Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.

Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus, dan m.tranversus abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.3 Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.3 Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus.2

Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus bernama olentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver.2 2.2. Pengertian Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen4,5,6. Peritonitis seringkali disebabkan dari infeksi yang berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ lambung, colon, kandung empedu atau apendiks. Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain yang menjalar melalui darah.6 2.3. Etiologi Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan bencana vaskular (trombosis dari mesenterium/emboli).4 Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar.7 2.4. Klasifikasi Infeksi peritoneal diklasifikasikan menjadi primer (spontan), sekunder (berhubungan dengan proses patologi yang berlangsung di organ dalam), atau tersier (infeksi berulang yang terjadi setelah terapi yang adekuat). Infeksi intaabdomen dapat dibagi menjadi lokal (localized) atau umum (generalized), dengan atau tanpa pembentukan abses.9 Penyebab terbanyak dari peritonitis primer adalah peritonitis yang disebabkan karena bakteri yang

muncul secara spontan (Spontaneus Bacterial Peritonitis) yang sering terjadi karena penyakit hati kronis. Table 1. Common Causes of Secondary Peritonitis Source Regions Causes Esophagus Boerhaave syndrome Malignancy Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic* Stomach Peptic ulcer perforation Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor) Trauma (mostly penetrating Iatrogenic* Duodenum Peptic ulcer perforation Trauma (blunt and penetrating) Iatrogenic* Biliary tract Cholecystitis Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common duct Malignancy Choledochal cyst (rare) Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic* Pancreas Pancreatitis Trauma (blunt and penetrating) Iatrogenic* Small bowel Ischemic bowel Incarcerated hernia (internal and external) Closed loop obstruction Crohn disease Malignancy (rare) Meckel diverticulum Trauma (mostly penetrating) Large bowel and appendix Ischemic bowel Diverticulitis Malignancy Ulcerative colitis and Crohn disease Appendicitis Colonic volvulus Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic Uterus, salpinx, and ovaries Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tuboovarian abscess, ovarian cyst) Malignancy (rare) Trauma (uncommon) *Iatrogenic trauma to the upper GI tract, including the pancreas and biliary tract and colon, often results from endoscopic procedures; anastomotic dehiscence and inadvertent bowl injury (eg, mechanical, thermal) are common causes of leak in the postoperative period. 2. Microbiology of Primary, Secondary, and Tertiary Peritonitis Peritonitis (Type) Etiologic Organisms Antibiotic Therapy (Suggested) Class Type of Organism Primary Gram-negative E coli (40%) K pneumoniae (7%) Pseudomonas species (5%) Proteus species (5%) Streptococcus species (15%) Staphylococcus species (3%) Anaerobic species (<5%)>380C)

4. Produksi urin berkurang 5. Mual dan muntah 6. Haus 7. Cairan di dalam rongga abdomen 8. Tidak bisa buang air besar atau kentut 9. Tanda-tanda syok Nyeri perut yang terjadi merupakan nyeri yang somatik. Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh saraf tepi, misalnya rangsangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri yang timbul dapat lokal, dan dapat pula merata pada seluruh perut tergantung luasnya rangsangan pada peritoneum. Karena rangsangan tersebut berlangsung terus pada peritoneum, rasa nyeri dirasakan terus menerus.8 Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsang yang menimbulkan nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi, atau proses radang.3 Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsangan peritoneum dan menyebabkan nyeri. Peradangannya sendiri maupun gesekan antara kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Setiap gerakan penderita, baik berupa gerak tubuh maupun gerak napas yang dalam atau batuk, juga akan menambah rasa nyeri sehingga penderita gawat perut yang disertai rangsang peritoneum berusaha untuk tidak bergerak, bernapas dangkal, dan menahan batuk.3 2.7. Diagnosis Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali6. Diagnosis peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.2 Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis. Kebanyakan pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya, nyeri abdomen yang timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik (peritoneum viseral) dan kemudian infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat dan semakin terlokalisasi (peritoneum parietale). Dalam beberapa kasus (misal: perforasi lambung, pankreatitis akut, iskemia intestinal) nyeri abdomen akan timbul langsung secara umum/general sejak dari awal.9 Mual dan muntah biasanya sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat terjadi karena gesekan organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder.9 Anamnesis mengandung data kunci yang dapat mengarahkan diagnosis gawat abdomen. Sifat, letak dan perpindahan nyeri merupakan gejala yang penting. Demikian juga muntah, kelainan defekasi dan sembelit. Adanya syok, nyeri tekan, defans muskular, dan perut kembung harus diperhatikan sebagai gejala dan tanda penting. Sifat nyeri, cara timbulnya dan perjalanan selanjutnya sangat penting untuk menegakkan diagnosis.3 Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.3 Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.9 Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Pada inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended.2 Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuik pasien. Auskultasi dilakukan untuk

menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.8 Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.8 Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.3 Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.8 Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis.2,3 Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.3 Pemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah mengambil keputusan, misalnya pemeriksaan darah, urin, dan feses. Kadang perlu juga dilakukan pemeriksaan Roentgen dan endoskopi. Beberapa uji laboratorium tertentu dilakukan, antara lain nilai hemoglobin dan hemotokrit, untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi. Hitung leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung trombosit dan dan faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan bedah, juga dapat membantu menegakkan demam berdarah yang memberikan gejala mirip gawat perut.3 Pencitraan diagnostik yang perlu dilakukan biasanya foto abdomen 3 posisi (supine, upright and lateral decubitus position) untuk memastikan adanya tanda peritonitis, udara bebas, obstruksi, atau paralisis usus. Pemeriksaan ultrasonografi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis kelainan hati, saluran empedu, dan pankreas.3 Kadang-kadang, aspirasi cairan dengan jarum (peritoneal fluid culture) dapat digunakan untuk pemeriksaan laboratorium. Dimana cairan yang diambil diperiksa untu mengetahui organisme penyabab, sehingga dapat diketahui antibiotik yang efektif yang dapat digunakan. Prosedur ini cukup sederhana, dan dapat dilakukan pada saat pasien berdiri atau pun berbaring.6

Dalam mengevaluasi pasien dengan kecurigaan iritasi peritoneal, pemeriksaan fisik secara komplit, adalah penting. Proses penyakit di thoraks dengan iritasi diafragma (misal: emyema), proses ekstra peritoneal (misal: pyelonefritis, cystitis, retensi urin) dan proses pada dinding abdomen (misal: infeksi, hematoma dari rektus abdominis) dapat menimbulkan gejala dan tanda yang serupa dengan peritonitis. Selalu periksa pasien dengan hati-hati untuk menyingkirkan hernia inkarserat yang juga menimbulkan gejala serupa.9 2.8. Penatalaksanaan Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan memuasakan pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau

intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.7 Prinsip umum dalam menangani infeksi intraabdominal ada 4, antara lain: (1) kontrol infeksi yang terjadi, (2) membersihkan bakteri dan racun, (3) memperbaiki fungsi organ, dan (4) mengontrol proses inflamasi.9 Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut peritonitis. Penatalaksanaan peritonis meliputi, antara lain: 1. Pre Operasi Resusitasi cairan Oksigenasi NGT, DC Antibiotika Pengendalian suhu tubuh 2. Durante Operasi Kontrol sumber infeksi Pencucian rongga peritoneum Debridement radikal Irigasi kontinyu Ettapen lavase/stage abdominal repair 3. Pasca Operasi Balance cairan Perhitungan nutrisi Monitor vital Sign Pemeriksaan laboratorium Antibiotika 2.9. Prognosis Angka mortalitas umumnya adalah 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis, antara lain: 1. jenis infeksinya/penyakit primer 2. durasi/lama sakit sebelum infeksi 3. keganasan 4. gagal organ sebelum terapi 5. gangguan imunologis 6. usia dan keadaan umum penderita Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas sebanyak 10-30%. Pasien dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses abdomen yang persisten, anstomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang jelek.

Anatomi dan Fisiologi Peritoneum Peritoneum adalah selaput serosa yang tembus pandang dan sinambung, terdiri dari 2 lembar : Peritoneum parietale yang melapisi dinding abdomen Peritoneum visceral yang menutupi viscera (misalnya gaster dan intestinum) Cavitas peritonealis, ruang antara kedua lembar peritoneum, ialah sebuah rongga potensial karena organ-organ tersusun amat berdekatan. Dalam cavitas peritonealis terdapat sedikit cairan sebagai lapisan tipis untuk melumas permukaan peritoneum, sehingga memungkinkan viscera abdomen bergerak satu terhadap yang lain tanpa adanya gesekan. Pada laki-laki cavitas peritonealis tertutup sempurna, tetapi pada wanita terdapat hubungan dengan lingkungan diluar tubuh melalui kedua tuba uterine, uterus dan vagina. Peritoneum dan semua viscera abdomen terdapat didalam cavitas abdominis. Hubungan antara viscera abdomen dengan peritoneum adalah sebagai berikut: Organ intraperitoneal (misalnya gaster) adalah viscera abdomen yang diliputi peritoneum visceral Organ ekstraperitoneal (retroperitoneal), (misalnya kedua ren, pancreas, colon ascenden dan colon desenden) adalah viscera yang terletak antara peritoneum parietale dan dinding abdomen dorsal. Sebuah mesenterium adalah lembar ganda peritoneum yang berawal sebagai lanjutan peritoneum visceral pembungkus sebuah organ. Mesenterium demikian menghubungkan organ bersangkutan dengan dinding tubuh (misalnya mesenterium jejuni). Mesenterium berinti jaringan ikat yang berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf, jaringan lemak dan kelenjar limfe. Visera abdomen yang memiliki mesenterium mudah bergerak, derajat kebebasan bergerak ini tergantung dari ukuran panjang mesenterium. Omentum adalah kelanjutan peritoneum visceral bilaminar yang melintas dari gaster dan bagian proksimal duodenum ke organ atau struktur lain. Omentum minus menghubungkan curvatura minor gaster dan bagian proksimal duodenum dengan hepar Omentum majus yang luas dan penuh jaringan lemak, dilepaskan dari curvature mayor gaster dan tepi kaudal paroh proksimal bagian pertama duodenum; duplikatura ini meluas kekaudal, lalu melipat balik untuk melekat pada colon transversum. Omentum majus mencegah melekatnya peritoneum visceral pada peritoneum parietale yang melapisi dinding abdomen. Daya gerak omentum majus cukup besar dan ia dapat bergeser-geser ke seluruh cavitas paritonealis dan membungkus organ yang meradang, seperti appendiks vermiformis, artinya omentum majus dapat mengisolasi organ itu dan melindungi organ lain terhadap organ yang terinfeksi. Ligamentum peritoneal juga merupakan lembar-lembar ganda peritoneum. Hepar dihubungkan pada dinding abdomen ventral oleh ligamentum falciforme dang aster dihubungkan pada Permukaan kaudal diafragma oleh ligamentum gastrophrenicum Lien oleh ligamentum gastrolienale yang melipat balik pada hilum splenicum

Colon tranasversum oleh ligamentum gastrocolicum Plica peritonealis adalah peritoneum yang terangkat dari dinding abdomen oleh pembuluh darah, saluran dan pembuluh fetal yang telah mengalami obliterasi. Recessus peritonealis adalah sebuah kantong peritoneal yang dibentuk oleh plica peritonealis. PERITONITIS Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membran serosa yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti ruptur appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal. Pada saat ini penanganan peritonitis dan abses peritoneal melingkupi pendekatan multimodal yang berhubungan juga dengan perbaikan pada faktor penyebab, administrasi antibiotik, dan terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder dikarenakan kegagalan sistem organ. Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk primer (i.e. spontan), sekunder (i.e. terkait proses patologi pada organ visceral) atau tertier (i.e. infeksi persisten atau recurrent setelah terapi inisial). Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra abdomen). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira0kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial. Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus. Tabel1.penyebab peritonitis sekunder Regio Asal Esophagus Penyebab Boerhaave syndrome Malignancy Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic* Stomach Peptic ulcer perforation Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor) Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic* Duodenum Peptic ulcer perforation Trauma (blunt and penetrating)

Iatrogenic* Biliary tract Cholecystitis Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common duct Malignancy Choledochal cyst (rare) Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic* Pancreas Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones) Trauma (blunt and penetrating) Iatrogenic* Small bowel Ischemic bowel Incarcerated hernia (internal and external) Closed loop obstruction Crohn disease Malignancy (rare) Meckel diverticulum Trauma (mostly penetrating) Large bowel and appendix Ischemic bowel Diverticulitis Malignancy Ulcerative colitis and Crohn disease Appendicitis Colonic volvulus Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic Uterus, salpinx, and ovaries Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst) Malignancy (rare) Trauma (uncommon) PATOFISIOLOGI Peritonitis menyebabkan adanya penurunan aktivitas fibrinolitik intrabdomen (peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestra fibrin yang berakibat pada pembentukan adesi. Produksi eksudat dari fibrin menggambarkan peran penting sistem pertahanan, akan tetapi jumlah bakteria yang terlalu besar dapat berlanjut menjadi pembentukan matriks fibrin. Hal ini dapat menyebabkan perlambatan penyebaran dan perluasan sistemik sehingga dapat menurunkan tingkat mortalitas akibat sepsis, namun hal ini dapat bersamaan dengan perkembangan infeksi residual dan pembentukan absess. Pada saat matriks fibrin mature, bakteri didalamnya menjadi mature dan terlindungi dari mekanisme clearance dari host. Efek dari fibrin ini (containtment vs infeksi persisten), dapat dikaitkan pada derajat kontaminasi bakteri peritoneal. Pada studi terhadap binatang yang menilai efek defibrinogenasi dan terapi

fibrin abdomen, kontaminasi peritoneal yang hebat akan mengacu pada peritonitis berat dengan kematian (<48> Pembentukan abses diketahui sebagai strategi pertahana tubuh untuk menahan penyebaran infeksi, walaupun proses ini dapat menyebabkan infeksi persisten dan sepsis yang menangan cam hidup. Awal dari pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteria dan agen abscess potentiating menuju lingkungan yang normalnya steril. Pertahana tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan akan berusaha untuk mengontrol penyebarannya dalam beberapa cara. Proses ini dibantu dengan kombinasi dari berbagai faktor seperti proses fagositik. Kontaminasi bakteri peritoneal yang transien (biasanya oleh karena penyakit visceral dan trauma saluran cerna) adalah yang paling sering. Hasil paparan oleh antigen bakterial digambarkan sebagai perubahan respon imun terhadap inokulasi rekuren dari peritoneal. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan insidensi pembentukan abses, perubahan kandungan bakterial dan peningkatan angka kematian. Beberapa studi terkini menunjukan bahwasanya infeksi nosokomial pada tempat lain (seperti pneumonia, infeksi luka, dll) juga dapat berkaitan dengan peningkatan pembentukan abses abdomen. Faktor virulensi dari bakterial yang berinteraksi dengan fagositosis dan neutrophil-mediated bacterial killingmerupakan mediator yang penting dalam mengakibatkan infeksi persisten dan pembentukan abses. Diantara faktor tersebut adalah pembentukan kapsul, pertumbuhan anaerob fakultatif, kemampuan adesi dan produksi asam suksinat. Kaitan antara organisme bakterial dan fungal juga memiliki peran penting dalam menggangu pertahanan tubuh. Beberapa peneliti meyakinkan bahwasanya bakteri dan fungi eksis sebagai nonsynergistic parallel infectionsdengan kompetisi inkomplit yang memungkinkan bertahannya semua organisme. Pada keadaan ini, terapi infeksi bakteri saja dapat mengakibatkan pertumbuhan berlebih dari fungi, yang berakibat apda peningkatan mobiditas. Faktor predisposisi pada pertumbuhan candidiasis abdomen meliputi penggunaan berkepanjangan dari antibiotik broadspectrum, terapi supresi asam lambung, kateter vena sentral dan hiperalimentasi intravena, malnutrisi, diabetes serta steroid dan bebergai bentuk imunosupresi lainnya. GAMBARAN KLINIS Diagnosis peritonitis biasanya didapatkan secara klinis. Umumnya semua pasien hadir dengan keluhan berbagai derajat nyeri abdomen. Nyerinya dapat akut maupun kronis. Umumnya nyerinya dalam bentuk nyeri tumpul dengan tidak terlokalisasi dengan baik (peritoneum visceral) yang kemudian berkembang menetap, makin parah dan makin terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika proses infeksi tidak terbendung, nyeri akan menjadi difus. Pada beberapa penyakit penyebab (seperti perforasi gaster, pakreatitis akut yang berat, iskemi intestin) nyeri abdomen dapat tergeneralisasi dari awal. Anoreksia dan nausea sering muncul dan dapat mendahului perkembangan nyeri abdomen. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal.

Pada pemeriksan fisik, pasien dengan peritonitis sering tampak tidak sehat dan pada keadaan berbahaya. Demam dengan temperatur melebihi 38C dapat ditemukan, tapi pasien dengan sepsis berat dapat ditemukan dalam keadaan hipotermia. Takikardi muncul akibat mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit, demam serta hilangnya sepertiga ruang peritoneal. Dengan dehidrasi yang progresif, pasien akan menjadi hipotensi, yang menunjukan penurunan output urin dan dengan peritonitis berat. Pada pemeriksaan abdomen, pada dasarnyasemua pasien menunjukan adanya tenderness pada palpasi, (pada saat pemeriksaan pasien dengan suspect peritonitis sebaiknya pasien sebaiknya berbaring dengan posisi lutut lebih tinggi agar pasien dapat lebih relaksasi pada dinding abdomennya). Pada banyak pasien (baik pada peritonitis dan nyeri abdomen difus yang berat) titik tenderness maksimal atau atau referred rebound tenderness terletak pada tempat proses patologis. Pada banyak pasien menunjukan adanya peningkatan rigiditas dinding abdomen. Peningkatan tonus otot dinding abdomen dapat secara volunter akibat respon atau antisipasi pada pemeriksaan abdomen atau secara involunter karena iritasi peritoneal. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari banyak gerak dan memfleksikan pinggulnya untuk mengurangi tekanan dinding abdomen. Abdomen terkadang distensi, dengan suara usus hipoaktif hingga tidak terdengar. Pemeriksaan rektal kerap mengakibatkan nyeri abdomen. Massa peradangan lunak yang terletak pada anterion kanan mungkin mengindikasikan appendisitis dan anterio fullness dan fluktuasi dapat mengindikasikan sebuah abses cul de sac. Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual dan vaginal dapat mengarahkan pada differential diagnosis penyakit inflamasi pelvis (seperti endometritis, salfingo-oovoritis, abses tuba ovarii). Tapi temuannya kerap sulit untuk diinterpretasikan sebagai peritonitis berat. Pada saat mengevaluasi pasien dengan dugaan infeksi peritoneal, melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap adalah hal yang sangat penting. Prosesus thoracic dengan iritasi diafragma (seperti empiema), proses ekstraperitoneal (seperti pyelonephritis, cystitis, retensi urin akut), dan proses dinding abdomen (seperti infeksi, hematoma recti) dapat terlihat seperti tanda-tanda maupun gejala peritonitis. Sering kali hasil dan temuan pemeriksaan klinis sama sekali tidak reliable pada pasien dengan immunosupresi yang berarti (seperti pasien diabetes berat, pengguna steroid, status posttransplantasi, HIV), pada pasien dengan perubahan status mental (seperti cedera kepala, ensepalopati toksik, shock sepsis, agen analgesik), pada pasien paraplegi dan apda pasien usia lanjut. Dengan infeksi peritoneal dalam yang terlokalisasi, demam dengan atau tanpa peningkatan hitung WBC mungkin satu-satunya tanda yang ditemukan. Kebanyakan pasien dengan TP menunjukan hanya gejala vagal dan mungkin afebril.. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium

Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ L) dengan adanya pergerakan ke bentuk immatur

pada differential cell count. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leukopenia

PT, PTT dan INR Test fungsi hati jika diindikasikan Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti pyelonephritis, renal stone disease) Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos USG CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111labeled autologous leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan). Scintigraphy MRI

Table 2. Microbiology of Primary, Secondary, and Tertiary Peritonitis Peritonitis (Tipe) Primary Organisme Penyebab Kelas Gram-negative Tipe Organisme E coli (40%) K pneumoniae (7%) Pseudomonas species (5%) Proteus species (5%) Streptococcus species (15%) Staphylococcus species (3%) Anaerobic species ( <5%) Secondary Gram-negative E coli Enterobacter species Klebsiella species Proteus species Gram-positive Streptococcus species Enterococcus species Anaerobic Bacteroides fragilis Other Bacteroides species Eubacterium species Clostridium species Anaerobic Streptococcus species Tertiary Gram-negative Enterobacter species Second-generation Second-generation cephalosporin Third-generation cephalosporin Penicillins with anaerobic activity Quinolones with anaerobic activity Quinolone and metronidazole Aminoglycoside and metronidazole Terapi Antibiotik (yang dianjurkan) Third-generation cephalosporin

Pseudomonas species Enterococcus species Gram-positive Fungal Staphylococcus species Candida species

cephalosporin Third-generation cephalosporin Penicillins with anaerobic activity Quinolones with anaerobic activity Quinolone and metronidazole Aminoglycoside and metronidazole Carbapenems Triazoles or amphotericin (considered in fungal etiology) (Alter therapy based on culture results.)

Management peritonitis Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi). Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l :

Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).

Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi. Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :


Mengeliminasi sumber infeksi. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :

Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin. Pemberian terapi cairan melalui I.V Pemberian antibiotic

Terapi bedah pada peritonitis a.l :

Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.

Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin. Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi


Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi. Pemberian antibiotic Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen

Anda mungkin juga menyukai