Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang1

Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama
meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan
nevus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell’s palsy (Sukardi,
2004). Juga dikatakan Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis
tipe lower motor neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi
secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar system saraf pusat
tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya (Aminoff, 1993; Djamil,
2003,Davis,2005).

Bell’s palsy merupakan penyakit pada nervus fasialis yang paling sering
terjadi. Prevalensi Bell’s Palsy di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan
Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun.
Di Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20,000
anak per tahun (Sukardi, 2004). BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat (Djamil, 2003).

Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia diperoleh


frekuensi Bell,s Palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan terbanyak
terjadi pada usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, disbanding non-diabetes. Bell,s Palsy mengenai laki-laki dan wanita
dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan
timbulnya.

1
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, dan setiap saat tidak didapatkan
perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin. Meskipun begitu pada
beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara dingin, baik kendaraan
dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau bergadang sebelum menderita Bell,s
Palsy (Suprayanti, 2008).

2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2. 1 Definisi Bell’s Palsy

Bell’s Palsy merupakan kelumpuhan fasialis perifer akibat proses


nonsupratif, non- neoplasmatik, non- degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan2

Beberapa ahli mengajukan definisi-definisi antara lain Rusell Brain


(1960) adalah paralisis nervus facialis didalam foramen stylomastoideum
yang timbulnya secara akut dan disebabkan karena radang yang non-
supuratif. Mahar Mardjono et al. (1971) adalah sembab nervus facialis
antara foramen stylomastoideum dan percabangan choda thympani atau n.
Stapedius yang dapat terjadi sebagai reaksi neuroalergis atau
vasospasmus.3

Beberapa sarjana lain sependapat bahwa Bell’s Palsy adalah


kelumpuhan nervus facialis perifer yang idiopatis (Sir Charles Bell adalah
seorang fisiolog bangsa Scott yang hidup di London tahun 1774-1842)3

2. 2 Epidemiologi4

Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling


sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis.
Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan
insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara.
Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-
45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin.
Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per
100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes

3
mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang
ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi
kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral
dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko
terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada
sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007;
Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-
14% kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi
yang dilakukan oleh Monini dkk (2010) terhadap 500.000 penduduk di
satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah rnenemukan jumlah
pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif
sebesar 53,3 kasus pertahun.

2. 3 Anatomi Saraf Fasialis4

Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar


saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius
(lebih kecil dan lebih lateral). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis
dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi
wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior,
membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal,
submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa
serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah
dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (gambar 2)
(Monkhouse 2006).

Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan


berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan
saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang
memiliki panjang ± 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan
perineurium (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).

4
Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis

Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis

Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi)


memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang

5
berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula
dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit
berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi
pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada
ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang
sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum,
memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen
lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung
kelenjar lakrimal dan palatina (gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).

Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding


medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke
musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat
percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas
foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling
besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum
telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian
berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke
dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).

6
7
Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar
sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan,
Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum,
dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius (gambar 4) (Ronthal
dkk, 2012; Monkhouse 2006).

Gambar 4. Saraf Intermedius dan koneksinya

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk


cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m.
stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke
anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis
kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal,
zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf
ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot
ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator
dan m. Platysma (Gambar 5) (Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).

8
Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial

2. 4 Etiologi
Penjelasan yang paling bisa dipercaya untuk ini ialah radang akut
n.VII dalam foramen stylomastoideum. Belum jelas apakah gangguan
tersebut primer pada sarafnya, suatu neuritis interstitialis atau sekunder
pada tulang, suatu periostitis (Chusid, 1973: Merritt, 1973) kedua jenis
tersebut bisa karena “kena angin” pada daerah muka, tumor, fracture,
meningitis, hemoragi, dll. Dalam hal lain edema yang terjadi
menyebabkan kompresi pada serabut sarafnya yang akan menyebabkan
kelumpuhan. Mula-mula serabut-serabut tersebut membengkak yang
kemudian berkurang sampai terjadi jaringan fibrous (Brain, 1960).3
Etiologi bell’s palsy masih kontriversial. Kelainan ini tampak
seperti neuritis dengan kemungkinan etiologi viral, inflamasi, autoimun,
dan iskemik, bukti terbaru mengindikasi hubungan antara bell’s palsy
dengan reaktivitas virus herpes simplek tipe I dan herpes zoster pada
ganglia nervus kranial..5

Penyebab tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 16

Penyebab lain antara lain:

1. Infeksi virus lain

9
2. Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau
tumor lain
3. Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan
menyelam.
4. Neurologis: sindrom Guillain-Barre
5. Metabolic: kehamilan, diabetes mellitus, hipertiroidisme, dan
hipertensi
6. Toksik, alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.

2. 5 Patofisiologi1

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses


inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara
unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan
nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus
fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi
yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik
primer.
Nervu fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelupuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di
pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di

10
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi
di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan
disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah
lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan
2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus
herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes
zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang
herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat
sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

2. 6 Gejala Klinis

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada


saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara.
Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita
biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin
(Djamil, 2003).

Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata


tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup
kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas (Bell
phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur
atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh (Djamil,
2003, Afzal Mir, 2003).1

11
Gambar 1.1 Parese nervus VII perifer kanan (Afzal Mir, 2003)
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.. secara anatomis dari arah perifer ke sentral bila mengalami
gangguan bias terjadi3
a. Di luar foramen stylomastoideum
- Mulut perot, makanan terkumpul antara pipi dan gusi
- Rasa pada muka menghilang
- Tidak dapat bersiul, menutup mata maupun mengerutkan dahi
- Air mata terus keluar bila mata tidak dilindungi
- Bentuk kelumpuhan lower motor neuron
b. Di dalam canalis facialis dan mengenai n. chorda tympani
- Akan terjadi seperti pada A
- Terdapat kehilangan rasa pengecap pada 2/3 anterior lidah
- Produksi saliva pada fihak yang lumpuh akan berkurang
c. Lebih tinggi lagi dalam canalis facialis dan mengenai n.stapedius
- Seperti A dan B
- Terhadap hiperacusis
d. Lebih tinggi lagi dan mengenai ganglion geniculatum
- Gejala dan tanda klinik seperti A, B, C
- Biasanya akut

12
- Rasa nyeri dibelakang dan di dalam telinga
- Biasanya didahului dengan herpes di membrane tympani dan concha.
Ramsay Hunt syndrome adalah Bell’s palsy dengan herpes zoster di
ganglion geniculatum, di mana proses herpesnya tampak pada
membrane tympani, meatus acusticus externus dan pina

e. Di dalam meatus acusticus internus


- Gejala dan tanda klinik seperti A, B, C, D
- Terjadi gejala Bell’s palsy denga nada ketulian (n. VIII terkena)
f. Di tempat n.VII keluar dari pons misalnya karena meningitis’
- Biasanya akan terjadi gejala-gejala Bell’s palsy seperti di atas disertai
gejala-gejala gangguan nervi cranialis yang lain ( n.V- n. VIII – n. VI –
XI – XIII )

Gambar : Gejala Dan Tanda Klinik Bell’s Palsy Berhubungan Dengan Lokasi
Lesi.

13
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala
sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air
mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus
fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius
submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi
dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula
lakrimalis (Djamil, 2003).1

2.7 Diagnosa
Diagnose ditegakkan secara klinis. Hal terpenting adalah menentukan
apakah paralisis nervus fasial bersifat sentral atau perifer. Sebuah lesi yang
melibatkan neuron motoric sentral di atas tingkat nucleus nervus fasialis pada
pons menyebabkan kelemahan hanya di wajah bagian bawah saja.5

Anamnesis:

Gejala awal:7

- Kelumpuhan muskulus fasialis


- Tidak mampu menutup mata
- Nyeri tajan pada telinga dan mastoid (60%)
- Perubahan pengecapan (57%)
- Hiperakusis (30%)
- Kesemutan pada dagu dan mulut
- Epiphora
- Nyeri ocular
- Penglihatan kabur

14
Pemeriksaan

1. Pemeriksaan neurologi

Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah

sesisi dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut,

yaitu:

a. Pemeriksaan fungsi nervus facialis:3

1. Penderita disuruh mengerutkan dahi dan mengankat alis keatas

(m. frontalis)

2. Penderita disuruh mengerutkan alis (m. Sourcillier)

3. Penderita disuruh mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas

(m. pyramidalis)

4. Penderita disuruh memejamkan mata kuat-kuat (m. orbicularis

oculi)

5. Penderita disuruh memoncongkan mulut ke depan sambal

memperlihatkan gigi (m. Lowlever communis)

6. Penderita disuruh mengembungkan kedua pipinya (m.

Buccinator)

7. Penderita disuruh bersiul (m. Orbicularis oris)

8. Penderita disuruh menarik kedua bibirnya ke bawah (m.

triangularis)

9. Penderita disuruh memoncongkan mulutnya yang tertutup rapat

ke depan (m. mentalis)

15
Pada setiap gerakan dari kesepuluh pasang otot tersebut yang kiri

dan yang kanan kita bandingkan.

b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis8.

Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis

diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan

rasa asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam

sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang tidak

sehat kurang tajam.

c. Pemeriksaan Refleks.8

Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bell’s Palsy

adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak

langsung dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada

sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih lambat atau tidak ada

sama sekali. Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra pada

orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis

langsung dijawab dengan pemejaman kelopak mata pada sisi,

sedangkan pada paresis facialis jenis perifer terdapat kelemahan

kontraksi m. orbikularis oculi (pemejaman mata pada sisi sakit).

Beberapa pemeriksaan sederhana lain yang dapat dilakukan untuk

membantu penegakkan diagnosa antara lain :

- Stethoscope Loudness Test

16
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi dari

muskulus stapedius. Pasien diminta menggunakan stetoskop kemudian

dibunyikan garpu tala pada membran stetoskop, maka suara yang keras

akan terlateralisasi ke sisi muskulus stapedius yang lumpuh

- Schirmer Blotting Test.

Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi lakrimasi.

Digunakan benzene yang menstimulasi refleks nasolacrimalis sehingga

dapat dibandingkan keluar air mata dapat dibandingkan antara sisi

yang lumpuh dan yang normal.

- Skala House Brackman7

Klasifikasi Sistem grading ini dikembangkan oleh House and


Brackmann dengan skala sampai VI

a. Grade I adalah fungsi fasial normal.


b. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai
berikut
l. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetail
2. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
3. Simetris normal saat istirahat.
4. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit
usaha.
6. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karakteristik

l. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kel minimal

17
2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat
ditemukan

3. Simetris normal saat istirahat.

4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.

5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.

6. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.

d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan


tandanya sebagai berikut:

1. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.

2. Simetris normal saat istirahat.

3. Tidak terdapat gerakan dahi.

4. Mata tidak menutup sempuma.

5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.

e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai


berikut:

1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.

2. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.

3. Tidak terdapat gerakan pada dahi.

4. Mata menutup tidak sempurna.

5. Gerakan mulut hanya sedikit.

f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:

l. Asimetris luas.

2. Tidak ada gerakan.

18
2. Pemeriksaan Penunjang8

Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bell‘s


Palsy antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging)
dimana pada pasien dengan Bell Palsy dapat timbul gambaran
kelainan pada nervus fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga
berguna apabila penderita mengalami Kelumpuhan wajah yang
berulang, agar dapat dipastikan apakah kelainan itu hanya
merupakan gangguan pada nervus Fasialis ataupun terdapat tumor.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat
beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi
(EMG), Elektroneuronografi (ENOG):

a. Elektromiografi (EMG)

EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini


bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien.
Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola
denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang
mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu
EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.
Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan
memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan
suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut.
Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.

19
b. Elektroneuronografi (ENOG)

ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan


EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran
EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran
saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila
dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka
kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin
melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka,
sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan
respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan
normalsaraf fasialis.

2.8 Diagnosa Banding8

1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)


Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai
dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.

Tanda dan gejala RHS meliputi :

o Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di


gendangtelinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari
mulut (langit-langit) atau lidah
o Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang
terkinfeksi
o Kesulitan menutup satu mata
o Sakit telinga
o Pendengaran berkurang
o Dering di telinga (tinnitus)
o Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
o Perubahan dalam persepsi rasa

20
2. Miller Fisher Syndrom

Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrome yang
jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer
pada Miller Fisher syndrome menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa
didapatkan rasa kebas, pusing dan mual.

2.9 Penatalaksanaan

a. Medikamentosa8

Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson dan


kerusakan N.VII dapat diberikan prednison (kortikosteroid) dan antiviral
sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalan
7 hari setelah onset. Prednison dapat diberikan jika muncul tandatanda radang.
Selain itu dapat pula diberi obat untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin
(dx dn penatalaksanaan)

21
Algoritma Tatalaksana Bell’s Palsy

Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi sarafVIl (saraf fasialis) dan


menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-
4 hari onset. Hal penting yang perlu diperhatikan7:
a. Pengobatan inisial
1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan
Bells palsy (American Academy NeurologAAN, 2011)
2. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf
kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).
3. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1mg/kg atau 60mg/day selama 6 hari, diikuti
penurunan bertahap total selama 10 hari.
4. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400mg oral 5 kali sehari selama 10
hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali hari.

22
Dosis Prednison

Dosis Antiviral

b. Lindungi mata

Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang
hari) dapat mencegah corneal exposure. ( panduan praktis)

c. Fisioterapi1

Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednisone, dapat dianjurkan


pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh. Cara yang sering digunakan yaiut: mengurut/ massage otot wajah
selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi

d. Operasi1
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi local maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila:
- Tidak terdapat penyembuhan spontan
- Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone
- Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total

23
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada Bell’s palsy antara
lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis
mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastic untuk kosmetik
( muscle sling, tarsoraphi ) (Sukardi, 2004, Davis, 2005 )

2.10 Prognosa1

Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell' palo, 85%


memperlihatkan tanda- tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian (Ropper, 2003). Pada
literatur lain penderita BP bisa sembuh sempurna dalam waktu 2 bulan dan
sembuh sempurna antara 1-3 bulan 8 (Davis, 2005)

Sepertiga dari penderita Belly paly dapat sembuh seperti sedia kala tanpa
gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak
berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
Penderita Bell's paly dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bell's palsy adalah (Ropper, 2003):

1. Usia di atas 60 tahun


2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan Berkurangnya air mata

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding


penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non
DM. Hanya 23 kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell paly
kambuh pada 10-15 penderita. Sekitar 30 penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis (Ropper, 2003)

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bell’s Palsy merupakan kelumpuhan fasialis perifer akibat proses


nonsupratif, non- neoplasmatik, non- degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya
akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

Gejala klinisnya yaitu mulut tampak moncong terlebih pada saat


meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu
penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak
berputar ke atas (Bell phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup,
apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh.

Dan untuk penatalaksanaannya dapat diberikan prednison


(kortikosteroid) dan antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity
untuk memulai pengobatan adalan 7 hari setelah onset. Prednison dapat
diberikan jika muncul tandatanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat
untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahrudin, Moch. 2011. Bell’s Palsy. Available from:


file:///C:/Users/Asus/Downloads/4073-10556-1-PB%20(1).pdf.
Accessed November 2017
2. Sidharta, Pirguna. Neurologis Klinis Dalam Praktek Umum.
Jakarta: PT Dian Rakyat.1979
3. Sarojo, Boedi, dan Suharso. Beberapa Segi Klinik Mengenai Bell’s
Palsy Di Bagian Neurologi Rumah Sakit Universitas Gadja Mada.
Yogyakarta: Universitas Gadja Mada. 1976
4. Chyntia. 2008. Bell’s Palsy. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39715/Cha
pter%20II.pdf?sequence=4. Accessed November 2017
5. Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
6. Dewanto, George. 2007. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana
Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
7. Kurniawa, M. 2016. Acuan Panduan Praktis Klinis Neurologis.
Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia
8. Rimadhanti, Ni Made Restianing. 2017. Bell’s Palsy. Available
from: file:///C:/Users/Asus/Downloads/kupdf.com_referat-bells-
palsy-rp.pdf . Accesed November 2017

26

Anda mungkin juga menyukai

  • Fotometer
    Fotometer
    Dokumen19 halaman
    Fotometer
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Laporan Tutorial
    Laporan Tutorial
    Dokumen2 halaman
    Laporan Tutorial
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen23 halaman
    Bab 2
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Keracunan Co
    Keracunan Co
    Dokumen36 halaman
    Keracunan Co
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Rumah Sehat
    Rumah Sehat
    Dokumen19 halaman
    Rumah Sehat
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Puja
    Puja
    Dokumen3 halaman
    Puja
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Paper EOA
    Paper EOA
    Dokumen26 halaman
    Paper EOA
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat