Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

DERMATITIS KONTAK IRITAN

       

Ditujukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian Kepaniteraan di bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Dokter Pembimbing:
dr. Antoni Miftah, Sp. KK

Disusun oleh:
Yulia Arfianti Levina 112018080

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA POLDA LAMPUNG
PERIODE 19 APRIL - 8 MEI 2021
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dermatitis kontak adalah masalah yang sering terjadi pada 95% kasus dari semua
penyakit kulit akibat kerja. Ini adalah peradangan kulit akut atau kronis yang
disebabkan oleh kontak dengan bahan kimia atau fisik. 1 Hal ini dapat dikategorikan
sebagai dermatitis kontak iritan (DKI) atau dermatitis kontak alergi (DKA). Presentase
DKI sebanyak 80% dari semua kasus dermatitis kontak, dan paling sering disebabkan
oleh paparan iritan yang sering, seperti sabun, air, dan rubbing alcohol. DKI ditandai
dengan reaksi inflamasi lokal yang menyebabkan kerusakan sitotoksik langsung pada
kulit yang yang menyebabkan gangguan skin barrier, perubahan sel, dan pelepasan
mediator proinflamasi. Sedangkan DKA ditandai dengan reaksi delayed hypersensitivity
tipe IV yang dimediasi sel T.1,2 Sulit untuk membedakan kedua jenis dermatosis
berdasarkan gambaran klinis saja.1
DKI adalah reaksi kompleks yang dimodulasi oleh faktor intrinsik (genetik) dan
ekstrinsik (lingkungan), keduanya penting dalam patogenesis DKI terutama dermatitis
pada tangan. Usia, jenis kelamin, bagian tubuh, dan adanya atopi rentan terhadap DKI.
Selain itu, sifat iritan, jumlah paparan, konsentrasi, durasi, repetisi, adanya faktor
lingkungan dan faktor mekanis harus dipertimbangkan dalam evaluasi DKI, karena
tidak diketahui jelas apakah faktor endogen atau eksogen yang berpengaruh lebih kuat
terhadap DKI.1
DKI dapat dialami siapa saja. Namun, individu yang bekerja di industri karet,
plastik, logam, petrokimia dan otomotif paling sering terkena dampak karena tingginya
tingkat paparan iritan.3 Mereka yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya
(misal, kulit kering dan dermatitis atopik), bayi dan orang tua, cenderung mengalami
DKI karena barrier epidermis yang kurang tangguh.1,3 Penelitian menunjukkan profil
penetrasi yang berbeda di stratum korneum pasien yang memiliki dermatitis atopik dan
terpapar iritan dibandingkan dengan subjek kontrol, sehingga menggambarkan peran
utama fungsi pelindung kulit di DKI.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Etiologi Dermatitis Kontak Iritan


Penyebab dermatitis dapat disebabkan oleh faktor endogen (host), dan faktor
eksogen (faktor lingkungan, dan bahan yang bersifat iritan) sebagai berikut.
1. Faktor Host
Yang berpengaruh pada DKI, seperti usia (usia lanjut memiliki kulit kering
karena kandungan lipid yang lebih rendah, dan kulit tidak sembuh dengan cepat
setelah cedera yang mengakibatkan gangguan barrier epitelial.4 DKI juga umum
terjadi pada anak-anak yang mengalami dermatitis popok, dermatitis perianal, DKI
akibat pakaian wol, dan dermatitis perioral. DKI lebih sering pada wanita daripada
pria.5 Penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami sebelumnya (ambang rangsang
terhadap bahan iritan menurun), misal dermatitis atopik (DA).6
2. Faktor Lingkungan
Kondisi lingkungan, seperti suhu, aliran udara, dan kelembaban memengaruhi
respon kulit terhadap iritan. Suhu dingin dan kelembaban rendah meningkatkan
kehilangan air transepidermal. Kelembapan tinggi juga dapat mengganggu pelindung
kulit. Keduanya menimbulkan kerentanan terhadap iritan. Pekerjaan tertentu
meningkatkan risiko DKI karena kontak berulang dengan air, deterjen, senyawa
organik, dan bahan kimia lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi terhadap
perkembangan DKI, yaitu tenaga medis, penata rambut, pekerja logam, pekerja
makanan, pekerja konstruksi dan semen.1
3. Bahan Iritan
Iritan adalah zat fisik dan kimia yang dapat menyebabkan kerusakan sel saat
bersentuhan dengan kulit dalam waktu lama atau pada konsentrasi tinggi. Iritasi
umum terjadi dari produk hewani, kosmetik, agen penghilang lemak, detergen, debu,
makanan, gesekan, kelembapan rendah, cairan logam, pelarut, gas air mata, obat
topikal, air dan pekerjaan basah (Gambar 1).1
Kriteria pekerjaan basah/wet work, meliputi: (1) tangan secara teratur di
lingkungan basah selama lebih dari 2 jam per hari, (2) sering mencuci tangan (lebih
dari 20 kali perhari), (3) penggunaan disinfektan tangan 20 kali dalam satu hari kerja,
dan (4) penggunaan sarung tangan selama lebih dari 2 jam per hari atau ganti sarung
tangan lebih dari 20 kali per hari. Telah terbukti bahwa pekerjaan basah tanpa
2
proteksi selama lebih dari 2 jam per hari merupakan faktor risiko perkembangan DKI
di penata rambut. Tidak semua orang yang melakukan pekerjaan basah akan
mengalami DKI, dan riwayat pekerjaan basah tidak menutup kemungkinan penyebab
lain dari dermatitis.7

Gambar 1. Penyebab Umum DKI Berdasarkan Daerah-daerah yang Terlibat1


Iritan kimia, seperti deterjen, surfaktan, desinfektan, dan antiseptik adalah
penyebab umum dari dermatitis akibat kerja baik DKI (42%) dan DKA (26,3%). 8
Sampo mengandung bahan kimia natrium lauril sulfat yang mengiritasi dan deterjen
terkait. Benzalkonium chlorida, surfaktan dan iritan banyak digunakan dalam
kosmetik, disinfektan kulit, sampo dan obat. Maskara berbasis pelarut lebih mungkin
menyebabkan DKI. Asam dan alkali menyebabkan DKI akut dengan ulserasi atau
luka bakar, seperti trauma, biasanya dalam lingkungan pekerjaan.1
Iritan fisik, seperti peralatan logam, kayu, dan fiberglass, bagian tanaman
seperti duri, daun tajam, wool, kertas, debu, dan tanah. Pakaian yang bertekstur kasar
dan berbahan wool serta alas kaki oklusif sering menyebabkan dermatitis pada anak-
anak. Yang terakhir disebut sweaty sock dermatitis, dan disebabkan oleh keringat

3
berlebih, memakai kaus kaki yang mengandung serat sintetis atau sepatu kets, sepatu
karet, atau sepatu bersol karet untuk waktu yang lama. Hal ini menyebabkan erupsi
pada jari-jari kaki dan area antar jaringan. Daerah-daerah ini dapat dengan mudah
menjadi eksim dan terinfeksi. Infeksi paronikia dan perubahan kuku distrofi pada
kasus yang terabaikan tidak jarang terjadi. Batubara, batu, debu batu, debu kimiawi,
debu semen, dan debu gergaji (dari jati, rosewood) menyebabkan dermatitis dan
likenifikasi.1
2.2. Epidemiologi
DKI dapat dialami oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis
kelamin.6 Persentase kasus yang mengalami DKI sebanyak 80%, dan sisanya
disebabkan oleh DKA sebanyak 20%.2 Jumlah orang yang mengalami DKI diperkirakan
cukup banyak, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun
angka secara tepat sulit diketahui. Hal ini karena banyak pasien dengan kelainan ringan
tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.6
2.3. Patogenesis dan Manifestasi Klinis

DKI disebabkan oleh efek toksik langsung dari suatu iritan pada keratinosit
epidermal yang mengakibatkan terganggunya skin barrier dan memicu sistem imun
bawaan. Iritan dapat secara langsung meracuni keratinosit epidermal, seperti natrium
lauril sulfat yang ditemukan dalam deterjen. Selain itu, aseton (pelarut organik), dapat
menyebabkan gangguan pada barrier epitel dengan hilangnya lipid. Sehingga dapat
terjadi peningkatan permeabilitas iritan dan peningkatan TEWL. Cedera epitel kronis,
biasanya pada paparan berulang terhadap iritan lemah (sabun, air), memicu respon imun
bawaan dengan pelepasan beberapa jaringan proinflamasi, seperti IL-1α, IL-1β, TNF-α,
GM-CSF, IL-6, dan IL-8 dari keratinosit. Kemudian, sitokin ini mengaktifkan sel
Langerhan, sel dendritik dermal, dan sel endotel. Iritan juga dapat dikenali sebagai
“danger sinyal” oleh TLRs dan Nod-like receptors yang mengaktifkan jalur
inflammasome dan NF-κB (Nuclear Factor Kappa). Sel-sel ini kemudian melepaskan
kemokin yang membawa neutrofil, limfosit, makrofag, dan sel mast ke epidermis
sehingga terjadi peradangan lebih lanjut (Gambar 2 dan 3). DKI, DKA, dan DA saling
meniru satu sama lain, dan mungkin dapat terjadi pada pasien yang sama. Ketiga
kelainan tersebut ditandai dengan peradangan kronis.1,2

4
Gambar 2. Mekanisme DKI1

Gambar 3. Patogenesis dan Manifestasi Klinis9


2.4. Diagnosis Dermatitis Kontak Iritan
Diagnosis DKI dibuat berdasarkan riwayat dan presentasi klinis lesi. 10 DKI akut
terkait dengan agen yang lebih kuat dapat didiagnosis berdasarkan distribusi, lokasi, dan

5
waktu onset perubahan kulit setelah terpapar agen penyebab. Riwayat klinis
komprehensif berfokus pada kriteria diagnostik yang tercantum dalam gambar 4.2

Gambar 4. Kriteria Diagnosis DKI2


Anamnesis ditujukan untuk mengidentifikasi potensi alergen dan iritan. Pasien
dengan DKI biasanya mengalami gejala dalam beberapa menit hingga jam setelah
terpapar bahan iritan. Ruam terbatas pada area yang bersentuhan dengan iritan. Secara
klasik, nyeri, rasa terbakar, perih, atau ketidaknyamanan melebihi rasa gatal (lebih
menonjol pada DKA dan DA).1
Penting untuk ditanyakan mengenai aktivitas sehari-hari, termasuk pekerjaan dan
hobi: paparan terhadap krom, akrilik epoksi, sarung tangan, pakaian, krim P3K,
pengawet, tanaman, dan bahan kimia lainnya, dapat mengarah ke dermatitis kontak.
Hobi, misalnya, berkebun, memakai masker wajah atau kacamata selama scuba diving
atau berenang. Tanyakan tentang lingkungan di tempat kerja (suhu, kelembaban, dan
paparan debu). Tanyakan tentang penggunaan sarung tangan atau perlengkapan
pelindung. Tanyakan tentang pekerjaan basah, penggunaan sarung tangan oklusif, dan
pembersih di tempat kerja. Perbaikan gejala saat tidak bekerja mungkin menandakan
adanya dermatitis akibat kerja. Tanyakan tentang apakah pekerja lain juga mengalami,
yang mungkin berisiko DKI. Iritasi umum di tempat kerja meliputi: pekerjaan basah,
penggunaan sarung tangan, dan minyak.11
Untuk pasien yang datang dengan dermatitis di wajah, perlu ditanyakan tentang
penggunaan pewarna rambut, kosmetik/perlengkapan sabun wajah, rambut, dan kuku
(cat kuku, kuku akrilik), serta aplikator kosmetik dan alat-alat, seperti spons karet,
pengeriting bulu mata, dan perekat yang digunakan untuk bulu mata palsu.1
Tanyakan mengenai daftar obat topikal dan oral termasuk terapi lainnya.
Tanyakan tentang penggunaan antibiotik baru-baru ini. Faktor predisposisi DKI
termasuk DA, penyakit pernapasan atopik, atau penyakit inflamasi kulit lainnya. Reaksi
terhadap jahitan dan pembalut luka mungkin lebih menyebabkan iritasi daripada alergi.1
6
Tanyakan mengenai riwayat atopi keluarga, psoriasis, dan kondisi kulit kronis
lainnya. Riwayat atopi keluarga penting karena DA mungkin muncul pertama kali
selama masa dewasa. Terakhir, penting untuk mendapatkan riwayat menyeluruh
sebelum dan sesudah patch test untuk merumuskan diagnosis yang tepat, dan
perawatan, serta edukasi pasien.1
Morfologi DKI, DKI dibagi menjadi DKI akut, sub-akut, dan kronis tergantung
pada seberapa cepat dermatitis berkembang setelah paparan. DKI akut sering
berkembang setelah kontak dengan asam atau alkali kuat dan menyerupai luka bakar
dengan tampilan epidermis yang melepuh, DKI kronis ditandai oleh likenifikasi dan
fisura (Gambar 5).1

Gambar 5. Subtipe DKI1


Perbedaan DKI dan DKA pada gambar 6.

Gambar 6. Perbedaan antara Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi12


2.5. Diagnosis Banding
Dermatitis kontak biasanya dibedakan dari jenis dermatitis lain berdasarkan
temuan klinis, pengetahuan tentang paparan alergen atau iritan, dan patch test
diagnostik (Gambar 7).1

7
Gambar 7. Diagnosis Banding DKI1
2.6. Penatalaksanaan
Langkah pertama adalah mendiagnosis DKI. Namun, tidak ada tes khusus untuk
mendiagnosis DKI. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi penyebab iritasi.
Misalnya, kosmetik dan wewangian dapat menyebabkan DKA atau DKI. Beberapa
penyebab iritasi umum tercantum dalam Gambar 1. Patch test positif menandakan saat
ini DKA lebih mungkin terjadi daripada DKI meskipun keduanya dapat terjadi pada
waktu yang sama. Semua alergen dengan konsentrasi yang cukup tinggi dapat
mengakibatkan DKI.1
Perawatan definitif untuk dermatitis kontak dengan mengidentifikasi dan
menghindari penyebab yang mendasari. Pasien dengan DKI harus diberi konseling
mengenai cara untuk menghindari penyebab iritasi baik di rumah maupun di tempat
kerja. Setelah iritan teridentifikasi, tindakan harus diambil (misalnya, penggunaan alat
pelindung diri di tempat kerja) untuk mengurangi risiko paparan di masa mendatang.
Gunakan kompres dingin dan air dingin untuk mencuci.1
Perawatan akut, rendam area yang terkena bahan iritan dalam air dingin atau
hangat, garam (1 sendok teh), atau larutan Burow (13% aluminium asetat dilarutkan
dalam air pada konsentrasi 1:40). Larutan Burow memiliki sifat antibakteri,
antiinflamasi, efek pendinginan untuk mengurangi pruritus dan mencegah infeksi.2
Produk pelindung kulit, krim yang melindungi dari iritan tingkat rendah,
menguntungkan pekerja basah yang secara teratur menggunakan air, sabun, dan
8
deterjen, mempercepat penyembuhan kulit yang rusak dengan meningkatkan hidrasi
kulit dan memodifikasi lipid epidermal endogen. Petrolatum, lilin parafin, dan
dimetikon digunakan sebagai pelindung kulit yang murah dan efektif, sebagai TEWL
inhibitor dalam mencegah DKI.13
Petrolatum adalah kombinasi kompleks semi-padat dari lilin parafin, lilin
microcrystalline, dan minyak mineral putih, dianggap sebagai gold standart TEWL
inhibitor.14 Parafin adalah campuran hidrokarbon alifatik jenuh, bersifat hidrofobik, bila
dikombinasikan dengan petrolatum, akan menjadi TEWL inhibitor yang sangat efisien,
juga merupakan pelembab alami yang membantu pengelupasan kulit dan
menyembuhkan kulit kering atau pecah-pecah.2,14
Dimetikon adalah polimer buatan manusia dari unsur silikon yang terbentuk
secara alami, digunakan sebagai emolien untuk melembutkan dan melembabkan kulit,
memfasilitasi pengelupasan epidermal, dan memberikan protective barrier dari iritasi.
Salep yang mengandung dimetikon telah terbukti sangat efektif dalam melindungi kulit
dari iritasi kontak tabir surya, drainase intra-abdominal, dan keluarnya ulkus kulit.
Namun, penggunaannya terbatas karena sensitisasi dan reaksi inflamasi terhadap
polimer silikon.15
Pengobatan antiinflamasi, kortikosteroid topikal belum terbukti secara
eksperimental dalam pengobatan DKI. Namun, obat ini sering digunakan dalam lingkup
terbatas untuk mengobati DKI eksim akut karena dapat mengurangi inflamasi dan gatal.
Penggunaan kortikosteroid topikal yang berkepanjangan tidak disarankan karena dapat
menyebabkan atrofi kulit dan peningkatan risiko DKI. Niacinamide juga telah terbukti
bermanfaat dalam mengobati berbagai penyakit inflamasi kulit sekunder untuk
penghambatan kemotaksis leukosit, pelepasan enzim lisosom, transformasi limfositik,
degranulasi sel mast, amina vasoaktif, menjaga homeostasis koenzim intraseluler, dan
produksi sebum berkurang.2
Untuk menghitung jumlah kortikosteroid yang diresepkan, biasanya menggunakan
ukuran fingertip unit. Satu fingertip unit setara dengan 0,5 gram krim atau salep. Pada
orang dewasa dianjurkan pemberian kortikosteroid poten tidak melebihi 45 gramper
minggu atau kortikosteroid potensi menengah tidak melebihi 100 gram per minggu.
Pasien dermatitis kronik, misalnya dermatitis atopic mungkin menggunakan
kortikosteroid potensi kuat atau potensi lebih rendah dalam jumlah berlebihan atau
mengoles kortikosteroid lebih sering atau memakai emolien. Sebaliknya, terkadang
mereka takut efek samping dan mengoleskan hanya seminggu sekali, sehingga
pemakaian kortikosteroid di bawah standar dan tidak efektif. Pengolesan kortikosteroid
9
dianjurkan 1-2 kali per hari. Pengolesan lebih dari 2 kali tidak memberikan perbedaan
bermakna, bahkan dapat mengurangi kepatuhan pasien.16
2.7. Pencegahan DKI
Edukasi pasien tentang cara menghindari penyebab iritasi di rumah dan tempat
kerja. Mengurangi kontak dengan bahan iritan, seperti sabun, pelarut, minyak, alkali,
asam, atau bahan abrasif yang menurunkan kejadian DKI. Jika tidak memungkinkan
untuk menghindari bahan iritan, maka produk pelindung kulit menjadi alternatif.13
Menggunakan krim dan salep yang melindungi dari iritasi tingkat rendah,
memberikan keuntungan pada pekerja basah yang secara teratur menggunakan air,
sabun, dan deterjen, juga melindungi kulit dari bahan kimia, minyak dan potensi iritasi
lainnya. Pelembab dapat mencegah DKI dan mempercepat laju penyembuhan pada kulit
dengan meningkatkan hidrasi kulit dan memodifikasi lipid epidermal endogen. Orang
yang secara teratur terpapar iritan harus didorong untuk menggunakan pelembab secara
teratur, tidak hanya mencegah tetapi juga mengobati DKI.3
2.8. Prognosis
Pasien dengan penyakit parah memiliki prognosis lebih buruk meskipun terdapat
perbaikan dalam kondisi kerja, ketersediaan patch test diagnostik yang lebih baik,
pemahaman biologi kulit lebih baik, dan pengobatan dengan steroid topikal dan
sistemik. Riwayat dermatitis kronis, penundaan pengobatan, riwayat DA, dan
pemahaman yang buruk oleh pekerja tentang penyakitnya berhubungan dengan
prognosis yang lebih buruk (Gambar 8). DA merupakan faktor penting dalam
kerentanan terhadap dermatitis pasca kerja yang persisten.1

Gambar 8. Prognosis Dermatitis Kontak Iritan

BAB III

PENUTUP
10
3.1. Kesimpulan
Air, pelarut organik, deterjen, alkali dan asam merupakan bahan iritan paling
umum penyebab DKI. Paparan iritan menimbulkan kerusakan stratum korneum yang
menyebabkan kerusakan pada pelindung kulit. Jika tidak memungkinkan untuk
menghindari bahan iritan, maka produk pelindung kulit menjadi alternatif untuk
mengurangi tanda dan gejala peradangan, serta memulihkan barrier epidermis jika
diperlukan.

Daftar Pustaka

11
1. Bains SN, Nash P, Fonacier L. Irritant contact dermatitis. Clinic Reviews in Allergy &
Immunology, 2019;56:99-109.
2. Eberting CL, Blickenstaff N, Goldenberg A. Pathophysiologic treatment approach to
irritant contact dermatitis. Current Treatment Options in Allergy, 2014;1:317-328.
3. Eberting CL. Irritant contact dermatitis: mechanisms to repair. J Clin Exp Dermatol
Res, 2014;5(6):1-6.
4. Seyfarth F, Schliemann S, Antonov D, et al. Dry skin, barrier function, and irritant
contact dermatitis in the elderly. Clin Dermatol, 2011;29(1):31–36.
5. Thyssen JP, Skare L, Lundgren L, et al. Sensitivity and specificity of the nickel spot
(dimethylglyoxime) test. Contact Dermatitis, 2010;62(5):279–288.
6. Rihatmadja R. Ilmu penyakit kulit dan kelamin: anatomi dan faal kulit. Ed.7. Jakarta:
Penerbit FK UI, 2016. H. 3-7;158-60.
7. Menne T, Johansen JD, Sommerlund M, et al. Hand eczema guidelines based on the
Danish guidelines for the diagnosis and treatment of hand eczema. Contact Dermatitis,
2011;65(1):3–12.
8. Lodde B, Paul M, Roguedas-Contios AM, et al. Occupational dermatitis in workers
exposed to detergents, disinfectants, and antiseptics. Skinmed, 2012;10(3):144–150.
9. Sarwar Z. Irritant contact dermatitis: pathogenesis and clinical findings [internet
picture]. 2016. Available at: https://calgaryguide.ucalgary.ca/irritant-contact-dermatitis-
pathogenesis-and-clinical-findings/.
10. Ale IS, Maibach HA. Diagnostic approach in allergic and irritant contact dermatitis.
Expert Rev Clin Immunol, 2010;6:291–310.
11. Friis UF, Menne T, Schwensen JF, et al. Occupational irritant contact dermatitis
diagnosed by analysis of contact irritants and allergens in the work environment.
Contact Dermatitis, 2014;71(6):364–370.
12. Anonim. Differences between irritant and allergic contact dermatitis [internet picture].
Available at: www.grepmed.com/images/3908/features-dermatitis-comparison-irritant-
allergy.
13. Zhai H, Maibach HI. Anti-irritants agents for the treatment of irritant contact
dermatitis: clinical and patent perspective. Recent Pat Inflamm Allergy Drug Discov,
2012;6:169-185.
14. Patzelt A, Lademann J, Richter H, et al. In vivo investigations on the penetration of
various oils and their influence on the skin barrier. Skin Res Technol, 2012;18:364–9.
15. Fluhr JW, Elsner P, Berardesca E, et al. Bioengineering of the Skin: Water and the
Stratum Corneum. 2nd ed. Boca Raton: CRC Press, 2013.
12
16. Johan R. Penggunaan kortikosteroid topical yang tepat. CDK-227, 2015;42(4):308-311.
17. Watkins SA, Maibach HI. The hardening phenomenon in irritant contact dermatitis: an
interpretative update. Contact Dermatitis, 2009;60:123-130.

13

Anda mungkin juga menyukai