Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. R. W DENGAN COMMUNICATING


HYDROSEFALUS SUBARACKNOID HEMORAGIC DI RUANGAN ICU IGD
SANGLAH DENPASAR PADA TANGGAL 31 MEI S/D 07 JULI 2022

OLEH :
NAMA : VERGILIUS PASIFIKUS
NPM : 21203003

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG

2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. R. W Dengan Communicating Hydrosefalus


Subaracknoid Hemoragic Di Ruangan HCU Sanglah Denpasar pada Tanggal 31 Mei s/d
07 Juli 2022 ini telah disetujui pada tanggal Juli 2022

Menyetujui

Cl INSTITUSI
1, NS. Yuliana Reginaldis Rosali Krowa M.Kep .
NIDN : 1516029001

CI LAHAN :
1. Ns. Nanik Cahyani s,Kep,
NIP : 1974050319980 3 2002
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidrosefalus berasal dari kata “hidro” yang berarti air dan “chepalus” yang
berarti kepala. Meskipun hidrosefalus dikenal sebagai “air di otak”, “air" ini
sebenarnya cairan serebrospinal (CSS) yaitu cairan bening yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang. Dari istilah medis, hidrosefalus dapat diartikan sebagai
penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi
sistem ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau
lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat
ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS
yang berlebihan terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma
subdural atau koleksi cairan subdural.

Hidrosefalus juga bisa disebut sebagai gangguan hidrodinamik CSS. Kondisi


seperti cerebral atrofi juga mengakibatkan peningkatan abnormal CSS dalam susunan
saraf pusat (SSP). Fungsi utama dari CSS adalah untuk menyediakan keseimbangan
dalam sistem saraf. CSS merupakan cairan yang mengelilingi otak. Berfungsi untuk
mengurangi berat otak dalam tengkorak dan menyediakan bantalan mekanik dan
melindungi otak dari trauma yang mengenai tulang tengkorak. CSS merupakan
medium transportasi untuk menyingkirkan bahan-bahan yang tidak diperlukan dari
otak seperti CO2, laktat, dan ion Hidrogen. CSS juga bertindak sebagai saluran untuk
transport intraserebral. Hormon-hormon dari lobus posterior hipofise, hipothalamus,
melatonin dari fineal dapat dikeluarkan ke CSS dan transportasi ke sisi lain melalui
intraserebral.CSS juga mempertahankan tekanan intracranial dengan cara
pengurangan CSS dengan mengalirkannya ke luar rongga tengkorak, baik dengan
mempercepat pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga mencapai sinus
venosus, atau masuk ke dalam rongga subarachnoid lumbal yang mempunyai
kemampuan mengembang sekitar 30%.
Perdarahan subaraknoid dapat diartikan sebagai proses pecahnya pembuluh
darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid). Prevalensi terjadinya
perdarahan subaraknoid dapat mencapai hingga 33.000 orang per tahun di Amerika
Serikat. Perdarahan subarakhnoid memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55 tahun
untuk laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan. Lebih sering dijumpai pada
perempuan dengan rasio 3:2.

B. Tujuan Instruksional Umum (TIU) :

Mampu mengenali dan mendiagnosis penyakit neurovaskular sesuai dengan tingkat


kompetensi yang ditentukan, dan melakukan rujukan bila perlu.

C. Tujuan Instruksional Khusus (TIK) :

1. Mampu menyebutkan patogenesis terjadinya perdaraha subarakhnoid


2. Mampu melakukan penapisan / penegakan diagnosis perdarahan subarakhnoid
3. Mampu melakukan manajemen / terapi awal perdarahan subarakhnoid
4. Mampu melakukan promosi kesehatan dan pencegahan perdarahan
subarakhnoid
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep hydrosefalus

A. Definisi

Hidrosefalus adalah pembesaran ventrikulus otak sebagai akibat


peningkatan jumlah cairan serebrospinal (css) yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara produksi, sirkulasi dan absorbsinya. Kondisi ini juga
bisa disebut sebagai gangguan hidrodinamik css.kondisi seperti cerebral atrofi
juga mengakibatkan peningkatan abnormal css dalam susunan saraf pusat (ssp).
Dalam situasi ini, hilangnya jaringan otak meninggalkan ruang kosong yang
dipenuhi secara pasif dengan css. Kondisi seperti itu bukan hasil dari gangguan
hidrodinamik dan dengan demikian tidak diklasifikasikan sebagai hidrochefalus.

B. Klasifikasi

Hidrosefalus dapat dikelompokkan berdasarkan dua kriteria besar yaitu

Secara patologi dan secara etiologi. Hidrosefalus patologi dapat dikelompokkan


sebagai :

1) Obstruktif (non-communicating)
Terjadi akibat penyumbatan sirkulasi css yang disebabkan oleh kista, tumor,
pendarahan, infeksi, cacat bawaan dan paling umum, stenosis aqueductal atau
penyumbatan saluran otak.
2) Non – obstruktif (communicating)
Dapat disebabkan oleh gangguan keseimbangan css, dan juga oleh komplikasi
setelah infeksi atau komplikasi hemoragik.
Hidrosefalus etiologi dapat dikelompokkan sebagai

1) Bawaan (congenital)
Sering terjadi pada neonatus atau berkembang selama intra-uterin.
2) Diperoleh (acquired)
Disebabkan oleh pendarahan subarachnoid, pendarahan intraventrikular,
trauma, infeksi (meningitis), tumor, komplikasi operasi atau trauma hebat di
kepala. Tekanan normal hidrosefalus (nph), yang terutama mempengaruhi
populasi lansia. Ditandai dengan gejala yang spesifik: gangguan gaya berjalan,
penurunan kognitif dan inkontinensia urin (trias adam & hakim).
C. Anatomi dan fisiologi aliran css

Ruangan cairan serebrospinal (css) terdiri dari sistem ventrikel, sisterna


magna pada dasar otak dan ruangan subaraknoid. Ruangan ini mulai terbentuk
pada minggu kelima masa embrio. Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid
dihubungkan melalui foramen magendi di median dan foramen luschka di sebelah
lateral ventrikel iv.

Gambar 1: anatomi aliran cairan serebrospinal


Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroidalis di ventrikel otak. Cairan
ini mengalir ke foramen monro ke ventrikel iii, kemudian melalui akuaduktus
sylvius ke ventrikel iv. Cairan tersebut kemudian mengalir melalui foramen
magendi dan luschka ke sisterna magna dan rongga subarachnoid di bagian cranial
maupun spinal.
Sekitar 70% cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus koroidideus, dan sisanya
di hasilkan oleh pergerakan dari cairan transepidermal dari otak menuju sistem
ventrikel. Bagi anak-anak usia 4-13 tahun rata-rata volume cairan liqour adalah 90
ml dan 150 ml pada orang dewasa. Tingkat pembentukan adalah sekitar 0,35
ml /menit atau 500 ml / hari. Sekitar 14% dari total volume tersebut mengalami
absorbsi setiap satu jam.

D. Etiologi

Pembentukan css yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi yang normal
akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang
terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata
pleksus koroidalis. Penyebab penyumbatan aliran css yang sering terdapat pada
bayi dan anak yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan perdarahan.
1) Kelainan bawaan

a) Stenosis akuaduktus sylvius- merupakan penyebab terbanyak. 60%-90%


kasus hidrosefalus terjadi pada bayi dan anak-anak. Umumnya terlihat sejak
lahir atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
b) Spina bifida dan cranium bifida – berhubungan dengan sindroma arnord-
chiari akibat tertariknya medulla spinalis, dengan medulla oblongata dan
serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga
terjadi penyumbatan sebagian atau total.
c) Sindrom dandy-walker - atresiakongenital foramen luschka dan magendi
dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran system ventrikel,
terutama ventrikel iv yang dapat sedemikian besarnya hingga merupakan
suatu kista yang besar di daerah fossa posterior.
d) Kista arachnoid - dapat terjadi congenital maupun didapat akibat trauma
sekunder suatu hematoma.
e) Anomali pembuluh darah – akibat aneurisma arterio-vena yang mengenai
arteria serebralis posterior dengan vena galeni atau sinus tranversus dengan
akibat obstruksi akuaduktus.
2) Infeksi
Timbul perlekatan menings sehingga terjadi obliterasi ruang subarachnoid.
Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran css
terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus sylvius atau
sisterna basalis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai
beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologis terlihat
penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah
lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama
terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpendunkularis,
sedangkan pada meningitis purulenta lokasinya lebih tersebar.
3) Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat aliran
css. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan penyumbatan ventrikel iv
dan akuaduktus sylvius bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari
serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel iii biasanya
disebabkan suatu kraniofaringioma.
4) Perdarahan - perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak, selain
penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.
E. Epidemiologi

insiden hidrosefalus kongenital di as adalah 3 per 1.000 kelahiran hidup


sedangkan insiden untuk hidrosefalus akuisita (aquired hydrocephalus) tidak
diketahui secara pasti karena penyebab penyakit yang berbeda-beda. Pada
umumnya, insiden hidrosefalus adalah sama untuk kedua jenis kelamin, kecuali
pada sindrom bickers-adams, x-linked hydrocephalus ditularkan oleh perempuan
dan diderita oleh laki-laki. Hidrosefalus dewasa mewakili sekitar 40% dari total
kasus hidrosefalus.

F. Patofisiologi

Menurut teori hidrosefalus terjadi akibat dari tiga mekanisme yaitu;


produksi cairan yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran cairan, peningkatan
tekanan sinus venosa. Konsekuensi dari tiga mekanisme diatas adalah peningkatan
tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan
absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dipahami dengan
jelas, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat
dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya
dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat tiap saat
selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari:

1) Kompensasi sistem serebrovaskular

2) Redistribusi dari liquor serebropinal atau cairan ekstraseluler atau keduanya


dalam susunan sistem saraf pusat.
3) Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak,kelainan turgor otak)
4) Efek tekanan denyut liquor serebrospinal (masih diperdebatkan)

5) Hilangnya jaringan otak

6) Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya regangan


abnormal pada sutura cranial.
produksi cairan yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan
akan menyebabkan tekanan intracranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbs liquor, sehingga akhirnya ventrikel akan
membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi liquor yang berlebihan
tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat
hipervitaminosis. Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari
kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran
akan meningkatkan tekanan cairan secara proporsional dalam upaya
mempertahankan resorbsi yang seimbang. Derajat peningkatan resistensi
aliran cairan dan kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik
berpengaruh pada penampilan klinis.
G. Diagnosis

1) Pemeriksaan funduskopi
Evaluasi funduskopi dapat mengungkapkan papilledema bilateral ketika
tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan mungkin normal, namun, dengan
hidrosefalus akut dapat memberikan penilaian palsu.
2) Foto polos kepala lateral
Tampak kepala membesar dengan disproporsi kraniofasial, tulang menipis dan
sutura melebar.
3) Pemeriksaan cairan serebrospinal
Dilakukan pungsi ventrikel melalui foramen frontanel mayor. Dapat
menunjukkan tanda peradangan dan perdarahan baru atau lama. Juga dapat
menentukan tekanan ventrikel.
4) Ct scan kepala
Meskipun tidak selalu mudah untuk mendeteksi penyebab dengan modalitas
ini, ukuran ventrikel ditentukan dengan mudah. Ct scan kepala dapat memberi
gambaran hidrosefalus, edema serebral, atau lesi massa seperti kista koloid dari
ventrikel ketiga atau thalamic atau pontine tumor.ct scan wajib bila ada
kecurigaan proses neurologis akut.9

Gambar 2: gambaran ct-scan pada penderita hidrosefalus

5) Mri - dapat memberi gambaran dilatasi ventrikel atau adanya lesi massa.
I. Penatalaksanaan
1) Terapi konservatif medikamentosa
Untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi
cairan dan pleksus choroid (asetazolamit 100 mg/kgbb/hari; furosemid 1,2
mg/kgbb/hari) atau upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid). Terapi diatas
hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi defenitif diterapkan atau
bila ada harapan kemungkinan pulihnya gangguan hemodinamik tersebut;
sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang mengingat
adanya resiko terjadinya gangguan metabolik.6
2) Ventriculoperitoneal shunting
Cara yang paling umum untuk mengobati hidrosefalus. Dalam
ventriculoperitoneal (vp) shunting, tube dimasukkan melalui lubang kecil di
tengkorak ke dalam ruang (ventrikel) dari otak yang berisi cairan serebrospinal
(csf). Tube ini terhubung ke tube lain yang berjalan di bawah kulit sampai ke
perut, di mana ia memasuki rongga perut (rongga peritoneal). Shunt
memungkinkan css mengalir keluar dari ventrikel dan ke rongga perut di mana
ia diserap. Biasanya, katup dalam sistem membantu mengatur aliran cairan.

Gambar 4: vp shun

3) Terapi etiologi - merupakan strategi penanganan terbaik; seperti antara lain;


pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin a, reseksi radikal lesi
massa yang mengganggu aliran liquor, pembersihan sisa darah dalam liquor
atau perbaikan suatu malformasi. Pada beberapa kasus diharuskan untuk
melakukan terapi sementara terlebih dahulu sebelum diketahui secara pasti lesi
penyebab.
2. Konsep subarachnoid hemorrhage (sah)
A. Defenisi
Perdarahan subarakhnoid (psa) atau subarachnoid hemorrhage (sah) adalah
salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
di ruang subarakhnoid. Perdarahan subarakhnoid merupakan salah satu jenis
patologi stroke yang sering dijumpai pada usia dekade kelima atau keenam,
dengan puncak insidens pada usia sekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun
untuk perempuan; lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3 : 2
(steyopranoto, 2012).
Pendarahan subarakhnoid merupakan perdarahan arteri di ruang antara dua
meningen yaitu piameter dan arakhnoidea. Sekitar 85% psa berasal dari pecahnya
aneurisma sakuler yang terjadi di dalam pembuluh darah pada bagian dasar otak
yang utamanya berada didaerah “circle of willis” (ganesen, 2016).

B. Etiologi

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah


ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi
arteriovenosa (mav). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di
arteri otak seperti :
1. Aneurisma sakuler (berry)

Gambar 2. Aneurisma sakular (berry

Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri
serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna
(pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior
30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan deficit
neurologis dengan menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture.
Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus
okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami
dipopia).

2. Aneurisma fusiformis

Gambar 3. Aneurisma fusiformis


Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut
aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen
intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri
basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau
hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat
menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat
mempercepat pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya.
Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena
merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang,
dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak
memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.

3. Aneurisma mikotik

Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya


terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa
disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi
spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.3
malformasi arterivenosa (mav) adalah anomaly vasuler yang terdiri dari
jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu
atau lebih fistula. Pada mav arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa
melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena
akan merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah
tambahan yangberasal dari arteri. Ppembuluh darah yang lemah nantinya akan
mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada
aneurisma.9 mav dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat.
Mav yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.1

C. Epidemiologi

Perdarahan subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus gpdo


(gangguan peredaran darah otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul
pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah mav
(malformasi arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada
wanita.
D. Patofisiologi

Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral


utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15%
dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah
arteri communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri
bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah
di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior.

Gambar 4. Lokasi aneurisma

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang


dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan
rupture tidak dipahami; namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial
terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami
perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari
aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk
vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen
berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan
kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture
menjadi rendah.
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan
kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur.
Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada
aneurisma yang tidak rupture. Aneurisma yang pecah puncak kejadian aneurisma
pada psa terjadi pada dekade keenam kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang
rupture terjadi pada pasien berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor
predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan
rutin sehari-hari, dan aktivitas berat.

Hampir 50% dari pasien yang memiliki psa, ketika dianamnesis pasti
memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum
perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama,
tetapi tetap ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-
25% kembali rupture dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah
kejadian pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir 70%.
E. Manifestasi klinis
tanda klasik psa, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,
2. Hilangnya kesadaran,
3. Fotofobia
4. Meningismus,
5. Mual dan muntah.
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak
tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak memperoleh
perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-
tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama
lagi sebelum terjadinya perdarahan yang hebat.
Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian
hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan
fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami serangan seperti
“disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat
menimbulkan tanda dan gejala sebagai berikut : defek medan penglihatan,
gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang
terlokalisasi.
Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek
medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal.
Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius,
defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat.
Aneurisma pada arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak
menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat menimbbulkan sindrom sinus
kavernosus. Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia,
kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio basiaris dapat
menimbulkan paresis okulomotorius.
Hasil pemeriksaan fisik penderita psa bergantung pada bagian dan lokasi
perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan psa saja atau kombinasi
dengan hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian
tanda kklinis dapat bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala,
sampai defiist neurologis berat dan koma. Semnetara itu, reflek babinski positif
bilateral.
Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai koma, biasa terjadi
pada psa. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian.
Disfasia tidak muncul pada psa tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu
dicurigai adanya hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya
demensia dan labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena
sebagai akibat dari pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior.
disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari
1) Kompresi langsung oleh aneurisma
2) Kompresi langsung oleh darah yang keluar dari pembuluh darah, atau
3) Meningkatnya tik. Nervus optikus seringkali terkena akibat psa.
Pada penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya perdarahan
subarachnoid maka hal itu bersifat patognomik untuk psa.
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan psa yang cukup luas atau besar,
atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya vasospasme.
Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat
menekan secara ekstra-aksial.
iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita psa.
Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus
willisi yang terpapar darah akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara
1-2 minggu tau lebih lama lagi.
F. Diagnosis

Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar antara 23% hingga


53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu dievaluasi lebih
cermat. Anamnesis yang cermat mengarahkan untuk mendiagnosis psa. Maka dari
itu faktor resiko terjadinya psa perlu diperhatikan seperti pada tabel berikut.

Bisa dimodifikasi Tidak bisa dimodifikasi


Hipertensi Riwayat pernah menderita psa
Perokok (masih atau riwayat) Riwayat keluarga dengan psa
Konsumsi alcohol Penderita atau riwayat keluarga
Tingkat pendidikan rendah menderita polikistik renal
Bmi rendah
Konsumsi kokain dan narkoba jenis
lainnya
Bekerja keras terlalu ekstrim pada

Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Untuk menunjang diagnosis, dapat dilakukan pemeriksan.
1. Ct scan

Pemeriksaan ct scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena sensitivitasnya


tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih akurat; sensitivitasnya
mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah serangan tetapi
akan turun pada 1 minggu setelah serangan.
Gambar 4. Ct scan perdarahan subarakhnoid
2. Pungsi lumbal

Jika hasil pemeriksaan ct scan kepala negatif, langkah diagnostic selanjutnya


adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang
mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit,
peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir
meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 ml akan menyebabkan
nilai sekitar 10.000 sel/ml. Xantokromia adalah warna kuning yang
memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin
dan bilirubin di cairan serebrospinal.

3. Angiografi

Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk


deteksi aneurisma serebral, tetapi ct angiografi lebih sering digunakan karena
non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti
terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien
memiliki aneurisma multiple. Foto radiologic yang negative harus diulang 7-14
hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan
aneurisma, mri harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya
malformasi vascular di otak maupun batang otak. Adapun parameter klinis
yang dapat dijadikan acuan untuk intervensi dan prognosis pada psa seperti
skala hunt dan hess yang bisa digunakan.

Grade Gambaran klinis


I Asimtomatik atau sakit kepala ringan dan iritasi meningeal
Ii Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat seumur hidupnya),
meningismus, deficit saraf kranial (paresis nervus abdusen sering
ditemukan)
Iii Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan
Iv Stupor, deficit neurologis berat (misalnya, hemiparesis),
manifestasi otonom
V Koma, desebrasi
Tabel skala hunt dan hess

Selain skala hunt dan hess, skor fisher juga bisa digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah di
kepala pada pemeriksaan ct scan.

Tabel skor fisher

Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan ct scan kepala


1 Tidak terdeteksi adanya darah
2 Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah ukuran

<1 mm, tidak ada jendalan


3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical terdapat darah tebal dengan
ukuran >1 mm
4 Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara difus
atau tidak ada darah

G. Diagnosis banding

Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan stroke


hemoragik akibat perdarahan subarakhnoid, yaitu :
1. Migraine

2. Cluster headache

3. Paroxysmal hemicranial

4. Non-hemorrhagic stroke

H. Penatalaksanaan

Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah


identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan
pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman
dan pemantauan invasive terhadap central venous pressure dan atau pulmonary
artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan.
Untuk mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi pasien harus
dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien
harus istirahat total.

Psa yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi dan
hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai pco2 sekitar 30-
35 mmhg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan
intracranial seperti:
1. Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara
signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
2. Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial
3. Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intracranial
masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain.
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan
dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan
neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika
perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin.
Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti
hipertensi pada psa jikalau mabp diatas 130 mmhg. Setelah aneurisma dapat
diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini
belum ada kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesic seringkali diperlukan,
obatobat narkotika dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua factor penting
yang dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia,
karena itu keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap thrombosis
vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan
kompresif sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan setlah dilakukan
penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat
mengurangi risiko komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin oral.
Hasil penelitian terakhir yang dilakukan mengemukakan bahwa penambahan
obat cilostazol oral pada microsurgical clipping dapat mencegah kejadian
vasospasme serebral dengan menurunkan resikoresiko yang memperparah
kejadian vasospasme serebral.
I. komplikasi

Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada


perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status
mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia
serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi
multiple luas.
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus
dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine
(hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik
harus dipertahankan >100 mmhg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum
ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmhg
dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat
sampai 1200-220 mmhg. Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi
lain yang dapat terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan
epilepsi.
3. Konsep asuhan keperawatan teroritis

A. Pengkajian asuhan keperawatan

1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat, pendidikan,
diagnosa medis, tanggal mrs, dan tanggal pengkajian diambil.
2. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang

Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan
di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsif, dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat


trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat – obat antib
koagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Data bio-psiko-sosial-spiritual

a) Bernafas

Pasien dapat mengalami sesak, pola nafas tidak efektif.

b) Nutrisi

Mengalami kelemahan otot pengunyah sehingga pasien tidak dapat mengunyah


makanan keras bahkan dipasang ngt.
c) Eliminasi

Terjadi kelemahan otot panggul dan springter pada anus sehingga dapat
menyebabkan pasien mengalami konstipasi.
d) Aktivitas

Terjadi gangguan mobilitas akibat hemiparesis pada satu sisi anggota gerak.
Disarankan bed rest total.

e) Istirahat

Pasien istirahat dengan normal.

f) Pengaturan suhu

Suhu tubuh pasien biasanya dalam batas normal.

g) Kebersihan/hygiene

Pasien tidak dapat melakukan personal hygiene secara mandiri akibat


kelemahan yang dialami.
h) Rasa aman

Pasien dan keluarga biasanya merasa khawatir terhadap perubahan yang terjadi
seperti keemahan anggota gerak, gangguan berbicara dll.
i) rasa nyaman
Kadang pasien akan mengalami nyeri hebat pada bagian kepala yang
mengakibatkan pasien tidak nyaman serta merasa kepala berputar sosial terjadi
gangguan pada pasien saat berkomunikasi pada orang disekitarnya.
k) Pengetahuan/belajar

Kebanyakan pasien tidak mengetahui penyakit yang dialaminya serta apa


pemicu munculnya stroke tersebut.
l) rekreasi

Pasien tidak dapat bangun dari tempat tidur atau pun keluar rumah karena
disarankan bed rest total.
m) spiritual

Pasien mungkin tidak dapat melakukan aktivitas spiritual seperti biasa karena
hambatan mobilitas fisik atau pun penurunan kesadaran.
7. Pemeriksaan fisik

a) Keadaan umum

Melangalami penurunan kesadaran, suara bicara : kadang mengalami


gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/ afaksia. Tanda –
tanda vital : td meningkat, nadi bervariasi.

b) Sistem integument

Tidak tampak ikterus, permukaan kulit kering, tekstur kasar, perubahan


warna kulit; muka tampak pucat.
c) Kepala

Normo cephalic, simetris, biasanya terdapat nyeri kepala/sakit kepala.

d) Muka

Asimetris, otot muka dan rahang kekuatan lemah.

e) Mata
Alis mata, kelopak mata normal, konjuktiva anemis (+/+), pupil isokor,
sclera ikterus (-/-), reflek cahaya positif. Tajam penglihatan tidak dapat
dievalusai,mata tampak cowong.
f) Telinga

Secret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal.

g) Hidung

Deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping


hidung tidak ada.
h) Mulut dan faring

Biasanya terpasang ngt.

i) Leher

Simetris, kaku kuduk, tidak ada benjolan limphe nodul.

j) Thoraks

Gerakan dada simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-),
perkusi resonan, rhonchi -/- pada basal paru, wheezing -/-, vocal fremitus
tidak teridentifikasi.
k) Jantung

Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics 2
sternal kanan dan ics 5 mid axilla kanan.perkusi dullness. Bunyi s1 dan s2
tunggal; dalam batas normal, gallop(-), mumur (-). Capillary refill 2 detik .
l) Abdomen

Terjadi distensi abdomen, bising usus menurun.

m) genitalia-anus

Pembengkakan pembuluh limfe tidak ada., tidak ada hemoroid, terpasang


kateter.
N) ekstremitas
Akral hangat, kaji edema , kaji kekuatan otot , gerak yang tidak disadari ,
atropi atau tidak, capillary refill, perifer tampak pucat atau tidak.

B. Diagnosa keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan kesadaran

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan aliran


darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan menurunnya
refleks batuk dan menelan, imobilisasi
4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya kerusakan neuromuskuler,
kelemahan, hemiparese
6. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol otot facial
atau oral
7. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, gangguan neuromuscular,
kekuatan otot menurun, penurunan koordinasi otot, depresi, nyeri, kerusakan
persepsi
8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.

C. Rencana Keperawatan

Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan

Ketidakefektifan pola Pasien mampu 1. Buka jalan nafas, guanakan


nafas berhubungan mempertahankan teknik chin lift atau jaw
dengan penurunan pola napas yang thrust bila perlu
kesadaran efektif. 2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Kriteria hasil :
3. dentifikasi pasien perlunya
a. Mendemonstrasikan pemasangan alat jalan nafas
batuk efektif dan suara buatan
nafas yang bersih, tidak 4. Pasang mayo bila perlu
ada sianosis dan 5. Lakukan fisioterapi dada
dyspneu (mampu jika perlu
mengeluarkan sputum, 6. Keluarkan sekret dengan
mampu bernafas batuk atau suction
dengan mudah, tidak 7. Auskultasi suara nafas, catat
ada pursed lips) adanya suara tambahan
b. Menunjukkan jalan 8. Lakukan suction pada mayo
nafas yang paten (klien 9. Berikan bronkodilator bila
tidak merasa tercekik, perlu
irama nafas, frekuensi 10. Berikan pelembab udara
pernafasan dalam 11. Kassa basah NaCl Lembab
rentang normal, tidak
12. Atur intake untuk cairan
ada suara nafas
mengoptimalkan
abnormal)
keseimbangan.
13. Monitor respirasi dan status
14. O2

15. Bersihkan mulut, hidung


dan secret trakea

. 1. Pertahankan jalan nafas yang


paten

2. Atur peralatan oksigenasi


3. Monitor aliran oksigen

4. Pertahankan posisi pasien

5. Onservasi adanya tanda tanda


hipoventilasi

6. Monitor adanya kecemasan


pasien terhadap oksigenasi

Ketidakefektifan Perfusi serebral membaik 1. 1. Pertahankan posisi tirah


perfusi jaringan Kriteria hasil : baring pada posisi
serebral a. Tingkat kesadaran anatomis atau posisi
berhubungan dengan membaik (GCS kepala tempat tidur 15-
adanya perdarahan, meningkat) 2. 30 derajat Hindari
edema atau oklusi b. fungsi kognitif, memori valsava maneuver
pembuluh darah dan motorik membaik seperti batuk, mengejan
3.
serebral c. TIK normal dsb Pertahankan
d. Tanda-tanda vital stabil ligkungan yang nyaman
e. Tidak ada tanda 4. 2. Hindari fleksi leher untuk
perburukan neurologis
mengurangi resiko jugular
Pantau adanya tanda-
5.
tanda penurunan perfusi
serebral :GCS, memori,
bahasa respon pupil dll

6. 3. Observasi tanda-tanda
vital (tiap jam sesuai
kondisi pasien)

7. 4. Pantau intake-output
cairan, balance tiap 24
jam

8. 5. Kolaborasi:

6. Beri oksigen sesuai


indikasi
7. Laboratorium: AGD, gula
darah dll
8. Penberian terapi sesuai
pesanan
9. CT scan kepala untuk
diagnosa dan monitoring

Ketidakefektifan Pasien mampu a 1. Berikan posisi semi


bersihan jalan nafas mempertahankan jalan nafas . fowler sesuai dengan
yang berhubungan yang paten. Kriteria hasil : kebutuhan (tidak
dengan menurunnya a. Bunyi nafas vesikuler bertentangan dgn masalah
refleks batuk dan b. RR normal b keperawatan lain)
menelan, imobilisasi c. Tidak ada tanda- tanda . Lakukan penghisapan
sianosis dan pucat lendIr dan pasang OPA
d. Tidak ada sputum c jika kesadaran menurun

. Auskultasi bunyi nafas

d 2. Ukur tanda-tanda vital

e 3. Bila sudah
. memungkinkan lakukan
fisioterapi dada dan
latihan nafas dalam

f 4. Kolaborasi:
.

5. Pemberian oksigen
6. Laboratorium : Analisa gas
darah, lengkap dll
7. Pemberian obat sesuai
kebutuhan.

Resiko gangguan Pasien tidak mengalami 1. Kaji adanya alergi


nutrisi kurang dari gangguan nutrisi kurang makanan
kebutuhan tubuh dari kebutuhan tubuh. 2. Kolaborasi dengan ahli
berhubungan dengan Kriteria hasil : gizi untuk menentukan
ketidakmampuan a. Adanya peningkatan jumlah kalori dan nutrisi yang
menelan. berat badan sesuai dibutuhkan pasien
dengan tujuan 3. Anjurkan pasien untuk
b. Berat badan ideal meningkatkan intake Fe
sesuai dengan tinggi 4. Anjurkan pasien untuk
badan meningkatkan protein dan
c. Mampu vitamin C
mengidentifikasi 5. Monitor jumlah nutrisi dan
kebutuhan nutrisi kandungan kalori
d. Tidak ada tanda-tanda 6. Berikan informasi tentang
malnutrisi kebutuhan nutrisi
e. Menunjukkkan 7. Kaji kemempuan pasien
peningkatan fungsi untuk mendapatkan nutrisi
pengecapan dari menelan yang dibutuhkan
f. Tidak terjadi 8. BB pasien dalam batas
penurunan berat badan normal
yang berarti 9. Monitor adanya
penurunan berat badan
10. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang bisa dilakukan
11. Monitor lingkungan
selama makan
12. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
13. Monitor mual muntah
14. Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, dan kadar
Ht o. Monitor kalori dan
intake nutrisi.

Hambatan mobilitas Pasien 1. Pantau tingkat


fisik berhubungan mendemonstrasikan kemampuan mobilisasi klien
dengan adanya mobilisasi aktif. Kriteria 2. Pantau kekuatan otot
kerusakan hasil : 3. Rubah posisi tiap 2 jam
neuromuskuler, a. Tidak ada kontraktur 4. Pasang trochanter roll
kelemahan, atau foot drop pada daerah yang lemah
hemiparese b. Kontraksi otot 5. Lakukan ROM pasif atau
membaik aktif sesuai kemampuan dan
c. Mobilisasi bertahap jika TTV stabil
6. Libatkan keluarga dalam
memobilisasi klien
7. Kolaborasi: fisioterapi.
Hambatan Komunikasi dapat 1. Evaluasi sifat dan
komunikasi verbal berjalan dengan baik beratnya afasia
berhubungan pasien, jika berat
Kriteria hasil :
dengan hindari memberi
kehilangan a. Klien dapat isyarat non verbal
kontrol mengekspresikan
2. Lakukan
perasaan
otot facial atau oral komunikasi
b. Memahami maksud
dengan wajar,
dan pembicaraan orang
bahasa jelas,
lain
sederhana dan bila
c. Pembicaraan pasien
perlu diulang
dapat dipahami
Dengarkan
dengan tekun jika
pasien mulai
berbicara Berdiri
di dalam lapang
pandang pasien
pada saat bicara

3. Latih otot bicara


secara optimal

4. Libatkan keluarga
dalam melatih
komunikasi verbal
pada pasien

5. Kolaborasi dengan
ahli terapi wicara.
6.

Defisit perawatan Kemampuan merawat diri 1. Pantau tingkat


diri berhubungan kemampuan klien dalam
meningkat
dengan kelemahan, merawat diri Berikan
Kriteria hasil : 2.
gangguan bantuan terhadap
neuromuscular, a. Mendemonstrasika kebutuhan yang benar-
kekuatan otot n perubahan pola benar
menurun, hidup untuk 3.
diperlukan saja Buat
penurunan memenuhi kebutuhan lingkungan yang
koordinasi otot, hidup seharihari memungkinkan klien
depresi, nyeri, b. Melakukan 4. untuk melakukan ADL
kerusakan persepsi perawatan diri sesuai mandiri Libatkan
kemampuan keluarga dalam
5.
c. Mengidentifikasi membantu klien
dan memanfaatkan Motivasi klien untuk
sumber bantuan melakukan ADL
sesuai kemampuan

6. Sediakan alat Bantu diri


bila mungkin

7. Kolaborasi: pasang DC
jika perlu, konsultasi
dengan ahli okupasi atau

8. fisioterapi.
Resiko gangguan Pasien tidak menunjukkan 9. Anjurkan pasien untuk
integritas kulit gangguan integritas kulit. menggunakan pakaian
Kriteri hasil : yang longgar
berhubungan
a. Integritas kulit yang 10.Hindari kerutan padaa
dengan tirah baring
baik bisa dipertahankan b. tempat tidur
lama.
b. Melaporkan adanya
gangguan sensasi atau 11.Jaga kebersihan kulit agar
nyeri pada daerah kulit c. tetap bersih dan kering
yang mengalami Mobilisasi pasien (ubah
12.posisi pasien) setiap dua
gangguan
d. jam sekali
c. Menunjukkan
pemahaman dalam Monitor kulit akan
proses perbaikan kulit 13.
adanya
dan mencegah e.
kemerahan
terjadinya
Oleskan lotion atau
minyak/baby oil pada
derah

1. 2. sedera berulang 4. yang tertekan

3. d. Mampu 5. Monitor aktivitas dan


melindungi kulit dan mobilisasi pasien
mempertahankan 6. Monitor status nutrisi
kelembaban kulit dan pasien
perawatan alami 7. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat
8. Inspeksi kulit terutama
pada tulang-tulang yang
menonjol dan titik-titik
tekanan ketika merubah
posisi pasien.
9. Jaga kebersihan alat
tenun.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. R. W DENGAN COMMUNICATING


HYDROSEFALUS SUBARACKNOID HEMORAGIC DI RUANGAN ICU IGD
SANGLAH DENPASAR PADA TANGGAL 31 MEI 2022

A. PENGKAJIAN
Tanggal Pengkajian : 31 Mei 2022
Jam : 12 : 30
Sumber Data : Ny. R. W dan Rekam Medis
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien (inisial) : Ny. R. W
Nomor RM : 22028668
Tanggal Lahir : 10-12-1964
Jenis Kelamin :  Laki – laki  Perempuan
Rujukan :  Tidak  Ya, Pasien dirujuk dari rumah sakit
Diagnosis Rujukan : Communicating Hydrosefalus Subaracnoid
Pendidikan Pasien :
Pekerjaan : Riwayat penurunan kesadaran disertai kelemahan
Keluhan Utama mendadak separuh anggota gerak dan dalam
kondisi Koma .

Alasan Masuk : Pasien dirujuk dari rumah sakit dengan alasan


penurunan kesadaran
PEMERIKSAAN FISIK
Sistem Pernapasan
Jalan Napas :  Bersih  Sumbatan:Pasien ada sumbatan pada jalan nafas dan
terpasangVentilator
RR : 14 /20 kali/menit, Spo2 : 99%
Irama Napas :  Teratur  Tidak teratur
Kedalaman : Dangkal
Suara Napas :  Ronchi  Wheezing  Vesikuler
Sputum : Warna: Tidak ada , Konsistensi ( - ), dan pasien selalu si suction
berkala untuk membersihkan saliva.
Penggunaan Otot Bantu Napas: Ny. R tidak tampak menggunakan otot bantu pernafasan
Kelainan dinding thoraks : Tidak ada kelaianan, pergerakan dinding thoraks simetris
Terpasang ETT: Ny. R terpasang OTT
Terpasang Ventilator: Pasien terpasang Ventilator , Jika Ya: Mode :Tipe Ventilator
Bilevel 10 TV : 456 RR : 14/ 20 PEEP/CPAP : 5/8 I:E : ST FiO2 :40%
Sa02 /Sp02 : 99%, tidal volume 394
Sistem Kardiovaskuler
Nadi : 105 kali/menit , CRT : < 3 Detik
Irama :  Teratur  Tidak teratur
Tekanan darah : 110 / 70 mMHg
Pulsasi :  Kuat  Lemah
Akral : Hangat  Dingin
Warna kulit :  Kemerahan  Pucat  Cyanosis
Nyeri dada :  Tidak  Ya, P………Q………R……..S……….T…………...
Perdarahan :  Tidak  Ya, Area perdarahan : Pada daerah bekas operasi tidak
ada rembesan darah Jumlah 100 cc/jam

Sistem Saraf Pusat


Kesadaran :  Composmentis  Apatis  Somnolen  Delirium
 Koma
GCS : Eye : 1 Verbal: 0 Motorik: 2
Total : 2 . Kesimpulan: Berdasarkan nilai GCS pada Ny. R adalah 2 yaitu tingkat
kesadaran Coma
Kekuatan Otot : 1 1

1 1
Interpretasi:
0 Kontraksi otot tidak terdeteksi (paralisis sempurna)
1 Tidak ad agerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau
dilihat
2 Gerakan otot penuh, melawan gravitasi dengan
topangan
3 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 Gerakan penuh yg normal melawan gravitasi dan
melawan tahanan minimal
5 Kekuatan otot normal, melawan gravitasi dan tahanan
penuh
Sistem Gastrointestinal
Distensi :  Tidak  Ya,
Peristaltik :  Tidak  Ya, Lama : 20 kali/menit
Defekasi :1 kali/hari, konsistensi: Lunak
Sistem Perkemihan
BAK : Ny. R terpasang DC /hari, 300 cc/BAK dalam 3 jam
Warna :  Bening  Kuning  Merah  Kecoklatan
Distensi Kandung Kemih :  Tidak  Ya
Nyeri saat berkemih : Tidak  Ya
Penggunaan catheter urine :  Tidak  Ya, Jika Ya:
Jumlah urine : 300 cc/3 jam, Warna: Urine tampak berwarna kuning
Sistem Hematologi
Perdarahan :  Gusi  Nassal Pethecia Echimosis

√ Lainnya: Drainase cairan pada VP sejumlah 100 cc

Sistem Muskuloskeletal & Integumen


Turgor kulit :  Tidak Elastis  Elastis
Terdapat luka :  Tidak  Ya, lokasi luka : pada daerah kepala bekas operasi
pasang VP stunt , luka bekas operasi tidak ada rembesan.

Fraktur :  Tidak Ya, lokasi fraktur :Ny. R tidak tampak adanya fraktur
Kesulitan bergerak :  Tidak  Ya ( Pasien hambatan mobilitas fisik
karena penurunan kesadaran ( Coma ) Post operasi )
Penggunaan alat bantu :  Tidak  Ya, nama alat :……………………….

Obstetri dan Ginekologi


Hamil :  Tidak  Ya, HPHT : …………………..  HPL: ……………
Riwayat kehamilan : G…………P…………A…………

Keluhan :
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
………………………………

Alat invasive/non invasive yang terpasang saat ini

Drain/WSD :  Tidak  Ya, Warna …………. Jumlah……………cc/jam

IV Line : Vascon 8 Mg 150 , Fentanyl 300 Mg/24 jam ( 7 Mg ), Rl tangan kanan


stopper, Rl tangan kanan kiri 200 cc, Midazolam 10 Mg

NGT :  Tidak  Ya, Warna Jernih Jumlah 3 cc/jam pada saat pemeriksaan
residu

Oksigen : 40% . Liter/menit

Lainnya :
………………………………………………………………………………………
RIWAYAT PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL
Psikososial
 Komunitas yang diikuti : Sealalu bersosialisasi baik dengan tetangganya
 Koping : √ Menerima  Menolak  Kehilangan  Mandiri
Afek :  Gelisah  Insomnia  Tegang  Depresi  Apatis
 HDR  Emosional √ Tidak berdaya  Rasa bersalah
Persepsi penyakit : √ Menerima  Menolak
 Hubungan keluarga/orang terdekat : Suami dan anaknya
Spiritual
 Kebiasaan keluarga/pasien untuk mengatasi stress dari sisi spiritual : Selalu berdoa
 Kebiasaan berdoa atau beribadah: Selalu berdoa sesuai dengan yang diajarkan dalam
kepercayaan Ny. R
KEBUTUHAN EDUKASI
Hambatan dalam Pembelajaran: Tidak terkaji pasien dalam kondisi koma
 Tidak  Ya, Jika Ya:
 Pendengaran  Penglihatan  Budaya  Emosi  Kognitif  Bahasa  Fisik
 Lainnya…………………
Dibutuhkan penerjemah :  Tidak  Ya: …………..……………………………
Kebutuhan edukasi (pilih topik edukasi pada kotak yang tersedia): :
 Diagnosa dan manajemen penyakit
 Obat – obatan / Terapi
 Diet dan nutrisi
 Tindakan keperawatan……………….
 Rehabilitasi
 Manajemen nyeri
 Lainnya
………………………………………………………………………………….
Bersedia untuk dikunjungi :
√ Tidak
 Ya, :
Keluarga
Kerabat
Rohaniawan
RISIKO CIDERA/JATUH
Isi formular monitoring pencegahan jatuh ATAU gunakan Morse Fall Scale atau
Norton Scale (Lampirkan).
Jika Pasien berisiko jatuh, pasang gelang risiko jatuh sesuai dengan skor.
NYERI
Nyeri : √ Tidak  Ya, jika Ya
(P) Penyebab :
(Q) Kualitas :
(R) Area/Regio :
(S) Skala :

Gunakan skala di atas untuk mengukur skala nyeri pasien anak atau dewasa yang sadar,
komunikatif, dan tidak terintubasi. Gunakan CPOT untuk mengukur skala nyeri pasien
dengan intubasi (lampirkan lembar CPOT dan skor).
(T) Waktu :
Nyeri Hilang dengan:
 Minum Obat  Istirahat  Mendengarkan lagu  Ubah posisi tidur
 Lainnya:………………………………………………..
Nyeri mempengaruhi:  Tidur  Aktivitas Fisik  Emosi
 Nafsu Makan  Konsetrasi  Lainnya………………………………………
SKALA CPOT
NO KATEGORI NILAI SKOR
EKPRESI WAJAH
1 Netral, Rileks Tak tampatk kontraksi otot wajah 0 0
Tegang Dahi mengerut, alis mata menurun, orbital 1 0
dan levatror mengencang atau perubahan
lain seperti membuka mata atau menangis
selama prosedur dilakukan
Meringis Semua gerakan diatas di tambah kelopak 2 1
mata menutup rapat
GERAKAN TUBUH
2 Posisi Normal Tidak bergerak sama sekali 0 0

Perlindungan Gerakan lambat berusaha menyentuh daerah 1 0


nyeri
Gelisah/ Berusaha menarik tabung atau mencabut 2 0
Agitasi selang, berusaha duduk, menggerakan kaki
dan meronta, tidak mengikuti perintah,
menyerang perawat, berusaha keluar dari
tempat tidur
3 Mengikuti ventilator ( Terintubasi )
Ventilator Alaram tidak berbunyi , Ventilasi lancer 0 0
toleransi
terhadap
pergerakan
Batuk tapi Batuk , alarm bunyi tetapi berhenti sendiri 1 0
masih toleransi
Melawan Asinkron, Ventilator terhambat, alarm 2 0
ventilator sering bunyi
4 Ketegangan otot ( Dengan cara mengevaluasi pada saat melakukan fleksi dan
ekstensi pasif ekstermitas atas saat pasien istrhat atau pindah posisi )
Relaks Tidak melawan saat dipindah posisikan 0 0
Tegang, Kaku Melawan saat di pindah posisikan 1 0
Sangat tegang, Melawan dengan sangat kuat saat dipindah 2 1
kaku posisikan
TOTAL 3
Keterangan :
Skor 0 : Tidak nyeri
Skor 1-2 : Nyeri ringan
Skor 3-4 : Nyeri sedang
Skor 5-6 : Nyeri Berat
Skor 7-8 : Nyeri sangat berat
Berdasarkan skala CPOT Ny. R. W dalam skala nyeri 2 yaitu dengan skala
nyeri ringan

SKRINING STATUS GIZI


Berdasarkan Malnutrition Screening Tool (MST)
(Lingkari skor sesuai dengan jawaban, Total skor adalah jumlah skor yang dilingkari):
No Parameter Skor
.
1. Apakah pasien mengalami penurunan berat badan
yang tidak diinginkan dalam 6 bulan terakhir?

a. Tidak penurunan berat badan Tidak

b. Tidak yakin / tidak tahu / terasa baju Tidak

lebih longgar

c. Jika ya, berapa penurunan berat badan Tidak

tersebut
1-5 kg
6-10 kg
11-15 kg
>15 kg
Tidak yakin penurunannya
2. Apakah asupan makan berkurang karena
berkurangnya nafsu makan?
a. Tidak Tidak

b. Ya

Pasien dengan 46 diagnose khusus : √ Tidak  Ya


( Diabetes melitus/Jantung, Ginjal, Paru –
paru/Stroke/Kanker?penurunan Imunitas/dll).

Bila skor ≥ 2 dan atau pasien dengan diagnosis/kondisi khusus dilakukan


pengkajian lanjut oleh Tim Terapi Gizi.

Sudah dilaporkan ke Tim Terapi Gizi:

 Tidak  Ya, Hari/tanggal/jam: ………………………………………….

PEMERIKSAAN PENUNJANG
√ Darah Lengkap
HARI / TANGGAL JENIS PEMERIKSAAN HASIL

Senin 31 Mei 2022 HGB 17,90


WBC 18,58
HCT 51,50
PLT 257x103

√ BGA/Analisa Gas Darah


HARI / TANGGAL JENIS PEMERIKSAAN HASIL
Senin/ 31 Mei 2022 Ph 7,47
Pc02 35
Po2 125
HC03 22,50
HCO2 26,60
S02C 99%
 Urine
 Tinja
√ Rontgen
 CT-Scan
 MRI
√ EKG : Hasil EKG Sinus Takikardi
 GDS

LAMPIRKAN Hasil Pemeriksaan Penunjang Terbaru saat pengkajian dan selama


mengelola pasien.
TERAPI FARMAKOLOGI YANG DITERIMA PASIEN

Nama Obat Golongan Dosis Rute Indikasi


1. Fentonil Analgesik 360 Mg/ Jam Intra vena 1. Premedikasi
360 Mg/ narkotik dan sebelum
24 jam Anastesi prosedur
operasi
2. Anastesi
umum pada
bedah mayor
2. Paraceta Analgesik dan 100 Mg / 8 Intravena 1. Untuk
mol 100 Antipiretik Jam meredakan
Mg / 8 nyeri
Jam 2. Sakit gigi,
nyeri otot, dan
menurunkan
demam
3. Insulin 4 Preparat 4 Unit Intrakutan 1. Ketoasidosis
unit insulin diabetic
2. Diabetes
Melitus
3.
4. Midosol Antikonvulsan Intravena 1. Premedikasi
an golongan dalam
Benzodiazepin pembedahan
e 2. Obat penenang
dalam
perawatan
pasien intesif
3. Operasi minor
atau operasi
gigi
5. KCL Suplemen 250 Mg dalam Intravena 1. Pasien dengan
250 Mg mineral 8 jam hipokalemia
dalam 8
jam
6. Omepera Penghambat 40 Mg /12 jam Intravena 1. Kondisi
zole 40 Pompa Proton GERD
Mg /12 2. Ulkus
jam duodenum
3. Helicobacter
pylory
4. Sindrom
Zollinger –
Ellison
BALANCE CAIRAN
INPUT OUTPUT

1. Minum + Makanan : 50 cc + 200 Cc 1. Urine : 850 Cc/ Jam


2. Cairan Infus : 150 Cc 2. BAB : 0 Cc
3. Injeksi : 9 Cc 3. Muntah : 0 Cc
4. Transfusi : 0 Cc 4. Residu :0 Cc
5. Air Metabolisme : 5 Ml/Kg BB/ hRCc 5. IWL :20 Cc x 61 Kg = 1220
= 5 ml x 61 Kg = 305 = 2070
= 714/ 1666 = 2.380

Balance Cairan = Input – Output

Balance Cairan = 2.380 – 2070 = 310

Jadi, balance cairan Ny. R. W dalam 7 jam adalah 2.380 – 2070 = 310
ANALISA DATA
NO DATA PROBLEM ETIOLOGI
SUBYEKTIF DAN
OBYEKTIF

1. Subyektif: Pola nafas tidak efektif Gangguan


1. Keluarga pasien Neuromuskular
mengatakan pasien
sebelumnya dirawat
dirumah sakit selama 3
hari dengan keluhan
sesak
Obyektif:
1. Terpasang ETT: Ny. R
terpasang OTT
2. Terpasang Ventilator:
Pasien terpasang
Ventilator , Mode :Tipe
Ventilator Bilevel 10
TV : 456 RR : 14/
20PEEP/CPAP : 5/8I:E :
ST FiO2 :40% Sa02
/Sp02 : 99%, Tidal
volume 394
3. Pasien dalam kondisi
koma dengan GCS : 2
4. RR : 14 /20
kali/menit, Spo2 : 99%

2. Subyektif : - Risiko perfusi cerebral Hipertensi


Obyektif : tidak efektif /SSAH
1. Pasien tampak
penurunan kesadaran
dengan GCS : 2 ( Coma )
2. Pasien post operasi EVP
dengan kondisi luka + 5
x 20 Front Temporal
3. Drainase cairan dari
EVP 100 Cc.
4. Reflek pupil (+)
diameter 2 , Kulit
tampak pucat, Crt > 3
detik
5. Pasien terpasang bedside
monitor
6. Irama EKG : ST
7. Midosolan
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan neurologis
2. Risiko perfusi cerebral tidak efektif berhubungan dengan Hipertensi / SSAH
3. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1. Pola Nafas Setelah dilakukan D. 0005
tidak Efektiff tindakan keperawatan Pemantauan Respirasi
selama …… kali 24 jam, 1. Observasi
diharapkan …….. pasien 1) Monitor pola nafas,
meningkat dengan monitor saturasi
kriteria hasil: oksigen
1. Dispnea Menurun 2) Monitor frekuensi,
2. Penggunaan otot irama, kedalaman dan
bantu pernfasan uapaya nafas
menurun 3) Monitor adanya
3. Frekuensi Nafas sumbatan jalan nafas
membaik 2. Terapeutik
4. Kedalaman nafas 1) Atur interval
membaik pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
3. Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2) Informasikan hasil
pemantauan jika perlu
Terapi Oksigen
1. Observasi
1) Monitor kecepatan
aliran oksigen
2) Monitor posisi alat
terapi oksigen
3) Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
4) Monitor integritas
Mukosa hidung
akibat pemasangan
oksigen
2. Terpeutik
1) Bersihkan secret
pada mulut , hidung
dan trakea jika perlu
2) Pertahankan
kepatenan jalan
nafas
3) Berikan oksigen jika
perlu
2 Perfusi Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan TIK
Cerebral tidak tindakan keperawatan 1. Observasi
efektif selama …… kali 24 jam, 1) Identifikasi penyebab
diharapkan …….. pasien peningkatan TIK
meningkat dengan 2) Monitor tanda dan
kriteria hasil: gejala peningkatan
1. Tekanan TIK
intracranial menurun 3) Monitor MAP
2. Sakit Kepala 2. Terapeutik
menurun 1) Berikan posisi
3. Kecemasan semifowler
menurun 2) Hindari pemberian
4. Agitasi menurun caira IV hipotonik
5. Demam Menurun 3) Cegah terjadinya
6. Tingkat kejang
kesadaran membaik 3. Kolaborasi
7. Tekanan darah 1) Kolaborasi dalam
membaik pemberian sedasi dan
8. Reflek saraf antikonvlusan
membaik (Midosolam)
2) Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis jika perlu
5. Implementasi Dan Evaluasi Tanggal 01 Juni 2022
NO HARI/ JAM IMPLEMENTASI EVALUASI PARAF
DX TGL ( SOAP )
1 Rabu, 01 1. Memantau Respirasi Subyektif : - Br. Vergilius
Juni 2022 1) Memonitor pola nafas, monitor saturasi oksigen Obyektif :
2) Memonitor frekuensi, irama, kedalaman dan uapaya nafas 1. Terpasang Ventilator: Pasien terpasang
3) Memonitor adanya sumbatan jalan nafas Ventilator , Mode :Tipe Ventilator Bilevel
4) Mengatur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien 10
5) Menjelaskan tujuan dan prosedur pemantauan TV : 456 RR : 24 / 20 PEEP/CPAP : 8
6) Menginformasikan hasil pemantauan jika perlu cmH20 I:E : ST FiO2 :40% Sa02 /Sp02 :
7) Memonitor kecepatan aliran oksigen 99%, Tidal volume 394
8) Memonitor posisi alat terapi oksigen 2. OTT terpasang dengan baik
9) Memonitor tanda-tanda hipoventilasi 3. Tidak tampak cuping hidung ataupun
10) Memonitor integritas Mukosa hidung akibat pemasangan penggunaan otot pernafasan
oksigen A: Pola nafas tidak efektif
11) Membersihkan secret pada mulut , hidung dan trakea jika P : Pemantauan Respirasi
perlu
12) Mempertahankan kepatenan jalan nafas
13) Memberikan perawatan OTT
14) Melakukan pemeriksaan AGD
2 Rabu, 01 1. Manajemen Peningkatan TIK Subyektif : - Br. Vergilius
Juni 2022 1) Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK Obyektif :
2) Memonitor tanda dan gejala peningkatan TIK 1. Pasien tampak penurunan kesadaran
3) Memonitor MAP dengan GCS : 2 ( Coma )
4) Memberikan posisi semifowler 2. Pasien post operasi EVP dengan kondisi
5) Membatasi pemberian caira IV hipotonik luka + 5 x 20 Front Temporal
6) Mengobeservasi terjadinya kejang 3. Drainase cairan dari EVP 100 Cc.
7) Mengkolaborasi dalam pemberian sedasi dan antikonvlusan 4. Reflek pupil (+) diameter 2 , Kulit tampak
jika perlu pucat
5. Pasien terpasang bedside monitor
6. Irama EKG : ST
7. Hasil drainase cairan dalam EVP 100 Cc.
Implementasi Tanggal 01 Juni 2022

NO HARI/ JAM IMPLEMENTASI EVALUASI PARAF


DX TGL ( SOAP )
1 Kamis, 03 2. Memantau Respirasi Subyektif : - Br.
Juni 2022 1) Memonitor pola nafas, monitor saturasi oksigen Obyektif : Vergilius
2) Memonitor frekuensi, irama, kedalaman dan uapaya nafas 1. Terpasang Ventilator: Pasien terpasang
3) Memonitor adanya sumbatan jalan nafas Ventilator , Mode :Tipe Ventilator Bilevel 10
4) Mengatur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien TV : 456 RR : 24 / 20 PEEP/CPAP : 8 cmH20
5) Menjelaskan tujuan dan prosedur pemantauan I:E : ST FiO2 :40% Sa02 /Sp02 : 99%, Tidal
6) Menginformasikan hasil pemantauan jika perlu volume 394
7) Memonitor kecepatan aliran oksigen 2. OTT terpasang dengan baik
8) Memonitor posisi alat terapi oksigen 3. Tidak tampak cuping hidung ataupun
9) Memonitor tanda-tanda hipoventilasi penggunaan otot pernafasan
10) Memonitor integritas Mukosa hidung akibat pemasangan 4. Pasien Arrest
oksigen A: Pola nafas tidak efektif
11) Membersihkan secret pada mulut , hidung dan trakea jika P : Pemantauan Respirasi
perlu
12) Mempertahankan kepatenan jalan nafas
13) Memberikan perawatan OTT
14) Melakukan pemeriksaan AGD

2 Br. 2. Manajemen Peningkatan TIK Subyektif : - Br.


Vergilius 1) Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK Obyektif : Vergilius
2) Memonitor tanda dan gejala peningkatan TIK 1) Pasien tampak penurunan kesadaran dengan
3) Memonitor MAP GCS : 2 ( Coma )
4) Memberikan posisi semifowler 2) Pasien post operasi EVP dengan kondisi luka +
5) Membatasi pemberian caira IV hipotonik 5 x 20 Front Temporal
6) Mengobeservasi terjadinya kejang 3) Drainase cairan dari EVP 100 Cc.
7) Mengkolaborasi dalam pemberian sedasi dan antikonvlusan 4) Reflek pupil (+) diameter 2 , Kulit tampak
jika perlu pucat
5) Pasien terpasang bedside monitor
6) Irama EKG : ST
7) Hasil drainase cairan dalam EVP 100 Cc.
8) Pasien Arrest
DAFTAR PUSTAKA

1. U.S. Department Of Health And Human Services. Public Health Service


National Institutes Of Health.
2. Dr. Iskandar Japardi (2002). Cairan Serebrospinal. USU Digital Library,
Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.
3. Jason G. Mandell et. All. 2010. Journal of Neurosurgery: Pediatrics. July 2010
Volume 6, Number 1.
4. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27, No. 3, Februari 2013; Korespondensi:
Farhad Bal'afif. Laboratorium Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang, Jl. Jaksa Agung Suprapto No.2 Malang,
5. Milani Sivagnanam and Neilank K. Jha (2012). Hydrocephalus: An Overview,
Hydrocephalus.
6. Harold L. Rekate, M.D. January 2003. Hydrocephalusassociation 2nd Edition.
San Francisco, California.
7. Said Alfin Khalilullah (2011). Review Article Hidrosefalus. RSUD dr.Zainoel
Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
8. Stephen L Nelson Jr, MD, PhD. Hydrochephalus.

9. Rukaiya K.A. Hamid, Mbbs, Ffarcs, Md, and Philippa Newfield, Md. (2001).
Pediatric Neuroanesthesia Hydrocephalus.
10. Dr. BC Warf (2008). Strategy for treatment of Hydrocephalus in developing
countries.
11. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid.

Continuing Medical Education. 2012;39.

12. Student Med. Stroke.2011.

13. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,


Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
14. Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Subarachnoid Hemorrhage.
Netter's Neurology2014. p. 526-37.
15. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University
Pres; 2011.
16. Becske T. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management.

Medscape Reference Drugs, Disease & Procedures. 2014.

17. N S, H K, K K, Y O, A F, etc. Effects of cilotazol on cerebral vasospasm after


aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a multicenter prospective, randomized,
open-label blinded end point trial. journal of Neurosurgery. 2014.
18. Jasmine L. Subarachnoid Hemorrhage. Medline Plus. 2013.

19. Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM).

Mayfield Clinic. 2013

20. Wahjoepurmono EJ, Junus J. Tindakan Pembedahan pada

Penderita Aneurisma Intrakranial. 2003;22(2).

21. Yahya RC. Stroke Hemragik - Defenisi, Penyebaba & Pengobatan Stroke
Perdarahan Otak. Jevuska. 2014.

Anda mungkin juga menyukai