Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. N DENGAN RESPIRATORY DISORDER ATAS


INDIKASI POST LAPARASKOPI + CKD STAGE V DI RUANG ICU TULIP INSTALASI
RAWAT INTENSIF RSUP DR. M DJAMIL PADANG

Disusun Oleh :
Riyanti Irawan, S. Kep
Nim : 2214901070

Preceptor Akademik Preceptor Klinik

(Ns. Revi Neini Ikbal, S. Kep, M. Kep) ( Ns. Muhammad Riski, S.Kep )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TAHUN 2023
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Respiratory Disorder
1. Pengertian

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk

mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida

(PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau

perfusi. Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan

tekanan parsial normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas adalah

suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan

karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi

metabolisme tubuh. Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh

gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan

tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh. Kegagalan pernafasan adalah

pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia

(peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis. Ventilator adalah

suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses

ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi (Djojodibroto, 2019).

Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan

pertukaran oksigen dan karbondioksida yang dapat mengakibatkan gangguan

pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2009). Gagal napas merupakan

kondisi di mana kadar oksigen yang masuk ke dalam darah melalui paru sangat

rendah. Sementara itu, untuk bekerja dengan baik, organ tubuh seperti jantung

dan otak memerlukan darah yang kaya oksigen. Tak hanya itu, gagal napas juga

terjadi lantaran kadar karbon dioksida dalam darah lebih tinggi dari pada kadar

oksigen. Gagal napas terjadi karena adanya kegagalan dalam proses pertukaran

oksigen dan karbon dioksida di kantung-kantung udara kecil di paru-paru

(alveoli), atau ketidakmampuan paru-paru untuk melakukan tugas dalam proses

pertukaran gas. Pertukaran gas yang dimaksud adalah mengirim oksigen dari

udara yang dihirup ke dalam darah dan menyingkirkan karbon dioksida dari
darah ketika mengembuskan napas. Gagal napas juga dapat disebabkan oleh

gangguan pada pusat pernapasan di otak, atau pun kegagalan otot-otot

pernapasan untuk mengembangkan paru-paru (Djojodibroto, 2019).

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida

dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan

pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan

tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan

karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) (Djojodibroto, 2019).

2.        Klasifikasi

a.  Gagal nafas akut

Gagal nafas yang timbul pada pasien yang paru-parunya normal secara

struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. 

b.  Gagal nafas kronis

Terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik,

emfisema dan penyakit paru hitam (Ikawati, 2019).

3.        Etiologi
a.        Kelainan di luar paru-paru

1)      Penekanan pusat pernapasan

a)       Takar lajak obat (sedative, narkotik)

b)      Trauma atau infark selebral

c)       Poliomyelitis bulbar

d)      Ensefalitis

2)      Kelainan neuromuscular

a)       Trauma medulaspinalis servikalis

b)      Sindroma guilainbare

c)       Sklerosis amiotropik lateral

d)      Miastenia gravis
e)       Distrofi otot

3)      Kelainan Pleura dan Dinding Dada

a)       Cedera dada (fraktur iga multiple)

b)      Pneumotoraks tension

c)       Efusi leura

d)      Kifoskoliosis (paru-paru abnormal)

e)       Obesitas: sindrom Pickwick

b.        Kelainan Intrinsic Paru-Paru

1)      Kelainan Obstruksi Difus

a)       Emfisema, Bronchitis Kronis (PPOM)

b)       Asma, Status asmatikus

c)       Fibrosis kistik

2)      Kelainan Restriktif Difus

a)       Fibrosis interstisial akibat berbagai penyebab (seperti silica, debu batu barah)

b)      Sarkoidosis

c)       Scleroderma

d)      Edema paru-paru
e)       Kardiogenik

f)        Nonkardiogenik (ARDS)

g)      Atelektasis

h)      Pneumoni yang terkonsolidasi

3)      Kelainan Vaskuler Paru-Paru

a)       Emboli paru-paru (Ikawati, 2019).

4.        Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari gagal nafas sebagai berikut :

a.         Gagal nafas total

b.         Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan


c.         Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta tidak ada

pengembangan dada pada inspirasi

d.         Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan

e.         Gagal nafas parsial

f.          Terdenganr suara nafas tambahan gurgling, snoring, dan wheezing

g.         Ada retraksi dada

h.         Hiperkapnia, yaitu penurunan kesadaran (PCO2)

i.   Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)

(Djojodibroto, 2019).

5.        Patofisiologi

Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,

frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari 20x/mnt tindakan

yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi

tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal

10-20 ml/kg) (Djojodibroto, 2019).

Penyebab terpenting dari gagal nafas adalah ventilasi yang tidak adekuat

dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan

pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien
dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia

dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga

pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi

bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan

dengan efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik

opiod. Penemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas

akut (Djojodibroto, 2019).

6.        Komplikasi

a.         Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan ventilator

(seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).

b.         Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output, aritmia,


perikarditis dan infark miokard akut.

c.         Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare dan

pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.

d.         Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum tulang

memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit yang usianya kurang

dari normal).

e.         Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.

f.          Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.

g.         Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan pemberian

nutrisi enteral dan parenteral (Ikawati, 2019)

7.        Pemeriksaan Penunjang

a.         Laboratorium

1)        Analisis gas darah (pH meningkat, HCO3- meningkat, PaCO2 meningkat,

PaO2 menurun) dan kadar elektrolit (kalium).

2)        Pemeriksaan darah lengkap : anemia bisa menyebabkan hipoksia jaringan,

polisitemia bisa terjadi bila hipoksia tidak diobati dengan cepa.

3)        Fungsi ginjal dan hati: untuk mencari etiologi atau identifikasi komplikasi yang

berhubungan dengan gagal napas.


4)        Serum kreatininin kinase dan troponin1: untuk menyingkirkan infark miokard akut.

b.         Radiologi:

1)        Rontgen toraks membantu mengidentifikasi kemungkinan penyebab gagal nafas

seperti atelektasis dan pneumoni.

2)        EKG dan Ekokardiografi : Jika gagal napas akut disebabkan olehcardiac.

3)        Uji faal paru : sangat berguna untuk evaluasi gagal napas kronik (volume tidal <

500ml, FVC (kapasitas vital paksa) menurun,ventilasi semenit (Ve) menurun

(Ikawati, 2019).

8.        Penatalaksanaan Medis

a.         Pemberian O2 yang adekuat dengan meningkatkan fraksi O2 akan memperbaiki


PaO2, sampai sekitar  60-80 mmHg cukup untuk oksigenasi jaringan dan

pecegahan hipertensi pulmonal akibat hipoksemia yang terjadi. Pemberian

FiO2<40% menggunakan kanul nasal atau masker. Pemberian O 2 yang berlebihan

akan memperberat keadaan hiperkapnia.Menurunkan kebutuhan oksigen dengan

memperbaiki dan mengobati febris, agitasi, infeksi, sepsis dll usahakan Hb sekitar

10-12g/dl.

b.         Dapat digunakan tekanan positif  seperti CPAP, BiPAP, dan PEEP. Perbaiki

elektrolit, balance pH, barotrauma, infeksi dan komplikasi iatrogenik. Ganguan pH

dikoreksi pada hiperkapnia akut dengan asidosis, perbaiki ventilasi alveolar

dengan memberikan bantuan ventilasi mekanis, memasang dan mempertahankan

jalan nafas yang adekuat, mengatasi bronkospasme dan mengontrol gagal jantung,

demam dan sepsis.

c.         Atasi atau cegah terjadinya atelektasis, overload cairan, bronkospasme, sekret

trakeobronkial yang meningkat, dan infeksi.

d.         Kortikosteroid jangan digunakan secara rutin. Kortikosteroid Metilpretmisolon

bisa digunakan bersamaan dengan bronkodilator ketika terjadi bronkospasme dan

inflamasi. Ketika penggunaan IV kortikoteroid mempunyai  reaksi onset cepat.

Kortikosteroid dengan inhalasi memerlukan 4-5 hari untuk efek optimal terapy dan
tidak digunakan untuk gagal napas akut. Hal yang perlu diperhatikan dalam

penggunaan IV kortikosteroid, Monitor tingkat kalium yang memperburuk

hipokalemia yang disebabkan diuretik. Penggunaan jangka panjang menyebabkan

insufisiensi adrenalin.

e.         Perubahan posisi dari posisi tiduran menjadi posisi tegak meningkatkan volume

paru yang ekuivalan dengan 5-12 cm H2O PEEP.

f.          Drainase sekret trakeobronkial yang kental dilakukan dengan pemberian

mukolitik, hidrasi cukup, humidifikasi udara yang dihirup, perkusi, vibrasi dada

dan latihan batuk yang efektif.

g.         Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi.

h.         Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasme.


i.           Penggunaan intubasi dan ventilator apabila terjadi asidemia, ipoksemia dan

disfungsi sirkulasi yang prospektif (Ikawati, 2019).

B. Konsep Laparaskopi
1. Pengertian

Gambar 1.1 pembedahan laparaskopi


Laparoskopi adalah jenis prosedur bedah yang memungkinkan ahli bedah
untuk mengakses bagian dalam perut dan panggul tanpa harus membuat sayatan yang
besar di kulit. Prosedur ini juga dikenal sebagai operasi lubang kunci atau operasi
invasif minimal. Melalui tindakan laparoskopi dengan menggunakan alat laparoskop,
pasien bisa menghindari sayatan besar yang biasa dilakukan pada operasi
konvensional ( Jitowiyono, 2019).
Laparoskopi berbentuk seperti tabung kecil yang dilengkapi dengan kamera
yang berfungsi untuk menyampaikan gambar bagian dalam perut atau panggul ke
monitor di luar. Cara ini banyak dipilih karena memiliki beberapa keuntungan. Di
antaranya adalah waktu pemulihan lebih cepat, mengurangi rasa sakit dan perdarahan
setelah operasi, dan mencegah timbulnya jaringan parut ( Jitowiyono, 2019).
2. Indikasi
a. Indikasi Diagnostik
1) Diagnosis diferensiasi patologi genetalia interna
2) Infertilitas primer dan atau sekunder
3) Second look operation,apabila diperlukan tindakan berdasarkan operasi
sebelumnya
4) Mencari dan mengangkat translokasi AKDR.
5) Pemantauan pada saat dilakukan tindakan histeroskopi
b. Indikasi terapi
1) Kistektomi ,miomektomidan histerektomi
2) Hemostasis perdarahan  pada perforasi uterus akibat tindakan sebelumnya.
c. Indikasi operatif terhadap adneksa
1) Fimbrioplasti ,salpingostomi,salpingolisis
2) Koagulasi lesi endometriosis.
3) Aspirasi cairan dari suatu konglomerasi untuk diagnostik yang terapeutik.
4) Salpingektomi pada kehamilan ektopik
5) Kontrasepsi mantap (oklusi tuba)
6) Rekontruksi tuba atau reanastromosis tuba pascatubectomi
d. Indikasi operatif terhadap ovarium
1) Pungsi folikel matang pada program fertilisasi in-vitro
2) Biopsi ovarium pada keadaan tertentu( kelainan kromosom atau bawaan ,
curiga keganasan).
3) Kistektomi antara lain ada kista coklat( endometrioma), kista dermoid, dan
kista ovarium lain
4) Ovariolisis, pada perlekatan periovarium
e. Indikasi operatif terhadap organ dalam rongga pelvis
Lisis perlekatan oleh omentum dan usus (Helmi, 2018).
3. Kontraidikasi
a. Kontraindikasi absolut
1) Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukannya anestesi
2) Diatese hemoragik sehingga mengganggu fungsi pembekuan darah
3) Peritonitis akut terutama yang mengenai abdomen bagian atas, disertai
dengan distensi dinding perut ,sebab kelainan ini merupakan kontraindikasi
untuk melakukan pneumoperitonium.
b. kontraindikasi relative
1) Tumor abdomen yang sangat besar,sehingga sulit untuk memasukkan
trokar kedalam rongga pelvis oleh karena trokar dapat melukai tumor
tersebut
2) Hernia abdominalis, dikhawatirkan dapat melukai usus pada saat
memasukkan trokar ke dalam rongga pelvis, atau memperberat hernia pada
saat dilakukan pneumoperitonium.kini kekhawatiran ini dapat di hilangkan
dengan modifikasi alat pneumoperitonium otomatic
Kelainan atau insufisiensi paru paru, jantung,hepar,atau kelainan pembuluh
darah vena porta,goiter atau kelainan metabolisme lain yang sulit menyerap
gas CO2 (Helmi, 2018).
4. Komplikasi
Meski laparoskopi relatif aman, prosedur ini tetap memiliki beberapa efek
samping. Sekitar 1–2 persen pasien yang menjalani laparoskopi mengalami
komplikasi ringan berupa infeksi, mual, muntah, dan memar. Selain itu, ada juga
komplikasi lain yang dapat terjadi setelah menjalani bedah laparoskopi, di
antaranya:
a. Kerusakan pembuluh darah
b. Reaksi alergi berat terhadap obat bius
c. Penggumpalan di dalam pembuluh darah, seperti deep vein thrombosis (DVT)
atau emboli paru
d. Kerusakan pada organ, seperti usus atau kandung kemih
e. Masuknya gas karbondioksida ke dalam pembuluh darah sehingga
mengakibatkan emboli
Tanda gejala komplikasi post op laparascopi yaitu :
a. Demam lebih dari 38°C
b. Menggigil
c. Mual dan muntah yang terus-menerus
d. Rasa nyeri yang memburuk atau makin parah
e. Kemerahan, nyeri, bengkak, berdarah, atau keluar cairan berbau di area bekas
sayatan
f. Terdapat keputihan yang tidak normal atau perdarahan pada vagina
g. Nyeri saat buang air kecil (Helmi,2018).
5. Prosedur Laparoskopi Operatif
Tiga atau lebih sayatan kecil (5-10 mm) dibuat di perut untuk
memungkinkan port akses untuk dimasukkan. Para laparoskop dan instrumen
bedah yang akan dimasukkan melalui port ini. Ahli bedah kemudian
menggunakan laparoskopi, yang mentransmisikan gambar organ-organ perut
pada monitor video, yang memungkinkan operasi untuk dilakukan. Operasi
Laparoskopi usus dapat digunakan untuk melakukan operasi berikut:
a. Proctosigmoidectomy. Operasi pengangkatan bagian rektum dan kolon
sigmoid yang sakit. Digunakan untuk mengobati kanker dan pertumbuhan
non-kanker atau polip, dan komplikasi diverticulitis.
b. Right colectomy atau Ileocolectomy. Selama kolektomi kanan, sisi kanan usus
besar akan dibuang. Selama ileocolectomy, segmen terakhir dari usus kecil -
yang melekat pada sisi kanan usus besar, yang disebut ileum, juga dibuang.
Digunakan untuk mengangkat kanker, pertumbuhan non-kanker atau polip,
dan peradangan dari penyakit Crohn.
c. Total abdominal colectomy. Operasi pengangkatan usus besar. Digunakan
untuk mengobati radang borok usus besar, penyakit Crohn, poliposis familial
dan mungkin sembelit.
d. Fecal diversion. Bedah pembuatan saluran baik sementara atau
permanentileostomy (pembukaan antara permukaan kulit dan usus kecil) atau
(kolostomi (pembukaan antara permukaan kulit dan usus besar). Digunakan
untuk mengobati masalah dubur dan dubur kompleks, termasuk kontrol buang
air besar yang buruk .
e. Abdominoperineal resection. Operasi pengangkatan anus, rektum dan kolon
sigmoid.Digunakan untuk membuang kanker di rektum bawah atau di anus,
dekat dengan sfingter (kontrol) otot.
f. Rectopexy. Suatu prosedur dimana jahitan digunakan untuk mengamankan
rektum pada posisi yang tepat. Digunakan untuk memperbaiki prolaps rektum.
g. Total proctocolectomy. Ini adalah operasi usus paling luas dilakukan dan
melibatkan pembuangan rektum dan usus besar. Jika ahli bedah dapat
meninggalkan anus dan bekerja dengan benar, maka kadang-kadang kantong
ileum dapat diciptakan sehingga Anda bisa pergi ke kamar mandi. Sebuah
kantung ileum adalah ruang operasi yang dibuat terdiri dari bagian terendah
dari usus kecil (ileum). Namun, kadang-kadang, suatu ileostomy permanen
(pembukaan antara permukaan kulit dan usus kecil) diperlukan terutama jika
anus harus dibuang, lemah, atau telah rusak (Helmi, 2018).
6. Jenis-Jenis Laparoskopy
a. Laparoskopi histerektomi
Jenis Histerektomi yang dilakukan oleh tabung optik standar ramping
yang juga dikenal sebagai laparoscopes disebuthisterektomi laparoskopi. Jenis
pengobatan histerektomi terdiri dari sedikit waktu untuk pemulihan dan durasi
dari Operasi daripada jenis lain dari operasi yang dilakukan. Hal ini juga
umumnya disukai oleh sebagian besar perempuan sebagai jenis pengobatan
karena tidak berakhir memberi Anda banyak bekas luka seperti metode operasi
lain (jitowiyono, 2019).
Dasar dari histerektomi laparoskopi mulai dengan sebuah celah kecil di
bawah pusar ditarik wanita. Dalam irisan ini, alat laparoskopi dikirim masuk
Para dokter yang melakukan operasi kemudian melihat melalui
daerah Panggul wanita itu dan memeriksanya dengan penuh perhatian dengan
instrumen. Selama pemeriksaan ini dokter membuat keputusan di mana untuk
melakukan pemotongan lebih tepatnya dengan instrumen ramping.
Menggunakan histerektomi laparoskopi sebagai panduan
operasi,bedah menghapus ini rahim dari bagian dalam tubuh
wanita. rahim kemudian dibedah menjadi dua bagian. Bagian-bagian yang
membedah mengukur ukuran yang sesuai untuk menghapus mereka dari perut,
itu karena fakta bahwa sangat sedikit jahitan yang diperlukan dalam rangka
untuk menutup sayatan dibuat dalam operasi ini.
b. Miomektomi
Jika miom tersebut bertangkai maka tangkai tersebut dengan mudah
dapat di insisi. Untuk jenis intramural, resiko perdarahan sangat besar, kadang
diperlukan injeksi vasopressin untuk mempertahankan hemostasis. Jejak bekas
miomektomi harus dijahit, ini sesuatu yang mutlak. Cara pengeluaran massa
miom, apabila tersedia alat morselator maka dengan mudah miom dapat
dikeluarkan.
Saat ini laparoskopi tidak terbukti lebih baik dari laparotomi untuk
pengobatan menoragia atau infertilitas. Sebagai tambahan, ada kekhawatiran
untuk resiko uterus rupture selama kehamilan lebih besar pada miomektomi
dengan laparoskopi daripada laparotomi. Namun, pada tabel dibawah ini
terlihat bahwa miomektomi perlaparoskopi relative lebih menguntungkan
daripada miomektomi perlaparotomi (jitowiyono, 2019).

C. Chronic Kidney disease (CKD)


1. Pengertian
Gagal ginjal adalah ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dlam keadaan asupan
makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu kronik
dan akut (Kinta, 2017).
Gagal Ginjal Kronik merupakan suatu kondisi dimana organ ginjal sudah
tidak mampu mengangkut sampah sisa metabolik tubuh berupa bahan yang
biasanya dieliminasi melalui urin dan menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Kinta, 2017)

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara
metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal kronis mempunyai
karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan
pengobatan berupa, transplantasi ginjal, dialysis peritoneal, hemodialysis dan
rawat jalan dalam waktu yang lama (Kinta, 2017).

2. Patofisiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti gangguan
metabolic (DM), infeksi (Pielonefritis), Obstruksi Traktus Urinarius, Gangguan
Imunologis, Hipertensi, Gangguan tubulus primer (nefrotoksin) dan Gangguan
kongenital yang menyebabkan GFR menurun (Kinta,2017).
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagai nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorbsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron-nefron rusak. Beban bahanyang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa di reabsorbsi berakibat dieresis osmotic disertai poliuri dan haus
(Mutaqin & Arif, 2019).

Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak timbul


disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah
hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian lebih rendah itu
(Kinta,2017).

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolism protein (yang normalnya


diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat (Mutaqin & Arif, 2019).
3. Etiologi
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju filtrasi
glomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate (GFR).
Penyebab gagal ginjal kronik menurut Kinta (2017) :
1. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan iskemik
ginjal dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering adalah Aterosklerosis
pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik progresif pada pembuluh
darah. Hyperplasia fibromaskular pada satu atau lebih artieri besar yang juga
menimbulkan sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang
disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak di obati, dikarakteristikkan oleh
penebalan, hilangnya elastistisitas system, perubahan darah ginjal mengakibatkan
penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis : seperti glomerulonephritis
3. Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang berasal
dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal
melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascenden dari traktus urinarius
bagiab bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan
irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
4. Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat
sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan
disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis yang disebabkan oleh
endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius
merusak membrane glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontstriksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan kondisi
keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan
didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat
konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.

F. Tanda dan Gejala


Menurut perjalanan klinisnya Mutaqin & Arif (2019):
1. Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat menurun
hingga 25% dari normal.
2. Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan nokturia,
GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan BUN sedikit
meningkat diatas normal.
3. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma), yang ditandai
dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum kreatinin dan BUN meningkat
tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang komplek.

G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan
mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut (Toto, 2018) :
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius,
seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas
biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara
bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan
luka. Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu metode terpi yang
bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal yaitu membuang zat-zat sisa dan
kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah
sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga
kelangsungan hidup individu, maka perlu dilakukan terapi. Selama ini dikenal ada
2 jenis dialisis :
(1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Hemodialisis atau HD adalah jenis dialisis dengan menggunakan mesin
dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada proses ini, darah dipompa
keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin dialiser,
darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh
dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis), lalu setelah darah selesai di
bersihkan, darah

dialirkan kembali kedalam tubuh. Proses ini dilakukan 1-3 kali seminggu di
rumah salit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam.
(2) Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut)
Terapi kedua adalah dialisis peritoneal untuk metode cuci darah dengan
bantuan membrane peritoneum (selaput rongga perut). Jadi, darah tidak perlu
dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh mesin dialisis.
a) Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus diingat adalah
jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium,
pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
b) Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi factor defisiensi, kemudian
mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian
gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi darah
hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada infusiensi
coroner.
c) Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium
Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq
natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat
diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
d) Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilatator dilakukan.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati
karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
e) Transplantasi ginjal
Dengan pencakokkan ginjal yang sehat ke pasien gagal ginjal kronik, maka
seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
Asuhan Keperawatan Teoritis
1. Pengkajian
Berdasarkan pendapat dari para ahli tentang tahapan dalam proses keperawatan,
tahap dimulai dengan: tahap pengkajian, tahap diagnosa keperawatan, tahap
perencanaan, tahap pelaksanaan serta tahap evaluasi. (Lukman, 2018).
2. Pengkajian Primary Survey
Pengkajian yang perlu dilakukan yakni pengkajian primer yang meliputi
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Pengkajian primer yang
dilakukan pada pasien dengan cedera kepala menurut Lukman (2018) sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut :
a. Airway
1) Mengkaji bagaimana kondisi jalan nafas pasien dimana dilakukan dengan
memeriksa apakah adanya obstruksi jalan nafas akibat dari adanya benda asing,
oedema, darah, muntahan, lidah, cairan. Jika pasien saat diberikan pertolongan
tidak responsif, stabilkan kepala dan leher dan gunakan manuver dorong rahang
untuk memastikan jalan napas terbuka. Jika tidak dicurigai adanya cedera
tulang belakang, gunakan head tilt, chin lift manuver.

2) Mengkaji bagaimana suara nafas pasien dan amati apakah terdapat snoring,
gurgling, maupun crowning.
b. Breathing
1) Mengkaji apakah pasien dapat bernafas dengan spontan atau tidak
2) Memperhatikan gerakan dada pasien apakah simetris atau tidak
3) Mengkaji irama nafas apakah cepat, dangkal atau normal
4) Mengkaji keteraturan pola nafas
5) Mendengarkan, mengamati, serta mengkaji suara paru apakah terdapat
wheezing, vesikuler, maupun ronchi
6) Mengkaji apakah pasien mengalami sesak nafas
7) Mengkaji respiratory rate pasien
c. Circulation
1) Mengkaji nadi pasien apakah teraba atau tidak, jika teraba hitung berapa denyut
nadi permenit
2) Mengkaji tekanan darah pasien
3) Mengamati apakah pasien pucat atau tidak
4) Menghitung CRT pasien perdetik
5) Menghitung suhu tubuh pasien dan rasakan akral pasien apakah teraba dingin
atau hangat
6) Mengamati apakah terdapat perdarahan pada pasien, dan kaji lokasinya serta
jumlah perdarahan
7) Mengkaji turgor pasien
8) Mengkaji adanya diaphoresis
9) Mengkaji riwayat kehilangan cairan berlebihan
d. Disability
1) Mengkaji tingkat kesadaran pasien
2) Mengkaji nilai GCS pasien yang meliputi mata, verbal, dan motoriknya
3) Mengkaji pupil pasien apakah isokor, unisokor, pinpoint, atau medriasis
4) Mengkaji adanya reflek cahaya
e. Esposure
Mengkaji adanya cedera lain yang dapat mempengaruhi kondisi pasien, seperti ada
tidaknya laserasi, edema dan lainnya
f. Foley Chatete
Pengkajian meliputi adanya komplikasi kecurigaan ruptur uretra jika ada tidak
dianjurkan untuk pemasangan kateter, kateter dipasang untuk memantau produksi
urin yang keluar.
g. Gastric tube
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi
resiko muntah.
h. Monitor EKG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat kondisi irama dan denyut jantung.
3. Pengkajian Secondary
Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat trauma
pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai.
a. Identitas pasien
b. Riwayat Penyakit
1) Keluhan Utama
Sering menjadi alasan pasien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak badan, gelisah, tidak dapat berkomunikasi, dan
penurunan tingkat kesadaran.
2) Riwayat Penyakit
Adanya penurunan kesadaran, gelisah.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala. Pengkajian pemakaian obat- obat yang
sering digunakan pasien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia,
penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera.
c. Pengkajian 11 pola fungsional Gordon
1) Pola Persepsi-Manajer Kesehatan
Merupakan persepsi pasien tentang status kesehatan umum.
Mengambarkan persepsi keluarga terhadap kesehatan dan upaya preventif
kesehatan lingkungan.
2) Pola Nutrisi
Pada pola ini, masukan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit,Asupan
makanan (kebiasaan makan,jenis dan banyaknya, kesukaan dan pantangan,
kemamouan mengunyah,menelan, makan sendiri gigi,membran mukosa nafsu
makan, pola makan, diet, perubahan Bb dalam 6 bulan terakhir, kesulitan
diambil, mual / muntah, Kebutuhan jumlah zat gizi, masalah / manfaat kulit,
makanan kesukaan. Asupan cairan (banyaknya perhari, mual dan muntah)
3) Pola Eliminasi
Pada penderita biasanya tidak terjadi perubahan pola pembuangan dan
persepsi klien. BAB ( kaji pola defiksi, jumlah, karakteristik,
frekuensi/hari ,warna,bau dan faktor yang mempengaruhi BAB). BAK ( kaji
pola miksi,jumlah jumlah, karakteristik, frekuensi/hari ,warna,,bau dan faktor
yang mempengaruhi pola eliminasi seperti diit,obat,tindakan.
4) Pola Latihan-Aktivitas
Pola latihan, aktifitas, bersenang-senang, dan rekreasi dan kegiatan sehari-
hari, mobilisasi (kaji massa/tonus otot,tremor,rentang gerak,kekuatan,
deformitas). Faktor yang mempengaruhi gerakan dan latihan sakit,pembatasan,
tindakan dan pengaturan posisi.
5) Pola Kognitif Perseptual
Keadekuatan alat sensori, persepsi nyeri, fungsional kognitif dan
observasi tingkat nyeri lokasi, intensitas, frekuensi kualitas dan durasi (PQRST)
6) Pola Istirahat - Tidur
Pola tidur, periode istirahat-relaksasi selama 24 jam serta kualitas dan
kuantitas dan persepasi tentang energi. Jumlah jam tidur pada siang dan malam,
masalah selama tidur, insomnia atau mimpi buruk, penggunaan obat, mengeluh
letih. post operasi biasanya sulit untuk tidur dan beristirahat karena merasa tidak
nyaman.
7) Pola Konsep Diri-persepsi Diri
Pola ini menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap
kemampuan. Kemampuan konsep diri antara lain gambaran diri, harga diri,
peran, identitas dan ide diri sendiri. Pada umumnya memecahkan gangguan
konsep diri, merasa cemas dan takut jika ditinggal pasangan.Merasa tidak
berdaya dan berguna lagi .
8) Pola Peran dan Hubungan
Pola ini menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran terbadap
anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal pekerjaan, tempat tinggal, tidak
punya rumah, tingkah laku yang pasif / agresif terhadap orang lain, masalah
keuangan dll.
9) Pola Reproduksi / Seksual
Pada pola ini menggambarkan kepuasan dan ketidak puasan yang
dirasakan dgn seksualtas atau masalah yang aktual atau dirasakan dengan
seksualitas, dampak sakit berpikir terhadap seksualitas, riwayat haid,
pemeriksaan mamae riwayat penyakit hub seks, pemeriksaan genital.
10) Pola Pertahanan Diri (Coping-Toleransi Stres)
Menggambarkan kemampuan untuk menanngani stres dan penggunaan
system pendukung. Penggunaan obat untuk menangani stres, Interaksi dengan
orang terdekat, menangis, kontak mata, metode koping yang biasa digunakan,
efek penyakit terhadap tingkat stres.
11) Pola Keyakinan Dan Nilai
Menggambarkan dan jelaskan pola nilai, keyakinan termasuk spiritual,
menerangkan sikup dan keyakinan dalam melakuanakan agama yang dipeluk
dan konsekuensinya. Agama, kegiatan keagamaan dan budaya, berbagi dengan
orang lain, membuktikan nilai dan kepercayaan, mencari bantuan spiritual dan
pantangan dalam agama selama sakit.
d. Pemeriksaan Fisik
Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
b) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
c) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
d) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
e) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
f) Kepala
Bersih atau tidak, karakteristik rambut, simetris, ada nyeri kepala atau
tidak.
g) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
h) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
i) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan).
j) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
k) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
l) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
m)Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
n) Paru
- Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
- Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
- Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
- Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
o) Jantung
- Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
p) Abdomen
- Inspeksi
Adanya bekas post laparascopy, bentuk datar/tidak, simetris, ada
hernia/tidak.
- Palpasi
Turgor kulit baik/tidak, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
- Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
- Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
q) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB
(Setiyohadi, 2018).

4. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (infeksi)
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan infasif
d. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (SDKI, 2018).

5. Rencana Asuhan Keperawatan


SDKI SLKI SIKI
Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas
tidak efektif keperawatan 3 x 24 jam, maka Observasi
diharapkan kebersihan jalan a. Monitor pola napas
napas meningkat dengan (frekuensi, kedalaman,
kriteria hasil : usaha napas)
a. Produksi sputum b. Monitor bunyi napas
menurun tambahan (mis. gurgling,
b. Whezing menurun mengi, wheezing, ronkhi
c. Frekuensi napas kering)
membaik c. Monitor sputum (jumlah,
d. Pola napas membaik warna, aroma)
Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan head tilt
dan chin lift (jaw thrust)
jika curiga trauma servikal
b. Posisikan semi fowler atau
fowler
c. Berikan minum hangat
d. Lakukan penghisapan
lender kurang dari 15 detik
e. Berikan oksigen
Edukasi
a. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik
Terapi Oksigen
Observasi
a. Monitor kecepatan aliran
oksigen
b. Monitor posisi alat terapi
oksigen
c. Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
d. Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen
Terapeutik
a. Bersihkan secret pada mulut,
hidung dan trakea, jika perlu
b. Pertahankan kepatenan jalan
napas
c. Siapkan dan atur peralatan
pemberian oksigen
d. Berikan oksigen tambahan,
jika perlu

Kolaborasi
a. Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
Kolaborasi penggunaan oksigen
saat aktivitas dan atau tidur

Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri


keperawatan 3 x 24 jam, maka Observasi
diharapkan tingkat nyeri a. Identifikasi lokasi,
berkurang dengan karakteristik, durasi,
kriteria hasil: frekuensi, kualitas,
a) nyeri menurun intensitas nyeri
b) Tidak ada mengerang b. Identifikasi skala nyeri
dan menangis c. Identifikasi respon nyeri
c) Tidak ada menyeringit non verbal
d) Tidak ada ketegangan d. Identifikasi faktor yang
otot memperberat dan
e) nafsu makan meningkat memperingan nyeri
f) Tidak ada Ekspresi e. Identifikasi pengetahuan
wajah nyeri dan dan keyakinan tentang
nyeri
f. Monitor efek sampimg
penggunaan analgetik
Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
b. Kontrol lingkungan yang
mempeberat rasa nyeri
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

Resiko infeksi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi


keperawatan selama 3x24 jam Observasi
maka diharapkan tingkat a. karakteristik luka
infeksi menurun dengan b. monitor tanda-tanda infeksi
kriteria hasil: Terapeutik
1. bengkak menurun a. lepaskan balutan dan plester
2. demam menurun secara perlahan
3. kemerahan menurun b. bersihkan dengan cairan
4. nyeri menurun NaCl
c. bersihkan jaringan nekrotik
d. berikan salep sesuai resep
dokter
e. pasang balutan sesuai luka
Edukasi
a. jelaskan tanda dan gejal
infeksi
b. ajarkan perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
a. kolaborasi pemberian
analgetik

Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia


keperawatan diharapkan terjadi
Observasi
keseimbangan cairan dengan
a. Periksa tanda dan gejala
kriteria hasil : hipovolemia
a. Tekanan Darah membaik b. Monitor intake dan output
b. Keseimbangan intake dan cairan
output membaik Terapeutik
c. Berat badan stabil a. Hitung kebutuhan cairan
d. Turgor Kulit membaik b. Berikan asupan cairan oral
Edukasi
a. Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral
b. Anjurkan menghindari
perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian IV
isotonis (mis. NaCl, RL)
b. Kolaborasi pemberian IV
hipotonis (mis. Glukosa
2,5%, NaCl 0,4%)
c. Kolaborasi pemberian
cairan koloid (mis.
Albumin, plasmanate)
d. Kolaborasi pemberian
produk darah
Sumber : (SIKI, 2018)
6. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalamproses
penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang
sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Setiyohadi, 2018).
7. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu :
a. Evaluasi formatif. Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi
dilakukan sampai dengan tujuan tercapai
b. Evaluasi somatif , merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini
menggunakan SOAP (Setiyohadi, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Djojodibroto, R.D. (2019). Respirologi (Respiratory Medicine). Cetakan I, Hal 120, Penerbit
Buku Kedokteran. Jakarta : EGC

Helmi, Zairin N. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Post Operatif Apendiktomy
Et Cause Appendisitis Kronic. Jakarta: Salemba medika

Ikawati, Z. (2019). Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Jogjakarta :


Bursa Ilmu. Hal 159.

Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. (2019). Asuhan Keperawatan Post Operasi


Laparaskopi. Yogyakarta : Nuha Medika

Kinta. (2017). Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: Salemba
Emban Patria
Muttaqin, Arif, Kumala, Sari. (2019). Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika
PPNI. (2018 ). Standar Diagnostik Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI. (2018 ). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI. (2018 ). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

Toto, Abdul. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Sistem Perkemihan. Jakarta :


Trans Info Media
WOC

Pelepasan dari
fibrinopeptida dan Trauma tipe ll
Henti asam amino pheocytes
simpatetik
hipotalamus
Penurunan
Trauma endothelium
surfactan
Vasokontriksi paru dan epithelium
paru alveolar
Atelektasis
Perubahan volume Peningkatan
darah menuju sirkulasi permeabilitas
paru
Fungsi Broncho
Peningkatan tekanan residu spasme
hidrostatik kapiler Edemaparu kapasitas
pulmonal menurun

Kelebihan Penurunanpenge
Pemenuhan
volume cairan mbangan paru
paruberkur
ang
Hipoksemia
Cairan menumpuk di
intestinium
Abnormalitas
ventilasi -
Mencairkan Peningkatankerj perfusi
sistem surfaktan apernapasan

Ketidakefektifan
Gangguan
pola nafas
Ronchi pertukaran
Infiltrat
gas
alveolar

Ketidakefektifa
n bersihan jalan Woc Respiratory Disorder
nafas
Sumber : Djojodibroto, 2019
Woc CKD
Sumber : Kinta, 2017
Woc Laparaskopi
Sumber : Jitowiyono, 2019

Anda mungkin juga menyukai