Anda di halaman 1dari 49

CLINICAL SCIENCE SESSION

TRAUMA KEPALA
Presentan :
M. Insan Kamil
Lely Nilam Sari
Dimas Apriyandika
Havrinila R. Habib

SMF ILMU ANESTHESI


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RSUD AL-IHSAN
2016

ANATOMI KEPALA

Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang


disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective
tissue
atau
jaringan
penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau
jaringan
penunjang
longgar
dan
perikranium

Tulang Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang
disusun menjadi dua bagian yaitu kranium (kalvaria)
yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah
yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak
mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah
tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada
permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan
supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah.
Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar
tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi
oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan
pembuluh darah

Meningia

Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan


sumsum tulang belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi
struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil
benturan atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu:
Durameter (Lapisan sebelah luar)
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal
dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri
dari selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di bagian
dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah.
Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang
mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus
longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer
otak

Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah)


Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong
atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf
sentral.

Piameter (Lapisan sebelah dalam)

Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan


jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui
struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks
serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis
inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium
memisahkan cerebrum dengan serebellum

TRAUMA KEPALA

Trauma kepala adalah suatu ruda paksa


yang menimpa struktur kepala sehingga
dapat menimbulkan kelainan structural
dan gangguan fungsional jaringan otak.
Cedera kepala melibatkan setiap
komponen yang ada, mulai dari bagian
terluar (kulit kepala) hingga bagian
terdalam (otak).

Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak


yang bukan bersifat degeneratif ataupun
kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis
dari luar, yang menyebabkan gangguan fisik,
fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini
dapat bersifat menetap atau sementara dan
disertai hilangnya atau berubahnya tingkat
kesadaran
(Berdasarkan mekanismenya cedera otak di bagi
atas cedera otak tumpul dan cedera otak
tembus/tajam (penetrating head injury) (Valadka,
1996).

Kontusio serebri yang dimaksud dalam


penelitian ini didasarkan pada penilaian
klinis dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
dan CT-scan kepala dimana didapati
adanya intracerebral hemorrhage yang
tidak ada indikasi operasi. Cedera kepala
kami bagi atas:cedera kepalasedang
(CKS) dengan GCS 9-13 dan cedera
kepala berat (CKB) dengan GCS 3-8

Stratifikasi resiko pada penderita dengan


cedera kepala

Epidemiologi

Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah


200/100.000 populasi per tahun. Dalam satu studi yang
berdasarkan populasi menunjukkan bahwa insiden trauma
kapitis sekitar 180-250/100.000 populasi per tahun di Amerika
Serikat. Insiden lebih di Eropa dari 91/100.000 populasi per
tahun di Spanyol hingga 546/100.000 di Swedia, di Southern
Australia 322/100.000 dan di Afrika Selatan 316/100.000
(Bondanelli dkk, 2005).
Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada
kelompok umur 15-24 tahun atau 75 tahun lebih, sedangkan
pada anak insiden puncaknya pada usia kurang dari 5 tahun.
Angka insiden untuk pria dua kali lebih sering dibanding wanita
dengan ratio tertinggi pada remaja dan dewasa muda, dan
range dari 1,2 : 1 sampai 4,4 : 1 dalam populasi yang berbeda

Patofisiologi

Patofisiologi menurut Markum (1999), trauma pada kepala menyebabkan


tengkorak beserta isinya bergetak, kerusan yang terjadi tergantung pada
besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang
timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika
sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal ini
menyebabkan pembuluh darah robek sehingga menyebabkan hematoma
epidural, subdural, maupun intrakranial, perdarahan tersebut juga akan
mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai
oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringa akan menyebabkan odema
serebral
Akibat dari hematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,
karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada
kenaikan tekanan intrakranial merangsang kelenjar dan steroid adrenal
sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual
dan muntah sehingga masukan nutrisi kurang ( Satyanegara, 1998).
Patofisiologi kerusakan diotak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan
dengan dua stadium yaitu cedera kepala primer dan sekunder

Cedera kepala primer ( Primary Brain Injury)

Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung


dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak
saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai
bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi,
kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak,
yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan
pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan
kerusakan lokal, multifokal ataupun difus

Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa


faktor seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial
/Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi
jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase lanjut (late
phase), dimana terjadi vasospasme. Keadaan setelah cedera
kepala dapat dibagi menjadi:
Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),
Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan
Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi
aliran darah (Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional
Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar
inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon
terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP)

Kontusio Serebri (memar otak)


Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling
sering terjadi.Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa
postmortem mengalami kontusio serebri
Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi
dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim
otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah
otak.Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun
neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada
beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi
perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri
sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham
epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid

Diffuse Axonal Injury

Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat,


sebab ini bukan merupakan cedera difus pada seluruh
daerah otak. Cedera yang terjadi lebih dominan pada area
otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan
cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI
merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu.
Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia
adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson dari batang
otak, parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus
kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri

Cedera kepala sekunder ( Secondary Brain


Injury)

Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal


dan ditandai dengan kerusakan neuron-neuron akibat
respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal (Marik
dkk,2002). Faktor sekunder akan memperberat cedera
kepala dikarenakan hasil shearing pada laserasi otak,
robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem
serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan cerebral
blood flow (CBF), iskemik,hipoksia dan lainnya yang
dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron

Mekanisme terjadinya fraktur pada cedera kepala


Perubahan pada tengkorak

Bila suatu benda bergerak memukul kepala atau bergerak mengenai suatu benda, maka
pada waktu kontak antara keduanya akan terbentuk energi yang besarnya bergantung
pada massa, densitas, bentuk dan kecepatan benda yang memukul. Sebagian dari energi
benda akan diserap oleh kepala dan menyebabkan terjadinya deformitas berupa
pelekukan ke dalam (inbending) tulang pada lokasi benturan (impak). Jika energi yang
terserap melewati suatu ambang tertentu maka terjadilah fraktur tengkorak.

Banyaknya serta karakteristik deformitas tengkorak terutama ditentukan oleh kecepatan


obyek yang memukul dan lamanya energi bekerja pada tengkorak (lamanya penyerapan
energi). Selain itu ukuran dan bentuk obyek serta ketebalan tulang turut pula berpengaruh
pada hal tersebut. Pada saat terjadi kekerasan pada kepala, tulang tengkorak pada daerah
pukulan akan melekuk ke dalam ( deformitas lokal), sedangkan daerah-daerah tertentu
yang berjauhan dari lokasi pukulan akan melekuk ke luar ( deformitas umum). Jika
pelekukan pada daerah impak tidak terlalu besar, maka tulang akan kembali ke
kedudukannya semula (rebound) dan di daerah tersebut tidak akan terjadi fraktur depresi.
Pada keadaan ini biasanya terjadi pelekukan ke luar (outbending) yang bermakna pada
daerah yang justru berjauhan dari daerah impak.

Pelekukan keluar ini akan menimbulkan kekuatan robekan pada


permukaan luar tengkorak sehingga di sini bermula suatu fraktur
linier yang menjalar dalam dua arah yang berlawanan, yaitu satu
patahan berjalan menuju impak dan yang lainnya menjauhi impak.
Jika pelekukan ke dalam daerah impak cukup hebat, maka pada
daerah impak akan terjadi fraktur depresi. Pada keadaan ini ada
tidaknya pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak
bergantung pada kecepatan penyerapan energi di titik impak
(kecepatan impak). Semakin cepat pukulan, maka semakin kurang
pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak dan
bertambah terlokalisasi di daerah depresi yang terjadi. Dengan
demikian, pada keadaan ini kita dapat menjumpai adanya 3
kemungkinan pola fraktur, yaitu fraktur linier saja yang berjalan dari
perifer menuju impak, fraktur depresi saja di daerah impak atau
fraktur depresi dan satu atau lebih fraktur linier yang berjalan dari
perifer menuju ke daerah depresi

PEMERIKSAAN KLINIS

Anamnesis

Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana,


bila terjadinya kecelakaan yang dialami oleh
pasien. Selain itu perlu ditanyakan pula tentang
kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah
apa tidak, adanya kejang. Bila pasien sadar,
tanyakan apa yang terjadi, apa keluhan yang
dirasakannya. Kalau pasien tidak ingat apa
yang terjadi, tanyakan apa yang terakhir
diingatnya sebelum kecelakaan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dicatat tandatanda vital: kesadaran, nadi, tensi darah,
frekuensi dan jenis pernapasan serta
suhu badan. Tingkat kesadaran dicatat
yaitu kompos mentis,apatis, somnolen,
spoor, soporokoma atau koma. Selain itu
ditentukan dengan menilai Skala Koma
Glasgow

Pada pasien yang sadar dapat dilakukan


pemeriksaan neurologis lengkap seperti
biasanya. Pada pasien yang berada dalam
keadaan koma hanya dapat dilakukan
pemeriksaan obyektif.
Bentuk pemeriksaan yang dilakukan
adalah tanda perangsangan meningens,
yang berupa tes kaku kuduk yang hanya
boleh dilakukan bila kolumna vertebralis
servikalis (ruas tulang leher) normal.

Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau


dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan
terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus
kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai
saraf 12, yaitu : nervus I (nervus olfaktoris), nervus II
(nervus optikus), nervus III (nervus okulomotoris),
nervus IV (troklearis), nervus V (trigeminus), nervus VI
(Abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus),
nervus IX (glosofaringeus) dan nervus X (vagus),
nervus XI (spinalis) dan nervus XII (hipoglosus), nervus
spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada
otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf
motorik

Pemeriksaan Laboratorium
Glukosa
Hematokrit
Pemeriksaan Rotgen
Foto rotgen
CT scan
MRI

Glasgow Outcome Scale (GOS)

Glasgow Outcome Scale adalah skala


tertua yang digunakan untuk mengukur
hasil setelah terjadinya trauma kapitis
dan juga digunakan secara luas sebelum
timbul skala baru. Glasgow Outcome
Scale diciptakan oleh Jennet dkk pada
tahun 1975 dan extended version
diperkenalkan pada tahun 1998 oleh
Wilson dkk

Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut: (Leon-Carrion, 2006;
Capruso dan Levin, 1996)

Meninggal
Vegetative state : tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognitif
yang ditunjukkan oleh hilangnya komunikasi total; yang menyatakan bahwa
korteks serebri tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien
pada vegetative state memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan
siklus tidur/bangun. Meskipun pasien pada vegetative state dapat
menunjukkan berbagai aksi motorik yang refleksif, kebiasaan ini tidak dapat
menunjukkan kesadaran. Meskipun pasien bangun tetapi mereka tidak
waspada
Disabilitas berat : sadar tetapi pasien yang membutuhkan pertolongan
termasuk dalam kategori ini. Meskipun tingkat ketergantungan bervariasi,
yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang tergantung pada
seorang caregiver pada seluruh aktifitas sepanjang hari. Pada beberapa
pasien, fungsi kognitif dan fisik masih relatif utuh, tetapi pasien sangat
disinhibisi atau apatis sehingga mereka tidak meninggalkan perlengkapan
peribadi mereka. Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan merawat diri
mereka sendiri selama interval 24 jam termasuk dalam kategori ini.

Disabilitas sedang : pasien yang tidak membutuhkan pertolongan tetapi


tidak mampu termasuk dalam kategori ini. Meskipun mereka dapat
tinggal sendiri, tetapi pasien ini memiliki tingkat kecacatan fisik dan
kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat kehidupan
sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini kembali bekerja,
meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan
asisten untuk mereka, dan mereka tidak dapat memikul pekerjaan
sebesar tanggung jawab mereka sebelum sakit.

Perbaikan baik : pasien tidak bergantung dimana mereka dapat kembali


ke pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya
keterbatasan mayor masuk dalam kategori ini. Pasien ini dapat memiliki
defisit neurologi atau kognitif yang menetap sampai tingkat ringan,
tetapi defisit ini tidak mengganggu keseluruhan fungsi mereka. Pasien
ini kompeten bersosialisasi dan mampu membawa diri mereka secara
adekuat dan tanpa perubahan kepribadian yang berarti.

Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut


Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2
jenis:
Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan
kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini
hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya
atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.

Kesadaran terganggu sesaat

Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera


kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan
radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

Pasien dengan kesadaran menurun


Cedera kepala ringan / minor head injury
(GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command,
tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah
pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat
foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya
hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid
interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun
atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil,
gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.

Cedera kepala sedang (GCS=9-12)


Pasien dalamkategori ini bisa mengalami
gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu
urutan tindakannya sebagai berikut:

Periksa

dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan

sirkulasi
Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral
dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang
ekstrimitas
Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral

Cedera kepala berat (CGS=3-8)

Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple,


oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai
kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai
berikut:
Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien
dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia,
hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner.
Oleh karena itu tindakan pertama adalah:

Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)


Peninggian TIK terjadi akibat edema
serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk
mengukur turun naiknya TIK sebaiknya
dipasang monitor TIK. TIK yang normal
adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20
mmHg sudah harus diturunkan dengan
urutan sebagai berikut

Hiperventilasi
Drainase
Diuretik :

Diuretik osmotik (manitol 20%)


Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari
jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih
utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi
diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan
0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam.
Monitorosmolalitas tidak melebihi 310 mOSm

Loop diuretik (Furosemid)

Frosemid dapat menurunkan TIK melalui


efek menghambat pembentukan cairan
cerebrospinal dan menarik cairan
interstitial pada edema sebri.
Pemberiannya bersamaan manitol
mempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotik serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/iv

Terapi barbiturat (Fenobarbital)


Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang
tidak responsif terhadap semua jenis terapi
yang tersebut diatas.
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam
dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam,
lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%,
dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah
TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam,
dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.

Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor
otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak
terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi
pada kasus cedera kepala

Posisi Tidur

Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi


tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30,
dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi
fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah
leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi
lancar.

Keseimbangan cairan elektrolit


Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi
untuk mencegah bertambahnya edema serebri
dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari
diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan
koloid seperti hydroxyethyl starch, pada
awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti
NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan
cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah
edema serebri

Nutrisi

Pada cedera kepala berat terjadi


hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses
ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya
kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah
danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4
hari dengan cairan perenterai pemberian cairan
nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari

Kejang

Pengobatan:
Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100
mg/hari
Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15
menit. Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9%
dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan
baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak
berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan
paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500
mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera
kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada
fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan
amnesia post traumatik panjang

Neuroproteksi

Adanya waktu tenggang antara


terjadinya trauma dengan timbulnya
kerusakan jaringan saraf, memberi
waktu bagi kita untuk memberikan
neuroprotektan.
Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti
pada penderita cedera kepala berat
antara lain, antagonis kalsium, antagonis
glutama dan sitikolin. Target utama dan
cara dari neuroproteksi

Komplikasi sistematik

Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi


seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan
menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa.
Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan
menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu
dengan kompres
Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan
lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan
ini dapat dicegah dengan H2 reseptor bloker.
Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia,
hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut
walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi
agar tidak memperparah kondisi pasien.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai