merawat dan tanda-tanda bahaya yang Konseling dan Edukasi
akan timbul dari tifoid. Edukasi pasien tentang tata cara:
e. Rumah tangga pasien memiliki
dan melaksanakan sistem 1. Pengobatan dan perawatan serta aspek
pembuanganeksret (feses, urin, cairan lain dari demam tifoid yang harus diketahui
muntah) yang memenuhi persyaratan pasien dan keluarganya.
kesehatan. 2. Diet, jumlah cairan yang dibutuhkan,
f. Keluarga pasien mampu menjalani pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat
rencana tatalaksana dengan baik. sebaiknya diperhatikan atau dilihat
2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan langsung oleh dokter, dan keluarga pasien
a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap telah memahami serta mampu
yang melaksanakan.
3. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu
kepada pasien dan keluarga supaya bisa 2004. (Feigin, et al., 2004)
segera dibawa ke rumah sakit terdekat
untuk perawatan. 4. Long SS, Pickering LK, Prober CG.
Principles and practice of pediatric
Pendekatan Community Oriented infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia:
Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al.,
Melakukan konseling atau edukasi pada 2003)
masyarakat tentang aspek pencegahan dan
pengendalian demam tifoid, melalui: 5. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s
infectious disease of children. 11th ed.
1. Perbaikan sanitasi lingkungan
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et
2. Peningkatan higiene makanan dan
al., 2004)
minuman
3. Peningkatan higiene perorangan 6. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric
4. Pencegahan dengan imunisasi decision making strategies. WB Saunders:
Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)
Kriteria Rujukan
7. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/
1. Demam tifoid dengan keadaan umum yang
ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.
berat (toxic typhoid).
htm (Center for Disease and Control, 2005)
2. Tifoid dengan komplikasi.
3. Tifoid dengan komorbid yang berat. 8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy
4. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun AJ. Current trends in the management of
belum tampak perbaikan. typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra,
et al., 2003)
Peralatan
9. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM,
Poliklinik set dan peralatan laboratorium Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects
untuk melakukan pemeriksaan darah rutin dan not only typhoid-specific antibodies but also
serologi. soluble antigens and whole bacteria.
Prognosis Journal of Medical Microbiology.
2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)
Prognosis adalah bonam, namun adsanationam
dubia ad bonam, karena penyakit dapat terjadi 10. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I.
berulang. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood
culture and Widal test in the early
Referensi diagnosis of typhoid fever in children in
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI a resource poor setting. Braz J Infect Dis.
No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentan 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
PedomanPengendalian Demam Tifoid. 11. Summaries of infectious diseases.
(Kementerian Kesehatan Republik Dalam: Red Book Online 2009. Section
Indonesia, t.thn.) 3. http://aapredbook.aappublications.org/
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, cgi/content/full/2009/1/3.117 (Anon., 2009)
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD,
Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB
Saunders;
7.GASTROENTERITIS (KOLERA DAN GIARDIASIS)
No. ICPC-2: D73 Gastroenteritis presumed infection
No. ICD-10: A09 Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infection origin
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Setiap kali diare, BAB dapat menghasilkan
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa volume yang besar (asal dari usus kecil) atau
lambung dan usus halus yang ditandai dengan volume yang kecil (asal dari usus besar). Bila
diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam diare disertai demam maka diduga erat terjadi
waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut infeksi.
kronis. WHO (World Health Organization)
mendefinisikan diare akut sebagai diare yang Bila terjadinya diare didahului oleh makan atau
biasanya berlangsung selama 3-7 hari tetapi minum dari sumber yang kurang higienenya,
dapat pula berlangsung sampai 14 hari. Diare GE dapat disebabkan oleh infeksi. Riwayat
persisten adalah episode diare yang bepergian ke daerah dengan wabah diare,
diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan riwayat intoleransi laktosa (terutama pada
mulainya sebagai diare akut tetapi berakhir bayi), konsumsi makanan iritatif, minum jamu,
lebih dari 14 hari, serta kondisi ini diet cola, atau makan obat-obatan seperti
menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi laksatif, magnesium hidroklorida, magnesium
menyebabkan kematian sitrat, obat jantung quinidine, obat gout
(kolkisin), diuretika (furosemid, tiazid), toksin
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak- (arsenik, organofosfat), insektisida, kafein, metil
anak karena daya tahan tubuh yang belum xantine, agen endokrin (preparat pengantian
optimal. Diare merupakan salah satu penyebab tiroid), misoprostol, mesalamin,
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi antikolinesterase dan obat-obat diet perlu
pada anak di bawah umur lima tahun di seluruh diketahui.
dunia, yaitu mencapai 1 milyar kesakitan
dan 3 juta kematian per tahun. Penyebab Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS)
gastroenteritis antara lain infeksi, malabsorbsi, dan demam tifoid perlu diidentifikasi.
keracunan atau alergi makanan dan psikologis Pada pasien anak ditanyakan secara jelas gejala
penderita. diare:
Infeksi yang menyebabkan GE akibat 1. Perjalanan penyakit diare yaitu lamanya
Entamoeba histolytica disebut disentri, bila diare berlangsung, kapan diare muncul
disebabkan oleh Giardia lamblia disebut (saat neonatus, bayi, atau anak-anak)
giardiasis, sedangkan bila disebabkan oleh untuk mengetahui, apakah termasuk diare
Vibrio cholera disebut kolera. kongenital atau didapat, frekuensi BAB,
konsistensi dari feses, ada tidaknya darah
Hasil Anamnesis (Subjective)
dalam tinja
Keluhan 2. Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare
3. Gejala penyerta: sakit perut, kembung,
Pasien datang ke dokter karena buang air besar banyak gas, gagal tumbuh.
(BAB) lembek atau cair, dapat bercampur darah 4. Riwayat bepergian, tinggal di tempat
atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih penitipan anak merupakan risiko
dalam waktu 24 jam. Dapat disertai rasa tidak untukdiare infeksi.
nyaman di perut (nyeri atau kembung), mual
dan muntah serta tenesmus.
Faktor Risiko lainnya: ubun- ubun besar cekung atau
tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau
1. Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan
yang kurang. lidah kering atau basah.
2. Riwayat intoleransi laktosa, riwayat alergi
3. Pernapasan yang cepat indikasi adanya
obat.
asidosis metabolik.
3. Infeksi HIV atau infeksi menular seksual. 4. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang terdapat hipokalemia.
sederhana (Objective) 5. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary refill dapat
Pemeriksaan Fisik menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.
1. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: 6. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi
berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut dapat ditentukan dengan cara: obyektif
jantung dan pernapasan serta tekanan yaitu dengan membandingkan berat badan
darah. sebelum dan selama diare. Subyektif
2. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: dengan menggunakan kriteria. Pada anak
kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit menggunakan kriteria WHO 1995.
abdomen dan tanda-tanda tambahan

Tabel 3.3 Pemeriksaan derajat dehidrasi

Derajat Dehidrasi Ringan


Minimal (<3% dari berat Berat (>9% dari berat
Gejala sampai sedang (3-9%
badan) badan)
dari berat badan)
Status mental Baik, sadar penuh Normal, lemas, atau Apatis, letargi, tidak sadar
gelisah, iritabel
Rasa haus Minum normal, mungkin Sangat haus, sangat ingin Tidak dapat minum
menolak minum minum
Denyut jantung Normal Normal sampai Takikardi, pada kasus
meningkat berat bradikardi
Kualitas denyut Normal Normal sampai menurun Lemah atau tidak teraba
nadi
Pernapasan Normal Normal cepat Dalam
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Air mata Ada Menurun Tidak ada
Mulut dan lidah Basah Kering Pecah-pecah
Turgor kulit Baik <2 detik >2 detik
Isian Kapiler Normal Memanjang memanjang, minimal
Ekstrimitas Hangat Dingin Dingin
Output urin Normal sampai menurun Dingin menurun Minimal

Metode Pierce
Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg)
Tabel 3.4 Skor penilaian klinis dehidrasi

Klinis
Rasa baqusl muntah Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg T ekanan darah sistolik <60 mm}-lg
Frekuensi nadi > 120 x/mcnit Kesadaran apati
Kesadaran somnolen, spoor atau koma.
Frekuensi napas > 30x/ menit Facics Cholerica
Vox Cholerica Turgor lculjt menurun Washer woman’s hand
Ekstremitas dingin Sianosis
Umur 50 - 60 tahun Umur > 60 lahun

Tabel 3.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Penilaian A B C

Lihat :

Keadaan Umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai, atau tidak
sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung dan kering

Air mata Ada Tidak ada

Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa haus Minum biasa, *Haus, ingin minum *Malas minum atau tidak
tidak haus banyak bisa minum

Periksa turgor kulit Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat lambat

Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/sedang

Bila ada 1 tanda (8) Bila ada 1 tanda (8)


ditambah 1 atau lebih ditambah 1 atau lebih tanda
tanda lain lain

Terapi Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C


Penegakan Diagnosis (Assessment) Obat antidiare, antara lain:
Diagnosis Klinis 1. Turunan opioid: Loperamid atau Tinktur
opium.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
2. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada
(BAB cair lebih dari 3 kali sehari) dan
pasien dengan disentri yang disertai
pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda
demam, dan penggunaannya harus
hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi BAB).
dihentikan apabila diare semakin berat
Untuk diagnosis defenitif dilakukan
walaupun diberikan terapi.
pemeriksaan penunjang.
3. Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien
Diagnosis Banding immunokompromais, seperti HIV, karena
dapat meningkatkan risiko terjadinya
Demam tifoid, Kriptosporidia (pada penderita bismuth encephalopathy.
HIV), Kolitis pseudomembran 4. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit
Komplikasi 4x2 tablet/ hari atau
5. smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB
Syok hipovolemik encer sampai diare stop.
6. Obat antisekretorik atau anti enkefalinase:
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Racecadotril 3x1
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa
Antimikroba, antara lain:
Pada umumnya diare akut bersifat ringan
1. Golongan kuinolonyaitu Siprofloksasin 2 x
dan sembuh cepat dengan sendirinya melalui
500 mg/hari selama 5-7 hari, atau
rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang
diperlukan evaluasi lebih lanjut. 2. Trimetroprim/Sulfametoksazol 160 / 800 2x
1 tablet/hari.
Terapi dapat diberikan dengan
1. Memberikan cairan dan diet adekuat 3. Apabila diare diduga disebabkan oleh
a. Pasien tidak dipuasakan dan diberikan Giardia, Metronidazol dapat digunakan
cairan yang adekuat untuk rehidrasi. dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.
b. Hindari susu sapi karena terdapat 4. Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi
defisiensi laktase transien. disesuaikan dengan etiologi.
c. Hindari juga minuman yang
mengandung alkohol atau kafein, Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan
karena dapat meningkatkan motilitas derajat dehidrasinya, pasien ditangani dengan
dan sekresi usus. langkah sebagai berikut:
d. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya
1. Menentukan jenis cairan yang akan
yang tidak mengandung gas, dan
digunakan
mudah dicerna.
Pada diare akut awal yang ringan, tersedia
2. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat
cairan oralit yang hipotonik dengan
diberikan obat antidiare untuk mengurangi
komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 gr
gejala dan antimikroba untuk terapi
Natrium bikarbonat dan 1,5 KCl setiap liter.
definitif. Pemberian terapi antimikroba
Cairan ini diberikan secara oral atau lewat
empirik diindikasikan pada pasien yang
selang nasogastrik. Cairan lain adalah
diduga mengalami infeksi bakteri invasif,
cairan ringer laktat dan NaCl 0,9% yang
traveller’s diarrhea, dan imunosupresi.
diberikan secara intravena.
Antimikroba: pada GE akibat infeksi
diberikan antibiotik atau antiparasit, atau 2. Menentukan jumlah cairan yang akan
antijamur tergantung penyebabnya. diberikan
Prinsip dalam menentukan jumlah cairan 5. Tidak ada infus set serta cairan infus di
inisial yang dibutuhkan adalah: BJ plasma fasilitas pelayanan
dengan rumus:
Penatalaksanaan pada Pasien Anak
3. Menentukan jadwal pemberian cairan:
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip
inisial): jumlah total kebutuhan cairan tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS
menurut BJ plasma atau skor Daldiyono DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang
diberikan langsung dalam 2 jam ini didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia
agar tercapai rehidrasi optimal secepat dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan
mungkin. satu- satunya cara untuk mengatasi diare tetapi
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan
ke-2) pemberian diberikan berdasarkan
mencegah anak kekurangan gizi akibat diare
kehilangan selama 2 jam pemberian juga menjadi cara untuk mengobati diare.
cairan rehidrasi inisial sebelumnya.
Bila tidak ada syok atauskor Daldiyono Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
kurang dari 3 dapat diganti cairan per
1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas
oral. rendah
c. Jam berikutnya pemberian cairan Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat
diberikan berdasarkan kehilangan dilakukan mulai dari rumah tangga dengan
cairan melalui tinja dan insensible memberikan oralit osmolaritas rendah, dan
water loss. bila tidak tersedia berikan cairan rumah
tangga seperti larutan air garam. Oralit saat
Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih ini yang beredar di pasaran sudah oralit
lanjut pada diare akut apabila ditemukan: yang baru dengan osmolaritas yang rendah,
yang dapat mengurangi rasa mual dan
1. Diare memburuk atau menetap setelah 7
muntah. Oralit merupakan cairan yang
hari, feses harus dianalisa lebih lanjut
terbaik bagi penderita diare untuk
2. Pasien dengan tanda-tanda toksik mengganti cairan yang hilang. Bila
(dehidrasi, disentri, demam ≥ 38,5oC, nyeri penderita tidak bisa minum harus segera di
abdomen yang berat pada pasien usia di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat
atas 50 tahun pertolongan cairan melalui infus.
3. Pasien usia lanjut Pemberian oralit didasarkan pada derajat
4. Muntah yang persisten dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).
5. Perubahan status mental seperti lethargi, a. Diare tanpa dehidrasi
apatis, irritable • Umur < 1 tahun: ¼-½ gelas setiap
6. Terjadinya outbreak pada komunitas kali anak mencret (50–100 ml)
7. Pada pasien yang immunokompromais. • Umur 1-4 tahun: ½-1 gelas setiap kali
anak mencret (100–200 ml)
Konseling dan Edukasi • Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas
setiap kali anak mencret (200– 300
Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi ml)
kepada keluarga untuk membantu asupan b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang
cairan. Edukasi juga diberikan untuk mencegah Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam
terjadinya GE dan mencegah penularannya. pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya
diteruskan dengan pemberian oralit
Kriteria Rujukan seperti diare tanpa dehidrasi.
1. Tanda dehidrasi berat c. Diare dengan dehidrasi berat
2. Terjadi penurunan kesadaran Penderita diare yang tidak dapat
3. Nyeri perut yang signifikan minum harus segera dirujuk ke
4. Pasien tidak dapat minum oralit Puskesmas untuk diinfus.
Tabel 3.6 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur

Jumlah oralit yang diberikan tiap


Umur Jumlah oralit yang disediakan di rumah
BAB
< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari (2 bungkus)
1-4 tahun 100-200ml 600-800 ml/hari (3-4 bungkus)
> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)
Dewasa 300-400 ml 1200-2800 ml/hari

Untuk anak dibawah umur 2 tahun


cairan harus diberikan dengan sendok terutama pada anak agar tetap kuat dan
dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai tumbuh serta mencegah berkurangnya
2 menit. Pemberian dengan botol tidak berat badan. Anak yang masih minum ASI
boleh dilakukan. Anak yang lebih besar harus lebih sering diberi ASI. Anak yang
dapat minum langsung dari gelas. Bila minum susu formula juga diberikan lebih
terjadi muntah hentikan dulu selama 10 sering dari biasanya. Anak usia
menit kemudian mulai lagi perlahan- 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang
lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 telah mendapatkan makanan padat harus
menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan diberikan makanan yang mudah dicerna
sampai dengan diare berhenti. dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut sering. Setelah diare berhenti, pemberian
Pemberian zinc selama diare terbukti makanan ekstra diteruskan selama 2
mampu mengurangi lama dan tingkat minggu untuk membantu pemulihan
keparahan diare, mengurangi frekuensi beratbadan
buang air besar, mengurangi volume tinja,
serta menurunkan kekambuhan kejadian 4. Antibiotik Selektif
diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan Antibiotika tidak boleh digunakan secara
bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc rutin karena kecilnya kejadian diare pada
segera saat anak mengalami diare. balita yang disebabkan oleh bakteri.
Dosis pemberian Zinc pada balita: Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian
• Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per besar karena Shigellosis) dan suspek kolera
hari
selama 10 hari. Obat-obatan anti diare juga tidak boleh
• Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari diberikan pada anak yang menderita diare
selama 10 hari. karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti
muntah tidak dianjurkan kecuali muntah
Zinc tetap diberikan selama 10 hari berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
walaupun diare sudah berhenti. dehidrasi ataupun meningkatkan
status gizi anak, bahkan sebagian besar
Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet
menimbulkan efek samping yang berbahaya
dalam 1 sendok makan air matang atau ASI,
dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa
sesudah larut berikan pada anak diare.
digunakan bila terbukti diare disebabkan
3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan oleh parasit (amuba, giardia).
Pemberian makanan selama diare 5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh
bertujuan untuk memberikan gizi pada
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat
penderita
dengan balita harus diberi nasehat tentang: Referensi
a. Cara memberikan cairan dan obat di 1. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman
rumah pemberantasan penyakit diare. Jakarta:
Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan
b. Kapan harus membawa kembali balita Republik Indonesia, 2009)
ke petugas kesehatan bila :
2. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan
• Diare lebih sering sosialisasi tatalaksana diare pada balita.
• Muntah berulang Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian
• Sangat haus Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
• Makan/minum sedikit 3. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo,
• Timbul demam A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata,
• Tinja berdarah M.D. Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit
• Tidak membaik dalam 3 hari. dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat
Konseling dan Edukasi Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Pencegahan diare menurut Pedoman Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
Tatalaksana Diare Departemen 4. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah,
M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus
Kesehatan RI (2006) adalah sebagai berikut: Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa
1. Pemberian ASI di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
2. Pemberian makanan pendamping ASI Gastroenterologi Indonesia. 2009.
3. Menggunakan air bersih yang cukup 5. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi.
4. Mencuci tangan In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
5. Menggunakan jamban Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar
6. Membuang tinja bayi dengan benar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta:
7. Pemberian imunisasi campak Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-1798.
Kriteria Rujukan 6. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In:
Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s
1. Anak diare dengan dehidrasi berat dan tidak Principles of Internal Medicine.Vol II.
ada fasilitas rawat inap dan pemasangan
17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 962-964.
intravena.
(Braunwald, et al., 2009)
2. Jika rehidrasi tidak dapat dilakukan atau
7. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with
tercapai dalam 3 jam pertama penanganan.
Free Living Amoebas. In: Kasper. Braunwald.
3. Anak dengan diare persisten Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal
4. Anak dengan syok hipovolemik Medicine.Vol I. 17thEd. McGraw-Hill. 2009:
Peralatan p. 1275-1280.

Infus set, cairan intravena, peralatan


laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin,
feses dan WIDAL
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi
pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
dan pengobatannya, sehingga umumnya
prognosis adalah dubia ad bonam. Bila kondisi
saat datang dengan dehidrasi berat, prognosis
dapat menjadi dubia ad malam.
8.DISENTRI BASILER DAN DISENTRI AMUBA
No. ICPC-2: D70 Gastrointestinal infection No. ICD-10: A06.0 Acute amoebic dysentery

Masalah Kesehatan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya
Diagnosis Klinis
dan seringkali menyebabkan kematian
dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri
disentri basiler yang disebabkan oleh 1. Diagnosis Banding
shigellosis dan amoeba (disentri amoeba). 2. Infeksi Eschericiae coli
3. Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive
Hasil Anamnesis (Subjective)
(EIEC)
Keluhan 4. Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik
(EHEC)
1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan
buang air besar encer secara terus menerus Komplikasi
bercampur lendir dan darah
1. Haemolytic uremic syndrome (HUS)
2. Muntah-muntah
2. Hiponatremia berat
3. Sakit kepala
3. Hipoglikemia berat
4. Bentuk yang berat (fulminating cases)
4. Komplikasi intestinal seperti toksik
biasanya disebabkan oleh S. dysentriae
megakolon, prolaps rektal, peritonitis dan
dengan gejalanya timbul mendadak dan
perforasi
berat, dan dapat meninggal bila tidak cepat
ditolong. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Faktor Risiko Penatalaksanaan
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang 1. Mencegah terjadinya dehidrasi
kurang. 2. Tirah baring
3. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral
Sederhana (Objective)
4. Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat
Pemeriksaan Fisik diberikan cairan melalui infus
5. Diet, diberikan makanan lunak sampai
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari,
1. Febris kemudian diberikan makanan ringan biasa
2. Nyeri perut pada penekanan di bagian bila ada kemajuan.
sebelah kiri 6. Farmakologis:
3. Terdapat tanda-tanda dehidrasi a. Menurut pedoman WHO, bila telah
4. Tenesmus terdiagnosis shigelosis pasien diobati
dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari
Pemeriksaan Penunjang pengobatan menunjukkan perbaikan,
terapi diteruskan selama 5 hari. Bila
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap
tidak ada perbaikan, antibiotik diganti
kuman penyebab.
dengan jenis yang lain.
b. Pemakaian jangka pendek dengan
dosis tunggal Fluorokuinolon Kriteria Rujukan
seperti Siprofloksasin atau makrolid
Azithromisin ternyata berhasil baik Pada pasien dengan kasus berat perlu dirawat
untuk pengobatan disentri basiler. intensif dan konsultasi ke pelayanan kesehatan
Dosis Siprofloksasin yang dipakai sekunder (spesialis penyakit dalam).
adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari Peralatan
sedangkan Azithromisin diberikan 1
gram dosis tunggal dan Sefiksim 400 Laboratorium untuk pemeriksaan tinja
mg/hari selama 5 hari. Pemberian
Prognosis
Siprofloksasin merupakan
kontraindikasi terhadap anak-anak dan Prognosis sangat tergantung pada kondisi
wanita hamil. pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
c. Di negara-negara berkembang di dan pengobatannya. Pada umumnya prognosis
mana terdapat kuman S.dysentriae dubia ad bonam.
tipe 1 yang multiresisten terhadap
obat- obat, diberikan asam nalidiksik Referensi
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 1. Sya’roni Akmal. Buku Ajar Ilmu
hari. Tidak ada antibiotik yang Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4.
dianjurkan dalam pengobatan stadium Jakarta: FK UI.2006. Hal 1839-41.
karier disentribasiler. 2. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu
d. Untuk disentri amuba diberikan Penyakit Dalam Edisi III. Jakarta:
antibiotik Metronidazol 500mg 3x FKUI.2006.
sehari selama 3-5 hari 3. Kroser, AJ. Shigellosis. 2007. Diakses dari
www.emedicine.com/med/topic2112.htm.
Rencana Tindak Lanjut
Pasien perlu dilihat perkembangan penyakitnya
karena memerlukan waktu penyembuhan yang
lama berdasarkan berat ringannya penyakit.
Konseling dan Edukasi
1. Penularan disentri amuba dan basiler dapat
dicegah dan dikurangi dengan kondisi
lingkungan dan diri yang bersih seperti
membersihkan tangan dengan sabun,
suplai air yang tidak terkontaminasi serta
penggunaan jamban yang bersih.
2. Keluarga ikut berperan dalam mencegah
penularan dengan kondisi lingkungan
dan diri yang bersih seperti membersihkan
tangan dengan sabun, suplai air yang tidak
terkontaminasi, penggunaan jamban yang
bersih.
3. Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan
makanan lunak sampai frekuensi BAB
kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan
makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
9.PERDARAHAN GASTROINTESTINAL
No. ICPC-2: D14 Haematemesis/vomiting blood
D15 Melaena
D16 Rectal Bleeling
No. ICD-10 : K92.2 Gastrointestinal haemorrhage, unspecified
K62.5 Haemorrhage of anus and rectum
Tingkat Kemampuan 3B

a.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik,
alkohol, jamu- jamuan, obat untuk penyakit
Masalah Kesehatan jantung, obat stroke, riwayat penyakit ginjal,
riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan
Manifestasi perdarahan saluran cerna
ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah
bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang
sebelum terjadinya hematemesis sangat
mengancam jiwa hingga perdarahan samar
mendukung kemungkinan adanya sindroma
yang tidak dirasakan. Hematemesis
Mallory Weiss.
menunjukkan perdarahan dari saluran cerna
bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz. Faktor Risiko
Melena biasanya akibat perdarahan saluran
cerna bagian atas, meskipun demikian Konsumsi obat-obat NSAID
perdarahan dari usus halus atau kolon bagian Faktor Predisposisi
kanan, juga dapat menimbulkan melena.
Riwayat sirosis hepatis
Di Indonesia perdarahan karena ruptur varises
gastroesofagus merupakan penyebab tersering Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif sekitar 25- sederhana (Objective)
30%,tukak peptik sekitar 10-15% dan karena
Pemeriksaan Fisik
sebab lainnya <5%. Mortalitas secara
keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, 1. Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi)
kematian pada penderita ruptur varises bisa 2. Evaluasi jumlah perdarahan.
mencapai 60% sedangkan kematian pada 3. Pemeriksaan fisik lainnyayaitu mencari
perdarahan non varises sekitar 9-12%. stigmata penyakit hati kronis (ikterus,
spider nevi, asites, splenomegali, eritema
Hasil Anamnesis (Subjective) palmaris, edema tungkai), massa abdomen,
Keluhan nyeri abdomen, rangsangan peritoneum,
penyakit paru, penyakit jantung, penyakit
Pasien dapat datang dengan keluhan muntah rematik dll.
darah berwarna hitam seperti bubuk kopi 4. Rectal toucher
(hematemesis) atau buang air besar berwarna 5. Dalam prosedur diagnosis ini penting
hitam seperti ter atau aspal (melena). melihat aspirat dari Naso Gastric Tube
Gejala klinis lainya sesuai dengan komorbid, (NGT). Aspirat berwarna putih keruh
seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, menandakan perdarahan tidak aktif,
penyakit jantung, penyakit ginjal dsb. aspirat berwarna merah marun
menandakan perdarahan masif sangat
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah mungkin perdarahan arteri.
riwayat penyakit hati kronis, riwayat dispepsia,
Pemeriksaan Penunjang di fasilitas pelayanan Konseling dan Edukasi
kesehatan tingkat pertama
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet
1. Laboratorium darah lengkap dan pengobatan pasien.
2. X ray thoraks
Kriteria Rujukan
Penegakan diagnostik (Assessment)
1. Terhadap pasien yang diduga kuat karena
Diagnosis Klinis ruptura varises esophagus di rujuk ke
pelayanan kesehatan sekunder
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
2. Bila perdarahan tidak berhenti dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang. penanganan awal di layanan tingkat
Diagnosis Banding pertama
3. Bila terjadi anemia berat
Hemoptisis, Hematokezia
Peralatan
Komplikasi
1. Kanula satu sungkup oksigen
Syok hipovolemia, Aspirasi pneumonia, Gagal 2. Naso Gastric Tube (NGT)
ginjal akut, Anemia karena perdarahan 3. Sarung tangan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) 4. EKG
5. Laboratorium untuk pemeriksaan
Penatalaksanaan darah lengkap, fungsi hati, dan fungsi
ginjal.
1. Stabilkan hemodinamik.
a. Pemasangan IV line Prognosis
b. Oksigen sungkup/kanula
c. Mencatat intake output, harus Prognosis untuk kondisi ini adalah dubia,
dipasang kateter urin mungkin tidak sampai mengancam jiwa,
d. Memonitor tekanan darah, nadi, namun ad fungsionam dan sanationam
saturasi oksigen dan keadaan lainnya umumnya dubia ad malam.
sesuai dengan komorbid yang ada. Referensi
2. Pemasangan NGT (nasogatric tube)
Melakukan bilas lambung agar 1. Soewondo. Pradana. Buku Ajar Ilmu
mempermudah dalam tindakan endoskopi. Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta:
3. Tirah baring FK UI. 2006: Hal 291-4.
4. Puasa/diet hati/lambung 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
a. Injeksi antagonis reseptor H2 atau Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
penghambat pompa proton (PPI) Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal 229.
b. Sitoprotektor: sukralfat 3-4 x1 gram (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
c. Antasida RSCM, 2004)
d. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan 3. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P.
penyakit hati kronis Soni, N. Singer, M,Critical Care. Focus 9 Gut.
London: BMJ Publishing Group. 2002.
Rencana Tindak Lanjut (Galley, et al., 2002)
Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi 4. Elta, G.H.Approach to the patient
pasien dapat mengalami perdarahan ulang. with gross gastrointestinal bleeding in
Oleh karena itu perlu dilakukan asesmen yang Yamada, T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine,
lebih akurat untuk memprediksi perdarahan L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book
ulang dan mortalitas. of Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia:
Lippincot William & Wilkins. 2003.
(Elta,2003)
5. Rockey, D.C. Gastrointestinal bleeding faeces.
in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger, 5. Pasien dengan perdarahan samar saluran
M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s cerna kronik umumnya tidak ada gejala
Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd. atau kadang hanya rasa lelah akibat
Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, anemia.
2002) 6. Nilai dalam anamnesis apakah
6. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E. Acute upper bercampur dengan feses (seperti terjadi
gastrointestinal bleeding in Sivak, M.V.Ed. pada kolitis atau lesi di proksimal rektum)
Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: atau terpisah/menetes (terduga hemoroid),
WB Sauders. 2000. (Gilbert & Silverstein, pemakaian antikoagulan, atau terdapat
2000) gejala sistemik lainnya seperti demam lama
(tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat
b.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah badan (kanker), perubahan pola defekasi
(kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema,
Masalah Kesehatan
angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi,
Perdarahan saluran cerna bagian bawah iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura,
umumnya didefinisikan sebagai perdarahan disentri).
yang berasal dari usus di sebelah bawah
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
ligamentum Treitz. Hematokezia diartikan
sederhana (Objective)
darah segar yang keluar melalui anus dan
merupakan manifestasi tersering dari Pemeriksaan Fisik
perdarahan saluran cerna bagian bawah.
1. Pada colok dubur ditemukan darah segar
Penyebab tersering dari saluran cerna bagian 2. Nilai tanda vital, terutama ada
bawah antara lain perdarahan divertikel kolon, tidaknya renjatan atau hipotensi postural
angiodisplasia dan kolitis iskemik. Perdarahan (Tilt test).
saluran cerna bagian bawah yang kronik dan 3. Pemeriksaan fisik abdomen untuk menilai
berulang biasanya berasal dari hemoroid dan ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia
neoplasia kolon. mesenterial), rangsang peritoneal
(divertikulitis), massa intraabdomen
Hasil Anamnesis (Anemnesis)
(tumor kolon, amuboma, penyakit Crohn).
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
1. Pasien datang dengan keluhan darah segar
Pemeriksaan darah perifer lengkap, feses rutin
yang keluar melalui anus (hematokezia).
dan tes darah samar.
2. Umumnya melena menunjukkan
perdarahan di saluran cerna bagian atas Penegakan diagnostik (Assessment)
atau usus halus, namun demikian melena
dapat juga berasal dari perdarahan kolon Diagnosis Klinis
sebelah kanan dengan perlambatan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
mobilitas. pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
3. Perdarahan dari divertikulum biasanya
tidak nyeri. Tinja biasanya berwarna merah Diagnosis Banding
marun, kadang-kadang bisa juga menjadi
Haemorhoid, Penyakit usus inflamatorik,
merah. Umumnya terhenti secara spontan
Divertikulosis, Angiodisplasia, Tumor kolon
dan tidak berulang.
4. Hemoroid dan fisura ani biasanya Komplikasi
menimbulkan perdarahan dengan warna
merah segar tetapi tidak bercampur dengan 1. Syok hipovolemik
2. Gagal ginjal akut Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder untuk
3. Anemia karena perdarahan diagnosis definitif bila tidak dapat ditegakkan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
Penatalaksanaan Peralatan
1. Stabilkan hemodinamik 1. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
a. Pemasangan IV line lengkap dan faeces darah samar
b. Oksigen sungkup/kanula
c. Mencatat intake output, harus 2. Sarung tangan
dipasang kateter urin Prognosis
d. Memonitor tekanan darah, nadi,
saturasi oksigen dan keadaan lainnya Prognosis sangat tergantung pada kondisi
sesuai dengan komorbid yang ada. pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
2. Beberapa perdarahan saluran cerna bagian dan pengobatannya.
bawah dapat diobati secara Referensi
medikamentosa. Hemoroid fisura ani dan
ulkus rektum soliter dapat diobati dengan 1. Abdullah. Murdani, Sudoyo. Aru, W. dkk.
bulk-forming agent, sitz baths, dan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
menghindari mengedan. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Dep. IPD.
3. Kehilangan darah samar memerlukan FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
suplementasi besi yaitu Ferrosulfat 325 mg
tiga kali sehari. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Konseling dan Edukasi Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 234.
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
dan pengobatan pasien. RSCM, 2004)
Kriteria Rujukan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang
terus menerus

10. HEMOROID GRADE 1-2


No. ICPC-2: D95 Anal fissure/perianal abscess
No. ICD-10: I84 Haemorrhoids
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 2. Prolaps suatu massa pada waktu defekasi.


Hemoroid adalah pelebaran vena-vena didalam Massa ini mula-mula dapat kembali spontan
pleksus hemoroidalis. sesudah defekasi, tetapi kemudian harus
dimasukkan secara manual dan akhirnya
Hasil Anamnesis (Subjective) tidak dapat dimasukkan lagi.
Keluhan 3. Pengeluaran lendir.
1. Perdarahan pada waktu defekasi, darah 4. Iritasi didaerah kulit perianal.
berwarna merah segar. Darah dapat
5. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing,
menetes keluar dari anus beberapa saat
lemah, pucat).
setelah defekasi.
Faktor Risiko Pemeriksaan Penunjang
1. Penuaan Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk
2. Lemahnya dinding pembuluh darah mengetahui adanya anemia dan infeksi.
3. Wanita hamil
4. Konstipasi Penegakan Diagnostik (Assessment)
5. Konsumsi makanan rendah serat Diagnosis Klinis
6. Peningkatan tekanan intraabdomen
7. Batuk kronik Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
8. Sering mengedan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
9. Penggunaan toilet yang berlama-lama
Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi :
(misal : duduk dalam waktu yang lama di
toilet) 1. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian
proksimal dentate line dan dilapisi mukosa.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade,
Sederhana (Objective)
yaitu :
Pemeriksaan Fisik
a. Grade 1 hemoroid mencapai lumen
1. Periksa tanda-tanda anemia anal kanal
2. Pemeriksaan status lokalis
b. Grade 2 hemoroid mencapai sfingter
a. Inspeksi:
eksternal dan tampak pada
• Hemoroid derajat 1, tidak
saat pemeriksaan tetapi
menunjukkan adanya suatu kelainan
dapat masuk kembali secara
diregio anal.
spontan.
• Hemoroid derajat 2, tidak terdapat
benjolan mukosa yang keluar melalui c. Grade 3 hemoroid telah keluar dari
anus, akan tetapi bagian hemoroid anal canal dan hanya dapat
yang tertutup kulit dapat terlihat masuk kembali secara manual
sebagai pembengkakan. oleh pasien.
• Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar d. Grade 4 hemoroid selalu keluar dan
akan segera dapat dikenali dengan tidak dapat masuk ke anal
adanya massa yang menonjol dari kanal meski dimasukkan
lubang anus yang bagian luarnya secara manual
ditutupi kulit dan bagian dalamnya 2. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian
oleh mukosa yang berwarna dentate line dan dilapisi oleh epitel mukosa
keunguan atau merah. yang telah termodifikasi serta banyak
b. Palpasi: persarafan serabut saraf nyeri somatik.
• Hemoroid interna pada stadium awal
merupaka pelebaran vena yang lunak Diagnosis Banding
dan mudah kolaps sehingga tidak Kondiloma Akuminata, Proktitis, Rektal prolaps
dapat dideteksi dengan palpasi.
• Setelah hemoroid berlangsung lama Komplikasi
dan telah prolaps, jaringan ikat Anemia
mukosa mengalami fibrosis sehingga
hemoroid dapat diraba ketika jari Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
tangan meraba sekitar rektum bagian
Penatalaksanaan Hemoroid di layanan tingkat
bawah.
pertama hanya untuk hemoroid grade 1 dengan
terapi konservatif medis dan menghindari obat- Kriteria Rujukan
obat anti-inflamasi non-steroid, serta makanan
pedas atau berlemak. Hemoroid interna grade 2, 3, dan 4 dan
hemoroid eksterna memerlukan
Hal lain yang dapat dilakukan adalah penatalaksanaan di pelayanan kesehatan
mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada sekunder.
pasien hemoroid.
Peralatan
Konseling dan Edukasi
Sarung tangan
Melakukan edukasi kepada pasien sebagai
upaya pencegahan hemoroid. Pencegahan Prognosis
hemoroid dapat dilakukan dengan cara: Prognosis pada umumnya bonam
1. Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Referensi
Hal ini bertujuan untuk membuat feses
menjadi lebih lembek dan besar, sehingga 1. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids.
mengurangi proses mengedan dan tekanan Emedicine. Medscape. Update 12
pada vena anus. September 2012. (Thornton & Giebel, 2012)
2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari. 2. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids
3. Mengubah kebiasaan buang air besar. and Fissure in Ano Gastroenterology Clinics
Segerakan ke kamar mandi saat merasa of North America. 2008.
akan buang air besar, jangan ditahan
karena akan memperkeras feses. Hindari
mengedan.

11. HEPATITIS A
No. ICPC-2: D72 Viral Hepatitis No. ICD-10: B15 Acute Hepatitis A
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
6. Mual dan muntah
Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang 7. Warna urine seperti teh
disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah 8. Tinja seperti dempul
virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal
oral. Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, Faktor Risiko
sedangkan pada anak <6 tahun 70% 1. Sering mengkonsumsi makanan atau
asimtomatik. Kurang dari 1% penderita hepatitis minuman yang tidak terjaga sanitasinya.
A dewasa berkembang menjadi hepatitis A 2. Menggunakan alat makan dan minum dari
fulminan. penderita hepatitis.

Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang


Keluhan sederhana (Objective)

1. Demam Pemeriksaan Fisik


2. Mata dan kulit kuning 1. Febris
3. Penurunan nafsu makan 2. Sklera ikterik
4. Nyeri otot dan sendi 3. Hepatomegali
5. Lemah, letih, dan lesu. 4. Warna urin seperti teh
Pemeriksaan Penunjang orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi.
3. Keluarga ikut menjaga asupan kalori
1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam dan cairan yang adekuat, dan
urin) membatasi aktivitas fisik pasien selama
2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar fase akut.
bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan
SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan Kriteria Rujukan
pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang lebih lengkap. 1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan
3. IgM anti HAV (di layanan tingkat lanjutan) penunjang laboratorium
2. Penderita Hepatitis A dengan keluhan
Penegakan Diagnostik (Assessment) ikterik yang menetap disertai keluhan
yang lain.
Diagnosis Klinis
3. Penderita Hepatitis A dengan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, penurunan kesadaran dengan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. kemungkinan ke arah ensefalopati
hepatik.
Diagnosis Banding
Peralatan
Ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut, Sirosis
hepatis Laboratorium darah rutin, urin rutin dan
pemeriksaan fungsi hati
Komplikasi
Prognosis
Hepatitis A fulminan, Ensefalopati hepatikum,
Koagulopati Prognosis umumnya adalah bonam.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Referensi

Penatalaksanaan 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral


Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat Principles of Internal Medicine,16thEd.
2. Tirah baring New York: McGraw-Hill. 2004.
3. Pengobatan simptomatik 2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. delta virus. In: Disease of Liver and Biliary
b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid System. Blackwell Publishing Company.
3 x 10 mg/hari atau Domperidon 3 x 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002)
10mg/ hari. 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit
c. Perut perih dan kembung : H2 Bloker Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
(Simetidin 3 x 200 mg/hari atau Ranitidin 2 2006: Hal 429-33.
x 150 mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan,
(Omeprazol 1 x 20 mg/hari). Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Rencana Tindak Lanjut Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal
435-9.
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil 5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
pengobatan. Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal15-17.
Konseling dan Edukasi
1. Sanitasi dan higiene mampu mencegah
penularan virus.
2. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada
12. HEPATITIS B
No. ICPC-2: D72 Viral Hepatitis No. ICD-10: B16 Acute Hepatitis B
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
bila ditekan di bagian perut kanan atas.
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, Setelah gejala tersebut akan timbul fase
masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari resolusi.
seseorang yang terinfeksi. Virus ini tersebar
luas di seluruh dunia dengan angka kejadian Faktor Risiko
yang berbeda- beda. Tingkat prevalensi 1. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak
hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi aman dengan orang yang sudah terinfeksi
berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di hepatitis B.
Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok 2. Memakai jarum suntik secara bergantian
negara dengan endemisitas sedang sampai terutama kepada penyalahgunaan obat
tinggi. suntik.
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang 3. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai
akut dengan gejala yang berlangsung kurang bersama-sama dengan penderita hepatitis
dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit B.
berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut 4. Orang yang bekerja pada tempat-tempat
sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B kronik yang terpapar dengan darah manusia.
dapat berkembang menjadi sirosis hepatis, 10% 5. Orang yang pernah mendapat transfusi
dari penderita sirosis hepatis akan berkembang darah sebelum dilakukan pemilahan
menjadihepatoma. terhadap donor.
6. Penderita gagal ginjal yang menjalani
Hasil Anamnesis (Subjective) hemodialisis.
7. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang
Keluhan
menderita hepatitis B.
1. Umumnya tidak menimbulkan gejala
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
terutama pada anak-anak.
Sederhana (Objective)
2. Gejala timbul apabila seseorang telah
terinfeksi selama 6 minggu, antara lain: Pemeriksaan Fisik
a. gangguan gastrointestinal, seperti:
malaise, anoreksia, mual dan muntah; 1. Konjungtiva ikterik
b. gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala, 2. Pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada
mialgia. hati
3. Gejala prodromal seperti diatas akan 3. Splenomegali dan limfadenopati pada 15-
menghilang pada saat timbul kuning, tetapi 20% pasien
keluhan anoreksia, malaise, dan kelemahan Pemeriksaan Penunjang
dapat menetap.
4. Ikterus didahului dengan kemunculan urin 1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam
berwarna gelap. urin)
Pruritus (biasanya ringan dan sementara) 2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar
dapat timbul ketika ikterus meningkat. Pada bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan
saat badan kuning, biasanya diikuti oleh SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan
pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang lebih lengkap. 2. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga
3. HBsAg (di pelayanan kesehatan sekunder) asupan kalori dan cairan yang adekuat, dan
membatasi aktivitas fisik pasien.
Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Pencegahan penularan pada anggota
Diagnosis Klinis keluarga dengan modifikasi pola hidup
untuk pencegahan transmisi dan imunisasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Peralatan

Diagnosis Banding Laboratorium darah rutin, urin rutin dan


pemeriksaan fungsi hati
Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena
obat atau toksin, hepatitis autoimun, hepatitis Prognosis
alkoholik, obstruksi akut traktus biliaris Prognosis sangat tergantung pada kondisi
Komplikasi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis
Sirosis hepar, Hepatoma pada hepatitis B adalah dubia, untuk
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) fungtionam dan sanationamdubia ad malam.

Penatalaksanaan Referensi

1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral
2. Tirah baring Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s
3. Pengobatan simptomatik Principles of Internal Medicine. 16th Ed.
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. McGraw-Hill. New York. 2004.
b. Mual: antiemetik seperti 2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis
Metoklopramid 3 x 10 mg/hari atau delta virus. In: Disease of Liver and Biliary
Domperidon 3 x 10 mg/hari. System. Blackwell Publishing Company.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker 2002: p.285-96.
(Simetidin 3 x 200 mg/hari atau 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Ranitidin 2 x 150 mg/hari) atau Proton Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/ 2006: Hal 429-33.
hari). 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan,
Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Rencana Tindak Lanjut Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal
435-9.
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
pengobatan. Kriteria Rujukan
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
1. Penegakan diagnosis dengan Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
pemeriksaan penunjang laboratorium di
pelayanan kesehatan sekunder
2. Penderita hepatitis B dengan keluhan
ikterik yang menetap disertai keluhan yang
lain.
Konseling dan Edukasi
1. Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut
mendukung pasien agar teratur minum
obat karena pengobatan jangka panjang.
13. KOLESISTITIS
No. ICPC-2: D98 Cholecystitis/cholelithiasis
No. ICD-10: K81.9 Cholecystitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan 3. Sering mengkonsumsi makanan berlemak


Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau 4. Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.
kronisdinding kandung empedu. Faktor yang Hasil Pemeriksaan dan Penunjang Sederhana
mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis (Objective)
adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan
iskemia dinding kandung empedu. Penyebab Pemeriksaan Fisik
utama kolesistitis akut adalah batu kandung
1. Ikterik bila penyebab adanya batu di
empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus
saluran empedu ekstrahepatik
yang menyebabkan stasis cairan empedu.
2. Teraba massa kandung empedu
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis
lokal, tanda Murphy positif
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
Kolesistitis akut:
Laboratorium darah menunjukkan adanya
1. Demam leukositosis
2. Kolik perut di sebelah kanan atas atau
epigastrium dan teralihkan ke bawah Penegakan Diagnostik (Assessment)
angulus scapula dexter, bahu kanan atau
Diagnosis Klinis
yang ke sisi kiri, kadang meniru nyeri angina
pektoris, berlangsung 30-60 menit tanpa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
peredaan, berbeda dengan spasme yang pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
cuma berlangsung singkat pada kolik bilier.
3. Serangan muncul setelah konsumsi Diagnosis Banding
makanan besar atau makanan berlemak di Angina pektoris, Apendisitis akut, Ulkus
malam hari. peptikum perforasi, Pankreatitis akut
4. Flatulens dan mual
Komplikasi
Kolesistitis kronik
Gangren atau empiema kandung empedu,
1. Gangguan pencernaan menahun Perforasi kandung empedu, Peritonitis umum,
2. Serangan berulang namun tidak mencolok. Abses hepar
3. Mual, muntah dan tidak tahan makanan
berlemak Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Nyeri perut yang tidak jelas disertai dengan
Penatalaksanaan
sendawa.
1. Tirah baring
Faktor Risiko
2. Puasa
1. Wanita 3. Pemasangan infus
2. Usia >40 tahun 4. Pemberian anti nyeri dan anti mual
5. Pemberian antibiotik:
a. Golongan penisilin: Ampisilin injeksi Kriteria rujukan
500 mg/6 jam dan Amoksilin 500
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis
mg/8 jam IV, atau
dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit
b. Sefalosporin: Seftriakson 1 gram/ 12
dalam) sedangkan bila terdapat indikasi untuk
jam, Sefotaksim 1 gram/8 jam, atau
pembedahan pasien dirujuk pula ke spesialis
c. Metronidazol 500 mg/ 8 jam
bedah.
Konseling dan Edukasi
Peralatan
Keluarga diminta untuk mendukung pasien
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
untuk menjalani diet rendah lemak dan
menurunkan berat badan. Prognosis
Rencana Tindak Lanjut Prognosis umumnya dubia ad bonam,
tergantung komplikasi dan beratnya penyakit.
1. Pada pasien yang pernah mengalami
serangan kolesistitis akut dan kandung Referensi
empedunya belum diangkat kemudian
mengurangi asupan lemak dan menurunkan 1. Soewondo, P. Buku Ajar Ilmu Penyakit
berat badannya harus dilihat apakah terjadi Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
kolesistitis akut berulang. 2006: Hal 1900-2.
2. Perlu dilihat ada tidak indikasi untuk 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
dilakukan pembedahan.
Dalam FKUI/RSCM. 2004: Hal 240.

14. APENDISITIS AKUT


No. ICPC-2: S87 (Appendicitis)
No. ICD-10: K.35.9 (Acute appendicitis)
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah
Apendisitis akut adalah radang yang timbul epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney.
secara mendadak pada apendik, merupakan Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam)
salahsatu kasus akut abdomen yang paling penderita dapat menunjukkan letak nyeri
sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera karena bersifat somatik.
dapat menyebabkan perforasi.
Gejala Klinis
Penyebab:
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi
1. Obstruksi lumen merupakan faktor nervus vagus.
penyebab dominan apendisitis akut 2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang
2. Erosi mukosa usus karena parasit timbul beberapa jam sesudahnya,
Entamoeba hystolitica dan benda asing merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang
lainnya timbul saat permulaan.
3. Disuria juga timbul apabila peradangan
Hasil Anamnesis (Subjective) apendiks dekat dengan vesika urinaria.
Keluhan 4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare,
timbul
biasanya pada letak apendiks pelvikal yang Colok dubur
merangsang daerah rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu Nyeri tekan pada jam 9-12
tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah
terjadi perforasi. 1. Nyeri seluruh abdomen
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan 2. Pekak hati hilang
menjelaskan keluhan nyeri somatik yang 3. Bising usus hilang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang
Apendiks yang mengalami gangren atau
panjang dengan ujung yang mengalami perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-
inflamasi di kuadran kiri bawah akan
gejala sebagai berikut:
menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan 1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36
nyeri flank atau punggung, apendiks jam
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada 2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC
supra pubik dan apendiks retroileal bisa 3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin 4. Dehidrasi dan asidosis
karena iritasi pada arteri spermatika dan 5. Distensi
ureter. 6. Menghilangnya bising usus
7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
8. Rebound tenderness sign
Sederhana (Objective)
9. Rovsing sign
Pemeriksaan Fisik 10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Inspeksi Pemeriksaan Penunjang

1. Penderita berjalan membungkuk sambil 1. Laboratorium darah perifer lengkap


memegangi perutnya yang sakit a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil
2. Kembung bila terjadi perforasi laboratorium nilai leukosit dan neutrofil
3. Penonjolan perut kanan bawah terlihat akan meningkat.
pada appendikuler abses. b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-
14.000/mm3, dengan pemeriksaan
Palpasi hitung jenis menunjukkan pergeseran
Terdapat nyeri tekan McBurney ke kiri hampir 75%.
c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/
1. Adanya rebound tenderness (nyeri lepas mm3 maka umumnya sudah terjadi
tekan) perforasi dan peritonitis.
2. Adanya defans muscular d. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan
3. Rovsing sign positif sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
4. Psoas signpositif kelainan urologi yang menyebabkan
5. Obturator Signpositif nyeri abdomen.
e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai
Perkusi
kehamilan ektopik pada wanita usia
Nyeri ketok (+) subur.
2. Foto polos abdomen
Auskultasi a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada foto polos abdomen tidak banyak
illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata.
membantu.. 1. Bed rest total posisi fowler (anti
b. Pada peradangan lebih luas dan Trandelenburg)
membentuk infiltrat maka usus pada 2. Pasien dengan dugaan apendisitis
bagian kanan bawah akan kolaps. sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
c. Dinding usus edematosa, keadaan mulut.
seperti ini akan tampak pada daerah 3. Penderita perlu cairan intravena untuk
kanan bawah abdomen kosong dari mengoreksi jika ada dehidrasi.
udara. 4. Pipa nasogastrik dipasang untuk
d. Gambaran udara seakan-akan mengosongkan lambung agar mengurangi
terdorong ke pihak lain. distensi abdomen dan mencegah muntah.
e. Proses peradangan pada fossa
iliaka kanan akan menyebabkan Komplikasi
kontraksi otot sehingga timbul skoliosis 1. Perforasi apendiks
ke kanan. 2. Peritonitis umum
f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada 3. Sepsis
foto abdomen tegak akan tampak
udara bebas di bawah diafragma. Kriteria Rujukan
g. Foto polos abdomen supine pada abses Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke
appendik kadang- kadang memberi layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.
pola bercak udara dan air fluid level
pada posisi berdiri/LLD (dekubitus), Peralatan
kalsifikasi bercak rim-like (melingkar)
Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer
sekitar perifer mukokel yang asalnya
lengkap
dari appendik.
Prognosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Prognosis pada umumnya bonam tetapi
Diagnosis Klinis
bergantung tatalaksana dan kondisi pasien.
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih
Referensi
merupakan dasar diagnosis apendisitis akut.
1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor.,
Diagnosis Banding
“Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan
1. Kolesistitis akut Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu
2. Divertikel Mackelli Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta,
3. Enteritis regional 2005,hlm.639-645.
4. Pankreatitis
2. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari
5. Batu ureter
Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
6. Cystitis
Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).
7. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
8. Salpingitis akut
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut
harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk
dilakukan operasi cito.
Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk:
15. PERITONITIS
No. ICPC-2: D99 Disease digestive system, other
No. ICD-10: K65.9 Peritonitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. bebas di bawah diafragma
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan 7. Bising usus menurun atau menghilang
di dalam abdomen berupa inflamasi dan 8. Rigiditas abdomen atau sering disebut perut
penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, papan
perforasi tukak lambung, perforasi tifus 9. Pada colok dubur akan terasa nyeri di
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan semua arah, dengan tonus muskulus
oleh karena perforasi organ berongga karena sfingter ani menurun dan ampula rekti
trauma abdomen. berisi udara.
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang
Keluhan Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di
layanan tingkat pertama untuk menghindari
1. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan keterlambatan dalam melakukan rujukan.
terus-menerus selama beberapa jam, dapat
hanya di satu tempat ataupun tersebar di Penegakan Diagnostik (Assessment)
seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin
Diagnosis Klinis
kuat saat penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan
2. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu pemeriksaan fisik dari tanda-tanda khas yang
badan penderita akan naik dan terjadi ditemukan pada pasien.
takikardia, hipotensi dan penderita tampak
letargik dan syok. Diagnosis Banding: -
3. Mual dan muntah timbul akibat adanya Komplikasi
kelainan patologis organ visera atau akibat
iritasi peritoneum. 1. Septikemia
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh 2. Syok
adanya cairan dalam abdomen, yang dapat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
mendorong diafragma.
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Pasien segera dirujuk setelah penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan awal seperti
Pemeriksaan Fisik
berikut:
1. Pasien tampak letargik dan kesakitan
1. Memperbaiki keadaan umum pasien
2. Dapat ditemukan demam
2. Pasien puasa
3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan
3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa
nyeri lepas abdomen
nasogastrik atau intestinal
4. Defans muskular
4. Penggantian cairan dan elektrolit yang
5. Hipertimpani pada perkusi abdomen
hilang yang dilakukan secara intravena
5. Pemberian antibiotik spektrum luas
intravena.
6. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri Referensi
dihindari untuk tidak menyamarkan gejala
1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar
Kriteria Rujukan Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2011.
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis
Rujuk ke layanan sekunder yang memiliki dokter
dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
spesialis bedah.
Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta:
Peralatan EGC.2000.
3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I.
Nasogastric Tube Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Prognosis Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et
al.,1999)
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad 4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa
malam. abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih
bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC.
2000. (Shrock, 2000)

16. PAROTITIS
No. ICPC-2: D71. Mumps / D99. Disease digestive system, other No. ICD-10: B26. Mumps
Tingkat Kemampuan 4A

Onset akut, biasanya < 7 hari


Masalah Kesehatan
d. Gejala konstitusional: malaise,
Parotitis adalah peradangan pada kelenjar anoreksia, demam f. Biasanya bilateral,
parotis. Parotitis dapat disebabkan oleh infeksi namun dapat pula unilateral
virus, infeksi bakteri, atau kelainan autoimun, 2. Parotitis bakterial akut
dengan derajat kelainan yang bervariasi dari a. Pembengkakan pada area di depan
ringan hingga berat. Salah satu infeksi virus telinga hingga rahang bawah
pada kelenjar parotis, yaitu parotitis mumps b. Bengkak berlangsung progresif c. Onset
(gondongan) sering ditemui pada layanan akut, biasanya < 7 hari d. Demam
tingkat pertama dan berpotensi menimbulkan c. Rasa nyeri saat mengunyah
epidemi di komunitas. Dokter di fasilitas 3. Parotitis HIV
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat a. Pembengkakan pada area di depan
berperan menanggulangi parotitis mumps telinga hingga rahang bawah
dengan melakukan diagnosis dan tatalaksana b. Tidak disertai rasa nyeri
yang adekuat serta meningkatkan kesadaran c. Dapat pula bersifat asimtomatik
masyarakat terhadap imunisasi, khususnya 4. Parotitis tuberkulosis
MMR. a. Pembengkakan pada area di depan
telinga hingga rahang bawah
Hasil Anamnesis (Subjective) b. Onset kronik
Keluhan c. Tidak disertai rasa nyeri
d. Disertai gejala-gejala tuberkulosis
1. Parotitis mumps lainnya e. Parotitis autoimun (Sjogren
a. Pembengkakan pada area di depan syndrome)
telinga hingga rahang bawah e. Pembengkakan pada area di depan
b. Bengkak berlangsung tiba-tiba telinga hingga rahang bawah
c. Rasa nyeri pada area yang bengkak d.
f. Onset kronik atau rekurens h. Tidak Pemeriksaan Penunjang
disertai rasa nyeri dapat unilateral atau
Pada kebanyakan kasus parotitis, pemeriksaan
bilateral
penunjang biasanya tidak diperlukan.
g. Gejala-gejala Sjogren syndrome, Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk
misalnya mulut kering, mata kering menentukan etiologi pada kasus parotitis
h. Penyebab parotitis lain telah bakterial atau parotitis akibat penyakit sistemik
disingkirkan tertentu, misalnya HIV, Sjogren syndrome,
tuberkulosis.
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Anak berusia 2-12 tahun merupakan
kelompok tersering menderita parotitis Diagnosis Klinis
mumps
Diagnosis parotitis ditegakkan berdasarkan
2. Belum diimunisasi MMR
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
3. Pada kasus parotitis mumps, terdapat
riwayat adanya penderita yang sama Komplikasi
sebelumnya di sekitar pasien
1. Parotitis mumps dapat menimbulkan
4. Kondisi imunodefisiensi komplikasi berupa: Epididimitis, Orkitis,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang atau atrofi testis (pada laki-laki), Oovaritis
Sederhana (Objective) (pada perempuan), ketulian, Miokarditis,
Tiroiditis, Pankreatitis, Ensefalitis, Neuritis
Pemeriksaan Fisik 2. Kerusakan permanen kelenjar parotis yang
menyebabkan gangguan fungsi sekresi
1. Keadaan umum dapat bervariasi dari saliva dan selanjutnya meningkatkan risiko
tampak sakit ringan hingga berat terjadinya infeksi dan karies gigi.
2. Suhu meningkat pada kasus parotitis infeksi 3. Parotitis autoimun berhubungan dengan
3. Pada area preaurikuler (lokasi kelenjar peningkatan insiden limfoma.
parotis), terdapat:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
a. Edema
b. Eritema Penatalaksanaan
c. Nyeri tekan (tidak ada pada kasus parotitis
1. Parotitis mumps
HIV, tuberkulosis, dan autoimun)
a. Nonmedikamentosa
4. Pada kasus parotitis bakterial akut, bila Pasien perlu cukup beristirahat
dilakukan masase kelanjar parotis dari arah Hidrasi yang cukup
posterior ke anterior, nampak saliva Asupan nutrisi yang bergizi
purulen keluar dari duktur parotis. b. Medikamentosa : Pengobatan bersifat
simtomatik (antipiretik, analgetik)
2. Parotitis bakterial akut
a. Nonmedikamentosa
Pasien perlu cukup beristirahat
Hidrasi yang cukup
Asupan nutrisi yang bergizi
b. Medikamentosa
Antibiotik
Simtomatik (antipiretik, analgetik)
3. Parotitis akibat penyakit sistemik (HIV,
tuberkulosis, Sjogren syndrome)
Tidak dijelaskan dalam bagian ini.
Gambar 3.2 Edema pada area preaurikuler dan
mandibula kanan pada kasus parotitis mumps
Konseling dan Edukasi Prognosis
1. Penjelasan mengenai diagnosis, 1. Ad vitam : Bonam
penyebab, dan rencana tatalaksana. 2. Ad functionam : Bonam
2. Penjelasan mengenai pentingnya menjaga 3. Ad sanationam : Bonam
kecukupan hidrasi dan higiene oral.
3. Masyarakat perlu mendapatkan informasi Peralatan
yang adekuat mengenai pentingnya 1. Termometer
imunisasi MMR untuk mencegah epidemi 2. Kaca mulut
parotitis mumps.
Referensi
Kriteria Rujukan
1. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland
1. Parotitis dengan komplikasi Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick &
2. Parotitis akibat kelainan sistemik, seperti J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral Medicine.
HIV, tuberkulosis, dan Sjogren syndrome. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222. (Fox
& Ship, 2008)

17. ASKARIASIS (INFEKSI CACING GELANG)


No. ICPC II: D96 Worms/ other parasites
No. ICD X: B77.9 Ascariaris unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia.
Askariasis adalah suatu penyakit yang Pada foto thoraks tampak infiltrat yang
disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini
lumbricoides. disebut sindroma Loeffler.
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
terutama pada anak. Frekuensinya antara 60- biasanya ringan, dan sangat tergantung dari
90%. Diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di banyaknya cacing yang menginfeksi di usus.
dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides. Kadang-kadang penderita mengalami gejala
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
Hasil Anamnesis (Subjective) makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Keluhan Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, terjadi malabsorpsi sehingga memperberat
pucat, berat badan menurun, mual, muntah. keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling
menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik
Gejala Klinis akut pada daerah epigastrium, gangguan selera
Gejala yang timbul pada penderita dapat makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat
disebabkan oleh cacing dewasa dan migrasi proses peradangan pada dinding usus. Pada
larva. anak kejadian ini bisa diikuti demam. Komplikasi
yang ditakuti (berbahaya) adalah bila cacing
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada dewasa menjalar ketempat lain (migrasi) dan
saat larva berada diparu. Pada orang yang menimbulkan gejala akut. Pada keadaan
rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding infeksi yang berat, paling ditakuti bila terjadi
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan
komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh Penegakan diagnosis dilakukan dengan
cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh larva atau cacing dalam tinja.
massa cacing, ataupun apendisitis sebagai
akibat masuknya cacing ke dalam lumen Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya
apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Komplikasi: anemia defisiensi besi
Vateri ataupun saluran empedu dan terkadang
masuk ke jaringan hati. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan Penatalaksanaan
pada saat cacing menjadi dewasa di dalam usus
halus, yang mana hasil metabolisme cacing 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat
dapat menimbulkan fenomena sensitisasi akan pentingnya kebersihan diri dan
seperti urtikaria, asma bronkhial, konjungtivitis lingkungan, antara lain:
akut, fotofobia dan terkadang hematuria. a. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dan air mengalir
dengan Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak b. Menutup makanan
menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih c. Masing-masing keluarga memiliki jamban
banyak menggambarkan proses sensitisasi dan keluarga
eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi d. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
Ascaris lumbricoides. e. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar
tetap bersih dan tidak lembab.
Faktor Risiko 2. Farmakologis
1. Kebiasaan tidak mencuci tangan. a. Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari,
2. Kurangnya penggunaan jamban. dosis tunggal, atau
3. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali
pupuk. sehari, diberikan selama tiga hari
4. Kebiasaan tidak menutup makanan berturut-turut, atau
sehingga dihinggapi lalat yang membawa c. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun
telur cacing dapat diberikan 2 tablet (400 mg) atau
20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
boleh diberikan pada ibu hamil
Sederhana (Objective)
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan
Pemeriksaan Fisik
atau secara masal pada masyarakat. Syarat
1. Pemeriksaan tanda vital untuk pengobatan massal antara lain:
2. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva
1. Obat mudah diterima dimasyarakat
anemis, terdapat tanda- tanda malnutrisi,
2. Aturan pemakaian sederhana
nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.
3. Mempunyai efek samping yang minimal
Pemeriksaan Penunjang 4. Bersifat polivalen, sehingga dapat
berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini 5. Harga mudah dijangkau
adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja
secara langsung. Adanya telur dalam tinja Konseling dan Edukasi
memastikan diagnosis Askariasis.
Memberikan informasi kepada pasien dan
Penegakan Diagnostik (Assessment) keluarga mengenai pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
Diagnosis Klinis lain:
1. Masing-masing keluarga memiliki jamban Prognosis
keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak
menimbulkan pencemaran pada tanah Pada umumnya prognosis adalah bonam,
disekitar lingkungan tempat tinggal kita. karena jarang menimbulkan kondisi yang berat
secara klinis.
2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
3. Menghindari kontak dengan tanah yang Refensi
tercemar oleh tinja manusia.
4. Menggunakan sarung tangan jika ingin 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
mengelola limbah/sampah. Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
5. Mencuci tangan sebelum dan setelah Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
melakukan aktifitas dengan menggunakan Indonesia. (Gandahusada, 2000)
sabun dan air mengalir. 2. Written for World Water Day. 2001.
6. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar Reviewed by staff and experts from the
tetap bersih dan tidak lembab. cluster on Communicable Diseases (CDS)
and Water, Sanitation and Health unit
Kriteria Rujukan: - (WSH), World Health Organization (WHO).
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
Peralatan
Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
untuk pemeriksaan spesimen tinja. Philadelphia: W.B.Saunders Company;
2012. p.1000-1.

18. ANKILOSTOMIASIS (INFEKSI CACING TAMBANG)


No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B76.0 Ankylostomiasis
B76.1 Necatoriasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi


Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit meningkat sampai usia 6-7 tahun dan kemudian
yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator stabil.
americanus dan Ancylostoma duodenale. Di
Hasil Anamnesis (Subjective)
Indonesia infeksi oleh N. americanus lebih
sering dijumpai dibandingkan infeksi oleh Keluhan
A.duodenale. Hospes parasit ini adalah
manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis Migrasi larva
dan ankilostomiasis. Diperkirakan sekitar 576 – 1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik
740 juta orang di dunia terinfeksi dengan cacing dapat terikut masuk pada saat larva
tambang. Di Indonesia insiden tertinggi menembus kulit, menimbulkan rasa gatal
ditemukan terutama didaerah pedesaan pada kulit (ground itch). Creeping eruption
khususnya perkebunan. Seringkali golongan (cutaneous larva migrans), umumnya
pekerja perkebunan yang langsung disebabkan larva cacing tambang yang
berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi berasal dari hewan seperti kucing ataupun
lebih dari 70%. Dari suatu penelitian diperoleh anjing, tetapi kadang-kadang dapat
bahwa separuh dari anak-anak yang telah disebabkan oleh larva Necator americanus
terinfeksi sebelum usia 5 tahun, 90% ataupun Ancylostoma duodenale.
2. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi Pemeriksaan Fisik
pneumonitis, tetapi tidak sesering oleh
larva Ascaris lumbricoides. 1. Konjungtiva pucat
2. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila
Cacing dewasa banyak larva yang menembus kulit, disebut
sebagai ground itch.
Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga
bagian atas usus halus dan melekat pada Pemeriksaan Penunjang
mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi
tergantung pada berat ringannya infeksi; makin Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar
berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi ditemukan telur atau larva atau cacing dewasa.
semakin mencolok seperti : Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, Diagnosis Klinis
mual, muntah, diare, penurunan berat
badan, nyeri pada daerah sekitar Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
duodenum, jejunum dan ileum. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya Klasifikasi:
dijumpai anemia hipokromik mikrositik.
3. Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif 1. Nekatoriasis
antara infeksi sedang dan berat dengan 2. Ankilostomiasis
tingkat kecerdasan anak.
Diagnosis Banding: -
Bila penyakit berlangsung kronis, akan timbul
gejala anemia, hipoalbuminemiadan edema. Komplikasi: anemia, jika menimbulkan
Hemoglobin kurang dari 5 g/dL dihubungkan perdarahan.
dengan gagal jantung dan kematian yang tiba- Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
tiba. Patogenesis anemia pada infeksi cacaing
tambang tergantung pada 3 faktor yaitu: Penatalaksanaan

1. Kandungan besi dalam makanan 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat


2. Status cadangan besi dalam tubuh pasien akan pentingnya kebersihan diri dan
3. Intensitas dan lamanya infeksi lingkungan, antara lain:
a. Masing-masing keluarga memiliki
Faktor Risiko jamban keluarga.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga
c. Menggunakan alas kaki, terutama saat
2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai
berkontak dengan tanah.
pupuk
2. Farmakologis
3. Tidak menggunakan alas kaki saat
bersentuhan dengan tanah a. Pemberian Pirantel pamoat dosis
tunggal 10 mg/kgBB, atau
4. Perilaku hidup bersih dan sehat yang
b. Mebendazole 100 mg, 2 x sehari,
kurang.
selama 3 hari berturut-turut, atau
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang c. Albendazole untuk anak di atas 2 tahun
Sederhana (Objective) 400 mg, dosis tunggal, sedangkan
pada anak yang lebih kecil diberikan
Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang dengan dosis separuhnya. Tidak
bergantung pada jenis spesies cacing, jumlah diberikan pada wanita hamil. Creeping
cacing, dan keadaan gizi penderita. eruption: tiabendazol topikal selama 1
minggu. Untuk cutaneous laeva migrans
pengobatan dengan Albendazol 400 mg Peralatan
selama 5 hari berturut-turut.
d. Sulfasferosus 1. Peralatan laboratorium mikroskopis
sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.
Konseling dan Edukasi 2. Peralatan laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah rutin.
Memberikan informasi kepada pasien dan
keluarga mengenai pentingnya menjaga Prognosis
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
lain: Penyakit ini umumnya memiliki prognosis
bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang
1. Sebaiknya masing-masing keluarga berat, kecuali terjadi perdarahan dalam waktu
memiliki jamban keluarga. yang lama sehingga terjadi anemia.
2. Sehingga kotoran manusia tidak
menimbulkan pencemaran pada tanah Referensi
disekitar lingkungan tempat tinggal kita. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
3. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk. Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
4. Menghindari kontak dengan tanah yang Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
tercemar oleh tinja manusia. Indonesia. (Gandahusada, 2000)
5. Menggunakan sarung tangan jika ingin 2. Written for World Water Day. 2001.
mengelola limbah/sampah. Reviewed by staff and experts from the
6. Mencuci tangan sebelum dan setelah cluster on Communicable Diseases (CDS)
melakukkan aktifitas dengan menggunakan and Water, Sanitation and Health unit
sabun dan air mengalir. (WSH), World Health Organization (WHO).
7. Menggunakan alas kaki saat berkontak 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
dengan tanah. Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Kriteria Rujukan: - Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: W.B.Saunders Company;
2012. p.1000-1.

19. SKISTOSOMIASIS
No. ICPC II: D96 Worm/outer parasite
No. ICD X: B65.9 Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Skistosoma adalah salah satu penyakit adalah Schistosoma japonicum khususnya di
infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu
trematoda dari genus schistosoma (blood di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia,
fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda Schistosoma memerlukan keong sebagai
utama yang menjadi penyebab skistosomiasis intermediate host. Penularan Schistosoma
yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang dari
haematobium dan Schistosoma mansoni. host dan menembus kulit pasien dalam air.
Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis
mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di terhadap telur cacing yang terperangkap dalam
Indonesia spesies yang paling sering ditemukan jaringan. Prevalensi Schistosomiasis di lembah
Napu dan danau Lindu berkisar 17% hingga 37%.
Hasil Anamnesis (Subjective) e. Urtikaria
f. Buang air besar berdarah (bloody stool)
Keluhan 2. Pada skistosomiasiskronik bisa ditemukan:
1. Pada fase akut, pasien biasanya datang a. Hipertensi portal dengan distensi
dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri abdomen, hepatosplenomegaly
tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri b. Gagal ginjal dengan anemia dan
abdominal. Biasanya terdapat riwayat hipertensi
terpapar dengan air misalnya danau atau c. Gagal jantung dengan gagal jantung
sungai 4-8 minggu sebelumnya, yang kanan
kemudian berkembang menjadi ruam d. Intestinal polyposis
kemerahan (pruritic rash). e. Ikterus
2. Pada fase kronis, keluhan pasien
Pemeriksaan Penunjang
tergantung pada letak lesi
3. misalnya: Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan
a. Buang air kecil darah (hematuria), rasa pada sedimen urin.
tak nyaman hingga nyeri saat berkemih,
disebabkan oleh urinary schistosomiasis Penegakan Diagnostik (Assessment)
biasanya disebabkan oleh S. hematobium. Diagnosis Klinis
b. Nyeri abdomen dan diare berdarah
biasanya disebabkan oleh intestinal Diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
skistosomiasis, biasanya disebabkan oleh S. pemeriksaan fisik dan juga penemuan telur
mansoni, S. Japonicum juga S. Mekongi. cacing pada pemeriksaan tinja dan juga
c. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan sedimen urin.
mata disebabkan oleh hepatosplenic Diagnosis Banding: - Komplikasi:
skistosomiasis yang biasanya disebabkan
oleh S. Japonicum. 1. Gagal ginjal
2. Gagal jantung
Faktor Risiko:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Orang-orang yang tinggal atau datang
berkunjung ke daerah endemik di sekitar Penatalaksanaan
lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan
mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik 1. Pengobatan diberikan dengan dua
di sawah maupun danau di wilayah tersebut. tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien
atau meminimalkan morbiditas dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang mengurangi penyebaran penyakit.
Sederhana (Objective) 2. Prazikuantel adalah obat pilihan yang
diberikan karena dapat membunuh semua
Pemeriksaan Fisik spesies Schistosoma. Walaupun pemberian
1. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan: single terapi sudah bersifat kuratif, namun
a. Limfadenopati pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu
b. Hepatosplenomegaly dapat meningkatkan efektifitas pengobatan.
c. Gatal pada kulit Pemberian prazikuantel dengan dosis
d. Demam sebagai berikut:
Tabel 3.7. Dosis Prazikuantel

Spesies Schistosoma Dosis Prazikuantel


S. Mansoni, S. haematobium, S. intercalatum 40 mg/kg berat badan per hari oral dan
dibagi dalam dua dosis perhari
S. Japunicum, S. mekongi 60 mg/kg berat badan per hari oral dan
dibagi dalam tiga dosis perhari

Rencana Tindak Lanjut


Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.
1. Setelah 4 minggu dapat dilakukan cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center
pengulangan pengobatan. for Disease and Control, 2013)
2. Pada pasien dengan telur cacing positif
dapat dilakukan pemeriksaan ulang setelah 3. World Health Organization. Schistosomiasis.
July 25, 2013. http://www.who.int/topics/
satu bulan untuk memantau keberhasilan
shcistosomiasis/end (World Health
pengobatan.
Organization, 2013)
Konseling dan Edukasi
4. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J.,
1. Hindari berenang atau menyelam di Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in
danau atau sungai di daerah endemik Medical Microbiology. Germany. Thieme.
skistosomiasis. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
2. Minum air yang sudah dimasak untuk
5. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan
menghindari penularan lewat air yang
Schistosomiasis di Indonesia. Buletin
terkontaminasi.
Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1.
Kriteria Rujukan (Sudomo & Pretty, 2007)
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis 6. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
(kronis) disertai komplikasi. Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
Peralatan Philadelphia: W.B.Saunders Company;
Peralatan laboratorium sederhana untuk 2012. p.1000-1.
pemeriksaan tinja dan sedimen urin (pada
S.haematobium).
Prognosis
Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah
dubia ad bonam, sedangkan yang kronis,
prognosis menjadi dubia ad malam.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Centers for Disease Control and Prevention.
20. TAENIASIS
No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B68.9 Taeniasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 8. Pusing


Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter 9. Pruritus ani
yang disebabkan oleh cacing pita yang tergolong 10. Diare
dalam genus Taenia (Taenia saginata, Taenia
Faktor Risiko
solium, dan Taenia asiatica) pada manusia.
1. Mengkonsumsi daging yang dimasak
Taenia saginata adalah cacing yang sering
setengah matang/mentah, dan
ditemukan di negara yang penduduknya
mengandung larva sistiserkosis.
banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi
2. Higiene yang rendah dalam pengolahan
lebih mudah terjadi bila cara memasak daging
makanan bersumber daging.
setengah matang.
3. Ternak yang tidak dijaga kebersihan
Taenia solium adalah cacing pita yang kandang dan makanannya.
ditemukan di daging babi. Penyakit ini
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
ditemukan pada orang yang biasa memakan
Sederhana (Objective)
daging babi khususnya yang diolah tidak
matang. Ternak babi yang tidak dipelihara Pemeriksaan Fisik
kebersihannya, dapat berperan penting dalam
penularan cacing Taenia solium. Untuk T. solium 1. Pemeriksaan tanda vital.
terdapat komplikasi berbahaya yakni 2. Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus
sistiserkosis. Sistiserkosis adalah kista T.solium juga dapat terjadi jika cacing membuat
yang bisa ditemukan di seluruh organ, namun obstruksi usus.
yang paling berbahaya jika terjadi di otak. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik
Keluhan dengan menemukan telur dalam spesimen
tinja segar.
Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan 2. Secara makroskopik dengan menemukan
tidak khas. Sebagian kasus tidak menunjukkan proglotid pada tinja.
gejala (asimptomatis). Gejala klinis dapat timbul 3. Pemeriksaan laboratorium darah tepi:
sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin dapat ditemukan eosinofilia, leukositosis,
yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara LED meningkat.
lain:
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Rasa tidak enak pada lambung
2. Mual Diagnosis Klinis
3. Badan lemah Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
4. Berat badan menurun pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
5. Nafsu makan menurun
6. Sakit kepala Diagnosis Banding:-
7. Konstipasi Komplikasi: Sistiserkosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah
pada sistiserkosis.
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan,
antara lain: Peralatan
a. Mengolah daging sampai matang dan
menjaga kebersihan hewan ternak. Peralatan laboratorium sederhana untuk
b. Menggunakan jamban keluarga. pemeriksaan darah dan feses.
2. Farmakologi: Prognosis
a. Pemberian albendazol menjadi terapi
pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika
1 x sehari, selama 3 hari berturut-turut, terdapat komplikasi berupa sistiserkosis yang
atau dapat mengakibatkan kematian.
b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama Referensi
2 atau 4 minggu.
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Pengobatan terhadap cacing dewasa dikatakan Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
berhasil bila ditemukan skoleks pada tinja, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
sedangkan pengobatan sistiserkosis hanya Indonesia.
dapat dilakukan dengan melakukan eksisi.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
Konseling dan Edukasi 424 Tahun 2006 tentang Pedoman
Memberikan informasi kepada pasien dan Pengendalian Kecacingan.
keluarga mengenai pentingnya menjaga 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
lain: Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
1. Mengolah daging sampai matang dan Philadelphia: W.B.Saunders Company;
menjaga kebersihan hewan ternak 2012. p.1000-1.
2. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban
keluarga.

21. STRONGILOIDIASIS
No. ICPC II: D96 Worms/other parasites No. ICD X: B78.9 Strongyloidiasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
AIDS, transplantasi organ serta pada pasien
Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan
yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid
yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis,
jangka panjang.
cacing yang biasanya hidup di kawasan
tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang Hasil Anamnesis (Subjective)
diperkirakan terkena penyakit ini di seluruh
dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat Keluhan
berat dan berbahaya pada mereka yang dengan Pada infestasi ringan Strongyloides pada
status imun menurun seperti pada pasien HIV/ umumnya tidak menimbulkan gejala khas.
Gejala klinis anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
larva atau cacing dalam tinja.
1. Rasa gatal pada kulit
2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan Diagnosis Banding: -
gejala seperti ditusuk- tusuk di daerah Komplikasi: -
epigastrium dan tidak menjalar
3. Mual, muntah Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

4. Diare dan konstipasi saling bergantian Penatalaksanaan

Faktor Risiko 1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan,


antara lain:
1. Kurangnya penggunaan jamban.
a. Menggunakan jamban keluarga.
2. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja
yang mengandung larva Strongyloides b. Mencuci tangan sebelum dan sesudah
stercoralis. melakukan aktifitas.

3. Penggunaan tinja sebagai pupuk. c. Menggunakan alas kaki.

4. Tidak menggunakan alas kaki saat d. Hindari penggunaan pupuk dengan


bersentuhan dengan tanah. tinja.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Farmakologi


Sederhana (Objective)
a. Pemberian Albendazol menjadi terapi
Pemeriksaan Fisik pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1-
2 x sehari, selama 3 hari, atau
1. Timbul kelainan pada kulit “creeping
eruption” berupa papul eritema yang b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama
menjalar dan tersusun linear atau berkelok- 2 atau 4 minggu.
kelok meyerupai benang dengan kecepatan
Konseling dan Edukasi
2 cm per hari.Predileksi penyakit ini
terutama pada daerah telapak kaki, bokong, Memberikan informasi kepada pasien dan
genital dan tangan. keluarga mengenai pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
2. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium.
lain:
Pemeriksaan Penunjang
1. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik : keluarga.
menemukan larva rabditiform dalam tinja
2. Menghindari kontak dengan tanah yang
segar, atau menemukan cacing dewasa
tercemar oleh tinja manusia.
Strongyloides stercoralis.
3. Menggunakan sarung tangan jika ingin
2. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat
mengelola limbah/sampah.
ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia,
walaupun pada banyak kasus jumlah sel 4. Mencuci tangan sebelum dan setelah
eosinofilia normal. melakukan aktifitas dengan menggunakan
sabun.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
5. Menggunakan alas kaki.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan
Kriteria Rujukan: -
Pasien strongyloidiasis dengan keadaan
imunokompromais seperti penderita AIDS
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah dan feses.
Prognosis
Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah
bonam, karena jarang menimbulkan kondisi
klinis yang berat.
Referensi
1. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi
Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis:
a multifaceted diseases. Gastroenetrology
& hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh &
Cruz, 2011)
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: W.B.Saunders Company;
2012. p.1000-1.
D. MATA

1. MATA KERING/DRY EYE


No. ICPC-2 : F99 Eye/adnexa disease, other
No. ICD-10 : H04.1 Otherdisorders of lacrimal gland
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Mata kering adalah suatu keadaan keringnya Sederhana (Objective)
permukaan kornea dan konjungtiva yang
diakibatkan berkurangnya produksi komponen Pemeriksaan Fisik
air mata (musin, akueous, dan lipid). Mata 1. Visus normal
kering merupakan salah satu gangguan yang 2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva
sering pada mata dengan insiden sekitar 10- forniks
30% dari populasi dan terutama dialami oleh 3. Penilaian produksi air mata dengan tes
wanita berusia lebih dari 40 tahun. Penyebab Schirmer menunjukka hasil <10 mm (nilai
lain adalah meningkatnya evaporasi air mata normal ≥20 mm).
akibat faktor lingkungan rumah, kantor atau
akibat lagoftalmus.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata terasa
gatal dan seperti berpasir. Keluhan dapat
disertai sensasi terbakar, merah, perih dan
silau. Pasien seringkali menyadari bahwa gejala
terasa makin berat di akhir hari (sore/malam).
Gambar 4.1. Tes Schirmer
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Usia > 40 tahun
Diagnosis Klinis
2. Menopause
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
3. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren,
sklerosis sistemik progresif, sarkoidosis, 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
leukemia, limfoma, amiloidosis, dan 2. Tes Schirmer bila diperlukan
4. hemokromatosis
Komplikasi
5. Penggunaan lensa kontak
1. Keratitis
6. Penggunaan komputer dalam waktu
lama 2. Penipisan kornea
3. Infeksi sekunder oleh bakteri
4. Neovaskularisasi kornea
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Sastrawan, D. dkk. Standar Pelayanan
Medis Mata.Palembang: Departemen Ilmu
Penatalaksanaan
Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007.
Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata (Sastrawan, 2007)
karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Pemeriksaan penunjang lanjutan umumnya Cetakan V.Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
tidak diperlukan 2008. (Ilyas, 2008)

Konseling dan Edukasi 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.


Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
Keluarga dan pasien harus mengerti bahwa (Vaughn, 2000)
mata kering adalah keadaan menahun dan
pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada 7. Sumber Gambar : http://www.
kasus ringan, saat perubahan epitel pada thevisioncareinstitute.co.uk/library/
kornea dan konjungtiva masih reversibel.
Kriteria Rujukan
Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika keluhan
tidak berkurang setelah terapi atau timbul
komplikasi.
Peralatan
1. Lup
2. Strip Schirmer (kertas saring Whatman No.
41)
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T. D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
Simanjuntak, 2006)
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Jakarta: Erlangga. 2005. (Brus, 2005)
3. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Jakarta: EGC. 2009. (Riordan & Whitcher,
2009)
2.BUTA SENJA
No. ICPC-2: F99 Eye/adnexa disease other No. ICD-10: H53.6 Night blindness
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Penatalaksanaan
Buta senja atau rabun senja, disebut juga
nyctalopia atau hemarolopia, adalah 1. Pada defisiensi vitamin A, diberikan vitamin
ketidakmampuan untuk melihat dengan baik A dosis tinggi.
pada malam hari atau pada keadaan gelap. 2. Lubrikasi kornea.
Kondisi ini lebih merupakan tanda dari suatu 3. Pencegahan terhadap infeksi sekunder
kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat dengan tetes mata antibiotik.
kelainan pada sel batang retina yang berperan Konseling dan Edukasi
pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja
adalah defisiensi vitamin A dan retinitis 1. Memberitahu keluarga bahwa rabun
pigmentosa. senja disebabkan oleh kelainan mendasar,
yaitu defisiensi vitamin A dan retinitis
Hasil Anamnesis (Subjective) pigmentosa.
Keluhan 2. Pada kasus defisiensi vitamin A, keluarga
perlu diedukasi untuk memberikan
Penglihatan menurun pada malam hari atau asupan makanan bergizi seimbang dan
pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada suplementasi vitamin A dosis tinggi.
cahaya yang redup. Pada defisiensi vitamin A,
buta senja merupakan keluhan paling awal. Peralatan
1. Lup
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Oftalmoskop
Sederhana (Objective)
Prognosis
Pemeriksaan Fisik
1. Ad vitam : Bonam
Dapat ditemukan tanda-tanda lain defisiensi 2. Ad functionam : Dubia Ad bonam
vitamin A: 3. Ad sanasionam : Bonam
1. Kekeringan (xerosis) konjungtiva bilateral Referensi
2. Terdapat bercak bitot pada konjungtiva
3. Xerosis kornea 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
4. Ulkus kornea dan sikatriks kornea Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
5. Kulit tampak xerosis dan bersisik New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard,
6. Nekrosis kornea difus atau keratomalasia et al., 2007)
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Pemeriksaan Penunjang :- Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed. Jakarta:
Penegakan Diagnostik (Assessment) CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes
Diagnosis Klinis Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC. 2009.
dan pemeriksaan fisik. 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
3.HORDEOLUM
No. ICPC-2: F72 Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD-10: H00.0 Hordeolum and other deep inflammation of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
1. Selulitis preseptal
Hordeolum adalah peradangan supuratif 2. Kalazion
kelenjar kelopak mata. Biasanya merupakan 3. Granuloma piogenik
infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea
kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum Komplikasi
internum dan eksternum. Hordeolum 1. Selulitis palpebra
eksternum merupakan infeksi pada kelenjar 2. Abses palpebra
Zeiss atau Moll. Hordeolum internum
merupakan infeksi kelenjar Meibom yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
terletak di dalam tarsus. Hordeolum mudah Penatalaksanaan
timbul pada individu yang menderita blefaritis
dan konjungtivitis menahun. 1. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari
selama 15 menit setiap kalinya untuk
Hasil Anamnesis (Subjective) membantu drainase. Tindakan dilakukan
Keluhan dengan mata tertutup.

Pasien datang dengan keluhan kelopak yang 2. Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih
bengkak disertai rasa sakit. Gejala utama atau pun dengan sabun atau sampo yang
hordeolum adalah kelopak yang bengkak tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun
dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan bayi. Hal ini dapat mempercepat proses
nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak nyaman penyembuhan. Tindakan dilakukan dengan
dan sensasi terbakar pada kelopak mata mata tertutup.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Jangan menekan atau menusuk


Sederhana (Objective) hordeolum, hal ini dapat menimbulkan
infeksi yang lebih serius.
Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
4. Hindari pemakaian make-up pada mata,
Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan karena kemungkinan hal itu menjadi
nyeri pada perabaan. Nanah dapat keluar dari penyebab infeksi.
pangkal rambut (hordeolum eksternum).
Apabila sudah terjadi abses dapat timbul 5. Jangan memakai lensa kontak karena dapat
undulasi. menyebarkan infeksi ke kornea.

Pemeriksaan Penunjang 6. Pemberian terapi topikal dengan


Oxytetrasiklin salep mata atau
Tidak diperlukan kloramfenikol salep mata setiap 8 jam.
Apabila menggunakan kloramfenikol tetes
Penegakan Diagnostik (Assessment)
mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
Diagnosis Klinis
7. Pemberian terapi oral sistemik dengan
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan Eritromisin 500 mg pada dewasa dan anak
pemeriksaan fisik. sesuai dengan berat badan.
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: - Peralatan
Konseling dan Edukasi Peralatan bedah minor
Prognosis
Penyakit hordeolum dapat berulang sehingga
perlu diberi tahu pasien dan keluarga untuk 1. Ad vitam : Bonam
menjaga higiene dan kebersihan lingkungan. 2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Rencana Tindak Lanjut
Referensi
Bila dengan pengobatan konservatif tidak 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
berespon dengan baik, maka prosedur Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
pembedahan mungkin diperlukan untuk CV Ondo. 2006.
membuat drainase pada hordeolum. 2. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Kriteria rujukan
Jakarta: EGC. 2009.
1. Bila tidak memberikan respon dengan 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
pengobatan konservatif Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
2. Hordeolum berulang 2008.
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

4.KONJUNGTIVITIS Konjungtivitis infeksi


No. ICPC-2: F70 Conjunctivitis infectious
No. ICD-10: H10.9 Conjunctivitis, unspecified
Konjungtivitis alergi
No. ICPC-2: F71 Conjunctivitis allergic
No ICD-10: H10.1 Acute atopic conjunctivitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang 1. Daya tahan tubuh yang menurun
dapat disebabkan oleh mikroorganisme (virus, 2. Adanya riwayat atopi
bakteri), iritasi, atau reaksi alergi. Konjungtivitis 3. Penggunaan kontak lens dengan perawatan
ditularkan melalui kontak langsung dengan yang tidak baik
sumber infeksi. Penyakit ini dapat menyerang 4. Higiene personal yang buruk
semua umur.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective) Sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Pasien datang dengan keluhan mata merah,
1. Visus normal
rasa mengganjal, gatal dan berair, kadang
2. Injeksi konjungtival
disertai sekret. Keluhan tidak disertai
3. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
penurunan tajam penglihatan.
4. Eksudasi; eksudat dapat serous,
mukopurulen, atau purulen tergantung
penyebab
5. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
folikel, papil atau papil raksasa, flikten,
membrane, atau pseudomembran. Penatalaksanaan

Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan) Pemberian obat mata topikal

1. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan 1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes
perwarnaan Gram atau Giemsa sebanyak 1 tetes 6 kali sehari atau salep
2. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan mata 3 kali sehari selama 3 hari.
biru metilen pada kasus konjungtivitis 2. Pada alergi: Flumetolon tetes mata dua kali
gonore sehari selama 2 minggu.
3. Pada konjungtivitis gonore: Kloramfenikol
tetes mata 0,5-
4. 1%sebanyak 1 tetes tiap jam dan suntikan
pada bayi diberikan
5. 50.000 U/kgBB tiap hari sampai tidak
ditemukan kuman GO
6. pada sediaan apus selama 3 hari berturut-
turut.
7. Pada konjungtivitis viral: Salep Acyclovir 3%,
5 kali sehari selama 10 hari.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Gambar 4.2. Konjungtivitis
Umumnya tidak diperlukan, kecuali pada
Penegakan Diagnostik (Assessment) kecurigaan konjungtivitis gonore, dilakukan
Diagnosis Klinis pemeriksaan sediaan apus dengan pewarnaan
Gram
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Konseling dan Edukasi
1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu
Klasifikasi Konjungtivitis sebelum dan sesudah membersihkan atau
1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva mengoleskan obat, penderita harus
hiperemis, sekret purulen atau mencuci tangannya bersih-bersih.
mukopurulen dapat disertai membran atau 2. Jangan menggunakan handuk atau lap
pseudomembran di konjungtiva tarsal. bersama-sama dengan penghuni rumah
Curigai konjungtivitis gonore, terutama lainnya.
pada bayi baru lahir, jika ditemukan 3. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan
konjungtivitis pada dua mata dengan sekret sekitar.
purulen yang sangat banyak.
Kriteria rujukan
2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis,
sekret umumnya mukoserosa, dan 1. Jika terjadi komplikasi pada kornea
pembesaran kelenjar preaurikular 2. Bila tidak ada respon perbaikan terhadap
3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, pengobatan yang diberikan
riwayat atopi atau alergi, dan keluhan gatal. Peralatan
Komplikasi 1. Lup
2. Laboratorium sederhana untuk
Keratokonjuntivitis
pemeriksaan Gram
Prognosis 3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
1. Ad vitam : Bonam
Jakarta: EGC. 2009.
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V.Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Referensi 2008.
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan 5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: Cetakan I.Jakarta:Widya Medika. 2000.
CV Ondo. 2006.
2. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. 6. h tt p : / / w w w . a d v a n c e d v i s i o n c a r e .
Erlangga. Jakarta. 2005 co.uk/wpcontent/uploads/2013/09/
conjunctivitis0.jpg,

5.BLEFARITIS
No. ICPC-2: F72 Blepharitis/stye/chalazion No. ICD-10: H01.0 Blepharitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak Sederhana (Objective)
mata (margo palpebra) yang dapat disertai
Pemeriksaan Fisik
terbentuknya ulkus dan dapat melibatkan
folikel rambut. 1. Skuama atau krusta pada tepi kelopak.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Bulu mata rontok.
3. Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada
Keluhan tepi kelopak mata.
4. Dapat terjadi pembengkakan dan merah
1. Gatal pada tepi kelopak mata
pada kelopak mata.
2. Rasa panas pada tepi kelopak mata
5. Dapat terbentuk krusta yang melekat
3. Merah/hiperemia pada tepi kelopak mata
erat pada tepi kelopak mata. Jika krusta
4. Terbentuk sisik yang keras dan krusta
dilepaskan, bisa terjadi perdarahan.
terutama di sekitar dasar bulu mata
5. Kadang disertai kerontokan bulu mata Pemeriksaan Penunjan: Tidak
(madarosis), putih pada bulu mata
(poliosis), dan trikiasis diperlukan Penegakan Diagnostik
6. Dapat keluar sekret yang mengering selama (Assessment) Diagnosis Klinis
tidur, sehingga ketika bangun kelopak mata
sukar dibuka Penegakan diagnosis dilakukan berdasar-kan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Faktor Risiko
Komplikasi
1. Kelainan kulit, misalnya dermatitis seboroik
2. Higiene personal dan lingkungan yang 1. Blefarokonjungtivitis
kurang baik 2. Madarosis
3. Trikiasis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Tajam penglihatan menurun
2. Nyeri sedang atau berat
Penatalaksanaan
3. Kemerahan yang berat atau kronis
1. Non-medikamentosa 4. Terdapat keterlibatan kornea
a. Membersihkan kelopak mata dengan 5. Episode rekuren
lidi kapas yang dibasahi air hangat 6. Tidak respon terhadap terapi
b. Membersihkan dengan sampo atau
Peralatan
sabun
c. Kompres hangat selama 5-10 menit 1. Senter
2. Medikamentosa 2. Lup
Apabila ditemukan ulkus pada kelopak mata, Prognosis
dapat diberikan salep atau tetes mata antibiotik
hingga gejala menghilang. 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
Konseling dan Edukasi 3. Ad sanationam : Bonam
1. Memberikan informasi kepada pasien dan Referensi
keluarga bahwa kulit kepala, alis mata,
dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
terutama pada pasien dengan dermatitis Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
seboroik. CV Ondo. 2006.
2. Memberitahu pasien dan keluarga untuk 2. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
menjaga higiene personal dan lingkungan. & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Jakarta: EGC. 2009.
Kriteria Rujukan 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Pasien dengan blefaritis perlu dirujuk ke
2008.
layanan sekunder (dokter spesialis mata) bila
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
terdapat minimal satu dari kelainan di bawah
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
ini:

6.PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
No. ICPC-2: F75 Contusion/ haemorrhage eye
No. ICD-10: H57.8 Other specified disorders of eye and adnexa
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral


Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan (90%).
akibat ruptur pembuluh darah dibawah lapisan Hasil Anamnesis (Subjective)
konjungtiva yaitu pembuluh darah konjungtivalis
atau episklera. Sebagian besar kasus Keluhan
perdarahan subkonjungtiva merupakan kasus
spontan atau idiopatik, dan hanya sebagian 1. Pasien datang dengan keluhan adanya
kecil kasus yang terkait dengan trauma atau darah pada sklera atau mata berwarna
kelainan sistemik. Perdarahan subkonjungtiva merah terang (tipis) atau merah tua (tebal).
dapat terjadi di semua kelompok umur. 2. Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis
Perdarahan
yang berhubungan dengan perdarahan 2. Pengobatan penyakit yang mendasari bila
subkonjungtiva selain terlihat darah pada ada.
bagian sklera.
3. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 Pemeriksaan penunjang lanjutan: Tidak
jam pertama setelah itu kemudian akan diperlukan
berkurang perlahan ukurannya karena Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga
diabsorpsi. bahwa:
Faktor Risiko 1. Tidak perlu khawatir karena perdarahan
1. Hipertensi atau arterosklerosis akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama,
2. Trauma tumpul atau tajam namun setelah itu ukuran akan berkurang
3. Penggunaan obat, terutama pengencer perlahan karena diabsorpsi.
darah 2. Kondisi hipertensi memiliki hubungan
4. Manuver valsava, misalnya akibat batuk yang cukup tinggi dengan angka terjadinya
atau muntah perdarahan subkonjungtiva sehingga
5. Anemia diperlukan pengontrolan tekanan darah
6. Benda asing pada pasien dengan hipertensi.
7. Konjungtivitis Kriteria rujukan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk
Sederhana (Objective) ke spesialis mata jika ditemukan penurunan
visus.
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan status generalis Peralatan
2. Pemeriksaan oftalmologi: 1. Snellen chart
a. Tampak adanya perdarahan di sklera 2. Oftalmoskop
dengan warna merah terang (tipis) atau
merah tua (tebal). Prognosis
b. Melakukan pemeriksaan tajam
1. Ad vitam : Bonam
penglihatan umumnya 6/6, jika visus
2. Ad functionam : Bonam
<6/6 maka dicurigai terjadi kerusakan
selain di konjungtiva 3. Ad sanationam : Bonam
c. Pemeriksaan funduskopi adalah Referensi
perlu pada setiap penderita dengan
perdarahan subkonjungtiva akibat 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
trauma. Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
CV Ondo. 2006.
Pemeriksaan Penunjang 2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Erlangga. Jakarta. 2005.
Tidak diperlukan
3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
Penegakan Diagnostik (Assessment) & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Jakarta: EGC. 2009.
Diagnosis Klinis 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2008.
dan pemeriksaan fisik.
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Penatalaksanaan
1. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang
atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa
diobati.
7.BENDA ASING DI KONJUNGTIVA
No. ICPC-2: F76 Foreign body in eye
No. ICD-10: T15.9 Foreign body on external eye, part unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
Benda asing di konjungtiva adalah benda pemeriksaan fisik.
yang dalam keadaan normal tidak dijumpai
di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi Diagnosis banding Konjungtivitis akut
jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat Komplikasi
ringan, namun pada beberapa keadaan dapat
1. Ulkus kornea
berakibat serius terutama pada benda asing
2. Keratitis
yang bersifat asam atau basa dan bila timbul
infeksi sekunder. Terjadi bila benda asing pada konjungtiva
tarsal menggesek permukaan kornea dan
Hasil Anamnesis (Subjective)
menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi
Keluhan berat dapat terjadi jika benda asing merupakan
zat kimia.
Pasien datang dengan keluhan adanya benda
yang masuk ke dalam konjungtiva atau Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri,
Penatalaksanaan
mata merah dan berair, sensasi benda asing,
dan fotofobia. 1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda
asing. Berikut adalah cara yang dapat
Faktor Risiko
dilakukan:
Pekerja di bidang industri yang tidak memakai a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5%
kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, sebanyak 1-2 tetes pada mata yang
pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkena benda asing.
terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam
pengangkatan benda asing.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang c. Angkat benda asing dengan
Sederhana (Objective) menggunakan lidi kapas atau jarum
Pemeriksaan Fisik suntik ukuran 23G.
d. Arah pengambilan benda asing
1. Visus biasanya normal. dilakukan dari tengah ke tepi.
2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/ e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
atau bulbi. Povidon Iodin pada tempat bekas
3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva benda asing.
tarsal superior dan/atau inferiordan/atau 2. Medikamentosa
konjungtiva bulbi. Antibiotik topikal (salep atau tetes mata),
misalnya Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes
Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan.
setiap 2 jam selama 2 hari
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Klinis
1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok
matanya agar tidak memperberat lesi. 4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5%
2. Menggunakan alat / kacamata pelindung 5. Povidon Iodin
pada saat bekerja atau berkendara.
3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila Prognosis
keluhan bertambah berat setelah dilakukan 1. Ad vitam : Bonam
tindakan, seperti mata bertambah merah, 2. Ad functionam : Bonam
bengkak, atau disertai dengan penurunan 3. Ad sanationam : Bonam
visus.
Referensi
Kriteria Rujukan
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
1. Bila terjadi penurunan visus Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, CV Ondo. 2006.
misal: karena keterbatasan fasilitas 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Peralatan Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2008.
1. Lup 3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
2. Lidi kapas Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
3. Jarum suntik 23G

8.ASTIGMATISME
No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.2 Astigmatisme
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan


Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar menunjukkan tajam penglihatan tidak maksimal
sejajar tidak dibiaskan pada satu titik fokus yang dan akan bertambah baik dengan pemberian
sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan pinhole.
oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak Penegakan Diagnostik (Assessment)
sama pada berbagai meridian.
Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
Keluhan anamnesis dan pemeriksaan refraksi. Tajam
Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan akan mencapai maksimal dengan
penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang pemberian lensa silindris.
kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien Diagnosis Banding
memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat
melihat lebih jelas. Kelainan refraksi lainnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan
Pemeriksaan Fisik
Penggunaan kacamata lensa silindris dengan
Keadaan umum biasanya baik. koreksi yang sesuai.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Prognosis
Tidak diperlukan. 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
Konseling dan Edukasi
3. Ad sanationam : Bonam
Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma
Referensi
merupakan gangguan penglihatan yang dapat
dikoreksi. 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
Kriteria Rujukan New York. Thieme Stuttgart. 2007.
Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila: 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
1. koreksi dengan kacamata tidak CV Ondo. 2006.
memperbaiki visus, atau 3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan Erlangga. Jakarta. 2005.
(misalnya astigmatisme berat). 4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan
Peralatan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Jakarta: EGC. 2009.
1. Snellen Chart 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
lenses) 2008.
3. Pinhole 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

9.HIPERMETROPIA
No. ICPC-2: F91 Refractive error
No. ICD-10: H52.0 Hypermetropia ringan
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
strain) terutama bila melihat pada jarak
Hipermetropia (rabun dekat) merupakan yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas
keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata pada jangka waktu yang lama, misalnya
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup kuat menonton TV dan lain- lain.
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di 3. Mata sensitif terhadap sinar.
belakang retina. Kelainan ini menyebar merata 4. Spasme akomodasi yang dapat
di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis menimbulkan pseudomiopia. Mata juling
kelamin. dapat terjadi karena akomodasi yang
berlebihan akan diikuti konvergensi yang
Hasil Anamnesis (Subjective) berlebihan pula.
Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang Sederhana (Objective)
dekat. Pemeriksaan Fisik
2. Sakit kepala terutama daerah frontal
dan makin kuat pada penggunaan mata 1. Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
yang lama dan membaca dekat. Penglihatan 2. Pemeriksaan refraksi dengan trial lens dan
tidak enak (asthenopia akomodatif = eye trial frame
Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan jika tidak, maka mata akan berakomodasi
terus menerus dan menyebabkan komplikasi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Kriteria rujukan
Diagnosis Klinis
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan
pemeriksaan refraksi. Peralatan
Komplikasi 1. Snellen chart
2. Satu set trial frame dan trial frame
1. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat
pasien selamanya melakukan akomodasi Prognosis
2. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi 1. Ad vitam : Bonam
otot siliar pada badan siliar yang akan 2. Ad functionam : Bonam
mempersempit sudut bilik mata 3. Ad sanationam : Bonam
3. Ambliopia
Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Penatalaksanaan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
CV Ondo. 2006.
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang
menghasilkan tajam penglihatan terbaik. 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Konseling dan Edukasi
2008.
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
dikoreksi dengan bantuan kaca mata. Karena
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000

10. MIOPIA RINGAN


No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.1 Myopia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Miopia ringan adalah kelainan refraksi dimana Genetik dan faktor lingkungan meliputi
sinar sejajar yang masuk ke mata dalam kebiasaan melihat / membaca dekat, kurangnya
keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan aktivitas luar rumah, dan tingkat pendidikan
dibiaskan ke titik fokus di depan retina. yang lebih tinggi.
Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Penglihatan kabur bila melihat jauh, mata Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
cepat lelah, pusing dan mengantuk, cenderung
memicingkan mata bila melihat jauh. Tidak Penegakan Diagnostik (Assessment)
terdapat riwayat kelainan sistemik, seperti
diabetes mellitus, hipertensi, serta buta senja. Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan refraksi.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Referensi
Penatalaksanaan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta:
Koreksi dengan kacamata lensa sferis negatif CV Ondo. 2006.
terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan
terbaik 2. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd
Ed. New York: Fairchild Publication. 1989.
Konseling dan Edukasi (Grosvenor, 1989)
1. Membaca dalam cahaya yang cukup dan 3. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare
tidak membaca dalam jarak terlalu dekat. Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut:
2. Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997)
untuk pemeriksaan refraksi, bila ada
keluhan. 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Kriteria rujukan 2008. (Ilyas, 2008)
1. Kelainan refraksi yang progresif 5. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit
2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999.
koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa (Soewono, 1999)
yang memberikan perbaikan visus
3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole. 6. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 3rd Ed.
Peralatan 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD
1. Snellen char Dr. Soetomo, 2006)
2. Satu set lensa coba dan trial frame 7. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M.
Prognosis Worldwide prevalence and risk factors for
myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32,
1. Ad vitam : Bonam 3–16. (Pan, et al., 2012)
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam

11. PRESBIOPIA
No. ICPC-2: F91 Refractive error No. ICD-10: H52.4 Presbyopia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Presbiopia adalah suatu kondisi yang
Keluhan
berhubungan dengan usia dimana penglihatan
kabur ketika melihat objek berjarak dekat. 1. Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
Presbiopia merupakan proses degeneratif 2. Gejala lainnya, setelah membaca mata
mata yang pada umumnya dimulai sekitar usia terasa lelah, berair, dan sering terasa perih.
40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa 3. Membaca dilakukan dengan menjauhkan
mata mengalami kehilangan elastisitas dan kertas yang dibaca.
kemampuan untuk berubah bentuk. 4. Terdapat gangguan pekerjaan terutama
pada malam hari dan perlu sinar lebih
terang untuk membaca.
Faktor Risiko yang dialami hampir semua orang dan
dapat dikoreksi dengan kacamata.
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun. 2. Pasien perlu kontrol setiap tahun, untuk
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang memeriksa apakah terdapat perubahan
Sederhana (Objective) ukuran lensa koreksi.

Pemeriksaan Fisik Peralatan

1. Pemeriksaan refraksi untuk penglihatan 1. Kartu Jaeger


jarak jauh dengan menggunakan Snellen 2. Snellen Chart
Chart dilakukan terlebih dahulu. 3. Satu set lensa coba dan trial frame
2. Dilakukan refraksi penglihatan jarak dekat
Prognosis
dengan menggunakan kartu Jaeger. Lensa
sferis positif (disesuaikan usia - lihat 1. Ad vitam : Bonam
Tabel 1) ditambahkan pada lensa koreksi 2. Ad functionam : Bonam
penglihatan jauh, lalu pasien diminta untuk 3. Ad sanationam : Bonam
menyebutkan kalimat hingga kalimat
terkecil yang terbaca pada kartu. Target Referensi
koreksi sebesar 20/30. 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Pemeriksaan Penunjang : Tidak diperlukan Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard,
Penegakan Diagnostik (Assessment) et al., 2007)
Diagnosis Klinis 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G.
Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
dan pemeriksaan fisik. Simanjuntak, 2006)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Penatalaksanaan Erlangga. Jakarta. 2005.

Koreksi kacamata lensa positif 4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan


& Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17.
Tabel 4.1 Koreksi lensa positif disesuaikan usia Jakarta: EGC. 2009.

Usia Koreksi Lensa 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.


Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
40 tahun +1,0 D 2008.
45 tahun +1,5 D
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
50 tahun +2,0 D Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
55 tahun +2,5 D
60 tahun +3,0 D
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: Tidak
diperlukan
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien dan keluarga bahwa
presbiopia merupakan kondisi degeneratif
12. KATARAK PADA PASIEN DEWASA
No. ICPC-2: F92 Cataract
No. ICD-10: H26.9 Cataract, unspecified
Tingkat Kemampuan 2

Masalah Kesehatan
mudah dilakukan setelah dilakukan dilatasi
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang pupil dengan tetes mata Tropikamid 0.5%
menyebabkan penurunan tajam penglihatan atau dengan cara memeriksa pasien pada
(visus). Katarak paling sering berkaitan dengan ruang gelap.
proses degenerasi lensa pada pasien usia di atas
Pemeriksaan Penunjang
40 tahun (katarak senilis). Selain katarak senilis,
katarak juga dapat terjadi akibat komplikasi Tidak diperlukan.
glaukoma, uveitis, trauma mata, serta kelainan
sistemik seperti diabetes mellitus, riwayat Penegakan Diagnostik (Assessment)
pemakaian obat steroid, dan lain- lain. Katarak Diagnosis Klinis
biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
pada satu mata (monokular). anamnesis dan pemeriksaan visus dan
Hasil Anamnesis (Subjective) pemeriksaan lensa
Keluhan Komplikasi
Pasien datang dengan keluhan penglihatan Glaukoma dan uveitis
menurun secara perlahan seperti tertutup Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
asap/kabut. Keluhan disertai ukuran kacamata
semakin bertambah, silau, dan sulit membaca. Penatalaksanaan
Faktor Risiko Pasien dengan katarak yang telah menimbulkan
1. Usia lebih dari 40 tahun gangguan penglihatan yang signifikan dirujuk ke
2. Riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes layanan sekunder yang memiliki dokter spesialis
mellitus mata untuk mendapatkan penatalaksanaan
3. Pemakaian tetes mata steroid secara rutin selanjutnya. Terapi definitif katarak adalah
4. Kebiasaan merokok dan pajanan sinar operasi katarak.
matahari
Konseling dan Edukasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Memberitahu keluarga bahwa katarak
Sederhana (Objective) adalah gangguan penglihatan yang dapat
Pemeriksaan Fisik diperbaiki.
2. Memberitahu keluarga untuk kontrol
1. Visus menurun yang tidak membaik dengan teratur jika sudah didiagnosis katarak agar
pemberian pinhole tidak terjadi komplikasi.
2. Pemeriksaan shadow test positif
3. Terdapat kekeruhan lensa yang dapat Kriteria Rujukan
dengan jelas dilihat dengan teknik 1. Katarak matur
pemeriksaan jauh (dari jarak 30 cm) 2. Jika pasien telah mengalami gangguan
menggunakan oftalmoskop sehingga penglihatan yang signifikan
didapatkan media yang keruh pada pupil. 3. Jika timbul komplikasi
Teknik ini akan lebih
Peralatan 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
1. Senter Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta:
2. Snellen chart CV Ondo. 2006.
3. Tonometri Schiotz 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
4. Oftalmoskop Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
Prognosis Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
1. Ad vitam : Bonam 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
2. Ad functionam : Dubia ad bonam V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Referensi Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.


Ophtalmology a short textbook. 2ndEd.
New York: Thieme Stuttgart. 2007.

13. GLAUKOMA AKUT


No. ICPC-2: F93 Glaucoma
No. ICD-10: H40.2 Primary angle-closure glaucoma
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Glaukoma akut adalah glaukoma yang Bilik mata depan yang dangkal
diakibatkan peninggian tekanan intraokular
yang mendadak. Glaukoma akut dapat bersifat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
primer atau sekunder. Glaukoma primer timbul Sederhana (Objective)
dengan sendirinya pada orang yang mempunyai
1. Visus turun
bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma
2. Tekanan intra okular meningkat
sekundertimbul sebagai penyulit penyakit mata
3. Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti,
lain ataupun sistemik. Umumnya penderita
kemosis dengan injeksi silier, injeksi
glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi
konjungtiva
yang memiliki risiko. Bila tekanan intraokular
4. Edema kornea
yang mendadak tinggi ini tidak diobati segera
5. Bilik mata depan dangkal
akan mengakibatkan kehilangan penglihatan
6. Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif
sampai kebutaan yang permanen.
Gambar 4.3. Injeksi silier pada glaukoma
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Mata merah
2. Tajam penglihatan turun mendadak
3. Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat
menjalar ke kepala
4. Mual dan muntah (pada tekanan bola mata
yang sangat tinggi)
Pemeriksaan Penunjang a. Snellen chart
b. Tonometri Schiotz
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan
c. Oftalmoskopi
kesehatan tingkat pertama.
Prognosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Ad vitam : Bonam
Diagnosis Klinis
2. Ad functionam : Dubia ad malam
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan 3. Ad sanationam : Dubia ad malam
anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.
Referensi
Diagnosis Banding:
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
1. Uveitis Anterior Ophtalmology a short textbook. 2ndEd.
2. Keratitis New York: Thieme Stuttgart. 2007.
3. Ulkus Kornea 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) CV Ondo. 2006.
Penatalaksanaan 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Jakarta: Erlangga. 2005.
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan 4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
tingkat pertama bertujuan menurunkan tekanan Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
intra okuler sesegera mungkin dan kemudian 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
merujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit. V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G.Oftalmologi Umum. Edisi 14.
1. Non-Medikamentosa
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Pembatasan asupan cairan untuk menjaga
7. Sumber Gambar http://www.studyblue.com
agar tekanan intra okular tidak semakin
meningkat
2. Medikamentosa
a. Asetazolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x
250 mg/hari.
b. KCl 0.5 gr 3 x/hari.
c. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.
d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid
+ antibiotik 4-6 x 1 tetes sehari
e. Terapi simptomatik.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga bahwa kondisi mata
dengan glaukoma akut tergolong kedaruratan
mata, dimana tekanan intra okuler harus segera
diturunkan
Kriteria Rujukan
Pada glaukoma akut, rujukan dilakukan setelah
penanganan awal di layanan tingkat pertama.
Peralatan
14. GLAUKOMA KRONIS
No. ICPC-2: F93 Glaucoma
No. ICD-10: H40.2 Primary angle-closure glaucoma
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan mellitus, dan migrain


Glaukoma adalah kelompok penyakit mata 4. Pada glaukoma sekunder, dapat ditemukan
yang umumnya ditandai kerusakan saraf optik riwayat pemakaian obat steroid secara
dan kehilangan lapang pandang yang bersifat rutin, atau riwayat trauma pada mata.
progresif serta berhubungan dengan berbagai Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
faktor risiko terutama tekanan intraokular (TIO) Sederhana (Objective)
yang tinggi. Glaukoma merupakan penyebab
kebutaan kedua terbesar di dunia setelah Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai
katarak. Kebutaan karena glaukoma tidak bisa oleh trias glaukoma, yang terdiri dari:
disembuhkan, tetapi pada kebanyakan kasus 1. Peningkatan tekanan intraokular
glaukoma dapat dikendalikan. Umumnya 2. Perubahan patologis pada diskus optikus
penderita glaukoma telah berusia lanjut,
3. Defek lapang pandang yang khas.
terutama bagi yang memiliki risiko. Hampir
separuh penderita glaukoma tidak menyadari Pemeriksaan Oftalmologis
bahwa mereka menderita penyakit tersebut. 1. Visus normal atau menurun
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Lapang pandang menyempit pada tes
Keluhan konfrontasi
3. Tekanan intra okular meningkat
Pasien datang dengan keluhan yang bervariasi
4. Pada funduskopi, rasio cup/disc meningkat
dan berbeda tergantung jenis glaukoma.
(rasio cup/disc normal: 0.3)
Glaukoma kronis dapat dibagi menjadi glaukoma
kronis primer dan sekunder. Gambar 4. 4. Kelainan diskus optik akibat
komplikasi glaukoma
1. Umumnya pada fase awal, glaukoma
kronis tidak menimbulkan keluhan, dan
diketahui secara kebetulan bila melakukan
pengukuran TIO
2. Mata dapat terasa pegal, kadang-kadang
pusing
3. Rasa tidak nyaman atau mata cepat lelah
4. Mungkin ada riwayat penyakit mata,
trauma, atau pemakaian obat
kortikosteroid
5. Kehilangan lapang pandang perifer secara
bertahap pada kedua mata Pemeriksaan Penunjang
6. Pada glaukoma yang lanjut dapat Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan
terjadi penyempitan lapang pandang yang kesehatan tingkat pertama.
bermakna hingga menimbulkan gangguan,
seperti menabrak-nabrak saat berjalan. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko Diagnosis Klinis
1. Usia 40 tahun atau lebih Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
2. Ada anggota keluarga menderita glaukoma anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.
3. Penderita miopia, penyakit kardiovaskular,
hipertensi, hipotensi, vasospasme, diabetes
Diagnosis Banding: Peralatan
1. Katarak 1. Snellen chart
2. Kelainan refraksi 2. Tonometer Schiotz
3. Retinopati diabetes / hipertensi 3. Oftalmoskop
4. Retinitis pigmentosa
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad malam
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan 3. Ad sanationam : Dubia ad malam
tingkat pertama bertujuan mengendalikan
tekanan intra okuler dan merujuk ke dokter Referensi
spesialis mata di rumah sakit.
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter.
Pengobatan umumnya medikamentosa dengan Ophtalmology a short textbook. 2ndEd.
obat-obat glaukoma, contohnya Timolol 0.5%, 2 New York: Thieme Stuttgart. 2007.
x 1 tetes/hari. Jenis obat lain dapat diberikan 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan
bila dengan 1 macam obat TIO belum terkontrol Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta:
Konseling dan Edukasi CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes
1. Memberitahu keluarga bahwa kepatuhan Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.
pengobatan sangat penting untuk 4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
keberhasilan pengobatan glaukoma. Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
2. Memberitahu pasien dan keluarga agar 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan
pasien dengan riwayat glaukoma pada V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
keluarga untuk memeriksakan matanya 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
secara teratur. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Kriteria Rujukan 7. Sumber Gambar:http://www.onmedica.com/

Pada glaukoma kronik, rujukan dilakukan segera


setelah penegakan diagnosis.

15. TRIKIASIS
No. ICPC-2: F99. Eye / adnexa disease, other
No. ICD-10: H02. Entropion and trichiasis of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan yang mengalami tanda maupun komplikasi dari


Trikiasis adalah kondisi di mana bulu mata trikiasis sangat mungkin mencari pertolongan
tumbuh mengarah ke dalam, yaitu ke arah di layanan tingkat pertama terlebih dahulu.
permukaan bola mata, sehingga dapat Hasil Anamnesis (Subjective)
menggores kornea atau konjungtiva dan
menyebabkan berbagai komplikasi, seperti Keluhan
nyeri, erosi, infeksi, dan ulkus kornea. Data 1. Keluhan pasien dapat bermacam-macam,
mengenai tingkat prevalensi penyakit ini di misalnya: mata berair, rasa mengganjal,
Indonesia tidak ada. Dokter di fasilitas silau bila terpapar cahaya, atau kelilipan.
pelayanan kesehatan tingkat pertama harus Penglihatan dapat terganggu bila sudah
memiliki kompetensi menangani kasus trikiasis timbul ulkus pada kornea.
karena pasien-pasien 2. Keluhan dapat dialami pada satu atau kedua
mata. indikasi, misalnya: salep atau tetes mata
3. Bila telah terjadi inflamasi, dapat timbul antibiotik untuk mengatasi infeksi.
keluhan mata merah.
4. Terdapat riwayat penyakit yang berkaitan Konseling dan Edukasi
dengan faktor predisposisi, misalnya:
blefaritis, trakoma, trauma mekanik atau 1. Pasien perlu diinformasikan untuk menjaga
kimiawi, herpes zoster oftalmik, dan kebersihan matanya dan menghindari trauma
berbagai kelainan yang menyebabkan pada mata yang dapat memperparah gejala.
timbulnya sikatriks dan entropion. 2. Dokter perlu menjelaskan beberapa
5. Keluhan dapat dialami oleh pasien dari alternatif pilihan terapi, mulai dari epilasi
semua kelompok usia. dan pengobatan topikal yang dapat
dilakukan oleh dokter di fasilitas pelayanan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang kesehatan tingkat pertama hingga operasi
Sederhana (Objective) yang dilakukan oleh spesialis mata di
layanan sekunder. Terapi yang akan dijalani
1. Beberapa atau seluruh bulu mata berkontak sesuai dengan pilihan pasien.
dengan permukaan bola mata.
2. Dapat ditemukan entropion, yaitu Kriteria Rujukan
terlipatnya margo palpebra ke arah dalam.
3. Bila terdapat inflamasi atau infeksi, dapat 1. Bila tatalaksana di atas tidak membantu
pasien, dapat dilakukan rujukan ke layanan
ditemukan injeksi konjungtival atau silier.
sekunder
4. Kelainan pada kornea, misalnya: abrasi,
2. Bila telah terjadi penurunan visus
ulkus, nebula / makula
3. Bila telah terjadi kerusakan kornea
5. leukoma kornea.
4. Bila pasien menghendaki tatalaksana
6. Bila telah merusak kornea, dapat
langsung di layanan sekunder
menyebabkan penurunan visus.
7. Bila terdapat ulkus pada kornea, uji Peralatan
fluoresein akan memberi hasil positif.
8. Pemeriksaan harus dilakukan pada kedua 1. Lampu senter
mata, terlepas dari ada tidaknya keluhan. 2. Snellen Chart
3. Pinset untuk epilasi
Penegakan Diagnosis (Assessment) 4. Lup
Diagnosis trikiasis ditegakkan melalui 5. Dapat pula disediakan kertas fluoresein dan
anamnesis dan pemeriksaan fisik sebagaimana larutan NaCl 0.9%
disebutkan sebelumnya. Tes fluoresens dapat 6. untuk ter fluoresein
menunjukkan erosi atau ulkus kornea. 7. Lampu biru (bisa berasal lampu biru pada
oftalmoskop)
Diagnosis banding: Penyebab inflamasi lain
pada mata Prognosis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Ad vitam : Bonam


2. Ad functionam : Dubia
Penatalaksanaan 3. Ad sanationam : Malam
1. Non-medikamentosa Referensi
Epilasi, yaitu pencabutan bulu mata dengan
pinset. Hal ini bertujuan mengurangi gejala 1. Carter, S.R., 1998. Eyelid Disorders:
dan mencegah komplikasi pada bola mata. Diagnosis and Management. American
Namun, bulu mata akan tumbuh kembali Family Physician, 57(11), pp.2695–702.
dalam waktu 4-6 minggu, sehingga epilasi Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
perlu diulang kembali. pubmed/9636333.Ilyas,S., 2005.
2. Medikamentosa 2. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed., Jakarta: Balai
Pengobatan topikal diberikan sesuai Penerbit FKUI.
16. EPISKLERITIS
No ICPC-2: F99. Eye / adnexa disease, other No ICD-10: H15.1. Episcleritis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Episkleritis merupakan reaksi radang pada Sederhana (Objective)
episklera, yaitu jaringan ikat vaskular yang
Episkleritis terbagi menjadi dua tipe, yaitu
terletak di antara konjungtiva dan permukaan
nodular dan simpel. Secara umum, tanda dari
sklera. Penyakit ini termasuk dalam kelompok
episkleritis adalah:
“mata merah dengan penglihatan normal”.
Tidak ada data yang spesifik mengenai tingkat 1. Kemerahan hanya melibatkan satu bagian
insiden episkleritis di Indonesia. Episkleritis dari area episklera. Pada penyinaran
umumnya terjadi pada usia 20-50 tahun dan dengan senter, tampak warna pink seperti
membaik dalam beberapa hari sampai daging salmon, sedangkan pada skleritis
beberapa minggu. Umumnya, episkleritis warnanya lebih gelap dan keunguan.
bersifat ringan, namun dapat pula merupakan 2. Kemerahan pada episkleritis disebabkan
tanda adanya penyakit sistemik, seperti oleh kongesti pleksus episklera superfisial
tuberkulosis, reumatoid artritis, dan systemic dan konjungtival, yang letaknya di atas dan
lupus erythematosus (SLE). terpisah dari lapisan sklera dan pleksus
episklera profunda di dalamnya. Dengan
Hasil Anamnesis (Subjective)
demikian, pada episkleritis, penetesan Fenil
Keluhan Efedrin 2,5% akan mengecilkan kongesti
dan mengurangi kemerahan; sesuatu yang
1. Mata merah merupakan gejala utama atau tidak terjadi pada skleritis.
satu-satunya 3. Pada episkleritis nodular, ditemukan
2. Tidak ada gangguan dalam ketajaman nodul kemerahan berbatas tegas di bawah
penglihatan konjungtiva. Nodul dapat digerakkan. Bila
3. Keluhan penyerta lain, misalnya: rasa nodul ditekan dengan kapas atau melalui
kering, nyeri, mengganjal, atau berair. kelopak mata yang dipejamkan di atasnya,
Keluhan- keluhan tersebut bersifat ringan akan timbul rasa sakit yang menjalar ke
dan tidak mengganggu aktifitas sehari-hari. sekitar mata.
Bila keluhan dirasakan amat parah, maka 4. Hasil pemeriksaan visus dalam batas normal.
perlu dipikirkan diagnosis lain 5. Dapat ditemukan mata yang berair, dengan
sekret yang jernih dan encer. Bila sekret
4. Keluhan biasanya mengenai satu mata dan
tebal, kental, dan berair, perlu dipikirkan
dapat berulang pada mata yang sama atau
diagnosis lain.
bergantian
6. Pemeriksaan status generalis harus
5. Keluhan biasanya bersifat akut, namun dilakukan untuk memastikan tanda-tanda
dapat pula berlangsung beberapa minggu penyakit sistemik yang mungkin mendasari
hingga beberapa bulan timbulnya episkleritis, seperti tuberkulosis,
6. Dapat ditemukan gejala-gejala terkait reumatoid artritis, SLE, eritema nodosum,
penyakit dasar, di antaranya: tuberkulosis, dermatitis kontak. Kelainan sistemik
reumatoid artritis, SLE, alergi (misal: umumnya lebih sering menimbulkan
eritema nodosum), atau dermatitis kontak episkleritis nodular daripada simpel.
Gambar 4.5 Tampilan episkleritis simpel (a) dan dengan tetes mata kortikosteroid,
nodular (b) misalnya: Prednisolon 0,5%, atau
Betametason 0,1%.
d. Episkleritis nodular yang tidak membaik
dengan obat topikal, dapat diberikan
anti-inflamasi non-steroid (NSAID),
misalnya Ibuprofen.
Konseling dan Edukasi
Dokter perlu memberikan informasi kepada
pasien mengenai penyakit yang dideritanya,
Penegakan Diagnosis (Assessment) serta memberikan reassurance dan informasi
yang relevan, di antaranya tentang natur
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis penyakit yang ringan, umumnya self-limited,
dan pemeriksaan fisik sebagaimana dijelaskan dan hal-hal yang pasien dapat lakukan untuk
dalam bagian sebelumnya. menyembuhkan penyakitnya.
Diagnosis banding: Peralatan
1. Konjungtivitis 1. Snellen chart
2. Skleritis 2. Lampu senter
3. Kapas bersih
Cara membedakan episkleritis dengan skleritis
4. Tetes mata vasokontriktor: Fenil Efrin 2,5%
adalah dengan melakukan tes Fenil Efrin 2,5%
(tetes mata), yang merupakan vasokonstriktor. Prognosis
Pada episkleritis, penetesan Fenil Efrin 2,5% 1. Ad vitam : Bonam
akan mengecilkan kongesti dan mengurangi 2. Ad functionam : Bonam
kemerahan (blanching / memucat); sedangkan 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
pada skleritis kemerahan menetap.
Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for
Penatalaksanaan the Internist: When to Treat, When to Refer.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2),
1. Non-medikamentosa
pp.137–44. Available at: http://www.ncbi.
a. Bila terdapat riwayat yang jelas nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor &
mengenai paparan zat eksogen,
Jeng, 2008)
misalnya alergen atau iritan, maka
2. Ilyas, S., 2005. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed.,
perlu dilakukan avoidance untuk
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
mengurangi progresifitas gejala dan
3. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations,
mencegah rekurensi.
Disease Associations and Management.
b. Bila terdapat gejala sensitifitas
Postgraduate Medical Journal, 88(1046),
terhadap cahaya, penggunaan
pp.713–8. Available at: http://
kacamata hitam dapat membantu.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22977282
2. Medikamentosa [Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
a. Episkleritis simpel biasanya tidak
4. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968.
membutuhkan pengobatan khusus.
Episcleritis and Scleritis I. British Journal
b. Gejala ringan hingga sedang dapat Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson,
diatasi dengan tetes air mata buatan.
et al., 1968)
c. Gejala berat atau yang memanjang
5. Sumber Gambar : http://www.studyblue.com
dan episkleritis nodular dapat diatasi
17. TRAUMA KIMIA MATA
No. ICPC-2 : F79 Injury eye other
No. ICD-10 : T26Burn and corrosion confined to eye and adnexa
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Trauma kimia mata adalah salah satu kasus Sederhana (Objective)
kedaruratan mata, umumnya terjadi karena
Pemeriksaan Fisik
masuknya zat-zat kimia ke jaringan mata dan
adneksa di sekitarnya. Keadaan ini memerlukan Dengan bantuan senter dan lup, dapat ditemukan
penanganan cepat dan segera oleh karena kelainan berikut ini:
dapat mengakibatkan kerusakan berat pada
jaringan mata dan menyebabkan kebutaan. Zat 1. Hiperemia konjungtiva
kimia penyebab dapat bersifat asam atau basa. 2. Defek epitel kornea dan konjungtiva
Trauma basa terjadi dua kali lebih sering 3. Iskemia limbus kornea
dibandingkan trauma asam dan umumnya 4. Kekeruhan kornea dan lensa
menyebabkan kerusakan yang lebih berat Pemeriksaan visus menunjukkan ada penurunan
pada mata. Selain itu, beratnya kerusakan ketajaman penglihatan. Bila tersedia, dapat
akibat trauma kimia juga ditentukan oleh dilakukan tes dengan kertas lakmus untuk
besarnya area yang terkena zat kimia serta mengetahui zat kimia penyebab
lamanya pajanan.
1. Bila kertas lakmus terwarnai merah, maka
Hasil Anamnesis (Subjective) zat penyebab bersifat asam
Keluhan 2. Bila kertas lakmus terwarnai biru, maka zat
penyebab bersifat basa
1. Mata merah, bengkak dan iritasi
2. Rasa sakit pada mata Pemeriksaan Penunjang
3. Penglihatan buram Tidak diperlukan
4. Sulit membuka mata
5. Rasa mengganjal pada mata Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko Diagnosis Klinis
Pajanan terhadap zat kimia yang sering Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
menjadi penyebab trauma antara lain detergen, pemeriksaan fisik. Komplikasi
desinfektan, pelarut kimia, cairan pembersih
1. Simblefaron
rumah tangga, pupuk, pestisida, dan cairan aki.
2. Hipotoni bola mata
Anamnesis perlu dilakukan untuk mengetahui
3. Ptisis bulbi
zat kimia penyebab trauma, lama kontak
4. Entropion
dengan zat kimia, tempat dan kronologis
kejadian, adanya kemungkinan kejadian 5. Katarak
kecelakaan di tempat kerja atau tindak kriminal, 6. Neovaskularisasi kornea
serta penanganan yang sudah dilakukan Penatalaksanaan Komprehensif
sebelumnya.
(Plan) Penatalaksanaan
1. Segera lakukan irigasi mata yang terkena
zat kimia dengan cairan mengalir sebanyak Peralatan
mungkin dan nilai kembali dengan kertas 1. Lup
lakmus. Irigasi terus dilakukan hingga tidak 2. Senter
terjadi pewarnaan pada kertas lakmus. 3. Lidi kapas
2. Lakukan eversi pada kelopak mata selama 4. Kertas lakmus (jika memungkinkan)
irigasi dan singkirkan debris yang mungkin 5. Cairan fisiologis untuk irigasi
terdapat pada permukaan bola mata atau
pada forniks. Prognosis
3. Setelah irigasi selesai dilakukan, nilai 1. Ad vitam : Bonam
tajam penglihatan, kemudian rujuk segera 2. Ad functionam : Dubia
ke dokter spesialis mata di fasilitas 3. Ad sanationam : Dubia
sekunder atau tersier.
Referensi
Konseling & Edukasi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.
Anjuran untuk menggunakan pelindung Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
(kacamata/goggle, sarung tangan, atau masker) 2008.
pada saat kontak dengan bahan kimia 2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Kriteria Rujukan 3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
Setelah penanganan awal dengan irigasi, Eye Manual-office and emergency room
rujuk pasien ke dokter spesialis mata untuk diagnosis and treatment of eye disease. 5th
tatalaksana lanjut edition. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008)

18. LASERASI KELOPAK MATA


No. ICPC-2 No. ICD-10 : F79 Injury eye other
: S01.1Open wound of eyelid and periocular area
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
4. Tidak terdapat penurunan tajam
Laserasi kelopak adalah terpotongnya jaringan penglihatan bila cedera tidak melibatkan
pada kelopak mata. Penyebab laserasi kelopak bola mata
dapat berupa sayatan benda tajam, trauma
Faktor Risiko
tumpul (kecelakaan lalu lintas atau olahraga),
maupun gigitan hewan. Laserasi pada kelopak Terdapat riwayat trauma tajam maupun tumpul
perlu ditangani segera agar fungsi dan kosmetik
kelopak dapat dipertahankan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Fisik
Keluhan
1. Pemeriksaan refleks pupil dan tajam
1. Terdapat rasa nyeri periorbita penglihatan
2. Perdarahan dan bengkak pada kelopak
3. Mata berair 2. Pemeriksaan mata dengan lup dan senter
untuk mengidentifikasi:
a. Luas dan dalamnya laserasi pada
kelopak, termasuk identifikasi Peralatan
keterlibatan tepi kelopak, kantus
medial atau kantus lateral. Pemeriksa 1. Lup
dapat menggunakan lidi kapas selama 2. Senter
pemeriksaan. 3. Lidi kapas
b. Adanya benda asing Prognosis
c. Keterlibatan bola mata 1. Ad vitam : Bonam
Pemeriksaan Penunjang: Tidak 2. Ad functionam : dubia
3. Ad sanationam : dubia
diperlukan Penegakan Diagnostik
Referensi
(Assessment) Diagnosis Klinis
1. Karesh JW. The evaluation and management
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan of eyelid trauma. Dalam : Duane’s Clinical
pemeriksaan fisik. Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006.
Diagnosis banding: Tidak ada
(Karesh, 2006)
Komplikasi
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
Trauma pada sistem lakrimal Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) edition. Philadelphia: Lippincott Williams
Penatalaksanaan and Wilkins; 2008.

1. Bersihkan luka apabila diyakini bola mata


intak
2. Pertimbangkan pemberian profilaksis
tetanus
3. Berikan antibiotik sistemik
4. Segera rujuk ke dokter spesialis mata untuk
mendapatkan penanganan secepatnya
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien bahwa luka pada
kelopak perlu menjalani pembedahan
(menutup luka)
2. Menggunakan alat / kacamata pelindung
pada saat bekerja atau berkendara.
3. Anjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan
bertambah berat setelah dilakukan
tindakan, seperti mata bertambah merah,
bengkak atau disertai dengan penurunan
visus.
Kriteria Rujukan
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, pasien
segera dirujuk ke dokter spesialis mata.
19. HIFEMA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: F75 Contusion/haemorrhage eye
: H21.0Hyphaema
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Penunjang
Hifema adalah terdapatnya akumulasi darah
Pemeriksaan tekanan intraokular dengan
pada bilik mata depan. Hifema dapat terjadi
Tonometer Schiotz
akibat trauma atau terjadi spontan. Hifema
dapat disertai dengan abrasi kornea, iritis, Penegakan Diagnostik (Assessment)
midriasis, atau gangguan struktur lain pada
mata akibat trauma penyebabnya. Hifema Diagnosis Klinis
spontan jarang ditemui. Hifema spontan dapat Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
menjadi penanda terdapatnya rubeosis iridis, pemeriksaan fisik
gangguan koagulasi, penyakit herpes, masalah
pada lensa intraokular (IOL), retinoblastoma, 1. Anamnesis untuk mengidentifikasi gejala,
serta leukemia. riwayat trauma, serta kemungkinan adanya
faktor risiko lain.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Pemeriksaan tajam penglihatan
Keluhan 3. Pemeriksaan mata dengan senter dan lup
untuk melihat adanya darah di bilik mata,
1. Nyeri pada mata menilai lebar pupil, serta mengidentifikasi
2. Penglihatan terganggu (bila darah kelainan kornea atau struktur lain akibat
menutupi aksis visual) trauma.
3. Fotofobia/silau 4. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan
tonometer Schiotz bila tidak terdapat defek
Faktor Risiko
pada kornea
1. Hifema akibat trauma sering ditemui pada
Diagnosis banding Tidak ada Komplikasi
laki-laki usia muda
2. Hifema spontan disebabkan oleh Prognosis umumnya baik pada hifema tanpa
neovaskularisasi iris (seperti pada pasien komplikasi.
diabetes dan oklusi vena retina),
koagulopati, dan pemakaian antikoagulan Komplikasi hifema antara lain:

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Perdarahan ulang (rebleeding), umumnya


Sederhana (Objective) terjadi antara 2-5 hari setelah trauma
2. Glaukoma sekunder
Pemeriksaan Fisik 3. Atrofi saraf optik
1. Visus umumnya turun 4. Corneal blood staining
2. Tampak darah di bilik mata depan. Darah Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dapat tertampung di bagian inferior bilik
mata depan atau dapat memenuhi seluruh Penatalaksanaan
bilik mata depan (hifema penuh). 1. Pembatasan aktivitas fisik
3. Perhatikan apakah ada trauma pada bagian 2. Pelindung mata (protective shield)
mata yang lain 3. Analgesik yang tidak mengandung NSAID
(Non-Steroidal Anti
4. Inflammatory Drug) 3. Senter
5. Rujuk segera ke dokter spesialis mata di 4. Tonometer Schiotz
pelayanan kesehatan tingkat sekunder atau
tersier Prognosis

Konseling dan Edukasi 1. Ad vitam : Bonam


2. Ad functionam : Bonam
1. Memberitahukan ke pasien bahwa 3. Ad sanationam : Bonam
kemungkinan pasien perlu dirawat dan bed
rest Referensi
2. Posisi tidur dengan elevasi kepala 1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
Kriteria Rujukan Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye
Semua pasien yang didiagnosis dengan hifema Manual-office and emergency room
perlu dirujuk ke dokter spesialis mata diagnosis and treatment of eye disease.
5th edition. Philadelphia: Lippincott
Peralatan Williams and Wilkins; 2008.
1. Snellen chart
2. Lup

20. RETINOPATI DIABETIK


No. ICPC-2 No. ICD-10 : F83 Retinopathy
: H36.0 Diabetic retinopathy
Tingkat Kemampuan 2

Masalah Kesehatan
Terdapat dua tahap retinopati diabetik yaitu
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
yang mengenai prekapiler retina, kapiler dan proliferative diabetic retinopathy (PDR).
dan venula, sehingga menyebabkan oklusi
mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler, akibat Hasil Anamnesis (Subjective)
kadar gula darah yang tinggi dan lama. Keluhan
Retinopati diabetik dapat menyebabkan
penurunan visus dan kebutaan, terutama akibat 1. Tidak ada keluhan penglihatan
komplikasi seperti edema makula, perdarahan 2. Penglihatan buram terjadi terutama bila
vitreus, ablasio retina traksional dan glaukoma terjadi edema makula
neovaskular.
3. Floaters atau penglihatan mendadak
Retinopati diabetik adalah penyebab kebutaan terhalang akibat komplikasi perdarahan
ke 5 terbesar secara global (WHO, 2007). vitreus dan / atau ablasio retina traksional
Setidaknya terdapat 171 juta penduduk dunia
yang menyandang diabetes melitus, yang akan Faktor Risiko
meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 1. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol
2030 menjadi 366 million. Setelah 15 tahun, dengan baik
sekitar 2% penyandang diabetes dapat menjadi
buta, dan sekitar 10% mengalami gangguan 2. Hipertensi yang tidak terkontrol dengan
penglihatan berat. Setelah 20 tahun, retinopati baik
diabetik dapat ditemukan pada 75% lebih 3. Hiperlipidemia
penyandang diabetes.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Apabila didapatkan tanda-tanda retinopati,
Sederhana (Objective) pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis
mata.
Pemeriksaan Fisik
Konseling dan Edukasi
1. Riwayat diabetes mellitus (tipe I / tipe II).
2. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan 1. Kontrol gula darah dan pengendalian faktor
visus. sistemik lain (hipertensi, hiperlipidemia
3. Pada pemeriksaan funduskopi pupil lebar penting untuk memperlambat timbulnya
pada retina dapat ditemukan perdarahan atau progresifitas retinopati diabetik.
retina, eksudat keras, pelebaran vena, dan 2. Setiap pasien diabetes perlu menjalani
mikroaneurisma (pada NPDR), yang pada pemeriksaan mata awal (skrining), diikuti
kondisi lebih lanjut disertai neovaskularisasi pemeriksaan lanjutan minimal 1 kali dalam
di diskus optik atau di tempat lain di retina setahun.
(pada PDR). 3. Menjelaskan bahwa bila dirujuk,
4. Pada keadaan berat dapat ditemukan kemungkinan memerlukan terapi
neovaskularisasi iris (rubeosis iridis). fotokoagulasi laser, yang bertujuan
5. Refleks cahaya pada pupil normal, pada mencegah progresifitas retinopati diabetik.
kerusakan retina yang luas dapat Pada kondisi berat (perdarahan vitreus,
ditemukan RAPD (Relative Aferent Pupilary ablasio retina) kemungkinan perlu tindakan
Defect), serta penurunan refleks pupil pada bedah.
cahaya langsung dan tak langsung normal.
Kriteria Rujukan
Pemeriksaan Penunjang
Setiap pasien diabetes yang ditemukan tanda-
Tidak ada tanda retinopati diabetik sebaiknya dirujuk ke
dokter mata.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Peralatan
Diagnosis Klinis
1. Snellen chart
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan 2. Oftalmoskop
pemeriksaan fisik, teruttama funduskopi. 3. Tropikamid 1% tetes mata untuk
Diagnosis banding melebarkan pupil

1. Oklusi vena retina Prognosis


2. Retinopati hipertensi 1. Ad vitam : Dubia ad bonam
Komplikasi 2. Ad functionam : Dubia ad malam
3. ad sanationam : Dubia ad malam
1. Perdarahan vitreus
2. Edema makula diabetik Referensi
3. Ablasio retina traksional 1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14.
4. Glaukoma neovaskular Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. World Health Organization. Global initiative
for the elimination of avoidable blindness.
Penatalaksanaan Action Plan 2006–2011 (World Health
1. Setiap pasien yang terdiagnosis diabetes Organization, 2012)
melitus perlu segera dilakukan pemeriksaan 3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills
mata, sekalipun belum ada keluhan mata. Eye Manual-office and emergency room
2. Apabila tidak didapatkan tanda-tanda diagnosis and treatment of eye disease. 5th
retinopati, pasien harus diperiksa ulang edition. Philadelphia: Lippincott Williams
dalam waktu 1 tahun (follow-up). and Wilkins; 2008.
E. TELINGA

1. OTITIS EKSTERNA
No. ICPC-2 : H70.Otitis externa
No. ICD-10 : H60.9.Otitis externa, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Riwayat trauma yang mendahului keluhan,
Otitis eksternaadalah radang pada liang telinga misalnya: membersihkan liang telinga
luar. Penyakit ini banyak ditemukan di layanan dengan alat tertentu, memasukkan cotton
kesehatan tingkat pertama sehingga dokter di bud, memasukkan air ke dalam telinga.
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
3. Riwayat penyakit sistemik, seperti: diabetes
harus memiliki kemampuan mendiagnosis dan
mellitus, psoriasis, dermatitis atopik, SLE,
menatalaksana secara komprehensif.
HIV.
Klasifikasi otitis eksterna (OE):
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. OE akut Sederhana (Objective)
a. OE akut difus
Pemeriksaan Fisik
b. OE akut sirkumskripta, yaitu infeksi folikel
1. Nyeri tekan pada tragus
rambut yang menimbulkan furunkel di liang
2. Nyeri tarik daun telinga
telinga luar.
3. Otoskopi:
2. OE kronik
a. OE akut difus: liang telinga luar sempit,
3. OE ekzematoid, yang merupakan
kulit liang telinga luar hiperemis dan edem
manifestasi dari kelainan dermatologis,
dengan batas yang tidak jelas, dan dapat
seperti dermatitis atopik, psoriasis, atau
ditemukan sekret minimal.
SLE.
b. OE akut sirkumskripta: furunkel pada liang
4. OE nekrotikans
telinga luar
Hasil Anamnesis (Subjective) 4. Tes garputala: Normal atau tuli konduktif
Keluhan Pemeriksaan Penunjang
1. Rasa sakit pada telinga (otalgia), yang Tidak diperlukan
bervariasi dari ringan hingga hebat,
terutama saat daun telinga disentuh dan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
mengunyah dan pemeriksaan fisik.
2. Rasa penuh pada telinga
Diagnosis Banding
3. Pendengaran dapat berkurang
4. Terdengar suara mendengung (tinnitus) Perikondritis yang berulang, Kondritis,
5. Keluhan biasanya dialami pada satu telinga Otomikosis
dan sangat jarang mengenai kedua telinga
dalam waktu bersamaan Komplikasi
6. Keluhan penyerta lain yang dapat timbul: Jika pengobatan tidak adekuat, dapat timbul
demam atau meriang, telinga terasa basah abses, nfeksi kronik liang telinga, jaringan parut,
Faktor Risiko dan stenosisliang telinga.
1. Riwayat sering beraktifitas di air, misalnya:
berenang, berselancar, mendayung.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Penatalaksanaan 1. Lampu kepala
2. Corong telinga
1. Non-medikamentosa:
3. Aplikator kapas
a. Membersihkan liang telinga secara hati- 4. Otoskop
hati dengan pengisap atau kapas yang
dibasahi dengan H2O2 3%. Prognosis
b. Bila terdapat abses, dilakukan insisi dan 1. Ad vitam : Bonam
drainase. 2. Ad functionam : Bonam
2. Medikamentosa: 3. Ad sanationam : Bonam
a. Topikal Referensi
• Larutan antiseptik povidon iodine 1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
• OE akut sirkumskripta pada Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
stadium infiltrat: Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6.
− Salep ikhtiol, atau Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007)
− Salep antibiotik: Polymixin-B,
Basitrasin. 2. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku
• OE akut difus: Tampon yang telah Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
diberi campuran Polimyxin-B, 1997. (Adam & Boies, 1997)
Neomycin, Hidrocortisone, dan 3. Sander, R. Otitis Externa: A Practical
anestesi topikal. Guide to Treatment and Prevention. Am
b. Sistemik Fam Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937.
• Antibiotik sistemik diberikan bila (Sander, 2001)
infeksi cukup berat. 4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
• Analgetik, seperti Paracetamol atau Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
Ibuprofen dapat diberikan. (Lee, 2003)
Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diberi penjelasan, di
antaranya:
1. Tidak mengorek telinga baik dengan cotton
bud atau alat lainnya
2. Selama pengobatan pasien tidak boleh
berenang
3. Penyakit dapat berulang sehingga harus
menjaga liang telinga agar dalam kondisi
kering dan tidak lembab
Kriteria Rujukan
1. Otitis eksterna dengan komplikasi
2. Otitis eksterna maligna
2. OTITIS MEDIA AKUT
No. ICPC-2
: H71.No.
Acute
ICD-10
otitis media/myringitis
: H65.0. Acute serous otitis media
H65.1. Other acure nonsuppurative otitis media H66.0 Acute suppurative otitis media

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sederhana (Objective)
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
Pemeriksaan Fisik
tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel
mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 1. Suhu dapat meningkat
minggu. 2. Otoskopi
Hasil Anamnesis (Subjective) Tabel 5.1 Hasil otoskopi pada OMA
Keluhan (tergantung stadium OMA yang
sedang dialami)
1. Stadium oklusi tuba: Telinga terasa penuh
atau nyeri, pendengaran dapat berkurang.
2. Stadium hiperemis: Nyeri telinga makin
intens, demam, rewel dan gelisah (pada
bayi/anak), muntah, nafsu makan hilang,
anak biasanya sering memegang telinga
yang nyeri.
3. Stadium supurasi: Sama seperti stadium
hiperemis
4. Stadium perforasi: Keluar sekret dari liang 3. Tes penala
telinga
5. Stadium resolusi: Setelah sekret keluar, Dapat ditemukan tuli konduktif, yaitu: tes Rinne
intensitas keluhan berkurang (suhu turun, (-) dan tes Schwabach memendek pada telinga
nyeri mereda, bayi/anak lebih tenang. Bila yang sakit, tes Weber terjadi lateralisasi ke
perforasi permanen, pendengaran dapat telinga yang sakit.
tetap berkurang. Pemeriksaan Penunjang
Faktor Risiko Audiometri nada murni, bila fasilitas tersedia
1. Bayi dan anak Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Infeksi saluran napas atas berulang
3. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring Diagnosis Klinis
telentang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
4. Kelainan kongenital, misalnya: sumbing
dan pemeriksaan fisik.
langit-langit, sindrom Down
5. Paparan asap rokok Diagnosis Banding
6. Alergi
7. Tingkat sosio-ekonomi yang rendah Otitis media serosa akut, Otitis eksterna
Komplikasi Pencegahan
1. Komplikasi intra-temporal: Labirinitis, 1. Imunisasi Hib dan PCV perlu dilengkapi,
Paresis nervus fasialis, Petrositis, sesuai panduan Jadwal
Hidrosefalus otik 2. Imunisasi Anak tahun 2014 dari IDAI.
2. Komplikasi ekstra-temporal/intrakranial:
Abses subperiosteal, Abses epidura, Tabel 5.2. Daftar antibiotik untuk terapi OMA
Abses perisinus, Abses subdura, Abses
otak, Meningitis, Trombosis sinus lateral,
Sereberitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Topikal
a. Pada stadium oklusi tuba, terapi
bertujuan membuka kembali tuba
eustachius. Obat yang diberikan adalah: Kriteria Rujukan
Berikan tetes mata Tetrakain-HCl 2% 1. Jika terdapat indikasi miringotomi.
sebanyak 1-2 tetes pada mata yang 2. Bila terjadi komplikasi dari otitis media akut.
terkena benda asing.
Gunakan kaca pembesar (lup) dalam Peralatan
pengangkatan benda asing. 1. Lampu kepala
Angkat benda asing dengan 2. Corong telinga
menggunakan lidi kapas atau jarum 3. Otoskop
suntik ukuran 23G. 4. Aplikator kapas
Arah pengambilan benda asing 5. Garputala
dilakukan dari tengah ke tepi. 6. Suction
Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
Povidon Iodin pada tempat bekas Prognosis
benda asing. 1. Ad vitam : Bonam
b. Pada stadium perforasi, diberikan obat 2. Ad functionam : Bonam
cuci telinga: 3. Ad sanationam : Bonam
H2O2 3%, 3 kali sehari, 4 tetes di
telinga yang sakit, didiamkan selama 2- Referensi
5 menit. Asam asetat 2%, 3 kali sehari, 4
1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies. Buku Ajar
tetes di telinga yang sakit.
Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
Ofloxacin, 2 kali sehari, 5-10 tetes di
telinga yang sakit, selama maksimal 2 2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
minggu Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
2. Oral Sistemik: antibiotik, antihistamin (bila Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
terdapat tanda-tanda alergi), dekongestan, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
analgetik / antipiretik Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.2007.
Konseling dan Edukasi
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
1. Untuk bayi/anak, orang tua dianjurkan Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
untuk memberikan ASI
2. minimal 6 bulan sampai 2 tahun. 4. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis
3. Menghindarkan bayi/anak dari paparan Media and Sinusitis Complicating Upper
asap rokok. Respiratory Tract Infection: The Effect of
Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007,
pp. e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007)
3. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
: H74. Chronic otitis media
No. ICPC-2 No. ICD-10
: H66.1. Chronic tubotympanic suppurative otitis media H66.2. Chronic atticoantral suppurative otitis media H66.3. O

Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Survei Nasional Kesehatan Indra Penglihatan Sederhana (Objective)
dan Pendengaran (1993-1996) di 8 provinsi Pemeriksaan Fisik
Indonesia menunjukkan angka morbiditas
THT sebesar 38,6%. Otitis media supuratif Otoskopi:
kronik merupakan penyebab utama gangguan
1. OMSK tipe aman (tubotimpani)
pendengaran yang didapat pada anak-anak
a. Perforasi pada sentral atau pars tensa
terutama pada negara berkembang. Pada tahun
berbentuk ginjal atau bundar
1990, sekitar 28.000 kematiandi seluruh dunia
b. Sekret biasanya mukoid dan tidak terlalu
disebabkan oleh komplikasi otitis media.
berbau
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah c. Mukosa kavum timpani tampak edema,
peradangan kronik telinga tengah dengan hipertrofi, granulasi, atau timpanosklerosis
perforasi membran timpani dan riwayat 2. OMSK tipe bahaya
keluarnya sekret dari telinga lebih dari 2 bulan, a. Perforasi atik, marginal, atau sental besar
baik terus menerus maupun hilang timbul. (total)
Terdapat dua tipe OMSK, yaitu OMSK tipe aman b. Sekret sangat berbau, berwarna kuning
(tanpa kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan abu- abu, purulen, dan dapat terlihat
kolesteatoma). kepingan berwarna putih mengkilat
c. Kolesteatoma
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
1. Tes garputala Rinne, Weber, Schwabach
1. Keluar cairan dari liang telinga secara terus menunjukkan jenis ketulian yang dialami
menerus atau hilang timbul lebih dari 2 pasien
bulan 2. Audiometri nada murni
2. Riwayat pernah keluar cairan dari liang 3. Foto mastoid (bila tersedia)
telinga sebelumnya. Penegakan Diagnosis (Assessment)
3. Cairan dapat berwarna kuning/kuning- Diagnosis Klinis
kehijauan/bercampur darah/jernih/berbau
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
4. Gangguan pendengaran dan pemeriksaan fisik. Komplikasi
Faktor Risiko 1. Komplikasi intratemporal: Labirinitis, Paresis
Higienitas kurang dan gizi buruk, infeksi saluran nervus fasialis, Hidrosefalus otik, Petrositis
nafas atas berulang, daya tahan tubuh yang 2. Komplikasi intrakranial Abses
rendah, dan penyelam. (subperiosteal, epidural, perisinus, subdura,
otak), Trombosis sinus lateralis, Sereberitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Terdapat komplikasi ekstrakranial maupun
intrakranial
1. Non-Medikamentos 4. Perforasi menetap setelah 2 bulan telinga
Membersihkan dan mengeringkan saluran kering
telinga dengan kapas lidi atau cotton bud.
Obat cuci telinga dapat berupa NaCl 0,9%, Peralatan
Asam Asetat 2%, atau Hidrogen Peroksida
3%. 1. Lampu kepala
2. Medikamentosa 2. Spekulum telinga
a. Antibiotik topikal golongan Ofloxacin, 2 3. Otoskop
x 4 tetes per hari di telinga yang sakit 4. Aplikator kapas
b. Antibiotik oral: 5. Kapas
Dewasa: 6. Cairan irigasi telinga
Lini pertama : Amoxicillin 3 x 500 mg 7. Suction
per hariselama 7 hari, atauAmoxicillin- 8. Wadah ginjal (nierbekken)
Asam clavulanat 3 x 500 mg per hari 9. Irigator telinga (spuit 20-50 cc + cateter
selama 7 hari, atauCiprofloxacin 2 x 500 wing needle)
mg selama 7 hari. 10. Garputala frekuensi 512-1024 Hz
Lini kedua : Levofloxacin 1 x 500 mg Prognosis
per hari selama 7 hari,atauCefadroxil 2
x 500-100 mg per hari selama 7 hari. 1. Ad Vitam : Bonam
Anak: 2. Ad functionam : Bonam
Amoxicillin – Asam clavulanat 25-50 3. Ad sanationam : Bonam
mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 3 dosis Referensi
per hari, atau Cefadroxil 25-50 mg/
kgBB/hari, dibagi menjadi 2 dosis per 1. Acuin J. Chronic suppurative otitis media:
hari. Burden of Illness and Management Options.
WHO Library Cataloguing in publication
Rencana Tindak Lanjut data. 2004. (J, 2004)
Respon atas terapi dievaluasi setelah 2. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers
pengobatan selama 7 hari. MM, Sanders EAM, Schilder AGM.
Konseling dan Edukasi Chronic suppurative otitis media: A
review. International Journal of Pediatric
1. Menjaga kebersihan telinga dan tidak Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12.
mengorek-ngorek telinga dengan benda (Verhoeff, et al., 2006)
tajam.
2. Menjaga agar telinga tidak kemasukan air. 3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-
3. Menjelaskan bahwa penyakit ini Tenggorok KepalaLeher. FKUI. 2001
merupakan penyakit infeksi sehingga
dengan penanganan yang tepat dapat
disembuhkan tetapi bila dibiarkan dapat
mengakibatkan hilangnya pendengaran
serta komplikasi lainnya.
Kriteria Rujukan
1. OMSK tipe bahaya
2. Tidak ada perbaikan atas terapi yang
dilakukan
4. BENDA ASING DI TELINGA
No. ICPC-2: H76. Foreign body in ear No. ICD-10: T16. Foreign body in ear
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnosis (Assessment)


Meatus akustikus eksternus (MAE) merupakan Diagnosis Klinis
salah satu bagian tubuh yang sering dimasuki
benda asing, yang dapat berupa: Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan
1. Benda asing reaktif, misal: batere, potongan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
besi. Benda asing reaktif berbahaya karena Komplikasi
dapat bereaksi dengan epitel MAE dan
menyebabkan edema serta obstruksi hingga Ruptur membran timpani, perdarahan liang
menimbulkan infeksi sekunder. Ekstraksi telinga, otitis eksterna, tuli konduktif
harus segera dilakukan.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
2. Benda asing non-reaktif (inert). Benda asing
ini tidak bereaksi dengan epitel dan tetap 1. Non-medikamentosa: Ekstraksi benda asing
ada di dalam MAE tanpa menimbulkan a. Pada kasus benda asing yang baru,
gejala hingga terjadi infeksi. ekstraksi dilakukan dalam anestesi
3. Benda asing serangga, yang dapat lokal.
menyebabkan iritasi dan nyeri akibat b. Pada kasus benda asing reaktif,
pergerakannya. pemberian cairan dihindari karena
dapat mengakibatkan korosi.
Hasil Anamnesis (Subjective)
c. Pada kasus benda asing berupa
Keluhan serangga:
1. Riwayat jelas benda asing masuk ke telinga Dilakukan penetesan alkohol, obat
secara sengaja maupun tidak anestesi lokal (Lidokain spray atau
2. Telinga terasa tersumbat atau penuh tetes), atau minyak mineral selama ± 10
3. Telinga berdengung menit untuk membuat serangga tidak
4. Nyeri pada telinga bergerak dan melubrikasi dinding MAE.
5. Keluar cairan telinga yang dapat berbau Setelah serangga mati, serangga
6. Gangguan pendengaran dipegang dan dikeluarkan dengan
forceps aligator atau irigasi
Faktor Risiko menggunakan air sesuai suhu tubuh.
1. Anak-anak 2. Medikamentosa
2. Retardasi mental a. Tetes telinga antibiotik hanya diberikan
bila telah dipastikan tidak ada ruptur
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang membran timpani.
Sederhana (Objective) b. Analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
Pemeriksaan Fisik Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan MAE dengan senter/lampu Orang tua disarankan untuk menjaga
kepala/ otoskop menunjukkan adanya benda lingkungan anak dari benda- benda yang
asing, edema dan hiperemia liang telinga luar, berpotensi dimasukkan ke telinga atau hidung.
serta dapat disertai sekret.
Kriteria Rujukan Referensi
Bila benda asing tidak berhasil dikeluarkan. 1. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose,
Throat Emergencies. Pediatric Clinics of
Peralatan North America 53 (2006) 195-214. (Bernius
1. Lampu kepala & Perlin, 2006)
2. Otoskop 2. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in
3. Pengait serumen The Ear, Nose and Throat. American Family
4. Aplikator kapas Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189.
5. Forceps aligator (Heim & Maughan, 2007)
6. Spuit 20 cc yang telah disambung dengan 3. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in
selang wing needle the nose and ear: a review of technique
7. Suction for removal in the emergency department.
Prognosis Emergency Medicine Journal.2000;17:91-
94. (Davies & Benger, 2000)
1. Ad vitam : Bonam
4. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan
2. Ad functionam : Bonam
Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT
3. Ad sanationam : Bonam
KL. FKUI. Jakarta.

5. SERUMEN PROP
No. ICPC-2: H81 Excessive ear wax
No. ICD-10: H61.2 Impacted cerumen
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, 1. Dermatitis kronik liang telinga luar
kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas, 2. Liang telinga sempit
dan partikel debu yang terdapat pada bagian 3. Produksi serumen banyak dan kering
kartilaginosa liang telinga. Bila serumen ini 4. Kebiasaan mengorek telinga
berlebihan maka dapat membentuk gumpalan
yang menumpuk di liang telinga, dikenal dengan Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
serumen prop. sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik
Keluhan 1. Otoskopi: obstruksi liang telinga luar oleh
material berwarna kuning kecoklatan atau
1. Rasa penuh pada telinga kehitaman. Konsistensi dari serumen dapat
2. Pendengaran berkurang bervariasi.
3. Rasa nyeri pada telinga 2. Tes penala: normal atau tuli konduktif
4. Keluhan semakin memberat bila telinga
kemasukan air (sewaktu mandi atau Pemeriksaan Penunjang
berenang)
5. Beberapa pasien juga mengeluhkan adanya Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang
vertigo atau tinitus
Penegakan diagnostik (Assessment) 2. Menganjurkan pasien untuk menghindari
memasukkan air atau apapun ke dalam
Diagnosis Klinis telinga
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Kriteria rujukan:
dan pemeriksaan fisik.
Bila terjadi komplikasi akibat tindakan
Diagnosis Banding pengeluaran serumen.
Benda asing di liang telinga. Peralatan
Komplikasi 1. Lampu kepala
1. Otitis eksterna 2. Spekulum telinga
2. Trauma pada liang telinga dan atau 3. Otoskop
membran timpani saat mengeluarkan 4. Serumen hook (pengait serumen)
serumen 5. Aplikator kapas
6. Kapas
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) 7. Cairan irigasi telinga
Penatalaksanaan 8. Forsep aligator
9. Suction
1. Non-medikamentosa: Evakuasi serumen 10. Pinset bayonet
11. Wadah ginjal (nierbekken)
a. Bila serumen lunak, dibersihkan dengan
12. Irigator telinga (spuit 20-50 cc + cateter
kapas yang dililitkan pada pelilit kapas.
wing needle)
b. Bila serumen keras, dikeluarkan dengan 13. Alkohol 70%
pengait atau kuret. Apabila dengan cara
Prognosis
ini serumen tidak dapat dikeluarkan,
maka serumen harus dilunakkan lebih 1. Ad vitam : Bonam
dahulu dengan tetes Karbogliserin 10% 2. Ad functionam : Bonam
atau H2O2 3% selama 3 hari. 3. Ad sanationam : Bonam
c. Serumen yang sudah terlalu jauh Referensi
terdorong kedalam liang telinga
sehingga dikuatirkan menimbulkan 1. Adam, GL. Boies LR. Higler,.Boies. Buku Ajar
trauma pada membran Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
timpani sewaktu mengeluarkannya, 2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan
dikeluarkan dengan mengalirkan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
(irigasi) air hangat yang suhunya Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
disesuaikan dengan suhu tubuh. Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
2. Medikamentosa Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.2007.
a. Tetes telinga Karbogliserin 10%
atau H2O2 3% selama 3 hari untuk 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
melunakkan serumen. Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.

Konseling dan Edukasi


1. Menganjurkan pasien untuk tidak
membersihkan telinga secara berlebihan,
baik dengan cotton bud atau alat lainnya.
F. KARDIOVASKULER

1. ANGINA PEKTORIS STABIL


No. ICPC-2 : K74 Ischaemic heart disease with angina
No. ICD-10 : I20.9 Angina pectoris, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan timbul pada saat melakukan aktivitas,


Angina pektoris stabil merupakan tanda misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-
klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang gesa, atau sedang berjalan mendaki atau
mengalami penyakit jantung koroner. Angina naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas
pektoris dilaporkan terjadi dengan rata- ringan seperti mandi atau menggosok gigi,
rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis makan terlalu kenyang atau emosi, sudah
kelamin, umur, dan faktor risiko. Data dari studi dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri
Framingham pada tahun 1970 menunjukkan dada tersebut segera hilang bila pasien
prevalensi sekitar 1,5% untuk wanita dan 4,3% menghentikan aktivitasnya. Serangan
untuk pria berusia 50 – 59 tahun. angina yang timbul pada waktu istirahat
atau pada waktu tidur malam sering akibat
Hasil Anamnesis (Subjective) angina pektoris tidak stabil
4. Lamanya serangan
Keluhan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang 1-5 menit, kadang- kadang perasaan tidak
khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa enak di dada masih terasa setelah nyeri
seperti ditimpa beban yang sangat berat. hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih
dari 20 menit, mungkin pasien mengalami
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhannyeri sindrom koroner akut dan bukan angina
dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut: pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat
1. Letak timbul keluhan lain seperti sesak napas,
Sering pasien merasakan nyeri dada di perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada
daerah sternum atau di bawah sternum disertai keringat dingin.
(substernal: tidak dapat melokalisasi), 5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin,
atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang mual, muntah, sesak dan pucat.
menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke Faktor Risiko
punggung, rahang, leher, atau ke lengan
kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
tempat lain seperti di daerah epigastrium,
1. Usia
leher, rahang, gigi, dan bahu.
Risiko meningkat pada pria di atas 45 tahun
2. Kualitas
dan wanita diatas 55 tahun (umumnya
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti
setelah menopause)
tertekan benda berat, atau seperti diperas
2. Jenis kelamin
atau terasa panas, kadang-kadang hanya
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner
mengeluh perasaan tidak enak di dada
(PJK) pada laki-laki dua kali lebih besar
karena pasien tidak dapat menjelaskan
dibandingkan pada perempuan, hal ini
dengan baik.
berkaitan dengan estrogen endogen yang
3. Hubungan dengan aktivitas
bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya
terbukti insidensi PJK meningkat dengan
Gambaran EKG penderita angina tak stabil/
cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki
ATS dapat berupa depresi segmen ST, inversi
pada wanita setelah masa menopause.
gelombang T, depresi segmen ST disertai
3. Riwayat keluarga
inversi gelombang T, elevasi segmen ST,
Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri
hambatan cabang berkas His dan bisa tanpa
Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan
perubahan segmen ST dan gelombang T.
ibu < 65 tahun.
Perubahan EKG pada ATS bersifat
Faktor risiko yang dapat diubah: sementara dan masing- masing dapat
terjadi sendiri- sendiri ataupun bersamaan.
1. Mayor Perubahan tersebut timbul di saat serangan
a. Peningkatan lipid serum angina dan kembali ke gambaran normal
b. Hipertensi atau awal setelah keluhan angina hilang
c. Merokok dalam waktu 24 jam. Bila perubahan
d. Konsumsi alkohol e. Diabetes Melitus tersebut menetap setelah 24 jam atau
e. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan terjadi evolusi gelombang Q, maka disebut
kalori sebagai Infark Miokard Akut (IMA).
2. Minor 2. X ray thoraks
a. Aktivitas fisik kurang X ray thoraks sering menunjukkan bentuk
b. Stress psikologik jantung yang normal. Pada pasien
c. Tipe kepribadian hipertensi dapat terlihat jantung membesar
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dan kadang-kadang tampak adanya
Sederhana (Objective) kalsifikasi arkus aorta.

Pemeriksaan Fisik Penegakan Diagnostik (Assessment)

1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat Diagnosis Klinis


tidak menunjukkan kelainan. Walau jarang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pada auskultasi dapat terdengar derap pemeriksaan fisik, dan
atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di
daerah apeks. Frekuensi denyut jantung penunjang. Klasifikasi Angina:
dapat menurun, menetap atau meningkat
1. Stable Angina Pectoris (angina pektoris
pada waktu serangan angina.
stabil)
2. Dapat ditemukan pembesaran jantung.
Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan
Pemeriksaan Penunjang suatu pekerjaan, sesuai dengan berat
ringannya pencetus, dibagi atas beberapa
1. EKG tingkatan:
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan a. Selalu timbul sesudah latihan berat.
pada saat serangan angina sering masih b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan
normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan cepat 1/2 km)
bahwa pasien pernah mendapat infark c. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100
miokard di masa lampau. Kadang-kadang m)
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri d. Angina timbul jika gerak badan ringan
pada pasien hipertensi dan angina, dapat (jalan biasa)
pula menunjukkan perubahan segmen ST 2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris
atau gelombang T yang tidak khas. Pada tidak stabil/ATS)
saat serangan angina, EKG akan Angina dapat terjadi pada saat istirahat
menunjukkan depresi segmen ST dan maupun bekerja. Pada patologi biasanya
gelombang T dapat menjadi negatif. ditemukan daerah iskemik miokard yang
mempunyai ciri tersendiri. 2. Nitrat dikombinasikan dengan ß-blocker
3. Angina prinzmetal (Variant angina) atau Calcium Channel Blocker (CCB) non
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban dihidropiridin yang tidak meningkatkan
kerja jantung dan sering timbul pada denyut jantung (misalnya verapamil,
waktu beristirahat atau tidur. Pada angina diltiazem). Pemberian dosis pada serangan
prinzmetal terjadi spasme arteri koroner akut :
yang menimbulkan iskemi jantung di a. Nitrat 5 mg sublingual dapat
bagian hilir. Kadang-kadang tempat spasme dilanjutkan dengan 5 mg peroral
berkaitan dengan arterosklerosis. sampai mendapat pelayanan rawat
lanjutan di pelayanan sekunder.
Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian
b. Beta bloker:
Cardiovascular Society • Propanolol 20-80 mg dalamdosis
Classification System: terbagi atau
• Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.
1. Kelas I : Pada aktivitas fisik biasa tidak c. Calcium Channel Blocker (CCB) non
mencetuskan angina. dihidropiridine dipakai bila Beta Blocker
Angina akan muncul ketika melakukan merupakan kontraindikasi, misalnya:
peningkatan aktivitas fisik • Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)
(berjalan cepat, olahraga dalam waktu yang • Diltiazem 30 mg (3-4 kali sehari)
lama). 3. Antipletelet
2. Kelas II : Adanya pembatasan aktivitas Aspirin 160-320 mg sekali minum pada
sedikit/aktivitas sehari- hari (naik tangga serangan akut.
dengan cepat, jalan naik, jalan setelah
makan, stres, dingin). Konseling dan Edukasi
3. Kelas III : Benar-benar ada pembatasan Menginformasikan individu dan keluarga untuk
aktivitas fisik karena sudah timbul gejala
melakukan modifikasi gaya hidup antara lain:
angina ketika pasien baru berjalan 1 blok
atau naik tangga 1 tingkat. 1. Mengontrol emosi danmengurangi kerja
4. Kelas IV : Tidak bisa melakukan aktivitas berat dimana membutuhkan banyak
sehari-sehari, tidak nyaman, untuk oksigen dalam aktivitasnya
melakukan aktivitas sedikit saja bisa 2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak
kambuh, bahkan waktu istirahat juga bisa 3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol
terjadi angina. 4. Menjaga berat badan ideal
5. Mengatur pola makan
Diagnosis Banding
6. Melakukan olah raga ringan secara teratur
Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), 7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap
Gastritis akut, Nyeri muskuloskeletal, Pleuritis, melakukan pengobatan diabetes secara
Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik teratur
8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum
Komplikasi lipid
Sindrom koroner akut 9. Mengontrol tekanan darah

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan

Penatalaksanaan Dilakukan rujukan ke layanan sekunder


(spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam)
Terapi farmakologi: untuk tatalaksana lebih lanjut.
1. Oksigen dimulai 2 L/menit
Peralatan 3. Priori, S. G., Blanc, J. J., (France), Budaj., A.,
Camm, J., Dean, V., Deckers, J., Dickstein. K.,
1. Elektrokardiografi (EKG) Lekakis, J., McGregor. K., Metra. M., Morais.
2. Radiologi (X ray thoraks) J., Osterspey. A., Tamargo, J., Zamorano, J.
Prognosis L., Guidelines on the management of stable
angina pectoris, 2006, European Heart
Prognosis umumnya dubia ad bonam jika Journal doi:10.1093/eurheartj/ehl002 ESC
dilakukan tatalaksana dini dan tepat. Committee for Practice Guidelines (CPG).
Referensi (Priori, et al., 2006)
4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu
1. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3. FKUI.2007.c (Sudoyo, et al., 2006)
Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)
2. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The
Heart Manual of Cardiology.12th Ed.
McGraw-Hill. 2009. (O’Rouke, et al., 2009)

2. INFARK MIOKARD
No. ICPC-2 : K75 Acute Myocardial Infarction
No. ICD-10 : I21.9 Acute Myocardial Infarction, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
1. Usia
Infark miokard (IM) adalah perkembangan cepat Risiko meningkat pada pria diatas 45 tahun
dari nekrosis otot jantung yang disebabkan dan wanita diatas 55 tahun (umumnya
oleh ketidakseimbangan kritis antara suplai setelah menopause)
oksigen dan kebutuhan miokardium. Umumnya 2. Jenis kelamin
disebabkan ruptur plak dan trombus dalam Morbiditas akibat penyakit jantung koroner
pembuluh darah koroner dan mengakibatkan (PJK) pada laki-laki dua kali lebih besar
kekurangan suplai darah ke miokardium. dibandingkan pada perempuan, hal ini
berkaitan dengan estrogen endogen yang
Hasil Anamnesis (Subjective) bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
Keluhan terbukti insidensi PJK meningkat dengan
cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki
1. Nyeri dada retrosternum seperti tertekan pada wanita setelah masa menopause.
atau tertindih benda berat. 3. Riwayat keluarga
2. Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri
punggung, dan epigastrium.Penjalaran ke Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan
tangan kiri lebih sering terjadi. ibu < 65 tahun.
3. Disertai gejala tambahan berupa sesak,
mual, muntah, nyeri epigastrium, keringat Yang dapat diubah:
dingin, dan cemas. 1. Mayor
Faktor Risiko a. Peningkatan lipid serum
b. Hipertensi
Yang tidak dapat diubah: c. Merokok
d. Konsumsi alkohol
e. Diabetes Melitus Klasifikasi
f. Diet tinggi lemak jenuh,kolesterol dan
kalori 1. STEMI
2. Minor 2. NSTEMI/UAP
a. Aktivitas fisik kurang Diagnosis Banding
b. Stress psikologik
c. Tipe kepribadian Angina pektoris prinzmetal, Unstable angina
pectoris, Ansietas, Diseksi aorta, Dispepsia,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Miokarditis, Pneumothoraks, Emboli paru
Sederhana (Objective)
Komplikasi
Pemeriksaan Fisik
1. Aritmia letal
1. Pasien biasanya terbaring dengan gelisah 2. Perluasan infark dan iskemia paska infark
dan kelihatan pucat 3. Disfungsi otot jantung
2. Hipertensi/hipotensi 4. Ruptur miokard
3. Dapat terdengar suara murmur dan gallop
S3 Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Ronki basah disertai peningkatan vena Penatalaksanaan
jugularis dapat ditemukan pada AMI yang
disertai edema paru Segera rujuk setelah pemberian :
5. Dapat ditemukan aritmia
1. Oksigen 2-4 liter/menit
Pemeriksaan Penunjang 2. Nitrat, ISDN 5-10 mg sublingual maksimal
3 kali
EKG: 3. Aspirin, dosis awal 320 mg dilanjutkan dosis
1. Pada ST Elevation Myocardial infarct pemeliharaan 1 x 160 mg
(STEMI), terdapat elevasi segmen ST diikuti 4. Dirujuk dengan terpasang infus dan oksigen
dengan perubahan sampai inversi Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
gelombang T, kemudian muncul
peningkatan gelombang Q minimal di dua EKG serial
sadapan.
Konseling dan Edukasi
2. Pada NonST Elevation Myocardial infarct
(NSTEMI), EKG yang ditemukan dapat 1. Edukasi untuk kemungkinan kegawatan dan
berupa depresi segmen ST dan inversi segera dirujuk
gelombang T, atau EKG yang normal. 2. Modifikasi gaya hidup
Penegakan Diagnostik (Assessment) Kriteria Rujukan
Diagnosis Klinis Segera dirujuk ke layanan sekunder dengan
spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Peralatan
Kriteria diagnosis pasti jika terdapat 2 dari 3 hal 1. Tabung oksigen
di bawah ini: 2. Masker oksigen
3. Elektrokardiografi
1. Klinis: nyeri dada khas angina
2. EKG: ST elevasi atau ST depresi atau T Prognosis
inverted.
3. Laboratorium: peningkatan enzim jantung Prognosis umumnya dubia, tergantung pada
pada tatalaksana dini dan tepat.
Referensi 3. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The
Heart Manual of Cardiology. 12th
1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009 Ed.McGrawHill.2009. (Isselbacher, 2000)
(Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu
RSCM, 2004)
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
2. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3.
Jakarta: EGC.2000 (Isselbacher, 2000)

3. TAKIKARDIA
No. ICPC-2: K79 Paroxysmal Tachicardy
No. ICD-10: R00.0 Tachicardy Unspecified
I47.1 Supraventicular Tachicardy I47.2 Ventricular Tachicardy
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan 7. Pusing


Takikardi adalah suatu kondisi dimana denyut 8. Sinkop
jantung istirahat seseorang secara abnormal 9. Berkeringat
lebih dari 100 kali per menit. Sedangkan 10. Penurunan kesadaran bila terjadi gangguan
supraventikular takikardi (SVT) adalah takikardi hemodinamik
yang berasal dari sumber di atas ventrikel Faktor Risiko
(atrium atau AV junction), dengan ciri
gelombang QRS sempit (< 0,12ms) dan 1. Penyakit Jantung Koroner
frekuensi lebih dari 150 kali per menit. 2. Kelainan Jantung
3. Stress dan gangguan kecemasan
Ventrikular Takikardi (VT) adalah takikardi 4. Gangguan elektrolit
yang berasal dari ventrikel, dengan ciri 5. Hipertiroid
gelombang QRS lebar (> 0,12ms) dan frekuensi
biasanya lebih dari 150 kali per menit. VT ini Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
bisa menimbulkan gangguan hemodinamik yang Sederhana (Objective)
memerlukan tindakan resusitasi.
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Denyut jantung melebihi 100 kali per
Keluhan menit dan bisa menjadi sangat cepat
dengan frekuensi > 150 kali per menit pada
Gejala utama meliputi: keadaan SVT dan VT
1. Palpitasi 2. Takipnea
2. Sesak napas 3. Hipotensi
3. Mudah lelah 4. Sering disertai gelisah hingga penurunan
4. Nyeri atau rasa tidak nyaman di dada kesadaran pada kondisi yang tidak stabil
5. Denyut jantung istirahat lebih dari 100 kali Pemeriksaan Penunjang
per menit
6. Penurunan tekanan darah dapat terjadi EKG
pada kondisi yang tidak stabil
1. SVT: kompleks QRS sempit (< 0,12ms)
dengan frekuensi > 150 kali per menit. Takikardia Stabil
Gelombang P bisa ada atau terkubur dalam
kompleks QRS. Tatalaksana tergantung penyebab, bila sinus
2. VT: terdapat kompleks QRS lebar (>0,12ms), takikardia, istirahatkan pasien, dan berikan
tiga kali atau lebih secara berurutan. oksigen, evaluasi penyebab (kardiak atau
Frekuensi nadi biasanya > 150 kali per ekstrakardiak seperti nyeri, masalah paru,
menit cemas) bila tidak ada perubahan maka dapat
dirujuk.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Klinis
Edukasi kepada keluarga bahwa keadaan ini
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dapat mengancam jiwa dan perlu dilakukan
pemeriksaan fisik, dan penunjang. rujukan karena membutuhkan penanganan
yang cepat dan tepat.
Diagnosis Banding: -
Kriteria Rujukan
Komplikasi
Segera rujuk setelah pertolongan pertama
Dapat menyebabkan kematian
dengan pemasangan infus dan oksigen.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Peralatan
Penatalaksanaan
1. EKG
Tata Laksana Takikardia Tidak Stabil 2. Bag valve mask

Keadaan ini merupakan keadaan yang Prognosis


mengancam jiwa terutama bila disertai
Prognosis dalam kondisi ini umumnya dubia,
hemodinamik yang tidak stabil. Bila
tergantung dari penatalaksanaan selanjutnya.
hemodinamik tidak stabil (tekanan darah
sistolik < 90 mmHg) dengan nadi melemah, Referensi
apalagi disertai penurunan kesadaran bahkan
pasien menjadi tidak responsif harus dilakukan 1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009
kardioversi baik dengan obat maupun elektrik.
Kondisi ini harus segera dirujuk dengan
terpasang infus dan resusitasi jantung paru bila
tidak responsif. Oksigen diberikan dengan
sungkup O2 10-15 liter per menit.
Pada kondisi stabil, SVT dapat diatasi dengan
dilakukan vagal manuver (memijat arteri karotis
atau bola mata selama 10-15 menit). Bila tidak
respon, dilanjutkan dengan pemberian
adenosin
6 mg bolus cepat. Bila tidak respon boleh
diulang dengan 12 mg sebanyak dua kali. Bila
tidak respon atau adenosin tidak tersedia,
segera rujuk ke layanan sekunder. Pada VT,
segera rujuk dengan terpasang infus dan
oksigen O2 nasal 4 liter per menit.
4. GAGAL JANTUNG AKUT DAN KRONIK
No. ICPC-2: K77 Heart failure
No. ICD-10: I50.9 Heart failure, unspecified
Tingkat Kemampuan Gagal jantung akut 3B Gagal jantung kronik 3A

Masalah Kesehatan 3. Kardiomegali


Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan 4. Gangguan bunyi jantung (gallop)
masalah kesehatan yang menyebabkan 5. Ronki pada pemeriksaan paru
penurunan kualitas hidup, tingginya 6. Hepatomegali
rehospitalisasi karena kekambuhan yang tinggi 7. Asites
dan peningkatan angka kematian. Prevalensi 8. Edema perifer
kasus gagal jantung di komunitas meningkat
seiring dengan meningkatnya usia yaitu berkisar Pemeriksaan Penunjang
0,7% (40-45 tahun), 1,3% (55-64 tahun), dan 1. X Ray thoraks untuk menilai kardiomegali
8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien dan melihat gambaran edema paru
kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih 2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi,
dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko terjadinya perubahan gelombang T, dan gambaran
gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan abnormal lain).
20,3% pada perempuan. 3. Darah perifer lengkap
Hasil Anamnesis (Subjective) Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan Diagnosis Klinis
1. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria
d’effort) Framingham yaitu minimal 1 kriteria mayor dan
2. Gangguan napas pada perubahan posisi 2 kriteria minor.
(ortopneu)
3. Sesak napas malam hari (paroxysmal Kriteria Mayor:
nocturnal dyspneu)
1. Sesak napas tiba-tiba pada malam hari
Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan (paroxysmal nocturnal dyspneu)
gangguan mental pada orangtua 2. Distensi vena-vena leher
3. Peningkatan tekanan vena jugularis
Faktor Risiko 4. Ronki basah basal
1. Hipertensi 5. Kardiomegali
2. Dislipidemia 6. Edema paru akut
3. Obesitas 7. Gallop (S3)
4. Merokok 8. Refluks hepatojugular positif
5. Diabetes melitus Kriteria Minor:
6. Riwayat gangguan jantung sebelumnya
7. Riwayat infark miokard 1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas)
Sederhana (Objective) 4. Hepatomegali
Pemeriksaan Fisik: 5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital paru sepertiga
1. Peningkatan tekanan vena jugular dari normal
2. Frekuensi pernapasan meningkat 7. Takikardi >120 kali per menit
Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi
1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), 1. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko
asma, pneumonia, infeksi paru berat penyakit gagal jantung kronik misalnya
(ARDS), emboli paru tidak terkontrolnya tekanan darah, kadar
2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom lemak atau kadar gula darah.
nefrotik 2. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tanda-
3. Sirosis hepatik tanda kegawatan kardiovaskular dan
4. Diabetes ketoasidosis pentingnya untuk kontrol kembali setelah
pengobatan di rumah sakit.
Komplikasi 3. Patuh dalam pengobatan yang telah
1. Syok kardiogenik direncanakan.
2. Gangguan keseimbangan elektrolit 4. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk
pasien beraktivitas dan berinteraksi.
Penatalaksanaan Komprehensif 5. Melakukan konferensi keluarga untuk
mengidentifikasi faktor- faktor pendukung
(Plan) Penatalaksanaan dan penghambat penatalaksanaan pasien,
1. Modifikasi gaya hidup serta menyepakati bersama peran keluarga
a. Pembatasan asupan cairan maksimal pada masalah kesehatan pasien.
1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter Kriteria Rujukan
(berat)
b. Berhenti merokok dan konsumsi 1. Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk
alkohol ke fasilitas peayanan kesehatan sekunder
2. Aktivitas fisik yang memiliki dokter spesialis jantung atau
a. Pada kondisi akut berat: tirah baring spesialis penyakit dalam untuk perawatan
b. Pada kondisi sedang atau ringan:batasi maupun pemeriksaan lanjutan seperti
beban kerja sampai 60% hingga 80% ekokardiografi.
dari denyut nadi maksimal (220/umur) 2. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis
3. Penatalaksanaan farmakologi mengalami perburukan dalam waktu cepat
Pada gagal jantung akut: harus segera dirujuk layanan sekunder atau
a. Terapi oksigen 2-4 liter per menit layanan tertier terdekat untuk dilakukan
b. Pemasangan iv line untuk akses penanganan lebih lanjut.
dilanjutkan dengan pemberian
furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus Peralatan
dapat diulang tiap jam sampai dosis 1. EKG
maksimal 600 mg/hari. 2. Radiologi (X ray thoraks)
c. Segera rujuk. 3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
Pada gagal jantung kronik: perifer lengkap
a. Diuretik: diutamakan loop diuretic Prognosis
(furosemid) bila perlu dapat
dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24 Tergantung dari berat ringannya penyakit,
jam tidak ada respon rujuk ke layanan komorbid dan respon pengobatan.
sekunder.
Referensi
b. ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine
II receptor blocker (ARB) mulai dari 1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.
dosis terkecil dan titrasi dosis sampai 2. Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family
tercapai dosis yang efektif dalam Medicine. 2009. (Usatine, et al., 2008)
beberapa minggu. Bila pengobatan 3. Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family
sudah mencapai dosis maksimal dan Medicine.2011. (RE & Rakel, 2011)
target tidak tercapai segera dirujuk.
c. Digoksin diberikan bila ditemukan
takikardi untuk menjaga denyut nadi
tidak terlalu cepat.
5. CARDIORESPIRATORY ARREST
No. ICPC-2 No. ICD-10 : K80 cardiac arrhytmia NOS
: R09.2 Respiratory arrest/ Cardiorespiratory failure
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
tablet atau overdosis obat, trombosis
Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi koroner, dan thrombosis pulmoner),
kegawatdaruratan karena berhentinya tersedak, tenggelam, gagal jantung akut,
aktivitas jantung paru secara mendadak yang emboli paru, atau keracunan karbon
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. monoksida.
Hal ini disebabkan oleh malfungsi mekanik
jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
yang mendadak dan berat ini mengakibatkan
kerusakan organ. Pemeriksaan Fisik
Henti jantung adalah konsekuensi dari aktivitas Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan:
otot jantung yang tidak terkoordinasi. Dengan
EKG, ditunjukkan dalam bentuk Ventricular 1. Pasien tidak sadar
Fibrillation (VF). Satu menit dalam keadaan 2. Tidak ada nafas
persisten VF, aliran darah koroner menurun 3. Tidak teraba denyut nadi di arteri-arteri
hingga tidak ada sama sekali. Dalam 4 menit, besar (karotis dan femoralis).
aliran darah katoris tidak ada sehingga Pemeriksaan Penunjang
menimbulkan kerusakan neurologi secara
permanen. EKG
Jenis henti jantung Gambaran EKG biasanya menunjukkan
gambaran VF (Ventricular Fibrillation). Selain itu
1. Pulseless Electrical Activity (PEA) dapat pula terjadi asistol, yang survival rate-
2. Takikardia Ventrikel nya lebih rendah daripada VF.
3. Fibrilasi Ventrikel
4. Asistole Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis
Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik sedangkan anamnesis berguna untuk
Pasien dibawa karena pingsan mendadak mengidentifikasi penyebabnya.
dengan henti jantung dan paru. Sebelumnya,
dapat ditandai dengan fase prodromal berupa Diagnosis Banding:
nyeri dada, sesak, berdebar dan lemah. Hal
- Komplikasi
yang perlu ditanyakan kepada keluarga pasien
adalah untuk mencari penyebab terjadinya CRA Konsekuensi dari kondisi ini adalah hipoksia
antara lain oleh: ensefalopati, kerusakan neurologi permanen
dan kematian.
1. 5 H (hipovolemia, hipoksia, hidrogen ion
atau asidosis, hiper atau hipokalemia dan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
hipotermia)
2. 5 T (tension pneumothorax, tamponade, Penatalaksanaan
1. Melakukan resusitasi jantung paru pada
pasien, sesegera mungkin tanpa menunggu Peralatan
anamnesis dan EKG.
2. Pasang oksigen dan IV line 1. Elektrokardiografi (EKG)
2. Tabung oksigen
Konseling dan Edukasi 3. Bag valve mask
Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien Prognosis
dan tindak lanjut dari tindakan yang telah
dilakukan, serta meminta keluarga untuk tetap Prognosis umumnya dubia ad malam, tergantung
tenang pada kondisi tersebut. pada waktu dilakukannya penanganan medis.

Rencana Tindak Lanjut Referensi

Monitor selalu kondisi pasien hingga dirujuk ke 1. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric
spesialis. Rescucitation in Critical Care Handbook of
the Massachusetts General Hospital. 4Ed.
Kriteria rujukan Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)
Setelah sirkulasi spontan kembali (Return of
2. 2. O’Rouke. Walsh. Fuster. Hurst’s The Heart
Spontaneous Circulation/ROSC) pasien dirujuk
Manual of Cardiology. 12th Ed.McGraw Hill.
ke layanan sekunder untuk tatalaksana lebih
2009.
lanjut.
3. Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007.

6. HIPERTENSI ESENSIAL
No ICPC-2 No ICD-10 : K86 Hypertension uncomplicated
: I10 Essential (primary) hypertension
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 3. Jantung berdebar-debar


Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang 4. Pusing
tidak diketahui penyababnya. Hipertensi 5. Leher kaku
menjadi masalah karena meningkatnya 6. Penglihatan kabur
prevalensi, masih banyak pasien yang belum 7. Rasa sakit di dada
mendapat pengobatan, maupun yang telah Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman
mendapat terapi tetapi target tekanan darah
kepala, mudah lelah dan impotensi.
belum tercapai serta adanya penyakit penyerta
dan komplikasi yang dapat meningkatkan Faktor Risiko
morbiditas dan mortalitas.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Umur
Keluhan 2. Jenis kelamin
3. Riwayat hipertensi dan penyakit
Mulai dari tidak bergejala sampai dengan kardiovaskular dalam keluarga.
bergejala. Keluhan hipertensi antara lain:
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1. Sakit atau nyeri kepala
2. Gelisah 1. Riwayat pola makan (konsumsi garam
berlebihan)
2. Konsumsi alkohol berlebihan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Aktivitas fisik kurang
4. Kebiasaan merokok Penatalaksanaan
5. Obesitas Peningkatan tekanan darah dapat dikontrol
6. Dislipidemia dengan perubahan gaya hidup dan terapi
7. Diabetus Melitus farmakologis.
8. Psikososial dan stres
Tabel 6.2 Modifikasi gaya hidup untuk
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang hipertensi
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien tampak sehat, dapat terlihat sakit
ringan-berat bila terjadi komplikasi
hipertensi ke organ lain.
2. Tekanan darah meningkat sesuai kriteria
JNC VII.
3. Pada pasien dengan hipertensi, wajib
diperiksa status neurologis dan
pemeriksaan fisik jantung (tekanan vena
jugular, batas jantung, dan ronki).
Pemeriksaan Penunjang
Gambar 6.1 Algoritme tata laksana hipertensi
1. Laboratorium : Urinalisis (proteinuria), tes
gula darah, profil lipid, ureum, kreatinin
2. X raythoraks
3. EKG
4. Funduskopi
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Tabel 6.1 Klasifikasi tekanan darah
berdasarkan Joint National Committee VII
(JNC VII)
Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik
Normal <120 mmHg < 80 mmHg
Pre-Hipertenal 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertenal stage-1 140-159 mmHg 80-99 mmHg
Hipertenal stage-2 ≥160 mmHg ≥100 mmHg

Diagnosis Banding
White collar hypertension, Nyeri akibat tekanan
intraserebral, Ensefalitis
1. Hipertensi tanpa compelling indication c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan
a. Hipertensi stage1: dapat diberikan ada tidaknya kontraindikasi dari
diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, atau masing-masing antihipertensi diatas.
pemberian penghambat ACE (captopril Sebaiknya pilih obat hipertensi yang
3x12,5-50 mg/hari), atau nifedipin long diminum sekali sehari atau maksimum
acting 30-60 mg/hari) atau kombinasi. 2 kali sehari.
b. Hipertensi stage2: Bila target terapi Bila target tidak tercapai maka dilakukan
tidak tercapai setelah observasi selama optimalisasi dosis atau ditambahkan obat
2 minggu, dapat diberikan kombinasi 2 lain sampai target tekanan darah tercapai
obat, biasanya golongan diuretik, tiazid
dan penghambat ACE atau penyekat Tabel 6.3 Obat yang direkomendasikan untuk
reseptor beta atau penghambat hipertensi
kalsium.

2. Kondisi khusus lain


Komplikasi
a. Lanjut Usia
i. Diuretik (tiazid) mulai dosis rendah 1. Hipertrofi ventrikel kiri
12,5 mg/hari. 2. Proteinurea dan gangguan fungsi ginjal
ii. Obat hipertensi lain 3. Aterosklerosis pembuluh darah
mempertimbangkan 4. Retinopati
penyakit penyerta. 5. Stroke atau TIA
b. Kehamilan 6. Gangguan jantung, misalnya infark miokard,
i Golongan metildopa, penyekat angina pektoris, serta gagal jantung
reseptor ß, antagonis kalsium,
vasodilator. Konseling dan Edukasi
ii. Penghambat ACE dan antagonis 1. Edukasi tentang cara minum obat di
reseptor AII tidak boleh digunakan rumah, perbedaan antara obat-obatan
selama kehamilan. yang harus diminum untuk jangka panjang
(misalnya untuk mengontrol tekanan
darah) dan pemakaian jangka pendek untuk
menghilangkan gejala (misalnya untuk
mengatasi mengi), cara kerja tiap-tiap obat,
dosis yang digunakan untuk tiap obat dan
berapa kali minum sehari.
2. Pemberian obat anti hipertensi merupakan
pengobatan jangka panjang. Kontrol
pengobatan dilakukan setiap 2 minggu
atau 1 bulan untuk mengoptimalkan hasil
pengobatan.
3. Penjelasan penting lainnya adalah tentang
pentingnya menjaga kecukupan pasokan
obat-obatan dan minum obat teratur
seperti yang disarankan meskipun tak ada
gejala.
4. Individu dan keluarga perlu diinformasikan
juga agar melakukan pengukuran kadar gula
darah, tekanan darah dan periksa urin
secara teratur. Pemeriksaan komplikasi
hipertensi dilakukan setiap 6 bulan atau
minimal 1 tahun sekali.
Kriteria Rujukan
1. Hipertensi dengan komplikasi
2. Resistensi hipertensi
3. Hipertensi emergensi (hipertensi dengan
tekanan darah sistole >180)
Peralatan
1. Laboratorium untuk melakukan
pemeriksaan urinalisis dan glukosa
2. EKG
3. Radiologi (X ray thoraks)
Prognosis
Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol.
Referensi
1. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku
Pedoman Pengendalian Hipertensi.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013.
(Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
G. MUSKULOSKELETAL

1. FRAKTUR TERBUKA
No. ICPC-2 : L76 fracture other
No. ICD-10 : T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
c. Terabanya jaringan tulang yang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, menonjol keluar
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik d. Adanya deformitas
yang bersifat total maupun parsial. e. Panjang anggota gerak berkurang
dibandingkan sisi yang sehat
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur yang 3. Gerak (move)
terdapathubungan dengan lingkungan luar Umumnya tidak dapat digerakkan
melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
bakteri dan dapat menimbulkan komplikasi Pemeriksaan Penunjang
infeksi.
Pemeriksaan radiologi, berupa: Foto polos
Hasil Anamnesis (Subjective) dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan
lateral
Keluhan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
1. Adanya patah tulang terbuka setelah
terjadinya trauma Diagnosis klinis
2. Nyeri
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
3. Sulit digerakkan
pemeriksaan fisik dan penunjang.
4. Deformitas
5. Bengkak Klasifikasi
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok:
8. Kelemahan otot 1. Grade I
Faktor Risiko: - a. Fraktur terbuka dengan luka kulit
kurang dari 1 cm dan bersih
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang b. Kerusakan jaringan minimal, frakturnya
Sederhana (Objective) simple atau oblique dan sedikit
kominutif .
Pemeriksaan Fisik
2. Grade II
1. Inspeksi (look) a. Fraktur terbuka dengan luka robek
Adanya luka terbuka pada kulit yang lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan
dapat berupa tusukan tulang yang tajam jaringan lunak,
keluar menembus kulit atau dari luar oleh b. Flap kontusio avulsi yang luas
karena tertembus, misalnya oleh peluru serta fraktur kominutif sedang dan
atau trauma langsung dengan fraktur yang kontaminasi sedang.
terpapar dengan dunia luar. 3. Grade III
2. Palpasi (feel)
Fraktur terbuka segmental atau kerusakan
a. Robekan kulit yang terpapar dunia luar
jaringan lunak yang luas atau amputasi
b. Nyeri tekan
traumatic, derajad kontaminasi yang berat dan
trauma dengan kecepatan tinggi. 4. Pemberian antibiotika: merupakan cara
efektif mencegah terjadinya infeksi pada
Fraktur grade III dibagi menjadi tiga, yaitu: fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan
a. Grade IIIa: Fraktur segmental atau sangat sebaiknya dengan dosis yang besar.
kominutif penutupan tulang dengan Untuk fraktur terbuka antibiotika yang
jaringan lunak cukup adekuat. dianjurkan adalah golongan cephalosporin,
b. Grade IIIb: Trauma sangat berat atau dan dikombinasi dengan golongan
kehilangan jaringan lunak yang cukup luas, aminoglikosida.
terkelupasnya daerah periosteum dan 5. Pencegahan tetanus: semua penderita
tulang tampak terbuka,serta adanya dengan fraktur terbuka perlu diberikan
kontaminasi yang cukup berat. pencegahan tetanus. Pada penderita yang
c. Grade IIIc: Fraktur dengan kerusakan telah mendapat imunisasi aktif cukup
pembuluh darah. dengan pemberian tetanus toksoid tapi
bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit
Diagnosis Banding: - tetanus imunoglobulin.
Komplikasi Kriteria Rujukan
Perdarahan, syok septik sampai kematian, Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih
septikemia, toksemia oleh karena infeksi stabil dengan tetap mengawasi tanda vital.
piogenik, tetanus, gangrene, perdarahan
sekunder, osteomielitis kronik, delayed union, Peralatan
nonunion dan malunion, kekakuan sendi,
Bidai, set bedah minor
komplikasi lain oleh karena perawatan yang
lama Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis quo ad fungsionam adalah dubia
ad bonam, tergantung pada kecepatan dan
Prinsip penanganan fraktur terbuka ketepatan tindakan yang dilakukan.
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara
Referensi
emergensi dengan metode ATLS
2. Lakukan irigasi luka 1. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture.
3. Lakukan imobilisasi fraktur E-medicine. Medscape. Update 21 May.
4. Pasang cairan dan berikan antibiotika intra 2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
vena yang sesuai dan adekuat kemudian 2. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah
segera rujuk kelayanan sekunder. Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta:
PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334.
Penatalaksanaan (Chairuddin, 2007)
1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan
cara irigasi dengan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing
yang melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan,
pada fraktur dengan tulang menonjol
keluarsedapat mungkin dihindari
memasukkan komponen tulang tersebut
kembali kedalam luka.
3. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi
dengan fiksasi eksterna.
2. FRAKTUR TERTUTUP
No. ICPC-2 : L76 fracture other
No. ICD-10 : T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, Diagnosis Klinis
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik
yang bersifat total maupun parsial. Fraktur Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
tertutup adalah suatu fraktur yang tidak pemeriksaan fisik dan penunjang.
berhubungan dengan lingkungan luar. Diagnosis Banding : -
Hasil Anamnesis (Subjective) Komplikasi
Keluhan Compartemen syndrome
1. Adanya riwayat trauma (terjatuh, Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
kecelakaan, dll)
2. Nyeri Prinsip penatalaksanaan dilakukan dengan:
3. Sulit digerakkan 1. Semua fraktur dikelola secara emergensi
4. Deformitas dengan metode ATLS
5. Bengkak 2. Lakukan stabilisasi fraktur dengan bidai,
6. Perubahan warna waspadai adanya tanda- tanda
7. Gangguan sensibilitas compartemen syndrome seperti edema,
8. Kelemahan otot Faktor Risiko: Osteoporosis kulit yang mengkilat dan adanya nyeri
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang tekan.
Sederhana (Objective) 3. Rujuk segera kelayanan sekunder
Pemeriksaan Fisik Kriteria Rujukan
1. Inspeksi (look) Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil
Adanya deformitas dari jaringan tulang, dengan tetap mengawasi tanda vital.
namun tidak menembus kulit. Anggota
tubuh tdak dapat digerakkan. Peralatan
2. Palpasi (feel)
1. Bidai
a. Teraba deformitas tulang jika
2. Jarum kecil
dibandingkan dengan sisi yang sehat.
b. Nyeri tekan. Prognosis
c. Bengkak.
d. Perbedaan panjang anggota gerak Prognosis umumnya bonam, namun quo ad
yang sakitdibandingkan dengan sisi fungsionam adalah dubia ad bonam. Hal ini
yang sehat. bergantung kepada kecepatan dan ketepatan
3. Gerak (move) Umumnya tidak dapat tindakan yang dilakukan.
digerakkan Referensi
Pemeriksaan Penunjang
1. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah
Pemeriksaan radiologi berupa foto polos Ortopedi. Fraktur Tertutup. Edisi 3. Jakarta:
dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan PT Yarsif Watampone. 2007. Hal:327-332.
lateral.
3. POLIMIALGIA REUMATIK
No. ICPC-2 No. ICD-10 : L99 Musculosceletal disease other
: M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Gejala umumsebagai berikut:


Poly Myalgia Rheumatica (PMR) adalah suatu 1. Penampilan lelah
sindrom klinis dengan etiologi yang tidak 2. Pembengkakan ekstremitas distal dengan
diketahui yang mempengaruhi individu usia pitting edema.
lanjut. Hal ini ditandai dengan myalgia
proksimal dari pinggul dan gelang bahu dengan Temuan muskuloskeletal sebagai berikut:
kekakuan pagi hari yang berlangsung selama
1. Kekuatan otot normal, tidak ada atrofi otot
lebih dari 1 jam.
2. Nyeri pada bahu dan pinggul dengan
Hasil Anamnesis (Subjective) gerakan
3. Sinovitis transien pada lutut, pergelangan
Keluhan tangan, dan sendi sterno klavikula.
Pada sekitar 50 % pasien berada dalam Pemeriksaan Penunjang
kesehatan yang baik sebelum onset penyakit
yang tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, gejala Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
muncul pertama kali pada bahu. Sisanya,
Penegakan Diagnostik (Assessment)
pinggul atau leher yang terlibat saat onset.
Gejala terjadi mungkin pada satu sisi tetapi Diagnosis Klinis
biasanya menjadi bilateral dalam beberapa
minggu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu set
kriteria diagnostik berikut, yaitu:
Gejala-gejala termasuk nyeri dan kekakuan
bahu dan pinggul. Kekakuan mungkin begitu 1. Usia onset 50 tahun atau lebih tua
parah sehingga pasien mungkin mengalami 2. Laju endap darah ≥ 40 mm / jam
kesulitan bangkit dari kursi, berbalik di tempat 3. Nyeri bertahan selama ≥ 1 bulan dan
tidur, atau mengangkat tangan mereka di atas melibatkan 2 dari daerah berikut: leher,
bahu tinggi. Kekakuan setelah periode istirahat bahu, dan korset panggul
(fenomena gel) serta kekakuan pada pagi hari 4. Tidak adanya penyakit lain dapat
lebih dari menyebabkan gejala muskuloskeletal
1 jam biasanya terjadi. Pasien juga mungkin 5. Kekakuan pagi berlangsung ≥ 1 jam
menggambarkan sendi distal bengkak atau 6. Respon cepat terhadap prednison (≤ 20 mg)
yang lebih jarang berupa edema tungkai. Carpal Diagnosis Banding
tunnel syndrome dapat terjadi pada beberapa
pasien. Amiloidosis, AA (Inflammatory), Depresi,
Fibromialgia, Giant Cell Arteritis, Hipotiroidism,
Faktor Risiko: - Multipel mieloma, Osteoartritis, Sindroma
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang paraneoplastik, Artritis reumatoid.
sederhana (Objective) Komplikasi : -
Pemeriksaan Fisik Patognomonis Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Tanda-tanda dan gejala polymyalgia rheumatic Penatalaksanaan
tidak spesifik, dan temuan obyektif pada
pemeriksaan fisik sering kurang.
1. Prednison dengan dosis 10-15 mg peroral penderita, sehingga dukungan keluarga
setiap hari, biasanya menghasilkan sangatlah penting.
perbaikan klinis dalam beberapa hari.
2. ESR biasanya kembali ke normal selama Kriteria Rujukan
pengobatan awal, tetapi keputusan terapi Setelah ditegakkan dugaan diagnosis, pasien
berikutnya harus berdasarkan status ESR dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder.
dan klinis.
3. Terapi glukokortikoid dapat diturunkan Peralatan
secara bertahap dengan dosis pemeliharaan Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
5-10 mg peroral setiap hari tetapi harus darah
dilanjutkan selama minimal 1 tahun untuk
meminimalkan risiko kambuh. Prognosis
Konsultasi dan Edukasi Prognosis adalah dubia ad bonam, tergantung
dari ada/tidaknya komplikasi.
Edukasi keluarga bahwa penyakit ini mungkin
menimbulkan gangguan dalam aktivitas Referensi
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. 2009.

4. ARTRITIS REUMATOID
No. ICPC-2 No. ICD-10 : L99 Musculosceletal disease other
: M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Gejala sinovitis pada sendi yang terkena:
Penyakit autoimun yang ditandai dengan bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan
walaupun terutama mengenai jaringan pada pagi hari > 1 jam.
persendian, seringkali juga melibatkan organ
tubuh lainnya. Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis),
kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis),
Hasil Anamnesis (Subjective) hematologi (anemia).
Keluhan Faktor Risiko
Gejala pada awal onset 1. Wanita,
2. Faktor genetik.
Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, 3. Hormon seks.
seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung 4. Infeksi
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. 5. Merokok
Gejala spesifik pada banyak sendi Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
(poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai sederhana (Objective)
seluruh sendi terutama sendi PIP (proximal
interphalangeal), sendi MCP Pemeriksaan Fisik
(metacarpophalangeal) atau MTP
(metatarsophalangeal), pergelangan tangan, Manifestasi artikular:
bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP (distal Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi,
interphalangeal) umumnya tidak terkena. sendi teraba hangat, deformotas (swan neck,
boutonniere, deviasi ulnar) Gambar 6.2 Radiologi tangan pada Artritis
Manifestasi ekstraartikular: Rheumatoid
1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada
daerah yg banyak menerima penekanan,
vaskulitis.
2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal
tunnel syndrome atau frozen shoulder.
3. Mata dapat ditemukan kerato-
konjungtivitis sicca yang merupakan
manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/
skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat
penyakit kronik.
4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya Penegakan Diagnosis (Assessment)
radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis
Diagnosis Klinis
interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru
luas. Diagnosis RA biasanya didasarkan pada
5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan gambaran klinis dan radiografis.
perikarditis konstriktif, disfungsi katup, Kriteria Diagnosis
fenomena embolisasi, gangguan konduksi,
aortritis, kardiomiopati. Berdasarkan ACR-EULAR 2010:
Pemeriksaan Penunjang Dibuat skor dari beberapa poin dibawah ini :
Pemeriksaan laju endap darah (LED) 1. Jumlah sendi yang terlibat
Pemeriksaan di pelayanan kesehatan sekunder a. 1 sendi besar 0
atau rujukan horizontal: b. 2-10 sendi besar 1
c. 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa 2
1. Faktor reumatoid (RF) serum. sendi besar)
2. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini d. 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa 3
berupa pembengkakan jaringan lunak, sendi besar)
diikuti oleh osteoporosis juxta-articular e. >10 sendi dengan minimal 1 sendi 5
dan erosi pada bare area tulang. Keadaan kecil
lanjut terlihat penyempitan celah sendi,
osteoporosis difus, erosi meluas sampai Sendi DIP, MTP I, carpometacarpal I tidak
daerah subkondral. termasuk dalam kriteria yang dimaksud
sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari,
3. ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide
dan pergelangan tangan yang dimaksud
antibody) / anti-CCP
sendi besar adalah bahu, siku, lutut,
4. CRP pangkal paha, dan pergelangan kaki.
2. Acute phase reactants : LED dan CRP
5. Analisis cairan sendi
LED atau CRP naik : 1
6. Biopsi sinovium/ nodul rheumatoid 3. RF atau anti CCP
a. RF dan anti CRP (-) 0
b. RF atau anti CRP naik < 3 batas atas 2
normal (BAN)
c. RF atau CRP naik > 3 BAN 3
4. Durasi
a. Lebih dari 6 Minggu 1
b. Kurang dari 6 Minggu 0
Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA yang dikonfirmasi oleh bukti pencitraan
Tabel 6.4 Sistem penilaian klasifikasi kriteria akan adanya sinovitis. Sendi interfalang
RA (American College of Rheumatology/ distal, sendi karpometakarpal I, dan sendi
European League Against Rheumatism, 2010) metatarsofalangeal I tidak dimasukkan
dalam pemeriksaan. Kategori distribusi
sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi
dan jumlah sendi yang terlibat, ditempatkan
ke dalam kategori tertinggi berdasarkan
pola keterlibatan sendi.
5. Sendi-sendi besar merujuk pada bahu, siku,
pinggul, lutut, dan pergelangan kaki.
6. Sendi-sendi kecil merujuk pada sendi
metakarpofalangeal, sendi interfalang
proksimal, sendi metatarsophalangeal II-
V, sendi interfalang ibujari, dan pergelangan
tangan.
7. Dalam kategori ini, minimal 1 dari sendi
Catatan: yg terlibat harus sendi kecil; sendi lainnya
dapat berupa kombinasi dari sendi besar
1. Kriteria tersebutditujukan untuk klasifikasi dan sendi kecil tambahan, seperti sendi
pasien baru. lainnya yang tidak terdaftar secara spesifik
Sebagai tambahan, pasien dengan dimanapun (misal temporomandibular,
penyakit erosif tipikal RA dengan riwayat akromioklavikular, sternoklavikular dan lain-
yang sesuai dengan kriteria 2010 ini lain).
harus diklasifikasikan ke dalam RA. Pasien
dengan penyakit lama, termasuk yang tidak 8. Negatif merujuk pada nilai IU yg ≤ batas
aktif (dengan atau tanpa pengobatan), atas nilai normal (BAN) laboratorium dan
yang berdasarkan data retrospektif yang assay; positif rendah merujuk pada nilai
dimiliki memenuhi kriteria 2010 ini harus IU yang ≥ BAN tetapi ≤ 3x BAN laboratorium
diklasifikasikan ke dalam RA. dan assay; positif tinggi merujuk pada nilai
IU yg > 3x BAN laboratorium dan assay.
2. Diagnosis banding bervariasi diantara Ketika RF hanya dapat dinilai sebagai positif
pasien dengan manifestasi yang berbeda, atau negatif, hasil positif harus dinilai
tetapi boleh memasukkan kondisi seperti sebagai positif rendah untuk RA. ACPA =
SLE, artritis psoriatic, dan gout. Jika anti- citrullinated protein antibody.
diagnosis banding masih belum jelas,
hubungi ahli reumatologi. 9. Normal/tidak normal ditentukan oleh
standar laboratorium setempat. CRP (C-
3. Walaupun pasien dengan skor < 6 dari tidak reactive protein); LED (Laju Endap Darah).
diklasifikasikan ke dalam RA, status mereka
dapat dinilai ulang dan kriteria ini bisa 10. Durasi gejala merujuk pada laporan dari
dipenuhi secara kumulatif seiring waktu. pasien mengenai durasi gejala dan tanda
sinovitis (misal nyeri, bengkak, dan nyeri
4. Keterlibatan sendi merujuk pada sendi pada penekanan) dari sendi yang secara
yang bengkak atau nyeri pada pemeriksaan, klinis terlibat pada saat pemeriksaan, tanpa
memandang status pengobatan.
Diagnosis Banding penatalaksanaan selanjutnya.
Penyebab arthritis lainnya, Spondiloartropati Referensi
seronegatif, Lupus eritematosus istemik,
Sindrom Sjogren 1. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In:
Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Komplikasi Principals of Internal Medicine. 17thEd.
USA: McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
1. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck,
deviasi ulnar) 2. Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo,
A.W. Setiyohadi, B Alwi, I. Simadibrata, M.
2. Sindrom terowongan karpal (TCS) Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit
3. Sindrom Felty (gabungan gejala RA, Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
splenomegali, leukopenia, dan ulkus pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
tungkai; juga sering disertai limfadenopati 2006: p. 1184-91.
dan trombositopenia)
3. Panduan Pelayanan Medis Departemen
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo. 2007
Penatalaksanaan
1. Pasien diberikan informasi untuk
memproteksi sendi, terutama pada stadium
akut dengan menggunakan decker.
2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid,
seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari,
meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-
400 mg/sehari.
3. Pemberian golongan steroid, seperti:
prednison atau metil prednisolon dosis
rendah (sebagai bridging therapy).
4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu
dapat diberikan ortosis.
Kriteria rujukan
1. Tidak membaik dengan pemberian obat
anti
inflamasi dan steroid dosis rendah.
2. RA dengan komplikasi.
3. Rujukan pembedahan jika terjadi
deformitas.
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah.
Prognosis
Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat
tergantung dari perjalanan penyakit dan
5. ARTRITIS, OSTEOARTRITIS
No. ICPC-2: L91 Osteoarthrosis other No. ICD-10: M19.9 Osteoarthrosis other
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnosis (Assessment)


Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan Diagnosis Klinis
dengan kerusakan kartilago sendi. Pasien sering
datang berobat pada saat sudah ada deformitas Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran
sendi yang bersifat permanen. klinis dan radiografi.
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding
Keluhan Artritis Gout, Rhematoid Artritis
1. Nyeri sendi Komplikasi
2. Hambatan gerakan sendi
Deformitas permanen
3. Kaku pagi
4. Krepitasi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Pembesaran sendi
6. Perubahan gaya berjalan Penatalaksanaan

Faktor Risiko 1. Pengelolaan OA berdasarkan atas


distribusinya (sendi mana yang terkena) dan
1. Usia > 60 tahun berat ringannya sendi yang terkena.
2. Wanita, usia >50 tahun atau menopouse 2. Pengobatan bertujuan untuk mencegah
3. Kegemukan/ obesitas progresifitas dan meringankan gejala yang
4. Pekerja berat dengen penggunaan satu dikeluhkan.
sendi terus menerus 3. Modifikasi gaya hidup, dengan cara:
a. Menurunkan berat badan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
b. Melatih pasien untuk tetap
sederhana (Objective)
menggunakan sendinya dan melindungi
Pemeriksaan Fisik sendi yang sakit
4. Pengobatan Non Medikamentosa
Tanda Patognomonis Rehabilitasi Medik /Fisioterapi
1. Hambatan gerak 5. Pengobatan Medikamentosa
2. Krepitasi a. Analgesik topikal
3. Pembengkakan sendi yang seringkali b. NSAID (oral):
asimetris • non selective: COX1 (Diklofenak,
4. Tanda-tanda peradangan sendi Ibuprofen, Piroksikam, Mefenamat,
5. Deformitas sendi yang permanen Metampiron)
6. Perubahan gaya berjalan Pemeriksaan • selective: COX2 (Meloksikam)
Penunjang Radiografi Kriteria Rujukan
1. Bila ada komplikasi, termasuk komplikasi
terapi COX 1
2. Bila ada komorbiditas
3. Bila nyeri tidak dapat diatasi dengan obat- Prognosis
obatan Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa,
4. Bila curiga terdapat efusi sendi namun fungsi sering terganggu dan sering
Peralatan mengalami kekambuhan.
Referensi
Tidak terdapat peralatan khusus yang
digunakan mendiagnosis penyakit arthritis 1. Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Principals of Internal Medicine. 17thEd.
USA: McGraw-Hill. 2008.

6. VULNUS
No. ICPC-2
: S.16 Bruise / Contusion
Abration / Scratch / Blister
No. ICD-10 Laceration / Cut
: T14.1 Open wound of unspecified body region
Tingkat Kemampuan:
Vulnus laceratum, punctum 4A
Vulnus perforatum, penetratum 3B

Masalah Kesehatan
kecil tapi didalam mungkin rusak berat, jika
Kulit merupakan bagian tubuh yang paling yang mengenai abdomen/thorax disebut
luar yang berguna melindungi diri dari trauma vulnus penetrosum(luka tembus).
luar serta masuknya benda asing.Apabila kulit
2. Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat)
terkena trauma, maka dapat menyebabkan
luka/ vulnus.Luka tersebut dapat merusak Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan
jaringan, sehingga terganggunya fungsi tubuh benda tajam atau jarum merupakan
serta dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. luka terbuka akibat dari terapi untuk
dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam
Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan,
dan licin.
dapat ditimbulkan oleh berbagai macam akibat
yaitu trauma, meliputi luka robek (laserasi), 3. Vulnus Schlopetorum (Luka Tembak)
luka akibat gesekan (abrasi), luka akibat tarikan
(avulsi), luka tembus (penetrasi), gigitan, luka Penyebabnya adalah tembakan, granat.
bakar, dan pembedahan. Pada pinggiran luka tampak kehitam-
hitaman, bisa tidak teratur kadang
Etiologi ditemukan corpus alienum.
Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari : 4. Vulnus Morsum (Luka Gigitan)
Trauma tajam yang menimbulkan luka terbuka, Penyebab adalah gigitan binatang atau
misalnya : manusia, kemungkinan infeksi besar bentuk
luka tergantung dari bentuk gigi
1. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)
5. Vulnus Perforatum (Luka Tembus)
Penyebab adalah benda runcing tajam
atau sesuatu yang masuk ke dalam kulit, Luka jenis ini merupakan luka tembus atau
merupakan luka terbuka dari luar tampak luka jebol. Penyebab oleh karena panah,
tombak atau proses infeksi yang meluas Patofisiologi
hingga melewati selaput serosa/epithel
organ jaringan. Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang
mengenai tubuh yang bisa disebabkan oleh
6. Vulnus Amputatum (Luka Terpotong) trauma mekanis dan perubahan suhu (luka
bakar). Vulnus yang terjadi dapat menimbulkan
Luka potong, pancung dengan penyebab beberapa tanda dan gejala seperti bengkak,
benda tajam ukuran besar/berat, gergaji.
krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau bisa
Luka membentuk lingkaran sesuai dengan
juga menimbulkan kondisi yang lebih serius.
organ yang dipotong. Perdarahan hebat,
Tanda dan gejala yang timbul tergantung pada
resiko infeksi tinggi, terdapat gejala pathom
penyebab dan tipe vulnus.
limb.
Macam-macam Luka
Trauma tumpul yang menyebabkan luka
tertutup (vulnus occlusum), atau luka terbuka Menurut tipenya luka dibedakan menjadi 4 tipe
(vulnus apertum), misalnya : luka yaitu :
1. Vulnus Laceratum (Laserasi/Robek) 1. Luka bersih (Clean wound)
Jenis luka ini disebabkan oleh karena Luka bersih adalah luka karena tindakan
benturan dengan benda tumpul, dengan operasi dengan tehnik steril, misalnya pada
ciri luka tepi luka tidak rata dan perdarahan daerah dinding perut, dan jaringan lain yang
sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi. letaknya lebih dalam (non contaminated
deep tissue), misalnya tiroid, kelenjar,
2. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet) pembuluh darah, otak, tulang.
Penyebab luka karena kecelakaan atau
2. Luka bersih-kontaminasi (Clean
jatuh yang menyebabkan lecet pada
contaminated wound)
permukaan kulit merupakan luka terbuka
tetapi yang terkena hanya daerah kulit. Merupakan luka yang terjadi karena benda
tajam, bersih dan rapi, lingkungan tidak
3. Vulnus Contussum (Luka Kontusio)
steril atau operasi yang mengenai daerah
Penyebab: benturan benda yang keras. usus halus dan bronchial.
Luka ini merupakan luka tertutup, akibat
3. Luka kontaminasi (Contaminated wound)
dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur
pada pembuluh darah menyebabkan nyeri Luka ini tidak rapi, terkontaminasi oleh
dan berdarah (hematoma) bila kecil maka lingkungan kotor, operasi pada saluran
akan diserap oleh jaringan di sekitarnya jika terinfeksi (usus besar, rektum, infeksi
organ dalam terbentur dapat menyebabkan bronkhial, saluran kemih)
akibat yang serius.
4. Luka infeksi (Infected wound)
Trauma termal, (Vulnus Combustion-Luka
Bakar), yaitu kerusakan kulit karena suhu yang Jenis luka ini diikuti oleh adanya infeksi,
ekstrim, misalnya air panas, api, sengatan listrik, kerusakan jaringan, serta kurangnya
bahan kimia, radiasi atau suhu yang sangat vaskularisasi pada jaringan luka.
dingin (frostbite). Hasil Anamnesis (Subjective)
Jaringan kulit rusak dengan berbagai derajat Terjadi trauma, ada jejas, memar, bengkak,
mulai dari lepuh (bula), sampai karbonisasi nyeri, rasa panas didaerah trauma.
(hangus). Terdapat sensasi nyeri dan atau
anesthesia.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang bila diperlukan.
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Inspeksi: adanya kerusakan jaringan didaerah
trauma, ada perdarahan, edema sekitar area 1. Pertama dilakukan anestesi setempat atau
trauma, melepuh, kulit warna kemerahan umum, tergantung berat dan letak luka,
sampai kehitaman. serta keadaan penderita, luka dan sekitar
luka dibersihkan dengan antiseptik. Bahan
Palpasi: nyeri tekan, atau anestesi. yang dapat dipakai adalah larutan yodium
povidon 1% dan larutan klorheksidin ½%,
Pemeriksaan Penunjang : -
larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya
Penegakan Diagnostik (Assessment) digunakan untuk membersih kulit disekitar
luka.
1. Gejala Lokal
2. Kemudian daerah disekitar lapangan kerja
a. Nyeri terjadi karena kerusakan ujung- ditutup dengan kain steril dan secara steril
ujung saraf sensoris. dilakukan kembali pembersihan luka dari
Intensitas atau derajat rasa nyeri kontaminasi secara mekanis, misalnya
berbeda-beda tergantung pada berat/ pembuangan jaringan mati dengan gunting
luas kerusakan ujung-ujung saraf, atau pisau dan dibersihkan dengan bilasan,
etiologi dan lokasi luka. atau guyuran NaCl.

b. Perdarahan, hebatnya perdarahan 3. Akhirnya dilakukan penjahitan bila


tergantung pada lokasi luka, jenis memungkinkan, dan luka ditutup dengan
pembuluh darah yang rusak. bahan yang dapat mencegah lengketnya
kasa, misalnya kasa yang mengandung
c. Diastase yaitu luka yang menganga atau vaselin ditambah dengan kasa penyerap
tepinya saling melebar dan dibalut dengan pembalut elastis.
d. Gangguan fungsi, fungsi anggota badan Komplikasi Luka
akan terganggu baik oleh karena rasa
nyeri atau kerusakan tendon. 1. Penyulit dini seperti : hematoma, seroma,
infeksi
2. Gejala umum
2. Penyulit lanjut seperti : keloid dan parut
Gejala/tanda umum pada perlukaan dapat hipertrofik dan kontraktur
terjadi akibat penyulit/komplikasi yang
terjadi seperti syok akibat nyeri dan atau Peralatan
perdarahan yang hebat. Alat Bedah Minor : gunting jaringan, pinset
Pada kasus vulnus diagnosis pertama dilakukan anatomis, pinset sirurgis, gunting benang,
secara teliti untuk memastikan apakah ada needle holder, klem arteri, scalpel blade &
pendarahan yang harus dihentikan. Kemudian handle.
ditentukan jenis trauma apakah trauma tajam Prognosis
atau trauma tumpul, banyaknya kematian
jaringan, besarnya kontaminasi dan berat Tergantung dari luas, kedalaman dan penyebab
jaringan luka. dari trauma.

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
7. LIPOMA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S78 Lipoma
: D17.9 Benign lipomatous neoplasm
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Diagnosis Banding
Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak Epidermoid kista,Abses, Liposarkoma, Limfadenitis
yang berada di bawah kulit yang terdiri dari tuberkulosis
lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia
lanjut (40-60 tahun), namun juga dapat Pemeriksaan Penunjang
dijumpai pada anak-anak. Lipoma kebanyakan Pemeriksaan penunjang lain merupakan
berukuran kecil, namun dapat tumbuh hingga pemeriksaan rujukan, seperti biopsi jarum halus.
mencapai lebih dari diameter 6 cm.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hasil Anamnesis
Penatalaksanaan
Keluhan
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri. Biasanya Lipoma tidak perlu dilakukan tindakan
Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). apapun.
Hanya dikeluhkan timbulnya benjolan yang 1. Pembedahan
membesar perlahan dalam waktu yang lama. Dengan indikasi : kosmetika tanpa keluhan
Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh lain. Cara eksisi Lipoma dengan melakukan
dengan menekan saraf. Untuk tempat predileksi sayatan di atas benjolan, lalu mengeluarkan
seperti di leher bisa menimbulkan keluhan jaringan lipoma
menelan dan sesak. 2. Terapi pasca eksisi: antibiotik, anti nyeri
Faktor Risiko Simptomatik: obat anti nyeri
1. Adiposisdolorosis
2. Riwayat keluarga dengan lipoma Kriteria rujukan:
3. Sindrom Gardner 1. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan
4. Usia menengah dan usia lanjut yang cepat.
2. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Predileksi di lokasi yang berisiko
Sederhana (Objective) bersentuhan dengan pembuluh darah atau
Pemeriksaan Fisik Patologis saraf.
Keadaan Umum : tampak sehat bisa sakit Prognosis
ringan Prognosis umumnya adalah bonam, namun ini
- sedang tergantung dari letak dan ukuran lipoma, serta
Kulit: ditemukan benjolan, teraba empuk, ada/tidaknya komplikasi.
bergerak jika ditekan.
Referensi
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan tusukan jarum halus untuk 1. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma
mengetahui isi massa. in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC. 2005.
Penegakan Diagnostik 2. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds.
Diagnosis Klinis Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery. 8th
Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
memiliki karakteristik lembut, terlihat pucat. 3. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials
Ukuran diameter kurang dari 6 cm, of Surgery. New York: Lange Medical Book.
pertumbuhan sangat lama. 2005.
H. NEUROLOGI

1. TENSION HEADACHE
No. ICPC-2 No. ICD-10 : N95 Tension Headache
: G44.2 Tension–type headache
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual
Tension Headache atau Tension Type Headache ataupun muntah tetapi anoreksia mungkin saja
(TTH) atau nyeri kepala tipe tegang adalah terjadi. Gejala lain yang juga dapat ditemukan
bentuk sakit kepala yang paling sering dijumpai seperti insomnia (gangguan tidur yang sering
dan sering dihubungkan dengan jangka waktu terbangunatau bangun dini hari), nafas pendek,
dan peningkatan stres. Sebagian besar konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan
tergolong dalam kelompok yang mempunyai gangguan haid.
perasaan kurang percaya diri, selalu ragu akan
kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis
gentar dan tegang. Pada akhirnya, terjadi biasanya merupakan manifestasi konflik
peningkatan tekanan jiwa dan penurunan psikologis yang mendasarinya seperti
tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan kecemasan dan depresi.
ketidakpuasan yang membangkitkan reaksi Faktor Risiko: -
pada otot-otot kepala, leher, bahu, serta
vaskularisasi kepala sehingga timbul nyeri Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
kepala. Sederhana (Objective)

Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada Pemeriksaan Fisik


perempuan dibandingkan laki-laki dengan
Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti untuk
perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua
mendiagnosis nyeri kepalategang otot ini. Pada
usia, namun sebagian besar pasien adalah dewasa
pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal,
muda yang berusiasekitar antara 20-40 tahun.
pemeriksaan neurologis normal. Pemeriksaan
Hasil Anamnesis (Subjective) yang dilakukan berupa pemeriksaan kepala
dan leher serta pemeriksaan neurologis yang
Keluhan meliputi kekuatan motorik, refleks, koordinasi,
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang dan sensoris.
tersebar secara difus dan sifat nyerinya mulai Pemeriksaan mata dilakukan untuk mengetahui
dari ringan hingga sedang. Nyeri kepala tegang adanya peningkatan tekanan pada bola
otot biasanya berlangsung selama 30 menit mata yang bisa menyebabkan sakit kepala.
hingga 1 minggu penuh. Nyeri bisa dirasakan Pemeriksaan daya ingat jangka pendek dan
kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada fungsi mental pasien juga dilakukan dengan
awalnya dirasakan pasien pada leher bagian menanyakan beberapa pertanyaan.
belakang kemudian menjalar ke kepala bagian Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan
belakang selanjutnya menjalar ke bagian depan. berbagai penyakit yang serius yang memiliki
Selain itu, nyeri ini juga dapat menjalar ke bahu. gejala nyeri kepala seperti tumor atau
Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, aneurisma dan penyakit lainnya.
pegal, rasakencang pada daerah bitemporal
dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling Pemeriksaan Penunjang : Tidak diperlukan
kepala. Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.
Penegakan Diagnostik (Assessment) hidup yang salah, disamping pengobatan
nyeri kepalanya.
Diagnosis Klinis
3. Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis obat untuk menghentikan atau mengurangi
dan pemeriksaan fisik yang normal. Anamnesis
sakit yang dirasakan saat serangan
yang mendukung adalah adanya faktor psikis
muncul. Penghilang sakit yang sering
yang melatarbelakangi dan karakteristik gejala
digunakan adalah: acetaminophen dan
nyeri kepala (tipe, lokasi, frekuensi dan durasi
NSAID seperti Aspirin, Ibuprofen, Naproxen,
nyeri) harus jelas.
dan Ketoprofen. Pengobatan kombinasi
Klasifikasi antara acetaminophen atau aspirin dengan
kafein atau obat sedatif biasa digunakan
Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk
tegang otot ini dibagi menjadi nyeri kepala menghilangkan sakitnya, tetapi jangan
episodik jika berlangsungnya kurang dari 15 hari digunakan lebih dari 2 hari dalam seminggu
dengan serangan yang terjadi kurang dari1 hari dan penggunaannya harus diawasi oleh
perbulan (12 hari dalam 1 tahun). Apabila nyeri dokter.
kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih
dari 15 hari selama 6 bulan terakhir dikatakan 4. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu
nyeri kepala tegang otot kronis. Amitriptilin.

Diagnosis Banding Tabel 8.1 Analgesik nonspesifik untuk TTH

1. Migren
2. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)
Komplikasi : -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual
1. Pembinaan hubunganempati awal yang menjadi ringan atau hilang dalam 2 jam).
hangat antara dokter dan pasien
merupakan langkah pertama yang sangat Konseling dan Edukasi
penting untuk keberhasilan pengobatan. 1. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa
Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga
bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam kepala atau otaknya dapat menghilangkan
rongga kepala atau otaknya dapat rasa takut akan adanya tumor otak atau
menghilangkan rasa takut akan adanya penyakit intrakranial lainnya.
tumor otak atau penyakit intrakranial
lainnya. 2. Keluarga ikut membantu mengurangi
kecemasan atau depresi pasien, serta
2. Penilaian adanya kecemasan atau depresi menilai adanya kecemasan atau depresi
harus segera dilakukan. Sebagian pasien pada pasien.
menerima bahwa kepalanya berkaitan
dengan penyakit depresinya dan bersedia Kriteria Rujukan
ikut program pengobatan sedangkan pasien
lain berusaha menyangkalnya. Oleh sebab 1. Bila nyeri kepala tidak membaik maka
itu, pengobatan harus ditujukan kepada dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis
penyakit yang mendasari dengan obat anti
cemas atau anti depresi serta modifikasi saraf.
pola
2. Bila depresi berat dengan kemungkinan
bunuh diri maka pasien harus dirujuk ke
pelayanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis jiwa.
Peralatan
Obat analgetik
Prognosis
Prognosis umumnya bonam karena dapat
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri
Kepala Migrain dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga
University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli,
2006)
2. Blanda, M. Headache, tension. Available
from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda,
2008)
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran
Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer,
2000)
4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type
Headache. Available from: www.aafp.com.
(Millea, 2008)
5. Tension headache. Feb 2009. Available
from: www.mayoclinic.com.
2. MIGREN
No. ICPC-2
: N89 Migraine
No. ICD-10
: G43.9 Migraine, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Migren adalah suatu istilah yang digunakan 5. Mual dengan atau tanpa muntah.
untuk nyeri kepala primer dengan kualitas 6. Fotofobia atau fonofobia.
vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang 7. Sakit kepalanya mereda secara bertahap
diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, pada siang hari dan setelah bangun tidur,
gangguan tidur dan depresi. Serangan seringkali kebanyakan pasien melaporkan merasa
berulang dan cenderung tidak akan bertambah lelah dan lemah setelah serangan.
parah setelah bertahun-tahun. Migren bila tidak 8. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala
diterapi akan berlangsung antara 4-72 jam prodormal, seringkali terjadi beberapa jam
dan yang klasik terdiri atas 4 fase yaitu fase atau beberapa hari sebelum onset dimulai.
prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura Pasien melaporkan perubahan mood dan
(kurang lebih 15% kasus), fase nyeri kepala dan tingkah laku dan bisa juga gejala psikologis,
fase postdromal. neurologis atau otonom.

Pada wanita migren lebih banyak ditemukan Faktor Predisposisi


dibanding pria dengan skala 2:1. Wanita hamil
1. Menstruasi biasa pada hari pertama
tidak luput dari serangan migren, pada
menstruasi atau sebelumnya/ perubahan
umumnya serangan muncul pada kehamilan
hormonal.
trimester I.
2. Puasa dan terlambat makan
Sampai saat ini belum diketahui dengan 3. Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju
pasti faktor penyebab migren, diduga sebagai dan buah-buahan.
gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas 4. Cahaya kilat atau berkelip.
sistem saraf dan avikasi sistem trigeminal- 5. Banyak tidur atau kurang tidur
vaskular, sehingga migren termasuk dalam 6. Faktor herediter
nyeri kepala primer. 7. Faktor kepribadian

Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang


sederhana (Objective)
Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Suatu serangan migren dapat menyebabkan
sebagian atau seluruh tanda dan gejala, sebagai Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus
berikut: normal, pemeriksaan neurologis normal.
Temuan- temuan yang abnormal menunjukkan
1. Nyeri moderat sampai berat, kebanyakan sebab- sebab sekunder, yang memerlukan
penderita migren merasakan nyeri hanya pendekatan diagnostik dan terapi yang berbeda.
pada satu sisi kepala, namun sebagian
merasakan nyeri pada kedua sisi kepala. Pemeriksaan Penunjang
2. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk-
1. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan,
tusuk.
pemeriksaan ini dilakukan jika ditemukan
3. Rasa nyerinya semakin parah dengan
hal-hal, sebagai berikut:
aktivitas fisik.
a. Kelainan-kelainan struktural, metabolik
4. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga
dan penyebab lain yang dapat menyerupai Cluster- type hedache (nyeri kepala kluster)
gejala migren.
b. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit Komplikasi
penyerta yang dapat menyebabkan 1. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai
komplikasi. komplikasi yang jarang namun sangat
c. Menentukan dasar pengobatan dan untuk serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh
menyingkirkan kontraindikasi obat-obatan faktor risiko seperti aura, jenis kelamin
yang diberikan. wanita, merokok, penggunaan hormon
2. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit estrogen.
rujukan). 2. Pada migren komplikata dapat
3. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, menyebabkan hemiparesis.
sebagai berikut:
a. Sakit kepala yang pertama atau yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
terparah seumur hidup penderita. Penatalaksanaan
b. Perubahan pada frekuensi keparahan atau
gambaran klinis pada migren. 1. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk
c. Pemeriksaan neurologis yang abnormal. menghindari stimulasi sensoris berlebihan.
d. Sakit kepala yang progresif atau persisten. 2. Bila memungkinkan beristirahat di tempat
e. Gejala-gejala neurologis yang tidak gelap dan tenang dengan dikompres dingin.
memenuhi kriteria migren dengan aura a. Perubahan pola hidup dapat
atau hal-hal lain yang memerlukan mengurangi jumlah dan tingkat
pemeriksaan lebih lanjut. keparahan migren, baik pada pasien
f. Defisit neurologis yang persisten. yang menggunakan obat- obat
g. Hemikrania yang selalu pada sisi yang preventif atau tidak.
sama dan berkaitan dengan gejala-gejala b. Menghindari pemicu, jika makanan
neurologis yang kontralateral. tertentu menyebabkan sakit kepala,
h. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi hindarilah dan makan makanan yang
rutin. lain. Jika ada aroma tertentu yang
i. Gejala klinis yang tidak biasa. dapat memicu maka harus dihindari.
Secara umum pola tidur yang reguler
Penegakan Diagnostik (Assessment) dan pola makan yang reguler dapat
Diagnosis Klinis cukup membantu.
c. Berolahraga secara teratur, olahraga
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, aerobik secara teratur mengurangi
gejala klinis dan pemeriksaan fisik umum dan tekanan dan dapat mencegah migren.
neurologis. d. Mengurangi efek estrogen, pada wanita
Kriteria Migren : dengan migren dimana estrogen
menjadi pemicunya atau menyebabkan
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam gejala menjadi lebih parah, atau orang
dengan gejala dua dari nyeri kepala unilateral, dengan riwayat keluarga memiliki
berdenyut, bertambah berat dengan gerakan, tekanan darah tinggi atau stroke
intensitas sedang sampai berat ditambah satu sebaiknya mengurangi obat- obatan
dari mual atau muntah, fonofobia atau yang mengandung estrogen.
fotofobia. e. Berhenti merokok, merokok dapat
memicu sakit kepala atau membuat
Diagnosis Banding
sakit kepala menjadi lebih parah
Arteriovenous Malformations, Atypical Facial (dimasukkan di konseling).
Pain, Cerebral Aneurysms, Childhood Migraine f. Penggunaan headache diary untuk
Variants, Chronic Paroxysmal Hemicrania, mencatat frekuensi sakit kepala.
g. Pendekatan terapi untuk migren antiemetik dapat diberikan saat serangan
melibatkan pengobatan akut nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu
h. (abortif) dan preventif (profilaksis). pada saat fase prodromal.
3. Pengobatan Abortif: Melihat kembali
rujukan yang ada . 4. Pengobatan preventif:
a. Analgesik spesifik adalah analgesik Pengobatan preventif harus selalu diminum
yang hanya bekerja sebagai analgesik tanpa melihat adanya serangan atau tidak.
nyeri kepala. Lebih bermanfaat untuk Pengobatan dapat diberikan dalam jangka
kasus yang berat atau respon buruk waktu episodik, jangka pendek (subakut),
dengan NSAID. Contoh: Ergotamin, atau jangka panjang (kronis). Pada serangan
Dihydroergotamin, dan golongan episodik diberikan bila faktor pencetus
Triptan yang merupakan agonis selektif dikenal dengan baik, sehingga dapat
reseptor serotonin pada 5-HT1. diberikan analgesik sebelumnya. Terapi
b. Ergotamin dan DHE diberikan pada preventif jangka pendek diberikan apabila
migren sedang sampai berat apabila pasien akan terkena faktor risiko yang
analgesik non spesifik kurang terlihat telah dikenal dalam jangka waktu tertentu,
hasilnya atau memberi efek samping. misalnya migren menstrual. Terapi
Kombinasi ergotamin dengan kafein preventif kronis diberikan dalam beberapa
bertujuan untuk menambah absorpsi bulan bahkan tahun tergantung respon
ergotamin sebagai analgesik. Hindari pasien.
pada kehamilan, hipertensi tidak
terkendali, penyakit serebrovaskuler Farmakoterapi pencegahan migren
serta gagal ginjal.
Tabel 8.3. Farmakoterapi pencegah migren
c. Sumatriptan dapat meredakan nyeri,
mual, fotobia dan fonofobia. Obat ini
diberikan pada migren berat atau yang
tidak memberikan respon terhadap
analgesik non spesifik. Dosis awal
50 mg dengan dosis maksimal 200 mg
dalam 24 jam.
d. Analgesik non spesifik yaitu analgesik
yang dapat diberikan pada nyeri lain
selain nyeri kepala, dapat menolong
pada migren intensitas nyeri ringan
sampai sedang.
Tabel 8.2. Regimen analgesik untuk migren
Komplikasi
1. Obat-obat NSAID seperti Ibuprofen dan
Aspirin dapat menyebabkan efek samping
seperti nyeri abdominal, perdarahan dan
ulkus, terutama jika digunakan dalam dosis
besar dan jangka waktu yang lama.
2. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari
Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala dua atau tiga kali seminggu dengan jumlah
residual ringan atau hilang dalam 2 jam) yang besar, dapat menyebabkan komplikasi
serius yang dinamakan rebound.
Domperidon atau Metoklopropamid
sebagai
Konseling dan Edukasi Prognosis
1. Pasien dan keluarga dapat berusaha Prognosis pada umumnya bonam, namun quo
mengontrol serangan. ad sanationam adalah dubia karena sering
terjadi berulang.
2. Keluarga menasehati pasien untuk
beristirahat dan menghindari pemicu, serta Referensi
berolahraga secara teratur.
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri
3. Keluarga menasehati pasien jika merokok Kepala Migrain. Dalam Kumpulan Makalah
untuk berhenti merokok karena merokok Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan
dapat memicu sakit kepala atau membuat Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga
sakit kepala menjadi lebih parah. University Press. Surabaya.2006.
2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam
Kriteria Rujukan Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Pasien perlu dirujuk jika migren terus Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis
berlanjut dan tidak hilang dengan pengobatan Saraf Indonesia. Airlangga University Press.
analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke Surabaya.2006. (Purnomo,2006)
layanan sekunder (dokter spesialis saraf). 3. Migraine Available at: www.mayoclinic/
disease&condition/topic/migraine.htm
Peralatan
1. Alat pemeriksaan neurologis
2. Obat antimigren

3. VERTIGO
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N17 Vertigo/dizziness
: R42 Dizziness and giddiness
Tingkat Kemampuan 4A (Vertigo Vestibular/ Benign Paroxismal Positional Vertigo (BPPV))

Masalah Kesehatan
lesi di nukleus vestibularis batang otak,
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan thalamus sampai ke korteks serebri.
seseorang atau lingkungan sekitarnya. Persepsi
gerakan bisa berupa: Vertigo merupakan suatu gejala dengan
berbagai penyebabnya, antara lain: akibat
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian
yang timbul pada gangguan vestibular. dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak
2. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, aliran darah ke otak dan lain-lain.
melayang, mengambang yang timbul pada
gangguan sistem proprioseptif atau sistem Secara spesifik, penyebab vertigo, adalah:
visual 1. Vertigo vestibular
Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo Vertigo perifer disebabkan oleh Benign
vestibular, yaitu: Paroxismal Positional Vertigo (BPPV),
Meniere’s Disease, neuritis vestibularis,
1. Vertigo vestibular perifer. Terjadi pada lesi
oklusi arteri labirin, labirhinitis, obat
di labirin dan nervus vestibularis
ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII,
2. Vertigo vestibular sentral. Timbul pada
microvaskular compression, fistel perilimfe.
Vertigo sentral disebabkan oleh migren, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis.
CVD, tumor, epilepsi, demielinisasi,
degenerasi. Vertigo non vestibular

2. Vertigo non vestibular Sensasi bukan berputar, melainkan rasa


melayang, goyang, berlangsung konstan atau
Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, kontinu, tidak disertai rasa mual dan muntah,
artrosis servikalis, trauma leher, presinkop, serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan
hipotensi ortostatik, hiperventilasi, tension objek sekitarnya seperti di tempat keramaian
headache, penyakit sistemik. misalnya lalu lintas macet.
BPPV adalah gangguan klinis yang sering Pada anamnesis perlu digali penjelasan
terjadi dengan karakteristik serangan mengenai:
vertigo di perifer, berulang dan singkat,
sering berkaitan dengan perubahan posisi Deskripsi jelas keluhan pasien. Pusing yang
kepala dari tidur, melihat ke atas, kemudian dikeluhkan dapat berupa sakit kepala, rasa
memutar kepala. goyang, pusing berputar, rasa tidak stabil atau
melayang.
BPPV adalah penyebab vertigo dengan
prevalensi 2,4% dalam kehidupan 1. Bentuk serangan vertigo:
seseorang. Studi yang dilakukan oleh a. Pusing berputar
Bharton 2011, prevalensi akan meningkat b. Rasa goyang atau melayang
setiap tahunnya berkaitan dengan 2. Sifat serangan vertigo:
meningkatnya usia sebesar 7 kali atau a. Periodik
seseorang yang berusia di atas 60 tahun b. b. Kontinu
dibandingkan dengan 18- c. Ringan atau berat
39 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada 3. Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat
wanita daripada laki-laki. berupa:
a. Perubahan gerakan kepala atau posisi
Hasil Anamnesis (Subjective) b. Situasi: keramaian dan emosional
c. Suara
Keluhan
4. Gejala otonom yang menyertai keluhan
Vertigo vestibular vertigo:
a. Mual, muntah, keringat dingin
Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya b. Gejala otonom berat atau ringan
episodik, diprovokasi oleh gerakan kepala, bisa 5. Ada atau tidaknya gejala gangguan
disertai rasa mual atau muntah. pendegaran seperti : tinitus atau tuli
Vertigo vestibular perifer timbulnya lebih 6. Obat-obatan yang menimbulkan gejala
mendadak setelah perubahan posisi kepala vertigo seperti: streptomisin, gentamisin,
dengan rasa berputar yang berat, disertai kemoterapi
mual atau muntah dan keringat dingin. Bisa 7. Tindakan tertentu: temporal bone surgery,
disertai gangguan pendengaran berupa transtympanal treatment
tinitus, atau ketulian, dan tidak disertai gejala 8. Penyakit yang diderita pasien: DM,
neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia, hipertensi, kelainan jantung
perioralparestesia, paresis fasialis. 9. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal
wajah satu sisi, perioral numbness, disfagia,
Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia
lambat, tidak terpengaruh oleh gerakan kepala. serebelaris
Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa
mual dan muntah, tidak disertai gangguan
pendengaran. Keluhan dapat disertai dengan
gejala neurologik fokal seperti hemiparesis,
Gambaran klinis BPPV: berdiri dengan kedua kaki rapat
dan mata terbuka pasien jatuh,
Vertigo timbul mendadak pada perubahan kemungkinan kelainan pada
posisi, misalnya miring ke satu sisi Pada waktu serebelum. Jika saat mata terbuka
berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk. pasien tidak jatuh, tapi saat mata
atau menegakkan kembali badan, menunduk tertutup pasien cenderung jatuh
atau menengadah. Serangan berlangsung dalam ke satu sisi,kemungkinan kelainan
waktu singkat, biasanya kurang dari 10-30 pada sistem vestibuler atau
detik. Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, proprioseptif (Tes Romberg positif).
bisa disertai rasa mual, kadang-kadang muntah.
Setelah rasa berputar menghilang, pasien bisa • Tes Romberg dipertajam (sharpen
merasa melayang dan diikuti disekulibrium Romberg/tandem Romberg): Jika
selama beberapa hari sampai minggu. BPPV pada keadaan berdiri tandem
dapat muncul kembali. dengan mata terbuka pasien
jatuh, kemungkinan kelainan pada
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang serebelum. Jika pada mata tertutup
sederhana (Objective) pasien cenderung jatuh ke satu sisi,
kemungkinan kelainan pada system
Pemeriksaan Fisik
vestibuler atau proprioseptif.
1. Pemeriksaan umum • Tes jalan tandem: pada kelainan
2. Pemeriksaan sistem kardiovaskuler yang serebelar, pasien tidak dapat
meliputi pemeriksaan tekanan darah pada melakukan jalan tandem dan
saat baring, duduk dan berdiri dengan jatuh ke satu sisi. Pada kelaianan
perbedaan lebih dari 30 mmHg. vestibuler, pasien akan mengalami
deviasi.
3. Pemeriksaan neurologis
• Tes Fukuda(Fukuda stepping test),
a. Kesadaran: kesadaran baik untuk dianggap abnormal jika saat
vertigo vestibuler perifer dan vertigo berjalan ditempat selama 1 menit
non vestibuler, namun dapat menurun dengan mata tertutup terjadi
pada vertigo vestibuler sentral. deviasi ke satu sisi lebih dari 30
b. Nervus kranialis: pada vertigo derajat atau maju mundur lebih
vestibularis sentral dapat mengalami dari satu meter.
gangguan pada nervus kranialis III, IV, • Tes past pointing, pada kelainan
VI, V sensorik, VII, VIII, IX, X, XI, XII. vestibuler ketika mata tertutup
c. Motorik: kelumpuhan satu sisi maka jari pasien akan deviasi ke
(hemiparesis). arah lesi. Pada kelainan serebelar
d. Sensorik: gangguan sensorik pada satu akan terjadi hipermetri atau
sisi (hemihipestesi). hipometri.
e. Keseimbangan (pemeriksaan khusus Pemeriksaan Penunjang
neurootologi):
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai
• Tes nistagmus: Nistagmus dengan etiologi.
disebutkan berdasarkan komponen
cepat, sedangkan komponen Penegakan diagnostik (Assessment)
lambat menunjukkan lokasi lesi: Diagnosis Klinis
unilateral, perifer, bidireksional,
sentral. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
• Tes Romberg: Jika pada keadaan pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
Tabel 8.4. Perbedaan vertigo vestibuler dan dengan cepat ke salah satu sisi,
non vestibuler pertahankan selama 30 detik. Setelah itu
duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan
dengan cepat ke sisi lain. Pertahankan
selama 30 detik, lalu duduk kembali.
Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang
dan malam hari masing- masing diulang 5
kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3
minggu dengan latihan pagi dan sore hari.

Tabel 8.5. Perbedaan vertigo perifer dengan 3. Karena penyebab vertigo beragam,
vertigo sentral sementara penderita sering kali merasa
sangat terganggu dengan keluhan
vertigo tersebut, seringkali menggunakan
pengobatan simptomatik. Lamanya
pengobatan bervariasi. Sebagian besar
kasus terapi dapar dihentikan setelah
beberapa minggu. Beberapa golongan yang
sering digunakan:
a. Antihistamin (Dimenhidrinat atau
Difenhidramin)
Diagnosis Banding : • Dimenhidrinat lama kerja obat ini
Seperti tabel di bawah ini, yaitu: ialah 4-6 jam. Obat dapat diber
per oral atau parenteral (suntikan
Tabel 8.6. Diagnosis banding gangguan intramuskular dan intravena),
neurologi dengan dosis 25 mg-50 mg (1
tablet), 4 kali sehari.
• Difenhidramin HCl. Lama aktivitas
obat ini ialah 4-6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul)-50
mg, 4 kali sehari per oral.
• Senyawa Betahistin (suatu analog
histamin):
Betahistin Mesylate dengan dosis 12
mg, 3 kali sehari per oral.
Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg,
3 kali sehari. maksimum 6 tablet dibagi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) dalam beberapa dosis.
Penatalaksanaan b. Kalsium Antagonis
1. Pasien dilakukan latihan vestibular Cinnarizine, mempunyai khasiat
(vestibular exercise) dengan metode menekan fungsi vestibular dan dapat
BrandDaroff. mengurangi respons terhadap
akselerasi angular dan linier. Dosis
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari
dengan kedua tungkai tergantung, dengan atau 1x75 mg sehari.
kedua mata tertutup baringkan tubuh
Terapi BPPV: 5. Obat antihistamin
6. Obat antagonis kalsium
1. Komunikasi dan informasi:
2. Karena gejala yang timbul hebat, pasien Prognosis
menjadi cemas dan khawatir akan adanya Pada BPPV, prognosis umumnya baik, namun
penyakit berat seperti stroke atau tumor BPPV sering terjadi berulang.
otak. Oleh karena itu, pasien perlu
diberikan penjelasan bahwa BPPV bukan Referensi
sesuatu yang berbahaya dan prognosisnya
1. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman
baik serta hilang spontan setelah beberapa
Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan Dokter
waktu, namun kadang-kadang dapat
Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012.
berlangsung lama dan dapat kambuh
(Kelompok Studi Vertigo, 2012)
kembali.
2. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis
3. Obat antivertigo seringkali tidak diperlukan
and management in primary care. BJMP.
namun apabila terjadi dis-ekuilibrium pasca
2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
BPPV, pemberian betahistin akan berguna
untuk mempercepat kompensasi. 3. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of
vertigo, migraine and vestibular migraine.
Terapi BPPV kanal posterior: Journal Neurology. 2009:25:333-338.
1. Manuver Epley (Lempert & Neuhauser, 2009)
2. Prosedur Semont 4. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of
3. Metode Brand Vertigo.Journal American Family Physician.
2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
Daroff Rencana Tindak
5. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis
Lanjut Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
(Mardjono & Sidharta, 2008)
Vertigo pada pasien perlu pemantauan untuk
mencari penyebabnya kemudian dilakukan 6. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium
tatalaksana sesuai penyebab. Neurology:Systematic Approach that
Needed for establish of Vertigo. The
Konseling dan Edukasi Practitioner. 2010; 254 (1732) p. 19-23.
(Turner & Lewis, 2010)
1. Keluarga turut mendukung dengan
memotivasi pasien dalam mencari 7. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition:
penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai Approach to the Patient with Dizziness and
penyebab. Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot.
2. Mendorong pasien untuk teratur William and Wilkins. 2009 (Chain, 2009)
melakukan latihan vestibular.
Kriteria Rujukan
1. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera
dirujuk.
2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo
vestibular setelah diterapi farmakologik dan
non farmakologik.
Peralatan
1. Palu refleks
2. Sphygmomanometer
3. Termometer
4. Garpu tala (penala)
4. TETANUS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: N72 Tetanus
: A35 Other tetanus
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia,


Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
disebabkan oleh tetanospasmin. Penyakit ini kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
ditandai dengan spasme tonik persisten, berkembang menjadi tetanus umum dan
disertai serangan yang jelas dan keras. prognosisnya biasanya jelek.
Tetanospasmin adalah neurotoksin yang 3. Tetanus umum/generalisata
dihasilkan oleh Clostridium tetani. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus,
Tetanospasmin menghambat neurotransmiter iritable, kekakuan leher, susah menelan,
GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi kekakuan dada dan perut (opistotonus),
hambatan aktivitas refleks otot. Spasme otot rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta
dapat terjadi lokal (disekitar infeksi), sefalik kejang umum yang dapat terjadi dengan
(mengenai otot-otot cranial), atau umum atau rangsangan ringan seperti sinar, suara dan
generalisata (mengenai otot-otot kranial sentuhan dengan kesadaran yang tetap
maupun anggota gerak dan batang tubuh). baik.
Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher
dan rahang yang mengakibatkan penutupan 4. Tetanus neonatorum
rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir,
otot otot ekstremitas dan batang tubuh. disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala
yang sering timbul adalah ketidakmampuan
Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti
adalah penyalahguna obat yang menggunakan oleh kekakuan dan spasme.
suntikan.
Faktor Risiko: -
Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Keluhan sederhana (Objective)
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari Pemeriksaan Fisik
kekakuan otot setempat, trismus, sampai kejang
yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat,
atas 4 macam yaitu: trismus sampai kejang yang hebat.
1. Tetanus lokal 1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme spasme yang menetap.
yang menetap disertai rasa sakit pada otot 2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus,
disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
dapat berkembang menjadi tetanus umum. kranial.
2. Tetanus sefalik 3. Pada tetanus umum/generalisata adanya:
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah trismus, kekakuan leher, kekakuan dada
dengan masa inkubasi dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi
lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum
1-2 hari, yang disebabkan oleh luka yang dapat terjadi dengan rangsangan
pada daerah kepala atau otitis media ringan seperti sinar, suara dan sentuhan
dengan
kesadaran yang tetap baik. 5. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk
4. Pada tetanus neonatorum ditemukan puerpurium dan tetanus neonatorum
kekakuan dan spasme dan posisi tubuh (kematian 84%).
klasik: trismus, kekakuan pada otot Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi
punggung menyebabkan opisthotonus dari klasifikasi Albleet’s:
yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi
mempertahankan ekstremitas atas fleksi 1. Grade 1 (ringan)
pada siku dengan tangan mendekap dada, Trismus ringan sampai sedang, spamisitas
pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak
ekstremitas bawa hiperekstensi dengan ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari- 2. Grade 2 (sedang)
jari kaki. Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme
ringan atau sedang namun singkat, penyulit
Pemeriksaan Penunjang pernafasan sedang dengan takipneu.
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang 3. Grade 3 (berat)
spesifik. 4. Trismus berat, spastisitas umum, spasme
spontan yang lama dan sering, serangan
Penegakan Diagnostik (Assessment) apneu, disfagia berat, spasme memanjang
spontan yang sering dan terjadi refleks,
Diagnosis Klinis
penyulit pernafasan disertai dengan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf
dan riwayat imunisasi. otonom sedang yang terus meningkat.
5. Grade 4 (sangat berat)
Tingkat keparahan tetanus: 6. Gejala pada grade 3 ditambah gangguan
Kriteria Pattel Joag otonom yang berat, sering kali
menyebabkan “autonomic storm”.
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas,
disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang Diagnosis Banding
2. Kriteria 2: Spasme,tanpa mempertimbangkan Meningoensefalitis, Poliomielitis, Rabies, Lesi
frekuensi maupun derajat keparahan orofaringeal, Tonsilitis berat, Peritonitis, Tetani
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari (timbul karena hipokalsemia dan
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal fosfat dalam serum rendah), keracunan
100ºF (> 400 C), atau aksila 99ºF ( 37,6 ºC ). Strychnine, reaksi fenotiazine
Grading Komplikasi
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu 1. Saluran pernapasan
kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia,
kematian) atelektasis akibat obstruksi oleh sekret,
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, pneumotoraks dan mediastinal emfisema
biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa biasanya terjadi akibat dilakukannya
inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih trakeostomi.
dari 48 jam (kematian 10%) 2. Kardiovaskuler
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang
biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari meningkat antara lain berupa takikardia,
atau onset kurang dari 48 jam (kematian hipertensi, vasokonstriksi perifer dan
32%) rangsangan miokardium.
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat
minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
3. Tulang dan otot d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih
Pada otot karena spasme yang dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus
berkepanjangan bisa terjadi perdarahan imunoglobulin (TIg) harus diberikan.
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi Keparahan luka bukan faktor penentu
fraktura kolumna vertebralis akibat kejang pemberian TIg
yang terus-menerus terutama pada anak 3. Pengawasan, agar tidak ada hambatan
fungsi respirasi.
dan orang dewasa. Beberapa peneliti
4. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang
melaporkan juga dapat terjadi miositis luar seperti suara, cahaya-ruangan redup
ossifikans sirkumskripta. dan tindakan terhadap penderita.
4. Komplikasi yang lain 5. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus kalori per hari dengan 100-150 gr protein.
karena penderita berbaring dalam satu Bentuk makanan tergantung kemampuan
posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi membuka mulut dan menelan. Bila ada
sekunder atau toksin yang menyebar luas trismus, makanan dapat diberikan per
dan mengganggu pusat pengatur suhu. sonde atau parenteral.
6. Oksigen, pernapasan buatan dan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) trakeostomi bila perlu.
7. Antikonvulsan diberikan secara titrasi,
Penatalaksanaan sesuai kebutuhan dan respon klinis.
1. Manajemen luka zepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila
penderita datang dalam keadaan kejang
Pasien tetanus yang diduga menjadi maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/
port de entry masuknya kuman C. tetani kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan
harus mendapatkan perawatan luka. Luka dosis optimum 10mg/kali diulang setiap
dapat menjadi luka yang rentan mengalami kali kejang. Kemudian diikuti pemberian
tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus Diazepam per oral (sonde lambung) dengan
dengan kriteria sebagai berikut: dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali.
Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila
Tabel 8.7 Manajemen luka tetanus masih kejang (tetanus yang sangat berat),
harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi
mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan
sampai 480 mg/hari dengan bantuan
ventilasi mekanik, dengan atau tanpa
kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula
dipertimbangkan digunakan bila ada
gangguan saraf otonom.
8. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan,
tetapi sebelumnya diperlukan skin tes untuk
hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu,
diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit
dengan infus IV lambat. Jika pembedahan
eksisi luka memungkinkan, sebagian
2. Rekomendasi manajemen luka traumatik antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka.
a. Semua luka harus dibersihkan dan 9. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of
jika perlu dilakukan debridemen. choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta
b. Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari.
didapatkan. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat
c. TT harus diberikan jika riwayat booster diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV
terakhir lebih dari 10 tahun jika setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian
riwayat imunisasi tidak diketahui, TT antibiotik di atas dapat mengeradikasi
dapat diberikan.
Clostridium tetani tetapi tidak dapat 1. Sarana pemeriksaan neurologis
mempengaruhi proses neurologisnya. 2. Oksigen
10. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian 3. Infus set
antibiotika spektrum luas dapat dilakukan. 4. Obat antikonvulsan
Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol
dapat diberikan, terutama bila penderita Prognosis
alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/ Tetanus dapat menimbulkan kematian dan
hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/ gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati
kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh
Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi
selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C.
11. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang tetani.
pertama, dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang Referensi
berbeda dengan alat suntik yang berbeda.
Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus
0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 dalam Infeksi pada sistem saraf. Perdossi.
jam pertama. 2012. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)
12. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai 2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK
13. Mengatur keseimbangan cairan dan UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006)
elektrolit. 3. 3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika,
S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam:
Konseling dan Edukasi Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih,
S.E. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Peran keluarga pada pasien dengan risiko Kesehatan Anak.Ed3. Bandung: FKUP/RSHS.
terjadinya tetanus adalah memotivasi untuk 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005)
dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS. 4. 4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M.
Rencana Tindak Lanjut Oxbury, J.Eds. Clinical Neurology. Edinburg:
Churchill Livingstone. 1991; 865- 871.
1. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai (Rauscher, 1991)
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 5. 5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B.
Pengulangan dilakukan 8 minggu Nelson Textbook of Pediatrics. Vol 1.
kemudian dengan dosis yang sama dengan 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004.
dosis inisial. (Behrman, et al., 2004)
2. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian. 6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri
3. Subsequent booster, diberikan 5 tahun Rejeki, S.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak,
berikutnya. Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan
4. Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan Dokter Anak Indonesia. (Poowo, et al.,
setempat. t.thn.)
7. WHO News and activities. The Global
Kriteria Rujukan Eliination of neonatal tetanus: progress to
1. Bila tidak terjadi perbaikan setelah date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World
penanganan pertama. Health Organization, 1994)
2. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem 8. Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and
pernapasan. Physical Agents on the Nervous System. In
3. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology
kesehatan sekunder yang memiliki dokter in Clinical Practice. Vol 1: Principles of
spesialis neurologi. Diagnosis and Management. 6th ed.
Elsevier, Philadelphia, 2012:1369-1370.
Peralatan (Aminoff & So, 2012)
5. RABIES
No. ICPC-2
: A77 Viral disease other/NOS
No. ICD-10
: A82.9 Rabies, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring


Rabies adalah infeksi virus yang menjalar dan otot pernapasan dapat ditimbulkan
ke otak melalui saraf perifer. Perjalanan virus oleh rangsangan sensoris misalnya dengan
untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya meniupkan udara ke muka penderita. Pada
mengambil masa beberapa bulan. Masa stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis,
inkubasi dari penyakit ini 1-3 bulan, tapi dapat konvulsan, dan takikardia. Tindak tanduk
bervariasi antara 1 minggu sampai beberapa penderita tidak rasional kadang maniakal
tahun, tergantung juga pada seberapa jauh disertai dengan responsif. Gejala eksitasi
jarak masuknya virus ke otak. Penyakit infeksi terus berlangsung sampai penderita
akut sistem saraf pusat (ensefalitis) ini meninggal.
disebabkan oleh virus rabies yang termasuk 4. Stadium paralisis
genus Lyssa- virus, family Rhabdoviridae dan Sebagian besar penderita rabies meninggal
menginfeksi manusia, terutama melalui gigitan dalam stadium sebelumnya, namun kadang
hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, ditemukan pasien yang tidak menunjukkan
serigala, kelelawar). Beberapa kasus dilaporkan gejala eksitasi melainkan paresis otot yang
infeksi melalui transplantasi organ dan paparan terjadi secara progresif karena gangguan
udara (aerosol). Rabies hampir selalu berakibat pada medulla spinalis.
fatal jika post-exposure prophylaxis tidak
diberikan sebelum onset gejala berat. Pada umumnya rabies pada manusia
mempunyai masa inkubasi 3-8 minggu.
Hasil Anamnesis (Subjective) Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu
Keluhan dan biasanya timbul sesudah 12 minggu.
Mengetahui port de entry virus tersebut
1. Stadium prodromal secepatnya pada tubuh pasien merupakan kunci
Gejala awal berupa demam, malaise, mual untuk meningkatkan pengobatan pasca gigitan
dan rasa nyeri di tenggorokan selama (post exposure therapy). Pada saat
beberapa hari. pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah
sembuh bahkan mungkin telah dilupakan. Tetapi
2. Stadium sensoris
pasien sekarang mengeluh tentang perasaan
Penderita merasa nyeri, merasa panas (sensasi) yang lain ditempat bekas gigitan
disertai kesemutan pada tempat bekas luka tersebut. Perasaan itu dapat berupa rasa
kemudian disusul dengan gejala cemas, dan tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar (panas),
reaksi yang berlebihan terhadap rangsang berdenyut dan sebagainya.
sensoris.
Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit,
3. Stadium eksitasi
tercakar atau kontak dengan anjing, kucing,
Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi atau binatang lainnya yang:
meninggi dan gejala hiperhidrosis,
hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil 1. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak
dilatasi. Hal yang sangat khas pada stadium hewan tersangka)
ini adalah munculnya macam- macam fobia 2. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit
bukan dibunuh)
3. Tak dapat diobservasi setelah menggigit
(dibunuh, lari, dan sebagainya) minggu.
4. Tersangka rabies (hewan berubah sifat,
malas makan, dan lain- lain). Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise,
anoreksia, kadang ditemukan parestesia pada
Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi daerah gigitan.
antara 7 hari sampai 7 tahun. Lamanya
masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif,
besarnya luka gigitandan lokasi luka gigitan demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring
(jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajat terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris
patogenitas virus dan persarafan daerah luka spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan
gigitan). Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, aerofobia.
dan pada ekstremitas 46-78 hari. Diagnosis Banding
Faktor Risiko : - Tetanus, Ensefalitis, lntoksikasi obat-obat,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Japanese encephalitis, Herpes simplex,
Sederhana (Objective) Ensefalitis post-vaksinasi.

Pemeriksaan Fisik Komplikasi

1. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan 1. Gangguan hipotalamus: diabetes insipidus,


mungkin sudah sembuh bahkan mungkin disfungsi otonomik yang menyebabkan
telah dilupakan. hipertensi, hipotensi, hipo/hipertermia,
2. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal aritmia dan henti jantung.
dan parestesia pada luka bekas gigitan 2. Kejang dapat lokal atau generalisata, sering
yang sudah sembuh (50%), mioedema bersamaan dengan aritmia dan dyspneu.
(menetap selama perjalanan penyakit). Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
3. Jika sudah terjadi disfungsi batang otak
maka terdapat: hiperventilasi, hipoksia, Penatalaksanaan
hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf 1. Isolasi pasien penting segera setelah
otonom, sindroma abnormalitas ADH, diagnosis ditegakkan untuk menghindari
paralitik/ paralisis flaksid. rangsangan-rangsangan yang bisa
4. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma menimbulkan spasme otot ataupun untuk
dan kematian. mencegah penularan.
5. Tanda patognomonis 2. Fase awal: Luka gigitan harus segera
6. Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran dicuci dengan air sabun (detergen) 5-10
fluktuatif, demam tinggi yang persisten, menit kemudian dibilas dengan air
nyeri pada faring terkadang seperti rasa bersih, dilakukan debridement dan
tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, diberikan desinfektan seperti alkohol 40-
kejang, hidrofobia dan aerofobia. 70%, tinktura yodii atau larutan ephiran.
Pemeriksaan Penunjang Jika terkena selaput lendir seperti mata,
hidung atau mulut, maka cucilah kawasan
Hasil pemeriksaan laboratorium kurang tersebut dengan air lebih lama; pencegahan
bermakna. dilakukan dengan pembersihan luka dan
vaksinasi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk
Diagnosis Klinis penderita rabies yang sudah menunjukkan
gejala rabies. Penanganan hanya berupa
Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan tindakan suportif berupa penanganan gagal
(+) dan hewan yang menggigit mati dalam 1 jantung dan gagal nafas.
4. Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) bila Kriteria Rujukan
serumheterolog (berasal dari serum kuda)
Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi 1. Penderita rabies yang sudah menunjukkan
pada luka sebanyak-banyaknya, sisanya gejala rabies.
disuntikkan secara IM. Skin test perlu 2. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
dilakukan terlebih dahulu. Bila serum sekunder yang memiliki dokter spesialis
homolog (berasal dari serum manusia) neurolog.
dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara yang Peralatan
sama.
5. Pemberian serum dapat dikombinasikan 1. Cairan desinfektan
dengan Vaksin Anti 2. Serum Anti Rabies
6. Rabies (VAR) pada hari pertama kunjungan. 3. Vaksin Anti Rabies
7. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) Prognosis
dalam waktu 10 hari infeksi yang dikenal
sebagai post-exposure prophylaxis atau Prognosis pada umumnya buruk, karena
“PEP”VAR secara IM pada otot deltoid atau kematian dapat mencapai 100% apabila virus
anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml rabies mencapai SSP. Prognosis selalu fatal
pada hari 0, 3, 7,14, 28 (regimen Essen atau karena sekali gejala rabies terlihat, hampir
rekomendasi WHO), atau pemberian VAR selalu kematian terjadi dalam 2-3 hari
0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/ sesudahnya, sebagai akibat gagal napas atau
rekomendasi Depkes RI). henti jantung. Jika dilakukan perawatan
8. Pada orang yang sudah mendapat vaksin awal setelah digigit anjing pengidap rabies,
rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila seperti pencucian luka, pemberian VAR dan SAR,
digigit binatang tersangka rabies, vaksin maka angka survival mencapai 100%.
cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3,
namun bila gigitan berat vaksin diberikan Referensi
lengkap. 1. Harijanto, Paul N dan Gunawan, Carta A.
9. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
daerah leher ke atas, pada jari tangan ke 4. Jakarta: FKUI. 2006. Hal 1736-9.
dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB 2. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to
dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah RNA viruses: Harrisons Internal Medicine
setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka 16th edition. McGraw Hill. Medical
dan setengah dosis IM pada tempat yang Publishing Division. 2005. (Braunwald, et
berlainan dengan suntikan SAR, diberikan al., 2009)
pada hari yang sama dengan dosis pertama 3. The Merk Manual of Medical information.
SAR. Rabies, brain and spinal cord disorders,
infection of the brain and spinal cord.2006.
Konseling dan Edukasi
p: 484-486.
1. Keluarga ikut membantu dalam 4. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic
halpenderita rabies yang sudah Press. 2002. p. 290. (Jackson & Wunner, 2002)
menunjukan gejala rabies untuk segera 5. Davis L.E. King, M.K. Schultz,
dibawa untuk penanganan segera ke J.LFundamentals of neurologic disease.
fasilitas kesehatan. Pada pasien yang digigit Demos Medical Publishing, LLc. 2005. p: 73.
hewan tersangka rabies, keluarga harus (Davis, et al., 2005)
menyarankan pasien untuk vaksinasi. 6. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable
2. Laporkan kasus rabies ke dinas kesehatan diagnosis of human rabies based on analysis
setempat. of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47
(11): 1410-1417. 2008. (Reynes and Buchy,
2008) 9. 9. Ranjan. Remnando. Rabies, tropical
7. 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for infectious disease epidemiology,
Disease Control and Prevention. 2007. investigation, diagnosis and management.
Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/ 2002. Hal 291-297. (Beckham, et al., t.thn.)
diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12. 10. Beckham JD, Solbrig MV, Tyler KL. Infection
(Centers for Disease Control and Prevention of the Nervous System. Viral Encephalitis
, 2007) and Meningitis. In Darrof RB et al (Eds).
8. Kumar.Clark. Rhabdoviruses Rabies. Clinical Bradley’s Neurology Clinical Practice. Vol 1:
Medicine. W.B Saunders Company Ltd. Principles of Diagnosis and Management.
2006. Hal 57-58. (Kumar, 2006) 6th ed. Elsevier, Philadelphia, pp. 1252-
1253.

6. MALARIA SEREBRAL
No. ICPC-2 No.ICD-10 : A73 Malaria
: Plasmodium falciparum with cerebral complication
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Malaria Serebral merupakan salah satu Sederhana (Objective)
komplikasi infeksi dari Plasmodium falciparum Pemeriksaan Fisik
dan merupakan komplikasi berat yang paling
sering ditemukan serta penyebab kematian Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:
utama pada malaria. Diperkirakan sekitar 1-3 1. Penurunan kesadaran yang dapat didahului
juta orang meninggal diseluruh dunia setiap mengantuk, kebingungan, disorientasi,
tahunnya karena malaria serebral, terutama delirium atau agitasi namun kaku kuduk dan
pada anak-anak. rangsang meningeal lain tidak ditemukan
dan dapat berlanjut menjadi koma.
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Kaku kuduk biasanya negatif, hiperekstensi
Keluhan leher terjadi pada kasus berat
3. Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai
Pasien dengan malaria Serebral biasanya nistagmus dan deviasi conjugee
ditandai oleh 4. Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan
retina yang pucat, perdarahan retina (6-37%
1. Trias malaria (menggigil, demam,
berkeringat) kasus), edema papil dan cotton wool spots.
2. Penurunan kesadaran berat 5. Gejala neurologi yang sering adalah lesi
3. Disertai kejang upper motor neuron, tonus otot dan reflex
tendon meningkat (tetapi dapat juga normal
Faktor Risiko
ataupun menurun), refleks babinsky positif
1. Tinggal atau pernah berkunjung ke daerah
endemik malaria Pemeriksaan Penunjang
2. Riwayat terinfeksi Plasmodium falciparum 1. Pemeriksaan apusan darah
Bisa ditemukan adanya Plasmodium
falciparum aseksual pada penderita yang
mengalami penurunan kesadaran
2. Pemeriksaan darah rutin dan gula darah
Penegakan Diagnostik (Assessment) kontak dengan nyamuk anopheles baik
dengan menggunakan kelambu maupun
Diagnosis Klinis reppelen
Diagnosis malaria serebral ditegakkan dengan 3. Hindari aktivitas di malam hari khususnya
ditemukannya Plasmodium falciparum bentuk bagi mereka yang tinggal atau bepergian ke
aseksual pada pemeriksaan apusan darah tepi daerah endemik malaria
pasien dengan penurunan kesadaran berat
Peralatan
(koma), walaupun semua gangguan kesadaran
(GCS<15) harus dianggap dan diterapi sebagai 1. Laboratorium untuk pemeriksaan apusan
malaria berat. Gangguan kesadaran pada darah tebal
malaria dapat pula disebabkan oleh demam 2. Laboratoriumuntuk pemeriksaan darah
yang tinggi, hipoglikemia, syok, ensefalopati rutin dan gula darah
uremikum, ensefalopati hepatikum, sepsis. 3. Termometer
Semua penderita dengan demam dan 4. Stetoskop
penurunan kesadaran seyogyanya didiagnosis 5. Tensi
banding sebagai malaria serebral, khususnya 6. Senter
jika penderita tinggal atau pernah berkunjung 7. Palu reflex
ke daerah endemik malaria. 8. Funduskopi
Diagnosis Banding: Prognosis
Infeksi virus, bakteri, jamur (cryptococcal), 1. Ad Vitam: Dubia ad Malam
protozoa (African Trypanosomiasis), 2. AdFunctionam: Dubia et Malam
Meningoensefalitis, Abses serebral, Trauma 3. Ad Sanationam: Dubia
kepala, Stroke, intoksikasi, gangguan metabolik
Referensi
Komplikasi:
1. Gunawan C, Malaria Serebral dan
Gagal ginjal akut, ikterus, asidosis metabolik, penanganannya dalam Malaria dari
hipoglikemia, hiperlaktemia, hipovolemia, Molekuler ke Klkinis EGC. Jakarta 2012.
edema paru, sindrom gagal nafas akut (Gunawan, 2012)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
Semua pasien yang didiagnosis dengan malaria
serebral harus dipastikan jalan nafas lancar dan
pernafasan dibantu dengan oksigen, setelah
penatalaksanaan suportif seperti pemberian
cairan agar segera dirujuk ke fasilitas layanan
kesehatan sekunder
Kriteria Rujukan
Pasien dengan Malaria Serebral agar segera
dirujuk ke RS Edukasi dan Konseling:
1. Konsultasi ke dokter untuk penggunaan
kemoprofilaksis bagi mereka yang hendak
berkunjung ke daerah endemic malaria
2. Malaria bisa dicegah dengan menghindari
7. EPILEPSI
No. ICPC-2
: N88 Epilepsy
No. ICD-10
: G40.9 Epilepsy, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan bangkitan


Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan Keadaan penyandang saat bangkitan:
yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang duduk/berdiri/bebaring/tidur/berkemih.
berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi
provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan awal/speech arrest)
bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis Pola/bentuk yang tampak selama
yang disebabkan oleh aktivitas listrik yang bangkitan: gerakan tonik/klonik,
abnormal dan berlebihan dari sekelompok vokalisasi, otomatisme, inkontinensia,
neuron di otak. lidah tergigit, pucat berkeringat, deviasi
mata.
Etiologi epilepsi: Keadaan setelah kejadian: bingung,
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
di otak atau defisit neurologis dan gelisah, Todd’s paresis.
diperkirakan tidak mempunyai predisposisi Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur,
genetik dan umumnya berhubungan hormonal.
dengan usia. Jumlah pola bangkitan satu atau lebih,
2. Kriptogenik: dianggap simptomatik tetapi atau terdapat perubahan pola
penyebabnya belum diketahui, termasuk bangkitan.
disini sindromaWest, sindroma Lennox- b. Penyakit lain yang mungkin diderita
Gastaut, dan epilepsi mioklonik. sekarang maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit
3. Simptomatik: bangkitan epilepsi
disebabkan oleh kelainan/lesi psikiatrik maupun penyakit sistemik
yang mungkin menjadi penyebab.
4. struktural pada otak, misalnya cedera
kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi c. Usia awitan, durasi, frekuensi
desak ruang, gangguan peredaran darah bangkitan, interval terpanjang antar
otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, bangkitan.
kelainan neurodegeneratif. d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan
respon terhadap terapi (dosis, kadar
Hasil Anamnesis (Subjective) OAE, kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis keluarga.
epilepsi, yaitu: f. Riwayat keluarga dengan penyakit
1. Langkah pertama: memastikan apakah neurologik lain, penyakit psikitrik atau
kejadian yang bersifat paroksismal merupakan sistemik.
bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus, g. Riwayat pada saat dalam kandungan,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan kelahiran dan perkembangan
berdasarkan informasi yang diperoleh dari bayi/anak.
anamnesis baik auto maupun allo-anamnesis h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang
dari orang tua maupun saksi mata yang lain. demam.
a. Gejala sebelum, selama dan paska i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
2. Langkah kedua: apabila benar terdapat
bangkitan epilepsi, maka tentukan
bangkitan tersebut bangkitan yang mana
(klasifikasi ILAE 1981).
3. Langkah ketiga: menentukan etiologi, Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
sindrom epilepsi, atau penyakit epilepsi pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
apa yang diderita pasien dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE 1989. Diagnosis Banding
Langkah ini penting untuk menentukan Sinkop, Transient Ischemic Attack, Vertigo,
prognosis dan respon terhadap OAE (Obat Global amnesia, Tics dan gerakan involunter
Anti Epilepsi).
Komplikasi : -
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana (Objective) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah Sebagai dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan tingkat pertama, bila pasien terdiagnosis
yang berhubungan dengan epilepsi seperti sebagai epilepsi, untuk penanganan awal pasien
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, harus dirujuk ke dokter spesialis saraf.
gangguan kongenital,
1. OAE diberikan bila:
kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal.
b. Pastikan faktor pencetus dapat
Pemeriksaan neurologis dihindari (alkohol, stress, kurang tidur,
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan dan lain-lain)
neurologik sangat tergantung dari interval c. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam
antara dilakukannya pemeriksaan dengan setahun
bangkitan terakhir.
d. Penyandang dan atau keluarganya
1. Jika dilakukan pada beberapa menit atau sudah menerima penjelasan terhadap
jam setelah bangkitan maka akan tampak tujuan pengobatan
tanda pasca iktal terutama tanda fokal
e. Penyandang dan/atau keluarganya
seperti todds paresis (hemiparesis setelah
telah diberitahu tentang kemungkinan
kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic
efek samping yang timbul dari OAE
syndrome (afasia sesaat) yang tidak jarang
dapat menjadi petunjuk lokalisasi. 2. Terapi dimulai dengan monoterapi
2. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
bangkitan terakhir berlalu, sasaran utama jenis bangkitan (tabel 1) dan jenis sindrom
adalah menentukan apakah ada tanda- epilepsi:
tanda disfungsi system saraf permanen
(epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang 3. Tabel 8.8. Obat Anti Epilepsi (OAE) pilihan
apakah ada tanda-tanda peningkatan sesuai dengan jenis bangkitan epilepsi
tekanan intrakranial.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG,
pemeriksaan pencitraan otak, pemeriksaan
laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar
OAE.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Tabel 8.9. Dosis Obat Anti Epilepsi (OAE)
4. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah SSP.
dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif h. Bangkitan pertama berupa status
tercapai atau timbul efek samping. Kadar epileptikus.
obat dalam darah ditentukan bila i. Namun hal ini dapat dilakukan di
bangkitan tidak terkontroldengan dosis pelayanan kesehatan sekunder
efektif. Bila diduga ada perubahan
8. Efek samping perlu diperhatikan, demikian
farmakokinetik OAE (kehamilan, penyakit
pula halnya dengan interaksi farmakokinetik
hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi
antar OAE.
OAE), diduga penyandang epilepsi tidak
patuh pada pengobatan. Setelah 9. Strategi untuk mencegah efek samping:
pengobatan dosis regimen OAE, dilihat a. Mulai pengobatan dengan
interaksi antar OAE atau obat lain. mempertimbangkan keuntungan dan
Pemeriksaan interaksi obat ini dilakukan kerugian pemberian terapi
rutin setiap tahun pada penggunaan b. Pilih OAE yang paling cocok untuk
phenitoin. karakteristik penyandang
5. Bila pada penggunaan dosis maksimum c. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil
OAE tidak dapat mengontrol dan rumatan terkecil mengacu pada
bangkitan, maka dapat dirujuk kembali sindrom epilepsi dan karaktersitik
untuk mendapatkan penambahan OAE penyandang epilepsi
kedua. Bila OAE kedua telah mencapai 10. OAE dapat dihentikan pada keadaan:
kadar terapi, maka OAE pertama a. Setelah minimal 2 tahun bebas
diturunkan bertahap (tapering off) bangkitan.
perlahan-lahan. b. Gambaran EEG normal.
6. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan di c. Harus dilakukan secara bertahap, pada
layanan sekunder atau tersier setelah umumnya 25% dari dosis semula setiap
terbukti tidak dapat diatasi dengan bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
penggunaan dosis maksimal kedua OAE
d. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka
pertama.
penghentian dimulai dari 1 OAE yang
7. Penyandang dengan bangkitan tunggal bukan utama.
direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
e. Keputusan untuk menghentikan OAE
kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bila:
dilakukan pada tingkat pelayanan
a. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada sekunder/tersier.
EEG.
11. Kekambuhan setelah penghentian OAE
b. Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI akan lebih besar kemungkinannya pada
Otak dijumpai lesi yang berkorelasi keadaan sebagai berikut:
dengan bangkitan: meningioma,
a. Semakin tua usia, kemungkinan
neoplasma otak, AVM, abses otak,
kekambuhan semakin tinggi.
ensephalitis herpes.
b. Epilepsi simptomatik.
c. Pada pemeriksaan neurologik
dijumpai kelainan yang mengarah c. Gambaran EEG abnormal.
pada adanya kerusakan otak. d. Semakin lama adanya bangkitan
d. Terdapatnya riwayat epilepsi pada sebelum dapat dikendalikan.
saudara sekandung (bukan orang tua). e. Penggunaan lebih dari satu OAE.
e. Riwayat bangkitan simptomatik. f. Mendapatkan satu atau lebih
f. Terdapat sindrom epilepsi yang bangkitan setelah memulai terapi.
berisiko tinggi seperti JME (Juvenile g. Mendapat terapi setelah 10 tahun.
Myoclonic Epilepsi).
g. Riwayat trauma kepala disertai
penurunan kesadaran, stroke, infeksi
Tabel 8.10. Efek samping Obat Anti Epilepsi Kriteria Rujukan
(OAE)
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka
pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder
yang memiliki dokter spesialis saraf.
Peralatan
Tersedia Obat Anti Epilepsi
Konseling dan Edukasi
1. Penting untuk memberi informasi kepada
keluarga bahwa penyakit ini tidak menular
2. Kontrol pengobatan merupakan hal penting
bagi penderita
3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi
utamanya anak-anak perlu pendampingan
sehingga lingkungan dapat menerima
dengan baik
4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan
baik
Dilakukan untuk individu dan keluarga
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tergantung
klasifikasi epilepsi yang dideritanya, sedangkan
serangan epilepsi dapat berulang, tergantung
kontrol terapi dari pasien.
Referensi
1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012.
(Kelompok Studi Epilepsi, 2012)
8. TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK (TIA)
No. ICPC-2 : K89 Transient cerebral ischaemia
No.ICD-10 : G45.9 Transient cerebral ischaemic attack, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
TIA atau serangan iskemik otak sepintas (SOS)
Keluhan
adalah penurunan aliran darah yang
berlangsung sepintas (tidak menetap atau tidak Secara umum, gejala neurologis yang
permanen) ke area tertentu dari otak, sehingga diakibatkan oleh TIA tergantung pada pembuluh
mengakibatkan disfungsi neurologis yang darah otak yang mengalami gangguan, yaitu
berlangsung singkat (kurang dari 24 jam). Jika sistem karotis atau vertebrobasilaris.
gejala nerologik menetap (irreversible), dan
berlangsung lebih lama (lebih dari 24 jam), 1. Disfungsi neurologis fokal yang sering
maka dikategorikan sebagai stroke iskemik ditemukan berupa:
(infark). Defisit neurologis yang berlangsung a. Kelemahan atau kelumpuhan salah
lebih lama dari 24 jam, tapi tidak menetap satu sisi wajah, lengan, dan tungkai
(reversible,) dan dalam waktu kurang dari 2 (hemiparesis, hemiplegi)
minggu sembuh total tanpa gejala sisa, disebut b. Gangguan sensorik pada salah satu
reversible ischemic neurological deficit (RIND). sisi wajah, lengan, dan tungkai
Serangan TIA terjadi secara tiba-tiba (akut), (hemihipestesi, hemi-anesthesi)
dan biasanya berlangsung singkat (beberapa c. Gangguan bicara (disartria)
menit), jarang sampai lebih dari 1-2 jam, diikuti d. Gangguan berbahasa (afasia)
kesembuhan total tanpa gejala sisa. Pada
e. Gejala neurologik lainnya:
pasien yang mengalami serangan TIA lebih dari
3 jam, dengan pemeriksaan MRI, lebih dari 50% f. Jalan sempoyongan (ataksia)
diantaranya ditemukan gambaran infark di otak. g. Rasa berputar (vertigo)
Pasien yang pernah mengalami TIA, mempunyai h. Kesulitan menelan (disfagia)
risiko lebih besar untuk terserang stroke i. Melihat ganda (diplopia)
iskemik (infark). Sekitar 15-26% pasien stroke, j. Penyempitan lapang penglihatan
pernah mengalami TIA sebelumnya. Sehingga (hemianopsia, kwadran- anopsia)
TIA termasuk faktor risiko stroke, dan disebut
sebagai warning sign (tanda peringatan) 2. Gangguan tersebut terjadi mendadak, dan
terjadinya stroke. Setelah TIA, antara 10- biasanya berlangsung dalam waktu yang
15% pasien mengalami stroke iskemik dalam singkat (beberapa menit), jarang sampai
waktu 3 bulan, dan sebagian besar diantaranya lebih dari 1-2 jam, diikuti kesembuhan total
terjadi dalam waktu 48 jam setelah terjadinya tanpa gejala sisa.
TIA. Karena itu, TIA maupun stroke iskemik, 3. Diperlukan anamnesis yang teliti tentang
keduanya merupakan kedaruratan medik yang faktor risiko TIA/stroke
mempunyai kesamaan mekanisme patogenesis,
dan memerlukan prevensi sekunder, evaluasi,
dan penatalaksanaan yang hampir sama.
Tabel: 8.11. Faktor risiko TIA/stroke dengan teknik khusus, misalnya perfusion CT,
atau diffusion weighted MRI (DWI).
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Foto toraks
2. Tes faal hati
3. Ekokardiografi (jika diduga emboli
kardiogenik)
4. TCD (transcranial Doppler)
5. EEG (elektro-ensefalografi)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis dan CT scan kepala
(bila diperlukan)
Diagnosis Banding:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Stroke iskemik (infark)
Sederhana (Objective)
2. Stroke hemoragik
Pemeriksaan Fisik 3. Gangguan fungsi otak yang menyerupai
TIA/ stroke, misalnya:
Meliputi pemeriksaan umum dan neurologis. a. Cedera otak traumatik: hematoma
Pemeriksaan Umum Terutama pemeriksaan epidural/subdural
tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, b. Tumor otak
jantung, bising karotis/subklavia, dan tanda vital c. Infeksi otak: abses, tuberkuloma
lainnya. d. Todd’s paralysis (hemiparesis pasca
Pemeriksaan neurologis serangan kejang)
e. Gangguan metabolik: hipo/
Terutama untuk menemukan adanya tanda hiperglikemia
defisit neurologis berupa status mental,
motorik, sensorik sederhana dan kortikal luhur, Komplikasi
fungsi serebelar, dan otonomik. Antara 10-15% pasien mengalami stroke
Pemeriksaan Penunjang :- iskemik dalam waktu 3 bulan, dan sebagian
besar diantaranya terjadi dalam waktu 48 jam
Pemeriksaan standar dilakukan di fasilitas setelah terjadinya TIA.
pelayanan kesehatan sekunder:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. CT scan kepala (atau MRI)
2. EKG (elektrokardiografi) Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
3. Kadar gula darah Bila mendapat serangan TIA, pasien harus
4. Elektrolit serum segera dibawa ke rumah sakit agar
5. Tes faal ginjal mendapatkan pemeriksaan untuk menemukan
6. Darah lengkap penyebab dan penanganan lebih lanjut. Bila
7. Faal hemostasis skor ABCD2 > 5, pasien harus segera mendapat
Catatan: CT scan atau MRI kepala pada pasien perawatan seperti perawatan pasien stroke
TIA biasanya tidak menunjukkan kelainan, iskemik akut. Tekanan darah tinggi, penyakit
kecuali jantung, diabetes dan
penyakit gangguan darah harus segera diterapi. LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and
Untuk mencegah berulangnya TIA dan serangan Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009:
stroke, perlu diberikan obat antiplatelet, 85-99. (Romano & Sacco, 2009)
misalnya asetosal, clopidogrel, dipyridamole, 3. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular
cilostazol. Pada stenosis karotis, mungkin Diseases of the Nervous System. Ischemic
diperlukan tindakan carotid endarterectomy Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et
atau carotid angioplasty. Jika ada fibrilasi atrial, al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
mungkin diperlukan antikoagulan oral, misalnya Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and
warfarin, rifaroxaban, dabigatran, apixaban. Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia,
2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
Tabel 8.12 Skor ABCD2 untuk TIA
4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention
of Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack : A Guideline for
Healthcare Professionals From the
American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2011; 42:227-
276 (Furie, 2011)
5. National Stroke Association. Transient
Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org

Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke RS untuk penanganan
lebih lanjut.
Peralatan
Laboratorium: darah lengkap dan kimia darah
Pemeriksaan radiologi: foto toraks
Pasien membutuhkan CT scan atau MRI di
layanan sekunder
Prognosis
Prognosis bonam bila faktor risiko dapat teratasi
dan penanganan cepat dilakukan. Pemberian
obat antiplatelet dan antikoagulan dapat
mencegah berulangnya TIA dan serangan stroke
iskemik.
Referensi
1. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease:
Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed). Current
Diagnosis and Treatment in Neurology.
McGraw Hill, New York, 2007:100-25.
(Fitzsimmons, 2007)
2. Romano JG, Sacco RL. Prevention of
Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein
9. STROKE
No. ICPC-2
: K90 Stroke/cerebrovascular accident
No. ICD-10
: I63.9 Cerebral infarction, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Untuk memudahkan pengenalan gejala stroke
Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau bagi masyarakat awam, digunakan istilah
global) yang terjadi mendadak, berlangsung FAST (Facial movement, Arm Movement,
lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor Speech, Time: acute onset). Maksudnya, bila
vaskuler. Secara global, saat ini stroke seseorang mengalami kelemahan otot wajah
merupakan salah satu penyebab kematian dan anggota gerak satu sisi, serta gangguan
utama, dan penyebab utama kecacatan pada bicara, yang terjadi mendadak, patut diduga
orang dewasa. Dari laporan Riskesdas (Riset mengalami serangan stroke. Keadaan seperti
Kesehatan Dasar) Departemen Kesehatan itu memerlukan penanganan darurat agar
Republik Indonesia tahun 2007, stroke tidak mengakibatkan kematian dan kecacatan.
merupakan penyebab kematian utama di Karena itu pasien harus segera dibawa ke
Indonesia. rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk
penanganan tindakan darurat bagi penderita
Hasil Anamnesis (Subjective) stroke.
Keluhan Seperti halnya TIA, pada stroke diperlukan
Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak anamnesis yang teliti tentang faktor risiko TIA/
(tiba-tiba), yang sering dijumpai adalah stroke.

1. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi Faktor Risiko


wajah, lengan, dan tungkai (hemiparesis, Beberapa faktor risiko yang dapat
hemiplegi) mempermudah terjadinya serangan stroke,
2. Gangguan sensorik pada salah satu sisi misalnya usia tua, jenis kelamin (laki-laki), berat
wajah, lengan, dan tungkai (hemihipestesi, badan lahir rendah, faktor herediter (familial),
hemianesthesi) ras (etnik), memang tidak bisa dihindari atau
diubah (non modifiable risk factors). Sedangkan
3. Gangguan bicara (disartria)
faktor risiko lainnya mungkin masih bisa
4. Gangguan berbahasa (afasia) dihindari, diobati atau diperbaiki (modifiable
risk factors).
5. Gejala neurologik lainnya seperti jalan
sempoyongan (ataksia), rasa berputar Tabel 8.13 Faktor risiko stroke
(vertigo), kesulitan menelan (disfagia),
melihat ganda (diplopia), penyempitan
lapang penglihatan (hemianopsia, kwadran-
anopsia)
Catatan:
Kebanyakan penderita stroke mengalami lebih
dari satu macam gejala diatas. Pada beberapa
penderita dapat pula dijumpai nyeri kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, dan
kejang pada saat terjadi serangan stroke.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang f. Darah lengkap
Sederhana (Objective) g. Faal hemostasis
2. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Pemeriksaan tanda vital: pernapasan, nadi,
a. Foto toraks
suhu, tekanan darah harus diukur kanan
b. Tes faal hati
dan kiri
c. Saturasi oksigen, analisis gas darah
2. Pemeriksaaan jantung paru
d. Toksikologi
3. Pemeriksaan bruitkarotis dan subklavia
e. Kadar alkohol dalam darah
4. Pemeriksaan abdomen
f. Pungsi lumbal (pada perdarahan
5. Pemeriksaan ekstremitas
subaraknoid)
6. Pemeriksaan neurologis
g. TCD (transcranial Doppler)
a. Kesadaran: tingkat kesadaran diukur
h. EEG (elektro-ensefalografi.
dengan menggunakan Glassgow Coma
Scale (GCS) Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Tanda rangsang meningeal: kaku
kuduk, tanda Laseque, Kernig, dan Diagnosis klinis
Brudzinski Diagnosis awal ditegakkan berdasarkan
c. Saraf kranialis: terutama Nn. VII, XII, anamnesis dan pemeriksaan fisik. Cara skoring
IX/X,dan saraf kranialis lainnya ROSIER (Recognition of Stroke in Emergency
d. Motorik: kekuatan, tonus, refleks Room) dapat digunakan pada stroke akut.
fisiologis, refleks patologis
e. Sensorik Tabel 8.14 Skor ROSIER untuk stroke
f. Tanda serebelar: dismetria,
disdiadokokinesia, ataksi, nistagmus
g. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama
fungsi kognitif (bahasa, memori dll)
h. Pada pasien dengan kesadaran
menurun, perlu dilakukan pemeriksaan
refleks batang otak:
• Pola pernafasan: Cheyne-Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral,
apneustik, ataksia
• Refleks cahaya (pupil)
• Refleks kornea
Klasifikasi
• Refleks muntah
• Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes Stroke dibedakan menjadi:
phenomenon)
1. Stroke hemoragik biasanya disertai dengan
Pemeriksaan Penunjang: sakit kepala hebat, muntah, penurunan
kesadaran, tekanan darah tinggi.
Pemeriksaan pendukung yang diperlukan
2. Stroke iskemik biasanya tidak disertai
dalam penatalaksanaan stroke akut di fasilitas
dengan sakit kepala hebat, muntah,
pelayanan kesehatan tingkat lanjut
penurunan kesadaran dan tekanan darah
1. Pemeriksaan standar: tidak tinggi.
a. CT scan kepala (atau MRI)
Diagnosis Banding
b. EKG (elektrokardiografi)
c. Kadar gula darah Membedakan stroke iskemik dan
d. Elektrolit serum stroke hemoragik sangat penting untuk
e. Tes faal ginjal penatalaksanaan pasien.
Intensitas sedang dapat didefinisikan
Komplikasi
Komplikasi stroke yang harus diwaspadai
karena dapat mengakibatkan kematian dan
kecacatan adalah komplikasi medis, antara lain
komplikasi pada jantung, paru (pneumonia),
perdarahan saluran cerna, infeksi saluran
kemih, dekubitus, trombosis vena dalam, dan
sepsis. Sedangkan komplikasi neurologis
terutama adalah edema otak dan peningkatan
tekanan intrakranial, kejang, serta transformasi
perdarahan pada infark.
Pada umumnya, angka kematian dan kecacatan
semakin tinggi, jika pasien datang terlambat
(melewati therapeutic window) dan tidak
ditangani dengan cepat dan tepat di rumah
sakit yang mempunyai fasilitas pelayanan stroke
akut.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pertolongan pertama pada pasien stroke akut.
1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi
2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat
3. Memberikan oksigen bila diperlukan
4. Memposisikan badan dan kepala lebih
tinggi (head-and-trunk up) 20-30 derajat
5. Memantau irama jantung
6. Memasang cairan infus salin normal atau
ringer laktat (500 ml/12 jam)
7. Mengukur kadar gula darah (finger stick)
8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram
intravena (bila hipoglikemia berat)
9. Menilai perkembangan gejala stroke selama
perjalanan ke rumah sakit layanan
sekunder
10. Menenangkan penderita
Rencana Tindak Lanjut
1. Memodifikasi gaya hidup sehat
a. Memberi nasehat untuk tidak merokok
atau menghindari lingkungan perokok
b. Menghentikan atau mengurangi
konsumsi alkohol
c. Mengurangi berat badan pada
penderita stroke yang obes
d. d. Melakukan aktivitas fisik sedang
pada pasien stroke iskemik atau TIA.
sebagai aktivitas fisik yang cukup
berarti hingga berkeringat atau
meningkatkan denyut jantung 1-3 kali
perminggu.
2. Mengontrol faktor risiko
a. Tekanan darah
b. Gula darah pada pasien DM
c. Kolesterol
d. Trigliserida
e. Jantung
3. Pada pasien stroke iskemik diberikan obat-
obat antiplatelet:asetosal, klopidogrel
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarganya agar tidak terjadi kekambuhan
atau serangan stroke ulang
2. Jika terjadi serangan stroke ulang, harus
segera mendapat pertolongan segera
3. Mengawasi agar pasien teratur minum obat.
4. Membantu pasien menghindari faktor risiko.
Tabel 8.15 Membedakan stroke iskemik dan
stroke hemoragik
Kriteria rujukan Referensi
Semua pasien stroke setelah ditegakkan 1. Misbach J dkk. Kelompok Studi Stroke.
diagnosis secara klinis dan diberikan Guideline Stroke 2011. Perhimpunan Dokter
penanganan awal, segera mungkin harus Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI),
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan Jakarta, 2011. (Misbach, 2011)
sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf, 2. Jauch EC et al. Guidelines for the Early
terkait dengan angka kecacatan dan kematian Management of Patients with Acute
yang tinggi. Dalam hal ini, perhatian terhadap Ischemic Stroke. A Guideline for Healthcare
therapeutic window untuk penatalaksanaan Professionals From the American Heart
stroke akut sangat diutamakan. Association/American Stroke Association.
Stroke 2013; 44:870-947.(Jauch, 2013)
Peralatan
3. Morgenstern LB et al. Guidelines for the
1. Alat pemeriksaan neurologis. Management of Spontaneous Intracerebral
2. Senter Hemorrhage. Guideline for Healthcare
3. Infus set. Professionals From the American Heart
4. Oksigen. Association/American Stroke Association.
Stroke 2010;41:1-23. (Morgenstern, 2010)
Prognosis 4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention
Prognosis adalah dubia, tergantung luas dan of Stroke in Patients With Stroke or
letak lesi. Untuk stroke hemoragik sebagian Transient Ischemic Attack : A Guideline for
besar dubia ad malam. Penanganan yg lambat Healthcare Professionals From the
berakibat angka kecacatan dan kematian tinggi. American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2011;42:227-276.
(Furie, 2011)

10. BELLS’ PALSY


No. ICPC-2: N91 Facial paralysis/Bells’ palsy No. ICD-10: G51.0 Bells’ palsy
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
type I dan reaktivasi herpes zoster dari ganglia
Bells’palsy adalah paralisis fasialis perifer nervus fasialis. Penyebab Bells’ palsy tidak
idiopatik, yang merupakan penyebab tersering diketahui (idiopatik), dan diduga penyakit
dari paralisis fasialis perifer unilateral. ini merupakan bentuk polineuritis dengan
Bells’ palsy muncul mendadak (akut), unilateral, kemungkinan penyebabnya virus, inflamasi,
berupa paralisis saraf fasialis perifer, yang auto imun dan faktor iskemik.
secara gradual dapat mengalami perbaikan
Hasil Anamnesis (Subjective)
pada 80-90% kasus. Bells’ palsy merupakan
salah satu dari penyakit neurologis tersering Keluhan
yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab
tersering (60-75%) dari kasus paralisis fasialis Pasien datang dengan keluhan:
unilateral akut di dunia. Bells’ palsy lebih sering 1. Paralisis otot fasialis atas dan bawah
ditemukan pada usia dewasa, orang dengan unilateral, dengan onset akut (periode 48
DM, dan wanita hamil. Peningkatan kejadian jam)
berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV 2. Nyeri auricular posterior atau otalgia,
ipsilateral Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
3. Peningkatan produksi air mata (epifora), sederhana (Objective)
yang diikuti penurunan produksi air mata
yang dapat mengakibatkan mata kering (dry Pemeriksaan Fisik
eye), ipsilateral Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga,
4. Hiperakusis ipsilateral mata, hidung dan mulut harus dilakukan pada
5. Penurunan rasa pengecapan pada lidah, semua pasien dengan paralisis fasial.
ipsilateral
1. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan
Gejala awal: saraf fasial (N VII) mengakibatkan
1. Kelumpuhan otot otot fasialis unilateral, kelemahan wajah (atas dan bawah)
yang mengakibatkan hilangnya kerutan satu sisi (unilateral). Pada lesi UMN
dahi ipsilateral, tidak mampu menutup (lesi supra nuclear/di atas nukleus
mata ipsilateral, wajah merot/tertarik ke fasialis di pons), wajah bagian atas
sisi kontralateral, bocor saat berkumur, tidak mengalami kelumpuhan. Hal ini
tidak bisa bersiul. disebabkan muskuli orbikularis, frontalis
dan korrugator, diinervasi bilateral oleh
2. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
saraf kortikobulbaris. Inspeksi awal pasien
3. Penurunan rasa pengecapan pada lidah,
memperlihatkan hilangnya lipatan (kerutan)
ipsilateral (30-50%)
dahi dan lipatan nasolabial unilateral.
4. Hiperakusis ipsilateral (15-30%)
5. Gangguan lakrimasi ipsilateral (60%) 2. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan
tampak kelumpuhan otot orbikularis oris
6. Gangguan sensorik wajah jarang ditemukan,
kecuali jika inflamasi menyebar ke saraf unilateral, dan bibir akan tertarik ke sisi
trigeminal. wajah yang normal (kontralateral).
3. Pada saat pasien diminta untuk
Awitan (onset) mengangkat alis, sisi dahi yang lumpuh
terlihat datar.
Awitan Bells’ palsy mendadak, dan gejala 4. Pada fase awal, pasien juga dapat
mencapai puncaknya kurang dari 48 jam. Gejala melaporkan adanya peningkatan salivasi.
yang mendadak ini membuat pasien khawatir
dan mencemaskan pasien. Mereka sering Jika paralisis hanya melibatkan wajah
berpikir terkena stroke atau tumor otak dapat bagian bawah saja, maka harus dipikirkan
yang mengakibatkan distorsi wajah permanen. penyebab sentral (supranuklear). Apalagi
Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan jika pasien mengeluh juga tentang adanya
cepat, pasien sering datang langsung ke kelumpuhan anggota gerak (hemiparesis),
IGD. Kebanyakan pasien menyatakan paresis gangguan keseimbangan (ataksia), nistagmus,
terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis diplopia, atau paresis saraf kranialis lainnya,
mulai terjadi selama pasien tidur. kemungkinan besar BUKAN Bell’s palsy. Pada
keadaan seperti itu harus dicurigai adanya lesi
Faktor Risiko: serebral, serebelar, atau batang otak, oleh
1. Paparan dingin (kehujanan, udara malam, karena berbagai sebab, antara lain vaskular
AC) (stroke), tumor, infeksi, trauma, dan sebagainya.
2. Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1) Pada Bell’s palsy, progresifitas paresis masih
3. Penyakit autoimun mungkin terjadi, namun biasanya tidak
4. Diabetes mellitus memburuk setelah hari ke 7 sampai 10. Jika
5. Hipertensi progresifitas masih berlanjut setelah hari ke 7-
6. Kehamilan 10, harus dicurigai diagnosis lain (bukan Bell’s
palsy).
Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain
dievaluasi lebih lanjut, karena dapat disebabkan tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal
oleh Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, pengecapan mengindikasikan penyembuhan
meningitis (terutama tuberkulosa), penyakit komplit.
autoimun (multiple sclerosis, neurosarcoidosis)
dan lain-lain. Pemeriksaan Penunjang

Manifestasi Okular Laboratorium darah: Darah lengkap, gula darah


sewaktu, tes faal ginjal (BUN/kreatinin serum)
Komplikasi okular unilateral pada fase awal
berupa: Penegakan Diagnostik (Assessment)

1. Lagoftalmus (ketidakmampuan untuk Diagnosis Klinis


menutup mata secara total) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
2. Penurunan sekresi air mata pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf
3. Kedua hal diatas dapat mengakibatkan kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’
paparan kornea (corneal exposure), erosi palsy adalah diagnosis eksklusi.
kornea, infeksi dan ulserasi kornea
4. Retraksi kelopak mata atas Gambaran klinis penyakit yang dapat
membantu membedakan dengan penyebab lain
Manifestasi okular lanjut dari paralisis fasialis:
1. Ringan: kontraktur pada otot fasial, 1. Onset yang mendadak dari paralisis fasial
melebarnyacelah palpebral. unilateral
2. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan
sinkinesis motorik. 2. Tidak adanya gejala dan tanda pada
3. Sinkinesis otonom (air mata buaya, berupa susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit
menetesnya air mata saat mengunyah). cerebellopontin angle (CPA).
4. Dua pertiga pasien mengeluh masalah Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial
air mata. Hal ini terjadi karena penurunan yang lain, kelumpuhan motorik dan gangguan
fungsi orbicularis okuli dalam membantu sensorik, maka penyakit neurologis lain harus
ekskresi air mata. dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis
Nyeri auricular posterior basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).

Separuh pasien dengan Bells’ palsy Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor
mengeluh nyeri auricular posterior. Nyeri CPA seringkali didahului gangguan pendengaran
sering terjadi simultan dengan paresis, tapi (saraf VIII), diikuti gangguan saraf VII, dan V,
nyeri mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada gangguan keseimbangan (serebelar). Pasien
25% pasien. Pasien perlu ditanya apakah ada dengan paralisis progresif saraf VII lebih lama
riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan dari 3 minggu harus dievaluasi kemungkinan
menjadi penyebab nyeri dan paralisis fasial. penyebab lain, misalnya neoplasma, penyakit
Sepertiga pasien mengalami hiperakusis pada autoimun, dan sebagainya.
telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat
Klasifikasi
kelumpuhan sekunder otot stapedius.
Sistem grading ini dikembangkan oleh House
Gangguan pengecapan and Brackmann dgn skala I sampai VI.
Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan 1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien 2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya
menunjukkan penurunan rasa pengecapan. adalah sebagai berikut:
Kemungkinan pasien gagal mengenal
a. Kelemahan ringan saat dilakukan
inspeksi secara detil. secara anatomis dan dapat disebut dengan saraf
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi. intak secara fungsional. Grade ini seharusnya
c. Simetris normal saat istirahat. dicatat pada rekam medik pasien saat pertama
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik. kali datang memeriksakan diri.
e. Menutup mata sempurna dapat Diagnosis Banding
dilakukan dengan sedikit usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan. Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan sebagai diagnosis banding, yaitu:
karekteristik:
1. Stroke vertebrabasilaris (hemiparesis
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas,
alternans)
kelemahan minimal.
2. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau
angle
spasme hemifasial dapat ditemukan.
3. Otitis media akut atau kronik
c. Simetris normal saat istirahat.
4. Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
vesicular pada telinga atau bibir)
e. Menutup mata sempurna dapat
5. Amiloidosis
dilakukan dengan usaha.
6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a.
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan
Carotis
usaha maksimal.
7. Sindroma autoimun
4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai
8. Botulismus
berat, dengan tandanya sebagai berikut:
9. Karsinomatosis
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
10. Cholesteatoma telinga tengah
b. Simetris normal saat istirahat.
11. Malformasi congenital
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
12. Schwannoma n. Fasialis
d. Mata tidak menutup sempurna.
13. Infeksi ganglion genikulatum
e. Asimetris mulut dilakukan dengan
14. Penyebab lain, misalnya trauma kepala
usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat Penatalaksanaan
dilakukan. Prognosis pasien Bells’ palsy umumnya baik.
b. Asimetris juga terdapat pada saat Karena penyebabnya idiopatik, pengobatan
istirahat. Bell’s palsy masih kontroversi. Tujuan
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi. pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII
d. Mata menutup tidak sempurna. (saraf fasialis) dan mencegah kerusakan saraf
e. Gerakan mulut hanya sedikit. lebih lanjut.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya
yaitu: Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai
a. Asimetris luas. diberikan pada pasien dalam fase awal 1-4 hari
b. Tidak ada gerakan otot otot wajah. onset.

Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan Hal penting yang perlu diperhatikan:
hasil yang baik, grade III dan IV terdapat 1. Pengobatan inisial
disfungsi moderat, dan grade V dan VI a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1
menunjukkan hasil yang buruk. Grade VI disebut mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari,
dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang diikutipenurunan bertahap total selama
lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis fasialis 10 hari.
inkomplit dinyatakan
b. Steroid dan asiklovir (dengan kelemahan fasial unilateral atau kontralateral,
prednison) mungkin efektif untuk sinkinesis, spasme hemifasialis, dan terkadang
pengobatan Bells’ palsy (American terjadi rekurensi, sehingga perlu evaluasi dan
Academy Neurology/AAN, 2011). rujukan lebih lanjut.
c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan
meningkatkan perbaikan fungsi saraf Referensi
kranial, jika diberikan pada onset 1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB
awal (ANN,2012). et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
d. Apabila tidak ada gangguan Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis
gungsi ginjal, antiviral and Management. 6th ed. Elsevier,
e. (Asiklovir)dapat diberikan dengan dosis Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker,
400 mg oral 5 kali sehari selama 7-10 2012)
hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, 2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy.
dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis and
2. Lindungi mata Treatment in Neurology. McGraw Hill,
3. Perawatan mata: lubrikasi okular topikal NewYork, 2007:286-288. (Gooch & Fatimi,
dengan air mata artificial (tetes air mata 2007)
buatan) dapat mencegah corneal exposure. 3. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy
(lihat bagian pembahasan dry eye) Medication. Medscape.
4. Fisioterapi atau akupunktur dapat 4. Medscape: Empiric Therapy Regimens.
dilakukan setelah melewati fase akut (+/- 2
minggu). Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis
untuk memantau perbaikan setelah
pengobatan.
Kriteria Rujukan
1. Bila dicurigai kelainan lain (lihat diagnosis
banding)
2. Tidak menunjukkan perbaikan
3. Terjadi kekambuhan atau komplikasi
Peralatan
1. Stetoskop (loudness balance test) untuk
mengetahui hiperakusis
2. Palu reflex
3. Tes pengecapan
4. Tes lakrimasi (tes Schirmer)
5. Kapas
6. Obat steroid
7. Obat antiviral
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu
pada 85% pasien.
Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale)
berupa
11. STATUS EPILEPTIKUS
No. ICPC II : N88 Epilepsy
No. ICD X : G41.9 Status epilepticus, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
hiperpireksia.
Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi
Pemeriksaan Penunjang
lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan
atau lebih dimana diantara bangkitan- Laboratorium: pemeriksaanguladarahsewaktu.
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Status epileptikus merupakan keadaan Diagnosis Klinis


kegawatdaruratan yang memerlukan Diagnosis Status Epileptikus (SE) ditegakkan
penanganan dan terapi segera guna dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
menghentikan bangkitan (dalam waktu 30
menit). Diagnosis pasti status epileptikus bila Diagnosis Banding Pseudoseizure Komplikasi
pemberian benzodiazepin awal tidak efektif
Asidosis metabolik, aspirasi, trauma kepala
dalam menghentikan bangkitan.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Penatalaksanaan
Keluhan
Pasien dengan status epilektikus, harus dirujuk
Pasien datang dengan kejang, keluarga pasien
ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang
perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit
memiliki dokter spesialis saraf. Pengelolaan SE
epilepsi dan pernah mendapatkan obat
sebelumsampaifasilitas pelayanan kesehatan
antiepilepsi serta penghentian obat secara tiba-
sekunder.
tiba.
1. Stadium I (0-10 menit)
Riwayat penyakit tidak menular sebelumnya
a. Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
juga perlu ditanyakan, seperti Diabetes Melitus,
b. Memperbaiki jalan nafas, pemberian
stroke, dan hipertensi.
oksigen, resusitasi bila perlu
Riwayat gangguan imunitas misalnya HIV yang c. Pemberian benzodiazepin rektal 10 mg
disertai infeksi oportunistik dan data tentang 2. Stadium II (1-60 menit)
bentuk dan pola kejang juga perlu ditanyakan a. Pemeriksaan status neurologis
secara mendetil. b. Pengukuran tekanan darah, nadi dan
suhu c. Pemeriksaan EKG (bila tersedia)
Faktor Risiko: - c. Memasang infus pada pembuluh
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang darah besar dengan NaCl 0,9 %.
Sederhana (Objective) Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan Fisik Melakukan koordinasi dengan PPK II dalam hal
Pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya pemantauan obat dan bangkitan pada pasien.
kejang atau gangguan perilaku, penurunan Konseling dan Edukasi
kesadaran, sianosis, diikuti oleh takikardi dan
peningkatan tekanan darah, dan sering diikuti Memberikan informasi penyakit kepada
individu dan keluarganya, tentang: 4. Spatel lidah
5. Alat pengukur gula darah sederhana
1. Penyakit dan tujuan merujuk
2. Pencegahan komplikasi terutama aspirasi Prognosis
3. Pencegahan kekambuhan dengan
meminum OAE secara teratur dan tidak Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk
menghentikannya secara tiba-tiba quo ad vitam dan fungsionam, namun dubia ad
4. Menghindari aktifitas dan tempat-tempat malam untuk quo ad sanationam.
berbahaya Referensi
Kriteria Rujukan 1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman
Semua pasien dengan status epileptikus setelah Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter
ditegakkan diagnosis dan telah mendapatkan Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok
penanganan awal segera dirujuk untuk: Studi Epilepsi, 2012)
2. Darto Saharso. Status Epileptikus. Divisi
1. Mengatasi serangan Neuropediatri Bag/SMF Ilmu Kesehatan
2. Mencegah komplikasi Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo
3. Mengetahui etiologi Surabaya.
4. Pengaturan obat 3. Appleton, P.R. Choonara, I. Marland, T.
Phillips, B. Scott, R. Whitehouse, W. The
Peralatan treatment of convulsive status epilepticus in
1. Oksigen children.; 83:415-19.Arch Dis Child. 2000.
2. Kain kasa 4. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status
3. Infus set epilepticus 48:683-94. Pediatric Clin North
America. 2001

12. DELIRIUM
No. ICPC II
: P71 Organic psychosis other
No. ICD X
: F05.9 Delirium, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
5. Gangguan siklus bangun tidur
Delirium adalah gangguan kesadaran yang 6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu
ditandai dengan berkurangnya kemampuan yang pendek dan cenderung berfluktuasi
memfokuskan, mempertahankan dan dalam sehari
mengalihkan perhatian.
Hasil yang dapat diperoleh pada autoanamnesis,
Hasil Anamnesis (Subjective) yaitu:
Keluhan 1. Pasien tidak mampu menjawab pertanyaan
dokter sesuai dengan apa yang diharapkan,
Pasien datang dengan penurunan kesadaran, ditanyakan.
ditandai dengan: 2. Adanya perilaku yang tidak terkendali.
1. Berkurangnya atensi Alloanamnesis, yaitu adanya gangguan medik
2. Gangguan psikomotor lain yang mendahului terjadinya gejala
3. Gangguan emosi delirium, misalnya gangguan medik umum, atau
4. Arus dan isi pikir yang kacau penyalahgunaan zat.
Faktor Risiko Kriteria Diagnosis untuk delirium dalam DSM-
IV- TR (Diagnosis and Statistical Manual for
Adanya gangguan medik umum, seperti: Mental Disorder – IV – Text Revised), adalah:
1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor,
pendarahan, TIA) 1. Gangguan kesadaran disertai dengan
2. Penyakit sistemik, seperti: infeksi, gangguan menurunnya kemampuan untuk
metabolik, penyakit jantung, COPD, memusatkan, mempertahankan, dan
gangguan ginjal, gangguan hepar mengubah perhatian;
3. Penyalahgunaan zat 2. Gangguan Perubahan kognitif (seperti
defisit memori, disorientasi, gangguan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang berbahasa) atau perkembangan gangguan
sederhana (Objective) persepsi yang tidak berkaitan dengan
demensia sebelumnya, yang sedang
Pemeriksaan Fisik
berjalan atau memberat;
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik 3. Perkembangan dari gangguan selama
generalis terutama sesuai penyakit utama. periode waktu yang singkat (umumnya jam
sampai hari) dan kecenderungan untuk
Pemeriksaan penunjang berfluktuasi dalam perjalanan hariannya;
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan 4. Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau
kesehatan tingkat pertama. Pemeriksaan yang temuan laboratorium, bahwa gangguan
dilakukan untuk delirium, adalah: tersebut disebabkan oleh: (a) kondisi medis
umum, (b) intoksikasi, efek samping, putus
1. Mini-mental State Examination (MMSE).
obat dari suatu substansi.
2. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk
mencari Diagnosis penyakit utama, yaitu: Diagnosis Banding
Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, Demensia, psikosis fungsional, kelainan
gula darah, elektrolit (terutama natrium), SGOT, neurologis.
SGPT, ureum, kreatinin, urinalisis, analisis gas
darah, foto toraks, elektrokardiografi, dan CT Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Scan kepala, jika diperlukan. Tujuan Terapi
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Mencari dan mengobati penyebab delirium
Diagnosis Klinis 2. Memastikan keamanan pasien
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan 3. Mengobati gangguan perilaku terkait
anamnesis dan pemeriksaan fisik. delirium, misalnya agitasi psikomotor

Gambar 8.1 Confusion Assessment Method Penatalaksanaan


(Algoritma) 1. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar
dari risiko kecelakaan selama perawatan.
2. Apabila pasien telah memperoleh
pengobatan, sebaiknya tidak
menambahkan obat pada terapi yang
sedang dijalanin oleh pasien.
3. Bila belum mendapatkan pengobatan,
pasien dapat diberikan obat anti psikotik.
Obat ini diberikan apabila ditemukan gejala
psikosis dan atau agitasi, yaitu: Haloperidol
injeksi 2-5 mg IntraMuskular (IM)/ Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu
IntraVena (IV). Injeksi dapat diulang setiap Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna
30 menit, dengan dosis maksimal 20 Publishing.2009.
mg/hari. 3. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et
al. Clarifying confusion: the confusion
Konseling dan Edukasi
Assessment method;113:941-8: a new
Memberikan informasi terhadap keluarga/ care method for detection of delirium.Ann
giver agar mereka dapat memahami tentang Intern Med. 1990
delirium dan terapinya. 4. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion
and delirium. Dalam: Harrison’s Principles
Kriteria Rujukan of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien McGraw-Hill. 2008.
dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan 5. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick,
rujukan sekunder untuk memperbaiki penyakit B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th Ed.
utamanya. McGraw-Hill Co. 2009.
6. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional
Peralatan Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/Pskiatri.
Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis
-
Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI).
Prognosis 2012.
7. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik:
Prognosis delirium dapat diprediksi berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
dari penyakit yang mendasarinya. Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
Referensi 8. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan
Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004.
1. American Psychiatric Association. 9. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar
Diagnostic and Statistical Manual for Pengelolaan Penyakit berdasarkan
Mental Disorder. Text Revision 4th Ed. kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan.
Washington DC: APA. 2000. 2012
2. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute

13. KEJANG DEMAM


No. ICPC-2: N07 Convulsion/Seizure No. ICD-10: R56.0 Febrile convulsions
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang Keluhan
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal > 38o C) akibat dari suatu proses ekstra Keluhan utama adalah kejang. Anamnesis
kranial. Kejang berhubungan dengan demam, dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai
tetapi tidak disebabkan infeksi intrakranial terjadinya kejang. Perlu deskripsi kejang seperti
atau penyebab lain seperti trauma kepala, tipe kejang, lama, frekuensi dan kesadaran
gangguan kesimbangan elektrolit, hipoksia atau pasca kejang. kemudian mencari kemungkinan
hipoglikemia. adanya faktor pencetus atau penyebab kejang.
Umumnya kejang demam terjadi pada anak
dan berlangsung pada permulaan demam akut.
Sebagian besar berupa serangan kejang klonik meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda
umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motrik,
tanda-tanda neurologi post iktal. tonus otot, refleks fisiologis dan patologis.
Penting untuk ditanyakan riwayat kejang Pemeriksaan penunjang
sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan,
obat-obatan, trauma, gejala infeksi, keluhan Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan
neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang. untuk mencari penyebab demam. Pemeriksaan
Riwayat kejang demam dalam keluarga juga penunjang yang dapat dilakukan :
perlu ditanyakan. 1. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
Faktor Risiko 2. Pemeriksaan lain atas indikasi : glukosa,
elektrolit, pungsi lumbal.
1. Demam
a. Demam yang berperan pada KD, akibat: Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Infeksi saluran pernafasan Diagnosis Klinis
• Infeksi saluran pencernaan
• Infeksi THT Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
• Infeksi saluran kencing dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi kejang demam
• Roseola infantum/infeksi virus akut terbagi menjadi 2, yaitu:
lain. 1. Kejang demam sederhana
• Paska imunisasi a. Kejang umum tonik, klonik atau tonik-
b. Derajat demam: klonik.
• 75% dari anak dengan demam ≥ 390C b. Durasi < 15 menit
• 25% dari anak dengan demam > 400C c. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Usia 2. Kejang demam kompleks
a. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan– a. Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
6tahun b. Durasi > 15 menit
b. Puncak tertinggi pada usia 17–23 bulan c. Kejang berulang dalam 24 jam.
c. Kejang demam sebelum usia 5–6 bulan
mungkin disebabkan oleh infeksi SSP Diagnosis Banding
d. Kejang demam diatas umur 6 tahun,
1. Meningitis
perlu dipertimbangkan febrile seizure
plus (FS+). 2. Epilepsi
3. Gangguan metabolik, seperti: gangguan
3. Gen
elektrolit. Komplikasi dan prognosis
a. Risiko meningkat 2–3x bila saudara
sekandung mengalami kejang demam Kejang demam suatu kondis yang jinak/benign,
b. Risiko meningkat 5% bila orang tua tidak menyebabkan kematian. Sebagian besar
mengalami kejang demam akan menghilang pada usia 5-6 tahun. Faktor
risiko epilepsi di kemudian hari tergantung dari:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
(1) kejang demam kompleks, (2) riwayat epilepsi
Sederhana (Objective)
dalam keluarga, (3) terdapat defisit neurologis.
Pemeriksaan Fisik
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda
Penatalaksanaan
vital dan kesadaran. Pada kejang demam tidak
ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan 1. Keluarga pasien diberikan informasi
umum ditujukan untuk mencari tanda-tanda selengkapnya mengenai kejang demam dan
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan prognosisnya.
neurologi
2. Farmakoterapi ditujukan untuk tatalaksana setelah timbulnya demam.
kejang akut dan tatalaksana profilaksis b. Profilaksis kontinyu dengan fenobarbital
untuk mencegah kejang berulang. dosis 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
3. Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/
kejang akut adalah dengan: kgBB/hari dibagi 2-3 dosis. Profilaksis hanya
a. Diazepam per rektal (0,5mg/kgBB) atau BB diberikan pada kasus-kasus tertentu seperti
< 10 kg diazepam rektal 5 mg , BB > 10 kg kejang demam dengan status epileptikus,
diazepam rektal 10 mg, atau lorazepam (0,1 terdapat defisit neurologis yang nyata
mg/kg) harus segera diberikan jika akses seperti cerebral palsy. Profilaksis diberikan
intravena tidak dapat diperoleh dengan selama 1 tahun.
mudah. Jika akses intravena telah diperoleh
diazepam lebih baik diberikan intravena Tabel 8.16 Farmakoterapi untuk mengatasi
dibandingkan rektal. Dosis pemberian IV kejang
0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan maksimum
pemberian 20 mg. Jika kejang belum
berhenti diazepam rektal/IV dapat
diberikan 2 kali dengan interval 5 menit.
Lorazepam intravena, setara efektivitasnya
dengan diazepam intravena dengan efek
samping yang lebih minimal (termasuk
depresi pernapasan) dalam pengobatan
kejang akut.
b. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam
rektal/intravena masih terdapat kejang
dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis
inisial 20 mg/kgBB, diencerkan dalam NaCl
0,9% dengan pengenceran 10 mg fenitoin
dalam 1 ml NaCl 0,9%, dengan kecepatan
pemberian 1mg/kgBB/menit, maksimum 50
mg/menit, dosis inisial maksimum adalah Indikasi EEG
1000 mg. Jika dengan fenitoin masih
terdapat kejang, dapat diberikan Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada
fenobarbital IV dengan dosis inisial 20 kejang demam, kecuali jika ditemukan keragu-
mg/kgBB, tanpa pengenceran dengan raguan apakah ada demam sebelum kejang.
kecepatan pemberian 20 mg/menit. Jika Indikasi pencitraan (CT-scan/MRI kepala)
kejang berhenti dengan fenitoin maka
lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 Pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan jika
jam kemudian dengan dosis 5-7 terdapat kejang demam yang bersifat fokal atau
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Jika kejang ditemukan defisit neurologi pada pemeriksaan
berhenti dengan fenobarbital, maka fisik.
lanjutkan dengan pemberian rumatan 12
Konseling dan Edukasi
jam kemudian denagn dosis 4-6 mg/kgBB/
hari dalam 2 dosis. Konseling dan edukasi dilakukan untuk
4. Pemberian farmakoterapi untuk membantu pihak keluarga mengatasi
profilaksis untuk mencegah berulangnya pengalaman menegangkan akibat kejang
kejang di kemudian hari. demam dengan memberikan informasi
a. Profilaksis intermiten dengan diazepam mengenai:
oral/rektal, dosis 0,3 mg/kgBB/kali tiap
8 jam, hanya diberikan selama episode 1. Prognosis dari kejang demam.
demam, terutama dalam waktu 24 jam
2. Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan Referensi
sekolah atau kesulitan intelektual akibat
kejang demam. 1. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s
3. 3. Kejang demam kurang dari 30 menit Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage
tidak mengakibatkan kerusakan otak. Guidelines. 5th edition. Vancouver.
4. Risiko kekambuhan penyakit yang sama di Department of Pharmacy Children’s and
masa depan. Women’s Health Centre of British Columbia.
5. Rendahnya risiko terkena epilepsi dan (Esau, 2006)
tidak adanya manfaat menggunakan terapi 2. Guidelines and protocol febrile seizures.
obat antiepilepsi dalam mengubah risiko September, 2010.
itu. 3. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and
Formulary 2007-2008. Toronto. The
Kriteria Rujukan Department of Pharmacy, The Hospital for
Sick Children. (Lau, 2008)
1. Apabila kejang tidak membaik setelah
4. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug
diberikan obat antikonvulsan sampai lini
Information 2009. Bethesda. American
ketiga (fenobarbital).
Society of Health-System Pharmacists, Inc.
2. Jika diperlukan pemeriksaan penunjang
(McEvoy,2009)
seperti EEG dan pencitraan (lihat indikasi
5. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi
EEG dan pencitraan).
IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI, 2006)
Peralatan
Tabung oksigen dan kelengkapannya, infus set,
diazepam rektal/intravena, lorazepam, fenitoin
IV, fenobarbital IV, NaCl 0,9%.

14. TETANUS NEONATORUM


No. ICPC-2: N72 Tetanus
No. ICD -10: A33 Tetanus Neonatorum
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Secara global hampir 14% penyebab kematian Keluhan
neonatus adalah tetanus neonatorum. Tetanus
neonatorum bertanggung jawab terhadap Gejala klinis timbul setelah toksin mencapai
50% kematian neonatus yang disebabkan oleh susunan saraf. Masa inkubasi umumnya berkisar
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. antara 3-10 hari. Trismus akibat spasme otot
Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan masseter ditemukan pada lebih dari separuh
imunisasi dan atau pelayanan persalinan penderita, diikuti kekauan otot leher, kesulitan
dan pasca persalinan yang bersih. Beberapa menelan dan mulut mencucu seperti mulut ikan.
penelitian komunitas di awal tahun 1970 dan Spasme otot punggung dan otot perut. Spasme
1980 di Negara Amerika Latin dan beberapa dapat terjadi spontan atau terhadap rangsangan
Negara berkembang menunjukkan kematian dengan frekuensi yang bervariasi. Kesadaran
neonatal antara <5 sampai 60 kasus per 1000 masih intak.
kelahiran hidup. Di beberapa negara
Anamnesis, meliputi :
berkembang kematian tetanus neonatorum
merupakan 23- 72% dari total kematian 1. Penolong persalinan apakah tenaga
neonatal.
medis/paramedis/non medis/dukun bayi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
2. Telah mendapat pelatihan atau belum
3. Alat yang dipakai memotong tali pusat Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :
4. Ramuan apa yang dibubuhkan pada 1. Eradikasi kuman
perawatan tali pusat a. Tali pusat dibersihkan dengan alcohol
5. Status imunisasi TT ibu sebelum dan selama 70% atau providon iodin.
kehamilan b. Antibiotik
6. Sejak kapan bayi tidak dapat menetek c. Penisilin prokain 50.000 IU/kg/kali IM,
(incubation period) tiap 12 jam, atau
7. Berapa lama selang waktu antara gejala- d. Ampisilin 50 mg/kg/dosis, atau
gejala tidak dapat menetek dengan gejala • Usia gestasi (UG) < 37 minggu
spasme pertama (period of onset) - n< 28 hari tiap 12 jam
Faktor Risiko : - - > 28 hari tiap 8 jam
• UG > 37 minggu
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang - < 7 hari tiap 12 jam
Sederhana (Objective) - > 7 hari tiap 8 jam
e. Metronidazole loading dose 15mg/
Pemeriksaan Fisik
kg/dosis, selanjutnya 7,5mg/kg/dosis,
1. Kesadaran intak atau
2. Trismus f. Interval
3. Kekakuan otot leher, punggung, perut • Usia < 28 hari tiap 12 jam
4. Mulut mencucu seperti mulut ikan • Usia > 28 hari tiap 8 jam
5. Kejang g. Pemberian dosis rumatan
• UG < 37 minggu 24 jam setelah loading
Pemeriksaan Penunjang dose
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang • UG > 37 minggu 12 jam setelah loading
spesifik untuk tetanus neonatorum. Diagnosis dose
utamanya ditegakkan dengan adanya gejala h. Eritromisin 15-25 mg/kg/dosis tiap 8 jam
klinis seperti trismus, disfagia, kekakuan otot Bila ada sepsis/pneumonia dapat
(muscular rigidity). ditambahkan sefotaksim 50 mg/kg/dosis
• UG < 30 minggu
Penegakan Diagnostik (Assessment) - <28 hari tiap 12 jam
- >28 hari tiap 8 jam
Diagnosis Klinis
• UG > 30 minggu
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, 2. < 14 hari tiap 12 jam
pemeriksaan fisik dan penunjang. > 14 hari tiap 8 jam
3. Netralisasi toksin
Diagnosis Banding a. ATS 50.000 – 100.000 IU, setengah dosis
Semua penyebab kejang neonatus seperti IM, setengahnya IV, dilakukan uji kulit
Kongenital (cerebral anomalies), perinatal lebih dahulu.
(komplikasi persalinan, trauma perinatal & b. Bila tersedia dapat diberikan HTIG 3000-
atau perdarahan intracranial) dan postnatal 6000 IU IM
(Intervensi & gangguan metabolik) 4. Memberikan pelemas otot untuk mengatasi
spasme otot
Komplikasi Diazepam 20-40 mg/kgBB/hari, drip,
dilarutkan dalam larutan dekstrose 5%
Fraktur, dislokasi mandibular, hipoksia dan
menggunakan syringe pump. Obat dibagi
pneumonia aspirasi, Long bone fractures
menjadi empat sediaan untuk menghindari
efek pengendapan obat diazepam. Hati-hati
terjadi henti napas dalam pemberiannya. Kriteria Rujukan : -
Bila diazepam telah mencapai dosis
maksimal tetapi spasme tetap tidak teratasi Peralatan
dianjurkan pemberian pelumpuh otot -
pankuronium 0,05-0,1 mg/kgBB/kali dan
penggunaan ventilator mekanik. Prognosis
5. Terapi suportif 1. Ad Vitam : dubia
a. Pemberian oksigen 2. Ad Functionam : dubia
b. Pembersihan jalan nafas 3. Ad Sanationam : dubia
c. Keseimbangan cairan, elektrolit dan
kalori Referensi
6. Imunisasi
1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid
Kedokteran Universitas Udayana. 2004.
sesuai dengan jadwal imunisasi diberikan
Tetanus dalam Standar Pelayanan Medis
pada saat penderita pulang.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD.
Konseling dan Edukasi : Denpasar. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Universitas Udayana, 2004)
1. Pencegahan tetanus neonatorum dapat 2. Wibowo, T. Tetanus Neonatorum dalam
dilakukan dengan menjaga proses Buletin Jendela Data dan Informasi. 2012.
persalinan tetap aseptic termasuk pada saat Volume 1. Jakarta. Kementrian Kesehatan
pemotongan tali pusat. RI. (Wibowo, 2012)
2. Imunisasi aktif wanita hamil dengan 2
dosis Tetanus Toksoid 0,5 ml dengan jarak
penyuntikan 2 bulan dapat mencegah
terjadinya penyakit tetanus neonatroum.
I. PSIKIATRI

1. GANGGUAN SOMATOFORM
No ICPC-2 : P75. Somatization disorder
No ICD-10 : F45 Somatoform disorders
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
pemeriksaan medis,
Gangguan somatoform merupakan 3. Hasil pemeriksaan medis tidak
suatu kelompok kelainan psikiatrik yang menunjukkan adanya kelainan yang dapat
manifestasinya dapat berupa berbagai gejala menjelaskan keluhan tesebut,
fisik yang dirasakan signifikan oleh pasien 4. Onset dan kelanjutan dari keluhan
namun tidak ditemukan penyebabnya secara berhubungan erat dengan peristiwa
medis. Tidak ada data yang pasti mengenai kehidupan yang tidak menyenangkan atau
prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu konflik- konflik,
penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi 5. Pasien biasanya menolak upaya untuk
gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas membahas kemungkinan adanya penyebab
sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis psikologis,
gangguan yang tersering adalah neurosis, 6. Dapat terlihat perilaku mencari perhatian
yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk (histrionik), terutama pada pasien yang
psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi tidak puas karena tidak berhasil membujuk
medis yang serius, gejala- gejala yang dirasakan dokter menerima persepsinya
oleh pasien dengan gangguan somatoform bahwa keluhan yang dialami merupakan
sangat mengganggu dan berpotensi penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan
menimbulkan distres emosional. Peran dokter lebih lanjut.
di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
pada kasus gangguan somatoform sangat Selain untuk menegakkan diagnosis, anamnesis
dilakukan untuk menggali pemahaman dan
penting. Keberhasilan dokter dalam
mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis persepsi pasien mengenai kondisi yang
dialaminya. Seringkali tujuan ini baru dapat
gangguan somatoform dengan tepat, dan
menatalaksana akan sangat membantu dicapai setelah beberapa kali pertemuan.
Dokter harus mengklarifikasi keluhan-keluhan
meningkatkan kualitas hidup pasien,
mengurangi rujukan yang tidak perlu, dan pasien hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain
itu, perlu pula digali harapan dan keinginan
menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis
yang berlebihan atau merugikan. pasien, keyakinan dan ketakutan yang mungkin
pasien miliki, serta stresor psikososial yang
Hasil Anamnesis (Subjective) mungkin dialami dan menjadi penyebab
gangguan.
Keluhan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik Sederhana (Objective)
tertentu. Dokter harus mempertimbangkan
diagnosis gangguan somatoform bila terdapat Tidak ada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
beberapa karakteristik berikut ini: penunjang spesifik yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis gangguan somatoform.
1. Keluhan atau gejala fisik berulang, Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan
2. Dapat disertai dengan permintaan untuk mengeksklusi kelainan organik yang
dianggap relevan dengan keluhan pasien.
Pemeriksaan penunjang yang terlalu dahulu memastikan ada tidaknya tanda-
berlebihan perlu dihindari agar tidak menambah tanda gangguan ansietas (F40-F41), obsesif
kekhawatiran pasien. kompulsif (F42), reaksi stres dan gangguan
penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif
Penegakan Diagnosis (Assessment)
atau konversi (F44). Gangguan somatoform
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda
pertama harus memikirkan diagnosis gangguan pada pasien memenuhi kriteria diagnostik
somatoform bila pada pasien terdapat gangguan di hirarki yang lebih tinggi.
keluhan dengan karakteristik sebagaimana yang 3. Mengeksklusi kondisi factitious disorder dan
telah dijelaskan pada halaman sebelumnya malingering
(lihat poin Hasil Anamnesis (Subjective)). Dalam
Pada kondisi factitious disorder, pasien
praktik sehari-hari, dokter dapat menggunakan
mengadopsi keluhan- keluhan fisik, tanpa
kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining
ia sadari, sebagai upaya memperoleh
gangguan somatoform. Salah satu contohnya
keuntungan internal, misalnya: untuk
adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ-
mendapat perhatian lebih dari orang-orang
15). Berikut ini adalah langkah- langkah
tertentu di sekitarnya. Berbeda halnya
pendekatan terhadap keluhan fisik pasien
dengan kondisi malingering, di mana
hingga dokter sampai pada kesimpulan
pasien sengaja atau berpura-pura sakit
diagnosis gangguan somatoform:
untuk memperoleh keuntungan eksternal,
1. Mengeksklusi kelainan organik misalnya: agar terhindar dari tanggung
jawab atau kondisi tertentu, atau untuk
Keluhan dan gejala fisik yang dialami oleh
memperoleh kompensasi uang tertentu).
pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan
Pada gangguan somatoform, tidak ada
panduan tatalaksana medis terkait, dengan
keuntungan yang coba didapat oleh pasien.
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
Keluhan-keluhan yang disampaikan juga
dan pemeriksaan penunjang yang relevan.
bukan sesuatu yang disengaja, malahan
2. Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu,
yang tergolong dalam kelompok dan blok dipertahankan, dan diperparah oleh
yang hirarkinya lebih tinggi. kekhawatiran dan ketakutan tertentu
Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik (Oyama et al. 2007).
dilakukan secara hirarkis. Dalam Pedoman
4. Menggolongkan ke dalam jenis gangguan
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
somatoform yang spesifik
Jiwa III, gangguan somatoform memiliki
kode F45 dan merupakan blok penyakit Blok gangguan somatoform terdiri atas:
yang termasuk dalam kelompok F40-F48, a. F45.0. Gangguan somatisasi
yaitu gangguan neurotik, gangguan b. F45.1. Gangguan somatoform tak terinci
somatoform, dan gangguan yang berkaitan c. F45.2. Gangguan hipokondrik
dengan stres. Dengan demikian, pada d. F45.3. Disfungsi otonomik somatoform
kasus gangguan somatoform, dokter e. F45.4. Gangguan nyeri somatoform
perlu mengeksklusi gangguan mental menetap
organik (F00-F09), gangguan mental dan f. F45.5. Gangguan somatoform lainnya
perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif g. F45.6. Gangguan somatoform yang
(F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, tidak tergolongkan (YTT)
dan gangguan waham (F20-F29), serta
gangguan suasana perasaan atau mood
atau afektif (F30-F39). Pada blok F40-
F48 sendiri, dokter perlu terlebih
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) mengindentifikasi serta mengelola stres
secara efektif, misalnya dengan relaksasi,
Penatalaksanaan breathing control. Peningkatan aktifitas fisik
Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform dapat disarankan untuk mengurangi
adalah mengelola gejala dan bukan fatigue dan nyeri muskuloskeletal
menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak 7. Bila gangguan somatoform merupakan
ada kelainan medis yang dialami oleh pasien. bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter
Berikut ini adalah prinsip- prinsip dasar harus mengintervensi dengan tepat.
pengelolaan pasien dengan gangguan 8. Dokter perlu menjadwalkan pertemuan
somatoform: yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan
dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap
1. Dokter harus menerima bahwa pasien bulan selama 5-10 menit, terutama untuk
memang betul-betul merasakan gejala memberi dukungan dan reassurance.
pada tubuhnya dan memahami bahwa Dokter perlu membatasi dan menghindari
gejala- gejala tersebut mengganggu konsultasi via telepon atau kunjungan-
pasien. Dokter perlu melatih diri untuk kunjungan yang bersifat mendesak.
tidak terlalu prematur menganggap pasien 9. Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater
berpura-pura (malingering) tanpa didukung bila diperlukan, misalnya saat penegakan
bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana diagnosis yang sulit, menentukan adanya
gangguan somatoform adalah membangun komorbid psikiatrik lain, atau terkait
kemitraan dengan dan kepercayaan dari pengobatan.
pasien.
2. Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan Non-medikamentosa
somatoform, dokter perlu mendiskusikan
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan
kemungkinan ini sedini mungkin
salah satu tatalaksana yang efektif untuk
dengan pasien. Bila diagnosis gangguan
mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT,
somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu
dokter memposisikan diri sebagai mitra
mendiskusikannya dengan pasien.
yang membantu pasien. Tahap awal dari
3. Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai CBT adalah mengkaji masalah pasien dengan
gangguan yang dialaminya dengan tepat dan membantu pasien mengidentifikasi
berempati dan menghindari konfrontasi hal-hal yang selama ini menimbulkan atau
Dokter harus menunjukkan kesungguhan memperparah gejala fisik yang dialami,
untuk membantu pasien sebaik-baiknya, misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang tidak
tanpa memaksa pasien untuk menerima realistis, kekhawatiran, atau perilaku tertentu.
pendapat dokter. Tahap selanjutnya adalah membantu pasien
4. Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan mengidentifikasi dan mencoba alternatif
sekunder yang tidak perlu harus dihindari. perilaku yang dapat mengurangi atau mencegah
Bila ada gejala baru, dokter perlu berhati- timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal
hati dalam menganjurkan pemeriksaan atau sebagai behavioral experiments.
rujukan.
5. Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan Medikamentosa
pada fungsi pasien sehari-hari, bukan gejala,
serta pada pengelolaan gejala, bukan Penggunaan obat harus berdasarkan
penyembuhan. indikasi yang jelas. Hanya sedikit studi yang
6. Dokter perlu menekankan modifikasi menunjukkan efektifitas yang signifikan dari
gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga penggunaan obat-obat untuk tatalaksana
pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana gangguan somatoform. Antidepresan dapat
bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi
mungkin perlu dibantu untuk atau ansietas yang mengganggu.
Prognosis Screeners. Available at: http://
www.phqscreeners.com/pdfs/04_PHQ-15/
1. Ad vitam : Bonam English.pdf [Accessed May 24, 2014].
2. Ad functionam : Dubia 6. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting
3. Ad sanationam : Dubia Somatoform Disorders in Primary Care with
Sebagian pasien tidak menunjukkan respon the PHQ-15. Annals of Family Medicine,
positif atas tatalaksana yang dilakukan 7, pp.232–238. Available at: http://www.
dan gangguan somatoform terus berlanjut annfammed.org/content/7/3/232.full.
bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini pdf+html.
diperkirakan terjadi pada 0,2-0,5% anggota
populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini dapat
memperbaiki prognosis dan mengurangi
hambatan pada fungsi sosial dan okupasi
sehari- hari.
Peralatan
Untuk keperluan skrining, dapat disediakan
lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter. Selain
itu, tidak ada peralatan khusus yang
diperlukan terkait diagnosis dan tatalaksana
gangguan somatoform.
Referensi
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1993. F45 Gangguan Somatoform. In
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pp. 209–221.
2. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform
and Dissociative Disorders: Assessment and
Treatment Advance in Psychiatric
Treatment,3(1), pp.9–16 Available
at:http://apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/
apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014].
3. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode
Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan
Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan
Primer. Majalah Kedokteran Indonesia,
60(10), pp.448–453.
4. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007.
Somatoform Disorders. American Family
Physician, 76, pp.1333–1338. Available at:
www.aafp.org/afp.
5. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-
15). Patient Health Questionnaire (PHQ)
2. DEMENSIA
No. ICPC-2
: P70 Dementia
No. ICD-10
: F03 Unspecified dementia
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Gangguan fungsi otak terutama berupa
Demensia merupakan sindrom akibat penyakit gangguan fungsi memori dan bahasa,
otak yang bersifat kronik progresif, ditandai seperti afasia, aphrasia, serta adanya
dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, kemunduran fungsi kognitif eksekutif.
termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya 3. Dilakukan pemeriksaan untuk
tangkap (komprehensi), kemampuan belajar, menyingkirkan adanya gangguan neurologik
orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan atau penyakit sistemik
daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti
Pemeriksaan penunjang
dengan deteriorasi dalam kontrolemosi,
hubungan sosial dan motivasi. Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika
ada kecurigaan adanya kondisi medis yang
Pada umumnya terjadi pada usia lanjut,
menimbulkan dan memper berat gejala. Dapat
ditemukan pada penyakit Alzhaimer, penyakit
dilakukan Mini Mental State Examination
serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara
(MMSE).
primer dan sekunder mempengaruhi otak.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis,
Keluhan utama adalah gangguan daya ingat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
mudah lupa terhadap kejadian yang baru
dialami, dan kesulitan mempelajari informasi Kriteria Diagnosis
baru. Diawali dengan sering lupa terhadap
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat
kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda
dan daya pikir yang sampai mengganggu
kecil, pada akhirnya lupa mengingat nama
kegiatan harian seseorang
sendiri atau keluarga.
2. Tidak ada gangguan kesadaran
Faktor Risiko 3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk
paling sedikit enam bulan
Usia> 60 tahun (usialanjut). Riwayat keluarga.
Klasifikasi
Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular
(hipertensi, penyakit jantung), atau diabetes 1. Demensia pada penyakit Alzheimer
mellitus. 2. Demensia Vaskular (Demensia multiinfark)
3. Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 4. Demensia pada penyakit Creufield-Jacob
Sederhana (Objective) 5. Demensia pada penyakit Huntington
Pemeriksaan Fisik 6. Demensia pada penyakit Parkinson
7. Demensia pada penyakit HIV/AIDS
1. Kesadaran sensorium baik. 8. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya
2. Penurunan daya ingat yang bersifat kronik paling besar (50-60%), disusul demensia
dan progresif. vaskular (20-30%)
Diagnosis Banding seperti Haloperidol 0,5-1 mg/hari.
Delirium, Depresi, Gangguan Buatan, Skizofrenia Kriteria Rujukan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis
dan penatalaksanaan lanjutan.
Penatalaksanaan
2. Apabila pasien menunjukkan gejala
1. Non farmakologi agresifitas dan membahayakan dirinya atau
a. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol orang lain.
penyakit fisik, lakukan aktifitas fisik
Peralatan: Tidak ada Peralatan khusus
sederhana seperti senam otak,
stimulasi kognitif dengan permintaan, Prognosis
kuis, mengisi teka-teki silang, bermain
catur. Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia
b. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih ad bonam, sedangkan fungsi adalah dubia ad
nyaman dan aman bagi pasien. malam. Ad sanationam adalah ad malam.
c. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari Referensi
(mandi, makan, dan lain-lain) untuk
mengoptimalkan aktivitas independen, 1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
meningkatkan fungsi, membantu Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
adaptasi dan mengembangkan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama,
keterampilan, serta meminimalisasi 1993. (Kementerian Kesehatan Republik
kebutuhan akan bantuan. Indonesia, 1993)
d. Ajarkan kepada keluarga agar dapat 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
membantu mengenal barang milik Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
pribadinya, mengenal waktu Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
dengan menggunakan jam besar, (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
kalender harian, dapat menyebutkan Jiwa Indonesia, 2012)
namanya dan anggota keluarga
terdekat, mengenal lingkungan sekitar, 3. World Health Organization. MH gap
beri pujian jika dapat menjawab Intervention Guide for Mental, Neurological
dengan benar, bicara dengan kalimat and Substance Use Disorders in Non-
sederhana dan jelas (satu atau dua Specialized Health Settings, 2010. (World
tahap saja), bila perlu gunakan isyarat Health Organization, 2010)
atau sentuhan lembut.
2. Farmakologi
a. Jangan berikan inhibitor
asetilkolinesterase (seperti: donepzil,
galantamine dan rivastigmine) atau
memantine secara rutin untuk semua
kasus demensia. Pertimbangkan
pemberiannya hanya pada kondisi
yang memungkinkan diagnosis spesifik
penyakit Alzheimer ditegakkan dan
tersedia dukungan serta supervisi
adekuat oleh spesialis serta
pemantauan efek samping oleh pelaku
rawat.
b. Bila pasien berperilaku agresif, dapat
diberikan antipsikotik dosis rendah,
3. INSOMNIA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: P06 Sleep disturbance
: F51 Insomnia non organik pada psikiatri
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Pada status generalis, pasien tampak lelah dan
Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam mata cekung. Bila terdapat gangguan organik,
tidur, dapat berupa kesulitan berulang untuk ditemukan kelainan pada organ.
mencapai tidur, atau mempertahankan tidur
Pemeriksaan Penunjang
yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.
Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.
salah satu gejala dari gangguan lainnya,
baik mental (psikiatrik) atau fisik. Secara umum Penegakan Diagnostik (Assessment)
lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur Diagnosis Klinis
yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain
yang relevan untuk menjelaskan secara kuat Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.
psikopatologi dan atau patofisiologinya. Pedoman Diagnosis

Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur


atau mempertahankan tidur atau kualitas
Keluhan tidur yang buruk
Sulit masuk tidur, sering terbangun di 2. Gangguan terjadi minimal tiga kali
malam hari atau mempertahankan tidur yang seminggu selama minimal satu bulan.
optimal, atau kualitas tidur yang buruk. 3. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan
peduli yang berlebihan terhadap akibatnya
Faktor Risiko pada malam hari dan sepanjang siang hari.
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau
1. Adanya gangguan organik (seperti
kualitas tidur menyebabkan penderitaan
gangguan endokrin, penyakit jantung).
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi
2. Adanya gangguan psikiatrik seperti
dalam sosial dan pekerjaan.
gangguan psikotik, gangguan depresi,
gangguan cemas, dan gangguan akibat zat Diagnosis Banding
psikoaktif.
Gangguan Psikiatri, Gangguan Medik umum,
Faktor Predisposisi Gangguan Neurologis, Gangguan Lingkungan,
Gangguan Ritme sirkadian.
1. Sering bekerja di malam hari .
2. Jam kerja tidak stabil. Komplikasi
3. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif
yang berlebihan. Dapat terjadi penyalahgunaan zat.
4. Efek samping obat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Kerusakan otak, seperti: encephalitis,
stroke, penyakit Alzheimer Penatalaksanaan

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 1. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-
Sederhana (Objective) faktor risiko yang dimilikinya dan
pentingnya untuk memulai pola hidup yang
Pemeriksaan Fisik sehat dan mengatasi masalah yang
menyebabkan
terjadinya insomnia. Peralatan
2. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan
Lorazepam 0,5-2 mg atau Diazepam 2-5 mg Tidak ada Peralatan khusus
pada malam hari. Pada orang yang berusia Prognosis
lanjut atau mengalami gangguan medik
umum diberikan dosis minimal efektif. Prognosis pada umumnya bonam

Konseling dan Edukasi Referensi

Memberikan informasi kepada pasien dan 1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman


keluarga agar mereka dapat memahami Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
tentang insomnia dan dapa tmenghindari Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
pemicu terjadinya insomnia. 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
Kriteria Rujukan Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak 3. World Health Organization. MH gap
menunjukkan perbaikan, atau apabila terjadi Intervention Guide for Mental, Neurological
perburukan walaupun belum sampai 2 minggu, and Substance Use Disorders in Non-
pasien dirujuk kefasilitas kesehatan sekunder Specialized Health Settings, 2010.
yang memiliki dokter spesialis kedokteran jiwa.

4. GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI


No. ICPC-2: P74Anxiety Disorder (anxiety state)
No. ICD-10: F41.2 Mixed Anxiety and Depression Disorder
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
khawatir berlebihan.
Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-
Allo dan Auto Anamnesis tambahan:
gejala anxietas (kecemasan) dan depresi
bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak 1. Adanya gejala seperti minat dalam
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup melakukan aktivitas/semangat yang
beratuntuk dapat ditegakannya suatu diagnosis menurun, merasa sedih/ murung, nafsu
tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa makan berkurang atau meningkat
gejala autonomik harus ditemukan, walaupun berlebihan, sulit berkonsentrasi,
tidak terusmenerus, di samping rasa cemas kepercayaan diri yang menurun, pesimistis.
atauk hawatir berlebihan.
2. Keluhan biasanya sering terjadi, atau
Hasil Anamnesis (Subjective) berlangsung lama, dan terdapat stresor
kehidupan.
Keluhan
3. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan
Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik
penggunaan zat (alkohol, tembakau,
seperti: nafas pendek/cepat, berkeringat,
stimulan, dan lain-lain)
gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung
berdebar, gangguan lambung, diare, atau Faktor Risiko
bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa
cemas/ 1. Adanya faktorbiologis yang mempengaruhi,
antara lain hiper aktivitas sistem
noradrenergik, faktorgenetik. dalam melakukan aktivitas), mudah,
lelah, gangguan tidur, konsentrasi menurun,
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan gangguan pola makan, kepercayaan diri
tidak fleksibel, seperti ciri kepribadian yang berkurang, pesimistis, rasa tidak
dependen, skizoid, anankastik, cemas berguna/rasa bersalah
menghindar.
Diagnosis Banding
3. Adanya stres kehidupan.
Gangguan Cemas (Anxietas) Organik, Gangguan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat,
Sederhana (Objective) Gangguan Depresi,Gangguan Cemas
Pemeriksaan Fisik Menyeluruh, Gangguan Panik, Gangguan
Somatoform
Respirasi meningkat, tekanan darah dapat
meningkat, dan tanda lain sesuai keluhan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
fisiknya.
Penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang 1. Non-farmakologi
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak a. Konseling dan edukasi pada pasien dan
ditemukan adanya tanda yang bermakna. keluarga
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk • Karena gangguan campuran
menyingkirkan diagnosis banding sesuai cemas depresi dapat mengganggu
keluhan fisiknya. produktivitas pasien, keluarga
perlu memahami bahwa hal ini bukan
Penegakan Diagnostik (Assessment) karena pasien malas atau tidak mau
Diagnosis Klinis mengerjakan tugasnya, melainkan
karena gejala- gejala penyakitnya
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan itu sendiri, antara lain mudah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria lelah serta hilang energi. Oleh sebab
diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya itu, keluarga perlu memberikan
gejala- gejala kecemasan dan depresi yang dukungan agar pasien mampu dan
timbul bersama-sama, dan masing-masing dapat mengatasi gejala penyakitnya.
gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala • Gangguan campuran anxietas dan
yang cukup beratuntuk dapat ditegakkannya depresi kadang-kadang memerlukan
suatu diagnosis tersendiri. pengobatan yang cukup lama,
diperlukan dukunga keluarga untuk
1. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
memantau agar pasien
a. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit melaksanakan pengobatan dengan
berkonsentrasi benar, termasuk minum obat setiap
hari.
b. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, b. Intervensi Psikososial
gemetaran, tegang, tidak dapat santai • Lakukan penentraman (reassurance)
c. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, dalam komunikasi terapeutik, dorong
berkeringat berlebihan, sesak nafas, mulut pasien untuk mengekspresikan
kering,pusing, keluhan lambung, diare. pikiran perasaan tentang gejala dan
riwayat gejala.
2. Gejala-gejala depresi antara lain: suasana • Beri penjelasan adanya pengaruh
perasaan sedih/murung, kehilangan minat/ antara faktor fisik dan psikologis,
kesenangan (menurunnya semangat termasuk bagaimana faktor perilaku,
psikologik dan emosi berpengaruh
mengeksaserbasi gejala somatik yang
mempunyai dasar fisiologik. mengalami gangguan ini, terutama apabila
• Bicarakan dan sepakati rencana gejala progresif dan makin bertambah berat
pengobatandan follow-up, yang menunjukkan gejala depresi seperti
bagaimana menghadapi gejala, dan pasien menolak makan, tidak mau merawat
dorong untuk kembali keaktivitas diri, ada ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak
normal. ada perbaikan yang signifikan dalam 2-3 bulan
• Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas terapi.
dalam)
• Anjurkan untuk berolah raga teratur Peralatan
atau melakukan aktivitas yang Tidak ada peralatan khusus.
disenangi serta menerapkan perilaku
hidup sehat. Prognosis
• Ajarkan untuk selalu berpikir positif Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah
dan manajemen stres dengan baik. bonam.
2. Farmakologi:
a. Untuk gejala kecemasan maupun Referensi
depresinya, diberikan antidepresan
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry,
dosis rendah, dapat dinaikkan apabila
7th edition, William and Wilkins.
tidak ada perubahan yang signifikan
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman
setelah 2-3 minggu: fluoksetin 1x10-
penggolongan dan diagnosis Gangguan
20 mg/hari atau sertralin 1 x 25-50 mg/
jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
hari atau amitriptilin 1x12,5-50 mg/
3. World Health Organization. Diagnostic
hari atau imipramin1-2x10-25 mg/hari.
and management guidelines for mental
Catatan: amitriptilin dan imipramin
disorders in primary care: ICD-10 chapter
tidak boleh diberikan pada pasien
V, primary care version. Seattle: Hogrefe
dengan penyakit jantung, dan
& Huber Publishers. (World Health
pemberian berhati-hati untuk pasien
Organization, t.thn.)
lansia karena efek hipotensi ortostastik
(dimulai dengan dosis minimal efektif). 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional
b. Pada pasien dengan gejala kecemasan
Pelayanan Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012
yang lebih dominan dan atau
dengan gejala insomnia dapat
diberikan kombinasi fluoksetin
atau sertralin dengan antianxietas
benzodiazepin. Obat-obatan
antianxietas jenis benzodiazepin yaitu:
diazepam 1x2-5 mg atau lorazepam 1-2
x 0,5-1 mg atau klobazam 2x5-10 mg
atau alprazolam 2x 0,25-0,5mg. Setelah
kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin
ditappering-off perlahan, sementara
antidepresan diteruskan hingga 4-6
bulan sebelum ditappering- off. Hati-
hati potensi penyalahgunaan pada
alprazolam karena waktu paruh yang
pendek.
Kriteria Rujukan
Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis
5. GANGGUAN PSIKOTIK
No. ICPC-2 No. ICD-10 PC : P98 Psychosis NOS/other
: F20 Chronic Psychotic Disorder
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Gangguan yang ditandai dengan Sederhana (Objective)
ketidakmampuan atau hendaya berat dalam
Pemeriksaan Fisik
menilai realita, berupa sindroma (kumpulan
gejala), antara lain dimanifestasikan dengan Pemeriksaan fisik diperlukan untuk
adanya halusinasi dan waham. menyingkirkan penyebab organik dari
psikotiknya (gangguan mental organik). Selain
Hasil Anamnesis (Subjective)
itu pasien dengan gangguan psikotik juga sering
Keluhan terdapat gangguan fisik yang menyertai karena
perawatan diri yang kurang.
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
Pemeriksaan Penunjang
1. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
2. Tidak dapat tidur, tidak mau makan 1. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit
3. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, fisik yang menyertai untuk menyingkirkan
ketakutan diagnosis banding gangguan mental
4. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti organik.
5. Mendengar suara orang yang tidak dapat 2. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke
didengar oleh orang lain fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
6. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai lanjut maka pada fasilitas pelayanan
realita kesehatan tingkat pertama yang mampu
7. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
yang berat, perilaku kacau, perilaku yang sesuai seperti: darah perifer lengkap,
kekerasan elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi
8. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak ginjal, serta radiologi dan EKG.
merawat diri dengan baik
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Diagnosis Klinis
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan
fisik (seperti demam tinggi, kejang, trauma
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria
kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai
diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:
penyebab timbulnya keluhan.
1. Halusinasi (terutama halusinasi dengar);
Faktor Risiko
merupakan gangguan persepsi (persepsi
1. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, palsu), tanpa adanya stimulus sensori
antara lain hiperaktivitas sistem eksternal. Halusinasi dapat terjadi pada
dopaminergik dan faktor genetik. setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar,
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, lihat, cium, raba, dan rasa.
seperti ciri kepribadian skizoid, paranoid, 2. Waham (delusi); merupakan gangguan
dependen. pikiran, yaitu keyakinan yang salah, tidak
3. Adanya stresor kehidupan. sesuai dengan realita dan logika, namun
tetap dipertahankan dan tidak dapat
menyediakan dukungan yang
dikoreksi dengan cara apapun serta tidak
berharga untuk pasien dan keluarga.
sesuai dengan budaya setempat. Contoh:
waham kejar, waham kebesaran, waham b. Konseling pasien dan keluarga
kendali, waham pengaruh. • Bicarakan rencana pengobatan
3. Perilaku kacau atau aneh dengan anggota keluarga dan
4. Gangguan proses pikir (terlihat dari minta dukungan mereka. Terangkan
pembicaraan yang kacau dan tidak bahwa minum obat secara teratur
dimengerti) dapat mencegah kekambuhan.
5. Agitatif Informasikan bahwa obat tidak dapat
6. Isolasi sosial (social withdrawal) dikurangi atau dihentikan tiba-tiba
7. Perawatan diri yang buruk tanpa persetujuan dokter.
Informasikan juga tentang efek
Diagnosis Banding samping yang mungkin timbul dan
1. Gangguan Mental Organik (Delirium, cara penanggulangannya.
Dementia, Psikosis Epileptik) • Dorong pasien untuk melakukan
2. Gangguan Mental dan Perilaku akibat fungsinya dengan seoptimal
Penggunaan Zat (Napza) mungkin di pekerjaan dan aktivitas
3. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik harian lain.
4. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik) • Dorong pasien untuk menghargai
norma dan harapan masyarakat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (berpakaian, berpenampilan dan
Penatalaksanaan berperilaku pantas).
• Menjaga keselamatan pasien dan
1. Intervensi Psikososial orang yang merawatnya pada fase
akut:
a. Informasi penting bagi pasien dan
o Keluarga atau teman harus
keluarga
menjaga pasien.
• Agitasi dan perilaku aneh
o Pastikan kebutuhan dasar
merupakan gejala gangguan mental,
terpenuhi (misalnya makan dan
yang juga termasuk penyakit medis.
minum).
• Episode akut sering mempunyai
o Jangan sampai mencederai pasien.
prognosis yang baik, tetapi
perjalanan penyakit jangka panjang • Meminimalisasi stres dan stimulasi:
sulit diprediksi. Pengobatan perlu o Jangan mendebat pikiran psikotik
dilanjutkan meskipun setelah gejala (anda boleh tidak setuju dengan
mereda. keyakinan pasien, tetapi jangan
• Gejala-gejala dapat hilang timbul. mencoba untuk membantah
Diperlukan antisipasi dalam bahwa pikiran itu salah). Sedapat
menghadapi kekambuhan. Obat mungkin hindari konfrontasi dan
merupakan komponen utama dalam kritik.
pengobatan. Minum obat secara o Selama masa gejala-gejala
teratur akan mengurangi gejala- menjadi lebih berat, istirahat
gejala dan mencegah kekambuhan. dan menghindari stres dapat
• Dukungan keluarga penting bermanfaat.
untuk ketaatberobatan (compliance)
dan rehabilitasi. • Agitasi yang berbahaya untuk pasien,
• Organisasi masyarakat dapat keluarga dan masyarakat
memerlukan rawat inap atau
pengamatan ketat di tempat yang
aman.
2. Farmakologi mandir tidak bisa berhenti bukan akibat
gejala) turunkan dosis antipsikotik dan
a. Berikan obat antipsikotik: Haloperidol berikan beta-blocker, propranolol 2-3 x
2-3 x 2-5 mg/hari atau Risperidon 2x 1- 10-20 mg.
3 mg/hari atau Klorpromazin 2-3 x 100-
200 mg/hari. Untuk haloperidol dan 3. Kunjungan Rumah (home visit)
risperidon dapat digabungkan dengan
benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3 Kunjungan rumah dilakukan sesuai indikasi
x 5 mg, lorazepam 1-3 x 1-2 mg) untuk untuk:
mengurangi agitasi dan memberikan a. Memastikan kepatuhan dan
efek sedasi. Benzodiazepin dapat kesinambungan pengobatan
ditappering-off setelah 2-4 minggu. b. Melakukan asuhan keperawatan
Catatan: klorpromazin memiliki efek c. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat
samping hipotensi ortostatik.
Kriteria Rujukan
b. Intervensi sementara untuk gaduh
gelisah dapat diberikan injeksi intra 1. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk
muskular haloperidol kerja cepat konfirmasi diagnostik ke fasyankes
(short acting) 5 mg, dapat diulangi sekunder yang memiliki pelayanan
dalam 30 menit - 1 jam jika belum kesehatan jiwa setelah dilakukan
ada perubahan yang signifikan, dosis penatalaksanaan awal.
maksimal 30 mg/hari. Atau dapat 2. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan
juga dapat diberikan injeksi perawatan inap karena berpotensi
intra muskular klorpromazin 2-3 x membahayakan diri atau orang lain segera
50 mg. Untuk pemberian haloperidol dirujuk setelah penatalaksanaan awal.
dapat diberikan tambahan injeksi intra Peralatan
muskular diazepam untuk mengurangi
dosis ntipsikotiknya dan menambah 1. Alat restraint (fiksasi)
efektivitas terapi. Setelah stabil segera 2. Alat transportasi untuk merujuk (bila
rujuk ke RS/RSJ. tersedia).
c. Untuk pasien psikotik kronis yang tidak Prognosis
taat berobat, dapat dipertimbangkan
untuk pemberian injeksi depo Untuk ad Vitam adalahbonam, ad fungsionam
adalah dubia, dan ad sanationam adalah dubia.
(jangka panjang) antipsikotik seperti
haloperidol decanoas 50 mg atau Referensi
fluphenazine decanoas 25 mg. Berikan
injeksi I.M ½ ampul terlebih dulu 1. Kaplan and Sadock.Synopsis of psychiatry.
untuk 2 minggu, selanjutnya injeksi 1 7thEd. William and Wilkins.
ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan 2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
sambil dimonitor efek samping, lalu di Indonesia III. Ed 1. 1993.
obat oral turunkan perlahan. 3. World Health Organization. Diagnostic
and management guidelines for mental
d. Jika timbul efek samping disorders in primary care: ICD-10 chapter
ekstrapiramidal seperti tremor, V, primary care version. Seattle: Hogrefe &
kekakuan, akinesia, dapat diberikan Huber Publishers.
triheksifenidil 2-4 x 2 mg; jika timbul 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
distonia akut berikan injeksi diazepam Jiwa Indonesia Pedoman Nasional
atau difenhidramin, jika timbul akatisia Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri. 2012.
(gelisah, mondar
J. RESPIRASI

1. INFLUENZA
No. ICPC-2 : R80 Influenza
No. ICD-10 : J11 Influenza, virus not identified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Penegakan diagnosis influenza membutuhkan
Influenza, sering dikenal dengan flu adalah ketelitian, karena keluhannya hampir sama
penyakit menular disebabkan oleh virus RNA dengan penyakit saluran pernapasan lainnya.
yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang C.
Virus influenza terus mengalami perubahan, Influenza dapat didiagnosis berdasarkan 4
sehingga dalam beberapa waktu akan kriteria berikut:
mengakibatkan wabah (pandemik) yang parah. 1. Terjadi tiba-tiba/akut
Virus ini menyerang saluran napas atas dan 2. Demam
paru-paru. 3. Gejala saluran pernapasan seperti batuk,
Hasil Anamnesis (Subjective) tidak ada lokasi spesifik dari keluhan yang
timbul
Keluhan 4. Terdapat penyakit serupa di lingkungan
penderita
Keluhan yang sering muncul adalah demam,
bersin, batuk, sakit tenggorokan, hidung meler, Ketika terdapat kasus influenza di masyarakat,
nyeri sendi dan badan, sakit kepala, lemah semua pasien dengan keluhan influenza harus
badan. didiagnosis secara klinis. Pasien disarankan
kembali untuk tindak lanjut jika keluhan
Faktor Risiko yang dialami bertambah buruk atau tidak ada
1. Daya tahan tubuh menurun perbaikan dalam waktu 72 jam.
2. Kepadatan hunian dan kepadatan Diagnosis Banding
penduduk yang tinggi
3. Perubahan musim/cuaca Faringitis, Tonsilitis, Laringitis
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Komplikasi
5. Usia lanjut
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang Infeksi sekunder oleh bakteri, Pneumonia
sederhana Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
(Objective) Penatalaksanaan
Pemeriksaan Fisik 1. Tatalaksana influenza umumnya tanpa obat
(self-limited disease).
Tanda Patognomonis
Hal yang perlu ditingkatkan adalah daya
1. Febris tahan tubuh. Tindakan untuk meringankan
2. Rinore gejala flu adalah beristirahat 2-3 hari,
3. Mukosa hidung edema mengurangi kegiatan fisik berlebihan,
meningkatkan gizi makanan dengan
Pemeriksaan penunjang: tidak diperlukan makanan berkalori dan protein tinggi, serta
Penegakan Diagnostik (Assessment) buah-buahan yang tinggi vitamin.

Diagnosis Klinis
2. Terapi simptomatik per oral tidak turun 5 hari disertai batuk purulen dan
sesak napas)
a. Antipiretik. Pada dewasa yaitu
parasetamol 3-4 x 500 mg/hari (10-15 Prognosis
mg/kgBB), atau ibuprofen 3-4 x 200-
400 mg/hari (5-10 mg/kgBB). Prognosis pada umumnya bonam.
b. Dekongestan, seperti pseudoefedrin Peralatan
(60 mg setiap 4-6 jam)
c. Antihistamin, seperti klorfeniramin 4- -
6 mg sebanyak 3-4 kali/hari, atau Referensi
difenhidramin, 25-50 mg setiap 4-6 jam,
atau loratadin atau cetirizine 10 mg 1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L.
dosis tunggal (pada anak loratadin 0,5 Hauser, S.L.et al. Harrisson’s: Principle
mg/kgBB dan setirizin 0,3 mg/kgBB). of Internal Medicine. 17thed. New York:
d. Dapat pula diberikan antitusif atau McGraw-Hill Companies. 2009. p: 1006 -
ekspektoran bila disertai batuk. 1020.
2. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan
Konseling dan Edukasi dan Pengendalian Infeksi Saluran
1. Edukasi Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi
Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan
a. Edukasi terutama ditujukan Kesehatan. 2007.
untuk individu dan lingkungannya.
Penyebaran penyakit ini melalui
udara sehingga lingkungan rumah
harus memenuhi persyaratan rumah
sehat terutama ukuran jendela untuk
pencahayaan dan ventilasi serta
kepadatan hunian. Untuk mencegah
penyebaran terhadap orang-orang
terdekat perlu diberikan juga edukasi
untuk memutuskan mata rantai
penularan seperti etika batuk dan
pemakaian masker.
b. Selain edukasi untuk individu,
edukasi terhadap keluarga dan orang-
orang terdekat juga penting seperti
peningkatan higiene dan sanitasi
lingkungan
2. Pencegahan
a. Imunisasi influenza, terutama bagi
orang-orang risiko tinggi.
b. Harus diwaspadai pasien yang baru
kembali dari daerah terjangkit epidemi
influenza
Rujukan
Bila didapatkan tanda-tanda pneumonia (panas
2. FARINGITIS AKUT
No. ICPC-2 : R74.Upper respiratory infection acute
No. ICD-10 : J02.9 Acute pharyngitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
pada faring dan tidak berespon dengan
Faringitis merupakan peradangan dinding pengobatan bakterial non spesifik.
faring yang disebabkan oleh virus (40-60%), 7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau
bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain- faringitis luetika, ditanyakan riwayat
lain.Anak-anak dan orang dewasa umumnya hubungan seksual, terutama seks oral.
mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis setiap Faktor Risiko
tahunnya. 1. Usia 3 – 14 tahun.
2. Menurunnya daya tahan tubuh.
Hasil Anamnesis (Subjective)
3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring
Keluhan 4. Gizi kurang
5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol,
1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan makanan, refluks asam lambung, inhalasi
2. Demam uap yang merangsang mukosa faring.
3. Sekret dari hidung 6. Paparan udara yang dingin.
4. Dapat disertai atau tanpa batuk
5. Nyeri kepala Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
6. Mual Sederhana (Objective)
7. Muntah
Pemeriksaan Fisik
8. Rasa lemah pada seluruh tubuh
9. Nafsu makan berkurang 1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak
faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu: influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus
1. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): tidak menghasilkan eksudat). Pada
coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular
diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa
di orofaring dan lesi kulit berupa
hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain maculopapular rash.
demam disertai rinorea dan mual. 2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, tampak tonsil membesar, faring dan
muntah, kadang demam dengan suhu yang tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali permukaannya. Beberapa hari kemudian
terdapat pembesaran KGB leher. timbul bercak petechiaepada palatum dan
3. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa
dan nyeri menelan. leher anterior membesar, kenyal dan nyeri
4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula pada penekanan.
tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk 3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan
yang berdahak. tampak plak putih di orofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring
5. Faringitis kronik atrofi: umumnya
lainnya hiperemis.
tenggorokan kering dan tebal serta mulut
4. Faringitis kronik hiperplastik, pada
berbau. pemeriksaan tampak kelenjar limfa di
6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat bawah mukosa faring dan hiperplasia
lateral band.
Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding adenovirus juga menimbulkan gejala
posterior tidak rata dan bergranular konjungtivitis terutama pada anak.
(cobble stone). b. Faringitis Bakterial
5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan Infeksi grup A stereptokokus beta
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir hemolitikus merupakan penyebab
yang kental dan bila diangkat tampak faringitis akut pada orang dewasa (15%)
mukosa kering. dan pada anak (30%).
6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan Faringitis akibat infeksi bakteri
tampak granuloma perkejuan pada mukosa streptokokkus group A dapat
faring dan laring diperkirakan dengan menggunakan
7. Faringitis luetika tergantung stadium Centor criteria, yaitu :
penyakit: • Demam
a. Stadium primer • Anterior Cervical lymphadenopathy
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan • Eksudat tonsil
dinding posterior faring berbentuk • Tidak ada batuk
bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri
timbul ulkus pada daerah faring seperti skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien
ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. tidak mengalami faringitis akibat
Juga didapatkan pembesaran kelenjar infeksi streptokokkus group A, bila
mandibula skor 1-3 maka pasien memiliki
b. Stadium sekunder kemungkian 40% terinfeksi
Stadium ini jarang ditemukan. Pada streptokokkus group A dan bila skor
dinding faring terdapat eritema yang 4 pasien memiliki kemungkinan 50%
menjalar ke arah laring. terinfeksi streptokokkus group A.
c. Stadium tersier c. Faringitis Fungal
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil Candida dapat tumbuh di mukosa
dan palatum. rongga mulut dan faring.
d. Faringitis Gonorea
Pemeriksaan Penunjang Hanya terdapat pada pasien yang
1. Pemeriksaan darah lengkap. melakukan kontak orogenital
2. Pemeriksaan mikroskopik dengan 2. Faringitis Kronik
pewarnaan Gram. a. Faringitis Kronik Hiperplastik
3. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik perubahan mukosa dinding posterior
swab mukosa faring dengan pewarnaan faring.
KOH. b. Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul
Penegakan Diagnostik (Assessment) bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan
Diagnosis Klinis
tidak diatur suhu serta kelembapannya
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, sehingga menimbulkan rangsangan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta infeksi pada faring.
bila diperlukan. 3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis Tuberkulosis
Klasifikasi faringitis Merupakan proses sekunder dari
1. Faringitis Akut tuberkulosis paru.
a. Faringitis Viral b. Faringitis Luetika
Dapat disebabkan oleh rinovirus, Treponema palidum dapat menimbulkan
adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), infeksi di daerah faring, seperti juga
virus influenza, coxsachievirus, penyakit lues di organ lain. Gambaran
cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada klinik tergantung stadium penyakitnya.
Komplikasi hari.
Tonsilitis, Abses peritonsilar, Abses Konseling dan Edukasi
retrofaringeal, Gangguan fungsi tuba Eustachius,
Otitis media akut, Sinusitis, Laringitis, Epiglotitis, Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
Meningitis, Glomerulonefritis akut, Demam 1. Menjaga daya tahan tubuh dengan
rematik akut, Septikemia mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) teratur.
2. Berhenti merokok bagi anggota keluarga
Penatalaksanaan yang merokok.
3. Menghindari makan makanan yang dapat
1. Istirahat cukup mengiritasi tenggorok.
2. Minum air putih yang cukup 4. Selalu menjaga higiene mulut dan tangan
3. Berkumur dengan air yang hangat dan
berkumur dengan obat kumur antiseptik Kriteria Rujukan
untuk menjaga kebersihan mulut. Pada
faringitis fungal diberikan Nistatin 100.000- 1. Faringitis luetika
400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis 2. Bila terjadi komplikasi
kronik hiperplastik terapi lokal dengan Prognosis
melakukan kaustik faring dengan memakai
zat kimia larutan Nitras Argentin 25% 1. Ad vitam : Bonam
4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti 2. Ad functionam : Bonam
virus Isoprinosine dengan dosis 60-100 3. Ad sanationam : Bonam
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada
orang dewasa dan pada anak <5 tahun Peralatan
diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/ 1. Lampu kepala
hari 2. Spatula lidah
5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila 3. Lidi kapas
diduga penyebabnyaStreptococcus group
A, diberikan antibiotik Amoksisilin 50 Referensi
mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10
hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6- 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku
10 hari atau Eritromisin 4x500 mg/hari. Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan 1997. (Adam dan Boies, 1997)
Sefalosporin generasi ke-3, seperti 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
Seftriakson 2 gr IV/IM single dose. Neck Surgery. Ed. Ke-8.McGraw-Hill. 2003.
7. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit (Lee, 2003)
hidung dan sinus paranasal harus diobati. 3. Rusmarjono. Soepardi, E.A.Faringitis,
Pada faringitis kronik atrofi pengobatan Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
ditujukan pada rhinitis atrofi. Sedangkan, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan Tenggorok, KepaladanLeher. Ed. ke-
kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari. 6.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk Indonesia. 2007(Hafil, et al., 2007)
antitusif atau ekspektoran.
9. Analgetik-antipiretik
10. Selain antibiotik, Kortikosteroid juga
diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis.
Steroid yang diberikan dapat berupa
Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa
selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/
kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3
3. LARINGITIS AKUT
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R77. Laryngitis/tracheitis acute
: J04.0 Acute laryngitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kepala, batuk dan demam dengan
Laringitis adalah peradangan pada laring yang temperatur yang tidak mengalami
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau peningkatan dari 38o C.
jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari 8. Obstruksi jalan nafas apabila ada edema
penggunaan suara yang berlebihan, pajanan laring diikuti edema subglotis yang terjadi
terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada dalam beberapa jam dan biasanya sering
pita suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, terjadi pada anak berupa anak menjadi
dan pneumonia juga dapat menyebabkan gelisah, nafas berbunyi, air hunger, sesak
laringitis. Laringitis pada anak sering diderita semakin bertambah berat.
oleh anak usia 3 bulan hingga 3 tahun, dan 9. Laringitis kronik ditandai dengan afonia
biasanya disertai inflamasi pada trakea dan yang persisten. Pada pagi hari, biasanya
bronkus dan disebut sebagai penyakit croup. tenggorokan terasa sakit namun membaik
Penyakit ini seringkali disebabkan oleh virus, pada suhu yang lebih hangat. Nyeri
yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus tenggorokan dan batuk memburuk kembali
influenza A dan B, RSV, dan virus campak. Selain menjelang siang. Batuk ini dapat juga dipicu
itu, M. pneumonia juga dapat menyebabkan oleh udara dingin atau minuman dingin.
croup.
Faktor Risiko
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Penggunaan suara yang berlebihan.
Keluhan 2. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap
rokok dan minum- minuman alkohol.
1. Pasien datang dengan keluhan suara 3. Adanya refluks laringofaringeal, bronkitis,
serak atau hilang suara (afonia). dan pneumonia.
2. Gejala lokal seperti suara parau, seperti 4. Rhinitis alergi.
suara yang kasar atau suara yang susah 5. Perubahan suhu yang tiba-tiba.
keluar atau suara dengan nada lebih rendah 6. Malnutrisi.
dari suara yang biasa/normal bahkan 7. Keadaan menurunnya sistem imun atau
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni). daya tahan tubuh.
Hal ini terjadi karena gangguan getaran
serta ketegangan dalam pendekatan kedua Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
pita suara kiri dan kanan. Sederhana (Objective)
3. Sesak nafas dan stridor.
Pemeriksaan Fisik
4. Nyeri tenggorokan, terutama nyeri ketika
menelan atau berbicara. Laringoskopi indirek (khusus untuk pasien
5. Gejala radang umum, seperti demam, dewasa):
malaise.
6. Batuk kering yang lama kelamaan disertai 1. Pada pemeriksaan fisik akan tampak
dengan dahak kental. mukosa laring yang hiperemis dan
7. Gejala common cold, seperti bersin-bersin, membengkak terutama di bagian atas dan
nyeri tenggorok hingga sulit menelan, bawah pita suara.
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri 2. Biasanya terdapat tanda radang akut di
hidung atau sinus paranasal. 3. Laringitis Kronik Spesifik
3. Pada laringitis kronik, dapat ditemukan
nodul, ulkus dan penebalan mukosa pita a. Laringitis tuberkulosa
suara. Penyakit ini disebabkan tuberkulosis
paru. Setelah diobati, biasanya
Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan) tuberkulosis paru sembuh namun
1. Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: laringitis tuberculosis menetap
bisa tampak pembengkakan jaringan (membutuhkan pengobatan yang lebih
subglotis (Steeple sign). Tanda ini lama), karena struktur mukosa laring
ditemukan pada 50% kasus. sangat lekat pada kartilago serta
2. Foto toraks AP. vaskularisasi tidak sebaik paru.
3. Pemeriksaan laboratorium darah Terdapat 4 stadium:
lengkap. • Stadium Infiltrasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Mukosa laring membengkak,
hiperemis (bagian posterior), dan
Diagnosis Klinis pucat. Terbentuk tuberkel di daerah
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, submukosa, tampak sebagai bintik-
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bintik kebiruan. Tuberkel membesar,
jika diperlukan. menyatu sehingga mukosa di
atasnya meregang. Bila pecah akan
Klasifikasi: timbul ulkus.
1. Laringitis Akut • Stadium Ulserasi
Laringitis akut adalah radang akut laring, Ulkus membesar, dangkal, dasarnya
dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. ditutupi perkejuan dan terasa nyeri
Keluhan berlangsung <3 minggu dan pada oleh pasien
umumnya disebabkan oleh infeksi virus • Stadium Perikondritis
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe
Ulkus makin dalam mengenai
1,2,3), rhinovirusdan adenovirus. Penyebab
kartilago laring, paling sering terkena
lain adalah Haemofilus influenzae,
kartilago aritenoid, dan epiglottis.
Branhamellacatarrhalis, Streptococcus
Terbentuk nanah yang berbau sampai
pyogenes, Staphylococcus aureus, dan
terbentuk sekuester. Pada stadium
Streptococcuspneumoniae.
ini keadaan pasien buruk dan dapat
2. Laringitis Kronik meninggal. Bila bertahan maka
Laringitis kronik dapat terjadi setelah berlanjut ke stadium akhir yaitu
laringitis akut yang berulang, dan juga stadium fibrotuberkulosis
dapat diakibatkan oleh sinusitis kronis, • Stadium Fibrotuberkulosis
deviasi septum berat, polip hidung,
Terbentuk fibrotuberkulosis pada
bronkitis kronik, refluks laringofaring,
dinding posterior, pita suara, dan
merokok, pajanan terhadap iritan yang
subglotik.
bersifat konstan, dan konsumsi alkohol
berlebih. Tanda dari laringitis kronik ini yaitu b. Laringitis luetika
nyeri tenggorokan yang tidak signifikan, Radang menahun ini jarang ditemukan.
suara serak, dan terdapat edema pada
laring. Mungkin juga disebabkan Diagnosis Banding
penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti Benda asing pada laring, Faringitis,
berteriak-teriak atau bicara keras. Bronkiolitis, Bronkitis, Pneumonia, Tumor pada
laring, Kelumpuhan pita suara bersuara atau tidak bersuara berlebihan.
4. Menghindari makanan yang mengiritasi
Komplikasi atau meningkatkan asam lambung.
Obstruksi jalan napas atas, Pneumonia,
Kriteria Rujukan
Bronkhitis
Indikasi rawat rumah sakit apabila:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Terdapat tanda sumbatan jalan nafas atas.
Penatalaksanaan
2. Usia penderita dibawah 3 tahun.
1. Non-medikamentosa 3. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau
a. Istirahat suara (vocal rest). exhausted.
b. Rehabilitasi suara (voice therapy), bila 4. Ada kecurigaan tumor laring.
diperlukan.
Prognosis
c. Meningkatkan asupan cairan.
d. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan 1. Ad vitam : Bonam
pemasangan pipa endotrakea, atau 2. Ad functionam : Bonam
trakeostomi. 3. Ad sanationam : Bonam
2. Medikamentosa Peralatan
a. Parasetamol atau Ibuprofen sebagai
antipiretik dan analgetik. 1. Lampu kepala
b. Pemberian antibiotik dilakukan bila 2. Kaca laring
peradangan dari paru dan bila 3. Kassa steril
penyebab berupa Streptokokus grup A 4. Lampu spiritus
ditemukan melalui kultur. Pada kasus Referensi
ini, antibiotik yang dapat digunakan
yaitu golongan Penisilin. 1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar
c. Proton Pump Inhibitor pada laringitis Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
yang disebabkan oleh refluks 2. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono,
laringofaringeal. A. Kelainan Laring dalam Buku Ajar Ilmu
d. Kortikosteroid dapat diberikan jika Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
laringitis berat. Kepala dan Leher. Ed ke-6.Jakarta:Fakultas
e. Laringitis tuberkulosis: obat Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
antituberkulosis. 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
f. Laringitis luetika: penisilin dengan dosis Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
tinggi. Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan laringoskopi indirek
kembali untuk memeriksa perbaikan
organ laring.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
teratur.
2. Menghentikan merokok.
3. Mengistirahatkan pasien berbicara dan
4. TONSILITIS AKUT
No. ICPC-2 No.: ICD-10
R76. Tonsillitis acute
: J03. Acute tonsillitis J35. Chronic tonsilitis

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorokan,
yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. badan lemah, gusi mudah berdarah dan
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan hipersalivasi.
limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut Faktor Risiko
yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal 1. Faktor usia, terutama pada anak.
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band 2. Penurunan daya tahan tubuh.
dinding faring/ Gerlach’s tonsil).Penyakit ini 3. Rangsangan menahun (misalnya rokok,
banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 makanan tertentu).
sampai 10 tahun. 4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi
Hasil Anamnesis (Subjective)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Keluhan Sederhana (Objective)
1. Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala Pemeriksaan Fisik
awal.
2. Nyeri pada tenggorok, terutama saat 1. Tonsilitis akut:
menelan. Rasa nyeri semakin lama semakin a. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2.
bertambah sehingga anak menjadi tidak
b. Hiperemis dan terdapat detritus di
mau makan.
dalam kripti yang memenuhi
3. Nyeri dapat menyebar sebagai referred
permukaan tonsil baik berbentuk
pain ke telinga.
folikel, lakuna, atau pseudomembran.
4. Demam yang dapat sangat tinggi sampai
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus
menimbulkan kejang pada bayi dan anak-
yang jelas disebut tonsilitis folikularis.
anak.
Bila bercak-bercak detritus ini menjadi
5. Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu makan
satu, membentuk alur alur maka akan
berkurang.
terjadi tonsilitis lakunaris.
6. Plummy voice / hot potato voice: suara
pasien terdengar seperti orang yang c. Bercak detritus ini dapat melebar
mulutnya penuh terisi makanan panas. sehingga terbentuk membran semu
7. Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah (pseudomembran) yang menutupi
menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri ruang antara kedua tonsil sehingga
telan yang hebat (ptialismus). tampak menyempit. Temuan ini
8. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh mengarahkan pada diagnosis banding
ada penghalang/mengganjal di tenggorok, tonsilitis difteri.
tenggorok terasa kering dan pernafasan d. Palatum mole, arkus anterior dan
berbau (halitosis). arkus posterior juga tampak udem dan
9. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis hiperemis.
ulseromembranosa) gejala yang timbul
e. Kelenjar limfe leher dapat membesar
dan disertai nyeri tekan. Gambar 10.1. Gradasi pembesaran tonsil
2. Tonsilitis kronik:
a. Tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan berisi detritus.
b. Pembesaran kelenjar limfe
submandibula dan tonsil yang
mengalami perlengketan.
3. Tonsilitis difteri:
a. Tampak tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas
Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Tampak pseudomembran yang melekat
erat pada dasar tonsil sehingga bila Diagnosis Klinis
diangkat akan mudah berdarah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif
orofaring, dengan mengukur jarak antara dengan pemeriksaan penunjang.
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi Diagnosis Banding
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi: Infiltrat tonsil, limfoma, tumor tonsil
1. T0: tonsil sudah diangkat. Komplikasi
2. T1: <25% volume tonsil dibandingkan 1. Komplikasi lokal
dengan volume orofaring atau batas medial a. Abses peritonsil (Quinsy)
tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ b. Abses parafaringeal
jarak pilar anterior uvula. c. Otitis media akut
3. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan d. Rinosinusitis
dengan volume orofaringatau batas medial 2. Komplikasi sistemik
tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior- uvula a. Glomerulonephritis
sampai ½ jarak pilar anterior-uvula.
b. Miokarditis
4. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan 3. Demam reumatik dan penyakit jantung
dengan volume orofaring atau batas medial reumatik
tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula
sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan Penatalaksanaan
dengan volume orofaring atau batas medial
tonsilmelewati ¾ jarak pilar anterior-uvula 1. Istirahat cukup
sampai uvula atau lebih. 2. Makan makanan lunak dan menghindari
Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan makan makanan yang mengiritasi

1. Darah lengkap 3. Menjaga kebersihan mulut

2. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskop 4. Pemberian obat topikal dapat berupa obat
dengan pewarnaan Gram kumur antiseptik
5. Pemberian obat oral sistemik selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian
a. Tonsilitis viral.
selama 3 hari. Analgetik / antipiretik,
Istirahat, minum cukup, analgetika / misalnya Paracetamol dapat diberikan.
antipiretik (misalnya, Paracetamol), dan
c. Tonsilitis difteri
antivirus diberikan bila gejala berat.
Antivirus Metisoprinol diberikan pada Anti Difteri Serum diberikan segera
infeksi virus dengan dosis 60-100 mg/ tanpa menunggu hasil kultur, dengan
kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/ dosis 20.000-100.000 unit tergantung
hari pada orang dewasa dan pada anak umur dan jenis kelamin. Antibiotik
< 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi penisilin atau eritromisin 25-50 mg/
dalam 4-6 kali pemberian/hari. kgBB/hari. Antipiretik untuk
simptomatis dan pasien harus diisolasi.
b. Tonsilitis bakteri
Perawatan harus istirahat di tempat
Bila diduga penyebabnya Streptococcus tidur selama 2-3 minggu.
group A, diberikan antibiotik yaitu
d. Angina Plaut Vincent (Stomatitis
Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM
ulseromembranosa) Antibiotik
dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/
spektrum luas diberikan selama 1
kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10
minggu, dan pemberian vitamin C serta
hari dan pada dewasa 3 x 500 mg
vitamin B kompleks.
selama 6-10 hari atau Eritromisin 4 x
500 mg/ hari. Selain antibiotik juga Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi
diberikan Kortikosteroid karena steroid
Menurut Health Technology Assessment
telah terbukti menunjukkan perbaikan
Kemenkes tahun 2004, indikasi tonsilektomi,
klinis yang dapat menekan reaksi yaitu:
inflamasi. Steroid yang dapat diberikan
berupa Deksametason 3 x 0,5 mg pada Tabel 10.1 Indikasi Tonsilektomi
dewasa
Kontraindikasi relatif tonsilektomi: 2. Adanya indikasi tonsilektomi.
3. Pasien dengan tonsilitis difteri.
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi atau penyakit sistemik yang Peralatan
berat
3. Anemia 1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
Konseling dan Edukasi 3. Lidi kapas
4. Laboratorium sederhana untuk
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
pemeriksaan darah lengkap
1. Menghindari pencetus, termasuk makanan 5. Laboratorium sederhana untuk
dan minuman yang mengiritasi pemeriksaan mikrobiologi dengan
2. Melakukan pengobatan yang adekuat pewarnaan Gram
karena risiko kekambuhan cukup tinggi.
Prognosis
3. Menjaga daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga 1. Ad vitam : Bonam
teratur. 2. Ad functionam : Bonam
4. Berhenti merokok. 3. Ad sanationam : Bonam
5. Selalu menjaga kebersihan mulut.
6. Mencuci tangan secara teratur. Rencana Referensi
Tindak Lanjut 1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies. Buku Ajar
Memberikan laporan ke dinas kesehatan Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997
setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri. 2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
Kriteria Rujukan Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.

Segera rujuk jika terjadi: 3. 3. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis,


Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
1. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
septikemia, meningitis, glomerulonephritis, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6.
demam rematik akut. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007.

5. BRONKITIS AKUT
No. ICPC II : R78 Acute bronckitis /bronchiolitis
No. ICD X : J20.9 Acute bronchitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Bronkitis adalah suatu peradangan pada paparan terhadap iritasi, bahan-bahan yang
bronkus (saluran udara ke paru-paru). Radang mengeluarkan polusi, penyakit gastrofaringeal
dapat berupa hipersekresi mukus dan batuk refluk dan pekerja yang terekspos dengan debu
produktif kronis berulang-ulang minimal selama atau asap. Bronkitis akut dapat dijumpai pada
3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 semua umur, namun paling sering didiagnosis
tahun berturut-turut pada pasien yang pada anak-anak muda dari 5 tahun, sedangkan
diketahui tidak terdapat penyebab lain. bronkitis kronis lebih umum pada orang tua dari
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh beberapa 50 tahun.
hal, yaitu: infeksi virus, infeksi bakteri, rokok
dan asap rokok,
Hasil Anamnesis (Subjective) dari hilus menuju apex paru dan corakan
paru yang bertambah.
Keluhan
3. Tes fungsi paru dapat memperlihatkan
1. Batuk (berdahak maupun tidak berdahak) obstruksi jalan napas yang reversibel
selama 2-3 minggu. dengan menggunakan bronkodilator.
2. Dahak dapat berwarna jernih, putih,
Penegakan Diagnostik (Assessment)
kekuning-kuningan atau kehijauan.
3. Demam (biasanya ringan) Diagnosis Klinis
4. Rasa berat dan tidak nyaman di dada. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
5. Sesak nafas. pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Diagnosis Banding
6. Sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
“ngik”, terutama setelah batuk. 1. Epiglotitis, yaitu suatu infeksi pada
7. Bila iritasi saluran terjadi, maka dapat epiglotis, yang bisa menyebabkan
terjadi batuk darah. penyumbatan saluran pernafasan.

Faktor Risiko:- 2. Bronkiolitis, yaitu suatu peradangan pada


bronkiolus (saluran udara yang merupakan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang percabangan dari saluran udara utama),
Sederhana (Objective) yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus.
Pemeriksaan Fisik 3. Influenza, yaitu penyakit menular yang
menyerang saluran napas, dan sering
Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan:
menjadi wabah yang diperoleh dari
Inspeksi : Pasien tampak kurus dengan menghirup virus influenza.
barrel shape chest (diameter
4. Sinusitis, yaitu radang sinus paranasal yaitu
anteroposterior dada meningkat).
rongga-rongga yang terletak disampig
Palpasi : fremitus taktil dada normal kanan - kiri dan diatas hidung.
Perkusi : sonor, peranjakan hati mengecil,
5. PPOK, yaitu penyakit paru kronik yang
batas paru hati lebih rendah
ditandai oleh hambatan aliran udara di
Auskultasi : suara nafas vesikuler atau saluran napas yang bersifat progresif
bronkovesikuler, dengan ekpirasi nonreversibel parsial.
panjang, terdapat ronki basah
kasar yang tidak tetap 6. Faringitis, yaitu suatu peradangan pada
(dapat hilang atau pindah tenggorokan (faring) yang disebabkan oleh
setelah batuk), wheezing dengan virus atau bakteri.
berbagai gradasi (perpanjangan
7. Asma, yaitu suatu penyakit kronik
ekspirasi hingga mengi) dan
(menahun) yang menyerang saluran
krepitasi. pernafasan (bronchiale) pada paru dimana
Pemeriksaan Penunjang terdapat peradangan (inflamasi) dinding
rongga bronchiale sehingga mengakibatkan
1. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan penyempitan saluran nafas yang
Gram akan banyak didapat leukosit PMN akhirnya seseorang mengalami sesak nafas.
dan mungkin pula bakteri.
8. Bronkiektasis, yaitu suatu perusakan dan
2. Foto thoraks pada bronkitis kronis
pelebaran (dilatasi) abnormal dari saluran
memperlihatkan tubular shadow berupa
pernafasan yang besar.
bayangan garis-garis yang paralel keluar
Komplikasi asma, tetapi dapat juga untukbronkitis. Efek
samping obat bronkodilator perlu diketahui
1. Bronkopneumoni. pasien, yakni: berdebar, lemas, gemetar
2. Pneumonia. dan keringat dingin.
3. Pleuritis.
4. Penyakit-penyakit lain yang diperberat 9. Antibiotika hanya digunakan jika dijumpai
seperti:jantung. tanda-tanda infeksi oleh kuman
5. Penyakit jantung rematik. berdasarkan pemeriksaan dokter.
6. Hipertensi. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain:
7. Bronkiektasis ampisilin, eritromisin, atau spiramisin, 3 x
500 mg/ hari.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 10. Terapi lanjutan: jika terapi antiinflamasi
Penatalaksanaan sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga
gejala menghilang paling sedikit 1 minggu.
1. Memperbaiki kemampuan penderita Bronkodilator juga dapat diberikan jika
mengatasi gejala-gejala tidak hanya pada diperlukan.
fase akut, tapi juga pada fase kronik, serta
dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari Rencana Tindak Lanjut
sesuai dengan pola kehidupannya. Pasien kontrol kembali setelah obat habis,
2. Mengurangi laju perkembangan penyakit dengan tujuan untuk:
apabila dapat dideteksi lebih awal.
1. Mengevaluasi modifikasi gaya hidup.
3. Oksigenasi pasien harus memadai. 2. Mengevaluasi terapi yang diberikan, ada
4. Istirahat yang cukup. atau tidak efek samping dari terapi.
5. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): Konseling dan Edukasi
Kodein (obat Doveri) dapat diberikan 10
mg, diminum 3 x/hari, bekerja dengan Memberikan saran agar keluarga dapat:
menekan batuk pada pusat batuk di otak.
Antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan, 1. Mendukung perbaikan kemampuan
ibu menyusui dan anak usia 6 tahun ke penderita dalam melaksanakan aktivitas
bawah. Pada penderita bronkitis akut sehari-hari sesuai dengan pola
yang disertai sesak napas, pemberian kehidupannya.
antitusif perlu umpan balik dari penderita. 2. Memotivasi pasien untuk menghindari
Jika penderita merasa tambah sesak, maka merokok, menghindari iritan
antitusif dihentikan. lainnya yang dapat terhirup, mengontrol
6. Pemberian ekspektoran (obat batuk suhu dan kelembaban lingkungan, nutrisi
pengencer dahak) yang lazim digunakan yang baik, dan cairan yang adekuat.
diantaranya: GG (Glyceryl Guaiacolate),
3. Mengidentifikasigejala efek samping obat,
bromheksin, ambroksol, dan lain-lain.
seperti bronkodilator dapat menimbulkan
7. Antipiretik (pereda panas): parasetamol berdebar, lemas, gemetar dan keringat
(asetaminofen), dan sejenisnya, digunakan dingin.
jika penderita demam.
Kriteria Rujukan
8. Bronkodilator (melonggarkan napas),
diantaranya: salbutamol, terbutalin sulfat, Pada pasien dengan keadaan umum buruk,
teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat perlu dirujuk ke rumah sakit yang memadai
ini digunakan pada penderita yang disertai untuk monitor secara intensif dan konsultasi ke
sesak napas atau rasa berat bernapas, spesialis terkait.
sehingga obat ini tidak hanya untuk obat
Peralatan 3. Harrison: Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 13.Volume ketiga.
Oksigen Jakarta.2003.
Prognosis 4. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis
Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Prognosis umumnya dubia ad bonam. Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal:
Referensi 337.
5. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6.
1. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2006.
Jakarta: EGC. 2002. 6. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit
2. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Dalam. Jilid II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998.
Penyakit Paru. Jakarta: EGC.1998.

6. ASMA BRONKIAL (ASMA STABIL)


No. ICPC-2: R96 Asthma No. ICD-10: J45 Asthma
Tingkat Kemampuan 4A

A. ASMA PADA DEWASA Tabel 10.2 Faktor risiko asma bronkial

Masalah Kesehatan
Asma adalah penyakit heterogen, selalu
dikarakteristikkan dengan inflamasi kronis di
saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi
seperti mengi, sesak, rasa berat di dada dan
batuk yang intensitasnya berberda-beda
berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara
ekspirasi
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka
meningkatkan kemungkinan pasien memiliki
Asma, yaitu :
1. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi,
sesak, dada terasa berat) khususnya pada
dewasa muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau
pagi dini hari
3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan,
pajanan allergen, perubahan cuaca, tertawa Pemeriksaan Fisik
atau iritan seperti asap kendaraan, rokok
atau bau yang sangat tajam Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal.
Abnormalitas yang paling sering ditemukan Penilaian Derajat Kontrol Asma
adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan
auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar Tabel 10.4 Penilaian derajat kontrol asma
saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak
terddengan selama eksaserbasi asma yang berat
karena penurunan aliran napas yang dikenal
dengan “silent chest”.
Pemeriksaan Penunjang
1. Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan
Peak Flowmeter
2. Pemeriksaan darah (eosinofil dalam darah)
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE
sebelum dan sesudah pemberian inhalasi
salbutamol.
Klasifikasi
Tabel 10.3 Klasifikasi asma bronkial
* Semua eksaserbasi terjadi dalam
pengobatan yang adekuat
** Berdasarkan definisi, eksaserbasi di minggu
apapun membuat asma tidak terkontrol
*** Tanpa pemberian bronkodilator
Fungsi paru tidak untuk anak 5 tahun atau lebih
muda
Diagnosis Banding
Disfungsi pita suara, Hiperventilasi,
Bronkiektasis, Kistik fibrosis, Gagal jantung,
Defisiensi benda asing
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi
serta mengendalikan faktor pencetusnya.
2. Perlu dilakukan perencanaan dan
pemberian pengobatan jangka panjang
serta menetapkan pengobatan pada
serangan akut sesuai tabel di bawah ini.
Tabel 10.5 Penatalaksanaan asma Konseling dan Edukasi
berdasarkan beratnya keluhan 1. Memberikan informasi kepada individu
dan keluarga mengenai seluk beluk
penyakit, sifat penyakit, perubahan
penyakit (apakah membaik atau
memburuk), jenis dan mekanisme kerja
obat-obatan dan mengetahui kapan harus
meminta pertolongan dokter.
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk
menilai dan monitor berat asma secara
berkala (asthma control test/ ACT)
3. Pola hidup sehat.
4. Menjelaskan pentingnya melakukan
pencegahan dengan:
a. Menghindari setiap pencetus.
b. Menggunakan bronkodilator/ steroid
inhalasi sebelum melakukan exercise untuk
mencegah exercise induced asthma.
Kriteria rujukan
1. Bila sering terjadi eksaserbasi.
2. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
3. Asma dengan komplikasi.
Persiapan dalam melakukan rujukan bagi pasien
asma, yaitu:
1. Terdapat oksigen.
2. Pemberian steroid sistemik injeksi atau
inhalasi disamping pemberian bronkodilator
kerja cepat inhalasi.
3. Pasien harus didampingi oleh dokter/tenaga
kesehatan terlatih selama perjalanan
menuju ke pelayanan sekunder.
Peralatan
1. Asthma control test
2. Tabung oksigen
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila 3. Kanul hidung
diperlukan) 4. Masker sederhana
1. Foto toraks 5. Nebulizer
2. Uji sensitifitas kulit 6. Masker inhalasi
3. Spirometri 7. Peak flow meter
4. Uji provokasi bronkus 8. Spirometri

Komplikasi Prognosis
1. Ad sanasionam : bonam
Pneumotoraks, Pneumomediastinum, Gagal 2. Ad fungsionam : bonam
napas, Asma resisten terhadap steroid. 3. Ad vitam : bonam
Referensi terasa berat, atau batuk setelah terpajan
alergen atau polutan?
1. Global strategy for asthma management 5. Apakah jika mengalami pilek, anak
and prevention. GINA.2014. (Global membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
Initiatives for Asthma, 2011)
6. Apakah gejala klinis membaik setelah
2. Global strategy for asthma management pemberian pengobatan anti- asma?
and prevention. GINA.2006. (Global
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Initiatives for Asthma, 2006)
Sederhana (Objective)
3. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma.
Pemeriksaan Fisik
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta. 2004. (Perhimpunan Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak
Dokter Paru Indonesia, 2004) ditemukan kelainan saat pasien tidak
mengalami serangan. Pada sebagian kecil pasien
B. ASMA PADA ANAK yang derajat asmanya lebih berat, dapat
dijumpai mengi di luar serangan. Dengan
Masalah Kesehatan adanya kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi
dan anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya
Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya
persisten dengan karakteristik sebagai berikut: berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik dan
timbul secara episodik, cenderung pada malam/ respons terhadap pengobatan). Pada kelompok
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas usia ini, tes fungsi paru atau pemeriksaan untuk
fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran
pada pasien dan/atau keluarganya. Inflamasi ini napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan sehari-hari. Kemungkinan asma perlu dipikirkan
napas terhadap berbagai rangsangan. Prevalens pada anak yang hanya menunjukkan batuk
total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada sebagai satu- satunya gejala dan pada
dewasa dan 10% pada anak). pemeriksaan fisik tidak ditemukan mengi, sesak,
dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat
Hasil Anamnesis (Subjective)
dengan batuk malam hari yang rekuren, asma
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat harus dipertimbangkan sebagai probable
agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat diagnosis. Beberapa anak menunjukkan gejala
mengenai gejala sulit bernapas, mengi setelah berolahraga.
atau dada terasa berat yang bersifat episodik
dan berkaitan dengan musim serta terdapat Pemeriksaan Penunjang
riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota Arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow
keluarga. Walaupun informasi akurat mengenai meter. Metode yang dianggap merupakan cara
hal-hal tersebut tidak mudah didapat, beberapa mengukur nilai diurnal APE terbaik adalah
pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan
pertimbangan diagnosis asma : hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik
dari selisih nilai APE pagi hari terendah dengan
1. Apakah anak mengalami serangan mengi
nilai APE malam hari tertinggi. Jika didapatkan
atau serangan mengi berulang?
variabilitas APE diurnal > 20% (petanda adanya
2. Apakah anak sering terganggu oleh batuk
perburukan asma) maka diagnosis asma perlu
pada malam hari?
dipertimbangkan.
3. Apakah anak mengalami mengi atau batuk
setelah berolahraga? Penegakan Diagnosis (Assessment)
4. Apakah anak mengalami gejala mengi, dada
Asma Stabil
Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap
terhadap pemberian faktor pencetus (paling sering infeksi virus atau
allergen atau kombinasi keduanya), sedangkan
obat asma baik, pemeriksaan lebih lanjut tidak
serangan berupa perburukan yang bertahap
perlu dilakukan. Jika respons terhadap obat
mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka
asma tidak baik, sebelum mengganti obat
panjang penyakit.
dengan yang lebih poten, harus dinilai lebih
dulu apakah dosis sudah adekuat, cara dan
waktu pemberian sudah benar, serta ketaatan
pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah
dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis
bukan asma perlu dipikirkan.
Klasifikasi asma pada anak menurut PNAA 2004

Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode
perburukan gejala-gejala asma secara progresif.
Gejala yang dimaksud adalah sesak napas,
batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai
kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya,
eksaserbasi disertai distres pernapasan.
Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF
atau FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator
yang lebih dapat dipercaya daripada penilaian
berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala
lebih sensitif untuk menunjukkan awal
terjadinya ekaserbasi karena memberatnya
gejala biasanya mendahului perburukan PEF.
Derajat serangan asma bervariasi mulai dari
yang ringan sampai yang mengancam jiwa,
perburukan dapat terjadi dalam beberapa
menit, jam, atau hari. Serangan
# pada matrik klinis, setiap pasien asma tatalaksana di rumah dan di rumah sakit.
harus dicantumkan diagnosis asma secara Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien
lengkap berdasarkan kekerapan serangan (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini
maupun drajat berat serangan misalnya dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya
asma episodik jarang serangan Ryan, asma telah menjalani terapi dengan teratur dan
episodik sering di luar serangan. mempunyai pendidikan yang cukup. Pada
panduan pengobatan di rumah, disebutkan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) bahwa terapi awal adalah inhalasi B2agonis
Asma Stabil kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang waktu
20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok mencari pertolongan ke dokter atau sarana
besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat kesehatan.
pengendali (controller). Obat pereda terkadang
juga disebut sebagai obat pelega atau obat Nilai derajat serangan
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk
Tatalaksana awal
meredakan serangan atau gejala asma yang
sedang timbul. Jika serangan sudah teratasi dan • nebulisasi B2agonis 1-2x, selang 20 menit
gejala sudah menghilang, obat ini tidak • nebulisasi kedua + antikolinergik jika
digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat serangan sedang/berat
pengendali yang sering disebut sebagai obat • nebulisasi langsung dengan B2agonis +
pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan antikolinergik
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu Serangan ringan (nebulisasi 1x, respons baik)
inflamasi kronik saluran napas. Dengan • Observasi 1-2 jam
demikian, obat ini dipakai terus menerus dalam • Jika efek bertahan, boleh pulang
jangka waktu yang relatif lama, bergantung • Jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai
pada derajat penyakit asma dan responsnya serangan sedang
terhadap pengobatan.
Serangan sedang (nebulisasi 2x, respons parsial)
• Berikan oksigen
• Nilai kembali derajat serangan, jika sesuai
dengan serangan sedang, observasi di Ruang
Rawat Sehari
• Berikan steroid oral
• Pasang jalur parenteral
Serangan berat (bila telah nebulisasi 3x, respons
buruk)
• Sejak awal berikan O2 saat/di luar nebulisasi
• Pasang jalur parenteral, nilai ulang keadaan
klinis, jika seuai dgn serangan berat, rawat di
Ruang Rawat Inap
• Foto rontgen toraks
Boleh pulang
• Bekali dengan obat ß-agonis (hirupan/oral)
• Jika sudah ada obat pengendali, teruskan
Asma Eksaserbasi • Jika pencetusnya adalah infeksi virus, dapat
diberikan steroid oral
Global initiative for asthma (GINA) membagi
• Dalam 24-48 jam control ke klinik rawat jalan.
tatalaksana serangan asma menjadi dua yaitu
Catatan: baik dalam 4-6 minggu, tatalaksananya
Ruang rawat sehari/observasi berpindah ke asma episodik sering.
• Teruskan pemberian oksigen 2. Asma episodik sering
• Lanjutkan steroid oral Penggunaan B2-agonis hirupan lebih dari 3x
• Nebulisasi tiap 2 jam per minggu (tanpa menghitung penggunaan
• Bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/
boleh pulang. Tetapi jika klinis tetap belum berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan,
membaik/memburuk, alih rawat ke Ruang merupakan indikasi penggunaan anti-
rawat inap. inflamasi sebagai pengendali. Obat
steroid hirupan yang sering digunakan pada
Ruang rawat inap anak adalah budesonid, sehingga digunakan
• Teruskan oksigen sebagai standar. Dosis rendah steroid
• Atasi dehidrasi dan asidosis jika ada hirupan adalah 100-200 g/hari budesonid
• Steroid IV tiap 6-8 jam (50-100 g/hari flutikason) untuk anak
• Nebulisasi tiap 1-2 jam berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400
• Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason)
• Jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada
jadi 4-6 jam penggunaan beklometason atau budesonid
• Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, dengan dosis 100-200 g/hari atau setara
boleh pulang dengan flutikason 50-100 g, belum pernah
• Jika dengan steroid dan aminofilin parenteral dilaporkan adanya efek samping jangka
tidak membaik, bahkan timbul ancaman henti panjang. Jika setelah pengobatan selama 8-
napas, alih rawat ke Ruang rawat 12 minggu dengan steroid dosis rendah
• Jika menurut penilaian serangannya sedang/ tidak timbul respons (masih terdapat gejala
berat, nebulisasi pertama kali langsung asma atau gangguan tidur atau aktivitas
dengan ß-agonis + antikolinergik sehari-hari), pengobatan dilanjutkan
• Bila terdapat tanda ancaman henti napas dengan tahap kedua, yaitu menaikkan
segera ke Ruang Rawat Intensif dosis steroid hirupan sampai dengan 400
• Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi g/hari yang termasuk dalam tatalaksana
dapat diganti dengan adrenalin subkutan asma persisten. Jika tatalaksana suatu
0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali derajat penyakit asma sudah adekuat,
• Untuk serangan sedang dan terutama berat, tetapi responsnya tetap tidak baik dalam 8-
oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, 12 minggu, derajat tatalaksananya
termasuk pada saat nebulisasi berpindah ke yang lebih berat (step up).
Sebaliknya, jika asma terkendali dalam 8-12
intensif minggu, derajatnya beralih ke yang lebih
Tatalaksana Asma Eksaserbasi ringan (step down). Jika memungkinkan,
steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Tatalaksana Asma Eksaserbasi
1. Asma episodik jarang cukup diobati dengan Sebelum melakukan step-up, harus
obat pereda berupa bronkodilator -agonis dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
hirupan kerja pendek (Short Acting B2- penghindaran pencetus, penggunaan obat,
Agonist, SABA) atau golongan xantin kerja serta faktor komorbid yang mempersulit
cepat hanya apabila perlu saja, yaitu jika pengendalian asma seperti rinitis dan
ada gejala/serangan. Pada alur tatalaksana sinusitis.
jangka panjang (Gambar 3.6.1), terlihat 3. Asma persisten
bahwa jika tatalaksana asma episodik Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan
jarang sudah adekuat, tetapi responsnya dapat diberikan mulai dari dosis tinggi lalu
tetap tidak
diturunkan sampai dosis rendah selama 3. Atelektasis
gejala masih terkendali, atau sebaliknya, 4. Gagal napas
mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi 5. Bronkitis
hingga gejala dapat dikendalikan. Pada 6. Fraktur iga
keadaan tertentu, khususnya pada anak
dengan penyakit berat, dianjurkan untuk Peralatan
menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai 1. Alat tiup APE
steroid oral jangka pendek (3-5 hari). 2. Pemeriksaan darah rutin
Kriteria Rujukan 3. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
4. Oksigen
1. Asma eksaserbasi sedang-berat
2. Asma tidak terkontrol Prognosis
3. Asma mengancam jiwa
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit
4. Asma Persisten
dan ketepatan penanganan.
Pencegahan
Referensi
Pengendalian lingkungan, pemberian ASI
eksklusif minimal 6 bulan, penghindaran 1. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit
makanan berpotensi alergenik, pengurangan Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan
pajanan terhadap tungau debu rumah dan Dokter Anak Indonesia, 2001.
rontokan bulu binatang, telah terbukti 2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.
mengurangi timbulnya alergi makanan dan Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
khususnya dermatitis atopik pada bayi. Indonesia IDAI. 2010.
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy
Komplikasi for Asthma Management and Prevention.
1. Pneumotoraks National Institute of Health.
2. Pneumomediastinum dan emfisema www.ginasthma. com/download.asp?
subkutis intId=214 . 2006

7. STATUS ASMATIKUS (ASMA AKUT BERAT)


No. ICPC-2: R03. Wheezing
No. ICD-10: J45.902 Unspecified asthma with status asthmaticus
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan keadaan fatal/ kematian yaitu:


Asma akut berat (serangan asma atau asma 1. Riwayat serangan asma yang membutuhkan
eksaserbasi) adalah episode peruburukan gejala intubasi/ ventilasi mekanis
yang progresif dari sesak, batuk, mengi, atau 2. Riwayat perawatan di rumah sakit atau
rasa berat di dada, atau kombinasi gejala-gejala kunjungan ke darurat gawat dalam satu
tersebut. tahun terakhir
3. Saat serangan, masih dalam
Hasil Anamnesis (Subjective) glukokortikosteroid oral, atau baru saja
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, menghentikan salbutamol atau ekivalennya
pengobatan yang telah digunakan, respons 4. Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau
pengobatan, waktu mula terjadinya dan masalah psikososial termasuk penggunaan
penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan sedasi
ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan 5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan
(jangka panjang) asma.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis banding
Sederhana (Objective) 1. Obstruksi saluran napas atas
Pada fasilitas layanan kesehatan sederhana 2. Benda asing di saluran napas
dengan kemampuan sumber daya manusia 3. PPOK eksaserbasi
terbatas, dapat hanya menekankan kepada : 4. Penyakit paru parenkimal
1. Posisi penderita 5. Disfungsi pita suara
2. Cara bicara 6. Gagal jantung akut
3. Frekuensi napas 7. Gagal ginjal akut
4. Penggunaan otot-otot bantu napas
5. Nadi Penatalaksanaan Komprehensif
6. Tekanan darah (pulsus paradoksus) (Plan) Penatalaksanaan
7. Ada tidak mengi
Pemeriksaan Penunjang Gambar 10.2. Status Asmatikus (Asma Akut
Berat)
1. Pada serangan asma,APE sebaiknya
diperiksa sebelum pengobatan, tanpa
menunda pemberian pengobatan.
Pemeriksaan ini dilakukan jika alat tersedia.
2. Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry
dapat dilakukan bila alat tersedia.
3. Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan
jika fasilitas tersedia.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
bila diperlukan.
Tabel 10.6 Serangan akut asma

Catatan : Jika algoritma di atas tidak dapat


digunakan, dokter dapat menggunakan obat-
obatan alternatif pada tabel Daftar Obat-obat
Asma.
Tabel 10.7 Pengobatan asma berdasarkan berat 5. Gejala memburuk yang berkepanjangan
serangan dan tempat pengobatan sebelum datang membutuhkan
pertolongan saat itu
6. Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
7. Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
8. Masalah/ kesulitan dalam transport atau
mobilisasi ke rumah sakit
Kriteria Pulang
Pertimbangan untuk memulangkan pada
penderita di layanan tingkat pertama:
1. Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan
berkurang, frekuensi napas kembali normal,
mengi menghilang, nadi dan tekanan darah
kembali normal, pasien dapat bernapas
tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat
berbicara lebih lancar atau berjalan, atau
kesadaran membaik.
2. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60%
nilai terbaik/ prediksi dengan pengawasan
ketat di komunitas.
3. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60%
nilai terbaik/ prediksi dan pasien dapat
menggunakan obat inhalasi atau oral
dengan patuh.
4. Penderita dirawat inap
Kriteria Rujukan
Tidak respons dengan pengobatan, ditandai
dengan:
a. Tidak terjadi perbaikan klinis
b. Bila APE sebelum pengobatan awal < 25%
nilai terbaik/ prediksi; atau APE pasca
tatalaksana < 40% nilai terbaik/ prediksi.
Rencana tindak lanjut
c. Serangan akut yang mengancam jiwa
Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik),
praktek dokter/ puskesmas) tergantung kepada atau masalah dalam diagnosis banding,
fasiliti yang tersedia : atau komplikasi atau penyakit penyerta
1. Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam (komorbid); seperti sinusitis, polip hidung,
2. Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi
30% nilai terbaik/ prediksi) pita suara, refluks gastroesofagus dan PPOK.
3. Riwayat serangan asma berat, perawatan e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di
rumah sakit/ ICU sebelumnya luar pemeriksaan standar, seperti uji kulit
4. Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat (uji alergi), pemeriksaan faal paru
serangan)
lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih 7. Pulse oxymeter
(kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi 8. Analisis gas darah
dan sebagainya. 9. Tensimeter
Konseling dan Edukasi Prognosis
1. Meningkatkan kebugaran fisik 1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Berhenti merokok 2. Ad functionam : Bonam
3. Menghindari pencetus di lingkungan sehari- 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
hari
Referensi
Peralatan
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma.
1. Tabung oksigen Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
2. Kanul hidung Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004
3. Sungkup sederhana 2. Global Initiative For Asthma. Global strategy
4. Sungkup inhalasi for asthma management and prevention.
5. Nebulizer GINA. 2012.
6. Peak flow meter

8. PNEUMONIA ASPIRASI
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R99 Respiratory disease other
: J69.0 Pneumonitis due to food and vomit
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
2. Pasien dengan irupsi dari gastroesophageal
Pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia) junction.
adalah pneumonia yang disebabkan oleh 3. Terdapat abnormalitas anatomis dari traktus
terbawanya bahan yang ada diorofaring pada aerodigestifus atas.
saat respirasi ke saluran napas bawah dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru.
Sederhana (Objective)
Secara spesifik, pneumonia aspirasi
didefinisikan dengan ditemukannya bukti Pemeriksaan fisik serupa pada pneumonia
radiografi berupa penambahan infiltrat di paru umumnya. Temuan pemeriksaan fisik dada
pada pasien dengan faktor risiko aspirasi tergantung dari luas lesi di paru.
orofaring.
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit
Hasil Anamnesis (Subjective) tertinggal waktu bernapas
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada
Kejadian aspiration pneumonia biasanya tidak
bagian yang sakit
dapat diketahui waktu terjadinya dan paling
Perkusi : redup di bagian yang sakit
sering pada orang tua. Keluhannya berupa :
Auskultasi : terdengar suara napas
Batuk
bronkovesikuler sampai bronkial
1. Takipnea yang mungkin disertai ronki
2. Tanda-tanda dari basah halus, yang kemudian
menjadi ronki basah kasar pada
pneumonia Faktor Risiko: stadium resolusi.
1. Pasien dengan disfagi neurologis.
Pemeriksaan Penunjang c. Penyakit periodontal berat, dahak
yang busuk atau alkoholisme :
1. Foto toraks piperasilin-tazobaktam (3, 375 gr/6
2. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap jam) atau imipenem (500 mg/8 jam
Penegakan Diagnostik (Assessment) sampai 1 gr/6 jam) atau kombinasi dua
obat : levofloksasin (500 mg/hari) atau
Diagnosis Klinis siprofloksasin (400 mg/12 jam) atau
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan seftriakson (1-2 gr/hari) ditambah
fisik, dan penunjang. klindamisin (600 mg/8 jam) atau
metronidazol (500 mg/8jam)
Diagnosis Banding :-
Kriteria Rujukan
Aspiration pneumonitis: -
Penilaian status keparahan serupa dengan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) pneumonia biasa.
Penatalaksanaan Peralatan
1. Pemberian oksigen Tabung oksigen beserta nasal kanul atau masker
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
(bila cairan parenteral). Jumlah cairan Prognosis
sesuai berat badan, peningkatan suhu dan Prognosis pada umumnya bonam.
derajat dehidrasi.
3. Pemberian antibiotik tergantung pada Referensi
kondisi :
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
a. Pneumonia komunitas : levofloksasin Pneumonia. PDPI. Jakarta 2013.
(500 mg/hari) atau seftriakson (1-2 gr/
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2013)
hari)
2. Marik PE. Aspiration pneumonitis and
b. Pasien dalam perawatan di rumah aspiration pneumonia. N Eng J Med.
sakit : levofloksasin (500 mg/hari)atau 2001;3:665-71.(Marik, 2001)
piperasilin tazobaktam (3, 375 gr/6 jam)
atau seftazidim (2 gr/8 jam)

9. PNEUMONIA, BRONKOPNEUMONIA
No. ICPC-2: R81 Pneumonia
No. ICD-10: J18.0 Bronchopneumonia, unspecified
J18.9 Pneumonia, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi


Pneumonia adalah peradangan/inflamasi dll). Pneumonia yang dimaksud di sini tidak
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis termasuk dengan pneumonia yang disebabkan
yang mencakup bronkiolus respiratorius oleh Mycobacterium tuberculosis. Pneumonia
dan alveoli, sertamenimbulkan konsolidasi merupakan penyebab utama morbiditas dan
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas mortalitas anak berusia di bawah lima tahun
setempat. Sebagian besar disebabkan oleh (balita). Diperkirakan hampir seperlima
mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2
juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat
pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika tersedia
dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan 4. Kultur sputum jika fasilitas tersedia
nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 5. Kultur darah jika fasilitas tersedia
22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan
oleh penyakit sistem respiratori, terutama Penegakan Diagnosis (Assessment)
pneumonia. Lima provinsi yang mempunyai Diagnosis Klinis
insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi
untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
(4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis defenitif
Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi dilakukan pemeriksaan penunjang.
Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan
(2,4% dan 4,8%) berdasarkan RISKESDAS 2013. jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau
Pneumonia pada Pasien Dewasa infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih
gejala di bawah ini:
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Batuk-batuk bertambah
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan : 2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat 3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) / riwayat demam
dapat melebihi 40°C 4. Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen konsolidasi, suara napas bronkial danronki
kadang-kadang disertai darah 5. Leukosit > 10.000 atau < 4500
3. Sesak napas Komplikasi
4. Nyeri dada
Efusi pleura, Empiema, Abses paru,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pneumotoraks, gagal napas, sepsis.
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari
luas lesi di paru. Dalam hal mengobati penderita pneumonia
perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat
tertinggal waktu bernapas
dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang
bagian yang sakit dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
Perkusi : redup di bagian yang sakit mikroorganisme patogen yang spesifik.
Auskultasi : terdengar suara napas 1. Pengobatan suportif / simptomatik
bronkovesikuler sampai bronkial
a. Istirahat di tempat tidur
yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian b. Minum secukupnya untuk mengatasi
menjadi ronki basah kasar pada dehidrasi
stadium resolusi. c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau
minum obat penurun panas
Pemeriksaan Penunjang
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan
1. Pewarnaan gram ekspektoran
2. Pemeriksaan lekosit
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik
3. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas
yang harus diberikan kurang dari 8 jam.
Pasien Rawat Jalan Kriteria Rujukan
a. Pasien yang sebelumnya sehat dan 1. Kriteria CURB
tidak ada risiko kebal obat ;
• Makrolid: azitromisin, klaritromisin (Conciousness, kadar Ureum, Respiratory
rate>30 x/menit, tekanan darah: sistolik<90
atau eritromisin (rekomendasi kuat)
mmHg dan diastolik <60 mmHg; masing
• Doksisiklin (rekomendasi lemah) masing bila ada kelainan bernilai 1).
b. Terdapat komorbid seperti penyakit
jantung kronik, paru, hati atau penyakit Dirujuk bila total nilai 2.
ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, 2. Kriteria PORT (patient outcome research
keganasan, kondisi imunosupresif atau team)
penggunaan obat imunosupresif,
antibiotik lebih dari 3 bulan atau faktor Penilaian Derajat Keparahan Penyakit
risiko lain infeksi pneumonia : Penilaian derajat keparahan penyakit
• Florokuinolon respirasi pneumonia komuniti dapat dilakukan dengan
: moksifloksasisn, atau levofloksasin menggunakan sistem skor menurut hasil
(750 mg) (rekomendasi kuat) penelitian Pneumonia Patient Outcome
• ß-lactam + makrolid : Amoksisilin Research Team (PORT).
dosis tinggi (1 gram, 3x1/hari) atau Tabel 10.8 Sistem skor pada pneumonia
amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/ komuniti berdasarkan PORT
hari) (rekomendasi kuat)
Alternatif obat lainnya termasuk ceftriakson,
cefpodoxime dan cefuroxime (500 mg,
2x1/hari), doksisiklin
Pasien perawatan, tanpa rawat ICU
1. Florokuinolon respirasi (rekomendasi kuat)
2. ß-laktam+makrolid (rekomendasi kuat)
Agen ß-laktam termasuk sefotaksim,
seftriakson, dan ampisilin; ertapenem untuk
pasien tertentu; dengan doksisiklin sebagai
alternatif untuk makrolid.
Florokuinolon respirasi sebaikanya digunakan
untuk pasien alergi penisilin.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi
Edukasi diberikan kepada individu dan
keluarga mengenai pencegahan infeksi
berulang, pola hidup sehat termasuk tidak
merokok dan sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan
Vaksinasi influenza dan pneumokokal, Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang
terutama bagi golongan risiko tinggi (orang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
usia lanjut atau penderita penyakit kronis). komuniti adalah :
1. Skor PORT > 70
2. Bila skor PORT < 70 maka penderita tetap Bronkopneumonia pada Pasien Anak
perlu dirawat inap bila dijumpai salah
satudari kriteria dibawah ini : Hasil Anamnesis (Subjective)
a. Frekuensi napas > 30/menit Sebagian besar gambaran klinis pneumonia
b. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg pada anak berkisar antara ringan hingga
c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan sedang, sehingga dapat berobat jalan saja.
bilateral Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi
e. Tekanan diastolik < 60 mmHg sehingga memerlukan perawatan di rumah
f. Tekanan sistolik < 90 mmHg sakit.
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
4. Menurut ATS (American Thoracic Society) Beberapa faktor yang memengaruhi gambaran
kriteria pneumonia berat bila dijumpai klinis pneumonia pada anak adalah:
salah satu atau lebih’ kriteria di bawah ini. 1. Imaturitas anatomik dan imunologik
a. Kriteria minor: 2. Mikroorganisme penyebab yang luas, gejala
• Frekuensi napas > 30/menit klinis yang kadang- kadang tidak khas
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg terutama pada bayi
• Foto toraks paru menunjukkan 3. Etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering
kelainan bilateral 4. Faktor patogenesis
• Foto toraks paru melibatkan > 2 5. Kelompok usia pada anak merupakan faktor
lobus penting yang menyebabkan karakteristik
• Tekanan sistolik < 90 mmHg penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
• Tekanan diastolik < 60 mmHg dipertimbangkan dalam tatalaksana
b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut : pneumonia.
• Membutuhkan ventilasi mekanik Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
• Infiltrat bertambah > 50% Sederhana (Objective)
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam
(septik syok) Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi
peningkatan > 2 mg/dI, pada secara umum adalah sebagai berikut:
penderita riwayat penyakit ginjal
1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit
atau gagal ginjal yang membutuhkan
kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
dialisis
makan, keluhan gastrointestinal seperti
Penderita yang memerlukan perawatan di mual, muntah atau diare; kadang-kadang
Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
mempunyai:
2. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk,
1. Satu dari dua gejala mayor tertentu sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
(membutuhkan ventalasi mekanik dan cuping hidung, air hunger, merintih, dan
membutuhkan vasopressor >4 jam [syok sianosis.
sptik]) atau
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
2. Dua dari tiga gejala minor tertentu (Pa02/
tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas
FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks
melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus
parumenunjukkan kelainan bilateral, dan
dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia
tekanan sistolik < 90 mmHg).
lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat.
Kriteria minor dan mayor yang lain bukan Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya
merupakan indikasi untuk perawatan Ruang tidak ditemukan kelainan.
Rawat Intensif.
Pemeriksaan Penunjang antibiotik.
b. Pneumonia
Pewarnaan gram, pemeriksaan lekosit, • Tidak ada sesak napas
pemeriksaan foto toraks, kultur sputum serta
• Ada napas cepat dengan laju napas:
kultur darah (bila fasilitas tersedia)
>50 x/menit untuk anak usia 2
Penegakan Diagnosis (Assessment) bulan–1 tahun
>40 x/menit untuk anak >1–5 tahun
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan • Tidak perlu dirawat,
mikrobiologis dan/atau serologis sebagai dasar diberikan
terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan antibiotik oral. c. Bukan pneumonia
bakteri penyebab tidak selalu mudah karena • Tidak ada napas cepat dan sesak
memerlukan laboratorium penunjang yang napas
memadai. Oleh karena itu, pneumonia pada • Tidak perlu dirawat dan tidak
anak umumnya didiagnosis berdasarkan perlu antibiotik, hanya diberikan
gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan pengobatan simptomatis seperti
sistem respiratori, serta gambaran radiologis. penurun panas
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah
demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala 2. Bayi berusia di bawah 2 bulan
respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, a. Pneumonia
napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara • Ada napas cepat (>60 x/menit) atau
napas melemah. sesak napas
• Harus dirawat dan diberikan
WHO mengembangkan pedoman diagnosis antibiotik.
dan tatalaksana yang sederhana. Pedoman ini b. Bukan pneumonia
terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan • Tidak ada napas cepat atau sesak
tingkat pertama, dan sebagai pendidikan napas
kesehatan untuk masyarakat di negara • Tidak perlu dirawat, cukup
berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut diberikan pengobatan simptomatis.
meliputi napas cepat, sesak napas, dan berbagai
tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
pelayanan kesehatan. Napas cepat dinilai
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak
dengan menghitung frekuensi napas selama
perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama
satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan
berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya
tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat
toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/
adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
dalam ketika menarik napas (retraksi
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan
epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2
usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan
bulan–5 tahun adalah tidak dapat minum,
kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat
kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi
inap.
buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia di
bawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah
kesadaran menurun, stridor, mengi, dan pengobatan kausal dengan antibiotik yang
demam/badan terasa dingin. sesuai dan pengobatan suportif yang meliputi :
Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman 1. Pemberian cairan intravena, terapi oksigen,
WHO adalah: koreksi terhadap gangguan keseimbangan
asam-basa, elektrolit, dan gula darah
1. Bayi dan anak berusia 2 bulan–5 tahun
2. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
a. Pneumonia berat
analgetik/antipiretik
• Ada sesak napas
3. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif
• Harus dirawat dan diberikan
4. Penyakit penyerta harus ditanggulangi seperti meningitis purulenta
dengan adekuat
5. Komplikasi yang mungkin terjadi harus Peralatan
dipantau dan diatasi 1. Termometer
Pneumonia Rawat Jalan 2. Tensimeter
3. Pulse oxymeter (jika fasilitas tersedia)
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat 4. Pemeriksaan pewarnaan gram
diberikan antibiotik lini pertama secara oral, 5. Pemeriksaan darah rutin
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada 6. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
pneumonia ringan berobat jalan, dapat 7. Oksigen
diberikan antibiotik tunggal oral dengan
efektifitas yang mencapai 90%.Penelitian Prognosis
multisenter di Pakistan menemukan bahwa Prognosis tergantung pada beratnya penyakit
pada pneumonia rawat jalan, pemberian dan ketepatan penanganan.
amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari
mempunyai efektifitas yang sama. Dosis Referensi
amoksisilin yang diberikan adalah
1. 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis
4 mg/kgBB TMP − 20 mg/kgBB sulfametoksazol. dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Penumonia Rawat Inap 2011.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2011)
Pilihan antibiotik lini pertama dapat
menggunakan antibiotik golongan beta- 2. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG,
laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc.
yang tidak responsif terhadap beta-laktam dan Infectious diseases society of America/
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain American thoracic society consensus
seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, guidelines on the management of
sesuai dengan petunjuk etiologi yang community-acquired pneumonia in adults.
ditemukan. Sebaiknya segera dirujuk jika tidak Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–
tersedia antibiotik yang sesuai. 72(Mandel, et al., 2007)

Kriteria Rujukan 3. Said M. Pneumonia. Rahajoe NN,


Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar
1. Pneumonia berat respirologi anak. Edisi I. Jakarta:
2. Pneumonia rawat inap IDAI;2011.p.310-33. (Said, 2011)
Pencegahan
1. Pemberian imunisasi Pemberian vitamin A
2. Menghindari faktor paparan asap rokok dan
polusi udara
3. Membiasakan cuci tangan
4. Isolasi penderita
5. Menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat
keramaian umum
6. Pemberian ASI
7. Menghindarkan bayi/anak kecil dari
kontak dengan penderita ISPA Komplikasi
Empiema torakis, Perikarditis purulenta,
Pneumotoraks, Infeksi ekstrapulmoner
10. PNEUMOTORAKS
No. ICPC-2: R99 Respiratory Disease Other No. ICD-10: J93.9 Respiratory Disease other
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gejala klinis :
Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat
1. Hiperkapnia
udara bebas dalam rongga pleura. Insiden
2. Hipotensi
pneumotoraks sulit diketahui karena
episodenya banyak yang tidak diketahui. 3. Takikardi
Umumnya pria lebih banyak dari wanita. 4. Perubahan status mental
5. Pemeriksaan fisik paru :
Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu: a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit
lebih menonjol dan tertinggal pada
1. Pneumotoraks spontan primer adalah pernapasan
pneumotoraks yang terjadi tanpa riwayat b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di
penyakit paru sebelumnya ataupun trauma, sisi yang sakit
dan dapat terjadi pada individu yang sehat. c. Perkusi paru, ditemukan suara
Terutama lebih sering pada laki, tinggi dan hipersonor dan pergeseran
kurus, dan perokok. mediastinum ke arah yang sehat
2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah d. Auskultasi paru, didapatkan suara
pneumotoraks yang terjadi pada penderita napas yang melemah dan jauh
yang memiliki riwayat penyakit paru
sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan lain- Pemeriksaan Penunjang:
lain.
1. Foto toraks, didapatkan garis penguncupan
Hasil Anamnesis (Subjective) paru yang sangat halus (pleural line), dan
gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bila
Keluhan disertai darah atau cairan lainnya, akan
1. Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan tampak garis mendatar yang merupakan
atau tidak. Keluhan yang dapat timbul batas udara dan cairan (air fluid level).
adalah sesak napas, yang dapat disertai 2. Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak
nyeri dada pada sisi yang sakit. Nyeri dada untuk menegakkan diagnosis, namun untuk
tajam, timbul secara tiba- tiba, dan semakin menilai apakah telah terjadi gagal napas.
nyeri jika menarik napas dalam atau
terbatuk. Keluhan timbul mendadak ketika Penegakan Diagnostik (Assessment)
tidak sedang aktivitas.
Diagnosis Klinis
2. Faktor risiko, di antaranya:
a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pneumonia pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif
b. Trauma dengan pemeriksaan penunjang.
c. Merokok
Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Kegagalan respirasi
2. Kegagalan sirkulasi
Pemeriksaan Fisik 3. Kematian
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Kanul hidung
5. Sungkup sederhana
1. Oksigen 6. Lidocaine 2%
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, 7. Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50 cc
dilakukan pemasangan IV line dengan
8. Three-way
cairan kristaloid
9. Botol bervolume 500 cc
3. Rujuk
Prognosis
Konseling dan Edukasi
1. Ad vitam : Dubia
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga
mengenai: Referensi
1. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks 1. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam:
2. Pertolongan kegawatdaruratan pada Pulmonologi intervensi dan gawat darurat
pneumotoraks napas. Swidarmoko B, Susanto AD, editor.
3. Perlunya rujukan segera ke RS Kriteria Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked.
Rujukan Segera rujuk pasien yang Respirasi. 2010: 54-71.(Astowo, 2010)
terdiagnosis pneumotoraks, setelah
dilakukan penanggulangan awal. 2. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management
of spontaneous pneumothorax: British
Peralatan Thoracic Society pleural diseases guideline
2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff, et
1. Infus set al., 2010)
2. Abbocath 14
3. Tabung oksigen

11. PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS)


No. ICPC-2: R95Chronic Obstructive Pulmonary Diseases
No. ICD-10: J44.9 Chronic Obstructive Pulmonary Diseasesm unspecified
Tingkat Kemampuan PPOK eksaserbasi akut 3B

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat 1. Keluhan
dicegah dan diobati, dikarakteristikkan dengan
hambatan aliran udara yang persisten, progresif a. Sesak napas
dan berhubungan dengan peningkatan respons b. Kadang-kadang disertai mengi
inflamasi kronis di paru terhadap partikel dan c. Batuk kering atau dengan dahak yang
gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid produktif d. Rasa berat di dada
berkontribusi terhadap keseluruhan keparahan
2. Faktor risiko
tiap individu. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat
di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi a. Genetik
Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi b. Pajanan partikel
Selatan masing-masing 6,7 persen. PPOK lebih • Asap rokok
tinggi pada laki-laki dibanding perempuan dan • Debu kerja, organik dan inorganik
lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. • Polusi udara dalam rumah dari
Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada pemanas atau biomassa rumah
masyarakat dengan pendidikan rendah dan tangga dengan ventilasi yang buruk
kuintil indeks kepemilikan terbawah. • Polusi udara bebas
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru b. Irama jantung di apeks mungkin sulit
d. Stres oksidatif ditemukan karena hiperinflasi paru
e. Jenis kelamin
f. Umur c. Hiperinflasi menyebabkan hati letak
g. Infeksi paru rendah dan mudah di palpasi
h. Status sosial-ekonomi 3. Auskultasi
i. Nutrisi.
j. Komorbiditas a. Pasien dengan PPOK sering mengalami
penurunan suara napas tapi tidak
3. Penilaian severitas gejala spesifik untuk PPOK
Penilaian dapat dilakukan dengan
kuesioner COPD Assesment Test (CAT) yang b. Mengi selama pernapasan biasa
terdiri atas 8 pertanyaan untuk mengukur menunjukkan keterbatasan aliran
pengaruh PPOK terhadap status kesehatan udara. Tetapi mengi yang hanya
pasien. terdengar setelah ekspirasi paksa tidak
spesifik untuk PPOK
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) c. Ronki basah kasar saat inspirasi dapat
ditemukan
Pemeriksaan fisik
d. Bunyi jantung terdengar lebih keras di
1. Inspeksi area xiphoideus
a. Sianosis sentral pada membran mukosa Pemeriksaan Penunjang
mungkin ditemukan
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
b. Abnormalitas dinding dada yang
adalah uji jalan 6 menit yang dimodifikasi.
menunjukkan hiper inflasi paru
Untuk di Puskesmas dengan sarana terbatas,
termasuk iga yang tampak horizontal,
evaluasi yang dapat digunakan adalah keluhan
barrel chest (diameter antero -
lelah yang timbul atau bertambah sesak.
posterior dan transversal
sebanding) dan abdomen Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dilakukan
yang menonjol keluar bila fasilitas tersedia:
c. Hemidiafragma mendatar 1. Spirometri
d. Laju respirasi istirahat meningkat lebih 2. Peak flow meter (arus puncak respirasi)
dari 20 kali/menit dan pola napas lebih
dangkal 3. Pulse oxymetry
e. Pursed - lips breathing (mulut setengah 4. Analisis gas darah
terkatup mencucu), laju ekspirasi lebih 5. Foto toraks
lambat memungkinkan pengosongan 6. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit,
paru yang lebih efisien trombosit)
f. Penggunaan otot bantu napas adalah
Penegakan Diagnostik (Assessment)
indikasi gangguan pernapasan
g. Bila telah terjadi gagal jantung kanan Diagnosis Klinis
terlihat denyut vena jugularis di leher
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
dan edema tungkai
pemeriksaan fisik dan penunjang.
2. Palpasi dan Perkusi
a. Sering tidak ditemukan kelainan pada
PPOK
Tabel 10.9 Indikator kunci untuk mendiagnosis 4. Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH)
PPOK 5. Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila
sputum mukoid.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut ringan
1. Oksigen (bila tersedia)
2. Bronkodilator
Pada kondisi eksaserbasi, dosis dan atau
frekuensi bronkodilator kerja pendek
ditingkatkan dan dikombinasikan dengan
antikolinergik. Bronkodilator yang
disarankan adalah dalam sediaan inhalasi.
Jika tidak tersedia, obat dapat diberikan
secara injeksi, subkutan, intravena atau
perdrip, misalnya: Adrenalin 0,3 mg
subkutan, digunakan dengan hati-hati
Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan
pengenceran) harus perlahan (10 menit)
utk menghindari efek samping.dilanjutkan
dengan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
3. Kortikosteroid
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Diberikan dalam dosis 30 mg/hari diberikan
Tujuan penatalaksanaan di Fasilitas Pelayanan maksimal selama 2 minggu. Pemberian
Kesehatan Tingkat selama 2 minggu tidak perlu tapering off.
Pertama: 4. Antibiotik yang tersedia di Puskesmas
1. Mengurangi laju beratnya penyakit 5. Pada kondisi telah terjadi kor pulmonale,
2. Mempertahankan PPOK yang stabil dapat diberikan diuretik dan perlu berhati-
3. Mengatasi eksaserbasi ringan hati dalam pemberian cairan.

4. Merujuk ke spesialis paru atau rumah sakit Konseling dan Edukasi

Penatalaksanaan PPOK stabil 1. Edukasi ditujukan untuk mencegah


penyakit bertambah berat dengan cara
1. Obat-obatan dengan tujuan mengurangi menggunakan obat-obatan yang tersedia
laju beratnya penyakit dan dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan
mempertahankan keadaan stabil. aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
2. Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi 2. Pengurangan pajanan faktor risiko
golongan ß2 agonis (salbutamol) dengan 3. Berhenti merokok
golongan xantin (aminofilin dan teofilin). 4. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak
Masing-masing dalam dosis suboptimal, dan karbohidrat, dapat diberikan dalam
sesuai dengan berat badan dan beratnya porsi kecil tetapi sering.
penyakit. Untuk dosis pemeliharaan, 5. Rehabilitasi
aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi a. Latihan bernapas dengan pursed lip
dengn salbutamol 1 mg. breathing
3. Kortikosteroid digunakan dalam bentuk b. Latihan ekspektorasi
inhalasi, bila tersedia. c. Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
6. Terapi oksigen jangka panjang
Kriteria Rujukan 1. Sesak bertambah
2. Produksi sputum meningkat
1. Untuk memastikan diagnosis dan
3. Perubahan warna sputum
menentukan derajat PPOK
2. PPOK eksaserbasi sedang - berat Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
3. Rujukan penatalaksanaan jangka panjang
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di
Peralatan atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2
1. Spirometer gejala di atas
2. Peak flow meter
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1
3. Pulse oxymeter gejala di atas ditambah infeksi saluran
4. Tabung oksigen napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa
5. Kanul hidung sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
6. Sungkup sederhana mengi atau peningkatan frekuensi
7. Sungkup inhalasi pernapasan > 20% baseline , atau frekuensi
8. Nebulizer nadi > 20% baseline
9. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
rutin Gambar 10.3 Algoritma Pengobatan PPOK
Eksaserbasi Akut
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Perhimpunan dokter paru Indonesia.
Penyakit paru obstruktif kronik. Diagnosis
dan penatalaksanaan. Jakarta. 2011.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc.
2013.(GLobal Initiatives for COPD, 2013)
3. Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc.
2006.(Global Initiatives for COPD, 2006)
ALGORITMA PENGOBATAN PPOK EKSASERBASI
AKUT
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya
perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara,
kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
12. EPISTAKSIS
No. ICPC-2: R06. Nose bleed/epistaxis No. ICD-10: R04.0 Epistaxis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
b. Banyaknya perdarahan
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir c. Frekuensi
keluar dari hidung yang berasal dari rongga d. Lamanya perdarahan
hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Faktor Risiko
Hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri. 1. Trauma
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala 2. Adanya penyakit di hidung yang
yang sangat mengganggu. Faktor etiologi mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis
dapat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan alergi.
harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati 3. Penyakit sistemik, seperti kelainan
epistaksis secara efektif. pembuluh darah, nefritis kronik, demam
berdarah dengue.
Klasifikasi
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti
1. Epistaksis Anterior NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin,
semprot hidung kortikosteroid.
Epistaksis anterior paling sering berasal 5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi
dari pleksus Kiesselbach, yang merupakan di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring.
sumber perdarahan paling sering dijumpai 6. Kelainan kongenital, misalnya:
pada anak-anak. Selain itu juga dapat hereditary hemorrhagic telangiectasia /
berasal dari arteri etmoidalis anterior. Osler’s disease.
Perdarahan dapat berhenti sendiri 7. Adanya deviasi septum.
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan 8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di
tindakan sederhana. daerah yang sangat tinggi, tekanan udara
2. Epistaksis Posterior rendah, atau lingkungan dengan udara yang
sangat kering.
Pada epistaksis posterior, perdarahan
berasal dari arteri sfenopalatina atau arteri 9. Kebiasaan
etmoidalis posterior. Epistaksis posterior Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
sering terjadi pada orang dewasa yang
Sederhana (Objective)
menderita hipertensi, arteriosklerosis,
atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan Pemeriksaan Fisik
biasanya hebat dan jarang berhenti
spontan. 1. Rinoskopi anterior

Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan harus dilakukan secara


berurutan dari anterior ke posterior.
Keluhan Vestibulum, mukosa hidung dan septum
nasi, dinding lateral hidung dan konka
1. Keluar darah dari hidung atau riwayat inferior harus diperiksa dengan cermat
keluar darah dari hidung. untuk mengetahui sumber perdarahan.
2. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai :
a. Lokasi keluarnya darah (depan 2. Rinoskopi posterior
rongga hidung atau ke tenggorok)
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi 2. Mencegah komplikasi
posterior penting pada pasien dengan 3. Mencegah berulangnya epistaksis
epistaksis berulang untuk menyingkirkan
neoplasma. Penatalaksanaan

3. Pengukuran tekanan darah 1. Perbaiki keadaan umum penderita,


penderita diperiksa dalam posisi duduk
Tekanan darah perlu diukur untuk kecuali bila penderita sangat lemah atau
menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena keadaaan syok, pasien bisa berbaring
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis dengan kepala dimiringkan.
posterior yang hebat dan sering berulang. 2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis
Pemeriksaan Penunjang ringan, perdarahan dapat dihentikan
dengan cara duduk dengan kepala
Bila diperlukan: ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan
ke arah septum selama 3-5 menit (metode
1. Darah perifer lengkap
Trotter).
2. Skrining terhadap koagulopati (bleeding
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum
time, clotting time)
hidung dibuka dan dengan alat pengisap
Penegakan Diagnostik (Assessment) (suction) dibersihkan semua kotoran dalam
hidung baik cairan, sekret maupun darah
Diagnosis Klinis yang sudah membeku.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, 4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kapas yang dibasahi ke dalam hidung
bila diperlukan. dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc
larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc
Diagnosis Banding
larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan
Hemoptisis, Varises oesofagus yang berdarah, untuk menghilangkan rasa sakit dan
Perdarahan di basis cranii, Karsinoma membuat vasokontriksi pembuluh darah
nasofaring, Angiofibroma hidung. sehingga perdarahan dapat berhenti
sementara untuk mencari sumber
Komplikasi perdarahan. Sesudah
1. Akibat pemasangan tampon anterior 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
tersumbat) dan sumbatan duktus lakrimal. 5. Pada epistaksis anterior, jika sumber
2. Akibat pemasangan tampon posterior dapat perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
timbul otitis media, haemotympanum, serta dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang
laserasi palatum mole dan sudut bibir bila dibasahi larutan Nitras Argenti 15 – 25%
benang yang dikeluarkan melalui mulut atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya
terlalu kencang ditarik. area tersebut diberi salep antibiotik.
3. Akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok 6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior
dan anemia. masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) atau kain kasa yang diberi Vaselin yang
dicampur betadin atau zat antibiotika.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat
epistaksis, yaitu :
dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
1. Menghentikan perdarahan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-
lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
rongga hidung. Tampon yang dipasang
harus
menekan tempat asal perdarahan dan e. Lekatkan benang yang terdapat di rongga
dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon
Selama Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah
2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menarik tampon keluar melalui mulut
untuk mencari faktor penyebab epistaksis. setelah 2-3 hari.
Selama pemakaian tampon, diberikan f. Berikan juga obat hemostatik selain dari
antibiotik sistemik dan analgetik. tindakan penghentian perdarahan itu.
Gambar 10.4 Tampon anterior hidung Gambar 10.5 Tampon posterior (Bellocq) untuk
hidung

7. Untuk perdarahan posterior dilakukan


pemasangan tampon posterior, yang
disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat
dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus
berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon Rencana Tindak Lanjut
ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah Setelah perdarahan dapat diatasi, langkah
pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. selanjutnya adalah mencari sumber perdarahan
Tampon harus dapat menutupi koana (nares atau penyebab epistaksis.
posterior). Teknik pemasangan tampon
posterior, yaitu: Konseling dan Edukasi
a. Masukkan kateter karet melalui nares Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
anterior dari hidung yang berdarah sampai
tampak di orofaring, lalu tarik keluar 1. 1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis,
melalui mulut. karena hal ini merupakan gejala suatu
penyakit, sehingga dapat mencegah
b. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang timbulnya kembali epistaksis.
tampon Bellocq, kemudian tarik kembali
kateter itu melalui hidung. 2. Mengontrol tekanan darah pada penderita
dengan hipertensi.
c. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar
melalui nares anterior dengan bantuan jari 3. Menghindari membuang lendir melalui
telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. hidung terlalu keras.
Jika dianggap perlu, jika masih tampak 4. Menghindari memasukkan benda keras
perdarahan keluar dari rongga hidung, ke dalam hidung, termasuk jari sehingga
maka dapat pula dimasukkan tampon dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat
anterior ke dalam kavum nasi. pada pasien anak.
d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares 5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang
anterior pada sebuah gulungan kain kasa di dapat meningkatkan perdarahan seperti
depan lubang hidung, supaya tampon yang aspirin atau ibuprofen.
terletak di nasofaring tidak bergerak.
Pemeriksaan penunjang lanjutan 8. Lidi kapas
9. Nelaton kateter
Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila 10. Benang kasur
dicurigai sinusitis. Kriteria Rujukan
11. Larutan Adrenalin 1/1000
1. Bila perlu mencari sumber perdarahan 12. Larutan Pantokain 2% atau Lidokain 2%
dengan modalitas yang tidak tersedia di 13. Larutan Nitras Argenti 15 – 25%
layanan Tingkat Pertama, misalnya naso- 14. Salep vaselin, Salep antibiotik
endoskopi.
Referensi
2. Pasien dengan epistaksis yang curiga
akibat tumor di rongga hidung atau 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku
nasofaring. Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997.
3. Epistaksis yang terus berulang atau masif
2. Iskandar, M. Teknik Penatalaksanaan
Prognosis
Epistaksis. In: Cermin Dunia Kedokteran. No.
1. Ad vitam : Bonam 132. 2001. p. 43-4(Iskandar, 2001)
2. Ad functionam : Bonam
3. Mangunkusumo, E. Wardani, R.S.
3. Ad sanationam : Bonam Epistaksisdalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher.
Ed. ke-6. Jakarta:Fakultas Kedokteran
1. Lampu kepala Universitas Indonesia. 2007.
2. Spekulum hidung
3. Alat penghisap (suction)
4. Pinset bayonet
5. Tampon anterior, Tampon posterior
6. Kaca rinoskopi posterior
7. Kapas dan kain kassa

13. BENDA ASING DI HIDUNG


No. ICPC-2 No. ICD-10 : R87. Foreign body nose/larynx/bronch
: T17.1 Foreign body in nostril
Tingkat Kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Kasus benda asing di hidung sering ditemui
oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan Keluhan
Tingkat Pertama. Kasus ini paling sering dialami 1. Hidung tersumbat
oleh anak dan balita. Terdapat dua jenis benda 2. Onset tiba-tiba
asing, yaitu benda hidup (organik) dan benda 3. Umumnya unilateral
mati (anorganik). Contoh benda asing organik, 4. Hiposmia atau anosmia
antara lain lintah, lalat, larva, sedangkan benda 5. Setelah 2 – 3 hari, keluar sekret mukoid /
asing anorganik, misalnya manik-manik, kertas, mukopurulen dan berbau di satu sisi
tisu, logam, baterai kecil, kacang-kacangan, dan hidung.
lain-lain. 6. Dapat timbul rasa nyeri
7. Bila benda asing organik, terasa ada yang
bergerak-gerak di dalam rongga hidung.
Khusus untuk lintah, sumbatan pada hidung sehingga dapat masuk ke dalam septum
semakin memberat setiap hari. atau konka inferior dalam beberapa jam
8. Adanya laporan dari pasien atau orang dan menyebabkan perforasi septum.
tua mengenai adanya benda yang masuk 4. Pada benda asing berupa lalat (miasis
atau dimasukkan ke rongga hidung. hidung), dapat terjadi invasi ke
intrakranium dan, walaupun jarang, dapat
Faktor Risiko menyebabkan meningitis yang fatal.
Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
masuknya benda asing ke dalam rongga hidung:
Penatalaksanaan
1. Umur: biasanya anak ≤ 5 tahun
2. Adanya kegagalan mekanisme proteksi yang 1. Non Medikamentosa
normal, misal: a. Tindakan ekstraksi benda asing
3. keadaan tidur, kesadaran menurun, secara manual dengan menggunakan
alkoholisme, epilepsi pengait tumpul atau pinset. Dokter
4. Adanya masalah kejiwaan, emosi, dan perlu berhati-hati agar tidak sampai
gangguan psikiatrik mendorong benda asing lebih dalam
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang sehingga masuk ke saluran napas
Sederhana (Objective) bawah.
b. Untuk lintah, sebelum ekstraksi,
Pemeriksaan Fisik
teteskan air tembakau ke dalam
Pada rinoskopi anterior, nampak: rongga hidung dan biarkan 5 menit
hingga lintah terlebih dahulu terlepas
1. Benda asing dari mukosa hidung.
2. Sekret purulen (bila sudah berlangsung 2 –
2. Medikamentosa
3 hari)
Pemberian antibiotik per oral selama 5
Pemeriksaan Penunjang: hari bila telah terjadi infeksi sekunder.
Foto Rontgen kranium (Schedel) posisi AP dan Konseling dan Edukasi
lateral, bila diperlukan dan fasilitas tersedia.
1. Reassurance bahwa tidak ada kondisi
Penegakan Diagnostik (Assessment) berbahaya bila segera dilakukan ekstraksi.
Diagnosis Klinis 2. Sebelum tindakan dilakukan, dokter perlu
menjelaskan mengenai prosedur ekstraksi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan meminta persetujuan pasien / orang
dan pemeriksaan fisik. tua (informed consent).
3. Setelah benda asing berhasil dikeluarkan,
Diagnosis Banding
dokter dapat memberi beberapa
Rinolit saran yang relevan untuk mencegah
berulangnya kejadian kemasukan benda
Komplikasi asing ke hidung di kemudian hari, misalnya:
1. Obstruksi jalan napas akut akibat a. Pada orang tua, dapat lebih berhati-
masuknya benda asing ke saluran napas hati dalam meletakkan benda-benda
yang lebih distal (laring, trakea). yang mudah atau sering dimasukkan ke
2. Pada benda asing organik berupa larva / dalam rongga hidung.
ulat / lintah, dapat terjadi destruksi mukosa b. Pada anak, dapat diingatkan untuk
dan kartilago hidung. menghindari memasukkan benda-
3. Benda asing baterai cepat merusak mukosa benda ke dalam hidung.
c. Pada pekerja yang sering terpapar 3. Pengait tumpul(blunt hook)
larva atau benda-benda organik lain, 4. Pinset
dapat menggunakan masker saat 5. Forsep aligator
bekerja. 6. Suction
7. Xylocaine 2% spray
Kriteria Rujukan
8. Formulir informed consent
1. Pengeluaran benda asing tidak berhasil
Referensi
karena perlekatan atau posisi benda asing
sulit dilihat. 1. Efiaty, A. Nurbaiti, I. Jenny, B. Ratna, D.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
2. Pasien tidak kooperatif.
Tenggorok Kepala & Leher. 6th Ed. Jakarta:
Prognosis Balai Penerbit FKUI. 2007.

1. Ad vitam : Bonam 2. Buku Modul Hidung: Benda Asing 1st ed.


2. Ad functionam : Bonam Jakarta: Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga
3. Ad sanationam : Bonam Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.
2008. (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL,
Peralatan 2008)
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung

14. FURUNKEL PADA HIDUNG


No. ICPC-2 No. ICD-10 : R73. Boil/abscess nose
: J34.0 Abscess, furuncle and carbuncle of nose
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Higiene personal yang buruk
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea 3. Rinitis kronis, akibat iritasi dari sekret
atau folikel rambut hidung yang melibatkan rongga hidung.
jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh 4. Kebiasaan mengorekrinitisbagian dalam
Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki hidung.
insidensi yang rendah. Belum terdapat data
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel.
Sederhana (Objective)
Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada
anak-anak, remaja sampai dewasa muda. Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesis (Subjective) Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling
sering terdapat pada lateral vestibulum nasi
Keluhan
yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).
1. Bisul di dalam hidung, disertai rasa nyeri
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan
dan perasaan tidak nyaman.
2. Kadang dapat disertai gejala rinitis. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko Diagnosis Klinis
1. Sosio ekonomi rendah Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis 3. Selalu menjaga kebersihan diri.
Banding:- Kriteria Rujukan: -
Komplikasi Prognosis
1. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, 1. Ad vitam : Bonam
vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus 2. Ad functionam : Bonam
sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus 3. Ad sanationam : Bonam
kavernosus.
2. Abses. Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai
3. Vestibulitis. 1. Lampu kepala
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Spekulum hidung
3. Skalpel atau jarum suntik ukuran sedang
Penatalaksanaan (untuk insisi)
4. Kassa steril
1. Non Medikamentosa
5. Klem
a. Kompres hangat
6. Pinset Bayonet
b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses
7. Larutan Povidon Iodin 7,5%
2. Medikamentosa
a. Antibiotik topikal, seperti salep Referensi
Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu 1. Adam, G.L. Boies L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
Amoksisilin 3 x 500 mg/hari, Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
Sefaleksin 4 x 250 – 500 mg/hari, atau 2. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi
Eritromisin 4 x 250 – 500 mg/hari. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Konseling dan Edukasi Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher.
Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran
1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek Universitas Indonesia. 2007.
bagian dalam hidung.
2. Tidak memencet atau melakukan insisi
padafurunkel.

15. RINITIS AKUT


No. ICPC-2: R74. Upper respiratory infection acute No. ICD-10: J00. Acute nasopharyngitis (common cold)
Tingkat Kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Rinitis akut adalah peradangan pada mukosa Keluhan
hidung yangberlangsung akut (<12 minggu). Hal
ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, 1. Keluar ingus dari hidung (rinorea)
ataupun iritan. Radang sering ditemukan 2. Hidung tersumbat
karena manifestasi dari rinitis simpleks 3. Dapat disertai rasa panas atau gatal pada
(common cold), influenza, penyakit eksantem hidung
(seperti morbili, variola, varisela, pertusis), 4. Bersin-bersin
penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi 5. Dapat disertai batuk
lokal atau trauma.
Faktor Risiko mirip dengan common cold. Komplikasi
berhubungan dengan infeksi bakteri
1. Penurunan daya tahan tubuh. sering terjadi.
2. Paparan debu, asap, atau gas yang bersifat
iritatif. c. Rinitis eksantematous
3. Paparan dengan penderita infeksi saluran
napas. Morbili, varisela, variola, dan pertusis,
sering berhubungan dengan rinitis,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dimana didahului dengan eksantema
Sederhana (Objective) sekitar 2-3 hari. Infeksi sekunder dan
komplikasi lebih sering dijumpai dan
Pemeriksaan Fisik lebih berat.
1. Suhu dapat meningkat 2. Rinitis Bakteri
2. Rinoskopi anterior:
a. Tampak kavum nasi sempit, terdapat a. Infeksi non spesifik
sekret serous atau mukopurulen,
mukosa konka udem dan hiperemis. • Rinitis bakteri primer. Infeksi ini
tampak pada anak dan biasanya
b. Pada rinitis difteri tampak sekret yang
bercampur darah. akibat dari infeksi pneumococcus,
streptococcus atau staphylococcus.
c. Membran keabu-abuan tampak
menutup konka inferior dan kavum nasi Membran putih keabu-abuan yang
lengket dapat terbentuk di rongga
bagian bawah, membrannya lengket
dan bila diangkat mudah berdarah. hidung, dan apabila diangkat
dapat menyebabkan pendarahan /
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan epistaksis.
Penegakan Diagnostik (Assessment) • Rinitis bakteri sekunder merupakan
akibat dari infeksi bakteri pada
Diagnosis Klinis rinitis viral akut.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis b. Rinitis Difteri
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi berdasarkan
etiologi: Disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae, dapat berbentuk akut atau
1. Rinitis Virus kronik dan bersifat primer pada hidung
a. Rinitis simplek (pilek, selesma, common atau sekunder pada tenggorokan. Harus
cold, coryza) dipikirkan pada penderita dengan
riwayat imunisasi yang tidak lengkap.
Rinitis simplek disebabkan oleh Penyakit ini semakin jarang ditemukan
virus. Infeksi biasanya terjadi melalui karena cakupan program imunisasi yang
droplet di udara. Beberapa jenis virus semakin meningkat.
yang berperan antara lain, adenovirus,
picovirus, dan subgrupnya seperti 3. Rinitis Iritan
rhinovirus, dan coxsackievirus. Masa
Disebabkan oleh paparan debu, asap atau
inkubasinya 1-4 hari dan berakhir
gas yang bersifat iritatif seperti ammonia,
dalam 2-3 minggu.
formalin, gas asam dan lain-lain. Dapat juga
b. Rinitis influenza disebabkan oleh trauma yang mengenai
mukosa hidung selama masa manipulasi
Virus influenza A, Batau C berperan intranasal, contohnya pada pengangkatan
dalam penyakit ini. Tanda dan gejalanya corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat
reaksi yang terjadi segera yang disebut 1. Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat.
dengan “immediate catarrhalreaction”
bersamaan dengan bersin, rinore, 2. Lebih sering mencuci tangan, terutama
dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sebelum menyentuh wajah.
sembuh cepat dengan menghilangkan 3. Memperkecil kontak dengan orang-orang
faktor penyebab atau dapat menetap yang telah terinfeksi.
selama beberapa hari jika epitel hidung
telah rusak. Pemulihan akan bergantung 4. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
pada kerusakan epitel dan infeksi yang
5. Mengikuti program imunisasi lengkap,
terjadi.
sepertivaksinasi influenza, vaksinasi
Diagnosis Banding MMR untuk mencegah terjadinya rinitis
eksantematosa.
Rinitis alergi pada serangan akut, Rinitis
vasomotor pada serangan akut 6. Menghindari pajanan alergen bila terdapat
faktor alergi sebagai pemicu.
Komplikasi
7. Melakukan bilas hidung secara rutin.
1. Rinosinusitis
2. Otitis media akut. Peralatan
3. Otitis media efusi 1. Lampu kepala
4. Infeksi traktus respiratorius bagian 2. Spekulum hidung
bawah seperti laringitis, trakeobronkitis, 3. Suction
pneumonia.
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Ad vitam : Bonam
Penatalaksanaan 2. Ad functionam : Bonam
1. Non medikamentosa 3. Ad sanationam : Bonam

a. Istirahat yang cukup Referensi

b. Menjaga asupan yang bergizi dan sehat 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Medikamentosa
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
a. Simtomatik: analgetik dan antipiretik Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
(Paracetamol), dekongestann opikal,
dekongestan oral (Pseudoefedrin, 3. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi
Fenilpropanolamin, Fenilefrin). Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
b. Antibiotik: bila terdapat komplikasi Leher. Ed. ke-6.Jakarta: Fakultas Kedokteran
seperti infeksi sekunder bakteri, Universitas Indonesia. 2007.
Amoksisilin, Eritromisin, Sefadroksil.
c. Untuk rinitis difteri: Penisilin sistemik
dan anti-toksin difteri. Rencana Tindak
Lanjut Jika terdapat kasus rinitis
difteri dilakukan pelaporan ke dinas
kesehatan setempat.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
16. RINITIS VASOMOTOR
No. ICPC-2 No. ICD-10 : R97 Allergic rhinitis
: J30.0 Vasomotor rhinitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk Sederhana (Objective)
rinitis kronik yang tidak diketahui penyebabnya
Pemeriksaan Fisik
(idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan Rinoskopi anterior:
obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung 1. Tampak gambaran konka inferior
dekongestan). Rinitis non alergi dan mixed membesar (edema atau hipertrofi),
rhinitis lebih sering dijumpai pada orang dewasa berwarna merah gelap atau merah tua atau
dibandingkan anak-anak, lebih sering dijumpai pucat. Untuk membedakan edema dengan
pada wanita dan cenderung bersifat menetap. hipertrofi konka, dokter dapat memberikan
larutan Epinefrin 1/10.000 melalui tampon
Hasil Anamnesis (Subjective) hidung. Pada edema, konka akan mengecil,
sedangkan pada hipertrofi tidak mengecil.
Keluhan
2. Terlihat adanya sekret serosa dan
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan biasanya jumlahnya tidak banyak. Akan
kanan tergantung posisi tidur tetapi pada golongan rinore tampak sekret
pasien, memburuk pada pagi hari dan jika serosa yang jumlahnya sedikit lebih banyak
terpajan lingkungan non-spesifik seperti dengan konka licin atau berbenjol-benjol.
perubahan suhu atau kelembaban udara,
Pemeriksaan Penunjang
asap rokok, bau menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
kadang-kadang jumlahnya agak banyak. menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan Pemeriksaan dilakukan bila diperlukan dan
rinitis alergika. fasilitas tersedia di layanan Tingkat Pertama,
4. Lebih sering terjadi pada wanita. Faktor yaitu:
Predisposisi
1. Obat-obatan yang menekan dan 1. Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret
menghambat kerja saraf simpatis antara hidung
lain: Ergotamin, Klorpromazine, obat anti 2. Tes cukit kulit (skin prick test)
hipertensi, dan obat vasokonstriktor 3. Kadar IgE spesifik
topikal. Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap
rokok, udara dingin, kelembaban udara Diagnosis Klinis
yang tinggi, serta bau yang menyengat
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
(misalnya, parfum).
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa
bila diperlukan.
pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan
hipotiroidisme. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang, dibedakan dalam 3 golongan, yaitu:
dan stress.
1. Golongan bersin (sneezer): gejalabiasanya Fenilefrin) sebagai dekongestan hidung
memberikan respon baik dengan terapi oral dengan atau tanpa kombinasi
antihistamin dan glukokortikoid topikal. antihistamin.
2. Golongan rinore (runners): gejala rinore Konseling dan Edukasi
yang jumlahnya banyak.
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
3. Golongan tersumbat (blockers): gejala
kongesti hidung dan hambatan aliran 1. Mengidentifikasi dan menghindari faktor
udara pernafasan yang dominan dengan pencetus, yaitu iritasi terhadap lingkungan
rinore yang minimal. non-spesifik.

Diagnosis Banding 2. Berhenti merokok.

Rinitis alergi, Rinitis medikamentosa, Rinitis akut Kriteria Rujukan

Komplikasi Jika diperlukan tindakan operatif

Anosmia, Rinosinusitis Prognosis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Ad vitam : Bonam


2. Ad functionam : Bonam
Penatalaksanaan 3. Ad sanationam : Bonam
1. Non medikamentosa Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai
Kauterisasi konka yang hipertofi dapat 1. Lampu kepala
menggunakan larutan AgNO3 25% atau 2. Spekulum hidung
trikloroasetat pekat. 3. Tampon hidung
4. Epinefrin 1/10.000
2. Medikamentosa
Referensi
a. Tatalaksana dengan terapi
kortikosteroid topikal dapat 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar
diberikan, misalnya Budesonide 1-2 Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
x/hari dengan dosis 100- 200 mcg/
hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 2. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan,
400 mcg/hari. Hasilnya akan terlihat E. Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar Ilmu
setelah pemakaian paling sedikit Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
selama 2 minggu. Saat ini terdapat Kepala & Leher. Ed ke-6. Fakultas
kortikosteroid topikal baru dalam aqua Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
seperti Fluticasone Propionate dengan 2007.
pemakaian cukup 1 x/hari dengan dosis 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
200 mcg selama 1-2 bulan. Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
b. Pada kasus dengan rinorea yang berat,
dapat ditambahkan antikolinergik
topikal Ipratropium Bromide.
c. Tatalaksana dengan terapi oral dapat
menggunakan preparat
d. simpatomimetik golongan agonis alfa
(Pseudoefedrin, Fenilpropanolamin,
17. RINITIS ALERGI
No. ICPC-2: R97 Allergic rhinitis
No. ICD-10: J30.4 Allergic rhinitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
tinggi merupakan faktor risiko untuk
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi timbul gejala alergis.
yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh 3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet
alergen yang sama serta dilepaskan suatu serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi.
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Menurut Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Sederhana (Objective)
Asthma), 2001, rinitis alergi adalah kelainan Pemeriksaan Fisik
pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar 1. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu
alergen yang diperantai oleh Ig E. gerakan pasien menggosok hidung dengan
tangannya karena gatal.
Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada
2. Wajah:
anak-anak lebih sering terjadi terutama anak
laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki- a. Allergic shiners yaitu dark circles di
laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi sekitar mata dan berhubungan dengan
terdapat pada anak-anak dan dewasa muda vasodilatasi atau obstruksi hidung.
dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar b. Nasal crease yaitu lipatan horizontal
80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari (horizontal crease) yang melalui
usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak- setengah bagian bawah hidung akibat
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia kebiasaan menggosok hidung keatas
sehingga pada usia tua rinitis alergi jarang dengan tangan.
ditemukan. c. Mulut sering terbuka dengan lengkung
Hasil Anamnesis (Subjective) langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan
Keluhan gigi-geligi (facies adenoid).
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus 3. Faring: dinding posterior faring tampak
encer dari hidung (rinorea), bersin, hidung granuler dan edema (cobblestone
tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias appearance), serta dinding lateral faring
alergi). Bersin merupakan gejala khas, biasanya menebal. Lidah tampak seperti gambaran
terjadi berulang, terutama pada pagi hari. peta (geographic tongue).
Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap 4. Rinoskopi anterior:
patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis
a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat
alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase
atau kebiruan (livide), disertai adanya
cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak
sekret encer, tipis dan banyak. Jika
air mata.
kental dan purulen biasanya
Faktor Risiko berhubungan dengan sinusitis.
b. Pada rinitis alergi kronis atau penyakit
1. Adanya riwayat atopi.
2. Lingkungan dengan kelembaban yang
granulomatous, dapat terlihat adanya Diagnosis Banding
deviasi atau perforasi septum.
Rinitis vasomotor, Rinitis akut
c. Pada rongga hidung dapat ditemukan
massa seperti polip dan tumor, atau Komplikasi
dapat juga ditemukan pembesaran
Polip hidung, Sinusitis paranasal, Otitis media
konka inferior yang dapat berupa
edema atau hipertropik. Dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
dekongestan topikal, polip dan
hipertrofi konka tidak akan menyusut, Penatalaksanaan
sedangkan edema konka akan 1. Menghindari alergen spesifik
menyusut. 2. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran
5. Pada kulit kemungkinan terdapat tanda jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
dermatitis atopi. menurunkan gejala alergis
3. Terapi topikal dapat dengan dekongestan
Pemeriksaan Penunjang hidung topikal melalui semprot hidung.
Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan Obat yang biasa digunakan adalah
Tingkat Pertama. oxymetazolin atau xylometazolin, namun
hanya bila hidung sangat tersumbat dan
1. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk
sekret menghindari rinitis medikamentosa.
hidung. 4. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
2. Pemeriksaan Ig E total serum sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain.
Penegakan Diagnostik (Assessment) Obat yang sering dipakai adalah
Diagnosis Klinis kortikosteroid topikal: beklometason,
budesonid, flutikason, mometason furoat
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan triamsinolon.
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang 5. Preparat antikolinergik topikal adalah
bila diperlukan. ipratropium bromida yang bermanfaat
untuk mengatasi rinorea karena aktivitas
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan
Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis
sel efektor.
alergi dibagi berdasarkan sifat berlangsungnya
6. Terapi oral sistemik
menjadi:
a. Antihistamin
1. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 • Anti histamin generasi 1:
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. difenhidramin, klorfeniramin,
2. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/ siproheptadin.
minggu dan/atau lebih dari 4 minggu. • Anti histamin generasi 2: loratadin,
cetirizine
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya b. Preparat simpatomimetik golongan
penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: agonis alfa dapat dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan
atau tanpa kombinasi antihistamin.
gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
Dekongestan oral: pseudoefedrin,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan
fenilpropanolamin, fenilefrin.
hal- hal lain yang mengganggu.
7. Terapi lainnya dapat berupa operasi
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat terutama bila terdapat kelainan anatomi,
satu atau lebih dari gangguan tersebut di selain itu dapat juga dengan imunoterapi
atas.
Konseling dan Edukasi Peralatan
Memberitahu individu dan keluarga untuk: 1. Lampu kepala / senter
2. Spekulum hidung
1. Menyingkirkan faktor penyebab yang
3. Spatula lidah
dicurigai (alergen).
2. Menghindari suhu ekstrim panas maupun Prognosis
ekstrim dingin.
3. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran 1. Ad vitam : Bonam
jasmani. Hal ini dapat menurunkan gejala 2. Ad functionam : Bonam
alergi. 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam

Pemeriksaan penunjang Referensi

lanjutan Bila diperlukan, 1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997.
dilakukan:
2. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic
1. Uji kulit atau Prick Test, digunakan untuk Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative).
menentukan alergen penyebab rinitis alergi
pada pasien. 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and
2. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
paranasal. 4. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono,
Kriteria Rujukan N.Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
1. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
mengetahui jenis alergen. Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Bila perlu dilakukan tindakan operatif. 2007

18. SINUSITIS (RINOSINUSITIS)


No ICPC-2: R75. Sinusitis acute / chronic No ICD-10: J01. Acute sinusitis
J32. Chronic sinusitis
Tingkat Kemampuan 4A (Rinosinusitis akut)
3A (Rinosinusitis kronik)

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan
pada mukosa sinus paranasal dan rongga Keluhan
hidung. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan 1. Gejala yang dialami, sesuai dengan kriteria
Tingkat Pertama harus memiliki keterampilan pada tabel 10.10
yang memadai untuk mendiagnosis, 2. Onset timbulnya gejala, dibagi menjadi:
menatalaksana, dan mencegah berulangnya a. Akut : < 12 minggu
rinosinusitis. Tatalaksana rinosinusitis yang b. Kronis : ≥ 12 minggu
efektif dari dokter di fasilitas pelayanan 3. Khusus untuk sinusitis dentogenik:
kesehatan Tingkat Pertama dapat meningkatkan a. Salah satu rongga hidung berbau busuk
kualitas hidup pasien secara signifikan, b. Dari hidung dapat keluar ingus kental
menurunkan biaya pengobatan, serta atau tidak beringus
mengurangi durasi dan frekuensi absen kerja. c. Terdapat gigi di rahang atas yang
berlubang / rusak
Tabel 10.10. Kriteria diagnosis rinosinusitis kemungkinan sinus yang terlibat
menurut American Academy of Otolaryngology adalah maksila, frontal, atau etmoid
anterior. Pada sinusitis dentogenik,
dapat pula tidak beringus.
c. Kelainan anatomis yang
mempredisposisi, misalnya: deviasi
septum, polip nasal, atau hipertrofi
konka.
4. Rinoskopi posterior
Bila pemeriksaan ini dapat dilakukan, maka
dapat ditemukan sekret purulen pada
Faktor Risiko nasofaring. Bila sekret terdapat di depan
Keluhan atau riwayat terkait faktor risiko, muara tuba Eustachius, maka berasal
terutama pada kasus rinosinusitis kronik, dari sinus-sinus bagian anterior (maksila,
penting untuk digali. Beberapa di antaranya frontal, etmoid anterior), sedangkan bila
adalah: sekret mengalir di belakang muara tuba
Eustachius, maka berasal dari sinus-sinus
1. Riwayat kelainan anatomis kompleks bagian posterior (sfenoid, etmoid
osteomeatal, seperti deviasi septum posterior).
2. Rinitis alergi
5. Otoskopi
3. Rinitis non-alergi, misalnya vasomotor,
medikamentosa Pemeriksaan ini dilakukan untuk
4. Polip hidung mendeteksi adanya komplikasi pada telinga,
5. Riwayat kelainan gigi atau gusi yang misalnya tuba oklusi, efusi ruang telinga
signifikan tengah, atau kelainan pada membran
6. Asma bronkial timpani (inflamasi, ruptur).
7. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas 6. Foto polos sinus paranasal dengan Water’s
akut yang sering berulang view (AP / lateral), bila fasilitas tersedia.
8. Kebiasaan merokok Pada posisi ini, sinus yang dapat dinilai
9. Pajanan polutan dari lingkungan sehari-hari adalah maksila, frontal, dan etmoid.
10. Kondisi imunodefisiensi, misalnya HIV/AIDS 7. Temuan yang menunjang diagnosis
11. Riwayat penggunaan kokain rinosinusitis antara lain: penebalan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang mukosa (perselubungan), air-fluid level,
Sederhana (Objective) dan opasifikasi sinus yang terlibat. Foto
polos sinus tidak direkomendasikan untuk
1. Suhu dapat meningkat anak berusia di bawah 6 tahun. Pada pasien
2. Pemeriksaan rongga mulut dapat dewasa, pemeriksaan ini juga bukan
ditemukan karies profunda pada gigi rahang suatu keharusan, mengingat diagnosis
atas. biasanya dapat ditegakkan secara klinis.
3. Rinoskopi anterior. Rinoskopi anterior Laboratorium, yaitu darah perifer lengkap,
dapat dilakukan dengan atau tanpa bila diperlukan dan fasilitas tersedia.
dekongestan topikal. Pada rinosinusitis akut
dapat ditemukan: Penegakan Diagnosis (Assessment)
a. Edema dan / atau obstruksi mukosa di Rinosinusitis Akut (RSA)
meatus medius
Dasar penegakkan diagnosis RSA dapat dilihat
b. Sekret mukopurulen. Bila sekret pada tabel berikut ini.
tersebut nampak pada meatus medius,
Tabel 10.11. Dasar Penegakkan Diagnosis Tabel 10.12. Dasar Penegakkan Diagnosis
Rinosinusitis Akut (RSA) Rinosinusitis Kronik (RSK)

Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding dari
Rinosinusitis akut dapat dibedakan lagi menjadi: rinosinusitis akut dan kronis:

1. Rinosinusitis akut viral (common cold): Bila Tabel 10.13. Diagnosis banding Rinosinusitis
durasi gejala < 10 hari Akut (RSA) dan Rinosinusitis Kronik (RSK)
2. Rinosinusitis akut pasca-viral:
a. Bila terjadi peningkatan intensitas
gejala setelah 5 hari, atau
b. Bila gejala persisten > 10 hari namun
masih < 12 minggu
3. Rinosinusitis akut bakterial: Bila terdapat
sekurangnya 3 tanda / gejala berikut ini:
a. Sekret berwarna atau purulen dari
rongga hidung
b. Nyeri yang berat dan terlokalisasi pada Komplikasi
wajah
1. Kelainan orbita
c. Demam, suhu > 38oC Penyebaran infeksi ke orbita paling sering
d. Peningkatan LED / CRP terjadi pada sinusitis etmoid, frontal, dan
e. Double sickening, yaitu perburukan maksila. Gejala dan tanda yang patut
setelah terjadi perbaikan sebelumnya dicurigai sebagai infeksi orbita adalah:
edema periorbita, selulitis orbita, dan nyeri
Rinosinusitis Kronis (RSK) berat pada mata. Kelainan dapat mengenai
Dasar penegakkan diagnosis RSK dapat dilihat satu mata atau menyebar ke kedua mata.
pada tabel 5.5 di lampiran 2. Kelainan intrakranial
Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat d. Pasien dianjurkan untuk membilas atau
menimbulkan meningitis, abses ekstradural, mencuci hidung secara teratur dengan
dan trombosis sinus kavernosus. Gejala larutan garam isotonis (salin).
dan tanda yang perlu dicurigai adalah:
sakit kepala (tajam, progresif, terlokalisasi), Rencana Tindak Lanjut
paresis nervus kranial, dan perubahan 1. Pasien dengan RSA viral (common cold)
status mental pada tahap lanjut. dievaluasi kembali setelah 10 hari
3. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis pengobatan. Bila tidak membaik, maka
kronik, dapat berupa: osteomielitis sinus diagnosis menjadi RSA pasca viral dan
maksila, abses subperiosteal, bronkitis dokter menambahkan kortikosteroid (KS)
kronik, bronkiektasis. intranasal ke dalam rejimen terapi.

Penatalaksanaan Komprehensif 2. Pasien dengan RSA pasca viral dievaluasi


kembali setelah 14 hari pengobatan. Bila
(Plan) Rinosinusitis Akut (RSA) tidak ada perbaikan, dapat
dipertimbangkan rujukan ke spesialis THT.
Tujuan penatalaksanaan RSA adalah
mengeradikasi infeksi, mengurangi severitas 3. Pasien dengan RSA bakterial dievaluasi
dan durasi gejala, serta mencegah komplikasi. kembali 48 jam setelah pemberian
Prinsip utama tatalaksana adalah memfasilitasi antibiotik dan KS intranasal. Bila tidak ada
drainase sekret dari sinus ke ostium di rongga perbaikan, dapat dipertimbangkan rujukan
hidung. Tatalaksana RSA dapat dilihat dalam ke spesialis THT.
gambar Algoritma tatalaksana RSA. Kriteria Rujukan
Konseling dan Edukasi : Pada kasus RSA, rujukan segera ke spesialis THT
1. Pasien dan atau keluarga perlu dilakukan bila:
mendapatkan penjelasan yang adekuat 1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di
mengenai penyakit yang dideritanya, antaranya: Edema / eritema periorbital
termasuk faktor risiko yang diduga perubahan posisi bola mata, Diplopia,
mendasari. Oftalmoplegia, penurunan visus, sakit
2. Dokter bersama pasien dapat kepala yang berat, pembengkakan area
mendiskusikan hal-hal yang dapat frontal, tanda-tanda iritasi meningeal,
membantu mempercepat kesembuhan, kelainan neurologis fokal.
misalnya:
2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi
a. Pada pasien perokok, sebaiknya adekuat setelah 10 hari (RSA viral), 14 hari
merokok dihentikan. Dokter dapat (RSA pasca viral), dan 48 jam (RSA bakterial).
membantu pasien berhenti merokok Rinosinusitis KronisStrategi tatalaksana RSK
dengan melakukan konseling meliputi identifikasi dan tatalaksana faktor
(dengan metode 5A) atau anjuran risiko serta pemberian KS intranasal atau
(metode pengurangan, penundaan, oral dengan / tanpa antibiotik. Tatalaksana
atau cold turkey, sesuai preferensi RSK dapat dilihat pada Algoritma
pasien). tatalaksana RSK.
b. Bila terdapat pajanan polutan sehari-
hari, dokter dapat membantu Konseling dan Edukasi
memberikan anjuran untuk 1. Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor
meminimalkannya, misalnya dengan risiko yang mendasari atau mencetuskan
pasien menggunakan masker atau ijin rinosinusitis kronik pada pasien beserta
kerja selama simtom masih ada. alternatif tatalaksana untuk mengatasinya.
c. Pasien dianjurkan untuk cukup
beristirahat dan menjaga hidrasi.
2. Pencegahan timbulnya rekurensi juga perlu 7. Otoskop
didiskusikan antara dokter dengan pasien. 8. Suction
9. Lampu baca x-ray
Kriteria Rujukan
10. Formulir permintaan pemeriksaan radiologi
Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila:
11. Formulir rujukan
1. Pasien imunodefisien
Referensi
2. Terdapat dugaan infeksi jamur
3. Bila rinosinusitis terjadi ≥ 4 kali dalam 1 1. Fokkens, W et.al, 2012. European Position
tahun Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps.
4. Bila pasien tidak mengalami perbaikan Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at:
setelah pemberian terapi awal yang http://www.rhinologyjournal.com [Accessed
adekuat setelah 4 minggu. June 24, 2014]. (Fokkens, 2012)
5. Bila ditemukan kelainan anatomis
ataupun dugaan faktor yang memerlukan 2. Departemen Ilmu Telinga Hidung
tatalaksana oleh spesialis THT, misalnya: Tenggorokan Bedah Kepala – Leher
deviasi septum, polip nasal, atau tumor. FKUI / RSCM. Panduan Pelayanan Medis
Rinosinusitis.
Sinusitis Dentogenik
3. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical
1. Eradikasi fokus infeksi, misal: ekstraksi gigi Practice Guidelines forAcute and Chronic
2. Irigasi sinus maksila Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical
3. Antibiotik Immunology, 71, pp.1-38. Available at:
http://www.aacijournal.com/content/7/1/2
Prognosis [Accessed June 6,2014]. (Desrosier et.al,
Rinosinusitis Akut 2011)

1. Ad vitam : Bonam 4. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis


2. Ad functionam : Bonam and Rhinosinusitis in Adults: Treatment.
3. Ad sanationam : Bonam UpToDate Wolters Kluwer Health. Available
at: www.uptodate.com [Accessed June 6,
Rinosinusitis Kronis 2014]. (Hwang & Getz,2014)
1. Ad vitam : Bonam 5. Chow, AW et.al, 2012. IDSA Clinical Practice
2. Ad functionam : Dubia ad bonam Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam in Children and Adults. Clinical Infectious
Sinusitis Dentogenik Diseases, pp.e1-e41. Available at: http://cid.
oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014].
1. Ad vitam : Bonam (Chow et.al, 2012)
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam 6. Fagnan, LJ, 1998. Acute Sinusitis: A Cost-
Effective Approach to Diagnosis and
Peralatan Treatment. American Family Physician,
58(8), pp.1795-1802. Available at: http://
1. Termometer
www.aafp.org/afp/1998/1115/p1795.html
2. Spekulum hidung
[Accessed June 6, 2014]. (Fagnan, 1998)
3. Kaca rinoskop posterior
4. Kassa steril
5. Lampu kepala
6. Lampu Bunsen / spiritus dan korek api
K. KULIT

1. MILIARIA
No. ICPC-2
: S92 Sweat gland disease
No. ICD-10
: L74.3 Miliaria, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
1. Miliaria kristalina
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi a. Terdiri atas vesikel miliar (1-2 mm), sub
keringat yang ditandai oleh adanya vesikel korneal tanpa tanda inflamasi, mudah
milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah biang pecah dengan garukan, dan deskuamasi
keringat, keringat buntet, liken tropikus, prickle dalam beberapa hari.
heat. Berdasarkan survey yang dilakukan di
b. Predileksi pada badan yang tertutup
Jepang didapatkan 5000 bayi baru lahir
pakaian.
menderita miliaria. Survey tersebut
mengungkapkan bahwa miliaria kristalina c. Gejala subjektif ringan dan tidak
terjadi pada 4,5% nenonatus dengan usia rata- memerlukan pengobatan.
rata 1 minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% 2. Milaria rubra
neonatus dengan usia rata-rata 11-14 hari. Dari
a. Jenis tersering, terdiri atas vesikel
sebuah survey yang dilakukan di Iran ditemukan
miliar atau papulo vesikel di atas dasar
insiden miliaria pada 1,3% bayi baru lahir.
eritematosa sekitar lubang keringat,
Miliaria umumnya terjadi di daerah tropis dan
tersebar diskret.
banyak diderita pada mereka yang baru saja
pindah dari daerah yang beriklim sedang ke b. Gejala subjektif gatal dan pedih pada di
daerah yang beriklim tropis. daerah predileksi.

Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 11.1 Miliaria rubra

Keluhan yang dirasakan adalah gatal yang


disertai timbulnya vesikel atau bintil, terutama
muncul saat berkeringat, pada lokasi predileksi,
kecuali pada miliaria profunda.
Faktor Risiko
1. Tinggal di lingkungan tropis, panas,
kelembaban yang tinggi.
2. Pemakaian baju terlalu ketat.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3. Miliaria profunda
Sederhana (Objective)
a. Merupakan kelanjutan miliaria rubra,
Pemeriksaan Fisik berbentuk papul putih keras berukuran
1-3 mm, mirip folikulitis, dapat
Tanda patognomonis
disertai pustul.
Tergantung pada jenis atau klasifikasi miliaria. b. Predileksi pada badan dan ekstremitas.
Klasifikasi miliaria :
Gambar 11.2 Miliaria profunda Bedak kocok: likuor faberi atau bedak
kocok yang mengandung kalamin dan
antipruritus lain (mentol dan kamfora)
diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu.
Lanolin topikal atau bedak salisil 2%
dibubuhi mentol ¼-2% sekaligus
diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu.
Terapi berfungsi sebagai antipruritus
untuk menghilangkan dan mencegah
timbulnya miliaria profunda.
b. Sistemik (bila gatal dan bila diperlukan)
Antihistamin sedatif: klorfeniramin
4. Miliaria pustulosa Berasal dari miliaria
maleat 3 x 4 mg per hari selama 7 hari
rubra, dimana vesikelnya berubah menjadi
atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama
pustul.
7 hari
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan. Antihistamin non sedatif: loratadin 1
Penegakan Diagnostik (Assessment) x 10 mg per hari selama 7 hari.

Diagnosis Klinis Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan


dan pemeriksaaan fisik. penunjang.

Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi

Campak / morbili, Folikulitis, Varisela, Edukasi dilakukan dengan memberitahu


Kandidiasis kutis, Erupsi obat morbiliformis keluarga agar dapat membantu pasien untuk:

Komplikasi 1. Menghindari kondisi hidrasi berlebihan


atau membantu pasien untuk memakai
Infeksi sekunder pakaian yang sesuai dengan kondisinya.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Menjaga ventilasi udara di dalam rumah.
3. Menghindari banyak berkeringat.
Penatalaksanaan
4. Memilih lingkungan yang lebih sejuk dan
Prinsipnya adalah mengurangi pruritus, sirkulasi udara (ventilasi) cukup.
menekan inflamasi, dan membuka retensi
5. Mandi air dingin dan memakai sabun.
keringat. Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan adalah: Kriteria Rujukan
1. Melakukan modifikasi gaya hidup, yaitu: Tidak ada indikasi rujukan
a. Memakai pakaian yang tipis dan dapat Peralatan
menyerap keringat.
b. Menghindari panas dan kelembaban Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
yang berlebihan mendiagnosis penyakit miliaria.

c. Menjaga kebersihan kulit Prognosis


d. Mengusahakan ventilasi yang baik Prognosis umumnya bonam, pasien dapat
2. Memberikan farmakoterapi, seperti: sembuh tanpa komplikasi.
a. Topikal
Referensi 3. Levin, N.A. 2014. Dermatologic
manifestation of miliaria. Medscape. May
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. 21, 2014. http://
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi emedicine.medscape.com/article/1070840-
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas overview#a0199
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Jakarta.
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.

2. VERUKA VULGARIS
No. ICPC-2: S03Warts
No. ICD-10: B07 Viral warts
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan sepanjang goresan (fenomena Koebner).


Veruka vulgaris merupakan hiperplasia Pemeriksaan Penunjang
epidermis yang disebabkan oleh Human
Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu. Sinonim Tidak diperlukan
penyakit ini adalah kutil atau common wart.
Penularan melalui kontak langsung dengan Gambar 11.3 Veruka vulgaris
agen penyebab. Veruka ini sering dijumpai pada
anak-anak dan remaja.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kutil pada kulit dan mukosa. Faktor
Risiko
1. Biasanya terjadi pada anak-anak dan orang
dewasa sehat.
2. Pekerjaan yang berhubungan dengan
daging mentah. Penegakan Diagnosis (Assessment)
3. Imunodefisiensi. Diagnosis Klinis
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis klinis dapat ditambahkan sesuai
Sederhana (Objective) dengan bentuk klinis atau lokasi, yaitu:
Pemeriksaan Fisik 1. Veruka vulgaris
Tanda Patognomonis 2. Veruka Plana
3. Veruka Plantaris
Papul berwarna kulit sampai keabuan
dengan permukaan verukosa. Papul ini dapat Diagnosis Banding
dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku. Apabila Kalus, Komedo, Liken planus, Kondiloma
permukaannya rata, disebut dengan veruka akuminatum, Karsinoma sel skuamosa
Plana. Dengan goresan dapat timbul
autoinokulasi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Tatalaksana Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit veruka vulgaris.
1. Pasien harus menjaga kebersihan kulit.
2. Pengobatan topikal dilakukan dengan Prognosis
pemberian bahan kaustik, misalnya dengan
larutan AgNO3 25%, asam trikloroasetat Pada 90% kasus sembuh spontan dalam 5 tahun
50% atau asam salisilat 20% - 40%. sehingga prognosis umumnya bonam.

Komplikasi Referensi

Efek samping dari penggunaan bahan kaustik 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
dapat menyebabkan ulkus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Konseling dan Edukasi Kedokteran Universitas Indonesia.
Edukasi pasien bahwa penyakit ini seringkali 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
residif walaupun diberi pengobatan yang 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
adekuat. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Kriteria Rujukan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Rujukan sebaiknya dilakukan apabila: Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
1. Diagnosis belum dapat ditegakkan. Jakarta.
2. Tindakan memerlukan anestesi/sedasi.

3. HERPES ZOSTER
No. ICPC-2: S70 Herpes Zoster
No. ICD-10: B02.9 Zoster without complication
Tingkat Kemampuan Herpes Zoster tanpa komplikasi 4A

Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective)


Herpes Zoster adalah infeksi kulit dan mukosa Keluhan
yang disebabkan oleh virus Varisela-zoster.
Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang Nyeri radikular dan gatal terjadi sebelum erupsi.
terjadi setelah infeksi primer. Herpes Zoster Keluhan dapat disertai dengan gejala prodromal
jarang terjadi pada anak- anak dan dewasa sistemik berupa demam, pusing, dan malaise.
muda, kecuali pada pasien muda dengan AIDS, Setelah itu timbul gejala kulit kemerahan
limfoma, keganasan, penyakit imunodefisiensi yang dalam waktu singkat menjadi vesikel
dan pada pasien yang menerima transplantasi berkelompok dengan dasar eritem dan edema.
sumsum tulang atau ginjal. Penyakit ini terjadi
Faktor Risiko
kurang dari 10% pada pasien yang berusia
kurangdari 20 tahun dan hanya 5% terjadi 1. Umumnya terjadi pada orang dewasa,
pada pasien yang berusia kurang dari 15 tahun. terutama orang tua.
Insiden herpes zoster meningkat seiring dengan 2. Imunodefisiensi
pertambahan usia. Prevalensi penyakit ini pada
pria dan wanita sama.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang hanya berlangsung dalam waktu singkat
Sederhana (Objective) dan kelainan kulit hanya berupa beberapa
vesikel dan eritem.
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Banding
Sekelompok vesikel dengan dasar eritem yang
terletak unilateral sepanjang distribusi saraf 1. Herpes simpleks
spinal atau kranial. Lesi bilateral jarang ditemui, 2. Dermatitis venenata
namun seringkali, erupsi juga terjadi pada 3. Pada saat nyeri prodromal, diagnosis dapat
dermatom di dekatnya. menyerupai migrain, nyeri pleuritik, infark
miokard, atau apendisitis.
Gambar 11.4 Herpes zoster
Komplikasi
1. Neuralgia pasca-herpetik
2. Ramsay Hunt Syndrome: herpes pada
ganglion genikulatum, ditandai dengan
gangguan pendengaran, keseimbangan dan
paralisis parsial.
3. Pada penderita dengan imunodefisiensi
(HIV, keganasan, atau usia lanjut), vesikel
sering menjadi ulkus dengan jaringan
nekrotik dapat terjadi infeksi sistemik.
4. Pada herpes zoster oftalmikus dapat
Pemeriksaan Penunjang terjadi ptosis paralitik, keratitis, skleritis,
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan uveitis, korioretinitis, serta neuritis optik.
penunjang. 5. Paralisis motorik.

Penegakan Diagnosis (Assessment) Penatalaksanaan komprehensif

Diagnosis Klinis (Plan) Penatalaksanaan

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis 1. Terapi suportif dilakukan dengan


dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk menghindari gesekan kulit yang
diperhatikan: mengakibatkan pecahnya vesikel,
pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan
1. Herpes zoster hemoragik, yaitu jika vesikel mencegah kontak dengan orang lain.
mengandung darah. 2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan
2. Herpes zoster generalisata, yaitu kelainan indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat
kulit unilateral dan segmental ditambah menyebabkan Reye’s syndrome.
kelainan kulit generalisata berupa vesikel 3. Pengobatan topikal:
soliter yang berumbilikasi. Keduanya a. Stadium vesikel: bedak salisil 2% atau
merupakan tanda bahwa pasien mengalami bedak kocok kalamin agar vesikel tidak
imunokompromais. pecah.
3. Herpes zoster oftalmikus, yaitu infeksi b. Apabila erosif, diberikan kompres
cabang pertama nervus trigeminus terbuka. Apabila terjadi ulserasi, dapat
sehingga menimbulkan kelainan pada mata, dipertimbangkan pemberian salep
di samping itu juga cabang kedua dan ketiga antibiotik.
menyebabkan kelainan kulit pada daerah 4. Pengobatan antivirus oral, antara lain
persarafannya. dengan :
4. Herpes zoster abortif, yaitu penyakit yang a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-
anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis maksimal Peralatan
800 mg), selama 7 hari, atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
c. Pemberian obat tersebut selama 7-10 mendiagnosis penyakit
hari dan efektif diberikan pada 24 jam Herpes Zoster.
pertama setelah timbul lesi.
Prognosis
Konseling dan Edukasi
Pasien dengan imunokompeten, prognosis
Konseling dan edukasi dilakukan kepada pasien umumnya adalah bonam, sedangkan pasien
mengenai: dengan imunokompromais, prognosis menjadi
1. Edukasi tentang perjalanan penyakit Herpes dubia ad bonam.
Zoster.
Referensi
2. Edukasi bahwa lesi biasanya membaik
dalam 2-3 minggu pada individu 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
imunokompeten. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
3. Edukasi mengenai seringnya komplikasi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
neuralgia pasca-herpetik. Kriteria Rujukan Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Pasien dirujuk apabila:
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
setelah terapi. Elsevier.
2. Terjadi pada pasien bayi, anak dan geriatri 3. 3. Janniger, C.K. Eastern, J.S., Hispenthal, D.R.,
(imunokompromais). Moon, J.E. 2014. Herper zoster. Medscape
3. Terjadi komplikasi. June 7, 2014. http://emedicine.medscape.
4. Terdapat penyakit penyerta yang com/article/1132465 overview#a0156
menggunakan multifarmaka. 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.

4. HERPES SIMPLEKS
No. ICPC-2 : S71 Herpes Simplex
No. ICD-10 : B00.9 Herpesviral infection, unspecified
Tingkat Kemampuan Herpes Simpleks tanpa komplikasi 4A

Masalah Kesehatan
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas
Infeksi akut yang disebabkan oleh Virus Herpes seksual.
Simpleks tipe 1 atau tipe 2, yang ditandai oleh
Diperkiraan ada 536 juta orang yang berusia 15-
adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit
49 tahun yang terinfeksi HSV-2 di seluruh dunia
yang sembab dan eritematosa pada daerah
pada tahun 2003 atau sekitar16% dari populasi
mukokutan. Penularan melalui kontak langsung
dunia pada rentang usia tersebut. Prevalensi
dengan agen penyebab. Infeksi primer oleh
penyakit ini lebih tinggi pada wanita
Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 biasanya
dibandingkan pada pria dan umumnya lebih
dimulai pada usia anak-anak, sedangkan HSV
tinggi di negara berkembang daripada di negara
tipe 2 biasanya terjadi pada dekade II atau III,
maju.
Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 11.5 Herpes simpleks
Keluhan
Infeksi primer HSV-1 biasanya terjadi pada
anak dan subklinis pada 90% kasus, biasanya
ditemukan perioral. Pada 10% sisanya, dapat
terjadi gingivostomatitis akut.
Infeksi primer HSV-2 terjadi setelah kontak
seksual pada remaja dan dewasa, menyebabkan
vulvovaginitis akut dan atau peradangan pada
kulit batang penis. Infeksi primer biasanya
disertai dengan gejala sistemik seperti demam, Gambar 11.6 Herpes simplek pada kelamin
malaise, mialgia, nyeri kepala, dan adenopati
regional. Infeksi HSV-2 dapat juga mengenai
bibir.
Infeksi rekuren biasanya didahului gatal atau
sensasi terbakar setempat pada lokasi yang
sama dengan lokasi sebelumnya. Prodromal
ini biasanya terjadi mulai dari 24 jam sebelum
timbulnya erupsi.
Faktor Risiko
1. Individu yang aktif secara seksual.
2. Imunodefisiensi. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
Sederhana (Objective) penunjang.
Pemeriksaan Fisik Penegakan Diagnosis (Assessment)
Papul eritema yang diikuti oleh munculnya Diagnosis Klinis
vesikel berkelompok dengan dasar eritem.
Herpes simpleks tipe 1
Vesikel ini dapat cepat menjadi keruh, yang
Herpes simpleks tipe 2
kemudian pecah, membasah, dan berkrusta.
Kadang-kadang timbul erosi/ulkus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk
Tempat predileksi adalah di daerah pinggang ke
diperhatikan:
atas terutama daerah mulut dan hidung untuk
HSV-1, dan daerah pinggang ke bawah 1. Infeksi primer.
terutama daerah genital untuk HSV-2. Untuk 2. Fase laten: tidak terdapat gejala klinis,
infeksi sekunder, lesi dapat timbul pada tempat tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan
yang sama dengan lokasi sebelumnya. tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens.
Diagnosis Banding
1. Impetigo vesikobulosa.
2. Ulkus genitalis pada penyakit menular
seksual. Komplikasi
Dapat terjadi pada individu dengan gangguan Kriteria Rujukan
imun, berupa:
Pasien dirujuk apabila:
1. Herpes simpleks ulserativa kronik.
2. Herpes simpleks mukokutaneus akut 1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari
generalisata. setelah terapi.
3. Infeksi sistemik pada hepar, paru, kelenjar 2. Terjadi pada pasien bayi dan geriatrik
adrenal, dan sistem saraf pusat. (imunokompromais).
4. Pada ibu hamil, infeksi dapat menular
pada janin, dan menyebabkan neonatal 3. Terjadi komplikasi.
herpes yang sangat berbahaya. 4. Terdapat penyakit penyerta yang
Penatalaksana Komprehensif (Plan) menggunakan multifarmaka.

Penatalaksanaan Peralatan

1. Terapi diberikan dengan antiviral, antara Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
lain: mendiagnosis penyakit herpes simpleks.
a. Asiklovir, dosis 5 x 200 mg/hari selama Prognosis
5 hari, atau
b. Valasiklovir, dosis 2 x 500 mg/hari Prognosis umumnya bonam, namun quo ad
selama 7-10 hari. sanationam adalah dubia ad malam karena
2. Pada herpes genitalis: edukasi tentang terdapat risiko berulangnya keluhan serupa.
pentingnya abstinensia pasien harus tidak
melakukan hubungan seksual ketika masih Referensi
ada lesi atau ada gejala prodromal. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
3. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
menyebabkan Reye’s syndrome. Kedokteran Universitas Indonesia.
Konseling dan Edukasi 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Edukasi untuk infeksi herpes simpleks
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
merupakan infeksi swasirna pada populasi
Elsevier.
imunokompeten. Edukasi untuk herpes genitalis
ditujukan terutama terhadap pasien dan 3. 3. Looker, K. J., Garnett, G. P. & Schmid, G. P.
pasangannya, yaitu berupa: 2008. An Estimate Of The Global Prevalence
And Incidence Of Herpes Simplex Virus
1. Informasi perjalanan alami penyakit ini,
Type 2 Infection. World Health Organization.
termasuk informasi bahwa penyakit ini
Bulletin Of The World Health Organization,
menimbulkan rekurensi.
86, 805-12, A. June 8, 2014. http://
2. Tidak melakukan hubungan seksual ketika
search.proquest.com/docview/229661081/
masih ada lesi atau gejala prodromal.
fulltextPDF?acc ountid=17242
3. Pasien sebaiknya memberi informasi
kepada pasangannya bahwa ia memiliki 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
infeksi HSV. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
4. Transmisi seksual dapat terjadi pada masa Jakarta.
asimtomatik.
5. Kondom yang menutupi daerah yang
terinfeksi, dapat menurunkan risiko
transmisi dan sebaiknya digunakan dengan
konsisten.
5. MOLUSKUM KONTAGIOSUM
No. ICPC-2: S95 Molluscum contagiosum No. ICD-10: B08.1 Molluscum contagiosum
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gambar 11.7 Moluskum kontagiosum
Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus poks yang menginfeksi
sel epidermal. Penyakit ini terutama
menyerang anak dan kadang-kadang juga
orang dewasa. Pada orang dewasa, penyakit ini
digolongkan kedalam penyakit akibat hubungan
seksual. Penularan melalui kontak langsung
dengan agen penyebab.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kelainan kulit berupa papul miliar. Masa Pemeriksaan Penunjang
inkubasi berlangsung satu sampai beberapa Bila diperlukan, melakukan tindakan enukleasi
minggu. pada papul untuk menemukan badan
Faktor Risiko moluskum.

1. Terutama menyerang anak dan kadang- Penegakan Diagnosis (Assessment)


kadang juga orang dewasa. Diagnosis Klinis
2. Imunodefisiensi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dan pemeriksaan fisik.
Sederhana (Objective)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Fisik
Komedo, Miliaria, Karsinoma sel basal
Papul miliar, kadang-kadang lentikular dan
berwarna putih seperti lilin, berbentuk kubah nodular Komplikasi
yang kemudian di tengahnya terdapat lekukan Lesi dapat mengalami infeksi sekunder. Jika
(delle). Jika dipijat akan tampak keluar massa moluskum mengenai kelopak mata (jarang
yang berwarna putih seperti nasi. Lokasi terjadi), dapat terjadi konjungtivitis kronis. Pada
predileksi adalah daerah muka, badan, dan individu dengan AIDS, moluskum seringkali tidak
ekstremitas, sedangkan pada orang dewasa di mudah dikenali,banyak, dan
daerah pubis dan genitalia eksterna. Kadang- penatalaksanaannya membutuhkan
kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga ketrampilan khusus.
timbul supurasi.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien perlu menjaga higiene kulit.
2. Pengobatan dilakukan dengan
mengeluarkan massa yang mengandung
badan moluskum dengan menggunakan
alat seperti ekstraktor komedo, jarum Prognosis
suntik, atau alat kuret kulit.
Prognosis pada umumnya bonam karena
Konseling dan Edukasi penyakit ini merupakan penyakit yang self-
limiting.
Penyebaran dalam keluarga sangat jarang
terjadi. Dengan demikian, anggota keluarga Referensi
tidak perlu terlalu khawatir terhadap
anak/individu dengan penyakit ini. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kriteria Rujukan kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
1. Tidak ditemukan badan moluskum.
2. Terdapat penyakit komorbiditas yang 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
terkait dengan kelainan hematologi. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
3. Pasien HIV/AIDS. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Peralatan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
1. Lup
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
2. Ekstraktor komedo, jarum suntik atau alat
Jakarta.
kuret kulit

6. REAKSI GIGITAN SERANGGA


No. ICPC-2: S12 Insect bite/sting
No. ICD-10: T63.4 Venom of other arthropods
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
14 hari setelah gigitan berlangsung. Keluhan
Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik
adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema,
kulit akibat gigitan (bukan terhadap sengatan/ serta dapat berkembang menjadi suatu
stings) dan kontak dengan serangga. Gigitan ansietas, disorientasi, kelemahan, GI upset
hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, (cramping, diarrhea, vomiting), dizziness, sinkop
bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi bahkan hipotensi dan sesak napas. Gejala dari
peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik. delayed reaction mirip seperti serum sickness,
yang meliputi demam, malaise, sakit kepala,
Hasil Anamnesis (Subjective) urtikaria, limfadenopati dan poliartritis.
Keluhan Faktor Risiko
Pasien datang dengan keluhan gatal, rasa tidak 1. Lingkungan tempat tinggal yang banyak
nyaman, nyeri, kemerahan, nyeri tekan, hangat serangga.
atau bengkak pada daerah tubuh yang digigit, 2. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
umumnya tidak tertutup pakaian. 3. Riwayat alergi.
Kebanyakan penderita datang sesaat setelah 4. Riwayat alergi makanan.
merasa digigit serangga, namun ada pula yang
datang dengan delayed reaction, misalnya 10-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang jam.
Sederhana (Objective) 2. Reaksi tipe lambat: Pada anak terjadi lebih
Pemeriksaan Fisik dari 20 menit sampai beberapa jam setelah
gigitan serangga. Pada orang dewasa dapat
Tanda Patognomonis muncul 3-5 hari setelah gigitan.
3. Reaksi tidak biasa: Sangat segera, mirip
1. Urtika dan papul timbul secara simultan di
anafilaktik.
tempat gigitan, dikelilingi zona eritematosa.
2. Di bagian tengah tampak titik (punctum) Klasifikasi berdasarkan bentuk klinis:
bekas tusukan/gigitan, kadang hemoragik,
atau menjadi krusta kehitaman. 1. Urtikaria iregular.
3. Bekas garukan karena gatal. 2. Urtikaria papular.
3. Papulo-vesikular, misalnya pada prurigo.
Dapat timbul gejala sistemik seperti takipneu, 4. Punctum (titik gigitan), misalnya pada
stridor, wheezing, bronkospasme, hiperaktif pedikulosis kapitis atau phtirus pubis.
peristaltic, dapat disertai tanda-tanda hipotensi
orthostatik Diagnosis Banding

Pada reaksi lokal yang parah dapat timbul Prurigo


eritema generalisata, urtikaria, atau edema Komplikasi
pruritus, sedangkan bila terdapat reaksi
sistemik menyeluruh dapat diikuti dengan 1. Infeksi sekunder akibat garukan.
reaksi anafilaksis. 2. Bila disertai keluhan sistemik, dapat
terjadi syok anafilaktik hingga kematian.
Gambar 11.8 Reaksi Gigitan serangga
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Tatalaksana
1. Prinsip penanganan kasus ini adalah dengan
mengatasi respon peradangan baik yang
bersifat lokal maupun sistemik. Reaksi
peradangan lokal dapat dikurangi dengan
sesegera mungkin mencuci daerah gigitan
dengan air dan sabun, serta kompres es.
2. Atasi keadaan akut terutama pada
angioedema karena dapat terjadi obstruksi
Pemeriksaan Penunjang saluran napas. Penanganan pasien dapat
dilakukan di Unit Gawat Darurat. Bila
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan disertai obstruksi saluran napas
penunjang. diindikasikan pemberian epinefrin sub
kutan. Dilanjutkan dengan pemberian
Penegakan Diagnosis (Assessment)
kortikosteroid prednison 60-80 mg/hari
Diagnosis Klinis selama 3 hari, dosis diturunkan 5-10
mg/hari.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi berdasarkan Dalam kondisi stabil, terapi yang dapat diberikan
waktu terjadinya: yaitu:

1. Reaksi tipe cepat: Terjadi segera hingga 20 a. Sistemik


menit setelah gigitan, bertahan sampai 1-3 • Antihistamin sedatif: klorfeniramin
maleat 3 x 4 mg per hari selama 7 hari
atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 7 Peralatan
hari.
• Antihistamin non sedatif: loratadin 1 x 10 1. Alat resusitasi
mg per hari selama 7 hari. 2. Tabung dan masker oksigen
b. Topikal Prognosis
Kortikosteroid topikal potensi sedang-kuat:
misalnya krim mometason furoat 0,1% atau Prognosis umumnya bonam. Quo ad
krim betametason valerat 0,5% diberikan sanationam untuk reaksi tipe cepat dan reaksi
selama 2 kali sehari selama 7 hari. tidak biasa adalah dubia ad malam, sedangkan
reaksi tipe lambat adalah bonam.
Konseling dan Edukasi
Referensi
Keluarga diberikan penjelasan mengenai:
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
1. Minum obat secara teratur. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
2. Menjaga kebersihan lingkungan tempat kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
tinggal, memakai baju berlengan panjang Kedokteran Universitas Indonesia.
dan celana panjang, pada beberapa kasus 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
boleh memakai mosquito repellent jika 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
diperlukan, dan lain-lain agar terhindar dari Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
gigitan serangga. Elsevier.
Kriteria rujukan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jika kondisi memburuk, yaitu dengan makin Jakarta
bertambahnya patch eritema, timbul bula, atau
disertai gejala sistemik atau komplikasi.

7. SKABIES
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S72 Scabies/other acariasis
: B86 Scabies
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
penderita skabies, seperti menjabat tangan,
Skabies adalah penyakit yang disebabkan hubungan seksual, atau tidur bersama.
infestasi dan sensitisasi kulit oleh tungau 2. Kontak tidak langsung (melalui benda),
Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini seperti penggunaan perlengkapan tidur
berhubungan erat dengan higiene yang buruk. bersama dan saling meminjam pakaian,
Prevalensi skabies tinggi pada populasi yang handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidak
padat. Dari hasil penelitian di Brazil, prevalensi memiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga
skabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh harus berbagi dengan temannya.
perkotaan yang padat penduduk daripada di
Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap
masyarakat nelayan dimana mereka tinggal di
air dan sabun dan tetap hidup bahkan setelah
tempat yang lebih luas.
mandi dengan air panas setiap.
Penularan dapat terjadi karena:
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Kontak langsung kulit dengan kulit
Gejala klinis:
1. Pruritus nokturna, yaitu gatal yang hebat Penegakan Diagnosis (Assessment)
terutama pada malam hari atau saat
penderita berkeringat. Diagnosis Klinis
2. Lesi timbul di stratum korneum yang tipis, Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
seperti di sela jari, pergelangan tangan dan pemeriksaan fisik. Terdapat 4 tanda
dan kaki, aksila, umbilikus, areola mammae kardinal untuk diagnosis skabies, yaitu:
dan di bawah payudara (pada wanita) serta
genital eksterna (pria). 1. Pruritus nokturna.
2. Penyakit menyerang manusia secara
Faktor Risiko: berkelompok.
1. Masyarakat yang hidup dalam kelompok 3. Adanya terowongan (kunikulus) pada
yang padat seperti tinggal di asrama atau tempat-tempat predileksi yang berwarna
pesantren. putih atau keabu-abuan, berbentuk garis
2. Higiene yang buruk. lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjang
3. Sosial ekonomi rendah seperti di panti 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan
asuhan, dan sebagainya. papul atau vesikel.
4. Hubungan seksual yang sifatnya 4. Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan
promiskuitas. mikroskopis.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis ditegakkan dengan menemukan 2 dari
Sederhana (Objective) 4 tanda tersebut.

Pemeriksaan Fisik Diagnosis Banding

Lesi kulit berupa terowongan (kanalikuli) Skabies adalah penyakit kulit yang disebut
berwarna putih atau abu- abu dengan panjang dengan the great imitator dari kelainan kulit
rata-rata 1 cm. Ujung terowongan terdapat dengan keluhan gatal. Diagnosis bandingnya
papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, adalah: Pioderma, Impetigo, Dermatitis,
maka akan terbentuk pustul, ekskoriasi, dan Pedikulosis korporis
sebagainya.Pada anak-anak, lesi lebih sering Komplikasi
berupa vesikel disertai infeksi sekunder akibat
garukan sehingga lesi menjadi bernanah. Infeksi kulit sekunder terutama oleh S. aureus
sering terjadi, terutama pada anak. Komplikasi
Gambar 11.9 Skabies skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan
prestasi belajar.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Melakukan perbaikan higiene diri dan
lingkungan, dengan:
a. Tidak menggunakan peralatan pribadi
secara bersama-sama dan alas tidur
diganti bila ternyata pernah digunakan
oleh penderita skabies.
b. Menghindari kontak langsung dengan
Pemeriksaan Penunjang
penderita skabies.
Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit 2. Terapi tidak dapat dilakukan secara
untuk menemukan tungau. individual melainkan harus serentak dan
menyeluruh pada seluruh kelompok orang Peralatan
yang ada di sekitar penderita skabies. Terapi
diberikan dengan salah satu obat topikal 1. Lup
(skabisid) di bawah ini: 2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
a. Salep 2-4 dioleskan di seluruh tubuh, sediaan langsung kerokan kulit.
selama 3 hari berturut- turut, dipakai Prognosis
setiap habis mandi.
b. Krim permetrin 5% di seluruh tubuh. Prognosis umumnya bonam, namun tatalaksana
Setelah 10 jam, krim permetrin harus dilakukan juga terhadap lingkungannya.
dibersihkan dengan sabun. Referensi
Terapi skabies ini tidak dianjurkan pada anak < 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
2 tahun. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Konseling dan Edukasi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya 2. Heukelbach, J. & Feldmeier, H. 2006.
eradikasi skabies bisa melibatkan semua pihak. Scabies. The Lancet, 367, 1767-74. June 8,
Bila infeksi menyebar di kalangan santri di 2014. http://
sebuah pesantren, diperlukan keterbukaan dan Search.Proquest.Com/Docview/199054155/
kerjasama dari pengelola pesantren. Bila Fulltextpdf/Afbf4c2fd1bd4016pq/6?Accoun
sebuah barak militer tersebar infeksi, mulai dari tid=17242
prajurit sampai komandan barak harus bahu 3. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
membahu membersihkan semua benda yang 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
berpotensi menjadi tempat penyebaran Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
penyakit. Elsevier.
Kriteria Rujukan 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Pasien skabies dirujuk apabila keluhan masih Jakarta.
dirasakan setelah 1 bulan paska terapi.

8. PEDIKULOSIS KAPITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S73 Pediculosis/skin infestation other
: B85.0 Pediculosis due to Pediculus humanus capitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
yang sangat panjang pada wanita).
Pedikulosis kapitis adalah infeksi dan
Penularan melalui kontak langsung dengan
infestasi kulit kepala dan rambut manusia
agen penyebab, melalui:
yang disebabkan oleh kutu kepala Pediculus
humanus var capitis. Penyakit ini terutama 1. Kontak fisik erat dengan kepala penderita,
menyerang anak-anak usia muda dan cepat seperti tidur bersama.
meluas dalam lingkungan hidup yang padat, 2. Kontak melalui fomite yang terinfestasi,
misalnya di asrama atau panti asuhan. misalnya pemakaian bersama aksesori
Ditambah pula dalam kondisi higiene yang tidak kepala, sisir, dan bantal juga dapat
baik, misalnya jarang membersihkan rambut menyebabkan kutu menular.
atau rambut yang relatif susah dibersihkan
(rambut
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding
Keluhan Tinea kapitis, Impetigo krustosa (pioderma),
Dermatitis seboroik
Gejala yang paling sering timbul adalah gatal di
kepala akibat reaksi hipersensitivitas terhadap Komplikasi
saliva kutu saat makan maupun terhadap feses
kutu. Gejala dapat pula asimptomatik Infeksi sekunder bila pedikulosis berlangsung
kronis.
Faktor Risiko
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Status sosioekonomi yang rendah.
2. Higiene perorangan yang rendah Penatalaksanaan
3. Prevalensi pada wanita lebih tinggi
Pengobatan bertujuan untuk memusnahkan
dibandingkan pada pria, terutama pada
semua kutu dan telur serta mengobati infeksi
populasi anak usia sekolah.
sekunder.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Sebaiknya rambut pasien dipotong
Sederhana (Objective)
sependek mungkin, kemudian disisir
Pemeriksaan Fisik dengan menggunakan sisir serit, menjaga
kebersihan kulit kepala dan menghindari
Lesi kulit terjadi karena bekas garukan, yaitu
kontak erat dengan kepala penderita.
bentuk erosi dan ekskoriasi. Bila terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri, maka timbul pus dan 2. Pengobatan topikal merupakan terapi
krusta yang menyebabkan rambut bergumpal, terbaik, yaitu dengan pedikulosid dengan
disertai dengan pembesaran kelenjar getah pengobatan Permetrin 1% dalam bentuk
bening regional. Ditemukan telur dan kutu cream rinse, dibiarkan selama 2 jam.
yang hidup pada kulit kepala dan rambut. Pedikulosid sebaiknya tidak digunakan
Telur P. humanus var. capitis paling sering pada anak usia kurang dari 2 tahun. Cara
ditemukan pada rambut di daerah oksipital dan penggunaan: rambut dicuci dengan
retroaurikular. shampo, kemudian dioleskan losio/krim
dan ditutup dengan kain. Setelah menunggu
Pemeriksaan Penunjang
sesuai waktu yang ditentukan, rambut
Tidak diperlukan. dicuci kembali lalu disisir dengan sisir serit.
Penegakan Diagnosis (Assessment) 3. Pada infeksi sekunder yang berat sebaiknya
Diagnosis Klinis rambut dicukur, diberikan pengobatan
dengan antibiotik sistemik dan topikal
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis telebih dahulu, lalu diberikan obat di atas
dan pemeriksaan fisik dengan menemukan dalam bentuk shampo.
kutu atau telur kutu di kulit kepala dan rambut.
Konseling dan Edukasi
Gambar 11.10 Telur Pediculus humanus capitis
Edukasi keluarga tentang pedikulosis
penting untuk pencegahan. Kutu kepala dapat
ditemukan di sisir atau sikat rambut, topi,
linen, boneka kain, dan upholstered furniture,
walaupun kutu lebih memilih untuk berada
dalam jarak dekat dengan kulit kepala, sehingga
harus menghindari pemakaian alat-alat tersebut
bersama-sama. Anggota keluarga dan teman
bermain anak yang terinfestasi harus diperiksa, Referensi
namun terapi hanya diberikan pada yang
terbukti mengalami infestasi. Kerjasama semua 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
pihak dibutuhkan agar eradikasi dapat tercapai. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kriteria Rujukan Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Apabila terjadi infestasi kronis dan tidak sensitif
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
terhadap terapi yang diberikan.
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Peralatan Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik.
mendiagnosis penyakit pedikulosis kapitis. Jakarta.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.

9. PEDIKULOSIS PUBIS
No. ICPC-2 No.ICD-10 : S 73 Pediculosis/skin infestation other
: B 85.3 Pthiriasis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko:
Pedikulosis pubis adalah penyakit infeksi 1. Aktif secara seksual
pada rambut di daerah pubis dan sekitarnya 2. Higiene buruk
yang disebabkan oleh Phthirus pubis. Penyakit 3. Kontak langsung dengan penderita
ini menyerang orang dewasa dan dapat
digolongkan dalam penyakit akibat hubungan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
seksual dan menular secara langsung. Infeksi Sederhana (Objective)
juga bisa terjadi pada anak-anak yang berasal
Pemeriksaan Fisik
dari orang tua mereka dan terjadi di alis, atau
bulu mata. Pada inspeksi ditemukan bercak-bercak yang
berwarna abu-abu atau kebiruan yang disebut
Hasil Anamnesis (Subjective) makula serulae pada daerah pubis dan
Keluhan sekitarnya. Kutu dapat dilihat dengan mata
telanjang dan juga bisa didapatkan
Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat pembengkakan kelenjar getah bening sekitar.
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada.
Gejala patognomonik lainnya adalah adanya Pemeriksaan Penunjang
black dot yaitu bercak-bercak hitam yang Mencari telur atau bentuk dewasa P. pubis
tampak jelas pada celana dalam berwarna putih
yang dilihat penderita pada waktu bangun tidur. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Bercak hitam tersebut adalah krusta berasal Diagnosis Klinis
dari darah yang sering diinterpretasikan salah
sebagai hematuria. Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Gambar 11.11 Pedikulosis pubis 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Guenther L. Pediculosis. Available from
http://e- medicine.medscape.com (10 Juni
2014)

Diagnosis Banding:
1. Dermatitis seboroik
2. Dermatomikosis
Komplikasi: -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pengobatan topikal :
emulsi benzil benzoat 25% yang dioleskan dan
didiamkan selama 24 jam. Pengobatan diulangi
4 hari kemudian, jika belum sembuh
Rencana Tindak Lanjut :
Mitra seksual juga diperiksa dan diobati
Konseling dan Edukasi
1. Menjaga kebersihan badan
2. Sebaiknya rambut kelamin dicukur
3. Pakaian dalam direbus atau diseterika
Kriteria Rujukan : -
Peralatan
Tidak diperlukan perlatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit pedikulosis pubis.
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis.
Available from http://www.nejm.org/doi/
pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni
10. DERMATOFITOSIS
: S74 No.
Dermatophytosis
ICPC-2 No. ICD-10
: B35 Dermatophytosis
B35.0 Tinea barbae and tinea capitis B35.1 Tinea unguium
B35.2 Tinea manuum B35.3 Tinea pedis B35.4 Tinea corporis B35.5 Tinea imbricate B35.6 Tinea cruris
B35.8 Other dermatophytoses

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di


Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofita Indonesia.
yang memiliki sifat mencernakan keratin di Hasil Anamnesis (Subjective)
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan Keluhan
kuku. Penularan terjadi melalui kontak langsung
Pada sebagian besar infeksi dermatofita, pasien
dengan agen penyebab. Sumber penularan
datang dengan bercak merah bersisik yang
dapat berasal dari manusia (jamur antropofilik),
gatal. Adanya riwayat kontak dengan orang
binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur
yang mengalami dermatofitosis.
geofilik).
Faktor Risiko
Klasifikasi dermatofitosis yang praktis adalah
berdasarkan lokasi, yaitu antara lain: 1. Lingkungan yang lembab dan panas
2. Imunodefisiensi
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan
3. Obesitas
rambut kepala.
4. Diabetes Melitus
2. Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan
jenggot. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
3. Tinea kruris, pada daerah genitokrural, Sederhana (Objective)
sekitar anus, bokong, dan perut bagian
bawah. Pemeriksaan Fisik
4. Tinea pedis et manum, pada kaki dan Gambaran umum:
tangan.
5. Tinea unguium, pada kuku jari tangan dan Lesi berbentuk infiltrat eritematosa, berbatas
kaki. tegas, dengan bagian tepi yang lebih aktif
6. Tinea korporis, pada bagian lain yang tidak daripada bagian tengah, dan konfigurasi
termasuk bentuk 5 tinea di atas. Bila terjadi polisiklik. Lesi dapat dijumpai di daerah kulit
di seluruh tubuh disebut dengan tinea berambut terminal, berambut velus (glabrosa)
imbrikata. dan kuku.

Tinea pedis banyak didapatkan pada orang yang Pemeriksaan Penunjang


dalam kehdupan sehari-hari banyak memakai
Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan
sepatu tertutup disertai perawatan kaki yang mikroskopis dengan KOH, akan ditemukan hifa
buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu
atau sering basah. Tinea kruris merupakan
panjang dan artrospora. 2. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan
topikal, yaitu dengan: antifungal topikal
Penegakan Diagnosis (Assessment) seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau
Diagnosis Klinis terbinafin yang diberikan hingga lesi hilang
dan dilanjutkan 1-2 minggu kemudian untuk
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis mencegah rekurensi.
dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan 3. Untuk penyakit yang tersebar luas atau
dilakukan pemeriksaan penunjang. resisten terhadap terapi topikal, dilakukan
Gambar 11.12 Dermatofitosis pengobatan sistemik dengan:
a. Griseofulvin dapat diberikan dengan
dosis 0,5-1 g per hari untuk orang
dewasa dan 0,25 – 0,5 g per hari untuk
anak- anak atau 10-25 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 2 dosis.
b. Golongan azol, seperti Ketokonazol:
200 mg/hari; Itrakonazol: 100 mg/hari
atau Terbinafin: 250 mg/hari.
Pengobatan diberikan selama 10-14 hari
pada pagi hari setelah makan.
Konseling dan Edukasi
Diagnosis Banding
Edukasi mengenai penyebab dan cara
Tinea Korporis : Dermatitis numularis, penularan penyakit. Edukasi pasien dan
Pytiriasis rosea, Erythema keluarga juga untuk menjaga higiene tubuh,
annulare centrificum, namun penyakit ini bukan merupakan penyakit
Granuloma annulare yang berbahaya.

Tinea Kruris : Kandidiasis, Dermatitis Kriteria rujukan Pasien


intertrigo, Eritrasma dirujuk apabila:
Tinea Pedis : Hiperhidrosis, Dermatitis 1. Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari
kontak, Dyshidrotic eczema setelah terapi.
Tinea Manum : Dermatitis kontak iritan, 2. Terdapat imunodefisiensi.
Psoriasis 3. Terdapat penyakit penyerta yang
menggunakan multifarmaka.
Tinea Fasialis : Dermatitis seboroik,
Dermatitis kontak Peralatan

Komplikasi 1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Jarang ditemukan, dapat berupa infeksi KOH
bakterial sekunder.
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pasien dengan imunokompeten, prognosis
Penatalaksanaan umumnya bonam, sedangkan pasien dengan
1. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian imunokompromais, quo ad sanationamnya
handuk/pakaian secara bersamaan harus menjadi dubia ad bonam.
dihindari.
Referensi Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.
Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical

11. PITIRIASIS VERSIKOLOR/ TINEA VERSIKOLOR


No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: B36.0 Pityriasis versicolor
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan bulat atau tidak beraturan dengan batas tegas


Tinea versikolor adalah penyakit infeksi pada atau tidak tegas. Skuama biasanya tipis seperti
superfisial kulit dan berlangsung kronis yang sisik dan kadangkala hanya dapat tampak
disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. dengan menggores kulit (finger nail sign).
Prevalensi penyakit ini tinggi pada daerah tropis
Predileksi di bagian atas dada, lengan, leher,
yang bersuhu hangat dan lembab.
perut, kaki, ketiak, lipat paha, muka dan kepala.
Hasil Anamnesis (Subjective) Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah
yang tertutup pakaian dan bersifat lembab.
Keluhan
Pemeriksaan Penunjang
Pasien pada umumnya datang berobat karena
tampak bercak putih pada kulitnya. Keluhan 1. Pemeriksaan lampu Wood menampakkan
gatal ringan muncul terutama saat pendaran (fluoresensi) kuning keemasan
berkeringat, namun sebagian besar pasien pada lesi yang bersisik.
asimptomatik. 2. Pemeriksaan mikroskopis sediaan kerokan
skuama lesi dengan KOH. Pemeriksaan ini
Faktor Risiko akan tampak campuran hifa pendek dan
1. Sering dijumpai pada dewasa muda spora-spora bulat yang dapat berkelompok
(kelenjar sebasea lebih aktif bekerja). (spaghetti and meatball appearance).
2. Cuaca yang panas dan lembab. Gambar 11.13 Tinea versikolor
3. Tubuh yang berkeringat.
4. Imunodefisiensi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Lesi berupa makula hipopigmentasi atau
berwarna-warni, berskuama halus, berbentuk
Penegakan Diagnosis (Assessment) tinggi (± 50% pasien). Infeksi jamur dapat
dibunuh dengan cepat tetapi membutuhkan
Diagnosis Klinis waktu berbulan-bulan untuk mengembalikan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pigmentasi ke normal. Untuk pencegahan,
dan pemeriksaan fisik. diusahakan agar pakaian tidak lembab dan tidak
berbagi dengan orang lain untuk penggunaan
Diagnosis Banding barang pribadi.
Vitiligo, Dermatitis seboroik, Pitiriasis alba, Kriteria Rujukan
Morbus hansen, Eritrasma
Sebagian besar kasus tidak memerlukan rujukan.
Komplikasi
Peralatan
Jarang terjadi.
1. Lup
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Penatalaksanaan KOH

1. Pasien disarankan untuk tidak Prognosis


menggunakan pakaian yang lembab dan Prognosis umumnya bonam.
tidak berbagi penggunaan barang pribadi
dengan orang lain. Referensi

2. Pengobatan terhadap keluhannya dengan: 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
a. Pengobatan topikal keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Suspensi selenium sulfida 1,8%, Kedokteran Universitas Indonesia.
dalam bentuk shampo yang digunakan 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2-3 kali seminggu. Obat ini digosokkan 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
pada lesi dan didiamkan selama 15-30 Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
menit sebelum mandi. Elsevier.
Derivat azol topikal, antara lain 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
mikonazol dan klotrimazol. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
b. Pengobatan sistemik diberikan apabila
penyakit ini terdapat
pada daerah yang luas atau jika
penggunaan obat topikal tidak berhasil.
Obat tersebut, yaitu: Ketokonazol per
oral dengan dosis 1x200 mg sehari
selama 10 hari, atau Itrakonazol per
oral dengan dosis 1 x 200 mg sehari
selama 5-7 hari (pada kasus kambuhan
atau tidak responsif dengan terapi
lainnya).
Konseling dan Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga bahwa pengobatan
harus dilakukan secara menyeluruh, tekun
dan konsisten, karena angka kekambuhan
12. PIODERMA
No. ICPC-2: S84 Impetigo
S76 Skin infection other
No. ICD-10: L01 Impetigo
L02 Cutaneous abscess, furuncle and carbuncle L08.0 Pyoderma
Tingkat Kemampuan : Folikulitis superfisialis 4A, Furunkel, Furunkulosis dan Karbunkel 4A Impetigo krustosa (im

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis Sederhana (Objective)
dan subkutis) yang disebabkan oleh bakteri
gram positif dari golongan Stafilokokus dan Folikulitis adalah peradangan folikel rambut
yang ditandai dengan papul eritema perifolikuler
Streptokokus. Pioderma merupakan penyakit
yang sering dijumpai. Di Bagian Ilmu Penyakit dan rasa gatal atau perih.
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan
Universitas Indonesia, insidennya menduduki jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau
peringkat ketiga, dan berhubungan erat dengan pustul perifolikuler dengan eritema di
keadaaan sosial ekonomi. Penularannya melalui sekitarnya dan disertai rasa nyeri.
kontak langsung dengan agen penyebab.
Furunkulosis adalah beberapa furunkel yang
Hasil Anamnesis (Subjective) tersebar.
Keluhan Karbunkel adalah kumpulan dari beberapa
furunkel, ditandai dengan beberapa furunkel
Pasien datang mengeluh adanya koreng atau
yang berkonfluensi membentuk nodus
luka di kulit
bersupurasi di beberapa puncak.
1. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil
Impetigo krustosa (impetigo contagiosa) adalah
yang gatal, dapat berisi cairan atau nanah
peradangan yang memberikan gambaran vesikel
dengan dasar dan pinggiran sekitarnya
yang dengan cepat berubah menjadi pustul
kemerahan. Keluhan ini dapat meluas
dan pecah sehingga menjadi krusta kering
menjadi bengkak disertai dengan rasa nyeri.
kekuningan seperti madu. Predileksi spesifik lesi
2. Bintil kemudian pecah dan menjadi terdapat di sekitar lubang hidung, mulut, telinga
keropeng/koreng yang mengering, keras atau anus.
dan sangat lengket.
Impetigo bulosa adalah peradangan yang
Faktor risiko: memberikan gambaran vesikobulosa dengan
lesi bula hipopion (bula berisi pus).
1. Higiene yang kurang baik
2. Defisiensi gizi Ektima adalah peradangan yang menimbulkan
kehilangan jaringan dermis bagian atas (ulkus
3. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah) dangkal).
Gambar 11.14 Furunkel tinggi, sakit kepala, mual muntah, dan nyeri
sendi. Pada pemeriksaan darah rutin dapat
dijumpai leukositosis 20.000/mm3 atau
lebih.
2. Selulitis adalah peradangan supuratif
yang menyerang subkutis, ditandai dengan
peradangan lokal, infiltrate eritema
berbatas tidak tegas, disertai dengan rasa
nyeri tekan dan gejala prodromal tersebut
di atas.
3. Ulkus
4. Limfangitis
Gambar 11.15 Ektima 5. Limfadenitis supuratif
6. Bakteremia (sepsis)
Penatalaksanaan Komprehensif
(Plan) Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dengan menjaga higiene,
nutrisi TKTP dan stamina tubuh.
2. Farmakoterapi dilakukan dengan:
a. Topikal:
Bila banyak pus/krusta, dilakukan
kompres terbuka dengan permanganas
Pemeriksaan Penunjang
kalikus (PK) 1/5.000 atau yodium
1. Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari povidon 7,5% yang dilarutkan 10 kali.
dasar lesi dengan pewarnaan Gram Bila tidak tertutup pus atau krusta,
2. Pemeriksaan darah rutin kadang-kadang diberikan salep atau krim asam fusidat
ditemukan leukositosis. 2% atau mupirosin 2%, dioleskan 2-3
kali sehari selama 7-10 hari.
Penegakan diagnostik (Assessment)
b. Antibiotik oral dapat diberikan dari
Diagnosis Klinis salah satu golongan di bawah ini:
1. Folikulitis Penisilin yang resisten terhadap
2. Furunkel penisilinase, seperti:
3. Furunkulosis kloksasilin. Dosis dewasa: 3 x 250-
4. Karbunkel 500 mg/hari, selama 5-7 hari, selama 5-
5. Impetigo bulosa dan krustosa 7 hari. Dosis anak: 50 mg/kgBB/hari
6. Ektima terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.
Komplikasi Amoksisilin dengan asam klavulanat.
Dosis dewasa: 3 x 250-500 mg Dosis
1. Erisipelas adalah peradangan epidermis anak: 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3
dan dermis yang ditandai dengan infiltrat dosis, selama 5-7 hari
eritema, edema, berbatas tegas, dan
disertai dengan rasa panas dan nyeri. Klindamisin 4 x 150 mg per hari,
Onset penyakit ini sering didahului dengan pada infeksi berat dosisnya 4 x 300-
gejala prodromal berupa menggigil, panas 450 mg per hari.
Eritromisin: dosis dewasa: 4 x 250-500
mg/hari, anak: 20-50 mg/kgBB/hari Peralatan
terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari.
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
Sefalosporin, misalnya sefadroksil darah rutin dan pemeriksaan Gram
dengan dosis 2 x 500 mg atau 2 x 1000
mg per hari. Prognosis
c. Insisi untuk karbunkel yang Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi,
menjadi abses untuk membersihkan prognosis umumnya bonam, bila dengan
eksudat dan jaringan nekrotik. komplikasi, prognosis umumnya dubia ad
Konseling dan Edukasi bonam.

Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan Referensi


penyakit dengan menjaga kebersihan diri dan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
stamina tubuh. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kriteria Rujukan keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Pasien dirujuk apabila terjadi:
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
1. Komplikasi mulai dari selulitis. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
2. Tidak sembuh dengan pengobatan selama Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
5-7 hari. Elsevier.
3. Terdapat penyakit sistemik (gangguan
metabolik endokrin dan imunodefisiensi). 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta

13. ERISIPELAS
No. ICPC-2: S 76Skin infection order No. ICD-10: A 46 Erysipelas
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Erisipelas adalah penyakit infeksi bakteri
akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus, Keluhan
melibatkan dermis atas dengan tanda khas Terdapat gejala konstitusi seperti demam dan
meluas ke limfatik kutaneus superfisial. malaise sebelum terjadinya lesi pada kulit.
Erisipelas pada wajah kebanyakan disebabkan Gejala umum pada lesi didapatkan gatal, rasa
oleh streptococcus grup A, sedangkan erisipelas terbakar, nyeri dan bengkak. Didahului trauma
pada ekstremitas bawah kebanyakan atau riwayat faringitis.
disebabkan oleh streptococcus non grup A.
Di perkirakan 85% kasus erisipelas terjadi pada Faktor Risiko:
ekstremitas bawah.
1. Penderita Diabetes Mellitus
Erisipelas kebanyakan terjadi pada wanita, 2. Higiene buruk
akan tetapi pada usia muda lebih sering terjadi
3. Gizi kurang
pada pria. Insidens tertinggi dilaporkan pada
pasien berusia 60 – 80 tahun khususnya pada 4. Gangguan saluran limfatik
pasien dengan gangguan saluran limfatik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Ganggren, Edema kronis, terjadi scar, sepsis,
Sederhana (Objective) demam Scarlet, Pneumonia, Abses, Emboli,
Meningitis
Pemeriksaan Fisik
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Lokasi : kaki, tangan dan wajah
Penatalaksanaan
Efloresensi : eritema yang berwarna merah
cerah, berbatas tegas, dan 1. Istirahat
pinggirnya meninggi dengan 2. Tungkai bawah dan kaki yang diserang
tanda-tanda radang akut. Dapat ditinggikan
disertai edema, vesikel dan bula.
Pengobatan sistemik :
Gambar 11.16 Erisipelas pada wajah
1. Analgetik antipiretik
2. Antibiotik :
a. Penisilin 0,6 – 1,5 mega unit 5-10 hari
b. Sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari
Rencana tindak lanjut :
1. Memantau terjadinya komplikasi
2. Mencegah faktor risiko
Konseling dan Edukasi
1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol
gula darah
Gambar 11.17 Erisipelas pada kaki
2. Menjaga kebersihan badan
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
darah rutin.
Prognosis
Dubia ad bonam
Pemeriksaan Penunjang Referensi
Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis 1. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-
Penegakan Diagnostik (Assessment) medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Diagnosis Klinis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
Universitas Indonesia.
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
3. Pereira de Godoy JM, et al. Epidemiological
Diagnosis Banding: Selulitis, Urtikaria Data And Comorbidities Of 428 Patients
Hospitalized With Erysipelas. Angiology.
Komplikasi: Jul 2010;61(5):492-4
14. DERMATITIS SEBOROIK
No. ICPC-2: S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10: L21 Seborrhoeic dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Bentuk klinis lain
Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang
Lesi berat: seluruh kepala tertutup oleh krusta,
digunakan untuk segolongan kelainan kulit
kotor, dan berbau (cradle cap).
yang didasari oleh faktor konstitusi (predileksi
di tempat-tempat kelenjar sebum). Dermatitis Pemeriksaan Penunjang
seboroik berhubungan erat dengan keaktifan
glandula sebasea. Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gambar 11.18 Dermatitis seboroik pada kulit
Keluhan kepala
Pasien datang dengan keluhan munculnya
bercak merah dan kulit kasar. Kelainan awal
hanya berupa ketombe ringan pada kulit kepala
(pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa
keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa
gatal.
Faktor Risiko
Genetik, faktor kelelahan, stres emosional ,
infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih
sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan
usia 18-40 tahun, kurang tidur Penegakan Diagnostik (Assessment)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnosis Klinis


Sederhana (Objective)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan fisik.

Tanda patognomonis Diagnosis Banding

1. Papul sampai plak eritema Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda


2. Skuama berminyak agak kekuningan Auspitz, skuama tebal seperti mika), Kandidosis
3. Berbatas tidak tegas (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna
merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit
Lokasi predileksi disekitarnya), Otomikosis, Otitis eksterna.
Kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang Komplikasi
leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar,
lipat naso labial, sternal, areola mammae, Pada anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit
lipatan bawah mammae pada wanita, Leiner atau eritroderma.
interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah
angogenital.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) perlu dipertimbangkan pemberian
ketokonazol krim 2%.
Penatalaksanaan
b. Oral sistemik
1. Pasien diminta untuk memperhatikan
• Antihistamin sedatif yaitu:
faktor predisposisi terjadinya keluhan,
klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per
misalnya stres emosional dan kurang tidur. hari selama 2 minggu, setirizin 1 x
Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi
10 mg per hari selama 2 minggu.
makanan rendah lemak.
• Antihistamin non sedatif yaitu:
2. Farmakoterapi dilakukan dengan: loratadin 1x10 mgselama maksimal 2
minggu.
a. Topikal
Bayi: Konseling dan Edukasi
• Pada lesi di kulit kepala bayi 1. Memberitahukan kepada orang tua untuk
diberikan asam salisilat 3% dalam menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat
minyak kelapa atau vehikulum yang kulit kepala bayi.
larut air atau kompres minyak
2. Memberitahukan kepada orang tua bahwa
kelapa hangat 1 kali sehari selama
kelainan ini umumnya muncul p a d
beberapa hari.
a bulan-bulan pertama kehidupan dan
• Dilanjutkan dengan krim membaik seiring dengan pertambahan usia.
hidrokortison 1% atau lotion selama
3. Memberikan informasi bahwa penyakit ini
beberapa hari.
sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol
• Selama pengobatan, rambut tetap dengan mengontrol emosi dan psikisnya.
dicuci.
Kriteria Rujukan
Dewasa:
• Pada lesi di kulit kepala, diberikan Pasien dirujuk apabila tidak ada perbaikan
shampo selenium sulfida 1,8 dengan pengobatan standar.
atau shampo ketokonazol 2%, zink Peralatan: -
pirition (shampo anti ketombe),
atau pemakaian preparat ter (liquor Prognosis
carbonis detergent) 2-5 % dalam
Prognosis pada umumnya bonam, sembuh tanpa
bentuk salep dengan frekuensi 2-3
komplikasi.
kali seminggu selama 5-15 menit per
hari. Referensi
• Pada lesi di badan diberikan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
kortikosteroid topikal: Desonid krim Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
0,05% (catatan: bila tidak tersedia kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
dapat digunakan fluosinolon asetonid Kedokteran Universitas Indonesia.
krim 0,025%) selama maksimal 2
minggu. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
• Pada kasus dengan manifestasi Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
dengan inflamasi yang lebih berat Elsevier.
diberikan kortikosteroid kuat
misalnya betametason valerat krim 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
0,1%. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
• Pada kasus dengan infeksi jamur,
15. DERMATITIS ATOPIK
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S87 Dermatitis/atopic eczema
: L20 Atopic dermatitis
Tingkat Kemampuan Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant) 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Pemicu
Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit
1. Makanan: telur, susu, gandum, kedelai, dan
berulang dan kronis dengan disertai gatal.
kacang tanah.
Pada umumnya terjadi selama masa bayi dan
anak-anak dan sering berhubungan dengan 2. Tungau debu rumah
peningkatan kadar IgE dalam serum serta
riwayat atopi pada keluarga atau penderita. 3. Sering mengalami infeksi di saluran napas
Sinonim dari penyakit ini adalah eczema atas (kolonisasi Staphylococus aureus)
atopik, eczema konstitusional, eczema fleksural, Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier. Sederhana (Objective)
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Kulit
Keluhan penderita DA:

Pasien datang dengan keluhan gatal yang 1. Kering pada perabaan


bervariasi lokasinya tergantung pada jenis 2. Pucat/redup
dermatitis atopik (lihat klasifikasi). 3. Jari tangan teraba dingin
4. Terdapat papul, likenifikasi, eritema, erosi,
Gejala utama DA adalah pruritus, dapat hilang eksoriasi, eksudasi dan krusta pada lokasi
timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih predileksi
hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk. Lokasi predileksi:

Pasien biasanya juga mempunyai riwayat sering 1. Tipe bayi (infantil)


merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau a. Dahi, pipi, kulit kepala, leher,
merasa tertekan. pergelangan tangan dan tungkai, serta
lutut (pada anak yang mulai
Faktor Risiko merangkak).
b. Lesi berupa eritema, papul vesikel halus,
1. Wanita lebih banyak menderita DA
eksudatif, krusta.
dibandingkan pria (rasio 1,3 :1).
2. Tipe anak
2. Riwayat atopi pada pasien dan atau
keluarga (rhinitis alergi, konjungtivitis a. Lipat siku, lipat lutut, pergelangan
alergi/vernalis, asma bronkial, dermatitis tangan bagian dalam, kelopak mata,
leher, kadang-kadang di wajah.
atopik, dan lain- lain).
b. b. Lesi berupa papul, sedikit
3. Faktor lingkungan: jumlah keluarga kecil,
eksudatif, sedikit skuama, likenifikasi,
pendidikan ibu semakin tinggi, penghasilan
meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan erosi. Kadang-kadang disertai pustul.
meningkatnya penggunaan antibiotik. 3. Tipe remaja dan dewasa
4. Riwayat sensitif terhadap wol, bulu kucing, a. Lipat siku, lipat lutut, samping
anjing, ayam, burung, dan sejenisnya. leher, dahi, sekitar mata, tangan dan
pergelangan tangan, kadang-kadang
ditemukan setempat misalnya bibir
mulut, bibir kelamin, puting susu, atau
kulit kepala. 3. Dermatitis di fleksura pada dewasa
b. Lesi berupa plak papular eritematosa, 4. Dermatitis kronis atau berulang
skuama, likenifikasi, kadang- 5. Riwayat atopi pada penderita atau
kadang erosi dan eksudasi, terjadi keluarganya
hiperpigmentasi.
Kriteria minor:
Berdasarkan derajat keparahan terbagi menjadi:
1. Xerosis
1. DA ringan : apabila mengenai < 10% luas 2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus atau
permukaan kulit. virus herpes simpleks)
2. DA sedang : apabila mengenai 10-50% luas 3. Iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis
permukaan kulit. piliaris
3. 3. DA berat : apabila mengenai > 50% luas 4. Pitriasis alba
permukaan kulit. Tanpa penyulit (umumnya 5. Dermatitis di papilla mamae
tidak diikuti oleh infeksi sekunder). 6. White dermogrhapism dan delayed blanch
response
Dengan penyulit (disertai infeksi sekunder atau
7. Kelilitis
meluas dan menjadi rekalsitran (tidak membaik
8. Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
dengan pengobatan standar).
9. Konjungtivitis berulang
Gambar 11.19 Dermatitis atopik 10. Keratokonus
11. Katarak subskapsular anterior
12. Orbita menjadi gelap
13. Muka pucat atau eritem
14. Gatal bila berkeringat
15. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
16. Aksentuasi perifolikular
17. Hipersensitif terhadap makanan
18. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan atau emosi
19. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
20. Kadar IgE dalam serum meningkat
21. Mulai muncul pada usia dini
Pemeriksaan Penunjang
Pada bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi
Pemeriksaan IgE serum (bila diperlukan dan
menjadi:
dapat dilakukan di fasilitas pelayanan Tingkat
Pertama) 1. Tiga kriteria mayor berupa:
a. Riwayat atopi pada keluarga
Penegakan Diagnostik (Assessment)
b. Dermatitis pada muka dan ekstensor
Diagnosis Klinis c. Pruritus
2. Serta tiga kriteria minor berupa:
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis a. Xerosis / iktiosis / hiperliniaris palmaris,
dan pemeriksaan fisik harus terdiri dari 3 aksentuasi perifolikular
kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria b. Fisura di belakang telinga
Williams (1994) di bawah ini. c. Skuama di scalp kronis
Kriteria mayor: Diagnosis banding
1. Pruritus Dermatitis seboroik (terutama pada bayi),
2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada Dermatitis kontak, Dermatitis numularis,
bayi dan anak
Skabies, Iktiosis , Psoriasis (terutama di daerah dapat diberikan golongan
palmoplantar), Sindrom Sezary, Dermatitis betametason valerat krim 0,1% atau
herpetiformis Pada bayi, diagnosis banding, mometason furoat krim 0,1%.
yaitu Sindrom imunodefisiensi (misalnya • Pada kasus infeksi sekunder,
sindrom Wiskott-Aldrich), Sindrom hiper IgE perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal atau sistemik bila
Komplikasi
lesi meluas.
1. Infeksi sekunder b. Oral sistemik
2. Perluasan penyakit (eritroderma) • Antihistamin sedatif: klorfeniramin
maleat 3 x 4 mg per hari selama
Penatalaksanaan Komprehensif maksimal 2 minggu atau setirizin 1
(Plan) Penatalaksanaan x 10 mg per hari selama maksimal 2
minggu.
1. Penatalaksanaan dilakukan dengan • Antihistamin non sedatif: loratadin
modifikasi gaya hidup, yaitu: 1x10 mg per hari selama maksimal 2
a. Menemukan faktor risiko. minggu.
b. Menghindari bahan-bahan yang
bersifat iritan termasuk pakaian Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila
seperti wol atau bahan sintetik. diperlukan)
c. Memakai sabun dengan pH netral dan Pemeriksaan untuk menegakkan atopi, misalnya
mengandung pelembab. skin prick test/tes uji tusuk pada kasus dewasa.
d. Menjaga kebersihan bahan pakaian.
e. Menghindari pemakaian bahan kimia Konseling dan Edukasi
tambahan.
1. Penyakit bersifat kronis dan berulang
f. Membilas badan segera setelah
sehingga perlu diberi pengertian kepada
selesai berenang untuk menghindari
seluruh anggota keluarga untuk
kontak klorin yang terlalu lama.
menghindari faktor risiko dan melakukan
g. Menghindari stress psikis.
perawatan kulit secara benar.
h. Menghindari bahan pakaian terlalu
2. Memberikan informasi kepada keluarga
tebal, ketat, kotor.
bahwa prinsip pengobatan adalah
i. Pada bayi, menjaga kebersihan di
menghindari gatal, menekan proses
daerah popok, iritasi oleh kencing
peradangan, dan menjaga hidrasi kulit.
atau feses, dan hindari pemakaian
3. Menekankan kepada seluruh anggota
bahan-bahan medicatedbaby oil.
keluarga bahwa modifikasi gaya hidup
j. Menghindari pembersih yang
tidak hanya berlaku pada pasien, juga
mengandung antibakteri karena
harus menjadi kebiasaan keluarga secara
menginduksi resistensi.
keseluruhan.
2. Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi
diberikan dengan: Rencana tindak lanjut
a. Topikal (2 kali sehari)
• Pada lesi di kulit kepala, diberikan 1. Diperlukan pengobatan pemeliharaan
kortikosteroid topikal, seperti: setelah fase akut teratasi.
Desonid krim 0,05% (catatan: bila Pengobatan pemeliharaan dengan
tidak tersedia dapat digunakan kortikosteroid topikal jangka panjang (1 kali
fluosinolon asetonid krim 0,025%) sehari) dan penggunaan krim pelembab 2
selama maksimal 2 minggu. kali sehari sepanjang waktu.
• Pada kasus dengan manifestasi klinis 2. Pengobatan pemeliharaan dapat diberikan
likenifikasi dan hiperpigmentasi, selama maksimal 4 minggu.
3. Pemantauan efek samping kortikosteroid. Prognosis
Bila terdapat efek samping, kortikosteroid
dihentikan. Prognosis pada umumnya bonam, dapat
terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Kriteria Rujukan
Referensi
1. Dermatitis atopik luas dan berat
2. Dermatitis atopik rekalsitran atau 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
dependent steroid Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
3. Bila diperlukan skin prick test/tes uji tusuk kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
4. Bila gejala tidak membaik dengan Kedokteran Universitas Indonesia.
pengobatan standar selama 4 minggu 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
5. Bila kelainan rekalsitran atau meluas sampai 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
eritroderma Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Peralatan
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik.
mendiagnosis penyakit ini. Jakarta.

16. DERMATITIS NUMULARIS


No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L20.8 Other atopic dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Dermatitis numularis adalah dermatitis
Pria, usia 55-65 tahun (pada wanita 15-25
berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong,
tahun), riwayat trauma fisis dan kimiawi
berbatas tegas, dengan efloresensi berupa
(fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga
dengan lesi utama), riwayat dermatitis kontak
basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada
alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus
orang dewasa lebih sering terjadi pada pria
dermatitis numularis anak, stress emosional,
daripada wanita. Usia puncak awitan pada
minuman yang mengandung alkohol,
kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun,
lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat
pada wanita usia puncak terjadi juga pada
infeksi kulit sebelumnya
usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis
tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun, Sederhana (Objective)
umumnya kejadian meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Pemeriksaan Fisik

Hasil Anamnesis (Subjective) Tanda patognomonis

Keluhan 1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel


(0,3 – 1 cm), berbentuk uang logam,
Bercak merah yang basah pada predileksi eritematosa, sedikit edema, dan berbatas
tertentu dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul tegas.
dan sering kambuh. 2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah
pecah, kemudian mengering menjadi krusta basah) sampai lesi mengering.
kekuningan. • Kemudian terapi dilanjutkan dengan
3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak kortikosteroid topikal: Desonid krim
dan tersebar, bilateral, atau simetris, 0,05% (catatan: bila tidak tersedia
dengan ukuran yang bervariasi. dapat digunakan f l u o s i n o l o n
Tempat predileksi terutama di tungkai asetonid krim 0,025%) selama
bawah, badan, lengan, termasuk punggung maksimal 2 minggu.
tangan. • Pada kasus dengan manifestasi
klinis likenifikasi dan
Gambar 11.20 Dermatitis numularis
hiperpigmentasi, dapat diberikan
golongan Betametason valerat krim
0,1% atau Mometason furoat krim
0,1%).
• Pada kasus infeksi sekunder,
perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal atau sistemik bila
lesi meluas.
b. Oral sistemik
• Antihistamin sedatif: klorfeniramin
maleat 3 x 4 mg per hari selama
Pemeriksaan Penunjang maksimal 2 minggu atau setirizin 1
x 10 mg per hari selama maksimal 2
Tidak diperlukan, karena manifestasi klinis jelas minggu.
dan klasik.
• Antihistamin non sedatif: loratadin
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1x10 mg per hari selama maksimal
2 minggu.
Diagnosis Klinis
c. Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis antibiotik topikal atau antibiotik
dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding sistemik bila lesi luas.
Dermatitis kontak, Dermatitis atopi, Komplikasi
Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis
Infeksi sekunder
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Konseling dan Edukasi
Penatalaksanaan
1. Memberikan edukasi bahwa kelainan
1. Pasien disarankan untuk menghindari bersifat kronis dan berulang sehingga
faktor yang mungkin memprovokasi seperti penting untuk pemberian obat topikal
stres dan fokus infeksi di organ lain. rumatan.
2. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu: 2. Mencegah terjadinya infeksi sebagai faktor
risiko terjadinya relaps.
a. Topikal (2 kali sehari)
• Kompres terbuka dengan larutan Kriteria Rujukan
permanganas kalikus 1/10.000,
1. Apabila kelainan tidak membaik dengan
menggunakan 3 lapis kasa bersih,
pengobatan topikal standar.
selama masing-masing 15-20 menit/
2. Apabila diduga terdapat faktor penyulit
kali kompres (untuk lesi madidans/
lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, Referensi
maka konsultasi danatau disertai rujukan
kepada dokter spesialis terkait (contoh: 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
gigi mulut, THT, obgyn, dan lain-lain) untuk Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
penatalaksanaan fokus infeksi tersebut. keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Peralatan 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
mendiagnosis penyakit dermatitis numularis. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Prognosis
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Prognosis pada umumnya bonam apabila Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
kelainan ringan tanpa penyulit, dapat sembuh Jakarta.
tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat
dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia
ad bonam.

17. LIKEN SIMPLEKS KRONIK (NEURODERMATITIS SIRKUMKRIPTA)


No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L28.0 Lichen simplex chronicus
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Wanita lebih sering ditemukan dibandingkan
Liken simpleks kronik atau yang sering disebut pria, dengan puncak insidens 30-50 tahun.
juga dengan neurodermatitis sirkumkripta
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
adalah kelainan kulit berupa peradangan
Sederhana (Objective)
kronis, sangat gatal berbentuk sirkumskrip
dengan tanda berupa kulit tebal dan menonjol Pemeriksaan Fisik
menyerupai kulit batang kayu akibat garukan
dan gosokan yang berulang-ulang. Penyebab Tanda Patognomonis
kelainan ini belum diketahui. Prevalensi 1. Lesi biasanya tunggal, namun dapat lebih
tertinggi penyakit ini pada orang yang berusia dari satu.
30-50 tahun dan lebih sering terjadi pada 2. Dapat terletak dimana saja yang mudah
wanita dibandingkan pada pria. dicapai tangan. Biasanya terdapat di
Hasil Anamnesis (Subjective) daerah tengkuk, sisi leher, tungkai bawah,
pergelangan kaki, kulit kepala, paha bagian
Keluhan medial, lengan bagian ekstensor, skrotum
dan vulva.
Pasien datang dengan keluhan gatal sekali pada
3. Awalnya lesi berupa eritema dan edema
kulit, tidak terus menerus, namun dirasakan
atau kelompok papul, kemudian karena
terutama malam hari atau waktu tidak sibuk.
garukan berulang, bagian tengah menebal,
Bila terasa gatal, sulit ditahan bahkan hingga
kering, berskuama serta pinggirnya
harus digaruk sampai luka baru gatal hilang
mengalami hiperpigmentasi. Bentuk
untuk sementara.
umumnya lonjong, mulai dari lentikular
Faktor Risiko sampai plakat.
Gambar 11.21 Liken simpleks kronis Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga mengenai
kondisi pasien dan penanganannya.
2. Menyarankan pasien untuk melakukan
konsultasi dengan psikiatri dan mencari
kemungkinan penyakit lain yang mendasari
penyakit ini.
Kriteria Rujukan
Rujukan dilakukan dengan tujuan untuk
mengatasi penyebab lain yang mendasari
penyakit dengan berkonsultasi kepada psikiatri
Pemeriksaan Penunjang atau dokter spesialis kulit.
Tidak diperlukan Peralatan
Penegakan Diagnostik (Assessment) Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
Diagnosis Klinis mendiagnosis penyakit liken simpleks kronik.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Prognosis


dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Prognosis pada umumnya bonam, namun quo
Dermatitis atopik, Dermatitis kontak, Liken ad sanationamnya adalah dubia ad bonam.
planus, Dermatitis numularis Referensi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Penatalaksanaan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
1. Pasien disarankan agar tidak terus menerus Kedokteran Universitas Indonesia.
menggaruk lesi saat gatal, serta mungkin
perlu dilakukan konsultasi dengan psikiatri. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
2. Prinsip pengobatan yaitu mengupayakan
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
agar penderita tidak terus menggaruk
Elsevier.
karena gatal, dengan pemberian:
a. Antipruritus: antihistamin dengan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
efek sedatif, seperti hidroksisin 10-50 Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
mg setiap 4 jam, difenhidramin 25-50 mg Jakarta.
setiap 4-6 jam (maksimal 300 mg/
hari), atau klorfeniramin maleat (CTM) 4
mg setiap 4-6 jam (maksimal 24 mg/hari).
b. Glukokortikoid topikal, antara lain:
betametason dipropionat salep/krim
0,05% 1-3 kali sehari, metilprednisolon
aseponat salep/krim 0,1% 1-2 kali sehari,
atau mometason furoat salep/krim 0,1%
1 kali sehari. Glukokortikoid dapat
dikombinasi dengan tar untuk efek
antiinflamasi.
18. DERMATITIS KONTAK ALERGIK
No. ICPC-2: S88 Dermatitis contact/allergic No. ICD-10: L23 Allergic contact dermatitis
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
Pemeriksaan Fisik
Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi
Tanda Patognomonis
peradangan kulit imunologik karena reaksi
hipersensitivitas. Kerusakan kulit terjadi Tanda yang dapat diobservasi sama seperti
didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen dermatitis pada umumnya tergantung pada
(fase sensitisasi) yang umumnya berlangsung 2- kondisi akut atau kronis. Lokasi dan pola
3 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan kelainan kulit penting diketahui untuk
alergen yang sama atau serupa, periode hingga mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya,
terjadinya gejala klinis umumnya 24-48 jam seperti di ketiak oleh deodoran, di pergelangan
(fase elisitasi). Alergen paling sering berupa tangan oleh jam tangan, dan seterusnya.
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari
500-1000 Da. DKA terjadi dipengaruhi oleh Faktor Predisposisi
adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan dan Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap
luasnya penetrasi di kulit. suatu bahan yang bersifat alergen.
Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang
Keluhan Tidak diperlukan
Keluhan kelainan kulit berupa gatal. Kelainan Penegakan Diagnostik (Assessment)
kulit bergantung pada keparahan dermatitis.
Keluhan dapat disertai timbulnya bercak Diagnosis Klinis
kemerahan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hal yang penting ditanyakan adalah dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding
riwayat kontak dengan bahan- bahan yang
Dermatitis kontak iritan.
berhubungan dengan riwayat pekerjaan, hobi,
obat topikal yang pernah digunakan, obat Komplikasi
sistemik, kosmetik, bahan- bahan yang dapat
menimbulkan alergi, serta riwayat alergi di Infeksi sekunder
keluarga Gambar 11.22 Dermatitis kontak alergik
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan
oleh bahan alergen.
2. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada
waktu tertentu.
3. Riwayat dermatitis atopik atau riwayat
atopi pada diri dan keluarga
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4 minggu setelah pengobatan standar dan
sudah menghindari kontak.
Penatalaksanaan
Peralatan
1. Keluhan diberikan farmakoterapi berupa:
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
a. Topikal (2 kali sehari) mendiagnosis penyakit dermatitis kontak alergi.
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
Prognosis
• Kortikosteroid: Desonid krim 0,05%
(catatan: bila tidak tersedia dapat Prognosis pada umumnya bonam, sedangkan
digunakan Fluosinolon asetonid quo ad sanationam adalah dubia ad malam
krim 0,025%). (bila sulit menghindari kontak dan dapat
• Pada kasus dengan manifestasi klinis menjadi kronis).
likenifikasi dan hiperpigmentasi, Referensi
dapat diberikan golongan
Betametason valerat krim 0,1% atau 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Mometason furoat krim 0,1%). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
• Pada kasus infeksi sekunder, kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
perlu dipertimbangkan pemberian Kedokteran Universitas Indonesia.
antibiotik topikal. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
b. Oral sistemik 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
per hari selama maksimal 2 minggu, Elsevier.
atau 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
• Loratadin 1x10 mg per hari selama Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
maksimal 2 minggu. Jakarta.

2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko,


menghindari bahan- bahan yang bersifat
alergen, baik yang bersifat kimia, mekanis,
dan fisis, memakai sabun dengan pH netral
dan mengandung pelembab serta memakai
alat pelindung diri untuk menghindari
kontak alergen saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan alergen
di rumah saat mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.
2. Edukasi menggunakan alat pelindung diri
seperti sarung tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Kriteria rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch
test.
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam
19. DERMATITIS KONTAK IRITAN
No. ICPC-2: S88 Dermatitis contact/allergic No. ICD-10: L24 Irritant contact dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kondisi akut atau kronis. Selengkapnya dapat
Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi dilihat pada bagian klasifikasi.
peradangan kulit non- imunologik. Kerusakan
Faktor Predisposisi
kulit terjadi secara langsung tanpa didahului
oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap
oleh semua orang tanpa memandang usia, suatu bahan yang bersifat iritan.
jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya
dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat Pemeriksaan Penunjang
iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak Tidak diperlukan
pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang
biasanya berhubungan dengan pekerjaan. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis
Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Keluhan di kulit dapat beragam, tergantung
pada sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala Gambar 11.23 Dermatitis kontak iritan
akut, sedangkan iritan lemah memberikan
gejala kronis. Gejala yang umum dikeluhkan
adalah perasaan gatal dan timbulnya bercak
kemerahan pada daerah yang terkena kontak
bahan iritan. Kadang-kadang diikuti oleh rasa
pedih, panas, dan terbakar.
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan
oleh bahan iritan
2. Riwayat kontak dengan bahan iritan pada
waktu tertentu Klasifikasi
3. Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru
masak, kuli bangunan, montir, penata Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-
rambut faktor tertentu, DKI dibagi menjadi:
4. Riwayat dermatitis atopik 1. DKI akut:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan
Sederhana (Objective) asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida
(HCl), termasuk luka bakar oleh bahan
Pemeriksaan Fisik
kimia.
Tanda patognomonis b. Lesi berupa: eritema, edema, bula,
kadang disertai nekrosis.
Tanda yang dapat diobservasi sama seperti
dermatitis pada umumnya, tergantung pada
c. Tepi kelainan kulit berbatas tegas rambut dan pekerja logam dalam
dan pada umumnya asimetris. beberapa bulan pertama, kelainan kulit
2. DKI akut lambat: monomorfik (efloresensi tunggal)
dapat berupa eritema, skuama, vesikel,
a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24
pustul, dan erosi.
jam atau lebih setelah kontak.
b. Umumnya dapat sembuh sendiri,
b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan
namun menimbulkan penebalan kulit,
DKI tipe ini diantaranya adalah
dan kadang-kadang berlanjut menjadi
podofilin, antralin, tretionin, etilen
DKI kumulatif.
oksida, benzalkonium klorida, dan asam
hidrofluorat. 5. DKI traumatik:
c. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu a. Kelainan kulit berkembang lambat
serangga yang terbang pada malam hari setelah trauma panas atau laserasi.
(dermatitis venenata), penderita baru b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi
merasa pedih keesokan harinya, pada akut dan basah).
awalnya terlihat eritema, dan pada c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6
sore harinya sudah menjadi vesikel minggu.
atau bahkan nekrosis.
d. Lokasi predileksi paling sering terjadi di
3. DKI kumulatif/ DKI kronis: tangan.
a. Penyebabnya adalah kontak berulang- 6. DKI non eritematosa:
ulang dengan iritan lemah (faktor
fisis misalnya gesekan, trauma minor, Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai
kelembaban rendah, panas atau dingin, dengan perubahan fungsi sawar stratum
faktor kimia seperti deterjen, sabun, korneum, hanya ditandai oleh skuamasi
pelarut, tanah dan bahkan air). ringan tanpa disertai kelainan klinis lain.

b. Umumnya predileksi ditemukan di 7. DKI subyektif/ DKI sensori:


tanganterutama pada pekerja. Kelainan kulit tidak terlihat, namun
c. Kelainan baru muncul setelah kontak penderita merasa seperti tersengat (pedih)
dengan bahan iritan berminggu- atau terbakar (panas) setelah kontak
minggu atau bulan, bahkan bisa dengan bahan kimia tertentu, misalnya
bertahun-tahun kemudian sehingga asam laktat.
waktu dan rentetan kontak merupakan Diagnosis Banding
faktor penting.
Dermatitis kontak alergi
d. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur),
misalnya pada kulit tumit tukang cuci Komplikasi
yang mengalami kontak terus-menerus
dengan deterjen. Keluhan penderita Infeksi sekunder.
umumnya rasa gatal atau nyeri karena Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan
hanya berupa kulit kering atau skuama Penatalaksanaan
tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh
1. Keluhan dapat diatasi dengan pemberian
penderita.
farmakoterapi, berupa:
4. Reaksi iritan:
a. Topikal (2 kali sehari)
a. Merupakan dermatitis subklinis pada
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
seseorang yang terpajan dengan
pekerjaan basah, misalnya penata • Kortikosteroid: Desonid krim 0,05%
(catatan: bila tidak tersedia dapat
digunakan fluosinolon asetonid Prognosis
krim 0,025%).
Prognosis pada umumnya bonam. Pada
• Pada kasus DKI kumulatif dengan kasus DKI akut dan bisa menghindari kontak,
manifestasi klinis likenifikasi dan prognosisnya adalah bonam (sembuh tanpa
hiperpigmentasi, dapat diberikan komplikasi). Pada kasus kumulatif dan tidak
golongan betametason valerat krim bisa menghindari kontak, prognosisnya adalah
0,1% atau mometason furoat krim dubia.
0,1%).
• Pada kasus infeksi sekunder, Referensi
perlu dipertimbangkan pemberian 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
antibiotik topikal. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
b. Oral sistemik kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg
per hari selama maksimal 2 minggu, 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
atau 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
• Loratadin 1x10 mg per hari selama Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
maksimal 2 minggu. Elsevier.
2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
menghindari bahan- bahan yang bersifat Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, Jakarta.
dan fisis, memakai sabun dengan pH netral
dan mengandung pelembab, serta memakai
alat pelindung diri untuk menghindari
kontak iritan saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan iritan
di rumah saat mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.
2. Edukasi untuk menggunakan alat pelindung
diri seperti sarung tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Kriteria Rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch
test
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam
4 minggu pengobatan standar dan sudah
menghindari kontak.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mendiagnosis penyakit dermatitis kontak iritan.
20. NAPKIN ECZEMA (DERMATITIS POPOK)
No. ICPC-2: S89 Diaper rash
No. ICD-10: L22 Diaper (napkin) dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
kadang pustul, lesi satelit (bila terinfeksi
Napkin eczema sering disebut juga dengan jamur).
dermatitis popok atau diaper rash adalah
Gambar 11.24 Napkin eczema
dermatitis di daerah genito-krural sesuai
dengan tempat kontak popok. Umumnya pada
bayi pemakai popok dan juga orang dewasa
yang sakit dan memakai popok. Dermatitis ini
merupakan salah satu dermatitis kontak iritan
akibat isi napkin (popok).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan gatal dan bercak
merah berbatas tegas mengikuti bentuk popok
yang berkontak, kadang-kadang basah dan Pemeriksaan Penunjang
membentuk luka.
Bila diduga terinfeksi jamur kandida, perlu
Faktor Risiko dilakukan pemeriksaan
1. Popok jarang diganti. KOH atau Gram dari kelainan kulit yang basah.
2. Kulit bayi yang kering sebelum dipasang
popok. Penegakan Diagnostik (Assessment)
3. Riwayat atopi diri dan keluarga. Diagnosis Klinis
4. Riwayat alergi terhadap bahan plastik dan
kertas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Diagnosis Banding
Pemeriksaan Fisik 1. Penyakit Letterer-Siwe
2. Akrodermatitis enteropatika
Tanda patognomonis 3. Psoriasis infersa
1. Makula eritematosa berbatas agak tegas 4. Eritrasma Komplikasi Infeksi sekunder
(bentuk mengikuti bentuk popok yang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
berkontak)
2. Papul Penatalaksanaan
3. Vesikel
1. Untuk mengurangi gejala dan mencegah
4. Erosi
bertambah beratnya lesi, perlu dilakukan
5. Ekskoriasi
hal berikut:
6. Infiltran dan ulkus bila parah
7. Plak eritematosa (merah cerah), a. Ganti popok bayi lebih sering, gunakan
membasah,
pelembab sebelum memakaikan popok Prognosis
bayi.
Prognosis umumnya bonam dan dapat sembuh
b. Dianjurkan pemakaian popok sekali tanpa komplikasi.
pakai jenis highly absorbent.
2. Prinsip pemberian farmakoterapi yaitu untuk Referensi
menekan inflamasi dan mengatasi infeksi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
kandida. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
a. Bila ringan: krim/salep bersifat kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
protektif (zinc oxide/pantenol) Kedokteran Universitas Indonesia.
dipakai 2 kali sehari selama 1 minggu
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
atau kortikosteroid potensi lemah
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
(hidrokortison salep 1-2,5%) dipakai 2
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
kali sehari selama 3-7 hari.
Elsevier.
b. Bila terinfeksi kandida: berikan
antifungal nistatin sistemik 1 kali 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
sehari selama 7 hari atau derivat azol Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
topikal dikombinasi dengan zinc oxide Jakarta.
diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga mengenai penyebab
dan menjaga higiene kulit.
2. Mengajarkan cara penggunaan popok dan
mengganti secepatnya bila popok basah.
3. Mengganti popok sekali pakai bila kapasitas
telah penuh.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Biasanya tidak perlu dilakukan, hanya dilakukan
untuk mengekslusi diagnosis banding.
Rencana Tindak Lanjut
Bila gejala tidak menghilang setelah
pengobatan standar selama 1 minggu,
dilakukan:
1. Pengobatan dapat diulang 7 hari lagi.
2. Pertimbangkan untuk pemeriksaan ulang
KOH atau Gram.
Kriteria Rujukan
Bila keluhan tidak membaik setelah
pengobatan standarselama 2 minggu.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
dan Gram
21. DERMATITIS PERIORAL
No. ICPC-2: S99 Skin disease other No. ICD-10: L71.0 Perioral dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
2. Pemakaian kosmetik.
Dermatitis perioral adalah erupsi eritematosa 3. Pasien imunokompromais
persisten yang terdiri dari papul kecil dan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
papulo-pustul yang berlokasi di sekitar mulut.
Sederhana (Objective)
Dermatitis perioral dapat terjadi pada anak
dan dewasa. Dalam populasi dewasa, penyakit Pemeriksaan Fisik
ini lebih sering terjadi pada wanita Tanda patognomonis
daripada pria. Namun, selama masa kanak-
kanak persentase pasien pria lebih besar. Erupsi eritematosa yang terdiri dari papul,
Pada anak-anak, penyakit ini memiliki papulopustul atau papulovesikel, biasanya tidak
kecenderungan untuk meluas ke periorbita atau lebih dari 2 mm. Lesi berlokasidi sekitar mulut,
perinasal. Beberapa agen penyebab terlibat namun pada anak lesi dapat meluas ke perinasal
dalam patogenesis penyakit ini diantaranya atau periorbita.
penggunaan kosmetik dan glukokortikoid. Pemeriksaan Penunjang
Studi case control di Australia memperlihatkan
bahwa pemakaian kombinasi foundation, Umumnya tidak diperlukan.
pelembab dan krim malam meningkatkan
Gambar 11.25 Dermatititis perioral
risiko terjadinya dermatitis perioral secara
signifikan. Penggunaan kortikosteroid
merupakan penyebab utama penyakit ini
pada anak-anak. Beberapa faktor lainnya yang
juga diidentifikasai diantaranya infeksi, faktor
hormonal, pemakaian pil kontrasepsi,
kehamilan, fluoride dalam pasta gigi, dan
sensitasi merkuri dari tambalan amalgam.
Demodex folliculorum dianggapmemainkan
peran penting dalam patogenesis dermatitis
perioral terutama pada anak dengan
imunokompromais. Namun, laporan terbaru
menunjukkan bahwa density dari D.folliculorum Penegakan Diagnostik (Assessment)
merupakan fenomena sekunder penyebab
dermatitis perioral. Diagnosis Klinis
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis
Hasil Anamnesis (Subjective)
dan pemeriksaaan fisik.
Keluhan yang dirasakan pasien adalah gatal
Diagnosis Banding
dan rasa panas disertai timbulnya lesi di sekitar
mulut. Dermatitis kontak, Dermatitis seboroik,
Rosasea, Akne, Lip-licking cheilitis, Histiocytosis,
Faktor Risiko
Sarkoidosis
1. Pemakaian kortikosteroid topikal.
Komplikasi folliculorum.
Infeksi sekunder Konseling dan Edukasi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Edukasi dilakukan terhadap pasien dan
pada pasien anak edukasi dilakukan kepada
Penatalaksanaan orangtuanya. Edukasi berupa menghentikan
Untuk keberhasilan pengobatan, langkah pemakaian semua kosmetik, menghentikan
pertama yang dilakukan adalah menghentikan pemakaian kortikostroid topikal. Eritema dapat
penggunaan semua kosmetik dan kortikosteroid terjadi pada beberapa hari setelah penghentian
topikal. Jika tidak diobati, bentuk klasik steroid.
dermatitis perioral memiliki kecenderungan
Kriteria rujukan
untuk bertahan, terutama jika pasien terbiasa
menggunakan pelembab atau krim malam. Pasien dirujuk apabila memerlukan
pemeriksaan mikroskopik atau pada pasien
Dalam kasus resisten, dermatitis perioral dengan gambaran klinis yang tidak biasa dan
membutuhkan farmakoterapi, seperti: perjalanan penyakit yang lama.
1. Topikal Peralatan
a. Klindamisin krim 1%, satu atau dua kali
sehari Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
b. Eritromisin krim 2-3% satu atau dua kali mendiagnosis penyakit dermatitis perioral.
sehari
c. Asam azelaik krim 20% atau gel 15%, Prognosis
dua kali sehari Prognosis umumnya bonam jika pasien
d. Adapalene gel 0,1%, sekali sehari menghentikan penggunaan kosmetik atau
selama 4 minggu kortikosteroid topikal.
2. Sistemik
a. Tetrasiklin 250-500 mg, dua kali Referensi
sehari selama 3 minggu. Jangan 1. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current
diberikan pada pasien sebelum usia And Future Treatment Options For Perioral
pubertas. Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy,
b. Doksisiklin 100 mg per hari selama 3 2, 351-355, Available from http://Search.
minggu. Jangan diberikan pada pasien Pr oq ue s t. Co m /D o c v ie w /91 227 83 00 /
sebelum usia pubertas. Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Accou
c. Minosiklin 100 mg per hari selama 4 ntid=17242(7 Juni 2014).
minggu. Jangan diberikan pada pasien
sebelum usia pubertas. 2. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007.
d. Eritromisin 250 mg, dua kali sehari Persistent Facial Dermatitis: Pediatric
selama 4-6 minggu Perioral Dermatitis. Pediatric Annals,
e. Azytromisin 500 mg per hari, 3 hari 36,pp.796-8. Available from http://search.
berturut-turut per minggu selama 4 proques t .c o m/ d o c v ie w / 2 1 7 55 69 8 9 /
minggu. fulltextPDF?acc ountid=17242 (7 Juni 2014).
3. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Appraisal Of Reports On The Treatment Of
Pada pasien yang menderita dermatitis perioral Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-
dalam waktu lama, pemeriksaan mikroskopis 7. Available from http://search.proquest.
lesi dapat disarankan untuk mengetahui apakah com/docview/275129538/DC34942E9874
ada infeksi bakteri, jamur atau adanya Demodex 4010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni 2014).
22. PITIRIASIS ROSEA
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S90 Pityriasis rosea
: L42 Pityriasis rosea
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
sejajar dengan tulang iga, sehingga menyerupai
Penyakit ini belum diketahui sebabnya, dimulai pohon cemara terbalik. Tempat predileksi yang
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema sering adalah pada badan, lengan atas bagian
dan skuama halus (mother patch), kemudian proksimal dan paha atas.
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan,
Gambar 11.26 Pitiriasis rosea
lengan dan paha atas, yang tersusun sesuai
dengan lipatan kulit. Penyakit ini biasanya
sembuh dalam waktu 3-8 minggu. Pitiriasis
rosea didapati pada semua usia, terutama
antara 15-40 tahun, dengan rasio pria dan
wanita sama besar.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan lesi kemerahan
yang awalnya satu kemudian diikuti dengan lesi
yang lebih kecil yang menyerupai pohon Pemeriksaan Penunjang
cemara terbalik. Lesi ini kadang-kadang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis KOH
dikeluhkan terasa gatal ringan.
dilakukan untuk menyingkirkan Tinea Korporis.
Faktor Risiko
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Etiologi belum diketahui, ada yang mengatakan
Diagnosis Klinis
hal ini merupakan infeksi virus karena
merupakan self limited disease. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Tinea korporis, Erupsi obat

Pemeriksaan Fisik Komplikasi

Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat, Tidak ada komplikasi yang bermakna.
sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penatalaksanaan Komprehensif
Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald
patch), umumnya di badan, soliter, berbentuk (Plan) Penatalaksanaan
oval, dan anular, diameternya sekitar 3 cm. Lesi Pengobatan bersifat simptomatik, misalnya
terdiri atas eritema dan skuama halus di untuk gatal diberikan antipruritus seperti bedak
atasnya. Lamanya beberapa hari sampai dengan asam salisilat 1-2% atau mentol 0,25-0,5%.
beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4-10
hari setelah lesi pertama dengan gambaran Konseling dan Edukasi
serupa dengan lesi pertama, namun lebih kecil, Edukasi pasien dan keluarga bahwa penyakit ini
susunannya swasirna.
Kriteria Rujukan Referensi
Tidak perlu dirujuk 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Peralatan
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Lup Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Prognosis 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Prognosis pada umumnya bonam karena Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
penyakit sembuh spontan dalam waktu 3-8 Elsevier.
minggu. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.

23. ERITRASMA
No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: L08.1 Erythrasmay
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik
Penderita Diabetes Mellitus, iklim sedang dan
pada stratum korneumyang disebabkan oleh
panas, maserasi pada kulit, banyak berkeringat,
Corynebacterium minutissimum. Eritrasma
kegemukan, higiene buruk, peminum alkohol
terutama terjadi pada orang dewasa, penderita
diabetes, dan banyak ditemukan di daerah Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
tropis. Eritrasma dianggap tidak begitu menular Sederhana (Objective)
karena didapatkan bahwa pasangan suami istri
tidak mendapatkan penyakit tersebut secara Pemeriksaan Fisik
bersama- sama. Secara global, insidens Lokasi : lipat paha bagian dalam, sampai
eritrasma dilaporkan 4% dan lebih banyak skrotum, aksilla, dan intergluteal
ditemukan di daerah iklim tropis dan subtropis.
Selain itu insidensnya lebih banyak ditemukan Efloresensi : eritema luas berbatas tegas,
pada ras kulit hitam. Eritrasma terjadi baik pria dengan skuama halus dan kadang erosif. Kadang
maupun wanita, pada pria lebih banyak juga didapatkan likenifikasi dan
ditemukan eritrasma pada daerah kruris, hiperpigmentasi.
sedangkan pada wanita di daerah interdigital.
Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan usia, insidens eritrasma bertambah
seiring dengan pertambahan usia dengan 1. Pemeriksaan dengan lampu Wood
pasien termuda yang pernah ditemukan yaitu 2. Sediaan langsung kerokan kulit dengan
usia 1 tahun. pewarnaan gram
Hasil Anamnesis (Subjective) Penegakan Diagnostik (Assessment)
Keluhan Diagnosis Klinis
Eritrasma kadang tidak menimbulkan keluhan Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis
subyektif, tetapi ada juga pasien datang dengan dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
keluhan gatal dengan durasi dari bulan sampai dengan lampu Wood didapatkan fluoresensi
tahun. merah bata (coral pink).
Diagnosis Banding Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Pitiriasis versikolor, Tinea kruris, Dermatitis Indonesia.
seboroik, Kandidiasis
2. Kibbi A.G.Erythrasma. Available
Komplikasi: - from http://e- medicine.medscape.com
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (10 Juni 2014)

Penatalaksanaan 3. Morales-Trujillo ML, Arenas R, Arroyo


S. Interdigital Erythrasma: Clinical,
1. Pengobatan topikal: salep Tetrasiklin 3% Epidemiologic, And Microbiologic
2. Pengobatan sistemik: Eritromisin 1 g sehari Findings. Actas Dermosifiliogr. Jul-Aug
(4 x 250mg) untuk 2-3 minggu. 2008;99(6):469-73
Gambar 11.27 Eritrasma 4. Sarkany I, Taplin D, Blank H. Incidence
And Bacteriology Of Erythrasma.Arch
Dermatol. May 1962;85:578-82

Rencana Tindak Lanjut: -


Konseling dan Edukasi
1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol
gula darah
2. Menjaga kebersihan badan
3. Menjaga agar kulit tetap kering
4. Menggunakan pakaian yang bersih dengan
bahan yang menyerap keringat.
5. Menghindari panas atau kelembaban yang
berlebih
Kriteria Rujukan: -
Peralatan
1. Lampu Wood
2. Laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan KOH dan pewarnaan gram
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu
24. SKROFULODERMA
No. ICPC-2 No. ICD-10 : A 70 Tuberculosis
: A 18.4 Tuberculosis of skin and subcutaneous tissue
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi Diagnosis Klinis
infeksi tuberkulosis akibat penjalaran per
kontinuitatum dari organ di bawah kulit seperti Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis,
limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
abses dingin dan melibatkan kulit di atasnya,
Gambar 11.28 Skrofuloderma
kemudian pecah dan membentuk sinus di
permukaan kulit.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Skrofuloderma biasanya dimulai dengan
pembesaran kelenjar getah bening tanpa tanda-
tanda radang akut. Mula-mula hanya beberapa
kelenjar diserang, lalu makin banyak sampai Diagnosis Banding
terjadi abses memecah dan menjadi fistel Limfosarkoma, Limfoma maligna, Hidradenitis
kemudian meluas menjadi ulkus. Jika supurativa, Limfogranuloma venerum
penyakitnya telah menahun, maka didapatkan
gambaran klinis yang lengkap. Komplikasi :-

Faktor Risiko Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Sama dengan TB Paru Penatalaksanaan

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sama dengan TB Paru


Sederhana (Objective) Pengobatan sistemik: Sama dengan TB Paru
Rencana tindak lanjut:
Pemeriksaan Fisik
Memantau kriteria penyembuhan skrofuloderma,
Lokasi : leher, ketiak, lipat paha antara lain:
Efloresensi : pembesaran kelenjar getah bening 1. Semua fistel dan ulkus sudah menutup
tanpa radang akut kecuali tumor dengan 2. Seluruh kelenjar limfe sudah mengecil (< 1
konsistensi bermacam-macam, periadenitis, cm, konsistensi keras)
abses dan fistel multipel, ulkus-ulkus khas, 3. Sikatriks tidak eritematous
sikatriks-sikatriks yang memanjang dan tidak 4. Laju Endap Darah menurun
teratur serta jembatan kulit.
Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang
Sama dengan TB Paru
1. Pemeriksaan dahak
2. Pemeriksaan biakan Mycobacterium Peralatan
tuberculosis 1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
laju endap darah dan pemeriksaan BTA 2. Kementerian Kesehatan RI. 2008. Diagnosis
2. Tes tuberkulin dan Tata Laksana TB Pada Anak. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI.
Prognosis 3. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman
Bonam Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

25. HIDRADENITIS SUPURATIF


No. ICPC-2: S92 Sweat gland disease
No. ICD-10: L73.2 Hidradenitis suppurativa
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Faktor Risiko


Hidradenitis supuratif atau disebut juga akne Merokok, obesitas, banyak berkeringat,
inversa adalah peradangan kronis dan supuratif pemakaian deodorant, menggunting rambut
pada kelenjar apokrin. Penyakit ini terdapat ketiak
pada usia pubertas sampai usia dewasa muda.
Prevalensi keseluruhan adalah sekitar 1%. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Rasio wanita terhadap pria adalah 3:1. Dari Sederhana (Objective)
beberapa penelitian epidemiologi diketahui
bahwa sepertiga pasien hidradenitis supuratif Pemeriksaan Fisik
memiliki kerabat dengan hidradenitis. Merokok Ruam berupa nodus dengan tanda-tanda
dan obesitas merupakan faktor risiko untuk peradangan akut, kemudian dapat melunak
penyakit ini. Penyakit ini juga sering didahului menjadi abses, dan memecah membentuk
oleh trauma atau mikrotrauma, misalnya fistula dan disebut hidradenitis supuratif. Pada
banyak keringat, pemakaian deodorant atau yang menahun dapat terbentuk abses, fistel,
rambut ketiak digunting. dan sinus yang multipel. Terdapat leukositosis.
Beberapa bakteri telah diidentifikasi dalam Lokasi predileksi di aksila, lipat paha, gluteal,
kultur yang diambil dari lesi hidradenitis perineum dan daerah payudara. Meskipun
supuratif, diantaranya adalah penyakit ini di aksila seringkali ringan, di
Streptococcusviridans, Staphylococcus aureus, perianal sering progresif dan berulang.
bakteri anaerob (Peptostreptococcus
spesies, Bacteroides Ada dua sistem klasifikasi untuk menentukan
melaninogenicus, dan Bacteroides corrodens), keparahan hidradenitis supuratif, yaitu dengan
Coryneformbacteria, dan batang Gram-negatif. sistem klasifikasi Hurley dan Sartorius.

Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Hurley mengklasifikasikan pasien menjadi


tiga kelompok berdasarkan adanya dan
Keluhan awal yang dirasakan pasien adalah luasnyajaringan parutdan sinus.
gatal, eritema, dan hiperhidrosis lokal. Tanpa
a. TahapI : lesi soliter atau multipel,
pengobatan penyakit ini dapat berkembang dan
ditandai dengan pembentukan abses
pasien merasakan nyeri di lesi.
tanpa saluran sinus atau jaringan Komplikasi
parut.
1. Jaringan parut di lokasi lesi.
b. Tahap II : lesi single atau multipel 2. Inflamasi kronis pada genitofemoral dapat
dengan abses berulang, ditandai menyebabkan striktur di anus, uretra atau
dengan pembentukan saluran sinus dan rektum.
jaringan parut. 3. Fistula uretra.
c. TahapIII : tahap yang palingparah, 4. Edema genital yang dapat menyebabkan
beberapa saluran saling berhubungan gangguan fungsional.
dan abses melibatkan seluruh 5. Karsinoma sel skuamosa dapat
daerah anatomi (misalnya ketiak berkembangpada pasien dengan riwayat
atau pangkal paha). penyakit yang lama, namun jarang terjadi.
2. Skor Sartorius. Skor didapatkan dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
menghitung jumlah lesi kulit dan tingkat
keterlibatan di setiap lokasi anatomi. Lesi Penatalaksanaan
yang lebih parah seperti fistula diberikan
1. Pengobatan oral:
skor yang lebih tinggi dari pada lesi ringan
seperti abses. Skor dari semua lokasi a. Antibiotik sistemik
anatomi ditambahkan untuk mendapatkan Antibiotik sistemik misalnya dengan
skor total. kombinasi rifampisin 600 mg sehari
(dalam dosis tunggal atau dosis terbagi)
Gambar 11.29 Hidradenitis supuratif
dan klindamisin 300 mg dua kali sehari
menunjukkan hasil pengobatan yang
menjanjikan. Dapson dengan dosis 50-
150mg/hari sebagai monoterapi,
eritromisin atau tetrasiklin 250-500
mg 4x sehari, doksisilin 100 mg 2x
sehari selama 7-14 hari.
b. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik misalnya
triamsinolon, prednisolon atau
prednison
Pemeriksaan Penunjang 2. Jika telah terbentuk abses, dilakukan insisi.
Pemeriksaan darah lengkap Konseling dan Edukasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Edukasi dilakukan terhadap pasien, yaitu berupa:
Diagnosis Klinis 1. Mengurangi berat badan untuk pasien
obesitas.
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis 2. Berhenti merokok.
dan pemeriksaaan fisik. 3. Tidak mencukur di kulit yang berjerawat
Diagnosis Banding karena mencukur dapat mengiritasi kulit.
4. Menjaga kebersihan kulit.
Furunkel, karbunkel, kista epidermoid atau 5. Mengenakan pakaian yang longgar untuk
kista dermoid, Erisipelas, Granuloma inguinal, mengurangi gesekan
Lymphogranuloma venereum, Skrofuloderma 6. Mandi dengan menggunakan sabun dan
antiseptik atau antiperspirant.
Kriteria Rujukan http://search.proquest.com/docview/52117 6635?
accountid=17242(7 Juni 2014)..
Pasien dirujuk apabila penyakit tidak sembuh
dengan pengobatan oral atau lesi kambuh 7. Shah, N. 2005. Hidradenitus suppurative:
setelah dilakukan insisi dan drainase. A treatment challenge. American Family
Physician, 72(8), pp. 1547-1552. Available
Peralatan from http://www.aafp.org/afp/2005/1015/
Bisturi p1547.html#afp20051015p1 547-t2(7 Juni
2014).
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tingkat keparahan
penyakit bervariasi dari satu pasien dengan
pasien lainnya.
Referensi
1. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012.
Pharmacologic Interventions For
Hidradenitis Suppurativa. American Journal
Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91.
Available from http://search.proquest.com/
docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7
905F304E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni
2014).
2. American Academy of Dermatology
Hidradenitis suppurativa. Available
from http://www.aad.org/dermatology-
a-to-z/diseases-and-treatments/e---h/
hidradenitis-suppurativa(7 Juni 2014).
3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Herrington, S. (2007). Hidradenitis
suppurativa. In M. R. Dambro (Ed.), Griffith’s
5 minute clinical consult.14th Ed.
Philadelphia. Lippincott Williams and
Wilkins, pp. 570–572.
5. Jovanovic, M. 2014. Hidradenitis
suppurativa. Medscape. June 7, 2014.
http://emedicine.
medscape.com/article/1073117-overview.
6. Sartorius, K., Emtestam, L., Lapins, J. &
Johansson, O. 2010. Cutaneous PGP 9.5
Distribution Patterns In Hidradenitis
Suppurativa. Archives of Dermatological
Research, 302,pp. 461-8. Available from:
26. AKNE VULGARIS RINGAN
No. ICPC-2: S96 Acne
No. ICD-10: L70.0 Acne vulgaris
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan tertutup (white comedo, close comedo). Erupsi


Akne vulgaris adalah penyakit peradangan kulit polimorfi dengan gejala predominan salah
kronis dari folikel pilosebasea yang diinduksi satunya, komedo, papul yang tidak beradang
dengan peningkatan produksi sebum, dan pustul, nodus dan kista yang beradang.
perubahan pola keratinisasi, peradangan, dan Tempat predileksi adalah di muka, bahu, dada
kolonisasi dari bakteri Propionibacterium acnes. bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi
Sinonim untuk penyakit ini adalah jerawat. kulit lain misalnya di leher, lengan atas, dan
Umumnya insidens terjadi pada wanitausia 14- kadang- kadang glutea.
17 tahun, pria16- 19 tahun lesi yang utama Gradasi yang menunjukan berat ringannya
adalah komedo dan papul dan dapat dijumpai penyakit diperlukan bagi pilihan pengobatan.
pula lesi beradang. Pada anak wanita,akne Gradasi akne vulgaris adalah sebagai berikut:
vulgaris dapat terjadi pada premenarke. Setelah
masa remaja kelainan ini berangsur berkurang, 1. Ringan, bila:
namun kadang-kadang menetap sampai dekade a. Beberapa lesi tak beradang pada satu
ketiga terutama pada wanita. Ras oriental predileksi
(Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita b. Sedikit lesi tak beradang pada beberapa
akne vulgaris dibandingkan dengan ras kaukasia tempat predileksi
(Eropa, Amerika). c. Sedikit lesi beradang pada satu
predileksi
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Sedang, bila:
Keluhan berupa erupsi kulit polimorfi di lokasi a. Banyak lesi tak beradang pada satu
predileksi, disertai rasa nyeri atau gatal namun predileksi
masalah estetika umumnya merupakan keluhan b. Beberapa lesi tak beradang pada lebih
utama. dari satu predileksi
c. Beberapa lesi beradang ada satu
Faktor Risiko: predileksi
Usia remaja, stress emosional, siklus d. Sedikit lesi beradang pada lebih dari
menstruasi, merokok, ras, riwayat akne dalam satu predileksi
keluarga, banyak makan makanan berlemak dan 3. Berat, bila:
tinggi karbohidrat a. Banyak lesi tak beradang pada lebih
dari satu predileksi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang b. Banyak lesi beradang pada satu atau
Sederhana (Objective) lebih predileksi
Pemeriksaan Fisik Keterangan:
Tanda patognomonis Sedikit bila kurang dari 5, beberapa bila 5-10,
banyak bila lebih dari 10 lesi
Komedo berupa papul miliar yang
ditengahnya mengandung sumbatan sebum, Tak beradang : komedo putih, komedo hitam,
bila berwarna hitam disebut komedo hitam papul
(black comedo, open comedo) dan bila
berwarna putih disebut komedo putih atau Beradang : pustul, nodus, kista
komedo
Pada pemeriksaan ekskohleasi sebum, yaitu Penegakan Diagnostik (Assessment)
pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo
ekstraktor (sendok Unna) ditemukan sebum Diagnosis Klinis
yang menyumbat folikel tampak sebagai massa Ditegakkan erdasarkan anamnesis dan
padat seperti lilin atau massa lebih lunak pemeriksaaan fisik.
seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna
hitam. Diagnosis Banding: Erupsi akneiformis, Akne
venenata, Rosasea, Dermatitis perioral
Gambar: 11.30 Lesi beradang
Penatalaksanaan (Plan)
Penatalaksanaan meliputi usaha untuk
mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan
usaha untuk menghilangkan jerawat yang
terjadi (kuratif).
Pencegahan yang dapat dilakukan :
1. Menghindari terjadinya peningkatan
jumlah lipid sebum dan perubahan isi
sebum dengan cara :
a. Diet rendah lemak dan karbohidrat.
Gambar: 11.31 Komedo Hitam Meskipun hal ini diperdebatkan
efektivitasnya, namun bila pada
anamnesis menunjang, hal ini dapat
dilakukan.
b. Melakukan perawatan kulit dengan
membersihkan permukaan kulit.
2. Menghindari terjadinya faktor pemicu
terjadinya akne, misalnya :
a. Hidup teratur dan sehat, cukup
istirahat, olahraga, sesuai kondisi
tubuh, hindari stress.
Gambar: 11.32 Akne vulgaris ringan lesi b. Penggunaan kosmetika secukupnya,
campuran baik banyaknya maupun lamanya.
c. Menjauhi terpacunya kelenjar minyak,
misalnya minuman keras, makanan
pedas, rokok, lingkungan yang tidak
sehat dan sebagainya.
d. Menghindari polusi debu, pemencetan
lesi yang tidak lege artis, yang dapat
memperberat erupsi yang telah terjadi.
Pengobatan akne vulgaris ringan dapat
dilakukan dengan memberikan farmakoterapi
seperti :
1. Topikal
Pemeriksaan Penunjang Pengobatan topikal dilakukan untuk
mencegah pembentukan komedo,
Umumnya tidak diperlukan.
menekan peradangan dan mempercepat Konseling dan Edukasi
penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri dari
: Dokter perlu memberikan informasi yang tepat
pada pasien mengenai penyebab penyakit,
a. Retinoid pencegahan, dan cara maupun lama
Retinoidtopikal merupakan obat pengobatan, serta prognosis penyakitnya. Hal
andalan untuk pengobatan jerawat ini penting agar penderita tidak mengharap
karena dapat menghilangkan berlebihan terhadap usaha penatalaksanaan
komedo, mengurangi pembentukan yang dilakukan.
mikrokomedo, dan adanya efek
antiinflamasi. Kontraindikasi obat ini Kriteria rujukan
yaitu pada wanita hamil, dan wanita Akne vulgaris sedang sampai berat.
usia subur harus menggunakan
kontrasepsi yang efektif. Kombinasi Peralatan
retinoid topikal dan antibiotik topikal
Komedo ekstraktor (sendok Unna)
(klindamisin) atau benzoil peroksida
lebih ampuh mengurangi jumlah Prognosis
inflamasi dan lesi non-inflamasi
dibandingkan dengan retinoid Prognosis umumnya bonam. akne vulgaris
monoterapi. Pasien yang memakai umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30-
kombinasi terapi juga menunjukkan 40 an.
tanda-tanda perbaikan yang lebih Referensi
cepat.
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
b. Bahan iritan yang dapat mengelupas
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kulit (peeling), misalnya sulfur (4-8),
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
resorsinol (1-5%), asam salisilat (2-
Kedokteran Universitas Indonesia.
5%), peroksida benzoil (2,5-10%), asam
vitamin A (0,025-0,1%), asam azelat 2. Williams, H. C., Dellavalle, R. P. & Garner, S.
(15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA) 2012. Acne Vulgaris.
misalnya asma glikolat (3-8%). Efek
samping obat iritan dapat dikurangi 3. The Lancet, 379, pp. 361-72. Available
dengan cara pemakaian berhati-hati from http://search.proquest.com/
dimulai dengan konsentrasi yang paling docview/920097495/abstract?accoun
rendah. tid=17242#(7 Juni 2014).
c. Antibiotik topikal: oksitetrasiklin 1% 4. Simonart, T. 2012. Newer Approaches To
atau klindamisin fosfat 1%. The Treatment Of Acne Vulgaris. American
d. Antiperadangan topikal: hidrokortison Journal Of Clinical Dermatology, 13, pp.
1-2,5%. 357-
64. Available from http://search.proquest.
2. Sistemik com/docview/1087529303/F21F34D005
Pengobatan sistemik ditujukan untuk 744CD7PQ/20?accountid=17242# (7 Juni
menekan aktivitas jasad renik disamping 2014).
juga mengurangi reaksi radang, menekan
produksi sebum. Dapat diberikan
antibakteri sistemik, misalnya tetrasiklin
250 mg-1g/ hari, eritromisin 4x250 mg/hari.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.
27. URTIKARIA
No. ICPC-2 No. ICD-10
: S98 Urticaria
: L50 Urticaria
L50.9Urticaria, unspecified
Tingkat Kemampuan : Urtikaria akut: 4A
Urtikaria kronis : 3A

Masalah Kesehatan kacang, dan sebagainya).


Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit 7. Riwayat infeksi dan infestasi parasit.
akibat bermacam-macam sebab. Sinonim 8. Penyakit autoimun dan kolagen.
penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, 9. Usia rata-rata adalah 35 tahun.
nettle rash. Ditandai oleh edema setempat yang 10. Riwayat trauma faktor fisik (panas, dingin,
timbul mendadak dan menghilang perlahan- sinar matahari, sinar UV, radiasi).
lahan, berwarna pucat dan kemerahan, Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
meninggi di permukaan kulit,sekitarnya dapat Sederhana (Objective)
dikelilingi halo. Dapat disertai dengan
angioedema. Penyakit ini sering dijumpai pada Pemeriksaan Fisik
semua usia, orang dewasa lebih banyak terkena
Lesi kulit yang didapatkan:
dibandingkan dengan usia muda. Penderita
atopi lebih mudah mengalami urtikaria 1. Ruam atau patch eritema.
dibandingkan dengan orang normal. Penisilin 2. Berbatas tegas.
tercatat sebagai obat yang lebih sering 3. Bagian tengah tampak pucat.
menimbulkan urtikaria. 4. Bentuk papul dengan ukuran bervariasi,
mulai dari papular hingga plakat.
Hasil Anamnesis (Subjective)
5. Kadang-kadang disertai demografisme,
Keluhan berupa edema linier di kulit yang terkena
goresan benda tumpul, timbul dalam waktu
Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, lebih kurang 30 menit.
rasa tersengat atau tertusuk. Gatal sedang- 6. Pada lokasi tekanan dapat timbul lesi urtika.
berat di kulit yang disertai bentol-bentol di 7. Tanda lain dapat berupa lesi bekas garukan.
daerah wajah, tangan, kaki, atau hampir di
seluruh tubuh. Keluhan dapat juga disertai rasa Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan
panas seperti terbakar atau tertusuk. Kadang- pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan
kadang terdapat keluhan sesak napas, nyeri gigi, THT, dan sebagainya untuk menyingkirkan
perut, muntah- muntah, nyeri kepala, dan adanya infeksi fokal.
berdebar- debar (gejala angioedema).
Tempat predileksi
Faktor Risiko
Bisa terbatas di lokasi tertentu, namun dapat
1. Riwayat atopi pada diri dan keluarga. generalisata bahkan sampai terjadi angioedema
2. Riwayat alergi. pada wajah atau bagian ekstremitas.
3. Riwayat trauma fisik pada aktifitas.
Pemeriksaan Penunjang
4. Riwayat gigitan/sengatan serangga.
5. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotik 1. Pemeriksaan darah (eosinofil), urin dan
– tersering penisilin, diuretik, imunisasi, feses rutin (memastikan adanya fokus
injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya). infeksi tersembunyi).
6. Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, 2. Uji gores (scratch test) untuk melihat
dermografisme. • Keikutsertaan komplemen  reaksi
3. Tes eliminasi makanan dengan cara hipersensitifitas tipe II dan III
menghentikan semua makanan yang (Coombs and Gell), dan genetik.
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu • Urtikaria kontak  reaksi
mencobanya kembali satu per satu. hipersensitifitas tipe 4 (Coombs and
4. Tes fisik: tes dengan es (ice cube test), tes Gell).
dengan air hangat
b. Urtikaria non-imunologik (obat
Gambar 11.33 Urtikaria golongan opiat, NSAID, aspirin serta
trauma fisik).
c. Urtikaria idiopatik (tidak jelas penyebab
dan mekanismenya).
Diagnosis Banding
Purpura anafilaktoid (purpura Henoch-
Schonlein), Pitiriasis rosea (lesi awal berbentuk
eritema), Eritema multiforme (lesi urtika,
umumnya terdapat pada ekstremitas bawah).
Komplikasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) Angioedema dapat disertai obstruksi jalan napas.
Diagnosis Klinis Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Prinsip penatalaksanaan
dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi
Tata laksana pada layanan Tingkat Pertama
1. Berdasarkan waktu berlangsungnya dilakukan dengan first- line therapy, yaitu
serangan, urtikaria dibedakan atas urtikaria memberikan edukasi pasien tentang penyakit
akut (< 6 minggu atau selama 4 minggu urtikaria (penyebab dan prognosis) dan
terus menerus) dan kronis (> 6 minggu). terapi farmakologis sederhana.
2. Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria
dibedakan menjadi urtikaria papular Urtikaria akut
(papul), gutata (tetesan air) dan girata Atasi keadaan akut terutama pada angioedema
(besar- besar). karena dapat terjadi obstruksi saluran
3. Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan napas. Penanganan dapat dilakukan di Unit
yang terkena, urtikaria dibedakan menjadi Gawat Darurat bersama-sama dengan/atau
urtikaria lokal (akibat gigitan serangga atau dikonsultasikan ke dokter spesialis THT.
kontak), generalisata (umumnya
Bila disertai obstruksi saluran napas,
disebabkan oleh obat atau makanan) dan
diindikasikan pemberian epinefrin subkutan
angioedema.
yang dilanjutkan dengan pemberian
4. Berdasarkan penyebab dan mekanisme kortikosteroid prednison 60-80 mg/hari selama
terjadinya, urtikaria dapat dibedakan 3 hari, dosis diturunkan 5-10 mg/hari.
menjadi:
Urtikaria kronik
a. Urtikaria imunologik, yang dibagi lagi
menjadi: 1. Pasien menghindari penyebab yang dapat
• Keterlibatan IgE  reaksi menimbulkan urtikaria, seperti:
hipersensitifitas tipe I (Coombs and a. Kondisi yang terlalu panas, stres,
Gell) yaitu pada atopi dan adanya
antigen spesifik.
alkohol, dan agen fisik. Peralatan
b. Penggunaan antibiotik penisilin, 1. Tabung dan masker oksigen
aspirin, NSAID, dan ACE inhibitor.
c. Agen lain yang diperkirakan dapat 2. Alat resusitasi
menyebabkan urtikaria. 3. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
2. Pemberian farmakoterapi dengan: darah, urin dan feses rutin.
a. Antihistamin oral nonsedatif, misalnya Prognosis
loratadin 1 x 10 mg per hari selama 1
minggu. Prognosis pada umumnya bonam dengan tetap
menghindari faktor pencetus.
b. Bila tidak berhasil dikombinasi
dengan Hidroksisin 3 x 25 mg atau Referensi
Difenhidramin 4 x 25-50 mg per hari
selama 1 minggu. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
c. Apabila urtikaria karena dingin, keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
diberikan Siproheptadin 3 x 4 mg per Kedokteran Universitas Indonesia.
hari lebih efektif selama 1 minggu terus
menerus. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
d. Antipruritus topikal: cooling antipruritic 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
lotion, seperti krim menthol 1% atau Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
2% selama 1 minggu terus menerus. Elsevier.
e. Apabila terjadi angioedema atau 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
urtikaria generalisata, dapat diberikan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Prednison oral 60-80 mg mg per hari Jakarta.
dalam 3 kali pemberian selama 3 hari
dan dosis diturunkan 5-10 mg per hari.
Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga diberitahu mengenai:
1. Prinsip pengobatan adalah identifikasi
dan eliminasi faktor penyebab urtikaria.
2. Penyebab urtikaria perlu menjadi
perhatian setiap anggota keluarga.
3. Pasien dapat sembuh sempurna.
Kriteria Rujukan
1. Rujukan ke dokter spesialis bila ditemukan
fokus infeksi.
2. Jika urtikaria berlangsung kronik dan
rekuren.
3. Jika pengobatan first-line therapy gagal.
4. Jika kondisi memburuk, yang ditandai
dengan makin bertambahnya patch eritema,
timbul bula, atau bahkan disertai sesak.
28. EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION
No. ICPC-2 No. ICD-10 : S07 Rash generalized
: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicament
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Tanda patognomonis
Exanthematous Drug Eruption adalah salah
satu bentuk reaksi alergi ringan pada kulit yang 1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis.
terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya 2. Kelainan dapat simetris. Tempat predileksi
sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak.
dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, Pemeriksaan Penunjang
dan terapi. Bentuk reaksi alergi merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan
lambat) menurut Coomb and Gell. Nama penunjang.
lainnya adalah erupsi makulopapular atau
Penegakan Diagnostik (Assessment)
morbiliformis.
Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Keluhan dan pemeriksaan fisik.
Gatal ringan sampai berat yang disertai Diagnosis Banding
kemerahan dan bintil pada kulit. Kelainan
muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan. Morbili
Biasanya disebabkan karena penggunaan
antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) Komplikasi
atau analgetik-antipiretik non steroid. Kelainan Eritroderma
umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan
lipat ketiak, kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gambar 11.34. Exanthematous Drug Eruption
Gejala diikuti demam subfebril, malaise, dan
nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu setelah
mulai mengkonsumsi obat, jamu, atau bahan-
bahan yang dipakai untuk diagnostik (contoh:
bahan kontras radiologi).
Faktor Risiko
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis,
dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan
sinar matahari, atau kontak obat pada kulit
terbuka).
2. Riwayat atopi diri dan keluarga. Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
3. Alergi terhadap alergen lain.
Penatalaksanaan
4. Riwayat alergi obat sebelumnya.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Prinsip tatalaksana adalah menghentikan
obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan
Sederhana (Objective)
menyembuh bila obat penyebabnya dapat
Pemeriksaan Fisik diketahui dan segera disingkirkan.
Farmakoterapi yang diberikan, yaitu: b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan Uji
provokasi
1. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 30 3. Bila tidak ada perbaikan setelah
mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian per mendapatkan pengobatan standar dan
hari selama 1 minggu.
menghindari obat selama 7 hari
2. Antihistamin sistemik:
4. Lesi meluas
a. Setirizin 2x10 mg/hari selama 7 hari
bila diperlukan, atau Peralatan
b. Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila
diperlukan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
3. Topikal: Bedak salisilat 2% dan antipruritus mendiagnosis penyakit Exanthematous Drug
(Menthol 0.5% - 1%) Eruption.

Konseling dan Edukasi Prognosis

1. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak
erupsi. mengalami komplikasi atau tidak memenuhi
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk kriteria rujukan.
membuat catatan kecil di dompetnya Referensi
tentang alergi obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
pasien bisa sembuh dengan adanya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Kriteria Rujukan
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
berkembang menjadi Sindroma Steven Elsevier.
Johnson.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
obat yang diduga sebagai penyebab : Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
a. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan Jakarta.
dengan

29. FIXED DRUG ERUPTION


No. ICPC-2 No. ICD-10 : A85 Adverse effect medical agent
: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu
Hasil Anamnesis (Subjective)
jenis erupsi obat yang sering dijumpai.
Darinamanya dapat disimpulkan bahwa Keluhan
kelainan akan terjadi berkali-kali pada tempat
yang sama. Mempunyai tempat predileksi dan Pasien datang keluhan kemerahan atau luka
lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous pada sekitar mulut, bibir, atau di alat kelamin,
Drug Eruption. FDE yang terasa panas. Keluhan timbul setelah
mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi
penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat, Pemeriksaan penunjang: Biasanya tidak
Trimetoprim, dan analgetik. diperlukan
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup Penegakan Diagnostik (Assessment)
riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu.
Kelainan timbul secara akut atau dapat juga Diagnosis Klinis
beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan
Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat pemeriksaan
disertai dengan demam yang subfebril.
Diagnosis Banding
Faktor Risiko
Pemfigoid bulosa, Selulitis, Herpes simpleks , SJS
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, (Steven Johnson Syndrome)
dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan
sinar matahari, atau kontak obat pada kulit Komplikasi
terbuka)
Infeksi sekunder
2. Riwayat atopi diri dan keluarga
3. Alergi terhadap alergen lain Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
4. Riwayat alergi obat sebelumnya
Penatalaksanaan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan
sederhana (Objective)
obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat
Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Lesi akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
khas: diketahui dan segera disingkirkan.
1. Vesikel, bercak Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang
2. Eritema dapat diberikan, yaitu:
3. Lesi target berbentuk bulat lonjong atau
1. Kortikosteroid sistemik, misalnya
numular
prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam
4. Kadang-kadang disertai erosi
3 kali pemberian per hari
5. Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan
di tepinya, terutama pada lesi berulang 2. Antihistamin sistemik untuk mengurangi
rasa gatal; misalnya Hidroksisin tablet 10
Tempat predileksi:
mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau
1. Sekitar mulut Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
2. Daerah bibir
3. Pengobatan topikal
3. Daerah penis atau vulva
a. Pemberian topikal tergantung dari
Gambar 11.35 Fixed Drug Eruption (FDE)
keadaan lesi, bila terjadi erosi atau
madidans dapat dilakukan kompres
NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas
kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa
selama 10-15 menit. Kompres
dilakukan 3 kali sehari sampai lesi
kering.
b. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian
topikal kortikosteroid potensi ringan-
sedang, misalnya Hidrokortison krim
2,5% atau Mometason furoat krim
0,1%.
Konseling dan Edukasi Peralatan
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk mendiagnosis penyakit Fixed Drug Eruption.
membuat catatan kecil di dompetnya
tentang alergi obat yang dideritanya. Prognosis
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak
pasien bisa sembuh dengan adanya mengalami komplikasi atau tidak memenuhi
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila kriteria rujukan.
alergi berulang terjadi kelainan yang sama,
pada lokasi yang sama. Referensi

Kriteria Rujukan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan Kedokteran Universitas Indonesia.
berkembang menjadi Sindroma Steven
Johnson. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
obat yang diduga sebagai penyebab: Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
a. Uji tempel tertutup, bila negatif Elsevier.
lanjutkan dengan 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan Kelamin.2011. Pedoman Pelayanan Medik.
c. Uji provokasi. Jakarta.
3. Bila tidak ada perbaikan setelah
mendapatkan pengobatan standar selama
7 hari dan menghindari obat.
4. Lesi meluas.

30. CUTANEUS LARVA MIGRANS


No. ICPC-2 : D96 Worms/other parasites
No. ICD-10 : B76.9 Hookworm disease, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Anamnesis (Subjective)
Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption)
Keluhan
merupakan kelainan kulit berupa peradangan
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul Pasien mengeluh gatal dan panas pada tempat
dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva infeksi. Pada awal infeksi, lesi berbentuk papul
cacing tambang yang berasal dari anjing dan yang kemudian diikuti dengan lesi berbentuk
kucing. Penularan melalui kontak langsung linear atau berkelok-kelok yang terus menjalar
dengan larva. Prevalensi Cutaneus Larva Migran memanjang. Keluhan dirasakan muncul sekitar
di Indonesia yang dilaporkan oleh sebuah empat hari setelah terpajan.
penelitian pada tahun 2012 di Kulon Progo
adalah sekitar 15%. Faktor Risiko
Orang yang berjalan tanpa alas kaki, atau sering
berkontak dengan tanah atau pasir.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Terapi farmakologi dengan Albendazol
Sederhana (Objective) 400 mg sekali sehari, selama 3 hari.
Pemeriksaan Fisik Patognomonis 3. Untuk mengurangi gejala pada penderita
dapat dilakukan penyemprotan Etil Klorida
Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar pada lokasi lesi, namun hal ini tidak
dan tersusun linear atau berkelok-kelok membunuh larva.
meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per
hari. 4. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi
sesuai dengan tatalaksana pioderma.
Predileksi penyakit ini terutama pada daerah
telapak kaki, bokong, genital dan tangan. Konseling dan Edukasi
Pemeriksaan Penunjang Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan
penyakit dengan menjaga kebersihan diri.
Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada.
Kriteria Rujukan
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Pasien dirujuk apabila dalam waktu 8 minggu
Diagnosis Klinis tidak membaik dengan terapi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Peralatan
dan pemeriksaan fisik.
Lup
Diagnosis Banding
Prognosis
Dermatofitosis, Dermatitis, Dermatosis
Prognosis umumnya bonam. Penyakit ini
Komplikasi bersifat self-limited, karena sebagian besar
Dapat terjadi infeksi sekunder. larva mati dan lesi membaik dalam 2-8 minggu,
jarang hingga 2 tahun.
Gambar 11.36. Cutaneous Larva Migrans
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
Penatalaksanaan
1. Memodifikasi gaya hidup dengan 4. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012.
menggunakan alas kaki dan sarung Risk factors of hookworm related cutaneous
tangan pada saat melakukan aktifitas yang larva migrans and definitive host
berkontak dengan tanah, seperti berkebun
dan lain-lain.
31. LUKA BAKAR DERAJAT I DAN II
No. ICPC-2 : S14burn/scald
No. ICD-10 : T30 burn and corrosion, body region unspecified
T31 burns classified according to extent of body surface involved
T32 corrosions classified according to extent of body surface involved
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai


Luka bakar (burn injury) adalah kerusakan kulit proses eksudasi. Terdapat bula yang berisi
yang disebabkan kontak dengan sumber panas cairan eksudat dan nyeri karena ujung-
seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan ujung saraf sensorik yang teriritasi.
radiasi. Dibedakan atas 2 bagian :
Hasil Anamnesis (Subjective) a. Derajat II dangkal/superficial (IIA).
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan
Keluhan lapisan atas dari corium/dermis.
Pada luka bakar derajat I paling sering b. Derajat II dalam/deep (IIB). Kerusakan
disebabkan sinar matahari. Pasien hanya mengenai hampir seluruh bagian dermis
mengeluh kulit teras nyeri dan kemerahan. dan sisa-sisa jaringan epitel masih sedikit.
Pada luka bakar derajat II timbul nyeri dan bula. Organ-oran kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang tinggal sedikit sehingga penyembuhan
Sederhana (Objective) terjadi lebih dari satu bulan dan disertai
Pemeriksaan Fisik parut hipertrofi.
1. Luka bakar derajat I, kerusakan terbatas Gambar 11.38 Luka Bakar Superficial Partial
pada lapisan epidermis (superfisial), kulit Thickness (IIa). Memucat dengan penekanan,
hanya tampak hiperemi berupa eritema biasanya berkeringat
denganperabaan hangat, tidak dijumpai
adanya bula, terasa nyeri karena ujung-
ujung saraf sensorik teriritasi.
Gambar 11.37 Luka bakar dangkal (superfisial)

Gambar 11.39 Luka Bakar Deep Partial


Thickness (IIb) Permukaan putih, tidak memucat
dengan penekanan

Pada daerah badan dan lengan kanan, luka


bakar jenis ini biasanya memucat dengan
penekanan
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian
Pemeriksaan Penunjang : - telinga, mata, kaki dan genitalia/
perinerium
Pemeriksaan darah lengkap : -
e. Luka bakar dengan cedera inhalasi,
Menentukan luas luka bakar berdasarkan rumus disertai trauma lain.
“rule of nine”
Penatalaksanaan (Plan)
Gambar 11.40 Luas luka bakar “Rule of nine”
Penatalaksanaan
1. Luka bakar derajat 1 penyembuhan terjadi
secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Penatalaksanaan luka bakar derajat II
tergantung luas luka bakar.
Pada penanganan perbaikan sirkulasi pada luka
bakar dikenal beberapa formula, salah satunya
yaitu Formula Baxter sebagai berikut:
1. Hari Pertama:
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x
% luas bakar per 24 jam
Anak: Ringer Laktat : Dextran = 17 : 3

Penegakan Diagnostik (Assessment) 2 cc x berat badan x % luas luka


ditambah kebutuhan faali.
Diagnosis Klinis
Kebutuhan faali :
Diagnosis luka bakar derajat I atau II
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. < 1 Tahun : berat badan x 100 cc
1-3 Tahun : berat badan x 75 cc
Kriteria berat ringannya luka bakar dapat 3-5 Tahun : berat badan x 50 cc
dipakai ketentuan berdasarkan American Burn
Association, yaitu sebagai berikut: ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam
pertama.
1. Luka Bakar Ringan ½ diberikan 16 jam berikutnya.
a. Luka bakar derajat II < 15%
b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak- 2. Hari kedua
anak
Dewasa : ½ hari I;
c. Luka bakar derajat III < 2%
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
2. Luka Bakar Sedang
a. Luka bakar derajat II 15-25% pada Formula cairan resusitasi ini hanyalah perkiraan
orang dewasa kebutuhan cairan, berdasarkan perhitungan
b. Luka bakar II 10-25% pada anak-anak pada waktu terjadinya luka bakar, bukan pada
c. Luka bakar derajat III < 10% waktu dimulainya resusitasi. Pada kenyataannya,
3. Luka Bakar Berat penghitungan cairan harus tetap disesuaikan
a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih dengan respon penderita. Untuk itu selalu perlu
pada orang dewasa dilakukan pengawasan kondisi penderita seperti
b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih keadaan umum, tanda vital, dan produksi urin
pada anak-anak dan lebih lanjut bisa dilakukan pemasangan
c. Luka bakar derajat II 10% atau lebih monitor EKG untuk memantau irama jantung
d. Luka bakar mengenai tangan, wajah, sebagai tanda awal terjadinya hipoksia,
gangguan elektrolit dan keseimbangan asam Prognosis
basa.
Prognosis luka bakar derajat 1 umumnya bonam,
Pemberian antibiotik spektrum luas pada luka namun derajat 2 dapat dubia ad bonam.
bakar sedang dan berat.
Referensi
Komplikasi Jaringan parut
1. Doherty, G.M. 2006. Current surgical
Konseling dan Edukasi diagnosis and & treatment. United State of
America. Lange Medical Publication.
Pasien dan keluarga menjaga higiene dari luka
2 Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio).
dan untuk mempercepat penyembuhan, jangan
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/
sering terkena air.
matkul/Ilmu%20Kedokte ran%20
Kriteria Rujukan Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20
PBL%20IIa%202007- 2008/luka%20
Rujukan dilakukan pada luka bakar sedang dan bakar%20akut%20text.pdf
berat 3. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku
Peralatan Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Infus set, peralatan laboratorium untuk
pemeriksaan darah lengkap

32. ULKUS PADA TUNGKAI


No. ICPC-2 No. ICD-10 : S97Chronic Ulcer Skin
: I83.0 Varicose veins of lower extremities with ulcer
L97 Ulcer of lower limb, notelsewhere classified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan satu penyebab rusaknya pembuluh darah.


Ulkus pada tungkai adalah penyakit arteri, Pembagian ulkus kruris dibagi ke dalam empat
vena, kapiler dan pembuluh darah limfe yang golongan yaitu, ulkus tropikum, ulkus varikosus,
dapat menyebabkan kelainan pada kulit. ulkus arterial dan ulkus neurotrofik.
Insiden penyakit ini meningkat seiring dengan Hasil Anamnesis (Subjective)
bertambahnya usia. Di negara tropis, insidens
ulkus kruris lebih kurang 2% dari populasi dan Keluhan
didominasi oleh ulkus neurotropik dan ulkus
Pasien datang dengan luka pada tungkai bawah.
varikosum. Wanita lebih banyak terserang ulkus
Luka bisa disertai dengan nyeri atau tanpa
varikosum daripada pria, dengan perbandingan
nyeri. Terdapat penyakit penyerta lainnya yang
2:1, dengan usia rata-rata di atas 37 tahun
mendukung kerusakan pembuluh darah dan
untuk prevalensi varises.
jaringan saraf perifer.
Trauma, higiene yang buruk, gizi buruk,
Anamnesa:
gangguan pada pembuluh darah dan kerusakan
1. Dapat ditanyakan kapan luka pertama kali
saraf perifer dianggap sebagai penyebab yang
terjadi. Apakah pernah mengalami hal yang
paling sering. Kerusakan saraf perifer biasanya
sama di daerah yang lain.
terjadi pada penderita diabetes mellitus dan
2. Perlu diketahui apakah pernah mengalami
penderita kusta. Hipertensi juga dikaitkan
fraktur tungkai atau kaki. Pada tungkai
sebagai salah
perlu diperhatikan apakah ada vena tungkai Pemeriksaan penunjang
superfisial yang menonjol dengan tanda
inkompetensi katup. 1. Pemeriksaan darah lengkap
3. Perlu diketahui apakah penderita 2. Urinalisa
mempunyai indikator adanya penyakit 3. Pemeriksaan kadar gula dan kolesterol
yang dapat memperberat kerusakan pada 4. Biakan kuman
pembuluh darah. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Faktor Risiko: usia penderita, berat badan, jenis Diagnosis klinis
pekerjaan, penderita gizi buruk, mempunyai
higiene yang buruk, penyakit penyerta yang bisa Dapat ditegakkan dengan anamnesis,
menimbulkan kerusakan pembuluh darah. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, Pemeriksaan biakan kuman pada
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang ulkus sangat membantu dalam diagnosa dan
Sederhana (Objective) pemberian terapi.
Pemeriksaan fisik Tabel 11.2. Diagnosa klinis ulkus pada tungkai
Gejala Klinis
Gejala klinis keempat tipe ulkus dapat di lihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 11.1 Gejala klinis ulkus pada tungkai

Diagnosis Banding
Keadaan dan bentuk luka dari keempat
jenis ulkus ini sulit di bedakan pada stadium
lanjut. Pada ulkus tropikum yang kronis dapat
menyerupai ulkus varikosum atau ulkus
arteriosum.
Gambar : 11.41 Ulkus Varikosum a. Selalu menjaga kaki dalam keadaan
bersih.
b. Membersihkan dan mencuci kaki setiap
hari dengan air mengeringkan
dengan sempurna dan hati-hati
terutama diantara jari-jari kaki.
c. Memakai krim kaki yang baik pada
kulit yang kering atau tumit yang retak-
retak. Tidak memakai bedak, sebab ini
akan menyebabkan kering dan retak-
retak.
d. Menggunting kuku, lebih mudah
dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) lembut.
e. Menghindari penggunaan air panas
Penatalaksanaan atau bantal panas.
f. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki,
1. Non medikamentosa
termasuk di pasir.
a. Perbaiki keadaan gizi dengan makanan
yang mengandung kalori dan protein Tabel 11.3. Penatalaksanaan terapi pada ulkus
tinggi, serta vitamin dan mineral. tungkai
b. Hindari suhu yang dingin
c. Hindari rokok
d. Menjaga berat badan
e. Jangan berdiri terlalu lama dalam
melakukan pekerjaan
2. Medikamentosa
Pengobatan yang akan dilakukan
disesuaikan dengan tipe dari ulkus tersebut.
a. Pada ulkus varikosum lakukan terapi
dengan meninggikan letak tungkai saat
berbaring untuk mengurangi hambatan
aliran pada vena, sementara untuk
varises yang terletak di proksimal dari
ulkus diberi bebat elastin agar dapat
membantu kerja otot tungkai bawah
memompa darah ke jantung.
b. Pada ulkus arteriosum, pengobatan
untuk penyebabnya dilakukan konsul ke
bagian bedah.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi perawatan kaki
2. Olah raga teratur dan menjaga berat badan
ideal
3. Menghindari trauma berulang, trauma
dapat berupa fisik, kimia dan panas yang Komplikasi
biasanya berkaitan dengan aktivitas atau 1. Hematom dan infeksi pada luka
jenis pekerjaan.
2. Thromboembolisme (resiko muncul akibat
4. Menghentikan kebiasaan merokok.
dilakukan pembedahan)
5. Merawat kaki secara teratur setiap hari,
dengan cara : 3. Terjadi kelainan trofik dan oedem secara
spontan Referensi
4. Resiko amputasi jika keadaan luka
memburuk 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kriteria Rujukan kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Respon terhadap perawatan ulkus tungkai
akan berbeda. Hal ini terkait lamanya ulkus, 2. Sudirman, U. 2002. Ulkus Kulit dalam
luas dari ulkus dan penyebab utama. Ulkus Kulit. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta.
Hipokrates.
Prognosis
3. Cunliff, T. Bourke, J. Brown Graham R. 2012.
1. Ad vitam : Dubia Dermatologi Dasar Untuk Praktik Klinik.
2. Ad functionam : Dubia Jakarta. EGC.
3. Ad sanationam : Dubia

33. SINDROM STEVENS-JOHNSON


No. ICPC-2: S99 Skin disease other
No. ICD-10: L51.1 Bullous erythema multiforme
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Faktor Risiko
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan
1. Mengkonsumsi obat-obatan yang dicurigai
sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
dapat mengakibatkan SSJ. Beberapa
di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
obat yang yang berisiko tinggi dapat
yang bervariasi dari ringan hingga berat. SSJ
menyebabkan terjadinya SSJ antara lain
merupakan bentuk minor dari toxic epidermal
allopurinol, trimethoprim- sulfamethoxazol,
necrolysis (TEN) dengan pengelupasan kulit
antibiotik golongan sulfonamid,
kurang dari 10% luas permukaan tubuh. SSJ
aminopenisillin, sefalosporin, kuinolon,
menjadi salah satu kegawatdaruratan karena
karbamazepin, fenitoin, phenobarbital,
dapat berpotensi fatal. Angka mortalitas
antipiretik / analgetik (salisil/pirazolon,
SSJ berkisar 1-5% dan lebih meningkat pada
metamizol, metampiron dan parasetamol)
pasien usia lanjut. Insiden sindrom ini semakin
dan NSAID. Selain itu berbagai penyebab
meningkat karena salah satu penyebabnya
dikemukakan di pustaka, misalnya: infeksi
adalah alergi obat dan sekarang obat-obatan
(bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma,
cenderung dapat diperoleh bebas.
paska-vaksinasi, radiasi dan makanan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
2. Sistem imun yang lemah, misalnya pada
Keluhan HIV/AIDS.
Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai 3. Riwayat keluarga menderita SSJ.
berat. Pada fase akut dapat disertai gejala
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
prodromal berupa:demam tinggi, malaise,
Sederhana (Objective)
nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan,
arthralgia. Gejala prodromal selanjutnya akan Pemeriksaan Fisik
berkembang ke arah manifestasi
mukokutaneus. SSJ memiliki trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Dapat berupa eritema, papul, purpura, 3. Pemphigus bullosa
vesikel dan bula yang memecah kemudian 4. Staphyloccocal Scalded Skin Syndrome
terjadi erosi luas. Lesi yang spesifik berupa (SSSS)
lesi target. Pada SSJ berat maka kelainannya
generalisata. Komplikasi
Ciri khas lesi di kulit adalah: Komplikasi tersering adalah bronkopneumonia,
a. ruam diawali dengan bentuk makula dapat pula terjadi gangguan elektrolit hingga
yang berubah menjadi papul, vesikel, syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan.
bula, plakurtikaria atau eritema
konfluens Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
b. tanda patognomoniknya adalah lesi
target Penatalaksanaan
c. berbeda dengan lesi eritema 1. Bila keadaan umum penderita cukup
multiform, lesi SSJ hanya memiliki baik dan lesi tidak menyeluruh dapat
2 zona warna, yaitubagian tengah diberikan metilprednisolon 30-40 mg/hari.
dapat berupa vesikel,purpura atau 2. Mengatur keseimbangan cairan/elektrolit
nekrotik yang dikelilingi oleh dan nutrisi.
tepiberbentuk makular eritema.
d. lesi yang menjadi bula akan pecah Setelah dilakukan penegakan diagnosis perlu
menimbulkan kulit yang terbuka yang segera dilakukan penentuan tingkat keparahan
akan rentanterinfeksi dan prognosis dengan menggunakan sistem
e. lesi urtikaria tidak gatal skoring SCORTEN.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium:
tersering adalah pada mulut (90-100%), Pasien dengan skoring SCORTEN 3 atau lebih
genitalia (50%), lubang hidung (8%) dan sebaiknya segera ditangani di unit perawatan
anus (4%). Kelainan berupa vesikel dan intensif.
bula yang pecah dan mengakibatkan erosi, Tabel 11.5. SCORTEN (Skor keparahan penyakit)
ekskoriasi, dan krusta kehitaman.
pada Sindrom
3. Kelainan mata, terjadi pada 80% di antara
semua kasus, tersering adalah konjugtivitis
kataralis, konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis, dan iridosiklitis.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas,
dapat dilakukan pemeriksaan darah perifer
lengkap, yang menunjukkan hasil leukositosis
yang menunjukkan adanya infeksi atau
eosinofilia kemungkinan adanya faktor alergi.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Konseling dan Edukasi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan bila diperlukan dapat dilakukan Pasien dan keluarga diberikan penjelasan
pemeriksaan histopatologi kulit. mengenai penyebab SSJ sehingga faktor
Diagnosis Banding pencetus SSJdapat dihindari di kemudian hari.

1. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Kriteria Rujukan


2. Pemphigus vulgaris Berdasarkan skoring SCORTEN pasien
dengan skor 3 atau lebih harus dirujuk ke
fasiltas pelayanan kesehatan sekunder untuk
mendapatkan perawatan intensif
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan
darah lengkap.
Prognosis
1. Bila penangan tepat dan segera maka
prognosis cukup baik.
2. Prognosis malam bila terdapat purpura
luas, leukopenia, dan bronkopneumonia.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2002.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal
necrolysis and Stevens- Johnson syndrome.
Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
3. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis
and Stevens JohnsonSyndrome: Our Current
Understanding. Allergology
International,55, 9-16
L. METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI

1. OBESITAS
No. ICPC-2
: T82 obesity, T83 overweight
No. ICD-10
: E66.9 obesity unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
penambahan berat badan dan retensi
Obesitas merupakan keadaan dimana natrium), usia (misalnya menopause),
seseorang memiliki kelebihan lemak (body fat) kejadian tertentu (misalnya berhenti
sehingga orang tersebut memiliki risiko merokok, berhenti dari kegiatan olahraga,
kesehatan. Riskesdas 2013, prevalensi penduduk dsb).
laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
sebanyak 19,7% lebih tinggi dari tahun 2007
Sederhana (Objective)
(13,9%) dan
tahun 2010 (7,8%). Sedangkan pada perempuan Pemeriksaan Fisik
di tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan 1. Pengukuran Antropometri (BB, TB dan LP)
dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 Indeks Masa Tubuh (IMT/Body mass index/
persen BMI) menggunakan rumus Berat Badan
dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari (Kg)/ Tinggi Badan kuadrat (m2).
tahun 2010 (15,5%).WHO, dalam data terbaru Pemeriksaan fisik lain sesuai keluhan untuk
Mei 2014, obesitas merupakan faktor risiko menentukan telah terjadi komplikasi atau
utama untuk penyakit tidak menular seperti risiko tinggi
penyakit kardiovaskular (terutama penyakit
jantung dan stroke), diabetes, gangguan 2. Pengukuran lingkar pinggang (pada
muskuloskeletal, beberapa jenis kanker pertengahan antara iga terbawah dengan
(endometrium, payudara, dan usus besar). Dari kristailiaka, pengukuran dari lateral dengan
data tersebut, peningkatan penduduk dengan pita tanpa menekan jaringan lunak).Risiko
obesitas, secara langsung akan meningkatkan meningkat bila laki-laki >85 cm dan
penyakit akibat kegemukan. perempuan >80cm.
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Pengukuran tekanan darah untuk
menentukan risiko dan komplikasi, misalnya
Keluhan hipertensi.
Biasanya pasien datang bukan dengan keluhan Pemeriksaan Penunjang
kelebihan berat badan namun dengan adanya
gejala dari risiko kesehatan yang timbul. Untuk menentukan risiko dan komplikasi, yaitu
pemeriksaan kadar gula darah, profil lipid, dan
Penyebab asam urat.
1. Ketidakseimbangnya asupan energi dengan Penegakan Diagnostik (Assessment)
tingkatan aktifitas fisik.
Diagnosis Klinis
2. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
antara lain kebiasaan makan berlebih, pemeriksaan fisik dan penunjang.
genetik, kurang aktivitas fisik, faktor
psikologis dan stres, obat-obatan (beberapa
obat seperti steroid, KB hormonal, dan anti-
depresan memiliki efek samping
Tabel 12.1 Kategori obesitas Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Non –Medikamentosa
1. Penatalaksanaan dimulai dengan kesadaran
pasien bahwa kondisi sekarang adalah
obesitas, dengan berbagai risikonya dan
berniat untuk menjalankan program
penurunan berat badan
2. Diskusikan dan sepakati target pencapaian
dan cara yang akan dipilih (target rasional
Diagnosis Banding: adalah penurunan 10% dari BB sekarang)
1. Keadaan asites atau edema 3. Usulkan cara yang sesuai dengan faktor
2. Masa otot yang tinggi, misalnya pada risiko yang dimiliki pasien, dan jadwalkan
olahragawan pengukuran berkala untuk menilai
Diagnosis klinis mengenai kondisi kesehatan keberhasilan program
yang berasosiasi dengan obesitas: 4. Penatalaksanaan ini meliputi perubahan
1. Hipertensi pola makan (makan dalam porsi kecil
2. DM tipe 2 namun sering) dengan mengurangi
3. Dislipidemia konsumsi lemak dan kalori, meningkatkan
4. Sindrom metabolik latihan fisik dan bergabung dengan
5. Sleep apneu obstruktif kelompok yang bertujuan sama dalam
6. Penyakit sendi degeneratif mendukung satu sama lain dan diskusi hal-
hal yang dapat membantu dalam
Komplikasi pencapaian target penurunan berat badan
ideal.
Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit
kardiovakular, Sleep apnoe, abnormalitas 5. Pengaturan pola makan dimulai dengan
hormon reproduksi, Low back pain, perlemakan mengurangi asupan kalori sebesar 300-500
hati kkal/hari dengan tujuan untuk menurunkan
berat badan sebesar ½-1 kg per minggu.
Obesitas dikelompokkan menjadi obesitas risiko
tinggi bila disertai dengan 3 atau lebih keadaan 6. Latihan fisik dimulai secara perlahan dan
di bawah ini: ditingkatkan secara bertahap intensitasnya.
Pasien dapat memulai dengan berjalan
1. Hipertensi
selama 30 menit dengan jangka waktu
2. Perokok
5 kali seminggu dan dapat ditingkatkan
3. Kadar LDL tinggi
intensitasnya selama 45 menit dengan
4. Kadar HDL rendah
jangka waktu 5 kali seminggu.
5. Kadar gula darah puasa tidak stabil
6. Riwayat keluarga serangan jantung usia Konseling dan Edukasi
muda
7. Usia (laki-laki > 45 thn, atau perempuan > 1. Perlu diingat bahwa penanganan obesitas
55 thn). dan kemungkinan besar seumur hidup.
Adanya motivasi dari pasien dan keluarga
untuk menurunkan berat badan hingga
mencapai BB ideal sangat membantu
keberhasilan terapi.
2. Menjaga agar berat badan tetap normal berat badan, maka pasien dirujuk ke
dan mengevaluasi adanya penyakit spesialis penyakit dalam untuk memperoleh
penyerta. obat-obatan penurun berat badan
3. Membatasi asupan energi dari lemak total Prognosis
dan gula.
Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai
4. Meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, obesitas. Risiko akan meningkat seiring dengan
serta kacang- kacangan, biji-bijian dan tingginya kelebihan berat badan.
kacang-kacangan.
Referensi
5. Terlibat dalam aktivitas fisik secara teratur
(60 menit sehari untuk anak-anak dan 150 1. Henthorn, T.K. Anesthetic Consideration in
menit per minggu untuk orang dewasa) Morbidly Obese Patients. [cite 2010 June
12] Available from: http://cucrash.com/
Kriteria Rujukan Handouts04/MorbObese Henthorn.pdf.
1. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit 2. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. Dalam:
dalam bila pasien merupakan obesitas Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed.
dengan risiko tinggi dan risiko absolut V. Jakarta. 2006. Hal. 1973-83.
2. Jika sudah dipercaya melakukan modifikasi 3. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.
gaya hidup (diet yang telah diperbaiki, Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter
aktifitas fisik yang meningkat dan Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI.
perubahan perilaku) selama 3 bulan, 200. (Trisna, 2008)
dantidak memberikanrespon terhadap
penurunan

2. TIROTOKSIKOSIS
No. ICPC-2: T85 Hipertiroidisme/tirotoksikosis
No. ICD-10: E05.9 Tirotoksikosis unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Janin yang dikandungnya dapat mengalami
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis tirotoksikosis pula, dan keadaaan hepertiroid
akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar pada janin dapat menyebabkan retardasi
disirkulasi. Data Nasional dalam Riskesdas 2013, pertumbuhanm kraniosinostosis, bahkan
hipertiroid di Indonesia, terdiagnosis dokter kematian janin.
sebesar 0,4%. Prevalensi hipertiroid tertinggi di
Hasil Anamnesis (Subjective)
DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing
0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat Keluhan
(0,5%). Tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori,
yaitu yang berhubungan dengan hipertiroidisme Pasien dengan tirotoksikosis memiliki gejala
dan yang tidak berhubungan. antara lain:

Tirotoksikosis dapat berkembang menjadi krisis 1. Berdebar-debar


tiroid yang dapat menyebabkan kematian. 2. Tremor
Tirotoksikosis yang fatal biasanya disebabkan 3. Iritabilitas
oleh autoimun Grave’s disease pada ibu hamil. 4. Intoleran terhadap panas
5. Keringat berlebihan
6. Penurunan berat badan bebas di dalam plasma (serum free T4 & T3
7. Peningkatan rasa lapar (nafsu makan meningkat dan TSH sedikit hingga tidak ada).
bertambah)
8. Diare Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan
9. Gangguan reproduksi (oligomenore/ secara klinis melaui anamnesis dan pemeriksaan
amenore dan libido turun) fisik tanpa pemeriksaan laboratorium,
10. Mudah lelah namun untuk menilai kemajuan terapi tanpa
pemeriksaan penunjang sulit dideteksi.
11. Pembesaran kelenjar tiroid
12. Sukar tidur Diagnosis Banding
13. Rambut rontok
1. Hipertiroidisme primer: penyakir Graves,
Faktor Risiko struma multinudosa toksik, adenoma
toksik, metastase karsinoma tiroid
Memiliki penyakit Graves (autoimun
fungsional, struma ovari,mutasi reseptor
hipertiroidisme) atau struma multinodular
TSH, kelebihan iodium (fenomena Jod
toksik
Basedow).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Tirotoksikosis tanpa hipotiroidisme:
Sederhana (Objective) tiroiditis sub akut, tiroiditis silent, destruksi
tiroid, (karena aminoidarone, radiasi, infark
Pemeriksaan Fisik adenoma) asupan hormon tiroid berlebihan
1. Benjolan di leher depan (tirotoksikosis faktisia)
2. Takikardia 3. Hipertiroidisme sekunder: adenoma
3. Demam hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom
4. Exopthalmus resistensi hormon tiroid, tumor yang
5. Tremor mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional.
4. Anxietas
Spesifik untuk penyakit Grave :
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Oftalmopati (spasme kelopak mata atas
dengan retraksi dan gerakan kelopak Penatalaksanaan
mata yang lamban, eksoftalmus dengan 1. Pemberian obat simptomatis
proptosis, pembengkakan supraorbital dan 2. Propanolol dosis 40-80 mg dalam 2-4 dosis.
infraorbital) 3. PTU 300-600 mg dalam 3 dosis bila klinis
2. Edema pretibial Graves jelas
3. Kemosis,
4. Ulkus kornea Rencana Tindak Lanjut
5. Dermopati
1. Diagnosis pasti dan penatalaksanaan
6. Akropaki
awal pasien tirotoksikosis dilakukan pada
7. Bruit
pelayanan kesehatan sekunder
Pemeriksaan Penunjang 2. Bila kondisi stabil pengobatan dapat
dilanjutkan di fasilitas pelayanan tingkat
1. Darah rutin, SGOT, SGPT, gula darah pertama.
sewaktu
2. EKG Konseling dan Edukasi
Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Pada pasien diberikan edukasi mengenai
pengenalan tanda dan gejala tirotoksikosis
Diagnosis Klinis 2. Anjuran kontrol dan minum obat secara
Untukhipertiroidismediagnosis yang tepat teratur.
adalah dengan pemeriksaan konsentrasi
tiroksin
3. Melakukan gaya hidup sehat Referensi
Kriteria Rujukan 1. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal
Pasien dirujuk untuk penegakan diagnosis 1961-5.2006.
dengan pemeriksaan laboratorium ke layanan
sekunder. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Peralatan Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004.
EKG
Prognosis
Prognosis tergantung respon terapi, kondisi
pasien serta ada tidaknya komplikasi.

3. DIABETES MELLITUS TIPE 2


No. ICPC-2 No. ICD-10 : T90 Diabetes non-insulin dependent
: E11 Non-insulin-dependent diabetes mellitus
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan 1. Polifagia


Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut 2. Poliuri
American Diabetes Association (ADA) adalah 3. Polidipsi
kumulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia 4. Penurunan berat badan yang tidak jelas
akibat defek pada kerja insulin (resistensi sebabnya
insulin) dan sekresi insulin atau kedua-duanya. Keluhan tidak khas
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, terjadi peningkatan dari 1,1% 1. Lemah
(2007) menjadi 2. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung
2,1% (2013). Proporsi penduduk ≥15 tahun ekstremitas)
dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9%. 3. Gatal
WHO memprediksi kenaikan jumlah 4. Mata kabur
penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta 5. Disfungsi ereksi pada pria
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada 6. Pruritus vulvae pada wanita
tahun 2030. Senada dengan WHO, International 7. Luka yang sulit sembuh
Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009,
Faktor risiko
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM
dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta 1. Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/
pada tahun 2030. Meskipun terdapat m2)
perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya 2. Riwayat penyakit DM di keluarga
menunjukkan adanya peningkatan jumlah 3. Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada atau sedang dalam terapi hipertensi)
tahun 2030. 4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL >
4000 gram atau pernah didiagnosis DM
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gestasional Perempuan dengan riwayat
Keluhan PCOS (polycistic ovary syndrome)
100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l)
5. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu)/TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)
6. Aktifitas jasmani yang kurang
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Penilaian berat badan
2. Mata : Penurunan visus, lensa mata buram
3. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan
mikrofilamen
Pemeriksaan Penunjang
1. Gula Darah Puasa
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial
3. Urinalisis
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi
glukosa:
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia,
polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200
mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
ATAU
2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma
puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan
pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes
toleransi glukosa oral (TTGO)> 200 mg/
dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban
glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan
dalam air.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok Toleransi
Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa
Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil yang
diperoleh
Kriteria gangguan toleransi glukosa:
1. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara
2. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
TTGO kadar glukosa plasma 140–199
mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa
75 gram (7,8 -11,1 mmol/L)
3. HbA1C 5,7 -6,4%
Komplikasi
1. Akut: Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar
non ketotik, Hipoglikemia
2. Kronik: Makroangiopati, Pembuluh darah
jantung, Pembuluh darah perifer,
Pembuluh darah otak
3. Mikroangiopati: Pembuluh darah kapiler
retina, pembuluh darah kapiler renal
4. Neuropati
5. Gabungan: Kardiomiopati, rentan infeksi,
kaki diabetik, disfungsi ereksi
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan
dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
(algoritma pengelolaan DM tipe 2)
Gambar 12.1 Algoritme Diagnosis
Diabetes Mellitus Tipe 2
Gambar 12.2 Algoritma pengelolaan Diabetes Rencana Tindak Lanjut
Melitus tipe 2 tanpa komplikasi
Tindak lanjut adalah untuk pengendalian
kasus DM berdasarkan parameter berikut:
Table 12.2 Kriteria pengendalian DM
(berdasarkan konsensusDM)

Catatan: Pemilihan jenis Obat Hipoglikemik oral


(OHO) dan insulin bersifat individual tergantung Angka-angka laboratorium di atas adalah hasil
kondisi pasien dan sebaiknya mengkombinasi pemeriksaan plasma vena.
obat dengan cara kerja yang berbeda.
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari
Dosis OHO darah kapiler darah utuh dan plasma vena

Cara Pemberian OHO, terdiri dari: Konseling dan Edukasi

1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan Edukasi meliputi pemahaman tentang:
ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh
kadar glukosa darah, dapat diberikansampai
tetapi dapat dikontrol
dosis optimal.
2. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan. 2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada
3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah penderita misalnya olahraga, menghindari
makan. rokok, dan menjaga pola makan.
4. Penghambat glukosidase (Acarbose):
bersama makan suapanpertama. 3. Pemberian obat jangka panjang dengan
kontrol teratur setiap 2 minggu
Penunjang Penunjang
Perencanaan Makan
1. Urinalisis
2. Funduskopi Standar yang dianjurkan adalah makanan
3. Pemeriksaan fungsi ginjal dengan komposisi:
4. EKG 1. Karbohidrat 45 – 65 %
5. Xray thoraks 2. Protein 15 – 20 %
3. Lemak 20 – 25 % sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan
kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun,
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < harus tetap dilakukan.
300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Kriteria Rujukan
Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA
(Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi
jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, berikut:
diutamakan serat larut. 1. DM tipe 2 dengan komplikasi
Jumlah kalori basal per hari: 2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat
1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman
2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman Peralatan

Rumus Broca:* 1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula


darah, darah rutin, urin rutin, ureum,
Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 % kreatinin
2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak serta dewasa
dikurangi 10 % lagi.
3. Monofilamen test
BB kurang : < 90 % BB idaman Prognosis
BB normal : 90 – 110 % BB idaman
BB lebih : 110 – 120 % BB idaman Prognosis umumnya adalah dubia. Karena
Gemuk : >120 % BB idaman penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari): vitam umumnya adalah dubia ad bonam,
namun quo ad fungsionam dan sanationamnya
1. Status gizi: adalah dubia ad malam.
a. BB gemuk - 20 %
Referensi
b. BB lebih - 10 %
c. BB kurang + 20 % 1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.Buku ajar ilmu
2. Umur > 40 tahun : -5% penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta:
3. Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
+ (10 s/d 30 %) Penyakit Dalam FKUI; 2006.

4. Aktifitas: 2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.


Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
a. Ringan + 10 % Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
b. Sedang + 20 % (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
c. Berat + 30 % 2006)
5. Hamil: 3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
a. trimester I, II + 300 kal FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan
b. trimester III / laktasi + 500 kal Diabetes Mellitus pada Layanan Primer,
ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran
Latihan Jasmani Komunitas Indonesia FKUI,2012)
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur
(3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-60
menit minimal 150 menit/minggu intensitas
4. HIPERGLIKEMIA HIPEROSMOLAR NON KETOTIK
No. ICPC-2: A91 Abnormal result invetigation NOS
No. ICD-10: R73.9 Hyperglycaemia unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan dan


Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
merupakan komplikasi akut pada DM tipe 2
berupa peningkatan kadar gula darah yang
sangat tinggi (>600 mg/dl-1200 mg/dl) dan
ditemukan tanda- tanda dehidrasi tanpa disertai
gejala asidosis. HHNK biasanya terjadi pada
orang tua dengan DM, yang mempunyai
penyakit penyerta dengan asupan makanan
yang kurang. Faktor pencetus serangan antara
lain: infeksi, ketidakpatuhan dalam pengobatan,
DM tidak terdiagnosis, dan penyakit penyerta
lainnya.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Lemah
2. Gangguan penglihatan
3. Mual dan muntah
4. Keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,
hemiparesis, kejang atau koma.
Secara klinis HHNK sulit dibedakan dengan
ketoasidosis diabetik terutama bila hasil
laboratorium seperti kadar gula darah, keton,
dan keseimbangan asam basa belum ada
hasilnya.
Untuk menilai kondisi tersebut maka dapat
digunakan acuan, sebagai berikut:
1. Sering ditemukan pada usia lanjut, yaitu
usia lebih dari 60 tahun, semakin muda
semakin berkurang, dan belum pernah
ditemukan pada anak.
2. Hampir separuh pasien tidak mempunyai
riwayat DM atau diabetes tanpa
pengobatan insulin.
3. Mempunyai penyakit dasar lain. Ditemukan
85% pasien HHNK mengidap penyakit ginjal
atau kardiovaskular, pernah ditemukan
pada penyakit akromegali, tirotoksikosis,
penyakit Cushing.
4. Sering disebabkan obat-obatan antara
lain Tiazid, Furosemid, Manitol, Digitalis,
Reserpin, Steroid, Klorpromazin,
Hidralazin, Dilantin, Simetidin, dan
Haloperidol (neuroleptik).
5. Mempunyai faktor pencetus, misalnya
penyakit kardiovaskular, aritmia,
perdarahan, gangguan keseimbangan
cairan, pankreatitis, koma hepatik, dan
operasi.
Dari anamnesis keluarga biasanya faktor
penyebab pasien datang ke rumah sakit adalah
poliuria, polidipsia, penurunan berat badan,
dan penurunan kesadaran.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien apatis sampai koma
2. Tanda-tanda dehidrasi berat seperti:
turgor buruk, mukosa bibir kering, mata
cekung, perabaan ekstremitas yang dingin,
denyut nadi cepat dan lemah.
3. Kelainan neurologis berupa kejang
umum, lokal, maupun mioklonik, dapat
juga terjadi hemiparesis yang bersifat
reversible dengan koreksi defisit cairan
4. Hipotensi postural
5. Tidak ada bau aseton yang tercium dari
pernapasan
6. Tdak ada pernapasan Kussmaul.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaaan
kadar gula darah
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Secara klinis dapat didiagnosis melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan kadar gula darah sewaktu
Diagnosis Banding Peralatan
Ketoasidosis Diabetik (KAD), Ensefalopati Laboratorium untuk pemeriksaan glukosa darah
uremikum, Ensefalopati karena infeksi
Prognosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Prognosis biasanya buruk, sebenarnya kematian
Penatalaksanaan pasien bukan disebabkan oleh sindrom
hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang
Penanganan kegawatdaruratan yang diberikan mendasari atau menyertainya.
untuk mempertahankan pasien tidak
mengalami dehidrasi lebih lama. Proses Referensi
rujukan harus segera dilakukan untuk mencegah
komplikasi yang lebih lanjut. 1. Soewondo, Pradana. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta:
Pertolongan pertama dilayanan tingkat pertama FK UI. Hal 1900-2.
adalah:
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
1. Memastikan jalan nafas lancar dan Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
membantu pernafasan dengan Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
suplementasi oksigen
2. Memasang akses infus intravena dan
melakukan hidrasi cairan NaCl 0.9 % dengan
target TD sistole > 90 atau produksi urin
>0.5 ml/kgbb/jam
3. Memasang kateter urin untuk pemantauan
cairan
4. Dapat diberikan insulin rapid acting
bolus intravena atau subkutan sebesar
180 mikrounit/kgBB
Komplikasi
Oklusi vakular, Infark miokard, Low-flow
syndrome, DIC, Rabdomiolisis
Konseling dan Edukasi
Edukasi ke keluarga mengenai kegawatan
hiperglikemia dan perlu segera dirujuk
Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan tanda vital dan gula darah perjam
Kriteria Rujukan
Pasien harus dirujuk ke layanan sekunder
(spesialis penyakit dalam) setelah mendapat
terapi rehidrasi cairan.
5. HIPOGLIKEMIA
No. ICPC-2: T87 hypoglycaemia
No. ICD-10: E16.2 hypoglycaemia unspecified
Tingkat Kemampuan: Hipoglikemia ringan 4A
Hipoglikemia berat 3B

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar Sederhana (Objective)
glukosa darah <60 mg/dl, atau kadar glukosa
Pemeriksaan Fisik
darah <80 mg/dl dengan gejala klinis..
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari 1. Pucat
penyandang diabetes melitus dan geriatri. 2. Diaphoresis/keringat dingin
3. Tekanan darah menurun
Hipoglikemia dapat terjadi karena:
4. Frekuensi denyut jantung meningkat
1. Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau 5. Penurunan kesadaran
obat hipoglikemia oral yaitu sulfonilurea. 6. Defisit neurologik fokal (refleks patologis
2. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif positif pada satu sisi tubuh) sesaat.
menurun; gagal ginjal kronik,dan paska
Pemeriksaan Penunjang
persalinan.
3. Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori Kadar glukosa darah sewaktu
atau waktu makan tidak tepat.
4. Kegiatan jasmani berlebihan. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis

Keluhan Diagnosis hipoglikemia ditegakkan berdasarkan


gejala-gejalanya dan hasil pemeriksaan kadar
Tanda dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi gula darah. Trias whipple untuk hipoglikemia
pada setiap individu dari yang ringan sampai secara umum:
berat, sebagai berikut:
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
1. Rasa gemetar 2. Kadar glukosa plasma rendah
2. Perasaan lapar 3. Gejala mereda setelah kadar glukosa
3. Pusing plasma meningkat.
4. Keringat dingin
5. Jantung berdebar Diagnosis Banding
6. Gelisah 1. Syncope vagal
7. Penurunan kesadaran bahkan sampai koma 2. Stroke/TIA Komplikasi: Kerusakan otak,
dengan atau tanpa kejang. koma, kematian
Pada pasien atau keluarga perlu ditanyakan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
adanya riwayat penggunan preparat insulin
atau obat hipoglemik oral, dosis terakhir, waktu Penatalaksanaan
pemakaian terakhir, perubahan dosis, waktu
Stadium permulaan (sadar):
makan terakhir, jumlah asupan makanan, dan
aktivitas fisik yang dilakukan. 1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok
makan) atau sirop/permen atau gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula Konseling dan Edukasi
diet/ gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara. (terutama penderita diabetes), hendaknya
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam. selalu membawa tablet glukosa karena efeknya
3. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila cepat timbul dan memberikan sejumlah gula
sebelumnya tidak sadar). yang konsisten.
4. Cari penyebab hipoglikemia dengan Kriteria Rujukan
anamnesis baik auto maupun allo
anamnesis. 1. Pasien hipoglikemia dengan penurunan
kesadaran harus dirujuk ke layanan
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sekunder (spesialis penyakit dalam) setelah
sadar dan curiga hipoglikemia): diberikan dekstrose 40% bolus dan infus
1. Diberikan larutan dekstrose 40% sebanyak dekstrose 10% dengan tetesan 6 jam per
2 flakon (=50 mL) kolf.
2. bolus intra vena. 2. Bila hipoglikemi tidak teratasi setelah 2
3. Diberikan cairan dekstrose 10 % per infus 6 jam tahap pertama protokol penanganan
jam perkolf.
4. Periksa GDS setiap satu jam setelah Peralatan
pemberian dekstrosa 40% 1. Laboratorium untuk pemeriksaan kadar
a. Bila GDS< 50 mg/dLbolus dekstrosa 40 glukosa darah.
% 50 mL IV. 2. Cairan Dekstrosa 40 % dan Dekstrosa 10 %
b. Bila GDS<100 mg/dLbolus dekstrosa
40 % 25 mL IV. Prognosis
c. Bila GDS 100 – 200 mg /dL tanpa bolus
dekstrosa 40 %. Prognosis pada umumnya baik bila penanganan
cepat dan tepat.
d. Bila GDS> 200 mg/dL pertimbangan
menurunkan kecepatan drip dekstrosa Referensi
10 %.
5. Bila GDS> 100 mg/dL sebanyak 3 kali 1. Soemadji, Djoko Wahono. Buku Ajar Ilmu
berturut–turut, pemantauan GDS setiap 2 Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta:
jam, dengan protokol sesuai diatas, bila FK UI.2006. Hal 1892-5.
GDs 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
>200 mg/dL – pertimbangkan mengganti Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %. Dalam FKUI/RSCM. 2004.Hal 18-20.
6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali
berturut-turut, protokol hipoglikemi
dihentikan.
Rencana Tindak Lanjut
1. Mencari penyebab hipoglikemi kemudian
tatalaksana sesuai penyebabnya.
2. Mencegah timbulnya komplikasi menahun,
ancaman timbulnya hipoglikemia
merupakan faktor limitasi utama dalam
kendali glikemi pada pasien DM tipe 1 dan
DM tipe 2 yang mendapat terapi ini.
6. HIPERURISEMIA-GOUT ARTHRITIS
No. ICPC-2 : T99 Endocrine/metabolic/nutritional disease other T92 Gout
No. ICD-10 : E79.0 Hyperuricemia without signs of inflammatory arthritis & tophaceous disease
M10 Gout
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Arthritis monoartikuler dapat ditemukan,


Kondisi kadar asam urat dalam darah lebih dari biasanya melibatkan sendi metatarsophalang 1
7,0 mg/dl pada pria dan pada wanita 6 mg/dl. atau sendi tarsal lainnya. Sendi yang mengalami
Hiperurisemia dapat terjadi akibat inflamasi tampak kemerahan dan bengkak.
meningkatnya produksi ataupun menurunnya Pemeriksaan Penunjang
pembuangan asam urat, atau kombinasi dari
keduanya. 1. X ray: Tampak pembengkakan asimetris
pada sendi dan kista subkortikal tanpa
Gout adalah radang sendi yang diakibatkan erosi
deposisi kristal monosodium urat pada jaringan 2. Kadar asam urat dalam darah > 7 mg/dl.
sekitar sendi.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
1. Bengkak pada sendi pemeriksaan fisik dan untuk diagnosis definitif
2. Nyeri sendi yang mendadak, biasanya gout arthritis adalah ditemukannya kristal urat
timbul pada malam hari. (MSU) di cairan sendi atau tofus.
3. Bengkak disertai rasa panas dan kemerahan.
4. Demam, menggigil, dan nyeri badan. Gambaran klinis hiperurisemia dapat berupa:

Apabila serangan pertama, 90% kejadian hanya 1. Hiperurisemia asimptomatis


pada 1 sendi dan keluhan dapat menghilang Keadaan hiperurisemia tanpa manifestasi
dalam 3-10 hari walau tanpa pengobatan. klinis berarti. Serangan arthritis biasanya
muncul setelah 20 tahun fase ini.
Faktor Risiko
2. Gout arthritis, terdiri dari 3 stadium, yaitu:
1. Usia dan jenis kelamin a. Stadium akut
2. Obesitas b. Stadium interkritikal
3. Alkohol c. Stadium kronis
4. Hipertensi
5. Gangguan fungsi ginjal 3. Penyakit Ginjal
6. Penyakit-penyakit metabolik
Diagnosis Banding
7. Pola diet
8. Obat: aspirin dosis rendah, diuretik, obat- Sepsis arthritis, Rheumatoid arthritis, Arthritis
obat TBC lainnya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Komplikasi
Sederhana (Objective)
1. Terbentuknya batu ginjal
Pemeriksaan Fisik 2. Gagal ginjal.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Penatalaksanaan 1. Laboratorium untuk pemeriksaan asam urat.
2. Radiologi
1. Mengatasi serangan akut dengan segera
Prognosis
Obat: analgetik, kolkisin, kortikosteroid
Quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad fuctionam
a. Kolkisin (efektif pada 24 jam pertama
dubia
setelah serangan nyeri sendi timbul.
Dosis oral 0,5-0.6 mg per hari dengan Referensi
dosis maksimal 6 mg.
1. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s
b. Kortikosteroid sistemik jangka pendek Principals of Internal Medicine. 17thed.
(bila NSAID dan kolkisin tidak berespon USA: McGraw Hill, 2008.
baik) seperti prednisone 2-3x5 mg/hari
selama 3 hari 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
c. NSAID seperti natrium diklofenak 25-50 penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
mg selama 3-5 hari Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.
2. Program pengobatan untuk mencegah
serangan berulang
Obat: analgetik, kolkisin dosis rendah
3. Mengelola hiperurisemia (menurunkan
kadar asam urat) dan mencegah komplikasi
lain
a. Obat-obat penurun asam urat
Agen penurun asam urat (tidak
digunakan selama serangan akut).
Pemberian Allupurinol dimulai dari
dosis terendah 100 mg, kemudian
bertahap dinaikkan bila diperlukan,
dengan dosis maksimal 800 mg/hari.
Target terapi adalah kadar asam urat <
6 mg/dl.
b. Modifikasi gaya hidup
• Minum cukup (8-10 gelas/hari).
• Mengelola obesitas dan menjaga
berat badan ideal.
• Hindari konsumsi alkohol
• Pola diet sehat (rendah purin)
Kriteria Rujukan
1. Apabila pasien mengalami komplikasi
atau pasien memiliki penyakit komorbid
2. Bila nyeri tidak teratasi
7. DISLIPIDEMIA
No. ICPC-2: T93 Lipid disorder No. ICD-10: E78.5 Hiperlipidemia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid Diagnosis Klinis
yang ditandai dengan peningkatan maupun
penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan pemeriksaan fisik dan penunjang.
kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan atau
Tabel 12.3 Interpretasi kadar lipid plasma
trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL.
berdasarkan NECP (National Cholesterol
Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya
Education Program)
aterosklerosis sehingga dapat menyebabkan
stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK),
Peripheral Arterial Disease (PAD), Sindroma
Koroner Akut (SKA).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada umumnya dislipidemia tidak bergejala dan
biasanya ditemukan pada saat pasien
melakukan pemeriksaan rutin kesehatan
(medical check-up).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda-tanda vital
2. Pemeriksaaan antropometri (lingkar perut
dan IMT/Indeks Massa Tubuh).
Cara pengukuran IMT(kg/m2)= BB(kg)/TB2(m)
Diagnosis Banding : -
Pemeriksaan Penunjang
Komplikasi
Pemeriksaan laboratorium memegang
peranan penting dalam menegakkan Penyakit jantung koroner, stroke
diagnosa. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
pemeriksaan:
Penatalaksanaan
1. Kadar kolesterol total
2. Kolesterol LDL 1. Penatalaksanaan dalam dislipidemia dimulai
3. Kolesterol HDL dengan melakukan penilaian jumlah faktor
4. Trigliserida plasma risiko penyakit jantung koroner pada
pasien untuk menentukan kolesterol-LDL Gambar 12.3 Penatalaksanaan untuk masing-
yang harus dicapai. Berikut ini adalah masing kategori risiko
tabel faktor risiko (selain kolesterol LDL)
yang menentukan sasaran kolesterol
LDL yang ingin dicapai berdasarkan
NCEP- ATP III:
Tabel 12.4 Faktor risiko utama (selain
kolesterol LDL) yang menentukan sasaran
kolesterol LDL

2. Setelah menemukan banyaknya faktor


risiko pada seorang pasien, maka pasien
dibagi kedalam tiga kelompok risiko
penyakit arteri koroner yaitu risiko tinggi,
risiko sedang dan risiko tinggi. Hal ini
digambarkan pada tabel berikut ini:
Tabel 12.5 Tiga kategori risiko yang
menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin
dicapai berdasarkan NCEP (Sudoyo, 2006)

3. Selanjutnya penatalaksanaan pada pasien


ditentukan berdasarkan kategori risiko pada
tabel diatas. Berikut ini adalah bagan
penatalaksanaan untuk masing-masing
kategori risiko:
4. Terapi non farmakologis Konseling dan edukasi
a. Terapi nutrisi medis
Pasien dengan kadar kolesterol LDL 1. Perlu adanya motivasi dari pasien dan
tinggi dianjurkan untuk mengurangi keluarga untuk mengatur diet pasien dan
asupan lemak total dan lemak jenuh, aktivitas fisik yang sangat membantu
dan meningkatkan asupan lemak tak keberhasilan terapi.
jenuh rantai tunggal dan ganda. Pada 2. Pasien harus kontrol teratur untuk
pasien dengan trigliserida tinggi perlu pemeriksaan kolesterol lengkap untuk
dikurangi asupan karbohidrat, alkohol, melihat target terapi dan maintenance jika
dan lemak target sudah tercapai.
b. Aktivitas fisik
Pasien dianjurkan untuk meningkatkan Kriteria Rujukan
aktivitas fisik sesuai kondisi dan 1. Terdapat penyakit komorbid yang harus
kemampuannya. ditangani oleh spesialis.
5. Tata laksana farmakologis
Terapi farmakologis dilakukan setelah 6 2. Terdapat salah satu dari faktor risiko PJK
minggu terapi non farmakologis.
Peralatan
Tabel 12.6 Obat hipoglikemik dan efek
Pemeriksaan kimia darah
terhadap kadar lipid plasma
Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang tepat maka
dapat dicegah terjadinya komplikasi akibat
dislipidemia.
Referensi
1. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor
Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan: FK
USU.2004. (Azwar, 2004)
Tabel 12.7 Obat Hipolopidemik
2. Darey, Patrick. At a Glance Medicine.
Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005)
3. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi
dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007.
(Ganiswarna, 2007)
4. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati,
S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI.2009.
5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan
Dislipidemia di Indonesia. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2012 (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2012)
8. MALNUTRISI ENERGI PROTEIN (MEP)
No. ICPC II: T91 Vitamin/nutritional deficiency
No. ICD X: E46 Unspecified protein-energy malnutrition
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik Patognomonis


MEP adalah penyakit akibat kekurangan energi 1. BB/TB < 70% atau < -3SD
dan protein umumnya disertai defisiensi nutrisi 2. Marasmus: tampak sangat kurus, tidak ada
lain. jaringan lemak bawah kulit, anak tampak
Klasifikasi dari MEP adalah : tua, baggy pants appearance.
3. Kwashiorkor: edema, rambut kuning
1. Kwashiorkor mudah rontok, crazy pavement dermatosa
2. Marasmus 4. Tanda dehidrasi
3. Marasmus Kwashiorkor 5. Demam
6. Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia
Hasil Anamnesis
atau gagal jantung
(Subjective) Keluhan 7. Sangat pucat
8. Pembesaran hati, ikterus
1. Kwashiorkor, dengan keluhan: 9. Tanda defisiensi vitamin A pada mata:
• Edema konjungtiva kering, ulkus kornea,
keratomalasia
• Wajah sembab
10. Ulkus pada mulut
• Pandangan sayu 11. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
• Rambut tipis, kemerahan seperti warna
Pemeriksaan Penunjang
rambut jagung, mudah dicabut tanpa
sakit, rontok 1. Laboratorium: gula darah, Hb, Ht, preparat
• Anak rewel, apatis apusan darah, urin rutin, feses
2. Antropometri
2. Marasmus, dengan keluhan:
3. Foto toraks
• Sangat kurus
4. Uji tuberkulin
• Cengeng
• Rewel Penegakan Diagnosis (Assessment)
• Kulit keriput
Diagnosis Klinis
3. Marasmus Kwashiorkor, dengan keluhan
kombinasi dari ke-2 penyakit tersebut Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan
diatas. gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Anak didiagnosis dengan gizi buruk, apabila:
Faktor Risiko
1. BB/TB < -3SD atau 70% dari median
Berat badan lahir rendah, HIV, Infeksi TB, pola (marasmus).
asuh yang salah
2. Edema pada kedua punggung kaki
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/
sederhana (Objective) TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor BB/TB
<-3SD).
Tabel 12.8 KlasifikasiMalnutrisi Energi Protein yg sama terutama dari lemak (minyak/
(MEP) santan/margarin).
o Pemberian jenis makanan untuk
pemulihan gizi disesuaikan masa
pemulihan (rehabilitasi):
1 minggu pertama pemberian F100.
Minggu berikutnya jumlah dan frekuensi F100
dikurangi seiring dengan penambahan
Diagnosis Banding: makanan keluarga.

- Komplikasi Kunjungan Rumah

Anoreksia, Pneumonia berat, Anemia berat, • Tenaga kesehatan atau kader melakukan
Infeksi, Dehidrasi berat, Gangguan elektrolit, kunjungan rumah pada anak gizi buruk
Hipoglikemi, Hipotermi, Hiperpireksia, rawat jalan, bila:
Penurunan kesadaran - Berat badan anak sampai pada minggu
ketiga tidaknaik atau turundibandingkan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
dengan berat badanpada saat masuk
Penatalaksanaan dan Target Terapi (kecuali anak dengan edema).
Gambar 12.4. Langkah penanganan gizi buruk - Anak yang 2 kali berturut-turut tidak
terbagi dalam fase stabilisasidan rehabilitasi datang tanpa pemberitahuan
• Kunjungan rumah bertujuan untuk
menggali permasalahan yang dihadapi
keluarga termasuk kepatuhan mengonsumsi
makanan untuk pemulihan gizi dan
memberikan nasihat sesuai dengan
masalah yang dihadapi.
• Dalam melakukan kunjungan, tenaga
kesehatan membawa kartu status, cheklist
kunjungan rumah, formulir rujukan,
makanan untuk pemulihan gizi dan bahan
penyuluhan.
• Hasil kunjungan dicatat pada checklist
kunjungan dan kartu status. Bagi anak yang
harus dirujuk, tenaga kesehatan mengisi
formulir rujukan.
Penanganan pasien dengan MEP, yaitu:
Konseling dan Edukasi
• Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak
• Menyampaikan informasi kepada ibu/
gizi buruk dengan dosis sesuai umur pada
pengasuhtentang hasil penilaian
saat pertama kali ditemukan
pertumbuhan anak.
• Makanan untuk pemulihan gizi dapat
• Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab
berupa
kurang gizi.
makanan lokal atau pabrikan.
• Memberi nasihat sesuai penyebab kurang
o Jenis pemberian ada 3 pilihan: makanan
gizi.
therapeutic atau gizi siap saji, F100 atau
makanan lokal dengan densitas energi
• Memberikan anjuran pemberian makan
sesuai umur dan kondisi anak
dan cara menyiapkan makan formula,
melaksanakan anjuran makan dan memilih
atau mengganti makanan.
Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi komplikasi, seperti: sepsis,
dehidrasi berat, anemia berat, penurunan
kesadaran
2. Bila terdapat penyakit komorbid, seperti:
pneumonia berat
Peralatan
1. Alat pemeriksaan gula darah sederhana
2. Alat pengukur berat dan tinggi badan anak
serta dewasa
3. Skala antropometri
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk
ad vitam, sedangkan untuk quo ad fungsionam
dan sanationam umumnya dubia ad malam.
Referensi
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.
2. Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk.
Kemkes RI. Jakarta. 2011.
M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH

1. INFEKSI SALURAN KEMIH


No. ICPC-2 : U71 Cystitis/urinary infection others
No. ICD-10 : N39.0 Urinary tract infection, site not specified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik


Infeksi saluran kemih merupakan salah satu 1. Demam
masalah kesehatan akut yang sering terjadi 2. Flank pain (Nyeri ketok pinggang belakang/
pada perempuan.Masalah infeksi saluran kemih costovertebral angle)
tersering adalah sistitis akut, sistitis kronik, dan 3. Nyeri tekan suprapubik
uretritis.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Darah perifer lengkap
Keluhan 2. Urinalisis
Pada sistitis akut keluhan berupa: 3. Ureum dan kreatinin
4. Kadar gula darah
1. Demam
2. Susah buang air kecil Pemeriksaan penunjang tambahan (di layanan
3. Nyeri saat di akhir BAK (disuria terminal) sekunder) :
4. Sering BAK (frequency) 1. Urine mikroskopik berupa peningkatan
5. Nokturia >103 bakteri per lapang pandang
6. Anyang-anyangan (polakisuria)
7. Nyeri suprapubik 2. Kultur urin (hanya diindikasikan untuk
pasien yang memiliki riwayat kekambuhan
Pada pielonefritis akut keluhan dapat juga infeksi salurah kemih atau infeksi dengan
berupa nyeri pinggang, demam tinggi sampai komplikasi).
menggigil, mual muntah, dan nyeri pada sudut
kostovertebra. Penegakan Diagnostik (Assessment)

Faktor Risiko Diagnosis Klinis

1. Riwayat diabetes melitus Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,


2. Riwayat kencing batu (urolitiasis) pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Higiene pribadi buruk
Diagnosis Banding
4. Riwayat keputihan
5. Kehamilan Recurrent cystitis, Urethritis, Pielonefritis,
6. Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya Bacterial asymptomatic
7. Riwayat pemakaian kontrasepsi diafragma
8. Kebiasaan menahan kencing Komplikasi
9. Hubungan seksual Gagal ginjal, Sepsis , ISK berulang atau kronik
10. Anomali struktur saluran kemih kekambuhan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Sederhana (Objective)
Penatalaksanaan
1. Minum air putih minimal 2 liter/hari bila higiene genital tetap buruk, ISK dapat berulang
fungsi ginjal normal. atau menjadi kronis.
2. Menjaga higienitas genitalia eksterna
3. Pada kasus nonkomplikata, pemberian Referensi
antibiotik selama 3 hari dengan pilihan 1. Weiss, Barry.20 Common Problems In
antibiotik sebagai berikut: Primary Care.
a. Trimetoprim sulfametoxazole
b. Fluorikuinolon 2. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family
c. Amoxicillin-clavulanate Medicine. 2011
d. Cefpodoxime 3. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB
Konseling dan Edukasi PABDI. 2009

Pasien dan keluarga diberikanpemahaman 4. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract


tentang infeksi saluran kemih dan hal-hal yang infection. N Engl J Med2012;366:1028-37
perlu diperhatikan, antara lain: (Hooton, 2012)

1. Edukasi tentang penyebab dan faktor


risiko penyakit infeksi saluran kemih.
Penyebab infeksi saluran kemih yang paling
sering adalah karena masuknya flora anus
ke kandung kemih melalui perilaku atau
higiene pribadi yang kurang baik.
Pada saat pengobatan infeksi saluran kemih,
diharapkan tidak berhubungan seks.
2. Waspada terhadap tanda-tanda infeksi
saluran kemih bagian atas (nyeri pinggang)
dan pentingnya untuk kontrol kembali.
3. Patuh dalam pengobatan antibiotik yang
telah direncanakan.
4. Menjaga higiene pribadi dan lingkungan.
Kriteria Rujukan
1. Jika ditemukan komplikasi dari ISK maka
dilakukan ke layanan kesehatan sekunder
2. 2. Jika gejala menetap dan terdapat
resistensi kuman, terapi antibiotika
diperpanjang berdasarkan antibiotika
yang sensitifdengan pemeriksaan kultur
urin
Peralatan
Pemeriksaan laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kecuali bila
2. PIELONEFRITIS TANPA KOMPLIKASI
No ICPC-2: U70. Pyelonephritis / pyelitis
No ICD-10 : N10. Acute tubulo-interstitial nephritis (applicable to: acute pyelonephritis)
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Tampilan klinis tiap pasien dapat bervariasi,


Pielonefritis akut (PNA) tanpa komplikasi mulai dari yang ringan hingga menunjukkan
adalah peradangan parenkim dan pelvis ginjal tanda dan gejala menyerupai sepsis.
yang berlangsung akut. Tidak ditemukan data Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda di
yang akurat mengenai tingkat insidens PNA bawah ini:
nonkomplikata di Indonesia. Pielonefritis akut 1. Demam dengan suhu biasanya mencapai
nonkomplikata jauh lebih jarang dibandingkan >38,5oC
sistitis (diperkirakan 1 kasus pielonefritis 2. Takikardi
berbanding 28 kasus sistitis). 3. Nyeri ketok pada sudut kostovertebra,
Hasil Anamnesis (Subjective) unilateral atau bilateral
4. Ginjal seringkali tidak dapat dipalpasi
Keluhan karena adanya nyeri tekan dan spasme otot
5. Dapat ditemukan nyeri tekan pada area
1. Onset penyakit akut dan timbulnya tiba-tiba
suprapubik
dalam beberapa jam atau hari
6. Distensi abdomen dan bising usus menurun
2. Demam dan menggigil
(ileus paralitik)
3. Nyeri pinggang, unilateral atau bilateral
4. Sering disertai gejala sistitis, berupa: Pemeriksaan Penunjang Sederhana
frekuensi, nokturia, disuria, urgensi, dan
nyeri suprapubik 1. Urinalisis
5. Kadang disertai pula dengan gejala Urin porsi tengah (mid-stream urine)
gastrointestinal, seperti: mual, muntah, diambil untuk dilakukan pemeriksaan dip-
diare, atau nyeri perut stick dan mikroskopik. Temuan yang
Faktor Risiko mengarahkan kepada PNA adalah:

Faktor risiko PNA serupa dengan faktor risiko a. Piuria, yaitu jumlah leukosit lebih
penyakit infeksi saluran kemih lainnya, yaitu: dari 5 – 10 / lapang pandang besar
(LPB) pada pemeriksaan mikroskopik
1. Lebih sering terjadi pada wanita usia subur tanpa / dengan pewarnaan Gram, atau
2. Sangat jarang terjadi pada pria berusia leukosit esterase (LE) yang positif pada
<50 tahun, kecuali homoseksual pemeriksaan dengan dip-stick.
3. Koitus per rektal
4. HIV/AIDS b. Silinder leukosit, yang merupakan
5. adanya penyakit obstruktif urologi yang tanda patognomonik dari PNA, yang
mendasari misalnya tumor, striktur, batu dapat ditemukan pada pemeriksaan
saluran kemih, dan pembesaran prostat mikroskopik tanpa/dengan pewarnaan
6. Pada anak-anakdapat terjadi bila terdapat Gram.
refluks vesikoureteral c. Hematuria, yang umumnya mikroskopik,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang namun dapat pula gross. Hematuria
Sederhana (Objective) biasanya muncul pada fase akut dari
PNA. Bila hematuria terus terjadi
walaupun infeksi telah tertangani, perlu b. Tatalaksana kelainan obstruktif yang
dipikirkan penyakit lain, seperti batu ada
saluran kemih, tumor, atau c. Menjaga kecukupan hidrasi
tuberkulosis.
2. Medikamentosa
d. Bakteriuria bermakna,yaitu > 104
koloni/ ml, yang nampak lewat a. Antinbiotika empiris
pemeriksaan mikroskopik tanpa Antibiotika parenteral:
/dengan pewarnaan Gram. Bakteriuria
juga dapat dideteksi lewat adanya nitrit Pilihan antibiotik parenteral untuk
pada pemeriksaan dengan dip-stick. pielonefritis akut nonkomplikata
antara lain ceftriaxone, cefepime, dan
2. Kultur urin dan tes sentifitas-resistensi fluorokuinolon (ciprofloxacin dan
antibiotik levofloxacin). Jika dicurigai infeksi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk enterococci berdasarkan pewarnaan
mengetahui etiologi dan sebagai pedoman Gram yang menunjukkan basil Gram
pemberian antibiotik dan dilakukan positif,maka ampisillin yang
di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dikombinasi dengan Gentamisin,
lanjutan. Ampicillin Sulbaktam, dan Piperacillin
Tazobactam merupakan pilihan empiris
3. Darah perifer dan hitung jenis spektrum luas yang baik.Terapi
antibiotika parenteral pada pasien
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya dengan pielonefritis akut
leukositosis dengan predominansi neutrofil. nonkomplikata dapat diganti dengan
4. Kultur darah obat oral setelah 24-48 jam, walaupun
dapat diperpanjang jika gejala menetap.
Bakteremia terjadi pada sekitar 33% kasus,
sehingga pada kondisi tertentu Antibiotika oral:
pemeriksaan ini juga dapat dilakukan.
Antibiotik oral empirik awal untuk
5. Foto polos abdomen (BNO) pasien rawat jalan adalah
fluorokuinolon untuk basil Gram
Pemeriksaan ini dilakukan untuk negatif. Untuk dugaan penyebab
menyingkirkan adanya obstruksi atau batu lainnya dapat digunakan Trimetoprim-
di saluran kemih. sulfametoxazole. Jika dicurigai
Penegakan Diagnosis (Assessment) enterococcus, dapat diberikan
Amoxicilin sampai didapatkan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, organisme penyebab. Sefalosporin
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang generasi kedua atau ketiga juga efektif,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. walaupun data yang mendukung
masih sedikit. Terapi pyeolnefritis
Diagnosis banding: akut nonkomplikata dapat diberikan
Uretritis akut, Sistitis akut, Akut abdomen, selama 7 hari untuk gejala klinis yang
Appendisitis, Prostatitis bakterial akut, ringan dan sedang dengan respons
Servisitis, Endometritis, Pelvic inflammatory terapi yang baik. Pada kasus yang
disease menetap atau berulang, kultur harus
dilakukan. Infeksi berulang ataupun
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) menetap diobati dengan antibiotik yang
1. Non-medikamentosa terbukti sensitif selama 7 sampai 14
hari. Penggunaan antibiotik selanjutnya
a. Identifikasi dan meminimalkan faktor
risiko
dapat disesuaikan dengan hasil tes Peralatan
sensitifitas dan resistensi.
1. Pot urin
b. Simtomatik 2. Urine dip-stick
3. Mikroskop
Obat simtomatik dapat diberikan sesuai 4. Object glass, cover glass
dengan gejala klinik yang dialami
5. Pewarna Gram
pasien, misalnya: analgetik-antipiretik,
dan anti- emetik. Prognosis
Konseling dan Edukasi 1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
1. Dokter perlu menjelaskan mengenai
3. Ad sanationam : Bonam
penyakit, faktor risiko, dan cara-cara
pencegahan berulangnya PNA. Referensi
2. Pasien seksual aktif dianjurkan untuk 1. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines
berkemih dan membersihkan organ Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan
kelamin segera setelah koitus. Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta:
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi
3. Pada pasien yang gelisah, dokter dapat
Indonesia. (Achmad, 2007)
memberikan assurance bahwa PNA non-
komplikata dapat ditangani sepenuhnya 2. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical
dgn antibiotik yang tepat. Practice Guidelines for the Treatment
of Acute Uncomplicated Cystitis and
Rencana Tindak Lanjut
Pyelonephritis in Women : A 2010
1. Apabila respons klinik buruk setelah 48 – 72 Update by the Infectious Diseases
jam terapi, dilakukan re-evaluasi adanya Society of America and the European
faktor-faktor pencetus komplikasi dan Society for Microbiology and Infectious
efektifitas obat. Diseases. Clinical Infectious Disease, 52,
pp.103–120 (Colgan, 2011)
2. Urinalisis dengan dip-stick urin dilakukan
pasca pengobatan untuk menilai kondisi 3. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections,
bebas infeksi. Pyelonephritis, and Prostatitis. In A. s Fauci
et al., eds. Harrison’s Principles of Internal
Kriteria Rujukan Medicine. New York: McGraw-Hill, pp.
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan 1820– 1825. (Stamm, 2008)
tingkat pertama perlu merujuk ke layanan
tingkat lanjutan pada kondisi-kondisi berikut:
1. Ditemukan tanda-tanda urosepsis pada
pasien.
2. Pasien tidak menunjukkan respons
yang positif terhadap pengobatan yang
diberikan.
3. Terdapat kecurigaan adanya penyakit
urologi yang mendasari, misalnya: batu
saluran kemih, striktur, atau tumor.
3. FIMOSIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: Y81 Phimosis
: N47 Phimosis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan hingga ke korona glandis


Fimosis adalah kondisi dimana preputium tidak 2. Pancaran urin mengecil
dapat diretraksi melewati glans penis. Fimosis 3. Menggelembungnya ujung preputium saat
dapat bersifat fisiologis ataupun patalogis. berkemih
Umumnya fimosis fisiologis terdapat pada 4. Eritema dan udem pada preputium dan
bayi dan anak-anak. Pada anak usia 3 tahun glans penis
90% preputium telah dapat diretraksi tetapi 5. Pada fimosis fisiologis, preputium tidak
pada sebagian anak preputium tetap lengket memiliki skar dan tampak sehat
pada glans penis sehingga ujung preputium 6. Pada fimosis patalogis pada sekeliling
mengalami penyempitan dan mengganggu preputium terdapat lingkaran fibrotik
proses berkemih. Fimosis patologis terjadi 7. Timbunan smegma pada sakus preputium
akibat peradangan atau cedera pada preputium
Penegakan Diagnosis (Assessment)
yang menimbulkan parut kaku sehingga
menghalangi retraksi. Diagnosis Klinis
Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan pemeriksaan fisik
Keluhan
Diagnosis Banding
Keluhan umumnya berupa gangguan aliran urin
seperti: Parafimosis, Balanitis, Angioedema
1. Nyeri saat buang air kecil Komplikasi
2. Mengejan saat buang air kecil
3. Pancaran urin mengecil Dapat terjadi infeksi berulang karena
4. Benjolan lunak di ujung penis akibat penumpukan smegma.
penumpukan smegma. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Faktor Risiko Penatalaksanaan
1. Hygiene yang buruk 1. Pemberian salep kortikosteroid (0,05%
2. Episode berulang balanitis atau betametason) 2 kali perhari selama 2-8
balanoposthitis menyebabkan skar pada minggu pada daerah preputium.
preputium yang menyebabkan terjadinya
fimosis patalogis 2. Sirkumsisi
3. Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang Rencana Tindak Lanjut
tidak menjalani sirkumsisi
Apabila fimosis bersifat fisiologis seiring dengan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang perkembangan maka kondisi akan membaik
Sederhana (Objective) dengan sendirinya
Pemeriksaan Fisik Konseling dan Edukasi
1. Preputium tidak dapat diretraksi Pemberian penjelasan terhadap orang tua
keproksimal
atau pasien agar tidak melakukan penarikan Referensi
preputium secara berlebihan ketika
membersihkan penis karena dapat 1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran
menimbulkan parut. Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Buku Ajar
Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
Kriteria Rujukan
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri
Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
tindakan sirkumsisi maka dirujuk ke layanan Circumcision. The Scientific World Journal.
sekunder. 2011. 11, 289–301.
Peralatan 3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in
Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
Set bedah minor
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke
Prognosis
P, Kocvara R, Nijman R, Radmayr Chr, dan
Prognosis bonam bila penanganan sesuai Stein
R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology.
European Association of Urology. 2013. hlm
9-10

4. PARAFIMOSIS
No. ICPC-2: Y81. Paraphimosis No. ICD-10: N47.2 Paraphimosis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Parafimosis merupakan kegawatdaruratan Sederhana (Objective)
karena dapat mengakibatkan terjadinya
ganggren yang diakibatkan preputium penis Pemeriksaan Fisik
yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak 1. Preputium tertarik ke belakang glans
dapat dikembalikan pada kondisi semula dan penis dan tidak dapat dikembalikan ke
timbul jeratan pada penis di belakang sulkus posisi semula
koronarius. 2. Terjadi eritema dan edema pada glans penis
3. Nyeri
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Jika terjadi nekrosis glans penis berubah
Keluhan warna menjadi biru hingga kehitaman
1. Pembengkakan pada penis
Penegakan Diagnosis (Assessment)
2. Nyeri pada penis
Diagnosis Klinis
Faktor Risiko
Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis
Penarikan berlebihan kulit preputium
(forceful retraction) pada laki- laki yang belum dan peneriksaan fisik
disirkumsisi misalnya pada pemasangan Diagnosis Banding
kateter.
Angioedema, Balanitis, Penile hematoma
Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan segera dapat terjadi
ganggren
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Reposisi secara manual dengan memijat
glans selama 3-5 menit.
Diharapkan edema berkurang dan secara
perlahan preputium dapat dikembalikan
pada tempatnya.
2. Dilakukan dorsum insisi pada jeratan
Rencana Tindak Lanjut
Dianjurkan untuk melakukan sirkumsisi.
Konseling dan Edukasi
Setelah penanganan kedaruratan disarankan
untuk dilakukan tindakan sirkumsisi karena
kondisi parafimosis tersebut dapat berulang.
Kriteria Rujukan
Bila terjadi tanda-tanda nekrotik segera rujuk ke
layanan sekunder.
Peralatan
Set bedah minor
Prognosis
Prognosis bonam
Referensi
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran
kemih dan alat kelamin lelaki. Buku Ajar Imu
Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri
K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
Circumcision. The Scientific World Journal.
2011. 11, 289–301.
3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in
Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke
P, Kocvara R, Nijman R, RadmayrChr, dan
Stein
R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology.
European Association of Urology. 2013. hlm
9-10
N. KESEHATAN WANITA

1. KEHAMILAN NORMAL
No. ICPC-2 : W90 Uncomplicated labour/delivery livebirth
No. ICD-10 : O80.9 Single spontaneous delivery, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
a. Diabetes Mellitus/ kencing manis
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai b. Penyakit jantung
lahir. Lama kehamilan normal 40 minggu c. Penyakit ginjal
dihitung dari hari pertama haid terahir (HPHT). d. Penyalahgunaan obat
Untuk menghindari terjadinya komplikasi pada e. Konsumsi rokok, alkohol dan bahan
kehamilan dan persalinan, maka setiap ibu adiktif lainnya
hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan f. Penyakit menular TB, malaria, HIV/AIDS
secara rutin minimal 4 kali kunjungan selama dan penyakit menular seksual,
masa kehamilan. g. Penyakit kanker
Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
1. Haid yang terhenti
2. Mual dan muntah pada pagi hari Pemeriksaan Fisik
3. Ngidam
Periksa tanda vital ibu (tekanan darah, nadi,
4. Sering buang air kecil
suhu, frekuensi nafas), ukur berat badan, tinggi
5. Pengerasan dan pembesaran payudara
badan, serta lingkar lengan atas (LLA) pada
6. Puting susu lebih hitam
setiap kedatangan.
Faktor Risiko
Pada trimester 1
Pada kehamilan perlu diwaspadai hal-hal di
bawah ini: 1. LLA> 33 cm, maka diduga obesitas, memiliki
risiko preeklampsia dan diabetes maternal,
1. Bila pada kehamilan sebelumnya terdapat memiliki risiko melahirkan bayi dengan
riwayat obstetrik sebagai berikut: berat badan lebih
a. Lahir mati atau bayi mati umur < 28 2. LLA< 23 cm, maka diduga undernutrisi atau
hari memiliki penyakit kronis, biasanya memiliki
b. > 3 abortus spontan bayi yang lebih kecil dari ukuran normal
c. Berat badan bayi < 2500 gram
3. Keadaan muka diperhatikan adanya
d. Berat badan bayi > 4500 gram
edema palpebra atau pucat, mata dan
e. Dirawat di rumah sakit karena
konjungtiva dapat pucat,kebersihan mulut
hipertensi, preeklampsia atau
dan gigi dapat terjadi karies dan periksa
eklampsia
kemungkinan pembesaran kelenjar tiroid.
f. Operasi pada saluran reproduksi
khususnya operasi seksiosesaria 4. Pemeriksaan payudara: puting susu dan
2. Bila pada kehamilan saat ini: areola menjadi lebih menghitam.
a. Usia ibu di bawah 16 tahun atau di atas 5. Pemeriksaan dada:perhatikan suara paru
35 tahun dan bunyi jantung ibu
b. Ibu memiliki rhesus (-)
6. Pemeriksaan ekstremitas: perhatikan
c. Ada keluhanperdarahan vagina
edema dan varises
3. Bila ibu memiliki salah satu masalah
kesehatan di bawah ini:
Pemeriksaan obstetrik : trimester 1 terutama untuk daerah endemik
untuk skrining faktor risiko.
1. Abdomen:
a. Observasi adanya bekas operasi. 5. USG sesuai indikasi.
b. Mengukur tinggi fundus uteri. Penegakan Diagnostik (Assessment)
c. Melakukan palpasi dengan manuever
Leopold I-IV. Diagnosis Klinis
d. Mendengarkan bunyi jantung janin
Diagnosisi ditegakkan dengan anamnesis,
(120-160x/menit).
pemeriksaan fisik/obstetrik, dan pemeriksaan
2. Vulva/vagina
penunjang.
a. Observasi varises, kondilomata,
edema, haemorhoid atau abnormalitas Tanda tak pasti kehamilan: Tes kehamilan
lainnya. menunjukkan HCG (+)
b. Pemeriksaan vaginal toucher:
memperhatikan tanda-tanda tumor. Tanda pasti kehamilan:
c. Pemeriksaan inspekulo untuk 1. Bunyi jantung janin/BJJ (bila umur
memeriksa serviks,tanda-tanda infeksi, kehamilan/UK> 8 minggu) dengan BJJ
ada/tidaknya cairan keluar dari osteum normal 120-160 kali per menit,
uteri.
2. Gerakan janin (bila UK> 12 minggu)
Tabel 14.1 Tinggi fundus sesuai usia kehamilan 3. Bila ditemukan adanya janin pada
pemeriksaan Ultrasonografi(USG) dan
pemeriksaan obstetrik.
Kehamilan normal apabila memenuhi kriteria
dibawah ini:
1. Keadaan umum baik
2. Tekanan darah <140/90 mmHg
3. Pertambahan berat badan sesuai minimal 8
kg selama kehamilan (1 kg perbulan) atau
sesuai Indeks Masa Tubuh (IMT) ibu
4. Edema hanya pada ekstremitas
5. BJJ =120-160 x/menit
Pemeriksaan Penunjang
6. Gerakan janin dapat dirasakan setelah usia
1. Tes kehamilan menunjukkan HCG (+) 18 -20 minggu hingga melahirkan
2. Pemeriksaan darah: Golongan darah ABO 7. Ukuran uterus sesuai umur kehamilan
dan Rhesus pada trimester 1, Hb dilakukan
8. Pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam
pada trimester 1 dan 3, kecuali bila tampak
adanya tanda-tanda anemia berat. batas normal
9. Tidak ada riwayat kelainan obstetrik.
3. Pemeriksaan lain: kadar glukosa darah dan
protein urin sesuai indikasi. Diagnosis Banding
4. Pada ibu hamil dengan faktor risiko,
1. Kehamilan palsu
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan:
2. Tumor kandungan
BTA, TORCH (toxoplasma, rubella,
3. Kista ovarium
cytomegalo virus, herpes and others),
4. Hematometra
sifilis, malaria danHIV dilakukan pada
5. Kandung kemih yang penuh
Tabel 14.2 Tatalaksana Pemeriksaan dan 2. Memberikan nasihat dan petunjuk yang
tindakan pada kehamilan pertrimester berkaitan dengan kehamilan, persalinan,
kala nifas dan laktasi.
3. Tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai:
sakit kepala lebih dari biasa, perdarahan
per vaginam, gangguan penglihatan,
pembengkakan pada wajah/tangan, nyeri
abdomen (epigastrium), mual dan muntah
berlebihan, demam, janin tidak bergerak
sebanyak biasanya.
4. Pemberian makanan bayi, air susu ibu (ASI)
eksklusif, dan inisiasi menyusu dini (IMD).
5. Penyakit yang dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan janin misalnya
hipertensi, TBC, HIV, serta infeksi menular
seksual lainnya.
6. Perlunya menghentikan kebiasaan yang
beresiko bagi kesehatan, seperti merokok
dan minum alkohol.
7. Program KB terutama penggunaan
kontrasepsi pascasalin.
8. Minum cukup cairan.
9. Peningkatan konsumsi makanan hingga 300
kalori/hari dari menu seimbang. Contoh: asi
tim dari 4 sendok makan beras, ½ pasang
hati ayam, 1 potong tahu, wortel parut,
bayam, 1 sendok teh minyak goreng, dan
400 ml air.
10. Latihan fisik normal tidak berlebihan,
istirahat jika lelah.
11. Ajarkan metoda mudah untuk menghitung
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) gerakan janin dalam 12 jam, misalnya
Penatalaksanaan dengan menggunakan karet gelang 10 buah
pada pagi hari pukul 08.00 yang dilepaskan
Non Medikamentosa satu per satu saat ada gerakan janin. Bila
pada pukul 20.00, karet gelang habis, maka
1. Memberikan jadwal pemeriksaan berkala
gerakan janin baik.
kepada calon ibu selama masa kehamilan
Medikamentosa
Tabel 14.3 Kunjungan pada pemeriksaan
antenatal 1. Memberikan zat besi dan asam folat (besi
60 mg/hari dan folat 250 mikogram 1-2 kali/
hari), bila Hb<7,0 gr/dl dosis ditingkatkan
menjadi dua kali. Apabila dalam follow
up selama 1 bulan tidak ada perbaikan,
dapatdipikirkan kemungkinan penyakit
lain (talasemia, infeksi cacing tambang,
penyakit kronis TBC)
2. Memberikanimunisasi TT (Tetanus Toxoid) diperlukan rujukan, dukungan biaya.
apabila pasien memiliki risiko terjadinya 2. Pentingnya peran suami dan keluarga
tetanus pada proses melahirkan dan buku selama kehamilan dan persalinan.
catatan kehamilan. 3. Jika ibu merasakan tanda – tanda bahaya
kehamilan, harus di waspadai dan segera
Pada Ibu yang riwayat imunisasi tidak
mengunjungi pelayanan kesehatan
diketahui, pemberian sesuai dengan tabel di
terdekat. Tanda bahaya yang wajib
berikut ini.
diwaspadai :
Tabel 14.4 Pemberian TT untuk ibu yang belum a. Sakit kepala yang tidak biasanya
pernah imunisasi atau tidak mengetahui status b. Keluarnya darah dari jalan lahir
imunisasinya c. Terjadi gangguan penglihatan
d. Pembengkakan pada wajah / tangan
e. Mual dan muntah yang berlebihan
f. Demam
g. Gerakan janin yang tidak biasanya
atau cenderung tidak bergerak
4. Keluarga diajak untuk mendukung ibu hamil
secara psikologis maupun finansial, bila
memungkinkan siapkan suami siaga
5. Dukung intake nutrisi yang seimbang bagi
ibu hamil.
6. Dukung ibu hamil untuk menghentikan
Dosis booster dapat diberikan pada ibu pemberian ASI bila masih menyusui.
yang sudah pernah diimunisasi. Pemberian 7. Dukung memberikan ASI eksklusif untuk
dosis booster 0,5 ml IM dan disesuaikan bayi yang nanti dilahirkan.
degan jumlah vaksinani yang telah diterima 8. Siapkan keluarga untuk dapat menentukan
sebelumnya. Sesuai dengan tabel di berikut ini. kemana ibu hamil harus dibawa bila ada
perdarahan, perut dan/atau kepala terasa
Tabel 14.5 Pemberian TT untuk ibu yang sudah
sangat nyeri, dan tanda-tanda bahaya
pernah imunisasi
lainnya, tulis dalam buku pemeriksaan
alamat rujukan yang dapat dituju bila
diperlukan.
9. Dengan pasangan ibu hamil didiskusikan
mengenai aktifitas seksual selama
kehamilan. Aktifitas seksual biasa dapat
dilakukan selama kehamilan, posisi dapat
bervariasi sesuai pertumbuhan janin dan
pembesaran perut. Kalau ibu hamil merasa
tidak nyaman ketika melakukan aktifitas
seksual, sebaiknya dihentikan. Aktifitas
Konseling dan Edukasi seksual tidak dianjurkan pada keadaan:
a. riwayat melahirkan prematur
1. Persiapan persalinan, meliputi: siapa yang b. riwayat abortus
akan menolong persalinan, dimana akan c. perdarahan vagina atau keluar duhtubuh
melahirkan, siapa yang akan membantu dan d. plasenta previa atau plasenta letak
menemani dalam persalinan, kemungkinan rendah
kesiapan donor darah bila timbul e. serviks inkompeten
permasalahan, metode transportasi bila
Peralatan Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
trimester 1 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Alat ukur tinggi badan dan berat badan
2. Meteran 1. hiperemesis
3. Laenec atau Doppler 2. perdarahan per vaginam atau spotting
4. Tempat tidur periksa 3. trauma
5. Laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan tes kehamilan, darah rutin, Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
urinalisa dan golongan darah trimester 2 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
6. Buku catatan pemeriksaan 1. Gejala yang tidak diharapkan
7. Buku pegangan ibu hamil 2. Perdarahan pervaginam atau spotting
Kriteria Rujukan 3. Hb selalu berada di bawah 7 gr/dl
4. Gejala preeklampsia, hipertensi, proteinuria
Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan 5. Diduga adanya fetal growth retardation
trimester 1 atau 2 bila ditemukan keadaan di (gangguan pertumbuhan janin)
bawah ini: 6. Ibu tidak merasakan gerakan bayi
Tabel 14.6 Kriteria rujukan ibu hamil Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan
trimester 3 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Sama dengan keadaan tanda bahaya pada
semester 2 ditambah
2. Tekanan darah di atas 130 mmHg
3. Diduga kembar atau lebih
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
2013 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
2. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H.
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2010(Prawi rohardjo, et al.,
2010)
2. HIPEREMESIS GRAVIDARUM (MUAL DAN MUNTAH PADA KEHAMILAN)
No. ICPC-2: W05 Pregnancy vomiting/nausea No ICD-10: O21.0 Mild hyperemis gravidarum
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan diperkirakan erat kaitannya dengan faktor-


Mual dan muntah yang terjadi pada awal faktor :
kehamilan sampai umur kehamilan 16 minggu. 1. Peningkatan hormon – hormon kehamilan.
Mual dan muntah yang berlebihan, dapat 2. Adanya riwayat hiperemesis pada
mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam-basa kehamilan sebelumnya.
dan elektrolit dan ketosis keadaan ini disebut 3. Status nutrisi: pada wanita obesitas lebih
sebagai keadaan hiperemesis.Mual biasanya jarang di rawat inap karena hiperemesis.
terjadi pada pagi hari, tapi dapat pula timbul 4. Psikologis: adanya stress dan emosi.
setiap saat dan malam hari. Mual dan muntah Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
ini terjadi pada 60-80% primigravida dan 40- Sederhana (Objective)
60% multigravida.Mual dan muntah
mempengaruhi hingga > 50% kehamilan. Pemeriksaan fisik
Keluhan muntah kadang-kadang begitu hebat
1. Pemeriksaan tanda vital: nadi meningkat
dimana segala apa yang dimakan dan diminum
100x/mnt, tekanan darah menurun (pada
dimuntahkan sehingga dapat mempengaruhi
keadaan berat), subfebris, dan gangguan
keadaan umum dan mengganggu pekerjaan
kesadaran (keadaan berat).
sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi
2. Pemeriksaan tanda-tanda dehidrasi: mata
dan terdapat aseton dalam urin bahkan seperti
cekung, bibir kering, turgor berkurang.
gejala penyakit appendisitis, pielitis, dan
3. Pemeriksaan generalis: kulit pucat, sianosis,
sebagainya.
berat badan turun> 5% dari berat badan
Hasil Anamnesis (Subjective) sebelum hamil, uterus besar sesuai usia
kehamilan, pada pemeriksaan inspekulo
Keluhan tampak serviks yang berwarna biru.
1. Mual dan muntah hebat Pemeriksaan Penunjang
2. Ibu terlihat pucat
3. Kekurangan cairan Pemeriksaan laboratorium

Gejala klinis 1. Darah : kenaikan relatif hemoglobin dan


hematokrit.
1. Muntah yang hebat 2. Urinalisa : warna pekat, berat jenis
2. Mual dan sakit kepala terutama pada pagi meningkat, pemeriksaan ketonuria, dan
hari (morning sickness) proteinuria.
3. Nafsu makan turun
4. Beratbadan turun Penegakan Diagnostik (Assessment)
5. Nyeri epigastrium
Diagnosis klinis
6. Lemas
7. Rasa haus yang hebat Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
8. Gangguan kesadaran pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Faktor Risiko Hiperemesis gravidarum apabila terjadi:
Belum diketahui secara pasti namun
1. Mual muntah berat menyebabkan hipovolemia, Intrauterine growth
2. Berat badan turun > 5% dari berat sebelum restriction (IUGR)
hamil
3. Ketonuria Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Dehidrasi dan Ketidakseimbangan elektrolit Penatalaksanaan
Klasifikasi hiperemesis gravidarum secara 1. Non Medikamentosa
klinis dibagi menjadi 3 tingkatan, antara lain:
a. Mengusahakan kecukupan nutrisi ibu,
1. Tingkat 1 termasuk suplemantasi vitamin dan
Muntah yang terus menerus, timbul asam folat di awal kehamilan.
intoleransi terhadap makanan dan b. Makan porsi kecil, tetapi lebih sering.
minuman, berat badan menurun, nyeri c. Menghindari makanan yang berminyak
epigastrium, muntah pertama keluar dan berbau lemak.
makanan, lendir dan sedikit cairan empedu, d. Istirahat cukup dan hindari kelelahan.
dan yang terakhir keluar darah. Nadi e. Efekasi yang teratur.
meningkat sampai 100 x/mnt, dan tekanan
2. Medikamentosa
darah sistolik menurun. Mata cekung dan
lidah kering, turgor kulit berkurang, dan Tatalaksana Umum
urin sedikit tetapi masih normal.
a. Dimenhidrinat 50-100 mg per oral
2. Tingkat 2 atau supositoria, 4-6 kali sehari ATAU
Gejala lebih berat, segala yang dimakan Prometazin 5-10 mg 3-4 kali sehari per
dan diminum dimuntahkan, haus hebat, oral atau supositoria.
subfebris, nadi cepat lebih dari 100-140 x/
mnt, tekanan darah sistolik menurun, b. Bila masih belum teratasi, tapi tidak
apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang terjadi dehidrasi, berikan salah satu
ikterus, aseton, bilirubin dalam urin, dan obat di bawah ini:
berat badan cepat menurun. • Klorpromazin 10-25 mg per oral atau
50-100 mg IM tiap 4-6 jam
3. Tingkat 3 • Prometazin 12,5-25 mg per oral atau
Walaupun kondisi tingkat 3 sangat jarang, IM tiap 4-6 jam
yang mulai terjadi adalah gangguan • Metoklopramid 5-10 mg per oral atau
kesadaran (delirium-koma), muntah IM tiap 8 jam
berkurang atau berhenti, tetapi dapat • Ondansetron 8 mg per oral tiap 12
terjadi ikterus, sianosis, nistagmus, jam
gangguan jantung, bilirubin, dan proteinuria c. Bila masih belum teratasi dan terjadi
dalam urin. dehidrasi, pasang kanula intravena dan
berikan cairan sesuai dengan derajat
Diagnosis Banding
hidrasi ibu dan kebutuhan cairannya,
Ulkus peptikum, Inflammatory bowel syndrome, lalu:
Acute Fatty Liver, Diare akut • Berikan suplemen multi vitamin IV
• Berikan dimenhidrinat 50 mg dalam
Komplikasi 50 ml NaCl 0,9% IV selama 20 menit,
Komplikasi neurologis, Stress related mucosal setiap 4-6 jam sekali
injury, stress ulcer pada gaster, Jaundice, • Bila perlu, tambahkan salah satu obat
Disfungsi pencernaan, Hipoglikemia, Malnutrisi, berikut ini:
Defisiensi vitamin terutama thiamin, komplikasi - Klorpromazin 25-50 mg IV tiap 4-6
potensial dari janin, kerusakan ginjal yang jam
- Prometazin 12,5-25 mg IV tiap 4-6 yang baik pada tingkat yang berat, kondisi ini
jam dapat mengancam nyawa ibu dan janin.
- Metoklopramid 5-10 mg tiap 8 jam
per oral Ad vitam : Bonam;
Ad functionam : Bonam;
• Bila perlu, tambahkan Ad sanationam : Bonam
Metilprednisolon 15-20 mg IV tiap 8
jam ATAU ondansetron 8 mg selama Referensi
15 menit IV tiap 12 jam atau 1 mg/ 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
jam terus-menerus selama 24 jam. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Konseling dan Edukasi Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
1. Memberikan informasi kepada pasien, 2013(Kementerian Kesehatan Republik
suami, dan keluarga mengenai kehamilan Indonesia, 2013)
dan persalinansuatu proses fisiologik.
2. World Health Organization, Kementerian
2. Memberikan keyakinan bahwa mual dan Kesehatan, Perhimpunan Obstetri Dan
kadang-kadang muntah merupakan gejala Ginekologi, Ikatan Bidan Indonesia.
fisiologik pada kehamilan muda dan akan Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas
hilang setelah usia kehamilan 4 bulan. Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Edisi I.
Jakarta 2013. Hal 82-
3. Hindari kelelahan pada ibu dengan aktivitas
3 (Kementerian Kesehatan Republik
berlebihan.
Indonesia, 2013)
4. Memperhatikan kecukupan nutrisi ibu, dan
3. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
sedapat mungkin mendapatkan suplemen
Raschimhadhi, T. Wiknjosastro, G.H, 2010.
asam folat di awal kehamilan.
Ilmu Kebidanan. Ed 4. Cetakan ketiga.
Kriteria Rujukan Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2010; Hal 814-818.
1. Ditemukan gejala klinis dan ada gangguan (Prawirohardjo, et al., 2010)
kesadaran (tingkat 2 dan 3).
4. Wiknjosastro, H.Hiperemesis Gravidarum
2. Adanya komplikasi gastroesopagheal reflux dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta: Balai
disease (GERD), ruptur esofagus, Penerbit FKUI. 2005: Hal 275-280.
perdarahan saluran cerna atas dan (Prawirohardjo, et al., 2010)
kemungkinan defisiensi vitamin terutama
thiamine. 5. Ronardy, D.H. Ed. Obstetri Williams. Ed
18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Pasien telah mendapatkan tindakan 2006:9, 996. (Ronardy, 2006)
awal kegawatdaruratan sebelum proses
rujukan.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah rutin
2. Laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis umumnya bonam dan sangat
memuaskan jika dilakukan penanganan dengan
baik. Namun jika tidak dilakukan penanganan
3. ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA KEHAMILAN
No. ICPC-2: B80 Irondeficiency anaemia No. ICD-10: D50 Iron deficiency anaemia
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment)


Anemia dalam kehamilan adalah kelainan pada Diagnosis Klinis
ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11g/dl
Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III)
pada trimester I dan III atau <10,5 g/dl pada
atau< 10,5 g/dl (pada trimester II). Apabila
trimester II. Penyebab tersering anemia pada
diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
kehamilan adalah defisiensi besi, perdarahan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat
akut, dan defisiensi asam folat.
morfologi sel darah merah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Banding
Keluhan Anemia akibat penyakit kronik, Trait
1. Badan lemah, lesu Thalassemia, Anemia sideroblastik
2. Mudah lelah Komplikasi : -
3. Mata berkunang-kunang
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
4. Tampak pucat
5. Telinga mendenging Penatalaksanaan
6. Pica: keinginan untuk memakan bahan-
bahan yang tidak lazim 1. Lakukan penilaian pertumbuhan dan
kesejahteraan janin dengan memantau
Faktor Risiko : - pertambahan ukuran janin
2. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak
Faktor Predisposisi
tersedia, berikan tablet tambah darah yang
1. Perdarahan kronis berisi 60 mg besi elemental dan 250 μg
2. Riwayat keluarga asam folat.Pada ibu hamil dengan anemia,
3. Kecacingan tablet besi diberikan 3 kali sehari.
4. Gangguan intake (diet rendah zat besi,) 3. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan
5. Gangguan absorbsi besi penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang perifer lengkap dan apus darah tepi.
Sederhana (Objective )
Bila tidak tersedia, pasien bisa di rujuk ke
Pemeriksaan Fisik Patognomonis pelayanan sekunder untuk penentuan jenis
1. Konjungtiva anemis anemia dan pengobatan awal.
2. Atrofi papil lidah Tabel 14.7 Sediaan suplemen besi yang beredar
3. Stomatitis angularis (cheilosis)
4. Koilonichia: kuku sendok (spoon nail)
Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar hemoglobin
2. Apusan darah tepi
4. Anemia mikrositik hipokrom dapat pemberian suplementasi besi selama 3
ditemukan pada keadaan: bulan
a. Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan 3. Anemia yang disertasi perdarahan kronis,
ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin agar dicari sumber perdarahan dan
< 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan ditangani.
dosis setara 180 mg besi elemental per
hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan Peralatan
pemeriksaan SI dan TIBC. Laboratorium untuk pemeriksaan darah
b. b. Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan rutin Prognosis
thalassemia perlu dilakukan
tatalaksana bersama dokter spesialis Prognosis umumnya adalah bonam, sembuh
penyakit dalam untuk perawatan yang lebih tanpa komplikasi
spesifik Referensi
c. Anemia normositik normokrom dapat 1. KementerianKesehatan RI dan WHO.
ditemukan pada keadaan: Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu
d. Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
tanda dan gejala aborsi, mola, kehamilan Rujukan. Jakarta :KementerianKesehatan
ektopik, atau perdarahan pasca persalinan RI. 2013(Kementerian Kesehatan Republik
infeksi kronik Indonesia, 2013)

e. Anemia makrositik hiperkrom dapat


ditemukan pada keadaan: Defisiensi asam
folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1
x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg
Konseling dan Edukasi
1. Prinsip konseling pada anemia defisiensi
besi adalah memberikan pengertian kepada
pasien dan keluarganya tentang perjalanan
penyakit dan tata laksananya, sehingga
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
dalam berobat serta meningkatkan kualitas
hidup pasien untuk mencegah terjadinya
anemia defisiensi besi.
2. Diet bergizi tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani
(daging,ikan,susu, telur,sayuran hijau)
3. Pemakaian alas kaki untuk mencegah
infeksi cacing tambang
Kriteria Rujukan
1. Pemeriksaan penunjang menentukan jenis
anemia yang ibu derita
2. Anemia yang tidak membaik dengan
4. PRE-EKLAMPSIA
No. ICPC-2: W81 Toxaemia of pregnancy
No. ICD-10: O14.9 Pre-eclampsia, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik pada Sederhana(Objective)
kehamilan di atas 20 minggu yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon Pemeriksaan Fisik
maternal terhadap adanya inflamasi spesifik 1. Pada pre-eklampsia ringan:
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. a. Tekanan darah 140/90 mmHg pada usia
Tanda utama penyakit ini adanya hipertensi dan kehamilan > 20 minggu
proteinuria. Pre- eklampsia merupakan masalah b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria
kedokteran yang serius dan memiliki tingkat +1 atau pemeriksaan protein kuantitatif
komplesitas yang tinggi. Besarnya masalah ini menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam
bukan hanya karena pre-eklampsia berdampak 2. Pada pre-eklampsia berat:
pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun a. Tekanan darah > 160/110 mmHg pada
juga menimbulkan masalah pasca-persalinan. usia kehamilan > 20 minggu
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria
Hasil Anamnesis (Subjective) +2 atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil > 5g/24 jam
Keluhan
c. Atau disertai keterlibatan organ lain:
1. Pusing dan nyeri kepala • Trombositopenia (<100.000
2. Nyeri ulu hati sel/uL), hemolisis mikroangiopati
3. Pandangan kurang jelas • Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri
4. Mual hingga muntah abdomen kuadran kanan atas
• Sakit kepala, skotoma penglihatan
Faktor Risiko • Pertumbuhan janin terhambat,
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi oligohidroamnion
menyebabkan penyakit mikrovaskular • Edema paru atau gagal jantung
(antaralain : diabetes melitus, hipertensi kongestif
kronik, gangguanpembuluhdarah) • Oligouria (<500cc/24 jam), kreatinin
2. Sindrom antibody antiphospholipid (APS) > 1.2 mg/dl
3. Nefropati Penegakan Diagnostik (Assessment)
4. Faktor risiko lainnya dihubungkan dengan
kehamilan itu sendiri, dan faktor spesifik Diagnosis klinis
dari ibu atau janin.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
a. Umur > 40 tahun
gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
b. Nullipara dan Kehamilan multipel
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
5. Obesitas sebelum hamil
6. Riwayat keluarga pre-eklampsia dan Diagnosis Banding
eklampsia
7. Riwayat pre-eklampsia pada kehamilan Hipertensi gestasional, Hipertensi Kronik,
sebelumnya Hipertensi Kronik dengan superimposed
preeklampsia
Komplikasi Gambar 14. 1 Penatalaksanaan Pemberian
dosis awal dan rumatan MgSO4 pada
Sindrome HELLP, pertumbuhan janin intra uterin pasien pre-eklampsia
yang terhambat, edema paru, kematian janin,
koma, kematian ibu
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Non Medikamentosa
1. Pre-eklampsia ringan
a. Dapat di rawat jalan dengan
pengawasan dan kunjungan antenatal
yang lebih sering.
b. Dianjurkan untuk banyak istirhat
dengan baring atau tidur miring.
Namun tidak mutlak selalu tirah baring
c. Diet dengan cukup protein dengan
rendah karbohidrat, lemak dan garam
secukupnya.
d. Pemantuan fungsi ginjal, fungsi hati,
dan protenuria berkala
2. Pre-eklampsia berat
Segera melakukan perencanaan untuk
rujukan segera ke Rumah Sakit dan
menghindari terjadi kejang dengan 2. Rawat jalan (ambulatoir)
pemberian MgSO4. a. Ibu hamil banyak istirahat (berbaring/
tidur miring)
Medikamentosa b. Konsumsi susu dan air buah
1. Pantau keadaan klinis ibu tiap kunjungan c. Antihipertensi
antenatal: tekanan darah, berat badan, • Ibu dengan hipertensi berat selama
tinggi badan, indeks masa tubuh, ukuran kehamilan perlu mendapatkan terapi
uterus dan gerakan janin. antihipertensi.
• Pilihan antihipertensi didasarkan
Tabel 14.8 Obat Antihipertensi untuk ibu hamil terutama pada pengalaman dokter
dan ketersediaan obat.
Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan
1. Pada ibu dengan preeklampsi berat dengan
janin sudah viable namun usia kehamilan
belum mencapai 34 minggu, manajemen
ekspektan dianjurkan, asalkan tidak
terdapat kontraindikasi.
2. Pada ibu dengan preeklampsi berat, dimana
usia kehamilan 34-37 minggu, manajemen
ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak
Antihipertensi golongan ACE Inhibitor (misalnya
terdapat hipertensi yang tidak terkontrol,
kaptopril) , ARB, (misalnya Valsartan) dan
disfungsi organ ibu, dan gawat janin.
klorotiazid dikontraindikasikan pada ibu hamil.
3. Pada ibu dengan preeklampsi berat yang
kehamilannya sudah aterm, persalinan dini
dianjurkan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
4. Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau 2013 (Kementerian Kesehatan Republik
hipertensi gestasional ringan yang sudah Indonesia, 2013)
aterm, induksi persalinan dianjurkan.
2. Report on the national high blood
Konseling dan Edukasi pressure education program working
group on high blood pressure in pregnancy.
1. Memberikan informasi mengenai keadaan AJOG.2000: Vol.183. (National High Blood
kesehatan ibu hamil dengan tekanan darah Pressure Education Program Working
yang tinggi. Group on High Blood Pressure in Pregnancy,
2. Melakukan edukasi terhadapa pasien, 2000)
suami dan keluarga jika menemukan gejala
atau keluhan dari ibu hamil segera 3. Lana, K. Wagner, M.D. Diagnosis and
memberitahu petugas kesehatan atau management of pre- eklampsia. The
langsung ke pelayanan kesehatan American Academy of Family Physicians.
3. Sebelum pemberian MgSO4, pasien terlebih 2004 Dec 15; 70 (12): 2317-2324).(Lana &
dulu diberitahu akan mengalami rasa panas Wagner, 2004)
dengan pemberian obat tersebut.
4. Suami dan keluarga pasien tetap diberi 4. Cunningham, F.G. et.al. Hypertensive
motivasi untuk melakukan pendampingan Disorder in Pregnancy.Williams Obstetrics.
terhadap ibu hamil selama proses rujukan 21st Ed. Prentice Hall International Inc.
Connecticut: Appleton and Lange.
Kriteria Rujukan 2001; p. 653 -694.(Cunningham, et al.,
2001)
1. Rujuk bila ada satu atau lebih gejala
dan tanda-tanda preeklampsia berat ke 5. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
fasilitas pelayanan kesehatan sekunder. T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
2. Penanganan kegawatdaruratan harus di Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
lakukan menjadi utama sebelum dan cetakan ketiga. Jakarta :PT Bina Pustaka
selama proses rujukan hingga ke Pelayanan Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 550-554.
Kesehatan sekunder. (Prawirohardjo, et al., 2010)
Peralatan 6. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis
1. Doppler atau Laenec dan Tata Laksana Pre-eklampsia. Jakarta:
2. Palu Patella Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Obat-obat Antihipertensi (Kementerian Kesehatan Republik
4. Laboratorium sederhana untuk Indonesia, 2013)
pemeriksaan darah rutin dan urinalisa.
5. Larutan MgSO4 40%
6. Larutan Ca Glukonas
Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam baik
bagi ibu maupun janin.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
5. EKLAMPSI
No. ICPC-2
: W81 Toxaemia of pregnancy
No. ICD-10
: O15.9 Eclampsia, unspecified as to time period
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
3. Riwayat preeklampsia ringan dan berat
Eklampsia merupakan kasus akut pada dalam kehamilan sebelumnya.
penderita pre-eklampsia, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan atau koma. Sama Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
halnya dengan pre-eklampsia, eklampsia dapat Sederhana(Objective)
timbul pada ante, intra, dan post partum. Pemeriksaan Fisik
Eklampsia post partum umumnya hanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama setelah 1. Pemeriksaan keadaan umum: sadar atau
persalinan. 50- 60% kejadian eklampsia terjadi penurunan kesadaran Glasgow Coma Scale
dalam keadaan hamil. 30-35% kejadian dan Glasgow-Pittsburg Coma Scoring
eklampsia terjadi pada saat inpartu, dan sekitar System.
10% terjadi setelah persalinan.
2. Pada tingkat awal atau aura yang
Pada negara berkembang kejadian ini berkisar berlangsung 30 sampai 35 detik, tangan dan
0,3-0,7%. Di Indonesia Pre eklampsia dan kelopak mata bergetar, mata terbuka
eklampsia penyebab kematian ibu berkisar 15- dengan pandangan kosong.
25%, sedangkan 45-50% menjadi penyebab
3. Tahap selanjutnya timbul kejang
kematian bayi.
4. Pemeriksaan tanda vital
Hasil Anamnesis (Subjective)
5. Adanya peningkatan tekanan darah diastol
Keluhan
>110 mmHg
Kejang yang diawali dengan gejala-gejala
6. Sianosis
prodromal eklampsia, antara lain:
7. Skotoma penglihatan
1. Nyeri kepala hebat
2. Gangguan penglihatan 8. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda
3. Muntah-muntah edema paru dan atau gagal jantung
4. Nyeri uluhati atau abdomen bagian atas
Pemeriksaan Penunjang
5. Kenaikan progresif tekanan darah
Faktor Risiko Dari pemeriksaan urinalisa didapatkan
proteinuria ≥ 2+
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi
menyebabkan penyakit mikrovaskular Penegakan Diagnostik (Assessment)
(antara lain: diabetes melitus, hipertensi Diagnosis Klinis
kronik, gangguan pembuluh darah dan
jaringan ikat) Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
2. Sindrom antibody antiphospholipid, dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
nefropati. Faktor risiko lainya dihubungkan Diagnosis Banding
dengan kehamilan itu sendiri, dan faktor
spesifik dari ibu atau ayah janin. Kejang pada eklampsia harus dipikirkan
kemungkinan kejang akibat penyakit lain, oleh
karena itu sebagai diagnosis banding eklampsia b. ada refleks patella,
antara lain: Hipertensi, perdarahan otak, lesi di c. jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam d.
otak, Meningitis, Epilepsi , Kelainan metabolik frekuensi napas 12-16x/menit.
2. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis
1. Komplikasi pada ibu: sianosis, aspirasi ,
rumatan 6 g MgSO4 (15ml MgSO4 40%,
pendarahan otak dan kegagalan jantung,
larutkan dalam 500 ml larutan Ringer
mendadak, lidah tergigit, jatuh dari tempat
Laktat/ Ringer asetat) 28 tetes/ menit
tidur yang menyebabkan fraktur dan luka,
selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam
gangguan fungsi ginjal, perdarahan atau
setelah persalinan atau kejang berakhir.
ablasio retina, gangguan fungsi hati dan
3. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat
ikterus
diberikan seluruhnya, berikan dosis awal
2. Komplikasi pada janin: Asfiksia mendadak (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke
disebabkan spasme pembuluh darah, fasilitas kesehatan sekunder .
Solusio plasenta, persalinan prematuritas 4. Diazepam juga dapat dijadikan alternatif
pilihan dengan dosis 10 mg IV selama 2
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan) menit (perlahan), namun mengingat dosis
Penatalaksanaan yang dibutuhkan sangat tinggi dan memberi
dampak pada janin, maka pemberian
Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah diazepam hanya dilakukan apabila tidak
terapi supportif untuk stabilisasi fungsi vital, tersedia MgSO4.
dengan pemantauan terhadap Airway, 5. Stabilisasi selama proses perjalanan rujukan
Breathing, Circulation (ABC). a. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam,
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
Non Medikamentosa
frekuensi pernapasan, refleks patella.
Pengelolaan Kejang b. b. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/
menit, dan/atau tidak didapatkan
1. Pemberian obat anti kejang. refleks tendon patella, danatau
2. Masukan sudap lidah ke dalam mulut terdapat oliguria (produksi urin
penderita. <0,5 ml/kg BB/jam), segera hentikan
3. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi pemberian MgSO4.
trendelenburg untuk mengurangi risiko 6. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca
aspirasi. glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
4. Katerisasi urine untuk pengukuran cairan bolus dalam 10 menit.
dan pemeriksaan proteinuria.
5. Beberapa keluarga pasien membantu untuk Kriteria Rujukan
menjaga pasien tidak terjatuh dari tempat
Eklampsia merupakan indikasi rujukan yang
tidur saat kejang timbul
wajib di lakukan.
6. Beri O2 4 - 6 liter
Peralatan
permenit. Medikamentosa
1. Oropharyngeal airway / Guedel
1. MgSO4diberikan intravena dengan dosis
2. Kateter urin
awal 4 g (10ml MgSO4 40%, larutkan dalam
3. Laboratorium sederhana untuk
10 ml akuades) secara perlahan selama 20
pemeriksaan urin (menilai kadar
menit, jika pemberian secara intravena
proteinuria).
sulit, dapat diberikan secara IM dengan
4. Larutan MgSO4 40%
dosis 5mg masing bokong kanan dan kiri.
5. Ca Glukonas
Adapun syarat pemberian MgSO4
6. Diazepam injeksi
a. tersedianya CaGlukonas10%
7. Palu
Prognosis 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Prognosis umumnya dubia ad malam baik untuk Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
ibu maupun janin. Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.
Referensi (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B.
Rachimhadhi,
T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 550-554.
(Prawirohardjo, et al., 2010)

6. ABORTUS
No. ICPC-2 No. ICD-10 No. ICPC-2 No. ICD-10
: W82 Abortion spontaneous
: O03.9 Unspecified abortion, complete, without complication
: W82 Abortion spontaneous
: O06.4 Unspecified abortion, incomplete, without complication
Tingkat Kemampuan Abortus komplit 4A Abortus inkomplit 3B Abortus insipiens 3B

Masalah Kesehatan Keluhan yang terdapat pada pasien abortus


Abortus ialah ancaman atau pengeluaran antara lain:
hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar 1. Abortus imminens
kandungan,dan sebagai batasan digunakan a. Riwayat terlambat haid dengan hasil
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat B HCG (+) dengan usia kehamilan
anak kurang dari 500 gram. dibawah 20 minggu
Jenis dan derajat abortus : b. Perdarahan pervaginam yang tidak
terlalu banyak, berwarna kecoklatan
1. Abortus imminens adalah abortus tingkat dan bercampur lendir
permulaan, dimana terjadi perdarahan c. Tidak disertai nyeri atau kram
pervaginam ostium uteri masih tertutup 2. Abortus insipiens
dan hasil konsepsi masih baik dalam a. Perdarahan bertambah banyak,
kandungan. berwarna merah segar disertai
2. Abortus insipiens adalah abortus yang terbukanya serviks
sedang mengancam dimana serviks telah b. Perut nyeri ringan atau spasme
mendatar dan ostium uteri telah membuka, (seperti kontraksi saat persalinan)
akan tetapi hasil konsepsi masih dalam 3. Abortus inkomplit
kavum uteri. a. Perdarahan aktif
3. Abortus inkomplit adalah sebagian hasil b. Nyeri perut hebat seperti kontraksi saat
konsepsi telah keluar dari kavum uteri persalinan
masih ada yang tertinggal. c. Pengeluaran sebagian hasil konsepsi
4. Abortus komplit adalah seluruh hasil d. Mulut rahim terbuka dengan sebagian
konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada sisa konsepsi tertinggal
kehamilan kurang dari 20 minggu. e. Terkadang pasien datang dalam
keadaan syok akibat perdarahan
Hasil Anamnesis (Subjective)
4. Abortus komplit c. Abortus inkomplit
a. Perdarahan sedikit • Osteum uteri terbuka, dengan
b. Nyeri perut atau kram ringan terdapat sebagian sisa konsepsi
c. Mulut rahim sudah tertutup • Perdarahan aktif
d. Pengeluaran seluruh hasil konsepsi • Ukuran uterus sesuai usia kehamilan
d. Abortus komplit
Faktor Risiko • Osteum uteri tertutup
1. Faktor Maternal • Perdarahan sedikit
a. Penyakit infeksi • Ukuran uterus lebih kecil usia
b. Kelainan hormonal, seperti kehamilan
hipotiroidisme
Pemeriksaan Penunjang
c. Gangguan nutrisi yang berat
d. Penyakit menahun dan kronis 1. Pemeriksaan USG.
e. Alkohol, merokok dan penggunaan 2. Pemeriksaan tes kehamilan (BHCG):
obat-obatan biasanya masih positif sampai 7-10 hari
f. Anomali uterus dan serviks setelah abortus.
g. Gangguan imunologis 3. Pemeriksaan darah perifer lengkap
h. Trauma fisik dan psikologis Penegakan Diagnostik (Assessment)
2. Faktor Janin: Adanya kelainan genetik pada
janin Diagnosis Klinis
3. Faktor ayah: Terjadinya kelainan sperma
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang pemeriksaan fisik, dan pemeriksaam penunjang.
Sederhana (Objective)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Fisik
Kehamilan ektopik, Mola hidatidosa, Missed
1. Penilaian tanda vital (tekanan darah, nadi, abortion
respirasi, suhu)
2. Penilaian tanda-tanda syok Komplikasi
3. Periksa konjungtiva untuk tanda anemia Komplikasi yang dapat terjadi pada abortus
4. Mencari ada tidaknya massa abdomen ialah perdarahan, infeksi, perforasi, syok
5. Tanda-tanda akut abdomen dan defans
musculer Tabel 14.9 Macam – macam Abortus
6. Pemeriksaan ginekologi, ditemukan:
a. Abortus iminens
• Osteum uteri masih menutup
• Perdarahan berwarna kecoklatan
disertai lendir
• Ukuran uterus sesuai dengan usia
kehamilan
• Detak jantung janin masih ditemukan
b. Abortus insipiens
• Osteum uteri terbuka, dengan
terdapat penonjolan kantong dan
didalamnya berisi cairan ketuban
• Perdarahan berwarna merah segar
• Ukuran uterus sesuai dengan usia
kehamilan
• Detak jantung janin masih ditemukan
Gambar 14.2 Jenis abortus Tablet penambah darah
f. Vitamin ibu hamil diteruskan
2. Abortus insipiens
a. Lakukan konseling untuk menjelaskan
kemungkinan risiko dan
rasa tidak nyaman selama tindakan
evakuasi, serta memberikan informasi
mengenai kontrasepsi paska keguguran.
b. Jika usia kehamilan < 16 minggu
: lakukan evakuasi isi uterus; Jika
evakuasi tidak dapat dilakuka segera:
berikan ergometrin 0.2 mg IM (dapat
diulang 15 menit kemudian bila perlu)
c. Jika usia kehamilan > 16 minggu:
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Tunggu pengeluaran hasil konsepsi
Penatalaksanaan Umum secara spontan dan evakuasi hasil
konsepsi dari dalam uterus. Bila perlu
Pada keadaan abortus kondisi ibu bisa berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L
memburuk dan menyebabkan komplikasi. Hal NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan 40
pertama yang harus dilakukan adalah penilaian tetes per menit
cepat terhadap tanda vital (nada, tekanan d. Lakukan pemantauan paska tindakan
darah, pernasapan dan suhu). Pada kondisi di setiap 30 menit selama 2 jam, Bila
jumpai tanda sepsis atau dugaan abortus kondisi baik dapat dipindahkan ke
dengan komplikasi, berikan antibiotika dengan ruang rawat.
kombinasi: e. Lakukan pemeriksaan jaringan secara
makroskopik dan kirimkan untuk
1. Ampicilin 2 gr IV /IM kemudian 1 gr setiap 6
pemeriksaan patologi ke laboratorium
jam
f. Lakukan evaluasi tanda vital,
2. Gentamicin 5 mg/KgBB setiap 24 jam
perdarahan pervaginam, tanda akut
3. Metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam
abdomen, dan produksi urin tiap 6 jam
4. Segera melakukan rujukan ke pelayanan
selama 24 jam. Periksa kadar Hb setelah
kesehatan Sekunder / RS
24 jam. Bila kadar Hb > 8gr/dl dan
Penatalaksaan Khusus sesuai dengan Jenis keadaan umum baik, ibu diperbolehkan
Abortus pulang
3. Abortus inkomplit
1. Abortus imminens: a. Lakukan konseling
a. Pertahankan kehamilan b. Observasi tanda vital (tensi, nadi, suhu,
b. Tidak perlu pengobatan khusus respirasi)
c. Jangan melakukan aktivitas fisik c. Evaluasi tanda-tanda syok, bila
berlebihan atau hubungan seksual terjadi syok karena perdarahan,
d. Jika perdarahan berhenti, pantau pasang IV line (bila perlu 2 jalur) segera
kondisi ibu selanjutnya pada berikan infus cairan NaCl fisiologis atau
pemeriksaan antenatal termasuk cairan ringer laktat disusul dengan
pemantauan kadar Hb dan USG panggul darah.
serial setiap 4 minggu. Lakukan d. Jika perdarahan ringan atau
penilaian ulang bila perdarahan terjadi sedang dan kehamilan <16 minggu,
lagi gunakan jari atau forcep cincin untuk
e. Jika perdarahan tidak berhenti, mengeluarkan hasil konsepsi yang
nilai kondisi janin dengan USG, nilai mencuat dari serviks
kemungkinan adanya penyebab lain. f.
e. Jika perdarahan berat dan usia Rencana Tindak Lanjut
kehamilan < 16 minggu, lakukan 1. Melakukan konseling untuk memberikan
evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum dukungan emosional
manual (AVM) merupakan metode 2. Menganjurkan penggunaan kontrasepsi
yang dianjurkan. Kuret tajam sebaiknya pasca keguguran karena kesuburan
hanya dilakukan apabila AVM tidak dapat kembali kira-kira 14 hari setelah
tersedia. Jika evakuasi tidak dapat keguguran. Untuk mencegah kehamilan,
dilakuka segera: berikan ergometrin 0.2 Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
mg IM (dapat diulang 15 menit umumnya dapat dipasang secara aman
kemudian bila perlu) setelah aborsi spontan atau diinduksi.
f. Jika usia kehamilan > 16 minggu Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca
berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L keguguran antara lain adalah infeksi pelvik,
NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan 40 abortus septik, atau komplikasi serius lain
tetes per menit. Lakukan pemantauan dari abortus.
paska tindakan setiap 30 menit selama 3. Follow up dilakukan setelah 2 minggu.
2 jam, Bila kondisi baik dapat
dipindahkan ke ruang rawat. Kriteria Rujukan
g. Lakukan pemeriksaan jaringan secara Abortus Insipiens, Abortus Inkomplit,
makroskopik dan kirimkan untuk perdarahan yang banyak, nyeri perut, ada
pemeriksaan patologi ke laboratorium pembukaan serviks, demam, darah cairan
h. Lakukan evaluasi tanda vital, berbau dan kotor
perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin tiap 6 jam Peralatan
selama 24 jam. Periksa kadar Hb setelah 1. Inspekulo
24 jam. Bila kadar Hb > 8gr/dl dan 2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksan
keadaan umum baik, ibu diperbolehkan tes kehamilan .
pulang 3. Laboratorium sederhana untuk
4. Abortus komplit pemeriksaan darah rutin.
Tidak memerlukan pengobatan khusus, 4. USG
hanya apabila menderita anemia perlu
diberikan sulfas ferosus dan dianjurkan Prognosis
supaya makanannya mengandung banyak Prognosis umumnya bonam.
protein, vitamin dan mineral.
Referensi
Pencegahan
1. Saifuddin, A.B. Ilmu Kebidanan. Perdarahan
1. Pemeriksaan rutin antenatal pada kehamilan muda. Ed 4. Jakarta:
2. Makan makanan yang bergizi (sayuran, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
susu,ikan, daging,telur). Prawihardjo.2009: p. 460-474.
3. Menjaga kebersihan diri, terutama daerah (Prawirohardjo, et al., 2010)
kewanitaan dengan tujuan mencegah 2. KementerianKesehatan RI dan WHO.
infeksi yang bisa mengganggu proses Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
implantasi janin. Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
4. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai Jakarta: KementerianKesehatan RI.
efek vasoaktif sehingga menghambat 2013(Kementerian Kesehatan Republik
sirkulasi uteroplasenta. Indonesia, 2013)
5. Apabila terdapat anemia sedang berikan 3. Saifuddin, A.B. Buku Acuan Pelayanan
tablet Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 2 Kesehatan Maternal dan Neonatal.
minggu,bila anemia berat maka berikan Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
transfusi darah. Prawirohardjo.2001; 146-147.(Saifuddin,
2011)
7. KETUBAN PECAH DINI (KPD)
No. ICPC-2 : W92 Complicated labour/delivery livebirth
No. ICD-10 : 042.9 Premature rupture of membrane, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya Sederhana (Objective)
selaput ketuban sebelum persalinan atau Pemeriksaan Fisik
dimulainya tanda inpartu. Bila ketuban pecah
dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu 1. Tercium bau khas ketuban
disebut ketuban pecah dini pada kehamilan 2. Apakah memang air ketuban keluar dari
prematur. kanalis servikalis pada bagian yang sudah
pecah, lihat dan perhatikan atau terdapat
Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil cairan ketuban padaforniks posterior.
aterm akan mengalami ketuban pecah dini. 3. Menentukan pecahnya selaput ketuban
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% dengan adanya cairan ketuban di vagina.
kehamilan. Pastikan bahwa cairan tersebut adalah
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur cairan amnion dengan memperhatikan bau
disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, cairan ketuban yang khas.
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. 4. Jika tidak ada cairan amnion, dapat dicoba
Ketuban pecah dini prematur sering terjadi dengan menggerakkan sedikit bagian
pada polihidramnion, inkompeten serviks, dan terbawah janin atau meminta pasien batuk
solusio plasenta. atau mengejan
5. Tidak ada tanda inpartu
Hasil Anamnesis (Subjective) 6. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai
adanya tanda-tanda infeksi pada ibu dengan
Keluhan
mengukur suhu tubuh (suhu ≥ 380C).
1. Terasa keluar air dari jalan lahir
Pemeriksaan Penunjang
2. Biasanya tanpa disertai dengan kontraksi
atau tanda inpartu 1. Pemeriksaan pH vagina (cairan ketuban)
dengan kertas lakmus (Nitrazin test) dari
Adanya riwayat keluarnya air ketuban berupa
merah menjadi biru , sesuai dengan sifat air
cairan jernih keluar dari vagina yang kadang-
ketuban yang alkalis
kadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan.
2. Pemeriksaan mikroskopis tampak
Pada anamnesis, hal-hal yang perlu digali adalah gambaran pakis yang mengering pada
menentukan usia kehamilan, adanya cairan sekret serviko vaginal.
yang keluar dari vagina, warna cairan yang 3. Dilakukan dengan meneteskan air ketuban
keluar dari vagina, dan adanya demam. pada gelas objek dan dibiarkan mengering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
Faktor Risiko : gambaran daun pakis.
Multiparitas, Hidramnion, Kelainan letak ; 4. Pemeriksaan darah rutin, leukosit> 15.000/
sungsang atau melintang, Kehamilan ganda, mm3.
Cephalo Pelvic Disproportion, Infeksi,
Perdarahan antepartum
Penegakan Diagnostik (Assessment) c. < 24 minggu:
Diagnosis Klinis • Pertimbangan dilakukan
dengan
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
melihat risiko ibu dan janin.
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
• Lakukan konseling pada pasien.
Diagnosis Banding : -
Terminasi kehamilan mungkin
Komplikasi yang timbul bergantung pada usia menjadi pilihan.
kehamilan
• Jika terjadi infeksi (koroiamnionitis),
1. Infeksi maternal korioamnionitis dan lakukan tatalaksana koriamnionitis.
neonatal
Konseling dan Edukasi
2. Persalinan prematur
3. Hipoksia karena kompresi tali pusat 1. Memberikan informasi kepada ibu, adanya
4. Deformitas janin air ketuban yang keluar sebelum tanda
5. Meningkatnya insiden seksio sesarea, atau inpartu
gagal persalinan normal.
2. Menenangkan ibu dan memberitahu
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) kepada suami dan keluarga
Penatalaksanaan 3. agar ibu dapat diberi kesempatan untuk
tirah baring.
1. Pembatasan aktivitas pasien.
4. Memberi penjelasan mengenai persalinan
2. Apabila belum inpartuberikan Eritromisin 4
yang lebih cepat dan rujukan yang akan
x 250 mg selama 10 hari.
dilakukan ke pusat pelayanan sekunder.
3. Segera rujuk pasien ke fasilitas pelayanan
Kriteria rujukan
sekunder
Ibu hamil dengan keadaan ketuban pecah
4. Di RS rujukan :
dini merupakan kriteria rujukan ke pelayanan
a. ≥ 34 minggu : lakukan induksi kesehatan sekunder.
persalinan dengan oksitosin bila tidak
Peralatan
ada kontraindikasi
1. Inspekulo
b. 24-33 minggu:
2. Kertas lakmus (Nitrazin test)
• Bila terdapat amnionitis, abruptio 3. Laboratorium sederhana untuk
plasenta, dan kematian janin, pemeriksaan darah rutin
lakukan persalinan segera.
Prognosis
• Berikan Deksametason 6 mg IM tiap
Prognosis Ibu
12 jam selama 48 jam.
1. Ad vitam : Bonam
• Lakukan pemeriksaan serial untuk
2. Ad functionam : Bonam
menilai kondisi ibu dan janin.
3. Ad sanationam : Bonam
• Bayi dilahirkan di usia 34 minggu,
Prognosis Janin
bila dapat dilakukan pemeriksaan
kematangan paru dan hasil 1. Ad vitam : Dubia ad bonam
menunjukan bahwa paru sudah 2. Ad functionam : Dubia ad bonam
matang. 3. Ad sanationam : Dubia ad Bonam
Referensi 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Rachimhadhi, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013
T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan (Kementerian Kesehatan Republik
Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat Indonesia, 2013)
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 677-680.
(Prawirohardjo, et al., 2010)

8. PERSALINAN LAMA
No. ICPC-2: W92 Life birth
W93 still birth
No. ICD-10: O63.9 Long labour
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
3. Passage : panggul sempit, kelainan serviks
Persalinan lama adalah persalinan yang atau vagina, tumor
berlangsung lebih dari 18-24 jam sejak dimulai
dari tanda-tanda persalinan. 4. Gabungan : jalan lahir dari faktor-faktor di
atas
Etiologi:
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
1. Kepala janin yang besar / hidrosefalus sederhana (Objective)
2. Kembar terkunci
3. Kembar siam Pemeriksaan Fisik Patognomonis
4. Disporsi fetopelvik
1. Pada ibu:
5. Malpresentasi dan malposisi
a. Gelisah
6. Deformitas panggul karena trauma atau
b. Letih
polio
c. Suhu badan meningkat
7. Tumor daerah panggul
d. Berkeringat
8. Infeksi virus di perut atau uterus
e. Nadi cepat
9. Jaringan arut (dari sirkumsisi wanita)
f. Pernafasan cepat
Hasil Anamnesis (Subjective) g. Meteorismus
h. Bandle ring, edema vulva, oedema
Pasien datang dalam kondisi fase persalinan serviks, cairan ketuban berbau terdapat
Kala 1 atau Kala 2 dengan status: kelainan mekoneum
pembukaan serviks atau partus macet. 2. Pada janin:
Faktor Risiko: a. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak
teratur, bahkan negatif
(“Po, Pa, Pa”atau gabungan 3 P ) b. Air ketuban terdapat mekoneum kental
kehijau-hijauan, cairan berbau
1. Power : His tidak adekuat (his dengan
c. Caput succedenium yang besar
frekuensi <3x/10 menit dan
d. Moulage kepala yang hebat
2. Passenger : Durasi setiap kontraksinya <40 e. Kematian janin dalam kandungan
detik) malpresentasi, malposisi, janin besar f. Kematian janin intrapartal
Kelainan Pembukaan Serviks Faktor Predisposisi
1. Persalinan Lama 1. Paritas dan interval kelahiran
2. Ketuban pecah dini
a. Nulipara:
• Kemajuan pembukaan (dilatasi) Pemeriksaan penunjang :
serviks pada fase aktif< 1,2 cm/jam 1. Partograf
• Kemajuan turunnya bagian terendah 2. Doppler
< 1 cm/jam 3. Urin
4. Darah tepi lengkap
b. Multipara:
Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Kemajuan pembukaan (dilatasi)
serviks pada fase aktif<1,5 cm/jam Diagnosis Klinis
• Kemajuan turunnya bagian terendah Distosia pada kala I fase aktif:
<2 cm/jam
Grafik pembukaan serviks pada partograf
2. Persalinan Macet
berada di antara garis waspada dan garis
a. Nulipara : bertindak, atau sudah memotong garis
bertindak, atau
• Fase deselerasi memanjang ( > 3 jam
) Fase ekspulsi (kala II) memanjang:
• Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 Tidak ada kemajuan penurunan bagian
jam terendah janin pada persalinan kala II. Dengan
• Tidak ada penurunan bagian batasan waktu: Maksimal 2 jam untuk nullipara
terendah dan 1 jam untuk multipara, ATAU Maksimal 3
> 1 jam jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara
bila pasien menggunakan analgesia epidural
• Kegagalan penurunan bagian
terendah (Tidak ada penurunan Diagnosis Banding : -
pada fase deselerasi atau kala 2)
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
b. Multipara:
Penatalaksanaan
• Fase deselerasi memanjang > 1 jam
Motivasi pasien dalam proses persalinan dan
• Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 informasikan rencana persalinan sesuai dengan
jam perkembangan pasien.
• Tidak ada penurunan bagian
Penatalaksanaa umum
terendah
> 1 jam Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki
• Kegagalan penurunan bagian pelayanan seksio sesarea
terendah (Tidak ada penurunan Penatalaksanaan khusus
pada fase deselerasi atau kala 2)
1. Tentukan sebab terjadinya persalinan lama
Faktor Penyebab a. Power: his tidak adekuat (his dengan
1. His tidak efisien (in adekuat) frekuensi <3x/10 menit dan durasi tiap
2. Faktor janin (malpresentasi, malposisi, janin kontraksinya < 40 detik).
besar) b. Passenger: malpresentasi, malposisi,
3. Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan janin besar
serviks, vagina, tumor)
c. Passage : panggul sempit, kelainan Tabel 14.10 Kriteria diagnostik
serviks atau vagina, tumor jalan lahir penatalaksanaan distosia
2. Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab
dan situasi. Prinsip umum:
a. Lakukan augmentasi persalinan denga
oksitosin dan atau amniotomi bila
terdapat gangguan power. Pastikan
tidak ada gangguan passenger atau
passage.
b. Lakukan tindakan operatif (forsep,
vakum, atau seksio sesarea) untuk
gangguan passenger dan atau passage,
serta untuk gangguan power yang
tidak dapat diatasi dengan augmentasi
persalinan.
c. Jika ditemukan obstruksi atau CPD,
tatalaksana adalah seksio cesarea.
3. Berikan antibiotik (kombinasi ampicilin 2 g
IV tiap 6 jam dan gentamisin 5mg/kgBB tiap
24 jam) jika ditemukan: Kriteria rujukan
a. Tanda-tanda infeksi (demam, cairan Apabila tidak dapat ditangani di fasilitas
pervaginam berbau) pelayanan tingkat pertama atau apabila level
b. Atau ketuban pecah lebih dari 18 jam kompetensi SKDI dengan kriteria merujuk (<3B)
c. Usia kehamilan 37 minggu Prognosis
4. Pantau tanda gawat janin
5. Catat hasil analisis dan seluruh tindakan Prognosis untuk ad vitam adalah dubia ad
dalam rekam medis lalu jelaskan pada ibu bonam, namun ad fungsionam dan sanationam
dan keluarga hasil analisis serta rencana adalah dubia ad malam.
tindakan. Peralatan
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan : - 1. Ruang berukuran minimal 15m2
2. Tempat tidur bersalin
Komplikasi: 3. Tiang infus
4. Lampu sorot dan lampu darurat
Infeksi intrapartum, Ruptura uteri,
5. Oksigen dan maskernya
Pembentukan fistula, Cedera otot- otot dasar
6. Perlengkapan persalinan
panggul, Kaput suksedaneum, Molase kepala
7. Alat resusitasi
janin, Kematian ibu dan anak.
8. Lemari dan troli darurat
Konseling dan Edukasi 9. Partograf
10. Dopler
Dibutuhkan dukungan dari suami pasien. 11. Ambulans
Pendekatan yang dilakukan kepada keluarga
sehubungan dengan proses penyembuhan Referensi
penyakit pasien maupun pencegahan penularan 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
atau relaps penyakit ini. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2013 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
2. WHO. Managing prolonged and obstructed 3. Pedoman penyelenggaraan pelayanan
labour. Education for safe motherhood. obstetri neonatal emergensi komprehensif
2ndEd. Department of making pregnancy (PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan
safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health Republik Indonesia, 2008)
Organization, 2006)

9. PERDARAHAN POST PARTUM / PENDARAHAN PASCASALIN


No. ICPC: W17 Post partum bleeding
No.ICD-10: 072.1 Other Immediate Postpartum haemorrhage
Tingkat Kemampuan 3B

Masalah Kesehatan
6. Pucat
Perdarahan post partum (PPP) adalah
Faktor Risiko
perdarahan yang masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan Perdarahan post partum merupakan komplikasi
lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan dari 5-8% kasus persalinan pervaginam dan 6%
salah satu penyebab kematian ibu disamping dari kasus SC.
perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.
Definisi perdarahan post partum adalah 1. Faktor risiko prenatal:
perdarahan pasca persalinan yang melebihi 500 a. Perdarahan sebelum persalinan
ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi b. Solusio plasenta
mengganggu hemodinamik ibu. Berdasarkan c. Plasenta previa
saat terjadinya, PPP dapat dibagi menjadi PPP d. Kehamilan ganda
primer dan PPP sekunder. PPP primer adalah e. Preeklampsia
perdarahan post partum yang terjadi dalam 24 f. Khorioamnionitis
jam pertama setelah persalinan dan biasanya g. Hidramnion
disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan h. IUFD
lahir, dan sisa sebagian plasenta. Sementara i. Anemia (Hb< 5,8)
PPP sekunder adalah perdarahan pervaginam j. Multiparitas
yang lebih banyak dari normal antara 24 jam k. Mioma dalam kehamilan
hingga 12minggu setelah persalinan, biasanya l. Gangguan faktor pembekuan dan
disebabkan oleh sisa plasenta. m. Riwayat perdarahan sebelumnya serta
obesitas
Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama 2. Faktor risiko saat persalinan pervaginam:
setelah bayi lahir, 68- 73% dalam satu minggu a. Kala tiga yang memanjang
setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua b. Episiotomi
minggu setelah bayi lahir. c. Distosia
Hasil Anamnesis (Subjective) d. Laserasi jaringan lunak
e. Induksi atau augmentasi persalinan
Keluhan dan gejala utama dengan oksitosin
f. Persalinan dengan bantuan alat (forseps
1. Perdarahan setelah melahirkan
atau vakum) g. Sisa plasenta, dan bayi
2. Lemah besar (>4000 gram)
3. Limbung 3. Faktor risiko perdarahan setelah SC :
4. Berkeringatdingin a. Insisi uterus klasik
5. Menggigil b. Amnionitis
c. Preeklampsia Pemeriksaan Penunjang
d. Persalinan abnormal
e. Anestesia umum 1. Pemeriksaan darah rutin: terutama untuk
f. Partus preterm dan postterm menilai kadar Hb < 8 gr%.
2. Pemeriksaan golongan darah.
Penyebab dibedakan atas: 3. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu
pembekuan darah (untuk menyingkirkan
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta penyebab gangguan pembekuan darah).
a. Hipotoni sampai atonia uteri
• Akibat anestesi Penegakan Diagnostik (Assessment)
• Distensi berlebihan (gemeli,anak
besar,hidramnion) Diagnosis Klinis
• Partus lama,partus kasep Perdarahan post partum bukanlah suatu
• Partus presipitatus/partus terlalu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus
cepat dicari penyebabnya:
• Persalinan karena induksi oksitosin 1. PPP karena atonia uteri
• Multiparitas 2. PPP karena robekan jalan lahir
• Riwayat atonia sebelumnya 3. PPP karena sisa plasenta
b. Sisa plasenta 4. PPP akibat retensio plasenta
• Kotiledon atau selaput ketuban 5. PPP akibat ruptura uteri
tersisa 6. PPP akibat inversio uteri
• Plasenta susenturiata 7. Gangguan pembekuan darah
• Plasenta akreata, inkreata,
perkreata. Komplikasi
2. Perdarahan karena robekan 1. Syok
a. Episiotomi yang melebar 2. Kematian
b. Robekan pada perinium, vagina dan
serviks Tabel 14.11 Penyebab perdarahan pada post
c. Ruptura uteri partum
3. Gangguan koagulasi
a. Trombofilia
b. Sindrom HELLP
c. Pre-eklampsi
d. Solutio plasenta
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Emboli air ketuban
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Nilai tanda-tanda syok: pucat, akral dingin,
nadi cepat, tekanan darah rendah.
2. Nilai tanda-tanda vital: nadi> 100x/menit,
pernafasan hiperpnea, tekanan darah
sistolik
<90 mmHg, suhu.
Pemeriksaan obstetrik:
1. Perhatikankontraksi, letak, dan konsistensi
uterus
2. Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilai
adanya: perdarahan, keutuhan plasenta, tali
pusat, dan robekan didaerahvagina.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi,
Penatalaksanaan dan pernapasan ibu.
4. Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus,
Penatalaksanaan Awal
nyeri tekan, parut luka, dan tinggi fundus
• Segera memanggil bantuan tim uteri.
• Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan 5. Periksa jalan lahir dan area perineum untuk
pasien. melihat perdarahan dan laserasi (jika ada,
• Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan misal: robekan serviks atau robekan
penatalaksanaan syok. vagina).
6. Periksa kelengkapan plasenta dan selaput
Gambar 14. 3 Tatalaksana awal perdarahan
ketuban.
pascasalin dengan
7. Pasang kateter Folley untuk memantau
volume urin dibandingkan dengan jumlah
cairan yang masuk. Catatan: produksi urin
normal 0.5-1 ml/kgBB/jam atau sekitar 30
ml/jam)
8. Jika kadar Hb< 8 g/dl rujuk ke layanan
sekunder (dokter spesialis obgyn)
9. Jika fasilitas tersedia, ambil sampel
darah dan lakukan pemeriksaan: kadar
hemoglobin (pemeriksaan hematologi
rutin) dan penggolongan ABO.
10. Tentukan penyebab dari perdarahannya
(lihat tabel 14.11) dan lakukan tatalaksana
spesifik sesuai penyebab
Penatalaksanaan Lanjutan :
Pendekatan Tim
1. Berikan oksigen. 1. Atonia uteri
2. Pasang infus intravena dengan kanul a. Lakukan pemijatan uterus.
berukuran besar (16 atau 18) dan mulai b. Pastikan plasenta lahir lengkap.
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau c. Berikan 20-40 unit Oksitosin dalam
Ringer Laktat atau Ringer Asetat) sesuai 1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer
dengan kondisi ibu. Laktat dengan kecepatan 60
tetes/menit dan 10 unit IM.
Tabel 14.12 Jumlah cairan infus pengganti d. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam
berdasarkan perkiraan volume kehilangan 1000 ml larutanNaCl 0,9%/Ringer
darah Laktat dengan kecepatan 40
tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
e. Bila tidak tersedia Oksitosin atau
bila perdarahan tidak berhenti, berikan
Ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat),
dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM
setelah 15 menit, danpemberian 0,2
mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila
diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5
dosis (1 mg).
f. Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g
asam traneksamat IV (bolus selama 1
menit, dapat diulang setelah 30 menit). a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam
g. Lakukan pasang kondom kateter atau 1000 ml larutanNaCl 0,9% atau Ringer
kompresi bimanual internal selama 5 Laktat dengan kecepatan 60 tetes/
menit. menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus
h. Siapkan rujukanke fasilitas pelayanan oksitosin 20 unit dalam 1000 ml
kesehatan sekunder sebagai antisipasi larutanNaCl 0,9% atau Ringer Laktat
bila perdarahan tidak berhenti. dengan kecepatan 40 tetes/menit
Perlu Diingat : hingga perdarahan berhenti.
Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan b. Lakukan tarikan tali pusat terkendali.
intravena yang mengandung oksitosin. c. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak
Jangan berikan ergometrin kepada berhasil, lakukan plasenta manual
ibu dengan hipertensi berat/tidak secara hati-hati.
terkontrol, penderita sakit jantung dan d. Berikan antibiotika profilaksis dosis
penyakit pembuluh darah tepi. tunggal (Ampisilin 2 g IV DAN
Metronidazol 500 mg IV).
Gambar 14.4 Kompresi Bimanual Internal dan
e. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang
Kompresi Bimanual
lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi
5. Sisa Plasenta
a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat
dengan kecepatan 60 tetes/menit dan
10 unit IM. Lanjutkan infus Oksitosin 20
unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat dengan kecepatan
Eksternal pada atonia uteri 40m tetes/menit hingga pendarahan
2. Robekan Jalan Lahir berhenti.
Ruptura Perineum dan Robekan Dinding b. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks
Vagina terbuka) dan keluarkan bekuan darah
a. Lakukan eksplorasi untuk dan jaringan. Bila serviks hanya dapat
mengidentifikasi sumber perdarahan. dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi
b. Lakukan irigasi pada tempat luka dan sisa plasenta dengan aspirasi vakum
bersihkan dengan antiseptik. manual atau dilatasi dan kuretase.
c. Hentikan sumber perdarahan c. Berikan antibiotika profilaksis
dengan klem kemudian ikatdengan dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan
benang yang dapat diserap. Metronidazol 500 mg).
d. Lakukan penjahitan (lihat Materi Luka d. Jika perdarahan berlanjut, tata laksana
Perineum Tingkat 1 dan 2) seperti kasus atonia uteri.
e. Bila perdarahan masih berlanjut,
Inversio Uteri
berikan 1 g asamtraneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
setelah 30 menit). sekunder
3. Robekan Serviks
a. Paling sering terjadi pada bagian lateral Gangguan Pembekuan Darah
bawah kiri dankanan dari porsio 1. Pada banyak kasus kehilangan darah yang
b. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan akut, koagulopati dapat dicegah jika volume
kesehatan sekunder darah dipulihkan segera.
4. Retensio Plasenta
2. Tangani kemungkinan penyebab (solusio Referensi
plasenta,eklampsia).
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
3. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
kesehatan sekunder Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Konseling dan Edukasi
Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 522-529.
1. Memberikan informasi akan keadaan ibu (Prawirohardjo, et al., 2010)
yang mengalami perdarahan pascasalin.
2. KementerianKesehatan RI dan WHO.
2. Memberikan informasi yang tepat kepada Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
suami dan keluarga ibu terhadap tindakan Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
yang akan di lakukan dalam menangani Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013
perdarahan pascasalin. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
3. Memastikan dan membantu keluarga
jika rujukan akan dilakukan.
Kriteria Rujukan
1. Pada kasus perdarahan pervaginam >
500 ml setelah persalinan berpotensi
mengakibatkan syok dan merupakan
indikasi rujukan.
2. 2. Penanganan kegawatdaruratan sebelum
merujuk dan mempertahankan ibu dalam
keadaan stabil selama proses rujukan
merupakan hal penting diperhatikan.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah rutindan golongan
darah.
2. Inspekulo
3. USG
4. Sarung tangan steril
5. Hecting set
6. Benang catgut
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam,
tergantung dari jumlah perdarahan dan
kecepatan penatalaksanaan yang di lakukan.
10. RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1-2
No. ICPC-2 No. ICD-10 : W92 Complicated labour/delivery livebirth
: O70.0 First degree perineal laceration during delivery
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Ruptur perineum adalah suatu kondisi Sederhana (Objective)
robeknya perineum yang terjadi pada
Pemeriksaan fisik
persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari
85% wanita yang melahirkan pervaginam Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:
mengalami ruptur perineum spontan, yang
60%- 70% di antaranya membutuhkan 1. Robekan pada perineum,
penjahitan (Sleep dkk, 1984; McCandlish 2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang
dkk,1998). Angka morbiditas meningkat seiring bersifat merembes,
dengan peningkatan derajat ruptur. 3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai
derajat robekan perineum
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang: -
Gejala Klinis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Perdarahan pervaginam
Diagnosis Klinis
Etiologi dan Faktor Risiko
Diagnosis dapat ditegakkan berdasar anamnesis
Ruptur perineum umumnya terjadi pada
dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan.
persalinan, dimana:
Klasifikasi ruptur perineum dibagi menjadi 4
1. Kepala janin terlalu cepat lahir
derajat:
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana
mestinya 1. Derajat I
3. Sebelumnya pada perineum terdapat
Robekan terjadi hanya pada selaput lendir
banyak jaringan parut
vagina dengan atau tanpa mengenai
4. Pada persalinan dengan distosia bahu
kulit perineum. Biasa tidak perlu dilakukan
5. Partus pervaginam dengan tindakan
penjahitan.
Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur 2. Derajat II
perineum.
Robekan mengenai selaput lender vagina
Tabel 14.13: Faktor resiko rupture perineum dan otot perinea transversalis, tetapi tidak
melibatkan kerusakan otot sfingter ani.
3. Derajat III
Robekan mengenai perineum sampai
dengan otot sfingter anidengan pembagian
sebagai berikut:
IIIa. Robekan < 50% sfingter ani eksterna
IIIb. Robekan > 50% sfingter ani ekterna
IIIc. Robekan juga meliputi sfingter ani
interna
Gambar 14. 5 Ruptur Perineum dan Sfingter perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum
Ani yang berat).
2. Manajemen Ruptur Perineum:
a. Alat-alat yang dibutuhkan untuk
melakukan perbaikan jalan lahir
• Retractor Weislander’s
• Forceps gigi (fine & strong)
• Needle holder (small and large)
• Forceps Allis (4)
• Forceps arteri (6)
• Gunting Mitzembaum
• Gunting pemotong jahitan
• Spekulum Sims
Sfingter ani yang intak (ditunjuk oleh • Retraktor dinding samping dalam
tanda panah A) terlihat lebih jelas vagina
pada pemeriksaan rectal touche (B); • Forceps pemegang kasa
Robekan parsial sepanjang sfingter ani
eksterna (C); Robekan perineum derajat 3b b. bahan-bahan yang diperlukan untuk
dengan sfingter ani yang intak (Internal perbaikan jalan lahir.
anal sphincter/IAS). Sfingter ani eksterna • Tampon
(External anal sphincter/EAS) dijepit oleh • Kapas besar
forseps Allis. Perhatikan perbedaan warna • Povidon Iodine
IAS yang lebih pucat dibandingkan EAS (D). • Lidocain 1% (untuk ruptur
perineumderajat I-II)
4. Derajat IV :Robekan mengenai perineum
sampai dengan otot sfingter ani dan • Benang catgut / Asam poliglikolik
mukosa rektum (Dexon, David&Geck Ltd, UK) /
Poliglaktin 910 (Vicryl, Ethicon Ltd,
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Edinburgh, UK)
Penatalaksanaan Ruptur perineum harus segera
diperbaiki untuk meminimalisir
Non Medikantosa risiko perdarahan, edema, dan
1. Menghindari atau mengurangi dengan infeksi. Manajemen ruptur perineum
menjaga jangan sampai dasarpanggul untuk masing-masing derajatnya,
didahului oleh kepala janin dengan cepat. antara lain sebagai berikut :
2. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan Robekan perineum derajat 1
terlampau kuat dan lama, karena akan
menyebabkan asfiksia dan perdarahan Robekan tingkat I mengenai mukosa
dalam tengkorak janin, dan melemahkan vagina dan jaringan ikat, tidak perlu
otot-otot dan fasia pada dasar panggul dilakukan penjahitan.
karena diregangkan terlalu lama.
Penjahitan robekan perineum derajat 2
Medikamentosa
1. Siapkan alat dan bahan.
1. Penatalaksanaan farmakologis 2. Pastikan pasien tidak memiliki alergi
terhadap Lignokain atau obat-obatan
Dosis tunggal sefalosporin golongan II sejenis
atau III dapat diberikan intravena sebelum
3. Suntikan 10 ml Lignokain 0.5% di bawah Penjahitan robekan perineum derajat 3
mukosa vagina, di bawah kulit perineum
dan pada otot-otot perineum. Masukan 1. Perbaikan robekan harus dilakukan hanya
jarum pads ujung laserasi oleh dokter yang sudah dilatih secara
dorong masuk sepanjang luka mengikuti formal (atau dalam supervisi) mengenai
garis tempat jarum jahitnya akan masuk perbaikan sfingter ani primer. Perbaikan
atau keluar. harus dilakukan di kamar operasi dengan
4. Tunggu 2 menit. Kemudian area dengan pencahayaan yang baik, peralatan yang
forsep hingga pasien tidak merasakan nyeri. memadai, dan kondisi aseptik.
5. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan a. Anestesi umum atau regional (spinal,
benang 2-0, lihat ke dalam luka untuk epidural, kaudal) menjadi analgesik dan
mengetahui letak ototnya (penting untuk pelemas otot yang bermanfaat dalam
menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga evaluasi luasnya robekan.
di dalamnya).
6. Carilah lapisan subkutis persis dibawah b. Luasnya robekan harus dievaluasi
lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan melalui pemeriksaan vagina dan rektal
subkutikuler kembali keatas vagina, akhiri yang berhati-hati.
dengan simpul mati pada bagian dalam c. Jika terdapat kebingungan dalam
vagina. menentukan derajat trauma maka
7. Potong kedua ujung benang dan hanya derajat yang lebih tinggi yang harus
sisakan masing-masing 1 cm. dipilih.
8. Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan
colok dubur dan pastikan tidak ada bagian Pada kasus yang jarang ditemui, tipe
rektum terjahit. robekan “buttonhole” terisolasi dapat
terjadi di rektum tanpa menyebabkan
CATATAN: Aspirasi penting untuk kerusakan sfingter ani.
meyakinkan suntikan lignokain tidak masuk
dalam pembuluh darah. Jika ada darah 2. Diperbaiki secara transvaginal
pada aspirasi, pindahkan jarum ke tempat menggunakan jahitan interrupted dengan
lain. Aspirasi kembali. Kejang dan kematian benang Vicryl.
dapat terjadi jika lignokain diberikan lewat
pembuluh darah (intravena) 3. Untuk mengurangi risiko fistula rektovaginal
persisten, selapis jaringan perlu disisipkan
Gambar 14.6 Penjahitan Luka Perineum diantara rektum dan vagina. (Dengan
Tingkat 2 aproksimasi fasia rektovaginal).
4. Kolostomi diindikasikan hanya jika terdapat
robekan besar yang mencapai dasar pelvis
atau terdapat kontaminasi feses pada luka.
Penjahitan robekan perineum derajat 4
1 Epitel ani yang mengalami robekan
diperbaiki dengan jahitan interrupted
menggunakan benang Vicryl 3/0 dan
disimpul di dalam lumen ani. Perbaikan
epitel ani secara subkutikular melalui
pendekatan transvaginal juga diketahui
memiliki keefektifan yang sama jika simpul
terminalnya terikat dengan baik.
2 Otot sfingter diperbaiki dengan 3/0 PDS a. Setelah itu, otot dipisahkan dari lemak
dyed sutures. iskhioanal menggunakan gunting
Mitzembaum.
a. Benang monofilamen dipercaya dapat
mengurangi risiko infeksi dibandingkan b. Ujung-ujung robekan sfingter ani
dengan benang braided. eksterna kemudian dijahit
menggunakan teknik overlap dengan
b. Benang monofilamen non-absorbable benang PDS 3/0.
seperti nilon atau Prolene
(polypropylene) dipilih oleh beberapa c. Teknik overlap akan menyebabkan
dokter bedah kolorektal dalam area kontak otot menjadi lebih luas
perbaikan sekunder robekan sfingter. dibandingkan dengan teknik end-to
end.
c. Benang non-absorbable dapat
menyebabkan abses pada jahitan d. Wanita dengan perbaikan sfingter
(terutama pada simpul) dan ujung ani eksterna secara end-to- end
tajam jahitan dapat menyebabkan diketahui dapat tetap kontinen tetapi
ketidaknyamanan. memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami inkontinensia pada usia
d. Absorpsi sempurna PDS lebih lama dari yang lebih lanjut.
Vicryl dan kekuatan tensilnya bertahan
lebih lama dari Vicryl. e. Jika operator tidak familiar dengan
teknik overlap atau sfingter ani eksterna
e. Untuk mengurangi perpindahan jahitan, hanya robek sebagian (derajat 3a/3b)
ujung jahitan harus dipotong pendek maka perbaikan end-to-end harus
dan tertupi oleh muskulus perinei dilakukan menggunakan 2-3 jahitan
superfisialis. matras, seperti pada perbaikan sfingter
f. Sebuah RCT menunjukkan tidak ada ani interna.
perbedaan morbiditas terkait jahitan 5. Setelah perbaikan sfingter, perineal
menggunakan benang Vicryl dan PDS body perlu direkonstruksi agar dapat
pada 6 minggu post partum. mempertahankan sfingter ani yang telah
3. Sfingter ani interna harus diidentifikasi diperbaiki.
dan jika mengalami robekan harus a. Perineum yang pendek dapat
diperbaiki secara terpisah dari sfingter menyebabkan sfingter ani menjadi
ani eksterna. lebih rentan terhadap trauma dalam
a. Sfingter ani interna tampak pucat kelahiran per vaginam berikutnya.
seperti daging ikan mentah sedangkan
b. Kulit vagina harus dijahit dan kulit
sfingter ani eksterna berwarna lebih perineum diaproksimasi dengan jahitan
terang, seperti daging merah. subkutikular menggunakan benang
b. Ujung-ujung otot yang robek dijepit Vicryl 3/0.
dengan forsep Allis dan perbaikan end-
6 Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan
to-end dilakukan dengan jahitan untuk memastikan perbaikan
interrupted atau matras menggunakan
telah sempurna dan memastikan
PDS 3/0. bahwa seluruh tampon atau kapas telah
4. Sfingter ani eksterna harus diidentifikasi dikeluarkan.
dan dijepit dengan forsep Allis karena
7. Catatan yang lengkap mengenai temuan
sfingter ini cenderung mengkerut ketika dan perbaikan harus dibuat.
robek.
Jika tidak terdapat tenaga yang kompeten
pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan (Kementerian Kesehatan Republik
kesehatan sekunder yang memiliki Indonesia, 2013)
dokter spesialis obstetrik dan ginekologi.
2. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu
Konseling dan Edukasi Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina
Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
Memberikan informasi kepada pasien dan
suami, mengenai, cara menjaga kebersihan 3. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L.
daerah vagina dan sekitarnya setelah Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.
dilakukannya penjahitan di daerah perineum, Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-
yaitu antara lain: Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009)
1. Menjaga perineum selalu bersih dan kering. 4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed
1 Jakarta: Yayasan Bina Sarwono
2. Hindari penggunaan obat-obatan
Prawirohardjo. 2007: Hal 170-6
tradisional pada perineum.
(Prawirohardjo, et al., 2010).
3. Cuci perineumnya dengan sabun dan air
bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali
perhari.
4. 4. Kembali dalam seminggu untuk
memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu
harus kembali lebih awal jika ia mengalami
demam atau mengeluarkan cairan yang
berbau busuk dari daerah lukanya atau jika
daerah tersebut menjadi lebih nyeri.
Kriteria Rujukan
Kriteria tindakan pada Fasilitas Pelayanan
tingkat pertama hanya untuk Luka Perineum
Tingkat 1 dan 2. Untuk luka perineum tingkat 3
dan 4 dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder.
Peralatan
1. Lampu
2. Kassa steril
3. Sarung tangan steril
4. Hecting set
5. Benang jahit catgut
6. Laboratorium sederhana pemeriksaan
darah rutin dan golongan darah.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI 2013.
11. MASTITIS
No. ICPC-2
: X21 Breast symptom/complaint female other
No. ICD-10
: N61 Inflammatory disorders of breast
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan pada puting susu.


Mastitis adalah peradangan payudara yang 7. Terdapat luka pada payudara.
terjadi biasanya pada masa nifas atau sampai 3 8. Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui.
minggu setelah persalinan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Kejadian mastitis berkisar 2-33% dari ibu Sederhana (Objective)
menyusui dan lebih kurang 10% kasus mastitis Pemeriksaan fisik
akan berkembang menjadi abses (nanah),
dengan gejala yang makin berat. 1. Pemeriksaan tanda vital : nadi meningkat
(takikardi).
Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Pemeriksaan payudara
Keluhan a. payudara membengkak
b. lebih teraba hangat
1. Nyeri dan bengkak pada daerah payudara, c. kemerahan dengan batas tegas
biasa pada salah satu payudara d. adanya rasa nyeri
2. Adanya demam >380 C e. unilateral
3. Paling sering terjadi di minggu ke 3 - 4 f. dapat pula ditemukan luka pada
postpartum payudara
Gejala klinis Pemeriksaan penunjang : -
1. Demam disertai menggigil Penegakan Diagnostik(Assessment)
2. Dapat disertai demam > 380C
3. Mialgia Diagnosis klinis
4. Nyeri didaerah payudara Diagnosis klinis dapat di tegakkan dengan
5. Sering terjadi di minggu ke–3 dan ke–4 anamnesa dan pemeriksaan fisik.
postpartum, namun dapat terjadi kapan
saja selama menyusui Berdasarkan tempatnya, mastitis dapat
dibedakan menjadi 3 macam, antara lain :
Faktor Risiko
1. Mastitis yang menyebabkan abses dibawah
1. Primipara areola mammae.
2. Stress 2. Mastitis ditengah payudara yang
3. Tehnik menyusui yang tidak benar, sehingga menyebabkan abses ditempat itu.
proses pengosongan payudara tidak terjadi 3. Mastitis pada jaringan dibawah dorsal
dengan baik. (menyusui hanya pada satu kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses
posisi) antara payudara dan otot-otot dibawahnya.
4. Penghisapan bayi yang kurang kuat, dapat
menyebabkan statis dan obstruksi kelenjar Diagnosis Banding:-
payudara.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Pemakaian bra yang terlalu ketat
6. Bentuk mulut bayi yang abnormal (ex: cleft Penatalaksanaan
lip or palate), dapat menimbulkan trauma
Non Medikamentosa Prognosis
1. Ibu sebaiknya tirah baring dan mendapat Prognosis pada umumnya bonam.
asupan cairan yang lebih banyak.
2. Sampel ASI sebaiknya dikultur dan diuji Referensi
sensitivitas. 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B.
3. Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H.
yang pas Ilmu Kebidanan Sarwono
Medikamentosa Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan
ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
1. Berikan antibiotika Prawirohardjo.2010: Hal 380, 652-
a. Kloksasilin 500 mg per oral per 6 jam 653(Prawirohardjo, et al., 2010)
selama 10-14 hari
b. ATAU Eritromisin 250 mg per oral 3 x 1 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku
sehari selama10 hingga 14 hari Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
2. Analgetik parasetamol 3x500 mg per oral Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Lakukan evaluasi setelah 3 hari.
Komplikasi:
1. Abses mammae
2. Sepsis
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan pengetahuan akan pentingnya
ASI dan mendorong ibu untuk tetap
menyusui,
2. Menyusui dapat dimulai dengan payudara
yang tidak sakit.
3. Pompa payudara dapat di lakukan pada
payudara yang sakit jika belum kosong
setelah bayi menyusui.
4. Ibu dapat melakukan kompres dingin untuk
mengurangi bengkak dan nyeri.
5. Ibu harus menjaga kebersihan diri dan
lingkungan untuk menghindari infeksi yang
tidak diinginkan.
Peralatan
1. Lampu
2. Kasa steril
3. Sarung tangan steril
4. Bisturi
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi abses mammae dan
sepsis.
12. INVERTED NIPPLE
No. ICPC-2 : W.95 Breast disorder in pregnancy other
X.20 Nipple symptom/complaint female
: O92.02 Retracted nipple associated with the puerperium O92.03 Retracted nipple associated with lactation
No. ICD-10

Tingkat kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan
1. Grade 1
Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada a. Puting tampak datar atau masuk ke
beberapa kasus seorang ibu merasa putingnya dalam
datar atau terlalu pendek akan menemui b. Puting dapat dikeluarkan dengan
kesulitan dalam menyusui bayi. Hal ini bisa mudah dengan tekanan jari pada atau
berdampak bayi tidak bisa menerima ASI sekitar areola.
dengan baik dan cukup. c. Terkadang dapat keluar sendiri tanpa
manipulasi
Pada beberapa kasus, putting dapat muncul d. Saluran ASI tidak bermasalah, dan
kembali bila di stimulasi, namun pada kasus- dapat menyusui dengan biasa.
kasus lainnya, retraksi ini menetap.
2. Grade 2
Hasil Anamnesis (Subjective)
a. Dapat dikeluarkan dengan menekan
Keluhan areola, namun kembali masuk saat
1. Kesulitan ibu untuk menyusui bayi tekanan dilepas
2. Puting susu tertarik b. Terdapat kesulitan menyusui.
3. Bayi sulit untuk menyusui c. Terdapat fibrosis derajat sedang.
d. Saluran ASI dapat mengalami retraksi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang namun pembedahan tidak diperlukan.
Sederhana (Objective) e. Pada pemeriksaan histologi ditemukan
stromata yang kaya kolagen dan otot
Pemeriksaan Fisik
polos.
Adanya puting susu yang datar atau tenggelam
3. Grade 3
dan bayi sulit menyusui pada ibu.
a. Puting sulit untuk dikeluarkan pada
Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan fisik dan membutuhkan
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam pembedahan untukdikeluarkan.
penegakan diagnosis b. Saluran ASI terkonstriksi dan tidak
memungkinkan untuk menyusui
Penegakan Diagnostik (Assessment) c. Dapat terjadi infeksi, ruam, atau
Diagnosis Klinis masalah kebersihan
d. Secara histologis ditemukan atrofi unit
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lobuler duktus terminal dan fibrosis
pemeriksaan fisik dan tidak memerlukan yang parah
pemeriksaan penunjang.
Komplikasi
Diagnosis klinis ini terbagi dalam :
Risiko yang sering muncul adalah ibu
menjadi demam dan pembengkakan pada
payudara.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan: -
Penatalaksanaan Non-Medikamentosa Prognosis
Untuk puting datar/tenggelam (inverted nipple) 1. Ad vitam : Bonam
dapat diatasi setelah bayi lahir, yaitu dengan 2. Ad functionam : Bonam
proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sebagai 3. Ad sanationam : Bonam
langkah awal dan harus terus menyusui agar
puting selalu tertarik. Ada dua cara yang dapat Referensi
digunakan untuk mengatasi puting datar/ 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi,
terbenam, yaitu: T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
1. Penarikan puting secara manual/dengan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
tangan. Puting ditarik- tarik dengan lembut cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka
beberapa kali hingga menonjol. Sarwono Prawirohardjo. 2010. 379

2. Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml, 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku
bergantung pada besar puting. Ujung spuit Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
yang terdapat jarum dipotong dan penarik Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
spuit (spuit puller) dipindahkan ke sisi bekas Kementerian Kesehatan RI. 2013.
potongan. Ujung yang tumpul di letakkan 3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku
di atas puting, kemudian lakukan penarikan Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
beberapa kali hingga puting keluar. Lakukan
sehari tiga kali; pagi, siang, dan malam 4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/
masing-masing 10 kali manajemen- laktasi.html. 2014

3. Jika kedua upaya di atas tidak memberikan


hasil, ibu dapat memberikan air susunya
dengan cara memerah atau menggunakan
pompa payudara.
4. Jika putting masuk sangat dalam, suatu
usaha harus dilakukan untuk mengeluarkan
putting dengan jari pada beberapa bulan
sebelum melahirkan.
Konseling dan Edukasi
1. Menarik-narik puting sejak hamil
(nipple conditioning exercises) ataupun
penggunaan breast shield dan breast shell.
Tehnik ini akan membantu ibu saat masa
telah memasuki masa menyusui.
2. Membangkitkan rasa percaya diri ibu dan
membantu ibu melanjutkan untuk
menyusui bayi. Posisikan bayi agar
mulutnya melekat dengan baik sehingga
rasa nyeri akan segera berkurang. Tidak
perlu mengistirahatkan payudara, tetapi
tetaplah menyusu on demand
13. CRACKED NIPPLE
No. ICPC-2 : W.95 Breast disorder in pregnancy other
X.20 Nipple symptom/complaint female
: O9212 Cracked nipple associated with the puerperium O9213 Cracked nipple associated with lactation
No. ICD-10

Tingkat kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gambar 14.7 Crackecd Nipple
Nyeri pada puting merupakan masalah yang
sering ditemukan pada ibu menyusui dan
menjadi salah satu penyebab ibu memilih
untuk berhenti menyusui bayinya. Diperkirakan
sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple
pain dan 26% di antaranya mengalami lecet
pada puting yang biasa disebut dengan nipple
crack. Kerusakan pada puting mungkin terjadi
karena trauma pada puting akibat cara
menyusui yang salah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam
Adanya nyeri pada puting susu dan nyeri penegakan diagnosis.
bertambah jika menyusui bayi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Penyebab
Diagnosis Klinis
Dapat disebabkan oleh teknik menyusui yang
salah atau perawatan yang tidak benar pada Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan
payudara. Infeksi monilia dapat mengakibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
lecet. Komplikasi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi
Sederhana (Objective) demam dan pembengkakan pada payudara.
Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pemeriksaan Fisik didapatkan : Penatalaksanaan
1. Nyeri pada daerah putting susu Non-Medikamentosa
2. Lecet pada daerah putting susu
1. Teknik menyusui yang benar
2. Puting harus kering
3. Mengoleskan colostrum atau ASI yang
keluar di sekitar puting susu dan
membiarkan kering.
4. Mengistiraharkan payudara apabila lecet
sangat berat selama 24 jam
5. Lakukan pengompresan dengan kain basah
dan hangat selama 5 menit jika terjadi Referensi
bendungan payudara
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi,
Medikamentosa T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
1. Memberikan tablet Parasetamol tiap 4–6
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka
jam untuk menghilang- kan nyeri.
Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 379.
2. Pemberian Lanolin dan vitamin E
3. Pengobatan terhadap monilia 2. Utami, R. Yohmi, E. Buku Bedah ASI IDAI
Konseling dan Edukasi
1. Tetap memberikan semangat pada ibu
untuk tetap menyusui jika nyeri berkurang.
2. Jika masih tetap nyeri, sebagian ASI
sebaiknya diperah.
3. Tidak melakukan pembersihan puting susu
dengan sabun atau zat iritatif lainnya.
4. Menggunakan bra dengan penyangga yang
baik.
5. Posisi menyusui harus benar, bayi menyusui
sampai ke kalang payudara dan susukan
secara bergantian di antara kedua
payudara.
Tabel 14.14 Posisi menyusui yang baik

Kriteria Rujukan
Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang
mengakibatkan abses payudara
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam ;
2. Ad functionam : Bonam;
3. Ad sanationam : Bonam
O. PENYAKIT KELAMIN

1. FLUOR ALBUS / VAGINAL DISCHARGE NON GONORE


No. ICPC-2 : X14 vaginal discharge
X71 gonore pada wanita
X72 urogenital candidiasis pada wanita
X73 trikomoniasis urogenital pada wanita
X92 klamidia genital pada wanita
No. ICD-10 : N98.9
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan prolaps uteri, sedangkan masalah infeksi dapat


Vaginal discharge atau keluarnya duh tubuh disebabkan oleh bakteri, jamur atau virus
dari vagina secara fisiologis yang mengalami seperti berikut ini:
perubahan sesuai dengan siklus menstruasi 1. Kandidiasis vaginitis, disebabkan oleh
berupa cairan kental dan lengket pada seluruh Candida albicans, duh tubuh tidak berbau,
siklus namun lebih cair dan bening ketika pH <4,5 , terdapat eritema vagina dan
terjadi ovulasi. Masih dalam batas normal bila eritema satelit di luar vagina
duh tubuh vagina lebih banyak terjadi pada
saat stres, kehamilan atau aktivitas seksual. 2. Vaginosis bakterial (pertumbuhan bakteri
Vaginal discharge bersifat patologis bila terjadi anaerob, biasanya Gardnerella vaginalis),
perubahan-perubahan pada warna, konsistensi, memperlihatkan adanya duh putih atau
volume, dan baunya. abu-abu yang melekat di sepanjang dinding
vagina dan vulva, berbau amis dengan pH
Hasil Anamnesis (Subjective) >4,5.
Keluhan 3. Servisitis yang disebabkan oleh chlamydia,
dengan gejala inflamasi serviks yang mudah
Biasanya terjadi pada daerah genitalia wanita berdarah dan disertai duh mukopurulen
yang berusia di atas 12 tahun, ditandai dengan 4. Trichomoniasis, seringkali asimtomatik,
adanya perubahan pada duh tubuh disertai kalau bergejala, tampak duh kuning
salah satu atau lebih gejala rasa gatal, nyeri, kehijauan, duh berbuih, bau amis dan pH
disuria, nyeri panggul, perdarahan antar >4,5.
menstruasi atau perdarahan paska-koitus.
5. Pelvic inflammatory disease (PID) yang
Faktor Risiko disebabkan oleh chlamydia, ditandai
dengan nyeri abdomen bawah, dengan atau
Terdapat riwayat koitus dengan pasangan yang
tanpa demam. Servisitis bisa ditandai
dicurigai menularkan penyakit menular seksual.
dengan kekakuan adneksa dan serviks pada
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang nyeri angkat palpasi bimanual.
Sederhana(Objective) 6. Liken planus
Pemeriksaan Fisik 7. Gonore

Penyebab discharge terbagi menjadi masalah 8. Infeksi menular seksual lainnya


infeksi dan non infeksi. Masalah non infeksi 9. Atau adanya benda asing (misalnya tampon
dapat karena benda asing, peradangan akibat atau kondom yang terlupa diangkat)
alergi atau iritasi, tumor, vaginitis atropik, atau
Periksa klinis dengan seksama untuk
menyingkirkan adanya kelainan patologis 2. Tidak perlu pemeriksaan silang dengan
yang lebih serius. pasangan pria.
Pemeriksaan Penunjang 3. Bila sedang hamil atau menyusui gunakan
metronidazol 400 mg 2x sehari untuk 5-
Swab vagina atas (high vaginal swab) tidak
7 hari atau pervaginam. Tidak
terlalu berarti untuk diperiksa, kecuali pada
direkomendasikan untuk minum 2 gram
keadaan keraguan menegakkan diagnosis,
peroral.
gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada
saat kehamilan, postpartum, postaborsi dan 4. Tidak dibutuhkan peningkatan dosis
postinstrumentation. kontrasepsi hormonal bila menggunakan
antibiotik yang tidak menginduksi enzim
Penegakan Diagnostik (Assessment)
hati.
Diagnosis Klinis
5. Pasien yang menggunakan IUD tembaga
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan mengalami vaginosis bakterial
pemeriksaan spekulum, palpasi bimanual, uji pH dianjurkan untuk mengganti metode
duh vagina dan swab (bila diperlukan). kontrasepsinya.

Diagnosis Banding : - Vaginitis kandidiosis terbagi atas:

Komplikasi 1. Infeksi tanpa komplikasi


2. Infeksi parah
1. Radangpanggul (Pelvic Inflamatory Disease 3. Infeksi kambuhan
= PID) dapat terjadi bila infeksi merambah 4. Dengan kehamilan
ke atas, ditandai dengan nyeri tekan, 5. Dengan diabetes atau
nyeri panggul kronis, dapat menyebabkan
infertilitas dan kehamilan ektopik immunocompromise Penatalaksanaan

2. Infeksi vagina yang terjadi pada saat vulvovaginal kandidiosis:


paska aborsi atau paska melahirkan dapat
1. Dapat diberikan azol antifungal oral atau
menyebabkan kematian, namun dapat
pervaginam
dicegah dengan diobati dengan baik
2. Tidak perlu pemeriksaan pasangan
3. Infertilitas merupakan komplikasi yang
kerap terjadi akibat PID, selain itu kejadian 3. Pasien dengan vulvovaginal kandidiosis
abortus spontan dan janin mati akibat sifilis yang berulang dianjurkan untuk
dapat menyebabkan infertilitas memperoleh pengobatan paling lama 6
bulan.
4. Kehamilan ektopik dapat menjadi
komplikasi akibat infeksi vaginal yang 4. Pada saat kehamilan, hindari obat anti-fungi
menjadi PID. oral, dan gunakan imidazol topikal hingga 7
hari.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
5. Hati-hati pada pasien pengguna kondom
Penatalaksanaan
atau kontrasepsi lateks lainnya, bahwa
Pasien dengan riwayat risiko rendah penyakit penggunaan antifungi lokal dapat merusak
menular seksual dapat diobati sesuai dengan lateks
gejala dan arah diagnosisnya.
6. Pasien pengguna kontrasepsi pil kombinasi
Vaginosis bakterial: yang mengalami vulvovaginal kandidiosis
berulang, dipertimbangkan untuk
1. Metronidazol atau Klindamisin secara oral menggunakan metoda kontrasepsi lainnya
atau per vaginam.
Chlamydia:
1. Azithromisin 1 gram single dose, atau
Doksisiklin 100 mg 2 x sehari untuk 7 hari Prognosis
2. Ibu hamil dapat diberikan Amoksisilin 500
mg 3 x sehari untuk 7 hari atau Eritromisin Prognosis pada umumnya dubia ad bonam.
500 mg 4 x sehari untuk 7 hari Faktor-faktor yang menentukan prognosis,
Trikomonas vaginalis: antara lain:

1. Obat minum nitromidazol (contoh 1. Prognosis lebih buruk apabila adanya gejala
metronidazol) efektif untuk mengobati radang panggul
trikomonas vaginalis 2. Prognosis lebih baik apabila mampu
2. Pasangan seksual pasien trikomonas memelihara kebersihan diri (hindari
vaginalis harus diperiksa dan diobati penggunaan antiseptik vagina yang malah
bersama dengan pasien membuat iritasi dinding vagina)
3. Pasien HIV positif dengan trikomonas
vaginalis lebih baik dengan regimen oral Referensi
penatalaksanaan beberapa hari dibanding 1. Faculty of Sexual and Reproductive
dosis tunggal Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012:
4. Kejadian trikomonas vaginalis seringkali Management of vaginal discharge in non-
berulang, namun perlu dipertimbangkan genitourinary medicine settings. England:
pula adanya resistensi obat Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari
Rencana Tindak Lanjut www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual
and Reproductive Healthcare, 2012)
Pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit
menular seksual sebaiknya ditawarkan untuk 2. 2. World Health Organization. 2005.Sexually
diperiksa chlamydia, gonore, sifilis dan HIV. transmitted and other reproductive tract
infection. A guide to essential practice.
Konseling dan Edukasi WHO Library Cataloguing in Publication
1. Pasien diberikan pemahaman tentang Data. (World Health Organization, 2005)
penyakit, penularan serta penatalaksanaan
di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan
hubungan seksual selama penyakit belum
tuntas diobati.
Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
1. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk
pasangan
2. Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman
gonore
3. Adanya arah kegagalan pengobatan
Peralatan
1. Ginecology bed
2. Spekulum vagina
3. Lampu
4. Kertas lakmus
2. SIFILIS
No. ICPC-2
: Y70 Syphilis male X70 Syphilis female
: A51 Early syphilis
No. ICD-10 A51.0 Primary genital syphilis A52 Late syphilis
A53.9 Syphilis, unspecified

Tingkat Kemampuan 3A

Masalah Kesehatan
angina pektoris.
Sifilis adalah penyakit infeksi kronis yang
Neurosifilis dapat menunjukkan gejala-gejala
disebabkan oleh Treponema pallidum dan
kelainan sistem saraf (lihat klasifikasi).
bersifat sistemik. Istilah lain penyakit ini adalah
lues veneria atau lues. Di Indonesia disebut Faktor Risiko:
dengan raja singa karena keganasannya. Sifilis
dapat menyerupai banyak penyakit dan 1. Berganti-ganti pasangan seksual.
memiliki masa laten. 2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial
(PSK).
Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Bayi dengan ibu menderita sifilis.
4. Hubungan seksual dengan penderita tanpa
Keluhan
proteksi (kondom).
Pada afek primer, keluhan hanya berupa lesi 5. Sifilis kardiovaskular terjadi tiga kali
tanpa nyeri di bagian predileksi. lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
setelah 15–30 tahun setelah infeksi.
Pada sifilis sekunder, gejalanya antara lain:
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Ruam atau beruntus pada kulit, dan dapat Sederhana (Objective)
menjadi luka, merah atau coklat
kemerahan, ukuran dapat bervariasi, di Pemeriksaan Fisik
manapun pada tubuh termasuk telapak
tangan dan telapak kaki. Stadium I (sifilis primer)
2. Demam Diawali dengan papul lentikuler yang
3. Kelelahan dan perasaan tidak nyaman. permukaannya segera erosi dan menjadi ulkus
4. Pembesaran kelenjar getah bening. berbentuk bulat dan soliter, dindingnya tak
5. Sakit tenggorokan dan kutil seperti luka di bergaung dan berdasarkan eritem dan bersih,
mulut atau daerah genital. di atasnya hanya serum.Ulkus khas indolen
dan teraba indurasi yang disebut dengan ulkus
Pada sifilis lanjut, gejala terutama adalah guma.
durum. Ulkus durum merupakan afek primer
Guma dapat soliter atau multipel dapat disertai
sifilis yang akan sembuh sendiri dalam 3-10
keluhan demam.
minggu.
Pada tulang gejala berupa nyeri pada malam
Tempat predileksi
hari.
1. Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus
Stadium III lainnya adalah sifilis kardiovaskular,
koronarius, wanita di labia minor dan
berupa aneurisma aorta dan aortitis. Kondisi ini
mayor.
dapat tanpa gejala atau dengan gejala seperti
2. Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus.
Seminggu setelah afek primer, terdapat Bentuk ini paling sering terlihat pada S II,
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) kadang bersama-sama dengan roseola.
regional yang soliter, indolen, tidak lunak, Papul berbentuk lentikular, likenoid, atau
besarnya lentikular, tidak supuratif dan folikular, serta dapat berskuama (papulo-
tidak terdapat periadenitis di ingunalis skuamosa) seperti psoriasis (psoriasiformis)
medialis. dan dapat meninggalkan bercak
leukoderma sifilitikum.
Ulkus durum dan pembesaran KGB disebut
dengan kompleks primer. Bila sifilis tidak Pada S II dini, papul generalisata dan S II
memiliki afek primer, disebut sebagai lanjut menjadi setempat dan tersusun
syphilis d’embiee. secara tertentu (susunan arsinar atau
sirsinar yang disebut dengan korona
Stadium II (sifilis sekunder)
venerik, susunan polikistik dan
S II terjadi setelah 6-8 minggu sejak S I korimbiformis).
terjadi. Stadium ini merupakan great imitator.
Tempat predileksi papul: sudut mulut,
Kelainan dapat menyerang mukosa, KGB, mata,
ketiak, di bawah mammae, dan alat genital.
hepar, tulang dan saraf.
Kelainan dapat berbentuk eksudatif yang sangat 3. Bentuk papul lainnya adalah kondiloma
menular maupun kering (kurang menular). lata berupa papul lentikular, permukaan
datar, sebagian berkonfluensi, dapat erosif
Perbedaan dengan penyakit lainnya yaitu
dan eksudatif yang sangat menular akibat
lesi tidak gatal dan terdapat limfadenitis
gesekan kulit.
generalisata.
S II terdiri dari SII dini dan lanjut, perbedaannya Tempat predileksi kondiloma lata: lipat
adalah: paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah
mammae dan antar jari kaki.
S II dini terlihat lesi kulit generalisata, simetrik
dan lebih cepat hilang (beberapa hari – 4. Pustul
beberapa minggu), sedangkan S II lanjut tampak
setempat, tidak simetrik dan lebih lama Bentuk ini jarang didapati, dan sering diikuti
bertahan (beberapa minggu – beberapa bulan). demam intermiten. Kelainan ini disebut
sifilis variseliformis.
Bentuk lesi pada S II yaitu:
5. Konfluensi papul, pustul dan krusta mirip
1. Roseola sifilitika: eritema makular, dengan impetigo atau disebut juga sifilis
berbintik-bintik, atau berbercak-bercak, impetiginosa. Kelainan dapat membentuk
warna tembaga dengan bentuk bulat atau berbagai ulkus yang ditutupi krusta yang
lonjong. Jika terbentuk di kepala, dapat disebut dengan ektima sifilitikum. Bila
menimbulkan kerontokan rambut, bersifat krusta tebal disebut rupia sifilitikum dan
difus dan tidak khas, disebut alopesia bila ulkus meluas ke perifer membentuk
difusa. Bila S II lanjut pada rambut, kulit kerang disebut sifilis ostrasea.
kerontokan tampak setempat, membentuk
bercak- bercak yang disebut alopesia S II pada mukosa (enantem) terutama pada
areolaris. mulut dan tenggorok.

Lesi menghilang dalam beberapa hari/ S II pada kuku disebut dengan onikia
minggu, bila residif akan berkelompok sifilitikum yaitu terdapat perubahan
dan bertahan lebih lama. Bekas lesi warna kuku menjadi putih dan kabur, kuku
akan menghilang atau meninggalkan rapuh disertai adanya alur transversal dan
hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum). longitudinal. Bagian distal kuku menjadi
hiperkeratotik sehingga kuku terangkat. Bila
2. Papul terjadi kronis, akan membentuk paronikia
sifilitikum. jika pemeriksaan I dan II negatif. Setelah
diambil serum dari lesi, lesi dikompres dengan
S II pada alat lain yaitu pembesaran KGB, larutan garam fisiologis.
uveitis anterior dan koroidoretinitis pada
mata, hepatitis pada hepar, periostitis atau Pemeriksaan lain yang dapat dirujuk, yaitu:
kerusakan korteks pada tulang, atau sistem
saraf (neurosifilis). 1. Tes Serologik Sifilis (TSS), antara lain
VDRL (Venereal Disease Research
Sifilis laten dini tidak ada gejala, sedangkan Laboratories), TPHA (Treponemal pallidum
stadium rekurens terjadi kelainan mirip S II. Haemoglutination Assay), dan tes
imunofluoresens (Fluorescent Treponemal
Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular, Antibody Absorption Test – FTA-Abs)
lamanya masa laten adalah beberapa tahun
bahkan hingga seusia hidup. 2. Histopatologi dan imunologi.
Stadium III (sifilis tersier) Penegakan Diagnosis
Lesi pertama antara 3 – 10 tahun setelah S (Assessment) Diagnosis Klinis
I. Bentuk lesi khas yaitu guma.Guma adalah
infiltrat sirkumskrip kronis, biasanya lunak dan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
destruktif, besarnya lentikular hingga sebesar dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dapat
telur ayam. Awal lesi tidak menunjukkan tanda dilakukan pemeriksaan mikroskopis.
radang akut dan dapat digerakkan, setelah Klasifikasi
beberapa bulan menjadi melunak mulai dari
tengah dan tanda-tanda radang mulai tampak. 1. Sifilis kongenital
Kemudian terjadi perforasi dan keluar cairan 1. Dini (prekoks): bentuk ini menular,
seropurulen, kadang-kadang sanguinolen atau berupa bula bergerombol, simetris di
disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi tangan dan kaki atau di badan. Bentuk
menjadi ulkus. ini terjadi sebelum 2 tahun dan disebut
Guma umumnya solitar, namun dapat multipel. juga pemfigus sifilitika. Bentuk lain
adalah papulo-skuamosa. Wajah bayi
Bentuk lain S III adalah nodus. Nodus terdapat tampak seperti orang tua, berat badan
pada epidermis, lebih kecil (miliar hingga turun dan kulit keriput. Keluhan di
lentikular), cenderung berkonfluensi dan organ lainnya dapat terjadi.
tersebar dengan wana merah kecoklatan.
Nodus memiliki skuama seperti lilin 2. Lanjut (tarda): bentuk ini tidak
(psoriasiformis). menular, terjadi sesudah 2 tahun
dengan bentuk guma di berbagai organ.
S III pada mukosa biasanya pada mulut dan
tenggorok atau septum nasi dalam bentuk 3. Stigmata: bentuk ini berupa deformitas
guma. dan jaringan parut. Pada lesi dini dapat:

S III pada tulang sering menyerang tibia, • Pada wajah: hidung membentuk
tengkorak, bahu, femur, fibula dan humerus. saddle nose (depresi pada jembatan
hidung) dan bulldog jaw (maksila
S III pada organ dalam dapat menyerang hepar, lebih kecil daripada mandibula).
esophagus dan lambung, paru, ginjal, vesika
urinaria, prostat serta ovarium dan testis. • Pada gigi membentuk gigi
Hutchinson (pada gigi insisi
Pemeriksaan penunjang permanen berupa sisi gigi konveks
dan bagian menggigit konkaf).
Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan
T. pallidum pada sediaan serum dari lesi kulit.
Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut
Gigi molar pertama permulaannya sembab, gangguan mental, kelumpuhan
berbintil-bintil (mulberry molar). nervus kranialis dan seterusnya.
• Jaringan parut pada sudut mulut 3. Sifilis parenkim
yang
disebut regades. a. Tabes dorsalis (8-12 tahun sejak infeksi
primer). Keluhan berupa gangguan
• Kelainan permanen lainnya di motorik (ataksia, arefleksia), gangguan
fundus okuli akibat koroidoretinitis visus, retensi dan inkoninensia urin
dan pada kuku akibat onikia. serta gangguan sensibilitas (nyeri pada
kulit dan organ dalam).
Pada lesi lanjut:
b. Demensia paralitika (8-10 tahun sejak
Kornea keruh, perforasi palatum dan infeksi primer). Keluhan diawali dengan
septum nasi, serta sikatriks kulit kemunduran intelektual, kehilangan
seperti kertas perkamen, osteoporosis dekorum, apatis, euphoria hingga
gumatosa, atrofi optikus dan trias waham megaloman atau depresif.
Hutchinson yaitu keratitis interstisial, Selain itu, keluhan dapat berupa kejang,
gigi Hutchinson, dan tuli N. VIII. lemah dan gejala pyramidal hingga
2. Sifilis akuisita akhirnya meninggal.
4. Guma
a. Klinis
Guma umumnya terdapat pada meningen
Terdiri dari 2 stadium: akibat perluasan dari tulang tengkorak.
• Stadium I (S I) dalam 2-4 minggu Keluhan berupa nyeri kepala, muntah dan
sejak infeksi. dapat terjadi konvulsi serta gangguan visus.
Pada pemeriksaan terdapat edema papil
• Stadium II (S II) dalam 6-8 minggu karena peningkatan tekanan intrakranial,
sejak S I. paralisis nervus kranialis atau hemiplegi.
• Stadium III (S III) terjadi setelah 1 Diagnosis Banding
tahun sejak infeksi.
Diagnosis banding bergantung pada stadium
b. Epidemiologis apa pasien tersebut terdiagnosis.
• Stadium dini menular (dalam 1 tahun
sejak infeksi), terdiri dari S I, S II, 1. Stadium 1: Herpes simpleks, Ulkus piogenik,
stadium rekuren dan stadium laten Skabies, Balanitis, Limfogranuloma
dini. venereum, Karsinoma sel skuamosa,
• Stadium tidak menular (setelah Penyakit Behcet, Ulkus mole
1 tahun sejak infeksi), terdiri dari 2. Stadium II: Erupsi alergi obat, Morbili,
stadium laten lanjut dan S III. Pitiriasis rosea, Psoriasis, Dermatitis
Klasifikasi untuk neurosifilis: seboroik, Kondiloma akuminata, Alopesia
aerata
1. Neurosifilis asimptomatik, tidak
menunjukkan gejala karena hanya 3. Stadium III: Tuberkulosis, Frambusia,
terbatas pada cairan serebrospinal. Mikosis profunda

2. Sifilis meningovaskular Komplikasi: Eritroderma


Bentuk ini terjadi beberapa bulan sampai 5
tahun sejak S I. Gejala tergantung letak lesi,
antara lain berupa nyeri kepala, konvulsi
fokal atau umum, papil nervus optikus
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan
Penatalaksanaan -
1. Sifilis yang sedang dalam inkubasi dapat Prognosis
diobati dengan regimen penisilin atau dapat
menggunakan Ampisilin, Amoksisilin, atau Prognosis umumnya dubia ad bonam.
Seftriakson mungkin juga efektif. Referensi
2. Pengobatanprofilaksis harus diberikan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
pada pasangan pasien, namun sebaiknya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi kelima.
diberikan sejak 3 bulan sebelumnya, tanpa Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
memandang serologi. Universitas Indonesia.
3. Kontak seksual harus ditelusuri, diketahui 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
dan diobati 2000. Andrew’s Diseases of the Skin:
4. Pasien perlu diuji untuk penyakit lain Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
yang ditularkan secara seksual (sexually Saunders Elsevier.
transmitted diseases/STD), termasuk HIV, 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
harus dilakukan pada semua penderita. Kelamin.2011. Pedoman Pelayanan Medik.
Pada sifilis dengan kehamilan untuk Jakarta.
wanita berisiko tinggi, uji serologis rutin
harus dilakukan sebelum trimester pertama
dan awal trimester ketiga serta pada
persalinan.
Bila tanda-tanda klinis atau serologis
memberi kesan infeksi aktif atau
diagnosis sifilis aktif tidak dapat dengan
pasti disingkirkan, maka indikasiuntuk
pengobatan.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder
Konseling dan Edukasi
1. Pasien diberikan pemahaman tentang
penyakit, penularan serta penatalaksanaan
di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan
hubungan seksual selama penyakit belum
tuntas diobati
Kriteria Rujukan
Semua stadium dan klasifikasi sifilis harus
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
memiliki dokter spesialis kulit dan kelamin.
3. GONORE
No. ICPC-2
: X71 Gonorrhoea female, Y71 Gonorrhoea male
No. ICD-10
: A54.9 Gonococcal infection, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
(endokarditis, meningitis, dan sebagainya pada
Gonore adalah semua penyakit yang gonore diseminata – 1% dari kasus gonore).
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae.
Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual Faktor Risiko
(PMS) yang memiliki insidensi tinggi.Cara 1. Berganti-ganti pasangan seksual.
penularan gonore terutama melalui genitor- 2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial
genital, orogenital dan ano-genital, namun (PSK).
dapat pula melalui alat mandi, termometer dan 3. Wanita usia pra pubertas dan menopause
sebagainya (gonore genital dan ekstragenital). lebih rentan terkena gonore.
Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah 4. Bayi dengan ibu menderita gonore.
mukosa vagina wanita sebelum pubertas. 5. Hubungan seksual dengan penderita tanpa
Hasil Anamnesis (Subjective) proteksi (kondom).

Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Sederhana (Objective)
Keluhan utama berhubungan erat dengan
infeksi pada organ genital yang terkena. Pemeriksaan Fisik

Pada pria, keluhan tersering adalah kencing Tampak eritem, edema dan ektropion pada
nanah. Gejala diawali oleh rasa panas dan orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh
gatal di distal uretra, disusul dengan disuria, mukopurulen, serta pembesaran KGB inguinal
polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uni atau bilateral.
uretra yang kadang disertai darah.Selain itu, Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus
terdapat perasaan nyeri saat terjadi eritem, edem dan tertutup pus mukopurulen.
ereksi.Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah
kontak seksual. Pada pria:
Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai Pemeriksaan rectal toucher dilakukan untuk
perasaan tidak enak di perineum dan memeriksa prostat: pembesaran prostat dengan
suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing konsistensi kenyal, nyeri tekan dan bila terdapat
hingga hematuri, serta retensi urin, dan abses akan teraba fluktuasi.
obstipasi.
Pada wanita:
Pada wanita, gejala subyektif jarang ditemukan
dan hampir tidak pernah didapati kelainan Pemeriksaan in speculo dilakukan apabila
obyektif. Wanita umumnya datang setelah wanita tesebut sudah menikah. Pada
terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan pemeriksaan tampak serviks merah, erosi dan
antenatal atau Keluarga Berencana (KB). terdapat secret mukopurulen.

Keluhan yang sering menyebabkan wanita Pemeriksaan Penunjang


datang ke dokter adalah keluarnya cairan hijau Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung
kekuningan dari vagina, disertai dengan duh tubuh dengan pewarnaan gram untuk
disuria, dan nyeri abdomen bawah. menemukan kuman gonokokus gram negarif,
Keluhan selain di daerah genital yaitu : rasa intra atau ekstraseluler. Pada pria sediaan
terbakar di daerah anus (proktitis), mata merah diambil dari daerah fossa navikularis, dan
pada neonatus dan dapat terjadi keluhan sistemik wanita
dari uretra, muara kelenjar bartolin, serviks dan Muskular (I.M) dosis tunggal.
rektum.
Tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin
Pemeriksaan lain bila diperlukan: kultur, tes merupakan kontraindikasi pada kehamilan
oksidasi dan fermentasi, tes beta-laktamase, tes dan tidak dianjurkan pada anak dan dewasa
thomson dengan sediaan urin muda.
Penegakan Diagnostik (Assessment) Rencana Tindak Lanjut :-
Diagnosis Klinis Konseling dan Edukasi :-
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, Kriteria Rujukan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Apabila tidak dapat melakukan tes
Klasifikasi laboratorium.
Berdasarkan susunan anatomi genitalia pria dan 2. Apabila pengobatan di atas tidak
wanita: menunjukkan perbaikan dalam jangka
waktu 2 minggu, penderita dirujuk ke
1. Uretritis gonore dokter spesialis karena kemungkinan
2. Servisitis gonore (pada wanita) terdapat resistensi obat.
Diagnosis Banding Peralatan
Infeksi saluran kemih, Faringitis, Uretritis 1. Senter
herpes simpleks, Arthritis inflamasi dan septik, 2. Lup
Konjungtivitis, endokarditis, meningitis dan 3. Sarung tangan
uretritis non gonokokal 4. Alat pemeriksaan in spekulo
Komplikasi 5. Kursi periksa genital
6. Peralatan laboratorium sederhana untuk
Pada pria pemeriksaan Gram
Lokal : tynositis, parauretritis, litritis, kowperitis. Prognosis
Asendens : prostatitis, vesikulitis, funikulitis, Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa,
vasdeferentitis, epididimitis, trigonitis. namun dapat menimbulkan gangguan fungsi
terutama bila terjadi komplikasi. Apabila faktor
Pada wanita risiko tidak dihindari, dapat terjadi kondisi
Lokal : parauretritis, bartolinitis. berulang.

Asendens : salfingitis, Pelvic Inflammatory Referensi


Diseases (PID). Disseminata : Arthritis,
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
miokarditis, endokarditis, perkarditis, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi kelima.
meningitis, dermatitis. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M.
Penatalaksanaan 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
1. Memberitahu pasien untuk tidak
Elsevier.
melakukan kontak seksual hingga
dinyatakan sembuh dan menjaga 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
kebersihan genital. Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
2. Pemberian farmakologi dengan antibiotik:
Tiamfenikol, 3,5 gr per oral (p.o) dosis
tunggal, atau Ofloksasin 400 mg (p.o)
dosis tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra
4. VAGINITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: X84 Vaginitis
: N76.0 Acute Vaginitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik


Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
ditandai dengan adanya pruritus, keputihan, adanya iritasi, eritema atau edema pada vulva
dispareunia, dan disuria. Penyebab vaginitis: dan vagina. Mungkin serviks juga dapat tampak
1. Vaginosis bakterialis (bakteri Gardnerella eritematous.
Vaginalis adalah bakteri anaerob yang Pemeriksaan Penunjang
bertanggung jawab atas terjadinya infeksi
vagina yang non-spesifik, insidennya terjadi 1. Pemeriksaan mikroskopik cairan atau sekret
sekitar 23,6%). vagina.
2. Trikomonas (kasusnya berkisar antara 5,1- 2. Pemeriksaan pH cairan vagina.
20%). 3. Pemeriksaan uji whiff: Jika positif berarti
3. 3. Kandida (vaginal kandidiasis, merupakan mengeluarkan mengeluarkan bau seperti
penyebab tersering peradangan pada anyir (amis) pada waktu ditambahkan
vagina yang terjadi pada wanita hamil, larutan KOH.
insidennya berkisar antara 15-42%).
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Hasil Anamnesis (Subjective)
Diagnosis Klinis
Keluhan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Bau adalah keluhan yang paling sering dijumpai. pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Gejala klinis Vaginitis harus dicari penyebabnya, dengan
menilai perbedaan tanda dan gejala dari
1. Bau masing-masing penyebab, dapat pula dengan
2. Gatal (pruritus) menilai secara mikroskopik cairan vagina.
3. Keputihan
4. Dispareunia Tabel 15.1 Kriteria diagnostik vagintis
5. Disuria
Faktor Risiko
1. Pemakai AKDR
2. Penggunaan handuk bersamaan
3. Imunosupresi
4. Diabetes melitus
5. Perubahan hormonal (misal : kehamilan)
6. Penggunaan terapi antibiotik spektrum luas
7. Obesitas.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective)
Diagnosis Banding Peralatan
Vaginosis bakterialis, Vaginosis trikomonas, 1. Peralatan laboratorium sederhana untuk
Vulvovaginitis kandida pemeriksaan cairan vagina
Komplikasi: - 2. Kertas lakmus
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis
Penatalaksanaan
Prognosis pada umumnya bonam.
1. Menjaga kebersihan diri terutama daerah
vagina Referensi
2. Hindari pemakaian handuk secara
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning
bersamaan
Frequency And Ethiology Of Vaginitis In
3. Hindari pemakaian sabun untuk
Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of
membersihkan daerah vagina yang dapat
Pregnancy. Universitary Clinic of Obstetrics
menggeser jumlah flora normal dan dapat
and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-
merubah kondisi pH daerah kewanitaan
159 (D, 2006)
tersebut.
4. Jaga berat badan ideal 2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu
5. Farmakologis: Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta. PT Bina
a. Tatalaksana vaginosis bakterialis Pustaka Sarwono Prawiroharjo. (Mochamad,
• Metronidazol 500 mg peroral 2 x et al., 2011)
sehari selama 7 hari
• Metronidazol pervagina 2 x sehari
selama 5 hari
• Krim klindamisin 2% pervagina 1 x
sehari selama 7 hari
b. Tatalaksana vaginosis trikomonas
• Metronidazol 2 g peroral (dosis
tunggal)
• Pasangan seks pasien sebaiknya juga
diobati
c. Tatalaksana vulvovaginitis kandida
• Flukonazol 150 mg peroral (dosis
tunggal)
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien, dan
(pasangan seks) suami, mengenai faktor risiko
dan penyebab dari penyakit vaginitis ini
sehingga pasien dan suami dapat menghindari
faktor risikonya. Dan jika seorang wanita
terkena penyakit ini maka diinformasikan
pula pentingnya pasangan seks (suami) untuk
dilakukan juga pemeriksaan dan terapi guna
pengobatan secara keseluruhan antara suami-
istri dan mencegah terjadinya kondisi yang
berulang.
5. VULVITIS
No. ICPC-2 No. ICD-10
: X84 Vaginitis/Vulvitis
: N76.0 Acute Vaginitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan Diagnosis Klinis


Bagi setiap wanita selain masalah keputihan, Diagnosis klinis ditegakkan dengan anamnesis
adapun masalah sering dihadapi adalah vaginitis dan pemeriksaan fisik.
dan vulvitis. Vulvitis adalah suatu peradangan
pada vulva (organ kelamin luar Diagnosis Banding :
wanita),sedangkan vulvovaginitis adalah Dermatitis alergika
peradangan pada vulva dan vagina. Gejala yang
paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan Komplikasi
abnormal dari vagina, dikatakan abnormal jika Infertilitas, Infeksi sekunder karena sering
jumlahnya sangat banyak serta baunya digaruk, Vulva distrofi
menyengat atau disertai gatal-gatal dan nyeri.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penyebab
1. Alergi, khususnya sabun, kertas toilet Penatalaksanaan
berwarna, semprotan vagina, deterjen, 1. Menghindari penggunaan bahan yang dapat
gelembung mandi, atau wewangian menimbulkan iritasi di sekitar daerah
2. Dermatitis jangka panjang, seborrhea atau genital.
eksim
3. Infeksi seperti infeksi pedikulosis, atau kudis 2. Menggunakan salep kortison. Jika
jamur dan bakteri vulvitis disebabkan infeksi vagina, dapat
dipertimbangkan pemberian antibiotik
Hasil Anamnesis (Subjective) sesuai penatalaksanaan vaginitis atau
vulvovaginitis.
Keluhan
Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya Kriteria Rujukan
cairan kental dari kemaluan yang berbau. Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan
Gejala Klinis: kelamin jika pemberian salep kortison tidak
memberikan respon.
1. Rasa terbakar di daerah kemaluan
2. Gatal Peralatan
3. Kemerahan dan iritasi Lup
4. Keputihan
Prognosis
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana Prognosis pada umumnya bonam.
(Objective) Referensi
Pemeriksaan Fisik 1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning
Dari inspeksi daerah genital didapati kulit vulva Frequency And Ethiology Of Vaginitis In
yang menebal dan kemerahan, dapat ditemukan Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of
juga lesi di sekitar vulva. Adanya cairan kental Pregnancy. Universitary Clinic of
dan berbau yang keluar dari vagina. Obstetrics and Gynecology “Bega”
Timisoara.p.157-159
Pemeriksaan Penunjang : -
2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu
Penegakan Diagnostik (Assessment) Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta. PT Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011.


(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011.
(Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik
dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan
DOkter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2012)
4. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for
tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance.
The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014)
5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al. Mycobacterial disease:
Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal medicine. 17th Ed. New York:
McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009)
6. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis pada anak. Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta:
IDAI;2011.p. 170-87.
7. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th
Ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. (Djuanda, et al., 2007)
8. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier. Canada.2000. (James, et al., 2000)
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik. 2011.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, 2011)
10. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009.
11. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008
12. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5.
(Sudoyo, et al., 2006)
13. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007. Available at: (Cunha, 2007)
14. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.Available at: http://www.nlm.nih.gov/
medlineplus/ency/article/001376.htm. Accessed December 2009. (Dugdale, 2004)
15. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M. Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi,

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 441
DAFTAR PUSTAKA

Brugria timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson Textbook of Pediatric.18thEd.2007:


1502-1503. (Behrman, et al., 2007)
16. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook
of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108. (Rudolph, et al., 2007)
17. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki, S.H.Hindra Irawan S. Filariasis dalam
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta,
2010: 400-407. (Sumarmo, et al.,2010)
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi Tali Pusat dalam Panduan Manajemen
Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2003)
19. Peadiatrics Clerkship University. The University of Chicago.
20. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
21. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan
RI. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012)
22. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
23. Panduan Puskesmas untuk keracunan makanan. Depkes: Jakarta. 2007.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
24. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 116-
25. (Sichere & Sampson, 2010)
25. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan.Ed.
Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. 2001. (Prawirohartono, 2001)
26. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat.
2003. (Davies, 2003)
27. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1. Surabaya: FK
Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et al.,2000)
28. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Reactions. In:Text Book of Critical care. Eds:
Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia:
WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.
29. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In:International
edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen. Stapczynski. 5thEd. New York:
McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6.
30. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam Update on Shock.
Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
2000.
31. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
32. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.
33. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
2nd Edition. Geneva. 1997
34. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit:
Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten / Kota. 1 ed.
Jakarta: World Health Organization Country Office for Indonesia.
35. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis
dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2014
36. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009.
(Braunwald, et al., 2009)
37. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 632-
36. (Sudoyo, et al., 2006)
38. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang
Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2011)
39. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30.
(Sudoyo, et al., 2006
40. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed). Panduan
Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat
Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008)
41. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006.
(Sudoyo, et al., 2006)
42. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK (ed). Oxford handbook of
clinical medicine. 7th edition. Oxford University Press. Oxford. 2008. hlm 540-541.
(Longmore, et al., 2008)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 443
43. Petri M, et al. derivation and validation of the Systemic Lupus International
Collborating Clinics classification criteria for systemic lupus eritematosus. Arthritis
and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86. (Petri, et al., 2012)
44. Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.
45. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: Non- Infective
Stomatitis. In Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Spain:
Elsevier Science Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell, 2002)
46. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease: Diagnosis and
Management. London: Martin Dunitz Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999)
47. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis and
Treatment. Journal of The American Dental Association, 127, pp.1202–1213.
(Woo & Sonis, 1996)
48. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions. In
M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds. Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC
Decker, p. 41. (Woo & Greenberg, 2008)
49. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
(Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2004.
50. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentan
PedomanPengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, t.thn.)
51. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)
52. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)
53. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)
54. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB
Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)
55. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.
htm (Center for Disease and Control, 2005)
56. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003)
57. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects
not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria.
Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)
58. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood
culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in a
resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
59. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009. Section
3. http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3. 117 (Anon.,
2009)
60. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta:
Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009)
61. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan sosialisasi tatalaksana diare pada balita.
Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
62. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata,
M.D. Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
63. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus
Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia. 2009.
64. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi,
I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-
1798.
65. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 962-
964. (Braunwald, et al., 2009)
66. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with Free Living Amoebas. In: Kasper.
Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol I. 17thEd.
McGraw-Hill. 2009: p. 1275-1280.
67. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni, N. Singer, M,Critical Care. Focus 9 Gut.
London: BMJ Publishing Group. 2002. (Galley, et al., 2002)
68. Elta, G.H.Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding in Yamada,
T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine, L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book of
Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. 2003.
(Elta,2003)
69. Rockey, D.C.Gastrointestinal bleeding in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger,
M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd.
Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, 2002)
70. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E.Acute upper gastrointestinal bleeding in Sivak,
M.V.Ed.Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: WB Sauders. 2000. (Gilbert &
Silverstein, 2000)
71. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. Emedicine. Medscape. Update 12
September 2012. (Thornton & Giebel, 2012)
72. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids and Fissure in Ano Gastroenterology
Clinics of North America. 2008.
73. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease of Liver and
Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002)
74. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
75. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).
76. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,1999)
77. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih bahasa dr.
Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000. (Shrock, 2000)
78. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick &
J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222.
(Fox & Ship, 2008)
79. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000)
80. 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts from the
cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit
(WSH), World Health Organization (WHO).
81. 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000- 1
82. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://
www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and Control, 2013)
83. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.who.int/
topics/shcistosomiasis/end (World Health Organization, 2013)
84. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in Medical
Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
85. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin
Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
86. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000-
1.
87. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengendalian Kecacingan.
88. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted diseases.
Gastroenetrology & hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh & Cruz, 2011)
89. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s
Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012.
p.1000- 1.
90. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
91. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006.
92. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta: Erlangga. 2005.
93. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC.
2009.
94. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008.
95. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000.
96. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007.
97. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd Ed. New York: Fairchild Publication.
1989. (Grosvenor, 1989)
98. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut:
Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997)
99. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999.
(Soewono, 1999)
100. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 3rd
Ed. 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr. Soetomo, 2006)
101. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M. Worldwide prevalence and risk factors for
myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32, 3–16. (Pan, et al., 2012)
102. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed.
New York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
103. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for the Internist: When to Treat, When to
Refer. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2), pp.137–44. Available at:
http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor & Jeng, 2008)
104. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations, Disease Associations and Management.
Postgraduate Medical Journal, 88(1046), pp.713–8. Available at: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/22977282 [Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
105. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968. Episcleritis and Scleritis I. British Journal
Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson, et al., 1968)
106. Ehlers JP, Shah CP, editors.The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008)
107. Karesh JW. The evaluation and management of eyelid trauma. Dalam : Duane’s
Clinical Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
2006. (Karesh, 2006)
108. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2008.
109. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2008.
110. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007)
111. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997. (Adam & Boies, 1997)
112. Sander, R. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and Prevention. Am Fam
Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937. (Sander, 2001)
113. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill.
2003. (Lee, 2003)
114. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating
Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6
June 2007, pp. e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007)
115. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and Management
Options. WHO Library Cataloguing in publication data. 2004. (J, 2004)
116. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder AGM.
Chronic suppurative otitis media: A review. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12. (Verhoeff, et al., 2006)
117. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose, Throat Emergencies. Pediatric Clinics of
North America 53 (2006) 195-214. (Bernius & Perlin, 2006)
118. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in The Ear, Nose and Throat. American
Family Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189. (Heim & Maughan, 2007)
119. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: a review of technique for
removal in the emergency department. Emergency Medicine Journal.2000;17:91-
94. (Davies & Benger, 2000)
120. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT KL.
FKUI. Jakarta.
121. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3.
Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)
122. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed.
McGraw-Hill. 2009. (O’Rouke, et al., 2009)
123. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical Care Handbook
of the Massachusetts General Hospital. 4Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)
124. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi. Jakarta
: Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
125. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape. Update 21 May.
2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
126. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta: PT
Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334. (Chairuddin, 2007)
127. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
128. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta: EGC. 2005.
129. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery.
8th Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
130. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York: Lange Medical Book.
2005.
131. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam Kumpulan
Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006)
132. 2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda,
2008)
133. 3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer, 2000)
134. 4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type Headache. Available from: www.aafp.com.
(Millea, 2008)
135. 2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University
Press. Surabaya.2006. (Purnomo,2006)
136. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan
Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012. (Kelompok Studi Vertigo, 2012)
137. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary care. BJMP.
2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
138. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular
migraine. Journal Neurology. 2009:25:333-338. (Lempert & Neuhauser, 2009)
139. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of Vertigo.Journal American Family Physician.
2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
140. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
(Mardjono & Sidharta, 2008)
141. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium Neurology:Systematic Approach that Needed for
establish of Vertigo. The Practitioner. 2010; 254 (1732) p. 19-23. (Turner & Lewis,
2010)
142. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness
and Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot. William and Wilkins. 2009 (Chain,
2009)
143. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to RNA viruses: Harrisons Internal
Medicine 16th edition. McGraw Hill. Medical Publishing Division. 2005. (Braunwald,
et al., 2009)
144. The Merk Manual of Medical information.Rabies, brain and spinal cord disorders,
infection of the brain and spinal cord.2006. p: 484-486.
145. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic Press. 2002. p. 290. (Jackson & Wunner,
2002)
146. Davis L.E. King, M.K. Schultz, J.LFundamentals of neurologic disease. Demos
Medical Publishing, LLc. 2005. p: 73. (Davis, et al., 2005)
147. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable diagnosis of human rabies based on
analysis of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47 (11): 1410-1417. 2008. (Reynes
and Buchy, 2008)
148. 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for Disease Control and Prevention. 2007.
Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12.
(Centers for Disease Control and Prevention , 2007)
149. Gunawan C, Malaria Serebral dan penanganannya dalam Malaria dari Molekuler ke
Klkinis EGC. Jakarta 2012. (Gunawan, 2012)
150. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok Studi Epilepsi, 2012)
151. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed).
Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York, 2007:100-
25. (Fitzsimmons, 2007)
152. Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein LB
(Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009:
85-99. (Romano & Sacco, 2009)
153. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous System. Ischemic
Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical
Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
Philadelphia, 2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
154. Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack : A Guideline for Healthcare Professionals From
the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011;
42:227- 276 (Furie, 2011)
155. National Stroke Association. Transient Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org
156. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in
Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier,
Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker, 2012)
157. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis
and Treatment in Neurology. McGraw Hill, NewYork, 2007:286-288. (Gooch &
Fatimi, 2007)
158. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy Medication. Medscape.
159. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental
Disorder. Text Revision 4th Ed. Washington DC: APA. 2000.
160. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna Publishing.2009.
161. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et al. Clarifying confusion: the confusion
Assessment method;113:941-8: a new method for detection of delirium.Ann Intern
Med. 1990
162. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion and delirium. Dalam: Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill. 2008.
163. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick, B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th
Ed. McGraw-Hill Co. 2009.
164. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/
Pskiatri. Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP
PDSKJI). 2012.
165. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
166. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004.
167. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit berdasarkan
kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan. 2012
168. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage
Guidelines. 5th edition.Vancouver. Department of Pharmacy Children’s and
Women’s Health Centre of British Columbia. (Esau, 2006)
169. Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010.
170. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and Formulary 2007-2008. Toronto. The
Department of Pharmacy, The Hospital for Sick Children. (Lau, 2008)
171. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug Information 2009. Bethesda. American Society
of Health-System Pharmacists, Inc. (McEvoy,2009)
172. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI,
2006)
173. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45 Gangguan Somatoform. In
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pp. 209–221.
174. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative Disorders: Assessment and
Treatment Advance in Psychiatric Treatment,3(1), pp.9–16 Available at:http://
apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014].
175. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan
Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia,
60(10), pp.448–453.
176. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007. Somatoform Disorders. American
Family Physician, 76, pp.1333–1338. Available at: www.aafp.org/afp.
177. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-15). Patient Health Questionnaire
(PHQ) Screeners. Available at: http://www.phqscreeners.com/
pdfs/04_PHQ-15/English.pdf [Accessed May 24, 2014].
178. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting Somatoform Disorders in Primary Care
with the PHQ-15. Annals of Family Medicine, 7, pp.232–238. Available at:
http://www. annfammed.org/content/7/3/232.full.pdf+html.
179. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 1993)
180. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012)
181. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological
and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010. (World
Health Organization, 2010)
182. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
183. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
184. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental
disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe
& Huber Publishers. (World Health Organization, t.thn.)
185. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 2007.
186. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
187. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2002.
188. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: EGC.1998.
189. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006.
190. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998.
191. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal: 337.
192. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2014.(Global
Initiatives for Asthma, 2011)
193. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2006.(Global
Initiatives for Asthma, 2006)
194. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2004.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2004)
195. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2001.
196. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Indonesia IDAI. 2010.
197. Marik PE.Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Eng J Med.
2001;3:665- 71.(Marik, 2001)
198. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc.
Infectious diseases society of America/American thoracic society consensus
guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults.
Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–72(Mandel, et al., 2007)
199. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam: Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas.
Swidarmoko B, Susanto AD, editor. Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked. Respirasi.
2010: 54-71.(Astowo, 2010)
200. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax: British
Thoracic Society pleural diseases guideline 2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff,
et al., 2010)
201. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
202. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E. Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
203. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
204. Fokkens, W et.al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps. Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at: http://www.rhinologyjournal.com
[Accessed June 24, 2014]. (Fokkens, 2012)
205. Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala – Leher FKUI /
RSCM. Panduan Pelayanan Medis Rinosinusitis.
206. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical Practice Guidelines forAcute and
Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical Immunology, 71, pp.1-38. Available
at: http://www.aacijournal.com/content/7/1/2 [Accessed June 6,2014].
(Desrosier et.al, 2011)
207. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in Adults: Treatment.
UpToDate Wolters Kluwer Health. Available at: www.uptodate.com [Accessed June
6, 2014]. (Hwang & Getz,2014)
208. Chow,AW et.al,2012.IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial
Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious Diseases, pp.e1-e41.
Available at: http:// cid.oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014]. (Chow et.al,
2012)
209. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
210. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
211. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis. Available from
http://www.nejm.org/doi/ pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni 2014)
212. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
213. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current And Future Treatment Options For
Perioral Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy, 2, 351-355, Available from
http://Search.
Proquest.Com/Docview/912278300/Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Account
id=17242(7 Juni 2014).
214. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007. Persistent Facial Dermatitis: Pediatric
Perioral Dermatitis. Pediatric Annals, 36,pp.796-8. Available
from http://search.proquest.com/docview/217556989/fulltextPDF?acc
ountid=17242 (7 Juni 2014).
215. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical Appraisal Of Reports On The Treatment Of
Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-7. Available from
http://search.proquest. com/docview/275129538/DC34942E98744010PQ/1?
accountid=17242#(7 Juni
2014).
216. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012. Pharmacologic Interventions For Hidradenitis
Suppurativa. American Journal Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91. Available
from http://search.proquest.com/docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7905F3
04E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni 2014).
217. American Academy of Dermatology. Hidradenitis suppurativa.Available from
http:// www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-and-treatments/e---
h/hidradenitis- suppurativa(7 Juni 2014).
218. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012. Risk factors of hookworm related
cutaneous larva migrans and definitive host
219. Doherty, G.M. 2006. Current surgical diagnosis and & treatment. United State of
America. Lange Medical Publication.
220. Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio).
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/ matkul/Ilmu%20Kedokteran
%20Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20PBL%20 IIa%202007- 2008/luka
%20bakar%20akut%20text.pdf
221. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
222. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens- Johnson syndrome.
Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
223. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens JohnsonSyndrome: Our
Current Understanding. Allergology International,55, 9-16
224. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter
Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI. 200. (Trisna, 2008)
225. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
Hal 1961-5.2006.
226. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004.
227. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2006)
228. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Indonesia FKUI,2012)
229. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thed.
USA: McGraw Hill, 2008.
230. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan:
FK USU.2004. (Azwar, 2004)
231. Darey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005)
232. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007.
(Ganiswarna, 2007)
233. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI.2009.
234. 5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012 (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2012)
235. Weiss, Barry.20 Common Problems In Primary Care.
236. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family Medicine. 2011
237. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI. 2009
238. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract infection. N Engl J Med2012;366:1028-37
(Hooton, 2012)
239. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan
Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
(Achmad, 2007)
240. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment
of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women : A 2010 Update
by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for
Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Disease, 52, pp.103–120
(Colgan, 2011)
241. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and Prostatitis. In A. s
Fauci et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill,
pp. 1820–1825. (Stamm, 2008)
242. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and
Circumcision. The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301.
243. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678.
244. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
245. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010(Prawirohardjo, et al., 2010)
246. WHO. Managing prolonged and obstructed labour. Education for safe motherhood.
2ndEd. Department of making pregnancy safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health
Organization, 2006)
247. Pedoman penyelenggaraan pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif
(PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
248. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina
Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
249. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.
Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009)
250. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
251. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012:
Management of vaginal discharge in non- genitourinary medicine settings. England:
Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual
and Reproductive Healthcare, 2012)
252. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis
In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic of
Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159 (D, 2006)
Pengurus Besar
Ikatan Dokter
Indonesia
(Indonesian Medical Association)
Alamat: Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Telp: (021) 3150679
email : pbidi@idionline.org
website: www.idionline.org

Anda mungkin juga menyukai