Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atresia bilier adalah penyakit serius yang mana ini terjadi pada satu dari 10.000 anak-
anak dan lebih sering terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki dan pada bayi
baru lahir. Penyebab atresia bilier tidak diketahui, dan perawatan hanya sebagian
berhasil. Atresia bilier adalah alasan paling umum untuk pencangkokan hati pada anak-
anak di Amerika Serikat dan sebagian besar dunia Barat (Santoso, Agus.2010. Health
Academy).
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian
atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu.
Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan
bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan
bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila
pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 36%.
Oleh karena itu diagnosis atresia bilier harus ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia
8 minggu (Dr. Parlin.2010. Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).
Kerusakan hati yang timbul dari atresia bilier disebabkan oleh atresia dari saluran-
saluran empedu yang bertanggung jawab untuk mengalirkan empedu dari hati. Empedu
dibuat oleh hati dan melewati saluran empedu dan masuk ke usus di mana ia membantu
mencerna makanan, lemak, dan kolesterol. Hilangnya saluran empedu menyebabkan
empedu untuk tetap di hati. Ketika empedu mulai merusak hati, menyebabkan jaringan
parut dan hilangnya jaringan hati. Akhirnya hati tidak akan dapat bekerja dengan baik dan
sirosis akan terjadi. Setelah gagal hati, pencangkokan hati menjadi perlu. Atresia bilier
dapat menyebabkan kegagalan hati dan kebutuhan untuk transplantasi hati dalam 1 sampai
2 tahun pertama kehidupan (Santoso, Agus.2010. Health Academy).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada
anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita
atresia bilier yang ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun
2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat
kelainan fungsi hati. Sedangkan Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya
antara tahun 1999-2004 dari 19.270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan
penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat
pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian
Amerika (1,5%) Kasus Atresia Bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di
Belanda, 5,1/100.000 kelahiran hidup di Perancis, 6/100.000 kelahiran hidup di Inggris,
6,5/100.000 kelahiran hidup diTexas, 7/100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4/100.000
kelahiran hidup di USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang (Dr.Widodo.2011.
Koran Indonesia Sehat. Jakarta: Yudhasmara).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Atresia bilier?
2. Apa saja klasifikasi dari Atresia bilier?
3. Bagaimana anatomi fisiologi dari sistem empedu?
4. Apa saja etiologi dari Atresia bilier?
5. Bagaimana patofisiologi dari Atresia bilier?
6. Apa saja manifestasi klinis dari Atresia bilier?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Atresia bilier?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari Atresia bilier?
9. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan dari Atresia bilier?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan Atresia bilier?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit Atresia bilier serta pendekatan asuhan
keperawatannya.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui definisi dari Atresia bilier.
2) Untuk mengetahui klasifikasi dari Atresia bilier.
3) Untuk mengetahui anatomi fisiologi dari sistem empedu.
4) Untuk mengetahui etiologi dari Atresia bilier.
5) Untuk mengetahui patofisiologi dari Atresia bilier.
6) Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Atresia bilier.
7) Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Atresia bilier.
8) Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Atresia bilier.
9) Untuk mengetahui komplikasi dari Atresia bilier.
10) Untuk mengetahui bagaimana melakukan asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami Atresia bilier.

D. Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem
endokrin (Atresia bilier) serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan
Atresia bilier.
BAB II
KONSEP TEORITIS

A. Definisi Atresia bilier


Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-
saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu
(gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran
(Lavanilate.2009. Askep Atresia Bilier).

Atresia Billiary merupakan kelainan yang berkisar dari hipoplasia


segmental/generalisata saluran empedu dan atresia sampai obliterasi lengkap duktur
billiaris ekstra/intra hepatic (David Sabiston, 2009).
Atresia Billiary merupakan obstruksi total aliran empedu karena destruksi/tidak
adanya saluran/sebagian saluran empedu ekstra hepatic (Robbins Contrans, 2009).
Atresia Billiary merupakan kelainan kongenital yang berhubungan dengan kolangio
hepatic intra uteri dimana saluran empedu mengalami fibrosis. Proses ini sering berjalan
terus setelah bayi lahir sehingga prognosis umumnya buruk (Syamsu Hidayat, 2010).
Atresia Billiary adalah tidak adanya/kecilnya lumen pada sebagian/keseluruhan
traktus bilier ekstra hepatic (Ringoringo P, 2010). Jadi Atresia Billiary adalah suatu
keadaan dimana saluran empedu tidak berbentuk atau tidak berkembang secara normal.
Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan
mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus.
Pada Atresia Billiary terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu.
Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati.
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada
duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia
bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus
bilier ekstrahepatik yang menyebabkan inflamasi. Akibatnya di dalam hati dan darah
terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan degenerasi edema hepatic dan
bilirubin direk (Dr. Parlin.2010. Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).
Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa Penyakit Atresia Bilier terjadi pada 1
banding 10 ribu hingga 15 ribu bayi lahir hidup. Dengan angka kelahiran hidup di
Indonesia 4,5 juta pertahun, dari jumlah tersebut diprediksi bayi yang menderita penyakit
tersebut mencapai 300-450 bayi setiap tahunnya. Rasio atresia bilier pada anak perempuan
dan anak laki-laki adalah 1,4 : 1 (Wartapedia.2010).
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala
seperti Ikterus, Jaundice Urin gelap Tinja berwarna pucat, Penurunan berat badan dan ini
berkembang ketika tingkat ikterus meningkat.
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :
1. Perinatal form (Isolated Biliary Atresia)
65 ± 90 % Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8 minggu. Inflamasi
atau peradangan yang progresiv pada saluran empedu extrahepatik timbul setelah lahir.
Bentuk ini tidak muncul bersama kelainan congenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form
10 ± 35 % Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat cepat, dalam 2
minggu kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk pada saat
lahir dan biasanya disertai dengan kelainan congenital lainnya seperti situs inversus,
polysplenia, malrotasi, dan lain-lain.

Atresia bilier ekstrahepatik (wikipedia.2010)


Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan
kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan
splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta.
Atresia bilier atau atresia biliaris ekstrahepatik merupakan proses inflamasi progresif
yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga
pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut.

B. Klasifikasi Atresia bilier


Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :

gambar 1.3 tipe atresia bilier

I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
II. II a. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanya normal).
II b. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.
Kandung empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable),
sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable).
Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.

Atresia Billiary dibagi menjadi 2 bagian yaitu:


a. Atresia Billiary Intra Hepatik
Merupakan atresia yang dapat dikoreksi. Bentuk ini lebih jarang dibandingkan
ekstra hepatik yang hanya 10 % dari penderita atresia. Ditemukan saluran empedu
proksimal yang terbuka lumennya. Tetapi tidak berhubungan dengan duodenum.
Atresia hanya melibatkan duktus koledukus distal. Sirosis bilier terjadi lambat.
b. Atresia Billiary Ekstra Hepatik
Merupakan Atresia yang tidak dapat dikoreksi. Bentuk ini sekitar 90 % dari
penderita atresia. Prognosis buruk menyebabkan kematian. Ditemukan bahwa seluruh
sistem saluran empedu ekstra hepatik mengalami obliterasi sirosis bilier terjadi cepat.
Gejala klinik dan patologik bergantung pada awal proses penyakitnya dan bergantung
pada saat penyakit terdiagnosis. Atresia Ekstra Hepatik terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Embrional :
1/3 penderita atresia ekstra hepatik terjadi pada masa embrional. Awal prosesnya
merusak saluran empedu mulai sejak masa intrauterin hingga saat bayi lahir. Pada
penderita tidak ditemukan masa bebas ikterus setelah periode ikterus neonatorum
fisiologis (2 minggu pertama kelahiran).
2. Perinatal:
2/3 penderita atresia ekstra hepatik terjadi pada masa perinatal. Awal prosesnya
adalah gejala ikterus setelah periode ikterus psikologik menghilang. Kemudian
diteruskan ikterus yang progresif.
3. Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
a. I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
b. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus,
dan kandung empedu semuanya normal).
IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.
Kandung empedu normal.
c. III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke
hilus.Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi
(correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-
correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang
tergolong tipe I dan II.

C. Anatomi Fisiologi
Sistem empedu terdiri dari organ-organ dan saluran (saluran empedu, kandung
empedu, dan struktur terkait) yang terlibat dalam produksi dan transportasi empedu.
Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, yang dikumpulkan oleh sistem saluran
yang mengalir dari hati melalui duktus hepatika kanan dan kiri. Saluran ini akhirnya
mengalir ke duktus hepatik umum. Duktus hepatika kemudian bergabung dengan duktus
sistikus dari kantong empedu untuk membentuk saluran empedu umum, yang berlangsung
dari hati ke duodenum (bagian pertama dari usus kecil).
Namun, tidak semua berjalan dari empedu langsung ke duodenum. Sekitar 50 persen
dari empedu yang dihasilkan oleh hati adalah pertama disimpan di kantong empedu, organ
berbentuk buah pir yang terletak tepat di bawah hati.
Kemudian, ketika makanan dimakan, kontrak kandung empedu dan melepaskan
empedu ke duodenum disimpan untuk membantu memecah lemak.

sistem atresia bilier (Ohio State.2011)

Fungsi utama sistem bilier yang meliputi:


a) Untuk mengeringkan produk limbah dari hati ke duodenum.
b) Untuk membantu dalam pencernaan dengan pelepasan terkontrol empedu
Empedu merupakan cairan kehijauan-kuning (terdiri dari produk-produk limbah,
kolesterol, dan garam empedu) yang disekresikan oleh sel-sel hati untuk melakukan dua
fungsi utama, termasuk yang berikut:
1. Untuk membawa pergi limbah.
2. Untuk memecah lemak selama pencernaan.
Garam empedu adalah komponen aktual yang membantu memecah dan menyerap
lemak. Empedu yang dikeluarkan dari dalam tubuh memberikan warna gelap pada
kotoran (Tim Ohio State University.2011.Sistem Bilier.Columbus:Medical center).
D. Etiologi
Etiologi Atresia Billiary masih belum diketahui dengan pasti. Atresia Billiary terjadi
antara lain karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstra hepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran
empedu. Ada juga sebagian ahli yang menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan,
yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18 dan 21 serta terdapatnya
anomali organ pada 10-30 % kasus Atresia Billiary.
Insiden Atresia Billiary adalah1/10.000 sampai 1/14.000 kelahiran hidup. Rasio
Atresia Billiary pada anak perempuan dan laki-laki adalah + 1,4 : 1.Dari 904 kasus Atresia
Billiary yang terdaftar di lebih dari 100 institusi, Atresia Billiary terdapat pada Ras
Kaukasia (62 %), berkulit hitam (20 %), Hispanik (11 %), Asia (4,2 %) dan Indian
Amerika (1,5 %). Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah
akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali
memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus. Sebuah fakta penting adalah
bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah
terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.
Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama
hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu
atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
a) Infeksi virus atau bakteri.
b) Masalah dengan sistem kekebalan tubuh.
c) Komponen yang abnormal empedu.
d) Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu.
e) Hepatocelluler dysfunction.

E. Patofisiologi
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total
maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering
obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus
koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca
peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena
portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Penyebab sebenarnya atresia billier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau
viral injury bertanggung jawab atas proses progresif yang menimbulkan obliterasi total
saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia billier tidak terlihat pada
janin, bayi yang lahir mati (stillbirth) atau bayi baru lahir. Keadaan ini menunjukkan
bahwa atresia billier terjadi pada akhir kehamilan atau dalam periode perinatal dan
bermanifestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara
progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Akan terjadi berbagai derajat kolestasis yang menimbulkan pruritus
berat. Pembedahan untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang
progresif dapat dikurangi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu ke luar hati dan ke dalam kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk
sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati. Ini akan menyebabkan peradangan,
edema, dan degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis, sirosis, dan hipertensi portal
sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal.
Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang
dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning.
Degenerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin
larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A,D,E,K
dan gagal tumbuh.
Vitamin A,D,E,K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap
oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak
didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan
vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan
efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.
1. Vitamin A
Vitamin A terdapat dalam makanan berwarna kuning-oranye, berdaun hijau gelap
dan dalam bentuk retinol pada makanan yang berasal dari hewan. Wortel, mangga,
labu, pepaya, bayam, brokoli, selada air, kuning telur, susu dan hati adalah makanan
yang kaya vitamin A.
Vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tulang dan jaringan
epitel, meningkatkan kekebalan, dan memerangi radikal bebas (antioksidan).
Kekurangan vitamin A adalah penyebab utama kebutaan pada anak-anak di banyak
negara berkembang.
2. Vitamin D
Ikan berlemak seperti sarden, mackerel, tuna, telur, makanan yang diperkaya
seperti margarin dan sereal adalah sumber vitamin D. Vitamin ini sangat penting untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan tulang karena mengontrol penyerapan kalsium dan
fosfor yang penting untuk metabolisme tulang. Kekurangan vitamin D pada anak-anak
akan menyebabkan penyakit rakhitis, dan pada orang dewasa menyebabkan
osteomalasia, kondisi di mana tulang menjadi lemah dan lunak. Vitamin D dapat
diproduksi tubuh saat kulit menerima ultraviolet dari sinar matahari. Kekurangan
vitamin D dapat terjadi pada mereka yang memiliki diet rendah vitamin D atau jarang
terkena sinar matahari. Dosis besar vitamin dapat menyebabkan kelebihan kalsium,
terutama pada anak-anak, yang mengganggu pembentukan tulang. Namun, hal tersebut
sangat jarang terjadi. Tidak ada rekomendasi mengenai diet vitamin D untuk orang
dewasa yang hidup normal dan cukup terpapar sinar matahari.
3. Vitamin E
Vitamin E hadir dalam minyak wijen, kacang kedelai, beras, jagung dan biji
bunga matahari, kuning telur, kacang-kacangan dan sayuran. Vitamin ini adalah
antioksidan penting yang mencegah penuaan dini sel-sel, merangsang sistem kekebalan
tubuh, mengurangi risiko katarak, melindungi dari penyakit jantung, mencegah
penyakit kanker dan menjaga kesehatan kulit. Kekurangan vitamin E pada manusia
jarang terjadi, kecuali pada bayi prematur dan mereka yang memiliki masalah
pencernaan.
4. Vitamin K
Selada, kubis, kembang kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau
tua adalah sumber terbaik vitamin ini. Vitamin K terlibat dalam pembekuan darah dan
kekurangannya dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam
penyembuhan. Kekurangan vitamin ini jarang terjadi, kecuali pada bayi baru lahir dan
mereka yang memiliki masalah penyerapan atau metabolisme vitamin, seperti penderita
penyakit hati kronis.
F. Manifestasi Klinis
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala
termasuk:
a) Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi
(pigmen empedu) tertahan di dalam hati dan akan dikeluarkan dalam aliran darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir.
Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi
dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada
dua atau tiga minggu setelah lahir
b) Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam
urin.
c) Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk
ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat
pembesaran hati.
d) Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat.
e) degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali,
Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga
menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh.

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
b) Gatal-gatal : karena asam empedu yang menumpuk dan menyebar kedalam aliran darah
yang menyebabkan kulit merasa gatal
c) Rewel
d) Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal/Tekanan
darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung,
usus dan limpa ke hati).
G. Pemeriksaan Penunjang
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
a. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati
(darah,urin, tinja).
b. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati.
c. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia
bilier.

1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen
bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke
suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum
total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
a) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
b) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
c) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time,
partial thromboplastin time.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang
cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih
baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar
bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam
empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum
dapat menentukan adanya atresia bilier.
2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat
ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa,
saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung
empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat
disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu,
dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier.
Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan,
kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis
selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit
berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier
proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak
terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak
akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik
(penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3
merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung
dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi
mengemukakan bahwa dalam mendeteksi atresia bilier, yang terbaik adalah
menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary
Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam
tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).
Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia
bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan,
dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas
untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan.
Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai
95%, sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi
eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran
empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di
daerah hilus hati. Bila diameter duktus100-200 u atau 150-400 u maka aliran empedu
dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat
laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan.
Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi
bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk
melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran
histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik)
memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia
< 6 minggu.

H. Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asamlitokolat), dengan memberikan :
a. Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk
oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran
empedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310
mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya
ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu,
metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi energy
untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak
dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega,
minyak kelapa, dan lainnya.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D, E,
dan K.
3. Terapi bedah
1) Kasai Prosedur

Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan


empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10%
penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan
usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Biasanya
pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu
dilakukan pencangkokan hati.
2) Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia
bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam
beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa
bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya akan kembali normal dalam
waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga
dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak. Kemajuan dalam operasi
transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk dilakukannya
transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari
anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok.
Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang
dewasa, yang disebut "reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk
transplantasi pada anak dengan atresia bilier.

Berdasarkan treatment yang diberikan :


a. Palliative treatment
Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu dengan mempertahankan
fungsi hati dan mencegah komplikasi kegagalan hati.
b. Supportive treatment
- Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang berperan dalam
pembekuan darah dan apabila kekurangan vitamin K dapat menyebabkan
perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan pada
selada, kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau tua adalah
sumber terbaik vitamin ini.
- Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan atresia bilier mengalami
obstruksi aliran dari hati ke dalam usus sehingga menyebabkan lemak dan vitamin
larut lemak tidak dapat diabsorbsi. Oleh karena itu diberikan makanan yang
mengandung medium chain triglycerides (MCT) seperti minyak kelapa.
- Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi toksik yang menyebar
ke dalam darah dan kulit yang mengakibatkan gatal (pruiritis) pada kulit.
- Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga juga turut membantu
dalam memberikan stimulasi perkembangan dan pertumbuhan klien.
I. Komplikasi
1. Kolangitis:
Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran
empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi
terutama dalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak
30-60% kasus. Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda
sepsis (demam, hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang,
feses acholic dan mungkin timbul sakit perut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur
darah dan/atau biopsi hati.
2. Hipertensi portal:
Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah
portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.
3. Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal:
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic
hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada arteri
venosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal ini menyebabkan hipoksia, sianosis, dan
dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphy paru. Selain itu, hipertensi
pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan
dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan oleh
echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan dapat
membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.
4. Keganasan:
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangio carcinomas dapat timbul pada
pasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan
harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang
berhasil.

Hasil setelah gagal operasi Kasai :


Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran
empedu, dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya
dilakukan di tahun kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan
hidup) untuk mengurangi kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari
setengah dari indikasi untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga
mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi
Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau
untuk berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom).
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Berisi tentang identitas klien dan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan jaundice dalam 2 minggu
sampai 2 bulan, ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi, tinja warna pucat, distensi
abdomen, lemah, bayi tidak mau minum, letargi dan sesak.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella, apakah ibu pernah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.
3) Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
4) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Bagaimana status pertumbuhan pada anak dengan cara menanyakan pada orang
tuanya dan melihat catatan kesehatan tentang ukuran berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar dada dan lingkar kepala. Pada riwayat perkembangan
dapat diketahui melalui penggunaan perkembangan DDST II (Denver
Development Screening Test II)
5) Riwayat imunisasi
Perlu ditanyakan riwayat imunisasi dasar seperti BCG, DPT, Polio, Hepatitis,
Campak maupun imunisasi ulangan (booster).
3. Pemeriksaan fisik
Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to toe yang meliputi:
1) Keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital : Respirasi: meningkat dan Nadi:
takikardi.
2) Kepala
Dapat dinilai bentuk dan ukuran kepala, keadaan rambut dan kulit kepala.
3) Mata
Dinilai keadaan palpebra, konjungtiva anemis atau tidak, sklera ikterik dan
refleks pupil.
4) Telinga
Dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran timpani dan ketajaman
pendengaran.
5) Hidung
Dapat dinilai ada tidaknya epistaksis.
6) Mulut
Dinilai bagaimana keadaan lidah, ada tidaknya radang pada gusi dan mukosa
mulut.
7) Leher
Ada tidaknya kaku kuduk, nadi karotis teraba atau tidak.
8) Dada
Respirasi: adanya peningkatan frekuensi pernapasan, nampak sesak dan ada
tidaknya suara napas tambahan.
Cardiovaskuler: iktus cordis nampak dan teraba atau tidak. Auskultasi bunyi
jantung.
9) Abdomen
Ada distensi abdomen, hepatomegali (+), dan asites.
10) Kulit
Pruritis, jaundice.
4. Pola nutrisi dan eliminasi
Nutrisi: anoreksia, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas,
dehidrasi.
Eliminasi: perubahan warna urin dan feces. Urin: warna gelap seperti teh, pekat.
Feces: warna pucat seperti dempul.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hypertermi berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan gangguan penyerapan lemak.
4. Diare berhubungan dengan mal absorbsi usus.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu
dalam jaringan.
6. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
7. Ansietas berhubungan dengan minimnya informasi tentang penyakit akibat kurang
pengetahuan.
8. Gangguan pertumbuhan berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai zat nutrisi ke
jaringan seperti gangguan penyerapan lemak dan vitamin larut lemak (A, D, E, dan
K).

