Anda di halaman 1dari 40

I.

SKENARIO
Luka Pada Alat Kelamin
Seorang laki-laki, berusia 21 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan luka
pada kepala kemaluannya. Lesi tersebut mulai kira-kira 10 atau hari lalu
dengan papul yang kemudian pelan-pelan berubah menjadi borok. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan : temperaturnya 37o c, nadi 80/menit, pernafasan
/menit.

II. KATA/KALIMAT SULIT


Papul : Papul adalah benjolan diatas kulit yang biasanya terdiri atas infiltrat.

III. KATA/KALIMAT KUNCI


1. Laki-laki, 21 Tahun
2. Luka pada kepala kemaluannya
3. Lesi tersebut mulai kira-kira 10 atau hari
4. Papul pelan-pelan berubah menjadi borok
5. Suhu 370 c
6. Nadi 80/menit
7. Pernafasan /menit
IV. PERTANYAAN
1. Jelaskan anatomi dan histologi penis!
2. Apa saja penyakit yang menyebabkan luka pada alat kelamin?
3. Jelaskan bakteri-bakteri dan virus yang dapat menyebabkan gejala ulkus
pada genitalia laki-laki!
4. Jelaskan patomekanisme infeksi bakteri dan virus
5. Kenapa luka hanya terjadi pada alat kelamin?
6. Bagaimana mekanisme papulmenjadi borok?
7. Jelaksan langkah-langkah diagnosis
8. Bagaimana cara mencegah penyakit menular seksual?
9. Jelaskan DD & DS !

1
V. JAWABAN

1. Anatomi dan histologi penis

A. Anatomi Penis1,2

Gambar 1.1 Anatomi penis1

Secara anatomis, penis terbagi atas radix, corpus dan glans penis
(Gambar 1). Ketiganya tersusun dari tiga korpus berbentuk silinder yang
mengandung jaringan kavernosa erektil, yakni sepasang corpus
cavernosum yang terletak pada bagian dorsal dan satu corpus spongiosum
yang terletak pada bagian ventral. Setiap corpus cavernosum dilapisi oleh
lapisan fibrosa yang disebut tunica albuginea dan kedua corpus
cavernosum dipisahkan oleh septum penis. Di sebelah superfisial tunica
albuginea terdapat fascia profunda penis (fascia Buck), yang merupakan
lanjutan dari fascia perineal profunda yang membentuk lapisan
membranosa yang kuat yang menutupi dan melekatkan keduacorpus
cavernosa dengan corpus spongiosum. Kedua corpus cavernosa
membentuk crus penis pada bagian posterior.

Corpus spongiosum yang terletak di bagian bawah (bagian


ventral)dan di dalamnya terdapat uretra pars spongiosa. Pada bagian distal,
corpus spongiosum membesar dan membentuk glans penis. Tepi glans
penis merupakan proyeksi ujung corpus cavernosum yang membentuk

2
corona glandis. Corona glandis memisahkan basis glans dan corpus
penis.Di ujung dari glans penis terdapat bagian uretra anterior berupa
celah terbuka yang disebut orificium urethra externa.

Gambar 1.2. Penis potongan melintang1

Kulit penis tipis dan berwarna lebih gelap dibanding kulit sekitarnya yang
dihubungkan dengan tunica albuginea oleh jaringan ikat longgar. Pada
bagian leher glans penis, kulit dan fascia penis berlanjut sebagai dua
lapisan kulit yang disebut prepusium. Frenulum preputii merupakan
lipatan pada bagian tengah yang berasal dari lapisan dalam preputium ke
permukaan uretral dari glans penis.

Gambar 1.3. Vaskularisasi penis1

3
Vaskularisasi penis2

Suplai darah arteri pada penis terutama berasal dari cabang arteri pudendus
internus :

• Arteri dorsalis penis : berjalan pada setiap sisi vena dorsalis penis
pada dorsal groove di antara corpus cavernosa, yang mensuplai
darah menuju ke jaringan fibrosa di sekitar corpus cavernosa,
corpus spongiosum dan uretra spongiosa, dan kulit penis.
• Arteri profunda penis : menembus crura di bagian proksimal dan
berjalan di sebelah distal dekat dengan pusat corpus cavernosa,
yang mensuplai jaringan erektil pada struktur tersebut.
• Arteri bulbaris : mensuplai daerah posterior (pars bulbosa) dari
corpus spongiosum dan uretra di dalamnya serta glandula
bulbouretralis.

Cabang superfisial dan profunda dari arteri pudendus eksterna


mensuplai darah ke kulit penis, yang saling beranastomis dengan cabang
dari arteri pudendus interna.
Darah yang berasal dari ruang cavernosus dialirkan oleh plexus
venosus yang bergabung dengan vena dorsalis penis profunda pada fascia
Buck. Vena ini berjalan di antara lamina dari ligamentum suspensorium,
yang memasuki pelvis dimana selanjutnya mengalir menuju plexus
venosus prostatika. Darah yang berasal dari lapisan superfisial penis
mengalir menuju vena dorsalis penis superfisialis, dimana selanjutnya
mengalir menuju vena pudendus eksterna superficial.
Aliran limfa yang berasal dari kulit penis pada awalnya mengalir
menuju limfonodus inguinal superficialis. Sedangkan yang berasal dari
glans penis dan uretra spongiosa bagian distal mengalir menuju ln.
inguinal profunda dan ln. iliaca eksterna, dan yang berasal dari corpus
cavernosa dan uretra spongiosa bagian proksimal mengalir menuju ln.
iliaca interna.

4
B. Histologi Penis3

Gambar 1.4 Histplogi penis potongan melintang3

Gambar 1.5 Histologi penis potongan memanjang3

Pada potongan melintang tampak 3 bangunan jaringan erektil spongiosa, yaitu:

- 2 buahdorsolateral : corpora cavernosa penis


- 1 midventral : corpus cavernosum urethrae
Kedua corpora cavernosa diliputi oleh tunika albuginea yang merupakan jaringan
pengikat fibromuskuler yang tebal yang akan menjorok ke dalam sebagai
trabekula disebut Septum mediale/septum pectiniformis penis. Septum
berkembang lebih baik dibagian basal daripada puncak. Corpus cavernosum
urethrae/corpus spongiosum diliputi tunika albuginea hanya jaringan pengikatnya
lebih tipis. Didalamnya terdapat urethra pars spongiosa/cavernosa. Ketiga
bangunan cavernosa ini disatukan oleh jaringan pengikat longgar. Facia ini
dibungkus lagi oleh jaringan ikat dermis yang terletak di bawah epidermis. Pada
dermis ditemukan banyak pembuluh darah. Glandulasebacea dapat ditemuakan
pada bagian ventral penis.3

a. Corpus cavernosum penis:


Dibagian dalam terdapat sejumlah trabekula yang terdiri dari serat
kolagen, serat elastis dan otot polos yang melingkari rongga (lacuna) yang
tidak sama besarnya. Makin ketepi makin sempit. Dalam trabekula juga

5
terdapat sarraf dan pembuluh darah. Rongga pars cavernosum penis
dilapisi oleh endothelium pembuluh darah arteri profunda (deep artery) –
arterihelicinae, lanjutan arteri dorsalis penis. Cabang arteri yang terakhir
ini membuka langsung ke dalam rongga.3
b. Urethra:
Dilapisi epitel silindris bertingkat/epitel silindris berlapis gepeng
tidak bertanduk. Ditengah-tengah urethra pars cavernosa, caverne-caverne
hampir sama besarnya, dapat ditemukan glandula littre. Arteri urethralis
terdapat dikiri kanan urethra.3

2. Penyakit Yang Menyebabkan Luka Pada Alat Kelamin

A. Syphilis
Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang
disebabkan oleh Treponema palidum. Penularan sifilis melalui hubungan
seksual. Penularan juga dapat terjadi secara vertikal dari ibu kepada janin
dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atau transfer
jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang dapat ditularkan melalui alat
kesehatan.Sifilis terbagi menjadi 3 stadium yaitu sifilis primer, sifilis
sekunder, dan sifilis tersier yang terpisah oleh fase laten dimana waktu
bervariasi, tanpa tanda klinis infeksi. Pada stadium primer manifestasi
klinis yang muncul berupa papul didaerah genital yang muncul 3 minggu
setelah kontak seksual. Manifestasi yang akan muncul pada stadium
sekunder berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sakit kepala,
adenopati, dan lesi kulit atau mukosa. Stadium laten yaitu apabila pasien
dengan riwayat sifilis dan pemeriksaan serologis reaktif yang belum
mendapat terapi sifilis dan tanpa gejala atau tanda klinis. Sedangkan pada
stadium tersier terdiri dari tiga grup sindrom yang utama yaitu
neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan sifilis benigna lanjut.4

Gambar 2.1. Syphilis4

6
B. Granuloma Inguinale
Granuloma inguinaleadalah penyakit infeksi bakteri menahun,
progresif dan cenderung menular yang menyerang kulit dan mukosa area
genital dan perigenital yang disebabkan oleh kuman Calymmatobacterium
granulomatis. Penyakit ini ditularkan melalui hubungan seksual, dapat
pula ditularkan secara autoinokulasi dan kontaminasi fekal kulit yang
mengalami abrasi. Manifestasi klinis dari penyakit ini dapat berupa papul
hingga ulkus pada daerah genital & inguinal.5

Gambar 2.2. Granuloma inguinal5

C. Ulkus Mole (Chancroid)


Ulkus mole adalah penyakit infeksi genital akut, dengan gejala
klinis khas berupa ulkus diserta nyeri dan supurasi kelenjar getah bening
regional (pembentukan bubo). Penyebabnya ialah Haemophylus ducreyi,
merupakan bakteri gram negatif, anaerobik fakultatif, berbentuk batang
pendek dengan ujung bulat, tidak bergerak, tidak membentuspora, dan
memerlukan hemin untuk pertumbuhannya.6

Gambar 2.3. Ulkus mole (chancroid)6

7
D. Lymphogranuloma Venerum
Limfogranuloma venereum merupakan infeksi menular seksual
yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serovar L1,L2 dan L3. LGV
memiliki manifestasi akut dan kronis yang bervariasi.Limfogranuloma
venereum mengenai pembuluh limfe dan kelenjar limfe terutama pada
daerah genital. inguinal, anus dan rektum. Penularan terjadi melalui kontak
langsung dengan sekret infeksius, umumnya melalui berbagai macam
hubungan seksual baik oral, genital atau anal.7

Gambar 2.4. Lymphogranuloma venerum7

E. Herpes Genital
Herpes genital adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2).Tipe
1 biasa ditemukan di daerah mulut (herpes oral) dan tipe 2 disebut herpes
genital. Pada panyakit ini akan timbul gejala tampak sebagai gelembung
(blister) kecil berwarna bening, bisa tunggal atau jamak, di daerah sekitar
mulut, kelamin, atau rektum. Gelembung dapat pecah (masa ini disebut
outbreak) dan menimbulkan bekas luka seperti sariawan. Luka herpes
yang terletak di mulut biasanya terasa seperti kesemutan dan terbakar
sesaat sebelum outbreak.8

Gambar 2.5. Herpes genital8

8
F. Trauma Kelamin
Trauma pada alat kelamin dapat disebabkan oleh kecelakaan atau
akibat pukulan langsung pada daerah kelamin. Keadaan yang dialami oleh
penderita dapat berupa pembengkakkan, hematuria, dan memar.9

Gambar 2.6. Trauma kelamin9

3. bakteri-bakteri dan virus yang dapat menyebabkan gejala ulkus pada


genitalia laki-laki
A. Bakteri Penyebab IMS 10

a. Neisseria Gonorrhoeae
Neisseria gonorrhoeae adalah salah satu jenis bakteri penyebab
IMS merupakan kuman gram negatif berbentuk diplokokus yang
merupakan penyebab infeksi saluran urogenitalis. Kuman ini bersifat
fastidious dan untuk tumbuhnya perlu media yang lengkap serta baik.
Akan tetapi, ia juga rentan terhadap kepanasan dan kekeringan sehingga
tidak dapat bertahan hidup lama di luar host-nya. Penularan umumnya
terjadi secara kontak seksual dan masa inkubasi terjadi sekitar 2–5 hari,
dengan gejala dan tanda pada laki-laki dapat muncul 2 hari setelah pajanan
dan mulai dengan uretritis, diikuti oleh secret purulen, disuria dan sering
berkemih serta melese. Pada perempuan gejala dan tanda timbul dalam 7-
21 hari, dimulai dengan secret va- gina. Pada pemeriksaan, serviks yang
terinfeksi tampak edematosa dan rapuh dengan drainase mukopurulen dari
ostium10.
b. Chlamydia Trachomatis
Infeksi genital nonspesifik (IGNS) merupakan infeksi traktus
genital yang disebabkan oleh penyebab yang tidak spesifik. Paling banyak

9
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan ureaplasma ureallyticum.
Istilah ini lebih sering dipakai untuk wanita, sedangkan untuk pria dipakai
istilah uretritis nonspesifik (UNS). Masa tunas biasanya lebih lama
dibandingkan dengan gonore, yakni 1-3 minggu atau lebih. Keluhan pada
laki-laki, adalah duh tubuh tidak begitu banyak dan lebih encer, keluarnya
cairan dari saluran kencing yang bersifat encer terutama pada pagi hari,
kadang disertai rasa sakit saat kencing dan bila infeksi berlanjut akan
keluar cairan bercampur darah. Keluhan pada perempuan sebagian besar
tidak menimbulkan keluhan, kadang-kadang ada keluhan keputihan, nyeri
pada daerah rongga panggul, perdarahan setelah berhubungan seksual.
Komplikasi pada laki-laki adalah adanya interaksi saluran air
mani/kemandulan, sakit buang air kecil. Sedangkan komplikasi pada
perempuan adalah infeksi saluran telur/ kemandulan, radang saluran
kencing, ketuban pecah dini/bayi premature (kehamilan) 10.

c. Treponema Pallidum
Sifilis adalah infeksi yang disebabkan oleh treponema pallidum
dan bersifat kronis, dapat menyerang semua organ tubuh dan dapat
menyerupai banyak penyakit. Masa tunas berkisar antara 10-90 hari.
Stadium I (sifilis primer) timbul antara 2-4 minggu setelah kuman masuk.
Ditandai dengan adanya benjolan kecil merah, kemudian menjadi luka
atau koreng yang tidak disertai rasa nyeri. Pada stadium ini biasanya
disertai pembengkakan kelenjar getah bening re- gional. Luka atau koreng
tersebut akan hilang secara spontan meski tanpa pengobatan dalam waktu
3-10 minggu, tetapi penyakitnya akan berlanjut ke stadium II (sifilis
sekunder). Stadium ini terjadi setelah 6-8 minggu dan bisa berlangsung
sampai 9 bulan. Kelainan dimulai dengan adanya gejala nafsu makan yang
menurun, demam, sakit kepala, nyeri sendi. Pada sta- dium ini juga
muncul gejala menyerupai penyakit kulit lain berupa bercak merah,
benjolan kecil-kecil seluruh tubuh, tidak gatal, kebotakan rambut dan juga
dapat disertai pembesaran kelenjar getah bening yang bersifat menyeluruh.
Stadium laten dini terjadi apabila sifilis sekunder tidak diobati, setelah
beberapa minggu atau bulan gejala- gejala akan hilang seakan-akan
sembuh spontan. Namun infeksi masih berlangsung terus dan masuk ke
stadium laten lanjut. Stadium laten lanjut. Setelah 1 tahun, sifilis masuk ke

10
stadium laten lanjut yang dapat berlangsung bertahun-tahun. Stadium III
(sifilis tersier) umumnya timbul antara 3-10 tahun setelah infeksi. Ditandai
dengan kelainan yang bersifat destruktif pada kulit, selaput lendir, tulang
sendi serta adanya radang yang terjadi secara perlahan-lahan pada jantung,
sistim pembuluh darah dan syaraf. Pada kehamilan terjadi sifilis
kongenital10.
d. Haemophylus Ducreyi
Ulkus mole/chanroid adalah ulkus mole ialah infeksi genital akut,
setempat, yang disebabkan oleh haemophylus ducreyi. Masa tunas berkisar
antara 2-35 hari, dengan waktu rata-rata 7 hari. Tidak didahului dengan
gejala prodromal sebelum timbulnya luka atau ulkus. Luka biasanya lebih
nyeri , dengan tanda radang yang jelas, benjolan di lipatan paha,
meninggalkan ulkus dan terjadi kematian jaringan disekitarnya.
Komplikasi ulkus mole adalah abses kelenjar lipat paha, fistula uretra.
Vaginalis bacterial adalah gejala klinis akibat pergantian lactobacillus spp
yang merupakan flora normal vagina, dengan bakteri anaerob dalam
konsentrasi tinggi. Masa tunas sulit ditentukan, karena penyebabnya bukan
organism tunggal. Keluhan vaginosis bacterial adalah gejala klinis akibat
pergantian lacto- bacillus spp yang merupakan flora normal vagina,
dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi. Gejala dapat tanpa gejala
keputihan atau dengan sedikit keputihan yang mempunyai bau amis seperti
ikan, terutama setelah berhubungan seksual10.

B. Virus Penyebab IMS 10

a. Herpes Simplex Virus (HSV).


Salah satu golongan virus penyebab IMS adalah herpes. Saat ini
dikenal dua macam herpes yaitu herpes zoster dan herpes simplek. Kedua
herpes ini berasal dari virus berbeda. Herpes zoster disebabkan oleh virus
varicella, sedangkan herpes simpleks disebabkan oleh herper simplex virus
(HSV). Herpes genitalis ialah infeksi pada genital yang disebabkan oleh
herpes sim- plex virus (HSV), terutama HSV tipe 2, yang sering bersifat
berulang. Masa tunas berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama.
Keluhan seperti sensasi terbakar dan gatal, beberapa jam sebelum timbul
lesi, terkadang disertai gejala umum, misalnya lemas,
demamdannyeriotot.Timbulgelembung- gelembung yang berkelompok

11
dengan mudah pecah. Gejala lesi awal dapat lebih berat dan lama. Pada
bentuk ulang (rekurens), biasanya didahului oleh faktor pencetus seperti
stress psikis, trauma, koitus yang berlebihan, makanan yang sulit
merangsang, alcohol, obat-obatan dan beberapa hal yang sulit diketahui.
Komplikasi herpes genitalis adalah kanker
10
leherrahim,kehamilanlahirmuda,kelainan congenital dan kematian .
b. Human Papilloma Virus (HPV)
Kondiloma akuminata adalah infeksi 18 menular seksual yang
disebabkan oleh Hu- man Papilloma Virus (HPV). Masa tunas berkisar
antara 1-8 bulan (rata-rata 2-3 bulan). Keluhan dirasakan pada daerah yang
sering terkena trauma saat berhubungan seksual tumbuh bintil bintil yang
runcing seperti kutil, dapat membesar sehingga menyerupai jengger ayam.
Pada wanita, sering bersamaan dengan gejala keputihan sedangkan pada
pria terutama dijumpai pada yang tidak disirkulasi atau dengan imunitas
terganggu. Komplikasi kondiloma akuminata adalah kanker leher rahim
atau kanker kulit disekitar kulit kelamin10.

4. Patomekanisme Infeksi Bakteri Dan Virus

A. Patomekanisme Infeksi Bakteri11

Kulit merupakan barier penting untuk mencegah mikroorganisme dan agen


perusak lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam. Kelainan kulit yang
terjadi dapat langsung disebabkan mikroorganisme pada kulit, penyebaran toksin
spesifik yang dihasilkan mikroorganisme, atau penyakit sistemik berdasarkan
proses imunologik. Sistem imun berkembang dengan fungsi yang khusus dan
bekerja di kulit. Sel Langerhans, keratinosit, sel endotel, dendrosit dan sel lainnya
semua ikut berperan dalam skin associated lymphoid tissue (SALT). Mediator
yang berperan antara lain IL-1, IL-2, IL-3, produk sel mast, limfokin dan sitokin
lain yang sebagian besar dihasilkan oleh keratinosit11.

Patogenesis kelainan kulit yang ditimbulkan infeksi dapat dibagi dalam 3


kategori:

a) Mikroorganisme patogen dari aliran darah menyebabkan infeksi sekunder


pada kulit.
b) Penyebaran toksin spesifik yang berasal dari mikroorganisme patogen
menyebabkan kelainan pada kulit.

12
c) Penyakit sistemik menimbulkan kelainan kulit karena proses
imunologik11.

B. Patomekanisme Infeksi Virus12

Virus berbeda dengan mikroorganisme lain (protozoa, jamur, bakteri,


ricketsia, mikroplasma dan chlamidia) atas dasar :

a. Mengandung satu jenis asam nukleat sebagai genom (DNA atauRNA,


beruntai satu/single stranded atau beruntai ganda/double stranded)
b. Tidak mempunyai aktivitas metabolisme
c. Tidak mempunyai ribosome
d. Tidak dapat tumbuh berkembang biak melalui pembelahan (melalui
unsure genetis pada asam nukleatnya dengan cara biosintesis)
e. Tidak peka terhadap antibotik
f. Sebagian besar virus peka terhadap interferan
g. Beberapa virus dapat menyebabkan infeksi laten (pada kondisi ini tercapai
keseimbangan antara virus dan tuan rumah)
h. Virion (partikel virus infektif) terdiri atas molekul asam nukleat pada inti
pusat yang di bungkus oleh selubung protein (kopsid).
i. Asam nukleat dengan selubung kapsid di sebut nukleokapsid
j. Fungsi kapsid : melindungi sturuktur dalam dari virus virus terhadap
pengaruh luar.
k. Kapsid tersusun oleh sub unit protein pada permukaan partikel virus
disebut kapsomer.
l. Beberapa virus mempunyai selubung luar (amplop) yang mengandung
lemak, karbohidrat dan protein spesifik12.

Pada infeksi aktif primer, Virus menginvasi sel pejamu dan melepaskan
lebih banyak virion untuk menginfeksi sel-sel di sekitarnya. Pada infeksi primer,
virus menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe ke kelenjar limfe regional
dan menyebabkan limfadenopati. Tubuh melakukan respon imun selular dan
humoral yang menahan infeksi tetapi tidak dapat mencegah kekambuhan infeksi
aktif. Setelah infeksi awal, akan timbul masa laten selama masa laten ini, virus
masuk kedalam sel-sel yang mempersarafi daerah yang terinfeksi dan bermigrasi
di sepanjang akson untuk bersembunyi didalam ganglion radiks dorsalis tempat
virus berdiam tanpa menimbulkan sototoksisitas atau gejala pada manusia
penjamunya. Viron menular dapat di keluarkan baik selama fase aktif maupun
masa laten12.

13
5. Luka Hanya Terjadi Pada Alat Kelamin

Karena glans penis merupakan salah satu port d’entry kuman dan juga
tempat predileksi tersering pada kasus penyakit kelamin terutama melalui
senggama13.

6. Mekanisme Papulmenjadi Borok

Adanya mikroorganisme masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau


selaput lender, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut berkembang biak,
jaringan yang terkena bereaksi dengan membentuk infiltrate yang terdiri atas sel-
sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivascular, pembuluh-pembuluh
darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh kuman dan sel-sel radang. Kuman
tersebut terletak di antara endothelium kapiler dan jaringan perivascular di
sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertofik
endothelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans).
Kehilangan perdarahan pada jaringan akan menyebabkan erosi, dan jika tidak
segera diterapi maka mikroorganisme semakin menginvasi dan akan menjadi
ulkus(borok) 14.

7. Langkah-langkah Diagnosis15

Pemeriksaan klinis pada infeksi menular seksual (IMS), lebih


menekankan pada pemeriksaan genital dan organ-organ yang berhubungan.
Prinsipnya sama seperti pada pemeriksaan klinis lainnya, yaitu:

● Anamnesis

● Pemeriksaan fisik

● Pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium

1. Anamnesis

Untuk mendapatkan informasi yang penting, terutama pada waktu


menanyakan riwayat seksual, perlu hati-hati dan dengan cara tertentu. Hal
yang harus dijaga ialah kerahasiaan. Pertanyaan diajukan dalam bahasa
yang mudah dimengerti oleh pasien. Anamnesis pada pasien dengan
dugaan IMS meliputi:

14
a. Keluhan dan riwayat penyakit saat ini

b. Keadaan umum yang dirasakan

c. Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik,


dengan penekanan pada antibiotika

d. Riwayat seksual

● Kontak seksual, baik di dalam maupun di luar pernikahan


(berganti-ganti pasangan atau banyak kontak seksual).
● Kontak seksual dengan pasangannya setelah mengalami
gejala penyakit.
● Frekuensi dan jenis kontak seksual (homo- atau
heteroseksual)
● Cara melakukan hubungan seksual (genitogenital,
orogenital, anogenital)
● Apakah pasangannya juga merasakan keluhan/gejala yang
sama

e. Riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan IMS atau


penyakit di daerah genital lain.

f. Riwayat penyakit berat lainnya

g. Riwayat keluarga: pada dugaan IMS yang ditularkan lewat ibu


kepada bayinya.

h. Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi


IMS,misalnya erupsi kulit, nyeri sendi, dan pada wanita tentang
nyeri perut bawah, gangguan haid, kehamilan dan hasilnya.

i. Riwayat alergi obat.

2. Pemeriksaan Fisik

Dua hal penting yang harus diperhatikan ialah kerahasiaan pribadi


pasien, dan sumber cahaya yang baik untuk dokter pemeriksanya. Satu hal
yang tidak boleh dilupakan, selalu harus menggunakan sarung tangan
setiap kali memeriksa pasien.

Terdapat dua perbedaan mendasar pada anatomi dan pemeriksaan


pasien pria dan wanita

15
o Pada pria: = terdapat kesatuan saluran genitourinarius = organ
reproduktif mudah diraba.

o Pada wanita: = terdapat pemisahan antara saluran urinarius dan


genital = organ reproduktif terdapat dalam rongga pelvik, sehingga
pemeriksaan tidak semudah pria.

Teknik pemeriksaan meliputi inspeksi dan palpasi. Daerah kelamin


dan sekitarnya harus terbuka, sehingga memudahkan pemeriksaan. Mula-
mula inspeksi daerah inguinal, dan raba adakah pembesaran kelenjar, dan
catat konsistensi, ukuran, mobilitas, rasa nyeri, serta tanda-tanda radang
pada kulit di atasnya, Pada waktu bersamaan, perhatikan daerah pubis dan
kulit sekitamya, adakah pedikulosis folikulitis, atau lesi kulit lainnya.

Lakukan inspeksi skrotum, apakah terdapat asimetri, eritema, lesi


superfisial, dan palpasi isi skrotum (testis dan epididimis) dengan hati-hati.
Akhirnya, perhatian ditujukan pada penis, inspeksi dari dasar pangkal
sampai ujung. Tarik prepusium (pada pasien yang tidak disirkumsisi),
inspeksi daerah subprepusium. Perhatian khusus untuk daerah sulkus
koronarius. Inspeksi meatus uretra ekstermus adakah meatitis, lesi uretra
atau duh tubuh uretra, serta kelainan kongenital (misalnya hipospadia).
Kadang-kadang perlu juga memeriksa celana dalamnya untuk melihat
adanya bercak duh tubuh. Inspeksi daerah perineum dan anus, pasien
sebaiknya dalam posisi bertumpu pada lutut-siku. Periksa adakah kutil
kelamin, atau kelainan lain. Pada anus diperiksa adakah ulkus, fisura,
fistula, hemoroid. Bila perlu dan tersedia alat, lakukan pemeriksaan
rektum dengan proktoskopi.

Pemeriksaan ulkus genital pada pasien pria

Perhatikan ukuran, bentuk, jumlah, dan posisi ulkus pada atau di sekitar
genital. Catat pula adakah nyeri. Dasar ulkus harus diraba untuk mencari
indurasi.

Pengambilan bahan duh tubuh uretra pasien pria:

Mula-mula meatus dibersihkan dengan kain kasa yang bersih dan


kering. Duh tubuh uretra diambil dengan sengkelit (sengkelit masuk ke
dalam uretra sampai melewati fosa navikularis), kemudian dioleskan pada
gelas objek yang bersih untuk dilakukan pengecatan Gram, atau pada
media kultur untuk gonokokus. Dalam keadaan duh tubuh uretra sangat
sedikit, kadang-kadang perlu dilakukan pengurutan uretra, untuk
memperoleh bahan pemeriksaan. Untuk pemeriksaan Chlamydia

16
trachomatis, diambil denean t kapas steril yang dimasukkan ke dalam
uretra beberapa sentimeter. Kemudian dimasukkan dalam media transport
khusus. Untuk pemeriksaan T. vaginalis. sengkelit harus dimasukken
sejauh 2 cm ke dalam uretra dengan mengerok sedikit mukosana Bahan
lalu dicampur dengan setetes larutan NaCl fisiologis di atas gelas objek.

Pemeriksaan untuk ulkus genital:

Bila ada kecurigaan ulkus karena sifilis:

Pemeriksa harus menggunakan sarung tangan pelindung. Mula- mula


ulkus dibersihkan dengan kain kasa yang telah dibasahi de- ngan larutan
salin fisiologis, keringkan, tekan di antara telunjuk dan ibu jari, dan tunggu
sampai keluar cairan serum jernih, bila ada darah dibersihkan lebih dulu,
serum diambil dengan ujung kaca tutup, dan kemudian ditutupkan di atas
gelas objek yang telah ditetesi 1 tetes larutan salin fisiologis. Diperiksa
dengan mikroskop lapangan gelap.

3. Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi Infeksi Menular Seksual

A. Pemeriksaan Laboratorium Treponema pallidum (Sifilis)

Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus


dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa :

1) Pemeriksaan lapangan gelap dengan bahan pemeriksaan dari bagian


dalam lesi, untuk menemukan T.pallidum.

o Pemeriksaan lapangan gelap (dark field)

Ruam sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCI fisiologis.


Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara menekan
lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop
lapangan gelap menggunakan minyak imersi. T.pallidum berbentuk
ramping, gerakan lambat, dan angulasi. Harus hati-hati
membedakannya dengan Treponema lain yang ada di daerah
genitalia. Karena di dalam mulut banyak dijumpai Treponema
komensal, maka bahan pemeriksaan dari rongga mulut tidak dapat
digunakan.

o Mikroskop fluoresensi

17
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan
aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein,
kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. Penelitian lain
melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat memberi hasil
nonspesifik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan pemeriksaan
lapangan gelap.

2) Penentuan antibodi di dalam serum

Pada waktu terjadi infeksi Treponema, baik yang menyebabkan sifilis,


frambusia, atau pinta, akan dihasilkan berbagai variasi antibodi.
Beberapa tes yang dikenal sehari-hari yang mendeteksi antibodi
nonspesifik, akan tetapi dapat menunjukkan reaksi dengan IgM dan
juga IgG, ialah

a. Tes yang menentukan antibodi nonspesifik.

● Tes Wasserman

● Tes Kahn

● Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory)

● Tes RPR (Rapid Plasma Reagin)

● Tes Automated reagin

b. Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter


Protein Complement Fixation).

c. Yang menentukan antibodi spesifik yaitu:

● Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization)

● Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed).

● Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination


Assay)

● Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay) .

18
B. Pemeriksaan Laboratorium Chlamydia a. (Limfogranuloma
venerum)

Diagnosis LGV dapat ditegakkan berdasarkan

o Gambaran klinis

o Tes GPR (Gate Papacosta Reaction)

o Pengecatan Giemsa dari pus bubo

o Test Frei

o Test serologi

o Kultur jaringan

1. Gambaran klinis

Pada anamnesis terdapat koitus suspektus, disertai dengan


gambaran klinis yang khas sudah cukup kuat untuk membuat
diagnosis LGV.

2. Tes GPR

Tes GPR ini berdasarkan peningkatan globulin dalam darah.


Dilakukan dengan cara memberikan beberapa tetės (1-2 tetes)
formalin 40% pada 2 cc serum penderita dan dibiarkan 24 jam. Hasil
positif bila terjadi penggumpalan (serum menjadi beku). Tes ini tidak
spesifik oleh karena dapat positif pada penyakit lain.

3. Pengecatan Giemsa dari pus bubo

Cara ini dipakai untuk menemukan badan inklusi Chlamydia yang


khas.

4. Tes Frei

Frei memperkenalkan tes ini pertama kali pada tahun 1925. Daban
diambil dari aspirasi bubo yang helum pecah. Selain itu ada pula
antigen yang dibuat dari hasil pembiakan dalam sclaput kuning elur
embrio ayam, dengan nama dagang Lygranum.

Cara: disuntikkan 0,1 ml antigen intradermal pada lengan bawah


dengan kontrol lengan lainnya. Reaksi dibaca setelah 48-72 tam, hasil

19
positif bila tampak papul eritematosa dikelilingi dacrah vang infiltrat
dengan diameter > 6 mm, dan daerah kontrol negatif.

Hasil positif dalam waktu 2 sampai beherapa minggu (hahkan


danat dilihat sampai 6 bulan) setelah infeksi dan akan tetap positif
untuk jangka waktu lama bahkan seumur hidup.

Reaksi ini merupakan delayed intradermal reaction yang spsifik


terhadap golongan Chlamydia schingga dapat memberi hasil positif
semu pada penderita dengan infeksi Chlamydia yang lain.

5. Tes serologi

Tes serologi terdiri atas: complement fixation test (CFT), radio


isotop presipitation (RIP). dan immunofluorescence (micro-IF) typing.

Pada CFT digunakan antigen yang spesifik. merupakan tes yang


lebih sensitif dan dapat lebih dipercaya dari Tes Frei. Terdapat reaksi
silang dengan infeksi Chlamydia yang lain dan antibodi dapat tetap
positif dengan titer tinggi atau rendah sampai beberapa tahun. Titer
1:64 atau lebih besar secara umum menunjukkan infeksi LGV yang
aktif. Penurunan titer dapat dipakai untuk menunjukkan keberhasilan
terapi. Titer rendah biasa didapatkan pada kasus-kasus inaktif atau
infeksi Chlamydia lain.

Pada tes RIP dan Micro IF typing lebih spesifik dan lebih sensitif
dari CFT dan dapat membedakan serotipe Chlamylia temasuk ketiga
serotipe penyebab LGV. Kekurangannya adalah sangat rumit dan
mahal.

6. Kultur Jaringan

Dilakukan di dalam volk sac embrio ayam atau dalam biakan sel
dengan bahan pemeriksaan dari aspirasi pus bubo yang belum pecah
dapat memberi konfirmasi diagnosis.

C. Pemeriksaan Laboratorium Herpex Simplex Virus (Herpes Genital)

Dalam menangani kasus herpes genitalis, langkah pertama adalah


menegakkan diagnosis yang bila memungkinkan ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis secara klinis ditegak- kan dengan
adanya gejal khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritem dan
bersifat rekuren.

20
Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah pemeriksaan
tes Tzank yang diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, akan
terlihat sel raksasa berinti banyak. Sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan ini umumnya rendah.

Pemeriksaan langsung dengan mikroskop elektron, hasilnya sudah


dapat dilihat dalam waktu 2 jam, tetapi tidak spesifik karena dengan teknik
ini kelompok virus herpes tidak dapat dibedakan.

Cara yang paling baik adalah dengan melakukan kultur jaringan,


karena paling sensitif dan spesifik dibandingkan dengan cara-cara lain.
Bila titer virus dalam spesimen cukup tinggi, maka hasil positif dapat
dilihat dalam jangka waktu 24-48 jam. Pertum- buhan virus dalam sel
ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sito- plasmik, degenerasi balon
dan sel raksasa berinti banyak. Namun cara ini memiliki kekurangan
karena waktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.

Masih ada sejumlah tes untuk mendeteksi antigen HSV dengan


harapan diagnosis lebih cepat ditegakkan dibandingkan dengan kultur. Tes
ini dilakukan secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau
monoklonal, misalnya teknik pemeriksaan dengan imunofluoresensi,
imunoperoksidase dan ELISA. Deteksi antigen secara langsung dari
spesimen sangat potensial, cepat, dan dapat merupakan deteksi paling awal
pada infeksi HSV.

Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi


langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil
positif palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal
pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus.
Pemeriksaan imunofluoresen memerlukan tenaga yane terlatih, dan
mikroskop khusus. Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara
mikroskopik imunofluoresen tak langsung dari kerokan lesi,
sensitivitasnya 78% sampai 88%.

Pemeriksaan dengan cara ELISA (enzyme linked immunosorbent


assays) adalah pemeriksaan untuk menemukan antigen HSV. Pemerik.
saan ini sensitivitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi dapat berkurang jika
spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan waktu 4.5 jam. Tes
ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadan HSV dalam
serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes altematif yang terbaik di
samping mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca,
dan tidak memerlukan tenaga terlatih.

21
8. Cara Mencegah Penyakit Menular Seksual16

A. Mempromosikan perilaku seksual yang sehat


Respon efektif terhadap penyebaran penyakit menular seksual dimulai
dengan prevensi melalui penyediaan informasi tentang hubungan seksual
yang aman, termasuk pemakaian kondom laki – laki dan perempuan yang
benar dan konsisten, disertai pembatasan diri, tidak terlalu sering
melakukan hubungan seksual, mengurangi jumlah pasangan seks atau
membatasi hanya satu. Sebagai tambahan terhadap intervensi pencegahan,
pusat kesehatan harus menyediakan terapi yang cepat dan efektif.
Edukasi tentangpenyakit menular seksual, dan konseling terhadap baik
individu yang sudah atau belum terinfeksi, termasuk didalamnya relawan
konseling dan tes HIV yang bersifat rahasia, harus menjadi bagian penting
dari semua pelayanan kesehatan, karena proses konseling menciptakan
motivasi untuk merubah perilaku seksual pada individu yang sudah dan
belum terinfeksi. Edukasi dan konseling juga harus menekankan
pentingnya agar pasangan seksualdi informasikan dan di terapi untuk
berbagai infeksi guna mencegah infeksi berulang.

B. Menyediakan kondom dan metode pembatas/pelindung lainnya


Kondom laki – laki dan perempuan adalah komponen utama dari
strategipencegahan yang komprehensif, dan keduanya harus dibuat agar
selalu tersedia bagi mereka yang membutuhkan guna mengurangi resiko
paparan seksual terhadap pathogen termasuk HIV. Setelah diperoleh,
kondom harus dipromosikan dan didistribusikan ke sektor publik maupun
swasta, dalam lingkungan klinis maupun non – klinis. Klinik kesehatan ibu
dan anak adalah tempat yang sesuai untuk penempatan kondom, membuat
kondom mudah diakses oleh wanita yang beresiko terkena penyakit
menular seksual.
C. Memberikan pencegahan dan perawatan
Tujuan dari penyediaan layanan kesehatan untuk orang – orang yang
terkena penyakit menular seksual adalah untuk mencegah perkembangan
menjadi komplikasi jangka panjang dan untuk mencegah penyebaran
infeksi pada orang – orang yang belum terinfeksi, fetus atau bayi baru lahir.
Dalam sebuah komunitas akan ada individu dengan penyakit menular
seksual tetapi tidak menjalani terapi karena satu dan lain hal, dan
individulainnya yang asimptomatis tetapi terinfeksi. Beberapa strategi harus
di identifikasi untuk beradaptasi dengan presentasi klinis yang bervariasi
pada level komunitas dan pusat kesehatan
Program kesehatan untuk penyakit menular seksual harus mempromosikan
intervensi yang mudah diakses, dapat diterima, dan efektif yang

22
menawarkan manajemen kasus yang komprehensif terhadap individu yang
terinfeksi untuk mencegah infeksi lebih jauh dan komplikasi jangka
panjang. Komponen dari manajemen tersebutantara lain:
o Diagnosis akurat dengan gejala atau tes laboratorium
o Penyediaanterapi yang efektif
o Pengurangan atau pencegahan perilaku beresiko melalui edukasi
dan konseling sesuai umur
o Promosi dan penyediaan kondom, dengan pesanuntu
kmenggunakannya secara konsisten dan akurat.
o Terapi penyakit menular seksual pada pasangan seksual
Saat infeksi terdiagnosis atau dicurigai, terapi yang efektif perlu
disediakan untuk mencegah komplikasi dan menghentikan rantai
transmisi. Penderita perlu menerima edukasi dan konseling dalam hal:
terapi penyakit menular seksual, pengurangan resiko, dan penggunaan
kondom yang konsisten dan akurat.

Biasanya, penyakit menular seksual didiagnosis dengan manifestasi klinis


(bisa tidak akurat) atau tes laboratorium, yang seringkali rumit, mahal, dan
menunda terapi karena menunggu hasil tes keluar. Karena ini, WHO

merekomendasikan manajemen sindromik terhadap penyakit


menular seksual dengan tanda dan gejala yang sering dikenali yang bisa
digunakan di klinik kesehatan primer

Notifikasi pasangan, yang merupakan bagian integral dari


manajemen kasus, adalah proses dimana pasangan seksual dari pasien
dengan penyakit menular seksual diberitahu tentang pajanan mereka

terhadap infeksi agar mereka segera mencari terapi dan skrining konsultatif.
Tujuannya adalah untuk mencegah reinfeksi dan mengurangi penyebaran
infeksi.

D. Akses pengobatan dan teknologi yang tepat


Ketersediaan pengobatan yang konsisten adalah penting untuk program
kontrol penyakit menular seksual yang sukses. Pengobatan yang cepat dan
efektif memutuskan rantai transmisi dan mencegah perkembangan
komplikasi. 80% sampai 90% dari penderita penyakit menular seksual di
negara berkembang tidak memiliki akses atau memiliki akses terbatas
terhadap diagnostik yang tepat. Kebutuhan untuk memngembangkan tes
diagnostik cepat untuk diagnostik yang lebih baik untuk area endemik HIV.
Imunisasi juga merupakan metode yang sangat efektif untuk mengontrol
penyakit infeksius.

23
9. Diagnosis Differential dan Diagnosis Sementara

A. Sifilis17
1. Definisi
Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema
pallidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat
menyerang hamper semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit,
mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan.
2. Epidemiologi
Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di
Eropa. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian
yang dibawa oleh anak buah Columbus waktu mereka kembali ke Spanyol
pada tahun 1492. Pada tahun 1494 terjadi epidemic di Napoli. Pada abad
ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore disebabkan oleh
sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama.
Pada abad ke- terjadi wabah di Eropa, sesudah tahun 1860
morbilitas sifilis di Eropa menurun cepat, mungkin karena perbaikan
sosioekonomi. Selama perang dunia kedua insidensinya meningkat dan
mencapai puncaknya pada tahun 1946, kemudian makin menurun.
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996
berkisar antara 0,04 – 0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan
yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%.
3. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan
Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales,
familia Spirochaeraceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral
teratur, panjangnya antara 6- um, dan lebar 0, um, terdiri atas delapan
sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang
aksis dan maju seperti gerakan membuka botol. Membiak secara
pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam.
Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di
luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk
transfuse dapat hidup tujuh puluh dua jam.
4. Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat).
Sifilis kongenital dibagi menjadi: dini (sebelum dua tahun), lanjut
(sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisata dapat dibagi menurut du
acara, secara klinis dan epidemiologic. Menurut cara pertama sifilis dibagi
menjadi tiga stadium: stadium I (S I), stadium II (S II), dan stadium III (S
III). Secara epidemiolgik menurut WHO dibagi menjadi:

24
a. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri aras
S I, S II, stadium rekuren, dan stadium laten dini.
b. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi),
terdiri atas stadium laten lanjut dan S III.
Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang
memasukkannya ke dalam S III atau S IV.
5. Pathogenesis
Stadium dini
Pada sifilis yang didapat, T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui
mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut
membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrate yang terdiri atas
sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh-
pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-
sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endothelium kapiler dan
jaringan terletak di antara endothelium kapiler dan jaringan perivaskular di
sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofik endothelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enateritis
obliterans). Kehilangan perdarahan akan menyebabkan erosi, pada
pemeriksaan klinis tampak sebagai S I.
Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening
regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula
penjalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi
manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi
jaringan sebagai S II, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S
I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut
jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblast-fibroblas dan
akhirnya sembuh berupa sikatriks. S II juga mengalami regresi perlahan-
lahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi
yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu
dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital.
Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga
T. pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren
atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi
serupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering terjadi
daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul berulang-
ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun.
Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya
treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibody tetap ada

25
dalam serum penderita. Keseimbangan antara Treponema dan jaringan
dapat sekonyong-konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin
trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S
III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan
T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung
bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma
tersebut timbul di tempat-tempat lain.
Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada
waktu dini, tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan
waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan
guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular,
demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium
laten tidak memberi gejala.
6. Gejala klinis
a. Sifilis primer (S I)
Masa tunas biasanya dua sampai empat minggu. T.
pallidum masuk ke dalam selapur lendir atau kulit yang telah
mengalami lesi/mikrolesi secara langsung, biasanya melalui
sanggama. Treponema tersebut akan berkembang biak, kemudian
terjadi penyebaran secara limfogen dan hematogen.
Kelainan kulit dimulai sebagai papul lenticular yang
permukaannya segera menjadi erosi, umumnya kemudian menjadi
ulkus. Ulkus tersebut biasnaya bulat, solitar, dasarnya ialah
jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, di atasnya hanya
tampak serum. Dindingnya tak bergaung, kulit di sekitarnya tidak
menunjukkan tanda-tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus
tersebut indolen dan teraba indurasi karena itu disebut ulkus
durum.
Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umumnya
berlokasi pada genitalia eksterna. Pada pria tempat yang sering
dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia
minor dan mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya
di lidah, tonsil dan anus.
Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tigas sampai
sepuluh minggu. Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat
pembesaran kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis.
Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut
solitary, indolen, tidak lunak, bersarnya biasanya lentikular, tidak
supuratif, dan menunjukkan tanda-tanda radang akut.

26
Istilah syphilis d’emblee dipakai, jika tidak terdapat afek
primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya
pada transfusi darah atau suntikan.
b. Sifilis sekunder (S II)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu
sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II
dapat sampai Sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa
disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut
yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak
berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri
kepala, demam yang tidak tinggi, dan atralgia.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit
sehingga disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada
kulit, S II dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar
getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf.
Kelainan kulit yang membasar (eksudatif) pada S II sangat
menular, kelainan yang kering kurang menular. Kondilomata lata
dan plaquemuqueuses ialah bentuk yang sangat menular.
Gejala yang penting untuk membedakannya dengan
berbagai penyakit kulit yang lain ialah: kelainan kulit pada S II
umumnya tidak gatal, sering disertai limfadenitis generalisata, pada
S II dini kelainan kulit juga terjadi pada telapak tangan dan kaki.
Antara S II dini dan S II lanjut terdapat perbedaan. Pada S
II dini kelainan kulit generalisata, simetrik, dan lebih cepat hilang
(beberapa hari hingga beberapa minggu). Pada S II lanjut tidak
generalisata lagi, melainkan setempat-setempat, tidak simetrik dan
lebih lama bertahan (beberapa minggu hingga beberapa bulan).

7. Diagnosis banding
SI : Herpes simpleks, ulkus piogenik, scabies, balanitis, lifogranuloma
venereum, karsinoma sel skuamosa, penyakit behcet, ulkus mole
S II : erupsi obat alergik, morbili, pitiriasis rosea, psoriasis, dermatitis
seboroika, kondiloma akuminatum, alopesia areata
8. Penatalaksanaan
Pengobatan dengan penisilin masih sangat ampuh. Pedoman dari C.D.C.
Atlanta (2002) berdasarkan atas stadium penyakitnya, adalah sebagai
berikut.
a. Sifilis dini (sifilis stadium I-II dan sifilis laten dini tidak lebih dari
2 tahun)

27
- Penisilin G Benzatin 2,4 juta unit satu kali suntikan intra
muskuler (i.m.), atau
- Penisilin G Prokain dalam aqua 600.000 U i.m. selama 10
hari.
Pemberian 10 hari pada sifilis primer seronegative
sedangkan pada seropositive dan sifilis sekunder
diberikan selama 14 hari. Penderita sifilis sekunder
sebaiknya diopname selama 1 – 2 hari sebab
kemungkinan terjadi reaksi Jarish-Herxheimer.
Pengobatan Sifilis dini dan yang alergi terhadap penisilin,
dapat diberikan:
- Tetrasiklin HCl, 4 x 500 mg/hari total selama 4 minggu
- Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 4 minggu
- Doksisiklin 100 mg, 2 kali sehari selama 4 minggu
9. Prognosis
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi
lebih baik. Untuk menentukan, penyembuhan mikrobiologik, yang berarti
bahwa semua T. pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin.
Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur hidup, tidak menular ke orang
lain, T.S.S. pada darah dan likuor serebrospinalis selalu negatif.

B. Herpes Simpleks18

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes


simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya
vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada
daerah dekat mukokutan.

Epidemiologi

Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria


maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh
herpes simpleks virus (HSV) tipe I biasa pada usia anak-anak, sedangkan
infeksi HSV tipe II biasa terjadi pada dekade II atau III dan berhubungan
dengan peningkatan aktivitas seksual (Handoko, 2010). Infeksi genital
yang berulang 6 kali lebih sering daripada infeksi berulang pada oral-
labial; infeksi HSV tipe II pada daerah genital lebih sering kambuh
daripada infeksi HSV tipe I di daerah genital; dan infeksi HSV tipe I pada
oral-labial lebih sering kambuh daripada infeksi HSV tipe II di daerah
oral.Walaupun begitu infeksi dapat terjadi di mana saja pada kulit dan

28
infeksi pada satu area tidak menutup kemungkinan bahwa infeksi dapat
menyebar ke bagian lain.

Etiologi

Herpes simpleks virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpes


hominis yang merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan
karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker dan lokasi
klinis tempat predileksi . HSV tipe I sering dihubungkan dengan infeksi
oral sedangkan HSV tipe II dihubungkan dengan infeksi genital. Semakin
seringnya infeksi HSV tipe I di daerah genital dan infeksi HSV tipe II di
daerah oral kemungkinan disebabkan oleh kontak seksual dengan cara
oral-genital.

Patogenesis

Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau
mukosa dan bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia
sensoris dan terus bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-
saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer
HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris.

Infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus menyerang ganglion
saraf; dan tahap kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit di
tempat yang sama. Pada infeksi primer kebanyakan tanpa gejala dan hanya
dapat dideteksi dengan kenanikan titer antibody IgG. Seperti kebanyakan
infeksi virus, keparahan penyakit meningkat seiring bertambahnya usia.
Virus dapat menyebar melalui udara via droplets, kontak langsung dengan
lesi, atau kontak dengan cairan yang mengandung virus seperti ludah.
Gejala yang timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah kontak yaitu: kulit
yang lembek disertai nyeri, parestesia ringan, atau rasa terbakar akan
timbul sebelum terjadi lesi pada daerah yang terinfeksi. Nyeri lokal,
pusing, rasa gatal, dan demam adalah karakteristik gejala prodormal.

Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar


dibandingkan infeksi yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama
besar, berlawanan dengan vesikel pada herpes zoster yang beragam
ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi mengeluarkan
eksudat yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan
bertahan selama 2 sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan
akan sembuh tanpa jaringan parut.

29
Virus akan bereplikasi di tempat infeksi primer lalu viron akan
ditransportasikan oleh saraf via retrograde axonal flow ke ganglia dorsal
dan masuk masa laten di ganglion. Trauma kulit lokal (misalnya: paparan
sinar ultraviolet, abrasi) atau perubahan sistemik (misalnya: menstruasi,
kelelahan, demam) akan mengaktifasi kembali virus tersebut yang akan
berjalan turun melalui saraf perifer ke tempat yang telah terinfeksi
sehingga terjadi infeksi rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar
terjadi selama 2 sampai 24 jam dan dalam 12 jam lesi tersebut berubah
dari kulit yang eritem menjadi papula hingga terbentuk vesikel berbentuk
kubah yang kemudian akan ruptur menjadi erosi pada daerah mulut dan
vagina atau erosi yang ditutupi oleh krusta pada bibir dan kulit. Krusta
tersebut akan meluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit tersebut akan
reepitelisasi dan berwarna merah muda.

Gejala Klinis

Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi


primer, fase laten dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks
tipe I tempat predileksinya pada daerah mulut dan hidung pada usia anak-
anak. Sedangkan infeksi primer herpes simpleks virus tipe II tempat
predileksinya daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital.Infeksi
primer berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu dan
sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan
anoreksia.Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di
atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi
seropurulen, dapat menjadi krusta dan dapat mengalami ulserasi.Pada fase
laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi herpes simpleks
virus dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.

Pada tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak
aktif di ganglia dorsalis menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya:
demam, infeksi, hubungan seksual) lalu mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan dan berlangsung sekitar tujuh
sampai sepuluh hari disertai gejala prodormal lokal berupa rasa panas,
gatal dan nyeri. Infeksi rekuren dapat timbul pada tempat yang sama.

Pemeriksaan Penunjang

Herpes simpleks virus (HSV) dapat ditemukan pada vesikel dan dapat
dibiakkan.Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi
HSV.Dengan tes Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel
datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.

30
Tes Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit atau
kurang.Caranya dengan membuka vesikel dan korek dengan lembut pada
dasar vesikel tersebut lalu letakkan pada gelas obyek kemudian biarkan
mongering sambil difiksasi dengan alkohol atau dipanaskan.Selanjutnya
beri pewarnaan (5% methylene blue, Wright, Giemsa) selama beberapa
detik, cuci dan keringkan, beri minyak emersi dan tutupi dengan gelas
penutup. Jika positif terinfeksi hasilnya berupa keratinosit yang
multinuklear dan berukuran besar berwarna biru.

C. Limfogranuloma Venereum19

Limfogranuloma venereum merupakan infeksi menular seksual yang


disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serovar L1,L2 dan L3. LGV
memiliki manifestasi akut dan kronis yang bervariasi. Penyakit ini juga
dikenal dengan nama tropical bubo, climatic bubo, strumous bubo,
poradenitis inguinalis, penyakit Durand-Nicolas Favre, limfogranuloma
inguinal, limfopatia venera dan the fourth, fifth, sixth venereal disease.
Limfogranuloma venereum mengenai pembuluh limfe dan kelenjar limfe
terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan rektum. Penularan terjadi
melalui kontak langsung dengan sekret infeksius, umumnya melalui
berbagai macam hubungan seksual baik oral, genital atau anal.

Epidemiologi

Limfogranuloma venereum terjadi pada semua usia dengan puncak


insiden usia antara 15-40 tahun. Gotz dkk di Belanda melaporkan bahwa
wabah LGV mengenai seluruh pasien dengan rentang usia antara 26-48
tahun. Studi Halioua dkk di Paris menunjukkan bahwa rata-rata usia
pasien dengan LGV adalah 39,2 tahun. Limfogranuloma venereum akut
lebih sering dilaporkan pada laki-laki daripada wanita dengan rasio 5:1.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena kasus pada wanita bersifat
asimptomatis.

Limfogranuloma venereum bersifat endemik pada heteroseksual di


sebagian besar Afrika, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Karibia. Pada
tahun 2003 dilaporkan kasus LGV tersebar sporadis di Eropa, Amerika
Utara, Australia, sebagian besar Asia dan Amerika Selatan. Kasus ini
banyak ditemukan terutama di kalangan pelaut, militer dan wisatawan
yang terinfeksi selama melakukan kunjungan ke daerah endemik. Pada
tahun 2003 Gotz dkk melaporkan 13 kasus LGV proktitis pada laki-laki
yang berhubungan seksual dengan laki-laki dari klinik rawat jalan di kota

31
Rotterdam, Belanda. Wabah LGV diikuti oleh negara-negara tetangga
seperti Prancis, Inggris, Jerman dan Kanada serta Amerika Utara dan
Australia.9 Pada bulan Oktober 2004 hingga April 2007 terdapat 327
kasus LGV di Inggris.4 Klint dkk melaporkan 3 kasus LGV di Swedia
pada tahun 2004.10 Liassine dkk di Switzerland mengkonfirmasi 1 kasus
LGV pada seorang laki-laki berusia 31 tahun.11 Pada November 2004
hingga Januari 2006 terdapat 180 kasus LGV, dengan 27 orang
diidentifikasi terinfeksi dari laki-laki homoseksual. Gambaran khas wabah
LGV ini yaitu sebagian besar kasus disebabkan oleh varian baru yaitu L2b
(varian Amsterdam), mengenai kalangan LSL, melakukan hubungan
seksual per anal dengan manifestasi klinis berupa lesi genital atau
proctitis.

Etiologi

Agen etiologi yang terlibat dalam patogenesis LGV adalah C.


trachomatis. C. trachomatis telah diidentifikasi menjadi 15 serovar yaitu
A, B, Ba, C-K, L1-L3. LGV disebabkan oleh C. trachomatis serovar L1-
L3. Serovar L2 dibagi menjadi L2, L2’, L2a dan L2b berdasarkan
perbedaan komponen asam amino. Serovar A-C merupakan penyebab
infeksi okular trakoma. Serovar D-K menyebabkan infeksi urogenital.
Serovar A-K hanya terbatas pada mukosa, sedangkan serovar L1-L3
bersifat lebih invasif.

C. trachomatis merupakan organisme dengan sifat sebagian seperti


bakteri dalam hal pembelahan sel, metabolisme, struktur maupun
kepekaan terhadap antibiotika dan sebagian bersifat seperti virus yaitu
memerlukan sel hidup untuk berkembang biak. Berdasarkan hal ini maka
dikatakan bahwa C. trachomatis bersifat parasit obligat intraseluler.
Organisme ini memiliki ukuran lebih kecil dari bakteri, berdiameter 250-
500 mm, namun lebih besar dari ukuran virus pada umumnya. Tanda
patognomonik infeksi ini adalah ditemukannya bentukan badan inklusi
Chlamydia di dalam jaringan host. Organisme ini memiliki 2 fase siklus
hidup. Fase 1 (fase non infeksius) atau badan retikuler dan fase 2 (fase
penularan) atau badan elementer.

C. trachomatis dibedakan dari organisme yang lain berdasarkan siklus


pertumbuhannya yang unik. Siklus pertumbuhannya diawali dengan
perlekatan dan penetrasi pada hospes yang cocok. Proses perlekatan ini

32
melibatkan reseptor yang spesifik. Molekul heparan sulfat akan memediasi
perlekatan C.trachomatispada sel hospes yang cocok hingga memicu
proses endositosis dan menghambat fusi fagosom. Siklus hidup
C.trachomatisdapat dibagi menjadi beberapa tahap:

1. Perlekatan partikel awal yang infeksius pada sel hospes


2. Masuknya partikel ke sel hospes
3. Perubahan morfologi menjadi partikel retikuler yang berada di
dalam intraseluler
4. Vakuola yang pecah menyebabkan perubahan morfologi dari
partikel retikuler menjadi badan elementer
5. Pelepasan partikel yang infeksius

Badan elementer relatif resisten terhadap lingkungan ekstraseluler,


namun tidak pada metabolit aktifnya. Partikel ini berubah menjadi
metabolit aktif dan terbagi menjadi bentuk yang disebut badan retikuler
dalam waktu 6-8 jam setelah masuk ke dalam sel hospes. Setelah
mencapai stadium badan retikuler, C.trachomatismensintesis
makromolekul RNA, DNA dan protein menggunakan prekursor dari sel
hospes. Glikogen tampak menumpuk dan tampak sebagai inklusi pada
C.trachomatis. Badan retikuler membelah diri melalui fusi biner dalam
waktu kurang lebih 8 hingga 18 atau 24 jam setelah masuk sel hospes.
Selanjutnya badan retikuler akan berubah menjadi badan elementer yang
infeksius. Dalam waktu 18-24 jam, jumlah badan elementer akan
meningkat. Badan elementer bersifat toksik. Apabila sel hospes memakan
>100 partikel badan elementer, hal ini dapat mematikan sel tersebut.

Patogenesis

Limfogranuloma venereum merupakan penyakit jaringan limfatik. C.


trachomatis tidak dapat menembus kulit sehat. Organisme ini masuk ke
pembuluh limfatik melalui mikrotrauma pada kulit atau sel epitel
membran mukosa. Kuman patogen menginfeksi kelenjar getah bening dan
menyebabkan limfangitis serta limfadenitis. Prosesnya melibatkan
trombolimfangitis danperilimfangitis disertai penyebaran reaksi inflamasi
kelenjar getah bening yang terinfeksi menuju ke jaringan sekitar.

Limfangitis ditandai adanya proliferasi sel endotel yang menyebabkan


pembesaran kelenjar getah bening dan pembentukan area nekrosis. Area
nekrosis menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan membentuk
stelate absceses berbentuk segitiga atau segiempat yang dikelilingi oleh sel

33
epiteloid, makrofag dan giant cell. Abses dapat bergabung dan pecah
spontan membentuk fistula atau saluran sinus. Pada proses inflamasi
terjadi penyembuhan dengan fibrosis setelah beberapa minggu atau bulan.
Pembentukan fibrosis akan menghancurkan struktur normal dari kelenjar
getah bening dan menghalangi aliran limfe.

Limfangitis yang kronis progresif menyebabkan edema kronis dan


fibrosis sklerosis sehingga aliran limfe terbendung. Hal ini mengakibatkan
striktur dan fistula yang dapat menyebabkan elefantiasis dari genital,
esthiomene dan frozen pelvis syndrome. Fibrosis juga mengakibatkan
gangguan suplai darah menuju kulit atau membran mukosa. Hal ini
menyebabkan terjadinya ulserasi mukosa rektum, inflamasi transmural
dinding usus, obstruksi drainase limfatik, perlekatan antara kolon sigmoid
dan rektum ke dinding panggul atau organ sekitar serta pembentukan
striktur fibrotik. Proses patologi pada LGV bersifat lokal pada satu atau
dua kelenjar getah bening, namun organisme ini dapat menyebar secara
sistemik di pembuluh darah dan mencapai sistem saraf pusat. Imunitas
host, persistensi bakteri di jaringan atau infeksi berulang yang diakibatkan
serovar serupa atau serovar yang terkait C. trachomatis berperan penting
dalam perkembangan sistemik penyakit ini.7

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis LGV bervariasi tergantung pada jenis kelamin


pasien, stadium penyakit dan cara penularan. Limfogranuloma venereum
bersifat kronis progresif dengan 3 stadium klinis yaitu primer, sekunder
dan tersier.

Limfogranuloma primer:

Lesi primer LGV muncul dalam bentuk papul yang tidak nyeri, pustul,
nodul, erosi yang dangkal, atau ulkus herpetiform. Lesi muncul setelah
masa inkubasi selama 3-30 hari. Lokasi lesi primer LGV pada laki-laki
paling sering di sulkus koronarius, frenulum, preputium, penis, glans
penis, skrotum sedangkan pada wanita di dinding vagina posterior,
fourchette, serviks posterior dan vulva. Lesi primer bersifat sementara,
membaik dalam waktu 1 minggu dan dapat tidak diketahui apabila
terdapat lesi di uretra, serviks atau rektum. Sekret mukopurulen dari
uretra, serviks atau rektum dapat muncul tergantung pada tempat
inokulasi. Lesi ekstra genital telah dilaporkan dalam bentuk ulkus dan

34
fisura di area perianal pada LSL, bibir atau kavum oris (tonsil) dan
kelenjar getah bening ekstra genital. Bentuk lesi primer yang jarang yaitu
balanitis, balanopostitis, bubonulus, servisitis, salpingitis atau parametritis.

Proktitis akibat rectal intercourse merupakan manifestasi klinis utama


dari infeksi primer pada kalangan LSL. Gejala proktitis berupa nyeri
anorektal, perdarahan anorektal, duh tubuh mukoid dan atau hemopurulen
pada rektal, tenesmus, konstipasi, diare dan gejala lain dari inflamasi
saluran gastrointestinal bawah. Studi terbaru menurut Ward dkk (2007) di
Inggris menunjukkan bahwa hampir 96% pasien memiliki gejala dan tanda
proktitis. Pada studi ini gejala dan tanda proktitis yang paling sering
ditemui yaitu duh tubuh rektal (79%), nyeri anorektal (69%) dan
perdarahan anorektal (58%). Beberapa kasus infeksi LGV faringeal pada
LSL telah dilaporkan akhir-akhir ini.

Limfogranuloma sekunder:

Dua sampai enam minggu setelah muncul lesi primer, terjadi


diseminasi melalui kelenjar getah bening dan hematogen.
Limfogranuloma sekunder dapat menyebabkan sindrom inguinal dan
sindrom anorektal bergantung pada lokasi inokulasi. Sindrom inguinal
muncul setelah lesi primer pada vulva anterior, penis atau uretra. Sindrom
ini ditandai dengan keterlibatan kelenjar limfe inguinal dan atau femoral
yang sering ditemukan pada laki-laki. Pada sindrom ini yang terkena yaitu
kelenjar limfe inguinal medial yang merupakan kelenjar regional bagi
genitalia eksterna. Episode limfadenitis sering menyembuh secara spontan
dalam 8-12 minggu. Kelenjar getah bening lain dapat terlibat tergantung
dari lokasi lesi primer.

Bubo inguinal ditemukan pertama kali oleh William Wallace pada


tahun 1833. Kulit disekitar kelenjar limfe terkena menjadi eritema,
kelenjar limfe membesar dalam 1-2 minggu kemudian bergabung
membentuk massa padat apabila melibatkan satu atau lebih kelenjar limfe
yang berdekatan, nyeri berdenyut, tidak bisa digerakkan. Kondisi ini
disertai dengan peningkatan denyut nadi (takikardi), demam tinggi, nafsu
makan menurun dan gangguan tidur. Gejala konstitusi yang muncul
berkaitan dengan penyebaran sistemik dari C. trachomatis. Manifestasi
penyebaran sistemik yang jarang seperti meningoensefalitis, pneumonitis,
hepatitis, hepatosplenomegali, arthritis dan iritis. Kelenjar limfe
mengalami perlunakan yang tidak serentak ditandai dengan fluktuasi pada
75% kasus dan terbentuk abses multipel. Kulit yang melapisi bubo

35
berubah warna menjadi merah kebiruan (blue balls) yang menandai
adanya ruptur bubo. Bubo yang ruptur akan keluar mengalir ke kulit
melalui pembentukan saluran sinus pada 1/3 kasus. Bubo juga dapat
berkembang menjadi massa yang keras dan pecah tanpa mengalami
supurasi. Keterlibatan kelenjar limfe unilateral terjadi pada 2/3 kasus.

Pembesaran kelenjar limfe inguinal dan femoral yang dipisahkan


oleh ligamentum inguinal Pouparti menyebabkan terbentuknya celah yang
disebut sign of groove (Greenblatt’s sign). Tanda ini patognomonik untuk
LGV, namun hanya ditemukan pada 15-20% kasus. Pembesaran kelenjar
femoralis, inguinalis superfisialis dan profundus menyebabkan bentukan
seperti tangga yang disebut ettage bubo. Sindrom inguinal hanya
ditemukan 20-30% pada wanita. Lesi primer wanita terutama pada vagina
2/3 atas dan serviks. Keterlibatan lesi primer rektum dijumpai pada wanita
yang reseptif anal seks. Pada lokasi ini, drainase limfatik ke kelenjar limfe
iliaka profundus/perirektal. Hal ini menyebabkan limfadenopati
intraabdominal atau retroperitoneal dengan gejala nyeri abdomen bawah
atau nyeri punggung bawah (low back pain).

Sindrom anorektal akut ditandai dengan keterlibatan kelenjar limfe


perirektal, proktitis hemoragik akut dan gejala sistemik. Sindrom ini
merupakan gambaran umum pada wanita dan laki-laki homoseksual yang
melakukan anal seks. Gejalanya berupa pruritus ani, perdarahan anus yang
diikuti duh anal purulen, tenesmus, diare, konstipasi dan nyeri abdomen
bawah. Studi terkini menunjukkan 96% pasien LSL disertai gejala dan
tanda proktitis. Sebagian besar kasus LSL disertai Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif, namun gambaran klinis antara
kasus HIV positifdan HIV negatif tidak dibedakan.Limfogranulomatersier
Limfogranuloma venereum sering juga disebut sebagai sindroma
genitoanorektal atau anogenitorektal. Stadium ini banyak ditemukan pada
wanita dengan sindrom anorektal yang tidak diterapi dan laki-laki
homoseksual. Mukosa rektal wanita terinokulasi langsung saat
berhubungan anal atau melalui penyebaran limfatik dari serviks dan
dinding posterior vagina. Pada laki-laki, mukosa rektal terinokulasi
langsung dengan Chlamydia saat berhubungan anal atau melalui
penyebaran limfatik dari uretra posterior. Gambaran khasnya berupa
proktitis atau proktokolitis kronis diikuti pembentukan abses perirektal,
striktur anorektal, stenosis rektal, sinus perineal, fistula
rektovaginal/rektovesika, fistula anal, limfedema genital (elefantiasis
genital), esthiomene dan lymphorrhoids (hiperplasia jaringan limfatik

36
perirektal). Sindrom inguinal yang tidak diterapi dapat menyebabkan
terbentuknya fibrosis pada kelenjar inguinal medial. Akibatnya aliran
limfe terbendung dan terjadi edema serta elefantiasis. Pada pria,
elefantiasis terjadi di penis dan skrotum, sedangkan wanita di labia dan
klitoris. Edema pada penis dan skrotum sering disebut “saxophone penis”.
Elefantiasis penoskrotal muncul 1- 20 tahun setelah infeksi. Jika meluas
terbentuk elefantiasis genitoanorektal yang disebut sindrom Jersild.

Esthiomene berawal dari infeksi primer pada kelenjar limfe


skrotum, penis dan vulva yang mengalami limfangitis kronis progresif,
edema kronis dan sklerosis fibrosis jaringan subkutan. Hal ini
menyebabkan terjadinya indurasi, pembesaran bagian yang terkena dan
akhirnya menjadi ulserasi. Pada tahap awal, ulserasi terjadi superfisial
namun kemudian menjadi invasif dan destruktif. Sebagian besar pasien
dengan esthiomene adalah wanita. Ulserasi kronis terasa sangat nyeri
dengan lokasi tersering di permukaan eksternal labium mayor, lipatan
genitokrural dan bagian lateral perineum. Pada wanita dapat terjadi
pembentukan papiler di mukosa meatus uretra, berupa tumor poliploid
pada permukaan elefantiasis akibat tekanan paha yang disebut buchblatt
condiloma. Infertilitas dan “frozen pelvis syndrome” merupakan sekuele
dari ruptur kelenjar limfe pelvis profundus pada wanita. Konjungtivitis
folikuler disertai dengan limfadenitis maksila dan aurikula posterior dapat
terjadi pada setiap stadium LGV. Infeksi konjungtiva akibat autoinokulasi
dari sekret genital yang infeksius. Kondisi ini serupa dengan Parinaud’s
oculoglandular syndrome. Lesi primer LGV pada mulut dan faring akibat
felasio atau cunnilingus, sehingga menyebabkan limfadenitis kelenjar
limfe submaksila atau servikal.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis LGV ditegakkan melalui anamnesis, gejala klinis dan


pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berguna untuk
menyingkirkan diagnosis banding dan membedakan serovar C.
trachomatis dengan serovar lainnya. Pemeriksaan penunjang untuk LGV
terdiri dari berbagai macam diantaranya:

Pemeriksaan laboratorium

Pada gambaran darah tepi tampak leukositosis ringan dengan


peningkatan monosit dan eosinofil berkaitan dengan adanya bubo dan
LGV anogenitorektal. Leukositosis PMN yang signifikan ditemukan pada

37
bubo yang superinfeksi dengan bakteri piogenik. Laju endap darah (LED)
juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan keaktifan dari
penyakit, namun tidak khas untuk LGV. Abnormalitas laboratorium klinis
lain yang ditemukan berupa peningkatan konsentrasi gamma globulin yang
disebabkan oleh peningkatan IgA, IgG dan IgM.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake, R.L., Vogl, W., Mitchell, A. 2012. Gray’s Basic Anatomy.


Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone
2. Paulsen, F. & Waschke, J. 2011. Sobotta Atlas of Human Anatomy:
Internal Organs. Munich: Elsevier
3. Mescher,L,Anthony. Histologi Dasar JUNQUEIRA. Edisi 12. Penerbit
buku kedokteran. Jakarta:2011
4. Suryani, DPA., Sibero, HT. 20. Syphilis. Lampung : Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
5. Wangi, H., Nugroho, RHA. 2017.Granuloma Inguinale (Donovanosis).
Jakarta :Interna Publishing
6. Hadi, U.2017.Granuloma Inguinale (Donovanosis). Jakarta :Interna
Publishing
7. Maharani, MKD. 20. Limfogranuloma Venereum. Denpasar : Fakultas
Kedokteran Unud/RS Sanglah Denpasar
8. Piay, J. 2019. Infeksi Herpes Genitalia. Jakarta : Graha Media
9. Allister, AM. 20. Male Genital Trauma. AS : Health & Medicine
10. Sri Arjani, IAM (Identifikasi Agen Penyebab Penyakit Menular Seksual)
Jurnal Skala Husada Volume 12 Nomor 1 April 20 : – 21
11. A,Sylvia., M,Lorraine.(20). Patofisiilogi Edisi 6 Vol 2 Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta :EGC.
12. Candra, A 2010. Demam Berdarah Dangue: Epidemologi, Patogenesis dan
Faktor Resiko Penularan. Asiptor 2(2):110-119.
13. Djuanda, Adhi, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed.5. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
14. Ahdi Djuanda, dkk. 2011. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

15. Daili, Sjaiful Fahmi; dkk. 2011. Infeksi Menular Seksual Edisi Keempat.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
16. WHO. 2007. Global Strategy ForThe Prevention And Control Of Sexually
Transmitted Infections: 2006 – 20: breaking the chain of transmission. Geneva:
WHO Press.
17. Djuanda, Adhi, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
18. Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I dkk, 20,.Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Edisi VI. Jakarta ,Interna publisirosis hatiing.

39
19. Maharani, Made Kusuma Dewi.2016. Limfogranuloma Venerum. Program
pendidikan dokter spesialis 1 bagian/smf ilmu kesehatan kulit dan
kelamin .Fakultas Kedokteran Unud/Rs Sanglah Denpasar.

40

Anda mungkin juga menyukai