PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atresia bilier adalah penyakit serius yang mana ini terjadi pada satu dari 10.000 anak-
anak dan lebih sering terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki dan pada bayi
baru lahir. Penyebab atresia bilier tidak diketahui, dan perawatan hanya sebagian
berhasil. Atresia bilier adalah alasan paling umum untuk pencangkokan hati pada anak-
anak di Amerika Serikat dan sebagian besar dunia Barat (Santoso, Agus.2010. Health
Academy).
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian
atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu.
Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan
bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan
bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila
pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 36%.
Oleh karena itu diagnosis atresia bilier harus ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia
8 minggu (Dr. Parlin.2010. Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).
Kerusakan hati yang timbul dari atresia bilier disebabkan oleh atresia dari saluran-
saluran empedu yang bertanggung jawab untuk mengalirkan empedu dari hati. Empedu
dibuat oleh hati dan melewati saluran empedu dan masuk ke usus di mana ia membantu
mencerna makanan, lemak, dan kolesterol. Hilangnya saluran empedu menyebabkan
empedu untuk tetap di hati. Ketika empedu mulai merusak hati, menyebabkan jaringan
parut dan hilangnya jaringan hati. Akhirnya hati tidak akan dapat bekerja dengan baik dan
sirosis akan terjadi. Setelah gagal hati, pencangkokan hati menjadi perlu. Atresia bilier
dapat menyebabkan kegagalan hati dan kebutuhan untuk transplantasi hati dalam 1 sampai
2 tahun pertama kehidupan (Santoso, Agus.2010. Health Academy).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada
anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita
atresia bilier yang ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun
2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat
kelainan fungsi hati. Sedangkan Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya
antara tahun 1999-2004 dari 19.270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan
penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat
pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian
Amerika (1,5%) Kasus Atresia Bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di
Belanda, 5,1/100.000 kelahiran hidup di Perancis, 6/100.000 kelahiran hidup di Inggris,
6,5/100.000 kelahiran hidup diTexas, 7/100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4/100.000
kelahiran hidup di USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang (Dr.Widodo.2011.
Koran Indonesia Sehat. Jakarta: Yudhasmara).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Atresia bilier?
2. Apa saja klasifikasi dari Atresia bilier?
3. Bagaimana anatomi fisiologi dari sistem empedu?
4. Apa saja etiologi dari Atresia bilier?
5. Bagaimana patofisiologi dari Atresia bilier?
6. Apa saja manifestasi klinis dari Atresia bilier?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Atresia bilier?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari Atresia bilier?
9. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan dari Atresia bilier?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan Atresia bilier?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit Atresia bilier serta pendekatan asuhan
keperawatannya.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui definisi dari Atresia bilier.
2) Untuk mengetahui klasifikasi dari Atresia bilier.
3) Untuk mengetahui anatomi fisiologi dari sistem empedu.
4) Untuk mengetahui etiologi dari Atresia bilier.
5) Untuk mengetahui patofisiologi dari Atresia bilier.
6) Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Atresia bilier.
7) Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Atresia bilier.
8) Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Atresia bilier.
9) Untuk mengetahui komplikasi dari Atresia bilier.
10) Untuk mengetahui bagaimana melakukan asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami Atresia bilier.
D. Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem
endokrin (Atresia bilier) serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan
Atresia bilier.
BAB II
KONSEP TEORITIS
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
II. II a. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanya normal).
II b. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.
Kandung empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable),
sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable).
Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.
C. Anatomi Fisiologi
Sistem empedu terdiri dari organ-organ dan saluran (saluran empedu, kandung
empedu, dan struktur terkait) yang terlibat dalam produksi dan transportasi empedu.
Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, yang dikumpulkan oleh sistem saluran
yang mengalir dari hati melalui duktus hepatika kanan dan kiri. Saluran ini akhirnya
mengalir ke duktus hepatik umum. Duktus hepatika kemudian bergabung dengan duktus
sistikus dari kantong empedu untuk membentuk saluran empedu umum, yang berlangsung
dari hati ke duodenum (bagian pertama dari usus kecil).
Namun, tidak semua berjalan dari empedu langsung ke duodenum. Sekitar 50 persen
dari empedu yang dihasilkan oleh hati adalah pertama disimpan di kantong empedu, organ
berbentuk buah pir yang terletak tepat di bawah hati.
Kemudian, ketika makanan dimakan, kontrak kandung empedu dan melepaskan
empedu ke duodenum disimpan untuk membantu memecah lemak.
E. Patofisiologi
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total
maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering
obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus
koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca
peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena
portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Penyebab sebenarnya atresia billier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau
viral injury bertanggung jawab atas proses progresif yang menimbulkan obliterasi total
saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia billier tidak terlihat pada
janin, bayi yang lahir mati (stillbirth) atau bayi baru lahir. Keadaan ini menunjukkan
bahwa atresia billier terjadi pada akhir kehamilan atau dalam periode perinatal dan
bermanifestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara
progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Akan terjadi berbagai derajat kolestasis yang menimbulkan pruritus
berat. Pembedahan untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang
progresif dapat dikurangi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu ke luar hati dan ke dalam kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk
sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati. Ini akan menyebabkan peradangan,
edema, dan degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis, sirosis, dan hipertensi portal
sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal.
Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang
dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning.
Degenerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin
larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A,D,E,K
dan gagal tumbuh.
Vitamin A,D,E,K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap
oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak
didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan
vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan
efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.
1. Vitamin A
Vitamin A terdapat dalam makanan berwarna kuning-oranye, berdaun hijau gelap
dan dalam bentuk retinol pada makanan yang berasal dari hewan. Wortel, mangga,
labu, pepaya, bayam, brokoli, selada air, kuning telur, susu dan hati adalah makanan
yang kaya vitamin A.
Vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tulang dan jaringan
epitel, meningkatkan kekebalan, dan memerangi radikal bebas (antioksidan).
Kekurangan vitamin A adalah penyebab utama kebutaan pada anak-anak di banyak
negara berkembang.
2. Vitamin D
Ikan berlemak seperti sarden, mackerel, tuna, telur, makanan yang diperkaya
seperti margarin dan sereal adalah sumber vitamin D. Vitamin ini sangat penting untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan tulang karena mengontrol penyerapan kalsium dan
fosfor yang penting untuk metabolisme tulang. Kekurangan vitamin D pada anak-anak
akan menyebabkan penyakit rakhitis, dan pada orang dewasa menyebabkan
osteomalasia, kondisi di mana tulang menjadi lemah dan lunak. Vitamin D dapat
diproduksi tubuh saat kulit menerima ultraviolet dari sinar matahari. Kekurangan
vitamin D dapat terjadi pada mereka yang memiliki diet rendah vitamin D atau jarang
terkena sinar matahari. Dosis besar vitamin dapat menyebabkan kelebihan kalsium,
terutama pada anak-anak, yang mengganggu pembentukan tulang. Namun, hal tersebut
sangat jarang terjadi. Tidak ada rekomendasi mengenai diet vitamin D untuk orang
dewasa yang hidup normal dan cukup terpapar sinar matahari.
3. Vitamin E
Vitamin E hadir dalam minyak wijen, kacang kedelai, beras, jagung dan biji
bunga matahari, kuning telur, kacang-kacangan dan sayuran. Vitamin ini adalah
antioksidan penting yang mencegah penuaan dini sel-sel, merangsang sistem kekebalan
tubuh, mengurangi risiko katarak, melindungi dari penyakit jantung, mencegah
penyakit kanker dan menjaga kesehatan kulit. Kekurangan vitamin E pada manusia
jarang terjadi, kecuali pada bayi prematur dan mereka yang memiliki masalah
pencernaan.
4. Vitamin K
Selada, kubis, kembang kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau
tua adalah sumber terbaik vitamin ini. Vitamin K terlibat dalam pembekuan darah dan
kekurangannya dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam
penyembuhan. Kekurangan vitamin ini jarang terjadi, kecuali pada bayi baru lahir dan
mereka yang memiliki masalah penyerapan atau metabolisme vitamin, seperti penderita
penyakit hati kronis.
F. Manifestasi Klinis
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala
termasuk:
a) Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi
(pigmen empedu) tertahan di dalam hati dan akan dikeluarkan dalam aliran darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir.
Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi
dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada
dua atau tiga minggu setelah lahir
b) Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam
urin.
c) Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk
ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat
pembesaran hati.
d) Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat.
e) degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali,
Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga
menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
b) Gatal-gatal : karena asam empedu yang menumpuk dan menyebar kedalam aliran darah
yang menyebabkan kulit merasa gatal
c) Rewel
d) Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal/Tekanan
darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung,
usus dan limpa ke hati).
G. Pemeriksaan Penunjang
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
a. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati
(darah,urin, tinja).
b. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati.
c. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia
bilier.
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen
bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke
suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum
total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
a) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
b) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
c) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time,
partial thromboplastin time.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang
cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih
baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar
bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam
empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum
dapat menentukan adanya atresia bilier.
2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat
ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa,
saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung
empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat
disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu,
dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier.
Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan,
kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis
selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit
berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier
proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak
terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak
akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik
(penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3
merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung
dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi
mengemukakan bahwa dalam mendeteksi atresia bilier, yang terbaik adalah
menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary
Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam
tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).
Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia
bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan,
dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas
untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan.
Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai
95%, sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi
eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran
empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di
daerah hilus hati. Bila diameter duktus100-200 u atau 150-400 u maka aliran empedu
dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat
laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan.
Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi
bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk
melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran
histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik)
memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia
< 6 minggu.
H. Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asamlitokolat), dengan memberikan :
a. Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk
oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran
empedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310
mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya
ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu,
metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi energy
untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak
dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega,
minyak kelapa, dan lainnya.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D, E,
dan K.
3. Terapi bedah
1) Kasai Prosedur
A. Pengkajian
1. Identitas
Berisi tentang identitas klien dan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan jaundice dalam 2 minggu
sampai 2 bulan, ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi, tinja warna pucat, distensi
abdomen, lemah, bayi tidak mau minum, letargi dan sesak.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella, apakah ibu pernah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.
3) Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
4) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Bagaimana status pertumbuhan pada anak dengan cara menanyakan pada orang
tuanya dan melihat catatan kesehatan tentang ukuran berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar dada dan lingkar kepala. Pada riwayat perkembangan
dapat diketahui melalui penggunaan perkembangan DDST II (Denver
Development Screening Test II)
5) Riwayat imunisasi
Perlu ditanyakan riwayat imunisasi dasar seperti BCG, DPT, Polio, Hepatitis,
Campak maupun imunisasi ulangan (booster).
3. Pemeriksaan fisik
Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to toe yang meliputi:
1) Keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital : Respirasi: meningkat dan Nadi:
takikardi.
2) Kepala
Dapat dinilai bentuk dan ukuran kepala, keadaan rambut dan kulit kepala.
3) Mata
Dinilai keadaan palpebra, konjungtiva anemis atau tidak, sklera ikterik dan
refleks pupil.
4) Telinga
Dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran timpani dan ketajaman
pendengaran.
5) Hidung
Dapat dinilai ada tidaknya epistaksis.
6) Mulut
Dinilai bagaimana keadaan lidah, ada tidaknya radang pada gusi dan mukosa
mulut.
7) Leher
Ada tidaknya kaku kuduk, nadi karotis teraba atau tidak.
8) Dada
Respirasi: adanya peningkatan frekuensi pernapasan, nampak sesak dan ada
tidaknya suara napas tambahan.
Cardiovaskuler: iktus cordis nampak dan teraba atau tidak. Auskultasi bunyi
jantung.
9) Abdomen
Ada distensi abdomen, hepatomegali (+), dan asites.
10) Kulit
Pruritis, jaundice.
4. Pola nutrisi dan eliminasi
Nutrisi: anoreksia, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas,
dehidrasi.
Eliminasi: perubahan warna urin dan feces. Urin: warna gelap seperti teh, pekat.
Feces: warna pucat seperti dempul.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hypertermi berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan gangguan penyerapan lemak.
4. Diare berhubungan dengan mal absorbsi usus.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu
dalam jaringan.
6. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
7. Ansietas berhubungan dengan minimnya informasi tentang penyakit akibat kurang
pengetahuan.
8. Gangguan pertumbuhan berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai zat nutrisi ke
jaringan seperti gangguan penyerapan lemak dan vitamin larut lemak (A, D, E, dan
K).
C. Intervensi
Relaxation therapy:
1. Jelaskan alasan untuk
mengenal relaksasi dan
manfaat, batas dan jenis
relaksasi yang tersedia.
2. Menciptakan
lingkungan yang
tenang, dengan cahaya
redup dan suhu
senyaman mungkin.
8. Gangguan pertumbuhan b/d NOC: NIC:
tidak adekuatnya suplai zat Child development: 1 Development
nutrisi ke jaringan seperti month, 2 month, 4 month, enchancement:
gangguan penyerapan 6 month, 12 month, 2 1. Kaji tingkat tumbuh
lemak dan vitamin larut years, 3 years, 4 years, kembang anak.
lemak (A, D, E, dan K). midle child bood, 2. Ajarkan untuk
adolescence. intervensi awal dengan
terapi rekreasi dan
Setelah dilakukan tindakan aktivitas sekolah.
keperawatan selama ....x.... 3. Berikan aktivitas yang
jam diharapkan gangguan sesuai, menarik dan
pertumbuhan tidak terjadi dapat dilakukan oleh
dengan kriteria hasil: anak.
1. Klien melakukan 4. Rencanakan bersama
keterampilan sesuai anak aktivitas dan
dengan usia. sasaran yang
2. Mampu melakukan ADL memberikan
secara mandiri. kesempatan untuk
3. Menunjukkan peningkatan keberhasilan.
dalam berespon. 5. Berikan pendidikan
kesehatan stimulasi
tumbuh kembang anak
pada keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Markum, A. H. (2013). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Gaya Baru.
NANDA (2015). Diagnosis Keperawatan, definisi dan klasifikasi. Edisi Revisi Jilid 1. EGC.
Jakarta
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2010). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 1. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan. From:url:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2012/02/07/
atresia-bilier waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/
Syamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan
Anak FK UNAIR. Surabaya. 2014. Available from: url:http://www.pediatrik.com/pkb/
20060220-ena504-pkb.pdf