Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

GAGAL GINJAL KRONIK

Oleh :

KELOMPOK 6
1. Adela Rosnadia 17111024110002
2. Ana Safitri 17111024110014
3. Auliya Fitri 17111024110021
4. Besse Nur Aisiah 17111024110023
5. Diah Florentina A. 17111024110037
6. Reni Anggreni 17111024110095
7. Saidah Ariany 17111024110105

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR


FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2019
A. Pengertian

Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan


sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa
penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) (Nahas & Levin,2010).
Sedangkan menurut Terry & Aurora, 2013 CKD merupakan suatu
perubahan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel. Pada gagal ginja
kronik, ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan cairan sisa
metabolisme sehingga menyebabkan penyakit gagal ginjal stadium akhir.

Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk


mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan
makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
akut dan kronik. CKD atau gagal ginjal kronik merupakan perkembangan
gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung bertahun-
tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau minggu
(Price & Wilson, 2006).

CKD atau gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kondisi dimana


ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel,
dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit,
sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer,2009).

B. Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronik menurut Price, 1992 :

a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (infeksi saluran kemih),


glomerulonefritis (penyakit peradangan).
Pielonefritis adalah proses infeksi peradangan yang biasanya mulai di
renal pelvis, saluran ginjal yang menghubungkan ke saluran kencing
(ureter) dan parencyma ginjal atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis
disebabkan oleh salah satu dari banyak penyakit yang merusak baik
glomerulus maupun tubulus. Pada tahap penyakit berikutnya
keseluruhan kemampuan penyaringan ginjal sangat berkurang.
b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteriarenalis
Disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskulararisasi di ginjal oleh
adanya peningkatan tekanan darah akut dan kronik.
c. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemikprogresif
Disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang ada dalam
membran basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan (Price,
2006).
Penyakit peradangan kronik dimana sistem imun dalam tubu
menyerang jaringan sehat, sehingga menimbulkan gejala diberbagai
organ.
d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal.
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun akan mengganggu dalam
menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin lama ginjal tidak
mampu mempertahankan fungsi ginjal sehingga ginjal akan menjadi
rusak.
e. Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout,
hiperparatiroidisme, amiloidosis.
Penyebab terjadinya ini dimana kondisi genetik yang ditandai dengan
adanya kelainan dalam proses metabolisme dalam tubuhakibat
defisiensi hormon dan enzim. Proses metabolisme ialah proses
memecahkan karbohidrat protein, dan lemak dalam makanan untuk
menghasilkan energi.
f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropatitimbal.
Penyebab penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga
penggunaan berbagai prosedur diagnostik.
g. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher
kandung kemih danuretra.
h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
Merupakan penyebab gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk
oleh presipitasi berbagai zat terlarut dalam urin pada saluran kemih.

C. Manifestasi Klinik

1. Manifestasi klinik menurut Long, 1996 antara lain:


a. Gejala dini : Sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi.
Sakit kepala awalnya pada penyakit CKD memang tidak akan
langsung terasa, namun jika terlalu sering terjadi maka akan
mengganggu aktifitas. Penyebabnya adalah ketika tubuh tidak
bisa mendapatkan oksigen dalam jumlah cukup akibat
kekurangan sel darah merah, bahkan otak juga tidak bisa
memiliki kadar oksigen dalam jumlah yang cukup. Sakit kepala
akan menjadi lebih berat jika penderita juga bermasalah dengan
anemia.
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia atau mual disertai muntah,
nafsu makan turun, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu
ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis
mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa
kekurangan nafsu makan mesti sebenarnya lapar dan berselera
terhadap makanan. Gejala mual muntah ini biasanya ditandai
dengan bau mulut yang kuat yang menjadi tidak nyaman,
bahkan keinginan muntah bisa bertahan sepanjang waktu hingga
sama sekali tidak bisa makan. Pada nafsu makan turun
disebabkan karena penurunan nafsu makan berlebihan, ginjal
yang buruk untuk menyaring semua racun menyebabkan ada
banyak racun dalam tubuh. Racun telah mempengaruhi proses
metabolisme dalamtubuh.

2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2009) antara lain : hipertensi,


(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin–
angiotensin– aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner
(akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan
perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan
cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi).

3. Manifestasi klinik menurut Nahas &Levin (2010) adalah sebagai


berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema. Kondisi bengkak bisa
terjadi pada bagian pergelangan kaki, tangan, wajah, dan betis.
Kondisi ini disebabkan ketika tubuh tidak bisa mengeluarkan
semua cairan yang menumpuk dalam tubuh, genjala ini juga
sering disertai dengan beberapa tanda seperti rambut yang
rontok terus menerus, berat badan yang turun meskipun terlihat
lebih gemuk.
b. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas
bauammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar,
terutama di telapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan
hipertropi otot-otot ekstremitas).
e. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis
dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik
glukosa, gangguan metabolik lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi
kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia,
hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum-sum
tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
D. Patofisiologi

Patofisiologi CKD beragam, bergantung pada proses penyebab penyakit.


Proses patologi umum yang menyebabkan kerusakan nefron, CKD, dan
gagal ginjal. Tanpa melihat penyebab awal, glomerulosklerosis dan
inflamasi interstisial dan fibrosis adalah ciri khas CKD dan menyebabkan
penurunan fungsi ginjal (Copstead& banasik, 2010). Seluruh unit nefron
secara bertahap hancur. Pada tahap awal, saat nefron hilang , nefron
fungsional yang masih ada mengalami hipertrofi. Aliran kapiler glomerulus
dan tekanan meningkat dalam nefron ini dan lebih banyak pertikel zat
terlarut disaring untuk mengkompensasi massa ginjal yang hilang.
Kebutuhan yang meningkat ini menyebabkan nefron yang masih ada
mengalami sklerosis (jaringan parut) glomerulus, menimbulkan kerusakan
nefron pada akhirnya. Proteinuria akibat kerusakan glomerulus di duga
menjadi penyebab cedera tubulus. Proses hilangnya nefron yang kontiunu
ini terus berlangsung meskipun setelah proses penyakit awal telah teratasi
(Fauci et al., 2008). Perjalanan CKD beragam, berkembang selama
periodebulanan hingga tahunan. Pada tahap awal, sering kali
disebut penurunan cadangan ginjal, nefron yang tidak terkena
mengkompensasi nefron yang hilang. GFR sedikit turun dan pada pasien
asimtomatik disertai BUN dan kadar kreatin serum normal. Ketika penyakit
berkembang dan GFR turun lebih lanjut, hipertensi dan ebberapa
manifestasi insufisiensi ginjal dapat muncul. Serangan berikutnya pada
ginjal di tahap ini (misalnya infeksi, dehidrasi atau obstruksi saluran kemih)
dapat menurunkan fungsi dan dapat memicu awitan gagal ginjal atau uremia
nyata lebih lanjut. Kadar serum kratinin dan BUN naik secara tajam, pasien
menjadi uliguria, dan manifestasi uremia muncul. Pada ESRD, tahap akhir
CKD, GFR kurang dari 10% normal dan terapi penggantian ginjal
diperlukan untuk mempertahankan hidup. (Lemon, 2016: 1063)

Patofosiologi berdasarkan penyebab menurut Lemon, 2016: 1064


1. Nefropati diabetik : Peningkatan awal laju aliran glomerulus
menyebabkan hiperfiltrasi dengan akibat kerusakan glomerulus,
penebalan dan sklerosis membran basalis glomerulus dan glomerulus
kerusakan bertahap nefron menyebabkan penurunan GFR
2. Nefrosklerosis hipertensi : Hipertensi jangka panjang menyebabkan
skelrosis dan penyempitan arteriol ginjal dan arteri kecil dengan
akibat penurunan aliran darah yang menyebabkan iskemia, kerusakan
glomerulus, dan atrofi tubulus.
3. Glomerulonefritis kronik : Inflamasi interstisial kronik pada parenkim
ginjal menyebabkan obstruksi dan kerusakan tubulus dan kapiler yang
mengelilinginya, memengaruhi filtrasi glomerulus dan sekresi dan
reabsorbsi tubulus,dengan kehilangan seluruh nefron secara bertahap.
4. Pielonefritis kronik : Infeksi kronik yang biasa dikaitkan dengan
obstruksi atau reluks vesikoureter menyebabkan jaringan parut dan
deformitas kaliks dan pelvis ginjal , yang menyebabkan refluks
intrarenal dan nefropati
5. Penyakit ginjal polisistik : kista bilateral multipel menekan jaringan
ginjal yang merusak perfusi ginjal dan menyebabkan iskemia,
remodeling vaskular ginjal, dan pelepasan mediator inflamasi, yang
merusak dan menghancurkan jaringan ginjal normal.
6. Eritematosa lupus kompleks : kompleks imun terbentuk di membaran
basalis kapiler yang menyebabkan inflamasi dan sklerosis dengan
glomerulonefritis fokal, lokal, atau difus.

E. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah :

1. Urine
a. Volume urine : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria)
terjadi dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b. Warna Urine : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya
darah.
c. Berat jenis urine : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal
contoh : glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan
kemampuan memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan
kerusakan ginjal berat.
d. pH urine : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular
ginjal dan rasio urine/ serum saring (1 : 1).
e. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan
kerusakan ginjal.
f. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila
ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h. Protein : Proteinuria derajat tinggi (+3 – +4 ) sangat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila Sel darah merahdan warna Sel darah
merahtambahan juga ada. Protein derajat rendah (+1 – +2 ) dan
dapat menunjukan infeksi atau nefritis intertisial.
i. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi
tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.
2. Darah
a. Hemoglobin : Menurun pada anemia.
b. Sel darah merah : Sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan / penurunan hidup.
c. pH darah : Asidosis metabolik
d. Kreatinin : Biasanya meningkat pada proporsi rasio (l0:1).
e. Osmolalitas : Lebih besar dari 28,5 m Osm/ kg, sering sama dengan
urine .
f. Kalium : Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis
sel darah merah).
g. Natrium : Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
h. Klorida fosfat & Magnesium : Meningkat.
i. Protein : Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan penurunan
pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino
esensial.
3. Ultrasono ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya masa / kista
(obstruksi pada saluran kemih bagian atas).
4. Biopsi ginjal : Dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
5. Endoskopi ginjal / nefroskopi : Untuk menentukan pelvis ginjal
(adanya batu, hematuria).
6. E K G : Mungkin abnormal menunjukkan ketidak seimbangan asam /
basa.

F. Penatalaksanaan Keperawatan

Menurut Arief Mansjoer (2000) penatalaksanaan yang dilakukan pada


klien dengan gagal ginjal kronik :

1. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.


Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (250- 1000 mg/hr) atau
diuretik loop (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah
kelebihan cairan, sementara pasien lain mungkin memerlukan
suplemen natrium klorida atau natrium bikarbonat oral. Pengawasan
dilakukan melalui berat badan, urine dan pencatatan keseimbangan
cairan.
2. Diet tinggi kalori dan rendah protein.
Diet rendah protein (20- 40 gr/hr) dan tinggi kalori menghilangkan
gejala anoreksia dan nausea (mual) dan uremia , menyebabkan
penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan berlebihan
dari kalium dan garam.
3. Kontrol Hipertensi.
Bila tidak dikontrol dapat terakselerasi dengan hasil akhir gagal
jantung kiri. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal,
keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung
tekanan darah.

4. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit.


Untuk mencegah hiperkalemia, hindari masukan kalium yang besar,
diuretik hemat kalium, obat-obatan yang berhubungan dengan
ekskresi kalium (misalnya, obat anti-inflamasi nonsteroid).
5. Mencegah penyakit tulang.
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti
aluminium hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat (500-
3000 mg) pada setiap makan.
6. Deteksi dini dan terapi infeksi.
Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imonosupuratif dan terapi
lebih ketat.
7. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal.
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena
metaboliknya toksik yang dikeluarkan oleh ginjal Misalnya: analgesik
opiate, dan alupurinol.
8. Deteksi terapi komplikasi.
Awasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati uremia, perikarditis,
neuropati perifer, hiperkalemia meningkat, kelebihan volume cairan
yang meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk
bertahan, sehingga diperlukan dialisis.
9. Persiapan dialisis dan program transplantasi.
Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh. Pada
hemodialis, darah dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter,
masuk kedalam sebuah alat besar. Didalam mesin tersebut terdapat
ruang yang dipisahkan oleh sebuah membran semipermiabel. Darah
dimasukkan ke salah satu ruang. Sedangkan ruang yang lain di isi oleh
cairan dialilsis dan diantara ke duanya akan terjadi difusi.
Tujuan : Menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh, mengeluarkan
sisa akhir produk metabolisme dalam tubuh, menormalkan pH dalam
tubuh.
Indikasi : Hemodialisa pasa gagal ginjal kronik adalah berdasarkan
data klinis dan biokimia :
a. Klinis meliputi : sindrom uremia , penurunan kesadaran, over
load, unuria ( lebih dari 3 hari )
b. Biokimia meliputi : Uremia (>200 mg/dl), hiperkalemia (>7
mEq/l), asidosis (pH darah <7,35 )

I. Diagnosa Keperawatan

Menurut Smeltzer (2009), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien


CKD adalah:

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang


meningkat

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

4. Perubahan pola nafas

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis

6. Intoleransi aktivitas

J. Intervensi Keperawatan

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang


meningkat
Tujuan :

Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :


mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama
dengan waktu pengisian kapiler

Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru

b. Kaji adanya hipertensi

c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi, radiasi, beratnya


(skala 0-10)

d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal

Tujuan :

Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan


kriteria hasil : tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi :

a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan


masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital

b. Batasi masukan cairan

c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasancairan

d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan


cairan terutama pemasukan dan pengeluaran

3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


anoreksia, mual dan muntah
Tujuan :
Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria
hasil : menunjukan BB stabil

Intervensi:

a. Awasi konsumsi makanan atau cairan


b. Perhatikan adanya mual dan muntah
c. Berikan makanan sedikit tapi sering
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
e. Berikan perawatan mulut sering

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder :


kompensasi melalui alkalosis respiratorik

Tujuan :
Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles

b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam

c. Atur posisi senyaman mungkin

d. Batasi untuk beraktivitas

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan :
Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
mempertahankan kulit utuh dan menunjukan perilaku / teknik untuk
mencegah kerusakan kulit
Intervensi :
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler,
perhatikan kadanya kemerahan
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
d. Ubah posisi sesering mungkin
e. Berikan perawatan kulit
f. Pertahankan linen kering
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin
untuk memberikan tekanan pada area pruritis
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

Tujuan :

Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi


Intervensi :

a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas


b. Kaji faktor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA

Bilotta, kimberly. 2012. Kapita Selekta Penyakit. Jakarta: EGC

Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3
Volume 8. Jakarta : EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi


Keperawatan. Edisi 2, Jakarta ; EGC

Corwin, Elizabeth. J. 2000. Buku Saku Phatofisiologi. Jakarta ; EGC

Doengoes, E. Marylinn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi I, FKUI :


Media Aesculapius

Doenges, Marilyn et al. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:


EGC

Guyton and Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC

Lemone, Priscilla. 2012. Medical- surgical nursing: critical thinking in patient


care. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Volume II. Jakarta :
Media Aesculapius

Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiologi. Jakarta : EGC

Smeltze, S.C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner& Suddarth
edisi 8. Jakarta: EGC

Suyono, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta : FKUI

Anda mungkin juga menyukai