Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN KEPADA Tn.

R
DENGAN DIAGNOSA ENCELOPATY HEPATIKUM DI RUANG ASTER
RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

Oleh :
Yunira Priskila (Nim :2017.c.09a.0922)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas Rahmat dan karunia-
Nya lah kami selaku penulis Laporan pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan Dan
Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Hipokalemia Ruang Bougenville Rsud dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya” yang mana laporan ini untuk memenuhi tugas Praktek Pra Klinik II
(PPK II)
Saat penyusunan laporan ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dorongan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang kepada :
1. Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, Selaku Ketua STIKes Eka Harap Palangka Raya.
2. Fransiska, S.Kep., Ners, Selaku Pembimbing ruang Aster dan sekaligus pembimbing klinik
yang telah banyak memberi saran dan bimbingannya dalam menyelesaikan laporan ini.
3. Rimba Apriyanti, S.Kep., Ners, Selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberi
saran dan bimbingannya dalam menyelesaikan laporan ini.
4. Meilitha Carolina, Ners., M.Kep, Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan.
5. Elin Ria Resti, S.Kep. , Selaku Koordinator PPK II
Serta perawat senior di ruang Bougenville yang telah memberi saya kesempatan untuk
praktek di ruang Aster.
Serta teman-teman dikelas III-B yang telah memberikan dukungan dan sarannya.
Serta Orang Tua yang selalu mendukung dan mendoakan saya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dengan ini penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.

Akhir kata, semoga laporan ini dapat berguna bagi pengembangan Ilmu Keperawatan dan
semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan berkat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Amin

Palangka Raya, 18 November 2019

Penulis
BAB I
TINJUAN PUSTAKA
1.1 Konsep Penyakit
1.1.1 Definisi
Ensefalopati hepatikum (EH) adalah suatu keadaan terjadinya disfungsi otak yang
disebabkan oleh kerusakan hepar. Ensefalopati hepatikum bermanifestasi klinis sebagai
bentuk kelainan neurologis dan psikiatri berawal dari perubahan subklinis lalu akan
berubah menjadi koma. Ensefalopati hepatikum merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik
yang umumnya terjadi karena kadar protein yang tinggi di saluran pencernaan atau karena
stress metabolik akut (perdarahan saluran pencernaan, infeksi, dan gangguan elektrolit
pada pasien dengan portal-systemic shunting. Gejala-gejala yang muncul umumnya gejala
neuropsikiatrik diantaranya confusion, flapping tremor, koma. Ensefalopati hepatik adalah
suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang paling banyak dijumpai pada
pasien dengan gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan
kepribadian
Ensefalopati hepatikum adalah suatu kompleks gangguan susunan saraf pusat yang
dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh ngangguan memori dan
perubahan kepribadian. Hati merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam
mengatur metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang
penting seperti sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses katabolisme yaitu dengan
melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti aonia, berbagai jenis hormon, obat-obat-an dan
sebagainya.
Selain itu hati juga berperan sebagai penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin
serta memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus. Adanya kerusakan hati akan
mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem
saraf otak akibat zat-zat yang bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada
penyakit hati tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik
atau ensefalopati hepatik (EH).
Perjalanan klinis EH dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata gambaran klinisnya dan hanya
dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka prevalensi ensefalopati subklinis berkisar
antara 30% - 88% pada pasien sirosis hati.
EH merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik yang umumnya terjadi karena kadar protein yang
tinggi di saluran pencernaan atau karena stress metabolik akut (perdarahan saluran pencernaan,
infeksi, dan gangguan elektrolit pada pasien dengan portal-systemic shunting. Gejala-gejala
yang muncul umumnya gejala neuropsikiatrik (confusion, flapping tremor, koma). Diagnosis
biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
1. Penurunan kesadaran sedang sammpai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa disertai tanda-tanda infeksi bacterial yang jelas

1.1.2 Anatomi Fisiologi


Hati adalah kelenjar terbesar di dalam tubuh, yang terletak di bagian teratas dalam rongga
abdomen sebelah kanan di bawah diafragma. Hati secara luas dilindungi iga – iga. Hati terbagi
dalam dua belahan utama, kanan dan kiri. Permukaan atas terbentuk cembung dan terletak di
bawah diafragma. Permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan, fisura tranfersus.
Permukaannya dilintasi berbagai pembuluh darah yang masuk keluar hati. Fisura longitudinal
memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah, sedangkan ligament falsiformis
melakukan hal yang sama dipermukaan atas hati.
Selanjutnya hati dibagi- bagi dalam empat belahan (kanan, kiri, kaudata, dan kuadrata). Dan
setiap belahan atau lobus terdiri atas lobules. Lobules ini berbentuk polyhedral (segibanyak)
san terdiri atas sel hati berbentuk kubus, dan cabang – cabang pembuluh darah diikat bersama
oleh jaringan hati. Hati mempunyai dua jenis persediaan darah, yaitu yang datang melalui arteri
hepatika dan yang melalui vena porta.
Arteri hepatika yang keluar dari aorta dan memberikan seperlima darahnya kepada hati, darah
yang mempunyai kejenuhan oksigen 95 sampai 100 persen. Vena porta yang terbentuk dari
vena lienalis dan vena mesenterika superior, menghantarkan empat perlima darahnya ke hati,
darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 persen sebab beberapa oksigen telah diambil
limpa dan usus. Darah vena porta ini membawa kepada hati zat makanan yang telah diabsorbsi
mukosa usus halus.
Vena hepatika mengembalikan darah dari hati ke vena cava inferior. Di dalam vena hepatika
tidak terdapat katub. Saluran empedu terbentuk dari penyayatan kapiler- kapiler empedu yang
mengumpulkan empedu dari sel hati. Maka terdapat empat pembuluh darah utama yang
menjelajahi seluruh hati, dua yang masuk, yaitu arteri hepatika dan vena porta, dan dua yang
keluar, yaitu vena hepatika dan saluran empedu.

Gambar 1. Anatomi Hepar

1.1.3 Etiologi
Bahan-bahan yang diserap kedalam aliran darah dari usus, akan melewati hati, dimana
racun-racunnya dibuang tetapi pada ensefalopati hepatik, yang terjadi adalah:
1. Racun-racun ini tidak dibuang karena fungsi hati terganggu.
2. Telah terbentuk hubungan antara sistem portal dan sirkulasi umum (sebagai akibat dari
penyakit hati), sehingga racun tidak melewati hati.
3. Pembedahan by pass untuk memperbaiki hipertensi portal (shunt system portal) juga akan
menyebabkan beberapa racun tidak melewati hati.apapun penyebabnya, akibatnya adalah
sampainya racun di otak dan mempengaruhi fungsi otak.
4. Bahan apa yang bersifat racun terhadap otak, secara pasti belum diketahui, tetapi tingginya
kadar hasil pemecahan protein dalam darah,misalnya ammonia,tampaknya memegag
peranan yang penting. Pada penderita penyakit hati menahun, ensefalopati biasanya dipicu
oleh:
a. Infeksi akut.
b. Pemakaian alkohol.
c. Terlalu banyak makan protein, yang akan meningkatkan kadar hasil pemecahan protein
dalam darah.
d. Perdarahan pada saluran pencernaan, misalnya pada varises esofageal, juga bisa
menyebabkan bertumpuknya hasil pemecahan protein, yang secara langsung bisa
mengenai otak.
e. Obat-obat tertentu, terutama obat tidur, obat pereda nyeri dan diuretic (azotemia,
hipovolemia).
f. Obstipasi meningkatkan produksi, absorbsi ammonia dan toksin nitrogen lainnya.

1.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi ensefalopati hepatikum yang banyak dianut adalah :
1. Menurut cara terjadinya
a. Ensefalopati hepatik tipe akut :
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk
jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan,
hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati.

b. Ensefalopati hepatik tipe kronik :


Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun.
Suatu contoh klasik adalah ensefalopati hepatik yang terjadi pada sirosis hepar dengan
kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional
atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat.
2. Menurut faktor etiologinya
a. Ensefalopati Hepatik Primer / Endogen
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel
hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan
sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi,
berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada
sirosis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem
kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat
dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf
pusat.
b. Ensefalopati Hepatik Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai
kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah:
1) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah :
a) Dehidrasi / hipovolemia
b) Parasintesis abdomen
c) Diuresis berlebihan
2) Pendarahan gastrointestinal
3) Operasi besar
4) Infeksi berat
5) Intake protein berlebihan
6) Konstipasi lama yang berlarut-larut
7) Obat – obat narkotik/ hipnotik
8) Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
9) Azotemia

1.1.5 Patofisiologi (Patway)


Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi
usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel
hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan
adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati.
Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya ensefalopati hepatik tidak diketahui
dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan
metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati
karena adanya penyakit pada sel hati.
Ensefalopati hepatik pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti
perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis,
hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-
obatan yang mengandung ammonia.
Ensefalopati hepatik tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh
beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar menunjukkan bahwa terdapat
hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan
dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan toksik yang
berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood
brain barrier), yang memudahkan masuknya bahan-bahan toksik tersebut ke dalam susunan
saraf pusat.
Secara garis besar ada dua teori yang mendasarinya yaitu Teori Amonia dan
neurotransmitter palsu. Amonia merupakan zat yang sering di libatkan dalam patoganesis
ensefalopati hepatik. Metabolit lain yang dapat berperan pada ensefalopati hepatic meliputi
mercaptans, short chain fatty acid, neurotransmitter palsu. Kadar berlebihan dari gama amino
butyric acid (GABA), yaitu suatu penghambat transmitter di sistem saraf pusat merupakan
faktor penting terjadinya penurunan kesadaran yang terlihat pada ensefalopati hepatik.
Kenaikan kadar GABA di sistem saraf pusat merupakan refleksi dari kegagalan hati untuk
mengeluarkan GABA yang berasal dari usus.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan pada ensefalopati hepatik, yaitu:
1. Ammonia
Ammonia berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu
dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia
mengganggu faal otak karen dapat mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus
peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb
sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap sistem saraf pusat (SSP).
Metionin dalam usus mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis
terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik
mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan
timbulnya koma.
3. Gangguan keseimbangan asam amino
Asam Amino Aromatik (AAA) meningkat pada ensefalopati hepatik karena kegagalan
deaminasi di hati dan penurunan asam amino rantai cabang (AARC) akibat katabolisme
protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik.
4. Asam lemak rantai pendek
Pada ensefalopati hepatik terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam
butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab
ensefalopati hepatik.
5. Neurotramsmitter palsu
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA),
oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. GABA bekerja secara sinergis dengan
benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak,
yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan
hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks,
rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu.
6. Glukagon
Peningkatan AAA pada ensefalopati hepatik mempunyai hubungan erat dengan
tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban
nitrogen. Karena hormon ini melepas asam amino aromatis dari protein hati untuk
mendorong terjadinya glukoneogenesis.
7. Perubahan sawar darah otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai macam
substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang
mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial
seperti neurotrasmitter asli.
Infeksi hati
Sirrosis hepatis

Kerusakan sel hati Bendungan vena porta

By pas aliran darah dari


usus ke sirkulasi umum

Kegagalan hati memetabolisme toksin dan sisa


metabolisme

Toksin dan sisa metabolism


Reaksi inflamasi
masuk aliran darah

Hipertermia

Zat toksik terhadap otak


Gangguan perilaku

Sakit kepala
Penurunan kesadaran Nafsu makan Menurun

Nyeri

Koma
Bersihan Jalan Nafas Gangguan pemenuhan
Tidak Efektif kebutuhan nutrisi

Perfusi Jaringan
Serebral tidak efektif
Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy: An overview. World J Gastrointest Pharmacol Ther.
2010;1(2):54-63.
1.1.6 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)
Spektrum klinis ensefalopati hepatiku sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga
koma hepatik. Simptom yang acap kali dijumpai pada ensefalopati hepatik klinis antara lain
perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfagia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis
seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis
ensefalopati hepatik biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus
yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal
atau program obat sedatif.
Manifestasi ensefalopati hepatik adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik.
Gambaran klinik ensefalopati hepatik sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini,
penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis, serta kelainan EEG
(Electro Encephalogram), manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium. Di luar
itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada
pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT
(Number Conection Test).
Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten
(EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada ensefalopati
hepatik klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati
dengan hipertensi portal (Budihusodo., 2001). Gejala dan tanda klinis ensefalopati hepatik
dapat timbul sangat cepat dan berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita
hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis, perkembangan berlangsung lebih lambat dan bila
ditemukan pada stadium dini masih bersifat reversible. Perkembangan ensefalopati hepatik
menjadi koma biasanya dibagi dalam 4 stadium.
Adapun stadium – stadium Ensefalopati hepatik menurut gejala klinis antara lain :
1. Stadium 1 (prodromal)
Terdapat gangguan stasus mental, sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku,
termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas,
tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin
cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar, afektif hilang,
eufori, depresi, apati. Tingkat kesadaran somnolen, tidur lebih banyak dari bangun, letargi.
Tanda-tandanya:
a. Asteriksis : gangguan motorik yang di tandai dengan penyimpangan intermiten dari
postur.
b. Kesulitan bicara
c. Kesulitan menulis
d. EEG (elektroensefalografi) (+)
2. Stadium 2 (Impending koma atau koma ringan)
Terdapat gangguan mental semakin berat, flapping tremor (tangan bergetar), pengendalian
sfingter kurang, kebingungan, disorientasi, mengantuk, dan asteriksis.
3. Stadium 3 (Stupor)
Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang mencolok, penderita
dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan rangsangan, asteriksis, fetor hepatik,
lengan kaku, hiperreflek, klonus, grasp dan sucking reflek.
4. Stadium 4 (koma)
Penderita masuk ke dalam tingkat kesadaran koma sehingga muncul refleks hiperaktif dan
tanda babinsky yang menunjukkan adanya kerusakan otak lebih lanjut. Napas penderita akan
mengeluarkan bau apek yang manis (fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda
prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat
kesadarannya, dan tonus otot hilang.

1.1.7 Komplikasi
a. Edema otak dapat mengakibatkan meningkatnya tekanan intra kranial, sehingga dapat

menyebabkan kematian. Dijumpai pada 30-40% dari kasus-kasus yang fatal.

b. Gagal ginjal: akibat penurunan perfusi ke korteks ginjal. Terdapat pada sekitar 40% kasus.
c. Kelainan asam-basa: hampir selalu terjadi alkalosis respiratorik hiperventilasi, sedangkan

alkalosis metabolik terjadi akibat hipokalemi. Asidosis metabolik dapat terjadi karena

penumpukan asam laktat atau asam organik lainnya karena gagal ginjal.

d. Hipoksia: sering terjadi karena edema paru atau radang paru akibat peningkatan

permeabilitas pembuluh darah kapiler di jaringan interstisiil atau alveoli.

e. Gangguan faal hemostasis dan perdaraahan terjadi pada 40-70% kasus.

f. Gangguan metabolisme (hipoglikemia) dan gangguan keseimbangan elektrolit

(hipokalsemia).

g. Kerentanggan terhadap infeksi: sering terjadi sepsis terutama karena bakteri gram negatif,

peritonitis, infeksi jalan napas atau paru.

Gangguan sirkulasi: pada tahap akhir dapat terjadi hipotensi, bradikardi maupun henti
jantung

1.1.8 Pemeriksaan Pemeriksaan


1. Hematologi
a. Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
b. Jika diperlukan : faal pembekuan darah.
2. Biokimia darah
a. Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali.
b. Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
c. Kadar amonia darah.
d. Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah.
3. Urin dan tinja rutin
4. EEG (Elektroensefalografi) dengan potensial picu visual (visual evoked potential)
merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status
kejiwaan pada sirosis.
5. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk
menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada
pecandu alkohol).
6. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan
glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar
bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi.
Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.

1.1.9 Penatalaksanaan Medis


Langkah pengobatan ensefalopati hepatik dipusatkan pada mekanisme penyebabnya.
Yang paling penting adalah mencari faktor pencetus, seperti pendarahan saluran cerna atau
terapi diuretik yang berlebihan, dan memberikan pengobatan korektif.
1. Ensefalopati hepatik tipe akut
a. Tindakan umum
1) Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif, yaitu dengan
memperhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang
kateter forley.
2) Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan ginjal
keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.
3) Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari
(peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental).
b. Tindakan khusus
1) Mengurangi pemasukan protein
a) Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
b) Diet rendah protein (nabati 20 gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase
akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian
ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60
gram/hari).
2) Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism).
a) Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV,
30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan.
b) Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari.
c) Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari: dapat dipakai katartik osmotic
seperti MgSO4 atau laveman, yaitu dengan memakai larutan laktulosa 20% atau
larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4
d) Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui
pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Rifaximin (derifat rimycin), dosis : 1200
mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.

3) Obat-obatan lain
a) Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah
pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan
karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan
cairan yang mengandung AARC (comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA
dalam AARC (aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk
mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein,
dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-
akhir ini.
b) L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk
stadium III-IV tiap 4 jam.
c) Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah
dapat diberikan diimenhidrimat (dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-
8 jam. Pilihan obat lain, yaitu fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui
ginjal.
d) Vitamin K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
4) Pengobatan radikal
Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion, transpalantasi
hati.
2. Ensefalopati hepatik tipe kronik
Prinsip-prinsip penatalaksanaan ensefalopati hepatik tipe kronik adalah sebagai berikut:
c. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg berat badan terutama protein nabati.
d. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10
cc/hari).
e. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram/hari.
f. Bila timbul aksaserbasi akut, sama seperti ensefalopati hepatik tipe akut.
g. Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan
neuromuskulernya.
h. Pembedahan elektif : colon by pass, transplantasi hati, khususnya untuk ensefalopati
hepatik kronik stadium III-IV
1.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
1.2.1 Pengkajian
1.2.1.1 Keluhan Utama
Biasanya keluarga atau orang terdekat melaporkan bahwa adanya peubahan kepribadian
dan penurunan mental.
1.2.1.2 Riwayat Kesehatan.
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Tanyakan sejak kapan pasien mengalami keluhan seperti yang ada pada keluhan utama
dan tindakan apa yang dilakukan untuk menanggulanginya.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan pada pasien apakah pernah mengalami penyakit hati seperti sirosis hati,
infeksi hati, atau apakah pasien sering mengkonsumsi alcohol sebelumnya.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada keluarga pasien yang pernah menderita penyakit seperti yang di derita
pasien sekarang.
1.2.1.3 Riwayat Aktifitas Sehari-hari
Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan atau gangguan hati.
1) Aktivitas
a) Kelemahan
b) Kelelahan
c) Malaise
2) Sirkulasi
a) Bradikardi ( hiperbilirubin berat )
b) Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa
3) Eliminasi
a) Urine gelap
b) Diare feses warna tanah liat
4) Makanan dan Cairan
a) Anoreksia
b) Berat badan menurun
c) Mual dan muntah
d) Peningkatan oedema
e) Asites
5) Neurosensori
a) Peka terhadap rangsang
b) Cenderung tidur
c) Letargi
d) Asteriksis
6) Nyeri / Kenyamanan
a) Kram abdomen
b) Nyeri tekan pada kuadran kanan
c) Mialgia
d) Atralgia
e) Sakit kepala
f) Gatal ( pruritus )
7) Keamanan
a) Demam
b) Urtikaria
c) Lesi makulopopuler
d) Eritema
e) Splenomegali
f) Pembesaran nodus servikal posterior
8) Seksualitas, Pola hidup atau perilaku meningkat resiko terpajan
1.2.1.4 Pemeriksaan Fisik
1) Status kesehatan umum : keadaan umum lemah, tanda-tanda vital.
2) Kepala : normo cephalic, simetris, pusing, benjolan tidak ada, rambut tumbuh merata
dan tidak botak, rambut berminyak, tidak rontok.
3) Mata: alis mata, kelopak mata normal, konjuktiva anemis (+/+), pupil isokor sclera
agak ikterus (-/ -), reflek cahaya positif, tajam penglihatan menurun.
4) Telinga : sekret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal.
5) Hidung: deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping
hidung tidak ada.
6) Mulut dan faring : bau mulut, stomatitis (-), lidah merah merah mudah, kelainan lidah
tidak ada.
7) Leher : simetris, kaku kuduk tidak ada.
8) Thoraks :
a) Paru: gerakan simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi
resonan, rhonchi -/-, wheezing -/-, vocal fremitus dalam batas normal.
b) Jantung: batas jantung normal, bunyi s1 dan s2 tunggal, gallop (-), mumur (-),
capillary refill time 2 – 3 detik.
9) Abdomen : nyeri pada kuadran kanan atas.
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
1.2.2.1 Perubahan perfusi jaringan serebral b.d proses peradangan, peningkatan TIK (Tekanan
Intra Karnial)
1.2.2.2 Resiko Injuri : Jatuh b.d aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental
1.2.2.3 Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan umum, defisit neurologic

1.2.3 Intervensi Keperawatan


DIAGNOSA
No Tujuan Intervensi
KEPERAWATAN
1 Perubahan perfusi NOC : NIC :
jaringan serebral  Circulation status
b.d proses  Neurologic status 1. Monitor status neurologi
peradangan, setiap 2 jam: tingkat
 Data Tujuan: kesadaran, pupil, reflex,
Pendukung : kemampuan motorik, nyeri
 Perubahan Ketidakefektifan perfusi kepala, kaku kuduk
kesadaran jaringan serebral dapat 2. Monitor tanda vital dan
 Perubahan teratasi temperature setiap 2 jam
tanda vital
 Kelemahan Kriteria Hasil : 3. Kurangi aktivitas yang dapat
motorik menimbulkan peningkatan
 Perubahan  Mempertahankan tingkat TIK: batuk, mengedan,
nilai AGD kesadaran dan orientasi muntah, menahan nafas
 Tanda vital dalam batas 4. Berikan waktu istirahat yang
normal. cukup dan kurangi stimulus
 Tidak terjadi defisit lingkungan
neurologi. 5. Tinggikan posisi kepala 30 –
45° pertahankan kepala pada
posisi netral, hindari fleksi
leher
6. Kolaborasi dalam pemberian
Diuretik osmotic,steroid,
antibiotic

2 Resiko Injuri : NOC : NIC :


Jatuh b.d aktivitas  Risk kontrol
kejang, 1. Kaji status neurologi setiap 2
penurunan Tujuan: jam
kesadaran dan Klien tidak mengalami injuri 2. Pertahankan keamanan
status mental Kriteria Hasil : pasien seperti penggunaan
 Mempertahankan tingkat penghalang tempat tidur,
Data Pendukung: kesadaran dan orientasi kesiapan suction, spatel,
 Kejang tidak terjadi oksigen
 Penurunan  Injuri tidak terjadi. 3. Catat aktivitas kejang dan
kesadaran tinggal bersama pasien
 Aktivitas selama kejang
kejang 4. Kaji status neurologik dan
 Perubahan tanda vital setelah kejang
status mental 5. Orientasikan pasien ke
lingkungan
6. Kolaborasi dalam pemberian
obat anti kejang

3 Kerusakan NOC : NIC :


mobilitas fisik b.d  Joint Movement : Active
kelemahan  Mobility level 1. Kaji kemampuan mobilisasi
umum, defisit 2. Alih posisi pasien setiap 2
neurologic Tujuan: jam
Gangguan mobilitas fisik 3. Lakukan massage bagian
Data Pendukung : teratasi tubuh yang tertekan
Kriteria Hasil : 4. Lakukan ROM passive
 Pasien  Pasien dapat 5. Monitor Tromboemboli,
mengatakan mempertahankan konstipasi
lemah, tangan mobilisasinya secara 6. Konsul pada ahli fisioterapi
dan kaki tidak optimal jika diperlukan
dapat  Integritas kulit utuh
digerakkan  Tidak terjadi kontraktur
 Kekuatan otot
kurang
 Kontraktur,

DAFTAR PUSTAKA

Alfarisi. 2010. Definisi dan Klasifikasi Encelopaty Hepatikum. Diakses pada tanggal 8 April
2012 pada http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/05/definisi-dan-klasifikasi-encelopaty-
pleura.html
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Nurdjanah S. Sirosis hati.
Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I.
Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2009.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Rahtio, H. Wanita dengan ensefalopati hepatik. J Medula. 2015; 4:195-201
Hasan I, Araminta AP. Ensefalopati Hepatik: Apa, mengapa, dan bagaimana?. Medicinus.
2014; 27(3):1-8

Anda mungkin juga menyukai