C. Intervensi

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Hipertermi b/d inflamasi NOC: NIC:


akibat kerusakan progresif  Thermoregulasi Fever treatment:
pada duktus bilier 1. Monitor suhu setiap 4
ekstrahepatik. Setelah dilakukan tindakan jam.
keperawatan selama....x.... 2. Monitor penurunan
jam diharapkan suhu tubuh tingkat kesadaran.
bayi kembali normal, dengan 3. Berikan antipiretik.
kriteria hasil: 4. Kompres pasien pada
1. Suhu tubuh dalam rentang lipatan paha dan aksilla.
normal (36,5-37,5oC). 5. Berikan pengobatan
2. Nadi dan respirasi dalam untuk mencegah
rentang normal. terjadinya menggigil.

Vital sign monitor:


1. Monitor nadi, suhu dan
RR.
2. Monitor kualitas dari
nadi.
3. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan.
4. Monitor suara paru.
5. Monitor pola pernapasan
abnormal.
2. Pola nafas tidak efektif b/d NOC: NIC:
peningkatan distensi  Respiratory status: Airway management:
abdomen. ventilation. 1. Posisikan pasien untuk
 Respiratory status: airway memaksimalkan
patency. ventilasi.
 Vital sign status. 2. Keluarkan sekret dengan
suction.
Setelah dilakukan tindakan 3. Auskultasi suara napas,
keperawatan selama ....x.... catat adanya suara napas
jam diharapkan tambahan.
ketidakefektifan pola 4. Kolaborasikan
pernapasan dapat diatasi, pemberian bronkodilator
dengan kriteria hasil: bila perlu.
1. Bayi tidak sesak lagi. 5. Monitor respirasi dan
2. Bayi tenang. status O2.
3. Sekret disaluran napas
tidak ada lagi. Oxygen Therapy:
4. Menunjukkan jalan napas 1. Pertahankan jalan napas
yang paten (tidak ada suara yang paten.
napas abnormal). 2. Atur peralatan
5. Tanda-tanda vital dalam oksigenasi.
rentang normal (TD, Nadi, 3. Monitor aliran oksigen.
respirasi) 4. Observasi adanya tanda-
tanda hipoventilasi.
5. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi.

Vital sign monitor:


1. Monitor nadi dan suhu.
2. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan.
3. Monitor pola
pernapasan abnormal.
4. Monitor sianosis perifer.
3. Ketidakseimbangan NOC: NIC:
nutrisi kurang dari  Nutritional status: food Nutrition management:
kebutuhan tubuh b/d and fluid intake. 1. Kaji adanya alergi
anoreksia dan gangguan makanan.
penyerapan lemak. Setelah dilakukan tindakan 2. Kolaborasi dengan ahli
keperawatan selama ....x.... gizi untuk menentukan
jam diharapkan jumlah kalori dan
ketidakseimbangan nutrisi nutrisi yang dibutuhkan
dapat diatasi dengan kriteria pasien.
hasil: 3. Monitor jumlah nutrisi
1. Diare, anoreksia, muntah dan kandungan kalori.
berhenti. 4. Anjurkan pada ibu
2. Bayi mau disusui. untuk tetap memberikan
3. Tanda-tanda malnutrisi ASI.
tidak ditemukan. 5. Auskultasi bising usus.
4. Tidak terjadi penurunan
berat badan yang berarti. Nutrition monitoring:
1. BB pasien dalam batas
normal.
2. Monitor adanya
penurunan berat badan.
3. Monitor lingkungan
selama makan.
4. Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan.
5. Monitor kulit kering
dan perubahan
pigmentasi.
6. Monitor turgor kulit.
7. Monitor adanya
muntah.
8. Monitor pertumbuhan
dan perkembangan.
4. Diare b/d mal absorbsi NOC: NIC:
usus.  Bowel elimination. Diarhea management:
 Fluid balance. 1. Evaluasi efek samping
 Hydration. pengobatan terhadap
 Electrolyte and acid base gastrointestinal.
balance. 2. Ajarkan orang tua pasien
untuk menggunakan obat
Setelah dilakukan tindakan anti diare.
keperawatan selama ....x.... 3. Instruksikan
jam diharapkan diare tidak pasien/keluarga untuk
terjadi dengan kriteria hasil: mencatat warna, jumlah
1. Feses berbentuk, BAB frekuensi dan konsistensi
sehari sekali selama 3 hari. dari feses.
2. Tidak ada iritasi di bagian 4. Evaluasi intake makanan
rektal. yang masuk.
3. Tidak mengalami diare. 5. Identifikasi faktor
4. Turgor kulit dapat penyebab dari diare.
dipertahankan. 6. Monitor tanda dan gejala
dari diare.
7. Observasi turgor kulit
secara rutin.
8. Ukur diare/keluaran
BAB.
9. Hubungi dokter jika ada
kenaikan bising usus.
10. Instruksikan pasien
untuk makan rendah
serat, tinggi protein dan
tinggi kalori jika
memungkinkan.
11. Instruksikan untuk
menghindari laksatif.
12. Ajarkan tekhnik
menurunkan stress.
13. Monitor persiapan
makanan yang aman.
5. Kerusakan integritas NOC: NIC:
kulit b/d akumulasi  Tissue integrity: skin and Pressure management:
garam empedu dalam mucouse membrane 1. Anjurkan pasien untuk
jaringan  Wound healing: primer menggunakan pakaian
and sekunder yang longgar.
2. Hindari kerutan pada
Setelah dilakukan tindakan tempat tidur.
keperawatan selama ....x.... 3. Jaga kebersihan kulit
jam diharapkan kerusakan agar tetap bersih dan
integritas kulit tidak terjadi kering.
dengan kriteria hasil: 4. Mobilisasi pasien (ubah
1. Integritas kulit yang baik posisi pasien) setiap dua
bisa dipertahankan jam sekali.
(sensasi, elastisitas, 5. Monitor kulit akan
temperatur, hidrasi, adanya kemerahan.
pigmentasi) 6. Oleskan lotion/minyak/
2. Tidak ada luka/lesi pada baby oil pada daerah
kulit. yang tertekan.
3. Perfusi jaringan baik. 7. Monitor aktivitas dan
4. Menunjukkan pemahaman mobilisasi pasien.
dalam proses perbaikan 8. Monitor status nutrisi
kulit dan mencegah pasien.
terjadinya cedera 9. Memandikan pasien
berulang. dengan sabun dan air
5. Mampu melindungi kulit hangat.
dan mempertahankan 10. Kaji lingkungan dan
kelembaban kulit dan peralatan yang
perawatan alami. menyebabkan tekanan.
6. Menunjukkan terjadinya 11. Observasi luka: lokasi,
proses penyembuhan luka. dimensi, kedalaman
luka, karakteristik,
warna cairan, granulasi
jaringan nekrotik, tanda-
tanda infeksi lokal,
formasi traktus.
12. Ajarkan pada keluarga
tentang luka dan
perawatan luka.
13. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKTP,
vitamin.
14. Cegah kontaminasi
feces dan urin.
15. Lakukan tekhnik
perawatan luka dengan
steril.
16. Berikan posisi yang
mengurangi tekanan
pada luka.
6. Kekurangan volume cairan NOC: NIC:
b/d mual dan muntah.  Fluid balance. Fluid management:
 Hydration. 1. Timbang
 Nutritional status: food popok/pembalut jika
and fluid intake. diperlukan.
2. Pertahankan catatan
Setelah dilakukan tindakan intake dan output yang
keperawatan selama ....x.... akurat.
jam diharapkan kekurangan 3. Monitor status hidrasi
volume cairan tidak terjadi (kelembaban membran
dengan kriteria hasil: mukosa, nadi adekuat,
1. Mempertahankan urin tekanan darah
output sesuai dengan usia ortostatik), jika
dan berat badan. diperlukan.
2. Tekanan darah, nadi, suhu
dalam batas normal. Monitor vital sign:
3. Tidak ada tanda-tanda 1. Monitor masukan
dehidrasi, elastisitas turgor makanan/cairan dan
kulit baik, membran hitung intake kalori
mukosa lembab, tidak ada harian.
rasa haus yang berlebihan. 2. Kolaborasikan
pemberian cairan
intravena IV.

Monitor status nutrisi:


1. Dorong masukan oral.
2. Berikan penggantian
nasogatrik sesuai
output.
3. Dorong keluarga untuk
membantu pasien
makan.
4. Tawarkan snack (jus,
buah-buahan).
7. Ansietas b/d minimnya NOC: NIC:
informasi tentang penyakit  Anxiety level. Anxiety reduction
akibat kurang pengetahuan.  Social anxiety level. (penurunan kecemasan):
1. Gunakan pendekatan
Setelah dilakukan tindakan yang menenangkan.
keperawatan selama ....x.... 2. Nyatakan dengan jelas
jam diharapkan ansietas tidak harapan terhadap
terjadi dengan kriteria hasil: perilaku pasien.
1. Klien mampu 3. Jelaskan semua
mengidentifikasi dan prosedur dan apa yang
mengungkapkan gejala dirasakan selama
cemas. prosedur.
2. Mengidentifikasi dan 4. Pahami prefektif pasien
mengungkapkan serta terhadap situasi stres.
menunjukkan tekhnik 5. Temani pasien untuk
untuk mengontrol cemas. memberikan keamanan
3. Tanda-tanda vital dalam dan mengurangi takut.
batas normal. 6. Dengarkan dengan
4. Postur tubuh, ekspresi penuh perhatian.
wajah dan tingkat aktivitas 7. Identifikasi tingkat
menunjukkan kecemasan.
berkurangnya kecemasan. 8. Bantu pasien mengenal
situasi yang
menimbulkan
kecemasan.
9. Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan dan
persepsi.
10. Instruksikan pasien
menggunakan tekhnik
relaksasi.

Relaxation therapy:
1. Jelaskan alasan untuk
mengenal relaksasi dan
manfaat, batas dan jenis
relaksasi yang tersedia.
2. Menciptakan
lingkungan yang
tenang, dengan cahaya
redup dan suhu
senyaman mungkin.
8. Gangguan pertumbuhan b/d NOC: NIC:
tidak adekuatnya suplai zat  Child development: 1 Development
nutrisi ke jaringan seperti month, 2 month, 4 month, enchancement:
gangguan penyerapan 6 month, 12 month, 2 1. Kaji tingkat tumbuh
lemak dan vitamin larut years, 3 years, 4 years, kembang anak.
lemak (A, D, E, dan K). midle child bood, 2. Ajarkan untuk
adolescence. intervensi awal dengan
terapi rekreasi dan
Setelah dilakukan tindakan aktivitas sekolah.
keperawatan selama ....x.... 3. Berikan aktivitas yang
jam diharapkan gangguan sesuai, menarik dan
pertumbuhan tidak terjadi dapat dilakukan oleh
dengan kriteria hasil: anak.
1. Klien melakukan 4. Rencanakan bersama
keterampilan sesuai anak aktivitas dan
dengan usia. sasaran yang
2. Mampu melakukan ADL memberikan
secara mandiri. kesempatan untuk
3. Menunjukkan peningkatan keberhasilan.
dalam berespon. 5. Berikan pendidikan
kesehatan stimulasi
tumbuh kembang anak
pada keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Markum, A. H. (2013). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Gaya Baru.

NANDA (2015). Diagnosis Keperawatan, definisi dan klasifikasi. Edisi Revisi Jilid 1. EGC.
Jakarta

Syamsu Hidayat (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2010). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 1. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI

Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan. From:url:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2012/02/07/
atresia-bilier waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/

Syamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan
Anak FK UNAIR. Surabaya. 2014. Available from: url:http://www.pediatrik.com/pkb/
20060220-ena504-pkb.pdf

Anda mungkin juga menyukai