Anda di halaman 1dari 7

I.

Definisi
Fraktur cranium yaitu rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang disebabkan
oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kerusakan otak. Adanya
fraktur tulang tengkorak (cranium) biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan
yang kuat. (Brunner & Suddarth, 2001)
Fraktur cranium yaitu patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi akibat
benturan langsung. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang
terjadi pada kepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian
dalam dari isi cranium. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai
kerusakan neurologis (Sjamsuhidayat & Jong, 1997).

II.

Patofisiologi
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh
trauma. Meskipun tengkorak sangat sulit retak dan memberikan perlindungan
yang sangat baik untuk otak, trauma yang parah atau pukulan dapat
mengakibatkan fraktur tengkorak. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan
otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan
yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur
terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah
kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan kurang
akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar
tengkorak cenderung melintasi sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi
tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari
hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar
tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung. Patah tulang
tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian berdarah ke dalam ruang
di sekitar jaringan otak. Patah tulang, terutama pada bagian belakang dan bawah
(dasar) dari tengkorak, bisa merobek meninges, lapisan jaringan yang menutupi
otak. Bakteri dapat masuk ke tengkorak melalui patah tulang tersebut,
menyebabkan infeksi dan kerusakan otak parah. Kadang-kadang, potongan tulang
tengkoraknya retak tekan ke dalam dan merusak otak. Jenis patah tulang fraktur
disebut depresi. Patah tulang tengkorak depresi mungkin mengekspos otak ke

lingkungan dan bahan asing, menyebabkan infeksi atau pembentukan abses


(pengumpulan nanah) di dalam otak.
III.
Klasifikasi
Fraktur tulang tengkorak dapat di klasifikasikan antara lain :
a. Fraktur sederhana (simple) merupakan suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
b. Fraktur depresi (depressed) terjadi apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih
c.

dalam dari tulang tengkorak


Fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan
luar. Dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang
biasanya melalui sinus-sinus.

Fraktur cranium regio temporal terjadi pada 75 % dari seluruh kasus fraktur basis cranii.
Adapun tiga subtipe dari fraktur cranium regio temporal (Rasjad C, 2003), antara lain :
a) Tipe longitudinal, terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa
os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan segmen timpani. Frakturfraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid
secara berurut.
b) Tipe tranversal, mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth,
berakhir di fossa media.
c) Tipe campuran, merupakan gabungan dari tipe fraktur longitudinal dan tipe
tranversal.
IV.

Manifestasi Klinis
Luka di kulit kepala (abrasi, kontusi, laserasi, atau avulsi), yang bisa
menyebabkan pendarahan profusi karena kulit kepala mengandung banyak
pembuluh darah, sehingga meyebabkan syok hipovolemik jika darah yang hilang

cukup banyak.
Tanda cedera otak: agitasi dan iritabilitas, hilang kesadaran, perubahan pola
respiratori, reflek tendon dalam (deep tendon reflex DTR) abnormal, dan

perubahan respon pupil dan motorik.


Sakit kepala setempat dan persisten
Hemoragi atau hematoma subdural, epidural, atau intraserebral, jika fragmen
tulang yang bergerigi menembus dura meter atau korteks serebral, yang bisa

menyebabkan hemiparesis, pupil tidak sama, pusing, sawan, muntah proyektil,

denyut nadi dan tingkat respiratorik menurun, dan ketidakresponsifan progresif.


Kebutaan jika pasien mengalami fraktur sfenoidal yang merusak saraf optic
Ketulian unilateral atau paralisis fasial jika pasien mengalami fraktur temporal.
Pembengkakan jaringan lunak di dekat terjadinya fraktur kubah, sehingga

membuatnya sulit dideteksi tanda computed tomography (CT) scan.


Pada fraktur basilar: hemoragi dari hidung, faring atau telinga, darah dibawah
kulit periorbital (racoon eyes) dan dibawah konjungtiva; dan battle sign
(ekimosis sepramastoid), kadang-kadang disertai

pendarahan di belakang

gendang telinga; cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid-CSF) atau bahkan

jaringan otak bocor dari hidung atau telinga.


Efek residual yang bisa muncul: gangguan sawan (epilepsy), hidrosefalus, dan

sindrom otak organik.


Pada anak-anak: sakit kepala, pusing, mudah letih, neurosis, dan gangguan

perilaku.
Pada pasien lansia: tekanan intracranial (intracranial pressure-ICP) yang tidak
menunjukkan tanda sampai mencapai tingkat yang sangat tinggi akibat atrofi otak
kortikal, sehingga membuat lebih banyak ruang untuk pembengkakan otak
dibawah cranium.

V.

Pemeriksaan Penunjang
CT Scan bias diperlukan untuk menentukan lokasi fraktur (terutama pada fraktur

kubah yang tidak bisa dilihat maupun diraba)


Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk memeriksa fungsi cerebral (staus mental,
orientasi waktu, tempat, dan orang), tingkat kesadaran, respon pupil, fungsi

motoric.
Strip reagens digunakan untuk menguji cairan nasal atau telinga yang mengalir
untuk melihat adakah Cerebro Spinal Fluid (CSF). Strip akan berubah warna
menjadi biru jika CSF, tetapi strip tidak akan berubah warna jika hanya ada darah.
Akan tetapi, pita juga akan berwarna menjadi biru jika pasien mengalami

hiperglikemia.
CT scan dan magnetic resonance imaging melihathemoragi intracranial dari
pembuluh darah yang mengalami rupture dan pembengkakan untuk mengkaji
kerusakan otak.

EEG untuk mengetahui pergeseran susunan garis tengah otak


Rontgen tengkorak untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak.
Angiografi serebral untuk mengetahui hematoma serebral, kelainan sirkulasi

serebral (seperti pergeseran otak akibat edema, pendarahan dan trauma).


Sinar X untuk menentukan adanya fraktur tengkorak.
PTT dan APTT
Partial Tromboplastin Time (PTT) dan Activated Partial Thromboplastine Time
(APTT) pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi terapi penggunaan
heparin serta sebagai pemeriksaan penyaring awal untuk mendeteksi ada tidaknya
gangguan system koagulasi.
Perbedaan prinsip keduanya adalah jika indicator standar yang digunakan berasal
dari jaringan alamiah maka disebut dengan PTT, namun jika indicator standar
yang digunakan adalah hasil sintesis pabrik maka disebut APTT.

VI.
Tatalaksana
Penanganan fraktur cranium dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan
aman. Pendekatan tunggu dulu pada penderita fraktur kranium sangat berbahaya, karena
diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting.
a. Primary Survey (ABCDE)
Adalah penilaian utama terhadap pasien, dilakukan dengan cepat, bila ditemukan hal
yang membahayakan nyawa pasien, langsung dilakukan tindakan resusitasi.
Penanganan atau Pertolongan pertama dari penderita dengan fraktur cranium
mengikuti standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life
Support) yang meliputi,
Pertahankan A (airway)
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil. Dengarkan suara yang
dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar
lihat ada s u m b a t a n a i r w a y a t a u t i d a k d a n s u a r a - s u a r a n a f a s s e r t a
hembusan nafas pasien. Pemeriksaan jalan napas pasien dilakukan dengan cara
kepala dimiringkan, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing.
Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi

ataupun rotasi.
Pertahankan B (Breathing)
Dapat segera dinilai dengan cara menentukan

apakah pasien bernafas

spontan/tidak kemudain pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2

minimum 95%. Jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support
pernafasan dengan memberikan masker O2 sesuai indikasi. Setelah jalan nafas
bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensi normalnya antara
16 20X/menit, kemudian lakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan
PCO 2 antara 28 35 mmHg .

Pertahankan C (Circulation)
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah jika diperlukan pasang EKG. Apabila denyut nadi/jantung, tidak
teraba lakukan resusitasi jantung, Kemudian tentukan perdarahan dan kenali
tanda-tanda siaonosis. Waspada terjadinya shock dan lakukan penanganan luka

secara baik serta pasang infus dengan larutan RL.


Disability
Pada pemeriksaan disability, pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma
scale (GCS). Penilaian neorologis untuk menilai apakah pasien sadar, memeberi
respon suara terhadap rangsang nyeri atau pasien tidak sadar. Periksa kedua pupil
bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya, Periksa adanya

hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri,


Exposure.
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka atau trauma lain secara
generalis. Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermi.

b. SECONDARY SURVEY
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai dan ABC sudah
mulai stabil dan membaik. Dilakukan secondary survey dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik lebih lanjut dan melakukan pemeriksaan tambahan seperti skull
foto, foto thorax, MRI dan CT Scan. (ATLS).

DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2009. Cedera Kepala. (ONLINE: www.scribd.com/doc/20357839/Cedera-Kepala,
AKSES:27 oktober 2011)
DN, Fitrian. 2011. Advance Trauma Life Support. http://www.scribd.com/doc/54664762/ATLSadvance-trauma-life-support.
Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing Interventions Classifications (NIC)
Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat & Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Smelzer, Suzanne. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed. 8
Vol. 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai