Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP
SINDROM KARDIORENAL DENGAN ILEUS
PARALITIK

Disusun Oleh :
Nama : dr. Made Bayu Prasetia Mulia
Wahana : RST Wirasakti Kupang
Periode : Februari 2019 – Februari 2020

Dokter Pendamping :
dr. Stephanie Hellen Hartoyo
dr. Cyrilus Clive Steward Susilo

Dokter Penanggung Jawab Pasien :


dr. Kamilus Sp.PD

RUMAH SAKIT Tk. IV WIRASAKTI


KOTA KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal/ tidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya.1 Ileus paralitik
bukanlah suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer,
tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan
yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus.1,2
Edema paru akut (EPA) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di
rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan
ancaman gagal napas. Terjadinya akumulasi cairan di paru-paru secara mendadak
dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau
karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan
pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia. EPA adalah
suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi.3
Pasien dengan gagal ginjal sering mengalami gejala klinis yang berkaitan
dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi, dan gangguan
gastrointestinal.4 Salah satu dari komplikasi gagal ginjal tersebut adalah Uremic
Encephalopathy (UE). Uremic encephalopathy adalah kelainan otak organik yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai
kadar creatinine clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt.4,5
Suatu keadaan terjadinya gangguan fungsi jantung atau ginjal yang disebabkan
oleh gangguan akut atau kronik dari salah satu organ yang akan menginduksi
gangguan akut atau kronik organ yang lainnya di sebut sebagai sindrom kardiorenal
(SKR). Istilah tersebut dipilih dengan tujuan untuk menunjukkan adanya hubungan
dua arah (timbal balik) antara jantung dan ginjal yang ditemukan pada berbagai
sindrom atau kelainan yang telah dikenal sebelumnya tapi belum didefinisikan secara
baik.6
Syok merupakan suatu keadaan dimana aliran darah ke jaringan tidak adekuat
untuk mencukupi kebutuhan. Meskipun syok dan hipotensi sering terjadi bersamaan,

2
namun hipotensi tidak perlu harus ada untuk mendiagnosa adanya syok, dan
sebaliknya tekanan darah normal tidak menyingkirkan terjadinya syok.7
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri
yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan di mana fungsi ventrikel kiri cukup
baik. Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk
tekanan darah sistolik yang sering dipakai adalah < 90 mm Hg. Dengan menurunnya
tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan
konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda
hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental, kulit dingin dan oliguria.8

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ILEUS PARALITIK
1.1 DEFINISI ILEUS PARALITIK
Ileus paralitik atau adinamik ileus adalah keadaan dimana usus gagal/
tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus
merupakan kondisi dimana terjadi kegagalan neurogenik atau hilangnya
peristaltik usus tanpa adanya obstruksi mekanik.1,2
1.2 ETIOLOGI
Etiologi ileus paralitik menggunakan pendekatan ilmu penyakit dalam,
dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyebab intraabdomen dan ekstraabdomen.9
Penyebab Intraabdomen9
 Peritonitis, merupakan penyebab tersering dari ileus paralitik berkaitan
dengan refleks peritoneo-intestinal yang menyebabkan iritasi langsung
pada rongga peritoneum, diakibatkan oleh:
- pankreatitis akut
- kolesistitis akut
- perforasi ulkus peptikum
- peritonitis bakteri
- apendisitis
 Proses retroperitoneal/ iritasi ekstraperitoneal:
- batu saluran kemih
- pielonefritis
- perdarahan retroperitoneal
 Gangguan masukan oksigen
- insufisiensi arteri mesenterika
- insufisiensi vena mesenterika

4
Penyebab Ekstraabdomen9
 Gangguan metabolik
- gangguan elektrolit (hipokalemi dan hipokalsemi)
- uremia (gagal ginjal akut dan kronik)
- gangguan hormonal (Diabetes Melitus, Hipoparatiroid, mixedema)
 Penggunaan obat-obatan : antikolinergik/ agen spasmolitik, opioid,
antidepresan trisiklik, fenotiazin
 Sepsis
1.3 PATOFISIOLOGI
Mekanisme ileus yang terlibat dapat bersifat neurogenik, miogenik dan
atau humoral. Ketiga faktor tersebut dapat menghambat secara berlebihan
maupun kurangnya rangsangan terhadap aktivitas otot pada usus. Sebagian
besar kasus berhubungan dengan substansi di pembuluh darah, sedangkan
mekanisme yang lain adalah mekanisme refleks dan kegagalan fungsi otot.1,10
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari
terangsangnya sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam
traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan
yang ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan
pengaruhnya melalui dua cara: (1) pada tahap yang kecil melalui pengaruh
langsung norepineprin pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia
merangsangnya), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik
dari noreepineprin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan
yang kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan
melalui traktus gastrointestinal.c
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik
akan menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus
gastrointestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat
saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik,
ujung seratnya mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide
intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya.1,10
Beberapa penyakit atau keadaan yang mendasari terjadinya ileus
paralitik dijelaskan sebagai berikut:

5
Hipokalemi
Hipokalemi adalah salah satu gangguan elektrolit yang paling sering
pada diare akut. Hipokalemi adalah suatu keadaan di mana konsentrasi plasma
< 3,5 mmol/L sebagai akibat dari satu atau lebih faktor berikut ini:
berkurangnya intake, masuknya kalium ke dalam sel, meningkatnya
pengeluaran kalium. Gejala hipokalemi jarang muncul kecuali konsentrasi
plasma <3 mmol/L. Gejala-gejala tersebut adalah fatigue, mialgia, kelemahan
otot, dari ektremitas bawah yang merupakan akibat dari lebih negatifnya
resting membrane potential. Hipokalemi yang lebih berat dapat berakibat
kelemahan yang progresif, hipoventilasi, dan kadang paralisis komplit. Salah
satu manifestasi klinis yang berat pada hipokalemi adalah ileus paralitik. Hal
ini dikarenakan fungsi otot halus yang terpengaruh kurangnya kadar kalium
dan sebagai manifestasinya adalah ileus paralitik.1
Obat-obatan
Antikolinergik dapat menurunkan tonus intestinal serta amplitude dan
frekuensi kontraksi peristaltik. Analgesik opiat diketahui dapat menekan
motilitas traktus gastrointestinal. Morfin dapat menurunkan kontraksi propulsif
dengan mempengaruhi reseptor μ-opiat pada sel otot intestinal yang
mengakibatkan waktu transit pada usus halus memanjang.1
1.4 MANIFESTASI KLINIK
Sindrom obstruksi saluran pencernaan secara umum meliputi nyeri
perut, mual dan muntah, perut kembung dan konstipasi. Selain itu beberapa
tanda dan gejala lain yang perlu diperhatikan antara lain:
 Distensi abdomen, hilangnya bising usus dan pada perkusi ditemukan
suara timpani diseluruh region abdomen (meteorismus) yang
merupakan keluhan utama pada pasien dengan ileus paralitik. Keluhan
lain yang mendasari etiologi seperti demam (tanda infeksi dan
inflamasi), tanda syok, nyeri abdomen terus menerus.9
 Nyeri abdomen berupa kolik intermiten dengan perasaan nyeri yang
makin hebat, terjadi peningkatan bising usus, tampak ada gambaran
massa/sumbatan pada dinding abdomen merupakan tanda utama dari
ileus obstruktif.9

6
 Distensi abdomen yang massif, rasa tidak nyaman pada perut, dan
bising usus yang meningkat hingga normal disebut sebagai akut
kolonik pseudo-obstruksi (sindrom ogilvies). Kondisi tersebut berkaitan
dengan ketidakseimbangan antara inervasi simpatis usus dan inervasi
parasimpatis sacral pada persarafan kolon distal. Sindrom ogilvies
merupakan bentuk dari ileus paralitik terutama yang terjadi pada kolon
distal hingga sekum.9
Tabel 1. Perbedaan Ileus paralitik dan Ileus obstruktif
Ileus obstruksi
Gejala Ileus Duodenu Jejunoile
Duodenu
Klinis Paralitik m al Kolon
m distal
proksimal junction
Abdominal - Kolik, Kolik, Kolik, Jarang
pain sering sering sedang kolik
(interval)
Distensi Sedang- Ringan Ringan Sedang Berat
berat
Frekuensi Sedikit, Banyak, Banyak, Sedikit, Sangat
vomit jarang sering sering jarang jarang
Karakteristi Asam, Bersih, Kehijaua Berbau Berbau
k bilious asam n, feses feses
berminya
k
Gangguan Bervaria Alkalosis Asidosis Dehidrasi bervaria
asam-basa si metabolic metabolic si

1.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS


Dalam penegakan diagnosis, diperlukan penentuan etiologi yang tepat,
beberapa prosedur diagnostic dapat dilakukan, antara lain: pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologi, EKG, USG dan CT-Scan abdomen.
Namun tidak seluruh pemeriksaan harus dilakukan, perlu dipertimbangkan
keuntungan dan kerugian dalam melakukan pemeriksaan dalam menentukan
penyebab dari ileus paralitik.1,9
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab memegang peran penting dalam penegakan diagnosis
ileus paralitik, terkait dengan gangguan metabolic dan elektrolit terutama pada
penyebab infeksi dan inflamasi, antara lain:

7
- Pemeriksaan darah lengkap: Hb, Ht, eritrosit, leukosit, diff. count
(menilai infeksi/inflamasi)
- Evaluasi kadar elektrolit: K, Ca, Mg (gangguan elektrolit)
- Kimia darah: fungsi ginjal (Ur-Cr), fungsi hepatobilier dan pancreas
(GD, bilirubin, OT,PT, kolesterol, TG, amylase dan lipase)
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto thorak untuk mendeteksi adanya pneumonia dan ada
tidaknya free air pada ruang subdiafragma (terkait dengan perforasi saluran
pencernaan).
Foto polos abdomen 3 posisi (AP, Supinasi dan Lateral) merupakan
pemeriksaan penting dalam penegakan ileus paralitik. Spesifisitas dalam
pemeriksaan foto polos sebesar 85%.
- Pada keadaan normal, tidak ditemukan adanya udara dalam usus,
hanya terdapat sedikit gelembung gas pada feses di kolon
- Pada kasus ileus paralitik, ditemukan akumulasi udara pada
lambung, usus halus dan kolon, gambaran khas herring bone yang
merupakan haustra kolon, akan tampak pada distensi udara yang
berlebih.
- Pada kasus ileus obstruktif, ditemukan kumpulan udara dan cairan
pada bagian proksimal dari lokasi obstruksi, menjadi penyebab
distensi, selain itu terdapat gambaran khas stepladder. Pada bagian
distal obstruksi, tidak ditemukan udara.
- Foto dengan barium atau kontras dapat dilakukan jika kesulitan
dalam membedakan ileus paralitik dengan obstruksi mekanik, akan
didapatkan gambaran penyempitan usus pada kasus obstruksi.
EKG
Pada kasus ileus paralitik yang disebabkan oleh hipokalemi, terdapat
gambaran abnormalitas ekg berupa t inverted dengan gambaran ST-depresi
yang khas.
USG
Pada kecurigaan adanya pankreatitis, kolesistitis dan abses hepar, USG
pada organ perut bagian atas dapat dilakukan.1,9

8
1.6 PENATALAKSANAAN
Dalam manajemen ileus paralitik, tidak diperlukan tindakan operatif.
Tidak ada terapi yang spesifik dapat mengembalikan fungsi usus secara
langsung untuk kembali normal. 1
Mencari penyebab utama dari ileus paralitik tidak mudah. Perlu
dilakukan terapi konservatif yang cepat pada keadaan ditemukan keluhan ileus
paralitik, namun tetap mencari etiologi dan segera melakukan tatalaksana
definitif.9
Terapi suportif dalam penanganan ileus paralitik, terdiri dari:9
 Tatalaksana umum
 Koreksi cairan, elektrolit, dan gangguan asam-basa
 Dekompresi abdomen
 Nutrisi total parenteral
Tatalaksana Umum9
- KIE terhadap kondisi pasien dan tindakan penanganan kepada
keluarga menjadi bagian penting, terutama terkait hal-hal yang
berhubungan langsung terhadap perilaku pasien seperti puasa,
pemasangan selang NGT, pemeriksaan penunjang dan pemberian
terapi pengobatan.
- Bed rest
- Puasa
- Monitoring keadaan umum dan tanda vital (kesadaran, tekanan
darah, HR,suhu, RR) setiap 6-8 jam selama 24-48 jam pertama.
- Pemasangan IV line dan loading cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau
RL) saat kegawatdaruratan
- Evaluasi laboratorium: darah lengkap, ureum dan kreatinin, gula
darah, serum elektrolit dan analisa gas darah
- Pemasangan kateter urin dan menilai urin output dalam 24 jam
- Monitoring ekg (hipokalemi)
Koreksi cairan, elektrolit dan asam basa

9
Pada keadaan umum dan tanda vital pasien yang stabil, berikan cairan
2,5-3 liter/hari. Jika ditemukan tanda syok hipovolemik, loading cairan
secepatnya (RL/NaCl 0,9%) hingga tekanan darah diatas 100/60.
Tanda dehidrasi yang dinilai dari urin output dan akumulasi vairan
yang keluar dari selang NGT perlu dilakukan tindakan rehidrasi, perhitungan
dilakukan selama 24 jam.
Pada keadaan alkalosis metabolic, sebagai akibat dari kehilangan HCl
pemberian NaCl 0,9% sebagai terapi rehidrasi utama, selain itu kehilangan
kalium dengan mengkoreksi KCl (5-10 mEq/jam) selama 24 jam perlu
dilakukan.
Pada keadaan asidosis metabolic, terutama pada gangguan intake,
dikoreksi dengan sodium bikarbonat, terutama dilakukan pada pH dibawah 7,1.
Dekompresi abdomen
Dekompresi abdomen dilakukan untuk mengurangi akumulasi udara
pada saluran pencernaan, berguna untuk:
- Mengurangi keluhan tidak nyaman pada perut
- Mengurangi kesulitan bernapas
- Mengurangi mual dan muntah
- Mencegah aspirasi saluran pernapasan akibat muntah
Nutrisi parenteral total
Pemberian nutrisi per oral tidak disarankan, melainkan pasien harus
berada pada keadaan puasa. Setelah kondisi tertangani, perlu dilakukan koreksi
nutrisi terhadap pasien untuk mencegah kondisi malnutrisi, berupa pemberian
karbohidrat:lemak:protein: 50%:30%:20%. Saat sudah ditemukan bising usus
dan flatus, pemberian makanan melalui selang NGT harus segera dilakukan.

10
Gambar 1. Tatalaksana Ileus Paralitik
Medikamentosa
Pemberian obat golongan simpatis inhibitor seperti guanetidine,
dihidroergotamin atau reserpine tidak terlalu berpengaruh pada kasus ileus
paralitik paska operasi, dan obat-obatan tersebut memberikan efek
kardiovaskular berupa hipotensi.
Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid atau cisaprid tidak
terbukti efektif pada terapi ileus paralitik.
Penggunaan neostigmine terbukti dapat memperbaiki fungsi usus
setelah etiologi utama ileus paralitik tertangani. Dengan pemberian sebesar 3x1
vial neostigmine/ prostigmin.9
1.7 PROGNOSIS
Beberapa keadaan dapat memperburuk ileus paralitik, antara lain syok
hipovolemik, septicemia, syok septik dan malnutrisi. Dengan terapi suportif
yang cepat dan tepat, prognosis secara umum baik.1
Lamanya rawat inap bergantung pada etiologinya, antara lain:
 Pankreatitis akut
- Kelompok ringan-sedang (edema) : 2-3 minggu
- Kasus berat (hemoragik/abses) : 3-5 minggu
 Agen spasmolitik: 1 minggu
 Infeksi: 1-3 minggu

11
B. GANGGUAN GINJAL AKUT DENGAN ENSEFALOPATI UREMIKUM
2
2.1 DEFINISI
Gagal ginjal akut, adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi
mendadak, dalam beberapa jam sampai beberapa minggu, diikuti oleh
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen dengan atau
tanpa disertai terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.3
Panduan gangguan ginjal akut pertama kali diajukan oleh Kidney
Disease Imporving Global Outomes (KDIGO) tahun 2011 membuat kriteria
RIFLE (Risk-Injury-Failure-Loss-Endstage renal failure) yang dapat
dimanfaatkan untuk menetapkan diagnosis dan prognosis pasien.3,4
Tabel 2. Kriteria RIFLE pada GGA3,4,5

12
2.2 ETIOLOGI3

2.3 PATOGENESIS
Patogenesis GGA merupakan kejadian yang sangat kompleks dan
bervariasi serta tergantung dari etiologinya.3
Pada gangguan ginjal akut pre-renal menggambarkan reaksi ginjal
akibat kekurangan cairan. Berkurangnya perfusi ginjal dan volume efektif
arterial akan menstimulasi sistem saraf simpatis dan renin-angiotensin-
aldosteron. Stimulasi tersebut meningkatkan kadar angiotensin II yang akan
menimbulkan vasokonstriksi arteriol eferen glomerulus ginjal. Selain itu,
angiotensin II akan merangsang sistem saraf simpatis untuk mengabsorbsi air

13
dan garam di tubulus proksimal ginjal. Sebagai upaya untuk mempertahan
LFG, sehingga terjadi retensi urin dan natrium pada urin menjadi pekat. 4,5
Pada GGA intrinsic, penyebab tersering adalah nekrosis tubular akut
(TNA). Penyebab kerusakan ginjal terkait dengan proses iskemik dan proses
nefrotoksik. Kondisi tersebut merupakan kelanjutan dari gangguan hipoperfusi
pre renal, yang menyebabkan kematian epitel tubulus ginjal sehingga terjadi
penurunan LFG.4,5
Pada GGA post-renal terjadi akibat sumbatan dari sistem traktus
urogenital. Sumbatan dapat terjadi ditingkat buli-buli dan uretra (tingkat
bawah) atau ureter dan pelvis ginjal (tingkat atas). Obstruksi akan
meningkatkan tekanan di dalam kapsula bowman dan menurunkan tekanan
hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG.4,5
2.4 DIAGNOSIS
Kriteria oleh Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO)
tahun 2011 menerbitkan panduan untuk GGA untuk menjembatani versi ADQI
dan AKIN, dengan referensi sebagai berikut:4

14
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Biokimia darah yaiut pemeriksaan urem dan kreatinin.
Sehingga dapat menilau laju filtrasi glomerulus, namun sulit dilakukan pada
pasien kritis, sehingga dilakukan perkiraan LFG (e-GFR) merupakan
kemampuan ginjal untuk memfiltrasi plasma darah dalam satu menit, yaitu4

2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi dan memerlukan pengelolaan segera
adalah:
1. Gangguan keseimbangan cairan tubuh
Pada keadaan normal terjadi keseimbangan pengaturan cairan tubuh
dan elektrolit (terutama natrium) sehingga tekanan osmotik plasma
stabil dengan kadar normal natrium sekitar 135-145 meq/liter. Pada
GgGA, akibat hipoperfusi ataupun mekanisme lain akan terjadi
oligouri atau anuri sehingga keseimbangan ini terganggu.

15
Terjadinya retensi cairan akan mengakibatkan kelebihan cairan
intravascular dan disnatremi. Manifestasi kliniknya dapat berupa
peningkatan tekanan vena jugularhipertensi ringan, edema perifer
atau edema paru.4,5
2. Gangguan keseimbangan elektrolit
Akibat retensi air atau asupan cairan yang hipotonis dapat terjadi
hiponatremia (dilusional). Pada hiponatremia yang berat dapat
terjadi edema serebral dengan gejala kejang atau gangguan
neurologis lain. Dalam keadaan normal, kadar K* lebih tinggi di
intraselular dibanding dengan ekstraselular. Hiperkalemia dapat
terjadi akibat peningkatan kadar kalium total atau terhambatnya
translokasi kalium dari ekstraselular ke intraselular. Hiperkalemia
berat dapat menimbulkan gangguan neurologis, gagal Napas atau
henti jantung {cardiac arrest).4,5
3. Asidosis metabolik
Ginjal memegang peranan penting dalam pengaturan kesimbangan
asam basa. Pada GgGA terjadi penurunan LFG secara mendadak
yang mengakibatkan terjadinya penimbunan anion organik. Akibat
gangguan reabsorbsi dan regenerasi, produksi bikarbonat menurun.
Kedua mekanisme ini akan menimbulkan komplikasi metabolik
asidosis pada penderita GGA.4,5
4. Gagal Jantung
Akibat kelebihan cairan intravaskular dapat terjadi edema perifer,
asites atau efusi pleura. Bila fungsi jantung memburuk akan terjadi
gagal jantung akut dengan edema paru yang dapat disertai
hipertensi pada sindrom kardio-renal atau hipotensi pada syok
kardiogenik.4,5
5. Gagal napas
6. Azotemia
Peningkatan toksin uremik (azotemia) pada GGA menimbulkan
berbagai kelainan, antara lain gangguan saluran pencernaan
(anoreksia, mual, muntah), gangguan kesadaran dengan derajat

16
ringan sampai koma, perikarditis, efusi perikard, tamponade
kardiak, dan berbagai kelainan lain yang dapat mengancam jiwa.
Kondisi azotemia yang disertai dengan kelainan klinis disebut
sebagai Uremia, dengan penurunan LFG <10-15 ml/menit dan
kadar ureum darah diatas 50mg/dL.5,11
Keadaan uremia yang disertai dengan kelainan otak organik dimana
kadar creatinine clearance menurun dan tetap dibawah 15mL/mnt
disebut sebagai Ensefalopati Uremikum. 11
Ensefalopati uremikum merupakan salah satu bentuk ensefalopati
metabolik yang merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global
yang menyebabkan perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku,
dan kejang.12
Gejala ensefalopati uremikum, berdasarkan derajatnya:11
Tabel 2. Ensefalopati uremikum berdasarkan derajat
Ringan Sedang Berat
Anoreksia Muntah Gatal
Mual Lamban Gangguan
orientasi
Insomnia Mudah lelah Kebingungan
“restlessness” Mengantuk Tingkah laku aneh
Kurang atensi Perubahan pola tidur Bicara pelo
Tidak mampu Emosional Hipotermia
menyalurkan ide
Penurunan libido Paranoia Mioklonus
Penurunan kognitif Asterixis
Penurunan abstraksi Kejang
Penurunan Stupor
kemampuan seksual
Koma

17
2.7 PENATALAKSANAAN

Gambar 3. Algoritma penanganan gangguan ginjal akut

Terdapat 2 jenis pengobatan dalam pengelolaan terhadap komplikasi


GGA, yaitu:13
1. Terapi konservatif (suportif)4,11,12
Penggunaan obat-obatan atau cairan dengan tujuan mencegah atau
mengurangi progresifitas, morbiditas dan mortalitas penyakit akibat
komplikasi GGA. Bila gagal, harus diputuskan untuk melakukan
TPG. Tujuan terapi konservatif antara lain:
- Mencegah progresifitas penurunan fungsi ginjal
- Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
- Mempertahankan dan memperbaiki metabolism secara optimal
- Memelihara keseimbangan cairan , elektrolit dan asam basa

18
Gambar 4. Terapi konservaif GGA4

2. Terapi pengganti ginjal (TPG)


Berupa Continous replacement renal therapy (CRRT) dan dialysis.
Keadaan akut tindakan dialisis dilakukan pada: Kegawatan ginjal
dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi
urine 6,5 mmol/I), asidosis berat (PH 150 mg/dL), ensefalopati
uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum,
disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia,
keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.4

C. EDEMA PARU AKUT DENGAN SYOK KARDIOGENIK


3
3.1 DEFINISI
Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi pada jaringan interstisial
paru yang disebabkan oleh ketidak seimbangan antara tekanan hidrostatik dan
onkotik didalam pembuluh darah kapiler paru dengan jarigan sekitarnya.
Edema paru akut dapat terjadi sebagai akibat kelainan pada jantung serta
gangguan organ lain diluar jantung.3

19
Edema paru akut merupakan kondisi klinis yang sering dijumpai pada
pasien gagal jantung akut maupun kronis.3
3.2 ETIOLOGI
Penyebab terjadinya Acute Lung Oedem dibagi menjadi 2, yaitu:3
1. Edema Paru Kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung
atau sistem kardiovaskuler.
a.      Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena
adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk
gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak
otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung
yang mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti
biasa.
b.     Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut
beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati
dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis),
penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain
dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri
menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan
dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan
infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban
tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan
mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
c.       Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi
untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat
(stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi).
Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui katub menuju
paru-paru.
d.   Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan
pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri
koronaria.

2. Edema Paru Non Kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung
tetapi paru itu sendiri. Pada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain:
1. Infeksi pada paru
2. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
3. Paparan toxic
4. Reaksi alergi
5. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
6. Neurogenik

20
3.3 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi edema paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran
cairan yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler. Sejumlah
volume cairan bebas protein tersaring ke luar kapiler, melintasi dinding kapiler
pembuluh darah, bercampur dengan cairan interstisium di sekitarnya, dan
kemudian diabsorbsi kembali ke dalam pembuluh darah, proses seperti ini
disebut sebagai bulk flow karena berbagai konstituen cairan berpindah
bersama-sama sebagai suatu kesatuan.3
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang difiltrasi melebihi
clearance capability sistem limfe, keadaan ini sering dijumpai pada keadaan
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler.3
Pada edema paru kardiogenik, peningkatan tekanan hidrostatik pada
pembuluh darah kapiler paru umumnya disebabkan oleh karena peningkatan
tekanan vena pulmonalis sebagai akibat peningkatan left ventricular end-
diastolic pressure and left atrial pressure. Peningkatan minimal {mild) tekanan
pada atrium kiri (18-25 mmHg) akan menyebabkan edema pada
perimicrovascular serta perimicrovascular interstisial space. Dengan
peningkatan tekanan pada atrium kiri yang lebih tinggi (>25 mmHg), cairan
akan menembus lapisan epitel paru dan mengisi seluruh alveoli dengan cairan-
rendah protein.3
Hal yang berbeda didapati pada keadaan edema paru nonkardiogenik,
adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah di paru menyebabkan
cairan intravascular keluar menuju interstisial paru serta airspace . Pada edema
paru nonkardiogenik akan dijumpai cairan edema yang tinggi protein karena
membran pembuluh darah yang lebih permeabel dapat melewatkan protein-
protein plasma.3

21
3.4 DIAGNOSIS
 Pemeriksaan Fisik3
 
 Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus
berbuih.
 Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir
seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang
memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma
kardiale.
 Takikardia dengan S3 gallop.
 Murmur bila ada kelainan katup.

 Elektrokardiografi.3
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel
kiri atau aritmia bisa ditemukan.

 Laboratorium3
 Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
 Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
 Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG,
enzim jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner

 Rontgen Dada3
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan
lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada
biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat
menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru
dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal.
Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari

22
pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal
tentang penyebab yang mungkin mendasarinya

           Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)


Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang
mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type
natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda
protein (hormon) yang akan timbul dalam darah yang disebabkan oleh
peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP nanogram
(sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau
lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada
sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan
gagal jantung sebagai penyebabnya.3

           Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)


Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)  adalah tabung yang panjang
dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau
leher dan dimajukan melalui ruang-ruang sisi kanan dari jantung dan
diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries
(cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru).
Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam
pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan
cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang
dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary
edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan
hanya pada intensive care unit (ICU).3

3.5 PENATALAKSANAAN
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2
tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran
tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator.
4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg
tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
6. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV
dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat,
dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan
darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan
darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital.

23
7. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
8. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
9. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
10. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
11. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
12. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan
ruptur dinding ventrikel / corda tendinea.

SINDROM KARDIORENAL
4.1 DEFINISI
Sindrom Kardiorenal (SKR) adalah suatu keadaan terjadinya gangguan
fungsi jantung atau ginjal yang disebabkan oleh gangguan akut atau kronik dari
salah satu organ yang akan menginduksi gangguan akut atau kronik organ yang
lainnya. Istilah SKR dipilih untuk menunjukkan adanya hubungan dua arah
(timbal balik) antara jantung dan ginjal yang ditemukan pada berbagai sindrom
atau kelainan yang telah dikenal sebelumnya tapi belum didefinisikan secara
baik.6
Manifestasi klinis dari sindrom kardiorenal dapat berupa: insufisiensi
ginjal, resistensi terhadap diuretik, anemia, kecenderungan untuk terjadi
hiperkalemia, dan tekanan darah sistolik yang rendah.14
4.2 PATOFISOLOGI
Berbagai penelitian menunjukkan adanya faktor independen seperti
nitrit oksida, prostaglandin, natriuretic peptida, aldoseteron, angiotensin II,
sitokin-sitokin dan endotelin yang berperan dalam patogenesis penyakit ginjal
dan jantung. Aktivasi faktor-faktor ini mempunyai peran dalam perkembangan
penyakit jantung dan dalam waktu yang bersamaan juga dapat menimbulkan
gangguan fungsi ginjal. 6
Berdasarkan teori Arthur Guyton, tubuh manusia dapat melakukan
regulasi sistem hemodinamik melalui kontrol cairan ekstraselular yang
dilakukan oleh ginjal dan regulasi sirkulasi sistemik yang dilakukan oleh
jantung. Konsep ini disebut sebagai autoregulasi tubuh total {total body
autoregulation) yang diatur melalui suatu keseimbangan neurohormonal.
Dengan adanya regulasi ini, tekanan darah, volume cairan tubuh dan sistem
hemodinamik dipertahankan dalam batas normal.6
Bila terjadi prosesinflamasi, peningkatan aktivitas sistem renin-
angiotensin-aldosteron, aktivasi sistem saraf simpatis, pelepasan oksigen
reaktif dan aterosklerosis, maka akan terjadi gangguan sistem hemodinamik
danselanjutnya terjadi gangguan fungsi ginjal dan jantung.6

24
4.3 KLASIFIKASI6
Sindrom kardiorenal tipe 1 (sindrom kardiorenal akut)
Dengan karakteristik terjadi penurunan fungsi jantung secara cepat
yang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi ginjal. Penurunan fungsi
jantung secara cepat dapat berupa edema paru hipertensif dengan fungsi sitolik
ventrikel kiri yang masih baik, dekompensasi akut dari gagal jantung kronik,
syok kardiogenik, dan gagal jantung ventrikel kanan.
Sindrom kardiorenal tipe 2 (sindrom kardiorenal kronik)
Dengan karakteristik terjadi gangguan fungsi jantung kronik (contoh:
gagal jantung kronik) yang menyebabkan perburukan gagal ginjal kronik.
Sindrom kardiorenal tipe 3 (sindrom renokardiak akut)
Dengan karakteristik terjadi gangguan fungsi ginjal secara mendadak
(contoh: GGA, iskemi, atau glomerulonefritis) yang menyebabkan terjadinya
disfungsi jantung akut (contoh: gagal jantung, aritmia, iskemi).
Sindrom kardiorenal tipe 4 (sindrom renokardiak kronik)
Dengan karakteristik terjadinya gagal ginjal kronik (contoh: penyakit
glomerular kronik) yang menyebabkan penurunan fungsi jantung, hipertrofi
ventrikel, disfungsi diastolik, dan atau peningkatan risiko terjadinya
komplikasi kardiovaskular.
Sindrom kardiorenal tipe 5 (sindrom kardiorenal sekunder)
Dengan karakteristik terdapatnya kombinasi disfungsi jantung dan
ginjal yang disebabkan oleh penyakit sistemik akut atau kronik. Misal sepsis,
DM, amyloidosis, sle.
4.4 FAKTOR RISIKO
Hasil beberapa studi menunjukkan adanya faktor risiko yang dapat
memperburuk SKR, yaitu:
- Hipertensi
- Diabetes mellitus
- Arteriosclerosis
- Usia tua
- Kadar kreatinin yang lebih tinggi dari normal pada saat awal
- Tekanan darah sistolik yang rendah
- Fraksi ejeksi yang rendah

4.5 PENATALAKSANAAN6
Dalam pengobatan perlu diperhatikan agar tatalaksana yang ditujukan
pada satu organ, tidak akan memperberat gangguan fungsi organ lainnya.
Sindrom kardiorenal tipe 1 (sindrom kardiorenal akut)
- Pengobatan gagal jantung harus memperhatikan kemungkinan
timbulnya gangguan fungsi ginjal
- Vasodilator dan loop-diuretic dipilih pada kasus dekompensasi akut
gagal jantung dan SKR tipe 1, dengan memperhatikan
kemungkinan terjadinya ketidakseimbangan elektrolit, hipovolemia,
atau penurunan fungsi ginjal
- Vasodilator dipilih sebagai terapi awal pasien dengan gagal jantung
akut bila tidak ada hipotensi. Vasodilator akan mengurangi pre-load
dan afterload

25
- Bila didapatkan kongesti dengan penurunan tekanan darah,
disarankan untuk menggunakan agen i n o t r o p i k (dopamin,
dobutamin,milrinone)
Sindrom kardiorenal tipe 2 (sindrom kardiorenal kronik)
- Penatalaksanaan meliputi eliminasi dan mengobati penyebab
progresivitas gagal jantung kongestif
- Angiotensin converting enzyme-inhibitor (ACE-I), penyekat p,
angiotensin renin blocker (ARB), dan antagonis aldosteron secara
bermakna dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas gagal
jantung kongestif
- Digoksin dan diuretik memperbaiki gejala tapi tidak mempunyai
efek terhadap angka mortalitas
- Pasien gagal jantung kongestif yang disertai gangguan fungsi ginjal
umumnya hipervolemik, sehingga dibutuhkan terapi diuretik yang
intensif (lebih disarankan dengan pemakaian loopdiuretic)
- Pemakaian ACE-I dan ARB dapat memperburuk fungsi ginjal dan
menyebabkan hiperkalemia, sehingga perlu evaluasi ketat
Sindrom kardiorenal tipe 3 (sindrom renokardiak akut)
- Penurunan fungsi ginjal bisa terjadi setelah dilakukan pemeriksaan
radiologi yang menggunakan kontras atau setelah operasi jantung;
sehingga pada keadaan ini perlu dilakukan pencegahan
- Untuk mencegah nefropati kontras, pemberian cairan isotonik
terbukti mempunyai hasil yang baik, sedangkan pemakaian
asetilsistein belum memberikan hasil yang konsisten
- Bila sudah timbul SKR tipe3, pemakaian diuretik dan ACE-I untuk
pengobatan gangguan fungsi jantung dapat memperburuk fungsi
ginjal sehingga perlu pengawasan ketat
Sindrom kardiorenal tipe 4 (sindrom renokardiak kronik)
- Fokus pada PGK adalah untuk memperlambat atau bila mungkin
mencegah progresivitas PGK dengan mengobati kondisi penyebab,
antara lain:
- Regulasitekanan darah secara ketat dengan
- target tekanan darah < 130/80 mmHg)
- Regulasigula darah dengan target HbAIC <7%
- Diit rendah protein
- Mengobati dislipidemia
- Mengobati gangguan keseimbangan calciumfosfat
- Mencegah hiperkalemia
- Mengontrol asidosis metabolik
- Terapi pengganti ginjal diperlukan untuk pasien yang mengalami
progresivitas sehingga mencapai PGK tahap 5
Sindrom kardiorenal tipe 5 (sindrom kardiorenal sekunder)
- Pada sepsis diberikan antibiotik yang adekuat, bila timbul syok
sepsisdiberikan obat-obatan golongan vasoaktif.

26
SYOK KARDIOGENIK
5
5.4 DEFINISI
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada pasien
yang dirawat dengan infark miokard akut. Syok kardiogenik adalah gangguan
yang disebabkan oleh penurunan curah jantung sistemik pada keadaan volume
intravascular yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok
dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi
pada kedaan dimana fungsi ventrikel kiri cukup baik.7
Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off
untuk tekanan darah sistolik yang sering dipakai adalah < 90 mm Hg. Dengan
menurunnya tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin
yang mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis
dapat ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status
mental, kulit dingin dan oliguria.7
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90
mmHg selama > 1 jam di mana :8
- Tak responsif dengan pemberian cairan saja,
- Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau,
- Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,2
l/menit per m2 dan tekanan baji kapiler paru > 18 mm Hg.
Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah :
- Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat >90 mmHg dalam 1
jam setelah pemberian obat inotropik, dan
- Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi memenuhi
kriteria lain syok kardiogenik.

5.5 ETIOLOGI
Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan
terjadinya syok. Di antara komplikasi tersebut adalah: ruptur septal ventrikel,
ruptur atau disfungsi otot papilaris dan ruptur miokard yang keseluruhan dapat
mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut. Sedangkan infark
ventrikel kanan tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri pun dapat
menyebabkan terjadinya syok. 8
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah
takiaritmia atau bradiaritmia yang rekuren, di mana biasanya terjadi akibat
disfungsi ventrikel kiri, dan dapat timbul bersamaan dengan aritmia
supraventrikular ataupun ventrikular. Syok kardiogenik juga dapat timbul
sebagai manifestasi tahap akhir dari disfungsi miokard yang progresif,
termasuk akibat penyakit jantung iskemia, maupun kardiomiopati hipertrofik
dan restriktif.8
Picard MH et al, melaporkan, abnormalitas structural dan fungsional
jantung dalam rentang lebar ditemukan pada pasien syok kardiogenik akut.
Mortalitas jangka pendek dan jangka panjang dikaitkan dengan fungsi sistolik
ventrikel kiri awal dan regurgitasi mitral yang dinilai dengan ekokardiografi,
dan tampak manfaat revaskularisasi dini tanpa dipengaruhi nilai fraksi ejeksi
ventrikel kiri pada awal (baseline) atau adanya regurgitasi mitral. 8

27
5.6 PATOFISIOLOGI
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan
system sirkulasi baik yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan
ventrikel kiri atau ventrikel kanan (akibat disfungsi miokardium)
memompakan darah dalam jumlah yang adekuat merupakan penyebab primer
syok kardiogenik pada infark miokard akut (gambar 1). Akibatnya adalah
hipotensi, hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti vena sistemik.
Kegagalan ventrikel kiri merupakan bentuk yang paling sering dari syok
kardiogenik, namun bagian lain dari sistem sirkulasi juga ikut bertanggung
jawab terhadap gagalnya mekanisme kompensasi. Kebanyakan abnormalitas
ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien yang selamat, fungsi
jantung mungkin masih dapat dipertahankan.8
Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir semua
syok kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume
sekuncup/stroke volume serta menurunnya indeks kardiak. Turunnya tekanan
darah dapat dikompensasi oleh peningkatan resistensi perifer yang diperantarai
oleh pelepasan vasopresor endogen seperti norepinefrin dan angiotensin II.
Namun demikian gabungan dari rendahnya curah jantung dan meningkatnya
tahanan perifer dapat menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan.
Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada arteri koroner dapat
menyebabkan suatu lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi
miokardium, dan disertai dengan progresivitas hipoperfusi organ serta
kematian. Hipotensi dan peningkatan tahanan perifer yang disertai dengan
peningkatan PCWP terjadi jika disfungsi ventrikel kiri merupakan kelainan
jantung primernya. Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kanan terjadi
jika syok akibat kegagalan pada ventrikel kanan, misalnya pada gagal infark
luas ventrikel kanan. Namun pada kenyataannya sebuah penelitian SHOCK
trial menunjukkan pada beberapa pasien post MI, syok malahan disertai oleh
vasodilatasi. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya respon inflamasi
sistemik seperti yang terjadi pada sepsis. Respon inflamasi akut pada infark
miokard berkaitan dengan peningkatan konsentrasi sitokin. Aktivasi sitokin
menyebabkan induksi nitrit oksida (NO) sintase dan meningkatkan kadar NO
sehingga menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan berkurangnya perfusi
koroner dan sistemik. Sekuens ini mirip dengan yang terjadi pada syok septik
yang juga ditandai dengan adanya vasodilatasi sistemik.8

5.7 MANIFESTASI KLINIS


Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi terjadinya syok
kardiogenik tersebut. Pasien infark miokard akut datang dengan keluhan nyeri
dada tipikal yang akut, dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat
penyakitjantung koroner sebelumnya. Pada keadaan syok akibat komplikasi
mekanik infark miokard akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai
seminggu setelah onset infark tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada
dan biasanya disertai gejala tiba-tiba yang menunjukkan adanya edema paru
akut atau bahkan henti jantung. Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan
adanya palpitasi, presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung yang

28
berhenti sejenak. Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat
berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat.8
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah
sistolik yang menu run sampai < 90 mm Hg, bahkan dapat tu run sampai < 80
mm Hg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat. Denyut
jantung biasanya cenderung meningkat sebagai akibat stimulasi simpatis,
demikian pula dengan frekuensi pernapasan yang biasanya meningkat sebagai
akibat kongesti di paru.8
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Pasien dengan
infark ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik sangat kecil
kemungkinannya menyebabkan kongesti paru. Sistem kardiovaskular yang
dapat dievaluasi seperti vena-vena di leher seringkali meningkat distensinya.
Letak impuls apikal dapat bergeser pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi,
dan intensitas bunyi jantung akan jauh menurun pada efusi perikardial ataupun
tamponade. lrama gallop dapat terdengar, yang menunjukkan adanya disfungsi
ventrikel kiri yang bermakna . Sedangkan regurgitasi mitral atau defek septa I
ventrikel, bunyi bising atau murmur yang timbul akan sangat membantu dokter
pemeriksa menentukan kelainan atau komplikasi mekanik yang ada. 8
Pasien dengan gagaljantung kanan akan menunjukkan beberapa tanda-
tanda antara lain : pembesaran hati, pulsasi di hati akibat regurgitasi trikuspid
atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan. Pulsasi arteri di ekstremitas
perifer akan menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal
jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin, menunjukkan
terjadinya penurunan perfusi ke jaringan.8
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi (EKG): Gambaran elektrokardiografi dapat
membantu menentukan etiologi syok kardiogenik. Misalnya pada infark
miokard akut akan terlihat gambarannya dari EKG tersebut. Demikian pula bila
lokasi infark terjadi pada ventrikel kanan maka akan terlihat proses di sandapan
jantung sebelah kanan (misalnya elevasi ST di sandapan V4R). Begitu pula
bila gangguan irama atau aritmia sebagai etiologi terjadinya syok kardiogenik,
maka dapat dilihat melalui rekaman aktivitas listrik jantung tersebut. 8
Foto roentgen dada : Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali
dan tanda-tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang
berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral
akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang tidak
disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama kali. Gambaran
kongesti paru menunjukkan kecil kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan
yang dominan atau keadaan hipovolemia.8
Ekokardiografi : Modalitas pemeriksaan non-invasif ini sangat banyak
membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi syok kardiogenik.
Pemeriksaan ini relatif cepat, aman dan dapat dilakukan secara langsung di
tempat tidur pasien (bedside). Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh
dari pemeriksaan ini antara lain : penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri
(global maupun segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau
regurgitasi), tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada

29
defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau
tamponade.8
Pemantauan hemodinamik : Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk
mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru
sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok
kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan. Pasien syok
kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan
tekanan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh
darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut menunjukkan
bahwa volume intravaskular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan
gagal ventrikel kanan atau hipovolemia yang bermakna, akan menunjukkan
tekanan baji pembuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan
parameter hemodinamik ju·ga membutuhkan perhitungan afterload (resistensi
vaskular sistemik)._ Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila
terjadi peningkatan afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas
yang akan menghasilkan penurunan curah jantung.8
Saturasi oksigen : Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan
dapat dilakukan pada saat pemasangan kateter Swan-Ganz, yang juga dapat
mendeteksi adanya defek septal ventrikel. Bila terdapat pintas darah yang kaya
oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka akan terjadi saturasi
oksigen yang step-up bila dibandingkan dengan saturasi oksigen vena dari vena
cava dan arteri pulmonal.8

5.8 PENATALAKSANAAN
Volume pengisian ventrikel kiri harus dioptimalkan, dan pada keadaan
tanpa adanya bendungan paru, pemberian cairan sekurang-kurangnya 250 ml
dapat dilakukan dalam 1 O men it. Oksigenasi adekuat, intubasi atau ventilasi
harus dilakukan segera jika ditemukan abnormalitas difusi oksigen. Hipotensi
yang terus berlangsung memicu kegagalan otot pernapasan dan dapat dicegah
dengan .pemberian ventilasi mekanis Laporan adanya penurunan secara
dramatis mortalitas syok kardiogenik dengan melakukan revaskularisasi awal
mulai muncul pada akhir tahun 1980. Uji klinis secara acak yang menguji
superioritas strategi revaskularisasi dini telah dilakukan di USA yaitu SHOCK
trial. Pada penelitian SHOCK dilaporkan peningkatan survival 30 hari dari
46,7% menjadi 56 % dengan strategi revaskularisasi dini, namun perbedaan 9
% absolut tidak bermakna (p=O, 11 ).7.8
Pada pemantauan, perbedaan survival pada strategi revaskularisasi awal
menjadi lebih besar dan bermakna setelah 6 bu Ian (36,9 % v 49, 7 %,
p=0,027) dan satu tahun (33,6 % v 46, 7 %) untuk reduksi absolut 13,2 % (95
% Cl 2,2 % sampai 24, 1 %, p < 0,03). Terdapat 10 subkelompok yang diuji,
termasuk jenis kelamin, usia, riwayat IM, hipertensi, diabetes, infark miokard
anterior, syok awal atau akhir dan transfer atau status rawat langsung. Manfaat
revaskularisasi dini didapatkan pada semua subkelompok kecuali pada usia
lanjut. Manfaat revaskularisasi dini lebih besar pada usia < 75 tahun pada 30
hari (41,4% v 56,8%,95% Cl -27,8% sampai - 3,0%) dan 6 bulan (44,9% v 65,
95% Cl -31,6 % sampai -7,1%).7,8

30
LANGKAH PENATALAKSANAAN SYOK KARDIOGENIK
Langkah I. Tindakan Resusitasi Segera
Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa
untuk terapi definitif. Upaya mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang
adekuat untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vi tal. Dopamin
atau noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat hipotensi, harus
diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan
dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan. Dobutamin dapat
dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa
kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata.8
Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum
transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi oksigen harus
dimonitor dengan memberikan continuous positive airway pressure atau
ventilasi mekanis jika ada indikasi . EKG harus dimonitor secara terus
menerus, dan peralatan defibrilator, obat antiaritmia amiodaron atau lidokain
harus tersedia (33% pasien pada revaskularisasi awal SHOCK trial menjalani
resusitasi kardiopulmoner, takikardia ventricular menetap atau fibrilasi
ventrikel sebelum randomisasi). Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien
dengan elevasi ST jika diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2jam.
Mortalitas 35 hari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 100 mm Hg
yang mendapatkan trombolitik pada metaanalisis terapi fibrinolitik adalah
28,9% dibandingkan dengan plasebo 35, 1 % (95% Cl 26 sampai 98, p <
0,001). Meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan ini dapat
memfasilitasi trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada
syok kardiogenik karena infark miokard non elevasi ST yang menunggu
kateterisasi, diberikan terapi dengan heparin.8

31
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. S
Tanggal Lahir : 29/05/1973
No. RM : 0723xx
Usia : 46 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Jl. Sunan Bonang 09/03 Solor/ Kota Lama
Pekerjaan : Pedagang
HMRS : 06/09/2019
HKRS (+) : 07/09/2019
Ruang perawatan : Wijaya Kusuma/ 9
Dx MRS : Abd. pain ec. Koledokoliatasis dd BSK + HT gr-2

3.2 ANAMNESIS
Diambil dari auto-anamnesa pasien tanggal 07 September 2019 pada pukul
07.00 di Ruang Rawat Inap Wijaya Kusuma RST Wirasakti.

a. Keluhan Utama : Nyeri perut


b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu SMRS.
Nyeri dirasakan semakin memberat dari hari ke hari dan berpindah-
pindah lokasi nyeri hingga merasakan nyeri pada seluruh bagian perut
SMRS. Nyeri perut yang dirasakan menjalar hingga ke bagian
pinggang belakang kanan dan kiri. Pasien tidak dapat duduk, dan
hanya merasa nyaman saat posisi tidur terlentang. Nyeri semakin
memberat saat melakukan perubahan posisi tidur. Pasien mengeluhkan
sulit untuk buang air kecil sejak MRS. Nyeri buang air kecil
disangkal, namun merasa penuh di kantong kencing. 2 minggu SMRS
pasien mengatakan mengalami diare yang cukup berat, perharinya
mengalami diare sebanyak ±10x dan terjadi selama 7 hari berturut-

32
turut. Saat diare, pasien juga mengalami muntah ±2x/hari. Pada hari
ke-8 keluhan diare dan muntah hilang dengan sendirinya. Pada hari
ke-9`pasien mengatakan sulit untuk buang air besar, namun saat buang
air besar, kotoran berukuran kecil seperti kotoran kambing. Keluhan
tersebut disertai pula dengan perut terasa penuh, dan terasa makin
membesar. Keluhan muntah darah, dan BAB berdarah disangkal.
Sejak MRS pasien belum BAK. Keluhan mudah lelah disangkal, nyeri
dada disangkal, gangguan pernapasan disangkal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Hipertensi (disangkal)
- Diabetes Melitus (disangkal)
- Stroke (-)
- Alergi (-)
- Penyakit jantung (disangkal)
- Gangguan pernapasan (disangkal)
- Nyeri dada (disangkal)
- Mudah lelah (disangkal)
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Hipertensi : Ayah pasien
e. Life Style :
- Merokok (+)
- Konsumsi alkohol (-)
- Narkotika dan zat adiktif lain (-)
- Pola makan : 3x/hari, nasi dan lauk. Sering makan gorengan
- Pola minum : teratur, air putih
- Aktivitas sehari-hari: berjualan

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Deskripsi Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
GCS : E3 V4 M5
Kesadaran : apatis

33
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 90x/ menit
Suhu : 370C
Napas : 26x/menit
SpO2 : 90%
2. Kepala
Normocephali, konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), bibir
kering (+), lidah deviasi (-), otorrhea (-), rhinorhea (-).
3. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), Pembesaran kelenjar tiroid
(-), Peningkatan jugular venous pressure (-)
4. Thorax
Paru
Inspeksi : dada simetris, ketinggalan gerak (-), massa (-), otot
bantu (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus (N), kembang dada (N)
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara nafas tambahan (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba di linea midclavikularis sinistra
SIC V
Perkusi :batas jantung di linea parasternalis dextra – linea
midclavicularis sinistra.
Auskultasi : suara S1-S2 normal, bising (-),S3 dan S4 (-)
5. Abdomen
Inspeksi : Tampak membesar, distensi (+), massa (+) umbilikal,
ikterik (-)
Auskultasi : peristaltik usus (-)
Perkusi : Hipertimpani seluruh regio
Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh kuadran, Hepato/spleno-megali
(-)

34
6. Ekstremitas
Oedem (-), akral teraba dingin, CRT < 2 detik

7. Lain-lain
Rectal Touche: Sfingter ani intak, teraba seperti terowongan, massa(-),
polus superior teraba, darah(-), feses(+).

3.4 KESIMPULAN PEMERIKSAAN


Pasien dengan keluhan nyeri seluruh bagian perut sejak 1 minggu SMRS.
Keluhan disertai dengan perut yang dirasakan makin membesar dan sulit untuk
buang air besar. Pasien tidak bisa kentut, dan belum BAK dalam 12 jam.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan penurunan kesadaran dengan
GCS E3 V4 M5 (somnolen), TD 100/60, HR 90x/menit, RR 26x/menit.
Pemeriksaan lainnya, tampak distensi abdomen, bising usus hilang, hernia
umbilikalis(+), nyeri tekan di seluruh region abdomen,RT teraba terowongan,
disertai dengan akral dingin. Terpasang DC dengan UO <100cc.

3.5 DIAGNOSIS BANDING


- Akut abdomen suspek ileus obstruktif. dd ileus paralitik
- Presyok hipovolemik ec dehidrasi berat
- Susp. Gagal ginjal akut

3.6 PLANNING
Plan of Diagnostik
- Pemeriksaan darah lengkap (+) 6/9/19
- Pemeriksaan EKG (+) 6/9/19 + 7/9/19
- Pemeriksaan elektrolit (+) 7/9/19
- Pemeriksaan fungsi ginjal (+) 7/9/19
- Pemeriksaan analisa gas darah (-)
- Pemeriksaan foto thorak (+) 7/9/19
- Pemeriksaan BNO 3 posisi (+) 7/9/19
- Pemeriksaan CT-Scan (-)

35
- Pemeriksaan Urin Lengkap (+) 6/9/19
Plan of monitoring
- Observasi KU + TTV pasien
- Monitor hasil pemeriksaan penunjang
Plan of therapy
- Tatalaksana kegawatan akut abdomen
- Tatalaksana presyok hipovolemik

3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


06/09/2019
- Pemeriksaan darah lengkap

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN


WBC 14.3 103/ul 5-10
LYM 1.6 103/ul 1.3-4
MID 0.9 103/ul 0.16-0.7
GRA 11.8 103/ul 2.5-7.5
LYM% 10.9 % 25-40
MID% 6.9 % 3-7
GRA% 82.2 % 50-75

RBC 4.56 106/ul 4-5.5


HGB 12.4 G/DL 12-17.4
HCT 37.1 % 36-52
MCV 81.4 Fl 76-96
MCH 27.1 Pg 27-32
MCHC 33.4 g/dl 30-35
RDWc 15.9 %
RDWs 47.1 Fl 20-42

PLT 373 103/ul 150-400


PCT 0.272 %
MPV 7.3 Fl 8-16
PDWc 14.8 %

- Pemeriksaan Urin Lengkap

PEMERIKSAAN HASIL RUJUKAN


Makroskopik
Warna Kuning s/d kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih

36
Leukosit Negatif Negatif
Eritrosit Pos (+) 1 Negatif
Berat Jenis 1.015 1.005-1.030
pH 6.0 Asam
Protein Negatif Negatif
Reduksi *glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Mikroskopik
Eritrosit 7-9 LPB Negatif
Leukosit 2-4 LPB Negatif
Silinder Negatif Negatif
Parasit Negatif Negatif
Kristal Amorf 1-2; T.phospat 2-3/LPB Negatif
Epitel 2-4/LPB Negatif
Lain-lain negatif Negatif

- Pemeriksaan EKG

Interpretasi: SR, HR 100-120x/menit reguler, LAD, st depresi (-)

07/09/2019
- Pemeriksaan Elektrolit

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI NORMAL


Kalium 5.46 mmol/L 3.5-5.5
Natrium 142 mmol/L 136-145
Clorida 106 mmol/L 96-108
Total Calsium 2.41 mmol/L 2.1-2.7
- Pemeriksaan Fungsi ginjal

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI NORMAL

37
Ureum 107 mg/dL 15-39
Creatinin 4.96 mg/dL 0.5-1.3
- Pemeriksaan Fungsi hati

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI NORMAL


SGOT 46 U/L S/D 50
SGPT 83 U/L S/D 65
- Pemeriksaan foto thorak

- Pemeriksaan BNO 3 posisi


Posisi AP

38
Posisi LLD

Posisi semierect
-
3.8 DIAGNOSIS
- Akut abdomen ec Ileus paralitik
- Edema Paru Akut dengan susp GJA
- GGA dengan sindrom uremikum

39
- Presyok hipovolemik ec dehidrasi berat

3.9 TERAPI

Tatalaksana Kegawatan:
 Ileus paralitik
- Pasien dipuasakan
- insersi selang NGT untuk dekompresi
- insersi kateter urin
- Loading cairan NaCl 0.9% 300 cc
- Inj. Ketorolac 30mg iv
- Konsul ke bagian penyakit dalam
 Medikamentosa :
- IVFD NaCl
- Inj. Ceftriaxon 2x1gr iv

 Non Medikamentosa :
- KIE keluarga pasien dapat terjadi perburukan kondisi hingga kematian

3.7 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia et malam
Ad functionam : dubia et malam
Ad sanationam : dubia et malam

3.8 FOLLOW UP
1. Tanggal 6 September 2019 jam 06.50
S: nyeri perut kanan atas, mual (+),
O :KU : tampak sakit sedang, GCS: E4,V5,M6, Kesadaran : CM
TTV: TD: 170/110 mmHg, S: 36.5 oC, N: 80 x/mnt (reguler, kuat), RR:
24x/m , SpO2 98%
Abdomen: tampak cembung, BU (+), timpani, NT RUQ (+)
Ekstremitas: akral dingin (-)
A : - abdominal pain ec. Susp nefrolitiasis dd koledokolitiasis

40
- HT gr-2
P : ivfd RL 20 tpm
Inj. Ranitidine 2x50mg iv
Inj. KTC 3x30mg iv
Captopril tab 3x25mg po
Kaltrofen sup 100mg po
2. Tanggal 6 September 2019 Jam 13.00
S : nyeri perut berpindah-pindah
O :KU : tampak sakit sedang, GCS: E4,V5,M6, Kesadaran : CM
TTV: TD: 130/90 mmHg, S: 36.5oC, N: 80 x/mnt (reguler, kuat), RR:
24x/m , SpO2 98%
Abdomen: tampak cembung, BU (+), timpani, NT (+)
Ekstremitas: akral dingin (-)
A :- ISK dengan kolik abdomen
- Hernia umbilikus
P : ivfd RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxon 2 x 1gr iv
buscofiad 3x1 tab po
rencana usg abdomen
3. Tanggal 6 September 2019 Jam 22.30
S : nyeri perut memberat
O :KU : tampak sakit sedang, GCS: E4,V5,M6, Kesadaran : CM
TTV: TD: 100/70 mmHg, S: 36.5oC, N: 80 x/mnt (reguler, kuat), RR:
24x/m , SpO2 98%
Abdomen: tampak cembung, BU (+), timpani, NT (+)
Ekstremitas: akral dingin (-)
A :- ISK dengan kolik abdomen
- Hernia umbilikus
P : ivfd RL 20 tpm + drip neurosanbe
dulcolax sup no.1 (extra)
EKG ulang
4. Tanggal 7 September 2019 Jam 07.00

41
S : Perut makin terasa nyeri, membesar, dan terasa penuh
O: KU : tampak gelisah, GCS: E3,V4,M5, Kesadaran : apatis
TTV: TD: 90/50 mmHg, S: 36.5oC, N: 80 x/mnt (reguler, lemah),
RR: 24x/m , SpO2 96%
Abdomen: Distensi, BU (-), hipertimpani, NT seluruh regio (+),
darm contour (+)
Ekstremitas: akral dingin (+)
Terpasang DC  output 0cc
A :- Akut abd ileus obstruktif dd Ileus Paralitik
- Presyok hipovolemik ec Dehidrasi berat
- anuria susp GGA
P : loading cairan NaCl 300cc
NGT dekompresi
Inj. KTC 30mg iv
Lapor DPJP
5. Tanggal 7 September 2019 Jam 08.00
S: Nyeri perut menetap, perut terasa makin kembung, napas sesak
O: KU : tampak sakit berat, gelisah, GCS: E3V4M5, Kes : apatis
TTV: TD: 100/60 mmHg, S: 36.5oC, N: 90 x/mnt (reguler, kuat),
RR: 28x/m ,SpO2 94%
Px fisik sda
A - Akut abd ileus obstruktif dd Ileus Paralitik
- Presyok hipovolemik ec Dehidrasi berat
- anuria susp GGA
P : ivfd NaCl 0.9% 20tpm; O2 NK 3 lpm
6. Tanggal 7 September 2019 Jam 09.00
S : Nyeri perut menetap, perut terasa makin kembung, napas sesak
O : KU : tampak sakit berat, GCS: E3V3M4, Kesadaran : somnolen
TTV: TD: 90/50 mmHg, S: 36.5oC, N: 90 x/mnt (reguler,lemah), RR:
28x/m , SpO2 91%
Px fisik sda
A : - Akut abd ileus obstruktif dd Ileus Paralitik

42
- Presyok hipovolemik ec Dehidrasi berat
- anuria susp GGA
P : ivfd NaCl 0.9% 1000L  lanjut 20 tpm
O2 NK 4 lpm
Konsul Sp. Bedah, advis: Cek UR-CR, OT-PT, Elektrolit, Foto thorax,
BNO 3 posisi
7. Tanggal 7 September 2019 Jam 10.00
S : keluhan menetap
O : KU : tampak sakit berat, GCS: E3V3M4, Kesadaran : somnolen
TTV:TD: 80/50 mmHg, S: 36.5 oC, N: 110 x/mnt
(reguler, lemah), RR: 28x/m , SpO2 80%
Px fisik sda
A : - Akut abd ec ileus Paralitik
- syok hipovolemik dd syok kardiogenik
- Gagal ginjal akut
- Edema paru akut
P : ivfd NaCl 0.9% 20 tpm
O2 masker 8 lpm
8. Tanggal 7 September 2019 Jam 12.00
S : pasien mengalami penurunan kesadaran
O : KU : tampak sakit berat, GCS: E3V2M4, Kesadaran: somnolen
TTV:TD: 70/p mmHg, S: 36.5 oC, N: 110 x/mnt (reguler,
lemah), RR: 28x/m , SpO2 70%
Px fisik sda
A : - Akut abd ec ileus Paralitik
- Edema paru akut dengan syok kardiogenik
- Gagal ginjal akut dengan ensefalopati uremikum
P : O2 NRM 10 lpm
2 jalur iv line:
-ivfd NaCl 0.9% 20tpm
-Drip dopamine dalam 100cc NS 10 tpm (dosis 5mg)

43
Jam Klinis Pasien Intervensi Keterangan
12.15 GCS: E3V2M4 - O2 NRM 15 lpm
Kes: somnolen - Drip dopamine dalam 100cc
TD: 60/p NS 15tpm
SpO2: 70%
HR: 130x/m, lemah
RR: 40x/m
12.30 GCS: E3V2M4 - O2 NRM 15 lpm
Kes: somnolen - Drip dopamine dalam 100cc
TD: 50/p NS 20tpm
SpO2: 70%
HR: 140x/m, lemah
RR: 45x/m
13.00 GCS: E3V2M3 - O2 NRM 15 lpm
Kes: stupor - Drip dopamine dalam 100cc
TD: 70/p NS 20tpm
SpO2: 70% - Drip vascon dalam 100cc NS
HR: 145x/m, lemah 15 tpm (dosis 1mg)
RR: 50x/m
13.30 Pasien apnu - RJP 5 siklus Irama EKG:
- inj epinefrin 1 amp cardiac arrest
- RJP 5 siklus
- inj epinefrin
- RJP 5 siklus
14.00 Pupil midriasis EKG asistol
maksimal, refleks
pupil(-), refleks
kornea (-)

44
BAB IV

DISKUSI KASUS

1. Subjektif
Pasien laki-laki, 46 tahun datang dengan keluhan nyeri perut diseluruh bagian
sejak 1 minggu yll. Keluhan makin memberat setiap harinya. Pasien mengeluhkan
perut semakin membesar. Sulit untuk buang air besar dan belum buang angin.
Pasien juga mengeluhkan belum BAK dalam 24 jam terkahir. Riwayat sebelumnya
diare dan muntah profus yang tiba-tiba menghilang 2 minggu sebelum MRS. BAB
hitam atau muntah darah disangkal. Riwayat sulit bernapas, mudah lelah, nyeri
dada disangkal.

2. Objektif
Hasil pemeriksaan fisik pada kasus didapatkan kesadaran apatis, tampak sakit
berat, status gizi obesitas. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 90/60
mmHg; suhu 36,0oC; nadi 100x/menit regular, lemah, RR: 28x/menit. Pada status
generalis di mulut didapatkan bibir kering. Abdomen didapatkan abdomen
distensi, bising usus hilang, gambaran darm contour, perkusi hipertimpani, dan
nyeri tekan diseluruh regio abdomen. Pada ekstremitas akral teraba dingin, crt 2
detik. Pemeriksaan rectal touche, teraba lumen rektum seperti terowongan dan
didapatkan feses minimal.
Dari hasil lab darah lengkap terdapat gambaran leukositosis (leukosit
14.000/μL) Fungsi ginjal peningkatan ureum-kreatinin (107 : 4.96), dilakukan
pemeriksaan foto thorak gambaran kardiomegali, pemeriksaan bno 3 posisi
terdapat gambaran dilatasi lumen usus halus dan gambaran free air pada foto LLD.
Terjadi penurunan kesadaran dan penurunan status hemodinamik pasien yang
berangsur memburuk hingga pasien dinyatakan meninggal.

45
3. Assessment
Pada kasus, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan. Pasien tersebut didiagnosis dengan Sindrom
kardiorenal dengan ileus paralitik dan syok kardiogenik.
Pasien mengalami episode dehidrasi berat yang didapatkan dari anamnesis
yaitu mengalami diare akut dan muntah profus yang tidak mendapatkan
penanganan yang adekuat. Kondisi tersebut menimbulkan keadaan dehidrasi sel
dan jaringan. Dehidrasi yang berkepanjangan menimbulkan berkurangnya perfusi
ginjal dan volume efektif arterial akan menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis
dan renin-angiotensin-aldosteron. Mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II
yang akan menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferent glomerulus ginjal yang
berfungsi untuk mempertahankan tekanan kapiler intra-glomerulus serta laju
filtrasi glomerulus agar tetap normal. Stimulasi saraf simpatis akan menimbulkan
reabsorbsi air dan garam dalam tubulus proksimal ginjal, menyebabkan
peningkatan reabsorbsi natrium, dan air sehingga akan timbul manifestasi klinis
berupa retensi urin.
Secara perlahan, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. LFG pada kasus setelah
dihitung berada pada nilai 18%, menunjukkan berada dalam situasi gangguan
ginjal akut.
Saat pertama kali datang ke RS didapatkan TD yang masuk dalam hipertensi
grade 2, dengan gambaran ekg berupa LAD, dan gambaran kardiomegali pada foto
thoraks. Menunjukkan terjadi proses perburukan fungsi jantung. Kriteria
Framingham dalam mendiagnosa gagal jantung membutuhkan 2 kriteria mayor + 1
minor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kondisi ronkhi paru, edema paru,
kardiomegali menjadi kriteria mayor dengan klinis kesulitan bernapas dan
takikardi, cukup untuk mendiagnosa pasien ke arah gagal jantung kongestif.
Namun onset yang terjadi pada pasien merupakan akut, tanpa diserta adanya
riwayat penyakit sebelumnya.
Kondisi terjadinya gangguan ginjal disertai dengan gangguan jantung, dapat
disebut sebagai sindrom kardiorenal. Pada kasus berikut, pasien masuk dalam tipe
sindrom kardiorenal 3, karena diawali dengan gangguan ginjal akut yang akan

46
mempengaruhi fungsi jantung melalui beberapa jalur seperti kelebihan cairan,
uremia (menyebabkan akumulasi faktor-faktor yang mendepresi miokard serta
terjadinya perikarditis), asidemia (menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, efek
inotropik negatif, dan meningkatkan kejadian aritmia), serta iskemia ginjal, yang
akan mempresipitasi aktivasi inflamasi dan apoptosis sel jantung.
Gambaran edema paru akut disertai dengan terjadinya uremia dalam tubuh,
akan memperburuk prognosis pasien. Kondisi tersebut akan saling tumpang tindih
dalam menunjukkan gejala klinis yang dialami pasien, terutama dalam
memberikan terapi.
Pasien dalam kasus ini mengalami syok karena tekanan darah pasien menjadi
60/40 mmHg disertai akral dingin. Hal tersebut menunjukkan adanya kegagalan
sirkulasi. Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg
selama > 1 jam di mana : Tak responsif dengan pemberian cairan saja, Sekunder terhadap
disfungsi jantung, atau, Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi. Termasuk
dipertimbangkan dalam definisi ini adalah Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat
>90 mmHg dalam 1 jam setelah pemberian obat inotropik, dan Pasien yang meninggal
dalam 1 jam hipotensi, tetapi memenuhi kriteria lain syok kardiogenik.
Syok yang dialami pasien adalah syok kardiogenik, dikarenakan memenuhi
kriteria tersebut.

4. Plan
Pada kasus ini, sudah dilakukan tatalaksana kegawatan abdomen berupa
tindakan konservatif, yaitu berupa tindakan dekompresi abdomen dengan
menggunakan NGT, pemasangan kateter, pasien di puasakan.
Pasien terindikasi untuk dilakukan hemodialisa segera, dengan kriteria
ditemukan kegawatan ginjal berupa keadaan klinis uremik berat, oligoria (produksi
urin <200ml/12 jam), anuria (produksi urine 50ml/12 jam), asidosis berat, uremia
(BUN >150mg/dL), ensefalopati uremikum.
Pasien mengalami edema paru akut, sehingga membutuhkan terapi diuretik
untuk mengurangi akumulasi cairan pada paru. Akan tetapi kondisi pasien dengan
penurunan status hemodinamik menjadi kontraindikasi terhadap pemberian cairan
diuretik.

47
Kondisi pasien yang mengalami gangguan ginjal akut disertai dengan tanda
edema paru akut membuat terapi resusitasi cairan terhadap pasien terbatas saat
memasuki tahap syok.
Penanganan syok adalah resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam
pertama. Tindakan mencakup Airwat, Breathing, Circulation, Oksigenasi, terapi
cairan, vasopresor/ inotropik. Pemantauan terhadap tekanan arteri rata-rata atau
MAP >65mmhg dan produksi urin >0,5 ml/kgbb/jam.
Oksigenasi merupakan tindakan awal yang sangat menolong. Oksigenasi
bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di
darah, meningkatkan transpor oksigen di jaringan. Pada pasien terpasang oksigen
mulai dari nasal kanul, hingga penggunaan masker NRM.
Hipoperfusi pada pasien tidak teratasi dengan pemberian cairan, dikarenakan
pembebanan cairan melebih dari 250-300 cc dapat memperburuk fungsi ginjal dan
meningkatkan kebocoran cairan pada parenkim paru. Sehingga pada keadaan syok,
diberikan inotropik dimulai dari pemberian dobutamin saat tekanan darah sistolik
pasien berada pada 100-70 mmHg tanpa tanda syok, dengan dosis
2,5-20mcg/kgbb/menit memiliki efek agonis B adrenergik non selektif, sehingga
memberikan efek inotropik dan meningkatkan CO.
Selanjutnya pasien menunjukkan tanda syok, berupa akral dingin dan tekanan
darah sistolik 70-100mmHg, diberikan inotropik dopamin dimulai dengan dosis
rendah 0,5-2mcg/kgbb/menit. Dinaikkan dengan dosis sedang
5-10mcg/kgbb/menit dan hingga dosis maksimal 10-20mcg/kgbb/menit.
Pemberian dopamin dapat menyebabkan aritmia, sehingga perlu pemantauan
monitor.
Pasien berada pada tekanan darah sistolik <70mmHg, sehingga membutuhkan
inotropik kuat yaitu norepinefrin, dengan dosis 0,05-0,4mcg/kgbb/menit.
Hasil akhir pasien adalah meninggal dunia, hal ini disebabkan kondisi pasien
yang buruk, disebabkan juga karena tertundanya penanganan yang perlu
didapatkan oleh pasien berupa perawatan intensif, dan tindakan hemodialisa
segera.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Djumhana A, Syam AF. Ileus paralitik in Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,


Simadibrata W, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6.
Jakarta: interna publishing; 2014. p. 1924-1925(243).
2. Patel ML, Sachan R, Gupta KK. Acute kidney injury and paralytic ileus – an
unusual presentation of hypothyroidism. Inter J of Sci & Rsch Pub. 2012. 2(2).
3. Safri Z. Edema paru akut in Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata W,
Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta: interna
publishing; 2014. p. 1154-1161(156)

4. Lohr JW. Uremic enchepalopathy [internet]. USA: Medscape; 2016 [diakses


tanggal 27 Agustus 2016]. Tersedia dari http://emedicine.medscape.com/article/2
39191-overview.
5. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. North Chicago: Springer; 2009.
6. Dharmeizar. Sindrom kardiorenal in Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
W, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta:
interna publishing; 2014. p. 2184-2191(286).
7. Gomersall CD, Joynt GM. Basic assessment and support in intensive care.2012.
Jakarta: Indonesia society of intensive care medicine (PERDICI).p.68-74.
8. Alwi I, Nasution SA. Syok kardiogenik in Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata W, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6.
Jakarta: interna publishing; 2014. p. 4115-4121.(554).
9. Wintery EM, Syam AF, Simadibrata M, Manan C. Management of paralytic ileus.
The Indonesian Journal of Gastroenterology hepatology and digestive endoscopy.
2015. P. 80-88
10. Summers RW. Approach to the patient with ileus and obstruction. In: Yamada T,
Owyang C, Powell DW. Textbook of Gastroenterology vol I 4t h edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2003. Pg: 829-842

11. Lohr JW. Uremic encephalopathy. Diunduh dari URL:


http://emedicine.medscape.com/article/239191-overview . Akses tanggal: 19 Januari
2020.

12. Sirait FR, Sari MI. Ensefalopati uremikum pada gagal ginjal kronis. J Medula
Unila. 2017. P.19-24.7(1)
13. Alper AB. Uremia [internet]. USA: Medscape; 2016 [diakses tanggal 27 Januari
2020]. Tersedia dari http://emedicine.medscape.com/article/245296-overview
14. Obialo CI. Cardiorenal consideration as a risk factor for heart failure. The Am
Journal Cardiol 2007;99(suppl):21D24D.

49

Anda mungkin juga menyukai