Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN TUTORIAL MODUL BENGKAK PADA WAJAH DAN PERUT

BLOK SISTEM UROGENITAL

Tutor : dr. Nina Indriyani


Disusun Oleh : Kelompok 9

 ANDI TENRI WALE (K1A1 15 054)


 ASRI NURUL AFIFAH (K1A1 15 060)
 RESKI VINALIA AGAUS (K1A1 17 023)
 RESTUAJI BAGAS KHAIRUL UMAM (K1A1 17 024)
 SITTI MUJAHIDAH (K1A1 17 025)
 SULASTRI (K1A1 17 027)
 SYAWAL NURDIANZAH (K1A1 17 028)
 HANDRIANI (K1A1 17 069)
 LA ODE MUHAMMAD ALBAR (K1A1 17 071)
 LA ODE MUHAMMAD RAZIL (K1A1 17 072)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
MODUL 1

BENGKAK PADA WAJAH DAN PERUT

A. SKENARIO

Seorang anak laki-laki, 12 tahun, dating ke Puskesmas dengan bengkak pada wajah dan
perut. Keadaan ini dialami sejak 3 minggu yang lalu dan saat ini semakin bertambah.
Tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi lain

B. KATA SULIT
 Infeksi : Masuknya mikroorganisme yang memeperbanyak diri di jaringan
tubuh yang menyebabkan peradangan (Kamus Kedokteran Dorland : 2012).

C. KATA/KALIMAT KUNCI
1. Anak laki-laki 12 tahun
2. Bengkak pada wajah dan perut
3. Dialami sejak 3 minggu yang lalu dan semakin bertambah
4. Tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi lain.

D. PERTANYAAN
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi dari system urinarius
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan GFR dan factor-faktor yang
mempengaruhinya
3. Jelaskan kompensasi ginjal dalam keseimbangan asam-basa!
4. Sebutkan penyakit-penyakit yang menyebabkan bengkak pada wajah
dan perut beserta penyebabnya!
5. Jelaskan factor-faktor yang memperberat gejala!
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis!
7. Jelaskan DD dan DS!
8. Bagaimana penatalaksanaan DD dan DS!
E. JAWABAN
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi dari system urinarius!
ANATOMI
Pada manusia normal, organ ini terdiri dari ginjal beserta system pelvikalises,
ureter, buli-buli, dan uretra.
a. Ginjal

Gambar 1 : Struktur anatomi system urinaria

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga


retroperitoneal bagian atas. Bentukya menyerupai kacang dengan sisi
cekungnya menghadap medial. Cekungan ini disebut hilus renalis, yang
didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat
ginjal, yakni Pembuluh darah, system limfatik dan system saraf. Ginjal
dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan mengikat disebut kapsula fibrosa
(true capsule) ginjal, yang melekat pada parenkim ginjal. Diluar kapsula
fibrosa terdapat jaringan lemak yang di sebelah luarnya dibatasi oleh fasia
gerota. Diantara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsula gerota terdapat rongga
perirenal.

Disebelah cranial ginjal terdapat kelenjar adrenal yang berwarna kuning.


Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus
oleh fasia gerota. Dasia ini berfungsi sebagai barrier yang menghambat
meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urin
pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu, fasia gerota dapat pula berfungsi
sebagai barrier dalamn menghambat penyebaran infeksi atau menghambat
metastasis tumor ke organ sekitarnya.

Stuktur anatomi ginjal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan


medulla ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superficial dan didalamnya
terdapat berjuta-juta nefron. Nerfron merupakan unit fungsional terkecil
ginjal. Medulla ginjal yang terletak lebih profunuds banyak terdapat duktuli
atau saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin.

Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus proksimal, loop of


henle, tubulus kontortus distalis, dan duktus koligentes. Darah yang
membawa sisa hasil metabolism dalam tubuh difiltrasi (disaring) di dalam
glomerulus dan setelah sampai di tubulus ginjal beberapa zat yang masih
diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat sisa metabolism yang tidak
dibutuhkan oleh tubuh akan mengalami sekresi membentuk urin. Urin yang
terbentuk di nefron akan disalurkan melalui piramida ke system pelvikalis
ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter. System pelvikalis ginjal
terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major dan pielum/pelvis renalis.
Mukosa system pelvikales terdiri atas epitel transtitional dan dindingnya
terdiri atas otot polos yang berkontraksi untuk mengalirkan urin ke ureter.

Suplai darah ginjal diperankan oleh arteri dan vena renalis. A. renalis
merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis dan vena renalis bermuara
langsung kedalam vena cava inferior. A. renalis bercabang menjadi
A.interlobaris, yang berjalan di dalam columna bertini (diantara pyramid), lalu
membelok membentuk busur mengikuti basis pyramid sebagai A.arkuata dan
selanjutnya menuju korteks sebagai A.interlobularis. Arteri ini bercabang kecil
menuju ke glomerulus sebagai arteri afferent dari glomerulus keluar arteri
eferen yang menuju ke tubulus ginjal. Ginjal mendapat persyarafan melalui
pleksus renalis, yang seratnya berjalan bersama dengan arteri renalis. Ginjal
diduga tidak mendapat persyarafan parasimpatik. Impuls sensorik dari ginjal
berjalan menuju corda spinalis segmen T10-T11 dan memberikan sinyal
sesuai dengan level dermatomnya

b. Ureter
Dinding ureter terdiri atas mukosa yang dilapisi sel transisional, otot
polos sirkuler dan otot polos longitudinal. Ureter membentang dari pielum
hingga buli-buli dan secara anatomis terdapat beberapa tempat uang
ukurannya diameternya lebih sempit daripada di tempat lain, diantaranya pada
: perbatasan antara pelvis renalis dan ureter, tempat penyilangan antara ureter
dan A. iliaka di rongga pelvis dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli.

Persarafan otonomik simpatetik dan parasimpatetik diantaranya :


simpatetik yaitu serabut preganglionik dari segmen spinal T10-L2, serabut
post ganglionik berasal dari aortikorenal, mesenterica superior. Untuk
parasimpatetik yaitu serabut vagal melalui celiac ke ureter sebelah atas,
sedangkan serabut dari S2-4 ke ureter bawah

c. Buli-Buli atau vesika urinaria


Mukosa buli-buli terdiri atas sel transisional yang sama seperti pada
mukosa pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada dasar buli-bulli, kedua
muara ureter, meatus uretra internus membentuk suatu segitiga yang disebut
trigonum buli-buli. Saat buli-buli terisi penuh, memberikan rangsangan pada
saraf aferen dan mengaktifkan pusat miksi di medulla spinalis segmen sacral
s2-s4.

d. Uretra
Merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui
proses miksi. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak
pada perbatasan uretra dan buli-buli serta sfingter uretra externa yang terletak
pada perbatasan uretra anterior dan posterior.

FISIOLOGI
Setiap ginjal memiliki 1 juta unit fungsional mikroskopik yang disebut
nefron. Setiap nefron teridiri dari komponen vaskuler dan komponen tubular.
Bagian dominan komponen vascular nefron adalah glomerulus tempat filtrasi
sebagian besar air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya. Komponen
vaskuler yang terpenting diantaranya arteriol aferen, kapiler glomerulus,
arteriol eferen dan kapiler peritubulus. Untuk komponen tubular nefron
semdiri, dimulai dari kapsula bowman, tubulus proksimal, ansa henle, tubulus
distal serta duktus koligentes.

Gambar 2 : nefron merupakan unit fungsional ginajal

Tiga proses dasar yang terlibat dalam urinalisis di diantaranya filtrasi


glomerulus, reabsorbsi tubulus dan sekresi tubulus. Filtrasi merupakan
langkah pertama dalam pembentukan urin. Proses filtrasi terjadi di glomerulus
dimana terdapat kapiler glomerulus yang akan dilewati oleh plasma dan akan
dilakukan pemindahan sebagian dari plasma. Hal ini karena pada dinding
kapiler glomerulus terdiri atas lapis sel endotel yang memikiki banyak pori
yang menyebabkan lebih permeable terhadap air dan zat terlarut lainnya. Gaya
yang berperan dalam proses filtrasi yaitu tekanan darah kapiler glomerulus,
tekanan osmotic koloid dan tekanan hidrostatik kapsul bowman. Setelah
proses filtrasi, dilanjutkandengan proses reabsorpsi oleh tubulus dimana
reabsorbsi merupakan suatu proses selektif yang akan mengembalikan bahan-
bahan yang telah di filtrate tadi untuk di serap kembali masuk ke pembuluh
darah sesuai dengan keperluan tubuh. Persentase rerata absorbs bahan yang
terfiltrat diantaranya air 99%, natrium 99,5%, glukosa 100%, dan urea 50%.
Kemudian dilanjutkan dengan proses sekresi tubulus, dimana bahan-bahan
yang tidak diperlukan akan dikeluarkan kembali dari pembuluh darah masuk
ke lumen tubulus yang nantinya akan bergabung dengan bbahan yang tidak di
reabsorbsi. Bahan-bahan yang terpenting yang disekresikan oleh tubules
adalah ion hydrogen, ion kalium, serta anuon dan kation organic. Setelah
proses sekresi, akan dilanjutkan dengan proses ekresi dimana urin yang
sesungguhnya terbentuk yang kemudian dikeluarkan dari tubuh.

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan GFR dan factor-faktor yang


mempengaruhinya!
GFR (Glomerulus Filtration Rate) merupakan volume cairan yang
difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu. GFR atau LFG merupakan
indikator fungsi renal yang penting untuk diagnosis gangguan fungsi ginjal.
Ranal Inulin Clearance merupakan baku emas LFG/GFR, namun terbatas
penggunaannya oleh karena ketidaktersediaan dan pemeriksaan yang sulit.
Perhitungan LFG berdasarkan Kreatinin Klirens sering digunakan pada pasien
anak. Untuk memperkirakan LFG digunakan rumus Schwartz, yaitu:
eLFG = K × L/Scr
Keterangan:
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73m2)
L : Tinggi Badan (cm)
Scr : serum Creatinin (mg/dl)
K : Konstanta (bayi aterm 0,45 ; anak dan remaja putri 0,55 ; remaja
putra 0,7)
Faktor-faktor yang mempengaruhi GFR (Glomerulus Filtration Rate) yaitu:

a. Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan (hidrostatik)


yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini
pada akhirnya bergantung pada kontraksi jantung (sumber energy yang
menghasilkan filtrasi glomerulus) dan resistensi terhadap aliran darah yang
ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Tekanan darah kapiler
glomerulus, dengan nilai rerata diperkirakan 55 mmHg, lebih tinggi
daripada tekanan darah kapiler di tempat lain. Penyebab lebih tingginya
tekanan dikapiler glomerulus adalah diameter arteriol aferen yang lebih
besar dibandingkan dengan arteriol eferen. Karena darah dapat lebih cepat
masuk ke glomerulus melalui arteriol aferen yang lebar daripada keluar
melalui arteriol eferen yang lebih sempit, tekanan darah kapiler
glomerulus tetap tinggi akibat terbendungnya darah dikapiler glomerulus.
Selain itu, karena tingginya resistensi yang dihasilkan oleh arteriol eferen,
tekanan darah tidak memiliki kecenderungan yang sama untuk turun
disepanjang kapiler glomerulus seperti dikapiler lain. Tekanan darah
glomerulus yang tinggi dan tidak menurun ini cenderung mendorong
cairan keluar glomerulus menuju kapsula Bowman di seluruh panjang
kapiler glomerulus, dan merupakan gaya utama yang menghasil filtrasi
glomerulus. Sementara tekanan darah kapiler glomerulus mendorong
filtrasi, dua gaya lain yang bekerja menembus membrane glomerulus
(tekanan osmotic koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman)
melawan filtrasi.
b. Tekanan osmotic koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi tak
seimbang protein-protein plasma di kedua sisi membrane glomerulus.
Karena tidak dapat difiltrasi, protein plasma terdapat dikapiler glomerulus
tetapi tidak di kapsula Bowman. Karena itu, konsentrasi H2O lebih tinggi
di kapsula Bowman dari pada dikapiler glomerulus. Kecenderungan H2O
untuk berpindah melalui osmosis menuruni gradient konsentrasinya
sendiri dari kapsula Bowman ke dalam glomerulus melawan filtrasi
glomerulus . Gaya osmotic yang melawan ini memiliki rerata 30 mmHg,
yang sedikit lebih tinggi daripada kapiler lain. Tekanan ini lebih tinggi
karena H2O yang difiltrasi keluar darah glomerulus jauh lebih banyak
sehingga konsentrasi protein plasma lebih tinggi daripada tempat lain.
c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman, tekanan yang ditimbulkan oleh
cairan dibagian awal tubulus ini, diperkirakan sekitar 15 mmHg. Tekanan
ini, yang cenderung mendorong cairan keluar kapsula Bowman, melawan
filtrasi cairan dari glomerulus menuju kapsula Bowman.

3. Jelaskan kompensasi ginjal dalam keseimbangan asam-basa!


Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa, ginjal harus
mengeluarkan anion asam non volatile dan mengganti HCO3-.3 Ginjal
mengatur keseimbangan asam basa dengan sekresi dan reabsorpsi ion
hidrogen dan ion bikarbonat. Pada mekanisme pemgaturan oleh ginjal ini
berperan 3 sistem buffer asam karbonat, buffer fosfat dan pembentukan
ammonia. Ion hidrogen, CO2, dan NH3 diekskresi ke dalam lumen tubulus
dengan bantuan energi yang dihasilkan oleh mekanisme pompa natrium di
basolateral tubulus.Pada proses tersebut, asam karbonat dan natrium dilepas
kembali ke sirkulasi untuk dapat berfungsi kembali. Tubulus proksimal adalah
tempat utama reabsorpsi bikarbonat dan pengeluaran asam. Ion hidrogen
sangat reaktif dan mudah bergabung dengan ion bermuatan negative pada
konsentrasi yang sangat rendah. Pada kadar yang sangat rendahpun, ion
hidrogen mempunyai efek yang besar pada sistem biologi. Ion hidrogen
berinteraksi dengan berbagai molekul biologis sehingga dapat mempengaruhi
struktur protein, fungsi enzim dan ekstabilitas membrane. Ion hidrogen sangat
penting pada fungsi normal tubuh misalnya sebagai pompa proton
mitokondria pada proses fosforilasi oksidatif yang menghasilkan ATP.4
Produksi ion hidrogen sangat banyak karena dihasilkan terus meneru1s di
dalam tubuh. Perolehan dan pengeluaran ion hidrogen sangat bervariasi
tergantung diet, aktivitas dan status kesehatan. Ion hidrogen di dalam tubuh
berasal dari makanan, minuman, dan proses metabolism tubuh. Di dalam
tubuh ion hidrogen terbentuk sebagai hasil metabolism karbohidrat, protein
dan lemak, glikolisis anaerobik atau ketogenesis.

4. Sebutkan penyakit-penyakit yang menyebabkan bengkak pada wajah


dan perut beserta penyebabnya!
a. Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik adalah kondisi klinis ditandai dengan proteinuria berat,
terutama albuminuria (.1 g/m2/24 jam), hipoproteinemia (albumin serum
,2,5g/dL), edema, dan hiperkolestrolemia (>250 mg/dL).
Gejala-gejalanya seperti : bengkak pada kedua kelopak mata, perut
(asistes), tungkai, skrotum/labia, atau seluruh tubuh.
b. Glomeruonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)
Glomeruonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) dapat terjadi secara
epidemi atau sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih
muda, antara 5-8 tahun.
Gejala-gejalanya seperti:
- Riwayat infeksi saluran pernapasan 1-2 minggu sebelumnya atau
infeksi kulit (pioderma) 3-6 minggu sebelumnya;
- Hematuria mikroskopis atau sembab (edema) di kedua kelopak mata
dan tungkai;
- Pada stadium lebih lanjut, dapat ditemukan komplikasi kejang,
penurunan kesadaran (enselopati hipertensi), gagal jantung atau edema
paru.
c. Kwashiorkor
Pada gizi buruk Kwashiorkor, anak tampak letargis, apatis, dan/atau
iritabel. Manifestasi khas yang dapat dikeluhkan oleh orangtua pasien
adalah bengkak/buncit (edema), yang terkadang menyebabkan berat badan
pasien tampak tidak berkurang pada awal terjadinya gizi buruk
kwashiorkor.
d. Karsinoma kandung kemih/ tumor ganas buli adalah suatu penyakit
keganasan yang mengenai kandung kemih dan menempati urutan ke empat
keganasan pada laki-laki, dan urutan ke 10 pada perempuan. Pada
diagnosis di anamnesisnya terdapat gejala nyeri tulang/nyeri pada pelvis,
edema ekstremitas bawah, nyeri pinggang pada pasien dengan penyakit
yang sudah berkembang.
e. Sindrom Nefritik Akut
Sindrom Nefritik akut terdiri atas hipertensi, hematuria, gangguan fungsi
ginjal ditandai dengan adanya silinder eritrosit, dan proteinuria ringan
sampai sedang.
Pada diagnosis di pemeriksaan fisisnya terdapat tanda-tanda kelebihan
cairan : edema preorbital/edema dikaki, hipertensi, ronki basah halus (jika
ada edema paru), peningkatan vena jugular, asites, atau efusi pleura.

5. Jelaskan faktor-faktor yang memperberat gejala!


Edema merupakan tanda dan gejala yang umum pada kelebihan volume
cairan. Edema merujuk kepada penimbunan cairan di jaringan subkutis dan
menandakan ketidak seimbangan gaya-gaya starling (kenaikan tekanan
intravaskuler atau penurunan tekanan intravaskuler) yang menyebabkan cairan
merembes ke dalam ruang interstisial. Sehingga faktor yang memperberat
adalah:
a. Hipoproteinemia dan kelainan ginjal yang parah seperti Gagal Ginjal
KronikPada kelainan ginjal terjadi penurunan fungsi renal. Produksi akhir
metabolisme protein tertimbun dalam darah dan terjadilah uremia yang
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Retensi natrium dan cairan mengakibatkan
ginjal tidak mampu dalam mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine
secara normal.. Pasien biasanya menahan natrium dan cairan yang dapat
meningkatkan resiko edema, gagal jantung kongesif dan hipertensi. Untuk
menghindari hal-hal tersebut maka dapat dilakukan pencegahan untuk
kelebihan volume cairan dengan berbagai terapi yang dapat diberikan.
b. Pola diet yang tidak sehat pada masyarakat
Pola diet yang tidak sehat identic dengan konsumsi makanan siap saji ataupun
makanan instan merupakan faktor resiko yang memperberat terjadinya
kerusakan ginjal yang dapat berlanjut pada overload cairan (edema).
Manifestasi klinis overload cairan berhubungan dengan penurunan
kemampuan ginjal dalam meregulasi penyerapan dan keluaran elektrolit Na,
sehingga menyebabkan retensi Na yang lebih lanjut meningkatkan volume
cairan ekstrasel. Keadaan overload diperberat dengan adanya penurunan laju
filtrasi glomerulus sehubungan dengan gangguan regulasi air oleh ginjal.

6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis!


a. Anamnesis
 Riwayat Penyakit Sekarang (onset, lokasi, durasi, sifat, faktor yang
meperberat,faktor yang memperingan)
Menanyakan keluhan utama pasien misalnya adakah gangguan berkemih
(frekuensi, urgensi), volume urin, perubahan komposisi urin (hematuria,
proteinuria), edema, nyeri dan gejala yang berhubungan dengan penyakit
sistemik seperti demam, mual, muntah, nyeri tekan pada perut bagian bawah.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Misalnya Diabetes Melitus dapat mengalami komplikasi glomerulosklerosis,
pasien dengan arthritis rheumatoid dapat diobati dengan analgesik dan atau
penisilamin yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
Dalam menggali riwayat penyakit dahulu, penting juga untuk mendapatkan
informasi mengenai riwayat penggunaan obat-obatan misalnya pasien
hipertensi sebaiknya dihindari penggunaan penghambat beta pada pasien
dengan riwayat asman.
 Riwayat Keluarga
Adanya kerentanan genetik pada nefropati diabetes telah dibuktikan dan pada
pasien dengan diabetes melitus tipe 1 dengan riwayat keluarga hipertensi akan
lebih rentan untuk mengalami nefropati diabetes.
 Riwayat Sosial
Seperti kebiasaan pasien mengkonsumsi makanan asam seperti jus buah yang
memiliki kandungan oksalat yang tinggi dan dapat mengakibatkan
terbentuknya oksalat di ginjal, konsumsi alkohol berlebihan akan memicu
peningkatan tekanan darah, pembentuk batu idiopatik mengkonsumsi protein
hewani lebih banyak dari orang normal; pola diet tersebut dikaitkan dengan
peningkatan ekskresi kalsium, oksalat, dan asam urat dalam urin. Prevalensi
batu pada vegetarian setengah lebih rendah dripada populasi umum.
Merokok berkontribusi terhadap perkembangan artherosklerosis pada pasien
dialisis dan juga merupakan faktor risiko untuk hipertensi.
 Riwayat Pengobatan
Adanya riwayat penggunaan obat NSAID sangat rentan terhadap efek buruk
pada ginjal dan memicu nefritis intertisial, obat hipotensi dapat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal, ACE Inhibitor menyebabkan perburukan fungsi
ginjal misalnya pada pasien dengan penyakit renovaskular bilateral dan obat
lain (garam emas atau D-penisilamin) dapat menyebabkan kerusakan
glomerulus reversible.

b. Pemeriksaan Fisis
 Inspeksi keadaan umum, adakah gangguan status mental, hiperventilasi,
cegukan
 Menilai status hidrasi kulit dan mukosa mulut
 Kulit : pucat, pigmentasi, kering, bersisik atau bekas garukan, lesi
hiperkeratosis
 Wajah : pucat kekuningan, uremic frost, moon face, jerawat, akantosis,nigran,
pupuran, ruam kupu-kupu.
 Mata : kalsifikasi perilimbal, edem palpebra.
 Distribusi lemak tubuh di daerah sentral, lipodistrofi parsial
 Abdomen : adakah massa ginjal, distensi ureter atau kandung kemih?
 Kuku pucat dan suram, splinter haemorrhages, jari tabuh.

 Pemeriksaan Palpasi :
 Palpasi daerah abdomen dan punggung adakah pembesaran ginjal. Ginjal
kanan diraba dengan menempatkan tangan kanan di posterior pinggang dan
tangan kiri pada dinding perut anterior disebalah kanan umbilicus secara
horizontal. Dengan tujuan menggoyangkan ginjal, jari-jari tangan kanan
pemeriksa menjentikkan bagian posterior pinggang pasien keatas sementara
tangan kanan lainnya menunggu untuk merasakan ginjal mealayang keatas dan
turun kembali.
 Pemeriksaan ballottement ginjal : meminta pasien tidur dalam posisi telentang
dengan kepala sedikit terangkat diatas bantal dan kedua lengan berada di sisi
tubuh.
 Ginjal kiri diraba dengan tangan kanan di tempatkan di posterior pinggang kiri
dan tangan kiri pada dinding perut anterior disebelah kiri umbilikus.
 Memerkirakan ukuran dan bentuk ginjal adalah nyeri saat palpasi
 Pada pasien yang menjalani dilisis peritoneal adakah hernia inguinalis atau
umbilikalis
 Adakah edema tungkai
 Pemeriksaan testis untuk menentukan apakah ada atrofi atau tumor
 Pemeriksaan dubur dan pemeriksaan vagina serta nyeri tekan suprapubik bila
ada indikasi.

 Pemeriksaan perkusi
 Melakukan perkusi abdomen jika ditemukan kesulitan dalam membedakan
ginjal kiri yang membesar dan splenomegali atau pada pasien dengan
hepatomegali
 Pemeriksaan asites
 Pada pasien yang dicurigai infeksi saluran kemih : adakah nyeri ketok pada
sudut kosto – vertebral kanan dan kiri?

 Aulkutasi
 Melakukan aulkutasi dengan meletakkan stetoskop diposterior pinggang,
lateral dari panggul, dan di anterior abdomen pada pasien hipertensi atau
paska biopsy ginjal, adakah bruit?
 Pada pemeriksaan prekordium, aukultasi adanya bunyi jantung tambahan :
murmur, pericardial rub serta gallop.

c. Pemeriksaan penunjang
 Lab
 Bun
 Serum kreatinin
 Urinalisis rutin
 Biopsy ginjal
 Radiologi : USG, IVP-BNO, CT SCAN

7. Jelaskan DD dan DS!


a. KWASHIORKOR

DEFINISI
Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensi
protein berat dan asupan kalori yang tidak adekuat. Dari kekurangan masukan
atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang
disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat
turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Kwashiorkor berarti
“anak tersingkirkan”, yaitu anak yang tidak lagi menghisap, dapat menjadi jelas
sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5 tahun, biasanya sudah menyapih
dari ASI. Walaupun pertambahan tinggi dan berat dipercepat dengan
pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama dengan tinggi dan berat badan anak
yang secara tetap bergizi baik.

ETIOLOGI
Etiologi dari kwashiorkor adalah
1. Kekurangan intake protein
2. Gangguan penyerapan protein pada diare kronik
3. Kehilangan protein secara berlebihan seperti pada proteinuria dan infeksi
kronik
4. Gangguan sintesis protein seperti pada penyakit hati kronis.

Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang


berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain:
1. Pola makan
Protein (asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk
tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori
yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein / asam amino yang
memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari
ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI
protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dll) sangatlah
dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi
anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan
sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk
menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun temurun
dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga / penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak
terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan
proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan
infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan
sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan
imunitas tubuh terhadap infeksi. Seperti gejala malnutrisi protein
disebabkan oleh gangguan penyerapan protein, misalnya yang dijumpai
pada keadaan diare kronis, kehilangan protein secara tidak normal pada
proteinuria (nefrosis), infeksi saluran pencernaan, serta kegagalan
mensintesis protein akibat penyakit hati yang kronis.

PATOFISIOLOGI
MEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi,
dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG), dan biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa nutrisi
lainnya.

Disebut malnutrisi primer bila kejadian MEP akibat kekurangan asupan


nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan
serta rendahnya pengetahuan di bidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi
masalah nutrisi seperti di atas disebabkan karena adanya penyakit utama,
seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan
metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan
nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.

Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai


cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup,
dimulai dengan pembakaran cadangan karbonhidrat kemudian cadangan lemak
serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stress katabolik
(infeksi) maka kebutuhan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat
status gizi masih di atas -3 SD (-2SD- -3SD), maka terjadilah kwashiorkor
(malnutrisi akut /”decompensated malnutrition”). Pada kondisi ini penting
peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat
status gizi di bawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau
kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai di bawah -3 SD maka
akan terjadilah marasmik (malnutrisi kronik / compensated malnutrition).
Dengan demikian pada MEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan,
atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan
sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesis enzim.

PATOLOGI
Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori
dalam dietnya. Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik dan
perubahan sel yang disebabkan edema dan perlemakan hati. Karena
kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam amino
dalam serum yang jumlahnya yang sudah kurang tersebut akan disalurkan ke
jaringan otot, makin kurangnya asam amino dalam serum ini akan
menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian
berakibat timbulnya odema. Perlemakan hati terjadi karena gangguan
pembentukan beta liprotein, sehingga transport lemak dari hati terganggu
dengan akibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati.

Gambar 3 : mekanisme edema pada Kwashiorkor


MANIFESTASI KLINIS
Tanda atau gejala yang dapat dilihat pada anak dengan malnutrisi energi
protein kwashiorkor, antara lain:
1. Wujud Umum
Secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada
ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita
ada tanda moon face dari akibat terjadinya edema. Penampilan anak
kwashiorkor seperti anak gemuk (sugar baby).
2. Retardasi Pertumbuhan
Gejala penting ialah pertumbuhan yang terganggu. Selain berat badan,
tinggi badan juga kurang dibandingkan dengan anak sehat.
3. Perubahan MentaL
Biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan rewel. Pada stadium
lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak
menjadi pasif. Perubahan mental bisa menjadi tanda anak mengalami
dehidrasi. Gizi buruk dapat mempengaruhi perkembangan mental anak.
Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan hal tersebut: karakteristik perilaku
anak yang gizinya kurang menyebabkan penurunan interaksi dengan
lingkungannya dan keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan outcome
perkembangan yang buruk, hipotesis lain mengatakan bahwa keadaan gizi
buruk mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak.
4. Edema
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat.
Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan
hipoalbuminemia, gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari
gangguan eliminasi ADH.
5. Kelainan Rambut
Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture),
maupun warnanya. Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut
kepala yang mudah tercabut tanpa rasa sakit. Pada penderita kwashiorkor
lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna
menjadi putih. Sering bulu mata menjadi panjang. Rambut yang mudah
dicabut di daerah temporal (Signo de la bandera) terjadi karena kurangnya
protein menyebabkan degenerasi pada rambut dan kutikula rambut yang
rusak. Rambut terdiri dari keratin (senyawa protein) sehingga kurangnya
protein akan menyebabkan kelainan pada rambut. Warna rambut yang
merah (seperti jagung) dapat diakibatkan karena kekurangan vitamin A, C,
E.
6. Kelainan Kulit
Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang
lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan
persisikan kulit karena habisnya cadangan energi maupun protein. Pada
sebagian besar penderita dtemukan perubahan kulit yang khas untuk
penyakit kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan
bercak-bercak putih atau merah muda dengan tepi hitam ditemukan pada
bagian tubuh yang sering mendapat tekanan. Terutama bila tekanan itu
terus-menerus dan disertai kelembapan oleh keringat atau ekskreta, seperti
pada bokong, fosa poplitea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha, dan
sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak kecil
merah yang dalam waktu singkat bertambah dan berpadu untuk menjadi
hitam. Pada suatu saat mengelupas dan memperlihatkan bagian-bagian
yang tidak mengandung pigmen, dibatasi oleh tepi yang masih hitam oleh
hiperpigmentasi. Kurangnya nicotinamide dan tryptophan menyebabkan
gampang terjadi radang pada kulit.
7. Kelainan Gigi dan Tulang
Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi, osteoporosis,
dan hambatan pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries pada gigi
penderita.
8. Kelainan Hati
Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan biopsi hati
yang hampir semua sela hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga
ditemukan tanda fibrosis, nekrosis, dan infiltrasi sel mononukleus.
Perlemakan hati terjadi akibat defisiensi faktor lipotropik.
9. Kelainan Darah dan Sumsum Tulang
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai
penyakit lain, terutama infestasi parasit (ankilostomiasis, amoebiasis) maka
dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya
nutrien yang penting untuk pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B
kompleks (B12, folat, B6). Kelainan dari pembentukan darah dari
hipoplasia atau aplasia sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan
infeksi menahun. Defisiensi protein juga menyebabkan gangguan
pembentukan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya terjadi defek umunitas
seluler, dan gangguan sistem komplimen.
10. Kelainan Pankreas dan Kelenjar Lain
Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva
dan usus halus terjadi perlemakan. Pada pankreas terjadi atrofi sel asinus
sehingga menurunkan produksi enzim pankreas terutama lipase.
11. Kelainan Jantung
Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung
disebabkan hipokalemi dan hipomagnesemia.
12. Kelainan Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal merupakan gejala yang penting. Anoreksia kadang-
kadang demikian hebatnya, sehingga segala pemberian makanan ditolak
dan makanan hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat
pada sebagian besar penderita. Hal ini terjadi karena 3 masalah utama yaitu
berupa infeksi atau infestasi usus, intoleransi laktosa, dan malabsorbsi
lemak. Intoleransi laktosa disebabkan defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak
terjadi akibat defisiensi garam empedu, konjugasi hati, defisiensi lipase
pankreas, dan atrofi villi mukosa usus halus. Pada anak dengan gizi buruk
dapat terjadi defisiensi enzim disakaridase.
13. Atrofi Otot
Massa otot berkurang karena kurangnya protein. Protein juga dibakar untuk
dijadikan kalori demi penyelamatan hidup.
14. Kelainan Ginjal
Malnutrisi energi protein dapat mengakibatkan terjadi atrofi glomerulus
sehingga GFR menurun.

Gambar 4 : Manifestasi klinis kwashiorkor pada anak

DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang, anak
kurus, atau berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/tidak
mau makan, sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak pada
kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh.
Pemeriksaan Fisik
1. Perubahan mental sampai apatis
2. Anemia
3. Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut / rontok
4. Gangguan sistem gastrointestinal
5. Pembesaran hati
6. Perubahan kulit (dermatosis)
7. Atrofi otot
8. Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh.

Hasil pemeriksaan pada anak dengan MEP:


 Kondisi I
Jika ditemukan:
a. Renjatan (Shock)
b. Letargis
c. Muntah dan atau diare atau dehidrasi.
 Kondisi II
Jika ditemukan:
a. Letargis
b.Muntah dan atau diare atau dehidrasi.
 Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.
 Kondisi IV
Jika ditemukan letargis.
 Kondisi V
Jika tidak ditemukan:
a. Renjatan (Shock)
b. Letargis
c. Muntah/diare/dehidrasi.
Penyakit penyerta yang sering ditemui pada MEP:
 Gangguan mata
 Gangguan kulit
 Diare persisten
 Anemia berat
 Parasit/cacing
 Tuberkulosis
 Malaria
 HIV

DIAGNOSIS BANDING
Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor perlu dibedakan dengan:
1. Trauma
2. Sindroma nefrotik
3. Payah jantung kongestif
4. Pellagra infantil

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan:
 Pemeriksaan laboratorium: kadar gula darah, darah tepi lengkap, feses
lengkap, elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin.
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis
normositik normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat
hipoplasia kronis sumsum tulang di samping karena asupan zat besi yang
kurang dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu
dapat ditemukan kadar albumin serum yang menurun.
 Pemeriksaan radiologi (dada, AP dan lateral) juga perlu dilakukan untuk
menemukan adanya kelainan pada paru.
 Tes mantoux
 EKG
KOMPLIKASI
Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi
dikarenakan lemahnya sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan potensial
untuk tumbuh tidak akan pernah dapat dicapai oleh anak dengan riwayat
kwashiorkor. Bukti secara statistik mengemukakan bahwa kwashiorkor yang
terjadi pada awal kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ secara
permanen. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan dari kwashiorkor adalah:
1. Defisiensi zat besi
2. Hiperpigmentasi kulit
3. Edema anasarka
4. Imunitas menurun sehingga mudah infeksi
5. Diare karena terjadi atrofi epitel usus
6. Hipoglikemia, hipomagnesemia

b. GNAPS

DEFINISI
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara
histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului
oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan
gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara
akut

EPIDEMIOLOGI
Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai
pada anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS
dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 – 7 tahun.
Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 15
tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1, 34 : 1.
Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk
asimtomatik lebih banyak dijumpai daripada bentuk simtomatik. Di negara
maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, pengobatan
dini penyakit infeksi, sedangkan di negara sedang berkembang insiden
GNAPS masih banyak dijumpai.2 Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih
banyak ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing
68,9%1 & 66,9%.3.

GEJALA KLINIS
a) Simtomatik
 Periode laten :
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh
ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi.
Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini
berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan
penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent
haematuria.
 Edema :
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di
daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi
retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan
genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom
nefrotik.Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi
dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat
menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah
tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau
setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi.
Kadang- kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari
luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan.
Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk
ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke
kedudukan semula.
 Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,4,5
sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus.
Suatu penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria
makroskopik berkisar 46-100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar
84-100%. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air
cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik
biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari,
tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria
mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam
waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan
proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan
hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan
proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi
untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya
glomerulonefritis kronik.
 Hipertensi :
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.
Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam
minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala
klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan
(tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati
sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah
akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan
ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral,
seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-
kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati
hipertensi berkisar 4-50%.
 Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan
produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila
fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga
gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan
menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu
pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya
kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.
 Gejala Kardiovaskular :
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi
yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu
diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam
klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala
miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi
atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi
hipervolemia.
 Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat
secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis.
Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus.
Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam
minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini
menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis
yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik
toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan
ini biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan
dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik
toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya
kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan
dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan
(LDK).Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura
81,6%, sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing- masing
0,3% dan 52%.1 Bentuk yang tersering adalah bendungan paru.
Kardiomegali disertai dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung.
Kelainan ini bisa berdiri sendiri atau bersama-sama. Pada pengamatan 48
penderita GNAPS yang dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin
Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar sejak April 1979 sampai
Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7% edema paru dan
43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik paru yang ditemukan pada GNAPS
ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia, pnemonia, atau
peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema paru.
Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS
biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada
bronkopnemonia atau pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3
minggu. Atas dasar inilah kelainan radiologik paru dapat membantu
menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik. Kelainan
radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan oleh
hipervolemia akibat absorpsi Na dan air
 Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi
dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan
akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

PATOMEKANISME
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan
filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal.
Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah
1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis
berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses
reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air
didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses
radang di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin
intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na


dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria
yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat,
karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti
renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat.
Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut
meningkat.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering dijumpai adalah :
1. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6
tahun dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi
dengan memberikan nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral
atau sublingual pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah
belum turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan
darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2
mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.2. Gangguan ginjal akut (Acute
kidney injury/AKI) Pengobatan konservatif :
 Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari.
 Mengatur elektrolit :
Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
Bila terjadi hipokalemia diberikan :
Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari.
NaHCO
3
7,5% 3 ml/kgbb/hari.
K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari.
Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb.
 Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga
sering disangka sebagai bronkopneumoni.

2. Posterior leukoencephalopathy syndrome


Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan
ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama
seperti sakit kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih
normal.

PROGNOSIS

Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila
tidak ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting
disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali.

Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala
laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12
bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada
orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik
maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-
30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus
menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS baik,
kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut
(Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.

c. SINDROM NEFROTIK

DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak
penyebab, ditandai dengan permeabilitas membran glomerulus yang meningkat
dengan manifestasi proteinuri masif yang menyebabkan hipoalbuminemia dan
biasanya disertai edema dan hiperkolesterolemia

ETIOLOGI
Secara etiologi, SN dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
glomerulonefritis sekunder. Secara umum, golmerulonefritis primer terbagi
menjadi 5, yakni :

 GN lesi minimal
 Glomerulosklerosis fokal segmental
 GN membranosa
 GN membranoploriferasi
 GN proliferative lain

Yang mana semuanya bersifat idiopatik. Sedangkan glomerulonefritis


sekunder dapat disebabkan oleh beberapa factor di antarananya :
 Infeksi
 Keganasan
 Penyakit jaringan penghubung
 Efek obat toksin.
EPIDEMIOLOGI
SN merupakan perwujudan (manifestasi) glomerulus yang paling sering
ditemukan di anak yang 15 kali lebih sering daripada di orang dewasa.
Kelainan histologik yang terbanyak di anak adalah kelainan minimal yang
disebut "Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal" (SNKM).

Prevalensi SNKM di negara barat sekitar 2–3 kasus per 100.000 anak <
16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus
per 100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada
anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya
berumur 1 < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rerata
2–5 tahun.

GEJALA KLINIS
 Proteinuri berat (>50mg/kgbb)
 Edema masif
 Hypoproteinemia(<2,5gr/dl)
 Hypercoagulasi
 Hyperlipidaemia(>250mg/dl)
(Hypercholestrolemia).

PATOMEKANISME
Proteinuria terbagi menjadi 3 jenis, yaitu glomerular, tubular, dan
overflow. Kehilangan protein pada SN termasuk ke dalam proteinuria
glomerular. Kelainan pada podosit glomerular meningkatkan filtrasi
makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini yang
menyebabkan protein yang seharusnya tidak terdapat dalam urin, menjadi
terfiltrasi dan ikut terekskresi bersama urin.
Gambar 5 : Podosit pada glomerulus.

Proteinuria masif dapat menyebabkan penurunan kadar protein plasma


dalam darah yang disebut hypoalbuminemia yang dapat menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi edema. Penurunan tekanan
onkotik juga dapat menyebabkan syok hypovolemik.

Gambar 6 : Mekanisme edema pada sindrom nefrotik


Hypercoagulasi terjadi akibat dari kompensasi hepar dalam mensintesis
protein karena terjadinya hypoalbuminemia. Sintesis protein koagulasi di hepar
menyebabkan peningkatan koagulasi intravascular seperti fibrinogen dan
faktor-faktor koagulasi lainnya yang dapat memicu komplikasi berupa emboli
paru dan thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis).

Gambar 7 : Gangguan koagulasi pada sindrom nefrotik

Hyperlipidemia diakibatkan oleh sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan


menurunnya katabolisme yang dapat memicu terjadinya lipiduria yang pada
pemeriksaan sedimen urin dapat membentuk akumulasi lemak berbentuk oval
(oval fat bodies) dalam urin.

Gambar 8 : Gambaran oval fat bodies pada pemeriksaan sedimen urin


KOMPLIKASI

 Infeksi
 Tromboemboli
 AKI/CKD
 Heart Failure
 Anemia,
 Gangguan Tubulus Ginjal,
 Gangguan Hormon
 Hipokalsemia.

PROGNOSIS
Prognosis penyakit SN didasarkan pada sensitive atau resistennya
seseorang terhadap steroid. Pasien dengan steroid resisten memiliki prognosis
yang buruk dengan komplikasi hingga End Stage Renal Disesae (ESRD).
Sedangkan pasien dengan sensitif steroid memiliki prognosis yang lebih baik
walaupun pada kondisi tertentu dapat terjadi relaps dengan persentase lebih
dari 50 %.

TATA LAKSANA
Tata laksana paling utama dari SN adalah steroid, terutama prednisone
dengandosis 1 mg/kgBB. Pemberian diuretik tipe loop, yaitu furosemide
dengan dosis 40-80 mg/kgBB jika terjadi sesak akibat udem paru.

8. Bagaimana penatalaksanaan DD dan DS!


a. Sindrom Nefrotik
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengobati edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah
garam (sekitar 2 gram natrium per hari) dan tirah baring dapat membantu
mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat
dikombinasikan dengan tiazid, metalozon, dan/atau asetazolamid. Kontrol
proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi resiko
komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein, 0.8-1.0 g/kgBB/hari
dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin
II (angiotensin II reseptor antagonist) dapat menurunkan tekanan darah dan
kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam mengurangi proteinuria.
Jika terjadi trombosis, dapat diberikan heparin dilanjutkan dengan warfarin
selama pasien masih dalam keadaan nefrotik. Beberapa bukti klinis dalam
populasi menyokong suatu pendapat bahwa perlunya mengontrol keadaan
dislipidemia pada kasus SN. Obat penurun lemak golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

b. GNAPS (Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus)


1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut,
tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan
seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan bergantung keadaan penyakit.
2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi
sebanyak 0,5 – 1,0 gr/kgBB/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi,
yaitu sebanyak 0,5 – 1 gr/kgBB/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan
dengan baik terutama pada penderita anuria dan oliguria, yaitu jumlah cairan
yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran.
3. Antibiotik
Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman,
yaitu Amoksisilin 50mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika
terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis
30mg/kgBB/hari.

c. Kwashiorkor
 Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Rehidrasi oral dengan Resomal, secara parenteral hanya pada dehidrasi
berat atau syok.
 Atasi/cegah hipoglikemia
GDA < 50mg/dl → 50 ml D10% bolus IV → evaluasi tiap 2 jam beri
makanan tiap 2 jam.
 Atasi gangguan elektrolit
Beri cairan rendah Na (resomal)
Makanan rendah garam
 Atasi/cegah dehidrasi
Penilaian dehidrasi  denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, air mata.
Cairan resomal peroral 5 ml/kgbb
 Atasi/cegah hipotermi
Suhu < 36°  hangatkan, berikan makanan tiap 2 jam
 Antibiotika sebagai pengobatan pencegahan infeksi:
a. Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5 hari.
b. Bila infeksi nyata: Ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan oral
sampai 7 hari, ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari.
 Mulai pemberian makanan
Fase awal  faali hemostasis kurang jadi harus hati-hati. Pemberian porsi
kecil, sering, rendah laktosa  oral nasogastrik. Kalori 80-100 kal?Kgbb/
hari, cairan 130 ml/hari.
 Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman
Bila ada ulkus di mata diberikan:
- Tetes mata chloramphenicol atau salep mata tetracycline, setiap 2-3 jam
selama 7-10 hari.
- Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari.
- Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali.

Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit
mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai
infeksi sekunder, antara lain oleh Candida. Tatalaksana:
- Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO (kalium-
permanganat) 1% selama 10 menit.
- Beri salep atau krim (Zn dengan minyak katsor).
- Usahakan agar daerah perineum tetap kering.
- Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn): beri preparat Zn peroral.
- Beri Mebendazole 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antelmintik.

Diare melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum.
Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan
Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin,
lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri: Metronidazole 7,5 mg/kgBB
setiap 8 jam selama 7 hari.

Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/mantoux (seringkali
alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati
sesuai pedoman pengobatan TB.
 Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, >1 tahun : 200.000 SI) pada awal perawatan dan hari ke-15
atau sebelum pulang.
 Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya
1 mg per hari.
 Tindakan kegawatan :
- Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan
sulit membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi
akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan intravena,
sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak akan membaik dengan
cepat. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan:
Berikan larutan dextrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan ringer
dengan kadar dextrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam
pertama. Evaluasi setelah 1 jam:
a) Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernafasan)
dan status hidrasi, maka syok disebabkan dehidrasi. Ulangi
pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian
lanjutkan dengan pemberian Resomal/penggantil, per
oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai
berikan formula khusus (-75/pengganti).
b) Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik.
Dalam hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan
berikan transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan
(dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-
75/pengganti).

Anemia berat
Tranfusi darah diperlukan bila:
a) Hb < 4 g/dl
b) Hb 4-6 g/dl disertai distress pernafasan atau tanda gagal jantung
c) Tranfusi darah:
 Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ‘packed red cells’ untuk
transfusi dengan jumlah yang sama.Beri furosemid 1 mg/kgBB
secara i.v pada saat transfusi dimulai.
 Perhatikan adanya reaksi tranfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok).
Bila pada anak dengan distres nafas setelah transfusi Hb tetap < 4
g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan ulangi pemberian darah.
 Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional
Kasih sayang, lingkungan yang ceria, bermain.
 Tindak lanjut di rumah
Beri makanan sering  energi dan protein padat.
DAFTAR PUSTAKA
Sherwood, L. 2015. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi 8. Jakarta
: EGC.
Tanto, Chris. 2016. Kapita Selekta Kedokteran Edisi4. Jakarta : Media
Aesculapius.
Purnomo, Basuki B. 2016. Dasar-dasar Urologi, Edisi 3. Jakarta : IKAPI
Setiati, Siti. 2017. Panduan Sistemis Untuk Diagnosis Fisis Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisis Komperhensif. Jakarta pusat : Interna
Publishing

Anda mungkin juga menyukai