Disusun Oleh
APRILIA DAMAYANTI
NIM 302018062
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
kelimpahan rahmat dan hidayah-Nya solawat serta salam kita limpahkan kepada
nabi besar kita Muhammad SAW. Tak lupa kepada kedua orang tua kami yang
selalu memberikan kasih sayang dan dukungan sehingga akhirnya kami dapat
menyelesaikan Laporan pendahuluan ini yang berjudul “LAPORAN
PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
ENCHEPALOFATI HEPATIKUM (EH)”
Dalam menyusun menyusun laporan pendahuluan ini banyak tahap demi
tahap yang harus dilalui oleh penulis mulai dari awal sampai akhir yang salah satu
dari tahapan tersebut adalah persiapan dalam melakukan penulisan dimana
penulis di tuntut lebih terampil dan menguasai materi yang akan di laksanakan
sehingga dapat melaksanakan dengan sebaik mungkin tanpa ada keraguan
walaupun terdapat sedikit hambatan pada saat melaksanakan penulisan tersebut.
Manfaat yang akan di ambil yaitu dengan adanya makalah ini yang mana
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah di Universitas Aisyiyah Bandung
Penulis
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Ensefalopati hepatikum (koma hepatikum) merupakan sindrom
neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat, dimana sindrom ini di tandai
dengan kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai
asteriksis. Perubahan mental yang terjadi diawali dengan perubahan kepribadian,
hilang ingatan, dan iritabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma
dalam. Ensefalopati hepatikum yang berakhir dengan koma adalah mekanisme
kematian yang terjadi pada sepertiga kasus sirosis yang fatal (Price & Wilson,
2006)
B. Etiologi
Menurut Price & Wilson (2006) terdapat beberapa faktor yang biasanya dapat
mencetuskan ensepalofati hepatikum atau hepatic encephalopathy, antara lain :
1. Peningkatan beban nitrogen, yaitu :
a) Perdarahan saluran cerna. Darah yang berlebihan dalam saluran cerna
(10-20 gr protein/dl) atau makanan mengandung protein yang berlebihan
menyediakan substrat bagi peningkatan pembentukan amonia (NH3)
b) Makanan mengandung protein dalam jumlah banyak. Kerja bakteri usus
pada protein menimbun NH3 yang diabsorpsi dan normalnya di
detokfikasi dalam hati melalui konsversi menjadi urea. Kadar NH3 yang
meningkat memasuki sirkulasi sistemik bila terdapat kegagalan
hepatoseluler. NH3 (dan mungkin metabolic toksik lainnya) langsung
dengan cepat melewati sawar darah otak, dan di tempat tersebut NH3
memiliki efek toksik langsung pada otak
c) Azotemia (BUN yang meningkat). Gangguan fungsi ginjal dan
meningkatnya BUN menyebabkan lebih banyak urea yang berdifusi
dalam usus, yang akan diubah menjadi NH3 oleh bakteri usus
d) Konstipasi. Konstipasi meningkatkan produksi absorpsi NH3 karena
kontak yang lama antara substrat protein dengan bakteri usus
3. Obat-obatan, yaitu :
Obat diuretik (tranquilzer, narkotika, sedatif, anestetik). Pemakaian
diuretic yang terlalu radikal dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit, meliputi alkalosis, hipokalemia, dan hipovolemia. Oleh karena
itu, obat tersebut sebaiknya dihindari. Obat sedatif dan obat-obatan lain
yang menyebabkan depresi susunan saraf pusat bekerja secara sinergis
dengan NH3. Metabolisme obat-obat tersebut terganggu dapat terjadi
akibat kegagalan hepatoseluler.
C. Klasifikasi
D. Manifestasi Klinik
Spektrum klinik ensefalopati hepatik sangat luas yang sama sekali asimtomatik
hingga koma hepatik. Simptom yang acap kali dijumpai pada ensefalopati hepatik
klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfagia, dan rasa
mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, gelisah dan kehilangan
kesadaran (koma). Manifestasi klinik ensefalopati biasanya di dahului oleh
dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniagenik
seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal, atau program obat
sedatif. Manifestasi ensefalopati adalah gabungan dari gangguan mental dan
neurologik. Gambaran klinik ensefalopati hepatic sangat bervariasi, tergantung
progresivitas penyakit ini, penyebab dan ada tidaknya berdasarkan status mental,
adanya asteriksis serta kelainan EEG (Electro encephalogram). Manifestasi
neuropsikiatri pada EH dapat di bagi atas stadium. Di luar itu terdapat
sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada
pemeriksaan EEG atau psikometrik. Contoh uji psikometrik yang popular ialah
NCT (Number Connection Test)
a. Stadium I : Tidak begitu jelas dan mungkin sukar di ketahui. Tanda yang
berbahaya adalah sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku,
termasuk penampilan yang tidak terawat baik, pandangan mata kosong,
bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa dan tidak mampu
memusatkan pikiran. Penderita mungkin cukup rasional hanya kadang
tidak kooperatif. Pemantauan yang seksama menunjukan bahwa mereka
lebih letargi atau tidur lebih lama dari biasanya, atau irama tidurnya
terbalik
b. Stadium II : Lebih menonjol dari stadium I dan mudah di ketahui. Terjadi
perubahan perilaku yang tidak semestinya, dan pengendalian sfingter tidak
dapat terus di pertahankan. Kedutan otot generalisata dan asteriksis
merupakan temuan khas. Asteriksis atau flapping tremor dapat di cetuskan
apabila penderita di minta untuk mengangkat kedua lengannya dengan
lengan atas difiksasi, peregangan tangan hiperekstensi, dan jari-jari
terpisah. Perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involuntar
cepat dari pergelangan tangan dan sendi metakarpofalang. Asteriksis
merupakan suatu manifestasi perifer akibat gangguanmetabolisme otak.
Pada keadaan ini, letargi dan perubahan kepribadian menjadilebih jelas
terlihat
c. Stadium III : Penderita dapat mengalami kebingungan yang nyata dengan
perubahan perilaku . bila pada saat ini penderita hanya diberi sedatif dan
bukan pengobatan untuk mengatasi proses toksiknya , maka ensefalopati
mungkin akan berkembang menjadi koma dan prognosisnya fatal. Selama
stadium ini penderita dapat tertidur sepanjang waktu
d. Stadium IV : Pada stadium ini penderita masuk ke dalam fase koma yang
tidak dapat di bangunkan sehingga timbul refleks hiperaktif dan tanda
babinsky. Pada saat ini bau apek yang amis (fetor hepatikum) dapat
tercium pada napas penderita atau bahkan ketika masuk ke dalam kamar
rawatnya. Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan
intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan
kekacauan. Hasil pemeriksaan laboratorium tambahan adalah kadar
amonia darah yang meningkat, hal tersebut dapat mendeteksi ensefalopati.
E. Faktor Risiko
F. Patofisiologi
Seperti yang di gambarkan pada gambar, amonia di produksi oleh berbagai organ.
Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim
urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan
Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan
karbondioksida. Amonia juga di hasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui
glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi
glutamate dan amonia.
Pada individu sehat, amonia juga di produksi oleh otot dan ginjal. Secara
fisiologis, amonia akan di metabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot
dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot
rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan
amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.
Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama di pengaruhi oleh
keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim
glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia.
Amonia yang berasal dari ginjal di keluarkan melalui urin dalam bentuk ion
amonium (NH4+) dan urea ataupun di serap kembali ke dalam tubuh yang di
pengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion
amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan
laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi.
Metabolisme oleh hati di lakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang
memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati
yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan di gabungkan kembali menjadi
glutamin.
G. PATHWAY
aliran darah
Nafsu
Hati adalah organ internal terbesar, mewakili 2-3% dari total berat tubuh
pada orang dewasa dengan berat 1500-2000 gr. Organ ini menempati kuadran
kanan atas abdomen, mengelilingi vena kava inferior dan menempel pada
diafragma dan peritoneum pariental dengan berbagai lampiran yang sering di
sebut ligamen. Pasokan vaskular hati mencakup dua sumber arus masuk yang
berjalan dalam ligamentum hepatoduodenal, yaitu arteri hepatik dan vena portal.
Hati di bungkus oleh kapsul glison yang melindungi hati dari trauma dan unit
fungsional hati di sebut dengan lobulus (Cicalese, 2017)
J. Pemeriksaan Penunjang
K. Penatalaksanaan Medis
a. Tindakan Umum
1) Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif, yaitu
dengan memperhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian
oksigen, pasang kateter forley
2) Pemantauan kesadaran, kesadaran neuropsikiatri, sistem kardiopulmonal
dan keseimbangan cairan ginjal, elektrolit serta asam basa
3) Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein
gram/hari (peroral melalui pipa nasogastrik, atau parental)
b. Tindakan Khusus
1) Mengurangi pemasukan protein
a) Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
b) Diet rendah protein (nabati 20 gr/hari) untuk stadium I-II
2) Mengurangi populasi bakteri kolon (Urea splitting organism)
a) Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk
stadium III-IV, 30-50cc tiap jam, di berikan secukupnya sampai terjadi
diare ringan
b) Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol) dosis : 0,3 – 0,5 gr/ hari
c) Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat di pakai katartik
osmotik seperti MgSO4 atau laveman, yaitu dengan memakai larutan
laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga di dapat pH = 4
d) Antibiotika : neomisin 4x1 2gr/hari (peroral) untuk stadium I-II dan
melalui pipa nasogastrik untuk stadium III–IV, Rifaximin dosis
1200mg perhari selama 5 hari dikatakan cukup efektif
L. Komplikasi
Menurut Kowalak, Welsh, dan Mayer (2013) komplikasi yang dapat timbul pada
penderita ensefolapati hepatikum adalah :
a. Perdarahan varises
b. Perdarahan gastrointestinal
c. Koma
d. Kematian