Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Darah dipompakan oleh ventrikel kiri menuju sirkulasi sistemik pertama kali melalui
aorta untuk selanjutnya didistribusikan ke pembuluh darah lain untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing jaringan. Terdapat katup di antara ventrikel kiri dengan aorta untuk menjaga
volume ventrikel tetap konstan. Hal ini dikarenakan posisi aorta secara anatomis berada
diatas ventrikel, maka akan memungkinkan terjadinya aliran balik dari aorta ke ventrikel jika
tidak ada katub yang bekerja sesuai dengan fase pemompaan dan relaksasi ventrikel.
Regurgitasi aorta atau yang disebut juga insufisiensi aorta merupakan suatu abnormalitas
jantung, yakni darah aorta mengalami refluks ke dalam ventrikel kiri sewaktu relaksasi
ventrikel. Penyebab terbanyak regurgitasi aorta selama dekade terakhir ini adalah demam
reumatik dan sifilis. Beberapa etiologi lain dari regurgitasi aorta adalah terjadinya dilatasi
pangkal aorta yang biasa terjadi pada penyakit kolagen, aneurisma aorta, dan diseksi aorta.
Selain itu penyakit katup artifisial seperti aorta artificial congenital, defek septum ventrikel,
ruptur traumatik, aorta left ventricular tunnel juga dapat menyebabkan terjadinya regurgitasi
aorta. Kelainan kongenital seperti pada Sindroma Marfan dan katup aorta bikuspid kongenital
juga menyebabkan terjadinya regurgitasi karena prolapse dari katup ke arah ruang ventrikel.
Penelitian yang dilakukan oleh Kate et all mendapatkan angka kematian yang lebih
tinggi dari yang diperkirakan pada kejadian insufisiensi aorta ini, yakni rata-rata 29-39%
pasien meninggal dalam 10 tahun pertama. Selain itu juga ditemukan angka kesakitan tinggi
pada pasien yang diterapi secara konservatif. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa
tanpa tindakan operasi umumnya terjadi kematian 4 tahun setelah timbulnya gejala angina
pada pasien regurgitasi aorta atau rata-rata 2 tahun setelah onset dari gejala gagal jantungnya.
Pada regurgitasi aorta kronis perjalanan klinis yang bervariasi dan biasanya sulit dimengerti.
Angka harapan hidup pada pasien dengan regurgitasi aorta ini tergantung dari usia, kelas
fungsional, indeks komorbiditas, fibrilasi atrium, dan diameter sistolik akhir ventrikel kiri.
Mekanisme paling jelas dari regurgitasi aorta ini adalah terjadinya peningkatan
volume pada ventrikel kiri karena setiap kali kontraksi ventrikel kiri harus memompakan
volume normal yang diterimanya dari atrium ditambah dengan volume darah yang
mengalami regurgitasi dari aorta. Hal yang memperberat kondisi ini adalah dalam jangka

1
waktu lama pada regurgitasi aorta kronis volume akhir diastolik ini mengalami peningkatan
secara gradual.  Pada kondisi dilatasi berat dan hipertrofi ventrikel mencapai ambang
batasnya, maka akan berakhir pada fase gagal jantung. Gagal jantung nantinya nantinya akan
mencetuskan perjalanan klinis yang makin buruk dengan menurunnya curah jantung dan
meningkatnya volume ventrikel disertai aliran retrogar atrium kiri dan kongesti paru.
Heart failure (HF) atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang
didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh
secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan
HF harus memenuhi kriteria berupa gejala-gejala (symptoms) dari HF saat sesak nafas yang
spesifik pada saat istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lelah, tidak bertenaga. Tanda-
tanda (sign) dari HF berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tungkai dan objektif,
ditemukannya abnormalitas, dari struktur dan fungsional jantung.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : Ny. CPM
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 19 tahun
Tanggal Lahir : 28-01-2000
Alamat : Paldam
RM : 450554
Jaminan : BPJS
Ruangan : RPDW
Tanggal masuk RS : 13-06-2019
Tanggal keluar RS : 25-06-2019

2.2 ANAMNESIS
Allo anamnesis
1. Keluhan Utama:
Sesak
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sesak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak
dirasakan memberat saat beraktifitas ringan dan saat tidur pada malam hari. Pasien
juga mengeluhkan nyeri dan seperti rasa tertusuk-tusuk di bagian tengah dada sejak
1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeeri dada dirasakan selama setengah jam,
tidak menjar dan timbul saat pasien istirahat. Nyeri dada disertai berdebar-debar
dan keringat. Pasien juga mengeluhkan batuk ± 2 hari, batuk berlendir warna putih
, PND +, DOE +, ortopneu +, batuk + 4 hari, kaki membengkak ± 2 hari, perut
membesar ± 2 hari

3. Riwayat Penyakit Dahulu:

Hipertensi :-

Asam Urat :-

Kolesterol :-

3
Diabetes :-

Riwayat alergi :-

Penyakit Jantung :+

4. Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan di RSUD Jayapura dengan diagnosis CHF + RHD +
hipoalbumin + cardiac sirosis pada tanggal 03/06/2019-08/06/2019 di RSUD
Jayapura, dan pasien diberi obat:
- Ramipril 1x5
- Digoxin 1 x 0,25mg
- Furosemide 2 x 1mg
- Nevodiol 1x 2,5
- Onoiwa 3 x 300mg
- Spironolactone 1 x 25
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak memiliki riwayat sakit jantung dan riwayat sakit
diabetes, hipertensi ataupun alergi.

6. Riwayat Kebiasan

- Rokok (-)

- Minum Alkohol (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan Umum
Tampak sakit sedang
 Kesadaran
GCS: E4V5M6, Kesadaran: Compos Mentis
 TTV
TD : 140/80 mmHg
N : 108 x/menit
R : 42 x/menit
Suhu : 36,5 0C
SpO2 : 99% O2 nasal

4
 Status Lokalis
Kepala
a. Mata : SI (+/+) CA (-/-)
b. Hidung : secret hidung (-/-)
c. Telinga : secret telinga (-/-)
d. Mulut : OC (-/-), tonsil tidak hiperemis
e. Leher : JVP 5+4 cm

Thoraks

a. Cor : BJ S1/S2 reguler. Murmur sistolik mitral


b. Pulmo : SN Vesikular (+ menurun /+), rh (-/+) minimal basah
halus
dibagian basal, wheezing (-/-)
Abdomen : cembung, supel, BU (+) Normal, NT (+) daerah

epigastrium, shifting dullness +, hepar teraba 2 jari


BAC tepi tumpul. Lien TTB.

Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2”, edema piting (+/+)

Ektremitas bawah : akral hangat, CRT < 2”, edema piting (+/+)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan lab. tanggal 13-06-2019:


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Hematologi
Hematologi Rutin +
Diff

Kadar hemoglobin 10.7 g/dl 11.0-14.7


Hitung hematokrit 37.4 % 35.2-46.7
Hitung jumlah 16.96 10 3/uL 3.37-8.38
leukosit
Hitung jumlah 240 10 3/uL 140-400
trombosit
Hitung jumlah 5.05 10 6/uL 3.69-5.46
eritrosit

5
Hitung jenis leukosit
Sel basofil 0.0 % 0.3-1.4
Sel eosinofil 0.1 % 0.6-5.4
Sel neutrofil 78.6 % 39.8-70.5
Sel limfosit 13.4 % 23.1-49.9
Sel monosit 7.9 % 4.3-10.0
Malaria (DDR) Negative
Kimia Darah
Glukosa darah 74 Mg/dl <= 140
sewaktu
SGOT 454.0 u/l <= 40
SGPT 140.5 u/l <=40
BUN 16.4 Mg/dl 7-18
Creatinin 1.19 Mg/dl <= 0.95
Albumin 3.0 g/dl 3.5-5.2
Na,K,Cl
Natrium Darah 132.70 MEq/dl 135-148
Kalium Darah 4.38 MEq/dl 3.50-5.30
CL Darah 112.40 MEq/dl 98-106
Calcium Ion 1.06 MEq/dl 1.15-1.35

Hasil pemeriksaan lab. tanggal 13-06-2018:

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Urinalisa
Urine lengkap
Urine kimia
Warna Kuning Kuning – kuning
muda
Kejernihan Agak keruh Jernih
pH 5.5 4.5-5.0
Berat jenis 1.009 1.000-1.030
Protein +1 Negative
Glukosa Negative Negative
Bilirubin Negative Negative
Nitrit Negative Negative
Keton Negative Negative
Lekosit esterase Negative Mg/dl Negative
Blodd +1

6
Albumin ( urine ) 150 Mg/dl
ALB/CREA +2 Mg/dl
PRO/CREA +2 Mg/dl
Kreatinin urin 100 Mg/dl 28-217
Sedimen
Eritrosit 94.2 /uL <= 8.7
Lekosit 98 /uL <= 7.4
Sel epitel 41.1 /uL 0-12.9
Silinder 8.74 /uL <=0.47
Bakteri 81.0 /uL <=93
Kristal 0.2 /uL 0-28
Jamur 0 /uL Negatif
AMORF 28.6 /uL
Silinder Path 13.20 /uL
Mucus urin 1.1 /uL 0-28
Hasil pemeriksaan lab tanggal 17-06-2019:

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Hematologi
Hematologi Rutin + Diff
Kadar hemoglobin 11.8 g/dl 11.0-14.7
Hitung hematocrit 40.3 % 35.2-46.7
Hitung jumlah leukosit 8.79 10 3/uL 3.37-8.38
Hitung jumlah trombosit 187 10 3/uL 140-400
Hitung jumlah eritrosit 5.75 10 6/uL 3.69-5.46
Hitung jenis leukosit
Sel basophil 0.0 % 0.3-1.4
Sel eosinophil 0.0 % 0.6-5.4
Sel neutrophil 88.6 % 39.8-70.5
Sel limfosit 5.6 % 23.1-49.9
Sel monosit 5.9 % 4.3-10.0

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Trigliserida 78 Mg/dl <= 150
Cholesterol total 93 Mg/dl <= 200
Cholesterol HDL 18 Mg/dl 40-60
Cholesterol LDL 65 Mg/dl <= 100
Bilirubin total 2.95 Mg/dl 0.20-1000
Bilirubin indirek 1.14 Mg/dl 0.00-0.70
Bilirubin direk 1.81 Mg/dl <= 0.2
SGOT 89.7 u/l <= 40
SGPT 176.7 u/l <= 40
BUN 17.0 Mg/dl 7-18
Creatinin 0.55 Mg/dl <= 0.95
Asam urat 9.5 Mg/dl 2.4-5.7

7
 Pemeriksaan EKG
Tanggal (08-06-2019)

Interpretasi:

- Irama : Sinus rhythm


- Laju : 300/3 = 100x/menit
- Gel P : Normal (0,08 x 0,2)
- Interval PR : kurang dari 5 kotakkecil
- Kompleks QRS : lebar kurang dari 3 kotak kecil
- Segmen ST : segmen ST tidka ada kelainan
- Gelombang T : gelombang T tidak ada kelainan

 Pemeriksaan Radiologi
Tanggal 18-06-2019

CTR = (A+B)/C
= (12+5)/26

8
17
= x 100% = 65,3 %
26
Kesan = Cardiomegali dengan CTR= 65,3 %
Pulmo = Didapatkan adanya peningkatan corakan bronkovaskular pada seluruh
lapangan paru, terdapat meniscus sign pada lapang paru sebelah
kanan, kesan efusi pleura.

2.5. Dignosis Kerja

 ADHF
 AR moderate-severe

2.6. Tatalaksana Awal

 Oksigenasi masker 12 LPM


 IVFD NS 0,9% 1500/24 jam
 Inj. Furosemide 40mg /12 jam
 Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
 Candesartan 8 mg
 Digoxin 1 x 0,25 (IV)
 Onoiwa 2 x 3 tab
 Spironolactone 1 x 100 mg

2.7. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia at Bonam


Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

2.8. Follow Up

13/6/2019
S Sesak napas, batuk, bengkak pada dua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 130/80 mmHg SB : 38
N : 112x/m
RR : 28x/m
SPO2 : 99 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-)


Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas

9
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+) suara paru kanan melemah
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (-) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P Iufd NaCl 0,9 %/ 24 jam
Inj omeprazol
Sprinolakton 1x100 mg
Candersatan 1x1
Inj digoxin 1 amp

14/06/2019
S Sesak , batuk, bengkak pada kedua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 130 /70 mmHg SB : 36,1
N : 100 x/m
RR : 19 x/m
SPO2 : 99 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) Peningkatan JVP (-)
Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+) suara paru kanan melemah
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (-) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P RL + Bicnat 25 meq
Furosemid 2x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Ceftriaxon 1x2 gr
Metylperdnisolon 2x62,5 mg
Digoxin 1x1 amp (IV)
Sprinolakton 1x 100 mg
Canderatan 2x4 mg

10
Onoiwa 2x3 tab
Tromboaspilet 2x1 tab

15/6/2019
S Sesak , batuk, bengkak pada kedua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 112/60 mmHg SB : 36,2
N : 90x/m
RR : 18 x/m
SPO2 : 98%

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) Peningkatan JVP (-)
Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (-/-) suara paru kanan melemah
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, Lembut, NT (-) hepar teraba ujung jari bac
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P Nacl 0,9 %
Aminofluid 1000 cc
Furosemid 2x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Ceftriaxon 1x2
Metylperdnisolon 1x 62,5 mg
Digoxin 1x1 tab
Sprinolokaton 1x100 mg
Candersatan 2x4 mg
Onoiwa 2x3 tab
Tromboaspilet 2x1 tab
Azytromycin 1x500 mg

16/6/2019
S Sesak, batuk, bengkak pada kedua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 112/80 mmHg
N : 86x/m SB : 36,2
RR : 22x/m
SPO2 : 99 %

11
K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-)
Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+) suara paru kanan melemah
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (-) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P NaCl 0,9 %
Aminofluid 1000
Furosemid 3x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Ceftriaxon 1x2 gr
Metylprednisolon 2x 62,5 mg
Digoxin 1x1 tab
Spironolakton 1x 100 mg
Candersatan 2 x 4 mg
Onoiwa 2x3 tab
Tromboaspilet 2x1 tab
Azytromicin 1x 500 mg
Vestein 3x1 caps

17/6/2019
S Sesak (+), batuk, bengkak pada kedua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 115/90 mmHg
N : 97x/m SB : 36,1
RR : 22x/m
SPO2 : 97 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) Penigkatan JVP (-)
Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+)
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (+) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P NaCl 0,9 %
Aminofluid 1000

12
Furosemid 3x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Ceftriaxon 1x2 gr
Metylprednisolon 2x 62,5 mg
Digoxin 1x1 tab
Spironolakton 1x 100 mg
Candersatan 2 x 4 mg
Onoiwa 2x3 tab
Tromboaspilet 2x1 tab
Azytromicin 1x 500 mg
Vestein 3x1 caps

18/6/2019
S Sesak (+), batuk, bengkak pada kedua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 114/80 mmHg
N : 97x/m SB : 36,1
RR : 24x/m
SPO2 : 98 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) Penigkatan JVP (-)
Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+)
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (+) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P NaCl
Aminofluid 1000
Furosemid 3x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Ceftriaxon 1x2 gr
Metylprednisolon 2x 62,5 mg
Digoxin 1x1 tab
Spironolakton 1x 100 mg
Candersatan 2 x 4 mg
Onoiwa 2x3 tab
Tromboaspilet 2x1 tab
Azytromicin 1x 500 mg
Vestein 3x1 caps

13
18/6/2019
S Sesak (+), batuk, bengkak pada kedua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 114/80 mmHg
N : 97x/m SB : 36,1
RR : 24x/m
SPO2 : 98 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) Penigkatan JVP (-)
Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+)
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (+) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P NaCl 0,9 %
Aminofluid 1000
Furosemid 3x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Ceftriaxon 1x2 gr
Metylprednisolon 2x 62,5 mg
Digoxin 1x1 tab
Spironolakton 1x 100 mg
Candersatan 2 x 4 mg
Onoiwa 2x3 tab
Tromboaspilet 2x1 tab
Azytromicin 1x 500 mg
Vestein 3x1 caps

19/6/2019
S Sesak (+), batuk, bengkak pada kedua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 118/60 mmHg
N : 97x/m SB : 36,1
RR : 28x/m
SPO2 : 98 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) Penigkatan JVP (-)
Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+)
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (+) hepar / lien = TB/TTB

14
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P NaCl 0,9 %
Aminofluid 1000
Furosemid 3x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Ceftriaxon 1x2 gr
Metylprednisolon 2x 62,5 mg
Digoxin 1x1 tab
Spironolakton 1x 100 mg
Candersatan 2 x 8 mg
Onoiwa 2x3 tab
Tromboaspilet 2x1 tab
Penisilin 1x 500 mg
Vestein 3x1 caps

20/6/2019
S Sesak (+), batuk, bengkak pada kedua kaki
O KU : TSS KES : CM
TD : 110/50 mmHg
N : 87x/m SB : 36,1
RR : 24 x/m
SPO2 : 98 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) Penigkatan JVP (-)
Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+)
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (+) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2, pitting edema (+)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD Multiple value
AR moderate-severe
Congestive liver
P NaCl 0,9 %
Aminofluid 1000
Furosemid 3x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Ceftriaxon 1x2 gr
Metylprednisolon 2x 62,5 mg

15
Digoxin 1x1 tab
Spironolakton 1x 100 mg
Candersatan 2 x 8 mg
Onoiwa 2x3 tab
Tromboaspilet 2x1 tab
Penisilin 1x 500 mg
Vestein 3x1 caps

21/6/2019
S Sesak (+), batuk lendir (+)
O KU : TSS KES : CM
TD : 120/40 mmHg
N : 100 x/m SB : 36,4
RR : 26x/m
SPO2 : 95 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) jvp 5 +4 cm


Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+)
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (+) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD multiple value
AR moderate severe
Congestive liver
P Ivfd Nacl 0,9 % 500 cc : aminofluid 1000 cc
Inj lasix 2x1 (iv)
Inj ceftriaxone 1x2 gr (iv)
Inj MP 2x 31,25 mg (iv)
Candersatan 2x8 mg (po)
Onoiwa 2x2 caps (po)
Vastein 3x1 caps (po)
Tromboaspilet 1x1 tab (po)
Penisilin 1x 500 mg (po)
Spironolakton 1x 100 mg (po)
Minum 800-1000 cc/ hari

22/6/2019
S Sesak (-), batuk berdahak (+)
O KU : TSS KES : CM
TD : 130/80 mmHg
N : 104 x/m SB : 36,5

16
RR : 26x/m
SPO2 : 97 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) jvp 5 +4 cm


Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+/+), whz (+/+)
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (-) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD multiple value
AR moderate severe
Congestive liver
P Ivfd Nacl 0,9 % 500 cc : aminofluid 1000 cc
Inj lasix 2x1 (iv)
Inj ceftriaxone 1x2 gr (iv)
Inj MP 2x 31,25 mg (iv)
Candersatan 2x8 mg (po)
Onoiwa 2x2 caps (po)
Vastein 3x1 caps (po)
Tromboaspilet 1x1 tab (po)
Penisilin 1x 500 mg (po)
Spironolakton 1x 100 mg (po)
Minum 800-1000 cc/ hari

23/6/2019
S batuk berdahak (+)
O KU : TSS KES : CM
TD : 140/60 mmHg
N : 109 x/m SB : 36
RR : 29x/m
SPO2 : 97 %

K/L : CA (+/+), SI (+/+), OC (-) > KGB (-) jvp 5 +4 cm


Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+), whz (-/-)
Cor : gallop (-), murmur (+), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (-) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD multiple value
AR moderate severe
Congestive liver

17
P Ivfd Nacl 0,9 % 500 cc : aminofluid 1000 cc
Inj lasix 2x1 (iv)
Inj ceftriaxone 1x2 gr (iv)
Inj MP 2x 31,25 mg (iv)
Candersatan 2x8 mg (po)
Onoiwa 2x2 caps (po)
Vastein 3x1 caps (po)
Tromboaspilet 1x1 tab (po)
Penisilin 1x 500 mg (po)
Spironolakton 1x 100 mg (po)
Minum 800-1000 cc/ hari

24/6/2019
S batuk berdahak (+)
O KU : TSS KES : CM
TD : 130/80 mmHg
N : 109 x/m SB : 36
RR : 29x/m
SPO2 : 97 %

K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-) > KGB (-) jvp 5 +3 cmH2o


Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (+), whz (-/-)
Cor : gallop (-), murmur (-), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (-) hepar / lien = TB/TTB
Eks : akral hangat , CRT < 2
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD multiple value
AR moderate severe
Congestive liver
P Ivfd Nacl 0,9 % 500 cc : aminofluid 1000 cc
Inj lasix 2x1 (iv)
Inj MP 2x 16 mg (po)
Candersatan 2x8 mg (po)
Onoiwa 2x2 caps (po)
Vastein 3x1 caps (po)
Penisilin 1x 500 mg (po)
Spironolakton 1x 100 mg (po)
Minum 800-1000 cc/ hari

25/6/2019
S batuk (+)
O KU : TSS KES : CM
TD : 130/70 mmHg
N : 120 x/m SB : 36,6

18
RR : 27x/m
SPO2 : 96 %

K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-) > KGB (-)


Tho : Pengembangan dada simetris, ikut gerak napas
SN, vesikuler ( +/+), Rho (-/-), whz (-/-)
Cor : gallop (-), murmur (-), BJ 1-BJ 2 = Reguler
Abd : supel, cembung, timpani, NT (-) BU (+) N
Eks : akral hangat , CRT < 2 Edema (-)
Veg : makan/minum : (+/+)
BAB/BAK (+/+)
A ADHF
RHD multiple value
AR moderate severe
Congestive liver
P Ivfd Nacl 0,9 % 500 cc : aminofluid 1000 cc
lasix 2x1 (po)
MP 2x 16 mg (po)
Candersatan 2x8 mg (po)
Onoiwa 2x2 caps (po)
Vastein 3x1 caps (po)
Penisilin 1x 500 mg (po)
Spironolakton 1x 100 mg (po)
Minum 800-1000 cc/ hari

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung


Jantung terletak di dalam rongga mediastinum yang terletak diantara kedua paru.
Terdapat selaput yang mengitari jantung yang disebut perikardium, terdiri dari dua lapisan
yaitu Perikardium parietalis yang merupakan lapisan luar melekat pada tulang dada dan paru,
serta perikardium viseralis yang melapisi permukaan jantung atau epikardium. Diantara
kedua lapisan ini terdapat cairan pericardium. Fungsi utama jantung adalah memompa darah
ke pembuluh darah dengan kontraksi ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat

19
ruang, 2 ruang jantung atas dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di bawahnya dinamakan
ventrikel, yang berfungsi sebagai pompa. Dinding yang memisahkan kedua atrium dan
ventrikel menjadi bagian kanan dan kiri dinamakan septum.

3.2 Regurgitasi Aorta


Regurgitasi katup aorta adalah kebocoran pada katup aorta yang terjadi setiap kali
ventrikel mengalami relaksasi. Regurgitasi di tentukan oleh adanya inkopetensi katup
aorta dimana sebagian dari volume curah jantung dari ventrikel kiri mengalir kembali ke
ruang ventrikel selama diastol.

3.2.2 Etiologi dan Patogenesis


Regurgitasi atau insufisiensi aorta dapat terjadi secara akut maupun kronik serta
dapat terjadi akibat kelainan primer pada kuspis katub aorta maupun pada annulus
aorta. Penyebab regurgitasi aorta akut yang paling sering dijumpai adalah diseksi
aorta asendens akut yang meluas hingga annulus aorta, endocarditis yang merusak
kuspis katub aorta, trauma dan prolapse atau rupture spontan dan mendadak kuspis
katub akibat proses degenerative.
Insufisiensi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi dalam 2 macam
kelainan artifisial yaitu:
1. Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan pada:
a. Penyakit kolagen
Dengan penuaan, protein collagen dari kelopak-kelopak klep dihancurkan,
dan kalsium mengendap pada kelopak-kelopak. Pergolakan diseluruh klep-
klep meningkatkan penyebab luka parut dan penebalan. Penyakit yang
progresif menyebabkan klasifikasi aorta tidak ada sangkut pautnya dengan

20
piliha-pilihan gaya hidup yang sehat, tidak seperti kalsium yang dapat
mengendap pada arteri koroner untuk menyebabkan serangan jantung.
b. Aortitis sifilitika Sifilis
sekarang jarang menjadi penyebab aortitis. Infeksi spirokaeta pada tunika
media arteri, biasanya selama fase kedua infeksi sifilis, memicu proses
peradangan kronis. Hal ini menyebabkan kelemahan aorta dan destruksi
komponen muscular dan elastic dinding aorta, serta dilatasi aneurisma, paling
sering pada aorta asenden.
c. Diseksi aorta
Diseksi aorta merupakan kelainan yang membahayakan dan menyebabkan
kematian mendadak. Robekan pada tunika intima aorta memungkinkan aorta
mengalami diseksi atau tercarik pada lapisan subintinmanya. Proses ini dapat
diawalai oleh pendarahan spontan pada satu area dinding aorta diikuti oleh
robekan tunika intima, atau robekan dapat disebabkan tenaga regangan dari
dalam lumen aorta.
2. Penyakit katup artifisial
a. Penyakit jantung reumatik
Penyakit jantung rematik ini adalah kondisi dimana terjadi kerusakan
permanen dari katup-katup jantung yang disebabkan oleh demam reumatik.
Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang
dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri kelas A
Beta-hemoliticus streptococcus.
b. Endokarditis bakterialis
Endokarditis bakterialis adalah infeksi yang mengenai lapisan dalam jantung
(ondokardium) atau katup jantung. Infeksi ini dapat merusak atau
menghancurkan katup jantung.
c. Aorta artificial congenital
Merupakan kelainan bawaan yang dibawa bayi sejak lahir, misalnya kelainan
katup yang tidak bisa menutup secara sempurna saat dalam kandungan,
menyebabkan aliran darah dari ventrikel kiri tidak bisa mengalir secara
sempurna.
d. Ventricular septal defect (VSD)
Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD) adalah
gangguan atau lubang pada septum atau sekat di antara rongga ventrikel

21
akibat kegagalan fusi atau penyambungan sekat interventrikel. VSD terjadi
pada 1,5 – 3,5 dari 1000 kelahiran hidup dan sekitar 20-25% dari seluruh
angka kejadian kelainan jantung kongenital. Umumnya lubang terjadi pada
daerah membranosa (70%) dan muscular (20%) dari septum.
e. Ruptur traumatik Ruptur traumatik aorta adalah kondisi dimana aorta sebagai
arteri ternesar mengalami ruptur. Kondisi ini sangat fatal karena pendarahan
yang banyak dihasilkan dari ruptur tersebut.
f. Aortic left ventricular tunnel Merupakan kelainan jantung bawaan antara aorta
dan ventrikel kiri. Biasanya penatalaksanaannya adalah dengan prosedur
pembedahan kemudian dilanjutkan dengan transkateter perkutan.
3. Genetik
a. Sindrom marfan
Terdapat kelainan genetic jaringan ikat yang mungkin dominan autosomal
namun tidak terekspresi secara sempurna. Perjalanan alami abnormalitas
jaringan ikat bervariasi begitu pula manifestasi fenotipik.
b. Mukopolisakaridosis
Mukopolisakaridosis adalah sekumpulan kelainan metabolik yang
diturunkan. Penyebabnya adalah kekurangan enzim lisosom tertentu yang
diperlukan untuk menguraikan mukopolisakarida. Mukopolisakarida adalah
molekul gula rantai panjang yang digunakan untuk membangun jaringan ikat
dan organ tubuh. Jika terjadi mutasi genetik pada enzim tersebut maka
mukopolisakarida akan terdapat dalam jumlah yang berlebihan dan disimpan
di dalam tubuh, menyebabkan kerusakan yang progresif dan kematian.

Mikroorganisme
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan insuisiensi aorta adalah bakteri
(streptokokus, enterokokus, pnemokokus, stapilokokus), fungi, riketsia dan
streptokokus vidans. Mikroorganisme tersebut menginvasi katup dan permukaan
endotel jantung sehingga menyebabkan rematik endokarditis. Kemudian terjadi
fenomena reaksi sensitivitas seperti pembengkakan, fibrosis dan perforasi daun
katup. Kemudian terjadi peningkatan pembentukan modul dan jaringan parut,
penebalan progresif dan pengerutan bilah-bilah katup yang menyebabkan
kerusakan bilah katup sehingga penutupan/kekakuan katup aorta tidak sempurna
dan terjadi insufisiensi aorta.

22
Hipertrofi ventrikel
Ada beberapa penyebab yang dapat mengarah pada hipertrofi ventrikel yaitu
bentuk ventrikel yang mengalami pembesaran dan dilatasi sebagai bagian dari
kompensasi jantung terhadap penyakit ini. Hal tersebut mengakibatkan
kemampuan otot papilaris untuk mendekatkan daun-daun katup pada waktu katup
menutup berkurang. Semakin lama apabila keadaan ini terus berlanjut maka akan
memperlebar lubang pada katup aorta dan mempersulit penutupan katup aorta.
Serangkaian kejadian ini akan membuat jantung mengalami insufisiensi aorta.

Infark miokard akut


Rupture otot papilaris yang disebabkan oleh infark miokard akut
mengakibabkan penutupan atau kekakuan katup aorta sehingga penutupan katup
aorta tidak sempurna.

3.2.3 Epidemiologi
Insufisiensi aorta mengenai sekitar 5:10.000 populasi. Insidens lebih tinggi
pada pria terutama pada yang berumur 30-60 tahun. Insufisiensi aorta biasanya
disertai dengan kelainan jantung lain, seperti VSD tipe membran (konoventrikuler
atau tipe konal septal (infundibuloventrikuler), kelainan katup aorta subvalvular,
displasia daun katup tanpa fusi komisura, dan hilangnya 2 atau 3 daun katup aorta.
Resiko terjadinya kematian prematur, komplikasi, dan kebutuhan akan pengobatan
karena penyakit jantung kongenital sedikitnya 50% dari populasi penderita.
Sekitar 2/3 pasien regurgitasi aorta, penyebabnya adalah demam reumatik
yang menimbulkan penebalan, deformasi, dan pemendekan daun katup aorta. Hal
ini mengakibatkan pembukaan pada sistole dan penutupan saat diastole menjadi
tidak sempurna. Namun, kejadian demam rematik jarang menjadi regurgitasi aorta
yang tersendiri.
Demam rematik akut berhubungan dengan derajat variasi valvulitis dan
miokarditis. Penelitian di New Zaeland memperlihatkan bahwa disfungsi kontraksi
ventrikel kiri selama dan setelah demam reumatik akut tergantung pada tingkat dan
tipe regurgitasi aorta dan mungkin dipengaruhi oleh intervensi bedah.
Mortalitas dan morbiditas insufisiensi aorta berhubungan dengan berbagai
parameter seperti durasi insufisiensi aorta, keparahan kompetensi katup,

23
mekanisme kompensasi, komplikasi pasca bedah penggantian katup pada
simtomatik yang berat. Pada insufsiensi aorta kronik dengan fungsi diastolic
ventrikel kiri yang stabil dan mekanisme kompensasi yang sudah lama terjadi akan
menimbulkan efek samping berupa lesi baru yang akut. Hal ini berdampak besar
pada fungsi katup dan aliran darah yang pada akhirnya bisa memfasilitasi
terjadinya dekompensasi. Oleh karena itu, setiap pasien dengan kompensasi
insufisiensi aorta kronik yang berat harus diperhitungkan tingginya resiko
dekompensasi dengan komplikasi jantung yhang mengancam jiwa.
Data-data riwayat penyakit yang ada sebagian besar berasl dari populasi
dewasa yang menderita insufisiensi aorta selama beberapa tahun. Berdasarkan data
ini, harapan hidup 5 tahun pasien angina dengan insufisiensi aorta berat yang tidak
dikoreksi adalah 50%. Setiap terjadi gagal jantung, 50% pasien yang tidak
dikoreksi akan meninggal dalam 2 tahun. Sebaliknya pasien yang dapat terapi
pembedahan memiliki mortalitas 1-5%. Diperkirakan bahwa 75% pasien dengan
insufisiensi aorta murni adalah laki-laki, sedangkan yang disertai kelainan katup
mitral, insidennya lebih tinggi pada wanita. Insufisiensi aorta yang bersamaan
dengan penyakit jantung congenital lainnya, insidennya tidak berhubungan dengan
usia.1,2

3.2.4. Patofisiologi
Pada regurgitasi aorta sebagian volume darah mengalir kembali saat diastolik
menuju ventrikel sehingga terjadi beban volume berlebih (volume overload) pada
ventrikel kiri. Usaha ventrikel kiri unutk beradaptasi dengan kondisi ini adalah
dengan meningkatkan volume (eccentric hypertrophy). Ventrikel kiri dengan
volume yang besar dapat menghasilkan volume sekuncup yang lebih banyak
menuju aorta sebagai konpensasi berkurangnya curah jantung efektif akibat
regurgitasi. Volume sekuncup yang besar ini akan mengkatkan tekanan darah
sistolik (augment aortic systolic preassure). Mekanisme adaptasi lainnya adalah
dengan mengkatkan denyut jantung (takikardia). Semakin tinggi denyut jantung
maka akan semakin singkat fase diastolik sehingga volume regurgitasi akan
berkurang.
Berbagai mekanisme adaptasi ini pada awalnya dapat mengatasi perubahan
hemodinamik akibat regurgitasi aorta, akan tetapi bila berlangsung lama pada
akhirnya akan mencapai tahap dekompensasi. Selain beban volume berlebih,

24
regurgitasi aorta kronik juga menimbulkan beban tekanan berlebih (preassure
overload) pada ventrikel kiri. Hal ini sesuai dengan hokum laplace yang
menyatakan bahwa beban dari ventrikel sebanding dengan ukurang ventrikel
tersebut. Peningkatan tekanan ventrikel selanjutnya dapat mengkatkan tekanan
pada atrium kiridan sirkulasi pulmonal. Fenomena lainyang dapat dijumpai adalah
tekanan diastolik aorta yang rendah akibat ada sebagian volyme darah yang
mengalir. Tekanan diastolik yang mengkatkan disertai penurunan tekanan diastolik
ini menimbulkan selisih tekanan nadi yang lebar atau wide plus preassure.
Perbedaan tekanan nadi yang lebar ini menjadi dasar pemeriksaan fisik yang
karakteristik pada regurgitasi aorta kronik. Tekanan diastolik yang rendah juga
dapat menurunkan perfusi pembuluh darah coroner dengan manifestasi klinis
angina pectoris.
Pada regurgitasi aorta akut ventrikel kiri tidak memiliki waktu yang cukup
unutk melakukan kompensasi yang adekuat seperti pada regurgitasi aorta kronik
sehingga beban volume yang berlebih akan segera menyebabkan peningkatan
tekanan di ventrikel kiri dan selanjutnya segera diikuti oleh penignkatan tekanan di
atrium dan sirkulasi pulmonal. Curah jantung juga akan menurun drastic akibat
mekanisme kompensasi yang tidak adekuat.

3.2.5 Manifestasi Klinik


Kebanyakan pasien yang menderita insufisiensi aorta datang dengan keluhan
adanya pulsasi arteri karotis yang nyata serta denyut pada apeks saat pasien
berbaring ke sisi kiri. Bisa juga timbul denyut jantung prematur, oleh karena isi
sekuncup besar setelah diastolik yang panjang. Pada penderita insufisiensi aorta
kronik bisa timbul gejala-gejala gagal jantung, termasuk dispnea waktu
beraktifitas, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, edema paru dan kelelahan.
Angina cenderung timbul waktu beristirahat saat timbulnya bradikardi dan lebih
lama menghilang daripada angina akibat penyakit koroner saja. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan denyut arteri karotis yang cepat dan perbedaan tekanan darah yang
besar bisa timbul pada keadaan hiperdinamik dengan pulsus bisferiens. Jika
insufisiensi berat, timbul efek nyata pada pulsasi arteri perifer. Jika gagal jantung
berat, tekanan diastolik bisa normal akibat peningkatan tekanan diastolik pada
ventrikel kiri. Jantung bisa berukuran normal bila insufisiensi aorta kronik ringan
atau jika insufisiensinya akut. Pada klien dengan insufisiensi sedang atau berat,

25
jantung tampak membesar, impuls apeks bergeser ke inferolateral dan bersifat
hiperdinamik. Bunyi jantung pertama menurun intensitasnya terutama jika interval
PR memanjang. Bunyi ejeksi sistolik bisa terdengar sepanjang perbatasan sternum
kiri akibat distensi tiba-tiba dari aorta. Sekunder dari insufisiensi bisa timbul bising
diastolik aorta di sela iga 2 kiri, bising sistolik di apeks, bising austin flint (diatolic
rumble) di apeks dan bising sistolik trikuspid. Karakteristik bising diastoliknya
adalah bunyi bernada tinggi, paling jelas terdengar diperbatasan sternum kiri,
menggunakan diafragma stetoskop dengan penekanan yang cukup dan klien
condong ke depan setelah ekspirasi. Jika terdapat penyakit pangkal aorta, bising
paling jelas terdengar di sternum kanan. Bising diastolik nada tinggi bisa terdengar
jika daun katup itu terbuka, timbul lubang karena endokarditis. Bising tersebut
sering terdengar pada insufisiensi aorta akut. Biasanya bunyi melemah oleh karena
penutupan dini katup mitral. Irama derap ventrikel yang terdengar di apeks
biasanya merupakan tanda disfungsi ventrikel kiri. Bising austin flint timbul akibat
pergeseran aliran balik aorta terhadap daun katup anterior dari katup mitral, yang
menimbulkan stenosis mitral fungsional.

Adapun tanda dan gejala yang biasa dirasakan oleh pasien dengan aorta
regurgitasi adalah sebagai berikut:1,2
Anamnesisdan pemeriksaan fisik:
1. Rasa lelah
2. Dyspnea saat aktivitas
3. Palpitasi
4. Angina dengan hipertropi ventrikel kiri
5. Temuan hemodinamik :
a. Pengisian dan pengosongan denyut arteri yang cepat
b. Tekanan nadi melebar disertai peningkatan tekanan sistemik dan
penurunan tekanan diastolik
c. Tekanan diastolik rendah
6. Auskultasi :
Bising diastolic, bising austinflint yang khas, Sistolic Ejection Click
disebabkan oleh peningkatan volume ejeksi.
Pemeriksaan Penunjang:

26
1. Elektrokargiogram (EKG), menunjukan adanya hipertrofi ventrikel kiri.

2. Rontgen thoraks, menunjukan adanya pembesaran ventrikel kiri, elongasi


aorta, dan pembesaran atrium kiri.
3. Ekokardiografi, menunjukan adanya gerakan katup yang abnormal, volume
berlebih pada ventrikel kiri dengan dimensi ventrikel kiri yang sangat
melebar dan gerakan septum dan dinding posterior ventrikel kiri yang
hiperkinetik.
4. Kateterisasi jantung : Pemeriksaan kateterisasi jantung penting dilakukan
untuk menilai derajat insufisiensi aorta pada penderita yang insufisiensinya
dinilai sedang sampai berat, menentukan fungsi ventrikel kiri, dan mencari
kelainan jantung lainnya seperti kelainan katup mitral atau penyakit arteri
koroner. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri tak dapat digunakan sebagai
indeks fungsi ventrikel kiri pada penderita insufisiensi kronis, karena
mungkin ada peningkatan komplikasi diastolik dan terdapat tekanan
dinding diastolik akhir dengan beban awal normal. Ventrikel kiri tampak
opag selama penyuntikan bahan kontras kedalam pangkal aorta.
5. Peningkatan cardiac isoenzim (CK-CKMB)2

3.2.6. Diagnosis Banding


Regurgitasi aorta harus dibedakan dengan beberapa kelainan lain dengan
memiliki manifetasi klinis yang mirip yakni PDA, regurgitasi pulmonal, dan
rupture aneurisma sinus valsavah.

3.2.7 Tatalaksana
1.) Pengobatan farmakologis

27
Digitalis harus diberikan pada insufisiensi berat dan dilatasi jantung
meskipun asimptomatik. Insufisiensi aorta karena penyakit jantung reumatik
harus mendapat pencegahan sekunder dengan antibiotik.
Beberapa pusat penelitian menganjurkan penggunaan propanolol pada
dilatasi aorta akibat sindrom marfan untuk mengurangi pulsasi aorta yang
sangat kuat. Pengobatan vasodilator seperti nifedipine, felodipine, dan ACE
inhibitor dapat mempengaruhi ukuran dan fungsi dari ventrikel kiri dan
mengurangi beban di ventrikel kiri sehingga dapat memperlambat
progresivitas dari disfungsi miokardium
 Vasodilator
Vasodilator dapat menyebabkan penurunan left ventricular systolic
pressure sehingga terjadi penurunan tegangan dinding ventrikel kiri dan
penurunan regurgitant volume melalui penurunan gradien tekanan pada
katup aorta saat diastolik. Keadaan tersebut akan mengurangi beban volume
dan tekanan yang berlebihan pada ventrikel kiri, sehingga gejala gagal
jantung dapat berkurang bahkan progresivitas dilatasi dan disfungsi
ventrikel kiri dapat di hambat. Hal tersebut didukung oleh hasil beberapa
penelitian sebelumnya bahkan guideline ACC/AHA merekomendasikan
penggunaan vasodilator pada penderita insufisiensi aorta (kelas IA).
Vasodilator yang dapat digunakan antara lain calcium channel blocker,
hydralazin, penghambat ACE, nitroprusid, dan lain-lain. Jenis vasodilator
yang akan dipilih bersifat individual, tergantung kondisi ko-morbid dan
toleransi penderita.
 ACE-Inhibitor
Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan, pemberian ACE-
inhibitor pada penderita dengan insufisiensi aorta juga memberikan
manfaat. ACE-inhibitor dapat mengurangi stres dan volume pada dinding
ventrikel kiri. Pemberian ACE-inhibitor pada insufisiensi aorta kronis
terbukti dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada penderita dengan
hipertensi atau gagal jantung. Sehingga ACE-inhibitor merupakan obat
pilihan untuk penderita insufisiensi aorta kronis dengan gejala dan
hipertensi, fungsi ventrikel kiri yang buruk atau gagal jantung.
 Beta-blocker

28
Golongan obat ini tidak terlalu bermanfaat pada penderita insufisiensi
aorta, oleh karena efek inotropik negatifnya, di mana adanya bradikardi
bisa merugikan penderita itu sendiri. Fase diastolik yang memanjang akibat
pemberian beta-blocker ini akan menyebabkan peningkatan volume
regurgitan, sehingga penggunaannya pada penderita insufisiensi aorta
merupakan kontra indikasi relatif. Namun pada keadaan dimana terdapat
dilatasi aorta seperti pada sindrom Marfan, beta-blocker dapat
memperlambat progresivitas pelebaran aorta dengan mengurangi wall stress
pada dinding aorta akibat penurunan tekanan darah setelah pemberian beta-
blocker.
 Digoksin
Digoksin bermanfaat terutama pada keadaan di mana telah terjadi
gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan atrial fibrasi. Namun pemberian
harus hati-hati karena efek samping digoksin (bradiaritmia) dapat
memperburuk keadaan hemodinamik.
 Diuretik
Pada keadaan di mana didapatkan akumulasi cairan dan tanda kongesti
paru, pemberian diuretik dan restriksi garam akan sangat bermanfaat untuk
mengurangi gejala dan tanda gagal jantung.
 Antibiotika Profilaksis
Penderita dengan insufisiensi mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
endokarditis. Pada keadaan di mana penderita akan dilakukan tindakan gigi
atau prosedur pembedahan lainnya diperlukan pemberian antibiotika
profilaksis. Hal ini memang direkomendasikan oleh AHA, yang selanjutnya
harus dilakukan follow-up yang ketat dan evaluasi berkelanjutan (tiap 6
bulan atau 1 tahun).

2.) Tindakan Bedah


Penggantian katup aorta adalah terapi pilihan, tetapi kapan waktu yang
tepat untuk penggantian katup masih kontroversial. Pilihan untuk katup buatan
ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontraindikasi untuk koagulan, serta
lamanya umur katup. Pembedahan dianjurkan pada semua pasien dengan
hipertrofi ventrikel kiri tanpa memperhatikan ada atau tidaknya gejala lain.

29
Bila pasien mengalami gejala gagal jantung kongestif, harus diberikan
penatalaksanaan medis sampai dilakukannya pembedahan

3.2.8 Komplikasi
Perubahan hemodinamika yang mendadak, selain prosedurnya sendiri,
menyebabkan pasien dapat mengalami komplikasi setelah pembedahan.
Komplikasi tersebut meliputi perdarahan, tromboembolisme, infeksi, gagal jantung
kongestif, hipertensi, disritmia, hemolisis, dan sumbatan mekanis.
1. Kardiomegali
Pada insufisiensi katup aorta, darah mengalir kembali ke ventrikel dari aorta
tepat setalah ventrikel memompakan darah ke aorta. Pada insufisiensi aorta
otot ventrikel kiri mengalami hypertropi akibat peningkatan beban kerja.
Massa otot ventrikel kiri juga bertambah empat sampai lima kali lipat
sehingga membuat jantung kiri sangat besar.
2. Gagal ventrikel kiri
Pada stadium awal, kemampuan intrinsik ventrikel kiri untuk beradaptasi
terhadap peningkatan beban dapat menghindari gangguan yang berarti pada
fungsi sirkulasi selama beristirahat, diluar peningkatan hasil kerja yang
dibutuhkan oleh ventrikel kiri.

3. Edema paru
Diatas tingkat kritis kelainan katup aorta, ventrikel kiri akhirnya tidak dapat
menyesuaikan dengan beban kerja. Akibatnya ventrikel kiri melebar dan curah
jantung mulai menurun pada saat yang bersamaan darah tertimbun di atrium
kiri dan di paru-paru di belakang ventrikel kiri yang kepayahan. Tekanan
atrium kiri meningkat secara progresif dan muncul edema di pari-paru.
4. Hipoksia jaringan
Efek lain yang membantu mengompensasi penurunan hasil bersih pemopaan
ventrikel kiri ialah peningkatan volume darah. Hal ini adalah akibat dari
penurunan awal dari tekanan arteri ditambah refleks sirkulasi perifer yang
menurunkan induksi tekanan. Peningkatan volume darah cenderung
meningkatkan aliran balik vena ke jantung, hal ini selanjutnya menyebabkan
ventrikel kiri memompakan darah dengan takanan ekstra yang dibutuhkan
untuk mengimbangi dinamika pemompaan yang abnormal.

30
3.2.9 Prognosis

Hampir 70 % pasien dengan insufisiensi aorta kronik dapat bertahan 5 tahun,


sedangkan 50 % mampu bertahan 10 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Pasien
mampu hidup secara normal, tetapi rentan terhadap endokarditis infekif. Jika
timbul gagal jantung , bisa bertahan 2 tahun dan setelah timbul gejala angina
biasanya bertahan 5 tahun. Pasien dengan insufisiensi aorta akut dan edema paru
memiliki prognosis buruk dan, biasanya harus operasi

3.3 ADHF

3.3.1. Definsi
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Menurut European Society of Cardiology (ESC), gagal jantung didefiniskan
sebagai kelainan pada struktur atau fungsi jantung yang mengakibatkan
ketidakmampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang dibutuhkan
oleh tubuh. Gagal jantung juga bisa didefinisikan sebagai sindrom klinis yang
menyebabkan keluhan sesak napas, bengkak dan letih serta ditemukan
meningkatnya jugular venous pressure (JVP), iktus kordis yang bergeser kelateral
dan terdengar bunyi gallop di jantung serta ronki basah halus dibasal paru.
Gagal jantung akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat/rapid/onset
(<24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolik
atau irama jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir
(afterload),atau kontraktilitas dan keadaan ini dapat mengancam jiwa bila tidak
ditangani dengan tepat. Atau adanya perubahan pada gejala-gejala atau tanda-
tanda (symptoms dan sign) dari gagal jantung (GJ) yang berakibat diperlukannya
tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama gagal
jantung, atau perburukan dari gagal jantung kronik sbelumnya. Pasien dapat
memperlihatkan kedaruratan medic (medical emergency) seperti edema paru akut

31
(acute pulmonary oedem). Serangan yang cepat dari gejala dan tanda gaga
jantung sehingga membutuhkan terapi segera.
Gagal jantung akut adalah terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan
kejadian atau perubahan yang cepat dari tanda dan gejala gagal jantung. Kondisi
ini mengancam kehidupan dan harus ditangani dengan segera, dan biasanya
berujung pada hospitlisasi. Ada 2 jenis persentasi gagal jantung akut, yaitu gagal
jantung akut yang baru terjadi pertama kali ( de novo ) dan gagal jantung
dekompensasi akut pada gagal jantung kronis yang sebelumnya stabil.
Gagal jantung akut dibagi menjadi dua, yakni ADHF dan gagal jantung akut
“de novo”. ADHF adalah perburukan secara tiba-tiba dari gejala dan tanda gagal
jantung. ADHF sendiri digunakan untuk mendeskripsikan perburukan tiba-tiba
dari pasien dengan gagal jantung kronik. Sedangkan gagal jantung akut “de novo”
dimasukan untuk kasus baru gagal jantung. Kasus ADHF sendiri diakibatkan oleh
faktor pemberat yang akut misalnya infark miokard akut atau aritmia.
Patofisiologinya sendiri akibat kegagalan ventrikel kiri untuk memompa darah
saat adanya peningkatan beban kerjanya. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hal ini dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraktilitas jantung.
Perubahan dari faktor-faktor ini dapat mengakibatkan gagal jantung akut.
3.3.2 Pathogenesis Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan
neurohormonal yang buruk dan mungkin diakibatkan oleh jejas pada miokard
dan/ ginjal. Abnormalitas tersebut mungkin dapat disebabkan karena iskemia,
hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya (seperti insufisiensi
ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan. Beberapa mekanisme pathogenesis
gagal jantung akut diantaranya adalah:
• Kongesti.
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri akan berakibat kongesti pulmonal
dan sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun merupakan
presentasi utama pada mayoritas pasien dengan gagal jantung akut. Kongesti
paru dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena pulmonalis (peningkatan
tekanan baji kapiler paru/ pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)) dan
akan berakibat edema interstisial dan alveolar paru. Kongesti sistemik
bermanifestasi secara klinis dengan distensi vena jugularis dengan atau tanpa
edema perifer dan peningkatan berat badan secara gradual sering ditemukan.

32
Biasanya, kongesti paru berat yang terjadi secara mendadak dipresipitasi oleh
peningkatan tekanan darah (afterload), terutama pada pasien dengan disfungsi
diastolik. Gangguan ginjal, abmormalitas berat dari neurohormonal dan
endothelial, gangguan diet dan beberapa obat-obatan seperti anti inflamasi non
steroid (OAINS) juga berkontribusi terhadap kelebihan cairan. Peningkatan
tekanan diastolik ventrikel kiri yang tinggi, akan berkontribusi terhadap
progresifitas dari gagal jantung lebih lanjut dengan aktivasi neurohormonal,
iskemia subendokardial dan/ atau perubahan ukuran dan bentuk dari ventrikel
kiri (remodelling) yang pada akhirnya berakibat pada insufisiensi katup mitral.
Peningkatan tekanan vena sistemik (tekanan atrium kanan bagian atas), lebih
sering disebabkan karena tekanan jantung kiri yang tinggi/ pulmonary
capillary wedge pressure (PCWP), yang akan berkontribusi pada terjadinya
sindroma kardio renal (SKR). Berat badan biasa digunakan sebagai penanda
adanya kongesti pada pasien gagal jantung yang dirawat inap maupun rawat
jalan. Bagaimanapun, beberapa penelitian menyimpulkan hubungan yang
kompleks antara berat badan, kongesti dan keluaran pasien dengan gagal
jantung.
• Cedera miokard
Pelepasan troponin sering terjadi pada kondisi gagal jantung akut, terutama
pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Hal ini nampaknya
merefleksikan adanya cedera miokard, yang berhubungan dengan
abnormalitas hemodinamik dan/ atau neurohormonal atau sebagai akibat dari
kejadian iskemia. Cedera juga bisa terjadi sebagai akibat tingginya tekanan
diastolik ventrikel kiri, yang kemudian akan mengaktivasi stimulasi
neurohormonal dan inotropik sehingga berakibat kepada ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
• Gangguan ginjal
Pada gagal jantung akut, abnormalitas ginjal akan menyebabkan retensi
natrium dan air. Gangguan struktural ginjal akibat hipertensi, diabetes dan
arteriosklerosis merupakan penyebab yang sering ditemukan, dan perburukan
fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang dirawat dengan gagal
jantung akut. Dari penelitian akhir, 20% pasien akan mengalami perburukan
fungsi ginjal segera setelah pasien dipulangkan. Perburukan selama perawatan
atau setelah pasien pulang mungkin diakibatkan karena penurunan curah

33
jantung dan peningkatan tekanan vena, yang diperparah dengan pemberian
diuretik dosis tinggi.
• Efek tidak langsung obat
Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama untuk meringankan
gejala kongestif. Bagaimanapun, efek menguntungkan tersebut behubungan
dengan abnormalitas elektrolit, aktivasi neurohormonal yang lebih lanjut dan
perburukan fungsi ginjal. Pemberian loop diuretik intravena dengan dosis
besar berhubungan dengan keluaran yang buruk pada pasien dengan gagal
jantung. Namun, hal ini mungkin suatu penanda dari keparahan dari gagal
jantung itu sendiri, dibandingkan dianggap sebagai penyebab peningkatan
mortalitas. Dobutamin, milrinon dan levosimendan akan meningkatkan profil
hemodinamik, namun efek ini berhubungan dengan peningkatan tingkat
konsumsi oksigen miokard (takikardia dan peningkatan kontraktilitas) dan
hipotensi yang berhubungan dengan efek vasodilatasi. Penurunan perfusi
koroner yang berhubungan dengan hipotensi akan mengakibatkan cedera
miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang
sering memiliki miokardium yang mengalami hibernasi atau iskemia.
Hipotensi yang berhubungan dengan penggunaan vasodilator mungkin juga
mengakibatkan hipoperfusi miokardium dan ginjal sehingga menyebabkan
cedera.

3.3.3 Diagnosis Gagal Jantung Akut


 Tanda dan gejala
Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terjadi akibat retensi air dan
natrium yang biasanya akan membaik dengan cepat dengan pemberian terapi
diuretik. Riwayat medis pasien juga penting bagi penegakan diagnosis, dan
gagal jantung tidak lazim terjadi pada pasien tanpa adanya riwayat medis yang
relevan, misalkan riwayat infark miokard yang akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya gagal jantung pada pasien dengan tanda dan gejala
yang khas.
Setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan, sangatlah penting untuk
menentukan penyebabnya, terutama penyebab yang dapat dikoreksi. Gejala
dan tanda merupakan hal penting yang harus selalu dimonitor sebagai respon

34
terapi dan tanda kestabilan pasien dengan gagal jantung. Gejala yang menetap
pada pasien dengan terapi gagal jantung biasanya menandakan perlunya terapi
tambahan, dan perburukan gejala membutuhkan penanganan medis yang
serius. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal jantung menurut ESC yang
dikeluarkan di tahun 2016.

35
 Uji Diagnostik
Ekokardiografi dan elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan
penting untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. Ekokardiografi
menyajikan informasi yang segera mengenai volume ruang jantung, fungsi
sistolik dan diastolik ventrikel, ketebalan otot, dan fungsi katup (Palazzuoli
dkk., 2012). Informasi ini penting dalam menentukan terapi yang pantas untuk
pasien (misal penyekat angiotensin converting enzyme (ACE) dan penyekat
beta untuk disfungsi sistolik atau operasi untuk stenosis aorta). EKG
membantu untuk melihat irama jantung dan konduksi elektrik, misal adanya
penyakit sinoatrial, blok atrioventrikuler, atau konduksi interventrikuler yang
abnormal. Temuan ini juga penting untuk menentukan penatalaksanaan
(seperti kontrol irama untuk pasien dengan fibrilasi atrium, pemacuan untuk
bradikardia, dan terapi resinkronisasi jantung untuk pasien dengan left bundle
branch block (LBBB)). EKG juga menunjukkan bukti adanya hipertrofi
ventrikel kiri atau gelombang Q yang mengindikasikan adanya kehilangan
miokardium yang viabel, yang membantu memberikan bukti tentang
kemungkinan etiologi dari gagal jantung (Jessup dkk., 2009).
Informasi yang disajikan oleh 2 pemeriksaan ini sudah mampu untuk
menegakkan diagnosis kerja dan perencanaan manajemen bagi mayoritas
pasien. Pemeriksaan biokimiawi dan hematologi rutin juga penting, sebagai
bagian apakah penyekat sistim renin angiotensin aldosterone (SRAA) dapat
dimulai secara aman (dengan pemeriksaan fungsi ginjal dan kalium) dan untuk
mengekslusi adanya anemia (yang mirip atau dapat memperburuk gagal
jantung). Pemeriksaan penunjang lain secara umum hanya diperlukan bila
diagnosis belum bisa ditegakkan (misal bila gambaran ekokardiografi
suboptimal, atau jika terdapat kausa gagal jantung yang tidak umum) atau jika
ada indikasi untuk mengevaluasi lebih jauh penyebab yang mendasari masalah

36
jantung pasien (misal pencitraan perfusi atau angiografi pada pasien dengan
kecurigaan PJK atau endomiokardial biopsi pada beberapa penyakit miokard.
 Peptida natriuretic
Tanda dan gejala gagal jantung dapat tidak spesifik. Banyak pasien
yang dicurigai mengalami gagal jantung dilakukan pemeriksaan
ekokardiografi, namun ternyata tidak memiliki abnormalitas dalam struktur
jantung. Ketika kemampuan ekokardiografi menjadi terbatas, pendekatan lain
untuk mendiagnosis adalah dengan memeriksa konsentrasi peptida natriuretik
darah, keluarga hormon yang disekresikan berlebih bila terjadi jejas pada
jantung atau beban pada salah satu ruang jantung mengalami peningkatan
(misal pada fibrilasi atrium, emboli paru dan beberapa kondisi non- kardiak
termasuk gagal ginjal). Kadar peptida natriuretik juga akan meningkat seiring
dengan usia, namun dapat menurun pada pasien dengan obesitas. Kadar
peptida natriuretik yang normal pada pasien yang belum tertangani secara
nyata mengeksklusi adanya penyakit jantung, yang akan menyebabkan
pemeriksaan ekokardiografi tidak diperlukan lagi (investigasi penyebab non-
kardiak mungkin lebih produktif pada pasien ini).
Banyak penelitian telah meneliti batas konsentrasi untuk mengeksklusi
gagal jantung untuk dua macam peptida natriuretik yang biasa digunakan, B-
type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro B-type natriuretic peptide
(NT-proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada pasien yang datang dengan
awitan akut atau perburukan gejala dan pada pasien dengan awitan yang lebih
gradual. Untuk pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala, nilai
optimal untuk mengeksklusi adalah 300 pg/mL untuk NT-pro BNP dan100
pg/mL untuk BNP. Untuk pasien non akut, nilai optimal untuk mengeksklusi
adalah 125 pg/mL untuk NT-proBNP dan 35 pg/mL untuk BNP. Sensitifitas
dan spesifisitas dari BNP dan NT-proBNP untuk diagnosis gagal jantung juga
lebih rendah pada pasien-pasien non akut.
 Foto Thoraks
Foto thoraks memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis dari
pasien dengan kecurigaan gagal jantung. Hal ini mungkin sangat berguna
dalam mengidentifikasi alternatif keterlibatan paru untuk tanda dan gejala
pasien. Pemeriksaan ini akan menunjukkan kongesti vena pulmonalis atau

37
edema pada pasien dengan gagal jantung. Penting untuk dicatat bahwa
disfungsi sistolik ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran
kardiomegali pada foto thoraks.
 Pemeriksaan Rutin Laboratorium
Sebagai tambahan untuk pemeriksaan biokimiawi (natrium, kalium,
kreatinin, laju filtrasi gromerolus/ estimated glomerular filtration rate (eGFR))
dan hematologis standar (hemoglobin, hematocrit, ferritin, leukosit dan
platelet), sangatlah berguna untuk memeriksa kadar hormon penstimulasi
tiroid, dikarenakan penyakit tiroid dapat menyerupai atau memperburuk gagal
jantung. Kadar gula darah juga penting untuk diperiksa dalam penegakkan
diagnosis.

3.3.4 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan New York Heart Asosiation (NYHA)
Tabel. 2 kalsifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA

Klasifikasi fungsional NYHA


(klasifikasi berdasarkan Gejala dan aktivitas fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan ativitas fiik. Aktivitas sehari-hari tidak menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Kelas II Sedikit pembatasa aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas
sehai-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakan paad kativitas fisik. Berkurang dengan
istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari enyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa adanya kelelahan. Gejala
terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan akan semakin
meningkat. 38
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan American College of Cardiology dan  American
Heart Association
Tabel. 2 kalsifikasi gagal jantung berdasarkan ACC/AHA
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur
dan kerusakan otot jantung)
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada dijumpai
abnormalits strutural dan fungsional, tidak ada tanda atau gejala.
Tahap B Berkembbangnya keainan struktural jantung yng berhubungn dengan kelainan
struktural jantung
Tahap C Gagal jantung simtomatik berhubungan dengan kelainan struktural jantung.
Tahap D Kelainan struktural jantung yang berat dan di tandai adanya gejala gagal
jantung saat istirahat meskiun dengan terapi maksimal.

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantungakut dan gagal
jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tandaakibat
fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya penyakit jantung
sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolikatau disfungsi diastolic.
Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan preload dan afterload dan
memerlukan pengobatan egeera. Gagal jantung akut dapat berupa serngan baru tanpa ada
kelainan jantung sebelumnya atau dekompesasi akut dari gagal jantung kronis. 
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleksyang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalamkeadaan istirahat atau
aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.

3.3.5 Tatalaksana Gagal Jantung Akut


 Loop Diuretik
Obat-obatan diuretik berfungsi untuk mempengaruhi fisiologi ginjal untuk
meningkatkan produksi urin dan ekskresi sodium yang lebih bermakna
(natriuresis). Diuretik telah lama digunakan untuk manajemen gagal jantung
simtomatik dengan retensi cairan, sebagai tambahan terapi standar seperti ACE
inhibitor. Dalam kasus hipertensi, diuretik direkomendasikan untuk terapi lini
39
pertama, terutama setelah sebuah uji meta analisis menemukan bahwa diuretik
dosis rendah merupakan terapi paling efektif sebagai lini pertama untuk mencegah
komplikasi kardiovaskular.
Seluruh loop diuretik, bekerja dengan berikatan pada kotransporter Na+-
K+-2Cl pada bagian tebal lengkung Henle ascenden. Segmen ini bertanggung
jawab untuk mengkonsentrasikan urin, dan pengangkatan solute dari area ini akan
menghasilkan cairan interstisium medulla ginjal yang hipertonis, yang berfungsi
sebagai kekuatan osmotik sehingga akan terjadi reabsorrbsi air pada duktus
kolektivus. Penghambatan proses reabsorbsi dengan loop diuretik inilah yang akan
mengganggu kemampuan ginjal untuk menghasilkan urin terkonsentrasi yang
menyebabkan natrium klorida dan ion kalium tetap berada intralumen dan akan
hilang didalam urin. Selain itu, furosemide memiliki efek venodilatasi yang
bertujuan untuk mengurangi preload pada gagal jantung kiri akut dalam waktu 5
hingga 15 menit, mekanisme yang mendasari hal ini kemungkinan, terjadi akibat
kejadian ikutan paska vasokonstriksi reaktif
Seluruh loop diuretik secara umum berikatan dengan albumin serum
(>95%), dan sebagai konsekuensinya, untuk mendapat akses menuju tempat
aksinya, loop diuretik harus melalui sekresi aktif menuju lumen tubulus melalui
transporter anion organik probenecidsensitif yang berlokasi di tubulus proksimal.
Proses ini mungkin akan menjadi lambat pada kondisi dimana terjadi peningkatan
asam organik endogen seperti pada GGK dan penggunaan obat-obatan yang juga
menggunakan transporter yang sama, diantaranya salisilat dan OAINS.
Perubahan hemodinamik spesifik pada mikrosirkulasi sistemik dan ginjal
terjadi setelah pemberian loop diuretik. Pertama-tama, pemberian secara intravena
akan menstimulasi SRAA di makula densa, yang akan mengakibatkan
vasokonstriksi, peningkatan afterload, dan penurunan aliran darah ginjal. Hal ini
mungkin disebabkan karena kurangnya respons terhadap dosis inisial. Respons fase
kedua akan terjadi pada 5-15 menit setelahnya dan ditandai dengan peningkatan
pelepasan vasodilator prostaglandin oleh ginjal, yang akan menyebabkan
venodilatasi dan penurunan preload dan tekanan pengisian ventrikel, hal inilah
yang menyebabkan terjadinya perbaikan gejala walaupun efek diuresis belum
tejadi. Dengan pemberian furosemide jangka panjang, akan terjadi proses adaptasi
kronis yang dikenal sebagai efek “braking”, perubahan ini merupakan kompensasi
alami dalam menjaga volume intravaskuler, yang kemudian akan menyebabkan

40
toleransi terhadap efek diuretik. Toleransi diuretik harus dibedakan secara klinis
dari resistensi diuretik yang lebih tepat merujuk pada yang terjadi bersamaan
dengan kondisi patologis seperti gagal ginjal, sindroma nefrotik, gagal jantung
kongestif dan sirosis
 Furosemide pada Gagal Jantung Akut dan Pengaruhnya terhadap Fungsi Ginjal
Diuretik sangat berguna pada manajemen jangka panjang pasien dengan gagal
jantung kronis stabil yang memiliki kecenderungan pola penambahan berat badan
secara terus menerus (kelebihan cairan) walaupun telah patuh dengan diet rendah
natrium. Diuretik juga berguna pada pasien dengan ADHF dimana furosemide
merupakan komponen kritikal yang harus ada pada manajemen tata laksana. Gagal
jantung ringan, biasanya memiliki respon yang menjanjikan terhadap diet rendah
natrium (50-100 mmol/ hari) dan diuretik tiazid dosis rendah. Namun, saat terjadi
perburukan gagal jantung, GFR juga akan mengalami penurunan dan pasien akan
kurang responsif terhadap dosis konvensional diuretik tiazid, yang biasanya terjadi
saat GFR <30 mL/menit. Dosis loop diuretik yang lebih besar dan frekuen,
ditunjang dengan diet rendah natrium yang ketat mungkin diperlukan pada pasien
dengan gagal jantung yang progresif.
Karena adanya gangguan pada farmakokinetik dan farmakodinamik
diuretik, pasien dengan gagal jantung biasanya memiliki resistensi terhadap obat-
obatan diuretik. Resistensi diuretik pada evaluasi pasien gagal jantung dapat
dilakukan dengan penghitungan intake natrium dan air dalam diet harian. Yang
cukup penting dalam menegakkan diagnosis resistensi diuretik adalah memastikan
kepatuhan pasien dalam meminum dosis obat diuretik, dan pasien tidak meminum
obat yang dapat menganggu aksi dari diuretik seperti OAINS.
Walaupun telah banyak pengalaman klinis penggunaan furosemide dalam
kasus gagal jantung, data prospektif untuk penggunaannya tidaklah kuat, dan
panduan terbaru gagal jantung hanya berdasarkan opini para ahli. Sebagai hasilnya,
praktek klinis dilapangan sangatlah bervariasi tanpa memandang jalur pemberian
dan dosis. Loop diuretik dosis tinggi mungkin memiliki efek yang membahayakan,
termasuk aktivasi dari SRAA, sistem saraf simpatis, gangguan elektrolit dan
perburukan fungsi ginjal. Sebagai tambahan beberapa studi obervasional juga telah
menunjukkan hubungan antara diuretik dosis tinggi dan keluaran klinis yang tidak
diinginkan, termasuk gagal ginjal, progresifitas gagal jantung dan kematian.
Beberapa observasi memang saling tumpang tindih, apakah diuretik dosis tinggi
41
lebih merujuk sebagai penanda keparahan penyakit yang lebih berat atau lebih
kepada mediator terjadinya efek yang tidak diinginkan.

3.3.6 Prognosis
Pasien gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk.
Dalam satu randomized trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan
gagal jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 600 hari adalah
9,6%, dan apabila dikombinasi dengan perawatan ulang 60 hari menjadi
35,2%. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai
gagal jantung berat, dengan mortalitas 30% dalam 12 bulan. Pada pasien
edema paru akut, angka kematian di rumah sakit 12%, dan mortalitas 1 tahun
40%.
Prediktor mortalitas tinggi antara lain tekanan baji kapiler paru
(Pulmonary Capillary Wedge Pressure) yang tinggi, sama atau lebih dari 16
mmHg, kadar natrium yang rendah, dimensi ruang ventrikel kiri yang
meningkat, dan konsumsi oksigen puncak yang rendah. Sekitar 45% pasien
gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak
dua kali dalam 12 bulan pertama

42
BAB IV

PEMBAHASAN

Menurut anamnesa yang dilakukan terhadap pasien, ia mengaku sesak sejak ± 2 hari
sebelum masuk ke rumah sakit (IGD RSUD Jayapura). Pasien mengaku sesak paling
dirasakan ketika sedang beraktivitas sehari-hari dan juga saat tidur pada malam hari.
Aktivitasnya sebagai mahasiswi membuat Nn. CPM kurang istirahat dan sangat cepat
merasa lelah (fatique), hal ini berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Saat waktu
istirahat pun pasien mengalami sesak.
Merujuk kepada Klasifikasi dari New York Heart Association 1964, pasien Nn.
CPM dapat diklasifikasikan ke dalam Class IV. Hal ini menurut anamnesis dari pasien
bahwa aktivitasnya sebagai mahasiswi terganggu akibat sesak napas. Bahkan saat
istirahat malam, pasien mengaku beberapa kali terbangun sewaktu tidur malam
sekitar jam 1-2 dini hari, membuatnya harus duduk tegak selama beberapa saat, untuk
membuat nyeri dada mereda.
Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat
ditegakkan bila pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria

43
minor dari Kriteria Framingham. 4 - Melihat kasus yang dialami oleh pasien Nn. CPM,
bahwa pasien datang dengan Kriteria Mayor yaitu Paroxysmal Nocturnal Dyspnea,
Kardiomegali atas foto Roentgen (CTR>0,65), adanya Kriteria minor berupa edem
ektremitas dan Dyspnea d’effort. Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila pada
pasien didapatkan 1 Kriteria Mayor dan 2 Kriteria Minor dari Kriteria Framingham.
Merujuk pada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien Tn.AP akan mendapat
planning terapi Gagal jantung akut.
Sesak napas (Dispnea) merupakan suatu gawat pernapasan yang terjadi akibat dari
meningkatnya usaha pernapasan adalah gejala gagal jantung yang paling umum. Pada
gagal jantung dini, dispnea hanya diamati selama aktivitas, yang mungkin secara
sederhana timbul sebagai memburuknya sesak napas yang terjadi secara normal dibawah
keadaan ini. Namun, semakin berlanjutnya gagal jantung dyspnea tampak semakin agresif
dengan aktivitas yang tidak begitu berat. Akhirnya, sesak napas timbul walaupun pasien
sedang beristirahat.

Aktivasi reseptor dalam paru menimbulkan pernapasan yang cepat dan dalam yang


khas dari dispnea jantung. Kebutuhan oksigen pernapasan ditingkatkan oleh kerja
berlebihan dari otot-otot pernapasan. Hal ini dilipatgandakan dengan berkurangnya
pengantaran oksigen ke otot-otot ini, yang terjadi sebagai konsekuensi berkurangnya
curah jantung dan yang mungkin menyebabkan kelelahan otot-otot pernapasan dan
sensasi sesak napas.
Kemudian, sesak napas ketika istirahat (berbaring). Merujuk kepada salah satu
sumber referensi Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 3, 2014; Ortopnea
(Dispnea dalam posisi berbaring) biasanya merupakan manifestasi akhir dari gagal
jantung dibanding dyspnea pengerahan tenaga. Ortopnea terjadi karena redistribusi cairan
abdomen dan ekstremitas bawah ke dalam dada menyebabkan peningkatan diafragma.
Pasien dengan ortopnea harus menggikan kepalanya dengan beberapa bantal pada malam
hari (Dispnea paroksismal nokturnal) dan seringkali terbangun karena sesak napas atau
batuk (sehingga disebut batuk malam hari) Sensasi sesak napas biasanya hilang dengan
duduk tegak, karena posisi ini mengurangi aliran balik vena dan tekanan kapiler paru.
Mengingat pada pasien ini terdapat riwayat sakit jantung rematik, adanya malfungsi
katup pada penyakit jantung rematik dapat menimbulkan kegagalan pompa, baik oleh
kelebihan beban tekanan atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan

44
peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi
katup

BAB V

KESIMPULAN

Menurut anamnesa yang dilakukan terhadap pasien, ia mengaku sesak sejak ±


2 hari  sebelum masuk ke rumah sakit (IGD RSUD Jayapura). Pasien mengaku
sesak paling dirasakan ketika sedang beraktivitas sehari-hari dan juga saat tidur pada
malam hari. Merujuk kepada Klasifikasi dari New York Heart Association
1964, pasien Nn. CPM dapat diklasifikasikan ke dalam Class IV. Berdasarkan gejala
dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila pada pasien
didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari Kriteria
Framingham. 4 - Melihat kasus yang dialami oleh pasien Nn. CPM, bahwa pasien
datang dengan Kriteria Mayor yaitu Paroxysmal Nocturnal Dyspnea, Kardiomegali
atas foto Roentgen (CTR>0,65), adanya Kriteria minor berupa edem ektremitas dan
Dyspnea d’effort.
Sesak napas (Dispnea) merupakan suatu gawat pernapasan yang terjadi akibat
dari meningkatnya usaha pernapasan adalah gejala gagal jantung yang paling umum.
Aktivasi reseptor dalam paru menimbulkan pernapasan yang cepat dan dalam yang

45
khas dari dispnea jantung. Kebutuhan oksigen pernapasan ditingkatkan oleh kerja
berlebihan dari otot-otot pernapasan.
Jika melihat kasus pasien Nn.CAM, pasien sebelumnya pernah dirawat di
RSUD Jayapura dengan diagnosis CHF + RHD yang menimbulkan terjadinya gagal
jantung tipe ADHF. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa pasien dengan gagal
jantung tipe ADHF memiliki prognosis yang sangat buruk.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang., dkk. 2011. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing

IKAPI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Badan POM RI,
KOPERKOM dan CV Sagung Seto

Isselbacher., Braunwald et al. 2014. Harrison PRINSIP-PRINSIL ILMU PENYAKIT


DALAM Edisi 13 Volume 3

Kasim, Fauzi. 2014. Informasi Spesialite Obat volume 49. Jakarta: IAI

PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI Dept/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah Edisi V. Surabaya: Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo

Rilantoro, Lily. 2013. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

46
Sudoyo, dkk. 2009. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM PAPDI Jilid II Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing

Widy, Dewi Krisna. 2009. Hubungan Antara Literatur Gagal Jantung Akut.

47

Anda mungkin juga menyukai