Anda di halaman 1dari 16

KTI Ikterus obstruktif

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Medis
1. Defenisi
Ikterus adalah perubahan warna jaringan menjadi kuning akibat adanya penimbunan empedu dalam
tubuh,yang biasanya dapat di deteksi pada sklera, kulit, atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin
serum mencapai 2-3 mg/dl, bilirubin serum normal adalah 0,3-1,0 mg/dl. (Price & Wilson, 2006)
Ikterus obstruktif itu sendiri adalah ikterus yang disebabkan oleh obstruksi sekresi bilirubin yang
dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal. Akibat hambatan tersebut
terjadi regurgitasi bilirubin ke dalam aliran darah, sehingga terjadilah ikterus (Anonim, 2008).
Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana kondisi ini akan
menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri (Sherly, 2008).
Dengan demikian, ikterus obstruktif merupakan jaundice atau kekuningan yang disebabkan oleh
obstruksi yang menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum
2. Etiologi
Ikterus obstruktif dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel hati ) dan ekstrahepatik ( mengenai
saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa.
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatik adalah penyakit hepatoseluler dengan kerusakan
sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan
dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit
hepatoseluler biasanya mengganggu semua fase metabolisme bilirubin ambilan, konjugasi, dan
ekskresi, tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol adalah
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik yang lebih jarang adalah
pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin Jhonson serta sindrom Rotor (jarang
terjadi). Pada kedaan ini terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membran hepatosit yang
menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel, obat yang sering mencetuskan gangguan ini
adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin.
b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada
ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas manyebabkan tekanan pada duktus
koledokus dari luar; demikian juga dengan karsinoma ampula vateri. Penyebab yang lebih jarang
adalah ikterus pasca peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta
hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus
kanan atau kiri. (Price & Wilson, 2006)
3. Insiden
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
1) Hepatitis A (HAV) : Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak atau terjadi akibat kontak dengan
orang terinveksi melalui kontaminasi feces pada makanan atau air minum.
2) Hepatitis B (HBV) : Infeksi terutama terjadi pada usia dewasa
3) Hepatitis C (HCV) : Diyakini terutama ditularkan melalui parenteral dan kemungkinan melalui
pemakaian obat IV dan tranfusi darah.
4) Hepatitis D (HDV) : Terutama menyerang pengguna obat melalui intravena.
5) Hepaitis E (HEV) : Penyakit ini paling sering menyerang usia dewasa muda sampai petengahan.
6) Hepatitis F dan G (HFV dan HGV) : Walaupun telah di klasifikasikan denagn nama HFV, namun
belum dipastikan bahwa virus hepatitis F benar-benar ada. Kelompok yang beresiko tertular HGV
adalah individu yang telah menjalani tranfusi darah, tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja,
pengguna obat intravena dan pasien hemodialisis.
b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu. Jumlah wanita
yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu adalah empat kali lebih banyak dari
pada laki-laki. Biasanya wanita tersebut berusia lebih dari 40 tahun, multpara dan obesitas. Insidens
pembentukan batu empedu meningkat pada para pengguna pil kontrasepsi, estrogen dan klofibrat
yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Insidens pembentukan batu meningkat
bersamaan dengan pertambahan umur. Peningkatan insidens ini terjadi akibat bertambahnya sekresi

kolesterol oleh hati dan menurunnya sntesis asam empedu. Disamping itu resiko terbentuknya batu
empedu juga meningkat akibat malabsorpsi garam-garam empedu pada klien dengan penyakit
gastrointestinal atau fistula T-tube atau pada pasien yang pernah menjalani operasi pintasan atau
reseksi ileum. Insidens ini juga meningkat pada para penyandang penyakit diabetes. (Smeltzer &
Bare, 2002 )
4. Anatomi fisiologi sistem pencernaana. Stomach (Lambung)
Lambung merupakan bagian dari saluran gastrointestinal (GI) bagian atas abdomen sebelah kiri dari
garis tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung yang dapat
berdistensi dengan kapasitas kira-kira 1500 ml. Inlet lambung disebut pertemuan esofagogastrik.
Bagian ini dikelilingi oleh cincin dan otot halus disebut sfingter esofagus bawah (atau sfingter kardia),
yang pada saat kontraksi, menutup lambung dari esofagus. Lambung dapat dibagi dalam ke dalam
empat bagian anatomis : kardia (jalan masuk), fundus, dan pilorus (outlet). Otot halus sirkuler di
dinding pilorus membentuk sfingter piloris dan mengontrol lubang diantara lambung dan usus halus.
b. Duodenum
Duodenum merupakan bagian atas dari usus halus. Sedangkan usus halus sendiri adalah segmen
paling panjang dari saluran GI, yang jumlah panjangnya kira-kira dua pertiga dari panjang total
saluran. Bagian ini membalik dan melipat diri yang memungkinkan kira-kira 7000 cm area permukaan
untuk sekresi dan absorpsi. Usus halus dibagi kedalam tiga bagian anatomik: bagian atas, disebut
duodenum; bagian tengah disebut yeyenum; dan bagian bawah disebut ileum. Duktus koledokus
yang memungkinkan untuk saluran baik empedu dan sekresi pankreas, untuk mengosongkan diri
kedalam duodenum pada mpula Vater.
c. Liver (Hati)
Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh, dapat dianggap sebagai sebuah pabrik kimia yang
membuat, menyimpan, mengubah dan mengekskresikan sejumlah besar substansi yang terlibat
dalam metobolisme. Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen
daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gram,dan dibagi menjadi 4 lobus. Setiap lobus
terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus dan membagi massa
hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, disebut lobulus.
d. Gallbladder (Kandung Empedu)
Kandung empedu (vesika felea) merupakan organ berbentuk seperti buah pir, berongga dan
menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam suatu cekungan yang dangkal
pada permukaan inferior hati di mana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar.
Kapasitas kandung empedu adalah 30 hingga 50 ml empedu. Dindingnya terutama tersusun dari otot
polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat duktus sistikus. Adapun fungsi
kandung empedu adalah sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di antara saat-saat makan,
ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung
empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding kandung
empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali dari
konsentrasi saat disekresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum
akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang memungkinkan empedu
mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantarai oleh sekresi hormon kolesistokininpankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus. (Smeltzer & Bare, 2002 )
5. Patofisiologi
a. Ikterus Obstruktif intrahepatik
Pada penderita hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, dan hepatitis D yaitu masuknya mikroorganisme
ke dalam tubuh melalui membran mukosa/merusak kulit untuk mencapai hati. Di hati replikasi 26
minggu/sampai 6 bulan penjamu mengalami gejala. Beberapa infeksi tidak terlihat untuk yang
mengalami gejala : tingkat kerusakan hati dan hubungannya dengan demam yang diikuti dengan
kekuningan, artritis, nyeri perut dan mual. Pada kasus yang ekstrim dapat terjadi kerusakan pada hati
(hepatomegali).
b. Ikterus Obstrukif Ekstrahepatik
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen dan batu yang
terutama dari kolesterol.
1) Batu Pigmen
Kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak terkonjugasi dalam empedu mengadakan
presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Batu ini bertanggung jawab atas sepertiga dari klienklien batu empedu di Amerika Serikat. Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada
pasien serosis, hemolisis dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus

dikeluarkan dengan jalan operasi.


2) Batu kolesterol
Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu yang bersifat tidak larut dalam air.
Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada klien
yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sntesis asam empedu dan
peningkatan sistesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu
oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan membentuk batu. Getah
empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan
berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu.
6. Manifestasi klinik
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
Terdapat tiga fase :
1) Fase pra-ikterik
Periode dimana infektivitas paling besar. Gejala meliputi mual, muntah, diare, konstipasi, penurunan
berat badan, malaise, sakit kepala, demam ringan, sakit sendi, ruam kulit.
2) Fase ikterik-jaundice (temuan paling menonjol).
Urine gelap berkabut (disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin), hepatomegali dengan nyeri
tekan, pembesaran nodus limfa, pruritus (akibat akumulasi garam empedu pada kulit); gejala fase
pra-ikterik berkurang sesuai menonjolnya gejala.
3) Fase pasca ikterik.
Gejala sebelumnya berkurang tetapi kelelahan berlanjut; empat bulan diperlukan untuk pemulihan
komplit.
b. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala yaitu
gejala yang disebabkan oleh kandung empedu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada
lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis seperti:
1) Gangguan epigrastrium seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran
kanan. Gejala ini dapat terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau
digoreng.
2) Rasa nyeri dan kolik bilier.
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan
akhirnya infeksi. Klien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen.
Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang
menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah
dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan makanan dalam porsi besar.
3) Ikterus
Ikterus dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan persentase yang kecil
dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam
duodenum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit
4) Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak
lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu dan biasanya pekat yang disebut claycolored
5) Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu abosorpsi vitamin A,D,E dan K yang larut lemak. Karena
itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamn ini jika obstruksi bilier berjalan lama.
Defisiensi vitamin A dapat menggangu pembekuan darah yang normal. (Smeltzer & Bare, 2002 )
7. Pemeriksan diagnostik
a. Ikterus Obstruktif Intrahepatik
1) Tes fungsi hati : Abnormal (4-10 kali dari normal). Catatan : Merupakan batasan nilai untuk
membedakan hepatitis virus dari non virus.
2) AST (SGOT)/ALT(SGPT) : Awalnya meningkat. Dapat meningkat dalam 1-2 minggu sebelum ikterik
kemudian tampak menurun.
3) Darah lengkap : SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati)
atau mengakibatkan perdarahan.
4) Leukopenia : Trombositopenia mungkin ada (splenomegali).

5) Diferensial darah lengkap : Leukositosis, monositosis, limfosit atipikal, dan sel plasma.
6) Alkali fosfatase : Agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat).
7) Feces : Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
8) Albumin serum : Menurun.
9) Gula darah : Hiperglikemia transien/hipoglikemia (gangguan fungsi hati).
10) Anti HAV IgM : Positif pada tipe A.
11) HbsAG : Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A).
12) Masa protrombin : Mungkin memanjang (disfungsi hati).
13) Bilirubin serum : Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk mungkin
berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler).
14) Biopsi hati : Menunjukkan diagnosis dan luasnya nekrosis.
15) Skan hati : Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkim.
16) Urinalisa : Peninggian kadar bilirubin; protein/hematuri dapat terjadi.
b. Ikterus Obstruktif Estrahepatik
1) Foto polos abdomen.
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu dikandung empedu atau di duktus koledokus.
Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat keadaan secara keseluruhan dalam
rongga abdomen.
2) Ultrasonografi (USG).
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang menyebabkan kholestasis.
Pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga
dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus obstruksi atau ikterus non obstruksi. Apabila
terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat
duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian proximal.
3) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP).
ERCP merupakan tindakan yang langsung dan invasif untuk mempelajari traktus biliaris dan sistem
duktus pankreatikus. Ditangan yang berpengalaman ERCP mempunyai keberhasilan yang cukup
tinggi dan tingkat keakuratan atau ketepatan kurang lebih 90%.
4) Magnetic Resonance Cholangiopancreaotography (MRCP)
MRCP adalah pemeriksaan duktus biliaris dan duktus pankreatikus dengan memakai pesawat MRI.
Dengan memakai heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan yang menetap
pada duktus biliaris dan duktus pankreatikus.
5) Percutaneus Transhepatik Cholangiography (PTC)
PTC merupakan sarana diagnosis invasif untuk membedakan ikterus obstruktif ekstra dan intra
hepatik serta menentukan lokasi sumbatan dan juga pada kebanyakan kasus etiologi dari pada
obstruksi lainnya. Gambaran saluran empedu yang diperoleh PTC tidak hanya memberikan informasi
mengenai saluran empedu tetapi juga mempermudah menduga penyebabnya, sehingga dapat
menjadi pedoman bagi ahli bedah dalam perencanaan operasinya.
6) Percutaneus Transhepatic Billiary Drainage (PTBD)
Teknik sama dengan PTC hanya di sini kateter masuk sampai melampaui obstruksi dan bisa sampai
duodenum. Lebih ke arah terapi, karena flow dan cairan empedu masuk ke dalam side hole dari
kateter.
7) CT-Scan
Pemeriksaan CT Scan mengenai tractus biliaris banyak dilakukan untuk melengkapi data suatu
pemeriksaan sonografi yang telah dilakukan sebelumnya. Secara khusus CT Scan dilakukan guna
menegaskan tingkat atau penyebab yang tepat adanya obstruksi/kelainan pada saluran empedu.
Dalam hal ini CT Scan dinilai untuk membedakan antara ikterus obstruktif, apakah intra atau ekstra
hepatik dengan memperhatikan adanya dilatasi dari duktus biliaris.
8) Pemerisaan Laboratorium.
a) Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4 mg/ml), Normal = 0,1-0,3 mg/ml.
b) Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (> 0,8 mg/ml), Normal = 0,2-0,8 mg/ml.
c) Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan bilirubin urin (konsentrasi tinggi dalam darah).
d) Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung pada kemampuan hati untuk mengabsorbsi
urobilinogen dari sistem portal, Normal = 0-4 mg/hari.
e) Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal = 40-280 mg/hari, karena tidak mencapai
usus.
f) Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak dapat diekskresi ke kandung empedu
secara normal.
g) Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan level kolesterol mengindikasikan
ketidakmampuan hati untuk mensintesisnya.

h) Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di kulit, sehingga menimbulkan pruritus.
i) Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik) dikarenakan penurunan absorbsi vitamin
K.
8. Penanganan medik
a. Ikterus Obstruktif Intrahepatik
Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepetitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting
dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang paling
dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama
fase akut bila pasien terus menerus muntah. Aktifitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala
mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
b. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik
Operasi pengangkatan kandung empedu melalui pembedahan tradisional dianggap sebagai cara
pendekatan yang baku dalam penatalaksanaan penyakit ini. Namun demikian, perubahan dramatis
telah terjadi dalam penatalaksanaan bedah dan nonbedah terhadap penatalaksanaan kandung
empedu.
1) Penatalaksanaan Nonbedah
a) Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut biasanya dibatasi pada makanan cair
rendah lemak. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim.
Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau
ketela, daging tanpa lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi
atau teh.
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya mengalami
intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointestinal ringan.
b) Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk
melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol.
Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan asam kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek
samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek yang sama.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga
terjadi desaturasi getah empedu.
c) Pelarutan Batu Empedu
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu
bahan pelarut (Monooktanion atau Metal Tertier Butil Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu. Pelarut
tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan
langsung ke dalam kandung empedu; melaui selang atau drain yang dimasukan melalui saluran Ttube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP
(Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography); atau kateter bilier transnalas.
d) Pengangkatan Nonbedah
Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat
cholesistektomy atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Sebuah kateter dan alat disertai jaring
yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistule yang terbentuk pada saat
insersi T-tube, jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus
koledokus.
e) Extracorporeal Shock-Wafe Lithotripsy (ESWL)
Prosedur litotripsi atau ESWL ini telah berhasil memecah batu empedu tanpa pembedahan. Prosedur
noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) kepada batu empedu
di dalam kandung empedu atau duktus koledokus.
f) Litotripsi Intrakorporeal
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat
dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang
dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.
2) Penatalaksanaan Bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk
mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan
untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif kalau gejala yang dirasakan klien sudah
mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien
mengharuskannya.

a) Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan salah satu prosedur yang paling sering dilakukan, di Amerika lebih dari
600.000 orang menjalani pembedahan ini setiap tahunnya. Dalam prosedur ini, kandung empedu
diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.
b) Minikolesistektomi
Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat insisi
selebar 4 cm.
c) Kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik)
Prosedur ini dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui dinding abdomen pada
umbilikus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup dengan gas karbon
dioksida (pneumoperitoneum) untuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah
melihat struktur abdomen.
d) Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.
e) Bedah Kolesistostomi
Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih
luas atau bila reaksi infalamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. (Smeltzer & Bare, 2002 )
B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus
memperhatikan data dasar pasien. Informasi yang didapat dari klien (sumber data primer), data yang
didapat dari orang lain (sumber data sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau laporan
laboratorium, tes diagnostik, keluarga dan orang terdekat atau anggota tim kesehatan lain merupakan
pengkajian data dasar. (A.Azis Alimul Hidayat,2002)
Pengkajian pasien Post Operatif ikterus obstruktif (Doenges,2000) meliputi :
a. Aktifitas/Istirahat
1) Gejala :
a) Kelemahan, atau keletihan
b) Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari; adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas, rasa gatal.
b. Sirkulasi
1) Tanda :
a) Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri).
b) Kulit/membran mukosa: Turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
c) Berkeringat
c. Eliminasi
1) Gejala
Perubahan warna urine dan feses.
2) Tanda
a) Distensi abdomen
b) Teraba massa pada kuadran kanan atas
c) Urine gelap, pekat
d) Feses berwarna seperti tanah liat
d. Makanan dan cairan
1) Gejala
a) Anoreksia, mual/muntah
b) Tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas; regurgitasi berulang, nyeri
epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dispepsia.
c) Bertahak
2) Tanda
Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
e. Nyeri/kenyamanan
1) Gejala
a) Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan.
b) Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.
c) Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit.
2) Tanda
Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan.
f. Pernafasan

1) Tanda
a) Peningkatan frekuensi pernafasan
b) Pernafasan tertekan ditandai oleh nafas pendek, dangkal.
g. Keamanan
1) Tanda
a) Demam, menggigil
b) Ikterik dengan kulit berkeringat dan gatal ( pruritus )
c) Kecendrungan perdarahan ( kekurangan vitamin K )
h. Penyuluhan dan pembelajaran
1) Gejala
a) Kecendrungan keluarga untuk terjadi batu empedu.
b) Adanya kehamilan atau melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias darah
2) Rencana pemulangan
Memerlukan dukungan dalam perubahan diet atau penurunan berat badan3. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien post op ikterus obstruktif adalah sebagai berikut :
a. Nyeri.
b. Gangguan pertukaran gas.
c. Kerusakan integritas kulit.
d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis, dan kebutuhan tindakan.
1. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keparawatan adalah perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi
tindakan-tindakan yang direncanakan oleh perawat. Dalam melaksanakan proses keperawatan harus
bekerjasama dengan tim kesehatan yang lain, keluarga klien dan dengan klien sendiri, yang meliputi
3 hal :
a. Melaksanakan tindakan keperawatan dengan memperhatikan kode etik dengan standar praktek
dan sumber-sumber yang ada.
b. Mengidentifikasi respon klien.
c. Mendokumentasikan/mengevaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan dan respon pasien.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
1) Kebutuhan klien.
2) Dasar dari tindakan.
3) Kemampuan perseorangan dan keahlian/keterampilan dari perawat.
4) Sumber-sumber dari keluarga dan klien sendiri.
5) Sumber-sumber dari instansi.
2. Evaluasi keperawatan.
keperawatan dikatakan berhasil apabila dalam evaluasi terlihat pencapaian kriteria tujuan. Evaluasi
adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan
klien. Tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan proses keperawatan.
Adapun evaluasi klien dengan post op ikterus obstruktif yang dipasangi kateter tetap dilakukan
berdasarkan kriteria tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan asuhan perawatan yang diberikan.

Ikterus Obstruktif (obstructive jaundice)

PENDAHULUAN
Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual.
Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka
panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah
gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya
disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan

gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan,


memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice nonobstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya
membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan.

Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan
evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering
dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 1,3 mg/dL; ketika
levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara
klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin
merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien.

Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel
darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut
ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati
membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphateglucuronyl
transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam
glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin
monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara
aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin
dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal.
Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal
didalam urin.

DEFENISI
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat
akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai
35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik.
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin
untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh
deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.

ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER


Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus biliaris, dan hubungannya
dengan pembuluh darah penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier karena biasanya
terdapat variasi anatomi yang luas. Deskripsi anatomi klasik pada traktus biliaris hanya
muncul pada 58% populasi. Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul

dari tunas ventral (divertikulum hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal
minggu keempat kehidupan. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian
tersebut tumbuh diantara lapisan mesenterik ventral: bagian kranial lebih besar (pars
hepatika) merupakan asal mula hati/hepar, dan bagian kaudal yang lebih kecil (pars
sistika) meluas membentuk kandung empedu, tangkainya menjadi duktus sistikus.
Hubungan awal antara divertikulum hepatikum dan penyempitan foregut, nantinya
membentuk duktus biliaris. Sebagai akibat perubahan posisi duodenum, jalan masuk
duktus biliaris berada disekitar aspek dorsal duodenum.
Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan ekstrahepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar peribilier),
kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik
membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan dan kiri),
duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris
komunis merupakan komponen ekstrahepatik percabangan biliaris.
Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris. Duktus
biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus biliaris
dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal, retroduodenal, dan
intrapankreatik. Duktus biliaris komunis kemudian memasuki dinding medial duodenum,
mengalir secara tangensial melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila
mayor pada bagian kedua duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos
yang membentuk sfingter Oddi. Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum
secara langsung (25%) atau bergabung bersama duktus pankreatikus (75%) untuk
membentuk kanal biasa, yang disebut ampula Vater.
Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular
peribilier. Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus
ini mengalir kedalam sistem vena porta atau langsung kedalam sinusoid hepatikum.
METABOLISME NORMAL BILIRUBIN
Bilirubin berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel retikuloendotelial, cincin
heme setelah dibebaskan dari besi dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna
hijau. Biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini
dikombinasikan dengan albumin membentuk kompleks protein-pigmen dan
ditransportasikan ke dalam sel hati. Bentuk bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum
dikonjugasi atau bilirubin indirek berdasar reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut
dalam air dan tidak dikeluarkan melalui urin. Didalam sel inti hati albumin dipisahkan,
bilirubin dikonjugasikan dengan asam glukoronik yang larut dalam air dan dikeluarkan ke
saluran empedu. Pada reaksi diazo Van den Berg memberikan reaksi langsung sehingga
disebut bilirubin direk.
Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang terlalu banyak,
kekurangmampuan sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit hati, terjadinya
refluks bilirubin direk dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya hambatan

aliran empedu menyebabkan tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan ini
disebut hiperbilirubinemia dengan manifestasi klinis berupa ikterus.

KLASIFIKASI
Gambar 3 berisi daftar skema bagi klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan
post-hepatik. Jaundice obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya
terletak pada jalur metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice
ditunjuk sebagai jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice
hepatik) atau sebuah kondisi pre-hepatik.

DIAGNOSIS
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal,
keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak
dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau
tindakan pembedahan.
Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme bilirubin. Penyakit yang
menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan jaundice
medis seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit,
atau kegagalan ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan jaundice
surgical melalui kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum
meningkatnya produksi bilirubin termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan
hemolisis termasuk sepsis, luka bakar, dan reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi
bilirubin dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan akibat hepatitis virus.
Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral atau
alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat
disebabkan oleh beragam gangguan termasuk koledokolitiasis, striktur bilier benigna,
kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing primer. Ketika
mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu membedakan antara kerusakan pada
ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara medis dari
obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli radiologi
intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus, anamnesis menyeluruh,
pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis non-invasif
membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya. Kolelitiasis
selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan.
Jaundice dari batu duktus biliaris umum

biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan
jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga sebuah
keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu kandung
empedu menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda
stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit
karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai
pada pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan
adanya sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh
tumor (dikenal hukum Courvoisier).
Hukum Courvoisier
Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu
kandung empedu. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor
(tumor pankreas, ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau
limfadenopati portal.

Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum bilirubin
direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap.
Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi
bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi
bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan
hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin
serum biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang
levelnya meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya
biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 8
mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi bilier dan
mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier parsial.
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh
gangguan pada sel-sell hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu.
Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh
sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada
keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat
diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar
melalui urin. Karena itu adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan
aliran empedu daripada kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan

adanya perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran


empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).

Pemeriksaan Penunjang
USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan
yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi
dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa
tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk
deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan
massa tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu
dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan
pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.
Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat
menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas
dan ginjal. Aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari sonografi.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu
empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat
kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit.
Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan
ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan endoskopi
melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran
pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah
ada kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan.
Keterbatasan yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak
dapat dimasuki kanul.
Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya
dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic
Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui
jarum yang ditusukkan ke arah hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila
ujung jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography
(CT) adalah pemeriksaan radiologi yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati.
Adanya kelainan hati dapat diperlihatkan lokasinya dengan tepat.
Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan
biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada

tanda-tanda obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran


saluran empedu.

JAUNDICE OBSTRUKTIF
Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan
terjadinya kolestasis yang disebut sebagai ikterus obstruktif saluran empedu, sebelum
sumbatan melebar. Aktifitas enzim alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan
tanda adanya kolestasis. Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian pembentukan
abses menyertai demam dan septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit
ikterus obstruktif.

Patofisiologi jaundice obstruktif


Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk pencernaan
dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-obatan, dan
metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam komponen endogen dan
produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon.
Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan komponen
empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus halus, dan
cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses biasanya
menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus. Ketiadaan garam
empedu dapat menyebabkan malabsorpsi, mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi
vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi vitamin K bisa mengurangi level protrombin.
Pada kolestasis berkepanjangan, seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa
menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia.
Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin
terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam
empedu berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan
retensi fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi lemak (meskipun
meningkatnya sintesis hati dan menurunnya esterifikasi kolesterol juga punya andil);
level trigliserida sebagian besar tidak terpengaruh.
Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik, disfungsi
mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam empedu
hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan perubahan
sejumlah fungsi sel penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan metabolisme
mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya
produksi oksigen jenis radikal bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif.

Etiologi jaundice obstruktif


Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya
adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu dan cacing
askaris sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam lumen saluran.
Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar tumor
ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu dari luar
menimbulkan gangguan aliran empedu.
Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista
koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur sfingter
papila vater.
Ringkasnya etiologi disebabkan oleh: koledokolitiasis, kolangiokarsinoma, karsinoma
ampulla, karsinoma pankreas, striktur bilier.

Gambaran klinis jaundice obstruktif


Jaundice, urin pekat, feses pucat dan pruritus general merupakan ciri jaundice obstruktif.
Riwayat demam, kolik bilier, dan jaundice intermiten mungkin diduga
kolangitis/koledokolitiasis. Hilangnya berat badan, massa abdomen, nyeri yang menjalar
ke punggung, jaundice yang semakin dalam, mungkin ditimbulkan karsinoma pankreas.
Jaundice yang dalam (dengan rona kehijauan) yang intensitasnya berfluktuasi mungkin
disebabkan karsinoma peri-ampula. Kandung empedu yang teraba membesar pada
pasien jaundice juga diduga sebuah malignansi ekstrahepatik (hukum Couvoissier).

Pemeriksaan pada jaundice obstruktif


1.

Hematologi

Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin terkonjugasi.


Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada kolestasis.
Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu hiperbilirubinemia lebih
rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna ekstra-hepatik. Serum bilirubin
biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase meningkat 10 kali jumlah normal. Transaminase
juga mendadak meningkat 10 kali nilai normal dan menurun dengan cepat begitu
penyebab obstruksi dihilangkan.
Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan kanker
obstruksi lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali fosfatase
meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin tetap normal.
Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada karsinoma
pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun penanda tersebut

tidak spesifik dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak percabangan hepatobilier
lainnya.
1.

Pencitraan

Tujuan dibuat pencitraan adalah: (1) memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu
membuktikan apakah jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik), (2) untuk
menentukan level obstruksi, (3) untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi, (4)
memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang mendasarinya
(misal, informasi staging pada kasus malignansi)
USG : memperlihatkan ukuran duktus biliaris, mendefinisikan level obstruksi,
mengidentifikasi penyebab dan memberikan informasi lain sehubuungan dengan
penyakit (mis, metastase hepatik, kandung empedu, perubahan parenkimal hepatik).
USG : identifikasi obstruksi duktus dengan akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung
empedu dan duktus biliaris yang berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu
kecil atau striktur. Juga dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas,
hepar dan struktur yang mengelilinginya.
CT : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu, pankreas, ginjal dan
retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi intra- dan ekstrahepatik dengan
akurasi 95%. CT dengan kontras digunakan untuk menilai malignansi bilier.
ERCP dan PTC : menyediakan visualisasi langsung level obstruksi. Namun prosedur ini
invasif dan bisa menyebabkan komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis
dan perdarahan.
EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging malignansi
gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang menjadi modalitas penting
dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS juga berguna untuk mendeteksi
dan staging tumor ampula, deteksi mikrolitiasis, koledokolitiasis dan evaluasi striktur
duktus biliaris benigna atau maligna. EUS juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan
biopsi lesi padat.
Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan teknik visualisasi
terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini terutama berguna
pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari
anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP
adalah murni diagnostik.

Penatalaksanaan jaundice obstruktif


Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan ikterus obstruktif bertujuan untuk
menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut
dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor.

Upaya untuk menghilangkan sumbatan dapat dengan tindakan endoskopi baik melalui
papila Vater atau dengan laparoskopi.
Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab
sumbatan, dilakukan tindakan drainase yang bertujuan agar empedu yang terhambat
dapat dialirkan. Drainase dapat dilakukan keluar tubuh misalnya dengan pemasangan
pipa nasobilier, pipa T pada duktus koledokus atau kolesistotomi. Drainase interna dapat
dilakukan dengan membuat pintasan biliodigestif. Drainase interna ini dapat berupa
kolesisto-jejunostomi, koledoko-duodenostomi, koledoko-jejunostomi atau hepatikojejunostomi.

Anda mungkin juga menyukai