Hari/tanggal :
Tanda Tangan :
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
Stase Keperawatan Jiwa
OLEH
SUCI INDAH SARI
NIM.04064882124032
A. Definisi
1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien
dengan gangguan jiwa. Halusinasi identik dengan skizofrenia. Seluruh klien
dengan skizofrenia diantaranya mengalami halusinasi. Gangguan jiwa lain yang
sering disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan maniak depresif dan
delirium. Halusinasi adalah gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Maramis, 1998 dalam Maryatun, 2017).
Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui panca indra
stimulus eksternal, persepsi palsu. Berebda dengan ilusi dimana klien mengalami
persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa
adanya stimulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai
suatu yang nyata ada oleh klien (Maramis, 1998 dalam Muhith, 2015).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan persepsi sensori yang dialami
oleh pasien gangguan jiwa (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2013 dalam
Anna, 2019). Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respon
neurobiologis maladaptif. Klien yang sebenarnya mengalami distorsi sensori
sebagai hal yang nyata dan meresponnya (Struart, Keliat & Pasaribu, 2016 dalam
Anna, 2019).
2. Jenis-Jenis Halusinasi
Menurut Satrio dkk (2015), halusinasi terdiri dari:
a) Halusinasi pendengaran
Klien mendengar bunyi atau suara,suara tersebut membicarakan tentang pasien
dan suara yang didengar dapat berupa perintah yang memberitahu pasien untuk
melakukan sesuatu, kadang-kadang dapat membahayakan atau mencederai
dirinya sendiri.
b) Halusinasi penciuman
Pada halusinasi penciuman isi halusinasi dapat berupa klien mencium aroma
atau tertentu seperti urine atau feses atau bau yang bersifat lebih umum atau
bau busuk atau bau yang tidak sedap.
c) Halusinasi penglihatan
Pada klien halusinasi penglihatan,isi halusinasi berupa melihat bayangan yang
sebenarnya tidak ada sama sekali,misalnya cahaya atau orang yang telah
meninggal atau mungkin sesuatu yang bentuknya menakutkan.
d) Halusinasi pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti darah, urine, feses, atau yang lainnya.
e) Halusinasi perabaaan
Merasa mengalami nyeri, rasa kesetrum atau ketidaknyamanan tanpa stimulus
yang jelas.
B. Etiologi
1. Skizofrenia
2. Psikosis fungsional
3. Sindrom otak organik (SOO)
4. Epilepsi
5. Neurosis histerik
6. Intoksikasi atropin atau kecubung
7. Zat halusinogenik
8. Sering menyendiri
9. Melamun atau termenung sendiri
10. Gangguan jiwa
Halusinasi merupakan salah satu gejala dalam menentukan diagnosis klien yang
mengalami psikotik, khususnya schizofrenia. Halusinasi dipengaruhi oleh faktor
(Stuart dan Larais, 2005 dalam Muhith, 2015), yaitu sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi: merupakan faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Beberapa
faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiology
seperti pada halusinasi antara lain:
a) Faktor genetik, telah diketahui bahwa secara genetik schizophrenia
diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu.
b) Faktor perkembangan, jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan
hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan
kecemasan.
c) Faktor neurobiology, ditemukan bahwa kortex pre frontal dan kortex limbic
pada klien dengan schizophrenia tidak pernah berkembang penuh.
d) Study neurotransmitter, schizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotansmitter serta dopamine berlebihan, tidak seimbang
dengan kadar serotinin.
e) Faktor biokimia, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Dengan adanya stress yang berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh aan
menghasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
buffofenon dan dimetytranferase (DMP).
f) Teori virus, paparan virus influenzae pada trimester ke-3 kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi schizofrenia.
g) Psikologis, beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
schizofrenia, antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas,
terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara ayah yang
mengambil jarak dengan anaknya. Kemudian hubungan interpersonal yang
tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering
diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan
berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
h) Faktor sosiolkultural, berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan
seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien
dibesarkan.
2. Faktor Presipitasi
Stimulus dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang
memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering
yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi dan
suasana sepi/isolasi sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal
tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik. Disaping itu juga oleh karena proses
penghambatan dalam proses tranduksi dari suatu impuls yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan dalam proses interpretasi dan interkoneksi sehingga
dengan demikian faktor-faktor pencetus respon neurobiologis dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a) Berlebihnya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak
b) Mekanisme penghantaran listrik di saraf terganggu (mekanisme gatting
abnormal)
c) Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap, dan
perilaku.
C. Patofisiologi
Penyebab terjadinya halusinasi terdapat 4 fase yaitu:
1. Fase pertama
Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini
masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik: klien mengalami stres, cemas,
perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat
diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal hal yang menyenangkan,
cara ini hanya menolong sementara. Perilaku klien: tersenyum dan tertawa yang
tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respons
verbal yang lambat jika sedang asik dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.
2. Fase kedua
Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi
menjijikan. Termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik: pengalaman sensori
menjijikan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun dan berfikir sendiri
jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin
orang lain tahu, dan ia tetap dapat mengontrolnya. Perilaku klien: meningkatnya
tanda-tanda sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Klien asik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan realitas.
3. Fase ketiga
Disebut juga dengan fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori
menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Karakteristik: bisikan,
suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien
menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya. Perilaku klien:
kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa menit atau
detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan tidak mampu
mematuhi perintah.
4. Fase keempat
Disebut juga fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik: halusinasinya berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya,
hilang kontrol, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain
dilingkungannya. Perilaku klien: perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri,
perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon
terhadap perintah kompleks, dan tidak mampu berespons lebih dari satu orang.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang halusinasi yaitu:
1. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta
penyalahgunaan alkohol dan NAPZA
2. EEG (elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk melihat
apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi
3. Pemindaian CT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan adanya
cedera atau tumor di otak.
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk
membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling
percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum
mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa
nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang
halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif. Untuk itu
perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa
keberadaan perawat adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus
sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien
saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau menertawakan
klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi
perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu,
frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi, dan
perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi
yang dialaminya adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu
dilatih bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi.
Proses ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada
beberapa usaha yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu
mendiskusikan efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan,
sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan
cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang bisa
dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus
berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien dilatih
untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini dianjurkan untuk
dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien mengenal halusinasi,
jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan
cara pertama yaitu menghardik halusinasi:
a) Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu,
klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi,
serta bagairnana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan
tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi
yang benar dalam pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan
pengobatan secara tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan
klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini
penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana
klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa
klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak
didukung secara kuat, klien bisa mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa
kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa
berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih
mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan
halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke
rumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a) Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala
lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi,
gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian: Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau
suntikan intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali
pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala psikosa
belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan – lahan sampai 600 –
900 mg perhari.
Kontra indikasi: Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan
koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang
hipersensitif terhadap derifat fenothiazine.
Efek samping: Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi
orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada
wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida.
Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi
menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf
pusat, hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran
irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
b) Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi: Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la
tourette pada anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku
yang berat pada anak – anak.
Cara pemberian: Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi
menjadi 6 – 15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5
mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi: Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit
parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping: Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih,
gelisah, gejala ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang
jarang adalah nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala
gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi
hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan,
tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.
c) Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi: Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
Cara pemberian: Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya
rendah ( 12,5 mg ) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis
ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap
kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg
sekali suntikan sebaiknya peningkatan perlahan – lahan.
Kontra indikasi: Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat,
hipersensitif terhadap fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap
phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi gejala – gejala sesuai dengan efek
samping yang hebat. Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi
simtomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol hindari
menggunakan ephineprine ISO, (2008) dalam Pambayun (2015).
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
penegcapan, perabaan atau penghiduan.
Jenis halusinasi:
a. Isi Halusinasi
Data tentang isi halusinasi dapat diketahui dari hasil pengkajian tentang jenis
halusinasi.
c. Respon halusinasi
Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul,
perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat
halusinasi timbul. Perawat juga dapat menanyakan kepada keluarga atau orang
terdekat dengan pasien. Salain itu dapat juga dengan mengobservasi perilaku pasien
saat halusinasi timbul.
I. Komplikasi
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan tindakan
perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah sehingga rentan
melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang timbul pada klien
skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga, takut dan ditolak oleh
lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan
orang lain, komplikasi yanh dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan
sensori persepsi: halusinasi, antara lain yaitu resiko perilaku kekerasan, harga diri
rendah dan isolasi sosial (Keliat, 2014).
J. Prognosis
Kunci prognosis pasien schizophrenia adalah kepatuhan pasien terhadap
pengobatan karena tingginya angka ketidakpatuhan pada pasien dengan penyakit jiwa,
termasuk schizophrenia. Kepatuhan pasien akan menentukan apakah pasien mampu
hidup secara mendiri dan memiliki kualitas hidup yang baik. Sebaliknya, penyakit
yang tidak ditangani dengan optimal akan menyebabkan komplilasi,seperti depresi,
bahkan kematian.
K. Pohon Masalah
Anna, A. N. (2019). Studi kasus asuhan keperawatan pada pasien halusinasi pendengaran di
ruang kenanga rumah sakit khusus daerah provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Media
Keperawatan Poltekkes Kesehatan Makassar, 10(2), 97 – 102, 2019.
Azizah, l. M. (2016). Keperawatan jiwa: aplikasi praktik klinik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Keliat, B A., dkk. (2014). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas: cmhn (basic course).
Jakarta: EGC.
Maryatun, S. (2017). Buku ajar keperawatan jiwa 1. Palembang: Unsri Press.
Muhith, A. (2015). Pendidikan keperawatan jiwa: teori dan aplikasi. Yogyakarta: Andi.
Pambayun, A. H. (2015). Asuhan keperawatan jiwa pada ny. S dengan gangguan persepsi
sensori halusinasi pendengaran ruang 11 (larasati) rsjd dr. Amino gondohutomo
semarang. SKRIPSI. Akademi Keperawatan Widya Husada Semarang.
Satrio dkk. (2015). Buku ajar keperawatan jiwa. Lampung: LP2M.
Stuart, G. W. (2007). Buku saku keperawatan jiwa, edisi 5. Jakarta: EGC.