Anda di halaman 1dari 12

Tugas Bangsal Neurologi Junior

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS

Oleh :

Suranti

Pembimbing: DR. dr. Tjipta Bahtera,SpA(K) dr. Alifiani Hikmah P,SpA(K) dr. Tun Paksi S, Msi.Med,SpA

SUB BAGIAN NEUROLOGI ILMU KESEHATAN ANAK FK UNDIP/ RSUP Dr. KARIADI SEMARANG 2012

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS

Definisi dan Etiologi Ensefalitis adalah infeksi otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu virus, bakteri, jamur dan protozoa. Sebagian besar kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 3550% dengan gejala sisa pada pasien hidup 20-40%.1 Beberapa mikroorganisme yang paling sering menyebabkan ensefalitis adalah herpes simpleks, arbovirus, Eastern dan Western Equine St Louis encephalitis.2 Penyebab tersering dan terpenting ensefalitis adalah virus. Berbagai macam virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala kurang lebih sama dan khas, akan tetapi hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.1, 2 Infeksi Herpes simpleks pada susunan syaraf pusat (SSP) merupakan infeksi SSP yang paling berat dan sering menyebabkan kematian. Angka kematian 70% dan hanya 2,5% pasien kembali normal bila tidak diobati. Ensefalitis herpes simpleks (EHS) mendapat perhatian khusus karena dapat diobati, dengan keberhasilan pengobatan tergantung pada diagnosis dan waktu memulai pengobatan. EHS biasanya merupakan penyebab non epidemik, sporadik ensefalitis fokal akut. 1, 2 Virus herpes simpleks (VHS) terdiri dari 2 tipe, yaitu VHS tipe-1 dan VHS tipe-2. VHS tipe-1 biasanya berhubungan dengan infeksi herpes daerah orofasial sedangkan VHS tipe-2 berhubungan dengan infeksi herpes daerah genital. VHS tipe-1 menyebabkan ensefalitis terutama pada anak dan orang dewasa, sedangkan VHS tipe2 menyebabkan infeksi terutama pada neonatus. EHS dapat terjadi pada semua umur, tetapi kira-kira 20% terjadi pada usia di bawah 20 tahun dan setengahnya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.2, 3 Keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simpleks tergantung pada diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Pasien yang tidak diberikan antivirus atau pengobatannya terlambat angka kematiannya cukup tinggi. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan pengobatan harus dini, dan inilah yang merupakan masalah,
2

karena untuk membuat diagnosis pasti perlu waktu dan fasilitas yang cukup. Diagnosis dini adalah saat yang menentukan, karena penyakit ini dapat diobati dengan antivirus.1 Patogenesis dan Patofisiologi Infeksi virus pada susunan syaraf pusat, dengan sedikit pengecualian, sulit didiagnosis. Walaupun demikian, munculnya pengobatan antiviral telah menghasilkan banyak perhatian terhadap diagnosis dan terapi infeksi susunan syaraf pusat, terutama ensefalitis herpes simpleks (EHS).4 Ada 2 bentuk ensefalitis, yaitu infeksi primer dan infeksi post/para infeksi. Ensefalitis primer merupakan hasil dari invasi langsung agent pada susunan syaraf pusat, dan bagian otak yang sering diserang adalah substantia grisea. Ensefalitis post/parainfeksi mempunyai manifestasi klinik seperti ensefalitis primer, tetapi tidak disebabkan infeksi SSP secara langsung, sebagai akibat dari infeksi di tempat lain. Pada post/para ensefalitis efek kelainan neurologis terjadi sebagai akibat respon imun, dan sering menyerang substantia albae.5 Ensefalitis sering merupakan komplikasi yang tidak umum dari suatu infeksi virus. Secara umum virus masuk ke dalam susunan syaraf pusat melalui 2 route, yaitu hematogen dan neuronal. Penyebaran secara hematogen merupakan penyebaran yang paling umum. Sedangkan penyebaran secara neuronal, terutama terjadi pada ensefalitis karena herpes simpleks. Pada ensefalitis virus akut, inflamasi kapiler dan endotel pada pembuluh darah korteks merupakan temuan patologi yang mencolok yang ditemukan secara primer pada substansia grisea atau perbatasan antara substantia grisea-alba (gray-white junction). Infiltrasi limphosit pada perivaskuler menghasilkan :4 1. Perpindahan virus secara pasif, melewati endotel pada pinocytotic junctions plexus choroid. 2. Replikasi aktif virus pada sel endotel. Dapat dijumpai pula adanya infiltrasi limfosit dan neuronofagia pada substantia grisea. Secara histopatologi, secara mencolok ditemukan adanya

astrocytosis dan gliosis. Selain itu, pada infeksi herpes ditemukan adanya gambaran histopatologi yang unik, yaitu adanya inklusi intranuklear Cowdry tipe A.4
3

Infeksi susunan syaraf pusat yang menyebar secara neuronal, terutama terjadi pada ensefalitis herpes simpleks, yang berasal dari infeksi di perifer. Infeksi herpes simpleks pada SSP akan menyebabkan terjadinya infeksi litik sel neuron dan menyebabkan nekrosis perdarahan dalam otak.6 Infeksi VHS tipe-1 ditularkan melalui jalan nafas dan ludah (droplet). Infeksi primer biasanya terjadi pada anak dan remaja. Biasanya berupa subklinis atau berupa stomatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. VHS tipe-1 dapat menyebabkan ensefalitis pada semua umur, tetapi terbanyak pada umur lebih dari 20 tahun, sehingga muncul dugaan ensefalitis terjadi akibat reaktivasi endogen infeksi virus daripada infeksi primer. Kelainan neurologis yang muncul merupakan komplikasi dari reaktivasi.2 Patogenesis terjadinya infeksi herpes simplek pada manusia masih belum banyak diketahui. Virus dapat mencapai jaringan otak dengan cara retrograde transport melalui syaraf trigeminus dan olfactorius, karena reaktivasi infeksi herpes di tempat lain. Cara ini memungkinkan virus terhindar dari sistem imun tubuh karena berjalan di dalam neuron. Dan hal ini diduga sebagai alasan, mengapa lobus yang terkena kebanyakan adalah lobus temporalis, bagian otak yang mendapat percabangan dari syaraf Olfactorius.2, 5 Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa tahun kemudian, rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi, yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis, dan virus dapat mencapai otak melalui cabang syaraf trigeminal ke basal meningen, menyebabkan lokalisasi dari ensefalitis di daerah temporal dan lobus frontalis orbital. Penelitian serologis mendapatkan bahwa kira-kira 25% dari kasus dengan ensefalitis herpes simpleks, ensefalitis terjadi sebagai akibat primer. Pada percobaan menunjukkan bahwa ensefalitis dapat terjadi karena penyebaran virus melewati bulbus olfaktori ke lobus frontal orbital dan akhirnya ke lobus temporal.2 Setelah virus mencapai otak, bisa terjadi 2 proses, yaitu replikasi virus intraneuron dan transmisi virus intraseluler maupun interseluler.4,
7

Secara cepat

neuron mengalami proses lisis dan hemoragik. Bagian otak yang terkena sangat difus dengan petekie dan nekrosis, yang terjadi secara asimetri yaitu pada medial lobus temporal dan frontal inferior. Menurut Wasay, dkk. kelainan pada lobus temporal
4

terjadi pada 60% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks. Lima puluh lima persen pasien memperlihatkan kelainan temporal dan ekstratemporal, dan 15% pasien menunjukkan kelainan ekstratemporal. Keterlibatan ganglia basalis, cerebellum dan batang otak tidak umum terjadi.5, 7 Mekanisme terjadinya kerusakan sel belum jelas diketahui, tetapi kemungkinan terjadi keterlibatan imune mediated process, baik langsung maupun tidak langsung. Kemampuan HSV tipe-1 untuk menginduksi apoptosis (kemampuan bunuh diri) sel neuron, yang tidak dimiliki oleh HSV tipe 2, mungkin dapat menjelaskan mengapa HSV tipe 1 menyebabkan ensefalitis herpes simpleks pada pasien immunokompetent anak dan dewasa.7 Gambaran nyata kerusakan jaringan otak daerah temporal diperoleh dari hasil penelitian autopsi imunohistologi pasien dengan ensefalitis herpes simpleks beberapa hari hingga beberapa minggu setelah mendapatkan asiklovir. Hal yang penting adalah bahwa penyebaran cepat infeksi virus pada struktur limbik, mungkin dimulai dari satu sisi otak kemudian menyebar ke sisi tersebut dan sisi lain, berlangsung sampai 3 minggu dan menghasilkan nekrosis dan inflamasi pada sel otak yang terkena.7 Faktor yang menjadi pencetus terjadinya ensefalitis herpes simpleks tidak diketahui dengan jelas. Walaupun kejadian ensefalitis herpes simpleks sering terjadi pada penderita dengan immunocompromised, tetapi infeksi ini tidak menyebabkan penurunan sistem imun. HSV tipe 2 mungkin bisa menyebabkan ensefalitis herpes simpleks pada pasien HIV-AIDS.7 Ensefalitis herpes simpleks merupakan infeksi herpes simpleks primer pada 1/3 kasus, sisanya terjadi pada pasien yang sudah mengalami infeksi herpes simpleks sebelumnya yang mengalami reaktivasi, baik itu infeksi herpes simplek perifer di bulbus olfactorius atau ganglion trigeminal maupun di sel otak. Beberapa pasien dengan infeksi herpes simpleks tanpa gejala neurologis mungkin mengalami ensefalitis herpes simpleks laten di otak. Pada studi postmortem, ensefalitis herpes simpleks terjadi di otak pada 35% pasien tanpa gejala/penyakit neurologis hingga penderita meninggal.7

Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus bisa terjadi sebagai infeksi susunan syaraf pusat yang berdiri sendiri atau sebagai bagian dari penyakit multiorgan yang menyebar. Selain itu, Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus bisa terjadi secara primer maupun rekuren dari infeksi sebelumnya, dan biasanya merupakan infeksi HSV-1. EHS pada neonatus biasanya karena infeksi VHS tipe-2 yang diperoleh bayi saat melalui jalan lahir dari ibu yang menderita herpes genital aktif. Pernah juga dilaporkan terjadinya infeksi intrauterin. Ensefalitis herpes simpleks intrauterin mempunyai prognosis lebih buruk.7, 8 Diagnosis Diagnosis ensefalitis herpes simpleks ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut.1 Dari anamnesis, didapatkan adanya gejala fase prodromal yang tidak khas menyerupai influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis yaitu demam tinggi, kejang dan penurunan kesadaran. Selain itu didapatkan adanya sakit kepala, mual, muntah atau perubahan perilaku.1, 6 Dari pemeriksaan fisik, didapatkan adanya penurunan kesadaran berupa sopor-koma sampai koma (40% kasus) dan gejala peningkatan tekanan intrakranial. Koma adalah faktor prognostik yang sangat buruk. Pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. Kematian biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama. Hampir 80% memperlihatkan gejala neurologis fokal berupa hemiparesis, yang merupakan manifestasi fokal yang penting, paresis nervus kranialis, kehilangan lapangan penglihatan, afasia dan kejang. Kejang bisa terjadi secara umum maupun fokal. Harus diingat bahwa kejang umum dapat diawali kejang fokal yang berkembang menjadi kejang umum. Bila kejang fokal terjadi sangat singkat, orang tua sering tidak mengetahui. Pada beberapa kasus dapat dijumpai adanya ataksia, gangguan fungsi otonom, kaku kuduk dan papil edema. 1, 2, 7 Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastik, hiperrefleks, refleks patologis dan klonus).2, 6

Kelainan fokal menunjukkan predileksi virus herpes simpleks menyerang otak regio frontotemporal. Gejala klinik ensefalitis herpes simpleks dapat terjadi progresif, ditandai dengan kejang yang refrakter, koma, peningkatan tekanan intrakranial dan kematian yang terjadi dalam 2 minggu. Atau pada beberapa kasus bisa terjadi kronisitas, dengan adanya kejang, loss of memory dan perubahan perilaku.6 Ensefalits herpes simpleks pada neonatus terjadi 34% pada bayi dangan infeksi herpes simpleks. EHS pada neonatus dapat disertai dengan tanda invasi VHS, seperti pneumonitis, hepatitis atau disseminated intravascular coagulopathy (DIC). Tetapi 1/3 bayi dengan infeksi herpes simplek mempunyai gangguan pada susunan syaraf pusat. Infeksi VHS dimulai dengan munculnya manifestasi klinik pada minggu kedua sampai ketiga kehidupan, berupa malas minum, perubahan perilaku, demam, letargi. Walaupun demikian, infeksi VHS dapat dimulai pada minggu pertama kehidupan.6

Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus yang progresif menghasilkan kejang, baik fokal maupun umum, paralisis, apneu dan letargi atau koma. Rash vesikuler bisa terjadi pada 1/3 kasus. Infeksi dapat dengan segera menjadi fatal, terjadi kegagalan multiorgan atau berhubungan dengan apneu rekuren, penurunan fungsi bulber dan kejang yang refrakter. Kurang lebih 5% kasus infeksi herpes simpleks pada neonatus merupakan infeksi in-utero dan berhubungan dengan kelainan mikrosefal, katarak, kalsifikasi intrakranial, gangguan pertumbuhn intrauterin dan rash vesikuler.6 Jelaslah bahwa manifestasi klinis EHS sangat tidak spesifik, terutama pada anak, dan diagnosis EHS sangat memerlukan kecurigaan klinis yang kuat. Secara praktis, kita harus memikirkan kemungkinan ensefalitis EHS bila menjumpai anak dengan demam, kejang terutama kejang fokal dan gejala neurologis fokal lain seperti hemiparesis atau afasia denga penurunan kesadaran yang progresif.2 Hasil pemeriksaan penunjang pada ensefalitis herpes simpleks adalah sebagai berikut:1, 6 Gambaran darah tepi tidak spesifik. Jumlah leukosit dapat normal atau sedikit meningkat, kadang-kadang terdapat pergeseran ke kiri. Pemeriksaan cairan serebrospinal memperlihatkan jumlah sel meningkat (90%) yang berkisar antara 10-1000 sel/mm3 dengan predominan limfosit. Pada 50%
7

kasus dapat ditemukan sel darah merah. Protein meningkat sedikit sampai 100 mg/dl sedangkan glukosa normal. Elektroensefalografi (EEG) dapat memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu ditemukan adanya gambaran periodic lateralizing epileptiform discharge atau perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal. Sering juga EEG hanya memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik, yang menunjukkan adanya disfungsi otak menyeluruh. Sensitivitas EEG kira-kira 84% tetapi spesifisitasnya hanya 32,5%. Computed tomography (CT scan) kepala tetap normal dalam 3 hari pertama setelah timbulnya gejala neurologi, kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal. Gambaran agak khas ini terlihat pada 50-75% kasus dan terlihat setelah minggu pertama. Kadang-kadang gambaran hipodens ini meluas sampai lobus occipital. Setelah pemberian kontras, dapat dilihat daerah yang lebih menyangat mengikuti kontur sulkus dan girus, atau membatasi daerah hipodens, atau membentuk suatu cincin. T2-weight magnetic resonance imaging (MRI) dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling cepat 2 hari setelah munculnya gejala. Dapat pula memperlihatkan peningkatan intensitas signal pada daerah korteks dan substansia alba pada daerah temporal dan lobus frontalis inferior. MRI lebih sensitif dan memperlihatkan hasil lebih awal dibandingkan CT-Scan. Polimerase chain reaction (PCR) cairan cerebrospinal dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat. PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap positif selama 2 minggu atau lebih. Pemeriksaan PCR mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan ini lebih cepat dapat dilakukan dan risikonya lebih kecil. Pemeriksaan titer serum darah terhadap IgG-IgM HSV-1 dan HSV-2 dapat menunjang diagnosis walaupun tidak dapat menyingkirkan diagnosis pasti. Titer antibodi terhadap VHS dapat diperiksa dalam serum dan cairan serebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi primer atau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi dalam serum menjadi positif setelah 1 sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan antibodi dalam 2 kali pemeriksaan, fase akut dan fase rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase rekonvalesen merupakan
8

tanda bahwa infeksi VHS sedang aktif. Harus diingat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan bahwa ensefalitis disebabkan oleh VHS. Titer antibodi pada cairan serebrospinal merupakan indikator yang lebih baik, karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak. Sayang sekali bahwa kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering terlambat, dan baru dapat dideteksi pada hari 10-12 stetelah permulaan sakit.

Pada neonatus dengan EHS bisa terjadi peningkatan serum transaminase, hiperbilirubinemia dan tanda DIC. Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya pleiositosis lymphositic dan peningkatan protein. Pada pemeriksaan CT dan MRI ditemukan edema diffus selama fase akut dan diikuti dengan adanya atrofi, kalsifikasi parenkim atau cystic encephalomalacia. Pada EEG didapatkan perlambatan aktivitas.6 Selain pemeriksaan diatas, diagnosis EHS dapat ditegakkan dengan biopsi otak dan isolasi virus dari jaringan otak. Tetapi prosedur ini belum banyak dilakukan, karena risiko bahayanya besar dan masih sedikitnya fasilitas untuk isolasi virus. Kelemahan lain pemeriksaan ini adalah kemungkinan hasil negatif palsu karena biopsi dilakukan bukan pada tempat yang tepat.2 Karena pada bayi, anak dan remaja dengan infeksi herpes simpleks jarang menunjukkan tanda sistemik infeksi, pemeriksaan neurodiagnostik dan PCR cairan cerebrospinal mempunyai peran penting dalam menentukan diagnosis.6, 8 Penatalaksanaan 1. Simptomatik dan suportif Pengobatan simptomatik dan suportif pada EHS sama dengan pengobatan ensefalitis yang lain. Terapi suportif berupa tata laksana hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif. Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standar terapi. Peningkatan tekanan intrakranial dapat diatasi dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kgbb/kali.1
9

2.

Terapi medikamentosa antivirus Perbedaan utama EHS dengan ensefalitis karena infeksi yang lain adalah, pada EHS kita bisa memberikan antivirus yang spesifik. Pemberian antivirus harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah terjadinya nekrosis hemoragik yang irreversibel yang biasanya terjadi 4 hari setelah awitan ensefalitis. Hal ini menimbulkan kesulitan besar karena pada fase awal sulit untuk membuktikan diagnosis. Patokan yang dianut sekarang adalah pengobatan segera diberikan kepada pasien yang dicurigai menderita EHS, kemudian pengobatan dapat dilanjutkan atau dihentikan sesuai konfirmasi hasil laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain.2 Saat ini asiklovir menjadi pilihan pertama pada terapi antivirus EHS. Asiklovir terbukti lebih baik dibanding vidarabin. Preparat asiklovir tersedia dalam 250 mg dan 500 mg. Dosisnya adalah 10 mg/kgbb setiap 8 jam selama 1014 hari, diberikan dalam infus 100 ml NaCl 0,9% minimal dalam 1 jam. Dosis untuk neonatus 20 mg/kgbb setiap 8 jam selama 14-21 hari. 1, 6 Efek samping asiklovir adalah peningkatan kadar ureum dan kreatinin, tergantung kadar obat dalam plasma. Selain itu bisa terjadi hematuria. Pemberian secara perlahan-lahan akan mengurangi efek samping. Kalau terbukti bukan EHS pengobatan dihentikan walaupun belum 10 hari.2, 6 Pada kasus alergi terhadap asiklovir atau VHS resisten, dapat diberikan vidarabin 15 mg/kgbb/hari selama 14 hari.vidarabin telah diteliti dan terbukti menurunkan mortalitas dari 70% menjadi 40%.1 Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke departemen rehabilitasi medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas serta mencegah kontraktur.1

3.

Pemantauan pasca rawat Berdasarkan gejala sisa yang sering ditemukan, pasca rawat pasien memerlukan pemantauan tumbuh kembang. Gejala sisa yang sering ditemui adalah epilepsi,

10

retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pemantauan pasca rawat dilakukan dengan melakukan konsultasi ke departemen terkait sesuai indikasi. Pencegahan Tidak ada pencegahan yang cukup efektif untuk EHS. Penularan antar populasi jarang terjadi dan terapi profilaksis pada populasi yang kontak dengan penderita dan isolasi penderita secara khusus tidak diperlukan. Prognosis Prognosis EHS yang tidak diobati sangat buruk dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan meningkat menjadi 90% dalam 6 bulan. Angka kematian EHV dengan terapi acyclovir berkisar 19-28%. Sequelae yang ditimbulkan tergantung pada usia dan status neurologis penderita saat diagnosis ditegakkan. Gejala sisa lebih sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk. Pasien dengan koma pada saat diagnosis ditegakkan mempunyai prognosis lebih buruk, seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat, tanpa memperhitungkan usia. Pasien dengan kesadaran lebih baik dari koma (nonkomatous), prognosis tergantung usia dengan prognosis yang lebih baik jika usia <30 tahun.2, 6, 7 Status neurologi penderita tanpa defisit atau defisit sangat ringan, 12% defisit sedang dan 42% mengalami defisit berat. Diperkirakan 5-10% penderita yang berhasil hidup akan mengalami kekambuhan dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah terapi selesai. Pada beberapa penderita, kekambuhan disebabkan karena reaktivasi virus, sedangkan yang lain disebabkan oleh immune mediated setelah infeksi ensefalitis.7 Neonatus dengan infeksi herpes simpleks kongenital mempunyai prognosis yang buruk.6

11

DAFTAR PUSTAKA

1.

IDAI. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

2.

Soetomenggolo TS. Ensefalitis herpes simpleks. In: Soetomenggolo TS, Ismail S, editors. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1999. p. 376-80.

3.

Infections of the nervous sysytem. In: Menkes JH, Sarnat HB, editors. Child neurology. 6 ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2000. p. 515-40.

4.

Whitley RJ, Kimberlin DW. Viral Encephalitis. American Academy of Pediatrics. 1999;20:192-8.

5.

Lewis P, Glaser CA. Encephalitis. American Academy of Pediatrics. 2005;26:353-62.

6.

Bale JF. Viral infections of the nervous system. In: Swaiman KF, Ashwal S, editors. Pediatric neurology principle and practice. 3 ed. St. Louis: Mosby; 1999. p. 1001-13.

7.

Anderson WE. Herpes simplex Encephalitis. Medscape. 2011.available from : http://emedicine.medscape.com/article/1165183-overview.

8.

Waggoner-Fountain LA, Grossman LB. Herpes simplex virus. American Academy of Pediatrics. 2004;25:86-92.

12

Anda mungkin juga menyukai