Anda di halaman 1dari 23

SUBDIVISI INFEKSI TROPIS REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2017

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MELIOIDOSIS

DISUSUN OLEH :

Amelia Victoria Tamsil C111 12 173

Maghfira R. Palusery C111 13 030

Nurindayanti C111 13 031

SUPERVISOR PEMBIMBING

dr. Risna Halim, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN INTERNA SUBDIVISI INFEKSI TROPIS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Amelia Victoria Tamsil C111 12 173


Maghfira R. Palusery C111 13 030
Nurindayanti C111 13 031

Adalah benar telah menyelesaikan dan mendiskusikan refarat yang berjudul

MELIOIDOSIS dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor

dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Interna Subdivisi Infeksi Tropis

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2017

Konsulen

dr. Risna Halim, Sp.PD

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

2.1. Definisi ................................................................................................. 3

2.2. Etiologi ................................................................................................. 3

2.3. Epidemiologi ........................................................................................ 4

2.4. Patofisiologi ......................................................................................... 4

2.5. Manifestasi Klinis ................................................................................ 8

2.6. Diagnosis .............................................................................................. 11

2.7. Penatalaksaan ....................................................................................... 13

2.8. Komplikasi ........................................................................................... 15

2.9. Pencegahan ........................................................................................... 16

2.10. Prognosis .............................................................................................. 17

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Melioidosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


Burkholderia pseudomallei yang ditemukan banyak di daerah tropis. Penyebab
penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Alfred Whitemore pada tahun 1912,
selama bertahun-tahun bakteri patogen penyebab melioidosis diklasifikasikan
dalam genus pseudomonas, namun, pada tahun 1992 bersama dengan p.mallei dan
empat spesies lainnya, p. pseudomallei direklasifikasi ke genus baru yang dinamai
sesuai dengan ahli mikrobiologi AS walter burkholder, kasus pertama melioidosis
pada manusia terjadi di Australia yang didapatkan pada penderita diabetes dari
Townsville pada tahun 1950 yang meninggal karena septicaemic melioidosis. 1
B. pseudomallei adalah bakteri basil gram negatif, bersifat aerob, motil,
dan oksidase positif. Mikroorganisme ini sering ditemukan pada air dan tanah di
daerah endemik. Organisme tersebut telah ditemukan dari tanah basah, sungai,
kolam renang, genangan air dan sawah pada khususnya Sehinngga resiko terpapar
meningkat pada petani maupun peternak yang tidak memperhatikan sanitasi dan
safety tools dengan baik. Manusia dan hewan terinfeksi melalui kontak kulit
dengan tanah yang terkontaminasi B. pseudomallei, terutama pada kulit yang
mengalami abrasi, juga dapat melalui inhalasi terhadap debu maupun air yang
terkontaminasi, maupun tertelan. Infeksi yang didapat dari laboratorium pernah
ditemukan, sedangkan penyebaran dari manusia ke manusia dan infeksi dari
hewan ke manusia sangat jarang terjadi.1,2
Di kebanyakan daerah endemik, ada hubungan erat antara melioidosis
dan curah hujan. Di timur laut Thailand dan Australia utara, 75% dan 85% kasus
terjadi pada musim hujan. Meskipun penelitian awal menunjukkan adanya infeksi
pada B. pseudomallei melalui paparan oral atau nasal, namun sebagian besar kasus
berasal dari inokulasi melalui kulit yang abrasi terhadap B. pseudomallei setelah
terpapar tanah berlumpur maupun permukaan air di lokasi endemik.1,2
Sejumlah kecil kasus melioidosis dilaporkan di Amerika Serikat yang
meningkat setiap tahunnya sejak tahun 2008. Melioidosis terjadi di daerah tropis
maupun subtropis (misalnya Australia dan Asia Tenggara) dengan endemisitas

1
tertinggi di Timur Laut Thailand, Australia Utara, Singapura dan sebagian dari
Malaysia. Cina Tenggara, Taiwan, Filipina, dan sebagian besar benua India juga
dianggap sebagai daerah endemik. Kasus sporadis ditemukan di Asia Barat Daya,
Papua Nugini, dan beberapa lokasi di wilayah Afrika dan Pasifik. Dari beberapa
studi dapat dilaporkan bahwa Timur Laut Thailand memiliki insidensi tertinggi
dengan penyakit Meiloidosis di dunia dimana didapatkan 12,7% kasus melioidosis
pada 100.000 orang setiap tahunnya. Sedangkan di Amerika Serikat, kasus
melioidosis yang dilaporkan terutama terjadi pada populasi yang berimigrasi atau
berkunjung dari daerah dengan penyakit endemik melioidosis. Sumber infeksi
dalam kasus Melioidosis yang dilaporkan di Indonesia pada tahun 2010 tidak
diketahui namun dicurigai berasal dari pekerjaan paparan reptil impor. Pasien
tidak ada riwayat melakukan perjalanan ke daerah endemik melioidosis. Namun,
pasien bekerja di pusat impor dan distribusi reptil yang memungkinkan untuk
terpapar bakteri patogen. Selain itu infeksi Melioidosis yang terjadi pada dua
Iguana baru-baru ini dilaporkan di California. Pada tahun 2012, jumlah
kedatangan wisatawan internasional ke Amerika Serikat meningkat sekitar 6%.
Kenaikan 6% dalam penerbangan keberangkatan diantaranya adalah penduduk
Amerika Serikat yang bepergian ke Asia, termasuk negara-negara endemis
Melioidosis (misalnya Malaysia, Singapura, dan Filipina) yang termasuk tujuan
teratas warga negara Amerika Serikat yang bepergian ke luar negeri. Seiring
dengan peningkatan tersebut, peningkatan angka kejadian melioidosis di daerah-
daerah endemis tersebut juga semakin meningkat. Sehingga Amerika Serikat
dianggap sebagai sumber infeksi utama yang menyebabkan Melioidosis.3,5

2
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Definisi
Melioidosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang bernama
Burkholderia pseudomallei. Bakteri tersebut hidup di bawah permukaan tanah
pada musim kering tetapi setelah curah hujan yang deras ditemukan dalam air
permukaan dan lumpur dan dapat juga naik di udara.1

1.2. Etiologi
Tahun 1912, Captain Alfred Whitmore, seorang ahli patologi dan
asistennya C.S Krishnaswami mencatat suatu penyakit yang sama dengan
glanders pada pecandu morfin di Rangoon, Burma. Namun, pasien tidak
memiliki riwayat terpapar dan morfologi koloni organisme ini berbeda
dengan glanders. Hal ini yang mengarahkan penemuan organism baru yaitu,
Burkholderia pseudomallei yang disebut melioidosis. Melioidosis juga
disebut penyakit Whitmore.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Burkholderia pseudomallei. Bakteri
ini tergolong aerobic, gram-negatif dan ditemukan di air dan tanah yang
lembab. Merupakan bakteri pathogen yang opportunistic yang menghasilkan
eksotoksin. Bakteri ini dapat menyerang manusia, hewan dan Tumbuhan.
Jangkitan kepada manusia adalah melalui sentuhan langsung (direct contact)
dengan tanah dan air melalui luka, debu atau tetesan air yang tercemar.1
B. pseudomallei adalah bakteri batang gram negatif, bersifat aerob, motil,
dan oksidase positif. Mikroorganisme ini sering ditemukan pada air dan tanah
di daerah endemik. Organisme tersebut telah ditemukan dari tanah basah,
sungai, kolam renang, genangan air dan sawah pada khususnya Sehinngga
resiko terpapar meningkat pada petani maupun peternak yang tidak
memperhatikan sanitasi dan safety tools dengan baik. Manusia dan hewan
terinfeksi melalui kontak kulit dengan tanah yang terkontaminasi B.
pseudomallei, terutama pada kulit yang mengalami abrasi, juga dapat melalui
inhalasi terhadap debu maupun air yang terkontaminasi, maupun tertelan.
Infeksi yang didapat dari laboratorium pernah ditemukan, sedangkan

3
penyebaran dari manusia ke manusia dan infeksi dari hewan ke manusia
sangat jarang terjadi.4
Di kebanyakan daerah endemik, ada hubungan erat antara melioidosis
dan curah hujan. Di timur laut Thailand dan Australia utara, 75% dan 85%
kasus terjadi pada musim hujan. Meskipun penelitian awal menunjukkan
adanya infeksi pada B. pseudomallei melalui paparan oral atau nasal, namun
sebagian besar kasus berasal dari inokulasi melalui kulit yang abrasi terhadap
B. pseudomallei setelah terpapar tanah berlumpur maupun permukaan air di
lokasi endemik.4,5
Masa inkubasi pada manusia bervariasi dari kurang dari satu hari (setelah
terpapar dengan intensitas sangat tinggi) sampai beberapa bulan atau tahun.
Dalam sebuah penelitian, sebagian besar kasus akut menjadi jelas dalam 21
hari setelah terpapar, dengan rata-rata 9 hari. Beberapa kasus tetap subklinis
hingga 29 tahun, dan satu infeksi tampaknya menjadi gejala setelah 62 tahun.4

1.3. Epidemiologi
Melioidosis termasuk penyakit endemis di Negara iklim tropis seperti
Asia Tenggara. Awalnya, Melioidosis hanya dikenal di kawasan Asia
Tenggara dan merupakan ancaman serius bagi tentara Amerika yang bertugas
di Asia Tenggara. Melioidosis ditemukan juga secara endemic di Australia
Utara dan Afrika Tengah. Setiap tahun diperkirakan terdapat 2.000-5.000
kasus pada manusia di Thailand, 120 orang di Singapura, dan antara 20-50
orang di Australia Utara. Negara lain yang dilaporkan terdapat kasus
Melioidosis adalah Papua New Guinea, Perancis, dan Nigeria.5

1.4. Patofisiologi
Cara penularan yang paling umum adalah melalui inokulasi langsung
tanah yang terkontaminasi dan air yang kontak dengan kulit yang lecet.
Transmisi manusia-ke-manusia, penularan melalui air tanah yang
terkontaminasi telah dilaporkan. Penyakit ini mempengaruhi beragam hewan
yang rentan, termasuk kucing, kambing, domba dan kuda. Penularan zoonosis
dilaporkan jarang terjadi. Selain itu, infeksi juga dapat terjadi secara tidak

4
langsung melalui kontaminasi bahan yang umumnya tidak berbahaya. Sebuah
kasus di Northern Territory melaporkan infeksi B. pseudomallei dari deterjen
cuci tangan tercemar, karena adanya selang yang terkontaminasi oleh tanah di
dekatnya. 2
Penelitian serologi telah menunjukkan bahwa sebagian besar infeksi
dengan B. pseudomallei asimtomatik. Di Thailand timur laut, sebagian besar
penduduk pedesaan seropositif oleh hemaglutinasi tidak langsung (IHA),
dengan paling banyak serokonversi terjadi antara 6 bulan dan 4 tahun. Meski
melioidosis terjadi pada semua kelompok umur, penyakit klinis berat seperti
pneumonia septikemik kebanyakan terlihat pada faktor risiko seperti diabetes,
penyakit ginjal, dan alkoholisme. Pada proses transmisi melalui inhalasi,
jumlah bakteri (inokulasi dosis) dan virulensi strain infeksius B. pseudomallei
juga cenderung mempengaruhi tingkat keparahan penyakit. Namun, telah
dicatat bahwa meskipun beban bakteri besar pada penyakit berat dengan
septikemik melioidosis paru, transmisi orang-ke-orang sangat jarang.
Selanjutnya, Meski sudah jelas dari penelitian laboratorium isolat B.
pseudomallei dari binatang, manusia, dan lingkungan yang virulensinya
berbeda di antara isolat B. pseudomallei, pentingnya variasi ini virulensi
dalam menentukan aspek klinis melioidosis masih belum pasti.4
B. pseudomallei adalah patogen intraselular fakultatif yang bisa
menyerang dan bereplikasi di dalam berbagai sel, termasuk leukosit
polimorfonuklear dan makrofag dan beberapa garis sel epitel. Hewan model
tidak dapat mengkonfirmasi eksotoxin yang relevan secara klinis B.
pseudomallei. Namun, resistensi terhadap serum manusia (diberikan oleh
lipopolisakarida [LPS]) dan kemampuan B. pseudomallei untuk bertahan
hidup intraseluler (sebagian di antaranya diberikan oleh poliakarida kapsuler)
terlibat dalam patogenesis sekresi melioidosis. Tipe III sistem di B.
pseudomallei juga ditemukan penting di dalamnya invasi sel dan
kelangsungan hidup intraselular. Penginderaan kuorum mungkin menjadi
peran penting dalam banyak aspek virulensi B. pseudomallei, termasuk invasi
sel, sitotoksisitas dan resistensi antimikroba. Kandidat faktor virulensi putatif
lainnya termasuk flagella, tipe IV pili dan adhesi lainnya, siderophore, dan

5
protein yang disekresikan seperti hemolysin, lipase, dan protease.
Kelangsungan hidup intraselular B. pseudomallei pada manusia dan hewan
kemungkinan akan menjelaskan kemampuan latensi. Setelah internalisasi, B.
pseudomallei lolos dari vakuola endositik ke dalam sitoplasma sel, dan
induksi polimerisasi aktin pada satu kutub bakteri mengarah ke tonjolan
membran. Faktor kelangsungan hidup tambahan adalah kemampuan B.
pseudomallei untuk membentuk variansi koloni kecil tahan antibiotik dan
kemampuan varian mukoid dengan glikosida polisakarida ekstraselular yang
besar untuk membentuk mikro koloni yang terbungkus biofilm yang juga
relatif resisten antibiotik.5,6
Terdapat sejumlah penelitian yang menunjukkan tingginya tingkat
berbagai mediator inflamasi endogen dan sitokin menjadi terkait dengan
tingkat keparahan dan hasil melioidosis. Namun, apakah sitokin yang
meningkat ini adalah penyebab atau akibat penyakit parah tidak diketahui. Di
Thailand, ada hubungan yang parah melioidosis dengan faktor nekrosis tumor
(TNF) -biara alel 2, yang mana terkait dengan produksi TNF yang lebih tinggi
dan dapat diinduksi. Namun, dalam model tikus melioidosis, netralisasi TNF
atau interleukin (IL) -12 meningkatkan kerentanan terhadap infeksi in vivo,
dan interferon- (IFN-) ditemukan penting untuk bertahan hidup, dengan
tikus diobati dengan monoklonal anti-IFN-dying lebih cepat. Peran
reseptor seperti Toll dalam respon imun bawaan dalam melioidosis telah
diusulkan. Oleh karena itu, ada pelindung tuan rumah yang penting
mekanisme melawan B. pseudomallei dalam respon sitokin sebagai sekaligus
berpotensi merusak, dengan waktu sitokin pelepasan dan keseimbangan
antara tanggapan pro- dan anti-inflamasi cenderung menentukan tingkat
keparahan penyakit dan akibat infeksi. Sejauh mana polimorfisme host dalam
kebal respon berkontribusi dibandingkan dengan perbedaan virulensi
organisme, menginfeksi dosis B. pseudomallei, dan faktor risiko host yang
didefinisikan seperti diabetes tetap harus diklarifikasi. Meski begitu, yang
dominan hubungan dengan melioidosis fatal adalah adanya yang
didefinisikan faktor risiko pasien.2,5

6
Meskipun respon kekebalan yang dimediasi oleh sel yang kuat dapat
melindungi terhadap perkembangan penyakit, tidak ada bukti pasti untuk
penyakit ini pengembangan kekebalan dari melioidosis setelah terpapar alami
B. pseudomallei, dan reinfeksi bisa terjadi dengan strain B. pseudomallei yang
berbeda setelah berhasil menjalani pengobatan melioidosis.5
Faktor risiko terkuat yang terkait dengan melioidosis parah adalah
diabetes. Dalam penelitian terpisah menggunakan model tikus diabetes
menunjukkan bahwa adanya peningkatan tingkat glukosa merusak sistem
kekebalan bawaan inang dengan menunda identifikasi dan pengenalan
struktur permukaan B. pseudomallei, yang mengakibatkan aktivasi tertunda
dari berbagai respons inflamasi dan kekebalan serta sinyal alarm umum
infeksi. Hal ini dapat menjelaskan peningkatan kerentanan pasien diabetes
terhadap penyakit fatal ini. Faktor risiko lainnya adalah kelebihan konsumsi
alkohol, penyakit ginjal, penyakit paru-paru kronis (termasuk kistik fibrosis),
thalassemia, keganasan, terapi steroid, kelebihan zat besi, dan tuberkulosis.
Penyakit dan kematian yang parah jarang terjadi pada mereka yang tidak
berisiko faktor yang didiagnosis dan diobati dini, dengan hanya satu kematian
di usia 51 tahun pasien tanpa faktor risiko dalam satu penelitian. Faktor risiko
kurang umum pada anak-anak daripada orang dewasa. Bukti menunjukkan
bahwa mungkin ada kecenderungan untuk melioidosis pada penderita
diabetes, kelebihan alkohol, atau penyakit ginjal kronis, yang dapat
mencerminkan kerusakan neutrofil dan sel fagosit.2,5

7
1.5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis infeksi B. pseudomallei sangat bervariasi mulai dari tanpa
gejala sampai terjadi septikemia. Infeksi dapat bersifat akut atau kronis, dan
lokal atau menyebar. Pneumonia merupakan bentuk manifestasi klinis yang
paling sering ditemui pada melioidosis dan terjadi pada lebih dari setengah
kasus melioidosis. Bentuk klinis dari penyakit ini di Australia Utara dan Asia
Tenggara paling sering adalah septikemia dengan atau tanpa pneumonia.
Keterlibatan fokus organ lainnya sering terjadi, baik sebagai sumber utama
terjadinya septikemia atau sebagai akibat lokalisasi yang kemudian menyebar
melalui aliran darah. Meningoensefalitis, pneumonia tanpa septikemia,
osteomielitis, arthritis septik, abses lokal di hampir setiap organ dalam atau
jaringan lunak superfisial, semuanya pernah dilaporkan. Pada melioidosis
septikemia, biasanya pasien memiliki riwayat demam, menggigil. Penurunan
kesadaran, dan jaundice atau diare dapat juga menjadi gejala yang menonjol.
Kerusakan seringkali terjadi secara cepat dengan perkembangan metastasis
abses yang luas, terutama di paru-paru, hati, limpa, parotis, dan prostat. 4,6
B. pseudomallei dapat menyebabkan spektrum tanda klinis yang luas dan
berbeda pada setiap orang. Sementara banyak infeksi tidak tampak, beberapa
berdampak pada penyakit paru akut, septikemia, atau infeksi supuratif akut
atau kronis lokal. Frekuensi berbagai sindrom dapat berbeda antar daerah.
Misalnya, abses parotis umum terjadi pada anak-anak di Thailand, tapi jarang
terjadi di Australia. Satu sindrom bisa berkembang menjadi penyakit lain jika
mikroorganisme menyebar ke tempat lain.4,7
Infeksi lokal akut kadang terjadi di tempat inokulasi. Di Australia,
penyakit kulit lokal dilaporkan menjadi bentuk umum melioidosis pada anak-
anak. Lesi di kulit biasanya tampak abses berwarna abu-abu atau putih, nodul
dan ulkus yang sering. Nodul-nodulnya bisa berjangkar, dan seringkali
dikelilingi oleh peradangan. Terkadang disertai dengan limfadenopati
regional dan limfadenitis. Bentuk lain dari penyakit lokal akut termasuk
parotitis supuratif / abses parotis, ulkus kornea destruktif yang terlihat setelah
trauma kornea, dan selulitis atau infeksi yang menyerupai fasciitis nekrosis.

8
Infeksi genitalia sering diartikan sebagai abses prostat. Infeksi lokal dapat
menyebar, namun infeksi sistemik tidak selalu didahului oleh tanda-tanda
lokal. Infeksi kulit dan subkutan juga dapat terjadi akibat penyebaran
organisme secara hematogen dari tempat lain.4,6

Penyakit paru merupakan sindroma umum pada manusia. Hal ini dapat
terjadi baik sebagai sindrom primer atau komponen septikemia, dan dapat
terjadi baik secara tiba-tiba atau bertahap setelah penyakit prodromal
nonspesifik. Paru-paru melioidosis berkisar pada tingkat keparahan dari
pneumonia akut atau subakut ringan sampai distres pernapasan dengan syok
septik yang luar biasa. Gejala umum meliputi demam, batuk, nyeri dada, dan
pada beberapa kasus, hemoptisis. Namun, pasien dengan pneumonia sebagai
komponen septikemia sering mengalami batuk ringan atau nyeri pleura.
Melioidosis paru kronis bisa menyerupai tuberkulosis, dengan penurunan
berat badan, demam, berkeringat di malam hari, dan batuk produktif, kadang
dengan dahak yang diwarnai darah. Lesi dan nodul ulseratif kadang ditemukan
di hidung, dan septum bisa berlubang. Komplikasi dapat meliputi
pneumotoraks, empiema dan perikarditis. Kasus yang tidak diobati dapat
berlanjut ke septikemia.1,4

9
Septikemia adalah bentuk melioidosis yang paling serius. Hal ini paling
sering terjadi pada orang dengan penyakit yang sudah ada seperti diabetes,
kanker dan gagal ginjal. Onsetnya biasanya akut, disertai demam, tanda khas
sepsis lainnya. Namun, hal itu mungkin berkembang lebih bertahap pada
beberapa pasien, dengan demam berfluktuasi yang sering dikaitkan dengan
penurunan berat badan yang parah. Gejala umum melioidosis septikemia
meliputi demam, sakit kepala parah, disorientasi, faringitis, sakit perut bagian
atas, diare, sakit kuning dan nyeri otot yang menonjol. Tanda-tanda pulmonal
termasuk dispnea sering terjadi, dan radang sendi atau meningitis dapat
terlihat. Beberapa pasien mengalami ruam pustular yang luas dengan
limfadenopati regional, selulitis atau limfangitis. Syok septik sering terjadi
dan mengancam jiwa.4,6
Pada kasus kronis, abses dan lesi supuratif dapat terjadi pada berbagai
organ. Meskipun hati, limpa, otot rangka dan kelenjar prostat sering
terpengaruh, lesi dapat ditemukan pada berbagai organ lain termasuk kulit,
paru-paru, ginjal, miokardium, tulang, sendi, kelenjar getah bening dan testis.
Pada kasus yang jarang, melioidosis dapat menyebabkan abses otak,
encephalomyelitis (dengan berbagai sindrom termasuk kelumpuhan) atau
meningitis.4

10
1.6. Diagnosis
Diagnosis melioidosis sulit dilakukan hanya berdasarkan gejala klinis
saja. Diagnosis definitif melioidosis dengan mendapatkan hasil kultur B.
pseudomallei yang positif, sehingga untuk menegakkan diagnosisnya
memerlukan fasilitas yang relatif canggih, yang tidak tersedia di banyak
daerah endemik. B. pseudomallei terkadang sulit diidentifikasi dengan tepat,
dan juga terkadang hanya dianggap sebagai kontaminan, sehingga dapat
menyebabkan kesalahan dalam diagnosis. Karena potensi terjadi latensi,
diagnosis harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang pernah
mengunjungi daerah endemik yang datang dengan septikemia atau abses,
terutama jika ada bukti dari penyakit yang mendasari seperti diabetes
melitus.6

a. Mikroskopik dan Kultur


Mikroorganisme harus dicari baik di dalam darah, pus, swab tenggorok,
sputum, urin, atau spesimen lainnya yang sesuai dengan gambaran klinis.
Mikroskopik dari pewarnaan gram dapat terlihat bentuk batang bipolar
(seperti peniti) gram-negatif, namun pewarnaan gram memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang rendah. Konfirmasi diagnosis melioidosis sangat
bergantung pada laboratorium mikrobiologi klinik, dan secara khusus untuk
mendapatkan isolat B. pseudomallei dari kultur darah, dahak, cairan
serebrospinal, atau specimen lainnya. Jumlah bakteri dalam darah vena
(CFU/mL) dapat mencapai jumlah yang tinggi selama septikemia dan B.

11
pseudomallei dapat tumbuh dengan baik, sehingga metode kultur darah
konvensional merupakan cara yang efektif untuk menegakkan diagnosis
bakteriologis. Sampel dari tempat yang tidak steril biasanya kurang
membantu karena jumlah B. pseudomallei mungkin jauh lebih rendah, dan
pertumbuhannya dapat terhambat oleh sejumlah besar spesies bakteri
komensal. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan penggunaan agar selektif untuk
menekan pertumbuhan bakteri komensal. Media yang dapat digunakan adalah
Agar Selektif Ashdown (ASA) atau Agar Selektif B. pseudomallei (BPSA).

Di laboratorium, B. pseudomallei tumbuh secara aerob dan koloninya dapat


terlihat jelas dalam waktu 48 jam pada media selektif pada suhu 37C. ASA
merupakan agar selektif yang mengandung kristal violet, gliserol, dan
gentamisin. Media ini sering digunakan untuk kultur B. pseudomallei.
Identifikasi kultur dapat dilakukan dengan menggunakan uji biokimia
konvensional, kit komersial (API, Vitek), atau uji lateks aglutinasi.6,8

b. Deteksi Antigen dan Asam Nukleat


Beberapa teknik diagnostik cepat untuk deteksi antigen B. pseudomallei
telah dikembangkan, tetapi sebagian besar memiliki sensitivitas yang kurang
optimal bila digunakan secara langsung pada sampel klinis dan/atau teknik ini
tidak tersedia secara luas. Uji Polymerase Chain Reaction (PCR)
konvensional yang menargetkan gen 16S rRNA untuk deteksi B.
pseudomallei pada spesimen klinis dilaporkan memiliki sensitivitas
diagnostik yang tinggi, tetapi spesifisitasnya kurang. Beberapa uji real-time
PCR telah dikembangkan, dan dua di antaranya telah mengalami evaluasi

12
klinis untuk deteksi B. pseudomallei pada specimen klinis. Salah satu uji
memiliki sensitivitas diagnostik 91%, tetapi yang kedua memiliki sensitivitas
yang jauh lebih rendah, yaitu 61%. Sensitivitas diagnostik PCR tertinggi pada
spesimen pus dan yang rendah pada specimen darah. Loop-mediated
isothermal amplification (LAMP) juga telah dikembangkan untuk mendeteksi
B. pseudomallei, dan pada evaluasi klinis terbukti memiliki sensitivitas
diagnostik 44%. Saat ini, diagnostik molekuler tidak cukup sensitif untuk
menggantikan peran kultur untuk menegakkan diagnosis melioidosis.6,8

c. Deteksi Antibodi
Uji sero-diagnosis yang paling banyak digunakan di daerah endemik
adalah uji hemaglutinasi tidak langsung (IHA) dan Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA). Uji ini kurang standar, dan ada variasi antar-
laboratorium yang cukup besar antara titer yang dianggap positif. Pada fase
akut uji IHA dan ELISA seringkali negatif. IHA dan tes serologi lain yang
saat ini tersedia tidak bermanfaat di daerah endemic melioidosis endemik,
karena populasi penduduk yang sehat sering sero-positif. Pengujian serologi
mungkin memiliki utilitas diagnostik yang lebih besar pada orang yang
biasanya tidak berada di daerah endemic melioidosis, termasuk pekerja
laboratorium yang terpapar B. pseudomallei. Perbedaan titer IHA telah
digunakan untuk menyimpulkan hasil yang positif, tetapi peningkatan titer
tunggal (> 1: 40) atau kenaikan titer pada seseorang dari daerah non-endemik,
dapat mengarahkan adanya infeksi B. pseudomallei. Hasil tes serologi negatif
tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi, karena didapatkan juga beberapa
pasien dengan melioidosis yang terbukti dengan kultur, tetapi tidak memiliki
antibodi yang terdeteksi. 6,8

1.7. Tata Laksana


Sebelum memilih pendekatan farmakologis untuk mengobati
Melioidosis, diagnosis yang tepat harus dilakukan karena penyakit menular
memiliki ciri khas yang serupa dengan Tuberkulosis, Malaria atau

13
Pneumonia. Pendekatan pengobatan dibagi menjadi dua tahap yang
melibatkan fase intensif dan tahap pemberantasan.8

a. Terapi Intensif
Durasi terapi intensif terdiri dari beberapa minggu dan durasi terapi
eradikasi terdiri dari beberapa bulan. Antibiotik ideal yang digunakan untuk
mengobati Melioidosis adalah ceftazidime intravena karena kerjanya yang
cepat sebagai bakterisidal. Ceftazidime diberikan 50mg/kgBB hingga 2 gram
setiap 6-8 jam. Ceftazidime infus melalui kateter sentral disisipkan perifer
(PICC line) menggunakan perangkat infus elastomerik (Baxter, Sydney)
dengan itu telah diperbolehkan untuk lanjut terapi di rumah. Tidak adanya
efek post antibiotik dengan ceftazidime infus terus menerus sebagai
keuntungan teoritis lebih dari dosis intermiten. Selain Ceftazidime,
Carbapenem (meropenem atau imipenem) dimana durasi pengobatan paling
sedikit selama 10 hari dapat diberikan sebagai pilihan lain untuk Melioidosis.
Meropenem dengan dosis 25mg/kgBB hingga 1 gram setiap 8 jam per IV atau
Imipenem dengan dosis 25mg/kgBB hingga 1 gram setiap 6 jam per IV.5,8

b. Terapi pemberantasan/eradikasi
Fase ini bertujuan mencegah penyakit kambuh. Durasi minimal terapi ini
diberikan selama 12 minggu atau 3 bulan, trimetoprim sulfamethoxazole
(TMP-SMX) adalah pilihan pertama untuk pengobatan penyakit pada fase ini
jika pasien tidak memiliki riwayat alergi yang diketahui. Fase intensif
dilanjutkan dengan obat oral dengan trimetoprim sulfamethoxazole (TMP-
SMX) 8/20mg/kgBB hingga 320/1600mg setiap 12 jam per oral sebagai
monoterapi, atau terapi kombinasi dengan doksisiklin 2.5mg/kgBB hingga 100
mg settiap 12 jam per oral berlanjut setidaknya selama 12 sampai 20 minggu
pada tahap pemberantasan dengan risiko relaps yang lebih rendah. Durasi
terapi intensif awal harus 10 sampai 14 hari, dengan perawatan lebih lama
diperlukan untuk pasien kritis, penyakit paru luas, abses organ, osteomielitis,
artritis septik, dan melioidosis neurologis. Pengobatan umumnya dimulai

14
dengan terapi antimikroba intravena selama 10-14 hari, diikuti oleh 3-6 bulan
terapi antimikroba oral.5,8

Tabel 1: Pengobatan antibiotik untuk melioidosis

c. Terapi Adjuvan
Operasi drainase biasa dilakukan pada abses dengan lokasi superfisial,
misalnya di kulit maupun subkutan. Untuk organ dalam dengan abses yang
besar, operasi dan drainase diindikasikan, namun biasanya tidak terlalu
diperlukan untuk beberapa abses kecil di limpa dan hati. Abses parotis
memerlukan insisi dan drainase yang dilakukan dengan hati-hati.8

1.8. Komplikasi
Melioidosis hadir dalam berbagai bentuk. Infeksi bisa akut, subakut, atau
kronis. Infeksi paru akut adalah manifestasi melioidosis yang paling umum
dan dapat terjadi akibat penyebaran hematogis atau langsung dari pernafasan;
Infeksi ini bervariasi dari bronkitis ringan hingga pneumonia nekrosis luas.
Onset mereka mungkin mendadak atau bertahap. Demam, batuk produktif,
dan takipnea adalah gejala yang sering terjadi. Infeksi paru yang lebih kronis
dapat terjadi sebagai batuk produktif, hemoptisis, dan demam dengan
berkeringat di malam hari yang sama seperti tuberkulosis. Dari hasil
pemeriksaan foto thoraks biasanya menunjukkan infiltrat lobus paru atas yang
bersifat difus, kadang-kadang dengan kavitas berdinding tipis. Manifestasi
melioidosis umum lainnya adalah infeksi kulit akut dan terlokalisasi dengan

15
ulserasi atau abses yang berhubungan dengan lymphangitis nodular dan
limfadenitis regional. Melioidosis juga dapat terjadi sebagai parotitis
supuratif, terutama pada anak-anak. Di Thailand 40% kasus melioidosis
diiukti dengan parotitis supuratif pada anak-anak. Di Australia dimana telah
dilakukan CT Scan abdominopelvic secara rutin pada semua kasus
melioidosis, menunjukkan abses prostat pada 18% pasien pria dengan
melioidosis. Gejala primernya berupa demam, rasa tidak nyaman pada perut,
disuria dan kadang-kadang retensi urin. Meiloidosis neurologis menyumbang
sekitar 4% kasus di Australia Utara. Perubahan terlihat pada hasil MRI
dimana didapatkan hiperintens T2 di otak tengah, batang otak, dan sumsum
tulang belakang. Invasi bakteri langsung ke otak dan sumsum tulang belakang
terjadi pada encephalomyelitis melioidosis. B. pseudomallei juga dapat
menyebabkan abses hati atau limpa, artritis septik, osteoartelitis, atau infeksi
sistem saraf genitourinari atau sentral, tetapi sangat jarang.5,9-10
Infeksi supuratif akut atau penyakit paru dapat menyebabkan penyebaran
hematogen dan menjadi septikemia akut dari melioidosis. Perkembangan ini
lebih mungkin terjadi pada pasien yang mengalami kelemahan sistem imun,
seperti pada diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis, atau alkoholisme.
Pasien septikemik dapat mengalami tachypnea berat, kebingungan, sakit
kepala, faringitis, diare, dan lesi pustular pada kepala, tubuh, dan ekstremitas.
Kulit mungkin memerah atau sianotik, tanda meningitis atau artritis mungkin
tampak jelas, hati dan limpa dapat membesar, dan sakit otot mungkin
menyerang. Foto dada roegenogram menunjukkan nodular difus yang meluas,
menyatu, dan akhirnya menjadi kavitas.5,10

1.9. Pencegahan
Sterilisasi luka segera pada luka kulit (termasuk luka lecet atau luka
bakar) dan menutup luka dengan perban tahan air agar terlindung dari
kontaminasi potensial. Penderita diabetes dengan lesi kulit tidak
diperbolehkan kontak dengan tanah atau tempat berair di daerah endemis.
Penggunaan sepatu karet dan sarung tangan direkomendasikan bagi siapa saja
yang melakukan pekerjaan pertanian. Penting untuk menjaga kebersihan air

16
melalui desinfeksi secara teratur dan penyimpanan air yang aman (misal
dengan penyaringan dan klorinasi) terutama di daerah endemik. Selain itu
karena B. Pseudomallei dapat ditemukan dalam susu dari ruminansia yang
terinfeksi, maka hanya produk susu pasteurisasi yang harus dikonsumsi.
Petugas kesehatan yang melakukan kontak dengan pasien yang terinfeksi
harus menggunakan masker dan sarung tangan untuk mencegah infeksi. Para
migran dari daerah endemik harus menjalani tes diagnostik.4,5
Tidak ada vaksin yang tersedia untuk penggunaan manusia. Satu-satunya
tindakan pencegahan adalah menghindari paparan organisme di dalam tanah
untuk kelompok berisiko tinggi (misalnya penderita diabetes). Baik
ciprofloxacin dan doksisiklin memberikan perlindungan sebagian saat
diberikan secara profilaksis pada hewan. Meskipun penyebaran orang ke
orang jarang terjadi, isolasi pasien dianjurkan.5,6

1.10. Prognosis
Tingkat keparahan melioidosis dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
kekebalan host, bentuk penyakit, dan dosis dan kemungkinan strain
organisme. Misalnya parotitis supuratif akut atau penyakit kulit lokal pada
anak biasanya memiliki prognosis yang baik. Sebaliknya, syok sepsis
memiliki tingkat mortalitas yang tinggi meskipun dengan terapi yang optimal.
Angka kematian kasus melioidosis telah menurun dalam beberapa tahun
terakhir di beberapa daerah, kemungkinan besar karena diagnosis dini dan
inovasi dalam pengobatan. Perkiraan terbaru dari angka kematian secara
keseluruhan untuk semua pasien melioidosis, sekitar 10% di Australia sampai
40% di Thailand, dan dapat lebih tinggi di daerah lain dimana perawatan
medis dan ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan masih sangat terbatas.
Satu ulasan melaporkan bahwa tingkat kematian kasus 73% pada kasus
melioidosis neonatus. 4

17
BAB III
KESIMPULAN

Melioidosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Burkholderia


pseudomallei (sebelumnya dikenal sebagai Pseudomonas pseudomallei atau basil
Whitmore) yang ditemukan banyak di daerah tropis di dunia. Infeksi B.
Pseudomallei biasanya terjadi melalui kontak langsung dengan sumber
lingkungan (tanah atau air) dengan cara menelan, inokulasi perkutan, atau inhalasi
bakteri. Tidak ada vaksin yang tersedia untuk mencegah melioidosis. Cara terbaik
untuk menghindari infeksi adalah dengan 1) menghindari kontak dengan tanah
atau air yang terkontaminasi dengan menggunakan alas kaki dan sarung tangan
yang sesuai, terutama di daerah endemis melioidosis, 2) menggunakan air bersih
untuk minum, mencuci tangan, dan persiapan makanan 3) Di laboratorium,
bekerja dengan isolat di dalam lemari biosafety dan memakai alat pelindung diri
(misalnya sarung tangan dan masker yang sesuai. Baik manusia maupun hewan
dapat terinfeksi oleh B. Pseudomallei.
Masa inkubasi melioidosis umumnya berkisar 1 3 minggu. Meskipun
beberapa infeksi bersifat asimptomatik, penyakit ini dapat bermanifestasi sebagai
infeksi lokal, paru, atau bakteremia. Pneumonia adalah presentasi klinis yang
paling umum. Tanda dan gejala melioidosis sering meniru penyakit lain (misal
Pneumonia atau TB Paru). Presentasi klinis lainnya bisa berupa lesi kulit, sepsis
atau infeksi dan abses yang melibatkan organ dalam seperti limpa, prostat, ginjal,
atau hati). Selain itu, orang-orang dengan kondisi medis tertentu memiliki risiko
lebih besar untuk mewujudkan gejala penyakit; Oleh karena itu, melioidosis
dianggap sebagai infeksi oportunistik. Kondisi medis yang mempengaruhi orang-
orang untuk melioidosis meliputi diabetes mellitus, alkoholisme, penyakit paru-
paru kronis, penyakit ginjal kronis, penyakit hati, keganasan hematologis,
talasemia, kanker, penggunaan steroid jangka panjang, dan kondisi penekanan
kekebalan non-HIV lainnya.
Konfirmasi melioidosis dicapai dengan isolasi B. pseudomallei dari
spesimen klinis (misal darah, urin, dahak, swab tenggorok, atau nanah dari abses
atau luka). Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting dalam mengurangi

18
tingkat kematian dari penyakit ini, yang bisa sampai 90% pada pasien septik
dengan diagnosis dan pengobatan yang tertunda. Pengobatan melioidosis terdiri
dari dua tahap: fase intensif, dilanjutkan dengan fase eradikasi. Fase intensif
melibatkan terapi antimikroba intravena minimal 10 hari dengan ceftazidime,
meropenem, atau imipenem. Tahap eradikasi terdiri dari terapi oral dengan
trimetoprim-sulfametoksazol (TMP / SMX) selama 3-6 bulan. Terkadang, pada
infeksi kulit kecil, pengobatan dengan oral TMP / SMX saja bisa digunakan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Timothy J.J. Inglis1 and Anastcio Q. Sousa. 2009. The Public Health
Implications of Melioidosis. The Brazilian Journal of Infectious Diseases
13(1):59-66.
2. Joost, W; et al. 2012. medical progress melioidosis. The new england
journal of medicine. Massachusetts medical society
3. Benoit, T; et al. 2015. Melioidosis Cases and Selected Reports of
Occupational Exposures to Burkholderia pseudomallei United States on
2008-2013. MMWR Surveillance summaries Vol. 64 No. 5.
4. The center for food security & Public Health. 2017. Melioidosis,
Pseudoglanders, Whitmore Disease. College of Veterinary Medicine Iowa
State University, Ames, Iowa.
5. Bart J. Currie. 2014. Burkholderia pseudomallei and Burkholderia mallei:
Melioidosis and Glanders. Guideline the northern territory disease control
bulletin vol 21 no 2.
6. Dharmawan, A, Anastasia, M.C. 2016. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Melioidosis. Staf Pengajar Bagian Radiologi FK Ukrida. Jakarta.
7. Allen, C, Cheng, Currie, B.J. 2005. Melioidosis: Epidemiology,
Pathophysiology, and Management Vol. 18 No.2. Menzies School of
Health Research, Charles Darwin University,1 Northern Territory Clinical
School. American Society for Microbiology
8. Mishra, A, Shamsavali, K, Sanathan, S,R, et al. 2017. Challenges In The
Diagnosis And Treatment Of Melioidosis: A Review. European Journal Of
Pharmaceutical And Medical Research. Department of Pharmacy Practice,
JSS College of Pharmacy, Jagadguru Sri Shivarathreeshwara University,
Sri Shivarathreeswara Nagara, Mysuru-570015, Karnataka, India.
9. Puthucheary, SD; FRCPath. 2009. Melioidosis in Malaysia. Med J
Malaysia Vol 64 No. 4.
10. Foong, Y C, Tan M. 2014. Melioidosis : a review. Rural and remote health
14: 2763. Australia

iv

Anda mungkin juga menyukai