Anda di halaman 1dari 19

KEPERAWATAN ANAK II

ASKEP ATRESIA BILIARIS

Dosen Pengampu : Ns. Natalia Devi, S. Kep., M, Kep., Sp. Anak.

Kelompok 9 :

Eka Novita Hidayaningtyas (010117A022)

Merlina Kusumaningtyas (010117A057)

Miftakhul Vivi Barokah (010117A058)

PRODI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

UNGARAN

2019
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomy dan Fungsi Sistem Bilier


Sistem empedu terdiri dari organ-organ dan saluran (saluran empedu, kandung
empedu, dan struktur terkait) yang terlibat dalam produksi dan transportasi
empedu. Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, yang dikumpulkan oleh sistem
saluran yang mengalir dari hati melalui duktus hepatika kanan dan kiri. Saluran ini
akhirnya mengalir ke duktus hepatik umum.
Duktus hepatika kemudian bergabung dengan duktus sistikus dari kantong
empedu untuk membentuk saluran empedu umum, yang berlangsung dari hati ke
duodenum (bagian pertama dari usus kecil). Namun, tidak semua berjalan empedu
langsung ke duodenum. Sekitar 50 persen dari empedu yang dihasilkan oleh hati adalah
pertama disimpan di kantong empedu, organ berbentuk buah pir yang terletak tepat di
bawah hati.
Kemudian, ketika makanan dimakan, kontrak kandung empedu dan melepaskan
empedu ke duodenum disimpan untuk membantu memecah lemak.
Fungsi utama sistem bilier yang meliputi:
 untuk mengeringkan produk limbah dari hati ke duodenum
 untuk membantu dalam pencernaan dengan pelepasan terkontrol empedu
Empedu merupakan cairan kehijauan-kuning (terdiri dari produk-produk limbah,
kolesterol, dan garam empedu) yang disekresikan oleh sel-sel hati untuk melakukan dua
fungsi utama, termasuk yang berikut:
 untuk membawa pergi limbah
 untuk memecah lemak selama pencernaan
Garam empedu adalah komponen aktual yang membantu memecah dan menyerap
lemak. Empedu, yang dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk kotoran, adalah apa yang
memberikan kotoran warna gelapnya coklat (Tim Ohio State University.2011.Sistem
Bilier.Columbus:Medical center).
B. Definisi Atresia Bilier
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-
saluran  yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu
(gallbladder). Ini merupakan kondisi  congenital, yang berarti terjadi  saat kelahiran
(Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier)
Atresia bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik
(Suriadi dan Rita Yulianni, 2006).
Atresia billier merupakan obstruksi total aliran getah empedu yang disebabkan
oleh destruksi atau tidak adanya sebagian saluran empedu ekstrahepatik. (Hull, 2008)
Atresia bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus bilier
ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu.

C. Klasifikasi Atresia Bilier


 Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen
proksimal paten
 Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus
sistikus, dan kandung empedu semuanya)
 Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus, kandung empedu normal
 Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable),
sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya
dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II

D. Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan
kromosom trisomi17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia
bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat
proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali
memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus. Sebuah fakta penting adalah
bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit keturunan.  Kasus dari atresia bilier pernah
terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.
Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama
hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup
satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
 infeksi virus atau bakteri
 masalah dengan sistem kekebalan tubuh
 komponen yang abnormal empedu
 kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
 hepatocelluler dysfunction

E. Manisfestasi Klinik
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala
termasuk:
 Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi
(pigmen empedu) dalam aliran darah.
 Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir.
Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang
bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang
pada dua atau tiga minggu setelah lahir
 Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam
urin.
 Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk
ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat
pembesaran hati.
 Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
 degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan
hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut
dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air
serta gagal tumbuh 

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
 Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
 Gatal-gatal
 Rewel
splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal / Tekanan
darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung,
usus dan limpa ke hati).

F. Patofisiologi
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif  pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu. Obstruksi saluran
bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai
bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi
total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik
adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput
pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena
portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa
gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati  juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah,
yang dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi
secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena tidak
ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat
diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal
tumbuh.Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat
diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan
lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi
berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga
menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung

G. Pemeriksaan Diagnostik
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar
komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis.
Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan
gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuaidengan obstruksi
total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-
GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya,
peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih
mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-
GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai
spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier.
 Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada
pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal
ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
 Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada
tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
 Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan :
protombin time, partial thromboplastin time.
b. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik
yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini
tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan
bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar
asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu
di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
2. Pencitraan
a. Pemeriksaan Ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat
ditingkatkan bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan
puasa, saat minum dan sesudah minum.Bila pada saat atau sesudah minum
kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%)
dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya
kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung
diagnosisatresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b. Sintigrafi Hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium
99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan
dilakukan, kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral,
dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasisintrahepatik pengambilan
isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal,
sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi
ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada
kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke
duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas danspesifisitas pemeriksaan
sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop dihati
dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan
kemungkinanatresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan
petunjuk kuat adanya atresia bilier.Teknik sintigrafi dapat digabung dengan
pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi
mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik
adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c. Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary
Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu
dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran
empedu.
d. Pemeriksaan Kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk
membedakan antara atresia bilier dengan kolestasisintrahepatik. Bila diagnosis
atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi
durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap
sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia
bilier.
3. Biopsi Hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat
diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95%,sehingga  dapat membantu pengambilan keputusan
untuk melakukan laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan untuk penentuan
operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh
diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati.  Bila diameter duktus100
200 u atau 150  400 u maka aliran empedu dapat terjadi.
Desmet dan Ohya menganjurkan agar  dilakukan frozen section pada saat
laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat
dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia
bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah
waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya
proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia
bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak
dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

H. Penatalaksanaan
1. Terapi Medikamentosa 
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu (asamlitokolat), dengan memberikan : 
 Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
 Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil transferase (untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk
oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi
aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai
jadwal pemberian susu. Kolestiraminmemotong siklus enterohepatik asam
empedu sekunder
2. Melindungi hati dari zat toksik,
Dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3
dosis, per oral. Asam ursodeoksikolatmempunyai daya ikat kompetitif terhadap
asam litokolat yang hepatotoksik. 
3. Terapi Nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
 Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)
untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme.
Disamping itu, metabolisme yang dipercepat  akan secara efisien segera
dikonversi menjadi energy untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot,
ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh. Makanan yang
mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega, minyak kelapa, dan
lainnya.
 Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin
A, D, E, K
4. Terapi Bedah
 Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang
mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan
pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung
menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut
prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan
sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.
 Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk
atresia bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis
dalam beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang
bisa bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya akan kembali
normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat
hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan
kemungkianan untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan
atresia bilier.  Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang dapat digunakan
untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok.  Baru-baru ini, telah
dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang
disebut"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi

I. Komplikasi
1. Kolangitis
Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan
aliran empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini
terjadi terutamadalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai
sebanyak 30-60% kasus.Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada
tanda-tanda sepsis (demam, hipotermia,status hemodinamik terganggu), ikterus
yang berulang, feses acholic dan mungkin timbul sakitperut. Diagnosis dapat
dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati.
2. Hipertensi Portal
Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah
portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.
3. Hepatopulmonary Syndrome dan Hipertensi Pulmonal
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau
prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts
pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal inimenyebabkan hipoksia,
sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphyparu. Selain
itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi
penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini
dapat ditegakan oleh echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan
shunts, dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.
4. Keganasan
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul
padapasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk
keganasan harusdilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi
Kasai yang berhasil.
Hasil setelah gagal operasi kasai Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi
Kasai gagal untuk memulihkan aliran empedu,dan pada keadaan ini harus dilakukan
transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua kehidupan, namun
dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi kerusakan dari
hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi untuk transplantasi
hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-kasus
dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang
rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari
sirosis (hepatopulmonary sindrom).
J. Pathway
K. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya
sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya
71,86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka
keberhasilannya hanya 34,43%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka
keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak
termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi, faktor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya
gambaran sirosis pada sediaan histologik hati, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik
yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal. (Dewi, Kristiana.2010.Atresia
bilier)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesa
 Identitas Pasien
Meliputi nama pasien, usia, jenis kelamin
 Keluhan Utama
Pasien masuk rumah dengan keluhan sakitjaundice dalam 2 minggu sampai 2
bulan
 Riwayat Kesehatan sekarang
Pada pasien biasanya terdapat jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen,
hepatomegali, lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
 Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
 Riwayat kesehatan Keluarga

B. Pemeriksaan Fisik
 Status Kesehatan Umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran gelisah atau rewel, tinggi badan, berat
badan, dan tanda-tanda vital
 Mata
Tampak ikterus
 Toraks
Inpeksi adanya sesak nafas, RR meningkat, adanya takikardi
 Abdomen
Tidak ada asistensi, hati teraba 1/3-1/3, konsistensi padat , permukaan rata , pinggir
tajam , tidak ada nyeri tekan , limpa tidak teraba dan perkusi timpani
 Kulit
Adanya Joundice, kulit teraba hangat dan tampak icterus
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Bilirubindirek dalam serum meninggi
 nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
 Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat
bendungan empedu yang luas
 Tidak ada urobilinogen dalam urine
 Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatantransaminasealkalifosfatase (5-
20 kali lipat nilainormal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol
fosfolipidtrigiliserol)
2. Pemeriksaan Diagnostik
 USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenitalpenyebab kolestasis ekstra
hepatic (dapat berupadilatasi kristik saluran empedu)
 Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenumlalu cairan duodenum di
aspirasi. Jika tidak ditemukancairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
 Sintigrafi radio kolophepatobilier untuk mengetahuikemampuan hati
memproduksi empedu danmengekskresikan ke saluran empedu sampai
tercurahke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu diduodenum, maka dapat
berarti terjadi katresiaintrahepatik
 Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklatkehijauan dan noduler.
Kandung empedu mengecilkarena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan
lumenyang jelas.

D. Diagnosa
1. Hypertermi berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsinutrient yang buruk, mual
muntah
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam
jaringan dtandai dengan adanya pruritus
6. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan
dengan penyakit kronis
7. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit dan proses
pembedahan
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Atresiabillier merupakan obliterasi atau hipoflasi satu komponen atau lebih dari
duktusbiliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikteruspersisten dan
kerusakan hati yang bervariasi dari stasis empedu sampai sirosisbillliaris dengan
spenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. Tujuan dari pengobatan atresia bilier
adalah untuk membuat suatu lintasan bagi empedu bila tidak dilakukan penatalaksanaan
secara memadai maka prognosis akan buruk dan kematian akan terjadi dalam 2 tahun
kehidupan. Perawatan pra bedah dan pasca bedah dilakukan sesuai dengan jenis pada
umumnya.
Hal penting lain adalah dukungan bagi orangtua. Orangtua harus mendapat
penjelasan secara detail dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mereka, serta
diberikan dorongan untuk menangani dan merawat anak karena prognosis sering kali
buruk maka mereka juga memerlukan dukungan emosional yang besar. Deteksi dini dari
kemungkinan adanya atresiabilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-
pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan setelah umur 2 bulan.
Bagi penderita atresiabilier prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu
yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu, terdapat beberapa intervensi keperawatan
yang penting bagi anak yang menderita atresiabilier. Penyuluhan yang meliputi semua
aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus
disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan
portoenterostomi, asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap
pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat
dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta
mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin menjadi persoalan
signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam atau
memotong kuku jari-jari tangan.
B. Saran
Kita sebagai perawat sebaiknya dapat memahami dan mengaplikasikan segala
sesuatu yang terjadi tentang penyakit Atresia Bilier yang telah dibahas pada makalah ini
agar dapat tercipta perawat yang profesional dalam menerapkan asuhan keperawanan
secara komprehensif karena diperlukan tindakan deteksi dini kasus atresia bilier dan
penatalksanaanya yang tepat demi tercapainya pertumbuhan fisik dan perkembangan
mental yang optimal bagi penderita atresia bilier.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.


Cowles RA. The Jaundiced infant: Biliary Atresia. In: Coran AG, et al. Peditric Surgery. 7th Ed.
Philadelphia; 2012. Saunders. P1321-30.
Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric Surgery, 4th
Edition. 
Parlin Ringoringo. 1991. Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak,FK UI, RSCM. from: url:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf
/15AtresiaBilier086.html
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. AsuhanKeperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Penebar
Swadaya
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan SistimGastrointestinalDan Hepatobilier.
Salemba Medika
-----, 2008. Buku Ajar KeperawatanPediatrik Wong Edisi 6 Volume 2,Jakarta : EGC Smeltzer,
Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medial bedah 2. (Ed 8). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Yamatakan A, Cazares J, Miyano T. Biliary Atresia. In: Holcomb III GW, Murphy P, Ostlie DJ.
Ashcraft’s Pediatric Surgery. 6th ed. Toronto. 2014. Elsevier, p580-92

Anda mungkin juga menyukai