Anda di halaman 1dari 71

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem perkemihan terdiri dari organ ginjal, ureter, vesika urinaria dan
uretra membentuk sistem urinarius. Fungsi utama ginjal adalah mengatur
cairan serta elektrolit dan komposisi asam-basa cairan tubuh, mengeluarkan
produk akhir metabolik dari dalam darah, dan mengatur tekanan darah. Urine
yang terbentuk sebagai hasil dari proses ini diangkut dari ginjal melalui ureter
ke dalam vesika urinari tempat urine disimpan untuk sementara waktu.
Vesika urinari berkontraksi dan urine akan diekskresikan dari tubuh
lewat uretra. Namun, fungsi masing-masing organ dari sistem perkemihan
tersebut tidak luput dari suatu masalah atau abnormal. Sehingga hal ini dapat
menimbulkan beberapa penyakit atau gangguan antara lain adalah hipospadia,
epispadia, nefrotik sindrom dan gagal ginjal kronik.
Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara
1.000 bayi baru lahir. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang
uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu meatus uretra
terletak pada permukaan dorsal penis. Insiden epispadia yang lengkap sekitar
1 dalam 120.000 laki-laki. Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi
juga disertai anomali saluran kemih. Inkontinensia urine timbul pada
epispadia penopubis (95%) dan penis (75%) karena perkembangan yang salah
dari spingter urinarius.
Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun.
Sindrom nefrotik perubahan minimal (SNPM) mencakup 60 – 90 % dari
semua kasus sindrom nefrotik pada anak. Angka mortalitas dari SNPM telah
menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian
steroid. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe Finlandia adalah calon untuk
nefrektomi bilateral dan transplantasi ginjal. Berdasarkan hasil penelitian
univariat terhadap 46 pasien, didapatkan insiden terbanyak sindrom nefrotik
berada pada kelompok umur 2 – 6 tahun sebanyak 25 pasien (54,3%), dan
2

terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 29 pasien dengan rasio 1,71 : 1.


Insiden sindrom nefrotik pada anak di Hongkong dilaporkan 2 - 4 kasus per
100.000 anak per tahun (Chiu and Yap, 2005). Insiden sindrom nefrotik pada
anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2 - 4 kasus
baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang, insidennya lebih
tinggi. Dilaporkan, insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia adalah 6
kasus per 100.000 anak per tahun.
Kejadian PGK (penyakit ginjal kronis) di setiap negara berbeda dan
diperkirakan kejadian PGK lebih tinggi dari data yang ada karena banyak
kasus yang tidak terdeteksi. Penelitian Italkid-Project, melaporkan prevalensi
PGK pada anak mencapai 12,1 kasus/tahun/1 juta anak dengan rentang usia
8,8-13,9 tahun atau 74,4 per satu juta pada populasi yang sama. Prevalens
PGK stadium I dan II dilaporkan mencapai 18,5-58,3 per satu juta anak.
Penelitian multisenter di Turki melaporkan insidens PGK mencapai 10,9
kasus per satu juta anak, dengan mayoritas stadium V (32,5%), stadium IV
(29,8%), dan stadium III (25,8%). Sekitar 68% anak dengan PGK
berkembang menjadi GGT (gagal ginjal terminal) pada usia 20 tahun. Anak
dengan GGT mempunyai angka kelangsungan hidup sekitar 3% pada usia 20
tahun.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis membuat makalah dengan
judul “Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Gangguan Sistem
Perkemihan: Hipospadia, Epispadia, Sindrom Nefrotik dan Gagal Ginjal”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah asuhan keperawatan pada anak
dengan gangguan sistem perkemihan: hipospadia, epispadia, sindrom nefrotik
dan gagal ginjal?”
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Dapat mendeskripsikan pengelolaan asuhan keperawatan pada
anak dengan gangguan sistem perkemihan: hipospadia, epispadia,
sindrom nefrotik dan gagal ginjal.
3

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Menggambarkan pengkajian data dasar pada anak dengan
gangguan sistem perkemihan: hipospadia, epispadia, sindrom
nefrotik dan gagal ginjal
b. Menggambarkan diagnosa pada asuhan keperawatan pada anak
dengan gangguan sistem perkemihan: hipospadia, epispadia,
sindrom nefrotik dan gagal ginjal
c. Menggambarkan intervensi pada asuhan keperawatan anak pada
sistem perkemihan: hipospadia, epispadia, sindrom nefrotik dan
gagal ginjal.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi mahasiswa
Sebagai bahan masukan/ pertimbangan bagi rekan-rekan
mahasiswa Universitas Airlangga Fakultas Keperawatan Prodi S1
Pendidikan Ners dalam penerapan asuhan keperawatan.
1.4.2 Bagi penulis
Proses penulisan ini merupakan pengalaman ilmiah berharga yang
dapat meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan dalam
asuhan keperawatan pada anak khususnya pada sistem perkemihan
anak-anak.
4

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar tentang Sistem Perkemihan


2.1.1 Definisi Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan atau sistem urinaria, adalah suatu sistem
dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari
zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang
masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Sistem urinaria adalah suatu sistem tempat terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih
dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang dipergunakan oleh tubuh larutan
dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih).
2.1.2 Organ-organ Sistem Perkemihan
a. Ginjal
Fungsi vital ginjal ialah sekresi air kemih dan pengeluarannya
dari tubuh manusia. Di samping itu, ginjal juga merupakan salah satu
dari mekanisme terpenting homeostasis. Ginjal berperan penting
dalam pengeluaran zat-zat toksin/racun, memperlakukan suasana
keseimbangan air. mempertahankan keseimbangan asam-basa cairan
tubuh, dan mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat
lain dalam darah.
Bentuk ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan. Ontogenitis,
berasal dari mesoderm, terletak dalam rongga perut pada daerah
retroperitoneal, di sebelah kanan dan kiri dari kolumna vertebralis
dan melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Ginjal kanan
terletak lebih rendah dari ginjal kiri, hal ini karena adanya hati di
sebelah kanan dan menekan ke bawah. Bila ginjal dibelah dua, secara
longitudinal (memanjang), dapat terlihat. bagian luar yang bercak-
bercak disebut korteks, serta bagian dalam yang bergarisgaris disebut
5

medula. Medula terdiri dari bangunan-bangunan berbentuk kerucut


yang disebut renah piramid. Puncak kerucut tadi menghadap ke aliks
yang terdiri dari lubang-lubang kecil (papila renalis). Tiara piramida
dipisahkan satu dengan lainnya oleh kolumna renalis. Garis yang
terlihat pada piramid disebut tubulus.
Pada pemeriksaan secara mikroskopis, terlihat ginjal berbentuk
seperti corong dengan batang yang panjang dan berkelok-kelok.
Bagian corong tersebut dinamakan kapsula Bowman yang terdiri atas
dua lapis sel-sel gepeng. Ruangan kapsula Bowman dan glomerolus
disebut karpusguli renalis (korpuskulam malfigi).
Proses pembentukan urine diawali dengan masuknya darah
melalui vas aferen ke dalam glomerolus dan keluar melalui vas
deferen. Bagian yang menyerupai bentuk batang yang terdiri dari
tubulus kontortus proksimal, ansa Henle, tubulus kontortus distal,
tubulus koligentes. Pada bagian batang ini terjadi proses: filtrasi,
reabsopsi, dan sekresi.
Proses filtrasi terjadi pada glomerolus karena permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen. Hal ini akan mengakibatkan
terjadinya penyaringan darah. Pada proses ini yang tersaring adalah
bagian cair dari darah kecuali protein. Selanjutnya, cairan tersebut,
yaitu air, glukosa, natrium, klorida, sulfat, dan bikarbonat.
Ditampung oleh simpai Bowman yang selanjutnya diteruskan ke
tubulus-tubulus ginjal.
Proses reabsorbsi terjadi pada tubulus-tubulus ginjal. Disini
terjadi penyerapan kembali dari sebagian air, glokosa, atrium,
klorida, sulfat, bikarbonat dan beberapa ion bikarbonat. Pada tubulus
ginjal bagian atas, terjadi proses pasif (reabsorpsi obligatori).
Sedangkan pada tubulus ginjal bawah terjadi proses aktif (fakultatif
reabsorpsi) yang menyerap kembali natrium dan ion bikarbonat bila
diperlukan. Sisa hasil reabsorpsi akan dialirkan ke papilla renalis.
Pelvis renalis (piala ginjal) merupakan bagian dari ginjal dengan
duktus papillaris Bellini bermuara pada renalis yang menyebabkan
6

terbentuknya area kribiformis pada papilla ginjal. Papilla renalis


terlihat, menonjol ke dalam satu kaliks minor, bersatu menjadi kaliks
mayor, menjadi pelvis renalis. Pelvis renalis ini berlanjut menjadi
ureter.
b. Ureter
Air kemih disekresi oleh ginjal, dialirkan ke vesika urinairia
(kandung kemih) melalui ureter. Ureter berada pada kiri dan kanan
kolumna vertebralis (tulang punggung) yang menghubungkan pelvis
renalis dengan kandung kemih, Panjang ureter kurang lebih 30 cm
dan berdiameter 0,5 cm. Uretra sebagian terletak dalam rongga perut
(pars abdominalis) dan selanjutnya berjalan di dalam rongga panggul
(pars pelvira). Otogenitis ureter termasuk berasal dari mesoderm,
karena itu, ureter juga terletak pada retroperitonialis. Dinding utera
terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan mukosa, otot polos, dan
jaringan fibrosa.
c. Vesika urinaria
Aliran urine dari ginjal akan bermuara ke dalam kandung kemih
(vesika urinaria). Kandung kemih merupakan kantong yang dapat
menggelembung seperti balon karet, terletak di belakang simfisis
pubis, di dalam rongga panggul. Bila terisi penuh, kandung kemih
dapat terlihat sebagian ke luar dari rongga panggul. Kandung kemih
berbentuk seperti kerucut. Bagian-bagiannya ialah verteks, fundus,
dan korpus. Bagian verteks adalah bagian yang meruncing ke arah
depan dan berhubungan dengan ligamentum vesiko umbilikal
medius. Bagian fundus merupakan bagian yang menghadap ke arah
belakang dan bawah. Bagian korpus berada di antara verteks dan
fundus. Bagian fundus terpisah dari rektum oleh spasium
rektovesikula yang terisi oleh jaringan ikat, duktus deferens, vesikula
seminalis. Dinding kandung kemih terdiri dari tiga lapisan otot polos
dan selapis mukosa yang berlipat-lipat. pada diding belakang lapisan
mukosa, terlihat bagian yang tidak berlipat, daerah ini disebut
trigonum liestaudi.
7

d. Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada
kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar dan
juga untuk menyalurkan semen. Pada laki-laki, uretra berjalan
berkelok-kelok, menembus prostat, kemudian melewati tulang pubis,
selanjutnya menuju ke penis. Oleh karera itu, pada laki-laki, uretra
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu pars proetalika, pars membranosa,
dan pars kavernosa. Muara uretra ke arah dunia luar disebut meatus.
Pada perempuan, uretra terletak di belakang simfisis pubis, berjalan
miring, sedikit ke atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Muara
uretra pada perempuan terletak di sebelah atas vagina, antara klitoris
dan vagina. Uretra perempuan berfungsi sebagai saluran ekskretori.
2.2 Konsep Dasar tentang Hipospadia
2.2.1 Definisi
Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang
terletak di sebelah ventral penis dan sebelah proksimal ujung penis
(Muttaqin & Sari, 2011). Letak meatus bisa terletak pada glandular
hingga perineal. Angka kejadian hipospadia adalah 3,2 dari 1000
kelahiran hidup (Purnomo, 2011).
Epispadia adalah suatu kelainan bawaan berupa tidak adanya
dinding uretra sebelah atas atau letak susunan dorsal pada meatus
uretra.Sedangkan hipospadia adalah merupakan congenital anomaly
yang mana uretra bermuara pada sisi bawah penis atau perineum
(Suryadi & Yuliani, 2010).
2.2.2 Klasifikasi
Derajat keparahan hipospadia dibagi berdasarkan lokasi meatus
uretra dan besarnya angulasi penis yang dicatat ketika ereksi.
1. Derajat pertama: meatus uretral terletak pada pangkal glans penis.
Pada kelainan ini secara klinis umumnya bersifat asimtomatik.
2. Derajat kedua: meatus uretra terletak antara glans penis dan skrotum
(penil shaft).
8

3. Derajat ketiga: meatus uretra treletak pada pertemuan penoskrotral


dan perineum. Kelainan cukup besar, umumnya pertumbuhan penis
akan terganggu (Gray & Moore, 2009).
Berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan koreksi korde,
Browne 1936 dalam Purnomo (2011), membagi hipospadia dalam tiga
bagian besar, yaitu:
1. Hipospadia anterior terdiri atas tipe granular, subkoronal, dan penis
distal,
2. Hipospadia medius terdiri atas: midshaft dan penis proksimal
3. Hipospadia posterior terdiri atas: penoskrotal, skotal, dan perineal
(Purnomo, 2011).
2.2.3 Etiologi
Beberapa faktor penyebab terjadinya Hipospadia dan epispadia,
meliputi faktor genetik, endokrin dan lingkungan.
1. Faktor genetik
Sebuah kecenderungan genetik telah disarankan oleh peningkatan
8 kali lipat dalam kejadian hipospadia antara kembar monozigot
dibandingkan dengan tunggal.
Kecenderungan keluarga telah dicatat dengan 1. Prevalensi
hipospadia pada anak laki-laki nenek moyang dengan hipospadia
telah dilaporkan sebesar 8%, dan 14% dari anak saudara dengan
hipospadia juga terpengaruh (Muttaqin & Sari, 2011).
2. Faktor endokrin
Penurunan androgen atau ketidakmampuan untuk menggunakan
androgen dapat mengakibatkan hipospadia. Dalam sebuah laporan
tahun 1997 oleh Aaronson dkk., 66 % dari anak laki-laki dengan
hipospadia ringan dan 40 % dengan hipospadia berat ditemukan
memiliki cacat dalam biosintesis testoteron testis.
Mutasi alfa reductase enzim-5, yang mengubah testoteron (T)
menjadi dihidrotestosteron (DHT), secara signifikan telah
dihubungkan dengan kondisi hipospadia. Sebuah laporan tahun
1999 oleh Silver dkk. Ditemukan hampir 10 % dari anak laki-laki
9

dengan hipospadia terisolasi memiliki setidaknya satu alel


terpengaruh dengan alpha reductase mutasi -5 (Muttaqin & Sari,
2011).
3. Faktor lingkungan
Gangguan endokrin oleh agen lingkungan adalah mendapatkan
popularitas sebagai etiologi mungkin utnuk hipospadia dan
sebagai penjelasan atas kejadian yang semakin meningkat.
Estrogen telah telibat dalam pengembangan penis abnormal pada
hewan. Lingkungan dengan aktivitas estrogenik signifikan di
mana-mana dalam masyarakat industri dan tertelan sebagai
pestisida pada buah-buahan dan sayuran, tanaman estrogen
endogen, dalam susu dari sapi perah laktasi hamil, dari lapisan
plastik di kaleng logam, dan obat-obatan.
Sebuah studi oleh Hadziselimovic (2000), dijelaskan peningkatan
konsentrasi estrdiol dalam syncytiotrophoblast basal palsenta anak
laki-laki dengan testis yang tidak turun. Testis tidak turun dan
hipopasdia telah dihubungkan, tetapi peningkatan konsentrasi
estradiol belum terlibat dalam hipospadia (Muttaqin & Sari, 2011).
2.2.4 Patofisiologi
Hipospadi merupakan suatu cacat bawaaan yang diperkirakan
terjadi pada masa embrio selama pengembangan uretra, dari
kehamilan 8-20 minggu.
Perkembangan terjadinya fusi dari garis tengah dari lipatan uretra
tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral
dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang
ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian di sepanjang
batang penis hingga akhirnya di perineum.
Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang
menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal
sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura
(lengkungan) ventral dari penis.
10

Chordee atau lengkungan ventral dari penis, sering dikaitkan


dengan hipospadia, terutama bentuk-bentuk yang lebih berat. Hal ini
diduga akibat dari perbedaan pertumbuhan antara pertumbuhan
jaringan normal tubuh kopral atau uretra ventral dilemahkan dan
jaringan terkait. Pada kondisi yang lebih jarang, kegagalan jaringan
spongiosum dan pembentukan fasia pada bagian distal meatus uretra
dapat membentuk balutan berserat yang menarik meatus uretra
sehingga memberikan kontribusi untuk terbantuknya suatu korda
(Muttaqin & Sari, 2011).
2.2.5 Manifestasi Klinis
1. Kesulitan atau ketidakmampuan berkemih secara adekuat dengan
posisi berdiri
2. Chordee (melengkungnya penis) dapat menyertai hipospadia
3. Testis tidak turun dapat menyertai hipospadia
(Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Purnomo (2011), manifestasi klinis dari
hipospadia dan epispadia antara lain:
1. Pada hipospadia tidak didapatkan prepusium ventral sehingga
prepusium dorsal menjadi berlebihan (dorsal hood)
2. Sering disertai dengan korde (penis angulasi ke ventral).
3. Kadang-kadang didapatkan stenosis meatus uretra dan anomali bawaan
berupa testis maldesensus atau hernia inguinalis.
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa hipospadia dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik. MRI
dan cystourography digunakan untuk mengetahui hubungan penurunan
testis yang abnormal dan malformasi traktus urinarius. Pada
pemeriksaan fisik, meatus uretra eksternal ditemukan pada bagian
ventral penis. Sedangkan pada epispadia meatus uretra eksternal
terletak pada bagian dorsal penis.
Hipospadia merupakan gejala yang simtomatis. Anak laki-laki
dengan hipospadia akan mengalami kesulitan saat BAK. BAK sambil
duduk mungkin bisa dilakukan tergantung dari tingkat keparahan.
11

Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat obstruksi urinary parsial


karena abnormalitas meatus. Jika letak meatus dekat dengan dasar
penis, ejakulasi dan inseminasi normal akan sulit terjadi baik secara
parsial maupun total.
2.2.7 Penatalaksanaan
Koreksi bedah mungkin perlu dilakukan sebelum usia anak 1 atau
2 tahun. Sirkumsisi dihindari pada bayi baru lahir agar kulup dapat
digunakan untuk perbaikan di masa mendatang (Corwin, 2009).
Tujuan operasi hipospadia adalah:
1. Kosmetik penis sehingga fungsi miksi dan fungsi seksual
normal (ereksi lurus dan pancaran ejakulasi kuat)
2. Penis dapat tumbuh dengan normal
Umumnya teknik operasi hipospadia/epispadia terdiri dari dua
tahap, yaitu:
1. Operasi pelepasan chordee dan tunneling.
Dilakukan pada usia 1½ - 2 tahun. Pada tahap ini dilakukan
insisi chordee dari muara uretra sampai ke glans penis. Setelah
eksisi chordee maka penis akan menjadi lurus akan tetapi
uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat keberhasilan
setelah eksisi dilakukan tes ereksi buatan intraoperatif dengan
menyuntikkan NaCl 0.9% ke dalam kavum cavernosum.
Pada saat yang bersamaan dilakukan operasi tunneling, yaitu
pembuatan uretra pada glans penis dan muaranya. Bahan
untuk menutup luka eksisi chordee diambil dari preputim pada
bagian dorsal. Oleh karena itu hipospadia merupakan
kontraindikasi mutlak untuk sikumsisi.
2. Operasi ureteroplasti (membuat neurouretra dari penis)
Biasanya dilakukan enam bulan setelah operasi pertama.
Uretra dibuat dari kulit penis bagian ventral yang di insisi
secara longitudinal parallel di kedua sisi.
Reparasi hipo/epispadia dianjurkan pada usia pra-sekolah agar
tidak mengganggu kegiatan belajar pada saat operasi. Perlu
12

diingat bahwa seringkali rekonstruksi hipo/epispadia


membutuhkan lebih dari sekali operasi, koreksi ulangan jika
terjadi komplikasi. Pada hipospadia posterior dengan disertai
testis maldesensus dianjurkan untuk melakukan uretroskopi
praoperatif guna melihat kemungkinan adanya pembesaran
utrikulus prostatikus yang mungkin terdapat keraguan jenis
kelamin (sexual ambiquity) (Purnomo, 2011).
2.2.8 Komplikasi
1. Striktur uretra (terutama pada sambungan meatus uretra yang
sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat)
2. Fistula
3. Infertility
4. Resiko hernia inguinal
5. Gangguan psikososial
Dapat terjadi disfungsi ejakulasi pada pria dewasa. Apabila
chordeenya parah, maka penetrasi selama berhubungan intim tidak
dapat dilakukan (Corwin, 2009).
2.2.9 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas: meliputi nama, umur, jenis kelamin. Angka kejadian
hipospadia adalah 3,2 dari 1000 kelahiran hidup
b. Keluhan utama: anak mengalami kesulitan BAK, lubang
penis tidak berada pada ujung sehingga pancaran urine bisa jadi
ke samping.
c. Riwayat kesehatan masa lalu
d. Riwayat kesehatan keluarga
e. Riwayat imunisasi
f. Status nutrisi
g. Pemeriksaan fisik:
1) Hipospadia: meatus uretra eksternal ditemukan pada bagian
ventral penis
13

2) Epispadia: meatus uretra eksternal terletak pada bagian


dorsal penis (Ngastiyah, 2005).
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a. Anak
1) Gangguan eliminasi urine b.d bentuk anatomis uretra
eksternal yang abnormal
2) Nyeri b.d iritasi kulit akibat ruam kulit
3) Resiko kerusakan integritas kulit b.d statis urine
4) Resiko infeksi b.d pengeluaran urine yang tidak sempurna
b. Orang Tua
1) Ansietas b.d bentuk abnormal penis saat anak BAK
2) Kurang pengetahuan b.d hipospadia/epispadia pada anak
Hospitalisasi (MRS)
a. Anak
1) Ketakutan b.d prosedur tindakan
2) Ansietas b.d lingkungan asing dan prosedur tindakan
3) Kehilangan kontrol b.d hospitalisasi
b. Orang Tua
1) Ansietas b.d perubahan lingkungan dan prosedur tindakan
pada anak
2) Kurang pengetahuan b.d prosedur tindakan dan sistem
pelayanan RS
Post Operasi
a. Anak
1) Resiko cidera b.d prosedur pembedahan, anesthesia
2) Nyeri b.d insisi bedah
3) Resiko komplikasi b.d prosedur pembedahan
b. Orang Tua
1) Ansietas b.d prosedur pembedahan dan hasil operasi anak
2) Kurang pengetahuan b.d prosedur pembedahan dan hasil
operasi anak
14

WEB of CAUTATION (WOC)

Gangguan keseimbangan hormon Lingkungan Genetik

HIPOSPADIA

Anterior : Medial : Posterior :

- Tipe - Midshaft - Penoskrotal


Granularr - Penis - Skrotal
- Sub koronal Proksimal - Perineal
- Penis distal

Pada Ortu :
Kelainan meatus uretra posterior
- Ansietas
- Kurang
Pancaran urin tidak sempurna Pengetahuan

Urin Menetes Resiko Infeksi

Resiko Kerusakan
Integritas Kulit

Ruam Kulit

Nyeri
Tindakan Uretroplasty
Pembedahan

Port de Entry Kuman Resiko Perdarahan Ansietas Discontinuitas Jaringan

Resiko Infeksi

Hospitalisasi / Pre Op

Anak : Orang Tua:

- Ketakutan - Ansietas
- Ansietas - Kurang
- Kehilangan Pengetahuan
Kontrol
15

2.3 Konsep Dasar tentang Epispadia


2.3.1 Definisi
Epispadia merupakan kelainan kongiental berupa tidak adanya
dinding uretra bagian atas. Kelainan ini terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering pada laki-laki. Ditandai dengan terdapat
nya lubang uretra di suatu tempat pada permukaan dorsum penis
(Dorland, 2011).
Menurut Kamus Keperawatan halaman 217 dikutip oleh
Nurhamsyah (2012), epispadias merupakan malformasi congenital
dimana uretra bermuara pada permukaan dorsal penis. Epispadia adalah
suatu anomaly congiental yaitu terletak pada permukaan dorsal penis.
Insiden epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam 120.000 laki-laki.
Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi juga disertai anomaly
saluran kemih disepanjang batang penis.
Epispadia merupakan suatu kelainan bawaan pada bayi laki-laki,
dimana lubang uretra terdapat di bagian punggung penis atau uretra tidak
berbentuk tabung tetapi terbuka. Epispadias adalah kelainan bawaan dari
alat kelamin eksternal dan bawah saluran kemih akibat perkembangan
yang tidak lengkap dari permukaan dorsal penis atau klitoris dan dinding
atas dari uretra yang karena itu terbuka. Akibatnya, meatus uretra
eksternal memiliki lokasi yang tidak biasa di titik variabel antara leher
kandung kemih dan puncak kepala penis.
2.3.2 Epidemiologi
Menurut Nurhamsyah (2012), epispadia adalah suatu anomali
kongenital yaitu meatus uretra terletak pada permukaan dorsal penis.
Insiden epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam 120.000 laki-laki.
Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi juga disertai anomali
saluran kemih. Inkontinensia urine timbul pada epispadia penopubis
(95%) dan penis (75%) karena perkembangan yang salah dari spingter
urinarius.
16

2.3.3 Etiologi
Penyebab dari epispadia sebagai berikut:
a. Idiopatik, yakni penyebab masih belum diketahui jelas.
b. Dapat dihubungkan dengan faktor genetik, lingkungan atau pengaruh
hormonal.
c. Maskulinisasi inkomplit dari genitalia karena involusi menyangkut
prematur dari sel intertisial testis. Penyebab kelainan ini adalah
maskulinisasi inkomplit dari genitalia karena involusi yang prematur dari
sel interstisial testis selain itu etiologi dari penyakit ini dapat
dihubungkan dengan faktor genetik, lingkungan, dan hormonal.
2.3.4 Tanda dan gejala
a. Uretra terbuka pada saat lahir, posisi dorsal
b. Terdapat penis yg melengkung ke arah dorsal, tampak jelas pada saat
ereksi
c. Terdapat chordae
d. Terdapat lekukan pada ujung penis
e. Inkontinesia urin timbul pd epispadia penopubis (95%) dan penis (75%)
karena perkembangan yang salah dari sfingter urinarius.
2.3.5 Patofisiologi
Epispadia merupakan kelainan kongenital pada bayi laki-laki
ataupun perempuan karena suatu kelainan bawaan pada bayi laki-laki,
dimana lubang uretra terdapat di bagian punggung penis atau uretra tidak
berbentuk tabung, tetapi terbuka. Gangguan dan ketidakseimbangan
hormon juga memicu terjadinya epistasia dimana hormon androgen yang
mengatur organogenesis kelamin (pria) atau karena reseptor hormon
androgen sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga
walaupun hormon eandrogen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi
apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu
efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone
androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama. Keadaan epispadia
17

atau letak lubang uretra kongenital ke sisi dorsal peniis menyebabkan


kesulitan atau ketidakmampuan berkemih secara adekuat dengan posisi
berdiri, (Corwin. Elisabeth J: 713).
2.3.6 Komplikasi dan Prognosis
Epispadia adalah kelainan letak lubang uretra kongenital ke sisi
dorsal pedis, apabila lubang uretra di dorsal luas, dapat menimbulkan
terjadinya ekstrofi (pemajanan melalui kulit) kandung kemih. Ekstrofi
kandung kemih terjadi kira-kira satu dalam 40.000 kelahiran. Hal ini
lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita. Berat-ringan
berkisar dari suatu fistula kulit kecil didalam dinding perut atau
epispadia sederhana sampai ekstrofi sempurna dari kloaka yang
melibatkan pemaparan seluruh usus bagian belakang dan kandung kemih
(Arwin. Benheman Kliegma: 1880).
Pada laki-laki ada epispadia sempurna dengan skrotum yang lebar
dan dangkal, testis yang tidak turun dan hernia inguinalis biasa terjadi.
Pada wanita epispadia dengan duplikasi klitoris dan labia yang terpisah
lebar, anus berpindah tempat ke arah anterior pada kedua jenis kelamin,
dan mungkin terjadi prolaps rekti. Dapat terjadi komplikasi
pseudohermatroditisme merupakan laki-laki sejati tetapi tidak mendapat
cukup androgen atau memberi respon kurang baik terhadap apa yang
diterimanya, sebagai akibat genitalia eksternal laki-lakinya tidak
berkembang dengan sempurna, dan anak tumbuh seperti halnya anak
wanita serta kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera
dioperasi saat dewasa (Hamilton. Persis: 260).
Komplikasi yang dapat timbul dari epispadia, antara lain:
a. Pseudohematrodisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat
kelamin dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa cirri
sexsual tertentu)
b. Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
18

c. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera


dioperasi saat dewasa.
Komplikasi pasca operasi:
a. Edema/ pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan
besarnya dapat bervariasi, juga terbentuknya
hematom/kumpulan darah dibawah kulit, yang biasanya
dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska
operasi
b. Struktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan
disebabkan oleh angulasi dari anastomosis rambut dalam
uretra, yang dapat mengakibat infeksi saluran kencing berulang
atau pembentukan batu saat pubertas
c. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan
digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan
operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini angka kejadian yang
dapat diterima adalah 5-10%
d. Residual chodee/rekuren chordee, akibat dari riliskorde yang
tidak sempurna, dimana tidak melakukan ereksi artificial saat
operasi atau pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis
walaupun sangat jarang
e. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu
lebar, atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi
yang lanjut.
2.3.7 Pengobatan
Pembedahan mungkin perlu dilakukan sebelum usia anak 1 atau 2
tahun. Sirkumsisi harus dihindari pada bayi baru lahir agar kulup dapat
digunakan untuk perbaikan dimasa mendatang karena kulit depan penis
akan digunakan untuk pembedahan. Pasca bedah saluran bagian atas bayi
diamati dengan teliti untuk melihat kemungkinan berkembangnya
hidronefrosis dan infeksi. Kebanyakan bayi seperti ini mengalami refluks
19

vesikouretra dan harus mendapat antibiotika. Apabila anak berumur 1


dan 2 tahun, epispadia yang terjadi direparasi untuk menciptakan suatu
uretra anterior dan memperbaiki malformasi penis. Penatalaksanaan
bedah merekomendasikan penis menjadi lurus dengan meatus uretra
ditempat yang normal sehingga aliran kencing arahnya ke depan dan
dapat melakukan coitus dengan normal (Arwin. Benheman Kliegma:
1881).
Penanganan inkontensia dengan rekonstruksi leher kandung kemih
dicadangkan untuk anak yang tetap mengalami inkontinensis urin
sesudah mereka mencapai pengendalian rektum (Arwin. Benheman
Kliegma: 1881). Tujuan dari penatalaksanaan bedah dari epispadia adalah
merekomendasikan penis menjadi lurus dengan meatus uretra di tempat
yang normal atau dekat normal sehingga aliran kencing arahnya ke depan
dan dapat melakukan coitus dengan normal. Ada beberapa tahap
pembedahan yang dialakukan untuk penatalaksanaan epispadia :
1. One stage Uretroplasty
Teknik operasi sederhana yang sering digunakan, terutama untuk
hipospadia dan epispadia tipe distal. Tipe distal ini meatusnya letak
anterior atau yang middle. Meskipun sering hasilnya kurang begitu bagus
untuk kelainan yang berat. Sehingga banyak dokter lebih memilih untuk
melakukan 2 tahap.
2. Operasi epispadia 2 tahap
Tahap pertama operasi pelepasan chordee dan tunneling dilakukan untuk
meluruskan penis supaya posisi meatus (lubang tempat keluar kencing)
nantinya letaknya lebih proksimal (lebih mendekati letak yang normal),
memobilisasi kulit dan preputium untuk menutup bagian ventral/bawah
penis. Tahap selanjutnya (tahap kedua) dilakukan uretroplasty
(pembuatan saluran kencing buatan/uretra) sesudah 6 bulan. Dokter akan
menentukan tekhnik operasi yang terbaik. Satu tahap maupun dua tahap
dapat dilakukan sesuai dengan kelainan yang dialami oleh pasien.
20

2.3.8 Pencegahan
Pencegahan epispadia dapat dilakukan dengan mencegah adannya
pemaparan lingkugan yang buruk, polusi, karsinogen, trauma fisik dan
trauma psikis saat wanita dalam keadaan hamil. Karena mengingat
etiologi dari epispadia yang merupakan kelainan congenital berkaitan
dengan sekresi hormone, genetic dan lingkungan yang menyebabkan
pembentukan meatus uretra pada janin abnormal.
2.3.9 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas : Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pekerjaan, alamat, dll.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien dengan hipospadia mengeluh penisnya
melengkung ke bawah yang akan tampak lebih jelas pada saat
ereksi dan adanya lubang kencing yang tidak pada tempatnya.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Adanya nyeri pasca pembedahan memungkinkan terjadinya
perubahan tanda-tanda vital, misalnya tekanan dara, nadi,
dan RR yang naik
2) Sistem Pernapasan (B1)
Secara umum, tidak ada gangguan pada sistem pernapasan.
Tetapi mungkin terjadi obstruksi jalan napas karena
hipersalivasi dan penumpukan sekret akibat efek anestesi
3) Sistem Kardiovaskuler (B2)
Secara umum, tidak ada gangguan pada sistem
kardiovaskuler
4) Sistem Persarafan (B3)
Secara umum, tidak ada gangguan pada sistem persarafan
21

5) Sistem Perkemihan (B4)


Karena pasien hipospadia ditemukan adanya penis yang
melengkung ke bawah dan adanya lubang kencing tidak
pada tempatnya, sehingga pada saat BAK tidak normal
6) Sistem Pencernaan (B5)
Pada umumnya nutrisi, cairan, dan elektrolit pasien
hipospadia tidak mengalami gangguan
7) Sistem Muskuloskeletal (B6)
Secara umum, tidak ada gangguan pada sistem
muskuloskeletal
8) Sistem Integumen
Akibat urin yang tidak memancar, menyebabkan urin
merembes sehingga kulit di sekitar area perineal lecet dan
terjadi gangguan integritas kulit.
d. Pengkajian Kognitif
Individu yang memiliki keterbatasan kognitif mungkin tidak
mengetahui tentang proses penyakit, prgnosis, dan
penatalaksanaannya, sehingga akibatnya timbul kecemasan.
e. Pengkajian Psikososial
Adanya kondisi kesehatan yang tidak normal mempengaruhi
hubungan interpersonal. Selain itu, karena pada pasien
hipospadia ditemukan adanya kelainan pada bentuk penisnya
dan cara BAK yang tidak normal, biasanya pasien merasa malu.
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Op
a. Gangguan eliminasi urine bd obstruksi anatomic
b. Ansietas bd stresor
Post Op
a. Nyeri akut bd agens cedera fisik (prosedur bedah)
b. Resiko infeksi
22

WOC

Gangguan ketidakseimbangan Genetik dan


hormon lingkungan

Gangguan perkembangan embrio

Aliran urin tidak


Malformasi Kongenital Hipospadia / Epispadia
lancar

Gangguan
citra tubuh Gangguan
Pembedahan
eliminasi urin

Pre-OP Post-OP

Kurangnya info
Hospitalisasi Luka insisi Perawat
mengenai kondisi
bedah an luka
yang
Gangguan tidak
Ansietas pola tidur Nyeri Akut
Resiko
Infeksi
Terputusnya
jaringan

Kerusakan
integritas kulit
23

2.4 Konsep Dasar tentang Nefrotik Sindrom


2.4.1 Definisi
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis,
meliputi proteinuria masif > 3,5 gr/hr, hipoalbuminemia, edema,
hiperlipidemia. Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat
merusak membran kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan
permeabilitas glomerulus (Muttaqin, 2012). Sindrom nefrotik terjadi
tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa oliguria dengan
urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat. Pada
dewasa terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia (Mansjoer, 2001).
Nefrotik sindrom adalah gangguan klinik yang ditandai dengan
peningkatan protein urine (proteinuria), edema, penurunan albumin
dalam darah (hipoalbuminemia), dan kelebihan lipid dalam darah
(hiperlipidemia). Kejadian ini diakibatkan oleh kelebihan pecahan
plasma protein ke dalam urine karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler glomerulus. (dr.nursalam, dkk. 2009)
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat
hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah, 2005).
Sindroma nefrotik adalah suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa
menunjukkan penyakit yang mendasari, dimana menunjukkan kelainan
inflamasi glomerulus. Secara fungsional sindrom nefrotik diakibatkan
oleh keabnormalan pada proses filtrasi dalam glomerulus yang biasanya
menimbulkan berbagai macam masalah yang membutuhkan perawatan
yang tepat, cepat, dan akurat (Alatas, 2002).
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinik dengan proteinuria masif
(>3,5 g/hari), hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidimia, biasanya
kadar BUN normal. Disertai penyakit glomerulus (idiopatik) primer atau
mungkin berkaitan dengan berbagai gangguan sistemik dengan ginjal
yang terserang secara sekunder (Sylvia A. Price, 2005).
24

2.4.2 Etiologi
Menurut Mansjoer, 2001 Penyebab sindrom nefrotik yang pasti
belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi
menjadi :
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal dan
umumnya resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan
biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh : Malaria kuartana atau parasit lainnya, Penyakit
kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid,
Glumerulonefritis akut atau kronik, Trombosis vena renalis. Bahan kimia
seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
Amiloidosis seperti penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membrano proliferatif hipo komplementemik.
c. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer.
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, terbagi menjadi :
 Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu.
Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding
kapiler glomerulus.
 Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
 Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma
25

endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat, dengan penebalan batang


lobular, Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular, Dengan bulan sabit ( crescent), Didapatkan proliferasi sel
mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral.
Prognosis buruk.
 Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA
rendah. Prognosis buruk.
 Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
atrofi tubulus. Prognosis buruk.
Penyebab sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 menurut muttaqin. 2012
adalah:
1)      Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti:
 Glomerulonefritis
 Nefrotik sindrom perubahan minimal
2)      Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain,
seperti:
 Diabetes mellitus
 Sistema lupus eritematosus
 Amyloidosis
2.4.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya
bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya
lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan
disekitar mata (periorbital) yang tampak pada pagi hari, dan berlanjut ke
abdomen terjadi penumpukan cairan pada rongga pleura yang
menyebabkan efusi pleura, daerah genitalia dan ekstermitas bawah yaitu
26

pitting (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas, penumpukan cairan


pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.
 Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa, volume urin berkurang,
warna agak keruh dan berbusa, selama beberapa minggu mungkin
terdapat hemturia dan oliguri terjadi karena penurunan volume cairan
vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang
mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH)
 Pucat
 Hematuri
 Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
 Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan
keletihan umumnya terjadi.
 Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang)
 Proteinuria > 3,5 gr/hr pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hr pada anak-anak
 Hipoalbuminemia < 30 gr/l
 Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia
 Hiperkoagulabilitas, yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan
arteri
 Kenaikan berat badan secara progresif dalam beberapa hari/minggu.
 klien mudah lelah atau lethargie tapi tidak kelihatan sakit payah.
 Hipertensi (jarang terjadi) karena penurunan voulume intravaskuler yang
mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan
sistem renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh
darah.
 Pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air
27

2.4.4 Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999: 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal (MCNS: minimal change nephrotic
syndrome)
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia
sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat
hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system
endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
c. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal.
Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala
awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap
semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-tahun pertama
kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

Sindrom nefrotik menurut terjadinya


a. Sindrom Nefrotik Kongenital
Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe
Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak
lahir premature (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat
badan). Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa
edema, asites, biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu
pertama. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia,
proteinuria massif dan hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa
kelainan congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata
lebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan
meninggal karena infeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara
28

untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini adalah


pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya
meninggi.
b. Sindrom nefrotik yang didapat termasuk sindrom nefrotik primer yang
idiopatik dan sekunder.
2.4.5 Patofisiologi
Penyebab dari sindrom nefrotik dibagi menjadi dua, yaitu primer dan
sekunder
a. Primer: berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal lain seperti:
glomerulonefritis, perubahan minimal nefropathy, membranous
nephropathy, focal glomerulosclerosis.
b. Sekunder; akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain,
seperti: diabetes mellitus disertai glomerulosklerosis interkapiler, Sistema
lupus eritematosus, amyloidosis, pre-eklampsia dan trombosis vena renal.
Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma protein,
terutama albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan
produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus
mempertahankannya jika albumin terus-menerus hilang melalui ginjal
sehingga terjadi hipoalbuminemia.
Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema
generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam
ruang caiaran ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume darah
mengaktifkan sistem renin-angiotensin menyebabkan retensi natrium dan
edema lebih lanjut. Manifestasi hilangnya protein dalam serum akan
menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan
konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal
intrinsik atau sistemik yang memengaruhi glomerulus. Meskipun secara
umum penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom
nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Respon
29

perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan memberikan


berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus
progresif cepat (Muttaqin, 2011).
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder.
Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding
kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan
hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada
sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan
protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein di dalam tubulus terlalu
banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan
dalam urin (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang
terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia,
pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah
2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologi tetapi
kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic
intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial,
hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke
ruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan
(Silvia A Price, 2005).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume
darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif,
sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang
mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan
sistem rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh
darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume
atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang
reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormon
anti diuretik yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus.
30

Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik


plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat
edema (Husein A Latas, 2002).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretik
hormon akan mengaktivasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik
kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang
disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun
karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat
menyebabkan arteriosclerosis (Husein A Latas, 2002).
Pada status nefrosis hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserida) dan lipoprotein serum meningkat. Hipoproteinemia
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein
dan katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma. Sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Apakah lipoprotein plasma keluar melalui urin belum jelas (Behrman,
2000). 
Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik
atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum
penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik
juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Respon perubahan
patologis pada glomerulus secara fungsional akan memberikan berbagai
masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus progresif
cepat.
2.4.6 Pemeriksaan diagnostik
a. Laboratorium
1) Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria).
Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya
darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin. Berat jenis kurang dari
31

1,020 menunjukkan penyakit ginjal. Contoh glomerulonefritis,


pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk meningkatkan,
menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat. pH
lebih besar dari 7 ditemukan pada infeksi saluran kencing,
nekrosis tubular ginjal dan gagal ginjal kronis (GGK). Protein
urin meningkat (nilai normal negatif).
2) Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit
menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium
meningkat. Albumin. Kimia serum : protein total dan albumin
menurun, kreatinin meningkat atau normal, trigliserida meningkat
dan gangguan gambaran lipid. Penurunan pada kadar serum dapat
menunjukkan kehilangan protein dan albumin melalui urin,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis
karena kekurangan asam amino essensial. Kolesterol serum
meningkat (umur 5-14 tahun : kurang dari atau sama dengan 220
mg/dl).
Pemeriksaan urin dan darah untuk memastikan proteinuria,
proteinemia, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.
b. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa. Biopsi dengan
memasukkan jarum kedalam ginjal: pemeriksaaan histology jaringan
ginjal untuk menegakkan diagnosis.
c. Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3,
cryoglobulins, serum electrophoresis).
2.4.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan
menurunkan risiko komplikasi.
32

a. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk
mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki
keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya,
yaitu:
 Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai
kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam
secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein
2-3 gram/kgBB/hari.
 Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat
digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari.
Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila
edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari)
selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi,
alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
 Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan
adanya TBC
 Diuretikum
Boleh diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid,
klortahidon, furosemid atau asam ektarinat. Dapat juga diberikan
antagonis aldosteron seperti spironolakton (alkadon) atau kombinasi
saluretik dan antagonis aldosteron.
 Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children
(ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :
a) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60
mg/hari/luas permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80
mg/hari.
b) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari
dengan dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu
33

dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka


pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
c) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap
minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.
 Lain-lain
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.
Bila ada gagal jantung, diberikan digitalis (Behrman, 2000)
 Diet
Diet rendah garam (0,5 – 1 gr sehari) membantu menghilangkan
edema. Minum tidak perlu dibatasi karena akan mengganggu fungsi
ginjal kecuali bila terdapat hiponatremia. Diet tinggi protein teutama
protein dengan ilai biologik tinggi untuk mengimbangi pengeluaran
protein melalui urine, jumlah kalori harus diberikan cukup banyak.
Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai
1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari.
Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini
dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam
usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten
dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit
harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak
yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk
menjamin masukan yang adekuat.
Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4
gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema masih berat.
Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit. Diet rendah
natrium tinggi protein. Masukan protein ditingkatkan untuk
menggantikan protein di tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan
diet rendah natrium.
34

 Kemoterapi:
Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang
mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari
hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari.
Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan
setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek
samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan,
osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan
hipertensi.
 Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk
mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton
dan sitotoksik (imunosupresif). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan
pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-
obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
 Tirah baring: menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama
beberapa hari diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna
mengurangi edema. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya
cairan di rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas. Berikan alas
bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan
memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih
rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
 Terapi cairan: jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan
output diukur secara cermat da dicatat. Cairan diberikan untuk
mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.
 Perawatan kulit: edema masif merupakan masalah dalam perawatan
kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang
sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum.
Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut,
menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah
35

popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus
disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan
menggosok kulit.
 Perawatan mata: tidak jarang mata anak tertutup akibat edema
kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka
harus diswab dengan air hangat.
 Penatalaksanaan krisis hipovolemik: anak akan mengeluh nyeri
abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan
memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
 Pencegahan infeksi: anak yang mengalami sindrom nefrotik
cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun
infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan
steroid dan siklofosfamid.
 Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang
tepat, penimbangan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan
dekubitus.
 Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali
terganggu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini
merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan
yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk
rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang
tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini.
Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena
mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
 Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal di bawah skrotum
untuk mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah
terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab
kematian pasien).
36

2.4.8 Komplikasi
a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah
akibat hipoalbuminemia.
b. Shock hipovolemik: terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1
gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga
menyebabkan shock.
c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi
sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
e. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi
untuk mencegah terjadinya trombosis vena ini sering terjadi pada vena
renalis. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan
pemberian heparin.
f. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya
penumpukan cairan di dalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan
di dalam intravaskuler.
g. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk
kedalam paru-paru yang menyebabkan hipoksia dan dispnea.
h. Perburukan pernafasan (berhubungan dengan retensi cairan)
i. Kerusakan kulit
j. Peritonitis (berhubungan dengan asites)
k. Hipovolemia
l. Komplikasi tromboemboli- terombosis vena renal, trombosis vena dan
arteri ekstremitas dan trombosis arteri serebral
2.4.9 Asuhan keperawatan berdasarkan teori
A. Pengkajian
a. Identitas klien:
 Umur: lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-sekolah
(3-6 tahun). Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas
tubuh dan kelainan genetik sejak lahir.
37

 Jenis kelamin: anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan anak


perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak
3-6 tahun terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak berada
pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan
kenikmatan dari beberapa daerah genitalnya. Kebiasaan ini dapat
mempengaruhi kebersihan diri terutama daerah genital. Karena
anak-anak pada masa ini juga sering bermain dan kebersihan tangan
kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat memicu terjadinya
infeksi.
 Agama
 Suku/bangsa
 Status
 Pendidikan
 Pekerjaan
b. Identitas penanggung jawab
Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan
hubungannya dengan klien.
c. Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama: kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut
membesar (adanya acites).
 Riwayat kesehatan sekarang
Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu
menanyakan hal berikut:
 Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
 Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai
dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah
 Kaji adanya anoreksia pada klien
 Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
38

 Riwayat kesehatan dahulu


Perawat perlu mengkaji:
 Apakah klien pernah menderita penyakit edema?
 Apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus
dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya?
 Penting juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa
lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
 Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang
memicu timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik
d. Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
 Pola nutrisi dan metabolisme: anoreksia, mual, muntah.
 Pola eliminasi: diare, oliguria.
 Pola aktivitas dan latihan: mudah lelah, malaise
 Pola istirahat tidur: susah tidur
 Pola mekanisme koping : cemas, maladaptif
 Pola persepsi diri dan konsep diri : putus asa, rendah diri
e. Pemeriksaan Fisik
1) Status kesehatan umum
 Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
 Kesadaran: biasanya compos mentis
 TTV: sering tidak didapatkan adanya perubahan.
2) Pemeriksaan sistem tubuh
 B1 (Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya hgangguan pola nafas dan
jalan nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan
terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan
39

adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas yang merupakan


respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.

 B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder
dari peningkatan beban volume.
 B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat
parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.
 B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola
 B5 (Bowel)
Adanya mual-muntah, anoreksia sehingga didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
 B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder
dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.
f. Pengkajian Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik secara umum,
terutama albumin. Keadaaan ini juga terjadi akibat meningkatnya
permeabilitas membran glomerulus.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan bd kehilangan protein sekunder terhadap
peningkatan permiabilitas glomerulus
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan bd malnutrisi sekunder
terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan
3. Resiko tinggi infeksi bd imunitas tubuh yang menurun
4. Ansietas bd lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi)
5. Intoleransi aktifitas bd kelelahan
40

6. Gangguan body image bd perubahan penampilan


7. Kerusakan integritas kulit bd edema, penurunan pertahanan tubuh
8. Ketidakefektifan pola pernafasan bd gangguan fungsi pernafasan.
2.5 Konsep Dasar tentang Gagal Ginjal
2.5.1 Definisi
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang
biasanya dieliminasi di urine menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin
dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal
merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum
dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.
2.5.2 Jenis Gagal Ginjal
1) Gangguan Ginjal Akut (GnGA)
a. Sering berkaitan dengan penyakit kritis
b. Berjalan cepat dalam hitungan hari – minggu
c. Biasanya reversibel bila penderita dapat bertahan dengan
penyakit kritisnya
2) Penyakit Ginjal Kronik (GGK) = End - Stage Renal Disease (ESRD)
Dimulai dengan kerusakan yang progresif pada nefron dalam waktu
lama dan irreversibel
2.5.3 Gagal Ginjal Akut
1. Pengertian GnGA
Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal
akut, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan
kadar kreatinin dan produk sisa nitrogen darah yang bersifat
reversibel dan disertai ketidakmampuan ginjal untuk meregulasi
keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Etiologi
a. Faktor prarenal
41

Semua faktor yang menyebabkan peredaran darah ke ginjal berkurang


dengan terdapatnya hipovolemia, misalnya :
 Perdarahan karena trauma operasi.
 Dehidrasi atau berkurangnya volume cairan ekstra seluler
(dehidrasi pada diare).
• Berkumpulnya cairan interstisiil di suatu daerah luka (kombustio,
pasca bedah yang cairannya berkumpul di daerah operasi,
peritonitis dan proses eksudatif lainnya yang menyebabkan
hipovolemia).
b. Faktor renal
Pada tipe ini gangguan ginjal akut timbul akibat kerusakan jaringan
ginjal. Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga
faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena
hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan
iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal. Prosesnya dapat berlangsung
cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan–lahan
dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat
merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia
kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal.
Beberapa penyebab kelainan ini adalah :
• Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik,
renjatan sepsis dan renjatan hemoragik.
• Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca
sreptococcoc, lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor
ginjal.
• Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor
lain yang langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan
kerusakan.
42

• Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan


dan iskemia lama, nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida
organik), hemoglobinuria dan mioglobinuria.
• Pielonefrits akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi
umumnya pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit
primer maupun sebagai komplikasi kelainan struktural
menyebabkan kehilangan faal ginjal secara progresif.
• Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
c.Faktor Pascarenal
Pascarenal yang biasanya menyebabkan gagal ginjal akut biasanya
akibat dari obstruksi di bagian distal ginjal. Tekanan di tubulus
ginjal meningkat, akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat.
Meskipun patogenesis pasti dari gagal ginjal akut dan oliguria belum
diketahui, namun terdapat masalah mendasar yang menjadi
penyebab. Beberapa faktor reversible jika diidentifikasi dan
ditangani secara tepat sebelum fungsi ginjal terganggu. Beberapa
kondisi yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan
gangguan fungsi ginjal: (1) hipovolemia; (2) hipotensi; (3)
penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif; (4) obstruksi
ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah, atau
batu ginjal dan (5) obstrusi vena atau arteri bilateral ginjal.
3. Manifestasi klinis GGA
Keluhan dan gejala gagal ginjal akut pada anak tidak khas. Gagal
ginjal akut hendaknya dipertimbangkan pada anak-anak dengan
gejala-gejala sebagai berikut :
1) Gejala-gejala non-spesifik dari uremia: mual, muntah, anoreksia,
drowsiness atau kejang.
2) Oliguria atau anuria (< 300 ml/m2/hari atau <1 ml/kg BB/jam)
3) Hiperventilasi karena asidosis.
4) Sembab.
43

5) Hipertensi.
6) Kelainan sedimen urine misalnya: hematuria, proteinuria.
7) Tanda-tanda obstruksi saluran kemih misalnya: pancaran urine
yang lemah, kencing menetes atau adanya masa pada palpasi
abdomen.
8) Keadaan-keadaan yang merupakan faktor predisposisi gagal
ginjal akut, misalnya diare dengan dehidrasi berat, penggunaan
aminoglikosida, khemoterapi pada leukemia akut.
4. Kriteria Diagnosis GnGA
Pada tahun 2004, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)
mengajukan definisi gangguan ginjal akut pada pasien anak dan
dewasa yaitu dipakai sistem RIFLE (R: risk, I: injury, F: failure, L:
loss of kidney function, dan E: end stage renal disease).
Tabel 2.1. Kriteria Pediatrik RIFLE
Kategori Estimated creatinine clearance
Produksi urin
(eCCl) sesuai rumus Schwartz
Risk eCCl menurun 25% <0.5 mL/kgBB/jam
selama 8 jam
Injury eCCl menurun 50% <0.5 mL/kgBB/jam
selama 16 jam
Failure eCCl menurun 75% atau <0.3 mL/kgBB/jam
selama 24 jam
< 35mL/mnt/1.73m2 BSA atau anuria selama >12 jam
Loss Failure > 4 minggu
End Stage Failure > 3 bulan
5. Fase GGA
Secara klinis gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
a. Fase oliguri / anuria
44

Jumlah urin berkurang hingga 10–30 ml sehari. Pada bayi, anak-


anak berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala–gejala uremia
(pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia,
kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia,
hiponatremia, dan asidosis metabolik.
b. Fase diuretic
Pada fase ini urine bertambah setiap hari hingga menjadi poliuri.
Hal ini disebabkan karena kadar ureum tinggi dalam darah
(diuresis osmotik), faal tubulus belum baik, pengeluaran cairan
berlebihan. Terjadi hiponatremia karena kehilangan natrium
melalui tubulus yang rusak. Lamanya fase ini berlangsung
selama 2 minggu.
c. Fase penyembuhan atau fase pasca diuretic
Pada fase ini poliuria berkurang demikian juga gejala uremia.
Fungsi glomerulus dan tubulus berangsur-angsur membaik.
6. Patofisiologi GGA
Pada gagal ginjal akut terjadi ketidakmampuan ginjal untuk
memfiltrasi sisa buangan, pengaturan cairan, dan mempertahankan
keseimbangan kimia.
Tipe prerenal merupakan hasil dari penurunan perfusi renal
yang dapat disebabkan oleh dehidrasi, asfiksia perinatal, hipotensi,
septic syok, syok hemoragik atau obstruksi pada arteri renal, diare
atau muntah, syok yang disebabkan oleh pembedahan, luka bakar,
hipoperfusi berat (pada pembedahan jantung). Hal ini menimbulkan
penurunan aliran darah renal dan terjadi iskemik.
Tipe intrarenal merupakan hasil dari kerusakan jaringan ginjal
yang mungkin disebabkan oleh nefrotoksin seperti aminoglycosides,
glomerulonefritis, dan pyelonefritis.
Tipe postrenal adanya obstruksi pada aliran urine. Obstruksi
dapat meningkatkan tekanan dalam ginjal yang mana dapat
45

menurunkan fungsi renal. Penyebabnya dapat obstruksiureteropelvic,


obstruksi ureterovesical, neurogenik bladder, posterior urethral
valves, tumor atau edema.

7. Komplikasi GGA
Infeksi, asidosis metabolic, hiperkalemi, uremia, payah jantung,
kejang uremik, perdarahan, Gagal ginjal kronik.
2.5.4 Gagal Ginjal Kronik
1. Definisi Penyakit Ginjal ronik (PGK)
Merupakan penyakit ginjal dengan kerusakan ginjal minimal tiga bulan
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).( The
National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI, 2002). Penyakit ginjal kronik adalah
kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan
kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika
tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m².
2. Stadium PGK
Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di
bawah
ini (KDIGO, 2013).
Tabel 2.2 Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013)

Kategori LFG LFG (ml/min/1.73 m2) Batasan

G1 > 90 Normal atau Tinggi


G2 60–89 Penurunan ringan
G3a 45–59 Penurunan ringan sampai
sedang
G3b 30–44 Penurunan sedang sampai
46

berat
G4 15–29 Penurunan berat
G5 <15 Gagal ginjal RRT :
Transplantasi
Hemodialisa
PD

3. Etiologi PGK
Penyakit ginjal kronik pada anak dapat disebabkan berbagai etiologi
seperti kelainan ginjal kongenital, didapat, diturunkan ataupun penyakit
metabolic ginjal. Penyebab lainnya adalah sindroma nefrotik, infeksi
saluran kemih, uropati obtruktif, nefropathy refluks, hipertensi,
sindroma prune belly, nekrosis kortikal, Glumerulonefritis kronik,
glomerulosklerosis fokal segmenta;, penyakit ginjal polikistik, nefropati
IgA, Lupur Erimatosus Systemik dan syndrome hemolitik uremik. Pada
anak dibawah usia 5 tahun paling sering disebabkan kelainan kongenital
seperti hypoplasia, dysplasia ginjal (11%) dan uropati obstruktif (22%).
Sedangkan pada anak diatas usia 5 tahun, PGK sering disebabkan oleh
penyakit didapat seperti glumerulonefritis atau penyakit yang diturunkan
seperti syndrome Alport. Secara umum penyebab terbanyak PGK pada
anak adalah kelainan uropati (30-33%) dan glomerulonefropati (25-
27%)
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PGK pada anak bervariasi tergantung dari penyebab
PGK. Jika penyebabnya adalah glumerulonefritis manifestasi yang
muncul adalah: edema, hipertensi, hematuria dan protein urea.
Sedangkan pasien dengan kelainan kongenital seperti dysplasia ginjal
dan uropati obstruktif manifestasi yang muncul adalah : gagal tumbuh,
dehidrasi kkarena poliuri, infeksi saluran kemih, maupun insufisiensi
ginjal. Pada stadium lanjut pasien tampak pucat, perawakan pendek, dan
menderita kelainan tulang.
5. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik
47

Penyakit ginjal kronik pada anak dengan penyebab seperti diatas.


Respon ginjal pada PGK pada umumnya sama walaupin etiologi
berbeda. Pada faal penyakit, ginjal beradaptasi terhadap kerusakan
dengan meningkatkan LFG oleh nefron normal yang tersisa, namun
makin lama menyebabkan kerusakan glomerulus progresif akibat
peningkatan tekanan hidrostatik pada dinding kapiler dan efek toksik
protein yang melintasi dinding kapiler. Seiring berjalannya waktu,
jumlah nefron yang sclerosis akan semakin banyak, sehingga terjadi
peningkatan bebann skskresi pada nefron yang masih bertahan. Kondisi
ini akan tetrus berulang dan semakin banyak nefron yang rusak hingga
berakhir dengan gagal ginjal terminal (GGT)
6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
hiperkalemia, perikarditis, hipertensi, anemia, penyakit tulang (Smeltzer
& Bare, 2001)
7. Pemeriksaan Penunjang Pada Gagal Ginjal
a. Tes Darah
 Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum – meningkat.
kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir
 Natrium dan Kalsium serum – menurun
 Kalium dan Fosfor serum – meningkat
 pH dan bikarbonat (HCO3) serum – menurun (asidosis
metabolik)
 Haemoglobin, hematokrit, trombosit – menurun (disertai
penurunan fungsi sel darah putih dan trombosit)
 Glukosa serum – menurun (umum terjadi pada bayi)
 Asam urat serum – meningkat
 Kultur darah – positif (disertai infeksi sistemik)
 SDM:  menurun, defisiensi eritropoiti
48

 GDA: asidosis metabolik, pH  kurang dari 7


 Protein (albumin) : menurun
 Magnesium: meningkat
b. Tes Urine
 Urinalitas – sel darah putih dan silinder
 Elektrolit urine osmolalitas, dan berat jenis – bervariasi
berdasarkan proses penyakit dan tahap GGA
 Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan
disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen.
Warna urine kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin, porfirin
 Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak
ada urine (anuria)
 Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
 Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
ginjal tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
 Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat
menunjukkkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga
ada
 Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
 Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
c. Elektrokardiogram (EKG) – perubahan yang terjadi berhubungan
dengan ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
d. Kajian foto toraks dan abdomen – perubahan yang terjadi
berhubungan dengan retensi cairan.
e. Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg
f. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
49

g. Ultrasonografi ginjal : untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya


masa , kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
h. Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal,
keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
i. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, massa

8. Penatalaksanaan Medis
a. Prinsip penatalaksanaan gagal ginjal secara umum adalah :
b. Stabilkan keseimbangan cairan dan elektrolit
c. Dukung fungsi kardiovaskuler
d. Cegah infeksi
e. Tingkatkan status nutrisi
f. Kendalikan perdarahan dan anemia
g. Lakukan dialysis
h. Transplantasi ginjal
1) Gagal Ginjal Akut
a) Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi
yang adekuat terjadi oliguria.
b) Diet tinggi kalori dan lemak, rendah protein, kalium dan garam,
jika anak tidak dapat makan melalui mulut maka makanan
diberikan melalui intravena dan zat nutrisi yang diberikan
mengandung asam amino esensial.
c) Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran
cairan atau makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai
elektrolit darah, nilai BUN dan nilai kreatinin.
d) Mengatasi hiperkalemia, pemberian kalsium glukonas 0,5
ml/kgbb, diberikan intravena selama 2–4  menit disertai dengan
monitoring EKG, pemberian sodium bicarbonat, 2–3 mEq /
50

kgbb, diberikan intravena selama 30–60 menit untuk


meningkatkan pH darah.
e) Pemberian glukosa 50 % dan insulin, 1 U/kg, diberikan secara
intravena, mempercepat pembentukan glikogen menyebabkan
glukosa dan kalium masuk dalam sel.
f) Pemberian resin ion perubah seperti polystyrene sodium
sulfonate (kayexalate), 1/kgbb diberikan secara oral atau rektal
yang bertujuan untuk mengikat kalium dan mengeluarkannya
dari tubuh.
g) Dialisis dilakukan jika disertai dengan tanda – tanda asidosis
berat yang sudah berlangsung lama, cara – cara lain sudah
ditempuh untuk mengurangi kalium, terlihat gejala – gejala
uremik, overload sirkulasi, hipertensi, gejala gagal jantung.
2) Gagal Ginjal Kronis
a) Konservatif:
 Penentuan dan pengobatan penyebab
 Pengoptimalan dan maintanance keseimbangan garam dan
air
 Koreksi obstruksi saluran kemih
 Deteksi awal dan pengobatan infeksi
 Pengendalian hipertensi
 Diet rendah protein, tinggi kalori
 Deteksi dan pengobatan komplikasi
b) Terapi penggantian Ginjal
 Hemodialisis (membran semipermiabel ada pada mesin)
 Dialisis peritoneal (membran semipermiabel menggunakan
peritoneum)
 Transplantasi ginjal
51

WOC GAGAL GINJAL

Respon asidosis
metabolik

Masalah pernapasan

Kerusakan
pertukaran gas
52

Asuhan Keperawatan pada Gagal Ginjal


1. Pengkajian
Menurut Wong, 2004 dalam Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik,
fokus pengkajian pada anak dengan gagal ginjal adalah :

 Pengkajian awal
- Lakukan pengkajian fisik rutin dengan perhatian khusus
pada pengukuran parameter pertumbuhan.
- Dapatkan riwayat kesehatan, khususnya mengenai
disfungsi ginjal, perilaku makan, frekuensi infeksi, tingkat
energi.
- Observasi adanya bukti-bukti manifestasi gagal ginjal
kronik.
 Pengkajian terus-menerus
- Dapatkan riwayat untuk gejala-gejala baru atau peningkatan
gejala.
- Lakukan pengkajian fisik dengan sering, dengan perhatian
khusus pada tekanan darah, tanda edema, atau disfungsi
neurologis
- Kaki respons psikologis pada penyakit dan terapinya.
- Bantu pada prosedur diagnostik dan pengujian (urinalisis,
hitung darah lengkap, kimia darah, biopsi ginjal).
1) Biodata
70 % kasus GGA terjadi pada bayi di bawah 1 tahun pada minggu
pertama kehidupannya.
2) Keluhan utama
Mual, muntah, anoreksia, drowsiness atau kejang, edema
3) Riwayat penyakit sekarang
Urine klien kurang dari biasanya kemudian wajah klien bengkak dan
klien muntah.
53

4) Riwayat penyakit dahulu


- Diare hingga terjadi dehidrasi
- Glomerulonefritis akut pasca streptokok
- Penyakit infeksi pada saluran kemih yang penyembuhannya tidak
adekuat sehingga menimbulkan obstruksi.
5) Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada hubungan secara langsung dalam timbulnya penyakit gagal
ginjal.
6) Activity Daily Life
1) Nutrisi            : Nafsu makan menurun (anorexia), muntah
2) Eliminasi       : Jumlah urine berkurang sampai 10–30 ml sehari
(fase oliguria)
3) Aktivitas        : Klien mengalami kelemahan
4) Istirahat tidur  : Kesadaran menurun
5) Pemeriksaan
7) Pemeriksaan Umum:
BB meningkat, TD dapat normal, meningkat atau berkurang
tergantung penyebab primer gagal ginjal.
8) Pemeriksaan Fisik:
1) Keadaan umum:  malaise, debil, letargi, tremor, mengantuk, koma
2) Kepala: edema periorbital
3) Dada: takikardi, edema pulmonal, terdengar suara nafas tambahan
4) Abdomen: terdapat distensi abdomen karena asites
5) Kulit: pucat, mudah lecet, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh,
rambut tipis dan kasar, leukonikia, warna kulit abu-abu mengkilat,
kulit kering bersisik
6) Mulut:  lidah kering dan berselaput, fetor uremia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut
7) Mata: mata merah.
54

8) Kardiovaskuler:  hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung,


pericarditis, pitting edema, edema periorbital, pembesaran vena
jugularis, friction rub perikardial.
9) Respiratori: hiperventilasi, asidosis, edema paru, efusi pleura,
krekels, napas dangkal, kussmaul, sputum kental dan liat.
10) Gastrointestinal:  anorexia, nausea, gastritis, konstipasi/diare,
vomitus, perdarahan saluran GI.
11) Muskuloskeletal:  kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang, foot drop, hiperparatiroidisme, defisiensi vit. D, gout.
12) Genitourinari: amenore, atropi testis, penurunan libido, impotensi,
infertilitas, nokturia, poliuri, oliguri, haus, proteinuria,
13) Neurologi: kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan
perilaku.
14) Hematologi:  anemia, defisiensi imun, mudah mengalami
perdarahan (Brunner & Suddarth, 2001)
2. Diagnosa Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan (00026)
2) Pola nafas tidak efektif (0032)
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002)
4) Gangguan istirahat tidur (00096)
5) Gangguan rasa nyaman (00214)
6) Kerusakan integritas kulit (00046)
7) Perubahan perfusi jaringan (00228)
55

Contoh Kasus

An. A (6 tahun ), JK : laki-laki, datang dibawa ibunya kerumah sakit dengan


keluhan badan anaknya bengkak-bengkak di seluruh badan terutama dibagian wajah
dan mata. Ibunya mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur pagi hari mata anaknya
sembab, namun sembab berkurang di sore hari, sembab juga menyebar dibagian perut
dan esoknya pada kedua kaki, sejak 4 hari yag lalu BAK berwarna merah tua dan
sedikit. Mual muntah (-), batuk pilek(-) dan sesak nafas (-). Pada saat dikaji terlihat
terdapat luka borok pada kulit An. A. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, pada pemeriksaan TTV didapatkan nadi 112x/menit, RR :
44x/menit, suhu : 36,70C, dan tekanan darah 130/80mmHg. BB= 42kg, PB 136cm.
pada pemeriksaan lab darah rutin diperoleh HB : 10,9 g/dl, WBC : 5.900, trombosit :
398.00, Ht : 33%, kolesterol total 479 gr/dl, protein total 2,4 g/dl, albumin: 1,0 g/dl,
globulin : 1,46 g/dl, Ureum : 31mg/dl,. Pasien anoreksia (+), oedem priorbita (+),
hipoalbuminemia (+) dan pada ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II. Pada
pemeriksaan urin lengkap diperoleh warna : kuning, kejernihan :agak keruh, berat
jenis : 1,005, pH 5,5, glukosa (-), bilirubin (-),darah (+2), protein (+3) , urobilonogen
(+1), leukosit (+1). Th/ medikamentosa yg diberikan furosemid 2x30gr.

A.     Pengkajian
1.      Identitas klien
Nama : An. A
Umur : 6 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
2.      Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
56

An. A (6 tahun), JK : laki-laki, datang dibawa ibunya ke rumah sakit dengan


keluhan badan anaknya bengkak-bengkak di seluruh badan terutama dibagian
wajah dan mata.

b) Riwayat penyakit sekarang


Ibunya mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur pagi hari mata anaknya
sembab, namun sembab berkurang di sore hari, sembab juga menyebar dibagian
perut dan esoknya pada kedua kaki, sejak 4 hari yag lalu BAK berwarna merah
tua dan sedikit. Pada saat dikaji terlihat terdapat luka borok pada kulit An. A.
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, pada
pemeriksaan TTV didapatkan nadi 112x/menit, RR : 44x/menit, suhu : 36,7 0C,
dan tekanan darah 130/80mmHg. Pasien anoreksia (+), oedem priorbita (+),
hipoalbuminemia (+) dan pada ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II.
c) Riwayat penyakit dahulu
Ibu klien mengatakan bahwa An. A sudah mengalami gejala ini dari 1 tahun yang
lalu. Tetapi gejala tersebut agak berkurang selama 3 bulan dan mulai mengalami
gejala yang sama pada bulan lalu.
d) Riwayat penyakit keluarga
Ibu klien mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit
yang sama dengan An. A
3.      Pola fungsional
No Pola fungsional Hasil pasien
1 Pola Makan/cairan An. A anoreksia
2 Pola Aktivitas/latihan An. A mengalami kesulitan beraktivitas karena
tampak lemah dan lemas.
3 Pola Sirkulasi nadi 112x/menit, RR : 44x/menit, tekanan darah
130/80mmHg. badan anaknya bengkak-bengkak di
seluruh badan terutama dibagian wajah dan mata.
Ibunya mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur
57

pagi hari mata anaknya sembab, namun sembab


berkurang di sore hari, sembab juga menyebar
dibagian perut dan esoknya pada kedua kaki, oedem
priorbita (+), hipoalbuminemia (+) dan pada
ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II.
4 Pola Eliminasi sejak 4 hari yag lalu BAK berwarna merah tua dan
sedikit, Pada pemeriksaan urin lengkap diperoleh
warna : kuning, kejernihan :agak keruh, berat jenis :
1,005, pH 5,5, glukosa (-), bilirubin (-),darah (+2),
protein (+3) , urobilonogen (+1), leukosit (+1).
5 Pola Nyeri/kenyamanan Luka pada kulit An. A tidak begitu nyeri masih
diskala 3 tetapi membuat An. A tidak nyaman.
6 Pola Pernapasan RR : 44x/menit.
7 Pola Keamanan An. A dijaga oleh kedua orang tua klien yang setia
menemani An. A dirumh sakit.
8 Pola Istirahat-tidur An. A mengalami gangguan istirahat dan tidur
karena tidak nyaman dengan kondisi lingkungan di
Rumah Sakit.

4.      Pemeriksaan fisik


a) Keadaan umum
b) Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis,
c) b)      Tb : 136 cm
d) c)      BB : 42 kg
e) Tanda-tanda Vital
58
59

TTV Nilai Normal Nilai Keterangan pd Abnormalitas


Pasien Pasien
TD Bayi: 70-90/50 mmHg 130/80 normal Meningkat: apabila terjadi Penyakit ginjal, ketidakstabilan aorta,
Anak : 80-100/60 mmHg mmHg kelainan hormonal, dan arteri yang menyempit, Keadaan emosi

Remaja : 90-110/66 yang tak menentu

mmHg
Penurunan: apabila terjadi perubahan hormon, pelebaran
Dewasa muda: 110-
pembuluh darah, efek samping obat, anemia, hati &
140/60-90 mmHg
endokrin bermasalah, Dehidrasi, Pendarahan, Otot jantung
Dewasa tua : 130-
lemah, Detak jantung tidak normal, kehamilan, kurang
150/80-90 mmHg
nutrisi, dan
Suhu 36,50C -37,50C 36,70C normal Meningkat: apabila terjadi demam (infeksi bakteri atau
virus seperti influenza, pilek, HIV, malaria, gastroenteritis;
berbagai radang kulit seperti borok, jerawat, abses; penyakit-
penyakit imunologi seperti lupus eritematosus, sarkoidosis;
kerusakan jaringan yang dapat terjadi pada pembedahan,
hemolisis, perdarahan serebral; obat-obatan baik secara
langsung seperti obat-obat progesteron, kemoterapi atau
sebagai efek samping obat seperti obat antibiotik, atau akibat
penghentian obat seperti pada orang yang ketagihan heroin;
60

kanker seperti penyakit hodgkin; penyakit metabolik seperti


gout, forforia; serta proses tromboemboli seperti emboli paru
dan trombosis vena dalam (DVT).

Menurun: apabila terjadi akibat penurunan produksi


panas, gangguan hormon tiroid atau pituitary, gangguan
termoregulasi, gangguan di hipotalamus, Kelelahan dan
Kurang tidur.
Nadi Bayi: 120-130 x/mnt 112x/ Tidak normal Meningkat: Pada waktu melakukan aktivitas, kebugaran,
Anak : 80-90 x/mnt menit (terjadi suhu, temperatur udara,  posisi tubuh, emosi, berat badan,
Dewasa: 70-100 x/mnt peningkatan) obat-obatan. faktor risiko untuk stroke, jantung.
Lansia: 60-70 x/mnt
RR Bayi: 30-40 x/mnt 44x/ Tidak normal Meningkat: apabila terjadi susunan tulang yang abnormal,
Anak: 20-30 x/mnt menit (terjadi kekurangan cairan, emosi yang tidak stabil.
Dewasa : 16-20 x/mnt peningkatan)
61

5.      Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan Nilai normal Nilai Keterangan pd Abnormalitas
lab pasien pasien
Hb Wanita : 12-14 10,9 Normal Penurunan: anemia penyakit ginjal, dan pemberian cairan intra-
gr/dl g/dl vena (misalnya infus) yang berlebihan. Selain itu dapat pula
Pria: 13-16 gr/dL disebabkan oleh obat-obatan tertentu seperti antibiotika, aspirin,
Anak-anak: 10- antineoplastik (obat kanker), indometasin (obat antiradang).
16 gr/dL Peningkatan: dehidrasi, penyakit paru obstruktif menahun
Bayi baru lahir: (COPD), gagal jantung kongestif, dan luka bakar. Obat yang
12-24gr/dL dapat meningkatkan  Hb yaitu metildopa (salah satu jenis obat
darah tinggi)  dan gentamicin (Obat untuk infeksi pada kulit
Trombosit Pria: Trombosit : 398.00 Normal Menurun: apabila terjadi demam berdarah, perdarahan dan
150.000 – hambatan perm-  bekuan darah, adanya infeksi, anemia aplastik,
440.000 (150.000 leukimia, mielofibrosis, immunologic thrombocitopenia perpura
– 400.000) mm3 (ITP).
Wanita: Meningkat: kelainan pada sumsum tulang dan DNA sebagai
Trombosit : pemberi perintah, infeksi akut, perdarahan, hemolisis, kanker,
150.000 – spelenektomi, dan penyakit sel darah seperti leukemia serta TBC
400.000 mm3 kronik.
WBC pria: 4.000- 5.900 tdk normal Peningkatan : menunjukkan adanya proses infeksi atau radang
11.000 (terjadi akut,misalnya pneumonia (radang paru-paru), meningitis (radang
wanita: 5.000- penurunan) selaput otak), apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis,
62

10.000 tonsilitis, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan oleh
anak: 9.000- obat-obatan misalnya aspirin, prokainamid, alopurinol,
12.000 antibiotika terutama ampicilin, eritromycin, kanamycin,
streptomycin.
Penurunan : dapat terjadi pada infeksi tertentu terutama virus,
malaria, alkoholik, obat-obatan, terutama asetaminofen
(parasetamol), kemoterapi kanker, antidiabetika oral, antibiotika
(penicillin, cephalosporin, kloramfenikol), sulfonamide (obat anti
infeksi terutama yang disebabkan oleh bakter).
Ht Wanita: 37 – 45 33% Normal Penurunan: terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan
% darah akut (kehilangan darah secara mendadak, misal pada
Pria: 40 – 50 % kecelakaan), anemia, leukemia, gagal ginjal kronik, malnutrisi,
Anak: 33 -38% kekurangan vitamin B dan C, kehamilan, ulkus peptikum
(penyakit tukak lambung).
Peningkatan: Ht terjadi pada dehidrasi, diare berat,eklampsia
(komplikasi pada kehamilan), efek pembedahan, dan luka bakar.
kolesterol 150-270 mg/dl 479 Tdk normal Meningkat: jaundice obstruksi
total gr/dl (terjadi Menurun: penyakit hati, sindrom malaborpsi
peningkatan
protein total 6,5-8,8 mg/dl 2,4 Tdak normal Meningkat: penyakit hati, penyakit kolagen, infeksi kronis.
gr/dl (terjadi Menurun: penyakit hati lanjut/berat, alkoholik, penyakit ginjal,
penurunan) coliitis ulseratif, perdarahan hebat, gagal jantung tau
63

immobilisasi.
albumin Dewasa: 3,8 – 5,1 1,0 g/dl Tdk normal Penurunan: malnutrisi, radang menahun, sindrom malabsorpsi,
gr/dl (terjadi penyakit hati menahun, kelainan genetik, Peningkatan ekskresi
Anak: 4,0 – 5,8 penurunan) (pengeluaran); luka bakar luas, penyakit usus, nefrotik sindrom
gr/dl (penyakit ginjal).
Bayi: 4,4 – 5,4 Meningkat: infeksi, rusaknya ginjal dan glomerulus,
gr/dl glomerulonefritis, hepatitis, malaria, tubulointerstitisl disease
Bayi baru lahir: (toxic, allergic, vasculer, infective, hereditary), neoplasia,
2,9 – 5,4 gr/dl mieloma multipel (igG, IgA, IgD, IgE, dan rantai ringan bebas),
limfoma.
globulin 2.0 - 3.5 g/dL 1,46 Tdk normal Meningkat: Infeksi kronis (Tuberculosis, Adrenal cortical
g/dl (terjadi hypofunction , disfungsi hati, Collagen Vascular Disease
penurunan) (Rheumatoid Arthritis, Systemic Lupus, Scleroderma), Gejala
Hipersensitivitas, Dehidrasi, Gangguan respirasi, Hemolisis,
Cryoglobulinemia, Alcoholism, Leukimia
Menurun: Malnutrisi dan malabsorbsi Gangguan produksi
protein, Penyakit Liver, Diare, Ketidakseimbangan hormone
sehingga merusak jaringan, Proteinuria, Kehamilan.
Ureum 20-40 mg 31mg/ Normal Peningkatan kadar ureum disebut uremia: gagal ginjal,
dl penurunan aliran darah ke ginjal seperti pada syok, kehilangan
darah, dan dehidrasi, peningkatan katabolisme protein seperti
pada perdarahan gastrointestinal disertai pencernaan hemoglobin
64

dan penyerapannya sebagai protein dalam makanan, perdarahan


ke dalam jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukemia
(pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka bakar,
demam, obstruksi saluran kemih di bagian bawah ureter,
kandung kemih, atau urethra yang menghambat ekskresi urin,
obat-obatan (nefrotoksik; diuretic (hidroklorotiazid, asam
etakrinat, furosemid, triamteren); antibiotic (basitrasin,
sefaloridin (dosis besar), gentamisin, kanamisin, kloramfenikol,
metisilin, neomisin, vankomisin).
Penurunan : Pada nekrosis hepatik akut, sirosis hepatis,
karsinoma payudara, malnutrisi protein jangka panjang, akhir
kehamilan, dan obat fenotiazin.
65

6.      Pemeriksaan lainnya


Anoreksia (+), oedem priorbita (+), hipoalbuminemia (+) dan pada ektstremitas pitting edema
(+) dengan derajat II.
7.      Pemeriksaan urine
Pemeriksaan Nilai normal Nilai pasien Keterangan pd
urine pasien
Warna Kuning muda-kuning tua Kuning Normal
Kejernihan Jernih-agak keruh agak keruh Normal
Berat jenis 1.003-1.030 1,005 Normal
pH 4,6-8,5 5,5 Normal
Glukosa (-) (-) Normal
Bilirubin (-) (-) Normal
Darah (-) (+2) Tidak normal
Protein (-) (+3) Tidak normal
Urobilonogen (-) (+1) Tidak normal
Leukosit (-) (+1) Tidak normal

B.     Analisa data


Nama : An. A
Umur : 6 tahun
Diagnosa medis: sindrom nefrotik

Data Etiologi Masalah


Ds: Kehilangan Kelebihan
    An. A (6 tahun ), JK : laki-laki, datang dibawa ibunya protein volume cairan
kerumah sakit dengan keluhan badan anaknya bengkak- sekunder
bengkak di seluruh badan terutama di bagian wajah dan terhadap
mata. peningkatan
    Ibunya mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur pagi permeabilitas
hari mata anaknya sembab, namun sembab berkurang di sekunder
sore hari, sembab juga menyebar dibagian perut dan
66

esoknya pada kedua kaki.


     sejak 4 hari yag lalu BAK berwarna merah tua dan sedikit.
Do:
     oedem priorbita (+)
     pada ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II.
     nadi 112x/menit
     RR : 44x/menit
     tekanan darah 130/80mmHg
     darah (+2)
     urobilonogen (+1)
     leukosit (+1)
Ds: Pasien anoreksia (+) Anoreksia Ketidakseimb
Do: angan nutrisi
      kolesterol total 479 gr/dl kurang dari
      Protein total 2,4 g/dl, kebutuhan

      Albumin: 1,0 g/dl, tubuh.

      globulin : 1,46 g/dl,


      hipoalbuminemia (+)
     protein (+3)
    An. A (6 tahun ), JK : laki-laki, datang dibawa ibunya Edema Kerusakan
kerumah sakit dengan keluhan badan anaknya bengkak- integritas kulit
bengkak di seluruh badan terutama dibagian wajah dan
mata.
    Ibunya mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur pagi
hari mata anaknya sembab, namun sembab berkurang di
sore hari, sembab juga menyebar dibagian perut dan
esoknya pada kedua kaki.

DO:
     Pada saat dikaji terlihat terdapat luka borok pada kulit An.
67

A.
     oedem priorbita (+)
     pada ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II.
Ds: Kerusakan Resiko
Do: jaringan infeksi
     Pada saat dikaji terlihat terdapat luka borok pada kulit An.
A.
Wbc 5.900

D.     Diagnosa keperawatan


1.      Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
2.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan
makanan
3.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema
4.      Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan
68

E.     Intervensi keperawatan


Diagnosa NOC NIC
Kelebihan volume cairan Kriteria Hasil: a. Jaga intake/ asupan yang
berhubungan dengan a. Keseimbangan elektrolit akurat dan catat output
gangguan mekanisme b. Eliminasi urine (pasien)
regulasi c. Tanda-tanda vital b. Monitor status hidrasi
NOC: c. Monitor hasil
a. Tanda-tanda vital dalam laboratorium yang
rentang normal relevan dengan retensi
b. Keseimbangan intake cairan
dan output dalam 24 jam d. Monitor indikasi
c. Edema perifer kelebihan cairan/retensi
d. Bola mata cekung dan e. Kaji lokasi dan luas
lembek edema
f. Berikan terapi IV
g. Berikan diuretic
Ketidakseimbangan nutrisi Kriteria Hasil: a. Monitor intake makanan/
kurang dari kebutuhan tubuh a. Nafsu makan cairan dan hitung
berhubungan dengan kurang b. Status nutrisi: asupan masukan kalori perhari,
asupan makanan makanan dan cairan sesuai kebutuhan
c. Status nutrisi: b. Dorong pasien untuk
pengukuran biokimia memilih makanan
NOC: setengah lunak
a. Asupan kalori c. Motivasi pasien untuk
b. Asupan protein mengkonsumsi makanan
c. Asupan lemak yang tinggi kalsium,
d. Asupan karbohidrat kalium
d. Sediakan pasien
makanan dan minuman
bernutrisi yang tinggi
protein, tinggi kalori,
daan mudah dikonsumsi
e. Kaji kebutuhan nutrisi
69

parental
f. Ciptakan lingkungan
yang membuat suasana
yang menyenangkan dan
menenangkan
g. Berikan perawatan mulut
sebelum makan
Kerusakan integritas kulit Kriteria Hasil: a. Monitor perubahan status
berhubungan dengan edema a. Penyembuhan luka paru dan jantung yang
sekunder menunjukkan kelebihan
b. Akses hemodialysis cairan atau hidrasi
NOC: b. Meminimalkan asupan
a. Elastisitas makanan dan minuman
b. Perfusi jaringan dengan dieuretik atau
c. Integritas kulit pencahar
d. Lesi pada kulit c. Batasi cairan yang sesuai
e. Lesi mukosa membrane d. Jaga intake/asupan dan
output yang akurat
e. Pantau adanya tanda dan
gejala retensi cairan
Resiiko infeksi berhubungan Kriteria Hasil: a. Ukur luas luka
dengan kerusakan jaringan a. Penyembuhan luka b. Monitor karakteristik
b. Control resiko proses luka
infeksi c. Berikan perawatan luka
c. Penyembuhan luka : pada kulit
sekunder d. Periksa luka setiap kali
NOC: ada perubahan
a. Kemerahan e. Reposisi klien setdaknya
b. Nyeri setiap 2 jam
c. Kolonisasi area luka f. Anjurkan keluarga untuk
mengenal tanda daan
gejala infeksi
70

BAB 3

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 SIMPULAN

Hipospadia merupakan kelainan bawaan dimana lubang uretra terletak di dekat ujung
penis, yaitu pada glans penis. Epispadia merupakan kelainan kongiental berupa tidak
adanya dinding uretra bagian atas. Kelainan ini terjadi pada laki-laki maupun perempuan,
tetapi lebih sering pada laki-laki. Ditandain dengan terdapat nya lubang uretra di suatu
tempat pada permukaan dorsum penis. Nefrotik sindrom adalah kumpulan gejala yang
disebabkan oleh adanya injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakterristik;
proteinuria, hipoproteinuria, hypoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema. Gagal ginjal
terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan
fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan
tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik
dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.

Gangguan saluran kemih adalah gangguan dari kandung kemih atau uretra.
Ginjal, Uretra, kandung kemih adalah organ-organ yang menyusun saluran kemih.
Fungsi utama dari saluran ini adalah untuk membuang air dan sisa metabolisme dan
mengeluarkannnya sebagai urin. Fungsi masing-masing organ dari sistem perkemihan
tersebut tidak luput dari suatu masalah atau abnormal. Sehingga hal ini dapat
menimbulkan beberapa penyakit atau gangguan antara lain adalah hipospadia, epispadia,
nefrotik sindrom dan gagal ginjal kronik.

3.2 SARAN

Diharapkan dengan mengetahui definisi, gejala dan manifestasi klinik dari


hipospadia, epispadia, neftroyik sindrom dan gagal ginjal pada anak, perawat selaku
tenaga kesehatan yang professional dapat melakukan asuhan keperawatan dengan tepaat
dan cepat.
71

DAFTAR PUSTAKA

Bare Brenda G, Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC,
Jakarta.

Corwin, E. J., 2009. Buku Saku Patofisiologi. 3 penyunt. Jakarta: EGC.

Dr. Lyndon saputra. 2007. Pengantar kebutuhan dasar manusia. Jakarta: penerbit buku
binapura aksara.

Gray, M. & Moore, K. N., 2009. Urologic Disorders Adult and Pediatric Care. USA: Mosby
Elsevier.

Muttaqin, A. & Sari, K., 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.

Muttaqin, A. & Sari, K., 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.

Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Purnomo, B. B., 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV SAgung Seto.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, 2002, Ilmu Keseatan Anak FKUI : Jakarta

Suriadi dan Yuliani, Rita, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, Fajar
Interpratama : Jakarta

Suryadi & Yuliani, R., 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Agung Seto.

Price Anderson Sylvia, Milson McCarty Covraine, Patofisiologi, buku-2, Edisi 4, EGC,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai