Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan palsu, tidak berhubungan
dengan stimulus eksternal yang nyata, menghayati gejala-gejala yang
dikhayalkan sebagai hal nyata.1 Tanda dan gejala positif pada halusinasi pada
dasarnya merupakan fungsi otak yang terganggu, yaitu pada fungsi berpikir,
mengerti, membentuk ide dan kepercayaan diri sedangkan gejala negatif berupa
hilangnya kemampuan pribadi seperti inisiatif dan minat terhadap yang lain.2
Halusinasi harus menjadi fokus perhatian oleh tim kesehatan karena
apabila halusinasi tidak ditangani secara baik, maka dapat menimbulkan resiko
terhadap keamanan diri klien sendiri, orang lain dan juga lingkungan sekitar. Hal
ini dikarenakan halusinasi dengar klien sering berisikan perintah melukai dirinya
sendiri maupun orang lain.3
Secara klinik dan evidence base, halusinasi dengar tersebut telah terbukti
dapat menyebabkan distress pada individu. Distress disebabkan karena frekuensi
halusinasi yang sering muncul pada individu setiap harinya, kekerasan dari suara-
suara yang didengarnya, isi dari halusinasi dan juga keyakinan klien terhadap isi
dari halusinasinya. Selain itu, halusinasi juga sering menyebabkan ketakutan/
kecemasan bahkan depresi pada klien gangguan jiwa.3
Penderita dengan gangguan jiwa yang terdapat halusinasi di dalamnya
diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan
100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang
salah selama di rumah atau di masyarakat. Kondisi keluarga, terutama pola asuh,
pergaulan sehari-hari, sikap penolakan dari lingkungan, perilaku kekerasan yang
dialami, serta konflik batin merupakan aspek psikologis yang sangat berpengaruh
terhadap kelanjutan kondisi pasien setelah pulang dari rumah sakit.4
Pada klien skizofrenia dimana 9-13% akan mengalami suicide (bunuh
diri). Selain itu, 20 – 50% klien skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri. Hal
tersebutlah yang menyebabkan halusinasi harus ditangani sesegera mungkin

1
karena dampaknya akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi klien
maupun oranglain.3
Berbagai hal turut berperan penting dalam perawatan kesehatan mental,
salah satunya yaitu faktor pengetahuan keluarga tentang halusinasi yang sangat
dominan sebagai penyebab tingginya angka peningkatan halusinasi. Bahkan
hingga kini masih terdapat 13.000 – 24.000 orang dengan masalah kejiwaan di
Indonesia yang dipasung oleh keluarganya. Angka kejadian ini membuktikan
rendahnya pengetahuan keluarga tentang penanganan pasien halusinasi di rumah.4

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Halusinasi


Halusinasi adalah persepsi sensoris yang salah yang tidak disertai
dengan stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau tidak terdapat
interpretasi waham tentang pengalaman halusinasi.5

2.2 Jenis-Jenis Halusinasi 5


a. Halusinasi Hipnagogik
Persepsi sensoris yang salah yang terjadi saat akan tertidur, biasanya
dianggap sebagai fenomena yang non patologis.
b. Halusinasi Hipnopompik
Persepsi salah yang terjadi saat terbangun dari tidur, biasanya dianggap
non patologis.
c. Halusinasi Dengar (Auditoris)
Persepsi bunyi yang salah, biasanya suara tetapi juga bunyi-bunyi yang
lain seperti musik. Merupakan halusinasi yang paling sering pada
gangguan psikiatrik.
d. Halusinasi Visual
Persepsi salah tentang penglihatan yang berupa citra yang berbentuk
(sebagai contoh : orang) dan citra yang tidak terbentuk (sebagai contoh :
kilatan cahaya). Merupakan halusinasi yang paling sering pada gangguan
organik.
e. Halusinasi Cium (Olfaktoris)
Persepsi pembauan yang salah dan paling sering pada gangguan organik.
f. Halusinasi Kecap (Gustatorius)
Persepsi tentang rasa kecap yang salah, seperti rasa kecap yang tidak
menyenangkan yang disebabkan oleh kejang dan paling sering terjadi
pada gangguan organik.

3
g. Halusinasi Raba (Taktil; Haptic)
Persepsi salah tentang perabaan atau sensasi permukaan, seperti dari
tungkai yang teramputasi (phatom limb), sensasi adanya gerakan pada
atau di bawah kulut (kesemutan).
h. Halusinasi Somatik
Sensasi salah tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam atau terhadap
tubuh, paling sering berasal dari visceral (juga dikenal sebagai halusinasi
kenestetik).
i. Halusinasi Liliput
Persepsi yang salah dimana benda-benda tampak leih kecil ukurannya
(juga dikenal sebagai mikropsia).
j. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood-congruent hallucination)
Halusinasi dimana isi halusinasi adalah konsisten dengan mood yang
tertekan atau manik (sebagai contoh, pasien yang mengalami depresi
mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien adalah orang yang jahat;
seorang pasien manik mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien
memiliki harga diri, kekuatan dan pengetahuan yang tinggi.
k. Halusinasi yang tidak sejalan dengan mood (mood-incongruent
hallucination)
Halusinasi dimana isi halusinasi tidak konsisten dengan mood yang
tertekan atau manik (sebagai contohnya : pada depresi, halusinasi tidak
melibatkan tema-tema tersebut seperti rasa bersalah, penghukuman yang
layak diterima atau ketidakmampuan; pada mania, halusinasi tidak
mengandung tema-tema tersebut seperti harga diri atau kekuasaan yang
tertinggi).
l. Halusinosis
Halusinasi, paling sering ada halusinasi dengar yang berhubungan dengan
penyalahgunaan alkohol kronis dan terjadi dalam sensorium yang jernih,
berbeda dengan delirium tremens (DTs), yaitu halusinasi yang terjadi
dalam konteks sensorium yang berkabut.

4
m. Sinestesia
Sensasi atau halusinasi yang disebabkan oleh sensasi lain (sebagai
contohnya, suatu sensasi auditoris yang disertai atau dicetuskan oleh suatu
sensasi visual, suatu bunyi yang dialami sebagai dilihat, atau suatu
penglihatan dialami sebagai didengar).
n. Trailing Phenomenon
Kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obatan halusinogen
dimana benda yang bergerak dilihat sebagai sederetan citra yang terpisah
dan tidak kontinu.

2.3 Tahapan Halusinasi 6

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 tahap dan setiap fase


memiliki karakteristik yang berbeda yaitu:
1. Tahap pertama
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan
mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
2. Tahap kedua
Pengalaman sensori menakutkan. Klien mulai kehilangan kontrol dan
menarik diri dari orang lain. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda
sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda
vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), konsentrasi
dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk
membedakan halusinasi dengan realita.
3. Tahap ketiga
Klien menyerah dan menerima pengalaman halusinasinya (sensori)
tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain

5
dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika
akan berhubungan dengan orang lain.
4. Tahap keempat
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku panik, tidak mampu berespon
terhadap lingkungan, potensial untuk bunuh diri, tindak kekerasan,
agitasi atau katanonik.5

2.4. Faktor-faktor Penyebab Halusinasi

a. Faktor Predisposisi
- Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak, susunan syaraf-syaraf pusat
dapat menimbulkan gangguan realita. Gangguan yang mungkin timbul
adalah hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan muncul perilaku
menarik diri
- Psikologis
Keluarga pengasuh yang tidak mendukung (broken home, overprotektif,
dictator dan lainnya) serta lingkungan klien sangat mempengaruhi respon
psikologis klien, sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah: penolakan atau tindakan kekerasan dalam
rentang kehidupan klien.
- Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita: dimana
terjadi kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana
alam) dan kehidupan terisolasi yang disertai stress.

b. Faktor presipitasi
- Stressor biologis
Yaitu yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptive
termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur
proses informasi. Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak

6
yang mengakibatkan ketidakmampuan melakukan secara selektif
menanggapi rangsangan.
- Stress Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi stress yang berinteraksi
dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.6

2.5 Penatalaksanaan Halusinasi


2.5.1 Anti-Psikosis
Halusinasi merupakan salah satu dari gejala psikosis. Oleh
karena itu penatalaksaan pada pasien yang mengalami halusinasi adala
obat antipsikosis.
Penggolongan Obat Anti-psikotis :
1. Obat Anti-Psikosis Tipikal (typical anti psychotics)
a. Phenothiazine
 Rantai Aliphatic : Chlorpromazine (largactil)
Levomepromazin (nozinan)
 Rantai piperazin : Perphenazin (trilafon)
Trifluoperazin (stelazin)
Fluphenazine (anatensol)
 Rantai piperidine : Thioridazine (malleril)
b. Butyrophenon : Haloperidol (haldol)
c. Diphenyl-butyl-piperidin : Pimozide (orap)

2. Obat Anti-Psikosis Atipikal (atypical anti psychotics)


a. Benxamide : Sulpiride (dogmatil)
b. Dibenzodiazepin : Clozapine (clozaril)
Olanzapine (zyprexa)
Quetiapine (seroquel)
c. Benzisoxazole : Risperidon (risperdal)6

7
Tabel obat antipsikosis yang sering digunakan :1
Golongan Nama Obat Dosis anjuran per hari
Haloperidol 5-20 mg
APG-I
Clorpromazine 100-400 mg
Risperidone 2-8 mg
Olanzapine 10-20 mg
Quetiapine 200-800 mg
APG-II
Clozapine 150-450 mg
Paliperidone 6 mg
Aripiprazole 10-30 mg
Sumber: Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua FK-UI

2.5.2 Farmakokinetik1
Metabolisme obat-obat anti-psikosis secara farmakokinetik
dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain pemakaian bersama Enzyme
inducer seperti carbamazepine, phenytoin, ethambutol dan barbiturat.
Kombinasi dengan obat-obat tersebut akan mempercepat pemecahan anti-
psikotik sehingga diperlukan dosis tinggi.
Clearance inhibitor seperti SSRI (Selective Serotonine Re-uptake
Inhibitor), TCA (tricyclic Antidepresan), Beta Blocker akan menghambat
ekskresi obat-obat atipsikosis sehingga perlu dipertimbangkan dosis
pemberiannya bila diberikan secara bersama-sama. Kondisi stress,
hipoalbumin karena malnutrisi atau gagal ginjal dan gagal hati dapat
mempengaruhi ikatan protein obat antipsikosis tersebut.1

2.5.3 Farmakodinamik1
Obat-obat antipsikosis terutama bekerja sebagai antagonis reseptor
dopamin dan serotonin di otak, dengan target untuk menurunkan gejala-
gejala psikotik, seperti halusinasi, waham dan lain-lain.
Sistem dopamin yang terlibat yaitu sistem nigrostriatal, sistem
mesolimbokortikal dan sistem tuberoinfundibular. Karena kerja yang
spesifik ini maka dapat diperkirakan efek samping yang mungkin timbul
yaitu bila sistem-sistem tersebut mengalami hambatan yang berlebih. Bila
hambatan pada sistem nigrostriatal berlebihan maka akan terjadi gangguan

8
terutama pada aktivitas motorik, sedangkan bila pada sistem
mesolimbokortikal memengaruhi fungsi kognitif dan fungsi endokrin
terganggu bila sistem tuberoinfundibuler terhambat berlebihan.1

2.5.4 Efek Samping1


 Akatisia
Suatu kondisi subyektif dirasakan oleh penderita berupa
perasaan tidak nyaman, gelisah dan merasa harus selalu
menggerak-gerak tungkai terutama kaki. Pasien sering
menunjukkan kegelisahan dengan gejala-gejala kecemasan dan
atau agitasi. Seiring sulit dibedakan dari rasa cemas yang
berhubungan dengan gejala psikotiknya. Bila terjadi
peningkatan kegelisahan setelah pemberian anti-psikosis tipikal
kita harus selalu mempertimbangkan akatisia.
 Distonia Akut
Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya
mengenai otot leher, lidah, muka dan punggung. Kadang-
kadang, pasien melaporkan awitan subakut rasa tebal di lidah
atau kesulitan menelan. Mungkin pula terjadi krisis occulogyric
atau opisthotonus. Kondisi ini dapat sangat menakutkan dan
tidak nyaman bagi pasien. Biasanya terjadi pada minggu
pertama pengobatan dengan antipsikotik tipikal.
 Parkinsonism
Dapat dilihat adanya kumpulan gejala yang terdiri dari
bradikinesia, rigiditas, penomena roda gerigi, tremor, muka
topeng, postur tubuh kaku, gaya berjalan seperti robot dan
drooling (tremor kasar tangan seperti sedang membuat pil).
 Sindrom Neuroleptik Maligna
Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan gejala
utama berupa rigiditas, hiperpiretik, gangguan sistem saraf
otonom dan delirium. Gejala biasanya berkembang dalam

9
periode waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah
pemberian antipsikotik. Febris tinggi dapat mencapai 41ᴼC atau
lebih, rigiditas dengan ciri kaku seperti pipa disertai peningkatan
tonus otot kadang-kadang sampai terjadi myonecrosis. Bila
pasien dehidrasi, myoglobinuria bisa sangat parah sampai terjadi
gagal ginjal. Ketidakstabilan sistem otonom dapat tampak
sebagai hipertensi atau hipotensi, takikardi, diaporesis dan
pallor. Kemungkinan terjadi cardiac arrythmia. Kesadaran
berfluktuasi dapat sampai delirium, bahkan kejang dan koma.1

10
BAB III
KESIMPULAN

Halusinasi adalah persepsi sensoris yang salah yang tidak disertai dengan
stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau tidak terdapat interpretasi
waham tentang pengalaman halusinasi.
Halusiasi harus menjadi fokus perhatian oleh tim kesehatan karena apabila
halusinasi tidak ditangani secara baik, maka dapat menimbulkan resiko terhadap
keamanan diri klien sendiri, orang lain dan juga lingkungan sekitar. Hal ini
dikarenakan halusinasi dengar klien sering berisikan perintah melukai dirinya
sendiri maupun orang lain.
Halusinasi merupakan salah satu dari gejala psikosis. Oleh karena itu
penatalaksaan pada pasien yang mengalami halusinasi adala obat antipsikosis
bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin dan serotonin di otak, dengan target
untuk menurunkan gejala-gejala psikotik, seperti halusinasi, waham dan lain-lain.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. B.K. Puri dkk. Buku Ajar Psikiatri. Edisi Kedua. Jakarta: EGC. 2011. (Hal 77-
78)

2. Husny Mutaqqin. ABC Kesehatan Mental. Jakarta : EGC. (Hal 85-87)

3. Eka WS, Anna KB, Yusron & Susanti H. 2011. Penurunan Halusinasi Pada
Klien Jiwa melalui Cognitive Behavior Theraphy. Volume 14, No. 3, hal:
185-192. [Akses : 30 Oktober 2017]

4. Setya SA, Edi WB. 2014. Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang Perawatan
Pasien Halusinasi dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Halusinasi di
Rumah. Volume 17, No. 2, hal: 27. [Akses: 31 Oktober 2017]

5. Kaplan HI, in Sadock BJ, Sadock VA.Kaplan & Sadock. Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Edisi ketujuh Jilid Satu. Jakarta :
Binarupa Aksara (Hal 462-463)

6. Ginting. 2013. Halusinasi. [Akses : 31 Oktober 2017]. Http://


repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39361/4/Chapter%20ll.pdf

7. Sadock, Benjamin. J. Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock. Buku Ajar


Psikiatri Klinis, Edisi 2. Jakarta : Binarupa Aksara (Hal 462-463)

12

Anda mungkin juga menyukai