Disusun Oleh
Aprilia Damayanti
402022145
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Stase Keperawatan
Dasar Profesional Islami
Disusun Oleh
Aprilia Damayanti
NIM 402022145
1. Definisi
Nutrisi adalah zat-zat gizi dan zat lain yang berhubungan dengan kesehatan dan
penyakit termasuk keseluruhan proses dalam tubuh manusia untuk menerima
makanan atau bahan-bahan dari lingkungan hidupnya dan menggunakan bahan
tersebut untuk aktivitas penting dalam tubuhnya serta mengeluarkan sisanya.
Nutrisi adalah ilmu yang mempelajari zat makanan (nutrient) dan zat-zat lain
yang ada dalam makanan serta kerjanya, interaksinya dan keseimbangannya
dalam hubungannya dengan kesehatan dan penyakit melalui proses ingesti,
absorbsi, transportasi, pemakaian dan eksresi dari makanan (Esential of Nutrition
Therapy, 1985).
2. Anatomi Fisiologis
Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal adalah sistem organ dalam manusia
yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan
energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,
lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga
meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan yaitu pankreas, hati
dan kandung empedu.
a. Mulut
Mulut merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air
pada hewan. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan
bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus. Mulut
merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut
dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang
terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis,
asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung
dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau. Makanan di potong-potong
oleh gigi depan (incisivus), dan di kunyah oleh gigi belakang (molar,
geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari
kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut
dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga
mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein
dan menyerang bakteri secara langsung, proses menelan dimulai secara sadar
dan berlanjut secara otomatis.
b. Tenggorokan (faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari
bahasa yunani yaitu pharynk. Skema melintang mulut, hidung, faring dan
laring didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe
yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan
terhadap infeksi.
c. Kerongkongan (esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui
sewaktu makanan mengalir dari mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan
melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltic. Sering juga
disebut esofagus.
d. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai. Terdiri dari tiga bagian yaitu kardia, fundus dan antrum. Makanan
masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin
(sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal sfinter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik
untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim.
e. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak diantara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh
darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta.
Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus), dan air (yang
membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna), dinding usus
juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula, dan
lemak.
f. Usus besar (kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu
dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dan feses. Usus
besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon
desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).
g. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi
utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting
seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior dan perut dan
berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari).
h. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan
memiliki beberapa fungsi beberapa diantaranya berhubungan dengan
pencernaan diantaranya yaitu penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma,
dan penetralan obat.
i. Kandung empedu
Kandung empedu (gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat
menyimpan sekitar 50ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses
pencernaan. Pada manusia panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm
dan berwarna hijau gelap bukan karena warna jaringannya, melainkan karena
warna cairan empedu yang dikandungnya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi sistem
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
1) Faktor biologis
2) Ekonomi
3) Ketidakmampuan menyerap nutrisi
4) Ketidakmampuan mencerna makanan
5) Kurang asupan makanan
6) Gangguan psikologis
b. Obesitas
1) Dewasa : BMI > 30kg/m2
2) Anak < 2 tahun
3) Anak 2-18 tahun : BMI > 30 kg/m2 atau > 95 persentil untuk usia dan jenis
kelamin
c. Risiko obesitas
1) Aktivitas fisik harian rata-rata kurang dari yang disarankan untuk jenis
kelamin dan usia
2) Perilaku makan tidak teratur
3) Asupan energi berdasarkan alcohol berlebihan
4) Sering mengalami
5) Gangguan genetik
4. Gangguan terkait KDM
Gangguan pemenuhan nutrisi dengan ini dibagi menjadi beberapa kategori yaitu :
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh
1) Body mass index : merupakan ukuran dari gambaran berat badan seseorang
tinggi badan. BMI dihubungkan dengan total lemak dalam tubuh dan sebagai
panduan untuk mengkaji kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas.
2) Ideal body weight : merupakan perhitungan berat badan optimal dalam fungsi
tubuh yang sehat. Berat badan ideal adalah jumlah tinggi dalam sentimeter
dikurangi 10% dari jumlah itu.
5. Etiologi
a. Fisiologi
1) Intake nutrient
2) Kemampuan mendapat dan mengolah makanan
3) Pengetahuan
4) Gangguan menelan
5) Perasaan tidak nyaman setelah makan
6) Anoreksia
7) Nausea dan vomitus
8) Intake kalori dan lemak yang berlebihan
b. Kemampuan mencerna nutrient
1) Obstruksi mencerna cairan
2) Mal absorbs nutrient
3) Diabetes mellitus
c. Kebutuhan metabolisme
1) Pertumbuhan
2) Stress
3) Kondisi yang meningkatkan BMT
4) Kanker
d. Gaya hidup yang berlebihan
1) Kebiasaan makanan yang baik perlu diterapkan pada usia faddierlusia
menginjakk 1 tahun
2) Kebiasaan makan lansia menghindari yang penting untuk dimakan
e. Jenis kelamin
Metabolisme basal pada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita. Pada
laki-laki dibutuhkan BMR 10 Kkal/kg/bb dan pada wanita 0,9 Kkal/kg/bb/jam.
6. Patofisiologi
Pola makan, tidak teratur, obat-obatan, nicotin,
Alkohol dan stress
Kekosongan lambung
Erosi pada lambung (gesekan dinding lambung)
Asam lambung
Reflek muntah
Kekurangan nutrisi
7. Manifestasi klinis
1) Kram perut
2) Kelemahan otot menyerap makanan
3) BB 20% atau lebih dibawah kisaran berat badan ideal
4) Diare
5) Kerapuhan kapiler
6) Ketidaknyamanan menelan makanan
8. Komplikasi
a. Malnutrisi merupakan kekurangan zat makanan (nutrisi) atau
kelebihan (nutrisi)
b. Obesitas merupakan masalah peningkatan berat badan yang mencapai
lebih dari 20% berat badan normal. Status nutrisinya adalah melebihi
kebutuhan metabolism karena kelebihan asupan kalori dan penurunan
dalam penggunaan kalori.
c. Hipertensi merupakan gangguan nutrisi yang disebabkan oleh berbagai
masalah pemenuhan kebutuhan nutrisi seperti penyebab dari adanya,
obesitas serta asupan kalsium, natrium, dan gaya hidup yang
berlebihan
d. Penyakit jantung koroner merupakan gangguan nutrisi yang sering
disebabkan oleh adanya peningkatan kolesterol darah dan merokok
e. Kanker merupakan gangguan kebutuhan nutrisi yang disebabkan oleh
pengkonsumsian lemak secara berlebihan
f. Anoreksia nervosa merupakan penurunan berat badan secara
mendadak dan berkepanjangan ditandai dengan adanya konstipasi,
pembengkakan badan, nyeri abdomen, kedinginan, letargi, dan
kelebihan energi
9. Pemeriksaan penunjang
1) Terapi farmakologi dengan pemberian obat/injeksi vitamin
2) Terapi nonfarmakologi dengan memberikan pendekatan serta edukasi
untuk nafas dalam dan nutrisi cairan dengan minum sedikit sedikit tapi
sering
3) Serta memenuhi nutrisi makanan dengan makan sedikit sedikit tapi
sering
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN KEBUTUHAN NUTRISI
c. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan laboraturium yang langsung berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan nutrisi adalah pemeriksaan albumin, serum,
hemoglobin, glukosa, elektrolit
2. Analisa data
Do :
Klien tampak
lemas
BB awal
klien : 25 kg
BB klien
sekarang : 25
kg
3. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Definisi : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah suatu
keadaan dimana intake nutrient seseorang kurang untuk mencukupi
kebutuhan metabolisme. Berhubungan dengan :
Ketidakmampuan untuk menelan dan mencerna makanan
Ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrien. Ditandai dengan :
Kehilangan berat badan dengan intake makanan adekuat
Kehilangan berat badan dengan intake kurang dari yang dibutuhkan
b. Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan gangguan nutrisi
Perubahan pola eliminasi normal (diare, konstipasi) berhubungan
dengan defisit nutrisi atau ketidakmampuan menggunakan nutrisi
yang dicerna.
Defisit self care : makan berhubungan dengan intake nutrien rendah
Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan status nutrisi
Penyembuhan luka tertunda berhubungan dengan penurunan status
nutrisi
Defisit volume cairan berhubungan dengan malnutrisi berat
Aktivitas intoleran atau defisit self care berhubungan dengan
kelemahan
4. Rencana keperawatan
5. Evaluasi
Subjektif :
a. Klien mengatakan sudah tidak merasa mual
b. Klien mengatakan dapat terpuaskan dengan konsumsi makannya
c. Klien mengatakan memiliki nafsu makan yang baik
d. Klien mengatakan tidak mengalami gejala kekurang/kelebihan nutrisi
Objektif :
Maas, Morhead, Jhonson dan Swanson. Nursing Out Comes (NOC), United States
Of America : Mosby Elsevier Academic Press : 2004
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Stase Keperawatan
Dasar Profesional Islami
Disusun Oleh
Aprilia Damayanti
NIM 402022145
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama Pasien : Ny. I
Tanggal Lahir : 5 Juni 1950
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ciburuy, RT. 04 RW. 05
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Nomor RM : 00-537542
Diagnosa Medis : Sindrom Geriatri dan Low intake
Tanggal Pengkajian : 20 September 2022
Tanggal Masuk RS : 18 September 2022
2. PENANGGUNG JAWAB
Nama : Asep
Umur : 48 Tahun
Hub Keluarga : Anak
Alamat : Ciburuy, RT.04 RW.05
3. ALASAN MASUK
Keluarga pasien mengatakan pasien masuk ke ruangan zaitun 2 lantai 3
pada tanggal 18 september 2022, melalui IGD dengan keluhan tidak
ada nafsu makan, nyeri perut di ulu hati, badan pasien lemas, dan nafas
pasien sesak.
4. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan nyeri ulu hati, nyeri dirasakan seperti tertusuk
benda tajam, nyeri berkurang saat istirahat dan bertambah saat
beraktivitas, nyeri disertai mual, kurang nafsu makan
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien belum pernah di rawat
di rumah sakit sebelumnya
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga pasien mengatakan di keluarga tidak ada yang memiliki
penyakit turunan seperti DM
5. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran :
GCS :
Suhu : 36,2O C
Nadi : 77x/m
RR : 22x/m
TD : 141/79
a. Kepala
- Rambut
Rambut pasien tampak bersih, berwarna hitam sedikit beruban dan
rontok
- Mata
Mata pasien simetris kiri dan kanan, tidak terdapat kelainan
- Telinga
Telinga pasien tampak simetris kiri dan kanan, telinga pasien
tampak bersih tidak terdapat serumen, pendengaran pasien normal
dan tidak ada nyeri tekan di telinga
- Hidung
Hidung pasien tampak bersih kiri dan kanan, tidak ada nyeri tekan
pada hidung pasien, terpasang oksigen
- Mulut dan Gigi
Tidak terkaji
b. Leher
Leher pasien tampak simetris dan tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid dan tidak ada nyeri tekan
c. Thorax
- Paru paru
(inspeksi) = bentuk dada simetris kiri dan kanan, warna kulit
sama dengan sekitarnya,tidak ada pembengkakan
(palpasi) = saat di palpasi tidak teraba pembengkakan, tidak
ada lesi
(perkusi) = saat di perkusi terdengar bunyi sonor di seluruh
lapang paru
(auskultasi) = bunyi nafas vesikuler
d. Ekstremitas
Atas = terpasang infus tangan sebelah kanan dengan infus Nacl 0,9
500 cc/20 tetes per jam dan tidak ada nyeri tekan
Bawah = tidak ada lesi, udem dan tidak ada nyeri tekan
e. Genitalia
Pasien terpasang kateter, warna urine kuning jernih
f. Integumen
Warna kulit pasien sawo matang tidak ada jejas dan tidak ada panu
pada kulit pasien
g. Abdomen
BB 25kg, bising usus 8x/m,
6. Riwayat Activity Daily Living (ADL)
Minum
o Jumlah 5 gelas 2 gelas
o Jenis Air mineral Susu dan air
7. RIWAYAT ALERGI
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak ada riwayat alergi
apapun baik dengan makanan, hewan, udara, lingkungan, maupun
obat.
8. DATA SOSIAL-EKONOMI
a. Pola komunikasi : pasien dalam kondisi tidak sadar karena itu
keluarga membantu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
perawat
b. Orang yang dapat memberi rasa nyaman : keluarga
c. Orang yang berharga bagi pasien : keluarga
d. Hubungan dengan keluarga : baik
9. DATA SPIRITUAL
Pasien beragama islam sebelum sakit pasien selalu melakukan sholat 5
waktu sehari semalam dan tidak lupa dengan puasa. Semenjak di rawat
di rumah sakit pasien tidak bisa sholat karena kesulitan untuk beranjak
dari tempat tidurnya
10. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Stase Keperawatan
Dasar Profesional Islami
Disusun Oleh
APRILIA DAMAYANTI
NIM 402022145
F. Jerin Gangguan
1) Gangguan keseimbangan cairan
a) Overdehidrasi
Overdehidrasi terjadi ketika asupan cairan lebih besar daripada
pengeluaran cairan. Kelebihan cairan dalam tubuh menyebabkan
konsentrasi natrium dalam aliran darah menjadi sangat rendah.
Penyebab overdehidrasi meliputi adanya gangguan eksresi air lewat
ginjal (gagal ginjal akut), masukan air yang berlebihan pada terapi
cairan, mausknya cairan irigator pada tindakan reseksi prostat
transuretra dan korban tenggelam. Gejala overdehidrasi meliputi sesak
nafas, edema, peningkatan tekanan vena jugularis, edema paru akut dan
gagal jantung. Dari pemeriksaan lab dijumpai hiponatremi dalam
plasma. Terapi terdiri dari pemberian diuretic (bila fungsi ginjal baik),
ultrafiltrasi atau dialisis (fungsi ginjal menurun), dan flebotomi pada
kondisi darurat
b) Dehidrasi
Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat
masukan yang kurang atau keluaran yang berlebihan. Kondisi dehidrasi
bisa terdiri dari 3 bentuk yaitu isotonic (bila air hilang bersama garam,
contoh : GE akut, overdosis diuretik), hipotonik dan hipertonik.
Mubarak, Wahid. I & Chayatin, NS. Nurul (2008). “Kebutuhan Dasar Manusia :
Cairan dan Elektrolit. Jakarta : EGC
Faqih, Moh. Ubaidilah (2009). “Cairan dan Elektrolit dalam Tubuh Manusia”,
(http://www.scribd.com)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN NY. E (49 TAHUN) DENGAN
DIAGNOSA MEDIS DENGUE HAEMORAGIC FEVER DI RUANG
RAWAT INAP ZAITUN II RSUD AL IHSAN
1. IDENTITAS
PASIEN
Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 10 Juli 1973
Umur : 49 Tahun
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMA
Alamat : Jl. Komp Baranang Siang
No. CM : 00-837200
Diagnostik Medis : DHF
Tanggal Pengkajian : 26 September 2022
PENANGGUNG JAWAB
Nama : Tn. A
Umur : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Hubungan : Anak
Alamat : Jl. Komp Baranang Siang
2. Riwayat Keperawatan
Riwayat Keluhan Pasien
a. Keluhan Utama
Demam
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan demam disertai mual, 4 hari sebelum masuk rumah
sakit demam dirasakan pada malam hari menjelang subuh
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien menyatakan bahwa dirinya tidak mempunyai penyakit
terdahulu, tidak memiliki alergi, belum pernah di rawat di rumah sakit
sebelumnya
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien menyatakan bahwa di keluarganya tidak ada yang mengidap
penyakit seperti pasien
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
1) Tingkat Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6) = 15
2) TTV
TD : 142/92mmHg
S : 36,2OC
N : 103x/m
R : 20 x/m
b. Pemeriksaan Fisik
1) Mata
Tampak simetris kiri dan kanan, konjungtiva anemis, penglihatan
jelas, menggunakan alat bantu penglihatan (kacamata)
2) Telinga
Telinga bersih, tidak ada pendarahan, serumen, pendengaran baik,
tidak ada nyeri tekan
3) Hidung
Tampak simetris, tidak tampak lesi, tidak terdapat polip, tidak terdapat
secret pada rongga hidung
4) Mulut dan Gigi
Terlihat keadaan mulut nampak simetris, mukosa bibir lembab, tidak
ada sariawan, gigi lengkap, tidak ada lesi
5) Tenggorokan
Pasien tidak mengalami kesulitan menelan
6) Leher
Terlihat simetris kiri dan kanan, tidak ada pembengkakan kelenjar
tiroid
7) Thorax
a) Paru-paru : Dada simetris kiri dan kanan, pergerakan dada
normal, frekuensi nafas normal 20x/m, irama nafas normal, tidak
ada pembengkakan, tidak ada nyeri tekan, bunyi paru normal,
tidak ada kelainan
b) Jantung : Dada simetris kiri dan kanan, tidak ada bekas luka, tidak
terdepat sianosis, tidak terdapat pembengkakan, tidak ada nyeri
tekan, bunyi jantung lup dup, tidak ada bunyi tambahan
8) Abdomen
Simetris kiri dan kanan, tidak ada bekas operasi, warna kulit sawo
matang, nyeri abdomen, nyeri ulu hati, ditemukan mual, muntah
9) Punggung
Tidak teraba bengkak, simetris kiri dan kanan, tidak ada lesi pada
punggung
10) Ekstremitas
Akral teraba hangat, tangan kiri terpasang infus, kedua ekstremitas
tampak simetris
11) Integumen
Kulit tampak bersih, berwarna sawo matang, terlihat pucat karena
penurunan trombosit
12) Neurologis
Ditemukan nyeri kepala yang terjadi akibat peningkatan suhu tubuh
13) Genitalia
Tidak terdapat kelainan, BAK 4-5x sehari, genitalia tampak bersih
- Pantangan
Minuman
6 gelas 2 gelas
- Jumlah
Air putih, susu Air putih, susu
- Minuman
Tidak ada Tidak ada
kesukaan
- Pantangan
2 Eliminasi
BAB
- Frekuensi 2x sehari Belum BAB
- Warna Kuning selama di rawat
- Bau Khas
- Konsistensi Lunak
- Kesulitan Tidak ada
BAK
4-5x sehari 2x sehari
- Frekuensi
Kuning jernih Kuning jernih
- Warna
Pesing Pesing
- Bau
Cair Cair
- Konsistensi
Tidak ada Tidak ada
- Kesulitan
- Kesulitan tidur
4 Personal hygiene
- Mandi 2x sehari Saat di rawat di
- Cuci rambut 2 hari sekali rumah sakit
- Gosok gigi 2x sehari belum di
- Potong kuku 1x seminggu washlap/di
mandikan
6. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboraturium
b) Terapi Obat
A. ANALISA DATA
- R : 20
Risiko
ketidakseimbangan
elektrolit
Disusun Oleh
Kelompok 1
Zamzam Teja Sukmana 402022087
Aprilia Damayanti 402022145
Resha Eka Febryani 402022095
Widya Indah Nirwana 402022071
Redista Rahmayanti 402022044
Sopian 402022059
Krisda Amelia 402022119
Nisa Annisa Rohmah 402022104
Aprilia Sartika 402022077
Igay Prajasastia 402022054
Tita Indah Sarirudi 402022086
Eneng Nena 402022037
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu
bagian otak tiba-tiba terganggu, karena sebagian sel-sel otak mengalami kematian
akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah
otak. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian
reaksi biokimia yang dapat merusakan atau mematikan sel-sel saraf otak.
Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan
oleh jaringan itu. Aliran darah yang berhenti membuat suplai oksigen dan zat
makanan ke otak berhenti, sehingga sebagian otak tidak bisa berfungsi
sebagaimana mestinya (Daulay et al., 2021)
Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2015 setiap tahun
terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke, 5 juta di antaranya
meninggal, dan 5 juta orang tersisa cacat permanen. Stroke menjadi penyebab
kedua kematian di dunia pada kelompok umur 60 tahun ke atas dan menjadi
penyebab kematian kelima pada orang yang berusia 15 sampai 59 tahun. Saat ini
stroke masih menempati urutan ketiga penyebab kematian di Negara berkembang
setelah penyakit jantung coroner dan kanker (Eka Pratiwi Syahrim et al., 2019)
Stroke merupakan penyebab kedua kematian dan penyebab keenam yang
paling umum dari cacat. Sekitar 15 juta orang menderita stroke yang pertama kali
setiap tahun, dengan sepertiga dari kasus ini atau sekitar 6,6 juta mengakibatkan
kematian (3,5 juta perempuan dan 3,1 juta lakilaki). Stroke merupakan masalah
besar di negaranegara berpenghasilan rendah daripada di negara berpenghasilan
tinggi. Lebih dari 81% kematian akibat stroke terjadi di negara-negara
berpenghasilan rendah presentase kematian dini karena stroke naik menjadi 94%
pada orang dibawah usia 70 tahun (Nurtanti & Ningrum, 2018)
Yayasan Stroke Indonesia menyatakan bahwa jumlah penderita stroke di
Indonesia merupakan terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia.
Prevalensi penyakit stroke di Indonesia meningkat seiring dengan bertambahnya
umur. Kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75
tahun keatas 50,2% dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sekitar
0,6%. Berdasarkan data 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia tahun 2013,
prevalensi kasus stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
sebesar 10,9 permil dan 14,7 permil (Listiana et al., 2020).
Pasien stroke yang masih bertahan dapat mengalami berbagai masalah
kesehatan, seperti kehilangan fungsi motorik, gangguan komunikasi, presepsi,
gangguan hubungan visual-spasial, kehilangan fungsi sensoris, kerusakan fungsi
kognitif dan efek psikologik dandisfungsi kandung kemih. Penderita stroke yang
mengalami kelemahan otot dan tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat
dapat menimbulkan komplikasi, salah satunya adalah kontrakur yang
menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, ganggun mobilisasi, gangguan
aktifitas sehari-hari dan cacat yang tidak dapat disembuhkan (Listiana et al., 2020)
Stroke merupakan sindrom klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
otak fokal maupun global yang disebabkan adanya gangguan aliran darah dalam
otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat
(dalam beberapa jam) sehingga terjadi sumbatan atau pecahnya pembuluh darah
otak. Pada pasien stroke masalah utama yang akan timbul yaitu rusaknya/matinya
jaringan otak yang dapat menyebabkan menurunnya bahkan hilangnya fungsi
yang dikendalikan oleh jaringan tersebut. Salah satu gejala yang ditimbulkan yaitu
adanya kecatatan berupa kelumpuhan anggota gerak hemiparesis atau kelemahan
otot pada bagian anggota gerak tubuh yang terkena seperti jari-jari tangan. Fungsi
ekstremitas begitu penting dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan merupakan
bagian yang paling aktif, maka jika terjadi kelemahan pada ekstremitas akan
sangat menghambat dan mengganggu kemampuan dan aktivitas sehari-hari
seseorang (Eka Pratiwi Syahrim et al., 2019)
Rehabilitasi yang bisa dilakukan pada pasien stroke selain terapi medikasi
atau obat-obatan yaitu dilakukan fisioterapi atau latihan seperti; latihan beban,
latihan keseimbangan, latihan resistansi, hydroteraphy, dan latihan rentang gerak
atau Range Of Motion (ROM). Latihan pergerakan bagi penderita stroke
merupakan prasarat bagi tercapainya kemandirian pasien, karena latihan gerak
akan membantu secara berangsur-angsur fungsi tungkai dan lengan kembali atau
mendekati normal, dan menderita kekuatan pada pasien tersebut untuk mengontrol
aktivitasnya sehari-hari dan dampak apabila tidak diberi rehabilitasi ROM yaitu
dapat menyebabkan kekakuan otot dan sendi, aktivitas sehari-hari dari pasien
dapat bergantung total dengan keluarga, pasien sulit untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari (Eka Pratiwi Syahrim et al., 2019)
Latihan ROM yang diprogramkan pada klien stroke secara teratur terbukti
berefek positif baik dari segi fungsi fisik maupun fungsi psikologis. Fungsi fisik
yang diperoleh adalah mempertahankan kelenturan sendi, kemampuan aktifitas,
dan fungsi secara psikologis yang dapat menurunkan presepsi nyeri dan tanda-
tanda depresi pada klien pasca stroke untuk menilai kekuatan otot (Listiana et al.,
2020)
Range Of Motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa
otot dan tonus otot. Latihan ROM adalah latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan peregangan otot, dimana klien
menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal (Daulay et
al., 2021)
Salah satu masalah keperawatan yang perlu penanganan lebih lanjut yaitu
peningkatan kekuatan otot, karena pasien stroke akan merasa kehilangan kekuatan
pada salah satu anggota gerak. Pada penderita stroke atau lumpuh separuh badan,
biasanya penderita akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas karena
keterbatasan ruang gerak (Nurtanti & Ningrum, 2018)
Berdasarkan uraian di atas tergambar bahwa stroke merupakan masalah
serius baik di Indonesia maupun dunia. Hal tersebut kemudian mendasari peneliti
tertarik untuk memilih stroke sebagai kasus kelolaan dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah diuraikan pada latar belakang, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah bagaimana asuhan keperawatan klien dengan
gangguan kebutuhan aktifitas fisik di RSUD Al – Ihsan Provinsi Jawa Barat
C. Tujuan
Adapun tujuan ini adalah:
1. Tujuan umum
Untuk menggambarkan asuhan keperawatan klien dengan gangguan
kebutuhan aktifitas fisik di RSUD Al – Ihsan Provinsi Jawa Barat
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep stroke
b. Untuk mengetahui konsep kebutuhan aktifitas fisik
c. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan gangguan aktifitas
fisik
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Stroke atau Cerebrovaskular accident menurut World Health Organization
(WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal ataupun global karena adanya sumbatan atau pecahnya
pembuluh darah di otak dengan gejala-gejala yang berlangsung 24 jam atau
lebih (Arifianto, 2014).
Stroke merupakan kematian beberapa sel otak secara mendadak
disebabkan karena kekurangan oksigen ketika aliran darah ke otak hilang
karena adanya penyumbatan atau pecahnya arteri di otak (Johnson, 2016).
Stroke merupakan karakteristik klasik yang menunjukkan terjadinya
defisit neurologis yang dikaitkan dengan cedera fokal akut dari sistem saraf
pusat (SSP) yang berasal dari pembuluh darah, termasuk infark serebral,
perdarahan serebral dan perdarahan subaraknoid, dan merupakan penyebab
utama kecacatan serta kematian di seluruh dunia
B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit stroke terdiri dari beberapa kategori, diantaranya
adalah berdasarkan kelainan patologis, secara garis besar stroke dibagi dalam
dua tipe yaitu,
a. Stroke iskemik disebut juga infark atau non-hemorragic disebabkan oleh
gumpalan atau penyumbatan arteri yang menuju ke otak yang
sebelumnya sudah mengalami aterosklerosis. Stroke iskemik terdiri dari
tiga macam yaitu stroke emboli (1/3), stroke thrombosis (2/3) dan
hipoperfusi stroke.
b. Stroke hemoragik terjadi karena kerusakan atau pecahnya pembuluh
darah di otak, perdarahan dapat disebabkan karena hipertensi yang terjadi
sangat lama dan anuerisma otak. Ada dua macam stroke hemoragik yaitu
subarachnoid hemorrhage dan intracerebral hemorrhage
C. Etiologi
a. Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi karena adanya obstruksi pada pembuluh
yang mensuplai darah ke otak. Hal yang mendasari terjadinya obstruksi
adalah peningkatan deposit lemak yang melapisi pembuluh darah atau
biasa disebut sebagai ateroskelrosis. Kondisi ini kemudian menyebabkan
dua obstruksi yaitu trombosis serebral dan emboli serebral. Trombosis
serebral mengacu pada trombus (bekuan darah) yang berkembang di
bagian pembuluh darah yang tersumbat. Emboli serebral mengacu pada
bekuan darah yang umumnya terbentuk 10 pada lokasi lain pada sistem
peredaran darah, biasanya jantung dan arteri besar di dada bagian atas
dan leher. Sebagian dari pecahan bekuan darah lepas, memasuki aliran
darah dan berjalan melalui pembuluh darah otak hingga mencapai pada
pembuluh darah yang lebih kecil untuk dimasuki oleh plak tersebut.
Penyebab penting kedua terjadinya emboli adalah denyut jantung yang
tidak teratur, yang dikenal sebagai fibrilasi atrium. Ini menyebabkan
kondisi dimana bekuan darah terbentuk di jantung kemudian lepas dan
berjalan ke otak
b. Stroke Hemoragic
Stroke Hemoragik merupakan akibat dari pembuluh darah yang
melemah kemudian pecah dan menyebabkan pendarahan di sekitar otak.
Darah yang keluar kemudian terakumulasi dan menekan jaringan sekitar
otak. Hal ini disebabkan karena dua hal, yaitu anuerisma dan
arteriovenous malformation. Anuerisma merupakan pembuluh darah
lemah yang membentuk balon yang jika dibiarkan akan menyebabkan
ruptur dan berdarah hingga ke otak. Sedangkan arteriovenous
malformation merupakan sekelompok pembuluh darah yang terbentuk
secara abnormal dan salah satu satu dari pembuluh darah itu dapat
mengalami ruptur dan meyebabkan darah masuk ke otak, biasanya terjadi
karena hipertensi, aterosklerosis, kebiasaan merokok dan faktor usia. Ada
dua tipe stroke hemoragik, yaitu intracerebral hemmorhage dan
subarachnoid hemorrhage. Intracerebral hemorrhage (ICH) biasanya
disebabkan hipertensi yang meyebabkan kerusakan pada dinding
pembuluh darah, disfungsi autoregulatori dengan aliran otak yang
berlebihan, arteriopati, aneurisma 11 intracranial (biasanya juga terjadi
pada pendarahan subarachnoid), arteriovenous malformation ( penyebab
pada 60% kasus), trombosis vena sinus serebral dan infark vena, tumor
otak
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis stroke cukup beragam bergantung pada arteri yang
terkena serta daerah otak yang diperdarahi, intensitas kerusakan, dan luas
sirkulasi kolateral yang terbentuk (Kowalak, 2013)
Berikut tanda dan gejala yang terjadi pada stroke iskemik menurut (Siswanti,
2021)
a. Hemiparese (kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak)
b. Nyeri kepala
c. Mual
d. Muntah
e. Pandangan kabur
f. Disfagia (kesulitan menelan)
g. Bicara cadel atau pelo
h. Mulut mencong atau tidak simetris
i. Tiba-tiba hilang rasa peka
j. Gangguan daya ingat
k. Gangguan bicara
l. Gangguan fungsi otak
E. Patofisiologi
a. Patofisiologi Stroke Iskemik
Stroke iskemik merupakan kelainan yang kompleks dengan beberapa
etiologi dan manifestasi klinis yang tidak tetap. Sekitar 45% stroke iskemik
disebabkan trombus arteri besar maupun kecil, 20 disebabkan emboli dan
sisanya terjadi karena sebab yang tidak diketahui (Hinkle, 2007). Stroke
iskemik dapat bermanifestasi dalam bentuk stroke trombotik (tipe pembuluh
darah besar atau kecil), stroke emboli (dengan atau tanpa gangguan jantung
atau gangguan kelainan arteri), hipoperfusi sistemik atau thrombosis vena.
Stroke iskemik paling sering disebabkan oleh kurangnya aliran darah ke
sebagian atau seluruh bagian otak yang mengkibatkan hilangnya neuron dari
glukosa dan oksigen yang menyebabkan kegagalan produksi senyawa fosfat
energi tinggi seperti adenine trifosfat (ATP). Hal ini berdampak pada proses
pembentukan energi yang penting untuk kelangsungan hidup sel jaringan. Jika
hal ini terus berlanjut dan bertambah parah dapat menyebabkan penurunan
membran sel saraf karena kematian sel akibat dari terganggunya proses sel
normal. Iskemia juga dapat disebabkan karena kekurangan oksigen saja
(kerusakan hipoksiaiskemik yang mungkin terjadi pada pasien yang
mengalami serangan jantung, kolaps pernapasan ataupun karena keduanya)
atau kehilangan glukosa saja (yang mungkin terjadi karena overdosis insulin
pada pasien diabetes). Tekanan darah yang sangat rendah dapat menghasilkan
pola infark aliran yang berbeda, yang biasanya infark terjadi pada jaringan
arteri utama otak. Umumnya, stroke iskemik hanya melibatkan sebagian dari
otak akibat oklusi arteri besar atau kecil. Hal ini dapat berkembang dengan
cepat di beberapa bagian arteri dan menjadi emboli 12 atau embolus tunggal
yang pecah dan mengalir dalam aliran darah. Saat arteri tersumbat dan otak
kekurangan aliran darah, terjadi penghambatan pada hampir seluruh fungsi
alami dari syaraf. Fungsi normal syaraf akan terhenti dan akan terjadi gejala
yang relevan dengan daerah otak yang terlibat (kelemahan, mati rasa,
kehilangan penglihatan,dll). Jaringan serebrovaskuler yang terkena iskemia
memiliki dua lapisan, yaitu inti dari iskemia berat dengan aliran darah kurang
dari 10-25%, menujukkan adanya nekrosis baik neural maupun sel glia dan
lapisan luar iskemia yang tidak parah (penumbra) yang di suplai oleh kolateral
dan mengandung sel-sel yang didapatkan kembali oleh pemberian terapi
dalam waktu yang tepat. Berdasarkan kejadian iskemik, perfusi pada inti
iskemik adalah 10-20ml/100g/menit atau kurang, sedangkan hipoferfusi pada
daerah penumbra kritis yaitu kurang dari 18- 20 ml/100g/menit dan beresiko
menyebabkan kematian jika tidak dipulihkan dalam waktu 2 jam. Sebaliknya,
jika penumbra berperfusi setidaknya sekitar 60 ml/100g/menit kemungkinan
kematian akan berkurang. Neuron pada penumbra sebagian besar mengalami
disfungsi, tapi dapat pulih jika di reperfusi pada waktu yang tepat. Intervensi
farmakologis yang diberikan secepatnya dapat membantu proses rekanalisasi
pembuluh darah yang tersumbat, karena tidak hanya menyelamatkan neuron
dan sel glia dari penumbra tapi juga sel glia pada inti iskemia sehingga dapat
mengurangi infark jaringan. Trombosis dapat terbentuk di arteri ekstrakranial
atau intracranial saat intima menjadi kasar dan plak terbentuk selama terjadi
luka pada pembuluh darah. Luka endothelial merangsang platelet untuk
menempel dan beragregasi kemudian koagulasi aktif dan trombus terbentuk
pada tempat plak. Aliran darah pada sistem ektrakranial dan intracranial
menurun dan sirkulasi kolateral mempertahankan fungsinya. Saat mekanisme
pertahanan sirkulasi kolateral gagal, perfusi terganggu dan akhirnya
menyebabkan penurunan perfusi dan kematian sel. Pada stroke emboli, klot
berjalan dari sumber terbentuknya menuju ke pembuluh darah serebral.
Mikroemboli dapat terpecah dari plak sclerosis di arteri karotid atau
bersumber dari jantung seperti atrial fibrilasi, patent foramen ovale, atau
hipokinetik ventrikel kiri. Emboli dapat berupa darah, lemak ataupun udara
yang 13 dapat muncul selama prosedur operasi, kebanyakan muncul data
operasi jantung tapi juga setelah operasi tulang (Hinkle, 2007). Mekanisme
ketiga dari stroke iskemik adalah hipoperfusi sistemik yang umumnya terjadi
karena hilangnya tekanan arteri. Beberapa hal yang dapat menyebabkan
hipoperfusi sistemik adalah infark miokard dan/atau aritmia. Area otak di tepi
distal dari cabang arteri yang biasa disebut batas antara daerah arteri serebral
inti, cenderung terganggu. Hipotensi berat dapat menimbulkan efek yang sama
dengan iskemik, terutama dalam konteks stenosis yang signifikan dari arteri
karotid dan dapat memicu batas unilateral iskemia
b. Patofisiologi Stroke Hemoragik
Selama perdaraan intraserebral, terjadi akumulasi darah yang cepat dalam
parenkim otak yang menyebabkan gangguan anatomi normal dan peningkata
tekanan lokal. Tergantung pada dinamika ekspansi hematoma (pertumbuhan),
kerusakan primer terjadi dalam waktu beberapa menit hingga jam setelah
onset pendarahan. Kerusakan sekunder sebagian besar disebabkan karena
adanya darah dalam parenkim dan juga tergantung pada volume hematoma,
usia dan valume ventricular. Hal ini dapat terjadi melalui jalur sitotoksisitas
darah, hipermetabolisme, eksitotoksisitas, depresi serta stress oksidatif dan
peradangan. Pada akhirnya pathogenesis ini menyebabkan gangguan
irreversibl komponen unit neurovascular dan diikuti oleh gangguan pada blood
brain barrier dan edema otak memetikan dengan kematian sel otak besar.
Sementara mediator inflamasi yang dihasilkan secara lokal untuk merespon
kematian otak atau cedera otak memiliki kapasitas untuk menambah
kerusakan yang disebabkan oleh cedera sekunder, keterlibatan sel-sel
inflamasi (mikroglia/makrofag) sangat penting untuk menghilangkan pecahan
sel dari hematoma yang merupakan sumber peradangan (Hinkle, 2007).
F. Pathway
Menjadi kapur/mengandung
Faktor pencetus/ etiologi Penimbunan lemak/kolestrol Lemak yang sudah nefrotik dan kolestrol dengan infiltrasi limfosit
yang meningkat dalam darah berdegenerasi (trobosit)
Trombus / emboli di
cerebral Stroke hemoragik Aliran darah terhambat
Kompresi jaringan otak
Kerusakan integritas
Proses menelan tidak
kulit
efektif
Disfagia
Anoreksia
Defisit nutrisi
G. Pemeriksaan Penunjang
Berikut pemeriksaan penunjang pada stroke:
1. Angiografi srebri
Membantu menentukan penyebab dari dtroke secara spesifik
sepertiperdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
2. Lumbal fungsi
Dilakukan jika tidak ada tanda-tanda kenaikan tekanna intrakranial, untuk
mengungkapkan cairan srebrospinal yang berdarah kalau serangan berupa
sroke hemoragik.
3. CT scan
4. EEG
Membantu mengenali daerah-daerah yang rusak pada otak.
5. Magentic Imaging Resnance (MRI)
Membantu menemukan daerah-daerah iskemi atau infark dan
pembengkakan otak.
6. USG Doppler
H. Penatalaksanaan
Penanganan stroke infark berupa terapi supportif untuk mengurangi dan
mencegah kerusakan serebral lebih lanjut, berikut penatalaksanaan pada stroke
infark (Kowalak, 2013):
1. Terapi trombolitik (seperti: tPA [tissue plasminogen activator],
Streptokinase, Urokinase, Ancord, Prourokinase) dalam tiga jam pertama
sesudah awitan gejala. Terapi ini bertujuan untuk melarutkan bekuan,
menghilangkan oklusi dan memulihkan aliran darah sehingga kerusakan
otak dapat dikurangi.
2. Terapi antikoagulan (seperti: heparin, warfarin) untuk mempertahankan
patensi pembuluh darah dan mencegah pembentukan bekuan lebih lanjut
pada kasus-kasus stenosis karotis derajat tinggi atau pada penyakit
kardiovaskular yang baru terdiagnosis.
I. Kebutuhan Dasar
a. Pengertian
Kebutuhan aktivitas adalah kebutuhan dassar untuk melakukan mobilisasi
(bergerak). Kebutuhan dasar ini diatur oleh beberapa sistem/organ tubuh
diantaranya tulang, otot, tendon, ligamen, sistem saraf, dan sendi.
Gangguan aktivitas dapat diartikan ketidakmampuan seseorang untuk
melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Fisiologi
Gerak terjadi oleh adanya kerja sama antara rangka dan otot. Otot
menempel pada tulang dan menghubungkan tulang yang satu dengan
tulang lainnya. Otot mempunyai kemampuan berkontraksi yang dapat
menggerakkan tulang dengan mekanisme tertentu sehingga otot disebut
sebagai alat gerak aktif, sedangkan tulang disebut alat gerak pasif. Sistem
rangka memiliki 5 fungsi utama yaitu sebagai penopang/penegak tubuh,
tempat penyimpanan kalsium dan lemak, penghasil sel-sel darah,
pelindung alat-alat tubuh penting, dan sebagai alat pergerakan.
c. Nilai-nilai normsl
Tingkat Aktivitas/Mobilisasi Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau
pengawasan lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan
orang lain dan peralatan
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat
melakukan atau berpartisipasi
dalam perawatan
d. Faktor yang mempengaruhi
Genetik, kondisi sistem gerak tubuh dipengaruhi oleh faktor keturunan
Nutrisi, asupan makanan sangat berpengaruh pada kekuatan sistem
gerak, terutama fosfat, kalsium, Vit A, Vit D.
Klien mengalami atropi otot, dimana keadaan otot menjadi mengecil
karena tidak terpakai dan pada akhirnya serabut otot diinfiltrasi dan
diganti jaringan fibrosa dan lemak.
e. Pengkajian
Perawat harus menanyakan tingkat aktivitas klien, hal ini untuk
mengidentifikasi mobilisasi dan resiko cedera yang meliputi pola
aktivitas, jenis, frekuensi, dan lamanya
Tanyakan tingkat keluhan meliputi aktivitas yang membuat lelah
dan gangguan pergerakan meliputi penyebab, gejala, dan efek dari
pergerakan
Perawat mengkaji tingkat aktivitas klien meliputi :Tingkat 0 :
Mampu
merawat diri sendiri secara penuh
Tingkat 1 : Memerlukan penggunaan alat
Tingkat 2 : Memerlukan bantuan/pengawasan orang lain
Tingkat 3 : Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
peralatan
Tingkat 4 : Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan ataupun
berpartisipasi dalam perawatan
Pemeriksaan Fisik
Tingkat kesadaran dan postur atau bentuk tubuh (Skoliosis, kifosis,
lordosis, dan cara berjalan)
Ekstremitas : Kelemahan, gangguan sensorik, tonus otot, atropi,
tremor, kekuatan otot, kemampuaan jalan, kemampuan duduk,
kemampuan berdiri, perkerakan, kemerahan, nyeri sendi
f. Diagnosa Keperawatan
Intoleransi aktivitas b.d penurunan mobilisasi
Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan rentang gerak
Gangguan iintegritas kulit b.d keterbatasan mobilisasi
g. Intervensi Keperawatan
Dx : Intoleransi aktivitas
SIKI : Terapi aktivitas
Observasi
Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang diinginkan
Identifikasi makna aktivitas lain (bekerja, waktu luang)
Terapeutik
Fasilitasi memilih aktititas dan tetapkan tujuan aktivitas yang sesuai
kemampuan fisik, psikologis dan sosial
Fasilitasi aktivitas ROM
Libatkan keluarga dalam aktivitas
Berikan penguatan positif atas partisipasi dalam aktivitas
Edukasi
Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
Anjurkan melakukan aktivitas fisik, sosial, spiritualdan kognitif dalam
menjaga fungsi dan kesehatan
Anjurkan keluarga untuk memberi penguatan positif atas partisipasi
dalam aktivitas
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
1. Identitas pasien
Nama : Ny. K
Usia : 66 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Banjaran
Suku bangsa : Sunda
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Tanggal masuk RS : 23 September 2022
Tanggal pengkajian : 27 September 2022
Nomor RM : 83714
Diagnose medis : Susp Stroke
2. Identitas penanggung jawab
Nama : Ny. Y
Usia : 35 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Bandung
Hubungan dengan pasien : Anak
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengeluh lemas badan bagian kiri.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien datag ke IGD RSUD Al-Ihsan tanggal 23 September 2022
dengan keluhan lemas badan bagian kiri disertai bicara rero, pusing dan
mual. Klien lalu dipindahkan ke unit rawat inap untuk mejalani perawatan.
Setelah dilakukan pengkajian pada tanggal 27 september 2022 hasil
pengkajian klien mengatakan masih lemas badan sebelah kiri namun sudah
bisa menggerakan ekstremitasnya sedikit demi sedikit. Pada saat diajak
komunikasi pasien masih sulit untuk berbicara dengan jelas. Klien juga
memilik riwayat hipertensi.
c. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan memiliki riwayat hipertensi.
d. Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan bahwa didalam keluarganya tidak ada yang
menderita penyakit menular seperti TBC dan hepatitis. Klien juga
mengatkan bahwa didalam keluargaya tidak ada yang menderita diabetes
mellitus dan juga tidak ada yang memiliki penyakit keturunan seperti asma
dan hipertensi.
3. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
a. Tingkat kesadaran : Compos Mentis
b. GCS : 15 E4M5V6
c. Tanda-tanda vital
TD : 170/110 mmHg
Nadi : 91 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 37,2 0C
2. Pemeriksaan fisik
a. System pernafasan
RR : 22 x/menit
b. System kadiovaskular
Nadi 82x/ menit, CRT <2 detik, TD : 170/110 mmHg.
Konjungtiva tidak anemis
c. System pencernaan
Yang harus dikaji : mukosa mulut, bentuk bibir, warna bibir
dan tidak terdapat adanya pembesaran tonsil, keluhan saat
menelan dan mengunyah, bentuk abdomen dan teraba lembut,
lesi, massa, saat diperkusi suara bising usus dan lambung di 4
kuadran. Pada saat dipalpasi terdapat nyeri tekan atau tidak pada
abdomen di daerah epigatrium, pembesaran hati dan limpe.
d. System integument
Yang harus dikaji : warna rambut, penyebaran rambuy, kulit
kepala, nyeri tekan di daerah kepala, turgor kulit, warna klit,
kuku tangan dan kaki bersih dan pendek.
e. System perkemihan
Klien tidak terpasang kateter
f. System persarafan
- Nervous I : fungsi penciuman klien baik.
- Nervous II : pandangan pasien nampak kabur
- Nervous III, IV, VI : konjugtiva tidak anemis, seklera tidak
ihteri.
- Nervous V : klien masih mampu untuk mengunyah makanan
yang masuk
- Nervous VII : kaji pendengaran detik jarum jam,
mendengarkan penyataan perawat dengan jelas
- Nervous VIII : kaji keseimbangan klien
- Nervous IX, X : kaji reflek mengunyah dan menelan, dapat
merasakan rasa pahit pada saat diberikan kopi kelidahnya.
- Nervous XI : lemas badan bagian kiri.
- Nervous XII : kaji menggerakan lidahnya dengan bebas.
g. System endokrin
Yang harus dikaji : pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar
getah bening.
h. System musculoskeletal
Hemiparesis (+), kekuatan otot ekstremitas kanan 5/5
ekstremitas kiri 2/5.
4. Riwayat ADL
No Aktivitas Sebelum sakit Saat sakit
1 Nutrisi
a. Makan
Frekuensi 3x sehari 3x sehari
Keluhan - -
b. Minum
Frekuensi 5-7 gelas sehari 5-6 gelas sehari
Keluhan - -
2 Eliminasi
a. BAK
Frekuensi 5x sehari 3x sehari
Keluhan - -
b. BAB
Frekuensi 1x sehari 1x sehari
Warna - -
Keluhan - -
5. DATA PSIKOLOGIS
1. Status emosi
Klien nampak gelisah.
2. Konsep diri
a. Gambaran diri : Klien mengatakan tidak ada bagian tubuh yang
dibenci dan klien menyukai seluruh tubuhnya walaupun
sekarang dalam keadaan sakit.
b. Harga diri : Klien tidak merasa malu maupun rendah diri
terhadap penyakit yang alaminya sekarang. Klien menerima
keadaan dirinya baik sehat maupun sakit.
c. Peran diri : Klien seorang kepala keluarga, seorang ibu dari
anak-anaknya dan istri dank lien seorang nenek bagi cucu-
cucunya.
d. Identitas diri : Klien merupakan seorang irt.
e. Ideal diri : Harapan klien terhadap penyakitnya adalah ingin
cepat sembuh dan pulih seperti semula.
3. Gaya komunikasi
Klien berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda dan Bahasa
Indonesia dengan nada yang lambat dan sedikit dimengerti dibantu
oleh keluarganya
6. DATA SPIRITUAL
1. Konsep ketuhanan
Ny. K memeluk agama Islam.
2. Ibadah praktek
Klien mengatakan bahwa klien belum bisa melakukan shalat.
3. Makna sehat sakit
Klien mempercayai bahwa penyakit yang dideritanya saat ini adalah
cobaan dari Allah SWT.
4. Support social
Hubungan klien dengan lingkungan sekitar rumah dirasa cukup baik.
7. DATA PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Keterangan
Hb 12,7 g/dl 12 – 16 g/dl Normal
Hematrokrit 39,5 % 35 - 47% Normal
Trombosit 274000/µL 150000-440000/ Normal
µL
Eritrosit 4,49 / µL 3,6 – 5,8/µL Normal
Ureum 33 mg/dl 10 – 50 mg/dl Normal
Creatinine 0,84 mg/ dl 0,7 – 1,13 mg/dl Normal
Na 136 mmol/L 134-145 mmol/L Normal
K 4,3 3,6-5,6 mmol/L Normal
GDS 183 mg/dl 70-200 mg/dl Normal
8. TERAPI OBAT
No Nama obat Dosis Rute Kegunaan
1 Infus Dextrose 500ml IV Digunakan sebagai
5%
alternatif untuk
memenuhi kebutuhan
gula dan cairan pada
pasien dengan kondisi
medis tertentu.
2 Citicolin 2x500ml IV Obat untuk mengatasi
(2 amp)
gangguan memori atau
perilaku yang
disebabkan oleh
penuaan, stroke, atau
cedera kepala.
3 pantoprazole 1x1 40 mg IV obat untuk meredakan
gejala akibat
peningkatan asam
lambung, seperti rasa
panas di dada, asam
lambung naik, atau sulit
menelan. Obat ini
umum digunakan pada
penderita
gastroesophageal reflux
disease (GERD),
esofagitis erosif, tukak
lambung, atau sindrom
Zollinger-Ellison.
9. ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
1. DS : Hipertensi Gangguan Mobilitas
- Klien Tekanan darah perifer Fisik
mengeluh
lemas badan Hemodinamik
bagian kiri
- Klien Emboli arteri, thrombus
mengatakan arteri
tidak bisa
Aliran nutrisi dan O2 ke
menggerakan otak
ekstremitas
kiri Infark Arteri serebral
DO :
- Klien nampak Impuls Saraf motorik ke
lemah medulla
- Kekuatan otot
Impuls yang
ekstremitas berlawanan
kiri 2/5
- Hemiparesis Hemiparesis sinistra
(+)
- TD : 170/110 Gangguan Mobilitas
mmHg Fisik
perawatan diri
3. DS : - Penurunan suplai darah Gangguan
dan O2 ke otak
DO : Komunikasi Verbal
- Klien tidak
Kerusakan
mampu bicara Neurocerebrospinal
dengan jelas N.VII (fasialis), N.IX
(glossofaringeus)
- Pada saat
berbicara cara
Ketidakmampuan bicara
bicara klien
rero
Gangguan
- Klien nampak Komunikasi Verbal
sulit
Menyusun
kalimat
4. DS : - Hipertensi Resiko Perfusi
DO : Tekanan darah perifer Serebral Tidak
- Hemiparesis Efektif
sinistra (+) Hemodinamik
- TD : 170/110
mmHg Emboli arteri, thrombus
- Bicara rero (+) arteri
- Klien nampak
Aliran nutrisi dan O2 ke
lemah otak
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, N. M., Hidayah, A., & Santoso, H. (2021). Pengaruh Latihan Range Of
Motion ( ROM ) Pasif Terhadap Kekuatan Otot dan Rentang Gerak Sendi
Ekstremitas Pada Pasien Pasca Stroke. Jurnal Kesehatan Ilmiah Indonesia,
6(1), 22–26.
Eka Pratiwi Syahrim, W., Ulfah Azhar, M., & Risnah, R. (2019). Efektifitas
Latihan ROM Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke:
Study Systematic Review. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia
(MPPKI), 2(3), 186–191. https://doi.org/10.56338/mppki.v2i3.805
Listiana, D., Fernalia, G., & Nafalita, A. (2020). Pengaruh Terapi Latihan Range
Of Motion (Rom) Aktif Dan Kompres Hangat Terhadap Kekuatan Otot
Ekstremitas Pada Pasien Post Stroke. Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah,
4(1), 35–42.
Nurtanti, S., & Ningrum, W. (2018). Efektiffitas Range Of Motion (ROM) Aktif
Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Pada Penderita Stroke. Jurnal
Keperawatan GSH, 7(1), 14–18.
ANALISIS JURNAL PADA PASIEN STROKE INFARK DALAM
MEMBANTU MOBILISASI DENGAN LATIHAN ROM AKTIF
Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
Zamzam Teja Sukmana 402022087
Aprilia Damayanti 402022145
Resha Eka Febryani 402022095
Widya Indah Nirwana 402022071
Redista Rahmayanti 402022044
Sopian 402022059
Krisda Amelia 402022119
Nisa Annisa Rohmah 402022104
Aprilia Sartika 402022077
Igay Prajasastia 402022054
Tita Indah Sarirudi 402022086
Eneng Nena 402022037
2022
A. Menentukan PICO
Rangkuman menyeluruh dalam bentuk evidance based nursing (EBN)
mengenai efektivitas latihan Range of Motion (ROM) pada pasien stroke.
Adapun penentuan PICO adalah sebagai berikut.
V2 :
Penelitian ini menggunakan
desain penelitian cross
sectional dengan melakukan
observasi atau pengukuran
variabel sekali dan sekaligus
pada waktu yang sama.
Dengan Teknik sampel
menggunakan metode
purposive sampling.
Diberikan latihan ROM
aktif-asistif: spherical grip
dan setelahnya dilakukan
pengukuran derajat kekuatan
otot untuk mengevaluasi
terjadinya peningkatan
kekuatan otot diberikan
selama 7 hari dengan
perlakuan 2 kali sehari.
Kesimpulan :
Prosedur pemberian
intervensi dijelaskan cukup
baik.
V3 :
Pemilihan sampel yang
digunakan dalam penelitian
ini, menggunakan metode
purposive sampling. Sampel
di ambil dari populasi pasien
stroke rawat inap ruang
alamanda dan mawar di
RSUD Tugurejo semarang
sebanyak 20 responden. Hal
ini di karenakan ada 5 calon
responden yang tidak
memenuhi kriteria dalam
penelitian, 5 dari calon
responden tersebut, ada 2
yang menolak menjadi
responden dan ada 3 dalam
keadaan tidak sadar
Kesimpulan :
Pemilihan sampel non
random, tidak dapat variabel
perancu dalam penelitian
tersebut.
V4:
Analisis dalam penelitian ini
menggunakan analisis dengan
uji statistik Wilcoxon Match
Pairs diperoleh nilai p rata-
rata pada hari ke-2 sore
p=0,014 (< 0,05), selanjutnya
pada hari ke-3 sore p=0,046
(< 0,05), selanjutnya pada
hari ke-4 pagi p=0,046 (<
0,05), dan selanjutnya hari
ke-6 pagi p=0,046 (< 0,05).
Kesimpulan:
Ananlisis data yang dilakukan
tepat. Terdapat sajian data
univariat dan bivariate.
V5:
Pembahasan menyebutkan
bahwa hasil penelitian dari 20
responden, didapatkan
beberapa responden tidak
mengalami kenaikan nilai
kekuatan otot. Stroke
merupakan trauma neurologik
akut yang bermanifestasi
sebagai perdarahan atau
infark otak timbul karena
iskemia otak yang lama dan
parah dengan perubahan
fungsi dan struktur otak yang
ireversible. Daerah sekitar
infark timbul daerah
penumbra iskemik di mana
sel masih hidup tetapi tidak
berfungsi. Daerah diluar
penumbra akan timbul edema
lokal atau hiperemis berarti
sel masih hidup dan
berfungsi.
Kesimpulan:
Terdapat pembahasan internal
causal validity dan eksternal
causal validity.
Judul : V1 Penulis menganalisa penelitian di Latihan ROM aktif ini dapat
Pengaruh Latihan Range of Pada jurnal ini menggunakan atas, bahwa Range Of Motion dilakukan pada lansia, latihan ROM
Motion (ROM) Aktif sampel penelitian sebanyak 6 (ROM) jika dilakukan sedini aktif ini mudah dilakukan untuk
Terhadap Peningkatan responden dengan gangguan mungkin dan dilakukan dengan melatih kelenturan dan kekuatan otot
Kekuatan Otot Ekstremitas fungsional otot dan sendi. benar dan secara terus-menerus serta sendi dengan cara
Bawah Lansia Sampel penelitian dilakukan akan memberikan dampak pada menggunakan otot ototnya secara
dengan cara purposive kekuatan otot. Latihan ROM aktif atau mandiri sehingga menjadi
Penulis : sampling kepada 6 responden. ratarata dapat meningkatkan lebih efektif dalam upaya
- Adriani Kriteria inklusi pada kekuatan otot serta pengaruh dari meningkatkan kekuatan otot.
- Nurfatma Sari penelitian ini yaitu lansia kekuatan otot. Pemberian
yang mengalami gangguan metode range of motion aktif
Tahun : fungsional otot dan sendi, ini bertujuan untuk melatih
yang bisa melakukan ROM kelenturan dan kekuatan otot serta
2019 aktif, tidak mempunyai sendi dengan cara menggunakan
riwayat hipertensi. Sedangkan otot ototnya secara aktif atau
kriteria eksklusi yaitu lansia mandiri sehingga menjadi lebih
yang tidak bisa melakukan efektif dalam upaya meningkatkan
ROM aktif dan lansia yang kekuatan otot. Berdasarkan hasil
mempunyai riwayat analisa diatas didapatkan adanya
hipertensi. pengaruh latihan Range Of
Motion (Aktif) Aktif terhadap
Kesimpulan : peningkatan kekuatan otot
Penelitian ini menjelaskan ekstremitas bawah pada lansia di
kriteria insklusi dan ekslusi PSTW Kasih Sayang Ibu
dengan baik, tetapi tidak Batusangkar.
menentukan kriteria droup out Pada penelitian ini dijelaskan
sampel. Metode pengambilan bahwa terapi ROM aktif dapat
sampel tidak berdasarkan meningkatkan kekuatan otot dari
kelompok control dan sebelum dilakukan intervensi dan
kelompok intervensi ROM aktif dapat dilakukan
kepada lansia sebagai terapi
tambahan. (Adriani & Sary, 2019)
V2
Penelitian ini menggunakan
desain penelitian pra
experiment dengan metode
one group pretest-posttest
design, dengan menggunakan
instrument pengumpulan data
yang digunakan berupa
lembar SOP latihan ROM,
lembar cek list latihan ROM,
lembar observasi kekuatan
otot, dan lembar penuntun
manual muscle test.
Intervensi dilakukan sebnyak
6 kali latihan selama 3
mminggu dengan frekusni
untuk 1 kali latihan adalah 2
kali dalam sehari yaitu selama
10 menit.
Kesimpulan :
Prosedur pemberian
intervensi dijelaskan dengan
baik
V3
Tidak terdapat variabel
perancu dalam penelitian ini
Kesimpulan :
Pemilihan sampel non
random, tidak terdapat
variabel perancu dalam
penelitian tersebut.
V4
Rata rata pengaruh kekuatan
otot pada lansia di PSTW
Kasih sayang iu batusangkar
anatara sebelum dan sesudah
intervemsi ROM adalah -
0,548500 dengan standar
deviasi 0,084998. Hasil uji
statistik menunjukan bahwa
terdapat pengaruh latihan
Range Of Motion (ROM)
aktif terhadap peningkatan
kekuatan otot ekstremitas
bawah pada lansia di PSTW
Kasih Sayang Ibu
Batusangkar tahun 2018 .
V5
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan
oleh Safa’ah (2010). Dengan
judul pengaruh latihan Range
Of Motion terhadap kekuatan
peningkatan otot lanjut usia di
UPT pelayanan sosial lanjut
usia (Pasuruan) Kec. Babat
Kab.Lamongan didapatkan
peningkatan kekuatan otot
yang berarti pada lansia
ROM. Pada kelompok
eksperimen, sebagian besar
(58%) responden terdapat
peningkatan kekuatan otot
antara pre-test dan post-test,
sedangkan hampir
setengahnya (26%) responden
tidak dapat penurunan antara
pre-test dan post-test atau
dikatakan tetap, sebagian
kecil (16%) responden
terdapat penurunan antara
pre-test dan post-test.
Judul : V1 Berdasarkan penelitian ini penulis Terapi latihan range of motion
Pengaruh Terapi Latihan
Penelitian ini dilakukan di menganalisa bahwa dilakukannya (ROM) aktif dan pemberian kompres
Range of Motion (ROM)
Aktif dan Kompres Hangat ruang Poli Saraf RSUD Dr. terapi latihan Range of Motion hangat dapat dilakukan pada pasien
Terhadap Kekuatan Otot
M. Yunus Bengkulu pada (ROM) aktif dan kompres hangat penderita stroke dan pasca stroke.
Ekstremitas Pada Pasien
Post Stroke Tanggal 1-30 Juni 2021. dapat meningkatkan kekuatan otot Dilakukannya terapi ini mampu
Desain yang digunakan dalam pada pasien stroke. Latihan ROM meningkatkan kekuatan otot
Penyusun : penelitian ini adalah Pre aktif yang diprogramkan pada ekstremitas dan mobilitas fisik
- Devi Listiana
- Fernalia Eksperimental menggunakan pasien stroke secara teratur pasien stroke
- Ghisca Nafalita Anjani the One Group Pretest terbukti berefek positif baik dari
Kesimpulan :
Dalam penelitian ini
dijelaskan mengenai kriteria
inklusi yang digunakan untuk
sampel penelitian dan juga
terdapat kriteria ekslusi yaitu
responden yang
mengundurkan diri (drop out)
V2
Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah the one
group pretest postest design.
Pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan
data primer yaitu dengan
melakukan pengukuran otot
sebelum dan setelah terapi
latihan Range of Motion
(ROM) aktif dan kompres
hangat. Pemberian terapi
kompres hangat dan latihan
ROM dilakukan sebanyak 2
kali dalam seminggu dengan
waktu 20 menit. Intervensi
dilakukan selama satu
minggu. Pada hari terakhir
dilakukan pengukuran
kekuatan ekstremitas kembali
(post test)
Kesimpulan :
Pada penelitian ini dijelaskan
mengenai bagaimana desain
penelitian yang dilakukan dan
juga intervensi yang
dilakukan pada penderita post
stroke dengan menggunakan
latihan terapi ROM dan
kompres hangat
V3
Penelitian ini menggunakan
analisa data univariat dan
bivariat
Kesimpulan :
Analisis data yang digunakan
pada penelitian ini
menggunakan analisis
univariat untuk mengetahui
distribusi frekuensi masing-
masing variabel dan analisis
bivariat untuk mengetahui
rata-rata perbedaan sebelum
dan sesudah pemberian
kompres hangat dan latihan
ROM
V4
Berdasarkan penelitian
tampak bahwa nilai rata-rata
kekuatan otot ekstremitas
sebelum dilakukan terapi
latihan range of motion
(ROM) aktif dan kompres
hangat adalah sebesar 2,45
dan diperoleh nilai rata-rata
kekuatan otot ekstremitas
setelah dilakukan terapi
latihan range of motion
(ROM) aktif dan kompres
hangat adaalah sebesar 3,35.
Data tersebut menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan
kekuatan otot ekstremitas
antara sebelum dan setelah
dilakukan terapi latihan range
of motion (ROM) aktif dan
kompres hangat
V5
Berdasarkan penelitian
sebanyak 20 responden
sebelum dilakukan terapi
latihan range of motion
(ROM) aktif dan kompres
hangat diperoleh rata-rata
kekuatan otot ekstremitas
adalah 2,45 dengan kekuatan
otot ekstremitas terendah
adalah 2 dan tertinggi adalah
3. Lemahnya kekuatan otot
ekstremitas pada pasien stroke
sebelum dilakukan terapi
latihan range of motion
(ROM)
aktif dan kompres hangat
dapat disebabkan oleh karena
berbagai faktor diantaranya
faktor
subjektif (meliputi hasil
pemeriksaan kesehatan secara
menyeluruh, adanya penyakit,
gender,
tingkat aktifitas dan usia)
faktor psikologis (meliputi
status kognitif, harapan,
motivasi, depresi,
tekanan dan kecemasan) dan
faktor otot (meliputi tipe serat
otot, panjang otot, arsitektur
otot,
lokasi otot, serta pengaruh
latihan pada otot
Kesimpulan :
Pada penelitian ini dijelaskan
terbukti bahwa dilakukannya
terapi latihan range of motion
(ROM) dan pemberian
kompres hangat secara teratur
dapat meningkatkan kekuatan
ekstremitas otot pasien pasca
stroke.
B. Kesimpulan Analisis
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat pengaruh terapi latihan
range of motion (ROM) dan pemberian kompres hangat untuk
meningkatkan otot ekstremitas pasien stroke maupun pasca stroke.
Mengingat bahaya dari penyakit stroke maka hal yang lebih penting adalah
dengan melakukan pencegahan dengan pengurangan berbagai faktor
risiko, seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus,
hiperlipidemia, merokok dan obesitas. Saat serangan stroke pertama dapat
mencegah serangan stroke berulang demikian diharapkan Rumah Sakit
bisa memberikan layanan keperawatan yang lebih prima dengan
meningkatkan pelaksanaan edukasi secara teratur dengan struktur yang
lebih baik terutama dengan menggunakan media yang bervariasi seperti
penggunaan booklet tentang pelaksanaan ROM. Dengan demikian
kesadaran pasien dan keluarga untuk mau dan mampu melakukan latihan
Range of Motion (ROM) akan meningkat.
C. Standar Operasional Prosedur Latihan Range Of Motion (ROM)
1. Pengertian
Range of motion (ROM) adalah tindakan atau latihan otot dan persendian
yang diberikan kepada pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena penyakit,
disabilitas atau trauma. Dimana pasien menggerakan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.
2. Tujuan
a. Mencegah risiko atropi otot pada klien yang mengalami imobilisasi
b. Mencegah terjadinya kontraktur pada sendi
c. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot
d. Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot
3. Jenis ROM
a. ROM aktif : perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien
dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan
rentang gerak sendi normal (klien aktif).
b. ROM pasif : perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan
rentang gerak yang normal (klien pasif).
c. ROM aktif dengan bantuan : klien melakukan gerakan ROM dengan
sedikit bantuan dari perawat.
4. Indikasi
Klien dengan tirah baring yang lama, klien dengan penurunan tingkat
kesadaran, kelemahan otot, dan fase rehabilitas fisik.
5. Kontra Indikasi
Klien dengan fraktur, kelainan sendi atau tulang, dank lien fase imobilisasi
karena kasus penyakit (jantung).
6. Pengkajian
a. Identifikasi kemampuan masing-masing sendi dalam meakukan gerakan,
pengkajian dapat pula dilakukan saat klien melakukan aktivitasnya
dengan mengobservasi kemampuan atau keterbatasan dalam pergerakan.
b. Identifikasi daerah sendi terhadap tanda peradangan seperti kemerahan,
bengkak, nyeri saat sendi bergerak atau diam.
c. Identifikasi adanya deformitas atau perubahan bentuk pada sendi.
7. Gerakan ROM
Fleksi, ekstensi, hiperekstensi, rotasi, sirkumduksi, supinasi, pronasi, abduksi,
adduksi, dan oposisi.
8. Hal-hal Yang Perlu Diperhatian Saat melaksanakan latihan, perlu
diperhatikan:
a. Keterbatasan pergerakan atau ketidakmampuan menggerakkan sendi.
b. Bengkak, nyeri, kemerahan, krepitus, deformitas pada sendi.
c. Saat melakukan ROM pasif, berikan sokongan sendi.
d. Lakukan setiap gerakan dengan perlahan dan berhati-hati.
e. Setiap gerakan dilakukan sesuai kemampuan.
f. Hentikan gerakan latihan jika klien mengungkapkan ketidaknyamanan
seperti nyeri atau terjadi spasme pada daerah otot yang bersangkutan.
9. Kegiatan
a. Tahap Pra interaksi
Validasi nama klien, keadaan umum, tanda-tanda vital
b. Perisapan Alat
Alat yang digunakan untuk melakuka ROM yaitu geniometer (alat ukur
rentang gerak sendi).
c. Tahap Orientasi
1) melakukan 3S (senyum, sapa, salam) pada klien
2) mengidentifikasi kembali nama klien
3) menanyakan keadaan klien
4) memberikan kesempatan klien dan keluarga bertanya
5) posisikan klien dengan nyaman (duduk/telentang dengan posisi
litotomi)
6) cuci tangan
7) membaca basmallah
8) jaga privasi klien
d. Tahap kerja
Kaji kemampuan rentang gerak sendi
1) Gerakan leher :
a) Fleksi : arahkan dagu ke sternum, upayakan untuk menyentuh
sternum (ROM 45 derajat).
b) Extensi : posisikan kepala pada posisi semula atau netral (ROM
45 derajat).
c) Hiperextensi : gerakan kepala kea rah belakang atau menengadah
sejauh mungkin (ROM 10 derajat).
d) Fleksi lateral : gerakan kepala kea rah bahu, lakukan sesuai
kemampuan (ROM 40-45 derajat).
e) Rotasi : pertahankan wajah kea rah depan lalu lakukan gerakan
kepala memutar membentuk gerakan melingkar (ROM 360
derajat).
2) Gerakan bahu :
a) Fleksi : letakkan kedua lengan pada sisi tubuh, perlahan angkat
lengan ke arah depan mengarah ke atas kepala, lakukan sesuai
batas kemampuan (ROM 180 derajat).
b) Extensi : gerakan lengan kembali mengarah kesisi tubuh (ROM
180 derajat).
c) Hiperextensi : pertahankan lengan pada sisi tubuh dengan lurus,
lalu perlahan gerakan lengan ke arah belakang tubuh (ROM 45-60
derajat).
d) Abduksi : angkat lengan lurus kearah sisi tubuh hingga berada di
atas kepala dengan mengupayakan punggung tangan mengarah ke
kepala dan telapak tangan ke arah luar (ROM 180 derajat).
e) Adduksi : turunkan kembali lengan mengarah pada tubuh dan
upayakan lengan menyilang di depan tubuh semampu klien.
f) Rotasi internal : lakukan fleksi pada siku 45 derajat, upayakan
bahu lurus dan tangan mengarah ke atas, lalu gerakkan lengan kea
rah bawah sambil mempertahankan siku tetap fleksi dan bahu
tetap lurus.
g) Rotasi external: dengan siku yang dalam keadaan fleksi, gerakkan
kembali lengan ke arah atas hingga jari-jari menghadap ke atas
(ROM 90 derajat).
h) Sirkumduksi : luruskan lengan pada sisi tubuh, perlahan lakukan
gerakan memutar pada sendi bahu (ROM 360 derajat).
3) Gerakan siku :
a) Fleksi : angkat lengan sejajar bahu. Arahkan lengan ke depan
tubuh dengan lurus,posisi telapak tangan menghadap ke atas,
perlahan gerakkan lengan bawah mendekati bahu dengan
membengkokkan pada siku dan upayakan menyentuh pada bahu
(ROM 150 derajat).
b) Extensi : gerakkan kembali lengan hingga membentuk posisi
lurus dan tidak bengkok pada siku (ROM 150 derajat).
4) Gerakan lengan :
a) Supinasi : rendahkan posisi lengan, posisikan telapak tangan
mengarah keatas (ROM 70-90 derajat).
b) Pronasi : gerakkan lengan bawah hingga telapak tangan
menghadap keatas (ROM 70-90 derajat).
5) Gerakan pergelangan tangan :
a) Fleksi : luruskan tangan hingga jari-jari menghadap kedepan,
perlahan gerakkan pergelangan tangan hingga jari-jari mengarah
ke bawah (ROM 80-90 derajat).
b) Extensi : lakukan gerakan yang membentuk kondisi lurus pada
jari-jari, tangan dan lengan bawah (ROM 80-90 derjat)
c) Hiperektensi : gerakkan pergelangan tangan, hingga jari-jari
mengarah kearah atas. Lakukan sesuai kemampuan.
d) Abduksi : gerakan pergelangan tangan dengan gerakan kearah ibu
jari (ROM 30 derajat).
e) Adduksi : gerakkan pergelangan tangan secara lateral dengan
gerakan kearah jari kelingking (ROM 30-50 derajat).
6) Gerakan jari tangan :
a) Fleksi : lakukan gerakkan mengepal (ROM 90 derajat).
b) Extensi : luruskan jari-jari (ROM 90 derajat).
c) Hiperextensi : bengkokkan jari- jari kearah belakang sejauh
mungkin (ROM 30-60 derajat).
d) Abduksi : renggangkan seluruh jari-jari hingga ke 5 jari bergerak
saling menjauhi
e) Adduksi : gerakkan kembali jari-jari hingga ke 5 jari saling
berdekatan
7) Gerakan pinggul :
a) Fleksi : arahkan kaki kedepan dan angkat tungkai perlahan pada
posisi lurus, (ROM 90-120 derajat).
b) Extensi : turunkan kembali tungkai hingga berada pada posisi
sejajar dengan kaki yang lainnya (ROM 90-120 derajat).
c) Hiperextensi : luruskan tungkai, perlahan gerakan tungkai kearah
belakang menjauhi tubuh (ROM 30-50 derajat).
d) Abduksi : arahkan tungkai dengan lurus menjauhi sisi tubuh
kearah samping (ROM 30-50 derajat).
e) Adduksi : arahkan tungkai dengan lurus mendekati sisi tubuh,
lakukan hingga kaki dapat menyilang pada kaki yang lain (ROM
30-50 derajat).
f) Rotasi internal : posisikan kaki denga jari-jari menghadap
kedepan, perlahan gerakkan tungkai berputar kearah dalam (ROM
90 derajat).
g) Rotasi eksternal : arahkan kembali tungkai ke posisi semula yaitu
posisi jari kaki menghadap kedepan (ROM 90 derajat).
h) Sikumduksi : gerakan tungkai dengan melingkar (ROM 360
derajat).
8) Gerakan lutut :
a) Fleksi : bengkokkan lutut, dengan mengarahkan tumit hingga
dapat menyentuh paha bagian belakang (ROM 120-130 derajat).
b) Extensi : arahkan kembali lutut hingga telapak kaki menyentuh
lantai (ROM 120-130 derajat).
9) Gerakan pergelangan kaki :
a) Dorsifleksi : gerakan pergelangan kaki hingga jari kaki mengarah
keatas, lakukan sesuai kemampuan (ROM 20-30 derajat).
b) Platarfleksi : gerakan pergelangan kaki hingga jari-jari mengarah
kebawah (ROM 20-30 derajat).
10) Gerakan kaki :
a) Inversi : lakukan gerakan memutar pada kaki, arahkan telapak
kaki kearah medial (ROM 10 derajat).
b) Eversi : lakukan gerakan memutar pada kaki, arahkan telapak
kaki kearah lateral (ROM 10 derajat).
c) Fleksi : arahkan jari-jari kaki ke bawah (ROM 30-60 derajat).
d) Extensi : luruskan kembali jari-jari kaki (ROM 30-60 derajat).
e) Abduksi : regangkan jari-jari kaki hingga jari-jari saling menjauhi
(ROM 15 derajat).
f) Adduksi : satukan kembali jari-jari kaki hingga jari-jari saling
merapat (ROM 15 derajat).
11) Lafadzkan hamdallah bersama pasien
e. Tahap Evaluasi
1) Evaluasi hasil seluruh kegiatan
a) Observasi reaksi nonferbal ketidaknyamanan (rasa nyeri)
b) Tanyakan pada klien bagaimana perasaanya setelah dilakukan
tindakan
c) Apa efek yang dirasakan klien setelah diberikan ROM?
Termasuk pikiran, perasaan, reaksi atau aktivitas
2) Beri feedback positif terhadap klien
3) Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
4) Membereskan alat-alat
5) Cuci tangan
6) Mendokumentasikan hasil kegiatan
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, A., & Sary, N. (2019). Pengaruh Latihan Range of Motion (ROM) Aktif
Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas Bawah Lansia. Real in
Nursing Journal, 2(3), 118. https://doi.org/10.32883/rnj.v2i3.564
Listiana, D., Fernalia, G., & Nafalita, A. (2020). Pengaruh Terapi Latihan Range
Of Motion (Rom) Aktif Dan Kompres Hangat Terhadap Kekuatan Otot
Ekstremitas Pada Pasien Post Stroke. Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah,
4(1), 35–42.
Sukmaningrum, F. (2012). Efektivitas Range of Motion ( Rom ) Aktif-Asistif :
Spherical Grip Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pada
Pasien Stroke di RSUD TUGUREJO SEMARANG Febrina. Karya Ilmiah
Stikes Telogorejo, 1, 2.
LAMPIRAN BERKAS SCAN TARGET KOMPETENSI, LOG BOOK