Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH

“Kebutuhan Dasar Eliminasi Urin”

Disusun oleh:
Focus Group 6
Asma Mabrukah (2006598742)
Ditra Alifia Fathanah (2006521452)
Fathdanifa Zaen (2006598326)
Oktavia Misvaidhah (2006598093)
Uzlifatil Jannah (2006598723)

KEPERAWATAN DASAR B
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
DEPOK 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya
yang telah memberikan kesempatan bagi kami kelompok Focus Group 6 Keperawatan
Dasar kelas B Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih kami haturkan
kepada semua anggota Focus Group 6 Keperawatan Dasar kelas B yang terlibat dan
membantu sehingga makalah ini dapat dibuat dengan baik dan selesai tepat pada
waktunya.
Ucapan terima kasih juga kami haturkan untuk fasilitator kelas yang terhormat
Ns. Shanti Farida Rachmi, S.Kep., M.Kep. yang telah membimbing kami selama
melaksanakan kegiatan pembelajaran tentang Kebutuhan Dasar Eliminasi Urin.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dasar.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami
menghaturkan permohonan maaf bila terdapat beberapa kesalahan dalam makalah ini,
kami juga mengharapkan kritikan serta saran tentang makalah ini, tolong disampaikan
kepada kami agar di kemudian hari kami bisa membuat makalah yang lebih baik secara
keseluruhan. Demikian makalah ini disusun dengan harapan makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Depok, 24 November 2021

Kelompok FG
ABSTRAK
Eliminasi Urin adalah proses metabolisme tubuh yang bertujuan untuk mengeluarkan
bahan sisa dari tubuh dengan bentuk cairan urin. Sistem pengeluaran urin di dalam
tubuh dibantu oleh beberapa organ yang meliputi ginjal, ureter, kandung kemih, dan
uretra. Dalam prosesnya, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi eliminasi urin,
seperti faktor perkembangan, faktor psikososial, faktor asupan makanan dan cairan,
faktor pengobatan, faktor bentuk otot, faktor kondisi patologis, serta faktor prosedur
diagnostik dan pembedahan.

Gangguan eliminasi urin dapat dibagi menjadi dua, yaitu perubahan produksi urin dan
perubahan eliminasi urin. Umumnya individu buang air kecil sebanyak lima sampai
enam kali sehari, tetapi beberapa faktor memengaruhi perubahan pola produksi dan
eliminasi urin menjadi tidak normal, seperti poliuria, oliguria, dan anuria. Salah satu
gangguan eliminasi urin yang terjadi adalah inkontinensia urin. Asuhan keperawatan
yang dilakukan pada gangguan eliminasi urin bertujuan untuk mengembalikan pola
eliminasi urin menjadi normal.

Kata Kunci : Eliminasi Urin, Faktor, Gangguan Eliminasi Urin, Inkontinensia Urin,
Asuhan Keperawatan
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eliminasi dari saluran kemih seringkali dianggap remeh. Hanya ketika masalah
muncul, kebanyakan orang menjadi sadar akan kebiasaan buang air kecil mereka dan
gejala terkait lainnya. Kebiasaan buang air kecil seseorang bergantung pada budaya
sosial, kebiasaan pribadi, dan kemampuan fisik. Di Amerika Utara, kebanyakan orang
terbiasa dengan privasi dan lingkungan yang bersih saat mereka buang air kecil
(Berman et al, 2016). Kebiasaan pribadi tentang buang air kecil dipengaruhi oleh
kesopanan sosial meninggalkan buang air kecil, ketersediaan fasilitas kebersihan
pribadi, dan pelatihan kandung kemih awal. Ketika sistem kemih gagal berfungsi
dengan baik, akhirnya semua sistem organ terpengaruh. Berdasarkan data dari WHO
dalam Collein (2012), 200 juta penduduk dunia mengalami inkontinensia urine.
Sedangkan berdasarkan data Departemen Kesehatan RI. (2012), didapatkan data 5,8 %
penduduk Indonesia mengalami inkontinensia urine. Penderita inkontinensia mencapai
13 juta dengan 85% diantaranya perempuan di Amerika Serikat. Sekitar 50% usia lanjut
di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urine.
Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering
mengalami inkontinensia urine daripada laki-laki dengan Perbandingan 1,5:1 (Yuliana,
2011). Pasien dengan perubahan eliminasi urin sering menderita secara emosional dari
perubahan citra tubuh. Penting untuk mengetahui alasan masalah eliminasi urin,
menemukan solusi yang dapat diterima, serta memberikan pemahaman dan kepekaan
terhadap semua kebutuhan pasien. Untuk menangani masalah eliminasi urine pada
pasien, perawat harus mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang
mempengaruhi eliminasi. Asuhan keperawatan yang mendukung akan menghormati
privasi dan kebutuhan emosional klien. Tindakan yang dirancang untuk meningkatkan
eliminasi normal serta meminimalkan rasa ketidaknyamanan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang disusun berdasarkan kasus pemenuhan kebutuhan dasar
eliminasi urin adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana overview anatomi dan fisiologi sistem eliminasi urin?
b. Apa saja faktor yang memengaruhi proses eliminasi urin?
c. Apa saja gangguan yang terjadi pada proses eliminasi urin?
d. Bagaimana gangguan eliminasi urin terjadi?
e. Bagaimana proses keperawatan dalam memenuhi kebutuhan dasar eliminasi
urin, meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penyusunan makalah ini adalah
sebagai berikut:
a. Untuk menjelaskan konsep dan prinsip kebutuhan dasar eliminasi urin pada
manusia, meliputi konsep fisiologis, faktor yang memengaruhi, dan gangguan
yang terjadi
b. Untuk menjelaskan dampak yang terjadi berkaitan dengan gangguan eliminasi
urin
c. Untuk menentukan diagnosis keperawatan yang sesuai dalam pemenuhan
kebutuhan dasar eliminasi urin
d. Untuk merencanakan asuhan keperawatan yang sesuai berdasarkan diagnosis
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar eliminasi urin
e. Untuk menetapkan tindakan keperawatan yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar eliminasi urin
BAB II
ISI

2.1 Overview anatomi dan fisiologi sistem eliminasi urin


Sistem tubuh yang memiliki peran dalam proses terjadinya eliminasi urin adalah ginjal,
ureter, kandung kemih, dan uretra.
a. Ginjal
Ginjal terletak di kedua sisi tulang belakang pada level tulang rusuk ke sebelas
dan dua belas tepat di atas pinggang (Tortora, 2009). Meskipun berada di bawah
diafragma, secara teknis ginjal berada di luar rongga abdomen terhimpit di
antara membran peritoneum. Ginjal juga disebut sebagai retroperitoneal karena
letaknya yang berada di belakang rongga peritoneal. Posisi ginjal kanan lebih
rendah daripada ginjal kiri karena posisi organ hati (Berman et al, 2016). Ginjal
dewasa biasanya berukuran panjang 10 – 12 cm, lebarnya 5 -7 cm, dan
ketebalannya 3 cm dengan massa 135 – 150 g (Tortora, 2009). Ada beberapa
fungsi dari ginjal, yaitu mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh,
mempertahankan osmolaritas cairan tubuh, mengatur jumlah serta konsentrasi
sebagian besar ion CES, mempertahankan volume plasma, mempertahankan
keseimbangan asam-basa tubuh, mensekresikan produk-produk akhir
metabolisme, mensekresikan senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh,
mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya, menghasilkan renin yang
berperan dalam konservasi garam oleh ginjal, serta menghasilkan eritropoietin
yang dapat merangsang produk sel darah merah.

Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (Berman et al, 2016). Nefron
adalah unit fungsional dari organ ginjal yang terdiri dari dua bagian, yaitu renal
corpuscle sebagai tempat filtrasi plasma darah dan renal tubule sebagai jalur
cairan filtrasi. Komponen dari renal corpuscle adalah glomerulus dan kapsul
bowman. Plasma darah di filtrasi di kapsul bowman dan cairan filtrasi itu
mengalir ke renal tubule. Renal tubule terdiri dari proximal convoluted tubule
(PCT), loop of Henle, dan distal convoluted tubules.

Di dalam ginjal, terjadi proses pembentukan urin yang terdiri dari tiga tahap
(Sherwood, 2016), yaitu:
1. Filtrasi
Produksi urin, air dan sebagian besar zat terlarut dalam plasma darah
bergerak melintasi dinding kapiler glomerulus, tempat mereka disaring
dan dipindahkan ke dalam kapsul glomerulus dan kemudian ke tubulus
ginjal. Filtrasi terletak pada renal corpuscle, yang terdiri dari kapiler
glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul bowman.
2. Reabsorbsi
Zat yang masih diperlukan dalam tubuh diserap kembali melalui rute
transeluler atau paraseluler. Di dalam rute transelular, zat yang diangkut
bergerak melalui membran apikal, sitosol, dan membran basolateral sel
tubulus, kemudian endotelium kapiler peritubular dan keluar ke dalam
cairan interstitial melalui membran basolateral. Sementara rute
paraseluler, pergerakan pasif melewati tight junction antara sel tubuh.
Proses reabsorpsi dapat disebut aktif atau pasif tergantung dengan zat
yang diangkut. Reabsorpsi tubular aktif membutuhkan ATP baik secara
langsung (transpor aktif primer) atau tidak langsung (transpor aktif
sekunder); Reabsorpsi tubular pasif meliputi difusi, difusi difasilitasi, dan
osmosis.
3. Sekresi
Pengangkutan zat terlarut dari cairan kapiler peritubular kemudian
melintasi epitel tubular yang selanjutnya ke dalam cairan tubular. Sekresi
diperlukan karena penyaringan tidak memaksa semua bahan terlarut
keluar dari dari darah. Ketika cairan yang disaring mengalir melalui
tubulus ginjal dan duktus pengumpul, tubulus ginjal dan sel duktus akan
mengeluarkan zat lain seperti limbah, obat-obatan, dan ion berlebih, ke
dalam cairan (urin). Sekresi tubular sangat penting karena terdapat
beberapa manfaat yang bisa didapat, yaitu membuang zat-zat seperti
obat-obatan tertentu dan metabolit yang terikat erat dengan protein
plasma, menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkan atau produk akhir
yang telah diserap kembali oleh proses pasif, membersihkan tubuh
kelebihan K +, serta mengontrol pH darah.
b. Ureter
Urin yang telah terbentuk di ginjal akan bergerak melalui saluran pengumpul
kemudian calyces pelvis ginjal masuk ke ureter. Fungsinya adalah menyalurkan
urin dari ginjal menuju kandung kemih (Tortora, 2009). Ureter memiliki panjang
sekitar 25 hingga 30 cm. Di persimpangan antara ureter dan kandung kemih
terdapat lipatan selaput lendir seperti flap yang berfungsi sebagai katup untuk
mencegah refluks atau aliran balik urin ke atas ureter. Ada tiga lapisan pada
dinding ureter (Berman et al, 2016), yaitu:
1. Mukosa, bagian yang paling dalam berupa membran mukosa dengan
jaringan epitel transisional dan jaringan ikat areolar. Lapisan ini memiliki
sel goblet untuk sekresi mukus.
2. Muscularis, bagian tengah dinding yang terdiri dari serat otot polos yang
berperan dalam gerakan peristaltik.
3. Adventitia, bagian paling luar yang berfungsi untuk menjaga ureter tetap
pada tempatnya. Lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh
limfa, dan saraf.
c. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan organ berongga dan berotot yang berfungsi sebagai
reservoir untuk urin dan juga sebagai organ ekskresi (Berman et al, 2016). Pada
pria, kandung kemih terletak di depan rektum dan di atas kelenjar prostat,
sedangkan pada wanita, kandung kemih terletak di depan uterus dan vagina.
Ketika kosong, kandung kemih berada di belakang simfisis pubis. Dinding
kandung kemih terdiri dari empat lapisan, yaitu lapisan mukosa bagian dalam,
lapisan jaringan ikat, tiga lapisan serat otot polos, dan lapisan serosa luar.
d. Uretra
Pada pria, uretra dibagi menjadi 3 bagian, yaitu uretra prostat (melewati prostat),
uretra intermediet (terpendek, melewati otot perineum), dan spongy (terpanjang,
melewati penis). Panjang uretra sekitar 20 cm (8 inci). Sementara itu, pada
wanita dinding utetra terdiri dari 3 lapisan, sama seperti ureter. Letaknya tepat di
belakang simfisis pubis, anterior vagina, dan panjangnya sekitar 3 - 4 cm (1,5
in). Uretra berperan dalam menyalurkan urin ke lingkungan eksternal. Pada pria,
uretra juga berfungsi untuk mengeluarkan semen. Sedangkan pada wanita hanya
dilalui urin (Tortora, 2009).
2.2 Faktor yang mempengaruhi proses eliminasi urin
Dalam mempelajari kebutuhan dasar eliminasi urin, tentu tidak luput dari faktor-faktor
yang membersamainya. Salah satu nya yaitu faktor yang dapat mempengaruhi proses
eliminasi urin, perawat harus memahami hal ini karena akan digunakan pemahaman
materi ini saat kelak perawat memberikan asuhan keperawatan dengan diagnosis
terganggunya kebutuhan dasar eliminasi urin. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses eliminasi urin, yaitu :
A. Developmental Factors
Tahap perkembangan dibagi berdasarkan usia, antara lain:
a. Bayi
Output urin bervariasi sesuai dengan asupan cairan tetapi secara bertahap
meningkat menjadi 250 hingga 500 mL sehari selama tahun
pertama.Bayi dapat buang air kecil sesering 20 kali sehari. Urin neonatus
tidak berwarna dan tidak berbau serta memiliki berat jenis 1,008. Karena
bayi baru lahir dan bayi memiliki ginjal yang belum matang, mereka
tidak dapat memekatkan urin dengan sangat efektif. Bayi lahir tanpa
kontrol urin. Sebagian besar akan mengembangkan ini antara usia 2 dan
5 tahun.

b. Anak Pra Sekolah


Anak prasekolah mampu mengambil tanggung jawab untuk toileting
mandiri. Orang tua perlu menyadari bahwa kecelakaan (ngompol)
memang terjadi dan anak tidak boleh dihukum atau dihukum karena hal
ini. Anak-anak sering lupa untuk mencuci tangan atau menyiram toilet
dan membutuhkan instruksi untuk membersihkan diri. Anak perempuan
harus diajarkan untuk menyeka dari depan ke belakang untuk mencegah
kontaminasi saluran kemih oleh kotoran.

c. Anak Usia Sekolah


Sistem eliminasi anak usia sekolah mencapai kedewasaan selama periode
ini. Ginjal berukuran dua kali lipat antara usia 5 dan 10 tahun. Selama
periode ini, anak buang air kecil enam sampai delapan kali sehari.
Enuresis, yang didefinisikan sebagai buang air kecil yang tidak disengaja
ketika kontrol harus dilakukan (sekitar usia 5 tahun), dapat menjadi
masalah bagi beberapa anak usia sekolah. Sekitar 10% dari semua anak
berusia 6 tahun mengalami kesulitan mengendalikan kandung kemih.
Enuresis nokturnal, atau mengompol, adalah buang air kecil yang tidak
disengaja saat tidur. Penyebabnya banyak tetapi pada dasarnya terjadi
karena klien gagal bangun saat kandung kemih kosong (Wellberry,
2008). Mengompol tidak boleh dianggap sebagai masalah sampai setelah
usia 6 tahun. Enuresis nokturnal dapat disebut sebagai enuresis primer
ketika anak tidak pernah mencapai kontrol urin malam hari. Insiden
enuresis nokturnal menurun seiring dengan bertambahnya usia anak.
Enuresis sekunder adalah enuresis yang muncul setelah anak mengalami
kekeringan selama 6 bulan berturut-turut. Ini sering dikaitkan dengan
masalah lain seperti sembelit, stres, atau penyakit dan dapat teratasi
ketika penyebabnya dihilangkan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
enuresis nokturnal primer dan sekunder mungkin terkait dengan
kebiasaan berkemih yang buruk di siang hari, dan anak-anak harus
diajari untuk menyadari sensasi untuk berkemih (Egeman, Akil, Canda,
Ozyurt, & Eser, 2008).

d. Orang Tua
Fungsi ekskresi ginjal berkurang seiring bertambahnya usia, tetapi
biasanya tidak secara signifikan di bawah tingkat normal kecuali jika ada
proses penyakit yang mengintervensi. Aliran darah dapat dikurangi oleh
arteriosklerosis, mengganggu fungsi ginjal. Seiring bertambahnya usia,
jumlah nefron yang berfungsi menurun sampai tingkat tertentu,
mengganggu kemampuan penyaringan ginjal. Kondisi yang mengubah
asupan dan keluaran cairan normal, seperti menderita influenza atau
menjalani operasi, dapat membahayakan kemampuan ginjal untuk
menyaring, menjaga keseimbangan asam-basa, dan menjaga
keseimbangan elektrolit pada orang dewasa yang lebih tua. Proses ini
juga membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali berfungsi normal.
Penurunan fungsi ginjal juga menempatkan orang dewasa yang lebih tua
pada risiko yang lebih tinggi untuk toksisitas dari obat-obatan jika
tingkat ekskresi lebih lama. Perubahan yang lebih terlihat dengan
bertambahnya usia adalah yang berhubungan dengan kandung kemih.
Keluhan urgensi berkemih dan frekuensi berkemih sering terjadi. Pada
pria, perubahan ini sering disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat,
dan pada wanita mungkin karena melemahnya otot yang menopang
kandung kemih atau kelemahan sfingter uretra. Kapasitas kandung kemih
dan kemampuannya untuk benar-benar kosong berkurang seiring
bertambahnya usia. Ini menjelaskan kebutuhan orang dewasa yang lebih
tua untuk bangun pada malam hari untuk berkemih (frekuensi nokturnal)
dan retensi urin residu, yang menjadi predisposisi orang dewasa yang
lebih tua untuk infeksi kandung kemih.

Untuk lebih singkatnya dapat dilihat pada tabel perubahan eliminasi urin
sepanjang hidup manusia. (Berman et al, 2016) Page 1308 TABLE 48–1
Changes in Urinary Elimination Throughout the Life Span

Stage Variations
Fetuses (Janin) ➔ Ginjal janin mulai mengeluarkan urin antara minggu ke-11
dan ke-12 perkembangan.

Infants (Bayi) ➔ Kemampuan untuk mengkonsentrasikan urin nya minimal;


oleh karena itu, urin tampak berwarna kuning muda.
➔ Karena ketidakmatangan neuromuskular, voluntary urinary
control nya tidak ada.

Children ➔ Fungsi ginjal mencapai kematangan antara tahun pertama dan


(Anak-anak) kedua anak berkembang; urin terkonsentrasi secara efektif
dan muncul warna kuning normal.
➔ Antara usia 18 dan 24 bulan, anak mulai mengenali kandung
kemih penuh (kebelet BAK) dan mampu menahan air seni
melebihi keinginan untuk BAK
➔ Pada usia kira-kira 2 1/2 sampai 3 tahun, anak dapat
merasakan kandung kemih penuh, menahan kencing setelah
keinginan untuk BAK, dan mengkomunikasikan kebutuhan
untuk buang air kecil.
➔ Kontrol urin penuh biasanya terjadi pada usia 4 atau 5 tahun;
kontrol siang hari biasanya dicapai pada usia 3 tahun.

Adults (Dewasa) ➔ Ginjal mencapai ukuran maksimum antara usia 35 dan 40


tahun.
➔ Setelah 50 tahun, ginjal mulai berkurang ukuran dan
fungsinya. Sebagian besar penyusutan terjadi di korteks
ginjal karena nefron individu hilang.

Older Adults ➔ Diperkirakan 30% nefron hilang pada usia 80 tahun.


(Lansia) ➔ Aliran darah ginjal menurun karena perubahan vaskular dan
penurunan curah jantung.
➔ Kemampuan untuk mengkonsentrasikan urin menurun.
➔ Tonus otot kandung kemih berkurang, menyebabkan
peningkatan frekuensi buang air kecil dan nokturia (bangun
untuk buang air kecil di malam hari).
➔ Penurunan tonus otot kandung kemih dan kontraktilitas dapat
menyebabkan sisa urin di kandung kemih setelah berkemih,
meningkatkan risiko pertumbuhan bakteri dan infeksi.
➔ Inkontinensia urin dapat terjadi karena masalah mobilitas
atau gangguan neurologis.

B. Psychosocial factors
Bagi banyak orang, serangkaian kondisi membantu merangsang refleks
berkemih. Kondisi ini meliputi privasi, posisi normal, waktu yang cukup, dan
terkadang air mengalir. Keadaan yang tidak memungkinkan kondisi klien yang
biasa dapat menghasilkan kecemasan dan ketegangan otot. Akibatnya, orang
tersebut tidak dapat mengendurkan otot perut dan perineum serta sfingter uretra
eksternal; dengan demikian, berkemih terhambat. Orang juga mungkin secara
sukarela menahan buang air kecil karena tekanan waktu yang dirasakan;
misalnya, perawat sering mengabaikan keinginan untuk berkemih sampai
mereka bisa istirahat. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko ISK.

C. Fluid and Food Intake


Tubuh yang sehat menjaga keseimbangan antara jumlah cairan yang dicerna dan
jumlah cairan yang dikeluarkan. Ketika jumlah asupan cairan meningkat, oleh
karena itu, output biasanya meningkat. Cairan tertentu, seperti alkohol,
meningkatkan keluaran cairan dengan menghambat produksi hormon
antidiuretik. Cairan yang mengandung kafein (misalnya, kopi, teh, dan minuman
cola) juga meningkatkan produksi urin. Sebaliknya, makanan dan cairan tinggi
natrium dapat menyebabkan retensi cairan karena air dipertahankan untuk
mempertahankan konsentrasi normal elektrolit. Beberapa makanan dan cairan
dapat mengubah warna urin. Misalnya, bit dapat menyebabkan urin tampak
merah; makanan yang mengandung karoten dapat menyebabkan urin tampak
lebih kuning dari biasanya.

D. Medications
Banyak obat, terutama yang mempengaruhi sistem saraf otonom, mengganggu
proses buang air kecil yang normal dan dapat menyebabkan retensi. Berikut
beberapa obat yang menyebabkan retensi :
● Obat antikolinergik, seperti Atropin, Robinul, dan Pro-Banthine
● Agen antidepresan dan antipsikotik, seperti antidepresan trisiklik dan
inhibitor MAO
● Sediaan antihistamin, seperti pseudoefedrin (Actifed dan Sudafed)
● Antihipertensi, seperti hydralazine (Apresoline) dan methyldopate
(Aldomet)
● Obat antiparkinsonisme, seperti levodopa, trihexyphenidyl (Artane), dan
benztropine mesylate (Cogentin)
● Penghambat beta-adrenergik, seperti propranolol (Inderal)
● Opioid, seperti hidrokodon (Vicodin)
Lalu ada diuretik (misalnya, chlorothiazide dan furosemide) meningkatkan
pembentukan urin dengan mencegah reabsorpsi air dan elektrolit dari tubulus
ginjal ke dalam aliran darah. Beberapa obat dapat mengubah warna urin.

E. Muscle tone
Tonus otot yang baik penting untuk menjaga regangan dan kontraktilitas otot
detrusor sehingga kandung kemih dapat terisi secara adekuat dan kosong
sepenuhnya. Klien yang membutuhkan kateter retensi untuk waktu yang lama
mungkin memiliki tonus otot kandung kemih yang buruk karena drainase urin
yang terus menerus mencegah kandung kemih untuk mengisi dan
mengosongkan secara normal. Tonus otot panggul juga berkontribusi pada
kemampuan untuk menyimpan dan mengosongkan urin.

F. Pathologic Conditions
Beberapa penyakit dan patologi dapat mempengaruhi pembentukan dan ekskresi
urin. Penyakit ginjal dapat mempengaruhi kemampuan nefron untuk
menghasilkan urin. Jumlah protein atau sel darah yang tidak normal mungkin
ada dalam urin, atau ginjal hampir berhenti memproduksi urin sama sekali, suatu
kondisi yang dikenal sebagai gagal ginjal. Gangguan jantung dan peredaran
darah seperti gagal jantung, syok, atau hipertensi dapat mempengaruhi aliran
darah ke ginjal, mengganggu produksi urin. Jika jumlah abnormal cairan hilang
melalui rute lain (misalnya, muntah atau demam tinggi), air ditahan oleh ginjal
dan output urin turun. Proses yang mengganggu aliran urin dari ginjal ke uretra
mempengaruhi ekskresi urin. Batu saluran kemih (kalkulus) dapat menyumbat
ureter, menghalangi aliran urin dari ginjal ke kandung kemih. Hipertrofi kelenjar
prostat, suatu kondisi umum yang mempengaruhi pria yang lebih tua, dapat
menyumbat uretra, mengganggu buang air kecil dan pengosongan kandung
kemih.

G. Surgical and Diagnostic Procedures


Beberapa prosedur bedah dan diagnostik mempengaruhi jalannya urin dan urin
itu sendiri. Uretra dapat membengkak setelah sistoskopi, dan prosedur
pembedahan pada bagian mana pun dari saluran kemih dapat menyebabkan
beberapa perdarahan pascaoperasi; akibatnya, urin mungkin berwarna merah
atau merah muda untuk sementara waktu. Anestesi spinal dapat mempengaruhi
pengeluaran urin karena menurunkan kesadaran klien akan kebutuhan untuk
berkemih. Pembedahan pada struktur yang berdekatan dengan saluran kemih
(misalnya, rahim) juga dapat mempengaruhi berkemih karena pembengkakan di
perut bagian bawah.

2.3 Gangguan pada Proses Eliminasi Urin


Gangguan eliminasi urin dapat dibagi menjadi dua, yaitu perubahan produksi urin dan
perubahan eliminasi urin. Umumnya individu buang air kecil sebanyak lima sampai
enam kali sehari, tetapi beberapa faktor memengaruhi perubahan pola produksi dan
eliminasi urin menjadi tidak normal.
A. Gangguan produksi urin adalah sebagai berikut (Berman, et al., 2016):
a. Poliuria atau diuresis adalah produksi urin dalam jumlah banyak lebih
dari output klien sehari-hari. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan cairan
meningkat (polidipsia) yang mungkin berasosiasi dengan diabetes
mellitus, diabetes insipidus, dan nefritis kronik. Poliuria berakibat pada
kehilangan cairan dalam jumlah banyak, rasa haus terus-menerus,
dehidrasi, dan penurunan berat badan.
b. Oliguria adalah kondisi output urin yang rendah (<500 mL) per hari atau
30 mL per jam pada orang dewasa. Kondisi dapat terjadi karena
kehilangan cairan secara abnormal atau intake cairan yang kurang.
Oliguria dapat mengindikasikan ketidakseimbangan aliran darah ke
ginjal atau risiko gagal ginjal sehingga harus segera ditangani di fasilitas
kesehatan.
c. Anuria adalah kondisi produksi urin yang kurang.

Proses filtrasi darah saat ginjal tidak berfungsi secara normal dilakukan dengan
dialisis renal, yaitu hemodialisis dan dialisis peritoneal. Pada proses
hemodialisis, darah klien mengalir melalui kateter vaskular melalui larutan
dialisis di mesin eksternal kemudian kembali klien. Pada dialisis peritoneal,
larutan dialisis dimasukkan pada rongga abdominal melalui kateter yang
menyebabkan pertukaran cairan dan molekul.
B. Gangguan eliminasi urin adalah sebagai berikut (Berman, et al., 2016):
a. Urinary frequency adalah kondisi buang air kecil yang lebih dari
frekuensi interval atau lebih dari empat sampai enam kali per hari.
Peningkatan intake cairan menyebabkan peningkatan frekuensi
berkemih. Kondisi seperti infeksi saluran urin, stres, dan kehamilan dapat
menurunkan frekuensi berkemih sekitar 50—100 mL urin, sedangkan
jumlah intake dan output cairan mungkin normal.
b. Nokturia adalah kondisi berkemih dua kali atau lebih saat malam hari.
c. Urgensi adalah kondisi seseorang yang tiba-tiba merasa ingin berkemih.
Faktor yang memengaruhi adalah tekanan psikologis dan iritasi pada
trigonum dan uretra. Umum terjadi pada seseorang dengan kontrol
sfingter eksternal yang buruk dan kontraksi kandung kemih yang tidak
stabil.
d. Disuria adalah kondisi seseorang merasa sakit atau sulit berkemih, dapat
disertai penyempitan uretra, infeksi saluran urin, dan cedera pada
kandung kemih atau uretra. Klien mengeluhkan mereka harus memaksa
atau merasa seperti terbakar saat berkemih. Urinary hesitancy atau
penundaan berkemih berasosiasi dengan disuria.
e. Enuresis adalah kondisi urinasi yang tidak disadari biasanya pada anak-
anak usia empat atau lima tahun. Nocturnal enuresis tidak teratur terjadi
lebih sering pada anak laki-laki. Diurnal enuresis lebih sering terjadi
pada anak perempuan dan umumnya persisten.
f. Inkontinensia urin adalah kondisi berkemih yang tidak disadari atau
hilangnya kontrol kandung kemih dan merupakan gejala kesehatan.
Kondisi ini normal pada bayi, pada orang dewasa dapat berpengaruh
pada penurunan kualitas hidup. Inkontinensia pada wanita meningkatkan
isolasi sosial, penarikan sosial, dampak negatif terhadap fungsi seksual,
depresi, hambatan terhadap ketertarikan sosial, aktivitas fisik, dan
lainnya (Schultz, 2012). Empat kondisi inkontinensia urin adalah sebagai
berikut:
i. Stress urinary incontinence (SUI) yang terjadi karena lemahnya
otot dasar panggul dan hipermobilitas uretra sehingga
menyebabkan kebocoran urin saat batuk, bersin, tertawa, atau
kegiatan lain yang memberi tekanan pada kandung kemih.
Wanita lebih rentan terhadap kondisi ini karena uretra yang lebih
pendek, trauma dasar panggul setelah melahirkan, dan perubahan
berkaitan dengan menopause.
ii. Urge urinary incontinence (UUI) adalah kondisi kebutuhan
berkemih yang mendesak dan ketidakmampuan menghentikan
mikturisi. Kebocoran urin bervariasi dari sedikit sampai
membasahi celana dalam. Kondisi ini adalah gejala utama
kandung kemih yang over aktif (National Association for
Continence, 2014).
iii. Mixed urinary incontinence (MUI) adalah kondisi dimana gejala
SUI dan UUI muncul dan umum terjadi di usia pertengahan atau
wanita dewasa.
iv. Overflow incontinence (OI) adalah kebocoran urin yang tidak
disadari secara terus menerus atau urin yang merembes karena
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna. Kondisi ini
dapat terjadi pada laki-laki dengan pembesaran prostat dan klien
dengan gangguan neurologis. Fungsi neurologis yang terganggu
dapat memengaruhi mekanisme eliminasi urin normal dan
menyebabkan neurogenic kandung kemih dimana klien tidak
dapat mengetahui bahwa kandung kemih sudah penuh sehingga
tidak mampu mengontrol sfingter.
g. Retensi urin adalah kondisi dimana pengosongan kandung kemih
terganggu dan urin berlebihan terkumpul pada kandung kemih. Volume
kandung kemih yang berlebihan menyebabkan kontraktilitas otot
detrusor lemah sehingga urinasi terganggu. Penyebab umum kondisi ini
adalah hipertrofi prostat, operasi, dan medikasi. Retensi urin akut adalah
komplikasi yang umum terjadi selama dua sampai empat jam
pascaoperasi. Retensi urin kronik disebabkan oleh paraplegia,
quadriplegia, sklerosis, dan trauma uretra atau perineum. Klien dengan
retensi urin mungkin mengalami OI dengan eliminasi sebanyak 25—50
mL pada frekuensi interval.
h. Infeksi saluran urin terjadi pada saluran urin atas (ginjal) dan saluran urin
bawah (kandung kemih dan uretra). Risiko infeksi ini meningkat pada
penggunaan kateter, pemasangan peralatan pada saluran urin, retensi
urin, inkontinensia urin dan fekal, serta kebersihan perineum yang buruk
(Potter & Perry, 2017).
i. Bakteriuria tidak selalu mengindikasikan infeksi, bakteri yang
terdapat pada kultur urin disebut asimptomatik bakteriuria dan
tidak perlu diberi antibiotik. Infeksi simptomatik pada kandung
kemih yang dapat menyebabkan pielonefritis dan infeksi saluran
darah yang mengancam kehidupan (bacteremia atau urosepsis)
harus diberi antibiotik. Gejala infeksi saluran urin bawah dapat
berupa disuria, iritasi kandung kemih (cystitis), urin keruh berbau
busuk. Orang dewasa dapat mengalami delirium dan hematuria.
Jika mengalami pielonefritis, terjadi diaforesis, demam, dan sakit
pinggang.
ii. Infeksi berasosiasi dengan kateter perlu diwaspadai dengan cara
mengecek urin pasien secara berkala untuk mencegah
kontaminasi. Infeksi ini menyebabkan peningkatan morbiditas
dan mortalitas, peningkatan biaya rumah sakit, dan penambahan
hari perawatan.
i. Urine diversion dimulai dari bagian usus halus untuk membuat
penampungan atau saluran untuk urin yang terjadi selama operasi. Dua
jenis urine diversion adalah sebagai berikut (Potter & Perry, 2017):
i. Continent urinary reservoir yang dibentuk dari bagian distal
ileum dan proksimal kolon. Ureter disisipkan dalam reservoir
yang diposisikan di bawah dinding abdominal dan bagian kecil
ileum diarahkan menuju dinding abdominal untuk membentuk
stoma kecil. Katup ileosekum membentuk katup satu arah dan
kateter dimasukkan melalui stoma untuk mengosongkan kantong
urin.
ii. Orthotopic neobladder menggunakan ileum untuk menggantikan
kandung kemih sehingga pasien dapat berkemih melalui uretra
dengan teknik Valsava. Ureterostomi adalah pengalihan urin
permanen yang dibentuk dengan mentransplantasikan ureter ke
bagian tertutup intestinal ileum dan mengarahkan bagian lainnya
keluar dinding abdominal membentuk stoma sehingga pasien
tidak merasakan sensasi aliran urin melalui penampungan pada
ileum. Nephrostomy adalah saluran kecil yang dibentuk dari kulit
menuju pelvis ginjal. Saluran ini mengosongkan pelvis renal saat
ureter obstruksi.
Volume urin yang tersisa di kandung kemih dapat diukur dengan
ultrasound atau kateterisasi disebut post void residual (PVR).

(Potter & Perry, 2017, p. 2379)

(Potter & Perry, 2017, p. 2379)


2.4 Proses keperawatan pada pada kebutuhan dasar eliminasi urin: inkontinensia
urin
2.4.1 Pengkajian
Selama proses pengkajian, kaji setiap pasien secara menyeluruh dan analisis
temuan secara kritis untuk memastikan bahwa perawat membuat keputusan
klinis yang berpusat pada pasien yang diperlukan untuk asuhan keperawatan
yang aman (Potter et al, 2013). Dalam pengkajian, perawat mengumpulkan
riwayat keperawatan untuk pola berkemih pasien, gejala, dan faktor yang
mempengaruhi berkemih; melakukan pengkajian fisik sistem tubuh pasien yang
berpotensi terpengaruh oleh perubahan urine; mengkaji karakteristik
urine;mengkaji persepsi pasien tentang masalah berkemih karena mempengaruhi
konsep diri dan seksualitas; dan mengumpulkan data uji laboratorium dan tes
diagnostik yang relevan. Menurut Berman et al (2016), pengkajian lengkap
fungsi urinaria klien, mencakup:
1. Anamnesis keperawatan
2. Pengkajian fisik sistem genitourinaria, status hidrasi, dan pemeriksaan urin
3. Menghubungkan data yang diperoleh dengan hasil tes diagnostik dan
prosedur apa pun

Dalam anamnesis keperawatan, perawat menentukan pola dan frekuensi


berkemih normal klien, penampilan urine dan perubahan yang baru saja terjadi,
masalah saat berkemih atau saat ini, adanya ostomi, dan faktor yang
mempengaruhi pola eliminasi. Contoh pertanyaan wawancara untuk
memperoleh informasi ini ditunjukkan dalam wawancara pengkajian. Jumlah
pertanyaan yang diajukan tergantung pada individu dan tanggapan terhadap tiga
kategori pertama (Berman et al, 2016). Dalam pengkajian fisik, pengkajian fisik
lengkap dari saluran kemih biasanya mencakup perkusi ginjal untuk mendeteksi
area nyeri tekan dan palpasi dan perkusi kandung kemih juga dilakukan. Jika
riwayat klien atau masalah saat ini menunjukkan kebutuhan untuk itu, meatus
uretra klien pria dan wanita diperiksa untuk pembengkakan, debit, dan
peradangan. Karena masalah berkemih dapat mempengaruhi eliminasi zat sisa
dari tubuh, penting bagi perawat untuk mengkaji: 1) warna kulit, tekstur, dan
turgor jaringan serta adanya edema, 2) jika inkontinensia, dribbling, atau disuria
dicatat, kulit perineum harus diperiksa untuk iritasi karena kontak dengan urine
dapat menggores kulit (Berman et al, 2016).

Dalam pengkajian urine, urine normal terdiri dari 96% air dan 4% zat terlarut.
Zat terlarut organik termasuk urea, amonia, kreatinin, dan asam urat. Urea
adalah zat terlarut organik utama. Zat terlarut anorganik meliputi natrium,
klorida, kalium, sulfat, magnesium, dan fosfor. Natrium klorida adalah garam
anorganik yang paling melimpah. Variasi warna dapat terjadi dalam karakteristik
urine normal dan abnormal. Pengkajian urine mencakup mengukur keluaran
urine dan mengukur residual urine. Normalnya, ginjal memproduksi urine
dengan kecepatan kira-kira 60 mL/jam atau sekitar 1.500 mL/hari. Output urine
dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk asupan cairan, kehilangan cairan
tubuh melalui rute lain seperti keringat dan pernapasan atau diare, dan status
kardiovaskuler dan ginjal individu. Pengeluaran urine di bawah 30 mL/jam
dapat mengindikasikan volume darah yang rendah atau kerusakan ginjal dan
harus dilaporkan (Berman et al, 2016). Untuk mengukur keluaran cairan perawat
mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Kenakan sarung tangan bersih untuk mencegah kontak dengan
mikroorganisme atau darah dalam urin.
2. Minta klien untuk berkemih dengan alat pengumpul urinoir, pispot, toilet,
atau toilet yang bersih.
3. Anjurkan klien untuk memisahkan urin dari feses dan menghindari
meletakkan tisu toilet di wadah penampung urin.
4. Tuangkan urin yang telah dikeluarkan ke dalam wadah yang telah
dikalibrasi.
5. Pegang wadah setinggi mata, baca jumlah dalam wadah. Wadah biasanya
memiliki skala pengukur di bagian dalam.
6. Catat jumlah cairan pada lembar pemasukan dan pengeluaran cairan, yang
mungkin ada di samping tempat tidur atau di kamar mandi.
7. Bilas koleksi urin dan wadah pengukur dengan air dingin dan simpan
dengan benar.
8. Lepaskan sarung tangan dan lakukan kebersihan tangan.
9. Hitung dan dokumentasikan total output pada akhir setiap shift dan pada
akhir 24 jam pada grafik klien.

Banyak klien dapat mengukur dan mencatat pengeluaran urin mereka sendiri
ketika prosedur dijelaskan kepada mereka. Saat mengukur urin dari klien yang
memiliki kateter urin, perawat mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Gunakan sarung tangan bersih
2. Bawa wadah yang telah dikalibrasi ke samping tempat tidur
3. Tempatkan wadah di bawah kantung penampung urin sehingga cerat
kantong berada di atas wadah tetapi tidak menyentuhnya. Wadah yang
dikalibrasi tidak steril, tetapi bagian dalam kantong pengumpul steril
4. Buka cerat dan biarkan urin mengalir ke dalam wadah
5. Tutup cerat, lalu lanjutkan seperti yang dijelaskan dalam daftar sebelumnya

Post Void residual (PVR) (urine yang tersisa di kandung kemih setelah
berkemih) biasanya 50 hingga 100 mL. Namun, obstruksi saluran keluar
kandung kemih (misalnya, pembesaran kelenjar prostat) atau hilangnya tonus
otot kandung kemih dapat mengganggu pengosongan kandung kemih secara
lengkap selama buang air kecil. Manifestasi retensi urin mungkin termasuk
sering berkemih dalam jumlah kecil (misalnya, kurang dari 100 mL pada orang
dewasa), stasis urine, dan UTI. PVR diukur untuk menilai jumlah urine yang
tertahan setelah berkemih dan menentukan kebutuhan intervensi (misalnya, obat-
obatan untuk meningkatkan kontraksi otot detrusor). Untuk mengukur PVR,
perawat melakukan kateterisasi atau scan kandung kemih klien setelah berkemih.
Jumlah urin yang dikeluarkan dan jumlah yang diperoleh dengan kateterisasi
atau pemindaian kandung kemih diukur dan dicatat. Kateter yang menetap dapat
dimasukkan jika PVR melebihi jumlah yang ditentukan(Berman et al, 2016).

Tes Diagnostik juga perlu diperhatikan. Tingkat darah dari dua zat yang
diproduksi secara metabolik, urea dan kreatinin, secara rutin digunakan untuk
mengevaluasi fungsi ginjal. Ginjal melalui filtrasi dan sekresi tubulus secara
normal mengeliminasi ureum dan kreatinin. Urea adalah produk akhir
metabolisme protein, diukur sebagai nitrogen urea darah (BUN). Kreatinin
diproduksi dalam jumlah yang relatif konstan oleh otot. Tes klirens kreatinin
menggunakan urin 24 jam dan kadar kreatinin serum untuk menentukan laju
filtrasi glomerulus, indikator sensitif fungsi ginjal. Tes lain yang terkait dengan
fungsi kemih seperti mengumpulkan spesimen urine, mengukur berat jenis, dan
visualisasi.

Wawancara pengkajian mempertimbangkan beberapa pertanyaan berikut


(Berman et al, 2016).
● Pola Pemakaian
1. Berapa kali Anda buang air kecil selama periode 24 jam?
2. Apakah pola ini berubah baru-baru ini?
3. Apakah Anda perlu bangun dari tempat tidur untuk berkemih di
malam hari? Seberapa sering?
● Deskripsi Urine dan Perubahannya
1. Bagaimana Anda menggambarkan urine Anda dalam hal warna,
kejernihan (jernih, transparan, atau keruh), dan bau (samar atau kuat)?
● Masalah Eliminasi Urine
1. Masalah apa yang Anda miliki atau sekarang Anda miliki dengan
buang air kecil?
2. Keluarnya sejumlah kecil urine?
3. Berkemih pada interval yang lebih sering?
4. Kesulitan pergi ke kamar mandi tepat waktu, atau merasakan
kebutuhan mendesak untuk buang air kecil?
5. Buang air kecil yang menyakitkan?
6. Kesulitan memulai aliran urine?
7. Sering meneteskan air seni atau perasaan penuh pada kandung kemih
yang berhubungan dengan berkemih dalam jumlah sedikit?
8. Mengurangi kekuatan aliran?
9. Kebocoran urine yang tidak disengaja? Jika ya, kapan hal ini terjadi
(misalnya saat batuk, tertawa, atau bersin; pada malam hari; pada
siang hari)?
10. Penyakit saluran kemih masa lalu seperti infeksi ginjal, kandung
kemih, atau uretra? Riwayat operasi ginjal, ureter, atau kandung
kemih?
● Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
1. Obat-obatan. Obat apa yang Anda minum? Apakah Anda tahu jika
salah satu obat Anda meningkatkan produksi urin atau menyebabkan
retensi urine? Perhatikan obat dan dosis tertentu.
2. Asupan cairan. Berapa banyak dan jenis cairan apa yang Anda
minum setiap hari (misalnya, enam gelas air, dua cangkir kopi, tiga
minuman cola dengan atau tanpa kafein)?
3. Faktor lingkungan. Apakah Anda memiliki masalah dengan toilet
(mobilitas, melepas pakaian, dudukan toilet terlalu rendah, fasilitas
tanpa pegangan)?
4. Stres. Apakah Anda mengalami stres berat? Jika ya, apa saja
stresornya? Apakah menurut Anda ini mempengaruhi pola buang air
kecil Anda?
5. Penyakit. Apakah Anda pernah atau sedang menderita penyakit yang
dapat mempengaruhi fungsi saluran kemih, seperti hipertensi, penyakit
jantung, penyakit saraf, kanker, pembesaran prostat, atau diabetes?
6. Prosedur diagnostik dan pembedahan. Apakah Anda baru saja
menjalani sistoskopi atau anestesi?

Menurut Potter et al (2013), ada beberapa pertanyaan dalam melakukan


pengkajian keperawatan, antara lain yaitu:
● Sifat Masalah
1. Jenis masalah apa yang Anda alami dengan buang air kecil?
2. Jelaskan hari dan atau malam baru-baru ini ketika Anda mengalami
masalah kencing
3. Apakah pola ini tetap konstan, atau apakah Anda memiliki pola yang
berbeda pada hari atau malam yang berbeda?
● Tanda dan Gejala
1. Apakah Anda memiliki urgensi (yaitu, merasa seolah-olah Anda harus
segera berkemih)?
2. Apakah Anda pernah buang air kecil saat batuk atau bersin?
3. Apakah kebocoran terjadi di lain waktu?
● Onset dan Durasi
1. Kapan Anda pertama kali menyadari adanya masalah?
2. Berapa lama masalah ini berlangsung?
● Keparahan
1. Berapa kali dalam sehari atau malam Anda berkemih atau mengalami
kebocoran?
2. Bagaimana pola ini dibandingkan dengan pola yang terakhir Anda
ingat?
3. Apa yang Anda lakukan ketika gejala muncul?
● Faktor Predisposisi
1. Apakah Anda pernah melahirkan pervagina? Lebih dari sekali?
2. Apakah Anda memperhatikan apa yang Anda lakukan pada saat
insiden kencing?
3. Apakah gejala Anda meningkat setelah makan atau minum makanan
yang mengandung kafein atau alkohol?
4. Obat apa yang Anda minum secara rutin, dan apakah ada yang baru
saja diganti?
5. Apakah Anda memiliki penyakit fisik yang dapat mengganggu pola
buang air kecil Anda yang biasa?
● Efek pada Pasien
1. Bagaimana gejala ini mempengaruhi hidup Anda?
2. Apakah Anda harus mengubah aktivitas yang biasa Anda lakukan?
3. Apakah Anda mencari bantuan perawatan kesehatan untuk masalah
ini?

Pada kasus 2: Seorang pasien perempuan berusia 69 tahun melakukan


pemeriksaan ke Poli Penyakit Dalam. Pasien dilakukan anamnesa awal oleh
perawat Poli dan mengeluh sudah 2 minggu tidak dapat menahan buang air kecil
(BAK) sehingga seringkali “mengompol”. Pasien mengatakan hal ini
mengganggu aktivitasnya yang seringkali mengikuti pengajian mingguan di
masjid dekat rumahnya. Hal ini seringkali menimbulkan rasa malu dan stress
bagi pasien. Pasien mengatakan tidak ada keluhan nyeri, panas atau perih saat
BAK. Pasien memiliki 6 orang anak dan riwayat melahirkan pervagina. Perawat
dan dokter menyampaikan bahwa pasien mengalami inkontinensia urin. Pasien
memiliki berat badan berlebih dan sudah mengalami periode menopause.
sehingga, diperoleh data pengkajian pada kasus 2 yaitu:
1. Data Objektif
➔ Usia 69 tahun
➔ Memiliki 6 orang anak dan riwayat melahirkan pervagina
➔ Berat badan berlebih
➔ Mengalami gejala inkontinensia urine
➔ Sudah menopause
2. Data Subjektif
➔ Pasien mengatakan kondisi ini mengganggu aktivitasnya
➔ Pasien mengeluh 2 minggu tidak dapat menahan buang air kecil
(BAK)
➔ Pasien sering mengompol
➔ Pasien mengatakan kondisinya menimbulkan rasa malu dan stress
➔ Pasien mengatakan tidak ada keluhan nyeri, panas atau perih saat
BAK
2.4.2 Diagnosis
NANDA International (Herdman & Kamitsuru, 2014) mencakup dua label
diagnostik umum untuk eliminasi urine: 1) Gangguan Eliminasi Urine: disfungsi
dalam eliminasi urine, 2) Kesiapan untuk Peningkatan Eliminasi Urine: pola
fungsi urine untuk memenuhi kebutuhan eliminasi, yang dapat diperkuat.
Disarankan agar label diagnostik yang lebih spesifik digunakan bila
memungkinkan. Diagnosa keperawatan NANDA International yang lebih
spesifik terkait dengan eliminasi urine meliputi:
1. Inkontinensia urine akibat-disabilitas
2. Hambatan eliminasi urine
3. Inkontinensia urine campuran
4. Inkontinensia urine stres
5. Inkontinensia urine dorongan
6. Risiko inkontinensia urine dorongan
7. Retensi urine
8. Risiko retensi urine

Untuk definisi diagnosis NANDA terkait dengan inkontinensia, antara lain:


1. Inkontinensia Urine Akibat-disabilitas adalah pengeluaran urine involunter
akibat suatu patologi atau masalah yang berhubungan dengan sistem
urinarius.
2. Inkontinensia Urine Campuran adalah pengeluaran urine involunter dalam
kombinasi dengan atau setelah suatu sensasi atau dorongan berkemih yang
kuat, dan juga dengan aktivitas yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.
3. Inkontinensia Urine Stres adalah pengeluaran urine involunter karena
aktivitas yang meningkatkan tekanan intra-abdomen, yang tidak dikaitkan
dengan dorongan untuk berkemih.
4. Inkontinensia Urine Dorongan adalah pengeluaran urine involunter dalam
kombinasi dengan atau setelah sensasi atau dorongan kuat untuk berkemih.
5. Risiko Inkontinensia Urine Dorongan adalah rentan mengalami pengeluaran
urine involunter yang terjadi segera setelah suatu sensasi atau dorongan
berkemih yang kuat, yang dapat mengganggu kesehatan.

Masalah eliminasi urin juga dapat menjadi etiologi dari masalah lain yang
dialami klien. Contohnya adalah sebagai berikut:
1. Risiko Infeksi jika klien mengalami retensi urin atau menjalani prosedur
invasif seperti kateterisasi atau pemeriksaan sistoskopi.
2. Harga Diri Rendah Situasional atau Isolasi Sosial jika klien mengompol.
Inkontinensia dapat membuat klien tertekan secara fisik dan emosional
karena dianggap tidak dapat diterima secara sosial. Seringkali klien merasa
malu dan mungkin membatasi aktivitas normal karena alasan ini.
3. Risiko Kerusakan Integritas Kulit jika klien mengompol. Seprai dan pakaian
yang jenuh dengan urin mengiritasi dan merusak kulit. Kelembaban kulit
yang berkepanjangan menyebabkan dermatitis (radang kulit) dan
pembentukan ulkus dermal selanjutnya.
4. Toileting Self-Care Deficit jika klien mengalami inkontinensia fungsional.
5. Resiko Kekurangan Volume Cairan atau Kelebihan Volume Cairan jika
klien mengalami gangguan fungsi berkemih berhubungan dengan proses
penyakit.
6. Citra Tubuh Terganggu jika klien mengalami ostomi diversi urine.
7. Kurang Pengetahuan jika klien membutuhkan keterampilan perawatan diri
untuk mengelola (misalnya, ostomi pengalihan urine baru).
8. Risiko Ketegangan Peran Pengasuh jika klien mengompol dan dirawat oleh
anggota keluarga untuk waktu yang lama.
9. Risiko Isolasi Sosial jika klien mengompol.

Diagnosis yang dapat ditegakkan dari Kasus 2 yaitu:


➔ Diagnosis kasus: Inkontinensia Urine Campuran
➔ Fokus diagnosis: Inkontinensia
➔ Batasan karakteristik:
1. Mengungkapkan pengosongan kandung kemih tidak tuntas
2. Pengeluaran urine involunter saat batuk
3. Pengeluaran urine involunter saat mengejan
4. Pengeluaran urine involunter saat tertawa
5. Pengeluaran urine involunter saat aktivitas fisik
6. Pengeluaran urine involunter saat bersin
7. Nokturia
8. Dorongan berkemih
➔ Faktor yang berhubungan:
1. Ketidakmampuan leher kandung kemih
2. Ketidakmampuan sfingter uretra
3. Berat badan berlebih
4. Prolaps organ pelvik
5. Atrofi otot muscular
6. Merokok
7. Dinding anterior vagina lemah
➔ Populasi berisiko:
1. Individu dengan batuk kronis
2. Individu dengan satu tipe inkontinensia urine
3. Wanita multipara
4. Lansia
5. Wanita yang mengalami menopause
6. Wanita yang melahirkan pervagina
➔ Kondisi terkait:
1. Diabetes mellitus
2. Defisien estrogen
3. Gangguan motorik
4. Gangguan dasar panggul
5. Inkontinensia urine jangka panjang
6. Pembedahan untuk inkontinensia urine stres
7. Cedera sfingter uretra
2.4.3 Perencanaan
Tujuan yang ditetapkan akan bervariasi sesuai dengan diagnosis dan
karakteristik yang ditentukan. Contoh tujuan keseluruhan untuk klien dengan
masalah eliminasi urine mungkin termasuk yang berikut:
1. Mempertahankan atau mengembalikan pola berkemih yang normal
2. Kembalikan output urine normal
3. Mencegah risiko terkait seperti infeksi, kerusakan kulit,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan menurunkan harga diri
4. Lakukan aktivitas toileting secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu
5. Isi urine dengan alat, kateter, alat ostomi, atau produk penyerap yang
sesuai

Intervensi keperawatan preventif dan korektif yang tepat yang berhubungan


dengan ini harus diidentifikasi. Aktivitas keperawatan spesifik yang terkait
dengan masing-masing intervensi ini dapat dipilih untuk memenuhi kebutuhan
individu klien. Contoh aplikasi klinis ini menggunakan sebutan NANDA, NIC,
dan NOC ditunjukkan dalam Rencana Asuhan Keperawatan.

Untuk memberikan perawatan yang berkesinambungan, perawat perlu


mempertimbangkan kebutuhan klien akan pengajaran dan bantuan perawatan di
rumah. Perencanaan pemulangan mencakup penilaian sumber daya dan
kemampuan klien dan keluarga untuk perawatan diri, sumber keuangan yang
tersedia, dan kebutuhan akan rujukan dan pelayanan kesehatan di rumah. Home
Care Assessment menguraikan penilaian kemampuan perawatan di rumah yang
berhubungan dengan masalah dan kebutuhan eliminasi urin. Pengajaran Klien
membahas kebutuhan belajar klien dan keluarga.
Home Care Assessment: Eliminasi Urine
➔ Klien dan Lingkungan
1. Kemampuan perawatan diri: kemampuan untuk mengkonsumsi cairan
yang cukup, untuk merasakan kandung kemih penuh, untuk ambulasi dan
pergi ke toilet, untuk memanipulasi pakaian untuk toileting, dan untuk
melakukan tindakan kebersihan setelah toileting.
2. Tingkat pengetahuan saat ini: modifikasi asupan cairan dan diet untuk
meningkatkan pola eliminasi urin yang normal, metode pelatihan
kandung kemih, dan teknik khusus untuk mempromosikan perawatan
berkemih untuk kateter atau ostomi yang menetap (jika sesuai).
3. Alat bantu yang diperlukan: alat bantu rawat jalan seperti walker,
tongkat, atau kursi roda; perangkat keselamatan seperti pegangan tangan;
alat bantu toileting seperti dudukan toilet yang ditinggikan, urinoir, toilet,
atau pispot; adanya kateter urine.
4. Tata letak fisik fasilitas toilet: adanya alat bantu mobilitas; toilet pada
ketinggian yang tepat untuk memungkinkan klien yang lebih tua untuk
bangun setelah berkemih.
5. Faktor lingkungan rumah yang mengganggu toileting: jarak ke kamar
mandi dari ruang tamu atau kamar tidur; penghalang seperti tangga,
karpet berserakan, kekacauan, atau pintu sempit yang mengganggu akses
kamar mandi; pencahayaan (termasuk pencahayaan malam).
6. Masalah eliminasi urine: jenis inkontinensia dan faktor pencetus;
manifestasi UTI seperti disuria, frekuensi, urgensi; bukti hipertrofi
prostat dan efeknya pada buang air kecil; kemampuan untuk melakukan
kateterisasi sendiri dan merawat alat eliminasi urine lainnya seperti
kateter menetap, ostomi pengalihan urin.
➔ Keluarga
1. Ketersediaan, keterampilan, dan respons pengasuh: kemampuan dan
kemauan untuk memikul tanggung jawab perawatan, termasuk
membantu toileting, kateterisasi intermiten , perawatan kateter, perangkat
drainase urin atau perawatan ostomi; akses siap pakai ke fasilitas binatu;
akses ke dan kesediaan untuk menggunakan pengasuh tangguh atau
bantuan.
2. Perubahan peran dan koping keluarga: efek pada peran pasangan dan
keluarga, pola tidur/istirahat, seksualitas, dan interaksi sosial.
3. Sumber daya keuangan: kemampuan untuk membeli pembalut dan
pakaian pelindung, persediaan untuk kateterisasi atau perawatan ostomi.
➔ Komunitas
1. Lingkungan: akses ke toilet umum dan fasilitas sanitasi.
2. Pengetahuan dan pengalaman terkini dengan sumber daya masyarakat:
peralatan medis dan bantuan dan perusahaan pemasok, lembaga
kesehatan rumah, apotek lokal, bantuan keuangan yang tersedia,
organisasi dukungan dan pendidikan.
Perawatan inkontinensia urine menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(2018), yaitu mengidentifikasi dan merawat pasien yang mengalami pengeluaran urine
secara involunter (tidak disadari). Adapun tindakannya antara lain yaitu:
➔ Observasi
1. Identifikasi penyebab inkontinensia urine (misalnya, disfungsi neurologis,
gangguan medula spinalis, gangguan refleks destrusor, obat-obatan, usia,
riwayat operasi, gangguan fungsi kognitif).
2. Identifikasi perasaan dan persepsi pasien terhadap inkontinensia urine yang
dialaminya.
3. Monitor keefektifan obat, pembedahan dan terapi modalitas berkemih.
4. Monitor kebiasaan BAK
➔ Terapeutik
1. Bersihkan genital dan kulit sekitar secara rutin
2. Berikan pujian atas keberhasilan mencegah inkontinensia
3. Buat jadwal konsumsi obat-obat diuretik
4. Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine lengkap atau kultur
➔ Edukasi
1. Jelaskan definisi, jenis inkontinensia, penyebab inkontinensia urine
2. Jelaskan program penanganan inkontinensia urine
3. Jelaskan jenis pakaian dan lingkungan yang mendukung proses berkemih
4. Anjurkan membatasi konsumsi cairan 2-3 jam menjelang tidur
5. Ajarkan memantau cairan keluar dan masuk serta pola eliminasi urine
6. Anjurkan minum minimal 1500 cc/hari, jika tidak kontraindikasi
7. Anjurkan menghindari kopi, minuman bersoda, teh dan cokelat
8. Anjurkan konsumsi buah dan sayur untuk menghindari konstipasi
2.4.4 Implementasi
Intervensi keperawatan independen untuk klien dengan inkontinensia urin
meliputi program pelatihan keberlanjutan seperti edukasi pasien, pelatihan
kembali kandung kemih, latihan kebiasaan, latihan otot dasar panggul,
perawatan integritas kulit, dan aplikasi penggunaan alat drainase eksternal.
a. edukasi pasien
Memberikan pengajaran kepada pasien tentang keseluruhan aspek
eliminasi urin terutama mengenai masalah yang dihadapi. Setelah
edukasi dilakukan, diharapkan klien mampu untuk melakukan beberapa
hal sebagai berikut:
➔ Mempertahankan hidrasi yang sesuai
➔ Menjaga kebiasaan berkemih yang baik
➔ Menjaga usus secara teratur
➔ Mencegah infeksi saluran kemih
➔ Berhenti merokok untuk mengurangi risiko terkena kanker
kandung kemih dan mengurangi risiko terkena batuk yang dapat
berkontribusi terhadap stres pada inkontinensia urin
➔ Laporkan setiap perubahan dalam kebiasaan kandung kemih,
frekuensi, urgensi, rasa sakit saat berkemih, atau darah dalam urin
kepada penyedia pelayanan kesehatan

b. pelatihan kembali kandung kemih


Latihan yang mengharuskan klien menunda berkemih, menahan atau
menghambat sensasi urgensi, dan berkemih sesuai dengan jadwal
dibandingkan menuruti keinginan untuk berkemih. Tujuannya adalah
untuk secara bertahap memperpanjang interval antara buang air kecil
demi memperbaiki frekuensi buang air kecil yang klien miliki, untuk
menstabilkan kandung kemih, dan untuk mengurangi urgensi. Bentuk
latihan ini dapat digunakan untuk klien yang memiliki ketidakstabilan
kandung kemih dan inkontinensia urgensi.

Pengosongan yang tertunda memberikan volume yang lebih besar dan


interval yang lebih lama antara pengosongan. Awalnya, berkemih dapat
didorong setiap 2 sampai 3 jam kecuali selama tidur dan kemudian setiap
4 sampai 6 jam. Komponen vital pelatihan kandung kemih adalah
menghambat sensasi dorongan untuk berkemih. Untuk melakukan ini,
Perawat menginstruksikan klien untuk berlatih napas dalam dan lambat
sampai dorongan itu berkurang atau hilang. Ini dilakukan setiap saat
klien memiliki keinginan prematur untuk berkemih.
c. latihan kebiasaan
Biasa disebut toileting terjadwal, upaya untuk menjaga klien tetap kering
dengan membuat mereka berkemih secara berkala, seperti setiap 2
sampai 4 jam. Tujuannya adalah untuk menjaga klien tetap kering dan
merupakan terapi umum untuk klien tua yang lemah dan mereka yang
terbaring di tempat tidur atau memiliki penyakit Alzheimer.
d. latihan otot dasar panggul
Latihan untuk memperkuat otot dasar panggul dan dapat mengurangi
atau menghilangkan permasalahan inkontinensia. Mengajarkan pasien
untuk mengkontraksikan PFM tanpa alat bantu. Apabila kerja PFM
secara volunter dapat diidentifikasi, dapat dilakukan penjadwalan latihan.
Latihan dapat dilakukan dengan berbagai posisi. Ada 2 jenis latihan,
yaitu quick contraction dan long contraction (Keyock & Newman, 2011)
- Quick contraction
kontraksi cepat 2 detik dimana klien meremas otot panggul dengan cepat
dan keras dan kemudian segera mengendurkan kembali
- Long contraction
kontraksi lambat sekitar 3 , 5, atau 10 detik dengan klien yang meremas
otot panggul secara perlahan dan mengendorkannya kembali

Selama menjalani program latihan ada kemajuan seperti frekuensi


kontraksi otot secara bertahap meningkat, mengkontraksikan otot-otot
dasar panggulnya sebelum ada aktivitas yang dapat memicu kebocoran
urin (seperti melakukan batuk/pengeluaran ingus paksa, mengangkat
beban, melompat, atau berlari), serta bernapas secara normal saat
melakukan latihan (jangan menahan napas saat mengkontraksikan otot).
e. perawatan integritas kulit
Kulit yang terus menerus lembab menjadi maserasi (melunak). Air seni
yang terakumulasi pada kulit dikonversi menjadi amonia, yang sangat
mengiritasi kulit. Iritasi kulit dan maserasi dapat menyebabkan klien
mengalami kerusakan kulit dan ulserasi, maka inkontinensia seseorang
membutuhkan perawatan kulit yang teliti. Beberapa cara perawatan kulit
yang harus diperhatikan, yaitu:
- Membersihkan area perineum dengan sabun yang lembut atau
pembersih tanpa bilas
- Memastikan seluruh permukaan kulit bersih dan kering
- Memastikan area tempat tidur kering dan bersih
- Gunakan krim atau salep untuk melindungi area kulit dari kontak
dengan urin
- Memberikan pakaian yang menyerap basah
f. penggunaan alat drainase eksternal
Penggunaan alat drainase eksternal dapat dilakukan dengan adanya
pemasangan kateter eksternal yang terhubung ke sistem drainase kemih
yang dapat digunakan untuk klien yang mengalami inkontinensia.
Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara
memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang
bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai
pengambilan bahan pemeriksaan.

Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukan selang


plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter
memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang
tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami
obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per
jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan kateter, yaitu:


● Tentukan panjang kateter yang sesuai dengan klien
Untuk klien wanita dewasa gunakan kateter 22-cm; untuk klien
pria dewasa gunakan kateter 40 cm
● Tentukan ukuran kateter yang sesuai dengan ukuran saluran
ureter
Gunakan ukuran seperti #8 atau #10 untuk anak-anak, #14 atau
#16 untuk orang dewasa. Pria sering kali membutuhkan ukuran
yang lebih besar daripada wanita, misalnya #18. Lumen kateter
silikon sedikit lebih besar daripada kateter lateks berukuran sama.
● Pilih ukuran balon yang sesuai
Untuk orang dewasa gunakan balon 5mL untuk memfasilitasi
drainase urin yang optimal. Balon yang lebih kecil
memungkinkan pengosongan kandung kemih yang lebih lengkap
karena ujung kateter lebih dekat dengan lubang uretra di kandung
kemih. Namun, balon 30mL biasanya digunakan untuk mencapai
hemostasis dari area prostat setelah prostatektomi. Gunakan balon
3mL untuk anak-anak.
Ada beberapa jenis kateter yang biasa digunakan dalam asuhan
keperawatan, yaitu:
- Intermittent catheter
Kateter sementara untuk pengosongan kandung kemih dilakukan
secara terjadwal
- Indwelling catheter
Kateter yang dipakai secara terus menerus dan dilengkapi balon
agar posisinya tetap
- condom catheter
Kateter eksternal untuk pria dewasa yang tidak memiliki masalah
saluran kemih, tetapi tidak mampu untuk melakukan eliminasi
urin, seperti sudah tidak mampu bangun dari tempat tidur

2.4.5 Evaluasi
Menggunakan tujuan keseluruhan dan hasil yang diinginkan yang diidentifikasi
dalam tahap perencanaan, perawat mengumpulkan data untuk mengevaluasi
efektivitas kegiatan keperawatan. Jika hasil yang diinginkan tidak tercapai,
telusuri penyebab sebelum memodifikasi rencana perawatan. Misalnya, jika
hasil “Tetap kering antara berkemih dan pada malam hari” tidak terpenuhi,
contoh pertanyaan yang perlu dipertimbangkan yaitu:
1. Bagaimana persepsi klien terhadap masalah?
2. Apakah klien memahami dan mematuhi instruksi proses keperawatan
yang diberikan?
3. Adakah masalah mengenai akses fasilitas toilet?
4. Bisakah klien memanipulasi pakaian untuk toilet? Bisakah mengatur
pelepasan pakaian yang lebih mudah?
5. Apakah jadwal buang air kecil klien teratur?
6. Apakah pencahayaan toilet cukup saat malam hari?
7. Apakah alat mobilisasi seperti walker, dudukan toilet yang diatur, atau
pegangan diperlukan? Apakah itu cukup memadai?
8. Apakah klien melakukan latihan otot dasar panggul sesuai dengan
jadwal?
9. Apakah asupan cairan klien tercukupi? Apakah waktu asupan cairan
perlu diatur?
10. Apakah klien membatasi kafein, jus jeruk, minuman berkarbonasi, dan
pemanis buatan?
11. Apakah klien menggunakan diuretik? Jika iya, kapan klien mengonsumsi
obat? Apakah waktunya butuh diatur?
12. Apakah alat bantu kontinensia diperlukan?
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada sistem kemih terdapat beberapa organ yang sangat berperan, yaitu ginjal, ureter,
kandung kemih, dan uretra. Eliminasi urin merupakan proses pembuangan sisa
metabolisme tubuh berupa urin. Urin terbentuk melalui tiga tahap antara lain adalah
filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses
eliminasi urin, yaitu developmental factors, psychosocial factors, fluid and food intake,
medications, muscle tone, pathologic conditions, serta surgical and diagnostic
procedures. Faktor-faktor tersebut tentunya harus dipahami oleh setiap guna
mempermudah proses pemahaman dan pemberian asuhan keperawatan yang sesuai.

Pada proses eliminasi urin, gangguan bisa saja terjadi. Gangguan tersebut terbagi
menjadi dua, yaitu perubahan produksi urin dan perubahan eliminasi urin. Contoh dari
gangguan produksi urin antara lain ialah poliuria atau disebut juga diuresis (produksi
urin berlebih), oliguria (output urin yang rendah), dan anuria (produksi urin yang
kurang). Sementara itu, contoh dari gangguan eliminasi urin adalah buang air berlebih
dalam sehari, nokturia, urgensi, disuria, enuresis, inkontinensia, retensi urin, infeksi
saluran urin, serta urine diversion. Sesuai dengan kasus yang didapat terkait
inkontinensia urin, perawat diharuskan mampu melakukan tahapan-tahapan asuhan
keperawatan dengan baik, sistematis, dan teratur supaya tercapai hasil dan tujuan yang
telah ditetapkan.

3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, penulis mengharapkan agar dirinya dan pembaca dapat
menambah wawasan mengenai materi kebutuhan dasar eliminasi urin. Selain itu,
diharapkan makalah ini dapat menjadi sebuah pemicu bagi pembaca untuk dilakukannya
studi lebih lanjut dan lebih komprehensif. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan
dalam penyusunan makalah, penulis menyarankan pembaca untuk memberikan kritik
dan saran yang membangun untuk dijadikan bagi pembelajaran bagi penulis
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Berman, A., Snyder, S., Frandsen, G. (2016). Fundamental of Nursing. 10th Ed.
New Jersey: Pearson.
Collein, I (2012). Pengalaman Lansia dalam Penanganan Inkontinensia Urine
di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji. Jurnal Keperawatan Soedirman Vol 7. 3.
158-165.
Departemen Kesehatan RI. (2013). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Herdman, T. H. et al. (2021). NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2021-2023 Edisi 12. Editor Herdman, T. H et al; alih bahasa Keliat,
B. A et al. Jakarta: EGC.
National Association for Continence. (2014). The basic types of incontinence.
Retrieved from http://www.nafc.org/ bladder-bowel-health/types-of-
incontinence
Potter, P.A., Perry, A.G., Stockert, P.A., Hall, A.M. (2013). Fundamentals of
Nursing, 8th
ed. St. Louis: Mosby-Elsevier.
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2017) Fundamental of
Nursing. 9th ed. St. Louis: Elsevier Inc.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.
Schultz, J. (2012). Rethink urinary incontinence in older women. Nursing,
42(11), 32–40. doi:10.1097/01.NURSE.0000421371.52320.aa
Sherwood,L. (2016). Human Physiology from Cells to Systems, 9th ed.
Australia:
Cengage Learning.
Tortora, G.J., & Derrickson, B. (2009). Principles Of Anatomy And Physiology,
12th ed.
New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Yuliana, D. (2011). Pengaruh Senam Kegel Terhadap Perubahan Tipe
Inkontinensia Urine pada Lansia di Panti Sosial tresna Werdha Sabai
Aluinsicicin. Skripsi tidak ditampilkan. Sumatera Barat : Fakultas Keperawatan
Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai