MAKALAH
Disusun oleh:
Focus Group 6
Asma Mabrukah (2006598742)
Ditra Alifia Fathanah (2006521452)
Fathdanifa Zaen (2006598326)
Oktavia Misvaidhah (2006598093)
Uzlifatil Jannah (2006598723)
KEPERAWATAN DASAR B
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
DEPOK 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya
yang telah memberikan kesempatan bagi kami kelompok Focus Group 6 Keperawatan
Dasar kelas B Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih kami haturkan
kepada semua anggota Focus Group 6 Keperawatan Dasar kelas B yang terlibat dan
membantu sehingga makalah ini dapat dibuat dengan baik dan selesai tepat pada
waktunya.
Ucapan terima kasih juga kami haturkan untuk fasilitator kelas yang terhormat
Ns. Shanti Farida Rachmi, S.Kep., M.Kep. yang telah membimbing kami selama
melaksanakan kegiatan pembelajaran tentang Kebutuhan Dasar Eliminasi Urin.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dasar.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami
menghaturkan permohonan maaf bila terdapat beberapa kesalahan dalam makalah ini,
kami juga mengharapkan kritikan serta saran tentang makalah ini, tolong disampaikan
kepada kami agar di kemudian hari kami bisa membuat makalah yang lebih baik secara
keseluruhan. Demikian makalah ini disusun dengan harapan makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Kelompok FG
ABSTRAK
Eliminasi Urin adalah proses metabolisme tubuh yang bertujuan untuk mengeluarkan
bahan sisa dari tubuh dengan bentuk cairan urin. Sistem pengeluaran urin di dalam
tubuh dibantu oleh beberapa organ yang meliputi ginjal, ureter, kandung kemih, dan
uretra. Dalam prosesnya, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi eliminasi urin,
seperti faktor perkembangan, faktor psikososial, faktor asupan makanan dan cairan,
faktor pengobatan, faktor bentuk otot, faktor kondisi patologis, serta faktor prosedur
diagnostik dan pembedahan.
Gangguan eliminasi urin dapat dibagi menjadi dua, yaitu perubahan produksi urin dan
perubahan eliminasi urin. Umumnya individu buang air kecil sebanyak lima sampai
enam kali sehari, tetapi beberapa faktor memengaruhi perubahan pola produksi dan
eliminasi urin menjadi tidak normal, seperti poliuria, oliguria, dan anuria. Salah satu
gangguan eliminasi urin yang terjadi adalah inkontinensia urin. Asuhan keperawatan
yang dilakukan pada gangguan eliminasi urin bertujuan untuk mengembalikan pola
eliminasi urin menjadi normal.
Kata Kunci : Eliminasi Urin, Faktor, Gangguan Eliminasi Urin, Inkontinensia Urin,
Asuhan Keperawatan
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penyusunan makalah ini adalah
sebagai berikut:
a. Untuk menjelaskan konsep dan prinsip kebutuhan dasar eliminasi urin pada
manusia, meliputi konsep fisiologis, faktor yang memengaruhi, dan gangguan
yang terjadi
b. Untuk menjelaskan dampak yang terjadi berkaitan dengan gangguan eliminasi
urin
c. Untuk menentukan diagnosis keperawatan yang sesuai dalam pemenuhan
kebutuhan dasar eliminasi urin
d. Untuk merencanakan asuhan keperawatan yang sesuai berdasarkan diagnosis
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar eliminasi urin
e. Untuk menetapkan tindakan keperawatan yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar eliminasi urin
BAB II
ISI
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (Berman et al, 2016). Nefron
adalah unit fungsional dari organ ginjal yang terdiri dari dua bagian, yaitu renal
corpuscle sebagai tempat filtrasi plasma darah dan renal tubule sebagai jalur
cairan filtrasi. Komponen dari renal corpuscle adalah glomerulus dan kapsul
bowman. Plasma darah di filtrasi di kapsul bowman dan cairan filtrasi itu
mengalir ke renal tubule. Renal tubule terdiri dari proximal convoluted tubule
(PCT), loop of Henle, dan distal convoluted tubules.
Di dalam ginjal, terjadi proses pembentukan urin yang terdiri dari tiga tahap
(Sherwood, 2016), yaitu:
1. Filtrasi
Produksi urin, air dan sebagian besar zat terlarut dalam plasma darah
bergerak melintasi dinding kapiler glomerulus, tempat mereka disaring
dan dipindahkan ke dalam kapsul glomerulus dan kemudian ke tubulus
ginjal. Filtrasi terletak pada renal corpuscle, yang terdiri dari kapiler
glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul bowman.
2. Reabsorbsi
Zat yang masih diperlukan dalam tubuh diserap kembali melalui rute
transeluler atau paraseluler. Di dalam rute transelular, zat yang diangkut
bergerak melalui membran apikal, sitosol, dan membran basolateral sel
tubulus, kemudian endotelium kapiler peritubular dan keluar ke dalam
cairan interstitial melalui membran basolateral. Sementara rute
paraseluler, pergerakan pasif melewati tight junction antara sel tubuh.
Proses reabsorpsi dapat disebut aktif atau pasif tergantung dengan zat
yang diangkut. Reabsorpsi tubular aktif membutuhkan ATP baik secara
langsung (transpor aktif primer) atau tidak langsung (transpor aktif
sekunder); Reabsorpsi tubular pasif meliputi difusi, difusi difasilitasi, dan
osmosis.
3. Sekresi
Pengangkutan zat terlarut dari cairan kapiler peritubular kemudian
melintasi epitel tubular yang selanjutnya ke dalam cairan tubular. Sekresi
diperlukan karena penyaringan tidak memaksa semua bahan terlarut
keluar dari dari darah. Ketika cairan yang disaring mengalir melalui
tubulus ginjal dan duktus pengumpul, tubulus ginjal dan sel duktus akan
mengeluarkan zat lain seperti limbah, obat-obatan, dan ion berlebih, ke
dalam cairan (urin). Sekresi tubular sangat penting karena terdapat
beberapa manfaat yang bisa didapat, yaitu membuang zat-zat seperti
obat-obatan tertentu dan metabolit yang terikat erat dengan protein
plasma, menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkan atau produk akhir
yang telah diserap kembali oleh proses pasif, membersihkan tubuh
kelebihan K +, serta mengontrol pH darah.
b. Ureter
Urin yang telah terbentuk di ginjal akan bergerak melalui saluran pengumpul
kemudian calyces pelvis ginjal masuk ke ureter. Fungsinya adalah menyalurkan
urin dari ginjal menuju kandung kemih (Tortora, 2009). Ureter memiliki panjang
sekitar 25 hingga 30 cm. Di persimpangan antara ureter dan kandung kemih
terdapat lipatan selaput lendir seperti flap yang berfungsi sebagai katup untuk
mencegah refluks atau aliran balik urin ke atas ureter. Ada tiga lapisan pada
dinding ureter (Berman et al, 2016), yaitu:
1. Mukosa, bagian yang paling dalam berupa membran mukosa dengan
jaringan epitel transisional dan jaringan ikat areolar. Lapisan ini memiliki
sel goblet untuk sekresi mukus.
2. Muscularis, bagian tengah dinding yang terdiri dari serat otot polos yang
berperan dalam gerakan peristaltik.
3. Adventitia, bagian paling luar yang berfungsi untuk menjaga ureter tetap
pada tempatnya. Lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh
limfa, dan saraf.
c. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan organ berongga dan berotot yang berfungsi sebagai
reservoir untuk urin dan juga sebagai organ ekskresi (Berman et al, 2016). Pada
pria, kandung kemih terletak di depan rektum dan di atas kelenjar prostat,
sedangkan pada wanita, kandung kemih terletak di depan uterus dan vagina.
Ketika kosong, kandung kemih berada di belakang simfisis pubis. Dinding
kandung kemih terdiri dari empat lapisan, yaitu lapisan mukosa bagian dalam,
lapisan jaringan ikat, tiga lapisan serat otot polos, dan lapisan serosa luar.
d. Uretra
Pada pria, uretra dibagi menjadi 3 bagian, yaitu uretra prostat (melewati prostat),
uretra intermediet (terpendek, melewati otot perineum), dan spongy (terpanjang,
melewati penis). Panjang uretra sekitar 20 cm (8 inci). Sementara itu, pada
wanita dinding utetra terdiri dari 3 lapisan, sama seperti ureter. Letaknya tepat di
belakang simfisis pubis, anterior vagina, dan panjangnya sekitar 3 - 4 cm (1,5
in). Uretra berperan dalam menyalurkan urin ke lingkungan eksternal. Pada pria,
uretra juga berfungsi untuk mengeluarkan semen. Sedangkan pada wanita hanya
dilalui urin (Tortora, 2009).
2.2 Faktor yang mempengaruhi proses eliminasi urin
Dalam mempelajari kebutuhan dasar eliminasi urin, tentu tidak luput dari faktor-faktor
yang membersamainya. Salah satu nya yaitu faktor yang dapat mempengaruhi proses
eliminasi urin, perawat harus memahami hal ini karena akan digunakan pemahaman
materi ini saat kelak perawat memberikan asuhan keperawatan dengan diagnosis
terganggunya kebutuhan dasar eliminasi urin. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses eliminasi urin, yaitu :
A. Developmental Factors
Tahap perkembangan dibagi berdasarkan usia, antara lain:
a. Bayi
Output urin bervariasi sesuai dengan asupan cairan tetapi secara bertahap
meningkat menjadi 250 hingga 500 mL sehari selama tahun
pertama.Bayi dapat buang air kecil sesering 20 kali sehari. Urin neonatus
tidak berwarna dan tidak berbau serta memiliki berat jenis 1,008. Karena
bayi baru lahir dan bayi memiliki ginjal yang belum matang, mereka
tidak dapat memekatkan urin dengan sangat efektif. Bayi lahir tanpa
kontrol urin. Sebagian besar akan mengembangkan ini antara usia 2 dan
5 tahun.
d. Orang Tua
Fungsi ekskresi ginjal berkurang seiring bertambahnya usia, tetapi
biasanya tidak secara signifikan di bawah tingkat normal kecuali jika ada
proses penyakit yang mengintervensi. Aliran darah dapat dikurangi oleh
arteriosklerosis, mengganggu fungsi ginjal. Seiring bertambahnya usia,
jumlah nefron yang berfungsi menurun sampai tingkat tertentu,
mengganggu kemampuan penyaringan ginjal. Kondisi yang mengubah
asupan dan keluaran cairan normal, seperti menderita influenza atau
menjalani operasi, dapat membahayakan kemampuan ginjal untuk
menyaring, menjaga keseimbangan asam-basa, dan menjaga
keseimbangan elektrolit pada orang dewasa yang lebih tua. Proses ini
juga membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali berfungsi normal.
Penurunan fungsi ginjal juga menempatkan orang dewasa yang lebih tua
pada risiko yang lebih tinggi untuk toksisitas dari obat-obatan jika
tingkat ekskresi lebih lama. Perubahan yang lebih terlihat dengan
bertambahnya usia adalah yang berhubungan dengan kandung kemih.
Keluhan urgensi berkemih dan frekuensi berkemih sering terjadi. Pada
pria, perubahan ini sering disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat,
dan pada wanita mungkin karena melemahnya otot yang menopang
kandung kemih atau kelemahan sfingter uretra. Kapasitas kandung kemih
dan kemampuannya untuk benar-benar kosong berkurang seiring
bertambahnya usia. Ini menjelaskan kebutuhan orang dewasa yang lebih
tua untuk bangun pada malam hari untuk berkemih (frekuensi nokturnal)
dan retensi urin residu, yang menjadi predisposisi orang dewasa yang
lebih tua untuk infeksi kandung kemih.
Untuk lebih singkatnya dapat dilihat pada tabel perubahan eliminasi urin
sepanjang hidup manusia. (Berman et al, 2016) Page 1308 TABLE 48–1
Changes in Urinary Elimination Throughout the Life Span
Stage Variations
Fetuses (Janin) ➔ Ginjal janin mulai mengeluarkan urin antara minggu ke-11
dan ke-12 perkembangan.
B. Psychosocial factors
Bagi banyak orang, serangkaian kondisi membantu merangsang refleks
berkemih. Kondisi ini meliputi privasi, posisi normal, waktu yang cukup, dan
terkadang air mengalir. Keadaan yang tidak memungkinkan kondisi klien yang
biasa dapat menghasilkan kecemasan dan ketegangan otot. Akibatnya, orang
tersebut tidak dapat mengendurkan otot perut dan perineum serta sfingter uretra
eksternal; dengan demikian, berkemih terhambat. Orang juga mungkin secara
sukarela menahan buang air kecil karena tekanan waktu yang dirasakan;
misalnya, perawat sering mengabaikan keinginan untuk berkemih sampai
mereka bisa istirahat. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko ISK.
D. Medications
Banyak obat, terutama yang mempengaruhi sistem saraf otonom, mengganggu
proses buang air kecil yang normal dan dapat menyebabkan retensi. Berikut
beberapa obat yang menyebabkan retensi :
● Obat antikolinergik, seperti Atropin, Robinul, dan Pro-Banthine
● Agen antidepresan dan antipsikotik, seperti antidepresan trisiklik dan
inhibitor MAO
● Sediaan antihistamin, seperti pseudoefedrin (Actifed dan Sudafed)
● Antihipertensi, seperti hydralazine (Apresoline) dan methyldopate
(Aldomet)
● Obat antiparkinsonisme, seperti levodopa, trihexyphenidyl (Artane), dan
benztropine mesylate (Cogentin)
● Penghambat beta-adrenergik, seperti propranolol (Inderal)
● Opioid, seperti hidrokodon (Vicodin)
Lalu ada diuretik (misalnya, chlorothiazide dan furosemide) meningkatkan
pembentukan urin dengan mencegah reabsorpsi air dan elektrolit dari tubulus
ginjal ke dalam aliran darah. Beberapa obat dapat mengubah warna urin.
E. Muscle tone
Tonus otot yang baik penting untuk menjaga regangan dan kontraktilitas otot
detrusor sehingga kandung kemih dapat terisi secara adekuat dan kosong
sepenuhnya. Klien yang membutuhkan kateter retensi untuk waktu yang lama
mungkin memiliki tonus otot kandung kemih yang buruk karena drainase urin
yang terus menerus mencegah kandung kemih untuk mengisi dan
mengosongkan secara normal. Tonus otot panggul juga berkontribusi pada
kemampuan untuk menyimpan dan mengosongkan urin.
F. Pathologic Conditions
Beberapa penyakit dan patologi dapat mempengaruhi pembentukan dan ekskresi
urin. Penyakit ginjal dapat mempengaruhi kemampuan nefron untuk
menghasilkan urin. Jumlah protein atau sel darah yang tidak normal mungkin
ada dalam urin, atau ginjal hampir berhenti memproduksi urin sama sekali, suatu
kondisi yang dikenal sebagai gagal ginjal. Gangguan jantung dan peredaran
darah seperti gagal jantung, syok, atau hipertensi dapat mempengaruhi aliran
darah ke ginjal, mengganggu produksi urin. Jika jumlah abnormal cairan hilang
melalui rute lain (misalnya, muntah atau demam tinggi), air ditahan oleh ginjal
dan output urin turun. Proses yang mengganggu aliran urin dari ginjal ke uretra
mempengaruhi ekskresi urin. Batu saluran kemih (kalkulus) dapat menyumbat
ureter, menghalangi aliran urin dari ginjal ke kandung kemih. Hipertrofi kelenjar
prostat, suatu kondisi umum yang mempengaruhi pria yang lebih tua, dapat
menyumbat uretra, mengganggu buang air kecil dan pengosongan kandung
kemih.
Proses filtrasi darah saat ginjal tidak berfungsi secara normal dilakukan dengan
dialisis renal, yaitu hemodialisis dan dialisis peritoneal. Pada proses
hemodialisis, darah klien mengalir melalui kateter vaskular melalui larutan
dialisis di mesin eksternal kemudian kembali klien. Pada dialisis peritoneal,
larutan dialisis dimasukkan pada rongga abdominal melalui kateter yang
menyebabkan pertukaran cairan dan molekul.
B. Gangguan eliminasi urin adalah sebagai berikut (Berman, et al., 2016):
a. Urinary frequency adalah kondisi buang air kecil yang lebih dari
frekuensi interval atau lebih dari empat sampai enam kali per hari.
Peningkatan intake cairan menyebabkan peningkatan frekuensi
berkemih. Kondisi seperti infeksi saluran urin, stres, dan kehamilan dapat
menurunkan frekuensi berkemih sekitar 50—100 mL urin, sedangkan
jumlah intake dan output cairan mungkin normal.
b. Nokturia adalah kondisi berkemih dua kali atau lebih saat malam hari.
c. Urgensi adalah kondisi seseorang yang tiba-tiba merasa ingin berkemih.
Faktor yang memengaruhi adalah tekanan psikologis dan iritasi pada
trigonum dan uretra. Umum terjadi pada seseorang dengan kontrol
sfingter eksternal yang buruk dan kontraksi kandung kemih yang tidak
stabil.
d. Disuria adalah kondisi seseorang merasa sakit atau sulit berkemih, dapat
disertai penyempitan uretra, infeksi saluran urin, dan cedera pada
kandung kemih atau uretra. Klien mengeluhkan mereka harus memaksa
atau merasa seperti terbakar saat berkemih. Urinary hesitancy atau
penundaan berkemih berasosiasi dengan disuria.
e. Enuresis adalah kondisi urinasi yang tidak disadari biasanya pada anak-
anak usia empat atau lima tahun. Nocturnal enuresis tidak teratur terjadi
lebih sering pada anak laki-laki. Diurnal enuresis lebih sering terjadi
pada anak perempuan dan umumnya persisten.
f. Inkontinensia urin adalah kondisi berkemih yang tidak disadari atau
hilangnya kontrol kandung kemih dan merupakan gejala kesehatan.
Kondisi ini normal pada bayi, pada orang dewasa dapat berpengaruh
pada penurunan kualitas hidup. Inkontinensia pada wanita meningkatkan
isolasi sosial, penarikan sosial, dampak negatif terhadap fungsi seksual,
depresi, hambatan terhadap ketertarikan sosial, aktivitas fisik, dan
lainnya (Schultz, 2012). Empat kondisi inkontinensia urin adalah sebagai
berikut:
i. Stress urinary incontinence (SUI) yang terjadi karena lemahnya
otot dasar panggul dan hipermobilitas uretra sehingga
menyebabkan kebocoran urin saat batuk, bersin, tertawa, atau
kegiatan lain yang memberi tekanan pada kandung kemih.
Wanita lebih rentan terhadap kondisi ini karena uretra yang lebih
pendek, trauma dasar panggul setelah melahirkan, dan perubahan
berkaitan dengan menopause.
ii. Urge urinary incontinence (UUI) adalah kondisi kebutuhan
berkemih yang mendesak dan ketidakmampuan menghentikan
mikturisi. Kebocoran urin bervariasi dari sedikit sampai
membasahi celana dalam. Kondisi ini adalah gejala utama
kandung kemih yang over aktif (National Association for
Continence, 2014).
iii. Mixed urinary incontinence (MUI) adalah kondisi dimana gejala
SUI dan UUI muncul dan umum terjadi di usia pertengahan atau
wanita dewasa.
iv. Overflow incontinence (OI) adalah kebocoran urin yang tidak
disadari secara terus menerus atau urin yang merembes karena
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna. Kondisi ini
dapat terjadi pada laki-laki dengan pembesaran prostat dan klien
dengan gangguan neurologis. Fungsi neurologis yang terganggu
dapat memengaruhi mekanisme eliminasi urin normal dan
menyebabkan neurogenic kandung kemih dimana klien tidak
dapat mengetahui bahwa kandung kemih sudah penuh sehingga
tidak mampu mengontrol sfingter.
g. Retensi urin adalah kondisi dimana pengosongan kandung kemih
terganggu dan urin berlebihan terkumpul pada kandung kemih. Volume
kandung kemih yang berlebihan menyebabkan kontraktilitas otot
detrusor lemah sehingga urinasi terganggu. Penyebab umum kondisi ini
adalah hipertrofi prostat, operasi, dan medikasi. Retensi urin akut adalah
komplikasi yang umum terjadi selama dua sampai empat jam
pascaoperasi. Retensi urin kronik disebabkan oleh paraplegia,
quadriplegia, sklerosis, dan trauma uretra atau perineum. Klien dengan
retensi urin mungkin mengalami OI dengan eliminasi sebanyak 25—50
mL pada frekuensi interval.
h. Infeksi saluran urin terjadi pada saluran urin atas (ginjal) dan saluran urin
bawah (kandung kemih dan uretra). Risiko infeksi ini meningkat pada
penggunaan kateter, pemasangan peralatan pada saluran urin, retensi
urin, inkontinensia urin dan fekal, serta kebersihan perineum yang buruk
(Potter & Perry, 2017).
i. Bakteriuria tidak selalu mengindikasikan infeksi, bakteri yang
terdapat pada kultur urin disebut asimptomatik bakteriuria dan
tidak perlu diberi antibiotik. Infeksi simptomatik pada kandung
kemih yang dapat menyebabkan pielonefritis dan infeksi saluran
darah yang mengancam kehidupan (bacteremia atau urosepsis)
harus diberi antibiotik. Gejala infeksi saluran urin bawah dapat
berupa disuria, iritasi kandung kemih (cystitis), urin keruh berbau
busuk. Orang dewasa dapat mengalami delirium dan hematuria.
Jika mengalami pielonefritis, terjadi diaforesis, demam, dan sakit
pinggang.
ii. Infeksi berasosiasi dengan kateter perlu diwaspadai dengan cara
mengecek urin pasien secara berkala untuk mencegah
kontaminasi. Infeksi ini menyebabkan peningkatan morbiditas
dan mortalitas, peningkatan biaya rumah sakit, dan penambahan
hari perawatan.
i. Urine diversion dimulai dari bagian usus halus untuk membuat
penampungan atau saluran untuk urin yang terjadi selama operasi. Dua
jenis urine diversion adalah sebagai berikut (Potter & Perry, 2017):
i. Continent urinary reservoir yang dibentuk dari bagian distal
ileum dan proksimal kolon. Ureter disisipkan dalam reservoir
yang diposisikan di bawah dinding abdominal dan bagian kecil
ileum diarahkan menuju dinding abdominal untuk membentuk
stoma kecil. Katup ileosekum membentuk katup satu arah dan
kateter dimasukkan melalui stoma untuk mengosongkan kantong
urin.
ii. Orthotopic neobladder menggunakan ileum untuk menggantikan
kandung kemih sehingga pasien dapat berkemih melalui uretra
dengan teknik Valsava. Ureterostomi adalah pengalihan urin
permanen yang dibentuk dengan mentransplantasikan ureter ke
bagian tertutup intestinal ileum dan mengarahkan bagian lainnya
keluar dinding abdominal membentuk stoma sehingga pasien
tidak merasakan sensasi aliran urin melalui penampungan pada
ileum. Nephrostomy adalah saluran kecil yang dibentuk dari kulit
menuju pelvis ginjal. Saluran ini mengosongkan pelvis renal saat
ureter obstruksi.
Volume urin yang tersisa di kandung kemih dapat diukur dengan
ultrasound atau kateterisasi disebut post void residual (PVR).
Dalam pengkajian urine, urine normal terdiri dari 96% air dan 4% zat terlarut.
Zat terlarut organik termasuk urea, amonia, kreatinin, dan asam urat. Urea
adalah zat terlarut organik utama. Zat terlarut anorganik meliputi natrium,
klorida, kalium, sulfat, magnesium, dan fosfor. Natrium klorida adalah garam
anorganik yang paling melimpah. Variasi warna dapat terjadi dalam karakteristik
urine normal dan abnormal. Pengkajian urine mencakup mengukur keluaran
urine dan mengukur residual urine. Normalnya, ginjal memproduksi urine
dengan kecepatan kira-kira 60 mL/jam atau sekitar 1.500 mL/hari. Output urine
dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk asupan cairan, kehilangan cairan
tubuh melalui rute lain seperti keringat dan pernapasan atau diare, dan status
kardiovaskuler dan ginjal individu. Pengeluaran urine di bawah 30 mL/jam
dapat mengindikasikan volume darah yang rendah atau kerusakan ginjal dan
harus dilaporkan (Berman et al, 2016). Untuk mengukur keluaran cairan perawat
mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Kenakan sarung tangan bersih untuk mencegah kontak dengan
mikroorganisme atau darah dalam urin.
2. Minta klien untuk berkemih dengan alat pengumpul urinoir, pispot, toilet,
atau toilet yang bersih.
3. Anjurkan klien untuk memisahkan urin dari feses dan menghindari
meletakkan tisu toilet di wadah penampung urin.
4. Tuangkan urin yang telah dikeluarkan ke dalam wadah yang telah
dikalibrasi.
5. Pegang wadah setinggi mata, baca jumlah dalam wadah. Wadah biasanya
memiliki skala pengukur di bagian dalam.
6. Catat jumlah cairan pada lembar pemasukan dan pengeluaran cairan, yang
mungkin ada di samping tempat tidur atau di kamar mandi.
7. Bilas koleksi urin dan wadah pengukur dengan air dingin dan simpan
dengan benar.
8. Lepaskan sarung tangan dan lakukan kebersihan tangan.
9. Hitung dan dokumentasikan total output pada akhir setiap shift dan pada
akhir 24 jam pada grafik klien.
Banyak klien dapat mengukur dan mencatat pengeluaran urin mereka sendiri
ketika prosedur dijelaskan kepada mereka. Saat mengukur urin dari klien yang
memiliki kateter urin, perawat mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Gunakan sarung tangan bersih
2. Bawa wadah yang telah dikalibrasi ke samping tempat tidur
3. Tempatkan wadah di bawah kantung penampung urin sehingga cerat
kantong berada di atas wadah tetapi tidak menyentuhnya. Wadah yang
dikalibrasi tidak steril, tetapi bagian dalam kantong pengumpul steril
4. Buka cerat dan biarkan urin mengalir ke dalam wadah
5. Tutup cerat, lalu lanjutkan seperti yang dijelaskan dalam daftar sebelumnya
Post Void residual (PVR) (urine yang tersisa di kandung kemih setelah
berkemih) biasanya 50 hingga 100 mL. Namun, obstruksi saluran keluar
kandung kemih (misalnya, pembesaran kelenjar prostat) atau hilangnya tonus
otot kandung kemih dapat mengganggu pengosongan kandung kemih secara
lengkap selama buang air kecil. Manifestasi retensi urin mungkin termasuk
sering berkemih dalam jumlah kecil (misalnya, kurang dari 100 mL pada orang
dewasa), stasis urine, dan UTI. PVR diukur untuk menilai jumlah urine yang
tertahan setelah berkemih dan menentukan kebutuhan intervensi (misalnya, obat-
obatan untuk meningkatkan kontraksi otot detrusor). Untuk mengukur PVR,
perawat melakukan kateterisasi atau scan kandung kemih klien setelah berkemih.
Jumlah urin yang dikeluarkan dan jumlah yang diperoleh dengan kateterisasi
atau pemindaian kandung kemih diukur dan dicatat. Kateter yang menetap dapat
dimasukkan jika PVR melebihi jumlah yang ditentukan(Berman et al, 2016).
Tes Diagnostik juga perlu diperhatikan. Tingkat darah dari dua zat yang
diproduksi secara metabolik, urea dan kreatinin, secara rutin digunakan untuk
mengevaluasi fungsi ginjal. Ginjal melalui filtrasi dan sekresi tubulus secara
normal mengeliminasi ureum dan kreatinin. Urea adalah produk akhir
metabolisme protein, diukur sebagai nitrogen urea darah (BUN). Kreatinin
diproduksi dalam jumlah yang relatif konstan oleh otot. Tes klirens kreatinin
menggunakan urin 24 jam dan kadar kreatinin serum untuk menentukan laju
filtrasi glomerulus, indikator sensitif fungsi ginjal. Tes lain yang terkait dengan
fungsi kemih seperti mengumpulkan spesimen urine, mengukur berat jenis, dan
visualisasi.
Masalah eliminasi urin juga dapat menjadi etiologi dari masalah lain yang
dialami klien. Contohnya adalah sebagai berikut:
1. Risiko Infeksi jika klien mengalami retensi urin atau menjalani prosedur
invasif seperti kateterisasi atau pemeriksaan sistoskopi.
2. Harga Diri Rendah Situasional atau Isolasi Sosial jika klien mengompol.
Inkontinensia dapat membuat klien tertekan secara fisik dan emosional
karena dianggap tidak dapat diterima secara sosial. Seringkali klien merasa
malu dan mungkin membatasi aktivitas normal karena alasan ini.
3. Risiko Kerusakan Integritas Kulit jika klien mengompol. Seprai dan pakaian
yang jenuh dengan urin mengiritasi dan merusak kulit. Kelembaban kulit
yang berkepanjangan menyebabkan dermatitis (radang kulit) dan
pembentukan ulkus dermal selanjutnya.
4. Toileting Self-Care Deficit jika klien mengalami inkontinensia fungsional.
5. Resiko Kekurangan Volume Cairan atau Kelebihan Volume Cairan jika
klien mengalami gangguan fungsi berkemih berhubungan dengan proses
penyakit.
6. Citra Tubuh Terganggu jika klien mengalami ostomi diversi urine.
7. Kurang Pengetahuan jika klien membutuhkan keterampilan perawatan diri
untuk mengelola (misalnya, ostomi pengalihan urine baru).
8. Risiko Ketegangan Peran Pengasuh jika klien mengompol dan dirawat oleh
anggota keluarga untuk waktu yang lama.
9. Risiko Isolasi Sosial jika klien mengompol.
2.4.5 Evaluasi
Menggunakan tujuan keseluruhan dan hasil yang diinginkan yang diidentifikasi
dalam tahap perencanaan, perawat mengumpulkan data untuk mengevaluasi
efektivitas kegiatan keperawatan. Jika hasil yang diinginkan tidak tercapai,
telusuri penyebab sebelum memodifikasi rencana perawatan. Misalnya, jika
hasil “Tetap kering antara berkemih dan pada malam hari” tidak terpenuhi,
contoh pertanyaan yang perlu dipertimbangkan yaitu:
1. Bagaimana persepsi klien terhadap masalah?
2. Apakah klien memahami dan mematuhi instruksi proses keperawatan
yang diberikan?
3. Adakah masalah mengenai akses fasilitas toilet?
4. Bisakah klien memanipulasi pakaian untuk toilet? Bisakah mengatur
pelepasan pakaian yang lebih mudah?
5. Apakah jadwal buang air kecil klien teratur?
6. Apakah pencahayaan toilet cukup saat malam hari?
7. Apakah alat mobilisasi seperti walker, dudukan toilet yang diatur, atau
pegangan diperlukan? Apakah itu cukup memadai?
8. Apakah klien melakukan latihan otot dasar panggul sesuai dengan
jadwal?
9. Apakah asupan cairan klien tercukupi? Apakah waktu asupan cairan
perlu diatur?
10. Apakah klien membatasi kafein, jus jeruk, minuman berkarbonasi, dan
pemanis buatan?
11. Apakah klien menggunakan diuretik? Jika iya, kapan klien mengonsumsi
obat? Apakah waktunya butuh diatur?
12. Apakah alat bantu kontinensia diperlukan?
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada sistem kemih terdapat beberapa organ yang sangat berperan, yaitu ginjal, ureter,
kandung kemih, dan uretra. Eliminasi urin merupakan proses pembuangan sisa
metabolisme tubuh berupa urin. Urin terbentuk melalui tiga tahap antara lain adalah
filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses
eliminasi urin, yaitu developmental factors, psychosocial factors, fluid and food intake,
medications, muscle tone, pathologic conditions, serta surgical and diagnostic
procedures. Faktor-faktor tersebut tentunya harus dipahami oleh setiap guna
mempermudah proses pemahaman dan pemberian asuhan keperawatan yang sesuai.
Pada proses eliminasi urin, gangguan bisa saja terjadi. Gangguan tersebut terbagi
menjadi dua, yaitu perubahan produksi urin dan perubahan eliminasi urin. Contoh dari
gangguan produksi urin antara lain ialah poliuria atau disebut juga diuresis (produksi
urin berlebih), oliguria (output urin yang rendah), dan anuria (produksi urin yang
kurang). Sementara itu, contoh dari gangguan eliminasi urin adalah buang air berlebih
dalam sehari, nokturia, urgensi, disuria, enuresis, inkontinensia, retensi urin, infeksi
saluran urin, serta urine diversion. Sesuai dengan kasus yang didapat terkait
inkontinensia urin, perawat diharuskan mampu melakukan tahapan-tahapan asuhan
keperawatan dengan baik, sistematis, dan teratur supaya tercapai hasil dan tujuan yang
telah ditetapkan.
3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, penulis mengharapkan agar dirinya dan pembaca dapat
menambah wawasan mengenai materi kebutuhan dasar eliminasi urin. Selain itu,
diharapkan makalah ini dapat menjadi sebuah pemicu bagi pembaca untuk dilakukannya
studi lebih lanjut dan lebih komprehensif. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan
dalam penyusunan makalah, penulis menyarankan pembaca untuk memberikan kritik
dan saran yang membangun untuk dijadikan bagi pembelajaran bagi penulis
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Berman, A., Snyder, S., Frandsen, G. (2016). Fundamental of Nursing. 10th Ed.
New Jersey: Pearson.
Collein, I (2012). Pengalaman Lansia dalam Penanganan Inkontinensia Urine
di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji. Jurnal Keperawatan Soedirman Vol 7. 3.
158-165.
Departemen Kesehatan RI. (2013). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Herdman, T. H. et al. (2021). NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2021-2023 Edisi 12. Editor Herdman, T. H et al; alih bahasa Keliat,
B. A et al. Jakarta: EGC.
National Association for Continence. (2014). The basic types of incontinence.
Retrieved from http://www.nafc.org/ bladder-bowel-health/types-of-
incontinence
Potter, P.A., Perry, A.G., Stockert, P.A., Hall, A.M. (2013). Fundamentals of
Nursing, 8th
ed. St. Louis: Mosby-Elsevier.
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2017) Fundamental of
Nursing. 9th ed. St. Louis: Elsevier Inc.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.
Schultz, J. (2012). Rethink urinary incontinence in older women. Nursing,
42(11), 32–40. doi:10.1097/01.NURSE.0000421371.52320.aa
Sherwood,L. (2016). Human Physiology from Cells to Systems, 9th ed.
Australia:
Cengage Learning.
Tortora, G.J., & Derrickson, B. (2009). Principles Of Anatomy And Physiology,
12th ed.
New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Yuliana, D. (2011). Pengaruh Senam Kegel Terhadap Perubahan Tipe
Inkontinensia Urine pada Lansia di Panti Sosial tresna Werdha Sabai
Aluinsicicin. Skripsi tidak ditampilkan. Sumatera Barat : Fakultas Keperawatan
Universitas Andalas