Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN ENCHEFALOPATI HEPATIKUM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Case Based Learning V


Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Dosen Pengampu : Santy Sanusi, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh
APRILIA DAMAYANTI
NIM 302018062

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERISTAS ‘AISYIYAH BANDUNG
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
kelimpahan rahmat dan hidayah-Nya solawat serta salam kita limpahkan kepada
nabi besar kita Muhammad SAW. Tak lupa kepada kedua orang tua kami yang
selalu memberikan kasih sayang dan dukungan sehingga akhirnya kami dapat
menyelesaikan Laporan pendahuluan ini yang berjudul “LAPORAN
PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
ENCHEPALOFATI HEPATIKUM (EH)”
Dalam menyusun menyusun laporan pendahuluan ini banyak tahap demi
tahap yang harus dilalui oleh penulis mulai dari awal sampai akhir yang salah satu
dari tahapan tersebut adalah persiapan dalam melakukan penulisan dimana
penulis di tuntut lebih terampil dan menguasai materi yang akan di laksanakan
sehingga dapat melaksanakan dengan sebaik mungkin tanpa ada keraguan
walaupun terdapat sedikit hambatan pada saat melaksanakan penulisan tersebut.

Manfaat yang akan di ambil yaitu dengan adanya makalah ini yang mana
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah di Universitas Aisyiyah Bandung

Penulis
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Ensefalopati hepatikum (koma hepatikum) merupakan sindrom
neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat, dimana sindrom ini di tandai
dengan kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai
asteriksis. Perubahan mental yang terjadi diawali dengan perubahan kepribadian,
hilang ingatan, dan iritabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma
dalam. Ensefalopati hepatikum yang berakhir dengan koma adalah mekanisme
kematian yang terjadi pada sepertiga kasus sirosis yang fatal (Price & Wilson,
2006)

Ensefalopati hepatikum (EH) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang


di sebabkan oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit
intrinsik hepar. Pasien ensefalopati hepatik sering menunjukan perubahan status
mental mulai dari kelainan psikologik ringan hingga koma dalam. (Ndraha, 2015).

B. Etiologi

Menurut Price & Wilson (2006) terdapat beberapa faktor yang biasanya dapat
mencetuskan ensepalofati hepatikum atau hepatic encephalopathy, antara lain :
1. Peningkatan beban nitrogen, yaitu :
a) Perdarahan saluran cerna. Darah yang berlebihan dalam saluran cerna
(10-20 gr protein/dl) atau makanan mengandung protein yang berlebihan
menyediakan substrat bagi peningkatan pembentukan amonia (NH3)
b) Makanan mengandung protein dalam jumlah banyak. Kerja bakteri usus
pada protein menimbun NH3 yang diabsorpsi dan normalnya di
detokfikasi dalam hati melalui konsversi menjadi urea. Kadar NH3 yang
meningkat memasuki sirkulasi sistemik bila terdapat kegagalan
hepatoseluler. NH3 (dan mungkin metabolic toksik lainnya) langsung
dengan cepat melewati sawar darah otak, dan di tempat tersebut NH3
memiliki efek toksik langsung pada otak
c) Azotemia (BUN yang meningkat). Gangguan fungsi ginjal dan
meningkatnya BUN menyebabkan lebih banyak urea yang berdifusi
dalam usus, yang akan diubah menjadi NH3 oleh bakteri usus
d) Konstipasi. Konstipasi meningkatkan produksi absorpsi NH3 karena
kontak yang lama antara substrat protein dengan bakteri usus

2. Ketidakseimbangan elektrolit, yaitu :


a) Alkalosis dan hipokalemia. Alkalosis dan hipokalemia seringkali
disebabkan oleh hiperventilasi dan muntah, menyebabkan difusi NH3 dari
cairan ekstrasel ke cairan intrasel, termasuk sel-sel otak, yang
menyebabkan efek toksik. Pada Alkalosis, lebih banyak NH3 yang
diproduksi dari glutamin dalam ginjal yang kembali memasuki sirkulasi
sistemik di bandingkan dengan yang di sekresi sebagai ion amonium
(NH4+)
b) Hipovolemia. Hipovolemia yang di sebabkan oleh perdarahan saluran
cerna, pemakaian diuretik berlebihan atau parasintesis dapat mencetuskan
ensefalopati hepatikum dengan cara menyebabkan gagal ginjal dan
azotemia yang pada gilirannya menyebabkan meningkatnya NH3 dalam
darah.

3. Obat-obatan, yaitu :
Obat diuretik (tranquilzer, narkotika, sedatif, anestetik). Pemakaian
diuretic yang terlalu radikal dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit, meliputi alkalosis, hipokalemia, dan hipovolemia. Oleh karena
itu, obat tersebut sebaiknya dihindari. Obat sedatif dan obat-obatan lain
yang menyebabkan depresi susunan saraf pusat bekerja secara sinergis
dengan NH3. Metabolisme obat-obat tersebut terganggu dapat terjadi
akibat kegagalan hepatoseluler.

4. Infeksi dan pembedahan. Infeksi atau pembedahan meningkatkan


katabolisme jaringan, menyebabkan peningkatan produksi BUN dan NH3.
Hipotermia, dehidrasi, dan gangguan fungsi ginjal berpotensi
menyebabkan toksisitas NH3.

C. Klasifikasi

Klasifikasi ensefalopati hepatic yang banyak dianut adalah :

1) Menurut cara terjadinya


a) Ensefalopati hepatik tipe akut
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat
cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam.
Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat
dan racun, sindrom reye atau dapat pula pada sirosis hati.
b) Ensefalopati hepatik tipe kronik
Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan
bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah ensefalopati hepatik
yang terjadi pada sirosis hati dengan kolateral sistem porta yang
ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau
kelainan neurologik yang berangsur-angsur makin berat
2) Menurut faktor etiologinya
c) Ensefalopati Hepatik Primer / Endogen
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari
kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas.
Pada hepatitis fulminant terjadi kerusakan sel hati yang difus dan
cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi,
berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan
koma, sedangkan pada sirosis hati disebabkan fibrosis sel hati yang
meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini
gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat di
metabolisir oleh hati. Melalui sistem portal atau kolateral
mempengaruhi susunan saraf pusat.
d) Ensefalopati Hepatik Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada penderita yang
telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah :
a. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah :
 Dehidrasi atau hipovolemia
 Parasintesis abdomen
 Diuresis berlebihan
b. Pendarahan gastrointestinal
c. Operasi besar
d. Infeksi berat
e. Intake protein berlebihan
f. Konstipasi lama yang berlarut-larut
g. Obat-obat narkotik atau hipnotik
h. Pintas porta sistemik baik secara ilmiah maupun
pembedahan
i. Azotemia

D. Manifestasi Klinik

Spektrum klinik ensefalopati hepatik sangat luas yang sama sekali asimtomatik
hingga koma hepatik. Simptom yang acap kali dijumpai pada ensefalopati hepatik
klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfagia, dan rasa
mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, gelisah dan kehilangan
kesadaran (koma). Manifestasi klinik ensefalopati biasanya di dahului oleh
dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniagenik
seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal, atau program obat
sedatif. Manifestasi ensefalopati adalah gabungan dari gangguan mental dan
neurologik. Gambaran klinik ensefalopati hepatic sangat bervariasi, tergantung
progresivitas penyakit ini, penyebab dan ada tidaknya berdasarkan status mental,
adanya asteriksis serta kelainan EEG (Electro encephalogram). Manifestasi
neuropsikiatri pada EH dapat di bagi atas stadium. Di luar itu terdapat
sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada
pemeriksaan EEG atau psikometrik. Contoh uji psikometrik yang popular ialah
NCT (Number Connection Test)

a. Stadium I : Tidak begitu jelas dan mungkin sukar di ketahui. Tanda yang
berbahaya adalah sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku,
termasuk penampilan yang tidak terawat baik, pandangan mata kosong,
bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa dan tidak mampu
memusatkan pikiran. Penderita mungkin cukup rasional hanya kadang
tidak kooperatif. Pemantauan yang seksama menunjukan bahwa mereka
lebih letargi atau tidur lebih lama dari biasanya, atau irama tidurnya
terbalik
b. Stadium II : Lebih menonjol dari stadium I dan mudah di ketahui. Terjadi
perubahan perilaku yang tidak semestinya, dan pengendalian sfingter tidak
dapat terus di pertahankan. Kedutan otot generalisata dan asteriksis
merupakan temuan khas. Asteriksis atau flapping tremor dapat di cetuskan
apabila penderita di minta untuk mengangkat kedua lengannya dengan
lengan atas difiksasi, peregangan tangan hiperekstensi, dan jari-jari
terpisah. Perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involuntar
cepat dari pergelangan tangan dan sendi metakarpofalang. Asteriksis
merupakan suatu manifestasi perifer akibat gangguanmetabolisme otak.
Pada keadaan ini, letargi dan perubahan kepribadian menjadilebih jelas
terlihat
c. Stadium III : Penderita dapat mengalami kebingungan yang nyata dengan
perubahan perilaku . bila pada saat ini penderita hanya diberi sedatif dan
bukan pengobatan untuk mengatasi proses toksiknya , maka ensefalopati
mungkin akan berkembang menjadi koma dan prognosisnya fatal. Selama
stadium ini penderita dapat tertidur sepanjang waktu
d. Stadium IV : Pada stadium ini penderita masuk ke dalam fase koma yang
tidak dapat di bangunkan sehingga timbul refleks hiperaktif dan tanda
babinsky. Pada saat ini bau apek yang amis (fetor hepatikum) dapat
tercium pada napas penderita atau bahkan ketika masuk ke dalam kamar
rawatnya. Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan
intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan
kekacauan. Hasil pemeriksaan laboratorium tambahan adalah kadar
amonia darah yang meningkat, hal tersebut dapat mendeteksi ensefalopati.

E. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya ensefalopati hepatik adalah sebagai berikut :

a. Makan terlalu banyak protein


b. Dehidrasi
c. Mengidap gangguan pada ginjal
d. Adanya perdarahan dalam usus, esophagus, perut
e. Adanya infeksi pada organ hati
f. Kurangnya asupan oksigen pada tubuh
g. Mengkonsumsi obat yang menekan sistem saraf sentral (barbiturate atau
benzodiazepine)

F. Patofisiologi

Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH (ensefalopati hepatikum)


pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen
positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan
varises esofagus, dan konstipasi). Gangguan elektrolit dan asam basa
(hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis). Penggunaan obat-obatan
(sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi
lain) seperti pembedahan dan alcohol. Faktor tersering yang mencetuskan EH
pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal berupa
pecahnya varises esofagus.

Terjadinya Ensefalopati hepatikum di dasari pada akumulasi berbagai toksin


dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak. Amonia merupakan
molekul toksik terhadap sel yang di yakini berperan penting dalam terjadinya EH
karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati. Beberapa studi lain juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar berikut ini

Seperti yang di gambarkan pada gambar, amonia di produksi oleh berbagai organ.
Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim
urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan
Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan
karbondioksida. Amonia juga di hasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui
glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi
glutamate dan amonia.

Pada individu sehat, amonia juga di produksi oleh otot dan ginjal. Secara
fisiologis, amonia akan di metabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot
dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot
rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan
amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.

Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama di pengaruhi oleh
keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim
glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia.
Amonia yang berasal dari ginjal di keluarkan melalui urin dalam bentuk ion
amonium (NH4+) dan urea ataupun di serap kembali ke dalam tubuh yang di
pengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion
amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan
laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.

Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi.
Metabolisme oleh hati di lakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang
memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati
yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan di gabungkan kembali menjadi
glutamin.

Pada keadaan sirosis, penurunan masa hepatosit fungsional dapat menyebabkan


menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting
portosistemik membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran
sistemik tanpa melalui hati. Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan
risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak untuk
amonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak
yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase
glutamin. Disfungsi neurologis yang di timbulkan pada ensefalopati hepatikum
(EH) terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik
sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga
merangsang stress oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan
kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan
produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria.
Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk
mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan
respon inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.

G. PATHWAY

Infeksi Sirosis Hepatis

Kerusakan sel Bendungan vena porta


hepar
Bypass aliran darah dari
usus ke sirkulasi hepar

Kegagalan hepar memetabolisme toksin

dan sisa metabolisme

reaksi inflamasi Toksin dan sisa metabolisme masuk

aliran darah

Hipertermia Zat toksik thd otak Gg.


perilaku

Nafsu

Sakit kepala penurunan makan


kesadaran menurun
Nyeri
Gg.
Koma pemenuhan
Bersihan jalan napas
Tidak efektif Perfusi jaringan serebral tdk efektif
H. Diagnosis dan Prognosis
Adapun penegakan diagnosis ensefalopati hepatikum dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut (Kowalak, Welsh & Mayer, 2013) :

a. Tes faal hati, yaitu untuk mengetahui kenaikan kadar aspartate


aminotransferase, alanin aminotransferase, alkali fosfatase dan bilirubin
b. Pemeriksaan darah memperlihatkan anemia, gangguan produksi sel darah
merah , kenaikan waktu perdarahan, serta pembekuan, kadar glukosa darah
yang rendah, dan peningkatan kadar amonia serum
c. Osmolaritas urine meningkat

Sedangkan untuk prognosis ensefalopati hepatikum yaitu pada ensefalopati


hepatikum sekunder bila faktor-faktor pencetus teratasi, maka dengan pengobatan
standar hampir 80% pasien akan kembali sadar. Pada pasien dengan ensefalopati
hepatikum primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila di sertai
hipoalbuminemia, icterus, serta asites. Sementara ensefalopati hepatikum akibat
gagal hati fulminan mungkin hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah dirawat
pada pusat-pusat kesehatan yang maju.
I. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hati adalah organ internal terbesar, mewakili 2-3% dari total berat tubuh
pada orang dewasa dengan berat 1500-2000 gr. Organ ini menempati kuadran
kanan atas abdomen, mengelilingi vena kava inferior dan menempel pada
diafragma dan peritoneum pariental dengan berbagai lampiran yang sering di
sebut ligamen. Pasokan vaskular hati mencakup dua sumber arus masuk yang
berjalan dalam ligamentum hepatoduodenal, yaitu arteri hepatik dan vena portal.
Hati di bungkus oleh kapsul glison yang melindungi hati dari trauma dan unit
fungsional hati di sebut dengan lobulus (Cicalese, 2017)

Fungsi hati antara lain sebagai berikut (Sherwood, 2012) :

a. Berperan dalam proses pencernaan yaitu sekresi garam empedu yang


membantu pencernaan dan penyerapan lemak
b. Memproses secara metabolis ketiga kategori utama nutrien (karbohidrat,
protein, lemak) setelah zat tersebut di serap dari saluran cerna
c. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormone serta obat
dan senyawa asing lain
d. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang di butuhkan untuk
pembekuan darah dan untuk mengangkut hormone steroid dan tiroid serta
kolesterol dalam darah
e. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin
f. Mengaktifkan vitamin D yang dilakukan hati bersama dengan ginjal
g. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua berkat adanya makrofag
residen nya
h. Mengeksresikan kolesterol dan bilirubin, bilirubin adalah produk
penguraian yang berasal dari destruksi sel darah merah tua

J. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Davey (2006), pemeriksaan penunjang pada ensefalopati hepatikum


adalah sebagai berikut :

 Waktu protombin adalah penanda prognostik tunggal terbaik. Koagulapati


tidak boleh di koreksi dengan pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) yang
tidak perlu
 Glukosa darah harus sering di ukur, hipoglikemia adalah tanda peringatan
 Elektrolit. Kerusakan ginjal paling sering berhubungan dengan suatu
derajat nekrosis tubular akut saat masuk rumah sakit dan tidak
menggambarkan sindrom hepatorenal yang sebenarnya
 Analisis gas darah arteri. Asidosis metabolik merupakan tanda yang buruk
 Uji psikometrik pada tahap awal
 EEG dimana gelombang trifasik yang khas terlihat melambat
 Konsentrasi amonia darah yang meningkat
 CT scan pada kepala biasanya di lakukan dalam stadium ensefalopati yang
parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural
(terutama hematoma subdural pada pencandu alcohol)
 Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kcuali
peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat
akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal
yang meningkat menunjukkan adanya infeksi. Edema otak dapat
menyebabkan peningkatan tekanan.

K. Penatalaksanaan Medis

Langkah pengobatan ensefalopati hepatikum di pusatkan pada mekanisme


penyebabnya. Yang paling penting adalah mencari faktor pencetus lalu
memberikan pengobatan yang korektif antara lain (Price & Wilson, 2006)

1. Ensefalopati hepatikum (Tipe akut)

a. Tindakan Umum
1) Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif, yaitu
dengan memperhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian
oksigen, pasang kateter forley
2) Pemantauan kesadaran, kesadaran neuropsikiatri, sistem kardiopulmonal
dan keseimbangan cairan ginjal, elektrolit serta asam basa
3) Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein
gram/hari (peroral melalui pipa nasogastrik, atau parental)
b. Tindakan Khusus
1) Mengurangi pemasukan protein
a) Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
b) Diet rendah protein (nabati 20 gr/hari) untuk stadium I-II
2) Mengurangi populasi bakteri kolon (Urea splitting organism)
a) Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk
stadium III-IV, 30-50cc tiap jam, di berikan secukupnya sampai terjadi
diare ringan
b) Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol) dosis : 0,3 – 0,5 gr/ hari
c) Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat di pakai katartik
osmotik seperti MgSO4 atau laveman, yaitu dengan memakai larutan
laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga di dapat pH = 4
d) Antibiotika : neomisin 4x1 2gr/hari (peroral) untuk stadium I-II dan
melalui pipa nasogastrik untuk stadium III–IV, Rifaximin dosis
1200mg perhari selama 5 hari dikatakan cukup efektif

3) Obat – obatan lain


a) Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral.
Sebagai langkah pertama dapat di berikan cairan dektrose 10% atau
maltose karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu.
Langkah selanjutnya dapat di berikan cairan mengandung AARC
(Asam Amino Rantai Cabang) atau campuran sedikit AAA dalam
AARC (aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah
untuk mencegah masuknya AAA (Asam Amino Aromatik) ke dalam
sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi
konsentrasi amonia darah.
b) L - Dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa
nasogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam
c) Hindari pemakaian sedatif atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat
gelisah dapat di berikan diimenhidramat (Dramamine) 50mg . bila
perlu di ulangi 6-8 jam. Pilihan obat lain yaitu fenobarbital, yang
sebagian besar eksresinya sebagian besar melalui ginjal
d) Vitamin K (10-20 mg/hari) peroral atau melalui pipa nasogastrik
4) Pengobatan radikal
Exchange transfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion,
transplantasi hati

2. Ensefalopati hepatikum (tipe kronik)

Prinsip prinsip penatalaksanaan nya adalah sebagai berikut :


a. Diet rendah protein, maksimal 1 gram/kgbb terutama protein nabati
b. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dengan dosis secukupnya
c. Bila gejala ensefolapati meningkat, di tambah neomisin 4x1 gr/hari
d. Bila timbul akserbasi akut, sama seperti ensefolapati hepatik tipe akut
e. Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan
neuromuskulernya
f. Pembedahan efektif : colon bypass, transplantasi hati khususnya untuk
ensefalopati kronik stadium III-IV

L. Komplikasi

Menurut Kowalak, Welsh, dan Mayer (2013) komplikasi yang dapat timbul pada
penderita ensefolapati hepatikum adalah :

a. Perdarahan varises
b. Perdarahan gastrointestinal
c. Koma
d. Kematian

Anda mungkin juga menyukai