Anda di halaman 1dari 19

Nama : Ni Luh Putu Erika Putri Jayantini

NIM : 1708551070
Tugas Studi Kasus Farmakoterapi I
Kasus

1. Rheumatoid Artritis
Seorang pasien wanita usia 38 tahun didiagnosis Rheumatoid artritis kronis.
Gejala yang dirasakan : Bengkak pada lutut kiri dan kanan, kesulitan menggerakkan tangan,
sulit berjalan, dan mengalami morning stiffness setiap hari.
Terapi obat yang diterima adalah sebagai berikut : Prednisone 5 mg 1 x 1 tab per oral dan
Methotrexate 10 mg per oral/minggu.
Pasien menyampaikan bahwa nyeri dan kekakuan yang dirasakan banyak berkurang setelah
mengkonsumsi obat. Namun pasien mengeluh kadang masih merasa sulit bergerak, mual dan
nyeri pada lambung.

2. Gouty Artritis
Seorang pasien usia 55 tahun mengalami rasa nyeri persendian. Pasien merupakan perokok aktif
(5-10 batang per hari), pola makan sering mengkonsumsi olahan daging merah dan jeroan. Hasil
diagnosis dokter menunjukkan pasien mengalami serangan akut gout. Ini merupakan serangan
akut yang ketiga pada tahun ini. Hasil laboratorium menunjukkan kadar asam urat 9 mg/dl.
Pasien diresepkan natrium diklofenak per oral 2 x 50 mg per hari.

3. Osteartritis
Seorang pasien pria usia 70 tahun didiagnosis mengalami osteoartritis pada pinggul dan lututnya.
Pasien sudah rutin mengkonsumsi obat selama 3 bulan. Pasien menerima resep : piroksikam 2 x
10 mg per hari, suplemen glukosamin kondroitin 1 x 1 kapsul per hari. Pasien mengeluhkan
masih merasa ada kekakuan dalam bergerak walaupun sudah minum obat.

4. Kanker Serviks
Seorang pasien wanita usia 70 tahun, diagnosis utama kanker serviks stadium IIIb dan diagnosis
sekunder : anemia. Pasien dalam terapi kemoterapi paclitaxel dan cisplatin sebanyak 6 seri dan 30 seri
radiasi eksternal. Untuk terapi suportif pasien menerima suplemen ferro sulfat 3 x 65 mg per oral, asam
mefenamat 3 x 500 mg per oral, asam folat 2 x 2 mg per oral. Pasien mengeluhkan mual muntah,
mengantuk dan pusing.
Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan
Laboratorium
WBC 4,1 – 11 2,7
RBC 4 – 5,2 2,96
HGB 12 – 16 9,8
HCT 35-47 25
PLT 150 – 400 107
Kreatinin 0,5 – 0,9 0,8
Glukosa darah puasa 70 – 110 113

Pemeriksaan fisik
Tekanan darah 110/70
Nadi 80
Respirasi 20
Suhu 36

JAWAB
1. Rheumatoid Artritis
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit yang menyerang persendian bersifat
autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun
dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan. Penyakit ini ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan synovial dan gangguan pergerakan diikuti
dengan kematian prematur. Rheumatoid Arthritis terjadi akibat reaksi autoimum dalam jaringan
synovial yang melibatkan proses fagositosis. Enzim-enzim akan memecah kolagen sehingga
terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan membentuk pannus. Pannus ini yang berufngsi
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang sehingga permukaan sendi akan
hilang dan gerak sendi menjadi terganggu (Barrera, et al., 2002).
Rheumatoid Arthritis adalah penyakit inflamasi kronik yang dimediasi imun dengan ciri
kekakuan pada pagi hari (morning stifness), artralgia atau artritis terutama pada
metakarpopalangeal atau sendi interpalang proksimal, nodul reumatoid, faktor reumatoid IgM
atau IgG serum dan erosi artikular pada pemeriksaan foto rongten. Beberapa gambaran klinis
pada rheumatoid arthritis, misalnya ketika pasien biasanya mengeluhkan kekakuan yang
progresif dan terkenanya banyak sendi secara simetris dalam waktu beberapa minggu sampai
bulan. Selain itu, dapat disertai gejala tambahan dapat meliputi demam, malaise dan kelelahan.
Pada saat pemeriksaan fisik, sendi yang terkena dapat terjadi tanda peradangan sampai sendi-
sendi terisi efusi, nyeri tekan dan eritematosa dengan rentang gerak sendi yang terbatas (Millan,
et al., 2013).
Analisis SOAP:
1.1 Subjektif
Seorang pasien wanita usia 38 tahun didiagnosis Rheumatoid artritis kronis. Gejala yang
dirasakan : Bengkak pada lutut kiri dan kanan, kesulitan menggerakkan tangan, sulit berjalan,
dan mengalami morning stiffness setiap hari. Namun setelah menjalani pengobatan pasien
mengeluh kadang masih merasa sulit bergerak, mual dan nyeri pada lambung.
1.2 Objektif
Dari gejala diatas terapi obat yang diterima adalah Prednisone 5 mg 1 x 1 tab per oral dan
Methotrexate 10 mg per oral/minggu.
1.3 Assassment
 Methotrexate
Methotrexate (MTX) merupakan antimetabolit yang bekerja sebagai antagonis folat.
MTX merupakan analog 4-amino, N 10-metil asam folat (Nafrialdi, et al., 2003). Pada dosis
tinggi obat ini banyak digunakan sebagai kemoterapi antikanker dan sangat efektif pada
leukemia, tumor, kariokarsinoma, dan beberapa penyakit autoimun lain seperti dermatomyositis,
Wegener’s granulomatosis, penyakit Crohn, artritis reumatoid dan psoriasis (Nafrialdi, et al.,
2003 ; Brunton, et al., 2006). Methotrexate diklasifikasikan sebagai DMARD (disease-modifying
antirheumatic drug). Pada umumnya DMARDs dengan methotrexate yang digunakan pada
pengobatan rheumatoid arthritis memiliki dosis 7,5-25 mg/minggu. Mekanisme kerja
methotrexate sebagai terapi untuk rheumatoid arthritis adalah melalui penghambatan proliferasi
dari limfosit dan sel-sel lain yang bertanggung jawab terhadap inflamasi sendi. Reaksi yang
sangat penting dalam proses proliferasi sel adalah biosintesis asam inosinat, prekursor dari purin
yang diperlukan untuk sintesis DNA dan RNA, dan biosintesis asam timidilat, nukleotida yang
spesifik untuk DNA (Segal, 1990). Adapun mekanisme kerja methotrexate pada kasus
rheumatoid arthritis lebih bersifat sebagai antiinflamasi dibandingkan imunosupresi (Cutolo et
al., 2001). Methotrexate bekerja menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang merupakan
enzim yang berperan dalam katalisis dihidrofolat menjadi 3 tetrahidrofolat pada sintesis asam
folat. Methotrexate mempengaruhi produksi suatu bentuk asam folat yang diperlukan untuk sel-
sel yang tumbuh secara aktif. Asam folat dibutuhkan sebagai bahan dasar sintesis DNA.
Antagonis folat khususnya bekerja pada sintesis DNA dan RNA, terutama pada sel-sel yang
membelah dengan cepat, misalnya pada keganasan dan sel-sel myeloid/sumsum tulang (Nafrialdi
et al., 2003).
Pemberian methotrexate bersamaan NSAID mengakibatkan interaksi farmakokinetika
dan selanjutnya meningkatkan konsentrasi metotreksat dalam darah serta meningkatkan
toksisitas gastrointestinal dan hematologi. Penggunaan NSAID dan MTX secara bersama
bertujuan sebagai terapi simptomatik karena onset MTX dicapai setelah 3–6 minggu pengobatan
(Lacy, 2006). Efek samping pada gastrointestinal diatasi dengan pemberian gastroprotektor.
Pemberian asam folat minimal 5 mg per minggu harus dilakukan. Namun, pemberian asam folat
tidak dilakukan. Selain itu, riwayat gastropati dan gastritis dapat menjadi faktor risiko gangguan
GI. Gastropati merupakan kelainan pada mukosa lambung dengan karakteristik perdarahan
subepitelial dan erosi. Salah satu penyebab dari gastropati adalah efek dari NSAID (nonsteroidal
antiinflammatory drugs) serta beberapa faktor lain seperti alkohol, stres, atau faktor kimiawi.
Gastropati akibat NSAID dapat memberikan keluhan dan gambaran klinis yang bervariasi seperti
dispepsia, ulkus, erosi, hingga perforasi. Gastritis atau dispepsia adalah iritasi pada lambung
akibat tingginya asam lambung. Pasien dengan riwayat gangguan gastrointestinal sebaiknya
menghindari penggunaan MTX karena dapat memperburuk kondisi gastrointestinal. Apabila
pasien tetap menggunakan MTX, maka harus diberikan gastroprotektor untuk mengurangi risiko
gangguan gastrointestinal yang lebih buruk (Puspitasari, 2014).

 Prednisone
Prednison adalah glukokortikoid sintetik yang diperoleh dengan adanya dehidrogenasi
kortison secara biologis inert diposisi 1 dan 2. Obat ini secara klinis memiliki mekanisme
sebagai antiinflamasi dan immunosupresan (Anderson et al., 2002). Penggunaannya dalam
pengobatan rheumatoid arthritis, mekanisme prednison yang berperan adalah sebagai anti
inflamasi. Glukokortikoid dan reseptor glukokortikoid berada di puncak jalur yang memblok
mekanisme inflamasi sehingga glukokortikoid dapat menghambat produksi prostaglandin
melalui tiga mekanisme independen yaitu induksi dan aktivasi annexin I (lipocotin), induksi
MAPK fosfatase 1, dan represi transkripsi siklooksigenase (Rhen dan Cidlowski, 2005).
Prednison merupakan golongan kortikosteroid yang memiliki mekanisme aksi menghambat
fosfolipase sehingga selain menekan produksi prostaglandin, juga dapat menghambat produksi
tromboxan dan prostasiklin. Prostasiklin (PgI2) memiliki efek protektif terhadap mukosa
lambung. Dengan berkurangnya produksi prostasiklin, maka proteksi lambung menurun,
sehingga dapat terjadi tukak pada lambung yang selanjutnya ditandai dengan gejala mual dan
nyeri pada lambung (Tjay dan Rahardja, 2008).
Hal ini menjadi penyebab pasien dengan rheumatoid arthritis mengeluhkan gejala merasa
sulit bergerak, mual dan nyeri pada lambung sedangkan pemberian terapi obat prednisone
sebagai antiinflamasi dalam pengobatan rheumatoid arthritis telah sesuai indikasi dan tepat dosis.
Dosis Prednison untuk rhematoid arthritis adalah 5 s.d. 7,5 mg/hari diberikan per oral (Anderson
et al., 2002). Karena predison memberikan efek samping tersebut, maka perlu dijadikan
pertimbangan dalam pemilihan obat antiinflamasi non-steroid untuk meminimalisir efek samping
yang ditimbulkan. Prednison harus dikombinasikan dengan Misoprostol dengan dosis 200 mcg 2
kali sehari sebagai subtitusi prostasiklin (PgI 2) dengan efek protektif terhadap mukosa lambung
sehingga dapat meminimalisir timbulnya efek samping penggunaan prednison (Tjay dan
Rahardja, 2008). Mekanisme kerja misoprostol adalah meningkatkan produksi mukus lambung
dan sekresi mukosa, menghambat sekresi asam lambung dengan kerja langsung ke sel parietal,
dan menghambat sekresi asam lambung yang distimulasi makanan, histamin dan pentagastrin.
Konsentrasi maksimum di plasma akan berkurang bila diberikan bersamaan dengan makanan
dan availabilitas asam misoprostol akan berkurang bila dierikan bersamaan dengan antasid
(Hasanah, 2007).
1.4 Plan
a. Terapi Non-Farmakologi
Untuk menyeimbangkan terapi farmakologi maka sebaiknya dilakukan terapi non-
farmakologi untuk mencapai keberhasilan pengobatan. Terapi non-farmakologi yang dapat
dilakukan yaitu rajin berolahraga dan melakukan puasa. Tujuan dilakukan puasa adalah untuk
menurunkan berat badan yang berlebih sehingga sendi-sendi tidak berat menopang tubuh.
Olahraga dilakukan rutin sehari sekali untuk mempertahankan kekuatan otot dan mobilitas sendi
tanpa menyebabkan kekambuhan (Sudoyo et al., 2006).
b. Terapi Farmakologi
Penggunaan Methrotexate merupakan terapi yang sudah tepat atau sesuai indikasi
sehingga penggunaannya dapat dilanjutkan. Untuk pengatasan mual dan nyeri pada lambung
pilihan pertama dapat diberikan asam folat, pasien diberikan suplemen asam folat 1 x 1 mg per
oral yang setara dengan 7 mg/minggu. Penggunaan suplemen asam folat untuk rhematoid
arthritis berada dalam rentang dosis 5 sampai 27,5 mg/minggu yang menunjukkan efektivitas
suplemen asam folat dalam menurunkan efek samping dari MTX berdasarkan penelitian
Randomized Controlled Trials (Laar, 2004). Pemberian asam folat harus diberikan interval
waktu. Hal ini disebabkan karena asam folat dan Methrotexate dapat berkompetisi untuk
transporter yang sama pada proses absorbsi di saluran gastrointestinal (Cronstein, 2005). Asam
folat efektif dan secara signifikan mampu mengurangi efek samping MTX terhadap mukosa dan
gastrointestinal sebanyak 79% tanpa menurunkan efektivitas terapi MTX (Subhashini et al.,
2013). Selain itu asam folat juga digunakan untuk mengatasi kekurangan kofaktor folat akibat
penggunaan methotrexate, namun apabila pemberian asam folat tidak cukup untuk mengatasi
efek mual dan nyeri lambung yang dialami pasien dapat diatasi dengan pemberian anti mual
seperti metoclopramide dengan dosis 5 mg sebanyak 3 kali sehari (Tjay dan Rahardja, 2008).
Pemakaian prednison dalam pengobatan Rheumatoid Arthritis telah sesuai indikasi dan
tepat dosis, namun dikarenakan Prednison merupakan kortikosteroid, dapat mengakibatkan
adanya efek samping berupa mual dan nyeri lambung (kortikosteroid menghambat prostasiklin
yang memproduksi mukosa pencernaan), maka untuk meminimalisir efek samping tersebut
penggunaan Prednison harus dikombinasikan dengan Misoprostol dengan dosis 200 mcg 2 kali
sehari, sebagai subtitusi prostasiklin (PgI2), dengan efek protektif terhadap mukosa lambung
(Tjay dan Rahardja, 2008).
c. KIE
KIE untuk penggunaan metotreksat :
1. Pasien harus diberikan konseling agar menghindari penggunaan alkohol, mengkonsumsi
asam folat sesuai petunjuk untuk mencegah terjadinya penipisan folat, mematuhi jadwal
pemantauan laboratorium, dan segera melaporkan gejala fibrosis paru (misalnya, batuk atau
dyspnea) dan hepatotoksisitas (misalnya, sakit kuning atau sakit perut).
2. Segeralah berobat ke dokter bila timbul radang pada pangkal tenggorokan, demam, radang
pada mulut, diare, ruam kulit, mudah memar, air kencing menjadi kehitam-hitaman atau
kulit menjadi kekuningan.
3. Pasien diberitahu untuk melaporkan tanda-tanda atau gejala sugestif infeksi, terutama sakit
tenggorokan (yang mungkin mengindikasikan bahwa jumlah sel darah putih telah menurun)
atau dispnea atau batuk (toksisitas paru sugestif).
(BNF, 2007; Setter and Baker, 2002).
KIE untuk penggunaan prednison:
1. Diminum sesudah makan
2. Bila ada sesuatu yang mengharuskan anda berobat lagi ke dokter, katakanlah bahwa anda
sedang mempergunakan obat ini.
3. Jangan menggunakan obat lebih dari yang dianjurkan oleh dokter, dan juga jangan
menghentikannya tanpa seizin dokter.
4. Jangan menghentikan penggunaan obat secara tiba-tiba.
(Chisholm-Burns et al., 2008)
2. Gouty Artritis
Gout artritis merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal
monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler
(Sholihah, 2014). Kristal-kristal berbentuk seperti jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan
yang jika berlanjut akan menimbulkan nyeri hebat yang sering menyertai serangan gout artritis
(Carter, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi ialah faktor genetik, diet tinggi purin,
alkohol, obesitas, usia. Gangguan metabolisme yang mendasar gout adalah hiperurisemia yang
didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl dan 6,0 ml/dl (Sholihah, 2014).
Gout artristis merupakan penyakit metabolik yang sering menyerang pria dewasa dan wanita
posmenopause. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kadar asam urat dalam darah dan
mempunyai ciri khas berupa episode artritis gout akut dan kronis (Scumacher dan Chen, 2008).
Analisis SOAP:
2.1 Subjektif
Seorang pasien usia 55 tahun mengalami rasa nyeri persendian. Pasien merupakan perokok
aktif (5-10 batang per hari), pola makan sering mengkonsumsi olahan daging merah dan jeroan.
2.2 Objektif
Hasil laboratorium menunjukkan kadar asam urat 9 mg/dl. Pasien diresepkan natrium
diklofenak per oral 2 x 50 mg per hari.
2.3 Assassment
Natrium Diklofenak termasuk ke dalam obat golongan NSAID yang menjadi lini pertama
untuk terapi farmakologi penyakit gout artritis. Natrium Diklofenak dapat mengontrol inflamasi
dan rasa sakit pada penderita gout artritis (Anastesya, 2009). Dosis harian natrium diklofenak
adalah 100 sampai 200 mg yang dibagi menjadi beberapa dosis.
Dari diagnosis dokter, bahwa pasien mengalami diagnosis gout akut. Gout akut merupakan
gejala nyeri yang biasanya menyerang satu atau beberapa persendian secara tiba – tiba. Biasanya
gout akut ditandai dengan timbulnya rasa nyeri di malam hari, rasanya nyeri seperti ditusuk
jarum (Dianati, 2015). Selain itu keluhan yang lain berupa bengkak, terasa hangat, merah dengan
gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Faktor pencetus serangan akut antara
lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, pemakaian
obat diuretik, konsumsi alkohol dalam jumlah besar dan lain-lain (Sholihah, 2014). Pasien yang
terkena serangan gout akut dapat disebabkan oleh kebiasaanya mengkonsumsi rokok hingga 5-10
batang per hari. Pada pasien perokok berat dapat meningkatkan durasi terjadinya nyeri sendi
(Naga, 2013).
Selain itu, serangan akut disebabkan oleh pasien karena sering mengkonsumsi daging merah
dan jeroan. Daging merah dan jeroan merupakan makanan yang mengandung purin dengan
kandungan tinggi dimana kandungannya sebesar 100-1000 mg/100 gr makanan (Jaliana, 2018).
Apabila mengonsumsi daging merah dan jeroan dapat meningkatkan risiko asam urat 21%
(Sustrani dkk., 2004). Kadar asam urat dalam darah normal berkisar antara 6,0 mg/dl dan 7,0
mg/dl. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa kadar asam urat dari pasien melebihi kadar
normal yang ditetapkan dimana menunjukkan 9 mg/dl, sehingga menandakan bahwa pasien
mengalami hiperurisemia. Hiperurisemia ditandai dengan terbentuknya kristal – kristal
monosodium urat monohidrat pada sendi – sendi dan jaringan sekitarnya (Sholihah, 2014).
2.4 Plan
 Terapi Non-Farmakologi
Beberapa gaya hidup yang dianjurkan antara lain menurunkan berat badan, mengonsumsi
makanan sehat, olahraga, menghindari rokok, dan konsumsi air yang cukup. Modifikasi diet pada
penderita obesitas diusahakan untuk mencapai indeks masa tubuh yang ideal, namun diet yang
terlalu ketat dan diet tinggi protein atau rendah karbohidrat sebaiknya dihindari. Untuk latihan
fisik penderita gour artritis sebaiknya berupa latihan fisik yang ringan, karena dikhawatirkan
akan menimbulkan trauma pada sendi (Jordan dkk., 2007).
 Terapi Farmakologi
Penggunaan Natrium Diklofenak pada pasien sebanyak 2 x 50 mg per hari sudah tepat dan
sesuai indikasi sehigga penggunaannya dapat dilanjutkan. Tujuan terapi serangan gout artritis
akut adalah menghilangkan gejala, sendi yang sakit diistirahatkan, dan terapi obat dilaksanakan
secepat mungkin untuk menjamin respon yang cepat dan sempurna (Depkes RI, 2006).
 KIE
 Memberikan pengertian kepada pasien untuk mengurangi konsumsi makanan kaya akan
protein tinggi
 Menyarankan pasien untuk melakukan olahraga ringan agar tidak terjadi kekakuan pada
sendi seperti melakukan pemanasan atau stretching
 Menganjurkan pasien agar mengonsumsi makanan yang tinggi serat dan rajin minum air
putih
 Rajin mengonsumsi obat sesuai aturan pakai yang dijelaskan
3. Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan kartilago,
lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi. Dalam
Perhimpunan Reumatologi Indonesia Osteoartritis secara sederhana didefinisikan sebagai suatu
penyakit sendi degeneratif yang terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang
yang ada disekitar sendi tersebut. OA sebagai kelainan sendi kronik yang disebabkan karena
ketidakseimbangan sintesis dan degradasi pada sendi, matriks ekstraseluler, kondrosit serta
tulang subkondral pada usia tua (Sjamsuhidajat dkk, 2011).
Gejala OA lutut lebih tinggi terjadi pada wanita dibanding pada laki-laki yaitu 13% pada
wanita dan 10% pada laki-laki. Dalam mengestimasikan risiko perkembangan OA lutut sekitar
40% pada laki-laki dan 47% pada wanita. Oliveria melaporkan rata-rata insiden OA panggul,
lutut dan tangan sekitar 88, 240, 100/100.000 disetiap tahunnya. Insiden tersebut akan meningkat
pada usia 50 tahun keatas dan menurun pada usia 70 tahun (Zhang dan Jordan, 2010). Studi
kohort diFramingham, 6,8% orang berusia 26 tahun ke atas memiliki gejala osteoartritis pada
tangan dengan rata-rata laki-laki 3,8% dan wanita 9,2%. Johnston Country Osteoarthritis (JoCo
OA) Project, sebuah studi tentang OA pada lutut dan panggul 43,3% pasien mengeluhkan rasa
nyeri dan kekakuan pada sendi. Hal ini disebabkan penebalan pada kapsul sendi dan perubahan
bentuk pada osteofit (Murphy dan Helmick, 2012).
Analisis SOAP
3.1 Subjektif
Seorang pasien pria usia 70 tahun didiagnosis mengalami osteoartritis pada pinggul dan
lututnya. Pasien sudah rutin mengkonsumsi obat selama 3 bulan. Pasien mengeluhkan masih
merasa ada kekakuan dalam bergerak walaupun sudah minum obat.
3.2 Objektif
Pasien menerima resep : piroksikam 2 x 10 mg per hari, suplemen glukosamin kondroitin 1
x 1 kapsul per hari. Tidak ada data klinis maupun laboratorium yang tertera. Banyak hal yang
harus dipikirkan dalam kasus ini:
 Apakah pasien memiliki berat badan yang jauh dari BBI
Dimana fator resiko dari OA adalah kegemukan. Apabila pasien termasuk dari penderita
dengan BB overweight/obese, maka terapi OA pada penderita ini tidak hanya terfokus pada
farmakoterapi saja, namun harus dikombinasikan dengan non-farmakoterapi → lose weight
dengan minimal penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18.5-25 (American College
of Rheumatology, 2012).
 Pemberian farmakoterapi pada penderita Osteoartritis
hanyalah bersifat sebagai terapi jangka pendek → meminimalisir gejala (nyeri). Dan
haruslah dengan pertimbangan yg tepat → berdasarkan dari derajat gejala (ringan, sedang, berat),
usia penderita, grade
 Ringan-sedang : acetaminophen (kurang dari 4 gram), Obat anti inflamasi non steroid
(OAINS)→ Pd usia >60 thn dianjurkan : acetaminophen, OAINS topical, OAINS non
selektif dgn kombinasi gaster-protective agent
 Sedang-berat (dengan/tidak disertai pembengkakan sendi) : aspirasi dan tindakan injeksi
glukomortikoid intrartikular → bersifat jangka pendek → namun bersifat infektif
 Pada penderita OA grade 4 → selain terapi farmakoterapi dan non farmakoterapi,
penderita perlu di rujuk ke dokter Orthopedi untuk dilakukan pembedahan
 Berdasarkan American College of Rheumatology 2012,
Tidak direkomendasikan penderita OA lutut di terapi dengan Chondroitin sulfate,
glucosamine, topical capsaicino. Prinsip terapi pada pasien OA adalah kombinasi terapi
Farmakologi dan Non Farmakologi → Non Farmakologi : Optimalisasi berat badan (Targer
BMI 18.5-25, kombinasi dari dua/lebih intervensi (edukasi nutrisi, diet rendah kalori,
latihan, rujuk ke ahli nutrisi). Apabila pada OA berat atau gagal/tidk berespon dengan
pengobatan.

3.3 Assassment
 Piroksikam
Penggunaan obat piroksikam telah tepat indikasi diberikan untuk pasien osteoarthritis, tepat
pasien diberikan pada pasien geriatri dengan usia 70 tahun tanpa alergi obat ataupun penyakit
penyerta kronis yang merupakan kontraindikasi dari piroksikam, sudah tepat pemilihan obat
karena telah sesuai dengan tatalaksana terapi untuk pasien osteoarthritis, dan telah tepat dosis
yaitu dewasa 20 mg per hari dalam dosis terbagi, tepat cara pemberian yaitu melalui rute per
oral, tepat interval pemberian yaitu diminum dua kali sehari 10 mg setiap 12 jam dan tidak tepat
lama pemberian jika dikonsumsi secara rutin selama 3 bulan karena dapat menyebabkan
toksisitas pada liver, saluran cerna dan ginjal (piroksikam juga termasuk obat simtomatik,
dimana sebaiknya dikonsumsi hanya jika merasakan gejala nyeri ataupun terjadi inflamasi saja)
(BPOM RI, 2015).
 Glukosamin Kondroitin
Kombinasi pemberian suplemen glukosamin kondroitin dapat meberikan tepat indikasi pada
pasien, tepat pasien dengan pasien geriatri 70 tahun tanpa menimbulkan alergi terhadap obat
tersebut ataupun penyakit kronis yang berkontraindikasi dengan suplemen tersebut, tepat
pemilihan obat dikarenakan telah sesuai dengan tatalaksana terapi osteoarthritis, namun tidak
tepat dosis karena jika ditinjau dari sediaan 1 kapsul mengandung glukosamin 1500 mg/hari dan
1200 mg/hari kondroitin dan dosis tersebut tidak efektif untuk terapi tersebut oleh karena itu
pemberian suplemen dianjurkan untuk pasien sebanyak 3x1 per hari dengan kandungan
suplemen 1 kapsul 500 mg glukosamin dan 400 mg kondroitin. Sudah tepat cara pemberian yaitu
melalui pemberian secara oral dan interval pemberian seharusnya 8 jam pemberian agar interval
pemberian dapat tepat, serta lama penggunaannya sudah tepat yaitu minimal 4 sampai 6 minggu
untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Dipiro et al., 2008).
3.4 Plan
 Terapi Non-Farmakologi
Pada pasien ini dianjurkan untuk berolah raga tapi olah raga yang memperberat sendi
sebaiknya dihindari seperti lari atau joging. Untuk mencegah risiko terjadinya kecacatan pada
sendi, sebaiknya dilakukan olah raga peregangan otot. Pada pasien ini dapat disarankan untuk
senam aerobic low impact/intensitas rendah tanpa membebani tubuh selama 30 menit sehari tiga
kali seminggu. Hal ini bisa dilakukan dengan olahraga naik sepeda atau dengan melakukan
senam lantai. ada pasien ini tidak dicantumkan berat badannya, sehingga pasien dengan indeks
massa tubuh lebih dari 25 kg/m2 dianjurkan agar menurunkan berat badan (Lespasio et al., 2017).
Dimana prinsipnya adalah mengurangi kalori yang masuk dibawah energi yang dibutuhkan.
Penurunan energi intake yang aman dianjurkan pemberian defisit energi antara 500-1000 kalori
perhari, sehingga diharapkan akan terjadi pembakaran lemak tubuh dan penurunan berat badan
0,5 – 1 kg per minggu. Biasanya intake energi diberikan 1200-1300 kal per hari, dan paling
rendah 800 kal per hari. Formula yang dapat digunakan untuk kebutuhan energi berdasarkan
berat badan adalah 22 kal/kgBB aktual/hari (Subcommittee on Osteoarthritis Guidelines, 2000).

 Terapi Farmakologi
Perlu dilakukan penggalian informasi kembali terkait kepatuhan penggunaan obat-obatan
yang diberikan kepada pasien selama 3 bulan. Kepatuhan tersebut berkaitan dengan cara pasien
dalam menggunakan obat dan rutinitas pasien mengkonsumsi obat. Edukasi yang spesifik
mengenai obat-obatan tersebut juga dibutuhkan pasien agar obat dapat memberikan efek terapi
yang maksimal. Penggunaan piroksikam sebaiknya hanya pada saat gejala nyeri muncul, dan
dihentikan saat sudah tidak dirasa lagi.Piroksikam hendaknya diminum saat makan atau 1 jam
setelah makan untuk menghindari rasa mual dan iritasi lambung yang merupakan efek samping
NSAID. Glukosamin kondroitin juga diberikan 1 jam setelah makan untuk menghindari
gangguan pada pencernaan (Tjay dan Rahardja, 2007; Foltz-Gray, 2005). Jika pasien mengalami
gejala efek samping dari obat-obatan tersebut, penggunaannya dapat dikombinasi untuk
meniadakan efek samping, ataupun dilakukan pemberhentian penggunaan obat. Penggunaan
OAINS (piroksikam) yang dapat menginduksi terjadinya gangguan pada saluran gastrointestinal
dan dapat diatasi dengan menggunakan acid-suppressing agent seperti PPIs (Proton Pump
Inhibitors).
 KIE
Pemberian edukasi (KIE) pada pasien ini sangat penting karena dengan edukasi diharapkan
pengetahuan mengenai penyakit OA menjadi meningkat dan pengobatan menjadi lebih mudah
serta dapat diajak bersama-sama untuk mencegah kerusakan organ sendi lebih lanjut. Agar rasa
nyeri dapat berkurang, maka pasien sedianya mengurangi aktivitas/pekerjaannya. Pasien juga
disarankan untuk kontrol kembali sehingga dapat diketahui apakah penyakitnya sudah membaik
atau ternyata ada efek samping akibat obat yang diberikan (Subcommittee on Osteoarthritis
Guidelines, 2000).
4. Kanker Serviks
Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan istilah kanker serviks adalah kanker yang
terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke
arah rahim yang terletak antara rahin (uterus) dengan liang sanggama (vagina). Kanker ini
biasanya terjadi pada wanita yang telah berumur, tetapi bukti statistik menunjukkan wanita
berumur 20-30 tahun dapat terserang kanker serviks (Diananda, 2009).
Penyebab kanker serviks disebabkan salah satunya oleh Human Papilloma Virus (HPV). HPV
adalah virus DNA yang menginfeksi sel-sel epitel (kulit dan mukosa). HPV jenis 16, 18, 31, 33,
35, 39, 45, 51, dan 58 tergolong menimbulkan risiko tinggi terjadinya pra-kanker, yaitu
menimbulkan kerusakan sel lendir luar menuju keganasan yaitu cervical intraephitelial
neoplasma atau disingkat CIN. Hanya sebagian kecil wanita pengidap HPV akan berubah
statusnya menjadi fase pra-kanker. Apabila fase tersebut tidak segera diobati maka setelah
beberapa tahun mengidap infeksi maka kondisi pra-kanker berubah menjadi kanker. Virus HPV
tipe 16 dan 18 ini replikasi melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengide pembentukan
protein-protein yang penting dalam replikasi virus. Onkoprotein dari E6 akan mengikat dan
menjadikan gen penekan tumor (p53) menjadi tidak aktif, sedangkan onkoprotein E7 akan
berikatan dan menjadikan produk gen retinoblastoma (pRb) menjadi tidak aktif (Wilopo, 2006).
Terdapat beberapa klasifikasi stadium dalam kanker serviks, salah satunya adalah stadium III B.
Pada stadium III B tumor meluas sampai ke dinding panggul dan/atau menimbulkan
hidronefrosis atau afungsi ginjal (Kemenkes RI, 2016).
Adapun salah satu gejala dari kanker serviks adalah timbulnya gejala-gejala anemia bila
terjadi pendarahan kronis. Berdasarkan deksirpsi kasus yang telah dijelaskan, pasien menderita
anemia dan ini sesuai dengan salah satu gejala dari kanker serviks. Sehingga dokter meresepkan
terapi yang dianggap sesuai, dan dilakukan analisis SOAP dari kasus dan terapi yang dijalani
oleh pasien (Kemenkes RI, 2016).
Analisis SOAP
4.1 Subjektif
Seorang pasien wanita usia 70 tahun, diagnosis utama kanker serviks stadium IIIb dan
diagnosis sekunder : anemia. Pasien mengeluhkan mual muntah, mengantuk dan pusing.
4.2 Objektif
Pasien dalam terapi kemoterapi paclitaxel dan cisplatin sebanyak 6 seri dan 30 seri radiasi
eksternal. Untuk terapi suportif pasien menerima suplemen ferro sulfat 3 x 65 mg per oral, asam
mefenamat 3 x 500 mg per oral, asam folat 2 x 2 mg per oral. Berikut hasil pemeriksaan laboratorium
dan fisik yang dilakukan pasien:
Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan
Laboratorium
WBC 4,1 – 11 2,7
RBC 4 – 5,2 2,96
HGB 12 – 16 9,8
HCT 35-47 25
PLT 150 – 400 107
Kreatinin 0,5 – 0,9 0,8
Glukosa darah puasa 70 – 110 113

Pemeriksaan fisik
Tekanan darah 110/70
Nadi 80
Respirasi 20
Suhu 36

4.3 Assassment
Berdasarkan kasus ini, pasien didiagnosis mengidap kanker serviks stadium IIIB. Menurut
pustaka, patofisiologi kanker serviks pada stadium IIIB adalah terjadinya perluasan ke dinding
panggul dan/atau hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal (FIGO, 2009). Namun, berdasarkan
kondisi klinis pasien, serum kreatinin pasien masih berada pada rentang normal yang
menunjukkan fungsi ginjal pasien masih tergolong normal dan tidak diperlukan penyesuaian
dosis dan tidak perlu penggantian regimen kemoterapi, mengingat paklitaksel dan cisplatin
bersifat nefrotoksik. Apabila dilihat dari segi panduan pelayanan klinis, terapi kanker serviks
dapat disesuaikan dengan stadium kanker serviks yang mana dalam hal ini penyakit kanker
servik pada stadium IIIB standar terapinya adalah kemoradiasi, yaitu kombinasi kemoterapi
dengan radiasi eksternal (Kemenkes RI, 2016; Wiebe, 2012).Kemoterapi dilakukan sebanyak 6
siklus juga sudah sesuai dengan petunjuk pada literatur dimana kemoterapi yang lengkap
diulangi setiap 21 hari hingga siklus keenam (Saito et al., 2009). Hal tersebut menunjukkan
bahwa terapi yang diberikan sudah tepat dosis dan interval pemberian obat.
Hasil penelitian oleh Kitagawa (2015), membuktikan bahwa kombinasi paklitaksel dan
cisplatin dapat menyebabkan efek samping hematologis berupa neutropenia, anemia,
trombositopenia. Regimen Cisplatin/Paclitaxel menunjukkan kombinasi obat yang memiliki
respon kecepatan yang tinggi, meningkatkan kemajuan free-survival dan dapat meningkatkan
kualitas hidup. Suatu studi klinik Cisplatin/Paclitaxel sedikit menimbulkan trombositopenia dan
anemia dibandingkan dengan regimen yang lain. Namun, penggunaannya biasa dikombinasikan
dengan cisplatin. Paclitaxel tidak pernah diberikan sebagai single agen pada terapi kemoterapi
untuk kanker servix, karena paclitaxel biasanya banyak digunakan untuk pengobatan kanker
ovarium (Medicinus, 2016). Efek samping lainnya yang dialami pasien ini akibat penggunaan
Cisplatin dan Paklitaksel adalah mual dan muntah. Cisplatin menjadi first line drug untuk
kemoterapi beberapa jenis tumor. Penggunaan cisplatin sebagai agen antikanker dianggap efektif
akan tetapi menimbulkan beberapa efek samping diantaranya mual, muntah, anemia (Wiltshaw,
1979) Selain itu Cisplatin memiliki efek samping neurotoksisitas dan gangguan elektrolit serum
(Djuanda et al., 2011; Ritter et al., 2008; UK Health Department, 2009). Gangguan elektrolit
dapat timbul dengan berbagai mekanisme, diantaranya ialah akibat muntah dan kehilangan
elektrolit langsung akibat kerusakan ginjal (Sweetman, 2009).

Gambar 4. Penatalaksanaan Terapi Kanker Servicks (NCCN, 2017)


Berdasarkan kasus di atas, selain didiagnosis kanker serviks juga didiagnosis terkena
anemia. Menurut data pemeriksaan laboratorium dari kasus di atas menyatakan jumlah sel darah
putih (WBC) 2,7 dari 4,1,-11 yang seharusnya, sel darah merah (RBC) sebanyak 2,96 sedangkan
nilai rujukan seharusnya adalah 4-5,2, jumlah hemoglobin (HGB) juga rendah yaitu sebanyak 9,8
dari 12-16 seharusnya. Anemia merupakan berkurangnya konsentrasi hemoglobin (Hb) di dalam
tubuh (Amalia dan Agustyas, 2016). Anemia yang diderita pasien ini adalah anemia aplastik
sebagai efek samping obat yang menyebabkan menurunnya kemampuan sumsum tulang dalam
memproduksi sel sel darah (eritrosit, leukosit, maupun trombosit) (Tjay dan Rahardja, 2008).
Efek samping obat yang dapat menimbulkan anemia ini adalah penggunaan obat terapi kanker
cisplatin yang dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang berakibat pada penurunan
produksi eritropoietin. Penurunan produksi eritropoietin kemudian menimbulkan anemia
(Prenggono, 2015). Untuk mengatasi anemia yang timbul akibat terapi kanker, maka diberikan
terapi supportif berupa suplemen ferro sulfat. Ferro sulfat merupakan bentuk garam dari ferro
yang larut dan memiliki peran sebagai nutrisi esensial penderita anemia. Dosis ferro sulfat 3 x 65
mg sudah tepat diberikan kepada pasien. Dosis lazim ferro sulfat bagi pasien geriatri sama
dengan pasien dewasa yakni 65 mg 2-3 kali sehari (Anderson et al., 2002). Jadi, dosis terapi ferro
sulfat yang diberikan sudah sesuai.
4.4 Plan
 Terapi Farmakologis
Berdasarkan pada Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks tahun 2015, rekomendasi terapi
yang dianjurkan untuk kanker serviks stadium IIIB adalah kemoradiasi, yaitu kemoterapi yang
dapat diberikan bersamaan dengan radiasi eksternal sebagai radiosensitiser. Kemoterapi yang
dianjurkan NCCN (2017) adalah kombinasi Cisplatin dan Paclitaxel yang merupakan first-line
combination therapy untuk kanker serviks rekuren atau metastasis, dengan siklus terapi diulangi
setiap tiga minggu (21 hari) selama 6-9 siklus (Saito et al., 2009). Sedangkan, radiasi diberikan
sebagai terapi primer pada stadium IIB-IIIB, yang merupakan terapi efektif untuk mengobati
kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul (Kemenkes RI, 2016). Berdasarkan
kasus, penggunaan kombinasi obat dan siklus kematoreapi sudah tepat, namun perlu dijelaskan
bahwa siklus diulangi setiap tiga minggu. Sehingga, penggunaan kemoradiasi tersebut harus
tetap dilanjutkan untuk untuk memperkecil ukuran menghentikan pertumbuhan kanker serviks.
 Terapi Suportif
Berdasarkan kasus, anemia yang diderita adalah efek samping obat kemoterapi yang
digunakan pasien, khususnya cisplatin yang menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas yang
jumlahnya berlebihan bersifat toksik, yaitu merusak sel-sel normal dalam tubuh termasuk sel-sel
sumsum tulang yang mengakibatkan penekanan sistem pembentukan sel darah yang berfungsi
memproduksi hemoglobin (Aminullah dkk, 2012). Hal ini menyebabkan pasien mengalami
anemia. Terjadinya anemia pada pemberian antikanker dapat menyebabkan outcome terapi
menjadi kurang efektif, respons terhadap radioterapi dapat menurun, serta ketahanan hidup
pasien yang sedang menjalani kemoradiasi juga akan menurun (Aziz dkk, 2010). Pengobatan
anemia pada pasien kanker saat ini, pada dasarnya terdiri dari transfusi sel darah merah,
penggunaan ESA (erythropoiesis stimulating agents) dan suplemen zat besi. Penggunaan
suplemen zat besi merupakan pilihan pengobatan yang efektif, yang direkomendasikan pedoman
pengobatan pasien kanker dengan defisiensi besi, baik sebagai monoterapi untuk memperbaiki
anemia atau dalam hubungan dengan ESA untuk meningkatkan respon terhadap agen tersebut
(Aapro et al., 2012). Berdasarkan kasus, pemberian ferro sulfat oral sudah tepat dengan dosis
lazim untuk pasien dewasa adalah 65 mg 2-3 kali sehari (Anderson et al., 2002), sedangkan
pemberian asam folat dengan dosis 2x2 mg juga sudah tepat. Asam folat diberikan untuk
menunjang pematangan sel darah merah dan mendukung metabolisme asam amino dengan dosis
5 mg per hari (BNF, 2014). Saat ini, program nasional menganjurkan kombinasi besi dan asam
folat dalam tablet tambah darah untuk profilaksis anemia dengan meningkatkan kadar Hb. Akan
tetapi pada kasus kondisi hemoglobin pasien dalam terapi ini belum mencapai batas normalnya
sehingga terapi anemia berupa pemberian ferro sulfat yang diterima oleh pasien perlu
ditingkatkan dengan menggunakan terapi parenteral, sedangkan asam folat tetap diberikan.
Penggunaan secara intravena dapat meningkatkan respon hematologis secara signifikan (Purba,
dkk., 2007).
 Premedikasi
Oleh karena cisplatin memiliki potensi emetogenik yang tinggi dan onset emetogenisitas
yang cepat (1,5 jam) (CDHB, 2012), sehingga rekomendasi premedikasi yang diberikan adalah
kombinasi 5HT3 + DEX + APR (Janelsins et al., 2013). 5HT3 yang digunakan adalah
ondansetron, hal ini didasarkan pada percobaan awal yang menunjukkan bahwa ondansetron
adalah antiemetik yang efektif untuk pasien yang menerima rejimen berbasis cisplatin, dan
menunjukkan lebih unggul dari metoklopramid pada pasien yang menerima rejimen cisplatin dan
noncisplatin (Rao dan Faso, 2012). Dosis yang diberikan berturut-turut adalah ondansetron 16
mg PO atau 8 mg IV; deksametason 8-20 mg PO/IV; aprepitant 125 mg PO pada hari pertama
dan 80 mg PO pada hari kedua dan ketiga (Rao dan Faso, 2012). Agen pra-kemoterapi diberikan
secara oral memiliki waktu yang cukup untuk diserap, sedangkan untuk antiemetik intravena
hanya boleh diberikan jika pasien tidak mampu minum antiemetik oral, harus 30 menit sebelum
pengobatan, dan hanya untuk dosis segera sebelum kemoterapi yang tinggi dan sedang hingga
sangat emetogenik (CDHB, 2012).
 KIE
Komunikasi, Informasi dan Edukasi sangat penting dilakukan, karena salah satu parameter
keberhasilan terapi yang dilaksanakan adalah pemahaman dari pasien tentang obat dan kegunaan
obat yang dikonsumsi sehingga hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat. Pasien, keluarga pasien atau caregiver pasien dapat diberikan KIE untuk
menunjang terapi pada pasien adalah sebagai berikut:
1) Diberikan kemoterapi dengan pemberian cisplatin dan paclitaxel dengan tujuan untuk
pengobatan, sebagai kontrol (menghambat perkembangan), mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun, perlu diperhatikan bahwa kemoterapi dapat
memberikan beberapa efek samping seperti demam, mual dan muntah, rambut rontok, dan
gangguan pencernaan.
2) Selain gelaja-gejala di atas, anemia merupakan salah satu fenomena umum yang terjadi pada
pasien yang menerima kemoterapi. Sebelumnya pasien telah diberikan suplemen ferro sulfat
secara oral. Ferro sulfat sebaiknya diberikan kepada pasien 2 jam setelah makan. Ferro sulfat
yang mengandung zat besi jika diberikan sebelum makan (keadaan perut kosong)
menyebabkan mual dan muntah pada pasien. Sebaiknya pemberian ferro sulfat per oral tidak
dibarengi dengan makanan karena dengan adanya makanan, jumlah zat besi yang diserap
menjadi setengahnya. (Dipiro, 2008). Akan tetapi kondisi hemoglobin dan sel darah merah
belum mencapai batas normal dan oleh karena itu terapi anemia ditingkatkan dengan
peningkatan dosis atau penggantian rute pemberian suplemen besi dari oral menjadi IV.
Selain itu, pasien juga diberikan asam folat dengan tujuan untuk menunjang pematangan sel
darah merah dan juga mendukung metabolisme beberapa asam amino.
3) Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang merupakan efek samping dini setelah
pemberian sitostatika. Untuk mengatasi keluhan tersebut, maka diberikan premedikasi berupa
kombinasi ondansentron, deksametason dan aprepitant dengan tujuan mencegah atau
mengurangi hipersensitivitas yang diakibatkan oleh obat-obat kemoterapi. Ondansetron 8 mg
diberikan 1 sampai 2 jam (oral) atau 16 mg diberikan 1 sampai 2 jam (intravena) sebelum
pasien menjalani kemoterapi, deksametason 8-20 mg PO/IV, dan aprepitant 125 mg PO pada
hari pertama dan 80 mg PO pada hari kedua dan ketiga (Rao dan Faso, 2012). Pasien juga
diberikan asam mefenamat yang digunakan untuk mengurangi rasa pusing yang diderita
pasien (BNF, 2014).
4) Selain terapi farmakologi yang diberikan, dianjurkan pula terapi non farmakologi pada pasien
dengan mengatur pola makan (makan makanan yang rendah lemak), istirahat yang cukup,
serta menghindari stress berlebih.
5) Terapi yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) adalah terapi suportif atau
dukungan. Pasien dengan kemoterapi perlu mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau
saudara. Pada beberapa kasus, pasien mengalami mual muntah sebelum menjalani
kemoterapi, namun setelah dikaji lebih lanjut mereka mengalami depresi terhadap pengobatan
kemoterapi. Sayangnya masih banyak keluarga dari pasien yang tidak memahami efek
samping tersebut, sehingga kurang dapat memberikan dukungan pada pasien untuk
melanjutkan pengobatan kemoterapi yang sangat lama.
 Monitoring
1) Untuk menentukan apakah terapi yang dilakukan efektif menghambat perkembangan
penyakit sehingga dapat berlanjut atau perlu dilakukan peningkatan terapi.
2) Untuk mengetahui apakah terapi anemia yang diberikan sudah cukup efektif untuk dapat
dilanjutkan atau perlu ditingkatkan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
3) Dilakukan monitoring kadar sel darah merah (RBC) dan hemoglobin untuk mengetahui
kadarnya agar tetap normal.
4) Setelah kemoterapi diberikan perlu dilakukan monitoring lebih lanjut mengenai
kemungkinan terjadinya komplikasi penyakit pada organ vital sebagai akibat efek samping
terapi kemoradiasi seperti pada terapi penyinaran (radiasi) yang dapat menimbulkan iritasi
serta kerusakan pada rektum, vagina dann kandung kemih.
5) Diperlukan monitoring pada fungsi ginjal pasien karena penggunaan cisplatin untuk
pengobatan kemoterapi dapat menginduksi disfungsi tubular ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
Anastesya, W. 2009. Artritis Pirai (Gout) dan Penatalaksanaannya. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Amalia. A dan T. Agustyas. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi.
MAJORITY. 5 (5): 166-169.
American College of Rheumatology. 2012. Osteoarthritis. Lake Boulevard NE, Atlanta.
Aminullah, Y., Wiranto., dan N. Susilaningsih. 2012. Pengaruh Kombinasi Vitamin C dan E
Dosis Tinggi terhadap Sistem Hemopoetik Penderita Kanker Kepala dan Leher yang
Mendapat Kemoterapi Cisplatin, Jurnal Medica Hospitalia, 1: 89-94.
Anderson, P. O., J. E. Knoben dan W. G. Troutman. 2002. Handbook of Clinical Drug Data.10th
Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Aziz, F. M., Adrijono., dan A. B. Saifudin. 2010, Buku Acuan Nasional: Onkologi Ginekologi.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Barrera, et al., 2002. Drug survival, efficacy and toxicity of monotherapy with a fully human
anti-tumour necrosis factor-alpha antibody compared with methotrexate in long-standing
rheumatoid arthritis. Rheum (Oxford).
BNF. 2007. British National Formulary 54. London: BMJ Publishing Groups.
BPOM RI. 2015. Informatorium Obat Nasional Indonesia : Piroksikam. Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Brunton, L.C., Lazo J.S. and Parker K.L., 2006. The pharmacological basis of therapeutics, 11th
ed., USA: McGrawHill.
Carter, M. A. 2006. Gout dalam Patofosiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Canterbury District Health Board (CDHB). 2012. Antiemetic Guidelines for Chemotherapy and
Radiation Therapy. New Zealand: Canterbury Regional Cancer and Blood Service
Oncology Department.
Chisholm-Burns, M.A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone, J. M. Kolesar, J. C.
Rotschafer, and J. T. DiPiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & practice. New York:
McGraw-Hill.
Cronstein, B. N. 2005. Low-Dose Methotrexate: A Mainstay in the Treatment of Rheumatoid
Arthritis. Pharmacological Review. Vol. 57. No. 2. Page: 163-172
Cutolo, et al., 2001. Anti-inflammatory mechanisms of methotrexate in rheumatoid arthritis.
Annals of the Rheu Dis 2001; 60: 729-735.
Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Artritis Rematik. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Diananda, R., 2009. Kanker Serviks: Sebuah Peringatan Buat Wanita. In: Diananda, R.
Mengenal Seluk-Beluk Kanker. Yogyakarta: Katahari.
Dianati, N.A. 2015. Gout And Hyperuricemia. Jurnal Majority 4(3):82-89.
Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, L. M. Posey. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. New York: The
McGraw-Hill Companies.
Djuanda, A., A. Azwar, S. Ismael, M. Almatsier, R. Setiabudi, R. Firmansyah, A. Sani, dan
Handaya. 2011. MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Medidata Indonesia.
FIGO Committee on Gynecologic Oncology. 2009. Revised FIGO staging for carcinoma of the
vulva, cervix, and endometrium. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 105:
103-104.
Foltz-Gray, D. 2005. Alternative treatments for arthritis: An A-Z. Atlanta: Arthritis Foundation
of America.
Hasanah, A. N. 2007. Evaluasi Penggunaan Obat Antipeptik Ulser Pada Penderita Rawat Tinggal
Di Rumah Sakit Advent Bandung. Skripsi.
Janelsins, M. C., Tejani, M., Kamen, C., Peoples, A., Mustian, K. M., and Morrow, G. R. 2013,
Current Pharmacotherapy for Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Cancer
Patients, Expert Opin Pharmacother, Vol. 14: 757–766.
Jordan, K. M., J. S. Cameron, M. Snaith, W. Zhang, M. Doherty, J. Seckl, A. Hingorani, R.
Jaques, G. Nuki. 2007. British Society for Rheumatology and British Health Professionals
in Rheumatology Guideline for the Management of Gout. Rheumatology. 46: 1372-1374.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional, Jakarta.
Kitagawa, R. et al.. 2015. Paklitaksel Plus Carboplatin Vs Paklitaksel Plus Cisplatin in
Metastatic or Recurrent Cervical Cancer: The Open-Label Randomized Phase III Trial
JCOG0505. Journal of Clinical Oncology. 33: 1-7.
Laar, J. M. 2004. Folate Suplementation and Methotrexate Treatment in Rheumatoid Arthritis: A
Riview. Journal Oxford. Vol. 43(3). Page 267-271.
Lacy, CF., Lora L., Goldman P.,& Leonardo LL. 2006. Drug information handbook. Book 1
18th Edition. Lexi-comp.
Lespasio, M.J., N.S. Piuzzi, M.E. Husni, A.J. Guarino. 2017. Knee Osteoarthritis: A Primer.
Perm Journal 21(16): 183.
Medicinus. 2016. Peripheral Neuropathy. Scientific Journal of Pharmaceutical and Medical
Application. Vol. 29.
Millan, et al., 2013. Changes in lipoprotein associated with methotrexate or combination therapy
in early rheumatoid arthritis: Result from the TEAR Trial. Arthr & Rheum 2013 June;
65(6): 1430-1438.
Murphy, L. dan C.G. Helmick. 2012. The Impact of Osteoarthritis in the United States: A
Population-Health Perspective. American Journal of Nursing 112: 3.
Nafrialdi, Gan S., Tirza D., dan Andoko, T., 2003. Antikanker dan imunosupresan. Jakarta: Gaya
Baru.
Naga, S. S. 2013. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Diva Press.
NCCN. 2017. Cervical Cancer. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014. Rekomendasi perhimpunan reumatologi Indonesia
untuk diagnosis dan pengelolaan artritis reumatoid. Indonesia: Perhimpunan Reumatologi
Indonesia.
Prenggono, M. D. 2015. Eritropoetin dan Penggunaan Eritropoetin pada Pasien Kanker dengan
Anemia. CDK-224. 1 (42): 20-28.
Pupitasari, R., T. A. Purwonugroho, dan H. N. Baroroh. 2014. Ketepatan Penggunaan
Metotreksat pada Pasien Reumatoid Artritis di Rumah Sakit Emanuel Klampok
berdasarkan Kriteria Eksplisit. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Vol. 3(3).
Purba, R. T., N. Kampono, Handaya, dan E. M. Moegni. 2007. Perbandingan Efektivitas Terapi
Besi Intravena dan Oral Pada Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan. Maj Kedokt
Indon 57 (4): 106-112.
Rao, K. V., and Faso, A. 2012, Review Article Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting:
Optimizing Prevention and Management, American Health and Drug Benefits, 5: 232-240.
Rhen, T. dan J. A. Cidlowski. 2005. Antiinflamatory Action of Glucocorticoids-New
Mechanisms of Old Drugs. The New England Journal of Medicine Vol. 353. Page 1711-
1723.
Ritter,J. M., L. D. Lewis, T. G. K. Mant, dan A. Ferro. 2008. A Textbook of Clinical
Pharmacology and Therapeutics fifth Edition. London, UK: Hodder Arnold.
Saito, I., Ryo K.., Haruhiko F., Taro S., Noriyuki Katsumata., Ikuo Konishi., Hiroyuki
Yoshikawa., and Toshiharu Kamura. 2010. A Phase III Trial of Paklitaksel plus
Carboplatin Versus Paklitaksel plus Cisplatin in Stage IVB, Persistent or Recurrent
Cervical Cancer: Gynecologic Cancer Study Group/Japan Clinical Oncology Group Study
(JCOG0505). Japanese Journal of Clinical Oncology. 40 (1): 90-93.
Schumacher HR, Chen LX. 2008. Gout and Others Crystal Associated Arthopathies. USA: The
McGraw Hill.
Segal, Rafael., Michael Yaron., dan Boris Tartakovsky. 1990. Methotrexate: Mechanism of
Action in Rheumatoid Arthritis. Seminars in Arthritis and Rheumafism, Vol20, No 3
(December), 1990: pp 190- 199.
Sholihah, F.T. 2014. Diagnosis and Treatment Gout Arthritis. J Majority. Vol. 3(7):39-45.
Sjamsuhidajat, R., W. Karnadihardja, T.O.H. Prasetyono, R. Rudiman. 2011. Buku Ajar Ilmu
Bedah Sjamsuhidajat- De Jong. Ed. 3. Jakarta: EGC.
Subhashini, V., S. S.Medabalimi and Suresh. 2013. Folate Beneficial? In RA Treatment With
Methotreate–A Review.Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research. Vol. 6.
Suppl. 1. Page 1-4.
Subcommittee on Osteoarthritis Guidelines. 2000. Recommendations for the Medical
Management of Osteoarthrits of the Hip and Knee. American College of Rheumatology.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. 2006. Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: 2495-2513.
Sustrani, L., Syamsir A., & Iwan H. 2004. Asam Urat Informasi Lengkap untuk Penderita dan
Keluarga. Edisi 6. Jakarta: Gramedia.
Sweetman, S. C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference Thirty-sixth edition. London:
Pharmaceutical Press.
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2008. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek
Sampingnnya. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo Kelompok
Kompas-Gramedia.
UK Health Department. 2009. British National Formulary 57th Edition. London: RPS
Publishing.
Wiebe, E. L. Denny, and G. Thomas. 2012. Cancer of the Cervix Uteri. International Journal of
Gynecology and Obstetrics. 119S2: S100-S109.
Wilopo, S. A. 2006. Epidemiologi dan Pencegahan Knaker Serviks Ca-Cervix: Teknologi
Deteksi, Pencegahan dan Penanggulangan. Yogyakarta: UGM Press.
Wiltshaw, E. 1979. Cisplatin in the Treatment of Cancer. Jurnal Platinum Metal 23(3): 90-98.
Zhang, Y. dan J.M. Jordan. 2010. Epidemiology of Osteoarthritis. Clin Geriatry Med. 26(3):
355–369.

Anda mungkin juga menyukai