BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang banyak ditemukan pada anak, dan
merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan adanya proteinuria masif,
hypoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan odem atau sembab2. Proteinuria massif jika
protein dalam urin sebesar ≥ 40 mg/m 2LBP/jam atau ≥ 50-100 mg/kgBB/hari atau dipstick
≥ +2. Hipoalbuminemia jika albumin dalam darah menurun hingga ≤ 2,5 gram/dL.
Hiperkolesterolemia merupakan kenaikan kolesterol dalam darah ≥ 250 mg/dL. Sembab
pada SN biasanya terjadi di periorbital dan pretibial atau dapat odem anasarka 3. Selain
gejala ini dapat muncul gejala hipertensi, hematuria, atau azotemia6.
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Gambar 2. Dinding kapiler glomerulus: sel endotel, membrana basalis, dan sel epitel.
2) Hipoalbuminemia
Akibat albumin atau protein yang banyak keluar melalui urin maka abnormalitas
sistemik yang terjadi adalah hipoalbuminemia. Pada sindrom nefrotik
hipoalbuminemia terjadi jika kadar albumin < 2,5 g/dL. Pada keadaan normal,
produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang
diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Sebanyak 10% albumin akan
mengalamai katabolisme albumin di tubulus proksimal ginjal, selebihnya dominan
terjadi pada ekstrarenal. Peningkatan katabolisme albumin ini juga dapat menjadikan
hipoalbuminemia1,5,6.
Selain penyebab diatas, pada pasien sindrom nefrotik hypoalbuminemia terjadi
juga karena laju sintesis albumin meningkat sekitar tiga kali lipat untuk dapat
mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin
dalam saluran gastrointestinal dapat berkontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia.
Secara eksperimental pada tikus tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati
untuk meregulasi sintesis protein mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan
peningkatan dua kali lipat laju transkripsi gen albumin hepar. Namun, peningkatan
sintesis albumin tidak adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia,
sehingga mengindikasikan adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada
pasien sindrom nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk
meningkatkan laju sintesis albumin di hati untuk mengembalikan konsentrasi plasma
albumin. Oleh karena pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak
habis, respon sintesis albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak
mencapai level yang adekuat. Tubulus proksimal yang diisolasi pada kelinci terbukti
memiliki sistem transportasi ganda untuk uptake albumin. Hal ini menunjukkan bahwa
sebenarnya pada keadaan muatan protein yang berlebih, tetapi masih dalam level
fisiologis, tingkat penyerapan tubular untuk albumin meningkat karena beban yang
disaring naik. Kompensasi peningkatan sintesis albumin secara katabolik dapat terjadi
pada sindrom nefrotik6,14.
Kesimpulannya hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik terjadi akibat beberapa
faktor seperti simpanan total albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak, laju
9
katabolik absolut mungkin normal atau bahkan kurang, dan status nutrisi diet rendah
protein, perubahan multipel homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi
dengan baik dengan sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin
tubulus ginjal.
3) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom
nefrotik. Underfilled theory merupakan teori hipotesis klasik tentang pembentukan
edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan
onkotik koloid plasma intravaskuler akibat hypoalbuminemia; peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi
albuminuria. Hal ini menyebabkan ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari
ruang intravaskular ke ruang interstisial yang kemudian timbul edema. Penurunan
volume plasma atau volume sirkulasi efektif akan menstimulasi timbulnya retensi air
dan natrium renal. Hal ini timbul sebagai kompensasi tubuh agar volume dan tekanan
intravaskuler normal sehingga tidak terjadi hipovolemi. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan semakin menurunkan tekanan onkotik plasma
sehingga semakin mempercepat ekstravasasi cairan ke interstisial. Berkurangnya
volume intravascular merangsang sekresi renin untuk mengaktivasi aksis RAAS
(renin-angiotensin-aldosteron) yang mengakibatkan retensi natrium dan air sehingga
produksi urin menurun (oliguria), pekat, dan kadar natrium rendah6.
Kelainan glomerulus
↓
Albuminuria
↓
Hipoalbuminemia
↓
Tekanan onkotik koloid plasma ↓
↓
Volume plasma intravaskuler ↓
↓
Retensi Na renal sekunder ↑
↓
Edema
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya
10
edema. Teori ini juga menjelaskan adanya peningkatan volume plasma dengan
penurunan aktivitas renin plasma serta kadar aldosterone yang rendah akibat
hypovolemia6.
Kelainan glomerulus
↓
Retensi Na renal primer
↓
Volume plasma ↑
↓
Edema
Pasien dengan pengobatan SN relaps diberikan dosis penuh sampai remisi (minimal 2
minggu, maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu.
Pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tanpa edema, lebih baik
dicari dulu pemicunya sebelum pengobatan prednison, misalnya infeksi saluran nafas atas.
Pemberian antibiotik 5-7 hari jika terbukti adanya infeksi dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison
mulai diberikan3,15.
Pasien dengan pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid memiliki 4 opsi :
1. Pemberian steroid jangka panjang
Anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid, diobati dengan prednison
dosis penuh setelah remisi diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara
alternating. Dosis kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5
mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat bertahan selama 6-12
bulan untuk kemudian dicoba dihentikan. Dosis toleransi prednisone pada anak usia
sekolah umumnya 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating3,15,16.
Jika terjadi relaps pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating,
maka diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari
sampai terjadi remisi. Setelah remisi dosis diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan
secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu
tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednisone pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat
dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA). Pemberian siklofosfamid (CPA)
dosis 2-3 mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu jika terjadi relaps pada dosis rumat > 1
mg/kgBB alternating atau dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai efek samping
steroid berat dan pernah relaps dengan gejala berat seperti hypovolemia, thrombosis,
dan sepsis3,15,16.
2. Pemeberian dengan levamisole
16
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisole diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek
samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversible17.
3. Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA
puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek
samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL,
hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan
diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai =200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak18.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang
dan infeksi3,18.
4. Pengobatan dengan siklosporin (CyA), atau mikofenolat mofetil (MMF) (opsi
terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150
mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar
antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali
(dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat
pada bagian penjelasan SN resisten steroid3,19,20.
Pada SNSS (Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid) yang tidak memberikan respons
dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis
17
800 –1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunandosis steroid
selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia3,21.
Gambar 6.
- Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian
dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LBP/hari dan
siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari per oral dosis tunggal selama 8 minggu. Pemantauan Hb, leukosit,
trombosit setiap minggu, leukosit < 3000/µL stop dulu, leukosist > 5000µL terapi dimulai
lagi.
- Steroid dependen: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m 2LPB diberikan
melalui infus satu kali selama 6 bulan dan prednison internittent atau alternating (AD) 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison di tappering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tappering off 2 bulan).
Atau prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan
prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu . kemudian prednison di
tappering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari
selama 1 bulan (lama tappering off 2 bulan).
18
Gambar 7. Bagan Terapi SN Relaps Sering
Pengobatan pasien dengan SN resisten steroid (SNRS) masih belum memberikan hasil
yang memuaskan. Pada pasien ini seblum pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi untuk menentukan prognosisnya. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa pemberian CPA oral pada SNRS dapat menimbulkan
remisi, bila terjadi relapse dapa diberikan prednison lagi karena SNRS dapat sensitif
kembali. Jika pemberian steroid dosis penuh tidak menimbulkan remisi atau bahkan
menjadi dependen steroid kembali dapat diberikan siklosporin. Siklosporin (CyA)
dilaporkan dapat menimbulkan remisi total (20% pada 60 pasien) dan parsial sebanyak
13%. CyA memiliki efek samping seperti hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
ginggiva, dan bersifat nefrotoksik berupa lesi tubulointerstisial. Hal ini menyebabkan
perlunya pemantauan terhadap3 :
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan anatar 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA memang efektif untuk SNRS namun pemakaiannya jarang karena
harganya yang mahal. Selain CyA juga bisa menggunakan metilprednisolon puls selama
82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu.
Metilprednisolon dosis 30mg/kgBB (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL
glukosa 5% dalam 2-4 jam3,20.
Gambar 8. Pemberian Metilprednisolom. Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum
prednison oral 60 mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22 mg/kgbb/hari)
selama 8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih didapatkan setelah pemberian
metilprednisolon selama 10 minggu.
19
3.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang banyak ditemukan pada anak dengan
gejala klinis proteinuria massif (≥ 40 mg/m2LBP/jam atau ≥ 50-100 mg/kgBB/hari atau
dipstick ≥ +2), hypoalbuminemia (≤ 2,5 gram/dL), hiperkolesterolemia, dan odem atau
sembab. Gejala lainnya dapat disertai dengan hipertensi, hematuria, azotermia. Penegakan
diagnosis dari anamnesa adanya bengkak, pemeriksaan fisik tampak pitting edema,
pemeriksaan penunjang dengan urinalisa lengkap, kimia darah berupa kadar albumin,
kolesterol, dan fungsi ginjal atau biopsy ginjal. Terapi utama pada SN dengan memberikan
kortikosteroid. Terapi inisial untuk sindrom nefrotik tanpa kontra indikasi steroid
diberikan prednison 60 mg/m2/hari maksimum 80mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb tiap hari
dibagi dalam 2-4 dosis selama 4 minggu pertama dosis penuh. Jika terjadi remisi setelah
terapi inisial dilanjutkan dengan 40 mg/m2 atau 1.5 mg/kgbb secara alternating (selang
sehari) atau intermitten 1x sehari setelah makan pagi. Selain itu dapat diberikan terapi
tambahan simptomatisnya seperti perawatan di RS untuk penegakan diagnose awal, diet
tinggi protein, diet rendah garam, diuretic, atau ACEI/ARB untuk hipertensinya.
3.2 Saran
1. Penelitian lebih lanjut tentang epidemiologi untuk menentukan data terbaru insidensi
SN pada anak. Hal ini disebabkan seiringnya waktu banyak anak-anak yang pola hidup
sehatnya menurun.
2. Penelitian tentang tatalaksana yang tepat karena penggunaan steroid jangka panjang
juga akan berdampak buruk pada tubuh.
23
DAFTAR PUSTAKA