Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA


TRAUMA KEPALA

Disusun Oleh:
Anggit Sita Devi Baskoro
1461050039

Pembimbing:
dr. Yvonne N.J. Palijana, Sp.Rad, MARS

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


PERIODE 05 NOVEMBER – 08 DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat-NYA sehingga

referat yang berjudul “Pemeriksaan Radiologi Pada Trauma Kepala” dapat diselesaikan.

Referat ini disusun sebagai salah satu syarat dalam memenuhi program studi profesi

kedokteran di bagian Radiologi, Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.

Dengan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut serta

membantu, teman-teman, dan kepada yang terhormat konsulen kami, dr.Yvonne N.J.

Palijama, Sp.Rad, MARS selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini sehingga dapat

selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan

dan masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan saran serta kritik yang

sifatnya membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat untuk semua tenaga medis dan

juga untuk pengembangan ilmu pengetahuan radiologi.

Jakarta, November 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Kepala merupakan bagian yang rentan, oleh karena di dalamnya terdapat susunan

saraf pusat yaitu otak dan medula spinalis. Trauma kepala merupakan salah satu penyebab

kematian dan kecacatan utama pada sekelompok usia produktif. Berdasarkan studi

epidemiologi, kecelakaan sepeda motor dan violence-related injuries merupakan penyebab

trauma kepala yang paling sering. (Mansjoer, A. 2011)

Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degeneratif-non kongenital yang

terjadi akibat trauma yang mencederai kepala yang kemungkinan berakibat gangguan

kognitif, fisik, dan psikososial baik sementara atau permanen yang berhubungan dengan

berkurang atau berubahnya derajat kesadaran. Mekanisme dari cedera kepala itu sendiri dapat

berasal dari cedera langsung ke jaringan otak, rudapaksa luar yang mengenai bagian luar

kepala (tengkorak) yang menjalar ke dalam otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak di

dalam tengkorak.

Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini mungkin agar

tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang baik.

Tujuan utama dari pemeriksaan imaging pada pasien trauma kepala adalah untuk

mengkonfirmasi adakah cedera intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila

tidak segera dilakukan tindakan.

Hadirnya modalitas imaging seperti CT scan telah merevolusi cara mengevaluasi

diagnosa trauma kepala. Penelitian menunjukkan tindakan operasi pada trauma kepala berat

dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat menyelamatkan kurang lebih

70% pasien. Sebaliknya, tingkat mortalitas dapat naik sampai 90% bila tindakan intervensi
dilakukan lebih dari 4 jam. Penegakan diagnosa trauma kepala diperoleh dengan pemeriksaan

klinis awal yang diteliti dan tentu ditunjang oleh diagnosa imaging.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi

II.1.1 Kulit Kepala

Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada

os. occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit

kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri

dari lima lapis jaringan yang terdiri atas skin (kulit), connective tissue (jaringan

ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue

(jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan

scalp (Moore & Agur, 2002)

II.1.2 Tulang Tengkorak

Anatomi normal tengkorak ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Masalah yang paling umum pada foto tengkorak polos adalah membedakan

sutura tengkorak dari alur pembuluh darah dan fraktur. Sutura utama adalah

koronal, sagital, dan lambdoid. Sebuah sutura juga berjalan dalam bentuk pelangi

di atas telinga. Pada orang dewasa, sutura berbentuk simetris dan memiliki tepi

yang sklerotik (sangat putih). Alur vaskular biasanya terlihat pada tampilan

lateral dan meluas pada sisi posterior dan superior dari hanya di depan telinga.

Alur vaskular tersebut merupakan gambaran dari Arteri Meningea Media, yang

mana jika terjadi trauma kepala dapat menyebabkan arteri ini pecah, sehingga

dapat menyebabkan terjadinya perdarahan epidural


II.1.3 Meningen Otak

Otak dan medulla spinalis diliputi oleh tiga membran atau meningen yang

melindungi di dalam tengkorak dan columna vertebralis. Fungsi meningia yaitu

melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan

serebrospinal, dan memperkecil benturan dan getaran. Meningen otak terdiri atas

3 lapisan, yaitu:

a. Dura Mater

Dura mater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari

jaringan ikat tebal dan kuat sehingga mampu melindungi jaringan yang ada

di bawahnya. Secara konvensional, dura mater digambarkan terdiri dari dua

lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan tersebut

bersatu dengan erat, kecuali pada garis-garis tertentu, tempat lapisan ini

berpisah untuk membentuk sinus venosus.

Spasial epidural yaitu ruangan yang terdapat antara permukaan dalam

kranium dengan permukaan luar dura mater. Pendarahan epidural seringkali

terjadi akibat pukulan yang relatif ringan pada sisi kepala yang

mengakibarkan fraktur kepala di daerah pars antero-inferior os. parietalis.

Pendarahan ini disebabkan cedera pada arteri dan vena meningea.

Sedangkan lapisan dura mater dengan arachnoidea mater terdapat spasial

subdural, dimana sering terjadi pendarahan subdural yang disebabkan oleh

robeknya vena cerebri superior tempat masuknya vena ke dalam sinus

sagitalis superior. Biasanya, penyebabnya adalah pukulan pada bagian

depan atau belakang kepala yang hebat.

b. Arachnoidea Mater
Arachnoidea mater merupakan membran yang halus dan bersifat

impermiabel, yang menutupi otak dan terletak antara pia mater di bagian

dalamnya dan dura mater di bagian luar. Selaput ini dipisahkan dari dura

mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater

oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh cairan serebrospinal.

Perdarahan sub arakhnoid umumnya terjadi akibat kebocoran atau robeknya

aneurisma kongenital pada circulus arteriae cerebri, atau adanya kontusia

dan laserasi otak serta meningen.

c. Pia Mater

Pia mater adalah membran vaskula yang diliputi oleh sel-sel

mesotelium yang gepeng. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi

girus-girus, dan turun hingga mencapai bagian sulkus yang paling dalam.

Arteri cerebri masuk ke dalam jaringan otak setelah dibungkus oleh pia

mater.

Gambar 3. Meningeal terdiri atas dura mater, arachnoidea mater dan pia mater
II.1.4 Otak

Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak), terdiri atas semua bagian

Sistem Saraf Pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari

cerebrum, cerebellum, batang otak dan sistem limbik.

Cerebrum merupakan bagian terbesar dan teratas dari otak yang terdiri dari

dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Otak besar terdiri atas

korteks, ganglia basalis, dan sistem limbik. Kedua hemisfer kiri dan kanan

dihubungkan oleh serabut padat yang disebut dengan corpus calosum. Setiap

hemisfer dibagi atas 4 lobus, yaitu lobus frontalis, lobus oksipitialis, lobus

parietalis dan lobus temporalis.

Cerebellum berada pada bagian bawah dan belakang tengkorak dan melekat

pada otak tengah. Hipotalamus mempunyai beberapa pusat dan Thalamus suatu

struktur kompleks tempat integrasi sinyal sensori dan memancarkannya ke

struktur otak diatasnya, terutama ke korteks serebri.

Batang otak terletak diujung atas korda spinalis, berhubungan banyak dengan

korda spinalis. Batang otak terdiri atas diensefalon, mesencephalon, pons varoli

dan medulla oblongata.

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak yang bekerja dalam kaitan

ekspresi perilaku instinktif, emosi dan hasrat-hasrat dan merupakan bagian otak

yang paling sensitif terhadap serangan.

Gambar 3. Anatomi otak

yang terdiri atas cerebrum,

cerebellum, batang otak

dan sistem limbik


II.1.5 Cairan Serebrospinal

Otak dikelilingi oleh ruang cairan cerebrospinal (LCS) internal dan eksternal.

Ruang cairan serebrospinal internal disebut ventrikel. Ventrikel lateral terhubung

ke ventrikel III, ventrikel IV dan kanal sentral spinal cord. Sekitar 650ml cairan

LCS dihasilkan oleh pleksus koroideus dan dialirkan melalui arachnoid vili setiap

harinya. Lesi yang mengakibatkan sumbatan LCS seperti tumor otak dapat

mengakibatkan kompresi serebral, pada anak-anak terjadi akumulasi cairan yang

mengakibatkan hidrosefalus. Blood brain barrier dan blood-CSF barrier

mencegah masuknya sebagian besar zat kecuali CO2, O2, air dan zat-zat lipofilik.

Fungsi utama cairan serebrospinal untuk melinduni otak dalam ruang yang

padat. Apabila terdapat benturan pada kepala tidak terlalu keras, akan

menggerakan seluruh otak dan tengkorak secara serentak, sehingga tidak ada

bagian otak yang berubah bentuk akibat benturan tersebut.

Gambar 4.Cairan cerebrospinal

mengelilingi otak.

II.2 Trauma Kepala

II.2.1 Definisi Trauma Kepala

Trauma kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang

menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan

atau gangguan
fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, trauma

kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang

dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

II.2.2 Mekanisme Trauma Kepala

TBI sering terjadi dari pukulan langsung ke kepala karena kekuatan fisik

eksternal seperti benda tumpul, luka peluru, atau jatuh, cedera pada otak dapat

terjadi tanpa berdampak langsung pada kepala. Mekanisme cedera termasuk

memar (memar) yang terjadi di lokasi benturan, yang dikenal sebagai lesi coup,

dan memar karena kekuatan benturan menyebabkan otak untuk menyerang sisi

berlawanan tengkorak, yang dikenal sebagai lesi countercoup. Jenis cedera kedua

adalah cedera aksonal difus (DAI) yang dihasilkan dari momentum tiba-tiba atau

perubahan gerakan, biasanya dari kecelakaan kendaraan bermotor. DAI terjadi

dari gerakan kepala yang tidak terbatas, dengan otak tertinggal di belakang

gerakan tengkorak, menghasilkan strain geser, tarik, dan tekan. DAI dianggap

mendasari semua bentuk cedera otak traumatis, termasuk TBI ringan, karena

penghancuran neurofilamen dan mikrotubulus menjalankan panjang akson, yang

menyebabkan pembengkakan aksonal dan pemutusan. DAI adalah patologi utama

yang menghasilkan kontinum cedera otak dari ringan hingga berat.

II.2.3 Klasifikasi

Kelainan intrakranial pada trauma kepala dapat diklasifikasikan menjadi primer

atau sekunder.

 Lesi primer terjadi pada saat cedera dan termasuk fraktur tulang tengkorak,

perdarahan ekstraserebral (epidural, subdural, subarachnoid hematom), dan


perdarahan intraserebral (kontusio otak, cedera batang otak, cedera aksonal

difus).

 Lesi sekunder dari trauma kepala sebenarnya adalah komplikasi dari

cedera intrakranial primer. Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi

serebral yaitu sebagian besar merupakan efek sekunder dari trauma kepala,

yang dalam banyak kasus mungkin lebih membahayakan pada pasien

dibandingkan cedera awal.

Cedera otak traumatis diklasifikasikan sebagai penetrasi atau tertutup, dan proses

patofisiologis berbeda untuk masing-masing.

 Cedera Kepala Terbuka

Penetrasi atau cedera kepala terbuka menyebabkan fraktur tengkorak dengan

laserasi atau rusaknya jaringan otak, dan tingkat kematian jauh lebih tinggi

pada jenis cedera kepala ini. Trauma pada tengkorak berasal dari peluru

berkecepatan rendah, tusukan, benda-benda lancip dapat tertanam atau dari

cedera tangensial dimana sebuah objek menabrak tengkorak, menyebabkan

pecahan tulang depresi ke otak.

 Cedera Kepala Tertutup (CHI)

Cedera kepala tertutup merupakan tipe TBI yang paling umum, dimana

tengkorak tetap relatif utuh. Efek utama cedera kepala terbuka meliputi

kontusi coup dan countercoup. DAI umum terjadi dan dianggap bertanggung

jawab untuk efek neurologis persisten. Meskipun banyak lesi dapat dideteksi

oleh teknik pencitraan visual modern, tingkat kerusakan mikroskopik karena

DAI tidak dapat sepenuhnya terlihat.


Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan sering digunakan dalam menentukan

diagnosis pada pasien trauma kepala. Klasifikasi ini berdasarkan nilai kesadaran

Glasglow Coma Score

1) TBI Ringan

Nilai GCS 13 sampai 15, pada pasien dengan trauma kranial akibat terjatuh.

Pasien sadar, atau dapat terjadi penurunan kesadaran ringan tetapi masih

mampu berkomunikasi dan mengikuti arahan.

2) TBI Sedang

Nilai GCS 9 sampai 12, umumnya pasien terjadi penurunan kesadaran

tetapi tidak koma, mampu membuka mata dan mampu melokalisir rasa

sakit. Mereka beresiko tinggi mengalami kerusakan klinis sehingga perlu

dipantau dengan hati-hati

3) TBI Berat

Nilai GCS 3 sampai 8. Pasien ini dapat terjadi koma, tidak mampu

mengikuti perintah dan dapat menunjukan postur dekortikasi dan

deserebrasi. Mereka memiliki disfungsu struktur dan metabolik otak, dan

sangat beresiko tinggi terhadap kerusakan otak sekunder.

II.2.4 Perdarahan Intrakranial

1. Perdarahan Subgaleal

Perdarahan subgaleal adalah perdarahan antara periosteum dan galea

aponeurosis. Dimana terjadi ruptur pada bena emissary (penghubung antara

dura sinus dan vena scalp) yang menyebabkan akumulasi darah dibawah

aponeurosis dan di permukaan periosteim.

2. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan duramater,

yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini

pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setetelah

hematoma bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan

tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami mual dan muntah diikuti

dengan penurunan kesadaran.

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terletak diantara duramater dan

arakhnoid. Perdarahan subdural merupakan perdarahan intrakranial yang

paling sering terjadi. Karakteristik perdarahan subdural biasanya dibagi

berdasarkan ukuran, lokasi dan lama kejadian.

 Perdarahan subdural akut, secara umum terjadi dibawah 72 jam dan

biasanya pasien dalam keadaan koma. Gejala klinis perdarahan

subdural akut dapat berupa pusing, mual, bingung, penurunan

kesadaran, sulit berbicara, henti napas dan hilangnya kontrol atas

denyut nadi dan tekanan darah.

 Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga

hingga minggu ketiga setelah cedera.

 Perdarahan subdural kronis, terjadi setelah 21 hari atau lebih. 25 –

50 % dari pasien yang menderita perdarahan subdural kronis terjadi

akibat trauma kepala ringan. Gejala klinis dari perdarahan ini dapat

berupa penurunan kesadaran, pusing, kesulitan berjalan atau

keseimbangan, disfungsi kognitif atau hilang ingatan, perubahan

kepribadian, defisit motorik, kejang, dan inkontinensia.

4. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural, memiliki gambaran berupa kumpulan ekstra-aksial

berbentuk bulan sabit yang dapat melintasi garis sutura, tetapi dibatasi oleh

refleksi dural. Lesi ini lebih mematikan daripada epidural hematoma; tingkat

kematian lebih dari 50%. Perdarahan subdural adalah kelainan yang umum

ditemukan pada anak yang mengalami child abuse (trauma non-aksidental).

5. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid adalah ekstravasasi darah ke dalam rongga

subaraknoid yang terdapat di antara lapisan piamater dan membran araknoid.

Etiologi yang paling sering akibat non traumatik adalah pecahnya aneurisma

intrakranial (berry aneurism). Gejala klinisnya biasanya tampak sepuluh

hingga dua puluh hari setelah terjadinya ruptur. Gejala yang paling sering

berupa sakit kepala, nyeri daerah orbital, diplopia, gangguan penglihatan,

gangguan sensorik dan motorik, kejang, ptosis, disfasia.

6. Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel

otak. Perdarahan ini selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.

7. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak

yang semakin lama semakin banyak dan menimbulkan tekanan pada jaringan

otak sekitar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang

dapat menyebabkan konfusi dan letargi. Gejala klinis biasanya timbul dengan

cepat bergantung pada lokasi perdarahan. Gejala yang paling sering adalah

sakit kepala, nausea, muntah, letargi atau konfusi, kelemahan mendadak atau

kebas pada wajah, tangan atau kaki yang biasanya pada satu sisi, hilangnya

kesadaran, hilang penglihatan sementara, dan kejang.


BAB III

Pemeriksaan Radiologis Pada Trauma Kepala

III.1 Pendahuluan

Kemajuan teknologi dalam radiologi selama 30 tahun terakhir sangat

meningkatkan kemampuan kita untuk mendiagnosis penyakit neurologis. Sebelum

pengenalan computed tomography (CT) pada tahun 1974, pemeriksaan

neuroradiologic otak terutama terdiri dari foto polos tengkorak, arteriografi serebral,

pneumoencephalography, dan studi kedokteran nuklir konvensional. Sayangnya,

teknik ini, untuk sebagian besar, hanya memberikan informasi tidak langsung tentang

proses intrakranial yang dicurigai, tidak sensitif dalam mendeteksi lesi otak yang

halus atau awal, atau berpotensi membahayakan pasien. Computed tomography

merevolusi pemeriksaan radiologis kelainan sistem saraf pusat (SSP) karena untuk

pertama kalinya struktur normal dan abnormal dapat secara langsung divisualisasikan

dengan risiko minimal kepada pasien. Pada akhir 1980-an, menjadi jelas bahwa

pencitraan resonansi magnetik (MRI) akan menjadi prosedur pilihan untuk

mengevaluasi banyak gangguan neurologis, serta untuk menunjukkan fenomena aliran

vaskular.

III.2 Teknik Pemeriksaan Radiologi

III.2.1 Foto Polos Kepala

Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan tidak

mampu menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah untuk

menunjukkan cedera intrakranial. Patah tulang tengkorak tidak selalu berarti

cedera intrakranial yang signifikan, meskipun tidak adanya patah tulang


tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang signifikan pada

intrakranialnya.

III.2.2 CT-Scan

Gambaran yang dihasilkan berbeda seperti foto polos. Pada CT Scan mampu

memperlihatkan jaringan lunak, sehingga memungkinkan visualisasi langsung

isi intrakranial dan kelainannya terkait masalah neurologis.

Pada Gambar 5 dengan CT Scan kepala dapat memperlihatkan jaringan lunak

(soft-tissue windows) dan bagian tulang (bone window). Hal yang

mempedakan antara jaringan lunak dengan tulang berdasarkan sinar yang

menembus kepadatan struktur .

Gambar 5. Gambaran CT Scan Kepala Normal.


Soft-tissue Window (A) dan Bone Window (B)
Interpretasi Gambaran Radiologis pada Trauma Kepala

Foto Polos Fraktur pada Tulang Tengkorak

Pemeriksaan foto polos kepala mampu melihat pergeseran (displacement) fraktur

tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.

Fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed fracture), fraktur

linear, dan fraktur diastasis (traumatic suture separation). Fraktur impresi biasanya

disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat sebagai garis atau dua garis

sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak. Fraktur linear harus dibedakan

dari gambaran pembuluh darah normal atau dengan garis sutura interna, yang tidak

bergerigi seperti sutura eksterna. Selain itu, pada foto polos kepala, fraktur ini terlihat

sebagai garis radiolusen. Garis fraktur biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh

darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan

terkihat sebagai pelebaran sutura.

Gambar 6. Gambaran Fraktur Impresi (kiri), Fraktur Linear (tengah), dan Fraktur

Diastasis (kanan) pada Foto Polos Kepala

CT Scan Fraktur Tulang Kepala

Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar tengkorak

(basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik “Jendela

Tulang” (bone window) untuk mengidentifikasi garis frakturnya. Fraktur dasar


tengkorak yang melintang kanalis karotikus dapat mencederai arteri karotis (diseksi,

pseuoaneurisma ataupun trombosis) perlu dipertimbangkan untuk dilakukan

pemeriksaan angiography cerebral.

Gambar 7. Gambaran Fraktur Basis Kranii Pada

CT-Scan Kepala

Pada Gambar 7, memperlihatkan gambaran fraktur tulang temporal petrous kiri, yang

melibatkan telinga tengah (panah kecil). Dapat dilihat juga adanya gambaran sedikit

udara pada fossa posterior dari tulang tengkorak (panah terbuka).

Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang antara

duramater, yang tidak dapat dipisahkan dari periosteumtengkorak dan tulang yang

berdekatan Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural

dengan bentuk bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari hematoma

subdural. Selain itu, tidak seperti hematoma subdural, hematoma epidural biasanya

tidak melewati sutura. Hematoma epidural sangat sulit dibedakan dengan hematoma

subdural jika ukurannya kecil. Dengan bentuk bikonveks yang khas,elips, gambaran

CT scan padahematoma epidural tergantung pada sumber perdarahan, waktu berlalu

sejak cedera, dan tingkat keparahan perdarahan.


Pada Gambar 8, pasien mengalami kecelakaan kendaraan bermotor,

terlihat peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah lenticular pada CT Scan aksial

non kontras di wilayah parietalis kanan. Ini biasanya terjadi akibat pecahnya arteri

meningeal media. Sedikit perdarahan juga terlihat di lobus frontal kiri (perdarahan

intraserebral).

Gambar 8 .Gambaran Perdarahan Epidural

PadaCT Scan Kepala Non Kontras

Perdarahan Subdural

Sebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetik (MRI), hematoma

subdural didiagnosis hanya berdasarkan efek massa, yang digambarkan sebagai

perpindahan dari pembuluh darah pada angiogram atau sebagai kalsifikasi kelenjar

hipofisis pada foto polos kepala. Munculnya CT scan dan MRI telah menjadi pilihan

diagnosik rutin bahkan untuk perdarahan kecil. Temuan CT scan dalam hematoma

subdural tergantung pada lamanya perdarahan (Gambar 9).

Pada fase akut, hematoma subdural muncul berbentuk bulan sabit, ketika

cukup besar, hematoma subdural menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran

dari gray matter-white matter junction merupakan tanda penting yang menunjukkan

adanya lesi.
Gambar 9. Gambaran Perdarahan Subdural padaCT

Scan

Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting untuk memeriksa adanya

cedera terkait lainnya, seperti patah tulang tengkorak (Gambar 10), kontusio intra

parenkimal, dan darah pada subaraknoid (Gambar 10). Adanya cedera parenkim pada

pasien dengan hematoma subdural adalah faktor yang paling penting dalam

memprediksi hasil klinis mereka.

Gambar 10. Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak (Kiri) dan

Perdarahan Subdural Disertai Perdarahan Subarakhnoid (Kanan)

Perdarahan Subaraknoid

Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) terlihat mengisi ruangan subaraknoid

yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSF di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang
biasanya hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas

terlihat dalam rongga subaraknoid yang besar.

Gambar 11. Gambaran Perdarahan

Subarakhnoid Pada CT Scan Kepala

Gambar 11. Gambaran Perdarahan Subarakhnoid pada CT Scan Kepala

Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan

akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan

tampak sebagai abu-abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna

untuk melokalisir sumber perdarahan.

Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap pembuluh darah,

timbul hematoma intraparenkim dalam waktu ½-6 jam setelah terjadinya trauma.

Hematoma ini bisa timbul pada area kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah

beberapa jam akan tampak daerah hematoma (hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.
Gambar 12 Gambaran perdarahan intraserebral pada

CT Scan Kepala

Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel

otak. Perdarahan ini selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral (Gambar

13).Pada perdarahan intraventrikular akan terlihat peningkatan densitas dari gambaran

CT scan kepala. Jika terlambat ditangani, perdarahan intraventrikular akan

menyebabkan terjadinya ventrikulomegali pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari

gambaran CT scan.

Gambar 13 Gambaran perdarahan intraserebral

disertai perdarahan intraventrikular pada CT Scan

Kepala

Anda mungkin juga menyukai