Anda di halaman 1dari 17

Obat Anti Epilepsi Anak

1. Fenobarbital
a. Farmakokinetik
Pada dewasa, fenobarbital secara cepat dan secara total
diabsorpsi dari traktus gastrointestinal dengan bioavailabilitas sebesar
95-100%. Berkebalikan, neonatus yang diberi fenobarbital oral
menunjukkan absorpsi yang tertunda dan tidak komplit (Tmax [waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi serum puncak] 1,5-6
jam). Orang dewasa memiliki Vd (volume distribusi) 0,54-0,73 L/kg
dan protein binding 50-60%. Bayi dan anak-anak memiliki Vd serupa
(0,57-0,70 L/kg). Namun neonatus dan bayi muda memiliki Vd yang
lebih tinggi yaitu sebesar 0,7101,17 L/kg dan protein binding yang
lebih rendah. Konsentrasi fenobarbital serum meningkat sebanding
dengan dosis.1
Sekitar 25% dosis fenobarbital diekskresi secara tidak berubah
dengan variabilitas tergantung subjek. Obat ini dimetabolisasi
sebagian dengan oksidasi melalui CYP2C9 dan lebih sedikit melalui
CYP2C19 dan CYP2E1, dan sebagian dengan N-glukosidasi.1
b. Waktu paruh
Terdapat variasi waktu paruh yang signifikan berdasarkan usia.
Perubahan waktu paruh cepat ditemukan antara 10 hari pasca
kelahiran pertama sebesar 114,2 ± 40,3 jam, melewati hari 11-30
sebesar 73,2 ± 24,2 jam dan berlanjut dari hari 31-70 sebesar 41,2 ±
13,9 jam. Sedikit perubahan ditemukan pada masa anak-anak (37 jam)
tetapi waktu paruh meningkat ketika pasien mencapai masa dewasa
(73-139 jam).1
c. Konsentrasi obat dan efek klinis
Clearance fenobarbital lebih tinggi pada anak, yaitu 5,3-14,1
mL/kg/jam dibandingkan dengan dewasa sebesar 2,1-4,9 mL/kg/jam.
Tidak terdapat data yang menyatakan hubungan antara konsentrasi
fenobarbital serum dengan pengurangan kejang atau toksisitas.
Kisaran rujukan yang biasanya digunakan adalah 10-40 mg/L namun
data ini diperoleh dari orang dewasa.1
Dosis fenobarbital harian adalah sebesar 3-5 mg/kg/hari (<5
tahun) dan 2-3 mg/kg/hari (>5 tahun).2
d. Efek samping
Efek samping seperti mengantuk menjadi lebih sering ketika
konsentrasi serum meningkat dari 30 ke 50 mg/L.1
e. Efek dengan obat lain
Metabolisme fenobarbital diinhibisi oleh felbamat, oxcarbazepin,
fenitoin, stiripentol, dan asam valproat sehingga konsentrasi
fenobarbital serum meningkat dengan pengobatan ini. Obat lain yang
menghambat metabolisme fenobarbital dan meningkatkan konsentrasi
fenobarbital serum mencakup dextropropoxyphene, kloramfenikol,
dan dicoumarol.1

2. Fenitoin
a. Farmakokinetik
Farmakokinetik fenitoin bersifat kompleks akibat adanya absorpsi
yang bervariasi, protein binding yang tinggi, metabolisme tersaturasi,
dan interaksi obat.1
Kecepatan absorpsi dari kapsul bervariasi bergantung pada
apakah produk diberi label sebagai immediate release (Tmax = 1-6
jam) atau extended release (Tmax = 4-12 jam). Tmax mungkin lebih
lanjut diperpanjang ketika diberikan dosis yang lebih besar, atau di
bawah kondisi under steady. Fenitoin 90% terikat pada albumin serum
dan derajat pengikatan menurun dengan adanya hipoalbuminemia dan
pada penyakit tertentu seperti pada insufisiensi renal atau hepar, yang
berhubungan dengan akumulasi komponen endogen yang
menyebabkan lepasnya fenitoin dari situs protein binding plasma.1
Vd fenitoin sebesar 0,7 ± 0,1 L/kg. Kurang dari 5% dosis
fenitoin diekskresikan tidak berubah. Obat ini mengalaman para-
hidroksilasi secara besar, terutama oleh CYP2C9 dan CYP2C19,
menjadi metabolit inaktif. Eliminasi mengikuti farmakokinetik
Michaelis-Menten non linear, seperti laju metabolisme menurun
dengan kenaikan dosis. Sehingga kenaikan dosis dapat menghasilkan
kenaikan konsentrasi serum yang tidak proporsional.1
Populasi umum diperkirakan memiliki Vmax dan Km masing-
masing sebesar 5-9 mg/kg/hari dan 5-6 mg/L. Vmax lebih tnggi pada
anak muda sementara orang dewasa (≥60 tahun) memiliki Vmax
rerata 20% kurang dari dewasa muda.1
b. Waktu paruh
Waktu paruh fenitoin bergantung pada konsentrasi serumnya. Pada
orang dewasa dan lansia, konsentrasi fenitoin sebesar >10 mg/L
dengan waktu paruh 30-100 jam. Pada anak muda atau pasien dengan
trauma kepala waktu paruh obat ini seringkali <10 jam.1
c. Konsentrasi obat dan efek klinis
Beberapa pasien hanya membutuhkan konsentrasi fenitoin yang
rendah untuk mencapai control kejang komplit, sementara orang lain
baru mendapat manfaat dengan dosis lebih dari 20 mg/L tanpa efek
samping. Variabilitas ini dapat disebabkan oleh tipe kejang, tingkat
keparahan penyakit yang mendasari, atau abnormalitas genetik.1
Dosis fenitoin pada anak <3 tahun sebesar 8-10 mg/kg/hari dan
usia >3 tahun sebesar 4-7 mg/kg/hari.2
Sebuah penelitian yang mengamati efek peningkatan konsentrasi
fenitoin pada 20 pasien dengan epilepsi kronik menemukan
pengurangan kejang mayor pada 10 dari 16 pasien ketika konsentrasi
fenitoin ditingkatkan ≥10 mg/L, sementara tidak ada pasien yang
mengalami penurunan kejang minor, termasuk 5 individu dengan
konsentrasi fenitoin antara 10-30 mg/L. kemudian, terdapat gradient
konsentrasi-respon di mana control kejang membaik dengan
konsentrasi yang lebih tinggi, namun dengan konsekuensi peningkatan
efek samping obat.1
Penelitian menunjukkan kontrol kejang biasanya diperoleh
dengan konsentrasi fenitoin total antara 5-30 mg/L untuk dewasa.
Namun anak memiliki waktu paruh yang lebih cepat dengan
konsentrasi fenitoin pada kisaran yang lebih rendah.1
d. Efek samping
Efek samping fenitoin berupa ataksia, diplopia, dan penurunan
kognisi.1
e. Efek dengan obat lain
Administrasi aluminium-magnesium atau antacid dengan
kandungan kalsium mengurangi absorpsi fenitoin. Asam valproat,
tolbutamid, aspirin, dan OAINS menggantikan fenitoin dari situs
pengikatan albumin yang menyebabkan konsentrasi obat total
menurun, sementara konsentrasi obat tidak terikat tetap sama dan
tidak berubah atau bahkan meningkat ketika obat yang menggantikan
situs pengikatan tersebut juga menghambat metabolisme fenitoin.
Karbamazepin dan fenobarbital menghasilkan efek yang bervariasi
dan tidak terduga terhadap konsentrasi fenitoin.1

3. Asam valproat
a. Farmakokinetik
Bioavailabilitas asam valproat hampir komplit untuk segala
formulasi. Nilai Tmax adalah 1-2 jam untuk tablet konvensional dan
larutan, 3-6 jam untuk tablet bersalut enterik dan 10-12 jam untuk
tablet sustained-release. Untuk tablet bersalut enterik, konsumsi
dengan satu porsi makanan dapat menunda onset absorpsi hingga
beberapa jam. Formulasi intravena juga tersedia. Vd asam valproat
sebesar 0,15-0,20 L/kg. Ikatan pada protein serum sebesar 90%.1
b. Waktu paruh
Waktu paruh asam valproat adalah 11-20 jam. Asam valproat
dimetabolisasi komplit terutama pada hepar dengan β-oksidasi,
glukoronidasi, dan jalur lain. Anak-anak membutuhkan dosis dalam
mg/kg yang lebih tinggi untuk mencapai konsentrasi valproat serum
dibandingkan pada orang dewasa.1

c. Konsentrasi obat dan efek klinis


Dosis asam valproat yang disarankan sebesar 15-40 mg/kg/hari. 2
Sebuah studi observasional 100 anak yang diterapi dengan asam
valproat untuk berbagai gangguan kejang, efek klinis optimal diamati
pada konsentrasi serum antara 43-86 mg/L.1
d. Efek samping
Efek samping asam valproat di antaranya adalah penurunan
kesadaran, peningkatan berat badan, kelelahan, nyeri kepala. ESO
yang paling serius mencakup hepatotoksisitas dan pankreatitis.3
e. Efek dengan obat lain
Konsentrasi serum menurun pada pasien dengan komedikasi
penginduksi-enzim, akibat adanya peningkatan metabolisme.
Felbamat, klobazam, dan stirientol dapat meningkatan konsentrasi
asam valproat, sementara ethosuximide, topiramat, dan
methosuximide dapat menurunkan konsentrasi asam valproat. Obat
lain yang dapat menurunkan konsentrasi asam valproat serum adalah
rifampisin, cisplatin, methotrexate, dan karbapenem, sementara obat
yang dapat meningkatan konsentrasi asam valproat adalah isoniazid
dan sertraline.1

4. Karbamazepin
a. Farmakokinetik
Absorpsi karbamazepin cukup lamat, bervariasi, dan dependen
formulasi. Tmax yang mengikuti dosis oral tunggal tablet rilis-sedang,
tablet kunyah, dan suspense berada dalam kisaran 2-9 jam, 1-7 jam,
dan 0,5-4 jam. Bioavailabilitas karbamazepin sebesar 75-85%,
meskipun ketiadaan formulasi injeksi mengurangi ketentuan tepat dari
nilai pasti. Formulasi sustained-release berhubungan dengan absorpsi
yang lebih rendah, dan mungkin memiliki bioavailabilitas yang lebih
rendah daripada bentuk dosis rilis-sedang.1
Karbamazepin 70-80% terikat pada protein serum, terutama
albumin, dan asam glikoprotein alfa1. Vd obat ini sebesar 0,9-1,4
L/kg. Obat ini sebagian besar dimetabolisme dengan kurang dari 2%
dosis oral diekskresikan tidak berubah dalam urin. Jalur metabolic
mayor mencakup oksidasi, terutama oleh CYP3A4, hingga
carbamazepine-10-11-epoxide.1
b. Waktu paruh
Dengan dosis tunggal karbamazepin, waktu paruh pada dewasa dan
anak berada dalam kisaran 18-55 jam dan 3-32 jam. Selama
monoterapi rumatan, dewasa memiliki waktu paruh 8-20 jam
sementara pada anak 10-13 tahun waktu paruh sebesar 10-14 tahun.1
c. Konsentrasi obat dan efek klinis
Belum terdapat trial terkontrol prospektif yang mendefinisikan
kisaran rujukan untuk karbamazepin. Studi observasional dan
retrospektif menyatakan kontrol kejang optimal pada pasien dengan
monoterapi sebesar 4-12 mg/L. Pada pasien yang mendapat OAE lain,
konsentrasi karbamazepin serum yang lebih rendah mungkin
diperlukan, terutama dengan tujuan menekan toksisitas.1
Salah satu pustaka menyarankan dosis karbamazepin harian
yang disarankan adalah sebesar 10-20 mg/kg/hari.2
d. Efek samping
Efek samping karbamazepin di antaranya adalah gangguan system
saraf pusat (pusing berputar, ataksia, kelelahan, diplopia), reaksi alergi
kulit, urtikaria, mual dan muntah, leukopenia, tromositopenia,
gangguan hepat, dan gangguan endokrin dan metabolisme seperti
edema, retensi cairan, peningkatan berat badan, dan hiponatremia.4
e. Efek dengan obat lain
Fenitoin, fenobarbital, dan pirimidon meningkatan clearance
karbamazepin sebanyak dua kali lipat, melalui induksi CYP3A4, dan
mengurasi waktu paruhnya, pada dewasa hingga sekitar 8 jam.1

5. Topiramate
a. Farmakokinetik
Di AS dan Eropa, topiramate pada awalnya disetujui sebagai terapi
tambahan untuk orang dewasa dan pasien anak 2-16 tahun dengan
kejang folak atau GTCS primer dan pada pasien ≥2 tahun dengan
kejang fokal atau GTCS primer.2
Ingesti oral akan diikuti dengan absorpsi topiramate secara cepat
(Tmax 2-4 jam), dengan bioavailabilitas antara 81-95%. Sementara
koingesti makanan menunda absorpsi topiramate selama 2 jam.
Konsentrasi serum maksimal yang dicapai tidak terpengaruh. Vd
topiramate yaitu 0,6-1 L/kg. topiramate hanya 15% berikatan dengan
protein serum, namun memiliki afinitas yang tinggi/kapasitas situs
pengikatan rendah pada eritrosit. Terdapat hubungan yang sejalan
antara dosis topiramate dan konsentrasi serum.
Topiramate dielimiasi lebih cepat pada anak. Peningkatan
clearance pada berbagai penelitian bervariasi dari 25% hingga 170%.1
b. Waktu paruh
Kurang lebih 50% dosis obat ini dimetabolisasi dengan waktu
paruh serum 20-30 jam tetapi pada pasien yang diberi resep OAE
penginduksi-enzim lain secara bersamaan, metabolisme hepatik
topiramate menjadi lebih pentinh. Pada keadaan ini, waktu paruh
topiramate bekurang menjadi 12 jam, terjadi peningkatan clearance,
dan penurunan kosentrasi topiramate serum hinga 50%.1
c. Konsentrasi obat dan efek klinis
Kontrol kejang membaik pada konsentrasi topiramate serum pada
kisaran yang sempit yaitu sebesar 3,5-5 mg/L. Sebuah penelitian
menunjukkan tren konsentrasi topiramate lebih tinggi pada pasien
dengan perbaikan dibandingkan dengan pasien tanpa pengurangan
kejang. Dari beberapa dosis, pustaka menyimpulkan bahwa respon
optimal berada pada konsentrasi serum 2-10 mg/L.1
Salah satu pustaka memberikan rekomendasi dosis 4-6
mg/kg/hari untuk anak.2
d. Efek samping
Efek samping topiramate adalah asthenia, somnolens, afasia,
disartria depresi, halusinasi, ataksia, nyeri kepala, pening, diare,
anoreksia, mual, dan demam.2
e. Efek dengan obat lain
OAE penginduksi-enzim menurukan konsentrasi topiramate serum
hingga 50% sementara asam valproat mengurangi konsentrasi
topiramate sebanyak 10-15 tahun. Clearance topiramate dapat
diturunkan oleh propranolol, amitriptilin, lithium, dan sumatriptan
sehingga konsentrasi serumnya sedikit meningkat.1
Tabel 1. Target molekuler dan indikasi klinis OAE2

OAE Kanal Kanal GABA Glutamat Lain Efikasi Klinis (tipe


+ +
Na Ca kejang/sindrom)
CBZ + Kejang fokal, GTCS

CLB Reseptor Spektrum luas


GABAA

Reseptor
CZP Spektrum luas
GABAA

ETS + Absens
Reseptor
GABAA
PB + Kejang fokal, GTCS,
mioklonik

PHT + Kejang fokal, GTCS


Reseptor
Reseptor
GABAA
VPA Spektrum luas
NMDA

Reseptor
Reseptor
GABAA
FBM + Atonik, tonik, absens
NMDA
atipikal pada LGS
Reseptor
GABAB
GPT + Kejang fokal
Transamina
se GABA
GVG Kejang fokal, spasme
infantil

LEV SV2A Kejang fokal, GTCS,


mioklonik

LTG + + Kejang fokal, GTCS,


absens, spasme infantil

OXC + Kejang fokal, GTCS

PGB + Transporter Kejang fokal


GABA
TGB Kejang fokal
Reseptor
GABAA Kejang fokal, GTCS,
TPM + Anhidrasi mioklonik, spasme
karbonat infantil

ZNS + + Anhidrasi Kejang fokal


karbonat

ESL + Kejang fokal

LCS + Kejang fokal


Reseptor
PER AMPA Kejang fokal

RTG Kanal Kejang fokal


KCNQ

RUF + Kejang fokal, atonik,


tonik pada LGS

STM Anhidrasi Kejang fokal


Reseptor karbonat
GABAA
STP SMEI atau sindrom
Dravet

+ Mengindikasikan mekanisme aksi dari obat tersebut


OAE obat antiepilepsi, AMPA a-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid, CBZ
carbamazepine, CLB clobazam, CZP clonazepam,
ESL eslicarbazepine acetate, ETS ethosuximide, FBM felbamate, GABA c-amonobutyric acid, GPT
gabapentin, GTCS generalized tonic–clonic seizures, GVG vigabatrin, KCNQ potassium voltage-gated
channel, LCS lacosamide, LEV levetiracetam, LGS sindrom Lennox-Gastaut, LTG lamotrigine, NMDA N-
methyl-D-aspartate, OXC oxcarbazepine, PB phenobarbital, PER perampanel, PGB pregabalin, PHT
phenytoin, RTG retigabine, RUF rufinamide, SMEI severe myoclonic epilepsy of infancy, STM sulthiame,
STP stiripentol, SV2A synaptic vesicle protein, TGB tiagabine, TPM topiramate, VPA valproic acid, ZNS
zonisamide
Tatalaksana Rehabilitasi Medik

Rehabilitasi medik merupakan tatalaksana yang tidak dapat dipisahkan

dari suatu tatalaksana komprehensive terhadap suatu disabilitas atau gangguan

fungsional. Terapi rehabilitas medik bertujuan untuk mengembangkan

kemampuan fungsional dan psikologis seorang individu dan mekanismenya

sehingga dapat mencapai kemandirian dan menjalani hidup secara aktif.5

Pertanyaan adanya proses neuroplasticity pada usia muda masih jadi

perdebatan. Data dari beberapa literatur menunjukkan adanya pendapat yang

mendukung atau menolak konsep tersebut, tetapi dalam pengelolaan secara klinis

yang telah diterima secara luas, bahwa : pendekatan terapi yang dilakukan lebih

awal dan usia lebih muda, tampaknya memberikan hasil yang lebih baik. 6

Berbagai penelitian membuktikan bahwa regenerasi pada susunan saraf pusat

dengan adanya plastisitas otak memberikan harapan baru dalam bidang

rehabilitasi.7

Rehabilitasi Medik pada Pasien Anak dengan Epilepsi


Rehabilitasi pada anak dan orang dewasa dengan disabilitas intelektual dan

fisik merupakan pendekatan terapeutik kompleks yang melibatkan fungsi motorik,

kognitif, dan social dengan tujuan untuk membantu mencapai kemandirian fisik

dan fisiologis dan integrasi sosial. Namun ukuran luaran untuk anak masih jauh

dari sepenuhnya membantu karena biasanya berhubungan dengan domain

fungsional spesifik atau dapat digunakan hanya untuk penyakit tertentu, ciri

psikometrik juga seirngkali tidak dilakukan dengan baik, terutama pada kondisi

“real life”. Untuk alasan ini, penilaian rasio cost:benefit untuk program

rehabilitasi pada pasien dengan disabilitas mental dan fisik masih memerlukan

penilaian yang tepat. Hal ini mungkin bahkan lebih penting lagi ketika

komorbiditas seperti epilepsi dapat memengaruhi perkembangan kognitif, sosial,

dan emosional seorang individu.8

Anak-anak dan remaja dengan disabilitas fungsional biasanya terlibat

dalam program rehabilitasi komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan mereka dalam penyesuaian kehidupan sehari-hari dan, pada akhirnya,

kualitas hidup.9

Namun, respon terhadap perawatan ini seringkali tidak jelas, pada suatu

jurnal di Italia dikatakan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh keluarga

menjadi alasan terapi rehabilitasi medik tidak dilaksanakan sesuai jadwal yang

diberikan oleh tenaga medis. 9

Hal lain yang juga mempengaruhi ialah epilepsi (komplikasi umum dari

ensefalopati) yang kemudian dianggap mewakili hambatan untuk efek rehabilitasi

karena kekambuhan bangkitannya dan efek samping obat epilepsi. Komorbid

yang signifikan lainnya, ialah yang terkait langsung dengan epilepsi (seperti
retardasi mental dan defisit sensorik), harus juga diperhitungkan dan dapat

menyiratkan gangguan fungsional yang serius yang kemudian dapat menyebabkan

pembatasan interaksi sosial. Masalah perilaku dapat mempengaruhi interaksi

sosial secara sangat mendalam, dan sejauh ini masih menjadi perdebatan

korelasinya dengan faktor-faktor seperti jenis sindrom epilepsi, kondisi

perkembangan yang mendasar, epileptiformdischarges, dan riwayat perawatan

medis sebelumnya atau tindakan bedah. Penilaian hasil rehabilitasi bahkan lebih

rumit disebabkan oleh interpretasi subjektif dari tingkat keparahan dari gangguan

fungsional dan respon terhadap perawatan yang tersedia. 9

Dari penelitian di Itali, yang melibatkan 6 rehabilitasi medik dengan kota

berbeda dilakukan evaluasi terhadap pasien anak dan dewasa dengan gangguan

perkembangan dengan dan tanpa epilepsi yang mendapat siklus lengkap

tatalaksana rehabilitasi medik. Beberapa hal yang menjadi data antara lain, usia,

jenis kelamin, diagnosis, frekuensi kejang, derajat beratnya penyakit, jumlah dan

dosis obat anti epilepsi. Program rehabilitasi diklasifikasikan secara spesifik

meliputi neuromotor, psikomotor, Bahasa dan terapi wicara. Rehabilitasi

psikomotor bertujuan meningkatkan perkembangan anak yang lebih mengarah

pada tata cara yang lebih umum, memggunakan kombinasi motorik, kognitif, dan

latihan yang berhubungan. Diagnosis terbanyak yang didapatkan ialah cerebral

palsy, kelainan kongenital, gangguan mental pada anak, Autism spectrum disorder.

117 pasien didapatkan lesi structural dan 62% diantaranya dengan derajat berat.

Deficit kognitif yang berat dan sedang didapatkan pada 62%. Sebanyak 35% dari

seluruh jumlah mengalami bangkitan 1 kali atau lebih dalam setiap satu bulannya,

sementara 22% lainnya mengalami 1 kali atau lebih bangkitan per harinya. 149
pasien atau sebanyak 96% pasien menerima 1 atau lebih obat anti epilepsi. Asam

valproate pada 96 pasien, fenobarbital pada 23 pasien, carbamazepine pada 22

pasien, lamotrigine 18 pasien dan vigabatrin 14 pasien. Dan dari data tersebut

didapatkan hal-hal yang mempengaruhi respon terhadap rehabilitasi medik yang

bermakna ialah usia, derajat beratnya disabilitas, beratnya lesi structural, kognitif

impairment, frekuensi bangkitan, dan jumlah obat antiepileptic yang dikonsumsi.

Dari 156 pasien, 50% menerima Neuromotor rehabilitasi, 39% mendapat

rehabilitasi psikomotor, 36% menerima terapi Bahasa dan wicara. Sedangkan

yang menerima terapi kombinasi 7% menerima psikomotor dan terapi

Bahasa/wicara , 3,8% menerima neumotor, psikomotor dan terapi Bahasa/wicara.9

Nilai rerata respon yang didapatkan neuromotor 58%, psikomotor 74%

dan untuk rehabilitasi 90% dengan OR 0,22, 95%, CI 0,01-0,14 .9

Sebagian besar pasien anak dan dewasa dengan epilepsi yang mendapat

tatalaksana rehabilitasi medik berhubungan dengan kesulitan fisik, kognitif,

psikologis, dan perilaku. Pada jurnal ini kemudian menjelaskan bahwa rehabilitasi

neuromotor ialah pendekatan yang paling sering digunakan diikuti psikomotor,

lalu terapi Bahasa dan wicara. Respon terhadap terapi rehabilitasi medik yang

diberikan bervariasi didasarkan pada usia, jenis kelamin, derajat disabilitas,

keberadaan lesi structural, gangguan kognitif, frekuensi bangkitan, dan jumlah

obat antiepilepsi yang dikonsumsi. Bagaimanapun, predictor factor independent

respon ialah derajat beratnya kerusakan fungsional serta frekuensi munculnya

kejang dalam setiap harinya. Defisit kognitif, juga merupakan komponen yang

relevan terhadap derajat kecacatan, dan diketahui pula sangat mempengaruhi

outcome dari rehabiltasi medik yang diberikan pada anak dan dewasa dengan
trauma kepala yang dikaitkan saat timbulnya bangkitan. Factor lainnya seperti

usia saat kejang, jenis dari sindrom epilepsi, serta multiple terapi antiepilepsi

menyebabkan edukasi yang tidak tercapai dengan baik yang kemudian dapat

berpengaruh pada deficit kognitif. Frekuensi kejang yang tinggi juga

mempengaruhi level keterlibatan dari efektivitas terapi rehabilitasi dan dapat

menyebabkan suatu retardasi mental, dalam IQ maupun fungsineuropsikologis. 8,9

Obat anti epilepsi secara independent menjadi predictor yang negative.

Hamper seluruh jenis obat yang dikonsumsi valproate, phenobarbital dan

carbamazepine seluruhnya sedikit banyak dapat mempengaruhi fungsi kognitiv.8,9


KESIMPULAN

Dapat disimpulkan dari beberapa jurnal yang membahas keterlibatan efek

obat antiepilepsi pada anak dengan disabilitas yang membutuhkan terapi

rehabilitasi medik, bahwa hal yang paling mempengaruhi efektivitas tatalaksana

rehabilitasi mediknya ialah derajat beratnya disabilitas tersebut, diikuti derajat

beratnya kerusakan lesi yang nyata, lalu frekuensi bangkitan. Efek sedasi yang

didapatkan dari obat antiepilepsi masih mungkin berpengaruh sehingga waktu

pemberiannya yang harus dapat disesuaikan dengan terapi rehabilitasi medik yang

diberikan, akan tetapi Bukan menjadi factor utama efektivitas tatalaksana

rehabilitasi medik yang diberikan.


DAFTAR PUSTAKA
1. Patsalos PN, Berry DJ, Bourgeois BFD, Cloyd JC, Glauser TA, Johannessen
SI, Leppik IE, Tomson T, Perucca E. Antiepileptic drugs—best practice
guidelines for therapeutic drug monitoring: A position paper by the
subcommission on therapeutic drug monitoring, ILAE Commission on
Therapeutic Strategies. Epilepsia. 2008;49(7):1239-76.
2. Rosati A, Masi SD, Guerrini R. Antiepileptic drug treatment in children
with epilepsy. CNS Drugs. 2015;29(10):847-63.
3. Star K, Edwards IR, Choonara I. Valproic acid and fatalities in children: A
Review of individual case safety reports in vigibase. PLoS One.
2014;9(10):e108970.
4. World Health Organization. Carbamazepine in childhood epilepsy [internet].
2006 [cited 2018 October 12]. Available from:
http://archives.who.int/eml/expcom/expcom15/applications/paediatrics/form
ulations/Carbamazepine.pdf
5. Diagnosis dan penanganan rehabilitasi medik pada anak dengan Attention
Deficit Hyperactivity Disorder Bayu D. Susanto Lidwina S. Sengkey. Jurnal
Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 3, November 2016, hlm.157-166
6. Diamond M, Armento M. Children with disabilities. In: Delisa J.A et al.
Physical medicine and rehabilitation principles and practice vol 2. 4 th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010: 1494-1517.
7. Laksmi W. Hubungan neuroplastisitas sentral dan intervensi rehabilitasi
medik. Dalam: Naskah lengkap pertemuan ilmiah tahunan I. Bunga rampai
rehabilitasi medik. Jakarta: PERDOSRI; 2002: 9-12.

Anda mungkin juga menyukai