Anda di halaman 1dari 20

TUGAS RESUME KEPERAWATAN ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL


GINJAL KRONIK PADA ANAK

Disusun Oleh :
NABILAH KARTIKA AYU
2110070

PRODI S1 KEPERAWATAN STIKES HANG TUAH SURABAYA


TAHUN AJARAN 2023/2024
GAGAL GINJAL KRONIK PADA ANAK

I. PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi
ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
yang menyebabkan uremia atau dikenal dengan retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah (Margareth & Rendy, 2012: 30).
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (end stage renal disease
atau ESRD) terjadi bila ginjal yang sakit tidak mampu mempertahankan komposisi
kimiawi cairan tubuh dalam batas normal di bawah kondisi normal. Akumulasi
berbagai substansi biokimia dalam darah yang terjadi karena penurunan fungsi ginjal
yang menimbulkan komplikasi seperti retensi produk sisa, retensi air dan natrium,
hiperkalemia, asidosis metabolik, gangguan kalsium dan fosfor, anemia dan gangguan
pertumbuhan (Wong, dkk 2012: 555).
Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yang luas yaitu kronik dan
akut. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi
dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Pada kedua kasus tersebut, ginjal
kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan
tubuh dalam keadaan asupan makanan normal (Price & Wilson, 2012: 912).
B. ETIOLOGI
Gagal ginjal pada bayi dan anak sering terjadi akibat anomaly ginjal atau
traktus urinarius congenital seperti hipoplasia atau dysplasia ginjal, penyakit ginjal
kistik dan kelainan ureter, katup vesikoureter dan uretra. Refluks vesikoureter
bertekanan tinggi akibat obstruksi dapat menghancurkan ginjal in utero. Refluks
minor akibat inkompetensi katup vesikoureter pun mampu menambah kerentanan
terhadap infeksi ginjal, dan pielonefritis berulang dengan parut ginjal merupakan
penyebab gagal ginjal kronik yang lazim pada anak semua usia. Neurogenik bladder,
suatu masalah lazim pada anak dengan spina bifida, kadang-kadang disertai dengan
cedera ginjal berat karena refluks dan infeksi.
Penyakit glomerulus tidak lazim ditemukan pada masa bayi tetapi merupakan
penyebab gagal ginjal yang semakin sering sesudah usia beberapa tahun pertama.
Ginjal juga dapat ikut terkena pada penyakit sistemik, seperti lupus atau sindrom
hemolitik-uremik. Kadang-kadang penyebab gagal ginjal kronik pada anak adalah
nekrosis korteks karena anoksia ginjal, obat nefrotoksik, dan racun serta kesalahan
metabolisme bawaan seperti sistinosis dan hipereoksaluria kongenital (Rudolph, dkk
2014: 1478).
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan dua hal, pertama tergantung
pada penyakit yang mendasarinya, kedua adanya mekanisme yang melibatkan
hiperfiltrasi dan hipertrofi pada nefron yang tersisa sebagai konsekuensi setelah
pengurangan massa ginjal jangka panjang (Bragman dan Skoreck, 2012). Hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang terjadi timbul melalui molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors.
Manifestasi patologis yang paling umum pada pasien GGK yaitu fibrosis
ginjal. Fibrosis ginjal yaitu hasil dari proses penyembuhan luka pada jaringan ginjal
yang gagal setelah cedera kronik dan berkelanjutan yang ditandai dengan adanya 6
glomerulosklerosis (peradangan pada glomerulus), yaitu struktur pada ginjal yang
terbuat dari pembuluh darah kecil) dan atrofi tubulus (penurunan masa otot pada
daerah tubulus) (Ali, 2014). Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak timbul oliguri disertai retensi produk sisa. Gejala-gejala pada pasien menjadi
lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal ini bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80-90%. Pada tingkat fungsi ginjal dengan nilai creatinin clearance
turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah dari itu.
Penurunan fungsi renal menyebabkan produk akhir dari metabolisme protein
(yang biasanya di ekskresikan ke dalam urin) menjadi tertimbun dalam darah,
sehingga terjadilah uremia dan mempengaruhi setiaap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah di dalam darah maka gejalah akan semakin berat. Gejala
uremia ini biasanya dapat ditangani dengan tindakan terapi dialisis (melakukan
hemodialisa). GGK dapat disebabkan karena gangguan pembuluh darah ginjal
(penyakit vaskular), gangguan imunologis, infeksi, gangguan metabolik, gangguan
tubulus primer, obstruksi traktus urinarius, dan kelainan kongenital dan herediter.
Pada GGK penurunan ekskresi Na menyebabkan retensi cairan sehingga
volume overload dan diikuti edema paru. Edema paru akan mempengaruhi
kemampuan mekanik dan pertukaran gas di paru dengan berbagai mekanisme. Edema
interstitial dan alveoli menghambat pengembangan alveoli, serta menyebabkan
atelaktasis dan penurunan produksi surfaktan. Akibat, komplians paru dan volume
tidal berkurang. Sebagai usaha agar ventilasi semenit tetap adukuat, pasien harus
meningkatkan usaha pernapasan untuk mencukupkan volume tidal dan meningkatkan
frekuensi pernapasan. Secara klinis gejala yang dapat timbul yaitu gejala sesak nafas,
retraksi interkostal pada saat inspirasi, dan perubahan berat badan (Rendy &
Margareth, 2012).

D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang bersifat
sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang
banyak (organs multifunction), sehingga kerusakan kronis secara fisiologis ginjal
akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini
adalah tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis menurut Pranata &
Prabowo (2014: 198).
1. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi,mulut kering, penurunan
turgor kulit, kelemahan, dan mual kemudian terjadi penurunan kesadaran
(somnolen) dan nyeri kepala yang hebat. Dampak dari peningkatan kalium adalah
peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan
cairan yang tidak terkompensasi akan mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda
paling khas adalah terjadinya penurunan urine output dengan sedimentasi yang
tinggi.
2. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi, gagal jantung, edema periorbital dan edema perifer.
3. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa
gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi, dan perdarahan gusi, dan kemungkinan
juga disertai parotitis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia,
nausea, dan vomiting.
4. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp. Selain itu
biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechie, dan timbunan
urea pada kulit.
5. Neurologis
Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan
dan kaki. Selain itu, juga adanya kram pada otot dan refleks kedutan, daya memori
menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma, dan kejang.
Dari hasil EEG menunjukkan adanya perubahan metabolik encephalophaty.
6. Endokrin
Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea, dan gangguan siklus
menstruasi pada wanita, penurunan sekresi sperma, peningkatan sekresi aldosteron
dan kerusakan metabolisme karbohidrat.
7. Hematopoitiec
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah, trombositopenia
(dampak dari dialysis), dan kerusakan platelet. Biasanya masalah yang serius pada
system hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis dan
petechie).
8. Musculoskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur pathologis dan
kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnoasa gagal ginjal kronis (Pranata & Prabowo, 2014: 201) :
1. Biokimiawi
Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum dan kreatinin plasma.
Untuk hasil yang lebih akurat untuk mengetahui fungsi ginjal adalah dengan
analisa creatinine clearance (klirens kreatinin). Selain pemeriksaan fungsi gnjal
(renal function test), pemeriksaan kadar elektrolit juga harus dilakukan untuk
mengetahui status keseimbangan elektrolit dalam tubuh sebagai bentuk kinerja
ginjal.
2. Urinalisis
Urinalisis dilakukan untuk menapis ada/ tidaknya infeksi pada ginjal atau ada/
tidaknya perdarahan aktif akibat inflamasi pada jaringan parenkim ginjal.
3. Ultrasonografi ginjal
Imaging (gambaran) dari ultrasonografi akan memberikan informasi yang
mendukung untuk menegakkan diagnosa gagal ginjal. Pada klien gagal ginjal
biasanya menunjukkan adanya obstruksi atau jaringan parut pada ginjal. Selain
itu, ukuran dari ginjal pun akan terlihat.

Menurut Lemone, dkk (2016: 1067) pemeriksaan diagnostik digunakan baik untuk
mengidentifikasi gagal ginjal kronik maupun memonitor fungsi ginjal. Sejumlah
pemeriksaan dapat dilakukan untuk menentukan penyebab gangguan ginjal. Ketika
diagnosis ditegakkan, fungsi ginjal dimonitor terutama lewat kadar sisa metabolik dan
elektrolit dalam darah.

1. Urinalisis
Dilakukan untuk mengukur berat jenis urine dan mendeteksi komponen urine
yang abnormal. Pada gagal ginjal kronik, berat jenis dapat tetap pada sekitar 1,010
akibat kerusakan sekresi tubulus, reabsorpsi dan kemampuan memekatkan urine.
Protein abnormal, sel darah dan bekuan sel dapat juga ditemukan di urine.
2. Kultur urine
Diinstruksikan untuk mengidentifikasi infeksi saluran kemih yang mempercepat
perkembangan gagal ginjal kronik.
3. BUN dan kreatinin serum
Diambil untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan mengkaji perkembangan gagal
ginjal. BUN 20-50 mg/dL mengindikasikan azotemia ringan; kadar lebih dari 100
mg/dL mengindikasikan kerusakan ginjal berat. Gejala uremia ditemukan saat
BUN sekitar 200 mg/dL atau lebih tinggi. Kadar serum kreatinin lebih dari 4
mg/dL mengindikasikan kerusakan ginjal serius.
4. eGFR
Digunakan untuk mengevaluasi GFR dan stadium penyakit ginjal kronik. eGFR
adalah perhitungan nilai yang ditentukan menggunakan rumus yang memasukkan
kreatinin serum, usia, jenis kelamin dan ras pasien.
5. Elektrolit serum
Dimonitor lewat perjalanan gagal ginjal kronik. Natrium serum dapat berada
dalam batasan normal atau rendah karena retensi air. Kadar kalium naik tetapi
biasanya tetap dibawah 6,5 mEq/L. Fosfor serum naik dan kadar kalsium turun.
Asidosis metabolik diidentifikasi dengan pH rendah, CO2 rendah, dan kadar
bikarbonat rendah.
6. CBC
Menunjukkan anemia sedang ke arah berat dengan hematokrit 20% hingga 30%
dan hemoglobin rendah. Jumlah sel darah merah dan trombosit turun.
7. Ultrasonografi ginjal
Dilakukan untuk mengevaluasi ukuran ginjal. Pada gagal ginjal kronik, ukuran
ginjal berkurang karena nefron hancur dan massa ginjal mengecil.
8. Biopsi ginjal
Dapat dilakukan untuk mengidentifikasi proses penyakit penyebab jika ini tidak
jelas. Selain itu juga digunakan untuk membedakan gagal ginjal akut dan gagal
ginjal kronik. Biopsi ginjal dapat dilakukan pada pembedahan atau dilakukan
menggunakan biopsi jarum.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Menurut Wong, dkk (2009) Pada gagal ginjal yang bersifat
ireversibel, tujuan penatalaksanaan medis antara lain meningkatkan fungsi ginjal
sampai taraf maksimal, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam
batas biokimiawi yang aman, mengobati komplikasi sistemik dan meningkatkan
kualitas kehidupan hingga taraf seaktif dan senormal mungkin bagi anak tersebut.
1. Pengaturan diet
Tujuan diet pada gagal ginjal adalah memberikan kalori dan protein yang cukup
bagi pertumbuhan anak sekaligus membatasi kebutuhan ekskresi pada ginjal,
meminimalkan penyakit tulang metabolik, dan meminimalkan gangguan cairan
dan elektrolit. Asupan natrium dan air biasanya tidak dibatasi kecuali bila terdapat
gejala edema dan hipertensi, dan asupan kalium umumnya tidak dibatasi. Asupan
fosfor harus dikendalikan melalui pengurangan asupan protein dan susu untuk
mencegah atau mengoreksi gangguan keseimbangan kalsium atau fosfor. Kadar
fosfor dapat dikurangi lebih lanjut dengan pemberian karbonat per oral yang
berikatan dengan fosfor menurunkan absorpsi gastrointestinal dan menurunkan
kadar fosfat serum.
2. Penatalaksanaan teknologik gagal ginjal
1. Dialisis
Dialisis merupakan proses pemisahan substansi koloid dan kristaloid dalam
larutan berdasarkan perbedaan laju difusi melalui membrane semipermeabel.
Metode dialisis yang kini tersedia adalah dialisis peritoneal dengan rongga
abdomen berfungsi sebagai membran semipermeabel yang dapat dilalui oleh
air dan zat terlarut yang ukuran molekulnya kecil; hemodialisis yaitu darah
yang disirkulasikan diluar tubuh melalui membrane buatan yang
memungkinkan alur yang sama untuk air dan zat terlarut; hemofiltrasi yaitu
filtrat darah yang disirkulasi 30 di luar tubuh dengan diberi tekanan hidrostatik
melintasi membran semipermeabel sambil pada saat yang bersamaan
dimasukkan larutan pengganti.
2. Transplantasi
Transplantasi memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalani hidup
yang relative normal dan merupakan bentuk terapi pilihan untuk anak-anak
yang menderita gagal ginjak kronik. Ginjal untuk ditransplan diperoleh dari
dua sumber yaitu donor kerabat yang masih hidup (living related donor/ LDR)
yang biasanya berasal dari orangtua atau saudara kandung, atau donor
kadaver, yaitu yang berasal dari pasien yang sudah meninggal atau yang sudah
mengalami kematian otak yang keluarganya yang menyetujui untuk
menyumbangkan organ ginjal yang sehat tersebut. Tujuan utama transplantasi
adalah kelangsungan hidup jaringan yang dicangkokkan dalam jangka waktu
lama dengan melindungi jaringan yang secara antigen serupa dengan jaringan
yang terdapat pada resipien dan dengan menekan mekanisme imun resipien.
H. KOMPLIKASI
Menurut Pranata & Prabowo (2014) Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari
penyakit gagal ginjal kronik adalah:
1. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan
dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis)
dan jika berlangsung lama akan menyebabkan fraktur pathologis.
2. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik berupa
hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan hemodinamik (sering
terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
3. Anemia
Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam rangkaian hormonal
(endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal akan
mengakibatkan penurunan hemoglobin.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA GGK


A. PENGKAJIAN
Menurut Pranata & Prabowo (2014: 204) Pengkajian pada klien gagal ginjal
kronis sebenarnya hampir sama dengan klien gagal ginjal akut, namun disini
pengkajian lebih penekanan pada support system untuk mempertahankan kondisi
keseimbangan dalam tubuh. Dengan tidak optimalnya/ gagalnya fungsi ginjal, maka
tubuh akan melakukan upaya kompensasi selagi dalam batas ambang kewajaran.
Tetapi, jika kondisi ini berlanjut (kronis) maka akan menimbulkan berbagai
manifestasi klinis yang menandakan gangguan system tersebut. Berikut ini adalah
pengkajian keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronis:
1. Biodata
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-laki sering
memiliki risiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup sehat. Gagal
ginjal kronis merupakan periode lanjut dari insidensi gagal ginjal akut, sehingga
tidak berdiri sendiri.
2. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang
menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria) sampai pada
anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada system sirkulasi-ventilasi,
anoreksia, mual dan muntah, napas berbau urea. Kondisi ini dipicu oleh
penumpukan zat sisa metabolisme toksin dalam tubuh karena ginjal mengalami
kegagalan filtrasi.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Pada klien dengan gagal ginjal kronis kaji onset penurunan urine output,
penurunan kesadaran, kelemahan fisik, perubahan pola napas karena komplikasi
dari gangguan system ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit, bau urea pada
napas.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan berbagai
penyebab. Oleh karena itu, informasi penyakit terdahulu akan menegaskan untuk
penegasan masalah. Kaji riwayat penyakit ISK (Infeksi Saluran Kemih), payah
jantung, penggunaan obat berlebihan khususnya obat yang bersifat nefrotoksik,
BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) dan lain-lain.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun, pencetus sekunder
seperti DM (Diabetes Melitus) dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap
kejadian penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut bersifat herediter.
6. Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Kondisi klien dengan gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat
kesadaran bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan TTV sering
didapatkan RR meningkat, hipertensi/ hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif.
7. Sistem pernapasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi asidosis/ alkalosis
respiratorik maka kondisi pernapasan akan mengalami patologis gangguan. Pola
napas akan semakin cepat dan dalam sebagai bentuk kompensasi tubuh
mempertahankan ventilasi.
8. Sistem hematologic
Ditemukan adanya friction rub pada kondisi uremia berat. Selain itu, biasanya
terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi jantung, nyeri dada,
dyspneu, gangguan irama jantung dan gangguan sirkulasi lainnya.
9. Sistem perkemihan
Dengan gangguan/ kegagalan fungsi ginjal secara kompleks (filtrasi, sekresi,
reabsorpsi, dan sekresi), maka manifestasi yang paling menonjol adalah
penurunan urine output < 400 ml/hari bahkan sampai pada anuria (tidak adanya
urine output). 10. System pencernaan Gangguan system pencernaan lebih
dikarenakan efek dari penyakit. Sering ditemukan anoreksia, nausea, vomit dan
diare.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan Gagal Ginjal
Kronis (GGK) sesuai dengan SDKI (2017) antara lain sebagai berikut
1. Gangguan pertukaran gas (SDKI 2017, halaman 22)
2. Pola napas tidak efektif (SDKI 2017, halaman 26)
3. Perfusi perifer tidak efektif (SDKI 2017, halaman 37)
4. Defisit nutrisi (SDKI 2017, halaman 56)
5. Hipervolemia (SDKI 2017, halaman 62)
6. Risiko ketidakseimbangan elektrolit (SDKI 2017, halaman 88)
7. Gangguan eliminasi urin (SDKI 2017, halaman 96)
8. Intoleransi aktivitas (SDKI 2017, halaman 128)
9. Nausea (SDKI 2017, halaman 170)
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi keperawatan yang sesuai pada pasien dengan Gagal Ginjal Kronis (GGK)
menurut SIKI (2018) adalah sebagai berikut.
1. Gangguan pertukaran gas
Pertukaran gas meningkat dengan kriteria hasil tingkat kesadaran meningkat,
dispnea menurun, bunyi napas tambahan menurun, pusing menurun, penglihatan
kabur menurun, diaforesis menurun, gelisah menurun, napas cuping hidung
menurun, PCO2 membaik, PO2 membaik, takikardia membaik, pH arteri
membaik, sianosis membaik, pola napas membaik, warna kulit membaik (SLKI
2019, halaman 94)
Intervensi keperawatan : Pemantauan respirasi (SIKI 2018, halaman 247)
a) Observasi
Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas, monitor pola napas,
monitor kemampuan batuk efektif, monitor adanya produksi sputum, monitor
adanya sumbatan jalan napas, palpasi kesimetrisan ekspansi paru, auskultasi
bunyi napas, monitor saturasi oksigen, monitor nilai AGD, monitor hasil x-ray
thoraks
b) Terapeutik
Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien, dokumentasikan
hasil pemantauan
c) Edukasi Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan, informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
2. Pola napas tidak efektif
Pola napas membaik dengan kriteria hasil ventilasi semenit meningkat, kapasitas
vital meningkat, diameter thoraks anterior-posterior meningkat, tekanan ekspirasi
meningkat, tekanan inspirasi meningkat, dispnea menurun, penggunaan otot bantu
napas menurun, pemanjangan fase ekspirasi menurun, ortopnea menurun,
pernapasan pursed-tip menurun, pernapasan cuping hidung menurun, frekuensi
napas membaik, kedalaman napas membaik, ekskurasi dada membaik (SLKI
2019, halaman 95)
Intervensi keperawatan : Manajemen jalan napas (SIKI 2018, halaman 187)
a) Observasi
Monitor pola napas, monitor bunyi napas tambahan, monitor sputum
b) Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift, posisikan
semi-fowler atau fowler, berikan minum hangat, lakukan fisioterapi dada, jika
perlu, lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik, lakukan
hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal, keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsep McGill, berikan oksigen, jika perlu.
c) Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi, ajarkan teknik
batuk efektif
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
3. Perfusi perifer tidak efektif
Perfusi perifer meningkat dengan kriteria hasil denyut nadi perifer meningkat,
penyembuhan luka meningkat, sensasi meningkat, warna kulit pucat menurun,
edema perifer menurun, nyeri ekstremitas menurun, parastesia menurun,
kelemahan otot menurun, kram otot menurun, bruit femoralia menurun, nekrosis
menurun, pengisian kapiler membaik, akral membaik, turgor kulit membaik,
tekanan darah sistolik membaik, tekanan darah diastolik membaik, tekanan arteri
rata-rata membaik, indeks ankle-brachial membaik (SLKI 2019, halaman 84)
Intervensi keperawatan : Perawatan sirkulasi (SIKI 2018, halaman 345)
a) Observasi
Periksa sirkulasi perifer, identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi, monitor
panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas
b) Terapeutik
Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area keterbatasan
perfusi, hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi, hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area
yang cedera, lakukan pencegahan infeksi, lakukan perawatan kaki dan kuku,
lakukan hidrasi
c) Edukasi
Anjurkan berhenti merokok, anjurkan berolahraga rutin (jalan santai,
bersepeda), anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar,
anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan
penurunan kolesterol, jika perlu, anjurkan minum obat pengontrol tekanan
darah secara teratur, anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta,
anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat, anjurkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi, informasikan tanda dan gejala darurat yang harus
dilaporkan.
4. Defisit nutrisi
Status nutrisi membaik dengan kriteria hasil porsi makanan yang dihabiskan
meningkat, kekuatan otot pengunyah meningkat, kekuatan otot menelan
meningkat, serum albumin meningkat, verbalisasi keinginan untuk meningkatkan
nutrisi meningkat, pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat meningkat,
pengetahuan tentang pilihan minuman yang sehat meningkat, pengetahuan
tentang standar asupan nutrisi yang tepat meningkat, penyiapan dan penyimpanan
makanan yang aman meningkat, penyiapan dan penyimpanan minuman yang
aman meningkat, sikap terhadap makanan/minuman sesuai dengan tujuan
kesehatan meningkat, perasaan cepat kenyang menurun, nyeri abdomen menurun,
sariawan menurun, rambut rontok menurun, diare menurun, berat badan
membaik, Indeks Masa Tubuh (IMT) membaik, frekuensi makan membaik, nafsu
makan membaik, bising usus membaik, tebal lipatan kulit trisep membaik,
membran mukosa membaik (SLKI 2019, halaman 121)
Intervensi keperawatan : Manajemen nutrisi (SIKI 2018, halaman 200)
a) Observasi
Identifikasi status nutrisi, identifikasi alergi dan intoleransi makanan,
identifikasi makanan yang disukai, identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
nutrien, identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik, monitor asupan
makanan, monitor berat badan, monitor hasil pemeriksaan laboratorium
d) Terapeutik
Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu, fasilitasi menentukan
pedoman diet, sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai, berikan
makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi, berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein, berikan suplemen makanan, jika perlu, hentikan
pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
e) Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu, ajarkan diet yang diprogramkan
f) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan, kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
5. Hipervolemia
Keseimbangan cairan meningkat dengan kriteria hasil asupan cairan meningkat,
keluaran urin meningkat, kelembaban membran mukosa meningkat, asupan
makanan meningkat, edema menurun, dehidrasi menurun, asites menurun,
konfusi menurun, tekanan darah membaik, denyut nadi radial membaik, tekanan
arteri rata-rata membaik, membran mukosa membaik, mata cekung membaik,
turgor kulit membaik, berat badan membaik
Intervensi keperawatan : Manajemen hipervolemia (SIKI 2018, halaman 181)
a) Observasi
Periksa tanda dan gejala hipervolemia, identifikasi penyebab hipervolemia,
monitor status hemodinamik, monitor intake dan output cairan, monitor tanda
hemokonsentrasi, monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma,
monitor kecepatan infus secara ketat, monitor efek samping diuretic
b) Terapeutik
Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, batasi asupan cairan
dan garam, tinggikan kepala tempat tidur 30-40o .
c) Edukasi
Anjurkan melapor jika haluaran urin 1 kg dalam sehari, Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta 45 ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran
cairan, ajarkan cara membatasi cairan
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian diuretik, kolaborasi penggantian kehilangan kalium
akibat diuretik, kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapi
(CRRT), jika perlu
6. Risiko ketidakseimbangan elektrolit
Keseimbangan elektrolit meningkat dengan kriteria hasil serum natrium
meningkat, serum kalium meningkat, serum klorida meningkat, serum kalsium
meningkat, serum magnesium meningkat, serum fosfor meningkat (SLKI 2019,
halaman 42)
Intervensi keperawatan : Pemantauan elektrolit (SIKI 2018, halaman 240)
a) Observasi
Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit, monitor
kadar elektrolit serum, monitor mual, muntah, dan diare, monitor kehilangan
cairan, jika perlu, monitor tanda dan gejala hipokalemia, monitor tanda dan
gejala hiperkalemia, monitor tanda dan gejala hiponatremia, monitor tanda
dan gejala hipernatremia, monitor tanda dan gejala hipokalsemia, monitor
tanda dan gejala hiperkalsemia, monitor tanda dan gejala hipomagnesemia,
monitor tanda dan gejala hypermagnesemia
b) Terapeutik
Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien,
dokumentasikan hasil pemantauan
c) Edukasi
d) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan, informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
7. Gangguan eliminasi urin
Eliminasi urin membaik dengan kriteria hasil sensasi berkemih meningkat,
desakan berkemih (urgensi) menurun, distensi kandung kemih menurun,
berkemih tidak tuntas (hesitancy) menurun, volume residu urin menurun, urin
menetes (dribbling) menurun, nokturia menurun, mengompol menurun, enuresis
menurun, disuria menurun, anuria menurun, frekuensi BAK membaik,
karakteristik urin membaik (SLKI 2019, halaman 24)
Intervensi keperawatan : Manajemen eliminasi urin (SIKI 2018, halaman 175)
a) Observasi
Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urin, identifikasi faktor
yang menyebabkan retensi atau inkontinensia urin, monitor eliminasi urin
b) Terapeutik
Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih, batasi asupan cairan, jika perlu,
ambil sampel urin tengah (midstream) atau kultur
c) Edukasi
Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih, ajarkan mengukur asupan
cairan dan haluaran urin, ajarkan mengambil spesimen urin midstream,
ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat untuk berkemih,
ajarkan terapi modalitas penguatan otot-otot panggul/perkemihan, anjurkan
minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi, anjurkan mengurangi
minum menjelang tidur
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu
8. Intoleransi aktivitas
Toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria hasil frekuensi nadi meningkat,
saturasi oksigen meningkat, kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
meningkat, kecepatan berjalan meningkat, jarak berjalan meningkat, kekuatan
tubuh bagian atas meningkat, kekuatan tubuh bagian bawah meningkat, toleransi
dalam menaiki tangga meningkat, keluhan lelah menurun, dispnea saat aktivitas
menurun, dispnea setelah aktivitas menurun, perasaan lemah menurun, aritmia
saat aktivitas menurun, aritmia setelah aktivitas menurun, sianosis menurun,
warna kulit membaik, tekanan darah membaik, frekuensi napas membaik, EKG
iskemia membaik (SLKI 2019, halaman 149)
Intervensi keperawatan : Manajemen energi (SIKI 2018, halaman 176)
a) Observasi
Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan, monitor
kelelahan fisik dan emosional, monitor pola dan jam tidur, monitor lokasi dan
ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
b) Terapeutik
Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus, lakukan latihan rentang
gerak pasif dan/atau aktif, berikan aktivitas distraksi yang menenangkan,
fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
c) Edukasi
Anjurkan tirah baring, anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap, anjurkan
menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang,
ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
d) Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
9. Nausea
Tingkat nausea menurun dengan kriteria hasil nafsu makan meningkat, keluhan
mual menurun, perasaan ingin muntah menurun, perasaan asam di mulut
menurun, sensasi panas menurun, sensasi dingin menurun, frekuensi menelan
menurun, diaforesis menurun, jumlah saliva menurun, pucat membaik, takikardia
membaik, dilatasi pupil membaik (SLKI 2019, halaman 144)
Intervensi keperawatan : Manajemen mual (SIKI 2018, halaman 197)
a) Observasi
Identifikasi pengalaman mual, identifikasi isyarat nonverbal
ketidaknyamanan, identifikasi dampak mual terhadap kualitas hidup,
identifikasi faktor penyebab mual, identifikasi antiemetik untuk mencegah
mual, monitor mual, monitor asupan nutrisi dan kalori
b) Terapeutik
Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual, kurangi atau hilangkan
keadaan penyebab mual, berikan makanan dalam jumlah kecil dan menarik,
berikan makanan dingin, cairan bening, tidak berbau dan tidak berwarna, jika
perlu
c) Edukasi
Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup, anjurkan sering membersihkan
mulut, kecuali jika merangsang mual, anjurkan makanan tinggi karbohidrat
dan rendah lemak, ajarkan penggunaan teknik relaksasi napas dalam untuk
mengurangi mual
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu
C. IMPLENTASI KEPERAWATAN
Menurut Wong, dkk (2009) komplikasi ESRD (End Stage Renal Disease) yang
multipel ditangani sesuai dengan protokol medis yang diindikasikan untuk perawatan
masalah-masalah medis yang spesifik tersebut. Meski demikian, penyakit yang
progresif ini akan menyebabkan sejumlah stres pada anak dan keluarga, termasuk
stres akibat sakit yang berpotensi menyebabkan kematian. Terdapat kebutuhan
kontinu terhadap pemeriksaan berulang yang seringkali mencakup prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri, efek samping dan seringnya perawatan di rumah sakit.
Setelah diagnosis gagal ginjal ditegakkan, biasanya tindakan untuk memulai
hemodialisis dianggap sebagai suatu pengalaman positif.
Perawat bertanggung jawab memberikan penyuluhan kepada keluarga
mengenai implikasinya, dan rencana terapi, kemungkinan efek psikologis penyakit
dan penanganannya, dan aspek teknis prosedur. Pembatasan diet terutama membebani
anak dan orangtua. Anak akan merasa diabaikan ketika mereka tidak boleh memakan
makanan yang tadinya sangat disukai sedangkan anggota keluarga lainnya boleh
memakan makanan tersebut. Sebagai akibatnya, anak menjadi tidak kooperatif.
Sehingga memberi kesempatan anak, terutama remaja untuk berpartisipasi secara
maksimal dan bertanggung jawab atas program terapinya sendiri merupakan tindakan
yang membantu.
D. EVALUASI
Menurut Wong, dkk (2009: 1202) mengatakan bahwa keefektifan keperawatan
ditentukan oleh pengkajian ulang dan evaluasi asuhan secara kontinu berdasarkan
pedoman observasi yaitu:
1. Observasi dan wawancara keluarga mengenai kepatuhan mereka pada program
medis dan diet.
2. Pantau tanda vital, pengukuran pertumbuhan, laporan laboratorium, perilaku,
penampilan.
3. Observasi dan wawancara anak dan keluarga mengenai perasaan mereka,
kekhawatiran, dan rasa takut; observasi reaksi terhadap terapi dan prognosis
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM, Wagner CM. 2016. Nursing Interventions
Classification. Edisi Keenam. Indonesia.

Harrison. 2013. Nefrologi Dan Gangguan Asam-Basa. Cetakan 2. Jakarta : EGC.

Herdman H, Kamitsuru S. 2016. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Edisi 10.
Jakarta : EGC.

Infodatin. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta Selatan.

Lemone P, Burke KM, Bauldoff G. 2017. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Eliminasi.
Edisi 5. Jakarta : EGC.

Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2016. Nursing Outcomes Classification.


Edisi Kelima. Indonesia.

Rudolph CD. 2014. Buku Ajar Pediatri. Edisi 20. Jakarta : EGC.

Wong LD, Kasprisin CA, Hess CS. 2012. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai