Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ensefalitis
Ensefalitis atau yang lebih sering disebut sebagai viral ensefalitis adalah peradangan pada
otak yang biasanya disebabkan oleh virus. Proses peradangannya jarang terbatas pada jaringan
otak saja tetapi hampir selalu mengenai selaput otak, maka dari itu lebih tepat bila disebut
meningoensefalitis. Ensefalitis mencakup berbagai variasi dari bentuk yang paling ringan sampai
dengan yang parah sekali seperti koma dan kematian. Ensefalitis diagnosisnya dapat ditegakkan
hanya melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak. Namun dalam prakteknya diklinik,
diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis dan temuan-temuan
epidemiologis, tanpa bantuan bahan histologis. 1
Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) pada jurnal pediatrics in
review yang menggunakan National Hospital Discharge Survey mengestimasi perawatan inap di
RS yang disebabkan oleh ensefalitis di AS, dimana per tahun ditemukan kasus 7.3/100.000
dengan data rata- rata per tahun lebih dari 200.000 hari perawatan inap di RS, dan 1.400
kematian. Insiden tertinggi terjadi pada anak- anak dibawah usia 1 tahun dengan kasus
13.7/100.000 dan orang dewasa diatas 65 tahun dengan kasus 10.6/100.000 per tahun. Karena
keterbatasan data sehingga kriteria diagnostik spesifiknya pun terbatas. Dalam analisis National
Hospital Discharge, didapatkan data penyebab ensefalitis 60% adalah tidak diketahui, dan dari
yang diketahui didapatkan penyebab tersering adalah herpes virus, varisela dan arbovirus. 5

2.2 Definisi dan Etiologi


Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, misalnya
viral, bakteri, Spirochaeta, fungus, protozoa,dan metazoa ( cacing ).Penyebab yang tersering dan
terpenting adalah virus, karena itu sering disebut ensefalitis virus. Virus dapat masuk ke tubuh
pasien melalui kulit saluran nafas, dan saluran cerna. Pada keadaan permulaan timbul demam,
tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang
susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti kelainan neurologist. 1

Klasifikasi yang diajukan oleh Robin berdasarkan etiologi virus:


1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern
equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis,
Murray valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap
disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca vaksinia, pasca
mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang
tidak spesifik.10

Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi baru Japanese B
encephalitis yang ditemukan.

Viral:

• Virus DNA: herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2), virus herpes lainnya (HHV-6, EBV,
VZV, cytomegalovirus) dan adenovirus (sebagai contoh serotipe 1,6,7,12,32)
• Virus RNA: virus influenza (serotipe A), enterovirus (serotipe 9,71), virus polio, measles,
rubella, mumps, rabies, arbovirus (contoh: Japanese B encephalitis virus, lymphotic
choriomeningitis virus, Eastern, Western dan Venezuelan equine encephalitis virus), retro
virus(ColoradoickFevervirus),danretrovirus(HIV)

Bakterial:
Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumoniae, Listeria monocytogenes, Borrelia
burdgorferi (lyme disease), Tropheryma whippeli (Whipple’s disease), lepstospira, brucella,
legionella, Salmonella typhii (typhoid fever), nocardia, actinomyces, Treponema pallidum
(meningovascular syphilis) dan seluruh penyebab meningitis bakterial (piogenik).

Rickettsia:
• Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain Spotted Fever), Rickettsia typhii (endemic typhus)
• Rickettsia prowazekii (epidemic typhus), Coxiella burnetii (Q fever).
Fungal:
Cryptococcosis, coccidioidomycosis, histoplasmosis, North American Blastomycosis,
candidiasis

Parasit:
Human African Trypanosomiasis, Toxoplasma gonsii, Nagleria fowleri, Echinococcus
granulosus,schistosomiasis

2.3 Patofisiologi
Virus dapat menyebabkan kerusakan neural SSP melalui invasi langsung dan akibat
multiplikasi aktif virus (ensefalitis primer atau infeksius) atau melalui mekanisme respon
autoimun jaringan SSP terhadap antigen virus pada infeksi sistemik ( acute disseminated
encephalomyelitis - ADEM). 6

Virus menyebar ke SSP melalui dua mekanisme utama :


(1) Penyebaran hematogen
Setelah masuk ke tubuh, virus bermultiplikasi secara lokal kemudian dapat terjadi
viremia dan bersarangnya virus diretikulo-endotelial sitem (RES); terutama dihati.
Limpa, kelenjar limfe, dan kadang-kadang muskulus. Dengan berlanjutnya replikasi,
viremia sekunder memungkinkan bersarangnya virus diorgan lain termasuk SSP.
Pada umumnya virus dapat dicegah masuk kejaringan SSP oleh sawar darah otak. Virus
dibersihkan dalam darah oleh sistem retikuolendotelial, teteapi bila terjadi viremia masif
atau terdapat keadaan lain yang menguntungkan virus, maka virus akan masuk SSP
melalui pleksus koroideus, migrasi fagosit yang terinfeksi, replikasi virus dalam sel
endotel atau transfer pasif melalui sawar darah otak. 6

(2) Penyebaran neuronal


Penyebaran neuronal (lebih jarang) terjadi melaui saraf perifer dan kranial. Virus masuk
jaringan SSP secara sentripetal melalui transmisi aksonal sepanjang endoneurium, sel
Schwann dan fibrosit sraf. Penyebaran neuronal dapat terjadi pada rabies, herpes
simpleks, VZV, dan virus polio. HSV dapat menyebar ke SSP melalui neuron olfaktorius
dimukosa hidung, kemudian melaui N.olfaktorius terjadi sinaps dibulbus olfaktorius
diotak.
Virus tertentu lebih menyenangi sel otak tertentu, misalnya virus polio menyukai
sel motorik, rabies menyukai sel limbik dan mumps menyukai sel ependimal. Korteks
serebral, terutama lobus temporal sering mengalami kerusakan berat oleh virus herpes
simpleks; arbovirus cendrung melibatkan seluruh otak; sedangkan predileksi kelainan
pada rabies ialah pada daerah basal otak. Keterlibatan medula spinalis, akar saraf dan
saraf perifer bervariasi. 6

Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :


 Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang
biak
 Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi,
kerusakan vascular, dan paravaskular.
 Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.

Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok :


1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes
simpleks,virus influenza, ECHO ( Enteric Cytophatic Human Orphan ), Coxsackie, dan
virus arbo.
2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya.
3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit
virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela, herpes zoster, parotitis epidemika,
mononukleosis infeksiosa dan lain-lain. 4

Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus, kekuatan
teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat multiplikasi virus.
Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu menginokulasi virus
Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada beberapa virus seperti
varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun yang lemah, merupakan faktor
resiko utama. 6
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui peredaran darah
atau melalui sistem neural (Virus Herpes Simpleks, Virus Varisella Zoster). Setelah melewati
sawar darah otak, virus memasuki sel-sel neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi sel menjadi
rusak, kongesti perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus menyebabkan
ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba). Adanya patologi
fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran sel saraf yang hanya ditemukan
pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks mempunyai predileksi
pada lobus temporal medial dan inferior. 2
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara langsung dari
perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.

Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi primer
biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja.Biasanya subklinis atau berupa somatitis, faringitis
atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari reaktivasi
virus.Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa tahun
kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya bermanifestasi
sebagai herpes labialis. 2
Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah
dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus
paranasalis. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di
bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi leukosit
yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema, perlunakan dan
kongesti jaringan otak disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat pembuluh darah
dan infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk ruang abses. Mula-
mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat membentuk kapsul yang
konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel plasma dan limfosit. Abses
dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subarakhnoid
yang dapat mengakibatkan meningitis. Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan
otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput otak. Oleh karena itu ensefalitis virus lebih tepat
bila disebut sebagai meningo ensefalitis. 4
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi lengket. Sel-sel
darah yang lengket satu sama lainnya dapat menyumbat kapiler-kapiler dalam otak. Akibatnya
timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala neurologist timbul karena kerusakan jaringan
otak yang terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan koma. Pada toxoplasmosis
kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar dalam jaringan otak terutama dalam
jaringan korteks. 4
Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem.
Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana
dapat ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai pada
rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear). 4

2.3 Manifestasi klinis dan diagnosis


Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama berupa Trias
ensefalitis yang terdiri dari :
 Demam
 Kejang
 Penurunan kesadaran
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat.
Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. Masa prodormal
berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri
tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis
yang berat ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron. 7
Pada bayi, terdapat jeritan, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang-kejang.
Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya twitching saja. Kejang dapat
berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri atau
bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya. Gejala batang otak
meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan perubahan pola pernafasan. Tanda
rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen. Pada kelompok pasca
infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu diagnosis. 4
Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat meradang gejalanya
yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan, rigiditas pada lengan atau pada
seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus. Rabies memberi gejala pertama yaitu depresi dan
gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis. 9
Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau subakut. Pada
fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi
ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan gangguan daya
ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal
atau umum. Kesadaran menurun sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang
sangat buruk, pasien yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala
sisa yang berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis. Beberapa kasus
dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku kuduk dan papil edema. 2
Mycoplasma pneumoniae (MP) juga diketahui merupakan penyebab infeksi pernafasan
pada anak-anak dan dewasa, akan tetapi hanya 0,1% dari infeksi MP yang dapat menyebabkan
komplikasi neurologi seperti ensefalitis, meningitis, dan myelitis, dengan penularan secara
langsung ke sistem saraf pusat maupun tidak langsung seperti toxin-mediated. Dengan gejala
klinis yang menyerupai ensefalitis pada umumnya yaitu demam, sakit kepala, muntah, dan
kejang, dan penurunan kesadaran, dan gejala klinis infeksi saluran pernafasannya dapat
asimptomatik. 4
Pada ensefalitis supuratif akut yang berkembang menjadi abses serebri akan timbul
gejala-gejala sesuai dengan proses patologik yang terjadi di otak. Gejala-gejala tersebut ialah
gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu nyeri kepala
yang kronik progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Tanda-tanda
defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses. 9
Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian yaitu gejala neurologis dan gejala mental.
Gejala-gejala neurologis diantaranya kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan,
afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun, pada stadium akhir timbul
gangguan-gangguan motorik yang progresif. 9

2.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Memastikan diagnosis ensefalitis didasarkan atas, gambaran klinis, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan virologis, dan pemeriksaan penunjang lain seperti EEG, pencitraan,
biopsi otak, dan polymerase chain reaction (PCR). Walaupun tidak begitu membantu, gambaran
cairan serebrospinal dapat pula dipertimbangkan. 7

2.4.1 Anamnesis
- Identitas ( Nama, Umur, Jenis kelamin )
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
- Riwayat penyakit keluarga
2.4.2. Pemeriksaan Fisik
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun dan kejang. Kejang dapat
berlangsung berjam-jam. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, dapat timbul terpisah
atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya.
2.4.3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan hematologi
Pada pemeriksaan hematologi sering menunjukan leukositosis dengan
predominasi limfosit dan peninggian laju endap darah (LED)
b. Cairan serebro-spinal
CSS pada penyakit virus SSP biasanya menunjukan pleiositosis mononuklear (5-
500 sel/mm3). Jenis sel pada awal perjalanan penyakit sering polimorfonuklear (PMN)
yang kemudian akan didominasi sel mononuklear. Perubahan jenis sel ini akan terlihat
pada 2 sampel CSS yang diambil dengan perbedaan waktu sedikitnya 8-12 jam. 7
Kadar protein cenderung normal atau sedikit meningkat (biasanya <200mg/dl),
tetapi dapat sangat tinggi bila kerusakan otaknya luas seperti pada ensefalitis HSV. Kadar
glukosa biasanya normal walaupun pada beberapa infeksi, seperti mumps dan HSV,
kadar glukosa dapat menurun sampai 25-50 mg/dl, tetapi jarang sampai dibawah 20
mg/dl. Sebanyak 5-15% penderita ensefalitis HSV, CSSnya normal diawal perjalanan
penyakit. 7
Pungsi lumbal tidak dilakukan bila terdapat edema papil. Bila dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinalis maka dapat diperoleh hasil berupa biasanya cairan
jernih, jumlah sel 50 – 200 dengan dominasi limfosit. Kadar protein kadang – kadang
meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal. Tekanan LCS dapat normal
atau meningkat. 7
c. Elektroensefalografi
EEG sangat membantu diagnosis pada ensefalitis herpes simpleks bila ditemukan
gambaran perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal.Lebih sering EEG
hanya memperlihatkan perlambatan umum yang menunjukkan disfungsi otak
menyeluruh. Pada ensefalitis virus yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 1,
gambaran EEG berupa aktivitas gelombang tajam periodik di temporal dengan latar
belakang fokal atau difus. 7
d. Pemeriksaan CT scan atau MRI kepala menunjukkan gambaran edema otak.
Manfaat pemeriksan pencitraan terutama bukan dalam menetukan penyebab
meningoensefalitis, tetapi dalam menilai tingkat kerusakan SSP. Dalam hal ini MRI
lebih unggul daripada CT scan. Sensitivitas MRI juga melebihi CT scan dalam
mendeteksi lesi pada ensefalomielitis diseminata akut yang berupa demielinisasi
multifokal dimassa putih serebrum, serebelum, dan batang otak. 7
e. Pemeriksaan diagnostik khusus
Isolasi virus dalam cairan serebrospinal secara rutin tidak dilakukan karena sangat
jarang menunjukkan hasil yang positif. Titer antibodi terhadap VHS dapat diperiksa
dalam serum dan cairan serebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah
infeksi merupakan infeksi primer arau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi
dalam serum menjadi positif setelah 1 sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi
rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi dalam dua kali pemeriksaan,
fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase rekonvalesen merupakan
tanda bahwa infeksi VH sedang aktif. Harus diiongat bahwa peningkatan kadar antibodi
serum belum membuktikan disebabkan oleh VHS. Titer antibodi dalam cairan
serebrospinal merupakan indikator yang lebih baik, karena hanya diproduksi bila terjadi
kerusakan sawar darah otak, akan tetapi kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal
sering terlambat, dan baru dapat dideteksi pada hari ke 10-12 setelah permulaan sakit. Hal
ini merupakan kendala terbesar dalam menegakkan diagnosis EHS, dan hanya berguna
sebagai diagnosis retrospektif. Penggunaan perbandingan antara titer antibodi serum dan
cairan serebrospinal < 20 tidak memeperbaiki sensitivitas diagnosis dalam 10 hari sakit.
10

Teknik diagnostik yang tersedia diantranya pemeriksaan serologik, biakan sel,


imunohistologik dan biologi molekuler (PCR). Polymerase chain reaction (PCR) sekarang
menjadi baku emas untuk mengevaluasi ensefalitis atau meningoensefalitis HSV dengan
mendeteksi DNA HSV didalam CSS. Spesifisitas PCR pada ensefalitis HSV mendekati 100%,
sedangkan sensitivitasnya berkisar antara 75-95%. PCR juga dapat dipakai untuk diagnosis cepat
infeksi dengan CMV, enterovirus, human herpes virus, virus varicella-Zoster dan HIV.
Enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) yang dapat mendeteksi antibodi
imunoglobin M (IgM) dalam CSS, snsitif dan spesifik pada penderita yang diduga menderita
ensefalitis Japanese.

2.5 Penatalaksanaan
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma yaitu
mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau parenteral,
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam
basa darah. 4
2.5.1 Terapi suportif :
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan nafas tetap
terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti nafas,
intubasi, trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan gangguan menelan,
akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang
periodik. 9
2.5.2. Terapi kausal :
Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu dengan
memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari. Preparat asiklovir
tersedia dalam 250 mg dan 500 mg yang harus diencerkan dengan aquadest atau larutan garam
fisiologis. Pemeberian secara perlahan-lahanm diencerkan menjadi 100 ml larutan, diberikan
selama 1 jam. Efek sampingnya adalah peningkatan kadar ureum dan keratinin tergantung kadar
obat dalam plasma. Pemberian asiklobir perlahan-lahan akan mengurangi efek samping. Bila
selama pengobatan terbukti bukan infeksi Virus Herpes Simpleks, maka pengobatan dihentikan.
Pada pasien yang terbukti secara biopsi menderita Ensefalitis Herpes Simpleks dapat
diberikan Adenosine Arabinose 15mg/kgBB/hari IV, diberikan selama 10 hari. Pada beberapa
penelitian dikatakan pemberian Adenosisne Arabinose untuk herpes simpleks ensefalitis dapat
menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%.
Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis
Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu
dengan terapi maintenance.
Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri
dikesampingkan, dan juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pada ensefalitis supurativa
diberikan:
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena toxoplasmosis. 6

2.5.3. Terapi Simptomatik :


Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Tergantung dari
kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah diazepam 0,3-0,5 mg/Kg BB/
hari dilanjutkan dengan fenobarbital. Perlunya diperiksa kadar glukosa darah, kalsium,
magnesium harus dipertahankan normal agar ancaman konvulsi menjadi minimum.
Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan menempatkan es pada
permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher, ketiak,
selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas kepala. Dapat juga diberikan antipiretikum
seperti parasetamol dengan dosis 10-15mg/kgBB, bila keadaan telah memungkinkan pemberian
obat peroral.
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi 3
dosis dengan cairan rendah natrium, dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5mg/kgBB/hari. Bila
terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB IV dalam
periode 8-12 jam. Nyeri kepala dan hiperestesia diobati dengan istirahat, analgesik yang tidak
mengandung aspirin dan pengurangan cahaya ruangan, kebisingan, dan tamu. 8

2.5.4. Terapi rehabilitatif:


Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita sembuh. Inkoordinasi
motorik, gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau parsial, dan gangguan konvulsif
dapat muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu. Fasilitas khusus dan kadang-kadang
penempatan kelembagaan mungkin diperlukan. Beberapa sekuele infeksi dapat amat tidak
kentara. Karenanya evaluasi perkembangan saraf dan audiologi harus merupakan bagian dari
pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari mengoensefalitis virus, walaupun mereka tampak
secara kasar normal. 6

2.6 Komplikasi
Pada ensefalitis viral akut yang cukup banyak terjadi adalah peningkatan tekanan
intrkranial, infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion of
antidiuretic hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi saluran
kemih dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut bergantung
pada usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis. 4

2.7 Prognosis
Prognosis ensefalitis virus sangat bervariasi tergantung pada usia, keadaan medik yang
mendasarinya, virulensi virus, kompetensi imun penderita dan tersedianya terapi antivirus
spesifik. Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada sistem saraf sentral,
walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan umur anak.
Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim, prognosis jelek, dengan
kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatrik, epileptik, penglihatan, ataupun
pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan walaupun beberapa kepustakaan menyarankan
bahwa penderita bayi yang menderita ensefalitis virus mempunyai hasil akhir jangka panjang
lebih jelek daripada nak yang lebih tua, data baru membuktikan bahwa observasi ini tidak benar.
walaupun sekitar 10% anak sebelum usia 2 tahun dengan infeksi virus menampakkan komplikasi
akut seperti kejang, tekanan intrakranial naik, atau koma, hampir semua hasil akhir neurologis
jangka lama baik. 4
Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati sangat buruk
dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan menignkat menjadi 90% dalam 6 bulan.
Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan mortalitaas menjadi 28%. Gejala sisa lebih
sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan yang
lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien yang mengalami
koma seringkali menggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. 1

Anda mungkin juga menyukai