Anda di halaman 1dari 19

RS/RUANGAN TGL/PARAF NILAI TGL/PARAF NILAI NILAI

CI KLINIK CI RATA-
AKADEMIK RATA

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


TRAUMA KEPALA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Klinik Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pembimbing Praktik Klinik Keperawatan Gawat Darurat : Rycco Darmareja,
S.Kep.,Ners.,M.Kep

Disusun Oleh
Venskha Rafael Delavega
19.149
III-C

AKADEMI KEPERAWATAN RUMAH SAKIT DUSTIRA


CIMAHI
2021
A. PENDAHULUAN
1. Definisi
Trauma kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat
mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga
dari luar yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil,
2011).
Trauma kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan yang
merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan peningktan dan
percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan (Rendy, 2012).
2. Anatomi Fisiologi
Pada Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu (1) Skin
atau kulit, (2) Connective Tissue atau jaringan subkutis, (3) Aponeurosis galea, (4)
Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar, dan (5) Pericranium (perikranium)
a. Skin atau kulit
Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat (Sebacea)
b. Connective Tissue atau jaringan subkutis
Merupakan jaringan kat lemak yang memiliki septa-septa, kaya
akan pembuluh darah terutama di atas Galea. Pembuluh darah tersebut
merupakan anastommistis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi
lebih dominan arteri karotis eksterna (Japardi, 2004:3).
c. Aponerurosis galea
Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat
pada tiga otot Japardi, 2004:3), yaitu :
1) ke anterior – m. frontalis
2) ke posterior – m. occipitslis
3) ke lateral – m. temporoparietalis
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N. VII)
d. Loose areolar atau jaringan ikat longgar
Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup
(valveless vein), yang menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus
vena intrakranial (misalnya Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi
pada lapisan ini, akan muda menyebar ke intrakranial. Hematoma yang
tebentuk pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan
hematoma yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala (Japardi,
2004:3).
e. Pericranium (perikarnium)
Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat
terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung
berhubungan dengan endosteum (yang melapisi permukaan dalam tulang
tengkorak) (Japardi, 2004:3).
f. Durameter
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat. Pada bagian tengkorak terdiri dari periost (selaput) tulang tengkorak
dan durameter propia bagian dalam. Duramater ditempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah dari venaotak. Rongga ini
dinamakan sinus vena. Diafragma sellae adalah lipatan berupa cincin
dalam duramater menutupi sel tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid
yang berisi kelenjar hipofisis.
g. Araknoidea
Selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak yang
meliputi susunan saraf sentral. Otak dan medulla spinalis berada dalam
balon yang berisi cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir
di bagian sacrum, medulla spinalis berhenti setinggi lumbal I-II. Dibawah
lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat saraf-saraf perifer yang
keluar dari media spinalis. Pada bagian ini tidak ada medulla spinalis. Hal
ini dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut pungsi
lumbal.
h. Piameter
Selaut tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamaeter yang
berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut
trebekhel.
3. Etiologi
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam menyebabkan trauma setempat dan menimbulkan
trauma lokal kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak
atau hernia. (Khusnah, 2018)
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan trauma menyeluruh
kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembekakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang
otak atau kedua-duanya.
Akibat trauma tergantung pada
1) Kekuatan benturan
2) Akselerasi dan deselerasi
3) Cup dan kontra cup
Trauma cup adalah kerusakan pada daerah dekat terbentur
Trauma kontra cup adalah kerusakan trauma yang berlawanan pada sisi
desakan benturan
c. Lokasi benturan
d. Depresi fraktur yaitu kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun
menekan otak lebih dalam yang mengakibatkan CSS mengalir keluar ke
hidung, telinga
e. Rotasi meliputi pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan
trauma regangan dan robekan substansia alba dan batang otak
(Khusnah, 2018)
4. Patofisiologi
Fase pertama kerusakan selebral paska terjadinya trauma kepala ditandai oleh
kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi dan juga
gangguan regulasi peredaran darah serta metabolisme otak. Pola ischaemia-like ini
menyebabkan asumsi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis anaerob.
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan
pembentukan edema. Akibat berlangsungnya metabolism anaerob, sel-sel otak
kekurangan cadangan energi yang turut menyebabkan kegagalan pompa ion di
membrane sel yang bersifat energy-dependent (Werner dan Engelhard, 2007).
Fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membrane terminal yang diikuti dengan
pelepasan neurotransmitter eksitatori (glumate dan asparat) yang berlebihan
(Werner dan Engelhard, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi
dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari
cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epiduran
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter,
subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara duramerer
dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah
didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena
hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan
perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak.
5. Manifestasi Klinik
a. Perdarahan epidural / hematoma epidural
1) Suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian dalam
dan meningen paling luar.
2) Gejala penurunan kesadaran ringan, gangguan neurologis, kacau mental
sampai koma
3) Peningkatan tekanan intrakranial yang mengakibatkan gangguan
pernafasan, bradikardi, penurunan ttv.
4) Herniasi otak yang menimbulkan dilatasi pupil dan reaksi cahaya hilang,
isokor dan anisokor, ptosis.
b. Hematoma subduralakumulasi darah antara durameter dan araknoid karena
robekan dengan gejaka sakit kepala letargi dan kejang.
c. Hematoma subdural akut dengan gelaja 24- 48 jam setelah cedera, sub akut
gejala terjadi 2 hari sampai 2 minggu , kronis 2 minggu sampai denagn 3-4
bulan setelah trauma
d. Hematoma intrakranial
1) Pengumpulan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak
2) Penyebab fraktur depresi tulang tengkorak, trauma penetrasi peluru,
gerakan akselerasi dan deselerasi secara tiba – tiba.
e. Fraktur tengkorak
1) Fraktur liner melibatkan os temporal dan parietal, jika garis fraktur meluas
kearah orbita / sinus paranasal.
2) Fraktur basiler fraktur pada dasar tengkorak, bisa menimbulkan CSS
dengan sinus dan memungkinkan bakteri masuk.
(Khusnah, 2018)

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT scan
Indikasi CT-Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia
2) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada
lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor-faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena syok, febris,
dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
Contoh hasil CT-Scan pada penderita trauma kepala yaitu :
 Tampak intra cerebral hematom luas pada temporopariental
 Tampak sub dural hematom daerah termporopariental kanan
 Tampak intra ventrikel hematoma
 Tampak fraktur os zigomatikus kiri dan frakttur orbita kiri
 Hematom sinis maksilaris kiri, sinus ethmoidalis dan sinus spenoidalis.

b. MRI dengan / tanpa menggunakan kontras


MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang
digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih sensite daripada CT-
Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hermoragig cedera
aksonal.
Pemeriksaan MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi durameter, berada diantara tulang tengkorak dan durameter.
MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan
salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk meneggakan diagnosis.
c. Angiografi adalah prosedur pemeriksaan dengan bantuan foto rontgen untuk
melihat kondisi pembuluh dara arteri dan vena. Angiografi dapat membantu
untuk menentukangangguan dari tingkat kerusakan pembuluh darah. Untuk
memeriksa pembuluh darah di otak disebut Cerebral angiography.
Hasil yang abnormal akan menunjukkan terdapat titik penyempitan pada arteri
menandakan bahwa deposit lemak, deposit kalsium, atau pembekuan
mengurangi aliran darah pada pembuluh darah.
Pembuluh darah tidak berada pada posisi normal bisa menandakan adanya
tumor atau pertumbuhan lain yang mendorong melawan mereka.
Benjolan pada pembuluh darah menunjukkan adanya kelemahan pada dinding
pembuluh darah (aneurisma).
Pola abnormal pada pembuluh darah menandakan adanya tumor.
Pewarna keluar dari pembuluh darah menandakan adanya lubang pada
pembuluh darah.
Terdapatnya percabangan abnormal pada pembuluh darah sejak lahir
(bawaan).
(Khusnah, 2018)
7. Penatalaksaan
a. Penatalaksanaan umum
1) Monitor respirasi
2) Monitor tekanan intrakranial
3) Atasi syok bila ada
4) Kontrol tanda vital
5) Keseimbangan cairan dan ekektrolit
b. Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka,
kranioplasti, prosedur shunting pada hidrocepalus, kraniotomi.
c. Pengobatan
1) Diuretik untuk mengurangi edema serebral misalnya monitol 20%,
furodemid (lasik).
Indikasi :
 Terdapat tanda tanda herniasi transtentorial
 Ada perburukan keadaan neurologis yang tidak disebabkan keadaan
sistemik
 Untuk resusitasi awal penderita cidera kepala yang disertai hipotensi
 Px coma/ dilatasi pupil bilateral/ refleks cahaya (-)
Dosis :
 Sediaan yang digunakan : 15% dan 20%
 Pemberian secara bolus
 Dosis : 0.25-0.5 / kg BB bolus dalam 10-20 menit
 Diberikan setiap 6 jam
Cara kerja Manitol :
 Meningkatkan tekanan osmotik plasma
 Air dalam cairan cerebrospinal akan berdifusi kembali ke plasma dan
ke ruangan ekstrasel (intravaskular)
 Pada ginjal menghambat penyerapan Na melalui daya ismotiknya
 Menurunkan tekanan cairan cerebrospinal
2) Kortokosteroid untuk menghambat pembentukan edema misalnya
deksametason.
3) Antagonis histamin untuk mencegah terjadinya iritasi lambung karena
hipersekresi akibat efek trauma kepala misalnya dengan cemetidin,
ranitidine
4) Antibiotik jika terjadi luka yang besar
(Khusnah, 2018)
8. Komplikasi
a. Kejang
Mekanisme terjadinya epilepsi pasca cedera kepala masih menjadi
perdebatan. Beberapa sumber menyebutkan epilepsi dapat terjadi karena
perubahan struktur, fisiologis, dan biokimia yang berlangsung di otak setelah
cedera kepala yang dapat menyebabkan terjadinya kejang. Kejang pertama
pasca cedera kepala dianggap sebagai akibat dari kerusakan pada neuron
yang disebabkan oleh ekstravasasi darah. Trauma kepala dimulai dengan
serangkaian respon berupa perubahan aliran darah dan vasoregulasi,
terjadinya gangguan pada sawar darah otak, peningkatan tekanan kranial,
perdarahan iskemik secara difus maupun fokal, inflamasi, nekrosis, atau
gangguan pada pembuluh darah itu sendiri (yulinda mutya, 2018)
b. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system
saraf yang lain.
c. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
d. Hidrosepalus
Hidrosefalus adalah penyakit dimana tedapat cairan otak yang berlebihan di
kepala atau suatu gangguan pembentukan, aliran, atau penyerapan cairan
serebrospinal yang mengarah ke peningkatan voleme cairan di dalam
susunan saraf pusat. Cairan serebrospinal memiliki fungsi sebagai proteksi
terhadap goncangan otak di dalam tengkorak kepala.
Tengkorak kepala merupakan ruang tertutup, sehingga jika terjadi benturan
yang menyebabkan peningkatan volume intrakranial, tekanan di dalam
tengkorak akan meningkatkan dan cenderung menyebabkan penurunan
perfusi serebral atau aliran darah yang membawa oksigen ke otak. Hal ini
akan mengganggu aliran sirkulasi dan penyerapan cairan serebrospinal
sehingga akan menjadi penyebab hidrosepalus.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap dalam keperawatan yang pertama dan bersifat
berkelanjutan dimana pada fase tersebut data subjektif dan objektif dikumpulkan
untuk digunakan pada tahap selanjutnya. Dalam keperawatan gawat darurat,
pengkajian ditujukan untuk mengidentifikasi kondisi pasien saat datang dan
adakah risiko yang membahayakan atau mengancam kehidupan pasien.
Pengkajian dalam keperawatan gawat darurat dilakukan dengan Primary survey
dan Secondary survey. (Sheehy, 2013)
a. Primary Survey
Primary survey adalah penilaian yang cepat serta sistematis yang
digunakan untuk mengidentifikasi dan mengenali keadaan atau kondisi yang
mengancam kehidupan klien secepat mungkin.(Sheehy, 2013). Beberapa tahap
pada primary survey:
1) Airway and Cervical Control
Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yamg dapat
disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula
atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan
memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
(Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal spine)
2) Breathing and Ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diagframa.
(Pernafasan)
3) Circulation and Hemorragic Control
a) Volume darah dan curah jantung kaji perdarahan klien. Suatu
keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh
hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu
kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol perdarahan
(nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan)
4) Disability
penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
(biasanya pasien yang mengalami trauma kepala GCS bernilai <12)
5) Exposure & Environment Control
Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan
penanganan menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan
lingkungan.
(dilakukan pemeriksan fisik head to toe untuk memeriksa jejas)
(Dr.Iskandar, 2017)
b. Secondary Survey
Pemeriksaan secondary survey adalah pemeriksaan dari ujung kepala
hingga ujung kaki, mulai dari pemeriksaan kepala korban, leher, badan dan
seterusnya, keadaan yang berbeda (abnrmal) serta mencari ketidakwajaran
seperti bengkak, perubahan warna dan kelembaban yang mungkin menjadi
petunjuk luka yan tidak terlihat. Pemeriksaan secondary dilakukan untuk
menemukan masalah-masalah yang tidak diharuskan untuk dilakukan perawat
segera agar selamat, tetapi mungkin mengancam jiwa jika tidak dilakukan
(Panacea,2013)
1) Anamnesis (S-A-M-P-L-E)
a) Sign and simptom, pada trauma kepala gejala yang ada yaitu
penurunan kesadaran, mual, muntah, kejang
b) Allergy, adakah riwayat atau tanda-tanda alergi
c) Medication, riwayat pemakaian obat atau terapi yang sedang
dijalani
d) Past illnes, pada penderita trauma kepala yang mungkin akan
ditemukan yaitu pernah mengalami benturan atau kecelakaan
e) Last meal, makanan atau minuman terakhir yang dimakan
f) Even, trauma kepala bisa terjadi karena kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, jatuh, terbentur, perkelahian, dll.

2) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : Penurunan kesadaran
b) Tingkat kesadaran : biasanya pasien bernilai gcs <12
c) Tanda tanda vital
TD :
Nadi :
Respirasi :
Suhu Tubuh :
d) Kepala
Biasanya terdapat perdarahan dan bengkak pada bagian kepala
e) Rambut
Untuk mengetahui warna rambut, kebersihan rambut, penyebaran
rambut
f) Wajah
Biasanya terdapat memar atau jejas
g) Mata
Biasanya terdapat kebiruan pada lingkaran mata
h) Hidung
Cek apakah ada lecet, perdarahan dalam hidung, dan jalan nafas
i) Mulut
Cek jalan nafas atau adanya benda asing yang menutupi jalan nafas
klien
j) Telinga
Terdapat nyeri tekan atau perdarahan
k) Leher
Cek apakah adanya fraktur servikal
l) Dada
I : melihat kesimetrisan dada kanan dan dada kiri
P : apakah ada benjolan atau nyeri tekan
P : untuk melihat batas normal paru
A : untuk mengetahui bunyi nafas
m) Abdomen
I : melihat bentuk perut, warna kulit apakah ada benjolan atau
tidak
P : apakah ada lesi dan nyeri tekan
P : apakah ada hipertimpani atau tidak
A : hitung peristaltik usus dan dengarkan apakah ada peningkatan
pada bising usus
n) Ektremitas
Melihat apakah ektremitas atas dan dan bawah terdapat jejas atau
memar, cek CRT
o) Genetalia
Bersih tidak ada lesi
2. Diagnosis Keperawatan
a. Resiko perfusi selebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala,
ateroskleorosis aorta, hipertensi, embolisme.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencendera fisik ditandai dengan pasien
mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah.
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas ditandai
dengan penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas abnormal, pernafasan
cuping hidung
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


Keperawatan
Pola nafas tidak Setelah di lakukan tindakan Manajemen jalan 1. Pola nafas normal
efektif keperawatan selama 1×24 nafas (I.01012) berfrekuensi 16-
berhubungan jam diharapkan pola nafas Observasi 24x/menit. Tidak
dengan membaik dengan kriteria 1. Monitor pola menggunakan otot
hambatan upaya hasil nafas bantu nafas
nafas ditandai Indikator Awal Akhir 2. Monitor bunyi 2. Bunyi nafas
dengan adanya Dispnea nafas tambahan normal vesikuler
penggunaan otot Napas Terapeutik ekspirasi lebih
bantu cuping 3. Pertahankan panjang dari
pernafasan, pola hidung kepatenan jalan inspirasi, tidak ada
nafas abnormal, Frekuens napas dengan weezing, mengi,
pernafasan i nafas head-tilt dan ronkhi, gurgling
cuping hidung (PPNI, 2018b) chin-lift 3. Agar jalan nafas
(PPNI, 2016) 4. Posisikan tetap terjaga tidak
semifowler atau menghalangi jalan
fowler napas
5. Berikan oksigen 4. Posisi semi fowler
Edukasi atau fowler
6. Ajarkan asupan membantu pasien
cairan 2000 menjadi lebih
Ket :
ml/hari, jika nyaman
1= meningkat tidak ada 5. Oksigen diberikan
kontraindikasi ketika frekuensi
2= cukup meningkat Kolaborasi nafas pasien <12
7. Kolaborasi dan SPO2 pasien
3= sedang pemberian <94%
4= cukup menurun bronkodilator, 6. Pemasukan tinggi
ekspektoran, cairan membantu
5= menurun mukolitik, jika untuk
perlu mengencerkan
sekret,
membuatnya
(PPNI, 2018a)
mudah
dikeluarkan jika
terdapat sekret
7. Menurunkan
kekentelan sekret,
lingkaran ukursn
lumen
trakeabronkial,
berguna jika
terjadi hipoksemia
pada kavitas yang
lama
Nyeri akut Setelah di lakukan tindakan Manajemen nyeri 1. Menggunakan
berhubungan keperawatan selama 1×24 (I.08238) teknik PQRST
dengan agen jam diharapkan nyeri dapat Observasi 2. Menggunakan
pencendera fisik teratasi dengan kriteria hasil 1. Identifikasi skala nyeri Wong-
ditandai dengan Indikator Awal Akhir lokasi, Baker Faces pain
pasien Keluhan 2 5 karakteristik, Tating Scale,
mengeluh nyeri, nyeri durasi, frekuensi, skala wajah 0
tampak Meringis kualitas sampai 5. 0 (tidak
meringis, Gelisah 2. Identifikasi ada nyeri) 1 (nyeri
gelisah. Tekanan skala nyeri sedikit), 2 (sedikit
darah 3. Identifikasi lebih nyeri) 3
Frekuens faktor yang (lebih nyeri lagi),
i nafas memperberat dan 4 (nyeri sekali), 5
Frekuens memperingan ( Nyeri hebat)
i nadi nyeri 3. Untuk mengetahui
(PPNI, 2016) Terapeutik apa yang
4. Berikan teknik memperingan
Ket : (P nonfarmakologi nyeri dan
P untuk menghindari
1= memburuk N mengurangi nyeri faktor yang
2= cukup memburuk I, 5. Kontrol memperberat
lingkungan yang nyeri
3= sedang memperberat 4. Untuk mengurangi
rasa nyeri penggunaan obat-
4= cukup membaik 6. Fasilitasi istirahat obatan berikan
5= membaik tidur terapi non-
Edukasi farmakologi
7. Jelaskan misalnya teknik
2018b) penyebab, relaksasi
periode, dan 5. Agar mendukung
pemicu nyeri untuk
8. Jelaskan strategi memperingan rasa
meredakan nyeri nyeri pasien
9. Ajarkan teknik 6. Membuat klien
nonfarmakologis beristirahat agar
untuk mengurangi
mengurangi rasa merakan nyeri
nyeri 7. Agar klien
Kolaborasi mengetahui apa
10. Kolaborasi penyebab yang
analgetik jika menyebabkan
perlu nyeri, kapan saja
nyeri akan muncul
dan apa
(PPNI, 2018a)
pemicunya
sehingga pasien
dapat menghindari
pemicu
8. Jelaskan kepada
klien bagaimana
cara untuk
mengurangi rasa
nyeri
9. Ajarkan klien
untuk melakukan
terapi relaksasi
untuk
memperingan
nyeri
10. Jika klien
mengalami nyeri
hebat tidak bisa
menggunakan
teknik non
farmakologi
kolaborasikan
pemberian
analgetik
Resiko perfusi Setelah di lakukan tindakan Manajemen 1. Misalnya karna
selebral tidak keperawatan selama 1×24 Peningkatan lesi, gangguan
efektif jam diharapkan resiko perfusi Tekanan Intrakranial metabolisme,
dibuktikan serebral teratasi dengan (I.06194) edema serebral
dengan cedera kriteria hasil Observasi 2. Misalnya karena
kepala, Indikator Awal Akhir 1. Identifikasi tekanan darah
ateroskleorosis Tekanan penyebab TIK meningkat,
aorta, hipertensi, intra 2. Monitor tanda tekanan nadi
embolisme. kranial gejala melebar,,
(PPNI, 2016) Sakit peningkatan TIK bradikardia, pola
kepala 3. Monitor MAP napas ireguler,
gelisah 4. Monitor status kesadaran
Tingkat pernapasan menurun
kesafaran Terapeutik 3. Mean arterial
5. Berikan posisi pressure adalah
( semi fowler tekanan arteri rata-
Ket : P 6. Atur ventilator rata selama satu
P Kolaborasi siklus denyutan
1= meningkat 7. Kolaborasi jantung yang
N
2= cukup meningkat I, pemberian sedasi didapatkan dari
dan anti pengukuran
3= sedang kolvusan, jika tekanan darah
perlu systole dan
4= cukup menurun 8. Kolaborasi tekanan darah
5= menurun pemberian diastole. Niai
diuretik osmosis, normal dari MAP
jika perlu adalah berkisar
2018b)
antara 70-100
mmHg (Potter &
Perry, 2005).
4. Agar tetap
termonitorin
pernapasan pasien
5. Posisi semi fowler
atau fowler
membantu pasien
menjadi lebih
nyaman
(PPNI, 2018a)
6. Atur ventilator
agar PaCO2
optimal
7. Antikovulsan
diberikan untuk
anti kejang
8. Diuretik osmosis
diberikan agar
meningkatkan
jumlah cairan
tubuh yang
disaring keluar
oleh ginjal,
sekaligus
menghambat
penyerapan cairan
kembali oleh
ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

Dr.Iskandar, M. K. S. . B. (2017). Diagnosis Dan Penanganan Cedea Kepala Di Daerah


Rural. 2, 94.
Khusnah, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Klien Trauma Kepala dengan Masalah
Keperawatan Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak. 1–95.
PPNI. (2016). standar diagnosis keperawatan indonesia (PPNI (ed.); 1st ed.). dewan
pengurus pusat PPNI.
PPNI. (2018a). standar intervensi keperawatan indonesia (DPP PPNI (ed.); 1st ed.). dewan
pengurus pusat PPNI.
PPNI. (2018b). standar luaran keperawatan indonesia (dpp ppni (ed.); 1st ed.). dewan
pengurus pusat PPNI.
yulinda mutya. (2018). HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT CEDERA KEPALA TERHADAP
KEJADIAN EPILEPSI BANGKITAN UMUM DI POLIKLINIK SARAF RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH DOKTER SOEDARSO PONTIANAK.
https://id.scribd.com/doc/308322668/Pemeriksaan-CT-Scan-Kepala-Pada-Kasus-Cedera-
Kepala-Di-Inst-Rad-RS-Panti-Rapih-JGJ

https://id.scribd.com/doc/252675414/Pathway-Trauma-Kapitis

https://id.scribd.com/doc/299403610/Paper-Radiologi-Trauma-Kepala

https://id.scribd.com/doc/116512695/Penggunaan-Manitol-Pada-Cedera-Kepala

Anda mungkin juga menyukai