PEMICU 2
MODUL INFEKSI-IMUNOLOGI
KELOMPOK 4
Andika Indra Purwantoro
I11111061
Lodi Salim
I11112060
Pratiwi Siman
I11112069
Muhammad Lukman
I1011131003
Umi Nurrahmah
I1011131009
Atika
I1011131018
Melvy Purwanti
I1011131038
Rina Rostiana
I1011131039
Hafitz Al-Khairi
I1011131049
I1011131063
Jefrianto
I1011131078
Indri Vebrilia
I1011130183
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Batuk kering
Sesak nafas
Anorexia
Berat badan menurun
Riwayat melakukan hubungan seksual dengan PSK
Oral thrush
Ronki paru positif
D. Rumusan Masalah
Laki-laki, 51 tahun mengalami demam subfebris, anorexia, perununan
berat badan, sesak nafas, cachectic, oral thrush, dan ronki paru dengan
riwayat melakukan hubungan seksual dengan PSK.
E. Analisis Masalah
51 tahun
Anamnesis
Demam subfebris
Batuk kering
Sesak nafas
Anoreksia
BB
Pemeriksaan fisik
Cachectic
37,8C
Nafas 30x/menit
Nadi 100x/menit
TD 130/90 mmHg
Oral thrush
Ronki paru
Imunodefisiensi
Dx: AIDS
Pem. penunjang
F. Hipotesis
Laki-laki, 51 tahun mengalami AIDS dengan infeksi oportunistik.
G. Pertanyaan Diskusi
1. AIDS
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
Tx
Prognosis
Edukasi
d. Klasifikasi
e. Pathogenesis
f. Patofisiologi
g.
h.
i.
j.
Factor resiko
Manifestasi klinis
Diagnosis
Pencegahan
k. Tatalaksana
l. Prognosis
m. Edukasi
c. Manifestasi klinis
d. Respon imun
BAB II
PEMBAHASAN
A. AIDS
1. Definisi
AIDS
(Acquired
Immunodeficiency
Syndrome
sindrom
Gambar 3. Jumlah kasus Infeksi HIV yang dilaporkan per Provinsi Tahun
1987 sampai dengan September 20143
Stadium
1
2
3
4
Stadium
I
Gejala Klinis
Tidak ada penurunan berat badan
II
III
IV
Kandidiasis esofagus
Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Kanker Serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB Ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
5. Patogenesis6
Akuisisi seksual infeksi HIV diduga diperantarai oleh satu atau,
sebagian besar, beberapa partikel virus menular. Segera setelah infeksi,
replikasi secara cepat merebak dan memuncak pada minggu ke-2 hingga
ke-4, dengan 10e atau lebih sel yang menjadi terinfeksi.
Puncak ini ditandai dengan penurunan sementara dalam jumlah
limfosit:f CD4 (penolong) perifer. Sebagai hasil respons imun inang yang
baru dan deplesi sel target, jumlah virion menular-seperti yang terlihat dari
konsentrasi RNA HIV dalam plasma (juga dikenal sebagai kadar plasma
RNA virus)-menurun hingga cenderung'agak keadaan tunak. Kondisi
aktivitas virus ini menunjultkan pengaruh antara imunitas inang dan
patogenitas virus penginfeksi. Pada rata-rata individu terinfeksi, beberapa
miliar partikel virus berinfeksi diproduksi setiap beberapa hari. Pada
akhirnya, jumlah limfosit CD4 mulai menurun secara teratur, diikuti
dengan peningkatan konsentrasi RNA HIV dalam plasma. Saat jumlah
CD4 perifer turun hingga <200 sel per mm3, terjadi peningkatan risiko
infeksi oportunistik. Akuisisi seksual HIV-1 tropik-CCR5 berkaitan
dengan waktu rata-rata hingga terjadi penyakit klinis-biasanya berupa
infeksi oportunistik seperti pneumonia akibat Pneumocystis carnii-8
hingga l0 tahun. Kadang-kadang pasien dapat memiliki HIV lebih dari dua
dasawarsa tanpa penurunan jumlah CD4 yang signifikan atau imunoiupresi
klinis; hal ini dapat merefleksikan kombinasi imunogenetik dan respons
imun yang menguntungkan dari inang.
Pertanyaan penting adalah apa penyakit HIV merupakan konsekuensi
murni dari penurunan limfosit CD4 atau juga melibatkan berbagai faktor.
Kebanyakan data riwayat awal yang ada mendukung bahwa penyakit
murni diakibatkan oleh penurunan limfosit CD4. Meskipun demikian,
terapi yang sukses tergantung pada penghambatan replikasi HIV;
pengobatan dirancang untuk meningkatkan sistem imun inang tanpa
menekan efek antivirus langsung yang tidak menunjukkan manfaat klinis
yang dapat diandalkan.
6. Patofisiologi7,8
Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi
antara HIV dan sistem imun:
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok,
mialgia, demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik
(Mitchell dan Kumar, 2007). Pada fase ini terdapat produksi virus
dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada
jaringan
limfoid
perifer,
yang
secara
khas
disertai
dengan
otot,
kesulitan
berbicara, gangguan
keseimbangan,
terhadap
kuman. Diagnosis
antara
lain:
Lingkungan
kemiskinan,
latar
(banyaknya
belakang
Sosial
ekonomi
khususnya
kebudayaan/etnis,
Keadaan
demografi
asing).
Kelompok
masyarakat yang berpotensi punya risiko tinggi HIV adalah: Status Donor
darah (penerima transfusi darah, pendonor darah jika alat tidak steril), bayi
dari ibu yang dinyatakan menderita AIDS (proses kehamilan, kelahiran
dan pemberian ASI), pecandu narkotik (khususnya IDU, tindik dengan alat
yang terpapar HIV/AIDS).
Mereka yang mempunyai banyak pasangan seks pramuria (baik di
diskotik atau bar, WPS, waria, panti pijat, homo dan heteroseks), Pola
hubungan seks, status awal berhubungan seks, orang yang terpenjara,
keluarga dengan penderita HIV/AIDS positif (pasangan penderita misal
suami/istri) yang tidak menggunakan pelindung, pemakai alat suntik
(pecinta tatto, tindik dengan alat terpapar HIV/AIDS ) sangat mungkin
tertular HIV dan AIDS.
8. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang timbul dapat bervariasi mencakup demam,
perbesaran kelenjar limf, kemerahan pada kulit, diare persisten, batuk,
penurunan berat badan secara drastis, fatigue, lesi kulit dan kehilangan
nafsu makan. Manifestasi klinis secara spesifik dikelompokan berdasarkan
tingkatan masing-masing pada orang dewasa dan anak.
a. Manifestasi klinis pada orang dewasa
b. Manifestasi klinis pada anak
1) Fase klinis10
- Asimptomatik
- Limfadenopati generalisata persisten
2) Fase klinis11
- Persisten hepatosplenomegali
- Infeksi jamur
- Papular pruiritic infection
- Angular cheilitis
- Ulserasi oral berulang
- Pembesaran parotis persisten
- Herpes zooster
- Infeksi saluran napas atas yang berulang atau kronik
- Lineal gingival erythema
- Extensive wart virus infection
- Extensive molluscum contagiosum
3) Fase klinis12
- Malnutrisi moderate atau berat badan turun akibat respons tidak
-
kehidupan)
Leukoplakia
Tuberkulosis limfa node
Tuberkulosis pulmonal
Pneumonia bakterialis berulang
Symptomatic lymphoid interstitial pneumonitis
HIV kronik yang berhubungan dengan penyakit paru termasuk
di antaranya brinchiektasis
- Anemia, neutropenia, dan trombositopenia kronik.
4) Fase klinis13
- Wasting yang parah, pendek dan malnutrisi parah yang tidak
-
seperti
pneumonia,
empyema,
yang menginvasi organ lain dengan onset pada usia lebih dari 1
-
bulan
Toxoplasmosis pada CNS setelah 1 bulan kehidupan
Cryptococcosis extrapulmonal
HIV encephalopathy
Disseminated endemic mycosis (coccidiomycosis
histoplasmosis)
Disseminated non-tuberculous mycobacterial infection
or
3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu
yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit
klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan,
mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+ menurun
di bawah 500 sel/L. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para
pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder
dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan
AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman
CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200
sel/L sebagai pengidap AIDS. 14
Menurut Barakbah et al (2007) hampir semua orang yang terinfeksi
HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala
yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.15
1. Gejala Konstitusi
Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita
mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan
atau lebih. Gejala tersebut berupa15:
a. Demam terus menerus lebih dari 37C.
b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih.
c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah
bening di luar daerah inguinal.
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.
2. Gejala Neurologi
Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti
kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi,
halusinasi, mudah lupa, psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang
otak).15
3. Gejala Infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita
sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi,
misalnya15:
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
b. Tuberkulosis
c. Toksoplasmosis
d. Infeksi Mukokutan.
4. Gejala Tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma
Kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin.15,16
9. Diagnosis17
Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis
secara keseluruhan kemudian ditemukan adanya faktor resiko dan
menemukan temuan klinis pada pemeriksaan fisik. Seseorang dapat
didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan
minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika minimal terdapat 2 gejala mayor
atau terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor.
darah
penderita
HIV/AIDS
atau
pada
penderita
yang
kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab
sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2.
10. Pencegahan18-22
1) Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual
HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang
terbukti berperan dalam penularan AIDS adalah mani, cairan vagina
dan darah. HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke
wanita dari wanita ke pria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui
cara penyebaran HIV melalui hubungan seksual maka upaya
pencegahan adalah dengan cara:
a) Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat
efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan
kebutuhan biologis.
b) Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual
yang setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami)
c) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
d) Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular
AIDS.
e) Tidak melakukan hubungan anogenital
f) Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual
dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
2) Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah
Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS.
Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan:
a) Transfusi darah yang mengandung HIV
b) Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas
pakai orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik
c) Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang
mengidap virus HIV.
Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui
darah adalah:
a) Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV
dengan jalan memeriksa darah pendonor. Hal ini masih belum
dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang tingi serta
peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih
rendah, maka pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik.
penyuntikan
obat
ke
harus
dalam
menghentikan
badannya
serta
transmisi
melalui
ASI.
Saat
ini
penelitian
dan B.
Lipid monitoring
dan
pengelolaan
lipid
dan
faktor
risiko
ditunjukkan.
Inisiasi terapi antiretroviral pada pasien dengan jumlah CD4 antara
350 dan 500 sel / uL : 55 % anggota menganggap ini rekomendasi
kuat, sementara 45 % menganggap hal itu sebagai rekomendasi
moderat.
Inisiasi terapi antiretroviral pada pasien dengan jumlah CD4 di atas
500 sel / uL : setengah dari anggota menyetujui inisiasi dalam ini,
sementara separuh lainnya dianggap memulai pengobatan sebagai
opsional.
Terapi Farmakologi
Yang termasuk Klasifikasi agen antiretroviral:25-27
1 Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs)
2 Protease inhibitors (PIs)
3 Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs)
4 Dna Polymerase Inhibitors
5 Fusion inhibitors
6 Neuraminidase Inhibitors And Inhibitors Of Viral Coat Disassembly
7 CCR5 co-receptor antagonists (entry inhibitors)
8 HIV integrase strand transfer inhibitors
9 Biopharmaceutical Antiviral Drug
12. Prognosis
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang
didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penggunaan Penelitian
melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara
klinis dan imunologis.28 ART dan antibiotik spektrum luas dapat
menurunkan progresifitas penyakit dan memperpanjang waktu hidup dari
pasien yang menderita AIDS.29
13. Edukasi30
Pada dasarnya edukasi pada AIDS mempunyai 2 tujuan utama:
Untuk mencegah penularan HIV.
Untuk mengubah perilaku, ODHA tidak hanya membutuhkan sekedar
informasi belaka, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemberian
dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka. Misalnya dalam
hal perilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik, dan lain
sebagainya.
Meningkatkan kualitas hidup ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dalam
segala aspek baik medik, psikologik, sosial, dan ekonomik. Dalam hal
ini edukasi bertujuan untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar
B. HIV31
HIV (human immunodeficiency virus) merupakan pathogen yang
menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda
CD4+ di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T. HIV merupakan virus
ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili Lentivirus dari famili
Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe, HIV-1 yang
menyebar luas ke seluruh dunia, dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat
dan beberapa negara Eropa.
C. Transmisi HIV32-33
HIV dapat menyebar hanya dalam cairan tubuh tertentu dari seseorang
yang terinfeksi HIV, yaitu melalui darah, semen (cum), cairan pre-seminal
(pre-cum), cairan rektal, cairan vagina, dan air susu ibu dari seseorang yang
memiliki HIV. Penyebaran HIV hanya mungkin jika cairan-cairan tersebut
berkontak dengan membran mukosa atau jaringan yang rusak atau langsung
disuntikkan ke dalam aliran darah (dari jarum atau jarum suntik). Membran
mukosa yang ditemukan di dalam rektum, vagina, pembukaan penis, dan
mulut.
Di Amerika Serikat, penyebaran utama HIV melalui :
a. Melakukan seks anal atau vaginal dengan seseorang yang memiliki HIV
tanpa menggunakan kondom atau dengan meminum obat-obatan untuk
mencegah atau mengobati HIV. Seks anal adalah perilaku seksual berisiko
b.
secara teoritis
yang
tertentu
Imunodefisiensi dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau
aktivasi atau dalam mekanisme efektor imunitas nonspesifik dan
spesifik
Imunodefisiensi tertentu berhubungan dengan peningkatan insidens
autoimunitas. Diduga berhubungan dengan defisiensi sel Tr.
2. Klasifikasi
Imunodefisiensi dapat dibagi menjadi kelainan imunodefisiensi primer,
yang hampir selalu ditentukan oleh faktor genetik, dan imunodefisiensi
sekunder, yang dapat muncul sebagai komplikasi dari kanker, infeksi,
malnutrisi, atau efek samping imunosupresan, radiasi, atau kemoterapi.39
Berikut akan dijelaskan mengenai imunodefisiensi primer dan sekunder.
a. Imunodefisiensi primer
Sebagian besar penyakit imunodefisiensi primer ditentukan secara
genetik dan mempengaruhi bagian humoral dan seluler dari imunitas
adaptif (dimediasi oleh sel limfosit B dan T), atau dapat juga
mempengaruhi mekanisme defensif dari imunitas bawaan (sel NK,
fagosit atau komplemen). Defek pada imunitas adaptif umumnya
disubklasifikasikan pada komponen yang terutama terkait (sel
B/T/keduanya).37 Akan tetapi, pembagian ini masih kurang jelas karena
adanya keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lain
yang menyebabkan pembedaan antar komponen penyebab menjadi
sulit. Walau umumnya dianggap cukup jarang, bentuk ringan dari
imunodefisiensi primer ini dapat ditemukan pada sebgaian orang.
Sebagian besar imunodefisiensi ini bermanifestasi pada usia bayi (6
bulan-2 tahun) dan terdeteksi karena bayi mengalami infeksi rekuren.
nodus
limfa,
Peyers
patches,
Brutons agammaglobulinemia.37,39
Isolated IgA Deficiency
Imunodefisiensi primer ini cukup sering ditemukan, terutama pada
ras kaukasian. Seseorang dengan kondisi ini akan memiliki level
IgA yang rendah di serum dan yang disekresikan. 1 Penyebabnya
dapat disebabkan genetik maupun infeksi karena toksoplasma,
measles virus, atau infeksi virus lain. Sebagian besar orang dengan
penyakit ini tidak memunculkan simptom, akan tetapi karena IgA
berpengaruh pada imunitas pada mukosa, terdapat kemungkinan
lebih
tinggi
dalam
terkena
infeksi
di
traktus
respirasi,
lokus p11.23.37,39
Genetic Deficiencies of the Complement System
Umumnya defisiensi komplemen disebabkan oleh faktor genetik.
Defisiensi komplemen yang paling sering adalah defisiensi
komplemen C2, akan tetapi efeknya lebih kepada peningkatan
suspektibilitas seseorang terhadap penyakit autoimun. Akan tetapi,
defisiensi C3 juga dapat menyebabkan peningkatan suspektibilitas
terhadap infeksi rekuren bakteri piogen.37,38 Defisiensi C5-9
menyebabkan adanya peningkatan kemungkinan infeksi Neisseria
karena efek litik C5-9 hilang.39 Defek pada inhibitor komplemen
C1 menyebabkan terjadinya angioedema pada kulit dan permukaan
bermukosa.37
b. Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisensi sekunder dapat dijumpai pada individu dengan
berbagai kondisi. Penyebab yang paling sering adalah virus HIV.37,39
HTLV-1
dapat
menyebabkan
Selain
virus,
infeksi
kronik
berbagai
infeksi
Mycobacterium
3. Menifestasi Klinis40
Beberapa manifestasi klinis dari imunodefisiensi antara lain :
1 Terjadi empat atau lebih infeksi dalam setahun
2 Dua atau lebih infeksi sinus dalam setahun
3 Penggunaan antibiotic dengan efek yang minimum
4 Terjadi dua episode pneumonia atau lebih pada satu tahun
5 Pada bayi terjadi kegagalan peningkatan berat badan dan gagal tumbuh
6 Abses berulang pada kulit dan organ dalam
7 Kandidiasis persisten di mulut atau di mana saja usia >1 tahun
8 Kebutuhan penggunaan antibiotik intravena untuk mengatasi infeksi
9 Dua atau lebih infeksi dalam termasuk septikemia
4. Respon Imun41
Immunodefisiensi adalah keadaan di mana komponen sistem imun
tidak dapat berfungsi secara normal. Akibatnya, penderita imunodefisiensi
lebih rentan terhadap infeksi virus, jamur atau bakteri, kanker, dan juga
infeksi berulang (reaktivasi infeksi laten).
E. Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV41
Orang dengan sistem imun yang baik dapat terpapar beberapa jenis virus,
bakteri dan jamur namun tidak memperlihatkan respons yang berarti, namun
paparan pada orang dengan HIV/AIDS dapat mengakibatkan ancaman
kesehatan serius yang disebut dengan infeksi oportunistik (IO). Infeksi
oportunistik merupakan tanda dari sistem imun yang menurun. Kebanyakan
infesi oportunistik yang mengancam nyawa terjadi saat jumlah CD4 di bawah
200 sel/mm3. Infeksi oportunistik adalah penyebab kematian terbanyak pada
orang dengan HIV/AIDS.
Umunya, saat jumlah CD4 lebih dari 500 sel/mm 3 tidak terjadi infeksi
oportunistik. Infeksi oportunistik minor seperti infeksi jamur dan candida
vaginitis terjadi saat jumlah CD4 sekitar 500 sel/mm 3. Saat jumlah CD4
berkisar antara 500-200 sel/mm3, infeksi oportunistik yang terjadi cenderung
lebih berat, yakni candidiasis (oral thrush) dan kapois sarcoma. Pada jumlah
CD4 antara 200-100 sel/mm3, infeksi oportunistik yang terjadi di antaranya
Pneumosit jirovecii pneumonia dan histoplasmosis. Pada jumlah CD4 antara
100-50 sel/mm3 dapat terjadi infeksi oportunistik berupa toxoplasmosis,
cryptosporidiosis dan cryptococcosis.
F. Hubungan Riwayat Kontak Seksual dengan PSK pada Kasus
HIV-positif dan juga terinfeksi PMS lain, sekitar 3 kali lebih mungkin sebagai
orang yang terinfeksi HIV lain untuk menyebarkan HIV melalui hubungan
seksual. Hal ini tampaknya terjadi karena ada peningkatan konsentrasi HIV
dalam air mani dan cairan kelamin dari orang HIV-positif yang juga terinfeksi
PMS lain.43
Ada dua cara yang memiliki PMS dapat meningkatkan kemungkinan
terkena HIV: Jika PMS menyebabkan iritasi pada kulit (misalnya, dari sifilis,
herpes, atau human papillomavirus), robekan atau luka dapat memudahkan
HIV masuk tubuh selama hubungan seksual. Bahkan PMS yang menyebabkan
tidak ada robekan atau luka terbuka (misalnya, klamidia, gonore,
trikomoniasis) dapat meningkatkan risiko dengan menyebabkan peradangan
yang meningkatkan jumlah sel-sel yang dapat berfungsi sebagai target untuk
HIV.43
G. Patofisiologi Sesak pada Kasus44
Gangguan pernapasan sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV
dan kekebalan tubuh yang menurun adalah demam, batuk kering (khas PCP),
batuk produktif dengan dahak dan/atau hemoptisis (khas pneumonia dan TB),
sesak napas dan gangguan pernapasan yang berat.
Penyebab gejala pernafasan
a. Infeksi
Mycobacterium tuberculosis (batuk >23 minggu)
b. Pneumonia pnemocystis jiroveci (batuk, seringkali selama 12 bulan)
c. Pneumonia bakterial
Infeksi jamur (kriptokokosis, histoplasmosis)
d. Mikobakteria atipik (MAC)
e. Pneumoniatis CMV
f. Keganasan: limfoma, sarkoma Kaposi
H. Hubungan Kakektik pada Kasus45
Status kaketik (cachetic) dapat terjadi pada fase kedua, yaitu flow fase
terjadi proses katabolisme yang progresif berlangsung selama berhari-hari atau
bulan tergantung berhasil tidaknya tubuh mengatasi proses katabolik.
Terjadinya gangguan penyimpanan dan pengaturan terhadap nitrogen dan
lemak sehingga terjadi gangguan fungsi imunitas. Setiap defisiensi atau
ketidakseimbangan zat makanan yang mempengaruhi sintesis protein dapat
menyebabkan gangguan fungsi beberapa mekanisme pertahanan tubuh.
tes
terhadap
kehidupan
klien.
perilaku
berisiko
terhadap
HIV.
Misalnya
3. Membahas
pentingnya
membersihkan
jarum
suntik
atau
mengekspresikan
rasa
keingintahuannya,
untuk
memberitahu
pasangannya
bila
sistem
kekebalan
tubuh
manusia
dan
kemudian
dapat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Laki-laki, 51 tahun mengalami AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
1. Longe, Jacqueline L., Blanchfield, Deirdre S. The Gale Encyclopedia of
Medicine. 2nd Ed. Vol. 1. Gale Group: Thomson Learning. 2002.
2. EACS. European AIDS Clinical Society Guidelines, version 7.0. Oct 2013.
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis HIV AIDS. Pusat data dan
informasi kementerian kesehatan RI; 2014.
4. Unicef Indonesia. Respon terhadap HIV & AIDS. Oktober 2012. Di unduh
dari : http://www.unicef.org/
5. World Health Organization (WHO). 2007. Who Case Definitions of HIV For
Surveillance and Revised Clinical Staging And Immunological Classification
of HIV-Related Disease In Adults And Children. Geneva : WHO Press.
6. Centers for Disease Control and Prevention. HIV/AIDS Surveillance Report,
2006. Atlanta:. Vol. 18. 2008
7. Mitchell RN, Kumar V, 2007. Penyakit Imunitas. In: Kumar V, Cotran RS,
Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 1 Eds.7. Jakarta: EGC;
2007.
8. Miedema, Frank, et al. Immune activation and collateral damage in AIDS
pathogenesis. Front Immunol. 2013; 4(298): 1-14.
9. Laga M, Nzila, N Goeman, J 1991.The interrelationship of sexually
transmitted disease and HIV infection : Implications for the control of both
epidemic s in Africa . AIDS 5( Suppl1). 2011. S55-S56.
10. [Guideline] EACS. European AIDS Clinical Society Guidelines, version 7.0.
Oct 2013.
11. [Guideline] WHO. World Health Organization. HIV/AIDS Programme: WHO
Case Definitions Of Hiv For Surveillance And Revised Clinical Staging And
Immunological Classification Of HIV-Related Disease In Adults And
Children. 2007.
12. Centers for Disease C, Prevention. Sexual transmission of hepatitis C virus
among HIV-infected men who have sex with men--New York City, 20052010. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Jul 22 2011;60(28):945-950. Available
at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21775948.
13. CDC. HIV prevention bulletin: medical advice for persons who inject illicit
drugs - May 9, 1997.
14. Mitchell RN, Kumar V. Buku Ajar Patologi: Penyakit Imunitas. Volume 1.
Edisi.7. Jakarta: EGC; 2007.
15. Barakbah, Pohan, Sukanto, Martodihardjo, Agusni, Lumintang, et al. Atlas
Penyakit Kulit dan Kelamin: Acquired Immuno Deficiency Syndrome.
Surabaya: Airlangga University Press; 2007.
16. Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual: AIDS. Surabaya:
Airlangga University Press; 2008.
17. World Health Organization, Global health Sector Strategy on HIV/AIDS
2011-2015, Geneva, WHO Library Cataloguing-in-Publication Data
18. Wiktor SZ, Ekpini E, Karon JM, Nkengasong J, Maurice C, Severin ST, et al.
Short course oral zidovudine for prevention of mother-to-child transmission of
HIV-1in Abidjan. Cote dIvoire: a randomized trial. Lancet 1999; 353: 781785.
19. The International Perinatal HIV Group NEJM 1999; 340:9770. The European
Mode of Delivery Collaboration. Lancet 1999; 353:1035.
20. Taha TE, Biggar RJ, Broadhead L, MtimavalyeLAR, Miotti PG,, Justesen AB
et al. Effect of cleansing the birth canal with antiseptic solution on maternal
and newborn morbidity and mortality in Malawi: clinical trial. BMJ, 1997;
315:216-220.
21. Gallard P ,Mwanyumba F, Verhofstede C, Claeys P, Chohan V, Goetghebeur,E,
et al.. Vaginal lavage with chlorhexidine during labour to reduce mother-tochild transmission: clinical trial in Mombasa, Kenya. AIDS, 2001; 15:389-396
22. Biggar RJ, Miotti PG, Taha TE, Mtimavalye L, Broadhead R, Justesen A, et al.
Perinatal intervention trial in Africa: effect of a birth canal cleansing
intervention to prevent HIV transmission. Lancet 1996; 347: 1647-1650.
23. Bennett, Nicholas John. HIV Disease. (Terakhir diperbaharui: 20 Maret 2014).
(dikutip 24 Maret 2014). Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com
24. Reynolds SJ, Makumbi F, Newell K, et al. Effect of daily aciclovir on HIV
disease progression in individuals in Rakai, Uganda, co-infected with HIV-1
and herpes simplex virus type 2: a randomised, double-blind placebocontrolled trial. Lancet Infect Dis. Jun 2012;12(6):441-8. [Medline]. [Full
Text].
25. Barclay L. HIV: guidelines stress role of primary care in management.
Medscape Medical News [serial online]. November 14, 2013; diakses 24
Maret 2014. Tersedia dari : http://www.medscape.com
26. Rang, H. P., M. M. Dale, J. M. Ritter, and R. J. Flower. Pharmacology.
London: Elseviers Health Sciences Rights Department, 2011.
27. Bennett, Nicholas John. HIV Disease. (Terakhir diperbaharui: 20 Maret 2014).
(dikutip 24 Maret 2014). Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com
28. Widoyono. HIV-AIDS. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
29. Japiassu AJ, et al. Prevalence and prognosis of organ dysfunctions of AIDS
critically ill patients. Critical Care; 2013.
30. Gunung, I Komang, dkk. Buku pegangan konselor HIV AIDS, Macfarlane
Burnet Institute for Medical Research and Public Health Limited, 2003,
www.burnet.internationalhealth.edu.au.
31. Tanto, Chris. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 4. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014.
32. Centers for Disease Control and Prevention. 2015. HIV Transmission.
http://www.cdc.gov/hiv/basics/transmission.html
33. AIDSinfo. 2015. HIV Prevention. https://aidsinfo.nih.gov/educationmaterials/fact-sheets/20/48/the-basics-of-hiv-prevention
34. Baratawidjaja, K. G & Iris Rengganis. Imunologi Dasar Edisi 11. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2014.
35. Tambayong Jan. Patofisiologi. Jakarta; EGC. 2000.
36. Kumar V, Cotran R, Robbins S. Buku Ajar Patologi Edisi 7 volume 1 Jakarta:
EGC; 2007.
37. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran pathologic basis
of disease. 8th Ed. 2010. Philadelphia : Elsevier.
38. Zubir Z. Konsep Imunodefisiensi. Diakses dari http://ocw.usu.ac.id/ pada
tanggal 19 April 2012 pukul 19.09
39. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. 7th
Ed. 2012. Philadelphia : Elsevier.
40. Arkwright
PD,
Gennery
AR.
Ten
warning
signs
of
primary