Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

SEHAT JIWA PADA ANAK USIA SEKOLAH

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Diyah Nur Wijiyanti 2110022
Achmad Mubarok N.A 2110050

Maulida Putri Nurudin 2110054


Jihan Almazna Rifda 2110058

Nabilah Kartika Ayu 2110070


M. Rafif Maulana 2110084

Bagas Hadi Saputro 2110108

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA


TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan YME karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini tepat waktu. Makalah ini membahas tentang
sehat jiwa pada anak usia sekolah yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
keperawatan jiwa dan psikososial di program studi S1-Keperawatan Stikes Hang Tuah
Surabaya.
Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bu Sukma ayu C K,S.Kep.Ns,
M.Kes.Sp. Kep J selaku dosen pengampu, dan kepada semua pihak yang telah memberikan
saran dalam menyusun makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari
Tuhan YME. Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu
dikarenakan keterbatasan, kemampuan, dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita. Dan kami
memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan.

Surabaya, 12 April 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
A. Latar belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ............................................................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN MATERI ..................................................................................... 4
A. Sehat jiwa ......................................................................................................... 4
B. Teori Psikososial anak ...................................................................................... 5
C. Tahap perkembangan anak usia sekolah (6-12th) ................................................ 6
D. Pengertian sekolah ............................................................................................ 8
E. Pertumbuhan dan perkembangan sekolah ........................................................... 8
F. Perkembangan anak usia sekolah ..................................................................... 11
G. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan .......................................... 16
H. Masalah kesehatan pada sekolah ...................................................................... 19
I. Psikologis anak usia sekolah ........................................................................... 20
J. Pola asuh orang tua ......................................................................................... 22
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 25
A. Kesimpulan .................................................................................................... 25
B. Saran .............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 26

3
BAB I

PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Perkembangan adalah perubahan yang teratur, sistematis, dan terorganisir
yang mempunyai tujuan tertentu. Perkembangan memiliki beberapa ciri, yaitu :
berkesinambungan, kumulatif, bergerak ke arah yang lebih kompleks dan holistik.
Perkembangan psikososial berarti perkembangan sosial seorang individu ditinjau dari
sudut pandang psikologi.1 Perkembangan masa anak-anak merupakan hal yang
menarik untuk dipelajari. Hubungan antara anak dan keluarga, teman sebaya dan
sekolah mempengaruhi perkembangan psikososial seorang anak. Perkembangan
sosial seorang anak meningkat ditandai dengan adanya perubahan pengetahuan
dan pemahaman mereka tentang kebutuhan dan peraturan-peraturan yang berlaku.

Sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana perkembangan anak


psikososial dari seorang anak terutama di zaman seperti sekarang. Dengan
mempelajari perkembangan psikososial anak, kita dapat membimbing dan
membantu mengoptimalkan proses perkembangan yang akan dialami sang anak
dengan cara yang tepat. Pengetahuan tentang perkembangan psikososial akan
membantu para orang tua dan guru dalam menghadapi tantangan saat membesarkan
dan mendidik anak- anak/siswa.

A. Latar Belakang
Sekolah merupakan salah satu sistem pendidikan yang berfungsi untuk
membantu meningkatkan sumber daya manusia. Dari pendidikan yang diterima anak
bangsa di bangku sekolah, akan mampu mengubah pola pikir dan daya kreativitas
untuk menciptakan Negara dan taraf kesejahtraan yang baik dan perekonomian yang
meningkat. Rancangan yang dibuat oleh pemerintah di bidang pendidikan dengan
landasan operasionalnya adalah kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang di kembangkan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk tujuan pendidikan tertentu.
Apabila membahas tentang mutu pendidikan maka tidak lepas dari kegiatan
belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar di sekolah merupakan kegiatan yang
paling fundamental.Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang menampung
peserta didik dan membina siswa agar memiliki kemampuan, kecerdasan, dan
keterampilan. Proses pendidikan memerlukan pembinaan secara terkoordinasi dan
terarah yang diharapkan siswa dapat mencapai prestasi belajar yang maksimal
sehingga tercapainya tujuan pendidikan. UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Dari pengertian pendidikan
tersebut, jelas bahwa kegiatan pendidikan adalah kegiatan pengembangan potensi

1
peserta didik secara optimal dan terpadu, baik dimensi spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan peserta
didik.
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan dengan guru dan siswa pemegang peranan penting. Uzher Usman (2004)
menyatakan bahwa proses belajar-mengajar merupakan suatu proses yang
mengandung serangkaian kegiatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik
yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut
penelitian Wasty (2003) pengenalan seseorang terhadap hasil atau kemajuan
belajarnya adalah penting, karena dengan mengetahui hasil-hasil yang sudah dicapai
maka siswa akan lebih berusaha meningkatkan hasil belajarnya. Sehingga dengan
demikian peningkatan hasil belajar dapat lebih optimal.
Perubahan kurikulum didasari kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan
yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan
ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Perubahan yang terjadi secara terus menerus perlu
adanya perbaikan sistem pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum
untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan dengan
perubahan.

Pengembangan kurikulum 2013 didesain untuk menyiapkan dan membangun


generasi muda Indonesia yang beradab, berbudaya, bermartabat, beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,sehat, berilmu, mandiri, kratif, demokrasi
serta bertanggung jawab dalam mengawal kehidupan bangsa dan Negara.
Pengembangan kurikulum pada masa yang akan dating perlu diupayakan sedemikian
rupa sehingga mampu mendukung pemecahan berbagai persoalan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu kurikulum mampu membangun peserta didik untuk mengembangkan
minat dan bakat siswa dalam menghadapi kehidupan, meningkatkan peserta didik
untuk bekerja, mengembangkan kecerdasan sesuai bakat dan minatnya

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa itu sehat jiwa?
2. Apa teori psikososial anak?
3. Bgaimana perkembangan anak usia sekolah (6-12thn)?
4. Apa pengertian sekolah?
5. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan sekolah?
6. Bagaimana perkembangan anak usia sekolah?
7. Bagaimana factor factor yang mempengaruhi perkembangan?
8. Apa saja masalah kesehatan pada sekolah?
9. Apa saja psikologis sekolah?
10. Bagaimana pola asuh orang tua?

2
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sehat jiwa.
2. Untuk mengetahui teori psikososial anak
3. Untuk mengetahui tahap perkembangan anak usia sekolah (6-12thn)
4. Untuk mengetahui pengertian sekolah.
5. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan sekolah.
6. Untuk mengetahui perkembangan anak usia sekolah.
7. Untuk mengetahui factor factor yang mempengaruhi perkembangan.
8. Untuk mengetahui masalah kesehatan pada sekolah.
9. Mengidentifikasi psikologis sekolah.
10. Untuk mengetahui pola asuh orang tua

3
BAB II

TINJAUAN MATERI
A. Sehat Jiwa

Kesehatan jiwa bagi manusia berarti terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa


dan sanggup menghadapi problem, merasa bahagia dan mampu diri. Orang yang sehat
jiwa berarti mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang
lain, masyarakat, dan lingkungan. Manusia terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spiritual
yang saling berinteraksi satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi.
Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat kita
rasakan dan diamati keadaannya. Orang ‘gemuk’ dianggap sehat dan orang yang
mempunyai keluhan dianggap tidak sehat. Faktor subjektifitas dan kultural
mempengaruhi pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat. World
Health Organization (WHO) merumuskan sehat dalam arti kata yang luas, yaitu
keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun social, tidak hanya terbebas dari
penyakit atau kelemahan/cacat.
Kesehatan fisik telah lama menjadi perhatian manusia, tetapi jangan dilupakan
bahwa manusia adalah mahluk yang holistic, terdiri tidak hanya fisik tapi juga mental
dan social yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara kesehatan fisik dengan
mental dapat dibuktikan oleh Hall dan Goldberg tahun 1984 (Notosoedirjo, 2005),
bahwa pasien yang sakit secara fisik menunjukkan adanya gangguan mental seperti
depresi, kecemasan, sindroma otak organik, dan lain-lain. Terdapat tiga kemungkinan
hubungan antara sakit secara fisik dan mental, pertama orang yang mengalami sakit
mental karena sakit fisiknya. Karena kondisi fisik tidak sehat, sehingga tertekan dan
menimbulkan gangguan mental. Kedua, sakit fisik yang diderita itu sebenarnya gejala
dari adanya gangguan mental. Ketiga, antara gangguan mental dan fisik saling
menopang, artinya orang menderita secara fisik menimbulkan gangguan secara
mental, dan gangguan mental turut memperparah sakit fisiknya.

B. Teori psikososial anak


Banyak teori mengenai perkembangan psikososial, yang paling banyak dianut
adalah teori psikosisal dari Erik Erikson. Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi
delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap tergantung
dari hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah
penting bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan
kesanggupan
yang berbeda untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat. Berikut
adalah delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson :
1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)

4
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan
kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan
mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan
mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan,
individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya
dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa
orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya

2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)


Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas
tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk
mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan
yang kasar. Mereka melatih kehendak mereka, tepatnya otonomi. Harapan
idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial
tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah
resolusi yang diharapkan.1,2,4

3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)


Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat
sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut
berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak
mau mengembangkan harapan- harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil
melewati masa ini dengan baik, maka
keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya

4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)


Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan
dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian
yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat
memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang diperoleh. Ketrampilan
ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu
untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih
teman-teman sebaya akan merasa inferior.

5. Tahap V : Identity versus Role Confusion (12-18 tahun)


Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti
orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak ia
dianggap dewasa tetapi di sisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini
merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang
seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan
dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya
tinggi.

5
6. Tahap VI : Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi
dengan orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk
membentuk ikatan sosial yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila
individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan ego yang diperoleh
adalah cinta

7. Tahap VII : Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah)


Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan
dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang
dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan.
Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan menciptakan
perasaan bahwa hidup ini tidak

berharga dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada


masa ini maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian.

8. Tahap VIII : Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir)


Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu
dan melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu
terasa menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk
mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun.
Kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa
putus asa

C. Tahap perkembangan anak usia sekolah (6-12thn)


Tahap perkembangan empat menurut teori perkembangan psikologi
anak oleh Erik Erikson adalah tahap industry vs inferiority, yang terjadi pada usia
sekitar 6 hingga 12 tahun. Pada tahap ini, anak mulai memfokuskan perhatiannya
pada kegiatan yang berkaitan dengan produktivitas dan kemampuan berkontribusi
terhadap lingkungan sekitarnya.
Pada tahap industry vs inferiority, anak mulai mengeksplorasi
kemampuan dan minatnya dalam berbagai bidang seperti olahraga, seni, musik,
atau sains. Anak juga mulai membandingkan kemampuan dan prestasinya dengan
teman-temannya. Apabila anak berhasil mencapai prestasi dan merasa mampu
melakukan tugas-tugas yang diberikan, maka ia akan merasa produktif dan percaya
diri. Namun, apabila anak merasa bahwa ia gagal dalam menyelesaikan tugas atau
kurang mampu dibandingkan teman-temannya, maka ia akan merasa rendah diri
dan inferior.
Dalam tahap ini, orang tua dan guru memiliki peran penting dalam
membantu anak mengembangkan rasa percaya diri dan keterampilan. Orang tua
dan guru dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk mencoba berbagai
kegiatan dan mengeksplorasi minat dan kemampuannya. Selain itu, orang tua dan

6
guru juga dapat memberikan penghargaan dan pujian atas usaha dan prestasi yang
telah dicapai oleh anak.
Namun, dalam hal yang sama, orang tua dan guru juga harus berhati-
hati agar tidak memberikan tekanan atau membandingkan anak dengan teman-
temannya. Hal ini dapat menyebabkan anak merasa tidak percaya diri dan merasa
inferior.
Apabila anak berhasil melewati tahap industry vs inferiority dengan
baik, ia akan mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk
berkontribusi dalam lingkungan sekitarnya. Namun, apabila anak gagal melewati
tahap ini, ia akan mengalami rasa inferioritas dan kesulitan dalam mengembangkan
keterampilan sosial dan kemampuan produktivitas. Oleh karena itu, penting bagi
orang tua dan guru untuk memberikan dukungan dan stimulasi yang tepat bagi anak
pada tahap ini.

Berikut adalah beberapa contoh cara untuk memberikan stimulasi pada perkembangan
tahap industry vs inferiority pada anak usia sekolah:
1. Berikan kesempatan untuk mencoba berbagai kegiatan dan mengeksplorasi minat
dan kemampuan anak. Misalnya, memperkenalkan anak pada kegiatan seni, musik,
atau olahraga yang berbeda-beda.
2. Berikan penghargaan dan pujian atas usaha dan prestasi yang telah dicapai oleh
anak. Misalnya, memberikan ucapan terima kasih dan apresiasi ketika anak berhasil
menyelesaikan tugas atau meraih prestasi dalam kegiatan yang diikuti.
3. Berikan tugas yang sesuai dengan kemampuan dan minat anak. Hal ini dapat
membantu anak merasa percaya diri dan mampu menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan.
4. Berikan kesempatan untuk bekerja sama dengan teman-temannya dalam
melakukan kegiatan. Hal ini dapat membantu anak mengembangkan keterampilan
sosial dan kemampuan kerjasama.
5. Jangan membandingkan anak dengan teman-temannya, dan hindari memberikan
tekanan berlebihan. Hal ini dapat membuat anak merasa tidak percaya diri dan
inferior.
6. Dukung anak dalam mengatasi kegagalan dan kesulitan. Ajarkan anak untuk tetap
berusaha dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan.
7. Berikan contoh perilaku yang positif dan memberikan dorongan untuk
mengembangkan kemampuan mandiri dan bertanggung jawab.
Dengan memberikan stimulasi yang tepat, anak akan dapat mengembangkan rasa
percaya diri, kemampuan produktivitas, dan keterampilan sosial pada tahap
industry vs inferiority.

D. Pengertian sekolah
anak usia sekolah dasar (usia 6-12 tahun) lebih antusias dan mampu
mengikuti dan memahami materi ketika diajarkan secara tim dengan metode
permainan khususnya dengan menyanyikan lagu. terkait dengan materi. Mereka

7
menjadi lebih percaya diri untuk memperkenalkan diri menggunakan bahasa Inggris
di depan teman-temannya. bimbingan belajar cukup efektif untuk membantu anak-
anak usia sekolah dasar di desa Semangat Dalam untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mereka tentang pelajaran bahasa Inggris, serta meningkatkan rasa
percaya diri mereka dalam menggunakan bahasa Inggris.

E. Pertumbuhan dan Perkembangan sekolah


Perkembangan jika dalam bahasa inggris disebut development. Menurut
Santrock development is the pattern of change that begins at conception and continues
through the life span, yang artinya perkembangan adalah perubahan pola yang dimulai
sejak masa konsepsi dan berlanjut sepanjang kehidupan. Perkembangan berorientasi
pada proses mental sedangkan pertumbuhan lebih berorientasi pada peningkatan
ukuran dan struktur. Jika perkembangan berkatan dengan hal yang bersifat fungsional,
sedangkan pertumbuhan bersifat biologis. Misalnya, jika dalam perkembangan
mengalami perubahan pasang surut mulai lahir sampai mati. Tetapi jika pertumbuhan
contohya seperti, pertumbuhan tinggi badan dimula sejak lahir dan berhenti pada usia
18 tahun (Desmita, 2015). Beberapa komponen yang termasuk dalam perkembangan
yaitu :
 Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang
berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang
berkaitan dengan bagaimana indvidu mempelajari dan memimkirkan lingkungannya.
Perkembangan kognitif juga digunakan dalam psikolog untuk menjelaskan semua
aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan penglohan
informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan
masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang
berkaitan dengan individu. Selain berkaitan dengan individu juga mempelajari,
memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan
memikirkan lingkungannya (Desmita, 2015).
Mengacu pada tahap perkembangan kognitif dari Piaget, maka anak pada
masa kanak-kanak akhir berada pada tahap operasional konkret yang berlangsung
kira-kira usia 7-11 tahun (tahap operasional konkret. Pada tahapan ini, pemikiran
logis menggantikan pemikiran intuitif. Anak sudah mampu berpikir rasional dan
melakukan aktivitas logis tertentu, walaupun masih terbatas pada objek konkret dan
dalam situasi konkret. Anak telah mampu mampu memperlihatkan keterampilan
konversi, klasifikasi, penjumlahan, pengurangan, dan beberapa kemampuan lain
yang sangat dibutuhkan anak dalam mempelajari pengetahuan dasar sekolah. Cara
berpikirnya sudah kurang egosentris yang ditandai dengan desentrasi yang besar,
yaitu sudah mampu memperhatikan lebih dari satu dimensi dan juga
menghubungkan satu dengan yang lainnya (Soetjiningsih, 2012). Pada tahap
operasional konkret, anak-ank dapat memahami :
1. Konservasi, yaitu kemampuan anak untuk memahami bahwa suatu
zat/objek/benda tetap memiliki substansi yang sama walaupun mengalami perubahan
8
dalam penampilan. Ada beberapa macam konservasi seperti konservasi jumlah,
panjang, berat, dan volume.
2. Klasifikasi, yaitu kemampuan anak untuk mengelompokkan /mengklasifikasikan
benda dan memahmi hubungan antarbenda tersebut.
3. Seriaton, yaitu kemampuan anak mengurutkan sesuai dimensi kuantitatifnya.
Misalnya sesuai panjang,besar dan beratnya.
4. Transitivity, yaitu kemampuan anak memikirkan relasi gabungan secara logis. Jika
ada relasi antara objek pertama dan kedua, da nada relasi antara objek kedua dan
ketiga, maka ada relasi antara objek pertama dan ketiga.
 Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg, perkembangan moral terjadi melalui tiga tingkatan dan terdiri
dari enam stadium, dan masing-masing stasium akan dilalui oleh setiap anak
walaupun tidak pada usia yang sama namum perkembangan selalui melalui urutan
ini (Soetjiningsih, 2012), yaitu :
1. Tingkatan I : Penalaran moral yang pra conventional
Merupakan tingkatan terendah dari penalaran moral. Pada tingkatan ini baik
dan burk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman)
Stadium 1 : moralitas heteronom
Penalaran moral terkait dengan hukuman (punishment), anak bepikir bahwa
mereka harus patuh karena takut hukuman (tingkah laku dinilai benar bila tidak
dihukum, dan sebaliknya).
Stadium 2 : individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran
Pada tahap ini penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri sendiri
adalah hal yang benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, menurut
anak apa yang benar adalah sesuatu yang melibatkan pertukaran yang setara. Mereka
berpikir jika mereka akan baik terhadap dirinya.
2. Tingkatan II : Penalaran moral yang conventional
Individu memberlakukan standart tertentu, tetapi standar ini ditetapkan oleh
orang lain, misalnya orang tua sekolah.
Stadium 3 : Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan
konformitas interpersonal.
Pada tahap ini, anak menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan
terhadap orang lain sebagai dasar dari penilain moral. Anak mengadopsi standar
moral orang tua agar dianggap oleh orang tua sebagai anak yang bak. Dengan kata
lain, mereka merupakan tahap orientasi anak atau person yang baik.
Stadium 4 : Moralitas sistem
Penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan di masyarakat,
hukum, keadilan, dan kewajiban. Sebagai contoh, anak berpikir supaya komunitas
dapat bekerja dengan efektif perlu dilindungi oleh hukum yang diberlakukan
terhadap anggotanya. Dengan kata lain, merupakan tahap orientasi pelestarian
otoritas dan aturan sosial (aturan sosial yang ada harus dijaga).
3. Tingkatan III : Penalaran moral yang post-conventional
Individu menyadari adanya jalur moral alternative , mengeksplorasi pilihan
ini, laly memutuskan berdasarkan kode moral personal.
9
Stadium 5 : kontrak atau utilitas sosial dan hak individu
Pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak, dan prinsip lebih utama
atau lebih luas darpada hukum. Individu mengevaluasi validitas hukum yang ada,
dan melindungi hak asasi dan nilai dasar manusia. Dengan kata lain, merupakan
orientasi control legalitas (untuk kehidupan bersama yang teratur).
Stadium 6 : Prinsip etis universal I
ndividu mengembangjan standar moral berdasarkan hak asasi manusia
universal. Ketika dihadapkan dengan pertentangan antara hukum dan hat nurani,
individu menalar bahwa harus diikuti adalah hati nurani, meskipun keputusan ini
dapat memberikan resiko. Dengan kata lain merupakan orientasi atas dasar prinsip
dan konsiensia sendiri (ukuran penilaian adalah konsiensia sendiri) (Soetjiningsih,
2012).
Pada masa kanak-kanak akhir usia 6-12 tahun, penalaran moral anak ada pada
angkatan II, yaitu pada moral yang conventional (tahapan selengkapnya dapat
dilihat pada uraian sebelumnya tentang masa anak awal). Pada tingkat conventional
ini individu memberlakukan satndar tertentu, tetapi standar ini ditetapkan oleh orang
lain, misalnya orang tua atau pemerintah (Soetjiningsih, 2012).
Perkembangan moral pada masa kanak-kanak akhir, sebagai berikut:
a. Anak berbuat baik bukan untuk mendapatkan kepuasan fisik, tetapi untuk
mendapatkan kepuasan psikologis yang diperoleh melalui persetujuan sosial.
b. Lingkungan merupkan ruang lingkup yang lebih luas, kaidah moral sebagian besar
lebih ditentukan oleh norma-norma yang terdapat dalam kelompoknya. 18
c. Usia sekitar 10-12 tahun sudah mengenal konsep moralitas, seperti kejujuran,
keadilan, dan kehormatan.
d. Perbuatan baik buruk dilihat dari apa motif melakukan hal tersebut.

F. Perkembangan anak usia sekolah

1. perkembangan motoric
Seiring dengan pertumbuhan fisiknya yang beranjak matang
maka perkembangan motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik.Setiap
gerakannya sudah selaras dengan kebutuhan atau minatnya. Faseatau usia sekolah
dasar (7-12) tahun ditandai dengan gerak atau aktivitasmotorik yang lincah. Oleh
karena itu, usia ini merupakan masa yang idealuntuk belajar keterampilan yang
berkaitan dengan motorik, baik halus maupun kasar.
Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentukelancaran
proses belajar, baik dalam bidang pengetahuan maupunketerampilan. Oleh karena
itu, perkembangan motorik sangat menunjangkeberhasilan belajar peserta didik.
Sesuai dengan perkembangan fisik ataumotorik anak yang sudah siap untuk
menerima pelajaran keterampilan,maka sekolah perlu memfasilitasi perkembangan
motorik anak itu secarafungsional. Upaya-upaya sekolah untuk memfasilitasi
perkembanganfisik-motorik secara fungsional tersebut, diantaranya sebagai berikut:

10
 A) Sekolah merancang pelajaran keterampilan yang bermanfaat
bagi perkembangan atau kehidupan anak seperti mengetik, menjahit,merupa,
atau kerajinan tangan lainnya.
 b) Sekolah memberikan pelajaran senam atau olahraga kepada parasiswa,
yang sejenisnya disesuaikan dengan usia siswa
 c)Sekolah perlu merekrut (mengangkat) guru-guru yang memilikikeahlian
dalam bidang-bidang tersebut diatas.
 d) Sekolah menyediakan sarana untuk keberlangsungan penyeleng-garaan
pelajaran tersebut
Menurut Hurlock (1978) pencapaian kemampuan-kemampuantersebut
kemudian mengarah pada pembentukan keterampilan (skill).Keterampilan yang
dipelajari dengan baik akhirnya akan menimbulkankebiasaan. Perkembangan
psikomotorik berhubungan erat dengan perilakuindividu. Pada aspek sosial, masa
remaja adalah masa mencari jati diri.Keterampilan sosial berkembang pada konteks
remaja ketika ia berinteraksi dengan orang lain terutama dengan teman sebayanya.
Percakapan mengenai topik-topik tertentu dalam pergaulan membantusiswa
melihat berbagai hal dari berbagai sudut pandang yang selanjutnyamengembangkan
cara berpikirnya. Sedangkan pada aspek moral danemosi, masa remaja adalah masa-
masa yang sensitif dan reaktif bahkan ada yang cenderung temperamental. Kondisi
ini diakibatkan olehlingkungan yang tidak baik.

2. Perkembangan Itelektual
Dalam pandangan Piaget, perkembangan kognitif pada hakekatnya adalah
perkembangan kemampuan penalaran logis. Baginya, berpikir dalam proses kognitif
tersebut lebih penting daripada sekedar mengerti.Pada masa remaja, peserta didik
mulai mengembangkan cara berpikirnya.
Peserta didik mulai berpikir secara hipotesis dalam me nyelesaikanmasalah
yaitu mencari sumber permasalahan, mengkaji dan mencarialternative
pemecahannya. Sistem persekolahan dan keadaan socialekonomi mempengaruhi
terjadinya perbedaan pada perkembangankognitif anak didik, demikian pula dengan
budaya, sistem nilai, danharapan dalam masyarakat. Adapun karakteristik
perkembanganintelektual pada usia sekolah, yaitu:

 Anak SD sudah mereaksi rangsangan intelektual/ melaksanakantugas


belajar yang menuntut kemampuan kognitif (CALISTUNG)
 Anak SD sudah mulai berpikir konkret dan rasional (AUD: berpikirnya
masih imajinatif/angan-angan saja/khayal).
 Tanda-tanda anak SD berpikir konkret: mengelompokkan
benda berdasar ciri yg sama, menyusun/mengasosiasikan angka-
angka bilangan, dan memecahkan masalah sederhana.
 Untuk mengembangkan daya kreativitasnya, maka perlu diberi peluang
bertanya/berpendapat.

11
 Upaya sekolah untuk memfasilitasinya adalah menyelenggarakankegiatan
kompetisi bagi siswa terkait perkembangan kognitif, misal:cerdas-cermat,
mengarang, menggambar, menulis puisi, dll.
 Pengembangan intelektual siswa.
 Mengasah ketajaman pancaindra untuk menerima masukan dari
luar(information gathering)

3. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan salah satu alat vital dalam perkembangan
kognitif.Konsep-konsep permasalahan yang dikaji akan lebih mudah dimengerti
dengan bantuan bahasa. Bahasa termasuk dapat berbentuk lisan atautulisan dengan
mempergunakan tanda (coding), huruf (alphabetic), bilangan (numerical atau
digital), sinar atau cahaya yang dapat merupakankata-kata (word) atau kalimat
(sentences). Mungkin pula berbentukgambar atau lukisan (drawing, picture), gerak-
gerik (gestures) dan mimicserta bentuk-bentuk simbol ekspresif lainnya.
Bahasa adalah sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian
ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikirandan perasaan
dinyatakan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, atau gerakdengan meng-gunakan
kata-kata, simbol, lambang, gambar, atau lukisan.Melalui bahasa setiap manusia
dapat mengenal dirinya, sesamanya, alamsekitar, ilmu penge-tahuan dan nilai-nilai
moral atau agama.
Usia sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnyakemampuan
mengenal dan menguasai perbendaharaan kata. Pada awalmasa ini, anak sudah
menguasai sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhiranak telah dapat menguasai
sekitar 5000 kata. Dengan dikuasainyaketerampilan membaca dan berko-munikasi
dengan orang lain, anak sudahgemar membaca atau mendengar cerita yang bersifat
kritis. Pada masa initingkat berfikir anak sudah lebih maju, dia banyak menanyakan
waktu dansoal-akibat.

Di sekolah, perkembangan bahasa anak ini diperkuat dengandiberikannya


mata pelajaran bahasa indonesia (bahkan disekolah-sekolahtertentu diberikan bahasa
inggris). Dengan diberikannya pelajaran bahasadisekolah, para siswa diharapkan
dapat menguasai dan menggunakannyasebagai alat untuk:
a) Berkomunikasi secara baik dengan orang lain

b) Mengekspresikan pikiran,perasaan,sikap atau pendapatnya


c) Memahami isi dari setiap bahan bacaaan yang dibacanya.Untuk
mengembangkan kemampuan berbahasa atau keterampilan berkomunikasi
anak melalui tulisan, sebagai cara untuk
mengekspresikan perasaan, gagasan, atau pikirannya
maka sebaiknya kepada anakdilatihkan untuk membuat karangan atau tulisan
tentang berbagai hal yangterkait dengan pengalaman hidupnya sendiri, atau

12
kehidupan padaumumnya, seperti menyusun autobiografi, kehidupan
keluarga, cara-caramemelihara lingkungan, cita-cita, dan belajar untuk
mencapai sukses.

4. Perkembangan Emosi
Pada usia sekolah (khususnya dikelas-kelas tinggi, kelas 4, 5, 6) anakmulai
menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklahditerima, atau tidak
disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu, dia
mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya Kemampuan
mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan

Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua atau guru


dalammengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apalagi anak
dikem- bangkan dilingkungan keluarga yang suasana emosionalnya
stabil, maka perkembangan emosi anak cendrung stabil atau sehat. Akan tetapi,
apabilakebiasaan orang tua dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil
ataukurang kontrol maka perkembangan emosi anak cenderung kurang stabilatau
tidak sehat.
 Karakteristik emosi yang stabil/sehat
a) Menunjukkan wajah ceria
b) Mau bergaul dengan teman secara baik
c) Bergairah dalam belajar
d) Dapat berkonsentrasi dalam belajar
e) Bersikap menghargai orang lain & diri sendiri

 Karakteristik emosi yang tidak stabil/tidak sehat


a) Menunjukkan wajah murung
b) Mudah tersinggung
c) Tidak mau bergaul dengan orang lain
d) Suka marah
e) Suka mengganggu teman
f) Tidak percaya diri

 Upaya guru untuk menciptakan suasana belajar yg kondusif


a) Mengembangkan suasana kelas yg bebas dari ketegangan (sikapramah,
tidak galak).
b) Memperlakukan siswa sebagai individu yang mempunyai hargadiri (guru
menghargai pendapat siswa, karya siswa, tidakmencemooh pekerjaan siswa/
tidak ada istilah anak emas/anaktiri).
c) Memberikan nilai yg objektif.
d) Menciptakan kondisi kelas yg tertib, bersih, dan sehat.

5. Perkembangan Sosial

13
Maksud perkembangan sosial ini adalah pencapaian kematangandalam
hubungan atau interaksi sosial. Dapat juga diartikan sebagai
proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisidan
moral agama. Perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh keluarga,teman sebaya
dan guru.
 Perkembangan sosial pada anak usia SD ditandai adanya perluasanhubungan
(teman/ group).
 Anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri
kepadateman/lingkungannya.
 Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan diri
denganteman/lingkungan
 Sekolah harus bisa memfasilitasi perkembangan sosial dengan
caramemberikan tugas-tugas kelompok (baik tugas fisik maupunnonfisik).
 Melalui tugas kelompok tanamkan sikap bekerja sama, salingmenghormati
pendapat teman, tenggang rasa, dan bertanggung jawab
.

6. Perkembangan Kesadaran Beragama


Pada masa Sekolah kesadaran beragama ditandai dengan ciri:
 Sikap keagamaan anak masih bersifat reseptif namun sudah
disertai pengertian.
 Pandangan dan paham ketuhanan diperoleh secara rasional sesuailogika.
 Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaankegiatan
ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
 Pengenalan terhadap Tuhan sebaiknya ditonjolkan sifat Tuhan ygMaha
Pengasih, Maha Penyayang, bukan ditonjolkan sifatmenghukum dan
mengazab
 Sampai usia 10 tahun, kesadaran beragama anak hanya merupakanhasil
sosialisasi orang tua, guru, dan lingkungan.
 Usia 10 tahun ke atas semakin bertambah kesadaran akan fungsiagama
baginya. Oleh karena itu, anak mulai menerima nilai agamalebih tinggi dari
nilai yang lainnya.
 Periode usia SD merupakan masa pembentukan nilai agama.
 Kualitas keagamaan anak dipengaruhi oleh proses pembentukan
& pendidikan yg diterimanya.
 Pendidikan agama di SD menjadi perhatian semua kalangan. Semuaguru
wajib memberikan teladan.
 Pendidikan agama di SD merupakan dasar bagi pembinaan
sikap positif terhadap agama dan pembentukan kepribadian dan akhlakanak.

Upaya memfasilitasi perkembangan agama anak

14
 Dalam kaitannya pemberian materi agama kepada anak, di
sampingmengembangkan pemahaman juga perlu pelatihan/pembiasaan
ygmenyangkut ibadah dan akhlak.
Contoh: TK membaca iqrok, SD membaca Al-Quran
TK hafalan surat pendek, SD melanjutkan
TK sebatas materi shalat, SD dengan artinya
 Perlu pembiasaan ibadah sosial yang menyangkut akhlak terhadapsesama
(hormat orang tua, menolong orang yg memerlukan,menyayangi fakir
miskin, memelihara kebersihan, jujur, dan amanah.
 Diperkenalkannya hukum agama (halal-haram, wajib-sunah).

G. . Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Sekolah

Lingkungan Sekolah
Sekolah dasar adalah sekolah pertama yang harus dijalani anak sebelum
mengikuti pendidikan lebih tinggi. Pengertian sekolah dasar dapat dikatakan sebagai
kegiatan mendasari tiga aspek dasar yaitu pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
Ketiga aspek ini merupakan dasar atau landasan pendidikan yang paling utama
dalam kehidupan (Anneira, 2007). Sekolah memegang peranan penting dalam
perkembangan kepribadian anak karena siswa harus hadir di sekolah; sekolah
memberikan pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan masa perkembangan
konsep dirinya; anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di
tempat lain di luar rumah; sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk
meraih sukses; sekolah memberikan kesempatan pertama kepada anak untuk menilai
dirinya dan kemampuan secara realistik (Yusuf, 2010). Sekolah melakukan upaya
untuk meningkatkan kesehatan anak usia sekolah melalui kegiatan Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan prestasi
belajar peserta didik dengan meningkatkan perilaku hidup bersih, sehat serta derajat
kesehatan peserta didik dan menciptakan lingkungan yang sehat sehingga
memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan optimal dalam
rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
Masa sekolah merupakan masa yang sangat baik untuk membangun harapan
anak. Pada usia ini anak belum mempunyai kekuatan untuk mengontrol diri dari
keinginannya, karena itu anak-anak lebih mau tunduk pada kekuasaan yang lebih
kuat dari dirinya. Sekolah sebagai institusi yang lebih kuat dan diorganisir
sedemikian rupa, hendaknya mampu memberikan disiplin yang tegas dengan
mendorong anak agar menggunakan potensi dirinya berkembang ke arah yang lebih
baik. Biasanya pada masa ini anak-anak senang sekali dengan sekolahnya, sangat
mencintai gurunya, giat belajar dan patuh menjalankan kewajibannya.
Pengaruh pertama yang diterima oleh seorang anak dalam hidupnya ialah
sosok-sosok yang berada di sekelilingnya. Di lingkungan rumah mereka adalah ayah
dan keluarganya. Ketika beranjak besar, sedikit ia mulai bergaul dengan anak-anak

15
usia sebayanya atau yang lebih tua darinya (Mahfuzh, 2009). Selanjutnya seorang
anak mulai bersekolah dimana ia akan memperoleh pendidikan secara formal dari
guru/pengajar/pendidik.

Guru mempunyai tanggung jawab utama yaitu menstimulasi dan


membimbing perkembangan intelektual anak dan bukan memberikan kesejahteraan
fisik anak di luar lingkungan sekolah (Wong et.al, 2009). Guru bersama-sama orang
tua memberi pengaruh dalam menentukan sikap dan nilai anak. Guru yang membuat
pernyataan pendukung yang meyakinkan dan memuji anak dengan menggunakan
pernyataan yang dapat diterima dan jelas dapat membantu anak memperluas ide dan
perasaannya serta memberi bimbingan yang membantu anak memecahkan
masalahnya sendiri untuk memperluas dan mengembangkan konsep diri positif pada
anak usia sekolah.

Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah sekelompok individu yang dihubungkan dengan ikatan
darah dan emosional, merasa memiliki satu sama lain, memberikan dukungan,
melakukan berbagai fungsi dasar, memelihara pertumbuhan psikososial melalui pola
interaksi dan relationship. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan
yang pertama bagi seorang anak, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama
mendapatkan didikan dan bimbingan yang juga merupakan lingkungan yang utama
karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga.

Keluarga merupakan unsur penting dalam perawatan anak mengingat anak


merupakan bagian dari keluarga, kehidupan anak dapat ditentukan oleh lingkungan
keluarga (Hidayat, 2005). Dengan bergesernya sebagian besar peri kehidupan anak
dari lingkungan rumah ke lingkungan sekolah, seorang anak mulai merasakan hidup
mandiri serta kemudian dengan pengaruh lingkungan di luar rumah ia akan
membentuk wataknya sendiri (Salaby, 1997). Berubahnya perhatian dan minat anak
ini sering menimbulkan kekesalan pada orang tua, sehingga bila masalah antara anak
dan orang tua tidak segera diselesaikan mungkin akan terdapat kesulitan dalam
penyesuaian diri anak dengan keadaan di luar rumah.
Tugas orang tua dengan anak usia adalah mempelajari bagaimana cara
beradaptasi dengan perpisahan anak atau yang lebih sederhana melepaskan anak,
salah satu tugas orang tua dalam mensosialisasikan anak-anak mereka termasuk
meningkatkan prestasi belajar (Friedman, Bowden & Jones, 2010). Pertanggungan
jawab yang besar dalam masa sekolah adalah timbulnya rasa percaya diri dan
tanggung jawab terhadap tugas yang akan dilaksanakannya secara tuntas. Dalam hal
ini mungkin saja orang tua atau anak sendiri akan sangat kecewa bila prestasi yang
dicapai tidak seperti yang diharapkan.
Seorang anak yang tidak dapat mencapai tingkatan sosial yang memadai akan
mulai merasakan suatu kegagalan, kemudian dapat menimbulkan reaksi berupa
kemarahan atau kegelisahan (Salaby, 1997). Selanjutnya akibat tidak tercapainya

16
keinginan, anak akan bereaksi dengan perilaku yang anti-sosial sebagai upaya
mendapatkan kembali pengenalan diri yang tidak dapat dicapinya dengan cara baik.

Pemberian stimulasi secara dini adalah salah satu faktor yang berpengaruh
dalam upaya pendidikan anak, karena pemberian stimulasi yang baik akan
mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya (Wong et.al, 2009). Stimulasi adalah
cara terbaik untuk mengembangkan kemampuan anak. Stimulasi dapat dilakukan
secara langsung oleh orang tua atau membuat lingkungan yang baik sehingga anak
merasa nyaman mengeksplorasi diri terhadap lingkungannya. Dengan stimulasi,
seluruh kemampuan anak, baik motorik kasar, motorik halus, bahasa, maupun
personal sosial akan berkembang dengan baik. Sebagai seorang orang tua hendaknya
mengetahui dan mampu memberikan stimulasi terhadap anak sesuai dengan tahap
perkembangannya di lingkungan keluarganya.

Lingkungan Teman Sebaya


Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak mempunyai
peran bagi perkembangan kepribadiannya. Teman sebaya penting bagi
perkembangan kematangan secara keseluruhan (fisik, intelektual/mental, sosial,
seksual, moral dan emosional). Beberapa cara peningkatan sosialisasi anak sekolah
melalui keanggotaan kelompok menurut Hurlock (2005), antara lain : belajar bekerja
sama, belajar perilaku sosial yang baik, belajar bebas dari orang-orang dewasa,
belajar kemampuan kelompok, belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok,
belajar bermain dan olah raga, belajar turut berbagi rasa dengan orang yang dianiaya,
belajar bersikap sportif, belajar bersaing dengan orang lain, belajar menerima dan
melaksanakan tanggung jawab.
Kesempatan bermain dengan teman sebaya membuat anak mengenali
perbedaan antara anak laki-laki dengan perempuan. Juga pergaulan dengan teman
sebaya, anak-anak belajar untuk mandiri dari orang tua : belajar bertanggung jawab
atas perbuatannya sendiri, belajar mengontrol emosinya, belajar membuat aturan
main dan mematuhinya, belajar membedakan salah dengan benar, dan belajar
berkomunikasi timbal balik yang sejajar. Kelompok teman sebaya mempunyai
kontribusi yang sangat positif terhadap perkembangan kepribadian anak usia
sekolah. Namun disisi lain, tidak sedikit anak yang berperilaku menyimpang, karena
pengaruh teman sebanyanya.
Hubungan orang tua dan anak yang sehat dapat melindungi anak tersebut dari
pengaruh teman sebaya yang tidak sehat (Yusuf, 2010). Pengaruh teman sebaya
terhadap anak usia sekolah berkaitan dengan iklim keluarga. Anak yang memiliki
hubungan baik dengan orang tua, cenderung dapat terhindar dari pengaruh negatif
teman sebayanya, dibanding dengan anak yang hubungan dengan orang tuanya
kurang baik.

17
H. MASALAH KESEHATAN USIA SEKOLAH

Masalah kesehatan anak usia sekolah juga terus meningkat dikarenakan


permasalahan kesehatan yang masih banyak terjadi di kalangan anak usia sekolah.
Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kesadaran anak usia sekolah dasar dalam
menjaga kesehatan diri. Kesehatan diri harus diterapakan sedini mungkin agar
menjadi kebiasaan positif dalam memelihara kesehatan

1. Dehidrasi dan kelelahan, sehingga membuat anak susah berkonsentrasi

Memiliki kegiatan baru tak jarang membuat anak terlalu senang dan terlalu
bersemangat sehingga ia menuangkan semua energinya pada aktivitas barunya ini.
Anak mungkin akan bangun lebih pagi pada hari pertamanya sekolah, di sekolah pun
ia akan bergerak lebih sering sehingga akan menguras energinya. Tak jarang anak
akan merasa kelelahan saat sampai di rumah. Jika sudah dalam kondisi ini biasanya
anak akan sedikit rewel karena merasa tak nyaman. Ajak anak untuk beristirahat agar
kondisinya tak bertambah buruk. Jangan lupa ingatkan anak untuk banyak minum air
putih agar tak terjadi dehidrasi.

2. Imunitas menurun akibat kurangnya asupan sayur dan buah, sehingga


mudah terserang flu

Kurang asupan sayur dan buah biasanya akan membuat imunitas anak
menurun dan dapat menimbulkan konstipasi akibat kurangnya serat. Anak belum
peka mengenai gejala penyakit tertentu, sehingga ia kadang tak menyadari jika ada
teman di sekitarnya yang sedang dalam kondisi tak baik. Anak mungkin akan
mengabaikan mata temannya yang memerah karena sakit mata dan akan tetap terus
bermain di dekatnya sehingga tanpa disadari ia akan tertular penyakit tersebut.

3. Abai mencuci tangan yang berisiko memudahkan anak terserang diare

Mencuci tangan kadang terlewatkan oleh anak-anak, padahal dengan


berbagai aktivitas yang dilakukannya seperti bermain bola, memegang ayunan,
bermain di luar ruangan hingga berinteraksi dengan orang lain dapat berpotensi
terjadi perpindahan kuman dan penyakit. Ajari anak untuk mencuci tangan
menggunakan sabun dengan tahapan yang benar. Beberapa penyakit yang dapat
menyebar akibat abai cuci tangan adalah cacingan, flu hingga diare.

4. Timbul masalah gigi dan mulut karena seringnya makan makanan manis

anak menyukai makanan yang terasa manis seperti permen, cokelat, es krim,
gulali dan makanan yang terasa manis lainnya. Makanan manis berpotensi untuk
merusak enamel gigi sehingga memicu pertumbuhan karang gigi hingga dapat
merusak gigi si kecil. Masalah mulut lainnya yang umumnya timbul adalah
sariawan, hal ini berhubungan dengan kurangnya konsumsi buah dan sayur serta air
putih. Bekali anak dengan makanan sehat dan air putih yang cukup.

18
5. Masalah kulit ringan

Beberapa masalah kulit mungkin akan muncul pada anak-anak usia sekolah
seperti biang keringat hingga panu, kadas bahkan kutu air. Anak yang sering
berkeringat biasa akan mengalami miliaria atau biang keringat dengan gejala
munculnya ruam kemerahan pada bagian tubuh tertentu. Beberapa masalah kulit
lainnya diakibatkan karena tertular dengan penderitanya. Ibu juga harus
memperhatikan kebersihan pakaian dan sepatu serta kaos kaki yang dikenakannya.
Sepatu yang kotor maupun basah dapat menjadi sarang bakteri. Masalah kulit kepala
juga terkadang muncul, seperti ketombe hingga “tertular” kutu rambut.

I. Psikologis usia Sekolah

KETAATAN ANAK PADA ORANGTUA DARI SUDUT AGAMA


Dibenarkan untuk dilakukan hanya dengan syarat bahwa ketaatan itu
menyangkut kebenaran dan kebaikan, bukan kepalsuan dan Pesan Tuhan agar orang
berbuat baik kepada ibu-bapaknya adalah MUTLAK , tanpa syarat bahkan sekalipun
ibu-bapaknya jahat

APA YANG HARUS DILAKUKAN ANAK PADA ORANGTUA

 Janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor dan tidak pantas kepada Ayah-


Ibu.
 Janganlah membantah atau berucap kasar
 Hendaklah ia bersikap rendah Hati dengan dasar rasa cinta kasih
 Hendaklah ia berdoa untuk Orangtua

TIPE TEMPERAMEN ANAK

1. Tipe Mudah
Ciri-cirinya :
Mewakili suasana hati yang positif, cenderung tidak rewel.
Dengan cepat dapat membentuk kebiasaan rutin yang teratur dan mudah
menyesuaikan diri dengan pengalaman, situasi dan orang-orang baru.

2. Tipe Sulit
Ciri-cirinya :
Cenderung bereaksi secara negatif dan seringkali menangis
Cenderung bereaksi negatif terhadap kegiatan rutin, sehingga memberi kesan
sangat sulit untuk hidup secara teratur (misalnya keteraturan dalam hal makan,
tidur, mandi dll)
Lambat dalam mencari pengalaman-pengalaman baru sehingga penyesuaian
diri dengan lingkungan, situasi, serta orang-orang disekitar, dan makan baru
pun sulit.

3. Tipe Slow to Warm Up


Ciri-ciri :
Memiliki ciri-ciri antara tipe sulit dan mudah

19
Tingkat aktifitasnya rendah
Cenderung menunjukkan Suasana hati yang negatif (tetapi sedikit lebih baik
daripada tipe sulit)
Penyesuaian dirinya juga lamban dan suasana hati anak tipe ini cenderung
rendah intensitasnya. Semasa bayi ia tidak terlalu rewel bila dibandingkan
dengan tipe anak sulit. Lewat bujukan Akhirnya ia dapat ditenangkan

SYARAT POLA ASUH AUTHORITATIVE


 Utamakan kehangatan atau kasih sayang yang mendalam. Kehangatan
akan lebih menyenangkan hati anak dengan kedua tipe temperamen ini
sehingga kadar emosi negatifnya menurun.
 Saat memberlakukan bahasa, Orangtua harus tegas dan tegar (konsisten),
sehingga anak akhirnya belajar bahwa orangtuanya tidak main-main dengan
aturan yang sudah ditetapkan.
 Orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya. Ada rambu-rambu yang
harus ditaati oleh orangtua dan anak. Anak-anak usia Sekolah umumnya sudah
dapat diajak berbicara atau berdiskusi tentang rambu-rambu ini, sehingga
penerapannya menjadi lebih mudah. Hendaknya Orangtua sudah
mempersiapkan alasan-alasan yang dapat diterima anak, yaitu aturan yang
tidak terlalu mengada-ngada.
 Dalam mengasuh dan membesarkan anak yang termasuk mudah, Mayke
mengingatkan agar jangan sampai orangtua malah mengabaikannya. Hal ini
umumnya seringterjadi pada orangtua yang memiliki anak dengan 2 tipe
berbeda, misalnya yang satutipe sulit dan yang lain mudah. Ayah atau ibu
lantas lebih memperhatikan anak yang sulit dan selalu berusaha
“memenangkannya”. Tindakan ini tidak hanya akan membahayakan anak
denga tipe mudah tapi juga yang bertipe sulit. Anak tipe mudah akan
mengalami frustrasi karena merasa selalu dikalahkan dan berakhir menjadi
anak bermasalah

SASARAN DARI PENDIDIKAN MORAL


a. Membina dan menanamkan nilai moral dan norma.
b. Meningkatkan dan memperluas tatanan nilai keyakinan seseorang atau
kelompok.
c. Meningkatkan kualitas diri manusia, kelompok atau kehidupannya
d. Menangkal, memperkecil dan meniadakan hal-hal negatif.
e. Membina dan mengupayakan terlaksananya dunia yang diharapkan (The
Expected World).
f. Melakukan klarifikasi Nilai intrinsik dari suatu nilai moral dan norma
dan kehidupan secara umum.

FAKTOR PENYEBAB RENDAHNYA NILAI-NILAI RELIGI DAN MORAL


 Serapan bentuk-bentuk budaya Hedonisme dan materialistik dari
dunia barat melalui media khususnya media elektronik.
 Dunia pendidikan Indonesia sangat pelit pelajaran tentang moral dan
religi. Pada sekolah umumPelajaran agama hanya 2 jam pelajaran
dalam seminggu.
 Proses pendidikan agama hanya mementingkan aspek cognitif saja
atau conatif dan tidak pada aspek affektif ( Rasa Beragama).

20
 Kesadaran Orangtua akan penanaman nilai-nilai religi dan moral
untuk anak-anaknya ssangat rendah. Pada Orangtua lebih
mengutamakan pendidikan umum, pencapaian gelar akademik
setinggi-tingginya, tapi tidak memperdulikan bagaiman moral dan
agamanya.

J. Pola asuh orang tua


Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah
pola asuh. Pola asuh bertujuan untuk mempertahankan kehidupan fisik anak dan
meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan
kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangan dan mendorong peningkatan
kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakini.1,6
Ada 3 bentuk pola asuh orang tua:

1. Pola asuh otoriter


Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan
menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang
menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri bersifat kaku, tegas, suka
menghukum dan kurang
kasih sayang. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh terhadap nilai-nilai dan
peraturan mereka. Dalam memberikan peraturan itu tidak ada usaha untuk
menjelaskan kepada anak mengapa ia harus patuh pada peraturan itu. Anak dari
orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak
bahagia dengan dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya,
canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar
yang rendah dibandingkan dengan anak-anak lain. Anak cenderung agresif,
impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi.

2. Pola asuh demokratis


Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang
memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi
mereka juga bersikap responsif. Orang tua yang demokratis memandang sama
kewajiban dan hak antara anak dan orang tua. Secara bertahap orang tua memberikan
tanggung jawab bagi anak- anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya
sampai mereka dewasa. Orang tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai
dengan tingkat-tingkat perkembangan anak dan dapat memperhatikan serta
mempertimbangkan keinginan anak. Pola asuh yang ideal atau pola asuh yang baik
adalah pola asuh demokratis dimana anak mempunyai hak untuk mengetahui
mengapa peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan
mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu
tidak adil. Dampak perkembangan psikologi anak dengan pola asuh demokratis yaitu
rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan
psikologisosial, kemandirian dan mampu bergaul dengan teman sebayanya

21
3. Pola asuh permisif
Pola asuh yang permisif, anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab
tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan
untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Dalam
pola asuh ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri anak
karena orang tua yang cenderung membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang
mereka inginkan dan akibatnya anak selalu mengharap semua keinginannya dituruti.
Dalam pola asuh permisif, bimbingan terhadap anak kurang dan semua keputusan
lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang tuanya. Dalam pola asuh ini, sikap
acceptance orang tua tinggi namun tingkat kontrolnya rendah. Dampak
perkembangan terhadap psikologi anak yaitu kurang percaya diri, pengendalian diri
buruk, rasa harga diri yang rendah

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh anak :

 Usia orang tua. Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan
peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan
peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
 Keterlibatan orang tua. Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentingnya
dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Di dalam rumah
tangga, ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada
anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah
tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak seperi
menggantikan popok ketika anak mengompol atau mengajaknya bermain bersama
sebagai salah satu upaya dalam melakukan interaksi.
 Pendidikan orang tua juga berpengaruh penting dalam pengasuhan.
 Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak. Orang tua yang telah
mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap
menjalankan pengasuhan dan lebih relaks.
 Stres orang tua. Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan
orang tua dalam menjalankan peran pengasuhannya

22
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Tingkat pengetahuan orang tua sebelum dilakukan pendidikan kesehatan jiwa
keluarga terhadap stimulasi tumbuh kembang anak sekolah adalah sebagian memiliki
tingkat pengetahuan cukup, sedangkan tingkat pengetahuan sesudah dilakukan
pendidikan kesehatan jiwa keluarga terhadap stimulasi tumbuh kembang anak sekolah
adalah seluruh orang tua memiliki tingkat pengetahuan baik. Sikap orang tua sebelum
dilakukan pendidikan kesehatan adalah mendukung, sedangkan sikap sesudah
dilakukan pendidikan kesehatan adalah orang tua memiliki sikap baik. Hasil yang
didapatkan antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan adalah
pengetahuan kurang tahu menjadi lebih tahu dan pengetahuan cukup menjadi baik.

B. Saran
Tingkat pengetahuan orang tua sebelum dilakukan pendidikan kesehatan jiwa
keluarga terhadap stimulasi tumbuh kembang anak sekolah adalah sebagian memiliki
tingkat pengetahuan cukup, sedangkan tingkat pengetahuan sesudah dilakukan
pendidikan kesehatan jiwa keluarga terhadap stimulasi tumbuh kembang anak sekolah
adalah seluruh orang tua memiliki tingkat pengetahuan baik. Sikap orang tua sebelum
dilakukan pendidikan kesehatan adalah mendukung, sedangkan sikap sesudah
dilakukan pendidikan kesehatan adalah orang tua memiliki sikap baik. Hasil yang
didapatkan antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan adalah
pengetahuan kurang tahu menjadi lebih tahu dan pengetahuan cukup menjadi baik.

23
DAFTAR PUSTAKA
ASKEP, Kerangka Konsep, and Ahmad Taufik Baidawi. "Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Hafshawaty Zainul Hasan Genggong."
Bobak, et all, 2005. Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC

Paat, Judita, Eddy Suparman, and Hermie Tendean. "Persalinan Distosia Pada Remaja Di BLU
RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado." e-CliniC 3.2 (2015).
Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka

24

Anda mungkin juga menyukai