TINJAUAN PUSTAKA
terdapat di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa Selatan (Ideham dan
Pusarawati, 2007).
Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan
dan organ tubuh, di mana parasit tersebut hidup dan mengambil nutrisi dari dalam
tubuh manusia. Pada keadaan kronis, infeksi STH mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan intelektual anak-anak. Selain itu,
infeksi STH juga diperkirakan berdampak negatif terhadap kemampuan kognitif,
mempengaruhi prestasi belajar di sekolah, di mana akan mempengaruhi
produktivitas ekonomi masa depan (Bethony et al., 2006; Mller et al., 2011).
Faktor individu dan lingkungan mempengaruhi resiko dan intensitas
infeksi STH. Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura paling banyak
ditemukan pada anak-anak berusia 5-15 tahun. Intensitas dan frekuensi infeksi
menurun pada orang dewasa Sedangkan, infeksi Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus lebih banyak ditemukan pada orang dewasa daripada anak-
anak (Bethony et al., 2006). Faktor lingkungan yang mempengaruhi berupa cuaca
yang hangat dan lembab. Perilaku hidup sehat, sanitasi, pengelompokan rumah
tangga, pekerjaan, tingkat kemiskinan, dan urbanisasi juga merupakan faktor-
faktor yang berperan dalam infeksi STH (Hotez et al., 2006).
Gambar 1. Mulut
M Ascarris lumbricoiides
Dikutip darii Juni, Utam
ma, dan Darw
wanto, 2006
A B C
Manusia
M meruupakan satu--satunya hosspes Ascaris lumbricoidees. Apabila
ttelur yang in
nfektif tertellan oleh mannusia, telur akan
a menetaas di dalam usus.
u Larva
m
menginvasi mukosa usuus halus mennuju pembuuluh darah atau
a saluran limfe, lalu
ddialirkan ke jantung dann mengikuti aliran darah ke paru. Di paru, larva menembus
ddinding pem
mbuluh daraah, dinding alveolus, dan
d memassuki alveoluus. Hal ini
m
menyebabkaan terjadinyya pneumonnia subkliniss. Kemudiaan larva naik melalui
bbronkiolus, bronkus, daan trakea menuju
m ke faaring. Keadaaan ini menngakibatkan
rrangsangan pada faring sehingga teerjadi reaksii berupa battuk. Selanju
utnya, larva
aakan tertelann ke dalam esophagus
e d menuju kke usus haluus. Di usus halus,
dan h larva
bberkembangg dan berubbah menjadii cacing deewasa. Satu siklus hiduup Ascaris
llumbricoidess memerlukaan waktu kuurang lebih 2-3
2 bulan, yaang dimulai sejak telur
m
matang, terttelan, sampaai dengan caacing dewassa bertelur ((Supali, Marrgono, dan
A
Abidin, 20099; Polsdorfeer, 2011).
22.1.2.2. Morfologi
M daan Siklus Hiidup Trichiu
uris trichiurra
P
Panjang caccing jantan dewasa
d Tricchuris trichiiura 30-45 mm
m dan caccing betina
ddewasa 35-5
50 mm. Tigga perlima bagian
b anterrior tubuh ccacing berukkuran kecil
sseperti camb
buk, dilalui oleh esofaguus yang sem
mpit dan mennyerupai ranntai merjan.
D
Dua perlimaa bagian postterior tubuh cacing meleebar. Bagian ini berisi ussus dan alat
rreproduksi. Bagian postterior cacingg betina meembulat tum
mpul. Vulva terletak di
pperbatasan antara
a tubuhh bagian antterior dengaan tubuh baggian posteriior. Bagian
pposterior caacing jantan melingkar dan terdapaat satu spikuulum dengann selubung
yyang retraktiil (Bethony et al., 2006; Ideham dann Pusarawati, 2007).
Gambar 6.
6 Telur Trichhuris trichiuura
Dikutip daari Bethony et al., 2006
Manusia
M merrupakan hosspes cacing Trichuris trichiura
tr dan
n penyakit
yyang disebabkannya dissebut trikuriaasis. Infeksii terjadi secaara langsungg dan tidak
m
memerlukan
n hospes peerantara. Teelur yang tidak
t mengaandung embbrio (tidak
bbersegmen) dihasilkan sebanyak
s 3.0000-2.000 teelur per harii oleh cacingg betina di
ddalam sekum
m. Telur tersebut keluarr bersama feeses (Bethonny, et al., 20
006). Telur
bberkembangg di dalam tanah. Awaalnya, telur mengandunng dua sel, membelah
menjadi multiseluler, keemudian menjadi embrioo. (Ideham dan
m d Pusaraw
wati, 2007).
T
Telur menjaadi infektif dalam
d waktu 2-6 mingguu bila kondissi di lingkunngan sekitar
ssesuai untuk
k perkembanngannya, yaiitu pada suhhu 25-28C, di tanah yaang lembab
ddan teduh, serta
s terhinddar dari sinarr matahari laangsung. Teelur Trichuriis trichiura
kkurang tahan
n terhadap kkekeringan, panas, dan dingin dibanndingkan deengan telur
Ascaris lumbbricoides. Pada tanah liaat yang keraas, telur tidakk berkemban
A ng menjadi
iinfektif. Larrva di dalam telur tidak mengalami
m e
ekdisis (perggantian kulitt) dan tidak
m
menetas di dalam
d tanah. (Hotez, et al.,
a 2006; Suupali, Margonno, dan Abiddin, 2009).
Gambar 7.
7 Siklus Hiddup Trichiurris trichiura
Dikutip dari
d Centers for
f Disease Control andd Preventionn (CDC),
2009
22.1.2.3. Morfologi
M d
dan Siklus Hidup Cacing
C Tam
mbang (An
ncylostoma
uodenale daan Necator americanus)
du a )
C
Cacing tambbang dewassa berukurann kecil, giligg / silindris, dan berwaarna coklat
muda atau merah mudda keputihann (Ideham dan Pusaraawati, 2007;; Maguire,
m
22010a). Cacing jantan dewasa Ancyllostoma duoodenale mem
miliki panjang 8-11 mm
ddan berdiam
meter 0,4-0,55 mm, sedanngkan cacing betina dew
wasa memillki panjang
10-13 mm dan
d berdiameeter 0,6 mm
m. Bagian serrvikal cacingg dewasa Anncylostoma
dduodenale melengkung
m ke arah dorrso-anterior sehingga taampak seperrti huruf C.
B
Bagian posteerior cacing jantan meleebar membenntuk bursa kopulatrik daan sepasang
sspikula yanng panjang, sedangkann pada caciing betina tumpul (Id
deham dan
Pusarawati, 2007; Supalli, Margono, dan Abidin, 2009).
P
Ancylostomadu
uodenale
Male
Female
Male
Necatoram
mericanus Female
m
memiliki bu
ursa kopulatrrik yang panj
njang dan lebbar (Ideham dan Pusaraw
wati, 2007;
S
Supali, Marg
gono, dan Abidin,
A 2009)).
Hospes cacingg Ancylostom
ma duodenaale dan Necaator america
anus adalah
m
manusia. Cacing A
Ancylostoma duodenalee menyebabbkan ankiloostomiasis,
ssedangkan cacing
c Necattor americannus menyebaabkan nekatooriasis. Caciing dewasa
hhidup di jejeenum dan duuodenum, deengan mulutt yang besarr melekat paada mukosa
ddinding usu
us. Cacing dewasa
d Anccylostoma duodenale
d m
mengeluarkan
n kira-kira
10.000-25.000 butir telur setiap hari, sedaangkan caccing dewasaa Necator
aamericanus mengeluarkkan 5.000-110.000 butirr telur setiap hari (Iddeham dan
P
Pusarawati, 2007). Keduua telur cacing tambangg berbentuk ovoid denggan dinding
mnya terdapat beberapa sel, kira-kirra 2-8 sel dan memiliki
ttelur yang tiipis, di dalam
uukuran 60 x 40 mikron dan identikk secara morrfologi. Teluur yang dihasilkan oleh
ccacing dewaasa keluar bersama
b denggan feses kee lingkungann luar, apabbila kondisi
llingkungan optimal (lem
mbab, hangaat, dan teduhh) telur akann menetas pada
p tanah
ddalam 1-2 haari (Supali, Margono,
M daan Abidin, 20009; Maguirre, 2010a).
Gambar 9.
9 Telur Caciing Tambangg
Dikutip daari Bethony et al., 2006
C
Cacing tambbang memilliki dua jennis larva, yaaitu larva rhhabditiform dan larva
ffilariform. Larva
L rhabdditiform berrukuran 0,225-0,30 mm
m dan berdiiameter 17
m
mikron. Mu
ulut (buccal cavity) pannjang dan seempit. Esofaagus berben
ntuk seperti
ttabung (bulbus oeshop
ophagus) teerletak di sepertiga aanterior (Ideham dan
P
Pusarawati, 2007; Magguire, 2010aa). Larva rhaabditiform merupakan
m larva yang
A
A B
Gambar 10.
1 Larva Rhhabditiform (A)
( dan Larvva Filariform
m (B) Cacingg Tambang
Dikutip dari
d Juni, Utaama, dan Daarwanto, 20006
Gambar 11.
1 Siklus Hidup
H Hookw
worm
Dikutip dari
d Centers for
f Disease Control andd Preventionn (CDC),
2009
Kontak
K antaraa kulit mannusia dengann tanah yangg telah terkkontaminasi
menyebabkaan larva filaariform melaakukan penetrasi melallui folikel rambut dan
m
ffisura kecil dalam
d beberrapa menit Tempat
T peneetrasi larva ffilariform melalui
m sela-
ssela jari kak
ki atau bagiaan lateral puunggung kakki. Pada petaani, penetrasi larva ini
m
melalui tang
gan). Larva filariform menembus
m ssubkutan dann mencapai vena-vena
kkecil superffisial, lalu m
memasuki aliiran darah ke
k jantung dan
d paru-parru (Ideham
ddan Pusaraw
wati, 2007; Maguire, 2010a).
2 Larvva menembuus alveoli pulmonum,
p
ppercabangan
n bronki, faring, lalu terttelan dan meemasuki usuus halus. Di usus
u halus,
llarva filarifform mengaalami pergaantian kulit,, menjadi llarva stadiuum empat,
kkemudian menjadi
m caciing dewasa. Diperlukann waktu 5 m
minggu atau lebih dari
iinfeksi larvaa stadium tigga sampai meenjadi cacingg dewasa yaang menghassilkan telur.
C
Cacing Neca
ator americcanus dapat bertahan hiidup selama 3-5 tahun atau lebih,
ssedangkan cacing
c Ancyllostoma duodenale dapaat bertahan hhidup selamaa 1-2 tahun
((Bethony, et
e al., 2006;; Ideham dan Pusaraw
wati, 2007; S
Supali, Marrgono, dan
A
Abidin, 20099).
infiltrat eosinofilik yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat
tersebut menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut dengan
sindrom Loeffler (Supali, Margono, dan Abidin, 2009).
Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing, dan
keadaan gizi penderita. Umumnya, hanya infeksi dengan intensitas yang sedang
dan berat pada saluran pencernaan dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing
dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus
dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan nutrisi
lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan
pertumbuhan. (Bethony et al., 2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009).
Pada anak-anak, cacing dewasa dapat beragregasi ke dalam ileum dan
mengakibatkan obstruksi parsial karena ukuran lumen ileum yang kecil. Berbagai
konsekuensi yang berat dapat terjadi, antara lain intusepsi, volvulus, dan obstruksi
total. Selanjutnya keadaan ini dapat mengakibatkan infark dan perforasi usus.
Keadaan peritonitis dapat berakibat fatal, walaupun anak tersebut dapat bertahan,
cacing dewasa yang berpindah tempat dapat mati dan menyebabkan peritonitis
granulomatosa kronis (Bethony et al., 2006). Secara khusus, anak yang
mengalami obstruksi oleh Ascaris lumbricoides memiliki keadaan toksik dengan
tanda dan gejala peritonitis. Pada beberapa kasus, massa dapat diraba di kuadran
kanan bawah abdomen. Cacing dewasa dapat memasuki lumen apendiks,
mengakibatkan kolik apendiks akut dan gangren di ujung apendiks, selanjutnya
memberi gambaran klinis yang tidak dapat dibedakan dengan apendisitis. Cacing
dewasa Ascaris lumbricoides cenderung berpindah-pindah di dalam tubuh anak-
anak yang mengalami demam tinggi, sehingga cacing tersebut dapat muncul dari
nasofaring atau anus (Ideham dan Pusarawati, 2007; Supali, Margono, dan
Abidin, 2009).
Askariasis hepatobilier dan pankreas terjadi jika cacing dewasa pada
duodenum memasuki dan memblok orifisium dari ampula duktus bilier utama
(common bile duct), yang menyebabkan kolik bilier, kolesistitis, kolangitis,
pankreatitis, dan abses hati. Berbeda dengan obstruksi usus, askariasis
hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada orang dewasa, terutama
wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran percabangan
duktus bilier (biliary tree) orang dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing
dewasa (Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007).
duodenale secara oral dapat menyebabkan sindrom Wakana, yang ditandai dengan
gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak (Bethony et al.,
2006).
Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dihasilkan
dari kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang
dewasa pada mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies
dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein) (Bethony, et al.,
2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009). Cacing Necator americanus
menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10 cc per hari, sedangkan
Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh
cacing tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes,
dan akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh
cacing tambang menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan
gejala pucat, lemah, dipsnoe, terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein
yang kronis dari infeksi berat cacing tambang dapat menyebabkan
hipoproteinemia dan edema anasarka (Bethony et al., 2006; Maguire, 2010a).
Infeksi sedang dan anemia dapat mengganggu fisik, kognitif, dan intelektual pada
anak yang sedang bertumbuh. Pada banyak kasus infeksi berat, anemia yang
disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif
(Maguire, 2010a).
dengan menggunakan NaCl 0,85% dan lugol iodin. Pada pemeriksaan ini, kedua
reagensia diteteskan pada kaca objek (object glass), yaitu 1 tetes NaCl 0,85% di
sisi kiri dan 1 tetes iodin di sisi kanan. Kemudian, sedikit spesimen feses (seujung
tangkai apliktor) dilarutkan bersama dengan kedua reagensia yang telah diteteskan
di kaca objek. Setelah itu, kaca objek ditutup dengan kaca dek dan diperiksa di
bawah mikroskop dengan pembesaran 10x10 dan 10x40.
Pemeriksaan kopromikroskopik ini memiliki kelemahan, yaitu tingkat
kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Saat
ini, teknik Kato-Katz merupakan metode kopromikroskopik yang dipergunakan
secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di
dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh
Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan
mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi
beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing. Pemakaian sampel
feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki
sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi
sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per
gram feses) (Glinz et al., 2010).
Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa
pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses
sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Teknik pemeriksaan
ini memfokuskan pada metode diagnosis parasitologi yang mampu melakukan
skrining dengan menggunakan sampel feses dalam jumlah banyak, yaitu 0,5 gram
atau bahkan 1 gram pada metode dengan konsentrasi eter atau teknik FLOTAC.
Metode dengan konsentrasi eter sering dipergunakan dalam mendiagnosis infeksi
cacing, terutama pada laboratorium khusus. Metode ini dapat mendiagnosis
infeksi protozoa usus yang terjadi bersamaan (Glinz et al., 2010). Beberapa
penelitian mendapatkan bahwa pemeriksaan dengan beberapa sampel ataupun
penggunaan kombinasi beberapa metode diagnosis meningkatkan keakuratan
diagnosis. Kadang metode dengan konsentrasi eter dan metode Kato-Katz
dikombinasikan meningkatkan sensitivitas diagnosis infeksi cacing dan
serta tidak dipakai lagi di beberapa negara. Pirantel palmoat dan piperazin sitrat
dinyatakan aman untuk digunakan selama masa kehamilan. WHO juga
merekomendasikan pemakaian albendazol dan mebendazol selama masa
kehamilan berdasarkan data yang telah diperoleh. Selain itu, kedua obat ini dapat
digunakan dalam penatalaksanaan anak-anak di bawah 12 bulan (Syarif dan
Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a).
Obat baru yang memiliki aktivitas melawan Ascaris lumbricoides
termasuk nitazoksanid dan tribendimidin, yang terdaftar di Cina. Piperazin dapat
menyebabkan paralisis flaksid pada cacing sehingga berperan dalam melepaskan
obstruksi. Jika terdapat dalam sediaan sirup, obat ini dapat diberikan melalui
nasogastric tube. Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi bakteri, dan bila gejala
akut reda diberikan obat antelmintik untuk mencegah kekambuhan (Maguire,
2010a).
Dosis tunggal albendazol, mebendazol, dan pirantel pamoat dapat
menyembuhkan kurang dari 50% penderita trikuriasis serta menurunkan beban
akibat infeksi cacing kurang dari 60%. Pemakaian albendazol selama tiga hari
(400 mg / hari secara oral) atau mebendazol (100 mg dua kali sehari) lebih efektif
untuk infeksi ringan dan sedang. Pada infeksi berat, pemberian albendazol selama
5-7 hari atau kombinasi albendazol dan invermektin yang dikonsumsi satu kali
memiliki tingkat kesembuhan dan penurunkan intensitas infeksi yang lebih tinggi
(Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a).
Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, pemberian terapi besi dapat
memperbaiki kadar hemoglobin menjadi normal, tetapi anemia akan terjadi
kembali apabila terapi antelmintik tidak diberikan. Albendazol 400 mg dosis
tunggal merupakan terapi pilihan. Pemberian mebendazol 100 mg yang diberikan
dua kali sehari dalam 3 hari lebih efektif daripada diberikan 500 mg dosis tunggal.
Pemberian pirantel palmoat dengan dosis 11 mg/kgBB diperlukan untuk
mengeliminasi atau menurunkan angka infeksi berat (Syarif dan Elysabeth, 2009;
Maguire, 2010a).
sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan
massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya
didapati kurang dari 30%, dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening).
Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari
30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%,
pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Pencegahan dilakukan dengan pengendalian faktor resiko, antara lain
kebersihan lingkungan, kebersihan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup,
semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai,
menjaga kebersihan makanan, serta pendidikan kesehatan di sekolah kepada guru
dan anak. Pendidikan kesehatan dilakukan melalui penyuluhan kepada masyarakat
umum secara langsung atau dengan penggunaan media massa. Sedangkan untuk
anak-anak di sekolah dapat dilakukan penyuluhan melalui program UKS (Unit
Kesehatan Sekolah) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan
memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil
pembelajaran. Karena pengaruh-pengaruh faktor tersebut, muncul anak-anak yang
berprestasi tinggi (high-achievers), berprestasi rendah (under-achievers) atau
gagal sama sekali (Syah, 2009).
gagal, meskipun kapasitas kognitifnya normal atau lebih tinggi dari teman-
temannya (Syah, 2009).
2. Sikap Anak
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan
untuk bereaksi atau berespon (response tendency) secara relatif tetap
terhadap objek berupa orang, barang, dan sebagainya, baik secara postif
maupun negatif. Sikap anak yang postif, terutama kepada guru dan mata
pelajaran yang diberikan, merupakan awal yang baik terhadap proses belajar
anak tersebut. Sebaliknya, sikap negatif anak terhadap guru dan mata
pelajaran yang diberikan, apalagi diikuti dengan rasa benci, dapat
menimbulkan kesulitan belajar bagi anak tersebut (Syah, 2009).
3. Bakat Anak
Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dalam
perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu
untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya
pendidikan dan latihan (Syah, 2009). Bakat dapat mempengaruhi tinggi-
rendahnya suatu prestasi belajar di bidang-bidang tertentu. Jika pelajaran
yang dipelajari anak sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya akan
lebih baik karena anak tersebut senang dalam mempelajari hal tersebut.
Selanjutnya, anak akan lebih giat lagi dalam belajar. Sebaliknya, pemaksaan
kehendak untuk menyekolahkan anak pada jurusan keahlian yang tidak
sesuai dengan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik
(academic performance) atau prestasi belajarnya. Hal tersebut juga terjadi
bila anak tidak sadar terhadap bakatnya sendiri dan memilih jurusan
keahlian yang bukan bakatnya (Syah, 2009; Slameto, 2010).
4. Minat Anak
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan atau keinginan
yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2009). Minat yang besar terhadap
sesuatu hal merupakan modal yang besar untuk memperoleh tujuan yang
diminati (Dalyono, 2009). Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian
hasil belajar anak dalam bidang-bidang tertentu (Syah, 2009). Jika anak
tidak memiliki minat yang tinggi terhadap proses belajar dan bahan
pelajaran yang dipelajari, maka anak tidak akan belajar dengan sebaik-
baiknya. Anak tidak merasakan daya tarik dan kepuasan dari bahan
5. Motivasi Anak
Motivasi adalah keadaan jiwa individu yang mendorong untuk melakukan
sesuatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan (Mustaqim, 2012). Motivasi
dapat dibedakan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan dari dalam diri anak yang dapat
mendorongnya melakukan tindakan belajar, umumnya karena kesadaran
akan pentingnya sesuatu. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang lebih
signifikan bagi anak karena lebih murni dan tidak bergantung pada dorongan
atau pengaruh orang lain. Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan dari
luar individu anak, misal: orang tua, guru, teman-teman, dan anggota
masyarakat, yang juga dapat mendorong anak untuk melakukan kegiatan
belajar. Motivasi ekstrinsik dapat berupa pujian, hadiah, peraturan atau tata
tertib sekolah, teladan orang tua, guru, dan sebagainya. Seseorang yang
belajar dengan motivasi kuat akan belajar dengan sungguh-sungguh, penuh
gairah, atau semangat. Sedangkan, seseorang yang belajar dengan motivasi
lemah akan malas belajar, bahkan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang
berhubungan dengan pelajaran (Dalyono, 2009; Syah, 2009).
Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan
teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang anak (Syah,
2009).
Proses belajar mengajar terjadi di antara guru dan anak dipengaruhi
oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Jadi, cara belajar anak dipengaruhi
oleh relasi dengan gurunya. Jika terbentuk relasi yang baik di antara guru dan
anak, anak akan menyukai guru dan mata pelajaran yang diberikan, sehingga anak
berusaha mempelajari sebaik-baiknya. Selain relasi guru dengan anak,
menciptakan relasi yang baik antar anak juga diperlukan agar terbentuk pengaruh
yang positif dalam proses belajar anak-anak (Slameto, 2010).
Masyarakat, tetangga, serta teman-teman sepermainan di sekitar tempat
tingga anak tersebut juga merupakan lingkungan sosial (Syah, 2009). Bila
keadaan masyarakat di sekitar tempat tinggal anak terdiri dari orang-orang yang
berpendidikan, terutama bersekolah tinggi dan bermoral baik, anak akan terdorong
untuk lebih giat belajar. Tetapi, bila anak tinggal di lingkungan dengan jumlah
kenakalan anak dan pengangguran tinggi, semangat anak untuk belajar menjadi
rendah (Dalyono, 2009).
Lingkungan sosial yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah
orang tua dan keluarga anak (Syah, 2009). Tingkat pendidikan, penghasilan,
perhatian, bimbingan, dan keharmonisan orang tua dengan anak turut
mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak (Dalyono, 2009).
penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada anak, sehingga anak akan
lebih giat dan berkembang dalam proses belajar (Slameto, 2010). Waktu belajar
juga mempengaruhi proses dan prestasi belajar anak. Setiap anak memiliki
perbedaan waktu dan rasa siap untuk belajar. Ada anak yang siap belajar di pagi
hari, tetapi ada juga yang siap pada sore hari atau tengah malam (Syah, 2009).
mendalam. Pendekatan belajar ini lebih ideal. Dalam pendekatan ini, proses
belajar tidak hanya bertujuan untuk menyerap ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk
mengembangkannya (Syah, 2009).
Namun demikian, perlu dipertimbangkan oleh para guru penetapan passing grade
yang lebih tinggi (misal: 65 atau 70) untuk pelajaran-pelajaran inti (core subject).
Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi bahasa dan matematika. Pengkhususan
passing grade seperti ini sudah berlaku umum di banyak negara maju dan telah
mendorong peningkatan kemajuan belajar anak dalam bidang-bidang studi lain
(Syah, 2009).
Aspek
Psikologis:
-IQ
Aspek - Sikap
Fisiologis: - Minat
Keadaan umum - Bakat Lingkungan Lingungan
jasmani - Motivasi Nonsosial Sosial
Faktor
Faktor Faktor
Pendekatan
Internal Eksternal
Belajar
Keterangan: