Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

LAPSUS
Maret 2016

CHOLELITHIASIS

OLEH :

Nur Indah Pratiwi S.Ked

PEMBIMBING :

dr. Lukman Yasta, Sp.B

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015

HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama

: Nur Indah Pratiwi

Judul Refarat : Cholelithiasis


Telah menyelesaikan tugas Laporan Kasus tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Maret 2016

Pembimbing,

(dr. Lukman Yasta, Sp.B)

CHOLELITHIASIS
( BATU EMPEDU )

A. DEFENISI
Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut
kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis1.
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu
menyumbat duktus cysticus atau duktus choledocus. Oleh karena itu gambaran klinis
penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan
atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone)2.
B. EPIDEMIOLOGI
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20
juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan otopsi di Amerika, batu
kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria1,2.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena
belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan
secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk
tujuan yang lain1.
C. ETIOLOGI
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor
predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan
oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu,
karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam
kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan
pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian

dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus1,3.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi
yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak
absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari
empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu
sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah,
orang yang mendapat diet tinggi

lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah

mengalami perkembangan batu empedu1,4.


Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam Ductus choledochus melalui Ductus
cysticus. Dalam perjalanannya melalui Ductus cysticus, batu tersebut dapat menimbulkan
sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplit sehingga menimbulkan gejala kolik
empedu. Kalau batu terhenti di dalam Ductus cysticus karena diameternya terlalu besar atau
tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu Ductus cysticus2,4.

Gambar 1. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2013)


Cholelithiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin banyak
faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya Cholelithiasis2,4.
Faktor resiko tersebut antara lain1:

1. Genetik

Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu


empedu bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di
USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih
sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga
sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia.
2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat sedikit
penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu,
sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang.
3. Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu,
sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia jumlah
penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki.
4. Beberapa faktor lain
Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu empedu antara lain: obesitas,
makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik.
D. PATOFISIOLOGI
a. Batu Kolesterol
Batu kolesterol murni tidak biasa ditemukan dan terjadi pada kurang dari
10% dari seluruh kejadian batu empedu. Batu ini biasanya muncul sebagai batu
besar dan tunggal dengan permukaan yang halus. Kebanyakan batu kolesterol lain
mengandung pigmen empedu dan kalsium yang kadarnya bervariasi, tapi biasanya
terkandung sebanyak 70% dari berat batu kolesterol. Batu kolesterol tipe ini
biasanya jumlahnya multipel, bentuk dan ukurannya bervariasi, keras dan bersegi
atau irreguler, berbentuk seperti buah mullberry dan lembut. Warnanya bervariasi
dari warna kuning keputihan dan hijau sampai hitam. Kebanyakan batu kolesterol
merupakan batu radiolusen; hanya kurang dari 10% yang radioopak. Apakah batu
itu merupakan batu kolesterol murni atau campuran, kejadian utama pada

pembentukan dari batu kolesterol adalah supersaturasi dari empedu dengan


kolesterol. Oleh karena itu, kadar kolesterol empedu yang tinggi dan batu empedu
kolesterol dapat dikatakan sebagai satu penyakit. Kolesterol sangat nonpolar dan
tidak larut dalam air dan empedu. Kelarutan kolesterol bergantung pada
konsentrasi relatif dari kolesterol, garam empedu dan lesitin (fosfolipid utama
dalam empedu). Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh hipersekresi
kolesterol dibandingkan dengan penurunan sekresi fosfolipid atau garam
empedu1,4.
Kolesterol disekresikan ke dalam empedu sebagai vesikel kolesterolfosfolipid. Kolesterol dpertahankan dalam bentuk larutan oleh micelles, sebuah
kompeks konjugasi garam empedu-fosfolipid-kolesterol, dan juga oleh vesikel
kolesterol-fosfolipid. Keberadaan vesikel dan micelles dalam satu kompartemen
yang aquaeous mempermudah berpindahnya lipid diantara keduanya. Maturasi
vesikuler terjadi pada saat vesikel lipid tergabung dengan micelle. Vesikel
fosfolipid bergabung dengan micelle dan lebih mudah terjadi dibanding vesikel
kolesterol. Sehingga vesikel tersebut mengandung kadar kolesterol yang tinggi,
menjadi tidak stabil, dan terjadi nukleasi kristal kolesterol. Pada empedu yang
tidak tersaturasi, terkumpulnya kolesterol dalam vesikel tidak terlalu penting.
Dalam empedu yang mengalami supersaturasi, zona kepadatan kolesterol terbentuk
pada permukaan vesikel dengan kadar kolesterol tinggi, yasng menyebabkan
tampaknya gambaran kristal kolesterol. Sebanyak sepertiga kolesterol bilier
ditransportasikan dalam micelle, namun vesikel kolesterol-fosfolipid membawa
mayoritas kolesterol bilier1,4.
Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol
terjadi dalam empat tahap4:
Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Pembentukan nidus.
Kristalisasi/presipitasi.
Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa
lain yang membentuk matriks batu.

Gambar 2. Batu kolesterol


(Boundless.com, 2013)
b. Batu pigmen
Batu pigmen mengandung kurang dari 20% kolesterol dan berwarna gelap
karena mengandung kalsium bilirubinat. Batu pigmen hitam dan batu pigmen
coklat hanya memiliki sedikit kesamaanm, sehingga harus dipertimbangkan
sebagai entitas yang berbeda1.
Batu pigmen hitam biasanya kecil, rapuh, berwarna hitam, dan kadang
berspikula. Batu ini terbentuk dari supersaturasi kalsium bilirubuinat, karbonat,
dan fosfat, seringnya terbentuk secara tidak langsung dari kelainan hemolitik
seperti sferositosis herediter dan penyakit sickle cell, dan pada mereka yang
mengalami sirosis. Seperti batu kolesterol, batu tipe ini hampir selalu terrbentuk
dalam kandung empedu. Bilirubin yang tidak terkonjugasi lebih sulit larut daripada
bilirubin yang terkonjugasi. Dekonjugasi bilirubin terjadi pada empedu secara
normal dalam tingkat yang lambat. Meningkatnya kadar bilirubiun terkonjugasi,
seperti dalam kasus hemolisis, menyebabkan peningkatan produksi bilirubin yang
tidak terkonjugasi. Sirosis dapat menyebabkan meningkatnya sekresi bilirubin
yang tidak terkonjugasi. Ketika perubahan keadaan menyebabkan peningkatan
dekonjugasi bilirubin dalam empedu, presipitasi dengan kalsium terjadi1,4.

Gambar 3. Batu Pigmen Hitam

(medscape.com, 2013)

Batu coklat biasanya berukuran kurang dari 1 cm, berwarna coklat


kekunhingan, lembut dan biasanya lembek. Batu ini dapat terbentuk dalam
kandung empedu ataupun dalam duktus biliaris, biasanya secara sekunder

terbentuk karena infeksi bakterial yang menyebabklan stasis empedu. P[resipitat


kalsium bilirubinat dan sbadan sel bakteri membentuk mayoritas bagian dari batu
ini. Bakteri seperti Escherichia coli mensekresikan beta-glukoronidase yang
secara enzim memecah bilirubin glukoronid untuk memproduksi bilirubin tidak
terkonjugasi yang tidak dapat larut. Substansi ini ke,mudian terpresipitasi dengan
kalsium, berasama dengan badan sel bakteri yang mati, membentuk batu coklat
yang halus dalam trktus biliaris1,4.

Gambar 4. Batu Pigmen Coklat (gracemedicalschool.com,


2013)
E. MANIFESTASI KLINIS
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena
adanya komplikasi1,3.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai
kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai
di daerah subskapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran
kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai
pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic1,3,4.

Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral
ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan
istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak
memperlihatkan inflamasi akut3,4.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara
30 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat
menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat
menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang
merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis3,4.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis
akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder,
ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu.
Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal3,4.
Sebagian besar (90 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan
ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ
tersebut. Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah
sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan
penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain
seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis3,4.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam
saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat
bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya
ikterus obstruktif yang nyata4.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga
timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang

tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar.
Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,
kolangitis dan pankreatitis4.

Gambar 5: Manifestasi klinis yang umum terjadi

F. PENATALAKSANAAN
Konservatif
a). Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimptomatik tidak akan
mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan
dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan
umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam
ursodeoksikolat untuk melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu
pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi.
Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 %
dalam 5 tahun1,4.
b). Disolusi kontak

Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut
kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya
adalah angka kekambuhan yang tinggi1,4.
c). Lithotripsy (Extracorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Lithotripsy gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun
yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang
benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL
memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksikolat1,4.
Penanganan operatif
a) Cholecystostomy
Kolesistostomi berguna untuk dekompresi dan drainase kandung empedu yang
terdistensi, mengalami inflamasi, hidropik atau purulen. Tindakan ini dapat dilakukan
pada pasien yang tidak cukup memungkinkan kondisinya untuk dilakukan operasi
abdominal. Drainase perkutaneus yang dituntun ultrasound dengan kateter pigtail
merupakan prosedur yang dipilih. Kateter dimasukkan melalui kawat penuntun yang
sebelumya telah dipasang menembus dinding abdomen, hepar, dan masuk ke dalam
kandung empedu. Dengan menggunakan kateter yang melewati hepar, resiko
terjadinya empedu yang merembes dari sekitar kateter dapat dikurangi. Kateter dapat
dilepas apabila inflamasi sudah hilang dan kondisi pasien membaik. Kandung
empedu dapat dibuang jika ada indikasi, biasanya dengan tindakan laparoskopi2,5.

Gambar 2.6. Percutaneous Colescystostomy (medicc.jp, 2010)

b). Open cholecystectomi


Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk cholecystectomy adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh cholecystitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkanmortalitas
pada pasien yang menjalani cholecystectomy terbuka pada tahun 1989, angka
kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka
kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai
0,5 %5,6.
c). Cholecystectomy laparoscopy
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, mempersingkatkan waktu perawatan di rumah
sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang.
Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi
yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor Ductus cysticus dan trauma
Ductus biliaris. Resiko trauma Ductus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya
berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan
lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari,
cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga5,6.
d). Cholecystectomy minilaparotomy
Modifikasi dari tindakan cholecystectomyterbuka dengan insisi lebih kecil dengan
efek nyeri pasca operasi lebih rendah5.
G. KOMPLIKASI
1. Adhesi. Akibat inflamasi kandung empedu mengalami nekrosis kemudian adhesi
dengan organ sekitar.
2. Cholesistitis Kronik. Penyebab trauma dan iritasi mukosa oleh batu di vesicafellea
yang menyebabkan terjadinya pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam
empedu menjadi lisolesin yang merupakan senyawa toksik sehingga peradangan
bertambah berat disertai pus (empyema vesicafellea) sampai perforasi.

3. Gall Stone Ileus. Batu empedu yang besar dapat menyebabkan nekrosis tekanan
yang menahun dan erosi ke usus yang berdekatan.
4. Fistula. Timbul jika vesicafellea menekan ke arah duodenum. Dinding
vesicafellea melekat pada duodenum, kemudian terbentuk fistula.
5. Keganasan. Akibat iritasi kronik mukosa vesicafellea. 90% pasien kanker
vesicafellea menderita choleolithiasis2,5.
H. PROGNOSIS
Kurang dari separuh pasien dengan batu empedu menjadi simptomatik. Tingkat
kematian untuk choleolithiasis elektif adalah 0,05% dengan morbiditas kurang dari 10%.
Tingkat kematian untuk choleolithiasis adalah 3-5% dengan morbiditas 30-50%. Setelah
cholesistektomy, batu bisa kembali kambuh kembali di saluran empedu1.

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN :
- Nama
: Ny. Andi Sulastri
- No. RM
: 31 73 45
- Tanggal Lahir : 10 02 1985
- Umur
: 31 tahun
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Alamat
: Jl. Sansiasseri Kec. Sinjai Selatan
- St. Perkawinan: Menikah
- Ruangan
: Perawatan Tulip
- Masuk RS
: 06 - 03 - 2016
B. ANAMNESIS :
- Tipe Anamnesis
: Autoanamnesis
- Keluhan utama
: Nyeri perut kiri
- Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri perut kanan sejak kurang lebih 1 bulan
yang lalu. Nyeri dirasakan memberat 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan hilang timbul, timbul terutama saat pasien duduk, dan dirasakan tembus ke
belakang. Pasien mengeluh mual (+), muntah (-). Riwayat demam hilang timbul selama
seminggu terakhir. Riwayat nyeri ulu hati (+), riwayat kolestrol (+), riwayat hipertensi
(+).
Pasien pernah memeriksakan dirinya ke dokter di Sinjai dengan hasil USG
Choleolithiasis dan merupakan pasien rujukan dari penyakit dalam.
Riwayat penyakit dahulu

Diabetes melitus
: disangkal
Hipertensi
: (+)
Alergi
: disangkal
- Riwayat penyakit keluarga : tidak ada yang mengalami hal serupa.
C. PEMERIKSAAN FISIK :
- Keadaan umum
: Sakit sedang, kesadaran composmentis
- Tanda vital
:
o T : 110/80 mmHg
oN
: 72x/ menit
o P : 22 x/m
oS
: 36,6oC
- Status Generalis
:
Kepala

Normosefali, tidak ada tanda trauma atau benjolan, muka simetris,

Mata

rambut warna hitam, lurus dan tidak mudah dicabut.


Konjungtiva kiri dan kanan tidak anemis, sclera tidak ikterik pada

Telinga

kedua mata, reflex cahaya +/+.


Bentuk normal, tidak ada secret, cairan. Luka maupun perdarahan,

Hidung

fungsi pendengaran baik.


Bentuk normal, deviasi septum (-) , tidak ada secret pada kedua

Mulut

lubang hidung.
dan Bibir tidak kering dan tidak sianosis, tonsil T1/T1, hiperemis (-)

Tenggorokan
Leher

Tidak tampak benjolan pada leher, Pembesaran KGB (-), deviasi

Thoraks

trakea (-)
Inspeksi :
pada keadaan statis dan dinamis pergerakan dinding dada terlihat
simetris kanan dan kiri, tidak ada yang tertinggal, tidak retraksi.
Pulsasi ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi :
massa tumor (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), ictus cordis tidak
teraba.
Perkusi :
Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor kiri dan kanan. Batas
paru belakang kiri Th XI, batas paru belakang kanan TH X, batas
paru hepar di ICS V kanan.
Batas jantung :
Batas atas ICS III kiri
Batas kanan linea parasternalis kanan
Batas kiri linea midclavicularis kiri

Auskultasi :
Bunyi pernapasan vesicular, bunyi tambahan Wh -/- , Rh _+/-,
Abdomen

Bunyi jantung I / II murni regular, bising (-), shouffle (-), thrill (-).
Inspeksi : Abdomen datar, tidak tampak adanya massa.
Auskultasi : Peristaltik usus normal
Palpasi : Teraba lemas, tidak ada defence muscular, hepar dan lien
tidak teraba, nyeri tekan abdomen (+)

Punggung

Perkusi
: Tympani (+)
Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang, scoliosis (-), dan

Ekstremitas
Alat kelamin

gibbus (-)
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Lokalisata
Regio Hypochondrium Dextra
- Inspeksi
: Tidak tampak kelainan
- Palpasi
: Nyeri tekan hypochondrium dextra (+)
Murphy sign (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PemeriksaanLaboratorium
Tgl. 06/03/2016
Jenis Pemerikaan
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
WBC
LED
Glukosa Sewaktu
SGOT
SGPT

Hasil
4.20x106/uL
12,6 g/dL
36,9 %
88 pl
30,1 pg
34.2 g/dl
231x 103/uL
6.0x103/mm3
58 mm/jam
126 mg/dl
49 U/L
59 U/L

Nilai Rujukan
4.505.50 x 106/uL
11 - 17 g/dL
42 52%
84-96 pl
28 34 pg
32 36 g/dl
150-400x 103/uL
5-10 103/mm3
70-140 mg/dl
<37 U/L
< 42 U/L

Ureum
Kreatinin
2. Pemeriksaan Radiologi
USG abdomen Tgl 07/03/2016

14 mg/dl
0,52 mg/dl

10-50 mg/dl
0.7-1.3 mg/dl

- Kesan : Cholelithiasis
E. FOLLOW UP
06/03
/2016

S: Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri Instruksi dokter:


perut kanan sejak kurang lebih 1 bulan
Periksa Lab: darah rutin, CT,
yang lalu. Nyeri dirasakan memberat 1
BT, GDS, SGOT, SGPT, AP,
minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
APTT
dirasakan hilang timbul, timbul terutama saat
IVFD RL 20 tpm
pasien duduk, dan dirasakan tembus ke
Ceftriaxon 1gr/12jam/IV
belakang. Pasien mengeluh mual (+),
GDS: 126 mg/dl
muntah (-). Riwayat demam hilang timbul
SGOT: 49U/L
selama seminggu terakhir. Riwayat nyeri ulu
SGPT: 59 U/L
hati (+), riwayat kolestrol (+), riwayat
Ureum: 14 mg/dl
hipertensi (+).
Kreatinin: 0,52 mg/dl
Pasien pernah memeriksakan dirinya ke
CT: 9 00
dokter di Sinjai dengan hasil USG
BT: 2 45
Choleolithiasis dan merupakan pasien
RBC: 4,20X106/mm3
HGB: 12,6 g/dl
rujukan dari penyakit dalam.BAK dan BAB
HCT: 36,9%
baik.
PLT: 231x103/mm3
O: TD : 110/80 mmHg
WBC: 6.0x103/mm3
N : 72x/i
LED: 58 mm/jam
P : 22x/i
S : 36,6oC
A: Cholelithiasis

07/03
/2016

P: Periksa Lab & Medikamentosa


S: Nyeri perut sebelah kanan, nyeri ulu hati Instruksi dokter:
(+), mual (+).
IVFD RL 20 tpm
O: TD : 110/80 mmHg
Ceftriaxon 1gr/12jam/IV
N : 80x/i
Urdafalk 2x1
P : 20x/i
USG Abdomen
o
S : 36 C
Regio: Abdomen
Inspeksi: tidak tampak benjolan ataupun
tanda-tanda radang
Palpasi: Tidak teraba benjolan pada
perabaan. Nyeri tekan abdomen sinistra

A: Choleolithiasis

08/03
/2016

P: USG abdomen & medikamentosa


S: Nyeri abdomen tembus ke belakang (+)
O: TD : 120/90mmHg
N : 72x/i
P : 20x/i
S : 30oC
Regio: Abdomen
Inspeksi: tidak tampak benjolan ataupun
tanda-tanda radang
Palpasi: Tidak teraba benjolan pada
perabaan. Nyeri tekan abdomen sinistra

Instruksi dokter:

IVFD RL 20 tpm
Ceftriaxon 1gr/12jam/IV
Urdafalk 2x1
Tunggu Hasil USG
Lapor OK
Konsul Anastesi
Inform consent
Puasa
Ceftriaxon 1gr/ pre op

A: Cholelithiasis
P: Medikamentosa
Rencana OP
F. RESUME
Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri perut kanan sejak kurang lebih 1 bulan
yang lalu. Nyeri dirasakan memberat 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan hilang timbul, timbul terutama saat pasien duduk, dan dirasakan tembus ke
belakang. Pasien mengeluh mual (+), muntah (-). Riwayat demam hilang timbul selama
seminggu terakhir. Riwayat nyeri ulu hati (+), riwayat kolestrol (+), riwayat hipertensi
(+).
Pasien pernah memeriksakan dirinya ke dokter di Sinjai dengan hasil USG
Cholelithiasis dan merupakan pasien rujukan dari penyakit dalam.BAK dan BAB baik.
Pada pemeriksaan lokalisata regio hypochondrium kanan tidak tampak adanya
kelainan, pada palpasi tidak terdapat pembesaran hepar, nyeri tekan abdomen sinistra (+).
G. DIAGNOSIS
- Diagnosis kerja
Cholelithiasis
H. LAPORAN OPERASI

Nama

: Ny. AS

Umur

: 31 thn

Tgl Operasi

: 11/03/2016

Operator

: dr.Lukman yasta Sp.B

Diagnosa pre operatif

: Cholelithiasis

Diagnosa post operatif

: Cholelithiasis

Tindakan operasi

: Cholesistectomy + Laparascopy

Laporan operasi
-

Posisi supine dengan GA


Desinfeksi
Drapping
Insisi kulit di infraumbilical
Perdalam sampai peritoneum
Throcart 12mm dimasukkan lewat umbilicus + CO2 + vidioskop (I)
Throcart 11mm di epigastrium (II)
Throcart 5mm di nypochondrium kiri(III)
Forceps grosping (III) di infundibulum vesica fellea
Forceps diseksi (II) reservasi ductus/ arteri cysticus, clip metal, potong
Dilakukan cholesistektomy dikeluarkan melalui umbilicus
Cuci rongga peritoneum
Kontrol perdarahan
Pasang drain
Tutup luka operasi
Operasi selesai tanpa penyulit

Komplikasi Pasca Operasi


-

Perdarahan
Infeksi
Peritonitis

Instruksi pasca bedah


-

IVFD RL 20 tpm

- Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam/ IV


- Metronidazole/ 8 jam/ IV
- Ranitidin amp/ 8 jam/ IV
- Ketorolac amp/ 8jam/ IV
- Awasi tanda-tanda vital
I. PEMBAHASAN
Pada kasus ini kemungkinan terbentuknya batu empedu karena perubahan susunan
empedu. Dengan dasar dari hasil pemeriksaan lab yang menunjukkan peningkatan nilai
SGOT dan SGPT dan riwayat kolestrol (+) sebagai gambaran tingginya kadar kolestrol
dalam hati. Karena tingginya kadar kolestrol, maka terjadi pengendapan kolesterol dalam
kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut.
Gejala klinis yang tampak nyeri perut kanan, nyeri dirasakan hilang timbul, timbul
terutama saat pasien duduk, dan dirasakan tembus ke belakang. Pasien mengeluh mual (+),
muntah (-). Riwayat nyeri ulu hati (+).
Pada kasus ini, tindakan penatalaksanaan yang dilakukan adalah tindakan operatif
cholesistektomy dengan tehnik laparascopy. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca
operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, mempersingkatkan
waktu perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri
bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat
mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.
Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor Ductus cysticus dan trauma
Ductus biliaris. Resiko trauma Ductus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar
antara 0,51%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak
terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali,
dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nurman, achmad. Batu empedu. Buku ajar ilmu penyakit hati. Penerbit : sagung seto. 2010
2. Djamsuhidajat R, and Wie de Jong. Saluran Empedu dan Hati, Pakrease, Dalam: Buku Ajar
Imu Bedah. Edisi Revisi, Penerbit EGC, Jakarta. 2008
3. Guyton, Hall, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11, Jakarta :
EGC.2008. hal. 908
4. Lesmana, L. Penyakit batu empedu. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Penerbit : interna
publishing. Jakarta. 2010
5. Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC
6. Schwartz S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip ilmu bedah (principles
of surgery). Edisi 6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai