Anda di halaman 1dari 23

A.

Kolelitiasis

1. Definisi

Kolelitiasis adalah endapan yang mengeras dari cairan pencernaan

empedu, yang dapat terbentuk di dalam kandung empedu ataupun saluran

empedu. Batu empedu bervariasi dalam ukuran dan bentuk (Njeze,

2013). Kolelitiasis merupakan pembentukan batu pada kandung empedu

(kolesistolitiasis) atau pada sistem duktus bilier (koledokolitiasis) dan

memerlukan tindakan pembedahan. Ukuran batu empedu bervariasi,

tetapi biasanya <2,5 cm dan terdiri dari 3 jenis utama yaitu batu

kolesterol (mengandung 90% kolesterol), batu pigmen (mengandung

90% bilirubin), dan campuran (mengandung kolesterol, bilirubin,

kalsium karbonat, kalsium fosfat, dan kalsium palmitat). Batu kolesterol

merupakan jenis kolelitiasis yang paling sering ditemukan (Lesmana et

al, 2014).

2. Epidemiologi

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang

penting di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan

perhatian secara klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu

masih terbatas (Lesmana et al, 2014). Insiden batu empedu di negara

barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak berbeda

8
9

jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (Sjamsuhidayat dan de Jong,

2010; Lesmana et al, 2014). Di Amerika Serikat, beberapa penelitian

memperlihatkan bahwa batu empedu dijumpai pada paling sedikit 20%

perempuan dan 8% laki-laki berusia >40 tahun dan hampir 40%

perempuan berusia >65 tahun (Longo dan Fauci, 2013). Di Negara Asia

prevalensi kolelitiasis berkisar antara 3% sampai 10%. Berdasarkan data

terakhir prevalensi kolelitiasis di negara Jepang sekitar 3,2 %, China

10,7%, India Utara 7,1%, dan Taiwan 5,0% (Chang et al., 2013).

Prevalensi kejadian batu empedu tertinggi terjadi pada suku Indian Pima

di Amerika Utara (>75%), Chili dan Kaukasia di Amerika Serikat.

Prevalensi terendah pada orang Asia di Singapura dan Thailand (Feldman

et al, 2010). Rasio penderita batu empedu pada wanita terhadap pria

adalah 3:1 pada usia dewasa reproduktif, dan berkurang menjadi 2:1 pada

usia diatas 70 tahun (Lesmana et al, 2014).

3. Etiologi

Menurut Cahyono (2014) etiologi batu empedu adalah:

a. Supersaturasi kolesterol

Secara umum komposisi komposisi cairan empedu yang

berpengaruh terhadap terbentuknya batu tergantung keseimbangan

kadar garam empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar

kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu akan

membuat keadaan didalam kandung empedu menjadi jenuh akan

kolesterol (Supersaturasi kolesterol).


10

b. Pembentukan inti kolesterol

Kolesterol diangkut oleh misel (agregat/gumpalan yang berisi

fosfolipid, garam empedu dan kolesterol). Apabila saturasi, Kolesterol

lebih tinggi maka ia akan diangkut oleh vesikel yang mana vesikel

dapat digambarkan sebagai sebuah lingkarandua lapis. Apabila

konsentrasi kolesterol banyak dan dapat diangkut, vesikel

memperbanyak lapisan lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung

empedu, pengangkut kolesterol, baik misel maupun vesikel bergabung

menjadi satu dan dengan adanya protein musin akan membentuk kristal

kolesterol, kristal kolesterol terfragmentasi pada akhirnya akan dilem

atau disatukan.

c. Penurunan fungsi kandung empedu

Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding

kandung empedu memudahkan seseorang menderita batu empedu,

kontraksi yang melemah akan menyebabkan statis empedu dan akan

membuat musin yang diproduksi dikandung empedu terakumulasi

seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung

empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat

sehingga semakin menyukitkan proses pengosongan cairan empedu.

Beberapa keadaan yang dapat mengganggu daya kontraksi kandung

empedu, yaitu : hipomotilitas empedu, parenteral total (menyebabkan

cairan asam empedu menjadi lambat), kehamilan, cedera medula

spinalis, penyakit kencing manis.


11

4. Patofisiologi

Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk

mengeluarkan kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol

bebas maupun sebagai garam empedu. Hati berperan sebagai

metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang disintesis dalam

hati diubah menjadi garam. empedu, yang sebaliknya kemudian

disekresikan kembali ke dalam empedu; sisanya diangkut dalam

lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh.

(Sjamsuhidajat, 2010 dan Yekeler E, Akyol, 2012)

Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air

melalui agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-

sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas

solubilisasi empedu (supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada

dalam keadaan terdispersi sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal

kolesterol monohidrat yang padat(Ahmed dan Cheung, 2018)

Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah

penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol

mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu empedu

kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori dan pemasukan lemak.

Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan penumpukan di

dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras untuk

menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap


12

dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya

(Sjamsuhidajat, 2010).

Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak

terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan

pengendapan garam bilirubin kalsium. Bilirubin adalah suatu produk

penguraian sel darah merah (Schwartz, Shires dan Spencer, 2010).

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di

klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol,

batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah

kolesterol (batu yang mengandung >50% kolesterol) atau batu campuran

(batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah

batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20% kolesterol. Faktor

yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis

kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna

dan konsentrasi kaslium dalam kandung empedu (Schwartz, Shires dan

Spencer, 2010).

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu

yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam

empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas

empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh

substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan

berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal

yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama-kelamaan kristal


13

tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu.

Faktor motilitas kandung empedu, billiary statis, dan kandungan empedu

merupakan predisposisi pembentukan batu kandung empedu (Schwartz,

Shires dan Spencer, 2010; Maryan dan Chiang, 2013)

a. Batu kolesterol

Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama:

1) Supersaturasi kolesterol

2) Hipomotilitas kandung empedu

3) Nukleasi/pembentukan nidus cepat

Khusus mengenai nukleasi cepat, sekarang telah terbukti

bahwa empedu pasien dengan kolelitiasis mempunyai zat yang

mempercepat waktu nukleasi kolesterol (promotor) sedangkan

empedu orang normal mengandung zat yang menghalangi terjadinya

nukleasi.4

b. Batu kalsium bilirunat (pigmen coklat)

Batu pigmen coklat terbentuk akibat adanya faktor statis dan

infeksi saluran empedu. Statis dapat disebabkan oleh adanya

disfungsi Sfingter Oddi, striktur, operasi bilier dan infeksi parasit.

Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E.Coli, kadar enzim

B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi

bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin

menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang

dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri


14

dan terbentuknya batu pigmen coklat. Umumnya batu pigmen coklat

ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi

(Maryan dan Chiang, 2013).

c. Batu pigmen hitam

Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan

pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen

hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.

Patogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu

pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu

yang steril.

Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus

koledokus melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui

duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan alian

empedu secara parsial maupun total sehingga menimbulkan gejala

kolik bilier. Pasase berulang batu empedu melalui duktus sistikus

yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat

menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur. Apabila batu

berhenti di dalam duktus sistikus dikarenakan diameter batu yang

terlalu besar ataupun karena adanya striktur, batu akan tetap berada

disana sebagai batu duktus sistikus (Leonard, 2011).

Kolelitiasis asimptomatis biasanya diketahui secara kebetulan,

sewaktu pemeriksaan ultrasonografi, foto polos abdomen, atau


15

perabaan saat operasi. Pada pemeriksaan fisik atau laboratorium

biasanya tidak ditemukan kelainan (Maryan dan Chiang, 2013).

5. Gejala Klinis

a. Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak

memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri

akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang

ataupun dispepsia, mual (Lesmana et al, 2014). Studi perjalanan

penyakit sampai 50 % dari semua penderita dengan batu kandung

empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik.

Kurang dari 25 % dari penderita yang benar-benar mempunyai batu

empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan

intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang

merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua penderita

dengan batu empedu asimtomatik (Hunter and Pham, 2014).

b. Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium,

kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang

berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang

beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pasca prandial kuadran

kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi

30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan

kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik


16

biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan

kolik biliaris (Beat, 2008).

c. Komplikasi

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu

yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen,

khususnya diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan

akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus

sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis

akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik

berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak

nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah

saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke

punggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual,

muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung

berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri

tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign”

(penderita berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa

yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus.

Kebanyakan penderita akhirnya akan mengalami kolesistektomi

terbuka atau laparoskopik (Garden, 2017).

Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala

kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat

mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah


17

epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan

(Murphy sign). Penderita dapat berkeringat banyak dan berguling ke

kanan- kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat

berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang

(Doherty, 2015).

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi

beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali

terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau

flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu

dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak

menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi.

Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu

(kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus

koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan

permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung

empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan

peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu (Alina,

2013).

d. Batu saluran empedu (koledokolitiasis)

Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di

epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti

demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul

serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan


18

ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis

tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya

kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot

yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus.

Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik

intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga

gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau

penurunan kesadaran sampai koma (Rachel, 2016; Alina, 2013).

Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius

karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam

nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam

75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu,

dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat

menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula

Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal

dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu

empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan

menyebabkan ikterus obstruktif (Garden, 2017).

6. Diagnosis

a. Anamnesis

Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang

disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis,

keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas


19

atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang

mungkin berlangsung lebih dari 15 menit dan kadang baru

menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan

perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran

nyeri pada punggung bagian tengah, skapula atau ke puncak bahu,

disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita

melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida.

Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada

waktu menarik nafas dalam (Sjamsuhidajat, 2010).

b. Pemeriksaan Fisik

Batu kandung empedu – apabila ditemukan kelainan, biasanya

berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan

peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiyema

kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan

nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomis

kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan

bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung

empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan

pasien berhenti menarik nafas. Batu saluran empedu – batu saluran

empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba

hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin

darah kurang dari 3 mg/dL, gejala ikterik tidak jelas. Apabila


20

sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis

(Sjamsuhidajat, 2010).

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium – batu kandung empedu yang

asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan

laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi

leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan

kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus

oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh

batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan

mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap

setiap kali terjadi serangan akut. Pemeriksaan radiologis – foto polos

abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.

Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar

kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut

dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung

empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran

kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di

fleksura hepatica (Sjamsuhidajat, 2010).


21

7. Komplikasi

Komplikasi yang umum dijumpai adalah kolesistisis, kolangitis,

hidrops dan emfiema. Kolesistisis merupakan peradangan pada

kandung empedu, dimana terdapat obstruksi atau sumbatan pada leher

kandung empedu atau saluran kandung empedu, yang menyebakan

infeksi dan peradangan pada kandung empedu. Kolangitis adalah

peradangan pada saluran empedu yang terjadi karena adanya infeksi

yang menyebar akibat obstruksi pada saluran empedu. Hidrops

merupakan obstruksi kronik dari kandung empedu yang biasa terjadi

di duktus sistikus sehingga kandung empedu tidak dapat diisi lagi oleh

empedu. Emfiema adalah kandung empedu yang berisi nanah.

Komplikasi pada pasien yang mengalami emfiema membutuhkan

penanganan segera karena dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidajat,

2010).

8. Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan.

Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan

menghindari atau mengurangi makanan berlemak (Sjamsuhidayat dan de

Jong, 2010). Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri

berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka

dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu

(kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan

kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan


22

pembatasan makanan (Sjamsuhidayat dan de Jong, 2010). Pilihan

penatalaksanaan antara lain (Sjamsuhidayat dan de Jong, 2010) :

a. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien

denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang

dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2%

pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang

dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah

kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

b. Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun

1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara

laparoskopi. Kandung empedu diangkat melalui selang yang

dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya

Penderita dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut

(Garden, 2017).

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa

adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,

banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan

kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara

teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional

adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang

dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan


23

perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah

kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi

seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering

selama kolesistektomi laparaskopi (Garden, 2017).

Kolesistektomi laparoskopi merupakan pengangkatan total dari

kandung empedu tanpa insisi yang besar. Insisi kecil 2-3 cm dilakukan

di umbilikus dan laparoskop dimasukkan. Dokter bedah

mengembangkan abdomen dengan cara memasukkan gas yang tidak

berbahaya, seperti karbon dioksida (CO2), agar tersedia ruang untuk

dilakukan operasi. Dua potongan kecil 0,5 – 1 cm dilakukan dibawah

batas iga kanan. Insisi keempat di abdomen bagian atas dekat dengan

tulang dada. Insisi ini dilakukan untuk memasukkan instrument seperti

gunting dan forsep untuk mengangkat dan memotong jaringan. Klip

surgikal ditempatkan pada duktus dan arteri yang menuju kandung

empedu untuk mencegah kebocoran ataupun perdarahan. Kandung

empedu kemudian diangkat dari dalam abdomen melalui salah satu

dari insisi tersebut (Hunter and Pham, 2014 dan Lawrence, 2013).

c. Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah

digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang

dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk

batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam

xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya


24

batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,

kekambuhan batu tejadi pada 50% penderita. Kurang dari 10% batu

empedu yang dilakukan dengan cara ini sukses.Disolusi medis

sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya

batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi

kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter and Pham,

2014).

d. Disolusi kontak

Infus pelarut kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter

(MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan

per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada

pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya

adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun) (Garden,

2007).

e. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (LGE)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis

biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya

terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk

menjalani terapi ini (Garden, 2017; Alina, 2013).

f. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,

kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras

radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di


25

dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak

lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah

ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada

90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal

dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman

dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif

dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang

kandung empedunya telah diangkat (Hunter, 2017; Heuman, 2011)

B. Karakteristik penderita kolelitiasis

Faktor resiko untuk kolelitiasis, yaitu:

a. Usia (forty)

Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan

bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung

untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia

yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun

mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu

empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan:

1) Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.

2) Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai

dengan bertambahnya usia.


26

3) Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin

bertambah. (Heuman dan Mihas, 2013)

Penelitian Agus (2014) didapatkan hubungan antara umur

dengan kejadian batu empedu, dimana umur kurang dari 40 tahun

memiliki hubungan bermakna dengan kejadian batu empedu, hasil

yang sama dilaporkan pada penelitian di Taiwan terjadi peningkatan

penderita batu empedu pada kelompok umur 20-39 tahun baik pada

pria ataupun wanita, keadaan ini menunjukan adanya perubahan

resiko tinggi dari kelompok umur pada kejadian batu empedu (Park,

2009), sedangkan beberapa penelitian lain di Jerman dan Amerika

mendapatkan umur lebih dari 40 tahun lebih bermakna dengan

kejadian batu empedu. Abu (2007), menyimpulkan bahwa umur tidak

bermakna dengan kejadian batu empedu pada populasi di Arab Saudi.

Peningkatan kejadian batu empedu pada usia kurang dari 40 tahun

pada penelitian ini kemungkinan disebabkan interaksi dari berapa

faktor yang lain yang mempengaruhi kejadian batu empedu seperti

wanita atau laki-laki pada usia dibawah 40 tahun juga memiliki

penyakit penyerta DM, dengan obesitas dan hiperlipidemia

b. Jenis kelamin (female)

Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena

kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon

esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh

kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria


27

menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan

bertambahnya usia, walaupun umumnya selalu pada wanita

(Schwartz, Shires dan Spencer, 2010).

