TINJAUAN TEORI
BATU EMPEDU
A. Definisi
Kolelitiasis (Batu Empedu) merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu
seperti kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid.
(Price, 2005, hlm 502).
Batu empedu pada umumnya di temukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut
dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran
empedu dan di sebut sebagai batu saluran empedu sekunder (Sudoyo, dkk., 2006, hlm 479 ).
Kolelitiasis merupakan batu saluran empedu, kebanyakan terbentuk di dalam kandung
empedu itu sendiri. Unsur pokok utamanya adalah kolesterol dan pigmen, dan sering
mengandung campuran komponen empedu. Manifestasi batu empedu timbul bila batu
bermigrasi dan menyumbat duktus koledukus.
Batu empedu adalah batu yang berbentuk lingkaran dan oval yang di temukan pada
saluran empedu. Batu empedu ini mengandung kolesterol, kalsium bikarbonat, kalsium
bilirubinat atau gabungan dari elemen-elemen tersebut (Grace, Pierce. dkk, 2006, hlm 121).
B. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan Kolelitiasis yaitu: diantara jenis kelamin,
umur, berat badan, makanan, faktor genetik, aktifitas fisik dan infeksi. Berikut ini akan
dijelaskan tentang faktor-faktor penyebab Kolelitiasis, antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena Kolelitiasis dibandingkan dengan pria,
ini dikarenakan oleh hormon Estrogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi
kolestrol oleh kandung empedu, penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (Estrogen)
dapat meningkatkan kolestrol dalam kandung empedu dan penurunan aktifitas
pengosongan kandung empedu.
b. Umur
Resiko untuk terkena Kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena Kolelitiasis dibandingkan dengan
orang yang usia lebih muda.
c. Berat Badan
Laporan Pendahuluan 1
Orang dengan berat badan tinggi mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi Kolelitiasis,
ini dikarenakan dengan tingginya Body Mass Index (BMI) maka kadar kolestrol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi
kontraksi atau pengosongan kandung empedu
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu
e. Faktor Genetik
Orang dengan riwayat keluarga Kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingkan
dengan tanpa riwayat keluarga
f. Aktifitas Fisik
Kekurangan aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya Kolelitiasis,
ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi
g. Infeksi
Bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu, mucus
meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi
Menurut Mansjoer Arif (2001, hlm. 510) ”Beberapa faktor resiko terjadinya batu
empedu antara lain jenis kelamin, umur, hormon wanita, infeksi (kolesistitis), kegemukan,
paritas, serta faktor genetik. Terjadinya batu kolesterol adalah akibat gangguan hati yang
mengekskresikan kolesterol berlebihan hingga kadarnya di atas nilai kritis kelarutan kolesterol
dalam empedu”.
Menurut Price, (2005, hlm. 502) “Penyebab batu empedu masih belum di ketahui
sepenuhnya, akan tetapi tampaknya faktor predisposisi terpenting adalah gangguan
metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan
infeksi kandung empedu”.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu. Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu, atau spasme sfingter Oddi, atau keduanya dapat
menyebabkan terjadinya statis. Faktor hormonal (terutama selama kehamilan) dapat di kaitkan
dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan menyebabkan tingginya insidensi
dalam kelompok ini.
Laporan Pendahuluan 2
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus
meningkatkan viskositas empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya
batu empedu, di bandingkan sebagai penyebab terbentuknya batu empedu
D. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Empedu
Kandung empedu adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan visceral hepar. Kantung empedu dibagi menjadi fundus, corpus dan collum.
Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana
Laporan Pendahuluan 3
fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya ke atas, belakang
dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus
untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus.
Peritoneum mengelilingi kandung empedu dengan sempurna menghubungkan corpus dan
collum dengan permukaan visceral hati.
2. Fisiologi Empedu
Kandung empedu berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50
ml. Kandung empedu mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Untuk membantu
proses ini, mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang satu sama lain saling
berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel - sel thorak yang
membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran
ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum
terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
E. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.
Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol).
Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Jenisnya antara lain :
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat), Berwarna coklat atau coklat tua,
lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen
Laporan Pendahuluan 4
utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran
empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi
bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar
enzim Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin
bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat
yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat
antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen
cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam. Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah
tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati.
Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam
kandung empedu dengan empedu yang steril.
3. Batu campuran : antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
F. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:
a. pembentukan empedu yang supersaturasi
b. nukleasi atau pembentukan inti batu
c. berkembang karena bertambahnya pengendapan.
Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua
batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandinga
n
asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga
tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu di
pertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral
kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi
sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi
lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan koles
terol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk
suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah,
Laporan Pendahuluan 5
mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain
diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.
Cholelitasis / batu empedu hampir selalu di bentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedun lainnya.
Faktor predisposisi yang penting adalah :
a. Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
b. Statis empedu
c. Infeksi kandung empedu
Perubahan susunan empedu yang mungkin adalah faktor yang paling penting pada
pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam kandung
empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan susunan kimia dan pengendapan untus tersebut. Gangguan kontraksi kandung
empedu dapat menyebabkan statis. Faktor hormnal khususnya selama kehamilan dapat
dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang
tinggi pada kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peran sebagai pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mukus.
Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. Infeksi lebih
sering sebagai akibat pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang menyebabkan
pembentukan batu.
Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada pembentukan foto
polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke
leher kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi ke duktus sistikus
akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi.
Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis kolesistitis akut
atau kronik.
Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu
Presipitasi / pengendapan
Laporan Pendahuluan 6
Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi
Laporan Pendahuluan 7
Pathway
konjungtiva an anemia
Masuk ke
Dalam peredaran kulit dan mata ikterik
Darah urien warna gelap
Laporan Pendahuluan 8
Proses supersaturasi, nukleasi,bertambahnya endapan
Cholelitiasis
Pembentukan batu empedu
Pre op intra op post op
Laporan Pendahuluan 9
Keterangan pathway :
http://pradhitahendriyeni.blogspot.com/2014/05/askep-batu-empedu.html di akses
tanggal 10 Maret 2019
http://bangsalsehat.blogspot.com/2018/03/laporan-pendahuluan-cholelithiasis-
batu.html di akses tanggal 10 Maret 2019
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi
serangan akut.
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar
10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang
terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara
di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu
yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
Laporan Pendahuluan 10
4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah
dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar
bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada
keadaankeadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
H. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-
timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak.
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan
perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu
(kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan
setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. Pilihan penatalaksanaan
antara lain:
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di
Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi
normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan
paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di
dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
Laporan Pendahuluan 11
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka
kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan
manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam
xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap
terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.10
Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini an sukses.2 Disolusi medis sebelumnya
harus memenuhi criteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20
mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
4. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (Metil-
Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per
kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu.
Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50%
dalam 5 tahun).
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biayamanfaat pad saat
ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk
pasien yang sakitnya kritis.
7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung
dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui
sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar
sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan
sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
Laporan Pendahuluan 12
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih
aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada
penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.
Laporan Pendahuluan 13
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Aktivitas dan istirahat:
a. Subyektif : kelemahan
b. Obyektif : kelelahan
2. Sirkulasi :
a. Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
b. Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau
stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
3. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya
financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
4. Eliminasi :
a. Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
b. Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan atas, urine
pekat .
5. Makan / minum (cairan)
a. Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit.
Tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas.
Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn).
Ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.
6. Kegemukan.
a. Kehilangan berat badan (kurus).
7. Nyeri/ Kenyamanan :
a. Subyektif :
Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
Laporan Pendahuluan 14
Nyeri apigastrium setelah makan.
Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.
b. Obyektif :
Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot meregang /kaku hal ini
dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan menunjukan tanda marfin (+).
8. Respirasi :
a. Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak nyaman.
9. Keamanan :
a. Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus , cenderung
perdarahan ( defisiensi Vit K ).
b. Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi
immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ;
Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia
malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-
obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
c. Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
10. Belajar mengajar :
a. Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu kandung
empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada saluran cerna
bagian bawah.
b. Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik
glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic,
antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau
obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang
mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan
diri pasca operasi).
B. Diagnosa keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan krisis emosional
2. Risiko perdarahan berhubungan dengan proses invasif
3. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
4. Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan
perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru, obstruksi trakeobronkial.
Laporan Pendahuluan 15
5. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia misalnya penggunaan
obat-obat farmasi, hipoksia ; lingkungan terapeutik yang terbatas misalnya
stimulus sensori yang berlebihan ; stress fisiologis.
6. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pembatasan
pemasukkan cairan tubuh secara oral, hilangnya cairan tubuh secara tidak
normal, pengeluaran integritas pembuluh darah.
7. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integrittas
otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang
C. Intervensi keperawatan
1. Pre operasi
Dx: ansietas berhubungan dengan krisis emosional
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan rasa cemas klien dapat berkurang
Kriteria hasil:
a. Klien mengatakan sudah tidak cemas.
b. Klien terlihat lebih rileks.
c. Klien tidak gelisah
Intervensi:
a. Ucapkan salam pada pasien
b. Perkenalkan nama dan identitas diri
c. Informasi tentang operasi dan prosedurnya
d. Dampingi klien dan berikan support mental pada pasien
e. Anjurkan pasien untuk berdoa
2. Intra operasi
Dx: risiko perdarahan berhubungan dengan proses invasif
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan risiko gangguan keseimbangan cairan
tidak terjadi
Kriteria hasil: tidak mengalami perdarahan
Intervensi:
a. Melakukan scrubing, gowning, gloving
b. Mengkaji tanda-tanda perdarahan
c. Mengkaji keseimbangan cairan
d. Kolaborasi: menghentikan perdarahan jika terjadi perdarahan
e. Kolaborasi: terapi sesuai advice
3. Post operasi
Laporan Pendahuluan 16
Dx: risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan diharapkan risiko infeksi dapat
diminimalisir
Kriteria hasil:
a. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
b. Luka operasi bersih
Intervensi:
a. Mendesinfeksi area op’ dg povidon iodine 10%
b. Memasang drap sterile area operasi
c. Memonitor keadaan umum dan mengukur TTV
d. Mengkaji tanda-tanda infeksi e. Kolaborasi: terapi sesuai advice
Tujuan : menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-
tanda hipoksia lainnya.
Kriteria hasil : tidak ada perubahan pada frekuensi dan kedalaman pernapasan.
INTERVENSI
Laporan Pendahuluan 17
R : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari muntah,
posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan
menurunkan tekanan pada diafragma.
e. Lakukan latihan gerak sesegera mungkin pada pasien yang reaktif dan lanjutkan pada
periode pascaoperasi.
R : ventilasi dalam yang aktif membuka alveolus, mengeluarkan sekresi, meningkatkan
pengangkutan oksigen, membuang gas anastesi ; batuk membantu mengeluarkan
sekresi dari sistem pernapasan
f. Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan.
R : obstruksi jalan napas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus
dalam tenggorok atau trakhea.
g. Kolaborasi, pemberian oksigen sesuai kebutuhan.
R : dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang
akan diikat oleh Hb yang menggantikan tempat gas anastesi dan mendorong
pengeluaran gas terssebut melalui zat-zat inhalasi.
Kriteria hasil : pasien mampu mengenali keterbatasan diri dan mencari sumber bantuan
sesuai kebutuhan.
INTERVENSI
a. Orientasikan kembali pasien secara terus menerus setelah keluar dari pengaruh
anastesi ; nyatakan bahwa operasi telah selesai dilakukan.
R : karena pasien telah meningkat kesadarannya, maka dukungan dan jaminan akan
membantu menghilangkan ansietas.
b. Bicara pada pasien dengan suara yang jelaas dan normal tanpa membentak, sadar
penuh akan apa yang diucapkan.
R : tidak dapat ditentukan kapan pasien akan sadar penuh, namun sensori
pendengaran merupakan kemampuan yang pertama kali akan pulih.
c. Evaluasi sensasi/pergerakkan ekstremitas dan batang tenggorok yang sesuai.
Laporan Pendahuluan 18
R : pengembalian fungsi setelah dilakukan blok saraf spinal atau lokal yang bergantung
pada jenis atau jumlah obat yang digunakan dan lamanya prosedur dilakukan.
d. Gunakan bantalan pada tepi tempat tidur, lakukan pengikatan jika diperlukan.
R : berikan keamanan bagi pasien selama tahap darurat, mencegah terjadinya cedera
pada kepala dan ekstremitas bila pasien melakukan perlawanan selama masa
disorientasi.
e. Periksa aliran infus, selang endotrakeal, kateter, bila dipasang dan pastikan
kepatenannya.
R : pada pasien yang mengalami disorientasi, mungkin akan terjadi bendungan pada
aliran infus dan sistem pengeluaran lainnya, terlepas, atau tertekuk.
f. Pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman.
R : stimulus eksternal mungkin menyebabkan abrasi psikis ketika terjadi
disosiasi obat-obatan anastesi yang telah diberikan.
Laporan Pendahuluan 19
R : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari muntah,
posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan
menurunkan tekanan pada diafragma.
e. Periksa pembalut, alat drain pada interval reguler. Kaji luka untuk terjadinya
pembengkakan.
R : perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia/hemoragi.
f. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
R : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi
perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
g. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander
sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan.
R : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu
penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya
ketidak seimbangan.
DP : Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integrittas
otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang
Tujuan : pasien mengatakan bahwa rasa nyeri telah terkontrol atau hilang.
INTERVENSI
Laporan Pendahuluan 20
d. Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan.
R : pahami penyebab ketidaknyamanan, sediakan jaminan emosional.
e. Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalnya semi – Fowler ; miring.
R : mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi – Fowler
dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan otot pungguung artritis, sedangkan
miring mengurangi tekanan dorsal.
f. Observasi efek analgetik.
R : respirasi mungkin menurun pada pemberian narkotik, dan mungkin menimbulkan
efek-efek sinergistik dengan zat-zat anastesi.
g. Kolaborasi, pemberian analgetik IV sesuai kebutuhan.
R : analgetik IV akan dengan segera mencapai pusat rasa saki, menimbulkan
penghilang yang lebih efektif dengan obat dosis kecil.
Laporan Pendahuluan 21
BAB III
TINJAUAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
POST OP BATU EMPEDU
A. PENGKAJIAN
Nama Mahasiswa :
Tanggal Pengkajian : 17 Desember 2014
Tanggal Masuk : 6 Desember 2014
No. RM : C510150
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 50 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Margamulya RT 3/ 1 Kec. Kedungbanteng, Kab. Tegal
Diagnosa medis : Cholelithiasis dengan bile leakage post colecystectomy
Laporan Pendahuluan 22
empedu (22/11/2014). Setelah 2 minggu, selang drain keluar cairan berwarna kuning
kehijauan. Pagi harinya pasien dirujuk ke RSUP Dr Kariadi Semarang. Saat ini pasien
mengeluh nyeri pada perut bekas operasi. Nyeri diperberat bila bergerak dan berkurang
bila istirahat. Nyeri dirasakan hilang timbul. Skala Nyeri 2. Nyeri seperti cekot-cekot.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan sebelum sakit seperti sekarang, pasien sering mengkonsumsi
makanan berlemak seperti gorengan. Hal ini diperberat karena pasien juga jarang
mengkonsumsi sayuran. Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes
melitus. Pasien juga baru sudah 3 kali dirawat di RS dengan penyakit yang sama seperti
yang dialami sekarang.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat keturunan seperti
kencing manis dan hipertensi.
Laporan Pendahuluan 23
Selama sakit : Pasien hanya bedrest dan jika ingin ke toilet dibantu oleh keluarga
5. Pola Istirahat dan Tidur
Sebelum sakit : Pasien mengatakan tidur malam ± 5-6 jam. Jarang tidur siang. Tidak
ada keluhan saat tidur
Selama sakit : Pasien mengatakan tidur malam ± 3-4 jam. Tidur siang ± 1-2 jam
setelah makan siang
6. Pola Sensori dan Kognitif
Sebelum sakit : Pasien tidak mengalami gangguan seperti penglihatan,
pendengaran,dll
Selama sakit : Pasien hanya mengeluh nyeri pada perut bekas operasi
7. Pola Hubungan dengan orang lain
Sebelum sakit : Pasien berkomunikasi dengan keluarga dan lingkungan sekitar
dengan baik
Selama sakit : Pasien hanya berkomunikasi dengan keluarga karena pasien dirawat
di RS
8. Pola Reproduksi dan Seksual
Sebelum sakit : Pasien tidak ada gangguan pada pola seksualnya
Selama sakit : Pasien tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai seorang istri karena
terbaring lemah di RS
9. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Sebelum sakit : Status emosional, fungsional dan konsep diri baik
Selama sakit :
a. Pasien terbaring lemah
b. Identitas diri : pasien biasa beraktivitas secara mandiri dan bekerja
c. Peran : Pasien tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai istri dan bekerja mencari
nafkah
10. Pola Mekanisme Koping
Sebelum sakit : Pasien mengatakan sebelumnya belum pernah mengalami penyakit
yang parah. Jika ada keluhan yang dialami dirinya pasien selalu
membicarakan dengan keluarganya terutama suaminya.
Selama sakit : Pasien baru pertama kali mengalami sakit yang parah seperti
sekarang ini. Pasien selalu mengeluh nyeri pada luka bekas operasi
dan pasien hanya bisa pasrah dan bersedia mengikuti prosedur
Laporan Pendahuluan 24
tindakan yang dilakukan perawat/dokter dalam upaya untuk
kesembuhan dirinya.
11. Pola Nilai Keyakinan
Sebelum sakit : Pasien solat 5 waktu dalam sehari
Selama sakit : Pasien hanya bisa berdoa agar penyakitnya bisa segera sembuh
IV. Pemeriksaan Fisik
1. Tingkat kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Kesadaran umum : lemah
2. Vital Sign
TD : 140/90 mmHg Suhu : 38°C
RR : 18 kali/ menit Nadi : 86 kali/ menit
3. Antropometri
Tinggi badan : 164 cm BB : 50 IMT : 18,65
BB sebelum sakit : 60 Kg
BB selama sakit : 50 Kg
Penurunan BB 10 Kg
Interpretasi :
IMT Kategori
< 18,5 BB kurang
18,5 – 22,9 BB normal (ideal)
> 23,0 Kelebihan BB
4. Pemeriksaan Kepala
Bentuk : Mesochepal
Rambut : Hitam lurus beruban
Mata : Kemampuan penglihatan baik, konjungtiva non anemis
Hidung : Bersih, tidak ada polip
Telinga : Kemampuan pendengaran baik, tidak ada serumen
Mulut : Selaput mukosa baik, bibir lembab
5. Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Simetris, tidak menggunakan otot bantu pernafasan
Palpasi : Taktil fremitus sama kanan-kiri
Perkusi : Sonor
Laporan Pendahuluan 25
Auskultasi : Vesikuler
6. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Simetris, ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis tak teraba, tidak ada pembesaran jantung
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Suara murni batas jantung I-II
7. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Simetris, terdapat luka post operasi
Auskultasi : Bising usus 14 kali/ menit
Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada kuadran 1
Perkusi : Tympani
8. Ekstremitas
Atas : Terpasang selang infus D5+1/2 NS 20 tpm, skala kekuatan otot 5,
kebersihan kuku terjaga
Bawah : Skala kekuatan otot 5, kebersihan kuku terjaga
V. Therapi
1. Infus D5+1/2 NS 20 tpm
2. Cefadroxil 2 x 500 mg
3. Paracetamol 3 x 500 mg
4. Asam Traneksamat 3 x 500 mg
VI. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hematologi Paket ( 11/12/2014)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan keterangan
Hemoglobin 10,3 g/dl 12,00 – 15,00 L
Hematokrit 29,9 % 35 – 47 L
Eritrosit 3,5 10ˆ6/uL 4,4 – 5,9 L
MCH 29,5 pg 27,00 – 32,00
MCV 85, 7 fL 76 – 96
MCHC 34,4 g/dl 29,00 – 36,00
Leukosit 15,9 10ˆ3/uL 3,6 – 11 H
Trombosit 588 10ˆ3/uL 150 – 400 H
RDW 15,7 % 11,60 – 14,80 H
MPV 8,9 fL 4,00 – 11,00
Laporan Pendahuluan 26
2. Kimia Klinik (16/12/2014)
Albumin 3,7 g/dl 3,4 – 5,0
ANALISA DATA
Laporan Pendahuluan 27
meningkat
sekunder
Reaksi anestesi
Perdarahan
pascaoperatif
Respon tubuh
Nyeri
2. Ds : - Pasien mengatakan badannya terasa panas Resiko tinggi Pembentukan
- Pasien mengatakan merasakan nyeri pada luka infeksi batu ginjal
post operasi
Do : - Suhu badan 38°C Rencana
- Leukosit 15,9 10ˆ3/uL pembedaha
- Terjadi bile lekage post colecystectomy
Pascaoperatif
Efek anestesi
Adanya luka
bedah,adanya
sistem drainase
Risiko tinggi
infeksi
3. Ds : - Pasien mengatakan makan hanya habis ½ Resiko Tindakan
porsi kekurangan pembedahan :
- Pasien mengatakan tidak nafsu makan nutrisi post op
Do : - BB sebelumnya 60 kg Tinggi badan : 164 kurang dari colecystectomy
cm kebutuhan laparatomy
BB sekarang 50 kg tubuh
Laporan Pendahuluan 28
- IMT = 18,65 Pembatasan
- Albumin 3,7 g/dl, Hemoglobin 10,3 g/dl (L) , intake
hematokrit 29,9 % (L) makanan
- Diit yang diperoleh adalah diit biasa (Nasi, lauk, peroral
sayur dan buah)
Asuhan
makanan tidak
terpenuhhi
Resiko
pemenuhan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh.
INTERVENSI
Laporan Pendahuluan 29
a. Mampu Relaksasi distraksi Nafas
mengontrol nyeri dalam
b. Menyatakan rasa Kompres hangat/dingin
nyaman setelah Tingkatkan istirahat
nyeri berkurang Monitor vital sign
c. TTV dalam e. Kolaborasi dengan dokter
rentang normal pemberian analgetik
Rabu, 17 Resiko tinggi Setelah dilakukan a. Kaji tanda gejala infeksi
Desember infeksi tindakan keperawatan b. Kaji suhu badan klien tiap 4
2014 berhubungan selama 3x24 jam jam
dengan port diharapkan masalah c. Observasi pemeriksaan
de entry teratasi dengan KH : leukosit
a. Klien bebas dari d. Observasi keadaan luka
tanda dan gejala e. Lakukan perawatan luka
infeksi f. Dorong masukan cairan
b. Jumlah leukosit g. Kolaborasi dengan dokter
dalam batas pemberian antibiotik
normal
Rabu, 17 Resiko Setelah dilakukan a. Kaji adanya alergi makanan
Desember ketidakseimb tindakan keperawatan b. Monitor adanya penurunan BB
2014 angan nutrisi selama 3x24 jam c. Monitor intake nutrisi
kurang dari diharapkan masalah d. Monitor tugor kulit
kebutuhan teratasi dengan KH : e. Monitor mual muntah
tubuh a. Nafsu makan f. Anjurkan banyak minum
berhubungan meningkat g. Kolaborasi dengan dokter
dengan intake b. Makan habis 1 pemberian antiemetik (bila
makan tidak porsi mual muntah)
adekuat c. BB ideal
IMPLEMENTASI
Laporan Pendahuluan 30
Dx
Rabu, 17 1 1. Mengkaji nyeri Ds :
Desember secara komprehensif a. Pasien mengatakan nyeri pada
2014 perut post operasi. Nyeri
diperberat bila bergerak dan
Pukul 11.00 berkurang bila istirahat. Nyeri
dirasakan hilang timbul
b. Pasien mengatakan nyeri seperti
cekot-cekot. skala nyeri 2
Do : Pasien tampak menahan sakit
2. Mengkaji koping
Pukul 11.15 terhadap nyeri Ds : Pasien mengatakan ingin
nyerinya segera sembuh
Do : Pasien bersedia mengikuti
prosedur tindakan yang dilakukan
terutama managemen nyeri dengan
non farmakologi untuk mngurangi
Pukul 11.20 3. Memonitor vital rasa nyerinya
sign
Ds : -
Do : TD = 140/90 mmHg RR = 18
Pukul 11.30 kali/m
Nadi = 86 kali/m Suhu =
Pukul 12.00 38°C
2 1. Mengkaji tanda Ds : Pasien mengatakan nyeri pada
Pukul 12.15 gejala infeksi luka bekas operasi
Do : Terdapat luka post
2. Mengkaji suhu colecystectomy
Pukul 13.00 badan klien
3. Mengobservasi Ds : -
pemeriksaan leukosit Do : Suhu badan 38 ° C
Pukul 13.10 Ds :
Laporan Pendahuluan 31
4. Berkolaborasi Do : Leukosit 15,9 10ˆ3/uL
dengan dokter (Pemeriksaan lab tgl 11/12/2014)
Pukul 13.15 pemberian obat
antipiretik Ds : -
Do: Pasien diberi obat paracetamol
(PO)
3 1. Memonitor adanya Ds : Pasien mengatakan BB sebelum
penurunan BB sakit 60 Kg dan Tinggi badan 164 cm
Do : BB sekarang 50 kg
2. Memonitor intake
nutrisi Ds : Pasien mengatakan makan
hanya habis ½ Porsi
Do : Nafsu makan pasien tampak
berkurang
Kamis, 18 1 1. Mengkaji nyeri Ds : Pasien mengatakan masih
Desember secara komprehensif merasakan nyeri dibagian perutnya.
2014 skala nyeri 2
Pukul 10.00 2. Do : pasien tampak menahan sakit
Laporan Pendahuluan 32
2 Mengkaji tanda gejala Ds : Pasien mengatakan nyeri pada
infeksi luka bekas operasi
Pukul 11.00 Do : Terdapat luka post
colecystectomy
Melakukan perawatan Ds : -
luka Do : Luka pasien sudah terlihat
kering, tidak terlihat kemerahan dan
bengkak.
Laporan Pendahuluan 33
Pukul 18.55 2 1. Mengkaji tanda Ds : Pasien mengatakan nyeri pada
gejala infeksi luka bekas operasi
Do : Terdapat luka bekas operasi
Pukul 19.10 laparatomi rekonstruksi bilier
2.
Mengkaji suhu badan Ds : Pasien mengatakan badannya
setiap 4 jam terasa menggigil
Do : Suhu badan 38,5 °C
Pukul 20.00 3.
Berkolaborasi dengan Ds : -
dokter pemberian Do : Pasien mendapat paracetamol
antibiotik atau infus 1000 mg
antipiretik
3 1. Memonitor intake Ds : Pasien mengatakan hanya
nutrisi minum air manis saja
Do : Sementara pasien hanya
mendapat diit air gula
EVALUASI
Laporan Pendahuluan 34
b. Pasien bersedia mengikuti prosedur tindakan yang
dilakukan terutama managemen nyeri dengan non
farmakologi untuk mengurangi rasa nyerinya
c. TD = 140/90 mmHg RR = 18 kali/mnt Nadi = 86
kali/m Suhu = 38°C
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi : Kaji nyeri, monitor vital sign
2 S : Pasien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi
O:
a. Terdapat luka post colecystectomy
b. Suhu badan 38 ° C
c. Leukosit 15,9 10ˆ3/uL (Pemeriksaan lab tgl 11/12/2014)
d. Pasien diberi obat paracetamol (PO)
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi : Kaji tanda gejala infeksi, lakukan
perawatan luka
3 S : - Pasien mengatakan BB sebelum sakit 60kg & Tinggi
badan 164 cm
- Pasien mengatakan makan hanya habis ½ porsi
O : - BB sekarang 50 kg
- Nafsu makan pasien tampak berkurang
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi : monitor intake nutrisi
Kamis, 18 1 S : Pasien mengatakan masih merasakan nyeri dibagian
Desember perutnya. Skala nyeri 2
2014 O:
a. Pasien tampak menahan sakit
b. TD = 130/90 mmHg Suhu = 37,5 °C
c. Nadi = 90 kali/menit RR = 20 kali/menit
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi : Lakukan managemen nyeri
2 S : Pasien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi
O : - Terdapat luka post colecystectomy
Laporan Pendahuluan 35
- Luka pasien sudah terlihat kering, tidak terlihat
kemerahan dan bengkak.
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi : Kaji tanda gejala infeksi, monitor
suhu badan,
observasi leukosit
3 S : Pasien mengatakan puasa sejak pagi hari
O : Pasien rencana operasi rekonstruksi bilier pukul 12.00
WIB
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi : Monitor intake nutrisi
Jumat, 19 1 S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi
Desember (rekonstruksi bilier). Nyeri dirasakan secara terus menerus.
2014 Nyeri seperti ditusuk-tusuk. Skala nyeri 5, Pasien
mengatakan dahulu pernah diajarkan teknik nafas dalam
O : - Pasien tampak merintih kesakitan
- Gerakan pasien saat nafas dalam salah dan pasien
diajarkan cara teknik nafas dalam yang benar
- TD = 120/70 mmHg Suhu = 38,5 °C
Nadi = 90 kali/menit RR = 24 kali/menit
A : Masalah teratasi sebagian
P : Motivasi klien untuk selalu melakukan nafas dalam jika
nyerinya kembali kambuh
2 S : - Pasien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi
- Pasien mengatakan badannya terasa menggigil
O : - Terdapat luka bekas operasi laparatomi rekonstruksi
bilier
- Suhu badan 38,5 °C
- Pasien mendapat paracetamol infus 1000 mg
A : Masalah belum teratasi
P : Lakukan monitoring suhu badan,leukosit serta tanda
gejala infeksi
3 S : Pasien mengatakan hanya minum air manis saja
Laporan Pendahuluan 36
O : Sementara pasien hanya mendapat diit air gula
A : Masalah belum teratasi
P : Monitoring KU dan intake makan
Laporan Pendahuluan 37
DAFTAR PUSTAKA
http://lukmanfebriantonurse.blogspot.com/2015/06/asuhan-keperawatan-pada-klien-
dengan_7.html di akses tanggal 10 Maret 2019
http://bangsalsehat.blogspot.com/2018/03/laporan-pendahuluan-cholelithiasis-batu.html di akses
tanggal 10 Maret 2019
Laporan Pendahuluan 38