Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PENDAHULUAN

“INKONTINENSIA URINE“

Dosen Pengampu :

R. Nur Abdurakhman, S. Kep., Ners., MH

DISUSUN OLEH :

UCUP SUPRIADI
NIM. 42010121169

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON
(STIKES CIREBON)
TAHUN 2022
LATAR BELAKANG

Lanjut usia (lansia) adalah sekelompok orang yang mengalami proses


perubahan pada dirinya secara bertahap dan dalam waktu tertentu. Menua atau
aging merupakan proses yang memang terjadi secara umum pada seluruh spesies
secara progresif yang seiring waktu terjadi perubahan dan menyebabkan disfungsi
organ dan menyebabkan kegagalan organ atau sistem tubuh tertentu (Fatma,
2009).
Jumlah lansia yang semakin meningkat, sehingga dibutuhkan upaya
kesehatan lansia yang komprehensif dan berorientasi pada proses penuaan yang
dialami lansia. Dengan meningkatnya jumlah lansia tersebut didapatkan berbagai
macam perubahan yang terjadi pada lanjut usia atau lansia, salah satunya pada
sistem perkemihan yakni penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra) yang disebabkan oleh penurunan hormon esterogen, sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine, otot–otot menjadi lemah,
kapasitasnya menurun sampai 200ml atau menyebabkan frekuensi buang air kecil
meningkat dan tidak dapat dikontrol (Karjoyo dkk, 2017). Dari semua perubahan
yang terjadi pada lansia yaitu perubahan pada sistem perkemihan. Lansia
berpotensi lebih untuk diperhatikan terutama jika timbul masalah nokturia dan
inkontinensia urin (Jayanti dkk, 2015).
Inkontinensia urine merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering
dialami pada lansia.Inkontinensia urine dinilai bukan sebagai penyakit, melainkan
suatu gejala yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sosial,
psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup.Inkontinensia urine merupakan
keluarnya urine tidak disadari dan pada waktu yang tidak diinginkan (tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang mengakibatkan masalah sosial dan
higienisitas penderitanya (Juananda, 2017).
Menurut data dari WHO, di perkirakan 200 juta penduduk didunia
mengalami inkontinensia urin. Menurut National Kidney and Urologyc Disease
Advisory Board di Amerika Serikat, jumlah penderita inkontinensia urine
mencapai 13 juta orang, hal ini dialami oleh laki-laki dan perempuan dari semua
status sosial. Sekitar 15- 30% individu yang mengalami inkontinensia urine di

2
perkirakan usia lebih dari 60 tahun. Survey yang dilakukan di berbagai negara asia
didapat prevalensi inkontinensia urine ratarata 21,6% (14,8% pada wanita dan
6,8% pada pria) yang mengenai semua individu dengan semua usia meskipun
paling sering dijumpai diantara para lansia. Kondisi tersebut bukan kondisi
normal dari penuaan dan sering kali dapat diobati (Kamariyah, 2019). Di Dunia
diperkirakan 20% perempuan menderita gangguan inkontinensia urine.Sedangkan
di 11 negara Asia termasuk Indonesia ditemukan 5.052 perempuan yang
menghadapi problem inkontinensia urine. Di Indonesia, prevalensi atau jumlah
perempuan yang menderita inkontinensia 3 urine sebesar 5,8%, sedangkan pria
hanya 5%. Pada wanita manula, bahkan prevalensi gangguan berkemih meningkat
menjadi 35%-45% (Hartinah, 2016).
Faktor resiko terjadinya inkontinensia urin antara lain jenis kelamin, usia
lanjut / menopause, paritas tinggi, gangguan neurologis, kelebihan berat badan,
perokok, minum alkohol, intake cairan berlebihan atau kurangnya aktifitas.
Kelebihan berat badan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
inkontinensia urin, karena beban kerja dasar panggul pada orang-orang gemuk
lebih besar daripada orang yang kurus (Soetojo, 2009).

3
INKONTINENSIA URINE PADA LANSIA
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah
maupun frekuensinya, keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik,
emosional, sosial dan kebersihan (Kurniasari, 2016).
Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau
tidak lebih dari 8 kali sehari (Wahab, 2016). Menurut penelitian Junita,
(2013) rata-rata lansia yang mengalami inkontinensia urin akan berkemih
sebanyak 12 kali selama 24 jam.
Inkontinensia urin merupakan masalah yang meluas dan
merugikan. Masalah ini merupakan salah satu faktor utama yang
membuat banyak keluarga menempatkan lansia di panti jompo untuk
mendapatkan perawatan yang layak (Agoes, 2010). Beberapa kondisi
yang sering menyertai inkontinensia urin antara lain kelainan kulit,
gangguan tidur, dampak psikososial dan ekonomi, seperti depresi, mudah
marah, terisolasi, hilang percaya diri, pembatasan aktivitas sosial, dan
besarnya biaya rawatan (Juananda, 2017).
2. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Sistem perkemihan

4
Sistem perkemihan merupakan sistem yang penting untuk membuang
sisa-sisa metabolisma makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama
senyawaan nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan produk
sisanya. Sampah metabolisma ini dikeluarkan (disekresikan) oleh ginjal
dalam bentuk urin. Urin kemudian akan turun melewati ureter menuju
kandung kemih untuk disimpan sementara dan akhirnya secara periodik
akan dikeluarkan melalui uretra.
Adapun anatomi dan fisiologi dari sistem perkemihan adalah sebagai
berikut :
a. Ginjal
Ginjal berbentuk seperti kacang merah dengan panjang 10-12 cm
dan tebal 3,5-5 cm, terletak di ruang belakang selaput perut tubuh
(retroperitonium) sebelah atas. Ginjal kanan terletak lebih ke bawah
dibandingkan ginjal kiri. Ginjal (Gb-2) dibungkus oleh simpai
jaringan fibrosa yang tipis. Pada sisi medial terdapat cekungan,
dikenal sebagai hilus, yang merupakan tempat keluar masuk
pembuluh darah dan keluarnya ureter. Bagian ureter atas melebar dan
mengisi hilus ginjal, dikenal sebagai piala ginjal (pelvis renalis).
Pelvis renalis akan terbagi lagi menjadi mangkuk besar dan kecil
yang disebut kaliks mayor (2 buah) dan kaliks minor (8-12 buah).
Setiap kaliks minor meliputi tonjolan jaringan ginjal berbentuk
kerucut yang disebut papila ginjal. Pada potongan vertikal ginjal
tampak bahwa tiap papila merupakan puncak daerah piramid yang
meluas dari hilus menuju ke kapsula. Pada papila ini bermuara 10-25
buah duktus koligens. Satu piramid dengan bagian korteks yang
melingkupinya dianggap sebagai satu lobus ginjal.
Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai
jaringan lemak dan simpai jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri
atas bagian korteks dan medula yang satu sama lain tidak dibatasi
oleh jaringan pembatas khusus, ada bagian medula yang masuk ke
korteks dan ada bagian korteks yang masuk ke medula. Bangunan-

5
bangunan (Gb-3) yang terdapat pada korteks dan medula ginjal
adalah :
 Korteks ginjal terdiri atas beberapa bangunan yaitu :
- Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bangunan
berbentuk cangkir) dan glomerulus (jumbai /gulungan
kapiler).
- Bagian sistim tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan
tubulus kontortus distal.
 Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan
bagian sistim tubulus yaitu pars descendens dan descendens ansa
Henle, bagian tipis ansa Henle, duktus ekskretorius (duktus
koligens) dan duktus papilaris Bellini.
Adapun Fungsi dari ginjal adalah sebagai berikut :
 Membuang bahan sisa terutama senyawaan nitrogen seperti urea
dan kreatinin yang dihasilkan dari metabolisme makanan oleh
tubuh, bahan asing dan produk sisa.
 Mengatur keseimbangan air dan elektrolit.
 Mengatur keseimbangan asam dan basa.
 Menghasilkan renin yang berperan dalam pengaturan tekanan
darah.
 Menghasilkan eritropoietin yang mempunyai peran dalam
proses pembentukan eritrosit di sumsum tulang.
 Produksi dan ekskresi urin
b. Ureter
Secara histologik ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan
adventisia. Lapisan mukosa terdiri atas epitel transisional yang
disokong oleh lamina propria. Epitel transisional ini terdiri atas 4-5
lapis sel. Sel permukaan bervariasi dalam hal bentuk mulai dari
kuboid (bila kandung kemih kosong atau tidak teregang) sampai
gepeng (bila kandung kemih dalam keadaan penuh/teregang). Sel-sel
permukaan ini mempunyai batas konveks (cekung) pada lumen dan

6
dapat berinti dua. Sel-sel permukaan ini dikenal sebagai sel payung.
Lamina propria terdiri atas jaringan fibrosa yang relatif padat dengan
banyak serat elastin. Lumen pada potongan melintang tampak
berbentuk bintang yang disebabkan adanya lipatan mukosa yang
memanjang. Lipatan ini terjadi akibat longgarnya lapis luar lamina
propria, adanya jaringan elastin dan muskularis. Lipatan ini akan
menghilang bila ureter diregangkan.
Lapisan muskularisnya terdiri atas atas serat otot polos longitudinal
disebelah dalam dan sirkular di sebelah luar (berlawan dengan
susunan otot polos di saluran cerna). Lapisan adventisia atau serosa
terdiri atas lapisan jaringan ikat fibroelsatin.
Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang diproduksi oleh ginjal
ke dalam kandung kemih. Bila ada batu disaluran ini akan menggesek
lapisan mukosa dan merangsang reseptor saraf sensoris sehingga
akan timbul rasa nyeri yang amat sangat dan menyebabkan penderita
batu ureter akan berguling-gulung, keadaan ini dikenal sebagai kolik
ureter.
c. Kandung kemih
Kandung kemih terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan
serosa/adventisia. Mukosanya dilapisi oleh epitel transisional yang
lebih tebal dibandingkan ureter (terdiri atas 6-8 lapis sel) dengan
jaringan ikat longgar yang membentuk lamina propria dibawahnya.
Tunika muskularisnya terdiri atas berkas-berkas serat otot polos yang
tersusun berlapis-lapis yang arahnya tampak tak membentuk aturan
tertentu. Di antara berkas-berkas ini terdapat jaringan ikat longgar.
Tunika adventisianya terdiri atas jaringan fibroelastik. Fungsi
kandung kemih adalah menampung urin yang akan dikeluarkan
kedunia luar melalui uretra.

7
d. Uretra
Panjang uretra pria (Gb-16) antara 15-20 cm dan untuk keperluan
deskriptif terbagi atas 3 bagian yaitu:
 Pars Prostatika, yaitu bagian uretra mulai dari muara uretra pada
kandung kemih hingga bagian yang menembus kelenjar prostat.
Pada bagian ini bermuara 2 saluran yaitu duktus ejakulatorius
dan saluran keluar kelenjar prostat.
 Pars membranasea yaitu bagian yang berjalan dari puncak
prostat di antara otot rangka pelvis menembus membran perineal
dan berakhir pada bulbus korpus kavernosus uretra.
 Pars kavernosa atau spongiosa yaitu bagian uretra yang
menembus korpus kavernosum dan bermuara pada glands penis.
Epitel uretra bervariasi dari transisional di uretra pars prostatika, lalu
pada bagian lain berubah menjadi epitel berlapis atau bertingkat
silindris dan akhirnya epitel gepeng berlapis pada ujung uretra pars
kavernosa yang melebar yaitu di fosa navikularis. Terdapat sedikit
sel goblet penghasil mukus. Di bawah epitel terdapat lamina propria
terdiri atas jaringan ikat fibro-elastis longgar.
Pada wanita uretra jauh lebih pendek karena hanya 4 cm panjangnya.
Epitelnya bervarias dari transisional di dekat muara kandung kemih,
lalu berlapis silindris atau bertingkat hingga berlapis gepeng di
bagian ujungnya. Muskularisnya terdiri atas 2 lapisan otot polos
tersusun serupa dengan ureter (aw/2001).
e. Neuroanatomi Traktus Urinarius
Serabut saraf eferen simpatis ke kandung kemih dan uretra berasal
dari the intermediolateral gray column dari segmen T10-L2 ke
ganglia paravertebral simpatis lumbal serabut postganglion di nervus
hipogastrikus untuk bersinaps di reseptor alfa dan beta adrenergik
pada kandung kemih dan uretra. Neurotransmiter postganglion utama
untuk sistem simpatis adalah norepinefrin.

8
Eferen simpatis menstimulasi fasilitasi penyimpanan kandung
kemih. Reseptor beta adrenergik mempersarafi fundus kandung
kemih. Stimulasi reseptor ini menyebabkan relaksasi otot polos
sehingga dinding kandung kemih berelaksasi. Reseptor alfa
adrenergik mempersarafi sfingter interna dan uretra posterior.
Stimulasi pada reseptor ini menyebabkan kontraksi otot polos pada
sfingter interna dan uretra posterior, meningkatkan resistensi saluran
keluar dari kandung kemih dan uretra posterior. Hal ini bertujuan
agar tidak terjadi kebocoran selama fase pengisian urin.
Eferen parasimpatik (motorik) berasal dari medulla spinalis di S2-
S4 ke nervus pelvikus dan memberikan inervasi ke otot detrusor
kandung kemih. Reseptor parasimpatik kandung kemih disebut
kolinergik karena neurotransmiter postganglion utamanya adalah
asetilkolin. Reseptor ini terdistribusi di seluruh kandung kemih.
Peranan sistem parasimpatik pada proses berkemih berupa kontraksi
otot detrusor kandung kemih. Serabut saraf somatik berasal dari
nukleus Onuf yang berada di kornu anterior medula spinalis S2-S4
yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot skeletal
sfingter uretra eksterna dan otot-otot dasar panggul.
Perintah dari korteks serebri secara disadari menyebabkan
terbukanya sfingter uretra eksterna pada saat berkemih. Sistem aferen
(sensoris) berasal dari otot detrusor, sfingter uretra dan anal eksterna,
perineum dan genitalia, 6 melalui n.pelvikus dan n.pudendus ke
conus medullaris; dan melalui n.hipogastrikus ke medula spinalis
thoracolumbal. Aferen ini terdiri atas dua tipe: A-delta (small
myelinated A-delta) dan serabut C (unmyelinated C fibers). Serabut
A-delta berespon pada distensi kandung kemih dan esensial untuk
berkemih normal. Serabut C atau silent C-fibers tidak berespon
terhadap distensi kandung kemih dan tidak penting untuk berkemih
normal. The silent C fibers memperlihatkan firing spontan ketika
diaktifkan secara kimia atau iritasi temperatur dingin pada dinding

9
kandung kemih. Serabut C berespon terhadap distensi dan stimulasi
kontraksi kandung kemih involunter pada hewan dengan CMS
suprasakral.
Fasilitasi dan inhibisi berkemih berada di bawah 3 pusat utama
yaitu pusat berkemih sakral (the sacral micturition center), pusat
berkemih pons (the pontine micturition center), dan korteks serebral.
Pusat berkemih sakral pada S2-S4 merupakan pusat refleks dimana
impuls eferen parasimpatik ke kandung kemih menyebabkan
kontraksi kandung kemih dan impuls aferen ke sacral micturition
center menyediakan umpan balik terhadap penuhnya kandung kemih.
The pontine micturition center terutama bertanggung jawab terhadap
koordinasi relaksasi sfingter ketika kandung kemih berkontraksi.
CMS suprasakral menyebabkan gangguan sinyal dari pontine
micturition center, sehingga terjadi dissinergi detrusor sfingter. Efek
korteks serebral menginhibisi sacral micturition center. Karena CMS
suprasakral juga mengganggu impuls inhibisi dari korteks serebral,
sehingga CMS suprasakral seringkali memilki kapasitas kandung
kemih yang kecil dengan kontraksi kandung kemih involunter
(Tortora & Derrickson 2014).
f. Fisiologi Proses Miksi (Rangsangan Berkemih)

Gambar 2. Fisiologi Proses Miksi (Guyton & Hall 2013)

10
Distensi kandung kemih oleh urin dengan jumlah kurang lebih 250
cc akan merangsang reseptor tekanan yang terdapat pada dinding
kandung kemih. Akibatnya akan terjadi refleks kontraksi dinding
kandung kemih oleh otot detrusor, pada saat yang sama terjadi
relaksasi sfingter internus, diikuti oleh relaksasi sfingter eksternus,
dan akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih.
Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan
relaksasi sfingter interus dihantarkan melalui serabut-serabut
parasimpatik. Kontraksi sfingter eksternus secara volunter bertujuan
untuk mencegah atau menghentikan miksi. Kontrol volunter ini hanya
dapat terjadi bila saraf-saraf yang menangani kandung kemih uretra
medula spinalis dan otak masih utuh. Bila terjadi kerusakan pada
saraf-saraf tersebut maka akan terjadi inkontinensia urin (kencing
keluar terus-menerus tanpa disadari) dan retensi urin (kencing
tertahan). Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh
torako lumbar dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torako
lumbar berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter
interna (Guyton & Hall 2013).
3. Etiologi
Menurut Aspiani (2014) ada beberapa faktor penyebab inkontinensia urin,
diantaranya :
a. Poliuria
Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena
kelebihan produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam
meningkat melebihi batas normal karena gangguan fungsi ginjal
dalam mengonsentrasi urin.
b. Nokturia
Yaitu Kondisi sering berkemih pada malam hari. Nokturia merupakan
salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih.
c. Faktor usia

11
Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun
karena terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.
d. Penurunan produksi estrogen (pada wanita)
Penurunan produksi estrogen dapat menyebabkan atropi jaringan
uretra sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.
e. Operasi
Pengangkatan rahim pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung
oleh beberapa otot yang sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar
panggul tersebut dapat mengalami kerusakan, sehingga memicu
inkontinensia.
f. Frekuensi melahirkan
Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
g. Merokok
Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek
nikotin pada dinding kandung kemih.
h. Konsumsi alkohol dan kafein
Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat menyebabkan inkontinensia
urin karena keduanya bersifat diuretik sehingga dapat meningkatkan
frekuensi berkemih.
i. Obesitas
Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena inkontinensia
urin karena meningkatnya tekanan intra abdomen dan kandung kemih.
Tekanan intra abdomen menyebabkan panjang uretra menjadi lebih
pendek dan melemahnya tonus otot.
j. Infeksi saluran kemih
Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih biasanya
adalah peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi berkemih yang
semakin banyak akan menyebabkan melemahnya otot pada kandung
kemih sehingga dapat terjadi inkontinensia urine.

12
4. Manifestasi klinis
Menurut Aspiani ( 2014) ada beberapa manifestasi klinis
inkontinensia urin, antara lain :
a. Inkontinensia urge
Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih
(lebih sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau
kontraktur berkemih dalam jumlah sedikit (kurang dari 100 ml) atau
dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).
b. Inkontinensia stress
Gejalanya yaitu keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen
meningkat dan seringnya berkemih.
c. Inkontinensia overflow Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah
keluhan keluarnya urin sedikit dan tanpa sensasi bahwa kandung
kemih sudah penuh, distensi kandung kemih.
d. Inkontinensia refleks Orang yang mengalami inkontinensia refleks
biasanya tidak menyadari bahwa kandung kemihnya sudah terisi,
kurangnya sensasi ingin berkemih, dan kontraksi spasme kandung
kemih yang tidak dapat dicegah.
e. Inkontinensia fungsional Mendesaknya keinginan berkemih sehingga
urin keluar sebelum mencapai toilet merupakan gejala dari
inkontinensia urin fungsional.
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan
penunjang untuk masalah inkontinensia urin, antara lain :
a. Urinalis
Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab
inkontinensia urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria,
dan proteinuria.
b. Pemeriksaan darah

13
Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum, kreatinin,
glukosa, dan kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan
kondisi yang menyebabkan poliuria.
c. Tes laboratorium tambahan
Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium,
glukosa, dan sitologi.
d. Tes diagnostik lanjutan
 Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran
kemih bagian bawah.
 Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di dalam uretra saat
istirahat dan saat dinamis.
 Imaging tes untuk saluran kemih bagian atas dan bawah.
e. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih ini dilakukan selama 1-3 hari untuk mengetahui
pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan
jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia
urin, serta gejala yang berhubungan dengan inkontinensia urine.
6. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat inkontinensia urine kronis,
antara lain:
a. Masalah kulit, seperti ruam, infeksi kulit dan luka.
b. Infeksi saluran kemih. Inkontinensia bisa meningkatkan risiko
terjadinya infeksi saluran kemih berulang.
c. Mengganggu kehidupan sosial. Inkontinensia urine merupakan
masalah yang memalukan, sehingga bisa memengaruhi hubungan
sosial, pekerjaan, dan hubungan pribadi

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Totok Suryantoko (2015) adalah sebagai
berikut:

14
a. Latihan Pelvis
Latihan pelvis kegel dianjurkan untuk yang mengalami inkontinensia
stress.Meningkatkan tonus otot dasar panggul dan meningkatkan
ambang berkemih yang mengakibatkan urgensi. Otot-otot yang
terlibat dapat diidentifikasi dengan cara memberitahukan pasien untuk
menghentikan aliran urine pada pertengahan pancaran untuk
menguatkan pintu keluar kandung kemih. Otot-otot yang digunakan
untuk melakukan hal ini adalah otot-otot yang akan diperkuat.
b. Maneuver Crede
Maneuver crede melibatkan penggunaan tekanan diatas region
suprapubik untuk secara manual menekan kandung kemih selama
berkemih.Disini pasien berkemih, kemudian berkemih lagi beberapa
menit kemudian dengan menggunakan maneuver crede. Metode ini
digunakan untuk inkontinensia akibat aliran yang berlebihan
(overflow).
c. Bladder Training
Bladder training adalah penanganan tradisional untuk inkontinensia
urgensi.Bladder training meliputi berkemih dengan jadwal yang telah
ditentukan sebelumnya atau dengan pengaturan waktu setiap 30-40
menit tanpa memperhatikan kebutuhan.Jika urgensi untuk berkemih
muncul lebih cepat, pasien disarankan untuk menahan urine sampai
waktu yang telah dijadwalkan.Interval berkemih diperpanjang secara
bertahap apabila sudah mampu mengontrol BAK.
d. Toileting Secara Terjadwal
Penjadwalan atau toileting langsung digunakan untuk pasien yang
mengalami gangguan kognitif.Pasien dibawa ke toilet atau
ditempatkan pada sebuah pispot setiap 2 jam.Pengkajian awal
tentang frekuensi dan waktu episode inkontinensia diikuti dengan
toileting berdasarkan pola inkontinensia individu dapat meningkatkan
keberhasilan.Pasien yang mampu untuk berespon dapat ditanya secara
teratur tentang keinginan berkemih.

15
e. Penggunaan Alat-Alat Eksternal
Alat-alat eksternal termasuk unit pengumpulan urine seperti kateter
yang dihubungkan dengan kantong rungkai, celana inkontinensia, dan
urinal jika fasilitas toilet tidak dapat dicapai oleh pasien.
f. Kateterisasi Secara Intermiten
Kateterisasi lurus yangintermiten lebih disarankan daripada kateter
menetap.Intervensi ini mungkin diperlukan untuk mereka yang
mengalami inkontinensia karena aliran yang berlebih atau
inkontinensia fungsional.Dalam pemasangan kateter ini perlu
perhatian untuk hal kebersihan dan penyimpanan karena terdapat
bahaya infeksi nosokomial.
g. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan biasanya digunakan untuk mereka yang
gangguan mobilitas atau defisit neurologis. Pengkajian individual
mengindikasi apa yang diperlukan pasien tersebut. Contohnya
peletakan toilet dan atau penampung air kemih diletakkan dekat
dengan tempat tidur.
h. Pengobatan
Pengobatan diberikan berdasarkan diagnosis spesifik.Andrenergik
agonis dan ekstrogen dapat membantu mengatasi inkontinensia
stress.Relaksan kandung kemih, antidepresan trisiklik dan anti
kolinergik meningkatkan kandung kemih sehingga dapat mengatasi
inkontinensia urgensi.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam
mengatasi inkontinensia pada lansia, oksibutinin yang dikombinasikan
dengan bladder training lebih efektif dari pada hanya bladder training
saja.
i. Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan adalah prostektomi untuk pria dan
perbaikan dasar panggul, sistokel, atau retoksi untuk wanita.
j. Diet

16
Modifikasi diet ini adalah penjadwalan asupan cairan.Asupan cairan
setelah makan malam perlu dikurangi.Minuman dan minuman yang
dapat menstimulasi kandung kemih juga perlu dihindari, misalnya
kopi, teh, alkohol, serta cokelat.
8. Pencegahan
Pencegahan inkontinensia urine meliputi pencegahan primer dan
pencegahan sekunder dengan rehabilitasi pasca pembedahan yang baik.
Pencegahan primer disarankan pada pasien-pasien dengan faktor risiko
tinggi inkontinensia urine, beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain
adalah:
a. Modifikasi gaya hidup: menjaga berat badan ideal, tidak merokok.
b. Mengurangi konsumsi alkohol, kafein, minuman berkarbonasi.
c. Modifikasi diet: diet tinggi serat untuk mencegah konstipasi
d. Melakukan latihan fisik otot dasar pelvis misalnya dengan pilates,
yoga, atau senam kegel.
Pencegahan sekunder pada pasien yang telah mengalami inkontinensia
meliputi perawatan yang baik agar tidak terjadi perburukan.
Pencatatan bladder diary dapat mendeteksi perkembangan klinis. Bladder
retraining dan latihan otot pelvis dapat membantu memperbaiki kualitas
hidup. Kebersihan daerah genitalia juga perlu dijaga agar tidak terjadi
infeksi berulang. Apabila pasien menggunakan kateter secara
berkepanjangan, maka perlu dilakukan perawatan dan penggantian kateter
secara berkala.

17
9. Path Way / WOC

ISK
Persalinan pervaginan Proses menua Peningkatan
produksi urin
(DM)
Refluks
Peregangan otot Kadar hormon
urovesikal
jaringan / robekan menurun
jalan lahir Hiperglikemia MK :
gangguan
rasa nyaman/ Menyebarnya
Otot dasar infeksi dari
Melemahnya otot nyeri
panggul rusak Perpindahan uretra
dasar panggul
cairan
intraseluler
Posisi kandung secara osmotik MK : risiko
Tidak dapat menahan kemih prolap tinggi infeksi Sfingter dan
air kencing otot dasar
panggul
Ginjal MK : terganggu
Melemahnya reabsorbsi kekurangan
tekanan / tekanan kelebihan volume
akhiran kemih glukosa cairan
keluar Pengosongan
kandung
kemih tidak
Glukosuria
sempurna

Poliuria

INKONTINENSIA URIN

Urgensi Desakan berkemih

Mengompol Nokturia

(Sumber : Daneshgari & Moore, 2007 dalam Sinaga, 2011)

18
B. DAMPAK PENYAKIT TERHADAP KEBUTUHAN DASAR
MANUSIA
1. Kebutuhan Oksigenasi
Pada lansia, kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot
pernafasan menurun serta sendi-sendi tulang iga menjadi kaku. Hal
tersebut akan menyebabkan penurunan laju ekspirasi paksa satu detik
sebesar ± 0,2 liter/ decade serta berkurangnya kapasitas vital (Tamher dan
Noorkasiani, 2009). Meskipun demikian, inkontinensia urine tidak
berdampak signifikan terhadap kebutuhan oksigenasi kecuali beberapa
kondisi terkait akibat terjadinya komplikasi.
2. Kebutuhan Nutrisi
Makanan yang kaya akan kandungan air dan kafein dapat meningkatkan
buang air kecil, dan sebaliknya makanan yang mempunyai kadar sodium
tinggi menyebabkan penurunan keluaran urine. Selain itu jumlah intake
cairan juga mempengaruhi jumlah dan frekuensi eliminasi urine,
sebaliknya kurangnya intake cairan berakibat pada menurunya eliminasi
dan frekuensi urine. Dampaknya dari inkontinensia urine pada lansia
adalah dapat menyebabkan kekurangan volume cairan pada tubuh karena
ada beberapa makanan dan minuman yang tidak disarankan untuk
dikonsumsi oleh lansia.
3. Kebutuhan Aktivitas
Masalah yang dihadapi oleh lansia yaitu fisik yang mulai melemah, sering
terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup berat,
indra pengelihatan yang mulai kabur, indra pendengaran yang mulai
berkurang serta daya tahan tubuh yang menurun, sehingga sering sakit
dan rentan mengalami gangguan pada sistem perkemihannya terutama
inkontinensia urine.
4. Konsep Diri
Penyakit yang selama ini selalu dikaitkan dengan proses penuaan
sebenarnya bukan disebabkan oleh proses menuanya sendiri, tetapi lebih
disebabkan oleh faktor luas yang merugikan yang berlangsung tetap dan

19
berkepanjangan, salah satunya adalah karena faktor emosional sehingga
menyebabkan stress. Semakin tua usia seseorang maka akan terganggu
aktivitasnya. Lansia dengan inkontinensia urine akan mudah mengalami
gangguan emosional karena merasa selalu merepotkan keluarganya akibat
dari gangguan yang dialaminya sehingga banyak dari lansia yang lebih
memilih diam di rumah melakukan isolasi dari keramaian agar
kondisinya tidak diketahui banyak orang.
5. Pertumbuhan Dan Perkembangan
Proses menua secara biologis berlangsung secara alami dan tidak dapat
dihindari, tetapi seharusnya dapat tetap dipertahankan dalam status sehat.
Masalah yang dihadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif,
adalah melemahnya daya ingat terhadap suatu hal (pikun), dan sulit
untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.
6. Masalah Emosional
Masalah yang dihadapi lansia dengan inkontinensia urine terkait dengan
perkembangan emosional adalah rasa ingin berkumpul dengan keluarga
sangat kuat, sehingga tingkat perhatian lansia kepada keluarga menjadi
sangat besar. Selain itu, lansia sering marah apabila ada sesuatu yang
kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering stres akibat masalah
ekonomi yang kurang terpenuhi.

C. ASUHAN KEPERAWATAN (SECARA TEORI)


1. PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya sering atau cenderung dialami oleh
lansia (usia 65 tahun ke atas), dengan mayoritas perempuan tapi
tidak menutup kemungkinan juga beresiko pada laki-laki.
b. Keluhan Utama
Pada pasien inkontinensia urine keluhan yang biasa terjadi adalah
tidak dapat mengontrol pengeluaran urine, urine merembes saat di
perjalanan menuju toilet.

20
c. Riwayat Kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya frekuensi inkontinensia sering, ada hal yang
mendahului inkontinensia (stress, ketakutan, tertawa, gerakan),
disertai nyeri atau pedih, ada perasaan ingin berkemih (urgensi)
sebelum timbul inkontinensia urine, ada penggunaan diuretik.
 Riwayat kesehatan masa lalu
Klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat
urinasi dan catatan eliminasi klien, pernah terjadi trauma/cedera
genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih, dan
riwayat pernah dirawat di rumah sakit.
 Riwayat kesehatan keluarga
Terdapat anggota keluarga lain yang menderita inkontinensia,
ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan seperti penyakit
ginjal.
d. Lingkungan dan Keterbatasan Fisik
Lansia mungkin mengalami masalah inkontinensia akibat
keterbatasan fisik dan lingkungan tempat tinggalnya.Lansia yang
mobilitasnya terbatas mempunyai peluang yang besar untuk
mengalami inkontinensia karena ketidakmampuan mereka untuk
mencapai toilet pada waktunya. Selain itu kursi dan tempat tidur
yang ditinggikan di atas lantai juga dapat menjadi halangan lansia
untuk bangun menuju toilet. Lansia sering mengalami kekurangan
energi untuk berjalan jauh ke toilet pada satu waktu.
e. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi :
1. Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami gangguan
perkemihan biasanya lemah.
2. Kesadaran
Kesadaran klien biasanya composmentis, apatis sampai

21
somnolen.
3. Tanda-tanda vital
Biasanya diumpai Suhu meningkat (>37˚C), Nadi meningkat,
Tekanan darah meningkat dan biasanya status Pernafasan/
respirasi normal.
4. Pemeriksaan Head to Toe
Pengkajian head to toe pada pasien dengan inkontinensia urine
bisa dilakukan dari kepala hingga kaki atau hanya fokus pada
bagian abdomen dan genitalia saja, adapun pemeriksaan nya
adalah sebagai berikut :
 Abdomen
Biasanya terdapat distensi pada kandung kemih, nyeri
tekan pada supra simfisis, kandung kemih teraba keras.
 Genetalia:
1) Laki-laki
Kebersihan genetalia, terdapat lesi, adanya pembesaran
prostat maupun skrotum.
2) Perempuan
Kebersihan genetalia, terdapat lesi, pemeriksaan pelvis
pada wanita harus dilakukan inspeksi adanya POP,
tanda inflamasi yang mengarahkan pada kemungkinan
vaginitis atrofi (berupa bercak eritema dan
bertambahnya vaskularisasi daerah labia minora dan
epitel vagina, ptekia, serta eritema pada uretra yang
seringkali disertai karunkel di bagian bawah uretra),
kondisi kulit perineal, massa di daerah pelvis, dan
kelainan anatomik lain
f. Pengkajian Pola Kesehatan Sehari-hari
1. Eliminasi
 Alvi : Kadang terjadi diare/ konstipasi

22
 Urine : Riwayat BAK dahulu sering menahan BAK.
Tidak dapat mengontrol pengeluaran urine, urine merembes
saat di perjalanan menuju toilet.
2. Tidur/istirahat
Pola tidur dapat terganggu karena sering berkemih.
3. Personal Hygiene
Upaya untuk menjaga kebersihan diri cenderung kurang.
g. Pengkajian Status Kesehatan Kronis, Kognitif, Fungsional,
Status Psikologi
1. Masalah kesehatan kronis
Dalam pengkajian masalah kesehatan kronis terdapat masalah
pada fungsi saluran perkemihan, yaitu tidak mampu mengontrol
pengeluaran air kemih atau mengompol.
2. Pengkajian status kognitif
Menggunakan Short Portable Mental Status Questionnaire
(SPMSQ) untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan
intelektual, yang terdiri dari 10 hal yang mengetes orientasi,
memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan diri,
memori jauh, serta kemampuan matematis.Biasanya pada
pengkajian ini tidak terlalu berpengaruh terhadap inkontinensia
urine.
3. Pengkajian status fungsional
Pengkajian status fungsional didasarkan pada kemandirian klien
dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemandirian
berarti tanpa pengawasan, pengarahan dan bantuan dari orang
lain. Instrument yang biasa digunakan dalam pengkajian status
fungsional yaitu Indeks Katz, Bartel Indeks, dan Sullivan Indeks
Kats. Lingkup pengkajian meliputi keadekuatan enam fungsi
yaitu: mandi, berpakaian, toileting, berpindah, kontinen dan
makan, yang hasilnya untuk mendeteksi tingkat fungsional klien
(mandiri/ dilakukan sendiri atau tergantung) (Sunaryo, dkk,

23
2015).
4. Pengkajian status psikologi (skala depresi)
Pada penderita inkontinensia urine biasanya akan merasa bahwa
keadaannya tidak ada harapan dan memilih menghindar dari
perkumpulan sosial.
5. Pengkajian status spiritual
Pengkajian ini meliputi teratur atau tidaknya melakukan ibadah
sesuai dengan keyakinan agamanya, keaktifan mengikuti
kegiatan keagamaan, cara lansia menyelesaikan masalah apakah
dengan doa, serta apakah lansia terlihat sabar dan tawakal atau
tidak.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan hasil pengkajian, biasanya akan muncul beberapa diagnosa
keperawatan seperti berikut :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
b. Kekurangan volume cairan (Hipovolemia) berhubungan dengan
peningkatan produksi urine
c. Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan organisme
patogen lingkungan.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi Keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan. Adapun intervensi dari
diagnosa keperawatan diatas adalah sebagai berikut :

24
DIAGNOSA INTERVENSI
NO
KEPERAWATAN SLKI SIKI
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama :
keperawatan selama 3 x 24 jam, Manajemen Nyeri
diharapkan tingkat nyeri menurun Intervensi Pendukung :
dan kontrol nyeri meningkat Terapi Relaksasi
dengan kriteri hasil : Tindakan :
 Tidak mengeluh nyeri Observasi
 Tidak meringis 1. Identifikasi penurunan tingkat
 Tidak bersikap protektif energi, ketidakmampuan

 Tidak gelisah berkonsentrasi, atau gejala lain

 Kesulitan tidur menurun yang mengganggu kemampuan

 Frekuensi nadi membaik kognitif

 Melaporkan nyeri terkontrol 2. Identifikasi teknik relaksasi yang


pernah efektif digunakan
 Kemampuan mengenali onset
3. Identifikasi kesediaan,
nyeri meningkat
kemampuan, dan penggunaan
 Kemampuan mengenali
teknik sebelumnya
penyebab nyeri meningkat
4. Periksa ketegangan otot, frekuensi
 Kemampuan menggunakan
nadi, tekanan darah, dan suhu
teknik nonfarmakologis
sebelum dan sesudah latihan
meningkat
5. Monitor respons terhadap terapi
relaksasi
Terapeutik
6. Ciptakan lingkungan tenang dan
tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang
nyaman, jika memungkinkan
7. Berikan informasi tertulis tentang
persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
8. Gunakan pakaian longgar
9. Gunakan nada suara lembut dengan

25
irama lambat dan berirama
10. Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan analgetik atau
tindakan medis lain jika sesuai
Edukasi
11. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan,
dan jenis relaksasi yang tersedia
(mis. musik, meditasi, napas
dalam, relaksasi otot progresif)
12. Jelaskan secara rinci intervensi
relaksasi yang dipilih
13. Anjurkan mengambil posisi
nyaman
14. Anjurkan rileks dan merasakan
sensasi relaksasi
15. Anjurkan sering mengulangi atau
memilih teknik yang dipilih
16. Demonstrasikan dan latih teknik
relaksasi (mis. napas dalam,
peregangan, atau imajinasi
terbimbing)
2 Kekurangan Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama :
volume cairan keperawatan selama 3 x 24 jam, Manajemen Cairan
(Hipovolemia) diharapkan status cairan pasien Intervensi Pendukung :
dalam kondisi normal dengan Terapi Cairan
kriteri hasil : Tindakan :
 Frekuensi Nadi dalam batas Observasi
normal ( 70-120 x/menit ), 1. Observasi tanda-tanda vital dan
 Suhu tubuh dalam batas gelaja hipovolemia
normal ( 36,5 – 37,50C ) 2. Monitor intake dan output cairan
 Elastisitas turgor kulit Terapeutik
membaik 3. Hitung kebutuhan cairan

 Intake cairan membaik ( 8-8,5 4. Berikan asupan cairan oral

26
cc/kgBB/h ari ) Edukasi
 Membrane mukosa lembab 5. Anjurkan memperbanyak asupan
 Tidak ada rasa haus berlebihan cairan oral
Kolaborasi
6. Kolaborasi pemberian cairan IV
isotonis (mis. NaCl, RL)
7. Kolaborasi pemberian cairan IV
hipotonis (mis. Glukosa 2,5%,
NaCl 0,4% )
8. Kolaborasi pemberian cairan
koloid (mis. Albumin, plasmanate)
3 Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama :
keperawatan selama 3 x 24 jam, Manajemen Infeksi
diharapkan derajat infeksi menurun Intervensi Pendukung :
dengan kriteri hasil : Perawatan Infeksi
 Tidak ada demam Tindakan :
 Tidak ada pembengkakan di Observasi
area genital 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
 Tidak ada kemerahan disekitar lokal dan sistemik
area genital Terapeutik
 Tidak ada rasa nyeri di area 2. Batasi jumlah pengunjung
genital 3. Berikan perawatan kulit pada area

 Hasil leukosit dalam batas edema

normal 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah


kontak langsung dengan pasien dan
lingkungan pasien
5. Pertahankan teknik aseptik pada
pasien beresiko tinggi
Edukasi
6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. Ajarkan cara memeriksa luka
8. Ajarkan meningkatkan asupan
cairan

27
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian obat-obatan

(Sumber: Tim Pokja SDKI DPP PPNI, Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2017,
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, Standar Perencanaan Keperawatan Indonesia, 2018, Tim
Pokja SLKI DPP PPNI, Standar Luaran Keperawatan Indonesia, 2019)

4. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana
rencana keperawatan dilaksanakan. Pada tahap ini perawat siap untuk
melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana
perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan
efektif, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien,
kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat
respons pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan
informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya. Kemudian,
dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana
perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya. Adapun format
penulisan Implementasi Keperawatan adalah sebagai berikut :

DIAGNOSA HARI/
IMPLEMENTASI RESPON PARAF
KEPERAWATAN TANGGAL/JAM

5. EVALUASI
Evaluasi keperawatan merupakan Tahap akhir dari proses keperawatan.
Evaluasi merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang
telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Evaluasi
keperawatan juga merupakan penilaian keberhasilan adalah tahap yang

28
menentukan apakah tujuan tercapai. Tahap evaluasi menentukan
kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan respons
pasien terhadap dan keefektifan intervensi keperawatan kemudian
mengganti rencana perawatan jika diperlukan. Adapun format penulisan
Evaluasi Keperawatan adalah sebagai berikut :

DIAGNOSA HARI/
EVALUASI PARAF
KEPERAWATAN TANGGAL/JAM

29
SUMBER REFERENSI

1. Wonodirekso S dan Tambajong J (editor), (1990),Sistem urinaria dalam


Buku Ajar Histologi Leeson and Leeson (terjemahan), Edisi V, EGC,
Jakarta, hal 427-450.
2. Young, B., Heath, J.W., (2000), Urinary Sistem in Wheater’s Functional
Histology: A text and colour atlas, 4th edition, Churchill Livingstone,
Edinburgh, London, pp. 286-309.
3. diFiore, M.S.H., (1981), Atlas of Human Histology, 5th edition, Lea and
Febiger, Philadelphia, USA, pp. 186-194.
4. Penuntun Praktikum Histologi, Fakultas Kedokteran UI, hal 136-141.
5. Guyton, AC & Hall, JE 2013. Buku ajar fisiologi kedokteran. 12th edn.
Jakarta, EGC.
6. Tortora, GJ & Derrickson, BH 2014. Principles of anatomy and physiology.
14th edn, Hoboken, Wiley.
7. Amelia, R. 2020. Prevalensi dan Faktor Risiko Inkontinensia Urin pada
lansia Panti Sosial Tuna Werdha (PSTW) Sumatera Barat. Volume II No 1
Hal 39-44. Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah Padang
8. Saputra 2012, Buku saku kepererawatan pasien dengan gangguan fungsi
renal dan urologi disertai contoh kasus klinik., Bina Rupa Aksara Publisher,
Tanggerang, viewed 7 June 2016.
9. Jayanti, N.P.A, Achjar, K.A.H, Watarsa, I.M.S. (2015). Pengaruh Senam
Kegel dan Pijat Perineum terhadap Kekuatan Otot Dasar Panggul Lansia di
Puskesmas Tabanan III. Coping Ners Journal, Vol 3, No 2.
10. Julianti Dewi Karjoyo, dkk. 2017. Pengaruh Senam Kegel Terhadap
Frekuensi Inkontinensia Urine Pada Lanjut Usia Di Wilayah Kerja
Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan. Volume 5 Nomor 1. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
11. Karjoyo, J.D, Pangemanan, D, Onibala, S. (2017). Pengaruh Senam Kegel
terhadap Frekuensi Inkontinensia Urine pada Lanjut Usia di Wilayah Kerja
Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan. E-journal keperawatan, Vol 5, No 1.

30
12. Juananda, D., dan Febriantara, D. (2017). Inkontinensia Urin pada Lanjut
Usia di Panti Wredha Provinsi Riau. Jurnal Kesehatan Melayu, Vol 1, No 21
13. Artinawati, S. (2014). Asuhan Keperawatan Gerontik. Bogor: In Media
14. Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta:
Trans Info Media.
15. Desby Juananda, dkk. 2017. Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Panti
Werdha Provinsi Riau. Jurnal Kesehatan Melayu Hal. 20-24. Fakultas
Kedokteran Universitas Riau
16. Mubarak, W, I., Chayatin., Nugroho. S., Joko. 2015. Standar Asuhan
Keperawatan dan Prosedur Tetap Dalam Praktik Keperawatan Konsep dan
Aplikasi Dalam Praktik Klinik. Jakarta: Salemba Medika Natalia, P.,
Dawood, R. (2010, Agustus 10). Pelvic Floor Exercise For Urinary
Incontinence. A Systematic Literature Review, hal. 3-4
17. Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
18. Purnomo, B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Edisi ke- 3. Malang: Sagung Seto
19. Stanley. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi ke- 2. Jakarta: EGC
Stocklager, J. L, Schaeffer Liz. 2007. Buku Keperawatan Geriatrik. Dialih
bahasakan oleh Nike Budhi Subekti. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Profil Kesehatan
Indonesia 2011. Jakarta: Depkes RI.
21. Ekowati, Septiana. (2010). Hubungan Inkontinensia Urine Dengan Tingkat
Depresi Pada Usia Lanjut “Flamboyan” Desa Onggobayan Ngestiharjo
Kasihan Bantul. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Aisyiyah.
22. Fernandes, Devrisa Nova. (2010). Hubungan Antara Inkontinensia Urin
Dengan Derajat Depresi Pada Wanita Usia Lanjut. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
23. Hartinah,Dewi., Yulisetyaningrum. (2016). Kegel Exercise Terhadap
Penurunan Inkontinensia Urine Pada Lansia Di Desa Undaan Lor
Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. JIKK, 7, (2), 1-79.

31
24. Ismail, D. (2013). Aspek Keperawatan Pada Inkontinensia Urin. Jurnal Ilmu
Keperawatan, Vol. I, No.1, 3-11.
25. Judha. M. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 3.
Jakarta: EGC.
26. Muttaqin, A dan Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Salemba Medika: Jakarta.
27. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI
28. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI
29. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

32
TERAPI KOMPLEMENTER
”KEGEL EXERCISE”

1. Pengertian
Latihan otot dasar panggul (ODP) dikembangkan pertama kali oleh Dr.
Arnold kegel pada tahun 1940 dengan tujuan menguatkan otot dasar panggul
dan mengatasi stres inkontinensia urin. Hal ini sesuai dengan konsep latihan
kegel dan pendapat seorang dokter kandungan bernama kegel pada tahun
1940, bahwa latihan kegel sangat bermanfaat untuk menguatkan otot rangka
pada dasar panggul, sehingga memperkuat fungsi sfingter eksternal pada
kandung kemih (Septiastri & Siregar, 2012).
Latihan otot dasar panggul ini awalnya diperkenalkan oleh Kegel untuk
pasien pasca melahirkan. Latihan ini terus dikembangkan dan dapat dilakukan
pada lansia yang mengalami masalah inkotinensia stress yaitu pengeluaran
urine tidak terkontrol akibat bersin, batuk, tertawa atau melakukan latihan
jasmani dan inkontinensia urgensi dimana terjadi gangguan control
pengeluaran urin, dengan dilakukan latihan Kegel bisa memperbaiki fungsi
otot dasar panggul yaitu rangkaian otot dari tulang panggul sampai tulang
ekor.
Menurut Nursalam (2007), latihan kegel merupakan aktivitas fisik yang
tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna
meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel merupakan latihan dalam
bentuk seri untuk membangun kembali kekuatan otot dasar panggul,
memberikan bantuan yang signifikan dari rasa sakit vestibulitis vulva, dan,
dalam banyak kasus, memungkinkan pasien untuk terlibat dalam aktivitas
seksual yang normal (Widiastuti, 2011).
Latihan ini berupa latihan ODP secara progresif pada otot Levator ani
yang dapat dikontraksikan secara sadar yang selanjutnya dikenal dengan
Kegel Exercise (Rahajeng, 2010). Kegel Exerciseatau senam Kegel
merupakan terapi non operatif yang paling sering dilakukan untuk mengatasi

33
stres inkontinensia karena membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot
pada uretra dan periuretra (Bobak, 2004 dalam Yanthi, 2011).

2. Manfaat Senam Kegel


Senam Kegel memiliki manfaat terkait dengan fungsi otot PC. Senam Kegel
tidak hanya memiliki banyak manfaat untuk wanita, tetapi juga pada pria.
a. Bagi pria
Latihan ini akan meningkatkan kemampuan mengontrol dan mengatasi
ejakulasi dini, ereksi yang lebih kuat dan meningkatkan kepuasan seksual
saat orgasme. Selain itu multiple orgasme juga bisa dialami oleh pria
sebagai hasil dari latihan senam kegel yang dilakukan secara teratur. Pada
pria, senam ini juga akan mengangkat testis dan mengencangkan otot
kremaster sama seperti mengencangkan sfingterani. Hal ini disebabkan
karena otot PC dimulai dari arah anus (Herdiana, 2009 dalam Yanthi,
2011).
b. Bagi wanita
Keuntungan melakukan senam kegel adalah lebih mudah mencapai
orgasme dan orgasme yang dicapai lebih baik karena otot yang dilatih
adalah otot yang digunakan selama orgasme. Manfaat lain adalah vagina
akan semakin sensitif dan peka rangsang sehingga memudahkan
peningkatan kepuasan seksual, dan suami akan merasakan perubahan
yang sangat besar karena vagina mampu mencengkram penis lebih kuat.
Memudahkan kelahiran bayi tanpa banyak merobek jalan lahir dan bagi
wanita yang baru melahirkan, senam Kegel dapat mempercepat
pemulihan kondisi vagina setelah melahirkan dan tentu saja dapat
menguatkan otot rangka pada dasar panggul sehingga pemperkuat fungsi
sfingter eksternal kandung kemih, mencegah prolaps uteri (Salma, 2008;
Maryam, 2008 dalam Yanthi, 2011). Beberapa manfaat senam kegel yaitu
menguatkan otot panggul, membantu mengendalikan keluarnya urin saat
berhubungan intim, dapat meningkatkan kepuasan saat berhubungan intim
karena meningkatkan daya cengkram vagina, meningkatkan kepekaan

34
terhadap rangsangan seksual, mencegah “ngompol kecil” yang timbul saat
batuk atau tertawa, dan melancarkan proses kelahiran tanpa harus
merobek jalan lahir serta mempercepat penyembuhan pasca persalinan
(Mulyani, 2013).

3. Persyaratan Senam Kegel


Latihan kegel ini bila di lakukan secara teratur di lakukan dalam waktu 8-12
minggu, latihan senam kegel juga dapat dirasakan perubahanya dalam waktu
3 atau 4 minggu dengan berlatih beberapa menit setiap hari latihan kegel
memilki variasi gerakan beulang (pengetatan) dan merelaksasi (melepaskan)
otot dasar panggul (widiyanti & proverawati,2010)

4. Program Senam Kegel


Senam kegel hasilnya tidak akan didapat dalam waktu sehari. senam kegel
dilakukan sebanyak 10 kali dalam 4 minggu dapat memberikan hasil yang
bermanfaat untuk memperkuat otot-otot panggul yang dibuktikan dari hasil
penelititannya yaitu adanya pengaruh signifikan senam kegel terhadap tingkat
inkontinensia (Wahyu W, 2009). Pelatihan senam kegel dengan frekuensi tiga
kali perminggu selama empat minggu lebih efektif dibandingkan dengan
senam kegel dengan frekuensi satu kali seminggu selama empat bulan dalam
menurunkan frekuensi buang air kecil wanita usia 50-60 tahun yang
mengalami stress urinary incontinence di Sanggar Senam Citra Denpasar
(Lestari, 2011).

5. IndikasiSenam Kegel
Senam kegel dianjurkan bagi wanita dan pria yang umumnya memiliki
keluhan terkait lemahnya otot PC. Berikut adalah beberapa indikasi senam
kegel :
a. Pria dan wanita yang memiliki masalah inkontinensia (tidak mampu
menahan buang air kecil).

35
b. Wanita yang sudah mengalami menopause untuk mempertahankan
kekuatan otot panggul dari penurunan kadar estrogen.
c. Wanita yang mengalami prolaps uteri (turunnya rahim) karena
melemahnya otot dasar panggul, juga untuk wanita yang mengalami
masalah seksual.
d. Pria yang mengalami masalah ejakulasi dini serta ereksi lebih lama.
(Ardani, 2010).

6. Kontra IndikasiSenam Kegel


Latihan senam kegel membatu memulihkan dan meperkuat otot-otot yang
mengelilingi dan mendukung kantung kemih , rahim ,rectum, dan uretra (otot
panggul otot-otot ini di kenal sebagai otot pubococcygeal. Latihan senam
kegel membatu untuk meperlambat atau mehentikan alirah air seni , serta
otot-otot yang mencegah keluarnya gas (damayanti, 2010).

7. Tahap Pelatihan Senam Kegel


Tahap pelatihan senam kegel dibagi menjadi tiga bagian latihan sesuai
dengan kemampuan klien dalam melakukan latihan.Pelatihan senam kegel
dibedakan menjadi tiga yaitu pelatihan gerak cepat, pelatihan mengencangkan
dan pelatihan super kegel.
a. Pelatihan Gerak Cepat Pelatihan pertama adalah pelatihan gerak cepat,
dilakukan dalam posisi duduk, berdiri, berbaring, jongkok, atau posisi apa
saja yang terbaik.
b. Pelatihan mengencangkan setelah pelatihan gerak cepat, dilanjutkan
dengan pelatihan senam kegel berikutnya. Saat mengencangkan ODP,
tetap kencangkan kuat-kuat selama satu hingga dua detik kemudian
lepaskan dan ulangi masing-masing dengan sepuluh hitungan. Tegangkan,
tahan dan lepaskan otot tersebut.
c. Pelatihan super kegel tahap selanjutnya adalah super kegel yang diberikan
untuk orang-orang yang telah menguasai senam kegel. Super kegel
dilakukan dengan mengencangkan ODP sekencang-kencangnya sampai

36
hitungan sepuluh kemudian lepaskan. Lakukan berulang-ulang dengan
sepuluh hitungan setidaknya sekali sehari (Di Fiori, 2005 dalam Ardani,
2010).

8. Petunjuk Senam Kegel


Senam kegel dilakukan berdasarkan langkah-langkah yang dijelaskan sebagai
berikut:
a. Posisi berdiri tegak dengan posisi kaki lurus dan agak terbuka.
b. Fokuskan konsentrasi pada kontraksi otot daerah vagina, uretra dan
rectum.
c. Kontraksikan ODP seperti saat menahan defekasi atau berkemih
d. Rasakan kontraksi ODP, pastikan kontraksi sudah benar tanpa adanya
kontraksi otot abdominal, contohnya jangan menahan napas. control
kontraksi otot abdominal dengan meletakkan tangan pada perut.
e. Pertahankan kontraksi sesuai kemampuan kurang lebih 10-15 detik.
f. Rileks dan rasakan ODP dalam keadaan rileks.
g. Kontraksikan ODP kembali, pastikan kontraksi otot sudah benar.
h. Rileks dan coba rasakan otot-otot berkontraksi dan rileks.
i. Sesekali percepat kontraksi, pastikan tidak ada kontraksi otot lain.
j. Lakukan kontraksi yang cepat beberapa kali. Pada tahap awal, lakukan
tiga kali pengulangan karena otot yang lemah mudah lelah.
k. Target latihan ini adalah sepuluh kali kontraksi lambat dan sepuluh kali
kontrak sicepat. Tiap kontraksi dipertahankan selama sepuluh hitungan.
Lakukan enam hingga delapan kali selama sehari atau setiap saat.
l. Senam kegel dapat pula dilakukan secara sederhana dengan cara:
- Saat berkemih coba untuk menahan aliran urine sampai beberapa
kali.
- Pada posisi apapun, coba lakukan kontraksi ODP. Pertahankan
selama tiga sampai lima detik jika sudah terbiasa latihan dapat
ditingkatkan menjadi sepuluh detik (Pudjiati, Sri Surini & Utomo; Di
Fiori, 2005 dalam Ardani, 2010).

37
9. Manfaat senam kegel pada inkontinensia urine.
Otot dasar panggul terdiri dari tiga lembaran otot yang masing-masing
menempel pada Bladder (Kandung kemih), vagina dan rectum (Bent, Alfred
E., 2008). Bagian akhir dari uretra disokong secara adekuat oleh endopelvic
fasciadan kontraksi musculus levator ani bekerja mengatur suplai saraf secara
normal. Senam otot dasar panggul ini mampu menguatkan muskulus levator
ani, menjaga lapisan endopelvic dan keutuhan saraf yang dapat meningkatkan
kesadaran dari otot dasar panggul untuk menyesuaikan transmisi dari tekanan
abdominal, serta meningkatkan kemampuan otot tersebut dalam menyokong
bladder, vagina dan rectum yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan
tahanan pada sphincter uretra sehingga mampu meningkatkan periode
kontinen terhadap urine.Selain itu tujuan terapetik lainnya dari latihan Kegel
ini adalah untuk mengajarkan bagaimana caranya mengunci perineum.
Dimana kemampuan dari perineum untuk mengunci spincternya,dan
kemampuan otot levator ani untuk berkontraksi terus mengalami penurunan
seiring dengan bertambahnya usia dan proses degeneratif. Oleh karena itu
senam Kegel tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan,
ketegangan serta mencegah terjadinya atropi (Cammu, H. et al.2007).

38
LAMPIRAN JURNAL

39
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017

PENGARUH SENAM KEGEL TERHADAP FREKUENSI INKONTINENSIA URINE


PADA LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMPAAN
MINAHASA SELATAN

Julianti Dewi Karjoyo


Damayanti Pangemanan
Franly Onibala

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran


Universitas Sam Ratulangi Manado
Email : dkarjoyo.jd@gmail.com

Abstrack : The process of aging is a biological process that is unavoidable and will be
experienced by everyone. The aging process will cause health problems. Problems that are often
found in the elderly is Urinary Incontinence. Urinary Incontinence is involuntary urination, or
leakage of urine that is very real and pose a social or hygienic problem. The purpose of this
study was to determine whether there is an effect of Kegel Exercises on the frequency of Urinary
Incontinence in the elderly in Puskesmas Tumpaan, South Minahasa. The study design used is
pre-experimental, using the design of one group pretest posttest. Population and samples used
in this study were 30 elderly who have urinary incontinence. Based on the statistical test by
using Wilcoxon Sign Rank Test, the obtained p-YDOXH . this indicates that there
is impact of Kegel Exercises on the frequency of urinary incontinence in the elderly in
Puskesmas Tumpaan South Minahasa.

Keywords: Kegel Exercises, Incontinence Urine


Abstrak : Proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat dihindari dan akan
dialami oleh setiap orang. Proses penuaan akan menimbulkan masalah kesehatan. Masalah yang
sering dijumpai pada lanjut usia adalah Inkontinensia urin. Inkontinensia urine adalah
pengeluaran urine involunter atau kebocoran urine yang sangat nyata dan menimbulkan masalah
social atau higienis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh
senam Kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia di Puskesmas Tumpaan,
Minahasa Selatan. Desain penelitian yang digunakan adalah pra eksperimental dengan
menggunakan rancangan one group pre test post test. Populasi dan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang mengalami inkontinensia urine sebanyak 30
orang. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank Test
didapatkan p-value . Kesimpulan dari hasil tersebut menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh senam Kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lanjut usia di
Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan.

Kata Kunci : Senam Kegel, Inkontinensia Urine


e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017

PENDAHULUAN Tingginya angka kejadian inkotinensia


Menurut data dari WHO, 200 juta urin menyebabkan perlunya penanganan
penduduk di dunia yang mengalami yang sesuai, karena jika tidak segera
inkontinensia urin.Menurut National ditangani inkontinensia dapat menyebabkan
Kidney and Urologyc Disease Advisory berbagai komplikasi seperti infeksi saluran
Board di Amerika Serikat, jumlah penderita kemih, infeksi kulit daerah kemaluan,
inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 gangguan tidur, dekubitus, dan gejala ruam.
persen diantaranya perempuan.Jumlah ini Selain itu, masalah psikososial seperti
sebenarnya masih sangat sedikit dari dijauhi orang lain karena berbau pesing,
kondisi sebenarnya, sebab masih banyak minder, tidak percaya diri, mudah marah
kasus yang tidak dilaporkan (Maas et al, juga sering terjadi dan hal ini berakibat
2011). pada depresi dan isolasi sosial (Stanley &
Di Indonesia jumlah penderita Beare, 2006)
Inkontinensia urin sangat signifikan. Pada
tahun 2006 diperkirakan sekitar 5,8% dari METODE PENELITIAN
jumlah penduduk mengalami Inkontinensia Desain penelitian yang diguanakan
urin, tetapi penanganannya masih sangat adalah pra eksperimental, dengan
kurang. Hal ini di sebabkan karena menggunakan rancangan one group pre test
masyarakat belum tahu tempat yang tepat post test. Penelitian dilakukan pada bulan
untuk berobat disertai kurangnya Oktober-November 2016 di Wilayah Kerja
pemahaman tenaga kesehatan tentang Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan
inkontinensia urin (Depkes, 2012). dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang
Berbagai macam perubahan terjadi pada lansia. Teknik pengumpulan data adalah
lanjut usia, salah satunya pada sistem dengan menggunakan instrument
perkemihan yaitu penurunan tonus otot wawancara dan lembar observasi. Untuk
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra) mengetahui adanya perubahan frekuensi
yang disebabkan oleh penurunan hormon inkontinensia urine pretest dan frekuensi
esterogen, sehingga menyebabkan inkontinensia urine posttest, maka
terjadinya inkontinensia urine, otot±otot digunakan uji statistik, yaitu uji Wilcoxon
menjadi lemah, kapasitasnya menurun Sign Rank Test GHQJDQ .
sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi
BAK meningkatdan tidak dapat dikontrol HASIL dan PEMBAHASAN
(Nugroho, 2008). Hasil Penelitian
Menurut Newman & Smith, 1992; Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan
Taylor & Handerson, 1986, terdapat cara Umur
yang digunakan untuk memperbaiki
ketidakmampuan berkemih yaitu dengan Umur n %
latihan otot dasar panggul (pelvic muscte (Tahun)
exercise) atau sering disebut dengan latihan 60-74 25 83.3
Kegel. Latihan dasar panggul melibatkan 75-90 5 16.7
kontraksi tulang otot pubokoksigeus, otot
Total 30 100
yang membentuk struktur penyokong
panggul dan mengililingi pintu panggul Sumber : Data Primer, 2016
pada vagina, uretra, dan rectum (Maas et al, Tabel 1 menunjukkan bahwa
2011). distribusi responden berdasarkan umur
ssebagian besar berumur 60-74 tahun
sebanyak 25 orang (83.3%).
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017

Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber : Data Primer, 2016


Jenis Persalinan Tabel 4 menunjukkan bahwa
frekuensi inkontinensia urine tertinggi
Jenis n % adalah frekuensi inkontinensia jarang
Persalinan sebanyak 25 orang (83.3%) dan frekuensi
Normal 21 70.0 inkontinensia terendah sebanyak 5 orang
SC 9 30.0 (16.7%) pada frekuensi inkontinensia urine
sedang.
Total 30 100
Sumber : Data Primer, 2016 Tabel 5 Hasil Uji Wilcoxon Sign Rank Test
Tabel 2 menunjukkan bahwa Frekuensi Inkontinensi Urine
distribusi responden berdasarkan jenis Sebelum dan Sesudah Dilakukan
persalinan sebagian besar adalah jenis Senam Kegel Pada Lanjut Usia
persalinan normal/spontan sebanyak 21
orang (70.0%).
n Mean SD Zhitung PValue
Tabel 3 Gambaran Frekuensi Inkontinensia
Pretest 30 1.73 0.640 -4.689 0.000
Urine Sebelum Dilakukan Senam
Posttest 30 2.83 0.379
Kegel
Sumber : Data Primer, 2016
Frekuensi Hasil penelitian yang ddapat dengan
Inkontinensia n % menggunakan uji statistik Wilcoxon Sign
Urine Rank Test didapatkan nilai mean pada
Sering 11 36.7 frekuensi inkontinensia urine pretest adalah
Sedang 16 53.3 1.73 dan nilai mean pada frekuensi
Jarang 3 10.0 inkontinensia urine posttest adalah 2.83, hal
ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan
Total 30 100
antara pretest dan posttest dengan hasil
Sumber : Data Primer, 2016 mean yang berbeda dan nilai Z adalah -
Tabel 3 menunjukkan bahwa 4.689 dan p value adalah 0.000 yang berarti
frekuensi inkontinensia urine tertinggi S YDOXH .
adalah frekuensi inkontinensia sedang
sebanyak 16 orang (53.3%) dan frekuensi Pembahasan
inkontinensia terendah sebanyak 3 orang Dalam penelitian ini didapati bahwa
(10.0%). usia responden yang mengalami
inkontinensia urine adalah mereka yang
Tabel 4 Gambaran Frekuensi Inkontinensia berumur 60-74 tahun berjumlah 25 orang
Urine Setelah Dilakukan Senam dan 75-90 tahun berjumlah 5 orang.
Kegel Menurut Stanley & Beare, (2006) Penuaan
menyebabkan penurunan kekuatan otot
Frekuensi diantaranya otot dasar panggul. Otot dasar
Inkontinensia n % panggul berfungsi menjaga stabilitas organ
Urine panggul secara aktif, berkontraksi
Sering 0 0 mengencangkan dan mengendorkan organ
Sedang 5 16.7 genital, serta mengendalikan dan
Jarang 25 83.3 mengontrol defekasi dan berkemih.
Total 30 100 Menurut Stockslager & Schaeffer (2007),
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017

bahwa lanjut usia yang mengalami oleh Syukur, (2010) bahwa persalinan
inkontinensia urine adalah mereka yang pervaginam lebih rentan akan terjadinya
EHUXPXU • WDKXQ Peningkatan usia inkontinensia urine karena dapat
merupakan salah satu faktor risiko menyebabkan perubahan neurologis didasar
melemahnya kekuatan otot dasar panggul, panggul, yang menyebabkan efek buruk
otot akan cenderung mengalami penurunan pada hantaran nervus pudenda, kekuatan
kekuatan berdasarkan pertambahan usia dan kontraksi vagina, dan tekanan penutupan
hal ini tidak dapat dihindari (MacLennan, uretra. Menurut National Institute of
2000). Diabetes and Digestive and Kidney
Menurut penelitian yang dilakukan Diseases (NIDDK) mengatakan bahwa
oleh Lubis (2009), hasil penelitiannya salah satu penyebab terjadinya
menjelaskan bahwa susunan tubuh inkontinensia urine pada wanita
termasuk otot mengalami penurunan hingga dikarenakan jenis persalinan
80% pada usia 50-60 tahun. Hal ini senada spontan/normal yang dilakukan/dialami
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri seorng wanita ketika melahirkan.
Wulandari (2012) Pengaruh Latihan Dalam hasil yang didapat dari 3 hari
Bladder Training terhadap penurunan sebelum diberikan intervensi yaitu,
inkontinensia pada lanjut usia ditemukan responden yang mengalami frekuensi
bahwa inkontinensia urine terjadi pada inkontinensia sering sebanyak 11 orang
UHVSRQGHQ \DQJ PHPLOLNL XVLD • WDKXQ (36.7%), responden yang mengalami
Senada dengan Jurnal tentang Prevalence of frekuensi inkontinensia sedang sebanyak 16
Urinary Incontinence oleh Thomas Thelma, orang (53.3%), sedangkan responden yang
dkk (1980), bahwa prevalensi penderita mengalami frekuensi inkontinensia jarang
inkontinensia urine meningkat pada usia > sebanyak 3 orang (10.0%).
60 Tahun. Menurut penelitian yang dilakukan
Hasil yang didapati dari pasien oleh Anggelita S, (2012) dengan judul
inkontinensia urine berdasarkan jenis ³/DWLKDQ .HJHO GHQJDQ 3HQXUXQDQ *HMDOD
persalinan adalah sebanyak 21 orang pasien ,QNRQWLQHQVLD 8ULQH SDGD /DQVLD´ GHQJDQ
memiliki riwayat persalinan normal (70%) jumlah responden 13 orang didapati bahwa
dan 9 orang pasien yang memiliki riwayat responden terbanyak pada inkontinensia
persalinan sectio ceaserea (30%). Menurut sedang. Menurut penelitian yang dilakukan
Nugroho (2008), Inkontinensia urin pada oleh Rahajeng (2010), bahwa tanpa latihan
wanita dapat terjadi akibatmelemahnya otot otot dasar panggul atau senam Kegel tidak
dasar panggul yang dapat disebabkan akan ada perbaikan pada kekuatan otot
karena usialanjut, menopause, kehamilan, dasar panggul. Kelemahan otot-otot dasar
pasca melahirkan. Menurut penelitian yang panggul dapat menyebabkan gagalnya otot
dilakukan oleh Arsyad, dkk (2012) bahwa tersebut menjalankan fungsinya. Sehingga
wanita yang melahirkan pervaginam dengan hasil yang didapat pada kelompok control
BBL > 3000 gram akan mengalami dalam penelitiannya adalah tidak adanya
peingkatan risiko inkontinensia urine perubahan atau perbaikan terhadap
karena jenis persalinan seperti ini memiliki kekuatan otot dasar panggul yang
tendensi terjadinya peningkatan kerusakan menyebabkan terjadinya inkontinensia
saraf dasar panggul. urine.
Senada dengan Jurnal tentang Dari hasil yang didapat 3 hari
Hubungan Cara Persalinan dengan Kejadian sesudah diberikan intervensi adalah
Stress Urinary Incontinence Post Partum responden yang mengalami frekuensi
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017

inkontinensia jarang sebanyak 25 orang Dalam penelitian ini didapatkan p-value


(83.3%), dan responden yang mengalami = 0,000 (p-value < 0,05) pada kelompok
frekuensi inkontinensia sedang sebanyak 5 Intervensi adalah Ho ditolak dan Ha
orang (16.7%). Hal inimenunjukkan diterima yang berarti penelitian ini
terjadinya penurunan frekuensi inkontinesia menunjukan terdapat pengaruh yang
urine pada responden dilihat dari jumlah signifikan senam Kegel terhadap frekuensi
responden yang mengalami frekuensi inkontinensia urine pada pasien
inkontinensia urine sering dan sedang inkontinensia urine di Wilayah Kerja
menurun menjadi frekuensi inkontinensia Puskesmas Tumpaan, Minahasa Selatan.
jarang . Dengan melakukan senam Kegel secara
Latihan otot dasar panggul (Senam rutin dan teratur selama waktu yang telah
Kegel) dilakukan untuk membangun ditentukan oleh peneliti yaitu 3 kali
kembali kekuatan otot dasar panggul.Otot seminggu dalam waktu 4 minggu.
dasar panggul tak dapat dilihat dari luar, Hasil penelitian ini sesuai dengan
sehingga sulit untuk menilai kontraksinya penelitian yang dilakukan oleh Ni Putu
secara langsung. Senam Kegel yang Ayu, dkk (2015) tentang Pengaruh Senam
dilakukan bertujuan untuk meningkatkan Kegel dan Pijat Perinium Terhadap
kekuatan otot-otot dasar panggul serta Kekuatan Otot Dasar Panggul pada Lansia
untuk mencapai 40-60 kali pengurangan dengan kesimpulannya yaitu Senam Kegel
terjadinya inkontinensia urine selama 10 tiga kali seminggu selama empat minggu
detik setiap harinya dengan melakukan meningkatkan kekuatan otot dasar panggul
minimal 10 kali latihan pada waktu makan lansia, sehingga hal ini dapat memberi hasil
dan waktu tidur yang merupakan jadwal yang efektif bagi penderita ikontinensia
yang mudah untuk diingat. urine.
Peningkatandapat dilihat dalam waktu 4-6 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan
minggu dengan peningkatan maksimal teori yang dikemukakan oleh Stanley &
selama 3 bulan (Stanley & Beare, 2006). Beare, (2006) dan Maas et al, (2011) bahwa
senam Kegel merupakan salah satu terapi
Menurut penelitian yang dilakukan oleh non farmakologis bagi penderita
Rahajeng (2010); Anggelita S (2012); inkontinensia urine yang tidak memiliki
Mustofa (2009); dan Ni Putu Ayu (2015), efek samping bila dilakukan secara rutin
bahwa senam Kegel yang diberikan pada oleh para Lanjut usia untuk menguatkan
lanjut usia dan ibu pasca persalinan dapat otot dasar panggul sehingga dapat
mengurangi kejadian inkontinensia urine mengurangi frekuensi terjadinya
yang diakibatkan oleh melemahnya otot inkontinensia urine. Menurut Maas, et al
dasar panggul (2011) latihan otot dasar panggul
Dalam penelitian ini ditemukan adanya melibatkan kontraksi berulang otot
pengaruh senam Kegel terhadap frekuensi pubokoksigeus, otot yang membentuk
inkontinensia urine, hal tersebut dapat struktur penyokong panggul dan
dilihat melalui uji Wilcoxon Sign Rank test mengelilingi pintu panggul pada vagina,
pada hasil observasi frekuensi inkontinensia uretra, dan rectum. Latihan/Senam Kegel
urine sebelum diberikan intervensi berupa ini meningkatkan tonus otot dasar panggul,
Senam Kegel dan hasil observasi frekuensi dengan menguatkan otot dasar panggul
inkontinensia urine setelah diberikan pada saat berkemih dirasakan, individu
intervensi berupa Senam Kegel pada 30 mampu menunda episode inkontinensia
responden dengan tingkat kepercayaan 95% urine yang berhubungan dengan kelemahan
GDQ WLQJNDW NHPDNQDDQ .
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017

otot panggul dan/atau kelemahan pintu Universitas Hasanuddin Makassar,


keluar kandung kemih. 1-12.
Daley, D. (2014). 30 Menit untuk Bugar &
SIMPULAN Sehat . Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Populer.
peneliti di Puskesmas Tumpaan Minahasa
Selatan, maka hasil penelitian ini dapat Fernandes, D. (2010). Hubungan Antara
disimpulkan bahwa : Sebelum dilakukan Inkontinensia Urin Dengan Derajat.
Senam Kegel jumlah responden terbanyak Surakarta: Fakultas Kedokteran
mengalami frekuensi inkontinensia sedang. Unviversitas Sebelas Maret.
Sedangkan hasil setelah dilakukan Senam
Kegel, frekuensi inkontinensia pada lansia Ismail, D. (2013). Aspek Keperawatan Pada
mengalami perubahan dengan menurunnya Inkontinensia Urin. Jurnal Ilmu
frekuensi inkontinensia urine menjadi Keperawatan, Vol. I, No.1, 3-11.
jarang. Sehingga terdapat pengaruh
terhadap frekuensi inkontinensia urine Jayanti, N. A. (2015). Pengaruh Senam
sesudah diberikan Senam Kegel. Kegel dan Pijat Perineum Terhadap
Kekuatan Otot Dasar Panggul
Lansia di Puskesmas Tabanan III.
DAFTAR PUSTAKA Coping Ners Journal, 27-33.
Anonimus. (2014). Badan Pusat Statistik. Lubis , D. L. (2009). Kekuatan Otot Dasar
Retrieved Oktober 4, 2016, from Panggul Pada Wanita Pasca
Statistik Penduduk Lanjut Usia: Persalinan Normal dan Pasca
http://old.bappenas.go.id/files/data/S Seksio Sesarea dengan
umber_Daya_Manusia_dan_Kebuda Perineometer. Medan: Fakultas
yaan/Statistik%20Penduduk%20Lan Kedokteran Universitas Sumatera
jut%20Usia%20Indonesia%202014. Utara.
pdf
Maas, M. L., Buckwalter, K. C., Hardy, M.
Anonimus. (2013). Panduan Penulisan D., Tripp-Reimer, T., Titler, M. G.,
Tugas Akhir Proposal dan Skripsi. & Specht, J. P. (2011). Asuhan
Manado: Universitas Sam Keperawatan Geriatrik, Diagnosis
Ratulangi. NANDA, Kriteria Hasil NOC,
Intervensi NIC. Jakarta: EGC.
Anonimus. (2015). Profil Puskesmas
Tumpaan, Minahasa Selatan. MacLennan, A., & dkk. (2000). The
Amurang: PKM Tumpaan. Prevalence of Pelvic Floor
Anonimus, R. (2012, Mei 9). Profil Disorders and their relationship to
Kesehatan Indonesia. p. www.depkes.go.id gender, age, parity, and mode of
delivery. British Journal of
Arsyad, E. (2012). Hubungan Senam Kegel Obstetrics and Gynaecology, 1460-
Terhadap Stress Inkontinensia Urine 1470.
Postpartum pada Wanta
Primigravida. Jurnal Obstetri dan (NIDDK), N. I. (2016). Urinary
Ginekologi Fakultas Kedokteran Incontinence In Woman. Amerika:
National Institutes of Health.
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017

Nordqvist, C. (2016). Urinary Incontinence:


Causes, Treatments, and Symptoms.
Journal University of Illinois-
Chicago, School of Medicine.
Nugroho, W. (2008). Keperawatan
Gerontik & Geriatrik Edisi 3.
Jakarta: EGC.

Septiastri, A. (2012). Latihan Kegel Dengan


Penurunan Gejala Inkontinensia
Urine Pada Lansia. Jurnal
Departeman KMB dan
Keperawatan Dasar.
Stanley, M., & Beare, P. G. (2006). Buku
Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.
Jakarta: EGC.

Stockslager, J. L., & Schaeffer , L. (2007).


Buku Saku Asuhan Keperawatan
Geriatrik Edisi 2. Jakarta: EGC.

Syukur, S. (2010). Hubungan Cara


Persalinan dengan Kejadian Stress
Urinary Incontinence Postpartum.
Padang: Fakultas Kedokteran
UNAND.

Thomas, T. (1980). Prevalence of Urinary


Incontinence. British Medical
Journal Vol.281, 1243-1245.
Vitriana. (2002). Evaluasi dan Manajemen
Medis Inkontinensia Urine . Jakarta:
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN
FISIK DAN REHABILITASI, FK-
UI.
39

Prevalensi dan Faktor Risiko Inkontinensia Urin


pada lansia Panti Sosial Tuna Werdha (PSTW)
Sumatera Barat

Amelia, R
Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Baiturrahmah, Padang, Indonesia
E-mail: rinitaamelia@gmail.com

Abstrak

Peningkatan usia harapan hidup penduduk Indonesia mencapai usia 66.2 tahun memiliki kontribusi terjadinya
peningkatan jumlah usia lanjut (Aging Structured Population). Proses penuaan (Aging Process) menimbulkan
masalah kesehatan pada lansia diantaranya seperti depresi, penurunan daya tahan (Immune Deffisiency),
Gangguan tidur (Insomnia) dan Inkontinentia Urin. Inkontinensia urin adalah defek spingter kandung kemih
atau disfungsi neurologis yang menyebabkan hilangnya kontrol terhadap buang air kecil. Inkontinensia urin
dapat menyebabkan masalah fisik, psikologis, sosial dan ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas hidup lansia.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dan faktor risiko inkontinensia urin pada lansia di PSTW
Pariaman. Penelitian ini merupakan penelitian observasi analitik dengan pendekatan cross sectional. Derajat
inkontinensia urin ditentukan dengan menggunakan alat ukur diagnosis inkontinensia urin, berupa kuesioner
yang berpedoman pada Sandvix Severity Index (SSI) dan The Three Incobtinence (3 IQ). Penelitian ini
menggunakan total sampling pada lansia ≥45 tahun. Dari sini didapatkan jumlah lansia yang mengalami
Inkontinensia urin berkisar 23.73% dengan jumlah laki-laki lebih tinggi (85.71%). Usia yang terbanyak adalah
usia 65-75 tahun dan keluhan sudah berlangsung lebih dari 6 bulan (85.72%) serta memiliki tingkat pendidikan
rendah (64.28%). Dari pemeriksaan tekanan darah separuh responden memiliki status hipertensi (50%). Untuk
derajat inkontinensia urin berdasarkan level SSI didapatkan sebagian besar lansia mengalami Inkontinensia urin
Sedang (Moderat Incontinence) sebesar 85.71%. Hal ini sesuai dengan teori bahwa masalah yang sering dialami
lansia adalah Inkontinensia Urin dengan perkiraan insiden 25-35% dari seluruh usia lanjut selama hidupnya.

Kata kunci — Inkontinensia Urin, Lansia, PSTW Sabai Nan Aluih

Abstract

The increased life expectancy of Indonesian people to 66.2 years old contributes to the increased number of
older people (Aging Structured Population). Aging Process causes health problems among elderly people,
including depression, immune deficiency, sleep disorder (insomnia) and urinary incontinence. Urinary
incontinence is a defect of bladder sphincter or neurological dysfunction which causes loss of control of
urinating. Urinary incontinence can cause a physical psychological, social and economic problems thus
affecting the quality of life of elderly people. The purpose of this study was to identify the prevalence and risk
factors of urinary incontinence among elderly people in PSTW Pariaman. This study was an observational
analytical study with a cross-sectional approach. Here, the degree of urinary incontinence was determined
using a urinary incontinence diagnosis tool in the form of a questionnaire based on the Sandvix Severity Index
(SSI) and The Three Incontinence (3 IQ). This study used total sampling of ≥45-year-old older people. It was
found that the number of older people with urinary incontinence was around 23.73% with higher number of
male (85.71%). The most prevalent age was 65-75 years old and the complaint had lasted over 6 months
(85.72%) and had low education level (64.28%). From blood pressure examination, half of the respondents had
hypertension (50%). The degree of urinary incontinence based on SSI level showed that older people had
moderate incontinence of 85.71%. This was consistent with the theory that the common problem for older
people is urinary incontinence with estimated incidents of 25-35% of the entire elderly population in their
lifetime.

Keywords — Urinary Incontinence, Older people, PSTW Sabai Nan Aluih

Health & Medical Journal


40 Heme, Vol II No 1
January 2020

I. PENDAHULUAN Panti Sosial Tuna Werdha Sabai Nan Aluih


Sicincin Kabupaten Pariaman yang meliputi
Peningkatan usia harapan hidup penduduk kategori jenis kelamin, umur, IMT, riwayat
Indonesia mencapai usia 66,2 tahun pendidikan, tekanan darah, riwayat operasi
memiliki kontribusi terjadinya peningkatan abdomen/ pelvis, riwayat partus pervaginam,
jumlah penduduk yang berstruktur lanjut usia lama perjalanan penyakit dan derajat SSI.
(Aging structured population). Penduduk
Usia Lanjut di Indonesia mencapai 7,18 % II. METODE PENELITIAN
dari jumlah total penduduk atau sekitar 19
juta pada tahun 2006. Pada tahun 2010 Jenis penelitian ini adalah penelitian
mengalami peningkatan pada tahun 2010 observasional analitik dengan pendekatan
menjadi 23,9 jiwa (9,77%) dan pada tahun cross sectional. Penelitian dilakukan di
2020 diperkirakan bisa mencapai 28,8 juta PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten
jiwa (11,34%) dengan usia harapan hidup Pariaman Sumatera Barat . Pemilihan subjek
bertambah dari usia 66,2 tahun menjadi usia penelitian dilakukan di panti karena peneliti
71,1 tahun1. Proses penuaan (Aging Process) ingin mendapatkan sampel penelitian yang
menimbulkan masalah kesehatan pada lansia berasal dari lanjut usia kelompok Midle Age,
yang ditandai dengan terjadinya perubahan- Elderly Age dan Old Age
perubahan fisiologis sistim organ akibat
proses degeneratif dan penurunan sistim Penelitian dilaksanakan mulai bulan
imun yang terjadi pada usia lanjut. Masalah Februari-Juni 2019. Subjek penelitian ini
kesehatan yang sering timbul akibat proses adalah usia lanjut yang memenuhi kriteria
penuaan adalah seperti: Penurunan sebagai berikut: Usia ≥ 60 tahun, bersedia
Intelektual/ Dementia (Intellectual menjadi subjek penelitian (inform consent)
Impairment), Kurangnya Aktivitas Fisik dan Mampu berkomunikasi. Kriteria eksklusi
(Immobility), Infeksi, Berdiri dan berjalan adalah pasien yang menderita penyakit
tidak stabil (Instability), Sulit buang air besar saluran kencing dan yang mengkonsumsi
(Constipation), Depresi, Penurunan daya obat diuretik.
tahan (Immune Deffisiency), Gangguan tidur
(Insomnia) dan Inkontinentia Urin 2,3,4. Teknik pengambilan sampel adalah total
sampel yang memiliki kriteria diatas. Data
Salah satu masalah yang tersering pada diambil melalui wawancara yang dilakukan
lansia adalah Inkontinensia Urin. dengan menggunakan kuesioner yang telah
Inkontinensia urin adalah kondisi yang disediakan yang sebelumnya responden
ditandai oleh defek spingter kandung kemih menandatangani Inform Concern.
atau disfungsi neurologis yang menyebabkan
hlangnya control terhadap buang air kecil 5,6. III. HASIL
Masalah inkontinensia urin ini bukan saja
menimbulkan persoalan fisik melainkan Telah dilakukan penelitian pada lansia yang
menyebabkan masalah psikologis, social dan tinggal di PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin
ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas kabupaten Pariaman pada tanggal 28 April
hidup lansia7,3. Prevalensi Inkontinensia urin 2019 terhadap 59 orang lansia dengan teknik
di panti jompo dikaitkan dengan lingkungan. observasi analitik. Data diambil melalui
Faktor imobilitas dan penyakit medis seperti wawancara langsung pada seluruh lansia
diabetes militus, stroke dan dementia 8. yang hadir dan bersedia sebagai subjek
penelitian dengan menandatangani inform
Dalam penelitian ini penulis ingin concern yang telah disediakan.
pengetahui prevalensi dan factor risiko
Inkontinensia Urin pada lansia yang hidup di

Email : heme@unbrah.ac.id
Heme, Vol II No 1 41
January 2020

Data dilaporkan dalam bentuk narasi dan underweight dan overweight dan terdapat
tabel sebagai gambaran distribusi frekuensi . 8.48% lansia yang obesitas.

Karakteristik Dasar Subyek Penelitian Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian


Berdasarkan Faktor Resiko Inkontinensia
TABEL 1. GAMBARAN JUMLAH LANSIA
Urine
PSTW SABAI NAN ALUIH MENURUT
KATEGORI JENIS KELAMIN
TABEL 4. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URIN
(N) (%)
Inkontinentia Jumlah Persentase
Laki-laki 36 61.01
Urin (N) (%)
Perempuan 23 38.99
Ada 14 23.73
Jumlah 59 100.00 45 76.27
Tidak Ada
Jumlah 59 100.00
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
jumlah lansia terbanyak yang diteliti Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
berdasarkan jenis kelamin di panti adalah jumlah lansia yang mengalami Inkontinensia
laki-laki sebanyak 61.01% urin hanya berkisar 23.73%
TABEL 2. GAMBARAN JUMLAH LANSIA
PSTW SABAI NAN ALUIH MENURUT TABEL 5. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA
KATEGORI UMUR YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URIN
Umur Jumlah Persentase BERDASARKAN JENIS KELAMIN
(N) (%) Inkontinentia Jumlah Persentase
< 65 Tahun 4 6.77 Urin (N) (%)
65 – 75 Tahun 30 50.85 Laki - laki 12 85.71
> 75 Tahun 25 42.38 Perempuan 2 14.29
Jumlah 59 100.00 Jumlah 14 100.00

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
jumlah lansia terbanyak yang diteliti jumlah lansia yang mengalami Inkontinensia
berdasarkan kategori umur adalah Antara 65- urin berdasarkan jenis kelamin, Jumlah
75 tahun (50.85%) hanya 6.77% yang yang terbanyak didapatkan pada laki-laki
berusia dibawah 65 tahun. (85.71%)

TABEL 3. GAMBARAN JUMLAH LANSIA TABEL6. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA


PSTW SABAI NAN ALUIH BERDASARKAN YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URIN
KATEGORI INDEKS MASA TUBUH ( IMT ) BERDASARKAN KATEGORI UMUR
Inkontinentia Jumlah Persentase
IMT Jumlah Persentase Urin (N) (%)
(N) (%) < 65 Tahun 1 7.15
Underweight 10 16.95 65 – 75 Tahun 7 50.00
Normoweight 34 57.62 > 75 Tahun 6 42.85
Overweight 10 16.95 Jumlah 14 100.00
Obesity 5 8.48
Jumlah 59 100.00 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
jumlah lansia yang mengalami Inkontinensia
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa urin berdasarkan kategori umur didapatkan
jumlah lansia terbanyak yang diteliti yang terbanyak adalah pada usia 65-75 tahun
berdasarkan kategori Indeks Masa Tubuh (50%)
didapatkan lansia yang tinggal dipanti
memiliki status gizi Normoweight (57.62% )
hanya 16.95% yang berada pada kategori

Health & Medical Journal


42 Heme, Vol II No 1
January 2020

TABEL 7. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA TABEL 10. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA


YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URIN YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URIN
BERDASARKAN KATEGORI STATUS BERDASARKAN LAMA PERJALANAN
INDEKS MASA TUBUH ( IMT ) PENYAKITNYA
Inkontinentia Jumlah Persentase Perjalanan Jumlah Persentase
Urin (N) (%) Penyakit (N) (%)
Underweight 3 21.43 < 6 bulan 2 14.28
Normoweight 10 71.43 ≥ 6 bulan 12 85.72
Overweight 1 7.14 Jumlah 14 100.00
Obesity 0 0
Jumlah 14 100.00 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
jumlah lansia yang mengalami Inkontinensia
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah
lansia yang mengalami Inkontinensia urin urin sebagian besar sudah berlangsung lebih
berdasarkan kategori Indeks Masa Tubuh dari 6 bulan (85.72%)
terdapat 71.43% memiliki kategori Normoweight
hanya 7.14 % yang dengan kategori overweight Tabel 11. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA
serta tidak ada lansia yang obesitas mengalami YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URIN
BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN
Inkontinensia Urin.
Pendidikan Jumlah Persentase
(N) (%)
TABEL 8. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA 9 64.28
Rendah
DENGAN ADA TIDAKNYA RIWAYAT 4 28.57
Sedang
OPERASI ABDOMEN/ PELVIS 1 7.15
Tinggi
Riwayat Jumlah Persentase
Jumlah 14 100.00
Operasi (N) (%)
Ada 1 7.14
Tidak Ada 13 92.86 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
Jumlah 14 100.00 jumlah lansia yang mengalami Inkontinensia
urin berdasarkan tingkat pendidikan
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa memiliki latar belakang pendidikan rendah
jumlah lansia yang mengalami Inkontinensia (64.28%) tapi ada lansia dengan IU
urin sebagian besar tidak memiliki riwayat berpendidikan tinggi (7.15%)
operasi abdomen/pelvis ( 92.86% ) Tabel 12. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA
YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URIN
TABEL 9. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA BERDASARKAN STATUS TEKANAN DARAH
WANITA YANG MENGALAMI Tekanan Jumlah Persentase
INKONTINENSIA URIN BERDASARKAN Darah (N) (%)
RIWAYAT PARTUS PERVAGINAM Normotensi 4 28.57
Riwayat Jumlah Persentase Hipertensi 7 50.00
Operasi (N) (%) Hipotensi 3 21.43
Ada 2 100.00. Jumlah 14 100.00
Tidak Ada 0 0
Jumlah 14 100.00 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
jumlah lansia yang mengalami Inkontinensia
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa urin, yang terbanyak memiliki status tekanan
semua lansia perempuan yang mengalami darah Hipertensi (50%)
Inkontinensia urin memiliki riwayat
persalinan normal /partus pervaginam
(100%)

Email : heme@unbrah.ac.id
Heme, Vol II No 1 43
January 2020

TABEL 13. GAMBARAN DISTRIBUSI LANSIA Berdasarkan usia, hasil penelitian di panti
YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URIN werdha ini bahwa lansia yang mengalami
BERDASARKAN LEVEL SSI (SANDVIX
SEVERITY INDEX)
Inkontinensia urin sebagian besar berusia 65-
Level SSI Jumlah Persentase 75 tahun (50%) dan usia >75 tahun
(N) (%) (42.85%). Hal ini sudah sesuai dengan
Slight Incontinence 4 28.57 penelitian yang dilakukan Wilson dkk, di
Moderat Incontinence 7 50.00 panti werdha Bethania Lembean tahun 2016
Severe Incontinence 3 21.43
bahwa lansia yang mengalami inkontinensia
Jumlah 14 100.00
urin terbanyak pada rentang usia 71-80 tahun
10
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa . Ini didukung oleh teori yang menyatakan
jumlah lansia yang mengalami Inkontinensia semakin lanjut usia seseorang semakin
urin berdasarkan level SSI didapatkan beresiko untuk mengalami inkontinensia ini
sebagian besar lansia di panti yang karena factor penurunan efisiensi dan fungsi
mengalami Inkontinensia urin Sedang organ secara fisiologis akibat proses
(Moderat Incontinence) sebesar 85.71% penuaan5

IV. PEMBAHASAN Berdasarkan SSi, tingkat Inkontinensia pada


penelitian ini terbanyak mengalami
Berdasarkan hasil penelitian pada lansia Inkontinensia Urin Sedang/ Moderat
yang tinggal di panti Werdha Sabai Nan (85.71%) hal ini sesuai dengan penelitian
Aluih Sicincin Pariaman dapat disimpulkan yang dilakukan chesor dkk yang
bahwa lansia yang mengalami Inkontinensia mendapatkan bahwa yang terbanyak adalah
Urin hanya sebanyak 24 orang dari 59 orang Inkontinensia Urin Moderat/Sedang sebesar
lansia yang di teliti atau sekitar 23.73%. 34,9% 11. Hasil penelitian ini kurang
Masalah Inkontinensia Urin pada lansia didukung oleh penelitian bahwa frekuensi
merupakan masalah yang serius dan butuh lansia wanita yang mengalami inkontinensia
penanganan segera, berdasarkan Darmojo urin berada pada level Inkontinensia ringan
dan Boedhi (2011) yang di kutip dari lebih dominan dibanding yang mengalami
National Kidney and Urologic Disease inkontinensia sedang atau berat. Hal ini
Advisory Board bahwa di Amerika Serikat mungkin dipengaruhi oleh beberapa factor
terdapat 13 juta kasus Inkontinensia Urin lain seperti penyakit yang diderita,
dengan data terbanyak adalah terjadi pada gaangguan emosi/ psikologis, jumlah anak
lansia baik yang dirawat di panti werdha yang pernah dilahirkan dll6.
maupun yang tidak, dengan perbandingan
separuhnya tinggal di panti. Hal ini sudah Dari hasil penelitian ini didapatkan lansia
sesuai dengan teori bahwa salah satu yang mengalami inkontinensia urin,
masalah yang sering dialami pada geriatric menderita penyakit hipertensi (50%), dan
adalah salah satunya Inkontinensia Urin dari hasil wawancara sebagian besar tidak
dengan perkiraan insiden 25-35% dari ada riwayat operasi dinding abdomen
seluruh usia lanjut selama hidupnya1 ataupun pelvis, status gizi sebagian besar
normoweight (71,43%), sedangkan pada
Masalah Inkontinensia Urin sudah penelitian Magdalena et al 2019 bahwa tidak
merupakan masalah umum pada wanita dan ada hubungan yang signifikan kejadian
pria lanjut usia yang ditandai dengan tidak inkontinensia urin dengan status gizi14. Pada
mampunya mengendalikan pengeluaran urin lansia wanita yang mengalami inkontinensia
sehingga menyebabkan terganggunya urin 100% dengan riwayat partus
kehidupan sosial, higienis dan emosional pervaginam.
sehingga berdampak pada gangguan
kesehatan9.

Health & Medical Journal


44 Heme, Vol II No 1
January 2020

V. KESIMPULAN DAN SARAN [6] Silay K, Akinci S, Ulas A, Yalcin A, Silay YS,
Akinci MB, et al. Occult urinary incontinence
Dari hasil penelitian ini didapatkan in elderly women. 2016;447–51.
kesimpulan bahwa lansia yang tinggal di [7] Batumalay D, Karmaya NM. The prevalence
panti werdha Sabai Nan Aluih yang of urinary incontinence in aged women in
mengalami inkontinensia urin sebanyak Peguyangan Village , District of Tag-Tag.
23.73% dari 59 orang lansia yang diteliti dan 2019;10(1):131–3.
mayoritas adalah laki-laki (85.71%) dengan [8] Hägglund D, Momats E, Mooney T. Nursing
rentang usia terbanyak 65-75 tahun engan Staff ’ s Experiences of Providing Toilet
status BMI Normoweight, memiliki riwayat Assistance to Elderly Nursing Home Residents
with Urinary Incontinence. 2017;145–57.
penyakit hipertensi dan pada lansia wanita
[9] Riemsma R, Hagen S, Kirschner-hermanns R,
yang mengalami inkontinensia urin
Norton C, Wijk H, Andersson K, et al. Can
seluruhnya memiliki riwayat melahirkan
incontinence be cured ? A systematic review of
normal (partus pervaginam).
cure rates. 2017;1–11.
[10] Wilson AM. No Title. 2017;5:1–8.
Penelitian hanya dilakukan pada sebagian [11] Chesor A, Kesehatan FI, Surakarta UM.
lansia yang berada di panti Werdha Sabai Hubungan antara inkontinensia urin dengan
Nan Aluih (59% ) sehingga perlu dilakukan depresi pada lanjut usia di panti wreda dharma
penelitian ini pada sebagian yang lain. bakti pajang surakarta. 2015;

Jumlah lansia yang di teliti sebagian besar


adalah laki-laki karena lansia yang tinggal
sebagai penghuni panti sebagian besar
(>60%) adalah laki-laki sehingga belum
banyak tergambar faktor resiko inkontinensia
urin yang terlihat berdasarkan gender. Untuk
itu disarankan penelitian dapat diteruskan
pada lansia yang tinggal di panti lain

DAFTAR PUSTAKA
[1] Neki NS. Urinary Incontinence in Elderly.
2016;5(1):5–13.
[2] Syndromes G. Learn more about Geriatric
Syndrome Cancer in the Elderly What Is
Frailty ? 2014;
[3] Charalambous S, Trantafylidis A. Review
article Impact of urinary incontinence on
quality of life. :51–3.
[4] Elbana HM, Salama AM, Barakat MM. Effect
of Urinary Incontinence on Quality of Life and
Self Esteem of Postmenopausal Women.
2018;7(5):182–91.
[5] Yu B, Xu H, Chen X, Liu L. ScienceDirect
Analysis of coping styles of elderly women
patients with stress urinary incontinence. Int J
Nurs Sci [Internet]. 2016;3(2):153–7.
Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnss.2015.10.009

Email : heme@unbrah.ac.id
http://jkm.fk.unri.ac.id 20

Artikel Penelitian

Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Panti Werdha Provinsi Riau


Urinary Incontinence among Institutionalized Elderly in Riau Province
Desby Juananda1, Dhany Febriantara2
1Kelompok Jabatan Fungsional (KJF) Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Riau
2Fakultas Kedokteran Universitas Riau

ABSTRAK
Inkontinensia urin (IU) diartikan sebagai keluarnya urin tanpa disadari yang dapat diamati secara objektif, serta menimbulkan
masalah sosial dan kebersihan. IU merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada lanjut usia (lansia). Pada
penelitian ini akan dinilai gambaran prevalensi dan dampak IU, serta kualitas tidur pada lansia di Panti Werdha Provinsi Riau.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang yang dilakukan pada 30 orang lansia berusia
lebih dari 60 tahun menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner, antara lain Incontinence Impact Questionnaire-7 (IIQ-
7), Urogenital Distress Inventory-6 (UDI-6), dan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Pada penelitian ini diketahui bahwa 16
orang (53,33%) lansia mengalami IU, dan umumnya adalah perempuan. Tipe IU yang ditemukan, antara lain tipe urgensi
sebanyak 14 orang (87,5%), tipe stres sebanyak 1 orang (6,25%) dan tipe luapan sebanyak 1 orang (6,25%). IU diketahui
berdampak pada aktivitas fisik (44,44%), perjalanan (44,44%) dan kesehatan emosional (11,12%). Lansia yang mengalami IU
memiliki kualitas tidur yang tidak baik (100%) dan waktu tidur yang singkat (68,75%). Penelitian ini menunjukkan bahwa
prevalensi IU pada lansia di Panti Werdha Provinsi Riau cukup tinggi dengan distribusi terbanyak adalah tipe urgensi. IU diyakini
sangat berdampak pada aktivitas fisik, emosi dan kualitas tidur.
Kata kunci: inkontinensia urin, kualitas tidur, lanjut usia

ABSTRACT
Urinary incontinence (UI) is defined as involuntary loss of urine that can be demonstrated objectively, and of social and hygienic
problems. UI is a medical problem that can commonly be seen in elderly. The aim of this study was to identify the prevalence,
the distribution of the type, the related impact of UI, and also the sleep quality among elderly in Riau institutional care. This is a
descriptive study with cross sectional design. Thirty participants above 60 years old living in institutional care were interviewed
using the Incontinence Impact Questionnaire-7 (IIQ-7), the Urogenital Distress Inventory-6 (UDI-6), and the Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI). We obtained 16 subjects (53,33%) suffering from UI especially in women. The distribution of the type is 14
subjects (87,5%) with urge incontinence, 1 subject (6,25%) with stress incontinence and 1 subject (6,25%) with overflow
incontinence. We found that UI impaired the physical activity (44,44%), travelling (44,44%) and mental health (11,12%). We also
found that subjects with UI reported worse sleep quality (100%), and spending short time in bed (68,75%). This study shows that
the prevalence of UI in Riau institutional care is excessively; while the distribution of the type is urge incontinence generally. UI
seems to impact physical activity, mental health, and sleep quality.
Keywords: elderly, sleep quality, urinary incontinence

Korespondensi : Desby Juananda, email: desbyjuananda@gmail.com

Artikel info: Online published first 14 September 2017.


DOI: https://doi.org/10.26891/jkm.v1i1.2017.20-24

Copyright @ 2017 Authors. This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0
International License (http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/), which permits unrestricted non-commercial use, distribution, and
reproduction in any medium, provided the original author and source are properly cited.

Jurnal Kesehatan Melayu


pISSN 2597-6532 eISSN 2597-7407
jKM
http://jkm.fk.unri.ac.id 21

Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah telah mendapatkan izin Komite Tetap Etik Penelitian
kesehatan yang sering dijumpai pada lansia. Hal tersebut Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran
jarang disampaikan oleh pasien maupun keluarga karena Universitas Riau No. 89/UEPKK/2015.
dianggap memalukan (tabu) atau wajar terjadi pada lansia Pada penelitian ini digunakan berbagai instrumen
sehingga tidak perlu diobati. IU dinilai bukan sebagai penelitian berupa kuesioner, meliputi Incontinence Impact
penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat menimbulkan Questionnaire-7 (IIQ-7), Urogenital Distress Inventory-6
berbagai gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat (UDI-6) dan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang
menurunkan kualitas hidup. IU merupakan keluarnya urin akan ditanyakan langsung kepada responden melalui
tidak disadari dan pada waktu yang tidak diinginkan (tanpa wawancara terpimpin. IIQ-7 digunakan untuk mengetahui
memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang dampak IU terhadap aktivitas fisik (item 1 & 2), perjalanan
mengakibatkan masalah sosial dan higienisitas (item 3 & 4), hubungan sosial (item 5) dan emosional (item
penderitanya.1 Prevalensi IU pada perempuan di dunia 6 & 7). UDI-6 digunakan untuk mengetahui tipe IU, yaitu
berkisar antara 10-58%. Menurut Asia Pasific Continence urgensi (item 1 & 2), stres (item 3 & 4) dan luapan (item 5
Advisor Board (APCAB), prevalensi IU pada perempuan & 6). PSQI digunakan untuk menilai kualitas tidur yang
Asia adalah 14,6%, dimana sekitar 5,8% berasal dari terdiri dari tujuh indikator penilaian, yaitu kualitas tidur
Indonesia.1 Survei IU oleh Rumah Sakit Umum Dr. subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur,
Soetomo (2008) pada 793 pasien menunjukkan bahwa gangguan tidur, penggunaan obat tidur dan keluhan pada
prevalensi IU pada perempuan 6,79%, sedangkan pada siang hari seperti mengantuk. Tiap komponen memiliki
laki-laki 3,02%. Survei lainnya oleh Rumah Sakit Umum kisaran nilai antara 0-3 dengan 0 menunjukkan tidak
Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (2003) pada 179 adanya kesulitan tidur dan 3 menunjukkan kesulitan tidur
lansia menunjukkan bahwa angka kejadian IU tipe stres yang berat. Skor dari ketujuh komponen tersebut
pada laki-laki 20,5%, sedangkan pada perempuan 32,5%. dijumlahkan menjadi satu skor global dengan kisaran nilai
Hal tersebut menunjukkan bahwa prevalensi IU pada 0-21.
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.2 Seluruh variabel pada penelitian dianalisis secara
Proses menua diyakini sebagai salah satu faktor proporsional dan sederhana dengan menggunakan analisis
predisposisi terjadinya IU.2 Penuaan menyebabkan banyak univariat, kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan
perubahan anatomis dan fisiologis organ urogenital bagian diagram. Cara perhitungan dilakukan dengan
bawah, antara lain fibrosis, atrofi mukosa, perubahan menggunakan rumus, sebagai berikut:
vaskularisasi submukosa dan menipisnya lapisan otot yang
menggangu kontraktilitas dan mudah terbentuk Persentase: F x 100%
trabekulasi hingga divertikel. Hal ini akan menyebabkan
posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan N
tekanan.3 Risiko IU akan meningkat pada perempuan
dengan obesitas, riwayat histerektomi, infeksi urogenital Keterangan
dan trauma perineal, serta melahirkan pervaginam. Pada F = Frekuensi
lansia yang dirawat di panti werdha, IU sering berkaitan N = Jumlah
dengan gangguan mobilitas, demensia, depresi, stroke,
diabetes mellitus dan Parkinson. Faktor risiko IU lainnya HASIL
yang dapat dimodifikasi, antara lain infeksi saluran kemih, Inkontinensia urin (IU) pada lansia
keterbatasan aktivitas fisik dan faktor gangguan Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
lingkungan.3 lansia yang mengalami IU dan tanpa IU. Berdasarkan
Inkontinensia urin mempunyai dampak medik, psikososial penggolongan umur, lansia dibagi menjadi tiga kelompok
dan ekonomik.1,2 Beberapa kondisi yang sering menyertai umur, yaitu elderly (60-75 tahun), old (75-90 tahun), very
IU, antara lain kelainan kulit dan gangguan tidur, hingga old (>90 tahun), sedangkan berdasarkan jenis kelaminnya
dampak psikososial dan ekonomik, seperti depresi, mudah lansia digolongkan menjadi laki-laki dan perempuan. Pada
marah, terisolasi, hilang percaya diri, pembatasan aktifitas penelitian ini dijumpai bahwa IU dialami oleh 53,33%
sosial, dan besarnya biaya rawatan.4 Kualitas tidur yang lansia yaitu pada kelompok umur elderly (81,25%) dan
menurun disebabkan oleh lingkungan tidur yang tidak terutama perempuan (56,25%) (tabel 1).
nyaman, terbangun malam hari untuk berkemih, dan stres.
Hal tersebut menyebabkan penurunan konsentrasi, mudah Tabel 1. Karakteristik Lansia Berdasarkan Umur dan Jenis
marah dan sulitnya mengambil keputusan.3,4 Kelamin
Data tentang IU pada lansia di Indonesia belum lengkap, Inkontinensia Urin (IU)
sehingga prevalensi pasti tidak diketahui. Hal ini mungkin Karakteristik Lansia Tidak IU IU
saja disebabkan oleh kurangnya deteksi dini oleh petugas 45,66% (n=14) 53,33% (n=16)
kesehatan akibat rendahnya pengetahuan tentang Umur (%)
tatalaksana IU. Pentingnya informasi mengenai hal  Elderly (60-74 64,28 (9) 81,25 (13)
tersebut melatarbelakangi perlunya dikaji dan diteliti tahun) 35,72 (5) 18,75 (3)
bagaimana gambaran prevalensi dan dampak IU, serta  Old (75-90 - -
kualitas tidur pada lansia di Panti Werdha Provinsi Riau. tahun)
 Very old (>90
METODE tahun)
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan Jenis Kelamin (%)
rancangan potong lintang. Penelitian ini dilakukan pada 30  Laki-laki 42,86 (6) 43,75 (7)
orang lansia (jompo) berusia lebih dari 60 tahun di Unit  Perempuan 57,14 (8) 56,25 (9)
Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Tresna Werdha Keterangan: Data disajikan secara deskriptif, meliputi distribusi
(PSTW) Khusnul Khotimah Provinsi Riau. Penelitian ini frekuensi dan persentase.

Jurnal Kesehatan Melayu


pISSN 2597-6532 eISSN 2597-7407
jKM
http://jkm.fk.unri.ac.id 22

Berdasarkan kuesioner UDI-6, tipe IU terbanyak adalah  Efisiensi tidur <65% 64,3 (9) 68,75 (11)
urgensi (87,5%), bila dibandingkan stres (6,25%) dan
Gangguan tidur (%)
luapan (6,25%) (tabel 2). Pada penelitian ini, IU berdampak
 Tidak ada pada bulan lalu 7,14 (1) 6,25 (1)
terhadap aktivitas dan emosi hanya pada 56,25% dari total
 Kurang dari sekali dalam 64,28 (9) 50 (8)
seluruh lansia yang mengalami IU. Berdasarkan kuesioner
seminggu
IIQ-7, IU umumnya berdampak pada aktivitas fisik
 Sekali atau dua kali dalam 28,58 (4) 53,75 (7)
(44,44%) dan perjalanan (44,44%), bila dibandingkan
seminggu
dengan emosi (11,12%) (tabel 3). Tidak dijumpai dampak
 Tiga kali atau lebih dalam - -
inkontinensia urin pada hubungan sosial lansia.
seminggu
Penggunaan obat tidur (%)
Tabel 2. Tipe Inkontinensia Urin pada Lansia
 Tidak ada pada bulan lalu 92,85 (13) 68,75 (11)
Tipe Inkontinesia Urin Jumlah Persentase (%)  Kurang dari sekali dalam 7,15 (1) 18,75 (3)
(n) seminggu
Urgensi 14 87,5  Sekali atau dua kali dalam - 6,25 (1)
Stres 1 6,25 seminggu
Luapan 1 6,25  Tiga kali atau lebih dalam - 6,25 (1)
seminggu
Tabel 3. Dampak Inkontinensia Urin pada Lansia Disfungsi tidur siang hari (%)
Dampak Inkontinensia Jumlah Persentase (%)  Tidak ada pada bulan lalu 64,28 (9) 43,75 (7)
Urin (n)  Kurang dari sekali dalam 21,42 (3) 37,5 (6)
Aktivitas fisik 4 44,44 seminggu
Perjalanan 4 44,44  Sekali atau dua kali dalam 14,3 (2) 18,75 (3)
Hubungan sosial - - seminggu
Emosi 1 11,12  Tiga kali atau lebih dalam - -
seminggu
Kualitas tidur pada lansia
Berdasarkan kuesioner PSQI, seluruh lansia yang *) Efisiensi tidur dihitung dengan rumus sebagai berikut:
mengalami IU memiliki kualitas tidur tidak baik (100%). Hal
ini serupa dengan lansia yang tidak mengalami IU, dimana
Efisiensi tidur: Durasi tidur x 100%
sebagian besar juga memiliki kualitas tidur yang tidak baik
Jam bangun pagi – Jam tidur malam
(92,86%) (tabel 4). Pada penelitian ini, penilaian kualitas
tidur dilakukan berdasarkan komponen-komponen sesuai
standar PSQI (tabel 5).
Lansia yang mengalami IU umumnya memiliki kualitas
Tabel 4. Kualitas Tidur pada Lansia tidur subjektif cukup baik (62,5%), latensi tidur 60 menit
(31,25%), durasi tidur <5 jam (87,5%), efisiensi tidur
Inkontinensia Urin (IU)
sehari-hari <65% (68,75%), gangguan tidur sekali atau dua
Kualitas Tidur Tidak IU IU
kali dalam seminggu (53,75%), penggunaan obat tidur
(n=14) (n=16)
tidak ada pada bulan lalu (68,75%) dan disfungsi tidur
Baik (%) 7,14 (1) -
siang hari juga tidak ada pada bulan lalu (43,75%). Lansia
Tidak baik (%) 92,86 (13) 100 (16)
yang tidak mengalami IU umumnya memiliki kualitas tidur
subjektif sangat baik (28,57%), latensi tidur 15 menit
Tabel 5. Komponen-komponen Kualitas Tidur pada Lansia (57,14%), durasi tidur <5 jam (92,86%), efisiensi tidur
Inkontinensia Urin (IU) sehari-hari <65% (64,3%), gangguan tidur kurang dari
Komponen Kualitas Tidur Tidak IU IU sekali dalam seminggu (64,28%), penggunaan obat tidur
(n=14) (n=16) tidak ada pada bulan lalu (92,85%), dan disfungsi tidur
Kualitas tidur subjektif (%) siang hari juga tidak ada pada bulan lalu (64,28%).
 Sangat baik 28,57 (4) -
 Cukup baik 50 (7) 62,5 (10) DISKUSI
 Cukup buruk 14,28 (2) 31,25 (5) Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa lansia yang
 Sangat buruk 7,15 (1) 6,25 (1) dirawat di panti werdha umumnya mengalami IU, dimana
Latensi tidur (%) perempuan lebih rentan bila dibandingkan dengan laki-
 Latensi tidur 15 menit 57,14 (8) 18,75 (3) laki.5,6 Prevalensi IU diyakini meningkat seiring dengan
 Latensi tidur 16-30 menit 21,42 (3) 12,5 (2) pertambahan usia.2 Sekitar 50% lansia perempuan yang
 Latensi tidur 31-60 menit 7,14 (1) 37,5 (6) berusia lebih dari 65 tahun diyakini telah mengalami IU.7
14,29 (2) 31,25 (5) Secara klinis, IU dibagi menjadi empat tipe, yaitu urgensi,
 Latensi tidur 60 menit
stres, fungsional dan luber (overflow). Pada penelitian ini
Durasi tidur (%)
 Durasi tidur >7 jam - - tipe IU terbanyak adalah urgensi, bila dibandingkan
 Durasi tidur 6-7 jam - - dengan stres dan luapan. Dua kelainan saluran kemih
bagian bawah yang mendasari terjadinya IU persisten,
 Durasi tidur 5-6 jam 7,14 (1) 12,5 (2)
yaitu: 1) kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih
 Durasi tidur <5 jam 92,86 (13) 87,5 (14)
akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung
Efisiensi tidur sehari-hari (%)*
kemih (lemahnya tahanan saluran keluar), dan 2)
 Efisiensi tidur >85% 14,28 (2) 6,25 (1)
 Efisiensi tidur 75-84% - 6,25 (1) kegagalan pengosongan kandung kemih akibat
 Efisiensi tidur 65-74% 21,42 (3) 18,75 (3) melemahnya kontraksi otot detrusor atau meningkatnya
tahanan aliran keluar.

Jurnal Kesehatan Melayu


pISSN 2597-6532 eISSN 2597-7407
jKM
http://jkm.fk.unri.ac.id 23

Inkontinensia urin tipe urgensi merupakan kasus tersering Pada penelitian selanjutnya dapat dikaji gambaran
yang terjadi pada lansia.8 Hal ini biasanya ditandai oleh prevalensi dan dampak inkontinensia urin pada lansia yang
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berada di komunitas.
berkemih muncul dengan manifestasi, antara lain urgensi,
frekuensi dan nokturia. Faktor risiko utama IU tipe urgensi UCAPAN TERIMA KASIH
adalah pertambahan usia.9 Sebagai etiologi, usia juga Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
selalu dikaitkan dengan faktor risiko lainnya, seperti kepada Dr. dr. Dedi Afandi, D.F.M., Sp.F. selaku Dekan
perubahan pada saluran kemih bagian bawah, vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Riau (FK UR), Prof. Dr.
dan susunan saraf pusat. Beberapa penelitian meyakini Almasdi Syahza, S.E., M.P. selaku Ketua Lembaga
diabetes mellitus dapat meningkatkan risiko IU tipe Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas
urgensi akibat neuropati diabetik.1 Selain itu, infeksi Riau (LPPM UR), dan Anida Asfarina, S.H. selaku Kepala
saluran kemih bawah juga dapat meningkatkan risiko IU UPT PSTW Khusnul Khotimah Provinsi Riau atas bimbingan
tipe urgensi dengan cara memicu hiperefleksia dari otot dan dukungannya pada penelitian ini. Penelitian ini
detrusor.9,10 dibiayai oleh Penelitian Hibah FK UR (PNBP) Tahun
Inkontinensia urin umumnya mempunyai dampak pada Anggaran 2016 (No. Kontrak:
aktivitas fisik, perjalanan dan kesehatan emosional. Sering 60/UN19.5.1.1.8/UPPM/2016).
kali IU dianggap sebagai hal yang memalukan, dan
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan sosial.11 DAFTAR PUSTAKA
Lansia menjadi tidak percaya diri, depresi, cemas, pemarah
dan terisolasi.1 Dampak IU terhadap sosial-ekonomi dan
kualitas hidup lansia telah meningkatkan jumlah lansia 1. Setiati S & Pramantara IDP. Inkontinensia urin dan
yang dirawat di panti werdha.3 kandung kemih hiperaktif. Dalam: Aru WS, Bambang
Pada penelitian ini, kualitas tidur pada lansia yang S, Idris A, Marcellus S & Siti S, editor (penyunting).
mengalami IU dan tanpa IU umumnya tergolong tidak baik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-2. Jakarta:
Lansia diketahui membutuhkan waktu lebih lama untuk Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam; 2004. hlm 1392-
memulai tidur dan lebih sedikit waktu tidur nyenyaknya.4 99.
Lansia memiliki waktu tidur yang dalam (delta sleep) lebih 2. Rijal C & Hakim S. Urinary incontinence in women
pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan stadium 2 (tidur living in nursing homes: prevalence and risk factors.
ringan) lebih lama. Lansia terbukti lebih sering terbangun Indones. J. Obstet. Gynecol. 2014; 2(4):193-8.
pada malam hari akibat perubahan fisik karena faktor usia 3. Cook K & Sobeski LM. Urinary incontinence in the
dan penyakit yang dialaminya sehingga kualitas tidur older adult. PSAP.2013;1-15.
secara nyata akan menurun.12 Beberapa keluhan subjektif 4. Rahayu RA. Gangguan tidur pada usia lanjut. Dalam:
pada lansia terkait kualitas tidurnya, antara lain Aru WS, Bambang S, Idris A, Marcellus S & Siti S,
menghabiskan terlalu banyak waktu di tempat tidur, lebih editor (penyunting). Buku ajar ilmu penyakit dalam.
sedikit waktu untuk tidur nyenyak, jumlah terbangun yang Edisi ke-2. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit
meningkat, memerlukan waktu lebih banyak untuk bisa Dalam; 2004. hlm 1350-6.
tidur, kepuasan tidur kurang, keletihan sepanjang hari, 5. Kuchel GA & DuBeau CE. Urinary incontinence in the
serta lebih sering dan lebih lama menghabiskan waktu elderly. Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 2009;1-5.
untuk istirahat.13 6. Sumardi R, Mochtar CA, Junizaf, Santoso BI, Setiati S,
Berbagai penelitian melaporkan gangguan tidur pada Nuhonni SA, et al. Prevalence of urinary incontinence,
lansia bersifat multifaktorial, diantaranya oleh faktor fisik, risk factors and its impact: multivariate analysis from
psikologis, pengaruh obat-obatan, kebiasaan tidur, dan Indonesian nationwide survey. Acta Med. Indones.-
penyakit penyerta lainnya. Kualitas tidur yang menurun Indones. J. Intern. Med. 2014; 46(3):175-82.
pada lansia yang mengalami IU mungkin disebabkan oleh 7. Tendean HMM. Deteksi inkontinensia urin pada usia
beberapa kondisi, antara lain lingkungan tidur yang tidak post menopause dengan menggunakan Kuesioner IIQ-
nyaman, terbangun pada malam hari untuk berkemih, dan 7 dan UDI-6. JKM. 2007; 6(2).
stres yang dipicu oleh rasa tidak nyaman akibat IU.14 Selain 8. Santoso BI. Inkontinensia urin. Maj. Kedokt. Indon.
itu, faktor lainnya juga perlu diperhatikan salah satunya 2008; 58(7):258-64.
adalah pola aktivitas pada siang hari. Lansia yang banyak 9. Brown JS, Grady D, Ouslander JGA, Herzog AR, Varner,
beraktivitas pada siang hari akan cenderung sulit tidur RE & Posner SF. Prevalence of urinary incontinence
pada malam hari.4 and associated risk factors in postmenopausal
women. Obstet. Gynecol. 1999; 94:66-70.
SIMPULAN 10. Resnick NM, Yalla SB & Laurino E. The
Lansia yang dirawat di Panti Werdha Provinsi Riau pathophysiology of urinary incontinence among
umumnya mengalami IU, dimana perempuan lebih institusionalized elderly persons. N. Engl. J. Med.
berisiko bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dapat 1989; 320(1):1-7.
berdampak pada aktivitas fisik, perjalanan dan kesehatan 11. Grimby A, Milsom I, Molander U, Wiklund I & Ekelund
emosional. Lansia yang mengalami IU memiliki kualitas P. The Influence of urinary incontinence of the quality
tidur yang tidak baik. Lansia diketahui memiliki sedikit of life of elderly women. Age and Ageing. 1993;
waktu untuk tidur nyenyak, jumlah terbangun tengah 22:82-9.
malam yang meningkat, memerlukan waktu lebih banyak 12. Wu C-Y, Su T-P, Fang C-, L & Chang MY. Sleep quality
among community-dwelling elderly people and its
untuk bisa tidur, kepuasan tidur berkurang, dan lebih lama
demographic, mental, and physical correlates. Journal
menghabiskan waktu untuk istirahat. Pencegahan dan
of the Chinese Medical Association. 2012; 75:75-80.
pengendalian faktor risiko adalah salah satu strategi untuk
menurunkan morbiditas, sekaligus meningkatkan kualitas 13. Cohen-Zion M & Ancoli-Israel S. Sleep disorders.
hidup pada lansia yang mengalami IU di panti werdha. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, et al, editor

Jurnal Kesehatan Melayu


pISSN 2597-6532 eISSN 2597-7407
jKM
http://jkm.fk.unri.ac.id 24

(penyunting). Principles of geriatric medicine and


gerontology. Edisi ke-5. New York: Mc Graw-Hill
Companies, Inc; 2003. hlm 1531-41.
14. Tyagi S, Perera S, Clarkson BD, Tadic SD & Resnick
NM. Nocturnal polyuria in older women with urge
urinary incontinence: role of sleep quality, time in
bed, and medications used. J. Urol. 2016. DOI:
10.1016/ j.juro. 2016.09.080.

Jurnal Kesehatan Melayu


pISSN 2597-6532 eISSN 2597-7407
jKM

Anda mungkin juga menyukai