penelitian Agus (2014) menyebutkan Pada kelompok jenis

kelamin, insidensi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki dan

menunjukan hubungan jenis kelamin perempuan dengan kejadian batu

empedu bermakna. Berdasarkan penelitian otopsi terhadap pasien

kolelitiasis di Amerika menunjukkan hasil 20% wanita dan 6% laki-

laki di atas usia 40 tahun mempunyai batu empedu. Penelitian tersebut

dilakukan terhadap 20 juta pasien kolelitiasis dengan 1 juta kasus baru

terjadi setiap tahunnya. Penelitian dari Mittal juga mengatakan sekitar

10-15% dewasa di Amerika memiliki batu empedu dan pada Negara

Amerika Latin, prevalensi batu empedu meningkat hingga 50% pada

wanita ( Heuman, 2017). Pengaruh hormon pada wanita merupakan

salah satu faktor predisposisi meningkatnya jumlah pasien wanita

dibanding laki-laki. Estrogen diduga berperan penting pada wanita

dengan kolelitiasis dimana estrogen dapat menstimulasi reseptor

lipoprotein hepar dan meningkatkan pembentukan kolesterol empedu

serta meningkatkan diet kolesterol. Estrogen alamiah dan kontrasepsi

oral dapat menurunkan sekresi garam empedu dan menurunkan

perubahan kolesterol menjadi kolesterol ester (Henry, 2015). Chang

(2011), dalam penelitiannya mengatakan penggunaan kontrasepsi

steroid yang mengandung estrogen dan progesterone mempengaruhi


28

pembentukan batu empedu pada pasien wanita dengan usia 20-44

tahun.

c. Berat badan (fat)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai

resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan

tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun

tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi

kontraksi/pengosongan kandung empedu.

Penelitian Agus (2014) didapatkan hubungan yang bermakna

antara obesitas dengan kejadian batu empedu dimana pasien dengan

obesitas memiliki kemungkinan 3 kali lebih banyak menderita batu

empedu daripada orang tanpa obesitas. Hasil penelitian yang sama

juga dilaporkan oleh beberapa penelitian di Asia, Amerika, dan

Inggris, dimana terjadi peningkatan prevalensi dari batu empedu pada

orang dengan obesitas (Xiao, 2014). Perempuan dengan BMI lebih

dari 32 memiliki kemungkinan menderita batu empedu 3 kali lebih

besar dibandingkan dengan perempuan dengan BMI 24 atau 25, dan

perempuan dengan BMI lebih dari 45 kemungkinannya menderita

batu empedu 7 kali lebih besar daripada perempuan dengan BMI

normal (Xiao, 2014).


29

Yekelar (2012), mengemukakan terjadinya peningkatan

kejadian batu empedu pada orang yang obesitas disebabkan oleh

peningkatan kadar kolesterol supersaturasi. Pada obesitas terjadi

gangguan metabolisme lemak dan hormonal yang mengakibatkan

penurunan motilitas dari kandung empedu sehingga meningkatkan

terbentuknya batu empedu.

Shaffer (2015), mengemukakan kegemukan merupakan faktor

resiko yang penting untuk penyakit batu empedu, terutama pada

perempuan Timbulnya batu empedu disebabkan oleh peningkatan

sekresi kolesterol empedu peningkatan ini disebabkan oleh

meningkatnya aktivitas reduktase HMGCoA.

d. Keluhan utama (fair)

Gejalanya mencolok: nyeri saluran empedu cenderung hebat,

baik menetap maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat pada

perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu,

sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke punggung

atau bahu. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan

kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini

cenderung makin meningkat frekuensi dan intensitasnya. Gejala yang

lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa

melilit, perut terasa kembung, dan lain-lain (Xiao, 2014 & Yekelar,

2012).
30

Hasil penelitian Dani, Susilo (2012) didapatkan gejala

tersering pada pasien kolelitiasis adalah nyeri ulu hati yang terdapat

pada 56,77% pasien, disusul dengan mual yang terdapat pada 52,08%

pasien. Penelitian di RSUP Haji Adam Malik Sumatera Utara

mendapatkan hasil yaitu, gejala tersering pada pasien kolelitiasis

adalah nyeri perut kanan atas atau nyeri ulu hati (51,4%) dan disusul

dengan mual muntah (6,90%) (Fediani, 2011).

Anda mungkin juga menyukai