Anda di halaman 1dari 19

REFERAT CHOLELITHIASI

Oleh :

Mazirul Agung Santara

NIM 561802008

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/

RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Kolelitiasis saat ini merupakan penyakit saluran cerna yang sering ditemukan

di dunia. Di Amerika, kolelitiasis merupakan penyakit saluran pencernaan dengan

biaya pengobatan yang paling mahal sekitar 6,5 juta per tahun. 1

Angka kejadian koleltiasis hingga 5,3 – 25% populasi. Berdasarkan laporan

survei klinis di Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Asia, penyakit ini sering

tidak bergejala, hanya 20% penderita dengan kolelitiasis yang mengeluhkan nyeri.

Faktor resiko yang paling tinggi adalah jenis kelamin wanita terutama pada usia 40

-50 tahun, hal tersebut juga berhubungan dengan kejadian sindrom metabolik.

Beberapa faktor resiko lain yaitu, genetik, aktivitas yang kurang yang berhubungan

dengan obesitas sehingga mengakibatkan peningkatan pembentukan kolesterol batu

empedu.2

Di Indonesia, angka kejadian kolelitiasis semakin bertambah sebanding

dengan pertambahan jumlah obesitas dan peningkatan angka kejadian hiperkolesterol

pada usia muda. Pertambahan jumlah penderita kolelitiasis harus diiringi dengan

penengakkan diagnosis yang lebih akurat dikarenakan banyak kasus kolelitiasis tanpa

gejala, meskipun angka mortalitas dari kasus ini minimal namun akan menyebabkan

penurunan kualitas kerja penderita.3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kolelitiasis merupakan pembentukan batu yang terjadi di kandung empedu,

atau saluran empedu, ataupun keduanya. Sumbatan yang terjadi akibat batu

empedu dapat meningkatkan tekanan pada kandung empedu sehingga

menyebabkan kurangnya aliran darah ke dinding empedu dan mukosa kandung

empedu, hal tersebut berakibat dari tidak lancarnya sauran empedu yang berakibat

mengiritasi mukosa dinding yang dapat diperparah adanya infeksi bakteri

selanjutnya dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi dinding kandung empedu.1

2.2 Patofisiologi

Terdapat tiga jalur pembentukan dari batu kandung empedu yaitu,

a. Supersaturasi kolesterol

Secara normal, empedu dapat melarutkan kolesterol yang dieksresikan oleh

hepar namun, jika hepar memproduksi kolesterol yang lebih tinggi dari

kemampuan empedu untuk melarutkannya, peningkatan kolesterol tersebut

dapat berpengaruh dalam pembentukan kristal. Kristal tersebut tertampung di

mukosa kandung empedu dan terbentuk endapan. Seiring berjalannya waktu,


kristal-kristal yang ada akan membentuk batu dan menutup jalan dari duktus

yang berakibat adanya penyakit batu kandung empedu.4

b. Peningkatan produksi bilirubin

Bilirubin sebagai zat pigmen kuning yang dihasilkan dari pemecahan

sel darah merah, disekresikan ke empedu oleh sel-sel hepar. Kondisi kelainan

hematologi dapat menyebabkan hepar menghasilkan bilirubin yang berlebih

melalui proses pemecahan hemoglobin. Hiperbilirubinemia ini

memungkinkan penyebab terjadinya pembentukan kandung empedu.3

c. Hipomotilitas dari kandung empedu atau kerusakan kontraktilitas

Jika kandung empedu tidak dapat mengosongkan secara efektif,

empedu kemungkinan akan terjadi pengendapan dan membentuk batu. 3,4

2.3 Faktor resiko

Faktor resiko terjadinya batu empedu sering kali dikenal dengan istilah 6F

(fat, female, forty, fair, fertile, family history) , beberapa faktor resiko tersebut

dapat diuraikan,

a. Berat badan

Semakin tinggi Body Mass Index (BMI) semakin tinggi pula resiko

terkena batu empedu. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya kadar kolesterol
dalam kandung empedu pada BMI yang obese ataupun overweight akhirnya

mengurangi garam empedu dan kontraksi pengosongan kandung empedu. 5

b. Jenis kelamin

Pada wanita tingkat kejadian dua kali lebih tinggi dari pada pria.

Faktor yang mempengaruhi adalah adanya hormon estrogen yang

menstimulasi peningkatan ekresi dari kolesterol oleh kandung empedu. 4,5

c. Usia

Penderita kolelitiasis paling banyak pada usia 40 – 50 tahun. Penyebab

dari peningkatan resiko terkena kolelitiasis pada usia >40 tahun adalah :

- Batu empedu jarang mengalami disolusi spontan,

- Semakin bertambah usia semakin meningkat sekresi koleseterol di

empedu,

- Empedu menjadi litogenik semakin bertambahnya usia.5

d. Kesuburan

Pada wanita multiparitas tingkat kejadian lebih tinggi dari wanita

dengan anak kurang dari 3, hal tersebut berkaitan dengan tingginya

kandungan estrogen.

e. Warna kulit kuning langsat


f. Riwayat keluarga

Faktor genetik mempengaruhi 25 % dari faktor resiko terjadinya batu

empedu. ABCG8 D19H genotype heterozigot atau homozigot meningkatkan

resiko lebih besar, hal tersebut dipengaruhi karena ABCG8 D19H

menurunkan penyerapan kolesterol, meningkatkan kolesterol serum, dan

sintesis kolesterol di hepar menjadi meningkat. Selain itu juga dipengaruhi

oleh Mucin gene polymorphisms atau FGFR4 polymorphism. The mucin-like

protocadherin gene (MUPCDH) polymorphism rs3758650 dapat digunakan

sebagai penanda genetik untuk memprediksi terjadinya penyakit batu

empedu.6

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan komposisi kimia dan gambaran makroskopis, batu empedu dibagi

menjadi tiga macam yaitu,

a. Batu kolesterol

Batu kolesterol menjadi penyebab yang paling sering ditemukan pada

kasus batu empedu, tingkat kejadian mencapai 90%. Bentuk dari batu

kolesterol yaitu oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari

70% kolesterol berdasarkan berat serta variasi jumlah fosfolipid, pigmen

empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Batu kolesterol murni sangat
jarang ditemukan, tingkat prevelensi hanya kurang dari 10% dengan bentuk

soliter, besar, dan permukaan halus.

Proses pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahapan yaitu,

- Supersaturasi empedu dengan kolesterol

- Pembentukan nidus

- Kristalisasi

- Pertumbuhan batu oleh agregasi lamelar kolesterol dan senyawa

lain yang membentuk matriks batu.

b. Batu pigmen

Batu pigmen dijumpai 10% dari total jenis batu empedu, terdapat

beberapa jenis dari batu pigmen,

- Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat)

Mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.

Berwarna coklat akibat dari faktor statis dan infeksi saluran

empedu. Faktor statis dikarenakan disfungsi sfingter Oddi, striktur,

operasi billier, dan infeksi parasit. Infeksi saluran empedu

disebabkan paling sering dari bakteri E. Colli yang menghasilkan

enzim B-glukoronidase yang terhidrolisis menjadi bilirubin bebas

dan asam glukorunat.

- Batu pigmen hitam


Batu pigmen hitam ditemukan pada kasus batu empedu yang

disebabkan karena proses hemolisis kronik atau sirosis hati. Terdiri

dari derivate polymerized bilirubin. Karakeristik dari batu pigmen

hitam yaitu tidak berbentuk, bisa seperti bubuk dan kaya akan zat

hitam yang tidak terkestraksi.

c. Batu campuran

Kandungan dari batu campuran adalah antara kolesterol dan pigmen

dimana mengandung 20-50% kolesterol dan mengandung kalsium. Dasar

metabolism dari batu campuran sama dengan batu kolesterol yang bersifat

majemuk dan berwarna coklat tua.7

2.5 Manifestasi klinis

a. Asimtomatik

Penderita kolelitiasis dapat tidak merasakan gejala apapun jika batu

tidak masuk hingga duktus sistikus atau duktus koleduktus, atau jika batu

berukuran kecil sehingga dapat melewati duktus koledokus dan masuk hingga

ke duodenum.

b. Simtomatik
Gejala yang paling sering ditemukan pada penderita kolelitiasis adalah

nyeri kolik biler, ditandai dengan nyeri yang konstan dan intermitten, tajam di

bagian abdomen kuadran kanan atas. Nyeri yang dirasakan dapat menjalar

hingga punggung tengah, scapula, atau ke puncak bahu. Gejala lain yang

dapat timbul antara lain, dispepsia, mual, muntah, demam, jaundice dan gejala

yang paling jarang adalah pruritus.8

2.6 Diagnosis

Penegakkan diagnosis dari kolelitiasis dapat dilakukan melalui

a. Anamnesis

Pada penderita batu empedu yang simtomatis, sebagian besar akan

datang dengan keluhan nyeri di kuadran kanan atas yang dapat menyebar,

mual, dan muntah, hingga nyeri menjadi menetap dan bertambah saat menarik

nafas dalam.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang paling banyak ditemukan adalah adanya nyeri

tekan di abdomen kuadran kanan atas, apabila telah terjadi sumbatan di

saluran empedu akan timbul ikterus yang dimulai dari sklera hingga ke kulit.14

c. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboritorium sering ditemukan peningkatan angka

leukosit pada penderita kolelitiasis, hal tersebut diakibatkan dari

proliferasi leukosit oleh produksi sitokin dari sistem imun yang

mengakibatkan inflamasi. Peningkatan sedimentasi eritrosit dan CRP

dapat juga digunakan sebagai penanda inflamasi pada kasus kolelitiasis

yang berkembang menjadi peradangan kandung empedu, dimana CRP

diproduksi di hepar dan disalurkan ke darah.

Kenaikan bilirubin dapat dijumpai pada penderita yang telah terjadi

sindroma mirizzi akibat penekanan duktus koledokus yang disebabkan

oleh batu.9

- Pemeriksaan foto polos abdomen

Pemeriksaan foto polos abdomen tidak dapat memberikan

gambaran yang khas pada kolelitiasis. Batu yang dapat ditemukan

pada pemeriksaan ini jika mengandung kadar kalsium tinggi sehingga

memberikan gambaran radiopak. Gambaran radiologi yang khas

berupa adanya Mercedes-Benz’s sign.

- Pemeriksaan USG

USG merupakan pemeriksaan dengan spesifitas dan sensitifitas

tinggi untuk mendeteksi batu empedu dan saluran intra-hepatik. Pada


pemeriksaan ini dapat juga terlihat penebalan dinding kandung

empedu dikarenakan telah terjadi fibrosis atau edem.10

2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana yang dapat dilakukan jika pasien mengalami gejala yang menetap

a. Kolesistektomi terbuka

Kolesistektomi terbuka dilakukan pada pasien kolelitiasis yang

bergejala. Pada sebagian kasus, kolelitiasis ditemukan pada pembedahan

kasus lain, jika hal tersebut terjadi, penanganan kolesistektomi lebih baik

dilakukan langsung daripada menyebabkan komplikasi dikemudian hari. Pada

populasi orang Amerika, penderita kolelitiasis yang lebih beresiko terkena

kanker kandung empedu, direkomendasikan untuk dilakukan kolesistektomi

terbuka.

Indikasi pada kolesistektomi terbuka adalah pada kasus ditemukannya

masa di kandung empedu yang membutuhkan diseksi di nodus limpatik,

reseksi en bloc di kandung empedu, beberapa bagian hepar, atau duktus

koledokus. Indikasi lain adalah jika ditemukan kasus Mirizzi’s syndrome dan

ileus batu kandung empedu. Ileus batu kandung empedu disebabkan karena

penyumbatan dari usus halus dimana batu tertumpuk di kandung empedu.11

b. Kolesistektomi laparoskopi
Kolesistektomi laparoskopi memiliki angka morbiditas, komplikasi,

dan mortalitas yang lebih rendah daripada kolesistektomi terbuka.

Keuntungan dari laparoskopi yaitu mengurangi waktu perawatan di rumah

sakit sekaligus biaya pengobatan, waktu penyumbuhan luka lebih cepat, dan

luka yang tidak lebar.

c. Litotripsi gelombang elektrosyok (ESWL)

ESWL dapat dilakukan pada kasus batu empedu yang soliter, diameter

kurang dari 2 cm. Gelombang energi yang tinggi disinarkan langsung melalui

dinding abdomen ke arah batu. Gelombang berjalan melalui jaringan tubuh

yang nantinya dapat memecahkan batu. Fragmen dari batu yang telah terpecah

dapat melewati saluran di kandung empedu ke usus halus.12

d. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Jika dicurigai adanya batu di saluran empedu, pemeriksaan endoscopic

retrograde cholangiopancreatography dapat dilakukan untuk mengonfirmasi

sebelum dilakukan kolesistektomi laparoskopi. Pemeriksaan ERCP

dipergunakan untuk mendeteksi adanya batu ataupun striktur yang ganas,

selain itu juga dapat mengetahui penyebab atau tingkatan penyumbatan.

e. Disolusi
Disolusi merupakan penatalaksanaan non medis yang dapat dilakukan

dengan pemberian terapi garam oral berupa asam chenodeoxycholic

(chenodiol) dan asam ursodeoxycholic (ursodiol).13

2.8 Komplikasi

a. Kolesistisis

Kolesistitis adalah peradangan pada kandung empedu yang juga disebabkan

adanya batu empedu dan infeksi bakteri. Pada kolesistisis akan ditemukan

gejala murphy’s sign yaitu nyeri tekan pada kanan saat pasien diperikasan

dalam keadaan menarik nafas.

b. Kolangitis

kolangitis adalah infeksi yang telah menyebar dari saluran empedu ke saluran-

saluran di usus kecil yang terlahan karena batu empedu.

c. Hidrops

Hidrops terjadi akibat obstruksi di duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi

empedu kembali.

d. Empiema

Empiema merupakan komplikasi yang berat dari adanya batu empedu,

meskipun kasus ini jarang terjadi namun dapat membahayakan jiwa dan

membutuhkan kolesistektomi segera.14


2.9 Pencegahan

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer dilakukan pada orang dengan resiko terkena batu

empedu. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan

makanan sehingga terhindar dari infeksi bakteri, mengurangi makanan yang

mengandung kolesterol, meningkatkan konsumsi buah, sayur, dan makanan

berserat sehingga menurunkan resiko stagnansi cairan di kandung empedu.

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat diterapkan pada penderita yang sudah

didiagnosis kolelitiasis sehingga tidak terjadi pemberatan gejala dan

komplikasi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah penanggulana non bedah

seperti, disolusi medis, ERCP, atau ESWL, sementara penanggulangan bedah

yaitu kolesistektomi.

c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier dilakukan pada penderita yang tidak dapat

diberikan tindakan bedah maupun non bedah. Pencegahan dengan cara

perawatan paliatif agar mempertahankan kualitas hidup, memberikan rasa

nyaman dan memperlambat progesifitas penyakit, dilakukan dengan mengatur

asupan makanan rendah klorida.15


2.10 Prognosis

Prognosis kolelitiasis tergantung dari tingkat keparahan dan ada

tidaknya komplikasi. Semakin cepat kolelitiasis ditegakkan semakin

menurunkan kemungkinan terjadinya komplikasi dan menurunkan angka

mortalitas.11
BAB III

KESIMPULAN

Kolelitiasis adalah batu di kandung empedu, saluran empedu, atau di

keduanya. Terdapat 3 jalur utama pembentukan batu empedu, yaitu supersaturasi

kolesterol, peningkatan produksi bilirubin, dan hipomotilitas atau penurunan

kontraktilitas kandung empedu. Epideomiologi terjadinya batu empedu masih belum

jelas namun, angka kejadian semakin bertambah di negara-negara berkembang.

Faktor resiko kolelitiasis sering dikenal dengan istilah 6F (female, fat, forty,

fair, fertile, family history). Wanita memiliki angka kejadian dua kali lebih tinggi

dibanding pria dikarenakan pada wanita terdapat hormone estrogen yang

meninkatkan produksi kolesterol, dimana batu empedu paling sering ditemukan pada

kasus batu empedu kolesterol.

Penegakkan diagnosis batu empedu dapat melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang, meskipun pada beberapa kasus tidak menunjukkan

gejala. Gejala khas berupa adanya nyeri perut di kuadran kanan atas, selain itu dapat

disertai dispepsia, mual, muntah, demam, ataupun ikterus. Hasil pemeriksaan fisik

menunjukkan nyeri tekan di kuadran kanan atas atau adanya murphy’s sign jika sudah

terjadi komplikasi kolesistitis. Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan

yaitu USG.
Penatalaksanaan berupa kolesistektomi terbuka ataupun laparoskopi,

dipilihnya tindakan pembedahan berdasarkan kondisi dari pasien. Semakin cepat

diberikan tatalaksana semakin menurunkan resiko komplikasi dan angka mortalitas.


DAFTAR PUSTAKA

1. Febyan, Dhillion, H., Ndraha, S., & Tendean, M. (2017). Karakteristik Penderita
Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Resiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jurnal
Kedokteran Meditik Volume 23.

2. Nurhikmah, R., & Abdullah, D. (2015). Hubungan Peningkatan IMT dengan Kejadian
Kolelitiasis. Jurnal Kesehatan Saintika Meditory.

3. Tuuk, A., Panelewen, J., & Noersasongko, D. (2016). Profil Kasus Batu Empedu di
RSUP Prof. R. D. Kandou Manado Periode Oktober 2015-Oktober 2016. Jurnal e-
clinic.

4. Sharada, & Srinivas. (2017). Clinical study of Cholelithiasis. International Journal of


Scientific Study, 210-214.

5. Tanaja, J., Lopez, R., & Meer, J. (2020). Cholelithiasis. StatPearls Publishing.

6. Gross, A., Bacaj, P., & William, J. (2020). Educational Case: Gallstones, Cholelithiasis,
and Cholecystitis. Academic Pathology: volume 7.

7. Chen Y, Kong J, Wu S. Cholesterol gallstone disease: focusing on the role of


gallbladder. Laboratory Investigation. 2015 Feb;95(2):124-31

8. Khan SP, Izhar S. Ultrasound as a first line investigation of choice in diagnosis acute
cholicystitis. IJAR 2018;6(11):65-9.

9. Peswani AR, Sequeira VJ, D’silva M, Ghanwat S, Shah PP, Pinto AC. Association
between gallstone disease and metabolic syndrome. IJCMR 2019;6(10):J1-J5

10. Febyan. (2020). Cholelithiasis: A Brief Review on Diagnostic Approach and


Management in Clinical Practice. International Journal of Medical Reviews, 98-101.

11. Gore JM. Cholelithiasis. Journal of the American Academy of PAs. 2013 Dec
1;26(12):54-5.

12. Al-Saad, M. H., Alawadh, A. H., Al-Bagshi, H. A., & Al Ali, H. M. (2018). Surgical
Management of Cholelithiasis. The Egyptian Journal of Hospital Medicine.
13. Guarino MP, Cocca S, Altomare A, Emerenziani S, Cicala M. Ursodeoxycholic acid
therapy in gallbladder disease, a story not yet completed. World Journal of
Gastroenterology: WJG. 2013 Aug 21;19(31):5029

14. Shabanzadeh DM. Incidence of gallstone disease and complications. Curr Opin
Gastroenterol 2018;34:81-9.

15. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines on
the prevention, diagnosis and treatment of gallstones. Journal of Hepatology
2016;65:146-81

Anda mungkin juga menyukai