PENDAHULUAN
dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik akut maupun kronik yang gambaran
hati serta kelainan laboratorium (Zubir, 2014: 1990). Sindrom neuropsikiatri ini juga
ditandai dengan tremor otot dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis
Ensefalopati hepatik terbagi atas beberapa tipe yakni tipe A, tipe B, serta tipe C.
Tipe C merupakan tipe yang paling sering dijumpai pada pasien dengan gangguan
fungsi hati (Riggio et al, 2010: 54). Adapun klasifikasi ensefalopati hepatik terbaru
diperkirakan terjadi pada 30-84% pasien sirosis hepatis. Data pada tahun 1999
kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak
menjalani transplantasi hati. Menurut data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
tahun 2009 (Lesmana et al, 2014: 3). Sementara itu hasil penelitian di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado pada tahun 2014, dari 51 pasien terdapat 2 pasien sirosis
diagnosis dan memberikan terapi pendahuluan pada saat gawat darurat (SKDI, 2012:
33). Oleh sebab itu, dengan berpatokan pada SKDI dan angka kejadian ensefalopati
hepatik yang cukup tinggi, penulis hendak membuat karya tulis ilmiah tentang
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
hepatik.
1. Masyarakat
2. Institusi Pendidikan
Universitas Cenderawasih.
3. Penulis
Sebagai acuan bagi mahasiswi yang ingin menulis lebih lanjut tentang
ensefalopati hepatik.
BAB II
ISI
2.1. Defenisi
hepatik adalah disfungsi otak yang disebabkan oleh insufisiensi hati dan atau
mesenterika inferior, lambung, atau vena-vena pada saluran cerna) ke vena cava
neuropsikiatrik yang ditandai adanya kekacauan mental, tremor otot, dan flapping
demikian asteriksis tidak eksklusif untuk ensefalopati hepatik karena gejala ini juga
dapat ditemukan pada ensefalopati metabolik atau pada kelainan struktural lainnya
(gagal ginjal, hiperkapnea, dan stroke yang mempengaruhi ganglia basal) (Cardoba,
2014: 5).
Jadi, dalam arti sederhana ensefalopati hepatik dapat dijelaskan sebagai bentuk
intoksikasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak mengalami metabolisme
dalam hati, yang gambaran klinisnya berupa kelainan neurologis yang bervariasi
mulai dari adanya gangguan tidur, asteriksis, kekacauan mental, penurunan kesadaran
diantaranya :
3. Berdasarkan waktu
a. Episodik
b. Rekuren
Ensefalopati hepatik yang terjadi pada interval waktu kurang lebih 6 bulan
c. Persisten
a. Tanpa pemicu
b. Ada pemicu
hepatik 0 dan 1 dengan istilah covert hepatic encephalopathy serta derajat 2-4 dengan
2.2. Epidemiologi
Menurut American Association for the Study of Liver Disease, secara umum
prevalensi ensefalopati hepatik jenis overt pada saat diagnosis sirosis adalah 10%-
14%. Presentase 16%-21% terjadi pada pasien dengan sirosis dekompensasi, serta
akan terjadi pada 30%-40% pasien sirosis, sedangkan ensefalopati hepatik minimal
atau ensefalopati hepatik covert terjadi pada 20%-80% pasien dengan sirosis hepatis
Selain itu, dalam sebuah penelitian di Eropa yang dilakukan pada 2145 pasien
penyakit hati dengan stadium yang berbeda, ditemukan 21% diantaranya menderita
karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30-84% pasien
2.3. Etiologi
hepatik pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan
nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein tinggi, gangguan ginjal, perdarahan
(pneumonia, infeksi saluran kemih, atau infeksi lain), dan lainnya (pembedahan).
ensefalopati hepatik didasari pada akumulasi berbagai toksin pada peredaran darah
adalah :
a. Hipotesis Amoniak
Menurut Kurf & Isselbacher (2014) amonia merupakan bahan yang paling
bahwa ensefalopati hepatik memiliki korelasi yang kuat dengan kadar amonia dalam
otak. Hal serupa juga ditegaskan dalam penelitian terhadap 135 pasien di
Januari 2011 hingga Februari 2012 (Qureshi et al, 2014: 160). Akan tetapi, tidak
Hal ini terjadi karena pada tahap pemulihan ensefalopati hepatik sering disertai
dengan adanya penurunan kadar amonia (Kurf & Isselbacher, 2014: 1675).
Amonia dihasilkan dari proses kolonisasi bakteri usus terutama gram negatif
et al, 2014: 4). Selain dihasilkan oleh flora normal di usus, amonia juga dapat
dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus. Glutaminase
usus akan memetabolisme glutamin yang merupakan sumber energi usus menjadi
Pada orang yang sehat, amonia juga dapat diproduksi di ginjal dan otot. Kedua
organ ini berperan pula dalam mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati. Otot
rangka merupakan organ utama yang memainkan peran ini. Otot rangka
sintetase. Sementara itu, ginjal berperan dalam fungsi produksi dan ekskresi. Fungsi
menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Fungsi ekskresi terjadi ketika ginjal
mengeluarkan amonia dalam tubuh melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+)
dan urea. Kedua fungsi ginjal ini dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh
Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeliminasi ion amonium melalui urin,
sedangkan dalam kondisi alkalosis, ion amonium akan ditahan dalam tubuh sehingga
menyebabkan hiperamonia. Penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi
Metabolisme amonia dimulai ketika amonia masuk ke dalam hati melalui vena
porta untuk proses detoksifikasi (Lesmana et al, 2014: 4). Di hati, metabolisme
amonia dilakukan pada 2 tempat yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia
menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan pada sel hati yang terletak dekat
dengan vena sentral tempat urea akan diubah kembali menjadi glutamin (Hasan &
detoksifikasi amonia dalam hati ditambah lagi dengan adanya shunting portosystemic
yang secara langsung membawa darah masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar amonia yang tentunya akan
Target toksisitas amonia di otak adalah sel astrosit yang berfungsi melakukan
yang merupakan hasil metabolisme amonia bekerja sebagai molekul osmotik dan
menarik cairan ke dalam sel astrosit. Penarikan cairan akan menyebabkan terjadinya
pembengkakan sel astrosit, yang berdampak pada terjadinya edema serebri. Edema
serebri yang terjadi diduga menjadi penyebab disfungsi neurologis pada pasien
Menurut Kurf & Isselbacher (2014), senyawa dan metabolit lain yang mungkin
metabolisme metionin di usus), asam lemak rantai pendek, dan fenol. Asam lemak
reversibel. Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan
aktivitas otak dan enzim hati monoamine oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat
dehidrogenase serta prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti amonia
ensefalopati hepatik (Kurf & Isselbacher, 2014: 1676). Beberapa faktor yang
otak.
2. Pada gagal hati seperti sirosis hepatis, akan terjadi penrunan asam amino
rantai cabang yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin, yang
1989).
sebagai hasil dari peningkatan tonus GABAergic di otak. Kompleks reseptor GABA
kimia ini dipercaya meningkatkan level GABA dan benzodiazepin endogen dalam
plasma, serta dapat menembus blood brain barrier (Wolf et al, 2015).
Menurut Kurf & Isselbacher (2014) pengikatan GABA dan benzodiazepin pada
Peningkatan GABA sistem saraf pusat mungkin mencerminkan kegagalan hati untuk
secara efisien menarik asam amino prekursor atau untuk membuang GABA yang
Namun, efek flumazenil pada pasien ensefalopati hepatik tidak konsisten. Selain itu
dan neurotransmitter penghambat dalam sistem saraf pusat berperan penting dalam
Diagnosis ensefalopati hepatik dibuat pada pasien dengan penyakit hati baik
akut maupun kronis yang berat dan mengalami gangguan neuropsikiatri. Tahapan
1. Anamnesis
teman, ambulans personil, atau orang lain yang kontak terakhir dengan pasien
(Bahrudin, 2016: 458). Berikut hal-hal yang harus ditanyakan pada saat
anamnesis:
a. Peristiwa terkini
makan? Apakah ada trauma baru atau paparan toksin (racun)? (Bahrudin,
2016: 458).
2. Pemeriksaan fisik
kriteria West Haven (Vistrup et al, 2014: 50). Tanda-tanda yang ditemukan pada
yang melambat, ataupun penurunan kesadaran yang jelas (Lesmana et al, 2014: 6).
None
Best Motor Response Obeys commands 6
5
Localizes to pain 4
3
Withdraws to pain
No movement
Best Verbal Response Conversant and oriented 5
4
Confused and disoriented 3
2
Utters inappropriate words
1
Makes incomprehensible sounds
Makes no sounds
Total Score 3-15
(Wuysang & Bahar, 2015: 11). Untuk itu pemeriksaan MMSE ini dapat
b. Elektroensefalografi (EEG)
frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12 Hz) (Zubir, 2014: 1991).
d. Tes Psikometri
Tes Psikometri pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making
Test) yang digunakan secara luas dalam ujian personal militer Amerika,
kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut sebagai Uji Hubung
Angka (UHA) atau Number Connection Test (NCT). Tes ini dapat
hasil.
2014: 6).
Tabel 4. Kadar Amonia pada berbagai Derajat Ensefalopati Hepatik pada Sirosis
Hepatis
Derajat Ensefalopati Kadar ammonia dalam darah (mg/dl)
0 <150
I 151-200
II 201-250
III 251-300
IV >300
merata di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk memberi penjelasan kepada
pasien serta keluarga mengenai tanda-tanda klinis dari ensefalopati hepatik (Lesmana
et al, 2014: 6-7). Berikut secara sederhana digambarkan alur diagnosis pasien dengan
psikiatri, perdarahan intrakranial dan stroke, severe medical stress (gagal organ
tekanan normal hidrosefalus), obstructive sleep apnea (Vilstrup et al, 2014: 48).
2.6. Penatalaksanaan
terjadinya kerusakan sistem saraf yang lebih parah (Zubir, 2014: 1992).
Gambar 7. Algoritma Tata Laksana Awal Penurunan Kesadaran
ensefalopati hepatik yang terjadi adalah primer atau sekunder. Ensefalopati hepatik
primer merupakan gangguan yang akibat kerusakan parenkim hati berat tanpa adanya
faktor presipitasi sedangkan sekunder disertai adanya faktor presipitasi (Zubir, 2014:
1991). Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan holistik dan komprehensif yang
Pemeriksaan menyeluruh terhadap cairan tubuh pasien, kadar gula darah, serta
Amonia dan beberapa faktor presipitasi lain seperti dehidrasi, infeksi, alkohol,
obat-obat sedatif, dan perdarahan saluran cerna merupakan faktor pencetus terjadinya
resusitasi cairan dan elektrolit (Frederick, 2011: 228), pemberian antibiotik spektrum
luas untuk mengatasi infeksi, penghentian konsumsi alkohol dan obat-obat sedatif
sejak awal timbulnya manifestasi klinis ensefalopati hepatik, penanganan yang cepat
terhadap perdarahan saluran cerna seperti ligasi sumber pendarahan, observasi cairan
modalitas:
ensefalopati hepatik. Hal ini dikarenakan laktulosa memiliki sifat laksatif yang akan
kolon. Selain itu, laktulosa juga berfungsi dalam mengurangi uptake glutamin.
Laktulosa ini akan diubah menjadi monosakarida oleh flora normal menjadi sumber
sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa
b. Antibiotik
bakteri di usus. Oleh karena itu, tujuan penggunaan antibiotik adalah untuk menekan
pertumbuhan bakteri penghasil amonia. Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-
pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal (<1%
dari dosis oral oleh karena kurang larut air dan memiliki permeabilitas yang rendah).
Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan
vankomisin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih minimal
digunakan pada pasien ensefalopati hepatik dan memiliki efektivitas sama dengan
dua asam amino yang berperan penting dalam proses metabolik yakni dalam
perubahan amonia menjadi urea dan glutamin (Riggio et al, 2010: 59). LOLA ini
terbukti dapat menurunkan kadar amonia (Ndraha, 2015: 827). Proses penurunan
kadar amonia adalah dengan cara menginduksi peningkatan metabolisme di otot dan
hepar (Riggio et al, 2010: 59). Selain menurunkan kadar amonia dalam darah, LOLA
juga mengurangi edema serebri pada pasien ensefalopati hepatik (Lesmana et al,
2014: 10).
pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis hepatis dengan ensefalopati
hepatik dapat menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi,
diperkirakan hanya sementara. Beberapa penelitian RCT (Kirches dkk, 1197 dan
intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan ensefalopati hepatik yang ada
(Lesmana et al, 2014: 11). Sementara itu, pemberian LOLA secara oral dinilai tidak
akan efektif (Vilstrup et al, 2014: 56). LOLA bekerja melalui stimulasi siklus urea,
maka tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
d. Probiotik
modifikasi jalur metabolisme nitrogen salah satu contohnya Sodium Benzoate (SB).
(substansi non toksik yang dapat keluar melalui urin). SB memiliki efek yang sama
baiknya dengan laktulosa dan mempunyai harga yang lebih murah. Meskipun
demikian, penggunaan SB (10 g/hari) pada pasien sirosis hati dapat meningkatkan
kadar amonia basal dan jika digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
asites karena adanya beban nitrogen. SB yang tersedia adalah Ammonul yang
a. Nutrisi
pada pasien dengan malnutrisi derajat sedang hingga berat yang tidak dapat
diatasi dengan pemberian nutrisi secara enteral. Pasien yang tidak mendapat
makanan lebih dari 12 jam perlu mendapatkan glukosa secara intravena 2-3
b. Energi
cukup. Secara umum, jumlah energi yang dibutuhkan pasien adalah 1,3 x Basal
metabolic Rate (BMR). Akan tetapi, pada 30-35% pasien sirosis hepatis
non-protein dan diberikan dalam emulsi berisi n-6 unsaturated fatty acids.
2014: 13-14).
c. Protein
protein memberi manfaat pada pasien. Hal ini dikarenakan peningkatan protein
protein hewani. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 1,5 kg/BB/hari pada pasien
dengan malnutrisi berat. Akan tetapi, pada pasien ensefalopati hepatik dengan
14).
Selain itu terdapat studi (Cordoba dkk, 2001) yang membandingkan diet
rendah protein dengan diet normal pada pasien sirosis dengan ensefalopati
dengan diet rendah protein. Selain itu, pada kelompok diet rendah protein
konsumsi produk susu dan sayur-sayuran. AARC pada pasien dengan penyakit
hati kronik memiliki kadar yang rendah di dalam plasma karena utilisasi
yang diproduksi dari asam amino aromatik. Selain itu, AARC juga
insulin pada pasien sirosis hati dengan resistensi insulin. Total pemberian pada
pasien dengan ensefalopati hepatik adalah 25% dari total protein. Dengan kata
lain, AARC diberikan dengan perbandingan 1:3 dengan asam amino aromatik.
pada pasien ensefalopati hepatik derajat III-IV. Selain itu, waktu pemberian
AARC juga krusial. Dari hasil penelitian didapatkan pemberian AARC pada
malam hari memberikan efek yang lebih baik, berupa peningkatan kadar
albumin dibandingkan pemberian AARC pada siang hari (Lesmana et al, 2014:
15).
e. Mineral
merupakan kofaktor enzim yang berperan dalam siklus urea. Turunnya kadar
zinc berperan dalam penurunan sintesis glutamin dan penurunan aktivitas enzim
penelitian RCT (Reding dkk, 1984 dan Riggio dkk, 1991) menunjukkan adanya
perbaikan pada kejadian ensefalopati hepatik dengan pemberian zinc asetat 600
Pada pasien dengan gagal hati lanjut sering kali terdapat defisiensi
neuropsikiatri terkait penyakit hati dapat menjadi akibat dari defisiensi vitamin
larut air. Sebagai contoh, neuropati perifer merupakan akibat dari defisiensi
piridoksin atau thiamin. Gejala klinis dari defisiensi thiamin adalah gangguan
orientasi, ataksia, dan kerusakan okuler. Defisiensi thiamin dan asam folat
dapat terjadi dengan cepat pada pasien sirosis akibat dari gangguan
dipertimbangkan pada pasien dengan derajat ensefalopati hepatik yang lebih tinggi.
Terapi suportif lainnya ialah pemberian serat pada pasien ensefalopati hepatik.
Pemberian yang disarankan sebanyak 25-45 gr/hari (Lesmana et al, 2014: 16).
hepatik berulang. Oleh karena itu, diperlukan kontrol faktor presipitasi potensial.
perdarahan saluran cerna bagian atas, konsumsi alkohol, infeksi, serta peningkatan
2.8. Prognosis
teratasi, maka dengan pengobatan standar hampir 80% pasien akan kembali sadar.
Pada pasien dengan ensefalopati hepatik primer dan penyakit berat, prognosis akan
lebih buruk bila disertai hipoalbuminemia, ikterus serta asites. Sementara ensefalopati
hepatik akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar
kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju (Zubir, 2014: 1992).
2.9. Edukasi
yang sering dijumpai. Oleh karena itu, diperlukan edukasi yang baik terutama pada
pasien maupun keluarga pasien. Edukasi pada pasien dan keluarga harus mencakup:
1. Efek obat (laktulosa, rifaximin, dan lainnya) dan potensi efek samping obat (diare
dan sebagainya).
2. Kepatuhan konsumsi obat.
segera ke rumah sakit jika terjadi kekambuhan yang disertai demam) (Vilstrup et
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik akut maupun kronik yang gambaran
klinisnya berupa kelainan mental, kelainan neurologis, kelainan parenkim hati serta
kelainan laboratorium. Proses terjadinya ensefalopati hepatik hingga saat ini belum
diketahui dengan jelas. Akan tetapi, amonia merupakan bahan yang dianggap paling
Oleh karena itu, pasien dan anggota keluarga dari penderita ensefalopati hepatik
harus diedukasi mengenai cara mengenali serangan ensefalopati hepatik dini, agar
3.2. Saran
1. Pembaca disarankan untuk tidak menjadikan karya tulis ini sebagai satu-
lebih lengkap.
3.3. Ringkasan
dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun kronik yang
parenkim hati serta kelainan laboratorium. Kelainan mental yang tampak seperti
penurunan kesadaran.
GABA dan benzodiazepin. Dari keempat hipotesis ini amonia dianggap paling
pencetus, lalu berdasarkan pemeriksaan fisik yang dalam hal ini menggunakan
kriteria West Haven (gold standart), dan dibantu oleh beberapa pemeriksaan
dan Computed Tomography (CT) Scan serta tes psikometri dan pemeriksaan
amonia darah.
sebuah kasus kegawatdaruratan yang perlu penanganan cepat dan tepat. Oleh
keluar dari fase gawat darurat, lakukan tatalaksana selanjutnya yang meliputi
identifikasi dan mengatasi faktor presipitasi ensefalopati lain, pengaturan
Cardoba, Juan. 2014. Hepatic Encephalopathy: From the Pathogenesis to the New
http://cme.medicinus.co/file.php/1/LEADING_ARTICLE_Ensefalopati_Hepati
k_APa_Mengapa_dan_Bagaimana.pdf.
Lindseth, G.N. 2014. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam:
Hartanto, H., Susi, N., Pita, W., Dewi, A. M. Patofisiologi Konsep Klinis
cirrhosis-related-complications/hepatic-encephalopathy-diagnosis
management/core-concept/all.
Ndraha, Suzanna. 2015. Ensefalopati Hepatikum Minimal, 42 (11), 824 ; 827 hlm.
Patasik, Y. Z., Waleleng, B.J, Wantania, F. 2015. Profil pasien sirosis hati yang
dirawat inap di RSUP Prof. DR. R. D. Kandau Manado periode Agustus 2012-
Qureshi, M. O., Nair, K., Farzana, S. 2014. Ammonia Levels and the Severity of
Riggio, O., Lorenzo, R., Chlara, P. 2010. World J Gastrointerest Pharmacol Ther.
Setyabudhy, Irawan M., Saptadi Y. 2015. Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana
Penurunan Kesadaran pada Anak. Dalam: Pudjiadi, A.H., Abdul, L., Novik, B.
Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat.. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter
Sherlock, S. 2002. Diseases of the Liver and Billiary System Eleventh Edition.
Straten, G.V., et al. 2014. Aberrant Expression and Distribution of Enzymes of the
http://vetmed.illinois.edu/wp-content/uploads/2015/09/54.-Portosystemic-
Shunts.pdf.
Vilstrup, H., et al. 2014. Hepatic Encephalopathy in Chronic Liver Disease: 2014
Wuysang, Devi & Ashari, Bahar. 2015. Pemeriksaan Derajat Kesadaran (Glasgow
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2015/08/Manual-CSL-
IV-Pemeriksaan-Derajat-Kesadaran-Fungsi-Kortikal-Luhur.pdf.
Wolf, D. C., et al. 2015. Hepatic Encephalopathy. [16 Oktober 2016]. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/186101-overview.
Zubir, Nasrul. 2014. Koma Hepatik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A.W.,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A.F. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi