Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

UREMIC ENCEPHALOPATHY

Disusun Oleh :
RIYANTI IRAWAN
2214901070

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( Ns. Revi Neini Ikbal, M.Kep ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TA. 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN

Ensefalopati uremikum merupakan kelainan fungsi otak yang dapat terjadi


pada pengidap gangguan ginjal. Komplikasi ini terjadi saat ada gangguan pada otak
akibat ketidakmampuan ginjal dalam menyaring zat beracun dalam tubuh. Gejala
umumnya berupa penurunan nafsu makan, mual, muntah, mudah lelah, sering
mengantuk, sulit konsentrasi, penurunan fungsi kognitif, kejang, hingga penurunan
kesadaran. Ensefalopati uremikum adalah gangguan otak yang terjadi pada pasien
gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis. Kondisi ini biasanya ditandai dengan
angka laju filtrasi glomerulus (eGFR) menurun dan tetap di bawah 15 mL/menit.
Kebanyakan ahli percaya bahwa komplikasi dari penyakit ginjal ini disebabkan
oleh penumpukan racun air kencing dalam darah. Kondisi ini juga lebih sering
terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis dan sudah memasuki usia lebih
dari 55 tahun. Jika dibiarkan, ensefalopati uremikum dapat menyebabkan pasien
sering linglung hingga mengalami koma (Bare, 2019).
Ginjal adalah organ tubuh yang berperan dalam menyaring darah dari racun,
zat sisa, dan kelebihan cairan. Fungsi lainnya adalah menjaga keseimbangan garam
dan mineral dalam darah, mengatur tekanan darah,
menghasilkan eritropoietin untuk memproduksi sel darah merah, dan menghasilkan
vitamin D untuk menjaga kesehatan tulang. Apabila mengalami kerusakan, proses
penyaringan darah dari zat berbahaya terganggu. Akibatnya, produk limbah dan
cairan menumpuk dalam darah dan menyebabkan masalah kesehatan, seperti
pembengkakan di pergelangan kaki, muntah, mudah lelah, sulit tidur, dan sesak
napas. Gangguan ginjal didiagnosis melalui pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan
kadar elektrolit darah untuk mendeteksi gangguan elektrolit dalam darah, dan
pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi peningkatan sel darah putih yang
menjadi tanda adanya infeksi penyakit (seperti anemia) (Asmadi, 2018).
Kerusakan otak pada pengidap ensefalopati bisa bersifat sementara,
kambuhan, atau permanen. Penyebabnya bervariasi, salah satunya disebabkan oleh
gagal ginjal. Kebanyakan kasus ensefalopati tidak bisa disembuhkan, tapi
penanganan sedini mungkin membantu mengendalikan gejala hingga
menyembuhkan. Gejala ensefalopati umumnya berupa kejang, tremor, lemah otot di
salah satu bagian tubuh, sulit menelan atau berbicara, bagian tubuh berkedut, dan
penurunan kesadaran. Diagnosis ensefalopati diawali menanyakan gejala dan
kondisi kesehatan sebelumnya. Jika diperlukan, dokter melakukan pemeriksaan
lanjutan berupa tes darah lengkap, X-ray, CT scan, MRI scan, dan tes pungsi lumbal
untuk mengambil sampel cairan tulang belakang. Pengobatan disesuaikan dengan
penyebab terjadinya ensefalopati. Pada kasus gagal ginjal, ensefalopati diobati
dengan cuci darah. Transfusi darah mungkin dilakukan jika kadar hemoglobin
rendah (Asmadi, 2018).

B. ANATOMI FISIOLOGI

Anatomi

1. Ginjal
Satuan stuktural dan fungsional ginjal yang terkecil disebut nefron. Tiap-tiap
nefron terdiri atas komponen vaskuler dan tubulur. Komponen vaskuler
terdiri atas pembuluh-pembuluh darah yaitu glomerulus dan kapiler
peritubular yang mengitari tubuli. Dalam komponen tubuler terdapat kapsul
bowman, serta tubulus-tubulus, yaitu tubulus kontortus proksimal, tubulus
distal, tubulus pengumpul dan lengkung henle yang terdapat pada medulla.
Fungsi dari ginjal adalah untuk membuang limbah metabolic, mengendalikan
glukosa darah, menjaga keseimbangan cairan tubuh, menyeimbangkan asam
basa dan lainnya.
2. Ureter
Ureter terdiri 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria) panjangnya ± 25-30 cm dengan penampang
± 0,5 cm. ureter Sebagian terletak dalam rongga abdomen dan Sebagian
terletak dalam rongga pelvis. Fungsi dar ureter ini adalah mendorong
pergerakan urin dengan bantuan kontraksi (gerak peristatik) dari otot polos.
3. Vesika urinaria (Kandung kemih)

Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet,


terletak di belakang simfisi pubis di dalam rongga panggul. Bentuk kandung
kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan
ligamentum vesika umbikalis medius. Vesika urinaria terdiri dari fundus,
korpus, dan vertex. Funsi kandung kemih Fungsi utama dari kandung kemih i
alah untuk menyimpan urin sebelum dikeluarkan melalui proses buang air kec
il. Biasanya kandung kemih hanya menyimpan sekitar 500 ml urin, tetapi kap
asitas maksimal yang dapat disimpannya jauh lebih besar.

4. Urethra
Urethra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih
yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar. Pada laki-laki urethra berjalan
berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat kemudian menembus lapisan
fibrosa yang menembus tulang pubis kebagian penis panjangnya ± 20 cm .
lapisan urethra laki-laki terdiri dari uretra postaria, urethra membranosa, dan
urethra kavernosa. urethra pada Wanita terletak dibelakang simfisis pubis
berjalan miring sedikt kearah atas panjangnya ± 3- 4 cm. lapisan urethra
Wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongiosa
merupakan pleksus dari vena-vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah
dalam) (Potter & Perry, 2017).

Fisiologi

Menurut (Potter & Perry,2017), Ada beberapa tahap-tahap dalam


pembentukan urine :

1. Proses filtrasi
Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan afferent lebih
besar dari permukaan aferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan
Sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan
yang tersaring ditampung oleh simpai bowman yang terdiri dari glukosa, air,
sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruksan ke seluruh ginjal.
2. Proses reabsorpsi
Terjadi penyerapan Kembali Sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida,
fosfat dan beberapa ion karbonat. Prosesnya terjadinya secara pasif yang
dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada
tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan dan sodium dan ion
karbonat, bila diperlukan akan diserap kembali kedalam tubulus bagian
bawah, penyerapannya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorpsi
fakultatif dan sisanya dialirkan pada pupila renalis.
3. Augmentasi (Pengumpulan)
Proses ini terjadi dari Sebagian tubulus kontortus distal sampai tubulus
pengumpul. Pada tubulus pengumpul masih terjadi penyerapan ion Na+, Cl,
dan urea sehingga terbentuklah urine sesungguhnya. Dari tubulus pengumpul,
urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu dibawa ke ureter. Dari ureter, urine
dialirkan menuju vesika urinaria yang merupakan tempat penyimpanan urine
sementara. Ketika kandung kemih sudah penuh, urine dikeluarkan dari tubuh
melalui urethra.
4. Mikturisi
Peristiwa penggabungan urine yang mengalir melalui ureter ke dalam
kandung kemih, keinginan buang air kecil disebabkan penambahan tekanan
didalam kandung kemih dimana sebelumnya telah ada 170-230 ml urine,
miktruisi merupakan gerak reflek yang dapat dikendalikan dan dapat ditahan
oleh pusat-pusat persyarafan yang lebih tinggi dari manusia, gerakannya oleh
kontraksi otot abdominal yang menekan kandung kemih membantu
menggosongkannya (Potter & Perry,2017).

C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut (Bare, 2019) Tanda dan gejala ensefalopati uremikum bervariasi,
mulai dari ringan hingga yang berat. Tingkat keparahan gejala komplikasi gagal
ginjal ini tergantung dari seberapa cepat menurunnya fungsi ginjal. Oleh sebab itu,
tanda dan gejala dari kondisi ini perlu dikenali sejak dini untuk menghindari risiko
terburuk, yaitu koma. Berikut ini beberapa kondisi yang menandakan ensefalopati
uremik berdasarkan tingkat keparahannya.
 Gejala Ringan
1. Mual dan muntah
2. Anoreksia
3. Gelisah
4. Mudah mengantuk
5. Rasa lemah, serta
6. Fungsi kognitif melambat, seperti sulit konsentransi dan berbicara.
Jika gejala ringan lebih cepat ditangani, gangguan pada otak ini bisa
diatasi dengan dialisis.
 Gejala Berat
Jika ensefalopati berkembang, mungkin akan mengalami beberapa
gejala di bawah ini, antara lain:
1. Muntah ,
2. Disorientasi atau linglung,
3. Ketidakstabilan emosi,
4. Kejang,
5. Penurunan kesadaran atau sering pingsan, serta
6. Koma (Bare, 2019).

D. PATOFISIOLOGI
Sampai sekarang, patofisiologi enselophaty uremikum masih belum jelas,
tetapi beberapa faktor diperkirakan berperan dalam proses yang kompleks dan
multifaktorial ini gangguan hormonal, stress, oksidatif, akumulasi metabolit,
ketidakseimbangan neurotransmitter eksitatori dan inhibitori, dan gangguan
metabolism perantara telah diidentifikasi sebagai faktor yang berpengaruh.
Gangguan hormonal
Menurut (Bare, 2019) Hormon tiroid diperkirakan menimbulkan efek toksik p
ada sistem saraf pusat. Percobaan pada hewan menunjukkan perubahan biokimia di
otak. Pada gagal ginjal akut dan kronik, kadar hormon paratiroid meningkat dengan
diikuti peningkatan kadar kalsium dalam korteks serebri. Hipotesis ini didukung ole
h satu penelitian yang menunjukkan kelainankalsium otak pada gagal ginjal dapat d
icegah dengan paratiroidektomi (Bare, 2019).

Stress Oksidatif
Reactive Oxygen Species (ROS) dianggap menjadi salah satu mediator
penting pada patofisiologi gagal ginjal kronis. Hal ini dibuktikan berdasarkan
penigkatan produk peroksidasi lipid, sebagai hasil dari cedera pada membran sel
dan membrane organel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa produk toksik ini
menyebabkan sebuah beban inflamasi pada gagal ginjal kronis melalui melalui
proses ketidakseimbangan antara produksi ROS dan terbatasnya atau berkurangnya
kapasitas antioksidan (Bare, 2019).
Nitrit Oksida (NO), awalnya dikenali sebagai faktor penenang yang berasal
dari endotel. Sekarang diketahui sebagai sinyal molekul ekstraseluler dan
intraseluler yang memainkan peran regulasi berbagai fungsi biologis. Sebagai
tambahan untuk fungsi fisiologis pentingnya. NO berperan dalam berbagai proses
patologis yang berujung sitoktoksik. Interaksi NO dan ROS, khususnya anion
superoksida, menyebabkan pembentukkan bioproduk sitotoksik relative tinggi,
seperti peroksinitrit, yang dapat berekasi dengan DNA, lipid, dan protein.
Singkatnya, peroksinitrit bereaksi dengan tirosin bebas dan tirosin residu pada
molekul protein untuk membentuk nitrotirosin. Melalui jalur lain, ROS dapat
mengaktifkan tirosin untuk membentuk tirosil, sebuah radikal yang selanjutnya
mengoksidasi NO sehingga membentuk nitrotirosin. Selanjutnya, ekspresi NO
sintase meningkat pada otak tikus uremik. Telah terdapat hipotesis mengenai
peningkatan yang bersamaan antara ROS dengan ekpresi NO sintase pada jaringan
otak mungkin meningkatkan pembentukkan dan akumulasi nitrotirosin pada otak
uremik. Analisis western blot menunjukkan peningkatan konten nitrotirosin pada
korteks serebri tikus dengan gagal ginjal kronik (Bare, 2019)

Akumulasi metabolit
Gagal ginjal menyebabkan akumulasi berbagai toksin uremik. Salah satu
fungsi dari berbagai toksin uremik adalah senyawa guanidine, selanjutnya dilaporkan
meningkat pada cairan biologis dan jaringan uremik. Beberapa senyawa guanidine
didapatkan meningkat dalam serum, cairan serebrospinal dan otak pasien uremik.
Senyawa ini adalah kreatinin, guandine, asam guanidinosuksinik dan
metilguanindine, senyawa ini merupakan pencetus kejang pada otak, mirip seperti
yang ditemukan pada otak uremik. Senyawa ini juga mencetuskan kejang tonik-tonik
pada curut dewasa. Asam guanidinosuksinik dan meltiguanidine merupakan
pencetus kejang yang lebih poten daripada guanidine dan kreatinin (Bare, 2019).

Jalur kynurenine merupakan jalur utama metabolism typtophhan pada mamalia,


asam amini ini diubah menjadi kynurenine, yang kemudian diubah menjadi 3-
hidroksiurenin, sebuah metabolit yang membentuk ROS. Beberapa penelitian
menujukkan akumulasi metabolit kynurenine dalam darah hewan terdapat pada
pasien gagal ginjal kronik dan pasien uremik. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa jalur kynurenine mungkin terganggu dan berperan pada enselopati uremikum.
Kynurenine dan 3-hidrosikurenine mungkin merupakan mediator disfungsi
neurologis pada pasien uremik dan hewan coba. Pada penelitian sebelumnya,
beberapa gangguan perilaku yang serius, seperti penurunan lokomotor, aktivitasi
eksplorasi dan emosional tikus telah dilaporkan, seperti yang terlihat pada pasien
uremik (Bare, 2019).

Ketidakseimbangan Neurotransmitter eksitator dan inhibitor

Penelitian dengan hewan coba dan jaringan terisolasi menujukkan peran


serotonin dan katekolamin, asetilkolin, GABA, glisin, asam amini eksitator system
neurotransmitter pada ensefalopati uremikum. Gagal ginjal juga menyebabkan
kelainan biokimia dan metabolisme yang mungkin menjadi penyebab deficit
perilaku. Aktivitasi reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) dan inhibisi konkomitan
tranmisi GABA telah dianggap sebagai mekanisme yang mendasari. Asam
guanidinosuksinik mungkin menghambat transketolase, sebuah enzim dependen
tiamin pada jalur fosfat pentose yang penting dalam pengaturan mielin. Hambatan
terhadap transketolase berhubungan dengan perubahan demielinasi yang berperan
dalam perubahan system saraf pusat dan perifer pada uremia kronik (Bare, 2019).

Beberapa penelitian juga menunjukan mekanisme yang mungkin untuk


kontribusi senyawa guanidin terhadap hipereksitabilitas uremik, merujuk pada efek
in vitro senyawa guanidine uremik pada reseptor asam amino inhibitor dan eksitator.
Beberapa penelitian telah menujukkan senyawa guanidine memblok GABA dan
depolirasasi akibat glisin. Asam guanidinosuksinik merupakan senyawa paling poten,
sementara metilguanindine, guanidine, dan kreatinin kurang proten memblok GABA
dan reseptor kanal klorida terasosiasi glisin. Penelitian terakahir menujukkan bahwa
asam guanidinosuksinik, metilguanidin, dan kreatinin mungkin berperan sebagai
antagonis kompetitif pada bagian pengenal transmitter reseptor GABA, yang
ditunjukkan pada senyawa guanidine lain dengan aksi penyebab kejang (Bare,
2019)..

Gangguan Metabolisme Perantara

Studi terhadap hewan coba dan in vitro menunjukkan gangguan metabolisme


perantara dengan penurunan kadar kreatinin fosfat, ATP dan glukosa, peningkatan
kadar AMP, ADP, laktat. Perubahan ini disertai dengan penurunan metabolisme otak
dan konsumsi oksigen serebral dan selalu diikuti dengan penurunan umum
penggunaan energi otak. Inhibisi NA, K-ATPase serebral telah dilaporkan pada
hewan coba yang uremik. Aktivitas kreatif kinase dihambat pada proses kognitif
pada ensefalopati uremikum. Pada hal lain, penelitian sebelumnya menujukkan
hambatan pada aktivitas rantai respirasi kompleks I dan IV pada hewan yang
uremik. Pada pembahasan in, ROS mungkin berhubungan pada peningkatan
permebititas membrane mitokondria. Rupture membran mitokondria yang
menyebabkan gangguan fungsional mitokondria dan pelepasan protein ruang
intermebran mitokondria yang toksik ke sitosol, menyebabkan bioenergetic dan Krisi
redoks dan mengaktivasi proses katabolic dan berakhir dengan kematian sel (Bare,
2019).
E. PATHWAY
(Sumber : Suharyanto, 2019).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerikasaan diagnosa dapat dilakukan melalui pemeriksaan penujang dengan
ketentuan yakni sebagai berikut (Tarwoto & Wartonoh, 2020) :
1. Pemeriksaan hitung darah lengkap
2. Pemeriksaan panel metabolik komprehensif (CMP), untuk mengetahui
kadar glukosa, protein, dan elektrolit dalam tubuh.
3. Pemeriksaan skrinning toksologi
4. Pemeriksaan adat magnesium,fosfor, dan asam laktat
5. Pemindaiaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau CT Scan kepala,
untuk mendeteksi adanya kelainan pada otak
6. Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) untuk mengukur akivitas listrik
di otak
7. Fungsi kognitif yang meliputi trial making test, continuouns memory, dan
choice reaction time.
8. Anteriogtam ginjal
9. Pemeriksaan urine
10. Tes darah : hasil yang dikaji BUN, bersih kreatinin, nitrogen non protein,
sistoskopi, intravenus, dan pyelogram ).

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Pengumpulan urine untuk bahan pemeriksaan. Mengingat tujuan
pemeriksaan berbeda-beda, maka pengambilan urine juga dibeda-
bedakan sesuai tujuannya.
b. Menolong untuk BAK dengan menggunakan urinal. Menolong BAK
dengan menggunakan urinal Tindakan keperawatan dengan membantu
pasien yang tidak mampu BAK sendiri dikamar kecil dengan
menggunakan alat penampung dengan tujuan menampung urine dan
mengetahui kelamin urine berupa warna dan jumlah urine yang
dikeluarkan pasien.
c. Melalukan kateterisasi.
d. Melakukan pemasangan kantong kolostomi
e. Melakukan perawatan stoma kolostomi (Tarwoto & Wartonoh, 2020).
I. KOMPLIKASI

Menurut (Tarwoto & Wartonoh, 2020) Kondisi ensefalopati uremikum jika tidak
segera diobati akan mengakibatkan komplikasi yang dapat membahayakan pasien, se
perti:
1. Kejang
2. Koma
3. Kematian

Kondisi ensefalopati uremikum dapat diatasi dengan terapi penggantian ginjal, meski
pun mungkin hanya akan pulih sebagian. Namun, beberapa perubahan kognitif bisa
menjadi permanen.

J. Cara Mencegah Ensefalopati Uremikum


Cara mencegah ensefalopati uremikum sama dengan cara mencegah g
agal ginjal atau penyakit ginjal kronis, karena ensefalopati uremikum disebab
kan oleh dua hal tersebut. Berikut cara mencegah agar seseorang tidak menga
lami gagal ginjal atau penyakit ginjal kronis:

1. Mengatur kadar gula darah


2. Mengatur tekanan darah
3. Mempertahankan berat badan yang sehat
4. Menjalankan pola makan yang menyehatkan jantung, seperti rendah
gula dan kolesterol dan tinggi serat, biji-bijian, serta buah-buahan dan
sayuran
5. Mengurangi asupan garam
6. Minum air putih yang cukup
7. Membatasi konsumsi alkohol
8. Tidak merokok
9. Mengurangi konsumsi obat pereda nyeri yang dijual bebas
10. Mengurangi stres
11. Olah raga secara teratu (Bare, 2019).

K. Cara Mengobati Ensefalopati Uremikum


Menurut (Asmadi, 2018) Pengobatan ensefalopati uremikum tergantung pada
tingkat keparahannya. Jika ensefalopati uremikum masih berada di tahap awal, pasie
n dapat mengatasinya dengan terapi pengganti ginjal, seperti hemodialisa dan dialisi
s peritoneal. Pada hemodialisa, darah dipompa keluar dari tubuh masuk ke mesin gin
jal buatan (dyalizer), kemudian dikembalikan ke tubuh melalui tabung yang menghub
ungkan pasien ke mesin tersebut.  Sementara, dialisis peritoneal adalah metode cuci d
arah yang memanfaatkan lapisan dalam perut pasien bertindak sebagai filter alami.
Sementara untuk tingkatan yang lebih parah, pasien perlu menjalani transplan
tasi ginjal. Gejala ensefalopati uremikum akan membaik seiring dengan perbaikan fu
ngsi ginjal. Meskipun dapat mengobati atau mengurangi risiko ensefalopati uremiku
m, tindakan medis seperti hemodialisa, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal jug
a memiliki efek samping yang perlu diperhatikan.
Efek samping dari hemodialisa antara lain:

 Tekanan darah rendah


 Kram otot
 Penggumpalan darah
 Anemia
 Sulit tidur

Efek samping dari dialisis peritoneal antara lain:

 Peritonitis, infeksi pada peritoneum (selaput yang melapisi dinding perut


bagian dalam) yang terjadi jika bakteri memasuki peritoneum selama
pemasangan atau penggunaan kateter
 Hernia, organ dalam tubuh mendesak keluar melalui jaringan otot
 Kadar gula darah dan kalium tinggi
 Penambahan berat badan
 Stres
 Cemas yang berlebih dan dapat mengarah ke arah depresi

Efek samping dari transplantasi ginjal antara lain:

 Penyempitan arteri yang menuju ke ginjal (stenosis arteri ginjal)


 Penggumpalan darah
 Infeksi
 Pendarahan
 Penambahan berat badan

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian pada kebutuhan eliminasi urine meliputi :
a. Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, No RM
dan diagnose medis
b. Data keluhan utama merupakan keluhan yang sering menjadi alasan pasien
untuk meminta bantuan kesehatan, seperti pada gangguan system
perkemihan, meliputi keluhan sistemik, antara lain gangguan fungsi ginjal
(sesak napas, edema, malaise, pucat, dan urimeria) atau demam disertai
mengigil akibat infeksi/urosepsis, dan keluhan local pada saluran
perkemihan antara lain nyeri akibat kelainan pada saluran perkemihan,
keluhan miksi (keluhan iritasi dan keluhan obstruksi), hematuria,
inkontinensia, disfungsi seksual, atau infertilitas. Keluhan utama pada
subjek retensi urin adalah sensasi penuh pada kandung kemih, dysuria/
anuria, dan distensi kandung kemih (Mutaqqin, 2018).

a. Pengkajian fisik

Dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan keseimbangan cairan dan


elektrolit. Pemeriksaan fisik meliputi:

a) Keadaan umum: iritabilitas, letargi, bingung, disorientasi

b) Berat badan Timbang berat badan setiap hari untuk mengetahui


risiko terkena gangguan cairan dan elektrolit. Dengan demikian,
retensi cairan dapat dideteksi lebih dini karena 2,5–5 kg cairan
tertahan di dalam tubuh sebelum muncul edema. Perubahan dapat
turun, naik, atau stabil.

c) Intake dan output cairan Intake cairan meliputi per oral, selang
NGT, dan parenteral. Output cairan meliputi urine, feses,
muntah, pengisapan gaster, drainage selang paska bedah, maupun
IWL. Apakah balance cairan seimbang, positif atau negatif. Kaji
volume, warna, dan konsentrasi urine
1. Mata
- Cekung, konjungtiva kering, air mata berkurang atau tidak ada
- Edema periorbital, papiledema

b) Tenggorokan dan mulut : Membran mukosa kering, lengket, bibir


pecah-pecah dan kering, saliva menurun, lidah di bagian longitudinal
mengerut
c) Sistem kardiovaskular:

- Inspeksi:

 Vena leher: JVP/jugularis vena pressur datar atau distensi

 Central venus pressure (CVP) abnormal

 Bagian tubuh yang tertekan, pengisian vena lambat

- Palpasi:

 Edema: lihat adanya pitting edema pada punggung, sakrum,


dan tungkai (pre tibia, maleolus medialis, punggung kaki)

 Denyut nadi: frekuensi, kekuatan

 Pengisian kapiler

- Auskultasi:

 Tekanan darah: ukur pada posisi tidur dan duduk, lihat


perbedaannya, stabil, meningkat, atau menurun.
 Bunyi jantung: adakah bunyi tambahan

d) Sistem pernapasan: dispnea, frekuensi, suara abnormal (creckles)

e) Sistem gastro intestinal:

- Inspeksi: abdomen cekung/distensi, muntah, diare

- Auskultasi: hiperperistaltik disertai diare, atau hipoperistaltik

i) Sistem ginjal: oliguria atau anuria, diuresis, berat jenis


urine meningkat
j) Sistem neuromuskular :

- Inspeksi: kram otot, tetani, koma, tremor

- Palpasi: hipotonisit, hipertonisitas

- Perkusi: refleks tendon dalam


k) Kulit:

- Suhu tubuh: meningkat/menurun

- Inspeksi: kering, kemerahan

- Palpasi: turgor kulit tidak elastik, kulit dingin dan lembab.


c. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebiasaan berkemih serta hambatannya.
Frekuensi berkemih tergantung pada kebiasaan dan kesempatan.
d. Pola berkemih
e. Volume urine menetukan berapa jumlah urine dalam waktu 24 jam
f. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih seperti berikut :
 Diet dan asupan (diet tinggi protein dan natrium)
 Gaya hidup
 Stress psikologis dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih
 Tingkat aktivitas
g. Keadaan urine meliputi :
 Warna
 Bau
 Berat jenis
 Kejernihan
 pH
 protein
 darah
 glukosa
h. Tanda klinis gangguan eliminasi urine seperti retensi urine, inkontinensia
urine

B. DIAGNOSA

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisiologis.

2. Retensi urine berhubungan dengan blok spingter dibuktikan dengan


mengalami sensasi penuh pada kandung kemih, dysuria/ anuria, distensi
kandung kemih, dribbling, inkontinensia berlebih, residu urine 150ml atau
lebih.
3. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan kemampuan
menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih (SDKI, 2018).

C. PERENCANAAN

No. SDKI SLKI SIKI


1. Nyeri akut Tingkat nyeri Manajemen nyeri
(D.0077) (L.08066) (I.08238)
Definisi : Setelah Tindakan :
pengalaman dilakukan Observasi
sensorik atau Tindakan 1. Identifikasi
emosional yang keperawatan 3x lokasi,
berkaitan dengan 24 jam karakteristik,
kerusakan diharapkan durasi, frekuensi,
jaringan actual pasien kualitas,
atau fungsional mempunyai intensitas nyeri
dengan onset kriteria hasil 2. Identifikasi skala
mendadak atau 1. Keluhan nyeri
lambat dan nyeri 3. identifikasi
berintensitas 2. Kesulitan respon nyeri non
ringan hingga tidur verbal
berat yang 3. Pola tidur 4. identifikasi faktor
berlangsung 4. Meringis yang
kurang dari 3 5. gelisah memperberat
bulan. nyeri
5. monitor efek
samping
penggunaan
analgetic

Terapeutik
1. berikan Teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri (kompres
hangat/ dingin)
2. fasilitasi istirahat
dan tidur

Edukasi
1. Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
2. Anjurkan
menggunakan
analgetic secara tepat.

Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian analgetik,
jika perlu

2. Retensi Urine Eliminasi urine Perawatan Keteter


(D.0050) (L.04034) urine (L.04164)
Definisi : Setelah Observasi :
pengosongan dilakukan 1. monitor
kandung kemih perencanaan kepatenan
yang tidak keperawatan kateter urine
lengkap selama 2x 2. monitor tanda dan
24jam, maka infeksi saluran
eliminasi urine kemih
membaik, 3. monitor tanda dan
dengan kriteria gejala obstruksi
hasil : aliran urine.
1. dysuria 4. Monitor
menurun kebocoran
2. mengompol kateter, selang
menurun. dan kantung
urine
5. Monitor input dan
output cairan
(Jumlah dan
karakteristik)

Terapeutik

1. Gunakan Teknik
aseptic selama
perawatan kateter
urine
2. Pastikan selang
kateter dan
kantung urine
terbebas dari
lipatan
3. Pastikan kantung
urine diletakkan
di bawah
ketinggian
kandung kemih
dan tidak dilantai
4. Lakukan
perawatan
perineal (perineal
hygiene) minimal
1 kali sehari
5. Kosongkan
kantung urine jika
kantung urine
telah berisi
setengahnya
6. Lepaskan kateter
urine sesuai
kebutuhan
7. Jaga privasi
selama
melakukan
tindakan.

Edukasi
1. Jelaskan tujuan,
manfaat, prosedur,
dan risiko sebelum
pemasangan kateter.

3. Gangguan Eliminasi urine Manajemen eliminasi


eliminasi urine (L.04034) urine (I.04152)
(D.0040) Setelah Tindakan :
Definisi : keadaan dilakukan Observasi
dimana seseorang Tindakan 1. Identifikasi tanda
individu keperawatan 3x dan gejala retensi
mengalami atau 24 jam atau inkontinensia
resiko diharapkan urine
ketidakmampuan pasien 2. Identifikasi faktor
untuk berkemih. mempunyai yang
kriteria hasil : menyebabkan
1. Sensasi retensi atau
berkemih inkontinensia
2. Desakan urine
berkemih 3. Monitor eliminasi
3. Berkemih urine (mis.
tidak tuntas Ferekuensi,
4. Mengontrol konsistensi,
frekuensi aroma, volume
BAK. dan warna).

Terapeutik
1. catat waktu-waktu
dan haluaran
berkemih
2. Batasi asupan
cairan, jika perlu
3. Ambil sampel
urine tengah
(midstream) atau
kultur

Edukasi
1. Ajarkan tanda dan
gejala infeksi saluran
kemih
2. Ajarkan mengukur
asupan cairan dan
haluaran urine
3. Ajarkan mengenali
tanda berkemih dan
waktu yang tepat
untuk berkemih
4. Anjurkan minum
yang cukup, jika tidak
ada kontraindikasi
5. Anjurkan
mengurangi minum
menjelang tidur

Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian obat
supositoria uretra, jika
perlu

D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat
melaksanakan rencana atau perencanaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Tindakan keperawatab adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimplementasikan perencanaan keperawatan. Tindakan-
tindakan pada perencanaan keperawatan terdiri atas observasi, terapeutik, edukasi
dan kolaborasi. Fase pertma merupakan fase persiapan yang mencakup
pengetahuan tentang validasi rencana, implementasi rencana, persiapan pasien dan
keluarga. Fase kedua merupakan puncak implementasi keperawatan yang
berorientasi pada tujuan. Fase ketiga merupakan tranmisi perawat dan pasien
setelah implementasi selesai dilakukan (Tim Pokja SIKI DPP, 2018).

E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan kebutuha eliminasi urine secara
umum dapat dinilai dari adanya kemampuan dalam :
1. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengn kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat,
kompresi pada kandung kemih atau kateter.
2. Menggosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurangnya distensi,
volume urine residu, dan lancarya kepatenan drainase
3. Mencegah infeksi/bebas dari infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya
infeksi, tidak ditemukan adanya dysuria, urgensi, frekuensi, dan rasa bakar
4. Mempertahankan integritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal karing
tanpa inflamasi dan kulit disekitar uterostomi kering
5. Memberikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya dysuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
6. Melakukan bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih disaat ingin berkemih.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2018). Teknik Prosediral Keperawatan : Konsep dan Aplikasi kebutuhan


Klien : Jakarta : Salemba Medika.
Alimul, azis. (2018). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia 2. Jakarta : Salemba
Medika.
Bare, Brenda. (2019). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Kozier, Erb, Berman, Synder. (2019). Buku Ajar Fundamental Edisi 9 Volume 2.
Jakarta : EGC.
Mubarak, Wahit Iqbal. (2017). Buku Ajar Kebuuhan Dasar Manusia : Teori dan
Aplikasi dalam Praktik ; Jakarta : EGC.
Potter & Perry. (2017). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 6. Jakarta: EGC
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatab Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia ; Definisi dan Tindakan
keperawatan Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI.( 2018). Standar Luara Keperawatan Indonesia : Definisi dan kriteria hasil
keperawatan Edisi 1, Jakarta :DPP PPNI.
Suharyanto, Toto. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Trans Info Medika.
Tarwoto & Warotonoh. (2020). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses
Keperawatan Edisi 6. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai