Anda di halaman 1dari 36

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)


2.1.1. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Soil Transmitted Helminths (STH) adalah suatu kelompok parasit nematoda yang
menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur parasit atau larva
yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab pada negara-negara
tropis dan subtropis di dunia (Bethony et al., 2006). STH bersifat endemis pada
keenam area WHO dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia.
Dari seluruh anak-anak yang membutuhkan penatalaksanaan, tiga perempat
terdapat di negara-negara area Asia Tenggara dan Afrika, sekitar seperempat
terdapat di area Pasifik Barat, Mediterania Timur, dan Amerika. Hanya 4 juta
anak-anak (atau kurang dari 1%) terdapat di negara-negara area Eropa (WHO,
2012a). STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides
(cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau
whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang
atau hookworm) (Hotez et al., 2006).
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura diperkirakan menginfeksi
masing-masing 1,3 milyar orang di seluruh dunia. Secara geografis, insidensi
infeksi parasit ini bervariasi. Prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides yang tinggi
terdapat di Cina dan Asia Tenggara. Pada negara-negara di Asia Tengah,
askariasis terutama terdapat di daerah lembab. Sekitar 45% terdapat di Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Di Eropa, angka infeksi Ascaris lumbricoides
umumnya rendah. Infeksi Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan
Necator americanus umumnya terdapat di negara-negara dengan daerah tropis dan
subtropis. Distribusi infeksi Trichuris trichiura terjadi seiring dengan penyebaran
Ascaris lumbricoides. Sedangkan distribusi infeksi Ancylostoma duodenale

Universitas Sumatera Utara


terdapat di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa Selatan (Ideham dan
Pusarawati, 2007).
Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan
dan organ tubuh, di mana parasit tersebut hidup dan mengambil nutrisi dari dalam
tubuh manusia. Pada keadaan kronis, infeksi STH mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan intelektual anak-anak. Selain itu,
infeksi STH juga diperkirakan berdampak negatif terhadap kemampuan kognitif,
mempengaruhi prestasi belajar di sekolah, di mana akan mempengaruhi
produktivitas ekonomi masa depan (Bethony et al., 2006; Mller et al., 2011).
Faktor individu dan lingkungan mempengaruhi resiko dan intensitas
infeksi STH. Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura paling banyak
ditemukan pada anak-anak berusia 5-15 tahun. Intensitas dan frekuensi infeksi
menurun pada orang dewasa Sedangkan, infeksi Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus lebih banyak ditemukan pada orang dewasa daripada anak-
anak (Bethony et al., 2006). Faktor lingkungan yang mempengaruhi berupa cuaca
yang hangat dan lembab. Perilaku hidup sehat, sanitasi, pengelompokan rumah
tangga, pekerjaan, tingkat kemiskinan, dan urbanisasi juga merupakan faktor-
faktor yang berperan dalam infeksi STH (Hotez et al., 2006).

2.1.2. Morfologi dan Siklus Hidup Soil Transmitted Helminths (STH)


2.1.2.1. Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem /
merah muda keputihan, panjangnya dapat mencapai 40 cm. Jangka hidup (life
span) cacing dewasa adalah 10-12 bulan. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan
diameter 3-6 mm. Sedangkan ukuran cacing jantan 15-31cm dengan diameter 2-4
mm. Mulut Ascaris lumbricoides memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga,
antara lain satu tonjolan di bagian dorsal dan dua tonjolan di ventrolateral. Pada
bagian tengah mulut terdapat rongga mulut (buccal cavity) (Bethony et al., 2006;
Ideham dan Pusarawati, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Mulut
M Ascarris lumbricoiides
Dikutip darii Juni, Utam
ma, dan Darw
wanto, 2006

Caacing jantann Ascaris lumbricoides


l s memiliki ujung posterior yang
ttajam dan agak
a melenggkung ke veentral sepertii kait, di maana terdapatt dua buah
ccopulatory spicule
s denggan panjang 2 mm yangg muncul darri orifisium kloaka. Di
ssekitar anuss cacing terrdapat sejum
mlah papilaa. Cacing bbetina memiiliki ujung
pposterior yaang tidak m
melengkung ke arah veentral tetapi lurus. Caccing betina
m
memiliki vu
ulva yang saangat kecil di ventral, yaitu di anttara pertemuuan bagian
aanterior dan
n tengah tubuuh. Cacing betina
b memiiliki tubuluss genitalis beerpasangan
yyang terdirii dari uteruus, saluran telur (ovidduct) dan oovarium (Iddeham dan
P
Pusarawati, 2007).

Gambar 2. Cacing Dew


wasa Ascariss lumbricoiddes
Dikutip darri Bethony et
e al., 2006

Universitas Sumatera Utara


Asscaris lumbbricoides meemiliki sikluus hidup yaang komplekks. Cacing


ddewasa hidu
up dan berrkembang di
d dalam lum
men usus halus.
h Cacin
ng dewasa
k luar usus apabila linggkungan terssebut tergangggu dengan pemberian
bbermigrasi ke
m tinggi. Biila keadaan ttersebut terjadi, cacing
ttetraklor etillen, anastesii, dan demam
ddewasa berm
migrasi ke teempat-tempaat ektopik, seperti:
s salurran empedu, apendiks,
ssinus perineealis, dan tubba eustachiuus. Seekor caacing betinaa menghasilk
kan sampai
ddengan 240..000 butir teelur per hari yang dikeluuarkan ke linngkungan luar bersama
ffeses dan dapat
d d air (Polsdorfer, 20
mengkkontaminasi makanan dan 011). Telur
ttersebut terd
diri dari tellur yang tellah dibuahi (fertilized) dan telur yang
y tidak
ddibuahi (unffertilized). Telur yang tellah dibuahi (fertilized)
( b
berbentuk buulat lonjong
ddengan pannjang 45-755 mikron dan lebar 35-50 miikron. Teluur tersebut
m
mengandungg embrio. Dinding
D telurr terdiri darii tiga lapisann, yaitu lapiisan dalam
((lipoid), lapiisan tengah (glikogen), dan
d lapisan lluar (albumiin). Bagian dalam
d telur
ttidak berseg
gmen dan berisi
b kumppulan granulla lesitin yaang kasar. Sedangkan
warna coklat keemasan
llapisan luarr telur bersiffat tidak ratta, bergerigi, dan berw
kkarena berassal dari warnna pigmen em
mpedu. Lapiisan albuminn telur tersebbut kadang-
kkadang terkelupas. Teluur ini dikenaal sebagai decorticated
d egg. Telur yang tidak
ddibuahi (unffertilized) memiliki
m panjjang 88-94 mikron
m dan llebar 44 mikkron. Telur
ttersebut dikeluarkan pada periode awal
a pelepaasan telur olleh cacing betina
b fertil
aatau cacing betina yang belum mengalami feertilisasi (Ideeham dan Pusarawati,
P
22007).

A B C

mbar 3. Telur Ascaris lum


Gam mbricoides
(A) Telur
T yang tiidak dibuahi (unfertilizedd) (B) Telur yang telah dibuahi
d
(fertiilized) (C) Telur yang beerisi embrio
Dikuutip dari Junii, Utama, dann Darwanto,, 2006

Universitas Sumatera Utara


Teelur yang tellah dibuahi (fertilized) akan


a menjaddi infektif daalam waktu
22-4 mingguu. Hal ini dipengaruhhi oleh koondisi lingkkungan berrupa suhu,
kkelembaban, dan oksigeen yang optim
mal. Perkem
mbangan telurr yang optim
mum terjadi
ppada suhu 25C.
2 Telur tidak
t berkem
mbang pada suhu di baw
wah 15,5C ataupun di
aatas 38C. Tanah
T liat merupakan
m t
tempat yangg baik untukk perkembanngan telur.
T
Telur tetap bersifat innfeksius di sekitar gennangan air karena terhhindar dari
kkekeringan. Telur akan mengalami kerusakan oleh sinar m
matahari lanngsung dan
bbahan kimiaa (Ideham daan Pusarawatti, 2007; Suppali, Margonno, dan Abiddin, 2009).

Gambar 4. Siklus Hiduup Ascaris llumbricoidess


Dikutip daari Centers for Control and Prevention (CDC),
f Disease C
2009

Manusia
M meruupakan satu--satunya hosspes Ascaris lumbricoidees. Apabila
ttelur yang in
nfektif tertellan oleh mannusia, telur akan
a menetaas di dalam usus.
u Larva
m
menginvasi mukosa usuus halus mennuju pembuuluh darah atau
a saluran limfe, lalu
ddialirkan ke jantung dann mengikuti aliran darah ke paru. Di paru, larva menembus

Universitas Sumatera Utara


ddinding pem
mbuluh daraah, dinding alveolus, dan
d memassuki alveoluus. Hal ini
m
menyebabkaan terjadinyya pneumonnia subkliniss. Kemudiaan larva naik melalui
bbronkiolus, bronkus, daan trakea menuju
m ke faaring. Keadaaan ini menngakibatkan
rrangsangan pada faring sehingga teerjadi reaksii berupa battuk. Selanju
utnya, larva
aakan tertelann ke dalam esophagus
e d menuju kke usus haluus. Di usus halus,
dan h larva
bberkembangg dan berubbah menjadii cacing deewasa. Satu siklus hiduup Ascaris
llumbricoidess memerlukaan waktu kuurang lebih 2-3
2 bulan, yaang dimulai sejak telur
m
matang, terttelan, sampaai dengan caacing dewassa bertelur ((Supali, Marrgono, dan
A
Abidin, 20099; Polsdorfeer, 2011).

22.1.2.2. Morfologi
M daan Siklus Hiidup Trichiu
uris trichiurra
P
Panjang caccing jantan dewasa
d Tricchuris trichiiura 30-45 mm
m dan caccing betina
ddewasa 35-5
50 mm. Tigga perlima bagian
b anterrior tubuh ccacing berukkuran kecil
sseperti camb
buk, dilalui oleh esofaguus yang sem
mpit dan mennyerupai ranntai merjan.
D
Dua perlimaa bagian postterior tubuh cacing meleebar. Bagian ini berisi ussus dan alat
rreproduksi. Bagian postterior cacingg betina meembulat tum
mpul. Vulva terletak di
pperbatasan antara
a tubuhh bagian antterior dengaan tubuh baggian posteriior. Bagian
pposterior caacing jantan melingkar dan terdapaat satu spikuulum dengann selubung
yyang retraktiil (Bethony et al., 2006; Ideham dann Pusarawati, 2007).

Gambaar 5. Cacing Dewasa


D Tricchuris trichiuura
Dikutipp dari Bethonny et al., 20006

Universitas Sumatera Utara


Teelur cacing Trichuris trrichiura beruukuran 50-54 x 22-23 mikron


m dan
bberbentuk seeperti tong anggur (barrrel shaped)) dengan addanya penonj
njolan yang
jjernih pada kedua kutuub yang dikeenal sebagaii mucoid pllugs. Bagiann luar kulit
ttelur berwarrna kekuninng-kuningan.. Bagian dallam telur jeernih dan beerisi massa
yyang tidak bersegmen
b (IIdeham dan Pusarawati,
P 2007).

Gambar 6.
6 Telur Trichhuris trichiuura
Dikutip daari Bethony et al., 2006

Manusia
M merrupakan hosspes cacing Trichuris trichiura
tr dan
n penyakit
yyang disebabkannya dissebut trikuriaasis. Infeksii terjadi secaara langsungg dan tidak
m
memerlukan
n hospes peerantara. Teelur yang tidak
t mengaandung embbrio (tidak
bbersegmen) dihasilkan sebanyak
s 3.0000-2.000 teelur per harii oleh cacingg betina di
ddalam sekum
m. Telur tersebut keluarr bersama feeses (Bethonny, et al., 20
006). Telur
bberkembangg di dalam tanah. Awaalnya, telur mengandunng dua sel, membelah
menjadi multiseluler, keemudian menjadi embrioo. (Ideham dan
m d Pusaraw
wati, 2007).
T
Telur menjaadi infektif dalam
d waktu 2-6 mingguu bila kondissi di lingkunngan sekitar
ssesuai untuk
k perkembanngannya, yaiitu pada suhhu 25-28C, di tanah yaang lembab
ddan teduh, serta
s terhinddar dari sinarr matahari laangsung. Teelur Trichuriis trichiura
kkurang tahan
n terhadap kkekeringan, panas, dan dingin dibanndingkan deengan telur
Ascaris lumbbricoides. Pada tanah liaat yang keraas, telur tidakk berkemban
A ng menjadi
iinfektif. Larrva di dalam telur tidak mengalami
m e
ekdisis (perggantian kulitt) dan tidak
m
menetas di dalam
d tanah. (Hotez, et al.,
a 2006; Suupali, Margonno, dan Abiddin, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Seetelah telur infektif


i terteelan oleh hospes melalui tangan atau
u makanan
yyang terkonntaminasi taanah tercem
mar, larva menjadi
m aktiif dan kelu
uar melalui
ddinding telur yang sudahh rapuh dan masuk ke dalam
d usus hhalus. Larva menuju ke
uusus halus bagian
b prokssimal dan meenembus villi-vili usus, lalu
l menetapp 3-10 hari
ddi dekat krippta Lieberkuuhn. Setelah menjadi dewasa, cacingg turun ke usus
u bagian
ddistal dan masuk
m ke daeerah kolon, terutama seekum. Habitaat cacing deewasa pada
ssekum dan kolon
k asendden. Strukturr yang menyyerupai ujunng tombak pada bagian
aanterior mem mbus dan meenempatkan bagian antterior yang
mbantu caccing menem
sseperti cam
mbuk ke dallam mukosaa usus tem
mpat cacing mengambill makanan
n Pusarawatti, 2007; Maaguire, 20100a). Masa peertumbuhan mulai dari
((Ideham dan
ttelur tertelann sampai meenjadi cacingg dewasa yanng memprodduksi telur memerlukan
m
w
waktu 30-90
0 hari. Jangkka hidup (lif
ife span) anttara 4-6 tahuun, bahkan dapat juga
tterjadi infekksi menetap sampai
s 8 tahhun (Bethonyy et al., 20066).

Gambar 7.
7 Siklus Hiddup Trichiurris trichiura
Dikutip dari
d Centers for
f Disease Control andd Preventionn (CDC),
2009

Universitas Sumatera Utara


22.1.2.3. Morfologi
M d
dan Siklus Hidup Cacing
C Tam
mbang (An
ncylostoma
uodenale daan Necator americanus)
du a )
C
Cacing tambbang dewassa berukurann kecil, giligg / silindris, dan berwaarna coklat
muda atau merah mudda keputihann (Ideham dan Pusaraawati, 2007;; Maguire,
m
22010a). Cacing jantan dewasa Ancyllostoma duoodenale mem
miliki panjang 8-11 mm
ddan berdiam
meter 0,4-0,55 mm, sedanngkan cacing betina dew
wasa memillki panjang
10-13 mm dan
d berdiameeter 0,6 mm
m. Bagian serrvikal cacingg dewasa Anncylostoma
dduodenale melengkung
m ke arah dorrso-anterior sehingga taampak seperrti huruf C.
B
Bagian posteerior cacing jantan meleebar membenntuk bursa kopulatrik daan sepasang
sspikula yanng panjang, sedangkann pada caciing betina tumpul (Id
deham dan
Pusarawati, 2007; Supalli, Margono, dan Abidin, 2009).
P

Ancylostomadu
uodenale

Male

Female

Male

Necatoram
mericanus Female

Gambarr 8. Cacing Dewasa


D Ancyylostoma duodenale dann Necator am
mericanus
Dikutip dari Juni, U
Utama, dan Darwanto,
D 20006

Caacing jantann dewasa Neecator amerricanus mem


miliki panjanng 7-9 mm
ddan berdiam
meter 0,3 mm
m, sedangkann cacing betiina dewasa m
memiliki paanjang 9-11
m
mm dan berrdiameter 0,44 mm. Ujunng anterior cacing dewassa Necator americanus
a
m
menekuk kee arah dorsall sehingga tampak
t sepeerti huruf S. Cacing janttan dewasa

Universitas Sumatera Utara


m
memiliki bu
ursa kopulatrrik yang panj
njang dan lebbar (Ideham dan Pusaraw
wati, 2007;
S
Supali, Marg
gono, dan Abidin,
A 2009)).
Hospes cacingg Ancylostom
ma duodenaale dan Necaator america
anus adalah
m
manusia. Cacing A
Ancylostoma duodenalee menyebabbkan ankiloostomiasis,
ssedangkan cacing
c Necattor americannus menyebaabkan nekatooriasis. Caciing dewasa
hhidup di jejeenum dan duuodenum, deengan mulutt yang besarr melekat paada mukosa
ddinding usu
us. Cacing dewasa
d Anccylostoma duodenale
d m
mengeluarkan
n kira-kira
10.000-25.000 butir telur setiap hari, sedaangkan caccing dewasaa Necator
aamericanus mengeluarkkan 5.000-110.000 butirr telur setiap hari (Iddeham dan
P
Pusarawati, 2007). Keduua telur cacing tambangg berbentuk ovoid denggan dinding
mnya terdapat beberapa sel, kira-kirra 2-8 sel dan memiliki
ttelur yang tiipis, di dalam
uukuran 60 x 40 mikron dan identikk secara morrfologi. Teluur yang dihasilkan oleh
ccacing dewaasa keluar bersama
b denggan feses kee lingkungann luar, apabbila kondisi
llingkungan optimal (lem
mbab, hangaat, dan teduhh) telur akann menetas pada
p tanah
ddalam 1-2 haari (Supali, Margono,
M daan Abidin, 20009; Maguirre, 2010a).

Gambar 9.
9 Telur Caciing Tambangg
Dikutip daari Bethony et al., 2006

C
Cacing tambbang memilliki dua jennis larva, yaaitu larva rhhabditiform dan larva
ffilariform. Larva
L rhabdditiform berrukuran 0,225-0,30 mm
m dan berdiiameter 17
m
mikron. Mu
ulut (buccal cavity) pannjang dan seempit. Esofaagus berben
ntuk seperti
ttabung (bulbus oeshop
ophagus) teerletak di sepertiga aanterior (Ideham dan
P
Pusarawati, 2007; Magguire, 2010aa). Larva rhaabditiform merupakan
m larva yang

Universitas Sumatera Utara


kkeluar dari telur dan beerkembang di


d dalam tinnja atau tanaah. Larva rh
habditiform
aakan mengaalami perganntian kulit (m
moulting) seebanyak duaa kali dalam
m 5-10 hari.
S
Selanjutnya,, larva rhabdditiform akann berkembanng menjadi larva filarifoorm. Larva
iini infektif dan dapat ttetap hidup di lingkunggan luar selaama 7-8 miinggu pada
kkondisi ling
gkungan yaang optimal. (Ideham dan Pusarrawati, 20007; Supali,
Margono, daan Abidin, 2009).
M

A
A B

Gambar 10.
1 Larva Rhhabditiform (A)
( dan Larvva Filariform
m (B) Cacingg Tambang
Dikutip dari
d Juni, Utaama, dan Daarwanto, 20006

form dikenaal sebagai larva staddium tiga. Larva ini


Laarva filarifo
merupakan stadium inffektif untuk manusia. P
m Pada fase inni, larva tid
dak makan,
m
mulut tertuttup, dan esofagus mem
manjang. Laarva infektiff Necator americanus
a
mempunyai selubung (shheathed larvva) dari bahaan kutikula dan
m d terdapat garis-garis
ttransversal yang
y mencollok (transveerse striationns) (Ideham dan Pusaraw
wati, 2007;
M
Maguire, 20
010a).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 11.
1 Siklus Hidup
H Hookw
worm
Dikutip dari
d Centers for
f Disease Control andd Preventionn (CDC),
2009

Kontak
K antaraa kulit mannusia dengann tanah yangg telah terkkontaminasi
menyebabkaan larva filaariform melaakukan penetrasi melallui folikel rambut dan
m
ffisura kecil dalam
d beberrapa menit Tempat
T peneetrasi larva ffilariform melalui
m sela-
ssela jari kak
ki atau bagiaan lateral puunggung kakki. Pada petaani, penetrasi larva ini
m
melalui tang
gan). Larva filariform menembus
m ssubkutan dann mencapai vena-vena
kkecil superffisial, lalu m
memasuki aliiran darah ke
k jantung dan
d paru-parru (Ideham
ddan Pusaraw
wati, 2007; Maguire, 2010a).
2 Larvva menembuus alveoli pulmonum,
p
ppercabangan
n bronki, faring, lalu terttelan dan meemasuki usuus halus. Di usus
u halus,
llarva filarifform mengaalami pergaantian kulit,, menjadi llarva stadiuum empat,
kkemudian menjadi
m caciing dewasa. Diperlukann waktu 5 m
minggu atau lebih dari
iinfeksi larvaa stadium tigga sampai meenjadi cacingg dewasa yaang menghassilkan telur.
C
Cacing Neca
ator americcanus dapat bertahan hiidup selama 3-5 tahun atau lebih,
ssedangkan cacing
c Ancyllostoma duodenale dapaat bertahan hhidup selamaa 1-2 tahun
((Bethony, et
e al., 2006;; Ideham dan Pusaraw
wati, 2007; S
Supali, Marrgono, dan
A
Abidin, 20099).

Universitas Sumatera Utara


2.1.3. Patogenesis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)


Patogenesis infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan interaksi dari
respon imun tubuh manusia, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, dan
terjadinya kekurangan nutrisi (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Eosinofilia merupakan karakteristik berbagai infeksi cacing. Eosinofilia
yang dijumpai pada sediaan darah perifer, sumsum tulang belakang, dan jaringan
lainnya berkaitan dengan keberadaan ataupun migrasi cacing pada jaringan tubuh
tersebut. Keadaan eosinofilia berperan secara signifikan dalam proses
pembasmian cacing di dalam tubuh manusia dan resistensi terhadap infeksi
cacing, di mana bertanggung jawab terhadap sejumlah proses inflamasi patologi.
Infeksi kronis cacing secara khusus menyebabkan aktivasi sistem imunitas yang
ditandai dengan profil sitokin tipe Th2 yang dominan dan tingkat imunoglobulin
E yang tinggi, begitu juga proliferasi dan aktivasi eosinofil. Namun, respon tubuh
manusia berupa produksi berbagai sitokin, antibodi spesifik dan nonspesifik
imunoglobulin E (IgE), serta mobilisasi eosinofil, basophil, dan sel mast tersebut
tidak dapat sepenuhnya memproteksi (Maguire, 2010b).
Pada infeksi STH juga terjadi malnutrisi energi protein. Anak-anak
yang diinfeksi oleh 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gr protein dari diet
yang mengandung 30-50 gr protein per hari (Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.1.4. Diagnosis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)


2.1.4.1. Gejala Klinis
2.1.4.1.1. Gejala Klinis Askariasis
Gejala klinis askariasis diklasifikasikan menjadi gejala akut yang berhubungan
dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang
disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa
(Bethony et al., 2006).
Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi pada saat
di paru. Pada orang yang rentan, terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan
timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Di paru,
antigen larva askariasis menyebabkan respon inflamasi sehingga terbentuk

Universitas Sumatera Utara


infiltrat eosinofilik yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat
tersebut menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut dengan
sindrom Loeffler (Supali, Margono, dan Abidin, 2009).
Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing, dan
keadaan gizi penderita. Umumnya, hanya infeksi dengan intensitas yang sedang
dan berat pada saluran pencernaan dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing
dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus
dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan nutrisi
lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan
pertumbuhan. (Bethony et al., 2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009).
Pada anak-anak, cacing dewasa dapat beragregasi ke dalam ileum dan
mengakibatkan obstruksi parsial karena ukuran lumen ileum yang kecil. Berbagai
konsekuensi yang berat dapat terjadi, antara lain intusepsi, volvulus, dan obstruksi
total. Selanjutnya keadaan ini dapat mengakibatkan infark dan perforasi usus.
Keadaan peritonitis dapat berakibat fatal, walaupun anak tersebut dapat bertahan,
cacing dewasa yang berpindah tempat dapat mati dan menyebabkan peritonitis
granulomatosa kronis (Bethony et al., 2006). Secara khusus, anak yang
mengalami obstruksi oleh Ascaris lumbricoides memiliki keadaan toksik dengan
tanda dan gejala peritonitis. Pada beberapa kasus, massa dapat diraba di kuadran
kanan bawah abdomen. Cacing dewasa dapat memasuki lumen apendiks,
mengakibatkan kolik apendiks akut dan gangren di ujung apendiks, selanjutnya
memberi gambaran klinis yang tidak dapat dibedakan dengan apendisitis. Cacing
dewasa Ascaris lumbricoides cenderung berpindah-pindah di dalam tubuh anak-
anak yang mengalami demam tinggi, sehingga cacing tersebut dapat muncul dari
nasofaring atau anus (Ideham dan Pusarawati, 2007; Supali, Margono, dan
Abidin, 2009).
Askariasis hepatobilier dan pankreas terjadi jika cacing dewasa pada
duodenum memasuki dan memblok orifisium dari ampula duktus bilier utama
(common bile duct), yang menyebabkan kolik bilier, kolesistitis, kolangitis,
pankreatitis, dan abses hati. Berbeda dengan obstruksi usus, askariasis

Universitas Sumatera Utara


hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada orang dewasa, terutama
wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran percabangan
duktus bilier (biliary tree) orang dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing
dewasa (Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.1.4.1.2. Gejala Klinis Trikuriasis


Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan
eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi (Maguire, 2010a). Pada trikuriasis,
inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat
menyebabkan kolitis (Bethony, et al., 2006). Anak-anak yang menderita kolitis
akibat trikuriasis kronis akan mengalami nyeri abdomen kronis, diare, anemia
defisiensi besi, gangguan pertumbuhan, serta clubbing fingers. Anak-anak tersebut
beresiko menderita sindrom disentri trikuris. Keadaan ini ditandai dengan
tenesmus dengan banyak feses yang mengandung banyak mukus dan darah.
Prolapus rektus sering terjadi dan cacing dewasa dapat ditemukan pada mukosa
yang prolaps (Maguire, 2010a).

2.1.4.1.3. Gejala Klinis Ankilostomiasis dan Nekatoriasis


Ankilostomiasis dan nekatoriasis dapat menimbulkan gejala akut yang
berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan
kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing
dewasa (Bethony et al., 2006). Larva filariform (larva stadium tiga) yang
menembus kulit dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus
berupa ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus
pada tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva
tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Pneumonitis
yang disebabkan oleh infeksi larva cacing tambang tidak seberat pada infeksi
larva Ascaris lumbricoides (Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a). Manusia yang
belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia, dan
eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat pada
mukosa usus halus (Maguire, 2010a). Infeksi larva filariform Ancylostoma

Universitas Sumatera Utara


duodenale secara oral dapat menyebabkan sindrom Wakana, yang ditandai dengan
gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak (Bethony et al.,
2006).
Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dihasilkan
dari kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang
dewasa pada mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies
dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein) (Bethony, et al.,
2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009). Cacing Necator americanus
menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10 cc per hari, sedangkan
Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh
cacing tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes,
dan akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh
cacing tambang menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan
gejala pucat, lemah, dipsnoe, terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein
yang kronis dari infeksi berat cacing tambang dapat menyebabkan
hipoproteinemia dan edema anasarka (Bethony et al., 2006; Maguire, 2010a).
Infeksi sedang dan anemia dapat mengganggu fisik, kognitif, dan intelektual pada
anak yang sedang bertumbuh. Pada banyak kasus infeksi berat, anemia yang
disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif
(Maguire, 2010a).

2.1.4.2. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada
feses manusia (Supali, Margono, dan Abidin, 2009; Maguire, 2010a; WHO,
2012b). Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah,
bentuk, bau, dan ada-tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai ada-
tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel
darah putih, dan gula (Swierczynski, 2010). Sedangkan, pemeriksaan mikroskopis
bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing. Pemeriksaan dilakukan

Universitas Sumatera Utara


dengan menggunakan NaCl 0,85% dan lugol iodin. Pada pemeriksaan ini, kedua
reagensia diteteskan pada kaca objek (object glass), yaitu 1 tetes NaCl 0,85% di
sisi kiri dan 1 tetes iodin di sisi kanan. Kemudian, sedikit spesimen feses (seujung
tangkai apliktor) dilarutkan bersama dengan kedua reagensia yang telah diteteskan
di kaca objek. Setelah itu, kaca objek ditutup dengan kaca dek dan diperiksa di
bawah mikroskop dengan pembesaran 10x10 dan 10x40.
Pemeriksaan kopromikroskopik ini memiliki kelemahan, yaitu tingkat
kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Saat
ini, teknik Kato-Katz merupakan metode kopromikroskopik yang dipergunakan
secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di
dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh
Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan
mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi
beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing. Pemakaian sampel
feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki
sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi
sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per
gram feses) (Glinz et al., 2010).
Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa
pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses
sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Teknik pemeriksaan
ini memfokuskan pada metode diagnosis parasitologi yang mampu melakukan
skrining dengan menggunakan sampel feses dalam jumlah banyak, yaitu 0,5 gram
atau bahkan 1 gram pada metode dengan konsentrasi eter atau teknik FLOTAC.
Metode dengan konsentrasi eter sering dipergunakan dalam mendiagnosis infeksi
cacing, terutama pada laboratorium khusus. Metode ini dapat mendiagnosis
infeksi protozoa usus yang terjadi bersamaan (Glinz et al., 2010). Beberapa
penelitian mendapatkan bahwa pemeriksaan dengan beberapa sampel ataupun
penggunaan kombinasi beberapa metode diagnosis meningkatkan keakuratan
diagnosis. Kadang metode dengan konsentrasi eter dan metode Kato-Katz
dikombinasikan meningkatkan sensitivitas diagnosis infeksi cacing dan

Universitas Sumatera Utara


memperdalam pengertian mengenai poliparasitisme (Frst et al., 2012). Hal


penting dalam metode dengan konsentrasi eter ini adalah penggunaan sampel
feses yang difiksasi dengan sodium acetate-acetic acid-formalin (SAF) atau
formalin yang diencerkan, sehingga sampel dapat disimpan dan dianalisis di
waktu berikutnya. Bagaimanapun, perbedaan interlaboratorium yand besar telah
diketahui dalam diagnosis infeksi cacing dan protozoa usus tertentu (Glinz et al.,
2010).
Penelitian terbaru menyarankan pemakaian teknik FLOTAC dalam
mendiagnosis infeksi STH pada manusia. Kelebihan teknik FLOTAC adalah
elemen parasit, seperti telur cacing, terkumpul di bagian apikal kolum
pengapungan sehingga mudah dibaca, misalnya dengan potongan transversal
untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Selain itu, elemen parasit terpisah dari
debris fekal sehingga mempermudah identifikasi dan perhitungan. Protokol teknik
ini telah berkembang dari teknik FLOTAC dasar (sensitivitas analitik secara teori
= 1 telur per gram feses), teknik FLOTAC dual, teknik FLOTAC ganda, dan
teknik FLOTAC pelet (semua: sensitivitas analitik secara teori = 2 telur per gram
feses). Pada pemeriksaan FLOTAC tunggal, 1 gram feses dianalisis, di mana
jumlah sampel ini 24 kali lebih banyak daripada pemeriksaan Kato-Katz apusan
tebal tunggal. Hal ini menjelaskan tingkat kesensitivitasan FLOTAC yang lebih
tinggi (Knopp et al., 2008; Glinz et al., 2010).
Intensitas infeksi STH terdiri atas intensitas ringan, sedang, dan berat.
Pada askariasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 4.999
telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 5.000 sampai dengan 49.999 telur
per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 50.000 telur per gram feses.
Pada trikuriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 999
telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 1.000 sampai dengan 9.999 telur
per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 10.000 telur per gram feses.
Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1
sampai dengan 1.999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 2.000 sampai
dengan 3.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 4.000
telur per gram feses (WHO, 2012a).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths


Infeksi Intensitas Infeksi Intensitas Infeksi Intensitas
Rendah Sedang Berat
Organisme
(telur per gram (telur per gram (telur per gram
feses) feses) feses)
Ascaris lumbricoides 14.999 5.00049.999 > 50.000
Trichuris trichiura 1999 1.0009.999 > 10.000
Cacing tambang
(Necator americanus atau 11.999 2.0003.999 > 4.000
Ancylostoma duodenale)
Dikutip dari WHO, 2012a

Selain pemeriksaan kopromikrokospik, terdapat juga pemeriksaan


antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR
(World Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan
pilihan dalam mendiagnosis infeksi STH. Kekurangan pemeriksaan ini adalah
bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap
terdeteksi setelah penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
silang dengan nematode lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi
pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.
Pemeriksaan dengan menggunakan PCR dapat menjadi pemeriksaan baku (gold
standard), tetapi perlu dilakukan validasi di berbagai latar epidemiologi yang
berbeda untuk mengetahui skala pemakaiannya secara luas (Becker et al., 2011).
Larva Ascaris lumbricoides dapat ditemukan di sputum atau bahan
aspirasi lambung sebelum telur cacing ditemukan di feses. Bentuk cacing dewasa
yang besar, berwarna krem, dan tidak bersegmen dapat dengan mudah
diidentifikasi bila cacing tersebut keluar melalui mulut, anus, ataupun hidung.
Cacing yang terdapat di usus dapat dilihat melalui pemeriksaan foto polos
radiografi. Pemeriksaan untrasonografi, computed tomography, dan ERCP
(endoscopic retrograde cholangipancreatography) dapat memperlihatkan cacing
yang terdapat di cabang saluran bilier dan duktus pankreas. Cacing yang tampak
pada duktus bilier ataupun pankreas pada pemeriksaan ERCP dapat diekstraksi
dengan forsep. Pada trikuriasis, tindakan untuk mendiagnosis juga dapat

Universitas Sumatera Utara


dilakukan dengan mengidentifikasi cacing dewasa pada mukosa rektum yang


prolaps atau melalui kolonoskopi (Maguire, 2010a).

2.1.5. Penatalaksanaan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)


Seluruh infeksi Ascaris lumbricoides, baik yang bersifat asimtomatik ataupun
intensitas rendah, harus dilakukan tindakan penatalaksanaan. Pilihan obat berupa
albendazol oral (400 mg dosis tunggal), mebendazol (500 mg dosis tunggal atau
100 mg dua kali sehari dalam 3 hari), atau pirantel palmoat (11 mg / kg BB dosis
tunggal, dosis maksimal 1 gram). Ketiga obat ini memiliki tingkat kesembuhan
yang tinggi. Penderita yang tidak sepenuhnya sembuh mengalami penurunan
beban infeksi cacing yang diketahui melalui pemeriksaan telur cacing (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Bethony et al., 2006; Ideham dan
Pusarawati, 2007; Maguire, 2010a).
Albendazol bekerja dengan cara berikatan dengan tubulin parasit
sehingga menghambat polimarisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan
glukosa oleh larva maupun cacing dewasa. Akibatnya, persediaan glikogen cacing
menurun, pembentukan ATP berkurang, dan cacing mati. Obat ini juga dapat
merusak telur cacing. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular
dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat
pengambilan glukosa oleh cacing secara ireversibel, sehingga terjadi deplesi
glikogen pada cacing. Mebendazol menyebabkan sterilitas pada telur cacing.
Pirantel palmoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan
meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dengan keadaan spastis
(Syarif dan Elysabeth, 2009).
Invermektin oral (150-200 g / kg BB dosis tunggal), yang merupakan
obat pilihan untuk strongiloidiasis dan onkosersiasis, juga efektif dalam
mengobati askariasis. Levamisol oral (2,5 mg / kg BB dosis tunggal) juga
merupakan obat alternatif yang direkomendasikan oleh WHO. Levamisol
digunakan sebagai imunostimultan pada manusia dengan memperbaiki
mekanisme pertahanan seluler dan memacu pematangan limfosit T. Piperazin
sitrat pernah menjadi obat pilihan, tetapi bersifat neurotoksik dan hepatotoksik,

Universitas Sumatera Utara


serta tidak dipakai lagi di beberapa negara. Pirantel palmoat dan piperazin sitrat
dinyatakan aman untuk digunakan selama masa kehamilan. WHO juga
merekomendasikan pemakaian albendazol dan mebendazol selama masa
kehamilan berdasarkan data yang telah diperoleh. Selain itu, kedua obat ini dapat
digunakan dalam penatalaksanaan anak-anak di bawah 12 bulan (Syarif dan
Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a).
Obat baru yang memiliki aktivitas melawan Ascaris lumbricoides
termasuk nitazoksanid dan tribendimidin, yang terdaftar di Cina. Piperazin dapat
menyebabkan paralisis flaksid pada cacing sehingga berperan dalam melepaskan
obstruksi. Jika terdapat dalam sediaan sirup, obat ini dapat diberikan melalui
nasogastric tube. Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi bakteri, dan bila gejala
akut reda diberikan obat antelmintik untuk mencegah kekambuhan (Maguire,
2010a).
Dosis tunggal albendazol, mebendazol, dan pirantel pamoat dapat
menyembuhkan kurang dari 50% penderita trikuriasis serta menurunkan beban
akibat infeksi cacing kurang dari 60%. Pemakaian albendazol selama tiga hari
(400 mg / hari secara oral) atau mebendazol (100 mg dua kali sehari) lebih efektif
untuk infeksi ringan dan sedang. Pada infeksi berat, pemberian albendazol selama
5-7 hari atau kombinasi albendazol dan invermektin yang dikonsumsi satu kali
memiliki tingkat kesembuhan dan penurunkan intensitas infeksi yang lebih tinggi
(Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a).
Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, pemberian terapi besi dapat
memperbaiki kadar hemoglobin menjadi normal, tetapi anemia akan terjadi
kembali apabila terapi antelmintik tidak diberikan. Albendazol 400 mg dosis
tunggal merupakan terapi pilihan. Pemberian mebendazol 100 mg yang diberikan
dua kali sehari dalam 3 hari lebih efektif daripada diberikan 500 mg dosis tunggal.
Pemberian pirantel palmoat dengan dosis 11 mg/kgBB diperlukan untuk
mengeliminasi atau menurunkan angka infeksi berat (Syarif dan Elysabeth, 2009;
Maguire, 2010a).

Universitas Sumatera Utara


2.1.6. Pencegahan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)


WHO menyusun strategi global dalam mengendalikan STH dengan penggunaan
kemoterapi modern. Strategi tersebut bertujuan untuk mengendalikan morbiditas
yang diakibatkan oleh infeksi STH, yaitu dengan mengeliminasi infeksi dengan
intensitas sedang dan tinggi dengan pemberian obat antelmintik (terutama
albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal). Obat
antelmintik ini diberikan kepada populasi dengan resiko tinggi, yaitu:
a. Anak-anak yang belum sekolah (usia 1-4 tahun)
b. Anak-anak usia sekolah (usia 5-14 tahun)
c. Wanita usia reproduktif (termasuk wanita dengan kehamilan trimester kedua
dan ketiga, serta wanita menyusui).
d. Kelompok usia dewasa yang rentan terpapar dengan infeksi STH (contoh:
pekerja kebun teh dan pekerja penambangan).
Program pemberantasan infeksi cacing juga dilakukan melalui sekolah dan
lembaga lain yang terkait. Program pemberantasan infeksi ini termasuk dengan
pemberian vaksinasi dan suplemen, seperti: vitamin A (WHO, 2012a).
Program pengendalian infeksi cacing di Indonesia disusun dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
424/Menkes/SK/VI/2006, di mana tujuan dari program ini adalah memutus mata
rantai penularan infeksi cacing, baik di dalam tubuh maupun di luar tubuh.
Program ini dilakukan dengan kerja sama pemerintah, Departemen Kesehatan,
masyarakat, serta sektor lain sebagai mitra. Untuk mencapai hal tersebut
dilakukan kegiatan berupa penentuan prioritas lokasi atau penduduk sasaran,
penegakkan diagnosis dengan pemeriksaan feses secara langsung menggunakan
metode Kato-Katz, serta penanggulangan infeksi. Sesuai rekomendasi WHO,
penanggulangan infeksi cacing dilakukan dengan pengobatan tindakan
pencegahan, dan promotif (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman,
berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh
cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan
survei data dasar berupa pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses

Universitas Sumatera Utara


sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan
massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya
didapati kurang dari 30%, dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening).
Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari
30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%,
pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Pencegahan dilakukan dengan pengendalian faktor resiko, antara lain
kebersihan lingkungan, kebersihan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup,
semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai,
menjaga kebersihan makanan, serta pendidikan kesehatan di sekolah kepada guru
dan anak. Pendidikan kesehatan dilakukan melalui penyuluhan kepada masyarakat
umum secara langsung atau dengan penggunaan media massa. Sedangkan untuk
anak-anak di sekolah dapat dilakukan penyuluhan melalui program UKS (Unit
Kesehatan Sekolah) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.2. Prestasi Belajar


2.2.1. Definisi dan Aspek-Aspek Belajar
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan
yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, perubahan-perubahan tersebut akan nyata
dalam seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2010). Menurut Lyle E. Bourne, JR.,
Bruce R. Ekstrand, belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang
diakibatkna oleh pengalaman dan latihan (Mustaqim, 2012).

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar


Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar anak dapat dibedakan
menjadi faktor internal (faktor dari dalam anak), faktor eksternal (faktor dari luar
anak), dan faktor pendekatan belajar (approach to learning). Faktor-faktor
tersebut dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan
yang lainnya. Seorang anak yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan

Universitas Sumatera Utara


mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan
memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil
pembelajaran. Karena pengaruh-pengaruh faktor tersebut, muncul anak-anak yang
berprestasi tinggi (high-achievers), berprestasi rendah (under-achievers) atau
gagal sama sekali (Syah, 2009).

2.2.2.1. Faktor Internal Anak


Faktor internal berasal dari diri sendiri meliputi dua aspek, yaitu aspek fisologis
(yang bersifat jasmaniah), dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah) (Syah,
2009).

2.2.2.1.1. Aspek Fisiologis


Kondisi umum jasmani dan tonus otot anak menandai tingkat kebugaran organ-
organ tubuh, yang dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam
mengikuti pelajaran (Syah, 2009). Proses belajar seseorang akan terganggu jika
kesehatan seseorang terganggu (Slameto, 2010). Kekurangan gizi biasanya
mempunyai pengaruh terhadap kesehatan jasmani, seperti mudah mengantuk,
lekas lelah, dan lesu, terutama pada anak-anak yang usianya masih muda
(Mustaqim, 2012). Kondisi organ tubuh yang lemah, misal: pada nyeri kepala
yang berat, dapat menurunkan kemampuan kognitif sehingga materi yang
dipelajari leih sulit diterima, bahkan tidak dapat diterima sama sekali (Syah,
2009). Selain itu, daya tahan tubuh yang menurun lebih rentan untuk terserang
penyakit. Apabila keadaan ini semakin memburuk, aktivitas belajar dapat berhenti
(Mustaqim, 2012).
Kondisi organ-organ khusus anak, seperti: tingkat kesehatan indera
pendengaran dan indera penglihatan, juga mempengaruhi kemampuan anak dalam
menyerap informasi dan pengetahuan, terutama di kelas. Akibatnya, proses
informasi oleh sistem memori anak terhambat. Penurunan rasa percaya diri (self-
esteem atau self-convidence) seorang anak juga dapat mempengaruhi proses
pembelajaran. Anak yang frustasi dapat berprestasi rendah (under-achievers) atau

Universitas Sumatera Utara


gagal, meskipun kapasitas kognitifnya normal atau lebih tinggi dari teman-
temannya (Syah, 2009).

2.2.2.1.2. Aspek Psikologis


Aspek psikologis berperan penting dalam proses pembelajaran (Mustaqim, 2012).
Aspek psikologis dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan belajar
anak. Aspek psikologis tersebut pun dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antara
faktor-faktor yang terdapat di dalam aspek psikologis tersebut, faktor yang
terpenting adalah tingkat kecerdasan / intelegensi anak, sikap anak, bakat anak,
minat anak, dan motivasi anak (Syah, 2009).

1. Tingkat Kecerdasan / Intelegensi Anak


Menurut Reber, umumnya intelegensi diartikan sebagai kemampuan psiko-
fisik untuk bereaksi terhadap rangsangan atau menyesuaikan diri dengan
lingkungan dengan cara yang tepat (Syah, 2009). Tingkat kecerdasan atau
intelegensi (IQ) berpengaruh besar terhadap kemajuan belajar dan sangat
menentukan tingkat keberhasilan belajar anak (Syah, 2009; Slameto, 2010).
Dalam situasi yang sama, seseorang yang memiliki intelegensi tinggi
umumnya mudah mengikuti proses belajar dengan hasil cenderung baik.
Sebaliknya, orang yang memiliki intelegensi rendah cenderung mengalami
kesukaran dalam belajar dan lambat berpikir, sehingga memiliki prestasi
belajar yang rendah (Dalyono, 2009). Walaupun begitu, anak yang
mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi belum tentiu berhasil dalam
proses belajarnya. Sebab, belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan
banyak faktor yang mempengaruhinya, sedangkan intelegensi hanya salah
satu faktor di antara faktor-faktor yang lainnya (Slameto, 2010).

2. Sikap Anak
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan
untuk bereaksi atau berespon (response tendency) secara relatif tetap
terhadap objek berupa orang, barang, dan sebagainya, baik secara postif

Universitas Sumatera Utara


maupun negatif. Sikap anak yang postif, terutama kepada guru dan mata
pelajaran yang diberikan, merupakan awal yang baik terhadap proses belajar
anak tersebut. Sebaliknya, sikap negatif anak terhadap guru dan mata
pelajaran yang diberikan, apalagi diikuti dengan rasa benci, dapat
menimbulkan kesulitan belajar bagi anak tersebut (Syah, 2009).

3. Bakat Anak
Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dalam
perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu
untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya
pendidikan dan latihan (Syah, 2009). Bakat dapat mempengaruhi tinggi-
rendahnya suatu prestasi belajar di bidang-bidang tertentu. Jika pelajaran
yang dipelajari anak sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya akan
lebih baik karena anak tersebut senang dalam mempelajari hal tersebut.
Selanjutnya, anak akan lebih giat lagi dalam belajar. Sebaliknya, pemaksaan
kehendak untuk menyekolahkan anak pada jurusan keahlian yang tidak
sesuai dengan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik
(academic performance) atau prestasi belajarnya. Hal tersebut juga terjadi
bila anak tidak sadar terhadap bakatnya sendiri dan memilih jurusan
keahlian yang bukan bakatnya (Syah, 2009; Slameto, 2010).

4. Minat Anak
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan atau keinginan
yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2009). Minat yang besar terhadap
sesuatu hal merupakan modal yang besar untuk memperoleh tujuan yang
diminati (Dalyono, 2009). Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian
hasil belajar anak dalam bidang-bidang tertentu (Syah, 2009). Jika anak
tidak memiliki minat yang tinggi terhadap proses belajar dan bahan
pelajaran yang dipelajari, maka anak tidak akan belajar dengan sebaik-
baiknya. Anak tidak merasakan daya tarik dan kepuasan dari bahan

Universitas Sumatera Utara


pelajaran tersebut, sehingga enggan untuk belajar. Akibatnya, anak


cenderung berprestasi rendah. Namun, jika proses belajar dan bahan
pelajaran dapat menarik minat anak, maka bahan pelajaran akan lebih
mudah dipelajari dan disimpan. Hal ini cenderung menghasilkan prestasi
yang tinggi (Dalyono, 2009; Slameto, 2010).

5. Motivasi Anak
Motivasi adalah keadaan jiwa individu yang mendorong untuk melakukan
sesuatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan (Mustaqim, 2012). Motivasi
dapat dibedakan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan dari dalam diri anak yang dapat
mendorongnya melakukan tindakan belajar, umumnya karena kesadaran
akan pentingnya sesuatu. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang lebih
signifikan bagi anak karena lebih murni dan tidak bergantung pada dorongan
atau pengaruh orang lain. Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan dari
luar individu anak, misal: orang tua, guru, teman-teman, dan anggota
masyarakat, yang juga dapat mendorong anak untuk melakukan kegiatan
belajar. Motivasi ekstrinsik dapat berupa pujian, hadiah, peraturan atau tata
tertib sekolah, teladan orang tua, guru, dan sebagainya. Seseorang yang
belajar dengan motivasi kuat akan belajar dengan sungguh-sungguh, penuh
gairah, atau semangat. Sedangkan, seseorang yang belajar dengan motivasi
lemah akan malas belajar, bahkan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang
berhubungan dengan pelajaran (Dalyono, 2009; Syah, 2009).

2.2.2.2. Faktor Eksternal Anak


Faktor eksternal anak terdiri dari dua, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor
lingkungan non-sosial (Syah, 2009).

2.2.2.2.1. Lingkungan Sosial

Universitas Sumatera Utara


Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan
teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang anak (Syah,
2009).
Proses belajar mengajar terjadi di antara guru dan anak dipengaruhi
oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Jadi, cara belajar anak dipengaruhi
oleh relasi dengan gurunya. Jika terbentuk relasi yang baik di antara guru dan
anak, anak akan menyukai guru dan mata pelajaran yang diberikan, sehingga anak
berusaha mempelajari sebaik-baiknya. Selain relasi guru dengan anak,
menciptakan relasi yang baik antar anak juga diperlukan agar terbentuk pengaruh
yang positif dalam proses belajar anak-anak (Slameto, 2010).
Masyarakat, tetangga, serta teman-teman sepermainan di sekitar tempat
tingga anak tersebut juga merupakan lingkungan sosial (Syah, 2009). Bila
keadaan masyarakat di sekitar tempat tinggal anak terdiri dari orang-orang yang
berpendidikan, terutama bersekolah tinggi dan bermoral baik, anak akan terdorong
untuk lebih giat belajar. Tetapi, bila anak tinggal di lingkungan dengan jumlah
kenakalan anak dan pengangguran tinggi, semangat anak untuk belajar menjadi
rendah (Dalyono, 2009).
Lingkungan sosial yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah
orang tua dan keluarga anak (Syah, 2009). Tingkat pendidikan, penghasilan,
perhatian, bimbingan, dan keharmonisan orang tua dengan anak turut
mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak (Dalyono, 2009).

2.2.2.2.2. Lingkungan Nonsosial


Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah fisik dan
lokasi gedung sekolah, lokasi rumah tempat tinggal keluarga anak, alat-alat
belajar, cuaca, serta waktu belajar yang digunakan anak (Slameto, 2010).
Ruang kelas harus memadai bagi setiap anak agar proses belajar dan
mengajar dapat berlangsung dengan baik. Rumah yang sempit, berantakan, terlalu
padat, dan tanpa sarana umum untuk kegiatan anak-anak akan mendorong anak
untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak seharusnya dikunjungi (Syah, 2009;
Slameto, 2010). Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar

Universitas Sumatera Utara


penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada anak, sehingga anak akan
lebih giat dan berkembang dalam proses belajar (Slameto, 2010). Waktu belajar
juga mempengaruhi proses dan prestasi belajar anak. Setiap anak memiliki
perbedaan waktu dan rasa siap untuk belajar. Ada anak yang siap belajar di pagi
hari, tetapi ada juga yang siap pada sore hari atau tengah malam (Syah, 2009).

2.2.2.3. Faktor Pendekatan Belajar


Di samping faktor-faktor internal dan eksternal anak, faktor pendekatan
belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar. Pendekatan
belajar dapat dipahami sebagai upaya belajar anak, yang meliputi metode dan
strategi, dalam menunjang keefektivitasan dan efisiensi proses pembelajaran
materi tertentu. Pendekatan belajar terdiri dari pendekatan yang paling klasik
sampai yang paling modern. Di antara pendekatan-pendekatan belajar tersebut,
yang dapat mewakili ialah pendekatan hukum Jost, pendekatan Ballar dan
Clanchy, serta pendekatan Binggs (Syah, 2009).

2.2.2.3.1. Pendekatan Hukum Jost


Anak yang lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan lebih
mudah mengingat memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang
anak tekuni (Syah, 2009).

2.2.2.3.2. Pendekatan Ballard dan Clanchy


Pendekatan belajar anak pada umumnya dipengaruhi oleh sikap
terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Terdapat dua sikap anak
terhadap ilmu pengetahuan, yaitu sikap melestarikan apa yang sudah ada
(conserving) dan sikap memperluas (extending). Anak yang bersikap conserving
umumnya menggunakan pendekatan belajar reproduktif, yaitu menghasilkan
kembali fakta dan informasi yang telah ada. Sedangkan, anak yang bersikap
extending mengguanakan pendekatan belajar analitis, yaitu memilih dan
menginterpretasi fakta dan informasi. Ada juga anak yang menggunakan
pendekatan belajar spekulatif, yaitu pendekataan belajar berdasarkan pemikiran

Universitas Sumatera Utara


mendalam. Pendekatan belajar ini lebih ideal. Dalam pendekatan ini, proses
belajar tidak hanya bertujuan untuk menyerap ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk
mengembangkannya (Syah, 2009).

2.2.2.3.3. Pendekatan Biggs


Pendekatan belajar anak dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk
dasar, yaitu pendekatan surface (permukaan / lahiriah), pendekatan deep
(mendalam), dan pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi). Ketiga
bentuk dasar pendekatan belajar tersebut digunakan anak berdasarkan motifnya,
bukan sikapnya terhadap pengetahuan. Anak yang menggunakan dasar
pendekatan surface approach mau belajar karena dorongan dari luar (dorongan
ekstrinsik) dengan ciri-ciri menghindari kegagalan, tetapi tidak belajar dengan
keras. Cara belajar ini bersifat santai, asal menghafal, dan tidak mementingkan
pemahaman yang mendalam. Anak dengan dasar pendekatan deep approach
biasanya belajar karena dorongan dari dalam berupa rasa membutuhkan dan
tertarik pada pelajaran tersebut (dorongan intrinsik). Anak berusaha memuaskan
keingintahuan terhadap isi materi pelajaran. Oleh karena itu, cara belajar ini
bersifat serius, berusaha memahami materi secara mendalam, serta memikirkan
cara pengaplikasiannya. Anak yang menggunakan dasar pendekatan achieving
approach umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik berciri khusus, disebut dengan
ego-enchancement, yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi
keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya. Cara
belajar ini lebih serius daripada cara pendekatan belajar lainnya. Anak dengan
pendekatan ini memiliki ketrampilan dalam mengatur waktu belajar, usaha
belajar, serta penelaahan isi silabus dengan efisien. Seorang anak yang
mengaplikasikan pendekatan belajar deep approach lebih berpeluang meraih
prestasi belajar yang bermutu daripada anak yang menggunakan pendekatan
belajar surface approach atau reproductive approach (Syah, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.2.2.3.4. Pendekatan Independent Learning dan Self-Directed Learning


Pendekatan independent learning (IL) adalah belajar secara mandiri dengan
mempelajari topic / materi tertentu yang tidak diajarkan oleh guru, tetapi harus
dikuasai oleh anak, di mana penguasaan anak atas topik tersebut dinilai oleh
gurunya. Pendekatan IL dapat diarahkan (directed) dan dapat pula tidak diarahkan
(non-directed). Dalam pendekatan IL yang diarahkan, anak mempelajari topik
sesuai dengan petunjuk mengenai cara, rujukan yang digunakan, dan hasil yang
harus dicapai. Pada pendekatan IL yang tidak diarahkan, anak hanya diberi topik
dan sedikit gambaran mengenai rincian, rujukan, serta hasil yang harus dicapai
(Syah, 2009).

2.2.3. Penilaian Prestasi Belajar


2.2.3.1. Indikator Prestasi Belajar
Pada prinsipnya, penilaian hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis
yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar anak. Namun,
pengungkapan perubahan tingkah laku, khususnya ranah rasa murid, sangat sulit.
Hal ini disebabkan oleh perubahan hasil belajar bersifat intangible (tidak dapat
diraba). Oleh karena itu, yang dapat dilakukan guru dalam hal ini hanya
mengambil cuplikan perilaku yang dianggap penting dan diharapkan dapat
mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar anak, baik yang
berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi karsa. Kunci pokok
memperoleh ukuran dan data hasil belajar anak adalah mengetahui garis-garis
besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi
yang hendak diungkapkan atau diukur (Syah, 2009).

Tabel 2.2. Jenis, Indikator, dan Cara Evaluasi Belajar


Ranah/Jenis Prestasi Indikator Cara Evaluasi
A. Ranah Cipta (Kognitif)
1. Pengamatan 1. Dapat menunjukkan; 1. Tes lisan;
2. Dapat membandingkan; 2. Tes tertulis;
3. Dapat menghubungkan 3. Observasi.
2. Ingatan 1. Dapat menyebutkan; 1. Tes lisan;

Universitas Sumatera Utara


2. Dapat menunjukkan kembali 2. Tes tertulis;


3. Observasi.
3. Pemahaman 1. Dapat menjelaskan; 1. Tes lisan;
2. Dapat mendefenisikan dengan lisan 2. Tes tertulis.
sendiri
4. Aplikasi/Penerapan 1. Dapat memberikan contoh; 1. Tes tertulis;
2. Dapat menggunakan secara tepat. 2. Pemberian tugas;
3. Observasi.
5. Analisis 1. Dapat menguraikan; 1. Tes tertulis;
(Pemeriksaan dan 2. Dapat mengklasifikasi / memilah- 2. Pemberian tugas.
pemilihan secara teliti) milah.
6. Sintesis 1. Dapat menghubungkan materi-materi, 1. Tes tertulis;
(Membuat panduan sehingga menjadi satu kesatuan; 2. Pemberian tugas.
baru dan utuh) 2. Dapat menyimpulkan;
3. Dapat menggeneralisasikan (membuat
prinsip umum)
B. Ranah Rasa (Afektif) 1. Menunjukkan sikap menerima; 1. Tes tertulis;
2. Menunjukkan sikap menolak. 2. Tes skala sikap.
1. Penerimaan
1. Kesediaan berpartisipasi terlibat; 1. Tes skala sikap;
2. Kesediaan memanfaatkan. 2. Pemberian tugas;
2. Sambutan 3. Observasi.
1. Menganggap penting dan bermanfaat; 1. Tes skala sikap;
2. Menganggap indah dan harmonis; 2. Pemberian tugas;
3. Apresiasi 3. Mengagumi. 3. Observasi.
(Sikap menghargai)
1. Mengakui dan meyakini; 1. Tes skala sikap;
2. Mengingkari. 2. Pemberian tugas
4. Internalisasi ekspresif (yang
(Pendalaman) menyatakan
sikap) dan tugas
proyektif yang
menyatakan
pemikrian atau
ramalan).
5. Karakterisasi 1. Melembagakan atau meniadakan; 1. Pemberian tugas
(Penghayatan) 2. Menjelmakan dalam pribadi dan ekspresif dan
perilaku sehari-hari. proyektif;
2. Observasi.

Universitas Sumatera Utara


C. Ranah Karsa (Psikomotor)


1. Keterampilan bergerak Kecakapan mengkoordinasikan gerakan 1. Observasi;
dan bertindak. mata, tangan, kaki, dan anggota tubuh 2. Tes tindakan.
lainnya
2. Kecakapan ekspresi 1. Kefasihan melafalkan / mengucapkan; 1. Tes lisan;
verbal dan non-verbal 2. Kecakapan membuat mimik dan 2. Observasi;
gerakan jasmani. 3. Tes tindakan.
Dikutip dari Syah, 2009

2.2.3.2. Pendekatan Evaluasi Prestasi Belajar


Ada dua macam pendekatan yang sangat sering digunakan dalam mengevaluasi
atau menilai tingkat keberhasilan atau prestasi belajar, yaitu norm-referencing
atau norm-references assessment, dan criterion-referencing atau criteria-
referanced assessment (Syah, 2009).

2.2.3.2.1. Penilaian Acuan Norma (Norm-Referenced Assessment)


Penilaian Acuan Norma (PAN) juga dikenal degan penilaian acuan kelompok
(Mustaqim, 2012). Dalam penilaian yang menggunakan pendekatan PAN, prestasi
belajar seorang peserta didik diukur dengan cara membandingkannya dengan
prestasi yang dicapai oleh teman-teman sekelas atau sekelompoknya. Jadi,
pemberian skor atau nilai peserta didik tersebut merujuk pada hasil perbandingan
antara skor-skor yang diperoleh teman-teman sekelompoknya dengan skornya
sendiri (Syah, 2009).
Pada PAN, semua nilai atau skor dipandang sebagai nilai mentah, lalu
dikonversikan ke dalam nilai-nilai dengan rentangan 1-10 atau 10-100. Selain itu,
pendekatan PAN juga dapat diimplementasikan dengan cara menghitung dan
membandingkan presentase jawaban yang benar yang dihasilkan seorang anak
dengan presentase jawaban yang benar yang dihasilakan kawan-kawan sekelas
atau sekelompoknya. Kemudian, presentase jawaban-jawaban benar dari masing-
masing anak tersebut dikonversikan ke dalam nilai 1-10 atau 10-100 (Syah, 2009;
Mustaqim, 2012).

Universitas Sumatera Utara


2.2.3.2.2. Penilaian Acuan Kriteria (Criterion-Referenced Assessment)


Menurut Tardif, penilaian dengan pendekatan Penilaian Acuan Kriteria (PAK)
merupakan proses pengukuran prestasi belajar dengan cara membandingkan
pencapaian seorang anak dengan pelbagai perilaku ranah yang telah ditetapkan
secara baik (well-defined dominant behaviours) sebagai patokan absolut. Penilaian
Acuan Kriteria memerlukan kriteria mutlak pada tujuan pembelajaran umum
(TPU) dan tujuan pembelajaran khusus (TPK). Maksudnya, nilai atau kelulusan
seorang anak bukan berdasarkan perbandingan dengan nilai yang dicapai oleh
rekan-rekan sekelas atau sekelompoknya, melainkan ditentukan oleh penguasaan
atas materi pelajaran hingga batas yang sesuai dengan tujuan instruksional.
Pendekatan penilaian seperti ini biasanya diterapkan dalam sistem belajar tuntas
(mastery learning). Dalam sistem belajar tuntas, seorang anak baru dapat
dinyatakan lulus dalam evaluasi suatu mata pelajaran apabila ia telah menguasai
seluruh materi secara merata dan mendalam dengan nilai minimal 80 (Syah,
2009).

2.2.3.3. Batas Minimal Prestasi Belajar


Setelah mengetahui indikator dan memperoleh skor hasil evaluasi prestasi belajar,
guru juga perlu mengetahui bagaimana menetapkan batas minimal keberhasilan
belajar para anak. Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar anak selalu
berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternatif
norma pengukuran tingkat keberhasilan anak setelah mengikuti proses mengajar-
belajar, di antara norma-norma pengukuran tersebut ialah:
1. Norma skala angka dari 0 sampai 10
2. Norma skala angka dari 0 sampai 100
Angka terendah yang menyatakan kelulusan / keberhasilan belajar
(passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah
55 atau 60. Jadi, pada prinsipnya, jika seorang anak dapat menyelesaikan lebih
dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi
dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar.

Universitas Sumatera Utara


Namun demikian, perlu dipertimbangkan oleh para guru penetapan passing grade
yang lebih tinggi (misal: 65 atau 70) untuk pelajaran-pelajaran inti (core subject).
Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi bahasa dan matematika. Pengkhususan
passing grade seperti ini sudah berlaku umum di banyak negara maju dan telah
mendorong peningkatan kemajuan belajar anak dalam bidang-bidang studi lain
(Syah, 2009).

2.2.4. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi


Belajar Anak
Infeksi cacing mempengaruhi status gizi anak-anak melalui berbagai mekanisme,
di antaranya melalui pengambilan nutrisi dari jaringan tubuh manusia (host) serta
menyebabkan gangguan dalam proses absorpsi nutrisi. Mekanisme ini
menyebabkan anemia dan defisiensi mikronutrisi yang berkontribusi terhadap
gangguan pertumbuhan, keadaan tubuh yang lemah, serta menurunkan kehadiran
di sekolah. Penurunan kehadiran sekolah pada usia dini selanjutnya berimplikasi
besar terhadap proses kehidupan anak-anak tersebut (Welch et al., 2013).
Penelitian cross sectional Jardim-Botelho et al. (2008) terhadap 210
orang anak-anak berusia 6-11 tahun di Americaninhas, Minas Gerais, Brazil
medapatkan bahwa infeksi cacing tambang berhubungan dengan tingkat
konsentrasi dan kemampuan memproses informasi yang lebih buruk. Hal ini
diukur dengan menggunakan subtes Wechsler Intelligence Scale for Children III
(WISC-III). Sedangkan, infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan dengan tingkat
intelegensi umum yang lebih buruk dan diukur dengan menggunakan Raven
Colored Progressive Matrices. Anak-anak dengan infeksi poliparasit (cacing
tambang dan Ascaris lumbricoides) memiliki kemampuan kognitif yang lebih
buruk daripada anak-anak dengan infeksi tunggal.

Universitas Sumatera Utara


2.3. Kerangka Teori

Aspek
Psikologis:
-IQ
Aspek - Sikap
Fisiologis: - Minat
Keadaan umum - Bakat Lingkungan Lingungan
jasmani - Motivasi Nonsosial Sosial

Faktor
Faktor Faktor
Pendekatan
Internal Eksternal
Belajar

Infeksi Soil Transmitted Prestasi


Helminhts Belajar

Keterangan:

= Variabel yang diteliti


Gambar 12. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai