Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 2
MODUL INFEKSI-IMUNOLOGI

KELOMPOK 4
Andika Indra Purwantoro

I11111061

Lodi Salim

I11112060

Pratiwi Siman

I11112069

Muhammad Lukman

I1011131003

Umi Nurrahmah

I1011131009

Atika

I1011131018

Melvy Purwanti

I1011131038

Rina Rostiana

I1011131039

Hafitz Al-Khairi

I1011131049

Wenni Juniarni Tripani

I1011131063

Jefrianto

I1011131078

Indri Vebrilia

I1011130183

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pemicu
Tn. A, seorang laki-laki usia 51 tahun, ditemani istrinya datang ke
puskesmas dengan keluhan dema tidak terlalu tinggi (subfebris), batuk
kering (non-produktif) dan sesak nafas (dispneu) sejak 2 minggu terakhir,
yang semakin terasa berat sejak 2 hari ini. Selain itu Tn. A juga merasa
kurang sehat dan kurang nafsu makan (anorexia) dan berat badan
berkurang dalam 3 bulan terakhir. Tn. A. sudah berobat ke dokter dan
diberikan antibiotic dan antipiretik. Bila minum obat, demamnya hilang
tapi kemudian kambuh lagi. Dari riwayat social, diketahui bahwa Tn. A
memiliki riwayat melakukan hubungan seksual dengan pekerja seksual
komersial dalam beberapa tahun terakhir.
Pada pemeriksaan fisik, Tn. A tampak sesak, dan cachectic. Tanda
vital: suhu 37,8C, nafas 30x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg. Pada
rongga mulut tampak oral thrush dan terdengar ronkhi pada kedua
lapangan paru.
B. Klarifikasi dan Definisi
1. Cachectic: penurunan berat badan, massa otot, dan kelemahan ekstrim
yang terkait dengan penyakit serius seperti kanker, AIDS, dan penyakit
kronis lainnya.
C. Kata Kunci
1. Laki-laki, 51 tahun
2. Demam subfebris

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Batuk kering
Sesak nafas
Anorexia
Berat badan menurun
Riwayat melakukan hubungan seksual dengan PSK
Oral thrush
Ronki paru positif

D. Rumusan Masalah
Laki-laki, 51 tahun mengalami demam subfebris, anorexia, perununan
berat badan, sesak nafas, cachectic, oral thrush, dan ronki paru dengan
riwayat melakukan hubungan seksual dengan PSK.
E. Analisis Masalah
51 tahun

Anamnesis
Demam subfebris
Batuk kering
Sesak nafas
Anoreksia
BB

Riwayat hub. Seks dg PSK

Pemeriksaan fisik
Cachectic
37,8C
Nafas 30x/menit
Nadi 100x/menit
TD 130/90 mmHg
Oral thrush
Ronki paru

Imunodefisiensi

Dx: AIDS

Pem. penunjang
F. Hipotesis
Laki-laki, 51 tahun mengalami AIDS dengan infeksi oportunistik.
G. Pertanyaan Diskusi
1. AIDS
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi

Tx

Prognosis

Edukasi

d. Klasifikasi
e. Pathogenesis
f. Patofisiologi

g.
h.
i.
j.

Factor resiko
Manifestasi klinis
Diagnosis
Pencegahan

k. Tatalaksana
l. Prognosis
m. Edukasi

2. Jelaskan mengenai HIV


3. Jelaskan mengenai transmisi HIV
4. Jelaskan mengenai imunodefisiensi
a. Definisi
b. Klasifikasi

c. Manifestasi klinis
d. Respon imun

5. Jelaskan mengenai infeksi oportunistik pada pasien AIDS


6. Bagaimana pencegahan penularan AIDS/ infeksi HIV terhadap orang
terdekat
7. Bagaimana hubungan riwayat kontak seksual dengan PSK terhadap
kasus
8. Bagaimana patofisiologi sesak pada kasus
9. Bagaimana hubungan kakektik ada kasus
10. Bagaimana hubungan oral thrush pada kasus
11. Bagaimana hubungan ronki kedua paru pada kasus
12. Konseling pada pasien AIDS
13. Etika pada pasien AIDS

BAB II
PEMBAHASAN
A. AIDS
1. Definisi
AIDS

(Acquired

Immunodeficiency

Syndrome

sindrom

imunodefisiensi didapat), adalah stadium akhir pada serangkaian


abnormalitas imunologis dan klinis yang yang dikenal sebagai spektrum
infeksi HIV. HIV yang dulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell
Lymphotropic Virus III) atau LAV (Lymphadenophaty Virus) adalah virus
sitopatik dari famili retrovirus.1
2. Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV (Human immunodeficiency virus)
tipe 1 dan 2 yang menyerang dan menghancurkan sel darah putih tertentu
yang berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh.2
3. Epidemiologi
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 jutn orang hidup dengan HIV
yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun.
Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari
1,9 juta dewasa dan 240.000 anak berusia < 15 tahun. Jumlah kematian
akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewsa dan
190.000 anak berusia <15 tahun.3

Di Indonesia, HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada


tahun 1987. Hingga saat ini HIV/AIDS sudah menyebar di 386
kabupaten/kot di seluruh provinsi di Indonesia.4
Di Indonesia dalam waktu tiap 25 menit, terdapat satu orang baru
terinfeksi HIV. Satu dari setiap lima orang yang terinfeksi di bawah usia
25 tahun. Proyeksi Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa
tanpa percepatan program penanggulangan HIV, lebih dari setengah juta
orang di Indonesia akan positif HIV pada tahun 2014. Epidemi tersebut
dipicu terutama oleh penularan seksual dan penggunaan narkoba suntik.
Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), Jakarta dan Bali
menduduki tempat teratas HIV orang (Gambar 1). Jakarta memiliki jumlah
kasus baru tertinggi (4.012 pada tahun 2011).4
Gambar 1. Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan menurut kelompok umur
tahun 2010 sampai dengan september 20143

Gambar 2: Jumlah kumulatif AIDS yang dilaporkan menurut jenis


pekerjaan tahun 1987 sampai dengan September 20143

Gambar 3. Jumlah kasus Infeksi HIV yang dilaporkan per Provinsi Tahun
1987 sampai dengan September 20143

Berdasarkan laporan provinsi, jumlah (kumulatif) kasus infeksi HIV


yang dilaporkan sejak 1987 sampai September 2014 yang terbanyak
adalah Provinsi DKI Jakarta (32.782 kasus). Sepuluh besar kasus HIV
terbanyak ada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timus, Papua, Jawa Barat,
Bali, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau
dan Sulawesi Selatan.3
4. Klasifikasi
Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO5:
Klasifikasi
Asimtomatik
Ringan
Sedang
Berat

Stadium
1
2
3
4

Stadium
I

Gejala Klinis
Tidak ada penurunan berat badan

II

Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten


Penurunan berat badan <10%
ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis
Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis Seboroik

III

Infeksi jamur pada kuku


Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia, Piomiosis

IV

Anemia (<8 gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50109 per liter)


Sindroma Wasting (HIV)
Pneumoni Pneumocystis
Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan

Kandidiasis esofagus
Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Kanker Serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB Ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
5. Patogenesis6
Akuisisi seksual infeksi HIV diduga diperantarai oleh satu atau,
sebagian besar, beberapa partikel virus menular. Segera setelah infeksi,
replikasi secara cepat merebak dan memuncak pada minggu ke-2 hingga
ke-4, dengan 10e atau lebih sel yang menjadi terinfeksi.
Puncak ini ditandai dengan penurunan sementara dalam jumlah
limfosit:f CD4 (penolong) perifer. Sebagai hasil respons imun inang yang
baru dan deplesi sel target, jumlah virion menular-seperti yang terlihat dari
konsentrasi RNA HIV dalam plasma (juga dikenal sebagai kadar plasma
RNA virus)-menurun hingga cenderung'agak keadaan tunak. Kondisi
aktivitas virus ini menunjultkan pengaruh antara imunitas inang dan
patogenitas virus penginfeksi. Pada rata-rata individu terinfeksi, beberapa
miliar partikel virus berinfeksi diproduksi setiap beberapa hari. Pada
akhirnya, jumlah limfosit CD4 mulai menurun secara teratur, diikuti
dengan peningkatan konsentrasi RNA HIV dalam plasma. Saat jumlah
CD4 perifer turun hingga <200 sel per mm3, terjadi peningkatan risiko
infeksi oportunistik. Akuisisi seksual HIV-1 tropik-CCR5 berkaitan
dengan waktu rata-rata hingga terjadi penyakit klinis-biasanya berupa
infeksi oportunistik seperti pneumonia akibat Pneumocystis carnii-8

hingga l0 tahun. Kadang-kadang pasien dapat memiliki HIV lebih dari dua
dasawarsa tanpa penurunan jumlah CD4 yang signifikan atau imunoiupresi
klinis; hal ini dapat merefleksikan kombinasi imunogenetik dan respons
imun yang menguntungkan dari inang.
Pertanyaan penting adalah apa penyakit HIV merupakan konsekuensi
murni dari penurunan limfosit CD4 atau juga melibatkan berbagai faktor.
Kebanyakan data riwayat awal yang ada mendukung bahwa penyakit
murni diakibatkan oleh penurunan limfosit CD4. Meskipun demikian,
terapi yang sukses tergantung pada penghambatan replikasi HIV;
pengobatan dirancang untuk meningkatkan sistem imun inang tanpa
menekan efek antivirus langsung yang tidak menunjukkan manfaat klinis
yang dapat diandalkan.
6. Patofisiologi7,8
Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi
antara HIV dan sistem imun:
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok,
mialgia, demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik
(Mitchell dan Kumar, 2007). Pada fase ini terdapat produksi virus
dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada
jaringan

limfoid

perifer,

yang

secara

khas

disertai

dengan

berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu terjadi, muncul


respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui
serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu
setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang
spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali
mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah virus dalam
plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang
akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini,
sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut
hingga beberapa tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang

mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau


herpes zoster.
Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus
yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut.
Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel
CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati
periode yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai menurun
dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang
terinfeksi oleh HIV semakin meningkat.
3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu
yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta
penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih
dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah
sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/L. Setelah adanya interval yang
berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius,
neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan
kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan
AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini
menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel
CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/L sebagai pengidap AIDS.
Menurut Barakbah et al (2007) hampir semua orang yang terinfeksi
HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala
yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.
1. Gejala Konstitusi
Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita
mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3
bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:
a. Demam terus menerus lebih dari 37C.
b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih.
c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar
getah bening di luar daerah inguinal.
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus
menerus.
2. Gejala Neurologi

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti


kelemahan

otot,

kesulitan

berbicara, gangguan

keseimbangan,

disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis dan dapat sampai koma


(gejala radang otak).
3. Gejala Infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita
sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi,
misalnya:
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada
penderita AIDS (80%). Disebabkan parasit sejenis protozoa yang
pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak menimbulkan sakit berat.
Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai
menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala
yang ditimbulkannya adalah batuk kering, demam dan sesak nafas.
Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan
dengan ditemukannya P.carinii pada bronkoskopi yang disertai
biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar.
b. Tuberkulosis
Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering
mengalami penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit
ini sangat resisten terhadap obat anti tuberkulosis yang biasa.
Gambaran klinis TBC pada penderita AIDS tidak khas seperti pada
penderita TBC pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh
sudah tidak mampu bereaksi

terhadap

kuman. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan hasil kultur.


c. Toksoplasmosis
Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi
Toxoplasma gondii, yang sebelumnya merupakan infeksi laten.
Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas, sampai kejang dan
koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.
d. Infeksi Mukokutan.
Herpes simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan
penyakit paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul
satu jenis atau beberapa jenis secara bersama. Sifat kelainan

mukokutan ini persisten dan respons terhadap pengobatan lambat


sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya.
4. Gejala Tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam
Sarkoma Kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin.
7. Faktor Resiko9
Faktor-faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan angka kejadian
HIV/AIDS

antara

lain:

Lingkungan

kemiskinan,

latar

(banyaknya

pelabuhan yang disinggahi orang

belakang

Sosial

ekonomi

khususnya

kebudayaan/etnis,

Keadaan

demografi

asing).

Kelompok

masyarakat yang berpotensi punya risiko tinggi HIV adalah: Status Donor
darah (penerima transfusi darah, pendonor darah jika alat tidak steril), bayi
dari ibu yang dinyatakan menderita AIDS (proses kehamilan, kelahiran
dan pemberian ASI), pecandu narkotik (khususnya IDU, tindik dengan alat
yang terpapar HIV/AIDS).
Mereka yang mempunyai banyak pasangan seks pramuria (baik di
diskotik atau bar, WPS, waria, panti pijat, homo dan heteroseks), Pola
hubungan seks, status awal berhubungan seks, orang yang terpenjara,
keluarga dengan penderita HIV/AIDS positif (pasangan penderita misal
suami/istri) yang tidak menggunakan pelindung, pemakai alat suntik
(pecinta tatto, tindik dengan alat terpapar HIV/AIDS ) sangat mungkin
tertular HIV dan AIDS.
8. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang timbul dapat bervariasi mencakup demam,
perbesaran kelenjar limf, kemerahan pada kulit, diare persisten, batuk,
penurunan berat badan secara drastis, fatigue, lesi kulit dan kehilangan
nafsu makan. Manifestasi klinis secara spesifik dikelompokan berdasarkan
tingkatan masing-masing pada orang dewasa dan anak.
a. Manifestasi klinis pada orang dewasa
b. Manifestasi klinis pada anak
1) Fase klinis10
- Asimptomatik
- Limfadenopati generalisata persisten
2) Fase klinis11
- Persisten hepatosplenomegali

- Infeksi jamur
- Papular pruiritic infection
- Angular cheilitis
- Ulserasi oral berulang
- Pembesaran parotis persisten
- Herpes zooster
- Infeksi saluran napas atas yang berulang atau kronik
- Lineal gingival erythema
- Extensive wart virus infection
- Extensive molluscum contagiosum
3) Fase klinis12
- Malnutrisi moderate atau berat badan turun akibat respons tidak
-

adekuat pada terapi standar


Diare persisten (lebih dari 14 hari)
Demam persisten
Kandidiasis oral persisten (pada 6-8 minggu pertama

kehidupan)
Leukoplakia
Tuberkulosis limfa node
Tuberkulosis pulmonal
Pneumonia bakterialis berulang
Symptomatic lymphoid interstitial pneumonitis
HIV kronik yang berhubungan dengan penyakit paru termasuk

di antaranya brinchiektasis
- Anemia, neutropenia, dan trombositopenia kronik.
4) Fase klinis13
- Wasting yang parah, pendek dan malnutrisi parah yang tidak
-

merespons terapi standar


Pneumocystis pneumonia
Infeksi bakteri berulang

pyomyositis, meningitis atau bakteremia


Infeksi herper simplex kronik
Kandidiasis esofagus
Tuberkulosis ekstraparu
Kaposi sarkoma
Infeksi cytomegalovirus: retinitis atau infeksi cytomegalovirus

seperti

pneumonia,

empyema,

yang menginvasi organ lain dengan onset pada usia lebih dari 1
-

bulan
Toxoplasmosis pada CNS setelah 1 bulan kehidupan
Cryptococcosis extrapulmonal
HIV encephalopathy
Disseminated endemic mycosis (coccidiomycosis

histoplasmosis)
Disseminated non-tuberculous mycobacterial infection

or

Cryptosporidiosis kronik dengan diare


Isosporiasis kronik
Cerebral or B-cell non-Hodgkin lymphoma
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Symptomatic HIV-associated nephropathy or HIV-associated
cardiomyopathy

Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi


antara HIV dan sistem imun :
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok,
mialgia, demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik. Pada fase
ini terdapat produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan
persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas
disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu terjadi,
muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui
serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah
pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik
terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati
jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan
merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut
di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.14
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini,
sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut
hingga beberapa tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang mengalami
infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster.14
Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus
yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut.
Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+
akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode yang
panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah
CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV
semakin meningkat.14

3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu
yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit
klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan,
mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+ menurun
di bawah 500 sel/L. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para
pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder
dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan
AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman
CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200
sel/L sebagai pengidap AIDS. 14
Menurut Barakbah et al (2007) hampir semua orang yang terinfeksi
HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala
yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.15
1. Gejala Konstitusi
Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita
mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan
atau lebih. Gejala tersebut berupa15:
a. Demam terus menerus lebih dari 37C.
b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih.
c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah
bening di luar daerah inguinal.
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.

2. Gejala Neurologi
Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti
kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi,
halusinasi, mudah lupa, psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang
otak).15

3. Gejala Infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita
sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi,
misalnya15:
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
b. Tuberkulosis
c. Toksoplasmosis
d. Infeksi Mukokutan.
4. Gejala Tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma
Kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin.15,16
9. Diagnosis17
Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis
secara keseluruhan kemudian ditemukan adanya faktor resiko dan
menemukan temuan klinis pada pemeriksaan fisik. Seseorang dapat
didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan
minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika minimal terdapat 2 gejala mayor
atau terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor.

Tes diagnostik untuk HIV yang sampai sekarang masih digunakan


adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay), rapid test,
Western Blot, dan PCR (Polymerase chain reaction) dengan sampel whole
blood, dried bloodspots, saliva dan urin.
Rapid test disarankan untuk kasus kecelakaan kerja bagi petugas yang
terpapar

darah

penderita

HIV/AIDS

atau

pada

penderita

yang

kemungkinan tidak mau datang kembali untuk menyampaikan hasil tes


HIV. Tes ELISA merupakan pemeriksaan yang umum dilakukan karena
praktis dan sensitifitasnya tinggi. Rekomendasi WHO jika tes ELISA
dengan 3 reagen yang berbeda hasilnya postif semua atau rapid test
dengan 3 reagen hasilnya positif semua maka tidak dianjurkan tes Western
Blot (WB).
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV,
penegakan diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan
tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita.
1) ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Kelebihan teknik
ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100%. Biasanya
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah
menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap
envelope dan core.
2) Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari
suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau
molekul lain. Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran
adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan
gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%.
Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar
24 jam.
3) PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi
maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara
serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada

kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab
sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2.
10. Pencegahan18-22
1) Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual
HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang
terbukti berperan dalam penularan AIDS adalah mani, cairan vagina
dan darah. HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke
wanita dari wanita ke pria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui
cara penyebaran HIV melalui hubungan seksual maka upaya
pencegahan adalah dengan cara:
a) Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat
efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan
kebutuhan biologis.
b) Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual
yang setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami)
c) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
d) Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular
AIDS.
e) Tidak melakukan hubungan anogenital
f) Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual
dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
2) Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah
Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS.
Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan:
a) Transfusi darah yang mengandung HIV
b) Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas
pakai orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik
c) Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang
mengidap virus HIV.
Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui
darah adalah:
a) Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV
dengan jalan memeriksa darah pendonor. Hal ini masih belum
dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang tingi serta
peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih
rendah, maka pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik.

b) Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak


menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi
donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai harus
dibuang.
c) Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara
baku setiap kali habis dipakai.
d) Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS
harus disterillisasikan secara baku.
e) Kelompok penyalahgunaan narkotik
kebiasaan

penyuntikan

obat

ke

harus

dalam

menghentikan
badannya

serta

menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.


f) Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)
g) Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.
3) Pencegahan transmisi vertikal
a) Pencegahan primer
Pendekatan yang paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal
adalah pencegahan pada wanita usia subur. Konseling sukarela,
rahasia, dan pemeriksaan darah adalah cara mendeteksi pengidap
HIV secara dini.
b) Pencegahan sekunder
1. Pemberian antiretrovirus secara profilaksis
Pada tahun 1994 dapat dibuktikan bahwa pemberian obat
tunggal zidovudine sejak kehamilan 14 minggu, selama
persalinan dan dilanjutkan 6 minggu kepada bayi dapat
menurunkan transmisi vertikal sebanyak 2/3 kasus. Akhir-akhir
ini telah terbukti bahwa pemberian profilaksis zidovudine
dalam jangka waktu lebih singkat cukup efektif asalkan bayi
tidak diberikan ASI, oleh karena obat tersebut tidak dapat
mencegah

transmisi

melalui

ASI.

Saat

ini

penelitian

membuktikan bahwa pemberian satu kali Nevirapine pada saat


persalinan kepada ibu dan kemudian dilanjutkan dengan
pemberian satu kali pada bayi pada usia 48-72 jam setelah lahir
dapat menurunkan transmisi vertikal sebanyak 50% bila
dibandingkan dengan pemberian zidovudine oral waktu
intrapartum dan pada bayi selama satu minggu. Kombinasi dua
obat antiretroviral atau lebih ternyata sangat mengurangi

transmisi vertikal apalagi bila dikombinasi dengan persalinan


melalui seksio sesaria serta tidak memberikan ASI. Efek
samping penggunaan antiretroviral ini masih dalam penelitian.
2. Pertolongan persalinan oleh petugas terampil
Pertolongan persalinan sebaiknya oleh tenaga kesehatan yang
terampil dengan meminimalkan prosedur yang invasif dan
menetrapkan universal precaution untuk mencegah transmisi
HIV.
3. Pembersihan jalan lahir
Pembersihan jalan lahir dengan menggunakan chlorhexidine
dengan konsentrasi cukup pada saat intrapartum diusulkan
sebagai salah satu cara yang dapat menurunkan insidens
transmisi HIV intrapartum antara ibu ke anak. Selain
menurunkan transmisi vertikal HIV tindakan membersihkan
jalan lahir ini dapat menurunkan morbiditas ibu dan bayi serta
mortalitas bayi.
4. Persalinan dengan seksio sesaria
Suatu meta-analisis pada 15 buah penelitian yang melibatkan
7800 pasangan ibu anak membuktikan bahwa bayi yang
dilahirkan secara seksio sesaria yang dilakukan sebelum
ketuban pecah mempunyai kejadian transmisi vertikal jauh
lebih rendah bila dibandingkan dengan kelahiran per vaginam.
Sebuah penelitian klinik yang dilakukan dengan randomisasi
membuktikan bahwa pada bayi yang dilahirkan dengan cara
seksio sesaria transmisi vertikal HIV adalah 1.8% sedangkan
yang lahir per vaginam transmisi vertikal adalah 10,6 %.
5. Menjaga kesehatan ibu
Makanan ibu penting. Gangguan gizi ibu dapat merusak
integritas mukosa usus dan memudahkan tranmisi. Selain vit.
A, riboflavin dan mikronutrien lain dapat mempertahankan
integritas mukosa usus.
11. Tatalaksana
Terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergantung pada tahap
penyakit dan setiap infeksi oportunistik secara bersamaan. Secara umum,

tujuan pengobatan adalah untuk mencegah sistem kekebalan tubuh dari


memburuk ke titik bahwa infeksi oportunistik menjadi lebih mungkin.
Sindrom pemulihan kekebalan juga kurang mungkin pada pasien yang
sistem kekebalan melemah ke titik ini.23
Highly active antiretroviral therapy (HAART) adalah metode utama
untuk mencegah kerusakan kekebalan tubuh. Selain itu, profilaksis untuk
infeksi oportunistik tertentu diindikasikan dalam kasus-kasus tertentu.23
Primer care Intervention
The Infectious Diseases Society of America ( IDSA ) mengeluarkan
pedoman diperbarui pada November 2013 untuk pengelolaan infeksi HIV
Karena kemajuan dalam manajemen, pasien terinfeksi HIV kini
mengalami komplikasi lebih sedikit dan hidup lebih lama, Sebagai
hasilnya mereka semakin mengalami masalah kesehatan yang umum
terlihat pada populasi umum, dan masalah ini harus diatasi. Oleh karena
itu, pedoman IDSA diperbarui menekankan peran intervensi perawatan
primer, sebagai berikut24,25:
a Orang yang terinfeksi HIV harus menjalani skrining diabetes,
osteoporosis, dan kanker usus besar yang sesuai dan harus divaksinasi
terhadap infeksi pneumokokus, influenza, varicella, dan hepatitis A
b

dan B.
Lipid monitoring

kardiovaskular lainnya harus dilakukan.


Pasien dengan infeksi yang terkendali dengan baik harus menjalani

pemantauan darah untuk tingkat virus setiap 6-12 bulan.


Wanita dengan HIV harus menjalani pemeriksaan trikomoniasis

dan

pengelolaan

lipid

dan

faktor

risiko

tahunan, dan semua pasien yang terinfeksi yang mungkin berisiko


harus menjalani pemeriksaan tahunan untuk gonore dan klamidia.
Rekomendasi inisiasi terapi di Amerika Serikat
Pada bulan Januari 2011, Departemen Kesehatan dan Layanan
Kemanusiaan (DHHS) Panel tentang Pedoman Antiretroviral untuk
Dewasa dan Remaja mengeluarkan pedoman diperbaharui untuk mulai
terapi antiretroviral, sebagai berikut23,24:
1 Terapi antiretroviral harus dimulai pada semua pasien dengan riwayat
penyakit terdefinisi AIDS (lihat Staging ) atau dengan jumlah CD4 di
bawah 350 sel / uL

Terapi antiretroviral harus dimulai terlepas dari jumlah CD4 pada


pasien hamil, pasien dengan nefropati terkait HIV, dan mereka dengan
hepatitis B virus koinfeksi ketika pengobatan infeksi virus hepatitis B

ditunjukkan.
Inisiasi terapi antiretroviral pada pasien dengan jumlah CD4 antara
350 dan 500 sel / uL : 55 % anggota menganggap ini rekomendasi
kuat, sementara 45 % menganggap hal itu sebagai rekomendasi

moderat.
Inisiasi terapi antiretroviral pada pasien dengan jumlah CD4 di atas
500 sel / uL : setengah dari anggota menyetujui inisiasi dalam ini,
sementara separuh lainnya dianggap memulai pengobatan sebagai

opsional.
Terapi Farmakologi
Yang termasuk Klasifikasi agen antiretroviral:25-27
1 Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs)
2 Protease inhibitors (PIs)
3 Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs)
4 Dna Polymerase Inhibitors
5 Fusion inhibitors
6 Neuraminidase Inhibitors And Inhibitors Of Viral Coat Disassembly
7 CCR5 co-receptor antagonists (entry inhibitors)
8 HIV integrase strand transfer inhibitors
9 Biopharmaceutical Antiviral Drug

12. Prognosis
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang
didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penggunaan Penelitian
melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara
klinis dan imunologis.28 ART dan antibiotik spektrum luas dapat
menurunkan progresifitas penyakit dan memperpanjang waktu hidup dari
pasien yang menderita AIDS.29
13. Edukasi30
Pada dasarnya edukasi pada AIDS mempunyai 2 tujuan utama:
Untuk mencegah penularan HIV.
Untuk mengubah perilaku, ODHA tidak hanya membutuhkan sekedar
informasi belaka, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemberian
dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka. Misalnya dalam
hal perilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik, dan lain

sebagainya.
Meningkatkan kualitas hidup ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dalam
segala aspek baik medik, psikologik, sosial, dan ekonomik. Dalam hal
ini edukasi bertujuan untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar

mampu hidup secara positif.


Konselor dapat membantu ODHA untuk memperoleh layanan yang
berkaitan dengan pemantauan kekebalan tubuhnya (pemeriksaan
limfosit, CD4, viral load), IMS dan HIV / AIDS. Pencegahan/layanan

infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral (ARV) dll.


Dalam hal lain konselor diharapkan juga dapat membantu dalam hal
mengatasi rasa putus asa, rasa duka yang berkelanjutan, kemungkinan
stigma, diskriminasi, menyampaian serostatus pada pasangan seksual,
pemutusan hubungan kerja dan lain sebagainya.

B. HIV31
HIV (human immunodeficiency virus) merupakan pathogen yang
menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda
CD4+ di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T. HIV merupakan virus
ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili Lentivirus dari famili
Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe, HIV-1 yang

menyebar luas ke seluruh dunia, dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat
dan beberapa negara Eropa.
C. Transmisi HIV32-33
HIV dapat menyebar hanya dalam cairan tubuh tertentu dari seseorang
yang terinfeksi HIV, yaitu melalui darah, semen (cum), cairan pre-seminal
(pre-cum), cairan rektal, cairan vagina, dan air susu ibu dari seseorang yang
memiliki HIV. Penyebaran HIV hanya mungkin jika cairan-cairan tersebut
berkontak dengan membran mukosa atau jaringan yang rusak atau langsung
disuntikkan ke dalam aliran darah (dari jarum atau jarum suntik). Membran
mukosa yang ditemukan di dalam rektum, vagina, pembukaan penis, dan
mulut.
Di Amerika Serikat, penyebaran utama HIV melalui :
a. Melakukan seks anal atau vaginal dengan seseorang yang memiliki HIV
tanpa menggunakan kondom atau dengan meminum obat-obatan untuk
mencegah atau mengobati HIV. Seks anal adalah perilaku seksual berisiko
b.

tertinggi. Seks vagina adalah perilaku seksual berisiko tertinggi kedua.


Berbagi jarum atau jarum suntik, bilasan air, atau peralatan lainnya yang
digunakan untuk mempersiapkan obat untuk injeksi dengan seseorang
yang memiliki HIV. HIV dapat hidup dalam jarum yang digunakan hingga

42 hari tergantung pada suhu dan faktor lainnya.


Kurang umum, HIV dapat menyebar melalui :
a. Dari ibu ke anak selama kehamilan, kelahiran, atau menyusui.
b. Tergores jarum atau benda tajam lainnya yang terkontaminasi HIV. Ini
adalah risiko terutama untuk petugas kesehatan.
Dalam kasus yang sangat jarang, HIV dapat menyebar melalui :
a. Oral seks
Secara umum, ada sedikit atau tidak ada risiko terkena HIV dari seks oral.
Meskipun sangat jarang, penularan dengan seks oral
mungkin terjadi

secara teoritis

jika seorang pria HIV-positif berejakulasi di mulut

pasangannya selama seks oral.


b. Menerima transfusi darah, produk darah, atau transplantasi organ /
jaringan yang terkontaminasi dengan HIV. Ini lebih umum pada tahuntahun awal HIV, tapi sekarang risikonya sangat kecil karena pengujian
yang ketat dari suplai darah AS dan organ disumbangkan dan jaringan.
c. Makan makanan yang telah dikunyah oleh orang yang terinfeksi HIV.
kontaminasi terjadi ketika darah yang terinfeksi dari mulut pengasuh

bercampur dengan makanan saat mengunyah. Kasus-kasus hanya dikenal


di antara bayi.
d. Digigit oleh orang dengan HIV. Dapat terjadi dengan melibatkan trauma
berat dengan kerusakan jaringan yang luas dan adanya darah. Tidak ada
risiko penularan jika kulit tidak rusak.
e. Kontak antara kulit rusak, luka, atau selaput lendir dan darah yang
terinfeksi HIV atau cairan tubuh darah yang terkontaminasi.
f. Berciuman dengan mulut terbuka, jika kedua pasangan memiliki luka atau
gusi berdarah dan darah dari pasangan HIV-positif masuk ke aliran darah
dari pasangan HIV-negatif. Namun pada dasarnya HIV tidak menyebar
melalui air liur.
HIV tidak menularkan melalui kontak biasa dengan orang yang terinfeksi
HIV, misalnya dari jabat tangan, pelukan, atau ciuman mulut tertutup. Dan
tidak bisa terinfeksi HIV dari kontak dengan benda-benda seperti kursi toilet,
pegangan pintu, atau piring yang digunakan oleh orang yang terinfeksi HIV.
D. Imunodefisiensi
1. Definisi
Terbentuknya sistem imunokompeten penting untuk melindungi
organisme terhadap invasi dari luar karenanya pada setiap defisiensi pada
setiap komponen dari sistem imun itu dapat mengganggu aktivitas seluruh
sistem pertahanan tubuh. perubahan patologis dari fungsi imunologis ini
dikenal dengan sebutan imunodefisiensi, dimana kemampuan untuk
memberikan respon imun efisiens dirusak atau tidak ada.34
Penyakit Immunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan

yang

berlainan, dimana sistem imun tidak mampu untuk memberikan respons


umum yang efisien atau adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi,
lebih sering berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari
biasanya.35
Gangguan imunodefisiensi dapat disebabkan oleh defek atau defisiensi
pada sel-sel fagositik, limfosit B, limfosit T atau komplemen. Gejala yang
spesifik serta beratnya penyakit, usia saat penyakit dimulai dan prognosis
penyakit bergantung pada komponen apa yang terkena dalam sistem imun
dan sampai dimana fungsi imun tersebut terganggu. Terlepas dari
penyebab yang mendasari kelainan imunodefisiensi, gejala utamanya

mencakup infeksi kronik atau infeksi berat kambuhan, infeksi karena


mikroorganisme yang merupakan flora normal tubuh, respon tubuh yang
buruk terhadap pengobatan infeksi dan diare kronik.36
Adanya imunodefisiensi harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda
kinis sebagai berikut:34

Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya

tergantung dari komponen sistem imun yang defektif


Penderita dengan imunodefisiensi juga rentan terhadap jenis kanker

tertentu
Imunodefisiensi dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau
aktivasi atau dalam mekanisme efektor imunitas nonspesifik dan

spesifik
Imunodefisiensi tertentu berhubungan dengan peningkatan insidens
autoimunitas. Diduga berhubungan dengan defisiensi sel Tr.

2. Klasifikasi
Imunodefisiensi dapat dibagi menjadi kelainan imunodefisiensi primer,
yang hampir selalu ditentukan oleh faktor genetik, dan imunodefisiensi
sekunder, yang dapat muncul sebagai komplikasi dari kanker, infeksi,
malnutrisi, atau efek samping imunosupresan, radiasi, atau kemoterapi.39
Berikut akan dijelaskan mengenai imunodefisiensi primer dan sekunder.
a. Imunodefisiensi primer
Sebagian besar penyakit imunodefisiensi primer ditentukan secara
genetik dan mempengaruhi bagian humoral dan seluler dari imunitas
adaptif (dimediasi oleh sel limfosit B dan T), atau dapat juga
mempengaruhi mekanisme defensif dari imunitas bawaan (sel NK,
fagosit atau komplemen). Defek pada imunitas adaptif umumnya
disubklasifikasikan pada komponen yang terutama terkait (sel
B/T/keduanya).37 Akan tetapi, pembagian ini masih kurang jelas karena
adanya keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lain
yang menyebabkan pembedaan antar komponen penyebab menjadi
sulit. Walau umumnya dianggap cukup jarang, bentuk ringan dari
imunodefisiensi primer ini dapat ditemukan pada sebgaian orang.
Sebagian besar imunodefisiensi ini bermanifestasi pada usia bayi (6
bulan-2 tahun) dan terdeteksi karena bayi mengalami infeksi rekuren.

Berikut dijelaskan secara singkat berbagai kelainan imunodefisiensi


yang paling sering ditemukan.37
Brutons Agammaglobulinemia
Kelainan ini ditandai oleh kegagalan prekursor sel B (sel pre-B dan
pro-B) berkembang menjadi sel B matur. Hal ini disebabkan oleh
adanya defek pada gen pada kromosom X (q21.22) yang mengkode
tirosin kinase sitoplasma yang bernama Bruton tyrosine kinase
(Btk).37 Btk dibutuhkan sebagai suatu signal transducer dalam
rearrangement dari light-chain imunoglobulin sehingga komponen
yang dibutuhkan untuk maturasi sel B lengkap. Penyakit ini paling
sering ditemukan pada pria, walau terdapat kasus sporadik pada
wanita. Penyakit ini mulai terlihat pada usia 6 bulan setelah
imunoglobulin maternal mulai habis, ditandai dengan adanya infeksi
rekuren pada saluran pernafasan, terutama oleh Haemophilius
influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau Staphylococcus aureus.
Infeksi Giardia lamblia juga dapat menjadi tanda dari keberadaan
penyakit ini.37,39 Karakteristik utama dari penyakit ini meliputi :
Absennya sel B di sirkulasi, serta penurunan level semua
imunoglobulin di serum
Kurang berkembangnya

nodus

limfa,

Peyers

patches,

appendiks, dan tonsil


Absennya sel plasma di seluruh tubuh
Umumnya penyakit ini diatasi dengan pemberian replacement

therapy berupa imunoglobulin.37


Common Variable Immunodeficiency
Sesungguhnya CVI merupakan kumpulan dari berbagai penyakit
yang memiliki beberapa kesamaan fitur pada pasien, yaitu
hipogammaglobulinemia, yang umumnya mempengaruhi semua
kelas antibodi tetapi dapat juga hanya menyerang IgG.37,39
Diagnosis CVI didapatkan setelah mengekslusikan penyakit lain.
Belum ditemukan pola penurunan pada CVI yang familial.
Berbeda dengan Brutons agammaglobulinemia, level sel B pada
pada darah dan sel limfoid berada pada level mendekati normal,
akan tetapi mereka tidak dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma,
diduga karena adanya mutasi pada beberapa molekul seperti ICOS

atau BAFF.37 Manifestasi klinis dari penyakit ini menyerupai

Brutons agammaglobulinemia.37,39
Isolated IgA Deficiency
Imunodefisiensi primer ini cukup sering ditemukan, terutama pada
ras kaukasian. Seseorang dengan kondisi ini akan memiliki level
IgA yang rendah di serum dan yang disekresikan. 1 Penyebabnya
dapat disebabkan genetik maupun infeksi karena toksoplasma,
measles virus, atau infeksi virus lain. Sebagian besar orang dengan
penyakit ini tidak memunculkan simptom, akan tetapi karena IgA
berpengaruh pada imunitas pada mukosa, terdapat kemungkinan
lebih

tinggi

dalam

terkena

infeksi

di

traktus

respirasi,

gastrointestinal, dan urogenital. Defisiensi IgA ini disebabkan oleh


kegagalan diferensiasi limfosit B naif menjadi sel penyekresi IgA

oleh karena penyebab yang belum diketahui.37


Hyper-IgM Syndrome
Pada sindrom ini, pasien dapat memproduksi IgM tetapi
mengalami defisiensi produksi IgG, IgA, dan IgE. Hal ini
menyebabkan defek pada aktivasi respons imun oleh sel T helper,
dimana maturasi sel B dalam menyekresikan imunoglobulin
berbeda akn terhambat. Sindrom ini disebabkan oleh mutasi pada
gen pengkode CD40L pada lokus Xq26.37 Secara klinis, seseorang
dengan penyakit ini mengalami infeksi bakteri piogenik rekuren,

serta memiliki suspektiblitias terhadap pneumonia yang tinggi.37


DiGeorge Syndrome
Sindrom DiGeorge merupakan suatu kondisi dimana terjadi
defisiensi sel T karena kegagalan perkembangan pharyngeal pouch
ketiga dan keempat, yang berkaitan dengan perkembangan timus,
paratiroid, dan sebagian clear cell tiroid.37,39 Hal ini menyebabkan
munculnya beberapa tanda sindrom ini, yaitu menurunnya level sel
T, tetanus, dan defek jantung kongenital. Tampakan wajah, mulut,
dan telinga dapat menjadi abnormal. Sindrom ini disebabkan

karena delesi gen pada kromsosm 22q11.37


Severe Combined Immunodeficiendcy
Penyakit ini merupakan gabungan dari beberapa sindrom yang
memiliki defek umum baik pada imunitas humoral dan seluler.39

Umumnya bayi yang terkena sindrom ini mengalami kandidiasis


oral, diaper rash, dan kegagalan berkembang. Mereka juga sangat
mudah terkena infeksi rekuren dan berat oleh banyak patogen,
termasuk Candida albicans, P. jiroveci, dan Pseudomonas. Bentuk
yang paling sering adalah yang disebabkan oleh defek kromosom
X, dimana terjadi mutasi gamma-chain reseptor sitokin yang
mengkode interleukin. Bila terjadi defek, maka bahkan mulai dari
perkembangan limfosit pun akan terpengaruh.37 Sebagian besar
kasus SCI lainnya diturunkan secara autosomal resesif, seperti
pada defisiensi enzim ADA (adenosine deaminase) yang
menyebabkan toksisitas limfosit T imatur. Pilihan penatalaksanaan

utamanya berupa transplantasi sumsum tulang.


Wiskott-Aldrich Syndrome
Sindrom ini merupakan sindrom X-linked yang ditandai dengan
trombositopenia, eksema, dan vulnerabilitas terhadap infeksi
rekuren sehingga menyebabkan kematian dini. Terdapat deplesi
limfosit T secara sekunder di darah perifer dan nodus limfe, dengan
ketiadaan antibodi untuk polisakarida serta level IgM yang
menurun. Sindrom ini disebabkan oleh mutasi gen WASP pada

lokus p11.23.37,39
Genetic Deficiencies of the Complement System
Umumnya defisiensi komplemen disebabkan oleh faktor genetik.
Defisiensi komplemen yang paling sering adalah defisiensi
komplemen C2, akan tetapi efeknya lebih kepada peningkatan
suspektibilitas seseorang terhadap penyakit autoimun. Akan tetapi,
defisiensi C3 juga dapat menyebabkan peningkatan suspektibilitas
terhadap infeksi rekuren bakteri piogen.37,38 Defisiensi C5-9
menyebabkan adanya peningkatan kemungkinan infeksi Neisseria
karena efek litik C5-9 hilang.39 Defek pada inhibitor komplemen
C1 menyebabkan terjadinya angioedema pada kulit dan permukaan

bermukosa.37
b. Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisensi sekunder dapat dijumpai pada individu dengan
berbagai kondisi. Penyebab yang paling sering adalah virus HIV.37,39

Secara umum, imunodefisiensi sekunder disebabkan oleh dua


mekanisme utama, yaitu imunosupresi yang muncul akibat komplikasi
dari penyakit atau keadaan lain, dan imunodefisiensi iatrogenik yang
muncul sebagai efek samping dari suatu terapi atau perlakuan lain.
Malnutrisi Penyakit/keadaan
yang
dapat
menyebabkan
imunodefisiensi sekunder meliputi37,39:
Malnutrisi protein-kalori
Sering ditemukan di negara berkembang dan diasosiasikan dengan
gangguan imunitas selular dan humoral pada mikroorganisme yang
disebabkan oleh gangguan proses metabolik tubuh. Gangguan ini
dikarenakan defisiensi konsumsi protein, lemak, vitamin, dan
mineral, dan akan mempengaruhi maturasi serta fungsi dari sel-sel
imun
Kanker39
Pasien dengan kanker yang telah menyebar luas umumnya mudah
terinfeksi mikroorganisme karena defek pada respons imun
humoral dan selular. Tumor bone marrow dan leukemia yang
muncul di sumsum tulang dapat menggangu pertumbuhan limfosit
dan leukosit normal. Selain itu, tumor dapat memproduksi
substansi yang menghambat perkembaangan atau fungsi limfosit,
seperti pada penyakit Hodgkin. Dapat pula terjadi anergi, yaitu
suatu kondisi dimana sistem imun tidak dapat menginduksi respon
imun terhadap antigen.
Infeksi37,39
Selain infeksi HIV, infeksi lain juga dapat menyebabkan kelainan
respons imun, contohnya pada virus measles dan HTLV-1 (Human
T-cell Lymphothropic Virus-1) yang keduanya menginfeksi
limfosit. HTLV-1 merupakan retrovirus mirip HIV, akan tetapi
HTLV-1 bekerja dengan mengubah sel T helper menjadi sel T
neoplasma yang malignan, disebut juga ATL (adult T-cell
Leukemia).
oportunistik.

HTLV-1

dapat

menyebabkan

Selain

virus,

infeksi

kronik

berbagai

infeksi

Mycobacterium

tuberculosis, berbagai jenis fungi, dan berbagai jenis parasit dapat


juga menyebabkan imunosupresi.

3. Menifestasi Klinis40
Beberapa manifestasi klinis dari imunodefisiensi antara lain :
1 Terjadi empat atau lebih infeksi dalam setahun
2 Dua atau lebih infeksi sinus dalam setahun
3 Penggunaan antibiotic dengan efek yang minimum
4 Terjadi dua episode pneumonia atau lebih pada satu tahun
5 Pada bayi terjadi kegagalan peningkatan berat badan dan gagal tumbuh
6 Abses berulang pada kulit dan organ dalam
7 Kandidiasis persisten di mulut atau di mana saja usia >1 tahun
8 Kebutuhan penggunaan antibiotik intravena untuk mengatasi infeksi
9 Dua atau lebih infeksi dalam termasuk septikemia
4. Respon Imun41
Immunodefisiensi adalah keadaan di mana komponen sistem imun
tidak dapat berfungsi secara normal. Akibatnya, penderita imunodefisiensi
lebih rentan terhadap infeksi virus, jamur atau bakteri, kanker, dan juga
infeksi berulang (reaktivasi infeksi laten).
E. Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV41
Orang dengan sistem imun yang baik dapat terpapar beberapa jenis virus,
bakteri dan jamur namun tidak memperlihatkan respons yang berarti, namun
paparan pada orang dengan HIV/AIDS dapat mengakibatkan ancaman
kesehatan serius yang disebut dengan infeksi oportunistik (IO). Infeksi
oportunistik merupakan tanda dari sistem imun yang menurun. Kebanyakan
infesi oportunistik yang mengancam nyawa terjadi saat jumlah CD4 di bawah
200 sel/mm3. Infeksi oportunistik adalah penyebab kematian terbanyak pada
orang dengan HIV/AIDS.
Umunya, saat jumlah CD4 lebih dari 500 sel/mm 3 tidak terjadi infeksi
oportunistik. Infeksi oportunistik minor seperti infeksi jamur dan candida
vaginitis terjadi saat jumlah CD4 sekitar 500 sel/mm 3. Saat jumlah CD4
berkisar antara 500-200 sel/mm3, infeksi oportunistik yang terjadi cenderung
lebih berat, yakni candidiasis (oral thrush) dan kapois sarcoma. Pada jumlah
CD4 antara 200-100 sel/mm3, infeksi oportunistik yang terjadi di antaranya
Pneumosit jirovecii pneumonia dan histoplasmosis. Pada jumlah CD4 antara
100-50 sel/mm3 dapat terjadi infeksi oportunistik berupa toxoplasmosis,
cryptosporidiosis dan cryptococcosis.
F. Hubungan Riwayat Kontak Seksual dengan PSK pada Kasus

Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di


berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan
vagian, cairan serviks. Transmisi infeksi HIV bisa melalui heteroseksual dan
homoseksual. Transmisi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih
mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah
robek, anus sering terjadi lesi.42
Hubungan seksual merupakan penularan utama dari HIV, terutama seks
anal dan vaginal. Bahkan, melakukan seks secara anal merupakan jenis yang
paling berisiko dari seks untuk mendapatkan atau menyebarkan HIV. Karena
pada dasarnya HIV dapat ditemukan dalam darah, air mani (cum), cairan
preseminal (pre-cum), atau cairan rektal dari orang yang terinfeksi virus.
bagian bawah adalah pada risiko lebih besar terkena HIV karena lapisan
rektum tipis dan memungkinkan HIV memasuki tubuh selama seks anal. Seks
vagina adalah perilaku seksual dengan resiko kedua tertinggi untuk
mendapatkan atau menularkan HIV. Ketika seorang wanita memiliki seks
vaginal dengan pasangan yang sudah HIV-positif, HIV dapat masuk ke dalam
tubuhnya melalui selaput lendir yang melapisi vagina dan leher rahim. Pria
juga bisa mendapatkan HIV dari hubungan seks vagina dengan seorang wanita
yang HIV-positif. Hal ini karena cairan vagina dan darah dapat membawa
HIV. Laki-laki mendapatkan HIV melalui pembukaan di ujung penis (atau
uretra); kulup jika mereka tidak disunat; atau luka kecil, goresan, atau luka
terbuka di mana saja di penis. Sedangkang penularan HIV melalui seks oral
jarang terjadi, namun faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan
HIV melalui seks oral adalah ejakulasi di mulut dengan ulkus oral, gusi
berdarah, luka kelamin, dan adanya penyakit menular seksual lainnya (PMS),
yang mungkin atau mungkin tidak terlihat.43
Selain itu, adanya penyakit menular seksual (PMS) lain dapat
meningkatkan resiko terkena atau menularkan HIV. Beberapa PMS yang
paling umum anatara lain gonore, klamidia, sifilis, trikomoniasis, human
papillomavirus (HPV), herpes genital, dan hepatitis.43
Jika seseorang dengan HIV-negatif tetapi memiliki PMS, memiliki resiko
sekitar 3 kali lebih mungkin untuk mendapatkan HIV jika berhubungan seks
tanpa kondom dengan seseorang yang memiliki HIV. Jika seseorang dengan

HIV-positif dan juga terinfeksi PMS lain, sekitar 3 kali lebih mungkin sebagai
orang yang terinfeksi HIV lain untuk menyebarkan HIV melalui hubungan
seksual. Hal ini tampaknya terjadi karena ada peningkatan konsentrasi HIV
dalam air mani dan cairan kelamin dari orang HIV-positif yang juga terinfeksi
PMS lain.43
Ada dua cara yang memiliki PMS dapat meningkatkan kemungkinan
terkena HIV: Jika PMS menyebabkan iritasi pada kulit (misalnya, dari sifilis,
herpes, atau human papillomavirus), robekan atau luka dapat memudahkan
HIV masuk tubuh selama hubungan seksual. Bahkan PMS yang menyebabkan
tidak ada robekan atau luka terbuka (misalnya, klamidia, gonore,
trikomoniasis) dapat meningkatkan risiko dengan menyebabkan peradangan
yang meningkatkan jumlah sel-sel yang dapat berfungsi sebagai target untuk
HIV.43
G. Patofisiologi Sesak pada Kasus44
Gangguan pernapasan sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV
dan kekebalan tubuh yang menurun adalah demam, batuk kering (khas PCP),
batuk produktif dengan dahak dan/atau hemoptisis (khas pneumonia dan TB),
sesak napas dan gangguan pernapasan yang berat.
Penyebab gejala pernafasan
a. Infeksi
Mycobacterium tuberculosis (batuk >23 minggu)
b. Pneumonia pnemocystis jiroveci (batuk, seringkali selama 12 bulan)
c. Pneumonia bakterial
Infeksi jamur (kriptokokosis, histoplasmosis)
d. Mikobakteria atipik (MAC)
e. Pneumoniatis CMV
f. Keganasan: limfoma, sarkoma Kaposi
H. Hubungan Kakektik pada Kasus45
Status kaketik (cachetic) dapat terjadi pada fase kedua, yaitu flow fase
terjadi proses katabolisme yang progresif berlangsung selama berhari-hari atau
bulan tergantung berhasil tidaknya tubuh mengatasi proses katabolik.
Terjadinya gangguan penyimpanan dan pengaturan terhadap nitrogen dan
lemak sehingga terjadi gangguan fungsi imunitas. Setiap defisiensi atau
ketidakseimbangan zat makanan yang mempengaruhi sintesis protein dapat
menyebabkan gangguan fungsi beberapa mekanisme pertahanan tubuh.

Gambaran klinis satus kaketik yaitu, terjadinya penurunan berat badan,


kehilangan masa otot dan lemak, defisiensi vitamin dan mineral, menurunnya
fungsi imun, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi oportunistik, lebih
progresifnya laju perjalanan penyakit dari infeksi HIV ke tingkat yang lebih
berat yaitu AIDS hingga sepsis.
I. Hubungan Oral Thrush pada Kasus46
Oral thrush atau candidiasis adalah infeksi oportunistik pada mulut
dan/atau tenggorokan yang disebabkan oleh jamus Candida albicans. Pada
pasien dengan imunodefisiensi, terjadinya oral thrush adalah tanda awal
penyakit HIV mengalami progresi ke tahapan yang lebih buruk. Hal-hal yang
terjadi di antaranya rasa tidak nyaman dan terbakar pada mulut dan sulit untuk
merasa makanan. Akan tampak bintik bewarna putih kekuningan yang kadang
dibarengin dengan warna kemerahan dan bengkak pada lidah.
Oral thrush jarang terjadi apabila kadar CD4 di atas 500 sel/mm 3.
Kebanyakan oral thrush terjadi pada kadar CD4 turun menjadi 100, saat
keadaan ini sulit untuk ditangani.
J. Konseling Pasien AIDS47
Konseling HIV berbeda dengan konseling yang lain, walaupun
keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal
yang unik karena:
a. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang Infeksi Menular Seksual
(IMS) dan HIV/AIDS.
b. Membutuhkan pembahasan mengenai praktek-praktek seks yang sifatnya
pribadi.
c. Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian.
d. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat
dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai konselor itu
sendiri.
e. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil tes HIV yang
positif.
f. Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan
maupun anggota keluarga klien.
Tujuan Konseling HIV

a. Untuk mencegah penularan HIV. Untuk mengubah perilaku, ODHA tidak


hanya membutuhkan sekedar informasi belaka, tetapi yang jauh lebih
penting adalah pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi
mereka. Misalnya dalam hal perilaku seks aman, tidak berganti-ganti
jarum suntik, dan lain sebagainya.
b. Meningkatkan kualitas hidup ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dalam
segala aspek baik medik, psikologik, sosial, dan ekonomik. Konselor dapat
membantu ODHA untuk memperoleh layanan yang berkaitan dengan
pemantauan kekebalan tubuhnya (pemeriksaan limfosit, CD4, viral load),
IMS dan HIV/AIDS. Dalam hal lain konselor diharapkan juga dapat
membantu dalam hal mengatasi rasa putus asa, rasa duka yang
berkelanjutan, kemungkinan stigma, diskriminasi, menyampaian serostatus
pada pasangan seksual, pemutusan hubungan kerja dan lain sebagainya.
Ciri Konseling HIV
a. Konseling sebagai proses membantu klien dalam:
1. Memperoleh akses informasi yang benar.
2. Memahami dirinya dengan lebih baik.
3. Agar mampu menghadapi masalahnya.
4. Agar mampu berkomunikasi lebih lancar.
5. Mengantisipasi harapan-harapan, kerelaan dan mengubah perilakunya.
6. Meningkatkan dan memperkuat motivasi mengubah perilakunya.
7. Agar mampu menghadapi rasa kecemasan dan ketakutan.
b. Konseling bukan percakapan tanpa tujuan.
c. Konseling bukan memberi nasihat atau instruksi pada orang untuk
melakukan sesuatu sesuai kehendak konselor.
d. Bersifat sangat pribadi, sehingga membutuhkan pengembangan rasa saling
percaya.
e. Bukan suatu hal yang baku, dapat bervariasi tergantung kondisi
daerah/wilayah, latar belakang klien, dan jenis layanan medis/sosial yang
tersedia.
f. Setiap orang yang diberi pelatihan khusus dapat menjadi seorang konselor.
Konseling Pretest HIV
Konseling pretes HIV dapat diartikan sebagai dialog antara klien dan
konselor yang membahas tentang tes HIV dan kemungkinan dampak yang
terjadi bila klien/orang lain mengetahui hasil tes HIV klien. Secara khusus,
konseling pretes HIV bertujuan untuk:
a. Mendorong orang untuk memahami praktek seksual yang lebih aman, baik
yang menjalani tes HIV maupun yang tidak.

b. Memastikan bahwa seseorang telah memahami kekurangan dan implikasi


hasil tes sebelum memutuskan untuk melakukan tes HIV.
c. Mempersiapkan/membantu seseorang dalam menghadapi hasil tes dengan
sikap yang baik bila terbukti terinfeksi HIV. Namun bila hasilnya negatif,
dapat mengarahkan klien untuk menjaga agar tetap negatif.
Dalam hal ini konselor membutuhkan informasi dari klien mengapa ia
memutuskan melakukan tes, membahas dan memperbaiki kesalahan
pengetahuan klien tentang IMS/HIV, penilaian risiko tertular HIV, makna tes,
dampak tes, jaminan kerahasiaan dan kesediaan klien untuk tes. Keputusan
untuk melakukan tes haruslah merupakan keputusan yang dibuat setelah klien
memperoleh penjelasan yang cukup (informed consent). Memberikan
persetujuan berarti klien sudah memahami implikasi hasil pemeriksaan.
Langkah-langkah konseling pretest HIV:
1. Menjalin hubungan.
2. Menilai risiko penularan HIV.
a) Menggali alasan mengapa klien ingin melakukan tes.
b) Menggali informasi yang berkaitan dengan perilaku berisiko HIV
misalnya perilaku seksual (berganti-ganti pasangan, hubungan
genitoanal, genitovaginal tanpa kondom), jarum suntik, transfusi
darah, terpapar tatoo/tindik, akupuntur.
c) Mengulas riwayat kesehatan klien minimal 5 bulan terakhir.
3. Memberi informasi umum tentang tes HIV.
a) Kerja HIV terhadap sistem kekebalan tubuh.
b) Pengertian tes HIV.
c) Makna hasil tes.
d) Ketepatan tes.
e) Proses pelaksanaan tes.
f) Jaminan anonimitas dan kerahasiaan.
4. Memberi informasi tentang pengobatan yang tersedia.
5. Memberi informasi tentang masa jendela (window period).
Tekankan kemungkinan kapan klien terpapar HIV, dan kapan tes HIV
sebaiknya dikerjakan.
6. Memberi informasi tentang penurunan risiko penularan HIV. Misalnya
penggunaan kondom, monogami, abstinensia dll.
7. Memberitahu kepada pasangan, seandainya hasil tes positif.
8. Mengatur strategi dalam menghadapi tes HIV.
a) Dalam masa menunggu hasil tes.
b) Menggali kemampuan klien menghadapi situasi menekan pada masa
lalu.
c) Menginformasikan jaringan dukungan sosial yang tersedia.

d) Menginformasikan jaringan rujukan pelayanan yang tersedia.


9. Menghimbau klien untuk konseling ulang.
a) Menganjurkan klien untuk kembali mengambil hasil tes.
b) Menjelaskan alasan-alasan mengapa klien harus kembali untuk hasil
tesnya (misalnya untuk mendapatkan informasi pengobatan dan
perawatan bila hasilnya positif, untuk merasa lega bila tidak terinfeksi,
untuk memperoleh informasi penting berkaitan dengan perilaku risiko
tertular pada masa lampau, sekarang ataupun masa depan)
Konseling Postes (Hasil Tes Negatif)
a. Mengembangkan hubungan dengan klien terutama untuk mengecek status
mental/kesiapan klien.
1. Bagaimana perasaan Anda selama menunggu hasil tes?
2. Apa yang Anda kerjakan selama menunggu hasil tes?
b. Membacakan Hasil Tes.
1. Tanyakan dulu apakah ada pertanyaan yang ingin diajukan oleh klien.
2. Bacakan hasil tes bila klien ingin segera tahu hasilnya, tetapi bila klien
masih bingung, konselor harus memberi perhatian dengan menanyakan
kembali kesiapannya.
3. Bacakan dengan nada datar, mulai dengan identitas klien, jangan
menambah komentar, jangan menunjukkan ekspresi muka tertentu, dan
jangan tergesa-gesa.
4. Menunggu reaksi klien dengan cara berdiam diri kurang lebih selama
15-30 detik.
c. Integrasi Hasil Tes.
1. Integrasi kognitif, maksudnya mengetahui pemahaman klien tentang
masalah HIV sehubungan dengan hasil tesnya.
a) Menanyakan pemahaman klien terhadap arti tes negatif.
b) Memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam pemahaman arti tes
negatif dengan menggunakan bahasa yang sederhana.
c) Tekankan bahwa hasil tes negatif bukan berarti klien kebal
terhadap penularan.
2. Integrasi emosional, yaitu memahami pengaruh hasil tes terhadap
kehidupan emosional klien.
a) Memahami dampak hasil

tes

terhadap

kehidupan

klien.

Bagaimana dampak hasil tes terhadap kehidupan Anda?


b) Memeriksa dan menormalisasi perasaan klien terhadap hasil tes.
Bagaimana perasaan Anda setelah mengetahui hasil tes?
Memang ini adalah hal yang menakutkan.

c) Membiarkan klien mengungkapkan perasaannya. Konselor sebagai


pendengar, berusaha menciptakan suasana yang nyaman, penuh
perhatian pada kondisi emosional klien.
3. Integrasi perilaku, pengertiannya adalah memahami rencana perilaku
setelah hasil tes diterima.
a) Memahami rencana dan komitmen klien terhadap rencana
pencegahan dan penurunan risiko HIV, misalnya penggunaan
kondom, perilaku seksual yang aman, penggunaan jarum suntik
yang aman.
b) Mendorong klien untuk berperilaku lebih sehat dan mau
mengurangi

perilaku

berisiko

terhadap

HIV.

Misalnya

menghilangkan stres dengan menjalankan kegiatan/hobi seperti:


olah raga, membaca, dan menulis.
c) Mendorong klien untuk mengurangi kebisaaan buruk seperti
minum alkohol, memakai obat bius (lihat hal-hal khusus).
d) Menerapkan makan sehat/menu berimbang.
e) Menjelaskan kemungkinan terpapar HIV (lihat hal-hal khusus).
f) Memberitahukan tempat rujukan bila klien merasa membutuhkan
(lihat hal-hal khusus).
Hal-hal khusus bagi klien dengan status HIV negative:
a. Penilaian kebutuhan tes ulang.
1. Melakukan penilaian untuk menentukan tingkat risiko penularan
HIV dalam masa 6 bulan mendatang.
2. Memotivasi klien agar mau melakukan tes ulang dalam masa 6
bulan mendatang, terutama bila klien masih mempunyai kebisaaan
berperilaku berisiko.
b. Penilaian kemungkinan tetap negatif
1. Menanyakan apa rencana klien untuk tetap negatif.
2. Menggali pengetahuan klien tentang pedoman penurunan risiko
penularan.
c. Mendiskusikan dan menerangkan/memperagakan penggunaan kondom
yang benar. Dengan mendorong klien agar bersedia melakukan seks
aman.
d. Penggunaan dan penyalahgunaan obat.
1. Menyelidiki sejarah penggunaan obat dan alkohol serta tingkat
penggunaannya saat ini.
2. Menjelaskan bahaya dalam keadaan di bawah pengaruh obat dan
alkohol.

3. Membahas

pentingnya

membersihkan

jarum

suntik

atau

penggunaan jarum suntik dalam praktek narkoba.


e. Menghadapi perasaan bersalah
1. Menilai kemungkinan adanya rasa bersalah pada klien, bila klien
menunjukkan perasaan sedih, resah, marah atau tidak percaya
terhadap hasil tes.
2. Membiarkan klien

mengekspresikan

rasa

keingintahuannya,

konselor hanya mendengar tanpa menilai.


3. Membantu klien dalam upaya mencari dukungan dan rujukan.
f. Perilaku berisiko tinggi
1. Ada klien yang mempunyai perilaku berisiko sangat tinggi namun
hasil tesnya negatif sehingga sering menimbulkan dilema bagi
klien.
2. Menilai apakah klien masih tetap berperilaku berisiko dan sulit
mengubahnya. Persiapkan langkah-langkah dalam perubahan
perilaku.
3. Menganjurkan klien untuk tes ulang setelah 6 bulan. Bila hasilnya
konsisten negatif 2 kali berturut-turut, jangan gegabah mengikuti
keinginan klien untuk tes ulang lagi. Konselor harus waspada
terhadap kemungkinan klien menggunakan tes hanya untuk
mengetahui kapan ia terinfeksi dan bukan strategi perubahan
perilaku.
4. Menjelaskan hasil negatif bisa terjadi dalam masa periode jendela.
5. Bila klien merasa kurang yakin dengan hasil tes yang ada, jelaskan
metode tes yang dipakai saat ini dan tersedia, misalnya PCR. Bila
klien menginginkan untuk tes ulang, rujuklah klien ke tempat tes
yang mempunyai layanan tersebut.
Hal-hal khusus bagi klien dengan status HIV positif:
Konseling postes HIV dengan hasil positif mempunyai tingkat
kesulitan yang cukup tinggi. Diperlukan keterampilan khusus dalam
menangani klien dengan hasil positif, terutama pada awal klien
mengetahui dirinya positif, di mana reaksinya bisa sangat tidak terduga
(lihat reaksi/respon klien setelah tahu HIV positif). Bagaimana berita
terinfeksi HIV diterima atau ditanggapi oleh klien sering tergantung dari
kondisi-kondisi seperti:

1. Kesehatan fisik klien, di mana klien dengan kondisi kesehatan fisik


yang lebih baik, tampaknya akan lebih benar dalam memberikan
reaksi/tanggapan.
2. Kesiapan mental klien menerima berita tersebut, karena klien yang
belum siap sama sekali akan bereaksi sangat berbeda.
3. Dukungan/penerimaan orang-orang di sekitar klien, misalnya tidak ada
diskriminasi dalam pekerjaan, kehidupan keluarga/masyarakat.
4. Keadaan psikologis/kepribadian klien sebelum pemeriksaan. Bila
sebelum pemeriksaan diketahui klien sudah bermasalah dengan
kejiwaannya, konselor harus lebih berhati-hati dalam memberikan
hasil tes, dan bersiap menghadapi reaksi klien yang mungkin sangat
tidak terduga.
5. Nilai budaya/spiritual yang terkait dengan AIDS, kesakitan dan
kematian. Bila ada kepercayaan adanya kehidupan dibalik kematian,
atau kematian menuju kehidupan maka HIV positif bisa diterima
dengan lebih tenang. Tetapi pada kepercayaan bahwa HIV adalah
kutukan Tuhan, perilaku penghinaan terhadap Tuhan maka HIV positif
bisa berhubungan dengan perasaan bersalah dan penolakan.
Langkah-langkah konseling:
Langkah-langkah konseling mempunyai beberapa persamaan dengan
konseling pada hasil tes negatif, sehingga pada bagian yang sudah sama
tersebut tidak dijelaskan kembali dan bisa dilihat di bagian sebelumnya.
a. Menjalin hubungan.
b. Membacakan hasil tes.
c. Integrasi hasil tes:
1. Integrasi kognitif.
2. Integrasi emosional.
3. Tindak lanjut medis:
d. Mengingatkan klien bahwa hasil positif tidak selalu disertai gejala
sehingga tidak perlu pengobatan.
e. Mengingatkan bahwa infeksi HIV tidak membunuh segera dan ada
berbagai alternatif terapi untuk menghadapinya.
f. Menganjurkan klien ke dokter yang kompeten di bidang ini dengan
alasan:
1. perawatan dan pengobatan terbukti membantu untuk tetap sehat,
2. ada cara-cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh,
3. bisa mengetahui perkembangan virus dalam darah,
4. bisa mengetahui apakah ada infeksi sekunder.
g. Memahami status keuangan klien, apakah punya asuransi.

h. Membuat rujukan sesuai kompetensinya secara tertulis.


i. Menegaskan bahwa perawatan kesehatan sangat penting sebab bisa
memperpanjang waktu kemungkinan menjadi AIDS.
j. Menyediakan rujukan bagi klien wanita hamil dan HIV positif.
k. Integrasi perilaku.
l. Integrasi Interpersonal:
1. Membahas dengan klien tentang potensi dampak yang akan terjadi
bila hasil tes diberitahu kepada orang lain. Misalnya: Apakah
pernah terpikir oleh Anda untuk memberitahu hasil tes Anda?,
Kepada siapa saja Anda berniat memberitahukan hasil tes Anda?,
2. Membantu klien mengembangkan rencana untuk meningkatkan
dukungan dan mengurangi dampak negatif terhadap diri klien.
Pemberitahuan kepada pasangan:
m. Memahami perilaku seksual atau penggunaan narkotik injeksi
pasangan klien, dan lihat kemungkinan klien memberitahu hasil tes
pada pasangannya.
n. Mendorong
klien

untuk

memberitahu

pasangannya

bila

memungkinkan, tetapi bila tidak, bahaslah cara terbaik untuk


memberitahu pasangan. Misalnya perlu pihak lain yang dipercaya
untuk memberitahu.
K. Etika pada Pasien AIDS
Penyakit HIV AIDS merupakan isu etik manajemen informasi kesehatan
yang sensitif. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang
menyerang

sistem

kekebalan

tubuh

manusia

dan

kemudian

dapat

menimbulkan AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah


suatu kondisi medis berupa kumpulan tanda dan gejala yang diakibatkan oleh
menurunnya atau hilangnya kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV, sering
berwujud infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan belum ditemukan
vaksin serta obat penyembuhannnya. Kewajiban etik yang utama dari
professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah melindungi privasi dan
kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga
kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga
kesehatan adalah privacy, confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti
menghormati hak privacy pasien, confidentialty berarti kewajiban menyimpan

informasi kesehatan sebagai rahasia, fidelity berarti kesetiaan, dan veracity


berarti menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran.47
Menurut Permenkes RI No. 269 tentang rekam medis pasal 10 , hal yang
harus diperhatikan bagi profesional MIK dalam pengelolaan informasi pasien
adalah47:
1. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya
oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan
pimpina sarana pelayanan kesehatan
2. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal :
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien;
b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum perintah pengadilan;
c. Permintaan dan / atau persetujuan pasien sendiri;
d. Permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan perundangundangan dan;
e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang
tidak
menyebutkan identitas pasien.
Pengelolaan informasi pasien HIV AIDS di tempat kerja juga diatur
Menurut Kepmenaker No. KEP. 68/MEN/IV/2004 tentang pencegahan dan
penanggulangan HIV AIDS.48

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Laki-laki, 51 tahun mengalami AIDS.

DAFTAR PUSTAKA
1. Longe, Jacqueline L., Blanchfield, Deirdre S. The Gale Encyclopedia of
Medicine. 2nd Ed. Vol. 1. Gale Group: Thomson Learning. 2002.
2. EACS. European AIDS Clinical Society Guidelines, version 7.0. Oct 2013.
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis HIV AIDS. Pusat data dan
informasi kementerian kesehatan RI; 2014.
4. Unicef Indonesia. Respon terhadap HIV & AIDS. Oktober 2012. Di unduh
dari : http://www.unicef.org/
5. World Health Organization (WHO). 2007. Who Case Definitions of HIV For
Surveillance and Revised Clinical Staging And Immunological Classification
of HIV-Related Disease In Adults And Children. Geneva : WHO Press.
6. Centers for Disease Control and Prevention. HIV/AIDS Surveillance Report,
2006. Atlanta:. Vol. 18. 2008
7. Mitchell RN, Kumar V, 2007. Penyakit Imunitas. In: Kumar V, Cotran RS,
Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 1 Eds.7. Jakarta: EGC;
2007.
8. Miedema, Frank, et al. Immune activation and collateral damage in AIDS
pathogenesis. Front Immunol. 2013; 4(298): 1-14.
9. Laga M, Nzila, N Goeman, J 1991.The interrelationship of sexually
transmitted disease and HIV infection : Implications for the control of both
epidemic s in Africa . AIDS 5( Suppl1). 2011. S55-S56.

10. [Guideline] EACS. European AIDS Clinical Society Guidelines, version 7.0.
Oct 2013.
11. [Guideline] WHO. World Health Organization. HIV/AIDS Programme: WHO
Case Definitions Of Hiv For Surveillance And Revised Clinical Staging And
Immunological Classification Of HIV-Related Disease In Adults And
Children. 2007.
12. Centers for Disease C, Prevention. Sexual transmission of hepatitis C virus
among HIV-infected men who have sex with men--New York City, 20052010. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Jul 22 2011;60(28):945-950. Available
at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21775948.
13. CDC. HIV prevention bulletin: medical advice for persons who inject illicit
drugs - May 9, 1997.
14. Mitchell RN, Kumar V. Buku Ajar Patologi: Penyakit Imunitas. Volume 1.
Edisi.7. Jakarta: EGC; 2007.
15. Barakbah, Pohan, Sukanto, Martodihardjo, Agusni, Lumintang, et al. Atlas
Penyakit Kulit dan Kelamin: Acquired Immuno Deficiency Syndrome.
Surabaya: Airlangga University Press; 2007.
16. Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual: AIDS. Surabaya:
Airlangga University Press; 2008.
17. World Health Organization, Global health Sector Strategy on HIV/AIDS
2011-2015, Geneva, WHO Library Cataloguing-in-Publication Data
18. Wiktor SZ, Ekpini E, Karon JM, Nkengasong J, Maurice C, Severin ST, et al.
Short course oral zidovudine for prevention of mother-to-child transmission of
HIV-1in Abidjan. Cote dIvoire: a randomized trial. Lancet 1999; 353: 781785.
19. The International Perinatal HIV Group NEJM 1999; 340:9770. The European
Mode of Delivery Collaboration. Lancet 1999; 353:1035.
20. Taha TE, Biggar RJ, Broadhead L, MtimavalyeLAR, Miotti PG,, Justesen AB
et al. Effect of cleansing the birth canal with antiseptic solution on maternal
and newborn morbidity and mortality in Malawi: clinical trial. BMJ, 1997;
315:216-220.
21. Gallard P ,Mwanyumba F, Verhofstede C, Claeys P, Chohan V, Goetghebeur,E,
et al.. Vaginal lavage with chlorhexidine during labour to reduce mother-tochild transmission: clinical trial in Mombasa, Kenya. AIDS, 2001; 15:389-396

22. Biggar RJ, Miotti PG, Taha TE, Mtimavalye L, Broadhead R, Justesen A, et al.
Perinatal intervention trial in Africa: effect of a birth canal cleansing
intervention to prevent HIV transmission. Lancet 1996; 347: 1647-1650.
23. Bennett, Nicholas John. HIV Disease. (Terakhir diperbaharui: 20 Maret 2014).
(dikutip 24 Maret 2014). Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com
24. Reynolds SJ, Makumbi F, Newell K, et al. Effect of daily aciclovir on HIV
disease progression in individuals in Rakai, Uganda, co-infected with HIV-1
and herpes simplex virus type 2: a randomised, double-blind placebocontrolled trial. Lancet Infect Dis. Jun 2012;12(6):441-8. [Medline]. [Full
Text].
25. Barclay L. HIV: guidelines stress role of primary care in management.
Medscape Medical News [serial online]. November 14, 2013; diakses 24
Maret 2014. Tersedia dari : http://www.medscape.com
26. Rang, H. P., M. M. Dale, J. M. Ritter, and R. J. Flower. Pharmacology.
London: Elseviers Health Sciences Rights Department, 2011.
27. Bennett, Nicholas John. HIV Disease. (Terakhir diperbaharui: 20 Maret 2014).
(dikutip 24 Maret 2014). Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com
28. Widoyono. HIV-AIDS. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
29. Japiassu AJ, et al. Prevalence and prognosis of organ dysfunctions of AIDS
critically ill patients. Critical Care; 2013.
30. Gunung, I Komang, dkk. Buku pegangan konselor HIV AIDS, Macfarlane
Burnet Institute for Medical Research and Public Health Limited, 2003,
www.burnet.internationalhealth.edu.au.
31. Tanto, Chris. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 4. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014.
32. Centers for Disease Control and Prevention. 2015. HIV Transmission.
http://www.cdc.gov/hiv/basics/transmission.html
33. AIDSinfo. 2015. HIV Prevention. https://aidsinfo.nih.gov/educationmaterials/fact-sheets/20/48/the-basics-of-hiv-prevention
34. Baratawidjaja, K. G & Iris Rengganis. Imunologi Dasar Edisi 11. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2014.
35. Tambayong Jan. Patofisiologi. Jakarta; EGC. 2000.
36. Kumar V, Cotran R, Robbins S. Buku Ajar Patologi Edisi 7 volume 1 Jakarta:
EGC; 2007.

37. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran pathologic basis
of disease. 8th Ed. 2010. Philadelphia : Elsevier.
38. Zubir Z. Konsep Imunodefisiensi. Diakses dari http://ocw.usu.ac.id/ pada
tanggal 19 April 2012 pukul 19.09
39. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. 7th
Ed. 2012. Philadelphia : Elsevier.
40. Arkwright

PD,

Gennery

AR.

Ten

warning

signs

of

primary

Immunodeficiency: a new paradigm is needed for the 21st century. Annals of


the New York Academy of Sciences. 2011; 1238(1): 7-14.
41. Abbas, Abul K. dan Andrew H. H. Lichtman. 2014. Basic Immunology:
Functions and Disorders of the Immune System. Saunders Elsevier.
42. Asj, B. Human Immunodeficiency Virus (HIV). Haaheim, L.R., Pattison, J.R.
A Practical Guide to Clinical Virology Second Edition. England: John Wiley
& Sons Ltd; 2001.
43. Centers for Disease Control and Prevention. 2015. HIV Transmission.
http://www.cdc.gov/hiv/basics/transmission.html
44. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman nasional tatalaksana klinis indeksis HIV
dan terapi antiretrovial pada orang dewada. Jakarta: Bakti Husada; 2011.
45. Argiles, Josep M, et al. Recent Developments in Treatment of Cachexia. In:
Pharma-Nutrition. Springer International Publishing; 2014.
46. Aberg JA, Kaplan JE, Libman H, et al. Primary care guidelines for the
management of persons infected with human immunodeficiency virus: 2009
update by the HIV medicine Association of the Infectious Diseases Society of
America. Clin Infect Dis. Sep 1 2009;49(5):651-681. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19640227.
47. Gunung, I Komang, dkk. Buku pegangan konselor HIV AIDS, Macfarlane
Burnet Institute for Medical Research and Public Health Limited, 2003,
www.burnet.internationalhealth.edu.au.
48. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III
Tahun 2008 tentang Rekam Medis.
49. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No:
KEP.68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
di Tempat Kerja.

Anda mungkin juga menyukai