Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindroma nefrotik (SN) merupakan penyakit kelainan ginjal yang paling sering terjadi
pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan adanya kelainan
perubahan selektivitas permeabilitas dinding kapiler glomerulus1. Kelainan ini
menyebabkan adanya proteinuria massif ( ≥ 40 mg/m 2 LPB/jam atau dipstick ≥ 2+)
sehingga terjadi hypoalbuminemia (< 2,5 g/dL), hiperkolesterolemia (>250 mg/dL), dan
edema2. Beberapa gejala klinis inilah yang disebut dengan sindroma klinik. Pada pasien
SN biasanya muncul edema palpebral atau pretibial yang kadang diikuti dengan gejala
hipertensi atau hematuria3.
Usia, ras, dan geografi cukup berpengaruh terhadap insidensi penyakit ini. Jenis HLA
tertentu (HLA-DR7, HLA-B8, HLA-B12) dikaitkan dengan peningkatan kejadian SN 1,2.
Insidensi SN di Amerika dan Inggris juga sekitar 2-7 kasus per 100.000 anak pertahunya,
sedangkan prevalensinya berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak dengan perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:12. Isidensi ini lebih tinggi di negara berkembang,
Indonesia dilaporkan sekitar 6 kasus per 100.000 pertahunnya pada anak usia dibawah 14
tahun3. Data lain didapatkan dari Divisi Nefrologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RS Cipto
Mangunkusumo yang mencatat sekitar 130 kasus baru muncul selama tahun 2004-20084,5.
Etiologi SN pada anak secara garis besar dibagi 3 yaitu kongenital, primer atau
idiopatik dan sekunder mengikuti penyakit sitemik3. SN kongenital biasanya terjadi pada
bayi < 6 bulan dan bersifat herediter 2. SN idiopatik paling sering terjadi pada sindroma
nefrotik dengan kelainan minimal (SNKM) sebanyak 80% diikuti kelainan lainnya seperti
glumorulosklerosis fokal segmental (GSFS), mesangial proliferation difus (MPD),
nefropati membranosa (GNM). SN sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti lupus
eritematous (LES), purpura Henoch-Schonlein, dll6.
Komplikasi SN yang sering terjadi adalah infeksi, thrombosis, gagal ginjal akut, dll7.
Pemeriksaan klinis dan gambaran patologi anatomi dapat memberikan prognosis dari
penyakit ini. Penatalaksanaan SN terbukti efektif dengan pemberian kortokosteroid berupa
prednisone dengan mempertimbangkan fase remisi dan relaps serta kertergantungan dan
efek kortikosteroid ini sendiri6. Hal ini yang mendasari akan pembahasan penegakan
diagnose sindroma nefrotik mulai dari etiopatogenesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sindrom nefrotik dan manifestasi klinisnya ?
2. Bagaimana mekanisme etiopatogenesis, cara menegakkan diagnosis dan tatalaksana
sindrom nefrotik?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sindrom nefrotik secara menyeluruh beserta manifestasi klinisnya.
2. Untuk mengetahui etiopatogenesis, cara penegakan diagnosis melalui pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, differential diagnose, dan tatalaksa dari sindrom
nefrotik sesuai kompetensi.
1.4 Manfaat
Mahasiswa dapat melakukan studi literature tentang penyakit sindrom nefrotik (SN) dan
mengetahui cara penegakan diagnosis serta melakukan penatalaksanaanya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang banyak ditemukan pada anak, dan
merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan adanya proteinuria masif,
hypoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan odem atau sembab2. Proteinuria massif jika
protein dalam urin sebesar ≥ 40 mg/m 2LBP/jam atau ≥ 50-100 mg/kgBB/hari atau dipstick
≥ +2. Hipoalbuminemia jika albumin dalam darah menurun hingga ≤ 2,5 gram/dL.
Hiperkolesterolemia merupakan kenaikan kolesterol dalam darah ≥ 250 mg/dL. Sembab
pada SN biasanya terjadi di periorbital dan pretibial atau dapat odem anasarka 3. Selain
gejala ini dapat muncul gejala hipertensi, hematuria, atau azotemia6.
2.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi ginjal


Ginjal atau ren merupakan sepasang organ retroperitoneal berwarnacoklat kemerahan,
yang terletak di sisi kanan dan kiri kolumna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai
vertebra L3; dinding posterior abdomen disetiap sisi columna vertebralis yang sebagian
ren terlindung di bawah arcus costalis. Ren dexter terletak lebih rendah dibandingkan ren
sinistra karena ukuran lobus hepatis dexter yang besar 8. Ketika kontraksi diaphragm saat
pernafasan, kedua ginjal turun sejauh 1 inci (2,5 cm). Pada batas medial yang konkaf
terdapat celah vertical yang dibatasi oleh labia tebal substansi ginjal yang disebut hilum.
Hilum berlanjut ke cavitas besar yang disebut sinus renalis dan berisi vena renalis, dua
4
cabang arteri renalis, ureter, dan cabang ketiga arteria renalis, pembuluh limfe dan serat
simpatis. Hilum ren dextra lebih pendek dibandingkan ren sinistra. Masing-masing ginjal
memiliki fasies anterior, fasies inferior, margo lateralis, margo medialis, ekstremitas
superior dan ekstremitas inferior9. Bagian luar ginjal dilapisi oleh capsula fibrosa, capsula
adiposa, fasia renalis dan corpus adiposum pararenal. Masing masing ginjal memiliki
bagian yang berwarna coklat tua di bagian luar yang disebut korteks dan medulla renalis
di bagian dalam yang berwarna coklat muda. Medulla renalis terdiri dari kira-kira 12
piramis renalis; basis yang mengarah ke korteks dan apeksnya, yang masing- masing
memiliki papilla renalis di bagian apeksnya. Di antara piramis renalis terdapat kolumna
renalis yang memisahkan setiap piramis renalis8. Pada sinus renalis terdapat ujung ureter
yang melebar yang disebut perlvis renalis; terbagi menjadi dua atau tigas calyces renales
major yang masing-masing terbagi lagi menjadi dua atau tiga calyx renales minor. Pada
setiap calyx terindentasi oleh apex pada papilla renalis9.
Korteks dan medulla ginjal mengandung satu juta nefron yang sangat berfungsi dalam
fisiologis tubuh. Ginjal sendiri merupakan organ memiliki fungsi utama sebagai :
a. Organ ekskresi sebagian besar produk sisa hasil metabolisme dalam bentuk urin yang
dikeluarkan melalui ureter, vesika urinaria, dan urethra.
b. Hemostasis dalam mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit darah8.
Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus
(kapiler glomerulus) dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus
merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi menjadi urin dan
dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler glomerulus
bercabang dan beranastomosis yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira
60mmHg), dibandingkan dengan jaringan kapiler lain10.
Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus
dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus masuk
ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada
korteks ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of
Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan asenden. Pada ujung cabang
asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki kemampuan kosong
untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju tubulus rektus
dan tubulus koligentes modular hingga urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan
kemudian bergabung membentuk struktur pelvis renalis11. Terdapat 3 proses dasar yang
berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi
tubulus. Filtrasi dimulai pada saat darah mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi
5
filtrasi plasma bebas-protein menembus kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Proses
ini dikenal sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam
pembentukan urin. Setiap hari terbentuk ratarata 180 liter filtrat glomerulus. Dengan
menganggap bahwa volume plasma rata-rata pada orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini
berarti seluruh volume plasma tersebut difiltrasi sekitar enam puluh lima kali oleh ginjal
setiap harinya. Apabila semua yang difiltrasi menjadi urin, volume plasma total akan habis
melalui urin dalam waktu setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya
tubulus-tubulus ginjal yang dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat
dipergunakan oleh tubuh. Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke dalam plasma
kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang direabsorpsi tidak
keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan
kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difiltrasi setiap
hari, 178,5 liter diserap kembali, dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui pelvis
renalis dan keluar sebagai urin. Secara umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan
direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak diperlukan akan tetap bersama urin
untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada
perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi
tubulus merupakan rute kedua bagi zat-zat dalam darah untuk masuk ke dalam tubulus
ginjal. Cara pertama adalah dengan filtrasi glomerulus dimana hanya 20% dari plasma
yang mengalir melewati kapsula Bowman, sisanya terus mengalir melalui arteriol eferen
ke dalam kapiler peritubulus. Beberapa zat, mungkin secara diskriminatif dipindahkan
dari plasma ke lumen tubulus melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar
ginjal tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi12.
2.3 Etiologi dan Epidomiologi
Etiologi sindrom nefrotik berdasarkan pada pembagiannya secara klinis dimana SN
terbagi menjadi 3 jenis yaitu:
1. Sindrom nefrotik kongenital
Sindrom nefrotik kongenital adalah sindrom nefrotik klinis yang muncul selama 6
bulan pertama kehidupan. Terdapat dua tipe pada sindrom nefrotik kongenital yaitu
tipe Finlandia dan tipe heterogen. Tipe Finlandia adalah kelainan resesif autosomal
yang paling umum terjadi pada orang-orang keturunan Skandinavia dan disebabkan
oleh mutasi pada komponen protein dalam lapisan filtrasi glomerulus. Tipe kedua
adalah kelainan yang terjadi pada kelompok heterogen termasuk diantaranya
mesangial sklerosis difus dan kondisi yang terkait dengan obat-obatan atau infeksi.
Diagnosis pralahir dicurigai jika ada peningkatan kadar alpha-fetoprotein ibu1,2.
6
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah :
- Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
- Denys-Drash syndrome (WT1)
- Frasier syndrome (WT1)
- Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
- Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
- Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, a-actinin-4; TRPC6)
- Nail-patella syndrome (LMX1B)
- Pierson syndrome (LAMB2)
- Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
- Galloway-Mowat syndrome
- Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
2. Sindrom nefrotik primer/idiopatik
Sindrom nefrotik primer merupakan beberapa kelainan ginjal yang terjadi secara
primer karena kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa adanya penyebab lain atau
biasa disebut idiopatik. Menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney
Disease in Children) sindroma nefrotik primer dikelompokkan berdasarkan kelainan
histopatologik glomerulus sebagai berikut :
- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
- Nefropati Membranosa (GNM)
Kelainan glomerulus ini biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopi cahaya,
mikroskop electron serta imunofluoresensi. Sindrom nefrotik yang paling banyak
menyerang anak-anak adalah Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) sebanyak
70-80% dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. SNKM banyak
terjadi pada anak-anak usia < 7 tahun. Sedangkan anak usia 7-16 tahun memiliki risiko
sebanyak 50% untuk terkena SNKM6. Gambaran histopatologik sindrom nefrotik
primer di Indonesia menurut Wila Wirya mendapatkan 44,2% SNKM dari 364 anak
yang dibiopsi, sedangkan menurut Noer terdapat 39,7% SNKM dari 401 anaka yang
dibiopsi di Surabaya5.
7
3. Sindrom nefrotik sekunder6,13
Sindrom nefrotik sekunder muncul akibat dari penyakit sistemik atau berbagai sebab
yang pasti seperti efek samping obat. Penyakit sistemik yang sering dijumpai sebagai
sebab antara lain sebagai berikut :
- Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, sindrom alport, miksedema.
- Immune complex mediated seperti lupus erimatosus sistemik (LES), purpura
Henoch-Schonlein, sarcoidosis.
- Neoplasma seperti limfoma, tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal,
dan leukemia.
- Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis),
Sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis
nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
- Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptococcus, AIDS.
2.4 Patofisiologi
Kelainan utama pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding
kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia.
Berdasarakan biopsi, prosesus podosit tampak menipis secara luas (tanda sindrom nefrotik
idiopatik) menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula
dengan gangguan sistem imun kompleks, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada
focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma diproduksi oleh bagian dari
limfosit yang teraktivasi sehingga menyebabkan kenaikan permeabilitas dinding kapiler.
Selain itu, mutasi protein podosit (podocin, a-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit)
berkaitan juga dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS)2.
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan
gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori,
termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein2.
1) Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein
≥ 40 mg/m2 LBP/jam disebut protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan
dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik. Proteinuria massif terjadi
akibat gangguan permeabilitas glomerulus; hilangnya muatan negatif disepanjang
endotel kapiler glomerulus dan membrane basal. Hal ini menyebabkan albumin yang
bermuatan negative tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus1,5,6.
8

Gambar 2. Dinding kapiler glomerulus: sel endotel, membrana basalis, dan sel epitel.
2) Hipoalbuminemia
Akibat albumin atau protein yang banyak keluar melalui urin maka abnormalitas
sistemik yang terjadi adalah hipoalbuminemia. Pada sindrom nefrotik
hipoalbuminemia terjadi jika kadar albumin < 2,5 g/dL. Pada keadaan normal,
produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang
diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Sebanyak 10% albumin akan
mengalamai katabolisme albumin di tubulus proksimal ginjal, selebihnya dominan
terjadi pada ekstrarenal. Peningkatan katabolisme albumin ini juga dapat menjadikan
hipoalbuminemia1,5,6.
Selain penyebab diatas, pada pasien sindrom nefrotik hypoalbuminemia terjadi
juga karena laju sintesis albumin meningkat sekitar tiga kali lipat untuk dapat
mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin
dalam saluran gastrointestinal dapat berkontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia.
Secara eksperimental pada tikus tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati
untuk meregulasi sintesis protein mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan
peningkatan dua kali lipat laju transkripsi gen albumin hepar. Namun, peningkatan
sintesis albumin tidak adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia,
sehingga mengindikasikan adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada
pasien sindrom nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk
meningkatkan laju sintesis albumin di hati untuk mengembalikan konsentrasi plasma
albumin. Oleh karena pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak
habis, respon sintesis albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak
mencapai level yang adekuat. Tubulus proksimal yang diisolasi pada kelinci terbukti
memiliki sistem transportasi ganda untuk uptake albumin. Hal ini menunjukkan bahwa
sebenarnya pada keadaan muatan protein yang berlebih, tetapi masih dalam level
fisiologis, tingkat penyerapan tubular untuk albumin meningkat karena beban yang
disaring naik. Kompensasi peningkatan sintesis albumin secara katabolik dapat terjadi
pada sindrom nefrotik6,14.
Kesimpulannya hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik terjadi akibat beberapa
faktor seperti simpanan total albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak, laju
9
katabolik absolut mungkin normal atau bahkan kurang, dan status nutrisi diet rendah
protein, perubahan multipel homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi
dengan baik dengan sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin
tubulus ginjal.
3) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom
nefrotik. Underfilled theory merupakan teori hipotesis klasik tentang pembentukan
edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan
onkotik koloid plasma intravaskuler akibat hypoalbuminemia; peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi
albuminuria. Hal ini menyebabkan ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari
ruang intravaskular ke ruang interstisial yang kemudian timbul edema. Penurunan
volume plasma atau volume sirkulasi efektif akan menstimulasi timbulnya retensi air
dan natrium renal. Hal ini timbul sebagai kompensasi tubuh agar volume dan tekanan
intravaskuler normal sehingga tidak terjadi hipovolemi. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan semakin menurunkan tekanan onkotik plasma
sehingga semakin mempercepat ekstravasasi cairan ke interstisial. Berkurangnya
volume intravascular merangsang sekresi renin untuk mengaktivasi aksis RAAS
(renin-angiotensin-aldosteron) yang mengakibatkan retensi natrium dan air sehingga
produksi urin menurun (oliguria), pekat, dan kadar natrium rendah6.
Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma ↓

Volume plasma intravaskuler ↓

Retensi Na renal sekunder ↑

Edema

Gambar 3. Teori underfilled

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya
10
edema. Teori ini juga menjelaskan adanya peningkatan volume plasma dengan
penurunan aktivitas renin plasma serta kadar aldosterone yang rendah akibat
hypovolemia6.
Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer

Volume plasma ↑

Edema

Gambar 4. Teori overfilled


4) Hiperkolesterolemia
Peningkatan kadar lipid (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada
sindrom nefrosis akibat hypoalbuminemia atau hipoproteinemia. Kondisi
hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein termasuk lipoprotein di hepar.
Namun, katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma1,6.

2.5 Gejala Klinis


Gejala klinis yang paling sering ditemui pada semua tipe sindrom nefrotik adalah
sembab; yang tejadi pada sekitar 95% penderita. Pada tipe kelainan minimal (SNKM)
sembab sering tampak lebih parah dibandingkan GSFS atau GNMP karena proteinuria dan
hioproteinemia yang lebih hebat. Sembab seringkali salah ditafsirkan dengan anak
bertambah gemuk karena timbul secara lambat. Pada fase awal sembab bersifat
intermitten dan tampak ringan pada daerah dengan resistensi jaringan yang rendah seperti
periorbital, skrotum, dan labia. Sembab akan berlanjut menjadi acites, menyebabkan
distensi abdomen yang kadang disertai efusi pleura atau tidak sehingga terjadi gangguan
pernapasan berupa restriksi pernapasan dan sebagai kompensasinya menjadi tachypnea.
Semakin lama sembab bersifat menyeluruh dan massif (anasarca), dependen, dan jika
ditekan tampak pitting edem (lunak dan berbekas saat ditekan) serta membuat kulit anak
tampak lebih pucat. Sembab seringkali berubah sesuai posisi sehingga akan tampak sering
sembab muka saat bangun tidur pagi hari, dan menjadi bengkak ekstremitas bawah pada
siang hari1,3,6.
Sembab mukosa usus juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan gangguan gastro
intestinal berupa diare pada penderita sindroma nefrotik. Nyeri perut dapat terjadi akibat
hepatomegaly atau pembengkakan hati yang terjadi karena sintesis albumin yang
meningkat. Selain itu, sembab dinding perut atau asites yang bertambah berat dapat
11
menyebabkan nyeri perut berat, hernia umbilikalis dan prolapse ani. Malnutrisi dapat
terjadi pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid karena anoreksia dan terbuangnya
protein1,3,6.
Selain sembab gejala klinis utama sindrom nefrotik adalah proteinuria massif >
40mg/m2/jam atau > 50mg/kgBB/24 jam; sekitar 1-10 gram/hari. Penderita SNKM
memiliki kadar proteinuria yang lebih besar dibandingkan tipe yang lain. Geja klinis
kedua adalah hypoalbuminemia dengan kadar albumin serum < 2,5 g/dL. Penurunan kadar
albumin dalam serum ini akibat dari hilangnya protein secara massif melalui urin.
Hyperlipidemia juga merupakan gejala umum SN yang berbanding terbalik dengan kadar
albumin serum. Hal ini berarti terjadinya hiperkolesterolemia dengan kadar kolesterol
LDL dan VLDL meningkat, serta penurunan kadar kolesterol HDL. Kadar lipid akan tetap
tinggi dalam waktu 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari preoteinuria1,2,3,6.
Gejala umum lainnya yang biasa ditemui adalah hipertensi, hematuria mikroskopik,
peningkatan ureum kreatinin serum, pembesaran ginjal ringan, efusi pleura, dll.
Berdasarkan penelitian ISKDC terdapat 30% penderita SNKM memiliki tekanan sistolik
dan diastolic > 90th persentil umur. Penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan
peningkatan kadar ureum kreatinin serum biasanya terjadi pada SN tipe histologik selain
SNKM. Efusi pleura akan tampak pada foto thorax sesuai dengan derajat sembab. USG
ginjal sering menunjukka gambaran yang normal atau pembesaran ginjal yang ringan
dengan ekogenisitas normal1,2,3,6.
2.6 Pemeriksaan Klinis
Penegakan diagnose sindroma nefrotik didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
1) Anamnesis6
Keluhan utama pasien untuk datang berobat biasanya disebabkan karena bengkak atau
sembab di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh. Selain itu juga
pasien mengeluhkan jarang kencing atau jumlah urin berkurang; kadang disertai
dengan warna urin yang berubah menjadi kecoklatan seperti teh atau kemerahan.
2) Pemeriksaan fisik3,6
Pada pemeriksaan fisik sindroma nefrotik ditemukan adanya edema di palpebral,
pretibial/tungkai, atau dapat juga asites dan edema skrotum/labia. Jika terjadi distensi
abdomen akibat asites maka dapat ditemukan nyeri perut dan frekuensi nafas yang
meningkat dengan atau tanpa disertai sesak. Beberapa keadaan akan menunjukkan
adanya hipertensi.
3) Pemeriksaan penunjang3,6
12
Bebrapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Urinalisis. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan proteinuria massif (dipstick >
2+), dapat disertai hematuria. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala
klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.
b. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
c. Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
- Kimia darah : albumin (adanya hypoalbuminemia dengan kadar albumin serum ≤
2,5 g/dL) dan kolesterol serum (adanya hiperkolesterolemia dengan kadar
kolesterol serum >250 g/dL).
- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal maka kadar ureum kreatinin akan
meningkat.
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik, pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA. Kadar komplemen C3 yang rendah menandakan adanya lesi selain
SNKM, sehingga terindikasi untuk pemeriksaan biopsy ginjal sebelum
pemberian terapi steroid.
d. Biopsi ginjal2,3
Indikasi biopsi ginjal jika :
1) Pada presentasi awal
a. Sindrom nefrotik terjadi pertama kali pada usia < 1 tahun atau > 16 tahun.
b. Pada pemeriksaan terdapat tanda hematuria nyata
2) Setelah pengobatan inisial
a. Sindrom nefrotik resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin
2.7 Diagnosa Banding
Diagnosa banding SN jika disesuaikan dengan gejala klinisnya missal kadar
proteinuria maka dapat dibedakan anatara proteinuria transien atau persisten, postural atau
ortostatik, tubular, dan glomerular. Proteinuria trasien dapat ditemukan seacara fisiologis
setelah latihan berat, demam, dehidrasi, kejang dan pemerian terapi agonis adrenergik.
Pada keadaan ini biasanya proteinuria bersifat ringan (UPr/Kr < 1), berasal dari glomerulus,
dan beberapa hari kemudian akan membaik, sehingga tidak mengindikasikan kelainan
13
ginjal. Proteinuria postural (ortostatik) terjadi saat berdiri saja, ketika berbaring kadar
protein dalam urin akan normal, merupakan tipe glomerular, dan sering terjadi pada
remaja yang tinggi kurus, serta tidak berhubungan dengan kelainan ginjal. Proteinuria
tipe tubular ditandai adanya pengeluaran protein dengan berat molekul rendah dalam
jumlah besar dan biasanya berhubungan dengan nekrosis tubular akut (NTA),
pielonefritis, kelainan struktur ginjal, penyakit ginjal polikistik, dan toksin tubular
misalnya antibiotik dan obat kemoterapi. Sindrom Fanconi termasuk dalam proteinuria
tubular yang disertai dengan gejala kebocoran elektrolit dan glikosuria. Proteinuria
glomerular ditandai adanya protein dengan berat molekul besar dan kecil disertai adanya
penyakit glomerular seperti hematuria, hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Selain SN yang
termasuk pada proteinuria tipe ini adalah glomerulonephritis kresentik, sindrom hemolitik
uremik; disrupsi kapiler glumerulus, glomerulonephritis pasca streptokokus, nefritis akibat
lupus sistemik eritematous; deposisi kompleks imun, dll1,2,3,6.
Apabila dilihat dari keadaan sembab, maka dapat dibedakan menjadi sembab non-
renal seperti gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema
Quineke, edema angioneurogenik. Glomerulonefritis akut dapat menjadi diagnose
banding SN yang paling dekat akibat adanya sembab, hematuria, hipertensi, dan terkadang
disertai gejala proteinuria ringan3,6.
2.8 Penyulit atau Komplikasi Sindroma Nefrotik1,2,3,6
1. Infeksi
2. Hiperlipidemia
3. Trombosis akibat hiperkoagulabilitas
4. Hipokalsemia
5. Gagal ginjal akut atau kronis
6. Shock akibat sepsis, emboli, atau hipovolemia
7. Efek samping pengobatan steroid jangka panjag, misalnya Cushing syndrome,
osteoporosis, hipertensi, imunocompremise, gangguan emosi dan perilaku.
2.9 Penatalaksanaan
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, dianjurkan untuk dirawat di rumah
skait untuk mempercepat pemeriksaan penegakan diagnosa dan evaluasi pengaturan diet,
pengobatan simptomatis seperti edema, indikasi pengobatan steroid dan edukasi orang tua.
Sedangkan untuk SN relaps perawatan di rumah sakit dilakukan bila terdapat edema
anasarca yang berat, atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, syok3.
Pengobatan sindroma nefrotik efektif dengan pemberian kortikosteroid terutama pada
SNKM, namun batasan respon steroid SN harus dilihat terlebih dahulu. Hal ini disebabkan
14
remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Pemberian steroid dimulai apabila gejala
menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Berikut ini batasan untuk respon steroid
pada anak dengan SN3,6 :
a. Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
b. Relaps : proteinuria = 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hariberturut-turut
dalam 1 minggu
c. Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
d. Relaps sering (frequent relaps): relaps = 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau = 4 x dalam periode 1 tahun
e. Dependen steroid : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
f. Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
g. Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu
Rekomendasi KDIGO dipublikasikan dalam Kidney International Supplement 2012
dan J Pediatric Nephrology 2013 pengobatan inisial sindrom nefrotik dengan prednisone
atau prednisolone. Berdasarkan, rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney
Diseases in Children) terapi inisial untuk sindrom nefrotik tanpa kontra indikasi steroid
diberikan prednison 60 mg/m2/hari maksimum 80mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb tiap hari
dibagi dalam 2-4 dosis selama 4 minggu pertama dosis penuh. Jika terjadi remisi setelah
terapi inisial dilanjutkan dengan 40 mg/m2 atau 1.5 mg/kgbb secara alternating (selang
sehari) atau intermitten 1x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid3,15.
15
Gambar 5. Pengobatan SN relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari
selama 4 minggu.

Pasien dengan pengobatan SN relaps diberikan dosis penuh sampai remisi (minimal 2
minggu, maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu.
Pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tanpa edema, lebih baik
dicari dulu pemicunya sebelum pengobatan prednison, misalnya infeksi saluran nafas atas.
Pemberian antibiotik 5-7 hari jika terbukti adanya infeksi dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison
mulai diberikan3,15.
Pasien dengan pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid memiliki 4 opsi :
1. Pemberian steroid jangka panjang
Anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid, diobati dengan prednison
dosis penuh setelah remisi diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara
alternating. Dosis kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5
mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat bertahan selama 6-12
bulan untuk kemudian dicoba dihentikan. Dosis toleransi prednisone pada anak usia
sekolah umumnya 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating3,15,16.
Jika terjadi relaps pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating,
maka diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari
sampai terjadi remisi. Setelah remisi dosis diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan
secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu
tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednisone pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat
dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA). Pemberian siklofosfamid (CPA)
dosis 2-3 mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu jika terjadi relaps pada dosis rumat > 1
mg/kgBB alternating atau dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai efek samping
steroid berat dan pernah relaps dengan gejala berat seperti hypovolemia, thrombosis,
dan sepsis3,15,16.
2. Pemeberian dengan levamisole
16
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisole diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek
samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversible17.
3. Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA
puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek
samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL,
hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan
diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai =200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak18.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang
dan infeksi3,18.
4. Pengobatan dengan siklosporin (CyA), atau mikofenolat mofetil (MMF) (opsi
terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150
mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar
antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali
(dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat
pada bagian penjelasan SN resisten steroid3,19,20.
Pada SNSS (Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid) yang tidak memberikan respons
dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis
17
800 –1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunandosis steroid
selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia3,21.

Gambar 6.
- Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian
dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LBP/hari dan
siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari per oral dosis tunggal selama 8 minggu. Pemantauan Hb, leukosit,
trombosit setiap minggu, leukosit < 3000/µL  stop dulu, leukosist > 5000µL  terapi dimulai
lagi.
- Steroid dependen: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m 2LPB diberikan
melalui infus satu kali selama 6 bulan dan prednison internittent atau alternating (AD) 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison di tappering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tappering off 2 bulan).
Atau prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan
prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu . kemudian prednison di
tappering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari
selama 1 bulan (lama tappering off 2 bulan).
18
Gambar 7. Bagan Terapi SN Relaps Sering

Pengobatan pasien dengan SN resisten steroid (SNRS) masih belum memberikan hasil
yang memuaskan. Pada pasien ini seblum pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi untuk menentukan prognosisnya. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa pemberian CPA oral pada SNRS dapat menimbulkan
remisi, bila terjadi relapse dapa diberikan prednison lagi karena SNRS dapat sensitif
kembali. Jika pemberian steroid dosis penuh tidak menimbulkan remisi atau bahkan
menjadi dependen steroid kembali dapat diberikan siklosporin. Siklosporin (CyA)
dilaporkan dapat menimbulkan remisi total (20% pada 60 pasien) dan parsial sebanyak
13%. CyA memiliki efek samping seperti hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
ginggiva, dan bersifat nefrotoksik berupa lesi tubulointerstisial. Hal ini menyebabkan
perlunya pemantauan terhadap3 :
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan anatar 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA memang efektif untuk SNRS namun pemakaiannya jarang karena
harganya yang mahal. Selain CyA juga bisa menggunakan metilprednisolon puls selama
82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu.
Metilprednisolon dosis 30mg/kgBB (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL
glukosa 5% dalam 2-4 jam3,20.

Gambar 8. Pemberian Metilprednisolom. Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum
prednison oral 60 mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22 mg/kgbb/hari)
selama 8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih didapatkan setelah pemberian
metilprednisolon selama 10 minggu.
19

Gambar 9. Bagan Terapi SN Resisten Steroid


Pengobatan SNRS lainnnya dapat diberikan imunosupresif lain seperti vinkristin,
takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Namun obat ini belum direkomendasikan untuk di
Indonesia karena belum dilakukan studi kontrolnya3.
Pengobatan non-imunosupresif lainnya untuk mengurangi proteinuria dapat diberikan
golongan ACEI (Aingotensin converting enzyme inhibitor) dan ARB (angiotensin
receptor blocker). Cara kerja kedua obat ini dengan menurunkan ekskresi protein di urin
melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah premeabilitas glomerulus. ACEI
bersifat renoprotektor dengan menurunkan sintesi transforming growth factor (TGF)-β1
dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1; sitokin yang berperan penting pada
glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps sering atau dependen steroid, kadar TGF-β1 urin
sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, sehingga berisiko untuk terjadi
glomerulosklerosis juga. Pada keadaan ini pemberian kombinasi ACEI dan ARB mampu
menurunkan proteinuria lebih banyak. Pemberiannya dapat ACEI saja, atau
dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lainnya.
Golongan ACEI misal kaptopril 0,3 mg/kgBB diberikan 3x sehari, enalapril 0,5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgBB dosis tunggal. Golongan ARB
seperti losartan 0,75 mg/kgBB dosis tunggal3,6.
20

Gambar 10. Bagan Terapi Sindrom Nefrotik

Selain pemberian obat, pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan


kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sclerosis glomerulus. Bila diberi diit
rendah protein akan terjadi malnutrisi energy protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema3,6.
Pemberian diuretik ditujukan untuk penangan edema/sembab. Restriksi cairan
dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-
3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretic hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan
kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretic lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. bila pemberian diuretik tidak
berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hypovolemia atau hypoalbuminemia
berat (=1g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4
jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian
furosemide intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat
diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah
terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah
21
overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang2,3,6.

Gambar 11. Bagan Terapi Diuretik pada SN


2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik, namun berbeda pada beberapa keadaan sebagai berikut :
1. Menderita pertamakalinya pada usia dibawah 2 tahun atau diatas 6 tahun.
2. Adanya hipertensi
3. Adanya hematuria
4. Tipe sindrom nefrotik sekunder
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal (SNKM).
Pada umumnya sebagaian besar SN tipe primer memberikan respon yang baik terhadap
pengobatan awal dnegan steroid (80%), sekitar 50% diantaranya akan relapse berulang
dan sekitar 10% tidak berespon lagi dengan pengobatan steroid6,22.
22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang banyak ditemukan pada anak dengan
gejala klinis proteinuria massif (≥ 40 mg/m2LBP/jam atau ≥ 50-100 mg/kgBB/hari atau
dipstick ≥ +2), hypoalbuminemia (≤ 2,5 gram/dL), hiperkolesterolemia, dan odem atau
sembab. Gejala lainnya dapat disertai dengan hipertensi, hematuria, azotermia. Penegakan
diagnosis dari anamnesa adanya bengkak, pemeriksaan fisik tampak pitting edema,
pemeriksaan penunjang dengan urinalisa lengkap, kimia darah berupa kadar albumin,
kolesterol, dan fungsi ginjal atau biopsy ginjal. Terapi utama pada SN dengan memberikan
kortikosteroid. Terapi inisial untuk sindrom nefrotik tanpa kontra indikasi steroid
diberikan prednison 60 mg/m2/hari maksimum 80mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb tiap hari
dibagi dalam 2-4 dosis selama 4 minggu pertama dosis penuh. Jika terjadi remisi setelah
terapi inisial dilanjutkan dengan 40 mg/m2 atau 1.5 mg/kgbb secara alternating (selang
sehari) atau intermitten 1x sehari setelah makan pagi. Selain itu dapat diberikan terapi
tambahan simptomatisnya seperti perawatan di RS untuk penegakan diagnose awal, diet
tinggi protein, diet rendah garam, diuretic, atau ACEI/ARB untuk hipertensinya.
3.2 Saran
1. Penelitian lebih lanjut tentang epidemiologi untuk menentukan data terbaru insidensi
SN pada anak. Hal ini disebabkan seiringnya waktu banyak anak-anak yang pola hidup
sehatnya menurun.
2. Penelitian tentang tatalaksana yang tepat karena penggunaan steroid jangka panjang
juga akan berdampak buruk pada tubuh.
23
DAFTAR PUSTAKA

1. Robert M. Kleigman, Karen J. Marcdante, Hal B. Jenson, Richard E. Berhman. “Bagian


22: Nefrologi dan Urologi-Sindrom Nefrotik dan Proteinuria”. Edisi Keenam. Terjemahan
IDAI. Elsevier Singapore Ltd. 2018.
2. Robert M. Kleigman, Karen J. Marcdante, Hal B. Jenson, Richard E. Berhman.
“Nephrotic Syndrome and Proteinuria: Section XXII Nephrology and Urology” in Nelson:
Essential of Pediatrics, 5th Eds. Elsevier. 2007. 754-755.
3. Partini Pudjiastuti Trihono, Husein Alatas, Taralan Tambunan, Sudung O Pardede.
Konsensus: Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Edisi 2. Unit Kerja
Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2012.
4. Reni Wigati, Eka Laksmi. Alternatif Terapi Inisial Sindrom Nefrotik untuk menurunkan
Kejadian Relaps. Sari Pediatri. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS.
Ciptomangunkusuma FK UI. Jakarta. 2010.
5. Wirya WIGN. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, (penyunting).
Buku ajar nefrologi anak jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
6. Pedoman Diagnosa dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Rumah Sakit
Umum Dokter Soetomo Surabaya : UNAIR. 2008
7. Betz, Cecily L, Sowden, Linda L. Pediatrik Edisi 5. Jakarta: EGC. 2009.
8. Richard S. Snell. Anatomi Klinis Berdasarkan Regio. Edisi 9. Alih Bahasa Huriawati
Hartanto. Jakarta: EGC. 2013; hal. 209-216.
9. Keith L. Moore, Arthur F. Dalley, Anne M.R. Agur. Moore Clinically Oriented Anatomy.
7th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, Wolters Kluwer. 2014.
10. Guyton A.C, dan Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Penterjemah:
Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier. 2014.
11. Berawi, K.N. Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh. Edisi 2. Bandar Lampung : Penerbit
Universitas Lampung. 2009.
12. Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC. 2014.
13. Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid. In: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas
Diponegoro; 2011.p. 252-9.
14. Pratiwi Dian Pramana, Mayetti, Husnil Kadri. Hubungan antara Proteinuria dan
Hipoalbuminemia pada Anak dengan Sindrom Nefrotik yang Dirawat di RSUP Dr. M.
Djamil Padang periode 2009-2012. Jurnal Kesehatan Andalas. FK Univesitas Andalas.
2013; 2(2)
24
15. Husein Alatas, Partini P. Trihono, Taralan Tambunan, Sudung O. Pardede, Hidayati EL.
Pengobatan Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 17, No. 2. 2015,
hal 155-162
16. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Consensus statement
on management of steroid sensitive nephrotic syndrome. Indian Pediatr 2001;38:975-86.
17. Davin JC, Merkus MP. Levamisole in steroid-sensitive nephrotic syndrome of achildhood:
the lost paradise? Pediatr Nephrol 2005;20:10-4.
18. Latta K, von Schnakenburg C, Ehrich JH. A meta-analysis of cytotoxic treatment for
frequently relapsing nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol 2001;16:27182.
19. Niaudet P, Habib R. Cyclosporine in the treatment of idiopathic nephrosis. J Am Soc
Nephrol 1994;8:401-3.
20. Bajpai A, Bagga A, Hari P, Dinda A, Srivastava RN. Intravenous cyclophosphamide in
steroid-resistant nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2003;18:351-6.
21. Bagga A, Hari P, Moudgil A, Jordan SC. Mycophenolate mofetil and prednisolone therapy
in children with steroid-dependent nephrotic syndrome. Am J Kidney Dis 2003;42:1114-
20.
22. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medik Jilid 1. 2010.

Anda mungkin juga menyukai