Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Ensefalopati hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat

dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik akut maupun kronik yang gambaran

klinisnya berupa kelainan mental, kelainan neurologis, terdapatnya kelainan parenkim

hati serta kelainan laboratorium (Zubir, 2014: 1990). Sindrom neuropsikiatri ini juga

ditandai dengan tremor otot dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis

(Lindseth, 2014: 499).

Ensefalopati hepatik terbagi atas beberapa tipe yakni tipe A, tipe B, serta tipe C.

Tipe C merupakan tipe yang paling sering dijumpai pada pasien dengan gangguan

fungsi hati (Riggio et al, 2010: 54). Adapun klasifikasi ensefalopati hepatik terbaru

mengelompokkan derajat ensefalopati hepatik 0-1 dengan istilah covert hepatic

encephalopathy serta derajat 2-4 dengan istilah overt hepatic encephalopathy

(Lesmana et al, 2014: 2).


Di Indonesia, secara umum prevalensi ensefalopati hepatik minimal (grade 0)

tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun

diperkirakan terjadi pada 30-84% pasien sirosis hepatis. Data pada tahun 1999

mencatat prevalensi ensefalopati hepatik stadium 2-4 sebesar 14,9%. Angka

kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak

menjalani transplantasi hati. Menurut data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

menunjukkan bahwa prevalensi ensefalopati hepatik minimal sebesar 63,2% pada

tahun 2009 (Lesmana et al, 2014: 3). Sementara itu hasil penelitian di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado pada tahun 2014, dari 51 pasien terdapat 2 pasien sirosis

hepatis dengan komplikasi ensefalopati hepatik (Patasik et al, 2015: 343).

Sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), ensefalopati

merupakan kompetensi 3B yang mengharuskan lulusan dokter mampu membuat

diagnosis dan memberikan terapi pendahuluan pada saat gawat darurat (SKDI, 2012:

33). Oleh sebab itu, dengan berpatokan pada SKDI dan angka kejadian ensefalopati

hepatik yang cukup tinggi, penulis hendak membuat karya tulis ilmiah tentang

ensefalopati hepatik berbasis kajian pustaka.

1.2. Rumusan masalah

1. Apakah definisi ensefalopati hepatik?

2. Bagaimanakah epidemiologi ensefalopati hepatik?

3. Apakah etiologi ensefalopati hepatik?

4. Bagaimanakah cara mendiagnosis ensefalopati hepatik?

5. Apakah diagnosis banding ensefalopati hepatik?

6. Bagaimanakah penatalaksanaan ensefalopati hepatik?


7. Apakah komplikasi yang disebabkan oleh ensefalopati hepatik?

8. Apakah prognosis pasien ensefalopati hepatik?

9. Bagaimanakah cara mengedukasi pasien ensefalopati hepatik?

1.3. Tujuan penulisan

1. Tujuan umum

Mempelajari kajian pustaka tentang ensefalopati hepatik.

2. Tujuan khusus

1. Mengetahui definisi ensefalopati hepatik.

2. Mengetahui epidemiologi ensefalopati hepatik.

3. Mengetahui etiologi ensefalopati hepatik.

4. Mengetahui cara menegakan diagnosis ensefalopati hepatik.

5. Mengetahui diagnosis banding ensefalopati hepatik.

6. Mengetahui penatalaksanaan kegawatdaruratan pada pasien ensefalopati

hepatik.

7. Mengetahui komplikasi dari ensefalopati hepatik.

8. Mengetahui prognosis dari ensefalopati hepatik.

9. Mengetahui cara mengedukasi pasien ensefalopati hepatik.


1.4. Manfaat penulisan

1. Masyarakat

Sebagai sumber informasi tentang ensefalopati hepatik.

2. Institusi Pendidikan

Sebagai referensi tambahan di perpustakaan Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih.

3. Penulis

Sebagai acuan bagi mahasiswi yang ingin menulis lebih lanjut tentang

ensefalopati hepatik.
BAB II

ISI

2.1. Defenisi

Menurut American Association For The Study Of Liver Disease, ensefalopati

hepatik adalah disfungsi otak yang disebabkan oleh insufisiensi hati dan atau

portosystemic shunt (Vilstrup et al, 2014: 44). Portosystemic shunt merupakan

hubungan abnormal antara sistem portal (limpa, frenikus, mesenterika superior,

mesenterika inferior, lambung, atau vena-vena pada saluran cerna) ke vena cava

inferior atau vena azigos (Tobias, 2015).

Definisi ensefalopati hepatik lain dikemukakan oleh Lindseth (2014).

Menurutnya, ensefalopati hepatik merupakan suatu kompleks sindroma

neuropsikiatrik yang ditandai adanya kekacauan mental, tremor otot, dan flapping

tremor yang disebut sebagai asteriksis. Asteriksis merupakan suatu manifestasi

perifer adanya gangguan metabolisme otak (Lindseth, 2014: 500). Meskipun

demikian asteriksis tidak eksklusif untuk ensefalopati hepatik karena gejala ini juga

dapat ditemukan pada ensefalopati metabolik atau pada kelainan struktural lainnya
(gagal ginjal, hiperkapnea, dan stroke yang mempengaruhi ganglia basal) (Cardoba,

2014: 5).

Jadi, dalam arti sederhana ensefalopati hepatik dapat dijelaskan sebagai bentuk

intoksikasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak mengalami metabolisme

dalam hati, yang gambaran klinisnya berupa kelainan neurologis yang bervariasi

mulai dari adanya gangguan tidur, asteriksis, kekacauan mental, penurunan kesadaran

hingga jatuh pada keadaan koma (Lindseth, 2014: 499).

Gambar 1 Flapping Tremor

(Dikutip dari Liou, 2013: 12)


Gambar 2. Mekanisme Portal-Sistemik Ensefalopati

(Dikutip dari Sherlock, 2002: 100)

Ensefalopati hepatik dapat diklasifikasikan berdasarkan empat faktor,

diantaranya :

1. Berdasarkan penyakit yang mendasari

a. Tipe A yang berhubungan dengan gagal hati akut.


b. Tipe B yang berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya

kelainan intrinsik hati.

c. Tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal.

2. Berdasarkan tingkat keparahan (Tabel 1)

3. Berdasarkan waktu

a. Episodik

Ensefalopati hepatik yang terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat

keparahan yang berfluktuasi.

b. Rekuren

Ensefalopati hepatik yang terjadi pada interval waktu kurang lebih 6 bulan

dengan gejala neurologis yang kian memberat.

c. Persisten

Ensefalopati hepatik yang selalu menunjukkan pola perubahan perilaku dan

diselingi dengan kekambuhan.

4. Berdasarkan ada tidaknya faktor pemicu

a. Tanpa pemicu

b. Ada pemicu

Faktor pemicu dapat diidentifikasi pada hampir semua serangan ensefalopati

hepatik episodik tipe C (Vilstrup et al, 2014: 46).


Klasifikasi ensefalopati hepatik terbaru mengelompokkan derajat ensefalopati

hepatik 0 dan 1 dengan istilah covert hepatic encephalopathy serta derajat 2-4 dengan

istilah overt hepatic encephalopathy (Lesmana et al, 2014: 2).

2.2. Epidemiologi

Menurut American Association for the Study of Liver Disease, secara umum

prevalensi ensefalopati hepatik jenis overt pada saat diagnosis sirosis adalah 10%-

14%. Presentase 16%-21% terjadi pada pasien dengan sirosis dekompensasi, serta

presentase 10%-50% pada pasien dengan transjugular intrahepatic portosystemic

shunt (TIPS). Akumulasinya menunjukkan bahwa ensefalopati hepatik jenis overt

akan terjadi pada 30%-40% pasien sirosis, sedangkan ensefalopati hepatik minimal

atau ensefalopati hepatik covert terjadi pada 20%-80% pasien dengan sirosis hepatis

(Vilstrup et al, 2014: 44).

Selain itu, dalam sebuah penelitian di Eropa yang dilakukan pada 2145 pasien

penyakit hati dengan stadium yang berbeda, ditemukan 21% diantaranya menderita

ensefalopati hepatik (Shawcross et al, 2016: 146). Di Indonesia sendiri dilaporkan


bahwa prevalensi ensefalopati hepatik minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti

karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30-84% pasien

sirosis hepatis (Patasik et al, 2015: 343).

2.3. Etiologi

Ada begitu banyak faktor yang diduga mencetuskan terjadinya ensefalopati

hepatik pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan

nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein tinggi, gangguan ginjal, perdarahan

varises esofagus, dan konstipasi), gangguan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia,

alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedatif, diuretik, anastetik, narkotika), infeksi

(pneumonia, infeksi saluran kemih, atau infeksi lain), dan lainnya (pembedahan).

Faktor pencetus tersering adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal


berupa pecahnya varises esofagus. Etiologi yang menyebabkan terjadinya

ensefalopati hepatik didasari pada akumulasi berbagai toksin pada peredaran darah

yang akhirnya melewati blood-brain barrier (Lesmana et al, 2014: 3-4).

Beberapa hipotesis yang dikemukan pada patogenesis dari ensefalopati hepatik

adalah :

a. Hipotesis Amoniak

Menurut Kurf & Isselbacher (2014) amonia merupakan bahan yang paling

sering menyebabkan ensefalopati hepatik. Sebuah penelitian di Amerika menyatakan

bahwa ensefalopati hepatik memiliki korelasi yang kuat dengan kadar amonia dalam

otak. Hal serupa juga ditegaskan dalam penelitian terhadap 135 pasien di

Departement Of Gastroenterology, Shifa International Hospital, Islamabad dari

Januari 2011 hingga Februari 2012 (Qureshi et al, 2014: 160). Akan tetapi, tidak

semua pasien ensefalopati hepatik menunjukkan adanya peningkatan kadar amonia.

Hal ini terjadi karena pada tahap pemulihan ensefalopati hepatik sering disertai

dengan adanya penurunan kadar amonia (Kurf & Isselbacher, 2014: 1675).

Amonia dihasilkan dari proses kolonisasi bakteri usus terutama gram negatif

anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan Clostridium dengan aktivitas enzim


urease. Enzim ini akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida (Lesmana

et al, 2014: 4). Selain dihasilkan oleh flora normal di usus, amonia juga dapat

dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus. Glutaminase

usus akan memetabolisme glutamin yang merupakan sumber energi usus menjadi

glutamat dan amonia (Frederick, 2011: 222).

Pada orang yang sehat, amonia juga dapat diproduksi di ginjal dan otot. Kedua

organ ini berperan pula dalam mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati. Otot

rangka merupakan organ utama yang memainkan peran ini. Otot rangka

memetabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin

sintetase. Sementara itu, ginjal berperan dalam fungsi produksi dan ekskresi. Fungsi

produksi terjadi dengan bantuan enzim glutaminase yang mengubah glutamin

menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Fungsi ekskresi terjadi ketika ginjal

mengeluarkan amonia dalam tubuh melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+)

dan urea. Kedua fungsi ginjal ini dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh

(Lesmana et al, 2014: 4).

Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeliminasi ion amonium melalui urin,

sedangkan dalam kondisi alkalosis, ion amonium akan ditahan dalam tubuh sehingga
menyebabkan hiperamonia. Penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi

perifer juga akan menyebabkan terjadinya hiperamonia. Keadaan hiperamonia inilah

yang akan memudahkan masuknya amonia melalui blood-brain barrier (Lesmana et

al, 2014: 4).

Metabolisme amonia dimulai ketika amonia masuk ke dalam hati melalui vena

porta untuk proses detoksifikasi (Lesmana et al, 2014: 4). Di hati, metabolisme

amonia dilakukan pada 2 tempat yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia

menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan pada sel hati yang terletak dekat

dengan vena sentral tempat urea akan diubah kembali menjadi glutamin (Hasan &

Abirianty, 2014: 3).


Gambar 3. Siklus Krebs-Henseleit

(Dikutip dari Straten, et al, 2014: 3)

Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menurunkan

detoksifikasi amonia dalam hati ditambah lagi dengan adanya shunting portosystemic

yang secara langsung membawa darah masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar amonia yang tentunya akan

meningkatkan resiko toksisitas amonia (Hasan & Abirianty, 2014: 3).

Target toksisitas amonia di otak adalah sel astrosit yang berfungsi melakukan

detoksifikasi amonia dengan memetabolisme amonia menjadi glutamin. Glutamin

yang merupakan hasil metabolisme amonia bekerja sebagai molekul osmotik dan

menarik cairan ke dalam sel astrosit. Penarikan cairan akan menyebabkan terjadinya

pembengkakan sel astrosit, yang berdampak pada terjadinya edema serebri. Edema

serebri yang terjadi diduga menjadi penyebab disfungsi neurologis pada pasien

ensefalopati hepatik (Lesmana et al, 2014: 5).


Gambar 4. Sirkulasi Amonia Normal dan Abnormal

(Dikutip dari Lindseth, 2014: 500)

b. Hipotesis Toksisitas Sinergik

Menurut Kurf & Isselbacher (2014), senyawa dan metabolit lain yang mungkin

berperan dalam menimbulkan ensefalopati adalah merkaptan (berasal dari

metabolisme metionin di usus), asam lemak rantai pendek, dan fenol. Asam lemak

rantai pendek terutama oktanoid, mempunyai efek metabolik seperti gangguan

oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi oksigen, serta penekanan aktivitas


natrium dan K-ATP-ase sehingga dapat mengakibatkan ensefalopati hepatik

reversibel. Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan

aktivitas otak dan enzim hati monoamine oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat

dehidrogenase serta prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti amonia

yang dapat mengakibatkan ensefalopati hepatik. Senyawa-senyawa tersebut akan

memperkuat sifat-sifat neurotoksisitas dari amonia (Zubir, 2014: 1989-1990).

c. Hipotesis Neurotransmitter Palsu

Adanya neurotransmitter palsu yang menggantikan dopamin dan nor-adrenalin

yakni oktapamin dan feniletanolamin diduga juga berperan dalam menyebabkan

ensefalopati hepatik (Kurf & Isselbacher, 2014: 1676). Beberapa faktor yang

mempengaruhi adanya neurotransmitter palsu tersebut yakni:

1. Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan

produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi

otak.

2. Pada gagal hati seperti sirosis hepatis, akan terjadi penrunan asam amino

rantai cabang yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin, yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino aromatik seperti tirosin,


fenilalanin, dan triptopan karena penurunan uptake hepatik (Zubir, 2014:

1989).

d. Hipotesis Gamma-Aminobutyric Acid (GABA) dan Benzodiazepin

Gamma-Aminobutirat (GABA) merupakan substansi neuroinhibitor yang

diproduksi di saluran pencernaan. Semua akhiran saraf otak, sekitar 24-45%

merupakan GABAergic. Selama 20 tahun terakhir, ensefalopati hepatik dikatakan

sebagai hasil dari peningkatan tonus GABAergic di otak. Kompleks reseptor GABA

mengandung binding side untuk GABA, benzodiazepin dan barbiturat. Bahan-bahan

kimia ini dipercaya meningkatkan level GABA dan benzodiazepin endogen dalam

plasma, serta dapat menembus blood brain barrier (Wolf et al, 2015).

Menurut Kurf & Isselbacher (2014) pengikatan GABA dan benzodiazepin pada

kompleks reseptor neuronal GABA supersensitif menyebabkan masuknya ion klorida

ke dalam neuron postsinaps, yang mengarah pada penghambatan potensial postsinaps.

Peningkatan GABA sistem saraf pusat mungkin mencerminkan kegagalan hati untuk

secara efisien menarik asam amino prekursor atau untuk membuang GABA yang

dihasilkan usus. Benzodiazepin endogen juga ikut berperan dalam ensefalopati

hepatik, terbukti dengan ditemukannya 1,4-benzodiazepin dalam jaringan otak pasien


gagal hati fulminan serta respon parsial yang diamati pada sebagian pasien dan hewan

percobaan terhadap pemberian flumazenil yang merupakan antagonis benzodiazepin.

Namun, efek flumazenil pada pasien ensefalopati hepatik tidak konsisten. Selain itu

adanya kemungkinan kesalahan metodologik pengukuran benzodiazepin endogen,

menyingkirkan peran definitif zat ini dalam patogenesis ensefalopati hepatik.

Beberapa pengamatan mengisyaratkan bahwa peningkatan konsentrasi asam GABA

dan neurotransmitter penghambat dalam sistem saraf pusat berperan penting dalam

menurunkan kesadaran pasien ensefalopati hepatik.

Gambar 5. Patofisiologi Ensefalopati Hepatik

(Dikutip dari Frederick, R. T. 2015: 224)


2.4. Penegakan diagnosis

Diagnosis ensefalopati hepatik dibuat pada pasien dengan penyakit hati baik

akut maupun kronis yang berat dan mengalami gangguan neuropsikiatri. Tahapan

penegakan diagnosis adalah:

1. Anamnesis

Pada pasien ensefalopati hepatik anamnesis biasanya dilakukan pada keluarga,

teman, ambulans personil, atau orang lain yang kontak terakhir dengan pasien

(Bahrudin, 2016: 458). Berikut hal-hal yang harus ditanyakan pada saat

anamnesis:

a. Peristiwa terkini

Bagaimana pasien ditemukan? Apakah ada gangguan neurologis seperti

gangguan tidur, kesulitan berbicara, kesulitan menulis atau kesulitan

makan? Apakah ada trauma baru atau paparan toksin (racun)? (Bahrudin,

2016: 458).

b. Riwayat medis (Bahrudin, 2016: 458).


(Apakah pasien mempunyai faktor resiko ensefalopati hepatik seperti

sirosis hepatis, gagal hati akut, pembedahan pirau portosistemik?)

(Cardoba, 2014: 8).

c. Riwayat psikiatri (Bahrudin, 2016: 458).

d. Riwayat penggunaan obat atau alkohol (Bahrudin, 2016: 458).

2. Pemeriksaan fisik

Gold Standart dalam pemeriksaan ensefalopati hepatik adalah menggunakan

kriteria West Haven (Vistrup et al, 2014: 50). Tanda-tanda yang ditemukan pada

pemeriksaan fisik pasien ensefalopati hepatik seperti asteriksis, kebingungan, gerakan

yang melambat, ataupun penurunan kesadaran yang jelas (Lesmana et al, 2014: 6).

Tabel 1. Kriteria West Haven dan Manifestasi Klinis


Derajat Kognitif dan Perilaku Fungsi Neuromuskular
0 (subklinis minimal) Asimtomatik Tidak ada
I Gangguan tidur, penurunan Suara monoton, tremor,
konsentrasi, depresi, ansietas penurunan kemampuan
dan iritabilitas menulis, apraksia
II Letargi, disorientasi, Ataksia, diartria,
penurunan daya ingat asteriksis
III Somnolen, kebingungan, Nistagmus, kekakuan
amnesia, gangguan emosi. otot, hiperefleks atau
hiporefleks
IV Koma Dilatasi pupil, dijumpai
refleks patologis
(Dikutip dari Lesmana et al, 2014: 3)

Tabel 2. Glasgow Coma Scale (GCS)


Parameter Patient’s response Score
Best Eye Response Spontaneous eye opening 4
3
Eye opening to voice stimuli 2
1
Eye opening to pain stimuli

None
Best Motor Response Obeys commands 6
5
Localizes to pain 4
3
Withdraws to pain

Abnormal Flexion (decorticate response)


2

Extensor posturing (decerebrate response) 1

No movement
Best Verbal Response Conversant and oriented 5
4
Confused and disoriented 3
2
Utters inappropriate words
1
Makes incomprehensible sounds

Makes no sounds
Total Score 3-15

(Dikutip dari Waysung & Bahar, 2015: 7)


3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE)

Pemeriksaan MMSE merupakan pemeriksaan status mental yang

digunakan untuk mengevaluasi kognitif dan emosi seseorang. Pemeriksaan

Mini Mental Status Examination diawali dengan pemeriksaan fungsi dasar

tingkat kesadaran, kemudian fungsi kognitif dasar seperti berbahasa serta

pemeriksaan yang lebih kompleks seperti berhitung dan sebagainya

(Wuysang & Bahar, 2015: 11). Untuk itu pemeriksaan MMSE ini dapat

digunakan sebagai deteksi dini dalam penegakan diagnosis ensefalopati

hepatik (Lesmana et al, 2014: 6).

b. Elektroensefalografi (EEG)

Pada pemeriksaan EEG akan terlihat peninggian amplitudo dan

menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik serta terjadi penurunan

frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12 Hz) (Zubir, 2014: 1991).

Tabel 3. Tingkat Kuantitas dari Elektroensefalografi (EEG)


Tingkat Ensefalopati Frekuensi Gelombang EEG
Tingkat 0 Frekuensi alfa (8,5-12 siklus/detik)
Tingkat I 7-8 siklus/detik
Tingkat II 5-7 siklus/detik
Tingkat III 3-5 siklus/detik
Tingkat IV 3 siklus/detik atau negatif

(Dikutip dari Zubir, 2014: 1991)

c. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed

Tomography (CT) Scan

Pemeriksaan MRI dan CT-Scan tidak memberikan kontribusi dalam

mendiagnosis ensefalopati hepatik, melainkan dilakukan untuk

menyingkirkan adanya lesi struktural. Tetapi pada ensefalopati hepatik tahap

lanjut pemeriksaan ini penting dilakukan untuk mengetahui adanya edema

serebri (Vistrup et al, 2014: 52).

d. Tes Psikometri

Tes Psikometri pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making

Test) yang digunakan secara luas dalam ujian personal militer Amerika,

kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut sebagai Uji Hubung

Angka (UHA) atau Number Connection Test (NCT). Tes ini dapat

membantu dalam menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang

mengalami ensefalopati hepatik minimal. Penggunaannya sangat sederhana,


biaya pemeriksaan tidak begitu mahal serta dapat dengan cepat memberikan

hasil.

e. Pemeriksaan Amonia Darah

Pemeriksaan amonia darah tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis

pasti ensefalopati hepatik, melainkan hanya dapat digunakan sebagai

parameter tingkat keparahan pasien ensefalopati hepatik (Lesmana et al,

2014: 6).

Tabel 4. Kadar Amonia pada berbagai Derajat Ensefalopati Hepatik pada Sirosis
Hepatis
Derajat Ensefalopati Kadar ammonia dalam darah (mg/dl)
0 <150
I 151-200
II 201-250
III 251-300
IV >300

(Dikutip dari Lesmana et al, 2014: 6)

Namun, pemeriksaan-pemeriksaan tersebut masih sulit untuk dilakukan secara

merata di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk memberi penjelasan kepada

pasien serta keluarga mengenai tanda-tanda klinis dari ensefalopati hepatik (Lesmana
et al, 2014: 6-7). Berikut secara sederhana digambarkan alur diagnosis pasien dengan

kecurigaan ensefalopati hepatik:


Gambar 6. Alur Diagnosis Pasien dengan Kecurigaan Ensefalopati Hepatik
(Dikutip dari Lesmana et al, 2014: 17)

2.5. Diagnosis banding

1. Overt hepatic encephalopathy : diabetik (hipoglikemik, ketoasidosis,

hiperosmolar, asidosis laktat), alkohol (intoksikasi, withdrawal, wernicke),

obat-obatan (benzodiazepin, neuroleptik, opioid), neuroinfeksi, gangguan

elektrolit (hiponatremia dan hiperkalsemia), epilepsi non konvulsi, kelainan

psikiatri, perdarahan intrakranial dan stroke, severe medical stress (gagal organ

dan inflamasi) (Vilstrup et al, 2014: 48).

2. Lainnya : dementia (primer dan sekunder), lesi di otak ( traumatik, neoplasma,

tekanan normal hidrosefalus), obstructive sleep apnea (Vilstrup et al, 2014: 48).

2.6. Penatalaksanaan

2.6.1. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Awal Ensefalopati Hepatik

Penatalaksanaan terhadap kegawatdaruratan penurunan kesadaran pasien

ensefalopati hepatik perlu dilakukan. Penatalaksanaan ini bertujuan untuk mencegah

terjadinya kerusakan sistem saraf yang lebih parah (Zubir, 2014: 1992).
Gambar 7. Algoritma Tata Laksana Awal Penurunan Kesadaran

(Dikutip dari Pudjiadi et al, 2015: 28)

2.6.2. Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatik


Penatalaksaan ensefalopati hepatik secara umum harus memperhatikan apakah

ensefalopati hepatik yang terjadi adalah primer atau sekunder. Ensefalopati hepatik

primer merupakan gangguan yang akibat kerusakan parenkim hati berat tanpa adanya

faktor presipitasi sedangkan sekunder disertai adanya faktor presipitasi (Zubir, 2014:

1991). Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan holistik dan komprehensif yang

sesuai dengan derajat ensefalopati hepatik dalam penatalaksanaan pasien ensefalopati

hepatik (Lesmana et al, 2014: 7).

Penatalaksanaan terhadap ensefalopati hepatik episodik akibat faktor presipitasi

membutuhkan identifikasi faktor presipitasi serta terapi terkait faktor tersebut.

Pemeriksaan menyeluruh terhadap cairan tubuh pasien, kadar gula darah, serta

elektrolit memegang peranan penting dalam tatalaksana ensefalopati hepatik. Asupan

nutrisi yang tepat dibutuhkan dalam mencegah progresivitas ensefalopati hepatik

yang terjadi. Dasar penatalaksanaan pasien dengan ensefalopati hepatik adalah :

1. Identifikasi dan mengatasi faktor presipitasi ensefalopati lain

Amonia dan beberapa faktor presipitasi lain seperti dehidrasi, infeksi, alkohol,

obat-obat sedatif, dan perdarahan saluran cerna merupakan faktor pencetus terjadinya

ensefalopati hepatik. Untuk itu diperlukan penanganan terhadap faktor-faktor


presipitasi ini (Lesmana et al, 2014: 8). Dehidrasi biasanya akan berespon terhadap

resusitasi cairan dan elektrolit (Frederick, 2011: 228), pemberian antibiotik spektrum

luas untuk mengatasi infeksi, penghentian konsumsi alkohol dan obat-obat sedatif

sejak awal timbulnya manifestasi klinis ensefalopati hepatik, penanganan yang cepat

terhadap perdarahan saluran cerna seperti ligasi sumber pendarahan, observasi cairan

dan penurunan tekanan vena portal (Lesmana et al, 2014: 8).

2. Pengaturan keseimbangan nitrogen

Amonia merupakan neurotoksin utama yang berperan dalam terjadinya

ensefalopati hepatik. Penurunan kadar amonia dapat dicapai dengan beberapa

modalitas:

a. Nonabsorbable Disaccharides (Laktulosa)

Laktulosa digunakan sebagai terapi lini pertama pada penatalaksanaan pasien

ensefalopati hepatik. Hal ini dikarenakan laktulosa memiliki sifat laksatif yang akan

menyebabkan terjadinya penurunan sintesis dan uptake amonia melalui penurunan pH

kolon. Selain itu, laktulosa juga berfungsi dalam mengurangi uptake glutamin.

Laktulosa ini akan diubah menjadi monosakarida oleh flora normal menjadi sumber

makanan bagi flora normal usus (Lactobacili dan Bifidobacteria) sehingga


pertumbuhan flora normal akhirnya menekan bakteri lain yang berperan

menghasilkan urease. Laktulosa secara signifikan menunjukkan perbaikan tes

psikometri pada pasien ensefalopati hepatik minimal dan mampu mencegah

terjadinya ensefalopati hepatik berulang. Dosis yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml

sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa

adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara

berlebihan akan memperparah episode ensefalopati hepatik, karena akan

memunculkan faktor presipitasi lainnya seperti dehidrasi dan hiponatremia (Lesmana

et al, 2014: 9).

b. Antibiotik

Seperti telah dipaparkan di atas, amonia merupakan hasil produksi koloni

bakteri di usus. Oleh karena itu, tujuan penggunaan antibiotik adalah untuk menekan

pertumbuhan bakteri penghasil amonia. Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-

inflamasi dan menurunkan regulasi aktivitas glutaminase. Antibiotik yang menjadi

pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal (<1%

dari dosis oral oleh karena kurang larut air dan memiliki permeabilitas yang rendah).

Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan

ensefalopati hepatik sebelumnya, yaitu neomisin, metronidazol, poromomisin, dan

vankomisin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih minimal

dibandingkan antibiotik lainnya. Neomisin merupakan antibiotik pertama yang

digunakan pada pasien ensefalopati hepatik dan memiliki efektivitas sama dengan

laktulosa. Neomisin memiliki efek samping berupa ototoksisitas dan nefrotoksis,

metronidazole memiliki efek samping toksisitas neurologi sedangkan resistensi

terhadap vankomisin oral membuat antibiotik ini semakin ditinggalkan (Lesmana et

al, 2014: 10).

c. L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)

L-Ornithine L-Aspartate (LOLA) merupakan garam stabil yang tersusun atas

dua asam amino yang berperan penting dalam proses metabolik yakni dalam

perubahan amonia menjadi urea dan glutamin (Riggio et al, 2010: 59). LOLA ini

terbukti dapat menurunkan kadar amonia (Ndraha, 2015: 827). Proses penurunan

kadar amonia adalah dengan cara menginduksi peningkatan metabolisme di otot dan

hepar (Riggio et al, 2010: 59). Selain menurunkan kadar amonia dalam darah, LOLA
juga mengurangi edema serebri pada pasien ensefalopati hepatik (Lesmana et al,

2014: 10).

Hasil Randomized Controlled Trial (RCT) Double Blind menunjukkan bahwa

pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis hepatis dengan ensefalopati

hepatik dapat menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi,

penurunan amonia pada pasien ensefalopati hepatik yang mendapatkan LOLA

diperkirakan hanya sementara. Beberapa penelitian RCT (Kirches dkk, 1197 dan

Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara

intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan ensefalopati hepatik yang ada

(Lesmana et al, 2014: 11). Sementara itu, pemberian LOLA secara oral dinilai tidak

akan efektif (Vilstrup et al, 2014: 56). LOLA bekerja melalui stimulasi siklus urea,

maka tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal

dengan kadar kreatinin di atas 3 mg/dL (Ndraha, 2015: 827).

d. Probiotik

Penelitian meta analisis dari 9 laporan penelitian menunjukkan prebiotik,

probiotik, dan sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien ensefalopati hepatik.


Rekomendasi berbagai asosiasi, misalnya India, merekomendasikan penggunaan

probiotik pada ensefalopati hepatik minimal (Lesmana et al, 2014: 11).

e. Terapi potensial lain

Berbagai obat dapat berperan dalam terapi ensefalopati hepatik melalui

modifikasi jalur metabolisme nitrogen salah satu contohnya Sodium Benzoate (SB).

SB memiliki kemampuan dalam mengikat amonia untuk membentuk hipurat

(substansi non toksik yang dapat keluar melalui urin). SB memiliki efek yang sama

baiknya dengan laktulosa dan mempunyai harga yang lebih murah. Meskipun

demikian, penggunaan SB (10 g/hari) pada pasien sirosis hati dapat meningkatkan

kadar amonia basal dan jika digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan

asites karena adanya beban nitrogen. SB yang tersedia adalah Ammonul yang

diberikan secara intravena (Lesmana et al, 2014: 11).

3. Terapi untuk mencegah perburukan kondisi pasien

3.1. Terapi pilihan

a. Nutrisi

Nutrisi berperan penting dalam penatalaksanaan pasien ensefalopati

hepatik mengingat tingginya angka kejadian malnutrisi pada pasien sirosis


hepatis. Otot memiliki peran penting dalam mengurangi amonia darah sehingga

malnutrisi dapat mencetuskan ensefalopati hepatik pada pasien. Pasien n sirosis

hati mengalami defisiensi vitamin larut lemak, mineral, dan mikronutrien.

Selain itu, pengaturan nutrisi juga ditujukan untuk mengurangi gejala

ensefalopati hepatik. Pemberian nutrisi pada pasien ensefalopati hepatik dapat

diberikan secara enteral maupun parenteral. Pemberian parenteral dilakukan

pada pasien dengan malnutrisi derajat sedang hingga berat yang tidak dapat

diatasi dengan pemberian nutrisi secara enteral. Pasien yang tidak mendapat

makanan lebih dari 12 jam perlu mendapatkan glukosa secara intravena 2-3

g/kgBB/hari baru mendapatkan nutrisi secara enteral. Apabila pasien tidak

mendapatkan makanan lebih dari 72 jam, nutrisi diberikan secara total

parenteral (Lesmana et al, 2014: 13).

b. Energi

Pasien dengan ensefalopati hepatik memerlukan asupan energi yang

cukup. Secara umum, jumlah energi yang dibutuhkan pasien adalah 1,3 x Basal

metabolic Rate (BMR). Akan tetapi, pada 30-35% pasien sirosis hepatis

didapatkan kebutuhan energi yang diperlukan berlebih dibandingkan rumus di


atas dan sebanyak 18% pasien memiliki kebutuhan yang lebih tinggi.

Kalorimetri indirek, bila tersedia, diperlukan untuk menghitung lebih cepat.

Pemberian karbohidrat dalam bentuk glukosa meliputi 50-60% dari total

kebutuhan energi non-protein. Pada keadaan hiperglikemik, pemberian glukosa

intravena dikurangi menjadi 2-3 gr/kgBB/hari dan dipikirkan apakah pemberian

insulin diperlukan. Pemberian lemak meliputi 40-50% total kebutuhan energi

non-protein dan diberikan dalam emulsi berisi n-6 unsaturated fatty acids.

Perhitungan energi secara kasar adalah 35-40 kcal/kgBB/hari (Lesmana et al,

2014: 13-14).

c. Protein

Masih menjadi perdebatan apakah peningkatan atau restriksi asupan

protein memberi manfaat pada pasien. Hal ini dikarenakan peningkatan protein

akan menyebabkan peningkatan amonia, sementara restriksi protein

menyebabkan massa otot berkurang sehingga kemampuan penyerapan amonia

secara ekstrahepatik juga berkurang. Restiksi protein (0-40 gr/hari) pada

awalnya terlihat memberikan perbaikan derajat ensefalopati hepatik pada pasien

pasca operasi pembentukan sirkulasi portosistemik. Akan tetapi, studi terakhir


menunjukkan restriksi protein tidak memiliki efek perbaikan derajat

ensefalopati hepatik sebaliknya memperparah status nutrisi pasien. The

European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN)

merekomendasikan terapi empirik diet protein 1-1,2 gr/kgBB pada pasien

ensefalopati hepatik, penggunaan protein nabati lebih dianjurkan dibandingkan

protein hewani. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 1,5 kg/BB/hari pada pasien

dengan malnutrisi berat. Akan tetapi, pada pasien ensefalopati hepatik dengan

intoleransi protein pemberian protein harus direstriksi (Lesmana et al, 2014:

14).

Selain itu terdapat studi (Cordoba dkk, 2001) yang membandingkan diet

rendah protein dengan diet normal pada pasien sirosis dengan ensefalopati

hepatik menunjukkan bahwa pemecahan protein lebih tinggi pada kelompok

dengan diet rendah protein. Selain itu, pada kelompok diet rendah protein

terjadi peningkatan pemecahan otot sehingga terjadi pelepasan nitrogen dengan

asam amino yang berujung peningkatan produksi NH 4. Oleh karena itu,

pembatasan protein tidak memiliki manfaat pada pasien ensefalopati hepatik

(Lesmana et al, 2014: 14).


d. Asam Amino Rantai Cabang (AARC)

AARC tidak dapat dibentuk di dalam tubuh, tetapi didapatkan melalui

konsumsi produk susu dan sayur-sayuran. AARC pada pasien dengan penyakit

hati kronik memiliki kadar yang rendah di dalam plasma karena utilisasi

berlebihan akibat keadaan hiperamonemia. AARC berperan dalam

pembentukan glutamin di dalam otot, stimulasi sintesis protein di dalam hati,

mencegah katabolisme, dan mencegah pembentukan neurotransmitter palsu

yang diproduksi dari asam amino aromatik. Selain itu, AARC juga

meningkatkan perfusi serebral pada pasien sirosis hepatis. AARC bekerja

dengan bantuan insulin yang bersirkulasi, sehingga diperlukan pemberian

insulin pada pasien sirosis hati dengan resistensi insulin. Total pemberian pada

pasien dengan ensefalopati hepatik adalah 25% dari total protein. Dengan kata

lain, AARC diberikan dengan perbandingan 1:3 dengan asam amino aromatik.

Berdasarkan rekomendasi ESPEN, asam amino rantai cabang baru diberikan

pada pasien ensefalopati hepatik derajat III-IV. Selain itu, waktu pemberian

AARC juga krusial. Dari hasil penelitian didapatkan pemberian AARC pada

malam hari memberikan efek yang lebih baik, berupa peningkatan kadar
albumin dibandingkan pemberian AARC pada siang hari (Lesmana et al, 2014:

15).

e. Mineral

Defisiensi zinc sreing dijumpai pada pasien ensefalopati hepatik. Zinc

merupakan kofaktor enzim yang berperan dalam siklus urea. Turunnya kadar

zinc berperan dalam penurunan sintesis glutamin dan penurunan aktivitas enzim

yang pada akhirnya berpotensi meningkatkan kadar amonia. Beberapa

penelitian RCT (Reding dkk, 1984 dan Riggio dkk, 1991) menunjukkan adanya

perbaikan pada kejadian ensefalopati hepatik dengan pemberian zinc asetat 600

mg/hari (Lesmana et al, 2014: 15).

f. Thiamin (Vitamin B1)

Pada pasien dengan gagal hati lanjut sering kali terdapat defisiensi

vitamin larut air (khususnya vitamin B kompleks). Berbagai gejala

neuropsikiatri terkait penyakit hati dapat menjadi akibat dari defisiensi vitamin

larut air. Sebagai contoh, neuropati perifer merupakan akibat dari defisiensi

piridoksin atau thiamin. Gejala klinis dari defisiensi thiamin adalah gangguan

orientasi, ataksia, dan kerusakan okuler. Defisiensi thiamin dan asam folat
dapat terjadi dengan cepat pada pasien sirosis akibat dari gangguan

penyimpanan di hati (Lesmana et al, 2014: 16).

3.2. Terapi suportif

Pemberian terapi suportif seperti tindakan intubasi trakea profilaktik dapat

dipertimbangkan pada pasien dengan derajat ensefalopati hepatik yang lebih tinggi.

Terapi suportif lainnya ialah pemberian serat pada pasien ensefalopati hepatik.

Pemberian yang disarankan sebanyak 25-45 gr/hari (Lesmana et al, 2014: 16).

4. Penilaian rekurensi ensefalopati hepatik

Pasien dengan sirosis memiliki kecenderungan untuk mengalami ensefalopati

hepatik berulang. Oleh karena itu, diperlukan kontrol faktor presipitasi potensial.

Kontrol faktor presipitasi potensial yang dimaksud seperti kondisi hiponatremia,

perdarahan saluran cerna bagian atas, konsumsi alkohol, infeksi, serta peningkatan

produksi amonia (Lesmana et al, 2014: 16).


Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatik

(Dikutip dari www.medscape.com)


2.7. Komplikasi

Bentuk komplikasi yang sering dijumpai pada pasien ensefalopati hepatik

seperti hipoglikemik, perdarahan varises gastroesofagus, dan gangguan keseimbangan

elektrolit (Zubir, 2014: 1991).

2.8. Prognosis

Pada ensefalopati hepatik portosistemik sekunder, bila faktor-faktor pencetus

teratasi, maka dengan pengobatan standar hampir 80% pasien akan kembali sadar.

Pada pasien dengan ensefalopati hepatik primer dan penyakit berat, prognosis akan

lebih buruk bila disertai hipoalbuminemia, ikterus serta asites. Sementara ensefalopati

hepatik akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar

kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju (Zubir, 2014: 1992).

2.9. Edukasi

Ensefalopati hepatik merupakan bentuk komplikasi dari penyakit sirosis hepatis

yang sering dijumpai. Oleh karena itu, diperlukan edukasi yang baik terutama pada

pasien maupun keluarga pasien. Edukasi pada pasien dan keluarga harus mencakup:

1. Efek obat (laktulosa, rifaximin, dan lainnya) dan potensi efek samping obat (diare

dan sebagainya).
2. Kepatuhan konsumsi obat.

3. Tanda-tanda awal ensefalopati hepatik yang berulang.

4. Tindakan yang harus dilakukan jika terjadi kekambuhan ensefalopati hepatik

(misalnya langkah-langkah antikonstipasi untuk kekambuhan yang ringan dan

segera ke rumah sakit jika terjadi kekambuhan yang disertai demam) (Vilstrup et

al, 2014: 62).


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Ensefalopati hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat

dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik akut maupun kronik yang gambaran

klinisnya berupa kelainan mental, kelainan neurologis, kelainan parenkim hati serta

kelainan laboratorium. Proses terjadinya ensefalopati hepatik hingga saat ini belum

diketahui dengan jelas. Akan tetapi, amonia merupakan bahan yang dianggap paling

sering menyebabkan terjadinya ensefalopati hepatik.

Adapun penegakan diagnosis ensefalopati hepatik didasarkan pada anamnesis,

gambaran klinis serta dibantu oleh beberapa pemeriksaan penunjang. Sementara

pengobatan ensefalopati hepatik dipusatkan pada mekanisme penyebabnya. Prognosis


pada pasien ensefalopati hepatik primer dan penyakit hati berat cenderung lebih

buruk dibandingkan dengan prognosis pada pasien ensefalopati hepatik sekunder.

Oleh karena itu, pasien dan anggota keluarga dari penderita ensefalopati hepatik

harus diedukasi mengenai cara mengenali serangan ensefalopati hepatik dini, agar

segera ditangani apabila terjadi serangan yang berulang.

3.2. Saran

1. Pembaca disarankan untuk tidak menjadikan karya tulis ini sebagai satu-

satunya sumber referensi bacaan tentang ensefalopati hepatik sehingga perlu

menambah pengetahuan dengan bacaan dari referensi lain.

2. Bagi mahasiswa kedokteran yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut

terkait ensefalopati hepatik sebaiknya menambah isi dan pembahasan yang

lebih lengkap.

3.3. Ringkasan

1. Ensefalopati hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat

dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun kronik yang

gambaran klinisnya berupa kelainan mental, kelainan neurologis, kelainan

parenkim hati serta kelainan laboratorium. Kelainan mental yang tampak seperti

perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan konsentrasi, sedangkan


kelainan neurologis yang timbul seperti gangguan tidur, asteriksis, dan

penurunan kesadaran.

2. Patogenesis ensefalopati hepatik belum diketahui dengan pasti, namun terdapat

beberapa hipotesis yang telah dikemukakan, diantaranya hipotesis amoniak,

hipotesis toksisitas sinergik, hipotesis neurotransmitter palsu serta hipotesis

GABA dan benzodiazepin. Dari keempat hipotesis ini amonia dianggap paling

sering menyebabkan ensefalopati hepatik.

3. Ensefalopati hepatik didiagnosis berdasarkan anamnesis ada tidaknya faktor

pencetus, lalu berdasarkan pemeriksaan fisik yang dalam hal ini menggunakan

kriteria West Haven (gold standart), dan dibantu oleh beberapa pemeriksaan

penunjang diantaranya pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE),

elektroensefalografi (EEG), pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)

dan Computed Tomography (CT) Scan serta tes psikometri dan pemeriksaan

amonia darah.

4. Sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia Ensefalopati merupakan

sebuah kasus kegawatdaruratan yang perlu penanganan cepat dan tepat. Oleh

karena itu, perlu dilakukan penatalaksanaanan awal yang tepat. Penatalaksaan

awal yang dilakukan adalah menangani penurunan kesadaran pasien yang

meliputi penanganan terhadap airway, breathing dan circulation. Setelah pasien

keluar dari fase gawat darurat, lakukan tatalaksana selanjutnya yang meliputi
identifikasi dan mengatasi faktor presipitasi ensefalopati lain, pengaturan

keseimbangan nitrogen, terapi untuk mencegah perburukan kondisi pasien, dan

penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.


DAFTAR PUSTAKA

Asdie, A.H. Harisson. 2014. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke 13

(Harisson’s Principles of Internal Medicine). Jakarta. EGC: 1675-1676 hlm.

Bahrudin, Moch. 2016. Neurologi Klinis. Malang. UMM: 458 hlm.

Cardoba, Juan. 2014. Hepatic Encephalopathy: From the Pathogenesis to the New

Treatment, 2014 (2014), 5;8 hlm.

Frederick, R. T. 2011. Current Concepts in the Pathophysiology and Management of

Hepatic Encephalopathy, 7(4), 222-228 hlm.

Hasan, I., Abirianty P. A. 2014. Ensefalopati Hepatik: Apa, Mengapa dan

Bagaimana?. [14 Oktober 2016]. Diunduh dari

http://cme.medicinus.co/file.php/1/LEADING_ARTICLE_Ensefalopati_Hepati

k_APa_Mengapa_dan_Bagaimana.pdf.

Lesmana, L. A., et al. 2014. Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati

hepatik di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia: 2-18 hlm.

Lindseth, G.N. 2014. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam:

Hartanto, H., Susi, N., Pita, W., Dewi, A. M. Patofisiologi Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi Ke 6. Jakarta. EGC: 499-500 hlm.


Liou, I.W. 2013. Diagnosis and Management of Hepatic Encephalopathy. [14

Oktober 2016]. Diunduh dari http://www.hepatitisc.uw.edu/go/management-

cirrhosis-related-complications/hepatic-encephalopathy-diagnosis

management/core-concept/all.

Ndraha, Suzanna. 2015. Ensefalopati Hepatikum Minimal, 42 (11), 824 ; 827 hlm.

Patasik, Y. Z., Waleleng, B.J, Wantania, F. 2015. Profil pasien sirosis hati yang

dirawat inap di RSUP Prof. DR. R. D. Kandau Manado periode Agustus 2012-

Agustus 2014, 3 (1), 343 hlm.

Qureshi, M. O., Nair, K., Farzana, S. 2014. Ammonia Levels and the Severity of

Hepatic Encephalopathy, 24 (3), 160 hlm.

Riggio, O., Lorenzo, R., Chlara, P. 2010. World J Gastrointerest Pharmacol Ther.

Hepatic encephalopathy therapy: An overview, 1 (2), 54;59 hlm.

Setyabudhy, Irawan M., Saptadi Y. 2015. Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana

Penurunan Kesadaran pada Anak. Dalam: Pudjiadi, A.H., Abdul, L., Novik, B.

Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat.. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter

Anak Indonesia: 28 hlm.


Shawcross, D. L., et al. 2016. How to diagnose and manage hepatic encephalopathy:

a consensus statement on roles and responsibilities beyond the liver specialist,

28 (2), 146 hlm.

Sherlock, S. 2002. Diseases of the Liver and Billiary System Eleventh Edition.

London. 100 hlm

Straten, G.V., et al. 2014. Aberrant Expression and Distribution of Enzymes of the

Urea Cycle and Other Ammonia Metabolizing Pathways in Dogs with

Congenital Portosystemic Shunts, 9 (6), 3 hlm.

Tobias, K. M. 2015. Portosystemic Shunts. [2 November 2016]. Diunduh dari

http://vetmed.illinois.edu/wp-content/uploads/2015/09/54.-Portosystemic-

Shunts.pdf.

Vilstrup, H., et al. 2014. Hepatic Encephalopathy in Chronic Liver Disease: 2014

Practice Guideline by AASLD and EASL, 60 (2), 44;46;48;50;56;62 hlm.

Wuysang, Devi & Ashari, Bahar. 2015. Pemeriksaan Derajat Kesadaran (Glasgow

Coma Scale) dan Fungsi Kortikal Luhur (Mini-Mental State Examination

(MMSE)). [1 Desember 2016]. Diunduh dari

http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2015/08/Manual-CSL-

IV-Pemeriksaan-Derajat-Kesadaran-Fungsi-Kortikal-Luhur.pdf.
Wolf, D. C., et al. 2015. Hepatic Encephalopathy. [16 Oktober 2016]. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/186101-overview.

Zubir, Nasrul. 2014. Koma Hepatik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A.W.,

Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A.F. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi

VI. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 1989-1992 hlm

Anda mungkin juga menyukai