PENDAHULUAN
TINJAUAN TEORI
1. Faktor genetik
Sebuah kecenderungan genetik telah disarankan oleh peningkatan 8 kali lipat
dalam kejadian hipospadia antara kembar monozigot dibandingkan dengan
tunggal.
Kecenderungan keluarga telah dicatat dengan 1. Prevalensi hipospadia pada
anak laki-laki nenek moyang dengan hipospadia telah dilaporkan sebesar 8%,
dan 14% dari anak saudara dengan hipospadia juga terpengaruh (Muttaqin &
Sari, 2011).
2. Faktor endokrin
Penurunan androgen atau ketidakmampuan untuk menggunakan androgen
dapat mengakibatkan hipospadia. Dalam sebuah laporan tahun 1997 oleh
Aaronson dkk., 66 % dari anak laki-laki dengan hipospadia ringan dan 40 %
dengan hipospadia berat ditemukan memiliki cacat dalam biosintesis
testoteron testis.
Mutasi alfa reductase enzim-5, yang mengubah testoteron (T) menjadi
dihidrotestosteron (DHT), secara signifikan telah dihubungkan dengan kondisi
hipospadia. Sebuah laporan tahun 1999 oleh Silver dkk. Ditemukan hampir
10 % dari anak laki-laki dengan hipospadia terisolasi memiliki setidaknya satu
alel terpengaruh dengan alpha reductase mutasi -5 (Muttaqin & Sari, 2011).
3. Faktor lingkungan
Gangguan endokrin oleh agen lingkungan adalah mendapatkan popularitas
sebagai etiologi mungkin utnuk hipospadia dan sebagai penjelasan atas
kejadian yang semakin menigkat.
Estrogen telah telibat dalam pengembangan penis abnormal pada hewan.
Lingkungan dengan aktifitas estrogenik signifikan di mana-mana dalam
masyarakat industri dan tertelan sebagai pestisida pada buah-buahan dan
sayuran, tanaman estrogen endogen, dalam susu dari sapi perah laktasi hamil,
dari lapisan plastik di kaleng logam, dan obat-obatan.
Sebuah studi oleh Hadziselimovic tahun 2000 dijelaskan peningkatan
konsentrasi estrdiol dalam syncytiotrophoblast basal palsenta anak laki-laki
dengan testis yang tidak turun. Testis tidak turun dan hipopasdia telah
dihubungkan, tetapi peningkatan konsentrasi estradiol belum terlibat dalam
hipospadia (Muttaqin & Sari, 2011)
2.2.4 Patofisiologi
Hipospadi merupakan suatu cacat bawaaan yang diperkirakan terjadi pada
masa embrio selama pengembangan uretra, dari kehamilan 8-20 minggu.
Perkembangan terjadinya fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak
lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada
berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit
pergeseran pada glans, kemudian di sepanjang batang penis hingga akhirnya di
perineum.
Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi
dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi
ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a. Anak
1) Gangguan eliminasi urine b.d bentuk anatomis uretra eksternal yang
abnormal
2) Nyeri b.d iritasi kulit akibat ruam kulit
3) Resiko kerusakan integritas kulit b.d statis urine
4) Resiko Infeksi b.d pengeluarn urine yang tidak sempurna
b. Orang Tua
1) Ansietas b.d bentuk abnormal penis saat anak BAK
2) Kurang pengetahuan b.d hipospadia/epispadia pada anak
Hospitalisasi (MRS)
a. Anak
1) Ketakutan b.d prosedur tindakan
2) Ansietas b.d lingkungan asing dan prosedur tindakan
3) Kehilangan control b.d hospitalisasi
b. Orang Tua
1) Ansietas b.d perubahan lingkungan dan prosedur tindakan pada anak.
2) Kurang pengetahuan b.d prosedur tindakan dan sistem pelayanan RS
Post Operasi
a. Anak
1) Resiko cidera b.d prosedur pembedahan, anesthesia
2) Nyeri b.d insisi bedah
3) Resiko komplikasi b.d prosedur pembedahan
b. Orang Tua
1) Ansietas b.d prosedur pembedahan dan hasil operasi anak
2) Kurang pengetahuan b.d prosedur pembedahan dan hasil operasi anak
WEB of CAUTATION (WOC)
HIPOSPADIA
Pada Ortu :
Kelainan meatus uretra
posterior - Ansietas
- Kurang
Pancaran urin tidak Pengetahuan
sempurna
Urin Menetes Resiko Infeksi
Resiko Kerusakan
Integritas Kulit
Ruam Kulit
Nyeri
Tindakan Uretroplasty
Pembedahan
Resiko Infeksi
Hospitalisasi / Pre Op
- Ketakutan - Ansietas
- Ansietas - Kurang
- Kehilangan Pengetahuan
Kontrol
2.3 Konsep Dasar tentang Epispadia
2.3.1 Definisi
Epispadias merupakan kelainan kongiental berupa tidak adanya dinding uretra
bagian atas. Kelainan ini terjadi pada laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih
sering pada laki-laki. Ditandai dengan terdapat nya lubang uretra di suatu tempat
pada permukaan dorsum penis (Dorland, 2011).
Epispadia merupakan suatu kelainan bawaan pada bayi laki-laki, dimana lubang
uretra terdapat di bagian punggung penis atau uretra tidak berbentuk tabung tetapi
terbuka. Epispadias adalah kelainan bawaan dari alat kelamin eksternal dan bawah
saluran kemih akibat perkembangan yang tidak lengkap dari permukaan dorsal penis
atau klitoris dan dinding atas dari uretra yang karena itu terbuka. Akibatnya, meatus
uretra eksternal memiliki lokasi yang tidak biasa di titik variabel antara leher
kandung kemih dan puncak kepala penis.
2.3.2 Epidemiologi
Menurut Nurhamsyah (2012), epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu
meatus uretra terletak pada permukaan dorsal penis. Insiden epispadia yang lengkap
sekitar 1 dalam 120.000 laki-laki. Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi
juga disertai anomali saluran kemih. Inkontinensia urine timbul pada epispadia
penopubis (95%) dan penis (75%) karena perkembangan yang salah dari spingter
urinarius.
2.3.3 Etiologi
Penyebab dari epispadia sebagai berikut:
Pada laki-laki ada epispadia sempurna dengan skrotum yang lebar dan dangkal,
testis yang tidak turun dan hernia inguinalis biasa terjadi. Pada wanita epispadia
dengan duplikasi klitoris dan labia yang terpisah lebar, anus berpindah tempat ke
arah anterior pada kedua jenis kelamin, dan mungkin terjadi prolaps rekti. Dapat
terjadi komplikasi pseudohermatroditisme merupakan laki-laki sejati tetapi tidak
mendapat cukup androgen atau memberi respon kurang baik terhadap apa yang
diterimanya, sebagai akibat genitalia eksternal laki-lakinya tidak berkembang
dengan sempurna, dan anak tumbuh seperti halnya anak wanita serta kesukaran saat
berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa (Hamilton. Persis:
260).
Gangguan
citra tubuh Gangguan
Pembedahan
eliminasi urin
Pre-OP Post-OP
Kurangnya info
Hospitalisasi Luka insisi Perawatan
mengenai kondisi
bedah luka yang
tidak adekuat
(post -op)
Gangguan
Ansietas pola tidur Nyeri Akut
Resiko
Infeksi
Terputusnya
jaringan
Kerusakan
integritas kulit
2.4 Konsep dasar tentang Nefrotik Sindrom
2.4.1 Definisi
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi
proteinuria masif > 3,5 gr/hr, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia. Manifestasi
dari keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomerulus
dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus (Muttaqin, 2012).
Sindrom nefrotik terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa
oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat.
Pada dewasa terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia (Mansjoer, 2001).
Nefrotik sindrom adalah gangguan klinik yang ditandai dengan peningkatan
protein urine (proteinuria), edema, penurunan albumin dalam darah
(hipoalbuminemia), dan kelebihan lipid dalam darah (hiperlipidemia). Kejadian ini
diakibatkan oleh kelebihan pecahan plasma protein ke dalam urine karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler glomerulus. (dr.nursalam, dkk. 2009)
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ( Ngastiyah, 2005). Sindroma nefrotik
adalah suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan penyakit yang
mendasari, dimana menunjukkan kelainan inflamasi glomerulus. Secara fungsional
sindrom nefrotik diakibatkan oleh keabnormalan pada proses filtrasi dalam
glomerulus yang biasanya menimbulkan berbagai macam masalah yang
membutuhkan perawatan yang tepat, cepat, dan akurat. (Alatas, 2002)
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinik dengan proteinuria masif (>3,5 g/hari),
hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidimia, biasanya kadar BUN normal. Disertai
penyakit glomerulus (idiopatik) primer atau mungkin berkaitan dengan berbagai
gangguan sistemik dengan ginjal yang terserang secara sekunder. (sylvia A. Price.
2005)
2.4.2 Etiologi
Menurut Mansjoer, 2001 Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui,
akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen
antibodi. Umumnya etiologi dibagi menjadi :
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal dan umumnya
resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh : Malaria kuartana atau parasit lainnya, Penyakit kolagen seperti
lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid, Glumerulonefritis akut atau
kronik, Trombosis vena renalis. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion,
penisilamin, garam emas, air raksa. Amiloidosis seperti penyakit sel sabit,
hiperprolinemia, nefritis membrano proliferatif hipo komplementemik.
c. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan
mikroskop elektron, terbagi menjadi :
Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.
Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan
infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat, dengan penebalan batang lobular, Terdapat
prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular, Dengan bulan
sabit ( crescent), Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis
di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.
Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus.
Prognosis buruk.
Penyebab sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 menurut muttaqin. 2012 adalah:
1) Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti:
Glomerulonefritis
Nefrotik sindrom perubahan minimal
2) Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain, seperti:
Diabetes mellitus
Sistema lupus eritematosus
Amyloidosis
2.4.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi
dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila
ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) yang tampak
pada pagi hari, dan berlanjut ke abdomen terjadi penumpukan cairan pada rongga
pleura yang menyebabkan efusi pleura, daerah genitalia dan ekstermitas bawah yaitu
pitting (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas, penumpukan cairan pada rongga
peritoneal yang menyebabkan asites.
Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa, volume urin berkurang, warna agak
keruh dan berbusa, selama beberapa minggu mungkin terdapat hemturia dan oliguri
terjadi karena penurunan volume cairan vaskuler yang menstimulli sistem renin-
angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH)
Pucat
Hematuri
Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan
umumnya terjadi.
Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang)
Proteinuria > 3,5 gr/hr pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hr pada anak-anak
Hipoalbuminemia < 30 gr/l
Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia
Hiperkoagulabilitas, yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri
Kenaikan berat badan secara progresif dalam beberapa hari/minggu.
klien mudah lelah atau lethargie tapi tidak kelihatan sakit payah.
Hipertensi (jarang terjadi) karena penurunan voulume intravaskuler yang
mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin
angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah.
Pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air
2.4.4 Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak
dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat
dengan mikroskop cahaya.
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik,
purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan
neoplasma limfoproliferatif.
c. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi
yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah
edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan
kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak
dilakukan dialysis.
Sindrom Nefrotik menurut terjadinya
a. Sindrom Nefrotik Kongenital
Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe Finlandia.
Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir premature (90%),
plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Gejala asfiksia dijumpai
pada 75% kasus. Gejala pertama berupa edema, asites, biasanya tampak pada waktu
lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai
hipoproteinemia, proteinuria massif dan hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain
berupa kelainan congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata lebar,
telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan meninggal Karen
ainfeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk menemukan
kemungkinan kelainan ini secara dini adalah pemeriksaan kadar alfa feto protein
cairan amnion yang biasanya meninggi.
b. Sindrom Nefrotik yang didapat:
Termasuk disini sindrom nefrotik primer yang idiopatik dan sekunder.
2.4.5 Patofisiologi
Penyebab dari sindrom nefrotik dibagi menjadi dua,yaitu primer dan sekunder.
a. .Primer : berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal lain seperti: Glomerulonefritis,
perubahan minimal nefropathy, membranous nephropathy,focal glomrulossclerosis.
b. Sekunder; akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain, seperti:
Diabetes mellitus disertai glomerulosklerosis interkapiler, Sistema lupus
eritematosus, Amyloidosis, pre-eklampsia dan trombosis vena renal.
Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma protein, terutama albumin
ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun
organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya jika albumin terus-menerus
hilang melalui ginjal sehingga terjadi hipoalbuminemia.
Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat
cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang caiaran ekstraseluler.
Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem renin-angiotensin
menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut. Manifestasi hilangnya protein
dalam serum akan menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan
konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik
yang memengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap
menyerang anak-anak, namun sindromnefrotik juga terjadi pada orang dewasa
termasuk lansia..Respon perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional
akan memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami
glomerulus progresif cepat (Muttaqin, 2011).
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang
sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negative gliko
protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas
campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam
tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan
dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri
dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul
bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum
diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan
tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus
keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya
cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan.
(Silvia A Price, 2005).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan
penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi
ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan
konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor
volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang
reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic
yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan
peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air
yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan
mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol,
trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia
yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme
lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini
dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002).
Pada status nefrosis hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserida) dan
lipoprotein serum meningkat. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein dan katabolisme lemak menurun,
karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma. Apakah lipoprotein plasma keluar melalui urin belum
jelas (Behrman, 2000).
Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik
yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap
menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa
termasuk lansia. Respon perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional
akan memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami
glomerulus progresif cepat.
2.4.6 Pemeriksaan diagnostik
a. Laboratorium
1) Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine
kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin,
mioglobin, porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020 menunjukkan penyakit
ginjal. Contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan
kemampuan untuk meningkatkan, menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat. pH lebih besar dari 7 ditemukan pada infeksi saluran
kencing, nekrosis tubular ginjal dan gagal ginjal kronis (GGK). Protein urin
meningkat (nilai normal negatif).
2) Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium
biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan
dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau
pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan
magnesium meningkat. Albumin. Kimia serum : protein total dan albumin
menurun, kreatinin meningkat atau normal, trigliserida meningkat dan
gangguan gambaran lipid. Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan
kehilangan protein dan albumin melalui urin, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino
essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14 tahun : kurang dari atau
sama dengan 220 mg/dl).
Pemeriksaan urin dan darah untuk memastikan proteinuria, proteinemia,
hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.
b. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa. Biopsi dengan memasukkan
jarum kedalam ginjal : pemeriksaaan histology jaringan ginjal untuk
menegakkan diagnosis.
c. Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum
electrophoresis).
2.4.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan
risiko komplikasi.
a. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi
atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia,
mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:
Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang
lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema
dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid
(25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan
hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan adanya TBC
Diuretikum
Boleh diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid, klortahidon,
furosemid atau asam ektarinat. Dapat juga diberikan antagonis aldosteron
seperti spironolakton (alkadon) atau kombinasi saluretik dan antagonis
aldosteron.
Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :
a) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas
permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
b) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan
dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis
maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
c) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg,
20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.
Lain-lain
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada
gagal jantung, diberikan digitalis. (Behrman, 2000)
Diet
Diet rendah garam (0,5 1 gr sehari) membantu menghilangkan edema. Minum
tidak perlu dibatasi karena akan mengganggu fungsi ginjal kecuali bila terdapat
hiponatremia. Diet tinggi protein teutama protein dengan ilai biologik tinggi
untuk mengimbangi pengeluaran protein melalui urine, jumlah kalori harus
diberikan cukup banyak.
Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200
ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi
diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan
masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan
negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat
kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/
hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk
menjamin masukan yang adekuat.
Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 4
gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila edema
berkurang dapat diberi garam sedikit. Diet rendah natrium tinggi protein.
Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein di tubuh. Jika edema
berat, pasien diberikan diet rendah natrium.
Kemoterapi:
Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai
efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis
pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering
terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat
dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya
pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan
hipertensi.
Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik (
imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis
dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Tirah baring: Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa
harimungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi edema.
Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan
menyebabkan sesak nafas. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada
tumit (bantal diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung
kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
Terapi cairan: Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur
secara cermat da dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan
berat badan harian.
Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit.
Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau
verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus
diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara
mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum
harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan
menggosok kulit.
Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan
mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma
intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung
mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga
merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat,
penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu
dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang
penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan
masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini
harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti
perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka
karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk
mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan
skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).
2.4.8 Komplikasi
a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
b. Shock hipovolemik: terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1
gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan
shock.
c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma.
d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
e. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis. Tindakan
yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pemberian heparin.
f. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan cairan
di dalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam intravaskuler.
g. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam paru-
paru yang menyebabkan hipoksia dan dispnea.
h. Perburukan pernafasan (berhubungan dengan retensi cairan)
i. Kerusakan kulit
j. Peritonitis (berhubungan dengan asites)
k. Hipovolemia
l. Komplikasi tromboemboli- terombosis vena renal, trombosis vena dan arteri
ekstremitas dan trombosis arteri serebral
2.4.9 Asuhan keperawatan berdasarkan teori
A. Pengkajian
a. Identitas klien:
Umur: lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-sekolah (3-6 th).
Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan kelainan
genetik sejak lahir.
Jenis kelamin: anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan anak perempuan
dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6 tahun terjadi
perkembangan psikoseksual : dimana anak berada pada fase oedipal/falik
dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah
genitalnya. Kebiasaan ini dapat mempengaruhi kebersihan diri terutama daerah
genital. Karena anak-anak pada masa ini juga sering bermain dan kebersihan
tangan kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat memicu terjadinya infeksi.
Agama
Suku/bangsa
Status
Pendidikan
Pekerjaan
b. Identitas penanggung jawab
Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan hubungannya
dengan klien.
c. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama: kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar
(adanya acites).
Riwayat kesehatan sekarang
Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu menanyakan
hal berikut:
Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan
adanya keluhan pusing dan cepat lelah
Kaji adanya anoreksia pada klien
Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
Riwayat kesehatan dahulu
Perawat perlu mengkaji:
Apakah klien pernah menderita penyakit edema?
Apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit
hipertensi pada masa sebelumnya?
Penting juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan
adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu
timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik
d. Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
Pola nutrisi dan metabolisme: anoreksia, mual, muntah.
Pola eliminasi: diare, oliguria.
Pola aktivitas dan latihan: mudah lelah, malaise
Pola istirahat tidur: susah tidur
Pola mekanisme koping : cemas, maladaptif
Pola persepsi diri dan konsep diri : putus asa, rendah diri
e. Pemeriksaan Fisik
1) Status kesehatan umum
Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
Kesadaran: biasanya compos mentis
TTV: sering tidak didapatkan adanya perubahan.
2) Pemeriksaan sistem tubuh
B1 (Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya hgangguan pola nafas dan jalan nafas
walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut.
Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan
nafas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari
peningkatan beban volume .
B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status
neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia
pada sistem saraf pusat.
B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema
tungkai dari keletihan fisik secara umum.
f. Pengkajian Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik secara umum, terutama
albumin. Keadaaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas
membran glomerulus.
B. Diagnosa keperawatan teori
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap
peningkatan permiabilitas glomerulus.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kuruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi
sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
4. Ansietas berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak
hospitalisasi).
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan.
6. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan penampilan
7. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan tubuh.
8. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan gangguan fungsi pernafasan
3. Etiologi PGK
Penyakit ginjal kronik pada anak dapat disebabkan berbagai etiologi seperti
kelainan ginjal kongenital, didapat, diturunkan ataupun penyakit metabolic ginjal.
Penyebab lainnya adalah sindroma nefrotik, infeksi saluran kemih, uropati
obtruktif, nefropathy refluks, hipertensi, sindroma prune belly, nekrosis kortikal ,
Glumerulonefritis kronik, glomerulosklerosis fokal segmenta;, penyakit ginjal
polikistik, nefropati IgA, Lupus Erimatosus Systemik dan syndrome hemolitik
uremik. Pada anak dibawah usia 5 tahun paling sering disebabkan kelainan
kongenital seperti hypoplasia, dysplasia ginjal (11%) dan uropati obstruktif (22%).
Sedangkan pada anak diatas usia 5 tahun, PGK sering disebabkan oleh penyakit
didapat seperti glumerulonefritis atau penyakit yang diturunkan seperti syndrome
Alport. Secara umum penyebab terbanyak PGK pada anak adalah kelainan uropati (
30-33%) dan glomerulonefropati (25-27% )
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PGK pada anak bervariasi tergantung dari penyebab PGK. Jika
penyebabnya adalah Glumerulonefritis manifestasi yang muncul adalah : edema,
hipertensi, hematuria dan protein urea. Sedangkan pasien dengan kelainan
kongenital seperti dysplasia ginjal dan uropati obstruktif manifestasi yang muncul
adalah : gagal tumbuh, dehidrasi kkarena poliuri, infeksi saluran kemih, maupun
insufisiensi ginjal. Pada stadium lanjut pasien tampak pucat, perawakan pendek,
dan menderita kelainan tulang.
5. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit GInjal Kronik pada anak dengan penyebab seperti diatas. Respon ginjal
pada PGK pada umumnya sama walaupin etiologi berbeda. Pada wal penyakit,
ginjal beradaptasi terhadap kerusakan dengan meningkatkan LFG oleh nefron
normal yang tersisa, namun makin lama menyebabkan kerusakan glomerulus
progresif akibat peningkatan tekanan hidrostatik pada dinding kapiler dan efek
toksik protein yang melintasi dinding kapiler. Seiring berjannya waktu, jumlah
nefron yang sclerosis akan semakin banyak, sehingga terjadi peningkatan bebann
skskresi pada nefron yang masih bertahan. Kondisi ini akan tetrus berulang dan
semakin banyak nefron yang rusak hingga berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (
GGT )
6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
Hiperkalemia, Perikarditis, Hipertensi, Anemia, Penyakit tulang. (Smeltzer & Bare,
2001)
7. Pemeriksaan Penunjang Pada Gagal Ginjal
a. Tes Darah
Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum meningkat. kadar kreatinin
10 mg/dl diduga tahap akhir
Natrium dan Kalsium serum menurun.
Kalium dan Fosfor serum meningkat.
pH dan bikarbonat (HCO3) serum menurun (asidosis metabolik).
Haemoglobin, hematokrit, trombosit menurun (disertai penurunan fungsi
sel darah putih dan trombosit).
Glukosa serum menurun (umum terjadi pada bayi)
Asam urat serum meningkat.
Kultur darah positif (disertai infeksi sistemik).
SDM: menurun, defisiensi eritropoiti
GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,
Protein (albumin) : menurun
Magnesium: meningkat
b. Tes Urine
Urinalitas sel darah putih dan silinder.
Elektrolit urine osmolalitas, dan berat jenis bervariasi berdasarkan proses
penyakit dan tahap GGA.
Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria)
Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
c. Elektrokardiogram (EKG) perubahan yang terjadi berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
d. Kajian foto toraks dan abdomen perubahan yang terjadi berhubungan dengan
retensi cairan.
e. Osmolalitas serum: Lebih dari 285 mOsm/kg
f. Pelogram Retrograd: Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
g. Ultrasonografi Ginjal : Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa ,
kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
h. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi: Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif
i. Arteriogram Ginjal: Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa
8. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksanaan Gagal ginjal secara umum adalah :
a. Stabilkan keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Dukung fungsi kardiovaskuler
c. Cegah infeksi
d. Tingkatkan status nutrisi
e. Kendalikan perdarahan dan anemia
f. Lakukan dialysis
Indikasi:
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis
adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga
dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal
tersebut dibawah :
1) Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
2) K serum > 6 mEq/ L
3) Ureum darah > 200 mg/Dl
4) pH darah < 7,1
5) Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
6) Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001).
Menurut Al-hilali (2009), walaupun hemodialisa sangat penting untuk
menggantikan fungsi ginjal yang rusak tetapi hemodialisa juga
dapat menyebabkan komplikasi umum berupa hipertensi (20-30%
dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-
15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5%
dialisis), sakit tulang belakang (2-5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari
dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis).
g. Transplantasi ginjal
1) Gagal Ginjal Akut
a) Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat
terjadi oliguria.
b) Diet tinggi kalori dan lemak, rendah protein, kalium dan garam, jika anak
tidak dapat makan melalui mulut maka makanan diberikan melalui
intravena dan zat nutrisi yang diberikan mengandung asam amino esensial.
c) Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau
makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai
BUN dan nilai kreatinin.
d) Mengatasi hiperkalemia, pemberian kalsium glukonas 0,5 ml/kgbb,
diberikan intravena selama 24 menit disertai dengan monitoring EKG,
pemberian sodium bicarbonat, 23 mEq / kgbb, diberikan intravena selama
3060 menit untuk meningkatkan pH darah.
e) Pemberian glukosa 50 % dan insulin, 1 U/kg, diberikan secara intravena,
mempercepat pembentukan glikogen menyebabkan glukosa dan kalium
masuk dalam sel.
f) Pemberian resin ion perubah seperti polystyrene sodium sulfonate
(kayexalate), 1/kgbb diberikan secara oral atau rektal yang bertujuan untuk
mengikat kalium dan mengeluarkannya dari tubuh.
g) Dialisis dilakukan jika disertai dengan tanda tanda asidosis berat yang
sudah berlangsung lama, cara cara lain sudah ditempuh untuk
mengurangi kalium, terlihat gejala gejala uremik, overload sirkulasi,
hipertensi, gejala gagal jantung.
2) Gagal Ginjal Kronis
a) Konservatif:
Penentuan dan pengobatan penyebab
Pengoptimalan dan maintanance keseimbangan garam dan air
Koreksi obstruksi saluran kemih
Deteksi awal dan pengobatan infeksi
Pengendalian hipertensi
Diet rendah protein, tinggi kalori
Deteksi dan pengobatan komplikasi
b) Terapi penggantian Ginjal
Hemodialisis (membran semipermiabel ada pada mesin)
Dialisis peritoneal (membran semipermiabel menggunakan
peritoneum)
Transplantasi ginjal
WOC GAGAL GINJAL
Koagulasi
Diare,Perdarahan
intravaskuler
Tumor, batu
Vasokontriksi
Dehidrasi
Obstruksi saluran
kemih
Vasokonstriksi
Nekrosis epitel
tubular bag.bawah
Hipertensi
Nekrosis membran
dasar
Nekrosis Tubular
menyeluruh
Diaphoresis
BUN dan Kreatinin serum
Beredar dalam tubuh
Pencemaran
PEMBAHASAN
Contoh Kasus
An. A (6 tahun ), JK : laki-laki, datang dibawa ibunya kerumah sakit dengan keluhan
badan anaknya bengkak-bengkak di seluruh badan terutama dibagian wajah dan mata. Ibunya
mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur pagi hari mata anaknya sembab, namun sembab
berkurang di sore hari, sembab juga menyebar dibagian perut dan esoknya pada kedua kaki,
sejak 4 hari yag lalu BAK berwarna merah tua dan sedikit. Mual muntah (-), batuk pilek(-) dan
sesak nafas (-). Pada saat dikaji terlihat terdapat luka borok pada kulit An. A. Keadaan umum
pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, pada pemeriksaan TTV didapatkan nadi
112x/menit, RR : 44x/menit, suhu : 36,70C, dan tekanan darah 130/80mmHg. BB= 42kg, PB
136cm. pada pemeriksaan lab darah rutin diperoleh HB : 10,9 g/dl, WBC : 5.900, trombosit :
398.00, Ht : 33%, kolesterol total 479 gr/dl, protein total 2,4 g/dl, albumin: 1,0 g/dl, globulin :
1,46 g/dl, Ureum : 31mg/dl,. Pasien anoreksia (+), oedem priorbita (+), hipoalbuminemia (+) dan
pada ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II. Pada pemeriksaan urin lengkap diperoleh
warna : kuning, kejernihan :agak keruh, berat jenis : 1,005, pH 5,5, glukosa (-), bilirubin (-
),darah (+2), protein (+3) , urobilonogen (+1), leukosit (+1). Th/ medikamentosa yg diberikan
furosemid 2x30gr.
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama : An. A
Umur : 6 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
An. A (6 tahun ), JK : laki-laki, datang dibawa ibunya kerumah sakit dengan keluhan badan
anaknya bengkak-bengkak di seluruh badan terutama dibagian wajah dan mata.
b) Riwayat penyakit sekarang
Ibunya mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur pagi hari mata anaknya sembab, namun
sembab berkurang di sore hari, sembab juga menyebar dibagian perut dan esoknya pada
kedua kaki, sejak 4 hari yag lalu BAK berwarna merah tua dan sedikit. Pada saat dikaji
terlihat terdapat luka borok pada kulit An. A. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, pada pemeriksaan TTV didapatkan nadi 112x/menit, RR :
44x/menit, suhu : 36,70C, dan tekanan darah 130/80mmHg. Pasien anoreksia (+), oedem
priorbita (+), hipoalbuminemia (+) dan pada ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II.
c) Riwayat penyakit dahulu
Ibu klien mengatakan bahwa An. A sudah mengalami gejala ini dari 1 tahun yang lalu. Tetapi
gejala tersebut agak berkurang selama 3 bulan dan mulai mengalami gejala yang sama pada
bulan lalu.
d) Riwayat penyakit keluarga
Ibu klien mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama
dengan An. A
3. Pola fungsional
No Pola fungsional Hasil pasien
1 Pola Makan/cairan An. A anoreksia
2 Pola Aktivitas/latihan An. A mengalami kesulitan beraktivitas karena tampak
lemah dan lemas.
3 Pola Sirkulasi nadi 112x/menit, RR : 44x/menit, tekanan darah
130/80mmHg. badan anaknya bengkak-bengkak di seluruh
badan terutama dibagian wajah dan mata. Ibunya
mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur pagi hari mata
anaknya sembab, namun sembab berkurang di sore hari,
sembab juga menyebar dibagian perut dan esoknya pada
kedua kaki, oedem priorbita (+), hipoalbuminemia (+) dan
pada ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II.
4 Pola Eliminasi sejak 4 hari yag lalu BAK berwarna merah tua dan sedikit,
Pada pemeriksaan urin lengkap diperoleh warna : kuning,
kejernihan :agak keruh, berat jenis : 1,005, pH 5,5, glukosa
(-), bilirubin (-),darah (+2), protein (+3) , urobilonogen
(+1), leukosit (+1).
5 Pola Nyeri/kenyamanan Luka pada kulit An. A tidak begitu nyeri masih diskala 3
tetapi membuat An. A tidak nyaman.
6 Pola Pernapasan RR : 44x/menit.
7 Pola Keamanan An. A dijaga oleh kedua orang tua klien yang setia
menemani An. A dirumh sakit.
8 Pola Istirahat-tidur An. A mengalami gangguan istirahat dan tidur karena tidak
nyaman dengan kondisi lingkungan di Rumah Sakit.
4. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
b) Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis,
c) b) Tb : 136 cm
d) c) BB : 42 kg
e) Tanda-tanda Vital
TTV Nilai Normal Nilai Ketera Abnormalitas
Pasien ngan
pd
pasien
TD Bayi: 70-90/50 mmHg 130/80 tinggi Meningkat: apabila terjadi Penyakit
Anak : 80-100/60 mmHg mmHg ginjal, ketidakstabilan aorta, kelainan
B. Analisa data
D. Diagnosa keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan
makanan
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema
4. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan
E. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan, Kriteria Hasil & NOC NIC
Kelebihan Setelah dilakukan tindakan keperawatan a. Jaga intake/ asupan yang
volume cairan diharapakan keseimbangan cairan pasien akurat dan catat output
berhubungan normal dengan kriteria hasil: (pasien)
dengan a. Keseimbangan elektrolit (tidak terjadi b. Monitor status hidrasi
gangguan edema) c. Monitor hasil laboratorium
mekanisme b. Eliminasi urine dalam rentang normal yang relevan dengan
regulasi (700-1000 ml/hari) retensi cairan
c. Tanda-tanda vital (80-100/60 mmHg) d. Monitor indikasi kelebihan
NOC: cairan/retensi
a. Tanda-tanda vital dalam rentang e. Kaji lokasi dan luas edema
normal f. Berikan terapi IV line
b. Keseimbangan intake dan output g. Berikan diuretic
dalam 24 jam
c. Edema perifer
d. Bola mata cekung dan lembek
Ketidakseimb Setelah dilakukan tindakan keperawatan a. Monitor intake makanan/
angan nutrisi diharapakan nutrisi pasien dapat terpenuhi cairan dan hitung masukan
kurang dari dengan kriteria hasil: kalori perhari, sesuai
kebutuhan a. Nafsu makan meningkat kebutuhan
tubuh b. Status nutrisi: asupan makanan dan b. Dorong pasien untuk
berhubungan cairan yang adekuat memilih makanan setengah
dengan kurang c. Status nutrisi: pengukuran biokimia lunak
asupan (hasil lab dalam rentang normal) c. Motivasi pasien untuk
makanan NOC: mengkonsumsi makanan
a. Asupan kalori yang tinggi kalsium,
b. Asupan protein kalium
c. Asupan lemak d. Sediakan pasien makanan
d. Asupan karbohidrat dan minuman bernutrisi
yang tinggi protein, tinggi
kalori, daan mudah
dikonsumsi
e. Kaji kebutuhan nutrisi
parental
f. Ciptakan lingkungan yang
membuat suasana yang
menyenangkan dan
menenangkan
g. Berikan perawatan mulut
sebelum makan
Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan a. Monitor perubahan status
integritas kulit diharapakan tidak terjadi kerusakan paru dan jantung yang
berhubungan integritas kulit dengan kriteria hasil: menunjukkan kelebihan
dengan edema a. Penyembuhan luka sekunder cairan atau hidrasi
b. Akses hemodialysis b. Meminimalkan asupan
NOC: makanan dan minuman
a. Elastisitas dengan dieuretik atau
b. Perfusi jaringan pencahar
c. Integritas kulit c. Batasi cairan yang sesuai
d. Lesi pada kulit d. Jaga intake/asupan dan
e. Lesi mukosa membrane output yang akurat
e. Pantau adanya tanda dan
gejala retensi cairan
Resiiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan a. Ukur luas luka
infeksi diharapakan resiko dapat dicegah dengan b. Monitor karakteristik luka
berhubungan kriteria hasil: c. Berikan perawatan luka
dengan a. Penyembuhan luka pada kulit
kerusakan b. Control resiko proses infeksi d. Periksa luka setiap kali ada
jaringan c. Penyembuhan luka : sekunder perubahan
NOC: e. Reposisi klien setdaknya
a. Kemerahan setiap 2 jam
b. Nyeri f. Anjurkan keluarga untuk
c. Kolonisasi area luka mengenal tanda daan gejala
infeksi
BAB 4
3.1 SIMPULAN
Hipospadia merupakan kelainan bawaan dimana lubang uretra terletak di dekat ujung
penis, yaitu pada glans penis. Epispadia merupakan kelainan kongiental berupa tidak
adanya dinding uretra bagian atas. Kelainan ini terjadi pada laki-laki maupun perempuan,
tetapi lebih sering pada laki-laki. Ditandain dengan terdapat nya lubang uretra di suatu
tempat pada permukaan dorsum penis. Nefrotik sindrom adalah kumpulan gejala yang
disebabkan oleh adanya injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakterristik;
proteinuria, hipoproteinuria, hypoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema. Gagal ginjal
terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan
fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan
tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik
dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.
Gangguan saluran kemih adalah gangguan dari kandung kemih atau uretra.
Ginjal, Uretra, kandung kemih adalah organ-organ yang menyusun saluran kemih.
Fungsi utama dari saluran ini adalah untuk membuang air dan sisa metabolisme dan
mengeluarkannnya sebagai urin. Fungsi masing-masing organ dari sistem perkemihan
tersebut tidak luput dari suatu masalah atau abnormal. Sehingga hal ini dapat
menimbulkan beberapa penyakit atau gangguan antara lain adalah hipospadia, epispadia,
nefrotik sindrom dan gagal ginjal kronik.
3.2 SARAN
Gray, M. & Moore, K. N., 2009. Urologic Disorders Adult and Pediatric Care. USA: Mosby
Elsevier.
Muttaqin, A. & Sari, K., 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Muttaqin, A. & Sari, K., 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Suryadi & Yuliani, R., 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Agung Seto.
Ceciy L, Bets Linda A. Swodwn, 2002, Buku saku Keperawatan Pediatrik, EGC : Jakarta
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, 2002, Ilmu Keseatan Anak FKUI : Jakarta
Suriadi dan Yuliani, Rita, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, Fajar Interpratama
: Jakarta
Bare Brenda G, Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC,
Jakarta.
Price Anderson Sylvia, Milson McCarty Covraine, Patofisiologi, buku-2, Edisi 4, EGC,
Jakarta.
Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
Dr. Lyndon saputra. 2007. Pengantar kebutuhan dasar manusia. Jakarta: penerbit buku
binapura aksara.