Japanese encephalitis (JE) merupakan suatu penyakit infeksi virus Japanese Encephalitis yang
ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini merupakan penyebab penyakit radang otak tersering di
sebagian besar Asia dan sebagian Pasifik Barat, termasuk di Indonesia. Sejarahnya, penyakit ini
awalnya ditemukan di Jepang pada tahun 1871 dengan sebutan “summer encephalitis”.
Sebagian besar orang yang terinfeksi virus JE tidak bergejala atau gejala tidak spesifik
menyerupai flu. Tanda dan gejala penyakit radang otak biasanya muncul antara 4-14 hari setelah
gigitan nyamuk (masa inkubasi) dengan gejala utama berupa demam tinggi yang mendadak,
perubahan status mental, gejala gastrointestinal, sakit kepala, disertai perubahan gradual
gangguan bicara dan berjalan. Pada anak, gejala awal biasanya berupa demam, anak tampak
rewel, muntah, diare, dan kejang.
JE bisa menyebabkan kematian. Didapatkan 67.900 kasus JE setiap tahunnya, dengan angka
kematian 20-30% dan mengakibatkan gejala gangguan saraf sisa pada 30-50%. Angka kematian
ini lebih tinggi pada anak, terutama anak berusia kurang dari 10 tahun. Bilapun bertahan hidup,
biasanya penderita seringkali mengalami gejala sisa (sekuele), antara lain gangguan sistem
motorik (motorik halus, kelumpuhan, gerakan abnormal); gangguan perilaku (agresif, emosi tak
terkontrol, gangguan perhatian, depresi); atau gangguan intelektual (retardasi); atau gangguan
fungsi saraf lain (gangguan ingatan/memori, epilepsi, kebutaan).
Penularan virus JE sebenarnya hanya terjadi antara nyamuk, babi, dan atau burung rawa.
Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang terinfeksi.
Biasanya nyamuk ini lebih aktif pada malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat
di persawahan dan area irigasi. Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada
musim hujan. Peningkatan penularan penyakit ini disebabkan beberapa faktor risiko, antara lain:
1) Peningkatan populasi nyamuk pada musim hujan; 2) Tidak adanya antibodi spesifik JE baik
yang didapat secara alamiah maupun melalui imunisasi; 3) Tinggal di daerah endemik JE; serta
4) Perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan digigit oleh nyamuk misalnya tidur tanpa
menggunakan kelambu.
Hingga saat ini masih belum ditemukan obat untuk mengatasi infeksi Japanese Encephalitis.
Walaupun penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan hingga kematian, penyakit ini dapat
dicegah dengan vaksin. Program vaksin terbukti sangat efektif dalam mencegah dan menurunkan
beban akibat dari penyakit ini. Di beberapa negara Asia, seperti Jepang, Cina, Taiwan, Korea,
dan Thailand, program imunisasi sudah diadakan untuk anak-anak sehingga insidensi JE
menurun di beberapa dekade terakhir.
Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional tahun 2016 berupaya mengenalkan vaksin Japanese
Encephalitis ke dalam progam imunisasi nasional dengan menggunakan vaksin Japanese
Encephalitis sebagai bagian dari crash program di daerah paling endemis di Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah melalui Menteri Kesehatan REPUBLIK INDONESIA pada tahun 2017
melaksanakan kampanye dan pengenalan imunisasi JE di Provinsi Bali.
Pelaksanaan kampanye imunisasi JE dilaksanakan dengan sasaran anak usia 9 bulan sampai 15
tahun dan dilakukan di seluruh Provinsi Bali pada tahun 2017. Setelah pelaksanaan program
imunisasi JE di Bali selesai, maka imunisasi JE akan dimasukkan ke dalam imunisasi dasar pada
anak usia 9 bulan,
Vaksin JE yang digunakan merupakan virus hidup yang dilemahkan. Organisasi Kesehatan
Dunia merekomendasikan pemberian dosis tunggal vaksin JE di area endemis. Untuk
perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya. Vaksin JE
direkomendasikan untuk wisatawan yang akan tinggal selama lebih dari 1 bulan di daerah
endemis.
Vaksin pneumokokus pada anak diberikan dalam 3 kali dosis dasar dan 1 kali dosis boosting.
Pada dewasa pemberian vaksin dibagi menjadi dua tahapan. Pertama, vaksin pneumokokus jenis
konjugasi dan selanjutnya diberikan jenis vaksin pneumokokus polisakarida. Sedangkan pada
anak diberikan pada usia di bawah 1 tahun dengan dosis 3 kali, yaitu pada usia 2, 4 dan 6 bulan
(Lihat Jadwal Imunisasi IDAI). Prinsip pemberian vaksin pneumokokus pada anak adalah vaksin
diberikan pada anak usia 2 bulan dengan interval 4 – 8 minggu dan diberikan selama 3 kali.
Vaksin pneumokokus memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan vaksin jenis
lain, seperti vaksin DPT. Tidak ada kontraindikasi absolut memberikan vaksin, hanya saja
pemberian pada bayi yang sedang demam dapat mempengaruhi rasa nyaman bayi. Pemberian
vaksin tersebut ditakutkan akan menimbulkan kekhawatiran orangtua terhadap perjalanan
penyakitnya yang semakin berat padahal tidak terkait imunisasi. Untuk itu, idealnya vaksin
diberikan pada saat kondisi bayi atau anak yang sehat, meskipun kondisi sakit ringan bukan
kontraindikasi pemberian vaksin.
Menurut Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A (K) pemberian vaksin pneumokokus dan HiB akan
menurunkan 50% angka kematian balita akibat pneumonia. Melihat tingginya angka kematian
akibat penyakit pneumokokus, pada tahun 2017 Kementerian Kesehatan akan merintis program
imunisasi pneumokokus untuk seluruh anak Indonesia, yang akan dimulai dari Lombok Timur
sebagai demonstration project.
Semua vaksin yang tercantum dalam jadwal imunisasi IDAI adalah vaksin yang
direkomendasikan oleh IDAI dan Kementerian Kesehatan. Namun untuk saat ini, imunisasi
pneumokokus masih dikelompokan sebagai imunisasi pilihan. Imunisasi pilihan adalah Imunisasi
yang penyediaan vaksinnya belum diberikan secara gratis oleh pemerintah untuk seluruh anak
Indonesia. Untuk mendapatkan vaksin pneumokokus, orangtua dapat menghubungi tempat
praktek swasta, praktek pribadi ataupun rumah sakit terdekat.
Artikel ini dibuat berdasarkan wawancara dengan Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K) di Dept.
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tanggal 27 April 2017.
TETANUS
Vaksin tetanus dapat diberikan sebagai suntikan yang berdiri sendiri, atau sebagai vaksin
kombinasi bersama dengan diptheria dan pertusis.
Tetanus adalah infeksi bakteri pada sistem saraf, juga dikenal sebagai lockjaw. Gejalanya
meliputi kekakuan otot, kesulitan menelan, kejang otot dan kejang. Kematian terjadi pada sekitar
10 hingga 20 persen dari mereka yang terinfeksi, tetapi tingkat kematian lebih tinggi di antara
orang tua.
Difteri adalah infeksi yang menyebabkan penutup tebal di belakang tenggorokan. Ini dapat
menyebabkan masalah pernapasan, gagal jantung, kelumpuhan, dan kematian.
Pertusis adalah infeksi yang juga dikenal sebagai batuk rejan. Ini dapat menyebabkan mantra
batuk parah, muntah dan kesulitan berbicara dan bernafas.1 Hingga 5 persen remaja dan orang
dewasa yang menderita pertusis mengalami komplikasi atau dirawat di rumah sakit akibat
penyakit tersebut.
Semua orang dewasa yang sebelumnya belum diimunisasi dengan setidaknya tiga dosis
tetanus dan vaksin difteri.
Siapa pun yang memiliki cedera atau luka yang mungkin dapat menyebabkan tetanus yang
belum memiliki vaksin dalam 5 tahun terakhir Semua orang dewasa harus memiliki booster Td
setiap 10 tahun.
Vaksin Tdap, juga disebut sebagai vaksin DPT, adalah vaksin yang mengandung tetanus, difteri,
dan pertusis.2
Vaksin DTaP, yang melindungi dari penyakit yang sama, diberikan kepada bayi dan anak-anak.
Vaksin Tdap sekarang direkomendasikan untuk orang dewasa tertentu.
Siapa yang butuh vaksin Tdap? Semua orang dewasa di bawah usia 65 tahun yang belum pernah
menerima vaksin Tdap.
Petugas kesehatan yang bekerja dalam perawatan pasien langsung dan belum menerima
vaksin Tdap Orang dewasa yang melakukan kontak dengan bayi di bawah usia 12 bulan (yaitu
petugas kesehatan, penyedia perawatan anak, orang tua, kakek nenek di bawah usia 65) yang
belum memiliki vaksin Tdap. Untuk kelompok orang ini, Tdap dapat diberikan sesedikit 2 tahun
setelah pendorong Td sebelumnya.
Penjadwalan Vaksinasi
Orang dewasa yang telah divaksinasi tetanus di masa lalu harus menerima booster Td setiap 10
tahun. Jika perlindungan pertusis juga diperlukan, salah satu booster digantikan dengan Tdap.
Jika Anda belum pernah memiliki vaksin tetanus, Anda akan membutuhkan tiga dosis Td. Untuk
orang dewasa yang berusia antara 18 dan 64 tahun, satu dari tiga dosis tersebut dapat diganti
dengan Tdap.
Anak-anak divaksinasi terhadap tetanus, difteri, dan pertusis mulai dua bulan. Vaksin DTaP
hanya digunakan pada anak-anak, dan mereka diberikan total lima dosis antara usia 2 bulan dan
5 tahun.
Siapa pun yang pernah memiliki reaksi anafilaksis sebelumnya terhadap vaksin ini atau apa pun
yang ada di dalamnya tidak boleh mendapatkan suntikan tetanus, dan siapa pun yang memiliki
riwayat ensefalopati dalam waktu 7 hari setelah menerima vaksin DTP atau DTaP.
Anda pernah mengidap Sindrom Guillain-Barre setelah menerima vaksin apa pun.
Kamu hamil. Vaksin-vaksin ini dianggap aman pada trimester kedua dan ketiga kehamilan.
Rasa sakit
Demam
Sakit kepala
Kelelahan
Nyeri yang dalam dan pegal-pegal di otot-otot di tempat injeksi 2 sampai 4 hari setelah
pemberian vaksin (jarang, tetapi serius)
Jika Anda memiliki reaksi serius terhadap vaksin, hubungi penyedia layanan kesehatan Anda
atau segera kunjungi dokter. .