Anda di halaman 1dari 16

A.

Konsep Dasar
1. Definisi
SOL (Space Occupying Lesion) merupakan generalisasi masalah mengenai
adanya lesi pada ruang intracranial khususnya yang mengenai otak (Smeltzer & Bare,
2013). SOL merupakan lesi yang meluas atau menempati ruang dalam otak termasuk
tumor, hematoma dan abses. Suatu lesi yang meluas pertama kali diakomodasikan
dengan cara mengeluarkan cairan cerebrospinal dari rongga cranium. Tumor otak
adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak/ganas yang tumbuh di otak,
meningen dan tengkorak. Tumor otak merupakan tumor salah satu susunan saraf
pusat, baik ganas maupun tidak. Tumor ganas di susunan saraf pusat adalah semua
proses neoplastic yang terdapat dalam intracranial atau dalam kanalis spinalis yang
mempunyai sebagian atau seluruh sifat-sifat proses ganas spesifik seperti yang berasal
dari sel-sel saraf di meningen otak, termasuk juga tumor yang berasal dari sel
penunjang (Neuroglia) (Smeltzer & Bare, 2015).
Tumor intrakranial menyebabkan timbulnya gangguan neurologik
progresif.Gangguan neurologik pada tumor otak disebabkan oleh gangguan fokal
akibattumor dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).Gangguan fokal terjadi
apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi langsung
pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural (Simamora & Zanariah, 2018).

2. Etiologi
Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio
serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor pada intracranial (Smeltzer & Bare,
2013). Menurut Wilkinson (2010), gejala terjadinya SOL spesifik sesuai dengan
gangguan daerah otak yang terkena, serta tanda-tanda yang ditunjukkan lokal, seperti
pada ketidaknormalan sensori dan motorik. Perubahan penglihatan dan kejang karena
fungsi dari bagian-bagian berbeda-beda dan otak. Lokasi tumor dapat ditentukan
pada bagiannya dengan mengidentifikasi fungsi yang dipengaruhi oleh adanya tumor.
a. Tumor Lobus Frontal
Sering menyebabkan gangguan kepribadian, perubahan status emosional dan
tingkah laku dan disintegrasi perilaku mental. Pasien sering menjadi ekstrim yang
tidak teratur dan kurang merawat diri dan menggunakan bahasa cabul.
b. Tumor Cerebellum (atur sikap badan / aktifitas otak dan keseimbangan)
Sering mengatakan pusing, ataksia (kehilangan keseimbangan / berjalan yang
sempoyongan dengan kencenderungan jatuh, otot tidak terkoordinasi dan nigtatius
(gerakan mata berirama tidak sengaja) biasanya menunjukkan gerak horizontal.
c. Tumor Korteks Motorik
Biasanya dapat menimbulkan manifestasi gerakan seperti epilepsy, kejang
jarksonian dimana kejang terletak pada satu sisi.
d. Tumor Lobus Frontal
Sering menyebabkan gangguan kepribadian, perubahan status emosional dan
tingkah laku dan distulegrasi perilaku mental. Pasien sering menjadi ekstrim yang
tidak teratur dan kurang merawat diri dan menggunakan bahasa cabul.
e. Tumor intra cranial
Bisa meengakibatkan gangguan kepribadian, konfusi, gangguan fungsi bicara
dan gangguan gaya berjalan, terutama pada pasien lansia. Tipe tumor yang paling
sering adalah meningioma, glioblastana (tumor otak yang sangat maligna) dan
metastase serebral dari bagian luar.
f. Tumor Sudut Cerebelopointin
Biasanya diawali pada jaring saraf akustik dan memberi rangkaian gejala yang
timbul dengan semua karakteristik gejala pada tumor otak.

3. Patofisiologi
Pada fase awal, abses otak ditandai dengan edema local, hyperemia, infiltrasi
leukosit atau melunaknya parenkim trombosis sepsis dan edema, lalu beberapa hari
atau minggu dari fase awal terjadi proses uque fraction atau dinding kista berisi
pus. Kemudian rupture maka infeksi akan meluas ke seluruh otak dan bisa timbul
meningitis. Tumor otak menyebabkan gangguan neurolagis dan terdapat gejala-gejala-
gejala yang terjadi berurutan. Sehingga pentingnya dilakukan anamnesis dalam
pemeriksaan pada pasien. Gejala neurologic pada tumor otak biasanya disebabkan
oleh tumor dan tekanan intrakranial. Gangguan vocal terjadi apabila penekanan pada
jaringan otak dan infiltrasi atau inovasi langsung pada parenkim otak dengan
kerusakan jaringan neuro dapat menyebabkan perubahan suplai darah akibat tekanan
yang ditimbulkan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak.
Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan
fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan cerebrovaskuler
primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro dihubungkan
dengan kompersi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan otak (Smeltzer, S. C.,
& Bare. 2013).

Pathway SOL
(Khalilullah, 2011)
4. Tanda dan Gejala
Terdapat gejala dan tanda klinis dari space-occupying lesion (SOL) meliputi
tanda-tanda lokal, tanda-tanda umum, dan tanda-tanda lokal palsu. Gejala yang timbul
tiba-tiba sering menandakan lesi serebrovaskuler sementara lesi-lesi lain
menimbulkan gejala secara perlahan-lahan (McPhee, 2015).
a. Tanda dan gejala peningkatan TIK
1) Sakit kepala merupakan gejala awal pada 20% pasien tumor yang kemudian
berkembang menjadi 60%. Nyeri kepala berat juga diperberat dengan oleh
perubahan posisi, batuk, manuever valsava dan aktivitas fisik. Muntah
ditemukan bersama nyeri kepala pada 50% pasien. Nyeri kepala ipsilateral
pada tumor supratentorial sebanyak 80% dan terutama pada bagian frontal.
Tumor fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher.
2) Muntah tanpa diawali dengan mual, mengindikasikan tumor yang luas dengan
efek massa tumor tersebut juga mengidikasikan adanya pergeseran otak.
3) Seizure, adalah gejala tumor yang berkembang lambat, paling sering terjadi
pada tumor di lobus frontal kemudian pada tumor 20 lobus parietal dan
temporal. Gejala epilepsi yang muncul pertama kali pada usia pertengahan
mengindikasikan adanya suatu SOL.
b. Gejala terlokalisasi spesifik sesuai dengan dareh otak yang terkena
1) Tumor korteks motorik ; gerakan seperti kejang kejang yang terletak pada satu
sisi tubuh ( kejang jacksonian )
2) Tumor lobus oksipital ; hemianopsia homonimus kontralateral (hilang
penglihatan pada setengah lapang pandang, pada sisi yang berlawanan dengan
tumor) dan halusinasi penglihatan.
3) Tumor serebelum ; pusing, ataksia, gaya berjalan sempoyongan dengan
kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot otot tidak terkoordinasi dan
nistagmus ( gerakan mata berirama dan tidak disengaja )
4) Tumor lobus frontal; gangguan kepribadia, perubahan status emosional dan
tingkah laku, disintegrasi perilaku mental, pasien sering menjadi ekstrim yang
tidak teratur dan kurang merawat diri
5) Tumor sudut serebelopontin: tinitus dan kelihatan vertigo, tuli (gangguan saraf
kedelapan), kesemutan dan rasa gatal pada wajah dan lidah (saraf kelima),
kelemahan atau paralisis (saraf kranial keketujuh), abnormalitas fungsi
motorik.
6) Tumor intrakranial bisa menimbulkan gangguan kepribadian, konfusi,
gangguan bicara dan gangguan gaya berjalan terutam pada lansia.

5. Diagnosis Medis
Diagnosis medis SOL ditegakkan berdasarkan pengkajian, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Pada SOL (Space Occupying Lesion) terdapat beberapa
perubahan yang biasanya dialami seperti (Kapakisan & Kesanda, 2022):
a. Denyut nadi Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak,
b. Pernafasan pada saat kesadaran menurun, korteks cerebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini
normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran dengan pernafasan
irregular dan meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara gejalagejala awal
dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat berkembang dengan cepat ke
respiratory arrest.
c. Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan
ICP, dengan terjadinya peningkatan ICP, tekanan darah akan meningkat sebagai
mekanisme kompensasi.
d. Suhu Tubuh Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung,
suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,
peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus atau
edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang
menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau lesi
pada otak. Penekanan pada Oklulomotorius menyebabkan penekanan ke bawah,
menjepit Okkulomotorius di antara tentorium dan herniasi dari lobus temporal
yang mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pada SOL (Space Occupying Lesion) terdapat beberapa pemeriksaan yang biasnya
sering dilakukan, yaitu (Kapakisan & Kesanda, 2022):
a. CT Scan
Memberi informasi spesifik mengenal jumlah, ukuran, kepadatan, jejas tumor, dan
meluasnya edema serebral sekunder serta memberi informasi tentang sistem
vaskuler.
b. MRI
Membantu dalam mendeteksi jejas yang kecil dan tumor didalam batang otak dan
daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran yang menggunakan
CT Scan
c. Biopsi Stereotaktik
Dapat mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberi dasar
pengobatan serta informasi prognosis
d. Angiografi
Memberi gambaran pembuluh darah serebal dan letak tumor
e. Elektroensefalografi (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan
dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang

7. Penatalaksaan Medis
Tumor otak yang tidak terobati menunjukkan ke arah kematian, salah satu akibat
peningkatan TIK atau dari kerusakan otak yang disebabkan oleh tumor. Pasien dengan
kemungkinan tumor otak harus dievaluasi dan diobati dengan segera bila
memungkinkan sebelum kerusakan neurologis tidak dapat diubah. Tujuannya adalah
mengangkat dan memusnahkan semua tumor atau banyak kemungkinan tanpa
meningkatkan penurunan neurologik (paralisis, kebutaan) atau tercapainya gejala-
gejala dengan mengangkat sebagian (dekompresi) (Kapakisan & Kesanda, 2022).
Adapun penatalaksanaan medis pada pasien SOL, yaitu (Kapakisan & Kesanda,
2022):
a. Pendekatan pembedahan (craniotomy)
Dilakukan untuk mengobati pasien meningioma, astrositoma kistik pada
serebelum, kista koloid pada ventrikel ke-3, tumor kongenital seperti demoid dan
beberapa granuloma. Untuk pasien dengan glioma maligna, pengangkatan tumor
secara menyeluruh dan pengobatan tidak mungkin, tetapi dapat melakukan
tindakan yang mencakup pengurangan TIK, mengangkat jaringan nefrotik dan
mengangkat bagian besar dari tumor yang secara teori meninggalkan sedikit sel
yang tertinggal atau menjadi resisten terhadap radiasi atau kemoterapi.
b. Pendekatan kemoterapy
Terapi radiasi merupakan dasar pada pengobatan beberapa tumor otak, juga
menurunkan timbulnya kembali tumor yang tidak lengkap transplantasi sumsum
tulang autologi intravens digunakan pada beberapa pasien yang akan menerima
kemoterapi atau terapi radiasi karena keadaan ini penting sekali untuk menolong
pasien terhadap adanya keracunan sumsum tulang sebagai akibat dosis tinggi
radiasi.
c. Pendekatan stereotaktik
Stereotaktik merupakan elektroda dan kanula dimasukkan hingga titik tertentu di
dalam otak dengan tujuan melakukan pengamatan fisiologis atau untuk
menghancurkan jaringan pada penyakit seperti paralisis agitans, multiple sklerosis
& epilepsy.

8. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat ialah sesuai
dengan perencanaan keperawatan yang telah disusun. Sasaran utama pasien SOL yaitu
untuk mengatasi masalah pada kerusakan otak dan mencegah terjadinya kehilangan
kemampuan mental maupun fisik. Pada pasien SOL biasanya mengalami peningkatan
tekanan intrakranial, sehingga upaya penatalaksanaan keperawatan yang dapat
dilakukan ialah dengan pemberian posisi head up 30° (Amri, 2017).
Posisi head up 30° ialah cara memposisikan kepala orang lebih tinggi sekitar 30°
dari tempat tidur dengan posisi tubuh sejajar dan kaki lurus atau tidak menekuk.
Posisi head up 30° dilakukan pada pasien, karena posisi ini akan memudahkan
drainase aliran darah balik dari intrakranial, sehingga dapat menurunkan tekanan
intrakranial (Amri, 2017). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pertami,
dkk (2017) bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari posisi head up 30° terhadap
perubahan tekanan intrakranial, terutama pada tingkat kesadaran dan tekanan arteri
rata-rata pasien.
Selain memiliki manfaat menurunkan tekanan intrakranial, posisi head up 30°
juga memiliki manfaat agar oksigen ke otak meningkat (Amri, 2017). Posisi Head up
30° ini bertujuan untuk mengamankan pasien dalam pemenuhan oksigenasi untuk
menghindari hipoksia pada pasien, serta tekanan intrakranial dapat stabil dalam
kisaran normal. Tidak hanya itu, posisi head up 30° ini lebih efektif untuk menjaga
tingkat kesadaran karena mempengaruhi posisi anatomi tubuh manusia yang
kemudian mempengaruhi hemodinamik pasien. Posisi head up 30° juga efektif untuk
homeostasis otak dan mencegah kerusakan otak sekunder dengan stabilitas fungsi
pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral yang memadai (Pertami dkk,
2017).
Standar operasional prosedur pemberian posisi head up 30° yaitu (Amri, 20017):
a. Pasien dibaringkan dalam keadaan terlentang.
b. Mengatur ketinggian tempat tidur dan memposisikan kepala pasien lebih tinggi
sekitar 30° dan badan tetap lurus.
c. Posisi kaki lurus dan tidak menekuk.
Selain itu, pengawasan dari keluarga dan perawat sangat beperan penting, karena
peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan penurunan kesadaran yang
mana dapat menimbulkan terjadinya risiko jatuh pada pasien (Mendri & Prayogi,
2018). Risiko jatuh adalah peningkatan kemungkinan untuk jatuh yang dapat
menyebabkan cedera fisik. Risiko jatuh adalah pasien yang berisiko untuk jatuh yang
umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan dan fisiologis yang berakibat cidera.
Kategori risiko jatuh di bagi menjadi tiga, yaitu risiko jatuh rendah, risiko jatuh
sedang, risiko jatuh tinggi (Julimar, 2018).
Akibat yang ditimbulkan dari insiden jatuh dapat menyebabkan kejadian yang
tidak diharapkan seperti luka robek, fraktur, cedera kepala, pendarahan sampai
kematian, menimbulkan trauma psikologis, memperpanjang waktu perawatan dan
meningkatkan biaya perawatan pasien akibat menggunakan peralatan diagnostik yang
sebenarnya tidak perlu dilakukan seperti CT Scan, rontgen dll. Dampak bagi rumah
sakit itu sendiri adalah menimbulkan risiko tuntutan hukum karena dianggap lalai
dalam perawatan pasien (Myake-Lye dkk, 2013).Dalam upaya pencegahan risiko
jatuh dilakukan upaya untuk mengantisipasi dan mencegah pasien jatuh dengan tanpa
cidera adalah dengan dilakukan pengkajian ulang secara berkala mengenai risiko
pasien jatuh, termasuk risiko potensial yang berhubungan dengan jadwal pemberian
obat serta mengambil tindakan untuk mengurangi semua risiko yang telah
diidentifikasi tersebut (Budiono, 2014).

9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien SOL ialah salah satunya dapat
mempengaruhi biologis pasien berupa enselopati radiasi. Selain itu juga dapat terjadi
komplikasi yang mengancam jiwa akibat peningkatan TIK yaitu koma, henti napas
atau henti jantung dan herniasi otak (Kartini, 2022).

10. Prognosis
Prognosis untuk pasien SOL akan baik, jika telah dilakukan diagnosis dini dan
penanganan yang tepat melalui pembedahan. Dengan penanganan yang baik maka
persentase angka ketahahan hidup diharapkan dapat meningkat. Angka ketahanan
hidup lima tahun (fiveyears survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup
sepuluh tahun (tenyears survival) berkisar 30-40%. Selain itu prognosis tergantung
pada tipe tumor. Untuk glioblastoma multiforme yang cepat membesar “rata-rata
survival time” tanpa pengobatan adalah 12 minggu; dengan terapi pembedahan yang
optimal dan radiasi, 32 minggu. Beberapa astrositoma yang tumbuh mungkin
menyebabkan gejala-gejala minimal atau hanya serangan kejang-kejang selama 20
tahun atau lebih. Sedangkan prognosis pasien tumor otak yang seluruh tumornya telah
dilakukan pengangkatan secara bersih dan luas akan mempengaruhi (recurrens rates)
atau angka residif kembali. Hasil penelitian dari ‘The Mayo Clinic Amerika’
menunjukkan bahwa: 25% dari seluruh pasien tumor otak yang telah dilakukan
reseksi total, sepuluh tahun kemudian tumornya residif kembali, sedangkan pada
pasien yang hanya dilakukan reseksi subtotal, 61% yang residif kembali (Simamora &
Zanariah, 2017).

B. Proses Keperawatan Secara Teoritis


1. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul, yaitu (Khalilullah, 2011):
1) Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus-kapiler d.d PCO2
meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia, pH arteri meningkat/menurun,
bunyi napas tambahan.
2) Pola napas tidak efektif b.d depresi pusat pernapasan d.d penggunaan otot bantu
pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal
3) Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur
4) Hipertermia b.d proses penyakit d.d suhu tubuh di atas nilai normal, kulit merah,
kejang, takikardi, takipnea, kulit terasa hangat
5) Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan
mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien d.d berat badan
menurun minimal 10% di bawah rentang ideal
6) Gangguan persepsi sensori b.d gangguan penglihatan d.d distorsi sensori, respons
tidak sesuai, bersikap seolah melihat
7) Gangguan integritas kulit/jaringan b.d penurunan mobilitas d.d kerusakan jaringan
kulit dan/atau lapisan kulit, nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma
8) Gangguan tumbuh kembang b.d efek ketidakmampuan fisik d.d tidak mampu
melakukan keterampilan atau perilaku khas sesuai usia (fisik, bahasa, motorik,
psikososial), pertumbuhan fisik terganggu
9) Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d embolisme
10) Risiko infeksi d.d efek prosedur invasif
11) Risiko cedera d.d perubahan fungsi psikomotor, perubahan fungsi kognitif
12) Risiko jatuh d.d penurunan tingkat kesadaran, perubahan fungsi kognitif, kondisi
pasca operasi, kekuatan otot menurun

2. Perencanaan Keperawatan
No Luaran Intervensi Rasional
.
1. Setelah dilakukan intervensi 1. Pemantauan Untuk menganalisis
Respirasi
keperawatan selama 3×15 detik, data untuk
2. Terapi
maka pertukaran gas meningkat kepatenan jalan
Oksigen
dengan kriteria hasil: napas dan
 Dispnea menurun keefektifan
 Bunyi napas tambahan menurun pertukaran gas, serta

 PCO2 membaik untuk mencegah dan

 PO2 membaik mengatasi kondisi


kekurangan oksigen
 Takikardia membaik
jaringan.
 pH arteri membaik

2. Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Untuk mengelola


keperawatan selama 3×15 menit, Jalan Napas kepatenan jalan
maka pola napas membaik dengan 2. Pemantauan napas
kriteria hasil : Respirasi
 Dispnea menurun
 Penggunaan otot bantu napas
menurun
 Pemanjangan fase ekspirasi
menurun
 Frekuensi napas membaik
 Kedalaman napas membaik
3. Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Untuk mengelola
keperawatan selama 3×24 jam, maka Nyeri pengalaman
tingkat nyeri menurun dengan kriteria 2. Pemberian sensorik atau
hasil : Analgesik emosional yang
 Keluhan nyeri menurun berkaitan dengan
 Meringis menurun kerusakan jaringan

 Sikap protektif menurun atau fungsional

 Gelisah menurun dengan onset


mendadak atau
 Kesulitan tidur menurun
lambat, serta
 Frekuensi nadi membaik
memberikan
analgesik untuk
menurunkan tingkat
nyeri.
4. Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Untuk mengelola
keperawatan selama 3×24 jam, maka Hipertermia peningkatan suhu
termoregulasi membaik dengan 2. Regulasi tubuh akibat
kriteria hasil : Temperatur disfungsi
 Suhu tubuh membaik termoregulasi dan
 Suhu kulit membaik mempertahankan

 Kulit merah menurun suhu tubuh dalam

 Kejang menurun rentang normal.

 Takikardi menurun
 Takipnea menurun
5. Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Untuk mengelola
keperawatan selama 3×24 jam, maka asupan nutrisi yang
status nutrisi membaik dengan Nutrisi seimbang dan
kriteria hasil : 2. Promosi Berat memfasilitasi
 Porsi makanan yang dihabiskan Badan peningkatan berat
meningkat badan.
 Berat badan membaik
 Indeks Massa Tubuh (IMT)
membaik
6. Setelah dilakukan intervensi 1. Minimalisasi Untuk mengurangi
keperawatan selama 3×24 jam, maka Rangsangan jumlah atau pola
persepsi sensori membaik dengan 2. Pengekangan rangsangan yang
kriteria hasil : Kimiawi ada, serta untuk
 Distorsi sensori menurun mengendalikan
 Respons sesuai stimulus membaik perilaku ekstrim
individu.
7. Setelah dilakukan intervensi 1. Perawatan Untuk menjaga
keperawatan selama 3×24 jam, maka Integritas keutuhan,
integritas kulit dan jaringan Kulit kelembapan,
meningkat dengan kriteria hasil : 2. Perawatan mencegah
 Kerusakan jaringan menurun Luka perkembangan
 Kerusakan lapisan kulit menurun mikroorganisme,

 Nyeri menurun dan meningkatkan

 Perdarahan menurun penyembuhan luka


serta mencegah
 Kemerahan menurun
terjadinya
 Hematoma menurun
komplikasi luka.
8. Setelah dilakukan intervensi 1. Perawatan Untuk memfasilitasi
keperawatan selama 3×24 jam, maka Perkembangan perkembangan yang
status perkembangan membaik 2. Promosi optimal pada aspek
dengan kriteria hasil : Perkembangan motorik halus,
 Keterampilan/perilaku sesuai usia Anak motorik kasar,
meningkat 3. Promosi bahasa, kognitif,
 Kemampuan melakukan Perkembangan sosial, emosional di
perawatan diri meningkat Remaja tiap tahapan usia
anak.
9. Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Untuk mengelola
keperawatan selama 3×24 jam, maka Peningkatan peningkatan tekanan
perfusi serebral meningkat dengan Tekanan dalam rongga
kriteria hasil : Intrakranial kranial dan
 Tingkat kesadaran meningkat 2. Pemantauan menganalisis ndata
 Tekanan intra kranial menurun Tekanan terkait regulasi

 Sakit kepala menurun Intrakranial tekanan di dalam

 Gelisah menurun ruang intrakranial.

 Nilai rata-rata tekanan darah


membaik
 Kesadaran membaik
10. Setelah dilakukan intervensi 1. Pencegahan Untuk menurunkan
keperawatan selama 3×24 jam, maka Infeksi risiko terserang
tingkat infeksi menurun dengan organisme
kriteria hasil : patogenik.
 Demam menurun
 Kemerahan menurun
 Nyeri menurun
 Bengkak menurun
 Kadar sel darah putih membaik
11. Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Untuk
keperawatan selama 3×24 jam, maka Keselamatan meningkatkan
tingkat cedera menurun dengan Lingkungan keselamatan dengan
kriteria hasil : 2. Pencegahan cara mengelola
 Kejadian cedera menurun Cedera lingkungan fisik,
 Luka/lecet menurun serta menurunkan
risiko mengalami
bahaya atau
kerusakan fisik.
12. Setelah dilakukan intervensi 1. Pencegahan Untuk menurunkan
keperawatan selama 3×24 jam, maka Jatuh risiko terjatuh akibat
tingkat jatuh menurun dengan kriteria perubahan kondisi
hasil : 2. Manajemen fisik atau psikologis,
 Jatuh dari tempat tidur menurun Keselamatan dan mengelola
 Jatuh saat berdiri menurun Lingkungan lingkungan fisik

 Jatuh saat duduk menurun untuk meningkatkan

 Jatuh saat berjalan menurun keselamatan.

Daftar Pustaka
Amri, I. (2017). Pengelolaan Peningkatan Tekanan Intrakranial. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 4
(3): 1-17.
Budiono, S. (2014). Pelaksanaan Program Manajemen Pasien dengan Risiko Jatuh Di Rumah
Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28 (1).
Julimar. (2018). Faktor-faktor Penyebab Resiko Jatuh pada Pasien di Bangsal Neurologi
RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Photon, 8 (2).
Kartini, W. (2022). Asuhan Keperawatan Sistem Persyarafan. ITEKES Muhammadiyah
Kalimantan Barat.
Kapakisan, K. S., & Kesanda I Made. (2022) . Space Occupying Lesion (Sol) Cerebri.
Ganesha Medicina Journal, 2 (1).
Khalilullah, S. A. (2011). Hidrosefalus. Article Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh : 1-9.
McPhee. (2015). Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta: EGC.
Mendri, N. K., & Prayogi, A. S. (2018). Asuhan Keperawatan pada Anak Sakit & Bayi
Resiko Tinggi. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Myake-Lye, dkk. (2013). Inpatient Fall Prevention Programs as a Patient Safety Strategy: A
Systematic Review. Annals of Internal Medicine, 158 (5): 390–396.
Pertami, S. B., Sulastyawati., & Anami, P. (2017). Effect of 30° Head-Up Position on
Intracranial Pressure Change in Patients with Head Injury in Surgical Ward of General
Hospital of Dr. R. Soedarsono Pasuruan. Public Health of Indonesia, 3 (3): 89-95.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Simamora, S. K., & Zanariah, Z. (2017). Space Occupying Lesion (SOL). Jurnal Medula
Unila, 7 (1): 68-73.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC.
_________________________. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC.
Wilkinson. (2010). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai