Anda di halaman 1dari 41

Blok Urogenitonefrologi

Tugas Laporan Modul 1


25 September 2011

Bengkak Pada Wajah Dan Perut

Oleh Kelompok 5B :

Andi Nurjannah Kaddiraja


Hidayatullah
Amrul Muslihin
NahdiahZainuddin
Rezky Putri Indarwati
Zarah Alifani Dzulhijjah
Irna Astuti Tiro
Isnaeni Salamiyah
Ade Irma Sari
Andi Fatmawati Mahir
Andi Dala Yasinta

Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2011
Skenario
Seorang anak laki- laki, 12 tahun, dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan wajah
dan perut bengkak. Pembengkakan terjadi sejak 3 minggu yang lalu yang makin lama
semakin bertambah. Tidak ada demam dan tanda- tanda infeksi lain.

 Kata Kunci :
 Anak laki- laki
 12 tahun
 wajah dan perut bengkak
 sejak 3 minggu yang lalu
 tidak ada demam
 Tidak ada tanda- tanda infeksi lain

 Pertanyaan :
1. Anatomi, fisiologi dan histologi yang berkaitan dengan skenario ?
2. Bagaimana mekanisme udema ?
3. Mengapa pembengkakan semakin lama semakin bertambah ?
4. Kenapa tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi?
5. Langkah-langkah diagnosis?
6. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario ini?
7. DD ?

 Jawaban :
1. Anatomi, fisiologi dan histologi yang berkaitan dengan skenario ?
1. Makroskopis Ginjal

terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium (retroperitoneal), didepan


dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan
psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar
adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12
hingga L3. Ginjal pada orang dewasa  berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3
cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1%
berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.
Ginjal

Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam.  Jumlahnya ada 2
buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal
laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke
bawah dibandingkan  ginjal kiri untuk memberi tempat  lobus hepatis dexter yang besar.
Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal
dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam guncangan.

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex
renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-
lubang kecil disebut papilla renalis.

Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh
darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima
urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang
masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores.
Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut
dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus
pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini
yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul (Price,1995 :
773).
2. Mikroskopis

Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap
ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman,
tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus
kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul. (Price, 1995)

Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut
Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk
filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan
melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter,
kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.

Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan
pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor.
Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.
3.  Vaskularisasi ginjal

Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Vena
renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis
tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri
interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus (Price, 1995).

Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk


sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang
mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju
vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya
mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu
volume yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang
masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus
aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai
kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan
tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus tetap konstan ( Price, 1995).
4. Persarafan Pada Ginjal

Menurut Price (1995) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini
berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan
bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal”.

Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler)
tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah
ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan
filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam
Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.

Fungsi Ginjal

Fungsi ginjal adalah

a)      memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,

b)      mempertahankan  keseimbangan cairan tubuh,

c)      mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan

d)     mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

e)     Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.

f)     Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.

g)    Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.

Tahap Pembentukan Urine :

1. Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler
tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap
protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih
kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal
(RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200
ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui
glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR =
Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat.
Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler
glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler
glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik
filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi
glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga
oleh permeabilitas dinding kapiler.

2. Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air.
Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat
yang sudah difiltrasi.
3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus
kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh
(misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat
dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi
hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium
keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular
“perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau
kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES)
dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita
memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita
dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau
mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat
dikoreksi secara theurapeutik.

2. Bagaimana mekanisme udema ?

Edema (oedema) atau sembab adalah meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan
ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai dengan penimbunan cairan abnormal
dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa (jaringan ikat longgar dan rongga-rongga badan).
Edema dapat bersifat setempat (lokal) dan umum (general).

Edema yang bersifat lokal seperti terjadi hanya di dalam rongga perut (hydroperitoneum
atau ascites), rongga dada (hydrothorax), di bawah kulit (edema subkutis atau hidops
anasarca), pericardium jantung (hydropericardium) atau di dalam paru-paru (edema
pulmonum). Sedangkan edema yang ditandai dengan terjadinya pengumpulan cairan edema
di banyak tempat dinamakan edema umum (general edema).

Cairan edema diberi istilah transudat, memiliki berat jenis dan kadar protein rendah, jernih
tidak berwarna atau jernih kekuningan dan merupakan cairan yang encer atau mirip gelatin
bila mengandung di dalamnya sejumlah fibrinogen plasma.

Penyebab (causa) edema adalah adanya kongesti, obstruksi limfatik, permeabilitas kapiler
yang bertambah, hipoproteinemia, tekanan osmotic koloid dan retensi natrium dan air.

Mekanisme:
1. Adanya kongesti
Pada kondisi vena yang terbendung (kongesti), terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intra
vaskula (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskula oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
edema).

2. Obstruksi limfatik

Apabila terjadi gangguan aliran limfe pada suatu daerah (obstruksi/penyumbatan), maka
cairan tubuh yang berasal dari plasma darah dan hasil metabolisme yang masuk ke dalam
saluran limfe akan tertimbun (limfedema). Limfedema ini sering terjadi akibat mastek-tomi
radikal untuk mengeluarkan tumor ganas pada payudara atau akibat tumor ganas
menginfiltrasi kelenjar dan saluran limfe. Selain itu, saluran dan kelenjar inguinal yang
meradang akibat infestasi filaria dapat juga menyebabkan edema pada scrotum dan tungkai
(penyakit filariasis atau kaki gajah/elephantiasis).

3. Permeabilitas kapiler yang bertambah

Endotel kapiler merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat dilalui oleh air dan
elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat melaluinya sedikit atau
terbatas. Tekanan osmotic darah lebih besar dari pada limfe.

Daya permeabilitas ini bergantung kepada substansi yang mengikat sel-sel endotel tersebut.
Pada keadaan tertentu, misalnya akibat pengaruh toksin yang bekerja terhadap endotel,
permeabilitas kapiler dapat bertambah. Akibatnya ialah protein plasma keluar kapiler,
sehingga tekanan osmotic koloid darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotic cairan
interstitium bertambah. Hal ini mengakibatkan makin banyak cairan yang meninggalkan
kapiler dan menimbulkan edema. Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi pada
kondisi infeksi berat dan reaksi anafilaktik.

4. Hipoproteinemia

Menurunnya jumlah protein darah (hipoproteinemia) menimbulkan rendahnya daya ikat air
protein plasma yang tersisa, sehingga cairan plasma merembes keluar vaskula sebagai
cairan edema. Kondisi hipoproteinemia dapat diakibatkan kehilangan darah secara kronis
oleh cacing Haemonchus contortus yang menghisap darah di dalam mukosa lambung
kelenjar (abomasum) dan akibat kerusakan pada ginjal yang menimbulkan gejala
albuminuria (proteinuria, protein darah albumin keluar bersama urin) berkepanjangan.
Hipoproteinemia ini biasanya mengakibatkan edema umum.

5. Tekanan osmotic koloid

Tekanan osmotic koloid dalam jaringan biasanya hanya kecil sekali, sehingga tidak dapat
melawan tekanan osmotic yang terdapat dalam darah. Tetapi pada keadaan tertentu jumlah
protein dalam jaringan dapat meninggi, misalnya jika permeabilitas kapiler bertambah.
Dalam hal ini maka tekanan osmotic jaringan dapat menyebabkan edema.

Filtrasi cairan plasma juga mendapat perlawanan dari tekanan jaringan (tissue tension).
Tekanan ini berbeda-beda pada berbagai jaringan. Pada jaringan subcutis yang renggang
seperti kelopak mata, tekanan sangat rendah, oleh karena itu pada tempat tersebut mudah
timbul edema.

6. Retensi natrium dan air

Retensi natrium terjadi bila eksresi natrium dalam kemih lebih kecil dari pada yang masuk
(intake). Karena konsentrasi natrium meninggi maka akan terjadi hipertoni. Hipertoni
menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan
interstitium) bertambah. Akibatnya terjadi edema.

Retensi natrium dan air dapat diakibatkan oleh factor hormonal (penigkatan aldosteron
pada cirrhosis hepatis dan sindrom nefrotik dan pada penderita yang mendapat pengobatan
dengan ACTH, testosteron, progesteron atau estrogen).
3. Mengapa pembengkakan semakin lama semakin bertambah ?
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.
Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari
ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume
plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk
menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma yang pada akhirnya  mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang  memicu rentetan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis
ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar
renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak
semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang
disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena
mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam
kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan  volume plasma yang
meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron  rendah sebagai akibat
hipervolemia.

4. Kenapa tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi?


Kemungkinan yang mungkin terjadi :
• Pernah ada demam, tapi pasien telah konsumsi obat.
• Belum adanya tanda-tanda infeksi sekunder.

5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis pada skenario ini?


I.  Anamnesis
 Apa Keluhan utama? bengkak pada perut dan wajah
 Anamnesis terpimpin:
- Sejak kapan?
- Bagaimana terjadinya bengkak?
- Bagaimana sifat bengkaknya?
- Apa faktor yang memperberat bengkak?
- Gejala yang menyertai?
 Riwayat penyakit terdahulu?
 Riwayat penyakit keluarga?
 Riwayat pengobatan?

II.  Pemeriksaan fisis

 Inspeksi : inspeksi daerah pinggang, apakah ada pembesaran atau tidak?


 Palpasi : dilakukan bimanual palpasi dengan memakai kedua tangan

 Perkusi : pemeriksaan ketok ginjal pada sudut costovertebral.a

 Auskultasi : pada daerah epigastrium atau abdomen untuk mendengar suara bruit
yang disertai aneurysme arteri renalis.

 Pemeriksaan buli-buli : perhatikan adanya benjolan atau massa atau jaringan parut
bekas operasi di supra symphisis
 Pemeriksaan skrotum dan isisnya : apakah ada pembesaran? Nyeri saat diraba? Atau
ada hipoplasi kulit skrotum pada kriptorkismus, pemeriksaan trasiluminasi atau
penerawangan pada isi skrotum

III. Pemeriksaan penunjang


 Urinalisis : proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria.
 Kimia darah : hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap
darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin
umumnya  normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.

 Radiologi : Thorax foto :pleural effusion, USG renal


 Biopsi ginjal

6. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario ini?

 Tirah baring
 Pemberian cairan (hipertonis)
 Diet rendah garam
 Kortikosteroid

7. Differential diagnosis
SINDROM NEFROTIK

Sindrom Nefrotik (SN) ialah sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuri massif
(>50mg/kgBB/24jam), hipoalbuminemia (<2,5gram/100ml) yang disertai atau tidak dengan
edema dan hiperkolesterolemia.

Secara klinis SN terdiri dari :

1) Edema massif

2) Proteinuria

3) Hipoalbuminemia

4) Hiperkolesterolemia atau normokolesterolemia

Pada anak kausa SN tidak jelas sehingga disebut Sindrom Nefrotik Idiopatik (SNI). Kelainan
histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat sedikit perubahan
yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephritic Syndrome atau Sindrom Nefrotik
Kelainan Minimal (SNKM). Sarjana lain menyebut NIL (Nothing in Light microscopy) disease.

Insidens

Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar(74%) dijumpai pada usia 2-7
tahun. Rasio laki-laki : perempuan = 2 : 1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini
berkisar 1 : 1

Klasifikasi

1) Histologik

International Collaborative syudy of Kidney Disease in Children (ISKDC) telah menyusun


kalsifikasi histopatologik SNI atau disebut juga SN Primer sebagai berikut

a) Minimal change = Sindrom Nefrotik kelainan Minimal

Dengan menggunakan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan


dengan mikroskop elektron nampak fool processus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunoflouresensi ternyata tidak terdapat IgG atau imunoglobulin beta 1-C pada
dinding kapiler glomerulus.

Golongan ini lebih banyak ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.
Prognosisnya lebih baik dibandingkan dengan golongan lain

b) Glomerulosklerosis fokal

Pada kelainan ini yang memyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi
tubulus.

Prognosis buruk

c) Glomerulonefritis poliferatif

1. Glomerulonefritis poliferatif

Terdapat poliferasi sel mesangial dan inflitrasi sel PMN. Pembengkakan


sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering
ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan streptococcus yang
berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang baik, tetapi
kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama.

2. Dengan penebalan batang lobular


Terdapat poliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular

3. Dengan bulan sabit

Didapatkan poliferasi sel mesangial dan poliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan
viseral

4. Glomerulonefritis membranopoliferatif

Poliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana


basalis di mesangium. Titer globulin beta 1-C atau beta 1-A rendah. Prognosis
tidak baik

5. Lain-lain

d) Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa


poliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak-anak

e) Glomerulonefritis kronik

2) Penyebab

a) Penyebab primer

Umumnya tidak diketahui kausanya dan terdiri atas SNI dengan kelainan histologik
menurut pembagian ISKDC

b) Penyebab sekunder

1. Sistemik

 Penyakit kolagen seperti Systemic Lupus Eritomatosus, Scholen Henoch Syndrome


 Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome
 Penyakit keganasan : hodgkin disease, Leukemia

2. Infeksi

Malaria, Schitomatosis, mansoni, Lues, Subacute Bacterial Endocarditis,


Cytomegalic inclusion disease

3. Metabolik
Diabetes Mellitus dan Amyloiodosis

4. Obat-obatan/ alergen

Trimetahdion, paramethadion, probenecid, tepung sari, gigitan ular, serangga,


dan aksin polio

3) Terjadinya

a) SN kongenital

Pertama kali dilaporkan di Finlandia sehingga disebut juga SN tipe Finlandia. Kelainan
ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir prematur (90%), plasenta
besar (beratnya kira-kira 40% dari BB). Gejala asfiksia ditemukan 75% dari kasus

Gejala utama berupa edema, asites biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam
minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia,
proteinuria masif dan hiperkolesterolemia

Gejala klinik yang lain berupa kelainan kongenital pada muka seperti hidung kecil,
jarak kedua mata melebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek
dan meninggal karena infeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk
menemukan kemungkinan ini secara dini ialah pemeriksaan kadar alfa feto protein
cairan amnion yang biasanya meninggi.

b) SN yang didapat

Temasuk disini SN primer yang idiopatik dan sekunder.

Patogenesis

Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya SN pada anak yaitu :

1) Soluble Antogen Antibody Complex

Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi reaksi antigen
antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian menyebabkan sistem
komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C 3 akan bersatu dengan SAAC
membentuk deposit yang kemudian terperangkap dibawah epitel kapsula Bowman yang
secara imunoflouresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang
membrana basalis glomerulus (mbg) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C 3
yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan permeabilitas mbg terganggu
sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati mg sehingga dapat dijumpai
dalm urin

2) Perubahan elektrokemis

Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga menimbulkan
proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada
glomerulus terhadap filtrasi protein yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat
pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini maka
permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin meningkat
sehingga albumin dapat keluar bersama urin

Patofisiologik

1) Edema

Edema merupakan gejala utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka)
dan merupakan gejala satu-satunya yang nampak. Edema mula-mula nampak pada
kelopak mata terutama pada waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau anasarka
sering disertai edema pada genitalia eksterna. Selain itu juga edema anasarka ini dapat
menimbulkan diare atau hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat
anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis, dilatasi
vena, prolaps rektum dan sesak napas dapat pula terjadi akibat edema anasarka ini.

2) Proteinuria

Ada 2 penyebab yang menimbulkan proteiuria:

1. Permeabilitas kapiler glomerulus yang meningkat akibat kelainan atau kerusakan


mbg
2. Reabsorpsi protein di tubulus berkurang.
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti ekskresi protein
>50mg/kgBB/hari atau > 40mg/m2/jam, atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++
++. Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg, maka proteinuria dapat
dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus.
Jadi yang diukur adalah index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan
dengan cara mengukur rasio antara Clearance IgG dan Clearance transferin :

Cleranse IgG
ISP = ___________________
Clearance transferin
Bila ISP< 0,2 berarti ISP meninggi (Highly selective proteinuria ) yang secara klinis
menunjukkan :

a. Kerusakan Glomerulus ringan

b. Respons terhadap kortikosteroid baik

Bila ISP >0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective Proteiuria) yang secara klinik
menunjukkan :

a. Kerusakan glomerulus berat

b. tidak respons terhadap kortikosteroid

3) Hipoproteinemia / hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia ialah kadar albumin dalam darah <>

1. proteinuria

2. katabolisme protein yang berlebihan

3. Nutrional deficiency

Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme protein yang terjadi
di tubuli ginjal. Peningkatan katabolisme ini merupakan faktor tambahan terjadinya
hipoalbuminemia selain dari proteinuria. Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat
edema mukosa usus halus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat
menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar
albumin <2 gram/100ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar <>

4) Hiperkolesterolemia
Disebut kolesterolemia bila kadar kolesterol >250 mg/100 ml. Akhir-akhir ini disebut
juga sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya kolesterol saja yang meningkat
namun beberpa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah:

a) Kolesterol

b) LDL

c) VLDL

d) Trigliserida

Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-


banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat
VLDL. Dalam keadaan normal VLDL akan diubah oleh lipoprotein lipase menjadi LDL.
Tetapi pada SN, aktifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan
tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini
disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya
protein ke dalam urin. Jadi hiperkolesterolemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi
yang berlebihan, tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.

Gejala Klinik

Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut di atas tanpa gejala-
gejala lain, oleh karena itu secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari SN dengan kelainan
histologis tipe lain yaitu pada SNKM dijumpai hal-hal sebagai berikut pada umumnya:

a) Anak berumur 1-6 tahun

b) Tidak ada hipertensi

c) Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis

d) Fungsi ginjal normal

e) Titer komplemen C3 normal

f) Respons terhadap pengobatan kortikosteroid

Oleh karena itulah bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejaladiatas dan mengingat bahwa
SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa center tidak dilakukan biopsi
ginjal.
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah:

1) Urin

a) Albumin

 Kualitatif : ++ sampai ++++

 Kuantitatif : > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa menggunkan reagen ESBACH)

b) Sedimen : oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-
kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin, dan toraks
eritrosit

2) Darah

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:

a) Protein total menurun

b) Albumin menurun

c) β globulin normal

d) α1 globulin normal

e) α2 globulin meninggi

f) γ globulin normal

g) Rasio albumin/globulin

h) Komplemen C3 rendah/normal

i) Ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal

Komplikasi
Komplikasi yang sering menyertai penderita SN antara lain:

1) Infeksi sekunder

Terjadi akibat kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia

2) Syok

Terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1gm/100ml)>

3) Trombosis vaskuler

Mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen


plasma atau faktor V, VII, VIII, dan X. Trombus lebih sering terjadi di sistem vena apalagi
bila disertai pengobatan kortikosteroid

4) Komplikasi lain yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal

Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik Idiopatik

Penatalaksanaan dibagi atas 2 bagian utama yaitu:

1) Pengobatan umum

1) Diet harus mengandung banyak protein dengan nilai biologik tinggi dan tinggi nilai
kalori. Protein 3-5gram/kgBB/hari, bila ureum dan kreatinin meningkat diberikan
protein 1-2 gr/kgBB/hari. Kalori rata-rata: 100/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema
hebat. Bila tanpa edema diberi 1-2 gram/hari. Pembatasan cairan bila tidak terdapat
gejala-gejala gagal ginjal.

2) Aktifitas: tirah baring dianjurkan bila edema hebat atau ada komplikasi. Bila edema
sudah berkurang atau tidak ada komplikasi maka anak dapat beraktifitas seperti
biasa. Bila tidak melakukan aktifitas fisik dalam jangka waktu yang cukup lama akan
mempengaruhi kejiwaan anak.

3) Antibiotik : hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder

4) Diuretik : pemberian diuretik untuk mengurangi edema terbatas pada anak dengan
edema berat, gangguan pernapasan, gangguan gastrointestinal, atau obstruksi
urethra yang diakibatkan oleh edema yang hebat ini. Pada beberapa kasus SNKM
yang disertai dengan anasarka, dengan pengobatan kortikosteroid saja tanpa
diuretik dapat menghilangkan edema. Diuretik yang dipakai merupakan diuretik
jangka pendek yaitu furosemid atau asam etakrinat. Pemakaian diuretik yang
berlangsung lama dapat menyebabkan:
 Hipovolemia
 Hipokalemia
 Alkalosis
 Hiperuricemia

II) Pengobatan dengan kortikosteroid

Pengobatan dengan menggnakan kortikosteroid terutama diberikan pada pasien dengan


SNKM.protokol cara pemberian yang digunakan adalah Protokol International
Collaborative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)

1) Serangan I

Prednison 2mg/kgBB/hari (maksimal 60-80mg/kgBB/m2/hr) selama 4 minggu (CD),


bila tercapai remisi pada akhir minggu ke-4 diteruskan prednison dengan dosis 2/3
dosis selam CD selama 4 minggu dengan cara pemberian selang seling sehari atau
dengan pemberian 3 hari berturut-turut selama seminggu. Bila tetap remisi sampai
minggu ke-8 dosis, prednison diturunkan perlahan-lahan selama 1-2 minggu

2) Relaps

Cara pemberian sama seperti serangan I, namun CD diberikan hingga timbul remisi

3) Nonresponder

Tidak ada respons setelah pemberian prednison selama 8 minggu. Bila tidak berhasil
maka pengobatan digabung dengan imunosupresan yang lain

4) Frequent relapser

Respon terhadap pengobatan kortikosteroid namun telah relaps 2x dalam waktu 6


bulan pertama.

Diberikan kombinasi pengobatan imnuosupresan lain dan prednison 0,2 mg/kgBB/


hari dengan cara CD

Prognosis

Prognosis SN tergantung dari kelainan histopatologiknya. Umumnya SN dengan kelainan


minimal (SNKM) yang sensitif dengan kortikosteroid mempunyai prognosis yang baik,
sedangkan SN dengan kelainan histopatologik lain seperi bentuk Focal Glomerulosclerosis,
Membranopoliferatif glomerulonephritis mempunyai prognosis kurang baik karena sering
mengalami kegagalan ginjal.
Dengan berkembangnya dialisis peritoneal, hemodialisis dan transplantasi ginjal, maka
penderita-penderita penyakit ginjal dengan gagal ginjal mempunyai harapan hidup yang
lebih panjang dan lebih baik

GNAPS
Glomerulonefritis Akut Paska Streptokokus

BATASAN
Glomerulonefritis akut paska-streptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-
supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak.

PREVALENSI

GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada golongan umur 5-
15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain menyebutkan paling sering ditemukan
pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun
laki laki dua kali lebih sering dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis
kelamin. Suku atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan
prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga lingkungan
tempat tinggalnya tidak sehat

ETIOLOGI
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60
menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis.
Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya
glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.

PATOFISIOLOGI

Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat
suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang merupakan unsur
membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah
dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis
terperangkap dalam membran basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi
mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan
trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak
endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang
terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-
sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan
sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal,
mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi
inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai
bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada
pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.

Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi
hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi)
mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi komplemen yang menyebabkan
destruksi pada membran basalis glomerulus.

Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan mediator


utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar
dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau
menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi
dalam kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus.
Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan
terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel, dan epimembranosa.
Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan
molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti
C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang
dilawan oleh imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh Streptokokus,
merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang
telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang
kemudian mengendap di ginjal.

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS.
Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini
diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem
komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit.
Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan
mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt meluas diantara
sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika
kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa
glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus
penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi
menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal dengan
masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang dibentuk pada sisi
epitel.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun
dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks
tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung
menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler
do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi
pada tempat-tempat lain.

Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen
bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi
spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus
terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis
akut post steroptokokus.

Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan
hipotesis sebagai berikut :

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis


glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan
badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana
basalis ginjal.
GEJALA KLINIS
 Sembab preorbita pada pagi hari (75%)
 Malaise, sakit kepala, muntah, panas dan anoreksia
 Asites (kadang-kadang)
 Takikardia, takipnea, rales pada paru, dan cairan dalam rongga pleura
 Hipertensi (tekanan darah > 95 persentil menurut umur) pada > 50% penderita
 Air kemih merah seperti air daging, oliguria, kadang-kadang anuria
 Pada pemeriksaan radiologik didapatkan tanda bendungan pembuluh darah paru,
cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali

Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi tidak jarang
anak datang dengan gejala berat.. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi
Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh.
Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang
terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang
mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi
edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun
edema paling nyata dibagian anggotaGFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja
biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang,
sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada
retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem
periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang
siang. Derajat edema biasanya tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah
disertai dengan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada
akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal,
maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila
keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi
sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala
infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.

Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang.
Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme
masih belum diketahui dengna jelas.

Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria makroskopik


ditemukan hampir pada 50% penderita, kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik,
leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan
lain-lain. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal
ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang
tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. Komplomen hemolitik
total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam
minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin
menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif
komplomen.

Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus


dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan C3 tidak
berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen akan
mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan
diagnosa, karena pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan
kadar C3, ternyata berlangsung lebih lama.

Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit.
Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap
antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain
antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup
bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen
sterptokokus. Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan
GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi
sterptolisin O.sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila
semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi
sterptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau
antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer
antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri.
Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.

Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3. kompleks imun
bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak
perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.

Gambaran patologi

Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan pada
korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena, sehingga dapat disebut
glomerulonefritis difusa.

Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen
kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel
kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron
akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps di
subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan antigen
Streptococcus.

. Histopatologi gelomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran 20×

Keterangan gambar :

Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop cahaya (hematosylin dan eosin dengan
pembesaran 25×). Gambar menunjukkan pembearan glomerular yang membuat
pembesaran ruang urinary dan hiperselluler. Hiperselluler terjadi karnea proliferasi dari sel
endogen dan infiltasi lekosit PMN
. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran 40×

Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop elektron

keterangan gambar :

gambar diambil dengan menggunakan mikroskop electron. Gambar menunjukjan proliferadi


dari sel endothel dan sel mesangial juga infiltrasi lekosit yang bergabung dnegan deposit
electron di subephitelia.(lihat tanda panah)

. Histopatologi glomerulonefritis dengan immunofluoresensi

keterangan gambar :
gambar diambil dengan menggunakan mikroskop immunofluoresensi dengan pembesaran
25×. Gambar menunjukkan adanya deposit immunoglobulin G (IgG) sepanjang membran
basalis dan mesangium dengan gambaran ”starry sky appearence”

Diagnosis

Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan gejalan
klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah
infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti
untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai
glomerulonefritis  akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan
glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria
nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada
saat faringitas (synpharyngetic hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan
sembab jarang tampak pada nefropati-IgA.1,2,7,12

Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria


makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik
yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis
lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut
pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit.

Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya  cepat membaik


(hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik dan proteinuria 
masih lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada
glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan
tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok
dengan glomerulonefritis kronik  yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal
dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada
glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl sedangkan kadar ASTO
> 100 kesatuan Todd.

Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat


infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis
membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal
dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan
indikasi.
Diagnosis Banding

GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit, diantaranya adalah :

1.   nefritis IgA

Periode laten antara infeksi dengan onset nefritis adalah 1-2 hari, atau ini mungkin
berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan atas.

2. MPGN (tipe I dan II)

Merupakan penyakit kronik, tetapi pada awalnya dapat bermanifestasi sama sperti
gambaran nefritis akut dengan hipokomplementemia.

3. lupus nefritis

Gambaran yang mencolok adalah gross hematuria

4. Glomerulonefritis kronis

Dapat bermanifestasi klinis seperti glomerulonefritis akut.

 Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di


glomerulus.

1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8
minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi
penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu
dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan
penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi
Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya
untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya
sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang
menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen
lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi
terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3
dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan
rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu
tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau
muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa
komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada
komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan
yang diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa
untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan
reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam
kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03
mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi
efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan
lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas
tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena
pun dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.

1. diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto
dkk, 1972).
2. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen. 1,4,11

Komplikasi

1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini
disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme
pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.
Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap
dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik
yang menurun.

Perjalanan Penyakit Dan Prognosis

Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan penyakit
yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus. Diuresis akan
menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya
sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum,
kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu.
Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin
akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar
pasien.

Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok yang terbukti
dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna sangat
baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang
persisten. Sebaliknya prognosis glomerulonefritis akut pascastreptokok pada dewasa kurang
baik.

Potter dkk menemukan kelainan sedimen urin yang menetap (proteinuria dan hematuria)
pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad. Prevalensi hipertensi
tidak berbeda dengan kontrol. Kesimpulannya adalah prognosis jangka panjang
glomerulonefritis akut pascastreptokok baik. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya
perubahan histologis penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama
komplemen C3 belum pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien
hendaknya diikuti secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya
pembentukan glomerulosklerosis  kresentik ekstra-kapiler dan gagal ginjal kronik.

KWARSHIORKOR

PENDAHULUAN

Kwashiorkor merupakan sindroma klinis akibat dari defisiensi protein berat dan
masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang berlebihan
atau kenaikan angka metabolic yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin
dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk
malnutrisi yantg paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini berada di daerah
industry belum berkembang. Kwashiorkor nerarti “anak tersingkirkan”, yaitu anak yang tidak
lagi mengisap; dapat menjadi jelas pada masa bayi awal samapi sekitar usia 5 tahun,
biasanya sesudah menyapih dari ASI. Walaupun penambahn tinggi dan berat dipercepat
dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama dengan tinggi dan berat anak yang secara
tetap bergizi baik.

ETIOLOGI

Walaupun defisiensi kalori dan nutrient lain mempersulit gambaran klinik dan kimia,
gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai
biologic yang baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada diare
kronik, kehilangan protein abnormal pada proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau
luka bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik.

PATOFISIOLOGI

Sebenarnya malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor.
Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri (host),
agent (kuman penyebab), environment (lingkungan). Memang factor diet (makanan)
memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut menentukan.

Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat
berlebih, karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam dietnya.
Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang menyebabkan
edema dan perlemakan hati. Karena kekurangan protein dalam diet, akanterjadi kekurangan
berbagai asam amino esensial dalam serum yang diperlukan untuk sintesis dan
metabolisme. Selama diet mengandung cukup KH, maka produksi insulin akan meningkat
dan sebagian asam amino dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan
disalurkan ke jaringan otot. Makin berkurangnya asam amino dalam serum ini akan
menyebabkan kurangnya produksi albumin hepar, yang berakibat timbulnya edema.
Perlemakan hati terjadi karena gangguan pembentukan beta-lipoprotein, sehingga transport
lemak dari hati ke depot terganggu, dengan akibat terjadinya penimbunan lemak di hati.

MANIFESTASI KLINIS

1) Secara umum anak tampak sembab, letargik, cengeng, dan mudah terangsang. Pada
tahap lanjut anak menjadi apatik, sopor atau koma.
2) Gejala terpenting adalah pertumbuhan yang terhambat, berat dan tinggi badan lebih
rendah dibandingkan dengan BB baku. Penurunana BB ini tidak mencolok atau
mungkin tersamar bila dijumpai edema anasarka.
3) Sebagian besar kasus menunjukkan adanya edema, baik derajat ringan maupun berat.
Edema ini muncul dini, pertama kali terjadi pada alat dalam, kemudian muka, lengan,
tungkai, rongga tubuh, dan pada stadium lanjut mungkin edema anasarka.
4) Jaringan otot mengecil dengan tonusnya yang menurun, jaringan subkutan tipis dan
lembek.
5) Kelainan gastrointestinal yang mencolok adalah anoreksia dan diare. Diare terdapat
pada sebagian besar penderita, yang selain infeksipenyebabnya mungkin karena
gangguan fungsi hati, pankreas, atau usus (atrofi). Intoleransi laktosa juga bisa
terjadi.
6) Rambut berwarna pirang, berstruktur kasar dan kaku, serta mudah dicabut. Pada taho
lanjut, terlihat lebih kusam, jarang, kering, halus, dan berwarna pucat atau putih,
juga dikenal signo de bandero.

Secara umum, kwashiorkor memberikan gejala-gejala yang terkhusus pada suatu sistem
organ, yaitu :

 Wujud umum:

1. Pucat, kurus atrofi extremitas superior + bokong


2. Edema (pedis / pretibial) + ascites
3. Moon face

 Retardasi pertumbuhan:

1. Tidak khas
2. BB kurang atau menurun

 Perubahan mental + motorik:

1. Mental: cengeng, kesadaran menurun, pasif.


2. Motorik : gangguan fungsi-fungsi statis

 Edema:

1. Pedis, pretibial, ascites, anasarka


2. Bersifat pitting
3. Koreksi edema :

-Laten + pedis + pretibial : 10 - 15 %

-Ascites ringan : 15 - 20 %

-Ascites berat : 20 - 25 %

 Kausa edema :

-Hipoalbuminemia
-Gangguan dinding kapiler

-Hormonal (gangguan eliminasi ADH)

-Fe bebas dalam serum katalisis reaksi peroxidasi membrane

-Endotel rusak

 Kelainan rambut

Kelainan bentuk : mudah dicabut, lurus, kering, halus, rapuh


-Kelainan warna : hipopigmentasi, depigmentasi, flag sign
-Bulumata : panjang, lentik
 Kelainan kulit dan mukosa

1. Kulit :

-Crazy-pavement dermatosis :

1. Gejala spesifik / patognomonik


2. Pada kwashiorkor dgn edema berat
3. Pada bagian dengan tekanan BB
4. Penyembuhan cepat dengan protein

-Hipopigmentasi, hiperpigmentasi

-Deskuamasi, mosaic skin, pellagra-like

-Purpura, sianosis

 Mukosa

-Akibat def. B2 yg sertai kwashiorkor

1. Kelainan Gigi + Tulang

Tulang : dekalsifikasi, osteoporosis, hambatan pertumbuhan


Gigi : karies
 Kelainan hati:

1. Fisik : hepatomegali
2. PA : perlemakan, nekrosis, fibrosis
3. Fungsi :
- Hipoproteinemia ringan sampai berat (<>normal atau meningkat.

Kausa

Perlemakan akibat defisiensi faktor lipotropik

 Kelainan darah + sumsum tulang

- Anemia (selala ada): ringan sampai berat

Etiologi ganda:

1. defisiensi protein
2. defisiensi mineral, terutama Fe
3. defisiensi vitamin B kompleks (B12, folat, B6)
4. infestasi parasit (ankilostomiasis, amoebiasis)
5. infeksi berulang

 Darah perifer

Lekosit :

- Normal

- Lekositosis + shift to the left

- Lekopeni

- Vakuolisasi + granulasi toksik pada PMN

- Kolesterol menurun

- Hipoglikemi & hipoalbuminemia

- Respon imunologik

 Defek imunitas seluler


 Gangguan sistim komplemen
 Defek IgA terutama sIgA

o Kelainan pankreas + kelenjar lain

- Pankreas :
- Perlemakan, fibrosis, atrofi

- Lipase, tripsin, amilase menurun

- Parotis, lakrimal, saliva, usus halus :

- Perlemakan + hipoplasia

o Kelainan Jantung:

 Miodegenerasi jantung
 Gangguan fungsi jantung karena hipokalemia + hipomagnesemia
 Penyakit jantung anemia: perlu pemeriksaan foto toraks, EKG dan

elektrolit serum

o Kelainan Gl

- Diare berulang :
- Infeksi / infestasi usus
- Intoleransi laktose (def. laktase)
- Malabsorpsi lemak :

- Defisiensi lipase pankreas

- Defisiensi garam empedu konjugasi hati

- Atrofi villi mukosa usus halus

DATA LABORATORIUM

Penurunan kadar albumin serum merupakan perubahan yang paling khas. Ketonuria
sering ada pada stadium awal kekurangan makan tetapi sering sekali menghilang pada
waktu akhir. Harga glukosa darah rendah tetapi kurve toleransi glukosa dapat bertipe
diabetic. Ekskresi hidroksiprolin urin yang berhubungan dengan kreatinin dapat turun.
Angka asam amino esensial plasma dapat turun relative terhadap angka asam amino non-
esensial, dan dapat menambah aminoasiduria. Defisiensi kalium dan magnesium sering ada.
Kadar kolesterol serum rendah, tetapi kadar ini kembali ke normal sesuadah beberapa hari
pengobatan. Angka amylase, esterase, kolinesterase, transaminase, lipase, alkaline fosfatase
serum turun. Ada penurunan aktivitas enzim pancreas dan santhin oksidase, tetapi angka
kembali normal segera sesudah mulai pengobatan. Anemia dapat normositik, mikrositik
atau makrositik. Tanda-tanda defisiensi vitamin dan mineral biasanya jelas. Pertumbuhan
tulang biasanya terlambat. Sekresi hormone pertumbuhan mungkin bertambah.
DIAGNOSE BANDING

Diagnose banding kehilangan protein adalah infeksi kronik, penyakit menyebabkan


kehilangan protein berlebihan melalui urine atau tinja, dan keadaan ketidakmampuan
metabolic untuk mensintesis protein.

PENCEGAHAN

Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein yang kulitas
biologiknya baik. Karena kwashiorkor tidak hanya mengalami perjalanan serius dan sering
mematikan tetapi sering menimbulkan pengaruh dikemudian hari yang permanen dan
merusak pada anak yang sembuh dan keturuananya, petunjuk diet dan distribusi makanan
yang cukup sangat segera dibutuhkan di daerah endemic.

Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana dan prasarana kesehatan yang baik untuk
pelayanan kesehatan dan penyuluhan gizi.

1. Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber energi yang
paling baik untuk bayi.

2. Ditambah dengan pemberian makanan tambahan yang bergizi pada umur 6 tahun ke
atas.

3. Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan dan


kebersihan perorangan.

4. Pemberian imunisasi.

5. Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu kerap.

6. Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat merupakan


usaha pencegahan jangka panjang.

7. Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang endemis kurang gizi,
dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.

PENGOBATAN

Penatalaksanaan segera tiap masalah akut seperti masalah diare berat, gagal ginjal,
dan syok dan akhirnya penggantian nutrient yang hilang sangat penting. Dehidrasi sedang
atau berat, infeksi nampak atau dugaan, tanda-tanda mata dari defisiensi vitamin A, anemia
berat, hipoglikemia, diare terus-menerus atau berulang, lesi kulit dan membrane mukosa,
anoreksia dan hipotermia semua harus diobati. Untuk dehidrasi ringan sampai sedang,
cairan diberikan oral atau dengan pipa nasogastik. Sedangkan dehidrasi berat, cairan
intravena diperlukan. Jika cairan intravena tidak dapat diberikan, infuse intraosseus (sum-
sum tulang belakang) atau intraperitoneal 70 mL/kg larutan Ringer Laktatsetengah kuat
untuk menyelamatkan jiwa. Antibiotik efektif harus diberikan parenteral selama 10 hari.

Bila dehidrasi terkoreksi, makanan peroral mulai dengan makanan susu encer sedikit
sering; kekentalan dan volume sedikit demi sedikit ditambah dan frekuensi dikurangi selama
5 hari berikutnya. Pada hari 6-8, anak harus mendapat 150 mL/kg/24 jam dalam 6 kali
makan. Susu sai atau yogurt untuk anak intoleran laktosa harus dibuat dengan 50 gr gula/L.
Pada masa penyembuhan, makanan energy tinggi terbuat dari susu, minyak dan gula yang
diperlukan. Susu skim, hidrolisat casein atau campuran asam amino sintetik sapat digunakan
untuk menambah cairan dasar dan regimen nutrisi.

Bila diet kalori tinggi dan protein tinggi diberikan terlalu awal atau cepat, hati dapat
menjadi besar, abdomen menjadi sangat kembung dan anak membaiknya lebih lambat.
Lemak sayur dapat diserap lebih baik daripada lemak susu sapi. Toleransi glukosa yang
terganggu dapat diperbaiki pada beberapa anak yang terkena dengan pemberian 250 µg
kromium klorida. Vitamin dan mineral, terutama vitamin A, kalium dan magnesium
diperlukan sejak permulaan pengobatan. Besi dan asam folat biasanya memperbaiki
anemia.

Infeksi bakteri harus diobati bersamaan dengan terapi diet, sedang pengobatan
infestasi parasit, jika tidak berat, dapat ditunda samapi penyembuhan mulai berlangsung.

Sesudah pengobatan dimulai, penderita dapat kehilangan berat badannya selama


beberapa minggu karena menghilangnya udem yang tampak dan tidak tampak. Enzim serum
dan usus kembali ke normal, penyerapan lemak dan usus kembali membaik.

Jika pertumbuhan dan perkembangan secara luas terganggu, retardasi mental dan
fisik dapat permanen. Makin muda bayi pada saat kekurangan, makin rusak pengaruh
jangka lamanya. Defisit dalam kemampuan pengertian dan abstrak terutama berakhir lama.

DAFTAR PUSTAKA
1) Suyono,slamet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV. Dalam :
Waspadji S,Lesmana L, Alwi I,editors. Jakarta: FK UI;2006.
2) Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC ; 2001.
3) Sukandar, Enday. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD ; 2006.
4) Silbernagl, Stefan. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi . Dalam : Lang
F,editor. Jakarta : EGC ; 2007.
5) Price, SA. Patofisiologi Volume II Edisi 6. Jakarta : EGC ; 2003
6) Purnomo, BB. Dasar-dasar Urologi Edisi II. Malang : Ilmu Bedah FK
UNIV.Brawijaya ; 2008
7) Gunawan, SG. Farmakologi Dan Terapi. Dalam : Setiabudy R, Nafrialdi,
editors. Jakarta : FK UI ; 2007
8) Dorland,Newman. Kamus kedokteran DORLAND edisi 29. Jakarta : EGC;
2002
9 ) Rilantono, LI. Buku Ajar Kardiologi. Dalam : Baraas F, Karo SK, Roebiono PS,
editors. Jakarta : FK UI ; 1996

Anda mungkin juga menyukai